Anda di halaman 1dari 6

1.

Tentukan unsur intrinsik secara mendetail dengan disertai kutipan pendukung pada cerita berikut ini
yang meliputi
a. Tema/masalah yang diangkat
b. Struktur alurnya : (1) Apa konfliknya?
(2) Apa penyebab konflik
(3) Apa akibat dari konflik tersebut
c. Penokohan meliputi : (1) Bagaimana karakter tokohnya.
(2) Dengan cara apa pengarang menggambarkan penokohannya. Berikan
kutipannya.
d. Latar tempat, latar waktu, dan latar suasana.
e. Sudut pandang
Penggalan Novel Raumanen karya Mariane Katopo

Sore selepas hujan, aku bergegas menyusuri jalan sepanjang pertokoan. Tak kupedulikan cipratan air hujan
yang menggenangi sepanjang jalan yang kulintasi dan mengotori ujung celana jins yang kupakai. Aku terburu-
buru. Raumanen telah menungguku sejak lima belas menit yang lalu. Sebuah pohon tumbang menghambat laju
jalan bus yang kutumpangi tadi, hingga aku terlambat menemui Raumanen di kedai kopi tempat biasa kami
menikmati secangkir kopi.
Setiba di sana, kulihat Raumanen telah duduk di pojok dekat jendela. Pojok yang tak mecolok
perhatian, begitu katanya menamai tempat favorit kami itu. Dan dari sana pula kami bisa mengamati beberapa
tamu lain sambil menunggu secangkir kopi tersaji. Aku melambai kearahnya. Jemari tangan kanannya berhenti
mengetuk2 meja dan langsung membalas lambaian tanganku. Ada segaris senyum di bibirnya. Namun tak bisa
menutupi kegelisahan yang terpancar dari wajah cantiknya. Bergegas aku menghampiri dan duduk
dihadapannya.
“Manen…” kataku hati2 “Ada apa?”
Raumanen diam. Wajahnya menyiratkan duka.
“Manen…?” bisikku lagi setelah beberapa detik berlalu. Tanganku menyentuh jemarinya.
Raumanen tetap diam. Sikap Raumanen kali ini sungguh buat aku bingung. Sikapnya yang dulu ceria dan selalu
berceloteh panjang setiap kami bertemu, sekarang tak bersisa di wajahnya.
Padahal masih jelas dalam ingatanku saat Raumenen bercerita dengan riang tentang perkenalannya
dengan seorang pria yang pada akhirnya membuat dirinya terpesona. Seorang insinyur muda tampan keturunan
Batak bernama Hamonangan telah membuatnya jatuh hati. Aku juga ingat betapa Raumanen kesal ketika
beberapa teman mengomentari kedekatan dirinya dengan Monang.
 “Mereka tak pantas berkata seperti itu tentang Monang!” Ujar Raumanen padaku di suatu siang saat
mendengar nasehat beberapa teman yang memperingatkannya agar ia hati2 terhadap Monang yang selama ini
terkenal sebagai petualang cinta di kampus kami.
“Mereka tau apa tentang aku dan Monang?” lanjutnya lagi “Selama ini mereka selalu menilai tentang
keburukan2 Monang. Bahkan sekarang, mereka menilai bahwa aku tak pantas bersanding dengan Monang
hanya karena Monang bersuku Batak dan aku Menado”.
Sebenarnya waktu itu aku ingin menyatakan kekhawatiranku juga, namun aku tak sanggup. Aku tak tega
melihat kekecewaan yang mungkin hadir jika aku menyerukan pendapatku tentang Monang. Sungguh, aku tak
sanggup merusak kebahagiaan Raumanen saat itu.
Setelah jeda cukup lama akhirnya aku memberanikan diri bertanya.
“Tentang Monang?” tanyaku menebak.
Raumanen mengangguk.
“Aku tak ingin Monang menikahiku hanya karena ingin bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukannya”.
Raumanen mengelus lembut perutnya. Tatapan mataku turun mengikuti arah gerakan tangannya. Sudah masuk
bulan ketiga. Sepintas memang tak tampak tapi jika dilihat lebih seksama perutnya sudah agak sedikit
membuncit.
Kemesraan Raumenen dan Monang memang telah mencapai titik yang melampaui batas larangan. Suatu
malam, menurut cerita Raumanen padaku, sepulang mereka dari suatu acara kampus yang diadakan di
Puncak, tiba2 saja mobil yang dikendarai Monang mogok di daerah Cibogo. Karena hari sudah terlampau
malam, maka mereka memutuskan bermalam di sebuah bungalow. Terjadilah perbuatan yang paling terlarang
oleh agama itu.
“Kalau cuma itu sebabnya hingga Monang mau kawin denganku, kurasa lebih baik dia lupakan saja” lanjut
Raumanen menyentak lamunanku.
“Jadi menurutmu, selama ini Monang tak mencintaimu? hanya karena dia tak pernah mengucapkan kata2 cinta
dihadapanmu?” tanyaku sambil menatap lekat wajahnya.
“Perkawinan harus dilandasi cinta…”. Raumanen menjawab.
Aku menghela napas. Aku harus menghargai pendapat Raumanen. Aku tahu, Raumanen tak mau Monang
menikahinya karena terpaksa.
Monang, begitu Raumenen pernah bertutur padaku, tak pernah sekalipun mengatakan cinta pada
Raumanen. Padahal ucapan itu sangat dibutuhkan oleh Raumanen. Hal itulah yang membuat Raumanen
merasa ragu akan niatan Monang untuk mengawininya. Tapi aku yakin bahwa Monang sangat mencintai
Raumanen. Aku tahu, Monang memilih cara lain dalam mengungkapkan cintanya pada kekasihnya itu.
“Tapi…” kata2ku terhenti. Seorang pelayan datang ke meja kami mengantarkan secangkir kopi lalu
meletakkannya dihadapanku. Sepintas kulihat mata pelayan itu melirik ke arah Raumanen sejenak kemudian
berlalu dengan tanda tanya yang kutangkap di wajahnya.
“Kalian harus segera menikah, Manen” kataku melanjutkan kalimat yang terputus tadi.
Raumanen menggeleng pelan.
“Ya, seharusnya aku bahagia, karena Monang sudah membuka jalan ke arah pernikahan kami. Tetapi aku tidak
bahagia, cuma merasa bersalah karena kejadian di bungalow itu. Lagi pula aku takut. Takut masa depan.
Haruskah aku menjadi istri Monang sekarang? Membagi hidupku dengannya, mengarahkan cita-citaku agar
serasi dengan cita-citanya? Sedangkan aku tak tahu apakah ia mencintaiku”. jelas Raumanen panjang lebar
padaku.
“Tapi Manen, tidakkah kau lihat usahanya?” Aku berusaha meyakinkan Raumanen. “Usaha Monang
memperkenalkanmu kepada keluarganya? mempersiapkan sebuah rumah untuk kalian tinggali setelah kalian
menikah? tidakkah itu kau terjemahkan sebagai ungkapan cinta?”
Lagi, perbincangan kami terperangkap dalam kebisuan. Kulihat jemari Raumanen memainkan tangkai
cangkir kopinya yang berisi tinggal separuh. Kuraih cangkir kopi bagianku. Sudah mulai dingin. Kuminum
hingga  tinggal separuh dalam tiga kali tegukan.
“Manen, kau harus menerima Monang menikahimu” ujarku memecah keheningan kami.
“Aku tidak bisa….” bisik Raumanen sambil menggeleng.
“Apa lagi yang membuat kalian tidak bisa bersama?” tanyaku. Keningku berkerut sambil menatap lekat
wajahnya.
“Orangtua Monang tak menyetujui pernikahan kami…” kalimat Raumanen terputus. Dia tercekat. Matanya mulai
berair dan membasahi kedua pipinya.
Aku buru2 merogoh tas mencari tisu lalu memberikan padanya. Raumanen menerima lalu mengeringkan kedua
sudut matanya dengan tisu pemberianku.
“Mereka telah menjodohkan Monang dengan sepupunya. Seorang gadis di Sibolga sana. Keputusan keluarga
berdasarkan adat Batak agar Monang yang telahir sebagai anak sulung, harus menikah dengan gadis sesuku”
lanjut Raumanen.
Aku tercenung mendengar kata2 Raumanen. Aku memang pernah dengar tentang ketentuan adat seperti
itu, meski tak paham benar. Tapi aku benar2 tak menyangka jika hal tersebut justru menimpa Raumanen dan
Monang.
“Sudahlah,  ini sudah jalan nasibku” ujar Raumanen. “Kami memang ditakdirkan tidak berjodoh”.
“Tapi kau tidak bisa mengalah pada nasib seperti itu saja, Manen” sanggahku.
Raumanen menggeleng. Kulihat dia tersenyum.
“Coba bayangkan. Bila kami nanti naik pelaminan, bersama2, bila kelak kami bersujud dihadapan pendeta,
semua akan mencibir, akan memandang kami dengan cemooh dan benci, karena mereka sudah tahu bahwa
sebelum direstui Tuhan dan manusia, Manen dan Monang sudah mencicipi cawan cinta itu” [3] kata Raumanen.
Kulihat matanya menerawang.
“Ah, peduli apa kata mereka!!” suaraku mengeras “Yang penting kalian menikah. Aku ingin melihatmu hidup
bahagia bersama Monang”
Raumanen menarik napas panjang. Aku meraih tangan Raumanen dan menggenggamnya. Seketika aku bisa
merasakan kegetiran di hati Raumanen.
“Aku senang kau mau datang dan mendengarkan ceritaku, tapi aku harus pergi sekarang” kata Raumanen
seraya meraih tas disampingnya dan dikenakan di bahunya.
Sebenarnya aku ingin menahannya beberapa menit lagi. Rasanya aku belum puas meyakinkan Raumanen.
Tapi aku juga tak ingin terlihat terlalu mencampurin persoalan antara dirinya dan Monang.
Raumanen bangkit dari duduknya. Lalu aku pun ikut berdiri. Tiba2 Raumanen memeluk tubuhku erat.
“Sekali lagi, terimakasih sudah menjadi temanku” bisiknya tanpa melepaskan pelukannya “Aku yang terbuang
selama2nya dari Tuhan dan manusia…” [4] ujarnya lagi lalu melepaskan pelukannya.
“Apa maksudmu, Manen?” tanyaku bingung.
“Aku harus pergi…” sahutnya.
“Baiklah, kita bisa janjian di sini lagi nanti” ujarku.
Raumanen diam.
“ Hati2…” lanjutku lagi menutup pembicaraan.
Kupandangi Raumanen hingga menghilang di balik pintu. Aku kembali duduk dan menghabiskan separuh kopi
yang masih bersisa di cangkirku dengan pikiran penuh disibukan dengan pengulangan perbincangan

2. Judul Kegiatan: Pembagian 1000 Masker kepada Pengguna Jalan di Jalan Diponegoro
Dari kegiatan di atas buatlah: Latar belakang, tujuan dan manfaatnya.

3. Judul penelitian : Faktor Penyebab Rendahnya Kesadaran Remaja Kota Singkawang akan Bahayanya COVID 19
Dari judul di atas, buat Latar belakang dan rumusan masalahnya.

4. Ceritakan kembali isi drama Ayahku Pulang karya Usmar Ismail. Analisis masing-masing karakter
tokohnya dengan didukung argumentasi yang meyakinkan.

5. Kerjakan soal berikut ini seperti pada contoh! Kumpulkan via WA dengan nomor 081258059974
Contoh.
Resensi Buku: Kumpulan Puisi "Menjenguk Mantan" Karya Zayyin Achmad
Judul                 : Menjenguk Mantan
Penulis             : Zayyin Achmad
Cetakan           : I (Pertama), 2017
Penerbit           : Indie Book Corner
Tebal buku      : 170 halaman (130 judul puisi)
ISBN                 :     978-602-3092-45-1

           Zayyin Achmad adalah seorang ketua Forum Lingkar Pena Surabaya periode 2016/2017. Buku kumpulan
puisi ini adalah karya pertama Zayyin Achmad. Dalam buku puisi ini Zayyin Achmad berusaha menyampaikan
kegelisahan, gagasan, ide, dan hasrat. Buku ini dimulai dengan sambutan dari seorang penulis yang telah lama
berkecimpung dalam dunia tulis menulis pada kata pengantar, kemudian dilanjutkan dengan prolog dari Zayyin
Achmad.
            Puisi pertama dalam buku ini dimulai dengan judul “Semoga”. Dalam puisi ini Zayyin Achmad menyampaikan
kegelisahannya. Kegelisahan tersebut berupa sebuah kerinduan pada seseorang. Akan tetapi terdapat pengecualian
kepada sosok “Engkau” pada penutup puisi tersebut.
            Setelah puisi pertama dilanjutkan dengan 129 puisi berikutnya. Puisi-puisi Zayyin Achmad terdiri dari beragam
tema yang menyangkut ketuhanan, luka, cinta, negara, dan banyak hal lainnya. Seperti dalam puisi “Warung Kopi”
yang menggambarkan keuntungan adanya warung kopi.
Beruntung bumi ini masih membuka warung kopi
Petunjuk arah untuk hati yang tak tahu
Dimana ia harus berlabuh
            Kelebihan dari puisi-puisi yang dibuat Zayyin Achmad adalah beliau menggunakan keindahan kata-kata
dalam setiap puisinya Setiap kata mempunyai makna yang tersirat. Walaupun ada beberapa puisi yang jika dibaca
seperti membaca tulisan yang biasa saja. Akan tetapi jika dipahami lebih dalam akan mempunyai makna yang sangat
indah.
             Buku ini hadir untuk membuktikan kerja keras seorang Zayyin Achmad dalam merangkai puisi yang bagus
dan tentunya sebagai batu loncatan agar Zayyin Achmad terus bertumbuh seiring pengalaman dan kegigihan untuk
terus mengeksplorasi kemampuannya
.
Coklat : judul resensi
Merah : identitas buku
Oren : kepengarangan
Hijau : telaah isi buku
Hitam : kelebihan buku
Biru : Kelemahan buku
Ungu : Telaah tujuan penulisan buku

(Resensi Puisi) Kumpulan Puisi “Pintu Terbuka” dalam Memaknai Kehidupan

Identitas buku
Judul              : Pintu Terbuka
Penyusun       : Kelas K Angkatan 2013 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Penerbit          : Universitas Negeri Yogyakarta
Cetakan          : I, 2017
Tebal buku      : 171 halaman
ISBN               : 6026250-35-3
Resensi           : Elly Nurmayanti

Umumnya, pintu adalah sebuah tempat untuk masuk dan keluar. Pada buku ini digambarkan bahwa pintu-pintu
digunakan sebagai jalan menuju dunia luar atau mengunci diri dari lika-liku kehidupan. Orang yang ingin mengenal
lebih dalam tentang bersusah payah di dunia, akan melewati pintu demi pintu kehidupan pada setiap fasenya.
Begitupun orang yang memilih berdiam diri dibalik pintunya yang tertutup, tidak akan pernah mengetahui goresan
asam manis kehidupan. Semuanya adalah pilihan setiap individu untuk membuka pintunya, atau menutup pintunya
rapat-rapat. Namun, saat seseorang memilih membukanya, sesuatu akan masuk ke dalam pintu yang terbuka itu. 
Seperti halnya puisi yang berjudul “Kuingin Pintu-Mu” karya Nurullita Fitri Chandrawati sebagai berikut :
Malu aku dihadapan-Mu
Ingin kuucap taubat dalam sujudku
Hanya ingin kembali pada-Mu
Ke jalan-Mu
Garis hitam perjalanan hidupku
Tanda akan kuasa-Mu
Sungguh ujian-Mu amat menamparku
Raihlah tanganku
Tuntun ke pintu maaf-Mu
Aku ingin membuka lembaran baru
Agar hatiku, hariku, hidupku cerah karena-Mu 
Senyum adalah ibadah kata-Mu
Sungguh Kau telah mempersulit laku
Indahnya melangkah dengan segala perintah-Mu
Tasbih tak henti kuucapkan
Hingga aku masih tertunduk malu
Oh… Sang Pemilik Semesta Alam
Pantaskah aku mendamba surga-Mu ?
 
Puisi tersebut mengisahkan penulis yang telah membuka pintunya dan menerjang kehidupan luar hingga akhirnya
ingin kembali ke pintu maaf-Nya karena membuat catatan hitam yang kelam. Hingga Tuhan menegurnya melalui
tamparan keras atas perbuatan yang ia lakukan.
Berbeda dengan puisi yang berjudul “Lain Sisi” Karya Yohanes Wahyu Eddie Dharma sebagai berikut :
Senja menemani
abadi layaknya awal dan akhir
cahaya sendu yang perlahan memudar
dengan secangkir kopi tanpa gula, teman dan alas
Sunyi mengakrab
yang tak terlambat datang
menyapa
mengencan paksa
barang sekejap 
Kini kutahu, sepi yang menyimpan
kehidupan tenang dan damai didalamnya
dalam gelap masih ada dunia
sama dengan sisi yang lain

Puisi karya Yohannes ini mengisahkan sisi lain dari balik pintu kehidupan yang teramat nyaman untuk ditinggalkan
hingga menemukan dunianya sendiri meski dalam kegelapan. Sehingga tidak ingin untuk beranjak dan sekadar
mengintip dunia luar yang penuh dengan teka-teki kehidupan.
Penulis ingin mengungkapkan bahwa setiap individu memiliki paradigma  yang berbeda dalam mencari kenyamanan
dan menempatkan diri dalam kehidupan. Semua pilihan memiliki konsekuensi tersendiri. Hanya beberapa orang yang
mempercayai bahwa kehidupan diluar sangat indah dan sayang untuk dilewati begitu saja, sedangkan orang yang
takut dunia luar memilih mengurung diri dalam keramaian. Selain kedua perbedaan itu, beberapa puisi juga
menggambarkan penulis yang merasa dirugikan oleh sang penguasa seperti pada puisi “Mati Petani” karya Umar
Fajar Utami dan “Hancurku, Tak Kau Tahu” karya Finta Nuarita.  Kedua puisi tersebut merupakan gambaran dari
garis keras kehidupan rakyat kecil yang tertindas yang hanya memikirkan esok hari makan apa, sedangkan sang
penguasa memiliki moto esok hari makan siapa.
Puisi dalam buku “Pintu Terbuka” lebih menitikberatkan pada permasalahan dunia luar yang keras, tidak terduga, dan
lebih memilih dibalik pintu mematung meski sesekali merasa kesepian. Jika dibaca secara keseluruhan, puisi ini
sangat menarik dan memiliki berbagai makna kehidupan serta dikemas dalam berbagai versi atau pandangan setiap
penulis.

Resensi Buku “Aku Ini Binatang Jalang” (1)

Judul Buku                    : Aku Ini Binatang Jalang


Penulis                          : Chairil Anwar
Penerbit                        : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit                 : 2016
Cetakan                        : Kedua puluh lima, Juni 2016
Tebal Buku                   : 131 Halaman
ISBN                             : 978-602-03-3244-4

Kalau sampai waktuku


‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Maret 1943, Puisi ‘Aku’ oleh Chairil Anwar)
Aku Ini Binatang Jalang merupakan buku yang berisi kumpulan puisi yang dibuat oleh penyair besar Indonesia yaitu
Chairil Anwar. Tak hanya kumpulan puisi dalam buku tersebut juga terdapat kumpulan surat yang dikirim Chairil
Anwar kepada H.B Jassin kritikus sastra yang turut membesarkan nama Chairil Anwar dalam dunia sastra di
Indonesia.  Chairil Anwar dikenal sebagai sastrawan pelopor Angkatan 45 melalui puisi-puisnya yang  begitu kritis
dan penuh dengan makna tersirat. Dari larik-larik yang terdapat pada setiap puisi Chairil Anwar sangat jelas
menggambarkan vitalitas dan sisi lain kehidupannya yang tergambar yang mungkin tidak bisa terhapus dari
kehidupan berkesenian di negeri ini, yakni kejalangannya. Sebagai ‘Binatang Jalang”-lah Chairil Anwar merupakan
lambang kesenimanan di Indonesia.  Bukan Rustam Effendi, Sanusi Pane, atau Amir Hamzah tetapi Chairil Anwar
yang dianggap memiliki seperangkat ciri seniman: tidak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu
kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan. Sejumlah anekdot telah lahir dari ciri ciri tersebut.
Tampaknya masyarakat menganggap bahwa seniman tidak berminat mengurus jasmaninya, dan lebih sering tergoda
oleh khayalannya; mungkin yang paling mirip dengan golongan “binatang jalang” ini adalah orang sakit jiwa.
                   Salah satu puisi Chairil Anwar yang hingga kini digandrungi oleh masyarakat Indonesia adalah puisi
“Aku”, dari puisi tersebut ia seolah menceritakan bahwa dirinya ingin hidup seribu tahun lagi. Namun hal itu justru
tidak sesuai dengan espektasinya dikarenakan Chairil Anwar meninggal dalam usia yang masih sangat muda yaitu
27 tahun. Puisi tersebut ditulis enam tahun sebelum ia meninggal dunia. Jasadnya dimakamkan di Karet, yang
disebutnya sebagai “daerah y.a.d.” dalam “ Yang Terampas dan Yang Putus” sajak yang ditulisnya beberapa waktu
menjelang kematiannya pada tahun 1949.
                   Meskipun saat ini Chairil Anwar telah tiada namun sajak-sajaknya yang begitu indah masih hidup
ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Dalam hidupnya yang singkat, Chairil Anwar telah menghasilkan puisi yang
akan terus hidup seribu tahun lagi.
Kelebihan dan Kekurangan  :
 Kelebihan Buku
          Sajak-sajak Chairil Anwar yang  sederhana tanpa terlalu banyak hiasan dikemas sangat menarik dalam buku
ini yang akan membawa para pembaca berimaginasi dari setiap larik-larik dalam puisi yang ditulis oleh Chairil Anwar.
 Kekurangan Buku
         Bagi para pembaca “awam” dalam dunia sastra akan kesulitan memahami beberapa larik dalam puisi ataupun
sajak Chairil Anwar,  sehingga perlu dibaca berulang-ulang.
Kesimpulan
Buku ini sangat menarik untuk dibaca oleh semua kalangan karena dengan membaca buku ini kita akan mengenal
sosok Chairil Anwar lebih dalam lagi. Tak hanya itu buku ini akan memanjakan imaginasi para pembaca khususnya
bagi pembaca yang sangat menyenangi dunia sastra.

Resensi Kumpulan Puisi dari Buku "AKU INI BINATANG JALANG" (2)

Judul                         : Aku ini Binatang Jalang


Penulis                      : Chairil Anwar
Cetakan                     : Juli 2011
Penerbit                     : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman        : 131
Editor                         : Pamusuk Eneste
Kata Pembuka oleh   : Nirwan Dewanto
Kata Penutup oleh     : Sapardi Djoko DamonoDamono

Dalam buku kumpulan puisi karya Chairil Anwar ini berisi tentang koleksi sajak-sajak Chairil Anwar dari
tahun 1942 sampai 1949. Ada beberapa versi yang dimasukkan dalam buku ini diantaranya Haiti Deru Campur Debu,
Krikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus, Tiga Menguak Takdir, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, dan
Kesusastraan Indonesia di masa Jepang.
Sajak yang dimuat dalam koleksi ini adalah seajack-sajak asli Chairil Anwar ditambah dua sajak saduran.
Sajak dalam koleksi ini juga memberikan judul pada sajak tak berjudul guna memberi kepentingan praktis. Selain itu
juga terdapat bibliografi tentang Chairil Anwar dan karyanya.
Puisi-puisi dalam buku ini sebagian besar bercerita tentang pengalaman hidup Chairil Anwar dari tahun 1942
sampai tahun 1949. Buku ini dikemas dalam beberapa tema yaitu antara lain ketuhanan, kekeluargaan, romantisme,
kebangsaan, sosia, kesendirian, dan lain sebagainya.
Bahasa yang digunakan oleh Chairil Anwar penuh dengan lika-liku kehidupan yang ketika dibaca oleh sang
pembaca, akan tersentuh kalbu serta jiwanya. Lebih dari cukup untuk menyadarkan generasi milenial saat ini untuk
bisa menelusuri masa lalu lewat seajack-sajak yang disampaikan.
Buku ini sangat baik untuk diberikan kepada remaja dan orang tua. Pembaca akan disuguhkan pengalaman
luar biasa seorang maestro penyair terkenal sepanjang masa Chairil Anwar.

Resensi Buku “Aku Ini Binatang Jalang” (3)


Detail Buku :
Judul : Aku Ini Binatang Jalang
Penulis : Chairil Anwar
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 111 Halaman
Ukuran : 14x21 cm

Buku yang berjudul aku ini binatang jalang adalah sebuah buku yang berisi kumpulan puisi-puisi dari seorang
pujangga era 45 yaitu Chairil Anwar. Puisi-puisi didalamnya adalaha puisi yang dituliskannya dari dia memutuskan
ingin menulis puisi sampai dia meninggal.
Biasanya kita tidak bisa menemukan sajak-sajak Chairil Anwar dalam satu buku. Sebagian kita temukan dalam Deru
Campur, Kerikil Tajam, Yang Terampas, dan Yang Putus. Memang dulu puisi-puisi Chairil Anwar selalu terpisah-
pisah, tetapi di Buku Aku Ini Binatang Jalang semua sajak puisi terseut di jadikan satu, dan yang berada di buku ini
kebanykan berisikan semangat untuk tetap mencintai Indonesia serta berjuang demi Indonesi seperti Persetujuan
dengan Bung karno. Terdapat juga surat-surat yang ditulis Chairil Anwar untuk sahabatnya H.B. Jassin.
Sajak-sajaknya menyediakan dasar penulisan puisi sampai hari ini, demikian yang ditulis oleh Nirwan Dewanto dalam
kata pembuka buku ini. Sementara Sapardi Djoko Damono menulis dalam kata penutu bahwa beberapa sajak Chairil
Anwar yang terbaik adalah ia telah bergerak begitu cepat ke depan, Sehingga bahkan bagi penyair masa kini saraf
sajak-sajaknya tersebut bukan masa lampau tetapi masa depan, yang mungkin hanya bisa dicapai dengan bakat,
semangat, dan kecerdasan yang tinggi.
Buku ini sangat cocok bagi nasionalis yang ingin mengetahui pandangan era 45  melalui memalui sisi pandang
seorang pujangga seperti Chairil Anwar, Buku ini juga sangat wajib dipunyai bagi seorang yang mencintai sastra dan
sudah sepatutnya setiap pecinta sastra Indonesia memiliki koleksi sajak seorang penyair yang Ingin Hidup Seribu
Tahun Lagi.

Catatan: Pengiriman hasil satu per satu

Anda mungkin juga menyukai