Anda di halaman 1dari 14

Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik

Penulis: F. Budi Hardiman


Minggu, 28 September 2008 03:18 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 10 Desember 2008 04:11

TULISAN ini hendak membahas sebuah konsep yang sekarang menjadi mode, yaitu demokrasi
deliberatif. Istilah ini tampak baru, namun bila direnungkan isinya, masyarakat kita telah
memilikinya. Deliberatif yang berasal dari kata deliberation, atau deliberatio dalam Bahasa
Latin, adalah musyawarah, omong-omong, berunding, memberikan nasihat satu sama yang
lain, berbincang-bincang, dan menimbang-nimbang.

Sebagai ilustrasi, kalau kita berpikir apakah mau menikah atau tidak, itu berarti kita sedang
melakukan deliberation. Itu adalah forum internal kita dalam kepala. Tetapi kalau kita mulai
omong dengan orang lain, misalnya dengan pasangan kita, apakah jadi menikah atau tidak, itu
adalah forum eksternal. Itu pun merupakan bentuk deliberasi. Jadi, akar dari deliberasi
sebenarnya adalah perbincangan dan komunikasi.

Oleh karena itu, demokrasi deliberatif tidak asing bagi masyarakat kita yang suka berbicara dan
bermusyawarah. Kalau memang sudah biasa, mengapa demokrasi deliberatif itu harus
dipelajari? Memang itu adalah hal biasa, tetapi ada yang tidak biasa dalam demokrasi
deliberatif, yaitu bentuk komunikasi macam apa yang dituntut secara perfeksionis dari teori
demokrasi deliberatif sehingga para aktivis yang bergerak untuk membangun forum warga
misalnya juga bisa melihat bahwa proses komunikasi ada prosedurnya, pola, tatanan, dan
pencapaian yang harus bisa diikuti prosesnya.

Dengan kata lain, apa yang mau disajikan dalam teori demokrasi deliberatif adalah suatu
pandangan bagaimana mengaktifkan individu dalam masyarakat sebagai warga negara untuk
berkomunikasi, sehingga komunikasi yang terjadi pada level warga itu mempengaruhi
pengambilan keputusan publik pada level sistem politik. Mengingat sistem politik menggunakan
bahasa yang berbeda dari masyarakat sipil, maka level-level komunikasi ini harus dipahami.
Apa yang menurut masyarakat sipil itu merupakan aspirasi kalau tidak dikemas dengan bahasa
sistem, maka ia tidak bisa dimengerti oleh sistem politik.

Teori demokrasi deliberatif sedikit banyak menjelaskan level-level bagaimana proses


pembentukan opini, karier opini "dari mana opini dan menuju ke mana" penyaringan
komunikasi, bentuk-bentuk komunikasi, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, saya hendak
membagi uraian ini pada tiga hal, yaitu teori, prinsip, dan praktik.

1 / 14
Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik

Penulis: F. Budi Hardiman


Minggu, 28 September 2008 03:18 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 10 Desember 2008 04:11

Seputar Teori Demokrasi Deliberatif

Adalah Jurgen Habermas, seorang pemikir yang pada 60-an dekat dengan gerakan Marxis Kiri
dan banyak menginspirasi gerakan mahasiswa tahun 1968. Pengaruhnya juga cukup besar di
Amerika. Gagasan Habermas baru masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980-an, dan ini juga
mewarnai gerakan-gerakan sosial di tanah air.

Habermas, dengan runtuhnya komunisme, mengubah cara berpikirnya. Dia tidak lagi membuat
kritik terhadap kapitalisme, melainkan membuat buku-buku yang isinya menganalisa proses
demokrasi dalam era pasca komunisme. Teori demokrasi deliberatif adalah salah satunya, dan
Jürgen Habermas salah satu tokohnya. Ada tokoh-tokoh lain, seperti Cohen dan John Rawls
yang juga diacu sebagai orang-orang yang menyumbangkan pemikiran mengenai proses
deliberasi. Di tangan Habermas, teori demokrasi delibe¬ratif menjadi cukup matang. Buku
"Filsafat dalam Masa Teror" yang berisi wawancara dengan Habermas, menunjukkan bahwa di
tahun 2000-an, Habermas masih konsisten berbicara mengenai proses deliberasi.

Habermas termasyhur dengan apa yang disebut dengan teori diskursus. Sederhananya,
diskursus adalah perbincangan, wacana. Kata diskursus berbeda dengan speech atau saying.
Discourse adalah suatu bentuk komunikasi yang tidak sehari-hari. Dalam komunikasi
sehari-hari, di pasar misalnya, kita membeli cabe dan kita membayarnya, itu bukan diskursus.
Tetapi, begitu kita bertanya mengapa harganya sekian dan kemarin sekian, terjadilah apa yang
disebut diskursus. Ketika ada problem dan tematisasi problem, terjadilah diskursus dalam
bentuk yang sederhana. Jadi, diskursus adalah bentuk komunikasi yang reflektif yang
mentematisasi sebuah problem tertentu. Dengan demikian, ada dua bentuk komunikasi, yaitu
komunikasi sehari-hari dan diskursus.

Dalam setiap komunikasi, ada beberapa hal yang berperan. Lebenswelt di antaranya.
Lebenswelt (Jerman), lifeworld (Inggris), atau dunia kehidupan adalah latar belakang
komunikasi yang diandaikan begitu saja dan sifatnya pra-reflektif, bahkan pra-sadar, tapi
nyata-nyata menuntun komunikasi kita membuat tendisensi. Tendensi itu tidak selalu buruk,
tapi memungkinkan kita berkomunikasi. Tanpa lebenswelt, tidak akan ada komunikasi yang
berarti.

Ada sebuah ilustrasi menyangkut lebenswelt. Suatu ketika saya menyampaikan ceramah di
sebuah forum. Oleh moderator, saya diminta berhenti karena ada suara adzan. Saya bertanya,

2 / 14
Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik

Penulis: F. Budi Hardiman


Minggu, 28 September 2008 03:18 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 10 Desember 2008 04:11

"Mengapa harus berhenti? Saya disadarkan bahwa dalam Islam, ketika dikumandangkan
adzan, ada keharusan untuk berhenti sejenak hingga adzan itu usai. Bagi saya yang tidak
paham, tentu saya bertanya-tanya. Ini salah satu contoh bahwa ritual pun adalah lebenswelt.
Begitu saya mempertanyakan kenapa harus berhenti, terjadilah apa yang disebut diskursus.
Diskursus itu membuat problem menjadi semakin jelas dan semakin rasional. Akibat diskursus,
lebenswelt itu dibedah pelan-pelan, mulai ditematisasi, sehingga makin jelas. Sehingga para
peserta komunikasi semakin sadar tentang kebudayaannya dan masyarakatnya secara reflektif.

Ketika kita membuat diskursus, bukan hanya lebenswelt yang berperan, tapi juga apa yang
disebut klaim-klaim kesahihan. Contohnya, ketika kita berbincang-bincang tentang adzan
misalnya, dan saya mempersoalkan, kenapa saya harus berhenti berbicara, bukankah ini hanya
berlaku untuk pemeluk agama tertentu? Ketika bertanya begitu, dalam pernyataan saya implisit
sebuah klaim kebenaran tertentu. Artinya, di balik kata-kata itu, saya sebenarnya sedang
meneguhkan klaim kebenaran bahwa tidaklah bermasalah bila orang yang bukan pemeluk
Islam berbicara terus meskipun adzan sedang berkumandang. Klaim kesahihan ini diam-diam
ada ketika saya menyoal kenapa saya harus berhenti ketika adzan. Klaim semacam itu banyak
dijumpai dalam komunikasi. Jika kita memperhatikan dan semakin sadar tentang klaim itu,
maka akan terjadi diskurus yang membuat komunikasi semakin cerdas. Diskursus selalu
bergerak dalam masyarakat, dan setiap upaya tematisasi akan selalu keluar dari lebenswelt:
komunikasi sehari-hari yang taken for granted.

Dalam komunikasi sehari-hari, ada beragam tipe diskursus: diskursus teoretis, diskursus
praktis, dan diskursus kritis. Diskursus teoretis adalah percakapan argumentatif menyangkut
persoalan-persoalan yang faktual. Misalnya, harga cabe 20 ribu/kg. Si pembeli membatah,
bahwa harga cabe masih 19 ribu/kg berdasarkan laporan media dan informasi lainnya. Jadi,
ada upaya untuk mengecek fakta. Inilah yang disebut diskursus teoretis. Di sini ada klaim
kesahihan menyangkut kesahihan harga cabe. Jadi, diskursus ini mengacu pada fakta yang kita
temukan, entah dari laporan pedagang yang lain atau sumber-sumber berita resmi dari media,
dll.

Berbeda dengan diskursus teoretis, diskursus praktis terjadi kalau yang menjadi problem itu
adalah norma. Misalnya, apakah orang yang berbicara terus selama adzan dikumandangkan itu
melanggar sopan-santun atau tidak. Kalau berbicara terus, kita tidak tahu bagaimana perasaan
publik kita. Singkatnya, dalam diskursus praktis, tema yang menjadi problem adalah norma.

Terakhir, kritik. Kalau dalam diskursus itu harus ada konsensus, dalam kritik tidak perlu. Kritikus
itu memberikan tilikan. Ada dua macam kritik, yaitu kritik estetis dan kritik terapoitis. Ketika ada
kritikus sastra atau kritikus seni melihat karya seni apakah karya se¬ni itu indah atau tidak,

3 / 14
Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik

Penulis: F. Budi Hardiman


Minggu, 28 September 2008 03:18 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 10 Desember 2008 04:11

lalu terjadi diskusi, maka itu bisa disebut sebagai diskursus kritik estetis. Sementara kritik
terapoitis adalah bentuk pembicaraan yang mengkritik. Misalnya, marxisme mengkritisi
pencemaran lingkungan, bahwa pencemaran lingkungan itu dibiarkan begitu saja karena ada
kolaborasi politis antara pemerintah dan pengusaha. Ini disebut kritik terapoitis. Disebut
terapoitis—asal katanya terapi—karena berupaya untuk menyembuhkan masyarakat dari
penindasan. Banyak contoh lain yang—misalnya—dilakukan oleh para analis kritik sosial.

Dari empat macam bentuk komunikasi di atas, terkadang dalam komunikasi orang
memproblematisir semuanya secara komprehensif. Ini juga disebut diskursus, diskursus
tentang komprehensivilitas.

Mari kita mengamati apa yang terjadi pada masyarakat. Kalau kita melihat negara modern,
Indonesia misalnya, dan menganalisanya sebagai keseluruhan, setidaknya ada tiga komponen
di dalamnya: negara/birokrasi (kekuasaan), pasar (uang), dan masyarakat (solidaritas).

Ada dua unsur dalam bagan ini. Unsur atas adalah negara dan pasar. Ini yang disebut sistem;
dan unsur bawah yaitu masyarakat. Ini yang disebut lebenswelt. Pembedaan itu bukan
semata-mata terjadi karena pembedaan analisa, tetapi juga pembedaan bentuk komunikasi.
Misalnya, kalau kita bertemu dengan seseorang dan bertegur sapa, “Apa kabar, main-main
ke rumahku, wah, saya mau hutang uang dan mau dibayar minggu depan”, itu adalah
bentuk komunikasi sehari-hari yang terjadi dalam masyarakat. Tetapi, mungkin Anda jengkel
karena hutangnya tidak dibayar setelah ditagih berkali-kali. Lalu Anda mengundang pengacara
untuk memperkarakannya di pengadilan. Komunikasi ini tidak lagi berada pada level
sehari-hari, melainkan masuk dalam sistem. Singkatnya, orang yang sama bisa mewakili
bentuk komunikasi yang berbeda.
Habermas melihat bahwa perkembangan masyarakat menurut pola gambar di atas. Ketika
masyarakat masih sederhana, masyarakat tradisional misalnya, sistem itu kecil. Sebagai
ilustrasi, di desa, birokrasi sangat lemah, interaksi lebih berbentuk interaksi kultural. Artinya
sistem—birokrasi dan pasar—dalam masyarakat tradisional masih kecil, pengaruhnya sangat
terbatas. Seolah-olah menjadi subsistem dari lebenswelt. Sementara lebenswelt besar.

Masyarakat pun berkembang. Melalui proses modernisasi, terjadi perubahan. Sistem mulai
membesar, sementara lebenswelt terdesak, mengecil. Lalu belalai-belalai kapitalisme mulai
masuk dan mengatur komunikasi. Di satu sisi, komunikasi bisa reflektif, proble-matis, di mana
orang bisa semakin pandai bicara dan semakin bisa memproblematisasikan. Di pihak yang lain,
karena lebenswelt semakin kecil, maka komunikasi tidak lagi taken for granted, kurang santai,
bahkan tegang dan sarat konflik.

4 / 14
Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik

Penulis: F. Budi Hardiman


Minggu, 28 September 2008 03:18 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 10 Desember 2008 04:11

Menurut Habermas, dalam kapitalisme, yang terjadi dewasa ini adalah membesarnya sistem
dan lebenswelt mengecil. Birokrasi mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, sementara
kebudayaan semakin terdesak. Sebagai ilustrasi, kalau kita hendak meng-adakan seminar
untuk menyukseskan pemilu, mobilisasi dana demikian mudah. Berbeda ketika kita hendak
mengadakan seminar kebudayaan, mencari dana demikian sulitnya. Ini artinya, dalam konteks
kapitalisme, menggunakan bahasa sistem lebih mudah dipahami ketimbang bahasa lebenswelt.

Menyaksikan perkembangan yang sedemikan rupa, apakah ini suatu malapetaka bagi
eksistensi masyarakat? Habermas menyatakan bahwa saat ini, masyarakat modern yang
majemuk itu masih ber¬tahan dan tidak bubar. Kenapa? Padahal sistem besar sekali,
sementara yang membuat integritas sosial adalah lebenswelt. Sistem bisa mencabik-cabik
lebenswelt. Tapi mengapa masyarakat modern yang sistemnya besar dan kuat itu masih
bertahan.

Menurut Habermas, itu terjadi berkat hukum. Dalam konteks ini, apa keistimewaan hukum?
Hukum memiliki wajah ganda. Di satu pihak, wajah hukum bersifat instrumental strategis.
Artinya, bahasa hukum bisa dipakai sebagai alat. Di lain pihak, wajah hukum bersifat
komunikatif. Ini terjadi karena sebenarnya produk hukum itu harus disetujui, legitimed, dan
sahih. Karena harus disetujui, sahih, dan legitimed, maka hukum harus dikomunikasikan
sehingga terjadi konsensus.

Dengan demikian, hukum memiliki wajah ganda. Kalau Anda tidak puas dengan permainan
hukum, Anda bisa menuntut dan mempersoalkan hukum dengan hukum itu sendiri. Artinya,
hukum bukan kata akhir. Hukum adalah produk komunikasi. Kata akhir adalah komunikasi, tapi
komunikasi tidak pernah berakhir. Hukum tidak pernah menjadi kata akhir, karena masih bisa
dipersoalkan dalam komunikasi.

Lalu bagaimana proses menyepakati produk hukum? Ini sebenarnya inti dari deliberasi. Setiap
proses komunikasi, termasuk juga menyepakati produk semisal hukum UU Sisdiknas, UU
tentang Air, dll, apa yang disebut asas atau prinsip-prinsip teori diskursus itu berlaku dalam
proses demokrasi. Ketika kita mau mencapai sebuah produk UU tertentu, ada prinsip yang
berbunyi: keputusan/kesepakatan/produk hukum yang sahih atau mengkalaim kesahihan itu
hanyalah produk hukum yang disepakati secara universal oleh setiap subyek atau orang yang
terkena oleh produk hukum itu. Misalnya, ketika Pemda DKI hendak mengundangkan daerah
bebas becak, maka sebelum UU itu diputuskan, ada prinsip yang tidak bisa ditolak:
mengikutsertakan pihak-pihak yang terkena peraturan itu. Mereka adalah tukang becak, pemilik
becak, masyarakat pengguna becak, pengguna jalan, masyarakat yang peduli becak, dan
semua yang terkena aturan itu harus diandaikan menerima peraturan itu secara universal.

5 / 14
Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik

Penulis: F. Budi Hardiman


Minggu, 28 September 2008 03:18 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 10 Desember 2008 04:11

Kalau ada satu dari mereka tidak sepakat, maka hukum itu tidak sahih.

Tentu saja ini ideal, karena prinsip memang harus ideal. Dalam kenyataan, hal ini tidak pernah
dicapai. Tetapi, kalau tidak ada prinsip, maka kita permisif dengan produk undang-undang. Jika
kita terlalu permisif, maka produk UU hanya menjadi kompromi politik. Tetapi kalau kita
menggunakan prinsip itu, kita bisa mempersoalkan, bahkan mempersoalkan kompromi dan
kepentingan menjadi sesuatu yang ideal, apakah benar UU itu mencerminkan aspirasi publik.

Dengan prinsip tadi, hukum dalam masyarakat majemuk menjadi engsel (medium) antara
sistem dan lebenswelt, yaitu antara birokrasi dan ekonomi kapitalis dengan masyarakat. Jadi,
hukum ini yang menjembatani sehingga kedua-duanya bisa berkomunikasi.

Ada sebuah pertanyaan yang perlu dicamkan; yakinkah kalau Anda mengajak masyarakat
untuk berkomunikasi, Anda sedang menjadi generator kekuasaan tertentu atau meminjam
istilah Hannah Arendt sedang mereproduksi kekuasaan? Menurut Arendt, kekuasaan tidak
terletak pada kemampuan orang untuk memaksa orang lain. Karena itu bukanlah kekuasaan,
melainkan paksaan, dan paksaan adalah kekerasan. Misalnya, Anda meminta menandatangani
dokumen tertentu sambil Anda menginjak kaki atau menyerahkan uang. Ini bukan kekuasaan,
melainkan manipulasi (menyogok) dan represi (menginjak kaki sebagai wujud ancaman).

Berbeda jika kita hendak menyepakati suatu persoalan. Kita membincang dan mendiskusikan,
dan lalu terjadi persetujuan, dan persetujuan itu terjadi atas dasar komunikasi bebas. Dengan
persetujuan itu, orang lain juga menyetujui dan akhirnya ada gerakan. Jadi, kekuasaan itu ada
ketika orang berbicara dan bertindak bersama tanpa paksaan, solider, untuk melaksanakan
aksi bersama. Kekuasaan seperti ini disebut kekuasaan komunikatif. Kekuasaan komunikatif
inilah yang seharusnya ditumbuhkan dalam forum-forum deliberatif.

Habermas melihat bahwa dalam masyarakat modern, tugas kita adalah memperbesar
lebenswelt dengan membangun kekuasaan komunikatif (communicative power), dengan
menciptakan forum inisiatif warga. Yang ingin saya tegaskan adalah bahwa kekuasaan
komunikatif ini ada ketika ada kekuasaan jaringan, jaringan komunikasi yang tumbuh, baik
dalam bidang sosial, budaya, dll.

6 / 14
Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik

Penulis: F. Budi Hardiman


Minggu, 28 September 2008 03:18 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 10 Desember 2008 04:11

Prinsip-Prinsip Demokrasi Deliberatif

Saya berpikir bahwa era demagog telah berakhir dan seharusnya berakhir. Adalah bukan
zamannya Anda berperan sebagai penggerak massa. Anda adalah disseminator atau penebar
partisipasi publik. Dalam konteks ini, saya hendak membedakan dua kategori tindakan kolektif:
massa dan gerakan civil society. Sebagai massa, Si A dan Si B itu sama: sama-sama
mendapat duit, sama-sama ditunggangi, dan sama-sama tidak sadar apa yang terjadi di antara
mereka. Tetapi, sebagai civil soceity, Si A dan Si B adalah warga negara, mereka adalah
individu. Dalam proses deliberasi, individualitas sangat ditekankan.

Dalam kondisi budaya bisu (silence culture), deliberasi tidak terjadi. Karena dalam porses
deliberasi harus ada apa yang disebut kompetensi komunikatif. Setiap individu dalam
masyarakat mempunyai kompetensi komunikatif. Tetapi setiap kebudayaan tertentu bisa
mematahkan proses komunikasi dengan membuat orang tidak berdaya dalam kompetensi
komunikatif. Orang dibiarkan pasif. Tugas dari forum deliberasi adalah membangun kompetensi
komunikatif. Caranya, membiarkan mereka menghargai pendapat sendiri, memberikan ruang
perbedaan pendapat sehingga mereka menyadari bahwa perbedaan pendapat itu
menguntungkan. Karena, dari perbedaan pendapat itu ada cukup banyak perspektif yang
dibuka. Dan yang lebih penting untuk silence culture, berbeda pendapat itu tidak menakutkan,
tetapi memperkaya.

Sekarang, kita menghadapi proses yang menakutkan, dalam arti bahwa berbeda pendapat
sering kali menakutkan karena disertai dengan ancaman. Itu bukan komunikasi. Untuk
meredam kekerasan dalam komunikasi, maka kematangan sangat penting perannya. Fasilitator
harus terdiri dari orang yang sangat matang, yang mampu membuka wawasan dan cukup
partisipatif, stimulatif, dan tidak memaksakan kehendak. Sehingga subyek yang paling lemah
dalam forum deliberatif itu mampu mengemukakan suaranya, karena suara yang paling bodoh
sekalipun adalah suara yang memiliki hak dalam deliberasi.

Implikasinya, diperlukan proses yang sangat panjang. Ketika Indonesia berubah menjadi
demokrasi, orang Eropa mengatakan kepada saya, “Indonesia adalah negara kepulauan,
dan paling cocok dipimpin secara diktator. Kalau ia mau berubah menjadi demokrasi,
dibutuhkan waktu paling lambat 10 tahun.

7 / 14
Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik

Penulis: F. Budi Hardiman


Minggu, 28 September 2008 03:18 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 10 Desember 2008 04:11

Bagi saya, mereka berhak mengatakan demikian. Tapi sebenarnya mereka tidak melihat ke
dalam Indonesia. Kalau melihat ke dalam, sebetulnya masyarakat kita punya potensi deliberatif
yang tinggi yang dalam masyarakat tradisional ada pada apa yang disebut gotong-royong dan
musyawarah. Dengan musyawarah yang bebas, non-diskriminatif, non-manipulatif, sebenarnya
kita telah memiliki ruang-ruang dalam masyarakat kita untuk deliberasi. Jadi tugas kita
menghidupkan dan menvitalisasi potensi itu menjadi suatu gerakan.

Tipologi Diskursus Politik

Diskursus politik adalah derivasi dari diskursus praktis. Dalam konteks ini, Habermas
menspesifikasi kembali diskursus praktis. Menurut Habermas, setidaknya ada tiga diskursus
dalam politik, dalam arti bahwa diskursus itu terjadi dalam forum warga, media massa,
parlemen, eksekutif, dan dalam komunikasi politik pada umumnya. Ketiga diskursus praktis itu
adalah diskursus pragmatis, diskurus etis-politis, dan diskursus moral.

Diskursus pragmatis dapat diilustrasikan dengan, misalnya, kalau pemerintah berbicara


mengenai kenaikan harga BBM dan yang diproblematisir adalah kelangkaan sumber-sumber
minyak yang itu terkait dengan sumber ekonomi, APBN, dll. Diskursus semacam ini
mempersoalkan teknis, untuk itu diperlukan pengetahuan expert. Dalam konteks ini, seorang
pastur atau ulama—walaupun dipuja oleh umatnya—tidak berwenang masuk dalam diskusi
itu. Karena dia bukan akuntan, bukan ahli manajemen, dan bukan ahli perminyakan. Alih-alih
menyelesaikan persoalan, yang terjadi malah merunyamkan persoalan. Diskursus pragmatis ini
diskursus para ahli untuk menyelesaikan kasus itu (katakanlah kenaikan harga BBM) dari segi
pengetahuan ekonomis, teknologis, dan semacamnya.

Dalam diskursus ini sudah ada suatu value yang tidak diproblematisir. Yaitu
bahwa—katakanlah—value-nya adalah kepenti¬ngan publik. Publik yang dimaksud adalah
pemakai kendaraan bermotor. Ketika mulai mempersoalkan masalah value, maka diskursus
pragmatis sampai pada kesimpulan bahwa dari segi teknis mustahil untuk mempertahankan
harga BBM, karena akibatnya negara bisa bangkrut. Tetapi berbeda kalau yang dipersoalkan
menyangkut persepsi masyarakat dalam arti bahwa kalau harga BBM dinaikkan, apakah itu
bisa diterima oleh masyarakat, apakah tidak menyu-sahkan masyarakat, bagaimana
implikasinya pada pendidikan, kebudayaan, seni, dan politik pada umumnya. Jadi, kalau sudah
masuk pada value, rel diskursus beralih menjadi diskursus etis-politis. Dalam diskursus
etis-politis, aktornya sudah meluas tidak saja expert, tetapi juga warga negara secara
keseluruhan.

8 / 14
Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik

Penulis: F. Budi Hardiman


Minggu, 28 September 2008 03:18 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 10 Desember 2008 04:11

Karena diskursus etis politis bisa terjadi dalam perspektif sektarian tertentu dalam arti bisa
terjadi dari nilai kebudayaan dan etnis tertentu, maka diskursus etis politis paling banter
menghasilkan diskursus yang disepakati oleh kelompok kultural atau kelompok sosial tertentu.
Misalnya, diskursus tentang pelarangan Ahmadiyah melalui fatwa MUI. Pelarangan ini bagi
kalangan muslim merupakan persoalan internal. Tetapi kalau kita lihat klaim-klaim yang ada di
sana, itu menyangkut etis-politis. Yaitu menyangkut apakah klaim-klaim itu bisa disepakati
secara universal, tetapi hasilnya adalah suatu konsensus partikular karena ada kelompok yang
tidak setuju dengan fatwa itu. Jika demikian, kualitas diskursif yang ada dalam konteks
pelarangan Ahmadiyah adalah etis politik. Apa yang bisa disepakati oleh kelompok yang pro
pelarangan tidak bisa disepakati oleh orang yang anti pelarangan misalnya. Ia menjadi
kesepakatan partikular yang terbatas pada horison kelompok tertentu. Nah, tujuan dalam
deliberasi adalah, diskursus etis-politik itu di¬tingkatkan tarafnya ke diskursus moral.

Diskursus moral itu memproblematisasi konsensus etis. Misal¬nya, bila fatwa MUI tadi lalu
dipertanyakan validitasnya dalam konteks masyarakat majemuk, atau diskursus dalam media
massa tentang mengapa keputusan itu bertentangan dengan norma-norma masyarakat
majemuk, maka problem-problem itu memuat kualitas diskursus moral. Karena, para partisipan
mencapai suatu konsensus di dalam horison kemanusiaan, bukan horison kelompok. Yang
dibela bukanlah nilai-nilai sektarian, melainkan nilai-nilai universal.

Apa yang saya gambarkan di atas adalah teori. Tetapi apa yang terjadi jika itu muncul dalam
praktik politik? Dalam konteks ini, saya menyampaikan kritik pada Ha¬bermas. Dalam praktik,
apa yang disebut diskursus moral adalah sangat normatif. Diskursus moral hanyalah suatu
idealisasi yang harus didekati. Sebenarnya yang selalu terjadi adalah diskursus etis politis.

Lalu apa artinya ada diskursus moral? Habermas memberikan jawaban bahwa para anggota
deliberasi, forum warga, harus mempunyai intensi (tujuan) untuk melakukan diskursus moral.
Forum warga yang kuat harus mempunyai kekuasaan. Dan kekuasaan dimiliki legislatif. Jadi,
DPR harus menjadi teman, karena ia merupakan forum warga. Secara normatif, seharusnya
mereka (DPR) memihak kita. Sebelum masuk dalam pro¬ses deliberasi, mereka (DPR) harus
mempunyai intensi untuk melakukan diskursus moral. Kalau intensinya hanya sampai pada
diskursus etis-politis, lagi-lagi yang dicapai adalah suatu konsensus parsial, yaitu hanya
kepentingan kelompok atau partainya saja.

Prinsip Negara Hukum

9 / 14
Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik

Penulis: F. Budi Hardiman


Minggu, 28 September 2008 03:18 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 10 Desember 2008 04:11

Teori demokrasi deliberatif tidak mengakui revolusi, tetapi reformasi. Revolusi --dan itu selalu
dengan kekerasan-- tidak membiakkan partisipasi, bahkan mematikan partisipasi. Forum warga
itu berupaya membangun partisipasi, dan ini hanya mungkin melalui reformasi, bukan revolusi.

Oleh karena itu, negara hukum dan konstitusi harus tetap ada sebagaimana adanya. Tetapi
dalam teori demokrasi deliberatif, kanal-kanal komunikasi dalam negara hukum harus dibuka,
sumbatan-sumbatan dihilangkan, akses dibuka, parlemen diharapkan semakin mendengar,
koran berbicara keras mengontrol penyimpangan. Ini semua merupakan upaya-upaya untuk
menarik perhatian pada sistem politik supaya kanal-kanal komunikasi dibuka, tetapi negara
hukum tetap ada. Dengan demikian, prinsip-prinsip negara hukum harus tetap ada. Yaitu harus
ada pembedaan antara state dan society. Batas-batas antara negara dan masyarakat harus
dihormati. Betapapun busuknya negara, menurut teori deliberasi, negara harus ada. Karena
tanpa negara, ongkos politiknya akan sangat besar, terjadi tirani massa dan keuntungan akan
diambil oleh para demagog dan provokator.

Teori ini sebenarnya dibangun berdasarkan pengalaman Nazi. Nazi merupakan gambaran di
mana negara hukum macet. Di satu sisi, Nazi adalah kekuatan negara yang sangat besar. Itu
hanya separoh kebenaran. Kebenaran yang lain adalah bahwa Nazi mencerminkan peranan
kelompok masyarakat yang kuat atas ke¬lompok yang lain. Negara hanyalah tunggangan dari
kelompok yang kuat itu. Setiap saat hukum diubah-ubah seenaknya oleh Hitler. Hitler itu patuh
pada hukum, tetapi hukum lebih patuh pada dia. Jadi, dia membuat hukum untuk menggolkan
maksud-maksudnya.

Dalam negara hukum, civil society dan negara ada batas-batasnya. Demokrasi yang
diperankan bukan demokrasi langsung, melainkan kontrol diskursif atas pemerintah. Artinya,
produk UU dikontrol seluruhnya oleh suara publik, namun bukan berarti publik mendikte
pemerintah. Kalau batas-batas antara pemerintah dan masyarakat jebol, maka akan terjadi
tirani kelompok, kemudian ada otonomi publik dan otonomi privat warga negara. Artinya, bahwa
dewasa ini, kalau kita amati, media massa dimasuki belalai-belalai pemerintah. Pemerintah
misalnya mengatur agar media massa itu jangan melaporkan hal ini dan itu. Sebenarnya, hal
semacam ini menyalahi prinsip negara hukum. Media memiliki otonomi, dan oleh karena itu
tidak boleh dikendalikan oleh modal dan birokrasi. Kalau mereka masih dikendalikan, tugas
forum warga mendeteksi proses semacam itu dan menentang keras-keras se-hingga mereka
merasa tidak nyaman.

Dalam politik, bahkan politik demokrasi, ada upaya untuk membeli suara publik. Memang, suara
publik bisa dibeli. Tapi menurut Habermas, suara publik yang dibeli kalau ditelanjangi oleh
publik sebagai suara yang dibeli, itu tidak bisa mempunyai kualitas publik lagi. Jadi, kita jangan

10 / 14
Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik

Penulis: F. Budi Hardiman


Minggu, 28 September 2008 03:18 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 10 Desember 2008 04:11

terlalu pesimis bahwa forum deliberatif itu sia-sia dan hanya berlelah-lelah, dan kita hanya
ngomong tanpa ada hasilnya. Karena kalau kita berbicara tajam dan bisa menelanjangi
manipulasi-manipulasi dan itu relevan dengan kekuasaan, maka manipulasi itu akan tampak di
permukaan dan akhirnya disadari oleh warga.

Kaitannya dengan ini, relevan menjelaskan tentang volante generale (kedaulatan rakyat).
Ke¬daulatan rakyat sebenarnya adalah konsep yang sangat kabur, konsep plastis yang bisa
dipakai di sana-sini. Dalam demokrasi, ada yang disebut kedaulatan rakyat. Jean Jaques
Rousseau, penggagas konsep ini, mengatakan bahwa rakyat itu berdaulat kalau mereka
berkumpul. Konsep ini cukup berbahaya, karena konsep ini sebenarnya konsep demagog.
Seorang demagog bisa mengumpulkan orang dan mengatakan inilah kedau-latan rakyat.

Dalam teori demokrasi deliberatif terjadi apa yang disebut proseduralisasi kedaulatan rakyat.
Kata prosedur yang dipakai Habermas, bahkan John Rawls, berarti proses. Proseduralisasi
kedaulatan rakyat artinya adalah membuat kedaulatan rakyat sebagai proses komunikasi.
Kapan rakyat berdaulat? Menurut teori deliberasi, kedaulatan terjadi bukan karena orang
berkumpul dengan tubuhnya di suatu tempat sebagaimana diyakini JJ. Rousseau, tetapi juga
harus ada komunikasi publik.

Dalam konteks ini, demokrasi representatif tetap diperlukan dengan sudut pandang yang
berbeda. Yaitu mencoba melihat bahwa peranan komunikasi publik itu harus semakin besar.
Jadi, kedaulatan rakyat terjadi bukan saja ketika rakyat berkumpul, tetapi juga ketika media
massa memihak publik. Semakin suatu koran mempunyai kualitas yang berwibawa dan mampu
mendesakkan aspirasi publik, maka ada kedaulatan rakyat. Tidak cukup dengan peran media,
tetapi juga sebuah diskusi di antara warga negara yang peduli, misal¬nya terhadap
pencemaran lingkungan, itu juga kedaulatan rakyat. Begitu juga obrolan yang kritis di
warung-warung yang bersifat politis dan sangat peduli de¬ngan problem sekitarnya juga
disebut kedaulatan rakyat. Jadi, kedaulatan rakyat itu jangan dilihat sebagai substansi
melainkan sebagai proses nasional, bahkan internasional, yang bergerak terus melalui aliran
anonim komunikasi. Ini proseduralisasi dari kedaulatan rakyat menurut Habermas.

Praktik Demokrasi Deliberatif

11 / 14
Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik

Penulis: F. Budi Hardiman


Minggu, 28 September 2008 03:18 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 10 Desember 2008 04:11

Semua teori akan selalu berhadapan dengan datum (data) sosiologis. Apa yang terjadi dalam
masyarakat? Yang kita lihat adalah kekuasaan modal, kekuasaan birokrasi, ketidakberdayaan
rakyat. Kenyataan yang terjadi tentu saja tidak seindah dalam teori. Nah, bagaimana teori
demokrasi deliberatif dipraktikkan dalam konteks masyarakat seperti Indonesia yang majemuk?

Untuk tahap permulaan, kalau negara baru bergerak dari otoritarianisme ke demokrasi, pasti
terjadi kegagapan-kegagapan atau dalam psikologi politik ada sindrom anak kehilangan bapak.
Tahap ini harus dilampaui, dan ini tidak mungkin dilampaui kalau partisipasi warga lemah.
Tugas para penggerak, termasuk juga forum warga, adalah mencoba mendiseminasi partisipasi
publik. Sehingga perlahan tapi pasti, tiran-tiran kecil itu merasa tidak nyaman. Kalau tahap itu
dilampaui karena cukup banyak mata yang mengontrol kekuasaan dan cukup banyak
komunitas yang tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan, maka kita masuk ke tahap berikutnya:
tahap yang lebih deliberatif. Tahap ini sedang diusahakan, dan masih belum terjadi.

Sebenarnya, konsep civil society adalah konsep tua dalam teori politik. Konsep ini sudah
dikenal dalam pemikiran John Lock, Thomas Hobbes, dan matang dalam pemikiran Immanuel
Kant. Buku Immanuel Kant, Menuju Perdamaian Abadi: Sebuah Konsep Filosofis (Mizan: 2005),
menjadi dasar dari teori-teori demokrasi, termasuk teori Habermas itu sendiri. Sebenarnya
Habermas itu Kantian. Dari buku ini dipahami bahwa civil society adalah suatu masyarakat atau
kelompok yang otonom, mandiri, dan lepas dari pengaruh pasar dan negara. Dia memiliki hak
dan ruang yang boleh menentukan nasibnya sendiri.

Menurut penafsiran Kant, civil society itu terjadi kalau ada kebebasan berekspresi di dalam
warga negara. Sebagai ilustrasi, kalau saya dan Anda berbeda kepentingan, dan dengan
kewenangan saya memaksa Anda dan Anda dengan kewenangannya memaksa saya, nanti
kewenangan Anda akan bertemu dengan kewena¬ngan saya. Titik tengah dari pertemuan itu
adalah kekebasan bersama.

Civil society itu terbentuk kalau, pertama, terjadi benturan kepentingan, dan kedua, kebebasan
atas benturan kepentingan. Jangan sampai benturan kepentingan itu menjadi sesuatu yang
saru (tabu). Jadi wajar jika masing-masing orang memiliki kepentingan yang berbeda.

Ada satu model untuk praktik yang dikemukakan Habermas, yaitu model bendungan; adanya
aliran komunikasi dari forum-forum warga (civil society) menuju ke sistem politik (state).
Sebenarnya model ini diambil dari teoretikus lain. Kalau kita lihat, civil society berbeda dengan
ruang publik. Civil society adalah aktor dari ruang publik. Ruang publik (public sphare) adalah

12 / 14
Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik

Penulis: F. Budi Hardiman


Minggu, 28 September 2008 03:18 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 10 Desember 2008 04:11

ruang komunikasi yang terbentuk ketika dua orang atau lebih menjalankan proses komunikasi.
Apa yang terjadi dalam komunikasi? Dalam proses komunikasi ini yang terjadi adalah
penyingkapan. Dengan demikian, ruang publik adalah ruang penyingkapan.
Apa yang terjadi di ruang publik? Habermas mengatakan bahwa apa saja bisa terjadi. Ruang
publik itu anarki, segala tema bisa dijadikan problem dalam ruang publik. Tidak ada yang bisa
melarang. Bahkan kekerasan dalam rumah tangga bisa menjadi tema ruang publik. Tapi,
menurut Habermas, mesikpun anarkis, tidak berarti ruang publik itu tidak ada aturannya dan
tidak ada prinsipnya. Ruang publik ada aturan dan prinsipnya. Dia mengatakan, ada prinsip
yang terkait dengan rasio dan akal kita sendiri. Habermas percaya akal mempunyai mekanisme
seleksi apakah opini tersebut memiliki kualitas publik atau tidak. Ketika opini semakin rasional
dan semakin menyangkut kepentingan umum, maka kualitas diskursif¬nya akan masuk
diskursus moral. Opini yang terjadi di ruang publik itu akan masuk pada filter. Filter itu adalah
sistem hukum.

Apa yang dimaksud ruang publik itu bisa dibayangkan se¬bagai sistem saraf dalam negara
hukum. Seharusnya, yang membayangkan adalah parlemen ataupun eksekutif. Kalau
syarafnya peka, berarti ruang publik juga peka. Akibatnya, ini akan menolong proses deliberasi
level atas. Tetapi, sebuah republik di mana DPR-nya tuli, maka ia akan membuat
sumbatan-sumbatan pada filter itu, hukum yang menjadi filter tidak adil, ruang publik kacau
balau, maka hancurlah semua. Tetapi andaikata ruang publik sudah begitu kritis, tapi filternya
menghambat dan hukumnya tidak adil; atau DPR-nya mulai peka, tetapi proses demokrasi tidak
berjalan, maka yang terjadi adalah keterasingan antara produk hukum dan kepenti¬ngan
publik. Tapi andaikata sistemnya menghambat dan DPR-nya juga menghambat, berarti ini
sudah kronis. Jika demikian, kata Habermas, rakyat bisa-bisa me¬lakukan civil disobedience
(pembangkangan sipil), mereka mengorganisasi diri untuk tidak patuh pada undang-undang.
Kan tidak ada aturannya? Itu berdasarkan intuisi dan sense of justice (rasa keadilan
masyarakat) dari ma¬syarakat akan membimbing rasio¬nalitas komunikatif untuk sampai
pada suatu momen di mana ma¬syarakat tidak tahan lagi dengan undang-undang ini, dan
sekarang mereka akan mogok dengan UU tersebut. Lalu gerakan itu, bukan gerakan
kekerasan, bukan gerakan untuk mengubah konstitusi, melainkan untuk menafsirkan konstitusi
secara baru, jadi masih dalam bingkai negara hukum. Jadi ini mungkin terjadi dalam model
bendungan ini.

F. Budi Hardiman
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
(Diolah dari presentasi yang disampaikan dalam Forum Rapat Kerja ke-3 dan Koordinasi
Pelaksanaan Deliberative Forum "Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil dalam
Proses Otonomi Daerah" di Wisma LPP, Yogyakarta, 24 Agustus 2005)

13 / 14
Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik

Penulis: F. Budi Hardiman


Minggu, 28 September 2008 03:18 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 10 Desember 2008 04:11

catatan: diposting untuk keperluan diskusi demokrasi deliberatif di Sekolah Demokrasi

14 / 14

Anda mungkin juga menyukai