Anda di halaman 1dari 39

TEORI D I S K U R S U S Dm DEMOKEWS I : Peralihan Habermas ke dalam Filsafat Politik Abstract: How does Jiirgen Habermas relate his communication

theory that he developed in his voluminous work Theorie des konzmnnikatiuei~ Handelns (Theory of Communicative Action) in the realm of politics and democracy? In his book Fakti~itat nnd Gehng (Eietween Fact and Norm) he reconstructs a discourse-theoretical based philosophy of politics that relates his recent research on discourse ethics and communicative action to his former research on the structural transformation of the public sphere in late capitalism. He develops a discourse theory of the constitutional state. This article is a research on the theoretical process of Habermas' turn from communication theory to political philosophy. The author traces the central turning points that indicates,Babermas' new interest in the democratic constitutional state (demok&& ~echtssfaatj to form a roadmap for Habermas' political philosophy Kata-kata Kunci: Tindakan komunikatif, proseduralisme, etilia diskursus, teori diskursus, rasio prosedural. PENDAHULUAN Titilr-tolak filsafat politik Jiirgen Habermas dapat dirumuskan di dalam sebuah pertanyaan yang mendasari k e s e l ~ ~ r u h a n kehidupan sosial kita dewasa ini: Apakah syarat kemungkinan kehidupan bersama secara politis di dalam masparakat-masyarakat kompleks dewasa ini, sesudah cara-caralegitimasi politis tradisional yang kebal t e rhadap kritik mengalami krisis? D i dalam karya sistematis Fakti@tat unnd Geltmg, Habe rma s mencoba menjawab pertanpaan ini secara rinci. Untuk itu dia tidak mencari pendasaran-akhir ( L e t@g n i n d u n ~ moral

ataupun rasio pang merupakan pijakan metafisis teori-teori politilr klasik. I<arena -sebagaimana dilratalcannya berulang kali- kehidupan bersama kita secara politis 2 DISKURTUS, Vd 7, No. 1, AprilZOO8:f-27 dewasa ini yang ditandai oleh kemajemukan orientasi nilai dan kepentingan tidak lagi dapat diartikulasikan melalui konsep-konsep metafisis tradisional. Sebaliknya apa yang menarik perhatiannya adalah kenyataan bahwa di dalam masyarakat-masyarakat pasca-tradisional argumentasi tentang aturan-aturan politis bersama yang kontroversial memainkan peran yang semakin penting, dan pendasaran-akhir akal budi dan moral sesunggubnya hanya merupakan sebuah sumbangan yang mungkin bagi proses terbuka untuk mencapai konsensus. Oleh karena itu Habermas mengarahkan perhatiannya kepada kondisikondisi komunikasi yangmemungkinkan sebuah praksis pencapaian konsensus dapat dilakukan secara bebas d m fair, Ia mengembangkan teori diskursus (Diskurstheorie). Teori diskursus -seperti dijelaskak ;oleh Habermas sendiri- bukanlah sebuah usaha baru untuk menilai masyarakat modern. Teori ini juga bukanlah sebuah teori sosial yang menyelurub seperti teori-teori sosial politis dari Aristoteles, Hegel atau Mant.' Teori-teori klasik ini ingin mengarahkan sejarah umat manusia sebagai keseluruhan untuk mencapai tujuan tertentu. Teori diskursus sebaliknya sama sekali tidak menawarkan tujuan apapun yang harus dicapai oleh masyarakat modern. Segala bentuk teleologi yang mewarnai metafisika dan teori-teori politik kl@ik telah ditinggalkan. Yang ingin ditunjukkan .oleh teori diskursus bukanlak tujuan masyarakat, melainkan hanya cara atau prosedur (Vefahren) untuk mencapai tujuan itu. I<arena itu teori ini sangat

menekankan keharusan praksis komunikasi yang sudah terdapat di dalam masyarakat modern sendiri dm berusaha meradikakan praksis komunikasi tersebut. Sebagai ganti menawarkan ajaran teleologis tertentu, teori diskursus menawarkan sebuah radikalisasi prosedur komunikasi politis untuk mencapai konsensus dasar yang memperkokoh integritas masyarakat dan negara: akalbudi, moral dan demokrasi berhubungan timbal-balik secara setara di dalam komunikasi-komunikasi diskursif mengenai kehidupan bersama secara politis pang dikehendaki di dalam sebuah m a s ~ a r a k a t modern. Jadi, teori diskursus berorientasi secara radikal pada prosedur. Dengan teori inilah, Habermas ingin memberikan sebuab sumbangan untuk memahami kehidupan kita bersama secara politis dewasa ini. Teori Diskursus merupakan perkembangan lebih lanjut dari Teori IGitis Habermas pang telah direlronstruksi menjadi Teori Komunikasi. Dalam beberapa kesempatan saya telah memperkenalkan Teori IQitis Habermas, dan T e o i Diskurw~ dm Detnokrod f i Bud; Hardrmm) 3 di sana-sini juga menyinggung konsep 'diskur~us.'~ Akan tetapi Teori Diskursus belum culrup dielaborasi. Tulisan ini merupakan upaya awal untuk merinci Teori Diskursus itu. Apakah diskursus itu dan mengapa diskursus begitu penting di dalam teori politik Habermas? Jawaban sistematis atas pertanyaan itu akan saya berikan dalam tulisan ini. Untuk memberikan jawaban komprehensif atas pertanyaan itu saya akan menilik kembali karya-karya Habermas terdahulu, karena di dalam tulisan-tulisannya itu Habermas meletakkan dasar bagi teori diskursusnya dalam konteks teoretis yang lebih luas, yaktii dalam konteks teori sosial dan teori komunikasi. Pertama-tama saya akan mengeksplisitkan pengandaian-pengandaian epistemologis pernikiran Habermas, yakni pemahamannya

tentang rasio (1) dan tentang tindakan komunikatif (2) yang menjadi dasar I seluruh proyek teori komunikasinya. D p g a n menempatkannya dalam rangka yang lebih luas ini, kita dapat mengupas'konsep diskursus (3). Seperti yang nanti akan ditunjukkan dalam bab-bab selanjutnya, teori diskursus tentang negara hukum demokratis merupakan usaba un&k menerapkan prinsip-prinsip diskursus pada politik. Maka dari itu, dalam penutup tulisan ini saya akan membicarakan bagaimana diskursus dapat dimengerti sebagai prosedur atau cara dan bagaimana prosedur ini dapat diterapkan pada proses pencapaian I konsensus atas norma-norma an masih kontroversial (4). (g :* 1. STRATEGI HABERMAS: "RASIO PROSEDURALISTIS" Apa yang membedalran filsafat Barat dewasaini dengan filsafat Barat dalam abad-abad sebelumnya? D i dalam abad-abad yang silam filsafat mengandaikan begitu saja kebenaran konsep-konsep, seperti: dam, subjektivitas dan kemajuan. Manusia dianggap sebagai makhluk rasional yang mengatasi d a m dan memiliki pusat kesadaran. Manusia adalah subjek yang menghadapi d a m sebagai objeknpa. Subjek atas alam ini juga subjek atas sejarah, yakni dia adalah tuan atas sejarah yang mampu mengubah sejarahnya. Dia adalah aktor bagi kemajuan. Gaya berpikir macam ini dalam filsafat dewasa ini dipersoalkan secara radikal. Para filsuf kontemporer bersikap curiga tidak hanya terhadap konsep d am, subjektivitas dan kemajuan macam itu, melainkan juga terhadap konsep rasionalitas modern itu sendiri, lronsep aka1 budi pang beroperasi dalam ilmu-ilmu

alam. Skeptisisme terhadap rasionalitas modern terbentang dari Nietzsche, filsuf akhir abad ke-19 yang membonglrar unsur kekuasaan di balik kedok rasionalitas, dan Heidegger, filsuf pertengahan abad lre-20 pang mendestruksi metafisika, sampai pada para postmodernis, para pemildr menjelang akhir abad 4 DISKURTUS, W o L 7, N o . I, Ap6lZO08:1-27 ke-20 yang menolak sama selrali konsep rasio yang dikembangkan sejak masa A y W a m n g (Fencerahan) abad ke-18. Alih-alih memenuhi janji-janji emansipasi sosial yang diimpikan manusia sejak zaman Pencerahan, konsep rasio modern telah berubah menjadi dorninasi, mitos dan ideologi dalam sosoknya yang baru. Itulah tesis Adorno dan Horkheimer di dalam DiaLektik: d e r A t t f I a ~ ~ r m g (Dialektika Pencerahan), sebuah masterpiece yang sangat mengesankan di abad ke-20 yang disambut oleh mereka yang mencurigai rasionalitas. I<eseluruhan pemikiran Habermas dapat dimengerti dalam konteks tendensi skeptis macam itu. Habermas menyambut segi-segi yang benar dari kritik-kritik atas rasio itu, narnun dia juga sekaligus ingin menyelamatkan unsur-unsur emansipatoris dari konsep rasio modern. Strateginya adalah dengan menerobos jalan buntu yang dihadapi para pendahulunya dari Mazhab Frankfurt d m mengatasi defisit dalam konsep rasio praktis versi I<ant melalui sgbuah konsep rasio prosedural. 1.1 PERUBAHAN PARADIGMA DALAM TEORI KFUTIS Di dalarn perkembangan Teori I(ritis yang dipelopori oleh Horkheimer dari Mahzab Frankfurt, Habermas bersamaan dengan apa yang dalam filsafat kontemporer disebut "l'inguistic twn" (peralihan linguistis) dikenal sebagai seseorang yang %endukung perubahan paradigma dalam Teori IGitis. IGta tidak perlu rnekasuki seluruh pemaparan teoretis tentang perubahan paradigma tersebut. Cukuplah di sini kalau kita membandingkan

kedua paradigma yang berlawanan itu. Paradigma yang lama yang oleh Habermas disebut filsafat kesadaran atau filsafat subjek (Subjkt~biIosophie) dianggap tidalr cocok lagi untuk lrondisi-kondisi masyarakat dewasa ini pang ditandai oleh pluralitas bentuk kehidupan d m orientasi nilai. Di dalam paradigma yang lama iru menurut Habermas terkandung pemahaman tertentu tentang subjektivitas, yaitu subjek yang mengenali dan menguasai objeknya secara monologis. Ilmu-ihnu kemanusiaan, misalnya, ingin merurnuskan hukum-hukum yang melandasi perilaku manusia dan mekanisme hidup sosialnya dengan cara seperti yang dilakukan di dalam ilmu-ilmu d am, yaitu: mengobjektifikasi manusia, mengambil sikap netral terhadap objek riset dan -jika p e r h - juga memanipulasi objek riset itu secara eksperimental. Manusia lain di dalam riset bukanlah teman bicara yang sederajat, melainkan objek riset. Hanya dengan cara objektifikasi macam ini dan netralisasi diri peneliti dari perasaan-perasaan subjektifnya diyakini dapat diraih objektivitas dan kebenaran hasil riset. Bentuk kesadaran yang mengontrol objeknya 'dengan darah dingin' tapi juga berpikir secara monolog ini disebut Habermas filsafat kesadaran (BewuJtsein~hiIosophie). Filsafat jenis ini menurutnya merupakan ciri khas filsafat modern sejak Descartes, filsuf yang menemukan kesadaran-diri (cogito) sebagai realitas a k h k 3 Habermas lalu menunjukkan bahwa jalan buntu yang dihadapi oleh generasi tua Teori I(ritis berhubungan dengan aplikasi paradigma filsafat kesadaran ini sebagai tolok ukur kritik. Sementara Adorno dan Horkheimer mengkritik ciri-ciri rasio instrumental di dalam ilmu-ilmu sosial kemanusiaan dewasa ini dengan cara menyingkapkan hubungan timbal-balik antara mitos dan pencerahan, ideologi dan kritik,

mereka tetap terperangkap di dalam asurnsi-asumsi filsafat kesadaram4 Sama seperti seorang ideolog, seorang kritikus masyarakat ingin menguasai objek yang dikritiknya secara monolo&s untuk memaksakan visi-visi dan keyakinan-keyakinannya kepada orang-orang lain. Dengan cara ini kritik merupakan manifestasi lain dari ideologi. Para pendahulu Habermas tidak dapat menemukan jalan keluar dari dilema macam ini karena tolok ukur kritik mereka sama dengan tolok ukur objek yang dikritiknya, yaituideologi. Dengan kata lain, kritik hanya dapat diungkapkan dalam bahasa kekuasaan. i Saran Habermas untukvpengubah paradigma berarti perubahan dalam :* pemahaman epistemologis atas subjektivitas. Paradigma yang baru, yaitu paradigma teori komunikasi, tidak lagi memahami subjektivitas sebagai subjek yang terisolasi yang ditandai dengan cara pengenalan monologis dan manipulasi objek-objek yang berdiri di hadapannya. Sebaliknya, paradigrna yang dia sarankan itu memahami subjektivitas dan pengetahuan sebagai hasil proses-proses komunikasi intersubjektif. Pengetahuan adalah hasil konsensus dengan subjek-subjek lain: Yang merupakan fenomen-fenomen yang harus diterangkan tidak lagi pengetahuan dan manipuIasiaIam yang diobjektifikasikan, melainkanintersubjektivitas tentang konsensus yang mungkin - baik pada taraf interpersonal maupun intrapsikis. Fokus penelitian dengan demikian bergeser dari rasionalitas kognih;f-insttwnental ke rusionalitas komunikatif: Pergeseran fokus ini menandai seluruh proyek Teori IOitis Habermas. Setelah mengatasi kemacetan Teori IOitis generasi pertama Habermas

menitikberatkan Teori IOitisnya pada perkembangan teoretis konsep rasio komunikatif sebagai sarana rekonstruksi Teori IOitik Masyarakat (ketiscbe Theotie der GeselW@). 6 DISKURSUS, Vd 7, No I , Apr;/2008:1-27 1.2 DEFISIT KONSEP RASIO PRAKTIS Baik dalam etika diskursus maupun Faktixitat zlnd Geltnng Habermas melanjutkan strate$ perubahan dari paradigma filsafat subjek ke paradigma intersubjektivitas dengan melontarkan kritiknya atas filsafat praktis I<ant. IGitik ini berkaitan dengan ksitiknya terhadap para pendahulunya dari Mazhab Frankfurt: Rasio praktis I<ant menurut Habermas beroperasi dalam model filsafat subjek. Berbeda dari rasio murni (reine Vernunz yang merupakan kemampuan akal budi manusia untuk memperoleh pengetahuan teoretis, rasio praktis (braktische Vernmnz adalah kemampuan akal budi manusia untuk mengetahui baik atau buruknya suatu tindakan. Rasio praktis adalah dasar moralitas dan hukum. Dalam konsep rasio praktis tersebut I<ant mengandaikan subjek tindakan sebagai sesuatu yang me> nimbang-nimbang sendin'apa yang seharusnya dia lakukan. Subjek otonom ini menimbang-nimbang, maksirn tindakan manakah yang sekiranya legitim sebagai norma penentuan undang-undang (Gesetzebung) untuk semua orang. I<ant lalu merumuskan maksim tindakan itu di dalam imperatif kategon'stya yang termasyhur itu: "Bertindaklah sedemikian rupa, sehingga maksim kehendakmu kiranya dapat berlaku setiap saat sekaligus dapat ditetapkan sebagai suatu undang-undang yang bersifat universal." Subjek 's dari rasio praktis hi menut'ut Habermas mengambil keputusannya secara

monologis, yakni tanpa konsensus dengan subjek-subjek lainnya. Seperti akan kita lihat Habermas mencoba menafsirkan filsafat praktis I<ant yang berdasar pada solipsisme metodis ini dalam horison filsafat intersubjektivitas. Dalam Faktixitat and Geltztng Habermas menunjukkan bahwa konsep rasio praktis dipikirkan secara berbeda sebelum I<ant. Rasio praktis dalarn filsafat sebelum I<ant itu menurut Habermas tidak berpijak pada filsafat subjek. Di dalam filsafat Ari'stoteles, misalnya, masih ada hubungan internal antara rasio praktis dan komunitas kultural: Para wargapolis, negara-kota di zaman Yunani kuno, berupaya mencapai konsensus untuk menentukan tujuan bersama yang akan mereka wujudkan di dalam kehidupan bersama mereka secara politis. Kant lalu melepaskan rasio praktis ini dari konteks komunitas dan melucuti cin-ciri sosialnya sedemikian rupa sehingga rasio praktis menjadi kemampuan subjektif helaka. Rasio praktis Kant mengacupada otonomi individu, yakni pada hakikat manusia yang universal atau E s e n s i a l i s m e m acam ini dalam filsafat kontemporer dituduh menyembunpikan tendensl-tendensi kekuasaan totaliter, karena pendap at seorang p e m i k i r d i t e r a p k a n b e g i t u saja pada k o m p l e k s i t a s sosial. I c a r e n a itu k onsep r a s i o y a n g s u d a h klasik ini sulit d i t e r i m a d a l a m filsafat d e w a s a hi. D e f i s it d a l a m k o n s e p rasio praktis a la K a n t m e n u r u t H a b e r m a s t a m p i l d e w a s a ini dalam kecenderungan filsafat negara dan teori politik untuk meningg a l k a n d i m e n s i n o r m a t i f , s e p e r t i t a m p a k d a l a m t e o r i sosial d a s i M ax dan

t e o r i s i s t e m dari N i k l a s L u h m a n n . D e f i s i t t e r s e b u t juga lrelihatan d a l am b e n t u k p e n o l a k k a n rasio sebagai k e s e l u r u h a n , s e b a g a ima n a terjadi d i d a lam k r i t i k - k r i t i k p o s t m o d e r n i s t i s atas rasio. U n t u k m e n g a t a s i d e f i s i t ini Hab e r m a s m e n y a r a n k a n s e b u a h strategi, yakni: m e n g u b a h k o n s e p rasio praktis yang s u d a h diuraikan d i atas m e n j a 4 k o n s e p rasio k o m u n i k a t i f . D a n k o n s ep rasio k o m u n i k a t i f t e r s e b u t d i dalam'filsafat p o l i t i k H a b e r m a s d i p a h a mi secaraprosea'uralistis. H a b e r m a s b e r p e n d a p a t b a h w a rasio yang d i m e n g e r t i secara esensialistis i t u t e l a h gagal d a l a m sejarah p e r n i k i r a n B a r a t , n a m u n h a l itu t i d a k b e r arti b a h w a r a s i o t i d a k lagi d a p t d i p e r c a y a : 1. Setelah satu abad yangetidak ada bandingannya dalam sejarah telah mengajarkan kepada kita betapa mengerikan sikap irasional i t u , sisa terakhir kepercayaan terhadap rasio esensiahstis hancur. N a m u n modernitas yang sadar akan relativitas-relativitasnya tetap berpegang t e g u h pada rasio prosedural, yalmi pada rasio yang mengugat dirinya sendiri. IGitik atas rasio adalah karpa dari rasio prosedural ini: ma k n a ganda dari kritik I<antian ini bersumber pada pandangan antiplatonis bahwa tidak ada hal-hal yang lebih tinggi a$aupun yang l e b i h rendah yang dapat menjadi sumber otoritas bagi k i t a . *

Sebagai alternatif u n t u k p e m a h a m a n rasio d e n g a n m o d e l fllsafat s u b j e k H a b e r m a s lalu m e n d e f i n i s i k a n r a s i o sebagai " m e n g u g a t d i r i n y a sendiri." Apakah yang dimaksudkan oleh Habermas dengan rasio prosed ural i t u ? U n t u k m e m a h a m i m a k s u d H a b e r m a s i t u saya a k a n m e n g a m b i l bidang peradilan sebagai c o n t o h . D i d a l a m p r o s e s p e n g a d i l a n o r a n g t u n d u k pada prosedur-prosedur tertentu untuk menyelesaikan konflik-konfi i k yang terjadi d i antara o r a n g - o r a n g yang b e r p e r k a r a . U n t u k i t u o r a n g h a s u s b e rtolak dari a n g g a p a n b a h w a p r o s e s pemesilrsaan me l a l u i p e n g a d i l a n i t u t i d a k mem i h a k d i h a d a p a n berbagzai m a c a m k e p e n t i n g a n y a n g saling b e r t e n t a n g a n . Proses pengadilan tersebut hanya mungkin dan hanya dapat terlaksana, jika proses itu berdasarkan pada sebuah ide yang mengatasi proses itu, seperti misalnya ide keadilan. Keadilan memang tidak dapat diwujudkan sepenuhnya, karena kepentingan-kepentingan tersembunyi dari pihak-pihak yang berperkara ataupun dari hakim tidak dapat dikalkulasi. Akan tetapi, fakta dari ide keadilan itu harus diandaikan, supaya proses p e n g a d a n itu dapat berlangsung. Ide keadilan itu bersifat konstitutif, karena tanpanya proses pengadilan itu tidak dapat terlaksana. Ide itu sekaligus juga regulatif karena berlaku sebagai prosedur untuk memeriksa apakah proses itu sendiri a d atau tidak. IGta dapat memaharni konsep rasio prosedural yang diusulkan Habermas itu dengan bantuan model ptngadilan di Rasio prosedural

ini memeriksa kesahihan produknya sendiri. Apa yang sangat penting dalam rasio prosedural bukanlah kemasukakalan dari tatanan dunia yang dirancang oleh seorang subjek secara monologis, melainkan prosedur yang diakui secara intersubjektif. Lewat prosedur itulah produk-produk proses-proses rasional memperoleh kesahihannya. Hal ini berarti bahwa sifat rasional tidak dapat dicapai semata-mata oleh seorang subjek tunggal. D i dalam proses pengadilan keadilar$dapat didekati melalui argumentasi rasional dengan para peserta lain. Begitu pula sifat rasional dari sebuah klaim rasio hanya dapat dicapai secara komunikatif, yaitu melalui pemahaman timbalbalik dengan subjek-subjek lainnya: Rasio prosedural ini adalah konsep rasio komunikatif. D i dalam proses pengadilan keadilan tidak dapat terwujud, bila kekuasaan campur tangan di dalam proses pengadilan. De mikian juga Maim rasio tidak masuk akal, jika klaim itu dikeluarkan di bawah paksaan. Icarena itu untuk memberi sifat rasional sebuah Maim sangat pentinglah sebuah prosedur yang memastikan bahwa orang dapat mengeluarkan klaim tanpa palrsaan dan bebas kekuasaan. Mekanisme pemeriksanaan secara intersubjektif dan prosedur yang diterima secara intersubjektif adalah syarat-syarat formal yang mengandung rasio prosedural. Hal ini masih akan kita bicarakan lebih lanjut. 1 10 DISKURSUJ, Vol 7, No I , April 1008 127 2. RASIO, TINDAKAN DAN MASYARAKAT IGta dapat memahami lebih jelas lagi konsep rasio komunikatif dari Habermas, jika kita melihat hubungannya dengan konsep-konsep dasar lainnya yang sudah dikembangkan oleh Habermas di dalam Theorie de.r kommunikativen HandeIns. D i dalam buku ini Habermas memahami rasio komunikatif dalam

! hubungannya dengan konsep tindakan sosial. Tindakan sosial dipandang se\ bagai unsur dasar pembentuk masyarakat. E t a dapat memahami masyarakat sebagai tenunan yang rumit dari tindakan-tindakan sosial tersebut. I<arena itu melalui konsep tindakan sosial tersebut Habermas dapat mengembangkan sebuah konsep masyarakat yang dijelaskan dengan paradigma teori komunikasi. Du a konsep yang akan saya uraikan dl dalam bagian ini sangat penting untuk memahami seluruh proyek Habermas. Bertama-tarna saya akan membahas kon> I sep tindakan komunikatif (2.1), kemudian konsep dunia-kehidupan (Lebenswel~ sebagai konsep teori komunikasi (2.2) dan akhirnya pasangan konsep sosiologis, dunia-kehidupan dan sistem (2.3). Apa yang menarik dalam Theorie des kommunikatiuen Handelns adalah keyakinan Habermas bakwa tindakan antarmanusia atau interaksi sosial % di dalam sebuah masyarakat tidak terjadi secara semena-mena, melainkan pada dasarnya bersifat rasional. Sifat rasional tindakan ini tampak -dan hal ini bagi Habermas mengandung pelajaran- dalam kenyataan bahwa para aktor mengorientasikan diri pada pencapaian pemahaman satu sama lain. Kata pemahaman, Verstand&nng, pada Habermas memiliki suatu spektrum arti. Kataitu dapat berarti mengerti (Verstehen) suatu ungkapan bahasa. Kata tersebut juga dapat berarti persetujuan (Einverrtandnir) atau konsensus (Konsenr)). Sifat rasional tindakan mengacu pada arti terakhir ini. Tindakan antarmanusia bersifat rasional, karena tindakan itu berorientasi pada kon-

sensus. Dengan kata lain, tindakan yang mengarahkan diri pada konsensus itu adalah tindakan komunikatif. Jika dipahami demikian, lronsep rasio komunikatif mengacu pada rasionalitas pang secara potensial terkandung di dalam tindakan komunikatif. Rasio kornunikatif katalranlah membimbing tindakan komunikatif untuk mencapai tujuannya, yaitu mengerti atau konsensus. Dalam menghadapi seorang wisatawan asing, misalnya, kita berusaha untuk mengerti kata-katanya yang diungkapkan dalam bahasa yang asing bagi luta itu. Dalam upaya-upapa untulr mengerti ini baik kit* maupun orang asingini memakai berbagai cara dan sarana termasuk isyaratisyarat non-verbal dan mimik untuk menjelaskan suatu maksud. E t a membayangkan diri kita berada pada posisi orang asing itu. Demikian pula dia. Dengan mencoba mengambil adih perspektif orang lain, kita dan dia akhirnya dapat saling mengerti. Rasio komunikatif mengarahkan seluruh proses memakai bahasa, ungkapan-ungkapan non-verbal dan pengambilalihan perspektif orang lain ini sedemikian rupa sehingga kita dan orang asing itu akhirnya dapat mengerti satu sama lain. Sudah barang tentu Habermas berpikir bahwa interaksi sosial tidak hanya ditandai oleh konsensus yang dicapai secara rasional dan bebas tekanan, melainkan juga ditandai oleh paksaan dan kekerasan. Percakapan juga dapat berfungsi sebagai medium kekuasaan. Dalam bal ini Habermas berbicara tentang dua macarn mekanisme tindakan: "mencapai persetujuan secara intersubjektif" atau konsensus dan "mempengaruhi" (EinJuJnahme). Sementara konsensus terbentuk lewat pengetahuan bersama yang diterima secara intersubjektif, mempenga ruhi bertitik-tolak pada keyakinan monologis yang dianggap tepat dan benar oleh seseorang tanpa pengakuan

orang lain. Apa yang dianggap penting dalam mempengaruhi orang lain bukanlah alasan-alasan ya$g rasional, melainkan sukses atau efek dari tindakan mempengaruhi itu. Selain konsep tindakan komunikatif Habermas mengajukan konsep tindakan strategis, yakni tindakan yang berorientasi pada keberhasilan seperti yang terjadi dalam tindakan mempengaruhi. Tindakan strategis tersebut mengandaikan bahwa orang mengerti ungkapan-ungkapan bahasa dan juga dapat menjelaskan pendapatnya. Dalam arti ini tindakan strategis sebenarnya bukanlah sebuah alternatif untuk tindakan komunikatif. Tindakan strategis juga bersifat rasional seperti tindakan komunikatif. Lalu apakah perbedaannya? Di dalam tindakan strategis orang menggunakan bahasa tidak sebagai medium pemahaman, melainkan sebagai alat untuk memaksakan kehendak. Sebuah alat untuk memaksalran kehendak lewat kata-kata atau bahkan kelrerasan memang dapat dipakai untuk menghasilkan konsensus. Namun orang tidak dapat mengakui konsensus macam itu sekurang-kurangnya bagi dirinya sendiri: "Sebuah persetujuan kelulangan cirinpa sebagai keyakinan bersama, segera setelah pihak-pihak yang mencapai persehljuan t e r s e b u t m e n g e t a h u i b a h w a p e r s e t u j u a n i t u d i h a s i l k a n dari p e m a k s a a n k e h e n d a k yang berasal dari l u a r p r o s e s itu."' K a r e n a alasan i n i l a h H a b e r m a s m e n g a n g g a p t i n d a k a n k o m u n i k a t i f y a k n i : t i n d a k a n yang terarah pada k o n s e n s u s - l e b i h f u n d a m e n t a l daripada t i n d a k a n strategis u n t u k m e n g h a s i l k a n m e k a n i s m e k o o r d i n a s i sosial. Bila k i t a m e m a k a i b a h a s a u n t u k saling m e m a h a m i , m e n u r u t H a b e r m a s

kita mengandaikan bahwa kita dapat mengambil berbagai mac a m sikap pe~ormatif(belformatiue Einstellungeen) t e r h a d a p d u n i a . H a l i n i t e r j a d i k h u susnya di dalam masyarakat modern. Yang dimaksud Habermas adalah bahwa orang dapat membeda-bedakan macam-macam pernyataan bukan h a n y a dari i s i n y a , m e l a i n k a n juga d a r i a c u a n p e r n y a t a a n - p e r n y a t a an itu. > P e r n y a t a a n " d i luar s u d a h gelap," m i s a l n y a , secara m e n d a s a r b e r b e d a dari p e r n y a t a a n "saya sakit gigi." Y a n g p e r t a m a b e r s i f a t e m p i r i s - o b j e k t i f , sed a n g k a n y a n g t e r a k h i r s u b j e k t i f . L a i n lagi jika o r a n g m e n g e l u a r k a n pern y a t a a n " m e n c u r i i t u salah." P e r n y a t a a n k e t i g a i n i b e r s i f a t n o r m a t i f . I<etiga p e r n y a t a a n yang b a r u saja k i t a l i h a t i n i m e n g a c u pada b i d a n g - b i d a n g pem a h a m a n yang b e r b e d a - b e d a yang o l e h H a b e r m a s d i s e b u t "dunia" (Welten). Pada saat kita berbicara t e q t a n g kenyataan-kenyataan e m p i r i s , t e n t a n g p e n g ambilan-pengamhilan sidp sosial-normatif dan tentang pengal amanp e n g a l a m a n s u b j e k t i f k i t a m e n g a r a h k a n p e n d a p a t , alasan a t a u p e r nyataan k i t a b e r t u r u t - t u r u t pada d u n i a o b j e k t i f , sosial d a n s u b j e k t i f . IGt a dapat

m e m a h a m i k e t i g a d u n i a i t u sebagai d i m e n s i - d i m e n s i k e s a h i h a n dari pernyataan-pernyataan kita. Dengan dernikian Habermas memaksu dkan bahwa pelaku tindakan komunikatif mengeluarkan klaim-klaim k esahihan (Geltzingsanpiche), yaitu Ma im-Ma im b a h w a p e r n y a t a a n - p e r n y a t a a n m e r e k a h e n a r (iaah3, t e p a t (richtig) a t a u jujur (Ivahrhgtz$. T i n d a k a n k o m u n i k a t i f pada a k h i r n y a b e r t u j u a n pada k o n s e n s u s . Icons e n s u s i n i d a p a t d i a n g g a p r a s i o n a l , jika para p e s e r t a k o m u n i k a s i dapat m e n p t a k a n p e n d a p a t d a n silcapnpa t e r h a d a p Ma im-Ma im k e s a h i h a n t e rs e b u t secara b e b a s d a n t a n p a paksaan. N a m u n b a g a ima n a k o n s e n s u s d a pat dicapai? H a b e r m a s b e r k a t a b a h w a k e b e r h a s i l a n l c omu n i k a s i t e r g a ntung pada k e i n a m p u a n p e n d e n g a r u n t u k "me n e r ima - a t a u -me n o l a k " k l a imk l a im k e s a h i h a n i t u . A r t i n y a , Ma im-Ma im k e s a h i h a n i t u h a r u s s e r e n t a k benar, t e p a t d a n jujur, supaya p e n d e n g a r d a p a t m e n g a m b i l s l k a p n y a . Ole11 s e b a b itu, untuk mencapai sebuah konsensus diperlukan penerimaan serentak Maim kebenaran, ketepatan dan kejujuran ini. Tidak dapat kita bayangkan, misalnya, bahwa kita menerima pernyataan empiris seseorang, sementara kita juga menyangsikan ketulusan orang itu. Betapapun logis dan rasionalnya pernyataannya itu kita juga tidak dapat menilai jika pernyataan itu secara normatif bermasalah. D i dalam praksis komunikasi sehari-hari apa

yang disebut Habermas Maim-Maim kesahihan itu diandaikan begitu saja. Sikap mengandaikan macam ini adalah ciri dasar dari komunikasi kita sehari-hari. Komunikasi dapat berlangsung entah secara "naif" ataupun secara "reflektif." Hal ini akan saya jelaskan lebih lanjut di bawah ini. > Habermas mengembangkan konsep dunia-kehidupan (LebensweIt) sebagai pelengkap untuk konsep tindakan komunikatif. D i dalam praksis komunikasi sehari-hari Maim-Maim kesahihan diandaikan begitu saja secara naif. Artinya, kita tidak membuat klaim-Maim itu sebagai tema dan juga tidak mempermasalahkannya, karena klaim-Maim tersebut merupakan bagian dari hal-hal yang secara kultural kebenarannya tidak dipersoalkan. I Hal-hal yang diandaikan b e p t u saja ini menurut Habermas penting untuk membuat proses pemaha&an rnenjadi mungkin, karena hal-ha1 itu berfungsi sebagai basis kognitif komunikasi. Untuk komunikasi yang sedang berlangsung hal-hal tersebut membentuk suatu pengetahuan bersama yang bersifat pra-reflektif, tidak dipersoalkan dan implisit. Pengetahuan itu beroperasi katakanlah "di belakangpunggung" para peserta komunikasi, maka disebut Habermas "Hinteymdwissen" (pengetahuan-latarbelakangj. Pengetahuan-latarbelakang yang membentuk konteks komunikasi ini dan beroperasi di belakang proses-proses komunikasi verbal ini disebut Habermas dunia-kehidupan. IGta juga dapat membayanglran dunia-kehidupan tersebut di atas sebagai sebuah horison yang memiliki batas-batas dan dapat bergeser sesuai dengan tempat berdiri pengamat. Saya mengambil contoh berikut untuk

menjelaskan apa yang dimaksud Habermas dengan dunia-lrehidupan itu. Jika kita sedang merencanakan liburan, tema "liburan" bagaikan sebuah cakrawala membatasi semesta pembicaraan kita dan sekaligus mengartikulasikan situasi komunikasi lrita di mana proses pemahaman berlangsung. Tetapi tema liburan hanya membentuk sepotong dunia-kehidupan yang relevan dalam komunikasi itu. Bersamaan dengan tematisasinya "liburan" kehilangan cirinya sebagai pengetahuan-latarbelakang. Segera setelah kita mengubah tema dan situasi komunikasi, horison dunia-kehidupan itu bergeser lagi. E t a tidak berpijak pada kekosongan, melainkan berada di dalam bidang lain dari dunia-kehidupan. Dunia-kehidupan sosial dan kultural kita sebagai keseluruhan tidak dapat ditematisasikan. Menurut Habermas dunia-kehidupan itu tetap kebal terbadap problematisasi. Dalam arti inilah para pelaku tindakan komunikatif senantiasa bergerak di dalam dunia-kehidupan. Icarena itu Habermas menganggap dunia-kehidupan sosial dan kultural itu sebagai "tempat transendental di mana pembicara dan pendengar bertemu."1 > Lalu apakah hubungan antara dunia-kehidupan dan tindakan komunikatif? Menurut Habermas dunia-kehidupan di satu pihak memungkinkan tindakan komunikatif. Dunia-kehidupan membantu pencapaian konsensus karena berlaku sebagai basis bersama bagi para pelaku tindakan komunikatif. Partai-partai pang bersaing di dalam MPR kita, rnisalnya, dapat mencapai konsensus, hanya jika mereka berpijak pada basis yang lebih luas daripada tradisi partai-paitai itu masing-masing, yakni pada basis tradisi dan budaya pengambilankeputusan di dalam MPR. Dengan terbentuknya

budaya politis demokratis di dalam proses pengambilan keputusan parlementer itu, konsensus akan makin mudah dicapai. Dalam hal ini, Habermas berbicara tentang dunia-kebidupan sosial dan kultural sebagai "gudang" (Vorra4. Dari gudang itu para peserta komunikasi mengambil dan memakai interpretasi-interpretasi tertentu yang dij~akifli bersama." Proses memakai dunia-kehidupan sebagai gudang interpretasi macam ini, misalnya, tidak hanya terdapat dalam tradisi partai-partai politik, tradisi-tradisi kelompok agama-agama, melainkan juga terjadi di dalam komunikasi sederhana kita sehari-hari. Di lain pihak menurut Habermas dunia-kehidupan itu dapat dipelihara, diteruskan clan direproduksi lewat tindakan komunikatif: "Orang dapat membapangkan komponen-komponen dunia-kehidupan, jmitu pola-pola budaya, tatanan-tatanan legitim clan struktur-struktur kepribadian sebagai pemadatan dan endapan proses-prosespemahanzan, &ordinasi tina'akan dan soszali~asi pang berlangsung melalui tindakan komunilratif."'2 Jika dipahami secara dialektis, pembicara dan pendengar selama proses pencapaian konsensus selalu herdiri di dalam tradisi-tradisi kultural yang mereka pakai sekaligus mereka perbarui. Sebagai anggota-anggota masyarakat mereka menyokong solidaritas sosial yang ada d m sekaligus menghasilkan solidaritas sosial yang baru. Sebagai individu mereka membatinkan orientasi-orientasi masyarakat mereka dan sekaligus mengembangkan kompetensi-kompetensi untuk berbicara dan bertindak. Sampai sekarang saya membicarakan dunia-kehidupan sebagai konsep teori komunikasi. Habermas memakai dunia-kehidupan juga sebagai konsep dasar sosiologis. Pasangan konsep untuk "dunia-kehidupan" di sini adalah "sistem." Penggunaan konsep? dunia-kehidupan dalam sosiologi

berarti bahwa dunia-kehidupan sekarang berfungsi sebagai kategori dasar teori s o d . Dalam teori sosial inilah, Habermas memakai kedua konsep itu bersama-sama dan menyebutnya "konsep dua tingkat" (~uei~tzljger Kon&a. D i sini saya tidak ingin membahas seluruh susunan sosiologi Habermasian ini. Saya hanya ingin menguraikan bagaimana pasangan konsep I ini menjelaskan dua aspelrintegrasi sosial. IGta memang dapat memaharni .i hal itu sebagai s o d cara me&andang, namun kita juga hasus memperhatikan secara cermat bahwa kedua konsep itu juga bersangkutan dengan dua tipe tindakan yang berbeda. Jika dilihat dari perspektif-para-peserta (Teilnehmerperipektive), masyarakat tampak sebagai "jaringan kerjasama-kerjasama yang dimungkinkan lewat k ~mu n i k a s i . " ' ~ Kerjasama-kerjasama inilah pang memungkinkan integritas dan stabilitas sebuah masyarakat. Konsekuensi-konsekuensi sosial -dilihat dari perspektif-dalam ini- dihasilkan bersama-sama oleh para aktor sosial. Alran tetapi kalau dilihat dan perspektif-para-pengamat (Beobdchterperipektive), masyarakat memperlihatlran dirinya sebagai "jaringan fungsional dari rentetan tindakan." Tindakantindakan teralrhir ini seolah-olah terjadi secara mekanis, yakni tidak dimaksudlran ole11 para alrtor. D i sinilah masyarakat muncul sebagai sistem. D i dalam masyarakat-masyarakat modern sistem tampak secara mencolok pada ekonomi dan kekuasaan negara. Habermas menyebut "solidaritas" (dunia-kehidupan), "uang" dan "kuasa" (sistem) sebagai tiga komponen integritas masyarakat. Dengan menerima teori rasionalisasi dari Max Weber, Habermas berbicara juga tentang "hilangnya sambungan (Entkoppthind antara sistem

dan dunia-kehidupan". Proses ini bersangkutan dengan evolusi sosial atau modernisasi yang disebut Weber rasionalisasi (Rationaliriemn9). Habermas berpendapat bahwa sebelum proses rasionalisasi ini, terdapat identitas antara dunia-kehidupan dan sistem yang dalam masyarakat tradisional tentu saja masih sederhana dan sedikit terdiferensiasi. Dalam keadaan ideal menurut Habermas dunia-kehidupan itu berkembang dalam bentuk rasionalitas komunikatif yang makin luhur, sementara sistem berkembang dalam bentuk kompleksitas fungsional. Akan tetapi dalam kenyataannya proses rasionalisasi itu terjadi sepihak saja, sebagaimana telah &diagnosis baik oleh Weber sendiri maupun oleh Mazhab Frankfurt. Habermas merumuskan proses rasionalisasi yang t d a k seimbang ini sebagai berikut: "Pada tingkat analitis hi hilangnya sambungan antara sistem dan dunia-kehidupan dapat digambarkan sebagai berikut. Dunia-kehidupan yang d d u masih sama luasnya dengan sistem sosial yang sedikit terdiferensiasi lama kelamaan direndahkan menjadi sebuah subsistem di sumping snbsitem-subsitem Lainnya."'4 Dunia-kehidupan menciut karena didesak oleh sistem yang menjadi semakin rumit, semen6ra dalam proses perkembangan ini sistem justru C memperoleh otonominya yang semakin besar. Negara dan ekonomi kapitalistis menjadi otonom di hadapan solidaritas sosial yang menjadi makin tipis. D i balik analisis macam ini Habermas mengikuti jalan pernikiran yang oleh Jozef Ke d a r t z dijelaskan sebagai "dialektika kontraksi dan ekspans?: "Dunia-kehidupan menarik diri untuk memberi tempat bagi sistem."'5 Habermas berulang kali menegaskan bahwa integritas masyarakat modern hanya dapat dihasilkan melalui tindakan komunikatif dan kare-

nanya mekanisme-mekanisme integrasi sistemis harus ditambatkan kuatkuat di dalam dunia-kehidupan. Habermas membayangkan bahwa potensipotensi rasionalitas komunikatif seperti potensi-potensi rasionalitas-tujuan (Ziueckrationalitai) dapat dibebaskan dari proses-proses sosio-historis dan dengan demikian juga dapat berekspansi. Sebagaimana akan kita lihat dalam bab lie-2, ekspansi dunia-kehidupan itu berarti bahwa mekanisme-mekanisme sistemis harus dikendalikan oleh hukum. 3. D I S W R S U S SEBAGAI BENTUKREFLEKSI D A N T I N D A K A N KOMUNIKATIF Marilah sekarang kita meninjau kembali tema dunia-kehidupan dan tindakan komunikatif sebagai konsep-konsep teori komunikasi. Habermas berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau tindakan seseorang bersifat rasional sejauh alasannya dapat dijelas'kan atau diakui secara intersubjektif. Penjelasan (Erklamnd dan pemberian alasan (Begrindand adalah ciri dasar dari klaim-klaim kesahihan yang bersifat rasional. Tidak semua bentuk komunikasi memiliki ciri-ciri tersebut. Secara umum kita dapat membedakan dua bentuk komunikasi: komunikasi "naif" dan komunikasi "reflektif." D i dalam praksis hidup seharihari kita menggunakan komunikasi naif. D i dalam komunikasi macam ini kita tidak mempersoalkan secara khusus alasw-alasan maupun kejelasan-kejelasan dari pernyataan-pernyataan kita. ~ ( l a i m - A i m kesahihan yang kita keluarkan lewat pernyataan-pernyataan kita itu tidak kita permasalahkan, melainkan kebenarannya kita andaikan begitu saja. IGta saling menukar informasi begitu saja. Bentuk komunikasi naif macam itu menandai tindakan komunikatif di dalam dunia-kehidupan, D i dalam percakapan "naif" sehari-hari ini pembicara dan pendengar menimba informasi ataupun pernyataan-pernyataan mereka

I begitu saja dari sumber-sumber dunia-kehidupan mereka. Percakapan macam I itu disebut Habermas tindaka&omunikatif Kadang-kadang hal-ha1 yang kita andaikan kebenarannya begitu saja, percakapan kita tentang sesuatu yang menyentuh kepentingan orang lain, atau bahkan apa yang sudah disepakati bersama menjadi problematis. Terhadap hal-hal macam itu kita, misalnya, dapat melontarkan pertanyaan: Apa yang anda maksudkan? Mengapa Anda berkata demikian? Mengapa Anda melakukan itu? Atau, lawan bicara kita dapat menolak sama sekali pernyataan kita. Dengan kemarnpuan untuk mengatakan tidak ini penerimaan rutin kita dalam arti tertentu terputus, dan konsensus yang kita terima begitu saja mulai terganggu. Dalam ha1 ini kita mesti menafsirkan, menegaskan atau membenarkan sesuatu. Jadi, kita diminta mengeksplisitkan klaim-klaim kesahihan yang kita keluarkan yang dalam tindakan komunikatif diandaikan begitu saja. Komunikasi seharihari ldta di mana kita begitu saja saling menukar informasi sekarang kehilangan sifat naifnya, karena pertukaran informasi kali ini diganti dengan pemberian alasan dan penjelasan. Para peserta komunikasi tidak lagi dapat memakai begitu saja pernyataan-pernyataan yang sudah diterima bersama, karena komunikasi I S DISKURTUS, VM 7, h'o. 1. Apii/ZO08:ll7 sekarang telah menjadi reflektif dan menuntut alasan-alasan yang bersifat rasional. Bentuk lromunikasi macam itu pang objeknya adalah Maim-Maim kesahihan yang dipersoalkan lagi disebut Habermas " d i s k u r ~ u s . " ' ~ D i dalam diskursus sepenggal dunia-kehidupan kehilangan cirinya sebagai pengetahuan-latarbe-

lakang (Hintergrunclwirsen), karena, setelah dijadikan tema komunikasi, penget a h u a n - l a t a r b e l a k a n g ini b e r u b a h me n j a d i p e n g e t a h u a n - l a t a r d e pan (Vordergrmdwissen) yang bersifat eksplisit. Icarena itu kita dapat membayangkan bahwa para peserta diskursus seakan-akan keluar dari dunia-kehidupan mereka masing-masing untuk menyelesaikan secara rasional masalah-masalah yang mereka arnbil dari dunia-kehidupan mereka. Partai-partai yang bertikai yang ingin mencapai relronsiliasi atau kompromi & q s melepaskan diri dari "kebenarankebenaran" partikular dari golongannya dan mengarahkan diri pada kepentingan pang lebih h a s . Seperti tindakan komunikatif pada umumnya diskursus memiliki tujuan untuk mencapai sebuah konsensus intersubjektif melalui percakapan-percakapan. Namun sementara konsensus pada tindakan komunikatif telah diterima secara spontan dan dipakai oleh para peserta komunikasi tanpa pikir panjang lagi, para peserta diskursus kali ini harus menghasilkan konsensus lagi, tetapi pada taraf yang reKektif. .- Diskursus adalah bentuk-refleksi (Reflexion;form) tindakan lromunikatif. Maksudnya adalah bahwa diskursus adalah kelanjutan tindakan komunilratif dengan memakai sarana lain, yalmi sarana argumentatif.'' Jika demikian, kita juga dapat mengatakan bahwa diskursus khususnya menandai bentuk komunikasi modern di maria orang tidak begitu saja menerima sesuatu dengan pemahaman-pemahaman yang berkembang lewat tradisi, melainkan pertama-tama menguji halitu dengan pertimbangan rasional. Dalam arti ini diskursus merupalran bentuk komunikasi yang bersifat kritis dan terbuka. Bila objek dislrursus adalah Maim-Maim kesahihan pang terbuka terhadap kritilr, diskursus dapat dibeda-bedalran menjadi macam-macam diskursus ma-

sing-masing menurut jenis Maim kesahihannya. Habermas mencoba mengembangkan kemungkinan tersebut. Di dalam Tileone des konzmndativen Handelm, dia berbicara, misalnya, tidak hanga rnengenai disku~sz~s, melainkan juga mengeiL nai kritik. I<eduanya termasuk dalam konsep yang lebih h a s : a q u m n f a ~ d ' . ' ~ I Pembedaan ini berdasarkan pada pembedaan yang lebih mendasar la$ Seperti pang akan segera kita lihat, pembedaan itu menpngkut persoalan apakah sebuah Maim kesahihan dapat diuniversalkan (ziniversa/Isierba~ atau terkait pada konteks tertentu (kontextgebunden). Sementara pada diskursus klaim-klaim kesahihan yang kontroversial pada prinsipnpa dapat diuniversalkan, klaim-klaim kesahihan yang bersifat evaluatif dan ekspresif dari kritilr tetap terikat pada konteks tertentu. D i dalam karya-karyanya yang lebih lanjut Habermas tidak lagi berbicara tentang kritik. Dalam Faktiz$at ztnd Geltztng yang akan saya bahas dalam bab ketiga, keterikatan pada konteks tidak lagi merupalran ciri kritik, melainkan merupakan ciri diskursus (politis-etis). Menarik mengamati pergeseran-pergeseran macam inti dalam pemikiran Habermas, karena tampak bahwa dia t a u s berusaha mencocokkan teori-teorinya dengan dinamika real perkembangan masyarakat dan teori-teori s o d . Yang tetap konsisten adalah pembedaan Habermas antara diskzirsns teoretis dan diskurszcspraktis. Sementara dalam diskursus teoretis orang a mempermasalahkan klaim kebenaran (Wahrheitsanspruch) pernyataan-pernyataan teoretis-empiris, dalam diskursus praktis orang mempersoalkan klaim ketepatan (Richh'gkeitsanspruch) pernyataan-pernyataan normatif. 4. D I S W R S U S PRAKTIS D A N PROSEDURALISME D i dalam proyek etika diskursusnya dan dalam F a k t i ~ i t a t zind Geltnng Ha-

I bermas memusatkan diri p a d a p p e diskursus praktis. Keludupan bersama di dalarn sebuah masyarakat me g b e n t u k suatu tatanan sosial, jika para anggota masyarakat ini mematuhi norma-norma tertentu yang mengatur perilaku mereka. Kepercayaan akan pandangan-dunia (Weltanschaztztn~ tradisional dan sikap menerima begitu saja pendasaran-pendasaran konvensional atas norma-norma dalam taraf tertentu dapat mereproduksi dan menstabilkan tatanan sosial tersebut. Namun di dalam masyarakat modern orang tidak dapat menerima begitu saja norma-norma yangmengatur perilaku mereka. Jika sistem-sistem kepastian tradisional mengalami krisis dan segalanya dapat dipersoalkan, menurut Habermas, orang harus membuat norma-norma yang mengatur perilaku mereka menjadi rasional, tidak hanya dengan memberinya alasan-alasan rasional, melainkan juga melegitimasikannya secara intersubjelrtif. Dengan kata lain, orang harus mencapai konsensus rasional atas norma-norma tersebut. Habermas memasukkan moral juga ke dalam norma-norma perilaku pang hams diuji secara intersubjektif itu. Proses untuk mencapai lronsensus terlaksana di dalam apa yang disebut "diskursus pralrtis." D i dalam tipe disl~ursus ini, para peserta mempersoalkan k l a ~m ketepatan dari norma-norma yang mengatur tindakan mereka. Pertanyaan penting di sini adalah: Dalam kondisi-kondisi manalrah kita dapat mencapai konsensus rasional atas norma-norma itu? Jawaban Habermas atas pertanyaan ini dapat saya ulas di sini dalam dua langkah. Pertamatama saya akan menunjukkan ciri-ciri formal dari diskursus praktis sebagai prosedur komunikasi (4.1). Lalu saya juga alran menunjukkan prinsip-prinsip pengujian secara diskursif (4.2). Habermas memahami diskursus praktis sebagai sebuah bentuk komu-

nikasi khusus dengan niveau yang tinggi. Para peserta diskursus praktis ini mencoba memecahkan norma-norma yang problematis secara kooperatif agar konsensus yang dicapai secara intersubjektif sesuai dengan kehendak semua peserta. Tujuan diskursusgraktis adalah pemahaman timbal-balik )i atas norma-norma tindakan yang mengikat bersama. Hanya konsensus yang diterima oleh semua peserta secara intersubjektif dan tanpa paksaan dapat dianggap rasional. Hal ini bagi Habermas merupakan prasyaratprasyarat ideal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, namun prasyarat-prasyarat tersebut tidak muncul begitu saja. Prasyarat-prasyarat itu sudah efektif di dalam situasi komunikasi sehari-hari. Kesepakatan-kesepakatan fak3 tual tidak jarang diha s i lkp melalui uang atau kekerasan dan hanya memenuhi tuntutan-tuntutan $arsial dari pihak yang berkuasa. Namun kesepakatan-kesepakatan semacain itu tentu tidak dapat dinilai legitim. Intuisi sehari-hari kita sulit menerima bahwa kesepakatan memihak yang dihasilkan lewat paksaan itu sehamsya dipatuhi oleh semua orang. Logika sederhana dari hidup sehari-hari kita adalah: Sebuah konsensus yang legitim yang seharusnya dipatuhi oleh semua orang juga membutuhkan persetujuan semua orang. Intuisi sehari-hari ini diradilralkan oleh Habermas di dalam teori diskursusnya. Sebagai tujuan diskursus praktis, konsensus yang legitim tentang norma-norma yang problematis memerlukan prasyarat-prasyarat tertentu yang memungkinkan semua peserta menganggap sah konsensus pang mereka hasilkan. Di dalam karyanpa Edaitemngen prDiskctrsethik (Penjelasan-pen-

jelasan untuk Etika Diskursus), Habermas menjelaskan prasyarat-prasyarat i komunikasi tersebut melalui konsep "idealisasi." IGta berbicara tentang idealisasi, misalnya, di dalam geometri dalam arti bahwa segitiga, bujursangkar atau lingkaran pang ldta lukis di atas papan tulis hanya mendekati I I bentuk-bentuk idealnya. Idealisasi semacam itu juga terdapat di dalam bahasa pergaulan kita sehari-hari, yaitu bila kita mengandaikan bahwa katakata yang kita pakai itu meiniliki arti yang umum yang dapat dimengerti oleh orang-orang lain. Lalu apa artinya mengidealisasikan bentuk-bentuk komunikasi? Idealisasi di sini berarti menurut Habermas "memikirkan proses-proses komunikasi sedemikian rupa seolah-olah proses-proses tersebut berlangsung di dalam kondisi-kondisi ideal."'9 Idealisasi komunikatif ini menurut Habermas hanya dapat diwujudkan secara memadai oleh diskursus praktis. Jadi, diskursus praktis di sini mengacu tidak hanya pada proses komunikasi yang ideal, melainkan juga pada aturan-aturan komunikasi yang ideal pang diformalisasikan dari proses komunikasi ideal itu. Ketepatan tujuan komunikasi mensyaratkan prosesnya. Dengan kata lain, a diskursus praktis itu sendiri di sini berlaku sebagai prosedur komunikasi. Prasyarat-prasyarat komunikasi manakah yang harus dipenuhi untuk memperoleh sebuah konsensus rasional yang diterima umum? D i dalam Moralbewusstsein undkommunikatives Handeh Habermas mengikuti saran dari Robert Alexy dan merumuskan prosedur diskursus sebagai berikut: (...I.) Semua subjek yangmampu berbicara dan bertindak boleh ikut

serta dalam diskursus. (..& a. Setiap peserta boleh mempermasalahkan setiap pendapat. b. ~ e t i a p pqserta boleh mengajukan pendapat apapun di dalam diskursus. c. Setiap peserta boleh mengungkapkan sikap-sikap, keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya. (...3.) Tidak seorang pembicarapun boleh dihalangi u@< melaksanakan hak-halmya yang tercantum dalam (...I.) dan (...2.). Jika dirumuskan secara lebih padat lagi, diskursus seharusnya bersifat inklusif, egaliter dan bebas-dominasi. Juga di dalam ketika pokok yang dirumuskan secara padat di atas kita dapat menemukan beberapa asumsi tersembunyi: Pertama, keikutsertaan di dalam sebuah diskursus hanya mungkin, jika orang mempergunakan bahasa yang sama dan secara konsisten mematuhi aturan-aturan logis dan semantis dari bahasa tersebut. Kea'ua, kesamaan dalam inemperoleh kesempatan dalam diskursus hanya dapat t e m j u d , jika setiap peserta memiliki maksud untuk mencapai konsensus yang tidak memihak dan memandang para peserta lainnya sebagai pribadipribadi otonom yang t ~ d u s , bertanggungjawab dan sejajar dan tidak inenganggap mereka ini hanya sebagai sarana belaka. Ketiga, barus ada aturan- 2 2 DJSKURTUS, Vol 7, i\b 1, Apr*ZOOS:l-2i aturan yang dipatuhi secara umum yang mengamanlcan proses diskursus dari tekanan dan diskriminasi. Aturan-aturan tersebut harus memastikan bahwa orang mencapai konsensus berkat "paksaan tidak memaksa dari argumen yang lebih baik." Sekarang kita memahami bahwa melalui prosedur dislrursus tersebut dl atas konsep rasio praktis dari I<ant dipikirkan kembali dalam paradigma teori komunikasi. I<onsep imperatif kategoris yang merupakan objek per-

timbangan subjek tunggal oleh Habermas dirumuskan kembali menjadi prosedur-prosedur formal komunikasi. D i dalam prosedur-prosedur itu subjek tindakan menguji klaim ketepatan maksim-maksim tindakan bersama dengan subjek-subjek lainnya secara intersubjektif2' Dengan kata lain, rasio praktis diproseduralisa'sihn. Di atas saya telah menyinggung bahwa rasio prosedural tidak memberikan suatu ide substantif apapun, melainkan menuntut sebuah prosedur yang diterima secara intersubjektif dan sebuah mekanisme pengujian intersubjektif Hal ini tampak khususnya di dalam prasyarat-prasyarat formal diskursus praktis. Mengapa? Diskursus praktis tidak memberikan norma-norma tertentu yang dianggap benar yangmenunjukkan apa yang seharusnya dilakukan orang. Diskursus praktis adalah sebuah prosedur &tuk menguji kesahihan norma-norma tersebut secara intersubjektif. Diskursus praktis tidak menjamin terlebih dahulu legitimitas atau kebenaran hasil-hasilnya. Legititnitas maupun kebenaran hasil-hasilnya ini tidak dapat dipikirkan lepas dari prosedur diskursus itu sendiri. "Diskursus praktis," demikian tulis Habermas, "merupakan suatu prosedur bukan untuk menghasikan norma-norma pang legitim, melainkan untuk menguji kesahihan norma-norma pang dipertimbangkan secara hip o t e t i ~ . " ~ ~ Hal inilah yang dia sebut prosedwalisme. I<onsep yang sering dipakai ini berarti tidak lain daripadapengyYan &kws$prosespenetapan noman o r t ~ a . ~ ~ Berikut ini saya akan membicarakan proses ini lebih rinci. Diskursus praktis erat kaitannpa dengan ldaim kesahihan universal. Habermas ingin mempertahankan universalisme kantian, namun sekdigus menolalr pengandaian-pengandaian filsafat subjek di dalam filsafat I<ant. Hasilnya adalah sebagai berikut: Universalisme tersebut melekat di dalam

prosedur-prosedur lromunikatif itu sendiri sebagai ldaim kesahihan. Orang tidak boleh menganggap universalisme I<antian itu berlaku universal, betapapun rasional d m logisnya pernllataan-pernyataannya. Orang juga tidalr boleh menganggap pernyataan-pernyataan universal itu sebagai kebenaran yang sudah selesai yang mengatasi hubungan-hubungan sosial. Setiap pernyataan universal dan bahkan universalisme I<antian itu sendiri harus dipandang sebagai sebuah kontribusi yang kebenarannya masih harus diuji secara intersubjektif. Maksim-maksim tindakan pang dihasilkan oleh seorang subjek tunggal yang menimbang-nimbang sendirian tidak dapat berlaku sebagai norma-norma yang universal, sebelum maksim-maksim itu lulus dari pengujian diskursif. Pertanyaan kita sekarang: Apakah sebenarnya Maim universal itu? Tentang apakah kita sepakat satu sama lain sebagai peserta diskursus? Menurut kriteri* manakah objek konsensus itu diuji? a Adalah tidak masuk aka1 bahwa kita ikut serta dalam sebuah diskursus hanya dengan maksud murni untuk mencapai konsensus saja. Karena itu Habermas berbicara tentang "kepentingan" dan "kebutuhan." E t a berpartisipasi di dalam diskursus praktis dengan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan kita sendiri dengan harapan bahwa konsensus yang dicapai dapat memenuhi kepentingan-kepentingan atau kebutuhan- I kebutuhan tersebut. D a l a d pandangan Habermas kepentingan bukanlah r sesuatu yang statis atau terisolasi dari kepentingan-kepentingan lainnya. Kepentingan terbentuk lewat kontak intersubjektif. Jadi, tidak tertutup kemungkinan bahwa para peserta diskursus membawa kepentingan-ke-

pentingan mereka sendiri. ICepentingan-kepentingan merelra itu dapat bertabrakkan dengan kepentingan-kepentingan orang-orang lain. Justru lewat konfrontasi macam itu menurut Habermas terbentuklah kepentingan bersama. Dapat ditambahkan lagi di sini bahwa Habermas memahami kepentingan juga bukanlah sebagai sesuatu yang didefinisikan dari luar oleh seorang teoretikus sebagai suatu "kenyataan telanjang." Kepentingan didefinisikan oleh yang bersangkutan sendiri. Beberapa kepentingan dapat diuniversalisasilran dan beberapa tetap bersifat parsial. Tapi bagaimana orang dapat menentukan ha1 itu? Menurut Habermas kita tidalr dapat menentukan secara apriori apakah sebuah kepentingan dapat diuniversalisasikan. Hal itu harus diuji dalam proses diskursif. Di dalam "prinsip etika diskursus" proseduralisme untuk menguji universalitas kepentingan itu dijelaskan. Di sinilah prinsip pengujian diskursif dlrumuskan secara padat. Prinsip etika diskursus itu, sebagaimana tertera dalam i~oraIbe~imssstsein nndko~zmunikatiues Handeh, befbunyi, "bahwa setiap norma yang sahih kiranya akan mendapatkan persetujuan semua orang yang bersangkutan dengannya, seandainya orang-orang hi dapat ikut serta di dalam sebuah diskursus p r a k t ~ s . " ~ ~ Dengan rumusan lain, norma yang sahih tersebut sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang diuniversalkan. Dalam teks Jerman Habermas merumuskan prinsip itu secara gramatis dalam bentuk irreal yang dalam bahasa Indonesia dapat dijelaskan dengan kata "kiranpa" dan "seandainya." Jadi, dalam prinsip ini diandaikan sebuah sikap fiktif: Meskipun secara faktual tidak semua orang yang bersangkutan dengan norma tersebut dapat hadir dalam diskursus praktis, p>raymerta diskursus yang ada harus ber-

usaha keras untuk menemukan konsensus yang seluas mungkin atas norma tersebut. Mereka harus membayangkan bahwa konsensus yang dicapai itu hams juga dapat diterima oleh mereka yang tidak hadir di dalam diskursus tersebut. D i dalam prinsip etika diskursus itu tersembunyi sebuah prinsip lain yang disebut Habermas "prinsip universalisasi" ("U"). Prinsip terakhir ini tidaklain daripada atwan argumentasiitu sendiri. Bunyinya adalah sebagai berikut: "Setiap norma y,& sahih hams memenuhi prasyarat bahwa akibat.p akibat dan akibat-akibat samping yang barangkali terjadi karena kepatuhan z i m m untuk pemenuhan kepentingan setiap individu dapat diterima tanpa paksaan oleh semm orang yang bersangkutan dengan norma i t n n z 5 "U" ini dipakai khususnya di dalam diskursus-diskursus untuk mencari pendasaran moral (Begrxndungsrlisskurs). Msalnya, diskursus tentang apalrah negara boleh mengintervensi wilapah privat, jilra terjadi kelrerasan di dalamnya atau tentang larangan atau izin cloning manusia. ICarena berkaitan dengan moralitas, Habermas menyamakan "U" dengan "prinsip moral." Bailr prinsip etika diskursus maupun prinsip universalisasi tidak lain daripada perumusan ulang konsep otonomi atau imperatif kategoris dari ICant ke dalam etika diskursus. Dalam perumusan lrembali ini tampak bahwa konsep rasio praktis dari I<ant diterjemahkan ke dalam konsep rasio prosedural. Anggaplah "U" sebagai filter atau -seperti disebut Habermas- sebagai "pi~au, " '~ maka ada dua macam norma dan kepentingan yang terlrait de- ngannya di dalam pengujian diskursif: Norma-norma atau kepentingan. kepentingan yang dapat diuniversalkan dan yang tetap bersifat partikular.

Norma-norma dan kepentingan-kepentingan yang dapat diuniversalkan ini disebut Habermas persodan-persoalan normatif tentang keadilan, sedangkan yang tidak dapat diuniversalkan itu disebut persoalan-persoalan evaluatif tentang hidupyang baik. Yang pertama juga disebut yang moral (dasMoralishe), sementara yang terakhir disebut juga yang etis (dasEthische). D i antara keduanya Habermas menarik sebuah garis pemisah yang tegas, seolah-olah keduanya tidak terjembatani satu sarna lain. Proseduralisme tentu saja menuntut bahwa yang etis harus mengalah. Mengapa? ICarena yang etis itu bersifat partikular, dan yang partikular itu bersifat memihak, yakni terkait dengan "sebuah bentuk kehidupan khusus atau orientasiI or i ent a s i nilai yang b e r k a i t a n d e n g a n s e j a r ah k e h i d u p a n indivi d ~ . " ~ ' Sebaliknya yang moral bersifat tidak memihak, formal, netral terhadap persoalan-persoalan evaluatif tentang hidup yang baik dan lcarena itu juga bersifat universal. Keadilan addah nilai yang dikejar oleh semua orang dari segala bangsa, agama, ras, partai, dan seterusnya. Dia tidak relatif terhadap konteks komunitas tertentu, sedangkan s o d hidup yang I baik atau nilai-nilai kultural terkait pada komunitas tertentu yang menaf% sirkan bentuk kehidupannfia menurut caranya sendiri. Ca t a t an- c a t a t an: 1 Bdk. Jurgen Habermas, Fakti9itdt m d Geltung (Frankfurt a.M.: Suhrkamp, 1992), S. 450 2 Lih. E Budi Hardiman, Krirk Ideologi (Yogyakarta: Kanisius, 1990) dan E Budi Hardiman, Memju M a g n r o ~ n t K o ; n r i ~ i k a (Yogyakarta: Kanisius, 1993).

3 Lihat Jiirgen Habermas, Theone d a kom;nur~ikativen Haridelm, 1. Band (Frankfurt a.M.: Suhrkamp, 1995), S. 519. Jean Grondin mengkritik anggapan Habermas ini. Ia herpendapat bahwa fdsafat kesadaran tidak dilokalisasikan secara tepat oleh Habermas. Hampir setiap jenis filsafat di zarnau Yunani kuno dan di zaman Abad Pertengahan dapat digolongkan ke dalam kategori filsafat kesadaran p n g dimengerti Habermas ini. Lih. Grondin, "Hat Habermas die Subjektphliosophie verabschiedet?" in Al&ernei~ie Ze i t~chr$f i r Philosaphie, 1987, S. 28. 4 Bdk. Ibid., S. 522. 5 Ibid., S. 525. 6 Jurgen Habermas, Frikti7itdt imd G N % q (Frankfurt a.M.: Suhrkamp, 1993), S. 15. 7 Ibid, S. 11. 8 Sudah barang tenm struktur-struktur komunikasi di dalam ruang publik demokratis jauh lebih rumit daripada dalam proses pengadilan. Saya mengambil proses pengadilan ini sebagai model untuk memperjelas makna prosedur dengan sebuah contoh sederhana. 26 DIJKURI'UJ, Vol 7, N o . 1, ;SP11/2008:1-27 9 Jurgen Habermas, T/orst/,dien ~ I I ~ ~ E Q ~ I I ~ ~ ~ I I p r Thotie des ko~~~ut~i kat iuen Ha~idei~is (Frankfurt a. M.: Suhrkamp, 1995), S. 575. 10 Jurgen Habermas, Theorie der ko~n~~~rrikntiuen Handehs, 2. Band (Frankfurt a.M.: Suhrkamp, 1995), S. 192. 11 Lih. Ihid., S. 203 1 2 Jurgen Habermas, N a c h n i e t a p ~ ~ i ~ c b e s Dellken. Philosophisch Atfiiztxe (Frankfurt a.M.: Suhrkamp, 1992). S. 96. 13 Jurgen Habermas, Theoriedesko~nm~~nikatiuc~i Handehs, 2. Band. (Frankfurt a.M.: Suhrkamp,

1995), S. 223. 1 4 16id, S. 230 (penekanan d a d saya). 1 5 Jozef Keulartz, Die uerkeh~e lE'e/t des Jiirge8 Habermas (Hamburg, 1995), S. 24. 16 Lih. Jurgen Habermas, Theo~ie der Gese//schan/t oder So~ia/te~hiologie. 10.Aufl. (Frankfurt a.M.: Suhrkamp, 1990), S.115. 17 Bdk. Jurgen Habermas, Theorie des kon~~i i~ni kat iuen Handelns (Frankfurt a.M.: Suhrkamp, 1995), SS. 37-38. 18 Lh. Ibid, SS. 38-45. 4. 19 Jurgen Habermas, Erlauterungen .pr Diskur.refhik (Frankfurt a.M.: Suhrkamp, 1991), S.160. 20 Jurgen Habermas, ibfora/beiw~tsein snd kommmikatiuer Hand& 5.Aufl. (Frankfurt a.M.: Suhrkamp, 1992), S. 99. 21 Bdk. Thomas McCarthy, IdealeundI/h~sione>rr: Dekonhukfion r~ndRekonstwktion in derkritischen Tbeorie (Frankfurt a. M.: Suhrkamp, 1993), S. 45. 22 Jurgen Habermas, Mora/~ciur~tsein u n d h n ~ ~ ~ ~ i t i u e s Handeln (Frankfurt a.M., 5.Aufl., 1992), S.132. 23 Bdk. Simone Chambers, Rea;o~irih/e Demoracy: Juxen Haber~nas and the Poiihcs of Diicourre (Ithaca-London,l996), pp.l7$8 dan William Outhwaite, Habemas: A C~itica/ Introduction (Cambridge, 1994), p. 144. 24 Jiirgen Habermas, Moral6e1uu1tsein und koril,n~n:kafiues Handeh. 5,Aufl. (Frankfurt a.M.: Suhrkamp, 1992), S.132. 25 Ibid, S.131. 26 Lih. Ibid, S.113.

27 16id, S. 132. DAFTAR RUJUKAN Budi Hardiman, F. Kn'tik Ideologi. Yogyakarta: ICanisius, 1990, . ~WenzVu Mayarakat KomunikatiJ: Yogyakarta: Kanisius, 1993, Chambers, Simone. Reasonable Democrag: Jiirgen Habemas and the Pohtics of Discozcise. Ithaca-London: Cornell University Press, 1996. I' Grondin, Jean. "Hat Habe rma s die Subjektphilosophie verabschiedet?" i ' , , A/lgmeiize Zeitschtijtjir Philosophie, 1 987. I I: I Habermas, Jiirgen. ErLantermgen .pr Dirkzusethik. Frankfurt a.M.: Suhrkamp, . Faktixitat und Geltang. Beitrage xzir Diskurstheoiie des Rechts wnd des demokratischen Rechtsstaats. 3.Aufl.. Frankfurt a.M.: Suhrkamp, 1993. . MoralbetvaJtsein wnd kommunikatives Hancleln. 5.Aufl. Frankfurt a.M.: Suhrkamp, 1992. . Nachmetapbysisches Denken. PhilosophzscheAtrf.at~e. Frankfurt a.M.: Suhrkamp, 1992. . Theorie der GeselIschaft oderSoxiaItechnologie. 10.Aufl. Frankfurt a.M.: Suhrkamp, 1990. . Theorie des Kot~zmnnikativen Handelns. 2 Bd. Frankfurt a.M.: Suhrkamp, 1995. . Vorstudien und Erganxnngen 211- Theorie des komunikatiuen Handelns Frankfurt a. M.: Suhrkamp, 1995. Keulartz, Jozef. Die uerkehrte Welt des Jiirgen Habermas. Hamburg: WBG, 1995. McCarthy, Thomas. In'eale und Ilkisionen: Dekonstmktion and Rekonsfrnktion in

der kn'tischen Theorie. Frankfurt a. M.: Suhrkamp, 1993. Outhwaite, William. Habermas: A CriticalIntroduction. Cambridge: Polity Press,

Anda mungkin juga menyukai