Anda di halaman 1dari 26

KOMUNIKASI MASSA

TEORI RUANG PUBLIK

( PUBLIC SPHERE THEORY)

DISUSUN OLEH :

FITRIA ADIANTI PUTRI 210 110 120 321

M FAWZI RADITYO 210 110 120 331

HAULAINI CHAIRUNISA 210 110 120 339

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2013 / 2014
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas kami ucakan kepada Allah
swt, yang karena bimbinganNyalah maka kami bisa menyelesaikan sebuah karya tulis dengan
tepat waktu.

Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan tema Teori Komunikasi.
Teori yang kami angkat pada malakah ini ada Teori Ruang Publik.

Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dalam jangka waktu tertentu sehingga
menghasilkan karya yang bisa dipertanggungjawabkan hasilnya.

Kami menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Melalui kata pengantar ini kami lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila
mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau
menyinggung perasaan pembaca. Oleh karena itu, kami mengundang pembaca untuk
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan
ini.

Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga
Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

Bandung, April 2013

Tim Penyusun

Mahasiswa FIKOM UNPAD

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... 2

DAFTAR ISI .................................................................................................................... 3

BAB I

A. PENDAHULUAN ................................................................................................ 4

BAB II

A. TOKOH PENGGAGAS ....................................................................................... 5


B. ISI TEORI ............................................................................................................. 6
C. KONSEP ............................................................................................................... 14
D. ASUMSI ............................................................................................................... 16

BAB III

A. STUDI KASUS .................................................................................................... 21


B. ANALISIS ............................................................................................................ 22

BAB IV

A. KESIMPULAN .................................................................................................... 24
B. PENUTUP ............................................................................................................ 25
C. DAFTAR PUSAKA ............................................................................................. 25

3
BAB I

A. PENDAHULUAN

Apa itu ruang pubik? Mengapa partisipasi demokratis masyarakat warga yang terkait dengan
dengan ide kepublikan dan ruang publik mengalami krisis dewasa ini? Makalah ini mencoba
menawarkan jawabannnya dengan melacak persoalan partisipasi demokrasi itu mulai dari
zaman Yunani Kuno, ketika demokrasi berlangsung dalam polis (negara kota), sampai pada
zaman ini ketika dengan Blackberry orang dapat memberikan suaranya dalam cyber space
untuk kepentingan politis tertentu.

Sebagian besar kontribusi dalam makalah ini merupakan pengolahan lebih lanjut dari bahan-
bahan ajar dengan tema Ruang publik, Menyelami Konsep, Dinamika dan Aktualitasnya.

Ruang publik, public sphere (Inggris) atau offentlichkeit (Jerman) merupakan sebuah konsep
yang dewasa ini menjadi populer di dalam ilmu-ilmu sosial, teori-teori demokrasi dan
diskursus politis pada umumnya.

Sungguhpun baru mulai populer di dalam masyarakat kita di era pasca-Soeharto, konsep
ruang punlik bukanlah hal baru di dalam teori politik, ilmu hukum dan yurisprudensi.
Istilah yang lebih tua adalah publik (latin: publicus). Lucian Holscher, seoarang kontributor
dalam ensiklopedia yang memuat konsep ruang publik (offentlichkeit) melaporkan sebuah
temuan menarik dari hasil risetnya atas sejarah konsep publik di Eropa.

Kata publik (public) dan kepublikan (publicity) bukan berasal dari bahasa Indonesia dan
bukan berasal dari kata Yunani, melainkan dari kata Latin yaitu publicus.

Hubungan antara publik dan komunikasi itu sudah dilihat di zaman Pencerahan. Kita ambil
contoh Jerman sebagai salah satu negara yang sangat kuat dipengaruhi gerakan. Pencerahan
saat itu mungkin Joseph Von Sonnenfels menghubungkan publik dengan komunikasi.
Pengertian yang dikembangkannya dapat mengejutkan kita. Ia menjelaskan kata
offentlichkeit (ruang publik) sebagai ciri suatu sarana komunikasi untuk menyebarkan opini-
opini yang sesat, berbahayanya dan menjengkelkan dan itu bersangkutan tidak hanya dengan
buku-buku, melainkan juga drama, koran, ajaran, gambar, dan seterusnya. Meski berhasil
menghubungkan dengan komunikasi, penjelasan yang memberi makna peyoratif untuk istilah
ruang publik seperti itu tidak lagi dipakai dalam abad berikutnya. Kaitan publik dan
komunikasi muncul secara positif dalam istilah yang populer di awal revolusi Perancis yaitu
4
optimion. Publique yang kita terjemahkan sebagai opini umum atau pendapat umum. Istilah
terakhir ini lalu melekat pada pengertian ruang publik yang dikembangkan Habernas.

BAB II

A. TOKOH PENGGAGAS

Gagasan ruang publik atau public sphere merupakan gagasan yang belum tua. Dan dalam hal
ini filsuf Jerman Jurgen Habermas dianggap sebagai pencetus gagasan tersebut, sekalipun
sebagian orang menganggap benih-benih pemikiran ruang publik sudah dikemukakan oleh
sosilogis dan ekonomis Jerman Maximilian Carl Emil Weber (1864-1920). Ia Jurgen
Habermas mengenalkan gagasan ruang publik melalui bukunya Strukturwandel der
ffentlichkeit; Untersuchungen zu einer Kategorie der Brgerlichen Gesellschaft. Edisi
bahasa Inggris buku ini, The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into
a Category of Bourgeois Society, diterbitkan pada 1989.
Melalui buku tersebut dan
buku Civil Society and the Political
Public Sphere, Jurger Habermas
memaparkan bagaimana sejarah dan
sosiologis ruang public. Menurutnya,
ruang publik di Inggris dan Prancis
sudah tercipta sejak abad ke-18. Pada
zaman tersebut di Inggris orang biasa
berkumpul untuk berdiskusi secara
tidak formal di warung-warung kopi
(coffee houses). Mereka di sana biasa
mendiskusikan persoalan-persoalan
karya seni dan tradisi baca tulis. Dan
sering pula terjadi diskusi-diskusi ini
melebar ke perdebatan ekonomi dan
politik. Sementara di Prancis, contoh
yang diberikan Jurgen Habermas,
perdebatan-perdebatan semacam ini

5
biasa terjadi di salon-salon. Warga-warga Prancis biasa mendiskusikan buku-buku,
karya-karya seni baik berupa lukisan atau musik, di sana.

Jurgen Habermas lahir pada 18 Juni 1929 di Dusseldorf, North Rhine-Westphalia, Jerman.
Ia adalah filsuf dan sosiolog Jerman dalam tradisi teori kritis dan pragmatisme Amerika. Ia
mungkin paling dikenal berkat karyanya tentang konsep ranah publik, topik dan judul dari
buku pertamanya. Karya Habermas berfokus pada landasan-landasan teori sosial dan
epistemologi, analisis masyarakat kapitalistik maju dan demokrasi, penegakan hukum (rule of
law) dalam konteks sosial-evolusioner kritis, dan politik kontemporer khususnya politik
Jerman.

Sistem teoretis Habermas diabdikan untuk mengungkapkan kemungkinan nalar, emansipasi,


dan komunikasi rasional-kritis yang laten dalam institusi-institusi modern dan dalam
kapasitas manusiauntuk mempertimbangkan secara sungguh-sungguh dan mengejar
kepentingan-kepentingan rasional.

B. ISI TEORI

Teori Ruang Publik 1: Ruang Publik Habermas


Jurgen Habermas menjelaskan bahwa ruang publik merupakan media untuk
mengomunikasikan informasi dan juga pandangan. Sebagaimana yang tergambarkan di
Inggris dan Prancis, masyarakat bertemu, ngobrol, berdiskusi tentang buku baru yang terbit
atau karya seni yang baru diciptakan. Dalam keadaan masyarakat bertemu dan berdebat akan
sesuatu secara kritis maka akan terbentuk apa yang disebut dengan masyarakat madani.
Secara sederhana masyarakat madani bisa dipahami sebagai masyarakat yang berbagi minat,
tujuan, dan nilai tanpa paksaanyang dalam teori dipertentangkan dengan konsep negara
yang bersifat memaksa.

Pada perkembangan selanjutnya ruang publik juga menyangkut ruang yang tidak saja bersifat
fisik, seperti lapangan, warung-warung kopi dan salon, tetapi juga ruang di mana proses
komunikasi bisa berlangsung. Misal dari ruang publik yang tidak bersifat fisik ini adalah
media massa. Di media massa itu masyarakat membicarakan kasus-kasus yang terjadi di
lingkungannya. Penguasa yang tidak menerima dikritik dan media massa yang menolak
memuat sebuah artikel karena takut kepada penguasa juga sebagai tanda bahwa sebuah ruang
publik belum tercipta.

6
Teori Ruang Publik 2: Media dan Ranah Publik
Dalam bukunya, Transformasi Struktural Ranah Publik, Habermas mengembangkan
konsepnya yang berpengaruh, tentang ranah publik. Karya Habermas ini sangat kaya dan
memberi dampak besar pada berbagai disiplin ilmu.
Habermas pertama membuat sketsa sebuah model yang disebutnya ranah publik borjuis, Ia
kemudian juga menganalisis kemunduran ranah publik ini pada abad ke-20. Ranah publik
borjuis, yang mulai muncul pada sekitar tahun 1700 dalam penafsiran Habermas, adalah
berfungsi untuk memperantarai keprihatinan privat individu dalam kehidupan sosial,
ekonomi, dan keluarga, yang dihadapkan dengan tuntutan-tuntutan dan keprihatinan dari
kehidupan sosial dan publik.

Ini mencakup fungsi menengahi kontradiksi antara kaum borjuis dan citoyen (kalau boleh
menggunakan istilah yang dikembangkan oleh Hegel dan Marx awal), mengatasi
kepentingan-kepentingan dan opini privat, guna menemukan kepentingan-kepentingan
bersama, dan untuk mencapai konsensus yang bersifat sosial.

Ranah publik di sini terdiri dari organ-organ informasi dan perdebatan politik, seperti
suratkabar dan jurnal. Serta institusi diskusi politik, seperti parlemen, klub politik, salon,
majelis publik, tempat minum dan kedai kopi, balai pertemuan, dan ruang-ruang publik lain,
di mana diskusi sosio-politik berlangsung. Konsep ranah publik yang diangkat Habermas ini
adalah ruang bagi diskusi kritis, terbuka bagi semua orang. Pada ranah publik ini, warga
privat (private people) berkumpul untuk membentuk sebuah publik, di mana nalar
publik tersebut akan bekerja sebagai pengawas terhadap kekuasaan negara.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, individu dan kelompok dapat membentuk opini publik,
memberikan ekspresi langsung terhadap kebutuhan dan kepentingan mereka, seraya
mempengaruhi praktik politik. Ranah publik borjuis memungkinkan terbentuknya area
aktivitas opini publik, yang menentang kekuasaan negara yang opresif, serta kepentingan-
kepentingan kuat yang membentuk masyarakat borjuis.

Prinsip-prinsip ranah publik melibatkan suatu diskusi terbuka tentang semua isu yang
menjadi keprihatinan umum, di mana argumentasi-argumentasi diskursif (bersifat informal,
dan tidak ketat diarahkan ke topik tertentu) digunakan untuk menentukan kepentingan umum
bersama. Ranah publik dengan demikian mengandaikan adanya kebebasan berbicara dan
berkumpul, pers bebas, dan hak untuk secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik
dan pengambilan keputusan.

7
Sesudah terjadinya revolusi-revolusi demokratis, Habermas menyarankan, agar ranah publik
borjuis ini dilembagakan dalam aturan konstitusional, yang menjamin hak-hak politik secara
meluas. Serta, mendirikan sistem yudisial untuk menengahi klaim-klaim antara berbagai
individu atau berbagai kelompok, atau antara individu dan kelompok dan negara.

Dalam konsep Habermas, media dan ranah publik berfungsi di luar sistem politis-
kelembagaan yang aktual. Fungsi media dan ranah publik ini sebagai tempat diskusi, dan
bukan sebagai lokasi bagi organisasi, perjuangan, dan transformasi politik. Dalam bukunya
itu, Habermas juga mengkontraskan berbagai bentuk ranah publik borjuis. Mulai dari ranah
publik yang bersifat partisipatoris dan aktif di era heroik demokrasi liberal, sampai dengan
bentuk-bentuk ranah publik yang lebih privat dari pengamat politik dalam masyarakat
industri birokratis. Pada masyarakat semacam itu, kalangan media dan elite mengontrol ranah
publik.

Sesudah menyatakan gagasan tentang ranah publik borjuis, opini publik, dan publisitas,
Habermas menganalisis struktur sosial, fungsi-fungsi politis, dan konsep serta ideologi ranah
publik. Kemudian, Habermas menggambarkan transformasi sosial-struktural ranah publik,
perubahan-perubahan dan fungsi publiknya, serta pergeseran-pergeseran dalam konsep opini
publik dalam tiga bab penyimpulan.

Dua tema utama dari buku Habermas itu mencakup analisis kelahiran historis ranah publik
borjuis, yang diikuti dengan ulasan tentang perubahan struktural ranah publik di era
kontemporer. Habermas menganalisis kemerosotan ranah publik itu pada abad ke-20. Yaitu,
dengan bangkitnya kapitalisme negara, industri budaya, dan posisi yang semakin kuat di
pihak perusahaan ekonomi dan bisnis besar dalam kehidupan publik. Dalam ulasannya ini,
ekonomi besar dan organisasi pemerintah telah mengambil alih ruang publik, di mana warga
negara hanya diberi kepuasan untuk menjadi konsumen bagi barang, layanan, administrasi
politik, dan pertunjukan publik.

Menurut Habermas, berbagai faktor akhirnya mengakibatkan kemerosotan ranah publik.


Salah satu faktor itu adalah pertumbuhan media massa komersial, yang mengubah publik
menjadi konsumen yang pasif. Mereka menjadi tenggelam dalam isu-isu yang bersifat privat,
ketimbang isu-isu yang menyangkut untuk kebaikan bersama dan partisipasi demokratis.

Faktor lain, adalah munculnya negara kesejahteraan, yang menyatukan negara dan
masyarakat sebegitu mendalam, sehingga ranah publik menjadi tertekan habis. Negara mulai

8
memainkan peran yang lebih fundamental dalam kehidupan sehari-hari dan lingkungan
aktivitas privat, sehingga mengikis perbedaan antara negara dan masyarakat sipil, serta antara
ranah publik dan privat. Faktor-faktor ini juga mengubah ranah publik menjadi sebuah situs
bagi kontestasi atas sumber-sumber negara, yang lebih ditujukan untuk kepentingan diri
sendiri, ketimbang menjadi ruang bagi pengembangan konsensus rasional yang
mendahulukan kepentingan publik.

Menurut analisis Habermas, dalam ranah publik borjuis, opini publik dibentuk oleh
konsensus dan perdebatan politik. Sedangkan dalam ranah publik yang sudah merosot
kualitasnya di kapitalisme negara kesejahteraan (welfare state capitalism), opini publik diatur
oleh para elite politik, ekonomi, dan media, yang mengelola opini publik sebagai bagian dari
manajemen sistem dan kontrol sosial.

Jadi, pada tahapan yang lebih awal dari perkembangan borjuis, opini publik dibentuk dalam
debat politik terbuka, berkaitan dengan kepentingan umum bersama, dalam upaya
membentuk sebuah konsensus yang menghargai kepentingan umum. Sebaliknya, dalam
tahapan kapitalisme kontemporer, opini publik dibentuk oleh kalangan elite yang dominan,
dan dengan demikian sebagian besar mewakili kepentingan privat partikular mereka.

Tidak ada lagi konsensus rasional di antara para individu dan kelompok, demi kepentingan
artikulasi kebaikan bersama, yang dijadikan sebagai norma. Sebaliknya, yang terjadi adalah
pertarungan di antara berbagai kelompok untuk memajukan kepentingan privat mereka
sendiri, dan inilah yang menjadi ciri panggung politik kontemporer.

Karena itu, Habermas menjabarkan transisi dari ranah publik liberal, yang berasal dari
Pencerahan (Enlightenment) serta revolusi Amerika dan Perancis, ke ranah publik yang
didominasi media di era masa sekarang, yang disebutnya kapitalisme negara kesejahteraan
dan demokrasi massa.

Transformasi historis ini, sebagaimana bisa kira catat, didasarkan pada analisis Horkheimer
dan Adorno tentang industri budaya. Yakni, kondisi di mana perusahaan-perusahaan raksasa
mengambil alih ranah publik, dan mengubah ranah publik itu dari ranah perdebatan rasional
menjadi ranah konsumsi yang manipulatif dan pasifitas.

Dalam transformasi ini, opini publik bergeser dari konsensus rasional yang muncul dari
debat, diskusi, dan refleksi, menjadi opini yang direkayasa lewat jajak pendapat atau pakar

9
media. Jadi, perdebatan rasional dan konsensus telah digantikan oleh diskusi yang diatur dan
manipulasi lewat mekanisme periklanan dan badan-badan konsultasi politik.

Bagi Habermas, fungsi media dengan demikian telah diubah dari memfasilitasi wacana dan
perdebatan rasional dalam ranah publik, menjadi membentuk, mengkonstruksi, dan
membatasi wacana publik ke tema-tema yang disahkan dan disetujui oleh perusahaan-
perusahaan media. Maka, saling-hubungan antara ranah debat publik dan partisipasi individu
sudah patah, dan berubah bentuk ke dalam lingkungan aktivitas informasi politik atau
pertunjukan publik. Dalam lingkungan semacam itu, warga-konsumen menyerap dan
mencernakan hiburan dan informasi secara pasif.

Warga negara dengan demikian sekadar menjadi penonton pertunjukan dan wacana media,
yang membentuk opini publik, dan menurunkan derajat konsumen/warganegara itu menjadi
sekadar obyek bagi berita, informasi, dan urusan-urusan publik.

Teori Ruang Publik 3: Kritik terhadap Habermas

Dalam magnum opusnya, The Theory of Communicative Action (1981), Habermas


mengeritik proses modernisasi sepihak, yang dipimpin oleh kekuatan-kekuatan rasionalisasi
ekonomi dan administratif. Habermas memandang,
intervensi yang semakin meningkat dari sistem formal
terhadap kehidupan kita sehari-hari, itu sejalan dengan
pertumbuhan negara kesejahteraan, kapitalisme korporat,
dan budaya konsumsi massa. Kecenderungan yang
semakin kuat ini telah memberi pembenaran bagi
perluasan area kehidupan publik, dan menundukkan
mereka di bawah logika pukul rata tentang efisiensi dan
kontrol. Partai-partai politik, yang diregulerkan, dan
kelompok-kelompok kepentingan telah menjadi pengganti
dari demokrasi partisipatoris. Masyarakat pun semakin
diatur pada tingkatan yang jauh dari masukan warga
negara. Akibatnya, batas-batas antara publik dan privat,
antara individu dan masyarakat, serta antara sistem dan
dunia kehidupan, semakin memudar.
Proyek Habermas tentang ranah publik itu menggunakan

10
berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat, teori sosial, ekonomi, dan sejarah, dan dengan
demikian merintis gaya Institut untuk Riset Sosial, dalam menghasilkan teori sosial
supradisiplin. Pandangan historis proyek ini lalu menjadi landasan bagi proyek-proyek yang
dilakukan Institut tersebut, untuk pengembangan teori kritis era kontemporer.

Aspirasi politik Habermas telah memposisikannya sebagai pengkritik atas kemerosotan


demokrasi di masa sekarang, dan imbauan bagi pembaruan demokrasi. Ini adalah tema-tema
yang tetap bersifat sentral dalam pemikiran Habermas. Kehidupan publik demokratis hanya
berkembang subur, manakala institusi-institusi memungkinkan warga negara, untuk
memperdebatkan masalah-masalah yang menjadi kepentingan publik. Habermas
menggambarkan jenis ideal dari situasi bicara ideal (ideal speech situation), adalah ketika
para aktor secara setara dibekali dengan kapasitas wacana, mengakui persamaan sosial dasar
antara satu dengan yang lain, dan pembicaraan mereka tidak terdistorsi oleh ideologi atau
salah pengenalan (misrecognition).

Habermas optimistis tentang kemungkinan menghidupkan kembali ranah publik. Ia melihat


harapan bagi masa depan di era baru komunitas politik, yang melampaui negara-bangsa yang
berbasis pada kesamaan etnik dan budaya, menuju ke arah negara yang berdasarkan pada
hak-hak setara dan kewajiban warga negara yang melekat secara hukum.
Teori diskursif tentang demokrasi ini mensyaratkan komunitas politik, yang secara kolektif
dapat merumuskan kehendak politiknya, dan mengimplementasikan kehendak politik itu
menjadi kebijakan di tingkatan sistem legislatif. Sistem politik ini mensyaratkan sebuah ranah
publik aktivis, di mana hal-hal yang menjadi kepentingan bersama dan isu-isu politik dapat
didiskusikan, dan kekuatan opini publik dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan.
Sejumlah akademisi telah melontarkan berbagai kritik terhadap pernyataan Habermas tentang
ranah publik. John B. Thompson, pengajar sosiologi di Universitas Cambridge, menunjukkan
bahwa pernyataan Habermas tentang ranah publik itu kini menjadi usang, jika kita melihat
penyebaran komunikasi media massa. Sedangkan Michael Schudson dari Universitas
California, San Diego, memberi argumen yang lebih umum. Ia menyatakan, ranah publik
sebagai tempat perdebatan independen yang murni rasional seperti disebutkan Habermas
adalah tidak pernah ada.

Sejumlah pengeritik menyatakan, Habermas terlalu mengidealisasi ranah publik borjuis di


tahap-tahap awal, dengan menjabarkannya sebagai forum diskusi dan debat yang rasional.
Padahal, faktanya, kelompok-kelompok tertentu telah disisihkan dari forum tersebut, dan

11
dengan demikian partisipasi juga dibatasi. Habermas sendiri kemudian mengakui bahwa
ranah publik yang disebutkannya waktu itu memang lebih sebagai jenis ideal dan bukan ideal
normatif yang mau dibangkitkan lagi dari ambang kematian.

Memang, Habermas terkesan agak mengidealisasi ranah publik borjuis sebelumnya.


Meskipun konsep ranah publik dan demokrasi mengasumsikan adanya perayaan liberal dan
populis tentang keanekaragaman (diversitas), toleransi, perdebatan, dan konsensus, pada
kenyataannya ranah publik borjuis didominasi oleh kaum pria, pemilik properti, yang berkulit
putih. Ranah publik kelas pekerja, kaum perempuan, dan warga kelas bawah lain, yang
berkembang seiring dengan ranah publik borjuis untuk mewakili suara dan kepentingan kelas
bawah, disisihkan dari forum ranah publik borjuis tersebut.

Oskar Negt dan Alexander Kluge mengeritik Habermas, karena mengabaikan ranah-ranah
publik kaum proletar dan masyarakat kelas bawah. Dalam refleksinya, Habermas menulis
bahwa ia sekarang menyadari sejak dari awal, publik borjuis yang dominan berbenturan
dengan publik kelas bawah, dan bahwa ia telah meremehkan signifikansi ranah-ranah publik
yang non-borjuis dan bersifat oposisional. Maka, daripada membayangkan adanya sebuah
ranah publik yang demokratis atau liberal, adalah lebih produktif untuk membuat teori
tentang berbagai macam ranah publik, yang kadang-kadang tumpang-tindih namun juga
bertentangan. Ini mencakup juga ranah-ranah publik dari kelompok-kelompok yang
disisihkan, serta konfigurasi-konfigurasi yang lebih mewakili arus utama (mainstream).
Ranah publik itu sendiri bergeser dengan bangkitnya gerakan-gerakan sosial baru, teknologi
baru, dan ruang-ruang baru bagi interaksi publik, seperti Internet. Sedangkan Mary Ryan
mencatat adanya ironi bahwa bukan saja Habermas telah mengabaikan ranah publik kaum
perempuan. Namun, Habermas juga menandai kemerosotan ranah publik persis pada momen
ketika kaum perempuan mulai mendapatkan kekuasaan politik dan menjadi aktor.

Vitalitas ranah publik kaum perempuan memang terjadi pada abad ke-19 di Amerika. Terlihat
dengan adanya usaha-usaha pengorganisasian oleh Susan B. Anthony, Elizabeth Cary
Stanton, dan lain-lain dari tahun 1840-an sampai masuk abad ke-20, dalam suatu perjuangan
yang berkelanjutan, demi memperoleh hak-hak memberi suara dalam pemilu dan hak-hak
kaum perempuan.

Selain kritik-kritik di atas, juga diragukan, apakah politik demokratis pernah disemangati
oleh norma rasionalitas atau opini publik, yang dibentuk lewat konsensus dan perdebatan
rasional, sampai ke tahapan ciri-ciri (ideal) konsep Habermas tentang ranah publik borjuis.

12
Politik di sepanjang era modern selalu menjadi permainan kepentingan dan kekuasaan, serta
diskusi dan perdebatan.

Mungkin hanya sedikit masyarakat borjuis Barat yang telah mengembangkan ranah publik
dalam ciri-ciri ideal yang dinyatakan Habermas. Meskipun patut dihargai, usaha
mengkonstruksi model masyarakat yang baik, yang bisa membantu mewujudkan nilai-nilai
egalitarian dan demokratis yang disepakati, adalah suatu kekeliruan jika kita berlebih-lebihan
mengidealisasi dan menguniversalkan suatu ranah publik spesifik, sebagaimana yang
dilakukan Habermas.

Proyek Habermas juga dilemahkan oleh pembedaan atau pembagian kategoris yang terlalu
kaku, antara ranah publik liberal klasik dan ranah publik kontemporer; antara sistem dan
dunia kehidupan; dan antara produksi dan interaksi. Konsepsi-konsepsi dualistik seperti itu
sendiri telah dinafikan oleh revolusi teknologi, di mana media dan teknologi memainkan
peran vital di kedua sisi dari pembagian kategoris Habermas, dan dengan demikian merusak
pembagian tersebut. Pembedaan-pembedaan itu juga mengesampingkan usaha-usaha untuk
mentransformasikan sisi pembedaan Habermas, yang ia anggap sulit diubah atau dipengaruhi,
untuk kepentingan demokratis yang harus dilakukan, atau norma-norma tindakan
komunikatif.
Dari sudut pandang perumusan teori ranah publik, misalnya, Habermas menyatakan, dari saat
pengembangan pembedaan ini, Saya menganggap aparat negara dan ekonomi adalah lahan-
lahan tindakan yang terintegrasi secara sistematik, yang tidak bisa lagi ditransformasikan
secara demokratis dari dalam, tanpa merusak logika sistem mereka yang ada dan
kemampuannya untuk berfungsi.

Douglas Kellner beranggapan, pada masyarakat teknologi-tinggi kontemporer, muncul


perumusan ulang dan perluasan ranah publik, yang melampaui konsep Habermas. Ranah
publik adalah tempat bagi informasi, diskusi, kontestasi, perjuangan politik, dan organisasi,
yang mencakup media siaran dan ruang maya (cyberspace) baru, serta interaksi face-to-face
dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan-perkembangan ini, yang terutama berhubungan
dengan teknologi multimedia dan komputer, menuntut perumusan ulang dan perluasan
konsep ranah publik.

Meski dengan adanya beberapa kekurangan tersebut, analisis Habermas telah berjasa dalam
memfokuskan perhatian kita pada hakikat dan transformasi struktural ranah publik, serta
fungsi-fungsinya dalam masyarakat kontemporer. Analisis Habermas ini perlu

13
dikembangkan, dengan memperhitungkan revolusi teknologi dan restrukturisasi kapitalisme
global, yang terjadi saat ini. Serta, meninjau ulang teori kritis tentang masyarakat dan politik
demokratis, dengan melihat perkembangan-perkembangan tersebut di atas.

C. KONSEP

Konsep Perpustakaan Sebagai Ruang Publik (Public Sphere) Ditinjau dari Teori Public
Sphere Jurgen Harbermas

Istilah post-modernisme lahir pada paruh kedua abad ke-20, berkisar antara tahun 1960
hingga tahun 1990. Lahirnya post-modernisme ditandai dengan lahir dan berkembangnya era
informasi dalam masyarakat yang mengakibatkan perubahan-perubahan dalam fenomena
sosial-budaya masyarakat. Seperti yang dinyatakan oleh Akhyar, bahwa salah satu ciri sosial-
budaya masyarakat post-modernisme ditandai dengan lahirnya era mode informasi. Era mode
informasi ini memungkikkan masyarakat untuk mengorganisir dan menyebarkan informasi
dalam masyarakat (Akhyar, 2011).

Dinamika kebutuhan dan ketergantungan terhadap informasi menyebabkan perubahan dalam


masyarakat, seperti perubahan estetis, kultural, dan ekonomi. Proses perubahan ini kemudian
melahirkan istilah masyarakat informasi atau information society. Konsep masyarakatinformasi
itu sendiri muncul pada awal tahun 1970.

Daniel Bell menggunakan istilah post-industrial society untuk menyebut masyarakat


informasi, yaitu pergantian produksi barang-barang kepada sistem pengetahuan dan inovasi
pelayanan sebagai strategi dan sumber informasi masyarakat (Bell, 1973). Menurut William
J. Martin, masyarakat informasi merupakan suatu kedaan masyarakat dimana kualitas hidup,
prospek untuk perubahan sosial dan pembangunan ekonomi bergantung pada peningkatan
informasi dan pemanfaatannya (Martin, 1995)

Salah satu saluran sumber dan saluran informasi yang umum di dalam masyarakat adalah
perpustakaan. Perpustakaan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang
merefleksikan perubahan yang terjadi di masyarakat. Perpustakaan atau library didefinisikan
sebagai pusat media, pusat belajar, sumber pendidikan, pusat informasi, pusat dokumentasi
dan pusat rujukan (The American Library Association dalam Mahmudin, 2006)

Darmono menyatakan bahwa perpustakaan adalah salah satu unit kerja yang berupa tempat
untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, dan mengatur koleksi bahan pustaka secara

14
sistematis untuk digunakan oleh pemakai sebagai sumber informasi sekaligus sebagai sarana
belajar yang menyenangkan (Darmono, 2001: 2). Perpustakaan memiliki fungsi informasi,
edukasi, kebudayaan dan rekreasi bagi masyarakat. Di perpustakaan, informasi dikumpulkan,
diolah dan disediakan untuk memenuhi kebetuhan masyarakat. Perpustakaan terbuka bagi
seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang agama, ras, maupun warna kulit. Setiap
anggota masyarakat memiliki hak untuk datang ke perpustakaan dan memanfaatkan informasi
serta fasilitas yang disediakan oleh perpustakaan, terutama di perpustakaan umum.

Konsep perpustakaan yang terbuka bagi umum dan semua lapisan masyarakat ini memiliki
kemiripan dengan konsep ruang publik Jurgen Harbermas. Ruang publik bisa diartikan
sebagai sebuah tempat untuk berkumpulnya masyarakat guna berdiskusi terntang berbagai
permasalahan yang terjadi, dimana semua masyarakat memiliki persamaan dan kesataraan
serta tanpa adanya pengaruh atau tekanan dari pihak yang berkuasa.

Bagi Habermas, ruang publik bisa dikatakan sebaga sebuah ruang, baik abstrak maupun
ruangan fisik, yang berperan dalam pembentukan opini yang bersifat non-pemerintah serta
terlepas dari kendali pemerintah. Hal tersebut didasarkan pada hakikat masyarakatsebagai
mahkluk sosial, dimana masyarakat memiliki hak dan kemampuan untuk berargumen dan
mengemukakan pendapat dan pemerintah berfungsi sebagai pelaksana keputusan masyarakat
tersebut (Pendit, 2007).

Perpustakaan, sebagai suatu lembaga yang bertujuan untuk mengolah dan melestarikan
informasi agar berdaya guna bagi masyarakat, menjadi sebuah wadah yang memungkinkan
masyarakat untuk berinteraksi dan berkomunikasi tanpa memperhatikan kedudukan atau
jabatan individu dalam masyarakat. Akan tetapi dalam praktiknya, tidak keseluruhan konsep
ruang publik yang dikemukakan oleh Habermas bisa diimplementasikan di perpustakaan.
Pengaruh dari pemeritah, sensor, serta keterbatasan dalam mengemukakan pendapat
merupakan hal-hal yang umum ditemukan pada sebuah perpustakaan, terutama perpustakaan
umum, sehingga perpustakaan belum sepenuhnya bisa dikatakan sebagai ruang publik yang
ideal.

Perpustakaan secara umum, bisa dikatakan sebagai sebuah ruang publik, karena perpustakaan
merupakan sebuah lembaga yang memungkin masyarakat untuk bertemu, berdiskusi, serta
memenuhi kebutuhan informasi tanpa ada pembatasan gender, usia, pendidikan, maupun
jabatan. Akan tetapi perpustakaan belum bisa dikatakan sebagai sebuah ruang publik yang

15
ideal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas karena ruang publik yang ideal
hanya bisa diwujudkan pada tataran masyarakat yang madani.

D. ASUMSI

Media Massa, Public Sphere, dan Kebebasan Pers

Kebebasan berinformasi dan mengutarakan pendapat merupakan hak setiap warga negara
yang dijamin oleh UUD 1945. Karena merupakan hak dasar bagi manusia sebagai bagian dari
negara, maka hak ini harus terpenuhi dan dilindungi dari berbagai intervensi pihak
berkepentingan. Untuk menyampaikan aspirasinya inilah warga negara membutuhkan sebuah
ruang publik yang mampu menjadi wadah bagi pendapat-pendapat mereka mengenai berbagi
permasalahan sosial. Pembahasan mengenai ruang publik (public sphere) berawal dari
pendapat Jurgen Habermas pada tahun 1962 dalam tulisannya yang kemudian diterjemahkan
pada tahun 1997 berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere. Public
sphereadalah ruang terjadinya berbagai diskusi dan debat publik mengenai suatu
permasalahan publik, di mana setiap individu sebagai bagian dari publik mempunyai porsi
yang sama dalam berpendapat dan dijamin kebebasannya dari intervensi dan restriksi pihak
lain sehingga tidak memunculkan hegemoni opini namun menumbuhkan opini publik yang
diharapkan akan membantu munculnya kebijakan publik yang adil. Habermas (1997: 105)
menyebutkan kriteria public sphere sebagai berikut:

A domain of our social life where such a thing as public opinion can be formed (where)
citizens deal with matters of general interest without being subjected to coercion(to)
express and publicize their views.

Sedangkan Alan McKee (2005) menyatakan beberapa pengertian tentang public


sphere sebagai berikut :

1. Ruang publik adalah suatu wilayah hidup sosial di mana suatu pendapat umum dapat
dibentuk diantara warga negara, berhadapan dengan berbagai hal mengenai
kepentingan umum tanpa tunduk kepada paksaan dalam menyatakan dan
mempublikasikan pandangan mereka.
2. Ruang publik adalah istilah yang berkenaan dengan metafora yang digunakan untuk
menguraikan ruang virtual dimana orang-orang dapat saling berhubungan.

16
3. Ruang publik adalah ruang dimana percakapan, gagasan, dan pikiran masyarakat
bertemu.
4. Ruang publik adalah ruang virtual di mana warganegara dari suatu negeri menukar
gagasan dan mendiskusikan isu, dalam rangka menjangkau persetujuan tentang
berbagai hal yang menyangkut kepentingan umum.
5. Ruang publik adalah tempat di mana informasi, gagasan dan perberdebatan dapat
berlangsung dalam masyarakat dan pendapat politis dapat dibentuk.

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa public sphere merupakan ruang abstrak bagi
publik untuk mengutarakan pendapat atau menentang pendapat lain berdasarkan asas
kebebasan bertanggung jawab. Pro-kontra merupakan unsur utamapublic sphere untuk
mencari solusi dari berbagai permasalahan sosial yang sedang menjadi agenda pemabahasan
publik. Tarik ulur kepentingan juga merupakan warna bagi public sphere yang kemudian
menciptakan bargaining position antar peserta diskusi.

Media Massa sebagai Sarana Public Sphere

Pada awal perkembangannya, public sphere diteliti oleh Habermas dalam kedai-kedai kopi
dimana di sana terjadi pembicaraan masalah-masalah publik oleh para pengunjung. Namun
dengan semakin berkembangnya teknologi dan kecepatan informasi, media massa digadang-
gadang sebagai sebuah institusi yang mampu merealisasikan public sphere yang
memprasarnai aspirasi publik. Hal ini dikarenakan pada tataran das sollen, media massa
merupakan institusi informasi yang netral dan independen serta tidak terdikte oleh pihak
manapun.

Habermas (1997) mengatakan bahwa public sphere terdiri dari lembaga informasi dan
diskusi/debat politik. Lembaga informasi ini mengacu pada media massa yang mempunyai
fungsi informing kepada khalayak dan sarana transformasi kepentingan publik. Pandangan
Habermas yang berhubungan dengan pentingnya media dalam mewujudkan public
sphere didukung oleh O'Neil yang menyatakan bahwa media massa sangatlah vital bagi
pembentukan dan vitalitas sebuah masyarakat sipil.

Kebebasan bermedia dan berinformasi juga merupakan ciri dari terwujudnya negara
demokrasi. Dengan semboyan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, masyarakat
mempunyai ruang partisipasi yang harus dijamin oleh pemerintah sebagai aparatur negara
dan representator rakyat, termasuk dalam bermedia massa dan memperoleh informasi. Tanpa

17
adanya kebebasan bermedia massa oleh masyarakat, maka yang akan terjadi adalah
kemandulan demokrasi yang berujung pada lemahnya partisipasi rakyat dalam berpolitik dan
bernegara. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Randall bahwa untuk mewujudkan
berfungsinya demokrasi, masyarakat sipil membutuhkan akses terhadap informasi sebagai
alat untuk mengetahui pilihan - pilihan politik. Sementara para politisi membutuhkan media
untuk menyampaikan pandangan - pandangan mereka dan untuk berinteraksi dengan
masyarakat. Media tidak berdiri sendiri dalam sebuah sistem sosial tetapi menyediakan
saluran komunikasi para pelaku di dalamnya.

Peryataan Randall di atas menyiratkan bahwa media massa sebagai public sphere mempunyai
dua peran penting yaitu sebagai sumber informasi dan menyediakan ruang bagi publik untuk
melakukan diskusi dan debat publik. Hanya saja yang menjadi catatan besar adalah apakah
media massa mampu menyediakan public sphere yang benar-benar independen dari berbagai
kepentingan imparsional?

Tidak mudah membayangkan bagaimana mewujudkan media massa dalam


menyelenggarakan public sphere yang ideal. Karena pada realitanya, media massa tidak bisa
terlepas dari berbagai kepentingan pemilik modal dan pemerintah. Public sphereyang ideal
juga harus mampu menyediakan akses bagi seluruh khalayak agar tidak terjadi dominasi
opini oleh segolongan publik yang mempunyai akses terhadap media massa.

Media massa sebagai penyelenggara public sphere harus menjadi katalisator dalam
menyelesaikan permasalahan publik. Karena dengan jurnalisme yang berimbang dan
independen serta public sphere yang terjamin kebebasannya maka akan muncul opini publik
yang benar-benar mewakili kepentingan seluruh publik. Public opinion tersebut kemudian
dapat dijadikan sebagai dasar lahirnya kebijakan public (public policy) yang berpihak kepada
publik yang kemudian akan berdampak pada meningkatnya mutu public service.

Realita public sphere di Indonesia

Public sphere di media Indonesia mulai muncul pada akhir masa Orde Baru ditandai dengan
lahirnya masa Reformasi yang memberikan kebebasan kepada publik sesuai UUD 1945.
Pada masa Orde Baru, sistem komunikasi Indonesia bersifat tertutup sehingga arus informasi
bersifat top down dan tidak ada kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan feed back.
Setelah Orde Baru digantikan oleh Reformasi, sistem komunikasi beralih ke sistem yang
lebih terbuka sehingga publik mempunyai kebebasan untuk menyuarakan pendapatnya tanpa

18
takut pada ancaman pemerintah. Kemunculan lingkungan media yang lebih bebas tersebut
juga disebutkan oleh Idris & Gunaratne (2000) yang mengatakan bahwa pada awal 1998
sebuah kebijakan media yang lebih bebas tengah terbentuk di Indonesia.

Pasca Orde Baru juga gencar dilakukan diskusi-diskusi publik mengenai keadaan bangsa dan
masa depan negara. Dari sinilah kemudian muncul ruang-ruang publik yang membahas
tentang permasalahan publik guna mencari solusi yang tepat. Media massa sebagai pilar
keempat dalam sistem negara juga mulai membuka kesempatan kepada public untuk
berpartisipasi aktif dalam diskusi publik melalui media.

Sejak itu, nuansa kebebasan berinformasi semakin dirasakan oleh publik untuk berkontribusi
dalam pembangunan negara melalui diskusi ruang publik.

Secara teoritis, media massa memang telah mampu menciptakan public sphere bagi khalayak
untuk memberikan aspirasi dan turut pula dalam diskusi-diskusi publik melalui media massa.
Hal ini dapat dilihat dengan dibukanya rubrik opini dan surat pembaca di media cetak serta
munculnya berbagai talk show yang membahas permasalahan publik di media televisi dan
radio. Namun apakah sejatinya media Indonesia telah menyelenggarakan public sphere yang
berimbang tanpa diboncengi kepentingan pihak tertentu?

Sulit rasanya bagi media massa untuk menciptakan sebuah ruang publik yang benar-benar
berpihak pada kepentingan publik dan bebas dari bias kepentingan. Hal ini dikarenakan
media massa sangat bergantung pada para pemilik modal dan kecenderungan pemilik modal
kepada institusi atau golongan tertentu. Ini dapat dicontohkan dengan adanya perang opini
melalui public sphere masing-masing antara TV One yang dibiayai oleh Aburizal Bakrie dan
Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh ketika kedua pemodal tersebut sama-sama
mencalonkan diri menjadi ketua umum Partai Golkar. Masing-masing media menyuarakan
kepetingan pemiliknya bahkan tokoh yang diundang dalam diskusi-diskusinya adalah tokoh
yang berpihak kepada masing-masing pemodal.

Selain itu, public sphere dalam media massa juga hanya bisa diakses oleh orang-orang
tertentu. Publik tidak mempunyai akses yang sama untuk dapat turut serta urun
rembug dalam diskusi publik. Dengan alasan keterbatasan space atau durasi, public
sphere yang diselenggarakan oleh media massa sering kurang maksimal karena space-nya
sudah dikavling oleh pengiklan atau program media itu sendiri.

19
Habermas (1997: 141-250) sendiri pernah menyebutkan tentang degradasi public sphere oleh
media massa yang justru dilakukan oleh praktek media massa dan tumbuhnya budaya
masyarakat konsumtif daripada masyarakat kritis. Hal ini dikarenakan media massa kini lebih
banyak dipenuhi promosi dan hiburan daripada forum yang membahas permasalahan publik.

Kebebasan Pers sebagai Faktor Pendukung Public Sphere

Public sphere yang termediasi dalam sebuah media massa sangat bergantung pula pada
sistem pers yang dianut oleh negara sebagai sebuah penjamin kebebasan pers. Di Indonesia
sendiri sistem pers yang dianut adalah sistem pers tanggung jawab sosial sebagai pendukung
terselenggaranya public sphere yang sehat.

Sistem pers tanggung jawab sosial mulai terapkan di Indonesia sejak bergulirnya masa
reformasi. Mulai berlakunya sistem ini dikarenakan adanya kebebasan pers yang tidak lagi
mengalami restriksi oleh pemerintah sehingga pers benar-benar menjadi lembaga sosial yang
independen. Sistem pers tanggung jawab sosial memberikan keleluasaan dan kebebasan bagi
awak pers untuk memproduksi berita dengan catatan tetap harus memperhatikan kepentingan
publik agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan (Severin dan Tankard, 2005).

Dalam sistem ini, pers tidak lagi dikendalikan oleh pemerintah melalui Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP). Profesi dalam dunia pers dapat dilakukan oleh siapa saja dengan
syarat memiliki kredibilitas dan bertanggung jawab. Pers dianggap bagian dari masyarakat
yang tidak bisa lagi dipisahkan fungsinya sebagai media transformasi informasi publik.
Namun dalam sistem ini pers memiliki tanggung jawab yang lebih besar karena dibawah
pengawasan sebagai konsumen, sehingga pers tidak bisa sekehendaknya dalam pembuatan
dan penyiaran berita (Siebert, Peterson, dan Schramm (1956) dalam Severin dan Tankard
(2005)).

Kebebasan merupakan sesuatu yang krusial bagi pers untuk dapat memproduksi siarannya
secara independen dan tanpa harus takut tekanan pihak manapun. Namun, kebebasan pun
tidak serta merta diberikan begitu saja. Oleh karena itu, negara kemudian menjamin dan
mengatur kebebasan pers melalui UUD 1945 pasal 28 yang berbunyi, Setiap orang berhak
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (UUD
1945). Selain itu, kebebasan pers juga dijamin dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

20
Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak
asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau
pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2). Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan
pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp 500 juta (Pasal 18
ayat 1) (UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers) .

Meskipun dijamin oleh UU sebagai hak asasi manusia, namun kebebasan pers hanyalah salah
satu dari sekian banyak hak-hak asasi manusia yang lain. Hak asasi seseorang pun tidak bisa
dipenuhi secara mutlak karena terbentur hak asasi orang lain. Landasan inilah yang kemudian
dijadikan dasar bahwa kebebasan pers harus bertanggung jawab kepada publik. Meskipun
memiliki kebebasan berekspresi, namun pers harus menghormati hak-hak orang lain.

Kebebasan pers juga tidak boleh melampaui hak pihak lain seperti yang diatur dalam pasal 5
ayat 1 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, bahwa kebebasan pers dibatasi dengan kewajiban
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak
bersalah.

Keterkaitan antara media massa dan kebebasan pers merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan demi mewujudkan public sphere yang dapat memenuhi hak asasi manusia untuk
mendaptkan dan menyampaikan informasi dan pedapatnya secara bebas dan tanpa tekanan
dari pihak manapun. Oleh karena itu media massa harus memberikan kebebasan bagi publik
untuk memperoleh dan menyampaikan opini mereka.

BAB III
A. STUDI KASUS

(Kegagalan) Media Massa Mewujudkan Public Sphere

Jurgen Habermas
Jika media massa banyak dipahami sebagai
sesuatu yang dari kapitalis oleh kapitalis dan untuk
kapitalis, maka pertanyaannya masih adakah media
yang berpihak kepada public sphere? Atau mungkin
lebih tepatnya, mampukah media massa berperan
sebagai public sphere dalam tatanan masyarakat
modern dewasa ini?

21
Lalu apakah yang dimaksudkan dengan public sphere? Dalam hal ini lebih
merujuk kepada konsep public sphere dalam pengertian Jurgen Habermas. Konsep tersebut
muncul dalam pemikiran Habermas tentang harapan akan suatu kondisi atau suatu dunia
(ruang) di mana terjadi suatu komunikasi yang bebas dari dominasi, suatu uncoersive
comunication, di dalam masyarakat. Diskusi yang semacam itu hanya mungkin muncul di
dalam wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Wilayah itulah yang disebut
dengan public sphere (Hardiman, 1993: 128-129)
B. ANALISIS

Jurgen Habermas (1997) mengungkapkan bahwa tiap-tiap individu berhak dan memiliki hak
yang sama untuk masuk ke dalam public sphere tersebut. Tiap-tiap orang pada dasarnya
sebagai individu yang privat, bukan sebagai orang yang dengan kepentingan bisnis atau
politik tertentu. Adanya jaminan bagi mereka untuk berkumpul dan mengekspresikan ide dan
gagasan serta pendapat secara bebas tanpa ada perasaan takut atau tekanan dari pihak
manapun.

Jurgen Habermas mengidamkan adanya sebuah situasi di mana munculnya sebuah public
sphere (ruang publik), dimana komunikasi dilakukan dalam wilayah sosial yang bebas dari
sensor dan dominasi. Dalam esainya, The Public Sphere, Habermas melihat perkembangan
wilayah sosial macam itu dalam sejarah masyarakat modern. Wilayah itu disebutnya dunia
publik (public sphere). Semua wilayah kehidupan sosial kita yang memungkinkan kita untuk
membentuk opini publik dapat disebut dunia publik. Semua warga masyarakat pada
prinsipnya boleh memasuki dunia macam itu. Mereka sebetulnya aalah orang-orang privat,
bukan orang dengan kepentingan bisnis atau profesional, bukan pejabat atau politikus, tetapi
percakapan mereka membentuk suatu publik, sebab bukan soal-soal pribadi mereka yang
dipercakapkan, melainkan soal-soal kepentingan umum yang dibicarakan tanpa paksaan.
Baru dalam situasi ini orang-orang privat ini berlaku sebagai publik, sebab mereka memiliki
jaminan untuk berkumpul dan berserikat secara bebas dan menyatakan serta mengumumkan
opini-opini mereka secara bebas (Hardiman, 1993: 128-129).

Menurut Peter Dahlgren (2002) dalam tatanan masyarakat modern yang tidak memungkinkan
untuk munculnya keterwakilan masyarakat dalam pembicaraan komunikasi politik kecuali
dalam jumlah yang relatif kecil, maka media massa pada akhirnya diharapkan menjadi
institusi public sphere.

22
Jika dahulu Habermas mencontohkan praktek konkret public sphere dapat kita lihat di coffee
house, maka kemunculan media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi, maka
peran mereka menurut John Hartley (1992) telah tergantikan oleh media massa.

Namun, persoalan yang sampai sekarang belum terselesaikan adalah bagaimana


menumbuhkan public sphere macam itu, sementara yang namanya dominasi selalu ada di
dalam ruang-ruang sosial dan kehidupan masyarakat itu sendiri.

Bahkan jika kita berbicara tentang media massa, banyak pula dibicarakan adanya
kemungkinan-kemungkinan untuk menumbuhkan public sphere di dalam media massa.
Media massa diidamkan untuk menjadi ruang bagi publik untuk menyampaikan segala
macam gagasan, pemikiran, secara bebas untuk kemudian menjadi opini publik itu sendiri.

Permasalahan yang terjadi adalah ternyata kemungkinan-kemungkinan untuk menciptakan


public sphere di dalam media massa adalah sesuatu yang teramat sulit jika tidak mau
dikatakan mustahil.

Sejumlah asumsi yang mendasari sulitnya mengharapkan kemunculan public sphere di dalam
media massa antara lain adalah masalah akses. Bahwa tidak semua anggota masyarakat
memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki akses terhadap media massa itu sendiri.
Media massa cenderung melakukan seleksi terhadap siapa-siapa yang berhak atau boleh
memiliki akses terhadap media tersebut.

Ruang yang terbatas di dalam media massa juga seringkali dijadikan dalih bagi media massa
untuk tidak menyediakan ruangan bagi dunia publik. Ruangan yang dimiliki oleh media
massa mayoritas sudah dikavling oleh program-program media itu sendiri, bahkan seringkali
ruangan tersebut telah dipesan oleh para pengiklan. Jadi tidak tersisa lagi bagi ruang publik.

Ruangan-ruang media massa selalu penuh oleh program-program yang berisikan kepentingan
para pemilik media, pemodal, politisi, dan pengiklan. Bagi siapa-siapa yang memiliki kapital,
maka dia memiliki akses yang lebih luas terhadap media massa dibandingkan dengan orang-
orang yang tidak memiliki kapital tersebut.

Habermas (1997: 141-250) sendiri kemudian sempat mengutarakan tentang terjadinya


degradasi public sphere yang salah satunya disebabkan justru oleh praktek media massa, dan
juga ditambah dengan budaya konsumtif. Media massa dianggap berperan dalam mengubah

23
masyarakat menjadi masyarakat yang konsumtif, dan bukan lagi masyarakat yang logis.
Budaya konsumtif telah mengarahkan masyarakt untuk lebih peduli terhadap konsumerisme
daripada politik. Hal ini juga yang menyebabkan masyarakat seakan makin memberikan
tempat bagi kapitalisme untuk menguasai praktek media massa. Media massa menjadi
tempat untuk iklan dan promosi barang-barang, daripada tempat bagi masyarakat untuk
mendapatkan informasi politik yang penting.

BAB IV

A. KESIMPULAN

Perkembangan teknologi pun membawa trend baru di dunia industri komunikasi, dengan
hadirnya beragam media yang menggabungkan teknologi komunikasi baru dan teknologi
komunikasi massa tradisional. Hal tersebut memberikan pilihan kepada khalayak untuk
memilih informasi sesuai selera mereka, baik bersifat visual, audio, data, dan lain sebagainya.

Media berbasis internet memiliki beberapa karakteristik kunci, salah satunya adalah ruang
bagi publik yang semakin terbuka luas. Internet telah menciptakan ruang publik (public
space) baru, bahkan lebih jauh dari itu, sebuah lingkungan publik (public sphere) baru bagi
masyarakat maya.

Public sphere merupakan bagian dari teori demokrasi modern, di mana ada kesempatan
berpartisipasi yang lebih kepada masyarakat untuk mengekspresikan ide-idenya lebih jauh,
dan menghadirkan pola dialektika yang baru. Public sphere adalah bagian dari kehidupan
sosial, di mana setiap orang dapat saling berargumentasi mengenai berbagai masalah yang
dihadapi bersama-sama.

Selama ini peran mencari dan menyampaikan berita dilakukan oleh para jurnalis profesional.
Namun dengan hadirnya internet dengan segala fasilitas interaksinya, siapapun bisa menjadi
reporter. Pada kondisi semacam ini, jurnalisme telah bergerak menuju jurnalisme dua arah.
Publik tidak lagi sekadar menjadi konsumen, melainkan prosumen, sebuah persilangan antara
konsumen dan produsen.

Masyarakat, dalam ruang yang disediakan, menjadi pewarta atas peristiwa yang terjadi di
sekitar mereka. Mereka juga bisa melakukan lebih jauh, layaknya yang dilakukan jurnalis

24
profesional, seperti mewawancarai tokoh, membuat feature, opini, foto, merekam gambar
bergerak, ataupun tulisan yang sifatnya analisis.

B. PENUTUP

Kemajuan teknologi yang begitu pesat, sangat memudahkan semua orang mengakses segala
sesuatunya. Semakin kokoh teknologi tersebut, semakin rapuh pula tantangannya. Selain
dampak positif, ada juga dampak negatif yang tidak sedikit pula.Toeri ruang publik
mengajarkan kita untuk menjadi seseorang yang kritis, open mind, menanggapi, berbagi ide-
ide mengenai apa saja yang terjadi di dunia. Teori ruang publik menuntut kita untuk
memperoleh informasi-informasi dan menuntut kita mengetahui begitu banyak hal yang tabu
di dunia ini.

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai matero Ruang Publik yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan serta referensi yang mendukung judul
makalah ini.

Terimakasih pada semua pihak yang membantu. Teman-teman mahasiswa dan Pak Ruddy
selaku Dosen Mata Kuliah Komunikasi Massa FIKOM UNPAD yang telah membantu kami
dalam menyelesaikan makalah ini dan juga sumber-sumber yang telah membantu kami dalam
melengkapi materi makalah ini.

Kami banyak berharap para pembaca yang budiman untuk memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah ini di
kesempatan-kesempatan selanjutnya. Semoga makalah ini berguna bagi kami selaku penulis
dan para pembaca yang budiman pada umumnya.

C. DAFTAR PUSAKA

Hardiman, F. Budi. Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai
Cyberspace. Yogyakarta: 2010.

Darmono.(2001). Manajemen dan Tata Kerja Perpustakaan. Jakarta: Gramedia

Kuntowijoyo. (1987). Budaya dan Masyarakat. Jogyakarta: Tiara Wacana


Laugu, Nurdin. (Agustus 2011). Media dan Ruang Publik dalam Padangan Jurgen
Habermas. http://www.adia-adab.org. 1 November 2011

25
Martin, William. J. (2003). Global Infprmation Society. London: Aslib Gower.
Nuroho, Wahyu. ( Maret 2011). Urgensi Public Sphere Bagi Masyaakat Modern Perkotaan
dan Pedesaan. www. Kolomsosiologi.com. 1 November 2011.
Pendit, Putu Lexman.(Februari 2007). Bisakah Perpustakaan Umum Menjadi Ruang
Publik. www. Kepustakawanan.blogspot.com. 24 Oktober 2011
Sumaryanto, Yohanes. (2008). Ruang Publik Jurgen Habermas dan Tinjauan atas
Perpustakaan Umum Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.
http://jurnalismekapurung.wordpress.com/2010/07/07/teori-ruang-publik-1-ruang-publik-
habermas/ http://jurnalismekapurung.wordpress.com/2010/07/08/teori-ruang-publik-2-
media-dan-ranah-publik/ http://jurnalismekapurung.wordpress.com/2010/07/08/teori-
ruang-publik-3-kritik-terhadap-habermas/

Habermas, Jrgen. The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a
Category of Bourgeois Society. Cambridge Massachusetts: The MIT Press.

Hiley, David Randall dan Charles Guignon. 2003. Richard Rorty. Cambridge: Cambridge
University Press.

Idris, Naswil & Shelton A. Gunaratne.2000. Handbook of the Media in Asia. California: Sage
Publications.

McKee, Alan. 2005. The Public Sphere: An Introduction.Cambride:CambridE University.

O'Neill, Shane, "Private Irony and the Public Hope of Richard Rorty's Liberalism", dalam
Public & Private. Legal, Political, and Philosophical Perspectives, Maurizio Passerin
d'Entrves dan Ursula Vogel (ed), London, Routledge, 2000.

Severin, Werner J. dan James W. Tankard, JR. 2005. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode,
dan Terapan di dalam Media Massa, Edisi 5. Jakarta: Prenada Media.
http://aryakusuma17.blogspot.com/2010/12/media-massa-public-sphere-dan-kebebasan.html

Dahlgren, Peter, The Public Sphere as Historical Narrative, dalam Denis McQuail (ed),
Reader in Mass Communication Theory, Thousand Oakes: Sage, 2002
Hardiman, Fransisco Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius, 1993
http://yearrypanji.wordpress.com/2008/05/26/kegagalan-media-massa-mewujudkan-public-
sphere/

26

Anda mungkin juga menyukai