Anda di halaman 1dari 267

STRATEGI & TATA KELOLA STRATEGIS

Disusun oleh:
Helmi Akbar Danaparamitha
071311233071
Dibimbing oleh:
Dra. Lilik Salamah, M.Si
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah


SWT yang telah senantiasa melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan
buku Strategi dan Tata Kelola Strategis ini dengan baik
dan tepat pada waktunya.
Buku ini disusun sebagai bentuk
pertanggungjawaban laporan asistensi mata ajaran
Strategi dan Tata Kelola Strategis. Pembahasan disajikan
oleh penulis berdasarkan analitis kritis, observasi selama
perkuliahan, dan berlandaskan materi bacaan yang akan
dilampirkan dalam setiap babnya. Buku ini memuat
pengenalan awal pada pembelajaran dasar mengenai
strategi. Di dalamnya terdiri atas pemahaman
metamorfosis strategi dalam berbagai dimensi,
pengupayaan internalisasinya secara praktis, hingga
pengembangan inovatifnya dalam suatu skema dasar
pengaturan strategis. Selain itu, buku ini juga dapat
menjadi simbol distinctiveness yang mana merupakan
kata kunci dalam perkuliahan ini.

2
Tidak hanya menjelaskan pembelajaran strategi
melalui pendekatan umum seperti bisnis dan kemiliteran,
dalam buku ini pun memberikan pandangan yang
interdisipliner. Oleh karena itu, setelah mengkaji
pemahaman dasar tentang definisi akan strategi dan
bukan strategi; serta mempelajari bagaimana strategi
dikembangkan secara klasik dari Sun Tzu hingga
Clausewitz; dikaji pula metamorfosis kajian dalam
berbagai dimensi, mulai dari kemiliteran hingga bisnis
kemudian pengaruh perkembangan teknologi, yang mana
meliputi persenjataan nuklir, kemudian teknik perang
asimestris hingga perkembangan teknologi pengelolaan
alias manajemen terhadap perkembangan strategi. Akan
tetapi yang lebih penting dari semua itu adalah
bagaimana pada akhirnya mentalitas strategis dapat
diinternalisasi. Dalam kaitan tersebut, pembahasan akan
ditutup oleh kajian tentang mode berpikir dan bertindak
secara strategis.
Penulis secara khusus mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Joko Susanto, bagi penulis selaku asisten
beliau, merupakan sebuah kehormatan dapat
bekerjasama dengan seorang motivator dalam berbagai

3
bidang aspek keilmuan dan kehidupan seperti beliau.
Tidak luput juga ucapan terima kasih kepada Bapak I
Basis Susilo dan Bapak Moch. Yunus, yang telah
membantu memberikan sumbangsih pemikirannya
melalui ceramah selama perkuliahan berlangsung.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Lilik
Salamah selaku penanggungjawab mata kuliah Asistensi
yang telah setiap minggu terus memperbaiki berbagai
kesalahan yang ada.
Penulis juga mengucapkan terima kasih atas
dukungan tiada henti dari seluruh anggota keluarga dan
teman terdekat, dimulai dari Mama Eli Tri Dewajani,
Ayah Yasin Marsely, Mas Dhimas Akbar Danaparamita,
Mas Faisal Akbar Danaparamita, Nadira Farida Putri,
Aldy Firmansyah Adam, Austra Radityakanigara Basuki,
Didang Alexander, Abdi Nugraha, Reiza Fakhruddin,
Achmad Nur Fauzi, Rahmat Satrio Utomo, Amir
Muhammad Arslan, Yongki Adi Pranata, Arief Dwi
Setiawan, Enrico Gautama, Indri Widya Wardani,
Annisa Tamara Sari, Zoraya Majid, dan Imania
Alvionita Sari, sehingga penulis mampu mengusir
kegundahan hati dan pikiran dalam proses pengerjaan

4
buku ini. Tak lupa terima kasih juga disampaikan kepada
Mas Eric Septian Wicaksono sebagai pendahulu asisten
dosen mata kuliah ini yang telah memberikan banyak
ilmu dan wejangan terkait studi strategi, dan rekan
Fatich Alfais Tanti Tanu yang telah membantu membuat
desain cover buku ini. Tanpa bantuan dan dukungan
pihak-pihak di atas, penulis tentu takkan mampu
menuntaskan buku ini.
Penulis berharap buku ini dapat memperluas
wawasan sekaligus memberikan paradigma baru dalam
berpikir dan menjalani kehidupan. Penulis yakin bahwa
ilmu yang terdapat dalam buku ini bukan lah sekedar
ilmu wacana yang kaya akan teori tanpa dapat diimbangi
oleh nilai praktis. Penulis menyadari esensi dari
keilmuan tentang strategi akan dapat membantu setiap
orang untuk menyelesaikan setiap lembar tantangan yang
hadir dalam kehidupan ini.
Akhir kata, penulis mengutip Sun Tzu yang
menyatakan bahwa people should not be unfamiliar
with strategy, those who understand it will survive, those
who do not understand it will perish. Senada dengan
kutipan tersebut, Lee Bolman menyatakan a vision

5
without a strategy remains an illusion. Maka dapat
ditarik sebuah benang merah dari keduanya, bahwa
strategi merupakan cara sekaligus jawaban terbaik untuk
menciptakan masa depan sesuai dengan harapan. Tinggal
Anda yang menentukan pilihan, berhenti dan menutup
buku ini atau membuka pikiran dan bersiap untuk
menciptakan masa depan yang Anda harapkan. Terima
kasih.

Penulis,
Helmi Akbar Danaparamitha
June 2016

6
Daftar Isi

Kata Pengantar 2
Daftar Isi 7
Garis Besar Pokok Pembelajaran 9
Satuan Acara Pembelajaran 39

BAB SATU: Pendahuluan 47

BAGIAN I PROLOG MEMAHAMI STRATEGI


BAB DUA: Strategi dan Kajian Strategi 69
BAB TIGA: Strategi sebagai Seni Cipta-Kelola Peluang 82

BAGIAN II DUA FIGUR UTAMA


BAB EMPAT: Dari Sun Tzu hingga Clausewitz 99
BAB LIMA: Strategi Modern dan Perkembangannya 118

BAGIAN III METAMORFOSIS STUDI STRATEGI


BAB ENAM: Strategi Militer 139
BAB TUJUH: Strategi Maritim 153
BAB DELAPAN: Strategi Nuklir 175
BAB SEMBILAN: Strategi Insurjensi 188
BAB SEPULUH: Strategi Media 204
BAB SEBELAS: Strategi Bisnis 222

7
BAB DUABELAS: Strategi Global 234

BAGIAN IV EPILOG
BAB TIGABELAS: Strategi dan Stratejis 246

DAFTAR PUSTAKA 260

8
GBPP (Garis Besar Pokok Pembelajaran)

Mata Ajar : Strategi dan Tata Kelola


Strategis
Kode Mata Ajar : SOH 204
Satuan Kredit Semester :3
Semester : Semester Genap (II/IV/VI);
2016
Hari / Jam Pertemuan : Rabu / 16:00-18:30 WIB
(150 menit)
Tempat Pertemuan : Ruang A309 FISIP Unair
Dosen Pemangku : I Basis Susilo, MA.
Joko Susanto, MSc.
Moch. Yunus, MA.
Asisten Dosen : Helmi Akbar Danaparamitha

9
Program Mata Kuliah

Tujuan Instruksional Pokok Sub Pokok Alokasi


No. Metode Media Referensi
Khusus Bahasan Bahasan Waktu
1. Mahasiswa diharapkan Pendahuluan - Prolog - Ceramah Power 1 x 3 x 50 -
memiliki pemahaman Memahami Point menit
dan mampu menarik Strategi LCD
intisari dari beberapa - Dua Figur
sudut pandang dan Utama dalam
mampu memahami Strategi
strategi dari sudut - Metamorfosis
pandang yang Studi Strategi
mendasar serta - Epilog
indisipliner. Dengan Global

10
demikian, pemahaman Strategist
yang dibentuk tentang
strategi tidak hanya
khas dalam hal
mempermudah proses
pencapaian tujuan
namun strategi juga
memiliki pemahaman
yang luas, dan mampu
membedakan hal-hal
yang bisa disebut
strategi dan yang tidak
bisa disebut strategi
2. Mahasiswa diharapkan Strategi dan - Apa itu - Ceramah Power 1 x 3 x 50 1, 2, 3, 4

11
memiliki pemahaman Kajian strategi? - Diskusi Point menit
dan mampu menarik Strategi - Bagaimana ia - Tanya LCD
intisari dari beberapa dikaji? jawab
sudut pandang dan - Apa
mampu memahami pengertian
strategi dari sudut pokoknya
pandang yang sejauh ini?
mendasar serta
indisipliner. Dengan
demikian, pemahaman
yang dibentuk tentang
strategi tidak hanya
khas dalam hal
memiliki bahwa

12
strategi memiliki
pemahaman yang luas
dan mampu
membedakan hal-hal
yang bisa disebut
strategi dan yang tidak
bisa disebut strategi
3. Mahasiswa Strategi - Apa yang - Ceramah Power 1 x 3 x 50 5, 6, 7, 8
diharapkan tidak sebagai Seni primer dalam - Diskusi Point menit
hanya mampu Cipta-Kelola strategi? - Tanya LCD
mengetahui Peluang - Apa saja jawab
keberadaan teori unsur-
dalam studi tentang unsurnya?
strategi mampu - Bagaimana

13
memeriksa cara
pendekatan- mencapainya?
pendekatan yang
ditawarkan oleh teori
di dalam studi strategi
serta mampu
mengetahui unsur-
unsur dalam strategi,
namun juga mampu
memperoleh
pemahaman khusus
berupa kemampuan
untuk melihat dari
berbagai sudut

14
pandang yang
ditawarkan dari
pendapat para pakar
yang ada untuk
mendapatkan esensi
yang murni dari
strategi
4. Mahasiswa diharapkan Dari Sun Tzu - Sejauh mana - Ceramah Power 1 x 3 x 50 9, 10, 11, 12
tidak hanya mampu hingga kajian strategi - Diskusi Point menit
mengetahui Clausewitz: berkembang - Tanya LCD
perkembangan dari Kontribusi dalam periode jawab
peperangan pra- Pra-Modern pra-modern?
modern yang dalam Seni - Apa saja
mempengaruhi studi Cipta-Kelola kontribusi

15
strategi serta mampu Peluang penting
mengetahui pemikiran pra-
keberadaan strategi modern terkait
dalam era pra- strategi?
modernisme, namun - Sejauhmana
juga mampu lantas
memperoleh kontribusi Sun
pemahaman khusus Tzu dan
yakni mampu Clausewitz
menerapkan intisari berhubungan
dan falsafah dari dengan
strategi di era pra- kontribusi pra-
modern dalam modern terkait
mengatasi masalah strategi ini?

16
dalam kehidupan
sehari-hari

5. Mahasiswa diharapkan Strategi - Bagaimana - Ceramah Power 1 x 3 x 50 13, 14, 15,


tidak hanya mampu Modern dan pandangan - Diskusi Point menit 16
mengetahui Perkembangan modern - Tanya LCD
perkembangan dari nya: Seni berkembang jawab
peperangan post- Cipta-Kelola terkait
modern yang Peluang Pasca strategi?
mempengaruhi studi Clausewitz - Sejauhmana
strategi serta mampu Clausewitz
mengetahui berperan
keberadaan strategi dibalik
dalam era post- kemunculan

17
modernisme, namun tradisi modern
juga mampu terkait
memperoleh strategi?
pemahaman khusus - Bagaimana
yakni mampu lantas kajian
menerapkan intisari strategi
dan falsafah dari modern pasca
strategi di era post- Clausewitz
modern dalam berkembang
mengatasi masalah sejauh ini?
dalam kehidupan
sehari-hari

18
6. Mahasiswa diharapkan Strategi - Apa hakekat - Ceramah Power 1 x 3 x 50 17, 18, 19,
tidak hanya mampu Militer: Seni strategi militer - Diskusi Point menit 20
mengetahui apa yang Cipta-Kelola sesungguhnya - Tanya LCD
disebut strategi Peluang dalam ? jawab
militer, mampu Situasi Duel - Situasi apa
mengetahui yang
penciptaan peluang dihadapinya?
dalam situasi duel, - Isu-isu apa
namun juga mampu saja yang
memperoleh menjadi inti
pemahaman khusus perdebatannya
yakni mampu ?
menerapkan intisari - Pendekatan
dan falsafah dari stratejik apa

19
strategi militer dalam saja yang
mengatasi masalah dikembangkan
dalam kehidupan nya?
sehari-hari

7. Mahasiswa diharapkan Strategi - Apa hakekat - Ceramah Power 1 x 3 x 50 21, 22, 23,
tidak hanya mampu Maritim: Seni strategi - Diskusi Point menit 24
mengetahui apa yang Cipta-Kelola maritim - Tanya LCD
disebut strategi Peluang dalam sesungguhnya jawab
maritim, mampu Situasi Jelajah ?
mengetahui - Situasi apa
penciptaan peluang yang
dalam situasi jelajah, dihadapinya?
namun juga mampu - Isu-isu apa
memperoleh saja yang

20
pemahaman khusus menjadi inti
yakni mampu perdebatannya
menerapkan intisari ?
dan falsafah dari - Pendekatan
strategi maritim dalam stratejik apa
mengatasi masalah saja yang
dalam kehidupan dikembangkan
sehari-hari nya?
8. Mahasiswa diharapkan Strategi - Apa hakekat - Ceramah Power 1 x 3 x 50 25, 26, 27,
tidak hanya mampu Nuklir: strategi nuklir - Diskusi Point menit 28
mengetahui apa yang Seni Cipta- sesungguhnya - Tanya LCD
disebut strategi nuklir, Kelola ? jawab
mampu mengetahui Peluang dalam - Situasi apa
penciptaan peluang Situasi yang

21
dalam situasi Deadlock dihadapinya?
deadlock, namun juga - Isu-isu apa
mampu memperoleh saja yang
pemahaman khusus menjadi inti
yakni mampu perdebatannya
menerapkan intisari ?
dan falsafah dari - Pendekatan
strategi nuklir dalam stratejik apa
mengatasi masalah saja yang
dalam kehidupan dikembangkan
sehari-hari nya?
9. Mahasiswa diharapkan Strategi - Apa hakekat - Ceramah Power 1 x 3 x 50 29, 30, 31,
tidak hanya mampu Insurjensi: strategi - Diskusi Point menit 32
mengetahui apa yang Seni Cipta- insurjensi - Tanya LCD

22
disebut strategi Kelola sesungguhnya jawab
insurjensi, mampu Peluang dalam ?
mengetahui Situasi - Situasi apa
penciptaan peluang Asimetrik yang
dalam situasi dihadapinya?
asimetrik, namun juga - Isu-isu apa
mampu memperoleh saja yang
pemahaman khusus menjadi inti
yakni mampu perdebatannya
menerapkan intisari ?
dan falsafah dari - Pendekatan
strategi insurjensi stratejik apa
dalam mengatasi saja yang
masalah dalam dikembangkan

23
kehidupan sehari-hari nya?
10. Mahasiswa diharapkan Strategi - Apa hakekat - Ceramah Power 1 x 3 x 50 33, 34, 35,
tidak hanya mampu Media: Seni strategi media - Diskusi Point menit 36
mengetahui apa yang Cipta-Kelola sesungguhnya
- Tanya LCD
disebut strategi media, Peluang dalam ? jawab
mampu mengetahui Situasi - Situasi apa
penciptaan peluang Hegemonik yang
dalam situasi dihadapinya?
hegemonik, namun - Isu-isu apa
juga mampu saja yang
memperoleh menjadi inti
pemahaman khusus perdebatannya
yakni mampu ?
menerapkan intisari - Pendekatan

24
dan falsafah dari stratejik apa
strategi media dalam saja yang
mengatasi masalah dikembangkan
dalam kehidupan nya?
sehari-hari
11. Mahasiswa diharapkan Strategi - Apa hakekat - Ceramah Power 1 x 3 x 50 37, 38, 39,
tidak hanya mampu Bisnis: Seni strategi bisnis - Diskusi Point menit 40
mengetahui apa yang Cipta-Kelola sesungguhnya - Tanya LCD
disebut strategi bisnis, Peluang dalam ? jawab
mampu mengetahui Situasi - Situasi apa
penciptaan peluang Kompetitif yang
dalam situasi dihadapinya?
kompetitif, namun - Isu-isu apa
juga mampu saja yang

25
memperoleh menjadi inti
pemahaman khusus perdebatannya
yakni mampu ?
menerapkan intisari - Pendekatan
dan falsafah dari stratejik apa
strategi bisnis dalam saja yang
mengatasi masalah dikembangkan
dalam kehidupan nya?
sehari-hari
12. Mahasiswa diharapkan Strategi - Apa hakekat - Ceramah Power 1 x 3 x 50 41, 42, 43
tidak hanya mampu Global: Seni strategi global - Diskusi Point menit
mengetahui apa yang Cipta-Kelola sesungguhnya - Tanya LCD
disebut strategi global, Peluang dalam ? jawab
mampu mengetahui Situasi - Situasi apa

26
penciptaan peluang Kontestatif yang
dalam situasi dihadapinya?
kontestatif, namun - Isu-isu apa
juga mampu saja yang
memperoleh menjadi inti
pemahaman khusus perdebatannya
yakni mampu ?
menerapkan intisari - Pendekatan
dan falsafah dari stratejik apa
strategi global dalam saja yang
mengatasi masalah dikembangkan
dalam kehidupan nya?
sehari-hari
13. Mahasiswa diharapkan Strategi dan - Apa yang - Ceramah Power 1 x 3 x 50 44, 45

27
tidak hanya mampu Stratejis dimaksud - Diskusi Point menit
mengetahui cara dengan - Tanya LCD
berpikir stratejik, berpikir jawab
kompetensi yang
stratejik?
diperlukan untuk dapat
- Siapa yang
bertindak sebagai
dimaksud
stratejis dan mampu
dengan
mengetahui pengaruh
yang dimiliki seorang
seorang

stratejis dalam proses stratejis?


pengambilan - Apa yang
keputusan, namun dibutuhkan
juga mampu mendapat untuk
pemahaman agar dapat menjadi

28
menerapkan seorang
kompetensi yang stratejis?
dijabarkan agar dapat - Apakah
diterapkan di berbagai
seorang
bidang kehidupan.
stratejis
merupakan
seorang
pengambil
keputusan?

Referensi:
1. Baylis, John dan J.J. Wirtz. 2007. Introduction, dalam John Baylis et. al. (ed.),
Strategy in the Contemporary World, Oxford: Oxford University Press, pp. 1-15

29
2. Heuser, Beatrice. 2010. What is Strategy?, in the Evolution of Strategy, Cambridge:
Cambridge University Press, pp. 3-35
3. Porter, Michael E. 1996. What is Strategy?, Harvard Business Review, November-
December, pp. 61-78
4. Mahnken, Thomas G. 2007. Strategic Theory, dalam John Baylis et. al. (ed.),
Strategy in the Contemporary World, Oxford: Oxford University Press, pp. 66-81
5. Waldman, Thomas. 2010. Shadows of Uncertainty: Clausewitzs Timeless Analysis
of Chance in War, Defence Studies, Vol. 10 No. 3, pp. 336-338
6. De Rond, Mark dan R.A. Thietart. 2007. Choice, Chance and Inevitability in
Strategy, Strategic Management Journal, Vol. 28, pp. 535-551
7. Ohmae, Kenichi. 1982. Four Routes to Strategic Advantage, dalam The Mind of
Strategist: the Art of Japanese Business. New York. McGraw Hill, pp. 36-88

30
8. Rumelt, Richard. 2013. the Kernel of Good Strategy, dalam Good Strategy Bad
Strategy: the Difference and Why It Matters, London: Profile Books Ltd., pp. 77-94
9. van Creveld, Martin. 2000. Chinese Military Thought, dalam the Art of War: War
and Military Thought. New York: Harper Collins Books, pp.22-41
10. _____________________. From Antiquity to the Middle Ages, dalam the Art of
War: War and Military Thought. New York: Harper Collins Books, pp. 43-65
11. _____________________. From 1500 to1763, dalam the Art of War: War and
Military Thought. New York: Harper Collins Books, pp. 67-87
12. ______________________. From Guibert to Clausewitz, dalam the Art of War:
War and Military Thought. New York: Harper Collins Books, pp. 90-115
13. Gray, Colin S. 1999. the Strategists Toolkit: the Legacy of Clausewitz, dalam
Modern Strategy, Oxford: Oxford University Press, pp. 75-112

31
14. Moran, Daniel. 2002. Strategic Theory and the History of War, dalam John Baylis
et. al. (ed.), Strategy in the Contemporary World, Oxford: Oxford University Press,
pp. 17-44
15. Hoskin, Keith et. al. 1997. the Historical Genesis of Modern Business and Military
Strategy: 1850-1950, a paper submitted to Interdisciplinary Perspective on
Accounting Conference, Manchester: 7-9 July.
16. Guehenno, J. Marie. 1998. the Impacts of Globalization on Strategy, Survival, Vol.
40, No. 4, pp. 5-19
17. Heuser, Beatrice. 2010. Themes in Early Thinking about Strategy, in the Evolution
of Strategy, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 76-110
18. __________________. the Age and Mindset of the Napoleonic Paradigm, in the
Evolution of Strategy, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 113-136

32
19. __________________. the Napoleonic Paradigm Transformed: From Total
Mobilisation to Total War, in the Evolution of Strategy, Cambridge: Cambridge
University Press, pp. 137-170
20. __________________. Challenges to the Napoleonic Paradigm versus the
Culmination of Total War, in the Evolution of Strategy, Cambridge: Cambridge
University Press, pp. 171-197
21. Heuser, Beatrice. 2010. Long-Term Trends and Early Maritime Strategy, in the
Evolution of Strategy, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 201-215
22. ___________________. the Age of Steam to the First World War, in the Evolution
of Strategy, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 216-247
23. ___________________. The World Wars and Their Lessons for Maritime Strategy,
in the Evolution of Strategy, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 248-267

33
24. ___________________. War in the Third Dimension, in the Evolution of Strategy,
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 297-350
25. Klein, Bradley S. 1994. What Nuclear Revolution?, dalam Strategic Studies and
World Order: the Global Politics of Deterrence, Cambridge: Cambridge University
Press, pp. 39-80
26. Gray, Colin S. 1999. Nuclear Weapons in Strategic History, dalam Modern
Strategy, Oxford: Oxford University Press, pp. 319-353
27. Collins, John M. 2002. Nuclear Warfare Strategies, dalam Military Strategy:
Principles, Practices and Historical Perspectives, Washington, D.C.: Potomac Books,
pp. 133-144.
28. Heuser, Beatrice. 2010. Nuclear Strategy, in the Evolution of Strategy, Cambridge:
Cambridge University Press, pp. 351-383

34
29. Galula, David. 2006. Revolutionary War: Nature and Characteristics, dalam
Counterinsurgency Warfare: Theory and Practice. London: Praeger Security
International, pp. 1-10
30. _________________. the Prerequisites for a Successful Insurgency, dalam
Counterinsurgency Warfare: Theory and Practice. London: Praeger Security
International, pp. 11-28
31. _________________. the Insurgency Doctrine, dalam Counterinsurgency Warfare:
Theory and Practice. London: Praeger Security International, pp. 29-47
32. Cassidy, Robert M. 2008. Success in Counterinsurgency, dalam Counterinsurgency
and the Global War on Terror: Military Culture and Irregular War, Stanford:
Stanford Security Studies, pp. 127-163
33. Lynch, March. 2006. Al-Qaedas Media Strategies, the National Interest, No. 83,
pp. 50-56

35
34. Waller, J. Michael. 2007. Wartime-Message Making: An Immediate-Term
Approach, dalam Fighting the War of Ideas Like a Real War, Washington D. C.: the
Institute of World Politics Press, pp. 19-37
35. Cull, Nicholas J. 2008. Public Diplomacy: Taxonomies and Histories, Annals of the
American Academy of Political and Social Sciences, Vol. 616, pp. 31-54
36. Doob, Leonard W. 1950. Goebbels Principles of Propaganda, the Public Opinion
Quarterly, Vol. 14, No. 3, pp. 419-442
37. Ghemawat, Phankaj. 2002. Competition and Business Strategy in Historical
Perspective, the Business History Review, Vol 76, No. 1, pp. 37-74
38. Aurik, John et. al. 2014. History of Strategy and Its Future Prospects, A.T. Kearney
Analysis, pp. 1-14
39. Whittington, Richard. 2001. Theories of Strategy, dalam What is Strategy and
does it matter?, London: Thompson, pp. 9-40

36
40. Porter, Michael E. 2011. the Five Competitive Forces that Shape Strategy, HBRs
10 Must Reads on Strategy, Boston: Harvard Business Review Press, pp. 39-76
41. Pankaj, Ghemawat. 2007. Semiglobalization and Strategy, dalam Redefining Global
Strategy: Crossing Border in a World Where Differences Still Matter, Boston:
Harvard Business School Press, pp. 9-32
42. _____________________. Differences Across Countries, dalam Redefining Global
Strategy: Crossing Border in a World Where Differences Still Matter, Boston:
Harvard Business School Press, pp. 33-64
43. _____________________. Playing the Differences, dalam Redefining Global
Strategy: Crossing Border in a World Where Differences Still Matter, Boston:
Harvard Business School Press, pp. 197-218
44. Gray, Colin S. 1999. Poverty of Modern Strategic Thought, dalam Modern
Strategy, Oxford: Oxford University Press, pp. 113-128

37
45. ________________. Patterns in Strategic Experience, dalam Modern Strategy,
Oxford: Oxford University Press, pp. 175-205

38
SAP (Satuan Acara Pembelajaran)
Strategi dan Tata-Kelola Strategis

Deskripsi Mata Kuliah


Mata kuliah ini didesain untuk mengenalkan
mahasiswa pada pembelajaran dasar strategi,
pemahaman metamorfosisnya dalam berbagai dimensi,
pengupayaan internalisasinya secara praktis, hingga
pengembangan inovatifnya dalam suatu skema dasar
pengaturan strategis. Berbeda dengan umumnya
pembelajaran strategi yang didekati secara sektoral
seperti umumnya pembelajaran strategi bisnis atau
strategi kemiliteran, mata kuliah ini mengembalikan
strategi dalam kancah asali-nya yang interdisipliner.
Oleh karena itu, setelah mengkaji pemahaman dasar
tentang apa yang esensial dalam strategi dan bagaimana
ia dikembangkan secara klasik dari Sun Tzu hingga
Clausewitz; lebih lanjut dikaji pula metamorfosis kajian
strategi dalam berbagai dimensi; dari kemiliteran,
maritim, nuklir, insurjensi, media, bisnis dan
globalisation.

39
Dosen Pemangku
I Basis Susilo, MA.
Joko Susanto, MSc.
Moch. Yunus, Msi.

Asisten Dosen
Helmi Akbar Danaparamitha

Jadwal Kuliah
Rabu, 16.00-18.30 WIB
Ruang A.309

Versi Pengembangan
Pengembangan mata ajaran adalah bagian dari
implementasi Roadmap 2020 Departemen Hubungan
Internasional Universitas Airlangga dalam kaitan
perlunya mengetengahkan, memperbarui, menyegarkan
dan mengisi kekosongan pendekatan interdisipliner
terkait kajian strategi. Sejak pertama kali diketengahkan
pertengahan tahun 2008, mata ajaran ini telah mengalami
pengembangan tiga kali demi membuatnya lebih matang

40
dan mutakhir baik secara pendekatan maupun isi. Versi
yang berikut adalah hasil pengembangan ketiga. Mulai
diperkenalkan pertengahan 2015 dan menjadi versi
paling mutakhir sejauh ini.

Struktur Penilaian
Metode Persentase
Ujian Akhir 30%
Semester
Ujian Tengah 30%
Semester
Tugas & 30%
Presentasi
Keaktifan 10%
Total 100%

Standar Penilaian: Program Sarjana


Nilai Angka Kualifikasi Minimal
A 75-80 Mahasiswa tidak saja menunjukkan
penguasaan teoritik memadai; tetapi

41
juga wawasan teoritik yang kaya dan
istimewa. Teori diinterpretasi, ditinjau
atau diaplikasikan dalam kreativitas
yang tidak saja tepat dan kaya ilustrasi;
tetapi juga menunjukkan keluasan
wawasan, kekayaan bacaan, dan
pemahaman pribadi yang istimewa.

AB 70-74 Mahasiswa tidak saja menunjukkan


penguasaan teoritik memadai; tetapi
juga kreativitas pemahaman dan
wawasan teoritik kaya. Teori
diinterpretasi, ditinjau atau
diaplikasikan dalam krea-tivitas yang
tidak saja tepat tetapi juga
menunjukkan keluasan wawasan dan
kekayaan bacaan secara pribadi, meski
secara umum belum dapat
dikategorikan istimewa.

B 65-69 Mahasiswa menunjukkan penguasaan

42
teoritik memadai; tetapi secara
kreativitas pemahaman dan wawasan
teoritik tergolong standar atau hanya
menghadirkan ulang apa yang
diajarkan. Teori diinterpretasi, ditinjau
atau diaplikasikan tepat sesuai standar,
tetapi tidak disertai pengayaan
elaborasi dan kreativitas pemahaman
berarti.

BC 60-64 Mahasiswa cukup menunjukkan


penguasaan teoritik memadai. Teori
diinterpretasi, ditinjau atau
diaplikasikan dalam kualitas yang
sedikit di bawah standar. Bisa jadi ada
kreativitas tetapi secara umum
menunjukkan adanya keterbatasan atau
kekurangan dalam pemahaman posisi-
posisi dasar, meski secara keseluruhan
tidak sampai menimbulkan kerancuan
berarti.

43
C 55-59 Mahasiswa kurang menunjukkan
penguasaan teoritik memadai. Teori
diinterpretasi, ditinjau atau
diaplikasikan dalam kualitas yang jelas
di bawah standar. Bisa jadi ada
kreativitas tetapi secara umum justru
menunjukkan adanya kekurangan atau
kesalahan dalam pemahaman posisi
dasar sehingga secara keseluruhan
dapat menimbulkan kerancuan berarti.

D 50-54 Mahasiswa tidak menunjukkan


penguasaan teoritik memadai. Teori
diinterpretasi, ditinjau atau
diaplikasikan dalam kualitas yang
mendekati ngawur. Bisa jadi ada
kreativitas tetapi secara umum justru
menunjukkan ketidaktahuan. Hampir
tidak ada pemahaman posisi dasar yang
sesuai atau hampir tidak ada

44
pemahaman posisi dasar yang tidak
menimbulkan kerancuan berarti.

Nb: Nilai E adalah nilai untuk jawaban atau karya hasil


plagiat/diperoleh secara curang, sama sekali tidak
menjawab pertanyaan, atau berkualifikasi di bawah
kualifikasi nilai D.

Metode Pembelajaran
Pembelajaran mata kuliah ini secara umum terdiri
dari tiga metode. Pertama, metode kuliah atau lecturial
di mana dosen memberikan presentasi umum yang
mengantarkan mahasiswa pada pokok substansi utama,
berikut variasi opsi-opsi atau posisioning strategis yang
secara umum berkembang dalam kaitannya. Kedua,
metode diskusi atau simulasi di mana mahasiswa secara
kelompok maupun pribadi mengeksplorasi dan
mengembangkan pendapat, tinjauan atau posisi
strategisnya terkait isu-isu krusial terkait. Ketiga, metode
seminar atau tutorial di mana mahasiswa
mempresentasikan, mendiskusikan dan

45
mengkonsultasikan hasil riset terstruktur dalam suatu
forum terbuka.

Review & Essay


Tugas-tugas review dan essay mata kuliah
Strategi dan Tata Kelola Strategis sebagai berikut:
Program Sarjana. Review mingguan bagi setiap
kelompok atas sedikitnya empat bacaan dalam daftar
bacaan. Panjang tulisan minimal 1500 kata. Tenggat
mati bagi submisi elektronik adalah Selasa pukul 17.00
WIB. Submisi versi cetak menyesuaikan jadwal lecturial
per topik.

46
Satuan Acara Pembelajaran
BAB I

Pokok Bahasan:
Pendahuluan

Sub Pokok Bahasan:


- Prolog Memahami Strategi
- Dua Figur Utama dalam Strategi
- Metamorfosis Studi Strategi
- Epilog Global Strategist

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa tidak hanya diharapkan mampu
memahami strategi secara definitif maupun konseptual,
namun mahasiswa juga dapat memahami secara
interdisipliner. Pemahaman tersebut dipergunakan dalam
meluruskan kembali pendangkalan makna strategi yang
sudah dapat dinilai kacau dalam penggunaannya. Selain
itu, mahasiswa dituntut untuk dapat memahami studi
strategi melalui pendekatan historis dan empiris, sebagai

47
bekal analisis pergeseran nilai-nilai strategi yang
berubah yang dikarenakan fenomena kontemporer.
Mahasiswa diharapkan tidak hanya dapat memahami
strategi secara kontekstual, namun juga diharapkan
mampu mengupayakan internalisasi nilai-nilai
fundamental strategi dalam ranah praktikal.

Metode Pembelajaran:
Keseluruhan mahasiswa akan masuk dalam kelas,
kemudian kelas akan dimulai dalam bentuk seminar.
Seminar akan dibuka dengan pengenalan dosen-dosen
beserta asisten dosen pengajar mata kuliah. Kemudian,
setiap dosen akan memberikan gambaran umum materi
perkuliahan yang akan ditempuh selama satu semester ke
depan. Seusai ceramah, asisten dosen akan membagi
peserta mata ajaran menjadi dua belas kelompok, yang
mana akan dipergunakan untuk kelompok diskusi.
Ditambah dengan satu sesi yang merumuskan bersama
mengenai kontrak perkuliahan. Kesepakatan akan
kontrak perkuliahan ini lah yang akan dijadikan sebagai
acuan peraturan tata tertib perkuliahan selama satu
semester.

48
BAB I
Pendahuluan

Seringkali di dalam pembahasan berbagai hal,


kata strategi muncul di dalamnya. Strategi sudah menjadi
istilah yang sering digunakan oleh masyarakat untuk
menggambarkan berbagai makna. Terdapat miskonsepsi
dalam paradigma masyarakat mengenai definisi strategi
dan strategis. Dari tahun ke tahun penggunaan label
strategi semakin dipergunakan oleh banyak orang.
Namun yang menjadi permasalahan adalah pencampur
adukan hal yang seharusnya mendapatkan label strategi
dan mana yang bukan. Melebarnya konsep strategi ini
dapat dilihat melalui bagaimana cara orang mengaitkan
segala sesuatunya dengan konsep tersebut, sebagai
contohnya mulai dari visi muluk sampai dengan tata cara
aturan dalam berpakaian. Kekacauan ini tercipta sebagai
konsekuensi lanjutan atas pendangkalan makna strategi
sebagai keberhasilan dan ambisi. Selain itu, pemahaman
strategi yang hanya ditinjau melalui pendekatan bisnis
dan militer semakin menurunkan nilai dari intisari

49
strategi itu sendiri. Oleh karenanya, untuk
mengembalikan pemahaman holistik tentang strategi,
maka perlu untuk mengembalikan strategi pada ranah
asalinya, yakni pemahaman interdisipliner. Pemahaman
tersebut akan dibawakan kembali pada realitas melalui
mata kuliah Strategi dan Tata Kelola Strategis.
Di dalam setiap perkuliahan akan memuat
pengenalan awal pada pembelajaran dasar mengenai
strategi. Di dalamnya terdiri atas pemahaman
metamorfosis dalam berbagai dimensi, pengupayaan
internalisasinya secara praktik, hingga pengembangan
inovatifnya dalam sebuah skema dasar pengaturan
strategis. Selain itu, perkuliahan ini menawarkan
pendekatan distinctiveness. Tidak hanya menjelaskan
pembelajaran strategi melalui pendekatan umum seperti
bisnis dan kemiliteran, pembahasan ini pun memberikan
pandangan yang interdisipliner. Oleh karena itu, setelah
mengkaji pemahaman dasar tentang definisi akan strategi
dan bukan strategi; serta mempelajari bagaimana strategi
dikembangkan secara klasik dari Sun Tzu hingga
Clausewitz; dikaji pula metamorfosis kajian dalam
berbagai dimensi, mulai dari kemiliteran hingga bisnis

50
kemudian pengaruh perkembangan teknologi, yang mana
meliputi persenjataan nuklir, kemudian teknik perang
asimestris hingga perkembangan teknologi di era global
terhadap perkembangan strategi. Akan tetapi yang lebih
penting dari semua itu adalah bagaimana pada akhirnya
mentalitas strategis dapat diinternalisasi. Dalam kaitan
tersebut, pembahasan akan ditutup oleh kajian tentang
mode berpikir dan bertindak strategis.

Prolog Memahami Strategi


Sebagai pijakan awal, dibutuhkan pemahaman
dasar mengenai strategi itu sendiri. Dalam membentuk
pijakan yang kuat, maka pembahasan awal akan dibagi
dalam tiga materi inti. Meliputi pemahaman definitif
tentang strategi, kemudian pendekatan historis terkait
apa saja yang turut mempengaruhi perkembangannya,
dan pemahaman konseptual mengenai teori-teori dalam
strategi. Secara terminologis, strategi berasal dari bahasa
Yunani yakni strategos yang memiliki arti sebagai
kepemimpinan. Namun strategi memiliki definisi yang
lebih luas daripada arti secara terminologis tersebut.
Strategi telah mengalami perkembangan dan tidak

51
eksklusif dikaji oleh satu bidang tertentu. Terdapat tiga
sudut pandang utama dalam memperkaya sekaligus
mempermudah pemahaman akan materi strategi. Bidang-
bidang tersebut antara lain bisnis, militer, dan
pemerintahan. Pandangan mengenai strategi akan
dibahas dalam ketiga bidang tersebut yang kemudian
akan ditambah dengan satu bahasan tambahan untuk
membantu membentuk pemahaman yang lebih baik,
yakni membedakan hal-hal yang dapat disebut strategi
dan hal-hal yang tidak dapat disebut sebagai strategi.
Penambahan tersebut berguna juga untuk menghindari
kerancuan pemahaman.
Pendekatan historis dalam memahami strategi
sangat diperlukan, karena studi strategi adalah sebuah
ilmu yang mempelajari strategi, baik di ranah perang
maupun ketika era damai. Studi strategi tumbuh dari
strategi perang di kalangan militer yang kemudian
membuat strategi menjadi terkesan realisme. Kesan-
kesan tersebut lah yang menjadi kritik terhadap studi
strategi yang dilihat sebagai studi yang hanya
mempelajari perang dan bahkan mendewakan adanya
perang. Dalam perkembangannya memang studi strategi

52
dimulai dari ranah militer, namun seiring semakin
kompleksnya dunia hubungan antar negara, strategi tidak
lagi dapat dipertahankan di ranah militer saja, ini
ditunjukkan seperti adanya konsep strategi di aspek
ekonomi dan bisnis dengan adanya konsep strategi
global. Studi strategi yang awalnya merupakan seni-seni
eksklusif bagi para elit dan jenderal pun mengalami
perubahan ketika Bernard Brodie, seorang cendekiawan
sekaligus pemikir studi strategi pada 1949, membuka
jalur studi strategi karena melihat bahwa pemikiran dan
pengetahuan akan strategi tidak dapat hanya dimiliki
oleh segelintir orang saja, namun harus dimiliki setiap
lapisan masyarakat. Sebagai sebuah studi, strategi harus
lah memiliki sebuah nilai universalitas yang dapat
dipahami secara luas oleh semua kalangan.
Menyambung pemahaman ini, maka dibutuhkan
keberadaan teori guna memberikan panduan dalam
memahami studi strategi lebih lanjut.
Dalam inti studi strategi, terdapat konseptualisasi
secara kontekstual untuk mempermudah pemahaman,
konsep tersebut meliputi common concept atau dasar
bersama yang disebut sebagai nature of war dan logic of

53
war and strategy. Konsep tersebut melihat bahwa perang
selalu berkaitan dengan mencapai tujuan tertentu dan
strategi adalah cara bagaimana mencapai tujuan tersebut.
Dalam melihat strategi, ada empat pendekatan yaitu
Pendekatan Evolusioner, Pendekatan Proses, Pendekatan
Sistemik dan Pendekatan Klasik. Keempatnya
menawarkan sudut pandang yang berbeda dalam
memahami strategi secara kontekstual. Dari adanya
nature of war itu pula lah, kemudian muncul sosok Karl
von Clausewitz dan Sun Tzu yang keduanya memiliki
cara-cara yang berbeda di dalam melihat apa itu strategi
dan bagaimana cara mereka memenangkan suatu perang
agar tujuan mereka tercapai. Strategi sebagai teori tidak
berusaha untuk mencari sebuah hukum atau cara-cara
yang pasti di dalam mencapai tujuan. Sebaliknya,
strategi sebagai teori berusaha untuk mencari dan
menggali pemahaman dalam melihat strategi sebagai
suatu seperangkat cara untuk mencapai tujuan. Dalam
kaitannya dengan cara mencapai tujuan tersebut, strategi
kemudian muncul sebagai art atau seni karena tiap
stratejis memiliki cara mereka sendiri-sendiri. Teori
strategi menggunakan konsep educating the mind

54
yang berarti bahwa adanya teori strategi bukan untuk
mempelajari cara-cara yang pasti dalam mencapai
tujuan, namun untuk berpikir kritis dan dinamis untuk
mencari cara untuk mencapai tujuan. Ini dikarenakan
tujuan dari tiap pelaku strategi yang tentu berbeda satu
sama lain, juga dalam pengaplikasian strategi akan
mengalami hambatan yang berbeda-beda. Maka perlu
untuk berpikir kritis dan dinamis agar kepentingan dapat
tercapai.

Dua Figur Utama dalam Strategi


Dalam perkembangan studi strategi, telah banyak
tokoh-tokoh yang memberikan sumbangsih
pemikirannya. Namun diantara keseluruhan tokoh
pemikir tersebut, hanya ada dua tokoh yang dianggap
sebagai figur sentral dalam studi strategi. Kedua tokoh
tersebut adalah Sun Tzu dan Clausewitz. Kedalaman
pemahaman mengenai strategi tidak perlu diragukan,
keduanya menjadi simbol tokoh monumental yang
mewakili eranya. Sun Tzu yang terkenal sebagai pemikir
strategi klasik dan Clausewitz sebagai tokoh pencetus
strategi modern.

55
Pemikiran Sun Tzu mengenai strategi merupakan
salah satu pemikiran penting dalam studi strategis. Sun
Tzu sendiri mengedepankan pentingnya kalkulasi dan
perencanaan dalam strategi. Menurutnya, kemenangan
dalam perang akan lebih dekat atau lebih mudah dicapai
jika pemimpin lebih dahulu merencanakan strateginya.
Kemudian kreativitas, intuisi dan kemampuan pemimpin
untuk beradaptasi dalam situasi seburuk apapun yang
akan menentukan hasil akhir dari peperangan tersebut.
Di masa modern, pemikiran strategi Sun Tzu juga tidak
hanya digunakan dalam kajian area militer saja, tetapi
banyak juga digunakan oleh kalangan pebisnis dan
ekonomi untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapinya. Sun Tzu juga memberikan kontribusi
penting dalam studi strategis, yang mana ia juga
menekankan pentingnya perundingan dalam suatu
peperangan. Sebelum menggunakan kekerasan dan
kekuatan fisik, hendaknya seorang pemimpin berunding
terlebih dahulu. Jika kepentingan tidak bisa dicapai
melalui perundingan, baru lah menggunakan kekerasan.
Kemenangan terhebat menurut Sun Tzu adalah
kemenganan yang sedikit atau bahkan tidak

56
menggunakan kekerasan sama sekali. Akhirnya Sun Tzu
juga ikut memberikan kontribusi penting dalam
mendefinisikan perang itu sendiri, yang mana perang
menurut Sun Tzu adalah suatu hal kompleks yang ikut
melibatkan unsur-unsur non-militer seperti perundingan,
ekonomi dan sebagainya. Salah satu alasan mengapa
strategi Sun Tzu disebut klasik karena strateginya yang
bersifat timeless. Sebagai contoh, di era sekarang ini
dapat diterapkan tidak hanya pada bidang militer tetapi
juga pada bidang ekonomi, bisnis dan lain-lain. Misalnya
saja dalam bidang bisnis, kita dapat menerapkan strategi
Sun Tzu seperti mengetahui kelemahan produk pihak
lawan atau rival sehingga produk atau barang yang kita
jual dapat lebih unggul.
Clausewitz sebagai strategis era modern
membawa banyak kontribusi baru dalam studi strategi.
Clausewitz yang menekankan pada perang sebagai alat
untuk mencapai kepentingan membawa pendekatan yang
berbeda dari Sun Tzu yang menekankan pada perang
tanpa darah. Clausewitz juga dianggap stratejis era
modern karena kelihaiannya dalam melihat perang dari
sisi yang berbeda. Bahwa perang tidak sekedar

57
membunuh lawan dan menang, namun ada banyak
konsep-konsep dan teori di dalam perang, baik dalam
persiapan maupun ketika perang itu sendiri. Clausewitz
juga berhasil membuka tabir hubungan relasi perang dan
aspek-aspek non-militer. Bahwa dalam perang;
pemerintah, militer dan rakyat memiliki hubungan dalam
pencapaian perang. Namun pada kenyataannya,
Clausewitz tidak bisa menjelaskan fenomena perang
baru seperti perang nuklir dan perang transnational
crime. Strategi Clausewitz disebut modern karena
kemampuannya dalam mengelaborasikan perang ke
dalam ranah empiris dan teoritis yang sebelumnya belum
pernah ada, bahkan oleh Art of War sekalipun. Disebut
modern karena Clausewitz tidak sekedar melihat strategi
dalam konteks kebijaksanaan dan hanya sekedar what
to do dan how to do, tetapi telah mencapai why
doing that. Clausewitz menggali lebih dalam studi
strategi dengan mencari konsep-konsep di dalam perang
dan menjelaskannya secara sistematis dan runtut serta
menciptakan proposisi khusus. Namun Clausewitz hanya
melihat perang sebatas perang konvensional yang
menggunakan kekuatan militer dan tidak melihat

58
kenyataan bahwa perang seperti perang nuklir tidak bisa
dengan sembarangan dilakukan tanpa adanya negosiasi,
hal yang ditolak oleh Clausewitz.

Metamorfosis Studi Strategi


Masyarakat dunia secara umum terus mengalami
laju kemajuan linier dalam aspek multidimensi, tidak
hanya secara pemikiran namun juga diimbangi dalam
pengupayaan internalisasi secara praktik. Manusia terus
berkembang dan menghasilkan produk peradaban yang
sebelumnya tidak pernah ada, termasuk teknologi dan
globalisasi. Produk-produk peradaban ini tidak hanya
memberikan kontribusi pada kehidupan manusia, namun
juga mendorong munculnya pengembangan inovatif
dalam skema yang jauh lebih luas. Studi strategi tidak
luput terkena pengaruh perkembangan teknologi ini.
Metamorfosis bertahap sebagai konsekuensi
perkembangan peradaban umat manusia ini tidak hanya
mengkategorikan strategi ke dalam dua bagian, klasik
dan modern, namun jauh lebih dari itu, perkembangan
ini telah membawa studi strategi pada sebuah titik
pencapaian baru.

59
Perkembangan teknologi ditujukan untuk
mempermudah tugas manusia dalam segala lini
kehidupan, termasuk dalam dunia militer. Perkembangan
teknologi di ranah militer dan persenjataan secara pasti
mengubah konsepsi strategi sebelumnya yang ditandai
dengan perang secara kontak langsung dengan lawan.
Hingga pada zaman modern ini mulai ditemukan
teknologi senjata canggih dengan kemampuannya untuk
menghancurkan wilayah secara masif sehingga disebut
sebagai senjata pemusnah massal dengan nama nuklir.
Awal dari fenomena ini datang dari peristiwa Perang
Dingin. Dalam Perang Dingin ini digunakan senjata
nuklir tersebut dari menggunakannya sebagai senjata
pemusnah massal berubah menjadi senjata pencegah
perang terbuka. Keberadaan dari perkembangan nuklir
ini memberikan pengaruh terhadap studi strategi yang
berkembang menjadi semakin kompleks. Strategi yang
kemudian berkembang didalam masa revolusi nuklir ini
juga mengalami pergeseran. Nuklir membuat strategi
berubah sebagai cara untuk mengunggi lawan dan bukan
mengalahkan lawan. Strategi yang dahulunya digunakan
untuk mengelahkan lawan dalam peperangan kini

60
menjadi sebuah usaha untuk dapat mengungguli lawan.
Di dalam usaha untuk dapat mengungguli lawan, strategi
yang tepat untuk digunakan adalah strategi deterrence.
Strategi deterrence ini menunjukkan bahwa nuklir
memiliki kemampuan untuk menjadi senjata
penggertak lawan agar lawan merasa takut untuk
menyerang atau memulai konflik. Perubahan lansekap
logika perang yang mengutamakan ancaman, turut
mengubah metode-metode perang yang dipergunakan.
Puncaknya, perubahan-perubahan tersebut menghasilkan
sebuah era baru dalam studi strategi, era posmodern.
Strategi dan studi strategi terus berkembang
secara dinamis. Perkembangan strategi dan studi strategi
ini pada praktiknya sudah tidak lagi hanya didominasi
oleh aktor negara sebagai pemilik dan pelaku. Akan
tetapi, ada aktor-aktor lain yang mulai menunjukkan
eksistensinya dengan memiliki strateginya tersendiri.
Kemunculan strategi dari para aktor baru ini seringkali
dikenal sebagai strategi posmodern dengan kata
kuncinya adalah perang ireguler dan perang gerilya.
Strategi posmodern terbilang menarik karena ada sebuah
dekonstruksi strategi yang selama ini diyakini oleh

61
banyak akademisi dan atau para pembelajar strategi.
Pengaruh perkembangan perang ireguler atau strategi
posmodern telah besar bagi studi strategi. Hal ini
disebabkan karena ada pergeseran soal interpretasi dari
strategi perang klasik dan modern ke strategi posmodern.
Strategi posmodern pada intinya menjelaskan bahwa
perang dapat dilakukan oleh siapa pun, karena mereka
yang memegang kekuatan (power) yang memiliki
strategi. Kemudian inti lain dari studi strategi ini adalah
bahwa perang tidak lagi harus secara konvensional
mengenal teritori, ada deteritorialisasi lewat fitur internet
yang mampu memengaruhi perjuangan dari aktor-aktor
baru yang berasal dari kalangan rakyat. Dari sini dapat
dipahami kemudian jika eksistensi strategi posmodern
memang ada, ditunjukkan dengan keberadaan perang
ireguler yang terdiri dari terorisme dan perlawanan atau
perang gerilya. Dua hal ini disebut sebagai strategi
posmodern karena adanya unsur-unsur di luar arus utama
yang terdapat di dalamnya dan sekaligus
menggambarkan fitur-fitur posmodern seperti
keterlibatan rakyat menentang pemerintah. Strategi
posmodern menjadi momen dekonstruksi terhadap

62
tatanan yang dianggap mapan dan seringkali eksploitatif
pada sekelompok masyarakat tertentu. Oleh sebab itu,
kemunculan kelompok-kelompok ini kemudian mencoba
menunjukkan eksistensi mereka yang membawa
kepentingan di dalamnya, termasuk kelompok yang
bergerak berlandaskan fundamentalisme.
Strategi dalam perkembangannya di era modern
telah mengalami pergeseran dan perluasan aplikasi, yang
tidak lepas dari situasi modern saat ini. Strategi
berangkat dari cara untuk memenangkan sebuah perang,
dan berubah di era perang dingin ketika strategi dibentuk
sebagai cara untuk menghindari perang melalui
deterrence. Lebih jauh lagi, strategi kembali berevolusi
dalam konteks strategi posmodern yang menekankan
pada cara-cara untuk bertahan di dalam irregular war.
Saat ini, beberapa mempercayai bahwa perang tidak lagi
dimaknai dalam konteks militer melalui engagement
through weapon and army, namun persaingan antar
firma dan negara di ranah bisnis diyakini telah menjadi
bentuk perang yang baru, dan strategi yang dipergunakan
pun berubah. Strategi bisnis merupakan strategi yang
digunakan oleh perusahaan-perusahaan bisnis untuk

63
memenangkan kompetisi melawan perusahaan lain agar
dapat mempertahankan posisi di pasar dalam meraih
keuntungan. Strategi bisnis muncul sebagai akibat
keterbatasan sumber daya dan tuntutan kompetisi yang
ketat akibat kemunculan perusahaan yang semakin
banyak. Strategi militer bertransformasi menjadi strategi
bisnis seiring dengan dinamika zaman yang kompetitif
ekonomi menjadi aspek yang krusial. Strategi bisnis
awalnya sudah muncul sejak abad ke-19 namun dalam
penerapan yang masih terbatas sebelum akhirnya
semakin berkembang sejak akhir Perang Dingin. Masa
Perang Dunia juga telah mendorong perkembangan atau
trasnformasi strategi militer menjadi strategi bisnis
setelah para pelaku lapangan harus mencari cari dalam
melakukan distribusi dan alokasi sumber daya langka.
Strategi bisnis juga mengalami pergeseran di dalam
aktor, yang sebelumnya dilakukan oleh jenderal perang
menjadi manager dan CEO perusahaan. Perubahan
lingkungan dan fokus internasional, ditambah dengan
perkembangan teknologi yang semakin pesat menggeser
ranah hard politics ke arah soft politics membutuhkan
suatu konsep strategi dalam rangka tercapainya tujuan

64
perusahaan. Strategi militer kemudian digunakan sebagai
sumber ilham aplikasi strategi bisnis. Berbagai adopsi
terminologi dan alat dalam strategi militer digunakan di
strategi bisnis. Namun strategi bisnis tidak bersifat
pakem begitu saja, melainkan mengalami dinamika dan
transformasi seiring perubahan zaman.
Peradaban umat manusia tidak hentinya
mengalami kemajuan, hingga saat ini dunia dihadapkan
pada sebuah fenomena baru, globalisasi. Era globalisasi
yang dipercaya muncul di tahun 1980-an bersamaan
dengan kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi,
membuat banyak perubahan yang signifikan. Dampak
globalisasi begitu terasa hingga banyak memunculkan
pola pikir serta pendekatan-pendekatan yang baru yang
mengedepankan kecepatan, efisiensi dan efektivitas
dalam suatu kegiatan. Globalisasi dianggap
mengerutkan dunia menjadi suatu bidang yang datar
yang mana semuanya menjadi saling terikat satu sama
lain, saling mempengaruhi dan memudahkan segala
aktivitas manusia di dalamnya. Banyak pemikir yang
menilai kebutuhan akan strategi pun juga mengalami
pergeseran dalam menghadapi globalisasi ini. Ada pihak

65
yang menyatakan bahwa dalam era globalisasi, strategi
yang dibutuhkan adalah satu strategi yang dapat
diterapkan di seluruh bidang kehidupan, dan ada pihak
yang percaya bahwa strategi terbaik di era ini adalah
strategi yang dapat beradaptasi terhadap perbedaan di
setiap aspek yang ada. Meski terdapat perdebatan
mengenai strategi yang terbaik dalam menghadapi
fenomena globalisasi tersebut, fakta terpenting adalah
kenyataan bahwa strategi global itu ada, dan banyak
dilakukan oleh perusahan-perusahaan multinasional yang
bergerak lintas batas negara.
Strategi global berfokus kepada pencapaian
tujuan untuk memaksimalkan keuntungan namun dalam
ruang lingkup global yang mana memiliki tingkatan
friction yang berbeda. Strategi global dalam
perkembangannya tidak lagi hanya berupaya untuk
membentuk strategi yang universal, namun juga
melingkupi level nasional untuk mengakomodasi
kebutuhan masyarakat lokal di negara lain. Strategi di
era globalisasi pada dasarnya memiliki sifat yang tidak
berbeda dari strategi bisnis biasa, yang mana fokusnya
adalah menciptakan keuntungan yang sustainable.

66
Globalisasi dalam hal ini merupakan instrumen strategi
serta menciptakan pangsa pasar yang lebih luas untuk
memastikan tercapainya tujuan tersebut. Internet
merupakan salah satu instrumen baru di era globalisasi
yang banyak dimanfaatkan perusahaan sebagai bagian
dari strategi untuk menjadi distinct dari pesaing-
pesaingnya. Di sisi lain, globalisasi membuat
kemungkinan untuk perusahan dapat bersaing semakin
tinggi, sehingga competitive advantage semakin susah.
Hal ini karena internet dapat dijangkau oleh perusahaan
mana pun dan memungkinkan kesempatan yang sama.

Epilog Global Strategist


Di era global ini, strategi semakin mengalami
pergeseran dan pengembangan yang signifikan untuk
dapat mengatasi fenomena-fenomena yang
multidimensional. Globalisasi mendorong intergrasi
dalam kehidupan manusia, sehingga aspek-aspek vital
dalam kehidupan manusia pun semkaking berpotongan
satu sama lain, sehingga tidak cukup strategi
dikembangkan di ranah bisnis ataupun militer saja,
karena era global memunculkan perpotongan-

67
perpotongan baru dari berbagai aspek dalam hidup
manusia di luar bisnis dan militer. Karena itu dibutuhkan
mereka yang memiliki mindset strategis untuk dapat
mencapai tujuan di era global, dan mereka disebut
dengan istilah stratejis global atau global strategist.
Stratejis memegang peran penting di era global, karena
dengan semakin terglobalnya dunia saat ini maka
stratejis dituntut untuk ikut andil dalam mencari solusi di
ranah multidislipin dan multidimensi ini. Karena itulah,
perlu sebuah strategic thinking atau pola pikir strategis
yang penekanannya pada pembangunan pola pikir yang
mampu menganalisa dan memilah-milah permasalahan
menjadi satu kesatuan yang padu dan komprehensif,
sehingga solusi yang akan dihasilkan pun juga efektif
dan efisien.

68
Satuan Acara Pembelajaran
BAB II

Pokok Bahasan:
Strategi dan Kajian Strategi

Sub Pokok Bahasan:


- Definisi Strategi
- Kajian Strategi

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa diharapkan memiliki pemahaman dan
mampu menarik intisari dari beberapa sudut pandang
dan mampu memahami strategi dari sudut pandang yang
mendasar serta indisipliner. Dengan demikian,
pemahaman yang dibentuk tentang strategi tidak hanya
khas dalam hal mempermudah proses pencapaian tujuan
namun strategi juga memiliki pemahaman yang luas, dan
mampu membedakan hal-hal yang bisa disebut strategi
dan yang tidak bisa disebut strategi.

Metode Pembelajaran:

69
Perkuliahan dimulai dengan presentasi empat
kelompok yang menjelaskan mengenai pokok bahasan
dan sub-sub pokok bahasan mengenai strategi dan kajian
strategi melalui pandangan-pandangan dari empat
scholar yang berbeda. Kelompok penyaji
mempresentasikan dan menjelaskan mengenai definisi
strategi dari berbagai pendekatan dan apa yang menjadi
bagian esensial dari sebuah strategi. Kemudian sesi
diskusi tanya jawab akan berlangsung selama 75 menit.
Selama sesi diskusi, kelompok panelis dan pengamat
dipersilahkan untuk mengajukan pertanyaan dan
memberikan opini terkait materi yang disajikan oleh
kelompok penyaji. Setelah sesi diskusi tanya jawab,
kelas memasuki sesi ceramah. Dosen memberikan
ceramah mengenai materi selama waktu yang masih ada.

Pertanyaan Arahan:
Apa itu strategi? Apa perbedaannya dengan
taktik? Hal apa saja yang tidak dapat dikategorikan
sebagai sebuah strategi? Bagaimana strategi dipandang
dari berbagai aspek seperti militer, bisnis, dan
pemerintahan?

70
Referensi:
Baylis, John dan J.J. Wirtz. 2007. Introduction, dalam
John Baylis et. al. (ed.), Strategy in the
Contemporary World, Oxford: Oxford University
Press, pp. 1-15
Heuser, Beatrice. 2010. What is Strategy?, in the
Evolution of Strategy, Cambridge: Cambridge
University Press, pp. 3-35
Mahnken, Thomas G. 2007. Strategic Theory, dalam
John Baylis et. al. (ed.), Strategy in the
Contemporary World, Oxford: Oxford University
Press, pp. 66-81
Porter, Michael E. 1996. What is Strategy?, Harvard
Business Review, November-December, pp. 61-78

71
BAB II
Strategi dan Kajian Strategi

Pendahuluan
Di awal kemunculannya, istilah strategi
seringkali dikaitkan sebagai unsur penting yang harus
dikuasai untuk memenangkan perang. Dalam
perkembangannya, strategi seperti dalam peperangan
mulai diadaptasi untuk diterapkan ke bidang-bidang lain.
Seperti dalam bisnis, strategi mudah dijumpai dalam
praktis maupun studinya. Demikian pula dalam
Hubungan Internasional yang hadir secara lebih unik
untuk mencoba menjembatani strategi dalam hal militer
dan bisnis. Sebelumnya perlu dipahami bahwa strategi
seringkali dianggap bersifat abstrak. Strategi bila
dipahami secara umum merupakan gambaran umum dan
besar yang dirancang oleh penggunanya untuk
mendukung pencapaian tujuan. Strategi masih bersifat
rancangan umum dan ini berarti sifatnya abstrak. Oleh
sebab itu, diperlukan instrumen lain yang akan menjadi
operasionalnya. Untuk kemudian dapat dioperasionalkan

72
strategi akan memerlukan taktik. Berikut penulis
menjabarkan keseluruh instrumen yang ada di atas
secara rinci.

Definisi Strategi
Ketika mendengar kata strategi, hal pertama
yang akan terpikirkan yakni suatu cara yang
direncanakan untuk mempermudah tercapainya
kepentingan. Secara umum strategi sering dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari ketika membahas hal-hal
yang terkait dengan bisnis dan militer. Namun
sebenarnya, strategi merupakan topik yang memiliki
cakupan bahasan yang sangat luas. Penulis sendiri
memiliki satu pengertian strategi secara umum yang
sangat menarik dan mampu dilihat dari berbagai bidang,
baik bisnis maupun militer. Yakni strategi bukanlah
suatu seni dalam mencari peluang, namun strategi
adalah suatu seni dalam menciptakan peluang.
Carnes Lord (2003) menyatakan bahwa strategi
adalah sebuah pelibatan untuk tujuan perang. Selain
Lord, definisi strategi juga dikemukakan oleh B.H.
Liddell Hart (dalam Murray & Grimsley, 1994). Liddell

73
Hart menerangkan bahwa strategi adalah seni
mendistribusikan dan mengaplikasikan hal-hal militer
untuk memenuhi tujuan-tujuan dari kebijakan. Dua
definisi ini begitu kental dengan suasana militer. Di sisi
lain, strategi juga didenisikan secara umum sebagai
keseluruhan, gambaran besar, rencana yang di dalamnya
terdapat tujuan dan hasil yang diinginkan. Dari semua
definisi tersebut, secara garis besar dapat dipahami
beberapa hal. Pertama, strategi melibatkan berbagai
sumber daya potensial yang dimiliki untuk kemudian
dimanfaatkan sebagai bagian dari strategi. Pelibatan ini
tentunya telah melewati kalkulasi matang dari para
pengambil kebijakannya sebelum dihasilkan sebuah
strategi. Kedua, strategi mengandung tujuan. Strategi
diciptakan sebagai pegangan yang memberi arah bagi
para penggunanya dalam bertindak. Strategi sebagai
bagian persiapan harus direncanakan dengan matang.
Dengan begitu tujuan dapat tercapai secara lebih efektif
dan efisien. Yang ketiga, strategi hanya berupa
rancangan saja. Strategi masih bersifat abstrak, oleh
karenanya untuk kemudian dapat dioperasionalkan
strategi memerlukan taktik.

74
Kajian Strategi
Dalam proses pengaplikasiannya di dunia nyata,
strategi seringkali diartikan secara luas hingga segala
usaha yang dilakukan demi mencapai kepentingan
dianggap sebagai sebuah strategi. Melalui artikelnya
yang berjudul What Strategy is Not, Bhattacharya (2007)
menyebut lima konsep dalam bidang bisnis yang secara
umum seringkali disamaartikan dengan strategi, padahal
sebenarnya hal tersebut bukan merupakan sebuah
strategi. Kelimanya adalah tindakan (action); perluasan
skala atau cakupan (scaling up the scale); meningkatkan
kualitas, menurunkan biaya, dan peningkatan pelayanan
konsumen (high quality, low cost, and superior customer
service); merusak kompetisi (hurting the competition);
serta rencana operasi tahunan (annual operating plan).
Usaha-usaha yang telah disebutkan di atas seringkali
diartikan sebagai sebuah strategi. Padahal kenyataannya
strategi membutuhkan rencana jangka panjang yang
mana strategi merupakan suatu bentuk dari rancangan
aksi-aksi yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan
jangka panjang. Michael E. Porter (1996) dalam

75
jurnalnya yang berjudul What is Strategy? juga senada
dengan pemikiran Bhattacharya (2007) bahwa dalam
urusan bisnis sering terjadi ambiguitas dalam
membedakan antara strategi dengan efektifitas
operasional. Efektifitas operasional cenderung lebih
menunjukkan usaha yang lebih baik dan lebih efektif
dibandingkan dengan usaha lawan. Efektifitas sendiri
tentu masuk sebagai salah satu unsur strategi, namun
strategi sendiri tidak cukup dengan hanya mengandalkan
unsur pengefektifan kerja. Porter (1996) menunjuk
bahwa di dalam dunia bisnis, seringkali pelaku bisnis
hanya berfokus di dalam bagaimana cara
mengintensifkan dan mengefektifkan produktivitas
(productivity), kualitas (quality) dan kecepatan (speed).
Meski kemudian membawa peningkatan dalam
kefektifan, seringkali target ataupun tujuan dari pelaku
bisnis tersebut tidak dapat tercapai. Efektifitas
operasional didefinisikan sebagai cara untuk dapat
bekerja lebih baik dan lebih efektif daripada lawan.
Nyatanya, strategi tidak dapat disamakan dengan
keefektifan. Strategi mungkin dapat mencakup

76
pengefektifan kerja di dalam suatu sistem, namun
keefektifan bukan semata-mata berarti sebuah strategi.
Strategi dan taktik merupakan dua hal berbeda
namun keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Hart dalam Prince (1998) berpendapat bahwa strategi
dan taktik tidak akan pernah dipisah menjadi dua
kategori yang berbeda. Hal ini disebabkan karena kedua
unsur tesebut bahkan tidak lagi saling mempengaruhi,
namun telah melebur menjadi satu kategori. Sependapat
dengan pemikiran Hart (1998), Sun Tzu dalam bukunya
The Art of War mengatakan bahwa Strategy without
tactics is the slowest route to victory. Tactics without
strategy is the noise before defeat (Giles, 2007).
Perbedaan antara strategi dan taktik dapat terlihat dalam
proses bernegosiasi. Dalam penerapannya, negosiasi
tentu membutuhkan kedua unsur tersebut. Kedua unsur
ini sekilas dikatakan sebagai suatu hal yang sama,
namun pada dasarnya tentu memiliki beberapa
perbedaan. Strategi merupakan pengaturan dan arah yang
mengandung struktur yang saling berhubungan.
Sementara taktik merupakan suatu usaha yang lebih

77
spesifik yang dipilih untuk mencapai tujuan, dan taktik
dapat disebut sebagai bentuk implementasi dari strategi.
Strategi dan kebijakan merupakan dua hal yang
berbeda. Strategi yang tepat sangat dibutuhkan dalam
pembuatan kebijakan. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa penggunaan strategi berarti
menggunakan cara yang berbeda dengan apa yang
dilakukan oleh lawan. Sedangkan dalam kebijakan, yang
diutamakan bukanlah perbedaan cara dalam mencapai
kepentingan, tetapi apa yang paling baik digunakan
untuk mencapai kepentingan (Hart dalam Prince, 1998).
Sehingga jelas bahwa strategi bukanlah suatu kebijakan
yang dibuat dengan baik. Kebijakan merupakan suatu
bentuk implementasi dari strategi. Setelah tujuan
ditentukan dan strategi direncanakan, maka
implementasi daripada strategi tersebut dapat berupa
kebijakan. Apabila berbicara mengenai seberapa
praktikal kah sebuah strategi, maka hal tersebut akan
memicu terjadinya perdebatan. Hal ini disebabkan
karena tidak adanya suatu indikator pasti mengenai
keberhasilan dari praktik strategi itu sendiri. Namun
Richard P. Rumelt (2012) dalam bukunya yang berjudul

78
Good Strategy, Bad Strategy mengatakan bahwa strategi
yang baik adalah strategi yang implementable, dalam
artian strategi tersebut dapat diaplikasikan secara
langsung di lapangan. Pendapat dari Rumelt (2012) ini
yang kemudian menjadi salah satu tolak ukur seberapa
praktikal kah pengaplikasian dari strategi yang
dijalankan.

Kesimpulan
Berdasar penjelasan di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa strategi merupakan suatu seni
dalam menciptakan peluang. Strategi dan taktik
merupakan dua hal berbeda namun keduanya memiliki
keterkaitan yang sangat erat. Hal ini disebabkan karena
kedua unsur tesebut bahkan tidak lagi saling
mempengaruhi, namun telah melebur menjadi satu
kategori. Dalam menentukan seberapa praktikal kah
sebuah strategi, dapat dikatakan bahwa strategi yang
baik adalah implementable strategy, yakni strategi yang
tidak hanya memiliki tujuan jangka panjang namun juga
memiliki cara-cara pengaplikasian yang logis dan
rasional untuk diterapkan di lapangan secara langsung.

79
Penulis beropini bahwa selain membutuhkan tujuan dan
cara pengaplikasian yang logis, strategi juga dituntut
untuk memiliki persiapan yang sangat matang agar
mempermudah pencapaian kepentingan itu sendiri.

Pertanyaan Arahan:
Apa itu strategi? Apa perbedaannya dengan
taktik? Hal apa saja yang tidak dapat dikategorikan
sebagai sebuah strategi? Bagaimana strategi dipandang
dari berbagai aspek seperti militer, bisnis, dan
pemerintahan?

Kata Kunci: Strategi, taktik, efektifitas operasional

Referensi:
Bhattacharya, V. N. 2007. What Strategy is Not.
European Business Forum. No. 30.
Giles, T. 2007. The Art of War by Sun Tzu - Special
Edition. Special Edition Books.
Hart, M. dalam Prince, Clay. (1998) Strategy and
Tactics: A Primer [Online]. Tersedia dalam:

80
http://www.tarrani.net/linda/StrategyAndTacticsP
rimer.pdf. [Diakses pada 12 Maret 2016].
Lord, Carnes. 2003. Strategy, dalam the Modern
Prince: What Leaders Need to Know Now. New
Haveb: Yale University Press, pp. 192-199.
Murray, Williamson & Mark Grimsley, 1994.
Introduction: On Strategy, dalam Williamson
Murray, MacGregor Knox and Alvin Bernstein,
(eds.), The Making of Strategy: Ruler, States and
War. Cambridge: Cambridge University Press, pp.
1-23.
Porter, Michael E. 1996. What is Strategy?, Harvard
Business Review, November-December, pp. 61-78.
Rumelt, Richard P. 2012. Good Strategy, Bad Strategy:
Strategi Baik dan Buruk dalam Bisnis. Jakarta:
KPG.

81
Satuan Acara Pembelajaran
BAB III

Pokok Bahasan:
Strategi sebagai Seni Cipta-Kelola Peluang

Sub Pokok Bahasan :


- Unsur-unsur Strategi
- Pendekatan dalam Teori Strategi
- Pihak-pihak yang Berpengaruh dalam Studi
Strategi
- Kompetensi dalam Seorang Stratejis

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa diharapkan tidak hanya mampu
mengetahui keberadaan teori dalam studi tentang
strategi, mampu memeriksa pendekatan-pendekatan
yang ditawarkan oleh teori di dalam studi strategi serta
mampu mengetahui unsur-unsur dalam strategi, namun
juga mampu memperoleh pemahaman khusus berupa
kemampuan untuk melihat dari berbagai sudut pandang

82
yang ditawarkan dari pendapat para pakar yang ada
untuk mendapatkan esensi yang murni dari strategi.

Metode Pembelajaran:
Perkuliahan dimulai dengan presentasi empat
kelompok yang menjelaskan mengenai pokok bahasan
dan sub-sub pokok bahasan mengenai strategi sebagai
seni cipta-kelola peluang melalui pandangan-pandangan
dari empat scholar yang berbeda. Kelompok penyaji
mempresentasikan dan menjelaskan mengenai unsur-
unsur strategi, pendekatan dalam teori strategi, pihak-
pihak yang berpengaruh dalam studi strategi dan
kompetensi dalam seorang stratejis. Kemudian sesi
diskusi tanya jawab akan berlangsung selama 75 menit.
Selama sesi diskusi, kelompok panelis dan pengamat
dipersilahkan untuk mengajukan pertanyaan dan
memberikan opini terkait materi yang disajikan oleh
kelompok penyaji. Setelah sesi diskusi tanya jawab,
kelas memasuki sesi ceramah. Dosen memberikan
ceramah mengenai materi selama waktu yang masih ada.

Pertanyaan Arahan:

83
Apa saja unsur-unsur dalam strategi? Apa saja
pendekatan yang ditawarkan dalam teori strategi? Siapa
pihak-pihak yang berpengaruh studi strategi? Bagaimana
cara untuk mencapai strategi hingga kemudian menjadi
seorang stratejis?

Referensi:
De Rond, Mark dan R.A. Thietart. 2007. Choice,
Chance and Inevitability in Strategy, Strategic
Management Journal, Vol. 28, pp. 535-551
Ohmae, Kenichi. 1982. Four Routes to Strategic
Advantage, dalam The Mind of Strategist: the Art
of Japanese Business. New York. McGraw Hill,
pp. 36-88
Rumelt, Richard. 2013. the Kernel of Good Strategy,
dalam Good Strategy Bad Strategy: the Difference
and Why It Matters, London: Profile Books Ltd.,
pp. 77-94
Waldman, Thomas. 2010. Shadows of Uncertainty:
Clausewitzs Timeless Analysis of Chance in
War, Defence Studies, Vol. 10 No. 3, pp. 336-338

84
BAB III
Strategi sebagai Seni Cipta-Kelola Peluang

Pendahuluan
Strategi menurut Murray dan Grimsley (1994)
merupakan sebuah proses, adaptasi konstan, untuk
menggeser kondisi dan situasi di dunia yang mana
kesempatan, ketidakpastian, dan dominasi ambiguitas
selalu muncul. Strategi muncul akibat situasi yang penuh
ketidakpastian sementara manusia dituntut untuk terus
bergerak dan bertindak sesuai tujuan dan target.
Penguasaan strategi menjadi semacam urgensi yang
populer di era saat ini. Strategi menjadi sebuah
keperluan untuk dapat bertindak secara efektif dan
efisien. Dengan berstrategi dan menjadi strategis, tujuan
dapat tercapai dengan kepemilikan sumber daya. Strategi
merupakan grand design yang bersifat abstrak, akan
tetapi strategi juga sebuah hal yang unik dan bernilai.
Dengan pentingnya penguasaan strategi jika merefleksi
pada kondisi yang penuh ketidakpastian sementara
manusia tetap harus bergerak untuk mencapai tujuan

85
dengan apa yang dimiliki, menjadi stratejis adalah
kuncinya. Dari sini dapat dipahami bahwa keberadaan
teori memang ada dalam studi strategi. Teori dan strategi
berjalan secara beriringan, karena teori membantu dalam
perancangan strategi.

Unsur-unsur Strategi
Kenichi Ohmae (1982) dalam artikelnya yang
berjudul Four Routes to Strategic Advantage
menekankan pada unsur distinctiveness atau perbedaan
yang membuat unggul dari lawan sebagai salah satu
unsur terpenting dalam berhasilnya sebuah strategi.
Ohmae sebagai salah satu pakar strategi yang memiliki
fokus utama terhadap strategi bisnis dan pemasaran,
berpendapat tentang pentingnya keunggulan yang
dimiliki oleh suatu perusahaan, organisasi bahkan
individu, berupa perbedaan yang tidak dimiliki oleh para
pihak pesaing. Lebih lanjut, Ohmae (1982)
menambahkan bahwa pembahasan mengenai strategi
tidak dapat dipisahkan dengan keunggulan berbasis
perbedaan yang ada. Keunggulan tersebut tidak hanya
menentukan posisi dari suatu pihak terhadap persaingan

86
namun juga menentukan kadar eksistensi pihak tersebut.
Dengan kemampuan untuk memanfaatkan perbedaan
yang mampu membuat unggul, maka diharapkan suatu
organisasi maupun individu mampu meningkatkan
kekuatan yang mereka miliki. Distingsi tersebut
diperlukan, utamanya untuk memberikan aspek
keunggulan dan tidak mudah ditebak oleh kompetitor.
Tidak berhenti disitu, Kenichi Ohmae (1982)
juga menjelaskan tentang pentingnya analisis dalam hal
strategic thinking. Hal tersebut dikarenakan kemampuan
analisis memungkinkan seseorang untuk dapat
mensubstitusikan self-directed judgement menuju other-
directed way dalam proses penerimaan package.
Strategic thinking merupakan sebuah kemampuan
berpikir secara analitik untuk memahami secara baik dan
meneliti karakter-karakter tertentu dalam sebuah elemen.
Intelejensi dan kreativitas merupakan bagian dari
strategic thinking, yang merupakan suatu proses berpikir
yang analitik mengenai bagaimana memahami dengan
baik karakter-karakter tertentu dari masing-masing
elemen yang kemudian dapat dibedah menjadi beberapa
bagian dengan tujuan untuk menemukan isu yang paling

87
krusial, dan selanjutnya menyatukan kembali bagian-
bagian tersebut dalam bentuk baru yang berbeda dengan
bentuk awal yaitu other-directed way yang konkret dan
signifikan dengan tujuan untuk menciptakan sebuah
solusi yang berbeda atau jika dibandingkan dengan
kompetitor lainnya. Dengan menemukan poin-poin yang
krusial dan kritikal membantu kita dalam menemukan
solusi yang tepat agar usaha yang dilakukan tidak
berakhir dengan kegagalan dan frustasi (Ohmae, 1982).
Berbeda halnya dengan Ohmae, Carl von
Clausewitz (1997) sebagai seorang jenderal perang lebih
menekankan pada pentingnya kemampuan untuk
menyeimbangkan antara intelektualitas dan emosi demi
terciptanya keberhasilan strategi yang telah disusun.
Clausewitz (1997) menekankan bahwa untuk mencapai
keberhasilan strategi, seseorang harus memiliki
pengetahuan dan konsep tentang hal yang dilakukannya
terutama dalam persaingan, baik dalam bentuk
persaingan dagang ataupun persaingan lainnya. Dengan
memiliki pengetahuan, maka seseorang akan memiliki
konsep terhadap apa yang harus dilakukan. Hal tersebut
bukannya tidak beralasan, Clausewitz memandang

88
bahwa persaingan dan peperangan memiliki kesamaan
yakni terbatasnya sumber informasi. Ketika suatu
organisasi, perusahaan ataupun individu tidak dibekali
dengan konsep yang kuat dan tidak memiliki
pengetahuan terhadap suatu bidang, maka hal tersebut
akan menggiring pihak tersebut terhadap kekalahan, dan
kehilangan nilai strategis yang setara dengan kebinasaan
dalam peperangan (Clausewitz, 1997).

Pendekatan dalam Teori Strategi


Dalam teori sendiri tentu terdapat berbagai
macam pendekatan yang berbeda dalam
pengaplikasiannya. Richard Whittington (2001)
membagi pendekatan dalam teori strategi menjadi empat
macam, yakni pendekatan klasik, pendekatan proses,
pendekatan evolusi, dan pendekatan sistemik.
Pendekatan klasik berkembang pada tahun 1960-an yang
dipopulerkan oleh Chandler, Ansolf, dan Porter.
Pendekatan klasik masih bersinggungan dengan aspek
militer. Proses analitik, membuat rencana jangka
panjang, berpikir rasional untuk memaksimalkan
keuntungan adalah karakteristik dasar dari pendekatan

89
klasik (Whittington, 2001). Kemudian pendekatan proses
berkembang pada tahun 1970-an dipopulerkan oleh
Mintzberg dan Pettigrew. Karakteristik utama dari
pendekatan proses adalah bahwa teori proses melihat
strategi sebagai sesuatu yang bersifat dinamis dan
mampu beradaptasi dengan sistem, utamanya sistem
politik. Melalui pendekatan proses strategi dijalankan
mengikuti mainstream, dan berasumsi bahwa dengan
menghindari adanya kontradiksi dengan mainstream
maka strategi lebih berpeluang untuk berhasil
(Whittington, 2001). Lalu pendekatan evolusi
merupakan pendekatan yang mengadopsi teori evolusi
milik Darwin. Berkembang di tahun 1980-an dan
dipopulerkan penulis seperti Hannan & Freeman dan
Williamson, pendekatan evolusi mempercayai adanya
seleksi alam sebagai suatu strategi. Adapun yang
dimaksud oleh seleksi alam yaitu fakta bahwa yang
mampu beradaptasi dengan perubahan dunia lah yang
akan menjadi pemenang. Pendekatan evolusi juga
memiliki prinsip keterbukaan, efisiensi, fleksibilitas dan
menggantungkan tujuan strateginya pada tujuan-tujuan
jangka pendek karena menurutnya hal ini lebih fleksibel

90
dalam menghadapi dinamika eksternal yang fluktuatif
(Whittington, 2001). Sementara pendekatan sistemik
yang dipopulerkan oleh penulis seperti Granovetter dan
Whitley dan berkembang pada tahun 1990-an, melihat
bahwa strategi memiliki hubungan erat dengan sosiologi
dan perilaku manusia. Pendekatan sistemik beranggapan
bahwa terdapat urutan yang sistematis dalam merangkai
strategi. Pendekatan sistemik juga melihat strategi
sebagai sebuah seni, dengan kata lain strategi dapat
dipelajari terus-terusan dan dapat mengalami modifikasi
(Whittington, 2001).

Pihak-pihak yang Berpengaruh dalam Studi Strategi


Dalam membahas hal mengenai pihak-pihak
yang berpengaruh dalam studi strategi, Colin S. Gray
(1999) dalam artikelnya mengemukakan bahwa terdapat
tujuh dimensi yang mampu menjelaskan konsep strategi
yang kemudian dibagi menjadi tiga kategori. Pertama,
dalam kategori People and Politics meliputi individu,
masyarakat, materi dan mentalitas, serta politik dan
etika. Kedua, dimensi strategi dalam kategori
Preparation for War terdiri dari ekonomi dan logistik,

91
organisasi, administrasi militer, informasi dan
inteligensi, doktrin dan teori strategi, serta teknologi.
Ketiga, dimensi strategi dalam kategori War Proper
terdiri dari operasi militer, pimpinan dalam politik dan
militer, geografi, serta pergesekan dan lawan (Gray,
1999). Dimensi-dimensi tersebut merupakan dimensi
yang memiliki kontribusi dalam penyusunan dan
pelaksanaan strategi. Dimensi ini juga terkadang saling
mempengaruhi bahkan terdapat dimensi yang lebih
fundamental dari dimesi lainnya. Namun keberadaan
dimensi ini hanya merupakan sebagian aspek yang tidak
secara sepenuhnya berfungsi dalam menjelaskan teori
umum dari studi strategi.

Kompetensi dalam Seorang Stratejis


Seorang stratejis disebut oleh Liddel Hart (1991)
adalah orang yang mampu mengelola kemampuannya
dalam berkonsentrasi mencapai tujuannya. Tidak hanya
itu, Liddle Hart (1991) juga menjabarkan dalam
artikelnya yang berjudul The Concentrated Essence of
Strategy and Tactics mengenai lima kompetensi agar
dapat menjadi seorang stratejis. Pertama yakni

92
menyesuaikan antara tujuan dan kemampuan, kedua
terus berusaha mengingat tujuan yang hendak dicapai,
ketiga melakukan usaha yang memiliki sedikit resiko
dan memungkinkan banyak alternatif solusi, keempat
mengerti keadaan lawan atau pesaing sehingga mampu
memanfaatkan keadaan, dan kelima tidak mengulang
tindakan yang sama sehingga lawan mampu menangkal
tindakan yang akan dilakukan.
Berbeda dengan Liddel Hart, Clausewitz (1997)
meresepkan pandangan yang unik mengenai siapa yang
disebut stratejis dan kompetensi yang melekat pada gelar
stratejis. Sebelumnya telah disebutkan bahwa
intelektualitas atau kepintaran adalah salah satu hal yang
disarankan dimiliki oleh seorang stratejis. Namun
kemudian, Clausewitz juga menekankan bahwa
intelektualitas perlu diimbangi dengan kompetensi lain
yakni emosi yang baik. Clausewitz menggagas
keseimbangan antara intelektualitas dan emosi yang
baik. Seorang stratejis diharapkan tidak terburu-buru
dalam menentukan langkah yang diambilnya. Clausewitz
melihat bahwa emosi sering berpengaruh dalam
kehidupan dan hal tersebut mempengaruhi keberhasilan

93
dalam tindakan yang diambil. Emosi juga dinilai
Clausewitz sebagai hal yang mempengaruhi tekad dan
juga keberanian dalam melakukan suatu tindakan yang
kemudian mampu mempengaruhi keberhasilan. Apabila
dilihat melalui sudut pandang Clausewitz, seorang
stratejis yang baik diharapkan tidak hanya memiliki
pengetahuan namun juga mampu mengatur emosi
sehingga dari hal tersebut mampu hadir semangat,
keberanian dan tekad yang kuat dalam mencapai tujuan
(Clausewitz, 1997).
Di sisi lain, Gordon A. Craig (1986) melihat
seorang stratejis sebagai seorang pemimpin politik, baik
perdana menteri, kanselor, ataupun presiden yang
memahami secara baik mengenai dunia politik dan
militer. Craig (1986) melihat pemimpin politik sebagai
seorang stratejis karena seorang pemimpin politik
memiliki tanggung jawab yang lebih dan mengerti
dengan baik mengenai masalah negaranya dan dampak
yang terjadi setelah perang. Selain itu, Craig (1986) juga
memberangkatkan pemikirannya dari konsepsi tujuan
dan pembentukan strategi milik Clausewitz, yang mana
melihat bahwa strategi adalah perpanjangan dari

94
kebijakan politik. Craig (1986) mencontohkan beberapa
pemimpin politik terkenal dalam tulisannya seperti Adolf
Hitler dan Winston Churchill, yang kemudian dianalisa
kekurangan dan kelebihan dalam pengambilan keputusan
yang mereka lakukan. Disini ditekankan bahwa seorang
stratejis mampu menempati posisi sebagai pemimpin
politik seperti yang terjadi pada Winston Churchill.
Namun seringkali pemimpin politik bukanlah seorang
stratejis. Tentu seorang stratejis memiliki peran yang
sangat besar dan sangat menentukan dalam perumusan
kebijakan apabila ia seorang pemimpin politik (Craig,
1986). Hal ini menunjukkan adanya relasi yang sangat
menentukan antara seorang stratejis dan pemimpin
politik.

Kesimpulan
Berdasar penjelasan di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa diperlukan setidaknya tiga unsur
utama seperti distinctiveness, analisis dalam hal strategic
thinking, serta kemampuan untuk menyeimbangkan
antara intelektualitas dan emosi demi pencapaian
keberhasilan strategi yang telah direncanakan. Dengan

95
dimilikinya ketiga unsur di atas maka akan melahirkan
seorang stratejis yang mampu mengelola kemampuannya
dalam berkonsentrasi mencapai tujuannya. Penulis
beropini bahwa seorang stratejis di era global ini
memiliki peran penting, karena dengan semakin
terglobalnya dunia saat ini maka seorang stratejis
dituntut untuk ikut andil dalam mencari solusi di ranah
multidisiplin dan multidimensi ini.

Pertanyaan Arahan:
Apa saja unsur-unsur dalam strategi? Apa saja
pendekatan yang ditawarkan dalam teori strategi? Siapa
pihak-pihak yang berpengaruh studi strategi? Bagaimana
cara untuk mencapai strategi hingga kemudian menjadi
seorang stratejis?

Kata Kunci: Distingsi, intelejensi, kreativitas,


intelektualitas, emosi, kompetensi, stratejis

Referensi:

96
Clausewitz, Carl von. 1997. the Genius for War, dalam
On War. Hertfordshire: Wordworth Classic of
World Literature, pp. 40-59
Craig, Gordon A. 1986. The Political Leader as
Strategist, dalam Peter Paret ed., Makers of
Modern Strategy: From Machiavelli to the
Nuclear Age, New Jersey; Princeton University
Press, pp. 481-509
Gray, Colin S. 1999. The Dimension of Strategy
dalam Modern Strategy. Oxford: Oxford
University Press, pp. 17-47
Liddel Hart, B.H. 1991. The Concentrated Essence of
Strategy and Tactics, dalam Strategy: the
Classic Book on Military Strategy, London:
Meridian Book, pp. 334-337
Murray, Williamson, & Grimsley, Mark. 1994.
Introduction: On Strategy, dalam: Murray
Williamson, et al., eds. The Making of Strategy:
Ruler, States and War. Cambridge: Cambridge
University Press, pp. 1-23
Ohmae, Kenichi. 1982. Four Routes to Strategic
Advantage, dalam The Mind of Strategist: the Art

97
of Japanese Business. New York. McGraw Hill,
pp. 36-88
Whittington, Richard. 2001. Theories of Strategy
dalam What is Strategy and Does It Matter?.
London: Thompson, pp. 9-40

98
Satuan Acara Pembelajaran
BAB IV

Pokok Bahasan:
Dari Sun Tzu hingga Clausewitz: Kontribusi
dalam Seni Cipta-Kelola Peluang

Sub Pokok Bahasan:


- Perkembangan Studi Strategi
- Kontribusi Sun Tzu dan Clausewitz
- Perbedaan dan Persamaan Konsep Strategi Sun
Tzu dan Clausewitz

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa diharapkan tidak hanya mampu
mengetahui perkembangan dari peperangan pra-modern
yang mempengaruhi studi strategi serta mampu
mengetahui keberadaan strategi dalam era pra-
modernisme, namun juga mampu memperoleh
pemahaman khusus yakni mampu menerapkan intisari
dan falsafah dari strategi di era pra-modern dalam
mengatasi masalah dalam kehidupan sehari-hari.

99
Metode Pembelajaran:
Perkuliahan dimulai dengan presentasi empat
kelompok yang menjelaskan mengenai pokok bahasan
dan sub-sub pokok bahasan mengenai kontribusi pra-
modern dalam seni cipta-kelola peluang melalui
pandangan-pandangan dari berbagai scholar yang
berbeda. Kelompok penyaji mempresentasikan dan
menjelaskan mengenai perkembangan kajian strategi
dalam periode pra-modern serta menjelaskan tentang
kontribusi Sun Tzu dan Clausewitz berhubungan dengan
kontribusi pra-moden terkait strategi. Kemudian sesi
diskusi tanya jawab akan berlangsung selama 75 menit.
Selama sesi diskusi, kelompok panelis dan pengamat
dipersilahkan untuk mengajukan pertanyaan dan
memberikan opini terkait materi yang disajikan oleh
kelompok penyaji. Setelah sesi diskusi tanya jawab,
kelas memasuki sesi ceramah. Dosen memberikan
ceramah mengenai materi selama waktu yang masih ada.

Pertanyaan Arahan:

100
Bagaimana alur perkembangan studi strategi?
Sejauh mana lantas kontribusi Sun Tzu dan Clausewitz
berhubungan dengan perkembangan studi strategi ini?

Referensi:
van Creveld, Martin. 2000. Chinese Military Thought,
dalam the Art of War: War and Military Thought.
New York: Harper Collins Books, pp. 22-41
______________________. From Antiquity to the
Middle Ages, dalam the Art of War: War and
Military Thought. New York: Harper Collins
Books, pp. 43-65
______________________. From 1500 to1763, dalam
the Art of War: War and Military Thought. New
York: Harper Collins Books, pp. 67-87
______________________. From Guibert to
Clausewitz, dalam the Art of War: War and
Military Thought. New York: Harper Collins
Books, pp. 90-115

101
BAB IV
Dari Sun Tzu hingga Clausewitz: Kontribusi Pra-
Modern dalam Seni Cipta-Kelola Peluang

Pendahuluan
Sebagaimana telah diketahui sebelumnya bahwa
Thomas G. Mahnken (2007) mengklasifikasikan teori
strategi menjadi dua jenis, yaitu teori strategi perang dan
teori strategi bisnis. Kedua jenis teori ini memiliki
pendekatannya masing-masing. Teori strategi perang
adalah teori yang berkaitan dengan penggunaan strategi
militer untuk memenangkan perang. Sementara teori
strategi bisnis adalah teori strategi yang diaplikasikan
untuk mendapatkan profit atau keuntungan. Mahnken
(2007) berpendapat bahwa menurutnya strategi perang
lebih dapat dikatakan sebagai seni dibanding sains.
Dalam teori strategi perang sendiri terdapat dua
perspektif dari dua tokoh besar di bidang strategi militer,
yaitu teori strategi perang klasik Sun Tzu dan teori
strategi perang modern Carl von Clausewitz (Mahnken,
2007). Pendekatan teori Sun Tzu lebih menggunakan

102
aspek wisdom atau kebijaksanaan dalam proses
pencapaian tujuannya. Sun Tzu melihat bahwa
kemenangan perang tidak harus ditempuh dengan
pertumpahan darah. Sun Tzu (dalam Mahnken, 2007)
juga menggunakan pendekatan comparative advantage
dengan melihat bahwa keberhasilan dalam perang tidak
semata-mata diukur dari kemampuan menghancurkan
lawan secara fisik tetapi lebih bertujuan untuk
menggugurkan semangat juang dari lawan, menyerang
strategi dan bahkan aliansi lawan. Teori strategi Sun Tzu
disebut klasik dikarenakan teori tersebut lebih
mengandalkan unsur filosofis dan kebijaksanaan hingga
lebih condong ke arah seni. Sementara Clausewitz lebih
memandang perang sebagai medan pertarungan,
persaingan antar tentara, instrumen politik dan aktivitas
sosial (Mahnken, 2007). Clausewitz lebih menekankan
ukuran kekuatan lawan pada kemampuan absolut seperti
militer, aliansi, dan kepemimpinan serta menggunakan
pendekatan yang lebih scientific.

Perkembangan Studi Strategi

103
Perdebatan soal studi strategi juga muncul
berkaitan dengan seberapa strategis studi ini.
Berakhirnya Perang Dingin menjadi salah satu faktor
yang menyebabkan studi ini menjadi tidak strategis bagi
sebagian kalangan. Alasannya adalah fokus aktor di
masa Perang Dingin dengan pos Perang Dingin sudah
berbeda. Di masa Perang Dingin, negara menjadi aktor
utamanya, sementara ketika Perang Dingin berakhir,
perkembangan kemunculan aktor-aktor non-negara juga
signifikan (Klein, 1994). Ini juga berimbas pada isu yang
dibicarakan, dari high politics kemudian bergeser ke low
politics, misalnya dari perang proksi ke isu lingkungan.
Sehingga ini menjadi sebuah permasalahan karena
sebelumnya studi ini identik untuk diaplikasikan oleh
negara. Perdebatan lainnya juga muncul terkait studi
strategi yang dianggap terlalu praktis untuk menjadi
sebuah ilmu, terlalu sempit untuk realistis, kesalahan
asumsi, kesalahan memahami dunia nyata, dan berakibat
pada prediksi yang tidak pasti (Klein, 1994). Ini semua
berakar dari studi strategi yang awalnya hanya strategi
dan kemudian dikembangkan menjadi sebuah strategi.
Karena ranah yang bersifat praktis dan spesifik untuk

104
satu bidang saja yaitu militer, maka studi ini
memunculkan kritik yang menjadikannya tidak strategis
bagi kalangan tersebut. Studi ini juga seringkali
dipelajari secara multidisipliner yang menimbulkan pro
dan kontra dari dalam. Belajar secara multidisipliner
bagi sebagian kalangan dianggap tidak strategis.
Strategis dimaknai untuk bertindak sesuai dengan tujuan
dan fokus pada hal yang mendukung. Selain itu, ini juga
dianggap tidak strategis karena studi ini menjadi
kehilangan esensi jika dipelajari secara multidisipliner.
Selain persoalan sistem yang multidisipliner, ada pula
yang menilai Studi strategi overlap dengan urusan
politik dan militer. Studi strategi yang berakar dari
militer dan politik dinilai menjadi saling overlap, oleh
sebab itu analisis kritis diperlukan dalam studi strategi
(Klein, 1994). Tidak hanya itu, permasalahan lainnya
adalah seringkali proporsi tugas seorang strategis seperti
tumpang tindih dengan para pembuat kebijakan (Klein,
1994).
Studi strategi muncul di era Perang Dingin,
ketika para pengambil kebijakan, pemimpin politik, dan
akademisi tengah mencari jalan bagaimana untuk

105
bertahan (survive) dan sejahtera di saat nuklir populer
menjadi kekuatan yang siap menciptakan kiamat di bumi
(Baylis & Wirtz, 2007). Studi strategi merupakan
jembatan politik dan militer. Strategi tidak murni
dipelajari dengan keilmuan militer, meskipun studi
keamanan seringkali diafiliasikan sebagai akar dari Studi
strategi (Baylis & Wirtz, 2007). Jika kemunculan studi
strategi terjadi di Perang Dingin, namun sesungguhnya
cikal bakal telah dimulai sejak lama. Seorang bernama
Bernard Brodie adalah penggagas pertama strategi
sebagai sebuah studi yang metodologis. Bagi Brodie,
strategi layak menerima perlakuan seperti keilmuan
lainnya (Baylis & Wirtz, 2007). Gagasan Brodie di
tahum 1949 lewat tulisannya yang berjudul Strategy as
Science meenjelaskan bahwa strategi perlu mendapat
perlakuan keilmiahan seperti halnya studi lain. Ini
disebabkan karena strategi dipakai sebagai ilmu atau
instrumentasi penyelesaian permasalahan praktis (Baylis
& Wirtz, 2007). Berawal dari sini, strategi sebagai studi
mulai dikembangkan. Strategi pun mulai dipelajari
namun pada masa-masa tersebut hanya sebatas pada
bidang kemiliteran dan politik. Memasuki tahun 1950-

106
an, Brodie mengembangkan studi strategi secara
signifikan. Pada periode ini studi strategi sudah mulai
mencapai tingkat keilmiahan yang lebih tinggi dari
sebelumnya. Pada periode ini pula, studi strategi
dipelajari secara multidisipliner atau dengan
memasukkan substansi bidang-bidang keilmuan lainnya
dalam strategi.
Hingga kemudian di tahun 1970-an, Brodie
mencoba untuk mengembalikan esensi politik dan militer
ke dalam strategi (Baylis & Wirtz, 2007). Ini juga coba
dilakukan oleh beberapa ahli di bidang militer lainnya
seperti Richard K. Berts di tahun 1996. Berts mengkritisi
para akademisi dan think tanks yang membawa studi
strategi menjauh dari substansi utamanya dalam bidang
politik dan militer (Baylis & Wirtz, 2007). Berts menilai
bahwa ini disebabkan karena ada missing link sejak
Brodie menggagas studi strategi di tahun 1949. Meski
demikian, hingga saat ini, studi strategi dipelajari tidak
hanya di kalangan militer. Pada bidang lain seperti
bisnis, strategi juga ditemui aplikasi dan keilmuan secara
teoritisnya. Strategi sebagai studi pun sekarang juga
ditemui dalam Hubungan Internasional. Di masa

107
sekarang, pergeseran isu pun mulai terjadi, dari hard
politics ke low politics. Di sini studi strategi masih
berperan namun lebih berkembang dengan bekal-bekal
keilmuan yang juga lebih soft. Ini adalah jawaban dari
tantangan studi strategi yang dianggap sebagai studi
keamanan selama ini.

Kontribusi Sun Tzu dan Clausewitz


Dalam teori strategi di bidang militer, pada
umumnya dapat ditemukan dua pendekatan besar, yaitu
pendekatan a la Sun Tzu dan a la Clausewitz. Sun Tzu
merupakan seorang filusuf Cina Kuno yang terkenal
lewat salah satu karya monumentalnya berjudul the Art
of War. Pada pendekatan teori strategi klasik, Sun Tzu
menjadi tonggak gagasan-gagasannya. Hidup di era Cina
Kuno dan dikenal sebagai filusuf, Sun Tzu memiliki ide-
ide yang bersifat mengajarkan kehalusan dan kebaikan.
Sehingga pada strategi-strategi perangnya nanti, Sun Tzu
memilih untuk tidak banyak langsung berkonfrontasi.
Ada beberapa hal yang menjadi penekanan dalam
strategi perang a la Sun Tzu. Pertama, Sun Tzu
menekankan pentingnya menyerang strategi lawan,

108
bukan lawan yang harus diserang (Mahnken, 2007).
Oleh sebab itu Sun Tzu dikenal sebagai orang yang
menganjurkan pentingnya kemenangan dalam perang
tanpa pertumpahan darah (Mahnken, 2007). Strategi
dalam memainkan psikologi lawan serta berbohong
adalah kunci dalam meraih kesukesesan berperang
menurut Sun Tzu (Mahnken, 2007). Bekal informasi dan
keahlian untuk mengolah input yang dimiliki menjadi
pendukung keberhasilan sebuah strategi. Kedua, Sun Tzu
juga menjelaskan bahwa dalam peperangan tidak ada
yang bersifat absolut. Perang bersifat comparative
advantage (Mahnken, 2007). Misalnya pemimpin perang
menganggap lawan sebagai pihak yang lemah dan
mudah dikalahkan, pemikiran seperti ini mungkin akan
berbeda di mata orang lain. Tetapi, kekuatan pola pikir
yang optimis ini akan mendorong pemimpin tersebut
untuk berperang dan sukses meraih kemenangan.
Sehingga dari pemikiran Sun Tzu ini dapat dipahami
strategi dikatakan sebagai seni, karena melibatkan
kemampuan manusia dalam menemukan esensi
keindahan memainkan input yang dimiliki.

109
Berikutnya, pendekatan kedua adalah pendekatan
a la Clausewitz. Clausewitz menjadi tonggak dalam
gagasan-gagasan pendekatan yang juga dikenal sebagai
pendekatan teori strategi modern ini. Carl von
Clausewitz adalah seorang jenderal perang asal Jerman
Prussia zaman lampau di abad 19. Clausewitz terkenal
dengan karyanya yang berjudul On War. Latar belakang
hidup pada era penuh peperangan seperti Perang
Napoleon dan Revolusi Perancis menyebabkan
Clausewitz mendekati strategi perang secara langsung
pada sasaran. Karya tulisnya ini memuat strategi perang
yang jika dianalisis berbeda dengan apa yang digagas
oleh Sun Tzu. Clausewitz mengatakan bahwa strategi
berperang tanpa pertumpahan darah adalah hal mustahil
(Mahnken, 2007). Dalam pemikiran Clausewitz, ini
bukan strategi mencapai kesuksesan. Clausewitz
memandang dalam berperang, strategi yang paling tepat
adalah dengan menyerang center of gravity lawan
(Mahnken, 2007). Center of gravity adalah istilah yang
dipakai Clausewitz untuk merujuk pasukan lawan,
kapital, aliansi, pemimpin, atau opini publik. Hal-hal
sentral dan vital menjadi target yang harus dilemahkan.

110
Ketika hal-hal ini diserang, otomatis organ atau bagian-
bagian lainnya juga akan ikut melemah dan pada
akhirnya memudahkan si pengguna strategi untuk meraih
kemenangan. Strategi perang a la Clausewitz bersifat
hard dan ini yang dikatakan berkebalikan dari Sun Tzu.
Oleh sebab itu, strategi Clausewitz bukan hanya sekedar
sebagai seni, melainkan juga sebagai ilmu. Strategi
Clausewitz yang selain sebagai seni juga sebagai ilmu,
disebabkan karena unsur psikologi yang sifatnya tidak
menentu dan relativitas tidak banyak ditemui dalam
strategi perang a la Clausewitz.
Strategi a la Clausewitz ini telah banyak dipakai
dan oleh sebab itu memiliki kontribusi dalam studi
strategi. Pertama adalah strategi Clausewitz menurut
Gray (1999) bersifat universal. Ini artinya strategi
Clausewitz dapat digunakan dalam berbagai bidang
keilmuan tidak hanya militer saja. Contohnya di bidang
keilmuan politik untuk menjatuhkan seorang tokoh
masyarakat kompetitor hanya perlu menyerang center of
gravity tokoh tersebut. Center of gravity tokoh
masyarakat tersebut adalah opini publik, maka
kompetitor tinggal membuat kampanye hitam atau

111
berita-berita bohong untuk menjatuhkan citra si tokoh
tersebut. Kasus yang terkenal adalah Pemilihan Presiden
2014 saat kedua calon saling menjatuhkan citra dengan
membentuk opini publik yang buruk tentang lawan.
Kedua, strategi Clausewitz ini menjadi teori yang
dipakai dalam kajian perang selama hampir 200 tahun
(Gray, 1999). Strategi Clausewitz menjadi semacam
hegemon di ilmu pengetahuan bidang perang karena
dapat memberi nilai pendidikan bagi para
pembelajarnya. Pendekatan Clausewitz ini layaknya
sebuah teori yang dapat menjadi alat untuk memahami
fenomena strategis.

Perbedaan dan Persamaan Konsep Strategi Sun Tzu


dan Clausewitz
Categories Sun Tzu Clausewitz
Who, when, - Ancient Imperial - 1700s-1800s
where, China Europe
what, why - Warring kingdoms - Concert of
- Militia / part-time Europe
soldier - Napoleonic
War

112
- Gunpowder
technology
- National
conscription
- Professional
soldiery
- Prussian noble
How-to- - All warfare is based - War is
strategy on deception continuation of
- Attacking the enemy politics
strategy - Subdue,
- Area denial / hitting disable, and
weak spots bring enemy to
- Victory without negotiating
fighting table
- Breaking enemys - Total war
will to fight - Massive duel
- Engagement
- Fog of war
- Economy of
force
Diverging - Leader/Commander - Commanders
points as only one with full at all levels

113
knowledge of aware of the
strategy, common big picture,
soldiers left in the common
dark soldiers
- Avoid direct conflict informed of
with enemy and their role
hinder enemy until - Engagement of
able to do decisive enemy forces
battle in a series of
- Avoid enemy decisive battles
strong-points, attack - Identify enemy
weak-points center of
- Limited warfare gravity and
- One Commander eliminate
- Total war
- One
Commander +
Staff / General
Staff
Similarities - The presence of luck/chance
- Role of leader and leadership in strategy-
making
- Information and its role in deciding

114
victory
- Puts emphasis on adaptability and speed
of movement
- Strategy as a way to quickly end a war
rightly and efficiently
- Both emphasizes morality in prosecuting
war

Kesimpulan
Berdasar penjelasan di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa studi strategi pada mulanya
dikembangkan oleh seorang bernama Bernard Brodie di
tahun 1949. Pada mulanya studi strategi hanya khusus
mempelajari mengenai kemiliteran dan hard-politics. Ini
sejalan dengan fenomena yang marak terjadi saat itu.
Persaingan antarnegara di sektor militer dan politik dan
semakin meningkat tensi persaingan Amerika Serikat
dan Uni Soviet di era Perang Dingin. Situasi
internasional sesudah Perang Dunia II adalah masa di
mana negara-negara menggunakan strategi. Ini lantas
mendorong ilmuwan untuk mengembangkan studi
strategi. Seiring dengan berjalannya waktu, studi strategi

115
merambah sektor-sektor keilmuan lain seperti pada
bisnis. Studi strategi bagi sebagian kalangan kemudian
dipelajari secara multidisipliner atau dengan
mempelajari pula bidang-bidang keilmuan seperti
ekonomi, sosiologi, psikologi, dan sebagainya. Ini yang
lantas dikritisi oleh beberapa ilmuwan utamanya dari
kalangan militer dan hard-politics. Pembelajaran studi
strategi secara multidisipliner menggeser fokus dan
esensi studi ini menjadi tidak strategis seperti
sebagaimana harusnya. Oleh sebab itu kemudian ada
beberapa ilmuwan yang mencoba untuk mengembalikan
studi strategi pada semestinya.

Pertanyaan Arahan:
Bagaimana alur perkembangan studi strategi?
Sejauh mana lantas kontribusi Sun Tzu dan Clausewitz
berhubungan dengan perkembangan studi strategi ini?

Kata Kunci: studi strategi, multidisipliner, kontribusi,


Sun Tzu, Clausewitz

Referensi:

116
Baylis, John & Wirtz, J.J. 2007. Introduction, dalam
Baylis, John et. al., (eds.), Strategy in the
Contemporary World. Oxford: Oxford University
Press, pp. 1-15.
Gray, Colin S. 1999. The Strategist Toolkit: The
Legacy of Clausewitz, dalam Modern Strategy.
Oxford: Oxford University Press.
Klein, Bradley S. 1994. The Politics of Strategic
Studies, dalam Strategic Studies and World
Order: the Global Politics of Deterrence.
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 13-
38.
Mahnken, Thomas G. 2007. Strategic Theory dalam
John Baylis et. al. (eds.). Strategy in the
Contemporary World. Oxford: Oxford University
Press, pp. 66-81.

117
Satuan Acara Pembelajaran
BAB V

Pokok Bahasan:
Strategi Modern dan Perkembangannya: Seni
Cipta-Kelola Peluang Pasca Clausewitz

Sub Pokok Bahasan:


- Strategi Clausewitz
- Kadar Modernitas Strategi Clausewitz
- Kontribusi Pemikiran Clausewitz terhadap
Studi Strategi
- Perkembangan Kajian Strategi Modern pasca
Clausewitz

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa diharapkan tidak hanya mampu
mengetahui perkembangan dari peperangan post-modern
yang mempengaruhi studi strategi serta mampu
mengetahui keberadaan strategi dalam era post-
modernisme, namun juga mampu memperoleh
pemahaman khusus yakni mampu menerapkan intisari

118
dan falsafah dari strategi di era post-modern dalam
mengatasi masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Metode Pembelajaran:
Perkuliahan dimulai dengan presentasi empat
kelompok yang menjelaskan mengenai pokok bahasan
dan sub-sub pokok bahasan mengenai strategi modern
dan perkembangannya pasca era Clausewitz melalui
pandangan-pandangan dari berbagai scholar yang
berbeda. Kelompok penyaji mempresentasikan dan
menjelaskan mengenai kontribusi pemikiran Clausewitz
terhadap studi strategi dan perkembangan kajian strategi
modern pasca Clausewitz. Kemudian sesi diskusi tanya
jawab akan berlangsung selama 75 menit. Selama sesi
diskusi, kelompok panelis dan pengamat dipersilahkan
untuk mengajukan pertanyaan dan memberikan opini
terkait materi yang disajikan oleh kelompok penyaji.
Setelah sesi diskusi tanya jawab, kelas memasuki sesi
ceramah. Dosen memberikan ceramah mengenai materi
selama waktu yang masih ada.

Pertanyaan Arahan:

119
Bagaimana pandangan modern berkembang
terkait strategi? Apa saja peran Clausewitz di balik
kemunculan tradisi modern terkait strategi? Bagaimana
lantas kajian strategi modern pasca Clausewitz
berkembang sejauh ini?

Referensi:
Gray, Colin S. 1999. the Strategists Toolkit: the
Legacy of Clausewitz, dalam Modern Strategy,
Oxford: Oxford University Press, pp. 75-112
Guehenno, J. Marie. 1998. the Impacts of Globalization
on Strategy, Survival, Vol. 40, No. 4, pp. 5-19
Hoskin, Keith et. al. 1997. the Historical Genesis of
Modern Business and Military Strategy: 1850-
1950, a paper submitted to Interdisciplinary
Perspective on Accounting Conference,
Manchester: 7-9 July.
Moran, Daniel. 2002. Strategic Theory and the History
of War, dalam John Baylis et. al. (ed.), Strategy in
the Contemporary World, Oxford: Oxford
University Press, pp. 17-44

120
BAB V
Strategi Modern dan Perkembangannya:
Seni Cipta-Kelola Peluang Pasca Clausewitz

Pendahuluan
Strategi dan studi strategi terus berkembang
secara dinamis. Perkembangan strategi dan studi strategi
ini pada praktiknya sudah tidak lagi hanya didominasi
oleh aktor negara sebagai pemilik dan pelaku. Akan
tetapi, ada aktor-aktor lain yang mulai menunjukkan
eksistensinya dengan memiliki strateginya tersendiri.
Kemunculan strategi dari para aktor baru ini seringkali
dikenal sebagai strategi posmodern dengan kata
kuncinya adalah perang ireguler dan perang gerilya.
Strategi posmodern terbilang menarik karena ada sebuah
dekonstruksi strategi yang selama ini diyakini oleh
banyak akademisi dan atau para pembelajar strategi.
Munck (2000 dalam Kiras, 2007) menjelaskan bahwa
posmodern menantang interpretasi yang terlihat di
permukaan, posmodern menawarkan apa yang
seharusnya dibutuhkan sebagai sebuah pemahaman yang

121
lebih baik terkait identitas dan keadaan kontekstual
dibalik aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok minor
maupun mayor. Sementara konsep strategi modern yang
diusung oleh Colin S. Gray (1999) masih mengacu pada
konsep strategi modern milik Carl von Clausewitz dalam
memperhitungkan faktor lain di luar militer sebagai
faktor penyebab terjadinya perang. Perang dianggap
sebagai sebuah instrumen yang digunakan oleh aktor
tertentu untuk mencapai kepentingan politiknya. Secara
sederhana, strategi modern seringkali diartikan sebagai
strategi yang berusaha mengikuti perkembangan zaman
dengan mewujudkan keterkaitan dan interdependensi
dalam penggunaan segala aspek baik darat, laut, udara,
hingga space dan dunia cyber (Gray, 1999).

Strategi Clausewitz
Hidup di era penuh peperangan seperti Perang
Napoleon tahun 1800-an tentu mempengaruhi pola pikir
Clausewitz (Mahnken, 2007). Clausewitz mengawinkan
antara teori yang abstrak dengan praktik di lapangan.
Clausewitz menilai bahwa perang adalah hal logis
dilakukan oleh negara untuk proses menjaga

122
keberlangsungan negara itu. Jantung strategi Clausewitz
terletak pada preposisinya bahwa perang adalah
kelanjutan dari aktivitas politik dengan penggunaan
instrumen lain (Gray, 2007). Clausewitz juga
menyebutkan bahwa strategi berperang tanpa
pertumpahan darah adalah hal mustahil (Mahnken,
2007). Ia juga mengidentifikasi dua sifat perang, yaitu
obyektif dan subyektif (Gray, 2007). Sifat obyektif
perang tidak pernah berubah dan selalu sama di
sepanjang abad. Sifat obyektif perang adalah mencapai
kepentingannya. Sementara sifat subyektif perang
dimaknai sebagai karakter, oleh sebab itu dapat berubah-
ubah tergantung dinamika dan faktor yang
memengaruhi. Misalnya perang yang selalu berubah-
ubah penggunaan instrumennya, mulai dari bambu
runcing hingga bertransformasi pada penggunaan nuklir.
Lebih lanjut, kemenangan adalah ketika lawan dapat
dipaksa untuk patuh terhadap kemauan si pengguna
strategi (Gray, 2007). Ada beberapa gagasan Clausewitz
terkait strategi perang, setidaknya ada empat tesis
populer yaitu center of gravity (CoG), remarkable
trinity, friction, dan fog of war.

123
Center of gravity (CoG) adalah hub dari semua
kekuatan dan pergerakan yang menjadi pusat
ketergantungan dari semua. Dengan konsep CoG ini,
agar dapat meraih kemenangan, maka CoG perlu untuk
dihancurkan. Apabila dihancurkan maka segala aktivitas
vital juga akan ikut hancur. Contohnya adalah peristiwa
terorisme 9/11 tahun 2001 di Amerika Serikat. WTC dan
Pentagon dihancurkan oleh kelompok teroris, ini dapat
diasumsikan bahwa pusat perdagangan dan pertahanan
AS sebagai negara hegemon dapat dihancurkan.
Selanjutnya kondisi ini akan melemahkan posisi negara
tersebut dan memudahkan kelompok teroris
mewujudkan misinya yaitu mendirikan tatanan dunia
baru. Tesis kedua adalah remarkable trinity yang terdiri
dari pemerintah, militer, dan masyarakat (Clausewitz,
1989 dalam Mahnken, 2007). Pemerintah merupakan
representasi reason yang menjadi penentu tujuan
berperang dan cara apa yang akan ditempuh. Sementara
itu militer adalah representasi kalkulasi yang berarti
golongan ini berhubungan dengan ketidakpastian,
sehingga mereka akan melakukan kalkulasi. Sementara
masyarakat adalah representasi passion yang berarti

124
kelompok ini selalu menginginkan perang. Ketiga unsur
ini saling memengaruhi satu sama lain. Berikutnya
adalah friksi. Ide yang menadasari konsepsi friksi adalah
bahwa segala sesuatu bisa menjadi salah dalam perang,
bukan hanya lawan yang akan bergerak secara tidak
pasti, tetapi juga pasukan yang kita miliki juga dapat
bertindak gegabah akibat stres berlebih atau kelelahan
(Gray, 2007). Terakhir adalah fog of war yang dimaknai
sebagai ketidakpastian dalam informasi. Artinya, bagi
Clausewitz tidak ada informasi yang benar, melainkan
sifatnya adalah manipulatif. Oleh sebab itu pertimbangan
matang dan penyerangan langsung adalah cara tepat
mencegah kerugian besar akibat informasi yang
manipulatif tersebut.

Kadar Modernitas Strategi Clausewitz


Strategi Clausewitz seringkali disebut sebagai
strategi modern. Untuk memudahkannya, perlu dibuat
suatu parameter modern itu sendiri. Setidaknya ada dua
parameter modern yang dapat dipakai untuk memahami
seberapa jauh strategi modern Clausewitz. Pertama,
modern menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

125
sikap dan cara berpikir sesuai dengan tuntutan zaman.
Dari pengertian ini jika dikaitkan dengan situasi yang
berkembang di masa Clausewitz adalah penuh
peperangan. Oleh sebab itu hidup di situasi demikian
memaksa manusia untuk bertahan dan berperang.
Clausewitz kemudian hadir dengan gagasan perangnya
tersebut. Ia menekankan bahwa perang adalah hal yang
diperlukan untuk bertahan, tetapi stigma dan cara
beperang harus diubah menjadi lebih beradab. Ini salah
satu yang menandai kemoderenan strategi Clausewitz. Ia
mendobrak pakem lama dan beradaptasi dengan situasi
zaman saat itu. Kedua, parameter modern lainnya dapat
dilihat dari peningkatan penggunaan logika dan akal
daripada faktor-faktor yang intuitif, metafisik, dan
kebijaksanaan. Kaum modernis percaya bahwa manusia
merupakan central of universe sehingga dengan akal,
manusia mampu mengelola, dan mengendalikan dunia.
Di dalam strategi Clausewitz terlihat ada pengubahan
stigma berperang yang barbar menjadi lebih beretika
atau beradab. Strategi Clausewitz menjadikan
penggunanya sebagai central of universe yang mampu
mengendalikan dan bertindak sesuai dengan akalnya

126
sendiri. Dapat dilihat misalnya pada asumsi bahwa
perang adalah hal rasional atau logis untuk bertahan di
tengah situasi yang tidak pernah aman.

Kontribusi Pemikiran Clausewitz terhadap Studi


Strategi
Strategi a la Clausewitz ini telah banyak dipakai
dan oleh sebab itu memiliki kontribusi dalam studi
strategi. Pertama adalah strategi Clausewitz menurut
Gray (1999) bersifat universal. Ini artinya strategi
Clausewitz dapat digunakan dalam berbagai bidang
keilmuan tidak hanya militer saja. Contohnya di bidang
keilmuan politik untuk menjatuhkan seorang tokoh
masyarakat kompetitor hanya perlu menyerang center of
gravity tokoh tersebut. Center of gravity tokoh
masyarakat tersebut adalah opini publik, maka
kompetitor tinggal membuat kampanye hitam atau
berita-berita bohong untuk menjatuhkan citra si tokoh
tersebut. Kasus yang terkenal adalah Pemilihan Presiden
2014 saat kedua calon saling menjatuhkan citra dengan
membentuk opini publik yang buruk tentang lawan.
Kedua, strategi Clausewitz ini menjadi teori yang

127
dipakai dalam kajian perang selama hampir 200 tahun
(Gray, 1999). Strategi Clausewitz menjadi semacam
hegemon di ilmu pengetahuan bidang perang karena
dapat memberi nilai pendidikan bagi para
pembelajarnya. Pendekatan Clausewitz ini layaknya
sebuah teori yang dapat menjadi alat untuk memahami
fenomena strategis.

Perkembangan Kajian Strategi Modern pasca


Clausewitz
Di dalam pembahasan mengenai strategi
posmodern ini, konteks pembahasan adalah mengenai
bagaimana strategi dijalankan tidak lagi dengan konsep-
konsep konvensional yang diyakini oleh para pembelajar
dan akademisi pada umumnya. Di dalam strategi perang
ala Sun Tzu misalnya diyakini bahwa strategi dan perang
hanya diperuntukkan bagi para jenderal. Sementara itu di
dalam strategi perang menurut Clausewitz ada konsep
trinitas (the Holy Trinity) yang terdiri dari rakyat, militer,
dan pemerintah (Mahnken, 2007). Rakyat di dalam
trinitas Clausewitz menjadi komponen yang mendukung
keputusan pemerintah untuk terjun dalam perang atau

128
tidak. Berikutnya di era strategi modern, terjadi transisi
yang terletak dari pelibatan rakyat untuk terjun dalam
peperangan. Peperangan di medan perang bukan lagi
urusan para jenderal dan ksatria atau orang-orang yang
memang berwenang dalam peperangan. Rakyat pun kini
juga ikut terjun di dalam peperangan dengan salah
satunya adalah wajib militer. Akan tetapi, pada
perkembangan berikutnya di era posmodern, rakyat pun
juga dapat berperang tanpa harus berhubungan dengan
pemerintah.
Bahkan rakyat pun pada dinamika strategi
berikutnya menantang pemerintah suatu negara untuk
mencapai tujuannya. Kondisi ini akan memunculkan
pertanyaan kemudian bagaimana mungkin rakyat dapat
menentang pemerintahan dan memiliki strateginya
sendiri. Jika merujuk pada makna perang bagi
Clausewitz yaitu perang adalah kepanjangan politik,
maka konsepsi ini juga terjadi pada strategi posmodern.
Perang memang dilakukan oleh rakyat, akan tetapi
mereka melakukan peperangan karena bagi mereka
tindakan mereka telah terlegitimasi berdasarkan apa
yang dinilai baik oleh sesama masyarakatnya (Kiras,

129
2007). Di sini kemudian letak pergeseran interpretasi
bahwa apapun yang dinilai baik oleh rakyat juga dapat
dieksekusikan oleh sesama rakyatnya tanpa harus
menunggu aksi pemerintah negara. Kemudian dapat
dipahami jika perang yang dilakukan oleh rakyat dan
strategi posmodern tentunya memiliki alasan yang
melatarbelakangi mengapa kemudian rakyat ini
bertindak secara independen. Ada beragam alasan, salah
satunya adalah keinginan untuk mengubah tatanan yang
sudah mapan karena dinilai tidak menguntungkan
sekelompok masyarakat tersebut. Akar masalahnya juga
seringkali membawa unsur kebudayaan dan fanatisme
agama yang mendukung suburnya gerakan-gerakan
semacam ini (Kiras, 2007). Ini juga dapat dijadikan cara
kelompok masyarakat untuk menunjukkan eksistensinya
sehingga kepentingan mereka untuk misalnya tidak
dieksploitasi atau direpresi bisa tercapai. Menyuarakan
aspirasi melalui penggunaan perlawanan dan perang ini
adalah upaya rakyat agar tuntutan mereka tidak dianggap
remeh. Oleh sebab itu kemudian, output yang ingin
diraih adalah hasil politis (Kiras, 2007).

130
Di dalam sejarahnya, model-model strategi
posmodern sebenarnya sudah dilakukan sejak masa
lampau. Di Eropa misalnya, salah satu strategi
posmodern yaitu perang gerilya sudah banyak dilakukan
pada Perang Dunia II (Hart, 1991). Perang gerilya
banyak terjadi pada masa itu di wilayah-wilayah Eropa
yang diduduki oleh Jerman dan di wilayah Asia (Far
East) yang diduduki oleh Jepang. Sementara di
Indonesia saja perang gerilya menjadi strategi berperang
rakyat Indonesia dalam melawan pemerintah kolonial
Belanda. Seiring berjalannya waktu, model-model
perang ireguler yaitu pemberontakan dan terorisme juga
berkembang secara signifikan. Di berbagai negara
pemberontakan banyak terjadi untuk menentang
pemerintah negara yang dianggap oleh golongan rakyat
pemberontak tersebut tidak bertindak semestinya. Seperti
Revolusi Bolshevik Vladimir Lenin, perang gerilya yang
dilakukan oleh Che Guevara, Revolusi Komunis Mao
Tse Tung, Revolusi Partisan Komunis di Yugoslavia
dibawah Joseph Bros Tito, Revolusi Chiang Kai-shek,
dan lainnya (Hart, 1991). Begitu pula dengan terorisme
yang seiring dengan perkembangan zaman mulai

131
bermunculan aksi-aksi terorisme di berbagai wilayah.
Seperti aksi terorisme 9/11 di Gedung WTC dan
Pentagon, Amerika Serikat, terorisme Bom Bali I & II di
Indonesia, dan lainnya.
Di masa sekarang, perang posmodern sudah tidak
hanya dilakukan secara konvensional, melainkan juga
melibatkan fitur-fitur canggih yaitu teknologi. Teknologi
terbukti menjadi senjata atau taktik ampuh untuk
keberhasilan mencapai tujuan dari aksi tersebut. Kiras
(2007) mengidentifikasi senjata baru yang digunakan
dalam strategi posmodern ini yaitu senjata pemusnah
massal (weapon mass destruction) dan teknologi
informasi. Contohnya adalah saat terjadi pemberontakan
di Mesir yang kemudian memunculkan pemberontakan
lain di negara-negara Timur Tengah tahun 2011 berkat
pengaruh teknologi dan informasi (Stepanova, 2011).
Kasus yang dikenal sebagai Arab Spring ini
menunjukkan bahwa perlawanan rakyat kini makin
terfasilitasi dan perkembangan strategi posmodern itu
sendiri meningkat berkat fitur teknologi dan informasi.
Eksistensi strategi posmodern pun benar adanya.
Strategi posmodern di dalam studi strategi merujuk pada

132
dua hal yakni perang gerilya dan terorisme. Merrari
(1993) mengidentifikasi beberapa bentuk perlawanan
yaitu kudeta, Revolusi Leninisme, perang gerilya,
pemberontakan, terorisme, dan penolakan tanpa
kekerasan. Ditambahkan pula oleh Merrari (1993),
terorisme dapat dijadikan sebagai strategi perlawanan
suatu kelompok masyarakat tersebut. Sementara itu
menurut Kiras (2007) strategi posmodern merujuk pada
perang ireguler yang terdiri dari dua jenis yaitu pertama
adalah perlawanan atau sama halnya dengan perang
gerilya dan kedua adalah terorisme. Meski hampir sama,
namun perlawanan dan terorisme mmeiliki perbedaan.
Menurut Kiras (2007) terdapat dua poin perbedaannya,
yaitu pertama terorisme tidak mengharuskan hasil politis
untuk keuntungannya sendiri, melainkan esensi
perjuangannya adalah untuk memicu respon lawannya,
caranya adalah dengan memainkan psikologi lawan;
berbeda dengan perlawanan yang mengharuskan
outputnya adalah bernilai politis. Kedua, terorisme
adalah upaya kelompok lemah sebagai pesan yang
diberikan pada lawannya yang kuat; sementara

133
perlawanan merupakan bentuk pendekatan dari golongan
lemah untuk melawan golongan yang kuat.
Perlawanan dan terorisme menurut Kiras (2007)
memiliki empat hal yang menjadi kunci keberhasilannya
yaitu waktu, ruang, legitimasi, dan dukungan. Pertama,
waktu menjadi penting karena waktu dapat menjadi
komoditas yang apabila diorganisir dengan baik akan
memberi keuntungan bagi kelompok perlawanan dan
teoris untuk memperbesar kontrol terhadap lawan yang
dalam hal ini adalah pemerintah (Kiras, 2007).
Menggunakan waktu secara baik adalah hal yang
diperlukan, tidak terlalu lama dan juga tidak terlalu
singkat adalah cara tepat untuk mengorganisir waktu
yang dimiliki. Kedua, adalah ruang yang berguna untuk
menentukan di mana dan kapan untuk bertarung (Kiras,
2007). Ruang menjadi arena maneuver untuk meraih
legitimasi dan atau dukungan pula. Berikutnya, yang
ketiga adalah dukungan yang mengindikasikan bahwa
gerakan teroris dan perlawanan tidak akan sukses tanpa
dukungan (Kiras, 2007). Dukungan akan memberi
dorongan semangat dan kekuatan yang berguna untuk
meraih keberhasilan dalam mencapai tujuan akhir sebuah

134
perjuangan. Terakhir, yang keempat adalah legitimasi
yang masih berhubungan dengan dukungan. Legitimasi
merupakan kewenangan yang diberikan oleh
pendukungnya. Legitimasi diberikan ketika pemimpin
kelompok perlawanan atau teroris memiliki moralitas
dan justifikasi beralasan. Sehingga legitimasi akan
menguatkan perjuangan kelompok masyarakat dalam
meraih tujuannya.

Kesimpulan
Berdasar penjelasan di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa pengaruh perkembangan perang
ireguler atau strategi posmodern telah besar bagi studi
strategi. Hal ini disebabkan karena ada pergeseran soal
interpretasi dari strategi perang klasik dan modern ke
strategi posmodern. Strategi posmodern pada intinya
menjelaskan bahwa perang dapat dilakukan oleh siapa
pun, karena mereka yang memegang kekuatan (power)
yang memiliki strategi. Kemudian inti lain dari studi
strategi ini adalah bahwa perang tidak lagi harus secara
konvensional mengenal teritori, ada deteritorialisasi
lewat fitur internet yang mampu memengaruhi

135
perjuangan dari aktor-aktor baru yang berasal dari
kalangan rakyat. Dari sini dapat dipahami kemudian jika
eksistensi strategi posmodern memang ada, ditunjukkan
dengan keberadaan perang ireguler yang terdiri dari
terorisme dan perlawanan atau perang gerilya. Dua hal
ini disebut sebagai strategi posmodern karena adanya
unsure-unsur di luar arus utama yang terdapat di
dalamnya dan sekaligus menggambarkan fitur-fitur
posmodern seperti keterlibatan rakyat menentang
pemerintah. Penulis beropini strategi posmodern menjadi
momen dekonstruksi terhadap tatanan yang dianggap
mapan dan seringkali eksploitatif pada sekelompok
masyarakat tertentu. Oleh sebab itu kemunculan
kelompok-kelompok ini kemudian mencoba
menunjukkan eksistensi mereka yang membawa
kepentingan di dalamnya.

Pertanyaan Arahan:
Bagaimana pandangan modern berkembang
terkait strategi? Apa saja peran Clausewitz di balik
kemunculan tradisi modern terkait strategi? Bagaimana

136
lantas kajian strategi modern pasca Clausewitz
berkembang sejauh ini?

Kata Kunci: Clausewitz, modern, center of gravity,


pemerintah, militer, masyarakat, friksi,
ketidakpastian, posmodern, teknologi, gerilya,
terorisme

Referensi:
Gray, Colin S. 1999. The Strategists Toolkit: the
Legacy of Clausewitz dalam Modern Strategy.
Oxford: Oxford University Press, pp. 15-30.
Hart, Liddel, B.H. 1991. Guerilla War dalam Strategy:
the Classic Book on Military Strategy. London:
Meridian Book, pp. 361-370.
Kiras, James D. 2007. Irregular Warfare: Terrorism and
Insurgency dalam Baylis, John, et. al. (ed.),
Strategy in the Contemporary World. Oxford:
Oxford University Press, pp. 163-191.
Mahnken, Thomas G. 2007. Strategic Theory dalam
Baylis, John, et. al. (ed.), Strategy in the

137
Contemporary World. Oxford: Oxford University
Press, pp. 66-81.
Merari, Ariel. 1993. Terrorism as a Strategy of
Insurgency, Terrorism and Political Violence, 4
(5), pp. 213-251.
Stepanova, Ekaterina. 2011. The Role of Information
Communication Technologies in the Arab
Spring, PONARS Eurasia Policy Memo, 159.

138
Satuan Acara Pembelajaran
BAB VI

Pokok Bahasan:
Strategi Militer: Seni Cipta-Kelola Peluang
dalam Situasi Duel

Sub Pokok Bahasan:


- Pengertian Strategi Militer
- Situasi yang Dihadapi Strategi Militer
- Isu-isu yang Menjadi Inti Perdebatan Strategi
Militer
- Pendekatan yang Dikembangkan Strategi
Militer

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa diharapkan tidak hanya mampu
mengetahui apa yang disebut strategi militer dan mampu
mengetahui penciptaan peluang dalam situasi duel,
namun juga mampu memperoleh pemahaman khusus
yakni mampu menerapkan intisari dan falsafah dari

139
strategi militer dalam mengatasi masalah kehidupan
sehari-hari.

Metode Pembelajaran:
Perkuliahan dimulai dengan presentasi empat
kelompok yang menjelaskan mengenai pokok bahasan
dan sub-sub pokok bahasan mengenai strategi militer
melalui pandangan-pandangan dari berbagai scholar
yang berbeda. Kelompok penyaji mempresentasikan dan
menjelaskan mengenai pengertian strategi militer, situasi
yang dihadapinya, isu-isu apa saja yang menjadi inti
perdebatannya dan perkembangan pendekatan stratejik
dari strategi militer. Kemudian sesi diskusi tanya jawab
akan berlangsung selama 75 menit. Selama sesi diskusi,
kelompok panelis dan pengamat dipersilahkan untuk
mengajukan pertanyaan dan memberikan opini terkait
materi yang disajikan oleh kelompok penyaji. Setelah
sesi diskusi tanya jawab, kelas memasuki sesi ceramah.
Dosen memberikan ceramah mengenai materi selama
waktu yang masih ada.

Pertanyaan Arahan:

140
Apa pengertian dari strategi militer? Situasi apa
yang dihadapinya? Isu-isu apa saja yang menjadi inti
perdebatannya? Pendekatan stratejik apa saja yang
dikembangkannya?

Referensi:
Heuser, Beatrice. 2010. Themes in Early Thinking
about Strategy, in the Evolution of Strategy,
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 76-110
___________________. the Age and Mindset of the
Napoleonic Paradigm, in the Evolution of Strategy,
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 113-
136
___________________. the Napoleonic Paradigm
Transformed: From Total Mobilisation to Total
War, in the Evolution of Strategy, Cambridge:
Cambridge University Press, pp. 137-170
___________________. Challenges to the Napoleonic
Paradigm versus the Culmination of Total War, in
the Evolution of Strategy, Cambridge: Cambridge
University Press, pp. 171-197

141
BAB VI
Strategi Militer: Seni Cipta-Kelola Peluang
dalam Situasi Duel

Pendahuluan
Dalam artikelnya yang berjudul The Grammar of
Strategy I: Terrestrial Action, Colin S. Gray (1999)
mengadopsi pemikiran dari Clausewitz yang
beranggapan bahwa strategi merupakan jembatan
penghubung antara militer dengan kepentingan politik.
Oleh karena itu, perkembangan tentang studi strategi
tentunya membawa pengaruh khusus terhadap
perkembangan dunia militer. Dalam pelaksanaan aspek
militer, tentunya sangat bergantung terhadap strategi
yang digunakan dan teknologi menjadi suatu instrumen
utama untuk menjalankan strategi yang telah
direncanakan. Pengembangan strategi modern dalam
kerangka militer dilakukan dengan cara memasukkan
kekuatan-kekuatan strategi modern ke dalam kerangka
kerja militer. Kerangka kerja tersebut disebut oleh Gray
(1999) sebagai RMA atau Revolution in Military Affairs.

142
Pengembangan dalam rangka militer ini banyak
mengimplementasikan kekuatan-kekuatan baru yang
muncul terutama mengenai kekuatan dunia maya yang
menekankan pada penyerangan jaringan informasi.

Pengertian Strategi Militer


Strategi militer secara sederhana dapat disebut
sebagai sebuah strategi penempatan instrumen
militeristik dalam proses pencapaian tujuan yang
dilandaskan oleh kepentingan politik. Dalam proses
pengaplikasiannya, strategi militer seringkali mencakup
pembentukan pola dasar untuk mengepung pasukan,
kualifikasi untuk merekrut pasukan perang, penyusunan
strategi defensif dan ofensif, serta prinsip-prinsip untuk
meregulasi perang. Selain pola pengepungan dan
mobilisasi pasukan perang, strategi militer juga fokus
terhadap bagaimana menciptakan peluang dalam situasi
duel yang mana peluang tersebut dapat mempengaruhi
hasil akhir dari perang tersebut. Penjabaran
perkembangan mengenai strategi militer sebagai seni
cipta kelola peluang dalam situasi duel kemudian dapat
digambarkan melalui paradigma Napoleon dan perang

143
total. Heuser (2010) memandang bahwa paradigma
Napoleon mendominasi pedoman strategi pada periode
tahun 1860 hingga 1918. Pada periode tersebut,
paradigma Napoleon memang menjadi pedoman strategi
pada umumnya. Namun perkembangan teknologi yang
didorong oleh adanya berbagai penemuan revolusioner,
membuat paradigma Napoleon perlu mendapatkan
modifikasi.

Situasi yang Dihadapi Strategi Militer


Tujuan dari adanya kepentingan politik jelas
terlihat sebagai alasan terjadinya peperangan apabila
berkaca pada apa yang terjadi di era Napoleon. Dengan
menerapkan strategi total war untuk mencapai
kemenangan mutlak serta mengakibatkan semua musuh
tunduk, Napoleon melakukan berbagai perang dan
terbukti selalu menang sebelum pada akhirnya
ditaklukkan oleh Russia. Saat era kekuasaan Napoleon,
militer menjadi satu-satunya doktrin pada saat itu yang
berintikan bahwa setiap negara pada dasarnya berperang
untuk mencapai perdamaian, akan tetapi apabila negara
tersebut tidak mau berperang maka kebebasan akan

144
terenggut (Heuser, 2010). Dengan demikian setiap
negara mau tidak mau harus turut berperang untuk
mencapai perdamaian yang sejalan dengan kemenangan,
sehingga seni dalam berperang merupakan hal yang
paling esensial dalam mencapai kemenangan tersebut.
Selain itu pada era ini pengaruh politik lainnya dalam
tujuan nasional adalah adanya kepentingan nasional yang
dipertaruhkan. Perancis dibawah Napoleon ingin
menjadi negara besar dengan menerapkan praktik
ekpansionisme di Eropa, sedangkan negara-negara Eropa
lain yang menjadi sasaran Napoleon memiliki
kepentingan dalam menjaga keamanan dan
pertahanannya. Namun di sisi lain, von der Goltz
berpendapat bahwa perang yang dilakukan oleh
Napoleon ini merupakan perang yang didasarkan pada
satu otoritas utama yaitu dirinya sendiri. Sehingga
apabila terjadi kekalahan dalam perang, publik akan
menyalahkan Napoleon sebagai penyebab kekalahan.
Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak musuh untuk
menyusun strategi baru agar dapat mengalahkan
Napoleon, hingga strategi perang kemudian berkembang

145
tidak sesuai dengan tujuan utama melainkan melebar
dengan menciptakan permasalahan baru (Heuser, 2010).

Isu-isu yang Menjadi Inti Perdebatan Strategi Militer


Era Napoleon juga erat kaitannya dengan
keinginan kuat negara-negara di Eropa pada saat itu
untuk terus bersifat ofensif yang kemudian diwujudkan
dalam perkembangan teknologi militer dengan dibuatnya
jalur kereta api. Benhardi (dalam Heuser, 2010)
berpendapat bahwa perkembangan strategi perang
berkembang pesat dengan menerapkan operasi secara
ofensif yang didasari dengan konsep keseimbangan
kekuatan lawan. Hal tersebut dilakukan oleh karena
peluang untuk memenangkan perang lebih besar
dibandingkan dengan strategi defensif, apalagi saat pihak
lawan memiliki kekuatan lebih lemah (Heuser, 2010).
Akan tetapi di lain sisi apa yang dilakukan Napoleon
menurut Jomini justru sebaliknya, yaitu Napoleon lebih
banyak mengkampanyekan pertarungan dengan
menggunakan teknik defensif. Jomini berpendapat hal
tersebut yang kemudian mengindikasikan kekalahan
Napoleon atas Russia pada saat itu. Apabila

146
menggunakan strategi ofensif, ruang kebebasan bergerak
lebih luas dalam mendominasi pergerakan kekuatan
musuh sehingga tujuan untuk mencapai kemenangan
dapat dengan mudah tercapai (Heuser, 2010). Adanya
strategi ofensif dari suatu negara untuk memenangkan
perang tentu diiringi dengan kebijakan luar negeri yang
mendukung serta diplomasi yang kuat untuk
mempermudah pencapaian kemenangan.
Hal lain yang menjadi perdebatan dalam era
Napoleon adalah apakah dalam strategi total war benar-
benar menerapkan mobilisasi total atau hanya melalui
tentara profesional. Guibert (dalam Heuser, 2010)
menjelaskan bahwa mobilisasi total adalah penggunaan
sumber daya, baik alam atau manusia, sebagai langkah
pengembangan kekuatan militer. Hal ini juga mencakup
penggantian penggunaan militia atau masyarakat umum
yang menjadi tentara dengan tentara profesional. Pada
dasarnya terdapat keuntungan sendiri dengan
menggunakan kekuatan militia, salah satunya yaitu biaya
yang dikeluarkan negara cukup rendah dibandingkan
dengan tentara profesional. Selain itu, apabila terjadi
serangan tiba-tiba dari pihak musuh maka masyarakat

147
akan dengan mudah mengatasinya. Namun yang menjadi
permasalah di sini yaitu dalam menjaga pertahanan dan
keamanan suatu negara, sudah merupakan hal wajib
untuk mendirikan adanya tentara nasional sebagaimana
yang dikatakan Napoleon bahwa suatu bangsa
dipertahankan oleh masyarakatnya namun tetap
dibutuhkan tentara nasional (Heuser, 2010). Hal ini tidak
berlaku apabila ditilik dari peristiwa revolusi Perancis,
dikarenakan meskipun tentara dielu-elukan oleh
masyarakat, masyarakat harus tetap berusaha sendiri
untuk mencapai kemenangannya. Sehingga menurut
Napoleon idealnya tentara nasional harus tetap ada,
namun seluruh elemen masyarakat juga harus mampu
melakukan usaha pertahanan negara.

Pendekatan yang Dikembangkan Strategi Militer


Strategi dalam perang disebutkan Heuser (2010)
berkaitan dengan tujuan politik dari suatu negara, yaitu
memperoleh kemenangan atas negara lain dalam medan
perang sehingga perdamaian dapat terciptakan. Secara
lebih lanjut, Lorenz von Stein berpendapat bahwa
strategi perang didasarkan dalam mencapai kemenangan

148
atas pihak musuh untuk membentuk negara yang
independen (Heuser, 2010). Kemenangan dalam perang
merupakan konsep yang absolut, setiap negara yang
berperang tentu memiliki tujuan politik tersendiri dalam
mencapai kemenangan. Dengan demikian dalam
membentuk strategi perang, kemenangan merupakan
sebuah tujuan utamanya. Tentang mengapa strategi
militer dalam mencapai kemenangan dikaitkan dengan
tujuan politik dijelaskan oleh Jenderal Walter E. James,
yaitu objek dari perang adalah perdamaian yang
didasarkan pada kemenangan. James menjelaskan bahwa
untuk mendapatkan hal tersebut suatu negara harus
memberikan perlawanan yang dapat menyebabkan pihak
lawan merasakan hal yang sia-sia dalam perjuangannya
(Heuser, 2010). Dengan kata lain, strategi militer
berdasarkan paradigma Napoleon dikembangkan melalui
pendekatan terhadap proses pencapaian kemenangan
sebagai tujuan politik suatu negara.

Kesimpulan
Berdasar penjelasan di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa hakekat strategi militer

149
sesungguhnya adalah prinsip-prinsip yang meliputi
pembentukan pola dasar untuk mengepung pasukan,
kualifikasi untuk merekrut pasukan perang, penyusunan
strategi defensif dan ofensif, serta prinsip-prinsip untuk
meregulasi perang. Strategi militer yang berada pada
situasi duel dapat dijelaskan melalui paradigma
Napoleon. Isu-isu yang dikaji berawal dari perang pada
masa Revolusi Perancis yang kemudian membuat
Napoleon yang bertindak sebagai pemimpin perang
menghadirkan beberapa pendekatan stratejiknya, dari
total mobilisation hingga total war. Namun dalam
perjalanannya, tantangan akan paradigma Napoleon pun
muncul yang mana akhirnya total war menemui titik
kulminasi yakni saat Perang Dunia II yang dinilai sangat
destruktif dan merugikan. Secara garis besar, penulis
menyimpulkan bahwa esensi perang pada dasarnya tidak
berubah, namun perubahannya hanya terjadi pada tujuan
dan sarana untuk mengakomodasi perang tersebut.

Pertanyaan Arahan:
Apa pengertian dari strategi militer? Situasi apa
yang dihadapinya? Isu-isu apa saja yang menjadi inti

150
perdebatannya? Pendekatan stratejik apa saja yang
dikembangkannya?

Kata Kunci: militer, paradigma Napoleon, total war

Referensi:
Gray, Colin S. 1999. The Grammar of Strategy I:
Terrestrial Action dalam Modern Strategy.
Oxford: Oxford University Press
Heuser, Beatrice. 2010. Themes in Early Thinking
about Strategy, in the Evolution of Strategy,
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 76-110
___________________. the Age and Mindset of the
Napoleonic Paradigm, in the Evolution of Strategy,
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 113-
136
___________________. the Napoleonic Paradigm
Transformed: From Total Mobilisation to Total
War, in the Evolution of Strategy, Cambridge:
Cambridge University Press, pp. 137-170
___________________. Challenges to the Napoleonic
Paradigm versus the Culmination of Total War, in

151
the Evolution of Strategy, Cambridge: Cambridge
University Press, pp. 171-197

152
Satuan Acara Pembelajaran
BAB VII

Pokok Bahasan:
Strategi Maritim: Seni Cipta-Kelola Peluang
dalam Situasi Jelajah

Sub Pokok Bahasan :


- Pengertian Strategi Maritim
- Situasi yang Dihadapi Strategi Maritim
- Isu-isu yang Menjadi Inti Perdebatan Strategi
Maritim
- Pendekatan yang Dikembangkan Strategi
Maritim

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa diharapkan tidak hanya mampu
mengetahui apa yang disebut strategi maritim dan
mampu mengetahui penciptaan peluang dalam situasi
jelajah, namun juga mampu memperoleh pemahaman
khusus yakni mampu menerapkan intisari dan falsafah

153
dari strategi maritim dalam mengatasi masalah dalam
kehidupan sehari-hari.

Metode Pembelajaran:
Perkuliahan dimulai dengan presentasi empat
kelompok yang menjelaskan mengenai pokok bahasan
dan sub-sub pokok bahasan mengenai strategi maritim
melalui pandangan-pandangan dari berbagai scholar
yang berbeda. Kelompok penyaji mempresentasikan dan
menjelaskan mengenai pengertian strategi maritim,
situasi yang dihadapinya, isu-isu apa saja yang menjadi
inti perdebatannya dan perkembangan pendekatan
stratejik dari strategi maritim. Kemudian sesi diskusi
tanya jawab akan berlangsung selama 75 menit. Selama
sesi diskusi, kelompok panelis dan pengamat
dipersilahkan untuk mengajukan pertanyaan dan
memberikan opini terkait materi yang disajikan oleh
kelompok penyaji. Setelah sesi diskusi tanya jawab,
kelas memasuki sesi ceramah. Dosen memberikan
ceramah mengenai materi selama waktu yang masih ada.

Pertanyaan Arahan:

154
Apa pengertian dari strategi maritim? Situasi apa
yang dihadapinya? Isu-isu apa saja yang menjadi inti
perdebatannya? Pendekatan stratejik apa saja yang
dikembangkannya?

Referensi:
Heuser, Beatrice. 2010. Long-Term Trends and Early
Maritime Strategy, in the Evolution of Strategy,
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 201-
215
___________________. the Age of Steam to the First
World War, in the Evolution of Strategy,
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 216-
247
___________________. The World Wars and Their
Lessons for Maritime Strategy, in the Evolution of
Strategy, Cambridge: Cambridge University Press,
pp. 248-267
___________________. War in the Third Dimension,
in the Evolution of Strategy, Cambridge: Cambridge
University Press, pp. 297-350

155
BAB VII
Strategi Maritim: Seni Cipta-Kelola Peluang
dalam Situasi Jelajah

Pendahuluan
Dalam sejarah perkembangan strategi kelautan
dan maritim, dikenal dua school of thought yang menjadi
poros utamanya. Yang pertama adalah Blue-sea Water
School yang dipelopori oleh Alfred Thayer Mahan dan
Julian Corbett, dan yang kedua dikenal sebagai
Continental School yang dipelopori oleh Raoul Castex,
seorang Admiral angkatan laut Perancis, dan Wolfgang
Wegener, seorang admiral angkatan laut Jerman (Castex,
1994). Blue-sea Water School adalah hasil kumulasi dari
strategi-strategi yang menekankan pada pandangan yang
sea-oriented, sementara Continental School dapat
dikatakan sebagai oksimoron strategi maritim, oleh
karena school of thought ini berupaya untuk
menyadarkan pentingnya daratan dibalik strategi laut.
Strategi laut tidak bisa berdiri sendiri, tanpa adanya
koordinasi dan integrasi yang komprehensif dengan

156
strategi-strategi darat dalam upaya untuk mencapai
kepentingan yang ingin dituju.

Pengertian Strategi Maritim


Strategi maritim pada awalnya diperkenalkan oleh
Sir Juliann Corbett. Istilah strategi maritim sebagai
bentuk dari istilah umum yang mana strategi yang
semata-mata berkaitan dengan elemen lautan dianggap
sebagai strategi perang angkatan laut. Namun berdirinya
strategi maritim tidaklah sendiri, untuk mendukung
strategi maritim dibutuhkan pula kooperasi dari satuan
daratan dan lautan. Dengan demikian, John Hattendorf
(dalam Heuser, 2010) melihat sepanjang sejarah
angkatan laut, pertempuran angkatan laut secara utama
mengambil tempat dekat dengan daratan. Terdapat
perbedaan yang substansial diantara perang daratan dan
perang lautan. Corbett (1911 dalam Heuser, 2010)
mengidentifikasikannya sebagai line of communication
atau line of operation, yang mana dalam perang lautan
memiliki kesulitan berupa pencarian armada musuh
dalam lautan terbuka lebih sulit dibandingkan dengan
daratan. Selain itu, tujuan dari adanya armada laut juga

157
dibutuhkan untuk melindungi perdagangan dan tidak
hanya sebagai alat dalam memenangkan pertempuran.
Laksamana Sir Reginal dCustance (1847-1935)
meneliti bahwa sejak sekitar tahun 1860-an terdapat dua
sekolah ajaran angkatan laut pertama. Pertama yakni
Historical School yang mencari Lucien Poirier atau
kebenaran abadi tentang perang angkatan laut dalam
contoh-contoh sejarah. Kedua yakni Materiel School
yang berfokus pada perkembangan teknologi terbaru,
dan memiliki kritik terhadap Historical School dengan
argumen bahwa masa lalu atau sejarah tidaklah dapat
mengajarkan banyak hal pembelajaran mengenai perang
lautan (Heuser, 2010). Terdapat dua tradisi yang berbeda
dalam mengaplikasikan strategi menghadapi
pertempuran di lautan, yaitu tradisi Perancis dan tradisi
Inggris. John Clerk dari Eldin (1728-82) dan Alfred
Thayer Mahan (1840-1914) berpendapat bahwa Perancis
secara tradisional menghindari pertempuran dan
cenderung ke arah memberikan gangguan pada
perkapalan musuh dan juga berusaha melindungi kapal
sendiri. Sedangkan dalam perkembangan angkatan laut
Inggris mulai berkembang sejak Britania Raya menjadi

158
lebih kaya dan angkatan lautnya berkembang, sehingga
dengan perkembangan ini secara rahasia penggunaan
strategi utama Inggris melalui angkatan launya adalah
penggunaan strategi defensif dan mencegah, meskipun
Inggris pula melakukan penyebaran kapal-kapal mereka
dengan dibekali potensi untuk menyerang (Heuser,
2010). Strategi Inggris inilah yang nantinya akan
menjadi awal mula dari penggolongan dibawah strategi
gunboat diplomacy, yang mana para ahli strategi di abad
20-an menyebutnya sebagai deterrence atau pencegahan
dan juga tindakan koersif.

Situasi yang Dihadapi Strategi Maritim


Strategi maritim kemudian semakin berkembang
dengan adanya dorongan dari pemikir-pemikir strategi
maritim baru utamannya pemikir dari Inggris.
Perkembangan perdagangan ditambah dengan
pembaharuan teknologi angkatan laut seperti
penggunaan kapal selam yang semakin massive juga
menjadi salah satu faktor pendukung untuk
mengembangkan strategi maritim. Memasuki abad ke-
19, muncul enam pembelajaran mengenai strategi

159
angkatan laut. Pembelajaran pertama adalah mulai
munculnya kesadaran atas pentingnya arti perdagangan.
Arti penting perdagangan ini utamanya dirasakan oleh
para analis dari Inggris, hal ini dikarenakan Inggris
merupakan wilayah yang strategis bagi perdagangan
jalur laut. Selain itu, jalur perdagangan laut juga
merupakan sebuah kunci bagi Inggris untuk
meningkatkan kekuatan negaranya melalui keuntungan
dari jalannya perdagangan luar negeri. Mengingat atas
pentingnya laut sebagai salah satu jalur perdagangan ini,
maka bukan hanya Ingris tetapi juga Amerika yang
menjadikan perolehan keperluan perdagangan bagi
negara mereka hingga kemudian memasukkan kebijakan
strategi kelautan sebagai salah satu kebijakan utama
mereka (Heuser, 2010). Kedua yakni command of the
sea. Inggris dan Amerika memandang bahwa kekuasaan
atas laut memiliki peranan yang penting dalam
memenangkan sebuah pertempuran. Sehingga
dibutuhkan berbagai macam persiapan dalam
membangun potensi angkatan laut negara. Selain itu,
keamanan dari port dan juga teknologi dari perkapalan
dapat menjadi sebuah senjata dalam melakukan

160
intimidasi terhadap musuh. Corbett (1911 dalam Heuser,
2010) menjelasakan berbagai metode negara dalam
mengamankan command of the sea. Metode dalam
pengamanan yaitu dengan obtaining a decision serta
blokade. Lalu metode untuk disputing command yaitu
dengan principle of the fleet in being dan minor
counter-attacks. Dan yang terakhir adalah metode untuk
exercising command yaitu defense against invasion,
attack and defense of commerce, attack, defense, and
support of military expedition.
Pembelajaran ketiga adalah mengenai pertahanan
yaitu tertuju pada pangkalan pertahann angkatan laut.
Pertahanan ini memunculkan coastal defense dengan
strategi pertahanan bridge advocated. Strategi ini terdiri
dari tiga pertahanan, yaitu coast defence, colonial
defence, dan defence of commers (Heuser, 2010).
Pembelajaran keempat adalah kemunculan strategi
blokade angkatan laut. Blokade ini digunakan oleh
pasukan angkatan laut inggris dengan tujuan agar dapat
mengarsir atau membatasi wilayah musuh dalam sebuah
peperangan. Blokade sendiri dibagi ke dalam dua sub
bagian yaitu, close blockade dan open blockade. Close

161
blockade yaitu blokade yang dilakukan dengan
mengunci pasukan musuh dalam beberapa pelabuhan
terdekat. Sementara bentuk open blockade atau distant
blockade digunakan dalam jarak jauh dari wilayah
pasukan musuh (Heuser, 2010). Pembelajaran kelima
adalah operasi maritim atau amphibious. Operasi
maritim ini merupakan penggabungan kekuatan antara
pasukan angkatan darat dan juga pasukan angkatan laut
dengan cara mengangkut pasukan darat melalui lautan
sehingga kekuatan antara kedua pasukan akan dapat
saling melengkapi dalam sebuah pertempuran (Heuser,
2010). Dan pembelajaran terakhir adalah fleet in being
dan diplomasi gunboat. Strategi kemaritiman Inggris
adalah dengan cara membedakan antara kedamaian dan
perang, sehingga Inggris menggunakan strategi
deterrence, koersi, dan juga bluffing. Strategi fleet in
being ini dinyatakan oleh Corbett bahwa dalam perang
angkatan laut tidak selalu untuk menyerang tetapi juga
dapat bertahan dan mundur sehingga akan terjadi
suasana deterrent antar pasukan. Dan juga penggunaan
diplomasi gunboat sebagai salah satu upaya untuk

162
melakukan bluffing dalam power suatu negara (Heuser,
2010).

Isu-isu yang Menjadi Inti Perdebatan Strategi


Maritim
Selain adanya perkembangan starategi maritim
dari Inggris, diseberang selat Inggris terdapat Perancis.
Dua prinsip berkembang sama seperti Inggris namun
diberikan nilai budaya Perancis itu sendiri. Prinsip yang
pertama yaitu Jeune cole yang ditemukan oleh Henri
Joseph Paixhans dengan argumen utamanya bahwa
pertahanan lebih penting dalam menguasai kekuatan
maritim (Heuser, 2010). Walaupun begitu diperlukan
pendekatan lain dalam mengalahkan Inggris yang mana
pada saat tersebut merupakan poros maritim yang
menghegemoni lautan Mediterania dan Atlantik.
Sehingga konsep Jeune cole tersebut dikembangkan
kembali menjadi tiga konsep oleh Grivels yang
merupakan pemimpin kekuatan angkatan laut Perancis
pada masa tersebut. Konsep pertama adalah Guerre de
Course atau penghancuran jalur suplai bagi tentara
maupun masyarkat Inggris itu sendiri karena suplai

163
merupakan simbol dan dasar bagi musuh sehingga patut
untuk dihancurkan (Olivier, 2004 dalam Heuser, 2010).
Konsep selanjutnya adalah hit and run attack sehingga
diperlukan kapal yang memiliki daya gempur, kecepatan
mesin dan kemampuan bertahan di lautan dalam waktu
yang lama. Dan konsep terakhir adalah perlindungan
garis pantai dikarenakan ketidakmungkinan untuk
menyerang Inggris secara langsung. Sementara prinsip
kedua yang berkembang adalah prinsip Mahanian.
Konsep Mahan tersebut sempat digunakan saat melawan
Jerman pada Perang Dunia I, namun berbalik melawan
yang mana kapal Perancis dengan mudah diserang oleh
U-Boat Jerman. Sedangkan Jerman sebelum Perang
Dunia I juga memiliki dua strategi utama yang
dikembangkan oleh Laksamana Tirpitz yang mana
Jerman harus mampu menyerang armada utama dan
pangkalan utama secepat mungkin dan juga armada yang
dimilki haruslah mampu menakuti lawannya (Tirpitz
dalam Hauser, 2010).

Pendekatan yang Dikembangkan Strategi Maritim

164
Berbagai pendekatan dalam strategi maritim terus
berkembang sesuai dengan berubahnya zaman dan
berubahnya strategi dari penggunaan armada laut di
masing-masing negara besar terutama negara-negara
Eropa pada era Perang Dunia pertama dan kedua.
Penggunaan armada laut untuk melakukan pertempuran
di wilayah laut telah digunakan oleh beberapa negara di
dunia sejak era Perang Dunia pertama. Walaupun pada
kenyataannya dalam Perang Dunia I hanya terjadi dua
pertempuran penting yang dahsyat, tidak termasuk
ekspedisi Inggris menuju daratan utama Eropa, marching
armada laut German menuju Laut Utara dan Baltik
setelah pertempuran di kepulauan Balkan (Heuser,
2010). Keberadaan armada laut dalam Perang Dunia I ini
tidak dapat dilepaskan dari armada dimensi lain, yaitu
darat dan udara. Penggunaan armada laut di era ini lebih
bersifat sebagai armada pendukung dari dimensi utama,
yakni darat. Hal ini dikarenakan mindset penguasaan
wilayah melalui peperangan ialah dengan cara
menguasai wilayah daratnya, bukan wilayah lautnya.
Wilayah laut hanya digunakan sebagai sarana
perpindahan pasukan atau sebagai sarana alternatif

165
apabila wilayah daratan tidak dapat dicapai dengan
pasukan yang ada.
Kerajaan Inggris sebagai salah satu aktor dalam
Perang Dunia pertama dan kedua, memiliki armada laut
terbesar baik kekuatan serta jumlahnya. Keunggulan
armada laut Kerajaan Inggris ini muncul sebagai
jawaban atas kekuatan yang sudah ada, yaitu armada laut
bangsa Spanyol yang telah terlebih dahulu menjelajahi
lautan di seluruh dunia (Heuser, 2010). Armada laut
Kerajaan Inggris tidak hanya berhenti pada model
transportasi komoditas yang berasal dan menuju
wilayah-wilayah persemakmurannya saja, melainkan
telah dikembangkan sebagai armada tempur pendukung
dimensi armada daratnya. Terlebih, masyarakatnya
memiliki semboyan Orang Inggris adalah pelaut dan
amfibi handal yang menjadi semangat mereka untuk
tetap mengontrol kekuatan di wilayah lautan. Target
utama adanya armada laut Inggris ialah untuk menjamin
jalur komunikasi dan transportasi komoditas dari dan
menuju wilayah-wilayah persemakmurannya, dan juga
untuk mendukung aliansi dalam melakukan pertempuran
yang memerlukan dukungan pasukan amfibi (Heuser,

166
2010). Sedangkan tujuan pembentukan armada perang
laut oleh Inggris Raya ada dua, pertama ialah untuk
mencapai kontrol mutlak atas komunikasi, dan kedua
adalah untuk menghancurkan kekuatan tempur musuh.
Pada Perang Dunia I, armada Kerajaan Inggris
tersusun dari kapal-kapal besar yang lambat, sebab
mereka saat itu lebih memprioritaskan kuantitas muatan
yang dikirim menuju dan berasal dari wilayah
persemakmurannya kepada Kerajaan Inggris. Oleh
karena faktor tersebut, muncul lah armada laut Jerman
yang menjadi sebuah game changer dari arus armada
laut yang telah ada. Disebabkan oleh faktor geografis
Jerman yang merupakan wilayah semi-landlocked saat
itu, yang mana sebagian besar wilayah lautnya
berbatasan langsung dengan kedaulatan dan kontrol
musuh, membuat Jerman berinovasi menciptakan kapal
selam yang mana saat itu dapat dengan mudah melewati
blokade armada laut Inggris serta Perancis di wilayah
lautan Utara (Heuser, 2010). U-Boat ini bersifat kecil,
lincah dan tidak mudah terdeteksi radar armada Inggris,
sehingga dengan mudah bergerak ke area manapun
untuk menjalankan pertempuran secara diam-diam.

167
Jerman menjadikan U-Boat sebagai alat utama dalam
armada lautnya.
Menurut Mahan, sejak awal era terbentuknya
armada perang laut Inggris Raya, Amerika Serikat masih
berada jauh di bawahnya. Sehingga pada era tersebut,
Amerika Serikat menjadikan Inggris sebagai partner
seniornya. Beberapa dekade setelahnya, Amerika Serikat
berhasil mengembangkan kekuatan armada lautnya,
sehingga pada fase ini hubungannya dengan Inggris
Raya menjadi setara. Fase selanjutnya yang oleh Mahan
disebut sebagai salah satu fase terburuk maritim Inggris
ialah ketika Amerika Serikat yang dahulu berada jauh di
bawah Inggris, setelah Perang Dunia II berakhir
posisinya berbalik yang mana Amerika Serikat berada
lebih tinggi secara kualitas kekuatan armadanya
dibandingkan dengan Inggris (Heuser, 2010). Sehingga
pada fase tersebut Inggris Raya dijadikan sebagai
partner junior oleh Amerika Serikat.
Bagi Jerman yang merupakan kekuatan alternatif
dalam pertempuran laut, di era Perang Dunia II
mengubah titik tengah gravitasi kekuatannya dengan
memindahkan fokus armada lautnya dari Laut Utara

168
menuju Laut Baltik. Perubahan titik tengah gravitasi
kekuatan tempur Jerman tersebut ditujukan untuk
mengurangi dominasi Inggris yang melakukan blokade
akses laut di wilayah Utara Jerman, namun pada
akhirnya gagal dilakukan (Heuser, 2010). Jerman lebih
condong kepada gaya Corbett, yang mana terdapat poin
pemisah yang cukup jelas bahwasanya strategi yang
digunakan dalam perang daratan tidak dapat
berhubungan dengan strategi perang laut. Maksudnya
ialah, Jerman menerapkan independensi strategi laut
yang bukan merupakan buffer atau pendukung strategi
daratnya. Di akhir Perang Dunia II, ketika Jerman harus
menerima kekalahannya atas poros Aliansi, Jerman
mendapatkan peran yang bukan merupakan peran
penting ataupun kunci. Jerman diberikan akses untuk
menjaga keamanan wilayah laut Utara dan Baltik yang
dikenal dengan sebutan The Bundeswehr (Heuser, 2010).
Berbeda halnya dengan Perancis. Negara ini
berada pada peringkat keempat di antara armada perang
laut di dunia. Perancis tidak pernah mengalami perang
laut yang besar. Hal ini dimungkinkan karena kekuatan
armada lautnya yang tidak mungkin mampu melakukan

169
konfrontasi dengan kekuatan armada laut yang lebih
besar. Meskipun begitu, armada laut Perancis tetap
mampu memproyeksikan kekuatannya dengan selalu
hadir dalam wilayah-wilayah strategis tertentu dan tetap
mempertahankan pengaruhnya di wilayah tersebut
(Heuser, 2010). Bagi Perancis, kemenangan dalam
pertempuran laut dapat dicapai ketika dua hal dapat
diraih. Pertama ialah dapat menjaga integritas jalur
komunikasinya, dan kedua dapat menghancurkan
keseluruhan apa yang dimiliki oleh musuh. Dalam fase
tenang atau damai, Perancis lebih memilih untuk
membangun pertahanan di garis pantainya.
Sementara di wilayah lain, Italia dan Austria
harus menyerah kepada nasib karena armada lautnya
tidak dapat dioperasikan. Armada laut keduanya
ditenggelamkan tidak saat sedang berlaut, melainkan
ketika sedang berlabuh di pelabuhan. Menurut Fiora
Vanso (dalam Heuser, 2010), armada laut nantinya akan
tetap menjadi peran vital bagi transportasi, perdagangan,
suplai, dan juga pergerakan pasukan. Di wilayah lain,
pertempuran antara Jepang dan China daratan juga
menggunakan armada laut sebagai support dari armada

170
darat dan udaranya. Kolaborasi ini menghasilkan
kesuksesan Jepang dalam upayanya ketika menyerbu
China. Lain lagi bagi Amerika Serikat, kesuksesannya
dalam mengungguli posisi Inggris saat itu ialah karena
aktivitas armada laut Amerika Serikat yang lebih sering
bertempur di pertempuran-pertempuran laut dimanapun
(Heuser, 2010). Sifat agresif Amerika Serikat ini yang
membuatnya terus berinovasi dan mengembangkan
armada lautnya ke arah yang lebih baik dibanding
Inggris yang secara keseluruhan lebih bersifat pasif
hanya menjaga jalur komunikasinya dan intercept alur-
jalur komunikasi dagang lawannya. Bagi Jenderal laut
Amerika Serikat, terdapat logical blindness yang
menyebutkan bahwa Neptunus adalah Tuhan, Mahan
adalah nabinya, dan Angkatan Laut Amerika Serikat
ialah satu-satunya aliran gereja yang benar, dengan
Trafalgar sebagai sebuah pencerahannya (Heuser, 2010).

Kesimpulan
Berdasar penjelasan di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa strategi di laut bukan dipandang
sebagai variabel yang independen, namun saling

171
interdependen dengan strategi darat. Hal ini dapat dilihat
dari ide Castex yang melihat perlunya grand strategy
yang memayungi koordinasi antara strategi laut dan
darat, yang mana hal itu berangkat dari ide Castex bahwa
kemenangan atas musuh melalui penguasaan teritori atas
lawan hanya dapat dilakukan di darat dan bukan di laut,
sehingga kemenangan pertempuran di laut tidak
menjamin kemenangan dalam perang. Selain itu, strategi
laut juga berkembang dikarenakan adanya kebutuhan
negara atas pengamanan dari jalur perdagangan laut
sehingga menjadi salah satu faktor bagi berkembangnya
strategi kelautan. Bentuk dari strategi ini seperti adanya
blokade, fleet in being, amphibious dan juga gunboat
diplomacy yang mana masih digunakan sebagai strategi
perang negara dalam kontrol wilayah laut dari negara
mereka. Selain itu, perkembangan dari strategi maritim
ini juga didukung oleh perkembangan teknologi dengan
digunakannya kapal selam yang mendukung angkatan
laut dalam mempertahankan diri dan juga menyerang
dalam suatu peperangan.

Pertanyaan Arahan:

172
Apa pengertian dari strategi maritim? Situasi apa
yang dihadapinya? Isu-isu apa saja yang menjadi inti
perdebatannya? Pendekatan stratejik apa saja yang
dikembangkannya?

Kata Kunci: maritim, blokade, fleet in being,


amphibious, gunboat diplomacy

Referensi:
Castex, R. 1994. Strategic Theories; Selections.
Annapolis: Naval Institute Press
Heuser, Beatrice. 2010. Long-Term Trends and Early
Maritime Strategy, in the Evolution of Strategy,
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 201-
215
___________________. the Age of Steam to the First
World War, in the Evolution of Strategy,
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 216-
247
___________________. The World Wars and Their
Lessons for Maritime Strategy, in the Evolution of

173
Strategy, Cambridge: Cambridge University Press,
pp. 248-267
___________________. War in the Third Dimension,
in the Evolution of Strategy, Cambridge: Cambridge
University Press, pp. 297-350

174
Satuan Acara Pembelajaran
BAB VIII

Pokok Bahasan:
Strategi Nuklir: Seni Cipta-Kelola Peluang dalam
Situasi Deadlock

Sub Pokok Bahasan :


- Pengertian Strategi Nuklir
- Situasi yang Dihadapi Strategi Nuklir
- Isu-isu yang Menjadi Inti Perdebatan Strategi
Nuklir
- Pendekatan yang Dikembangkan Strategi
Nuklir

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa diharapkan tidak hanya mampu
mengetahui apa yang disebut strategi nuklir dan mampu
mengetahui penciptaan peluang dalam situasi deadlock,
namun juga mampu memperoleh pemahaman khusus
yakni mampu menerapkan intisari dan falsafah dari

175
strategi nuklir dalam mengatasi masalah dalam
kehidupan sehari-hari.

Metode Pembelajaran:
Perkuliahan dimulai dengan presentasi empat
kelompok yang menjelaskan mengenai pokok bahasan
dan sub-sub pokok bahasan mengenai strategi nuklir
melalui pandangan-pandangan dari berbagai scholar
yang berbeda. Kelompok penyaji mempresentasikan dan
menjelaskan mengenai pengertian strategi nuklir, situasi
yang dihadapinya, isu-isu apa saja yang menjadi inti
perdebatannya dan perkembangan pendekatan stratejik
dari strategi nuklir. Kemudian sesi diskusi tanya jawab
akan berlangsung selama 75 menit. Selama sesi diskusi,
kelompok panelis dan pengamat dipersilahkan untuk
mengajukan pertanyaan dan memberikan opini terkait
materi yang disajikan oleh kelompok penyaji. Setelah
sesi diskusi tanya jawab, kelas memasuki sesi ceramah.
Dosen memberikan ceramah mengenai materi selama
waktu yang masih ada.

Pertanyaan Arahan:

176
Apa pengertian dari strategi nuklir? Situasi apa
yang dihadapinya? Isu-isu apa saja yang menjadi inti
perdebatannya? Pendekatan stratejik apa saja yang
dikembangkannya?

Referensi:
Collins, John M. 2002. Nuclear Warfare Strategies,
dalam Military Strategy: Principles, Practices and
Historical Perspectives, Washington, D.C.:
Potomac Books, pp. 133-144.
Gray, Colin S. 1999. Nuclear Weapons in Strategic
History, dalam Modern Strategy, Oxford: Oxford
University Press, pp. 319-353
Heuser, Beatrice. 2010. Nuclear Strategy, in the
Evolution of Strategy, Cambridge: Cambridge
University Press, pp. 351-383
Klein, Bradley S. 1994. What Nuclear Revolution?,
dalam Strategic Studies and World Order: the
Global Politics of Deterrence, Cambridge:
Cambridge University Press, pp. 39-80

177
BAB VIII
Strategi Nuklir: Seni Cipta-Kelola Peluang
dalam Situasi Deadlock

Pendahuluan
Mengetahui bagaimana saat ini perkembangan
strategi dan khususnya perkembangan kekuatan militer
menjadi suatu hal yang penting bagi para ahli strategi.
Jika menilik ke belakang terlebih dahulu, bagaimana
munculnya RMA (Revolution in Military Affairs) pada
peralatan ataupun instrumen-instrumen yang ada pada
militer memberikan gambaran yang cukup besar terkait
dengan postur dunia militer sekarang. Muncul ranah-
ranah baru di militer yang tidak hanya sebatas landpower
dan seapower, namun juga meluas hingga airpower,
spacepower bahkan cyberpower. Tidak hanya berhenti di
situ saja, revolusi yang terjadi juga menciptakan
peralatan-peralatan baru nan canggih guna menunjang
performa militer yang ada. Untuk mengkajinya lebih
dalam dan guna memberikan ulasan yang lebih jelas,
penulis akan memaparkan bagaiamana perkembangan

178
senjata nuklir pada dunia militer saat ini. Senjata nuklir
dipilih untuk dikaji mengingat bagaimana signifikansi
yang dimiliki oleh senjata ini dan dapat dikatakan senjata
ini sebagai salah satu indikator yang cocok untuk menilai
sejauh mana perkembangan revolusi di militer serta
bagaimana kemunculan senjata nuklir ini mampu
mengubah teori dan praktik strategi. Dalam konteks
perang nuklir, penggunaan manuver militer dalam
perang kemudian menjadi suatu permasalahan yang
siginifikan dan patut untuk diperhitungkan kembali
sebelum melakukan peperangan. Hal tersebut terjadi
karena dampak dari nuklir yang berdaya hancur sangat
tinggi kemudian tidak hanya menyebabkan kerusakan
pada pihak musuh, melainkan juga menyebabkan
kerusakan pada lingkungan hingga dapat berpengaruh
pada lokasi yang lebih luas. Bernard Brodie (dalam
Collins, 2012) menyebut nuklir sebagai absolute
weapon, yang mana kamudian penggunaan senjata nuklir
ini harus diperhatikan karena satu serangan nuklir
kemudian dapat memusnahkan pihak lain secara massal
dan memiliki dampak yang besar.

179
Pengertian Strategi Nuklir
Era nuklir ini sejatinya telah mendorong adanya
perkembangan strategi yang kemudian turut
memperkaya kajian dalam studi strategi. Tidak dapat
dipungkiri bahwa mulai banyak bermunculan ancaman-
ancaman perang dengan adanya pengembangan
teknologi nuklir. Kian hari negara-negara di dunia kian
saling berlomba untuk mengembangan teknologi
nuklirnya. Setiap negara mengidamkan teknologi nuklir
yang paling mutakhir. Negara menyiapkan suatu strategi
guna mengetahui kapan nuklirnya menjadi alat
pertahanan dan kapan menjadi sebuah senjata untuk
melawan nuklir lawan. Dari sinilah kemudian dunia
diperkenalkan pada istilah strategi nuklir. John Herz
menilai kedaulatan dan batas teritori suatu negara-bangsa
merupakan hal yang telah usang bila dilihat dari
kacamata strategi nuklir. Pendapat yang serupa juga
dilotarkan oleh William Borden yang mengatakan bahwa
sebagai instrumen dalam perang, senjata-senjata
konvensional telah digantikan oleh teknologi nuklir yang
lebih modern (Klein, 1994). Lebih lanjut lagi,
Clausewitz juga berpendapat mengenai friksi yang juga

180
dihadapi oleh strategi nuklir. Belum tentu semua terjadi
di medan perang dapat berjalan sesuai rencana. Melihat
kondisi ini, Clausewitz kemudian menekankan pada arti
penting pemerintah dalam menentukan langkah-langkah
yang akan dilakukan guna meminimalisir berbagai
kemungkinan yang tidak diinginkan (Klein, 1994).
Pasalnya, nuklir merupakan senjata yang dapat memakan
banyak korban hanya dengan satu kali serangan.

Situasi yang Dihadapi Strategi Nuklir


Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa studi
strategi merupakan studi yang mengkaji perkembangan
strategi dari masa ke masa. Mulai dari era kuno, era
Rennaissance, hingga era yang terbilang cukup menarik
untuk dikajii, yakni era nuklir. Menilik sejarah ke
belakang, sejatinya titik balik era nuklir ini berpatokan
pada Perang Dingin. Sebagaimana yang dituturkan oleh
Colin S. Gray (1999), pada dasarnya era nuklir terbagi
menjadi dua periode. Pertama, periode awal dan selama
berlangsungnya Perang Dingin, tepatnya pada tahun
1945 hingga 1989, yang sudah barang tentu didominasi
oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pada periode ini

181
tengah dilakukan pengembangan dua jenis senjata nuklir,
yakni bom atom dan bom hidrogen. Bom atom menjadi
fokus penelitian para ahli pada tahun 1945 sebagai
senjata yang sumber energinya berasal dari proses
pembelahan nuklir. Perlu diketahui bahwa bom jenis
inilah yang digunakan Amerika Serikat untuk
menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki, Jepang pada
masa Perang Dunia II. Di sisi lain, bom hidrogen mulai
dikembangkan pada tahun 1952 dan 1953 sebagai
senjata yang sumber energinya berasal dari proses
perpaduan nuklir. Kedua, periode pasca Perang Dingin
berakhir hingga saat ini yang mana mulai terdapat lebih
banyak negara yang mampu mengembangkan dan
memiliki teknologi nuklir (Gray, 1999).

Isu-isu yang Menjadi Inti Perdebatan Strategi Nuklir


Mengenai strategi deterrence, terdapat dua kubu
yang saling berdebat yakni kubu minimalis dengan dasar
liberal dan kubu maksimalis dengan dasar pemikiran
strategi Clausewitz. Kubu minimalis lebih menekankan
teknologi nuklir ini pada prinsip no first use yang
berarti bahwa nuklir merupakan sebuah senjata yang

182
digunakan untuk membalas serangan lawan dan bukan
sebagai senjata yang digunakan untuk memulai
serangan. Kubu minimalis ini juga menyarankan adanya
strategi alternatif untuk bertahan oleh karena sebuah
serangan nuklir dapat menghancurkan segalanya
sehingga diperlukan strategi bertahan seperti taktik
aliansi dengan negara tandingan dari negara yang
memiliki nuklir tersebut agar tercipta konsep
keseimbangan (Klein, 1994). Sedangkan kubu
maksimalis yang datang sebagai kritikan terhadap
pendapat kubu minimalis menyatakan bahwa teknologi
nuklir dapat digunakan sebagai senjata untuk memulai
serangan. Kubu maksimalis memiliki pendapat bahwa
penting bagi sebuah pihak untuk memulai serangan
terlebih dahulu karena dengan menunggu untuk diserang
merupakan sebuah strategi yang salah karena lawan bisa
saja langsung menggunakan nuklirnya sebagai usaha
penghancuran. Kubu ini memiliki pendapat bahwa nuklir
dapat digunakan sebagai senjata perang untuk
memperoleh kemenangan. Namun sama seperti dengan
pendapat kubu minimalis mengenai perlunya strategi
bertahan, kaum maksimalis juga memiliki kemungkinan

183
untuk memasang strategi bertahan dengan membentuk
sebuah teknologi anti nuklir dan anti misil yang dapat
menangkal datangnya nuklir dari pihak lawan (Klein,
1994).

Pendekatan yang Dikembangkan Strategi Nuklir


Pada dasarnya terdapat tiga kunci utama dalam
strategi nuklir. Pertama, deterrence. Hal ini sesuai
dengan apa yang disebutkan oleh Bernard Brodie dalam
bukunya yang berjudul The Absolute Weapon bahwa
tindakan pencegahan merupakan misi militer utama
dalam strategi nuklir. Lebih lanjut, rupanya tindakan
deterrence ini terbagi menjadi tiga macam, yakni
pertama minimum deterrence yang meminimalisir,
bahkan meniadakan, penggunaan nuklir; kedua
maximum deterrence yang membolehkan penggunaan
nuklir jika memang diperlukan; dan ketiga compromise
deterrence yang menyeimbangkan antara pengaplikasian
minimum dan maximum deterrence (Collins, 2002).
Kedua, war-fighting. Dengan adanya senjata nuklir,
setiap negara mengerahkan pasukan militernya untuk
mempersiapkan peperangan. Pasalnya, semua strategi

184
yang ada merupakan strategi war-fighting, tidak
terkecuali strategi nuklir (Gray, 1999). Ketiga, war
termination. Sebenarnya perang nuklir bisa mereda
dengan sendirinya, tetapi tetap saja memulai peperangan
lebih mudah daripada menghentikannya. Dan untuk
menghentikan perang nuklir tersebut diperlukan
beberapa faktor pendukung, seperti sikap tegas dari
pemerintah dan jaringan telekomunikasi yang baik
(Collins, 2002).

Kesimpulan
Berdasar penjelasan di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa dalam era nuklir, terjadi
pergeseran fokus strategi pada permasalahan keamanan
yang mana memunculkan strategi sebagai cara untuk
memunculkan dan menjaga keamanan tiap-tiap negara
dalam permasalahan nuklir, dan bukan hanya persoalan
mengenai strategi untuk menyerang. Hal tersebut terjadi
karena dalam permasalahan nuklir dampak dari nuklir
yang berdaya hancur sangat tinggi kemudian tidak hanya
menyebabkan kerusakan pada pihak musuh saja,
melainkan juga menyebabkan kerusakan pada

185
lingkungan hingga dapat berpengaruh pada lokasi yang
lebih luas. Sehingga, menghindari terjadinya perang
nuklir kemudian menjadi hal utama yang harus
dilakukan. Terdapat dua strategi utama dalam
permasalahan nuklir, yaitu melalui strategi detterence
dan strategi nuclear war-fighting. Penulis beropini
bahwa senjata nuklir tampaknya telah mematahkan
hubungan antara means dan ends yang merupakan esensi
penting dari strategi itu sendiri. Karena senjata ini terlalu
kuat dan terlalu merusak jika digunakan untuk melayani
setiap tujuan politik. Penulis beranggapan bahwa senjata
nuklir memang benar memiliki signifikansi yang besar,
namun penulis ragu akan nilai strategis yang dimiliki
senjata nuklir ini. Hal ini beralasan karena penulis
menganggap bahwa perang nuklir tidak akan terjadi
mengikat besarnya daya hancur yang dimiliki senjata
nuklir.

Pertanyaan Arahan:
Apa pengertian dari strategi nuklir? Situasi apa
yang dihadapinya? Isu-isu apa saja yang menjadi inti

186
perdebatannya? Pendekatan stratejik apa saja yang
dikembangkannya?

Kata Kunci: Nuklir, Perang Dingin, deterrence, war-


fighting

Referensi:
Collins, John M. 2002. Nuclear Warfare Strategies,
dalam Military Strategy: Principles, Practices and
Historical Perspectives, Washington, D.C.:
Potomac Books, pp. 133-144
Gray, Colin S. 1999. Nuclear Weapons in Strategic
History, dalam Modern Strategy, Oxford: Oxford
University Press, pp. 319-353
Klein, Bradley S. 1994. What Nuclear Revolution?,
dalam Strategic Studies and World Order: the
Global Politics of Deterrence, Cambridge:
Cambridge University Press, pp. 39-80

187
Satuan Acara Pembelajaran
BAB IX

Pokok Bahasan:
Strategi Insurjensi: Seni Cipta-Kelola Peluang
dalam Situasi Asimetrik

Sub Pokok Bahasan:


- Pengertian Strategi Insurjensi
- Situasi yang Dihadapi Strategi Insurjensi
- Isu-isu yang Menjadi Inti Perdebatan Strategi
Insurjensi
- Pendekatan yang Dikembangkan Strategi
Insurjensi

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa diharapkan tidak hanya mampu
mengetahui apa yang disebut strategi insurjensi dan
mampu mengetahui penciptaan peluang dalam situasi
asimetrik, namun juga mampu memperoleh pemahaman
khusus yakni mampu menerapkan intisari dan falsafah

188
dari strategi insurjensi dalam mengatasi masalah dalam
kehidupan sehari-hari.

Metode Pembelajaran:
Perkuliahan dimulai dengan presentasi empat
kelompok yang menjelaskan mengenai pokok bahasan
dan sub-sub pokok bahasan mengenai strategi insurjensi
melalui pandangan-pandangan dari berbagai scholar
yang berbeda. Kelompok penyaji mempresentasikan dan
menjelaskan mengenai pengertian strategi insurjensi,
situasi yang dihadapinya, isu-isu apa saja yang menjadi
inti perdebatannya dan perkembangan pendekatan
stratejik dari strategi insurjensi. Kemudian sesi diskusi
tanya jawab akan berlangsung selama 75 menit. Selama
sesi diskusi, kelompok panelis dan pengamat
dipersilahkan untuk mengajukan pertanyaan dan
memberikan opini terkait materi yang disajikan oleh
kelompok penyaji. Setelah sesi diskusi tanya jawab,
kelas memasuki sesi ceramah. Dosen memberikan
ceramah mengenai materi selama waktu yang masih ada.

Pertanyaan Arahan:

189
Apa pengertian dari strategi insurjensi? Situasi
apa yang dihadapinya? Isu-isu apa saja yang menjadi inti
perdebatannya? Pendekatan stratejik apa saja yang
dikembangkannya?

Referensi:
Cassidy, Robert M. 2008. Success in
Counterinsurgency, dalam Counterinsurgency
and the Global War on Terror: Military Culture
and Irregular War, Stanford: Stanford Security
Studies, pp. 127-163
Galula, David. 2006. Revolutionary War: Nature and
Characteristics, dalam Counterinsurgency
Warfare: Theory and Practice. London: Praeger
Security International, pp. 1-10
___________________. the Prerequisites for a
Successful Insurgency, dalam Counterinsurgency
Warfare: Theory and Practice. London: Praeger
Security International, pp. 11-28
___________________. the Insurgency Doctrine,
dalam Counterinsurgency Warfare: Theory and

190
Practice. London: Praeger Security International,
pp. 29-47

191
BAB IX
Strategi Insurjensi: Seni Cipta-Kelola Peluang
dalam Situasi Asimetrik

Pendahuluan
Ancaman baru terhadap keamanan dan
kedaulatan suatu negara dewasa ini terus bermunculan
seiring dengan berkembangnya zaman. Pada masa lalu
yang mana hanya ada negara sebagai aktor dalam
hubungan internasional, ancaman hanya datang dari
negara saja. Namun, munculnya globalisasi juga
menimbulkan ancaman baru yakni terorisme dan
pemberontakan. Terorisme dan pemberontakan dapat
muncul karena berbagai macam sebab. Meskipun sebab
kemunculannya beragam, tujuan dari kelompok teroris
dan pemberontakan adalah untuk menentang maupun
melawan pemerintah atau rezim yang sedang berlaku.
Tujuan pemberontakan adalah untuk meruntuhkan
legitimasi yang ada dengan cara menunjukkan bahwa
pemerintah ataupun rezim yang ada tidak mampu untuk
menjaga keselamatan masyarakat dengan kekuatan yang

192
mereka miliki (Cassidy, 2008). Jelas terlihat bahwa
tujuan pemberontakan adalah untuk menentang
pemerintah, namun bukan berarti pemerintah juga tidak
memiliki kesiapan untuk mengahadapi pemberontakan
yang muncul.

Pengertian Strategi Insurjensi


Strategi insurjensi dapat diartikan sebagai strategi
yang pada umumnya digunakan para kaum minoritas
demi menjatuhkan kekuasaan atas pemerintah yang
dirasa kurang menguntungkan semua pihak. Hasil
konflik dari aksi insurjensi ini bertujuan untuk merebut
kekuasaan atau untuk berpisah dengan negara dimana ia
berada. Contohnya seperti apa yang dilakukan kaum
Kurdi sekarang dan dari reaksi counter-insurgent yang
bertujuan untuk menjaga kekuasaannya. Pada titik ini,
terdapat perbedaan yang signifikan yang mulai meluas di
antara insurjensi dan counter-insurgent. Insurjensi
adalah gerakan mencari kebijakan politik di dalam
sebuah negara dengan segala cara (Clausewitz dalam
Galula, 2006). Hal ini tidak seperti perang biasanya,
insurjensi dengan kata lain adalah kelanjutan dari sebuah

193
politik karena insurjensi bisa dimulai jauh sebelum
insurjen menggunakan kekuatannya. Maka secara
umum, insurjensi dimaknai sebagai sebuah perlawanan
suatu kelompok terhadap pihak otoritas secara sengaja
dan sadar dengan menggunakan politik sebagai alatnya,
berupa ahli organisasi, propaganda dan demonstrasi.

Situasi yang Dihadapi Strategi Insurjensi


Galula (2006) menjelaskan bahwa terdapat
setidaknya tiga cara untuk dapat memperoleh kekuasaan
secara paksa, yaitu revolusi, plot, dan juga
pemberontakan. Revolusi merupakan cara yang
cenderung tiba-tiba, singkat, spontan, dan juga tidak
direncanakan. Revolusi ini dapat dijelaskan namun tidak
dapat diprediksi akan bagaimana keberlanjutannya
(Galula, 2006). Kemudian, plot diartikan sebagai
tindakan rahasia oleh para pemberontak yang juga tidak
melibatkan massa yang terlalu banyak. Meskipun
memerlukan persiapan yang lama, tindakan dari plot ini
berjalan singkat serta bersifat gambling (Galula, 2006).
Sementara itu, pemberontakan sendiri merupakan suatu
perjuangan yang berkelanjutan dan dilakukan secara

194
terencana untuk menggulingkan tatanan yang ada.
Pemberontakan nyatanya lebih sulit diprediksi
dibandingkan dengan revolusi dan juga lambat untuk
berkembang (Galula, 2006).
Selanjutnya, terdapat dua unsur penting pada
perang revolusioner, yaitu pihak pemberontak dan juga
pihak counter-insurgent atau anti-pemberontakan. Pihak
pemberontak mampu memulai peperangan dan juga
bebas menentukan aksinya, sedangkan pihak anti-
pemberontakan harus menunggu tindakan dari pihak
pemberontak terlebih dahulu sebelum menentukan
tindakan (Galula, 2006). Salah satu strategi yang
dilakukan oleh pemberontak yakni dengan memisahkan
penduduk dengan pemerintah agar penduduk tersebut
dapat memberi dukungan terhadap gerakan pemberontak
(Galula, 2006). Selain itu, perbedaan juga terlihat pada
kekuatan yang mana kekuatan milik militer pemerintah
jauh lebih kuat dibandingkan dengan pasukan
pemberontak. Perbedaan yang lain adalah langkah yang
dilakukan kedua belah pihak. Pihak pemberontak
cenderung melakukan upaya untuk menimbulkan
kekacauan pada masyarakat, dimana langkah ini

195
merupakan langkah yang tidak memakan banyak biaya.
Di lain pihak, pemerintah harus mengeluarkan biaya
yang banyak untuk mencegah atau mengatasi kekacauan
yang terjadi (Galula, 2006). Perbedaan yang terakhir
adalah pihak pemberontak bentuknya dapat berubah-
ubah karena tidak terikat dengan tanggungjawab ataupun
suatu aset, sedangkan pihak anti-pemberontakan lebih
bersifat kaku karena terikat pada dua hal tersebut.
(Galula, 2006).

Isu-isu yang Menjadi Inti Perdebatan Strategi


Insurjensi
Lebih lanjut, Galula (2006) menjelaskan
mengenai dua pola umum dari insurgensi yang berasal
dari perang-perang revolusioner. Salah satunya didasari
oleh teori dan pengalaman Komunis Tiongkok yang
ditawarkan oleh Liu Shao-chi sebagai cetak biru di
negara-negara kolonial dan semi kolonial. Beberapa
faktor yang mendorong kemenangan Komunis Tiongkok
ialah bersatunya kelas pekerja dengan kelas-kelas lain,
partai politik, serta organisasi lain yang turut
menghendaki pelepasan diri dari imperialisme. Partai

196
Komunis lah yang menjadi pusat dari penyatuan
kekuatan-kekuatan ini dalam melawan imperialisme,
yakni dengan berbasis teori Marxis-Leninis. Pergerakan
massa yang diinisiasi pun dikendalikan oleh bala tentara
yang dibentuk oleh Partai Komunis. Dari contoh Partai
Komunis Tiongkok, Galula (2006) membagi insurgensi
menjadi dua pola umum yakni pola komunis dan pola
borjuis-nasionalis.
Pola yang dianut oleh komunis merupakan pola
ortodoks yang beranggapan bahwa revolusi tak hanya
dicapai dengan menggulingkan tatanan yang sebelumnya
berkuasa namun juga dengan menghadirkan transformasi
komunis secara total di negara yang bersangkutan
dengan beberapa tahapan. Tahapan pertama ialah
creation of a party atau pembentukan partai dengan basis
komunis, karena partai dinilai sebagai instrumen dasar
dari segala proses. Tahapan kedua ialah pembentukan
united front, yakni melalui pengumpulan aliansi dengan
strategi bloc without. Partai Komunis perlu mencari
aliansi namun tanpa perlu menggabungkan diri dengan
aliansi-aliansinya. Tahapan ketiga ialah guerilla warfare
atau peperangan gerilya, yakni usaha untuk mencapai

197
kekuasaan ketika permainan partai dan sunbersi dirasa
tidak cukup. Karenanya, Partai Komunis Tiongkok
merasa bahwa memiliki bala militer adalah hal yang
dibutuhkan. Gerilya menunjukkan bahwa liberasi tidak
dijanjikan maupun dicapai dengan kompromi, sehingga
kemenangan yang dicapai bersifat penuh dan orotitas
yang didapat menjadi absolut. Tahapan keempat ialah
movement warfare atau peperangan pergerakan, yakni
mengarahkan pasuka gerilya menjadi pasukan umum
karena bala tentara umum dapat mentransformasi
kekuatan batalion. Strategi insurjen dapat dilancarkan
dengan menggambar pola-pola teritorial mulai dari basis
umum, basis gerilya, area gerilya, hingga area
pendudukan. Tahapan kelima ialah annihilation
campaign atau kampanye anihilasi, yakni usaha untuk
mencapai balance of power melalui soliditas struktur
politik. Kampanye diadakan untuk mengukuhkan
persatuan populasi dalam internal partai dan
mempertahankan superioritas insurjen (Galula, 2006).
Selain pola ortodoks, para borjuis-nasionalis
menawarkan pola lain yang dapat menjadi jalan pintas
dalam insurjensi. Akan tetapi, pola ini terbatas pada

198
pencapaian kekuasaan sehingga masalah-masalah pos-
insurjensi menjadi agenda yang belum distrategikan.
Tahapan pertama adalah blind terrorism dengan tujuan
agar pergerakan yang dijalankan beserta dampaknya
mendapat publisitas luas sehingga dapat meraup
pendukung yang lebih besar. Hal ini dilancarkan dengan
terorisme acak, pengeboman, pembakaran, hingga
pembunuhan yang terkonsentrasi, terkoordinasi, dan
tersinkronisasi. Tahapan kedua adalah selective
terrorism dengan tujuan mengisolasi kekuatan
kontrainsurgensi dari massa serta melibatkan populasi
dalam pergerakannya. Usaha ini dilakukan untuk
memutuskan segala kontak kekuatan kontrainsurgensi
dengan pihak luar, baik itu massa maupun aliansi-
aliansinya. Ketika tujuan-tujuan ini telah tercapai, pola
dari gerilya insurgen dan mobilisasi populasi dapat
dilanjutkan serta bila perlu dapat menggunakan pola-
pola ortodoks (Galula 2006).

Pendekatan yang Dikembangkan Strategi Insurjensi


Dalam kaitannya dengan stratejik, insurjensi dan
counter-insurgent memiliki hubungan yang asimetris.

199
Ketika pihak insurjensi dapat dengan leluasa bergerak
dengan bebas dalam melakukan pemberontakan, pihak
counter-insurgent memiliki aset-aset dan tanggungjawab
yang harus tetap dijaga. Dalam kaitannya dalam perang
maupun revolusi, pihak revolusi yang melakukan
pemberontakan tidak memiliki hal yang harus dijaga dan
dapat bermanuver dengan bebas. Sedangkan pihak
counter-insurgent memiliki aset nyata yang harus
dilindungi seperti badan administrasi dan pusat
keuangan. Selain itu, insurjensi jauh lebih murah
daripada counter-insurgent. Insurjensi juga memiliki
sifat yang lebih bebas daripada counter-insurgent yang
mana insurjensi tidak memiliki aset atau tanggungjawab
yang harus dijaga. Selain dalam stratejik insurjensi salah
satu cara lain yang hanya dapat digunakan oleh insurjen
adalah melalui propaganda. Propaganda digunakan untuk
menarik massa yang besar demi terjadinya insurjensi
atau bahkan revolusi. Dikarenakan sifat insurjen yang
bebas, insurjen dapat melakukan kebohongan, trik dan
lain sebagainya demi mempermudah jalannya.
Sedangkan counter-insurgent tidak bisa melakukan hal
tersebut karena ia terkait fakta-fakta dan tanggungjawab

200
di masa lalunya, bila ia berbohong maka akan langsung
merusak citranya dan memperburuk keadaan yang ada.

Kesimpulan
Berdasar penjelasan di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa strategi insurgensi adalah strategi
yang digunakan oleh kaum minoritas yang merasa
bahwa ada yang salah dalam pemerintahan sehingga
mereka melakukan gerakan perlawanan atau
pemberontakan. Adanya perlawanan ini bisa dilakukan
melalui tiga cara, yakni revolusi, plot atau kudeta, dan
pemberontakan. Dalam insurjensi ini sendiri ada dua
pola yang bisa dilakukan yakni melalui pola komunis,
atau pola nasionalis-borjuis. Akan tetapi strategi yang
muncul kemudian tidak hanya tentang insurjensi tetapi
juga bagaimana cara melawannya atau yang biasa
dikenal dengan counter-insurgent.

Pertanyaan Arahan:
Apa pengertian dari strategi insurjensi? Situasi
apa yang dihadapinya? Isu-isu apa saja yang menjadi inti

201
perdebatannya? Pendekatan stratejik apa saja yang
dikembangkannya?

Kata Kunci: Insurjensi, counter-insurgent, revolusi,


plot, pemberontakan

Referensi:
Cassidy, Robert M. 2008. Success in
Counterinsurgency, dalam Counterinsurgency
and the Global War on Terror: Military Culture
and Irregular War, Stanford: Stanford Security
Studies, pp. 127-163
Galula, David. 2006. Revolutionary War: Nature and
Characteristics, dalam Counterinsurgency
Warfare: Theory and Practice. London: Praeger
Security International, pp. 1-10
___________________. the Prerequisites for a
Successful Insurgency, dalam Counterinsurgency
Warfare: Theory and Practice. London: Praeger
Security International, pp. 11-28
___________________. the Insurgency Doctrine,
dalam Counterinsurgency Warfare: Theory and

202
Practice. London: Praeger Security International,
pp. 29-47

203
Satuan Acara Pembelajaran
BAB X

Pokok Bahasan:
Strategi Media: Seni Cipta-Kelola Peluang dalam
Situasi Hegemonik

Sub Pokok Bahasan:


- Pengertian Strategi Media
- Situasi yang Dihadapi Strategi Media
- Isu-isu yang Menjadi Inti Perdebatan Strategi
Media
- Pendekatan yang Dikembangkan Strategi Media

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa diharapkan tidak hanya mampu
mengetahui apa yang disebut strategi media dan mampu
mengetahui penciptaan peluang dalam situasi
hegemonik, namun juga mampu memperoleh
pemahaman khusus yakni mampu menerapkan intisari

204
dan falsafah dari strategi media dalam mengatasi
masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Metode Pembelajaran:
Perkuliahan dimulai dengan presentasi empat
kelompok yang menjelaskan mengenai pokok bahasan
dan sub-sub pokok bahasan mengenai strategi media
melalui pandangan-pandangan dari berbagai scholar
yang berbeda. Kelompok penyaji mempresentasikan dan
menjelaskan mengenai pengertian strategi media, situasi
yang dihadapinya, isu-isu apa saja yang menjadi inti
perdebatannya dan perkembangan pendekatan stratejik
dari strategi media. Kemudian sesi diskusi tanya jawab
akan berlangsung selama 75 menit. Selama sesi diskusi,
kelompok panelis dan pengamat dipersilahkan untuk
mengajukan pertanyaan dan memberikan opini terkait
materi yang disajikan oleh kelompok penyaji. Setelah
sesi diskusi tanya jawab, kelas memasuki sesi ceramah.
Dosen memberikan ceramah mengenai materi selama
waktu yang masih ada.

Pertanyaan Arahan:

205
Apa pengertian dari strategi media? Situasi apa
yang dihadapinya? Isu-isu apa saja yang menjadi inti
perdebatannya? Pendekatan stratejik apa saja yang
dikembangkannya?

Referensi:
Cull, Nicholas J. 2008. Public Diplomacy: Taxonomies
and Histories, Annals of the American Academy of
Political and Social Sciences, Vol. 616, pp. 31-54
Doob, Leonard W. 1950. Goebbels Principles of
Propaganda, the Public Opinion Quarterly, Vol.
14, No. 3, pp. 419-442
Lynch, March. 2006. Al-Qaedas Media Strategies, the
National Interest, No. 83, pp. 50-56
Waller, J. Michael. 2007. Wartime-Message Making:
An Immediate-Term Approach, dalam Fighting
the War of Ideas Like a Real War, Washington D.
C.: the Institute of World Politics Press, pp. 19-37

206
BAB X
Strategi Media: Seni Cipta-Kelola Peluang
dalam Situasi Hegemonik

Pendahuluan
Konsepsi strategi pada penerapannya tidak hanya
dijalankan dalam konteks perebutan kemenangan
melalui kontak fisik atau dengan kata lain adalah
penggunaan senjata militer. Era globalisasi yang
memungkinkan pertukaran informasi dengan cepat
melewati batas ruang dan waktu memaksa para aktor
internasional harus dapat menemukan strategi yang bisa
memaksimalkan pencapaian kepentingannya.
Penggunaan media disini erat kaitannya dengan
diplomasi publik yang biasanya digunakan oleh negara.
Bahkan individu pun dapat turut berpartisipasi melalui
agitasi dan distorsi informasi dan pesan yang coba
dibangun oleh Amerika Serikat melalui diplomasi
publik. Amerika Serikat menggunakan diplomasi publik
sebagai strategi komunikasi dalam membangun persepsi
dan hubungan jangka panjang (Waller, 2007). Dalam hal

207
ini, media memiliki peran signifikan karena menjadi
sarana pertukaran informasi. Diplomasi publik dan
strategi komunikasi yang baik dalam mendukung upaya
perang dan kepentingan nasional di masa kini
memerlukan suatu hal yang dapat memantiknya.
Perebutan persepsi masyarakat oleh aktor-aktor tertentu
kemudian menjadi alasan utama dalam penggunaan
media sebagai salah satu strategi yang digunakan.

Pengertian Strategi Media


Amerika Serikat adalah salah satu aktor yang
berusaha untuk menggunakan strategi media guna
mencapai tujuannya. Waller (2007) kemudian
menjelaskan bahwa usaha Amerika Serikat ditujukan
untuk membentuk persepsi dunia terhadap kehadiran
Amerika Serikat sebagai aktor hegemon melalui
penyebaran ide-ide yang dimilikinya dengan
menggunakan diplomasi publik sebagai strateginya.
Diplomasi publik yang dimaksud tersebut dapat
dikatakan sebagai suatu usaha komunikasi yang
dijalankan oleh pemerintah Amerika Serikat dengan
masyarakat dunia. Saat ini, diplomasi publik tersebut

208
telah dikombinasikan dengan disiplin yang lebih luas
dan lebih dikenal sebagai strategi komunikasi (Waller,
2007). Strategi media yang dijalankan oleh Amerika
Serikat dalam membentuk persepsi dunia tentunya
memiliki implikasi tersendiri terhadap kondisi
perpolitikan dunia.
Diplomasi publik memiliki definisi bermacam-
macam bergantung pada perspektif dalam melihat misi
yang terkandung di dalamnya. Di satu sisi diplomasi
publik merupakan soft power, di sisi lain dapat menjadi
perang psikologi dan politik (Waller, 2007). Berkaitan
dengan psikologi karena situasi wartime message antara
negara hegemon dengan oposisi mendorong
dilakukannya upaya-upaya untuk mempengaruhi emosi,
penalaran, dan simpati publik. Diplomasi publik sendiri
bergantung pada aspek keterbukaan dan kepercayaan
serta tidak menggunakan unsur ancaman, intimidasi,
maupun paksaan. Waller (2007) merumuskan formula
wartime message yakni soft policy untuk menyebarkan
tujuan dengan nada yang positif dan penuh harapan,
penggunaan bahasa dan budaya yang tepat, serta
penggunaan strategic influence. Bila perang gagasan

209
merupakan pertentangan kehendak, dan kehendak
manusia berpusat di otak, maka target dalam perang ini
adalah pikiran. Sehingga harus menemukan situasi yang
menghasilkan hasil yang sama atau lebih unggul melalui
konsentrasi yang lebih besar pada politik dan psikologi
(Waller, 2007). Strategi informasi kemudian harus
dirancang untuk memecah belah musuh dengan
mengupas lapisan luar oposisi sebagai lapisan yang
paling lemah, kemudian semakin mendekati inti.
Tentunya semakin mendekati inti maka akan semakin
susah, pada saat itulah penggunaan kekuatan militer
diperlukan.

Situasi yang Dihadapi Strategi Media


Nicholas Cull (2008) dalam artikelnya yang
berjudul Public Diplomacy, Taxonomies and Histories
mencoba menjelaskan bagaimana komponen-komponen
dari diplomasi publik yang dilakukan oleh aktor-aktor
internasional dalam mempengaruhi masyarakat yang ada
pada wilayah lain. Diplomasi publik menjadi sebuah hal
yang marak dilakukan khususnya pada masa Perang
Dingin oleh kedua blok yang berseteru yakni Uni Soviet

210
dan Amerika Serikat. Cull (2008) mengklasifikasikan
diplomasi publik menjadi lima komponen yaitu;
listening, advokasi, diplomasi kultural, pertukaran, dan
siar media internasional. Kelimanya memiliki interaksi
yang berkomplementer satu sama lain.
Listening atau mendengarkan merupakan sebuah
bentuk dasar dari setiap komponen yang ada, yang mana
mendengarkan berfungsi untuk mengumpulkan
informasi yang beredar dari masyarakat dan mengambil
perspektif yang ditarik dari masyarakat mengenai
informasi tersebut guna menyebarkan diplomasi
publiknya lebih luas dan lebih efektif (Cull, 2008). Tidak
hanya untuk diplomasi, namun komponen mendengarkan
juga dapat dijadikan sebagai bentuk intelijen bagi sebuah
aktor baik aktor negara maupun non-negara. Komponen
mendengarkan ini dapat digunakan untuk melakukan
reformasi diplomasi publik secara perlahan dalam kurun
waktu yang panjang. Namun nyatanya tidak banyak
aktor yang menggunakan bentuk mendengarkan ini guna
mereformasi diplomasi publik, terkadang Switzerland
sering melakukan eksperimen mengenai komponen
mendengarkan ini (Cull, 2008). Eksperimen ini

211
dilakukan khususnya oleh karena citra Switzerland paska
diketahuinya sektor perbankan Switzerland yang
mengatur dan menyimpan emas pada masa Nazi
sehingga pemerintah mendirikan sebuah unit yang
bernama Presence Switzerland atau PRS. PRS
melalukan risetnya dengan melakukan survey kepada
masyarakat negara targetnya yang menggunakan metode
analisis dan polling yang nantinya data yang diambil
akan digunakan untuk memposisikan ulang citra
Switzerland tersebut yang mana terbukti dengan
kembalinya posisi bank Switzerland yang dipercayai
oleh negara-negara lain (Cull, 2008)
Komponen kedua merupakan advokasi yang
mana merupakan sebuah bentuk dasar dari diplomasi
publik. Advokasi merupakan sebuah bentuk diplomasi
yang menjaga hubungan dengan aktor lain khususnya
pada sebuah isu tertentu atau kebijakan tertentu (Cull,
2008). Pada masa kini advokasi dilakukan dalam bentuk
kantor media pada sebuah perwakilan kedutaan besar
negara asing. Contoh yang dapat diberikan mengenai
advokasi ini adalah bagaimana Amerika Serikat mampu
menempatkan senjata nuklirnya di Eropa guna

212
menyaingi penempatan nuklir Uni Soviet di Eropa
Tengah. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan
perubahan citra publik dan menyakinkan masyarakat
setempat untuk penempatan nuklir di wilayahnya (Cull,
2008). Komponen ketiga adalah diplomasi kultural yang
mana diplomasi kultural bertujuan untuk menyebarkan
gaya hidup masyarakat dalam sebuah negara sehingga
membawa sebuah gelombang kultur baru (Cull, 2008).
Diplomasi kultural merupakan sebuah bentuk diplomasi
publik yang lebih berdampak dalam perubahan
perspektif masyarakat mengenai sebuah negara
khususnya dalam jangka panjang. Salah satu contoh
yang terkenal adalah eksibisi foto yang berjudul The
Life of Man yang mana merupakan salah satu bentuk
diplomasi kultural Amerika Serikat yang mendorong dan
menonjolkan gaya hidup di Amerika Serikat (Cull,
2008). Diplomasi kultural hingga saat ini masih menjadi
sebuah panutan khususnya dengan bagaimana banyak
masyarakat masih mengikuti tren gaya hidup hingga
gaya berpakaian yang dipakai oleh selebritas di Amerika
Serikat.

213
Komponen keempat adalah pertukaran
masyarakat. Disini pertukaran masyarakat ditargetkan
kepada pelajar khususnya dalam aspek pembelajaran
teknologi di antara dua negara. Pertukaran ini
menargetkan meningkatnya hubungan bilateral di antara
dua negara sehingga hubungan mereka kokoh dan dapat
dikembangkan dalam bentuk hubungan yang lebih baik
kedepannya (Cull, 2008). Pada masa kini bentuk
pertukaran ini menjadi sebuah hal yang marak yang
mana di Indonesia terdapat berbagai beasiswa yang
tersedia baik dari wilayah manapun contohnya adalah
Beasiswa Erasmus dari Belanda, Beasiswa Fullbright
dari Amerika Serikat, dan masih banyak lagi beasiswa
yang ada. Yang mana contoh-contoh tersebut menjadi
salah satu pemerkokoh hubungan di antara negara
Indonesia dengan negara-negara tersebut.
Komponen yang terakhir adalah penggunaan
media telekomunikasi internasional guna menyebarkan
informasi melalui media telekomunikasi yang ada seperti
radio, televisi maupun internet (Cull, 2008). Komponen
ini berbeda berusaha membentuk opini masyarakat
khususnya melalui berita. Pada masa kini berita yang ada

214
merupakan salah satu bentuk bagaimana opini
masyakarat mengenai sebuah isu atau fenomena
terbentuk dalam kurun waktu yang cepat namun
memiliki dampak jangka panjang yang besar. Contohnya
adalah bagaimana perusahaan televisi Amerika Serikat
bekerjasama dengan perusahaan televisi di Eropa guna
membendung pengaruh komunisme yang terus
menyebar. Kelima komponen ini menjadi sebuah
komponen krusial bagi diplomasi publik khususnya
apabila ingin memberikan citra yang baik mengenai
sebuah negara dan merubah citra tersebut dalam kurun
waktu yang singkat.

Isu-isu yang Menjadi Inti Perdebatan Strategi Media


Strategi media yang dijalankan oleh Amerika
Serikat dalam membentuk persepsi dunia tentunya
memiliki implikasi tersendiri terhadap kondisi
perpolitikan dunia. Secara lebih lanjut, Waller (2007)
menjelaskan bahwa perkembangan teknologi informasi
dan proliferasi media telah menyamaratakan kondisi
antara Amerika Serikat dengan negara-negara yang
memiliki kekuatan kecil dan dengan organisasi non-

215
pemerintah. Terlihat bahwa kemudian strategi media
yang dijalankan oleh Amerika Serikat menunjukkan
adanya upaya untuk dapat membentuk persepsi dunia
mengenai hegemoni Amerika Serikat dan tentunya untuk
dapat mencapai tujuan yang diinginkan yakni
menyebarkan nilai-nilai yang diyakininya.
Strategi media dijalankan oleh Amerika Serikat
pada hakikatnya digunakan untuk dapat memperbaiki
citra Amerika Serikat sendiri pasca terjadinya peristiwa
9/11 yakni pengeboman gedung WTC dan pentagon
sebagai ikon ekonomi dan pertahanan Amerika Serikat
oleh kelompok teroris. Dalam upayanya untuk
memperbaiki citra sebagai negara hegemon kemudian
Amerika Serikat menggunakan strategi media untuk
dapat mencapai hal tersebut. Secara lebih lanjut, Waller
(2007) menjelaskan bahwa untuk mendapatkan hasil
yang cepat, diplomasi publik yang baik dan strategi
komunikasi dalam mendukung upaya perang perebutan
persepsi diperlukan sebuah pemercepat. Hal tersebut
memang tidak dapat dipungkiri bahwa Amerika Serikat
merasa perlu untuk mengembalikan citranya sebagai
negara hegemon guna menciptakan stabilitas dunia.

216
Waller (2007) kemudian menjelaskan bahwa
terdapat pendekatan ganda dalam strategi ini yang
merupakan kombinasi antara pendekatan tradisional
diplomasi publik dengan faktor pemercepat. Diplomasi
publik yang dijalankan mengandung beberapa unsur
yakni hubungan jangka panjang, mempromosikan citra
baik, memaparkan atau menceritakan sejarah, pengikatan
dalam sebuah dialog, mendiskusikan perbedaan,
menyelesaikan ketidakpahaman, membangun hubungan,
memunculkan harapan dan moral, menjadi seorang
teman, dan bekerjasama sebagai teman. Unsur-unsur
tersebut ditambahkan beberapa aspek yang mampu
mempercepat keberhasilan diplomasi publik yakni
menciptakan kebutuhan dengan segera, menyerang citra
lawan, mengabaikan sejarah lawan, mengambil alih
bahasa, mendiskusikan musuh atau lawan saat ini,
mencapai pemahaman yang memungkinkan, membagi
kritik, mematahkan permusuhan, menjadi musuh dari
musuh, dan mampu berkolaborasi sebagai aliansi
(Waller, 2007). Dengan penggunaan unsur-unsur
tersebut dalam diplomasi publik, diharapkan mampu
mempercepat keberhasilan diplomasi publik yang

217
dijalankan oleh suatu aktor atau dalam hal ini adalah
Amerika Serikat. Waller (2007) juga menyebutkan
bahwa penggunaan strategi yang dijalankan oleh
Amerika Serikat tersebut akan mampu mempercepat
pembentukan persepsi internasional, opini, dan perilaku
Amerika Serikat dan juga musuh-musuhnya untuk tujuan
perang.

Pendekatan yang Dikembangkan Strategi Media


Diplomasi publik selalu menggunakan media
dalam penyampaiannya. Media pada abad ke-21
mengalami percepatan yang masif. Hal ini tidak
terhindarkan dari adanya perkembangan teknologi
informasi yang menyebabkan jangkauan informasi
meluas. Perkembangan teknologi informasi ini kemudian
memungkinkan seseorang untuk mendapatkan informasi
dengan cepat. Namun dalam hal ini, percepatan
informasi kemudian diiringi dengan akurasi yang
melemah. Hal ini terjadi karena akses informasi yang
sama kemudian memungkinkan setiap orang untuk
menginformasikan berbagai hal dalam waktu yang sama
sehingga terjadi penumpukan informasi. Menyikapi

218
permasalahan media saat ini, sangat perlu untuk
mengaplikasikan prinsip-prinsip propaganda Goebbels
untuk menguasai keadaan. Salah satu prinsip Goebbels
dalam menyampaikan propaganda adalah masalah waktu
dalam menyampaikan propaganda-propaganda tersebut.
Dalam hal ini, efektivitas dari kondisi dan situasi yang
ada merupakan pokok penting suatu propaganda dapat
berpengaruh. Menurut Doob (1950), terdapat tiga prinsip
yang dapat diambil dalam menyampaikan propaganda.
Pertama, komunikasi yang dilakukan harus sampai pada
audience daripada dengan propaganda pihak musuh.
Kedua, kampanye propaganda harus dimulai pada
momen yang tepat, dan ketiga tema propaganda harus
diulang-ulang, tetapi tidak dengan mengurangi
efektifitasnya.

Kesimpulan
Berdasar penjelasan di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa salah satu strategi yang dapat
digunakan negara dalam memanfaatkan media adalah
dengan menggunakan diplomasi publik, yang mana
sasaran dari diplomasi publik tidak hanya pemerintah

219
suatu negara tapi juga masyarakatnya. Diplomasi publik
merupakan diplomasi yang sering digunakan untuk
memperluas persebaran ideologi, propaganda, dan hal-
hal berbau politik lainnya. Hal tersebut dikarenakan
diplomasi publik memiliki lima elemen penting yang
memudahkan diplomasi publik itu sendiri, yaitu
listening, advocacy, cultural diplomacy, exchange
diplomacy, dan international broadcasting. Adanya
fenomena globalisasi yang membuat komunikasi dan
interaksi seluruh aktor di dunia semakin mudah juga
mendukung praktik dari diplomasi publik sendiri.
Berdasarkan kelima elemen diplomasi publik tersebut,
terlihat bagaimana media dan teknologi memegang
peranan penting dalam mencapai kepentingan suatu
negara.

Pertanyaan Arahan:
Apa pengertian dari strategi media? Situasi apa
yang dihadapinya? Isu-isu apa saja yang menjadi inti
perdebatannya? Pendekatan stratejik apa saja yang
dikembangkannya?

220
Kata Kunci: Media, diplomasi publik, ideologi,
propaganda

Referensi:
Cull, Nicholas J. 2008. Public Diplomacy: Taxonomies
and Histories, Annals of the American Academy of
Political and Social Sciences, Vol. 616, pp. 31-54
Doob, Leonard W. 1950. Goebbels Principles of
Propaganda, the Public Opinion Quarterly, Vol.
14, No. 3, pp. 419-442
Waller, J. Michael. 2007. Wartime-Message Making:
An Immediate-Term Approach, dalam Fighting
the War of Ideas Like a Real War, Washington D.
C.: the Institute of World Politics Press, pp. 19-37

221
Satuan Acara Pembelajaran
BAB XI

Pokok Bahasan:
Strategi Bisnis: Seni Cipta-Kelola Peluang dalam
Situasi Kompetitif

Sub Pokok Bahasan:


- Pengertian Strategi Bisnis
- Situasi yang Dihadapi Strategi Bisnis
- Isu-isu yang Menjadi Inti Perdebatan Strategi
Bisnis
- Pendekatan yang Dikembangkan Strategi Bisnis

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa diharapkan tidak hanya mampu
mengetahui apa yang disebut strategi bisnis dan mampu
mengetahui penciptaan peluang dalam situasi kompetitif,
namun juga mampu memperoleh pemahaman khusus
yakni mampu menerapkan intisari dan falsafah dari

222
strategi bisnis dalam mengatasi masalah dalam
kehidupan sehari-hari.

Metode Pembelajaran:
Perkuliahan dimulai dengan presentasi empat
kelompok yang menjelaskan mengenai pokok bahasan
dan sub-sub pokok bahasan mengenai strategi bisnis
melalui pandangan-pandangan dari berbagai scholar
yang berbeda. Kelompok penyaji mempresentasikan dan
menjelaskan mengenai pengertian strategi bisnis, situasi
yang dihadapinya, isu-isu apa saja yang menjadi inti
perdebatannya dan perkembangan pendekatan stratejik
dari strategi Bisnis. Kemudian sesi diskusi tanya jawab
akan berlangsung selama 75 menit. Selama sesi diskusi,
kelompok panelis dan pengamat dipersilahkan untuk
mengajukan pertanyaan dan memberikan opini terkait
materi yang disajikan oleh kelompok penyaji. Setelah
sesi diskusi tanya jawab, kelas memasuki sesi ceramah.
Dosen memberikan ceramah mengenai materi selama
waktu yang masih ada.

Pertanyaan Arahan:

223
Apa pengertian dari strategi bisnis? Situasi apa
yang dihadapinya? Isu-isu apa saja yang menjadi inti
perdebatannya? Pendekatan stratejik apa saja yang
dikembangkannya?

Referensi:
Aurik, John et. al. 2014. History of Strategy and Its
Future Prospects, A.T. Kearney Analysis, pp. 1-14
Ghemawat, Phankaj. 2002. Competition and Business
Strategy in Historical Perspective, the Business
History Review, Vol 76, No. 1, pp. 37-74
Porter, Michael E. 2011. the Five Competitive Forces
that Shape Strategy, HBRs 10 Must Reads on
Strategy, Boston: Harvard Business Review Press,
pp. 39-76

224
BAB XI
Strategi Bisnis: Seni Cipta-Kelola Peluang
dalam Situasi Kompetitif

Pendahuluan
Sebagaimana telah diketahui bahwa dengan
sifatnya yang dinamis, strategi mampu diterapkan dalam
berbagai bidang baik itu pemerintahan, militer, maupun
bisnis. Secara umum pada dasarnya baik strategi militer
maupun strategi bisnis berdasar pada hal yang sama,
yakni pencapaian keuntungan dari keputusan yang
dibuat. Hal yang membedakan hanya terletak pada
strategi militer biasa diimplementasikan dalam perang
yang memberikan dampak pada suatu negara, sementara
strategi bisnis lebih berfokus pada bagaimana aktor
dapat mencapai keuntungan maksimal bagi sebuah
perusahaan. Untuk mengetahui lebih lanjut perbedaan di
antara keduanya, pada pembahasan kali ini penulis akan
berfokus pada permasalahan mengenai kompetisi dan
strategi bisnis serta proses transformasinya yang berawal
dari strategi militer.

225
Pengertian Strategi Bisnis
Dalam artikelnya yang berjudul Business Policy
and Strategy as a Professional Field, J. C. Spender
(2001) seringkali menggunakan istilah Strategi dan
Kebijakan Bisnis atau biasa disebut Business Policy and
Strategy (BPS) saat membahas kompetisi dan strategi
bisnis. Pembahasan mengenai BPS tersebut telah dimulai
sejak Harvard Business School didirikan pada tahun
1909. Alasan mendasar dibentuknya BPS ini yakni
berusaha untuk menjembatani antara strategi militer
yang memiliki keteraturan dengan keperluan dari para
pengusaha untuk memperoleh pedoman yang baik demi
menghasilkan kebijakan yang tidak hanya
menguntungkan namun juga tepat guna serta mampu
membuat perusahaan mereka kuat menghadapi
kompetisi (Ghemawat, 2002). Beberapa poin penting
yang ditawarkan oleh BPS dalam kontribusinya terhadap
strategi bisnis yakni seperti pembentukan organisasi
dengan rancangan budayanya, menekankan aspek moral
dan pelaksanaannya, dan lain-lain. BPS juga lebih
bersifat praktikal sehingga dapat diterapkan oleh pelaku

226
bisnis dalam mencapai tujuannya. Spender (2001)
menambahkan bahwa BPS banyak diterapkan oleh
lapangan profesional sehingga banyak digunakan oleh
kaum eksekutif yang ada di dalam bisnis itu sendiri.
Namun demikian, sejak kemunculannya di tahun 1909
sampai di tahun 1950, BPS tidak mengalami
perkembangan yang signifikan dalam menghadapi
kompetisi dalam strategi bisnis sehingga keberadaannya
tidak lagi dianggap relevan.

Situasi yang Dihadapi Strategi Bisnis


Dalam sejarahnya strategi bisnis mengalami
dinamika perkembangan dengan munculnya berbagai
macam metode dan analisa bisnis diawali pada tahun
1950-an hingga tahun 1990-an. Ghemawat (2002)
menyatakan bahwa metode analisa kuantitatif yang
pertama kali dikembangkan pada tahun 1950-an
berusaha menegaskan peran dari seluruh unit maupun
sub-unit dan individu yang tergabung dalam bisnis untuk
mencapi tujuannya. Sementara metode Strength,
Weakness, Opportunity, dan Threat atau dikenal dengan
metode SWOT muncul pada tahun 1960-an yang dapat

227
dipahami pelaku bisnis dalam memeriksa kesiapan dan
kompetensi suatu perusahaan dengan menimbang
kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) terhadap
keadaan kompetisi di pasar yang umumnya terdiri dari
ancaman (threat) dan peluang (opportunity) yang ada di
sekitar kompetitor (Ghemawat, 2002). Memasuki era
tahun 1970-an, muncul kembali sebuah metode analisa
baru yakni penggunaan pertumbuhan perusahaan yang
berlandaskan saham yang ditanamkan para investor di
suatu perusahaan (Ghemawat, 2002). Kemudian di tahun
1980-an perkembangan studi strategi bisnis dapat terlihat
dari buku Michael Porter (1996) yang berjudul
Competitive Strategy. Dalam bukunya tersebut, Porter
(1996) menjelaskan bahwa kebanyakan pelaku bisnis
mengalami kegagalan karena tidak bisa membedakan
antara efektivitas operasional dengan strategi
manajemen. Porter (1996) menekankan pada pentingnya
aspek differentiation yang berarti jika pelaku bisnis ingin
berhasil maka ia harus membuat suatu produk atau
usahanya dalam bisnis berbeda dengan rivalnya. Hingga
pada tahun 1990-an strategi bisnis masih mengalami
perkembangan dengan fokus kepada penggunaan sumber

228
daya yang ada. Dengan demikian diharapkan sebuah
perusahaan dapat memelihara kualitas produknya
meskipun banyak kompetitor lain yang memproduksi
barang yang sama (Ghemawat, 2002).

Isu-isu yang Menjadi Inti Perdebatan Strategi Bisnis


Transformasi strategi militer menjadi strategi
bisnis dapat dianggap sebagai pembaharuan dengan
implementasi berbeda dari konsep strategi yang
ditawarkan oleh strategi militer. Pembaharuan tersebut
mampu tercermin dari berbagai macam indikator seperti
tujuan, aktor, instrumen, tempat penerapan, serta cara
yang dilakukan. Jika strategi militer bertujuan untuk
memenangkan peperangan, maka strategi bisnis
cenderung bertujuan pada bagaimana para pelaku bisnis
mampu bertahan dalam menghadapi kompetisi pasar.
Dari aspek aktor, dalam strategi militer aktor yang
berperan adalah seorang jenderal atau pemimpin dalam
perang, sedangkan dalam strategi bisnis aktornya adalah
para pemimpin dalam sebuah perusahaan. Melalui
indikator instrumen, instrumen yang digunakan dalam
strategi militer yakni sumber daya dalam berperang

229
seperti senjata dan pasukan perang, sementara strategi
bisnis menggunakan instrumen seperti sumber daya
alam, teknologi, ataupun mitra bisnis. Sedangkan dari
segi tempat penerapan, strategi militer menjalankan
aksinya pada medan perang, sementara strategi bisnis
berada dalam area pasar. Indikator yang terakhir yakni
cara yang dilakukan. Dalam strategi militer cara yang
dilakukan hanya berpusat pada cara klasik yang
ditawarkan oleh Sun Tzu berupa mempengaruhi aspek
psikologis lawan, atau cara modern a la Clausewitz
berupa penyerangan langsung. Di sisi lain, strategi bisnis
lebih mengandalkan seluruh power yang ada agar dapat
berkompetisi dalam persaingan pasar (Ghemawat, 2002).

Pendekatan yang Dikembangkan Strategi Bisnis


Tidak dapat dipungkiri bahwa strategi bisnis
mempunyai tingkat kompleksitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan strategi militer. Hal ini mengingat
jangkauannya yang lebih luas yakni pasar yang terdiri
dari berbagai macam selera masyarakat. Strategi bisnis
tidak mengenal adanya konsep zero sum game seperti
pada strategi militer. Strategi bisnis lebih menekankan

230
pada kompetisi yang mana tidak ada kemenangan dan
kekalahan mutlak karena masing-masing mempunyai
kreativitas dan inovasi yang dapat dikembangkan
(Spender, 2001). Konsekuensi lain dari adanya strategi
bisnis yakni pentingnya menjalin relasi dengan mitra
bisnis lainnya. Hal tersebut diperlukan mengingat
dengan melakukan kerjasama dengan perusahaan lain,
tujuan bisnis yang akan dicapai akan lebih mudah
dicapai sehingga dapat memaksimalkan keuntungan
yang diperoleh. Prahalad dan Hamel (1994)
menambahkan bahwa kompetisi dalam strategi bisnis
memunculkan para pesaing yang tidak terbatas
jumlahnya dan yang perlu diingat bahwa fokus utama
dari strategi bisnis adalah unit bisnis itu sendiri.

Kesimpulan
Berdasar penjelasan di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa strategi bisnis mampu diartikan
sebagai strategi yang diaplikasikan dalam kegiatan bisnis
untuk memperoleh keuntungan semaksimal mungkin
dengan usaha dan modal seminimal mungkin. Strategi
bisnis hadir sebagai respon terhadap kebutuhan dari

231
kalangan pebisnis untuk membuat perusahaan mereka
mampu memiliki performa yang lebih baik. Dalam
sejarahnya strategi bisnis mengalami dinamika
perkembangan dengan munculnya berbagai macam
metode dan analisa bisnis diawali pada tahun 1950-an
hingga tahun 1990-an. Transformasi strategi militer
menjadi strategi bisnis dapat dianggap sebagai
pembaharuan dengan implementasi berbeda dari konsep
strategi yang ditawarkan oleh strategi militer. Penulis
beropini bahwa dengan sifatnya yang dinamis, maka
strategi mampu diterapkan dengan baik dalam berbagai
bidang termasuk bisnis sekalipun. Hal ini yang kemudian
mampu dimanfaatkan para pelaku bisnis dalam
mengembangkan berbagai macam metode dan analisa
bisnis untuk mencapai keuntungan yang maksimal.

Pertanyaan Arahan:
Apa pengertian dari strategi bisnis? Situasi apa
yang dihadapinya? Isu-isu apa saja yang menjadi inti
perdebatannya? Pendekatan stratejik apa saja yang
dikembangkannya?

232
Kata Kunci: Bisnis, kuantitatif, SWOT, differentiation,
kompetisi

Referensi:
Ghemawat, Phankaj. (2002). Competition and Business
Strategy in Historical Perspective dalam The
Business History Review, Vol. 76, No. 1, pp. 37-74.
Porter, Michael E. (1996). What is Strategy? dalam
Harvard Business Review, November-December,
pp. 61-78.
Prahalad, C. K. dan Gary Hamel. (1994). Strategy as a
Field of Study: Why Search for a New Paradigm?
dalam Strategic Management Journal, Vol. 15, pp.
5-16.
Spender, J. C. (2001). Business Policy and Strategy as a
Professional Field dalam Volberda, H. W. dan
Tom Elfring (eds.). Rethinking Strategy. London:
SAGE Publications, pp. 26-40.

233
Satuan Acara Pembelajaran
BAB XII

Pokok Bahasan:
Strategi Global: Seni Cipta-Kelola Peluang
dalam Situasi Kontestatif

Sub Pokok Bahasan:


- Pengertian Strategi Global
- Situasi yang Dihadapi Strategi Global
- Isu-isu yang Menjadi Inti Perdebatan Strategi
Global
- Pendekatan yang Dikembangkan Strategi
Global

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa diharapkan tidak hanya mampu
mengetahui apa yang disebut strategi global dan mampu
mengetahui penciptaan peluang dalam situasi kontestatif,
namun juga mampu memperoleh pemahaman khusus
yakni mampu menerapkan intisari dan falsafah dari

234
strategi global dalam mengatasi masalah dalam
kehidupan sehari-hari.

Metode Pembelajaran:
Perkuliahan dimulai dengan presentasi empat
kelompok yang menjelaskan mengenai pokok bahasan
dan sub-sub pokok bahasan mengenai strategi global
melalui pandangan-pandangan dari berbagai scholar
yang berbeda. Kelompok penyaji mempresentasikan dan
menjelaskan mengenai pengertian strategi global, situasi
yang dihadapinya, isu-isu apa saja yang menjadi inti
perdebatannya dan perkembangan pendekatan stratejik
dari strategi Global. Kemudian sesi diskusi tanya jawab
akan berlangsung selama 75 menit. Selama sesi diskusi,
kelompok panelis dan pengamat dipersilahkan untuk
mengajukan pertanyaan dan memberikan opini terkait
materi yang disajikan oleh kelompok penyaji. Setelah
sesi diskusi tanya jawab, kelas memasuki sesi ceramah.
Dosen memberikan ceramah mengenai materi selama
waktu yang masih ada.

Pertanyaan Arahan:

235
Apa pengertian dari strategi global? Situasi apa
yang dihadapinya? Isu-isu apa saja yang menjadi inti
perdebatannya? Pendekatan stratejik apa saja yang
dikembangkannya?

Referensi:
Ghemawat, Pankaj. 2013. Globalization and Global
Problem Solving.
_______________. 2007. Managing Differences: The
Central Challenge of Global Strategy.
_____________________. Regional Strategies for
Global Leadership.
Ghoshal, Sumantra. 1987. Global Strategy: An
Organized Framework dalam Strategic
Management Journal, Vol. 8, No. 5, pp. 425-440

236
BAB XII
Strategi Global: Seni Cipta-Kelola Peluang
dalam Situasi Kontestatif

Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan
globalisasi telah memberikan pengaruh di setiap bidang
kehidupan. Begitu pula terhadap perkembangan dari
strategi, yang kemudian dikenal istilah strategi global.
Strategi global ini merupakan strategi bentuk baru
yang tentu berbeda dengan strategi konvensional seperti
yang diperkenalkan oleh Sun Tzu dan Clausewitz
melalui teori-teori mereka. Dewasa ini istilah globalisasi
telah menjadi umum dipakai dalam menggambarkan
fenomena kehidupan sehari-hari. Bahkan lebih dari lima
ribu buku yang terbit pada tahun 2000 sampai 2004
menggunakan istilah globalisasi sebagai judul
(Ghemawat, 2007). Dibandingkan pada tahun 1990-an,
istilah globalisasi bisa dibilang naik daun dan
kepopulerannya melipat ganda setiap delapan bulan.
Terlepas dari istilah globalisasi ataupun semigloblalisasi

237
yang berpengaruh terhadap strategi, lantas apa
sebenarnya yang dimaksud dengan strategi global? Dan
apa yang membadakannya dengan strategi
konvensional?

Pengertian Strategi Global


Layaknya dalam mendefinisi suatu hal pada
umumnya, tidak ada definisi pasti akan strategi global.
Namun setidaknya Pankaj Ghemawat (2007)
menjelaskan strategi global melalui sebuah konsep yang
dikenal dengan global creation value dengan enam
prinsip dari konsep tersebut, yang konsep tersebut juga
sebagai indikator pembeda strategi konvensional dengan
strategi global. Pertama adalah penambahan volume
strategi berdasarkan perbandingan dari perusahaan atau
organisasi dengan perkembangan yang ditunjukkan.
Kedua, pengurangan biaya yang tidak diperlukan dalam
operasional. Ketiga, diferensiasi ditingkatkan melalui
penambahan jenis produk barang ataupun jasa yang
ditawarkan. Keempat, peningkatan nilai atraktif yang
dihasilkan oleh perusahaan atau organisasi tersebut.
Kelima, memaksimalkan nilai efektif yang dapat dicapai

238
sesuai dengan kebutuhan. Keenam, memaksimalkan
penggunaan sumber daya yang ada dan menghasilkan
kembali sumber daya tersebut.

Situasi yang Dihadapi Strategi Global


Selanjutnya, perbedaan lain dari strategi global
dengan strategi konvensional juga disebutkan oleh
Michael E. Porter (2001) dalam karyanya yang berjudul
Strategy and the Internet. Porter (2001) menyebutkan
bahwa hal mendasar yang membedakan strategi global
dengan strategi konvensional adalah meningkatnya
penggunaan internet yang internet tersebut merupakan
produk dari adanya globalisasi. Internet dianggap
sebagai barang yang dimanfaatkan oleh setiap orang
yang berada dalam persaingan, sehingga membutuhkan
strategi. Dalam konteks strategi, Porter (2001) juga
menyebutkan bahwa cara aman yang perlu diperhatikan
dalam perumusan strategi adalah dengan melihat kepada
prinsip-prinsip fundamental yang tidak berubah, atau
dengan kata lain diharuskan melihat kepada hukum lama
yang tetap berlaku sepertli halnya siapa yang
performanya lebih baik diantara pihak yang terlibat

239
persaingan, maka dia yang kemudian menjadi pemenang
dari persaingan tersebut.

Isu-isu yang Menjadi Inti Perdebatan Strategi Global


Globalisasi merupakan fenomena kompleks yang
dianalogikan Mark Rupert (2006) sebagai Tasmanian
devil karena globalisasi dapat bersifat menguntungkan
sekaligus merugikan. Tidak ada yang tahu pasti bentuk
dari Tasmanian devil seperti halnya globalisasi,
namun melalui analogi tersebut dapat dipahami bahwa
globalisasi merupakan fenomena yang sulit diidentifikasi
bentuk, aspek, maupun pengaruhnya, sehingga menuntut
kejelian untuk memahami apa yang terjadi dan
menentukan respon yang tepat guna memperoleh
keuntungan dari proses tersebut. Berkaitan dengan studi
strategi yang dinamis, globalisasi tidak luput menjadi
proses monumental untuk menyesuaikan konsepsi
dengan fenomena aktual perkembangan peradaban.
Dunia melalui globalisasi cenderung semakin datar,
tidak berjarak, dan memiliki preferensi yang konvergen
sebagai agenda penciptaan pasar melalui liberalisasi dan
integrasi pasar dunia (Steger, 2002). Agenda tersebut

240
menjadikan produk termasuk strategi sebagai gagasan
manusia cenderung dirumuskan secara seragam
sehingga dapat diterapkan dalam segala konteks.
Ghemawat (2007) menentang paradigma tersebut
melalui gagasan mengenai semiglobalisasi, yakni
upaya skeptis untuk melihat lebih jeli dan mengkaji
ulang bahwa fenomena yang terjadi melampaui batas
teritorial dipengaruhi oleh faktor-faktor lokal. Gagasan
ini mampu mematahkan paradigma bahwa konvergensi
globalisasi akan berlaku pula terhadap keseragaman
solusi dan strategi, mengingat unsur esensial dari strategi
adalah uniqueness dan valuable yang tidak akan ditemui
dalam keseragaman. Kendati demikian, Ghemawat
(2007) tidak membantah adanya kemungkinan strategi
dalam lingkup global dengan memperhatikan faktor
berikut. Pertama adalah kemajuan teknologi informasi
seperti internet yang menyajikan akses mudah dan luas
sehingga informasi faktual tersedia untuk merumuskan
strategi yang efektif. Hal ini berimplikasi pada
keterjangkauan kebutuhan dan kepentingan di belahan
dunia manapun yang membuka peluang untuk bersaing.
Fitur inilah yang kemudian disebut Porter (2001) sebagai

241
hal yang baru dalam strategi era globalisasi, yakni
penggunaan internet yang semakin intens. Kedua adalah
respon otoritas negara dalam menyikapi globalisasi.
Negara dengan haluan skeptis dapat bertindak resisten
terhadap produk strategi yang dibawa globalisasi meski
tidak secara keseluruhan, mengingat globalisasi adalah
proses yang tidak terhindarkan. Sementara negara yang
berhaluan globalis akan membangun ruang kondusif
sehingga studi strategi dapat berkembang dengan
munculnya gagasan-gagasan baru.

Pendekatan yang Dikembangkan Strategi Global


Globalization apocalypse terbagi menjadi tiga,
yaitu flattening earth, death of distance dan convergence
of taste (Ghemawat, 2007). Berangkat dari
ketidaksetujuan terhadap tiga konsep diatas, Ghemawat
(2007) melahirkan istilah baru yaitu semiglobalisasi.
Terdapat dua elemen yang dapat dikombinasikan dalam
perumusan strategi yaitu perkembangan teknologi
informasi dan kebijakan suatu negara. Teknologi
informasi merupakan wadah dari infromasi yang
menyediakan ketersediaan berbagai macam barang dan

242
jasa. Keterbukaan informasi tersebut bertujuan untuk
menciptakan kesempatan baru untuk strategi baru. Ide-
ide baru akan tersebar lebih cepat dan mencakup
jangkauan yang lebih luas. Dengan begitu, negara-negara
miskin dapat mengakses informasi yang ada untuk
mengembangkan industrinya. Pada dasarnya,
keterbukaan informasi bertujuan untuk menyeimbangkan
antara yang besar dengan kecil dan kaya dengan miskin
(Ghemawat, 2007). Kebijakan suatu negara merupakan
penentu strategi pebisnis dalam pengembangan
bisnisnya. Keterbukaan kebijakan suatu negara
merupakan salah satu kunci integrasi antar negara dalam
ekonomi internasional.

Kesimpulan
Berdasar penjelasan di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa globalisasi merupakan sebuah
proses yang keberadaannya memberikan pengaruh
terhadap setiap bidang kehidupan, termasuk di dalamnya
dalam perumusan strategi. Pengaruh globalisasi terhadap
strategi pun kemudian menciptakan istilah baru berupa
strategi global yang berbeda dengan strategi

243
konvensional. Memang tidak ada definisi pasti akan
strategi global tersebut, namun secara umum dipahami
bahwa strategi global merupakan strategi dengan lingkup
yang lebih luas, yakni lingkup global, yang
mempertimbangkan keberadaan perkembangan
teknologi informasi utamanya internet dan kebijakan
suatu negara. Secara khusus, globalisasi yang kemudian
menyebabkan berkembangnya teknologi informasi dan
menghasilkan internet, dan peningkatan penggunaan
internet tersebut adalah indikator dasar yang
membedakan strategi global dengan strategi
konvensional.

Pertanyaan Arahan:
Apa pengertian dari strategi global? Situasi apa
yang dihadapinya? Isu-isu apa saja yang menjadi inti
perdebatannya? Pendekatan stratejik apa saja yang
dikembangkannya?

Kata Kunci: Global, globalisasi, global creation value,


internet

244
Referensi:
Ghemawat, Pankaj. 2007. Semiglobalization and
Strategy, in Redefining Global Strategy: Crossing
Border in a World Where Differences Still Matter.
Boston: Boston Harvard Business School Press.
Porter, Michael E. 2001. Strategy and the Internet.
Harvard Business Review.
Rupert, Mark dan M. S. Solomon. 2006. A Brief
History of Globalization, dalam Globalization and
International Political Economy. Oxford: Rowman
& Littlefield.
Steger, Manfred B. 2002. Globalism: The New Maket
Ideology. Oxford: Rowman & Littlefield.

245
Satuan Acara Pembelajaran
BAB XIII

Pokok Bahasan:
Strategi dan Stratejis

Sub Pokok Bahasan:


- Berpikir Stratejik
- Stratejis dan Kecakapannya
- Stratejis dan Pengambil Keputusan

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa diharapkan tidak hanya mampu
mengetahui cara berpikir stratejik, kompetensi yang
diperlukan untuk dapat bertindak sebagai stratejis dan
mampu mengetahui pengaruh yang dimiliki seorang
stratejis dalam proses pengambilan keputusan, namun
juga mampu mendapat pemahaman agar dapat
menerapkan kompetensi yang dijabarkan agar dapat
diterapkan di berbagai bidang kehidupan.

246
Metode Pembelajaran:
Perkuliahan dimulai dengan presentasi empat
kelompok yang menjelaskan mengenai pokok bahasan
dan sub-sub pokok bahasan mengenai strategi dan
stratejis melalui pandangan-pandangan dari berbagai
scholar yang berbeda. Kelompok penyaji
mempresentasikan dan menjelaskan mengenai stratejis
dan kecakapannya. Kemudian sesi diskusi tanya jawab
akan berlangsung selama 75 menit. Selama sesi diskusi,
kelompok panelis dan pengamat dipersilahkan untuk
mengajukan pertanyaan dan memberikan opini terkait
materi yang disajikan oleh kelompok penyaji. Setelah
sesi diskusi tanya jawab, kelas memasuki sesi ceramah.
Dosen memberikan ceramah mengenai materi selama
waktu yang masih ada.

Pertanyaan Arahan:
Apa yang dimaksud dengan berpikir stratejik?
Siapa yang dimaksud dengan seorang stratejis? Apa
yang dibutuhkan untuk menjadi seorang stratejis?
Apakah seorang stratejis merupakan seorang pengambil
keputusan?

247
Referensi:
Clausewitz, Carl von. 1997. the Genius for War, dalam
On War. Hertfordshire: Wordworth Classic of
World Literature, pp. 40-59
Craig, Gordon A. 1986. The Political Leader as
Strategist, dalam Peter Paret ed., Makers of
Modern Strategy: From Machiavelli to the Nuclear
Age, New Jersey; Princeton University Press, pp.
481-509
Liddel Hart, B.H. 1991. The Concentrated Essence of
Strategy and Tactics, dalam Strategy: the Classic
Book on Military Strategy, London: Meridian
Book, pp. 334-337
Ohmae, Kenichi. 1982. Four Routes to Strategic
Advantage, dalam The Mind of Strategist: the Art
of Japanese Business. New York. McGraw Hill,
pp. 36-88

248
BAB XIII
Strategi dan Stratejis

Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan globalisasi, arti
dari strategi turut mengalami perubahan, begitu pula
dengan siapa yang dimaksud dengan stratejis atau ahli
strategi itu sendiri. Pada era global memerlukan usaha
pencapaian tujuan ataupun penyelesaian masalah yang
efektif dan efisien. Dari sini pula lah dibutuhkan
seseorang yang mampu berpikir secara stratejik dalam
berbagai bidang. Studi strategi yang berkembang
mengikuti kemajuan peradaban manusia dapat
dikategorikan sebagai Cinderella concept, atau
preskripsi ideal namun lemah pada implementasi apabila
tidak didukung dengan kompetensi eksekutor yang
mumpuni. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki
seorang eksekutor strategi adalah berpikir dan bertindak
strategis, yakni kemampuan untuk mengoptimalkan
gagasan dan kontribusi aksi dalam merumuskan dan
mengimplementasikan keputusan.

249
Berpikir Stratejik
Untuk memiliki strategic thinking, Ohmae (1982)
mengatakan bahwa kemampuan krusial yang harus
dipunyai adalah analisis. Hal ini dikarenakan analisis
memungkinkan seseorang untuk dapat mensubtitusi self-
directed judgement menjadi other-directed way (Ohmae,
1982). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa strategic
thinking merupakan suatu proses berpikir yang analitik
mengenai bagaimana memahami dengan baik karakter-
karakter tertentu dari masing-masing elemen, yang
kemudian dibedah menjadi beberapa bagian dengan
tujuan untuk menemukan inti permasalahan atau isu
yang paling krusial, dan selanjutnya menyatukan
kembali bagian-bagian tersebut dalam bentuk baru yang
berbeda dengan bentuk awal yakni other-directed way
yang konkret dan signifikan, dengan tujuan menemukan
solusi yang berbeda dengan kompetitor lain sehingga
strategi yang di miliki tidak mudah ditebak. Ohmae
(1982) menekankan pula bahwa dengan menemukan
poin-poin yang krusial dan kritikal membantu kita dalam

250
menemukan solusi yang tepat agar usaha yang dilakukan
tidak berakhir dengan kegagalan dan frustasi.
Kemampuan lain yang harus dimiliki menurut
Ohmae (1982) adalah determining critical issue, dengan
cara memilah-milah masalah mana yang krusial dan
mana yang tidak. Dalam hal ini para stratejis harus
memiliki mental elasticity, artinya stratejis juga harus
bersifat fleksibel dalam menanggapi berbagai perubahan
dengan realistis. Selanjutnya adalah kemampuan
abstraksi yakni untuk memilah-milah permasalahan
kemudian mengelompokkannya menjadi satu masalah
tunggal yang paling krusial dari yang lainnya. Setelah itu
ada penentuan pendekatan untuk mencari solusi terbaik.
Setelah menemukan rumusan mengenai resolusi
masalah, harus dilakukaan analisis mendalam lagi untuk
memvalidasi solusi tersebut. Untuk mengimplementasi
solusi yang telah ditentukan, harus dipastikan solusi
tersebut tidak mudah ditebak oleh kompetitor dan juga
telah dipertimbangkan dengan baik oleh para pengambil
keputusan yang lain.
Ditambahkan pula oleh Clausewitz (1997) dua
kualitas pemikiran yang harus dimiliki dalam strategic

251
thinking. Pertama adalah coup doeil, yakni stratejis
harus bisa melihat segala kemungkinan yang terjadi
(mental eye), karena seorang stratejis akan menentukan
jalannya sebuah strategi dan resolusi yang berkaitan.
Adanya penentuan resolusi oleh seorang stratejis
mengartikan bahwa stratejis juga berperan sebagai
pengambil keputusan mengenai resolusi. Resolusi disini
merupakan hasil olah pikir dari seseorang yang
berintelektual tinggi yang mampu membuat sebuah
keputusan selayaknya decision makers (Clausewitz,
1997).

Stratejis dan Kecakapannya


Seorang stratejis disebut oleh Liddel Hart (1991)
adalah orang yang mampu mengelola kemampuannya
dalam berkonsentrasi mencapai tujuannya. Tidak hanya
itu, Liddle Hart (1991) juga menjabarkan dalam
artikelnya yang berjudul The Concentrated Essence of
Strategy and Tactics mengenai lima kompetensi agar
dapat menjadi seorang stratejis. Pertama yakni
menyesuaikan antara tujuan dan kemampuan, kedua
terus berusaha mengingat tujuan yang hendak dicapai,

252
ketiga melakukan usaha yang memiliki sedikit resiko
dan memungkinkan banyak alternatif solusi, keempat
mengerti keadaan lawan atau pesaing sehingga mampu
memanfaatkan keadaan, dan kelima tidak mengulang
tindakan yang sama sehingga lawan mampu menangkal
tindakan yang akan dilakukan.
Berbeda dengan Liddel Hart, Clausewitz (1997)
meresepkan pandangan yang unik mengenai siapa yang
disebut stratejis dan kompetensi yang melekat pada gelar
stratejis. Sebelumnya telah disebutkan bahwa
intelektualitas atau kepintaran adalah salah satu hal yang
disarankan dimiliki oleh seorang stratejis. Namun
kemudian, Clausewitz (1997) juga menekankan bahwa
intelektualitas perlu diimbangi dengan kompetensi lain
yakni emosi yang baik. Clausewitz (1997) menggagas
keseimbangan antara intelektualitas dan emosi yang
baik. Seorang stratejis diharapkan tidak terburu-buru
dalam menentukan langkah yang diambilnya. Clausewitz
(1997) melihat bahwa emosi sering berpengaruh dalam
kehidupan dan hal tersebut mempengaruhi keberhasilan
dalam tindakan yang diambil. Emosi juga dinilai
Clausewitz (1997) sebagai hal yang mempengaruhi tekad

253
dan juga keberanian dalam melakukan suatu tindakan
yang kemudian mampu mempengaruhi keberhasilan.
Apabila dilihat melalui sudut pandang Clausewitz
(1997), seorang stratejis yang baik diharapkan tidak
hanya memiliki pengetahuan namun juga mampu
mengatur emosi sehingga dari hal tersebut mampu hadir
semangat, keberanian dan tekad yang kuat dalam
mencapai tujuan.
Di sisi lain, Gordon A. Craig (1986) melihat
seorang stratejis sebagai seorang pemimpin politik, baik
perdana menteri, kanselor, ataupun presiden yang
memahami secara baik mengenai dunia politik dan
militer. Craig (1986) melihat pemimpin politik sebagai
seorang stratejis karena seorang pemimpin politik
memiliki tanggungjawab yang lebih dan mengerti
dengan baik mengenai masalah negaranya dan dampak
yang terjadi setelah perang. Selain itu, Craig (1986) juga
memberangkatkan pemikirannya dari konsepsi tujuan
dan pembentukan strategi milik Clausewitz, yang mana
melihat bahwa strategi adalah perpanjangan dari
kebijakan politik. Craig (1986) mencontohkan beberapa
pemimpin politik terkenal dalam tulisannya seperti Adolf

254
Hitler dan Winston Churchill, yang kemudian dianalisa
kekurangan dan kelebihan dalam pengambilan keputusan
yang mereka lakukan. Disini ditekankan bahwa seorang
stratejis mampu menempati posisi sebagai pemimpin
politik seperti yang terjadi pada Winston Churchill.
Namun seringkali pemimpin politik bukanlah seorang
stratejis. Tentu seorang stratejis memiliki peran yang
sangat besar dan sangat menentukan dalam perumusan
kebijakan apabila ia seorang pemimpin politik (Craig,
1986). Hal ini menunjukkan adanya relasi yang sangat
menentukan antara seorang stratejis dan pemimpin
politik.

Stratejis dan Pengambilan Keputusan


Menurut J. Habermas (1971), terdapat tiga pola
hubungan antara stratejis dan keputusan yang dibuat jika
seorang stratejis tidak secara langsung berwenang dalam
perpolitikan. Pertama decisionistic model, yakni seorang
stratejis tidak berwenang pada keputusan akhir, namun
hanya bertugas memfasilitasi kepentingan otoritas
melalui perumusan teknik yang dapat dimanfaatkan
sehingga keputusan memiliki legitimasi tinggi, dapat

255
dipatuhi dan dijalankan. Kemudian pola hubungan kedua
adalah technocratic model, yang mana seorang stratejis
memiliki pengaruh kuat terhadap keputusan mengingat
kompetensi tinggi dan distinctiveness yang dimiliki
mampu menjawab kemajuan teknik dan kontinuitas
rasionalitas dalam resolusi konflik teknis dan praktis.
Pada model ini keputusan bergantung pada gagasan
stratejis, namun seorang stratejis tidak mempunyai
wewenang untuk memutuskan hasil akhir. Sementara
model ketiga, yakni pragmatic model menujukkan
adanya interaksi kritis antara otoritas dan stratejis,
keduanya memberikan timbal balik berupa informasi dan
kepentingan dapat diwujudkan sekaligus menyediakan
alternatif resolusi konflik yang beragam.

Kesimpulan
Berdasar penjelasan di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa seorang stratejis dituntut untuk
selalu menyesuaikan kapabilitas dengan konstruksi
sosial yang membangun kriteria dan tuntutan baru bagi
individu untuk tidak sekadar bertahan hidup, namun
menduduki puncak rantai makanan. Meski terdapat

256
perbedaan diantara pakar dalam mengidentifikasi
kompetensi seorang stratejis, namun sesuai dengan
konsep esensial strategi, intelektualitas, keunikan,
kebijaksanaan, dan berorientasi pada tujuan merupakan
kapabilitas umum seorang stratejis terlepas dari
kapabilitas turunan lain yang diungkapkan para pakar
diatas. Hal terpenting bagi seorang stratejis dalam kaitan
dengan perumusan keputusan adalah memperluas ruang
gerak sehingga muncul banyak alternatif kebijakan, serta
mampu memberikan kontribusi yang besar sesuai dengan
jangkauan posisi yang diduduki.
Ahli strategi seharusnya tidak dibatasi sebagai
pemimpin politik ataupun manager, melainkan setiap
pengelolaan dan pelaksanaan sesuatu hal seharusnya
selalu disertai dengan adanya sebuah strategi, sehingga
penulis melihat penting untuk menerapkan pola pikir
strategis dimana pun dan kapan pun, untuk dapat
menjadi manusia-manusia yang berkompeten dalam
menggunakan waktu, tenaga dan pikiran dengan efektif
dalam memanfaatkan peluang yang ada. Di samping
stratejis yang ditujukan kepada ahli militer, ada juga
yang disebut sebagai stratejis yakni seseorang yang

257
mengimplementasikan strategy as art, managerial and
practical, intersection and interdicipliner, sehingga
stratejis memastikan bahwa apapun strategi yang
diterapkan akan terimplementasi dengan baik.

Pertanyaan Arahan:
Apa yang dimaksud dengan berpikir stratejik?
Siapa yang dimaksud dengan seorang stratejis? Apa
yang dibutuhkan untuk menjadi seorang stratejis?
Apakah seorang stratejis merupakan seorang pengambil
keputusan?

Kata Kunci: Stratejis, strategic thinking, kompetensi,


intelektualitas, emosi, keputusan

Referensi:
Clausewitz, Carl von. 1997. the Genius for War, dalam
On War. Hertfordshire: Wordworth Classic of
World Literature, pp. 40-59
Craig, Gordon A. 1986. The Political Leader as
Strategist, dalam Peter Paret ed., Makers of
Modern Strategy: From Machiavelli to the Nuclear

258
Age, New Jersey; Princeton University Press, pp.
481-509
Habermas, J. 1971. Toward a Rational Society: Student
Protest, Science, and Politics. Boston: Beacon
Press.
Liddel Hart, B.H. 1991. The Concentrated Essence of
Strategy and Tactics, dalam Strategy: the Classic
Book on Military Strategy, London: Meridian
Book, pp. 334-337
Ohmae, Kenichi. 1982. Four Routes to Strategic
Advantage, dalam The Mind of Strategist: the Art
of Japanese Business. New York. McGraw Hill,
pp. 36-88

259
Daftar Pustaka

Aurik, John et. al. 2014. History of Strategy and Its


Future Prospects, A.T. Kearney Analysis, pp. 1-14
Baylis, John dan J.J. Wirtz. 2007. Introduction, dalam
John Baylis et. al. (ed.), Strategy in the
Contemporary World, Oxford: Oxford University
Press, pp. 1-15
Cassidy, Robert M. 2008. Success in
Counterinsurgency, dalam Counterinsurgency
and the Global War on Terror: Military Culture
and Irregular War, Stanford: Stanford Security
Studies, pp. 127-163
Clausewitz, Carl von. 1997. the Genius for War, dalam
On War. Hertfordshire: Wordworth Classic of
World Literature, pp. 40-59
Collins, John M. 2002. Nuclear Warfare Strategies,
dalam Military Strategy: Principles, Practices and
Historical Perspectives, Washington, D.C.:
Potomac Books, pp. 133-144.

260
Craig, Gordon A. 1986. The Political Leader as
Strategist, dalam Peter Paret ed., Makers of
Modern Strategy: From Machiavelli to the Nuclear
Age, New Jersey; Princeton University Press, pp.
481-509
Cull, Nicholas J. 2008. Public Diplomacy: Taxonomies
and Histories, Annals of the American Academy of
Political and Social Sciences, Vol. 616, pp. 31-54
De Rond, Mark dan R.A. Thietart. 2007. Choice,
Chance and Inevitability in Strategy, Strategic
Management Journal, Vol. 28, pp. 535-551
Doob, Leonard W. 1950. Goebbels Principles of
Propaganda, the Public Opinion Quarterly, Vol.
14, No. 3, pp. 419-442
Galula, David. 2006. Revolutionary War: Nature and
Characteristics, dalam Counterinsurgency
Warfare: Theory and Practice. London: Praeger
Security International, pp. 1-10
___________________. the Prerequisites for a
Successful Insurgency, dalam Counterinsurgency
Warfare: Theory and Practice. London: Praeger
Security International, pp. 11-28

261
___________________. the Insurgency Doctrine,
dalam Counterinsurgency Warfare: Theory and
Practice. London: Praeger Security International,
pp. 29-47
Ghemawat, Phankaj. 2002. Competition and Business
Strategy in Historical Perspective, the Business
History Review, Vol 76, No. 1, pp. 37-74
Ghemawat, Pankaj. 2013. Globalization and Global
Problem Solving.
_______________. 2007. Managing Differences: The
Central Challenge of Global Strategy.
_____________________. Regional Strategies for
Global Leadership.
Ghoshal, Sumantra. 1987. Global Strategy: An
Organized Framework dalam Strategic
Management Journal, Vol. 8, No. 5, pp. 425-440
Gray, Colin S. 1999. Nuclear Weapons in Strategic
History, dalam Modern Strategy, Oxford: Oxford
University Press, pp. 319-353
Gray, Colin S. 1999. the Strategists Toolkit: the
Legacy of Clausewitz, dalam Modern Strategy,
Oxford: Oxford University Press, pp. 75-112

262
Guehenno, J. Marie. 1998. the Impacts of Globalization
on Strategy, Survival, Vol. 40, No. 4, pp. 5-19
Heuser, Beatrice. 2010. Nuclear Strategy, in the
Evolution of Strategy, Cambridge: Cambridge
University Press, pp. 351-383
Heuser, Beatrice. 2010. What is Strategy?, in the
Evolution of Strategy, Cambridge: Cambridge
University Press, pp. 3-35
Heuser, Beatrice. 2010. Themes in Early Thinking
about Strategy, in the Evolution of Strategy,
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 76-110
___________________. the Age and Mindset of the
Napoleonic Paradigm, in the Evolution of Strategy,
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 113-
136
___________________. the Napoleonic Paradigm
Transformed: From Total Mobilisation to Total
War, in the Evolution of Strategy, Cambridge:
Cambridge University Press, pp. 137-170
___________________. Challenges to the Napoleonic
Paradigm versus the Culmination of Total War, in

263
the Evolution of Strategy, Cambridge: Cambridge
University Press, pp. 171-197
Heuser, Beatrice. 2010. Long-Term Trends and Early
Maritime Strategy, in the Evolution of Strategy,
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 201-
215
___________________. the Age of Steam to the First
World War, in the Evolution of Strategy,
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 216-
247
___________________. The World Wars and Their
Lessons for Maritime Strategy, in the Evolution of
Strategy, Cambridge: Cambridge University Press,
pp. 248-267
___________________. War in the Third Dimension,
in the Evolution of Strategy, Cambridge: Cambridge
University Press, pp. 297-350
Hoskin, Keith et. al. 1997. the Historical Genesis of
Modern Business and Military Strategy: 1850-
1950, a paper submitted to Interdisciplinary
Perspective on Accounting Conference,
Manchester: 7-9 July.

264
Klein, Bradley S. 1994. What Nuclear Revolution?,
dalam Strategic Studies and World Order: the
Global Politics of Deterrence, Cambridge:
Cambridge University Press, pp. 39-80
Liddel Hart, B.H. 1991. The Concentrated Essence of
Strategy and Tactics, dalam Strategy: the Classic
Book on Military Strategy, London: Meridian
Book, pp. 334-337
Lynch, March. 2006. Al-Qaedas Media Strategies, the
National Interest, No. 83, pp. 50-56
Mahnken, Thomas G. 2007. Strategic Theory, dalam
John Baylis et. al. (ed.), Strategy in the
Contemporary World, Oxford: Oxford University
Press, pp. 66-81
Moran, Daniel. 2002. Strategic Theory and the History
of War, dalam John Baylis et. al. (ed.), Strategy in
the Contemporary World, Oxford: Oxford
University Press, pp. 17-44
Ohmae, Kenichi. 1982. Four Routes to Strategic
Advantage, dalam The Mind of Strategist: the Art
of Japanese Business. New York. McGraw Hill,
pp. 36-88

265
Ohmae, Kenichi. 1982. Four Routes to Strategic
Advantage, dalam The Mind of Strategist: the Art
of Japanese Business. New York. McGraw Hill,
pp. 36-88
Porter, Michael E. 1996. What is Strategy?, Harvard
Business Review, November-December, pp. 61-78
Porter, Michael E. 2011. the Five Competitive Forces
that Shape Strategy, HBRs 10 Must Reads on
Strategy, Boston: Harvard Business Review Press,
pp. 39-76
Rumelt, Richard. 2013. the Kernel of Good Strategy,
dalam Good Strategy Bad Strategy: the Difference
and Why It Matters, London: Profile Books Ltd.,
pp. 77-94
van Creveld, Martin. 2000. Chinese Military Thought,
dalam the Art of War: War and Military Thought.
New York: Harper Collins Books, pp. 22-41
______________________. From 1500 to1763, dalam
the Art of War: War and Military Thought. New
York: Harper Collins Books, pp. 67-87
______________________. From Antiquity to the
Middle Ages, dalam the Art of War: War and

266
Military Thought. New York: Harper Collins
Books, pp. 43-65
______________________. From Guibert to
Clausewitz, dalam the Art of War: War and
Military Thought. New York: Harper Collins
Books, pp. 90-115
Waldman, Thomas. 2010. Shadows of Uncertainty:
Clausewitzs Timeless Analysis of Chance in
War, Defence Studies, Vol. 10 No. 3, pp. 336-338
Waller, J. Michael. 2007. Wartime-Message Making:
An Immediate-Term Approach, dalam Fighting
the War of Ideas Like a Real War, Washington D.
C.: the Institute of World Politics Press, pp. 19-37

267

Anda mungkin juga menyukai