Akhir-akhir ini konflik sosial di Indonesia semakin marak. Masyarakat menjadi begitu mudah
tersulut rasa amarah dan diprovokasi oleh pihak lain. Konflik sosial yang terjadi seringkali
disertai dengan kekerasan. Konflik sosial yang terjadi di tengah masyarakat merupakan salah
satu penyebab lunturnya Bhinneka Tunggal Ika dalam masyarakat, terkikisnya kearifan lokal,
institusi pendidikan yang tidak mengajarkan visi dunia pendidikan serta tidak maksimalnya
Negara dalam melindungi hak konstitusional warga Negara. Dampak akibat konflik sosial
dirasakan sangat menggangu Indonesia sebagai negara demokrasi.
Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015
Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan
Konflik Sosial, yang dimaksud dengan konflik sosial atau konflik, adalah : perseteruan
dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang
berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan
disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan
nasional.
Macam-macam Konflik
Sebagai bentuk interaksi sosial, konflik dapat dibedakan ke dalam beberapa bagian, yaitu :
1. Konflik Individual merupakan konflik yang terjadi karena ada benturan dua
kepentingan dari dua individu yang berbeda. Hal ini terjadi karena setiap orang memiliki
keinginan dan kebutuhan yang berbeda.
Contoh : Seorang anak yang berebut mainan dengan kakaknya.
2. Konflik antarkelas sosial Dikenal dengan konflik vertikal, merupakan konflik yang
terjadi karena adanya benturan kepentingan dan kebutuhan antara dua kelas sosial yang
berbeda.
Contoh : Demo buruh yang meminta kenaikan upah kepada pengusaha tempat ia bekerja.
3. Konflik antarkelompok sosial Dikenal dengan konflik horizontal, merupakan konflik
yang terjadi karena ada benturan dua kepentingan dari dua kelompok sosial yang
berbeda.
Contoh : Kasus bentrok Lampung tahun 2012.
4. Konflik rasial Konflik rasial terjadi karena ada benturan antara dua ras yang berbeda
mengenai suatu isu. Faktor pemicunya adalah timpangnya kondisi sosial ekonomi yang
memiliki dampak ketimpangan sosial di masyarakat. .
Contoh : kasus Timor Timur, DOM Aceh, Malari (SARA).
5. Konflik politik Konflik politik timbul karena adanya kepentingan untuk meraih
kekuasaan dengan menumbangkan kekuasaan pemerintahan sebelumnya.
Contoh : tumbangnya Orde Lama oleh Orde Baru.
6. Konflik internasional Konflik internasional terjadi karena adanya benturan antar Negara
yang berkaitan kepentingan masing-masing Negara.
Contoh : Sengketa Selat Ambalat antara Malaysia dan Indonesia
Menilik data yang diperoleh dari laman Kesbangpol-Kementerian Dalam Negeri, konflik sosial
yang terjadi di Indonesia dapat dikelompokkan berdasarkan isu/pola konflik, sumber konflik, dan
wilayah konflik.
1. Berdasarkan isu/pola konflik sosial. Pada rentang waktu 2013-2015 (pertengahan kuartal
Januari s/d April) telah terjadi total 201 kasus dengan rincian
2. Berdasarkan sumber konflik. Merujuk pada ketentuan dalam UU No. 7/2012 pada tahun 2013-
2015 (pertengahan kuartal Januari s/d April) yang menjadi sumber terjadinya konflik adalah :
permasalahan ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya total berjumlah 159 kasus
perseteruan SARA total berjumlah 9 kasus
sengketa SDA/Lahan total berjumlah 33 kasus.
Berikut beberapa contoh konflik sosial dalam masyarakat yang pernah terjadi di Indonesia yang
dirangkum dari pemberitaan beberapa media massa serta data dari BNPB.
Konflik ini terjadi pada tanggal 27 Oktober 2012 hingga 29 Oktober 2012. Yang menjadi
penyebab konflik adalah saat ada dua gadis yang berasal dari Desa Agom diganggu oleh
sekelompok pemuda yang berasal dari desa Balinuraga. Kedua gadis ini sedang naik sepeda
motor kemudian diganggu hingga kedua terjatuh dan mengalami luka-luka. Sontak kejadian ini
memicu amarah dari warga desa Agom. Mereka kemudian mendatangi Desa Balinuraga yang
mayoritas beretnis Bali dengan membawa sajam dan senjata. Bentrok pun tak terhindarkan
hingga menewaskan total 10 orang.
3. Konflik Sosial yang terjadi di Kabupaten Flores Timur, NTT Tahun 2013
Konflik sosial yang terjadi pada tanggal 11 Mei 2013 di Desa Wulublolong dan Desa Lohayong
II Kecamatan Solor Timur Kabupaten Flores Timur Provinsi NTT. Penyebabnya adalah saling
rebut material yang berada di batas desa yang diklaim oleh kedua warga desa sebagai pemilik.
Konflik menimbulkan kerugian materi, korban jiwa serta sebagian warga mengungsi.
Merupakan konflik dalam bidang pertambangan. Terjadi antara Semen Indonesia dengan warga
masyarakat Pegunungan Kendeng, Rembang Jawa Tengah. Penyebabnya adalah berbagai
kejanggalan yang telah dilakukan oleh Semen Indonesia seperti masalah Amdal yang tidak
sesuai dan hak ekonomi.
5. Konflik Sosial yang terjadi di Kabupaten Sumbawa Besar, NTB Tahun 2013
Konflik sosial yang terjadi pada tanggal 23 Januari 2013 di Desa Seketeng, Kecamatan
Sumbawa, Kabupatan Sumbawa Besar, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Konflik ini menyebabkan
banyak warga masyarakat yang mengungsi.
Konflik sosial yang terjadi di Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Merupakan konflik yang sering terjadi dan berkelanjutan. Konflik menyebabkan kerugian materi.
Aksi pembakaran beberapa gereja yang terjadi tanggal 13 Oktober 2015 di Aceh Singkil diawali
dengan demonstrasi yang dilakukan oleh remaja Muslim. Mereka menuntut pemerintah setempat
untuk melakukan pembongkaran terhadap sejumlah gereja yang dianggap tidak memiliki izin.
Karena tensi yang tinggi, sebanyak 600 orang kemudian memutuskan melakukan pembakaran
terhadap beberapa gereeja yang ada. Konflik ini mengakibatkan 1 orang tewas dan 4 orang luka-
luka.
Banyak pihak yang berpendapat bahwa konflik sosial yang terjadi di Tolikara ini tidak hanya
berlatar belakang agama, namun juga masalah kesenjangan ekonomi serta keamanan. Konflik
yang terjadi saat Hari Raya Idul Fitri ini berawal dari penyerangan yang dilakukan oleh
sekelompok orang kepada warga yang tengah melakukan Sholat Id. Aksi ini berlanjut pada
pembakaran masjid, bangunan rumah serta kios yang ada di sekitarnya.
Landasan Hukum Penanganan Konflik Sosial di Indonesia
Konflik sosial yang berdampak besar pada masalah kemanusiaan menjadikan konflik sosial
sebagai salah satu dari jenis-jenis pelanggaran HAM. Sebagai Negara yang kaya akan suku,
agama dan budaya membuat Indonesia dikenal sebagai Negara demokrasi dengan tingkat
toleransi yang tinggi. Namun, maraknya konflik sosial yang terjadi menunjukkan bahwa fungsi
toleransi tidak berjalan dan ada yang salah dengan cara kita merawat kekayaan itu sebagai
kekuatan.
Salah satu upaya mencegah terjadinya konflik sosial adalah dengan cara merawat kemajemukan
bangsa Indonesia yang dimiliki melalui dibumikannya kembali 4 Pilar Bangsa Indonesia, yaitu :
Guna menangani konflik sosial yang terjadi di Indonesia disahkanlah Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Peraturan Pemerintah ini merupakan landasan hukum bagi pemerintah dalam menangani konflik
sosial dengan tujuan :
1. Perbedaan Individu
Merupakan perbedaan yang menyangkut perasaan, pendirian, pendapat atau ide yang berkaitan
dengan harga diri, kebanggaan dan identitas seseorang.
Kepribadian seseorang dibentuk dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Tidak semua
masyarakat memiliki nilai-nilai dan norma-norma sosial yang sama. Apa yang dianggap baik
oleh suatu masyarakat belum tentu sama dengan apa yang dianggap baik oleh masyarakat.
3. Perbedaan Kepentingan
Setiap individu atau keompok seringkali memiliki kepentingan yang berbeda dengan individu
atau kelompok lainnya. semua itu bergantung dari kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Perbedaan
kepentingan ini menyangkut kepentingan ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
1. Perbedaan pendirian dan perasaan orang seorang makin tajam sehingga timbul bentrokan
perseorangan
2. Perubahan sosial yang terlalu cepat di dalam masyarakat sehingga terjadi disorganisasi
dan perbedaan pendirian mengenai reorganisasi dari sistem nilai baru.
3. Perbedaan kebudayaan yang memengaruhi pola pemikiran dan tingkah laku perseorangan
dalam kelompok kebudayaan yang bersangkutan. Hal ini akan menimbulkan
pertentangan kelompok.
4. Bentrokan antar kepentingan, baik perseorangan maupun kelompok, misalnya
kepentingan ekonomi, sosial, politik, ketertiban, dan keamanan.
5. Permasalahan di bidang ekonomi, seperti kelangkaan beberapa kebutuhan pokok
masyarakat.
6. Lemahnya kepemimpinan pada berbagai tingkatan (weak leadership)
7. Ketidakadilan yang dirasakan oleh sebagian atau seluruh kelompok masyarakat
8. Rendahnya tingkat penegakan hukum (lack of legal mechanism)
9. Tererosinya nilai-nilai tradisional yang mengedepankan kebersamaan dan harmoni
(erosion of traditional community strengthening values).
10. Sejarah opresi pemerintah pada masa lalu terutama melalui kekuatan militer bersenjata
(past history of goverment oppression
No Jenis konflik Contoh Konflik Uraian Siangkat Terjadinya Konflik
1 Konflik Konflik Tarakan : Berita terakhir bentrok etnis antar suku, suasana Kota
Antarsuku Bentrok etnis antara Tarakan Kalimantan Timur kembali mencekam. Ribuan
suku Dayak asli warga adat dayak Tidung yang tergabung dalam
Kalimantan dan warga Persatuan Suku Asli Kalimantan (Pusaka) mendatangi
pendatang. dan mengepung Kepolisian Resor Kota Tarakan, Selasa
(28/9). Mereka menuntut aparat agar segera menangkap
pembunuh Abdullah (pemangku adat dayak Tidung)
yang menjadi pemicu kerusuhan di Tarakan 2010.
Warga yang datang ke kantor polresta melengkapi diri
dengan berbagai senjata tajam jenis mandau (pedang),
badik, dan golok. Sementara puluhan aparat polresta
berjaga-jaga di sekitar kantor. Akibat kedatangan massa,
situasi di sekitar kantor Polresta Tarakan memanas.
Massa juga melakukan orasi, selain mendesak
kepolisian segera menangkap pembunuh Abdullah, juga
mengusir etnis pelaku pembunuhan dari Kota Tarakan.
2 Konflik Konflik Tolikara,: Tanggal 11 Juli 2015 telah memberikan surat selebaran
Antaragama Tentang Mayoritas- yang mengatasnamakan Jemaat GIdi dan berisi GIDI
Minoritas dan Wilayah Toli, selalu melarang agama lain dan gereja
Perjuangan Tanah Denominasi lain tidak boleh mendirikan tempat-tempat
Damai ibadah lain di Kabupaten Tolikara dan melarang
berlangsungnya kegiatan ibadah shalat Ied Umat muslim
di kabupaten Tolikara yang ditandatangani oleh Pendeta
Mathen Jingga S.Th Ma dan Pendeta Nayus Wenda
S.Th. Pukul 07.10 WIT Massa pimpinan pendeta
Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (Koorlap) mulai
melakukakan aksi pelemparan batu dan perusakan kios-
kios yang berada dekat dengan masjid baitul Muttaqin.
3 Konflik Konflik Etnis Ras Bali Bentrok antara etnis Bali dan etnis Samawa atau
Antarras dan Sumbawa : Aksi Sumbawa terjadi Selasa (22/1/2013) siang di kabupaten
unjuk rasa di depan Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat. Sejumlah rumah
Mapolres Sumbawa dan mobil milik etnis Bali pun dibakar warga
Besar Sumbawa.Kerusuhan itu berawal dari adanya informasi
meninggalnya seorang gadis etnis Sumbawa dengan
tubuh penuh luka lebam dan pakaian dalam robek.
Namun saat keluarga korban melaporkan hal tersebut ke
Mapolres Sumbawa, pihak kepolisian justru menyatakan
gadis tersebut tewas akibat kecelakaan, sementara
keluarga korban mengaku anak gadisnya ini berpacaran
dengan seorang anggota polisi dari etnis Bali.
4 Konflik Konflik Golkar : Hari Senin (26/11), Tiga puluh empat Pimpinan Daerah
Antargolongan terjadi di dalam tubuh Tingkat I Partai Golkar pro Aburizal Bakri
Partai semakin mengumumkan dukungan mereka terhadap pelaksanaan
meruncing dan bahkan Musyrawarah Nasional IX Partai Golkar yang akan
memicu tindakan digelar di Bali mulai 30 November mendatang.
kekerasan antara Sementara kalangan anti Aburizal Bakri,
pendukung dua kubu. mengatasnamakan rapat pleno DPP Golkar justru
memecat Ketua Umum Aburizal Bakrie dan Sekjen
Idrus Marham, dan membentuk Presidium Penyelamat
Partai Golkar, yang mengagendakan Munas Desember
mendatang.Di pihak lain, Presidium Penyelamat Partai
Golkar menyatakan keputusan rapat pimpinan nasional
di Yogyakarta beberapa waktu lalu tidak sesuai dengan
aturan partai, karena diputuskan sepihak oleh kelompok
pendukung Abrurizal Bakrie.
2 Konflik Sampit a. Kasus ini terjadi pada tahun 2001 dan puncak konfliknya
selama 10 hari. Tercatat 469 orang meninggal dan
108.000 orang mengungsi.
b. Kerugian materi sebanyak 192 rumah dibakar dan 784
lainnya rusak, 16 mobil dan 43 sepeda motor juga hancur.
c. Pemerintah pusat lamban melakukan darurat sipil,
sehingga fasilitas dan masyarakat yang terlibat dalam
konflik terlambat dihentikan.
3 Konflik Transito Mataram a. Pada kasus ini sebanyak 9 orang meninggal, 8 luka-luka,
9 orang mengalami gangguan jiwa
b. 79 orang terusir dari rumahnya, 9 orang dipaksa cerai,
dan 3 ibu keguguran.
c. Kasus ini berlatar perbedaaan keyakinan pemeluk
Ahmadiyah. Sejak tahun 1998-2006, terjadi 7 kali
penyerangan kepada kelompok ini. Akibat konflik itu, 11
empat ibadah dan 144 rumah rusak serta harta beda
dijarah.
4 Konflik Lampung Selatan a. Kasus ini terjadi pada 27-29 Oktober 2012 di Kecamatan
Kalianda dan Way Panji. 14 Orang dilaporkan tewas dan
belasan luka parah. Sementara sebanyak 1.700 warga
mengungsi.
b. Diperkirakan kerugian mencapai Rp 24,88 miliar
c. Pemicunya karena terjadi kesalahpahaman antara dua
kelompok warga, sehingga 532 rumah dibakar.
5 Konflik Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta a. Pada peristiwa ini, sebanyak 1.217 orang meninggal, 85
(Trisakti) orang diperkosa dan 70.000 orang mengungsi.
b. Kejadian ini berlangsung selama 3 hari dari 13-15 Mei
1998 dengan kerugian materil diperkiaran mencapai Rp
2,5 triliun.
c. Pemicunya karena terjadi penculikan aktivis,
penembakan terhadap mahasiswa Trisakti dan
memburuknya ekonomi saat itu. Kebanyakan etnis
Tionghoa menjadi sasaran kemarahan.
Dampak konflik
Dampak konflik tersebut diantaranya:
a. Dampak positif: dapat meningkatkan kesadaran mengenai bahaya rokok
b. Dampak negatif: timbulnya percekcokan antara penumpang angkutan umum
Cara penyelesaiannya
Diharapkan agar setiap orang memiliki kesadaran akan bahaya merokoksebab bahaya merokok
mempunyai dampak yang besar bagi diri sendiri dan orang lain.
2. PERBEDAAN KEBUDAYAAN
Pengertian
Perbedaan kebudayaan merupakan perbedaan mengenai nilai-nilai dan norma-norma yang dianut
oleh masyarakat.
Contoh konflik yang terjadi
Konflik yang terjadi:
Seseorang yang dibesarkan dengan budaya orang barat yang menjunjung tinggi nilai kebebasan
bertemu dengan seseorang yang dibesarkan dengan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai
kebersamaan, maka akan terdapat perbedaan-perbedaan nlai yang dianut oleh kedua belah pihak.
a. dampak positif:
b. dampak negatif: timbulnya perselisihan
Cara penyelesaiannya:
Hanya diharapkan agar meningkatkan rasa keterbukaan diri agar dapat menghindari adanya
konflik
3. PERBEDAAN KEPENTINGAN
Pengertian
Perbedaan kepentingan adalah perbedaan yang disebabkan oleh berbedanya setiap kepentingan
individu atau kelompok. Perbedaan kepentingan ini menyangkut kepentingan ekonomi, politik,
sosial dan budaya.
a. dampak positif:
b. dampak negatif: membuat para karyawan harus mencari penghasilan tambahan
Cara penyelesaiannya:
Diharapkan agar para pengusaha dan pegawai saling mengerti akan kepentingan masing-masing
agar dapat terciptanya kerjasama yang baik
Dampak konflik
Cara penyelesaian
Perubahan sosial budaya yang cepat memiliki pengaruh yaitu pengaruh positif dan pengaruh
negatif. Perubahan yang terjadi tergantung pada suatu kumpulan masyarakat yang memandang
pengaruh tersebut. Pengaruh positif akan terlaksana jika masyarakat memandang baik namun itu
tidak akan terjadi jika masyarakat memandang kearah sebaliknya.
5. PERBEDAAN ETNIS
Pengertian
Perbedaan etnis adalah perbedaan yang disebabkan oleh adanya gesekan sistem nilai dan normal
sosial antara etnis yang satu dengan etnis yang lain.
a. dampak positif: timbulnya rasa untuk memperbaiki kebiasaan-kebiasan buruk ras yang
jelek
b. dampak negatif: terjadinya konflik diantara kedua etnis tersebut
Cara penyelesaiannya:
Suku atau etnis diharapkan dapat lebih giat lagi dalam bekerja agar jika datang rantauan dari luar
tidak memicu adanya konflik.
6. PERBEDAAN RAS
Pengertian
Perbedaan ras adalah konflik yang disebabkan oleh adanya paham rasialisme atau diskriminasi
ras dan dapat pula terjadi akibat adanya kecemburuan sosial terhadap ras tertentu yang minoritas
tetapi memiliki akses ekonomi yang besar dan kuat.
Contoh konflik yang terjadi:
Konflik yang terjadi:
Dapat kiat lihat pada kejadian yang pernah terjadi di Afrika Selatan yaitu Apartheid. Yaitu
adanya diskriminasi pada kulit hitam. Dari kejadian itu dapat kita lihat bahwa perbedaan warna
kulit dapat memicu terjadinya konflik. Seperti orang berkulit putih tersebut menganggap bahwa
orang berkulit hitam adalah rendahan.
a. dampak negatif: -
b. dampak positif: timbulnya perselisihan antar ras
Cara penyelesaiannya:
Sebagai makhluk sosial kita harus mengakui bahwa kita tidak dapat hidup seorang diri. Pada
kejadian itu kita harus belajar bahwa martabat semua manusia itu sama dihadapan Tuhan.
7. PERBEDAAN AGAMA
Pengertian
Konflik akibat adanya perbedaan agama berawal dari etnis akibat primordialisme, etnosentrisme,
dan kesenjangan sosial.
Contoh konflik yang terjadi
Konflik yang terjadi:
Seperti kejadian yang terjadi di Myanmar, karena negara Myanmar menganut Agama Budha,
tetapi ada suatu daerah yang menganut agama Islam yaitu Islam Rohingya tetapi pemerintah
negara itu tidak menerima agama lain masuk negaranya.
Cara penyelesaian:
Kita harus meningkatkan rasa solidaritas kita terhadap agama dan semakin meningkatkan rasa
toleransi. Sebagai mayasarakat yang menjunjung tinggi nilai agama, kita harus mengerti dan
paham bahwa setiap orang memiliki hak untuk beribadah menurut agama yang dianutnya.
. Konflik Aceh
Konflik vertikal Aceh punya akar sejarah panjang. Akar konflik berkait erat dengan
hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan rakyat dan elit sosial Aceh. Masalah
yang terjadi di Aceh terutama bersifat ekonomi-politik dan sosiologi-politik ketimbang
kesediaan rakyat Aceh bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Aceh adalah wilayah yang paling bersemangat untuk berdiri dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Tahun 1947, rakyat Aceh menyumbangkan dua pesawat
komersial kepada pemerintah pusat. Selain itu, mereka juga menyumbang sejumlah dana
operasional bagi negara muda, serta pemberian izin pada pemerintah pusat untuk
menggunakan tanah Aceh sebagai air base penerbangan diplomasi Indonesia ke luar negeri
guna mencari dukungan dunia internasional bagi kemerdekaan Indonesia Bahkan, dua
bulan setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, rakyat Aceh membuat maklumat
berbunyi berdiri di belakang maha pemimpin Soekarno. Maklumat ini diantaranya
ditandatangani Teungku Daud Beureueh, tokoh karismatik Aceh. Secara historis pula,
kehendak Aceh berdiri di dalam Indonesia telah berproses lama. Antaranya lewat interaksi
Sarekat Islam yang membuka cabangnya di Aceh tahun 1916, Insulinde tahun 1918,
Sarekat Aceh tahun 1918, berdirinya sekolah-sekolah Islam formal-modern sejak 1919,
pengiriman pemuda-pemuda Aceh ke sekolah Muhammadiyah di Jawa, dan berdirinya
Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang progresif tahun 1939. Seluruh proses ini,
intinya, mendorong rakyat Aceh familiar dengan konteks sosial Indonesia sehingga
melahirkan dukungan politik dan sosial bagi eksistensi negara Republik Indonesia
Masalah mulai muncul sejak hadirnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
Sumatera. Pasca penangkapan Sukarno-Hatta oleh Belanda, pejabat PDRI di bawah
tekanan Belanda mengangkat dua Gubernur Militer. Salah satu dari mereka adalah
Teungku Daud Beureueh, yang memerintah Daerah Militer Istimewa Aceh, Langkat, dan
Tanah Karo untuk kemudian dibentuk pula Provinsi Aceh dengan Teungku Daud Beureueh
selaku gubernurnya. Selepas PDRI, berlaku negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Namun, RIS tidak memasukkan Aceh sebagai sebuah provinsi mandiri seperti PDRI dahulu
ke dalam konstitusinya. Aceh hanya dijadikan salah satu karesidenan, bagian dari provinsi
Sumatera Utara. Perubahan ini mendorong munculnya kekecewaan di kalangan tokoh
sosial Aceh, sehingga menganggapnya sebagai bentuk kurang amanahnya pemimpin
Indonesia atas Aceh. Sebagai reaksi politik, Teungku Daud Beureueh terpaksa
memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia tahun 1953.
Negara Islam Indonesia ini sebelumnya telah diproklamasikan Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo tahun 1948. Pemisahan yang dilakukan Aceh adalah demi mempertahankan
keunikannya. Konflik elit politik nasional di Aceh usai tanggal 26 Mei 1959 saat Aceh diberi
status Daerah Istimewa dengan otonomi luas, utamanya dalam bidang adat, agama, dan
pendidikan.
Selain kekecewaan pada pemerintah pusat, konflik juga muncul akibat marjinalisasi
identitas kultural masyarakat Aceh. Sebagai komunitas politik dan sosial otonom pra
kolonial, Aceh punya konsep khas tentang budaya mereka (terkait agama Islam) yang
berkembang sejak masa kesultanan Samudera Pasai. Identifikasi kultural yang lekat pada
agama Islam mendorong negosiasi politik antara pimpinan Aceh dengan pemerintah awal
Indonesia untuk menyelenggarakan syariat Islam di wilayah Aceh.
Konflik kembali meruyak setelah pada tahun 1974 pemerintah pusat menerbitkan UU No.5
tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 tahun 1979 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Desa. Kedua undang-undang ini dianggap mengancam
kekhasan sosio-kultural Aceh. Struktur administrasi baru masyarakat Indonesia juga harus
diterapkan di Aceh sehingga merombak lembaga-lembaga adat yang telah ada sejak lama.
Untuk menjamin penetrasi UU tersebut, pemerintah pusat menciptakan jaringan elit lokal
sebagai perpanjangan tangan dari elit pusat.
Selain problem identitas kultural, Aceh pun mengeluhkan eksploitasi dan ketimpangan
ekonomi. Tekanan pemerintah Orde Baru untuk memacu pertumbuhan ekonomi
mendorong eksploitasi besar-besaran atas pabrik LNG Arun dan pupuk Iskandar Muda.
Lewat eksploitasi tersebut, Indonesia mampu keluar selaku eksportir LNG terbesar dunia
dan 90% hasil pupuk yang dihasilkannya di Aceh mampu digunakan sebagai komoditas
ekspor penghasil devisa negara. Eksploitasi lalu mendatangkan masalah saat terjadi
reduksi pengembalian profit ekonomi dari pusat ke Aceh. Tahun 1993, LNG Aceh
menyumbang 6.664 trilyun rupiah pada pemerintah pusat, sementara yang kembali ke
Aceh hanya 453,9 milyar rupiah. Lebih ironis lagi, survey BPS 1993 menemukan fakta
bahwa Aceh memiliki desa miskin terbesar di Indonesia yaitu 2275 desa.
Dalam butir 1.1.2.a MOU tersebut, Aceh berwenang mengatur semua sektor publik kecuali
hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal,
kekuasan kehakiman, dan kebebasan beragama yang seluruhnya tetap berada di tangan
pemerintah pusat. Selain itu, pasal 1.1.4. mengakui batas wilayah propinsi Aceh sesuai yang
berlaku sejak 1 Juli 1956. Juga disepakati bahwa Qanun Aceh akan kembali disusun guna
menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh. Aceh juga berhak menggunakan
simbol-simbol bendera, lambang, dan himne sendiri.
Di bidang ekonomi, Aceh secara unilateral berhak memperoleh dana lewat hutang luar
negeri, bahkan menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan Bank
Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia). Aceh juga berhak menguasai 70% semua
hasil yang diperoleh dari cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya di wilayah
darat dan laut Aceh, baik saat penandatangangan MOU maupun di masa mendatang.
Dalam masalah keamanan, GAM sepakat untuk mendemobilisasi 3.000 pasukan militernya,
dengan mana anggota GAM tidak lagi menggunakan seragam, emblem, atau simbol militer
mereka sendiri setelah penandatangan Nota Kesepahaman. GAM juga sepakat
menyerahkan persenjataan sejak 15 September 2005 dan selesai 31 Desember 2005.
Jumlah tentara organik pemerintah yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah
14.700 orang. Jumlah polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah
9.100 orang.
Kini, merupakan tugas seluruh pihak, baik pemerintah daerah Aceh, rakyat Aceh,
pemerintah Republik Indonesia, dan seluruh warganegara Indonesia untuk
mempertahankan keberhasilan perdamaian yang telah dicapai dengan susah payah. Kini
Aceh harus membangun, terlebih setelah hentakan Tsunami dan konflik berlarut-larut yang
terjadi selama ini.
2. Konflik Papua
Akar konflik vertikal Papua relatif mirip Aceh, terutama karakter diametralnya dengan
pemerintah pusat. Papua masuk ke wilayah Indonesia pada 1 Mei 1963 berdasarkan
kesepakatan yang ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda di New
York pada 15 Agustus 1962. Kedaulatan Indonesia atas Papua kembali ditegaskan lewat
Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang berlangsung pada Juli-Agustus 1969. Sejak saat
itu Papua terus dilanda gejolak separatisme hingga kini.
Jika di Aceh ada GAM, maka di Papua ada OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang berdiri
tahun 1964.[11] Manuver awal OPM terjadi tahun 1965 di Ransiki, Manokwari, tatkala
Indonesia tengah berada dalam krisis politik 1965-1966. Aktitivitas umum OPM adalah
manuver-manuver sporadis untuk menyerang pos-pos polisi dan tentara, sabotase sarana
vital dan strategis seperti Freeport, menyerang transmigran, atau penghasutan massa.
Esther Heidbuchel menyebutkan, konflik Papua dapat dirunut kepada faktor-faktor berikut
:[12]
Kurang mulusnya pelaksanaan Pepera yang pernah diadakan Indonesia tatkala mengambil
alih Papua dari Belanda,
Pelanggaran Hak Asasi Manusia, baik yang dilakukan pasukan Indonesia, utamanya dalam
penegakkan hukum atas mereka,
Pengabaikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat asli Papua. Ini termasuk marginalisasi
sosial ekonomi mereka serta terbentuknya stereotip yang mendiskreditkan orang
Papua.[13]
Dalam perkembangan kemudian, masih menurut Heidbuchel, tersedia tiga jalan yang
penyelesaian konflik. Jalan pertama adalah Merdeka, yang dimotori OPM. Komposisi
mereka yang pro kemerdekaan terdiri atas rakyat biasa berpendidikan rendah, OPM, dan
sebagian kecil elit terdidik Papua. Jalan kedua, pro Indonesia yang kini menduduki status
quo. Kelompok ini didukung kaum migran (orang-orang dari luar Papua) yang menetap di
Papua, sebagian elit terdidik Papua, dan sebagian elit pemerintah pusat. Jalan ketiga adalah
Otonomi Khusus, yang didukung mayoritas elit Papua, mayoritas elit pemerintah pusat,
komunitas-komunitas agama, dan LSM.
Jalan ketiga, Otonomi Khusus, secara formal disepakati lewat terbitnya Undang-undang
Nonmor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang diundangkan Presiden
Megawati Soekarnoputri tanggal 21 Nopember 2001. Namun, kesulitan utamanya adalah
realisasi amanat undang-undang ke dalam dunia nyata.[14] Kendati punya sumber daya
alam yang melimpah, Provinsi Papua tercatat sebagai provinsi termiskin di Indonesia:
Alamnya kaya tetapi mayoritas penduduk aslinya miskin, bahkan sangat miskin.[15]
Ans Gregory da Iry merilis hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
yang selama beberapa tahun mengadakan riset atas konflik Papua.[16] Tim peneliti
merangkum empat hal pokok yang harus dipikirkan oleh pemerintah pusat di Papua.
Pertama, marginalisasi ekonomi dan tindakan diskriminatif dalam pembangunan ekonomi
terhadap orang asli Papua sejak tahun 1970, yang hasilnya membuat mereka kalah
bersaing dengan pendatang. Kedua, pemerintah kurang berhasil melakukan pembangunan
Papua, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Ketiga, belum ada kesamaan paradigma seputar sejarah integrasi Papua ke dalam
Indonesia. Keempat, belum adanya rekonsiliasi serta pertanggungjawaban formal dalam
kasus-kasus kekerasan atas masyarakat Papua oleh negara di masa lalu.
Pembangunan yang timpang adalah salah satu variabel kunci yang membuat Papua terus
bergolak. Padahal, UU Otonomi Khusus secara obyektif membuka ruang besar bagi rakyat
Papua untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi daerahnya. Banyak kalangan di
Papua menghendaki proses pembangunan yang memberi peran besar pada empat pilar
kepemimpinan lokal yang terdiri atas: Pemerintah lokal, pemimpin adat, pemimpin agama,
dan kaum perempuan.[17] Komisi yang khusus menyelidiki proses penyelesaian konflik
Papua bentukan pemerintah dan masyarakat sampai pada kesimpulan bahwa kunci bagi
perdamaian dan kemajuan di Papua adalah penerapan secepatnya UU Otonomi Khusus
Papua No. 21 tahun 2001.[18]
3. Konflik Maluku
Hasbollah Toisuta menyatakan, dalam hal varian konfliknya, konflik Maluku berbeda
dengan konflik Aceh. Pertama, di Maluku terdapat konflik vertikal bernuansa agama.
Kedua, di Maluku juga terdapat konflik vertikal bernuansa ideologi yang direpresentasikan
konflik RMS versus pemerintah pusat.[19] Konflik yang disoroti dalam tulisan ini adalah
jenis yang kedua, konflik vertikal vis a vis pemerintah pusat.
Transisi politik di negara manapun, rentan bagi menguatnya kecenderungan segregasi atau
dalam konteks negara kesatuan, separatisme. Ini terjadi di Maluku pasca kemerdekaan
Republik Indonesia tahun 1945. Pada tanggal 27 Desember 1949, secara resmi Kerajaan
Belanda menyerahkan kedaulatan wilayah kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat
(RIS). Pemerintahan RIS tidak bertahan lama melainkan hanya beberapa minggu saja.
Namun, efeknya berdampak panjang. Oleh pendukung persatuan Indonesia, RIS dibaca
sebagai strategi Belanda untuk terus berkuasa di Indonesia dengan cara lama: Divide et
Impera. Kendati telah berbentuk RIS, negara-negara yang tergabung ke dalamnya tetap
memiliki kecenderungan kuat untuk memasukkan diri ke dalam NKRI kecuali negara
Sumatera Timur dan Indonesia Timur.
Di negara Indonesia Timur, banyak warga Maluku awalnya terintegrasi baik dengan
administrasi kolonial Belanda. Mereka menikmati status quo yang menguntungkan, yang
jika terjadi peralihan rezim, maka keuntungan relatif tersebut diprediksi akan menghilang.
Selain itu, pimpinan negara Indonesia Timur menganggap pemerintah Republik Indonesia
didominasi kaum Muslim, Jawa, dan tokoh-tokoh yang mereka pandang berhaluan politik
kiri.[20] Di Indonesia Timur inilah kemudian terjadi bentrokan antara serdadu kolonial
dengan satuan-satuan Republik di Makassar. Pemerintahan RIS Indonesia Timur dicurigai
sebagai dalang bentrokan. Pada bulan Mei dibentuklah kabinet baru Indonesia Timur
dengan tujuan membubarkan RIS dan meleburkan negara-negara yang tergabung di
dalamnya ke dalam Republik Indonesia.
Ruth Saiya mencatat, dukungan atas RMS tahun 1950 silam datang dari lintas komunitas
agama. Namun, secara keseluruhan dukungan tersebut hanya berasal dari sebagian kecil
masyarakat Maluku saja.[23] Bagi pendukungnya, RMS adalah bentuk nasionalisme Maluku
saat Republik Indonesia dianggap hendak dijadikan negara berasas Islam. Bagi para
pendukungnya, RMS bukan Islamis juga bukan Kristenis sebab di Maluku hubungan Kristen
dan Islam adalah hubungan persaudaraan.[24] Jika pernyataan-pernyataan sebelumnya
dianggap benar, maka sesungguhnya kemunculan RMS merupakan bentuk kegamangan
para elit politik lokal dalam menghadapi transisi politik yang cukup cepat pasca
kemerdekaan Indonesia. RMS adalah konflik sebagian kecil elit lokal Maluku dalam
menghadapi sikap-sikap pemerintah pusat.
Puncak revivalisasi RMS (dalam bentuk baru) terjadi saat transisi politik 1998-1999
dengan munculnya organisasi Front Kedaulatan Rakyat Maluku (FKM) yang dimoderatori
Alex Manuputty. FKM kerap dipautkan dengan RMS atau paling tidak, neo-RMS. Oleh para
provokator, RMS ditambahi embel-embel agama tertentu sehingga situasi politik lokal dan
nasional mudah memanas.
Deklarasi Malino II untuk Maluku ditandatangani 1112 Pebruari 2002 oleh tiga puluh lima
perwakilan Islam, tiga puluh lima pejabat pemerintah beragama Kristen, pemimpin politik,
kepala desa, serta tokoh-tokoh komunitas Kristen dan Islam. Dalam butir ke-3 deklarasi,
para penandatangan sepakat untuk menolak dan melawan setiap jenis gerakan separatis,
termasuk aspirasi pembentukan Republik Maluku Selatan.[25] Demikianlah, secara
antropologis, gerakan RMS ditutup oleh masyarakat Maluku sendiri. Bahkan, pemerintah
Republik Indonesia secara serius menyikapi kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dalam
Deklarasi Malino II dengan mengeluarkan Keppres No. 38 tahun 2002 tentang
Pembentukan Tim Penyelidik Independen Nasional untuk Konflik Maluku tanggal 6 Juni
2002 yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri.
Tim Penyelidik bertugas mencari keterkaitan antar berbagai peristiwa dan issue yang
diduga menjadi penyebab kerusuhan Maluku, meliputi: Peristiwa 19 Januari 1999; issue
tentang Republik Maluku Selatan; issue Kristen RMS; issue Laskar Kristus; issue Forum
Kedaulatan Maluku; issue Laskar Jihad; issue pengalihan agama secara paksa; issue tentang
pelanggaran hak asasi manusia, dan; berbagai peristiwa pelanggaran hukum yang terkait
erat dengan kerusuhan Maluku.[26] Tim tersebut beranggotakan empat belas orang lintas
agama dan suku bangsa, menjalankan tugasnya di provinsi Maluku bekerja sama dengan
Gubernur Maluku.
Di awal kemunculannya, RMS lebih merupakan kegamangan elit Maluku Selatan akan
privilese-privilese yang mereka terima (status quo) tatkala Belanda berkuasa, serta tatkala
Negara Indonesia Timur beroperasi singkat. Di masa Indonesia merdeka, terlebih pasca
transisi politik 1998-1999, isu RMS merupakan katup lepasan resahnya warga Maluku
Selatan atas fenomena konflik yang terus berlarut di Maluku. RMS merupakan isu faktual,
yang kendati kecil kekuatan politik riilnya serta minim dukungan, tetapi karena di-blow-up
oleh pemberitaan media massa jadi seolah-olah besar. Dengan demikian, perlu kerjasama
yang terpadu antara pemerintah, tokoh-tokoh Maluku, dan kalangan media massa untuk
melokalisir isu RMS hingga ke tataran yang paling rendah.
Contoh upaya RMS melakukan blow-up isu tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menghadiri peringatan Hari Keluarga Nasional tanggal 29 Juni 2007 di Lapangan Merdeka,
Ambon.[27] Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa Harganas atau Insiden Cakalele.
Sekelompok penari berhasil mengelabui petugas keamanan lalu menghadirkan tari
Cakalele disertai pengibaran bendera Benang Raja, simbol perjuangan Republik Maluku
Selatan, di depan Presiden. Seperti telah ditebak, segera setelah peristiwa tersebut, media
massa mengkonsumsinya sebagai berita laris-manis sehingga kembali RMS mendapat
perhatian nasional dan mempertahankan eksistensinya sebagai wacana politik.
Konflik dan pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak Januari 1999 telah
berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan
menghancurkan semua tatanan kehidupan bermasyarakat. Hingga 2 September 1991
setidaknya telah tercatat 1.132 korban tewas, 312 orang luka parah, 142 orang luka ringan.
Sebanyak 765 rumah, 195 ruko serta puluhan kendaraan hancur dibakar. Di samping itu
100.000 ribu orang sudah meninggalkan tempat tinggalnya dan sedikitnya 30.000 orang
menjadi pengungsi di 60 kamp penampungan, khususnya di kota Ambon dan sekitarnya.
Transportasi, khususnya transportasi udara, terhenti; harga-harga kebutuhan pokok kian
melonjak dan persediaan makanan menipis; kegiatan pendidikan terhenti.[1]
Tidak ada yang tahu bahwa orang ambon sebagai daerah yang sangat sentral peranannya
dalam masa kolonial belanda dulu, dimana daerah ini banyak digunakan sebagai agen
tentara oleh kolonial. Sehingga tidak heran masih banyak orang ambon yang masih tidak
ingin berintegrasi dalam Indonesia karena mereka sudah terlalu enak di ayomi oleh
bangsa Belanda.
Pada saat sekarang bangsa Ambon banyak memeluk agama Islam dan Kristen. Jumlah
pemeluk agama Islam sedikit lebih banyak, dan mereka umumnya lebih terampil dalam
bidang perdagangan dan ekonomi umumnya. Sedangkan orang Ambon pemeluk agama
Kristen lebih banyak memilih pekerjaan sebagai pegawai negeri dan tentara.[2]
Sehingga tidak heran bahwa awal dari kerusuhan ini tidak lain berawal dari sentimen
agama yang diprovokasi oleh masing-masing agama, mengingat kecenderungan di masing-
masing agama sama banyak. Konflik pertama-tama dipicu oleh kejadian pertengkaran
personal antara seorang sopir angkutan umum dan seorang pemuda yang sudah dianggap
biasa oleh masyarakat Ambon pada umumnya. Ada dua versi, dari Islam dan Kristen, yang
beredar di masyarakat. Pertengkaran personal ini kemudian meluas menjadi pertikaian
antar kelompok agama dan suku yang meledak menjadi kerusuhan.
Seorang saksi korban bernama Amir (bukan nama sebenarnya), warga Muslim di kampung
Batu Merah Dalam, menyatakan bahwa sekitar pukul 15.30, 9 Januari 1999 dia tak
memperhatikan sama sekali apa yang sebenarnya terjadi, karena pertengkaran kecil-
kecilan antara warga Muslim dan Kristen sudah begitu biasa. Tapi pada pukul 16.00,
serombongan besar massa datang dan menyerang. Mereka menyeberang jembatan dan
masuk ke kampung dalam jumlah besar. Amir mengatakan dia tinggal di kampung Batu
Merah seumur hidupnya, dan dia hampir mengenal semua wajah warga kampung itu. Tapi
dia sama sekali tidak mengenal wajah orang yang memimpin rombongan besar massa
penyerang itu. Dia yakin orang itu bukan orang Batu Merah. Sekitar lima orang di muka
rombongan itu mengenakan kain putih pada lengan mereka. Amir lalu menelpon ke pihak
polisi militer, tapi mereka menjawab bahwa mereka sudah menyerahkan persoalan itu ke
polisi biasa. Mereka sendiri mengatakan tidak bisa berbuat apa-apa, karena hari itu hari
libur lebaran, tidak ada orang masuk kerja. Amir mengatakan, di antara rombongan massa
itu dia melihat sekitar 10 orang intel berpakaian preman. Seorang di antaranya meletuskan
tembakan ke udara, tetapi tidak ada hasil. Rombongan massa itu terus maju.
Rombongan massa berhenti di depan bengkel mobil yang terletak di bagian bawah dari
rumahnya. Mereka rupanya menemukan kain-kain lap kotor berlumuran minyak. Mereka
menyulut kain-kain itu, lalu dengan menggunakan parang-parang panjang, mereka
menyulut bagian-bagian lain dari bengkel sehingga api masuk ke dalam rumah. Rumah
Amir juga dibakar sampai rata dengan tanah, seperti semua rumah yang ada di Batu Merah.
Orang-orang itu juga berteriak bahwa mesjid Batu Merah sudah dibakar, meskipun
sebetulnya masjid itu belum tersentuh sama sekali.
Kerusuhan Ambon priode kedua yang diawali dengan pecahnya kerusuhan di pulau
Saparua pada hari Kamis, tanggal 15 Juli 1999 menurut hasil investigasi sementara
diakibatkan oleh dendam dan rekayasa pihak-pihak tertentu.
Setelah pecahnya kerusuhan di Desa Siri Sori Islam, Desa Ullath, Siri Sori Amalatu dan juga
kota Saparua pada tanggal 15 dan 16 Juli 1999, maka pada hari Sabtu tanggal 24 Juli 1999
mulai terjadi kegiatan lempar-melempar batu antara pihak Muslim dan pihak Kristen di
Desa Poka dan daerah sekitarnya Gang Diponegoro Kota Ambon.
Bersamaan dengan itu warga Kristen sekitar Kudamati melakukan aksi pembalasan
pembakaran dan pembantaian terhadap warga Muslim suku Buton di daerah Wara
(Kramat Jaya) yang berada di sekitar Kompleks TVRI Gunung Nona dan perkampungan
warga Muslim Banda Eli di OSM Ambon yang mengakibatkan beberapa buah rumah
terbakar dan puluhan korban meninggal dunia.
Dari peristiwa ini kerusuhan mulai melebar ke mana-mana hampir di seantero Kotamadya
Ambon dan daerah-daerah pinggirannya.
Dari hasil investigasi, ternyata mulai hari Selasa, tanggal 27 Juli 1999 kerusuhan pecah
antara lain di Desa Rumahtiga (tetangga Desa Poka), dimana hampir sebagian besar
rumah-rumah penduduk warga Muslim dibakar dan dimusnahkan oleh penduduk yang
beragama Kristen. Demikian juga di Kompleks Pemda II dan Perumahan Pemda I terjadi
pembakaran, pengrusakan dan penjarahan besar-besaran terhadap rumah-rumah warga
Kristen oleh warga Muslim.
Sedangklan di kota Ambon pusat pertokoan di jalan A.Y. Patty mulai dari toko Dunia Musik
bersebelahan dengan Mesjid Al-Fatah hingga lorong toko kaca mata Optical Maluku hingga
Bank Lippo dibakar dan dirusak oleh masa Muslim, demikian juga beberapa rumah
penduduk di Mardika. Sementara itu pusat pertokoan di sekitar pantai pasar ikan lama
(belakang Ambon Plaza) dibakar habis oleh masa Kristen.
Kerusuhan akhirnya berlanjut di wilayah-wilayah lain seperti di Galala dan Hative Kecil,
Lata, Lateri dan Passo hingga Desa Waai, bahkan di dalam kota Ambon masa Muslim yang
datang dari Waihaong sempat menyerang dan membakar Kantor Wilayah Departemen
Kehakiman Maluku, Kompleks Dok Wayame dan kapal yang ada di dalam kompleks
tersebut serta rumah-rumah penduduk yang ada di sekitarnya.
Dalam kerusuhan ini seperti ada yang memberi komando, terjadi akumulasi masa secara
besar-besaran seperti yang terjadi di Desa Poka, Rumahtiga dan Kota Jawa. Masa Islam dari
Jasirah Leihitu sempat menyebrang gunung dan ikut bergabung dengan masa Islam di
Poka, Taeno (Rumahtiga) dan Kota Jawa untuk menyerang warga Kristen. Demikian juga
masa dari kota Ambon yang sempat bergabung dengan masa Desa Poka dan Desa
Rumahtiga yang beragama Kristen untuk menghadapi masa Muslim.
Sayangnya aparat keamanan tidak bersikap jujur dan adil. Di Desa Poka misalnya aparat
keamanan mencoba menahan warga Kristen yang ingin mempertahankan diri, sementara
mereka membiarkan masa Muslim merusak, membakar dan menjarah rumah-rumah
penduduk. Demikian juga di Tanah Lapang Kecil dari lantai atas Gedung Telkom aparat
keamanan menembak masa Kristen di sekitar pasa kaget Batu Gantung (depan Sekretariat
GMKI), malah memimpin permbakaran rumah, gedung pemerintah dan kompleks Dok
Wayame di Tanah Lapang Kecil.
Dalam peristiwa kerusuhan kali ini ratusan bom dan senjata rakitan, juga alat tajam lainnya
telah dipergunakan untuk membumihanguskan rumah-rumah penduduk dan membunuh
serta melukai ratusan penduduk.
5. Konflik Poso
Konflik di poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia yang belum terpecahkan
sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum bisa
menjamin keamanan di Poso. Pelbagai macam konflik terus bermunculan di Poso.
Meskipun secara umum konflik-konflik yang terjadi di Poson adalah berlatar belakan
agama, namun kalau kita meneliti lebih lanjur, maka kita akan menemukan pelbagai
kepentingan golongan yang mewarnai konflik tersebut.
Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari
keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat suku
asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti
dari Jawa, batak, bugis dan sebagainya.
Suku asli asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah disekitarnya;Morowali dan Tojo Una
Una, adalah orang-orang Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok besar toraja
yang menetap di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering disebut dengan Toraja Pargi-Kaili.
Kedua adalah toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah Toraja Selatan yang
disebut juga denga Toraja Sadan. Kelompok pertama berdomisili di Sulawesi Tengah,
sedangkan untuk kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk wilayah poso sendiri,
dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah Poso tojo yang berbahasa Baree dan
kedua adalah Toraja Parigi-kaili. Namun untuk kelompok pertama tidak mempunyai
kesamaan bahasa seperti halnya kelompok pertama.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar, Islam
dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah
mengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi
adala agama Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang
berbasis kesukuan, terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke
Sulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke
Poso.
Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai
kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya,
ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan
Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjai kendaraan dan
alasan tendesius untuk kepentingan masing-masing.
Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada sintimen
keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut. Dengan menangnya pasangan Piet I
dan Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari identitas agama dan suku[1].Untuk seterusnya
agama dijadikan tedeng aling-aling pada setiap konflik yang terjadi di Poso. Perseturuan
kecil, semacam perkelahian antar persona pun bisa menjadi pemicu kerusuhan yang ada di
sana. Semisal, ada dua pemuda terlibat perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang
satunya lagi beragama Kristen. Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada
perasaan tidak terima diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya,
melaporkan masalah tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah kerusuhan yang
melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok.
Sebelum meletus konflik Desember 1998 dan diikuti oleh beberapa peristiwa konflik
lanjutan, sebenarnya Poso pernah mengalami ketegangan hubungan antar komunitas
keagamaan (Muslim dan Kristen) yakni tahun 1992 dan 1995. Tahun 1992 terjadi akibat
Rusli Lobolo (seorang mantan Muslim, yang menjadi anak bupati Poso, Soewandi yang juga
mantan Muslim) dianggap menghujat Islam, dengan menyebut Muhammad nabinya orang
Islam bukanlah Nabi apalagi Rasul. Sedangkan peristiwa 15 Februari 1995 terjadi akibat
pelemparan masjid dan madrasah di desa Tegalrejooleh sekelompok pemuda Kristen asal
desa Mandale. Peristiwa ini mendapat perlawanan dan balasan pemuda Islam asal
Tegalrejo dan Lawanga dengan melakukan pengrusakan rumah di desa Mandale.
Kerusuhan-kerusuhan kecil tersebut kala itu diredam oleh aparat keamanan Orde Baru,
sehingga tak sampai melebar apalagi berlarut-larut.
Memang, setelah peristiwa 1992 dan 1995, masyarakat kembali hidup secara wajar.
Namun seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan lemahnya peran aparat
keamanan yang sedang digugat disemua lini melalui berbagai isu, kerusuhan Poso kembali
meletus, bahkan terjadi secara beruntun dan bersifat lebih masif. Awal kerusuhan terjadi
Desember 1998, konflik kedua terjadi April 2000, tidak lama setelah kerusuhan tahap dua
terjadi lagi kerusuhan ketiga di bulan Mei-Juni 2000. konflik masih terus berlanjut dengan
terjadinya kerusuhan keempat pada Juli 2001; dan kelima pada November 2001. Peristiwa-
peristiwa tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu dengan yang lain,
sehingga kerusuhan-kerusuhan dicermati dalam konteks jilid satu sampai lima.[2]
Namun pola konflik Poso terlalu kompleks untuk dianalisis hanya berdasar urutan itu,
mengigat intensitas dan ekstensitas wilayah dan pelaku konflik antar tahap
memperlihatkan perbedaan yang sangat mendasar. Terdapat beberapa pola kerusuhan
yang dapat dilihat pada kerusuhan di Poso. Pertama, kerusuhan di Poso biasanya bermula
terjadi di Poso kota dan selanjurnya merembet ke daerah-daerah sekitar Poso. Wilayah
Poso kota keberadaan komposisi agama relative berimbang dan sama. Kedua, kerusuhan
yang terjadi di pusat kota diikuti dengan mobilitas masa yang cukup besar, yang berasal
dari luar Poso, bahkan berasal dari luar kabupaten Poso. Ketika kerusuhan pertama dan
kedua meletus, massa memasuki kota Poso berdatangan dari kecamatan Ampana,
kecamatan Parigi, lage, Pamona, dan bahkan dari kabupaten Donggala. Ketika kerusuhan
ketiga pun meletus, mobilisasi masssa bahkan semakin membludak, dan jauh lebih besar
dari massa yang datang pada kerusuhan pertama dan kedua.
Pola ketiga adalah kerusuhan selalu ditandai dengan pemakaian senjata tajam, baik itu
benda tumpul, pedang, parang, bahkan senjata api. Informasi yang didapat banyak
mengakana bahwa kebanyakan korban tewas karena sabetan pedang/parang, benturan
denga benda keras, dan lain sebagainya. Selain itu bukti yang mengatakan bahwa pada
kerusuhan april 2000 diinformasikan 6 korban tewas disebabkan oleh berondongan
senjata api.
Pola keempat adalah kesalahpahaman informasi dari keduabelah pihak. Pada kerusuhan
pertama, dimulai dengan perkelahian antara dua pemuda Islam dan Kristen, yang
kemudian di blow up menjadi konflik dua golongan agama. Konflik kedua berakar dari
perkelahian dua kelompok pemuda, dan kemudian informasi mengatakan bahwa
kerusuhan itu adalah kerusuhan dengan latar belakang agama.
Konflik pada Desember 1998 dan April 2000 kecenderungannya hanya tepat disebut
tawuran, [3] sebab konflik hanya dipicu oleh bentrokan pemuda antar kampong,
intensitas dan wilayah konflik sangat terbatas di sebagian kecil kecamatan kota. Solidaritas
kelompok memang ada, tapi belum mengarah pada keinginan menihilkan kelompok lain.
Bahkan, setelah tahu bahwa penyebab bentrokan adalah minuman keras, kelompok yang
berbenturan justru sempat sepakat mengadakan operasi miras bersama.
Mulai Mei-Juni 2000 dilanjutkan dengan Juli 2001 dan November-Desember 2001 konflik
telah mengindikasikan ciri-ciri perang saudara. Konflik sudah mengarah pada upaya
menghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari realitas pembunuhan terhadap siapa pun,
termasuk perempuan dan anak-anak, yang dianggap sebagai bagian lawan. Telah
terbangun solidaritas kelompok secara tegas melalui ideologisasi konflik berdasar isu
agama dan etnisitas, sehingga konflik menjadi bersifat sanagt intensif (kekerasan dan
korban ) dan ekstensif (wilayah dan pelaku ). Bahkan berbeda dengan dua konflik
sebelumnya yang umumnya menggunakan batu dan senjata tajam, sejak konflik ketiga
pada Mei 2000 mereka telah mempergunakan senjata api, yang terus berlanjut hingga
konflik keempat dan kelima, serta beberapa kekerasan sporadis pascakonflik.
Konflik Poso telah memakan korban ribuan jiwa serta meninggalkan trauma psikologis
yang sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalan-persoalan sepele berupa
perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok memang muncul dalam kerusuhan itu,
namun konteksnya masih murni seputar dunia remaja, yakni: isu miras, isu tempat
maksiat. Namun justru persoalan sepele ini yang akhirnya dieksploitasi oleh petualang
politik melalui instrumen isu pendatang vs penduduk asli dengan dijejali oleh sejumlah
komoditi konflik berupa kesenjangan sosio-kultural, ekonomi, dan jabatan-jabatan politik.
Bahkan konflik diradikalisasi dengan bungkus ideologis keagamaan, sehingga konflik Poso
yang semula hanya berupa tawuran berubah menjadi perang saudara antar komponen
bangsa.
Akar penyebab konflik Poso sangat kompleks. Ada persoalan yang bersifat kekinian, namun
ada pula yang akarnya menyambung ke problema yang bersifat historis. Dalam politik
keagamaan misalnya, problemanya bisa dirunut sejak era kolonial Belanda yang dalam
konteks Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam bentuk dukungan finansial.
Keberpihakan pemerintah kolonial itu sebenarnya bukan dilandaskan pada semangat
keagamaan, tetapi lebih pada kepentingan politik, terutama karena aksi pembangkangan
pribumi umunya memang dimobilisir Islam.
Politik agama peninggalan kolonial ini akhirnya telah membangun dua image utama dalam
dalam konstelasi politik Poso, yakni : Poso identik dengan komunitas Kristen, dan birokrasi
di Poso secara historis didominasi umat Kristen. Namun, di era kemerdekaan fakta
keagamaan itu terjadi proses pemabalikan. Jika tahun 1938 jumlah umat Kristen Poso
mencapai angka 41,7 persen, lama-lama tinggal 30-an persen. [4] Data tahun 1997 bahwa
Muslim Poso mencapai angka 62,33 persen, sedangkan Kristen Protestan 34,78 persen dan
Katolik hanya 0,51 persen, ditambah sisanya Budha dan Hindu. [5]