Mendengar namanya dipanggil, anak itu terkejut. Bukan karena takut, melainkan
karena firasat yang semakin dekat. Kenyataan yang akan datang tentang firasat
itu bisa terasa sangat sakit, bahkan bisa juga mematikan.
"Kau lelah, Jo? Sepertinya Emak terlalu memaksamu berjalan hingga sejauh ini.
Maafkan Emak, Jo."
Tidak jauh dari situ tampak pohon besar yang rimbun daunnya. Di situ emak
membuka buntalan kain sarung, sementara anak laki-lakinya selonjor,
melenturkan otot-otot kakinya, dengan bersandar pada batang pohon besar itu.
"Banjo, duduklah dekat Emak sini."
Banjo merangkak menuju emaknya.
Emak mengeluarkan dua lembar daun jati tua. Ia melipat satu lembar daun jati
itu sedemikian rupa di atas telapak tangannya, hingga membentuk semacam
mangkok makan. Diisinya mangkok daun jati itu dengan nasi, gorengan ikan
asin, dan sayuran rebus. "Kau ingin Emak menyuapimu?"
Banjo mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda setuju.
Emak dengan sabar dan telaten membesarkan hati putra semata wayangnya itu.
Tak ada yang benar-benar membuat hatinya meluap kegembiraannya, selain
ketika bisa melihat wajah Banjo tampak tersenyum sewaktu tidur. Dalam
pikirannya, senyum Banjo sewaktu tidur itu berarti segala-galanya. Leluhurnya
pernah bilang, jika di pertengahan tidurnya seorang anak mengigau atau
menjerit-jerit, itu artinya ada bayangan hitam yang menempel pada si anak. Dan
emak tak mau bayangan hitam itu satu kali saja menempeli putra tunggalnya.
Banjo sudah lelap di pangkuan emaknya. Sementara emak mulai tak kuasa
menghardik rasa kantuknya.
Emak pulang larut malam dari rumah Wak Nardi dengan berbekal obor bambu
di genggaman tangannya. Malam itu tak seperti malam-malam lalu. Amat gelap,
amat dingin, amat mencekam. Kesiur angin membuat nyala obornya bergetar
bergoyang-goyang selalu. Kedua belah matanya beberapa kali merem-melek,
menyiasati lesatan uap kabut yang menggores jarak pandangannya.
Tapi, tiba-tiba kabut itu dikejapkan cahaya kilat --dan sungguh mengejutkan.
Begitu ganjil kedatangan kilat itu. Kini yang dilihatnya bukan lagi kepulan kabut
yang mengendap-endap lambat menyergap, tapi semacam gumpalan asap tebal
yang mirip kepala raksasa yang bertonjol-tonjol menyeramkan.
Bau harum menusuk hidung emak. Bau harum yang mengepul dari kibasan
jubah panjang sosok makhluk cantik itu. Ya, makhluk cantik, hanya sebutan itu
yang terlintas di hatinya. Ia yakin sosok di hadapannya itu bukan satu dari
bangsa manusia seperti dirinya. Malaikatkah? Atau bangsa jin? Ia belum pernah
berjumpa dua bangsa ciptaan Hyang itu sepanjang sisa-sisa rambut ubannya
yang memutih kapas. Jadi ia tak bisa mengatakan dengan pasti, apalagi teka-teki,
dari bangsa yang mana sosok makhluk di hadapannya itu. Ia hanya bisa
mengatakan makhluk itu cantik, maka itu makhluk cantik.
Lama. Malam tambah hening, tambah senyap, tambah penuh tanya. Tak
kelihatan lagi kejapan-kejapan kilat yang berseliweran membelah langit di atas.
Sekonyong-konyong meluncur dari sela bibir makhluk cantik itu, tapi bibir padat
berisi itu tiada bergerak, terdengar begitu saja, kata-katanya sangat jelas dan
berbunyi, "Susui jabang bayiku hingga datang malam purnama kedua puluh
tujuh."
Serasa emak dikepung anak buah malaikat maut, linglung tak tahu apa yang
mesti diperbuat. Jantungnya bunyi berdegup-degup, kedua belah matanya terus
berkedip-kedip. Jari-jarinya gemetar ketika menepuk-nepuk kulit pipinya yang
kisut-kendur. Suara bicara sosok itu yang menggema per kata-kata, di telinganya
persis wangsit Hyang, memekakkannya hingga kemerotak persendian di sekujur
tubuhnya kalah beradu dengan kemerosak gesekan dedaun yang diterjang angin
amat kencang, amat mencekam.
Banjo tumbuh sehat, itu pasti. Emak dan suaminya bahagia. Pun orang-orang
dusun terimbas bunga rasa itu, meski dengan air muka yang berbeda. Melihat
Banjo sama saja berdiri menonton satu atraksi "makhluk aneh" di sirkus pasar
malam. Mereka membiarkan Banjo bertingkah. Bocah itu tak sadar, kegirangan
penduduk dusun jauh lebih menyakitkan daripada tersengat ribuan lebah
pekerja. Setiap kali orang-orang dusun terbahak, setiap kali itu pula
kerongkongan emak semakin tercekat.
Hingga usia Banjo dua tahun lebih, hingga hari yang dijanjikan itu tiba, emak
mendapat mimpi aneh. Dalam mimpi itu, ia melihat Banjo menjadi santapan
makhluk serba nyala merah dan meruapkan hawa sangat panas. Tak ada yang
sempat diingatnya, kecuali dengung suara menggelegar dari arah makhluk ganjil
itu. "Aku minta anakku dari rahimmu.!" Emak tersimpuh lemas di samping
bujur kaku suaminya yang meradang seperti orang sekarat.
Banjo harus menjalani prosesi kurban kepada Hyang. Tubuh bocah laki-laki itu
ditelanjangi. Kedua tangan dan kakinya diikat di masing-masing sisi meja batu.
Setelah itu, seorang tetua ritual memercikkan air yang diyakini bertuah
menghilangkan kekuatan jahat yang menghuni jasad seseorang, sambil merapal
mantra.
Ingatan emak menjadi gelap. Tapi tak segelap malam ini. Tapak tangan kasar
emak tak lepas mengusap kepala Banjo. Hampir empat belas malam berlalu,
terhitung sejak malam ia "mencuri" tubuh kapar Banjo, mereka berpindah-
pindah tempat perlindungan. Keduanya sebenarnya tidak ingin sembunyi dari
kejaran orang-orang dusun. Emak sungguh berhasrat untuk meyakinkan mereka
bahwa Banjo benar-benar anak yang lahir dari mulut rahimnya, bukan anak
tumbal Hyang yang dipinjamkan di rahimnya. Tapi mereka tidak pernah bisa
menerima keyakinannya itu. Karenanya ia dan Banjo harus berlindung dari
piciknya kepercayaan mereka pada sesuatu yang menggariskan durhaka tidaknya
manusia di hadirat Hyang.
"Haram jadah! Aku sudah muak! Terserah laknat Hyang kalau dusun ini masih
membiarkan dua manusia terkutuk-Nya itu hidup, bahkan mungkin bisa lebih
lama dari hidup kita semua. Aku tak peduli. Persetan! Bukankah Dia juga yang
menghidup-matikan mereka?"
Persis, belum habis satu kali kedipan mata, setelah laki-laki dusun yang geram
itu memberondongkan kalimat umpatannya, libasan petir sekonyong merobek
angkasa yang gelap tak berbintang. Menghamburkan ratusan laki-laki dusun dari
pos-pos penjagaan mereka, semburat tunggang-langgang, seperti sekawanan
semut yang baru saja diobrak-abrik sarangnya oleh moncong trenggiling.
Cambuk-cambuk petir itu mengoyak-moyak kesadaran mereka. Semua terjadi
seperti dalam murka yang dahsyat.
***
Setelah yakin melelapkan Banjo di atas tumpukan daun-daun lebar dan reranting
kering di sisinya, emak bangkit. Melangkah terbungkuk-bungkuk menuju mulut
gua kecil yang tak sengaja diketemukannya persis ketika libasan petir pertama,
libasan paling kilat. Emak memandang saja ke kejauhan. Petir mencekam. Kesiur
angin menegakkan bulu kuduk.
Hinggahingga sepertinya emak melihat kelebat sinar putih. Tinggi dan besar.
MendekatMendekatLalu melampaui diri tegaknya di tepi mulut gua.
Melingkari tubuh Banjo yang meringkuk lelap.
Tak ada perlawanan. Tatapan emak telah menjadi begitu hampa. ***
Catatan:
1 Yakni bebunyian dari bambu untuk menghalau burung di ladang.
2 Alat musik seperti terbangan, namun dalam bentuknya yang lebih besar.
*) Cerpen ini merupakan pemenang kedua (tak ada pemenang pertama) lomba
cerpen Krakatau Award 2005 yang diadakan Dewan Kesenian Lampung, yang
diumumkan Agustus lalu. St. Fatimah adalah cerpenis Surabaya. Selain cerpen,
lulusan Sastra Inggris Unair itu juga menulis puisi, dan esai sastra-budaya.
Dia juga menjadi editor dan penerjemah freelance.
1.
AKU terbang menikmati harum cahaya pagi yang bening keemasan bagai diluluri
madu, dan terasa lembut di sayap-sayapku. Sungguh pagi penuh anugerah buat
kupu-kupu macam aku. Kehangatan membuat bunga-bunga bermekaran dengan
segala kejelitaannya, dan aku pun melayang-layang dengan tenang di atasnya.
Sesaat aku menyaksikan bocah-bocah manis yang berbaris memasuki taman,
dengan topi dan pita cerah menghiasi kepala mereka. Aku terbang ke arah bocah-
bocah itu. Begitu melihatku, mereka segera bernyanyi sembari meloncat-loncat
melambai ke arahku, "Kupu-kupu yang lucuuu, kemana engkau pergiii, hilir
mudik mencariii"
Aku selalu gembira setiap kali bocah-bocah itu muncul. Biasanya seminggu sekali
mereka datang ke taman ini, diantar ibu guru yang penuh senyuman mengawasi
dan menemani bocah-bocah itu bermain dan belajar. Berada di alam terbuka
membuat bocah-bocah itu menemukan kembali keriangan dan kegembiraannya.
Taman penuh bunga memang terasa menyenangkan, melebihi ruang kelas yang
dipenuhi bermacam mainan. Sebuah taman yang indah selalu membuat seorang
bocah menemukan keluasan langit cerah. Ah, tahukah, betapa aku sering
berkhayal bisa terbang mengarungi langit jernih dalam mata bocah-bocah itu?
Siapa pun yang menyaksikan pastilah akan terpesona: seekor kupu-kupu
bersayap jelita terbang melayang-layang dalam bening hening mata seorang
bocah
Aku pingin menjadi seperti bocah-bocah itu! Menjadi seorang bocah pastilah
jauh lebih menyenangkan ketimbang terus-menerus menjadi seekor kupu-kupu.
Alangkah bahagianya bila aku bisa menjadi seorang bocah lucu yang matanya
penuh kupu-kupu. Terus kupandangi bocah-bocah itu. Alangkah riangnya.
Alangkah gembiranya. Uupp, tapi kenapa dengan bocah yang satu itu?! Kulihat
bocah itu bersandar menyembunyikan tubuhnya di sebalik pohon. Dia seperti
tengah mengawasi bocah-bocah yang tengah bernyanyi bergandengan tangan
membentuk lingkaran di tengah taman itu
Seketika aku waswas dan curiga: jangan-jangan bocah itu bermaksud jahat --dia
seperti anak-anak nakal yang suka datang ke taman ini merusak bunga dan
memburu kupu-kupu sepertiku. Tapi tidak, mata bocah itu tak terlihat jahat.
Sepasang matanya yang besar mengingatkanku pada mata belalang yang
kesepian. Dia kucel dan kumuh, meringkuk di balik pohon seperti cacing yang
menyembunyikan sebagian tubuhnya dalam tanah, tak ingin dipergoki. Mau apa
bocah itu? Segera aku terbang mendekati
Aku bisa lebih jelas melihat wajahnya yang muram kecoklatan, mirip kulit kayu
yang kepanasan kena terik matahari. Dia melirik ke arahku yang terbang
berkitaran di dekatnya. Memandangiku sebentar, kemudian kembali mengawasi
bocah-bocah di tengah taman yang tengah main kejar-kejaran sebagai kucing dan
tikus. Aku lihat matanya perlahan-lahan sebak airmata, seperti embun yang
mengambang di ceruk kelopak bunga. Aku terbang merendah mendekati
wajahnya, merasakan kesedihan yang coba disembunyikannya. Dia menatapku
begitu lama, hingga aku bisa melihat bayanganku berkepakan pelan, memantul
dalam bola matanya yang berkaca-kaca
Terus-menerus dia diam memandangiku.
2.
HERAN nih. Dari tadi kupu-kupu itu terus terbang mengitariku. Kayaknya dia
ngeliatin aku. Apa dia ngerti kalau aku lagi sedih? Mestinya aku nggak perlu
nangis gini. Malu. Tapi nggak papalah. Nggak ada yang ngeliat. Cuman kupu-
kupu itu. Ngapain pula mesti malu ama kupu-kupu?! Dia kan nggak ngerti kalau
aku lagi sedih. Aku pingin sekolah. Pingin bermain kayak bocah-bocah itu.
Gimana ya rasanya kalau aku bisa kayak mereka?
Pasti seneng. Nggak perlu ngamen. Nggak perlu kepanasan. Nggak perlu kerja di
pabrik kalau malem, ngepakin kardus. Nggak pernah digebukin bapak. Kalau
ajah ibu nggak mati, dan bapak nggak terus-terusan mabuk, pasti aku bisa
sekolah. Pasti aku kayak bocah-bocah itu. Nyanyi. Kejar-kejaran. Nggak perlu
takut ketabrak mobil kayak Joned. Hiii, kepalanya remuk, kelindes truk waktu
lari rebutan ngamen di perempatan.
Aku senang tiduran di sini. Sembunyi-sembunyi. Nggak boleh keliatan, entar
diusir petugas penjaga kebersihan taman. Orang kayak aku emang nggak boleh
masuk taman ini. Bikin kotor --karena suka tiduran, kencing dan berak di bangku
taman. Makanya, banyak tulisan dipasang di pagar taman: Pemulung dan
Gelandangan Dilarang Masuk. Makanya aku ngumpet gini. Ngeliatin bocah-
bocah itu, sekalian berteduh bentar.
Kalau ajah aku bebas main di sini. Wah, seneng banget dong! Aku bisa lari
kenceng sepuasnya. Loncat-loncat ngejar kupu-kupu. Nggak, nggak! Aku nggak
mau nangkepin kupu-kupu. Aku cuman mau main kejar-kejaran ama kupu-kupu.
Soalnya aku paling seneng kupu-kupu. Aku sering mengkhayal aku jadi kupu-
kupu. Pasti asyik banget. Punya sayap yang indah. Terbang ke sana ke mari.
Sering aku bikin kupu-kupu mainan dari plastik sisa bungkus permen yang
warna-warni. Aku gunting, terus aku pasang pakai lem. Kadang cuman aku ikat
pakai benang aja bagian tengahnya. Persis sayap kupu beneran! Kalau pas ada
angin kenceng, aku lemparin ke atas. Wuuss Kupu-kupuan plastik itu terbang
puter-puter kebawa angin. Kalau jumlahnya banyak, pasti tambah seru. Aku
kayak ngeliat banyak banget kupu-kupu yang beterbangan
Ih, aneh juga kupu-kupu ini! Dari tadi terus muterin aku. Apa dia ngerti ya, kalau
aku suka kupu-kupu? Apa dia juga tau kalau aku sering ngebayangin jadi kupu-
kupu? Apa kupu-kupu juga bisa nangis gini kayak aku? Bagus juga tuh kupu.
Sayapnya hijau kekuning-kuningan. Ada garis item melengkung di tengahnya.
Kalau saja aku punya sayap seindah kupu-kupu itu, pasti aku bisa terbang nyusul
ibu di surga. Ibu pasti seneng ngelus-elus sayapku
Aku terus ngeliatin kupu-kupu itu. Apa dia ngerti yang aku pikirin ya?
3.
BERKALI-KALI, kupu-kupu dan si bocah bertemu di taman itu.
Kupu-kupu itu pun akhirnya makin tahu kebiasaan si bocah, yang suka sembunyi
di sebalik pohon. Sementara bocah itu pun jadi hapal dengan kupu-kupu yang
suka mendekatinya dan terus-menerus terbang berkitaran di dekatnya. Kupu-
kupu itu seperti menemukan serimbun bunga perdu liar di tengah bunga-bunga
yang terawat dan ditata rapi, membuatnya tergoda untuk selalu mendekati.
Kadang kupu-kupu itu hinggap di kaki atau lengan bocah itu. Bahkan sesekali
pernah menclok di ujung hidungnya. Hingga bocah itu tertawa, seakan bisa
merasa kalau kupu-kupu itu tengah mengajaknya bercanda.
Kupu-kupu dan bocah itu sering terlihat bermain bersama, dan kerap terlihat
bercakap-cakap. Dan apabila tak ada penjaga taman (biasanya selepas tengah
hari saat para penjaga taman itu selesai makan siang lalu dilanjutkan tiduran
santai sembari menikmati rokok) maka kupu-kupu itu pun mengajak si bocah
kejar-kejaran ke tengah taman.
"Ayolah, kejar aku! Jangan loyo begitu," teriak kupu-kupu sembari terus
terbang ke arah tengah taman.
Dan si bocah pun berlarian tertawa-tawa mengejar kupu-kupu itu.
"Kamu curang! Kamu curang! Bagaimana aku bisa mengejarmu kalau kamu terus
terbang?! Kamu curang! Tungguuu kupu-kupuuu Tungguuuu"
Kupu-kupu itu terus terbang meliuk-liuk riang. Lalu kupu-kupu itu hinggap di
setangkai pohon melati. Kupu-kupu itu menunggu si bocah yang berlarian
mendekatinya dengan napas tersengal-sengal.
"Coba kalau aku juga punya sayap, pasti aku bisa mengejarmu," bocah itu
berkata sambil memandangi si kupu-kupu.
"Apakah kamu yakin, kalau kamu punya sayap kamu pasti bisa menangkapku?"
"Pasti! Pasti!"
Kupu-kupu itu tertawa --dan hanya bocah itu yang bisa mendengar tawanya.
"Benarkah kamu ingin punya sayap sepertiku?" tanya kupu-kupu.
"Iya dong! Pasti senang bisa terbang kayak kamu. Asal tau ajah, aku tuh
sebenernya sering berkhayal bisa berubah jadi kupu-kupu" Lalu bocah itu pun
bercerita soal mimpi-mimpi dan keinginannya. Kupu-kupu itu mendengarkan
dengan perasaan diluapi kesyahduan, karena tiba-tiba ia juga teringat pada
impian yang selama ini diam-diam dipendamnya: betapa inginnya ia suatu hari
menjelma menjadi manusia
"Benarkah kamu sering membayangkan dirimu berubah jadi kupu-kupu? Apa
kamu kira enak jadi kupu-kupu seperti aku?"
"Pasti enak jadi kupu-kupu seperti kamu"
"Padahal aku sering membayangkan sebaliknya, betapa enaknya jadi bocah
seperti kamu"
"Enakan juga jadi kamu!" tegas bocah itu.
"Lebih enak jadi kamu!" jawab kupu-kupu.
"Lebih enak jadi kupu-kupu!"
"Lebih enak jadi bocah sepertimu!"
Setiap kali bertemu, setiap kali berbicara soal itu, kupu-kupu dan bocah itu
semakin saling memahami apa yang selama ini mereka inginkan. Bocah itu ingin
berubah jadi kupu-kupu. Dan kupu-kupu itu ingin menjelma jadi si bocah.
"Kenapa kita tak saling tukar saja kalau begitu?" kata kupu-kupu.
"Saling tukar gimana?"
"Aku jadi kamu, dan kamu jadi aku."
"Apa bisa? Gimana dong caranya?"
"Ya saling tukar saja gitu"
"Kayak saling tukar baju?" Bocah itu ingat kalau ia sering saling tukar baju
dengan temen-temen ngamennya, biar kelihatan punya banyak baju. "Iya, gitu?"
"Hmm, mungkin seperti itu..."
Keduanya saling pandang. Ah, pasti akan menyenangkan kalau semua itu terjadi.
Aku akan berubah jadi kupu-kupu, batin bocah itu. Aku akan bahagia sekali
kalau aku memang bisa menjelma manusia, desah kupu-kupu itu dengan
berdebar hingga sayap-sayapnya bergetaran.
"Bagaimana?" kupu-kupu itu bertanya.
"Bagaimana apa?"
"Jadi nggak kita saling tukar? Sebentar juga nggak apa-apa. Yang penting kamu
bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi kupu-kupu. Dan aku bisa merasakan
bagaimana kalau jadi bocah seperti kamu. Setelah itu kita bisa kembali lagi jadi
diri kita sendiri. Aku kembali jadi kupu-kupu lagi. Dan kamu kembali lagi jadi
dirimu. Gimana?"
Si bocah merasa gembira dengan usul kupu-kupu itu. Gagasan yang
menakjubkan, teriaknya girang. Lalu ia pun mencopot tubuhnya, agar kupu-kupu
itu bisa merasuk ke dalam tubuhnya. Dan kupu-kupu itu pun segera melepaskan
diri dari tubuhnya, kemudian menyuruh bocah itu masuk ke dalam tubuhnya.
Begitulah, keduanya saling berganti tubuh. Bocah itu begitu senang mendapati
dirinya telah berwujud kupu-kupu. Sedangkan kupu-kupu itu merasakan dirinya
telah bermetamorfosa menjadi manusia.
4.
WAH enak juga ya jadi kupu-kupu! Bener-bener luar biasa. Lihat, sinar matahari
jadi kelihatan berlapis-lapis warna-warni lembut tipis, persis kue lapis. Aku juga
ngeliat cahaya itu jadi benang-benang keemasan, berjuntaian di sela-sela
dedaunan. Aku jadi ingat benang gelasan yang direntangkan dari satu pohon ke
pohon yang lain, setiap kali musim layangan. Aku lihat daun-daun jadi tambah
menyala tertimpa cahaya. Semuanya jadi nampak lebih menyenangkan. Dengan
riang aku melonjak-lonjak terbang. Terlalu girang sih aku. Jadi terbangku masih
oleng dan nyaris nubruk ranting pohon.
"Hati-hati!"
Kudengar teriakan, dan kulihat kupu-kupu yang kini telah merasuk ke dalam
tubuh bocahku. Dia kelihatan panik memandangi aku yang terbang jumpalitan.
Aku bener-bener gembira. Tak pernah aku segembira ini. Emang nyenengin kok
jadi kupu-kupu.
Aku terus terbang dengan riang
5.
TUBUHKU perlahan-lahan berubah, dan mulai bergetaran keluar selongsong
kepompong. Kemudian kudengar gema bermacam suara yang samar-samar,
seakan-akan menghantarkan kepadaku cahaya pertama kehidupan yang
berkilauan. Dan aku pun seketika terpesona melihat dunia untuk pertama
kalinya, terpesona oleh keelokan tubuhku yang telah berubah. Itulah yang dulu
aku rasakan, ketika aku berubah dari seekor ulat menjadi kupu-kupu. Dan kini
aku merasakan keterpesonaan yang sama, ketika aku mendapati diriku sudah
menjelma seorang bocah. Bahkan, saat ini, aku merasakan kebahagiaan yang
lebih meruah dan bergairah.
Aku pernah mengalami bagaimana rasanya bermetamorfosa, karena itu aku bisa
menahan diri untuk lebih menghayati setiap denyut setiap degup yang menandai
perubahan tubuhku. Aku merasakan ada suara yang begitu riang mengalir dalam
aliran darahku, seperti berasal dari jiwaku yang penuh tawa kanak-kanak. Aku
ingin melonjak terbang karena begitu gembira. Tapi tubuhku terasa berat, dan
aku ingat: aku kini tak lagi punya sayap.
Lalu kulihat bocah itu, yang telah berubah menjadi kupu-kupu, terbang begitu
riang hingga nyaris menabrak ranting pepohonan. Aku berteriak mengingatkan,
tetapi bocah itu nampaknya terlalu girang dalam tubuh barunya. Dia pasti begitu
bahagia, sebagaimana kini aku berbahagia.
Kusaksikan bocah itu terbang riang mengitari taman, kemudian hilang dari
pandangan. Aku pun segera melenggang sembari bersiul-siul. Tapi aku langsung
kaget ketika seorang penjaga taman menghardikku, "Hai!! Keluar kamu bangsat
cilik!" Kulihat penjaga taman itu mengacungkan pemukul kayu ke arahku. Segera
aku kabur keluar taman.
6.
KETIKA bocah yang telah berubah menjadi kupu-kupu itu terbang melintasi
etalase pertokoan, ia bisa melihat bayangan tubuhnya bagai mengambang di
kaca, dan ia memuji penampilannya yang penuh warna. Sayapnya hijau
kekuning-kuningan dengan garis hitam melengkung di bagian tengahnya.
Rasanya seperti pangeran kecil berjubah indah.
Tapi segera ia menjadi gugup di tengah lalu lalang orang-orang yang bergegas.
Bising lalu lintas membuatnya cemas. Puluhan sepeda motor dan mobil-mobil
mendengung-dengung mirip serangga-serangga raksasa yang siap melahapnya.
Ia gemetar, tak berani menyeberang jalan. Dari kejauhan ia melihat truk yang
menderu bagai burung pelatuk yang siap mematuk. Tiba-tiba ia menyadari,
betapa mengerikannya kota ini buat seekor kupu-kupu sekecil dirinya. Sungguh,
kota ini dibangun bukan untuk kupu-kupu sepertiku. Ia merasakan dirinya
begitu rapuh di tengah kota yang semerawut dan bergemuruh. Gedung-gedung
jadi terlihat lebih besar dan begitu menjulang dalam pandangannya. Tiang-tiang
dan bentangan kawat-kawat tampak seperti perangkap yang siap menjerat
dirinya. Semua itu benar-benar tak pernah terbayangkan olehnya. Ketika ia
sampai dekat stasiun kereta, ia menyaksikan trem-trem yang berkelonengan
bagaikan sekawanan ular naga dengan mahkota berlonceng terpasang di atas
kepala mereka. Sekawanan ular naga yang menjadi kian mengerikan ketika
malam tiba. Ia menyaksikan orang-orang yang keluar masuk perut naga itu,
seperti mangsa yang dihisap dan dikeluarkan dari dalam perutnya
Ia begitu gemetar menyaksikan itu semua, dan buru-buru ingin pergi. Ia ingin
kembali ke taman itu. Ia ingin segera kembali menjadi seorang bocah.
7.
SEMENTARA itu, kupu-kupu yang telah berubah jadi bocah seharian berjalan-
jalan keliling kota. Lari-lari kecil keluar masuk gang. Main sepak bola.
Bergelantungan naik angkot. Kejar-kejaran di atas atap kereta yang melaju
membelah kota. Rame-rame makan bakso. Ia begitu senang karena bisa
melakukan banyak hal yang tak pernah ia lakukan ketika dirinya masih berupa
seekor kupu-kupu.
Tengah malam ia pulang dengan perasaan riang, sembari membayangkan rumah
yang bersih dan tenang. Hmm, akhirnya aku bisa merasakan bagaimana enaknya
tidur dalam sebuah rumah. Selama ini ia hanya tidur di bawah naungan daun,
kedinginan didera angin malam. Rasanya ia ingin segera menghirup semua
ketenangan yang dibayangkannya.
Tapi begitu ia masuk rumah, langsung ada yang membentak, "Dari mana saja
kamu!" Ia lihat seorang laki-laki yang menatap nanar ke arahnya. Ia langsung
mengkerut. Ia tak pernah membayangkan akan menghadapi suasana seperti ini.
"Brengsek! Ditanya diam saja," laki-laki itu kembali membentak, mulutnya
sengak bau tuak. Inikah ayah bocah itu? Ia ingat, bocah itu pernah bercerita
tentang bapaknya yang seharian terus mabuk dan suka memukulinya. Ia
merasakan ketakutan yang luar biasa ketika laki-laki itu mencekik lehernya.
"Uang!" bentak laki-laki itu, "Mana uangnya?! Brengsek! Berapa kali aku bilang,
kamu jangan pulang kalau nggak bawa uang!"
Ia meronta berusaha melepaskan diri, membuat laki-laki itu bertambah marah
dan kalap. Ia rasakan tamparan keras berkali-kali. Ia rasakan perih di kulit
kepalanya ketika rambutnya ditarik dan dijambak, lantas kepalanya dibentur-
benturkan ke dinding. Ia merasakan cairan kental panas meleleh keluar dari
liang telinganya. Kemudian perlahan-lahan ia merasakan ada kegelapan melilit
tubuhnya, seakan-akan membungkus dirinya sebagai kepompong. Ia rasakan
sakit yang bertubi-tubi menyodok ulu hati. Membuatnya muntah. Saat itulah
bayangan bocah itu melintas, dan ia merasa begitu marah. Kenapa dia tak pernah
cerita kalau bapaknya suka menghajar begini? Ia megap-megap gelagapan ketika
kepalanya berulang-ulang dibenamkan ke bak mandi
8.
UDAH hampir seharian aku nunggu. Kok dia belum muncul juga ya? Aku mulai
bosen jadi kupu-kupu begini. Cuma terbang berputar-putar di taman. Habis, aku
takut terbang jauh sampai ke jalan raya kayak kemarin sih! Takut ketubruk, dan
sayap-sayapku remuk. Padahal sebelum jadi kupu-kupu, aku paling berani
nerobos jalan. Aku juga bisa berenang, dan menyelam sampai dasar sungai
ngerukin pasir. Sekarang, aku cuman terbang, terus-terusan terbang. Nyenengin
sih bisa terbang, tapi lama-lama bosen juga. Apalagi kalau cuman berputar-putar
di taman ini.
Cukup deh aku ngrasain jadi kupu-kupu gini. Banyak susahnya. Apa karna aku
nggak terbiasa jadi kupu-kupu ya? Semaleman ajah aku kedinginan. Tidur di
ranting yang terus goyang-goyang kena angin, kayak ada gempa bumi ajah. Aku
ngeri ngeliat kelelawar nyambar-nyambar. Ngeri, karena aku ngerasa enggak bisa
membela diri. Waktu jadi bocah aku berani berkelahi kalau ada yang ngancem
atau ganggu aku. Sekarang, sebagai kupu-kupu, aku jadi ngerasa gampang
kalahan. Nggak bisa jadi jagoan! Karna itu aku ingin cepet-cepet berhenti jadi
kupu-kupu...
Nggak bisa deh kalau hanya nunggu-nunggu begini. Gelisah tau! Kan kemarin dia
janji, hanya mau tukar sebentar. Apa dia keenakan jadi aku, ya? Jangan-jangan
dia lagi rame-rame ngelem ama kawan-kawannku. Atau dia lagi didamprat ayah?
Ah, moga-moga ajah tidak. Tapi ngapain sampai gini hari belum datang juga?
Terus terang aku udah cemas. Aku mesti ketemu dia. Aku nggak mau terus-
terusan jadi kupu-kupu gini.
Baiklah, daripada cemas gini, mendingan aku nyusul dia. Apa dia pulang ke
rumahku ya? Aku mesti nyari dia, ah!
9.
IA mendapati kemurungan di sekitar rumahnya. Bocah yang telah menjadi kupu-
kupu itu bisa merasakan indera kupu-kupunya menangkap kelebat firasat,
sebagaimana indera serangga bila merasakan bahaya. Ia mencium bau kematian,
bagaikan bau nektar yang menguar. Dan ia bergegas terbang masuk rumah. Ia
tercekat mendapati tubuh bocah itu terbujur di ruang tamu. Memar lebam
membiru, mengingatkannya pada rona bunga bakung layu. Apa yang terjadi?
Alangkah menyedihkan melihat jazad sendiri. Segalanya terasa mengendap
pelan, namun menenggelamkan. Ia terbang berkelebat mendekati para
tetangganya yang duduk-duduk bercakap-cakap pelan. Kemudian ia mencoba
mengajak para tetangga itu bercakap-cakap dengan isyarat kepakan sayapnya.
Tapi tak ada yang memahami isyaratnya. Tentu saja mereka tak tahu bagaimana
caranya berbicara pada seekor kupu-kupu sepertiku! Dan ia merasa kian
ditangkup sunyi, terbang berputar-putar di atas jazadnya. Ia merasakan duka itu,
melepuh dalam mata yang terkatup. Sepasang kelopak mata yang membiru itu
terlihat seperti sepasang sayap kupu-kupu yang melepuh rapuh. Ia terbang
merendah, dan mencium kening jazad itu. Saat itulah ia mendengar percakapan
beberapa pelayat.
"Lihat kupu-kupu itu"
"Aneh, baru kali ini aku melihat kupu-kupu hinggap di kening orang mati."
"Kupu-kupu itu seperti menciumnya"
"Mungkin kupu-kupu itu tengah bercakap-cakap dengan roh yang barusan keluar
dari tubuh bocah itu."
Bocah yang telah berubah menjadi kupu-kupu itu kemudian terbang keluar
ruangan, dan orang-orang yang melihatnya seperti menyaksikan roh yang tengah
terbang keluar rumah. Tapi ke mana roh kupu-kupu itu? Ia tak tahu ke mana roh
kupu-kupu itu pergi. Apa sudah langsung terbang membumbung ke langit sana?
Apakah kalau kupu-kupu mati juga masuk surga?
Di surga, aku harap roh kupu-kupu itu bertemu ibuku. Aku ingin dia bercerita
pada ibuku, bagaimana kini aku telah menjadi seekor kupu-kupu yang terus-
menerus dirundung rindu. Semua kejadian berlangsung bagaikan bayang-bayang
yang dengan gampang memudar namun terus-menerus membuatku gemetar.
Bunga-bunga mekar dan layu, sementara aku masih saja selalu merasa perih
setiap mengingat kematian kupu-kupu yang menjelma jadi diriku itu. Kuharap
bapak membusuk di penjara. Aku terbang, terus terbang, berusaha meneduhkan
kerisauanku. Aku ingin terbang menyelusup ke mimpi setiap orang, agar mereka
bisa mengerti kerinduan seorang bocah yang berubah menjadi kupu-kupu.
Dapatkah engkau merasakan kesepian seorang bocah yang berubah menjadi
kupu-kupu seperti aku?
Aku terbang mencari taman yang dapat menentramkanku. Aku terbang
mengitari taman-taman rumah yang menarik perhatianku. Aku suka bertandang
ke rumah-rumah yang penuh keriangan kanak-kanak. Keriangan seperti itu
selalu mengingatkan pada seluruh kisah dan mimpi-mimpiku. Aku suka melihat
anak-anak itu tertawa. Aku suka terbang berkitaran di dekat jendela kamar tidur
mereka.
Seperti pagi ini. Dari jendela yang hordennya separuh terbuka, aku menyaksikan
bocah perempuan yang masih tertidur pulas. Kamar itu terang, dan cahaya pagi
membuatnya terasa lebih tenang. Sudah sejak beberapa hari lalu aku
memperhatikan bocah perempuan itu. Dari luar jendela, dia terlihat seperti peri
cilik cantik yang terkurung dalam kotak kaca. Aku terbang menabrak-nabrak
kaca jendelanya. Aku ingin masuk ke dalam kamar bocah perempuan itu. Betapa
aku ingin menyelusup ke dalam mimpinya
10.
HANGAT pagi mulai terasa menguap di horden jendela yang setengah terbuka,
tetapi kamar berpendingin udara itu tetap terasa sejuk. Bocah perempuan itu
masih meringkuk dalam selimut. Sebentar ia menggeliat, dan teringat kalau hari
ini Mamanya akan mengajak jalan-jalan. Karena itu, meski masih malas, bocah
perempuan itu segera bangun, dan ia terpesona menatap cahaya bening matahari
di jendela. Seperti sepotong roti panggang yang masih panas diolesi mentega,
cahaya matahari itu bagaikan meleleh di atas karpet kamarnya. Cuping hidung
bocah itu kembang-kempis, seakan ingin menghirup aroma pagi yang harum dan
hangat.
Di luar jendela, dilihatnya seekor kupu-kupu tengah terbang menabrak-nabrak
kaca jendela, seperti ingin masuk ke dalam kamarnya. Segera ia mendekati
jendela. Ia pandangi kupu-kupu itu. Sayapnya, hijau kekuning-kuningan,
bergaris hitam melengkung di tengah-tengahnya. Seperti kupu-kupu dalam
mimpiku semalam, gumam bocah perempuan itu. Lalu ia ingat mimpinya
semalam: ia bertemu seorang bocah yang telah menjelma kupu-kupu. Terus ia
pandangi kupu-kupu itu. Kayaknya kupu-kupu itu yang semalam muncul dalam
mimpiku? Jangan-jangan itu memang kupu-kupu yang semalam meloncat keluar
mimpiku? Bocah perempuan itu ingin membuka jendela. Tapi jendela itu penuh
teralis besi. Lagi pula daun jendelanya dikunci mati, karena orang tuanya takut
pencuri. Bocah perempuan itu hanya bisa memandangi kupu-kupu yang terus
terbang menabrak-nabrak kaca jendela
Pintu kamar terbuka, muncul Mamanya yang langsung terkejut mendapati
anaknya tengah berdiri gelisah memandangi jendela. "Kenapa?" tanya Mama
sambil memeluk putrinya dari belakang, berharap pelukannya akan membuat
putrinya tenang.
"Kasihan kupu-kupu itu, Mama"
"Kenapa kupu-kupu itu?"
"Aku ingin kenal kupu-kupu itu."
"Kamu ingin tahu kupu-kupu? Kamu suka kupu-kupu?"
Bocah perempuan itu mengangguk.
"Kalau gitu cepet mandi, ya. Biar kita bisa cepet jalan-jalan. Nanti habis Mama ke
salon kita mampir ke toko buku, beli buku tentang kupu-kupu. Kamu boleh pilih
sebanyak-banyaknya Atau kamu pingin ke McDonald dulu?"
Bocah perempuan itu menatap ibunya. Ia ingin mengatakan sesuatu. Ingin
bercerita soal mimpinya semalam. Ingin mengatakan kenapa ia suka pada kupu-
kupu di luar itu. Ia ingin menceritakan apa yang dirasakannya, tapi tak tahu
bagaimana cara mengatakan pada Mamanya.
Setelah lama terdiam, baru bocah itu berkata, "Gimana ya, Ma kalau suatu hari
nanti aku menjadi kupu-kupu?"
Mamanya hanya tersenyum. Sementara kupu-kupu di luar jendela itu terus-
menerus terbang menabrak-nabrak jendela, seperti bersikeras hendak masuk
dan ingin menjawab pertanyaan bocah perempuan itu.
11.
PERNAHKAH suatu pagi engkau menyaksikan seekor kupu-kupu bertandang ke
rumahmu? Saat itu engkau barangkali tengah sarapan pagi. Engkau tersenyum
ke arah anakmu yang berwajah cerah, seakan-akan masih ada sisa mimpi indah
yang membuat pipi anakmu merona merah. Engkau segera bangkit ketika
mendengar anakmu berteriak renyah, "Papa, lihat ada kupu-kupu!"
Dan engkau melihat kupu-kupu bersayap hijau kekuning-kuningan dengan garis
hitam melengkung di bagian tengahnya sedang terbang berputar-putar gelisah di
depan pintu rumahmu. Kupu-kupu itu terlihat ragu-ragu ingin masuk ke
rumahmu. Apakah yang melintas dalam benakmu, ketika engkau melihat kupu-
kupu itu?
Kuharap, pada saat-saat seperti itu, engkau terkenang akan aku: seorang bocah
yang telah berubah menjadi seekor kupu-kupu
Surabaya-Yogyakarta, 2004
*) Agus Noor, buku terbarunya Rendezvous (Kisah Cinta yang Tak setia), 2004.
Tinggal di Jogjakarta.
"Ada apa denganmu, teman?" tanyaku sambil melirik wajahnya yang pucat dan
bibirnya yang gemetar. "Kau sedang sakit atau ada masalah lagi dengan istrimu?
Kau tak terlihat seperti biasanya!"
Dengan sedikit ragu Vikhlyenev mendehem dan dengan sikap putus asa ia mulai
bercerita, "Ya, dengan Ninochka lagi. Aku sangat gelisah, tak bisa tidur
semalaman, dan seperti yang kau lihat aku bagaikan mayat hidup. Kurang ajar,
orang-orang bisa saja tak terganggu dengan masalah ini. Mereka menganggap
enteng rasa sakit, kehilangan seseorang, dan terluka. Namun, hal sepele ini bisa
membuatku kecewa dan tertekan."
Ya, ah aku mulai menunjukkan hal-hal kecil, foto-foto serta hal lainnya. Aku juga
menceritakan beberapa ceritadan tiba-tiba aku teringat surat-surat yang aku
simpan lama di mejaku. Beberapa surat tersebut isinya sangat lucu. Waktu aku
masih sekolah aku punya teman yang pandai menulis surat. Jika kau
membacanya maka perutmu pasti sakit karena tertawa terbahak-bahak! Kuambil
surat itu dari dalam meja dan mulai membaca satu per satu untuk Ninochka.
Pertama, kedua, ketiga, dan semuanya berantakan. Hanya karena satu surat di
mana ia membaca kalimat "salam manis dari Katya". Istriku yang cemburu itu
kalimat-kalimatnya seperti pisau yang tajam dan Ninochka seperti Othello dalam
pakaian wanita!
"Pikiran jahat apa yang ada dalam pikiranmu sekarang?" tanyaku sembari
mendudukkan Ninochka di dekatku.
"Apa maksudmu?"
"Tapi, kau tahu sayang. Itu sangat jahat dan tidak manusiawi. Dia sangat takut
dan terganggu dengan ulahmu."
"Ah, itu hal yang sepele. Dia sangat suka ketika aku berpura-pura cemburu, tak
ada yang lebih bagus selain berakting cemburu. Tapi, sudahlah! Lupakan saja.
Aku tidak suka kita membicarakan hal ini, aku sudah menyerah. Kau mau minum
teh?"
"Tapi sayang, berhentilah menyiksa dia. Kau tahu bukankah dia terlihat sangat
menyedihkan. Dia menceritakan semuanya padaku, bahwa dia benar-benar jatuh
cinta padamu dan itu sangat tidak mengenakkan. Kontrol dirimu! Tunjukkan
kasih sayangmu. Satu kalimat omong kosong akan membuatnya sangat bahagia."
"Kau datang di saat yang tepat, waktunya minum teh," ujar Ninochka pada
suaminya, "Pintar sekali kamu sayang. Tak pernah datang terlambat. Kau mau
dengan jeruk atau susu?"
"Berkatilah sang pencipta kedamaian!" teriak sang suami yang bahagia. "Kau
telah membuat ia mau mengerti. Mengapa? Karena kau memang laki-laki sejati.
Bisa bergaul dengan banyak orang dan kau tahu titik kelemahan wanita.
Hahahaaku bodoh sekali! Ketika hanya satu kata yang diperlukan, aku
menggunakan sepuluh kata. Ketika hanya harus mencium tangan istriku, aku
melakukan hal lain. Hahaha"
Hari, minggu, bulan pun berlalu. Cepat atau lambat keburukan akan tersingkap
dan diketahui olehnya. Ketika tanpa sengaja Vikhlyenev tahu akan semua
kebenaran tentang aku dan istrinya ia sangat terkejut, pucat, terduduk di sofa
dengan pandangan kosong ke langit-langit tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ekspresi sakit hati diungkapkannya dengan bahasa tubuh. Ia berpindah dari satu
sofa ke sofa lain dengan perasaan yang sangat menderita sekali. Gerak-geriknya
dipengaruhi oleh kesedihan.
"Bukan itu yang ingin kubicarakan," katanya memotong, "Tentang hal itu aku
sangat mengerti. Membicarakan perasaan siapa pun tak bisa disalahkan. Yang
aku khawatirkan adalah hal lain. Hal yang sebenarnya tak berarti. Kau tahu
sendiri, aku sama sekali tak mengerti tentang hidup, di mana kehidupan yang
sebenarnya, dan kebiasaan masyarakat yang harus diperhatikan, misalnya. Aku
orang yang benar-benar belum berpengalaman. Jadi, tolonglah teman! Katakan
padaku apa yang harus dilakukan Ninochka sekarang? Tinggal bersamaku atau
dia harus pindah bersamamu?"
Dengan kepala dingin kami membicarakan hal tersebut dan akhirnya kami
menemukan jalan tengah. Ninochka tetap tinggal bersama suaminya, dan aku
bisa menemuinya kapan pun. Karenanya, ia memakai kamar yang ada di pojok
yang dulunya adalah gudang. Kamar itu agak gelap dan lembab, pintu kamarnya
berhubungan langsung dengan dapur. Namun, pada akhirnya Vikhlyenev
menembak dirinya sendiri tanpa menyusahkan orang lain. ***
1885
(Diterjemahkan oleh Nunung Deni Puspitasari dari Anton Chekhov Selected
Stories, The New American Library of World Literature, Second Printing,
August 1963)
"Dor? Dor?Dor?!"
Pelepah daun pisang yang dijadikan senjata api laras panjang dibidikkan
berulang-ulang. Yang kena tembak harus mati, kendati tak lama kemudian boleh
hidup lagi. Ada yang tiarap. Ada yang bersembunyi. Ada yang berlari-lari.
Saat itu, di pojok luar rumah, Rah pun masih juga tampak asyik mengelus-elus
sepatu kumal yang tergeletak di dekat tempat sampah. Entah itu sepatu lars milik
siapa. Tak jelas pula siapa yang pertamakali memakainya. Yang pasti, sepatu
kotor itu tak bertali. Tanpa pasangan, hanya tinggal yang sebelah kiri.
***
HAMPIR setiap hari Rah berusaha membersihkan kotoran yang melekat pada
sepatu kulit itu, dengan cara merendamnya di bak mandi. Tapi, sepatu lars kumal
itu tetap saja tak bersih. Baunya tetap saja tak sedap. Sampai-sampai, hanya
untuk menghilangkan bau, Ning Tin --ibu Rah-- perlu menjemurnya hingga
berhari-hari. Sayangnya, setelah kering, Rah kembali membasahinya. Setiap
mandi, Rah pun selalu memandikannya pula. Alasannya, biar bersih. Tapi, sekali
lagi, sepatu lars tak berlidah itu tetap saja tak bersih. Bahkan, baunya kian
menyengat.
Kalau saja tumbuh sebagai manusia normal, dalam usia yang telah meninggalkan
angka belasan tahun, Rah tentunya lebih gandrung bermain cinta daripada
berakrab-akrab dengan barang rongsokan yang tak layak pakai itu. Kini, di
Kampung Negariki, gadis-gadis seusia Rah toh nyaris semua telah hidup
berpasang-pasangan. Bahkan tak sedikit yang telah berstatus janda muda.
Sayangnya, Rah bukanlah gadis normal. Soal wajah, sepintas memang masih
menarik, kendati tak bisa dibilang cantik. Terutama kalau gerai rambutnya diatur
menutupi bagian telinga. Sebab, selain buah dadanya tak menyembul, Rah
ternyata tak memiliki daun telinga
Pendek kata, kondisi fisik maupun mental Rah tergolong cacat berat. Nyaris tak
pernah mau bicara. Kalau toh ada suara yang bisa dilontarkannya, itu pun tak
lebih dari kata-kata umpatan: "bangsat?!" Tersenyum, kalau ingin menunjukkan
suasana hati senang. Tertawa-tawa kalau sekiranya ada hal yang dianggapnya
lucu dan patut ditertawakan. Selebihnya, diam.
Rah gadis ideot? Sepertinya memang begitu. Tapi, nanti dulu. Ketika masih
diperbolehkan bersekolah dasar, Rah ternyata pernah menunjukkan diri sebagai
anak yang normal dan cerdas. Ia selalu jadi bintang saat kelas I dan II. Rah selalu
menempati ranking pertama. Sayangnya, ketika ia kelas III, pendidikan formal
itu harus berakhir dengan tragis.
***
PAGI itu, langit tak lagi mendung. Dari rumah seorang tetangga yang sedang
berhajat mengkhitan anaknya, terdengar lagu berirama langgam yang
tersuarakan lewat tape recorder. Lirik lagu berbahasa Jawa itu pun cukup
menyentuh: "?golekan, kae golekane sapa. Yen sira tansah dadi golek-golekan,
ingsun mengko entek mimis pira?"(1)
Di tempat pejagalan samping rumah, Kang Ri sedang sibuk menguliti seekor sapi
yang baru saja disembelihnya. Tampak serius, dan menegangkan. Tanpa nyanyi.
Tanpa cengkerama. Saat itulah, di dekat Kang Ri kerja, Rah bermain anak-
anakan. Boneka plastik yang dimilikinya, dikudang-kudang, di-emban-ayun-kan,
dan diajarinya untuk bisa bicara dengan bahasa manusia.
Tanpa banyak kata-kata, lelaki bertubuh kekar itu lalu mencengkeram lengan kiri
Rah. Dan, tangis bocah perempuan berpita rambut merah itu pun meledak.
Menyayat, menjerit-jerit. Kendati demikian, Rah tetap diseret dan terus diseret-
seret. Rah dipaksa jauh meninggalkan boneka mainannya. Alasannya sederhana:
Rah harus mandi sembari menghapal teks Pancasila, sebelum pamit berangkat
sekolah dengan mencium tangan bapaknya.
***
ENTAH sudah berapa kali Rah kena gebuk Kang Ri. Yang jelas, Rah sering
menangis. Suatu hari, menjelang bulan Agustus, setelah melihat bendera merah-
putih berbagai ukuran diperjualbelikan di pinggir jalan, Rah juga menangis. Rah,
ketika itu digebuk Kang Ri lantaran memaksa minta dibelikan bendera baru.
"Rah, memang nakal. Bapaknya sudah punya bendera kok masih saja minta
dibelikan bendera lagi. Maunya sih ingin bendera sendiri, yang bisa dibawa
untuk karnaval di sekolah. Tapi untuk karnaval itu kan bisa dengan bendera
kertas. Bapaknya telah berjanji mau membuatkannya, tapi Rah menolak. Rah
minta dibelikan bendera sungguhan. Bendera kain. Lha itu kan, namanya
pemborosan," jelas Ning Tin pada seseorang yang berbasa-basi menanyakan soal
tangis Rah.
Rah nakal. Vonis itulah yang dijatuhkan ibunya sendiri. Ya, Rah nakal. Tepatnya,
dianggap nakal. Karena itulah, ia kena gebuk. Karena itulah, ia sering menangis.
Dan, pagi itu, setelah diseret-seret Kang Ri untuk meninggalkan boneka, tangis
Rah kembali terdengar menyayat. Di antara jerit tangisnya, dari kamar mandi,
terdengar pula suara Rah terbata-bata melafalkan teks Pancasila.
"Kang Ri memang keterlaluan kok," aku Ning Tin pada orang lainnya. "Wataknya
kaku. Apa maunya harus dituruti. Kang Ri itu nggak mau dibantah. Sementara
Rah sendiri ya ndablek. Seringkali nggak pedulikan omongan bapaknya,"
jelasnya.
Kang Ri wataknya memang kasar. Juga tergolong pemberang. Tukang jagal sapi
satu-satunya yang ada di Kampung Negariki itu sering marah-marah. Dan, kalau
sudah marah, orang-orang di dekatnya nyaris tak ada yang berani membuka
mulut. Istrinya, kemenakannya, juga semua pembantu kerja penjagalannya,
terpaksa diam. Tak ada yang berani memotong kalimat omelannya. Jika ada yang
berani menyela kata, bisa dipastikan semua barang di dekatnya hancur
berantakan.
Persoalan yang menyulut amarah Kang Ri kadang memang terlalu sepele. Yang
terjadi pada pagi itu, misalnya. Hanya karena Rah bermain anak-anakan sembari
bernyanyi-nyanyi di dekatnya, Kang Ri marahnya bukan main. Celakanya,
peristiwa mengenaskan itu pun masih berlanjut.
Usai mandi, Rah ternyata kembali tertatih ke tengah pelataran. Bocah sekolah
dasar itu telah mengenakan rok seragam berwarna merah. Sepatu belum dipakai.
Baju putihnya belum juga dikancingkan. Ya, dengan dada sedikit terbuka, Rah
melangkah mendekati boneka kesayangannya yang masih tergeletak di pelataran
rumah. Sorot matanya memerah saga. Isak tangisnya masih tersisa.
"Rah?!"
Ning Tin memanggil-manggil. Tapi, Rah tak peduli. Ia seolah tak mendengarnya.
Rah tetap melangkah. Boneka yang berlumur darah sapi itu pun kembali
digendong dan dipeluknya.
Dan, suara peringatan Ning Tin ternyata memancing perhatian Kang Ri.
Pandangnya seketika mengarah ke bocah yang tak beralas kaki itu. Melihat Rah
tak memedulikan suara panggilan ibunya, Kang Ri kembali beraksi. Lelaki
pemberang yang tengah sibuk memotong-motong daging sapi di pejagalan
samping rumah itu segera mendekati Rah. Tapi, entah kekuatan dendam macam
apa yang merasukinya, Rah menantang. Tanpa sepatah kata yang terlontar, Rah
cepat-cepat meraup segenggam batu kerikil pelataran untuk dilempar ke wajah
bapaknya.
Lalu, tangis Rah pun kembali meledak. Rah kembali digebuk. Rah kembali
dihajar. Rah diseret-seret hingga ke pojok rumah, dan kepalanya dibentur-
benturkan ke tempat sampah. Bahkan, sepatu lars hilang pasangan yang
tergeletak di dekat tempat sampah itu diangkat Kang Ri tinggi-tinggi, lalu
dihantamkan ke wajah Rah berkali-kali.
Hampir setiap hari, Rah menghabiskan waktu di pojok rumah, dekat tempat
sampah, hanya untuk berakrab-akrab dengan sepatu lars yang dianggapnya
sebagai satu-satunya teman main. Dan, anehnya, jika ada seseorang yang
menyapa saat ia bermain, Rah buru-buru masuk rumah. Bersembunyi di balik
pintu, sembari mengintip-intip lewat celah dinding bambu. Setelah memastikan
si penyapa beranjak pergi, barulah Rah keluar untuk bermain lagi.
***
DAN, senja pun telah benar-benar jatuh. Warna langit di barat Kampung
Negariki kian memerah. Dari surau terdengar kumandang adzan. Tapi, anak-
anak lelaki yang telanjang dada itu masih saja ribut main tembak-tembakan. Di
tengah suasana permainan yang ribut itu, Rah ternyata masih juga tampak asyik
mengelus-elus sepatu lars kesayangannya.
"Rah?Rah?!"
Mendengar suara Ning Tin memanggil-manggil, Rah segera beranjak masuk
rumah. Namun, sebelum sampai pintu, ia ditabrak seorang anak lelaki yang
tengah berlari menghindari bidikan senapan. Rah jatuh, terjengkang di teras
rumahnya sendiri.
"Dor? dor? dor!" teriak seorang anak lelaki lainnya, sembari membidik-bidikkan
pelepah pisang yang dijadikan senjata.
Perang mulut pun terjadi. Dua anak lelaki yang tengah bermain tembak-
tembakan itu tak ada yang mau mengalah. Masing-masing punya alasan. Masing-
masing merasa benar. Mereka bahkan tak peduli pada Rah yang menjerit-jerit
kesakitan.
Catatan:
(1) Terjemahan bebasnya: ?boneka, boneka siapakah itu? Jika kau terus jadi
buronan, berapa butir peluru harus kuhabiskan?
1.
IA melirik ke dalam makam, begitu sampai di pintu keluar. Angin berkesiur,
meruapkan bebauan bunga kamboja. Cahaya petang berkeredap. Nisan yang ia
lirik dari kejauhan telah berganti nama dirinya. Ia lega. Sudah bertahun-tahun ia
tak menziarahi nisan itu, sampai ditandai dengan rambut yang memutih, bercak
recak pada pipi bulat-bulat menghitam, dan sorot mata yang dirasakannya
tambah merabun.
"Ada yang layak ditebus dalam perjalanan usia, tanpa berterus-terang," demikian
ia mengigau, begitu sampai di tepi persimpangan tiga danau, menyalakan obor,
kembali menaiki sampan. Tak boleh sampai gelap-pekat ia mesti tiba di tepi
seberang, tak alpa menyalakan lentera di dalam rumahnya yang kumuh,
berloteng penuh hilir-mudik keriut suara tikus.
Dulu, ia memang mengutuk diri sebagai perempuan laknat, karena setiap kali
hamil tua sengaja mandi di bawah bulan purnama, di pinggir sumur, di luar
kamar mandi. Orang-orang kampung di tempat bermukimnya tahu, jika ada
perempuan hamil tua yang mandi di bawah bulan purnama, pasti bakalan
kehilangan bayi. Setidaknya, bayi yang dilahirkan akan cacat. Pokoknya, siallah.
Namun, ia tak menggubris keyakinan itu, dan benarlah, tiga anaknya menjumpai
mala selama hidup. Anak pertama, lahir tanpa menangis, malah mendesis,
seperti ular. Tak sampai tali pusarnya putus, mati pula. Anak kedua, hanya
mampu hidup empat bulan, terserang diare dua minggu, dan menyusul mati
seperti kakaknya. Anak ketiga, tentu lebih mengerikan nasibnya, mati
mengenaskan dimakan buaya ketika sedang sendirian mandi di tepi danau. Agak
lumayan, waktu itu usianya sempat sampai sepuluh tahun.
2.
DI masa tua, seperti yang terlalui dalam hari-hari dua tahun terakhir ini,
kesibukannya yang rutin hanyalah keluar-masuk hutan, mencari kayu bakar dan
berkebun, di sepetak tanah belakang rumah. Ia menghindar dari keramaian
orang-orang kampung. Ia tak mau menghadiri acara apa pun yang digelar orang-
orang kampung di paseban. Bahkan, tempat bermukimnya pun ia pilih menjorok,
di dekat hutan. Bolehlah orang-orang kampung menyebut dirinya sebagai nenek
yang menyelimpang dari jalan yang lazim, paling tidak dari kewajaran hidup
sehari-hari.
Jangan tanya, tak pernah ada surat yang datang, yang dulu bisa sebulan sekali.
Entah dari kerabat, entah dari sanak-keluarga. Karena surat-surat yang datang
tak pernah dibalas, lumrahlah jika ia didiamkan saudara-saudaranya.
3.
PADA suatu malam, bulan purnama kembali bersinar. Cahayanya berkilau
memutih, seolah-olah memantul di kelengangan air danau, tempat anak
bungsunya dimakan buaya. Ia tepekur menatap danau, tanpa harus mengingat-
ingat kematian anaknya, yang tinggal kepalanya tersungkur di tepian, sempurna
dengan matanya yang melotot, mengalirkan sisa sembab air mata.
Aneh, ia malah bermain mata dengan buaya-buaya yang ada di danau itu. Ia
tahu, mata buaya akan menyala jika malam hari, seperti lampu neon sepuluh
watt. Tak sampai hitungan enam pasang, biji-biji mata buaya itu berjajar rapi.
Tentu, bukan salah satu dari buaya itu yang telah membunuh anaknya, karena
buaya yang membunuh anaknya sudah lama mati. Namun, memang buaya-buaya
itulah yang beranak-pinak, sengaja tak dibunuh meskipun mereka selalu sigap
membunuh.
Ia bersitatap dengan para buaya, di tepi danau yang elok indahnya. Dingin
merajam jangat kulit. Kalau siang sampai sore hari ia masihlah berani
menyeberangi danau itu, sekalipun ada buayanya. Ia merasa bisa menyiasati
buaya-buaya yang baginya tak begitu membahayakan. Tapi, kalau malam
telanjur menggelap-pekat, ia tak mau melawan kehendak alam. Ia sadar, pada
saat-saat tertentu alam bakalan keji. Tak terduga, tak tertebak.
4.
FOTO-FOTO anaknya begitu lucu, terutama yang bungsu. Berkalung tulang sapi
berbentuk tengkorak, berbaju kelombor tak pernah dikancingkan, bercelana
gombrong, demen membawa ketapel. Ia akan memandangi foto-foto itu kalau
pas kangen, di malam hari sebelum merebahkan diri, setelah berlama-lama
mengaca-wajah, mengurut pipi kanannya yang penuh recak, bekas luka akibat
ditampar dan dipukul ganas tangan lelaki. Sembari menyibakkan geraian rambut
ke kanan dan ke kiri, ia termangu, tanpa tersedu-sedan. Masih ada sisa kelucuan
yang menggerakkan kelenjar saraf ketuaannya, apalagi jika foto-foto yang ia lihat
pas anak bungsunya berkacak pinggang. Atau, ketika menenteng burung hasil
buruan dengan ketapel. Hmmm, seakan tak ada jarak dengan waktu yang silam,
karena kangen terlampau menunjam dada.
5.
ORANG-ORANG kampung pernah mau mengusirnya ketika ia dianggap sebagai
dukun, tersebab kebiasaannya tak mau bergaul. Rumahnya juga dianggap
sebagai maktab ilmu hitam, karena satu-dua orang asing entah dari kampung
mana sesekali bertamu. Hampir saja ia dan rumahnya dibakar, seandainya tak
bisa menjelaskan secara baik-baik tentang kebiasaannya. Untunglah, pada
akhirnya kecurigaan dan kemarahan orang-orang kampung mereda, bahkan
memaklumi. "Biarlah, ia uzur, siap berkalang tanah, bau kain warna ganih.
Sesuka hatilah ia gembira, sebagai bekal maut," demikian sesepuh kampung
berujar, bernilai jimat agar tak mengobarkan amarah.
7.
DINGIN njekut benar-benar mengabarkan hujan. Membasahi hutan, membasahi
tanah. Memperbanyak rawa, mengeruhkan danau. Ia cuma berharap, semogalah
hujan tak sampai pagi, bahkan siang hari. Semogalah hujan turun sebentar saja,
asal basahlah tanah, asal terguyurlah bumi. Kalau berlama-lama, pasti ia juga
yang kerepotan. Jalan ke hutan yang becek bakalan membuatnya terpeleset.
Begitu. Begitulah dari hari yang satu ke hari yang lain, semau-mau ia menapak.
Berkali-kali telah ia robek ingatan atas sosok seorang lelaki. Telanjur ia kutuk
sang lelaki dengan menyantet, kemampuan yang ia dapatkan ketika sebulan
pernah berguru kepada seorang kakek, dulu, pada suatu masa, di lereng sebuah
bukit. Jika tahan, karena kuat puasa mutih empat puluh hari empat puluh
malam, tentulah siapa pun dapat melihat benda-benda yang ia terbangkan untuk
menyantet. Paku payung, silet, gunting, maupun pisau dapur bukanlah benda-
benda yang mengejutkan jika suatu saat bersliweran.
Benda-benda itu adalah benda-benda intim yang kapan pun bisa ia sarangkan ke
dalam perut. Yang menggembirakan, kesemua benda itu telah bersarang di perut
lelaki yang nama nisannya telah ia ganti. Dulu, lelaki itu mempecundanginya
dengan berbohong tak pernah menggumuli perempuan selain dirinya. Padahal,
secara sembunyi-sembunyi, ternyata telah beranak-pinak dengan salah seorang
perempuan buruh ladang pemetik daun teh. Hmmm, tanah-ladang miliknya
sendiri, yang juga telah ia lupakan, seiring kemauan mengubur kenangan atas
wajah seorang lelaki. Entah siapa pun orang kampung yang melanjutkan
merawat ladang teh itu ia rela. Entah mungkin saja hanya jadi bongkahan tanah
kosong. Entahlah.....
8.
DESIR angin malam merambati celah pori-pori tangan dan wajahnya. Ia
menguap. Mengatupkan mulut. Memejamkan mata. Mimpi? Sudah berhari-hari,
berbulan-bulan, bertahun-tahun ia tak pernah lagi bermimpi. Ah, mungkinkah ia
sengaja mengganti nama nisan suaminya karena diam-diam tetap merasa
berdosa? Atau, justru melengkapkan kesalahan dengan sama sekali tak peduli
akan surga? Begitukah gugatannya terhadap ingatan usia? ***
*) Petilan sajak Hiroshima, Cintaku karya Goenawan Mohamad dalam
antologi Asmaradana (Grasindo, 1992).
Seperti biasa, Ibu sudah berdandan cantik ketika menemani dan meladeni kami
sarapan. Sambil berangkat ke kantor (Ibu pegawai negeri di Taman Budaya) dia
akan mengantar kami semua ke sekolah. Sementara Ayah meneruskan mimpinya
karena menjelang pagi baru pulang. Apalagi mendekati pentas (Ayah aktor
sebuah grup teater ternama di kotaku dan biasanya ia menjadi pemain utama).
Tetapi meski malam tak ada latihan, Ayah tak pernah bangun pagi. Begitu setiap
hari. Jadi kami tak pernah bertanya kenapa Ayah tidak ikut sarapan, atau merasa
kehilangan.
Belum selesai sarapan Ayah muncul dari ruang depan. Seperti biasa wajahnya
nampak kuyu, lelah dan ngantuk. Baru aku tahu bahwa ternyata Ayah baru
pulang.
"Halo semuanya," Ayah menyapa tanpa mendekati dan mengecup kening kami.
"Ayah kerja keras, jadi harus hemat tenaga," jawabnya sambil merangkul
pundakku. Lalu kusandarkan kepalaku di pinggangnya. "Nanti malam ikut ya,
udah mulai run through."
"Tapi jangan ajari dia pulang pagi, ya," kata Ibu sambil menyiapkan kopi untuk
Ayah.
"Oh jelas, kita akan pulang siang," jawab Ayah, melirikku sambil tersenyum.
Kami bertiga pun tertawa.
"Hampir satu semester, Yah. Ayah sih sibuk teruusss," aku berlagak merajuk.
Ayah mengacak rambutku sambil tertawa, "Memang kamu nggak? Rapat ini,
pelatihan itu, hmm?"
Tampak Ibu agak gugup, tetapi segera ditutupnya kegugupan itu. "Memang kalau
udah kuliah nggak perlu belajar?"
Berdua diam.
"Sama. Aku juga tidak menemukan hal yang membuatku kagum dulu," jawabku,
juga dengan perlahan.
"Kau tak pernah memaafkan aku," katanya lagi.
"Maafku tak akan menghapus luka kami," jawabku sambil menangkupkan kedua
tangan ke mukaku.
Kepalaku tiba-tiba terasa berat begitu teringat masa itu. Teringat Ibu. Sekuat
tenaga dia berusaha tabah menghadapi perpisahannya dengan Ayah. Tetapi tak
sesederhana itu. Pasca perceraian, Ibu seorang diri harus menanggung hutang
Ayah atas namanya. Hutang untuk proses kesenian yang kemudian justru
mempertemukan Ayah dengan Tati. Ironis sekali. Ibu pun menjual rumah yang
kami tempati, mengajukan pensiun dini lalu membawa kami hijrah ke kota kecil
ini. Terlalu banyak luka di kota besar dulu.
Sejak itu hampir tak pernah kudengar berita tentang Ayah. Kota kecil ini terlalu
damai untuk mengenangkan cerita lama. Lagi pula kami harus berjuang keras
merintis kehidupan di sini dan memikirkan Ibu yang ternyata mengidap kanker
payudara.
"Yah..."
Laki-laki itu menoleh. Tersenyum. Aku hendak mengatakan sesuatu padanya,
tetapi tak mampu. Maka hanya anggukan yang kuberikan untuk mengantarnya
pergi.
Dalam hati aku berjanji, nanti malam akan kutulis surat untuk laki-laki itu.
Isinya: Aku berterima kasih telah dibimbingnya menjadi pribadi yang percaya
diri, sehingga menemukan jalan untuk berani mengajak orang lain menempatkan
diri sejajar dengan kami dan bukan justru mengasihani. Satu hal yang tak pernah
diajarkannya adalah menerima kehilangan. Baru belakangan almarhumah Ibu
mengajarkannya padaku. Aku bangkit. Meraih kruk yang kusandarkan di
samping kursi. Tentunya teman-teman terlalu lama menanti. ***
Senja, ibu akan pulang bersama Baron ke rumah. Lalu aku akan menurunkan
tumpukan jerami untuk santap malam Baron. Kemudian ibu akan segera
membakar sebagian tahi Baron untuk menghangatkan tubuh kami dan mengusir
nyamuk-nyamuk. Baron tidur di kandangnya yang terletak di samping kiri rumah
kami. Dan jika kenyang ia akan melenguh lalu tertidur. Suatu hari aku tak akan
lagi jumpai semua itu, dan itu ternyata yang paling aku rindu.
Lelaki di kampung ini telah pergi. Ayahku juga. Tapi ayahku sungguh baik hati.
Pernah ketika libur datang, ayah membawa oleh-oleh pupuk dari kota, katanya,
supaya ibu tak terlalu sibuk di sawah. Juga bibit-bibit yang cantik. Lalu pernah
lagi ketika pulang ayahku membawa televisi. Benda bertabung yang bisa menyala
itu, aih lucu sekali menurutku. Bagaimana orang bisa muat berada di dalam
tabung sekecil itu. Tak perlu lagi pergi ke sawah, tontonlah telenovela dan
berdandanlah seperti bintang film, begitu katanya pada ibu. Lalu aku diberinya
jadwal khusus untuk melihat sinetron, siapa tahu rezekimu datang dan kau bisa
jadi bintang hingga tak perlu lagi tinggal di kampung, begitu ayahku bilang. Tapi,
ah!
Pagi dini aku sudah mulai membaca. Dan koran-koran mulai berdatangan ke
rumahku menebar apa saja. Televisi di rumah kami juga tak berhenti menyiarkan
iklan. Maka kebiasaan ibuku mulai berubah. Maka ibuku mulai suka pergi
berbelanja ke pasar-pasar. Tapi barang-barang itu tak ditemuinya di pasar.
Hingga suatu hari tumbuh mall dan jalan-jalan besar di kampung kami,
menepikan sawah, padang tempat domba-domba kami merumput, juga rumah-
rumah. Sementara pasar-pasar menjadi semakin kumuh dan tenggelam di sudut
rumah. Maka pergilah ibuku ke mall dan berbelanja di sana sampai berjam-jam.
Ia jadi lupa jika padi kami harus disiangi. Juga lupa tentang nasi yang
ditinggalkannya telah mengerak. Ah, ibu, keluhku. Lalu setiap ibu akan pergi
selalu ia berpesan padaku, jangan lupa tebarkan pupuk-pupuk yang dibawa
ayahmu. Ingat takarannya. Angkat jemuran dan tanakan nasi. Jangan lupa buat
sambal terasi untuk ayahmu jika ia pulang.
Kami tak lagi sibuk menyiangi padi. Padi kami tumbuh lebih setia, tak rewel
seperti ibu yang semakin hari semakin asyik memadukan warna lipstik dan baju
juga sepatunya buat kondangan ke tetangga seberang rumah. Tapi entah, kenapa
lama-kelamaan pupuk itu harus selalu kami beli. Juga ibu yang semakin jarang di
rumah. Ibu yang tak lagi memiliki cerita dan dongeng masa lalu untukku, ah
kuno, cobalah gaya hidup yang lebih modern, begitu katanya padaku. Ayah
membelikan aku koleksi play stasion, sementara ibu membelikanku boneka
barbie. Aku tak lagi main engklek atau dakocan. Tak ada kawan. Kami sibuk
memperlihatkan apa yang kami miliki, memamerkan satu dengan yang lain dan
jika tak memiliki apa yang dimiliki yang lain maka ketika pulang akan merengek
lagi.
Zaman telah berubah, jangan ketinggalan. Kau harus lebih sering menonton
televisi dan mengikuti perkembangan. Jangan kita dibilang kampungan. Itu
memalukan, kata ibu padaku ketika kami makan malam.
Tapi aku lebih suka menatap sawah. Hingga pupuk semakin mahal dan rumah
kami tergenang oleh genangan got yang mampat dari sampah pasar yang
meruapkan bau tak karuan. Aku lebih suka desau ilalang dan bau tanah yang
terguyur hujan. Juga kerlip bintang pari yang kadang timbul tenggelam.
Sampai suatu malam, ibu tak pulang dan ayah tak menceritakan ke mana ibu
pergi. Pun aku tak tahu di mana ibu sekarang. Aku hanya berpikir ibu akan baik-
baik saja. Hingga semakin hari sawah kami tumbuh semakin menyempit. Entah
apa sebab. Ketika ibu menyuruh menjualnya, aku protes. Satu-satunya yang bisa
aku nikmati di sini hanya sawah itu. Sebab itu, ibu tak pulang berhari-hari. Tapi
aku masih berpikir ibu akan baik-baik saja. Hingga Baron pergi dari kandangnya
dan digantikan motor baru. Tapi motor ini tak bisa membajak sawah, pikirku.
Dan aku cuma bisa diam selama kami masih baik-baik saja. Ya, kami tetap baik-
baik saja.
Aku membuka lemari ibu, memilah-milah lipatan tumpukan baju, tapi aku hanya
menemukan lembaran kutang dan celana dalam. Akhirnya aku membongkar
hingga ke laci-lacinya, tetap tak ada. Aku mencoba mencari di pelosok kamar ibu
barangkali ia menyimpan jarik dan kebayanya di tempat lain selain di lemari.
Tapi tak juga ada. Beberapa majalah tergeletak sembarangan, sedang di depan
cermin berderak kosmetik ibu. Barangkali ibu menjualnya ke tukang loak entah
kapan, ketika kutanya ke Lik Kaseno --tukang loak yang biasa lewat di depan
rumah kami dan sesekali menjajakan barang rongsokan yang masih sedikit bisa
dipakai dari rumah ke rumah-- esok harinya, lelaki itu tak tahu-menahu dan
bilang ibu tak pernah menjual loakan apa pun kepadanya. Lalu barangkali ibu
memberikannya ke kerabat, sebab aku rasa benda itu keramat, maka kutanya ke
beberapa nama dan alamat tanpa rasa malu, tapi tak juga kutemu. Karena kesal
aku malam itu tak pulang dan berjalan mengelilingi kota yang mulai tumbuh di
kampungku. Lampu-lampu nyaris menubruk bola mataku. Kunang-kunang yang
tadinya selalu kutangkap dan kuintip di tangkupan kedua tanganku seolah
lenyap tertimbun lampu-lampu yang tak bisa kutangkup. Sesampainya di
simpang, di sebuah warung abang kulihat ayah tengah menenggak bir bintang
dan memegang kartu as. Aku biarkan saja, barang sekali dua tak apalah untuk
mengaso. Di mana ibu, malam-malam begini. Meski aku masih berpikir bahwa
ibuku akan baik-baik saja. Sampailah aku di dekat sebuah hotel dan kulihat ibu
berdiri di samping pintu gerbangnya. Tersenyum ke setiap lelaki yang lewat di
depannya sambil sesekali memegang tangan mereka. Lipstik ibu sungguh tebal
seperti ketika sedang menghadiri kondangan di kampung, waktu dulu dan
terakhir tiga hari yang silam di tempat Mr John yang kata ibu adalah teman
dekatnya. Entah kapan kenal dengannya, sebab sejak dulu di kampungku tak ada
yang dipanggil Mister. Aku melihatnya, ibu digandeng seorang lelaki ke dalam
hotel itu. Dan aku masih meyakini ibuku akan baik-baik saja.
Besok malamnya aku kembali mengikuti ke mana ibu pergi. Jelang pagi kulihat
ibu kenakan jarik dan kemben itu. Ah, lega rasanya. Ternyata ibu masih
menyimpannya dan membawa kemana pun ia pergi, aku sedikit riang. Tapi baju
keramat itu tak lagi dipakainya menyiangi rumput di sawah kami. Di situ, di
antara para lelaki dan sedikit perempuan ibuku menari hingga akhirnya
telanjang dan menjelma sawah yang bisa dibajak dan disiangi siapa saja. Dan ibu
tak lagi meluku. Juga ayahku tak ada di situ. Bahkan aku yang ada di situ --di
salah satu sudut ruang yang temaram dari sebuah pub-- hanya diam. Barangkali
juga ayahku. Sebab tak pernah ada pertengkaran di rumah kami. Hingga aku
yakin ibuku baik-baik saja. Esok pagi kami masih bersitatap di rumah meski
kulihat kemudian ia tertidur dan aku yang membereskan semua pekerjaan di
dapur. Pernah aku masih berpikir untuk mencuri jarik dan kebaya itu dari ibu.
Sebab aku ingin sekali memakainya, nanti, ketika menikah dengan sedikit harap
masih bisa menemukan sepetak sawah dan menganai padi-padinya. Tapi tak ada
lagi yang kumiliki. Hanya kenangan tentang ayah, ibu, sawah hijauku, akar-akar
juga Baron, kerbauku.
Sebab keesokan harinya ketika aku bangun tak ada lagi pupuk, sebab ayah telah
menjual sawah itu. Juga Baron yang telah pergi lebih dulu, dijual ibu. Dan
akhirnya, kami bermetamorfosa seperti kupu-kupu. ***
Bandar Lampung, 2004