Anda di halaman 1dari 48

Langit Menggelap di Vredeburg

Cerpen Sulialine Adelia


Beginilah menjelang senja di jantung kota. Sekelompok remaja nongkrong di atas
motor model terbaru mereka sambil ngobrol dan tertawa-tawa. Ada juga remaja
atau mereka yang beranjak dewasa duduk berdua-dua, di bangku semen, di atas
sadel motor, atau di trotoar. Anak-anak kecil berlarian sambil disuapi orang
tuanya. Pengamen yang beristirahat setelah seharian bekerja. Dan orang gila
yang tidur di sisi pagar.
Di salah satu bangku kayu panjang, bersisihan dengan remaja yang sedang
bermesraan, Reyna duduk menghadap ke jalan. Hanya duduk. Mengamati
kendaraan atau orang-orang yang melintas. Menunggu senja rebah di hamparan
kota.
Tiba-tiba laki-laki itu sudah berada di depannya sambil mengulurkan tangan.
"Apa kabar?" katanya memperlihatkan giginya yang kekuningan. Asap rokok
telah menindas warna putihnya.
"Kamu di sini?" Reyna tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Segala
rasa berpendaran dalam hatinya. Senang, sendu, haru, pilu, yang kesemuanya
membuat Reyna ingin menjatuhkan dirinya dalam peluk lelaki itu.
Begitu juga Mozes, lelaki tua yang berdiri di depan Reyna. Dadanya bergemuruh
hebat mendapati perempuan itu di depan matanya. Ingin ia memeluk, menciumi
perempuan itu seperti dulu, tetapi tak juga dilakukannya.
Hingga Reyna kembali menguasai perasaannya, lalu menggeser duduknya
memberi tempat Mozes di sebelahnya.
"Kaget?" tanya Mozes, duduk di sebelah Reyna.
Reyna tertawa kecil.
"Gimana?" tanya Reyna tak jelas arahnya. "Lama sekali nggak ketemu."
"Iya. Berapa tahun ya? Dua lima, tiga puluh?"
"Tiga puluh tahun!" jawab Reyna pasti.
"Ouw! Tiga puluh tahun. Dan kamu masih semanis dulu."
"Terima kasih," Reyna tersenyum geli. Masih semanis dulu. Bukankah itu lucu?
Kalaupun masih tampak cantik atau manis itu pasti tinggal sisanya saja.
Kecantikan yang telah terbalut keriput di seluruh tubuhnya. Tapi kalimat itu tak
urung membuat Reyna tersipu. Merasa bangga, tersanjung karenanya.
"Kapan datang?" tanya Reyna. Mulai berani lagi menatap mata lelaki di
sebelahnya.
"Belum seminggu," jawab Mozes.
"Mencariku?" Reyna tersenyum. Sisa genitnya di masa muda.
Mozes tertawa berderai-derai. Lalu katanya pelan, "Aku turut berduka atas
meninggalnya suamimu," tawanya menghilang.
Reyna tak menjawab sepatah pun. Bahkan ucapan terima kasih tidak juga
meluncur dari bibirnya. Ia menerawang ke kejauhan. Detik berikutnya mata
Reyna tampak berlinangan. Goresan luka di sudut hatinya kembali terkoyak.
Rasa perih perlahan datang. Luka lama itu ternyata tak pernah mampu
disembuhkannya. Semula ia menduga luka itu telah pulih, tetapi sore ini, ketika
Mozes tiba-tiba muncul di hadapannya ia sadar luka itu masih ada. Tertoreh
dalam di sudut perasaannya.
Reyna dan Mozes. Mozes pekerja film yang bukan saja terampil, tetapi juga
cerdas dan kritis. Reyna pengelola media sebuah perusahaan terkemuka. Mereka
bertemu karena Reyna harus membuat sebuah film sebagai media pencitraan
perusahaannya. Reyna yang istri dan ibu seorang anak, dan Mozes yang duda.
Dua orang muda yang masih segar, bersemangat, dan menawan. Dua orang yang
kemudian saling jatuh cinta.
Reyna hampir saja meninggalkan Braham ketika itu. Ibu muda Reyna merasa
menemukan sampan kecil untuk berlabuh. Meninggalkan malam-malamnya
yang kelam bersama Braham. Pergi mengikuti aliran sungai kecil yang akan
mengantarnya ke dermaga damai tanpa ketakutan, tanpa kesakitan. Berdua
Mozes.
Tetapi sampan kecil itu ternyata begitu ringkih. Ia tak mampu menyangga beban
berdua. Ia hanya ingin sesekali singgah, bermesra dan bercinta tanpa harus
mengangkutnya. Mozes tak menginginkan ikatan apa pun antara dirinya dan
Reyna. Ia ingin tetap bebas pergi ke mana pun ia ingin dan kembali kapan ia
rindu. Kebebasan yang tak bisa Reyna terima. Maka sebelum perjalanan dimulai,
ia memutuskan undur diri. Perempuan itu menyadari, bukan laki-laki seperti
Mozes yang ia ingini untuk membebaskan dari derita malam-malamnya. Mozes
berbeda dengan dirinya yang membutuhkan teman seperjalanan, ia hanya
mencari ruang untuk membuang kepedihan dan mencari hiburan. Tak lebih.
"Berapa lama kamu akan tinggal?" tanya Reyna setelah gejolak perasaannya
mereda.
"Entah. Mungkin sebulan, dua bulan, atau mungkin sepanjang sisa umurku,"
jawab Mozes, tanpa senyum, tanpa memandang Reyna. "Banyak hal yang
memberati pikiran dan tak bisa kuceritakan pada siapa pun selama ini."
"Itu sebabnya kamu kemari?"
"Jakarta semakin sesak dan panas. Sementara Jogja masih tetap nyaman buat
berkarya. Jadi kuputuskan kembali," lanjut Mozes tanpa mengacuhkan
pertanyaan Reyna. "Begitu kembali seseorang bilang padaku, kamu sering di sini
sore hari."
"Maka kamu mencariku. Berharap mengulang lagi hubungan dulu."
Mozes menggeleng.
"Atau membangun hubungan baru."
Mozes menggeleng lagi, "Tidak juga. Aku tidak butuh hubungan seperti itu. Aku
hanya butuh teman ngobrol"
"Teman bermesra, teman bercinta yang bisa kamu datangi dan kamu tinggal
pergi. Tanpa tuntutan, tanpa ikatan!" potong Reyna. "Itu hubungan yang sejak
dulu kamu inginkan bersamaku kan? Seperti sudah kubilang dulu, aku tidak bisa.
Aku sudah memilih."
Kebekuan kembali merejam perasaan kedua orang tua itu. Langit perlahan
kehilangan warna jingga. Satu per satu lampu di sekeliling mulai menyala. Ada
rangkaian lampu-lampu kecil berbentuk bunga di samping tikungan yang
menyala bergantian, hijau, kuning, merah. Ada lampu besar dengan tiang sangat
tinggi yang menyorot ke taman, ada pula lampu berwarna temaram yang
semakin menggumpalkan kesenduan.
Tiga puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Terlalu banyak hal terjadi pada
mereka dan sekian lama masing-masing memendam untuk diri sendiri. Mestinya
pertemuan sore itu adalah untuk berbagi cerita bukan justru bertengkar
kemudian saling diam. Atau mungkin karena perpisahan yang terlalu panjang,
keduanya tak tahu apa yang harus diceritakan terlebih dahulu.
Mungkin memang begitu, karena senyatanya Reyna ingin berkata, beberapa
tahun setelah perpisahan mereka ia masih juga mencari kabar tentang Mozes.
Hingga suatu hari, satu setengah tahun setelah mereka tidak bersama seorang
teman mengabarkan bahwa Mozes pulang ke Jakarta. Tak lama setelah itu, ia
mendengar Mozes tengah melanglang buana. Buana yang mana, entah. Reyna
merasa tidak perlu lagi mencari tahu keberadaan laki-laki itu. Meski tak jarang
bayangan Mozes tiba-tiba membangunkan tidurnya atau menyergap ingatannya
begitu Braham mulai menjamah tubuhnya dan membuat Reyna kesakitan tak
terkira.
Terdengar Mozes menghela napas. Panjang. Perlahan gumpalan kemarahan yang
menyesaki dada Reyna mereda. Namun hasrat untuk terus ngobrol telah tak ada.
Maka sisa pertemuan itu pun berlalu begitu saja. Kebekuan masih mengental di
antara keduanya. Hingga Reyna minta diri, dan beranjak pergi.
Hari-hari setelah kejadian itu, Reyna tak pernah tampak di depan Vredeburg lagi.
Tetapi Mozes masih sering terlihat di salah satu bangku kayu di sana. Sendiri di
tengah orang-orang muda yang tengah bercanda dan bercinta. Menghisap rokok
kreteknya. Sesekali mengibaskan rambut putihnya yang panjang, tersapu angin
menutup wajah tirusnya.
Begitu perasaan Reyna membaik dan siap bertemu Mozes lagi, ia kembali pada
rutinitasnya, menunggu senja jatuh di Vredeburg. Namun ia harus menelan
kecewa karena Mozes tak dijumpainya. Bahkan telepon genggamnya tak bisa
dihubungi.
Suatu sore, di tengah keputusasaan Reyna, seorang teman mendatangi dan
mengulurkan sebuah surat kepadanya. Surat dari Mozes!
"Hari-hari itu dia mencoba menghubungimu, tetapi HP-mu tak pernah aktif,"
kata laki-laki itu. "Ginjalnya tak berfungsi, serangan jantungnya kambuh,
tekanan darahnya tidak stabil"
Reyna tak bisa mendengar lagi penjelasan laki-laki itu. Bahkan ketika si teman
menyerahkan satu dos buku dan tas berisi kamera warisan kekayaan Mozes
untuknya, Reyna belum kembali pada kesadarannya.
Senja beranjak renta. Seperti Reyna merasai dirinya. Sepasang remaja di
sebelahnya telah pergi. Begitu juga sekumpulan anak muda yang nongkrong di
atas motor mereka, mulai menghidupkan mesin kendaraannya. Sisa adzan sayup
terdengar dari Masjid Besar. Sebaris kalimat di surat terakhir Mozes meluncur
dalam gumaman.
maghrib begitu deras, ada yang terhempas, tapi ada goresan yang tak akan
terkelupas.*

posted by imponk | 2:42:00 AM


SUNDAY, SEPTEMBER 04, 2005
Di Dusun Lembah Krakatau
Cerpen St. Fatimah*)

Banjo berjalan gontai pelan-pelan di belakang emaknya. Burung-burung gagak


hitam terbang rendah, berkoak-koak memekak. Di atas, langit yang damai tak
menjanjikan sama sekali rasa aman.
Lewat baris-baris pohon jati di sepanjang jalan, si emak dan anak laki-lakinya itu
dapat melihat lembah Krakatau yang melandai berombak-ombak. Tak mereka
jumpai lagi sosok-sosok manusia yang berarak tak henti-henti mendaki seperti
semut, tak peduli disambut oleh lingkaran awan tebal dan gumpalan langit tak
berawan. Sebuah kabar burung tentang anak siluman telah memutus urat
keberanian mereka.
"Banjo!"
Emaknya tiba-tiba berhenti.

Mendengar namanya dipanggil, anak itu terkejut. Bukan karena takut, melainkan
karena firasat yang semakin dekat. Kenyataan yang akan datang tentang firasat
itu bisa terasa sangat sakit, bahkan bisa juga mematikan.
"Kau lelah, Jo? Sepertinya Emak terlalu memaksamu berjalan hingga sejauh ini.
Maafkan Emak, Jo."

Sesudah mengusap liur yang meleleh di sudut bibirnya, si emak menggandeng


tangan Banjo, dan ucapnya lagi, "Ayo kita pergi ke pohon besar di sana itu. Kita
buka bekal makanan kita. Kau lapar kan?"
Banjo tidak menjawab dengan kata-kata. Ia mengangguk saja, lalu mengekor
patuh di belakang emaknya.

Tidak jauh dari situ tampak pohon besar yang rimbun daunnya. Di situ emak
membuka buntalan kain sarung, sementara anak laki-lakinya selonjor,
melenturkan otot-otot kakinya, dengan bersandar pada batang pohon besar itu.
"Banjo, duduklah dekat Emak sini."
Banjo merangkak menuju emaknya.

Emak mengeluarkan dua lembar daun jati tua. Ia melipat satu lembar daun jati
itu sedemikian rupa di atas telapak tangannya, hingga membentuk semacam
mangkok makan. Diisinya mangkok daun jati itu dengan nasi, gorengan ikan
asin, dan sayuran rebus. "Kau ingin Emak menyuapimu?"
Banjo mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda setuju.

Emak menyeringai senang, memperlihatkan sederetan gigi yang warna putihnya


tak sempurna. Ia senang melihat anak laki-lakinya makan dengan lahap. Ia
seketika lupa bagaimana anak-anak penduduk dusun sini melempari Banjo
dengan tomat busuk dan batu kerikil. Sementara orang-orang dewasa melihat
kejadian itu tanpa bereaksi apa pun selain tertawa. Apa yang lucu dari melihat
seorang bocah laki-laki yang pasrah begitu saja ditawur bocah-bocah sebayanya,
dilempari batu hingga mengakibatkan luka memar dan berdarah di sekujur
tubuhnya? Apa semua lelucon tak pernah berperasaan?

Barangkali penduduk dusun sini meyakininya demikian. Mereka terpingkal


tanpa rasa kasihan. Beberapa di antara mereka mencorongkan tangan di mulut
dan meneriaki anak lelaki malangnya dengan kata-kata kasar. Mereka
mengerumuninya dan menggiring ke luar dusun. Emak sudah hapal dengan
perlakuan penduduk dusun ini; tanpa perasaan mendendam ia berbisik pada diri
sendiri, "Barangkali mereka capek kerja ladang seharian, lalu mereka mencoba
mencari hiburan."

Emak dengan sabar dan telaten membesarkan hati putra semata wayangnya itu.
Tak ada yang benar-benar membuat hatinya meluap kegembiraannya, selain
ketika bisa melihat wajah Banjo tampak tersenyum sewaktu tidur. Dalam
pikirannya, senyum Banjo sewaktu tidur itu berarti segala-galanya. Leluhurnya
pernah bilang, jika di pertengahan tidurnya seorang anak mengigau atau
menjerit-jerit, itu artinya ada bayangan hitam yang menempel pada si anak. Dan
emak tak mau bayangan hitam itu satu kali saja menempeli putra tunggalnya.
Banjo sudah lelap di pangkuan emaknya. Sementara emak mulai tak kuasa
menghardik rasa kantuknya.

Dusun yang bermandikan cahaya kekuningan matahari menghilang di kejauhan,


berangsur-angsur digelapkan oleh kabut petang musim penghujan. Tapi musim
penghujan bukan halangan besar bagi penduduk dusun untuk mencari nafkah.
Karena mereka percaya Hyang Air dan Hyang Angin telah mereka buat kenyang
dan senang hati dengan upacara, tumbal, dan sesaji. Kepercayaan itu juga yang
membuat emak dan Banjo terusir dari dusun itu.

Semuanya seperti berputar kembali. Kaki langit menggenang dalam kubangan


kuning kemerahan. Jangkrik-jangkrik mulai menghela komposisi kerikannya.
Satu-dua burung hantu menyembulkan kepalanya dari lubang sarangnya,
membawa badannya yang buntal ke tengger pohon yang paling tinggi --hampir
menyundul dagu bulan. Dan hewan-hewan malam lainnya pun serentak
bergerilya ke sebalik lubang-lubang amat gelap.

Emak pulang larut malam dari rumah Wak Nardi dengan berbekal obor bambu
di genggaman tangannya. Malam itu tak seperti malam-malam lalu. Amat gelap,
amat dingin, amat mencekam. Kesiur angin membuat nyala obornya bergetar
bergoyang-goyang selalu. Kedua belah matanya beberapa kali merem-melek,
menyiasati lesatan uap kabut yang menggores jarak pandangannya.

Tapi, tiba-tiba kabut itu dikejapkan cahaya kilat --dan sungguh mengejutkan.
Begitu ganjil kedatangan kilat itu. Kini yang dilihatnya bukan lagi kepulan kabut
yang mengendap-endap lambat menyergap, tapi semacam gumpalan asap tebal
yang mirip kepala raksasa yang bertonjol-tonjol menyeramkan.

Sekejap, kilat menyabet terang membelah langit. Di ujung jalan berbatu di


sebelah barat, dari tengah-tengah sepasang pohon asem yang tegak kekar di
kanan-kiri badan jalan muncullah bayangan sosok tubuh yang setindak demi
setindak menuju ke arahnya, tapi hilang-hilang nyata dalam sabetan-sabetan
cahaya kilat. Betapapun emak berusaha dengan menajamkan sorot mata kuyunya
yang bernaung dalam kecekungan lubang matanya, sia-sia saja ia mengenali
wajah tubuh itu. Tapi jelas, dari gerak-gerik sosok tubuh asing yang sedang
menuju ke arahnya itu adalah sosok perempuan.

Hatinya bergetar, berdegup-degup tak karuan. Terus terang emak sedang


ketakutan. Dinantikannya sampai sosok itu melontarkan setidaknya satu patah
kata lebih dulu. Sungguh pun diketahuinya kecil kemungkinannya sosok itu
adalah orang dusun yang dikenalnya, tapi entah mengapa ia masih mau berdiri
memaku menunggu sosok tanpa wajah itu menegurnya.

Hingga.akhirnya sosok berwajah lembut nan cerlang itu tersenyum padanya,


bersamaan muncul lingkaran cahaya terang memusar lalu memancar --begitu
seterusnya-- di belakangnya. Cantik, sungguh cantik. Dua belah mata yang
berbinar tegas, meninggalkan sorot yang menggores tajam setiap memandang.
Bibirnya menggumpal padat berisi dan basah mengkilap. Kulit wajahnya halus
sempurna dan seputih kapas. Wajah itu sungguh bercahaya menggetarkan dada
dan menyejukkan hatinya, sampai-sampai mulut emak menganga. Beberapa kali
ia pun menghela napas, menggeleng-gelengkan kepalanya, sementara balas
tersenyum balik. Ia berubah seperti anak kecil yang tengah mendapati sebatang
kembang gula yang tiba-tiba tergenggam di kedua tangannya.

Bau harum menusuk hidung emak. Bau harum yang mengepul dari kibasan
jubah panjang sosok makhluk cantik itu. Ya, makhluk cantik, hanya sebutan itu
yang terlintas di hatinya. Ia yakin sosok di hadapannya itu bukan satu dari
bangsa manusia seperti dirinya. Malaikatkah? Atau bangsa jin? Ia belum pernah
berjumpa dua bangsa ciptaan Hyang itu sepanjang sisa-sisa rambut ubannya
yang memutih kapas. Jadi ia tak bisa mengatakan dengan pasti, apalagi teka-teki,
dari bangsa yang mana sosok makhluk di hadapannya itu. Ia hanya bisa
mengatakan makhluk itu cantik, maka itu makhluk cantik.

Lama. Malam tambah hening, tambah senyap, tambah penuh tanya. Tak
kelihatan lagi kejapan-kejapan kilat yang berseliweran membelah langit di atas.
Sekonyong-konyong meluncur dari sela bibir makhluk cantik itu, tapi bibir padat
berisi itu tiada bergerak, terdengar begitu saja, kata-katanya sangat jelas dan
berbunyi, "Susui jabang bayiku hingga datang malam purnama kedua puluh
tujuh."

Serasa emak dikepung anak buah malaikat maut, linglung tak tahu apa yang
mesti diperbuat. Jantungnya bunyi berdegup-degup, kedua belah matanya terus
berkedip-kedip. Jari-jarinya gemetar ketika menepuk-nepuk kulit pipinya yang
kisut-kendur. Suara bicara sosok itu yang menggema per kata-kata, di telinganya
persis wangsit Hyang, memekakkannya hingga kemerotak persendian di sekujur
tubuhnya kalah beradu dengan kemerosak gesekan dedaun yang diterjang angin
amat kencang, amat mencekam.

Belum genap emak menghilangkan kekalutannya, tiba-tiba sosok mahacantik itu


melesat dekat ke arahnya. Hingga ia harus memejamkan matanya rapat-rapat,
dan hanya dua cuping telinganya yang waspada. "Akan kuambil kembali ia
bilamana purnama telah sempurna.!" Hanya beberapa detik setelah gaungnya
suara kakupak dari arah sawah penduduk di kanan-kirinya menghampiri
gendang telinganya. Hanya beberapa detik setelah angin kencang tiba-tiba
tenang, jalanan berbatu itu kembali gelap gulita. Nyala obor di tangan emak
gemetar lamban.
Setelah peristiwa itu, esok paginya emak mengalami kesakitan dari ubun-ubun
hingga kuku-kuku jemari kakinya. Kepalanya lebih pening dari sakit pusing
biasa. Tubuhnya gemetar menggigil lebih hebat dari akibat kedinginan biasanya.
Perutnya lebih tertusuk-tusuk ketimbang rasa lapar biasa. Tulang-tulangnya
lebih rapuh daripada pengemis tua renta yang terlantar.

Orang-orang dusun dan sekitarnya memutuskan agar emak dan suaminya


dipencilkan ke hutan di perbatasan dusun. Mereka percaya bahwa suami-istri
"aneh" itu telah dikutuk. Makhluk cantik yang konon mencegat emak pada
malam ganjil itu adalah jin yang menjelma dalam wujud malaikat samarannya.
Bahkan kepala sesepuh dusun angkat tangan mengamini mereka.

Perut emak seperti perempuan hamil. Ia pun merasakan kesakitan-kesakitan


yang lazim dialami oleh kebanyakan perempuan hamil. Emak memang hamil.
Sementara minggu bergulir menjadi bulan. Dan ketika bulan menginjak
putarannya yang kesembilan, emak melahirkan seorang bayi laki-laki. Tanpa
bantuan dukun, tabib, atau orang pintar mana pun. Bayi laki-laki itu diberinya
nama Banjo.

Banjo tumbuh sehat, itu pasti. Emak dan suaminya bahagia. Pun orang-orang
dusun terimbas bunga rasa itu, meski dengan air muka yang berbeda. Melihat
Banjo sama saja berdiri menonton satu atraksi "makhluk aneh" di sirkus pasar
malam. Mereka membiarkan Banjo bertingkah. Bocah itu tak sadar, kegirangan
penduduk dusun jauh lebih menyakitkan daripada tersengat ribuan lebah
pekerja. Setiap kali orang-orang dusun terbahak, setiap kali itu pula
kerongkongan emak semakin tercekat.

Hingga usia Banjo dua tahun lebih, hingga hari yang dijanjikan itu tiba, emak
mendapat mimpi aneh. Dalam mimpi itu, ia melihat Banjo menjadi santapan
makhluk serba nyala merah dan meruapkan hawa sangat panas. Tak ada yang
sempat diingatnya, kecuali dengung suara menggelegar dari arah makhluk ganjil
itu. "Aku minta anakku dari rahimmu.!" Emak tersimpuh lemas di samping
bujur kaku suaminya yang meradang seperti orang sekarat.

Sepeninggal suaminya, masih ia ingat ia tak kuasa menolong Banjo yang


meronta-ronta waktu itu. Matanya merah. Kedua tangannya mencengkeram
jeruji-jeruji kayu, membuat kurungan kayu itu terguncang cukup keras. Saat
itulah seorang anak kecil ingusan berlari menghambur ke halaman rumahnya
ketika mendengar genderang dipalu di jalanan dusun. Peristiwa yang jarang
terjadi. Anak kecil itu berlari membawa badannya yang tambur tanpa baju.
Matanya bersinar-sinar memandangi arak-arakan para lelaki dusun sambil
memalu bekhudah2 yang bertabuh hingar. Biji mata anak kecil itu mengikuti
arakan. Serombongan laki-laki tanpa baju yang wajah dan tubuhnya dicoreng-
corengi arang hitam mengarak seorang anak manusia dalam kurungan kayu yang
ditandu. Mereka menuju ke puncak bukit di mana bertahta sebuah pohon kekar,
mahabesar, dan menjulang tinggi. Di pelataran bawah pohon itulah Banjo
dibaringkan di atas meja batu berlumut.

Banjo harus menjalani prosesi kurban kepada Hyang. Tubuh bocah laki-laki itu
ditelanjangi. Kedua tangan dan kakinya diikat di masing-masing sisi meja batu.
Setelah itu, seorang tetua ritual memercikkan air yang diyakini bertuah
menghilangkan kekuatan jahat yang menghuni jasad seseorang, sambil merapal
mantra.

Ingatan emak menjadi gelap. Tapi tak segelap malam ini. Tapak tangan kasar
emak tak lepas mengusap kepala Banjo. Hampir empat belas malam berlalu,
terhitung sejak malam ia "mencuri" tubuh kapar Banjo, mereka berpindah-
pindah tempat perlindungan. Keduanya sebenarnya tidak ingin sembunyi dari
kejaran orang-orang dusun. Emak sungguh berhasrat untuk meyakinkan mereka
bahwa Banjo benar-benar anak yang lahir dari mulut rahimnya, bukan anak
tumbal Hyang yang dipinjamkan di rahimnya. Tapi mereka tidak pernah bisa
menerima keyakinannya itu. Karenanya ia dan Banjo harus berlindung dari
piciknya kepercayaan mereka pada sesuatu yang menggariskan durhaka tidaknya
manusia di hadirat Hyang.

Hampir sepertiga malam. Makhluk-makhluk yang dinapasi misteriusnya malam,


makin menggeliat dalam kehitaman rimba bumi. Tak peduli sebuah tugas
mahamulia telah memampatkan kerongkongan orang-orang dusun yang,
kebanyakan para lelakinya, bermalam-malam membidik dua manusia paling
dikutuk: Banjo dan emaknya. Meski membuat ladang-ladang garapan mereka
terbengkalai, itu tak apa! Yang penting bagi mereka, dusun mereka bersih dari
manusia-manusia durhaka, yang mengingkari wasiat Hyang.
Waktu bergerak lambat bagai geliatan pesolek di mata ratusan laki-laki dusun
yang tersebar di tiap-tiap sudut batas dusun, juga di tempat-tempat gelap
terpencil. Dan, dua buronan mereka telah menjadi begitu terkutuk di mata
mereka, karena membuat tubuh mereka memagut dinginnya malam demi malam
tanpa kehangatan dari napas sengal perempuan-perempuan mereka. Membuat
biji mata mereka nyaris melesat dari liangnya. Membuat darah mereka
mendidih, mengerjat-ngerjat sesekali, seperti dibakar ubun-ubun mereka. Lagi-
lagi salah satu dari mereka geram.

"Haram jadah! Aku sudah muak! Terserah laknat Hyang kalau dusun ini masih
membiarkan dua manusia terkutuk-Nya itu hidup, bahkan mungkin bisa lebih
lama dari hidup kita semua. Aku tak peduli. Persetan! Bukankah Dia juga yang
menghidup-matikan mereka?"

Persis, belum habis satu kali kedipan mata, setelah laki-laki dusun yang geram
itu memberondongkan kalimat umpatannya, libasan petir sekonyong merobek
angkasa yang gelap tak berbintang. Menghamburkan ratusan laki-laki dusun dari
pos-pos penjagaan mereka, semburat tunggang-langgang, seperti sekawanan
semut yang baru saja diobrak-abrik sarangnya oleh moncong trenggiling.
Cambuk-cambuk petir itu mengoyak-moyak kesadaran mereka. Semua terjadi
seperti dalam murka yang dahsyat.

***

Setelah yakin melelapkan Banjo di atas tumpukan daun-daun lebar dan reranting
kering di sisinya, emak bangkit. Melangkah terbungkuk-bungkuk menuju mulut
gua kecil yang tak sengaja diketemukannya persis ketika libasan petir pertama,
libasan paling kilat. Emak memandang saja ke kejauhan. Petir mencekam. Kesiur
angin menegakkan bulu kuduk.

Hinggahingga sepertinya emak melihat kelebat sinar putih. Tinggi dan besar.
MendekatMendekatLalu melampaui diri tegaknya di tepi mulut gua.
Melingkari tubuh Banjo yang meringkuk lelap.
Tak ada perlawanan. Tatapan emak telah menjadi begitu hampa. ***
Catatan:
1 Yakni bebunyian dari bambu untuk menghalau burung di ladang.
2 Alat musik seperti terbangan, namun dalam bentuknya yang lebih besar.

*) Cerpen ini merupakan pemenang kedua (tak ada pemenang pertama) lomba
cerpen Krakatau Award 2005 yang diadakan Dewan Kesenian Lampung, yang
diumumkan Agustus lalu. St. Fatimah adalah cerpenis Surabaya. Selain cerpen,
lulusan Sastra Inggris Unair itu juga menulis puisi, dan esai sastra-budaya.
Dia juga menjadi editor dan penerjemah freelance.

posted by imponk | 7:14:00 AM


SUNDAY, AUGUST 07, 2005
Pagi Bening Seekor Kupu-Kupu
Cerpen Agus Noor

1.
AKU terbang menikmati harum cahaya pagi yang bening keemasan bagai diluluri
madu, dan terasa lembut di sayap-sayapku. Sungguh pagi penuh anugerah buat
kupu-kupu macam aku. Kehangatan membuat bunga-bunga bermekaran dengan
segala kejelitaannya, dan aku pun melayang-layang dengan tenang di atasnya.
Sesaat aku menyaksikan bocah-bocah manis yang berbaris memasuki taman,
dengan topi dan pita cerah menghiasi kepala mereka. Aku terbang ke arah bocah-
bocah itu. Begitu melihatku, mereka segera bernyanyi sembari meloncat-loncat
melambai ke arahku, "Kupu-kupu yang lucuuu, kemana engkau pergiii, hilir
mudik mencariii"
Aku selalu gembira setiap kali bocah-bocah itu muncul. Biasanya seminggu sekali
mereka datang ke taman ini, diantar ibu guru yang penuh senyuman mengawasi
dan menemani bocah-bocah itu bermain dan belajar. Berada di alam terbuka
membuat bocah-bocah itu menemukan kembali keriangan dan kegembiraannya.
Taman penuh bunga memang terasa menyenangkan, melebihi ruang kelas yang
dipenuhi bermacam mainan. Sebuah taman yang indah selalu membuat seorang
bocah menemukan keluasan langit cerah. Ah, tahukah, betapa aku sering
berkhayal bisa terbang mengarungi langit jernih dalam mata bocah-bocah itu?
Siapa pun yang menyaksikan pastilah akan terpesona: seekor kupu-kupu
bersayap jelita terbang melayang-layang dalam bening hening mata seorang
bocah
Aku pingin menjadi seperti bocah-bocah itu! Menjadi seorang bocah pastilah
jauh lebih menyenangkan ketimbang terus-menerus menjadi seekor kupu-kupu.
Alangkah bahagianya bila aku bisa menjadi seorang bocah lucu yang matanya
penuh kupu-kupu. Terus kupandangi bocah-bocah itu. Alangkah riangnya.
Alangkah gembiranya. Uupp, tapi kenapa dengan bocah yang satu itu?! Kulihat
bocah itu bersandar menyembunyikan tubuhnya di sebalik pohon. Dia seperti
tengah mengawasi bocah-bocah yang tengah bernyanyi bergandengan tangan
membentuk lingkaran di tengah taman itu
Seketika aku waswas dan curiga: jangan-jangan bocah itu bermaksud jahat --dia
seperti anak-anak nakal yang suka datang ke taman ini merusak bunga dan
memburu kupu-kupu sepertiku. Tapi tidak, mata bocah itu tak terlihat jahat.
Sepasang matanya yang besar mengingatkanku pada mata belalang yang
kesepian. Dia kucel dan kumuh, meringkuk di balik pohon seperti cacing yang
menyembunyikan sebagian tubuhnya dalam tanah, tak ingin dipergoki. Mau apa
bocah itu? Segera aku terbang mendekati
Aku bisa lebih jelas melihat wajahnya yang muram kecoklatan, mirip kulit kayu
yang kepanasan kena terik matahari. Dia melirik ke arahku yang terbang
berkitaran di dekatnya. Memandangiku sebentar, kemudian kembali mengawasi
bocah-bocah di tengah taman yang tengah main kejar-kejaran sebagai kucing dan
tikus. Aku lihat matanya perlahan-lahan sebak airmata, seperti embun yang
mengambang di ceruk kelopak bunga. Aku terbang merendah mendekati
wajahnya, merasakan kesedihan yang coba disembunyikannya. Dia menatapku
begitu lama, hingga aku bisa melihat bayanganku berkepakan pelan, memantul
dalam bola matanya yang berkaca-kaca
Terus-menerus dia diam memandangiku.

2.
HERAN nih. Dari tadi kupu-kupu itu terus terbang mengitariku. Kayaknya dia
ngeliatin aku. Apa dia ngerti kalau aku lagi sedih? Mestinya aku nggak perlu
nangis gini. Malu. Tapi nggak papalah. Nggak ada yang ngeliat. Cuman kupu-
kupu itu. Ngapain pula mesti malu ama kupu-kupu?! Dia kan nggak ngerti kalau
aku lagi sedih. Aku pingin sekolah. Pingin bermain kayak bocah-bocah itu.
Gimana ya rasanya kalau aku bisa kayak mereka?
Pasti seneng. Nggak perlu ngamen. Nggak perlu kepanasan. Nggak perlu kerja di
pabrik kalau malem, ngepakin kardus. Nggak pernah digebukin bapak. Kalau
ajah ibu nggak mati, dan bapak nggak terus-terusan mabuk, pasti aku bisa
sekolah. Pasti aku kayak bocah-bocah itu. Nyanyi. Kejar-kejaran. Nggak perlu
takut ketabrak mobil kayak Joned. Hiii, kepalanya remuk, kelindes truk waktu
lari rebutan ngamen di perempatan.
Aku senang tiduran di sini. Sembunyi-sembunyi. Nggak boleh keliatan, entar
diusir petugas penjaga kebersihan taman. Orang kayak aku emang nggak boleh
masuk taman ini. Bikin kotor --karena suka tiduran, kencing dan berak di bangku
taman. Makanya, banyak tulisan dipasang di pagar taman: Pemulung dan
Gelandangan Dilarang Masuk. Makanya aku ngumpet gini. Ngeliatin bocah-
bocah itu, sekalian berteduh bentar.
Kalau ajah aku bebas main di sini. Wah, seneng banget dong! Aku bisa lari
kenceng sepuasnya. Loncat-loncat ngejar kupu-kupu. Nggak, nggak! Aku nggak
mau nangkepin kupu-kupu. Aku cuman mau main kejar-kejaran ama kupu-kupu.
Soalnya aku paling seneng kupu-kupu. Aku sering mengkhayal aku jadi kupu-
kupu. Pasti asyik banget. Punya sayap yang indah. Terbang ke sana ke mari.
Sering aku bikin kupu-kupu mainan dari plastik sisa bungkus permen yang
warna-warni. Aku gunting, terus aku pasang pakai lem. Kadang cuman aku ikat
pakai benang aja bagian tengahnya. Persis sayap kupu beneran! Kalau pas ada
angin kenceng, aku lemparin ke atas. Wuuss Kupu-kupuan plastik itu terbang
puter-puter kebawa angin. Kalau jumlahnya banyak, pasti tambah seru. Aku
kayak ngeliat banyak banget kupu-kupu yang beterbangan
Ih, aneh juga kupu-kupu ini! Dari tadi terus muterin aku. Apa dia ngerti ya, kalau
aku suka kupu-kupu? Apa dia juga tau kalau aku sering ngebayangin jadi kupu-
kupu? Apa kupu-kupu juga bisa nangis gini kayak aku? Bagus juga tuh kupu.
Sayapnya hijau kekuning-kuningan. Ada garis item melengkung di tengahnya.
Kalau saja aku punya sayap seindah kupu-kupu itu, pasti aku bisa terbang nyusul
ibu di surga. Ibu pasti seneng ngelus-elus sayapku
Aku terus ngeliatin kupu-kupu itu. Apa dia ngerti yang aku pikirin ya?

3.
BERKALI-KALI, kupu-kupu dan si bocah bertemu di taman itu.
Kupu-kupu itu pun akhirnya makin tahu kebiasaan si bocah, yang suka sembunyi
di sebalik pohon. Sementara bocah itu pun jadi hapal dengan kupu-kupu yang
suka mendekatinya dan terus-menerus terbang berkitaran di dekatnya. Kupu-
kupu itu seperti menemukan serimbun bunga perdu liar di tengah bunga-bunga
yang terawat dan ditata rapi, membuatnya tergoda untuk selalu mendekati.
Kadang kupu-kupu itu hinggap di kaki atau lengan bocah itu. Bahkan sesekali
pernah menclok di ujung hidungnya. Hingga bocah itu tertawa, seakan bisa
merasa kalau kupu-kupu itu tengah mengajaknya bercanda.
Kupu-kupu dan bocah itu sering terlihat bermain bersama, dan kerap terlihat
bercakap-cakap. Dan apabila tak ada penjaga taman (biasanya selepas tengah
hari saat para penjaga taman itu selesai makan siang lalu dilanjutkan tiduran
santai sembari menikmati rokok) maka kupu-kupu itu pun mengajak si bocah
kejar-kejaran ke tengah taman.
"Ayolah, kejar aku! Jangan loyo begitu," teriak kupu-kupu sembari terus
terbang ke arah tengah taman.
Dan si bocah pun berlarian tertawa-tawa mengejar kupu-kupu itu.
"Kamu curang! Kamu curang! Bagaimana aku bisa mengejarmu kalau kamu terus
terbang?! Kamu curang! Tungguuu kupu-kupuuu Tungguuuu"
Kupu-kupu itu terus terbang meliuk-liuk riang. Lalu kupu-kupu itu hinggap di
setangkai pohon melati. Kupu-kupu itu menunggu si bocah yang berlarian
mendekatinya dengan napas tersengal-sengal.
"Coba kalau aku juga punya sayap, pasti aku bisa mengejarmu," bocah itu
berkata sambil memandangi si kupu-kupu.
"Apakah kamu yakin, kalau kamu punya sayap kamu pasti bisa menangkapku?"
"Pasti! Pasti!"
Kupu-kupu itu tertawa --dan hanya bocah itu yang bisa mendengar tawanya.
"Benarkah kamu ingin punya sayap sepertiku?" tanya kupu-kupu.
"Iya dong! Pasti senang bisa terbang kayak kamu. Asal tau ajah, aku tuh
sebenernya sering berkhayal bisa berubah jadi kupu-kupu" Lalu bocah itu pun
bercerita soal mimpi-mimpi dan keinginannya. Kupu-kupu itu mendengarkan
dengan perasaan diluapi kesyahduan, karena tiba-tiba ia juga teringat pada
impian yang selama ini diam-diam dipendamnya: betapa inginnya ia suatu hari
menjelma menjadi manusia
"Benarkah kamu sering membayangkan dirimu berubah jadi kupu-kupu? Apa
kamu kira enak jadi kupu-kupu seperti aku?"
"Pasti enak jadi kupu-kupu seperti kamu"
"Padahal aku sering membayangkan sebaliknya, betapa enaknya jadi bocah
seperti kamu"
"Enakan juga jadi kamu!" tegas bocah itu.
"Lebih enak jadi kamu!" jawab kupu-kupu.
"Lebih enak jadi kupu-kupu!"
"Lebih enak jadi bocah sepertimu!"
Setiap kali bertemu, setiap kali berbicara soal itu, kupu-kupu dan bocah itu
semakin saling memahami apa yang selama ini mereka inginkan. Bocah itu ingin
berubah jadi kupu-kupu. Dan kupu-kupu itu ingin menjelma jadi si bocah.
"Kenapa kita tak saling tukar saja kalau begitu?" kata kupu-kupu.
"Saling tukar gimana?"
"Aku jadi kamu, dan kamu jadi aku."
"Apa bisa? Gimana dong caranya?"
"Ya saling tukar saja gitu"
"Kayak saling tukar baju?" Bocah itu ingat kalau ia sering saling tukar baju
dengan temen-temen ngamennya, biar kelihatan punya banyak baju. "Iya, gitu?"
"Hmm, mungkin seperti itu..."
Keduanya saling pandang. Ah, pasti akan menyenangkan kalau semua itu terjadi.
Aku akan berubah jadi kupu-kupu, batin bocah itu. Aku akan bahagia sekali
kalau aku memang bisa menjelma manusia, desah kupu-kupu itu dengan
berdebar hingga sayap-sayapnya bergetaran.
"Bagaimana?" kupu-kupu itu bertanya.
"Bagaimana apa?"
"Jadi nggak kita saling tukar? Sebentar juga nggak apa-apa. Yang penting kamu
bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi kupu-kupu. Dan aku bisa merasakan
bagaimana kalau jadi bocah seperti kamu. Setelah itu kita bisa kembali lagi jadi
diri kita sendiri. Aku kembali jadi kupu-kupu lagi. Dan kamu kembali lagi jadi
dirimu. Gimana?"
Si bocah merasa gembira dengan usul kupu-kupu itu. Gagasan yang
menakjubkan, teriaknya girang. Lalu ia pun mencopot tubuhnya, agar kupu-kupu
itu bisa merasuk ke dalam tubuhnya. Dan kupu-kupu itu pun segera melepaskan
diri dari tubuhnya, kemudian menyuruh bocah itu masuk ke dalam tubuhnya.
Begitulah, keduanya saling berganti tubuh. Bocah itu begitu senang mendapati
dirinya telah berwujud kupu-kupu. Sedangkan kupu-kupu itu merasakan dirinya
telah bermetamorfosa menjadi manusia.

4.
WAH enak juga ya jadi kupu-kupu! Bener-bener luar biasa. Lihat, sinar matahari
jadi kelihatan berlapis-lapis warna-warni lembut tipis, persis kue lapis. Aku juga
ngeliat cahaya itu jadi benang-benang keemasan, berjuntaian di sela-sela
dedaunan. Aku jadi ingat benang gelasan yang direntangkan dari satu pohon ke
pohon yang lain, setiap kali musim layangan. Aku lihat daun-daun jadi tambah
menyala tertimpa cahaya. Semuanya jadi nampak lebih menyenangkan. Dengan
riang aku melonjak-lonjak terbang. Terlalu girang sih aku. Jadi terbangku masih
oleng dan nyaris nubruk ranting pohon.
"Hati-hati!"
Kudengar teriakan, dan kulihat kupu-kupu yang kini telah merasuk ke dalam
tubuh bocahku. Dia kelihatan panik memandangi aku yang terbang jumpalitan.
Aku bener-bener gembira. Tak pernah aku segembira ini. Emang nyenengin kok
jadi kupu-kupu.
Aku terus terbang dengan riang

5.
TUBUHKU perlahan-lahan berubah, dan mulai bergetaran keluar selongsong
kepompong. Kemudian kudengar gema bermacam suara yang samar-samar,
seakan-akan menghantarkan kepadaku cahaya pertama kehidupan yang
berkilauan. Dan aku pun seketika terpesona melihat dunia untuk pertama
kalinya, terpesona oleh keelokan tubuhku yang telah berubah. Itulah yang dulu
aku rasakan, ketika aku berubah dari seekor ulat menjadi kupu-kupu. Dan kini
aku merasakan keterpesonaan yang sama, ketika aku mendapati diriku sudah
menjelma seorang bocah. Bahkan, saat ini, aku merasakan kebahagiaan yang
lebih meruah dan bergairah.
Aku pernah mengalami bagaimana rasanya bermetamorfosa, karena itu aku bisa
menahan diri untuk lebih menghayati setiap denyut setiap degup yang menandai
perubahan tubuhku. Aku merasakan ada suara yang begitu riang mengalir dalam
aliran darahku, seperti berasal dari jiwaku yang penuh tawa kanak-kanak. Aku
ingin melonjak terbang karena begitu gembira. Tapi tubuhku terasa berat, dan
aku ingat: aku kini tak lagi punya sayap.
Lalu kulihat bocah itu, yang telah berubah menjadi kupu-kupu, terbang begitu
riang hingga nyaris menabrak ranting pepohonan. Aku berteriak mengingatkan,
tetapi bocah itu nampaknya terlalu girang dalam tubuh barunya. Dia pasti begitu
bahagia, sebagaimana kini aku berbahagia.
Kusaksikan bocah itu terbang riang mengitari taman, kemudian hilang dari
pandangan. Aku pun segera melenggang sembari bersiul-siul. Tapi aku langsung
kaget ketika seorang penjaga taman menghardikku, "Hai!! Keluar kamu bangsat
cilik!" Kulihat penjaga taman itu mengacungkan pemukul kayu ke arahku. Segera
aku kabur keluar taman.

6.
KETIKA bocah yang telah berubah menjadi kupu-kupu itu terbang melintasi
etalase pertokoan, ia bisa melihat bayangan tubuhnya bagai mengambang di
kaca, dan ia memuji penampilannya yang penuh warna. Sayapnya hijau
kekuning-kuningan dengan garis hitam melengkung di bagian tengahnya.
Rasanya seperti pangeran kecil berjubah indah.
Tapi segera ia menjadi gugup di tengah lalu lalang orang-orang yang bergegas.
Bising lalu lintas membuatnya cemas. Puluhan sepeda motor dan mobil-mobil
mendengung-dengung mirip serangga-serangga raksasa yang siap melahapnya.
Ia gemetar, tak berani menyeberang jalan. Dari kejauhan ia melihat truk yang
menderu bagai burung pelatuk yang siap mematuk. Tiba-tiba ia menyadari,
betapa mengerikannya kota ini buat seekor kupu-kupu sekecil dirinya. Sungguh,
kota ini dibangun bukan untuk kupu-kupu sepertiku. Ia merasakan dirinya
begitu rapuh di tengah kota yang semerawut dan bergemuruh. Gedung-gedung
jadi terlihat lebih besar dan begitu menjulang dalam pandangannya. Tiang-tiang
dan bentangan kawat-kawat tampak seperti perangkap yang siap menjerat
dirinya. Semua itu benar-benar tak pernah terbayangkan olehnya. Ketika ia
sampai dekat stasiun kereta, ia menyaksikan trem-trem yang berkelonengan
bagaikan sekawanan ular naga dengan mahkota berlonceng terpasang di atas
kepala mereka. Sekawanan ular naga yang menjadi kian mengerikan ketika
malam tiba. Ia menyaksikan orang-orang yang keluar masuk perut naga itu,
seperti mangsa yang dihisap dan dikeluarkan dari dalam perutnya
Ia begitu gemetar menyaksikan itu semua, dan buru-buru ingin pergi. Ia ingin
kembali ke taman itu. Ia ingin segera kembali menjadi seorang bocah.

7.
SEMENTARA itu, kupu-kupu yang telah berubah jadi bocah seharian berjalan-
jalan keliling kota. Lari-lari kecil keluar masuk gang. Main sepak bola.
Bergelantungan naik angkot. Kejar-kejaran di atas atap kereta yang melaju
membelah kota. Rame-rame makan bakso. Ia begitu senang karena bisa
melakukan banyak hal yang tak pernah ia lakukan ketika dirinya masih berupa
seekor kupu-kupu.
Tengah malam ia pulang dengan perasaan riang, sembari membayangkan rumah
yang bersih dan tenang. Hmm, akhirnya aku bisa merasakan bagaimana enaknya
tidur dalam sebuah rumah. Selama ini ia hanya tidur di bawah naungan daun,
kedinginan didera angin malam. Rasanya ia ingin segera menghirup semua
ketenangan yang dibayangkannya.
Tapi begitu ia masuk rumah, langsung ada yang membentak, "Dari mana saja
kamu!" Ia lihat seorang laki-laki yang menatap nanar ke arahnya. Ia langsung
mengkerut. Ia tak pernah membayangkan akan menghadapi suasana seperti ini.
"Brengsek! Ditanya diam saja," laki-laki itu kembali membentak, mulutnya
sengak bau tuak. Inikah ayah bocah itu? Ia ingat, bocah itu pernah bercerita
tentang bapaknya yang seharian terus mabuk dan suka memukulinya. Ia
merasakan ketakutan yang luar biasa ketika laki-laki itu mencekik lehernya.
"Uang!" bentak laki-laki itu, "Mana uangnya?! Brengsek! Berapa kali aku bilang,
kamu jangan pulang kalau nggak bawa uang!"
Ia meronta berusaha melepaskan diri, membuat laki-laki itu bertambah marah
dan kalap. Ia rasakan tamparan keras berkali-kali. Ia rasakan perih di kulit
kepalanya ketika rambutnya ditarik dan dijambak, lantas kepalanya dibentur-
benturkan ke dinding. Ia merasakan cairan kental panas meleleh keluar dari
liang telinganya. Kemudian perlahan-lahan ia merasakan ada kegelapan melilit
tubuhnya, seakan-akan membungkus dirinya sebagai kepompong. Ia rasakan
sakit yang bertubi-tubi menyodok ulu hati. Membuatnya muntah. Saat itulah
bayangan bocah itu melintas, dan ia merasa begitu marah. Kenapa dia tak pernah
cerita kalau bapaknya suka menghajar begini? Ia megap-megap gelagapan ketika
kepalanya berulang-ulang dibenamkan ke bak mandi

8.
UDAH hampir seharian aku nunggu. Kok dia belum muncul juga ya? Aku mulai
bosen jadi kupu-kupu begini. Cuma terbang berputar-putar di taman. Habis, aku
takut terbang jauh sampai ke jalan raya kayak kemarin sih! Takut ketubruk, dan
sayap-sayapku remuk. Padahal sebelum jadi kupu-kupu, aku paling berani
nerobos jalan. Aku juga bisa berenang, dan menyelam sampai dasar sungai
ngerukin pasir. Sekarang, aku cuman terbang, terus-terusan terbang. Nyenengin
sih bisa terbang, tapi lama-lama bosen juga. Apalagi kalau cuman berputar-putar
di taman ini.
Cukup deh aku ngrasain jadi kupu-kupu gini. Banyak susahnya. Apa karna aku
nggak terbiasa jadi kupu-kupu ya? Semaleman ajah aku kedinginan. Tidur di
ranting yang terus goyang-goyang kena angin, kayak ada gempa bumi ajah. Aku
ngeri ngeliat kelelawar nyambar-nyambar. Ngeri, karena aku ngerasa enggak bisa
membela diri. Waktu jadi bocah aku berani berkelahi kalau ada yang ngancem
atau ganggu aku. Sekarang, sebagai kupu-kupu, aku jadi ngerasa gampang
kalahan. Nggak bisa jadi jagoan! Karna itu aku ingin cepet-cepet berhenti jadi
kupu-kupu...
Nggak bisa deh kalau hanya nunggu-nunggu begini. Gelisah tau! Kan kemarin dia
janji, hanya mau tukar sebentar. Apa dia keenakan jadi aku, ya? Jangan-jangan
dia lagi rame-rame ngelem ama kawan-kawannku. Atau dia lagi didamprat ayah?
Ah, moga-moga ajah tidak. Tapi ngapain sampai gini hari belum datang juga?
Terus terang aku udah cemas. Aku mesti ketemu dia. Aku nggak mau terus-
terusan jadi kupu-kupu gini.
Baiklah, daripada cemas gini, mendingan aku nyusul dia. Apa dia pulang ke
rumahku ya? Aku mesti nyari dia, ah!

9.
IA mendapati kemurungan di sekitar rumahnya. Bocah yang telah menjadi kupu-
kupu itu bisa merasakan indera kupu-kupunya menangkap kelebat firasat,
sebagaimana indera serangga bila merasakan bahaya. Ia mencium bau kematian,
bagaikan bau nektar yang menguar. Dan ia bergegas terbang masuk rumah. Ia
tercekat mendapati tubuh bocah itu terbujur di ruang tamu. Memar lebam
membiru, mengingatkannya pada rona bunga bakung layu. Apa yang terjadi?
Alangkah menyedihkan melihat jazad sendiri. Segalanya terasa mengendap
pelan, namun menenggelamkan. Ia terbang berkelebat mendekati para
tetangganya yang duduk-duduk bercakap-cakap pelan. Kemudian ia mencoba
mengajak para tetangga itu bercakap-cakap dengan isyarat kepakan sayapnya.
Tapi tak ada yang memahami isyaratnya. Tentu saja mereka tak tahu bagaimana
caranya berbicara pada seekor kupu-kupu sepertiku! Dan ia merasa kian
ditangkup sunyi, terbang berputar-putar di atas jazadnya. Ia merasakan duka itu,
melepuh dalam mata yang terkatup. Sepasang kelopak mata yang membiru itu
terlihat seperti sepasang sayap kupu-kupu yang melepuh rapuh. Ia terbang
merendah, dan mencium kening jazad itu. Saat itulah ia mendengar percakapan
beberapa pelayat.
"Lihat kupu-kupu itu"
"Aneh, baru kali ini aku melihat kupu-kupu hinggap di kening orang mati."
"Kupu-kupu itu seperti menciumnya"
"Mungkin kupu-kupu itu tengah bercakap-cakap dengan roh yang barusan keluar
dari tubuh bocah itu."
Bocah yang telah berubah menjadi kupu-kupu itu kemudian terbang keluar
ruangan, dan orang-orang yang melihatnya seperti menyaksikan roh yang tengah
terbang keluar rumah. Tapi ke mana roh kupu-kupu itu? Ia tak tahu ke mana roh
kupu-kupu itu pergi. Apa sudah langsung terbang membumbung ke langit sana?
Apakah kalau kupu-kupu mati juga masuk surga?
Di surga, aku harap roh kupu-kupu itu bertemu ibuku. Aku ingin dia bercerita
pada ibuku, bagaimana kini aku telah menjadi seekor kupu-kupu yang terus-
menerus dirundung rindu. Semua kejadian berlangsung bagaikan bayang-bayang
yang dengan gampang memudar namun terus-menerus membuatku gemetar.
Bunga-bunga mekar dan layu, sementara aku masih saja selalu merasa perih
setiap mengingat kematian kupu-kupu yang menjelma jadi diriku itu. Kuharap
bapak membusuk di penjara. Aku terbang, terus terbang, berusaha meneduhkan
kerisauanku. Aku ingin terbang menyelusup ke mimpi setiap orang, agar mereka
bisa mengerti kerinduan seorang bocah yang berubah menjadi kupu-kupu.
Dapatkah engkau merasakan kesepian seorang bocah yang berubah menjadi
kupu-kupu seperti aku?
Aku terbang mencari taman yang dapat menentramkanku. Aku terbang
mengitari taman-taman rumah yang menarik perhatianku. Aku suka bertandang
ke rumah-rumah yang penuh keriangan kanak-kanak. Keriangan seperti itu
selalu mengingatkan pada seluruh kisah dan mimpi-mimpiku. Aku suka melihat
anak-anak itu tertawa. Aku suka terbang berkitaran di dekat jendela kamar tidur
mereka.
Seperti pagi ini. Dari jendela yang hordennya separuh terbuka, aku menyaksikan
bocah perempuan yang masih tertidur pulas. Kamar itu terang, dan cahaya pagi
membuatnya terasa lebih tenang. Sudah sejak beberapa hari lalu aku
memperhatikan bocah perempuan itu. Dari luar jendela, dia terlihat seperti peri
cilik cantik yang terkurung dalam kotak kaca. Aku terbang menabrak-nabrak
kaca jendelanya. Aku ingin masuk ke dalam kamar bocah perempuan itu. Betapa
aku ingin menyelusup ke dalam mimpinya

10.
HANGAT pagi mulai terasa menguap di horden jendela yang setengah terbuka,
tetapi kamar berpendingin udara itu tetap terasa sejuk. Bocah perempuan itu
masih meringkuk dalam selimut. Sebentar ia menggeliat, dan teringat kalau hari
ini Mamanya akan mengajak jalan-jalan. Karena itu, meski masih malas, bocah
perempuan itu segera bangun, dan ia terpesona menatap cahaya bening matahari
di jendela. Seperti sepotong roti panggang yang masih panas diolesi mentega,
cahaya matahari itu bagaikan meleleh di atas karpet kamarnya. Cuping hidung
bocah itu kembang-kempis, seakan ingin menghirup aroma pagi yang harum dan
hangat.
Di luar jendela, dilihatnya seekor kupu-kupu tengah terbang menabrak-nabrak
kaca jendela, seperti ingin masuk ke dalam kamarnya. Segera ia mendekati
jendela. Ia pandangi kupu-kupu itu. Sayapnya, hijau kekuning-kuningan,
bergaris hitam melengkung di tengah-tengahnya. Seperti kupu-kupu dalam
mimpiku semalam, gumam bocah perempuan itu. Lalu ia ingat mimpinya
semalam: ia bertemu seorang bocah yang telah menjelma kupu-kupu. Terus ia
pandangi kupu-kupu itu. Kayaknya kupu-kupu itu yang semalam muncul dalam
mimpiku? Jangan-jangan itu memang kupu-kupu yang semalam meloncat keluar
mimpiku? Bocah perempuan itu ingin membuka jendela. Tapi jendela itu penuh
teralis besi. Lagi pula daun jendelanya dikunci mati, karena orang tuanya takut
pencuri. Bocah perempuan itu hanya bisa memandangi kupu-kupu yang terus
terbang menabrak-nabrak kaca jendela
Pintu kamar terbuka, muncul Mamanya yang langsung terkejut mendapati
anaknya tengah berdiri gelisah memandangi jendela. "Kenapa?" tanya Mama
sambil memeluk putrinya dari belakang, berharap pelukannya akan membuat
putrinya tenang.
"Kasihan kupu-kupu itu, Mama"
"Kenapa kupu-kupu itu?"
"Aku ingin kenal kupu-kupu itu."
"Kamu ingin tahu kupu-kupu? Kamu suka kupu-kupu?"
Bocah perempuan itu mengangguk.
"Kalau gitu cepet mandi, ya. Biar kita bisa cepet jalan-jalan. Nanti habis Mama ke
salon kita mampir ke toko buku, beli buku tentang kupu-kupu. Kamu boleh pilih
sebanyak-banyaknya Atau kamu pingin ke McDonald dulu?"
Bocah perempuan itu menatap ibunya. Ia ingin mengatakan sesuatu. Ingin
bercerita soal mimpinya semalam. Ingin mengatakan kenapa ia suka pada kupu-
kupu di luar itu. Ia ingin menceritakan apa yang dirasakannya, tapi tak tahu
bagaimana cara mengatakan pada Mamanya.
Setelah lama terdiam, baru bocah itu berkata, "Gimana ya, Ma kalau suatu hari
nanti aku menjadi kupu-kupu?"
Mamanya hanya tersenyum. Sementara kupu-kupu di luar jendela itu terus-
menerus terbang menabrak-nabrak jendela, seperti bersikeras hendak masuk
dan ingin menjawab pertanyaan bocah perempuan itu.

11.
PERNAHKAH suatu pagi engkau menyaksikan seekor kupu-kupu bertandang ke
rumahmu? Saat itu engkau barangkali tengah sarapan pagi. Engkau tersenyum
ke arah anakmu yang berwajah cerah, seakan-akan masih ada sisa mimpi indah
yang membuat pipi anakmu merona merah. Engkau segera bangkit ketika
mendengar anakmu berteriak renyah, "Papa, lihat ada kupu-kupu!"
Dan engkau melihat kupu-kupu bersayap hijau kekuning-kuningan dengan garis
hitam melengkung di bagian tengahnya sedang terbang berputar-putar gelisah di
depan pintu rumahmu. Kupu-kupu itu terlihat ragu-ragu ingin masuk ke
rumahmu. Apakah yang melintas dalam benakmu, ketika engkau melihat kupu-
kupu itu?
Kuharap, pada saat-saat seperti itu, engkau terkenang akan aku: seorang bocah
yang telah berubah menjadi seekor kupu-kupu

Surabaya-Yogyakarta, 2004

*) Agus Noor, buku terbarunya Rendezvous (Kisah Cinta yang Tak setia), 2004.
Tinggal di Jogjakarta.

posted by imponk | 9:24:00 PM


TUESDAY, JUNE 21, 2005
Ninochka
Cerpen Anton Chekhov

PINTU terbuka perlahan dan Pavel Sergeyevich Vikhlyenev, sahabat lamaku,


muncul dari balik pintu. Meski masih muda ia penyakitan, terlihat tua, ditambah
perawakannya yang berbahu tegap, kurus kering dengan hidung panjangnya.
Benar-benar sosok yang tidak menarik! Namun, di sisi lain ia memiliki wajah
yang ramah, lembut, juga tegas. Setiap kau memandang wajahnya kau akan
berkeinginan untuk meraba dengan jari-jarimu, merasakan dengan sungguh-
sungguh kehangatan yang dimilikinya. Seperti umumnya kutu buku, temanku
dikenal sebagai orang yang pendiam, kalem, dan pemalu. Ditambah lagi saat ini
wajahnya terlihat agak pucat dan sangat gelisah tak seperti biasanya.

"Ada apa denganmu, teman?" tanyaku sambil melirik wajahnya yang pucat dan
bibirnya yang gemetar. "Kau sedang sakit atau ada masalah lagi dengan istrimu?
Kau tak terlihat seperti biasanya!"
Dengan sedikit ragu Vikhlyenev mendehem dan dengan sikap putus asa ia mulai
bercerita, "Ya, dengan Ninochka lagi. Aku sangat gelisah, tak bisa tidur
semalaman, dan seperti yang kau lihat aku bagaikan mayat hidup. Kurang ajar,
orang-orang bisa saja tak terganggu dengan masalah ini. Mereka menganggap
enteng rasa sakit, kehilangan seseorang, dan terluka. Namun, hal sepele ini bisa
membuatku kecewa dan tertekan."

"Tetapi, ada apa?"


"Sebenarnya hal yang sepele. Drama dalam sebuah keluarga. Namun, akan
kuceritakan semuanya kalau kau berkenan untuk mendengarkannya. Kemarin
Ninochka tak pergi keluar seperti biasanya. Ia merencanakan untuk
menghabiskan sore bersamaku dengan tinggal di rumah. Tentu saja aku sangat
bahagia. Dia selalu keluar untuk menjumpai seseorang, dan sejak itu aku selalu
berada di rumah sendirian setiap malam. Kau bisa bayangkan betapa...yah
gembiranya aku saat itu. Namun, kau belum menikah. Jadi, kau belum bisa
merasakan betapa hangat dan menyenangkan ketika kau pulang bekerja dan
menemukanah istrimu sedang menunggu di rumah!"

Temanku, Vikhlyenev, memaparkan kehidupan pernikahan yang menyenangkan.


Lalu ia menyeka keringat di dahinya dan kembali bercerita.

"Ninochka mengira akan menyenangkan menghabiskan malam bersamaku. Ya,


kau tahu bukan, bahwa aku adalah orang yang sangat membosankan dan jauh
dari cerdas. Takkan menyenangkan untuk jalan bersamaku. Aku selalu bersama
dengan kertas-kertas kerja dan asap rokok. Aku bahkan tak pernah bermain
keluar, berdansa, atau berkelakar. Dan kau pasti tahu benar bahwa Ninochka
adalah orang yang menyenangkan. Juga masih sangat berjiwa muda. Bukankah
begitu?

Ya, ah aku mulai menunjukkan hal-hal kecil, foto-foto serta hal lainnya. Aku juga
menceritakan beberapa ceritadan tiba-tiba aku teringat surat-surat yang aku
simpan lama di mejaku. Beberapa surat tersebut isinya sangat lucu. Waktu aku
masih sekolah aku punya teman yang pandai menulis surat. Jika kau
membacanya maka perutmu pasti sakit karena tertawa terbahak-bahak! Kuambil
surat itu dari dalam meja dan mulai membaca satu per satu untuk Ninochka.
Pertama, kedua, ketiga, dan semuanya berantakan. Hanya karena satu surat di
mana ia membaca kalimat "salam manis dari Katya". Istriku yang cemburu itu
kalimat-kalimatnya seperti pisau yang tajam dan Ninochka seperti Othello dalam
pakaian wanita!

Pertanyaan-pertanyaan yang tak menyenangkan memenuhi kepalaku: siapa


Katya, bagaimana dan mengapa, kucoba terangkan pada Ninochka bahwa dia
adalah masa laluku, cinta pertama pada masa mudaku, sangat mustahil melekat
di ingatanku karena tak ada yang penting untuk diingat. Setiap orang di masa
mudanya memiliki seorang "Katya". Itu kataku mencoba menjelaskan pada
Ninochka dan sangat mustahil jika seseorang tak memilikinya. Namun, Ninochka
sama sekali tak mau mendengarkan. Ia membayangkan yang tidak-tidak! Dan
mulai menangis dengan histeris.

Kau sangat jahat! ia menjerit, Kau menyembunyikan masa lalumu padaku!


Mungkin saja kau juga memiliki seseorang seperti Katya saat ini dan kau
menyembunyikannya padaku! Aku coba dan terus mencoba meyakinkan
padanya, namun ia sama sekali tak mendengar. Logika laki-laki memang tak
akan berguna untuk seorang wanita. Akhirnya aku berlutut memohon maaf. Aku
membungkuk dan kau tahu yang dia lakukan? Ia pergi ke kamar dan
membiarkanku di sofa ruang kerja. Pagi itu ia sinis padaku, tak mau melihatku
dan bicara seakan aku ini orang asing. Dia mengancam akan pulang ke rumah
ibunya dan aku yakin dia akan melakukannya. Aku tahu dia!"

"Oh, bukan cerita yang menyenangkan."


"Wanita memang tak bisa dimengerti, ya. Ninochka masih muda, masih hijau,
dan sensitif. Tak bisa dikejutkan oleh sesuatu yang meskipun sangat sederhana.
Begitu sulitkah memaafkan meski aku telah sangat memohon, aku telah berlutut
padanya, bahkan aku menangis!"

"Ya, ya, wanita memang sebuah teka-teki yang sangat sulit!"


"Teman, kau punya pengaruh besar bagi Ninochka. Dia sangat menghormatimu.
Dia memandangmu sebagai orang yang berwibawa. Tolong, temuilah dia!
Gunakan pengaruhmu untuk mengatakan bahwa apa yang dipikirkannya itu
salah. Aku sangat menderita. Jika ini terus saja berlangsung aku tak tahu harus
berbuat apa lagi. Tolonglah!"
"Tapi, apakah ini tepat?"
"Mengapa tidak? Kau dan dia berteman sejak kecil. Dia percaya padamu. Sebagai
teman, tolonglah aku!"

Tangisan dan permohonan Vikhlyenev menyentuh hatiku. Dengan segera aku


berpakaian dan menemui istrinya. Kutemui Ninochka di tempat favoritnya:
duduk di sofa dengan kaki menyilang, mengedipkan matanya yang indah dan
sedang tidak melakukan apa-apa. Ketika aku datang ia segera meloncat dan
berlari padaku. Memperhatikan sekeliling, menutup pintu, dan dengan gembira
memeluk leherku. (Pembaca, tentu saja ini tidak salah ketik. Dalam setahun ini,
aku telah berhubungan intim dengan istri Vikhleyenev).

"Pikiran jahat apa yang ada dalam pikiranmu sekarang?" tanyaku sembari
mendudukkan Ninochka di dekatku.
"Apa maksudmu?"

"Lagi-lagi kau menyiksa suamimu. Ia datang padaku dan menceritakan


semuanya."
"Oh rupanya dia menemukan orang untuk mengadu!"

"Apa yang sebenarnya terjadi?"


"Ah, tidak begitu penting. Aku sedang bosan semalam dan merasa kesal karena
tak tahu harus pergi ke mana. Karena rasa jengkel aku mulai meracau tentang
Katya. Aku mulai menangis karena rasa bosan, jadi bagaimana aku bisa
menjelaskan kepadanya?"

"Tapi, kau tahu sayang. Itu sangat jahat dan tidak manusiawi. Dia sangat takut
dan terganggu dengan ulahmu."
"Ah, itu hal yang sepele. Dia sangat suka ketika aku berpura-pura cemburu, tak
ada yang lebih bagus selain berakting cemburu. Tapi, sudahlah! Lupakan saja.
Aku tidak suka kita membicarakan hal ini, aku sudah menyerah. Kau mau minum
teh?"

"Tapi sayang, berhentilah menyiksa dia. Kau tahu bukankah dia terlihat sangat
menyedihkan. Dia menceritakan semuanya padaku, bahwa dia benar-benar jatuh
cinta padamu dan itu sangat tidak mengenakkan. Kontrol dirimu! Tunjukkan
kasih sayangmu. Satu kalimat omong kosong akan membuatnya sangat bahagia."

Ninochka cemberut dan merengut, namun beberapa saat ketika Vikhleyenev


datang dengan keraguan yang tergambar jelas di mukanya, Ninochka tersenyum
dan menunjukkan kasih sayang padanya.

"Kau datang di saat yang tepat, waktunya minum teh," ujar Ninochka pada
suaminya, "Pintar sekali kamu sayang. Tak pernah datang terlambat. Kau mau
dengan jeruk atau susu?"

Vikhleyenev yang tak mengira akan disambut seperti itu, perlahan-lahan


mendekati istrinya. Mencium tangan Ninochka dengan hangat serta
merangkulku. Pelukan yang aneh dan sangat cepat, membuat aku dan Ninochka
menjadi malu.

"Berkatilah sang pencipta kedamaian!" teriak sang suami yang bahagia. "Kau
telah membuat ia mau mengerti. Mengapa? Karena kau memang laki-laki sejati.
Bisa bergaul dengan banyak orang dan kau tahu titik kelemahan wanita.
Hahahaaku bodoh sekali! Ketika hanya satu kata yang diperlukan, aku
menggunakan sepuluh kata. Ketika hanya harus mencium tangan istriku, aku
melakukan hal lain. Hahaha"

Setelah minum teh Vikhlyenev memintaku untuk ke kamar kerjanya. Menahanku


berbicara dan dengan suara lirih ia berucap, "Aku tak tahu bagaimana berterima
kasih padamu, teman. Aku sangat menderita dan tersiksa. Namun, kini aku luar
biasa bahagia, dan ini bukan pertama kalinya kau menolongku dari masalah yang
mengerikan. Teman, kumohon jangan menolak jika aku ingin memberimuini!
Lokomotif mini yang kubuat sendiri, aku mendapatkan penghargaan atas
penemuan ini. Ambillah sebagai rasa terima kasihku, juga sebagai tanda
pertemanan kita. Terimalah demi aku!"

Dengan berbagai cara aku menolak pemberian tersebut, namun Vikhlyenev


terus-menerus memaksaku. Mau tidak mau aku harus menerima hadiah yang
sangat berharga itu.

Hari, minggu, bulan pun berlalu. Cepat atau lambat keburukan akan tersingkap
dan diketahui olehnya. Ketika tanpa sengaja Vikhlyenev tahu akan semua
kebenaran tentang aku dan istrinya ia sangat terkejut, pucat, terduduk di sofa
dengan pandangan kosong ke langit-langit tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ekspresi sakit hati diungkapkannya dengan bahasa tubuh. Ia berpindah dari satu
sofa ke sofa lain dengan perasaan yang sangat menderita sekali. Gerak-geriknya
dipengaruhi oleh kesedihan.

Seminggu kemudian, setelah menenangkan pikiran karena berita yang amat


mengejutkan tersebut, Vikhlyenev datang menemuiku. Kami berdua saling
menghindar dan jengah. Aku mencoba berceloteh tentang kebebasan cinta,
egoisme hubungan perkawinan, dan takdir yang tak bisa dielakkan.

"Bukan itu yang ingin kubicarakan," katanya memotong, "Tentang hal itu aku
sangat mengerti. Membicarakan perasaan siapa pun tak bisa disalahkan. Yang
aku khawatirkan adalah hal lain. Hal yang sebenarnya tak berarti. Kau tahu
sendiri, aku sama sekali tak mengerti tentang hidup, di mana kehidupan yang
sebenarnya, dan kebiasaan masyarakat yang harus diperhatikan, misalnya. Aku
orang yang benar-benar belum berpengalaman. Jadi, tolonglah teman! Katakan
padaku apa yang harus dilakukan Ninochka sekarang? Tinggal bersamaku atau
dia harus pindah bersamamu?"

Dengan kepala dingin kami membicarakan hal tersebut dan akhirnya kami
menemukan jalan tengah. Ninochka tetap tinggal bersama suaminya, dan aku
bisa menemuinya kapan pun. Karenanya, ia memakai kamar yang ada di pojok
yang dulunya adalah gudang. Kamar itu agak gelap dan lembab, pintu kamarnya
berhubungan langsung dengan dapur. Namun, pada akhirnya Vikhlyenev
menembak dirinya sendiri tanpa menyusahkan orang lain. ***
1885
(Diterjemahkan oleh Nunung Deni Puspitasari dari Anton Chekhov Selected
Stories, The New American Library of World Literature, Second Printing,
August 1963)

posted by imponk | 3:01:00 AM


SUNDAY, MARCH 13, 2005
RAH-KANG RI
Cerpen Budi Palopo
SENJA telah jatuh. Warna langit di barat Kampung Negariki telah berubah.
Kuning keemasan yang tadinya terlihat cerah, berganti dominasi warna merah.
Tapi, sejumlah anak lelaki telanjang dada itu masih juga tampak asyik bermain
tembak-tembakan.

"Dor? Dor?Dor?!"
Pelepah daun pisang yang dijadikan senjata api laras panjang dibidikkan
berulang-ulang. Yang kena tembak harus mati, kendati tak lama kemudian boleh
hidup lagi. Ada yang tiarap. Ada yang bersembunyi. Ada yang berlari-lari.

Saat itu, di pojok luar rumah, Rah pun masih juga tampak asyik mengelus-elus
sepatu kumal yang tergeletak di dekat tempat sampah. Entah itu sepatu lars milik
siapa. Tak jelas pula siapa yang pertamakali memakainya. Yang pasti, sepatu
kotor itu tak bertali. Tanpa pasangan, hanya tinggal yang sebelah kiri.
***
HAMPIR setiap hari Rah berusaha membersihkan kotoran yang melekat pada
sepatu kulit itu, dengan cara merendamnya di bak mandi. Tapi, sepatu lars kumal
itu tetap saja tak bersih. Baunya tetap saja tak sedap. Sampai-sampai, hanya
untuk menghilangkan bau, Ning Tin --ibu Rah-- perlu menjemurnya hingga
berhari-hari. Sayangnya, setelah kering, Rah kembali membasahinya. Setiap
mandi, Rah pun selalu memandikannya pula. Alasannya, biar bersih. Tapi, sekali
lagi, sepatu lars tak berlidah itu tetap saja tak bersih. Bahkan, baunya kian
menyengat.

Kalau saja tumbuh sebagai manusia normal, dalam usia yang telah meninggalkan
angka belasan tahun, Rah tentunya lebih gandrung bermain cinta daripada
berakrab-akrab dengan barang rongsokan yang tak layak pakai itu. Kini, di
Kampung Negariki, gadis-gadis seusia Rah toh nyaris semua telah hidup
berpasang-pasangan. Bahkan tak sedikit yang telah berstatus janda muda.

Sayangnya, Rah bukanlah gadis normal. Soal wajah, sepintas memang masih
menarik, kendati tak bisa dibilang cantik. Terutama kalau gerai rambutnya diatur
menutupi bagian telinga. Sebab, selain buah dadanya tak menyembul, Rah
ternyata tak memiliki daun telinga

Pendek kata, kondisi fisik maupun mental Rah tergolong cacat berat. Nyaris tak
pernah mau bicara. Kalau toh ada suara yang bisa dilontarkannya, itu pun tak
lebih dari kata-kata umpatan: "bangsat?!" Tersenyum, kalau ingin menunjukkan
suasana hati senang. Tertawa-tawa kalau sekiranya ada hal yang dianggapnya
lucu dan patut ditertawakan. Selebihnya, diam.

Rah gadis ideot? Sepertinya memang begitu. Tapi, nanti dulu. Ketika masih
diperbolehkan bersekolah dasar, Rah ternyata pernah menunjukkan diri sebagai
anak yang normal dan cerdas. Ia selalu jadi bintang saat kelas I dan II. Rah selalu
menempati ranking pertama. Sayangnya, ketika ia kelas III, pendidikan formal
itu harus berakhir dengan tragis.
***
PAGI itu, langit tak lagi mendung. Dari rumah seorang tetangga yang sedang
berhajat mengkhitan anaknya, terdengar lagu berirama langgam yang
tersuarakan lewat tape recorder. Lirik lagu berbahasa Jawa itu pun cukup
menyentuh: "?golekan, kae golekane sapa. Yen sira tansah dadi golek-golekan,
ingsun mengko entek mimis pira?"(1)

Di tempat pejagalan samping rumah, Kang Ri sedang sibuk menguliti seekor sapi
yang baru saja disembelihnya. Tampak serius, dan menegangkan. Tanpa nyanyi.
Tanpa cengkerama. Saat itulah, di dekat Kang Ri kerja, Rah bermain anak-
anakan. Boneka plastik yang dimilikinya, dikudang-kudang, di-emban-ayun-kan,
dan diajarinya untuk bisa bicara dengan bahasa manusia.

"Rah? minggir?!" bentak Kang Ri, merasa terganggu.


Entah kenapa, Rah seakan tak mendengar perintah Kang Ri yang dipanggilnya
"bapak" itu. Akibatnya, Rah kena marah. Boneka yang tengah dipeluknya
mendadak direbut Kang Ri, lalu dibuangnya.

Rah kaget. Dengan tangis tertahan, ia segera memburu boneka kesayangannya.


Tapi, bocah tak beralas kaki itu pun mendadak ragu. Kendati air matanya
menetes-netes, Rah sepertinya tak berani lagi menyentuh boneka
kesayangannya. Ia memilih sikap menggores-gores tanah dengan sebilah tatal
kayu, di sekitar tubuh boneka berlumur darah, yang tergeletak di pelataran
rumah. Ia seakan membuat tengara kesedihan bergaris-garis tanpa aturan di
tanah pijakan, untuk mengenang boneka yang dianggapnya telah mati terbunuh.
Tak lama kemudian, Kang Ri yang jari-jari kedua tangannya masih belepotan
warna merah, datang menghardik. Rah diminta untuk segera masuk rumah.
Tapi, Rah menanggapinya dengan gelengan kepala. Rah menolak. Rah memilih
diam di tempat, untuk terus menggores-gores tanah di sekitar boneka dengan
sebilah tatal kayu yang dipegangnya.

Tanpa banyak kata-kata, lelaki bertubuh kekar itu lalu mencengkeram lengan kiri
Rah. Dan, tangis bocah perempuan berpita rambut merah itu pun meledak.
Menyayat, menjerit-jerit. Kendati demikian, Rah tetap diseret dan terus diseret-
seret. Rah dipaksa jauh meninggalkan boneka mainannya. Alasannya sederhana:
Rah harus mandi sembari menghapal teks Pancasila, sebelum pamit berangkat
sekolah dengan mencium tangan bapaknya.
***
ENTAH sudah berapa kali Rah kena gebuk Kang Ri. Yang jelas, Rah sering
menangis. Suatu hari, menjelang bulan Agustus, setelah melihat bendera merah-
putih berbagai ukuran diperjualbelikan di pinggir jalan, Rah juga menangis. Rah,
ketika itu digebuk Kang Ri lantaran memaksa minta dibelikan bendera baru.

"Rah, memang nakal. Bapaknya sudah punya bendera kok masih saja minta
dibelikan bendera lagi. Maunya sih ingin bendera sendiri, yang bisa dibawa
untuk karnaval di sekolah. Tapi untuk karnaval itu kan bisa dengan bendera
kertas. Bapaknya telah berjanji mau membuatkannya, tapi Rah menolak. Rah
minta dibelikan bendera sungguhan. Bendera kain. Lha itu kan, namanya
pemborosan," jelas Ning Tin pada seseorang yang berbasa-basi menanyakan soal
tangis Rah.

Rah nakal. Vonis itulah yang dijatuhkan ibunya sendiri. Ya, Rah nakal. Tepatnya,
dianggap nakal. Karena itulah, ia kena gebuk. Karena itulah, ia sering menangis.
Dan, pagi itu, setelah diseret-seret Kang Ri untuk meninggalkan boneka, tangis
Rah kembali terdengar menyayat. Di antara jerit tangisnya, dari kamar mandi,
terdengar pula suara Rah terbata-bata melafalkan teks Pancasila.

"Kang Ri memang keterlaluan kok," aku Ning Tin pada orang lainnya. "Wataknya
kaku. Apa maunya harus dituruti. Kang Ri itu nggak mau dibantah. Sementara
Rah sendiri ya ndablek. Seringkali nggak pedulikan omongan bapaknya,"
jelasnya.
Kang Ri wataknya memang kasar. Juga tergolong pemberang. Tukang jagal sapi
satu-satunya yang ada di Kampung Negariki itu sering marah-marah. Dan, kalau
sudah marah, orang-orang di dekatnya nyaris tak ada yang berani membuka
mulut. Istrinya, kemenakannya, juga semua pembantu kerja penjagalannya,
terpaksa diam. Tak ada yang berani memotong kalimat omelannya. Jika ada yang
berani menyela kata, bisa dipastikan semua barang di dekatnya hancur
berantakan.

Menurut Ning Tin, Kang Ri itu punya penyakit dog-nyeng. Sebentar-sebentar


marah, sebentar itu pula ia kegetunen. Jelasnya, marah Kang Ri tak pernah
berlarut-larut. Setelah memuntahkan amarahnya, seringkali Kang Ri merasa
menyesali diri. Bahkan, seringkali pula, hal-hal yang menyulut kemarahannya
justru dijadikan bahan kelakar setelah ia tak marah lagi.

Pernah, dalam sebuah kesempatan ngobrol di pos jaga kampung, Kang Ri


bercerita sembari tertawa-tawa. Saat itu menyinggung soal Rah yang menolak
diciumnya. Alasan Rah, mulut Kang Ri bau. Dan, karena Rah tidak mau dicium,
Kang Ri marah-marah. Rah pun digebukinya. "Setelah saya pikir-pikir, ternyata
Rah benar. Mulut saya memang baunya amit-amit. Saya sendiri jijik. Tapi, istri
saya kok betah ya?" katanya penuh canda.

Persoalan yang menyulut amarah Kang Ri kadang memang terlalu sepele. Yang
terjadi pada pagi itu, misalnya. Hanya karena Rah bermain anak-anakan sembari
bernyanyi-nyanyi di dekatnya, Kang Ri marahnya bukan main. Celakanya,
peristiwa mengenaskan itu pun masih berlanjut.

Usai mandi, Rah ternyata kembali tertatih ke tengah pelataran. Bocah sekolah
dasar itu telah mengenakan rok seragam berwarna merah. Sepatu belum dipakai.
Baju putihnya belum juga dikancingkan. Ya, dengan dada sedikit terbuka, Rah
melangkah mendekati boneka kesayangannya yang masih tergeletak di pelataran
rumah. Sorot matanya memerah saga. Isak tangisnya masih tersisa.

"Rah?!"
Ning Tin memanggil-manggil. Tapi, Rah tak peduli. Ia seolah tak mendengarnya.
Rah tetap melangkah. Boneka yang berlumur darah sapi itu pun kembali
digendong dan dipeluknya.

"Rah?! Pakai sepatu dulu?!" pinta Ning Tin, setengah memperingatkan.

Dan, suara peringatan Ning Tin ternyata memancing perhatian Kang Ri.
Pandangnya seketika mengarah ke bocah yang tak beralas kaki itu. Melihat Rah
tak memedulikan suara panggilan ibunya, Kang Ri kembali beraksi. Lelaki
pemberang yang tengah sibuk memotong-motong daging sapi di pejagalan
samping rumah itu segera mendekati Rah. Tapi, entah kekuatan dendam macam
apa yang merasukinya, Rah menantang. Tanpa sepatah kata yang terlontar, Rah
cepat-cepat meraup segenggam batu kerikil pelataran untuk dilempar ke wajah
bapaknya.

Lalu, tangis Rah pun kembali meledak. Rah kembali digebuk. Rah kembali
dihajar. Rah diseret-seret hingga ke pojok rumah, dan kepalanya dibentur-
benturkan ke tempat sampah. Bahkan, sepatu lars hilang pasangan yang
tergeletak di dekat tempat sampah itu diangkat Kang Ri tinggi-tinggi, lalu
dihantamkan ke wajah Rah berkali-kali.

"Bangsat?! Aku ini bapakmu? bangsat! Berani-beraninya kamu melawan? hah!


Bangsat?! Bangsat?! Bangsat?!" umpat Kang Ri, sembari menendang-nendang
tubuh Rah. Dan, sejak itulah Rah dilarang main boneka. Rah dikurung. Dilarang
keluar rumah. Dilarang melanjutkan sekolah.

Bertahun kemudian, tahulah semua orang kampung. Ternyata, Rah tumbuh


sebagai gadis yang cacat berat. Tak punya buah dada, dan tanpa daun telinga.
Setelah dilarang Kang Ri main anak-anakan, Rah seolah kehilangan rasa cinta.
Setiap melihat boneka plastik yang berwajah bayi manusia, Rah segera
mengambil pisau dapur lalu berusaha menyembelihnya. Celakanya, sepatu lars
hilang pasangan, kumal dan berbau, yang pernah jadi alat penghantam
kepalanya itu, justru dianggapnya sebagai teman main yang menyenangkan.
Teman main yang patut digendong-gendong dan diemban-ayunkan.

Hampir setiap hari, Rah menghabiskan waktu di pojok rumah, dekat tempat
sampah, hanya untuk berakrab-akrab dengan sepatu lars yang dianggapnya
sebagai satu-satunya teman main. Dan, anehnya, jika ada seseorang yang
menyapa saat ia bermain, Rah buru-buru masuk rumah. Bersembunyi di balik
pintu, sembari mengintip-intip lewat celah dinding bambu. Setelah memastikan
si penyapa beranjak pergi, barulah Rah keluar untuk bermain lagi.
***
DAN, senja pun telah benar-benar jatuh. Warna langit di barat Kampung
Negariki kian memerah. Dari surau terdengar kumandang adzan. Tapi, anak-
anak lelaki yang telanjang dada itu masih saja ribut main tembak-tembakan. Di
tengah suasana permainan yang ribut itu, Rah ternyata masih juga tampak asyik
mengelus-elus sepatu lars kesayangannya.

"Rah?Rah?!"
Mendengar suara Ning Tin memanggil-manggil, Rah segera beranjak masuk
rumah. Namun, sebelum sampai pintu, ia ditabrak seorang anak lelaki yang
tengah berlari menghindari bidikan senapan. Rah jatuh, terjengkang di teras
rumahnya sendiri.

"Dor? dor? dor!" teriak seorang anak lelaki lainnya, sembari membidik-bidikkan
pelepah pisang yang dijadikan senjata.

"Pause?pause. Nggak bisa. Aku lagi tiarap, nggak bisa ditembak!"


"Ya nggak bisa begitu. Kamu kena tembak. Kamu harus mati. Kamu nggak tiarap,
tapi terjatuh karena menabrak Rah?.!"

Perang mulut pun terjadi. Dua anak lelaki yang tengah bermain tembak-
tembakan itu tak ada yang mau mengalah. Masing-masing punya alasan. Masing-
masing merasa benar. Mereka bahkan tak peduli pada Rah yang menjerit-jerit
kesakitan.

Sementara, di ruang tengah, Kang Ri berbaring lunglai di atas balai-balai bambu


bertikar pandan. Kang Ri jatuh sakit. Lima tahun sudah, tukang jagal sapi itu tak
bisa bicara. Kalau minta sesuatu pada Ning Tin ia hanya menuding-nuding
sembari mendesis, "oh? oh? oh" yang tak jelas artinya. Anehnya, sorot mata lelaki
berbibir sumbing itu masih juga tampak berapi. (*)

Catatan:
(1) Terjemahan bebasnya: ?boneka, boneka siapakah itu? Jika kau terus jadi
buronan, berapa butir peluru harus kuhabiskan?

posted by imponk | 6:55:00 AM


SUNDAY, DECEMBER 05, 2004
Perempuan Ditingkap Purnama
Cerpen Satmoko Budi Santoso

Bukankah sudah lama kita duga


di loteng ini tak ada surga
dan kau, aku, mereka, tak mencarinya *

1.
IA melirik ke dalam makam, begitu sampai di pintu keluar. Angin berkesiur,
meruapkan bebauan bunga kamboja. Cahaya petang berkeredap. Nisan yang ia
lirik dari kejauhan telah berganti nama dirinya. Ia lega. Sudah bertahun-tahun ia
tak menziarahi nisan itu, sampai ditandai dengan rambut yang memutih, bercak
recak pada pipi bulat-bulat menghitam, dan sorot mata yang dirasakannya
tambah merabun.

"Ada yang layak ditebus dalam perjalanan usia, tanpa berterus-terang," demikian
ia mengigau, begitu sampai di tepi persimpangan tiga danau, menyalakan obor,
kembali menaiki sampan. Tak boleh sampai gelap-pekat ia mesti tiba di tepi
seberang, tak alpa menyalakan lentera di dalam rumahnya yang kumuh,
berloteng penuh hilir-mudik keriut suara tikus.

Dulu, ia memang mengutuk diri sebagai perempuan laknat, karena setiap kali
hamil tua sengaja mandi di bawah bulan purnama, di pinggir sumur, di luar
kamar mandi. Orang-orang kampung di tempat bermukimnya tahu, jika ada
perempuan hamil tua yang mandi di bawah bulan purnama, pasti bakalan
kehilangan bayi. Setidaknya, bayi yang dilahirkan akan cacat. Pokoknya, siallah.
Namun, ia tak menggubris keyakinan itu, dan benarlah, tiga anaknya menjumpai
mala selama hidup. Anak pertama, lahir tanpa menangis, malah mendesis,
seperti ular. Tak sampai tali pusarnya putus, mati pula. Anak kedua, hanya
mampu hidup empat bulan, terserang diare dua minggu, dan menyusul mati
seperti kakaknya. Anak ketiga, tentu lebih mengerikan nasibnya, mati
mengenaskan dimakan buaya ketika sedang sendirian mandi di tepi danau. Agak
lumayan, waktu itu usianya sempat sampai sepuluh tahun.

2.
DI masa tua, seperti yang terlalui dalam hari-hari dua tahun terakhir ini,
kesibukannya yang rutin hanyalah keluar-masuk hutan, mencari kayu bakar dan
berkebun, di sepetak tanah belakang rumah. Ia menghindar dari keramaian
orang-orang kampung. Ia tak mau menghadiri acara apa pun yang digelar orang-
orang kampung di paseban. Bahkan, tempat bermukimnya pun ia pilih menjorok,
di dekat hutan. Bolehlah orang-orang kampung menyebut dirinya sebagai nenek
yang menyelimpang dari jalan yang lazim, paling tidak dari kewajaran hidup
sehari-hari.

Jangan tanya, tak pernah ada surat yang datang, yang dulu bisa sebulan sekali.
Entah dari kerabat, entah dari sanak-keluarga. Karena surat-surat yang datang
tak pernah dibalas, lumrahlah jika ia didiamkan saudara-saudaranya.

3.
PADA suatu malam, bulan purnama kembali bersinar. Cahayanya berkilau
memutih, seolah-olah memantul di kelengangan air danau, tempat anak
bungsunya dimakan buaya. Ia tepekur menatap danau, tanpa harus mengingat-
ingat kematian anaknya, yang tinggal kepalanya tersungkur di tepian, sempurna
dengan matanya yang melotot, mengalirkan sisa sembab air mata.

Aneh, ia malah bermain mata dengan buaya-buaya yang ada di danau itu. Ia
tahu, mata buaya akan menyala jika malam hari, seperti lampu neon sepuluh
watt. Tak sampai hitungan enam pasang, biji-biji mata buaya itu berjajar rapi.
Tentu, bukan salah satu dari buaya itu yang telah membunuh anaknya, karena
buaya yang membunuh anaknya sudah lama mati. Namun, memang buaya-buaya
itulah yang beranak-pinak, sengaja tak dibunuh meskipun mereka selalu sigap
membunuh.

Ia bersitatap dengan para buaya, di tepi danau yang elok indahnya. Dingin
merajam jangat kulit. Kalau siang sampai sore hari ia masihlah berani
menyeberangi danau itu, sekalipun ada buayanya. Ia merasa bisa menyiasati
buaya-buaya yang baginya tak begitu membahayakan. Tapi, kalau malam
telanjur menggelap-pekat, ia tak mau melawan kehendak alam. Ia sadar, pada
saat-saat tertentu alam bakalan keji. Tak terduga, tak tertebak.

4.
FOTO-FOTO anaknya begitu lucu, terutama yang bungsu. Berkalung tulang sapi
berbentuk tengkorak, berbaju kelombor tak pernah dikancingkan, bercelana
gombrong, demen membawa ketapel. Ia akan memandangi foto-foto itu kalau
pas kangen, di malam hari sebelum merebahkan diri, setelah berlama-lama
mengaca-wajah, mengurut pipi kanannya yang penuh recak, bekas luka akibat
ditampar dan dipukul ganas tangan lelaki. Sembari menyibakkan geraian rambut
ke kanan dan ke kiri, ia termangu, tanpa tersedu-sedan. Masih ada sisa kelucuan
yang menggerakkan kelenjar saraf ketuaannya, apalagi jika foto-foto yang ia lihat
pas anak bungsunya berkacak pinggang. Atau, ketika menenteng burung hasil
buruan dengan ketapel. Hmmm, seakan tak ada jarak dengan waktu yang silam,
karena kangen terlampau menunjam dada.

Ia mendesah, mengucek mata, mengantuk. Malam seperti kelebat malaikat


berjubah hitam. Lentera kamar ia matikan, ia tak dapat tidur tanpa kegelapan.

5.
ORANG-ORANG kampung pernah mau mengusirnya ketika ia dianggap sebagai
dukun, tersebab kebiasaannya tak mau bergaul. Rumahnya juga dianggap
sebagai maktab ilmu hitam, karena satu-dua orang asing entah dari kampung
mana sesekali bertamu. Hampir saja ia dan rumahnya dibakar, seandainya tak
bisa menjelaskan secara baik-baik tentang kebiasaannya. Untunglah, pada
akhirnya kecurigaan dan kemarahan orang-orang kampung mereda, bahkan
memaklumi. "Biarlah, ia uzur, siap berkalang tanah, bau kain warna ganih.
Sesuka hatilah ia gembira, sebagai bekal maut," demikian sesepuh kampung
berujar, bernilai jimat agar tak mengobarkan amarah.

Ia bersyukur. Tuhan berpihak kepada pendiriannya. Ia bersimpuh, tanpa harus


kerepotan berjalan tertatih, memasuki tempat ibadah.
6.
MALAM yang ke sekian. Bulan purnama gagal berkilau, terhalang mendung
semenjak sore. Purnama kesekian yang mengingatkannya pada ringis tangis
anak-anaknya yang memecah keheningan rumah. Purnama yang dulu selalu
ditandai lolong anjing yang memanjang, sebelum ia mandi tepat ketika
pergantian malam, pergantian hari.

Sesekali ia malah berdendang, jika mengingat semuanya yang telah berubah.


Dendang yang ia alunkan seirama seorang tua yang sedang menimang-nimang,
menidurkan anaknya sembari digendong. Ada saat-saat untuk menujah/ Jejak
tapak pada luka lama/ Kilah maksud teringinkan/ Pada rajam kecewa yang
menganga //

Bedanya, kini ia mendendangkan syair tersebut jika pas mengaca-wajah, seperti


malam itu, karena gagal mengharap purnama. Ah, sebentar lagi hujan...

7.
DINGIN njekut benar-benar mengabarkan hujan. Membasahi hutan, membasahi
tanah. Memperbanyak rawa, mengeruhkan danau. Ia cuma berharap, semogalah
hujan tak sampai pagi, bahkan siang hari. Semogalah hujan turun sebentar saja,
asal basahlah tanah, asal terguyurlah bumi. Kalau berlama-lama, pasti ia juga
yang kerepotan. Jalan ke hutan yang becek bakalan membuatnya terpeleset.

Begitu. Begitulah dari hari yang satu ke hari yang lain, semau-mau ia menapak.
Berkali-kali telah ia robek ingatan atas sosok seorang lelaki. Telanjur ia kutuk
sang lelaki dengan menyantet, kemampuan yang ia dapatkan ketika sebulan
pernah berguru kepada seorang kakek, dulu, pada suatu masa, di lereng sebuah
bukit. Jika tahan, karena kuat puasa mutih empat puluh hari empat puluh
malam, tentulah siapa pun dapat melihat benda-benda yang ia terbangkan untuk
menyantet. Paku payung, silet, gunting, maupun pisau dapur bukanlah benda-
benda yang mengejutkan jika suatu saat bersliweran.

Benda-benda itu adalah benda-benda intim yang kapan pun bisa ia sarangkan ke
dalam perut. Yang menggembirakan, kesemua benda itu telah bersarang di perut
lelaki yang nama nisannya telah ia ganti. Dulu, lelaki itu mempecundanginya
dengan berbohong tak pernah menggumuli perempuan selain dirinya. Padahal,
secara sembunyi-sembunyi, ternyata telah beranak-pinak dengan salah seorang
perempuan buruh ladang pemetik daun teh. Hmmm, tanah-ladang miliknya
sendiri, yang juga telah ia lupakan, seiring kemauan mengubur kenangan atas
wajah seorang lelaki. Entah siapa pun orang kampung yang melanjutkan
merawat ladang teh itu ia rela. Entah mungkin saja hanya jadi bongkahan tanah
kosong. Entahlah.....

8.
DESIR angin malam merambati celah pori-pori tangan dan wajahnya. Ia
menguap. Mengatupkan mulut. Memejamkan mata. Mimpi? Sudah berhari-hari,
berbulan-bulan, bertahun-tahun ia tak pernah lagi bermimpi. Ah, mungkinkah ia
sengaja mengganti nama nisan suaminya karena diam-diam tetap merasa
berdosa? Atau, justru melengkapkan kesalahan dengan sama sekali tak peduli
akan surga? Begitukah gugatannya terhadap ingatan usia? ***
*) Petilan sajak Hiroshima, Cintaku karya Goenawan Mohamad dalam
antologi Asmaradana (Grasindo, 1992).

posted by imponk | 5:42:00 AM


SUNDAY, OCTOBER 24, 2004
Lelaki yang Mengkhianati Ibu
Cerpen Susialine Adelia

Seperti biasa, Ibu sudah berdandan cantik ketika menemani dan meladeni kami
sarapan. Sambil berangkat ke kantor (Ibu pegawai negeri di Taman Budaya) dia
akan mengantar kami semua ke sekolah. Sementara Ayah meneruskan mimpinya
karena menjelang pagi baru pulang. Apalagi mendekati pentas (Ayah aktor
sebuah grup teater ternama di kotaku dan biasanya ia menjadi pemain utama).
Tetapi meski malam tak ada latihan, Ayah tak pernah bangun pagi. Begitu setiap
hari. Jadi kami tak pernah bertanya kenapa Ayah tidak ikut sarapan, atau merasa
kehilangan.

Belum selesai sarapan Ayah muncul dari ruang depan. Seperti biasa wajahnya
nampak kuyu, lelah dan ngantuk. Baru aku tahu bahwa ternyata Ayah baru
pulang.
"Halo semuanya," Ayah menyapa tanpa mendekati dan mengecup kening kami.

"Nggak sarapan sekalian?" Ibu bertanya.


"Nggak, nanti saja," dan Ayah pun berlalu masuk ke kamarnya.
Kulihat Ibu menghela napas sambil memandang Ayah yang berlalu. Sesaat aku
berhenti menyuap, memperhatikan Ibu.

"Kenapa? Selesaikan sarapannya," merasa kuperhatikan, Ibu menegurku.


Aku menggeleng dan cepat-cepat menyuapkan nasi ke mulutku.
***
Tiga hari Ayah tak pulang. Kutanya pada Ibu, katanya Ayah sibuk. Hari
pementasasan sudah sangat dekat. Tetapi bukankah dia pentas di dalam kota?
Kenapa sampai tak sempat pulang? Ada istri dan anak-anaknya di rumah yang
menunggu. Perjalanan pulang banyak memakan waktu sementara Ayah butuh
cukup istirahat. Ibu coba menghiburku.
Sorenya Ayah pulang dengan wajah berbinar dan segar.

"Apa kabar sayangku?" sapanya sambil mengecup keningku.


"Kok nggak pulang-pulang, Yah?" aku bertanya.

"Ayah kerja keras, jadi harus hemat tenaga," jawabnya sambil merangkul
pundakku. Lalu kusandarkan kepalaku di pinggangnya. "Nanti malam ikut ya,
udah mulai run through."

"Tapi jangan ajari dia pulang pagi, ya," kata Ibu sambil menyiapkan kopi untuk
Ayah.
"Oh jelas, kita akan pulang siang," jawab Ayah, melirikku sambil tersenyum.
Kami bertiga pun tertawa.

Menjelang senja kami berangkat.


"Berapa lama kita nggak jalan-jalan berdua?" Ayah bertanya setengah pada
dirinya sendiri.

"Hampir satu semester, Yah. Ayah sih sibuk teruusss," aku berlagak merajuk.
Ayah mengacak rambutku sambil tertawa, "Memang kamu nggak? Rapat ini,
pelatihan itu, hmm?"

Kami berdua tertawa.


"Eh, Ayah kok tambah genit sih sekarang?" tiba-tiba aku berkomentar.

"Apa?" tanya Ayah.


"Tiap keluar rapi dan wangi terus gitu," tambahku.

"Lho, memang nggak bangga punya Ayah ganteng dan wangi?"


Kami tiba di tempat pertunjukan saat para kru masih membereskan panggung,
sementara beberapa pemain memainkan adegan mereka di sela-sela kru yang
sedang merampungkan pekerjaannya.

Ayah meninggalkanku di deretan depan kursi penonton. Dia datangi seorang


perempuan yang sedang memberi instruksi pada peata lampu. Mereka
berbicara sebentar. Lalu Ayah berjalan ke arahku diikuti perempuan itu.

"Sayang, kenalkan ini sutradara Ayah."


Perempuan itu mengulurkan tangan sambil menyebutkan namanya, "Tati."

"Citta," kataku menyambut uluran tangannya.


Tante Tati meraih sebuah kursi dan meletakkannya di depanku. Kami ngobrol
berdua sementara Ayah meninggalkan kami menyiapkan pementasannya. Tak
lama, Tante Tati meninggalkanku, kembali pada pekerjaannya.

Aku tetap duduk di kursiku, mengamati kesibukan orang-orang itu. Sebagian


besar di antara mereka sudah kukenal. Maka kulambaikan tangan ketika
kebetulan mereka menoleh ke arahku.
***
Berhari-hari Ayah tak pulang lagi. Padahal pementasan sudah selesai.
"Mungkin masih menyelesaikan sisa pekerjaan kemarin," jawab Ibu sambil
mengusap keringat adik bungsuku. Sekalipun jawaban Ibu tak masuk akal, aku
tak membantahnya.

"Ibu bertengkar sama Ayah?" aku memberanikan diri bertanya.


Tersenyum sambil menggelengkan kepala. Hanya itu jawaban Ibu. Melihatku
yang tak juga beranjak dari ranjangnya, Ibu pun bangkit setelah memastikan si
bungsu terlelap.

"Sudah selesai belajar?"


Pertanyaan yang lucu. "Kok kayak nanyain Tres yang masih SD aja."

Tampak Ibu agak gugup, tetapi segera ditutupnya kegugupan itu. "Memang kalau
udah kuliah nggak perlu belajar?"
Berdua diam.

"Kenapa?" Ibu bertanya.


"Citta yang mestinya tanya, Ayah dan Ibu kenapa," jawabku.
Kudengar desah napas Ibu. Panjang. Diraihnya tanganku dan diletakkan di
pangkuannya. "Dua bulan lagi kamu ulang tahun kan. Umurmu akan genap dua
puluh dua," berhenti sejenak, menatapku. "Berarti kamu sudah dewasa, sudah
tidak harus dibimbing Ayah dan Ibu lagi. Bahkan sudah bisa membantu kami
membimbing dua adikmu."

"Maksud Ibu?" aku mengerutkan dahi.


"Tentunya kamu tidak akan terlalu terganggu jika Ayah dan Ibu tidak bersama
lagi," kata Ibu lirih tanpa melihatku. Suaranya bergetar.
"Ibu dan Ayah mau pisah?" Pertanyaan yang kuharap tidak diiyakan oleh Ibu.
Tetapi keliru. Ibu mengangguk dengan berat. Berat sekali. Seketika kepalaku
terasa pening.
"Ibu mau bercerai?" ulangku sekali lagi.
***
Enam tahun berikutnya. Seorang laki-laki duduk di depanku. Tertunduk layu.
"Aku yang mengajarimu berpikir dan bersikap. Tapi sekarang tak kutemukan apa
yang kuajarkan dulu," katanya pelan sambil menerawang ke luar jendela.

"Sama. Aku juga tidak menemukan hal yang membuatku kagum dulu," jawabku,
juga dengan perlahan.
"Kau tak pernah memaafkan aku," katanya lagi.
"Maafku tak akan menghapus luka kami," jawabku sambil menangkupkan kedua
tangan ke mukaku.

Kepalaku tiba-tiba terasa berat begitu teringat masa itu. Teringat Ibu. Sekuat
tenaga dia berusaha tabah menghadapi perpisahannya dengan Ayah. Tetapi tak
sesederhana itu. Pasca perceraian, Ibu seorang diri harus menanggung hutang
Ayah atas namanya. Hutang untuk proses kesenian yang kemudian justru
mempertemukan Ayah dengan Tati. Ironis sekali. Ibu pun menjual rumah yang
kami tempati, mengajukan pensiun dini lalu membawa kami hijrah ke kota kecil
ini. Terlalu banyak luka di kota besar dulu.

Sejak itu hampir tak pernah kudengar berita tentang Ayah. Kota kecil ini terlalu
damai untuk mengenangkan cerita lama. Lagi pula kami harus berjuang keras
merintis kehidupan di sini dan memikirkan Ibu yang ternyata mengidap kanker
payudara.

"Tidakkah penyesalan dan rasa berdosa cukup untuk menebus kesalahanku?"


laki-laki itu bertanya lagi.
"Tetap saja kehidupan kami tak kembali," terasa mataku mulai basah.

"Maaf," seorang perempuan muda masuk, mengulurkan secarik kertas dengan


tangannya yang tak sempurna dan segera keluar lagi.
"Pulanglah," kataku setelah membaca pesan yang tertera, "Aku ditunggu rapat.
Ibu tak akan menemuimu."
Laki-laki itu memandangku. Kecewa, sedih, geram, dan entah apa lagi tampak di
matanya. Tapi aku tak begitu peduli. Dia mengangguk lalu bangkit. "Aku masih
berharap menjadi walimu di pernikahan nanti," katanya.

"Entahlah. Membayangkan pun aku tak berani."


Dengan lunglai, dia berjalan ke pintu. Sebelum dia menarik pegangangnya, aku
memanggil.

"Yah..."
Laki-laki itu menoleh. Tersenyum. Aku hendak mengatakan sesuatu padanya,
tetapi tak mampu. Maka hanya anggukan yang kuberikan untuk mengantarnya
pergi.

Dalam hati aku berjanji, nanti malam akan kutulis surat untuk laki-laki itu.
Isinya: Aku berterima kasih telah dibimbingnya menjadi pribadi yang percaya
diri, sehingga menemukan jalan untuk berani mengajak orang lain menempatkan
diri sejajar dengan kami dan bukan justru mengasihani. Satu hal yang tak pernah
diajarkannya adalah menerima kehilangan. Baru belakangan almarhumah Ibu
mengajarkannya padaku. Aku bangkit. Meraih kruk yang kusandarkan di
samping kursi. Tentunya teman-teman terlalu lama menanti. ***

posted by imponk | 10:22:00 AM


SUNDAY, SEPTEMBER 26, 2004
Ibu, Baron, dan Kupu-Kupu
Cerpen Dyah Indra Mertawirana

Kupanggil ia ibu. Perempuan yang menyimpan kesunyian benih-benih padi,


membajak petak-petak sawah, dan menyiangi lini-lini rumput di tiap ruas. Selalu
riang ia dengan lagu-lagu ketika kaki-kakinya menapak pematang. Angin bahkan
menebarkan suaranya mengisi seluruh petak sawah yang menghampar. Di dalam
bakul yang ia gendong, ada nasi dengan lauk teri dan sambal pedas yang akan
meruapkan liur jika siang datang. Ia membungkusnya sendiri ketika embun
masih menggumpal di ujung daun. Lalu sesampai di sawah, ia akan jinjingkan
jariknya kemudian mencelupkan kedua kakinya ke dalam lumpur yang kelak
akan mengikat kehidupan anak dan cucunya.
Ia membajak sendiri. Baron, kerbau dungu, selalu ia menyebut-nyebut nama
hewan itu jika kesal. Kerbau yang diantar oleh seorang tukang angon, si bocah
lelaki kecil. Ia mengikat leher Baron pada luku dan membunyikan cambuknya.
Maka mulailah ia membajak dan bercakap-cakap dengan Baron seolah ia
bercakap-cakap dengan suaminya sampai tanah-tanah itu tersingkap kemudian
ditebarnya kompos beserta tahi Baron ke situ. Hingga setiap sawah di kampung
ini, suatu hari, dipenuhi oleh perempuan, sebab setiap lelaki turun gunung
membangun kota dengan tangan-tangan mereka dan pulang menjelang larut
atau kadang sampai berbulan-bulan. Ia, perempuan yang kupanggil ibu itu
adalah perempuan yang membunuh birahinya terhadap Rahwana juga Rama.
Kelak itu yang aku tahu ketika aku tumbuh dewasa.

Senja, ibu akan pulang bersama Baron ke rumah. Lalu aku akan menurunkan
tumpukan jerami untuk santap malam Baron. Kemudian ibu akan segera
membakar sebagian tahi Baron untuk menghangatkan tubuh kami dan mengusir
nyamuk-nyamuk. Baron tidur di kandangnya yang terletak di samping kiri rumah
kami. Dan jika kenyang ia akan melenguh lalu tertidur. Suatu hari aku tak akan
lagi jumpai semua itu, dan itu ternyata yang paling aku rindu.

Lelaki di kampung ini telah pergi. Ayahku juga. Tapi ayahku sungguh baik hati.
Pernah ketika libur datang, ayah membawa oleh-oleh pupuk dari kota, katanya,
supaya ibu tak terlalu sibuk di sawah. Juga bibit-bibit yang cantik. Lalu pernah
lagi ketika pulang ayahku membawa televisi. Benda bertabung yang bisa menyala
itu, aih lucu sekali menurutku. Bagaimana orang bisa muat berada di dalam
tabung sekecil itu. Tak perlu lagi pergi ke sawah, tontonlah telenovela dan
berdandanlah seperti bintang film, begitu katanya pada ibu. Lalu aku diberinya
jadwal khusus untuk melihat sinetron, siapa tahu rezekimu datang dan kau bisa
jadi bintang hingga tak perlu lagi tinggal di kampung, begitu ayahku bilang. Tapi,
ah!

Kota masih sesuatu yang asing yang mendengung-dengung di telingaku dari


antena radio dan televisi yang pertama kali singgah bertamu di rumah kami. Ke
mana ibu yang selalu terbangun oleh kluruk ayam jantan Lik Bawuk dan
langsung menyalakan tungku kemudian menjerang air. Ke mana ibu yang
mencuci beras di pancuran dekat bilik belakang rumah. Ke mana ibu yang
mengenakan jarik dijinjing dan dengan sigap menyiangi rumput-rumput yang
mengejar padi. Ke mana ibu yang selalu ajarkan alif ba ta jika selepas magrib. Ke
mana ibu yang membenahi selimutku sebelum akhirnya ia juga lelap.

Pagi dini aku sudah mulai membaca. Dan koran-koran mulai berdatangan ke
rumahku menebar apa saja. Televisi di rumah kami juga tak berhenti menyiarkan
iklan. Maka kebiasaan ibuku mulai berubah. Maka ibuku mulai suka pergi
berbelanja ke pasar-pasar. Tapi barang-barang itu tak ditemuinya di pasar.
Hingga suatu hari tumbuh mall dan jalan-jalan besar di kampung kami,
menepikan sawah, padang tempat domba-domba kami merumput, juga rumah-
rumah. Sementara pasar-pasar menjadi semakin kumuh dan tenggelam di sudut
rumah. Maka pergilah ibuku ke mall dan berbelanja di sana sampai berjam-jam.
Ia jadi lupa jika padi kami harus disiangi. Juga lupa tentang nasi yang
ditinggalkannya telah mengerak. Ah, ibu, keluhku. Lalu setiap ibu akan pergi
selalu ia berpesan padaku, jangan lupa tebarkan pupuk-pupuk yang dibawa
ayahmu. Ingat takarannya. Angkat jemuran dan tanakan nasi. Jangan lupa buat
sambal terasi untuk ayahmu jika ia pulang.

Kami tak lagi sibuk menyiangi padi. Padi kami tumbuh lebih setia, tak rewel
seperti ibu yang semakin hari semakin asyik memadukan warna lipstik dan baju
juga sepatunya buat kondangan ke tetangga seberang rumah. Tapi entah, kenapa
lama-kelamaan pupuk itu harus selalu kami beli. Juga ibu yang semakin jarang di
rumah. Ibu yang tak lagi memiliki cerita dan dongeng masa lalu untukku, ah
kuno, cobalah gaya hidup yang lebih modern, begitu katanya padaku. Ayah
membelikan aku koleksi play stasion, sementara ibu membelikanku boneka
barbie. Aku tak lagi main engklek atau dakocan. Tak ada kawan. Kami sibuk
memperlihatkan apa yang kami miliki, memamerkan satu dengan yang lain dan
jika tak memiliki apa yang dimiliki yang lain maka ketika pulang akan merengek
lagi.

Zaman telah berubah, jangan ketinggalan. Kau harus lebih sering menonton
televisi dan mengikuti perkembangan. Jangan kita dibilang kampungan. Itu
memalukan, kata ibu padaku ketika kami makan malam.

Tapi aku lebih suka menatap sawah. Hingga pupuk semakin mahal dan rumah
kami tergenang oleh genangan got yang mampat dari sampah pasar yang
meruapkan bau tak karuan. Aku lebih suka desau ilalang dan bau tanah yang
terguyur hujan. Juga kerlip bintang pari yang kadang timbul tenggelam.

Sampai suatu malam, ibu tak pulang dan ayah tak menceritakan ke mana ibu
pergi. Pun aku tak tahu di mana ibu sekarang. Aku hanya berpikir ibu akan baik-
baik saja. Hingga semakin hari sawah kami tumbuh semakin menyempit. Entah
apa sebab. Ketika ibu menyuruh menjualnya, aku protes. Satu-satunya yang bisa
aku nikmati di sini hanya sawah itu. Sebab itu, ibu tak pulang berhari-hari. Tapi
aku masih berpikir ibu akan baik-baik saja. Hingga Baron pergi dari kandangnya
dan digantikan motor baru. Tapi motor ini tak bisa membajak sawah, pikirku.
Dan aku cuma bisa diam selama kami masih baik-baik saja. Ya, kami tetap baik-
baik saja.

Musim bediding datang hampir merontokkan gigiku, kembang-kembang mangga


banyak yang rontok dan yang tersisa akan menjadi buah masak. Dingin yang
menusuk sumsum nyaris tak bisa membuatku tidur. Sebab tahi Baron tak lagi
menghangatkan rumah kami. Ayah lupa membeli penghangat ruangan, besok
katanya. Aku beranjak ke kamar ibu untuk mengambil jarik, barangkali bisa
sedikit memberi hangat untuk selimut, menurutku.

Aku membuka lemari ibu, memilah-milah lipatan tumpukan baju, tapi aku hanya
menemukan lembaran kutang dan celana dalam. Akhirnya aku membongkar
hingga ke laci-lacinya, tetap tak ada. Aku mencoba mencari di pelosok kamar ibu
barangkali ia menyimpan jarik dan kebayanya di tempat lain selain di lemari.
Tapi tak juga ada. Beberapa majalah tergeletak sembarangan, sedang di depan
cermin berderak kosmetik ibu. Barangkali ibu menjualnya ke tukang loak entah
kapan, ketika kutanya ke Lik Kaseno --tukang loak yang biasa lewat di depan
rumah kami dan sesekali menjajakan barang rongsokan yang masih sedikit bisa
dipakai dari rumah ke rumah-- esok harinya, lelaki itu tak tahu-menahu dan
bilang ibu tak pernah menjual loakan apa pun kepadanya. Lalu barangkali ibu
memberikannya ke kerabat, sebab aku rasa benda itu keramat, maka kutanya ke
beberapa nama dan alamat tanpa rasa malu, tapi tak juga kutemu. Karena kesal
aku malam itu tak pulang dan berjalan mengelilingi kota yang mulai tumbuh di
kampungku. Lampu-lampu nyaris menubruk bola mataku. Kunang-kunang yang
tadinya selalu kutangkap dan kuintip di tangkupan kedua tanganku seolah
lenyap tertimbun lampu-lampu yang tak bisa kutangkup. Sesampainya di
simpang, di sebuah warung abang kulihat ayah tengah menenggak bir bintang
dan memegang kartu as. Aku biarkan saja, barang sekali dua tak apalah untuk
mengaso. Di mana ibu, malam-malam begini. Meski aku masih berpikir bahwa
ibuku akan baik-baik saja. Sampailah aku di dekat sebuah hotel dan kulihat ibu
berdiri di samping pintu gerbangnya. Tersenyum ke setiap lelaki yang lewat di
depannya sambil sesekali memegang tangan mereka. Lipstik ibu sungguh tebal
seperti ketika sedang menghadiri kondangan di kampung, waktu dulu dan
terakhir tiga hari yang silam di tempat Mr John yang kata ibu adalah teman
dekatnya. Entah kapan kenal dengannya, sebab sejak dulu di kampungku tak ada
yang dipanggil Mister. Aku melihatnya, ibu digandeng seorang lelaki ke dalam
hotel itu. Dan aku masih meyakini ibuku akan baik-baik saja.

Besok malamnya aku kembali mengikuti ke mana ibu pergi. Jelang pagi kulihat
ibu kenakan jarik dan kemben itu. Ah, lega rasanya. Ternyata ibu masih
menyimpannya dan membawa kemana pun ia pergi, aku sedikit riang. Tapi baju
keramat itu tak lagi dipakainya menyiangi rumput di sawah kami. Di situ, di
antara para lelaki dan sedikit perempuan ibuku menari hingga akhirnya
telanjang dan menjelma sawah yang bisa dibajak dan disiangi siapa saja. Dan ibu
tak lagi meluku. Juga ayahku tak ada di situ. Bahkan aku yang ada di situ --di
salah satu sudut ruang yang temaram dari sebuah pub-- hanya diam. Barangkali
juga ayahku. Sebab tak pernah ada pertengkaran di rumah kami. Hingga aku
yakin ibuku baik-baik saja. Esok pagi kami masih bersitatap di rumah meski
kulihat kemudian ia tertidur dan aku yang membereskan semua pekerjaan di
dapur. Pernah aku masih berpikir untuk mencuri jarik dan kebaya itu dari ibu.
Sebab aku ingin sekali memakainya, nanti, ketika menikah dengan sedikit harap
masih bisa menemukan sepetak sawah dan menganai padi-padinya. Tapi tak ada
lagi yang kumiliki. Hanya kenangan tentang ayah, ibu, sawah hijauku, akar-akar
juga Baron, kerbauku.

Sebab keesokan harinya ketika aku bangun tak ada lagi pupuk, sebab ayah telah
menjual sawah itu. Juga Baron yang telah pergi lebih dulu, dijual ibu. Dan
akhirnya, kami bermetamorfosa seperti kupu-kupu. ***
Bandar Lampung, 2004

posted by imponk | 5:06:00 AM

Anda mungkin juga menyukai