BISNIS INTERNASIONAL
Dosen Pembimbing :
Akhid Yulianto, SE, M.Sc (Log)
Disusun Oleh :
Abdurrahim (C1B114001)
Abdurrachman Helmy (C1B114213)
Ahmad Taher (C1B114066)
Ahmad Rizqan Al Kautsar (C1B114027)
Ihsan Rafi Fauzi (C1B114020)
Imaduddin (C1B114204)
M.Wahyu Iqbal (C1B114206)
Riswan Sandi (C1B114203)
Robby Abdi Irwansyah (C1B114202)
Sosio-Ekonomi
ACFTA, Delian Leaguage dan Power Transition Oleh: Dion Maulana Prasetya
(Koordinator Riset CEAS)
Kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area yang dimulai awal tahun 2010
merupakan sebuah kebijakan yang strategis. Dari kesepakatan tersebut bisa lahir
kebijakan fiskal bersama, seperti yang dilakukan Uni Eropa setelah melalui beberapa
proses integrasi ekonomi. Namun, tidak menutup kemungkinan kesatuan kebijakan
tersebut akan mengarah kepada integrasi regional yang lebih menyeluruh, termasuk
politik. David Mitrany menyebut proses tersebut dengan ramifikasi.[1] Uni Eropa
memulainya dengan kerjasama batubara dan baja (European Coal and Steel
Community). Kerjasama itu kemudian mengalami ramifikasi atau istilah Ernst Haas
spill over sampai saat ini telah menciptakan mata uang bersama. Jika mengacu pada
Mitrany, tentunya ACFTA akan berdampak positif bagi perekonomian maupun
keamanan Asia Tenggara. Dalam bidang perekonomian, terjalinnya ACFTA akan
menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Hingga 2005 ASEAN menjadi
mitra kerjasama kelima terbesar bagi China. Nilai investasi ASEAN ke China sebesar
28 persen sejak tahun 1991 sampai 2001. Sedangkan investasi China ke ASEAN
sebesar 7,7 persen dari seluruh investasi China ke luar negeri.[2] Nilai invenstasi
China ke ASEAN yang relatif kecil sebenarnya seimbang dengan besarnya nilai
investasi ASEAN ke China. China sendiri merupakan negara dengan jumlah
penduduk terbesar di dunia. Hal tersebut merupakan potensi pasar yang sangat besar
bagi negara-negara Asia Tenggara. Kerjasama ACFTA selain memunculkan
interdependensi juga akan menjadikan China sebagai negara hegemon di kawasan.
Hal itu bisa dilihat dari perekonomian yang terus melesat mengejar Amerika Serikat
dalam satu dekade terakhir. Bank Dunia memprediksi,[3] Cina akan menjadi
kekuatan ekonomi terbesar mengalahkan AS, 25 tahun yang akan datang.[4] Dan
yang lebih mengagetkan, tujuh dari lima belas ekonomi dunia akan berasal dari
kawasan Asia. Tentunya prediksi semacam ini akan menimbulkan dampak yang
sangat positif bagi negara-negara Asia Tenggara. Absennya AS di kawasan Asia
Tenggara merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kedekatan China dengan
negara-negara Asia Tenggara. Permasalahan keamanan yang pernah membuat
hubungan China dan beberapa negara Asia Tenggara tegang di masa-masa Perang
Dingin, kini telah mencair. Begitu juga dengan permasalahan sengketa wilayah di
Laut China Selatan. Sengketa klaim kepemilikan kepulauan Paracel di Laut China
Selatan antara China, Filipina dan juga Vietnam juga dapat diredam sangat baik,
dengan dibentuknya kerjasama untuk mencari cadangan minyak bersama di wilayah
itu.[5] Kesepakatan tersebut tentunya sangat positif, mengingat sengketa wilayah
Laut China Selatan telah berlangsung secara terbuka pada tahun 1996. Pada tahun
tersebut terjadi aksi tembak menembak antara angkatan laut China dan Filipina di
dekat pulau Capones. Peristiwa tersebut terjadi beberapa kali sampai tahun 1999.
Kerjasama-kerjasama tersebut nampaknya menjadi semakin bermakna, ketika
memasuki abad 21, China giat mengembangkan kemampuan soft power-nya. Hard
power seperti ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dan pertahanan yang
dimiliki oleh China tidak perlu diragukan lagi. Saat ini soft power China yang
berbasis pada budaya, filosofi-filosofi tradisional, dan lain sebagainya,[6] semakin
diminati oleh negara-negara di Asia Tenggara. Joseph Nye mengatakan, soft power
adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan melalui ketertarikan
(attraction) daripada paksaan atau bayaran.[7] Salah satu perbedaan mendasar antara
hard dan soft power terletak pada medianya. Jika soft power menggunakan budaya
sebagai media untuk menarik negara atau aktor lain, hard power menggunakan
ancaman, paksaan atau hukuman (sticks and carrots). Soft power itu ditandai dengan
kesuksesan China meyakinkan negara-negara di Asia Tenggara terhadap kebijakan
good neighbourly relations.[8] Selain itu, keaktivan China dalam upaya menjaga
perdamaian dunia, melalui PBB, ASEAN Regional Forum atau Shanghai
Cooperation Organization (SCO), juga memberi nilai tersendiri bagi China.
Analisis Kasus Kerja sama ACFTA-China
Kerja sama yang dibangun oleh Negara-negara ASEAN dengan China yang notabene
merupakan suatu kerja sama yang akan sangat berdampak positif bagi kedua belah
pihak, khususnya Negara ASEAN. Adanya langkah-langkah nyata dari China yang
memang dikenal sangat giat dalam berinovasi bisnis , pengembangan ilmu
pengetahuan dan inovasi dalam tekhnologi telah membuat Negara-negara ASEAN
yang bekerja sama dengan China ini kini lebih mempunyai pandangan ke depan
tentang bagaimana bersaing dalam dunia bisnis. Disamping itu, kemajuan
perdagangan dan bisnis di China yang merupakan Negara yang mempunyai penuduk
terpadat di dunia membuat Negara-negara ASEAN akan sedikit terbantu dan akan
lebih mempunyai lahan untuk berinvestasi. Perubahan kebijakan luar negeri China
yang signifikan tentunya juga sangat berdampak pada negara-negara Asia Tenggara.
Kawasan Asia Tenggara yang sempat mengalami kekosongan kekuasaan kini telah
diisi oleh China. China telah berhasil masuk di kawasan Asia Tenggara, dengan
perubahan kebijakan luar negeri yang lebih bersahabat dan ditunjang dengan soft
powernya. Perpaduan yang menarik dan baru antara sistem politik otoriter (satu
partai) dengan ekonomi liberal, meningkatkan ketertarikan negara-negara Asia
Tenggara untuk mengikuti jejak China. Keterpurukan demokrasi liberal di abad 21
memberikan dampak yang berarti bagi kawasan Asia Tenggara. Negara-negara
seperti Myanmar dan Thailand yang masih memiliki kultur otoriter, sedikit banyak
akan terpengaruh oleh China. Pengaruh China yang kuat di kawasan Asia Tenggara
itu berdampak pada sistem internasional, terutama Amerika Serikat. AS yang telah
mengalami kegagalan di Afghanistan dalam perang melawan terorisme, sadar bahwa
Asia Tenggara telah lama ditinggalkannya. Negara-negara Asia Tenggara saat ini
lebih bersifat cair, tidak lagi terkotak-kotak oleh ideologi. Mereka lebih bebas
memilih pihak mana yang lebih menguntungkan. Fenomena ini tentu membuat AS
khawatir, karena kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang
terpenting. Kekhawatiran AS ini bisa berdampak buruk bagi perdamaian dunia,
karena selama ratusan tahun, ketakutan akan meningkatnya kekuatan rival bisa
menyebabkan perang. Yang dimaksudkan disini adalah bagaimana kebiasaan AS
yang sering panik dan membuat konflik ketika mereka sudah berada pada posisi yang
tidak aman.
KASUS 3
Moneter
Kasus Penetapan Standar Emas dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Dampak
dari depresiasi rupiah terhadap Dollar ini amat dahsyat. Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) terpuruk. Kebijakan otoritas moneter yang menerapkan kebijakan
uang ketat (tigh money policy) untuk membendung pelemahan rupiah dengan
menaikkan suka bunga memaksa bunga pinjaman naik. Akibatnya proyek-proyek
terhenti dan sejumlah perusahaan-perusahaan gulung tikar. Dampak selanjutnya
adalah terjadinya PHK besar-besaran. Harga sembako dan juga barang-barang
lainnya meningkat tajam sehingga membuat rakyat semakin menderita (Yusanto,
2001: 3). Peristiwa yang lebih mutakhir adalah krisis keuangan yang melanda
Argentina. Mata uang Argentina, Peso didevaluasi hingga lebih dari 100% dari Dollar
AS yang menjadi patokan. Salah satu alasan utama kebijakan devaluasi ini adalah
keputusan untuk menghentikan pematokan (pegging) peso terhadap Dollar AS, yang
oleh IMF dianggap tidak lagi dapat dipertahankan. Kegagalan strategi pemerintah dan
kekacauan tersebut telah mempengaruhi situasi negara-negara AS lainnya
(Fredericks, 2004: 149). Dalam kondisi moneter yang tidak stabil dan menimbulkan
penderitaan tersebut ternyata pihak spekulan menghadapi keadaan sebaliknya.
Menurut Stiglizt (199: 2003) pukulan berat yang mengakibatkan real estate dan pasar
saham Thailand mengalami gelembung (bubble) diakibatkan oleh uang spekulatif
panas yang mengalir ke negara tersebut. Dan memang pada faktanya perubahan arah
modal spekulatif ini merupakan akar pergerakan eksesif pada nilai tukar. Menurut
Stiglizt (2003: 199) salah satu sumber keuntungan para spekulan adalah uang yang
berasal dari pemerintah yang didukung oleh IMF. Sebagai contoh ketika IMF dan
pemerintah Brazil mengeluarkan sekitar 50 miliar Dollar untuk menjaga nilai tukar
yang berada pada level overvalued pada akhir 1998, uang tersebut seakan hilang
ditelan angin. Namun pada faktanya uang tersebut sebagian besar mengalir ke
kantong-kantong para spekulan. Beberapa spekulan mungkin mengalami kerugian
sementara yang lain untung namun secara umum para spekulanlah yang memperoleh
seluruh uang yang diderita oleh pemerintah. Bahkan menurut Stiglizt (2003: 199)
IMF-lah yang menjaga agar para spekulan tersebut tetap dapat berbisnis. Berdasarkan
pemaparan di atas sangat wajar jika sejumlah kalangan mulai mempertanyakan faktor
fundamental yang menjadi pemicu berbagai krisis tersebut. Mereka mulai mencari
solusi alternatif yang dapat menstabilkan kondisi moneter dan keuangan baik yang
bersifat domistik maupun yang bersifat internasional. Salah satu negara yang
memberikan respon yang kuat dari instabilitas sektor moneter tersebut adalah Rusia.
Pemerintah Rusia telah menyadari sifat spekulatif pasar uang dan ketidakstabilan
yang diakibatkan oleh penetapan standar mata uang itu. Pada 10 Juli 2001 The Bank
of Rusia yang merupakan Bank Sentral Rusia mengedarkan mata uang emas yang
bernama Chervonet. Dengan demikian mata uang emas menjadi alat pembayaran
yang sah. Diharapkan dalam jangka pendek orang-orang Rusia bersedia mengubah
tabungan mereka dari mata uang Dollar menjadi mata uang Chervonet disamping
Rubel yang saat ini beredar. Dalam jangka panjang Rusia juga diharapkan dapat
membuat perubahan besar dalam kebijakan keuangan internasional di tengah
kegalauan banyak negara yang berusaha melepaskan diri dari sistem keuangan dunia
yang berporos pada kepentingan bangsa Anglo-AS (Frederick, 2004: 195). Bahkan
pada perjanjian Mastrich bulan Februari 1992-dalam upaya untuk menciptakan mata
uang tunggal pada tahun 1999-Bank Sentral Eropa yang merupakan peleburan dari
bank-Bank Sentral negara-negara Eropa berupaya mengumpulkan 50 milyar Euro
dalam bentuk emas dari seluruh negara-negara anggota sebagai cadangannya.
Demikian pula halnya pada tanggal 1 Januari 1999. Dewan Pengawas Bank Sentral
Eropa telah menetapkan bahwa 15% dari cadangan dasarnya yang mencapai 9,5
milyard Euro harus berbentuk emas (Salim, 2004). Keinginan sejumlah ekonom dan
pejabat pemerintahan untuk kembali pada standar emas (gold standard) bukanlah
tanpa alasan. Disamping dampak negatif yang telah diakibatkan oleh standar mata
uang kertas (fiat money standard), motif tersebut juga dipicu oleh bukti historis
kemampuan standar emas (gold standard) dalam menjaga stabilitas moneter selama
lebih kurang 100 tahun hingga tahun 1914 ketika Perang Dunia I pecah. Pada masa
tersebut standar emas telah mampu mewujudkan kestabilan moneter domostik
maupun internasional serta mampu menciptakan perdamaian dan kesejahteraan dalam
kurun waktu yang cukup panjang (Kimball, 2005). Inflasi yang menjadi masalah
serius bagi otoritas moneter di rezim fiat money standardpada masa tersebut dapat
berjalan secara stabil. Hal ini karena rezim tersebut memiliki rezim moneter yang
berjalan secarar otomatis yang dapat mengatur pergerakan supply money di suatu
negara serta diawasi secara disiplin oleh otoritas moneter masing-masing negara.
Dengan demikian faktor utama yang menjadi pemicu inflasi pada uang subtitusi
sepenuhnya dapat dikendalikan (Herbener, 2002). Hal ini juga diakui oleh diakui oleh
Frederik Hayek (1976) sebagaimana yang dikutip oleh Block (1999): Secara
signifikan hal tersebut hanya terjadi pada kejayaaan sistem industri modern dan
selama standar emas yang berlangsung sekitas dua ratus tahunpada masa itu harga-
harga diakhir rezim tersebut tidak mengalami perubahan. Ia sama sebagaimana
awalnya. (Hayek, 1976:16) Kecuali selama dua ratus tahun ketika standar emas
diterapkan. Selain itu pemerintah sepanjang sejarah telah mengunakan kekeuatan
eksklusif mereka untuk menipu dan mencuri harta rakyat. (Hayek, 1976: 15)
Disamping itu dengan adanya nilai tukar yang tetap antara mata uang suatu negara
negara dengan negara lainnya menjadikan arus perdagangan dan investasi tumbuh
dengan pesat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Grenspan (1966) yang juga
dikutip oleh Block (1999) : Ketika standar emas diterima sebagai alat pertukaran oleh
sebagian besar negara, standar emas internasional yang bebas tanpa batas telah
membantu percepatan pembagian tenaga kerja (devision of labour) dan perluasan
perdagangan internasional. Meskipun alat-alat tukar (seperti Dollar, Pound, Franch,
dll) berbeda antara satu negara dengan negara lainnya dan seluruhnya detetapkan
nilainya dengan emas, namun selama masa tersebut tidak ada hambatan bagi
perdagangan ataupun pergerakan modal (movement of capital). Meski demikian
harus diakui bahwa kondisi demografis, ekonomi, politik dan budaya serta
perkembangan teknologi masyarakat saat ini telah mengalami perubahan yang
signifikan dibandingkan masa tersebut. Namun setidaknya terdapat beberapa faktor
fundamental yang dapat dikaji pada standar moneter tersebut dalam menciptakan
stabilitas moneter dan keuangan dibandingkan dengan standar moneter lainnya
termasuk standar mata uang kertas saat ini yang didominasi oleh Dollar.
(www.tempo.co)
Indonesia sebagai negara berkembang pada umumnya akan memilih suatu perusahaan
domestik untuk disubsidi khususnya industri yang benar-benar menjadi ekspor
Indonesia. Dan selain itu, Indonesia juga mengambil kebijakan ekonomi seperti
penetapan batasan impor, hambatan tarif dan non tarif dan kebijakan lainnya. Sama
seperti negara lainnya, Korea juga menetapkan kebijakan ekonomi anti dumping
untuk melindungi industri domestiknya. Kali ini yang menjadi sasaran negara yang
melakukan dumping adalah Indonesia.
Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO yaitu kasus antara Korea Selatan
dan Indonesia, dimana Korsel menuduh Indonesia melakukan dumping Woodfree
Copy Paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar.
Pada mulanya harga produk kertas Korsel tinggi dan juga produsen kertas Korsel
tidak dapat memenuhi beberapa permintaan pasar. Pada saat itulah masuk produk
kertas Indonesia dengan harga yang lebih murah (termasuk jika dibandingkan dengan
harga di pasar Indonesia) dan juga dengan produk yang memiliki fungsi/nilai
substitusi atas produk kertas yang tidak dapat dipenuhi produsen kertas Korsel, hal ini
disebut juga dengan Like Product. Karena hal inilah maka produk kertas Indonesia
lebih banyak diminati oleh pasar di Korsel, sedangkan kertas produk Korsel sendiri
menurun penjualannya. Itulah mengapa Korsel menetapkan Bea Masuk Anti
Dumping (BMAD) terhadap produk kertas yang masuk dari Indonesia, untuk
melindungi produk dalam negeri nya.
Produk kertas Indonesia yang dikenai tuduhan dumping mencakup 16 jenis produk,
tergolong dalam kelompok uncoated paper and paper board used for
writing, printing, or other graphic purpose serta carbon paper, self copy paper and
other copying atau transfer paper.
Kasus ini bermula ketika industri kertas Korea Selatan mengajukan petisi anti-
dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC)
pada 30 September 2002. Dan pada 9 Mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti
Dumping Sementara (BMADS) dengan besaran untuk PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia
Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan
lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BMAD
terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik Kertas Tjiwi
Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dan untuk
April Pine dan lainnya 2,80%.
Dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian.
Ekspor Woodfree Copy Paper Indonesia ke Korsel yang pada tahun 2002 mencapai
102 juta dolar AS, turun menjadi 67 juta dolar pada tahun 2003. Dan Indonesia
mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan
konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal
mencapai kesepakatan.
PENYELESAIAN KASUS
Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga
yang lebih murah dari harga negara ekspor dan ini merupakan pelanggaran terhadap
kesepakatan WTO.
TANGGAPAN:
Korea terlalu cepat menilai Indonesia melakukan praktek dumping tanpa berfikir
panjang dengan tidak berusaha menghitung ulang margin dumping pada produk
kertas Indonesia dan tidak meneliti kembali kesepakatan perdagangan antara Korea
dan Indonesia.
SARAN:
REFERENSI
http://www.suaramerdeka.com/harian/0511/01/eko09.htm
http://www.tempo.co/read/news/2010/10/25/090286990/Penghentian-
Kasus-Dumping-Kertas-Belum-Direspons-Pengusaha-Korea
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds312_e.htm
Kasus 5
Jaringan toko ParknShop dan Wellcome menarik semua produk Indomie dari
supermarket-supermarket milik mereka. Importir Indomie di Taiwan, Fok Hing (HK)
Trading, mengatakan mi produk Indomie sudah memenuhi standar keamanan
makanan di Hong Kong maupun Badan Kesehatan Dunia (WHO). Fok Hing (HK)
Trading mengutip penilaian kualitas Indomie pada Juni yang menyatakan tidak
menemukan kandungan pengawet terlarang di Indomie.
"Mi Indomie aman dimakan dan mereka masuk ke Hong Kong melalui saluran impor
resmi," tulis Fok Hing (HK) Trading. "Produk yang mengandung racun dan
ditemukan di Taiwan diduga diimpor secara ilegal."
Menurut saya, masalah ini muncul disebabkan karena kesalahan interpretasi standar
Internasional oleh otoritas negara Taiwan, yang memang bukan anggota
CAC. Langkah penarikkan peredaran mi tersebut bisa dinilai wajar, karena tugas
negara memang harus melindungi rakyatnya/konsumen dari potensi
keracunan. Mengingat hubungan perdagangan antara Taiwan-Indonesia selama ini
saling menguntungkan, sudah selayaknya segera dilakukan rekonsiliasi antara pihak-
pihak terkait. Musyawarah untuk mufakat adalah pilihan yang tepat untuk
menemukan titik kesepahaman antara interpretasi otoritas Taiwan dan Indonesia.
Isu-isu yang berkembang seiring adanya dugaan jalur ilegal peredaran mi Indomie
harus segera ditanggapi dan diusut. Hal tersebut (mi illegal, red) bisa memperparah
citra Indofood yang selama ini dikenal baik oleh warga Taiwan.
Apapun hasil perundingan nantinya, harus ditaati para pihak yang berunding. Dan
langkah selanjutnya adalah segera melakukan klarifikasi untuk memberitahu
masyarakat tentang hasil perundingan dan akar masalahnya. Upaya itu dapat
mereduksi keresahan/kekhawatiran masyarakat terhadap produk Indomie yang ditarik
massal sebelumnya.
Kasus 6
KOMENTAR;
Kasus kendala pengiriman barang sering terjadi pada kerja sama atas dua
perusahaan yg memiliki batas negara masing-masing,seharusnya bagian supplier
perusahaan Globex menginformasikan keadaan ini kepada perusahaan Macromex
agar tidak terjadi salah paham,keadaan ini di luar kuasa perusahaan Globex karena
sebab penundaaan pengiriman di karenakan suatu aturan pemerintah,memang dengan
adanya seperti ini jelas Macromex yang menderita kerugian,mereka sudah men
deadline penjualan sementara bahan belum tekirim,Untuk mengatasi agar tidak
terjadinya peristiwa seperti ini,di dalam kontrak seharusnya di cantumkan juga
kemungkinan-kemungkinan yg bisa menghambat proses kerja sama.
force majeure adalah suatu kejadian yang terjadi di luar
kemampuan perusahaan dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak
dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Kasus 7
Senin, 6 November 2017 - 22:13 WIB Pangeran Alwaleed bin Talal, bos King dom
Holding ditahan terkait penyelidikan korupsi
Seperti dikutip dari BBC, Jumat (6/11/2017), miliuner termasuk di antara 11 pangeran
yang ditangkap oleh sebuah badan anti-korupsi baru yang dipimpin oleh Pangeran
Mahkota Saudi.
Paradise Papers: Rahasia Pajak Orang Super Kaya Seret Banyak Nama
Mirip dengan kebocoran Panama Papers tahun lalu, dokumen ini diperoleh surat
kabar Jerman Sddeutsche Zeitung, yang kemudian meminta International
Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) atau Konsorsium Jurnalis Investigatif
untuk melakukan penyelidikan. The Guardian juga disebutkan sebagai salah satu di
antara organisasi-organisasi yang menyelidiki dokumen tersebut.
Laporan yang dikeluarkan Minggu (5/11) ini baru sebagian kecil dari laporan yang
akan dikeluarkan dalam satu minggu ke depan untuk mengungkap skandal pajak dan
keuangan sebagian dari ratusan orang dan perusahaan yang namanya disebut dalam
data. Banyak artikel terpusat pada bagaimana para politikus, perusahaan
multinasional, selebriti dan orang kaya secara individu menggunakan kerumitan
struktur yayasan dan perusahaan tertutup untuk melindungi uang mereka dari otoritas
pajak.
Lalu ada juga nama yang disebut yaitu Lord Michael Ashcroft, pebisnis sekaligus
anggota British House of Lords. Ditambah ada pertanyaan mengenai pendanaan
utama tim sepak bola asal Inggris Everton FC serta munculnya nama miliader asal
Rusia Kharis Usmanov.
Kasus 9
PT. Bakrie & Brothers (Indonesia) selaku penjual CPO gagal memenuhi
kewajibannya memenuhi kontrak. PT. Bakrie & Brothers kemudian menutup
kontrak pembelian dengan pihak Larita (s) Pte. Ltd. Singapore untuk
memenuhi kewajibannya pada Trading Corporation of Pakistan Limited
(Pakistan).
Larita (s) Pte. Ltd. Singapore gagal memenuhi kewajibannya terhadap PT.
Bakrie & Brothers sehingga pihak Trading Corporation of Pakistan Limited
merasa dirugikan oleh PT. Bakrie & Brothers ;
PT. Bakrie & Brothers menolak membayar ganti rugi karena menurutnya
mereka telah mengadakan performance bond (bank garansi) sesuai kontrak ;
Badan Arbitrase, Federation of Oils, Seed and Fats Associations Ltd
(London) memutuskan pihak PT. Bakrie & Brothers wajib membayar ganti
rugi kepada Trading Corporation of Pakistan Limited sebesar USD 98.510.74.
Trading Corporation of Pakistan Limited memohon kepada PN Jaksel untuk
melaksanakan putusan Arbitrase tersebut.
PN Jaksel menolak permohonan Trading Corporation of Pakistan Limited
dengan pertimbangan sebagai berikut :
Bahwa berdasarkan Keppres No. 34 Tahun 1981 putusan arbitrase tersebut tidak
memiliki kekuatan hukum, karena putusan tersebut dibuat di London Inggris,
sementara pihak yang bersengketa adalah Indonesia dan Pakistan. Menurut hakim
azas timbal balik (resiprositas) yang dimaksud dalam Keppres No. 34 Tahun 1981
diberlakukan terhadap para pihak yang bersengketa (contracting parties).
Bahwa dalam pemeriksaan perkara di Arbitrase London, Termohon (PT. Bakrie &
Brothers) tidak mendapat kesempatan yang wajar untuk mengemukakan
pembelaannnya ;
Sengketa antara Keck Seng (s) Pte. Ltd (Singapore) dan K.S. Edible Oil (H.K)
Ltd (Hongkong) vs. Hunt-Wesson Foods, Inc (USA)
Sengketa ini berawal dari kontrak jual beli minyak kelapa sumatera antara
Hunt-Wesson dangan Matthes & Portion sebagai broker Keck Seng Pte.Ltd
(Penjual) ;
Pada tanggal 21 April dilakukan perbaikan kontrak jual beli dan bertindak
sebagai penjual adalah Keck Seng Edible Oil Ltd.
Pada saat penjual (Keck Seng Edible Oil Ltd.) gagal melakukan penjualan,
Hunt-Wesson mengajukan perkara tersebut ke badan arbitrase Asosiasi
Arbitrase America (USA). Badan Arbitrase ini memutuskan bahwa Keck
Seng Edible Oil Ltd. sebagai penjual gagal melaksanakan kewajibannya
dan dikenakan pembayaran ganti rugi sebesar USD 252.000 ditambah bungan
tahunan sebesar 7 % ;
Hunt-Wesson kemudian meminta pelaksanaan putusan di Belanda
(Pengadilan Rotterdam) karena Keck Seng mempunyai dana di Bank Belanda
dan Pengadilan Rotterdam menyatakan bahwa putusan arbitrase dapat
dilaksanakan ;
Keck Seng Pte.Ltd dan Keck Seng Edible Oil Ltd mengajukan banding ke
pengadilan tinggi Belanda:
Pengadilan Tinggi Belanda menerima permohonan banding Keck
Seng Pte.Ltd dan Keck Seng Edible Oil Ltd Serta menolak pelaksanaan
putusan arbitrase ;
Pertimbangan Pengadilan Tinggi Belanda menyatakan bahwa pelaksanaan
putusan arbitrase ditolak karena para pihak tidak berwenang membuat
perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase dibuat antara Hunt-Wesson dan Keck
Seng Pte.Ltd. Namun kemudian kedudukan Keck Seng Pte. Ltd digantikan
oleh Keck Seng Edible Oil Ltd. Menurut PT Belanda Keck Seng Edible Oil
Ltd tidak terikat dengan perjanjian arbitrase yang dibuat antara Hunt- Wesson
dan Keck Seng Pte.Ltd.
Putusan MA No. 1205 K/Pdt/1990 antara E.D & F. MAN (SUGAR) Ltd vs.
Yani Haryanto
Kasus 10
Kasus Ekspor Tuna Salah Satu Alasan Jokowi Evaluasi Perdagangan Bebas
Kasus tuna Indonesia yang diekspor ke Uni Eropa kena tarif tinggi dibandingkan
dengan negara-negara lainnya menjadi salah satu pertimbangan pemerintahan Jokowi
mengevaluasi kerjasama perdagangan bebas. Dalam kasus tuna, justru Indonesia
tertinggal dengan negara lain karena belum menjalin Free Trade Agreement (FTA)
dengan Uni Eropa.
Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Kemendag Bachrul Chairi mencontoh
Indonesia di ASEAN adalah produksi tuna terbesar, tetapi bea masuk tuna Indonesia
di Eropa itu dikenakan 22,5%, namun Malaysia, Filipina, dan Vietnam yang sebagian
tunanya datang dari perairan Indonesia, itu hanya dikenakan bea masuk impor 0%.
"Akibat 22,5% itu kita sudah sulit besaing dengan mereka. Alasannya, mereka sudah
melakukan apa yang disebut FTA dengan Eropa. Indonesia ketinggalan dalam hal
ini," kata Bachrul usai rakor soal FTA di Kantor Menko Perekonomian, Jakarta,
Selasa (17/3/2015)
Kasus serupa juga terjadi di Jepang, tuna asal Indonesia harus kena bea masuk impor
7,5%, sedangkan di negara lain hanya 0%. Padahal Indonesia dan Jepang sudah ada
kerjasama perdagang bebas bilateral dengan Jepang yaitu Indonesia Japan Economic
Partnership Agreement (IJEPA).
Menurut Bachrul dengan posisi Indonesia yang belum masuk FTA dengan kawasan
lain, dan adanya FTA yang sudah berlaku namun belum memberikan keuntungan,
maka investor kurang tertarik masuk Indonesia. Alasannya investor akan memilih
masuk ke negara yang sudah banyak perdagangan bebas, sehingga pasarnya akan
lebih luas dan besar.
"Walau Indonesia punya demografi tenaga kerja yang cukup, infrastruktur akan
membaik, tetap kalau pasarnya cuma 250 juta jiwa mereka kurang tertarik, karena
mereka mampu lebih dari 250 juta penduduk," jelasnya.
Bachrul mengatakan, posisi pemerintahan saat ini terus mendukung adanya FTA
namun akan dievaluasi dari sisi keuntungan bagi Indonesia, terutama dari mendorong
ekspor dan menarik investasi ke dalam negeri.
"Kalau kita tidak terbuka, kita kehilangan 'kereta' dengan negara lain, kita kehilangan
investasi, kita kehilangan kemampuan mendorong ekonomi yang kita harapkan,"
katanya.
Terkait dengan Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), telah
disepakati akan dievaluasi. Pemerintah Indonesia sudah melakukan pertemuan
dengan Jepang.
"Umumnya masalah FTA tidak jalan tadi karena masalah transposisi, belum
disetujuinya kesepakatan dengan negara. Contohnya, misal perdagangan untuk
pulpen, disepakati 0%, waktu kita lakukan transposisi justru dikenakan jadi 15% bea
masuk. Harusnya itu 0%," katanya.