Anda di halaman 1dari 30

TUGAS KELOMPOK

BISNIS INTERNASIONAL

Dosen Pembimbing :
Akhid Yulianto, SE, M.Sc (Log)

Disusun Oleh :

Abdurrahim (C1B114001)
Abdurrachman Helmy (C1B114213)
Ahmad Taher (C1B114066)
Ahmad Rizqan Al Kautsar (C1B114027)
Ihsan Rafi Fauzi (C1B114020)
Imaduddin (C1B114204)
M.Wahyu Iqbal (C1B114206)
Riswan Sandi (C1B114203)
Robby Abdi Irwansyah (C1B114202)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2017
EXECUTIVE SUMMARY
KASUS 1

Budaya Bisnis Internasional


Kasus Enron Internasional di India Enron sebuah perusahaan dibidang energi yang
berasal dari USA pada 1990 mencoba untuk menggarap pasar india yaitu dengan
membangun instalasi energi yang diperlukan oleh industri di India. Namun dalam
pelaksanaanya, Enron mengalami beberapa hambatan sebelum tujuanya untuk dapat
menjadi penyedia energi tunggal di India dapat tercapai. Hambatan itu berupa
halangan dan sulitnya negosiasi yang dilakukan Enron terhadap pemerintahan lokal
Maharashtra yaitu daerah yang akan menjadi lokasi pembangunan proyek energi yang
didanai oleh Enron. Hal ini disebakan oleh adanya pergantian kekuasaan dimana
partai penguasa yang baru di Maharashtra koalisi BJP dan Shiv Sena. BJP dan Shiv
Sena mengangkat isu korupsi dan ajaran swadesi dari Gandhi dalam kampanye
sebelum kemenanganya. Sehingga setelah BJP berkuasa di Mahrashtra proyek Enron
tertunda beberapa lama, BJP menuduh pemerintahan sebelumnya telah melakukan
korupsi dan kolusi dengan Enron untuk menggoalkan pembangunan proyek Enron.
Walaupun tuduhan itu tidak terbukti, tapi sempat memunculkan ketegangan antara
pihak Enron dan pemerintah lokal Maharashtra. Enron terus mengadakan
perundingan baik melalui konsolidasi dengan pemerintah lokal Maharashtra, maupun
dengan upaya penekanan Bill Clinton terhadap pemerintah India supaya proyek
Enron dapat diteruskan. Mengapa Enron begitu bersemangat untuk menjalankan
proyek energi tersebut walau banyak menghadapi resiko dan tantangan dari
pemerintah lokal Maharashtra? Hal ini disebabkan Enron mempunyai tujuan jangka
panjang yaitu sebagai penguasa tunggal penyedia proyek energi di India, selain itu
enron juga bermaksud untuk memasok produk LNGnya di Qatar agar diserap untuk
bahan bakar energi di India. Oleh karena itu Enron memilih lokasi pembangunan
proyek energi yang dekat dengan Gulf States, Qatar, agar biaya pengiriman LNG ke
proyek di India lebih murah. Hambatan negoisasi dan terhambatnya pembangunan
proyek enron di India disebabkan oleh adanya perubahan penguasa politik di
Maharashtra, aturan dan sistem birokratik yang berbelit di India, dan ketidak samaan
pola kebijakan antara pemerintah lokal dan pemerintah pusat dalam menanggani
investror. Hal tersebut menjadi pelajaran berharga bahwa dalam menjalankan bisnis
Internasional dalam hal ini berinvestasi di negara lain, perlu memperhatikan sistem
pemerintahan dan politik di negara yang dituju, juga dengan aturan birokratik yang
berliku di negara yang dituju.

Analisis Tentang Kasus Enron


Seperti yang disebutkan dalam teori bisnis internasional, faktor politik memang
menjadi faktor yang mempengaruhi bisnis yang sedang dijalankan perusahaan yang
melakukan bisnis internasional. Dalam kasus yang terjadi pada perusahaan Enron,
Enron terganjal oleh perubahan politik yang baru saja terjadi di India. Selain itu
mereka juga terganjal isu-isu yang dilakukan oleh pemerintah pusat yang kemudian
berlanjut ke pemerintah daerah. Hal yang menyulitkan Enron adalah masalah
prosedur bagi para investor yang masuk di India, pada pemerintahan sebelumnya
prosedur bagi para investor seperti Enron memang sudah berbelit-belit, kini dengan
adanya perubahan system pemerintahan dan struktur politik disana, dapat dipastikan
bahwa mereka akan sulit untuk masuk dan mewujudkan cita-cita mereka untuk
membangun industry energi terbesar di India. Seharsunya Enron harus lebih jeli
dalam memilih lokasi yang akan mereka masuki sebagai area bisnis baru merek.
Tidak hanya pertimbangan secara ekonomis semata, tapi juga dengan banyak
pertimbangan dari faktor yang ada di dalam teori budaya bisnis internasional
sehingga mereka tidak terbentur oleh maslah seperti ini.
KASUS 2

Sosio-Ekonomi
ACFTA, Delian Leaguage dan Power Transition Oleh: Dion Maulana Prasetya
(Koordinator Riset CEAS)

Kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area yang dimulai awal tahun 2010
merupakan sebuah kebijakan yang strategis. Dari kesepakatan tersebut bisa lahir
kebijakan fiskal bersama, seperti yang dilakukan Uni Eropa setelah melalui beberapa
proses integrasi ekonomi. Namun, tidak menutup kemungkinan kesatuan kebijakan
tersebut akan mengarah kepada integrasi regional yang lebih menyeluruh, termasuk
politik. David Mitrany menyebut proses tersebut dengan ramifikasi.[1] Uni Eropa
memulainya dengan kerjasama batubara dan baja (European Coal and Steel
Community). Kerjasama itu kemudian mengalami ramifikasi atau istilah Ernst Haas
spill over sampai saat ini telah menciptakan mata uang bersama. Jika mengacu pada
Mitrany, tentunya ACFTA akan berdampak positif bagi perekonomian maupun
keamanan Asia Tenggara. Dalam bidang perekonomian, terjalinnya ACFTA akan
menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Hingga 2005 ASEAN menjadi
mitra kerjasama kelima terbesar bagi China. Nilai investasi ASEAN ke China sebesar
28 persen sejak tahun 1991 sampai 2001. Sedangkan investasi China ke ASEAN
sebesar 7,7 persen dari seluruh investasi China ke luar negeri.[2] Nilai invenstasi
China ke ASEAN yang relatif kecil sebenarnya seimbang dengan besarnya nilai
investasi ASEAN ke China. China sendiri merupakan negara dengan jumlah
penduduk terbesar di dunia. Hal tersebut merupakan potensi pasar yang sangat besar
bagi negara-negara Asia Tenggara. Kerjasama ACFTA selain memunculkan
interdependensi juga akan menjadikan China sebagai negara hegemon di kawasan.
Hal itu bisa dilihat dari perekonomian yang terus melesat mengejar Amerika Serikat
dalam satu dekade terakhir. Bank Dunia memprediksi,[3] Cina akan menjadi
kekuatan ekonomi terbesar mengalahkan AS, 25 tahun yang akan datang.[4] Dan
yang lebih mengagetkan, tujuh dari lima belas ekonomi dunia akan berasal dari
kawasan Asia. Tentunya prediksi semacam ini akan menimbulkan dampak yang
sangat positif bagi negara-negara Asia Tenggara. Absennya AS di kawasan Asia
Tenggara merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kedekatan China dengan
negara-negara Asia Tenggara. Permasalahan keamanan yang pernah membuat
hubungan China dan beberapa negara Asia Tenggara tegang di masa-masa Perang
Dingin, kini telah mencair. Begitu juga dengan permasalahan sengketa wilayah di
Laut China Selatan. Sengketa klaim kepemilikan kepulauan Paracel di Laut China
Selatan antara China, Filipina dan juga Vietnam juga dapat diredam sangat baik,
dengan dibentuknya kerjasama untuk mencari cadangan minyak bersama di wilayah
itu.[5] Kesepakatan tersebut tentunya sangat positif, mengingat sengketa wilayah
Laut China Selatan telah berlangsung secara terbuka pada tahun 1996. Pada tahun
tersebut terjadi aksi tembak menembak antara angkatan laut China dan Filipina di
dekat pulau Capones. Peristiwa tersebut terjadi beberapa kali sampai tahun 1999.
Kerjasama-kerjasama tersebut nampaknya menjadi semakin bermakna, ketika
memasuki abad 21, China giat mengembangkan kemampuan soft power-nya. Hard
power seperti ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dan pertahanan yang
dimiliki oleh China tidak perlu diragukan lagi. Saat ini soft power China yang
berbasis pada budaya, filosofi-filosofi tradisional, dan lain sebagainya,[6] semakin
diminati oleh negara-negara di Asia Tenggara. Joseph Nye mengatakan, soft power
adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan melalui ketertarikan
(attraction) daripada paksaan atau bayaran.[7] Salah satu perbedaan mendasar antara
hard dan soft power terletak pada medianya. Jika soft power menggunakan budaya
sebagai media untuk menarik negara atau aktor lain, hard power menggunakan
ancaman, paksaan atau hukuman (sticks and carrots). Soft power itu ditandai dengan
kesuksesan China meyakinkan negara-negara di Asia Tenggara terhadap kebijakan
good neighbourly relations.[8] Selain itu, keaktivan China dalam upaya menjaga
perdamaian dunia, melalui PBB, ASEAN Regional Forum atau Shanghai
Cooperation Organization (SCO), juga memberi nilai tersendiri bagi China.
Analisis Kasus Kerja sama ACFTA-China
Kerja sama yang dibangun oleh Negara-negara ASEAN dengan China yang notabene
merupakan suatu kerja sama yang akan sangat berdampak positif bagi kedua belah
pihak, khususnya Negara ASEAN. Adanya langkah-langkah nyata dari China yang
memang dikenal sangat giat dalam berinovasi bisnis , pengembangan ilmu
pengetahuan dan inovasi dalam tekhnologi telah membuat Negara-negara ASEAN
yang bekerja sama dengan China ini kini lebih mempunyai pandangan ke depan
tentang bagaimana bersaing dalam dunia bisnis. Disamping itu, kemajuan
perdagangan dan bisnis di China yang merupakan Negara yang mempunyai penuduk
terpadat di dunia membuat Negara-negara ASEAN akan sedikit terbantu dan akan
lebih mempunyai lahan untuk berinvestasi. Perubahan kebijakan luar negeri China
yang signifikan tentunya juga sangat berdampak pada negara-negara Asia Tenggara.
Kawasan Asia Tenggara yang sempat mengalami kekosongan kekuasaan kini telah
diisi oleh China. China telah berhasil masuk di kawasan Asia Tenggara, dengan
perubahan kebijakan luar negeri yang lebih bersahabat dan ditunjang dengan soft
powernya. Perpaduan yang menarik dan baru antara sistem politik otoriter (satu
partai) dengan ekonomi liberal, meningkatkan ketertarikan negara-negara Asia
Tenggara untuk mengikuti jejak China. Keterpurukan demokrasi liberal di abad 21
memberikan dampak yang berarti bagi kawasan Asia Tenggara. Negara-negara
seperti Myanmar dan Thailand yang masih memiliki kultur otoriter, sedikit banyak
akan terpengaruh oleh China. Pengaruh China yang kuat di kawasan Asia Tenggara
itu berdampak pada sistem internasional, terutama Amerika Serikat. AS yang telah
mengalami kegagalan di Afghanistan dalam perang melawan terorisme, sadar bahwa
Asia Tenggara telah lama ditinggalkannya. Negara-negara Asia Tenggara saat ini
lebih bersifat cair, tidak lagi terkotak-kotak oleh ideologi. Mereka lebih bebas
memilih pihak mana yang lebih menguntungkan. Fenomena ini tentu membuat AS
khawatir, karena kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang
terpenting. Kekhawatiran AS ini bisa berdampak buruk bagi perdamaian dunia,
karena selama ratusan tahun, ketakutan akan meningkatnya kekuatan rival bisa
menyebabkan perang. Yang dimaksudkan disini adalah bagaimana kebiasaan AS
yang sering panik dan membuat konflik ketika mereka sudah berada pada posisi yang
tidak aman.
KASUS 3

Moneter
Kasus Penetapan Standar Emas dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Dampak
dari depresiasi rupiah terhadap Dollar ini amat dahsyat. Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) terpuruk. Kebijakan otoritas moneter yang menerapkan kebijakan
uang ketat (tigh money policy) untuk membendung pelemahan rupiah dengan
menaikkan suka bunga memaksa bunga pinjaman naik. Akibatnya proyek-proyek
terhenti dan sejumlah perusahaan-perusahaan gulung tikar. Dampak selanjutnya
adalah terjadinya PHK besar-besaran. Harga sembako dan juga barang-barang
lainnya meningkat tajam sehingga membuat rakyat semakin menderita (Yusanto,
2001: 3). Peristiwa yang lebih mutakhir adalah krisis keuangan yang melanda
Argentina. Mata uang Argentina, Peso didevaluasi hingga lebih dari 100% dari Dollar
AS yang menjadi patokan. Salah satu alasan utama kebijakan devaluasi ini adalah
keputusan untuk menghentikan pematokan (pegging) peso terhadap Dollar AS, yang
oleh IMF dianggap tidak lagi dapat dipertahankan. Kegagalan strategi pemerintah dan
kekacauan tersebut telah mempengaruhi situasi negara-negara AS lainnya
(Fredericks, 2004: 149). Dalam kondisi moneter yang tidak stabil dan menimbulkan
penderitaan tersebut ternyata pihak spekulan menghadapi keadaan sebaliknya.
Menurut Stiglizt (199: 2003) pukulan berat yang mengakibatkan real estate dan pasar
saham Thailand mengalami gelembung (bubble) diakibatkan oleh uang spekulatif
panas yang mengalir ke negara tersebut. Dan memang pada faktanya perubahan arah
modal spekulatif ini merupakan akar pergerakan eksesif pada nilai tukar. Menurut
Stiglizt (2003: 199) salah satu sumber keuntungan para spekulan adalah uang yang
berasal dari pemerintah yang didukung oleh IMF. Sebagai contoh ketika IMF dan
pemerintah Brazil mengeluarkan sekitar 50 miliar Dollar untuk menjaga nilai tukar
yang berada pada level overvalued pada akhir 1998, uang tersebut seakan hilang
ditelan angin. Namun pada faktanya uang tersebut sebagian besar mengalir ke
kantong-kantong para spekulan. Beberapa spekulan mungkin mengalami kerugian
sementara yang lain untung namun secara umum para spekulanlah yang memperoleh
seluruh uang yang diderita oleh pemerintah. Bahkan menurut Stiglizt (2003: 199)
IMF-lah yang menjaga agar para spekulan tersebut tetap dapat berbisnis. Berdasarkan
pemaparan di atas sangat wajar jika sejumlah kalangan mulai mempertanyakan faktor
fundamental yang menjadi pemicu berbagai krisis tersebut. Mereka mulai mencari
solusi alternatif yang dapat menstabilkan kondisi moneter dan keuangan baik yang
bersifat domistik maupun yang bersifat internasional. Salah satu negara yang
memberikan respon yang kuat dari instabilitas sektor moneter tersebut adalah Rusia.
Pemerintah Rusia telah menyadari sifat spekulatif pasar uang dan ketidakstabilan
yang diakibatkan oleh penetapan standar mata uang itu. Pada 10 Juli 2001 The Bank
of Rusia yang merupakan Bank Sentral Rusia mengedarkan mata uang emas yang
bernama Chervonet. Dengan demikian mata uang emas menjadi alat pembayaran
yang sah. Diharapkan dalam jangka pendek orang-orang Rusia bersedia mengubah
tabungan mereka dari mata uang Dollar menjadi mata uang Chervonet disamping
Rubel yang saat ini beredar. Dalam jangka panjang Rusia juga diharapkan dapat
membuat perubahan besar dalam kebijakan keuangan internasional di tengah
kegalauan banyak negara yang berusaha melepaskan diri dari sistem keuangan dunia
yang berporos pada kepentingan bangsa Anglo-AS (Frederick, 2004: 195). Bahkan
pada perjanjian Mastrich bulan Februari 1992-dalam upaya untuk menciptakan mata
uang tunggal pada tahun 1999-Bank Sentral Eropa yang merupakan peleburan dari
bank-Bank Sentral negara-negara Eropa berupaya mengumpulkan 50 milyar Euro
dalam bentuk emas dari seluruh negara-negara anggota sebagai cadangannya.
Demikian pula halnya pada tanggal 1 Januari 1999. Dewan Pengawas Bank Sentral
Eropa telah menetapkan bahwa 15% dari cadangan dasarnya yang mencapai 9,5
milyard Euro harus berbentuk emas (Salim, 2004). Keinginan sejumlah ekonom dan
pejabat pemerintahan untuk kembali pada standar emas (gold standard) bukanlah
tanpa alasan. Disamping dampak negatif yang telah diakibatkan oleh standar mata
uang kertas (fiat money standard), motif tersebut juga dipicu oleh bukti historis
kemampuan standar emas (gold standard) dalam menjaga stabilitas moneter selama
lebih kurang 100 tahun hingga tahun 1914 ketika Perang Dunia I pecah. Pada masa
tersebut standar emas telah mampu mewujudkan kestabilan moneter domostik
maupun internasional serta mampu menciptakan perdamaian dan kesejahteraan dalam
kurun waktu yang cukup panjang (Kimball, 2005). Inflasi yang menjadi masalah
serius bagi otoritas moneter di rezim fiat money standardpada masa tersebut dapat
berjalan secara stabil. Hal ini karena rezim tersebut memiliki rezim moneter yang
berjalan secarar otomatis yang dapat mengatur pergerakan supply money di suatu
negara serta diawasi secara disiplin oleh otoritas moneter masing-masing negara.
Dengan demikian faktor utama yang menjadi pemicu inflasi pada uang subtitusi
sepenuhnya dapat dikendalikan (Herbener, 2002). Hal ini juga diakui oleh diakui oleh
Frederik Hayek (1976) sebagaimana yang dikutip oleh Block (1999): Secara
signifikan hal tersebut hanya terjadi pada kejayaaan sistem industri modern dan
selama standar emas yang berlangsung sekitas dua ratus tahunpada masa itu harga-
harga diakhir rezim tersebut tidak mengalami perubahan. Ia sama sebagaimana
awalnya. (Hayek, 1976:16) Kecuali selama dua ratus tahun ketika standar emas
diterapkan. Selain itu pemerintah sepanjang sejarah telah mengunakan kekeuatan
eksklusif mereka untuk menipu dan mencuri harta rakyat. (Hayek, 1976: 15)
Disamping itu dengan adanya nilai tukar yang tetap antara mata uang suatu negara
negara dengan negara lainnya menjadikan arus perdagangan dan investasi tumbuh
dengan pesat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Grenspan (1966) yang juga
dikutip oleh Block (1999) : Ketika standar emas diterima sebagai alat pertukaran oleh
sebagian besar negara, standar emas internasional yang bebas tanpa batas telah
membantu percepatan pembagian tenaga kerja (devision of labour) dan perluasan
perdagangan internasional. Meskipun alat-alat tukar (seperti Dollar, Pound, Franch,
dll) berbeda antara satu negara dengan negara lainnya dan seluruhnya detetapkan
nilainya dengan emas, namun selama masa tersebut tidak ada hambatan bagi
perdagangan ataupun pergerakan modal (movement of capital). Meski demikian
harus diakui bahwa kondisi demografis, ekonomi, politik dan budaya serta
perkembangan teknologi masyarakat saat ini telah mengalami perubahan yang
signifikan dibandingkan masa tersebut. Namun setidaknya terdapat beberapa faktor
fundamental yang dapat dikaji pada standar moneter tersebut dalam menciptakan
stabilitas moneter dan keuangan dibandingkan dengan standar moneter lainnya
termasuk standar mata uang kertas saat ini yang didominasi oleh Dollar.

Analisis Kasus Standar Emas dan Dampaknya Terhadap Perekonomian.


Nilai emas yang relatif stabil memang mempermudah ketika emas di jadikan sebagai
standar mata uang internasional dan pembayaran internasional. Namun ganjalan yang
ada selama ini adalah mata uang AS yaitu dollar AS. AS yang mengklaim diri
sebagai Negara adidaya tidak mau jika mata uang mereka yaitu dollar digantikan oleh
emas (Dinar) sebagai standar pembayaran nasional. Hal ini agak aneh,padahal dari
data yang ada diatas, tampak jelas bahwa standar mata uang kertas banyak
menimbulkan dampak negatif. Contohnya adalah tingginya inflasi karena nilai mata
uang kertas yang berfluktuatif dan dampak positif dari emas adalah nilai emas yang
tetap tinggi dan tidak berfluktuatif. Selain itu, banyak juga yang mendaesak agar
standar mata uang kembali ke emas. para pakar perekonomian dunia memberikan
saran untuk menjadikan emas sebagai standar keuangan global. Cara ini mereka
yakini sebagai jalan yang terbaik untuk memulihkan dan mengembalikan stabilitas
keuangan global. Para pakar ini mendorong negara-negara berkembang untuk
menarik diri dari perekonomian global dan melepaskan diri dari kapitalisme pasar
bebas yang di setir oleh Amerika . Pada umumnya para ekonom sadar bahwa sejak
keruntuhan sistem kurs nilai tetap), tidak ada lagi suatu sistem moneter internasional
yang stabil dan memuaskan. Disamping melibatkan isu-isu teknis yang penting dan
rumit, solusi untuk memecahkan permasalahan tersebut terkait erat dengan persoalan
politik yang sangat krusial. Isu tingkat nilai tukar tetap (fixed exchange rate) versus
tingkat nilai tukar fleksibel (flexible exchange rate) dan kaitannya dengan masalah
pengaturan sistem moneter internasional dianggap sebagai akar dari masalah ini. Oleh
karena itu masa depan sistem moneter internasional yang stabil dan terintegrasi akan
tetap diliputi oleh banyak pertanyaan sampai masalah standar keuangan ini
terpecahkan.
Kasus 4

PERSENGKETAAN BEA MASUK ANTI-DUMPING PADA KERTAS IMPOR


INDONESIA

(www.tempo.co)

Indonesia sebagai negara berkembang pada umumnya akan memilih suatu perusahaan
domestik untuk disubsidi khususnya industri yang benar-benar menjadi ekspor
Indonesia. Dan selain itu, Indonesia juga mengambil kebijakan ekonomi seperti
penetapan batasan impor, hambatan tarif dan non tarif dan kebijakan lainnya. Sama
seperti negara lainnya, Korea juga menetapkan kebijakan ekonomi anti dumping
untuk melindungi industri domestiknya. Kali ini yang menjadi sasaran negara yang
melakukan dumping adalah Indonesia.

Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO yaitu kasus antara Korea Selatan
dan Indonesia, dimana Korsel menuduh Indonesia melakukan dumping Woodfree
Copy Paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar.

Pada mulanya harga produk kertas Korsel tinggi dan juga produsen kertas Korsel
tidak dapat memenuhi beberapa permintaan pasar. Pada saat itulah masuk produk
kertas Indonesia dengan harga yang lebih murah (termasuk jika dibandingkan dengan
harga di pasar Indonesia) dan juga dengan produk yang memiliki fungsi/nilai
substitusi atas produk kertas yang tidak dapat dipenuhi produsen kertas Korsel, hal ini
disebut juga dengan Like Product. Karena hal inilah maka produk kertas Indonesia
lebih banyak diminati oleh pasar di Korsel, sedangkan kertas produk Korsel sendiri
menurun penjualannya. Itulah mengapa Korsel menetapkan Bea Masuk Anti
Dumping (BMAD) terhadap produk kertas yang masuk dari Indonesia, untuk
melindungi produk dalam negeri nya.
Produk kertas Indonesia yang dikenai tuduhan dumping mencakup 16 jenis produk,
tergolong dalam kelompok uncoated paper and paper board used for
writing, printing, or other graphic purpose serta carbon paper, self copy paper and
other copying atau transfer paper.

Kasus ini bermula ketika industri kertas Korea Selatan mengajukan petisi anti-
dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC)
pada 30 September 2002. Dan pada 9 Mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti
Dumping Sementara (BMADS) dengan besaran untuk PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia
Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan
lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BMAD
terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik Kertas Tjiwi
Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dan untuk
April Pine dan lainnya 2,80%.

Dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian.
Ekspor Woodfree Copy Paper Indonesia ke Korsel yang pada tahun 2002 mencapai
102 juta dolar AS, turun menjadi 67 juta dolar pada tahun 2003. Dan Indonesia
mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan
konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal
mencapai kesepakatan.

PENYELESAIAN KASUS
Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga
yang lebih murah dari harga negara ekspor dan ini merupakan pelanggaran terhadap
kesepakatan WTO.

Berikut langkah-langkah penyelesaian kasus dumping ini.

Indonesia meminta bantuan kepada Badan Penyelesaian Sengketa


(Dispute Settlement Body(DSB) WTO dan melalui Panel meminta agar kebijakan anti
dumping yang dilakukan Korea ditinjau kembali karena tidak konsisten dengan
beberapa point artikel kesepakatan seperti artikel 6.8 yang paling banyak diabaikan
dan artikel lainnya dan Indonesia juga meminta Panel terkait dengan artikel
19.1 dari Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of
Disputes (DSU) untuk meminta Korea bertindak sesuai dengan kesepakatan
GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) dan membatalkan kebijakan anti
dumping impor kertas yang dikeluarkan oleh menteri keuangan dan ekonomi nya
pada tanggal 7 November 2003. Yang menjadi aspek legal disini adalah adanya
pelanggaran terhadap artikel kesepakatan WTO khususnya dalam kesepakatan
perdagangan dan penentuan tarif seperti yang tercakup dalam GATT. Sifat legal atau
hukumnya terlihat juga dengan adanya tindakan Retaliasi oleh pemerintah Indonesia
karena Korea dinilai telah bertindak curang dengan tidak melaksanakan keputusan
Panel. Sementara DSB sebelumnya atas kasus dumping kertas tersebut yang
memenangkan Indonesia dimana retaliasi diijinkan dalam WTO.

Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional


Departemen Perdagangan mengatakan dalam putusan Panel DSB pada November
2005 menyatakan Korsel harus melakukan rekalkulasi atau menghitung ulang margin
dumping untuk produk kertas asal Indonesia. Untuk itu, Korsel diberikan waktu
untuk melaksanakan paling lama delapan bulan setelah keluarnya putusan atau
berakhir pada Juli 2006. Panel DSB menilai Korsel telah melakukan kesalahan dalam
upaya membuktikan adanya praktik dumping kertas dari Indonesia. Pengenaan
tuduhan dumping kertas melanggar ketentuan anti dumping WTO. Korea harus
menghitung ulang margin dumping sesuai dengan hasil panel maka ekspor kertas
Indonesia ke Korsel kurang dari dua persen atau deminimis sehingga tidak bisa
dikenakan Bea Masuk Anti Dumping. Panel Permanen merupakan panel tertinggi
di WTO jika putusan Panel Permanen juga tidak ditaati oleh Korsel, Indonesia dapat
melakukan retaliasi, yaitu upaya pembalasan atas kerugian yang diderita. Dalam
retaliasi, Indonesia dapat mengenakan bea masuk atas produk tertentu dari Korsel
dengan nilai kerugian yang sama selama pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping
(BMAD). Korean Trade Commision yang merupakan otoritas dumping Korsel
mengenakan BMAD 2,8 - 8,22 % terhadap empat perusahaan kertas, seperti yang
telah disebutkan diatas yaitu PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp &
Paper Mills, PT Indah Kiat Pulp & Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003.
Dalam membuat tuduhan dumping, KTC menetapkan margin dumping kertas dari
Indonesia mencapai 47,7 persen. Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain
paper copier dan undercoated wood free printing paper.

Dalam kasus ini, Indonesia telah melakukan upaya pendekatan sesuai


prosedur terhadap Korsel.Pada 26 Oktober 2006 Indonesia juga mengirim surat
pengajuan konsultasi. Selanjutnya, konsultasi dilakukan pada 15 November 2006
namun gagal. Korea masih belum melaksanakan rekalkulasi dan dalam pertemuan
Korea mengulur-ulur waktu. Tindakan Korsel tersebut sangat merugikan industri
kertas Indonesia. Ekspor kertas ke Korsel anjlok hingga 50 persen dari US$ 120 juta.
Kerugian tersebut akan berkepanjangan sebab Panel juga menyita waktu cukup lama,
paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan.

Kasus dumping Korea-Indonesia pada


akhirnya dimenangkan oleh Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus kasus
dumping yang belum terselesaikan sekarang maka Indonesia perlu melakukan
antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi
industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor. Selain itu,
diperlukan penetapkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dalam
rangka proses investigasi praktek dumping (ekspor dengan harga lebih murah dari
harga di dalam negeri) yang diajukan industri dalam negeri.

Pemerintah harus mengefektifkan Komite Anti Dumping Indonesia


(KADI) yang merupakan institusi yang bertugas melaksanakan penyelidikan,
pengumpulan bukti, penelitian dan pengolahan bukti dan informasi mengenai barang
impor dumping, barang impor bersubsidi dan lonjakan impor.

TANGGAPAN:

Korea terlalu cepat menilai Indonesia melakukan praktek dumping tanpa berfikir
panjang dengan tidak berusaha menghitung ulang margin dumping pada produk
kertas Indonesia dan tidak meneliti kembali kesepakatan perdagangan antara Korea
dan Indonesia.

SARAN:

Setiap negara yang melakukan ekspor impor sebaiknya menghitung


margin dumping dengan teliti dan berusaha menyepakati perjanjian-perjanjian yang
ada dengan baik.

Setiap negara yang melakukan ekspor impor perlu melakukan antisipasi


dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri
dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor. Selain itu, diperlukan
penetapkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dalam rangka proses
investigasi praktek dumping (ekspor dengan harga lebih murah dari harga di dalam
negeri) yang diajukan industri dalam negeri.

REFERENSI

Anindika, Ratya & Reed, R. Michael. Bisnis dan Perdagangan


Internasional. 2008. Andi: Yogyakarta

Griffin, Ricky W & Pustay, Michael W. Bisnis Internasional Edisi


Keempat Jilid 2.2006. Indeks: Jakarta.
Tambunan, Tulus T H. Globalisasi dan Perdagangan
Internasional. 2004. Ghalia Indonesia: Jakarta.

http://www.suaramerdeka.com/harian/0511/01/eko09.htm

http://www.tempo.co/read/news/2010/10/25/090286990/Penghentian-
Kasus-Dumping-Kertas-Belum-Direspons-Pengusaha-Korea

https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds312_e.htm
Kasus 5

Mengandung Pengawet Terlarang, Indomie Ditarik di Taiwan

TEMPO Interaktif , Taiwan Dua jaringan supermarket terbesar di Taiwan berhenti


menjual produk mi instan merek Indomie setelah pemerintah Taiwan menemukan
bahan pengawet yang dilarang di produk asal Indonesia. Pusat Keamanan Makanan
Taiwan telah menguji mi tersebut dan bakal menanyakannya terhadap insiden
tersebut ke para importir dan distributor. Importir dari Hong Kong mengatakan mi-mi
tersebut diperkirakan dibawa ke Thailand secara ilegal. Beberapa warga Taiwan
mengatakan mereka akan membeli mi merek lain. Sementara, para tenaga kerja
Indonesia di Taiwan mengaku akan tetap memakan Indomie karena rasanya enak dan
harganya murah.

Pemerintah Taiwan mengumumkan menarik mi instan Indomie, Jumat. Penarikan itu


dilakukan setelah dua bahan pengawet terlarang, methyl p-hydroxybenzoate dan
benzoic acid, ditemukan di dalam Indomie. Bahan pengawet tersebut hanya
dibolehkan untuk kosmetik. Bahan pengawet tersebut dilarang digunakan di
makanan-makanan di Taiwan, Kanada, dan Eropa. Jika bahan pengawet tersebut
dikonsumsi, bisa menyebabkan orang muntah. Bahkan, kalau bahan pengawet
tersebut dimakan untuk jangka waktu yang cukup lama atau dalam jumlah yang
banyak, itu bisa menyebabkan metabolic acidosis, sebuah kondisi akibat terlalu
banyak mengkonsumsi asam.

Jaringan toko ParknShop dan Wellcome menarik semua produk Indomie dari
supermarket-supermarket milik mereka. Importir Indomie di Taiwan, Fok Hing (HK)
Trading, mengatakan mi produk Indomie sudah memenuhi standar keamanan
makanan di Hong Kong maupun Badan Kesehatan Dunia (WHO). Fok Hing (HK)
Trading mengutip penilaian kualitas Indomie pada Juni yang menyatakan tidak
menemukan kandungan pengawet terlarang di Indomie.
"Mi Indomie aman dimakan dan mereka masuk ke Hong Kong melalui saluran impor
resmi," tulis Fok Hing (HK) Trading. "Produk yang mengandung racun dan
ditemukan di Taiwan diduga diimpor secara ilegal."

Sebuah supermarket Indonesia di Taiwan, East-Southern Cuisine Express, di


Causeway Bay mengatakan bahwa produk Indomie mereka bukan barang selundupan
dan aman dimakan. Satu paket berisi lima bungkus Indomie di Taiwan dijual 10 dolar
Hong Kong (Rp 11. 500) Sementara, merek lainnya seharga 15 dolar Hong Kong (Rp
17.200) sampai 20 dolar Hong Kong (Rp 23.000). Indomie diminati di Hong Kong
setelah sebuah iklan menunjukkan seorang bayi menari dan terbang setelah minum
satu mangkuk Indomie.

Sementara itu, produsen Indomie di Indonesia, PT Indofood CBP Sukses Makmur


Tbk (ICBP), mengatakan produk-produk mereka sudah memenuhi standar
internasional. (Baca: Produknya Ditarik di Taiwan, Ini Jawaban Indofood).

"ICBP menegaskan bahwa produk-produknya telah sesuai dengan petunjuk global


yang dibuat CODEX Alimentarius Commission, badan standar makanan
internasional. Kami sedang mengkaji situasi di Taiwan terkait beberapa laporan
tersebut dan akan mengambil langkah yang diperlukan untuk melindungi konsumen
kami di negara itu dan negara lainnya," ujar Direktur ICBP Taufik Wiraatmadja
dalam siaran pers di situs Indofood, Senin (11/10).

2.1 Analisis Kasus

Kasus ini melibatkan beberapa pemeran bisnis internasional, yaitu pemerintahan


Taiwan melalui FDA & DOH (Food and Drugs Administration Department Of
Health)-nya, para importir melalui Fok Hing (HK) Trading, dua jaringan distributor
dan retailer besar Taiwan melalui ParknShop dan Wellcome, perusahaan asal
Indonesia melalui PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, dan pemerintah Indonesia
melalui Kementerian Perdagangan (Marie Elka Pangestu). Masalah utamanya terletak
pada temuan dua bahan pengawet terlarang, methyl p-hydroxybenzoate dan benzoic
acid, yang notabene sangat dilarang untuk pemakaian dalam bahan makanan di
negara Taiwan. Tapi, Indofood berdalih bahwa produknya sudah memenuhi standar
Internasional yang dibuat oleh badan standar makanan internasional, Codex
Alimentarius Commision (CAC). Pembelaan pun datang dari importir resmi Indomie
di Taiwan, Fok Hing (HK) Trading, mengatakan bahwa mi produk Indomie sudah
memenuhi standar keamanan makanan di Hong Kong maupun Badan Kesehatan
Dunia (WHO).

Menurut saya, masalah ini muncul disebabkan karena kesalahan interpretasi standar
Internasional oleh otoritas negara Taiwan, yang memang bukan anggota
CAC. Langkah penarikkan peredaran mi tersebut bisa dinilai wajar, karena tugas
negara memang harus melindungi rakyatnya/konsumen dari potensi
keracunan. Mengingat hubungan perdagangan antara Taiwan-Indonesia selama ini
saling menguntungkan, sudah selayaknya segera dilakukan rekonsiliasi antara pihak-
pihak terkait. Musyawarah untuk mufakat adalah pilihan yang tepat untuk
menemukan titik kesepahaman antara interpretasi otoritas Taiwan dan Indonesia.

Isu-isu yang berkembang seiring adanya dugaan jalur ilegal peredaran mi Indomie
harus segera ditanggapi dan diusut. Hal tersebut (mi illegal, red) bisa memperparah
citra Indofood yang selama ini dikenal baik oleh warga Taiwan.

Apapun hasil perundingan nantinya, harus ditaati para pihak yang berunding. Dan
langkah selanjutnya adalah segera melakukan klarifikasi untuk memberitahu
masyarakat tentang hasil perundingan dan akar masalahnya. Upaya itu dapat
mereduksi keresahan/kekhawatiran masyarakat terhadap produk Indomie yang ditarik
massal sebelumnya.
Kasus 6

Permasalahan Force Majeure dalam Pelanggaran Kontrak Perdagangan


Internasional (CISG) pada Sengketa Kontrak Dagang Internasional antara
Globex versus Marcomex

Globex adalah suatu perusahaan Amerika yang menjual produk-produk makanan ke


seluruh dunia. Globex telah dikontrak untuk menjual Macromex, sebuah perusahaan
di Rumania, dalam kontrak tersebut, Globex harus mengirimkan 112 kontainer ayam
ke Rumania. Kontrak tersebut diatur dalam ketentuan CISG. Dalam kontrak tersebut
Globex menyebutkan bahwa pengiriman terakhir dilakukan pada 29 Mei 2006.
Namun pada tanggal 2 Juni 2006 terjadi kegagalan dalam mengirim 62 kontainer
ayam ke Rumania.

Pada tanggal 2 Juni 2006, pemerintah Rumania mendeklarasikan tanpa memberitahu


terlebih dulu kepada Globex bahwa sampai pada tanggal 7 Juni 2006, tidak ada ayam
yang dapat diimpor ke Rumania kecuali apabila ada pengesahan pada tanggal terakhir
yang telah ditentukan. Antara tanggal pengumuman tersebut dibuat sampai pada
tanggal 7 Juni 2996 Globex bergegas untuk mengirimkan 20 kontainer dari sisa 62
kontainer yang telah dikontrak untuk dijual. Pada tanggal 7 Juni 2006 sisa 42
kontainer ayam tidak dapat dikirim ke Rumania dikarenakan suatu peraturan
pemerintah. Marcomex kemudian membawa perkara ini ke proses arbitrase dengan
dasar bahwa Globex telah melakukan suatu pelanggaran kontrak, dan meminta ganti
rugi sebesar $608,323,00.

Atas pengajuan arbitrase Macromex terhadap Globex tersebut, Globex kemudian


mengajukan argumennya, Globex mengajukan argumennya bahwa kegagalan
pengiriman tersebut terjadi karena adanya force majeure. Globex beragumen bahwa
penundaan pengiriman tersebut tidak sesuai dengan standar umum. Larangan tersebut
tidak dapat diadaptasi oleh pihak Globex karena tidak ada peringatan terlebih dahulu,
larangan tersebut benar-benar memblocking Globex dalam pengiriman sisa ayam ke
Macromex.

Arbitrase memutuskan bahwa penundaaan pengiriman tersebut bukan merupakan


suatu pelanggaran yang fundamental karena larangan untuk mengimpor ayam ke
Rumania tidak efektif membuat pengiriman tidak terlaksana. Sesuai dengan
keberadaan Pasal 79 CISG dimana meminta dimasukkan dalam keadaaan force
majeure sesuai dengan pasal tersebut yang dipakai sebagai dasar interpretasi oleh
arbitrator. Kemudian arbitrase mencatat bahwa selain Amerika sebagai supplier
Macromex yang menyetujui secara lebih tidak terkait secara langsung oleh larangan
impor. Yang seharusnya Globex dapat mengambil keuntungan dari meningkatnya
nilai jual ayam di pasar sesuai dengan keadaan.

Rusaknya harga pasar di Rumania dikarenakan tidak terkirimnya ayam senilai


$606,323,00 yang menyebabkan kerugian pihak Macromex. Arbitrator membebankan
semua biaya untuk proses arbitrse dan biaya pengacara kepada Globex sehingga total
putusan sebesar $876,310,58.

KOMENTAR;

Kasus kendala pengiriman barang sering terjadi pada kerja sama atas dua
perusahaan yg memiliki batas negara masing-masing,seharusnya bagian supplier
perusahaan Globex menginformasikan keadaan ini kepada perusahaan Macromex
agar tidak terjadi salah paham,keadaan ini di luar kuasa perusahaan Globex karena
sebab penundaaan pengiriman di karenakan suatu aturan pemerintah,memang dengan
adanya seperti ini jelas Macromex yang menderita kerugian,mereka sudah men
deadline penjualan sementara bahan belum tekirim,Untuk mengatasi agar tidak
terjadinya peristiwa seperti ini,di dalam kontrak seharusnya di cantumkan juga
kemungkinan-kemungkinan yg bisa menghambat proses kerja sama.
force majeure adalah suatu kejadian yang terjadi di luar
kemampuan perusahaan dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak
dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Kasus 7

Penangkapan Pangeran Alwaleed Membuat Investor Bingung

Senin, 6 November 2017 - 22:13 WIB Pangeran Alwaleed bin Talal, bos King dom
Holding ditahan terkait penyelidikan korupsi

RIYADH - Investor bereaksi buruk terhadap penangkapan miliarder Saudi Pangeran


Alwaleed bin Talal, salah satu orang terkaya di dunia. Saham Kingdom Holding milik
Pangeran Alwaleed, tenggelam untuk hari kedua setelah adanya laporan penangkapan
oleh Komite Anti Korupsi Arab Saudi alias 'KPK Saudi'.

Seperti dikutip dari BBC, Jumat (6/11/2017), miliuner termasuk di antara 11 pangeran
yang ditangkap oleh sebuah badan anti-korupsi baru yang dipimpin oleh Pangeran
Mahkota Saudi.

Pangeran Alwaleed memegang saham di Citigroup, Twitter dan Apple. "Dari


perspektif sentimen, ini akan merugikan bisnis yang terkait dengan sang pangeran,"
kata Nabil Rantisi, managing director brokerage di Menacorp, perusahaan investasi
Uni Emirat Arab.

"Investor utama mungkin menghindar dari perusahaan-perusahaan ini untuk


sementara waktu sampai mereka memiliki kejelasan mengenai hasil dari situasi,"
imbuhnya.
Kasus 8

Paradise Papers: Rahasia Pajak Orang Super Kaya Seret Banyak Nama

Senin, 6 November 2017 - 11:48 WIB Kebocoran dokumen keuangan berskala


Internasional telah mengungkapkan bagaimana orang-orang super kaya secara diam-
diam investasikan uang dalam jumlah besar di negara surga pajak.

LONDON - Kebocoran dokumen keuangan berskala Internasional telah


mengungkapkan bagaimana orang-orang super kaya secara diam-diam
menginvestasikan uang mereka dalam jumlah besar di luar negeri, yakni di tempat
surga pajak. Beberapa nama yang terseret dalam dokumen yang disebut Paradise
Papers (Dokumen Surga), mulai dari Ratu Elizabeth di Inggris, Menteri Perdagangan
Donald Trump serta tidak ketinggalan beberapa tokoh tenar Indonesia.

Seperti dilansir BBC, Menteri perdagangan pemerintahan Donald Trump disebut


memiliki saham di perusahaan yang melakukan transaksi dengan Rusia yang dikenai
sanksi oleh Amerika Serikat. Paradise Papers sendiri disebut berisikan 13,4 juta
dokumen yang sebagian besar berasal dari satu perusahaan keuangan luar negeri.
Program televisi BBC Panorama termasuk satu dari hampir 100 kelompok media
yang bersama-sama menyelidiki dokumen ini.

Mirip dengan kebocoran Panama Papers tahun lalu, dokumen ini diperoleh surat
kabar Jerman Sddeutsche Zeitung, yang kemudian meminta International
Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) atau Konsorsium Jurnalis Investigatif
untuk melakukan penyelidikan. The Guardian juga disebutkan sebagai salah satu di
antara organisasi-organisasi yang menyelidiki dokumen tersebut.

Laporan yang dikeluarkan Minggu (5/11) ini baru sebagian kecil dari laporan yang
akan dikeluarkan dalam satu minggu ke depan untuk mengungkap skandal pajak dan
keuangan sebagian dari ratusan orang dan perusahaan yang namanya disebut dalam
data. Banyak artikel terpusat pada bagaimana para politikus, perusahaan
multinasional, selebriti dan orang kaya secara individu menggunakan kerumitan
struktur yayasan dan perusahaan tertutup untuk melindungi uang mereka dari otoritas
pajak.

Bahkan mereka berupaya menyembunyikan transaksi mereka, meskipun sebagian


besar transaksi ini disebutkan tidak melanggar hukum. Laporan kecil yang dirilis
pada akhir pekan kemarin di antaranya Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau yang
telah dikaitkan pernah bertransaksi jutaan dolar dalam pajak dengan perusahaan surga
pajak.

Lalu ada juga nama yang disebut yaitu Lord Michael Ashcroft, pebisnis sekaligus
anggota British House of Lords. Ditambah ada pertanyaan mengenai pendanaan
utama tim sepak bola asal Inggris Everton FC serta munculnya nama miliader asal
Rusia Kharis Usmanov.

Kasus 9

Sengketa antara Trading Corporation of Pakistan Limited v. PT. Bakrie &


Brothers (Putusan MA No. 4231 K/Pdt/1986.

PT. Bakrie & Brothers (Indonesia) selaku penjual CPO gagal memenuhi
kewajibannya memenuhi kontrak. PT. Bakrie & Brothers kemudian menutup
kontrak pembelian dengan pihak Larita (s) Pte. Ltd. Singapore untuk
memenuhi kewajibannya pada Trading Corporation of Pakistan Limited
(Pakistan).
Larita (s) Pte. Ltd. Singapore gagal memenuhi kewajibannya terhadap PT.
Bakrie & Brothers sehingga pihak Trading Corporation of Pakistan Limited
merasa dirugikan oleh PT. Bakrie & Brothers ;
PT. Bakrie & Brothers menolak membayar ganti rugi karena menurutnya
mereka telah mengadakan performance bond (bank garansi) sesuai kontrak ;
Badan Arbitrase, Federation of Oils, Seed and Fats Associations Ltd
(London) memutuskan pihak PT. Bakrie & Brothers wajib membayar ganti
rugi kepada Trading Corporation of Pakistan Limited sebesar USD 98.510.74.
Trading Corporation of Pakistan Limited memohon kepada PN Jaksel untuk
melaksanakan putusan Arbitrase tersebut.
PN Jaksel menolak permohonan Trading Corporation of Pakistan Limited
dengan pertimbangan sebagai berikut :

Bahwa berdasarkan Keppres No. 34 Tahun 1981 putusan arbitrase tersebut tidak
memiliki kekuatan hukum, karena putusan tersebut dibuat di London Inggris,
sementara pihak yang bersengketa adalah Indonesia dan Pakistan. Menurut hakim
azas timbal balik (resiprositas) yang dimaksud dalam Keppres No. 34 Tahun 1981
diberlakukan terhadap para pihak yang bersengketa (contracting parties).

Bahwa dalam pemeriksaan perkara di Arbitrase London, Termohon (PT. Bakrie &
Brothers) tidak mendapat kesempatan yang wajar untuk mengemukakan
pembelaannnya ;

PT. Jakarta dan MA menguatkan putusan PN. Jaksel, sehingga putusan


arbitrase yang bersangkutan ditolak pelaksanaannya di Indonesia.

Sengketa antara Keck Seng (s) Pte. Ltd (Singapore) dan K.S. Edible Oil (H.K)
Ltd (Hongkong) vs. Hunt-Wesson Foods, Inc (USA)

Sengketa ini berawal dari kontrak jual beli minyak kelapa sumatera antara
Hunt-Wesson dangan Matthes & Portion sebagai broker Keck Seng Pte.Ltd
(Penjual) ;
Pada tanggal 21 April dilakukan perbaikan kontrak jual beli dan bertindak
sebagai penjual adalah Keck Seng Edible Oil Ltd.
Pada saat penjual (Keck Seng Edible Oil Ltd.) gagal melakukan penjualan,
Hunt-Wesson mengajukan perkara tersebut ke badan arbitrase Asosiasi
Arbitrase America (USA). Badan Arbitrase ini memutuskan bahwa Keck
Seng Edible Oil Ltd. sebagai penjual gagal melaksanakan kewajibannya
dan dikenakan pembayaran ganti rugi sebesar USD 252.000 ditambah bungan
tahunan sebesar 7 % ;
Hunt-Wesson kemudian meminta pelaksanaan putusan di Belanda
(Pengadilan Rotterdam) karena Keck Seng mempunyai dana di Bank Belanda
dan Pengadilan Rotterdam menyatakan bahwa putusan arbitrase dapat
dilaksanakan ;
Keck Seng Pte.Ltd dan Keck Seng Edible Oil Ltd mengajukan banding ke
pengadilan tinggi Belanda:
Pengadilan Tinggi Belanda menerima permohonan banding Keck
Seng Pte.Ltd dan Keck Seng Edible Oil Ltd Serta menolak pelaksanaan
putusan arbitrase ;
Pertimbangan Pengadilan Tinggi Belanda menyatakan bahwa pelaksanaan
putusan arbitrase ditolak karena para pihak tidak berwenang membuat
perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase dibuat antara Hunt-Wesson dan Keck
Seng Pte.Ltd. Namun kemudian kedudukan Keck Seng Pte. Ltd digantikan
oleh Keck Seng Edible Oil Ltd. Menurut PT Belanda Keck Seng Edible Oil
Ltd tidak terikat dengan perjanjian arbitrase yang dibuat antara Hunt- Wesson
dan Keck Seng Pte.Ltd.

Perkara antara Pemilik Galangan Kapal Finlandia dengan Pencharter Kapal


(Spanyol)

Pada tanggal 21 Januari 1976 dilakukan perjanjian charter kapal (charter


party) oleh pencharter kapal (spanyol) dan pemilik galangan kapal (finlandia)
untuk mengangkut ikan beku sebanyak 600 ton ;
Dalam salah satu klausula disebutkan denda keterlambatan sebesar USD 1800
per hari. Pengapalan mengalami keterlambatan 70 hari 4 jam ;
Pihak pencharter kapal tidak bersedia membayar sewa kapal karena
keterlambatan pihak galangan kapal ;
Klausula arbitrase menunjuk proses arbitrase di London ;
Pihak galangan kapal menunjuk Tuan Jhon di London sebagai wasitnya ;
Tuan Jhon meminta kepada pihak percharter kapal untuk menunjuk wasitnya
selama jangka waktu 21 hari. Pihak pencharter kapal tidak merespon
permintaan tersebut sampai berakhirnya jangka waktu 21 hari ;
Pemeriksaan dilakukan dengan arbiter tunggal dan diputuskan pencharter
kapal harus membayar sewa kapal sebesar USD 121.650 ditambah bunga 8
% pertahun. Keputusan ini diberitahukan kepada pencharter kapal, tetapi
yang bersangkutan tetp tidak merespon
Dalam bantahannya di Mahkamah Agung Spanyol, pencharter kapal
menyatakan bahwa putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan karena putusan
itu dibuat tanpa kehadiran dirinya ;
MA Spanyol dalam perkara ini menyatakan bahwa pemberitahuan sudah
dilakukan secara pantas. Ketidakhadiran pencharter kapal pada pemeriksaan
arbitrase tidak berdasar, melainkan kehendak sepihak untuk menghindari
pemeriksaan ;
Penolakan pencharter kapal atas pelaksanaan putusan arbitrase London,
ditolak

Putusan MA No. 1205 K/Pdt/1990 antara E.D & F. MAN (SUGAR) Ltd vs.
Yani Haryanto

Mahkamah Agung RI menolak pelaksanaan putusan Arbitrase gula di


London yang menghukum Yani Haryanto membayar ganti rugi karena
wanprestasi dalam kontrak jual beli gula.
Yani Haryanto tidak melaksanakan kewajibannya membayar harga
gula yang diimpornya;
Menurut MA Perjanjian jual beli gula tersebut batal demi hukum, karena
menurut ketentuan hukum Yani Haryanto tidak memiliki hak melakukan
impor gula.
Pihak yang berhak adalah Bulog.
Jika putusan arbitrase dilaksanakan akan bertentangan dengan hukum di
Indonesia.
Pasal V ayat 2 Konvensi New York 1958 pelaksanaan putusan arbitrase dapat
ditolak karena bertentangan dengan kepentingan umum.
Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (2) Peraturan MARI No. 1 Tahun 1990
menyatakan putusan arbitrase luar negeri dapat dilaksanakan di Indonesia
jika tidak bertentangan dengan ketertiban umum

Kasus 10

Kasus Ekspor Tuna Salah Satu Alasan Jokowi Evaluasi Perdagangan Bebas

Kasus tuna Indonesia yang diekspor ke Uni Eropa kena tarif tinggi dibandingkan
dengan negara-negara lainnya menjadi salah satu pertimbangan pemerintahan Jokowi
mengevaluasi kerjasama perdagangan bebas. Dalam kasus tuna, justru Indonesia
tertinggal dengan negara lain karena belum menjalin Free Trade Agreement (FTA)
dengan Uni Eropa.
Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Kemendag Bachrul Chairi mencontoh
Indonesia di ASEAN adalah produksi tuna terbesar, tetapi bea masuk tuna Indonesia
di Eropa itu dikenakan 22,5%, namun Malaysia, Filipina, dan Vietnam yang sebagian
tunanya datang dari perairan Indonesia, itu hanya dikenakan bea masuk impor 0%.
"Akibat 22,5% itu kita sudah sulit besaing dengan mereka. Alasannya, mereka sudah
melakukan apa yang disebut FTA dengan Eropa. Indonesia ketinggalan dalam hal
ini," kata Bachrul usai rakor soal FTA di Kantor Menko Perekonomian, Jakarta,
Selasa (17/3/2015)

Kasus serupa juga terjadi di Jepang, tuna asal Indonesia harus kena bea masuk impor
7,5%, sedangkan di negara lain hanya 0%. Padahal Indonesia dan Jepang sudah ada
kerjasama perdagang bebas bilateral dengan Jepang yaitu Indonesia Japan Economic
Partnership Agreement (IJEPA).
Menurut Bachrul dengan posisi Indonesia yang belum masuk FTA dengan kawasan
lain, dan adanya FTA yang sudah berlaku namun belum memberikan keuntungan,
maka investor kurang tertarik masuk Indonesia. Alasannya investor akan memilih
masuk ke negara yang sudah banyak perdagangan bebas, sehingga pasarnya akan
lebih luas dan besar.

"Walau Indonesia punya demografi tenaga kerja yang cukup, infrastruktur akan
membaik, tetap kalau pasarnya cuma 250 juta jiwa mereka kurang tertarik, karena
mereka mampu lebih dari 250 juta penduduk," jelasnya.

Bachrul mengatakan, posisi pemerintahan saat ini terus mendukung adanya FTA
namun akan dievaluasi dari sisi keuntungan bagi Indonesia, terutama dari mendorong
ekspor dan menarik investasi ke dalam negeri.
"Kalau kita tidak terbuka, kita kehilangan 'kereta' dengan negara lain, kita kehilangan
investasi, kita kehilangan kemampuan mendorong ekonomi yang kita harapkan,"
katanya.
Terkait dengan Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), telah
disepakati akan dievaluasi. Pemerintah Indonesia sudah melakukan pertemuan
dengan Jepang.

"FTA kebijakan Jokowi-JK dalam rangka mengamankan ekspor Indonesia," katanya.

Ia mengaku dalam rapat internal pemerintah, ada beberapa Kementerian


menyarankan agar beberapa FTA untuk dihentikan, namun kini arahannya berubah,
yaitu FTA diminta untuk terus lanjutkan dengan evaluasi.

"Umumnya masalah FTA tidak jalan tadi karena masalah transposisi, belum
disetujuinya kesepakatan dengan negara. Contohnya, misal perdagangan untuk
pulpen, disepakati 0%, waktu kita lakukan transposisi justru dikenakan jadi 15% bea
masuk. Harusnya itu 0%," katanya.

Anda mungkin juga menyukai