Anda di halaman 1dari 8

MODERASI BERAGAMA DAN GEREJA

SEBAGAI KOMUNITAS TRIALEKTIS


Joas Adiprasetya, STFT Jakarta1

1. Moderasi Beragama: Proyek Kekuasaan?

“Moderasi beragama” telah menjadi tema penting bagi pemerintah beberapa tahun
belakangan. Kementerian Agama secara khusus menjadi penggerak proyek harmoni nasional
ini. Alasan dari pengarusutamaan moderasi beragama ini dapat dengan mudah ditebak, yaitu
menggelembungnya fanatisme, ekstremisme, dan radikalisme agama di Indonesia. Fenomena
ini tampaknya menjadi bagian dari kecenderungan yang sama pada level global, yang telah
menjadi pusat keprihatinan banyak bangsa lebih dari dua dekade belakangan. Proyek ini
kemudian secara konkret dituangkan ke dalam semacam buku panduan dengan judul
Moderasi Beragama.2
Setelah membaca buku ini secara cepat, saya harus mengatakan bahwa buku ini
menarik, cukup komprehensif, dan strategis. Akan tetapi, sama seperti proyek-proyek hidup
beragama lain yang dipioneri oleh pemerintah, semisal proyek toleransi umat beragama sejak
tahun 1970an, kita memahami bahwa pendekatan formal dari pihak penguasa terhadap
hidup bersama secara religius tidak akan dapat mengatasi seluruh problem antaragama di
Indonesia, selain akan muncul masalah-masalah lain yang tak perlu. Kita menengarai bahwa
cukup banyak masalah sosio-politis yang melibatkan relasi antaragama ternyata tak dapat
diselesaikan oleh negara. Selain itu, tak jarang kita mendengar bahwa aparatus negara justru
menjadi bagian dari permasalahan dan bukan solusi atas permasalahan antaragama di
Indonesia.
Jadi, selain apresiasi yang harus saya ajukan terhadap proyek Moderasi Beragama yang
dicetuskan oleh Kementerian Agama ini, saya harus mengusulkan sikap realistis agar kita
tidak terlalu bergantung padanya. Jika demikian, bagaimana kita dapat mendekati tema
moderasi beragama ini? Saya percaya proyek politik ini dapat sungguh-sungguh menjadi

1Joas Adiprasetya adalah profesor teologi di STFT Jakarta (jadiprasetya@gmail,com).
Makalah ini disampaikan sebagai keynote speech di dalam Seminar Nasional Agama, Teologi, dan
Humaniora (Semnas Agatha 2022), yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Agama Kristen
(STAK) Teruna Bhakti, Yogyakarta, pada tanggal 11 Januari 2022.
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama (Jakarta: Kementerian
2

Agama RI, 2019).

1
2

sebuah proyek teologis, jika tema yang diusung memang mengakar di dalam tradisi teologi
kita sendiri. Ia tidak akan banyak bermanfaat jika menjadi sebuah konsep asing yang
dicangkokkan ke dalam tubuh teologi Kristen. Sebaliknya, dengan mengklaim kehadiran
inherennya di dalam tradisi kita sendiri, kita dapat menyambut gagasan pemerintah ini
secara konstruktif.
Dengan demikian, pertanyaan yang perlu diajukan sejak awal Seminar Nasional ini
adalah apakah dapat ditemukan warisan teologis-filosofis dalam tradisi Kristen yang
menegaskan penting moderasi beragama? Untuk merespons pertanyaan mendasar ini, di
dalam sesi ini saya ingin berkontribusi dengan menyampaikan beberapa pokok pikiran awal.
Beberapa pokok pikiran tersebut mungkin akan terasa sporadis dan segmentaris, namun
kiranya dapat memberi beberapa wawasan awal bagi percakapan selanjutnya.

2. Moderasi: Beberapa Pertimbangan

Konsep moderasi sebenarnya sangat kuno mengakar di dalam tradisi filsafat Yunani,
khususnya Aristoteles, dan diteruskan di dalam teologi oleh Thomas Aquinas. Harus
dipahami bahwa bagi Aquinas, yang meneruskan Aristoteles, doktrin jalan tengah (the doctrine
of the mean) tidak sama persis dengan moderasi. Sementara moderasi kerap dipahami sebagai
keseimbangan di antara dua posisi yang berseberangan, ia tak jarang justru berlawanan
dengan pemahaman Aquinas mengenai jalan tengah. Bagi filsuf-teolog ini, doktrin jalan
tengah menempatkan seseorang pada situasi penuh kebajikan (virtue) di antara dua keburukan
(vices). Karena itu, menyikapi beberapa keburukan tertentu, tidak pernah ada moderasi.
Aristoteles, misalnya, mengatakan,
But not every action nor every passion admits of a mean; for some have names that already
imply badness, e.g. spite, shamelessness, envy, and in the case of actions adultery, theft,
murder; for all of these and suchlike things imply by their names that they are themselves
bad, and not the excesses or deficiencies of them … But as there is no excess and deficiency
of temperance and courage because what is intermediate is in a sense an extreme,
so too of the actions we have mentioned there is no mean nor any excess and deficiency, but
however they are done they are wrong; for in general there is neither a mean of excess and
deficiency, nor excess and deficiency of a mean. (NE, 1107a9-14, 22-26)

Jadi, bagi sang filsuf, tidak ada excess atau deficiency terkait dengan apa yang secara inheren
keliru dan karena itu pula tak boleh diusahakan moderasi. Jalan tengah hanya berlaku
sebagai usaha untuk menengahi excess dan deficiency. Aquinas mengikuti Aristoteles dalam hal
ini. Bagi Aristoteles, jalan tengah dapat menjadi sebuah kebajikan (virtues) jika “berkaitan
dengan pilihan, yang terletak di jalan tengah, yaitu jalan tengah yang terkait dengan kita, dan
hal ini ditentukan oleh akalbudi, dan dengan akalbudi itu orang yang bijaksana akan
menentukannya” (NE, 1106b36-1107a3). Aquinas memahami pula pentingnya akalbudi
3

sebagai penentu jalan tengah. Moderasi dapat menjadi sebuah kebajikan jika ia berbasis pada
jalan tengah yang rasional (medium rationis) (ST, I-II q. 64 a.2).
Tentu kita lebih panjang mempercakapkan problem moral ini. Namun cukuplah bagi
saya untuk menekankan beberapa aspek penting. Pertama, kita tidak dapat berargumen
bahwa semua sikap moderat selalu secara inheren bajik. Sikap bajik kerap muncul dalam
pilihan ekstrem untuk melawan posisi ekstrem yang lain. Sebaliknya, gagasan moderasi dapat
dengan mudah dipakai oleh mereka yang berada di dalam kekuasaan untuk menolak sikap
tegas dalam menolak kejahatan. Misalnya, atas nama moderasi beragama, kerap kali sikap
tegas menolak seksisme atau rasisme justru dianggap berlawanan dengan sikap beragama
yang moderat. Kita tentu mengingat kasus Ahok yang menunjukkan dengan jitu
berkelindannya kekuasaan dan hasrat menciptakan moderasi beragama, hingga proses
peradilan justru berjalan tidak adil.
Kedua, patut disadari sepenuhnya bahwa penentuan moderasi juga problematis jika kita
bertanya, siapa yang memiliki privilege untuk menentukan apa yang disebut seimbang atau
moderat? Kita perlu terus mengingat gagasan jalan tengah Aquinas dan Aristoteles yang
menekankan pentingnya akalbudi untuk menentukannya dan apa yang sesuai dengan situasi
tertentu yang tengah kita hadapi. Singkatnya, selalu terdapat aspek kepatutan rasional dan
kesesuaian kontekstual yang menentukan posisi jalan tengah yang kita ambil. Misalnya, tidaklah
patut secara rasional untuk bersikap marah secara berlebihan pada anak tetangga yang
mencuri sebutir buah mangga di halaman rumah kita. Juga, tidaklah patut secara rasional
untuk tidak bersikap marah besar pada pengeboman rumah ibadah tertentu oleh kelompok
teroris yang mengatasnamakan agama lain.
Ketiga, dan tampaknya justru secara teologis lebih penting, kita perlu memahami bahwa
moderasi kerap menjadi bahasa mayoritas dan penguasa. Celakanya bahasa politis tersebut
kerap dipaksakan bagi kelompok-kelompok lain yang minoritas. Studi mengesankan dari
Rosemary Corbett menunjukkan bagaimana Islam di Amerika Serikat berada di bawah
tekanan untuk menciptakan sejenis Islam yang moderat agar dapat terasimilasi ke dalam
kultur liberal dan kapitalis Amerika Serikat.3 Ia menandaskan bahwa orang-orang Muslim
yang mampu mengabdi bagi Amerika secara finansial akan dapat hidup “lebih Amerika” dan
dengan demikian, proses ini
will replicate power dynamics at work decades earlier, when marginalized Catholics and
Jews gained provisional acceptance by taking up the physical (and often financial) burden of
providing community services to those disenfranchised and dispossessed by America’s
unequal laws and institutions.4


3 Rosemary R. Corbett, Making Moderate Islam: Sufism, Service, and the “Ground Zero Mosque”
Controversy, RaceReligion Series (Stanford, CA: Stanford University Press, 2017).
4 Ibid., 208.
4

Lantas, bagaimana dengan kelompok-kelompok Kristen yang sejak awal merupakan


minoritas? Secara biblis-teologis, tersedia bagi kita sebuah undangan untuk
mengartikulasikan sebuah gaya hidup radikal (mengakar) dan ekstrem (keluar dari arus
utama) yang kontra-budaya (countercultural)—sebuah gaya hidup yang terfokus pada Kerajaan
Allah itu sendiri, bukan kerajaan dunia. Bukankah, bagi model hidup yang semacam ini,
moderasi beragama justru menjadi sebentuk mediokritas, yang sama buruknya dengan
hipokritas? Jika komunitas Kristen berada di dalam pertarungan antara Kerajaan (Allah) dan
anti-Kerajaan, maka tak ada jalan tengah untuk mengambil sikap moderasi beragama.5

3. Komunitas Trialektis

Fokus saya pada sesi ini ada pada kehidupan gereja sebagai sebuah komunitas iman di
tengah undangan moderasi beragama. Mengapa eklesiologi menjadi fokus penting dalam
percakapan ini? Tak lain karena moderasi beragama adalah tema sosial yang terarah pada
bagaimana agama-agama hidup bersama-sama di dalam ruang publik yang sama. Agama-
agama ditantang untuk memaknai secara teologis ruang bersama itu dan perjumpaan-
perjumpaan yang terjadi di sana. Pada titik inilah, moderasi beragama tampak menjadi
sebuah alternatif publik yang menarik untuk disimak.
Saya sudah menyampaikan beberapa pemikiran yang semoga membuat pembaca semua
tidak serta-merta menerima moderasi beragama sebagai sebuah konsep yang serba-baik dan
tanpa-cela. Jelas, terdapat banyak problem moral, bahkan teologis, di dalamnya. Namun,
tidak juga berarti bahwa kemudian konsep ini harus ditolak dengan segera. Sebab, ada
banyak kelebihan dan keunggulan dari konsep moderasi beragama yang sungguh patut untuk
kita pertimbangkan. Untuk itu, pada bagian terakhir ini, saya akan berusaha meninjaunya
secara lebih konstruktif.
Satu catatan penting agar konsep moderasi beragama dapat sungguh hidup adalah
dengan menegaskan bahwa kebajikan moderasi tersebut harus dihidupi oleh akar-rumput.
Gereja lokal adalah aktor utama untuk menghidupi moderasi beragama tersebut. Sebab,
tanpa kesadaran ini, ia hanya akan menjadi sebuah proyek politis negara yang sarat dengan
banyak kemungkinan penyelewengan.


5 Istilah anti-Kingdom ditawarkan oleh Jon Sobrino, Jesus the Liberator: A Historical-Theological
Reading of Jesus of Nazareth (Tunbridge Wells: Burns & Oates, 1994).
5

Asumsi dasar yang perlu kita pegang adalah bahwa gereja lokal itu sendiri merupakan
sebuah ruang publik, demikian William Placher menandaskan, setepatnya karena tiga
wataknya: diskursif secara rasional, kolektif secara
spasial, dan responsif secara kontemporer.6 Ketiga
watak ini tampaknya berkorelasi secara pas
dengan tiga dimensi dari keterlibatan publik yang
diusulkan oleh The Lutheran World Federation
dalam dokumen studinya, “The Church in the
Public Space.” Ketiga dimensi tersebut adalah
gagasan, praktik, dan struktur.7
Lebih lanjut, berlangsunglah sebuah diskusi
yang sangat luarbiasa antara empat filsuf sosial
kontemporer perihal kehadiran agama di dalam
ruang-ruang publik, yaitu Judith Butler, Jürgen Habermas, Charles Taylor, dan Cornel
West.8 Secara khusus saya ingin mengadopsi tiga konsep penting dari Habermas, West, dan
Butler, yaitu masing-masing translatability, propheticity, dan cohabitation. Ketiganya tampak
secara umum berkorelasi pula dengan tiga watak gereja sebagai ruang publik dari Placher
dan tiga dimensi keterlibatan publik dari LWF di atas.

WATAK (PLACHER) DIMENSI (LWF) FILSAFAT


Diskursif secara rasional Gagasan Translatability (Habermas)
Responsif secara kontemporer Praktik Propheticity (West)
Kolektif secara spasial Struktur Cohabitation (Butler)

a. Translatability (Gagasan)
Jürgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog asal Jerman, percaya bahwa gagasan-
gagasan keagamaan di dalam ruang publik yang majemuk, termasuk Kekristenan,
membutuhkan penerjemahan ke dalam “bahasa” yang lebih umum jika kita berharap
gagasan-gagasan tersebut dapat membawa kemaslahatan yang lebih luas. Misalnya,
bagaimana gagasan ideal Kristen tentang “kerajaan Allah” atau “gambar Allah” dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa yang dapat dipahami oleh publik yang lebih luas?


William C. Placher, “Revisionist and Postliberal Theologies and the Public Character of
6

Theology,” The Thomist: A Speculative Quarterly Review 49, no. 3 (1985): 407.
7 Department for Theology and Public Witness, The Church in the Public Space: A Study Document
of the Lutheran World Federation (LWF, 2016), 31–33.
Eduardo Mendieta and Jonathan VanAntwerpen, eds., The Power of Religion in the Public Sphere
8

(New York: Columbia University Press, 2011).


6

Tentu saja proyek translatability ini tampak ideal jika dikerjakan di dalam sebuah atmosfer
diskursif yang egaliter dan demokratis. Namun, bagaimana jika bahasa yang lebih umum
tersebut telah digenangi oleh bahasa partikular dari salah satu agama yang dominan?
Dengan kata lain, bagaimana mungkin terjadi percakapan yang bebas dan membebaskan
jika “lapangan permainan” yang dipakai sama sekali tak rata? Atau, jika pun sebuah konsep
religius telah diterjemahkan ke dalam bahasa publik yang lebih umum, tidak lantas dapat
dipastikan munculnya univokalitas makna dari konsep tersebut. Sebagai contoh, ketika
seorang Kristen atau sebuah jemaat melemparkan gagasan mengenai “keadilan,” maka ia
belum tentu bermakna sama dengan apa yang dipahami secara umum oleh masyarakat atau
secara khusus untuk komunitas-komunitas lainnya.9
Konsep translatabilitas ini menarik untuk didiskusikan dalam kaitan dengan moderasi
beragama. Misalnya, translatabilitas mengandaikan prinsip mediasi agama, yang menjadi
elemen penting bagi moderasi beragama. Moderasi bukanlah terkait dengan mediokritas serba-
tanggung, namun soal dialog antarkomunitas yang termediasi secara rasional. Riset-riset
selanjutnya dibutuhkan untuk tema ini.

b. Propheticity (Praktik)
Bagi Cornel West, filsuf-teolog kulit hitam asal Amerika Serikat ini, agama dapat
menjadi ruang publik ketika ia menjadi agama yang profetis, yaitu agama yang terlibat,
mengambil risiko, memampukan munculnya kebajikan-kebajikan, dan bahkan membayar
harga untuk semua itu. Dengan cara itu, agama menjadi penyaksi kebenaran. Agama profetis
tidak ingin tampil secara publik untuk membangun konsensus; ia hadir untuk menantang
kejahatan dan ketidakadilan. Dengan cara itulah, gereja lokal menjadi komunitas yang peka
pada isu-isu kontemporer di dalam masyarakat dan di dalam dirinya sendiri sebagai ruang
publik. Sebab, kerap kali kejahatan yang ditantangnya itu muncul di dalam komunitas iman
itu sendiri.
Jika Habermas menampilkan peran agama sebagai “imam” yang mengantarai entitas-
entitas yang berbeda dengan mengalihbahasakan perbedaan-perbedaan, West puas dengan
perbedaan-perbedaan tersebut dan justru melihatnya sebagai ruang bagi agama untuk
menjalankan identitasnya sebagai “nabi.”
Dalam kaitan dengan moderasi beragama, profetisitas gereja menegaskan bahwa wajah
moderat kekristenan tidak menghilangkan radikalitas pesan profetisnya. Sebagai milik Allah

9 Saya tidak akan membahas isu yang sangat kompleks ini di sini. Cukuplah untuk
menegaskan pentingnya isu translatability dalam percakapan kita mengenai jemaat sebagai sebuah
ruang publik yang ingin mengkomunikasikan gagasan-gagasannya ke ruang publik yang lebih luas.
Lihat ulasan saya di “Alasdair MacIntyre and Martha Nussbaum on Virtue Ethics,” Diskursus: Jurnal
Filsafat dan Teologi STF Driyarkara 15, no. 1 (April 1, 2016): 1–22.
7

Tritunggal, gereja tak boleh mengkompromikan panggilannya untuk terus menyuarakan


kebenaran, kebaikan, dan keindahan ilagi bagi dunia yang berdosa ini.

c. Cohabitation (Struktur)
Dengan latar belakang tradisi diaspora Yahudi, Judith Butler memahami kehadiran
agama sebagai dan di dalam ruang publik sebagai penciptaan kehidupan bersama
(cohabitation). Ia percaya bahwa menghidupi bumi bersama muncul sebelum lahirnya
komunitas dan bangsa. Ia berkata, “Kita mungkin memilih di mana kita hidup, dan hidup
sebagai siapa, namun kita tidak dapat memilih dengan siapa kita menghidupi bumi bersama-
sama.”10
Panggilan untuk hidup bersama itu mengarah pada penciptaan struktur-struktur baru
yang lebih manusiawi. Jika bagi West ruang publik menjadi situs pertengkaran dengan
keadilan, bagi Butler ruang publik menjadi situs kehidupan baru. Bagi Butler, “Kita tak
hanya hidup dengan mereka yang tak pernah kita pilih, dan dengan mereka yang tak pernah
kita rasanya memiliki rasa memiliki sosial yang sama, namun kita juga wajib menjaga
kehidupan-kehidupan tersebut dan kemajemukan yang ikut mereka bentuk.”11
Maka, jelaslah, wajah gereja yang menjadi implikasi dari gagasan Butler adalah gereja-
sahabat dan bukan hanya gereja-imam (Habermas) atau gereja-nabi (West). Pada titik ini,
moderasi beragama mengandaikan sebuah ruang persahabatan yang mengundang gereja
dan komunitas-komunitas iman non-Kristen lain untuk merayakan kehidupan bersama
dalam relasi saling menghargai dan saling memekarkan.

WATAK (PLACHER) DIMENSI (LWF) FILSAFAT GEREJA


Diskursif rasional Gagasan Translatability (Habermas) imam
Responsif kontemporer Praktik Propheticity (West) nabi
Kolektif spasial Struktur Cohabitation (Butler) sahabat

Sumber-Sumber

Adiprasetya, Joas. “Alasdair MacIntyre and Martha Nussbaum on Virtue Ethics.” Diskursus:
Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara 15, no. 1 (April 1, 2016): 1–22.

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Moderasi Beragama. Jakarta: Kementerian
Agama RI, 2019.


Judith Butler, “Is Judaism Zionism?,” in The Power of Religion in the Public Sphere, ed. Eduardo
10

Mendieta and Jonathan VanAntwerpen (New York: Columbia University Press, 2011), 84.
11 Ibid.
8

Butler, Judith. “Is Judaism Zionism?” In The Power of Religion in the Public Sphere, edited by
Eduardo Mendieta and Jonathan VanAntwerpen, 70–91. New York: Columbia
University Press, 2011.

Corbett, Rosemary R. Making Moderate Islam: Sufism, Service, and the “Ground Zero Mosque”
Controversy. RaceReligion Series. Stanford, CA: Stanford University Press, 2017.

Department for Theology and Public Witness. The Church in the Public Space: A Study Document of
the Lutheran World Federation. LWF, 2016.

Mendieta, Eduardo, and Jonathan VanAntwerpen, eds. The Power of Religion in the Public Sphere.
New York: Columbia University Press, 2011.

Placher, William C. “Revisionist and Postliberal Theologies and the Public Character of
Theology.” The Thomist: A Speculative Quarterly Review 49, no. 3 (1985): 392–416.

Sobrino, Jon. Jesus the Liberator: A Historical-Theological Reading of Jesus of Nazareth. Tunbridge
Wells: Burns & Oates, 1994.

Anda mungkin juga menyukai