Anda di halaman 1dari 2

ANDINI SRI ASTUTI

VII B

SASAKALA KAMPUNG KRANGGAN

Kranggan adalah sebuah perkampungan yang terletak persis di perbatasan antara Kota Bekasi dan
Kabupaten Bogor. Meski berada di tengah derasnya laju pembangunan yang berlangsung di Kota Bekasi
maupun di Cibubur, Kabupaten Bogor, masyarakat Kampung Kranggan, yang kini termasuk wilayah
Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, masih lekat dengan kehidupan budaya dan tradisi masa silam.Di
kampung ini masih dapat dijumpai rumah-rumah tradisional yang berbentuk rumah panggung, meskipun
sudah banyak yang mulai rusak dimakan usia. Disebut rumah panggung karena bangunan rumah ditopang
sejumlah tiang penyangga, dengan jarak antara lantai rumah dan tanah rata-rata sekitar 50
sentimeter.Keunikan lain rumah tradisional di Kampung Kranggan adalah terletak pada bentuk atap
rumah yang bervariasi dan fungsi masing-masing ruangan di dalam rumah tersebut.Sedikitnya ada tiga
bentuk atap rumah panggung yang kini masih tersisa di Kampung Kranggan, yakni atap model limas,
model jure, dan model julang ngapak. Atap model limas dan jure sepintas mirip, namun atap model limas
tidak memiliki ampig, atau penutup bagian depan dan belakang yang terbuat dari anyaman bambu. Atap
model julang ngapak berbentuk seperti atap rumah joglo, dengan bagian puncak meruncing.Rumah
panggung ini punya tiga ruangan inti, yaitu ruang tengah berbentuk los, sebuah kamar tidur, dan ruangan
belakang digunakan tempat penyimpanan benda pusaka atau padi yang disebut pangkeng atau
pandaringan. Selain ketiga ruang itu, rumah panggung dilengkapi balai tambahan, atau paseban, yang
berfungsi sebagai tempat bersantai atau menerima tamu.Di masa silam, pemilik rumah menyediakan
gentong berisi air bersih dan gayung di balai paseban rumahnya. Para pengelana yang kehausan dapat
menciduk air dan beristirahat di balai paseban itu tanpa harus mengganggu pemilik rumah. Tradisi
menyiapkan gentong air dan gayung itu sudah hilang, namun pengelana tidak perlu khawatir kehausan,
karena di sepanjang jalan alternatif menuju Cibubur ini sudah banyak berdiri warung makanan dan
minuman.
ANDINI SRI ASTUTI
VII B

Upacara

Masyarakat Kampung Kranggan sampai saat ini masih taat menjaga dan menghidupkan tradisi leluhur
mereka. Nutur galur mapai asal, menjaga kelestarian budaya leluhur, demikian pedoman hidup yang
dipegang teguh masyarakat asli kampung ini.Salah satu tradisi yang dilangsungkan secara periodik oleh
warga Kampung Kranggan adalah babarit, sebuah prosesi upacara syukuran dan penghormatan kepada
leluhur, langit dan bumi, serta sang pencipta. Prosesi ini sarat nuansa budaya Sunda, baik dari bentuk
sesajian, atau sesajen, tata upacara, dan doa yang dilantunkan pemimpin upacara ini.Upacara babarit atau
disebut pula salametan bumi ini digelar setiap tahun menyambut datangnya Tahun Baru Saka, Mapag
Taun Baru Saka, dan berlangsung selama sebulan penuh. Puncak acaranya adalah mengarak kerbau putih
keliling kampung."Ini adalah bentuk ungkapan rasa syukur dan terima kasih warga Kampung Kranggan
kepada Yang Maha Kuasa karena kami diberikan berkah dan keselamatan," ujar Suta Tjamin, salah
seorang tokoh masyarakat Kranggan dalam perbincangan dengan Kompas, Selasa (20/6).Dalam salah satu
rangkaian upacara babarit, warga Kampung Kranggan berkumpul dan menggelar tikar dan terpal di
jalanan. Sebuah ancak, yakni alas dari jalinan bambu berukuran 1,5 m x 1,5 m berisikan sesajen berupa
buah-buahan dan hasil bumi lainnya, kue, ikan, daging, serta nasi lima warna dan janur, diletakkan di
tengah jalan. Sesajen lainnya ditempatkan di sejumlah baskom.

Upacara ini dipimpin sesepuh desa yang dikenal sebagai Bapak Kolot. Pemuka desa ini biasanya duduk
menyendiri di ujung barisan. Sebuah tempat pembakaran kemenyan, atau disebut parupuyan, dan sesajian
diletakkan di hadapannya. Sebelum acara doa bersama dimulai, Bapak Kolot membakar kemenyan di
pedupaan dan membacakan doa- doa dalam bahasa Sunda.

Upacara dilanjutkan dengan penyampaian maksud dan tujuan acara serta siapa-siapa tokoh warga yang
dihadirkan. Disusul dengan penyampaian secara ringkas tentang sejarah dan tradisi di Kranggan serta
ucapan terima kasih dan permohonan kepada Tuhan agar warga Kampung Kranggan dan seluruh
masyarakat di Indonesia diberikan keselamatan dan berkah.

Sekilas disebutkan, leluhur warga Kampung Kranggan ini adalah keturunan Prabu Siliwangi, Raja
Pajajaran dari tanah Sunda (Nusa Kalapa), yang mengungsi ke wilayah tengah, yang kini meliputi
wilayah Bogor, Bekasi, Cirebon, dan Banten. Kampung Kranggan ini diperkirakan mulai dibangun sekitar
abad ke-15 atau abad ke-16 Masehi, dan pemuka desa, Bapak Kolot Kampung Kranggan, saat ini
merupakan keturunan yang ke-9 dari pendiri desa.

Selesai didoakan, sebagian sesajian di atas ancak kemudian digantung di pohon dan sebagian sesajian
lainnya ditanam di tiga lubang yang sudah disiapkan di tepi ujung persimpangan jalan. Bapak Kolot
Kisan, sesepuh warga Kampung Kranggan, mengatakan, upacara salametan bumi bukan semata-mata
ditujukan bagi kepentingan warga Kampung Kranggan, namun untuk keselamatan dan kesejahteraan
Indonesia.

Budayawan Betawi Ridwan Saidi mengungkapkan, tradisi dan budaya yang hidup dan dipertahankan
warga Kampung Kranggan adalah akar dari tradisi dan budaya Betawi saat ini. Warga asli Kampung
Kranggan diyakini merupakan sebagian penduduk asli Jakarta yang leluhur mereka tersingkir ke
pedalaman akibat penyerbuan Fatahillah ke gerbang utama Jayakarta, Pelabuhan Kalapa.

"Bagi kami, orang Betawi, tentu sangat berkepentingan untuk mengetahui sejarah. Betawi kini mengalami
krisis identitas," ungkap Ridwan dalam perbincangannya dengan Kompas.

"Tradisi yang dipertahankan masyarakat Kranggan menunjukkan bahwa budaya Betawi sangat plural.
Karena itu, orang Betawi di Kota Jakarta sekarang ini seharusnya menghormati pluralisme," ujarnya.

Anda mungkin juga menyukai