Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perdarahan intrakranial (ICH) adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di
dalam kranium, yang mungkin terjadi di ekstradural, subdural, subaraknoid, atau
serebral (parenkimatosa). Perdarahan intrakranial dapat terjadi pada semua umur
dan juga akibat trauma kepala seperti kapitis,tumor otak dan lain-lain.1,3
ICH menjadi penyebab 8-13% terjadinya stroke dan kelainan dengan spectrum
yang luas. Bila dibandingkan dengan stroke iskemik atau perdarahan subaraknoid,
ICH umumnya lebih banyak mengakibatkan kematian atau cacat mayor. ICH
yang disertai dengan edema akan mengganggu atau mengkompresi jaringan otak
sekitarnya, menyebabkan disfungsi neurologis. Perpindahan substansi parenkim
otak dapat menyebabkan peningkatan ICP dan sindrom herniasi yang berpotensi
fatal.2
Di Amerika, insiden ICH 12-15/100.000 penduduk, termasuk 350/100.000
kejadian hypertensive hemorage pada orang dewasa. Secara keseluruhan insiden
ICH menurun sejak 1950. Insiden ini lebih tinggi di Asia. Setiap tahun terdapat
lebih dari 20.000 orang di Amerika meninggal karena ICH. Tingkat mortalitas
ICH pada 30 hari adalah 44%. Perdarahan batang otak memiliki tingkat mortalitas
75% dalam 24 jam.2
Tingkat insidensi tinggi pada populasi dengan frekuensi hipertensi tinggi,
termasuk Afrika Amerika. Insidensi ICH juga tinggi di Cina, Jepang dan populasi
Asia lainnya, hal ini mungkin disebabkan karena factor lingkungan (spt. diet kaya
minyak ikan) dan/faktor genetik. Insiden ICH meningkat pada individu yang
berusia lebih dari 55 tahun dan menjadi 2 kali lipat tiap decade hingga berusia 80
tahun. Risiko relative ICH >7x pada individu yang berusia lebih dari 70 tahun.2

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini ialah untuk mengetahui dan memahami tentang
definisi, epidemiologi, gejala, tanda terutama di bidang radiologi, diagnosis, dan
penatalaksanaan pendarahan intrakranial

1
1.3 Manfaat
Hasil dari referat ini diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu
pengetahuan dan proses pembelajaran bagi dokter muda mengenai pendarahan
intracranial.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Kepala


Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita
seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan.
Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki lagi.
Otak dilindungi oleh: 1
1) SCALP
SCALP/Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan, 3 lapisan pertama saling melekat
dan bergerak sebagai satu unit.
SCALP terdiri dari:
Skin atau kulit
Tebal, berambut dan mengandung banyak kelenjar sebacea.
Connective Tissue atau jaringan penyambung
Merupakan jaringan lemak fibrosa yang menghubungkan kulit dengan
aponeurosis dari m. occipitofrontalis di bawahnya. Banyak mengandung
pembuluh darah besar terutama dari lima arteri utama yaitu cabang
supratrokhlear dan supraorbital dari arteri oftalmik di sebelah depan, dan
tiga cabang dari karotid eksternal-temporal superfisial, aurikuler
posterior, dan oksipital di sebelah posterior dan lateral. Pembuluh darah
ini melekat erat dengan septa fibrosa jaringan subkutis sehingga sukar
berkontraksi atau mengkerut. Apabila pembuluh ini robek, maka
pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan dapat menyebabkan
kehilangan darah yang bermakna pada penderita laserasi kulit kepala.
Perdarahan sukar dijepit dengan forcep arteri. Perdarahan diatasi dengan
menekannya dengan jari atau dengan menjahit laserasi.
Aponeurosis atau galea aponeurotika
Merupakan suatu jaringan fibrosa, padat, dapat digerakkan dengan bebas,
yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal, menghubungkan
otot frontalis dan otot occipitalis.

3
Spatium subaponeuroticum adalah ruang potensial dibawah aponeurosis
epicranial. Dibatasi di depan dan di belakang oleh origo m. Occipito
frontalis, dan meluas ke lateral sampai ke tempat perlekatan aponeurosis
pada fascia temporalis.
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
Menghubungkan aponeurosis galea dengan periosteum cranium
(pericranium). Mengandung beberapa arteri kecil dan beberapa
v.emmisaria yang menghubungkan v.diploica tulang tengkorak dan sinus
venosus intrakranial. Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi
dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, sehingga pembersihan
dan debridement kulit kepala harus dilakukan secara seksama bila galea
terkoyak. Darah atau pus terkumpul di daerah ini dan tidak bisa mengalir
ke region occipital atau subtemporal karena adanya perlekatan
occipitofrontalis. Cairan bisa masuk ke orbita dan menyebabkan
hematom yang bisa jadi terbentuk dalam beberapa waktu setelah trauma
kapitis berat atau operasi kranium.
Pericranium
Merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang tengkorak.
Sutura diantara tulang-tulang tengkorak dan periousteum pada
permukaan luar tulang berlanjut dengan periousteum pada permukaan
dalam tulang-tulang tengkorak.

4
Gambar 1. Anatomi Kepala

2) Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis cranii (bagian
terbawah). Pada kalvaria di regio temporal tipis, tetapi di daerah ini dilapisi oleh
otot temporalis. Basis cranii terbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselarasi.
Pada orang dewasa, tulang tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan isi intracranial. Tulang tengkorak mempunyai 3 lapisan,
yaitu:
a) Tabula interna ( lapisan tengkorak bagian dalam)
b) Diploe (rongga di antara tabula)
c) Tabula eksterna (lapisan tengkorak bagian luar)
Tabula interna mengandung alur-alur yang berisiskan arteria meningea
anterior, media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak
menyebabkan terkoyaknya salah satu dari arteri-arteri ini, perdarahan
arterial yang di akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat
menimbulkan akibat yang fatal kecuali bila di temukan dan diobati
dengan segera.

5
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu fossa anterior yang
merupakan tempat lobus frontalis, fossa media yang merupakan tempat
lobus temporalis, fossa posterior yang merupakan tempat bagian bawah
batang otak dan cerebellum.
3) Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan,
yaitu:
1. Duramater
Duramater adalah selaput keras yang terdiri atas jaringan ikat fibrosa
yang melekat erat pada pada permukaan dalam kranium. Duramater
terdiri dari dua lapisan, yaitu:
Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar, dibentuk oleh periosteum
yang membungkus dalam calvaria.
Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang
kuat
yang berlanjut terus di foramen mgnum dengan duramater spinalis
yang membungkus medulla spinalis.
2. Arakhnoid
Arakhnoid adalah membran fibrosa halus, tipis, elastis, dan tembus
pandang. Di bawah lapisan ini terdapat ruang yang dikenal sebagai
subarakhnoid, yang merupakan tempat sirkulasi cairan LCS.
3. Piamater
Piamater adalah membran halus yang melekat erat pada permukaan
korteks cerebri, memiliki sangat banyak pembuluh darah halus, dan
merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam
semua sulkus dan mem-bungkus semua girus.

6
Gambar 2. Susunan struktur kepala

2.2. Patofisiologi Cedera Kepala Secara Umum


Cedera kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari bagian
terluar hingga bagian terdalam. Setiap komponen yang terlibat memiliki kaitan
yang erat dengan mekanisme cedera yang terjadi. Ditinjau dari sudut tipe beban
yang menimpa kepala, secara garis besar mekanisme trauma kepala dapat
dikelompokkan dalam dua tipe yaitu beban statis (static loading) dan beban
dinamis (dynamic loading). Beban statis timbul perlahan-lahan yang dalam hal ini
tenaga tekanan mengenai kepala secara bertahap. Walaupun sebenarnya
mekanisme ini tidak lazim, namun hal ini bisa terjadi bila kepala mengalami
gencetan atau efek tekanan yang lambat dan berlangsung dalam periode waktu
yang lebih dari 200 milidetik. Bila kekuatan tenaga tersebut cukup besar dapat
mengakibatkan terjadinya keretakan tulang (egg-shell fracture), fraktur multiple
atau komunitif dari tengkorak, atau dasar tulang tengkorak.1,2
Mekanisme trauma kepala yang lebih umum terjadi adalah akibat beban
dinamis, dimana peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat
(kurang dari 200 milidetik). Durasi pembebanan yang terjadi merupakan salah
satu faktor yang penting dalam menentukan jenis trauma kepala yang terjadi.
Beban dinamis ini dibagi menjadi dua jenis yaitu beban guncangan (impulsive
loading) dan beban benturan (impact loading). Beban guncangan (impulsive
loading) terjadi bila kepala mengalami kombinasi antara percepatan-perlambatan
(akselerasi-deselerasi) secara mendadak, kepala yang diam secara tiba-tiba
digerakkan secara mendadak. Atau sebaliknya bila kepala yang sedang bergerak

7
tiba-tiba dihentikan tanpa mengalami suatu benturan. Sedangkan beban benturan
(impact loading) merupakan jenis beban dinamis yang lebih sering terjadi dan
biasanya merupakan kombinasi kekuatan beban kontak (contact force) dan
kekuatan beban inersial (inertial force). Respon kepala terhadap beban-beban ini
tergantung dari objek yang membentur kepala. Efek awal dapat sangat minimal
pada beban tertentu, terutama bila kepala dijaga sedemikian rupa sehingga ia tidak
bergerak waktu kena benturan. Sebaliknya, akibat yang paling hebat dapat terjadi
bila energi benturan dihantarkan ke kepala sebesar tenaga kontak dan selanjutnya
menimbulkan efek gabungan yang dikenal sebagai fenomena kontak.
Kerusakan otak akibat trauma, bukan cedera misil, dapat dikategorikan
menjadi cedera otak primer dan sekunder. Gaya mekanis yang bekerja pada waktu
cedera akan menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah, akson, sel-sel saraf,
dan glia dari otak. Semua hal ini akan memicu serangkaian perubahan sekunder
sehingga terjadi perubahan pada kompleks selular, inflamasi, neurokimiawi, dan
metabolik. Pola pendekatan tradisional terhadap cedera otak telah membagi
patofisiologi cedera otak menjadi cedera primer dan sekunder. Hal ini berarti
cedera primer merupakan cedera yang bersifat mendadak dan sebagian besar
irreversibel. Gaya mekanis yang timbul akan menyebabkan kerusakan jaringan
yang bersifat progresif. Deformitas yang timbul dapat langsung merusak
pembuluh darah, akson, neuron, dan glia. Kerusakan yang timbul dapat bersifat
fokal, multifokal, atau difus. Semua pola kerusakan ini akan memicu dimulainya
proses-proses perubahan yang dinamis yang berbeda untuk masing-masing
komponen tersebut Sedangkan cedera sekunder yang terjadi pada otak disebabkan
oleh cedera yang tidak terjadi pada otak itu sendiri, penyebabnya dapat berupa
hipotensi dan hipoksia, peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran
darah otak akibat edema otak dan efek massa dari hematoma intrakranial,
hidrosefalus, dan infeksi. Berbagai tipe kerusakan otak sekunder ini secara
potensial masih bersifat reversibel sehingga dengan penanganan yang adekuat
dapat dipulihkan. Penelitian terbaru telah membuktikan bahwa proses cedera tidak
hanya terjadi sesaat pada waktu cedera, namun berlangsung bahkan beberapa jam
setelah awal kejadian. Benturan pada kepala dapat menyebabkan gangguan fungsi
otak yang mendadak, disertai perdarahan interstisial dalam substansia otak, tanpa

8
terputusnya kontinuitas otak dalam hal ini jaringan otak tampak berwarna merah
tua, berlumuran darah, dan sangat edematous. Apabila benturan kepala cukup
keras sehingga dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak, maka pembuluh
darah yang berada di bawah fraktur dapat ikut terluka atau robek, sehingga timbul
perdarahan. Apabila tidak terjadi fraktur tulang tengkorak, pembuluh darah di
bawah tempat benturan dapat pecah juga karena gaya kompresi yang timbul akibat
osilasi indentasi. Dengan demikian terjadi perdarahan di bawah duramater dan
terbentuklah hematom subdural. Gangguan kesadaran merupakan gejala yang
sering menyertai cedera otak. Dalam hal ini naik turunnya derajat kesadaran dan
lamanya gangguan kesadaran, merupakan salah satu petunjuk sangat penting dari
maju mundurnya keadaan pasien dengan cedera otak. Kesadaran yang makin
menurun menunjukkan suatu keadaan yang memburuk.

2.3. Klasifikasi Cedera Otak


Dalam mengklasifikasikan cedera kepala dapat dibagi berdasarkan
keadaan klinis dan kelainan patologis. Klasifikasi keadaan klinis yaitu kesadaran
pasien yang disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS), yaitu :1,3
1. Cedera kepala ringan (CKR) jumlah score 14-15
2. Cedera kepala sedang (CKS) jumlah score 9-14
3. Cedera kepala berat (CKB) jumlah score 3-8
Pengklasifikasian kedua yaitu berdasarkan kelainan atau kerusakan patologis
yang terbagi dalam kerusakan primer dan kerusakan skunder.
1) Kerusakan Primer
Kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat dari kekuatan
mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat
fokal ataupun difus.
o Kerusakan Fokal Merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian
tertentu dari otak, bergantung pada mekanisme cedera yang terjadi.
Kerusakan fokal yang timbul dapat berupa:
Kontusio cerebri, yaitu kerusakan jaringan otak tanpa robeknya piamater.
Kerusakan tersebut berupa gabungan antara daerah pendarahan (kerusakan
pembuluh darah kecil seperti kapiler, vena dan arteri), nekrosis otak dan

9
infark. Terutama melibatkan puncak-puncak girus karena bagian ini akan
bergesekan dengan penonjolan dan lekukan tulang saat terjadi benturan.
Lesi di bawah tempat benturan disebut kontusio coup sedangkan yang jauh
dari tempat benturan disebut kontusio kontra-coup.
Gambaran Tomografi Komputer (TK) akut awalnya menunjukkan isodens
kontusio yang menjadi lebih jelas pada tindak lanjut pemindaian.
Gambaran seperti terlihat di bawah, sering menunjukkan perkembangan
dari waktu ke waktu dalam ukuran dan jumlah kontusio dan jumlah
perdarahan dalam kontusio. Awalnya, temuan gambaran boleh normal atau
minimal abnormal karena volume parsial antara microhemorrhages padat
dan edema hipodens dapat menyebabkan kontusio isodens relatif terhadap
jaringan otak sekitarnya.

Gambar 3: Gambaran kontusi serebri akut pada temporal kortikal kanan


Gliding contusion disebabkan oleh percepatan sudut sagital dengan
peregangan dan robeknya pembuluh darah parasagittal. Gliding contusion
sering hemoragik, tidak hanya dari gerak diferensial struktur subkortikal
(sering disebut sebagai cedera geser), tetapi juga dari robeknya vena
parasagittal.
Ketika otak tiba-tiba bergeser pada saat dampak, jaringan subkortikal
meluncur lebih dari korteks. Para Convexities dari setiap belahan yang
berlabuh ke dura secara granulasi arakhnoid. Gliding contusion juga
cenderung bilateral.

10
Gambar 4. Gambaran acute gliding contusions
Kontusio intermediate coup, yang terletak di antara lesi coup dan kontra-
coup. Disamping itu juga dikenal kontusio glinding, yang terdapat pada
daerah parasagital, biasanya disebabkan oleh gerakan dalam arah
rostrocaudal. Kontusio herniasi timbul sebagai akibat dari terjadinya
herniasi, paling sering pada incisura tentorium. Lesi kontusio sering
berkembang sejalan dengan waktu, sebabnya antara lain adalah
pendarahan yang terus berlangsung, iskemik-nekrosis, dan diikuti oleh
edema vasogenik. Selanjutnya lesi akan mengalami reabsorbsi terhadap
eritrosit yang lisis (48-72 jam), disusul dengan infiltrasi makrofag (24 jam
sampai beberapa minggu) dan gliosis aktif yang terus berlangsung secara
progresif (mulai dari 48 jam). Secara 18 makroskopik terlihat sebagai lesi
kistik kecoklatan. Gejala yang timbul tergantung kepada ukuran dan lokasi
kontusio.
Laserasi, jika kerusakan tersebut disertai dengan robeknya piamater.
Laserasi biasanya berkaitan dengan adanya pendarahan subarachnoid
traumatika, subdural akut, dan intraserebral. Laserasi dapat dibedakan atas
laserasi langsung dan tidak langsung. Laserasi langsung disebabkan oleh
luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi
fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan
laserasi tak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat
akibat dari kekuatan mekanis.
o Pendarahan intrakranial
Epidural Hematom (EDH) Pendarahan ekstradural yang lebih lazim
disebut epidural hematom adalah adanya penumpukan darah diantara dura

11
dan tabula interna. Paling sering terletak pada daerah temporal dan frontal.
Pada pemeriksaan CT-Scan kepala akan terlihat sebagai massa hiperdens
berbentuk bikonveks. Sumber pendarahan biasanya dari laserasi cabang
arteri meningea oleh fraktur tulang, walaupun kadangkadang dapat berasal
dari vena atau diploe.
Subdural Hematom (SDH) Subdural hematom diartikan sebagai
penumpukan darah di antara dura dan arachnoid. Lesi ini lebih sering
ditemukan daripada epidural hematom. Angka mortalitas subdural
hematom 60-70 %. Perdarahan ini terjadi karena laserasi arteri/vena
kortikal pada saat berlangsungnya akselerasi dan deselerasi. Pada anak dan
usia lanjut sering disebabkan oleh robekan bridging vein yang
menghubungkan permukaan korteks dengan sinus vena. Berdasarkan
waktu perkembangan lesi ini hingga memberikan gejala klinis, dibedakan
atas:
Akut, gejala timbul dalam tiga hari pertama setelah cedera. Pada
gambaran CT-Scan, terdapat daerah hiperdens berbentuk bulan
sabit. Jika penderita anemis atau terdapat cairan serebro spinal yang
mengencerkan darah di subdural, gambaran tersebut bisa isodens
atau bahkan hipodens.
Subakut, gejala timbul antara hari keempat sampai hari ke 20.
Gambaran CT berupa campuran hiper, iso dan hypodens.
Kronis, jika gejala timbul setelah tiga minggu. Sering timbul pada
usia lanjut, dimana terdapat atropi otak sehingga jarak permukaan
korteks dan sinus vena semakin menjauh dan rentan terhadap
goncangan. Kadang-kadang benturan ringan pada kepala sudah
dapat menimbulkan SDH kronis. SDH kronis dapat terus
berkembang karena terjadinya pendarahan ulang (rebleeding) dan
tekanan osmotik yang lebih tinggi dalam cairan SDH kronis sebagai
akibat dari darah yang lisis, akan menarik cairan ke dalam SDH.
Subarachnoid Hematom (SAH) Pendarahan subarachnoid traumatika
paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain.
Pendarahan terletak di antara arachnoid dan piamater, mengisi ruang

12
subarachnoid. Terdapat beberapa perbedaan antara pendarahan
subarachnoid traumatika dan pendarahan subarachnoid karena ruptur
aneurisma. Pendarahan subarachnoid traumatika lebih sering melibatkan
bagian-bagian kortikal yang superfisial, terutama jika menyertai lesi lain
seperti ICH dan kontusio serebri. Kadang-kadang ditemukan pendarahan
subarachnoid traumatika yang meluas hingga interhemisferic fissure.
Evaluasi serial dengan CT-Scan memperlihatkan bahwa gambaran
pendarahan subarachnoid traumatika lebih cepat menghilang dibandingkan
pendarahan subarachnoid karena ruptur aneurisma. Pendarahan
subarachnoid traumatika umumnya darah akan menghilang dari gambaran
CT Scan kepala setelah 2 hari. Adanya darah pada ruang subarachnoid ini
dapat menyebabkan hidrosefalus.
Intraserebral Hematom (ICH) Hematom yang terbentuk dalam jaringan
otak (parenkim) sebagai akibat dari adanya robekan pembuluh darah,
terutama melibatkan lobus frontal dan temporal (80-90%), tetapi dapat
juga melibatkan korpus kallosum, batang otak dan ganglia basalis. Gejala
dan tanda juga ditentukan oleh ukuran dan lokasi hematom. Pada CT-Scan
akan memberikan gambaran daerah hiperdens yang homogen dan berbatas
tegas. Di sekitar lesi akan disertai dengan edema perifokal. Jika massa
hiperdens tersebut berdiameter kurang dari 2/3 diameter lesi, maka
keadaan ini disebut kontusio. Jika ICH ini disertai dengan SDH dan
kontusio atau laserasi pada daerah yang sama, maka disebut burst lobe.
Paling sering terjadi pada lobus frontal dan temporal. Berdasarkan hasil
pemeriksaan CT-Scan, Fukamachi dkk. Tahun 1985, membagi ICH atas :
- Tipe 1, hematom sudah terlihat pada CT-Scan awal.
- Tipe 2, hematom berukuran kecil sampai sedang pada CTScan awal,
kemudian membesar pada CT-Scan selanjutnya.
- Tipe 3, hematom terbentuk pada daerah yang normal pada CT-Scan awal.
- Tipe 4, hematom berkembang pada daerah abnormal sejak awal (salt and
pepper).
Intraventrikel Hemoragik (IVH) Perdarahan intraventrikel traumatika
diartikan sebagai adanya darah dalam sistem ventrikel akibat trauma.

13
Sumber pendarahan biasanya sulit ditentukan, mungkin berasal dari
robekan vena pada dinding ventrikel, robekan pada korpus kallosum,
septum pelusidum, fornik atau pada pleksus koroid. Pada sepertiga kasus
merupakan perluasan hematom yang ada pada lobus frontal, temporal dan
ganglia basalis. Mortalitas sangat tinggi pada perdarahan ini.
Lesi Fokal Yang dimaksud dengan lesi fokal lainnya adalah transeksi
infundibulum hipofise, avulsi saraf kranial, avulsi ponto-medullary
junction, robeknya arteri vertebralis atau dinding aneurisma.
o Kerusakan Difus Diartikan sebagai suatu keadaan patologis penderita koma
(penderita yang tidak sadar sejak benturan kepala dan tidak mengalami suatu
interval lucid) tanpa gambaran SOL pada CT-Scan atau MRI.
2) Kerusakan Sekunder
Kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari kerusakan primer
termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, pembengkakan otak, TTIK (tekanan
tinggi intra kranial), hidrosefalus dan infeksi. Iskemia otak diketahui sebagai
penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas setelah cedera kepala.
Standar penatalaksanaan bertujuan untuk mempertahankan suplai oksigen yang
cukup ke otak dengan menghindari peningkatan tekanan intrakranial dan
mempertahankan tekanan perfusi otak yang cukup. Berkurangnya suplai oksigen
ke otak bisa menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan otak sekunder. Faktor-
faktor potensial yang menyebabkan munculnya kerusakan otak sekunder seperti
penurunan tekanan perfusi otak telah diketahui dan telah dilakukan usaha klinis
untuk mengurangi efek yang ditimbulkan.

2.4. Pemeriksaan Kepala denganTomografi Komputer (TK)/ CT-Scan


Tomografi Komputer adalah satu pemeriksaan yang menggunakan sifat tembus
sinar-x, di mana sumber sinar-x dan detektor berputar di sekitar objek kemudian
informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk menghasilkan gambaran cross-
sectional oleh komputer.
Foto tomografi komputernakan tampak sebagai penampang-penampang
melintang dari objeknya. Tomografi Komputer adalah modalitas alat pencitraan
utama yang digunakan dalam keadaan akut dan sangat bermanfaat pada dalam

14
menegakkan serta menentukan tipe trauma kapitis karena kemampuannya
memberikan gambaran fraktur, hematoma dan edema yang jelas baik bentuk
maupun ukurannya. Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur
anatomis kepala, dan merupakan alat yang paling baik untuk mengetahui dan
menentukan lokasi serta ukuran dari perdarahan intrakranial. Indikasi pemeriksaan
tomografi komputer pada kasus trauma kapitis adalah seperti berikut:
Trauma kapitis sedang dan berat
Trauma kapitis ringan yang disertai fraktur tengkorak
Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran
Sakit kepala yang berat
Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi
jaringan
otak
Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral
Pasien dewasa yang mengalami trauma kapitis dan mempunyai satu atau lebih
dari resiko perlu dilakukan pemeriksaan TK dengan segera. Berikut akan
dijabarkan indikasi tersebut:
Skor SKG (Skala Koma Glaskow) < 13 sewaktu pihak IGD melakukan
pemeriksaan buat pertama kali
Skor SKG < 15 selepas 2 jam berlakunya trauma kapitis sewaktu pihak
IGD melakukanpemeriksaan buat pertama kali
Suspek trauma kapitis dengan fraktur terbuka & depresi tulang tengkorak
Tanda-tanda fraktur basal tengkorak (haemotympanum, racoon eyes,
kebocoran cairan cerebrospinal melalui telinga dan hidung, Battles sign)
Terjadinya kejang post-trauma
Penurunan fokal neurologis
Muntah 1 kali atau lebih
Amnesia > 30 menit
Pada pasien dewasa yang mengalami trauma kapitis dan mempunyai satu atau
lebih dari resiko dibawah ini dan hilang kasadaran serta amnesia serta merta

15
setelah kecelakaan lalu lintas (KLL) perlu dilakukan pemeriksaan TK dengan
segera. Berikut adalah indikasinya:
Usia lebih dari 65 tahun
Koagulopati (riwayat perdarahan, gangguan pembekuan, saat ini
pengobatann dengan warfarin)
Mekanisme KLL yang terlalu berbahaya
Sedangkan pasien anak-anak yang mengalami trauma kapitis dan mempunyai
satu atau lebih dari resiko dobaeah ini perlu dilakukan pemeriksaan TK dengan
segera.
Hilang kasadaran lebih dari 5 menit
Amnesia (antegrade atau retrograde) lebih dari 5 menit
Pening yang abnormal
Muntah 3 kali atau lebih
Suspek klinis mungkin telah terjadi cedea tanpa KLL
Kejang post-trauma tanpa ada riwayat epilepsi
SKG < 14, anak bayi < 1 tahun SKG (Pediatrik) < 15, sewaktu pihak IGD
melakukan pemeriksaan pertama kali
Suspek trauma kapitis dengan trauma terbuka, depresi tulang tengkorak
Tanda-tanda fraktur basal tengkorak (haemotympanum, racoon eyes,
kebocoran cairan cerebrospinal melalui telinga dan hidung, Battles sign)
Penurunan fokal neurologis
Usia < 1 tahun, adanya memar, bengkak atau laserasi lebih dari 5 cm di
kepala.
Mekanisme KLL yang terlalu berbahaya

2.5. Pemeriksaan Kepala dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah pemeriksaan yang menggunakan
medan magnet dan pulsa energi gelombang radio untuk mengambil gambar
kepala. Dalam banyak kasus, MRI memberikan informasi yang tidak dapat dilihat
pada X-ray, USG, atau CT-Scan. Untuk MRI kepala, pasien berbaring dengan
kepala di dalam sebuah mesin khusus (scanner) yang memiliki magnet kuat. MRI
dapat menunjukkan kerusakan jaringan atau penyakit, seperti infeksi, radang, atau

16
tumor. Informasi dari MRI dapat disimpan dalam komputer untuk studi yang lebih
lanjut. Foto-foto atau film pandangan tertentu juga dapat dibuat. Selain itu,
gambaran stroke dan kejang dapat dilihat dari pemeriksaan MRI. Dalam beberapa
kasus, pewarnaan (bahan kontras) dapat digunakan ketika dilakukan pemeriksaan
MRI untuk menampilkan gambaran struktur yang lebih jelas. Cairan tersebut
dapat membantu menunjukkan aliran darah, mencari beberapa jenis tumor, dan
menunjukkan area peradangan.
MRI saat ini tidak digunakan pada trauma kapitis akut, tetapi berperan penting
ketika tidak ada informasi atau gambaran yang jelas untuk menentukan diagnosis
pada trauma subakut atau kronis. Tujuan dari pemeriksaan MRI dalam
mengevaluasi perdarahan intrakranial adalah sebagai berikut:
Untuk melihat ada atau tidaknya perdarahan
Untuk mengetahui lokasi dan membedakan perdarahan (ekstra-aksial
dibandingkan intra-aksial): ekstra-aksial, untuk membedakan perdarahan
subarakhnoid (SAH), hematoma subdural (SDH), dan hematoma epidural
(EDH), dan intra-aksial, untuk menemukan lokasi spesifik dan
neuroanatomi
Untuk menentukan sudah berapa lama perdarahan terjadi
Untuk mengetahui etiologi
Untuk membantu penatalaksanaan perdarahan dan menentukan prognosis
pasien

2.6. Angiografi Serebral


Pemeriksaan angiografi adalah pemeriksaan pembuluh darah dengan
menggunakan zat kontras. Sejak perkembangan TK di pertengahan 1970-an,
kebutuhan angiografi serebral pada trauma kapitis telah menurun secara dramatis.
Angiografi serebral berperan dalam menunjukkan dan mengelola cedera vaskuler
yang traumatis. Cedera vaskuler biasanya disebabkan oleh trauma tajam
(misalnya, luka tembak atau tusuk), fraktur tulang tengkorak basal, atau trauma
leher. Namun, pemeriksaan ini bermanfaat bila alat tomografi komputer tidak
disediakan.

17
2.7. Pendarahan Intra Kranial
2.7.1. Ekstra-Axial (darah di dalam tengkorak tetapi di luar otak)
2.7.1.1. Perdarahan Epidural
1) Definisi
Epidural hematom adalah suatu akumulasi darah yang terletak diantara
meningen (membran duramter) dan tulang tengkorak yang terjadi akibat trauma.
Duramater merupakan suatu jaringan fibrosa atau membran yang melapisi otak
dan medulla spinalis. Epidural dimaksudkan untuk organ yang berada disisi luar
duramater dan hematoma dimaksudkan sebagai masa dari darah.5
2) Etiologi
Epidural hematom terjadi akibat suatu trauma kepala, biasanya disertai dengan
fraktur pada tulang tengkorak dan adanya laserasi arteri. Epidural hematom
juga bisa disebabkan akibat pemakaian obat obatan antikoagulan, hemophilia,
penyakit liver, penggunaan aspirin, sistemik lupus erimatosus, fungsi
lumbal. Spinal epidural hematom disebabkan akibat adanya kompresi pada
medulla spinalis. Gejala klinisnya tergantung pada dimana letak terjadinya
penekanan.5
3) Patofisiologi
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan
saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi
kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan,
pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang
ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak
dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak atau
menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di dalam tengkorak, maka
tekanan cenderung mendorong otak ke bawah, otak sebelah atas bisa terdorong ke
dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut
dengan herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang
otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) kedalam medulla
spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi
vital (denyut jantung dan pernafasan). Cedera kepala yang tampaknya ringan
kadang bisa menyebabkan kerusakan otak yang hebat. Usia lanjut dan orang yang

18
mengkonsumsi antikoagulan, sangat peka terhadap terjadinya perdarahan di
sekeliling otak.7
Perdarahan epidural timbul akibat cedera terhadap arteri atau vena meningeal.
Arteri yang paling sering mengalami kerusakan adalah cabang anterior arteri
meningea media. Suatu pukulan yang menimbulkan fraktur kranium pada daerah
anterior inferior os parietal, dapat merusak arteri. Cidera arteri dan venosa
terutama mudah terjadi jika pembuluh memasuki saluran tulang pada daerah ini.
Perdarahan yang terjadi melepaskan lapisan meningeal duramater dari permukaan
dalam kranium. Tekanan ntracranial meningkat, dan bekuan darah yang membesar
menimbulkan tekanan ntra pada daerah motorik gyrus presentralis dibawahnya.
Darah juga melintas kelateral melalui garis fraktur, membentuk suatu
pembengkakan di bawah m.temporalis.8
Apabila tidak terjadi fraktur, pembuluh darah bisa pecah juga, akibat daya
kompresinya. Perdarahan epidural akan cepat menimbulkan gejala gejala, sesuai
dengan sifat dari tengkorak yang merupakan kotak tertutup, maka perdarahan
epidural tanpa fraktur, menyebabkan tekanan intrakranial yang akan cepat
meningkat. Jika ada fraktur, maka darah bisa keluar dan membentuk hematom
subperiostal (sefalhematom), juga tergantung pada arteri atau vena yang pecah
maka penimbunan darah ekstravasal bisa terjadi secara cepat atau perlahan
lahan. Pada perdarahan epidural akibat pecahnya arteri dengan atau tanpa fraktur
linear ataupun stelata, manifestasi neurologik akan terjadi beberapa jam setelah
trauma kapitis.8
4) Manifestasi Klinis2
Saat awal kejadian, pada sekitar 20% pasien, tidak timbul gejala apa
apa Tapi kemudian pasien tersebut dapat berlanjut menjadi pingsan dan
bangun bangun dalam kondisi kebingungan
Beberapa penderita epidural hematom mengeluh sakit kepala
Muntah muntah
Kejang kejang
Pasien dengan epidural hematom yang mengenai fossa posterior akan
menyebabkan keterlambatan atau kemunduran aktivitas yang drastis.

19
Penderita akan merasa kebingungan dan berbicara kacau, lalu beberapa
saat kemudian menjadi apneu, koma, kemudian meninggal.
Respon chusing yang menetap dapat timbul sejalan dengan adanya
peningkatan tekanan intara kranial, dimana gejalanya dapat berupa :
Hipertensi
Bradikardi
bradipneu
kontusio, laserasi atau tulang yang retak
dilatasi pupil, lebam, pupil yang terfixasi, bilateral atau ipsilateral kearah
lesi, adanya gejala gejala peningkatan tekanan intrakranial, atau
herniasi.
Adanya tiga gejala klasik sebagai indikasi dari adanya herniasi yang
menetap, yaitu:
Coma
Fixasi dan dilatasi pupil
Deserebrasi
Adanya hemiplegi kontralateral lesi dengan gejala herniasi harus
dicurigai adanya epidural hematom.
5) Gambaran CT-Scan
Pada CT-Scan tampak area yang tidak selalu homogen, bentuknya bikonveks
sampai planokonveks, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi
kontra lateral (tanda space occupying lesion, Batas dengan korteks licin, Densitas
duramater biasanya jelas.5-8

20
Gambar 5. CT Scan Perdarahan Epidural
6) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Meskipun MRI sangat sensitif dalam mengevaluasi SEDH (spinal epidural
hematoma), MRI jarang menjadi modalitas awal pilihan untuk menilai hematoma
epidural intrakranial yang dikarenakan oleh tahap akut dan tingkat keparahan
hematoma epidural. Gerak artefak pada pasien tidak sadar dan tidak adanya unit
MRI tersedia di luar daerah perkotaan juga membatasi kegunaannya.5
MRI menunjukkan massa bikonveks dipisahkan dari dura atasnya oleh pelek
tipis serum diekstrusi terletak di antara gumpalan dan dura. Garis ini hyperintense
pada kedua gambar T1-W dan T2-W. Hematoma epidural akut adalah isointense
untuk minimal hipointense pada gambar T1-W dan nyata hipointense pada
gambar T2-W; penampilan ini sesuai dengan fase deoxyhemoglobin.8
Hematoma epidural subakut adalah hyperintense pada gambar T1-W, karena
deoxyhemoglobin diubah menjadi methemoglobin. Pada gambar T1-W, dura
dapatdilihat sebagai garis tipis hipointense bahwa hematoma tersebut berpindah
menuju ke dalam.6
MRI juga dapat menunjukkan fraktur dengan cairan antara margin fraktur.
Modalitas ini dapat membantu dalam menunjukkan oklusi sinus dural dalam kasus
flap fraktur akibat intimal berhubungan dengan vena sinus hematoma epidural.7

21
T1W

T2W

Gambar 6. Gambaran MRI Hematoma Epidural Akut

2.7.1.2 Perdarahan Subdural


1) Definisi
Subdural Hematoma atau Perdarahan subdural adalah salah satu bentuk cedera
otak dimana perdarahannya terjadi diantara duramater (lapisan pelindung terluar
dari otak) dan arachnoid (lapisan tengah meningens) yang terjadi akibat dari
trauma.2
2) Etiologi
Hematom subdural disebabkan robekan vena vena di korteks cerebri atau
bridging vein oleh suatu trauma. kebanyakan perdarahan subdural disebabkan
karena trauma kepala yang merusakkan vena-vena kecil didalam lapis meninges.2
3) Patofisiologi
Meningen terdiri dari duramater, arachnoid, dan piamater. Daerah yang
terdapat diantara arachnoid dan duramater disebut daerah subdural. Bridging veins
melintasi daerah ini, berjalan dari permukaan kortikal menuju sinus dural.4
Perdarahan pada vena-vena ini dapat terjadi akibat dari mekanisme sobekan di
sepanjang permukaan subdural dan peregangan traumatic dari vena-vena, yang
dapat terjadi dengan cepat akibat dekompresi ventrikular. Karena Permukaan
subdural yang tidak dibatasi oleh sutura cranialis, darah dapat menyebar di
seleuruh hemisper dan masuk ke dalam fisura hemisfer. 3

22
Mekanisme yang bisa menyebabkan munculnya hematom subdural akut adalah
benturan yang cepat dan kuat pada tengkorak. Subdural Hematom akut biasanya
ada hubungannya dengan trauma yang jelas dan seringkali disertai dengan laserasi
atau kontusi otak.2
4) Manifestasi Klinis2
Subdural Hematom diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :
Subdural Hematom Akut (Hiperdens)
Bila perdarahan terjadi kurang dari bebrapa hari atau dalam 24 48 jam
setelah trauma.
Subdural HEmatom SubAkut (Isodens)
Bila perdarahan berlangsung antara 2-3 minggu setelah trauma
Subdural Hematom Kronik
Bila perdarahan lebih dari 3 minggu setelah trauma
Gejala klinis dari subdural hematom akut tergantung dari ukuran hematom dan
derajat kerusakan parenkim otak. Subdural hematom biasanya bersifat unilateral.
Gejala neurologis yang sering muncul adalah :
Perubahan tingkat kesadaran, terjadi penurunan kesadaran
Dilatasi pupil ipsilateral hematom
Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cahaya
Hemiparesis kontralateral
Papiledema
Pada penderita subdural hematom subakut, terdapat trauma kepala yang
menyebabkan penurunan kesadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologic yang perlahan-lahan. Namun, setelah jangka waktu tertentu pasien
memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk.
Manifestasi klinis dari subdural hematom kronik biasanya tersembunyi dengan
gejala-gejala berupa penurunan kesadaran, gangguan keseimbangan, disfungsi
kognitif dan gangguan memori, hemiparesis, sakit kepala dan afasia.
5) Gambaran CT Scan
Subdural Hematom Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle (seperti bulan sabit)
didekat tabula interna, kadang sulit dibedakan dengan epidural hematom.

23
Batas medial hematom seperti bergerigi. adanya hematom di daerah
fissura interhemisfer dan tentorium juga menunjukkan adanya hematom
subdural.9

Gambar 7. CT Scan Kepala Polos Subdural hematom akut


Subdural Hematom Kronik
Pada CT Scan tampak area hipodens, isodens dan sedikit hiperdens,
berbentuk bikonveks, berbatas tegas, melekat pada tabula.
Ada 4 macam tampilan CT Scan untuk subdural hematom kronik, yaitu:9
1. Tipe I : Hypodens Chronic Subdural Hematom
2. Tipe II : Chronic Subdural Hematom densitas inhomogen
3. Tipe III : isodens Chronic Subdural Hematom
4. Tipe IV : Sligthly hyperdens chronic subdural hematom

Gambar 8. CT Scan Subdural hematom Kronik

24
Gambar 9. CT Scan Subdural hematom kronik
6) MRI
Subdural hematoma (SDH) memiliki 5 tahap yang berbeda evolusinya, oleh
karena itu, terdapat 5 penampilan di MRI. Dura tervaskularisasi dengan baik dan
mempunyai tekanan oksigen yang agar tinggi, mengakibatkan perkembangan dari
satu tahap ke tahap lainnya menjadi lebih lambat di dalam lesi daripada di dalam
otak. 4 tahapan yang pertama itu adalah sama dengan yang untuk hematoma
parenkim, dengan karakteristik yang sama pada T1-WI dan T2-WI. Tahap kronis
ditandai dengan denaturasi oksidatif methemoglobin yang terus-menerus, terjadi
pembentukan hemochromates nonparamagnetic. Selain itu, tidak ada pinggiran
hemosiderin dan jaringan makrofag terlihat di sekitarnya hematoma. Apabila
terjadinya perdarahan rekuren di SDH, akan terlihat lesi dengan gambaran
intensitas sinyal yang berbeda pada MRI.10

T1-WI T2-WI
Gambar 10: Hematoma subdural subakut pada frontoparietal. Menunjukkan
isodens hipodens subdural hematoma. Pada MRI, T1-W1 dan T2-W2 terlihat
gambaran intensitas sinyal tinggi menunjukkan perdarahan subakut akhir.

25
Gambar 11: Pada MRI menunjukkan subdural hematoma subakut bilateral
dengan intensitas sinyal yang meningkat. Daerah intensitas yang intermediate
menunjukkan perdarahan akut pada perdarahan subakut.
7) Angiografi
Pada pemeriksaan angiografi serebral, hematoma subdural menunjukkan
pendesakan arteri dan vena berbentuk konveks sesuai dengan lengkung hemisfer
serebri. Sesuai dengan lokalisasi perdarahan, akan tampak pendesakan arteri
serebri anterior, arteri serebri media maupun deep vein. Kadang-kadang
ditemukan lesi yang luas, tetapi pendesakan arteri serebri anterior, arteri serebri
media dan vena serebri interna sangat sedikit (tidak seimbang), maka harus
dilakukan angiografi sisi kontralateral karena kemungkinan adanya hematoma
subdural di sisi kontralateral tersebut. Membedakan hematoma epidural dan
hematoma subdural pada angiogram sering sulit.9,10

Gambar 12 Gambar 13

26
Gambar 12: Menunjukkan gambaran Bilateral subdural hematoma. Tampak
depresi permukaan hemisfera serebral (panah hitam).
Gambar 13: Hematoma subdural di bagian parietal kiri.

2.7.1.3 Perdarahan Subarachnoid


1) Definisi
Perdarahan Subarakhnoid merupakan gangguan mekanikal system vaskuler
pada intracranial yang menyebabkan masuknya darah ke dalam ruang
subarachnoid.2
2) Etiologi
Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya
aneurisma (85%). kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak kasus PSA
merupakan kaitan dari pendarahan aneurisma.2
3) Patofisiologi2
Aneurisma merupakan luka yang yang disebabkan karena tekanan
hemodinamic pada dinding arteri percabangan dan perlekukan. Saccular atau biji
aneurisma dispesifikasikan untuk arteri intracranial karena dindingnya kehilangan
suatu selaput tipis bagian luar dan mengandung faktor adventitia yang membantu
pembentukan aneurisma. Suatu bagian tambahan yang tidak didukung dalam
ruang subarachnoid.
Aneurisma kebanyakan dihasilkan dari terminal pembagi dalam arteri karotid
bagian dalam dan dari cabang utama bagian anterior pembagi dari lingkaran wilis.
Selama 25 tahun John Hopkins mempelajari otopsi terhadap 125 pasien bahwa
pecah atau tidaknya aneurisma dihubungkan dengan hipertensi, cerebral
atheroclerosis, bentuk saluran pada lingkaran wilis, sakit kepala, hipertensi pada
kehamilan, kebiasaan menggunakan obat pereda nyeri, dan riwayat stroke dalam
keluarga yang semua memiliki hubungan dengan bentuk aneurisma sakular.
Ruang antara membran terluar arachnoid dan pia mater adalah ruang
subarachnoid. Pia mater terikat erat pada permukaan otak. Ruang subarachnoid
diisi dengan CSF. Trauma perdarahan subarachnoid adalah kemungkinan
pecahnya pembuluh darah penghubung yang menembus ruang itu, yang biasanya
sma pada perdarahan subdural. Meskipun trauma adalah penyebab utama

27
subarachoid hemoragik, secara umum digolongkan denga pecahnya saraf serebral
atau kerusakan arterivenous.
4) Manifestasi Klinis2
Gejala prodromal : nyeri kepala hebat dan perakut, hanya 10%, 90%
tanpa keluhan sakit kepala.
Kesadaran sering terganggu, dan sangat bervariasi dari tak sadar
sebentar, sedikit delirium sampai koma.
Gejala / tanda rangsangan meningeal : kaku kuduk, tanda kernig ada.
Fundus okuli : 10% penderita mengalami edema papil beberapa jam
setelah pendarahan. Sering terdapat pedarahan subarachnoid karena
pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior, atau arteri
karotis interna
Gejala-gejala neurologik fokal : bergantung pada lokasi lesi.
Gangguan fungsi saraf otonom : demam setelah 24 jam, demam
ringan karena rangsangan meningen, dan demam tinggi bila pada
hipotalamus. Begitu pun muntah,berkeringat,menggigil, dan takikardi,
adanya hubungan dengan hipotalamus
3) Gambaran CT-Scan
Perdarahan subarakhnoid yang terjadi karena trauma biasanya terletak di atas
gyri pada konveksitas otak. SAH yang disebabkan oleh pecahnya aneurisma otak
biasanya terletak di cisterns subarakhnoid pada dasar otak. SAH dapat terjadi
sendiri atau dalam hubungan dengan hematoma intraserebral atau ekstraserebral
lainnya. Pada gambaran TK, SAH terlihat mengisi ruangan subaraknoid yang
biasanya terlihat gelap dan terisi cairan serebrospinal di sekitar otak. Rongga
subaraknoid yang biasanya hitam mungkin tampak putih di perdarahan akut.
Temuan ini paling jelas terlihat dalam rongga subaraknoid yang besar. Jika
pemeriksaan13
TK dilakukan beberapa hari atau minggu setelah perdarahan awal, temuan akan
tampak lebih halus. Gambaran putih darah dan bekuan cenderung menurun, dan
tampak sebagai abu-abu. SAH dapat menyebabkan hidrosefalus dan konfusi akibat
trauma, pecahnya pembuluh darah arteri (aneurisme) atau malformasi

28
arteriovenosa (AVM). Selain menentukan SAH, gambaran TK juga dapat
digunakan untuk melokalisir sumber perdarahan.

Gambar 14 Gambar 15
Gambar 14: Menunujukkan perdarahan subarachoid. Gambaran TK kepala
ditemukan adanya perdarahan di ruang subarakhoid (tanda panah hitam)
Gambar 15: Menunjukkan pasien mengalami hematoma esktradural di sebelah
kanan dan perdarahan subarakhnoid di sebelah kiri
4) MRI Pendarahan Subaraknoid
SAH memiliki kadar oksigen yang tinggi, sehingga mereka menua lebih lambat
daripada hematoma parenkim yang lakukan.11,12

29
Gambar 16: MRI menunjukkan perdarahan subarachnoid (SAH). SAH muncul
hyperintense pada T2 dan fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR)
images. Isointense hipointense pada gambar T1. Marked blooming diamati
pada gambar echo gradient (GRE). Gambaran menunjukkan perdarahan
hiperakut atau akut.

Gambar 17: Perdarahan subarachnoid tampak hiperintense pada gambar T2,


hipointense pada FLAIR, dan tampak marked blooming pada gradien echo-
(GRE) gambar di celah Sylvian, pada basal cisterns, dan sepanjang folia
serebellar karena darah. Gambaran ini menunjukkan perdarahan subarachnoid
kronis dan / atau siderosis superfisia.
5) Angiografi
Jika arteri meningea media terdesak ke arah median (ke dalam), maka diagnosis
hematoma epidural dapat ditegakkan. Jika hematoma epidural masuk ke dalam
sinus venosus, maka sinus venosus ini akan terpisah dari tabula interna.12

Gambar 18: Hematoma epidural di daerah temporal kiri.

30
2.7.1.4 Perdarahan Intraventrikuler
1) Definisi
Merupakan rupturnya dinding ventrikel pada tepi ependymal dan vaskuler sub
ependymal, perdarahan/petechie di sekitar ganglia basalis yang disebabkan
Akselerasi traumatik dan distorsi otak.2
2) Patofisiologi
Akselerasi traumatik dan distorsi otak menyebabkan dinding ventrikel pada
tepi ependymal dan vaskuler sub ependymal, perdarahan/petechie di sekitar
ganglia basalis kemudian darah menghambat aliran CSF sehingga ventrikel
melebar.2
3) Gambaran CT Scan
Daerah berbatas tegas dengan densitas meningkat pada sistem ventrikel dan
tampak pelebaran ventrikel.12

Gambar 19. Perdarahan Intraventrikel

31
2.7.2. Intra-aksial (pendarahan di dalam otak)

2.7.2.1. Pendarahan Intra Serebral


1) Definisi
Perdarahan intraserebral (ICH) adalah disfungsi neurologi fokal yang akut dan
disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan,
bukan oleh karena trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh
arteri, vena dan kapiler. Perdarahan intraserebral merupakan 10% dari semua jenis
stroke, tetapi persentase kematian leih tinggi disebabkan oleh stroke. Sekitar 60%
terjadi di putamen dan kapsula interna, dan masing-masing 10% pada substansia
alba, batang otak, serebelum dan talamus.2
2) Etiologi
Hipertensi merupakan penyebab terbanyak (72-81%). Perdarahan intraserebral
spontan yang tidak berhubungan dengan hipertensi, biasanya berhubungan dengan
diskrasia darah, hemartroma, neoplasma, aneurisma, AVM, tumor otak metastasis,
pengobatan dengan antikoagulans, gangguan koagulasi seperti pada leukemia atau
trombositopenia, serebralarteritis, amyloid angiopathy dan adiksi narkotika.3,4
Perdarahan intraserebral dapat disebabkan oleh :
1. Hipertensi
Hipertensi lama akan menimbulkan lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid
yang memperlemah dinding pembuluh darah yang kemudian
menyebabkan ruptur intima dan menimbulkan aneurisma. Selanjutnya
dapat menyebabkan mikrohematoma dan edema. Hipertensi kronik dapat
juga menimbulkan sneurisma-aneurisma kecil (diameternya 1 mm) yang
tersebar di sepanjang pembuluh darah, aneurisma ini dikenal sebagai
aneurisma Charcot Bouchard.
2. Cerebral Amyloid Angiopathy
Cerebral Amyloid Angiopathy adalah suatu perubahan vaskular yang unik
ditandai oleh adanya deposit amiloid di dalam tunika media dan tunika
adventisia pada arteri kecil dan arteri sedang di hemisfer serebral. Arteri-
arteri yang terkena biasanya adalah arteri-arteri kortical superfisial dan
arteri-arteri leptomening. Sehingga perdarahan lebih sering di daerah
subkortikal lobar ketimbang daerah basal ganglia. Deposit amiloid

32
menyebabkan dinding arteri menjadi lemah sehingga kemudian pecah dan
terjadi perdarahan intraserebral. Di samping hipertensi, amyloid
angiopathy dianggap faktor penyebab kedua terjadinya perdarahan
intraserebral pada penderita lanjut usia.
3. Arteriovenous Malformation
4. Neoplasma intrakranial. Akibat nekrosis dan perdarahan oleh jaringan
neoplasma yang hipervaskular.
5. Trauma
Koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera regangan atau
robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh darah intraparenkimal otak
atau kadang-kadang cedera penetrans. Intracerebral hematom mengacu
pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 ml dalam substansi otak
3) Patofisiologi Intra Serebral Hematom2
Etiologi dan patofisiologi perdarahan intracerebral primer masih kontroversi.
Perdarahan intraserebral primer adalah disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah
arterioles, pada kebanyakan kasus dengan hipertensi arterial.Pecahnya pembuluh
darah spontan adalah disebabkan berkurangnya elastisiti pembuluh darah dan
meningkatnya suseptibiliti. Cerebral amyloid angiopati adalah penyakit yang
tersering pada orang berusia.Perdarahan intrserebral mengambil jalan yang paling
rendah resistensinya dan menyebar sepanjang neuronal fiber.Perdarahan
intrserebral yang belokasi pada suprtatentorial menyebabkan meningkatnya
tekanan intracranial jika volume lebih dari 60cc atau adanya lebih banyak atrofi
pada otak.Akhirnya meningkatkan tekanan pada jaringan dan hemostasis akhirnya
menghentikan perdarahan. Meningkatnya tekanan pada jaringan seterusnya ICH
menyebabkan bahaya Iskemik pada area tersebut dimana menyebabkan sitotoksik
edema otak dalam waktu 24 sampai 48 jam.Mekanisme ini menyebabkan
peningkatan intracranial sekunder dimana merosakkan neurologis sekunder dan
memerlukan pengobatan yang lebih.
Perdarahan terkumpul dan membeku disebut sebagai hematom,dimana akan
terus membesar dan meningkatkan tekanan pada jaringan sekitar otak.Peningkatan
tekanan intracranial menyebabkan pasien konfius dan letargi. Pada tempat
perdarahan suplai darah berkurang dan menyebabkan stroke.Sel darah yang mati

33
melepaskan toksin dan menambahkan lagi kerusakan jaringan di sekitar
hematoma. Perdarahan intraserebral bisa terjadi pada superfisial atau terjadi lebih
dalam pada otak.Perdarahan yang dalam boleh menyebar sampai ke ventrikel
4) Manifestasi Klinis Intra Serebral Hematom
Secara umum gejala klinis ICH merupakan gambaran klinis akibat akumulasi
darah di dalam parenkim otak. ICH khas terjadi sewaktu aktivitas, onset pada saat
tidur sangat jarang. Perjalanan penyakitnya, sebagian besar (37,5-70%) per akut.
Biasanya disertai dengan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran ini
bervariasi frekuensi dan derajatnya tergantung dari lokasi dan besarnya
perdarahan tetapi secara keseluruhan minimal terdapat pada 60% kasus. dua
pertiganya mengalami koma, yang dihubungkan dengan adanya perluasan
perdarahan ke arah ventrikel, ukuran hematomnya besar dan prognosis yang jelek.
Sakit kepala hebat dan muntah yang merupakan tanda peningkatan tekanan
intrakranial dijumpai pada ICH, tetapi frekuensinya bervariasi. Tetapi hanya 36%
kasus yang disertai dengan sakit kepal sedang muntah didapati pada 44% kasus.
Jadi tidak adanya sakit kepala dan muntah tidak menyingkirkan ICH, sebaliknya
bila dijumpai akan sangat mendukung diagnosis ICH atau perdarahn subarakhnoid
sebab hanya 10% kasus stroke oklusif disertai gejala tersebut. Kejang jarang
dijumpai pada saat onset ICH.2
5) Gambaran CT-Scan Intra Serebral Hematom
Hematoma intraserebral adalah perdarahan parenkhim otak disebabkan
pecahnya mpembuluh darah, sehingga timbulnya hematom intraparenkim sesudah
30 menit hingga 6 jam trauma. Hematom ini boleh timbul di daerah kontralateral
(contrecoup). Pada gambaran sesudah beberapa jam akan tampak daerah hematom
(hiperdens) dan tepi yang tidak rata.11,12,15

34
Gambar 20: Hematoma intraserebral. Gambaran ditemukan perdarahan parenkim
otak dengan adanya gambaran lesi hiperdens (panah putih), jaringan di sekitar
tampak densitasnya lebih rendah akibat infark atau edema.
6) MRI
1. Perdarahan Hiperakut

T1 T2
Gambar 21: Magnetic Resonance Imaging aksial menunjukkan hematoma
hiperakut dalam kapsul eksternal yang tepat dan korteks insular pada pasien
hipertensi. T1 aksial menunjukkan isointens untuk lesi hipointens di daerah
temporoparietal kanan yang hiperintens pada T2 dan dengan kecenderungan
tampak sebagai intensitas sinyal rendah karena darah pada gradienecho (GRE).
Sebuah lingkaran kecil edema vasogenik mengelilingi hematoma.

35
2. Perdarahan Akut

T1 T2
Gambar 22: Magnetic Resonance Imaging menunjukkan hematoma akut pada
daerah frontal kiri. T1 aksial dan T2 menunjukkan hematoma yang hipointens.
Sebuah lingkaran kecil edema vasogenik mengelilingi hematoma terlihat di T2.
3. Perdarahan Subakut Awal (Early Subacute Hemorrhage)

T1 T2
Gambar 23: Magnetic Resonance Imaging menunjukkan hematoma subakut awal
di daerah oksipital kiri. Lesi terlihat hiperintens pada T1 dan hipointens pada
T2 ditandai dengan kecenderungan disebabkan oleh hematoma pada gradien-
echo (GRE). Hematoma intraventrikular juga terlihat jelas sebagai sinyal
rendah pada GRE.

36
4. Perdarahan Subakut Akhir (Late subacute hemorrhage)

T1 T2
Gambar 24: Magnetic Resonance Imaging menunjukkan perdarahan subakut
akhir di kedua daerah thalamus pada pasien malaria cerebral. T1, T2, dan
gradient-echo (GRE) menunjukkan hematoma hiperintens. T2 dan GRE
menunjukkan lingkaran kecil hipointens yang disebabkan hemosiderin.
5. Perdarahan Kronik

T1 T2
Gambar 25: Magnetic Resonance Imaging menunjukkan hematoma kronik
sebagai spaceoccupying lesion pada fossa posterior kanan. Perdarahan terlihat
sebagai gambaran hipointens di T1 dan T2. Hipointensitas diperjelas oleh efek
darah pada GRE.

2.4.2.2. Diffuse axonal injury


1) Definisi Diffuse axonal injury
Diffuse axonal injury (DAI) adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan
koma bekepanjangan pasca trauma yang tidak berhubungan dengan lesi massa

37
atau iskemia. Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1980an untuk
menggambarkan perubahan struktural yang terjadi pada cedera otak difus dimana
perubahan yang terjadi tidak tampak secara makroskopis maupun tampak namun
kecil. 2,3
2) Patofisiologi Diffuse axonal injury
Akselerasi rotatorik mengakibatkan perbedaan kepadatan fokal antara
substansia grisea dan substansia alba. Hal ini menyebabkan putusnya akson
sehingga terjadi kerusakan integritas akson pada node of ranvier dan
mengakibatkan perubahan arus /aliran aksoplasma2
3) Manifestasi Klinis Diffuse axonal injury
Penderita trauma serebri yang mengalami koma lebih dari 6 jam, tanpa bukti
penyebab koma yang dapat diidentifikasi baik dengan CT-scan atau MRI. Maka
gangguan ini disebut axonal shearing injury yang luas atau diffuse axonal injury.
Gejala klinis bervariasi tergantung beratnya injury:
kebingungan
hilang kesadaran
koma dalam yang berkepanjangan
gangguan fungsi otonom seperti hipertensi, hyperhidrosis, hiperpireksia
cacat berat
5) Gambaran CT-Scan Diffuse axonal injury
Gambaran CT-Scan normal ditemukan sekitar 50%-80% kasus. Hanya 10%
lesi dapat bervariasi dari edema hingga lesi perdarahan dengan ukuran hanya
beberapa milimeter hanya nampak dengan follow-up CT-Scan. Pada ct-scan
tampak halo hipodens halus, edema yang mengelilingi daerah perdarahan. Setelah
udema dan perdarahan direabsorbsi CT-Scan normal.13,11,15

38
Gambar 26. CT-Scan Diffuse axonal injury

2.7. Terapi Pendarahan Intra Kranial


2.7.1. Terapi Medikamentosa
a. Cairan Intravena
Prinsip manajemen adalah mempertahankan perfusi serebral yang adekuat
dengan menjaga tekanan atau bahkan menaikkan tekanan darah. Cairan intravena
diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan
normovolemia, jangan beri cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang
mengandung glukosa dapat menyebabkan hipoglikemia yang berakibat buruk
pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan
garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus dipertahankan
untuk mencegah terjadinya edema otak.3 Strategi terbaik adalah mempertahankan
volume intravaskular normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik.
Saline hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa
menyebabkan edema otak.2
b. Hiperventilasi
Hiperventilasi segera adalah tindakan life saving yang bisa mencegah atau
menunda herniasi pada pasien yang mengalami trauma kapitis parah. Gol tindakan
ini adalah menurunkan PCO2 ke rentang 30-35 mmHg. Hiperventilasi akan
menurunkan ICP dengan menyebabkan vasokonstriksi serebri; dengan onset efek
dalam 30 detik. Hiperventilasi menurunkan ICP sekitar 25% pada rata-rata pasien;
jika pasien tidak berespon terhadap intervensi ini, prognosisnya secara umum
adalah buruk. Hiperventilasi berkepanjangan tidak dianjurkan karena bisa

39
menyebabkan vasokonstriksi dan iskemi. Hiperventilasi profilaksis juga tidak
dianjurkan. Hiperventilasi hanya dilakukan pada pasien trauma kapitis parah yang
mengalami penurunan neurologis atau menunjukkan tanda herniasi.8 Selain itu,
hiperventilasi dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya asidosis.7
c. Manitol
Jika pasien tidak berespon terhadap intubasi dan hiperventilasi dan ada
kecurigaan hematom ekstra-aksial maupun herniasi, penggunaan diuretika
osmotik, seperti manitol atau HTS, harus dipertimbangkan. Indikasi penggunaan
agen osmotik adalah deteriorasi neurologis yang akut seperti terjadi koma, dilatasi
pupil, pupil anisokor, hemiparesis, atau kehilangan kesadaran saat pasien dalam
observasi.3. Manitol dipilih sebagai drug of choice dengan HTS sebagai alternatif.
Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat.3 Sediaan yang
tersedia biasanya berupa cairan dengan konsentrasi 20%, dengan dosis 0,25-1
g/kgBB. Manitol mengurangi edem serebri dengan menciptakan gradient osmotis
yang akan menarik cairan dari jaringan ke intravascular untuk kemudian
dikeluarkan melalui diuresis.1 Efek osmosis terjadi dalam hitungan menit dan
mencapai puncak sekitar 60 menit setelah bolus dimasukkan. Efek penurunan ICP
bolus tunggal manitol bertahan sekitar 6-8 jam. 3 Dosis tinggi manitol tidak boleh
diberikan pada penderita yang hipotensi karena manitol adalah diuretik osmotik
yang poten dan akan memperberat hipovolemia.3 HTS pada konsentrasi 3,1%-
23% digunakan untuk merawat pasien yang menderita trauma kapitis dan
kenaikan ICP. HTS menyebabkan penyebaran volume plasma, mengurangi
vasospasme, dan mengurangi respon inflamasi pascatrauma. HTS bermanfaat
pada trauma kapitis yang terjadi pada anak dan edem serebri.
d. Furosemid (Lasix)
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK.3 Dosis yang biasa
diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara bolus intravena.3 Furosemid tidak boleh
diberikan pada penderita dengan hipotensi karena akan memperberat hipovolemia.
e. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap
obat-obatan lain. Barbiturat bekerja dengan cara membius" pasien sehingga

40
metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen
juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung
dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang.1
Hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat. Oleh karena itu, obat ini
tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi.11
f. Antikonvulsan
Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma kepala tumpul dan
50% trauma kepala penetrasi. Kejang pasca trauma bukan prediksi epilepsi tetapi
kejang dini bisa memperburuk secondary brain injury dengan menyebabkan
hipoksia, hiperkarbia, pelepasan neurotransmitter, dan peningkatan ICP.9 Terdapat
3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi pasca trauma, yaitu kejang awal
yang terjadi pada minggu pertama, perdarahan intrakranial, atau fraktur depresif.
Penelitan menunjukkan, pemberian antikonvulsan bermanfaat mengurangi kejang
dalam minggu pertama setelah cedera namun tidak setelah itu. Namun penelitian
lain menyebutkan, penggunaan antikonvulsan tidak mengurangi risiko serangan
kejang secara bermakna. Penggunaan obat antiepilepsi profilaksis pada trauma
kapitis akut dilaporkan menurunkan risiko kejang sekitar 66%, walau profilaksis
kejang dini tidak mencegah kejang pasca trauma. Tujuan terapi antiepilepsi adalah
untuk mencegah akibat tambahan yang disebabkan trauma.12 Kejang harus
dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (30-60 menit)
dapat menyebabkan cedera otak sekunder.3 Benzodiazepine dipilih sebagai first-
line antikonvulsan. Lorazepam (0.05-0.15 mg/kg IV, tiap 5 menit hingga total 4
mg) sangat efektif menggagalkan serangan epilepsy. Pillihan lain adalah
diazepam. Untuk antikonvulsan jangka panjang, fenitoin atau fosfenitoin bisa
diberikan.11

2.7.2. Terapi Konservatif


Keadaan di bawah ini memerlukan pengelolaan medik konservatif, karena
pembedahan tidak akan membawa hasil lebih baik. Kriteria trauma kapitis yang
hanya memerlukan penatalaksanaan konservatif adalah sebagai berikut:
- Fraktura basis kranii - ditandai adanya memar biru hitam pada kelopak
mata

41
- Racoon eyes atau memar diatas prosesus mastoid (battles sign) dan
atau kebocoran cairan serebrospinalis yang menetes dari telinga atau
hidung.
- Comotio cerebri - ditandai dengan gangguan kesadaran temporer
- Fraktura depresi tulang tengkorak - dimana mungkin ada pecahan
tulang yang
- Menembus dura dan jaringan otak
- Hematoma intraserebral - dapat disebabkan oleh kerusakan akut atau
progresif akibat contusio.
Pada hematoma intraserebral yang luas dapat ditatalaksana dengan
hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan intrakranial
sebagai usaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk
hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya
elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis.

2.7.3. Terapi Operatif


Operasi di lakukan bila terdapat:
- Volume hematoma > 25 ml
- Keadaan pasien memburuk
- Pendorongan garis tengah > 5 mm
Penanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi sederhana (burr
hole). Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma. Indikasi operasi di
bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving. Jika
untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergensi.
Biasanya keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
- > 25 cc desak ruang supra tentorial
- > 10 cc desak ruang infratentorial
- > 5 cc desak ruang thalamus

42
Indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan
- Penurunan klinis
- Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif
- Tebal hematoma epidural > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.

43
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Perdarahan Intrakranial adalah perdarahan di dalam tulang tengkorak.
Perdarahan bisa terjadi di dalam otak atau di sekeliling otak:
Pendarahan Ekstra-aksial: pendarahan intra-ventrikular, pendarahan sub-
arachnoid, pendarahan subdural dan pendarahan epidural.
Pendarahan Intra-Aksial: pendarahan intra-serebral dan diffuse axonal
injury

Setiap perdarahan akan menimbulkan kerusakan pada sel-sel otak. Ruang di


dalam tulang tengkorak sangat terbatas, sehingga perdarahan dengan cepat akan
menyebabkan bertambahnya tekanan dan hal ini sangat berbahaya.
Penyebab perdarahan Intrakranial ini bisa karena cedera kepala merupakan
penyebab yang paling sering ditemukan pada penderita perdarahan intrakranial
yang berusia dibawah 50 tahun.
Tomografi Komputer (TK) adalah modalitas alat pencitraan utama yang
digunakan dalam keadaan akut dan sangat bermanfaat dalam menegakkan serta
menentukan tipe trauma kapitis karena kemampuannya memberikan gambaran
fraktur, hematoma dan edema yang jelas baik bentuk maupun ukurannya.
Sedangkan pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan
informasi yang tidak dapat dilihat pada sinar-X atau tomografi komputer (TK).

3.2. Saran
Seorang dokter dalam melakukan tindakan harus disertai dengan pemeriksaan
yang sistematis dan banar. Diawali dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
dokter dapat menegakkan diagnosis 80. Kemudian dilanjutkan dengan
pemerikasaan penunjang salah satunya yakni radiologi. Sehingga dapat
menyingkirkan diagnosis banding.

44

Anda mungkin juga menyukai