Anda di halaman 1dari 5

Zonasi Hutan Mangrove

Hernan

2 years ago

Advertisements

Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran
airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai,
pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal (Dahuri, 2003). Vegetasi mangrove memiliki zonasi sesuai
dengan karakter habitatnya masing-masing. Zonasi mangrove dapat dicirikan dengan adanya suatu
spesies mangrove tertentu yang menempati lokasi-lokasi tertentu. Menurut Sukardjo (1999) terdapat
lima faktor utama yang mempengaruhi zonasi mangrove di kawasan pantai tertentu, yaitu : (1)
gelombang, yang menentukan frekuensi tergenang; (2) salinitas, yang berkaitan dengan hubungan
osmosis mangrove; (3) substrat; (4) pengaruh darat, seperti aliran air masuk dan rembesan air tawar; (5)
keterbukaan terhadap gelombang, yang menentukan jumlah substrat yang dapat dimanfaatkan.

MacNae (1968) dalam Supriharyono (2000) membagi zona mangrove berdasarkan jenis pohon ke dalam
enam zona, yaitu : (1) zona perbatasan dengan daratan; (2) zona semak-semak tumbuhan Ceriops; (3)
zona hutan Bruguiera; (4) zona hutan Rhizophora; (5) zona Avicennia yang menuju ke laut; dan (6) zona
Sonneratia. Sementara itu, dalam Anwar et al. (1984), Watson membagi hutan mangrove menjadi lima
zona berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu :

Hutan yang paling dekat dengan laut ditumbuhi oleh Avicennia dan Sonneratia. Sonneratia tumbuh pada
lumpur lembek dengan kandungan organik yang tinggi. Avicennia marina tumbuh pada substrat berliat
yang agak keras, sedangkan Avicennia alba tumbuh pada substrat yang agak lembek.

Hutan pada substrat yang sedikit lebh tinggi biasanya didominasi oleh Bruguiera cylindrica. Hutan ini
tumbuh pada tanah liat yang cukup keras dan dicapai oleh beberapa air pasang saja.

Ke arah daratan lagi hutan didominasi oleh Rhizopora mucronata dan Rhizophora apiculata. Rhizophora
mucronata lebih banyak dijumpai pada kondisi yang agak basah dan lumpur yang agak dalam. Pohon-
pohon dapat tumbuh setinggi 35-40 meter. Pohon lain yang juga terdapat pada hutan ini mencakup
Bruguiera parviflora dan Xylocarpus granatum. Gundukan lumpur yang dibuat oleh udang lumpur
ditumbuhi oleh pakis piai, Acrostichum aureum.
Hutan yang didominasi oleh Bruguiera parviflora kadang-kadang dijumpai tanpa jenis pohon lainnya.
Dalam hutan ini juga terdapat pohon Rhizophora yang telah ditebang.

Hutan mangrove terakhir didominasi oleh Bruguiera gymnorrhiza. Selain pohon ini toleran terhadap
naungan pada kondisi di mana Rhizophora tidak dapat tumbuh, seperti pohon cemara, semaian
Bruguiera gymnorrhiza tidak mampu tumbuh di bawah induknya. Peralihan antar hutan ini dan hutan
dataran ditandai oleh adanya Lumnitzera racemosa, Xylocarpus moluccensis, Intsia bijuga, Ficus retusa,
rotan, pandan dan nibong pantai, Oncosperma tigillaria.

Menurut Bengen (1999), salah satu zonasi hutan mangrove ialah sebagai berikut :

as

Gambar 1. Ilustrasi Zonasi Mangrove dari Laut ke Darat

(Sumber : Bengen, 1999)

Daerah yang paling dekat dengan laut dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia
spp. Biasanya pada zona ini berasosiasi dengan jenis Soneratia spp yang dominan tumbuh pada lumpur
dalam yang kayak akan bahan organik.

Zona yang lebih ke arah darat, umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Pada zona ini pula dijumpai
Bruguiera spp dan Xylocarpus spp.

Zona selanjutnya didominasi oleh Bruguiera spp.

Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasanya ditumbuhi oleh Nypa
fruiticans dan beberapa spesies palem lainnya.

Sumber :

Anwar, J., S. J. Darmanik, N. Hisyam dan A. J. Whitten. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera. Universitas
Gadjah Mada Press. Yogyakarta

Bengen, D. G. 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Dahuri. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.

Sukardjo, S. 1999. Gambaran Umum Ekologi Mangrove di Indonesia. Lokakarya Strategi Nasional
Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia. Departemen Kehutanan.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.

Pola Zonasi pada Mangrove

Pola Zonasi Mangrove

Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi (misalnya terlihat dalam Gambar ).
Beberapa ahli (seperti Chapman, 1977 & Bunt & Williams, 1981) menyatakan bahwa hal tersebut
berkaitan erat dengan tipe tanah (lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan (terhadap hempasan
gelombang), salinitas serta pengaruh pasang surut.

Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama di daerah
dimana endapan lumpur terakumulasi (Chapman, 1977). Di Indonesia, substrat berlumpur ini sangat baik
untuk tegakan Rhizophora mucronata and Avicennia marina (Kint, 1934). Jenis-jenis lain seperti
Rhizopora stylosa tumbuh dengan baik pada substrat berpasir, bahkan pada pulau karang yang memiliki
substrat berupa pecahan karang, kerang dan bagian-bagian dari Halimeda (Ding Hou, 1958). Kint (1934)
melaporkan bahwa di Indonesia, R. stylosa dan Sonneratia alba tumbuh pada pantai yang berpasir, atau
bahkan pada pantai berbatu. Pada kondisi tertentu, mangrove dapat juga tumbuh pada daerah pantai
bergambut, misalnya di Florida, Amerika Serikat (Chapman, 1976a). Di Indonesia, kondisi ini ditemukan
di utara Teluk Bone dan di sepanjang Larian Lumu, Sulawesi Selatan, dimana mangrove tumbuh pada
gambut dalam (>3m) yang bercampur dengan lapisan pasir dangkal (0,5 m) (Giesen, dkk, 1991). Substrat
mangrove berupa tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi (62%) juga dilaporkan ditemukan
di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta (Hardjowigeno, 1989).

Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar
salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari
penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya mampu
mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya.

Avicennia merupakan marga yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaran salinitas yang luas
dibandingkan dengan marga lainnya. A. marina mampu tumbuh dengan baik pada salinitas yang
mendekati tawar sampai dengan 90 o/oo (MacNae, 1966;1968). Pada salinitas ekstrim, pohon tumbuh
kerdil dan kemampuan menghasilkan buah hilang. Jenis-jenis Sonneratia umumnya ditemui hidup di
daerah dengan salinitas tanah mendekati salinitas air laut, kecuali S. caseolaris yang tumbuh pada
salinitas kurang dari 10 o/oo. Beberapa jenis lain juga dapat tumbuh pada salinitas tinggi seperti
Aegiceras corniculatum pada salinitas 20 40 o/oo, Rhizopora mucronata dan R. Stylosa pada salinitas
55 o/oo, Ceriops tagal pada salinitas 60 o/oo dan pada kondisi ekstrim ini tumbuh kerdil, bahkan
Lumnitzera racemosa dapat tumbuh sampai salinitas 90 o/oo (Chapman, 1976a). Jenis-jenis Bruguiera
umumnya tumbuh pada daerah dengan salinitas di bawah 25 o/oo. MacNae (1968) menyebutkan bahwa
kadar salinitas optimum untuk B. parviflora adalah 20 o/oo, sementara B. gymnorrhiza adalah 10 25
o/oo.

Zona vegetasi mangrove nampaknya berkaitan erat dengan pasang surut. Beberapa penulis melaporkan
adanya korelasi antara zonasi mangrove dengan tinggi rendahnya pasang surut dan frekuensi banjir (van
Steenis, 1958 & Chapman, 1978a). Di Indonesia, areal yang selalu digenangi walaupun pada saat pasang
rendah umumnya didominasi oleh Avicennia alba atau Sonneratia alba. Areal yang digenangi oleh pasang
sedang didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora. Adapun areal yang digenangi hanya pada saat pasang
tinggi, yang mana areal ini lebih ke daratan, umumnya didominasi oleh jenis- jenis Bruguiera dan
Xylocarpus granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya pada

saat pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya didominasi oleh Bruguiera
sexangula dan Lumnitzera littorea.

Pada umumnya, lebar zona mangrove jarang melebihi 4 kilometer, kecuali pada beberapa estuari serta
teluk yang dangkal dan tertutup. Pada daerah seperti ini lebar zona mangrove dapat mencapai 18
kilometer seperti di Sungai Sembilang, Sumatera Selatan (Danielsen & Verheugt, 1990) atau bahkan lebih
dari 30 kilometer seperti di Teluk Bintuni, Irian Jaya (Erftemeijer, dkk, 1989). Adapun pada daerah pantai
yang tererosi dan curam, lebar zona mangrove jarang melebihi 50 meter. Untuk daerah di sepanjang
sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut, panjang hamparan mangrove kadang-kadang mencapai
puluhan kilometer seperti di Sungai Barito, Kalimantan Selatan. Panjang hamparan ini bergantung pada
intrusi air laut yang sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pasang surut, pemasukan dan pengeluaran
material kedalam dan dari sungai, serta kecuramannya.

Zonasi Penyebaran Mangrove

Jika diperhatikan di daerah yang makin mengarah ke darat dari laut terdapat zonasi penguasaaan oleh
jenis-jenis mangrove yang berbeda. Dari arah laut menuju kedaratan terdapat pergantian jenis mangrove
yang secara dominan menguasai masing-masing habitat zonasinya. Mangrove yang kondisinya buruk
karena terganggu, atau terdapat pada daerah pantai yang sempit, tidak menunjukkan keteraturan dalam
pembagian jenis pohon dan zonasi di sepanjang pantai. Fenomena zonasi ini belum sepenuhnya
difahami dengan jelas. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian zonasi terkait dengan respons jenis
tanaman terhadap salinitas, pasang-surut dan keadaan tanah (Nybakken,1992).
Kondisi tanah mempunyai kontribusi besar dalam membentuk zonasi penyebaran tanaman dan hewan
seperti perbedaan spesies kepiting dan kondisi tanah yang berbeda. Api-apai dan pedada tumbuh sesuai
dengan zona berpasir, bakau cocok ditanah lembek berlumpur dan kaya humus sedangkan tancang
menyukai tanah lempung dan sedikit nahan organik. Keadaan morfologi tanaman, daya apung dan cara
penyebaran bibitnya serta persaingan antar spesies, merupakan faktor lain dalam zonasi ini
(Nybakken,1992).

Formasi hutan mangrove yang terbentuk di kawasan mangrove biasanya didahului oleh jenis pohon
pedada dan api-api sebagai pionir yang memagari daratan dari kondisi laut dan angin. Jenis-jenis ini
mampu hidup di tempat yang biasa terendam air waktu pasang karena mempunyai akar pasak. Pada
daerah berikutnya yang lebih mengarah ke daratan dan banyak ditumbuhi jenis mangrove (Rhizophora
sp.). daerah ini tidak selalu terendam air, hanya kadang-kadang saja terendam air. Pohon tancang
tumbuh di daerah berikutnya makin menjauhi laut, ke arah daratan. Daerah ini tanahnya agak keras
karena hanya sesekali terendam air yaitu pada saat pasang yang besar dan permukaan laut lebuh tinggi
dari biasanya (Nybakken,1992).

Umumnya diperbatasan daerah laut didominaisi jenis mangrove pionir Avicennia spp. dan Sonneratia
spp. Di pinggiran atau bantaran muara sungai, Rhizophora spp. yang menempati. Di belakang zona ini
merupakan zona campuran jenis mangrove seperti Rhizophora spp., Sonneratia spp., Bruguiera spp., dan
jenis pohon yang berasosiasi dengan mangrove seperti tingi (Ceriops sp.) dan panggang (Excoecaria sp.).
Di sepanjang sungai dibagian muara biasanya dijumpai pohon nipah (Nypa fruticans) (Nybakken,1992).

Adaptasi Pohon Mangrove

Adaptasi Terhadap Kadar Oksigen Rendah

Pohon mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas, misalnya: (1) bertipe cakar ayam yang
mempunyai pneumatofora (misal: Avicennia spp., Xylocarpus spp., dan Sonneratia spp.) untuk
mengambil oksigen dari udara.

(2) bertipe penyangga/ tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya: Rhizophora spp.)

Adaptasi Terhadap Kadar Garam Tinggi

- Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.

Anda mungkin juga menyukai