PENDAHULUAN
Dewasa ini kita sering kali mendengar bahkan melihat tindak kekerasan yang terjadi dalam
lingkungan sekitar kita. Tidak jarang pula pada lingkungan keluarga. Keluarga yang
seharusnya menjadi contoh tauladan bagi putra putrinya, entah itu sadar atau tidak, sekarang
justru berbalik mencelakai. Hal ini dapat kita lihat makin maraknya kasus kekerasan dalam
rumah tangga, dan juga penyiksaan terhadap anak.
Terkadang kita dapat menyaksikan perilaku sadistik di lingkungan atau teman dekat
sekalipun. Sangat disayangkan dilingkungan kita tidak lagi tercipta rasa aman. Sehingga hal
ini dapat memicu konflik sosial, seperti tidak percaya pada orang disekitar kita, kita juga akan
cenderung waspada. Hal itu bagus, tetapi terlalu curiga terhadap orang lain juga akan
menimbulkan efek yang tidak baik. Jika dibiarkan akan mencapai taraf yang lebih parah,
seperti paranoid yang berlebihan. Selain itu baik pelaku ataupun korban tetap akan merasa
dirugikan. Sipelaku akan masuk penjara, sedangkan paling parah korbannya akan meninggal.
Atas pertimbangan itulah dalam makalah ini akan dibahas mengenai perilaku agresi.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Agresi
Secara umum agresi dapat diartikan sebagai suatu serangan yang dilakukan oleh suatu
organisme terhadap organism lain obyek lain atau bahkan pada dirinya sendiri. Agresi
adalah perilaku fisik maupun verbal yang diniatkan untuk melukai objek sasaran agresi.
Sebuah perilaku dapat dikategorikan sebagai perilaku agresi jika terdapat niat dan
harapan untuk menyakiti atau merusak objek agresi serta adanya keinginan objek agresi
untuk menghindari agresi yang ditujukan kepadanya. Agresi seringkali berhubungan erat
dengan marah. Ketika seseorang marah, biasanya ada perasaan ingin menyerang,
meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam.
Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi.
Sedangkan Robert Baron (dalam koswara, 1988) menyatakan bahwa agresi adalah
tingkah laku individu yang di tujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain
yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Definisi dari baron ini
mencakup empat factor tingkah laku yaitu ; tujuan untuk melukai atau mencelakakan
individu yang menjadi pelaku, individu menjadi korban dan ketidak inginan si korban
menerima tingkah laku si pelaku.
Sebagai contoh, seandainya seseorang dengan sengaja menubruk orang lain sehingga
orang itu kehilangan dan jatuh, maka perilaku orang tersebut dapat dikatakan sebagai
agresif apapun tujuannya.
Pada umumnya, istilah agresi ini dapat dibedakan offensive aggression yaitu agresi
yang tidak secara langsung di sebabkan oleh perilaku orang lain. Yang dilawankan
dengan retaliatory aggression yaitu agresi yang merupakan respon terhadap provokasi
orang lain.berdasarkan pada niatnya dibedakan instrumental aggression yang terjadi
ketika agresi adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu (seperti perampokan) sementara
angry aggression adalah perilaku agresi yang melibatkan keadaan emosional seseorang
yang sedang marah (seperti dalam perkelahian).
2
B. TEORI TEORI AGRESI
Terdapat tiga teori tentang agresi yang dianggap cukup berpengaruh, yaitu:
1. Teori Instink
Tokoh utama dari teori ini adalah Sigmund Freud, Konrad Lorenz dan Robert
Ardrey. Berikut ini akan kita bahas pandangan dari tokoh-tokoh tersebut di atas.
a. Teori Psikoanalisa
Menurut Sigmund Freud, setiap orang mempunyai insting bawaan untuk
berperilaku agresi. Agresi merupakan derivasi insting mati (thanatos) yang
harus disalurkan untuk menyeimbangkannya dengan insting hidup (eros). Eros
dan thanatos ini harus diseimbangkan untuk menstabilkan mental.
Insthink/naluri kehidupan terdiri atas insthink reproduksi atau insthink seksual
dan insthink-insthink yang ditujukan untuk pemeliharaan hidup individu.
Sedangkan insthink/naluri kematian memiliki tujuan sebaliknya, yakni untu
menghancurkan hidup individu.
Menurut Freud, agresi dapat dimasukkan dalam insthink mati yang merupakan
ekspresi dan hasrat kepada kematian (death wish) yang berada pada taraf tak
sadar.
b. Teori Etologi: Konrad Lorenz & Robert Ardrey
Menurut Lorenz, dorongan agresi ada di dalam diri setiap makhluk hidup yang
memiliki fungsi dan peranan penting bagi pemeliharaan hidup atau dengan
kata lain memiliki nilai survival.
Lorenz merumuskan insting dengan menggunakan konsep energi serta
menggunakan model hidraulik untuk menerangkan proses kemunculan atau
mekanisme tingkah laku instinktif/naluriah. Lorenz berasumsi bahwa setiap
tingkah laku naluriah memiliki sumber energi yang disebut energi tindakan
spesifik (action specific energy) dan kemunculannya dikunci oleh mekanisme
pelepasanbawaan (innate releasing merchanism).
2. Teori Frustasi-Agresi
Frustrasi adalah terhalangnya seseorang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu
tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Teori hipotesis
frustrasi-agresi dipelopori oleh lima orang ahli yaitu Dollard, Doob, Miller,
Mowrer, dan Sears pada tahun 1939. Frustasi (keadaan tidak tercapainya tujuan
3
perilaku) menciptakan motif untuk agresi. Ketakutan akan hukuman atau tidak di
setujui untuk agresi melawan sumber penyebab frustasi mengakibatkan dorongan
agresi diarahkan melawan sasaran lain.
Hasil penelitian Burnstein dan Worchel menyatakan bahwa frustasi yang menetap
akan mendorong perilaku agresi. Dalam hal ini, orang siap melakukan perilaku
agresi karena orang menahan ekspresi agresi. Frustasi yang disebabkan situasi
yang tidak menentu (uncertaint) akan memicu perilaku agresi lebih besar
dibandingkan dengan frustasi karena situasi yang menentu.
Sebagian besar tingkah laku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui
pengamatan atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu individu lain yang
menjadi model,. Dengan demikian para ahli teori ini percaya bahwa observational
atau social modeling adalah metode yang lebih sering menyebabkan agresi.
Terjadinya perilaku agresi pada tataran individual, sementara ada penjelasan pada
tataranyang skalanya lebih besar seperti kekerasan massa ,demonstrasi massa atau
terjadinya revolusi, yang juga di kaitkan dengan frustasi dan agresi masa.
4
Faktor penyebab yang paling dasar terjadinya tindak kekerasan massa , politik,
penghayatan atau presepsi mengenai suatu yang hilang yang di sebut deprivasi
relatif (relative deprivation). Gurr mendefinisikan deprivasi relatif adalah suatu
kesenjangan yang dipersepsikan antara nilai harapan (value expectation) dan nilai
kemampuan (value capabilities). Nilai (value) adalah peristiwa atau kondisi,
obyek dan kondisi yang diperjuangkan orang.
Gurr membedakan tiga macam nilai, yaitu kesejahteraan, kekuasaan dan nilai-nilai
interpersonal. Gurr menyatakan bahwa deprivasi relatif adalah sinonim dengan
frustasi. Menurutnya ada tiga jenis deprivasi, yaitu:
5
5. Exitation Transfer Model
Riset pada afek (emosi) negatif dan positif telah memfokuskan pada tipe emosi
yang dihasilkan oleh stimulus. Intensitias dari arousal (keterbangkitan) adalah
juga penting. Arousal diciptakan oleh suatu stimulus yang dapat meningkatkan
respon emosi individu terhadap stimulus lain melalui pemindahan
kebangkitan/kegairahan (excitation transfer).
Zilman dan koleganya, serta Sapolsky menggabungkan tipe emosi dan intensitas
dari keterbangkitan fisiologis yang disebut dengan arousal-effect model. Model
ini mengarahkan pada pengaruh dari berbagai pengalaman emosi pada seseorang
yang telah marah dan kemudian memiliki suatu kesempatan untuk membalas.
Menurut Zilman, stimuli yang menghasilkan emosi negatif dan arousal yang
sangan tinggi meningkatkan agresi. Bahkan meski stimulinya netral, jika arousal
tinggi, dapat meningkatkan perilaku agresi diantara individu-individu yang
terprovokasi.
6. Egotism Threat: Kombinasi Faktor Kepribadian dan Sosial
Agresi timbul terutama dari orang yang memiliki sense of self-esteem (harga diri)
yang tinggi. Variabel trait kepribadian (harga diri tinggi) dapat berinteraksi
dengan variabel sosial ketika menghadapi suatu ancaman terhadap harga diri
mereka, maka kemungkinan hal ini akan menyebabkan perilaku agresi. Sebab
ketika harga dirinya terancam (kerena perlakuan orang lain), maka ia akan
melakukan penolakan (reject appraisal) untuk mempertahankan penilaian tentang
dirinya (maintain self-appraisal). Pada gilirannya ini akan memunculkan emosi
negatif yang melawan orang yang dipersepsinya memberi ancaman atas egonya
(souce of threat), sehingga pada akhirnya memicu perilaku agresi kepada sumber
yang memberi ancaman tersebut. Sehingga pada akhirnya memicu perilaku agresi
kepada sumber yang memberi ancaman tersebut. Sedangkan pada orang yang
harga dirinya rendah, ketika mendapat ancaman atas harga dirinya, maka ia akan
menerima penilaian atau perlakuan tersebut (accept appraisal) sehingga
memunculkan penilaian diri yang lebih rendah terhadap dirinya sendiri (lower
self-appraisal). Sehingga pada akhirnya muncul tindakan menarik diri
(withdrawal) terhadap sumber yang memberi ancaman atas harga dirinya (source
of threat).
6
C. FAKTOR PENGARAH DAN PENCETUS AGRESI
1. Deindividuasi
Menurut Lorenz, deindividuasi dapat mengarahkan individu kepada keluasaan
dalam melakukan agresi sehingga agresi yang dilakukannya menjadi lebih intens.
Khususnya Lorenz mengamati efek dari penggunaan teknik-teknik dan senjata
modern yang membuat tindakan agresi sebagai tindakan non-emosional sehingga
agresi yang dilakukannya menjadi lebih intens.
Fenomena psikologis yang timbul sehingga deindividuasi memperbesar
kemungkinan terjadinya agresi karena deindividuasi menyingkirkan atau
mengurangi peranan beberapa aspek yang terdapat pada individu yakni identitas
diri atau personalitas individu pelaku maupun identitas diri korban agresi dan
keterlibatan emosional individu pelaku agresi terhadap korbannya. Fenomena ini
dapat kita jumpai dalam peristiw agresi kolektif atau perang, dengan
mengidentikkan diri dengan bangsa,ideology, individu-individu yang terlibat
dalam perang merasa cukup aman dan sah untuk menjatuhkan korban sebanyak
mungkin dengan segala cara pada pihak lain yang di beri label musuh.
2. Kekuasaan dan kepatuhan
Peranan kekuasaan sebagai pengarah kemunculan agresi tidak dapat di pisahkan
dari salah satu aspek penunjang kekuasaan itu, yakni kepatuhan (compliance).
Bahkan kepatuhan itu sendiri di duga memiliki pengaruh yang kuat terhadap
kecenderungan dan intensitas agresi individu. Kepatuhan individu terhadap
otoritas atau penguasa mengarahkan individu tersebut kepada agresi yang lebih
intens, karena dalam situasi kepatuhan individu kehilangan tanggung jawab (tidak
merasa bertanggung jawab) atas tindakan-tindakannya serta meletakkan tanggung
jawab itu pada penguasa.
3. Provokasi
Sejumlah teori percaya bahwa provokasi bisa mencetuskan agresi, karena
provokasi itu oleh pelaku agresi dilihat sebagai ancaman yang harus di hadapi
dengan respon agresif untuk meniadakan bahaya yang diisyaratkan oleh ancaman
itu (Moyer 1971). Profokasi sebagai dalih untuk melakukan agresi meskipun
provokasi itu tidak bersifat mengancam.
4. pengaruh obat-obatan terlarang (drug effect)
Banyak terjadinya perilaku agresi dikaitkan pada mereka yang mengkonsumsi
alcohol. Mengkonsumsi alkohol dalam dosis tinggi akan memperburuk proses
7
kognitif terutama pada informasi yang kompleks dan menyebabkan gangguan
kognitif (cognitive disruption),yaitu mengurangi kemampuan seseorang untuk
mengatasi atau bertahan dalam situasi-situasi yang sulit. Gangguan kognitif ini
khususnya mempengaruhi reaksi terhadap isyarat-isyarat (cues) yang samar,
sehingga lebih mungkin mereka akan melakukan interpretasi yang salah tentang
perilaku orang lain sebagai agresif atau mengancam dirinya.
5. Factor-faktor yang mengurangi hambatan untuk berperilaku agresi
a) rendahnya kesadaran diri (self-awareness)
rendahnya kesadaran diri dapat mengurangi hambatan (inhibition) untuk
berperilaku agresi. Rendahnya kesadaran diri public menghasilkan perasaan
tertentu sehingga seseorang tidak lagi mempertimbangkan orang lain dan
merasa tidak perlu atau tidak memiliki kebutuhan untuk takut terhadap
kecaman atau pembalasan dendam atas perilakunya (disinhibition).
b) Dehumanisasi
Adanya dehumanisasi ini mengurangi perasaan bersalah dan kecemasan
sehingga perilaku agresi menjadi kurang peka terhadap atau tidak empati
terhadap penderita si korban.
c) The Culture of Honor
Culture of Honor, yakni menekankan berlebihan atas kejantanan, ktangguhan,
dan kesediaan/kemauan serta kemampuan untuk membalas kesalahan atau
hinaan dari orang lain demi untuk mempertahankan kehormatan. Sehingga
mereka menjadi lebih sensitive terhadap hinaan atau ancaman yang mengarah
pada kehormatan diri, dan hal ini membangkitkan suatu kewajiban untuk
merespon dengan kekerasan untuk melindungi atau memantapkan kembali
kehormatannya.
8
pada orang lain yang mewujudkan dalam bentuk mengejek, mencela, menggoda, dan
sebagainya.
Menurut Bolman, perilaku agresi pada remaja yang timbul pada usia 6-14 tahun
adalah berupa kemarahan, kejengkelan, rasa iri, tamak, cemburu dan suka
mengkritik. Mereka mengarahkan perilakunya kepada teman sebaya, saudara
sekandung, dan juga pada dirinya sendiri. Perilaku ini di latarbelakangi adanya
keinginan untuk menang, bersaing, meyakinkan diri, menuntut keadilan dan
memuaskan perasaan. Setelah itu pada usia 14 tahun sampai dewasa, mereka sudah
mulai memodifikasi perasaan agresif, misalnya dalam bentuk aktivitas kerja dan
olahraga.
Bentuk-bentuk perilaku agresi menurut Delut, yang digambarkan dalam bentuk item-
item dari factor analysis of behavioral checklist, yang terdiri dari:
1. Menyerang secara fisik (memukul, merusak, mendorong)
2. Menyerang dengan kata-kata
3. Mencela orang lain
4. Mengancam melukai orang lain
5. Tidak mentaati perintah
6. Menyerang tingkahlaku yang dibenci
Sementara itu, Buss mengelompokkan agresi manusia dalam delapan jenis, yaitu:
9
individu/kelompok lain yang menjadi tergetnya dan terjadi kontak fisik secara
langsung, seperti memukul, mendorong, dll.
2. Agresi fisik pasif langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh
individu/kelompok dengan cara berhadapan dengan individu/kelompok lain
yang menjadi targetnya, namun tidak terjadi kontak fisik secara langsung,
seperti demonstrasi, aksi mogok, dll.
3. Agresi fisik aktif tidak langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh
individu/kelompok lain dengan cara tidak berhadapan langsung dengan
individu/kelompok yang menjadi targetnya, seperti menyewa tukang pukul.
4. Agresi fisik pasif tidak langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh
individu/kelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak fisik
secara langsung, seperti apatis dan tidak peduli.
5. Agresi verbal tidak langsung: tindakan agresi verbal yang dilakukan
individu/kelompok dengan cara berhadapan secara langsung, seperti menghin,
mamaki dan marah.
6. Agresi verbal pasif langsung: tindakan agresi verbal yang dilakukan
individu/kelompok dengan cara berhadapan langsung namun tidak terjadi
kontak verbal secara langsung, seperti menolak bicara, bungkam.
7. Agresi verbal aktif tidak langsung: tindakan agresi yang dilakukan
individu/kelompok dengan cara tidak berhadapan secara langsung, seperti
menyebar fitnah, mengadu domba.
8. Agresi verbal pasif tidak langsung: tindakan agresi yang dilakukan
individu/kelompok dengan cara tidak berhadapan langsung dengan targetnya
dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti tidak memberi
dukungan.
Pendekatan Kognitif
11
menganalisis konflik internasional menemukan adanya enam bentuk misperception,
yaitu:
12
G. Agresi Seksual
Pengertian agresi seksual secara umum adalah tindakan yang menyakiti perempuan
secara seksual, seperti memaksa hubungan seksual atau ekstrimnya perkosaan. Agresi
seksual merupakan salah satu wujud dari pelecehan seksual (sexual harassment).
Gruber (1991) mengemukakan tipologi tentang sexual harassment berdasar pada
analisis kasus-kasus di peradilan dan riset literature menjadi tiga kategori yaitu:
1. Permintaan secara verbal (verbal recuest) yang meliputi;
a. Penyogokan secara seksual (sexual bribery): dengan ancaman dan atau
janji/rayuan/bujukan.
b. Cumbuan seksual (sexual advances): tanpa ancaman, permintaan hubungan
seksual intim.
c. Relational advances: tanpa ancaman , meminta hubungan social berulang kali.
d. Tekanan/permintaan halus: tanpa ancaman, tujuan atau sasaran adalah implicit
atau samar-samar.
Sementara Flizgerald menyatakan bahwa agresi seksual memiliki tiga dimensi, yaitu :
1. Gender harassment yang meliputi tindakan verbal dan fisik, gestures simbolik
yang menyampaikan penghinaan, permusuhan dan sikap merendahkan wanita.
13
2. Perhatian seksual yang tidak diinginkan (unwanted sexual) yang mencakup
perilaku verbal dan non verbal yang tidak menyambut baik wanita, menyerang
dan tidak mau timbale balik.
3. Paksaan seksual (sexual coercion) yaitu tindakan tindakan meminta hubungan
seksual dengan pemerasan sebagai pengganti untuk pertimbangan-pertimbangan
yang di kaitkan dengan pekerjaan (missal : jika mau tidur dengan saya, akan saya
promosikan)
Malamuth telah menyusun suatu model kerangka teoritik dalam menjelaskan factor-
faktor yang dapat mengarahkan pada perilaku anti sosial terhadap wanita atau
predicator-predikator dari perilaku agresi seksual pada laki-laki terhadap wanita.
Faktor-faktor itu mencakup faktor-faktor social maupun individual yang berinteraksi
sehingga menghasilkan tindakan tindakan anti social terhadap wanita. Faktor-
faktor social meliputi factor-faktor budaya (termasuk pelatihan peran seksual),
terpaan tayangan film kekerasan seksual dari media masa dan jejaring social teman-
teman sebaya yang mendukung agresi seksual, sikap-sikap dari lingkungan social
yang mendukung kekerasan. Sedangkan factor-faktor individual meliputi sikap dan
nilai-nilai tertentu yang dimiliki individu, motif dominan (power),arousal seksual
pada agresi, permusuhan terhadap wanita, dan pengalaman-pengalaman individu
(misalnya, lingkungan rumah, kejadian traumatic) yang selanjutnya akan
mempengaruhi kemungkinan seseorang akan memiliki orientasi antiwanita. Sehingga
factor-faktor ini akan menentukan kemungkinan seorang laki-laki akan berperilaku
antisocial terhadap wanita , baik dalam wujud tindakan kekerasan (perkosaan) atau
tindakan yang bukan kekerasan (sexism, diskriminasi, merendahkan derajat secara
verbal).
14
BAB III
PENUTUP
Agresi merupakan perilaku fisik maupun verbal yang diniatkan untuk melukai objek
sasaran agresi. Adapaun teori-teori agresi antara lain:
1. Teori insthink, yang terdiri dari teori psikoanalisa dan teori etologi
2. Teori frustasi-agresi
3. Teori belajar sosial (social Learning)
4. Perluasan teori frustasi-agresi
5. Exitation transfer model
6. Egotism threat: kombinasi faktor kepribadian dan sosial
Agresi disebabkan oleh beberapa faktor, seperti Deindividuasi, kekuasaan dan
kepatuhan, provokasi dan pengaruh obat-obatan terlarang. Adapun faktor-faktor yang
dapat mengurangi perilaku agresi, seperti rendahnya kesadaran diri, dehumanisasi dan
culture of honor.
Perkembangan perilaku agresi sebenarnya sudah terlihat pada masa bayi dalam usia 0-
6 bulan, serta pada usia sekolah taman kanak-kanak , selanjutnya pada usia remaja
yakni 6-14 tahun dan dewasa.
Cara mengontrol dan menghambat perilaku agresi, yakni dengan cara mengalami
perasaan yang lebih baik, kecemasan atau ketakutan pada hukuman dikondisikan dan
pemberian pengalaman emosi yang positif.
Terdapat pendekatan kognitif dan pendekatan struktural dalam perang antar negara
(konflik antar kelompok).
Agresi seksual merupakan tindakan yang menyakiti secara seksual, seperti memaksa
berhubungan seksual atau ekstrimnya pemerkosaan.
15
DAFTAR PUSTAKA
16