Disusun Oleh :
1. Rizky Maulana (51221970)
2. Feny Oktavia (51221952)
i
Kata Pengantar
Walaupun demikian, sudah tentu makalah ini masih terdapat kekurangan dan
masih belum bisa dikatakan sempurna karena keterbatasan kamampuan kami. Oleh karena itu
jika ada saran dan kritik yang memungkinkan bersifat membangun dari semua pihak kami
harapkan agar dalam pembuatan makalah diwaktu yang akan datang bisa menjadi lebih baik
lagi.
Harapan kami semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang
membacanya
Penyusun
ii
Daftar Isi
Kata Pengantar...........................................................................................................................ii
Daftar Isi...................................................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan.....................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................1
1.3 Tujuan..........................................................................................................................1
Bab II Pembahasan.....................................................................................................................2
2.1 Riwayat dan Perjalanan Hidup Jurgen Habermas.......................................................2
2.2 Asumsi-asumsi Dasar menuju Dasar Menuju Metodologi Kritik Sosial....................5
2.3 Epistemologi Sosial...................................................................................................10
Bab III Penutup........................................................................................................................14
Kesimpulan...........................................................................................................................14
Daftar Pustaka..........................................................................................................................15
iii
Bab I
Pendahuluan
1.3 Tujuan
Dapat mengetahui bagaimana perjalanan hidup seorang ahli filsafat yaitu
Jurgen Habermas
Lebih faham jelas tentang asumsi dasar dalam menuju metodologi kritik social
Mengerti dengan arti Epistemologi Sosial
1
Bab II
Pembahasan
Satu hal yang penting dalam memahami posisinya sebagai pemikir marxis
adalah peranannya di kalangan mahasiswa Frankfrut. Seperti halnya Adorno dan
Hokheimer, Habermas melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa kiri
Jerman (new left), meskipun keterlibatannya hanya sejauh sebagai seorang
pemikir Marxis. Ia terutama menjadi popular di kalangan kelompok yang
menamakan dirinya Sozialistischer Deutsche Studentenbund (Kelompok
Mahasiwa Sosialis Jerman). Dalam hal ini ia mendapat reputasi sebagai pemikir
baru yang diharapkan dapat melanjutkan tradisi pemikiran Horkheimer, Adorno
dan Marcuse. Namun sejak tahun 1970-an, hubungan baiknya dengan gerakan ini
2
mengendur sejak gerakan ini mulai melancarkan aksi-aksi dengan cara kekerasan
yang tidak dapat ditolerir, seperti para pendahulunya, Hebermas juga melontarkan
kritikannya kepada gerakan-gerakan itu, ia mengecamnya sebagai gerakan
“revolusi Palsu”, “bentuk-bentuk pemerasan yang diulangi kembali”, “Picik” dan
kontraproduktif. Namun Konfontrasi itu agaknya membuka tahapan baru dalam
posisi Habermas sebagai pemikir neo-Marxis.
Habermas merebut perhatian tahun 1953, ketika ia menulis resensi buku filsuf
terkemuka Jerman Martin Heiddegger "Pengantar Metafisika" di harian terkemuka
Frankfurter Allgemeine Zeitung (FAZ). Habermas muda dengan tegas mengecam
sikap Heidegger yang menurutnya masih tetap mendukung ideologi biadab rezim
Nazi dan Adolf Hitle. Sejak muda, gagasan-gagasan Habermas memang selalu
menolak fanatisme dan konflik. Dia berusaha memecahkan "peperangan-
peperangan besar" melalui dialog, yang akhirnya bermuara pada karya utamanya:
"Theorie des komunikativen Handelns" (Teori Tindakan Komunikatif) yang dirilis
tahun 1981. Dalam bukunya dia mengulas pemikir-pemikir besar seperti George
Herbert Mead, Max Weber, Emile Durkheim, Talcott Parsons, Georg Lukacs dan
Theodor W. Adorno.
3
bahwa cara-cara "polarisasi dengan segala cara", yang sering digunakan kelompok-
kelompok mahasiswa adalah "strategi yang membawa sengsara". Banyak aktivis
kiri yang kemudian mengambil jarak dari Habermas karena posisi itu.
Merebut ruang dialog dan komunikasi
Sampai usia lanjut, Habermas masih sering terlibat dalam polemik dan debat
tentang etika dan kebebasan. Namun dia tetap setia pada kredonya menolak
kekerasan dan menawarkan solusi integratif melalui dialog dan komunikasi.
Namun Habermas mengikuti perubahan masyarakat selalu dengan sikap kritis.
Ketika Jerman dilanda eforia reunifikasi tahun 1990-an, Habermas mengeritik
prosedur penyatuan Jerman yang disebutnya "proses administrasi yang hanya
dipusatkan pada imperatif ekonomi". Ketika di Jerman muncul diskusi mengenai
pembatasan hak-hak suaka, Habermas mengecam gagasan-gagasan dan
argumentasi yang dikemukakan sebagai "mentalitas chauvinisme kemakmuran".
Sejak 1997 Jürgen Habermas mengurus jurnal bulanan "Blätter für deutsche
und internationale Politik". Tahun 2007 dia membuka konferensi di Roma tentang
"Agama dan Masyarakat Post-Sekular". Dia beberapa kali terlibat diskusi dengan
wakil-wakil gereja mengenai Posisi Agama dan Sistem Etika Masyarakat dan
memperingatkan dampak-dampak buruk kapitalisme serta pentingnya membela apa
yang disebutnya "barang langka Solidaritas" yang dia katakan bisa punah jika tidak
dipertahankan dengan segala daya.
Karya terakhir Jürgen Habermas yang akan terbit akhir tahun ini "Agama dan
Pengetahuan" tampaknya memang melanjutkan pemikiran-pemikiran dan cita-cita
yang sudah diembannya sejak muda. Yaitu bagaimana menghentikan konflik,
kekerasan dan perang, dan mengintegrasikan masyarakat yang makin heterogen
dan kompleks dalam sebuah sistem nilai yang tetap menjamin tumbuhnya
kebebasan, solidaritas dan komunikasi yang langgeng.
4
2.2Asumsi-asumsi Dasar menuju Dasar Menuju Metodologi
Kritik Sosial
Masalah yang mengemuka dalam filsafat sosial dan politik terkait dengan
hakikat suatu kajian filsafat tercermin dalam pertanyaan-pertanyaan: Apa peran
yang semestinya dilakukan oleh ‘rasio’ dalam refleksi-refleksi abstrak tentang
masyarakat? Apakah suatu teoritisasi atas dasar suatu perspektif yang tidak
memihak dan netral tentang masyarakat itu mungkin? Ataukah teoritisasi yang
ada ini hanyalah sebuah permukaan dari suatu pemikiran yang sesungguhnya bias
dan ditujukan hanya untuk kepuasan diri sendiri? (Christman, 2002: 1).
Pergeseran pemahaman aspek ‘teoritis’ dan ‘praktis’ dari teori terjadi secara
gradual. Akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut pada akhirnya
membawa pada situasi ‘keberjarakan’ antara kajian politik klasik dengan realitas
sosial dewasa ini. Pendekatan klasik terhadap politik menjadi sesuatu yang asing
bagi kita (Habermas, 1973: 42). Politik dan perangkat teori sosial yang
mendukungnya menjadi sesuatu yang ‘jauh’, karena kecenderungan yang kuat
adanya penekanan pada aspek normatif, dan juga terjadi proses marginalisasi
klaim-klaim pengetahuan yang mendasari putusan politik dengan menyatakannya
sebagai jenis pengetahuan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
epistemologis. Akibatnya, bila dicermati perkembangan yang terjadi dewasa ini
pada dunia ‘politik’, jarak kajian ilmiah terhadap ‘dunia praksis’ nampak menjadi
semakin lebar.
5
multikultural (Christman, 2002: 2). Pengandaian-pengandaian sebagaimana
muncul dalam ‘politik demarkasi’ yang mengandaikan adanya kotak-kotak
komunitas homogen yang membingkai individu-individu, menjadi sebuah
pengandaian yang secara kognitif dan normatif mengingkari realitas. Pluralitas
menjadi bagian dari karakter sosial yang meski diterima dan dijadikan bagian dari
bangunan analisis dan konstruksi social.
Jürgen Habermas yang lahir pada tahun 1929 adalah pemikir kontemporer
yang mencurahkan usahanya untuk menjawab persoalan-persoalan dasar di atas
melalui dan berpijak dari suatu tradisi yang disebut Teori Kritis. Teori Kritis yang
dipahami sebagai ‘teori sosial yang dikonsepsikan dengan intensi praktis’,
merupakan buah pikiran yang muncul dari refleksi yang luas tentang hakikat
pengetahuan, struktur penelitian sosial, dasar normatif interaksi sosial,
dantendensi-tendensi politis, ekonomis, dan sosio-kultural dari jaman ini
(McCarthy, 1978: 1). Habermas juga dinilai sebagai seorang teoritikus
neomarxian, yang pada tahun-tahun awal karirnya dia secara langsung sudah
diasosiasikan dengan Madzab Kritis. Sekalipun dia memberikan sumbangan
penting pada Teori Kritis, selama bertahun-tahun dia menggabungkan teori
marxian dengan banyak masukan teori yang lain dan menghasilkan serangkaian
gagasan teoritis yang sangat khas (Ritzer, 2003: 132). Habermas adalah juru
6
bicara yang paling kuat dan berpengaruh sekarang ini dari tradisi Madzab
Frankfurt (Miller, 2002: 64).
Dia telah membuat kajian yang paling khusus tentang komitmen epistemologis
dari teori kritis sebagaimana terlihat dalam upaya dia untuk mengembangkan
lebih lanjut garis pemikiran yang telah dibuat oleh pemikirpemikir Madzab
Frankfurt. Habermas tertarik untuk menunjukkan adanya kaitan antara kekuasaan
dan pengetahuan dengan memaparkan suatu ‘politik epistemologi’ (Mumby
dalam Miller, 2002: 66). Teori Habermas mengungkapkan kebutuhan
epistemologis dan etis bagi adanya suatu komitmen pada sebagian pemikir untuk
secara kritis merefleksikan keyakinan-keyakinan pribadi dan sosialnya (Endres,
1996: 1). Arah aksiologis yang demikian kiranya mampu Jurnal Edueksos Vol III
No 2, Juli- Desember 2014 151 menjawab kebutuhan pengembangan ilmu sosial
dan juga ilmu humaniora, terlebih ilmu-ilmu humaniora memiliki kesulitan
metodologis khusus yang meski juga diatasi, yakni bahwa pada ilmu-ilmu
humaniora secara umum, dan khususnya pada filsafat, tidak terdapat sebuah
‘metode’ yang melindungi dari kemungkinan terjadi kekeliruan ‘metodologis’
sebagaimana misalnya jika dibandingkan dengan metode yang terdapat pada
ilmu-ilmu eksperimental dan statistik (Christman, 2002: 9)
Teori kritis sendiri merupakan teori yang tidak berkaitan dengan prinsip- prinsip
umum, tidak membentuk sistem inspirasi. Teori ini berupaya memberikan
pemahaman buat melepaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian guna
teori ini merupakan emansipatoris. Karakteristik teori ini merupakan:
b) Teori kritis berpikir secara historis, maksudnya berpijak pada proses warga
yang historis. Dengan kata lain teori kritis berakar pada sesuatu suasana
pemikiran serta suasana social tertentu, misalnya material- ekonomis.
c) Teori kritis tidak menutup diri dari mungkin tumbangnya teori dalam sesuatu
wujud ideologis yang dipunyai oleh struktur bawah warga. Inilah yang terjalin
pada pemikiran filsafat modern. Bagi Madzhab Frankfurt, pemikiran tersebut
sudah berganti jadi pandangan hidup kam kapitalis. Teori wajib
memilikikekuatan, nilai serta kebebasan untuk mengkritik dirinya sendiri serta
menjauhi mungkin buat jadi pandangan hidup.
7
d) Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktek, pengetahuan dari aksi, dan
rasio teoritis dari rasio instan. Butuh digarisbawahi kalau rasio instan tidak boleh
dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang cuma memperhitungkan
perlengkapan ataupun fasilitas semata. Madzhab Frankfurt menampilkan kalau
teori ataupun ilmu yang leluasa nilai merupakan palsu. Teori kritis wajib
senantiasa melayani transformasi instan warga.
Pada dasarnya Teori Kritis Aliran Frankfurt mau memperjelas struktur yang
dipunyai oleh warga pasca industri dan memandang akibat- akibat struktur
tersebut dalam kehidupan manusia dan kebudayaan secara rasional. Teori Kritis
mau menarangkan ikatan manusia dengan bertolak dari uraian rasio instrumental.
Teori Kritis mau membangun teori yang mengkritik struktur dan konfigurasi
warga aktual selaku akibat dari sesuatu uraian yang galat tentang rasionalitas.
Frankfurt School ialah sebutan terkenal buat menyebut kelompok cendekiawan
yang terhimpun dalam Frankfurt Institute of Sosial Reaseach yang berpusat di
Universitas Frankfurt Jerman. Lembaga ini didirikan oleh Felix J. Weil pada
bertepatan pada 3 Februari 1923 serta menemukan sokongan dari sekelompok
intelektual Marxian yang berlatarbelakang bermacam disiplin ilmu pengetahun.
8
semacam robot. Teori yang berupaya dibentuk oleh Madzhab Frankfurt mau
membebaskan kehidupan dari model cara berpikir positivisme( rasionalitas
instrumental) dimana terjalin penjajahan dunia kehidupan( labenswelt) oleh
sistem. Berangkat dari paradigma di atas hingga Madzhab Frankfurt lebih
menekankan kajiannya pada perkara kultural. Mereka berkeyakinan kalau
ramalan Marx tentang hendak hancurnya system kapitalisme tidak hendak
terbukti. Karena kapitalisme sudah mengkonsolidasikan dan meningkatkan
mekanisme efisien semacam pemenuhan hak- hak pekerja secara lebih sepadan,
sehingga revolusi sosial yang hendak menghancurkan kapitalisme tidak hendak
terjalin.
Bentuk penindasannya juga tidak dengan metode raga melainkan sangat halus
sehingga kalangan pekerja menganggapnya selaku sesuatu yang wajar. Atas
bawah pertimbangan itu hingga para eksponen madzhab Frankfurt alihkan
perhatiannya dari analisis ekonomi kapitalistik ke kritik atas pemakaian rasio
intrumental pada warga modern. Bagi Madzhab Frankfurt, rasio instrumental
sudah menciptakan budaya industri( culture industry) yang sudah membatasi
pertumbuhan orang secara otonom. Penindasan yang dicoba oleh budaya industri
lebih dominan dari hanya dominasi ekonomi. Adorno serta Hokheimer berkata
dalam Dialectical Imagination kalau budaya industri sudah membuat manusia
tereifikasi. Manusia jadi semacam robot yang dideterminasi oleh iklan yang
ditampilkan oleh media massa. Manusia tidak lagi mempunyai kebebasan buat
memilah lagi sebab seluruhnya sudah didetetapkan, distandarkan oleh budaya
industri.
Kostumer tidak lagi jadi raja, tidak lagi jadi subjek, tetapi jadi budak serta
objek. Sedangkan itu dalam analisis Herbert Marcuse, rasionalitas instrumental
serta kungkungan industri budaya yang demikian massif sudah menjadikan
manusia jadi manusia satu ukuran(one dimensional man). Nyaris seluruh
eksponen Mazhab Frankfurt pesimis terhadap budaya massa. Nada pesimis
Marcuse lebih nampak dalam analisanya terhadap budaya massa yang
ditampilkan oleh media massa: The means of... communication..., the irresistible
output of the entertainment and information industry carry with them prescribed
attitudes and habits, certain intellectual and emotional reactions which bind the
consumers... to the producers and, through the latter to the whole[sosial system].
9
2.3Epistemologi Sosial
Epistemologi sosial mengacu pada serangkaian pendekatan luas yang dapat
diambil dalam epistemologi (studi tentang pengetahuan ) yang menafsirkan
pengetahuan manusia sebagai pencapaian kolektif. Cara lain untuk mencirikan
epistemologi sosial adalah sebagai evaluasi dimensi sosial dari pengetahuan atau
informasi.
Sebagai bidang penyelidikan dalam filsafat analitik , epistemologi sosial
berurusan dengan pertanyaan tentang pengetahuan dalam konteks sosial, yang berarti
bahwa atribusi pengetahuan tidak dapat dijelaskan dengan memeriksa individu secara
terpisah satu sama lain. Topik paling umum yang dibahas dalam epistemologi sosial
kontemporer adalah kesaksian (misalnya "Kapan keyakinan bahwa x benar yang
dihasilkan dari diberitahu 'x benar' merupakan pengetahuan?"), ketidaksepakatan
teman sebaya (misalnya "Kapan dan bagaimana saya harus merevisi keyakinan dalam
terang orang lain yang memegang keyakinan yang bertentangan dengan saya?"), dan
epistemologi kelompok (misalnya "Apa artinya menghubungkan pengetahuan dengan
kelompok daripada individu, dan kapan atribusi pengetahuan seperti itu sesuai?").
Epistemologi sosial juga mengkaji pembenaran sosial atas kepercayaan.
Salah satu kesulitan abadi dalam mendefinisikan "epistemologi sosial" yang
muncul adalah upaya untuk menentukan apa arti kata "pengetahuan" dalam konteks
ini. Ada juga tantangan untuk mencapai definisi "sosial" yang memuaskan para
akademisi dari berbagai disiplin ilmu. Ahli epistemologi sosial mungkin bekerja di
banyak disiplin ilmu humaniora dan ilmu sosial , paling sering
dalam filsafat dan sosiologi . Selain menandai gerakan yang berbeda
dalam epistemologi tradisional dan analitik , epistemologi sosial dikaitkan dengan
bidang studi sains dan teknologi interdisipliner (STS).
Sejarah Istilah
Pertimbangan dimensi sosial pengetahuan dalam kaitannya dengan filsafat
dimulai pada 380 SM dengan dialog Plato: Charmides . Dialog ini termasuk
pemikiran Socrates tentang apakah seorang pria mampu memeriksa apakah klaim pria
lain dia tahu sesuatu itu benar atau tidak. Di dalamnya ia mempertanyakan tingkat
kepastian yang dimiliki oleh seorang yang tidak profesional di suatu bidang terhadap
klaim seseorang sebagai spesialis di bidang yang sama. Charmides juga
mengeksplorasi kecenderungan visi utopis tentang hubungan sosial merosot menjadi
fantasi distopia. Karena eksplorasi ketergantungan pada tokoh-tokoh otoritatif
merupakan bagian dari studi epistemologi sosial, hal itu menegaskan keberadaan
ideologi dalam pikiran jauh sebelum diberi label.
Pada tahun 1936, Karl Mannheim mengubah teori ideologi Karl Marx (yang
menafsirkan aspek "sosial" dalam epistemologi sebagai sifat politik atau sosiologis)
menjadi analisis tentang bagaimana masyarakat manusia berkembang dan berfungsi
dalam hal ini . Secara khusus, analisis Marxis ini mendorong Mannheim untuk
menulis Ideology and Utopia, yang menyelidiki sosiologi pengetahuan klasik dan
konstruksi ideologi.
Istilah "epistemologi sosial" pertama kali diciptakan oleh ilmuwan
perpustakaan Margaret Egan dan Jesse Shera pada 1950-an. Istilah ini digunakan
oleh Robert K. Merton dalam artikel tahun 1972 di American Journal of
Sociology dan kemudian oleh Steven Shapin pada tahun 1979. Namun, baru pada
tahun 1980-an pengertian "epistemologi sosial" saat ini mulai muncul.
10
“The Objectivity of knowledge is structurally depemdent on the intersubjective
conditions of its communicabilit” (Habermas, 2001: 44). Bagi Habermas masalah dasar
filsafat modern adalah : bagaimana pengetahuan (Erkenntnis) yang memadai itu
mungkin, yang implikasinya berimbas pada adanya suatu demarkasi merafisis, yang
ketika demarkasi itu berlaku pada ilmu menimbulkan anggapan normatif bahwa ilmu
memiliki tempat serasinya yang sah hanya jika berlandaskan pengetahuan filosofis
yang tegas (Habermas, 1971:3).
Kajian filsafat sosial sebagaimana disajikan dalam Theory and Praxis dimaksudkan
oleh Habermas sebagai sebuah upaya untuk membuat suatu teori ilmu yang dapat
dilihat dengan jelas, sebuah teori yang dimaksudkan mampu untuk merangkum secara
sistematis syarat-syarat penyusunan ilmu dan penerapannya (Habermas, 1973: 7). Oleh
karenanya, bagi Habermas setiap diskusi tentang syarat-syarat pengetahuan yang
mungkin, saat sekarang, meski mulai dari posisi yang dihasilkan oleh filsafat ilmu. Kita
tidak dapat lagi secara langsung kembali pada dimensi pengkajian epistemologis
Teori Materialisme Historis melihat teori itu sendiri sebagai suatu momen katalis
yang niscaya dalam kompleks sosial kehidupan yang dianalisanya, dan kompleksitas ini
dianalisis oleh teori itu sebagai interkoneksi integral dari keharusankeharusan, dari
sudut pandang sublatif (pelenyapan dengan suatu pemindahan secara logis urutan atau
proses yang berikutnya, demikian seterusnya) (Habermas, 1973: 1-2).
Berbeda dengan doktrin tentang Hukum Kodrat dalam teori-teori politik klasik,
filsafat sosial modern dapat menyatakan klaim-klaimnya tentang masyarakat dalam
status yang ‘lebih baik’ dengan secara serius mengambil sudut pandang ilmiah. Hal
tersebut dilakukan hanya dengan melalui suatu pemisahan hubungan filsafat sosial
dengan unsur-unsur pengalaman yang dipertahankan oleh filsafat praktis. Filsafat
sosial, dengan mengambil bentuk monologis, tidak lagi mampu secara hakiki dikaitkan
dengan praksis, namun hanya melulu terkait dengan tindakan yang terarah pada tujuan
(goal-directed purposive action) yang diarahkan oleh rekomendasi-rekomendasi teknis-
sosial.
11
Dalam kerangka yang demikian, Materialisme Historis dapat dimengerti sebagai
sebuah teori sosial yang dikonsepsikan dengan sebuah intensi praktis, yang menjauhi
kelemahankelemahan yang saling melengkapi baik dari ilmu politik tradisional dan
filsafat sosial modern. Materialisme historis kemudian menyatukan klaim pada suatu
watak ilmiah dengan suatu struktur teoritis yang mengacu pada praksis. Atas dasar titik
pijak ini Habermas hendak mengklarifikasi lebih jauh tiga aspek hubungan antara teori
dan praksis, yakni, pertama, aspek empiris hubungan antara ilmu, politik, dan opini
publik pada masyarakat kapitalisme lanjut; kedua, aspek epistemologis hubungan
antara pengetahuan dan kepentingan; dan ketiga, aspek metodologis dari suatu teori
sosial dengan tujuan untuk mampu menopang peran suatu kritik (Habermas, 1973: 3).
F. Kategori Pengetahuan Fungsi Sarana Organ.
12
komunitas epistemik daripada individu dan akan menjadi positif bagi komunitas yang
mengikuti prosedur yang sesuai, terlepas dari hasilnya.
Goldman, Kitcher, dan Hilary Kornblith semuanya menganggap kebenaran (atau
kebenaran yang signifikan) sebagai tujuan utama dari semua jenis penyelidikan.
Mereka menilai berbagai proses dan praktik sosial untuk kondusifitas mereka terhadap
pencapaian kebenaran. Misalnya, Goldman (1992) menunjukkan bahwa dalam
beberapa situasi, seperti beberapa konteks hukum, kelompok mencapai kebenaran
dengan lebih andal ketika beberapa informasi yang benar sengaja dirahasiakan dari
mereka—misalnya, informasi prasangka yang menyesatkan. Jadi Goldman
menyimpulkan bahwa epistemolog sosial perlu memikirkan kontrol komunikasi, untuk
alasan epistemik paternalistik. Goldman (1992, 1999) dan Kitcher (1993)
mengeksplorasi konsekuensi persaingan intelektual dan pencarian kredit dalam sains.
Mereka berdua menyimpulkan bahwa persaingan dan pencarian kredit dapat
mengarahkan para ilmuwan untuk mendistribusikan upaya kognitif mereka dengan baik
melalui pendekatan penelitian yang tersedia, sampai pada kesimpulan veritistik lebih
cepat daripada yang seharusnya. Kornblith (dalam Schmitt 1994) berpendapat bahwa
praktik penghormatan yang tersebar luas kepada para ahli mungkin dapat diandalkan
dalam satu lingkungan sosial dan tidak dapat diandalkan di lingkungan sosial lainnya,
tergantung pada lembaga-lembaga di mana masyarakat menganugerahkan gelar "ahli".
Beberapa berpendapat bahwa, meskipun kebenaran adalah tujuan akhir epistemik,
itu dimediasi oleh koherensi keyakinan. Mereka memeriksa proses sosial untuk
kondusifitas mereka terhadap koherensi. Sebagai contoh, Keith Lehrer (1990)
berpendapat bahwa penalaran individu menghasilkan kepercayaan yang lebih koheren
jika menggunakan semua informasi yang berada dalam suatu komunitas; Thagard
(1993) berpendapat bahwa keterlambatan dalam transmisi informasi di seluruh
komunitas dapat kondusif untuk distribusi tenaga kerja kognitif yang baik dan dengan
demikian pada akhirnya koherensi dan kebenaran penjelasan yang maksimal.
Meskipun sebagian besar ahli epistemologi sosial yang menggunakan tujuan normatif
menganggap kebenaran sebagai tujuan epistemik yang paling penting, ada serangkaian
posisi lain yang kurang tradisional. Giere (1988), misalnya, mengklaim bahwa tujuan
penyelidikan ilmiah adalah teori-teori yang memodelkan dunia daripada secara
langsung berhubungan dengannya dan bahwa praktik-praktik sosial seperti pencarian
kredit harus dinilai karena kondusifitasnya untuk menghasilkan model-model yang
baik. Solomon (2001) berpendapat bahwa teori ilmiah bertujuan untuk keberhasilan
empiris. Steve Fuller (2002) menulis tentang berbagai tujuan epistemik yang dianut
oleh komunitas ilmiah dan berpendapat bahwa tujuan itu sendiri harus diperdebatkan
oleh para ilmuwan.
Posisi paling radikal pada tujuan epistemik adalah yang mengklaim praktik
epistemik sosial kita membangun kebenaran daripada menemukannya dan, lebih jauh
lagi, menegosiasikan tujuan penyelidikan daripada menetapkannya dengan cara yang
tidak sewenang-wenang. Bekerja dalam "program kuat" dalam sosiologi sains selama
tahun 1970-an dan 1980-an—terutama oleh Barnes dan Bloor, Latour dan Woolgar,
Shapin dan Schaffer, Latour dan Woolgar, dan Collins dan Trevor Pinch—sering
dipandu oleh konstruktivisme sosial semacam itu.
13
Bab III
Penutup
Kesimpulan
14
Daftar Pustaka (McCharty, 1978)
Bernstein, R. J. (1991). The MIT Press, Cambridge, Massachusetts Chritsman. Habermas and
Modernity.
John. (2002). Social and Political Philosophy, A contemporaryintroduction. Routledge, London & New
York.
McCharty, T. (1978). The MIT Press, London. The Critical Theory og Jurgen Habermas.
Miller, K. (2002). Communications Theories: Perspectives, Processes, and Contexs, McGraw Hill,
Boston.
Ritzer, G. (2003). The Basics, McGraw Hill, Boston. Contemporary Sociological Theory and Its Classical
Roots.
15