Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Adenomyosis merupakan kelainan jinak uterus yang ditandai oleh adanya

komponen epitel dan stroma jaringan endometrium fungsional di miometrium,

Adenomyosis berasal dari kata adeno (kelenjar), mio(otot) dan osis (suatu

kondisi) dikenal pula dengan nama endometriosis interna. Adenomyosis

umumnya menimbulkan gejala pada wanita berusia 40-50 tahun. Adenomyosis

lebih sering ditemukan pada multipara dalam masa premenopause. Frekuensi

adenomyosis berkisar antara 10-47%.

Secara umum diperkirakan bahwa 20% wanita mempunyai adenomyosis.

Faktor genetik dan hormon merupakan faktor yang berpengaruh terhadap

timbulnya adenomyosis. Adenomyosis berkaitan dengan penundaan kehamilan.

Diperkirakan juga sekitar 80% wanita dengan kelainan ini tidak mempunyai anak.

Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomyosis, sehingga menyebabkan

rendahnya tingkat akurasi diagnosis preoperatif. Gejala yang umum dari

adenomyosis yaitu menoragia, nyeri panggul, dan dismenorrhea. Adenomyosis

dan myoma uteri sulit dibedakan dari gejala klinis karena memiliki gejala yang

serupa. Data epidemiologi pada kasus adenomyosis sangat terbatas, karena hanya

diagnosis postoperative yang sering dilakukan. Biasanya adenomyosis terdeteksi

saat sudah dilakukan histerektomi.

Penanganan adenomyosis terbatas karena tingginya tingkat kesulitan

deteksi dini dan penundaan terapi yang berhubungan dengan diagnosis. Namun

belakangan ini penggunaan MRI dan USG transvaginal serta biopsi uteri telah

1
meningkatkan tingkat deteksi awal dari adenomyosis, namun penentuan derajat

dan lokalisasi dari penyakit masih sulit, walaupun dengan MRI. Melihat

banyaknya tingkat kejadian adenomyosis dan rendahnya jumlah pasien yang

terdiagnosis, penulis tertarik untuk menulis laporan kasus bertema Adenomyosis

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi

Definisi adenomiosis sebagai invasi jinak jaringan endometrium ke

dalam lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran uterus difus dengan

gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium ektopik non neoplastik

dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik.Definisi tersebut

masih berlaku hingga sekarang dengan modifikasi.Adenomiosis adalah

keberadaan kelenjar dan stroma endometrium pada sembarang lokasi di

kedalaman miometrium.Isu kedalaman menjadi penting sebab batas JZ seringkali

ireguler, dan adenomiosis harus dibedakan dengan invaginasi miometrium basalis

minimal. Ada dua cara membedakannya, pertama apakah ada hipertrofi

miometrial di sekitar fokus adenomiotik bila JZ tidak tampak. Kedua, jarak JZ

dengan fokus adenomiotik tidak lebih dari 25% total ketebalan myometrium

(Campo, 2012).

Sathyanarayana (2011) membagi adenomiosis kedalam 3 kategori

berdasarkan kedalaman lokasi lesi yaitu lesi terbatas pada lapisan basal, lapisan

dalam dan lapisan permukaan.

Gordts et al. (2008) mengusulkan sistem klasifikasi adenomiosis

sederhana berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus.Pertama, hiperplasia JZ

sederhana, ketebalan JZ 8 mm tetapi 12 mm pada wanita berusia 35

tahun.Kedua, adenomiosis parsial atau difus, ketebalan JZ 12 mm, fokus

miometrial berintensitas sinyal tinggi, dan melibatkan komponen di luar

3
miometrium <, < atau >. Dan ketiga, adenomioma, massa miometrial

berbatas tidak jelas dengan intensitas sinyal rendah pada semua sekuens MRI.

2.2 Epidemiologi

Frekuensi adenomiosis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada literatur lain

dilaporkan 8% hingga 61%, bergantung pada seleksi sampel dan kriteria

diagnostik yang dipakai . Diagnosis preoperatif sendiri masih kurang dari 10%

.Studi di Nepal oleh Shrestha et al. (2012) melaporkan insidens 23,4% pada 256

spesimen histerektomi.5 Jauh sebelumnya, sebuah studi di Itali oleh Parazzini et

al. (2011) melaporkan insidens serupa sekitar 21,2% pada 707 wanita yang

menjalani histerektomi atas berbagai indikasi.10 Meskipun insidensnya lumayan

tinggi, tetapi studi epidemiologi seputar adenomiosis masih sangat jarang.

Telah disinggung pada bagian pendahuluan bahwa perkembangan

teknologi memungkinkan diagnosis adenomiosis preoperatif sehingga eksplorasi

hubungannya dengan infertilitas dapat dilakukan.De Souza et al. melaporkan

insidens 54% hiperplasia JZ pada wanita subfertil dengan keluhan menoragi dan

dismenore.Bukti lain melaporkan kehamilan pada wanita infertil setelah diterapi

adenomiosis dengan agen GnRH agonis. Penelitian terbaru oleh Maubon et al.

(2010) melibatkan 152 pasien in vitro fertilisation (IVF) untuk menilai pengaruh

ketebalan JZ uterus yang diukur dengan MRI terhadap keberhasilan implantasi,

dilaporkan bahwa peningkatan ketebalan JZ uterus berkorelasi signifikan dengan

kegagalan implantasi pada IVF. Kegagalan implantasi terjadi pada 95,8% pasien

dengan JZ 7-10 mm versus 37,5% pada subjek lain.

4
2.3 Faktor Resiko

Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara

lain usia antara 40-50 tahun, multipara, riwayat hiperplasia endometrium, riwayat

abortus spontan, dan polimenore.10 Sedangkan usia menarke, usia saat partus

pertama kali, riwayat abortus provokatus, riwayat seksio sesarea, endometriosis,

obesitas, menopause, panjang siklus dan lama haid, penggunaan kontrasepsi oral

dan IUD dilaporkan tidak berkaitan dengan adenomiosis (Campo, 2012).

2.4 Histologi

Junctional zone (JZ) pada lapisan terdalam miometrium atau disebut juga

archimetra memiliki karakter khas yang membedakannya dengan tautan lain,

berperan sebagai membran protektif lemah dan memungkinkan kelenjar

endometrium berkontak langsung dengan miometrium. MRI T2-weighted

menunjukkan tiga lapisan berbeda pada uterus wanita usia produktif : (1) lapisan

dalam, mukosa endometrium, intensitas tinggi (2) lapisan intermediet, JZ (3) dan

lapisan serosa.

Penelitian terkini berhasil mengungkap sifat dan fungsi JZ.Zona tersebut

bersifat hormone-dependent sehingga mengalami perubahan ketebalan secara

siklis menyerupai endometrium.Karakter itu pula yang memicu timbulnya

peristaltik uterus di luar kehamilan.Lapisan miometrium pasca menopause tampak

kabur pada MRI akibat supresi aktivitas ovarium atau pemberian analog

GnRH(Campo, 2012).

5
2.5 Patofisiologi

Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam

miometrium masih belum jelas. Lapisan fungsional endometrium secara fisiologis

berproliferasi secara lebih aktif dibandingkan lapisan basalis. Hal ini

memungkinkan lapisan fungsional menjadi tempat implantasi blastokista

sedangkan lapisan basalis berperan dalam proses regenerasi setelah degenerasi

lapisan fungsional selama menstruasi. Selama periode regenerasi kelenjar pada

lapisan basalis mengadakan hubungan langsung dengan sel-sel berbentuk

gelondong pada stroma endometrium(Campo, 2012).

Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan ke bawah dan invaginasi dari

stratum basalis endometrium ke dalam miometrium sehingga bisa dilihat adanya

hubungan langsung antara stratum basalis endometrium dengan adenomiosis di

dalam miometrium.Di daerah ekstra-uteri misalnya pada plika rektovagina,

adenomiosis dapat berkembang secara embriologis dari sisa duktus

Muller(Campo, 2012).

Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium pada

masih harus dipelajari lebih lanjut.Perubahan proliferasi seperti aktivitas mitosis

menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis DNA & siliogenesis di

lapisan fungsional endometrium daripada di lapisan basalis.Lapisan fungsional

sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan lapisan basalis sebagai sumber

produksi untuk regenerasi endometrium akibat degenerasi dari lapisan fungsional

saat menstruasi. Pada saat proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis

berhubungan langsung dengan sel-sel stroma endometrium yang membentuk

sistem mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan gambaran sitoplasma

6
pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel kelenjar endometrium

adenomiosis tidak dapat digambarkan.Namun dalam studi invitro menunjukkan

sel-sel endometrium memiliki potensial invasif dimana potensial invasif ini bisa

memfasilitasi perluasan lapisan basalis endometrium ke dalam myometrium

(Chopra, 2012).

Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia insitu

menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih

mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif.Pada endometrium

yang normal, kelenjar-kelenjar ini tidak dapat mengekspresikan reseptor

hCG/LH.Hal ini mungkin meskipun belum terbukti bahwa peningkatan ekspresi

reseptor epitel endometrium berkaitan dengan kemampuan untuk menembus

miometrium dan membentuk fokal adenomiosis.Menjadi menarik dimana

peningkatan ekspresi reseptor hCG/LH ditemukan pada karsinoma endometrii

dibandingkan kelenjar endometrium yang normal seperti halnya yang ditemukan

pada trofoblas invasif dibandingkan yang non-invasif pada

koriokarsinoma(Campo, 2012).

Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan hasil

yang tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor

progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain menunjukkan

ekspresi reseptor progesterone yang lebih tinggi dibandingkan estrogen. Dengan

menggunakan tehnik pelacak imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi

baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun

adenomiosis(Campo, 2012).

7
Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan endometrium

yang menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih belum jelas evidensnya,

hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses invaginasi semenjak ditemukan

banyaknya hiperplasia endometrium pada wanita dengan adenomiosis.

Konsentrasi estrogen yang tinggi diperlukan dalam perkembangan adenomiosis

sebagaimana halnya endometriosis.Hal ini didukung bahwa penekanan terhadap

lingkungan estrogen dengan pemberian Danazol menyebabkan involusi dari

endometrium ektopik yang dikaitkan dengan gejala menoragia &

dismenorea(Campo, 2012).

Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti karsinoma

endometri, endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak hanya terdapat

reseptor Estrogen, namun juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi konversi

androgen menjadi estrogen.Prekursor utama androgen, Andronostenedione,

dikonversi oleh aromatase menjadi Estrone. Sumber estrogen yang lain yaitu

Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi oleh enzim Estrogen sulfatase menjadi

Estrone, yang hanya terdapat dalam jaringan adenomiosis. Nantinya Estroneakan

dikonversi lagi menjadi 17-estradiol yang meningkatkan tingkat aktivitas

estrogen. Bersama dengan Estrogen dalam sirkulasi, akan menstimulasi

pertumbuhan jaringan yang menggunakan mediator estrogen. mRNA sitokrom

P450 aromatase (P450arom) merupakan komponen utama aromatase yang

terdapat pada jaringan adenomiosis. Protein P450arom terlokalisir secara

imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis(Campo, 2012).

8
2.6 Diagnosis

Adanya riwayat menorragia & dismenorea pada wanita multipara dengan

pembesaran uterus yang difus seperti hamil dengan usia kehamilan 12 minggu

dapat dicurigai sebagai adenomiosis. Dalam kenyataannya, diagnosis klinis

adenomiosis seringkali tidak ditegakkan (75%) atau overdiagnosis. Sehingga

adanya kecurigaan klinis akan adenomiosis dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan

pencitraan berupa USG transvaginal dan MRI(Campo, 2012).

Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat.Hal

ini disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga

ditemukan pada fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun

endometriosis.Dulu, diagnosis adenomiosis hanya dapat ditegakkan secara

histologis setelah dilakukan histerektomi.Dengan kemajuan dalam tehnik

pencitraan, diagnosis prehisterektomi bisa ditegakkan dengan tingkat akurasi yang

tinggi(Campo, 2012).

Pencitraan mempunyai 3 peran utama dalam mengelola pasien yang

dicurigai adenomiosis secara klinis. Pertama, untuk menegakkan diagnosis dan

diagnosis diferensial adenomiosis dari keadaan lain yang mirip seperti leiomioma.

Kedua, beratnya penyakit dapat disesuaikan dengan gejala klinisnya.Ketiga,

pencitraan dapat digunakan untuk monitoring penyakit pada pasien dengan

pengobatan konservatif.Beberapa pencitraan yang digunakan pada pasien yang

dicurigai adenomiosis yaitu Histerosalpingografi (HSG), USG transabdominal,

USG transvaginal dan MRI (Campo, 2012).

9
Gambaran karakteristik utama pada HSG berupa daerah yang sakit dengan

kontras intravasasi, meluas dari cavum uteri ke dalam miometrium.HSG memiliki

sensitivitas yang rendah(Campo, 2012).

Kriteria diagnostik dengan USG transabdominal yaitu uterus yang

membesar berbentuk globuler, uterus normal tanpa adanya fibroid, daerah kistik

di miometrium dan echogenik yang menurun di miometrium. Bazot et al, pada

2011 melaporkan bahwa USG transabdominal memiliki spesifisitas 95%,

sensitivitas 32,5% dan akurasi 74,1% untuk mendiagnosis adenomiosis. USG

transabdominal memiliki kapasitas diagnostik yang terbatas untuk adenomiosis

terutama pada wanita yang terdapat fibroid (Campo, 2012).

Biasanya USG transabdominal dikombinasikan dengan USG transvaginal

yang menghasilkan kemampuan diagnostik yang lebih baik.Kriteria diagnostik

dengan USG transvaginal untuk adenomiosis yaitu tekstur miometrium yang

heterogen/distorsi, echotekstur miometrium yang abnormal dengan batas yang

tidak tegas, stria linier miometrium dan kista miometrium. Bazot dkk melaporkan

sensitivitas 65%, spesifisitas 97,5% dan tingkat akurasi 86,6% dengan USG

transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis dimana kriteria yang paling sensitif

& spesifik untuk adenomiosis adalah adanya kista miometrium. MRI merupakan

modalitas pencitraan yang paling akurat untuk evaluasi berbagai keadaan

uterus.Hal ini karena kemampuannya dalam diferensiasi jaringan lunak.MRI dapat

melihat anatomi internal uterus yang normal dan monitoring berbagai perubahan

fisiologis.Menurut Bazot dkk, kriteria MRI yang paling spesifik untuk

adenomiosis yaitu adanya daerah miometrium dengan intensitas yang tinggi dan

penebalan junctional zone >12 mm (Campo, 2012).

10
Beberapa studi telah membandingkan akurasi pemeriksaan MRI dengan

USG transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis.Dalam studi-studi terdahulu

menunjukkan tingkat akurasi yang lebih tinggi pada MRI dibandingkan USG

transvaginal.Namun dalam studi-studi terakhir dikatakan tidak ada perbedaan

tingkat akurasinya(Campo, 2012).

2.7 Gambaran Klinis

Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga

menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif.Dalam sebuah

studi dimana telah ditegakkan diagnosis patologis adenomiosis yang dibuat dari

spesimen histerektomi, 35% penderitanya tidak memiliki gejala yang khas.Gejala

adenomiosis yang umum yaitu menorragia, dismenorea dan pembesaran uterus.

Gejala seperti ini juga umum terjadi pada kelainan ginekologis yang lain. Gejala

lain yang jarang terjadi yaitu dispareunia & nyeri pelvis yang kronis atau terus-

menerus.

Gejala Klinis Adenomiosis

1. Asimtomatis

Ditemukan tidak sengaja (pemeriksaan abdomen atau pelvis; USG transvaginal

atau MRI;

bersama dengan patologi yg lain)

2. Perdarahan uterus abnormal

Dikeluhkan perdarahan banyak, berhubungan dengan beratnya proses

11
adenomiosis

(pada 23-82% wanita dengan penyakit ringan berat)

Perdarahan ireguler relatif jarang, hanya terjadi pada 10% wanita dengan

adenomiosis

3. Dismenorea pada >50% wanita dengan adenomiosis

4. Gejala penekanan pada vesica urinaria & usus dari uterus bulky (jarang)

5. Komplikasi infertilitas, keguguran, hamil (jarang)

Perdarahan banyak berhubungan dengan kedalaman penetrasi dari kelenjar

adenomiosis ke dalam miometrium dan densitas pada gambaran histologis dari

kelenjar adenomiosis di dalam miometrium (Ferenczy, 2012).Kedalaman

adenomiosis dan hubungannya dengan perdarahan banyak menentukan pilihan

strategi penatalaksanaannya.McCausland menunjukkan bahwa dari biopsi reseksi

endometrium, kedalaman penetrasi adenomiosis ke dalam miometrium

berhubungan dengan jumlah perdarahan banyak yang dilaporkan.Sehingga pada

adenomiosis superfisial dilakukan reseksi atau ablasi endometrium (Berek, 2011).

Sedangkan pada kasus adenomiosis yang lebih dalam atau dengan perdarahan

banyak yang berlanjut, perlu dilakukan penatalaksanaan bedah konvensional yaitu

histerektomi (Roservear, 2012).

12
2.8 Penatalaksanaan

Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi

reproduksi selanjutnya. Dismenorea sekunder yang diakibatkan oleh adenomiosis

dapat diatasi dengan tindakan histerektomi, akan tetapi perlu dilakukan intervensi

noninvasif terlebih dahulu. Obat-obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), obat

kontrasepsi oral dan progestin telah menunjukkan manfaat yang

signifikan.Penanganan adenomiosis pada prinsipnya sesuai dengan protokol

penanganan endometriosis(Roservear, 2012).

a. Terapi Hormonal

Pemberian terapi hormonal pada adeomiosis tidak memberikan hasil yang

memuaskan.Tidak ada bukti klinis yang menunjukkan adanya manfaat terapi

hormonal dapat mengatasi infertilitas akibat adenomiosis. Pemberian obat

hormonal hanya mengurangi gejala dan efeknya akan hilang setelah pemberian

obat dihentikan. Obat hormonal yang paling klasik adalah gonadotrophin

releasing hormone agonist(GnRHa), yang dapat dikombinasikan dengan terapi

operatif. Mekanisme kerja GnRHa adalah dengan menekan ekspresi sitokrom

P450, suatu enzim yang mengkatalisis konversi androgen menjadi estrogen.Pada

pasien dengan adenomiosis dan endometriosis enzim ini diekpresikan secara

belebihan (Campo, 2012).

b. Terapi Operatif

Sampai saat ini histerektomi merupakan terapi definitif untuk adenomiosis.

Indikasi operasi antara lain ukuran adenomioma lebih dari 8 cm, gejala yang

progresif seperti perdarahan yang semakin banyak dan infertilitas lebih dari 1

13
tahun walaupun telah mendapat terapi hormonal konvensional. Suatu teknik

operasi baru telah dipublikasikan oleh Osada pada tahun 2011.Dengan teknik

adenomiomektomi yang baru ini, jaringan adenomiotik dieksisi secara radikal dan

dinding uterus direkonstruksi dengan teknik triple flap.Teknik ini diklaim dapat

mencegah ruptur uterus apabila pasien hamil. Dalam penelitian tersebut, dari 26

pasien yang mengharapkan kehamilan, 16 di antaranya berhasil dan 14 dapat

mempertahankan kehamilannya hingga aterm dengan bayi sehat tanpa penyulit

selama kehamilan. Akan tetapi teknik ini belum diterima secara luas karena masih

membutuhkan penelitian lebih, 2012lanjut (Roservear).

14
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama Lengkap : Ny. Eli

Usia : 47 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Made Lamongan

Status Pernikahan : Menikah

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Tanggal MRS : 27 Juni 2016 jam 19.30

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama: haid berkepanjngan

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien datang ke Poli Obgyn RS Muhammadiyah Lamongan dengan keluhan

haid berkepanjangan sejak 2 bulan sebelum masuk RS, Pasien juga mengeluh

nyeri perut yang dirasa sangat. Pasien mengeluh menstruasi bulan ini memanjang

15 hari dan sering ganti pembalut sebanyak 5 kali sehari. Riwayat menstruasi

seblumnya 1 kali per bulan selama 6 hari dan ganti pembalut sebanyak 2-3 kali

sehari. Benjolan di perut disangkal. Contact Bleeding disangkal. Riwayat

15
keputihan lama disangkal. Riwayat trauma disangkal. BAB dan BAK dalam batas

normal.

Riwayat penyakit dahulu:

- Riwayat darah tinggi sebelum atau semasa hamil disangkal

- Riwayat kencing manis disangkal

- Riwayat asma disangkal

- Riwayat alergi disangkal.

Riwayat penyakit keluarga

- Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal

- Riwayat darah tinggi disangkal

- Riwayat kencing manis disangkal

- Riwayat asma disangkal

Riwayat sosial

- Pasien sehari-hari sebagai ibu rumah tangga

Riwayat kehamilan

- Memiliki 3 anak

- Anak terkecil usia 10 th

Riwayat haid

- Menarche usia 14 tahun

- Siklus haid 28-30 hari, lama haid 6-7 hari

16
- Disminorrea kadang-kadang

3.3 Pemeriksaan Fisik

Kesan Umum: Tampak lemah

GCS: 456

Vital Sign

- Nadi : 89x/menit

- TD : 120/83 mmHg

- Temp : 36,20C

- RR : 20x/menit

Kepala/Leher

- Mata: Anemis -/- ; Ikterus -/-; PBI RC +/+

Thorax Paru

PULMO Kanan Kiri

Inspeksi Normal Normal

Retraksi otot pernapasan (-) Retraksi otot pernapasan (-)

Palpasi Stem fremitus normal Stem femitus normal

Perkusi Sonor Sonor

Auskultasi Suara napas vesikuler Suara napas vesikuler

Ronchi - Ronchi -

Wheezing - Wheezing -

17
Cardiovaskular

- Inspeksi: pulsasi ictus cordis tidak terlihat

- Palpasi: Iktus kordis teraba pada ICS V sebelah lateral midclavicula sinistra

- Perkusi: Batas kiri jantung terletak pada ICS V satu jari sebelah lateral

midclavicula sinistra. Batas atas terletak pada ICS III parasternal sinistra.

Batas kanan jantung pada ICS IV linea parasternal dextra.

- Auskultasi: Bunyi jantung I dan II reguler . Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen

- Inspeksi: gravid (-), striae (-)

- Auskultasi: bunyi usus (+) normal.

- Palpasi: soefl

- Perkusi: sulit dievaluasi.

Ekstremitas: anemis (-/-), ikterik (-/-), edema (+/+), eritema palmaris(-), spider

nervi (-), akral dingin basah pucat.

Pemeriksaan Dalam

Inspekulo :

Vulva/uretra tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio utuh, OUE

tertutup, darah (+), discharge (-), sondasi 8.5 cm.

VT:

Vulva/uretra tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio licin, OUE

tertutup, uterus sebesar telur bebek, adnexa kanankiri dalam batas normal, darah

(+), discharge (-).

18
3.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Lab

Jenis Hasil Normal

Pemeriksaan

27/6/2016 28/6/2016 29/6/2016 30/6/2016


TANGGAL

HEMATOLOGI

2/2/90/5/1 1-2/0-
Diff
1/49-

67/25-

33/3-7

29,7 (L 40-
Hct
54% P

35-47%)

9,9 8.9 (P 13-18


Hb
mg/dl L

14-18

mg/dl)

34/61
LED

8.800 (4000-
Lekosit
11000)

303.000 (150000-
Trombosit
450000)

19
KADAR GULA DARAH

75
GDA

HAEMOSTASIS

11.40 1-5
PT
menit

5-11
APTT 24.60
menit

20
BAB 4

PEMBAHASAN

Pasien datang ke Poli Obgyn RS Muhammadiyah Lamongan dengan

keluhan haid berkepanjangan sejak 2 bulan sebelum masuk RS, Pasien juga

mengeluh nyeri perut yang dirasa sangat. Pasien mengeluh menstruasi bulan ini

memanjang 15 hari dan sering ganti pembalut sebanyak 5 kali sehari. Riwayat

menstruasi seblumnya 1 kali per bulan selama 6 hari dan ganti pembalut sebanyak

2-3 kali sehari. Benjolan di perut disangkal. Contact Bleeding disangkal. Riwayat

keputihan lama disangkal. Riwayat trauma disangkal. BAB dan BAK dalam batas

normal.

Pemeriksaan fisik didapatkan penderita tampak lemas, tekanan darah

120/83 mmHg, nadi reguler 89x/menit, RR 22 x/menit, suhu 36,2 C. Pada

pemeriksaan kepala ditemukan konjungtiva anemis +/+, pada pemeriksaan leher,

KGB, paru-paru, jantung, dan thorax tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan

Dalam Vulva/uretra tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio utuh, OUE

tertutup, darah (+), discharge (-), sondasi 8.5 cm.VT : Vulva/uretra tenang, dinding

vagina dalam batas normal, portio licin, OUE tertutup, uterus sebesar telur bebek,

adnexa kanankiri dalam batas normal, darah (+), discharge (-). Dari hasil USG

didapatkan massa dengan ukuran 5,99 cm x 6,25 cm

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

dapat disimpulkan assesement klinis pada pasien adalah mioma uteri.

Penatalaksanaan awal pada pasien ini adalah menstabilkan

hemodinamiknya terlebih dahulu, yaitu dengan cara memberikan resusitasi cairan

21
berupa Inf. RL 1500 cc/hari. Setelah hemodinamik stabil, maka dapat dilakukan

tindakan dengan cara Supra Vaginal Histerektomi sehingga dapat diketahui secara

pasti.

22
BAB 5

KESIMPULAN

Adenomiosis, dikenal pula dengan nama endometriosis interna. Bird et al.

(2012) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi jinak jaringan

endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran

uterus difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium

ektopik non neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik dan

hiperplastik.

Sathyanarayana (2011) membagi adenomiosis kedalam 3 kategori

berdasarkan kedalaman lokasi lesi.Gordts et al. (2008) mengusulkan sistem

klasifikasi adenomiosis sederhana berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus.

- Pertama, hiperplasia JZ sederhana, ketebalan JZ 8 mm tetapi 12 mm pada

wanita berusia 35 tahun.

- Kedua, adenomiosis parsial atau difus, ketebalan JZ 12 mm, fokus miometrial

berintensitas sinyal tinggi, dan melibatkan komponen di luar miometrium <, <

atau >.

- Ketiga, adenomioma, massa miometrial berbatas tidak jelas dengan intensitas

sinyal rendah pada semua sekuens MRI.

Frekuensi adenomiosis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada literatur lain

dilaporkan 8% hingga 61%, bergantung pada seleksi sampel dan kriteria

diagnostik yang dipakai .2,8,9,10 Diagnosis preoperatif sendiri masih kurang dari

10% .

23
Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara

lain :

- Usia antara 40-50 tahun, bukan perokok, multipara, tingkat pendidikan rendah (<7

tahun mengenyam pendidikan), riwayat hiperplasia endometrium, riwayat abortus

spontan, dan polimenore.

- Sedangkan usia menarke, usia saat partus pertama kali, riwayat abortus

provokatus, riwayat seksio sesarea, endometriosis, obesitas, menopause, panjang

siklus dan lama haid, penggunaan kontrasepsi oral dan IUD dilaporkan tidak

berkaitan dengan adenomiosis (Parazzini, 2011).

Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam

miometrium masih belum jelas. Dalam studi yang menggunakan hibridisasi &

imunohistokimia insitu menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada

adenomiosis lebih mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif.

Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor progesteron pada 40% kasus

adenomiosis, sedangkan yang lain menunjukkan ekspresi reseptor progesteron

yang lebih tinggi dibandingkan estrogen. Dengan menggunakan tehnik pelacak

imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen dan

progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun adenomiosis (Campo,

2012).

Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat.Hal

ini disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga

ditemukan pada fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun

endometriosis(Ferenczy, 2012).

24
Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga

menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif (Berek, 2011).

Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi

reproduksi selanjutnya(Roservear, 2012).

a. Terapi Hormonal

b. Terapi Operatif

Dengan MRI dan USG Transvaginal, Adenomiosis dapat dideteksi lebih

dari 90% kasus. Prognosis Adenomiosis tidak ada resiko yang mengarah ke

keganasan (Campo, 2012). Dan karena kondisinya berkaitan dengan kadar

esterogen, maka keadaan menopause dapat menyebabkan kesembuhan alami,

dimana tindakan histerektomi dapat dilakukan apabila keluhan sangat

mengganggu dan mengancam(Roservear, 2012).

25
DAFTAR PUSTAKA

Adenomyosis in Dorland Medical Dictionary, ed 29. EGC, Jakarta : 2003

Banzott Pernol ML. Benson and Pernols Handbook of Obstetrics and Gynecology 10th

Ed. 2011. New York :The McGraw-Hill Companies, Inc.

Berek, JS. Berek & Novak's Gynecology 14th Ed. 2011. Pennsylvania : Lippincott

Williams & Wilkins.

Birds Benagiano G and Brosens I. History of adenomyosis (Abstract). Best Pract Res

Clin Obstet Gynaecol. 2012 Aug;20(4):449-63.

Campo S, Campo V, Benagiano G. Review Article Adenomyosis and Infertility.

Obstetrics and Gynecology International Volume 2012, Article ID 786132.

Chopra S, Lev-Toaff AS, Ors F, Bergin D. Adenomyosis:Common and Uncommon

Manifestations on Sonography and Magnetic Resonance Imaging, J Ultrasound

Med 2012; 25:617627.

C.Wood. 2001. Adenomyosis:difficult to diagnose, and difficult to treat. Overseas

Publishers Association

F.A. Taran, E.A. Stewart, S. Brucker. 2013. Adenomyosis: epidemiology, Risk Factors,

Clinical Phenotype and surgical and interventional Alternatives to hysterectomy.

Geburtshilfe Frauenheilkd 2013; 73(9): 924-931

Ferenczy A. Pathophysiology of adenomyosis. Human Reproduction Update 2012; 4:

312-322.

DeCherney AH and Nathan L. Current Obstetric & Gynaecologic Diagnosis &

Treatment 9th Ed. 2003. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.

26
Edmonds DK. Dewhursts Handbook of Obstetrics and Gynaecology 7 th Ed. 2007.

London : Blackwell Science, Ltd.

Parazzini F et al. 2011. Risk factors for adenomyosis. Human Reproduction vol.12 no.6

pp.12751279.

Prabowo, RP. Endometriosis. Ilmu Kandungan. Ed. 2 cet.6. p.314-316. PT Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo. Jakarta:2008

Roservear SK. Handbook of Gynecology Management. 2012. London : Blackwell

Science, Ltd.

SathyanarayanaReuter, K. 2011. Adenomyosis Imaging, Online (cited on December 21 st

2012). www.medscape.com.

Shrestha A,Shrestha R,Sedhai LB,Pandit U. Adenomyosis at Hysterectomy:

Prevalence, Patient Characteristics, Clinical Profile and Histopatholgical

Findings.Kathmandu Univ Med J 2012;37(1):53-6.

27

Anda mungkin juga menyukai