Anda di halaman 1dari 23

DAFTAR CERITA RAKYAT

1. Keong Emas
2. Asal Mula Kota Banyuwangi
3. Bawang Merah dan Bawang Putih
4. Asal Mula Telaga Biru
5. Timun Mas
6. Sangkuriang
7. Legenda Danau Toba
8. Lutung Kasarung
Asal Mula Danau Limboto

Danau Limboto merupakan sebuah danau yang terletak di Kecamatan Limboto, Kabupaten
Gorontalo, Provinsi Gorontalo Indonesia. Dulunya, danau ini bernama Bulalo lo limu o tutu, yang
berarti danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Menurut kepercayaan masyarakat setempat,
keberadaan danau seluas kurang lebih 3.000 hektar ini disebabkan oleh sebuah peristiwa ajaib yang
terjadi di daerah itu. Peristiwa apakah yang menyebabkan terjadinya Danau Limboto? Ikuti kisahnya
dalam cerita Asal Mula Danau Limboto.
Dahulu, daerah Limboto merupakan hamparan laut yang luas. Di tengahnya terdapat dua buah
gunung yang tinggi, yaitu Gunung Boliohuto dan Gunung Tilongkabila. Kedua gunung tersebut
merupakan petunjuk arah bagi masyarakat yang akan memasuki Gorontalo melalui jalur laut.
Gunung Bilohuto menunjukkan arah barat, sedangkan Gunung Tilongkabila menunjukkan arah timur.
Pada suatu ketika, air laut surut, sehingga kawasan itu berubah menjadi daratan. Tak beberapa lama
kemudian, kawasan itu berubah menjadi hamparan hutan yang sangat luas. Di beberapa tempat
masih terlihat adanya air laut tergenang, dan di beberapa tempat yang lain muncul sejumlah mata
air tawar, yang kemudian membentuk genangan air tawar. Salah satu di antara mata air tersebut
mengeluarkan air yang sangat jernih dan sejuk. Mata air yang berada di tengah-tengah hutan dan
jarang dijamah oleh manusia tersebut bernama Mata Air Tupalo. Tempat ini sering didatangi oleh
tujuh bidadari bersaudara dari Kahyangan untuk mandi dan bermain sembur-semburan air.
Pada suatu hari, ketika ketujuh bidadari tersebut sedang asyik mandi dan bersendau gurau di sekitar
mata air Tupalo tersebut, seorang pemuda tampan bernama Jilumoto melintas di tempat itu.
Jilumoto dalam bahasa setempat berarti seorang penduduk kahyangan berkunjung ke bumi dengan
menjelma menjadi manusia. Melihat ketujuh bidadari tersebut, Jilumoto segera bersembunyi di balik
sebuah pohon besar. Dari balik pohon itu, ia memerhatikan ketujuh bidadari yang sedang asyik
mandi sampai matanya tidak berkedip sedikitpun.
Aduhai.... cantiknya bidadari-bidadari itu! gumam Jilumoto dengan takjub.
Melihat kecantikan para bidadari tersebut, Jilumoto tiba-tiba timbul niatnya untuk mengambil salah
satu sayap mereka yang diletakkan di atas batu besar, sehingga si pemilik sayap itu tidak dapat
terbang kembali ke kahyangan. Dengan begitu, maka ia dapat memperistrinya. Ketika para bidadari
tersebut sedang asyik bersendau gurau, perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tempat sayap-sayap
tersebut diletakkan. Setelah berhasil mengambil salah satu sayap bidadari tersebut, pemuda tampan
itu kembali bersembunyi di balik pohon besar.
Ketika hari menjelang sore, ketujuh bidadari tersebut selesai mandi dan bersiap-siap untuk pulang ke
Kahyangan. Setelah memakai kembali sayap masing-masing, mereka pun bersiap-siap terbang ke
angkasa. Namun, salah seorang di antara mereka masih tampak kebingungan mencari sayapnya.
Hai, Adik-adikku! Apakah kalian melihat sayap Kakak?.
Rupanya, bidadari yang kehilangan sayap itu adalah bidadari tertua yang bernama Mbu`i Bungale.
Keenam adiknya segera membantu sang Kakak untuk mencari sayap yang hilang tersebut. Mereka
telah mencari ke sana kemari, namun sayap tersebut belum juga ditemukan. Karena hari mulai
gelap, keenam bidadari itu pergi meninggalkan sang Kakak seorang diri di dekat Mata Air Tupalo.
Kakak.. jaga diri Kakak baik-baik! seru bidadari yang bungsu.
Adikku...! Jangan tinggalkan Kakak! teriak Mbu`i Bungale ketika melihat keenam adiknya sedang
terbang menuju ke angkasa.
Keenam adiknya tersebut tidak menghiraukan teriakannya. Tinggallah Mbu`i Bungale seorang diri di
tengah hutan. Hatinya sangat sedih, karena ia tidak bisa bertemu lagi dengan keluarganya di
Kahyangan. Beberapa saat kemudian, Jilumoto keluar dari tempat persembunyiannya dan segera
menghampiri Mbu`i Bungale.
Hai, Bidadari cantik! Kenapa kamu bersedih begitu? tanya Jilumoto dengan berpura-pura tidak
mengetahui keadaan sebenarnya.
Sayapku hilang, Bang! Adik tidak bisa lagi kembali ke Kahyangan, jawab Mbu`i Bungale.
Mendengar jawaban itu, tanpa berpikir panjang Jilumoto segera mengajak Mbu`i Bungale untuk
menikah. Bidadari yang malang itu pun bersedia menikah dengan Jilumoto. Setelah menikah,
mereka memutuskan untuk tinggal bersama di bumi. Mereka pun mencari tanah untuk bercocok
tanam. Setelah berapa lama mencari, akhirnya sepasang suami-istri itu menemukan sebuah bukit
yang terletak tidak jauh dari Mata Air Tupalo. Di atas bukit itulah mereka mendirikan sebuah rumah
sederhana dan berladang dengan menanam berbagai macam jenis tanaman yang dapat dimakan.
Mereka menamai bukit itu Huntu lo Ti`opo atau Bukit Kapas..
Pada suatu hari, Mbu`i Bungali mendapat kiriman Bimelula, yaitu sebuah mustika sebesar telur itik
dari Kahyangan. Bimelula itu ia simpan di dekat mata air Tupalo dan menutupinya dengan sehelai
tolu atau tudung. Beberapa hari kemudian, ada empat pelancong dari daerah timur yang melintas
dan melihat mati air Tupalo tersebut. Begitu melihat air yang jernih dan dingin itu, mereka segera
meminumnya karena kehausan setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Usai minum, salah
seorang di antara mereka melihat ada tudung tergeletak di dekat mata air Tupalo.
Hai, kawan-kawan! Lihatlah benda itu! Bukankah itu tudung? seru salah seorang dari pelancong
itu.
Benar, kawan! Itu adalah tudung, kata seorang pelancong lainnya.
Aneh, kenapa ada tudung di tengah hutan yang sepi ini? sahut pelancong yang lainnya dengan
heran.
Oleh Karena penasaran, mereka segera mendekati tudung itu dan bermaksud untuk menangkatnya.
Namun, begitu mereka ingin menyentuh tudung itu, tiba-tiba badai dan angin topan sangat dahsyat
datang menerjang, kemudian disusul dengan hujan yang sangat deras. Keempat pelancong itu pun
berlarian mencari perlindungan agar terhindar dari marabahaya. Untungnya, badai dan angin topan
tersebut tidak berlangsung lama, sehingga mereka dapat selamat.
Setelah badai dan hujan berhenti, keempat pelancong itu kembali ke mata air Tupalo. Mereka
melihat tudung itu masih terletak pada tempatnya semula. Oleh karena masih penasaran ingin
mengetahui benda yang ditutupi tudung itu, mereka pun bermaksud ingin mengangkat tudung itu.
Sebelum mengangkatnya, mereka meludahi bagian atas tudung itu dengan sepah pinang yang sudah
dimantrai agar badai dan topan tidak kembali terjadi. Betapa terkejutnya mereka ketika mengangkat
tudung itu. Mereka melihat sebuah benda bulat, yang tak lain adalah mustika Bimelula. Mereka pun
tertarik dan berkeinginan untuk memiliki mustika itu. Namun begitu mereka akang mengambil
mustika Bimelula itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale datang bersama suaminya, Jilumoto.
Maaf, Tuan-Tuan! Tolong jangan sentuh mustika itu! Izinkanlah kami untuk mengambilnya, karena
benda itu milik kami! pinta Mbu`i Bungale.
Hei, siapa kalian berdua ini? Berani sekali mengaku sebagai pemilik mustika ini! seru seorang
pemimpin pelancong.
Saya Mbu`i Bungale datang bersama suamiku, Jilumoto, ingin mengambil mustika itu, jawab Mbu`i
Bungale dengan tenang.
Hai, Mbu`i Bungale! Tempat ini adalah milik kami. Jadi, tak seorang pun yang boleh mengambil
barang-barang yang ada di sini, termasuk mustika ini! bentak pemimpin pelancong itu.
Apa buktinya bahwa tempat ini dan mustika itu milik kalian? tanya Mbui`i Bungale.
Pemimpin pelancong itu pun menjawab:
Kalian mau lihat buktinya? Lihatlah sepah pinang di atas tudung itu! Kamilah yang telah
memberinya, ujar pemimpin pelancong.
Mendengar pengakuan para pelancong tersebut, Mbu`i Bungale hanya tersenyum.
Hai, aku ingatkan kalian semua! Kawasan mata air ini diturunkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa
kepada orang-orang yang suka berbudi baik antarsesama makhluk di dunia ini. Bukan diberikan
kepada orang-orang tamak dan rakus seperti kalian. Tapi, jika memang benar kalian pemilik dan
penguasa di tempat ini, perluaslah mata air ini! Keluarkanlah seluruh kemampuan kalian, aku siap
untuk menantang kalian! seru Mbu`i Bungale.
Keempat pelancong itu pun bersedia menerima tantangan Mbu`i Bungale. Si pemimpin pelancong
segera membaca mantradan mengeluarkan seluruh kemampuannya.
Wei mata air Kami! Meluas dan membesarlah, demikian bunyi mantranya.
Berkali-kali pemimpin pelancong itu membaca mantranya, namun tak sedikit pun menunjukkan
adanya tanda-tanda mata air itu akan meluas dan membesar. Melihat pemimpin mereka sudah
mulai kehabisan tenaga, tiga anak buah pelancong tersebut segera membantu. Meski mereka telah
menyatukan kekuatan dan kesaktian, namun mata air Tupalo tidak berubah sedikit pun. Lama-
kelamaan keempat pelancong pun tersebut kehabisan tenaga. Melihat mereka kelelahan dan
bercucuran keringat, Mbu`i Bungale kembali tersenyum.
Hai, kenapa kalian berhenti! Tunjukkanlah kepada kami bahwa mata air itu milik kalian! Atau
jangan-jangan kalian sudah menyerah! seru Mbu`i Bungale.
Diam kau, hai perempuan cerewet! Jangan hanya pandai bicara! sergah pemimpin pelancong itu
balik menantang Mbu`i Bungale. Jika kamu pemilik mata air ini, buktikan pula kepada kami!
Baiklah, Tuan-Tuan! Ketahuilah bahwa Tuhan Maha Tahu mana hambanya yang benar,
permintaannya akan dikabulkan! ujar jawab Mbu`i Bungale dengan penuh keyakinan.
Usai berkata begitu, Mbu`i Bungale segera duduk bersila di samping suaminya seraya bersedekap.
Mulutnya pun komat-kamit membaca doa.
Woyi, air kehidupan, mata air sakti, mata air yang memiliki berkah. Melebar dan meluaslah wahai
mata air para bidadari.... membesarlah....!!! demikian doa Mbu`i Bungale.
Usai berdoa, Mbu`i Bungale segera mengajak suaminya dan memerintahkan keempat pelancong
tersebut untuk naik ke atas pohon yang paling tinggi, karena sebentar lagi kawasan itu akan
tenggelam. Doa Mbu`i Bungale pun dikabulkan. Beberapa saat kemudian, perut bumi tiba-tiba
bergemuruh, tanah bergetar dan menggelegar. Perlahan-lahan mata air Tupalo melebar dan meluas,
kemudian menyemburkan air yang sangat deras. Dalam waktu sekejap, tempat itu tergenang air.
Keempat pelancong tersebut takjub melihat keajaiban itu dari atas pohon kapuk.
Semakin lama, genangan air itu semakin tinggi hingga hampir mencapai tempat keempat pelancong
yang berada di atas pohon kapuk itu. Mereka pun berteriak-teriak ketakutan.
Ampun Mbu`i Bungale! Kami mengaku salah. Engkaulah pemilik tempat ini dan seisinya! teriak
pemimpin pelancong itu.
Mbu`i Bungale adalah bidadari yang pemaaf. Dengan segera ia memohon kepada Tuhan agar
semburan mata air Tupalo dikembalikan seperti semula, sehingga genangan air itu tidak semakin
tinggi dan menenggelamkan keempat pelancong tersebut. Tak berapa lama kemudian, semburan air
pada mata air Tupalo kembali seperti semula. Mereka pun turun dari pohon. Mbu`i Bungale segera
mengambil tudung dan mustika Bimelula. Ajaibnya, ketika ia meletakkan di atas tangannya, mustika
yang menyerupai telur itik itu tiba-tiba menetas dan keluarlah seorang bayi perempuan yang sangat
cantik. Wajahnya bercahaya bagaikan cahaya bulan. Mbu`i Bungale pun memberinya nama Tolango
Hula, diambil dari kata Tilango lo Hulalo yang berarti cahaya bulan. Menurut cerita, Tolango Hula
itulah yang kelak menjadi Raja Limboto.
Setelah itu, Mbu`i Bungale dan suaminya segera membawa gadis kecil itu dan mengajak keempat
pelancong tersebut ke rumah mereka. Ketika hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba Mbu`i
Bungale melihat lima buah benda terapung-apung di tengah danau.
Hai, benda apa itu? seru Mbu`i Bungale dengan heran sambil menunjuk ke arah benda tersebut.
Karena penasaran, Mbu`i Bungale segera mengambil kelima benda tersebut.
Bukankah ini buah jeruk? pikirnya saat mengamati buah tersebut.
Setelah mencubit dan mencium buah tersebut, lalu mengamatinya, maka yakinlah Mbu`i Bungale
bahwa buah jeruk itu sama seperti yang ada di Kahyangan. Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia
bermaksud untuk memeriksa pepohonan yang tumbuh di sekitar danau.
Kanda, tolong gendong Tolango Hula! Dinda ingin memeriksa pepohonan di sekitar danau ini.
Jangan-jangan di antara pepohonan itu ada pohon jeruk yang tumbuh, ujar Mbu`i Bungale seraya
menyerahkan bayinya kepada sang Suami, Jilumoto.
Setelah beberapa saat mencari dan memeriksa, akhirnya Mbu`i Bungale menemukan beberapa
pohon jeruk yang sedang berbuah lebat. Untuk memastikan bahwa pohon yang ditemukan itu
benar-benar pohon jeruk dari Kahyangan, ia segera memanggil suaminya untuk mengamatinya.
Kanda, kemarilah sebentar! seru Mbu`i Bungale.
Coba perhatikan pohon dan buah jeruk ini! Bukankah buah ini seperti jeruk Kahyangan, Kanda?
ujarnya.
Suaminya pun segera mendekati pohon jeruk itu sambil menggendong bayi mereka. Setelah
memegang dan mengamatinya, ia pun yakin bahwa pohon dan buah jeruk itu berasal dari
Kahyangan.
Kamu benar, Dinda! Pohon jeruk ini seperti yang ada di Kahyangan, kata Jilumoto.
Dinda heran! Kenapa ada pohon jeruk Kahyangan tumbuh di sekitar danau ini? ucap Mbu`i
Bungale dengan heran.
Beberapa saat kemudian, Mbu`i Bungale baru menyadari bahwa keberadaan pohon jeruk di sekitar
danau itu merupakan anugerah dari Tuhan Yang Mahakuasa. Untuk mengenang peristiwa yang baru
saja terjadi di daerah itu, Mbu`i Bungale dan suaminya menamakan danau itu Bulalo lo limu o tutu,
yang artinya danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Lama-kelamaan, masyarakat setempat
menyebutnya dengan Bulalo lo Limutu atau lebih dikenal dengan sebutan Danau Limboto.
ASAL MULA KOTA BANYUWANGI

Pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa Timur terdapat sebuah kerajaan besar
yang diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana. Raja tersebut mempunyai seorang putra
yang gagah bernama Raden Banterang. Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. Pagi hari ini
aku akan berburu ke hutan. Siapkan alat berburu, kata Raden Banterang kepada para abdinya.
Setelah peralatan berburu siap, Raden Banterang disertai beberapa pengiringnya berangkat ke
hutan. Ketika Raden Banterang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya. Ia
segera mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan. Ia terpisah dengan para pengiringnya.

Kemana seekor kijang tadi?, kata Raden Banterang, ketika kehilangan jejak buruannya. Akan ku
cari terus sampai dapat, tekadnya. Raden Banterang menerobos semak belukar dan pepohonan
hutan. Namun, binatang buruan itu tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai yang sangat bening
airnya. Hem, segar nian air sungai ini, Raden Banterang minum air sungai itu, sampai merasa
hilang dahaganya. Setelah itu, ia meninggalkan sungai. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-
tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita.

Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia seorang manusia? Jangan-jangan setan penunggu
hutan, gumam Raden Banterang bertanya-tanya. Raden Banterang memberanikan diri mendekati
gadis cantik itu. Kau manusia atau penunggu hutan? sapa Raden Banterang. Saya manusia,
jawab gadis itu sambil tersenyum. Raden Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis cantik itu
menyambutnya. Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung. Saya berada di tempat ini
karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya telah gugur dalam mempertahankan
mahkota kerajaan, Jelasnya. Mendengar ucapan gadis itu, Raden Banterang terkejut bukan
kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan
mengajaknya pulang ke istana. Tak lama kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.

Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar istana. Surati! Surati!,
panggil seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping. Setelah mengamati wajah lelaki itu, ia
baru sadar bahwa yang berada di depannya adalah kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud
kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden
Banterang telah membunuh ayahandanya. Surati menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden
Banterang karena telah berhutang budi. Dengan begitu, Surati tidak mau membantu ajakan kakak
kandungnya. Rupaksa marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia sempat memberikan sebuah
kenangan berupa ikat kepala kepada Surati. Ikat kepala ini harus kau simpan di bawah tempat
tidurmu, pesan Rupaksa.
Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden Banterang, dikarenakan
Raden Banterang sedang berburu di hutan. Tatkala Raden Banterang berada di tengah hutan, tiba-
tiba pandangan matanya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki berpakaian compang-camping.
Tuangku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan terancam bahaya yang direncanakan oleh istri tuan
sendiri, kata lelaki itu. Tuan bisa melihat buktinya, dengan melihat sebuah ikat kepala yang
diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong untuk
membunuh Tuan, jelasnya. Setelah mengucapkan kata-kata itu, lelaki berpakaian compang-camping
itu hilang secara misterius. Terkejutlah Raden Banterang mendengar laporan lelaki misterius itu. Ia
pun segera pulang ke istana. Setelah tiba di istana, Raden Banterang langsung menuju ke peraaduan
istrinya. Dicarinya ikat kepala yang telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping yang
telah menemui di hutan. Ha! Benar kata lelaki itu! Ikat kepala ini sebagai bukti! Kau merencanakan
mau membunuhku dengan minta tolong kepada pemilik ikat kepala ini! tuduh Raden Banterang
kepada istrinya. Begitukah balasanmu padaku? tandas Raden Banterang.Jangan asal tuduh.
Adinda sama sekali tidak bermaksud membunuh Kakanda, apalagi minta tolong kepada seorang
lelaki! jawab Surati. Namun Raden Banterang tetap pada pendiriannya, bahwa istrinya yang pernah
ditolong itu akan membahayakan hidupnya. Nah, sebelum nyawanya terancam, Raden Banterang
lebih dahulu ingin mencelakakan istrinya.

Raden Banterang berniat menenggelamkan istrinya di sebuah sungai. Setelah tiba di sungai, Raden
Banterang menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki compang-camping ketika
berburu di hutan. Sang istri pun menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki berpakaian
compang-camping seperti yang dijelaskan suaminya. Lelaki itu adalah kakak kandung Adinda. Dialah
yang memberi sebuah ikat kepala kepada Adinda, Surati menjelaskan kembali, agar Raden
Banterang luluh hatinya. Namun, Raden Banterang tetap percaya bahwa istrinya akan mencelakakan
dirinya. Kakanda suamiku! Bukalah hati dan perasaan Kakanda! Adinda rela mati demi keselamatan
Kakanda. Tetapi berilah kesempatan kepada Adinda untuk menceritakan perihal pertemuan Adinda
dengan kakak kandung Adinda bernama Rupaksa, ucap Surati mengingatkan.

Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda diminati bantuan, tetapi Adinda tolah!.
Mendengar hal tersebut , hati Raden Banterang tidak cair bahkan menganggap istrinya berbohong..
Kakanda ! Jika air sungai ini menjadi bening dan harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah!
Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk, berarti Adinda bersalah! seru Surati. Raden Banterang
menganggap ucapan istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden Banterang segera menghunus keris
yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu
menghilang.

Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan harum merebak di sekitar sungai. Melihat
kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara gemetar. Istriku tidak berdosa! Air kali ini
harum baunya! Betapa menyesalnya Raden Banterang. Ia meratapi kematian istrinya, dan
menyesali kebodohannya. Namun sudah terlambat.

Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut Banyuwangi. Banyu artinya air
dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi kemudian menjadi nama kota Banyuwangi.
Asal Mula Telaga Biru

Dibelahan bumi Halmahera Utara tepatnya di wilayah Galela dusun Lisawa, di tengah ketenangan
hidup dan jumlah penduduk yang masih jarang (hanya terdiri dari beberapa rumah atau dadaru),
penduduk Lisawa tersentak gempar dengan ditemukannya air yang tiba-tiba keluar dari antara
bebatuan hasil pembekuan lahar panas. Air yang tergenang itu kemudian membentuk sebuah
telaga.Airnya bening kebiruan dan berada di bawah rimbunnya pohon beringin. Kejadian ini
membuat bingung penduduk. Mereka bertanya-tanya dari manakah asal air itu? Apakah ini berkat
ataukah pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Apa gerangan yang membuat fenomena
ini terjadi?

Berita tentang terbentuknya telaga pun tersiar dengan cepat. Apalagi di daerah itu tergolong sulit
air. Berbagai cara dilakukan untuk mengungkap rasa penasaran penduduk. Upacara adat digelar
untuk menguak misteri timbulnya telaga kecil itu. Penelusuran lewat ritual adat berupa pemanggilan
terhadap roh-roh leluhur sampai kepada penyembahan Jou Giki Moi atau Jou maduhutu (Allah yang
Esa atau Allah Sang Pencipta) pun dilakukan.

Acara ritual adat menghasilkan jawaban Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i
uhi imadadi ake majobubu (Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata,
mengalir dan mengalir menjadi sumber mata air).

Dolodolo (kentongan) pun dibunyikan sebagai isyarat agar semua penduduk dusun Lisawa
berkumpul. Mereka bergegas untuk datang dan mendengarkan hasil temuan yang akan disampaikan
oleh sang Tetua adat. Suasana pun berubah menjadi hening. Hanya bunyi desiran angin dan desahan
nafas penduduk yang terdengar.

Tetua adat dengan penuh wibawa bertanya Di antara kalian siapa yang tidak hadir namun juga tidak
berada di rumah. Para penduduk mulai saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung
jumlah anggota keluarganya. Dari jumlah yang tidak banyak itu mudah diketahui bahwa ada dua
keluarga yang kehilangan anggotanya. Karena enggan menyebutkan nama kedua anak itu, mereka
hanya menyapa dengan panggilan umum orang Galela yakni Majojaru (nona) dan Magohiduuru
(nyong). Sepintas kemudian, mereka bercerita perihal kedua anak itu.

Majojaru sudah dua hari pergi dari rumah dan belum juga pulang. Sanak saudara dan sahabat sudah
dihubungi namun belum juga ada kabar beritanya. Dapat dikatakan bahwa kepergian Majojaru
masih misteri. Kabar dari orang tua Magohiduuru mengatakan bahwa anak mereka sudah enam
bulan pergi merantau ke negeri orang namun belum juga ada berita kapan akan kembali.

Majojaru dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih. Di saat Magohiduuru pamit untuk pergi
merantau, keduanya sudah berjanji untuk tetap sehidup-semati. Sejatinya, walau musim berganti,
bulan dan tahun berlalu tapi hubungan dan cinta kasih mereka akan sekali untuk selamanya. Jika
tidak lebih baik mati dari pada hidup menanggung dusta.

Enam bulan sejak kepergian Magohiduuru, Majojaru tetap setia menanti. Namun, badai rupanya
menghempaskan bahtera cinta yang tengah berlabuh di pantai yang tak bertepi itu.

Kabar tentang Magohiduuru akhirnya terdengar di dusun Lisawa. Bagaikan tersambar petir disiang
bolong Majojaru terhempas dan jatuh terjerembab. Dirinya seolah tak percaya ketika mendengar
bahwa Magohiduuru so balaeng deng nona laeng. Janji untuk sehidup-semati seolah menjadi
bumerang kematian.

Dalam keadaan yang sangat tidak bergairah Majojaru mencoba mencari tempat berteduh sembari
menenangkan hatinya. Ia pun duduk berteduh di bawah pohon Beringin sambil meratapi kisah
cintanya.

Air mata yang tak terbendung bagaikan tanggul dan bendungan yang terlepas, airnya terus mengalir
hingga menguak, tergenang dan menenggelamkan bebatuan tajam yang ada di bawah pohon
beringin itu. Majojaru akhirnya tenggelam oleh air matanya sendiri.

Telaga kecil pun terbentuk. Airnya sebening air mata dan warnanya sebiru pupil mata nona endo
Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara
telaga yang mereka namakan Telaga Biru.
ASAL MULA NAMA PALEMBANG

Pada zaman dahulu, daerah Sumatra Selatan dan sebagian Provinsi Jambi berupa hutan belantara
yang unik dan indah.Puluhan sungai besar dan kecil yang berasal dari Bukit Barisan, pegunungan
sekitar Gunung Dempo, dan Danau Ranau mengalir di wilayah itu. Maka, wilayah itu dikenal dengan
nama Batanghari Sembilan. Sungai besar yang mengalir di wilayah itu di antaranya Sungai Komering,
Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Rawas, dan beberapa sungai yang bermuara di Sungai
Musi.Ada dua Sungai Musi yang bermuara di laut di daerah yang berdekatan, yaitu Sungai Musi yang
melalui Palembang dan Sungai Musi Banyuasin agak di sebelah utara.

Karena banyak sungai besar, dataran rendah yang melingkar dari daerah Jambi, Sumatra Selatan,
sampai Provinsi Lampung merupakan daerah yang banyak mempunyai danau kecil. Asal mula danau-
danau kecil itu adalah rawa yang digenangi air laut saat pasang. Sedangkan kota Palembang yang
dikenal sekarang menurut sejarah adalah sebuah pulau di Sungai Melayu. Pulau kecil itu berupa bu-
kit yang diberi nama Bukit Seguntang Mahameru.

Keunikan tempat itu selain hutan rimbanya yang lebat dan banyaknya danau-danau kecil, dan aneka
bunga yang tumbuh subur, sepanjang wilayah itu dihuni oleh seorang dewi bersama dayang-
dayangnya. Dewi itu disebut Putri Kahyangan. Sebenarnya, dia bernama Putri Ayu Sundari. Dewi dan
dayang-dayangnya itu mendiami hutan rimba raya, lereng, dan puncak Bukit Barisan serta kepulauan
yang sekarang dikenal dengan Malaysia. Mereka gemar datang ke daerah Batanghari Sembilan untuk
bercengkerama dan mandi di danau, sungai yang jernih, atau pantai yang luas, landai, dan panjang.

Karena banyaknya sungai yang bermuara ke laut, maka pada zaman itu para pelayar mudah masuk
melalui sungai-sungai itu sampai ke dalam, bahkan sampai ke kaki pegunungan, yang ternyata dae-
rah itu subur dan makmur. Maka terjadilah komunikasi antara para pedagang termasuk pedagang
dari Cina dengan penduduk setempat. Daerah itu menjadi ramai oleh perdagangan antara penduduk
setempat dengan pedagang. Akibatnya, dewi-dewi dari kahyangan merasa terganggu dan mencari
tempat lain.

Sementara itu, orang-orang banyak datang di sekitar Sungai Musi untuk membuat rumah di sana.
Karena Sumatra Selatan merupakan dataran rendah yang berawa, maka penduduknya membuat
rumah yang disebut dengan rakit.

Saat itu Bukit Seguntang Mahameru menjadi pusat perhatian manusia karena tanahnya yang subur
dan aneka bunga tubuh di daerah itu. Sungai Melayu tempat Bukit Seguntang Mahameru berada
juga menjadi terkenal.Oleh karena itu, orang yang telah bermukim di Sungai Melayu, terutama pen-
duduk kota Palembang, sekarang menamakan diri sebagai penduduk Sungai Melayu, yang kemudian
berubah menjadi penduduk Melayu.

Menurut bahasa Melayu tua, kata lembang berarti dataran rendah yang banyak digenangi air,
kadang tenggelam kadang kering. Jadi, penduduk dataran tinggi yang hendak ke Palembang sering
mengatakan akan ke Lembang. Begitu juga para pendatang yang masuk ke Sungai Musi mengatakan
akan ke Lembang.

Alkisah ketika Putri Ayu Sundari dan pengiringnya masih berada di Bukit Seguntang Mahameru, ada
sebuah kapal yang mengalami kecelakaan di pantai Sumatra Selatan. Tiga orang kakak beradik itu
adalah putra raja Iskandar Zulkarnain. Mereka selamat dari kecelakaan dan terdampar di Bukit
Seguntang Mahameru.

Mereka disambut Putri Ayu Sundari. Putra tertua Raja Iskandar Zulkarnain, Sang Sapurba kemudian
menikah dengan Putri Ayu Sundari dan kedua saudaranya menikah dengan keluarga putri itu. Karena
Bukit Seguntang Mahameru berdiam di Sungai Melayu, maka Sang Sapurba dan istrinya mengaku
sebagai orang Melayu. Anak cucu mereka kemudian berkembang dan ikut kegiatan di daerah Lem-
bang. Nama Lembang semakin terkenal. Kemudian ketika orang hendak ke Lembang selalu
mengatakan akan ke Palembang.dalam bahasa Melayu tua menunjukkan daerah atau lokasi. Per-
tumbuhan ekonomi semakin ramai. Sungai Musi dan Sungai Musi Banyuasin menjadi jalur per-
dagangan kuat terkenal sampai ke negara lain.
CINDELARAS

Kerajaan Jenggala dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raden Putra. Ia didampingi oleh seorang
permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang memiliki sifat iri dan dengki. Raja Putra dan kedua
istrinya tadi hidup di dalam istana yang sangat megah dan damai. Hingga suatu hari selir raja
merencanakan sesuatu yang buruk pada permaisuri raja. Hal tersebut dilakukan karena selir Raden
Putra ingin menjadi permaisuri.

Selir baginda lalu berkomplot dengan seorang tabib istana untuk melaksanakan rencana tersebut.
Selir baginda berpura-pura sakit parah. Tabib istana lalu segera dipanggil sang Raja. Setelah
memeriksa selir tersebut, sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun
dalam minuman tuan putri. "Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri," kata sang tabib.
Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan patih untuk
membuang permaisuri ke hutan dan membunuhnya.

Sang Patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke tengah hutan belantara.
Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuh sang permaisuri. Rupanya sang patih sudah
mengetahui niat jahat selir baginda. "Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan
kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh," kata patih. Untuk mengelabui raja, sang
patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja merasa puas ketika sang
patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.

Setelah beberapa bulan berada di hutan, sang permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu
diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak
kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain,
seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur ayam. Cindelaras kemudian mengambil telur itu dan
bermaksud menetaskannya. Setelah 3 minggu, telur itu menetas menjadi seekor anak ayam yang
sangat lucu. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan rajin. Kian hari anak ayam itu tumbuh
menjadi seekor ayam jantan yang gagah dan kuat. Tetapi ada satu yang aneh dari ayam tersebut.
Bunyi kokok ayam itu berbeda dengan ayam lainnya. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di
tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra...", kokok ayam itu

Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya itu dan segera memperlihatkan pada ibunya.
Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan. Mendengar
cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan kejahatan selir baginda.
Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani oleh ayam jantannya. Ketika dalam
perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh
para penyabung ayam. "Ayo, kalau berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku," tantangnya.
"Baiklah," jawab Cindelaras. Ketika diadu, ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan
perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu,
ayam Cindelaras tidak terkalahkan.

Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat hingga sampai ke Istana. Raden
Putra akhirnya pun mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk
mengundang Cindelaras ke istana. "Hamba menghadap paduka," kata Cindelaras dengan santun.
"Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat jelata," pikir baginda. Ayam
Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia
bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra
menjadi milik Cindelaras.

Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras
berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan
ayamnya. "Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau sebenarnya,
anak muda?" Tanya Baginda Raden Putra. Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan
sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya segera berbunyi. "Kukuruyuk... Tuanku
Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra...," ayam jantan
itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra terperanjat mendengar kokok ayam Cindelaras. "Benarkah
itu?" Tanya baginda keheranan. "Benar Baginda, nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah
permaisuri Baginda."

Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang
sebenarnya telah terjadi pada permaisuri. "Aku telah melakukan kesalahan," kata Baginda Raden
Putra. "Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku," lanjut Baginda dengan murka.
Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera memeluk anaknya dan
meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan hulubalang segera menjemput
permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan Cindelaras dapat berkumpul kembali.
Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah
negerinya dengan adil dan bijaksana.
MALIN KUNDANG

Pada suatu hari, hiduplah sebuah keluarga di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga itu
mempunyai seorang anak yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keluarga mereka sangat
memprihatinkan, maka ayah malin memutuskan untuk pergi ke negeri seberang.

Besar harapan malin dan ibunya, suatu hari nanti ayahnya pulang dengan membawa uang banyak
yang nantinya dapat untuk membeli keperluan sehari-hari. Setelah berbulan-bulan lamanya ternyata
ayah malin tidak kunjung datang, dan akhirnya pupuslah harapan Malin Kundang dan ibunya.

Setelah Malin Kundang beranjak dewasa, ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang
dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya
raya. Akhirnya Malin Kundang ikut berlayar bersama dengan seorang nahkoda kapal dagang di
kampung halamannya yang sudah sukses.

Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal
yang sudah berpengalaman. Malin belajar dengan tekun tentang perkapalan pada teman-temannya
yang lebih berpengalaman, dan akhirnya dia sangat mahir dalam hal perkapalan.

Banyak pulau sudah dikunjunginya, sampai dengan suatu hari di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal
yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang
berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada
di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak
dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di
sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.

Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya
terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa
yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di
desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin
terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin
lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan
anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang
mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.

Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar
dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap
hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada
dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah
anaknya Malin Kundang beserta istrinya.

Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat
belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah
Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan
kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi Kundang segera melepaskan pelukan
ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku
sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya,
karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping. "Wanita itu
ibumu?", Tanya istri Malin Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku
sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan
diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga
anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan
tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu".
Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan
kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan
akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
SANGKURIANG

Pada jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang Sumbi. Ia
mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu
di dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang bernama
Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang, tetapi
Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja merahasiakannya.

Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah sesampainya di
hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di
dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat mengenai
sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si Tumang
diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka
Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi.

Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu


mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan
dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka
Sangkuriang memutuskan untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya.

Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan
meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa
Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia
muda selamanya.

Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang ke


kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya
sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan
bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi.
Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya.
Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di waktu
dekat. Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu di hatan. Sebelum
berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya.
Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia
melihat ada bekas luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya
kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena
ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya sendiri.

Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya sendiri.
Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya
Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak
disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.

Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah terjadi.
Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah
syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka
Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan.
Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah,
meminta Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua
syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing.

Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan
menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu
mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut.
Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena
Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.

Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna
merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira
kalau hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa
tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.

Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya
sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air.
Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh
tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.
LEGENDA BATU MENANGIS

Disebuah bukit yang jauh dari desa, didaerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan seorang
anak gadisnya.

Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku yang amat buruk.
Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah.
Kerjanya hanya bersolek setiap hari.

Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti. Setiap
kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya
yang miskin, setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.

Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar desa itu
amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu berjalan
melenggang dengan memakai pakaian yang bagus dan bersolek agar orang dijalan yang melihatnya
nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya berjalan dibelakang sambil membawa
keranjang dengan pakaian sangat dekil. Karena mereka hidup ditempat terpencil, tak seorangpun
mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan anak.

Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu
terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya
memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan dibelakang gadis itu,
sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.

Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu,
"Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?"

Namun, apa jawaban anak gadis itu ?

"Bukan," katanya dengan angkuh. "Ia adalah pembantuku !"


Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekati lagi
seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.

"Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?"

"Bukan, bukan," jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. " Ia adalah budakk!"

Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang menanyakan perihal
ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.

Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat
menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawabannya sama dan yang amat
menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu berdoa.

"Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya
memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak durhaka ini ! Hukumlah
dia...."

Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi
batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak
gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.

" Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. Ibu...Ibu...ampunilah
anakmu.." Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi,
semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun
menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata, seperti
sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu
disebut " Batu Menangis ".

Demikianlah cerita berbentuk legenda ini, yang oleh masyarakat setempat dipercaya bahwa kisah itu
benar-benar pernah terjadi. Barang siapa yang mendurhakai ibu kandung yang telah melahirkan dan
membesarkannya, pasti perbuatan laknatnya itu akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha
Kuasa.
DANAU TOBA

Di wilayah Sumatera hiduplah seorang petani yang sangat rajin bekerja. Ia hidup sendiri sebatang
kara. Setiap hari ia bekerja menggarap lading dan mencari ikan dengan tidak mengenal lelah. Hal ini
dilakukannya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Pada suatu hari petani tersebut pergi ke sungai di dekat tempat tinggalnya, ia bermaksud mencari
ikan untuk lauknya hari ini. Dengan hanya berbekal sebuah kail, umpan dan tempat ikan, ia pun
langsung menuju ke sungai. Setelah sesampainya di sungai, petani tersebut langsung melemparkan
kailnya. Sambil menunggu kailnya dimakan ikan, petani tersebut berdoa,Ya Alloh, semoga aku
dapat ikan banyak hari ini. Beberapa saat setelah berdoa, kail yang dilemparkannya tadi nampak
bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani tersebut sangat senang sekali, karena ikan yang
didapatkannya sangat besar dan cantik sekali.

Setelah beberapa saat memandangi ikan hasil tangkapannya, petani itu sangat terkejut. Ternyata
ikan yang ditangkapnya itu bisa berbicara. Tolong aku jangan dimakan Pak!! Biarkan aku hidup,
teriak ikan itu. Tanpa banyak Tanya, ikan tangkapannya itu langsung dikembalikan ke dalam air lagi.
Setelah mengembalikan ikan ke dalam air, petani itu bertambah terkejut, karena tiba-tiba ikan
tersebut berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik.

Jangan takut Pak, aku tidak akan menyakiti kamu, kata si ikan. Siapakah kamu ini? Bukankah
kamu seekor ikan?, Tanya petani itu. Aku adalah seorang putri yang dikutuk, karena melanggar
aturan kerajaan, jawab wanita itu. Terimakasih engkau sudah membebaskan aku dari kutukan itu,
dan sebagai imbalannya aku bersedia kau jadikan istri, kata wanita itu. Petani itupun setuju. Maka
jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak
boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi
petaka dahsyat.

Setelah beberapa lama mereka menikah, akhirnya kebahagiaan Petani dan istrinya bertambah,
karena istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Anak mereka tumbuh menjadi anak yang sangat
tampan dan kuat, tetapi ada kebiasaan yang membuat heran semua orang. Anak tersebut selalu
merasa lapar, dan tidak pernah merasa kenyang. Semua jatah makanan dilahapnya tanpa sisa.
Hingga suatu hari anak petani tersebut mendapat tugas dari ibunya untuk mengantarkan makanan
dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi tugasnya tidak dipenuhinya. Semua
makanan yang seharusnya untuk ayahnya dilahap habis, dan setelah itu dia tertidur di sebuah gubug.
Pak tani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Karena tidak tahan
menahan lapar, maka ia langsung pulang ke rumah. Di tengah perjalanan pulang, pak tani melihat
anaknya sedang tidur di gubug. Petani tersebut langsung membangunkannya. Hey, bangun!, teriak
petani itu.

Setelah anaknya terbangun, petani itu langsung menanyakan makanannya. Mana makanan buat
ayah?, Tanya petani. Sudah habis kumakan, jawab si anak. Dengan nada tinggi petani itu langsung
memarahi anaknya. "Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri! Dasar anak ikan!," umpat si Petani
tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan dari istrinya.

Setelah petani mengucapkan kata-kata tersebut, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap
tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras. Air
meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk
sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba.
LUTUNG KASARUNG

Pada jaman dahulu kala di tatar pasundan ada sebuah kerajaan yang pimpin oleh seorang raja yang
bijaksana, beliau dikenal sebagai Prabu Tapak Agung.

Prabu Tapa Agung mempunyai dua orang putri cantik yaitu Purbararang dan adiknya Purbasari.

Pada saat mendekati akhir hayatnya Prabu Tapak Agung menunjuk Purbasari, putri bungsunya
sebagai pengganti. Aku sudah terlalu tua, saatnya aku turun tahta, kata Prabu Tapa.

Purbasari memiliki kakak yang bernama Purbararang. Ia tidak setuju adiknya diangkat menggantikan
Ayah mereka. Aku putri Sulung, seharusnya ayahanda memilih aku sebagai penggantinya, gerutu
Purbararang pada tunangannya yang bernama Indrajaya. Kegeramannya yang sudah memuncak
membuatnya mempunyai niat mencelakakan adiknya. Ia menemui seorang nenek sihir untuk
memanterai Purbasari. Nenek sihir itu memanterai Purbasari sehingga saat itu juga tiba-tiba kulit
Purbasari menjadi bertotol-totol hitam. Purbararang jadi punya alasan untuk mengusir adiknya
tersebut. Orang yang dikutuk seperti dia tidak pantas menjadi seorang Ratu ! ujar Purbararang.

Kemudian ia menyuruh seorang Patih untuk mengasingkan Purbasari ke hutan. Sesampai di hutan
patih tersebut masih berbaik hati dengan membuatkan sebuah pondok untuk Purbasari. Ia pun
menasehati Purbasari, Tabahlah Tuan Putri. Cobaan ini pasti akan berakhir, Yang Maha Kuasa pasti
akan selalu bersama Putri. Terima kasih paman, ujar Purbasari.

Selama di hutan ia mempunyai banyak teman yaitu hewan-hewan yang selalu baik kepadanya.
Diantara hewan tersebut ada seekor kera berbulu hitam yang misterius. Tetapi kera tersebut yang
paling perhatian kepada Purbasari. Lutung kasarung selalu menggembirakan Purbasari dengan
mengambilkan bunga bunga yang indah serta buah-buahan bersama teman-temannya.

Pada saat malam bulan purnama, Lutung Kasarung bersikap aneh. Ia berjalan ke tempat yang sepi
lalu bersemedi. Ia sedang memohon sesuatu kepada Dewata. Ini membuktikan bahwa Lutung
Kasarung bukan makhluk biasa. Tidak lama kemudian, tanah di dekat Lutung merekah dan
terciptalah sebuah telaga kecil, airnya jernih sekali. Airnya mengandung obat yang sangat harum.

Keesokan harinya Lutung Kasarung menemui Purbasari dan memintanya untuk mandi di telaga
tersebut. Apa manfaatnya bagiku ?, pikir Purbasari. Tapi ia mau menurutinya. Tak lama setelah ia
menceburkan dirinya. Sesuatu terjadi pada kulitnya. Kulitnya menjadi bersih seperti semula dan ia
menjadi cantik kembali. Purbasari sangat terkejut dan gembira ketika ia bercermin ditelaga tersebut.

Di istana, Purbararang memutuskan untuk melihat adiknya di hutan. Ia pergi bersama tunangannya
dan para pengawal. Ketika sampai di hutan, ia akhirnya bertemu dengan adiknya dan saling
berpandangan. Purbararang tak percaya melihat adiknya kembali seperti semula. Purbararang tidak
mau kehilangan muka, ia mengajak Purbasari adu panjang rambut. Siapa yang paling panjang
rambutnya dialah yang menang !, kata Purbararang. Awalnya Purbasari tidak mau, tetapi karena
terus didesak ia meladeni kakaknya. Ternyata rambut Purbasari lebih panjang.

Baiklah aku kalah, tapi sekarang ayo kita adu tampan tunangan kita, Ini tunanganku, kata
Purbararang sambil mendekat kepada Indrajaya. Purbasari mulai gelisah dan kebingungan. Akhirnya
ia melirik serta menarik tangan Lutung Kasarung. Lutung Kasarung melonjak-lonjak seakan-akan
menenangkan Purbasari. Purbararang tertawa terbahak-bahak, Jadi monyet itu tunanganmu ?.

Pada saat itu juga Lutung Kasarung segera bersemedi. Tiba-tiba terjadi suatu keajaiban. Lutung
Kasarung berubah menjadi seorang Pemuda gagah berwajah sangat tampan, lebih dari Indrajaya.
Semua terkejut melihat kejadian itu seraya bersorak gembira. Purbararang akhirnya mengakui
kekalahannya dan kesalahannya selama ini. Ia memohon maaf kepada adiknya dan memohon untuk
tidak dihukum. Purbasari yang baik hati memaafkan mereka. Setelah kejadian itu akhirnya mereka
semua kembali ke Istana.

Purbasari menjadi seorang ratu, didampingi oleh seorang pemuda idamannya. Pemuda yang
ternyata selama ini selalu mendampinginya dihutan dalam wujud seekor lutung.

Anda mungkin juga menyukai