Anda di halaman 1dari 8

BIOGRAFI KOLONEL ABUNJANI

Kolonel Abunjani lahir di Batang Asai, kabupaten Sarolangun-Bangko (sekarang dipecah


menjadi kabupaten Sarolangun dan Merangin) pada tanggal 24 Oktober 1918. Abunjani
merupakan anak seorang demang yang berkedudukan di Rantau Panjang, Batang Asai yang
bernama Demang Makalam. Demang Makalam berasal dari Pondok Tinggi, Kerinci, sedangkan
ibunya bernama Siti Umbuk berasal dari Desa Keladi.

Abunjani merupakan anak keempat dari 5 bersaudara dengan urutan sebagai berikut: Siti
Rodiah, M. Kamil, Siti Raimin, dan adiknya M. Sayuti.

Pendidikan

Karena kedudukan ayahnya, Abunjani kecil berkesempatan untuk mencicipi bangku sekolah
Formal. Pada usia 8 tahun Abunjani bersama kakaknya, M. Kamil, dikirim ke Jambi untuk
bersekolah di bawah asuhan Ali Sudin (keponakan Makalam) yang saat itu (1926) telah bekerja
sebagai jurutulis (klerk) di kantor Kontrolir Jambi. Dengan beberapa pertimbangan, Makalam
menitipkan kedua anaknya pada temannya yang berkebangsaan Belanda yang bekerja di BPM
(Bataafsche Petroleum Maatschappij). Oleh karena itu tidak mengherankan apabila M. Kamil
dan Abunjani mahir berbahasa Belanda.

Secara berturut-turut, tahun 1931 Abunjani berhasil menamatkan pendidikan di Hollandsc-


Inlandsche School (HIS) selama 7 tahun dan tahun 1934 menamatkan pendidikan di Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Bandung. Pada 1940 Abunjani mengikuti pendidikan di
Middelbare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaar (MOSCVIA) di Bandung, tetapi tidak
tamat karena berlangsungnya pendudukan Jepang.

Pada masa pendudukan Jepang ini Abunjani menamatkan pendidikan di Shonan Kao Kun Renjo
(Sionanto) di Singapura selama 1 tahun. Abunjani kemudian diangkat sebagai asisten Ki
Imuratyo. Pendidikan militer ini kemudian diteruskan ke akademi militer Giyugun di
Pagaralam, Lahat dengan pangkat tamatan Letnan Dua (Shoi). Alumni pendidikan Angkatan
Darat (Kanbu Kyoyiku tai) Jepang ini merupakan cikal bakal tentara nasional di masing-masing
daerahnya. Abunjani sebagai Sudantyo Giyugun dari tahun 1942-1945 yang mempunyai
kemampuan bahasa Belanda, Inggris, Jepang sangat berguna dalam kiprahnya di dunia bisnis
selepas menanggalkan karir militernya.

Peran Abunjani Di Masa Awal Kemerdekaan

Karir militer Abunjani dimulai pasca kemerdekaan. Pada 22 Agustus 1945 Abunjani merintis
terbentuknya Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang merupakan bagian dari BKR (Badan
Keamanan Rakyat). BKR nantinya menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Selanjutnya Abunjani diangkat sebagai komandan BKR daerah Jambi dengan jabatan Kolonel.
Hingga tahun 1949, jabatan Kolonel Abunjani adalah komandan Kodam Garuda Putih Jambi.

Adanya kebijakan rasionalisasi di kalangan TNI, pangkat Kolonel Abunjani diturunkan menjadi
Letnan Kolonel. Walaupun demikian, Letnan Kolonel Abunjani tetap di militer dengan jabatan
rangkap sebagai Wakil Gubernur Militer Sumatera Selatan khusus daerah Jambi, juga sebagai
Komandan STD sampai pertengahan Januari 1950.Terhitung Februari 1950 Letnan Kolonel
Abunjani mengundurkan diri dari TNI beralih profesi menjadi seorang pengusaha di Jambi dan
Jakarta.

Salah satu peran Abunjani dalam menunjang perjuangan di masanya adalah membentuk Badan
Keuangan Perjuangan yang memobilisasi pedagang karet ke Singapura dengan menyisihkan
10% keuntungan untuk perjuangan. Usaha tersebut selain dapat membantu perjuangan
Pemerintah Pusat, sewa-beli Pesawat Catalina (RI 05) sebagai pesawat penghubung ke
Sumatera Barat maupun Yogyakarta dalam jaringan pemerintahan, juga memasok
perlengkapan dan perbekalan pasukan dengan sistem barter komoditi lada, vanili, karet, dan
lain-lain.

Peran yang perlu dicatat kepemimpinan Letnan Kolonel Abunjadi adalah memindahkan pusat
pemerintahan dan pertahanan militer saat serangan Belanda pada 29 Desember 1948. Bersama
dengan Rd. Inu Kertapati dan M. Kamil mengungsi ke pedalaman, tetapi terhenti di Sengeti. Rd.
Inu Kertapati kembali ke Jambi untuk menenangkan keluarga dan masyarakat kota Jambi oleh
bombardir pesawat dan serangan tentara Belanda melalui Kenali Asam dan Palmerah. Pada 1
Januari 1949 terbitlah surat kuasa Residen Jambi Rd. Inu Kertapati kepada M. Kamil, Bupati
Jambi Hilir untuk meneruskan Pemerintahan Darurat Keresidenan Jambi. Dalam rapat antara
unsur pemerintah dan militer di Tebo menghasilkan keputusan bahwa H. Baksan yang saat itu
menjabat sebagai Bupati Jambi Ulu sebagai Residen Pemerintah Darurat Keresidenan Jambi dan
Pusat Komando Militer dipindahkan ke Bangko. Walaupun mengalami berbagai gempuran,
perjuangan dan pemerintahan darurat berjalan sebagaimana mestinya.

Penghargaan

Nama besar Abunjani dijadikan nama jalan di kota Jambi dan beberapa kota lain. Di Bangko,
namanya dijadikan nama rumah sakit umum karena beliau memang lahir di Batang Asai yang
dulu merupakan bagian kabupaten Sarolangun-Bangko.

Rumah Kolonel Abundjani masih bisa dilihat hingga sekarang. Rumah itu sekarang dihuni oleh
anak-anak sang kolonel. Letaknya sangat dekat dengan pusat pemerintahan provinsi Jambi.
hanya beberapa langkah dari kantor pajak baru Jambi. Persis di belakang kantor pusat Bank
Jambi.
Biografi H. Hasan Basri Agus

Nama Lengkap : Hasan Basri Agus


Alias : No Alias
Profesi : Birokrat
Agama : Islam
Tempat Lahir : Sungai Abang, Sarolangun, Jambi
Tanggal Lahir : Kamis, 31 Desember 1953
Zodiac : Capricorn
Warga Negara : Indonesia

BIOGRAFI
Hasan Basri Agus adalah Gubernur Jambi untuk periode 2010 hingga 2015 menggantikan
Zulkifli Nurdin. Ia sebelumnya menjabat sebagai Bupati Sarolangun.
PENDIDIKAN
Pendidikan SD Sungai Abang (1968)
MTs Pesantren As'ad Olak Kemang Jambi (1975)
SMA Muhammadiyah Jambi (1977)
APDN Jambi (1980)
S1 Universitas Sumatera Utara (1988)
S2 LPMI Jakarta (2000)
KARIR
PNS Dinas Kesehatan Prov. Jambi (1975)
Sekwilcam Kec. Muara Bulian Kab. Batanghari (1988)
Kasubag Biro Tata Pemerintahan Sekda Prov. Jambi (1988)
Camat Perwakilan Muaro Sebo Kab. Batanghari (1988)
Camat Mersam, Kab. Batanghari (1989)
Camat Kec. Muara Tembesi, Kab. Batanghari (1990)
Kepala Kantor Catatan Sipil Tk. II Bungo Tebo (1994)
Pj. Asisten II Sekwilda Tk. II Batanghari (1996)
Kepala Biro Kepegawaian Sekwilda Prov. Jambi (1997)
Sekda Kota Jambi (1999 - 2006)
Bupati Sarolangu (2006 - 2011)
Gubernur Jambi (2010 - 2015)
PENGHARGAAN
Satya Lencana Karya Satya XX dari Presiden RI (1999)
Lencana Panca Warsa Ka. Kwarda Prov. Jambi (2003)
Pegawai Negeri Sipil Teladan RI, MenPAN RI (2003)
Lencana Manggala Karta Kencana Ka. BKKBN RI (2004)
Lencana Dharma Sakti Pramuka, Ketua Kwarnas (2007)
Penghargaan Pembangunan Bid. Pertanian dari Mentan RI
(2007)
Lencana Melati Pramuka, Ketua Kwarnas (2007)
Lencana Karya Satya XXX dari Presiden RI (2007)
Tropi Raksaniyata Menuju Indonesia Hijau dari Meneg LH RI
(2007)
Setiakawan Award dari Menteri Sosial RI (2007)
Leadership Award dari Menpan RI (2007)
Adhitya Mahadyayodha dari Menteri Sosial RI (2007)
Akutila Dharma Bhakti Utama I dari Jaksa Agung RI (2008)
Satya Lencana Wira Karya dari Presiden RI (2008)
Piagam Tanda Kehormatan Satya Lencana Pembangunan dari
Presiden RI (2008)
Satya Lencana Pembangunan Bid. Pertanian Presiden RI (2008)
Satya Lencana Pembangunan dari Presiden RI (2008)
Pamong Award atas Pengabdian dan Dedikasi Bid. Pemerintahan
dari Mendagni (2008)
Penghargaan Kosgoro dari DPP Kolektif Kosgoro (1957)
Penghargaan Peningkatan Produksi Beras Nasional dari Presiden
RI di Istana Negara Jakarta (2009)
Bintang Jasa Utama dari Presiden RI
Lencana Permata Bangsa dari Kejaksaan Agung RI (2009)
Biografi Raden Mattaher Pejuang Asal Jambi

aden Mat Tahir adalah alah seorang panglima perang Jambi yang sangat terkenal dan ditakuti
Belanda. Setelah wafatnya Sultan Thaha Saifuddin pada tahun 1904, komando perlawanan
terhadap Belanda di Jambi dilanjutkan oleh Raden Mattaher, yang oleh masyarakat Jambi
dikenal sebagai Singo Kumpeh.

Biografi

Raden Mat Tahir dilahirkan di dusun Sekamis, Kasau Melintang Pauh, Air Hitam, Batin VI, tahun
1871, nama aslnys ialah Raden Mohammad Tahir. Ibunya adalah kelahiran di Mentawak Air
Hitam Pauh, dahulunya adalah daerah tempat berkuasanya Temenggung Merah Mato. Ayahnya
Pangeran Kusin wafat di Mekkah.

Menurut Raden Syariefs (1969) di dalam bukunya Riwajat Ringkas Tentang Perdjuangan
Pahlawan Djambi Raden Mat Tahir Panglima Sultan Thaha, mengatakan bahwa Raden Mat Tahir
mempunyai beberapa orang istri antara lain: Siti Esah (Aisah), perempuan keturunan Ratumas
Bilis Kumpeh yang berdiam di Merangin, perempuan dalam Sungai Sipintun. Iapun mempunyai
beberapa orang anak, antara lain : Raden Buruk, tinggal di Rambutan Temasam; Raden Mataji
atau Raden Hamzah tinggal di Jambi; Raden Sulen atau Raden Kusen tinggal di Bogor; Raden
Zainal Abidin adalah suami Ratumas Kandi; dan Ratumas Lijah.

Raden Mat Tahir gugur dalam pertempuran melawan Belanda di dusun Muaro Jambi, pada hari
Jumat, waktu subuh, tanggal 10 September 1907. Raden Mat Tahir dimakamkan di komplek
pemakaman raja-raja Jambi di tepi Danau Sipin Jambi, Kabupaten Muara Jambi Kecamatan Maro
Sebo.

Setelah Raden Mat Tahir meninggal dunia, dua orang putra Raden Mat Tahir dapat ditangkap
Belanda sedang dalam asuhan (masih kecil) yakni Raden Hamzah dan Raden Sulen. Keduanya
diserahkan Belanda kepada A. M.Hens, seorang Controleur Muara Tembesi. Tetapi karena
controleur itu sedang cuti ke luar negeri, maka kedua anak itu diserahkan Belanda kepada
Demang Ibrahim, yakni Demang Muara Tembesi untuk menjaga keselamatannya. Lalu
kemudian Demang Ibrahim menyerahkan kedua anak Raden Mat Tahir kepada Residen O,L.
Helffrich di Jambi. Oleh Residen O.L.Helffrich kedua anak itu bertempat tinggal di rumah
residen, lalu oleh risiden disekolahkan di Olak Kemang dengan biaya ditanggung Belanda. Lalu
kedua anak itu oleh Residen O.L.Helffrich dikirim ke Palembang untuk sekolah lebih tinggi.
Kemudian pada tahun 1914 kedua anak Raden Mat Tahir itu di kirim oleh Pemerintah Belanda
ke Batavia. Sedangkan tiga orang anak Raden Mat Tahir yang belum tertangkap Belanda,
diungsikan oleh keluarganya di Malaya (Malaysia).

Perjuangan

Raden Ma Tahir adalah seorang pemuda beranjak dewasa, ia belum memikul suatu jabatan
apapun di dalam kerajaan Jambi. Tapi ia telah memperlihatkan sebagai seorang kesatria, berani,
cerdas, dan pandai mengatur strategi.
Pasukan Raden Mat Tahir adalah pasukan bergerak dan menyerang secara tiba-tiba. Oleh
karena itu pasukan Raden Mat Tahir tidak menempati suatu tempat tetap. Raden Mattaher
menamakan pasukannya sebagai Sabillillah. Sebelum pergi melakukan penyerangan atas
pasukan Belanda, maka Raden Mat Tahir terlebih dahulu melakukan sholat agar mendapat
petunjuk dan ridho Allah.

Saat melawan penjajahan Belanda, Raden Mattaher bertugas sebagai panglima perang yang
beroperasi di wilayah Muara Tembesi hingga ke Muara Kumpeh. Dalam berbagai penyerangan,
Raden Mattaher dibantu oleh beberapa panglima yakni, Raden Perang, Raden Ahmad, Raden
Kusen dan Raden Pamuk. Dalam pergerakan tersebut, para panglima ini membuat kantong-
kantong pertahanan, barisan pertahanan dan barisan perlawanan terhadap penjajah.

Penyerangan yang dilakukan difokuskan terhadap kantong-kantong pertahanan militer


Belanda. Selain juga melakukan penyergapan terhadap kapal-kapal perang yang mengangkut
personil, amunisi dan obat-obatan. Tak tanggung-tanggung, mereka juga membunuh setiap
pimpinan militer Belanda yang tertangkap.

Saat melakukan perang gerilya bersama dengan Panglima Tungguk Suto Alus, Raden Mattaher
berhasil merampas peti baja milik bea cukai Belanda yang berisi 30 ribu Cap Tongkat, serta
beberapa dokumen penting Belanda lainnya di Bayung Lincir, perbatasan antara Jambi dan
Palembang.

Setelah perjungan ini, Raden Mattaher bersama Panglima Ambur Panjang (Raden Pamuk),
Panglima Betung Besalai (Raden Seman) dan Tunggul Buto (Raden Perang) membantu
pasukannya yang berasal dari Jambi Kecil, Jambi Tulo dan ada yang datang dari Pijoan guna
menangkis serang musuh di Tarikan menuju Kumpeh.

Namun sayangnya, beberapa waktu kemudian, Raden Mattaher ini dapat dilumpuhkan oleh
Belanda dengan beberapa tipu muslihat. Dalam penangkapan tersebut, Raden Mattaher berhasil
dibunuh oleh Belanda. Ia ditembak mati ketika sedang berada di rumahnya, pada tanggal 7
September 1907, dalam operasi militer Belanda. Namun sebelumnya, Raden Akhmad yang
adalah kakak kandung Raden Mattaher, tewas tertembak saat selesai sholat magrib
.

Terkait wafatnya Raden Mattaher, Belanda menyatakan, Nadat in September 1907 Raden
Mattaher, nau van Taha verwant en de meest gevreesde en actieve der gouverne ments
tegenstaders, na en rusteloze achtervolging was gesneuveld. Was het verzet gebroken. Yang
kira-kira maksudnya, "Dalam bulan September tahun 1907 Raden Mattaher, keluarga dekat
Taha (Sulthan Thaha Saifudin) yang paling di takuti (Belanda) karena aktif gupermend
(Pemerintahan Belanda). Setelah dikejar terus menerus gugurlah dia (Raden Mattaher) dalam
pertarungan dengan pasukan Belanda. Dalam hal ini belanda menggunakan kalimat was
gesneuveld, kalimat ini lazimnya Belanda disebut mati dalam pertempuran.
BIOGRAFI SULTAN THAHA SYAIFUDDIN - PAHLAWAN NASIONAL DARI JAMBI

Sultan Thaha Syaifuddin (Jambi, 1816 - Betung, 26 April 1904) adalah sultan terakhir dari
Kesultanan Jambi. merupakan pahlawan nasional asal Jambi yang dilahirkan pada pertengahan
tahun 1816 di Keraton Tanah Pilih Jambi.

Ia merupakan putra dari Sultan M. Fachrudin dengan gelar sultan Kramat. Nama asli Sultan
Thaha adalah Sultan Raden Toha Jayadiningrat. Ketika kecil ia biasa dipanggil Raden Thaha
Ningrat.

Meskipun ia terlahir dari kalangan bangsawan, ia memiliki sikap yang rendah hati, senang
bergaul dengan masyarakat dan sangat membenci Belanda. Aktivitas melawan Belanda makin
gencar sejak ia naik tahta menjadi Raja Jambi pada tahun 1855. Usahanya melawan Belanda
dilakukan dengan mengalang kekuatan masyarakat dan berkerjasama dengan raja
Sisingamangaraja.

Tahun 1841 ia diangkat sebagai Pangeran Ratu (semacam perdana menteri) di bawah
pemerintahan Sultan Abdurrahman. Sejak itu, ia memperlihatkan sikap menentang Belanda.
Ketika sebuah kapal dagang Amerika berlabuh di pelabuhan Jambi, ia berusaha mengadakan
kerja sama dengan pihak Amerika.

Sultan Thaha Syaifuddin tidak mengakui perjanjian yang dibuat oleh sultan-sultan terdahulu
dengan Belanda. Salah satu diantaranya perjanjian tahun 1833 yang menyatakan Jambi adalah
milik Belanda dan dipinjamkan kepada Sultan Jambi. Belanda mengancam akan memecatnya,
akibatnya hubungannya dengan Belanda tegang. Karena sudah memperkirakan Belanda pasti
akan menggunakan kekuatan senjata, maka Sultan Thaha pun memperkuat pertahanan Jambi.

Belanda mengirim Residen Palembang untuk berunding dengan Sultan Thaha. Perundingan itu
gagal. Sesudah itu, Belanda menyampaikan ultimatum agar Sultan Thaha menyerahkan diri.
Karena Sultan Thaha menolak ultimatum, pada 25 September 1858 Belanda melancarkan
serangan. Pertempuran berkobar di Muara Kumpeh. Pasukan Jambi berhasil menenggelamkan
sebuah kapal perang Belanda, namun mereka tidak mampu mempertahankan kraton. Sultan
Thaha menyingkir ke Muara Tembesi dan membangun pertahanan di tempat ini.
Perang utama sudah berakhir, tetapi perlawanan rakyat berlangsung puluhan tahun lamanya.
Sultan Thaha membeli senjata dari pedagang-pedagang Inggris melalui Kuala Tungkal, Siak dan
Indragiri. Rakyat dianjurkan agar tetap mengadakan perlawanan. Pada 1885 mereka
menyerang sebuah benteng Belanda dalam kota Jambi, sedangkan pos militer Belanda di Muara
Sabak mereka hancurkan. Karena itu, Belanda meningkatkan operasi militernya.

Pasukan bantuan dalam jumlah besar didatangkan dari Jawa. Belanda mendatangkan pasukan
dari Magelang lewat Semarang dan Palembang. Pada tanggal 31 luli 1901 pasukan Belanda yang
datang mendapatkan perlawanan sengit di Surolangun. Namun, pasukan Belanda terus
mengadakan pengejaran sampai ke pedalaman. Mereka berhasil menawan pasukan dan
pengikut Sultan Thaha.

Pada tahun 1904, Belanda melakukan penyerbuan dan berhasil menyergap pasukan Sultan
Thaha di dusun Betung Berdarah. Dalam penyerbuan itu, Sultan Thaha wafat dalam usia ke 88.
Jasadnya dikebumikan di Muara Tebo yang kini dijadikan sebagai Makam Pahlawan Nasional
Sultan Thaha Syaifuddin.

Thaha Sjaifuddin diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 24 Oktober 1977 dengan Keppres
No. 79/TK/1977. Namanya diabadikan sebagai nama bandara di Jambi.

Anda mungkin juga menyukai