Anda di halaman 1dari 496

Ibadah tidak diterima

9 September 2013 oleh mutiarazuhud

Waspadalah jangan sampai amal ibadah tidak diterima

Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah

Awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti

menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).

Mereka yang belum mengenal Allah (makrifatullah) dapat disebabkan karena mereka memahami apa

yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau

pemahamannya selalu dengan makna dzahir.

Akibat mereka dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang

pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir adalah ibadah mereka

tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla karena ibadah mereka bukan kepada Tuhan yang sebenarnya,

layaknya orang yang menyekutukan Tuhan karena beribadah kepada tuhan yang disangkakan

menurut akal pikiran mereka sendiri.

Imam Ja’far As Shadiq berkata : “Barang siapa yang mengatakan bahwa Tuhan bertempat di mana

mana atau bertempat di atas sesuatu atau berasal daripada sesuatu maka dia telah syirik”

(menyekutukan Allah dengan sesuatu yang diyakininya)

Mereka beribadah kepada sesuatu yang diyakininya (dii’tiqodkan) bersandarkan selalu berpegang

pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sebagaimana contoh

tulisan mereka pada http://ajaranislamyanghaq.wordpress.com/2013/02/04/bagaimanakah-bentuk-

allah-swt-itu/

****** awal kutipan ******

1] Allah Ta’ala memiliki tempat kediaman (‘Arsy);

2] Allah Ta’ala itu berada di tempat yang paling tinggi (‘Arsy), dan seseorang yang berada di dataran

tinggi lebih dekat jaraknya dengan Allah Ta’ala ketimbang orang yang berada di dataran rendah;

3] Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘arsy mirip seperti bulan; Bulan itu bertempat di langit, namun dia

bersama kita, walaupun kita berjalan ke perkotaan; ke perkampungan; ke puncak gunung; ke puncak

bukit; ke tengah lautan luas; ataupun ke pemukiman penduduk, namun bulan selalu bersama-sama

1
dengan kita semua. Begitu juga dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bertempat di atas ‘arsy-Nya,

namun Dia selalu bersama kita dimana pun kita berada.

4] Allah Ta’ala mempunyai bentuk;

5] Wujud Nabi Adam As (wujud manusia) tercipta sebagaimana wujud Allah;

6] Allah Ta’ala juga mempunyai ruh;

7] Allah Ta’ala memiliki pembatas;

8] Allah Ta’ala memiliki wajah;

9] Allah Ta’ala memiliki pantat;

10] Allah Ta’ala mempunyai pinggang;

11] Allah Ta’ala memiliki tangan kiri dan tangan kanan

12] Allah Ta’ala terikat arah kiri dan kanan;

13] Allah Ta’ala mempunyai lima jari;

14] Allah Ta’ala mempunyai mata dan telinga;

15] Allah Ta’ala memiliki kaki;

16] Allah Ta’ala memiliki betis;

17] Allah Ta’ala memiliki fisik sebagaimana manusia;

18] Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk berduaan dengan Allah Ta’ala;

19] Allah Ta’ala turun ke langit dunia setiap tengah malam;

20] Allah Ta’ala turun ke langit dunia serupa dengan seseorang yang baru turun satu tingkat dari atas

mimbar;

21] Kalo Allah Ta’ala berkehendak, niscaya Dia akan bersemayam di atas punggung nyamuk;

22] Allah Ta’ala akan cemburu jikalau Dirinya tidak disembah;

23] Allah Ta’ala juga bisa tertawa

****** akhir kutipan *****

Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa tuhan mereka berambut keriting dan berpakaian warna

hijau,

Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar

keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67)

Silahkan periksa tulisan dari kalangan ulama panutan mereka, Abdul Hakim bin Amir Abdat seperti

yang dipublikasikan pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-

allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/ di bagian akhir tulisan menuliskan kesimpulan bahwa Allah

mempunyai kedua tangan dan kedua tangan Allah adalah kanan.

2
Silahkan baca pula informasi tentang pendapat ulama panutan mereka lainnya, Ibn Baz (Muhammad

bin Abdul Aziz bin Baz) bahwa kedua tangan Allah adalah kanan, seperti yang disampaikan

pada http://abuolifa.wordpress.com/2012/12/21/menurut-wahabi-salafi-allah-memiliki-dua-tangan-

keduanya-adalah-kanan/

Dalam kitab yang berjudul Fatawa al Aqidah karya Muhammad ibn Shalih al Utsaimin hal. 112 ia

mengatakan: “Sesungguhnya Allah datang dengan sebenar-benar datang.” Dan pada hal. 114 ia

mengatakan: “Sesungguhnya dhahirnya terdapat kedatangan Allah dengan bergegas dan ini tidak

mustahil bagiNya, jadi Dia benar-benar datang”.

Ibnu Utsaimin berkata, “Mazhab Ahlussunah adalah: Bahwa Allah memiliki dua mata, Dia melihat

dengan keduanya secara hakikat sesuai dengan kedudukan yang layak bagi-Nya. Keduanya

merupakan sifat dzatiyah.” (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 4/58)

Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjelaskan: “Wajah (Allah) merupakan sifat yang terbukti

keberadaannya berdasarkan dalil Al-Kitab, As-Sunnah dan kesepakatan ulama salaf.” Kemudian beliau

menyebutkan ayat ke-27 dalam surat Ar-Rahman… (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 48)

Dan dalam kitab yang berjudul Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah cetakan Yayasan Cordoba al Andalus

hal. 14-15 Ibn Utsaimin mengatakan: “Kami beriman bahwa Allah memiliki dua mata dengan

sebenarnya”. Ia juga mengatakan: “Ahlussunnah telah bersepakat bahwa mataNya ada dua”.

Dalam kitab yang berjudul Tafsir ayat al Kursiy karya Muhammad ibn Utsaimin hal. 27 disebutkan:

“Dan kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah azza wa jalla.”

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa)

yang diketuai Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dalam fatwa Nomor 2331 menetapkan bahwa Nabi

Adam AS diciptakan dalam bentuk Allah Yang Maha Pengasih sebagaimana yang telah diarsip

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/07/dalam-bentuknya/

Berikut contoh orang-orang yang belajar agama di wilayah kerajaan dinasti Saudi yang dipaksakan

untuk mengikuti ajaran Wahabi sebagaimana yang dapat saksikan dalam video

pada http://www.youtube.com/watch?v=CaT4wldRLF0mulai pada menit ke 03 detik 15

Berikut transkriptnya,

***** awal kutipan transkript *****

“Ya sudah kalau kita apa, misalkan tangan Allah, ya sudah itu tangan Allah.

3
Allah punya tangan akan tetapi apakah tangan Allah seperti tangan makhluk ? tidak.

Sedangkan sama sama makhluknya Allah subhanahu wa ta’ala, kaki gajah dengan kaki semut ndak

sama. Sama-sama kaki namanya. Kaki meja dengan kaki kamera ini yang untuk tahan sandaran ini,

ndak sama.

Apalagi tangan Allah subhanahu wa ta’ala dengan tangan makhluknya ndak sama karena Allah

Subhanahu wa ta’ala berfirman “Laisa kamitslihi syai’un wahuwa samii’u bashiir” tidak ada yang sama

dengan Allah subhanahu wa ta’ala, apapun di dunia ini, adapun kalau sama namanya ndak sama

bentuknya dan rupanya.”

***** akhir kutipan transkript *****

Mereka mengatakan bahwa “kaki gajah dan kaki semut tidak sama walaupun sama-sama kaki

namanya. Begitupula kaki meja dan kaki kamera yang untuk sandaran juga tidak sama walaupun

sama-sama kaki namanya”

Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan tentang kaki sebagai berikut

***** awal kutipan *****

Anggota badan yang menopang tubuh dan dipakai untuk berjalan (dari pangkal paha ke bawah),

bagian tungkai (kaki) yang paling di bawah:

Bagian yang bawah seperti kaki bukit (gunung)

kaki gunung, lereng gunung bagian bawah;

kaki jenjang, bagian bawah suatu jenjang;

kaki langit, batas pandangan secara horizontal yang seolah-olah langit bagian bawah berbatas dengan

permukaan bumi (laut); horizon; cakrawala;

Bagian suatu benda yang menjadi penopang (penyangga) yang berfungsi sebagai kaki seperti kaki

meja, kaki kursi, kaki kamera

kaki tiga, penyangga (pada kamera dan sebagainya) yang terdiri atas tiga batang yang dapat dilipat

(tripod)

****** akhir kutipan ******

Jadi walaupun kaki manusia, kaki meja, kaki kursi, kaki kamera berbeda bentuk dan ukurannya

namun mempunyai sifat yang sama yakni bagian bawah, untuk penopang (penyangga) sedangkan

Allah Ta’ala “Laisa kamitslihi syaiun” tidak serupa dengan makhlukNya dari sisi apapun.

4
Mereka lupa bahwa walaupun bentuk dan ukuran kakinya berbeda, sifat kaki bagi kaki semut, kaki

gajah, kaki meja atau kaki kamera adalah untuk menopang sesuatu yang mempunyai suatu bentuk

serta ukuran.

Jika tidak menopang sesuatu maka tidak disifatkan dengan kaki seperti kaki semut, kaki gajah, kaki

meja, kaki kamera dan lain lain.

Jadi mereka mensifatkan yang tidak dilayak bagi Allah yakni sifat kaki, suatu bagian yang menopang

sesuatu yang mempunyai suatu bentuk serta ukuran walaupun dikatakan bentuknya tidak serupa

dengan makhlukNya sedangkan bentuk dan ukuran adalah sifat makhluq bukan sifat Allah Ta’ala.

Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh

disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-

sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata

dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang)

seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)

Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata:

َ َ‫أن ِإل َهـَنَا َمحْ د ُْودٌ فَقَ ْد َج ِه َل ْالخَالِقَ ا ْل َم ْعب ُْود‬


‫(ر َواه أبُو نُ َعيم‬ َّ ‫َم ْن زَ َع َم‬

“Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui

(belum mengenal) Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (Diriwayatkan oleh Abu

Nu’aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).

Al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata:

‫َص ُّح ْال ِعبَادَة ُ إالّ بَ ْعدَ َم ْع ِرفَ ِة ْال َم ْعب ُْو ِد‬
ِ ‫الَ ت‬

“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib

disembah”.

KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu

faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang

telah diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/

Berikut kutipannya

5
***** awal kutipan *****

Pokok-pokok Ilmu Tauhid (‫)مبادئ علم التوحيد‬:

===========================

1. Definisi Ilmu Tauhid (‫)حده‬:

Ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat Allah dan para rasul-Nya, baik sifat-sifat yang wajib,

mustahil maupun ja’iz, yang jumlah semuanya ada 50 sifat. Sifat yang wajib bagi Allah ada 20 sifat

dan sifat yang mustahil ada 20 sifat serta sifat yang ja’iz ada 1 sifat. Begitupula sifat yang wajib bagi

para rasul ada 4 sifat (sidiq. tabligh, amanah, dan fathanah) dan sifat yang mustahil ada 4 sifat (kidzb

/ bohong, kitman / menyembunyikan, khianat, dan bodoh) serta sifat yang ja’iz ada 1 sifat. 50 sifat ini

dinamakan “Aqidatul Khomsin / ‫“ عقيدة الخمسين‬. Artinya: Lima puluh Aqidah.

2. Objek atau Sasaran Ilmu Tauhid (‫)موضوعه‬: Dzat Allah dan sifat-sifat Allah.

3. Pelopor atau Pencipta Ilmu Tauhid (‫)واضعاه‬: Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (260 H – 330 H / 873 M –

947 M ) dan Imam Abul Manshur Al-Mathuridi ( 238 – 333 H / 852 – 944 M ).

4. Hukum Mempelajari Ilmu Tauhid (‫)حكمه‬: Wajib ‘ain dengan dalil ijmali (global) dan wajib kifayah

dengan dalil tafshili.

5. Nama Ilmu Tauhid (‫)اسمه‬: Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Kalam dan Ilmu ‘Aqa’id.

6. Hubungan Ilmu Tauhid dengan Ilmu-ilmu lain (‫)نسبته‬: Asal untuk ilmu-ilmu agama dan cabang untuk

ilmu selainnya.

7. Masalah-masalah Ilmu Tauhid (‫)مسائله‬: Sifat-sifat wajib, mustahil, dan ja’iz bagi Allah swt dan para

Rasul-Nya.

8. Pengambilan Ilmu Tauhid (‫)استمداده‬: Diambil dari Al-Qur’an, Al-Hadits, dan akal yang sehat.

9. Faedah Ilmu Tauhid (‫)فائدته‬: Supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia.

10. Puncak Mempelajari Ilmu Tauhid (‫)غايته‬: Memperoleh kebahagian, baik di dunia maupun akherat

dan mendapat ridha dari Allah swt serta mendapat tempat di surga.

****** akhir kutipan ******

Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah)

dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana mengenal Allah yang

merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat

yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.

6
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat pula kita pergunakan

sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.

Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaima yang

disangkakan oleh orang awam

Dalam masalah i’tiqod di antara mazhab yang empat tidak ada perbedaan karena i’tiqod bukanlah

masalah yang bersifat furu’iyyah. Kesalahpahaman dalam i’tiqod menyebabkan terjerumus kekufuran

dalam i’tiqod

Pada kenyataannya mereka mengikuti orang-orang yang semula bermazhab Hambali yang menjadi

imam atau guru besar kaum musyabbihah yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah dari sudut

artinya saja atau memahaminya dengan selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir)

seperti,

1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin Ali al-Baghdadial-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-

Hanbali. Beliau ini pengarangbuku ushuluddin yang bernama “syarah usuluddin” dimana diuraikan

banyak tentang tasybihm yaitu keserupaan Tuhan dengan manusia.

2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmadal-Baghdadi al-Hanbali, dikenal

dengan sebutan Abu Ya’la al-Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H. Beliau ini banyak mengarang

kitab Usuluddin yang banyak menyampaikan tentang tasybih. Ada ulama mengatakan bahwa “Aib

yang dibuat Abu Ya’ala ini tidak dapat dibersihkan dengan air sebanyak air laut sekalipun”.

Tampaknya cacat pahamnya terlalu besar.

3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Nashr az-Zaghunial-Hanbali, wafat 527 H. Beliau ini pengarang

sebuah buku dalam usuluddin yangberjudul “Al Idah”, di mana banyak diterangkan soal tasybih dan

tajsim.

Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi

as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab

berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih contoh terjemahannya

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf untuk

menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama yang semula Hanabila yang merupakan guru guru besar

kaum Musyabbihah atau Mujassimah.

Ibn al Jawzi berkata bahwa

7
***** awal kutipan ****

Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ ‫إن هلل خلق‬

‫” ءادمعلى صورته‬, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga

menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata,mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya,

dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki.

Sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah

memiliki kepala”,

Mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa

mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”.

Lalu–dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu

semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”.

Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal).

Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara

yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli

maupun dari dalil aqli.

Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat

tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau

melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts).

Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li”

saja bagi Allah hingga mereka mengatakan“Sifat Dzât”

****** akhir kutipan *****

Mereka dapat terjerumus bertasyabuh dengan kaum Yahudi karena memahami apa yang telah Allah

Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya dan apa yang telah disampaikan oleh lisan RasulNya

selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir.

Contohnya pertanyaan kaum Yahudi dalam riwayat berikut

Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy

dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada

Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari,

seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan

semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang

8
raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang

artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar

[39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)

Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits diatas sebagai bukti

pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah

kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “ ‫وما‬

‫“( ” قدروا هللا حق قدره‬Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az

Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”

Jikalau beri’tiqod (beraqidah) selalu dengan makna dzahir (selalu berpegang pada nash secara dzahir)

maka “jari Allah” juga berada disetiap hati manusa

Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu

‘alaihi wa sallam bersabda,Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian

jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut

kehendak-Nya. (HR Muslim 4798)

Ibn Al Jawzi berkata , “Hadits ini menunjukan bahwa hati setiap manusia di bawah kekuasaan Allah.

Ketika diungkapkan “‫” بين أصبعين‬,artinya bahwa Allah sepenuhnya menguasai hati tersebut dan Allah

maha berkehendak untuk “membolak-balik” hati setiap manusia.

Dari Syahru bin Hausyab berkata; saya telah mendengar Ummu Salamah meceritakan bahwa

Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam memperbanyak dalam do’anya: Allahummaa

muqallibalqulubtsabit qalbi ‘ala dini (Ya Allah,yang membolak balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas

agamamu). Ia berkata;saya berkata; “Wahai Rasululah! Apakah hati itu berbolak balik?” beliau

menjawab: “Ya, tidaklah ciptaan Allah dari manusia anak keturunan Adam kecuali hatinya berada di

antara dua jari dari jari-jari Allah. Bila Allah Azza wa Kalla berkehendak, Ia akan meluruskannya, dan

jika Allah berkehendak,Ia akan menyesatkannya. Maka kami memohon kepada Allah; ‘Wahai Tuhan

kami,janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah kami diberi petunjuk.’ Dan kami memohon

kepada-Nya supaya memberikan kepada kita rahmat dari sisinya, sesungguhnya dia adalah Maha

Pemberi’.” (HR Ahmad No 25364)

Mereka yang beri’tiqod bahwa Tuhan memiliki dua mata berdalilkan salah satunya dengan sabda

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Ketahuilah bahwasanya dajjal itu buta sebelah, sedang rabb

kalian tidak buta sebelah, tertulis diantara kedua matanya KAFIR” (HR Bukhari)

9
Dajjal memiliki mata yang buta sebelah bukanlah menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla memiliki

dua mata namun Dajjal memiliki mata yang buta sebelah dan tertulis diantara kedua matanya KAFIR

adalah menunjukkan ketidakberdayaannya sehingga dengan keadaan Dajjal tersebut maka kita dapat

memastikan bahwa dia bukan Tuhan.

Ibn al Jawzi menyampaikan bahwa “Mereka yang menyimpulkan bahwa Allah memiliki dua mata

hanya karena didasarkan kepada makna dzahir hadits Nabi: ”‫” ليس بأعور‬, [makna dzahir hadits ini

mengatakan ”Allah tidak buta”] padahal yang dimaksud hadits tersebut adalah untuk menjelaskan

bahwa Allah maha suci dari segala bentuk kekurangan, cela dan aib, sedikitpun bukan untuk

menetapkan bahwa Allah memiliki anggota-anggota badan dan atau memiliki bagian-bagian. Seorang

yang berkeyakinan tanzîh maka dia akan paham bahwa al-’ain pada hak Allah yang dimaksud bukan

sebagai anggota badan dan bukan sebagai bagian dari Dzat-Nya [karena Allah maha suci dari bagian-

bagian].

Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah

kaki seperti

Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata,

‫ والعرش ال يقدر أحد قدره‬، ‫الكرسي موضع القدمين‬

“Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang dapat

memperkirakan ukurannya.”

Menurut Ibn al Jawzi dalam kitab di atas sebagai berikut

***** awal kutipan ****

Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat

Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa

riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa

hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa

hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah

Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah

bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki

seorang yang duduk di atas ranjang

10
Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada

di bawah tempat duduk (singgasana) mereka”.

***** akhir kutipan *****

Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya

kursi Allah dengan Arsy Nya. Tidak lebih dari itu.

Bahkan kitab Al Qur’an dan Terjemah yang disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi telah

mengalami perubahan/ penambahan/ distorsi yang menyimpang dan tidak sesuai lagi dengan

terjemah dan tafsir dari Dewan Penterjemah Depag RI sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/08/01/perubahan-terjemahan/

Silahkan periksa https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/08/perubahan-terjemahan-oleh-

wahabi.jpg

Pada bagian footnote dalam mushaf Al Qur’an dan Terjemahnya yang diterbitkan Arab Saudi tertulis:

“Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassir mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang mengartikan

kekuasaanNya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” adalah tempat letak telapak Kaki-Nya.”

Salafush Sholeh terhadap ayat-ayat sifat mereka tidak memahaminya dengan makna dzahir namun

mereka menyerahkan maknanya kepada Allah ta’ala

Salaf yang sholeh mengatakan

‫ أمروها كما جاءت بال تفسير‬: ‫ سألت األوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن األحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي‬: ‫قال الوليد بن مسلم‬

“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin

Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata

kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir“

Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan:

‫كل ما وصف هللا تعالى به نفسه فتفسيره تالوته و السكوت عنه‬

“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya

(tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.

Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-

ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya.

Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.

11
Begitupula ketika ada orang yang mengutip perkataan atau pendapat Imam Mazhab yang empat dan

para pengikutnya terkait ayat-ayat sifat maka kita harus dapat membedakan apakah perkataan atau

pendapat tersebut berfungsi menyampaikan untuk menjelaskan atau sekedar ‘ala sabilil hikayah,

menetapkan lafazhnya (itsbatul lafzhi) saja; yaitu hanya mengucapkan kembali apa yang diucapkan

oleh al Qur’an. Tidak lebih dari itu yaitu tidak memaknakan (tafsir) atau tidak menetapkan maknanya

(itsbatul ma’na) seperti Tuhan memiliki dua mata, dua kaki, dua tangan dan kedua-duanya kanan dan

lain lain.

Terhadap lafazh-lafazh ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih

tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di

dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan

membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk

jatuh dalam kesesatan tasybîh”

Al Qur’an dan As Sunnah diturunkan Allah Azza wa Jalla dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi

Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi.

Nash-nash yang fushahah dapat kita pahami dengan makna dzahir namun nash-nash yang balaghah

tidak selalu dapat dipahami dengan makna dzahir melainkan dengan makna majaz (metaforis)

Makna dzahir atau makna harfiah atau makna literal atau makna indrawi atau makna apa yang tertulis

(tersurat) atau makna leksilkal yakni makna dasar yang terdapat pada setiap kata atau kalimat atau

makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lain dalam sebuah susunan kata atau

kalimat.

Sedangkan makna majaz (makna kiasan) adalah termasuk makna bathin atau makna di balik yang

tertulis atau makna di balik yang tersurat (makna tersirat) atau makna yang terkait dengan makna

gramatikal yakni makna turunan atau makna kata yang terbentuk karena penggunaan kata tersebut

dalam kaitannya dengan tata bahasa. Makna gramatikal muncul karena kaidah tata bahasa, seperti

afiksasi, pembentukan kata majemuk, penggunaan atau susunan kata dalam kalimat dan lain lain

Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa Al-Haditsiyyah menisbahkan kepada Imam Ibn

‘Uyainah, beliau berkata: “Hadits itu menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”

Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab tersebut lalu mensyarahkan perkataan itu:

“Sesungguhnya hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut

bahwa keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya, bahkan

12
ada juga yang mengandung nasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya. Bahkan dalam

hadits juga mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu

Rabbuna… yang mana tidak diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha’ (ahli fiqh). Berbeda

dengan mereka yang sekedar mengetahui apa yang dzahir daripada hadits-hadits (khususnya

mutasyabihat) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-hadits mutasyabihat dengan makna

dzahir) pun sesat seperti yang berlaku pada sebahagian ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti

Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.” (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 202)

Di atas, Imam Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa hadits itu dapat menyesatkan kecuali bagi

para fuqaha (ahli fiqih) seperti hadits yang mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya (jika dipahami

selalu dengan makna dzahir) membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… dan

kesesesatan tersebut di alami Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat.

Berikut contoh kutipan penjelasan tentang pola pemahaman Ibnu Taimiyyah yang diikuti oleh

Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikutnya yang bersumber

dari http://ustadchandra.wordpress.com/2010/02/13/sosok-dan-pemikiran-ibn-taimiyah/

Berikut kutipannya

******* awal kutipan ******

Kontrofersi pemikiran Ibnu Taimiyah.

Pemikiran Ibnu taimiyah sering menjadi ajang polemik di kalangan para Ulama, sejak zaman Ibnu

Taimiyah sendiri, dan gara-gara itu dia sering keluar masuk penjara, terutama mengenai masalah-

masalah Akidah dan Fiqih. Keberanian Ibnu Taimiah ini tidak hanya berbeda dengan para ulama di

zamannya, namun Ibnu Taimiyah juga sering menyalahi Ijma`. Itulah yang membuat ulama di

zamnnya geram pada Ibnu Taimiah.

Pemikiran pertama yang menjadi kontrofersi terjadi pada tahun 698 H. Hal itu gara-gara satu fatwa

yang dikenal dengan masalah hamawiah. Fatwa ini membuat Qadhi waktu itu turun tangan, yaitu

Imamauddin al-Quzwaini. Qadhi itu memberi fatwa “Barang siapa yang mengambil pendapatnya Ibnu

taimiah maka dia akan dita`zir.” Pada tahun 705 Ibnu Taimiah kembali membikin heboh yang

membuat dirinya kembali masuk penjara, dan pada tahun 709 dia dipindahkan ke Iskandariah, di

sanapaun dia jaga mengeluarkan fatwa-fatwa aneh yang dipermasalahkan oleh ulama setempat.

(Ibnu Hajar al Asqalani, Addurarul Kaminah, Hal 88)

13
Begitulah seterusnya Ibnu taimiiyah, dia terus keluar masuk penjara baik ketika dia di Syam atau di

Mesir. Dalam beberapa kasus, Ibnu Taimiyah terkesan tidak konsekwen pada pendapatnya, kadang

dia mengaku bermazhab Syafii, atau bermazhab Hambali dan kadang dia juga mengaku berakidah

Asyairah namun di lain kesempatan dia juga mencaci tokoh-tokoh Asya’irah, seperti Imam Ghazali

dan yang lainnya. Tidak hanya itu, Ibnu Taimiyah juga berani lancang mencaci sahabat Nabi (Ibnu

Hajar al Asqalani, Addurarul Kaminah, Hal 90-98)

Oleh sebab itulah, ulama dari masa ke masa senantiasa memperselisihkan sosok dan pemikiran Ibnu

Taimiyah, ada yang menganggapnya fasik, ada yang menganggapnya mubtadi` (ahli bid’ah) dan

bahkan ada yang menganggap kafir. Tidak hanya para penentangnyya yang mengkritik Ibnu taimiyah,

murid-muridnya juga sering berbeda dan menasehatinya, seperti Ibnu Katsir dan adz-Dzahabi.

Bahkan adz-Dzahabi menulis sebuah risalah husus yang berisi nasehat-nasehat agar Ibnu Taimiyah

kembali dan bertobat. Surat ini di kenal dengan an-Nashîhah adz-Dzahabiyah li Ibn Taimiyah.( lihat

Attaufiqu rabbani hal 23)

Penentang Ibnu Taimiyah sejak zaman Ibnu Taimiyah sendiri sampai pada saat ini terus mengalir,

mulai dari kalangan fuqaha madzahabil arb’ah sampai para ulama kalam. Sedang yang mengarang

kitab yang berisi kritikan pada Ibnu taimiyah juga sangat banyak, seperti as-Subki dan ulama-ulama

setelahnya. (Lihat Ahmad Muhammad al ya?qubi Fatawa Ibnu Taimiyah fil Mizan Hal 20-28)

Pemikiran kontrofersi Ibnu Taimiyah

Adapun pemikiran Ibnu Taimiyah yang dianggap bertentangan dengan Ijma`dan mayoritas ahlu

sunnah wal jamaah sangat banyak diantaranya adalah:

1. Keyakinnanya tentang Zat Allah yang mempunyai jasad seperti jasadnya makhluk, duduk seperti

duduknya makhluk, bertangan, mempunyai mata dang telinga. Bahkan Ibnu Taimiyah berkata bahwa

Allah turun dari langit sebagai mana turunnya dia dari mimbar. Mazhab ini di sebut al-Hasyawiyah al-

Mujassamah. Dewasa ini beberapa ulama telah menulis penelitian dan mempelajari pemikiran ini

dengan seksama, di antaranya adalah Kasyfu al-Shaghîr ‘an ‘Aqîdah Ibnu Taimiyah, karya Said Fudah,

Ibnu Taimiyah Laisa Salafiyan, desertasi Doktor oleh Mansur Muhammad Ghawaiesy, dan Fatâwâ Ibnu

Taimiyah fil-Mîzan, karya Muhammad Ahmad Ya‘qubi.

2. Berani mencaci Ulama dan Sahabat Nabi. Kelancangan Ibnu taimiyah ini membuat nyawanya

terancam karena telah berani mencaci Imam al-Ghazali dan pengikut Asya`irah lainnya. Bukan hanya

itu, Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa Imannya Sayyidina Ali tidak sah, sebab beliau masuk Islam

sebelum baligh, dan Iman sayyidina Abu Bakar juga tidak sah karena Abu Bakar beriman dalam

14
keadaan pikun hingga beliau tidak mengerti apa yang di ucapkan. Imam Ali ra. menurutnya

mempunyai 17 kesalahan. Dan beliau berperang karena cinta kedudukan. Sedang sayyidina Utsman

menurutnya sangat cinta dunia. Dalam kitab Durarul Kaminah dan kitab Fatawa Ibnu Taimiyah fil-

Mizan dijelaskan panjang lebar masalah ini.

3. Inkar terhadap Majaz. Ibnu Taimiyah berasumsi bahwa dirinya dengan pemikiran itu berada dalam

Manhaj salaf. Sebab sebagaimana yang telah masyhur bahwa ulama dalam menyikapi ayat-ayat

musytabihat ada dua kelompak, kelompok pertama adalah Tafwidh (menyerahkan penafsirannya pada

Allah sendiri) mazhab ini yang diikuti oleh kebanyakan ulama salaf. Dan kelompok kedua adalah

mazhab Ta`wil (mentafsiri ayat musytabihat sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah) cara ini

dipakai oleh ulama khalaf.

Sedang pendapat Ibnu Taimiyah dalam masalah ini berkonsekwensi pada pemahaman yang

berbahaya dalam memahamii al-Quran dan nama dan sifat Allah, sebab hanya membawa pada

pengertian yang mustahil pada zat dan sifat Allah. Adapun pendapat salaf mengenai masalah Tafwidh,

salaf tidak mau panjang lebar mengenai masalah ini, sehingga menyerahkan urusan ini pada Allah.

Beda halnya dengan Ibnu taimiyah yang berani menafsiri Al-Quran dengan lahirnya saja, sehingga

mengakibatkan hal yang fatal.

Disamping itu keingkaran Ibnu taymiyah pada majaz dapat menimbulkan pengertian yang salah

terhadap teks Syariah, Ibnu Qayyim sendiri sebagai murid setia Ibnu Taimiyah merasa kebingungan

menyikapi masalah ini, sebab tidak sedikit dari ulama salaf dan pengikut mazhab Hanafi (Ibnu

Taimiyah mengaku bermazhab ini) yang mempercayai adanya majaz dalam al-Quran. Seperti Ibnu Abi

Ya`la, Ibnu Agil, Ibnu al-Khattab dan lain-lain sangat menganggap keberadaan majaz dalam al-Quran.

(Mansur Muhammad Ghawas Ibnu Taimiyah Laisa Salafiyan Hal. 41)

Seseorang yang membaca kitab Shawaiq al-Mursalah karya Ibnu Qayyim, maka akan tampak

kebingungannya dalam menyikapi pendapat gurunya tersebut.

4. Ibnu Taimiyah menyalahi Ijma` ulama. Seperti pendapatnya talak waktu haid itu tidak terjadi,

masalah ta`liq talak, seorang haid boleh tawaf tampa membayar kaffarat, kata-kata talak tiga hanya

terjadi satu dan beberapa pendapat nyeleneh lainnya. Al-hasil banyak pendapat Ibnu taimiyah yang

bertentangan dengan mayoritas ulama Ahlu sunnah wal jamaah.

********** akhir kutipan *****

Al Hafizh Ibnu Hajar (W. 852 H) menukil dalam kitab ad-Durar al Kaminah juz I, hal. 154-155 bahwa

para ulama menyebut Ibnu Taimiyah dengan tiga sebutan: Mujassim, Zindiq, Munafiq. Ibnu Hajar

15
menyatakan; Ibnu Taimiyah menyalahkan sayyidina ‘Umar ibn al Khaththab –semoga Allah

meridlainya-, dia menyatakan tentang sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq –semoga Allah meridlainya-

bahwa beliau masuk Islam di saat tua renta dan tidak menyadari betul apa yang beliau katakan

(layaknya seorang pikun). Sayyidina Utsman ibn ‘Affan –semoga Allah meridlainya-, -masih kata Ibnu

Taimiyah- mencintai dan gandrung harta dunia dan sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib –semoga Allah

meridlainya-, -menurutnya- salah dan menyalahi nash al Qur’an dalam 17 permasalahan, ‘Ali menurut

Ibnu Taimiyah tidak pernah mendapat pertolongan dari Allah ke manapun beliau pergi, dia sangat

gandrung dan haus kekuasaan dan dia masuk Islam di waktu kecil padahal anak kecil itu Islamnya

tidak sah

Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi menyampaikan bahwa selain

kebanyakan Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap

“Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak

sepaham (sependapat) dengan mereka sebagaimana yang dipubllikasikan

pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html

Berikut kutipan selanjutnya

***** awal kutipan *****

Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan,

khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar

A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.

Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu

Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya.

Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu

suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sependapat dengan mereka.

Di Indonesia, sejumlah Tokoh Wahabi secara terang-terangan menyatakan bahwa Madzhab Asy’ari

adalah bukan Aswaja, bahkan Firqoh sesat menyesatkan, antara lain :

1. Yazid Abdul Qadir Jawaz dalam buku “Mulia dengan Manhaj Salaf” bab 13 hal. 519 – 521.

2. Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam buku “Risalah Bid’ah” bab 19 hal. 295 dan buku “Lau Kaana

Khairan lasabaquunaa ilaihi” bab 6 hal. 69.

16
3. Hartono Ahmad Jaiz dalam buku “Bila Kyai Dipertuhankan” hal.165 – 166

***** akhir kutipan *****

Penjelasan Habib Rizieq Shihab lainnya bahwa mereka mensesatkan Asy’ariyah dan Maturidiyah

dipublikasikan dalam video

pada http://www.youtube.com/watch?v=hlCdzVo8Ueo dan http://www.youtube.com/watch?v=DZdjU

2H6hpA

**** awal kutipan transkrip video yang pertama ****

Karena itu saya sangat prihatin terbit sebuah buku dengan judul “Mulia dengan manhaj salaf”.

Judulnya bagus betul. Diterbitkan oleh pustaka At Taqwa, Yang menulis Yazid bin Abdul Qodir.

Kenapa saya prihatin dengan kehadiran buku ini. Kalau kita buka pada bab yang ketigabelas yaitu bab

yang terakhir. Disini penulis menyebutkan firqoh-firqoh sesat dan menyesatkan. Yang nomor delapan

disebutkan Asy’ariah. Yang nomor sembilan disebut Maturidiyah. Kemudian yang nomor empat belas

atau yang nomor tiga belas Shufiyah, ahli tasawuf. Yang nomor empat belas Jama’ah Tabligh. Yang

nomor lima belas Ikhwanul Muslimin. Yang nomor tujuh belas Hizbut Tahrir

Buku-buku semacam ini memecah belah umat. Kalau pengarang ini merasa bahwa Wahhabi adalah

ajaran yang paling benar, silahkan. Dia menamakan dirinya pengikut Salafi atau di Indonesia lebih

dikenal dengan nama istilah Wahhabi. Kalau dia merasa Salafi Wahhabi paling benar, hak dia. Kalau

dia merasa paling suci, hak dia. Kalau dia merasa paling lurus, hak dia. Tapi dia tidak punya hak

untuk sesat menyesatkan, kafir mengkafirkan sesama umat Islam.

***** akhir kutipan transkrip video *****

Bahkan mereka menyalahkan para ulama terdahulu sekaliber Imam Baihaqi, Imam Nawawi dan Ibnu

Hajar yang dalam memahami ayat-ayat sifat tidak selalu berpegang pada nash secara dzahir namun

jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak

patut bagiNya sehigga diperlukan mentakwilkannya dengan ilmu balaghah seperti dengan makna

majaz (makna kiasan)

Berikut contoh kutipan pentahdziran mereka terhadap ulama

terdahulu https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/09/ulama_dan_tahdzir.pdf

“Wahai Syaikh, engkau membawakan biografi 3 ulama terdahulu yaitu Al-Baihaqy, An-Nawawy dan

Ibnu Hajar. Mereka terjatuh pada penakwilan terhadap sebagian sifat-sifat Allah. Mereka memiliki

karya-karya tulis yang besar dan berfaedah. Oleh karena itulah Ahlus Sunnah memandang bahwa

17
manusia sangat membutuhkan untuk mengambil faedah dari kitab-kitab mereka selain kebid’ahan

yang mereka terjatuh padanya.“

Mereka berpendapat bahwa pentakwilan terhadap sebagian sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh

Imam Baihaqi, Imam Nawawi dan Ibnu Hajar telah terjatuh dalam kebid’ahan.

Pendapat serupa mereka utarakan seperti

“Ibnu Hajar dan An Nawawi rahimahumallah memang dalam beberapa masalah aqidah terdapat

ketergelinciran terutama dalam pembahasan Asma’ wa Shifat, di mana mereka berdua di antara orang

yang mentakwil makna nama dan sifat Allah tanpa dalil. Namun demikianlah kesalahan ini tertutupi

dengan kemanfaatan ilmu dan keutamaan mereka. Moga Allah merahmati mereka.“

Sumber: http://www.rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/3375-ibnu-hajar-dan-imam-

nawawi-dikatakan-mubtadi.html

Begitupula fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset

Ilmiah dan Fatwa) kerajaan dinasti Saudi ditanya tentang aqidah Imam Nawawi dan menjawab: “Lahu

aghlaath fish shifat” (Beliau memiliki beberapa kesalahan dalam bab sifat-sifat Allah).

Sumber: http://muslim.or.id/biografi/biografi-ringkas-imam-nawawi.html.

Mereka menganggap sesat Asy’ariyah dan Maturidiyah, salah satunya karena menganggapnya

termasuk Jahmiyah yakni mengingkari sifat-sifat Allah karena tidak sepaham (sependapat) dengan

mereka yang memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada

nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir sebagaimana yang disampaikan

pada http://risalahamar.blogspot.com/2012/03/bantahan-untuk-kaum-jahmiyah-asyariyah.html

Berikut contoh mereka “menjelaskan tentang kekafiran” atau menganggap “telah terjerumus

kekafiran” bagi muslim lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka atau tidak

mengikuti mereka yang memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu

berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir sebagaimana

yang mereka publikasikan pada http://almanhaj.or.id/content/794/slash/0/mengingkari-tauhid-asma-

wa-sifat/

***** awal kutipan ****

Mengingkarinya setelah mengetahui bahwa itu memang benar adanya. Mereka mengingkarinya secara

sengaja, dan mengajak yang lain untuk mengingkarinya. Maka mereka yang berlaku seperti ini telah

kafir karena mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya. Padahal mereka mengetahui

hal tersebut tanpa perlu takwil-nya.

***** akhir kutipan *****

18
Jahmiyah adalah orang-orang yang mengingkari sifat-sifat Allah

Sedangkan kaum muslim yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat,

bukannya mengingkari sifat-sifat Allah namun mengingkari memahami apa yang telah Allah Ta’ala

sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan

makna dzahir karena akan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod.

Jumhur ulama telah menyampaikan bahwa jika memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun

perkataan ulama salaf (terdahulu) selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya

selalu dengan makna dzahir dari sudut arti bahasa saja maka kemungkinan besar akan berakibat

negative seperti,

1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan dan

apa yang disampaikan oleh lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluqNya.

Jadi permasalahan terbesar yang dapat menjerumuskan kekufuran dalam i’tiqod adalah cara mereka

menetapkan sifat Allah yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau penetapan sifat Allah

selalu berdasarkan makna dzahir

Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum

Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,

“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah

satu pangkal kekufuran”.

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi”

mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan

makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa

sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur

dalam i’tiqod) secara pasti.”

Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal

dapat kita ketahui bahwa

– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jism

(contohnya tangan) sebagaimana jisim-jisim lainnya (sebagaimana tangan lainnya), maka orang

tersebut hukumnya Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)

19
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim

(contohnya tangan) namun tidak serupa dengan jisim-jisim lainnya (tidak serupa dengan tangan

makhlukNya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada

Allah Subhanahu wa Ta’ala

– I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala

itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat

mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia

Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah ta’ala dengan sifat-

sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.

Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah

dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya

: “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru

atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur

dalam i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa

ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-

Mu’allim Al-Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).

Memang salah satu ciri khas mereka yang mengikuti ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul

Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat adalah dalam

memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara

dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir

Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna

metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab. Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah

mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena dengan

adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan

makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan

pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/

Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa, “sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna

lahirnya (makna dzahir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks

tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis)”

20
Kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah seperti makna majaz timbul contohnya jika dipahami dengan

makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.

Imam ath Thahawi dalam kitabnya Aqiidah ath Thaahawiyah berkata “Barangsiapa yang enggan (tidak

mau) menafikan sifat makhluk kepada Allah atau menyamakan-Nya dengan sifat makhluk, maka ia

telah sesat dan tidak melakukan tanzih (mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk). Karena

sesungguhnya Tuhan kami yang Maha Agung dan Maha Mulia itu disifati dengan sifat-sifat

wahdaniyyah (tunggal) dan fardaniyyah (kesendirian). Hal ini artinya, tidak ada satupun makhluk

yang menyamaiNya. Maha Suci Allah dari segala macam batasan, tujuan, pilar, anggota dan aneka

benda. Allah ta’ala tidak butuh enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya

makhluk ( Abu Ja’far Ahmad bin Salamah Ath Thahawi , Aqidah Ath Thahaawiyyah halaman 26)

Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat

termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga akan

sesat dan menyesatkan

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik

dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu

sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para

ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan

orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan

menyesatkan (HR Bukhari 98).

Jadi kesimpulannya orang-orang yang sesat dan menyesatkan dapat dikarenakan kurang mendalami

atau bahkan melarang (mengharamkan) mendalami ilmu balaghah.

Oleh karenanya lebih baik mensyaratkan bagi pondok pesantren, majelis tafsir, ormas-ormas yang

mengaku Islam, lembaga kajian Islam maupun lembaga-lembaga Islam lainnya termasuk lembaga

Bahtsul Masail untuk dapat memahami dan beristinbat (menetapkan hukum perkara) dalam

implementasi agama dan menghadapi permasalahan kehidupan dunia sampai akhir zaman yang

bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, wajib menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu

tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun

ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul

fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash,

ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada

21
yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz

hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain sebagaimana yang telah disampaikan dalam

tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/30/bacalah-dan-istinbath/

Ciri-ciri orang-orang yang tidak mengenal Allah karena mereka mendalami ilmu agama secara

otodidak (shahafi) adalah mereka bertambah ilmu namun mereka semakin jauh dari Allah karena

mereka sombong

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan akan bermuncululan orang-orang yang

bertambah ilmunya namun semakin jauh dari Allah karena tidak bertambah hidayahnya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak

bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“

Sungguh celaka orang yang tidak berilmu. Sungguh celaka orang yang beramal tanpa ilmu Sungguh

celaka orang yang berilmu tetapi tidak beramal Sungguh celaka orang yang berilmu dan beramal

tetapi tidak menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan.

Urutannya adalah ilmu, amal, akhlak (ihsan)

Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin

jauh dari Allah Ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah)

maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat)

disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).

Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin

merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.

Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.”

(Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya

terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan

meremehkan manusia” (HR. Muslim)

Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman,

Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari

Aku) maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)

22
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan

adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)

Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang

paling baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah

Shallallahu alaihi wasallam.

Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus

hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)

Sayyidina Umar ra menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara /

bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain

dengan tangan dan lidahnya“

Sayyidina Umar ra juga menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti

imannya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain;

wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam

bermasyarakat (bergaul)“.

Tabiat atau akhlak seseorang akan mengikuti yang diteladaninya

Al-Hâfizh adz-Dzahabi adalah murid dari Ibn Taimiyah. Walaupun dalam banyak hal adz-Dzahabi

mengikuti faham-faham Ibn Taimiyah, –terutama dalam masalah akidah–, namun ia sadar bahwa ia

sendiri, dan gurunya tersebut, serta orang-orang yang menjadi pengikut gurunya ini telah menjadi

bulan-bulanan mayoritas umat Islam dari kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah pengikut madzhab al-

Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari.

Kondisi ini disampaikan oleh adz-Dzahabi kepada Ibn Taimiyah untuk mengingatkannya agar ia

berhenti dari menyerukan faham-faham ekstrimnya, serta berhenti dari kebiasaan mencaci-maki para

ulama saleh terdahulu. Untuk ini kemudian adz-Dzahabi menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat

kepada Ibn Taimiyah, sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap kesesatan

gurunya sendiri. Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua

berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah.

Dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm, adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang diperuntukan bagi Ibn

Taimiyah sebagai berikut [Secara lengkap dikutip oleh asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-

ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, lihat kitab j. 2, h. 9 ]:

23
“Hindarkanlah olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu. Alangkah bahagianya dirimu jika

engkau selamat dari ilmumu sendiri karena engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari

musuhmu atau engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari dirimu sendiri. Demi Allah, kedua

mataku ini tidak pernah mendapati orang yang lebih luas ilmunya, dan yang lebih kuat kecerdasannya

dari seorang yang bernama Ibn Taimiyah. Keistimewaannya ini ditambah lagi dengan sikap zuhudnya

dalam makanan, dalam pakaian, dan terhadap perempuan. Kemudian ditambah lagi dengan

konsistensinya dalam membela kebenaran dan berjihad sedapat mungkin walau dalam keadaan

apapun. Sungguh saya telah lelah dalam menimbang dan mengamati sifat-sifatnya (Ibn Taimiyah) ini

hingga saya merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan ternyata saya medapatinya

mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan Syam (sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan

Palestina) hingga mereka membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan

mengkafirkannya, adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus

terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap dengkinya terhadap para ulama

terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar bencana yang ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an” dan

sikap kecintaan terhadap kehormatan semacam ini!”.

Nasehat adz-Dzahabi lainnya terhadap Ibn Taimiyah ia tuliskan dalam risalah an-Nashîhah adz-

Dzahabiyyah, secara lengkap dalam terjemahannya sebagai berikut [Teks lebih lengkap dengan

aslinya lihat an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah dalam dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-

Mukhâlifîn, j. 2, h. 9-11] Silahkan baca kutipannya

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/25/nasehat-seorang-murid/

Begitu pula ulama panutan mereka lainnya yakni Muhammad bin Abdul Wahhab sebagaimana yang

dinformasikan pada http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,57680-lang,id-c,kolom-

t,Tanggapan+atas+Tulisan+KH+Ali+Mustafa+Yaqub+soal+Wahabi+NU-.phpx

****** awal kutipan ******

Kedua, akhlak pendiri Wahhabi sangat sombong sekali, dan ini berbeda dengan Hadhratusy Syaikh

Hasyim Asy`ari yang sangat santun dan toleran; juga berbeda dengan khazanah nilai-nilai NU yang

tawasuth, tawazun, dan tasamuh. Pendiri Wahhabi menganggap Islam yang dibawakannya, pada saat

itu, adalah hal baru yang sebelumnya tidak diajarkan oleh para gurunya. Al-Faqir batasi saja dari

kata-kata pendiri Wahhabi demikian: “Demi Allah yang tidak ada ilah kecuali Dia, sungguh saya telah

mencari ilmu dan orang yang mengenali saya meyakini bahwa saya memiliki pengetahuan, dan saya

saat itu tidak mengetahui makna la ilaha illallah, dan saya tidak mengetahui agama Islam sebelum

kebaikan yang Allah karuniakan ini; dan begitu juga guru-guru saya, tidak seorang pun di antara

24
mereka mengetahui hal itu (Muhammad bin `Abdul Wahhab, Mu’allafât, jilid VII, dalam kitab “Rasâ’il

asy-Syakhsyiyah”, risalah ke-28, hlm. 186-187 dan seterusnya).

Bagi al-Faqir, kesombongan terhadap para guru yang mengajari dan memberi ilmu adalah

fundamental yang harus dipertimbangkan dari pendiri Wahhabi, dan secara umum bagi gerakan

Wahhabi. Bagi orang NU, hubungan guru-murid adalah fundamental, dibawa sampai mati, karena

tidak ada yang disebut mantan guru. Pendiri Wahhabi, dengan gamblang, dengan kesombongannya,

menyebutkan tidak ada seorang pun dan bahkan guru-gurunya yang tahu Islam dan makna la ilaha

illalah sebelum ia mendakwahkan Islam.

****** akhir kutipan ******

Berikut kutipan perkataan al-Albani dalam kata pengantar cetakan pertama kitabnya Shahih al-Kalim

ath-Thayyib li ibn Taimiyyah yang tercantum di halaman 16, cetakan ke-1 tahun 1390 H sebagaimana

yang diinformasikan pada http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/08/26/nashiruddin-al-albani-

ulama-wahhabi-yang-merasa-lebih-mengerti-ilmu-hadits-daripada-imam-bukhari-imam-muslim-dan-

ulama-muhaddits-lain/

***** awal kutipan ******

“Aku nasihatkan kepada setiap orang yang membaca buku ini atau buku yang lainnya, untuk tidak

cepat-cepat mengamalkan hadits-hadits yang tercantum di dalam buku-buku tersebut, kecuali setelah

benar-benar menelitinya. Aku telah memudahkan jalan tersebut dengan komentar-komentar yang aku

berikan atas hadits tersebut, apabila hal tersebut (komentar dariku) ada, maka barulah ia

mengamalkan hadits tersebut dan menggigit gerahamnya. Jika tidak ada (komentar dariku), maka

tinggalkanlah hadits tersebut.”

Perhatikan, dari perkataan al-albani diatas (perhatikan juga bahwa tata bahasa arab yang beliau

gunakan dalam beberapa kalimat terakhir di atas juga sedikit kacau balau, namun meskipun

susunannya kacau balau masih dapat ditangkap maksudnya) dapat dipahami bagaimana al-albani

memposisikan dirinya sebagai ahli hadits yang kemampuannya melebihi ulama hadits mu’tabar yang

terdahulu. Dia melarang umat muslim untuk mengamalkan hadits-hadits shahih dari para imam

muhaddits besar seperti al-Imaam al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan lain-lain terkecuali setelah ada

komentar dari al-albani bahwa hadits-hadits itu dinyatakan sebagai hadits shahih oleh al-albani. Jika

tidak dikatakan shohih oleh al-albani, maka hadits-hadits tersebut ditinggalkan atau tidak boleh

diamalkan sama sekali.

Sekarang yang menjadi permasalahan adalah, Apakah kapasitas keilmuan al-albani lebih jauh hebat

daripada ulama’-ulama’ muhaddits terdahulu? Sedangkan ulama’ – ulama’ ahli hadits yang mu’tabar

25
tersebut masa kehidupannya jauh lebih dekat dengan masa Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam.

Coba bandingkan dengan masa kehidupan al-albani di abad 20 Masehi ini yang sangat jauh dari masa

Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam?

Dari statement singkat al-albani yang tercantum di dalam kata pengantar bukunya tersebut, dapat

disimpulkan juga bahwasanya menurut al-albani dan pengikutnya apabila sebuah hadits tidak ada

“embel-embel” dishahihkan oleh al-albani maka hadits tersebut diragukan keshahihannya meskipun

hadits tersebut tercantum di dalam kitab-kitab hadits tershohih sekalipun seperti Shahih Bukhari dan

Shahih Muslim.

***** akhir kutipan ******

Jadi Albani karena merasa sebagai ahli hadits sehingga melarang para pengikutnya mengamalkan

hadits-hadits yang belum ada “komentar Albani”

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

« Diusir Imam Malik


Melarang tidak dilarangNya »

Mengikuti ayat mutasyabihat


2 Oktober 2017 oleh mutiarazuhud

26
Mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga

menimbulkan fitnah

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada

kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk

mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah Dan orang-orang yang

mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu

dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang

yang berakal. ” (Q.S. Al Imran [3] : 7)

Kita umat Islam prihatin dengan mereka yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat selalu dengan

makna dzahir sehingga menimbulkan fitnah sehingga mereka secara tidak langsung memfitnah

Rasulullah maupun para Sahabat atau Salafush Sholeh akibat mereka salah memahami Al Qur’an dan

Hadits

Contoh fitnahnya mereka mengatakan bahwa Rasulullah yang mengatakan Tuhan punya tangan dan

kedua-duanya kanan.

Lalu mereka menyampaikan dalilnya,

Dari Abdullah bin ‘Amr ‫ رضي هللا عنه‬ia berkata: Rasulullah ‫ صلى هللا عليه وسلم‬telah bersabda: “Sesungguhnya

orang-orang yang adil di sisi Allah ‫( عزوجل‬pada hari kiamat) di atas mimbar-mimbar dari nur (cahaya)

di sebelah kanan Ar Rahman ‫ عزوجل‬dan KEDUA TANGAN-Nya adalah KANAN. Yaitu orang-orang yang

27
berlaku adil di dalam hukum mereka, dan pada kelaurga mereka, dan pada apa yang mereka pimpin”.

(Hadits shahih riwayat. Muslim no 1827 dan Nasaa-i no 5379 dan yang selain dari keduanya.

Fitnah mereka dengan mengatasnamakan Rasulullah maupun Salafush Sholeh sebagai perawi hadits

akibat mereka membaca dan memahami sebuah hadits shahih namun karena salah memahaminya

sehingga mereka bertuhan bukan kepada Allah Ta’ala.

Mereka bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat mereka selalu

berpegang pada nash atau dalil secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.

Jelas sekali bahwa apa yang mereka sampaikan bukan aqidah atau pemahaman para Sahabat

(Salafush Sholeh) melainkan aqidah atau pemahaman mereka sendiri menurut akal pikiran mereka

sendiri terhadap nash atau dalil yang mereka baca.

Silahkan periksa tulisannya pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-

tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan

Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi

as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya

dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada

tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna

majaz (metaforis atau makna kiasan).

Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh

ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau

makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena

jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak

patut bagiNya.

Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu

balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu

sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan.

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik

dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu

sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para

ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan

28
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan

menyesatkan (HR Bukhari 98)

Ironisnya mereka yang terjerumus kesesatan akibat salah memahami Al Qur’an dan Hadits, justru

mereka menganggap “telah kafir” bagi umat Islam yang tidak mau mengikuti pemahaman mereka

yang “tanpa perlu takwil” alias “tanpa takwil” yakni memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan

untuk diriNya selalu dengan makna dzahir karena dianggap telah mengingkari sifat-sifat Allah

sebagaimana yang mereka publikasikan pada http://almanhaj.or.id/content/794/slash/0/mengingkari-

tauhid-asma-wa-sifat/

***** awal kutipan ****

Mengingkarinya setelah mengetahui bahwa itu memang benar adanya. Mereka mengingkarinya secara

sengaja, dan mengajak yang lain untuk mengingkarinya. Maka mereka yang berlaku seperti ini telah

kafir karena mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya. Padahal mereka mengetahui

hal tersebut tanpa perlu takwil-nya.

***** akhir kutipan *****

Kaum muslim yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat tentu bukanlah

mengingkari sifat-sifat Allah atau bukanlah mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya

namun mengingkari memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang

pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir karena akan terjerumus

kekufuran dalam i’tiqod.

Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum

Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,

“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah

satu pangkal kekufuran”.

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam dalam kitab “Tanbiat Al-Ghabiy Bi

Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang

berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad

, ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan,

mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”

Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat benda

dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.

29
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah

dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya:

“Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau

karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam

i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan

mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-

Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).

Mereka yang mengingkari Allah dan hukumnya ‘aashin yakni berbuat durhaka kepada Allah akibat

mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan

makna dzahir.

Berikut kutipan tulisan syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi

‘alaUmmil Barahin” sebagaimana yang dikutip pada http://santri.net/aqidah-akhlak/aqidah/hukum-

mengitiqadkan-allah-swt-seperti-makhluk/

***** awal kutipan *****

Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim

(seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya, maka orang

tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa

Ta’ala.

I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala

itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah

Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.

***** akhir kutipan *****

Oleh karenanya sebaiknya janganlah berguru atau mengambil pendapat dari orang-orang yang

“kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka

sendiri karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an

dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”.

(HR. Ahmad)

Mereka yang menyatakan bahwa “Tuhan yang bilang memiliki wajah, mata, pinggang, tangan, kaki

dan lain lain, bahkan ada yang menyatakan Tuhan mereka memiliki dua tangan dan keduanya kanan

maka pernyataan itu membuktikan bahwa mereka memahami firman Allah secara otodidak (shahafi)

menurut akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/07/16/tuhan-yang-bilang/

30
Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang

disangkakan oleh orang awam.

Dalam perkara aqidah atau i’tiqod tidak ada perbedaan di antara mazhab yang empat karena i’tiqod

bukanlah masalah yang bersifat furu’iyyah. Kesalahpahaman dalam i’tiqod menyebabkan terjerumus

kekufuran dalam i’tiqod.

Apa yang mereka alami pada masa sekarang, dahulu kala telah dihadapi oleh ulama Hanbali yang

ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-

Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi ketika meluruskan kesalahpahaman 3 ulama semula

bermazhab Hanbali akibat mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman

mereka selalu dengan makna dzahir.

Ibn al Jawzi berkata, “sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar

berita (nash) bahwa Allah memiliki kepala”

Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih untuk

menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama tersebut. Contoh terjemahannya

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf

Berikut sedikit kutipan dari kitab tersebut,

****** awal kutipan ******

Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal).

Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara

yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli

maupun dari dalil aqli.

Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat

tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau

melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts).

Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li”

saja bagi Allah hingga mereka mengatakan“Sifat Dzât”

****** akhir kutipan *****

Ibn al Jawzi di atas menjelaskan bahwa mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il”

(sifat perbuatan) saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”

31
Kita mengetahui “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) bagi Allah seperti Maha Melihat , Maha Mendengar

namun terlarang mensifatkan DzatNya seperti Allah memiliki wajah, pinggang, dua mata, dua tangan

dan keduanya kanan dan lain lainnya karena tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu

wa Ta’ala kecuali Dia.

Jadi mereka yang mengaku ahlussunnah namun pada kenyataannya mereka melanggar larangan

Rasulullah yakni larangan untuk menanyakan atau memikirkan DzatNya sebagaimana yang telah

disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/30/bertanya-tanpa-berpikir/

Rasulullah bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir

tentang Dzat Allah“.

Paham Wahabisme adalah ajaran berdasarkan pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhamnad

bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang

dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana contoh informasi resmi

dari http://saudiembassy.net/islam

“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined

forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of

Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.

Berikut contoh kutipan catatan kaki (footnote) ketika mereka menafsirkan QS Al Baqarah [2]:255

sebagaimana termuat dalam mushaf Al Madinah An Nabawiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia dan dicetak di Komplek Percetakkan Al Qur’an Al Karim kepunyaan Raja Fahd yang biasa

menjadi oleh-oleh bagi Jama’ah haji atau umroh Indonesia.

***** awal kutipan ****

161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang

mengartikan kekuasaan-Nya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak

telapak Kaki-Nya.”

***** akhir kutipan ****

Kutipan di atas dapat pula dilihat secara online pada http://www.quranonline.net/ebooks-

quran/ebook-quran-indonesian-translation.html

Begitupula dalam perkara aqidah, ustadz panutan mereka, Khalid Basalamah salah dalam memahami

Al Qur’an dan Hadits akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamanya selalu

dengan makna dzahir sebagaimana yang dapat disaksikan dalam sebuah video yang dipublikasikan

pada http://www.youtube.com/watch?v=IxPYMh-KWFg

32
Pada menit 02:55 Beliau berpendapat bahwa, “Allah itu Maha Besar. Jadi kenapa Allah itu tidak

kelihatan karena Allah terlalu besar untuk dilihat”

Pada menit 03:35 Beliau berpendapat bahwa, “Ayat kursi berarti informasi tentang pijakan kakinya

Allah di singgasana”.

Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah

kaki seperti

Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada

seorang pun yang dapat memperkirakan ukurannya.”

Berikut kutipan penjelasan Ibn al Jawzi terkait riwayat tersebut,

***** awal kutipan ****

Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat

Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa

riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa

hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa

hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah

Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah

bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki

seorang yang duduk di atas ranjang

Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada

di bawah tempat duduk (singgasana) mereka”.

***** akhir kutipan *****

Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya

kursi Allah dengan Arsy Nya. Tidak lebih dari itu.

Contoh lain mereka yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai Telapak Kaki (Qadamur Rahman)

akibat memahami selalu dengan makna dzahir terhadap riwayat seperti berikut,

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Setiap kali Jahannam dilempari (dengan

penghuninya) ia (Jahannam) senantiasa mengatakan, “Masih adakah tambahan?” Sehingga Rabbul

‘Izzah (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak kaki-

33
Nya di atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya, lalu ia (Jahannam)

berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848)

Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-

bagi, tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan berpindah-

pindah. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid al-Harawi dan Imam al-Hasan al-Bashri, bahwa ia (al-

Hasan al-Bahsri) berkata: Yang dimaksud “ ‫( ” قدم‬makna dzahirnya kaki) dalam hadits di atas adalah

orang-orang yang didatangkan (dimasukkan) oleh Allah dari para makhluk-Nya yang jahat di dalam

neraka Jahanam”.

Akibat mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu

dengan makna dzahir sehingga mereka belum dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya

terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Yahudi.

Contohnya pertanyaan kaum Yahudi dalam riwayat berikut

Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy

dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada

Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari,

seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan

semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang

raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang

artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar

[39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)

Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti

pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah

kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “ ‫وما‬

‫“( ” قدروا هللا حق قدره‬Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az

Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”

Mereka mengatakan bahwa “kaki gajah dan kaki semut tidak sama walaupun sama-sama kaki

namanya. Begitupula kaki meja dan kaki kamera yang untuk sandaran juga tidak sama walaupun

sama-sama kaki namanya” sebagaimana yang dapat disaksikan dalam video

pada http://www.youtube.com/watch?v=CaT4wldRLF0 mulai pada menit ke 03 detik 15.

34
Walaupun kaki manusia, kaki meja, kaki kursi, kaki kamera berbeda bentuk dan ukurannya namun

mempunyai sifat yang sama yakni bagian bawah, untuk penopang (penyangga) sedangkan Allah

Ta’ala “Laisa kamitslihi syaiun” tidak serupa dengan makhlukNya dari sisi apapun.

Mereka lupa bahwa walaupun bentuk dan ukuran kakinya berbeda, sifat kaki bagi kaki semut, kaki

gajah, kaki meja atau kaki kamera adalah untuk menopang sesuatu yang mempunyai suatu bentuk

serta ukuran.

Jika tidak menopang sesuatu maka tidak disifatkan dengan kaki seperti kaki semut, kaki gajah, kaki

meja, kaki kamera dan lain lain.

Jadi mereka mensifatkan yang tidak dilayak bagi Allah yakni sifat kaki, suatu bagian yang menopang

sesuatu yang mempunyai suatu bentuk serta ukuran walaupun dikatakan bentuknya tidak serupa

dengan makhlukNya sedangkan bentuk dan ukuran adalah sifat makhluq bukan sifat Allah Ta’ala.

Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh

disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-

sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata

dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang)

seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)

Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata:“Barang siapa beranggapan

(berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui (belum mengenal) Tuhan yang

wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)”

Mereka yang belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya sehingga dapat berakibat amal

ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla.

Imam Al Ghazali berkata : “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengenal Allah yang

wajib disembah”

KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu

faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang

telah diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/

“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal

Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).

35
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai

sarana mengenal Allah.

Selain itu aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan

sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.

Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah)

dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana mengenal Allah yang

merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat

yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.

Begitupula kita umat Islam prihatin atas kitab al Ibanah yang dicetak dan tersebar sekarang dan

dinisbatkan kepada al Imam Abu al Hasan al Asy’ari telah banyak dimasuki sisipan-sisipan palsu dan

penuh kebohongan atau ada bagian yang dihilangkan atau diterjemahkan selalu dengan makna dzahir

sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/10/02/al-

ibanah-dipalsukan/

Salah satu contoh kata penting yang dihilangkan adalah bi la kayf

‫بال كيف وال استقرار‬

Tentunya kita mengetahui arti penting dari ungkapan yang lenyap tersebut.

Sehingga dengan adanya ungkapan itu akan memberi penjelasan bahwa sifat-sifat Allah seperti istiwa,

yadd, ain, janbun dan lain lain bi la kayf – tanpa kaif (tanpa membagaimanakan) yakni maksudnya

tidak memaknakan istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dengan makna yang asal menurut bahasa

atau makna dzahir namun membiarkan sebagaimana lafaznya dan menyerahkan maknanya kepada

Allah yang disebut dengan TAKWIL IJMALI (ringkas dan menyeluruh)

Begitupula Salasush Sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada

Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada

sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa

tafsir“

Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-

Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu

itu”.

36
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-

ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya.

Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.

Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa

Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak

boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan

(makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).

Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak

boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada

bahasa Arab”.

Jadi ada dua cara dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah yang ditetapkanNya

yakni

1. Cara yang dipergunakan oleh Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan ulama salaf (terdahulu) pada

umumnya yakni Bi La Kayf atau TAKWIL IJMALI (ringkas dan menyeluruh)

Yakni beriman kepada lafaz-lafaz seperti istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain namun tidak meng-kaif

atau tidak membagaimanakan istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain maksudnya tidak memaknakan

istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dengan makna dzahir dan menyerahkan maknanya kepada Allah

Ta’ala

2. Cara yang digunakan oleh ulama khalaf (kemudian) untuk menjawab pertanyaan orang-orang yang

suka menggunakan akal pikirannya sendiri yakni TAKWIL TAFSILI (memalingkan dari makna dzahir)

Yakni beriman pada lafaz-lafaz seperti istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dan memahaminya

menggunakan ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan

dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush

shilat [41]:3)

Berikut contoh cara memahami TAKWIL IJMALI dan TAFSILI,

Si A berkata bahwa gadis itu cantik bagaikan bulan. Sore itu bulan masuk ke warung makan.

Takwil Ijmali “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung

makan” tetapi saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah

yang mengetahuinya

37
Takwil Tafsili “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung

makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di

waktu malam, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.

Jadi dalam memahami sifat Allah yang ditetapkanNya boleh menggunakan takwil ijmali atau takwil

tafsili karena takwil ijmali dengan takwil tafsili adalah sejalan atau tidak bertentangan yakni sama-

sama memalingkan dari makna dzahir.

Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang aqidah mereka yang mengaku pengikut

Mazhab Hambali, apakah aqidah Imam Ahmad bin Hanbal seperti aqidah mereka ?

‫ هل عقيدة اإلمام أحمد بن حنبل‬، ‫ في عقائد الحنابلة ما ال يخفى على شريف علمكم‬: ‫مطلب في عقيدة اإلمام أحم د رضي هللا عنه وأرضاه وسئل رضي هللا عنه ونفعنا به‬

‫رضي هللا عنه كعقائدهم ؟‬

Beliau menjawab:

***** awal kutipan ******

‫ عقيدة إمام السنة أحمد بن حنل رضي هللا عنه وأرضاه وجعل جنان المعارف متقلبه ومأواه وأقاض علينا وعليه من سوابغ امتنانه وبوأه الفردوس األعلى‬: ‫فأجاب بقوله‬

‫من جنانه موافقة لعقيدة أهل السنة والجماعة من المبالغة التامة في تنزيه هللا تعالى عما يقول الظالمون والجاحدون علوا كبيرا من الجهة والجسمية وغيرهما من سائر‬

‫ وما اشتهر به جهلة المنسوبين إلى هذا اإلمام األعظم المجتهد من أنه قائل بشيء من الجهة أو نحوها فكذب‬، ‫ بل وعن كل وصف ليس فيه كمال مطلق‬، ‫سمات النقص‬

‫ فلعن هللا من نسب ذلك إليه أو رماه بشيء من هذه المثالب التي برأه هللا منها‬، ‫وبهتان وافتراء عليه‬

Aqidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah meridhoinya dan menjadikannya

meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan aqidah

Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh

orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan

bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang

menunjukkan ketidaksempurnaan Allah.

Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang mengaku-ngaku sebagai

pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat

dan semisalnya, maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap beliau.

Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh

beliau dengan tuduhan yang Allah telah membersihkan beliau darinya itu.

‫وقد بين الحافظ الحجة القدوة اإلمام أبو الفرج ابن الجوزي من أئمة مذهبه المبرئين من هذه الوصمة القبيحة الشنيعة أن كل ما نسب إليه من ذلك كذب عليه وافتراء وبهتان‬

‫ فاعلم ذلك فإنه مهم‬، ‫ وأن نصوصه صريحة في بطالن ذلك وتنزيه هللا تعالى عنه‬، .

38
Al Hafizh Al Hujjah Al Imam, Sang Panutan, Abul Faraj Ibnul Jauzi, salah seorang pembesar imam

mazhab Hambali yang membersihkan segala macam tuduhan buruk ini, telah menjelaskan tentang

masalah ini bahwa segala tuduhan yang dilemparkan kepada sang imam adalah kedustaan dan

tuduhan yang keji terhadap sang imam. Bahkan teks-teks perkataan sang imam telah menunjukkan

kebatilan tuduhan itu, dan menjelaskan tentang sucinya Allah dari semua itu. Maka pahamilah

masalah ini, karena sangat penting.

‫ وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة‬، ‫وإياك أن تصغي إلى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن قيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ إلهه هواه وأضله هللا على علم‬

‫ وكيف تجاوز هؤالء الملحدون الحدود وتعدوا الرسوم وخرقوا سياج الشريعة والحقيقة فظنوا بذلك أنهم على هذى من ربهم وليسوا كذلك بل هم‬، ‫فمن يهديه من بعد هللا‬

‫على أسوإ الضالل وأقبح الخصال وأبلغ المقت والخسران وأنهى الكذب والبهتان فخذل هللا متبعه وطهر األرض من أمثالهم‬

Janganlah sekali-kali kamu dekati buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim

dan orang selain mereka berdua yang telah menjadikan hawa nafsu mereka sebagai tuhan

sesembahan dan disesatkan oleh Allah atas ilmu, yang Allah telah menutup telinga, hati dan

penglihatannya. Siapa yang bisa memberikan petunjuk orang seperti itu selain Allah?

Bagaimana orang-orang atheis itu melampaui batas-batas, menabrak aturan-aturan dan merusak

tatanan syariat dan hakikat, lalu mereka menyangka bahwa mereka berada di atas petunjuk dari

tuhan mereka, padahal tidaklah demikian. Bahkan mereka berada pada kesesatan paling buruk,

kemurkaan paling tinggi, kerugian paling dalam dan kedustaan paling besar. Semoga Allah

menghinakan orang yang mengikutinya dan membersihkan bumi ini dari orang-orang semisal mereka.

****** akhir kutipan ******

Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti

pemahaman seorang ulama sebelum bertaubat.

Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan sebuah tulisan berjudul

“Taubatkah Ibnu Taimiyah ke dalam Aqidah Asy’ariyah?” dari sebuah link yang kami arsip (simpan)

dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/07/12/taubatkah-ibnu-taimiyyah/

Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari

pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan

makna dzahir

Memang ada yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian

taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai sidang ke empat hingga ia

39
wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar

dari http://www.muslimedianews.com/2015/02/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-ditangan.html

Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa Beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala

menerima taubat Beliau.

Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka

menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat)

dengannya sebagaimana informasi yang kami arsip (salin)

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-

ibnu-taimiyyah.pdf

Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah

(W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.

Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah

(menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul

Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)

Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun

ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para

pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.

Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang

merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad

bin Abdul Wahhab.

Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak

lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil

Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.

Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada

penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id

bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat

pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah

40
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan

kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian

diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.

Hal yang perlu kita ingat bahwa sesat berbeda dengan kafir.

Kesesatan bukan selalu berarti kafir atau bukan Islam.

Kesesatan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.

Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami (W 974H) pernah ditanya tentang ungkapan yang berbunyi,

“Hadits itu menyesatkan kecuali untuk para ahli fikih,” apakah itu hadits atau bukan, dan apa

maknanya, padahal mengetahui hadits termasuk salah satu syarat seseorang disebut sebagai ahli

fikih? Mana yang lebih mulia dan utama, ahli fikih atau ahli hadits ?

Beliau menjawab: Itu bukan hadits, melainkan ucapan Ibnu ‘Uyainah (*) atau selainnya. Makna

ungkapan itu adalah bahwa hadits seperti Al Quran, ada yang lafalnya umum tapi maknanya khusus

dan sebaliknya, ada yang nasikh dan ada yang mansukh, ada juga yang tidak diamalkan, ada yang

lafalnya musykil (bermasalah), jika dipahami secara dzahir (literal) dapat menimbulkan pemahaman

tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) seperti hadits yang berbunyi, “yanzilu Rabbuna… dst.”

Tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fikih. Berbeda dengan mereka yang

hanya mengerti hadits saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadits

zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya. Dari sini,

dapat diketahui keutamaan para ahli fikih yang memiliki pemahaman dibandingkan dengan para ahli

hadits yang tidak memiliki pemahaman. (Al Fatawa Al Haditsiyah halaman 202)

*) Ibnu ‘ Uyainah nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran, salah seorang Tabi’i tsiqoh,

dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H.

Di atas, Imam Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa hadits itu dapat menyesatkan kecuali bagi

para fuqaha (ahli fikih) seperti hadits yang mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya (jika dipahami

selalu dengan makna dzahir) membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… dan

kesesatan tersebut di alami Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat dan para pengikutnya.

Imam Ibn Hajar Al-Haitami menyampaikan dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu

Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat)

bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah

menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara

41
ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga

berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga

berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci

atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman

116)

Seorang Ahli Hadits yang mendapat gelar Al-Hafidz Al-Faqih, Waliyuddin Al-Iraqi bin Syaikh Al-Haffadz

Zainuddin Al-Iraqi berkata ” Sesungguhnya Ibnu Taimiyyah telah merusak mayoritas umat muslim di

dalam banyak permasalahan, dikatakan mencapai 60 permasalahan sebagian mengenai aqidah dan

sebagian lainnya mengenai furu’. Ia telah menyalahi permasalahan-permasalahan yang telah

disepakati oleh umat Islam “. (Al-Ajwibatul Mardhiyyah ‘alal mas-alatil makkiyyah)

Memang ada ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau

mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang

menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat

kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’

Akibatnya para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengungkapkan

kekhawatiran atas fatwa sejak zaman dahulu kala tersebut

pada http://faisalchoir.blogspot.co.id/2011/12/ibnu-taimiyah-dikafirkan-ibnu-hajar.html

***** awal kutipan *****

Penyebab kitab ini dikarang sebagaimana yang tercantum dalam kitab tersebut adalah Fatwa yang

menyebar di khalayak Umum saat itu tentang kafirnya orang yang memberi julukan ibnu Taimiyah

sebagai Syaikhul Islam dan tidak sah sholat dibelakang orang tersebut.

Fatwa tersebut secara jelas bukan saja pengkafiran terhadap Ibnu Taimiyah, tapi juga pengkafiran

terhadap pengikutnya.

***** akhir kutipan ****

Sebagai pembelaan terhadap ulama panutan mereka dengan mengutip tulisan Al Hafizh as-Sakhawi

dalam kitab Al-Jawahir wad-Durar, 2/734-736 menukil pendapat gurunya, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-

Asqalani , “Beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah Syaikhul Islam tanpa ada keraguan” sebagaimana tulisan

sejenis pada http://abul-harits.blogspot.co.id/2013/03/pembelaan-al-hafidz-ibnu-hajar-terhadap.html

Namun mereka tampaknya kurang memperhatikan catatan penting Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab

yang mereka kutip sendiri yakni

‫ والذي أخطأ فيه ال يقلد فيه‬، ‫ ويترحم عليه بسببه‬، ‫ فالذي أصاب فيه – وهو األكثر – يستفاد منه‬، ‫ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب‬

42
“Meskipun demikian, beliau adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran

yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil

dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.

Catatan penting tersebut bukanlah masalah furuiyyah namun masalah pokok yakni aqidah

sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-

Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 sebagaimana yang dinformasikan pada http://www.aswj-

rg.com/2014/06/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al-asqalani-terhadap-ibnu-taimiyah.html

****** awal kutipan ******

Manusia terbagi menjadi beberapa kubu dalam menilai Ibnu Taimiyyah, ada sebagian kelompok yang

menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam

kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya : Ibnu Taimiyyah

mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah,

dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya. Maka ketika dipersoalkan, hal itu

akan melazimkan Allah memiliki batasan dan bagian, maka ia menjawab, “ Aku tidak setuju batasan

dan bagian termasuk kekhushusan jisim “. Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah

mengatakan batasan bagi Dzat Allah.

****** akhir kutipan ******

Jadi Ibnu Hajar Al-Asqalani pun menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap permasalahan pokok

bukan furuiyah yakni dalam perkara aqidah atau kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang mensifatkan Dzat

Allah alias meng-kaif-kan (membagaimanakan) Dzat Allah.

Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan

Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang

cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat)

dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan

menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat

sebagaimana yang dipubllikasikan pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html

Berikut kutipannya

***** awal kutipan *****

Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H

hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu

menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :

43
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.

2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.

3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.

4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.

Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2

halaman 210 menegaskan :

“‫”وحبس بإحماع العلماء ووالة األمور‬.

“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”

Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan,

khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar

A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.

Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu

Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang

bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang

tidak sependapat dengan mereka.

***** akhir kutipan ******

Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa

dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan

membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah

karena beliau mengutip pendapat ulama terdahulu maupun memahami Al Qur’an dan As Sunnah

bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri

dan beliau selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman beliau selalu dengan makna

dzahir

Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:

1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian

menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat

Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah

44
an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan

biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.

2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al

Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.

3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam

I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.

4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata:

“Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan

wajib dibunuh”.

5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau

mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya

6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu

Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara

(berfirman) dengan huruf dan suara”.

7. Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam berapa karyanya:

– Al I’tibar Bi Baqa al Jannah Wa an-Nar

– Ad-Durrah al Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah

– Syifa as-Saqam fi Ziyarah Khairi al Anam

– An-Nazhar al Muhaqqaq fi al Halif Bi ath-Thalaq al Mu’allaq

– Naqd al Ijtima’ Wa al Iftiraq fi Masa-il alAyman wa ath-Thalaq

– at-Tahqiq fi Mas-alah at Ta’liq

– Raf’ asy-Syiqaq ‘An Mas-alah ath-Thalaq.

8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal

dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.

9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti

dijelaskan dalam:

– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.

– Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam.

45
10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn

Musallam ibn Malik ash-Shalihi al Hanbali (W 762 H).

11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H).

Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul

Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.

12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan

menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam

Rasulullah.

13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.

14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu

Taimiyah dalam empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.

15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya

Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi.

16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua

risalahnya:

– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalahath-Thalaq.

– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalah az-Ziyarah.

17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-

Radd ‘Ala ibn Taimiyah..

18. Al Faqih al Muhaddits Jalal ad-Din Muhammad al Qazwini asy-Syafi’i (W 739 H)

19. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk

memenjarakannya.

20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam

dua risalahnya : – Bayan Zaghal al ‘Ilm wa ath-Thalab. – An-Nashihah adz-Dzahabiyyah

21. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al

Muhith.

22. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).

46
23. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah alKubra.

24. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya :‘Uyun at-

Tawarikh.

25. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al

Mukhtarah Fi ar-Radd ‘Ala Munkir az-Ziyarah.

26. Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri al Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al Mardhiyyah fi ar-

Radd ‘Ala Man Yunkir az- Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan

Al-Barahin as- Sathi’ah karya Al ’Azami.

27. Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743 H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq

28. Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani al- Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhatsal

Jaliyyah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah.

29. Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad, yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H)

dalam : Bayan Musykil al Ahadits al Waridah fi Anna ath-Thalaq ats-Tsalats Wahidah.

30. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya: – Ad-Durar al Kaminah fi

A’yan al Mi-ah ats-Tsaminah – Lisan al Mizan – Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari – Al Isyarah Bi

Thuruq Hadits az-Ziyarah

31. Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-

ilah al Makkiyyah.

32. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli Syuhbah asy- Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadli Syuhbah

33. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa

Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila al Imam Ahmad.

34. Pimpinan para ulama seluruh Afrika, Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803 H).

35. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamid ad-Din al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W867 H) dalam

risalahnya Ar-Radd ‘Ala Ibnu

36. Syekh Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki (W899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.

37. Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam Al I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.

47
38. Ahmad ibn Muhammad Yang dikenal denganIbnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul

an-Nashir fi Raddi Khabath ‘Ali ibn Nashir.

39. Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W 968

H), beliau mencela Ibnu Taimiyah.

40. al Bayyadli al Hanafi (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram Min ‘Ibarat al Imam.

41.Syekh Ahmad ibn Muhammad al Witri (W 980 H) dalam Raudlah an- Nazhirin WaKhulashah

Manaqib ash- Shalihin.

Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Mencari cari takwil


7 September 2017 oleh mutiarazuhud

Hal yang dilarang mencari-cari takwil bukan menakwilkan dengan ilmu yang terkait bahasa

Arab

48
Contoh lainnya mereka melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala

dan RasulNya adalah mereka melarang (mengharamkan) mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat

dengan menyalahgunakan firman Allah Ta’ala yang artinya,

“Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti

ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak

ada yang tahu takwilnya kecuali Allah Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami

beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat

mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. ” (Q.S. Al Imran [3] : 7)

Justru mereka yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga

menimbulkan fitnah.

Contoh fitnah mereka dengan mengatasnamakan sebagai pemahaman para Sahabat (Salafus Sholeh),

salah satu ulama panutan mereka yang membaca dan memahami sebuah hadits shahih namun

karena salah memahaminya sehingga mereka bertuhan bukan kepada Allah Ta’ala.

Mereka bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat mereka selalu

berpegang pada nash atau dalil secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.

Jelas sekali bahwa apa yang mereka sampaikan bukan aqidah atau pemahaman para Sahabat

(Salafush Sholeh) melainkan aqidah atau pemahaman mereka sendiri menurut akal pikiran mereka

sendiri terhadap nash atau dalil yang mereka baca.

Silahkan periksa tulisannya pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-

tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan

Sedangkan mereka yang mencari-cari takwil adalah mereka yang menakwilkan mengikuti hawa nafsu

mereka.

Jadi yang dilarang adalah mencari-cari takwil bukan menakwilkan dengan ilmu-ilmu yang terkait

bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani,

bayan dan badi’) dan lain lain karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush

shilat [41]:3)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentu tidak mendoakan hal yang terlarang yakni mendoakan

Ibnu Abbas ra agar Allah Ta’ala menganugerahkan kemampuan takwil

Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al ta’wil

49
Ya Allah dalamkanlah pengetahuannya dalam agama dan ajarilah ia takwil Qur’an

atau

Allahumma ‘allimhu al hikmah.

Ya Allah alimkanlah dia dengan hikmah

atau

Allahumma faqqihu fiddini, wa allimhu al hikmata at ta’wila qurana

Ya Allah dalamkan pengetahuannya dalam agama dan alilmkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al

Qur’an (HR Ibnu Majah)

Begitupula “tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah” namun pada ayat yang lain Allah Ta’ala telah

berfirman bahwa Dia mengkaruniakan kemampuan takwil kepada yang dikehendakiNya yakni Ulil

Albab

Kemampuan takwil adalah kemampuan memahami dengan mengambil pelajaran berdasarkan karunia

hikmah dari Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada siapa yang dikehendakiNya

“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah)

kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah

dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman

Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269).

“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui”

(QS Fush shilat [41]:3)

“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak

mengetahui.” (QS. an-Nahl [16] : 43)

Ulil Albab atau ahli dzikir atau orang yang mempunyai pengetahuan karena karunia hikmah dari Allah

Ta’ala adalah

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring

dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami,

tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa

neraka” (Ali Imran [3] : 191)

50
Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah

dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya

selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.

Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna

metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.

Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut

Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk

menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan

pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/

Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna

dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks

tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).

Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh

ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau

makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena

jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak

patut bagiNya.

Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu

balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu

sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan.

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik

dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu

sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para

ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan

orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan

menyesatkan (HR Bukhari 98)

Ironisnya mereka yang terjerumus kesesatan akibat salah memahami Al Qur’an dan Hadits, justru

mereka menganggap “telah kafir” bagi umat Islam yang tidak mau mengikuti pemahaman mereka

yang “tanpa perlu takwil” alias “tanpa takwil” yakni memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan

51
untuk diriNya selalu dengan makna dzahir karena dianggap telah mengingkari sifat-sifat Allah

sebagaimana yang mereka publikasikan pada http://almanhaj.or.id/content/794/slash/0/mengingkari-

tauhid-asma-wa-sifat/

***** awal kutipan ****

Mengingkarinya setelah mengetahui bahwa itu memang benar adanya. Mereka mengingkarinya secara

sengaja, dan mengajak yang lain untuk mengingkarinya. Maka mereka yang berlaku seperti ini telah

kafir karena mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya. Padahal mereka mengetahui

hal tersebut tanpa perlu takwil-nya.

***** akhir kutipan *****

Kaum muslim yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat tentu bukanlah

mengingkari sifat-sifat Allah atau bukanlah mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya

namun mengingkari memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang

pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir karena akan terjerumus

kekufuran dalam i’tiqod.

Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum

Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,

“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah

satu pangkal kekufuran”.

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam dalam kitab “Tanbiat Al-Ghabiy Bi

Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang

berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad

, ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan,

mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”

Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat benda

dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.

Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah

dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya:

“Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau

karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam

i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan

52
mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-

Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).

Mereka yang mengingkari Allah dan hukumnya ‘aashin yakni berbuat durhaka kepada Allah akibat

mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan

makna dzahir.

Berikut kutipan tulisan syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi

‘alaUmmil Barahin” sebagaimana yang dikutip pada http://santri.net/aqidah-akhlak/aqidah/hukum-

mengitiqadkan-allah-swt-seperti-makhluk/

***** awal kutipan *****

Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim

(seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya, maka orang

tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa

Ta’ala.

I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala

itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah

Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.

***** akhir kutipan *****

Oleh karenanya sebaiknya janganlah berguru atau mengambil pendapat dari orang-orang yang

“kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka

sendiri karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an

dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”.

(HR. Ahmad)

Mereka yang menyatakan bahwa “Tuhan yang bilang memiliki wajah, mata, pinggang, tangan, kaki

dan lain lain, bahkan ada yang menyatakan Tuhan mereka memiliki dua tangan dan keduanya kanan

maka pernyataan itu membuktikan bahwa mereka memahami firman Allah secara otodidak (shahafi)

menurut akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/07/16/tuhan-yang-bilang/

Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang

disangkakan oleh orang awam.

53
Dalam perkara aqidah atau i’tiqod tidak ada perbedaan di antara mazhab yang empat karena i’tiqod

bukanlah masalah yang bersifat furu’iyyah. Kesalahpahaman dalam i’tiqod menyebabkan terjerumus

kekufuran dalam i’tiqod.

Apa yang mereka alami pada masa sekarang, dahulu kala telah dihadapi oleh ulama Hanbali yang

ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-

Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi ketika meluruskan kesalahpahaman 3 ulama semula

bermazhab Hanbali akibat mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman

mereka selalu dengan makna dzahir.

Ibn al Jawzi berkata, “sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar

berita (nash) bahwa Allah memiliki kepala”

Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih untuk

menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama tersebut. Contoh terjemahannya

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf

Berikut sedikit kutipan dari kitab tersebut,

****** awal kutipan ******

Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal).

Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara

yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli

maupun dari dalil aqli.

Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat

tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau

melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts).

Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li”

saja bagi Allah hingga mereka mengatakan“Sifat Dzât”

****** akhir kutipan *****

Ibn al Jawzi di atas menjelaskan bahwa mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il”

(sifat perbuatan) saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”

Kita mengetahui “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) bagi Allah seperti Maha Melihat , Maha Mendengar

namun terlarang mensifatkan DzatNya seperti Allah memiliki wajah, pinggang, dua mata, dua tangan

54
dan keduanya kanan dan lain lainnya karena tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu

wa Ta’ala kecuali Dia.

Jadi mereka yang mengaku ahlussunnah namun pada kenyataannya mereka melanggar larangan

Rasulullah yakni larangan untuk menanyakan atau memikirkan DzatNya sebagaimana yang telah

disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/30/bertanya-tanpa-berpikir/

Paham Wahabisme adalah ajaran berdasarkan pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhamnad

bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang

dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana contoh informasi resmi

dari http://saudiembassy.net/islam

“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined

forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of

Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.

Berikut contoh kutipan catatan kaki (footnote) ketika mereka menafsirkan QS Al Baqarah [2]:255

sebagaimana termuat dalam mushaf Al Madinah An Nabawiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia dan dicetak di Komplek Percetakkan Al Qur’an Al Karim kepunyaan Raja Fahd yang biasa

menjadi oleh-oleh bagi Jama’ah haji atau umroh Indonesia.

***** awal kutipan ****

161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang

mengartikan kekuasaan-Nya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak

telapak Kaki-Nya.”

***** akhir kutipan ****

Kutipan di atas dapat pula dilihat secara online pada http://www.quranonline.net/ebooks-

quran/ebook-quran-indonesian-translation.html

Begitupula dalam perkara aqidah, ustadz panutan mereka, Khalid Basalamah salah dalam memahami

Al Qur’an dan Hadits akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamanya selalu

dengan makna dzahir sebagaimana yang dapat disaksikan dalam sebuah video yang dipublikasikan

pada http://www.youtube.com/watch?v=IxPYMh-KWFg

Pada menit 02:55 Beliau berpendapat bahwa, “Allah itu Maha Besar. Jadi kenapa Allah itu tidak

kelihatan karena Allah terlalu besar untuk dilihat”

Pada menit 03:35 Beliau berpendapat bahwa, “Ayat kursi berarti informasi tentang pijakan kakinya

Allah di singgasana”.

55
Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah

kaki seperti

Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada

seorang pun yang dapat memperkirakan ukurannya.”

Berikut kutipan penjelasan Ibn al Jawzi terkait riwayat tersebut,

***** awal kutipan ****

Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat

Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa

riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa

hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa

hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah

Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah

bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki

seorang yang duduk di atas ranjang

Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada

di bawah tempat duduk (singgasana) mereka”.

***** akhir kutipan *****

Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya

kursi Allah dengan Arsy Nya. Tidak lebih dari itu.

Contoh lain mereka yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai Telapak Kaki (Qadamur Rahman)

akibat memahami selalu dengan makna dzahir terhadap riwayat seperti berikut,

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Setiap kali Jahannam dilempari (dengan

penghuninya) ia (Jahannam) senantiasa mengatakan, “Masih adakah tambahan?” Sehingga Rabbul

‘Izzah (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak kaki-

Nya di atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya, lalu ia (Jahannam)

berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848)

Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-

bagi, tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan berpindah-

pindah. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid al-Harawi dan Imam al-Hasan al-Bashri, bahwa ia (al-

56
Hasan al-Bahsri) berkata: Yang dimaksud “ ‫( ” قدم‬makna dzahirnya kaki) dalam hadits di atas adalah

orang-orang yang didatangkan (dimasukkan) oleh Allah dari para makhluk-Nya yang jahat di dalam

neraka Jahanam”.

Akibat mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu

dengan makna dzahir sehingga mereka belum dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya

terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Yahudi.

Contohnya pertanyaan kaum Yahudi dalam riwayat berikut

Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy

dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada

Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari,

seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan

semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang

raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang

artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar

[39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)

Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti

pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah

kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “ ‫وما‬

‫“( ” قدروا هللا حق قدره‬Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az

Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”

Mereka mengatakan bahwa “kaki gajah dan kaki semut tidak sama walaupun sama-sama kaki

namanya. Begitupula kaki meja dan kaki kamera yang untuk sandaran juga tidak sama walaupun

sama-sama kaki namanya” sebagaimana yang dapat disaksikan dalam video

pada http://www.youtube.com/watch?v=CaT4wldRLF0 mulai pada menit ke 03 detik 15.

Walaupun kaki manusia, kaki meja, kaki kursi, kaki kamera berbeda bentuk dan ukurannya namun

mempunyai sifat yang sama yakni bagian bawah, untuk penopang (penyangga) sedangkan Allah

Ta’ala “Laisa kamitslihi syaiun” tidak serupa dengan makhlukNya dari sisi apapun.

Mereka lupa bahwa walaupun bentuk dan ukuran kakinya berbeda, sifat kaki bagi kaki semut, kaki

gajah, kaki meja atau kaki kamera adalah untuk menopang sesuatu yang mempunyai suatu bentuk

serta ukuran.

57
Jika tidak menopang sesuatu maka tidak disifatkan dengan kaki seperti kaki semut, kaki gajah, kaki

meja, kaki kamera dan lain lain.

Jadi mereka mensifatkan yang tidak dilayak bagi Allah yakni sifat kaki, suatu bagian yang menopang

sesuatu yang mempunyai suatu bentuk serta ukuran walaupun dikatakan bentuknya tidak serupa

dengan makhlukNya sedangkan bentuk dan ukuran adalah sifat makhluq bukan sifat Allah Ta’ala.

Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh

disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-

sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata

dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang)

seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)

Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata:“Barang siapa beranggapan

(berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui (belum mengenal) Tuhan yang

wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)”

Mereka yang belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya sehingga dapat berakibat amal

ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla.

Imam Al Ghazali berkata : “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengenal Allah yang

wajib disembah”

KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu

faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang

telah diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/

“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal

Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).

Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai

sarana mengenal Allah.

Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah)

dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana mengenal Allah yang

merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat

yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.

58
Selain itu aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan

sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.

Ada dua cara dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah yang ditetapkanNya yakni

1. Cara yang dipergunakan oleh Salafush Sholeh yakni

Beriman pada lafaz-lafaz yadd, ain, janbun dan lain lain namun tidak meng-kaif atau tidak

membagaimanakan yadd, ain, janbun dan lain lain maksudnya tidak memaknakan yadd, ain, janbun

dan lain lain dengan makna dzahir atau makna yang asal menurut bahasa namun membiarkan

sebagaimana lafaznya dan menyerahkan maknanya kepada Allah yang disebut dengan TAKWIL IJMALI

(ringkas dan menyeluruh)

2. Cara yang digunakan oleh ulama khalaf (kemudian) untuk menjawab pertanyaan orang-orang yang

suka menggunakan akal pikirannya sendiri yakni

Beriman pada lafaz-lafaz yadd, ain, janbun dan lain lain dan memahaminya menggunakan ilmu tata

bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu

lainnya karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) yang disebut

dengan TAKWIL TAFSILI (memalingkan dari makna dzahir)

Berikut contoh cara memahami takwil ijmali dan tafsili,

Si A berkata bahwa gadis itu cantik bagaikan bulan. Sore itu bulan masuk ke warung makan.

Takwil Ijmali “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung

makan” tetapi saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah

yang mengetahuinya

Takwil Tafsili “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung

makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di

waktu malam, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.

Jadi dalam memahami sifat Allah yang ditetapkanNya boleh menggunakan takwil ijmali atau takwil

tafsili karena takwil ijmali dengan takwil tafsili adalah sejalan atau tidak bertentangan.

Para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa Salafush

Sholeh bermanhaj isbat yakni mengisbatkan (menetapkan) semua sifat-sifat Allah dengan mengetahui

59
maknanya dan Salafush Sholeh hanya menafikan pengetahuan tentang keadaan sifat tersebut (nafi

ilmul kaif)

Pada kenyataannya, Salafush Sholeh bukanlah nafi ilmul kaif melainkan nafi aslul kaif yakni menafikan

akan adanya keadaan kaif itu sendiri yang di nisbat kan pada Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala

Menafikan aslul kaif berarti mencegah orang dari menggambarkan lafaz-lafaz ayat sifat tersebut

dengan maknanya dari sudut bahasa atau makna dzahir karena ketika seseorang mendengar lafaz-

lafaz ayat sifat akan terus menggambarkan sifat-sifat tersebut dengan makna dzahir maka dia akan

terjerumus kepada paham tajsim atau menjisimkan Allah Subhanahu wa Ta’ala

Terhadap lafaz-lafaz ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan selalu berdasarkan maknanya

secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafaz-lafaz ayat

sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.

Terhadap lafaz-lafaz ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih

tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di

dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan

membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk

jatuh dalam kesesatan tasybîh”

Salafush Sholeh bukanlah menetapkan berdasarkan makna dzahir (isbat makna dzahir) sebagaimana

pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah melainkan menetapkan berdasarkan

lafaznya (isbat lafaz) dan tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa dan menyerahkan maknanya

kepada Allah.

Salasush Sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin

Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah?

Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir“

Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa

Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak

boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan

(makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).

Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak

boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada

bahasa Arab”.

60
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-

Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu

itu”.

Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-

ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya.

Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.

Ada pula para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang tidak anti takwil namun

mereka hanya mau mentakwilkan kalau ada qorinah (petunjuk) dari ayat lain atau ada penjelasan dari

hadits terhadap ayat tersebut.

Penakwilan atau memalingkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih sesuai selain

berdasarkan qorinah (petunjuk) dari ayat atau nash yang lain.

Ada pula penakwilan berdasarkan qorinah (petunjuk) dari ayat itu sendiri dalam jumlah keseluruhan

atau sebahagian dari ayat tersebut yang dimengerti oleh para ahlinya berdasarkan ilmu-ilmu terkait

bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani,

bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/08/pengertian-takwil/

Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa “Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang

pengambilan makna dari lafaz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti

yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafaz dzahir.”

Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa: “Membawa makna lafaz dzahir yang mempunyai ihtimal

(probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.

Sedangkan menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafaz dari artinya yang dzahir kepada

makna yang lain, tetapi bukan dzahirnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa takwil adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain

yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173].

Alasan yang dapat diterima oleh akal sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni

1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.

61
2. Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al

Quran.

Contoh ayat mengandung lafazh yang kalau dipahami dengan makna dzahir adalah wajah Allah.

Salah seorang ulama panutan mereka yakni Albani menentang takwil QS al-Qashash [28] : (88) yang

diriwayatkan oleh Imam Bukhari ,

‫كل سيء هالك إال وجهه‬

‫ أي ملكه‬: ‫قال البخاري بعد هذه األية‬

Ketika ditanya tentang penakwilan seperti dalam Shahih al-Bukhari tersebut, al-Albani mengatakan

dalam kitab karyanya; al Fatawa, hlm. 523:

“‫”هذا ال يقوله مسلم مؤمن‬,

Siapa yang mentakwil firman Allah “Kullu Sya’in Halikun Illa Wajhahu” dengan takwil “kecuali Mulk”

maka “Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman“ sebagaimana gambar

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/03/menentang-takwil.jpg

Para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa perkataan Albani,

“Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman“ bukanlah ditujukan kepada Imam

Bukhari namun kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna rahimahullah karena menurut mereka

Imam Bukhari hanya meriwayatkan ucapannya saja.

Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa pada riwayat An-Nasafi terhadap Shahih Al

Bukhari terdapat lafal: “kecuali Mulk” yang dinisbatkan kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin Al Mutsanna.

Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata; “Perkataan “kecuali wajah-Nya” adalah kecuali Mulk, ada

pada riwayat An-Nasafi. Ma’mar berkata;…(seperti telah disebutkan). Dan Ma’mar adalah Abu

Ubaidah, Ibnul Mutsanna. Dan ini adalah perkataannya dalam kitab-Nya Majaz Al Qur’an namun

dengan lafal: “kecuali Dia”. Fathul Bari (8/505)

Jadi jelaslah Ma’mar bin al-Mutsanna Abu Ubaidah menafsirkan dengan menakwilkan lafaz yang kalau

dimaknai secara dzahir adalah “Wajah Nya” dengan memalingkannya kepada sifat Mulk atau Malikul

Mulk (Pemilik kerajaan, Raja dari segala raja) yang dimaksud adalah Allah Ta’ala itu sendiri dan pada

kesempatan yang lain ditegaskan dengan lafal: “Kecuali Dia”

Begitupula Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

62
ْ ‫ { ُك ُّل ش‬:‫وهكذا قوله ها هنا‬.
‫ إال إياه‬:‫َيءٍ هَا ِلكٌ إِال َو ْج َههُ } أي‬

“Demikian juga, firmanNya di sini: “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya”, yaitu kecuali

DiriNya” (Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/261)

Jadi kesimpulannya mereka menyalahkan , menganggap bukan “muslim yang beriman” atau bahkan

mengkafirkan (menganggap bukan muslim) terhadap muslim lain yang tidak sepaham (sependapat)

dengan mereka seperti muslim yang memahami firman Allah QS al-Qashash [28] : 88 sebagai “Segala

sesuatu akan binasa kecuali Dia”

Mereka menganggap atau menuduh muslim lain yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka

sebagai bukan “muslim yang beriman”, sebaimana anggapan atau tuduhan mereka terhadap Abu

‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w. 208) pakar ilmu bayan, pengarang kitab pertama kali yang

disusun dalam bidang balaghah, tentang ilmu bayan, yaitu kitab Majazul Qur’an sebagaimana

informasi pada http://iancakepcool.blogspot.co.id/2009/04/makalah-balagah.html

Ibn Al Jawzi menjelaskan bahwa para ahli tafsir berkata: ”Makna ”‫ ;”ويبقى وجه ربك‬artinya ”‫” ;”ويبقى ربك‬Dan

Tuhanmu (Allah) maha kekal”. Demikian pula pemahaman firman Allah yang senada dengan ayat di

atas, firman-Nya: ”‫ ;”يريدون وجهه‬para ahli tafsir berkata: ”Artinya ”‫” ;”يريدونه‬Mereka bertujuan ikhlas

karena Allah”. Sementara Imam ad-Dlahhak dan Abu Ubaidah menafsirkan firman Allah ” ‫كل شىء هالك إال‬

‫ ;”وجهه‬artinya ”‫” ;”إال هو‬Segala sesuatu akan punah kecuali Allah”.

Begitupula dari kalangan masyarajat Arab klasik bahwa kata wajah biasa digunakan merujuk kepada

wajah yang dikenal secara denotatif, dan kadang juga digunakan oleh bangsa Arab merujuk diri

seseorang, artinya mereka menggunakan ungkapan “wajah” untuk menyebut “diri seseorang”,

maksudnya adalah dzatnya, secara majaz (metaforis atau makna kiasan).

Begitu juga dengan juga kata “wajah”, orang Arab biasa menggunakannya secara majaz (metaforis

atau makna kiasan) untuk mengungkapkan sosok seseorang demi memuliakannya. Maka mereka

berkata: jaa’a wajhul qoumi telah datang wajah kaum.

Paham Wahabisme terjerumus mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat, salah

satunya karena Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa apa yang disampaikannya adalah mazhab salaf

sebagaimana kutipan fatwanya dari http://almanhaj.or.id/content/1474/slash/0/antara-ahlus-sunnah-

dan-salafiyah/

***** awal kutipan *****

Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah

63
dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat

kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti

benar [Majmu Fatawa 4/149]

***** akhir kutipan *****

Istilah mazhab (manhaj) Salaf adalah keliru karena penisbatan nama mazhab kepada nama

perorangan bukan pada suatu kelompok atau nama generasi.

Penisbatan nama mazhab adalah kepada fuqaha (ahli fiqih) atau ahli istidlal yang telah meraih

kompetensi sebagai Mujtahid Mutlak atau Mufti Mustaqil

Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam As-Salafiyyah: Marhalah Zamaniyyah

Mubarakah, La Mazhab Islami yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Gema

Insani Press menjelaskan bahawasanya, “istilah salaf itu bukanlah suatu mazhab dalam Islam,

sebagaimana yang dianggap oleh sebagian mereka yang mengaku sebagai salafi, tetapi istilah salaf

itu sendiri merujuk kepada suatu zaman awal umat Islam“.

Hal yang perlu kita ingat bahwa nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in tercantum pada hadits,

pada umumnya sebagai perawi bukanlah menyampaikan pemahaman atau hasil ijtihad dan istinbat

mereka.

Para perawi sekedar mengulangi kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah.

Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya-dalam

lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada

orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) menyampaikannya kepada orang

yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak

memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu

Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).

Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang sekedar menghafal dan menyampaikan

saja tanpa memahami hadits yang dihafal dan disampaikannya.

Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam

bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu

‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi

darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak meluangkan

64
waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan

furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang

dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para Sahabat) merupakan

pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-

hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar

dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.

Dari penjelasan Imam Nawawi di atas dapat kita pahami bahwa Imam Mazhab yang empat yang

menyusun ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip dasar ( asas) beserta cabangnya (furu) yang akan

diikut umat Islam sampai akhir zaman.

Mereka yang membeli atau memiliki kitab-kitab hadits kemudian mereka membacanya maka tidak

dapat dikatakan bahwa mereka telah mengikuti pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh) hanya

dikarenakan dalam hadits tercantum nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in karena ketika mereka

membaca hadits maka itu adalah pemahaman mereka sendiri terhadap hadits yang mereka baca,

bukan pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh)

Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh) berijtihad dengan

pendapatnya terhadap hadits yang mereka baca.

Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu

mereka sendiri.

Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala

mereka sendiri.

Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan pahami

adalah pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh)

Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka hanya

dikenal sebagai ahli membaca hadits bukan dikenal berkompetensi sebagai ahli istidlal sebagaimana

Imam Mujtahid Mutlak atau Mufti Mustaqil

Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada para Sahabat (Salafush

Sholeh) .

Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap para Sahabat (Salafush Sholeh)

dan sekaligus fitnah terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

65
Berikut kutipan tulisan Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA yang menjelaskan bahwa ke empat mazhab fiqih

itulah the real salaf, sedangkan paham Wahabisme yang mengangkat pola pemahaman Ibnu

Taimiyyah adalah mazhab dzahiriyyah yakni mereka yang selalu berpegang pada nash secara dzahir

atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.

***** awal kutipan ******

Mazhab Fiqih Yang Empat Adalah Salaf

Sementara kita memperbincangkan bahwa salaf itu bukan nama sebuah sistem, sebenarnya justru

keempat mazhab yang kita kenal itu hidupnya malah di masa salaf, alias di masa lalu.

Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir hanya terpaut 70 tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Apalah

seorang Abu Hanifah bukan orang salaf? Al-Imam Malik lahir tahun 93 hijriyah, Al-Imam Asy-Syafi’i

lahir tahun 150 hijriyah dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal lahir tahun 164 hijriyah. Apakah mereka

bukan orang salaf?

Maka kalau ada yang bilang bahwa mazhab fiqih itu bukan salaf, barangkali dia perlu belajar sejarah

Islam terlebih dahulu. Sebab mazhab yang dibuangnya itu ternyata lahirnya di masa salaf. Justru

keempat mazhab fiqih itulah the real salaf.

Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka

juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah SAW wafat.

Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan

orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita.

Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun

dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem dan

metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah menciptakan ilmu

ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.

Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak

menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya

cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.

Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri

Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf,

sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah

66
yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka

berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.

Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas,

mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka

tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya

nash yang lebih baru turunnya.

Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-

jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu

mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut mereka

lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.

Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya

sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu

tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari

pakem para ahli hadits sendiri.

Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua

terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya

ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar

mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang

mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.

****** akhir kutipan ******

Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti

pemahaman seorang ulama sebelum bertaubat.

Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan sebuah tulisan berjudul

“Taubatkah Ibnu Taimiyah kedalam Aqidah Asy’ariyah?” dari sebuah

link http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/04/23/taubatkah-ibnu-taimiyah-kedalam-aqidah-

asyariyah/

Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari

pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan

makna dzahir

67
Memang ada yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian

taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai sidang ke empat hingga ia

wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar

dari http://www.muslimedianews.com/2015/02/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-ditangan.html

Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala

menerima taubat beliau.

Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka

menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat)

dengannya sebagaimana informasi yang kami arsip (salin)

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-

ibnu-taimiyyah.pdf

Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah

(W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.

Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah

(menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul

Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)

Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun

ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para

pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.

Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang

merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad

bin Abdul Wahhab.

Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak

lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil

Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.

Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada

penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id

bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat

pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah

68
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan

kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian

diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.

Hal yang perlu kita ingat bahwa sesat berbeda dengan kafir. Kesesatan bukan selalu berarti kafir atau

bukan Islam. Kesesatan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.

Seorang Ahli Hadits yang mendapat gelar Al-Hafidz Al-Faqih, Waliyuddin Al-Iraqi bin Syaikh Al-Haffadz

Zainuddin Al-Iraqi berkata ” Sesungguhnya Ibnu Taimiyyah telah merusak mayoritas umat muslim di

dalam banyak permasalahan, dikatakan mencapai 60 permasalahan sebagian mengenai akidah dan

sebagian lainnya mengenai furu’. Ia telah menyalahi permasalahan-permasalahan yang telah

disepakati oleh umat Islam “. (Al-Ajwibatul Mardhiyyah ‘alal mas-alatil makkiyyah)

Imam Ibn Hajar Al-Haitami menyampaikan dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu

Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat)

bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah

menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara

ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga

berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga

berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci

atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman

116)

Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami) berkata ” Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan

apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya

dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah

menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjadikan penghalang atas

pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telah Allah

jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah : 203)

Memang ada ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau

mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang

menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat

kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’

69
Akibatnya para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengungkapkan

kekhawatiran atas fatwa sejak zaman dahulu kala tersebut

pada http://faisalchoir.blogspot.co.id/2011/12/ibnu-taimiyah-dikafirkan-ibnu-hajar.html

***** awal kutipan *****

Penyebab kitab ini dikarang sebagaimana yang tercantum dalam kitab tersebut adalah Fatwa yang

menyebar di khalayak Umum saat itu tentang kafirnya orang yang memberi julukan ibnu Taimiyah

sebagai Syaikhul Islam dan tidak sah sholat dibelakang orang tersebut.

Fatwa tersebut secara jelas bukan saja pengkafiran terhadap Ibnu Taimiyah, tapi juga pengkafiran

terhadap pengikutnya.

***** akhir kutipan ****

Sebagai pembelaan terhadap ulama panutan mereka dengan mengutip tulisan Al Hafizh as-Sakhawi

dalam kitab Al-Jawahir wad-Durar, 2/734-736 menukil pendapat gurunya, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-

Asqalani , “Beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah Syaikhul Islam tanpa ada keraguan” sebagaimana tulisan

sejenis pada http://abul-harits.blogspot.co.id/2013/03/pembelaan-al-hafidz-ibnu-hajar-terhadap.html

Namun mereka tampaknya kurang memperhatikan catatan penting Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab

yang mereka kutip sendiri yakni

‫ والذي أخطأ فيه ال يقلد فيه‬، ‫ ويترحم عليه بسببه‬، ‫ فالذي أصاب فيه – وهو األكثر – يستفاد منه‬، ‫ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب‬

“Meskipun demikian, beliau adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran

yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil

dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.

Catatan penting tersebut bukanlah masalah furuiyyah namun masalah pokok yakni aqidah

sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-

Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 sebagaimana yang dinformasikan pada http://www.aswj-

rg.com/2014/06/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al-asqalani-terhadap-ibnu-taimiyah.html

****** awal kutipan ******

Manusia terbagi menjadi beberapa kubu dalam menilai Ibnu Taimiyyah, ada sebagian kelompok yang

menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam

kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya : Ibnu Taimiyyah

mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah,

dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya. Maka ketika dipersoalkan, hal itu

akan melazimkan Allah memiliki batasan dan bagian, maka ia menjawab, “ Aku tidak setuju batasan

dan bagian termasuk kekhushusan jisim “. Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah

70
mengatakan batasan bagi Dzat Allah.

****** akhir kutipan ******

Jadi Ibnu Hajar Al-Asqalani pun menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap permasalahan pokok

bukan furuiyah yakni dalam perkara aqidah atau kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang mensifatkan Dzat

Allah alias meng-kaif-kan (membagaimanakan) Dzat Allah.

Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan

Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang

cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat)

dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan

menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat

sebagaimana yang dipubllikasikan pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html

Berikut kutipannya

***** awal kutipan *****

Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H

hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu

menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :

1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.

2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.

3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.

4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.

Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2

halaman 210 menegaskan :

“‫”وحبس بإحماع العلماء ووالة األمور‬.

“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”

Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan,

khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar

A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.

71
Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu

Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang

bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang

tidak sependapat dengan mereka.

***** akhir kutipan ******

Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa

dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan

membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah

karena beliau mengutip pendapat ulama terdahulu maupun memahami Al Qur’an dan As Sunnah

bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri

dan beliau selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman beliau selalu dengan makna

dzahir

Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:

1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian

menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat

Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah

an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan

biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.

2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al

Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.

3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam

I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.

4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata:

“Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan

wajib dibunuh”.

5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau

mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya

6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu

Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara

(berfirman) dengan huruf dan suara”.

72
7. Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam berapa karyanya:

– Al I’tibar Bi Baqa al Jannah Wa an-Nar

– Ad-Durrah al Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah

– Syifa as-Saqam fi Ziyarah Khairi al Anam

– An-Nazhar al Muhaqqaq fi al Halif Bi ath-Thalaq al Mu’allaq

– Naqd al Ijtima’ Wa al Iftiraq fi Masa-il alAyman wa ath-Thalaq

– at-Tahqiq fi Mas-alah at Ta’liq

– Raf’ asy-Syiqaq ‘An Mas-alah ath-Thalaq.

8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal

dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.

9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti

dijelaskan dalam:

– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.

– Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam.

10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn

Musallam ibn Malik ash-Shalihi al Hanbali (W 762 H).

11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H).

Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul

Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.

12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan

menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam

Rasulullah.

13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.

14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu

Taimiyah dalam empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.

15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya

Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi.

73
16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua

risalahnya:

– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalahath-Thalaq.

– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalah az-Ziyarah.

17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-

Radd ‘Ala ibn Taimiyah..

18. Al Faqih al Muhaddits Jalal ad-Din Muhammad al Qazwini asy-Syafi’i (W 739 H)

19. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk

memenjarakannya.

20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam

dua risalahnya : – Bayan Zaghal al ‘Ilm wa ath-Thalab. – An-Nashihah adz-Dzahabiyyah

21. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al

Muhith.

22. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).

23. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah alKubra.

24. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya :‘Uyun at-

Tawarikh.

25. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al

Mukhtarah Fi ar-Radd ‘Ala Munkir az-Ziyarah.

26. Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri al Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al Mardhiyyah fi ar-

Radd ‘Ala Man Yunkir az- Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan

Al-Barahin as- Sathi’ah karya Al ’Azami.

27. Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743 H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq

28. Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani al- Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhatsal

Jaliyyah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah.

29. Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad, yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H)

dalam : Bayan Musykil al Ahadits al Waridah fi Anna ath-Thalaq ats-Tsalats Wahidah.

74
30. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya: – Ad-Durar al Kaminah fi

A’yan al Mi-ah ats-Tsaminah – Lisan al Mizan – Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari – Al Isyarah Bi

Thuruq Hadits az-Ziyarah

31. Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-

ilah al Makkiyyah.

32. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli Syuhbah asy- Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadli Syuhbah

33. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa

Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila al Imam Ahmad.

34. Pimpinan para ulama seluruh Afrika, Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803 H).

35. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamid ad-Din al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W867 H) dalam

risalahnya Ar-Radd ‘Ala Ibnu

36. Syekh Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki (W899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.

37. Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam Al I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.

38. Ahmad ibn Muhammad Yang dikenal denganIbnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul

an-Nashir fi Raddi Khabath ‘Ali ibn Nashir.

39. Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W 968

H), beliau mencela Ibnu Taimiyah.

40. al Bayyadli al Hanafi (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram Min ‘Ibarat al Imam.

41. Syekh Ahmad ibn Muhammad al Witri (W 980 H) dalam Raudlah an- Nazhirin WaKhulashah

Manaqib ash- Shalihin.

Dan lain lain

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

75
« Sidratul Muntaha
Isbat lafaz »

Pengertian takwil
8 Februari 2016 oleh mutiarazuhud

Pengertian takwil dan fungsi pencegahan mensifatkan Tuhan dengan sifat tidak layak

bagiNya

Ada pula dari mereka yang menyatakan bahwa mereka dalam menetapkan seluruh sifat-sifat yang

telah Allah tetapkan untuk diriNya, dan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

76
sallam tidak selalu tanpa takwil atau tidak anti takwil atau tidak menterjemahkan dan memahami

selalu dengan makna dzahir yakni ketika ada qorinah (petunjuk) dari ayat atau nash yang lain untuk

bisa ditakwil maka boleh ditakwil.

Jadi jelaslah mustahil tanpa takwil sama sekali.

Selain menakwilkan berdasarkan qorinah (petunjuk) dari ayat atau nash yang lain, penakwilan atau

memalingkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai berdasarkan qorinah

(petunjuk) dari ayat itu sendiri dalam jumlah keseluruhan atau sebahagian dari ayat tersebut.

Hal inilah yang disebut dengan akal pikiran mengikuti firmanNya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal

pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).

Tentulah kita mempergunakan akal pikiran untuk memahami Al Qur’an namun ada dua jenis cara

mempergunakan akal pikiran yakni

1. Akal pikiran mendahului firmanNya

2. Akal pikiran mengikuti firmanNya

Akal pikiran mendahului firmanNya ditimbulkan karena mengikuti hawa nafsu.

Kita harus dapat membedakan antara BERDALIL dengan BERDALIH

“Menggunakan” ayat-ayat Allah untuk PEMBENARAN inilah yang disebut “BERDALIH”

“Menggunakan” ayat-ayat Allah untuk menegakkan KEBENARAN inilah yang disebut “BERDALIL”

Contoh orang-orang yang suka mempergunakan firman Allah bukan untuk berdalil tetapi untuk

berdalih adalah orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari Bani Tamim yakni orang-

orang yang menyalahkan umat Islam lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka

sehingga mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yang

disebut dengan khawarij

Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.

Oleh karena mereka salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka bersikap takfiri

yakni mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka dan berujung

menghalalkan darah atau membunuhnya.

77
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari Bani Tamim atau kaum khawarij suka

mempergunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk

menyerang kaum muslim yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka

Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-

ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang

beriman”.[Lihat: kitab Sohih Bukhari jilid:4 halaman:197]

Sedangkan akal pikiran mengikuti firmanNya adalah akal pikiran yang ditundukkan kepada akal qalbu

dengan mengikuti tata cara dalam memahami Al Qur’an. dan As Sunnah

Untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah tidak cukup dengan arti bahasa saja dan apalagi hanya

berbekal makna dzahir saja.

Makna dzahir atau makna harfiah atau makna literal atau makna indrawi adalah makna dari apa yang

tampak atau makna dari apa yang tertulis (tersurat) atau makna leksikal yakni makna dasar yang

terdapat pada setiap kata atau kalimat atau makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang

lain dalam sebuah susunan kata atau kalimat.

Sedangkan makna majaz (makna kiasan) adalah termasuk makna bathin atau makna di balik yang

tampak atau makna di balik yang tertulis (tersurat) atau makna tersirat atau makna yang terkait

dengan makna gramatikal yakni makna turunan atau makna kata yang terbentuk karena penggunaan

kata tersebut dalam kaitannya dengan tata bahasa. Makna gramatikal muncul karena kaidah tata

bahasa, seperti afiksasi, pembentukan kata majemuk, penggunaan atau susunan kata dalam kalimat

dan lain lain

Contoh tangan makna harfiah atau makna kata secara lepas adalah bagian dari anggota tubuh

manusia namun ketika bersusunan seperti buah tangan, tangan kanan, tangan besi, ringan tangan

mempunyai makna yang berlainan.

Oleh karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) maka diperlukan

kompetensi menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat

seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum

secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat

lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz

mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq,

78
ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan

mansukh dan lain-lain.

Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hazm~rahimahullah mengatakan

***** awal kutipan *****

“rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab“ijtihad” adalah mengetahui naql.

Termasuk di antara faedah ilmu naql ini adalah mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk

memahami pengertian khitab-khitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya dengan

melalui makna lahiriah (makna tersurat / makna dzahir) dari berita-berita yang ada. Demikianpula

untuk menanggung bebannya tidaklah begitu sulit pelaksanananya.

Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui bagaimana caranya mengambil kesimpulan

hukum-hukum dari makna yang tersirat dibalik nas-nas yang ada. Termasuk di antara penyelidikan

yang menyangkut nas-nas tersebut adalah mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah

(makna dzahir) dan makna yang tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang terkandung

didalamnya.

Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas, ada sebuah atsar yang bersumber dari Abu

Abdur Rahman. ia telah menceritakan bahwa sahabat Ali ra, berjumpa dengan seorang qadi atau

hakim, lalu Ali ra bertanya kepadanya “Apakah kamu mengetahui masalah nasikh dan masukh?” Si

Qadi tadi menjawab: “Tidak”. Maka Ali ra menegaskan “Kamu adalah orang yang celaka dan

mencelakakan”

***** akhir kutipan *****

Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa Al-Haditsiyyah menisbahkan kepada Imam Ibn

‘Uyainah, beliau berkata: “Hadits itu menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”

Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab tersebut lalu mensyarahkan perkataan itu:

“Sesungguhnya hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut

bahwa keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya, bahkan

ada juga yang mengandung nasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya. Bahkan dalam

hadits juga mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu

Rabbuna… yang mana tidak diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha’ (ahli fiqh). Berbeda

dengan mereka yang sekedar mengetahui apa yang dzahir daripada hadits-hadits (khususnya

mutasyabihat) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-hadits mutasyabihat dengan makna

79
dzahir) pun sesat seperti yang berlaku pada sebahagian ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti

Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.” (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 202)

Di atas, Imam Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan bagaimana ahli hadits (ahli membaca hadits) seperti

Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya yang sesat dan menyesatkan karena selalu berpegang pada

nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.

Para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat mengelompokkan

ulama seperti Ibnu Taimiyyah , Muhammad bin Abdul Wahhab maupun Albani sebagai ahli hadits

dalam arti ahli membaca hadits bukan ahli hadits yang menerima hadits-hadits dari ahli hadits

sebelumnya secara turun temurun sehingga tersambung kepada Salafush Sholeh dan tersambung

kepada lisannya Rasulullah

Dalam memahami apa yang Allah Azza wa Jalla sifatkan untuk diriNya perlu menguasai ilmu balaghah

(sastra Arab) karena kita memahami dan meyakini apa yang tidak tampak oleh mata kepala

Firman Allah ta’ala yang artinya

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)

Oleh karenanya dikatakan bahwa tidak sempurna jika hanya mengetahui dan menguasai ilmu nahwu

dan sharaf tanpa mengetahui dan menguasai ilmu balaghah atau ilmu sastra Arab sebagaimana yang

telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/07/penyebab-

ketidakseimbangan/

Fungsi sastra adalah fungsi rekreatif, didaktif, estetis, moralitas dan religius yang semua itu

berhubungan dengan hati sehingga dapat membuka mata hati yang berujung dapat menyaksikan

Allah dengan hatinya (ain bashiroh)

Perhatikan ulama-ulama terdahulu kita yang mumpuni rata-rata mereka menguasai sastra dan

diantaranya dikenal sebagai pujangga atau sastrawan sehingga mereka keras dalam arti tegas

berpendirian, halus tutur katanya. Pandai memilih kata dalam memberi nasehat.

Rasulullah telah bersabda bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah bermunculan suara-suara

manusia meninggi (berteriak) di masjid-masjid.

Apa yang diperingatkan oleh Rasulullah tampaknya mulai kita saksikan pada masa kini di mana ulama

berdakwah seperti khotbah sholat Jum’at dengan suara meninggi (berteriak) , keras dan kasar karena

mereka kurang mendalami ilmu balaghah

80
Seolah-olah dihadapan para pendakwah tersebut adalah para pendosa dan hanya diri merekalah yang

akan masuk surga. Padahal mereka berpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah secara dzahir atau

pemahamannya selalu dengan makna dzahir.

Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap

pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang

yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk

neraka“

Dalam kajian ilmu-ilmu Balaghah, ungkapan dalam bentuk majaz lebih berkesan daripada ungkapan

hakiki. Berkesan di sini dalam arti mempunyai nilai tinggi dan makna yang dalam karena tidak seperti

ungkapan-unkapan seperti biasanya. Misalnya, seseorang hendak memuji kebaikan orang lain dengan

berkata “sungguh, kau adalah malaikat bagiku.” Ekspresi ini tentunya lebih bermakna dari pada

mengatakan “kau sangat baik, telah membantuku menyelesaikan masalah ini.” perumpamaan

“malaikat” tentunya dimaksudkan untuk mengungkapkan kebaikan yang sifatnya lebih dari pada

sekadar dengan menyebut “sangat baik”.

Hal ini tidak hanya terjadi dalam percakapan sehari-hari, al-Qur’an juga banyak menyuguhkan

ungkapan-ungkapan kiasan dalam menyampaikan pesannya.

Contohnya pada surat al-Baqarah ayat 187 yang artinya, “makanlah dan minumlah sehingga tampak

jelas bagimu benang putih dari benang hitamnya fajar, kemudian sempurnakanlah puasa hingga

malam.”

“Benang putih dari benang hitamnya fajar” yang dimaksud dalam ayat ini bukan benang dalam arti

alat yang biasanya dipakai untuk menjahit, akan tetapi –sebagaimana dijelaskan oleh Nabi dalam

hadisnya-, bahwa maksud ayat ini adalah putihnya siang dan hitamnya malam.

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id Telah menceritakan kepada kami Jarir dari

Mutharrif dari Asy Sya’bi dari ‘Adi bin Hatim radliallahu ‘anhu berkata; Aku bertanya ya Rasulullah

apakah yang dimaksud benang putih dan benang hitam itu? Apakah benar-benar berbentuk benang

tali? Beliau menjawab: ‘Sesunguhnya lehermu terlalu panjang bila melihat kedua benang itu. tidak

demikian, sesungguhnya yang dimaksud adalah hitamnya malam dan putihnya siang hari.’ (HR

Bukhari 4150)

Jadi pengertian takwil adalah memalingkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai

berdasarjan qorinah (petunjuk) dari ayat itu sendiri dalam jumlah keseluruhan atau sebahagian ayat

81
tersebut yang dimengerti oleh para ahlinya berdasarkan ilmu-ilmu terkait bahasa Arab atau ilmu tata

bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu

lainnya.

Pengertian Takwil secara laughwi (etimologis) takwil berasal dari kata al-awl (‫يؤول‬
ّ – ‫) ّأول‬, artinya

kembali; atau dari kata al ma’al artinya tempat kembali; al- iyalah yang berarti al –siyasah yang

berarti mengatur.

Muhammad Husaya al-Dzahabi berpendapat bahwa pengertian takwil adalah penafsiran suatu

pembicaraan teks dan menerangkan maknanya, tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan

keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak.

Begitupula sebagian ulama berpendapat bahwa pada hakikatnya takwil sama dengan tafsir.

Secara bahasa kata Tafsir ( ‫ ) تفســير‬berasal dari kata ‫ فَس ََّر‬yang mengandung arti: menjelaskan,

menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak.

Kata ‫ الفســر‬berarti menyingkapkan sesuatu yang tertutup (Al-Qaththan, 1992: 450 – 451).

Menurut istilah, Tafsir berarti Ilmu untuk mengetahui kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi

Muhammas shallallahu alaihi wasallam dan penjelasan maknanya serta pengambilan hukum dan

makna-maknanya [Az-Zarkasyi, 1972: I, 13].

Definisi lain tentang pengertian Tafsir dikemukakan oleh As-Shabuni [1985: 66], bahwa Tafsir adalah

Ilmu yang membahas tentang Al-Quranul-Kariem dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah

sesuai dengan kemampuan manusia.

Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa “Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang

pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan

arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafazh dzahir.”

Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa: “Membawa makna lafazh dzahir yang mempunyai ihtimal

(probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.

Kaum muhadditsin mendefinisikan takwil, sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul

fiqh, yaitu: menurut Wahab Khalaf takwil yaitu “memalingkan lafazh dari dzahirnya, karena adanya

dalil.”

82
Sedangkan menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang dzahir kepada

makna yang lain, tetapi bukan dzahirnya.

Dari pengertian kedua istilah ini dapat disimpulkan, bahwa tafsir adalah penjelasan terhadap makna

dzahir (lahiriah) dari ayat Al Quran yang penegrtiannya secara tegas menyatakan maksud yang

dikehendaki oleh Allah; sedangkan takwil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbathkan dari

ayat Al Quran berdasarkan alasan-alasan tertentu.

Jadi dapat disimpulkan bahwa takwil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain

yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173].

Alasan yang dapat diterima oleh akal sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni

1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.

2. Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al

Quran.

Contoh ayat mengandung lafazh wajah Allah.

Ibn Al Jawzi menjelaskan bahwa para ahli tafsir berkata: ”Makna ”‫ ;”ويبقى وجه ربك‬artinya ”‫” ;”ويبقى ربك‬Dan

Tuhanmu (Allah) maha kekal”. Demikian pula pemahaman firman Allah yang senada dengan ayat di

atas, firman-Nya: ”‫ ;”يريدون وجهه‬para ahli tafsir berkata: ”Artinya ”‫” ;”يريدونه‬Mereka bertujuan ikhlas

karena Allah”. Sementara Imam ad-Dlahhak dan Abu Ubaidah menafsirkan firman Allah ” ‫كل شىء هالك إال‬

‫ ;”وجهه‬artinya ”‫” ;”إال هو‬Segala sesuatu akan punah kecuali Allah”.

Begitupula dari kalangan masyarajat Arab klasik bahwa kata wajah biasa digunakan merujuk kepada

wajah yang dikenal secara denotatif, dan kadang juga digunakan oleh bangsa Arab merujuk diri

seseorang, artinya mereka menggunakan ungkapan “wajah” untuk menyebut “diri seseorang”,

maksudnya adalah dzatnya, secara majaz (metaforis atau makna kiasan).

Begitu juga dengan juga kata “wajah”, orang Arab biasa menggunakannya secara majaz (metaforis

atau makna kiasan) untuk mengungkapkan sosok seseorang demi memuliakannya. Maka mereka

berkata: jaa’a wajhul qoumi telah datang wajah kaum.

Contoh lain

‫وهو فوق العرش وفوق كل شيء‬

“sedangkan Ia di atas ‘Arsy dan Allah di atas segala sesuatu”

83
“Allah di atas segala sesuatu” bukanlah berarti “Allah berada di atas segala sesuatu” karena menurut

Ibn Al Jawzi, pengertian “fawq”, “‫ ” فوق‬dalam makna indrawi (makna dzahir) “berada di atas” hanya

berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja.

Perbuatan mensifatkan Tuhan dengan sifat benda adalah perkara terlarang karena mensifatkan Tuhan

dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya

Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (W. 321 H) menyatakan dalam kitabnya al-Aqidah ath-Thahawiyah:

Ta’ala ‘anil Hududi wal Ghayati wal Arkani wal A’dha’i wal Adawati La Tahwihil Jihatus Sittu Kasairil

Mubtada’at, “Maha Suci Allah dari ukuran, batas akhir, sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (Seperti

tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (Seperti mata dan lidah) Dia tidak diliputi oleh arah

penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi

oleh arah)”.

Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa orang Arab sering menggunakan ungkapan: “‫ ;” فالن فوق فالن‬artinya;

“derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan

(A) berada di atas pundak si fulan (B)

Jadi makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “‫علو المرتبة‬


ّ ”; “derajat yang tinggi”.

Contoh lain bangsa Arab juga menggunakan kata janbun (pinggang) secara majaz (metaforis atau

makna kiasan).

Orang Arab sering mengatakan haadzal amru yashghuru fii janbi haadzaa (urusan ini menempel pada

pinggang ini) yaitu melekat kepadanya apabila ia berkaitan dengannya.

Atas dasar itu, maka ayat seperti yaa hasrotanaa alaa maa farrothnaa fii janbillaahi (QS Az Zumar 56)

tidak dapat dipergunakan untuk menetapkan berdasarkan makna dzahir (isbat makna dzahir) bahwa

Allah memiliki pinggang namun ditafsirkan (ditakwilkan) terkait dengan mengabaikan (melalaikan)

urusan Allah atau mengabaikan (melalaikan) kewajiban terhadap Allah yakni mengabaikan

(melalaikan) perintahNya dan laranganNya.

Salafush Sholeh bukanlah menetapkan berdasarkan makna dzahir (isbat makna dzahir) sebagaimana

pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah melainkan menetapkan berdasarkan

lafaznya (isbat lafaz) dan tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa dan menyerahkan maknanya

kepada Allah.

84
Salasush Sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin

Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah?

Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir“

Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa

Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak

boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan

(makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).

Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak

boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada

bahasa Arab”.

Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-

Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu

itu”.

Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-

ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya.

Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.

Ibnu al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna

dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks

tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).

Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah seperti makna majaz timbul jika dipahami

dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.

Hal yang perlu kita ingat bahwa menakwilkan dengan ilmu balaghah seperti makna majaz bukanlah

perkara terlarang.

Justru yang terlarang adalah

1. Orang-orang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga

menimbulkan fitnah seperti ada yang mengatakan bahwa Tuhan mereka bertangan dua dan kedua-

duanya kanan

2. Orang-orang mencari-cari takwil untuk memperturutkan hawa nafsunya seperti mengingkari sifat-

sifat Allah

85
Firman Allah yang artinya, “Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,

maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-

cari takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya” (Q.S. Al Imran [3] : 7)

Sedangkan pada ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman bahwa Dia mengkaruniakan kemampuan takwil

kepada yang dikehendakiNya yakni Ulil Albab

Kemampuan takwil adalah kemampuan memahami dengan mengambil pelajaran berdasarkan karunia

hikmah dari Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada siapa yang dikehendakiNya

Firman Allah Ta’ala yang artinya

“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab“ (QS Ali Imran [3]:7)

“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah)

kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah

dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman

Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269).

“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui”

(QS Fush shilat [41]:3)

“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak

mengetahui.” (QS. an-Nahl [16] : 43)

Ulil Albab atau ahli dzikir atau orang yang mempunyai pengetahuan karena karunia hikmah dari Allah

Ta’ala adalah

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring

dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami,

tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa

neraka” (Ali Imran [3] : 191)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendoakan untuk Ibnu Abbas ra agar Allah Ta’ala

menganugerahkan kemampuan takwil

Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al ta’wil

Ya Allah dalamkanlah pengetahuannya dalam agama dan ajarilah ia takwil Qur’an

atau

86
Allahumma ‘allimhu al hikmah.

Ya Allah alimkanlah dia dengan hikmah

atau

Allahumma faqqihu fiddini, wa allimhu al hikmata at ta’wila qurana

Ya Allah dalamkan pengetahuannya dalam agama dan alilmkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al

Qur’an (HR Ibnu Majah)

Tentulah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mendoakan hal yang terlarang bagi Ibnu Abbas

ra.

Oleh karenanya dapat kita simpulkan bahwa yang dilarang adalah “mencari-cari takwil” sedangkan

menakwilkan dengan ilmu balaghah seperti makna majaz tidak terlarang karena Al Qur’an dalam

bahasa Arab.

Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu

balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu

sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik

dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu

sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para

ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan

orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan

menyesatkan (HR Bukhari 98).

Berikut contoh pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang memahami apa yang

telah dikabari oleh Allah dan RasulNya selalu dengan makna dzahir dan menolak makna majaz

(makna kiasan) yakni Abdul Hakim bin Amir Abdat yang menyatakan bahwa tuhan mereka bertangan

dua dan dua-duanya kanan seperti yang dipublikasikannya

pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-

adalah-kanan/

87
Mereka yang meneruskan kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dapat mengakibatkan amal ibadah mereka tidak

diterima Allah karena mereka beribadah bukan kepada Tuhan yang sebenarnya namun kepada tuhan

yang disangkakan menurut akal pikiran mereka sendiri

Mereka beribadah kepada sesuatu yang diyakininya (dii’tiqodkan) bersandarkan selalu berpegang

pada nash secara dzahir atau pemamaham mereka selalu dengan makna dzahir

Mereka beribadah kepada sesuatu yang mempunyai dua mata, dua tangan (ada yang mengatakan

keduanya kanan), lima jari, dua kaki, betis, telapak kaki, sebagaimana contoh tulisan mereka

pada http://ajaranislamyanghaq.wordpress.com/2013/02/04/bagaimanakah-bentuk-allah-swt-itu/

Blog tersebut telah diproteksi untuk kalangan mereka sendiri namun kami sempat mengarsipnya

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/bentuk-tuhan-mereka.pdf

Berikut contoh bagaimana mereka mengungkapkan yang mereka sembah sebagaimana yang dapat

disaksikan dalam video pada http://www.youtube.com/watch?v=CaT4wldRLF0 mulai pada menit ke

03 detik 15

Berikut transkriptnya,

***** awal kutipan transkript *****

“Ya sudah kalau kita apa, misalkan tangan Allah, ya sudah itu tangan Allah.

Allah punya tangan akan tetapi apakah tangan Allah seperti tangan makhluk ? tidak.

Sedangkan sama sama makhluknya Allah Subhanahu wa Ta’ala, kaki gajah dengan kaki semut ndak

sama. Sama-sama kaki namanya. Kaki meja dengan kaki kamera ini yang untuk tahan sandaran ini,

ndak sama.

Apalagi tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tangan makhluknya ndak sama karena Allah

Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Laisa kamitslihi syai’un wahuwa samii’u bashiir” tidak ada yang sama

dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, apapun di dunia ini, adapun kalau sama namanya ndak sama

bentuknya dan rupanya.”

***** akhir kutipan transkript *****

Mereka mengatakan bahwa “kaki gajah dan kaki semut tidak sama walaupun sama-sama kaki

namanya. Begitupula kaki meja dan kaki kamera yang untuk sandaran juga tidak sama walaupun

sama-sama kaki namanya”

Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan tentang kaki sebagai berikut

88
***** awal kutipan *****

Anggota badan yang menopang tubuh dan dipakai untuk berjalan (dari pangkal paha ke bawah),

bagian tungkai (kaki) yang paling di bawah:

Bagian yang bawah seperti kaki bukit (gunung)

kaki gunung, lereng gunung bagian bawah;

kaki jenjang, bagian bawah suatu jenjang;

kaki langit, batas pandangan secara horizontal yang seolah-olah langit bagian bawah berbatas dengan

permukaan bumi (laut); horizon; cakrawala;

Bagian suatu benda yang menjadi penopang (penyangga) yang berfungsi sebagai kaki seperti kaki

meja, kaki kursi, kaki kamera

kaki tiga, penyangga (pada kamera dan sebagainya) yang terdiri atas tiga batang yang dapat dilipat

(tripod)

****** akhir kutipan ******

Jadi walaupun kaki manusia, kaki meja, kaki kursi, kaki kamera berbeda bentuk dan ukurannya

namun mempunyai sifat yang sama yakni bagian bawah, untuk penopang (penyangga) sedangkan

Allah Ta’ala “Laisa kamitslihi syaiun” tidak serupa dengan makhlukNya dari sisi apapun.

Mereka lupa bahwa walaupun bentuk dan ukuran kakinya berbeda, sifat kaki bagi kaki semut, kaki

gajah, kaki meja atau kaki kamera adalah untuk menopang sesuatu yang mempunyai suatu bentuk

serta ukuran.

Jika tidak menopang sesuatu maka tidak disifatkan dengan kaki seperti kaki semut, kaki gajah, kaki

meja, kaki kamera dan lain lain.

Jadi mereka mensifatkan yang tidak dilayak bagi Allah yakni sifat kaki, suatu bagian yang menopang

sesuatu yang mempunyai suatu bentuk serta ukuran walaupun dikatakan bentuknya tidak serupa

dengan makhlukNya sedangkan bentuk dan ukuran adalah sifat makhluq bukan sifat Allah Ta’ala.

Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh

disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-

sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata

dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang)

seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)

Dalam kitab yang berjudul Fatawa al Aqidah karya Muhammad ibn Shalih al Utsaimin hal. 112 ia

mengatakan: “Sesungguhnya Allah datang dengan sebenar-benar datang.” Dan pada hal. 114 ia

89
mengatakan: “Sesungguhnya dhahirnya terdapat kedatangan Allah dengan bergegas dan ini tidak

mustahil bagiNya, jadi Dia benar-benar datang”.

Ibnu Utsaimin berkata, “Mazhab Ahlussunah adalah: Bahwa Allah memiliki dua mata, Dia melihat

dengan keduanya secara hakikat sesuai dengan kedudukan yang layak bagi-Nya. Keduanya

merupakan sifat dzatiyah.” (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 4/58)

Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjelaskan: “Wajah (Allah) merupakan sifat yang terbukti

keberadaannya berdasarkan dalil Al-Kitab, As-Sunnah dan kesepakatan ulama salaf.” Kemudian beliau

menyebutkan ayat ke-27 dalam surat Ar-Rahman… (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 48)

Dan dalam kitab yang berjudul Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah cetakan Yayasan Cordoba al Andalus

hal. 14-15 Ibn Utsaimin mengatakan: “Kami beriman bahwa Allah memiliki dua mata dengan

sebenarnya”. Ia juga mengatakan: “Ahlussunnah telah bersepakat bahwa mataNya ada dua”.

Dalam kitab yang berjudul Tafsir ayat al Kursiy karya Muhammad ibn Utsaimin hal. 27 disebutkan:

“Dan kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah azza wa jalla.”

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa)

yang diketuai Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dalam fatwa Nomor 2331 menetapkan bahwa Nabi

Adam AS diciptakan dalam bentuk Allah Yang Maha Pengasih sebagaimana yang dipublikasikan

pada http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaDetails.aspx?languagename=id&lang=id&IndexItemID=180

956&SecItemHitID=193124&ind=13&Type=Index&View=Page&PageID=1024&PageNo=1&BookID=3&

Title=DisplayIndexAlpha.aspx

Berikut kutipan fatwa mereka

****** awal kutipan *****

Kedua: Pronomina (kata ganti) yang terdapat dalam sabda Nabi Dalam bentuk-Nya kembali kepada

lafadz jalalah (Allah), dalilnya terdapat di dalam riwayat lain yang derajatnya juga shahih Dalam

bentuk Allah Yang Maha Pengasih Ini jika ditinjau dari konteks hadits secara eksplisit. Makna ini

tentunya tidak berimplikasi pada adanya tasybih (penyerupaan), karena Allah telah menamakan diri-

Nya dengan nama-nama yang juga dipakai oleh makhluk-Nya, dan menyifati diri-Nya dengan sifat-

sifat yang dipakai makhluk-Nya. Dan hal ini sama sekali tidak berimplikasi pada adanya penyerupaan.

Begitu juga dengan masalah bentuk. Ketika bentuk itu dinisbatkan kepada Alah tidaklah dengan serta

merta ada penyerupaan terhadap makhluk-Nya, karena adanya kesamaan dalam nama dan arti

secara umum tidak dengan serta merta berimplikasi pada adanya penyerupaan terhadap hal yang

90
menyangkut kekhususan masing-masing dari keduanya, berdasarkan firman Allah Ta’ala: Tidak ada

sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

****** akhir kutipan *******

Pembahasan terhadap fatwa tersebut ada

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/07/dalam-bentuknya/

Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata: “Barang siapa beranggapan

(berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui (belum mengenal) Tuhan yang

wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W 430 H) dalam

Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).

Al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata: “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah

mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.

KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu

faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang

telah diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/

Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai

batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.

Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai

sarana mengenal Allah.

Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah

Awal beragama adalah mengenal Allah dan akhir beragama adalah menyaksikan Allah dengan hati

(ain bashiroh)

Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah)

dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana mengenal Allah yang

merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat

yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.

Mereka yang meneruskan kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sehingga mereka dapat terjerumus durhaka

kepada Allah

Syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin”

mengatakan bahwa barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala

91
mempunyai jisim (seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya,

maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah

Subhanahu wa Ta’ala. I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah

Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat

mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia

Sedangkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan

sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.

Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah

dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya

: “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru

atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur

dalam i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa

Ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-

Mu’allim Al-Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).

Akibat mereka taqlid buta dan meneruskan kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sehingga mereka dapat

terjerumus bertasyabuh dengan kaum Yahudi

Contohnya pertanyaan kaum Yahudi dalam riwayat berikut

Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy

dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada

Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari,

seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan

semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang

raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang

artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar

[39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)

Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits diatas sebagai bukti

pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah

kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “ ‫وما‬

‫“( ” قدروا هللا حق قدره‬Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az

Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”

92
Oleh karenanya para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat

menasehatkan bahwa sebaiknya janganlah taqlid buta mengikuti pemahaman (pendapat) Ibnu

Taimiyyah sebelum bertaubat yang dilabeli dengan nama atau istilah mazhab (manhaj) salaf karena

dapat mengakibatkan belum mengenal Allah (makrifatullah) dengan sebenar keagungan-Nya. .

Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar

keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67)

Para ulama telah menasehatkan jagalah aqidahmu, janganlah memahami apa yang telah Allah Ta’ala

sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan

makna dzahir karena akan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod.

Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum

Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,

“Jagalah aqidahmu dari selalu berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu

salah satu pangkal kekufuran”.

Cara atau upaya kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi untuk

menyesatkan para pengikut ulama Najed, ditengarai adalah dengan menyodorkan kitab-kitab Ibnu

Taimiyyah sebelum bertaubat kepada Muhammad bin Abdul Wahhab sebagaimana contoh informasi

dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam

mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-

ke-1/

***** awal kutipan *****

Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya

ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.

Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya

Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.

Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh

Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.

Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan

sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam

mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang

93
selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan

***** akhir kutipan *****

Kitab pokok atau kitab dasar aqidah ajaran atau paham Wahabi (wahabisme) adalah kitab Al Aqidah

Al Wasithiyah karya Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin

Abdul Wahhab dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/12/24/kitab-aqidah-wahabisme

Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah

yang merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul

Wahhab. Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian

dicetak lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah

liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.

Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada

penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id

bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat

pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah

Kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dihadirkan dan dibacakan dalam persidangan yang

memutuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan yang ditetapkan oleh

qodhi empat mazhab yakni

1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.

2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.

3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.

4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.

Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2

halaman 210 menegaskan : “Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”

Dan di tahun 707 hari ke-6 bulan Rabi’ul Awwal hari Kamis, Ibnu Taimiyyah menyatakan taubatnya

dari akidah dan ajaran sesatnya di hadapan para ulama Ahlus sunnah wal jama’ah dari kalangan

empat madzhab, bahkan ia membuat perjanjian kepada para ulama dan hakim dengan tertulis dan

tanda tangan untuk tidak kembali ke ajaran sesatnya, namun setelah itu ia pun masih sering

membuat fatwa-fatwa nyeleneh dan mengkhianati surat perjanjiannya hingga akhirnya ia mondar-

mandir masuk penjara dan wafat di penjara setelah sidang ke empat. Beliau wafat pada malam hari

94
tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H. sebagaimana yang dikabarkan pada http://ibnu-

alkatibiy.blogspot.co.id/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html

Begitupula sejalan dengan keputusan Qodhi Empat Mazhab pada masa lalu, Majelis Permusyawaratan

Ulama (MPU) Aceh belum lama ini juga menyatakan bahwa ajaran baru kelompok Salafi adalah ajaran

sesat dan menyesatkan, baik dibidang aqidah maupun ibadahnya. Hal ini tertuang dalam Fatwa MPU

Aceh Nomor 09 Tahun 2014 Tentang Pemahaman, Pemikiran, Pengalaman, dan Penyiaran Agama

Islam di Aceh.

Fatwa para ulama Aceh yang dikeluarkan pada 27 Sya’ban 1435 H/ 25 Juni 2014 ini menyebutkan

bahwa pengajian Kelompok Salafi di Gampong Pulo Raya Kecamatan Titeu Kabupaten Pidie dan

ditempat lainnya adalah sesat dan meminta pemerintah untuk segera menutup pengajian, penyiaran

dan ceramah serta melarang aktivitas kelompok Salafi.

Ketua MPU Aceh, Drs Tgk H Gazali Mohd Syam, mengatakan fatwa ini dikeluarkan setelah melakukan

pengkajian mendalam bersama puluhan ulama di berbagai kabupaten/ kota, dan pertemuan dengan

pimpinan kelompok Salafi.

“Fatwa MPU Aceh dikeluarkan terhadap ajaran Salafi itu dilakukan setelah beberapa pengkajian

bersama 47 ulama, yang berada di kabupaten/ kota, termasuk beberapa kali pertemuan dengan

pimpinan Salafi,” kata Ketua MPU Aceh, Drs Tgk H Gazali Mohd Syam, Kamis (21/8/ 2014).

Disebutkan ajaran Salafi di Pulo Raya khususnya di Aceh, sangat jauh berbeda dengan ajaran Salafi

yang berkembang di masa sahabat Nabi Muhammad, Salafi di Mesir dan Salafi di Arab Saudi.

Hasil keputusan fatwa MPU Aceh menghasilkan 4 poin penting di bidang aqidah dan 5 poin di bidang

ibadah yang ajarannya bertentangan dengan ajaran agama Islam. Seperti yang tertuang dalam ajaran

Salafi, Allah itu berada di atas ‘Arsy/ langit dan Allah itu membutuhkan tempat, waktu, dan arah. Ini

berarti Allah membutuhkan makhluk karena semua itu baik Arsy, tempat, dan waktu adalah ciptaan

Allah padahal Allah tidak membutuhkan itu semua.

Inilah 4 poin aqidah Salafi yang sesat dan menyesatkan yang dikeluarkan MPU Aceh:

Meyakini Allah di atas langit/ ‘arsy,

Meyakini Allah terikat dengan waktu, tempat dan arah,

Meyakini kalamullah itu berhuruf dan bersuara dan

Meyakini nabi Adam AS dan Nabi Idris AS bukan Rasulullah.

95
Sedangkan di ibadah yang salah dalam ajaran Salafi adalah niat shalat di luar takbiratul ihram, haram

qunut pada shalat Shubuh, haram memperingati maulid Nabi Muhammad SAW, haram berzikir dan

berdoa berjama’ah, serta wajib mengikuti hanya Alquran dan hadist dalam bidang aqidah, syariah dan

akhlak.

Selengkapnya silahkan baca tulisan pada http://www.muslimedianews.com/2014/08/fatwa-ulama-

aceh-aqidah-salafi-itu.html

Begitupula negara tetangga Malaysia mulai melarang penyebarluasan ajaran (paham) Wahabi

(wahabisme) yakni ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali

ajaran (paham) Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi

Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia menegaskan bahwa pengharaman penyebarluasan ajaran Wahabi

(wahabiyyah) yang dipelopori oleh Majlis Agama Islam Negeri Sembilan tidak akan menjejaskan

(mempengaruhi) hubungan negara dengan Arab Saudi sebagaimana kabar yang telah diarsip

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/28/tak-sesuai-di-malaysia/

Dalam kabar tersebut Pengerusi Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan, Prof Emeritus Tan Sri Dr Abdul

Shukor Husin menyampaikan

****** awal kutipan *****

“Hak mengeluarkan fatwa adalah hak negeri masing-masing. Contoh seperti apa dilakukan Majlis

Agama Islam Negeri Sembilan yang mengeluarkan fatwa mengharamkan penyebaran Wahabi di

negeri itu, sememangnya ia tidak bertentangan.

“Saya fikir, negeri tersebut mengharamkan Wahabi kerana tidak mahu berlaku kacau bilau dalam

masyarakat Islam negeri itu,” katanya.

Dalam pada itu, Abdul Shukor berkata, tindakan negeri tersebut juga tidak akan menjejaskan

hubungan negara dan Arab Saudi kerana sememangnya itu hak negeri tersebut.

“Jika perkara itu akan menjejaskan hubungan, maknanya tiada hak kepada negeri untuk membuat

keputusan sendiri.

“Malahan Jakim dan Majlis Fatwa Kebangsaan telah membincangkan perkara tersebut lebih awal

sebelum isu ini kembali disensasikan,” katanya.

****** akhir kutipan *******

96
Sejak tahun 2012, mufti Negeri Perak Darul Ridzuan telah memelopori mengeluarkan fatwa

pelarangan ajaran (paham) Wahabisme sebagaimana yang mereka publikasikan pada http://www.e-

fatwa.gov.my/fatwa-negeri/fatwa-mengenai-penegahan-menyebarkan-aliran-dan-dakyah-wahabiah

Silahkan download fatwa dalam bentuk brosur

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/08/fatwa-negeri-perak-tentang-penegahan-

wahabiah.jpg

Berikut fatwa dari mufti lainnya dari negara Malaysia

Pesanan Mufti Haji Said, Sungguhpun umat Islam di negara ini sejak dahulu lagi menganut fahaman

dan `aqidah Ahlus Sunnah wal Jama`ah, tetapi kini mereka telah banyak diresapi oleh fahaman

`aqidah-`aqidah yang berlawanan dan bertentangan dengan fahaman dan `aqidah Ahlus Sunnah wal

Jama`ah, sehingga ada yang sudah dipengaruhi oleh fahaman dan `aqidah Syiah dan Mu’tazilah,

bahkan ada pula yang telah terpengaruh dan mengikut fahaman dan `aqidah Ibnu Taimiyyah dan lain

– lainnya.

Fatwa Mufti Pehin Haji Ismail, Adalah mazhab as-Salafiyah yang dihidupkan oleh al-Allamah Ibnu

Taimiyah dan yang dipakai serta diamalkan oleh al-Wahhabiyah itu bukan mazhab Ahli Sunnah Wal

Jamaah dan ia keluar dari mazhab yang empat. Mazhab as-Salafiyah berdasarkan Allah berjisim dan

menyerupai

Begitupula dalam wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahim memasukkan mazhab atau

pemahaman Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya yang bertemu langsung seperti Ibnu Qoyyim Al

Jauziyah maupun yang tidak bertemu langsung seperti Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai mazhab

khawarij artinya mazhab yang menyempal keluar (kharaja) dari mazhab Imam Mazhab yang empat

sebagaimana yang termuat yang termuat pada http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-

syeikh-abdullah-fahim.html

***** awal kutipan *****

Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya

mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah.

Maksud mereka itu hendak mengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan

bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.

Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab

Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyim al-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya

ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.

***** akhir kutipan *****

97
Ulama terdahulu kita dari kalangan Sunni Syafei yang ternama sampai Semenanjung Tanah Melayu,

Brunei Darussalam, Singapur sampai Pathani, negeri Siam atau Thailand yakni KH. Sirajuddin Abbas

(lahir 5 Mei 1905, wafat 23 Ramadhan 1401H atau 5 Agustus 1980) dalam buku berjudul I’tiqad

Ahlussunah Wal Jamaah yang diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Baru, Jl Tebet Barat XA No.28,

Jakarta Selatan 12810 dalam cetakan ke 8, 2008 tercantum dua buah sekte atau firqoh dalam Islam

yakni firqoh berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari halaman 296 sampai 351 dan firqoh

berdasarkan pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab dari halaman 352 sampai 380.

Begitupula pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk

menghindari pemahaman Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha maupun mereka yang meneruskan

kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, pendiri firqah Wahabi dan penerus kebid’ahan Ibnu

Taimiyah sebelum bertaubat serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Abdul Hadi,

sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6 selengkapnya

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2015/08/risalah-aswaja.pdf

***** awal kutipan *****

Diantara mereka (sekte yang muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang

mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan kebid’ahan

Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim

dan Abdul Hadi.

***** akhir kutipan ****

Penjelasan para ulama lainnya tentang kesesatan pemahaman Ibnu Taimiyyah, salah satunya dapat

dibaca pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf

Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa

dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan

membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah

karena beliau mengutip pendapat ulama terdahulu maupun memahami Al Qur’an dan As Sunnah

bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri

dan beliau selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman beliau selalu dengan makna

dzahir

Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:

1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian

menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat

Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah

98
an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan

biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.

2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al

Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.

3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam

I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.

4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata:

“Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan

wajib dibunuh”.

5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau

mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya

6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu

Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara

(berfirman) dengan huruf dan suara”.

7. Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam berapa karyanya:

– Al I’tibar Bi Baqa al Jannah Wa an-Nar

– Ad-Durrah al Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah

– Syifa as-Saqam fi Ziyarah Khairi al Anam

– An-Nazhar al Muhaqqaq fi al Halif Bi ath-Thalaq al Mu’allaq

– Naqd al Ijtima’ Wa al Iftiraq fi Masa-il alAyman wa ath-Thalaq

– at-Tahqiq fi Mas-alah at Ta’liq

– Raf’ asy-Syiqaq ‘An Mas-alah ath-Thalaq.

8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal

dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.

9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti

dijelaskan dalam:

– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.

– Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam.

99
10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn

Musallam ibn Malik ash-Shalihi al Hanbali (W 762 H).

11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H).

Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul

Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.

12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan

menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam

Rasulullah.

13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.

14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu

Taimiyah dalam empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.

15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya

Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi.

16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua

risalahnya:

– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalahath-Thalaq.

– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalah az-Ziyarah.

17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-

Radd ‘Ala ibn Taimiyah..

18. Al Faqih al Muhaddits Jalal ad-Din Muhammad al Qazwini asy-Syafi’i (W 739 H)

19. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk

memenjarakannya.

20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam

dua risalahnya : – Bayan Zaghal al ‘Ilm wa ath-Thalab. – An-Nashihah adz-Dzahabiyyah

21. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al

Muhith.

22. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).

100
23. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah alKubra.

24. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya :‘Uyun at-

Tawarikh.

25. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al

Mukhtarah Fi ar-Radd ‘Ala Munkir az-Ziyarah.

26. Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri al Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al Mardhiyyah fi ar-

Radd ‘Ala Man Yunkir az- Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan

Al-Barahin as- Sathi’ah karya Al ’Azami.

27. Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743 H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq

28. Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani al- Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhatsal

Jaliyyah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah.

29. Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad, yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H)

dalam : Bayan Musykil al Ahadits al Waridah fi Anna ath-Thalaq ats-Tsalats Wahidah.

30. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya: – Ad-Durar al Kaminah fi

A’yan al Mi-ah ats-Tsaminah – Lisan al Mizan – Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari – Al Isyarah Bi

Thuruq Hadits az-Ziyarah

31. Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-

ilah al Makkiyyah.

32. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli Syuhbah asy- Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadli Syuhbah

33. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa

Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila al Imam Ahmad.

34. Pimpinan para ulama seluruh Afrika, Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803 H).

35. Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan

orang yang menyebutnya Syekh al Islam1. Artinya orang yang menyebutnya dengan julukan Syekh al

Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al

Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-Dlau Al Lami’

36. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamid ad-Din al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W867 H) dalam

risalahnya Ar-Radd ‘Ala Ibnu

101
37. Syekh Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki (W899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.

38. Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam Al I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.

39. Ahmad ibn Muhammad Yang dikenal denganIbnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul

an-Nashir fi Raddi Khabath ‘Ali ibn Nashir.

40. Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W 968

H), beliau mencela Ibnu Taimiyah.

41. al Bayyadli al Hanafi (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram Min ‘Ibarat al Imam.

42. Syekh Ahmad ibn Muhammad al Witri (W 980 H) dalam Raudlah an- Nazhirin WaKhulashah

Manaqib ash- Shalihin.

43. Syekh Ibnu Hajar al Haytami (W 974 H)dalam karya-karyanya; – Al Fatawi al Haditsiyyah – Al

Jawhar al Munazhzham fi Ziyarah al Qabr alMu’azhzham – Hasyiyah al Idhah fi Manasik al Hajj

Dan lain lain

Wassalam

« Pengertian takwilTasawuf era salaf »

Isbat lafaz

10 Februari 2016 oleh mutiarazuhud

isbat lafaz

Salaf bukanlah isbat makna dzahir namun isbat lafaz dan menyerahkan maknanya kepada Allah

Para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam tulisan-tulisan mereka memang
mengutip perkataan ulama salaf (terdahulu) maupun ulama khalaf (kemudian) ataupun mengutip Al

102
Qur’an dan Hadits namun permasalahannya mereka terjemahkan dan pahami selalu dengan makna
dzahir.

Salah seorang penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah adalah ulama panutan mereka yakni ust Firanda
Andirja sebagaimana Tesis S2 nya berjudul “Jawaban Ibnu Taimiyyah terhadap syubhat-syubhat
terperinci yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah dzatiyah yang dilontarkan oleh para penolak sifat”
sebagaimana yang dipublikasikannya pada http://firanda.com/index.php/tentang-kami

Contohnya dalam sebuah tulisan ust Firanda mengutip perkataan Abul Hasan Al-Asy’ari namun
mentafsirkan, menterjemahkan dan memahaminya dengan “bahwasanya Allah beristiwaa’ di atas
‘arsyNya sebagaimana firmanNya, dan bahwasanya Allah berada di atas segala sesuatu” sebagaimana
yang dipublikasikan pada pada http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/76-mengungkap-tipu-
muslihat-abu-salafy-cs

Contoh lainnya mereka memahami

‫وهو فوق العرش وفوق كل شيء‬

diterjemahkan dan dipahami mereka dengan, “sedangkan Ia berada di atas ‘Arsy. Dan Allah berada di
atas segala sesuatu”

Sisipan kata “berada” bukanlah pemahaman Salafush Sholeh namun pemahaman mereka sendiri karena
mereka enggan tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk dengan menakwilkan atau
memalingkan makna fawq “berada di atas” ke makna lain yang lebih sesuai karena jika dipahami dengan
makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.

Selain menakwilkan berdasarkan qorinah (petunjuk) dari ayat atau nash yang lain, penakwilan atau
memalingkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih sesuai berdasarkan qorinah (petunjuk)
dari ayat itu sendiri dalam jumlah keseluruhan atau sebahagian dari ayat tersebut yang dimengerti oleh
para ahlinya berdasarkan ilmu-ilmu terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat
seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya sebagaimana yang
telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/08/pengertian-takwil/

103
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa “Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang
pengambilan makna dari lafaz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti
yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafaz dzahir.”

Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa: “Membawa makna lafaz dzahir yang mempunyai ihtimal
(probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.

Sedangkan menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafaz dari artinya yang dzahir kepada makna
yang lain, tetapi bukan dzahirnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa takwil adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang
lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173].

Alasan yang dapat diterima oleh akal sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni

1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.

2. Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al
Quran.

“Allah di atas segala sesuatu” bukanlah berarti “Allah berada di atas segala sesuatu” karena menurut Ibn
Al Jawzi, pengertian “fawq”, “‫ ” فوق‬dalam makna indrawi (makna dzahir) “berada di atas” hanya berlaku
bagi setiap jawhar dan benda saja.

Perbuatan mensifatkan Tuhan dengan sifat benda adalah perkara terlarang karena mensifatkan Tuhan
dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya

104
Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (W. 321 H) menyatakan dalam kitabnya al-Aqidah ath-Thahawiyah:
Ta’ala ‘anil Hududi wal Ghayati wal Arkani wal A’dha’i wal Adawati La Tahwihil Jihatus Sittu Kasairil
Mubtada’at, “Maha Suci Allah dari ukuran, batas akhir, sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (Seperti
tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (Seperti mata dan lidah) Dia tidak diliputi oleh arah
penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh
arah)”.

Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa orang Arab sering menggunakan ungkapan: “‫ ;” فالن فوق فالن‬artinya;
“derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A)
berada di atas pundak si fulan (B)

Jadi makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “‫“ ;” علو المرتبة‬derajat yang tinggi”.

Contoh lain bangsa Arab juga menggunakan kata janbun (pinggang) secara majaz (metaforis atau makna
kiasan).

Orang Arab sering mengatakan haadzal amru yashghuru fii janbi haadzaa (urusan ini menempel pada
pinggang ini) yaitu melekat kepadanya apabila ia berkaitan dengannya.

Atas dasar itu, maka ayat seperti yaa hasrotanaa alaa maa farrothnaa fii janbillaahi (QS Az Zumar 56)
tidak dapat dipergunakan untuk menetapkan berdasarkan makna dzahir (isbat makna dzahir) bahwa
Allah memiliki pinggang namun ditafsirkan (ditakwilkan) terkait dengan mengabaikan (melalaikan)
urusan Allah atau mengabaikan (melalaikan) kewajiban terhadap Allah yakni mengabaikan (melalaikan)
perintahNya dan laranganNya.

Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li” (sifat
perbuatan) saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”

Kita mengetahui “Sifat Fi’li” (sifat perbuatan) bagi Allah seperti Maha Melihat , Maha Mendengar namun
terlarang mensifatkan DzatNya seperti Allah memiliki wajah, pinggang, dua mata, dua tangan dan
keduanya kanan dan lain lainn karena Rasulullah melarang kita untuk memikirkan DzatNya dan
menyarankan untuk meyakini keberadaan Allah dengan memikirkan nikmat yang telah diberikanNya

105
atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Azza wa Jalla sebagai wujud perbuatan Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan
sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah“.

Mereka megatakan bahwa Salafush Sholeh bermanhaj isbat yakni mengisbatkan (menetapkan) semua
sifat-sifat Allah dengan mengetahui maknanya dan Salafush Sholeh hanya menafikan pengetahuan
tentang keadaan sifat tersebut (nafi ilmul kaif)

Contohnya, menurut Ibn Taimiyah, Salafus Sholeh memahami bahwa yang dimaksudkan dengan yadd
Allah adalah tangan Allah tetapi keadaan tanganNya tersebut tidak diketahui atau mengatakan bahwa
tangan Allah tidak serupa dengan tangan makhlukNya

Syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” mengatakan
bahwa barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim
(seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut
hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. I’tiqad
yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu
bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah
Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia

Sedangkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-
sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.

Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat
akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai
Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena
pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam i’tiqod)
karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan mensifati-
Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi(w. 725 H)
dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).

106
Pada kenyataannya, Salafush Sholeh bukanlah nafi ilmul kaif melainkan nafi aslul kaif yakni menafikan
akan adanya keadaan kaif itu sendiri yang di nisbat kan pada Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala

Menafikan aslul kaif berarti mencegah orang dari menggambarkan lafaz-lafaz ayat sifat tersebut dengan
maknanya dari sudut bahasa atau makna dzahir karena ketika seseorang mendengar lafaz-lafaz ayat
sifat akan terus menggambarkan sifat-sifat tersebut dengan makna dzahir maka dia akan terjerumus
kepada paham tajsim atau menjisimkan Allah Subhanahu wa Ta’ala

Terhadap lafaz-lafaz ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan selalu berdasarkan maknanya secara
dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafaz-lafaz ayat sifat sangat
beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.

Terhadap lafaz-lafaz ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih
tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di
dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan
membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh
dalam kesesatan tasybîh”

Salafush Sholeh bukanlah menetapkan berdasarkan makna dzahir (isbat makna dzahir) sebagaimana
pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah melainkan menetapkan berdasarkan
lafaznya (isbat lafaz) dan tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa dan menyerahkan maknanya
kepada Allah.

Salasush Sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin
Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka
semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir“

Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak boleh
seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan (makna)
bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).

107
Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak boleh
menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada bahasa
Arab”.

Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya
dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.

Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat
sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya.
Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.

Jadi pada hakikatnya Salafush Sholeh terhadap ayat-ayat sifat menggunakan manhaj takwil
(memalingkan makna sesuatu lafaz daripada makna dzahir atau makna yang asal menurut bahasa) yakni
takwil secara ijmali (ringkas dan menyeluruh) yakni menetapkan berdasarkan lafaznya (isbat lafaz) dan
tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa walaupun tidak memberikan makna lain kepada lafaz
tersebut dan menyerahkan maknanya kepada Allah.

Sedangkan ulama-ulama yang dikatakan sebagai ulama khalaf (ulama kemudian) ketika menghadapi
semakin ramainya orang-orang bukan Arab memeluk Islam dan semakin banyak pula pengaruh budaya-
budaya dan pengaruh asing masuk ke dalam umat Islam maka, timbullah falsafah-falsafah luar yang
menggugat institusi aqidah islamiyah dalam umat Islam, khususnya bagi umat Islam yang bukan dari
orang-orang Arab.

Hal ini memaksa ulama-ulama khalaf membuat satu pendekatan yang lebih mudah iaitu, dengan
memberi ta’wil kepada ayat-ayat mutasyabihat tersebut dengan makna lain, yang bersesuaian dengan
kaedah Bahasa Arab itu sendiri yang disebut takwil tafsili karena pendekatan tafwidh dengan
menyerahkan maknanya kepada Allah tidak cukup memuaskan kebutuhan orang-orang awam yang
cenderung terus bertanya mempergunakan akal pikiran mereka sendiri.

Salah satu pilar aqidah Islam adalah tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk dengan
menakwilkan atau memalingkan makna sebuah lafazh ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang
lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau makna kiasan)

108
Takwil dibutuhkan atau digunakan hanya jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah
dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.

Dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 4 ( selengkapnya pada


https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2015/08/risalah-aswaja.pdf ) KH Hasyim Asyari
menyampaikan bahwa Imam Ibnu Abdis Salam mencontohkan bid’ah hasanah dan hukumnya wajib
adalah menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan
dan badi’) sebagai syarat dasar untuk dapat memahami Al Qur’an dan As Sunnah.

Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah
memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih:
“Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali
dengannya, maka hukumnya wajib”.

Untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah tidak cukup dengan arti bahasa saja dan apalagi hanya
berbekal makna dzahir saja.

Makna dzahir atau makna harfiah atau makna literal atau makna indrawi adalah makna dari apa yang
tampak atau makna dari apa yang tertulis (tersurat) atau makna leksikal yakni makna dasar yang
terdapat pada setiap kata atau kalimat atau makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lain
dalam sebuah susunan kata atau kalimat.

Sedangkan makna majaz (makna kiasan) adalah termasuk makna bathin atau makna di balik yang
tampak atau makna di balik yang tertulis (tersurat) atau makna tersirat atau makna yang terkait dengan
makna gramatikal yakni makna turunan atau makna kata yang terbentuk karena penggunaan kata
tersebut dalam kaitannya dengan tata bahasa. Makna gramatikal muncul karena kaidah tata bahasa,
seperti afiksasi, pembentukan kata majemuk, penggunaan atau susunan kata dalam kalimat dan lain lain

Contoh tangan makna harfiah atau makna kata secara lepas adalah bagian dari anggota tubuh manusia
namun ketika bersusunan seperti buah tangan, tangan kanan, tangan besi, ringan tangan mempunyai
makna yang berlainan.

109
Oleh karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) maka diperlukan kompetensi
menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu,
sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar
dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al
Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada
lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz,
ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain.

Begitupula dalam memahami apa yang Allah Azza wa Jalla sifatkan untuk diriNya perlu menguasai ilmu
balaghah (sastra Arab) karena kita memahami dan meyakini apa yang tidak tampak oleh mata kepala

Firman Allah ta’ala yang artinya

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)

Oleh karenanya dikatakan bahwa tidak sempurna jika hanya mengetahui dan menguasai ilmu nahwu
dan sharaf tanpa mengetahui dan menguasai ilmu balaghah atau ilmu sastra Arab sebagaimana yang
telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/07/penyebab-
ketidakseimbangan/

Fungsi sastra adalah fungsi rekreatif, didaktif, estetis, moralitas dan religius yang semua itu
berhubungan dengan hati sehingga dapat membuka mata hati yang berujung dapat menyaksikan Allah
dengan hatinya (ain bashiroh)

Ibnu al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna
dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut
bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).

Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh ayat
dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau makna
kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena jika

110
dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut
bagiNya.

Hal yang perlu kita ingat bahwa menakwilkan dengan ilmu balaghah seperti makna majaz bukanlah
perkara terlarang.

Justru yang terlarang adalah

1. Orang-orang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga
menimbulkan fitnah seperti ada yang mengatakan bahwa Tuhan mereka bertangan dua dan kedua-
duanya kanan

2. Orang-orang mencari-cari takwil untuk memperturutkan hawa nafsunya seperti mengingkari sifat-
sifat Allah

Firman Allah yang artinya, “Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari
takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya” (Q.S. Al Imran [3] : 7)

Sedangkan pada ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman bahwa Dia mengkaruniakan kemampuan takwil
kepada yang dikehendakiNya yakni Ulil Albab

Kemampuan takwil adalah kemampuan memahami dengan mengambil pelajaran berdasarkan karunia
hikmah dari Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada siapa yang dikehendakiNya

Firman Allah Ta’ala yang artinya

“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab“ (QS Ali Imran [3]:7)

111
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269).

“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui”
(QS Fush shilat [41]:3)

“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak
mengetahui.” (QS. an-Nahl [16] : 43)

Ulil Albab atau ahli dzikir atau orang yang mempunyai pengetahuan karena karunia hikmah dari Allah
Ta’ala adalah

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali
Imran [3] : 191)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendoakan untuk Ibnu Abbas ra agar Allah Ta’ala
menganugerahkan kemampuan takwil

Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al ta’wil

Ya Allah dalamkanlah pengetahuannya dalam agama dan ajarilah ia takwil Qur’an

atau

112
Allahumma ‘allimhu al hikmah.

Ya Allah alimkanlah dia dengan hikmah

atau

Allahumma faqqihu fiddini, wa allimhu al hikmata at ta’wila qurana

Ya Allah dalamkan pengetahuannya dalam agama dan alilmkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al
Qur’an (HR Ibnu Majah)

Tentulah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mendoakan hal yang terlarang bagi Ibnu Abbas ra.

Oleh karenanya dapat kita simpulkan bahwa yang dilarang adalah “mencari-cari takwil” sedangkan
menakwilkan dengan ilmu balaghah seperti makna majaz tidak terlarang karena Al Qur’an dalam bahasa
Arab.

Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah
dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga
mereka akan sesat dan menyesatkan

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari
Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus
mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga
bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang
bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari
98).

113
Jadi permasalahan terbesar yang dapat menjerumuskan kekufuran dalam i’tiqod adalah cara mereka
menetapkan sifat Allah yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau penetapan sifat Allah selalu
berdasarkan makna dzahir

Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum
Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu
pangkal kekufuran”.

Mereka yang mengikuti aqidah firqah Wahabi mengatakan bahwa Istiwa’ adalah hakikat dan bukan
majaz sebagaimana yang dipublikasikan pada http://muslim.or.id/aqidah/sifat-istiwa-allah-di-atas-
arsy.html

***** awal kutipan ******

Istiwa’ adalah hakikat dan bukan majas. Kita bisa memahaminya dengan bahasa Arab yang dengannya
wahyu diturunkan. Yang tidak kita ketahui adalah kaifiyyah (cara/bentuk) istiwa’ Allah, karena Dia tidak
menjelaskannya. Ketika ditanya tentang ayat 5 Surat Thaha (‫)الرحمن على العرش استوى‬, Rabi’ah bin
Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan:

ٌ‫اجب‬ ِ ‫ َو‬،ٌ‫ َواْل َكيْف َمجْ ه ْول‬،‫ا ِال ْست َِواء َم ْعل ْو ٌم‬.
ِ ‫اإلي َمان بِ ِه َو‬

“Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad, Al-
Ghazali)

Allah Ta’ala bersemayam di atas Arsy. Di dalam ayat disebutkan Ar-Rahmaanu ‘alal ‘arsyistawaa. Secara
bahasa istiwa’ itu memiliki empat makna yaitu:

1. ‘ala (tinggi)

2. Irtafa’a (terangkat)

3. Sho’uda (naik)

114
4. Istaqarra (menetap)

Sehingga makna Allah istiwa’ di atas ‘Arsy ialah menetap tinggi di atas ‘Arsy

***** akhir kutipan ******

Ibn al Jawzi berkata bahwa

***** awal kutipan *****

Ketahuilah, kata Istawâ “‫ ”استوى‬dalam bahasa Arab memiliki berbagai macam arti

Kata Istawâ dapat pula bermakna tamma “‫ ; ”تم‬artinya sempurna. Dalam makna ini seperti firman Allah
tentang Nabi Musa yang artinya, ”Ketika dia (Nabi Musa) telah mencapai kekuatannya dan telah
sempurna Kami (Allah) berikan kepadanya kenabian dan ilmu”. (QS. Al-Qashash: 14).

Kata Istawâ dapat pula bermakna al-Qashd Ilâ asy-Syai’ “‫ ”القصد إلى الشىء‬artinya; bertujuan terhadap
sesuatu. Dalam makna ini seperti firman Allah

11 :‫)ثم ا ْست ََوى إلَى الس َماء (فصلت‬

Yang dimaksud Istawâ dalam ayat ini ialah qashada “‫”قصد‬, artinya bahwa Allah berkehendak (bertujuan)
untuk menciptakan langit].

***** akhir kutipan *****

Dalam Shubah al-Tashbih hal:23 , Ibn al Jawzi juga membolehkan menafsirkan istiwa sebagai “al-qahr”,
menguasai.

115
Ibn Battal mengatakan, “pengartian pengaturan dan kekuasaan”, “menguasai” dan “penaklukan” tidak
dianggap berlawanan dengan Sang Pencipta (Al-Khalik) sebagaimana “Zahir”, “Qahhar”, “ghalib”atau
“Qahir”, tidak dianggap berlawanan atas bagian zat lainnya. Hal ini diperkuat oleh ayat, “Dan Dialah
yang mempunyai kekuasaan tertinggi (Al-Qahir) atas semua hamba-Nya” (6:18, 6:61) dan “ Allah
berkuasa (Al-Ghalib) terhadap urusan-Nya” (12:21).

Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam kitabnya, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn. Terkait ini Imam az-
Zabidi kemudian menyebutkan bahwa seorang yang menafsirkan Istawâ dengan Istawlâ tidak berbuat
kesalahan apapun dan tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh. Artinya, menurut Imam
az-Zabidi penafsiran semacam ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan keagungan Allah. Hal ini jauh
berbeda dengan yang memaknai Istawâ dengan Istaqarra, penafsiran semacam ini sama sekali tidak
dapat dibenarkan, karena sama dengan mensifati Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya, sebagaimana
yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/18/dalil-
tanpa-tempat/

Jadi orang-orang yang memaknai Istawâ dengan Istaqarra adalah sama dengan mensifati Allah dengan
sifat-sifat makhluk-Nya

Ibnu Taimiyyah yang diikuti oleh para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ulama yang
menetapkan istawa Allah dengan makna dzahir (makna indrawi atau makna harfiah) sebagai istaqarra
yakni menetap, berada atau bertempat. Hal itu sama juga dengan orang yang menetapkan istawa Allah
adalah duduk.

Mereka menjelaskan bahwa Ibnu Taimiyyah dalam permasalahan ini menetapkan apa yang telah Allah
tetapkan sendiri untuk diri-Nya, yaitu bahwa Dia (Allah) ber-istiwa’ diatas arsy dengan bentuk istiwa’
yang sesuai dengan kemuliaan-Nya Subhanahu. Tanpa takyif (menanyakan bagaimana istiwa’ Allah?),
tanpa tamtsil (menirukan istiwa’ Allah dengan bentuk perbuatan), dan tanpa tasybih (menyamakan
istiwa’ Allah dengan istiwa’ makhluk-Nya), hal ini seperti ucapan Imam Malik bin Anas dan selainnya,

،‫ اال ْستِواء غيْر مجهول‬:‫] كيْف استوى؟ فقال‬5:‫علَى ْال َع ْر ِش ا ْست ََوى} [طه‬ َّ { ‫ يا أبَا عب ِد للا‬:‫سئِ َل اإلمام مالك بن أنس َرحمه للا فَقِي َل‬
َ ‫الرحْ َمن‬
‫بالرج ِل فأ ْخ ِر َج‬ َ ٌ
َّ ‫ ثم أ َم َر‬،‫ واإليمان به واجبٌ والسُّؤال ع ْنه بدعة‬،‫والكيْف غيْر م ْعقول‬

116
Mereka memaknai “al-Istiwa Ghair Majhul”, ”Istiwaa’ itu bukanlah hal yang tidak diketahui” maksudnya
“maknanya diketahui” alias maknanya sebagaimana diketahui secara dzahir sebagaimana contoh tulisan
mereka pada http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/03/benarkah-ibnu-qudamah-al-maqdisiy.html

Ungkapan seperti “al Istiwa ma’lum wa al kayfiyyah majhulah” atau “Istiwa (bersemayam) Allah seperti
yang kita ketahui maknanya, mengimaninya wajib dan bagaimana Istiwa (bersemayam) Allah tidak
diketahui” sama sekali bukan riwayat yang berasal dari al Imam Malik atau lainnya.

Orang-orang yang menetapkan istiwa (bersemayam) Allah dengan makna dzahir dengan maksud Allah
Subhanahu wa Ta’ala berada (bertempat) atau menetap tinggi di atas ‘Arsy maka mereka justru telah
menetapkan adanya kaifiyyah bagi istawa Allah walaupun mereka mengikutinya dengan perkataan
“kaifiyyahnya tidak diketahui”.

Al istiwa ma’lum bukan berarti istiwa sebagaimana yang diketahui dengan makna dzahir namun artinya
istiwa sudah jelas diketahui atau disebutkan dalam Al Qur’an

Dalam riwayat al-Lalika-i dari Ummu Salamah; Umm al-Mu’minin, dan riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-
Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik) berkata:

‫ والكيْف غيْر م ْعقول‬،‫اال ْستِواء غيْر مجهول‬

“al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kaif Ghairu Ma’qul” artinya “Istiwaa’ itu bukanlah hal yang tidak diketahui
dan adanya al-Kaif (sifat benda) bagi Allah adalah sesuatu yang tidak masuk akal”

Hal yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” , “Istiwaa’ itu bukanlah hal yang tidak diketahui” adalah
bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-Qur’an.

Dalam riwayat lain dari al-Lalika-i mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah
benar-benar disebutkan dalam al-Qur’an.

117
Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al istiwa ma’lum” atau “al-Istiwa Ghair Majhul”
atau “al-Istiwa madzkur” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di dalam
al-Qur’an

Begitupula tulisan pada http://rumaysho.com/aqidah/di-manakah-allah-4-933.html adalah contoh


orang-orang yang mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka karena
mereka salah memahami perkataan atau pendapat ulama terdahulu seperti,

Al-Hafizh al-Bayhaqi dari jalur Yahya ibn Yahya telah meriwayatkan bahwa ia -Yahya ibn Yahya- berkata:
“Suatu saat ketika kami berada di majelis al-Imam Malik ibn Anas, tiba-tiba datang seseorang
menghadap beliau, seraya bekata: Wahai Abu Abdlillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimanakah
Istawa Allah? Lalu al-Imam Malik menundukan kepala hingga badanya bergetar dan mengeluarkan
keringat. Kemudian beliau berkata: “al-Istiwa’ telah jelas -penyebutannya dalam al-Qur’an- (al-Istiwa
Ghair Majhul), dan “Bagaimana (sifat benda)” tidak logis dinyatakan kepada Allah (al-Kaif Ghair Ma’qul),
beriman kepada adanya sifat al-Istiwa adalah wajib, dan mempermasalahkan masalah al-Istiwa tersebut
adalah perbuatan bid’ah. Dan bagiku, engkau tidak lain kecuali seorang ahli bid’ah”. Lalu al-Imam Malik
menyuruh murid-muridnya untuk mengeluarkan orang tersebut dari majelisnya. Al-Imam al-Bayhaqi
berkata: “Selain dari al-Imam Malik, pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Rabi’ah ibn Abd ar-
Rahman, guru dari al-Imam Malik sendiri” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).

Dalam mengomentari peristiwa ini, asy-Syaikh Salamah al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar
terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya berjudul Furqan al-Qur’an, mengatakan sebagai
berikut:

“Penilaian al-Imam Malik terhadap orang tersebut sebagai ahli bid’ah tidak lain karena kesalahan orang
itu mempertanyakan kaifiyyah Istiwa bagi Allah (kesalahan orang itu karena bertanya “bagaimanakah
Istiwa Allah”).

Hal ini menunjukan bahwa orang tersebut memahami ayat ini secara indrawi dan dalam makna
dzahirnya. Tentu makna dzahir istawa adalah menetap, duduk, bertempat, atau menempelnya suatu
benda di atas benda yang lain. Makna dzhahir inilah yang dipahami oleh orang tersebut, namun ia
meragukan tentang kaifiyyah dari sifat duduk tersebut, karena itu ia bertanya kepada al-Imam Malik.

118
Artinya, orang tersebut memang sudah menetapkan adanya kaifiyyah bagi (istawa) Allah. Ini jelas
merupakan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), dan karena itu al-Imam Malik
meyebut orang ini sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain Shifat al-Khaliq Wa al-Akwan, h. 22).

Ada dua ungkapan seseorang menjadi kafir atau terjerumus kekufuran dalam i‘tiqod yakni

“Aku tidak mengetahui Tuhanku, apakah Dia di langit atau di bumi?”

“Allah di atas ‘arsy, dan aku tidak tahu arah ‘arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”

Seseorang menjadi kafir atau terjerumus kekufuran dalam i‘tiqod dengan kedua ungkapan tersebut
karena menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah.dan setiap yang membutuhkan kepada tempat
dan arah maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yang baharu (huduts).

Hal yang sama juga telah dijelaskan oleh Imam al-‘Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz.

Beliau berkata: “-Imam Abu Hanifah mengkafirkan (kufur dalam i’tiqod) orang mengatakan dua
ungkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat.
Dan siapa yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang Musyabbih (seorang
kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” (Dikutip oleh Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-
Fiqh al Akbar, h. 198).

Tentang istawa Imam Abu Hanifah mengatakan “Dan kita mengimani adanya ayat “ar-Rahman ‘Ala al-
‘Arsy Istawa” -sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an- dengan menyakini bahwa Allah tidak
membutuhkan kepada ‘‘arsy tersebut dan tidak bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang
memelihara ‘‘arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena jika Allah membutuhkan
kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini, dan berarti Dia
seperti seluruh makhluk-Nya sendiri. Jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat, lantas sebelum
menciptakan makhluk-Nya -termasuk ‘arsy- di manakah Dia? Allah maha suci dari itu semua dengan
kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq
Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul
Akbar, h. 70.).

119
Dalam salah satu kitab al-Fiqh al-Akbar [selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi’i juga menuliskan
Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar] Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah ketika
ditanya terkait firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Beliau berkata “Dia tidak
diliputi oleh tempat (ruang), tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk)
dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci
dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Orang-orang yang mengatakan bahwa Allah berada atau bertempat atau menetap tinggi di atas ‘Arsy
alias Allah berbatas atau dibatasi ‘Arsy adalah orang-orang yang mengingkari Allah dan RasulNya karena
Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir” (QS Al Hadiid [57]:3)

Allah Ta’ala tidak bertempat sebelum diciptakan ‘Arsy maka Allah Ta’ala tidak bertempat setelah
diciptakan ‘Arsy karena Allah Ta’ala tidak berubah. Allah Ta’ala sebagaimana awalnya dan sebagaimana
akhirnya.

Allah Ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan ciptaanNya.

Allah Ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ‘’Arsy

Dalam Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat diketahui bahwa Allah
itu bersifat Qidam (Maha Dahulu) dan mustahil Allah itu Huduts (baru)

Oleh karenanya mustahil Allah itu berubah dari sebelumnya bukan di atas arsy, kemudian menjadi di
atas arsy. karena sifat berubah adalah sifat makhlukNya

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :“Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia
menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya (sifat qadim), sebagaimana Dia ada
sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”.
[Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36].

120
Al-Imâm al-Qurthubi menuliskan: “Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau
berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau
berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman.
Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’ Li Ahkam
al-Qur’an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr: 22).

Para ulama menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil salah satunya dari sabda Rasulullah shalllallahu
berikut ini.

Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir dari Suhail dia
berkata; Abu Shalih pernah menganjurkan kami yaitu, apabila salah seorang dari kami hendak tidur,
maka hendaknya ia berbaring dengan cara miring ke kanan seraya membaca doa;

ALLOOHUMMA ROBBAS SAMAAWAATI WA ROBBAL ARDH, WAROBBAL’ARSYIL’AZHIIMII, ROBBANAA


WAROBBA KULLI SYAI’IN, FAALIQOL HABBI WAN NAWAA, WAMUNZILAT TAUROOTI WAL INJIIL, WAL
FURQOON, A’UUDZU BIKA MIN SYARRI KULLI SYAI’IN ANTA AAKHIDZUN BINAASHIYATIHI,
ALLOOHUMMA ANTAL AWWALU FALAISA QOBLAKA SYAI’UN, WA ANTAL AAKHIRU FALAISA BA’DAKA
SYAIUN, WA ANTAZH ZHOOHIRU FALAISA FAUQOKA SYAI’UN, WA ANTAL BAATHINU FALAISA DUUNAKA
SYAI’UN, IQDHI’ANNAA ADDAINA, WA AGHNINAA MINAL FAQRI (HR Muslim)

Azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), Al-Bathin (yang tidak dapat dibayangkan)

Contohnya Al-Imam al Baihaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata :
“Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah
shalllallahu ‘alayhi wa sallam “Ya Allah, Engkaulah, Azh-Zhahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan
Engkau al-Bathin, tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya)

Berikut contoh penjelasan dari para pengikut kebid’ahan Ibnu Taimiyyah

****** awal kutipan ******

Dalam kitab Bayan Talbisul Jahmiyyah jilid 4, Ibnu Taimiyyah menjelaskan hadits tersebut secara lebih
detail.

121
Intinya ialah bahwa nama Azh Zhahir (isim fa’il dari kata Zhuhur) maknanya adalah ‘tinggi’. Karenanya,
Allah mensifati tembok besi yang dibangun oleh Dzulqarnain ‘alaihissalaam dengan ungkapan ( ‫فما اسطاعوا‬
‫“ )أن يظهروه‬Mereka (Ya’juj dan Ma’juj) takkan dapat mendaki/berada diatasnya”, yang berarti bahwa
tembok itu sangatlah tinggi.

Allah menamakan dirinya dengan nama azh-Zhahir tersebut sebab Dia lah yang paling tinggi, karenanya
dikatakan: falaisa fauqoka syai’un, yang artinya tidak ada sesuatu pun di atas-Mu.

Berhubung sesuatu yang tinggi biasanya nampak jelas, padahal Allah bersifat ghaib, maka untuk
menepis asumsi tersebut Rasulullah mengatakan bahwa Allah memiliki nama lainnya, yaitu Al-Baathin,
yang mengandung pengertian ‘tersembunyi’ dan ‘dekat’. Karenanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam merangkainya dengan kalimat: “‫ فلَيس دونك شيء‬maka tidak ada sesuatu yang lebih dekat dari-Mu.”

Menurut Syaikhul Islam, kata ‘duuna’ di sini diambil dari kata ‘ad dunuww‘ yang artinya dekat, bukan
dari kata ‘ad-duun‘ yang artinya ‘rendah’ atau ‘di bawah’. (Jadi terjemah yang tepat untuk doa nabi di
atas adalah dan “Engkaulah Al-Bathin, maka tidak ada sesuatu yang lebih dekat dari-Mu.“)

****** akhir kutipan ******

Mereka menterjemahkan “Tidak ada sesuatu di dekat Mu” sama saja “Tidak ada sesuatu di bawah Mu”
karena pada prinsipnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

‫كان الله ولﻢ يﻜﻦ شيﺀ غﻴﺮه‬

Allah ada, dan tiada sesuatu di selainNya.

Sayyidina Ali ~radiyallahu ‘anhu~ berkata:

‫كان الله وال مﻜان وهﻮ اﻵن على ما علﻴه كان‬

122
“Allah ada tanpa tempat. Dia saat ini pada apa adanya Dia ada.”

Syaikh Ibnu Athoilah berkata “Allah ada, dan tiada sesuatu besertaNya. Dia kini adalah tetap
sebagaimana adanya”

Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

َ َ‫ ِجئْنَاكَ ِلنَتَفَقَّهَ فِي ال ِدي ِْن َو ِلنَ ْسأَلَك‬:‫َاس مِ ْن أ َ ْه ِل ْاليَ َم ِن فَقَال ْوا‬
‫ع ْن أ َ َّو ِل‬ ٌ ‫صيْن قَا َل إِنِ ْي ِع ْن َد النَّبِي ِ صلى للا عليه وسلم إِ ْذ َد َخ َل ن‬
َ ‫ع ْن ِع ْم َرانَ ب ِْن ح‬
َ
‫غيْره‬ َ ‫ َكانَ للا َولَ ْم َيك ْن‬:‫ قَا َل‬. َ‫َهذَا اْأل َ ْم ِر َما َكان‬
َ ‫ش ْي ٌء‬

‫رواه البخاري‬

“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan
menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab: “Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari 3191)

Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:

‫ع ْرشَه‬َ َ‫ع َماء َما تَحْ ت َه ه ََوا ٌء َو َما فَ ْوقَه ه ََوا ٌء َو َخلَق‬ َ ‫ي‬ ْ ِ‫ يَا َرس ْو َل للاِ أَيْنَ َكانَ َربُّنَا قَ ْب َل أ َ ْن يَ ْخلقَ خ َْلقَه ؟ قَا َل َكانَ ف‬: ‫ع ْن أَبِ ْي َر ِزيْن قَا َل ق ْلت‬
َ
‫س ٌن‬ ‫ح‬
َ َ ٌ
‫ْث‬‫ي‬‫د‬ِ ‫ح‬
َ ‫ا‬َ ‫ذ‬‫ه‬َ ‫و‬ ‫ي‬
َ ُّ ‫ذ‬
ِ ِ‫م‬‫ر‬ْ ‫ت‬
ِ ‫ال‬ ‫ل‬
َ ‫ا‬ َ ‫ق‬ ‫ء‬ ‫ي‬
ٌ ْ ‫ش‬
َ ‫ه‬ ‫ع‬‫م‬ ‫ْس‬
َ َ َ ْ‫ي‬ َ ‫ل‬ ‫ي‬َ ‫أ‬ ‫اء‬ ‫م‬ََ ‫ع‬ ْ
‫ال‬ َ‫ن‬‫و‬ْ ‫َار‬
‫ه‬ ‫ْن‬ ‫ب‬ ‫ْد‬‫ي‬‫ز‬َِ ‫ي‬ ‫ل‬
َ ‫ا‬َ ‫ق‬ ‫ْع‬ ‫ي‬ ‫ن‬
ِ ‫م‬
َ ‫ْن‬ ‫ب‬ ‫د‬‫م‬َ ْ‫ح‬َ ‫أ‬ ‫ل‬
َ ‫ا‬َ ‫ق‬ ِ‫اء‬‫م‬ ْ
‫ال‬ ‫لى‬
َ َ َ ‫ع‬.

“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum
menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa
sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu.
Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata,
maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi
berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, 3109)

Ada dari mereka yang bertanya, di surga nanti dalil-dalil menunjukkan bahaw kita melihat Allah di surga.
Nah, mata penduduk surga ke arah mana saat melihat Allah ?

123
Al-Imâm al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama Salaf terkemuka
perintis madzhab Hanafi, berkata:

َ ‫ َوالَ يَك ْون بَينَه َوبَيْنَ َخ ْل ِق ِه َم‬،‫ ويَ َراه ْالمؤْ مِ ن ْونَ َوه ْم فِي ْال َجن ِة بِأعْي ِن رؤ ْو ِس ِه ْم بِالَ ت َ ْشبِيْه َوالَ َكمِ ية‬،‫َوللا تَعَالَى ي َرى فِي اﻵخِ َرة‬
‫سافَة‬

“Allah di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika mereka di surga
dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya, bukan sebagai
bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa
tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun
samping kiri)” (al-Fiqh al-Akbar karya al-Imâm Abu Hanifah dengan penjelasannya karya Mulla Ali al-
Qari, h. 136-137 )

Al-Imâm asy-Syaikh Abu ath-Thayyib Sahl ibn Muhammad asy-Syafi’i (w 404 H), seorang mufti wilayah
Nisafur pada masanya berkata:

‫ في جهة وال ينضم بعضكم‬-‫ تعالى‬-‫ “تضامون” بضم أوله وتشديد الميم يريد ال تجتمعون لرؤيته‬:‫سمعت الشيخ أبا الطيب الصعلوكي يقول‬
‫”إلى بعض فإنه ال يرى في جهة‬

“Saya telah mendengar asy-Syaikh Abu at-Thayyib as-Sha’luki berkata dalam menerangkan hadits
tentang Ru’yatullâh (melihat Allah bagi orang-orang mukmin). Dalam hadits tersebut terdapat kata “Lâ
Tudlammûn”, al-Imâm as-Sha’luki mengartikannya bahwa kelak orang-orang mukmin di surga akan
melihat Allah tanpa tempat dan tanpa arah, mereka ketika itu tidak saling berdesakan satu sama lainnya.
Orang-orang mukmin tersebut berada di dalam surga, namun Allah tidak dikatakan di dalam atau di luar
surga. Karena Allah bukan benda (yang mempunyai bentuk dan ukuran), Dia ada tanpa tempat dan
tanpa arah”. (Pernyataan al-Imâm as-Sha’luki ini dikutip pula oleh al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dan
kitab Fath al-Bâri dan disepakatinya)

Penduduk surga kelak, ketika dosa telah tiada, ketika hijab dibuka, mereka akan melihat Allah dengan
mata kepala namun langsung menghujam ke dalam hati sehingga terlihat bukan dalam suatu bentuk
atau ukuran karena tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya

124
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati
Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang
dinamakan buta mata hati.

Firman Allah Ta’ala yang artinya,

shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima
kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)

shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak dapat menerima
panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)

“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu
mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 :
46)

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan
lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)

Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk
menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)

Firman Allah Ta’ala yang artinya,

125
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-
Ahzab:21)

Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah)
kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya
(bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)

Firman Allah Ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)

Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau
mereka yang selalu menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat
sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat,
menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau
muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan.

Muslim yang memandang Allah Ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat adalah
muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.

Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu
sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut
senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat
ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”

Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-
utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana
pun ia berada“

126
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa
Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)

Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah
Anda pernah melihat Tuhan?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya
lihat?” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa
dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”

Tidak semua manusia dapat menggunakan hatinya

Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.

Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa

Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang
ibadahnya

Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah Ta’ala, pada saat yang
sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.

Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari
memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan
tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.

Para ulama Allah mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-
dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam
kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab
terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita
bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan,
bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).

127
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.”
(Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat
sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan
manusia” (HR. Muslim)

Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman,
Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku)
maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan
adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)

Sayyidina Umar ra menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya
belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain; wara yang
menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“.

Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang
paling baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam.

Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya,
dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)

Sayyidina Umar ra menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara /
bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan
tangan dan lidahnya“

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan akan bermuncululan orang-orang yang
bertambah ilmunya namun semakin jauh dari Allah karena tidak bertambah hidayahnya.

128
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak
bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“

Sungguh celaka orang yang tidak berilmu. Sungguh celaka orang yang beramal tanpa ilmu Sungguh
celaka orang yang berilmu tetapi tidak beramal Sungguh celaka orang yang berilmu dan beramal tetapi
tidak menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan.

Urutannya adalah ilmu, amal, akhlak (ihsan)

Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh
dari Allah Ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka
hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan
dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).

Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin
merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.

Akhlak seseorang akan mengikuti siapa yang diteladaninya.

Sedangkan mereka menjadikan Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai ulama panutannya.

Contohnya Muhammad bin Abdul Wahhab berkata “Demi Allah yang tidak ada ilah kecuali Dia, sungguh
saya telah mencari ilmu dan orang yang mengenali saya meyakini bahwa saya memiliki pengetahuan,
dan saya saat itu tidak mengetahui makna la ilaha illallah, dan saya tidak mengetahui agama Islam
sebelum kebaikan yang Allah karuniakan ini; dan begitu juga guru-guru saya, tidak seorang pun di antara
mereka mengetahui hal itu (Muhammad bin `Abdul Wahhab, Mu’allafât, jilid VII, dalam kitab “Rasâ’il
asy-Syakhsyiyah”, risalah ke-28, hlm. 186-187 dan seterusnya) sebagaimana pula yang termuat di
kalangan mereka sendiri pada http://thoifah-manshurah.blogspot.co.id/2012/03/surat-syaikh-
muhammad-ibnu-abdil-wahhab.html

129
Muhammad bin Abdul Wahhab dengan gamblang dan dengan kesombongannya, menyebutkan tidak
ada seorang pun dan bahkan guru-gurunya yang tahu Islam dan makna la ilaha illalah sebelum ia merasa
menerima karunia Allah.

Dengan pengakuannya bahwa memperoleh pengetahuan tentang Islam dan makna la ilaha ilalah bukan
dari para gurunya membuktikan bahwa pengetahuan tersebut adalah pemahamannya terhadap Al
Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal
pikirannya sendiri.

Pada hakikatnya kita tidak boleh merasa selain kita tidak mendapatkan petunjukNya karena setelah
Rasulullah wafat yang menjaga agama Allah sampai akhir zaman adalah para kekasih Allah (Wali Allah)
dan Imamnya

Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i: “Bumi ini tidak akan kosong dari
hamba-hamba Allah yang menegakkan agama Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga
agama Allah tidak akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan
dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang mereka. Demi Allah, jumlah
mereka tidak banyak, tetapi nilai mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga
agamaNya dan syariatNya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka. Mereka
menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan, mereka senang dengan
kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam
malakut. Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’i kepada agamaNya yang
lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka” (Nahjul Balaghah hal 595 dan Al Hilya jilid 1 hal.
80)

Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada
yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq
HidayahNya”

Abu Yazid al Busthami mengatakan: “Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan
takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya“.

Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal
Waliyullah, ia menjawab: “Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang

130
serupa dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk
mengenal dan mendekat kepada-Nya.”

Ciri-ciri atau tanda orang-orang yang beriman dan bertaqwa atau orang-orang yang mengikuti Rasulullah
adalah dengan amal ibadah menghantarkannya menjadi muslim yang Ihsan

Janganlah sholat cuma sampai di sajadah, zakat dan sedekah cuma sampai ke tangan penerima, haji
cuma sampai di Mekah, kurban cuma sampai di mulut yang memakan, jenggot menutupi mata hati.

Para Sahabat mempertanyakan jenggot orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari
bani Tamim yang terkenal gigih menjalankan sunnah Rasulullah namun tidak menjadikan mereka seperti
Rasulullah atau tidak menjadikan mereka berakhlak baik atau muslim yang Ihsan

Dalam syarah Shahih Muslim, Jilid. 17, No.171 diriwayatkan Khalid bin Walīd ra bertanya kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah penduduk Najed
dari bani Tamim yang suka menampakkan “bekas” amalnya dan berakhlak buruk dengan pertanyaan,

****** awal kutipan *****

“Wahai Rasulullah, orang ini memiliki semua bekas dari ibadah-ibadah sunnahnya: matanya merah
karena banyak menangis, wajahnya memiliki dua garis di atas pipinya bekas airmata yang selalu
mengalir, kakinya bengkak karena lama berdiri sepanjang malam (tahajjud) dan jenggot mereka pun
lebat”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab : camkan makna ayat ini : qul in’kuntum tuhib’būnallāh
fattabi’unī – Katakanlah: “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu. karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Khalid bin Walid bertanya, “Bagaimana caranya ya Rasulullah ? ”

131
Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Jadilah orang yang ramah seperti aku, bersikaplah penuh
kasih, cintai orang-orang miskin dan papa, bersikaplah lemah-lembut, penuh perhatian dan cintai
saudara-saudaramu dan jadilah pelindung bagi mereka.”

***** akhir kutipan *****

Dari riwayat di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegaskan bahwa ketaatan yang dilakukan
oleh orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah penduduk Najed dari bani Tamim dan suka
“menampakkannya” tidaklah berarti apa-apa karena tidak menimbulkan ke-sholeh-an.

Orang-orang yang mengamalkan sunnah Rasulullah namun tidak menjadikannya muslim yang ihsan atau
muslim yang berakhlakul karimah adalah menunjukkan amal ibadah mereka tidak diterima.

Contoh lima penyebab amal ibadah tidak diterima oleh Allah , telah disampaikan dalam tulisan pada
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/10/09/lima-penyebab-tak-diterima/

Sebagaimana sabda Rasulullah di atas bahwa ciri-ciri atau tanda orang-orang yang beriman dan
bertaqwa atau orang-orang yang mengikuti Rasulullah atau orang- orang yang mencintai Allah sehingga
dicintai oleh Allah dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah

1. Bersikap lemah lembut terhadap sesama muslim

2. Bersikap keras (tegas / berpendirian) terhadap orang-orang kafir

3. Berjihad di jalan Allah, bergembira dalam menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya

4. Tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang
murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka
dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap
keras (tegas / berpendirian) terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut
kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah
[5]:54)

132
Dalam firman Allah di atas telah difirmankan bahwa jika telah bermunculan orang-orang yang murtad
dari agamanya seperti melesatnya anak panah dari busurnya yakni bermunculan orang-orang yang
membunuh orang-orang Islam yang dituduh kafir, dituduh bukan Islam, dituduh berhukum dengan
hukum thaghut , dituduh musyrik menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir
namun mereka membiarkan atau bahkan bekerjasama dengan kaum yang dimurkai Allah yakni para
penyembah berhala yang sudah jelas kemusyrikannya maka hijrahlah atau ikutilah (merujuklah) kepada
para ulama Allah yakni para wali Allah, suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintaiNya

Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , ‘Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah”. Bersabda Nabi shallallahu
alaihi wasallam : mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-orang Yaman’.

Dari Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul menjawab,
‘Mereka adalah ahlu Yaman dari suku Kindah, Sukun dan Tajib’.

Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-
Maidah, Umar berkata, ‘Saya dan kaum saya wahai Rasulullah’. Rasul menjawab, ‘Bukan, tetapi ini untuk
dia dan kaumnya, yakni Abu Musa al-Asy’ari’.

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani telah meriwayatkan suatu hadits dalam kitabnya berjudul Fath al-Bari,
dari Jabir bin Math’am dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, ‘Wahai ahlu Yaman kamu
mempunyai derajat yang tinggi. Mereka seperti awan dan merekalah sebaik-baiknya manusia di muka
bumi’

Dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Suyuthi meriwayatkan hadits dari Salmah bin Nufail, ‘Sesungguhnya aku
menemukan nafas al-Rahman dari sini’. Dengan isyarat yang menunjuk ke negeri Yaman”. Masih dalam
Jami’ al-Kabir, Imam al-Sayuthi meriwayatkan hadits marfu’ dari Amru ibnu Usbah , berkata Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, ‘Sebaik-baiknya lelaki, lelaki ahlu Yaman‘.

Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang mencintai orang-
orang Yaman berarti telah mencintaiku, siapa yang membenci mereka berarti telah membenciku”

133
Begitupula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa jika telah bermunculan fitnah
atau perselisihan atau bahkan pembunuhan terhadap umat la ilaha illallah karena perbedaan pendapat
maka hijrahlah ke Hadramaut, Yaman, bumi para Wali Allah atau ikutilah (merujuklah) kepada pendapat
Ahlul Hadramaut, Yaman.

Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi
shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana
banyak terdapat keberkahan’

Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga
keberkahan dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke
negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat beribadah’

Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Pergilah
kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan buminya
mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangkan pahala yang banyak’

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa ahlul Yaman adalah orang-orang yang
mudah menerima kebenaran, mudah terbuka mata hatinya (ain bashiroh) dan banyak dikaruniakan
hikmah (pemahaman yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaimana Ulil Albab

Dan telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah
menceritakan kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami
bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya.
Fiqh ada pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)

Dari Abi Hurairah (radiyallahu ‘anhu) dari Nabi (Shalallahu ‘alaihi wassallam) beliau bersabda : “Telah
datang kepada kalian Ahlul Yaman, mereka orang yang lemah lembut hatinya, Iman itu di negara Yaman,
dan hikmah di negara Yaman dan fiqih (ilmu) itu di negara Yaman,”. (Muttafaqun ‘alaih).

134
Berkata para Ulama’ tentang arti hadits di atas :

Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hanbali (Rahimahullah Ta’ala) telah menggambarkan Ahlul Yaman, berkata
(rahimahullah) : “Mereka orang-orang yang sedikit berbicara akan tetapi banyak beramal, oleh karena
mereka orang-orang yang beriman, dan diantara arti Iman adalah beramal”.

Berkata As-Safaarini (Rahimahullah Ta’ala) : “Dan yang dimaksud bahwa Nabi (Shalallahu ‘alaihi
wassalam) menyifatkan hati-hati mereka (orang-orang Yaman) dengan lemah lembut hatinya adalah
bahwa mereka memilki hubungan yang erat untuk membela agama dari segala tipu-daya yang
menyesatkan dan dari syahwat (hawa nafsu) yang diharamkan”. [Tsulatsiyaat Musnad Al-Imam Ahmad
(1/698-699)].

Berkata Abu Bakar Ibnul ‘Arabi (Rahimahullah Ta’ala) : “Adapun pujian Ar-Rasul (Shalallahu ‘alaihi
wassalam) untuk negara Yaman karena penduduk negeri tersebut orang-orang yang menolong agama
dan penjaga agama Islam dan yang memberikan perlindungan kepada Ar-Rasul (Salallahu ‘Alaihi Wa
Salam). Adapun arti dari “Al-Hikmah” adalah karena amalan mereka berdasarkan ilmu dan itulah orang-
orang Yaman”. [‘Aridlo Al-Ahwadzi (9/45).

Alhamdulillah , umat Islam pada umumnya dan khususnya di negeri kita mendapatkan pengajaran
agama dari para ulama yang berasal dari Hadramaut, Yaman yang bersumber dari ulama kalangan ahlul
bait, keturunan cucu Rasulullah yakni dari apa yang disampaikan oleh Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa
bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin
Sayyidina Husain ra

Imam Ahmad Al Muhajir , sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman, beliau menganut madzhab Syafi’i dalam
fiqih , Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam
Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti
ulama-ulama tasawuf muktabaroh yang bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.

Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang
sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad
serta kemurnian agama dan aqidahnya.

135
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk
Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan
memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah, mereka berjuang dan berdakwah dengan
kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian
dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam
berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah,
Ijma dan Qiyas.

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Cara memahami istawa


23 Juni 2016 oleh mutiarazuhud

136
Cara memahami istawa

Para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa Salafush

Sholeh bermanhaj isbat yakni mengisbatkan (menetapkan) semua sifat-sifat Allah dengan mengetahui

maknanya dan Salafush Sholeh hanya menafikan pengetahuan tentang keadaan sifat tersebut (nafi

ilmul kaif)

Pada kenyataannya, Salafush Sholeh bukanlah nafi ilmul kaif melainkan nafi aslul kaif yakni menafikan

akan adanya keadaan kaif itu sendiri yang di nisbat kan pada Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala

Menafikan aslul kaif berarti mencegah orang dari menggambarkan lafaz-lafaz ayat sifat tersebut

dengan maknanya dari sudut bahasa atau makna dzahir karena ketika seseorang mendengar lafaz-

lafaz ayat sifat akan terus menggambarkan sifat-sifat tersebut dengan makna dzahir maka dia akan

terjerumus kepada paham tajsim atau menjisimkan Allah Subhanahu wa Ta’ala

Terhadap lafaz-lafaz ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan selalu berdasarkan maknanya

secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafaz-lafaz ayat

sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.

Terhadap lafaz-lafaz ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih

tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di

dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan

membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk

jatuh dalam kesesatan tasybîh”

Salafush Sholeh bukanlah menetapkan berdasarkan makna dzahir (isbat makna dzahir) sebagaimana

pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah melainkan menetapkan berdasarkan

lafaznya (isbat lafaz) dan tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa dan menyerahkan maknanya

kepada Allah.

Salasush Sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin

Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah?

Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir“

Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa

Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak

boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan

(makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).

137
Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak

boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada

bahasa Arab”.

Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-

Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu

itu”.

Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-

ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya.

Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.

Jadi ada dua cara memahami istawa yakni,

1. Cara yang dipergunakan oleh Salafush Sholeh yakni

Beriman pada lafaz istawa namun tidak meng-kaif (tidak membagaimanakan) istawa maksudnya tidak

memaknakan istawa dengan makna dzahir atau makna yang asal menurut bahasa namun

membiarkan sebagaimana lafaznya dan menyerahkan maknanya kepada Allah yang disebut dengan

TAKWIL IJMALI (ringkas dan menyeluruh)

2. Cara yang digunakan oleh ulama khalaf (kemudian) untuk menjawab pertanyaan orang-orang yang

suka menggunakan akal pikirannya sendiri yakni

Beriman pada lafaz istawa dan memahaminya menggunakan ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat

seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya karena “bacaan Al

Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) yang disebut dengan TAKWIL TAFSILI

(memalingkan dari makna dzahir)

Dalam memahami sifat Allah yang ditetapkanNya boleh menggunakan takwil ijmali atau takwil tafsili

karena takwil ijmali dengan takwil tafsili adalah sejalan atau tidak bertentangan.

Berikut contoh cara memahaminya,

Si A berkata bahwa gadis itu cantik bagaikan bulan. Sore itu bulan masuk ke warung makan.

Takwil Ijmali “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung

makan” tetapi saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah

yang mengatahuinya

138
Takwil Tafsili “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung

makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di

waktu malam, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.

Jadi klaim para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah bahwa Salafush Sholeh

menetapkan seluruh sifat-sifat Allah dengan “TANPA TAKWIL” adalah sebuah fitnah karena pada

kenyataannya Salafush Sholeh terhadap ayat-ayat sifat menggunakan manhaj takwil (memalingkan

makna sesuatu lafaz daripada makna dzahir atau makna yang asal menurut bahasa) yakni takwil

secara ijmali (ringkas dan menyeluruh) yakni menetapkan berdasarkan lafaznya (isbat lafaz) dan

tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa walaupun tidak memberikan makna lain kepada lafaz

tersebut dan menyerahkan maknanya kepada Allah sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/12/takwil-ijmali-dan-tafsili/

Salah satu pilar aqidah Islam adalah tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk dengan

menakwilkan atau memalingkan makna sebuah lafazh ayat dari makna dzahir ke makna yang lain

yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau makna kiasan)

Takwil dibutuhkan atau digunakan hanya jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah

dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.

Ada kita temukan kitab-kitab terjemahan Al Qur’an yang mengartikan kata Istawa dengan kata

bersemayam, namun kata bersemayam janganlah dimaknai dengan makna

dzahir/harfiah/tertulis/tersurat yang menurut kamus bahasa Indonesia adalah

1. duduk; Contohnya, “Pangeran bersemayam di kursi kerajaan”

2. tinggal; berkediaman, bertempat; Contohnya, “Presiden bersemayam di Istana Negara”

Makna yang mendekati kata Istawa adalah makna kata bersemayam dalam makna majaz (makna

kiasan) atau makna yang tersirat yakni

Terkait dengan hati, terpendam dalam hati, tersimpan (kata kiasan); Contohnya “sudah lama dendam

itu bersemayam di hatinya” atau “cinta bersemayam di hatinya”. “Bersemayam di hati” dapat

diartikan pula dengan “menguasai hati”

Al-Qushayri dalam Lata’if al-Isharat, telah menyebutkan : Adapun mengenai singgasana Qalbu, “Kami

angkut mereka di daratan dan di lautan” . telah disimpulkan pula bahwasanya : “Dia (Allah) Yang

Maha Rahman menetapkan Dirinya sendiri atasnya (`alayhi istawa); sedang mengenai arsy di hati:

139
Yang Maha Rahman menguasainya (`alayhi istawla). Arsy di langit adalah kiblat bagi doa seluruh

makhluk, sedang arsy di hati adalah tempat melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi. Sehingga, ada

perbedaan besar antara kedua arsy itu” (Lata’if al-Isharat jilid 4 hal:118)”

Para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat membolehkan

memaknai istiwa dengan bersemayam dalam makna majaz artinya menguasai dan terlarang dimaknai

bersemayam dalam makna dzahir yakni menetap atau bertempat karena menetap atau bertempat

mensifatkan Allah dengan sifat makhluk.

Imam al-Hâfizh al-Lughawiy Muhammad Murtadla az-Zabidi al Hanafi (w 1205 H) dalam kitabnya,

Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn menyebutkan bahwa seorang yang menafsirkan Istawâ dengan Istawlâ

tidak berbuat kesalahan apapun dan tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh. Menurut

Imam az-Zabidi penafsiran semacam ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan keagungan Allah. Hal

ini jauh berbeda dengan yang memaknai Istawâ dengan Istaqarra (menetap atau bertempat),

penafsiran semacam ini sama sekali tidak dapat dibenarkan, karena sama dengan mensifati Allah

dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

Ibn Battal mengatakan, “pengartian pengaturan dan kekuasaan”, “menguasai” dan “penaklukan” tidak

dianggap berlawanan dengan Sang Pencipta (Al-Khalik) sebagaimana “Zahir”, “Qahhar”, “ghalib”atau

“Qahir”, tidak dianggap berlawanan atas bagian zat lainnya. Hal ini diperkuat oleh ayat, “Dan Dialah

yang mempunyai kekuasaan tertinggi (Al-Qahir) atas semua hamba-Nya” (6:18, 6:61) dan “ Allah

berkuasa (Al-Ghalib) terhadap urusan-Nya” (12:21).

Dalam Shubah al-Tashbih hal:23 , Ibn al Jawzi juga membolehkan menafsirkan istiwa sebagai “al-

qahr”, menguasai.

Sedangkan orang-orang yang menolak memahami istiwa sebagai menguasai berpendapat bahwa

pemaknaan Istawâ dengan Qahara dan Ghalaba memberikan indikasi adanya “pertentangan” antara

Allah dengan arsy, dan kemudian Allah memenangkan “pertentangan” tersebut. Artinya, menurut

mereka seakan pada awalnya Allah dikalahkan (Maghlûb), lalu kemudian Dia dapat mengalahkan

(Ghâlib). Mereka memandang bahwa di sini ada pemahaman Sabq al-Mughâlabah, artinya seakan

Allah dikalahkan terlebih dahulu.

Berikut penjelasan para ulama yang termuat pada kitab-kitab mereka

Imam al-Hâfizh al-Lughawiy Muhammad Murtadla az-Zabidi al Hanafi (w 1205 H) dalam Ithâf as-

Sâdah al-Muttaqîn, j. 2, hlm. 108, menuliskan sebagai berikut:

140
“Jika ada orang yang menentang pemaknaan Istawâ dengan Istawlâ, Qahara atau Ghalaba dengan

alasan karena hal itu memberikan indikasi bahwa Allah dikalahkan lalu kemudian mengalahkan, kita

jawab: Pemahaman semacam itu sama sekali tidak benar. Pemahaman semacam demikian itu hanya

terjadi bila arsy dianggap sesuatu yang qadim; tanpa permulaan, dan bukan makhluk. Ini jelas tidak

benar, karena arsy adalah makhluk Allah. Segala sesuatu apapun (selain Allah); semuanya adalah

makhluk Allah dan di bawah kekuasaan Allah. Jika arsy atau selain arsy tidak diciptakan oleh Allah

maka semua itu tidak akan pernah ada. Adapun penyebutan arsy dalam ayat tersebut secara khusus

adalah karena arsy itu makhluk Allah yang paling besar bentuknya. Ini untuk memberikan isyarat, jika

makhluk yang paling besar bentuknya dikuasai oleh Allah maka secara otomatis demikian pula dengan

makhluk-makhluk yang bentuknya berada di bawah arsy”.

Imam Abu Nashr al-Qusyairi (w 514 H) dalam at-Tadzkirah asy-Syarqiyyah sebagaimana dikutip oleh

Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn, j. 2, hlm. 108, menuliskan

sebagai berikut:

“Jika ada yang mengatakan bahwa pemaknaan Istawâ dengan Qahara atau Ghalaba memberikan

indikasi seakan Allah terlebih dahulu dikalahkan, maka kita jawab: ”Jika demikian, lantas

bagaimanakah pemahaman kalian tentang firman Allah: ”Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-

An’am: 18), apakah dengan dasar ayat ini kalian juga akan mengatakan bahwa Allah terlebih dahulu

dikalahkan oleh hamba-hamba-Nya?! Pemahaman kalian benar-benar keliru. Bagaimana kalian akan

berani mengatakan bahwa hamba-hamba Allah mengalahkan Allah, padahal mereka semua adalah

makhluk-makhluk-Nya?! Justeru sebaliknya, jika makna Istawâ ini di artikan seperti yang dipahami

oleh kaum Musyabbihah yang bodoh itu bahwa Allah bersemayam (bertempat) dengan Dzat-Nya di

atas arsy maka berarti hal tersebut memberikan pemahaman bahwa Allah berubah, dari sebelumnya

bukan di atas arsy, kemudian menjadi di atas arsy, karena sesungguhnya arsy itu adalah ciptaan

Allah”.

Dalam halaman yang sama beliau menuliskan sebagai berikut:

“Jika ada yang berkata: ”Bukankah firman Allah: ”ar-Rahmân ‘Alâ al-arsy Istawâ” (QS. Thaha: 5)

harus kita pahami sesuai makna zahirnya?”, kita jawab: ”Allah juga berfirman: ”Wa Huwa Ma’akum

Aynamâ Kuntum” (QS. Al-Hadid: 4), kemudian dalam ayat lain: ”Alâ Innahu Bikulli Syai-in Muhîth”

(QS. Fushshilat: 54), dalam pendapat kalian apakah ayat-ayat semacam ini harus juga dipahami

sesuai dengan makna zahirnya?! Bila demikian, maka berarti sesuai pendapat kalian, dalam waktu

yang sama Allah dengan Dzat-Nya ada di atas arsy, juga ada di sisi kita bersama kita, dan juga ada

meliputi alam ini dengan Dzat-Nya. Sangat mustahil dalam satu keadaan dengan Dzat-Nya Dia berada

141
di semua tempat tersebut”. Kemudian jika mereka berkata: “Yang dimaksud dengan firman-Nya “Wa

Huwa Ma’akum” adalah dalam pengertian bahwa Allah maha mengetahui terhadap segala apa yang

kita perbuat, dan yang dimaksud dengan firman-Nya “Bi Kulli Syai-in Muhîth” adalah dalam pengertian

bahwa segala apapun yang terjadi pada alam ini diketahui oleh Allah”, maka kita katakan kepada

mereka: ”Demikian pula dengan firman Allah “’Alâ al-arsy Istawâ” adalah dalam pengertian bahwa Dia

menguasai, menjaga dan menetapkan arsy”.

Simak pula perkataan Imam al-Haramain dalam kitab al-Irsyâd, hlm. 59, sebagai bantahan atas kaum

Musyabbihah sebagai berikut:

“Jika orang-orang Musyabbihah mengambil dalil dengan zahir firman Allah: ”ar-Rahmân ‘Alâ al-arsy

Istawâ” (QS. Thaha: 5) untuk menetapkan keyakinan mereka bahwa Allah berada di atas arsy, maka

jalan untuk membantah mereka adalah dengan mengutip beberapa ayat yang secara pasti

membutuhkan kepada takwil, seperti firman Allah: ”Wa Huwa Ma’akum Aynamâ Kuntum” (QS. Al-

Hadid: 4), atau firman Allah: ”Afaman Huwa Qâ-imun ‘Alâ Kulli Nafsin Bimâ Kasabat” (QS. Ar-Ra’ad:

33), kemudian kita tanyakan makna-makna ayat tersebut kepada mereka. Jika mereka memaknai

ayat semacam tersebut dalam pengertian bahwa Allah maha mengetahui segala rincian yang terjadi,

maka kita katakan kepada mereka; ”Demikian pula memaknai Istawâ dalam pengertian Qahara dan

Ghalaba, sama sekali tidak dilarang, dan pemaknaan seperti demikian itu biasa dipakai dalam bahasa

Arab. Oleh karenanya jika dikatakan dalam bahasa Arab “Istawâ Fulân ‘Alâ al-Mamâlik”, maka artinya

bahwa si fulan telah telah menguasai banyak kerajaan dan banyak menundukan manusia. Adapun

penyebutan arsy dalam ayat ini secara khusus adalah karena arsy adalah makhluk Allah yang paling

besar bentuknya. Dengan demikian penyebutan arsy secara khusus ini memberikan isyarah bahwa

Allah juga menguasai segala apa yang bentuknya lebih kecil dari pada arsy”.

Kemudian jika mereka berkata: ”Memaknai Istawâ dengan Ghalaba memberikan pemahaman seakan

adanya pertentangan antara Allah dengan arsy; yang pada mulanya Allah kalah lalu kemudian

menang”, kita jawab: ”Pendapat kalian ini batil. Jika Allah menundukan arsy dalam pengertian yang

kalian katakan tentu Allah akan memberitakan demikian adanya. Sebaliknya, Istawâ dalam pengertian

yang kalian pahami yaitu bersemayam (bertempat) dengan Dzat-Nya sangat jelas memberikan

pemahaman bahwa Allah berubah dari tanpa arsy menjadi butuh kepada arsy. Dan keyakinan

semacam itu adalah kekufuran”.

Imam al-Qâdlî Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab berjudul Idlâh ad-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thîl,

hlm. 106-107, menuliskan sebagai berikut:

142
“Jika ada yang berkata: ”Penggunaan Istawlâ atau Qahara adalah hanya bagi yang sebelumnya tidak

menguasai dan belum menundukan, atau hanya bagi yang memiliki penentang saja, artinya ia belum

menundukan atau lemah lalu kemudian dapat menundukan dan berkuasa”, kita jawab: ”Yang

dimaksud dengan Istawlâ dan Qahara di sini adalah sifat kuasa Allah yang sempurna yang sama sekali

tidak terkait dengan adanya penentang.

Kemudian kata “tsumma” dalam firman-Nya: “Tsumma Istawâ” bukan dalam pengertian “tertib atau

berkesinambungan” dalam perbuatan-Nya, tetapi untuk memberikan paham tertib atau

kesinambungan dalam pemberitaan, bukan dalam perbuatan-Nya.

Kemudian jika ia berkata: ”Bukankah Allah menguasai seluruh makhluk-Nya, lantas untuk apa

penyebutan arsy secara khusus yang dikuasai oleh Allah?”, kita jawab: Asry disebut secara khusus

karena ia adalah makhluk Allah yang paling besar bentuknya, sebagaimana telah disepakati ulama.

Ini seperti penyebutan arsy secara khusus dalam firman-Nya: ”Wa Huwa Rabb al-arsy al-‘Azhîm” (QS.

At-Taubah: 129), artinya bahwa Allah adalah Tuhan arsy yang agung, padahal Allah adalah Tuhan

bagi seluruh alam ini. Dengan demikian dapat dipahami jika Allah menguasai makhluk yang paling

besar bentuknya, yaitu arsy, maka sudah pasti demikian adanya terhadap makhluk-makhluk yang

bentuknya lebih kecil dari pada arsy itu sendiri”.

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

jaga
Diusir Imam Malik »

Al Ibanah dipalsukan
2 Oktober 2017 oleh mutiarazuhud

143
Waspada pemalsuan kitab Al Ibanah

Kita umat Islam prihatin atas kitab al Ibanah yang dicetak dan tersebar sekarang dan dinisbatkan

kepada al Imam Abu al Hasan al Asy’ari telah banyak dimasuki sisipan-sisipan palsu dan penuh

kebohongan atau ada bagian yang dihilangkan atau diterjemahkan selalu dengan makna dzahir.

Salah satu contoh kata penting yang dihilangkan adalah bi la kayf

‫بال كيف وال استقرار‬

Tentunya kita mengetahui arti penting dari ungkapan yang lenyap tersebut.

Sehingga dengan adanya ungkapan itu akan memberi penjelasan bahwa sifat-sifat Allah seperti istiwa,

yadd, ain, janbun dan lain lain bi la kayf – tanpa kaif (tanpa membagaimanakan) yakni maksudnya

tidak memaknakan istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dengan makna yang asal menurut bahasa

atau makna dzahir namun membiarkan sebagaimana lafaznya dan menyerahkan maknanya kepada

Allah yang disebut dengan TAKWIL IJMALI (ringkas dan menyeluruh)

Begitupula Salasush Sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada

Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada

144
sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa

tafsir“

Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-

Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu

itu”.

Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-

ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya.

Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.

Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa

Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak

boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan

(makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).

Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak

boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada

bahasa Arab”.

Jadi ada dua cara dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah yang ditetapkanNya

yakni

1. Cara yang dipergunakan oleh Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan ulama salaf (terdahulu) pada

umumnya yakni Bi La Kayf atau TAKWIL IJMALI (ringkas dan menyeluruh)

Yakni beriman kepada lafaz-lafaz seperti istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain namun tidak meng-kaif

atau tidak membagaimanakan istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain maksudnya tidak memaknakan

istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dengan makna dzahir dan menyerahkan maknanya kepada Allah

Ta’ala

2. Cara yang digunakan oleh ulama khalaf (kemudian) untuk menjawab pertanyaan orang-orang yang

suka menggunakan akal pikirannya sendiri yakni TAKWIL TAFSILI (memalingkan dari makna dzahir)

Yakni beriman pada lafaz-lafaz seperti istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dan memahaminya

menggunakan ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan

dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush

shilat [41]:3)

145
Berikut contoh cara memahami TAKWIL IJMALI dan TAFSILI,

Si A berkata bahwa gadis itu cantik bagaikan bulan. Sore itu bulan masuk ke warung makan.

Takwil Ijmali “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung

makan” tetapi saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah

yang mengetahuinya

Takwil Tafsili “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung

makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di

waktu malam, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.

Jadi dalam memahami sifat Allah yang ditetapkanNya boleh menggunakan takwil ijmali atau takwil

tafsili karena takwil ijmali dengan takwil tafsili adalah sejalan atau tidak bertentangan yakni sama-

sama memalingkan dari makna dzahir.

Ulama Hanbali, Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami

dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka

berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna

kiasan).

Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh

ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau

makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena

jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak

patut bagiNya.

Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu

balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu

sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan.

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik

dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu

sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para

ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan

orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan

menyesatkan (HR Bukhari 98)

146
Mereka yang terjerumus melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah

Ta’ala dan RasulNya yakni mereka melarang (mengharamkan) mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat

adalah akibat mereka salah memahami firman Allah Ta’ala yang artinya,

“Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti

ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak

ada yang tahu takwilnya kecuali Allah Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami

beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat

mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. ” (Q.S. Al Imran [3] : 7)

Mereka yang salah memahami firman Allah tersebut, justru terjerumus mengikuti ayat-ayat

mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga menimbulkan fitnah.

Contoh fitnah mereka dengan mengatasnamakan sebagai pemahaman para Sahabat (Salafus Sholeh),

salah satu ulama panutan mereka yang membaca dan memahami sebuah hadits shahih namun

karena salah memahaminya sehingga mereka bertuhan bukan kepada Allah Ta’ala.

Mereka bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat mereka selalu

berpegang pada nash atau dalil secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.

Jelas sekali bahwa apa yang mereka sampaikan bukan aqidah atau pemahaman para Sahabat

(Salafush Sholeh) melainkan aqidah atau pemahaman mereka sendiri menurut akal pikiran mereka

sendiri terhadap nash atau dalil yang mereka baca.

Silahkan periksa tulisannya pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-

tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan

Sedangkan mereka yang mencari-cari takwil adalah mereka yang menakwilkan mengikuti hawa nafsu

mereka.

Jadi yang dilarang adalah mencari-cari takwil bukan menakwilkan dengan ilmu-ilmu yang terkait

bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani,

bayan dan badi’) dan lain lain karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush

shilat [41]:3)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentu tidak mendoakan hal yang terlarang yakni mendoakan

Ibnu Abbas ra agar Allah Ta’ala menganugerahkan kemampuan takwil

Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al ta’wil

147
Ya Allah dalamkanlah pengetahuannya dalam agama dan ajarilah ia takwil Qur’an

atau

Allahumma ‘allimhu al hikmah.

Ya Allah alimkanlah dia dengan hikmah

atau

Allahumma faqqihu fiddini, wa allimhu al hikmata at ta’wila qurana

Ya Allah dalamkan pengetahuannya dalam agama dan alilmkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al

Qur’an (HR Ibnu Majah)

Begitupula “tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah” namun pada ayat yang lain Allah Ta’ala telah

berfirman bahwa Dia mengkaruniakan kemampuan takwil kepada yang dikehendakiNya yakni Ulil

Albab

Kemampuan takwil adalah kemampuan memahami dengan mengambil pelajaran berdasarkan karunia

hikmah dari Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada siapa yang dikehendakiNya

“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah)

kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah

dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman

Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269).

“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui”

(QS Fush shilat [41]:3)

“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak

mengetahui.” (QS. an-Nahl [16] : 43)

Ulil Albab atau ahli dzikir atau orang yang mempunyai pengetahuan karena karunia hikmah dari Allah

Ta’ala adalah

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring

dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami,

tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa

neraka” (Ali Imran [3] : 191)

148
Ada pula para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang tidak anti takwil namun

mereka hanya mau mentakwilkan kalau ada qorinah (petunjuk) dari ayat lain atau ada penjelasan dari

hadits terhadap ayat tersebut.

Penakwilan atau memalingkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih sesuai selain

berdasarkan qorinah (petunjuk) dari ayat atau nash yang lain.

Ada pula penakwilan berdasarkan qorinah (petunjuk) dari ayat itu sendiri dalam jumlah keseluruhan

atau sebahagian dari ayat tersebut yang dimengerti oleh para ahlinya berdasarkan ilmu-ilmu terkait

bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani,

bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/08/pengertian-takwil/

Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa “Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang

pengambilan makna dari lafaz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti

yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafaz dzahir.”

Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa: “Membawa makna lafaz dzahir yang mempunyai ihtimal

(probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.

Sedangkan menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafaz dari artinya yang dzahir kepada

makna yang lain, tetapi bukan dzahirnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa takwil adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain

yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173].

Alasan yang dapat diterima oleh akal sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni

1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.

2. Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al

Quran.

Contoh ayat mengandung lafazh yang kalau dipahami dengan makna dzahir adalah wajah Allah.

Salah seorang ulama panutan mereka yakni Albani menentang takwil QS al-Qashash [28] : (88) yang

diriwayatkan oleh Imam Bukhari ,

‫كل سيء هالك إال وجهه‬

‫ أي ملكه‬: ‫قال البخاري بعد هذه األية‬

149
Ketika ditanya tentang penakwilan seperti dalam Shahih al-Bukhari tersebut, al-Albani mengatakan

dalam kitab karyanya; al Fatawa, hlm. 523:

“‫”هذا ال يقوله مسلم مؤمن‬,

Siapa yang mentakwil firman Allah “Kullu Sya’in Halikun Illa Wajhahu” dengan takwil “kecuali Mulk”

maka “Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman“ sebagaimana gambar

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/03/menentang-takwil.jpg

Para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa perkataan Albani,

“Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman“ bukanlah ditujukan kepada Imam

Bukhari namun kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna rahimahullah karena menurut mereka

Imam Bukhari hanya meriwayatkan ucapannya saja.

Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa pada riwayat An-Nasafi terhadap Shahih Al

Bukhari terdapat lafal: “kecuali Mulk” yang dinisbatkan kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin Al Mutsanna.

Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata; “Perkataan “kecuali wajah-Nya” adalah kecuali Mulk, ada

pada riwayat An-Nasafi. Ma’mar berkata;…(seperti telah disebutkan). Dan Ma’mar adalah Abu

Ubaidah, Ibnul Mutsanna. Dan ini adalah perkataannya dalam kitab-Nya Majaz Al Qur’an namun

dengan lafal: “kecuali Dia”. Fathul Bari (8/505)

Jadi jelaslah Ma’mar bin al-Mutsanna Abu Ubaidah menafsirkan dengan menakwilkan lafaz yang kalau

dimaknai secara dzahir adalah “Wajah Nya” dengan memalingkannya kepada sifat Mulk atau Malikul

Mulk (Pemilik kerajaan, Raja dari segala raja) yang dimaksud adalah Allah Ta’ala itu sendiri dan pada

kesempatan yang lain ditegaskan dengan lafal: “Kecuali Dia”

Begitupula Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

ْ ‫ { ُك ُّل ش‬:‫وهكذا قوله ها هنا‬.


‫ إال إياه‬:‫َيءٍ هَا ِلكٌ ِإال َو ْج َههُ } أي‬

“Demikian juga, firmanNya di sini: “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya”, yaitu kecuali

DiriNya” (Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/261)

Jadi kesimpulannya mereka menyalahkan , menganggap bukan “muslim yang beriman” atau bahkan

mengkafirkan (menganggap bukan muslim) terhadap muslim lain yang tidak sepaham (sependapat)

dengan mereka seperti muslim yang memahami firman Allah QS al-Qashash [28] : 88 sebagai “Segala

sesuatu akan binasa kecuali Dia”

150
Mereka menganggap atau menuduh muslim lain yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka

sebagai bukan “muslim yang beriman”, sebaimana anggapan atau tuduhan mereka terhadap Abu

‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w. 208) pakar ilmu bayan, pengarang kitab pertama kali yang

disusun dalam bidang balaghah, tentang ilmu bayan, yaitu kitab Majazul Qur’an sebagaimana

informasi pada http://iancakepcool.blogspot.co.id/2009/04/makalah-balagah.html

Ibn Al Jawzi menjelaskan bahwa para ahli tafsir berkata: ”Makna ”‫ ;”ويبقى وجه ربك‬artinya ”‫” ;”ويبقى ربك‬Dan

Tuhanmu (Allah) maha kekal”. Demikian pula pemahaman firman Allah yang senada dengan ayat di

atas, firman-Nya: ”‫ ;”يريدون وجهه‬para ahli tafsir berkata: ”Artinya ”‫” ;”يريدونه‬Mereka bertujuan ikhlas

karena Allah”. Sementara Imam ad-Dlahhak dan Abu Ubaidah menafsirkan firman Allah ” ‫كل شىء هالك إال‬

‫ ;”وجهه‬artinya ”‫” ;”إال هو‬Segala sesuatu akan punah kecuali Allah”.

Begitupula dari kalangan masyarajat Arab klasik bahwa kata wajah biasa digunakan merujuk kepada

wajah yang dikenal secara denotatif, dan kadang juga digunakan oleh bangsa Arab merujuk diri

seseorang, artinya mereka menggunakan ungkapan “wajah” untuk menyebut “diri seseorang”,

maksudnya adalah dzatnya, secara majaz (metaforis atau makna kiasan).

Begitu juga dengan juga kata “wajah”, orang Arab biasa menggunakannya secara majaz (metaforis

atau makna kiasan) untuk mengungkapkan sosok seseorang demi memuliakannya. Maka mereka

berkata: jaa’a wajhul qoumi telah datang wajah kaum.

Ironisnya mereka yang terjerumus kesesatan akibat salah memahami Al Qur’an dan Hadits, justru

mereka menganggap “telah kafir” bagi umat Islam yang tidak mau mengikuti pemahaman mereka

yang “tanpa perlu takwil” alias “tanpa takwil” yakni memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan

untuk diriNya selalu dengan makna dzahir karena dianggap telah mengingkari sifat-sifat Allah

sebagaimana yang mereka publikasikan pada http://almanhaj.or.id/content/794/slash/0/mengingkari-

tauhid-asma-wa-sifat/

***** awal kutipan ****

Mengingkarinya setelah mengetahui bahwa itu memang benar adanya. Mereka mengingkarinya secara

sengaja, dan mengajak yang lain untuk mengingkarinya. Maka mereka yang berlaku seperti ini telah

kafir karena mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya. Padahal mereka mengetahui

hal tersebut tanpa perlu takwil-nya.

***** akhir kutipan *****

Kaum muslim yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat tentu bukanlah

mengingkari sifat-sifat Allah atau bukanlah mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya

151
namun mengingkari memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang

pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir karena akan terjerumus

kekufuran dalam i’tiqod.

Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum

Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,

“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah

satu pangkal kekufuran”.

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam dalam kitab “Tanbiat Al-Ghabiy Bi

Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang

berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad

, ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan,

mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”

Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat benda

dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.

Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah

dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya:

“Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau

karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam

i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan

mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-

Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).

Mereka yang mengingkari Allah dan hukumnya ‘aashin yakni berbuat durhaka kepada Allah akibat

mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan

makna dzahir.

Berikut kutipan tulisan syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi

‘alaUmmil Barahin” sebagaimana yang dikutip pada http://santri.net/aqidah-akhlak/aqidah/hukum-

mengitiqadkan-allah-swt-seperti-makhluk/

***** awal kutipan *****

Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim

(seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya, maka orang

152
tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa

Ta’ala.

I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala

itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah

Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.

***** akhir kutipan *****

Oleh karenanya sebaiknya janganlah berguru atau mengambil pendapat dari orang-orang yang

“kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka

sendiri karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an

dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”.

(HR. Ahmad)

Mereka yang menyatakan bahwa “Tuhan yang bilang memiliki wajah, mata, pinggang, tangan, kaki

dan lain lain, bahkan ada yang menyatakan Tuhan mereka memiliki dua tangan dan keduanya kanan

maka pernyataan itu membuktikan bahwa mereka memahami firman Allah secara otodidak (shahafi)

menurut akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/07/16/tuhan-yang-bilang/

Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang

disangkakan oleh orang awam.

Dalam perkara aqidah atau i’tiqod tidak ada perbedaan di antara mazhab yang empat karena i’tiqod

bukanlah masalah yang bersifat furu’iyyah. Kesalahpahaman dalam i’tiqod menyebabkan terjerumus

kekufuran dalam i’tiqod.

Apa yang mereka alami pada masa sekarang, dahulu kala telah dihadapi oleh ulama Hanbali yang

ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-

Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi ketika meluruskan kesalahpahaman 3 ulama semula

bermazhab Hanbali akibat mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman

mereka selalu dengan makna dzahir.

Ibn al Jawzi berkata, “sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar

berita (nash) bahwa Allah memiliki kepala”

153
Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih untuk

menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama tersebut. Contoh terjemahannya

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf

Berikut sedikit kutipan dari kitab tersebut,

****** awal kutipan ******

Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal).

Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara

yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli

maupun dari dalil aqli.

Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat

tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau

melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts).

Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li”

saja bagi Allah hingga mereka mengatakan“Sifat Dzât”

****** akhir kutipan *****

Ibn al Jawzi di atas menjelaskan bahwa mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il”

(sifat perbuatan) saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”

Kita mengetahui “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) bagi Allah seperti Maha Melihat , Maha Mendengar

namun terlarang mensifatkan DzatNya seperti Allah memiliki wajah, pinggang, dua mata, dua tangan

dan keduanya kanan dan lain lainnya karena tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu

wa Ta’ala kecuali Dia.

Jadi mereka yang mengaku ahlussunnah namun pada kenyataannya mereka melanggar larangan

Rasulullah yakni larangan untuk menanyakan atau memikirkan DzatNya sebagaimana yang telah

disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/30/bertanya-tanpa-berpikir/

Paham Wahabisme adalah ajaran berdasarkan pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhamnad

bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang

dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana contoh informasi resmi

dari http://saudiembassy.net/islam

154
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined

forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of

Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.

Berikut contoh kutipan catatan kaki (footnote) ketika mereka menafsirkan QS Al Baqarah [2]:255

sebagaimana termuat dalam mushaf Al Madinah An Nabawiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia dan dicetak di Komplek Percetakkan Al Qur’an Al Karim kepunyaan Raja Fahd yang biasa

menjadi oleh-oleh bagi Jama’ah haji atau umroh Indonesia.

***** awal kutipan ****

161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang

mengartikan kekuasaan-Nya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak

telapak Kaki-Nya.”

***** akhir kutipan ****

Kutipan di atas dapat pula dilihat secara online pada http://www.quranonline.net/ebooks-

quran/ebook-quran-indonesian-translation.html

Begitupula dalam perkara aqidah, ustadz panutan mereka, Khalid Basalamah salah dalam memahami

Al Qur’an dan Hadits akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamanya selalu

dengan makna dzahir sebagaimana yang dapat disaksikan dalam sebuah video yang dipublikasikan

pada http://www.youtube.com/watch?v=IxPYMh-KWFg

Pada menit 02:55 Beliau berpendapat bahwa, “Allah itu Maha Besar. Jadi kenapa Allah itu tidak

kelihatan karena Allah terlalu besar untuk dilihat”

Pada menit 03:35 Beliau berpendapat bahwa, “Ayat kursi berarti informasi tentang pijakan kakinya

Allah di singgasana”.

Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah

kaki seperti

Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada

seorang pun yang dapat memperkirakan ukurannya.”

Berikut kutipan penjelasan Ibn al Jawzi terkait riwayat tersebut,

***** awal kutipan ****

Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat

Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa

155
riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa

hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa

hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah

Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah

bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki

seorang yang duduk di atas ranjang

Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada

di bawah tempat duduk (singgasana) mereka”.

***** akhir kutipan *****

Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya

kursi Allah dengan Arsy Nya. Tidak lebih dari itu.

Contoh lain mereka yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai Telapak Kaki (Qadamur Rahman)

akibat memahami selalu dengan makna dzahir terhadap riwayat seperti berikut,

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Setiap kali Jahannam dilempari (dengan

penghuninya) ia (Jahannam) senantiasa mengatakan, “Masih adakah tambahan?” Sehingga Rabbul

‘Izzah (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak kaki-

Nya di atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya, lalu ia (Jahannam)

berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848)

Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-

bagi, tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan berpindah-

pindah. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid al-Harawi dan Imam al-Hasan al-Bashri, bahwa ia (al-

Hasan al-Bahsri) berkata: Yang dimaksud “ ‫( ” قدم‬makna dzahirnya kaki) dalam hadits di atas adalah

orang-orang yang didatangkan (dimasukkan) oleh Allah dari para makhluk-Nya yang jahat di dalam

neraka Jahanam”.

Akibat mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu

dengan makna dzahir sehingga mereka belum dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya

terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Yahudi.

Contohnya pertanyaan kaum Yahudi dalam riwayat berikut

156
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy

dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada

Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari,

seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan

semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang

raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang

artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar

[39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)

Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti

pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah

kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “ ‫وما‬

‫“( ” قدروا هللا حق قدره‬Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az

Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”

Mereka mengatakan bahwa “kaki gajah dan kaki semut tidak sama walaupun sama-sama kaki

namanya. Begitupula kaki meja dan kaki kamera yang untuk sandaran juga tidak sama walaupun

sama-sama kaki namanya” sebagaimana yang dapat disaksikan dalam video

pada http://www.youtube.com/watch?v=CaT4wldRLF0 mulai pada menit ke 03 detik 15.

Walaupun kaki manusia, kaki meja, kaki kursi, kaki kamera berbeda bentuk dan ukurannya namun

mempunyai sifat yang sama yakni bagian bawah, untuk penopang (penyangga) sedangkan Allah

Ta’ala “Laisa kamitslihi syaiun” tidak serupa dengan makhlukNya dari sisi apapun.

Mereka lupa bahwa walaupun bentuk dan ukuran kakinya berbeda, sifat kaki bagi kaki semut, kaki

gajah, kaki meja atau kaki kamera adalah untuk menopang sesuatu yang mempunyai suatu bentuk

serta ukuran.

Jika tidak menopang sesuatu maka tidak disifatkan dengan kaki seperti kaki semut, kaki gajah, kaki

meja, kaki kamera dan lain lain.

Jadi mereka mensifatkan yang tidak dilayak bagi Allah yakni sifat kaki, suatu bagian yang menopang

sesuatu yang mempunyai suatu bentuk serta ukuran walaupun dikatakan bentuknya tidak serupa

dengan makhlukNya sedangkan bentuk dan ukuran adalah sifat makhluq bukan sifat Allah Ta’ala.

Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh

disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-

157
sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata

dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang)

seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)

Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata:“Barang siapa beranggapan

(berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui (belum mengenal) Tuhan yang

wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)”

Mereka yang belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya sehingga dapat berakibat amal

ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla.

Imam Al Ghazali berkata : “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengenal Allah yang

wajib disembah”

KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu

faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang

telah diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/

“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal

Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).

Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai

sarana mengenal Allah.

Selain itu aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan

sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.

Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah)

dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana mengenal Allah yang

merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat

yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.

Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang aqidah mereka yang mengaku pengikut

Mazhab Hambali, apakah aqidah Imam Ahmad bin Hanbal seperti aqidah mereka ?

‫ هل عقيدة اإلمام أحمد بن حنبل‬، ‫ في عقائد الحنابلة ما ال يخفى على شريف علمكم‬: ‫مطلب في عقيدة اإلمام أحمد رضي هللا عنه وأرضاه وسئل رضي هللا عنه ونفعنا به‬

‫رضي هللا عنه كعقائدهم ؟‬

Beliau menjawab:

158
***** awal kutipan ******

‫ عقيدة إمام السنة أحمد بن حنل رضي هللا عنه وأرضاه وجعل جنان المعارف متقلبه ومأواه وأقاض علينا وعليه من سوابغ امتنانه وبوأه الفردوس األعلى‬: ‫فأجاب بقوله‬

‫من جنانه موافقة لعقيدة أهل السنة والجماعة من المبالغة التامة في تنزيه هللا تعالى عما يقول الظالمون والجاحدون علوا كبيرا من الجهة والجسمية وغيرهما من سائر‬

‫ وما اشتهر به جهلة المنسوبين إلى هذا اإلمام األعظم المجتهد من أنه قائل بشيء من الجهة أو نحوها فكذب‬، ‫ بل وعن كل وصف ليس فيه كمال مطلق‬، ‫سمات النقص‬

‫ فلعن هللا من نسب ذلك إليه أو رماه بشيء من هذه المثالب التي برأه هللا منها‬، ‫وبهتان وافتراء عليه‬

Aqidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah meridhoinya dan menjadikannya

meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan aqidah

Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh

orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan

bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang

menunjukkan ketidaksempurnaan Allah.

Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang mengaku-ngaku sebagai

pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat

dan semisalnya, maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap beliau.

Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh

beliau dengan tuduhan yang Allah telah membersihkan beliau darinya itu.

‫وقد بين الحافظ الحجة القدوة اإلمام أبو الفرج ابن الجوزي من أئمة مذهبه المبرئين من هذه الوصمة القبيحة الشنيعة أن كل ما نسب إليه من ذلك كذب عليه وافتراء وبهتان‬

‫ فاعلم ذلك فإنه مهم‬، ‫ وأن نصوصه صريحة في بطالن ذلك وتنزيه هللا تعالى عنه‬، .

Al Hafizh Al Hujjah Al Imam, Sang Panutan, Abul Faraj Ibnul Jauzi, salah seorang pembesar imam

mazhab Hambali yang membersihkan segala macam tuduhan buruk ini, telah menjelaskan tentang

masalah ini bahwa segala tuduhan yang dilemparkan kepada sang imam adalah kedustaan dan

tuduhan yang keji terhadap sang imam. Bahkan teks-teks perkataan sang imam telah menunjukkan

kebatilan tuduhan itu, dan menjelaskan tentang sucinya Allah dari semua itu. Maka pahamilah

masalah ini, karena sangat penting.

‫ وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة‬، ‫وإياك أن تصغي إلى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن قيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ إلهه هواه وأضله هللا على علم‬

‫ وكيف تجاوز هؤالء الملحدون الحدود وتعدوا الرسوم وخرقوا سياج الشريعة والحقيقة فظنوا بذلك أنهم على هذى من ربهم وليسوا كذلك بل هم‬، ‫فمن يهديه من بعد هللا‬

‫على أسوإ الضالل وأقبح الخصال وأبلغ المقت والخسران و أنهى الكذب والبهتان فخذل هللا متبعه وطهر األرض من أمثالهم‬

Janganlah sekali-kali kamu dekati buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim

dan orang selain mereka berdua yang telah menjadikan hawa nafsu mereka sebagai tuhan

159
sesembahan dan disesatkan oleh Allah atas ilmu, yang Allah telah menutup telinga, hati dan

penglihatannya. Siapa yang bisa memberikan petunjuk orang seperti itu selain Allah?

Bagaimana orang-orang atheis itu melampaui batas-batas, menabrak aturan-aturan dan merusak

tatanan syariat dan hakikat, lalu mereka menyangka bahwa mereka berada di atas petunjuk dari

tuhan mereka, padahal tidaklah demikian. Bahkan mereka berada pada kesesatan paling buruk,

kemurkaan paling tinggi, kerugian paling dalam dan kedustaan paling besar. Semoga Allah

menghinakan orang yang mengikutinya dan membersihkan bumi ini dari orang-orang semisal mereka.

****** akhir kutipan ******

Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti

pemahaman seorang ulama sebelum bertaubat.

Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan sebuah tulisan berjudul

“Taubatkah Ibnu Taimiyah ke dalam Aqidah Asy’ariyah?” dari sebuah link yang kami arsip (simpan)

dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/07/12/taubatkah-ibnu-taimiyyah/

Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari

pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan

makna dzahir

Memang ada yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian

taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai sidang ke empat hingga ia

wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar

dari http://www.muslimedianews.com/2015/02/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-ditangan.html

Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa Beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala

menerima taubat Beliau.

Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka

menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat)

dengannya sebagaimana informasi yang kami arsip (salin)

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-

ibnu-taimiyyah.pdf

Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah

(W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.

160
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah

(menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul

Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)

Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun

ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para

pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.

Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang

merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad

bin Abdul Wahhab.

Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak

lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil

Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.

Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada

penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id

bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat

pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah

Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan

kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian

diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.

Hal yang perlu kita ingat bahwa sesat berbeda dengan kafir.

Kesesatan bukan selalu berarti kafir atau bukan Islam.

Kesesatan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.

Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami (W 974H) pernah ditanya tentang ungkapan yang berbunyi,

“Hadits itu menyesatkan kecuali untuk para ahli fikih,” apakah itu hadits atau bukan, dan apa

maknanya, padahal mengetahui hadits termasuk salah satu syarat seseorang disebut sebagai ahli

fikih? Mana yang lebih mulia dan utama, ahli fikih atau ahli hadits ?

Beliau menjawab: Itu bukan hadits, melainkan ucapan Ibnu ‘Uyainah (*) atau selainnya. Makna

ungkapan itu adalah bahwa hadits seperti Al Quran, ada yang lafalnya umum tapi maknanya khusus

dan sebaliknya, ada yang nasikh dan ada yang mansukh, ada juga yang tidak diamalkan, ada yang

161
lafalnya musykil (bermasalah), jika dipahami secara dzahir (literal) dapat menimbulkan pemahaman

tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) seperti hadits yang berbunyi, “yanzilu Rabbuna… dst.”

Tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fikih. Berbeda dengan mereka yang

hanya mengerti hadits saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadits

zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya. Dari sini,

dapat diketahui keutamaan para ahli fikih yang memiliki pemahaman dibandingkan dengan para ahli

hadits yang tidak memiliki pemahaman. (Al Fatawa Al Haditsiyah halaman 202)

*) Ibnu ‘ Uyainah nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran, salah seorang Tabi’i tsiqoh,

dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H.

Di atas, Imam Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa hadits itu dapat menyesatkan kecuali bagi

para fuqaha (ahli fikih) seperti hadits yang mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya (jika dipahami

selalu dengan makna dzahir) membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… dan

kesesatan tersebut di alami Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat dan para pengikutnya.

Imam Ibn Hajar Al-Haitami menyampaikan dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu

Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat)

bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah

menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara

ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga

berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga

berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci

atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman

116)

Seorang Ahli Hadits yang mendapat gelar Al-Hafidz Al-Faqih, Waliyuddin Al-Iraqi bin Syaikh Al-Haffadz

Zainuddin Al-Iraqi berkata ” Sesungguhnya Ibnu Taimiyyah telah merusak mayoritas umat muslim di

dalam banyak permasalahan, dikatakan mencapai 60 permasalahan sebagian mengenai aqidah dan

sebagian lainnya mengenai furu’. Ia telah menyalahi permasalahan-permasalahan yang telah

disepakati oleh umat Islam “. (Al-Ajwibatul Mardhiyyah ‘alal mas-alatil makkiyyah)

Memang ada ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau

mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang

menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat

kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’

162
Akibatnya para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengungkapkan

kekhawatiran atas fatwa sejak zaman dahulu kala tersebut

pada http://faisalchoir.blogspot.co.id/2011/12/ibnu-taimiyah-dikafirkan-ibnu-hajar.html

***** awal kutipan *****

Penyebab kitab ini dikarang sebagaimana yang tercantum dalam kitab tersebut adalah Fatwa yang

menyebar di khalayak Umum saat itu tentang kafirnya orang yang memberi julukan ibnu Taimiyah

sebagai Syaikhul Islam dan tidak sah sholat dibelakang orang tersebut.

Fatwa tersebut secara jelas bukan saja pengkafiran terhadap Ibnu Taimiyah, tapi juga pengkafiran

terhadap pengikutnya.

***** akhir kutipan ****

Sebagai pembelaan terhadap ulama panutan mereka dengan mengutip tulisan Al Hafizh as-Sakhawi

dalam kitab Al-Jawahir wad-Durar, 2/734-736 menukil pendapat gurunya, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-

Asqalani , “Beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah Syaikhul Islam tanpa ada keraguan” sebagaimana tulisan

sejenis pada http://abul-harits.blogspot.co.id/2013/03/pembelaan-al-hafidz-ibnu-hajar-terhadap.html

Namun mereka tampaknya kurang memperhatikan catatan penting Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab

yang mereka kutip sendiri yakni

‫ والذي أخطأ فيه ال يقلد فيه‬، ‫ ويترحم عليه بسببه‬، ‫ فالذي أصاب فيه – وهو األكثر – يستفاد منه‬، ‫ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب‬

“Meskipun demikian, beliau adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran

yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil

dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.

Catatan penting tersebut bukanlah masalah furuiyyah namun masalah pokok yakni aqidah

sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-

Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 sebagaimana yang dinformasikan pada http://www.aswj-

rg.com/2014/06/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al-asqalani-terhadap-ibnu-taimiyah.html

****** awal kutipan ******

Manusia terbagi menjadi beberapa kubu dalam menilai Ibnu Taimiyyah, ada sebagian kelompok yang

menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam

kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya : Ibnu Taimiyyah

mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah,

dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya. Maka ketika dipersoalkan, hal itu

akan melazimkan Allah memiliki batasan dan bagian, maka ia menjawab, “ Aku tidak setuju batasan

dan bagian termasuk kekhushusan jisim “. Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah

163
mengatakan batasan bagi Dzat Allah.

****** akhir kutipan ******

Jadi Ibnu Hajar Al-Asqalani pun menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap permasalahan pokok

bukan furuiyah yakni dalam perkara aqidah atau kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang mensifatkan Dzat

Allah alias meng-kaif-kan (membagaimanakan) Dzat Allah.

Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan

Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang

cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat)

dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan

menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat

sebagaimana yang dipubllikasikan pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html

Berikut kutipannya

***** awal kutipan *****

Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H

hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu

menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :

1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.

2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.

3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.

4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.

Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2

halaman 210 menegaskan :

“‫”وحبس بإحماع العلماء ووالة األمور‬.

“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”

Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan,

khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar

A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.

164
Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu

Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang

bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang

tidak sependapat dengan mereka.

***** akhir kutipan ******

Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa

dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan

membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah.

Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:

1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian

menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat

Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah

an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan

biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.

2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al

Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.

3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam

I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.

4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata:

“Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan

wajib dibunuh”.

5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau

mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya

6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu

Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara

(berfirman) dengan huruf dan suara”.

7. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal

dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.

165
8. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau

semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi

Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.

9. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan

menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam

Rasulullah.

Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

« Yang ada tanpa tempat


Rasulullah meluruskan i’tiqod »

Bi la kayf
21 September 2017 oleh mutiarazuhud

166
Contoh kata penting yang dihilangkan dalam kitab Al Ibanah adalah bi la kayf

Ternyata mereka mengakui sabda Rasulullah bahwa Allah ada tanpa tempat sebagaimana yang telah

disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/09/20/yang-ada-tanpa-tempat/

Begitupula Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari (W. 324 H) –semoga Allah meridlainya- berkata:

‫إن هللا ال مكان له‬

“Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” (diriwayatkan oleh al Baihaqi dalam al Asma’ wa as-Shifat)

Ini adalah salah satu bukti yang menunjukkan bahwa kitab al Ibanah yang dicetak dan tersebar

sekarang dan dinisbatkan kepada al Imam Abu al Hasan al Asy’ari telah banyak dimasuki sisipan-

sisipan palsu dan penuh kebohongan sebagaimana contoh informasi

pada http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/04/pemalsuan-kitab-al-ibanah-imam-abu-

hasan-al-asyariy/

Sebagaimana yang terungkap dalam gambar di atas, contoh kata penting yang dihilangkan adalah bi

la kayf

‫بال كيف وال استقرار‬

Tentunya kita mengetahui arti penting dari ungkapan yang lenyap tersebut.

167
Sehingga dengan adanya ungkapan itu akan memberi penjelasan bahwa sifat Istiwa’ Allah Subhanahu

wa Ta‘ala bi la kayf – tanpa kaif (tanpa membagaimanakan) yakni maksudnya tidak memaknakan

istiwa dengan makna yang asal menurut bahasa atau makna dzahir (seperti bertempat atau menetap

tinggi atau bahkan melayang tinggi di atas ‘Arsy) namun membiarkan sebagaimana lafaznya dan

menyerahkan maknanya kepada Allah yang disebut dengan TAKWIL IJMALI (ringkas dan menyeluruh)

Begitupula Salasush Sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada

Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada

sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa

tafsir“

Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-

Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu

itu”.

Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-

ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya.

Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.

Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa

Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak

boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan

(makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).

Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak

boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada

bahasa Arab”.

Jadi ada dua cara dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah yang ditetapkanNya

yakni

1. Cara yang dipergunakan oleh Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan ulama salaf (terdahulu) pada

umumnya yakni Bi La Kayf atau TAKWIL IJMALI (ringkas dan menyeluruh)

Yakni beriman kepada lafaz-lafaz seperti istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain namun tidak meng-kaif

atau tidak membagaimanakan istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain maksudnya tidak memaknakan

istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dengan makna dzahir dan menyerahkan maknanya kepada Allah

Ta’ala

168
2. Cara yang digunakan oleh ulama khalaf (kemudian) untuk menjawab pertanyaan orang-orang yang

suka menggunakan akal pikirannya sendiri yakni TAKWIL TAFSILI (memalingkan dari makna dzahir)

Yakni beriman pada lafaz-lafaz seperti istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dan memahaminya

menggunakan ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan

dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush

shilat [41]:3)

Berikut contoh cara memahami TAKWIL IJMALI dan TAFSILI,

Si A berkata bahwa gadis itu cantik bagaikan bulan. Sore itu bulan masuk ke warung makan.

Takwil Ijmali “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung

makan” tetapi saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah

yang mengetahuinya

Takwil Tafsili “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung

makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di

waktu malam, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.

Jadi dalam memahami sifat Allah yang ditetapkanNya boleh menggunakan takwil ijmali atau takwil

tafsili karena takwil ijmali dengan takwil tafsili adalah sejalan atau tidak bertentangan yakni sama-

sama memalingkan dari makna dzahir.

Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi

as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya

dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada

tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna

majaz (metaforis atau makna kiasan).

Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh

ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau

makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena

jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak

patut bagiNya.

169
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu

balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu

sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan.

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik

dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu

sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para

ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan

orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan

menyesatkan (HR Bukhari 98)

I’tiqod atau aqidah umat Islam, salah satunya berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya “Dialah

Yang Awal dan Yang Akhir” (QS Al Hadiid [57]:3)

Allah Ta’ala ada sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya.

Allah Ta’ala ada sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan

ciptaanNya.

Allah Ta’ala ada sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ’Arsy

Jadi Allah Ta’ala tidak berubah.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :“Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka

Dia menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya (sifat qadim), sebagaimana Dia ada

sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”.

[Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36].

Al-Imâm al-Qurthubi menuliskan: “Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau

berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau

berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan

zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’

Li Ahkam al-Qur’an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr: 22)

Syaikh Ibnu Athoilah berkata “Allah ada, dan tiada sesuatu besertaNya. Dia kini adalah tetap

sebagaimana adanya”

170
Berikut beberapa hadits yang menjadikan rujukan i’tiqod atau aqidah umat Islam bahwa Rasulullah

shallallahu alaihi wasallam bersabda. Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada

sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya dan Dia ada sekarang sebagaimana awalnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan)

dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (HR. al Bukhari, al Baihaqi dan Ibn al Jarud)

Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

ُ‫ كَانَ هللا‬:َ‫ قَال‬. َ‫ ِجئْنَاكَ ِلنَتَفَقَّهَ فِي ال ِدّي ِْن َو ِلنَ ْسأَلَكَ َع ْن أ َ َّو ِل َهذَا اْأل َ ْم ِر َما كَان‬:‫َاس مِ ْن أَ ْه ِل ْاليَ َم ِن فَقَالُ ْوا‬
ٌ ‫ي صلى هللا عليه وسلم إِ ْذ دَ َخ َل ن‬ِّ ِ‫صي ٍْن َقا َل إِنِّ ْي ِع ْندَ النَّب‬
َ ‫َع ْن ع ِْم َرانَ ب ِْن ُح‬

ْ ‫َولَ ْم يَ ُك ْن ش‬
‫رواه البخاري‬- ُ‫َي ٌء َغي ُْره‬

“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa

sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar

agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR

Bukhari)

Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:

‫لى ْال َماءِ قَا َل أَحْ َمدُ بْنُ َمنِيْعٍ قَا َل‬ َ ْ‫س ْو َل هللاِ أَيْنَ كَانَ َربُّنَا قَ ْب َل أَ ْن يَ ْخلُقَ خ َْلقَهُ ؟ قَا َل كَانَ ف ِْي َع َماءٍ َما تَحْ تَهُ ه ََوا ٌء َو َما فَ ْوقَهُ ه ََوا ٌء َو َخلَقَ عَر‬
َ ‫شه ُ َع‬ ُ ‫ يَا َر‬: ُ‫َع ْن أَبِ ْي َر ِزي ٍْن قَا َل قُ ْلت‬

ٌ‫سن‬ ٌ ‫ي َو َهذَا َح ِدي‬


َ ‫ْث َح‬ ُّ ‫َي ٌء قَا َل التِّرْ مِ ِذ‬
ْ ‫ْس َم َعهُ ش‬ ْ َ‫َار ْونَ ْال َع َما ُء أ‬
َ ‫ي لَي‬ ُ ‫ َي ِز ْيدُ بْنُ ه‬.

“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita

sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada

tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada

sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun

berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat).

Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).

Imam asy-Syafi’i berkata:

‫ إذ ال يجوز عليه التغير‬،‫ والدليل عليه هو أن هللا تعالى كان وال مكان له فخلق المكان وهو على صفته األزلية كما كان قبل خلقه المكان‬،‫واعلموا أن هللا تعالى ال مكان له‬

‫ ولهذا المعنى‬،‫ تعالى هللا عن ذلك علوا كبيرا‬،‫ ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق‬،‫ وألن من له مكان فله تحت‬،‫في ذاته وال التبديل في صفاته‬

13‫ ص‬،‫) استحال عليه الزوجة والولد ألن ذلك ال يتم إال بالمباشرة واالتصال واالنفصال (الفقه األكبر‬

Artinya :

171
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan

tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan

tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya

maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah

bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang

memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu

pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan

adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-

pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab

itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h.

13).

Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata

‫ “كان هللا وال مكان وهو اآلن على ما عليه كان‬: ‫قال سيدنا علي رضي هللا عنه‬

“Allah ada dan belum ada tempat dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti

semula ada tanpa tempat”

‫ “ إن هللا خلق العرش إظهارا لقدرته ولم يتخذه مكانا لذاته‬: ‫وقال سيدنا علي رضي هللا عنه‬

“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy untuk menampakkan kekuasaannya bukan untuk

menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya”

Dalam Muktamar Internasional Ahlussunnah wal Jama’ah di Chechnya, bulan Agustus 2016, dimana

salah satu hal yang dibahas adalah adanya pihak yang menganggap (menuduh) Asy’ariyah dan

Maturidiyah bukan Ahlusssunnah wal Jama’ah sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/09/07/hasil-muktamar-di-chechnya/

Contohnya mereka yang menganggap Asy’ariyah bukan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah karena

mereka menganggap (menuduh) Asy’ariyah beri’tiqod bahwa Allah berada di tiap-tiap tempat (Allah di

mana-mana).

Padahal ungkapan-ungkapan seperti,

“Allah wujud (ada) di mana mana”

atau

172
“apa yang terlihat di mana mana adalah wujud (keberadaan) Allah”

bukan berarti Allah Ta’ala bertempat di mana mana namun maknanya adalah bahwa kita bisa

mengetahui dan meyakini keberadaan dan kebesaran Allah Ta’ala serta mengenal Allah

(makrifatullah) adalah dengan memperhatikan alam dan isinya atau semua yang terlihat oleh mata

yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya atau disebut juga ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat yang

meliputi segala macam ciptaan Allah,baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar

(makrokosmos).

Firman Allah Ta’ala yang artinya

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada

diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah

Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush

Shilat [41]:53)

“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda

kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS

Yunus [10] : 101).

Hal ini sesuai dengan saran Rasulullah bahwa untuk meyakini keberadaan Allah dengan memikirkan

nikmat-nikmat yang telah diberikanNya atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Azza

wa Jalla dan melarang kita untuk memikirkan atau menanyakan DzatNya.

Rasulullah bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir

tentang Dzat Allah“.

Imam sayyidina Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa pertanyaan “Di mana” tidak boleh bagi Allah

Ta’ala.

‫” إن الذي أين األين ال يقال له أين وإن الذي كيف الكيف ال يقال له كيف‬: ‫وقال سيدنا علي رضي هللا عنه‬

“Sesungguhnya yang menciptakan aina (tempat) tidak boleh dikatakan baginya di mana (pertanyaan

tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan baginya

bagaimana”

Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu al Bâri-nya,1/221:“Karena sesungguhnya jangkauan akal

terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh

173
dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga

mengalamatkan kepada keberadaan Dzat-Nya: Di mana?.”

Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan: “Allah ada sebelum

ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan

belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?”

atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.

Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan

“bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerihpayah, dan kreasi-kreasi yang mampu

menggambari-Nya,atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada

sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang

mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.

Lalu ada dari mereka yang bertanya bahwa kalau tidak boleh menanyakan “di mana Allah” apakah

keliru sabda Rasulullah dalam kisah budak Jariyah ?

Salah satu satu pokok permasalahan para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu

Taimiyyah sebelum bertaubat dalam perkara aqidah , salah satunya mereka berpegang pada hadits

ahad (satu jalur perawi) yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami yang baru masuk Islam

yang dapat diketahui dengan pernyataannya “Wahai Rasul shallallahu alaihi wasallam sesungguhnya

aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang Islam”

Hal pokok yang shahih dan tidak diperselisihkan dari hadits tersebut adalah pada bagian sabda

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di

dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-

Qur’an.”

Sedangkan hadits yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami pada bagian kisah budak

Jariyah diperselisihkan.

Dalam istilah para ulama hadits, riwayat yang diperselisihkan matan (redaksinya) oleh para perawi

disebut mudhtharib, hadits kacau (guncang) matan (redaksinya).

Kekacauan (keguncangan) matan (redaksi) dalam hadits tersebut disebabkan sebagian perawi

meriwayatkan hadits tidak dengan matan (redaksi) asli sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, ia

meriwayatkannya dengan ma’nan (hanya kandungan maknanya saja). Karenanya ia terjatuh dalam

174
kesalahan. Sementara matan (redaksi) hadits yang benar ialah tidak ada pertanyaan: “Di mana

Allah?”

Jadi pada bagian kisah budak Jariyah adalah matan (redaksi) dari dia secara pribadi berdasarkan

penyaksiannya terhadap percakapan secara isyarat yang dapat pula dipengaruhi oleh keadaan

Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami yang baru masuk Islam ketika meriwayatkan kisah budak Jariyah.

Jumhur ulama telah sepakat bahwa pada bagian kisah budak Jariyah yang diriwayatkan Muawiyah bin

al-Hakam as-Sulami diragukan ke-shohih-annya dan seandainya shohih hadits tersebut maka

pertanyan “di mana Allah” sekedar untuk mengetahui apakah budak Jariyah masih menunjuk berhala

atau tidak.

Imam Syafi’i ~rahimahullah tentang hadits Jariyah berkata : “Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan

matan nya (hadits jariyah), dan seandainya shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi – shallallahu

‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya, karena bahwa dia

(hamba) dan kawan- kawannya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang

ada di bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanannya,maka Nabi bertanya : “Dimana Allah ?”

sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam, maka

manakala ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia

adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi, atau Nabi

mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datang dalam Al-Quran”.

Begitupula Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka

ia mentakwilnya agar tidak menyalahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni

pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah,

karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan

untuk menanyakan kedudukan atau derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu

kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah

sangat tinggi).

Ibn Al Jawzi berkata “Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Para ulama (Ahlussunnah Wal Jama’ah) telah

menetapkan bahwa Allah tidak diliputi oleh langit dan bumi serta tidak diselimuti oleh segala arah.

Adapun bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan mengatakan di arah langit adalah untuk

tujuan mengagungkan.

Berkata Imam Ahlus Sunnah Abu Mansur Al-Maturidi: “Adapun mengangkat tangan ke langit adalah

ibadah, hak Allah menyuruh hamba-Nya dengan apa yang Ia kehendaki, dan mengarahkan mereka

175
kemana yang Ia kehendaki, dan sesungguhnya sangkaan seseorang bahwa mengangkat pandangan

ke langit karena Allah di arah itu, sungguh sangkaan itu sama dengan sangkaan seseorang bahwa

Allah di dasar bumi karena ia meletakkan muka nya di bumi ketika Shalat dan lain nya, dan juga sama

seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di timur/barat karena ia menghadap ke arah tersebut ketika

Shalat, atau Allah di Mekkah karena ia menunaikan haji ke Mekkah” [Kitab At-Tauhid – 75]

Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu menghadap ke

langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu

karena Allah di langit, sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di arah Ka’bah, karena

sesungguhnya langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang

Shalat” [Syarah Shahih Muslim jilid :5 hal :22]

Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Ibnu Batthal berkata: sesungguhnya langit itu qiblat doa,

sebagaimana Ka’bah itu qiblat Shalat” [Fathul Bari, jilid 2, hal 296]

Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Maka adapun angkat tangan ke arah langit ketika

berdoa, karena sesungguhnya langit itu qiblat doa” [Ittihaf, jilid 2, hal 170]. kemudian Imam Al-

Hafidh Murtadha Az-Zabidi juga berkata: “Jika dipertanyakan, ketika adalah kebenaran itu maha suci

Allah yang tidak ada arah (jihat), maka apa maksud mengangkat tangan dalam doa ke arah langit ?

maka jawaban nya dua macam yang telah disebutkan oleh At-Thurthusyi :

Pertama: sesungguhnya angkat tangan ketika doa itu permasalahan ibadah seperti menghadap

Ka’bah dalam Shalat, dan meletakkan dahi di bumi dalam sujud, serta mensucikan Allah dari tempat

Ka’bah dan tempat sujud, maka langit itu adalah qiblat doa.

Kedua: manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat dan

berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit

adalah tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu

kepada Malaikat, dan Malaikat-lah yang memberikan kepada penduduk bumi, dan begitu juga tentang

diangkat nya segala amalan (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan langit ada

syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit itu tempat bagi perkara-perkara mulia

tersebut, dan tempat tersimpan Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentingan ke langit,

dan orang-orang berdoa pun menunaikan ke atas langit”[Ittihaf, jilid 5, hal 244]

Begitupula makna pujian ِ‫س َماء‬


َّ ‫“ َم ْن فِى ال‬man fiis samaa-i” “Yang di langit” bukannya “Yang berada di atas

langit” karena “berada di atas” adalah ungkapan dalam makna dzahir dalam arti ketinggian fisik yang

176
berhubungan dengan jihah (arah) Padahal jihah (arah) hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda

saja yang seharusnya dinafikan atau tidak boleh disifatkan bagi Allah.

Terjemahan yang benar adalah “Yang di langit” dalam makna majaz yakni ketinggian dalam arti

kemuliaan atau keagungan Allah

Imam al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan dalam Kitab at-Tauhid; “Al Kirmani berkata, ِ‫س َماء‬
َّ ‫َم ْن فِى ال‬

makna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah

tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia di banding sisi-sisi lainnya, maka ia

disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian dalam arti kemuliaan atau keagungan Dzat

dan sifat-Nya.“

Ibn al Jawzi dalam kitab Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih menjelaskan

**** awal kutipan *****

Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang seringkali disalahpahami oleh kaum mujassimah adalah firman

Allah

َّ ‫أَأَمِ ْنت ُ ْم َم ْن فِي ال‬


ِ‫س َماء‬

aamintum man fiis samaa-i (QS Al Mulk [67]:16)

Argumen kuat dan nyata telah menegaskan bahwa yang dimaksud ayat ini bukan dalam makna

dzahirnya karena dasar kata fis sama dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan

sesuatu yang ”berada di dalam sebuah tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”; padahal Allah

tidak diliputi oleh suatu apapun.

Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi (makna dzahir) seperti ini,

karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit (bisa jadi sama besar, lebih besar, atau

lebih kecil dari langit itu sendiri)

Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan keagungan dan

kemuliaan Allah.

***** akhir kutipan ******

Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya turut menjelaskan perkara yang sama dalam menafsirkan ayat

tersebut, yang dimaksud dengan perkataan ‘man’ (siapa) dalam ayat tersebut adalah ‘Allah’ maka

tidak boleh dikatakan keberadaan Allah itu di langit karena Allah tidak memerlukan langit tetapi

maknanya adalah ‘kerajaan Allah’ bukan ‘Dzat Allah’. Maha suci Allah dari sifat makhlukNya.

177
Berikut kutipan dari tafsir Jalalain penerbit Sinar Baru Algensindo buku ke 2 hal 1129, juz 29, Al Mulk

[67]:16

***** awal kutipan ******

a-amintum, (Apakah kalian merasa aman) dapat dibaca secara tahqiq dan dapat pula dibaca secara

tashil

man fiis samaa-i, (terhadap kekuasaan Allah yang di langit) yakni pengaruh dan kekuasaan-Nya yang

di langit

an yakhsifa, (bahwa Dia akan menjungkir balikkan) berkedudukan menjadi badal dari lafaz man

bikumul ardha fa-idzaa hiya tamuuru, (bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu

berguncang) menjadi gempa dan menindih kalian

****** akhir kutipan ******

Oleh karenanya terhadap firmanNya pada (QS Al Mulk [67]:16) para mufassir (ahli tafsir) telah

sepakat menyisipkan “(berkuasa)” agar tidak dipahami “berada” atau “bertempat” sehingga

menafsirkannya menjadi,

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir

balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?

Sedangkan makna pujian fawq (di atas) seperti “Yang di atas” bagi Allah adalah bukan dalam

pengertian tempat dan arah, tapi dalam pengertian Maha Tinggi (ketinggian derajat) , Maha

Menguasai dan Maha Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala , wahuwal

qaahiru fawqa ‘ibaadihi dalam tafsir Jalalain disebutkan

(Dan Dialah yang berkuasa) Maha Kuasa tidak ada sesuatupun yang melemahkanNya dan Dia Maha

Tinggi (atas sekalian hamba-hambaNya)

Al-Imam Badruddin ibn Jama’ah berkata “‫ ” فوق‬, “fawq” bukanlah dalam pengertian tempat karena

adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu yang batil, maka pemaknaan fawq pada hak Allah

pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya, Maha Menguasai dan Maha

Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala , wa huwa al-qaahiru fawqa ‘ibaadihi

Jika yang dimaksud fawq dalam pengertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan

indikasi kemuliaan dan keistimewaan karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang

178
bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya – Apakah itu menunjukan bahwa

pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri ?

Al-Hâfizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybîh, dalam penjelasan firman Allah: “Wa Huwa

al-Qahiru Fawqa ‘Ibadih” (QS. Al-An’am: 18), menuliskan sebagai berikut:

***** awal kutipan ****

Mereka lupa bahwa pengertian “fawq”, “‫ ” فوق‬dalam makna indrawi (makna dzahir) hanya berlaku bagi

setiap jawhar dan benda saja.

Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “‫علو المرتبة‬
ّ ”; “derajat yang

tinggi”.

Padahal dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan: “‫ ;” فالن فوق فالن‬artinya; “derajat si fulan (A) lebih

tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas

pundak si fulan (B).

***** akhir kutipan ****

Al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa makna ini; yaitu makna

menguasai dan menundukan serta ketinggian derajat, adalah makna yang dimaksud dari salah salah

satu sifat Allah; al-‘Uluww. (sifat Maha Tinggi) Dan inilah makna yang dimaksud dari firman Allah:

“Sabbihisma Rabbik al-‘Ala” (QS. Al-A’la: 1), dan firman-Nya: “Wa Huwa al-‘Alyy al-‘Azhim” (QS al-

Baqarah: 255).

Karena makna al-‘Uluww (sifat Maha Tinggi) dalam pengertian indrawi (makna dzahir), yaitu tempat

atau arah atas hanya berlaku pada makhluk saja yang notabene sebagai benda yang memiliki bentuk

dan ukuran, tentunya hal itu adalah suatu yang mustahil bagi Allah.

Dalam hal ini Ibn Hajar menuliskan sebagai berikut: “Sesungguhnya mensifati Allah dengan sifat al-

‘Uluww (sifat Maha Tinggi) adalah dalam pengertian maknawi (makna majaz), karena mustahil

memaknai al-‘Uluww (pada hak Allah) dalam pengertian indrawi (makna dzahir). Inilah pengertian

sifat-sifat Allah al-‘Aali, al-‘Alyy, dan al-Muta’ali”.

Pada halaman lain dalam kitab yang sama, al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan alasan mengapa para

ulama sangat keras mengingkari penisbatan arah bagi Allah, adalah tidak lain karena hal itu sama

saja dengan menetapkan tempat bagi-Nya. Dan sesungguhnya Allah mustahil membutuhkan kepada

tempat, karena Dia bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran, dan Dia tidak boleh disifati

179
dengan sifat-sifat benda (Fath al-Bari Bi Syarh Shahih al-Bukhari, j. 3, h. 30, j. 7, h. 124, dan j. 11, h.

505).

Al-Imâm Ibn Jahbal dalam Risalah Fi Nafy al-Jihah ‘An Allah menuliskan sebagai berikut:

***** awal kutipan ******

“Penggunaan kata fawq dikembalikan kepada dua pengertian.

Pertama; Fawq dalam pengertian tempat bagi suatu benda yang berada di atas benda lainnya. Artinya

posisi benda yang pertama berada di arah kepala posisi benda yang kedua. Pemaknaan semacam ini

tidak akan pernah dinyatakan bagi Allah kecuali oleh seorang yang berkeyakinan tasybîh dan tajsîm.

Kedua; Fawq dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan. Contoh, bila dikatakan dalam

bahasa Arab: “al-Khalifah Fawq as-Sulthan Wa as-Sulthan Fawq al-Amir”, maka artinya: “Khalifah

lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau

bila dikatakan: “Jalasa Fulan Fawq Fulan”, maka artinya: “Si fulan yang pertama kedudukannya di

atas si fulan yang kedua”, atau bila dikatakan: “al-‘Ilmu Fawq al-‘Amal” maka artinya: “Ilmu

kedudukannya di atas amal”.

Contoh makna ini dalam firman Allah: “Wa Rafa’na Ba’dlahum Fawqa Ba’dlin Darajat” (QS. Az-

Zukhruf: 32), artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian

yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-

Nya berada di atas pundak sebagian yang lain.

Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan para pengikut Fir’aun: “Wa Inna Fawqahum Qahirun”

(QS. Al-A’raf: 127). Yang dimaksud ayat ini adalah bahwa para pengikut yang setia kepada Fir’aun -

merasa- menguasai dan lebih tinggi kedudukannya di atas Bani Isra’il. Makna ayat ini sama sekali

bukan berarti para pengikut Fir’aun tersebut berada di atas pundak-pundak atau di atas punggung-

punggung Bani Isra’il”

(Lihat dalam Risalah fi Nafy al-Jihah dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah, j. 9, h. 47. Risalah ini adalah

bantahan keras terhadap Ibn Taimiyah yang mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy).

****** akhir kutipan ******

Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an menuliskan tentang

pemahaman fawq pada hak Allah, sebagai berikut:

180
“…antara lain sifat fawqiyyah, seperti dalam firman-Nya: “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa ‘Ibadih” (QS. Al-

An’am: 18), dan firman-Nya: “Yakhafuna Rabbahum Min Fawqihim” (QS. An-Nahl: 50). Makna fawq

dalam ayat ini bukan dalam pengertian arah atas. Makna fawq dalam ayat tersebut sama dengan

makna fawq dalam firman Allah yang lain tentang perkataan Fir’aun: “Wa Inna Fawqahum Qahirun”

(QS. Al-A’raf: 127), bahwa pengertiannya bukan berarti Fir’aun berada di atas pundak Bani Isra’il, tapi

dalam pengertian ia menguasai Bani Isra’il”.

Ada pula dari mereka yang ngeyel atau keukeuh (bersikukuh) mengatakan bahwa Tuhan mereka

berada di atas langit adalah mengikuti i’tiqod atau aqidah Imam Ahmad bin Hanbal.

Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang aqidah mereka yang mengaku pengikut

Mazhab Hambali, apakah aqidah Imam Ahmad bin Hanbal seperti aqidah mereka ?

‫ هل عقيدة اإلمام أحمد بن حنبل‬، ‫ في عقائد الحنابلة ما ال يخفى على شريف علمكم‬: ‫مطلب في عقيدة اإلمام أحمد رضي هللا عنه وأرضاه وسئل رضي هللا عنه ونفعنا به‬

‫رضي هللا عنه كعقائدهم ؟‬

Beliau menjawab:

***** awal kutipan ******

‫ عقيدة إمام السنة أحمد بن حنل رضي هللا عنه وأرضاه وجعل جنان المعارف متقلبه ومأواه وأقاض علينا وعليه من سوابغ امتنانه وبوأه الفردوس األعلى‬: ‫فأجاب بقوله‬

‫من جنانه موافقة لعقيدة أهل السنة والجماعة من المب الغة التامة في تنزيه هللا تعالى عما يقول الظالمون والجاحدون علوا كبيرا من الجهة والجسمية وغيرهما من سائر‬

‫ وما اشتهر به جهلة المنسوبين إلى هذا اإلمام األعظم المجتهد من أنه قائل بشيء من الجهة أو نحوها فكذب‬، ‫ بل وعن كل وصف ليس فيه كمال مطلق‬، ‫سمات النقص‬

‫ فلعن هللا من نسب ذلك إليه أو رماه بشيء من هذه المثالب التي برأه هللا منها‬، ‫وبهتان وافتراء عليه‬

Aqidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah meridhoinya dan menjadikannya

meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan aqidah

Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh

orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan

bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang

menunjukkan ketidaksempurnaan Allah.

Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang mengaku-ngaku sebagai

pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat

dan semisalnya, maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap beliau.

Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh

beliau dengan tuduhan yang Allah telah membersihkan beliau darinya itu.

181
‫وقد بين الحافظ الحجة القدوة اإلمام أبو الفرج ابن الجوزي من أئمة مذهبه المبرئين من هذه الوصمة القبيحة الشنيعة أن كل ما نسب إليه من ذلك كذب عليه وافتراء وبهتان‬

‫ فاعلم ذلك فإنه مهم‬، ‫ وأن نصوصه صريحة في بطالن ذلك وتنزيه هللا تعالى عنه‬، .

Al Hafizh Al Hujjah Al Imam, Sang Panutan, Abul Faraj Ibnul Jauzi, salah seorang pembesar imam

mazhab Hambali yang membersihkan segala macam tuduhan buruk ini, telah menjelaskan tentang

masalah ini bahwa segala tuduhan yang dilemparkan kepada sang imam adalah kedustaan dan

tuduhan yang keji terhadap sang imam. Bahkan teks-teks perkataan sang imam telah menunjukkan

kebatilan tuduhan itu, dan menjelaskan tentang sucinya Allah dari semua itu. Maka pahamilah

masalah ini, karena sangat penting.

‫ وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة‬، ‫وإياك أن تصغي إلى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن قيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ إلهه هواه وأضله هللا على علم‬

‫ وكيف تجاوز هؤالء الملحدون الحدود وتعدوا الرسوم وخرقوا سياج الشريعة والحقيقة فظنوا بذلك أنهم على هذى من ربهم وليسوا كذلك بل هم‬، ‫فمن يهديه من بعد هللا‬

‫على أسوإ الضالل وأقبح الخصال وأبلغ المقت والخسران وأنهى الكذب والبهتان فخذل هللا متبعه وطهر األرض من أمثالهم‬

Janganlah sekali-kali kamu dekati buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim

dan orang selain mereka berdua yang telah menjadikan hawa nafsu mereka sebagai tuhan

sesembahan dan disesatkan oleh Allah atas ilmu, yang Allah telah menutup telinga, hati dan

penglihatannya. Siapa yang bisa memberikan petunjuk orang seperti itu selain Allah?

Bagaimana orang-orang atheis itu melampaui batas-batas, menabrak aturan-aturan dan merusak

tatanan syariat dan hakikat, lalu mereka menyangka bahwa mereka berada di atas petunjuk dari

tuhan mereka, padahal tidaklah demikian. Bahkan mereka berada pada kesesatan paling buruk,

kemurkaan paling tinggi, kerugian paling dalam dan kedustaan paling besar. Semoga Allah

menghinakan orang yang mengikutinya dan membersihkan bumi ini dari orang-orang semisal mereka.

****** akhir kutipan ******

Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti

pemahaman seorang ulama sebelum bertaubat.

Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan sebuah tulisan berjudul

“Taubatkah Ibnu Taimiyah ke dalam Aqidah Asy’ariyah?” dari sebuah link yang kami arsip (simpan)

dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/07/12/taubatkah-ibnu-taimiyyah/

Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari

pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan

makna dzahir

182
Memang ada yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian

taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai sidang ke empat hingga ia

wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar

dari http://www.muslimedianews.com/2015/02/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-ditangan.html

Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa Beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala

menerima taubat Beliau.

Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka

menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat)

dengannya sebagaimana informasi yang kami arsip (salin)

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-

ibnu-taimiyyah.pdf

Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah

(W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.

Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah

(menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul

Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)

Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun

ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para

pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.

Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang

merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad

bin Abdul Wahhab.

Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak

lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil

Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.

Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada

penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id

bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat

pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah

183
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan

kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian

diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.

Hal yang perlu kita ingat bahwa sesat berbeda dengan kafir.

Kesesatan bukan selalu berarti kafir atau bukan Islam.

Kesesatan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.

Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami (W 974H) pernah ditanya tentang ungkapan yang berbunyi,

“Hadits itu menyesatkan kecuali untuk para ahli fikih,” apakah itu hadits atau bukan, dan apa

maknanya, padahal mengetahui hadits termasuk salah satu syarat seseorang disebut sebagai ahli

fikih? Mana yang lebih mulia dan utama, ahli fikih atau ahli hadits ?

Beliau menjawab: Itu bukan hadits, melainkan ucapan Ibnu ‘Uyainah (*) atau selainnya. Makna

ungkapan itu adalah bahwa hadits seperti Al Quran, ada yang lafalnya umum tapi maknanya khusus

dan sebaliknya, ada yang nasikh dan ada yang mansukh, ada juga yang tidak diamalkan, ada yang

lafalnya musykil (bermasalah), jika dipahami secara dzahir (literal) dapat menimbulkan pemahaman

tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) seperti hadits yang berbunyi, “yanzilu Rabbuna… dst.”

Tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fikih. Berbeda dengan mereka yang

hanya mengerti hadits saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadits

zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya. Dari sini,

dapat diketahui keutamaan para ahli fikih yang memiliki pemahaman dibandingkan dengan para ahli

hadits yang tidak memiliki pemahaman. (Al Fatawa Al Haditsiyah halaman 202)

*) Ibnu ‘ Uyainah nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran, salah seorang Tabi’i tsiqoh,

dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H.

Di atas, Imam Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa hadits itu dapat menyesatkan kecuali bagi

para fuqaha (ahli fikih) seperti hadits yang mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya (jika dipahami

selalu dengan makna dzahir) membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… dan

kesesatan tersebut di alami Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat dan para pengikutnya.

Imam Ibn Hajar Al-Haitami menyampaikan dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu

Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat)

bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah

menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara

184
ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga

berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga

berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci

atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman

116)

Seorang Ahli Hadits yang mendapat gelar Al-Hafidz Al-Faqih, Waliyuddin Al-Iraqi bin Syaikh Al-Haffadz

Zainuddin Al-Iraqi berkata ” Sesungguhnya Ibnu Taimiyyah telah merusak mayoritas umat muslim di

dalam banyak permasalahan, dikatakan mencapai 60 permasalahan sebagian mengenai aqidah dan

sebagian lainnya mengenai furu’. Ia telah menyalahi permasalahan-permasalahan yang telah

disepakati oleh umat Islam “. (Al-Ajwibatul Mardhiyyah ‘alal mas-alatil makkiyyah)

Memang ada ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau

mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang

menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat

kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’

Akibatnya para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengungkapkan

kekhawatiran atas fatwa sejak zaman dahulu kala tersebut

pada http://faisalchoir.blogspot.co.id/2011/12/ibnu-taimiyah-dikafirkan-ibnu-hajar.html

***** awal kutipan *****

Penyebab kitab ini dikarang sebagaimana yang tercantum dalam kitab tersebut adalah Fatwa yang

menyebar di khalayak Umum saat itu tentang kafirnya orang yang memberi julukan ibnu Taimiyah

sebagai Syaikhul Islam dan tidak sah sholat dibelakang orang tersebut.

Fatwa tersebut secara jelas bukan saja pengkafiran terhadap Ibnu Taimiyah, tapi juga pengkafiran

terhadap pengikutnya.

***** akhir kutipan ****

Sebagai pembelaan terhadap ulama panutan mereka dengan mengutip tulisan Al Hafizh as-Sakhawi

dalam kitab Al-Jawahir wad-Durar, 2/734-736 menukil pendapat gurunya, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-

Asqalani , “Beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah Syaikhul Islam tanpa ada keraguan” sebagaimana tulisan

sejenis pada http://abul-harits.blogspot.co.id/2013/03/pembelaan-al-hafidz-ibnu-hajar-terhadap.html

Namun mereka tampaknya kurang memperhatikan catatan penting Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab

yang mereka kutip sendiri yakni

‫ والذي أخطأ فيه ال يقلد فيه‬، ‫ ويترحم عليه بسببه‬، ‫ فالذي أصاب فيه – وهو األكثر – يستفاد منه‬، ‫ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب‬

185
“Meskipun demikian, beliau adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran

yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil

dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.

Catatan penting tersebut bukanlah masalah furuiyyah namun masalah pokok yakni aqidah

sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-

Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 sebagaimana yang dinformasikan pada http://www.aswj-

rg.com/2014/06/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al-asqalani-terhadap-ibnu-taimiyah.html

****** awal kutipan ******

Manusia terbagi menjadi beberapa kubu dalam menilai Ibnu Taimiyyah, ada sebagian kelompok yang

menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam

kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya : Ibnu Taimiyyah

mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah,

dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya. Maka ketika dipersoalkan, hal itu

akan melazimkan Allah memiliki batasan dan bagian, maka ia menjawab, “ Aku tidak setuju batasan

dan bagian termasuk kekhushusan jisim “. Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah

mengatakan batasan bagi Dzat Allah.

****** akhir kutipan ******

Jadi Ibnu Hajar Al-Asqalani pun menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap permasalahan pokok

bukan furuiyah yakni dalam perkara aqidah atau kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang mensifatkan Dzat

Allah alias meng-kaif-kan (membagaimanakan) Dzat Allah.

Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan

Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang

cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat)

dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan

menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat

sebagaimana yang dipubllikasikan pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html

Berikut kutipannya

***** awal kutipan *****

Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H

hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu

menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :

186
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.

2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.

3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.

4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.

Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2

halaman 210 menegaskan :

“‫”وحبس بإحماع العلماء ووالة األمور‬.

“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”

Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan,

khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar

A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.

Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu

Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang

bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang

tidak sependapat dengan mereka.

***** akhir kutipan ******

Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa

dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan

membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah

karena beliau mengutip pendapat ulama terdahulu maupun memahami Al Qur’an dan As Sunnah

bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri

dan beliau selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman beliau selalu dengan makna

dzahir

Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:

1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian

menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat

Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah

187
an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan

biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.

2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al

Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.

3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam

I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.

4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata:

“Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan

wajib dibunuh”.

5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau

mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya

6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu

Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara

(berfirman) dengan huruf dan suara”.

7. Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam berapa karyanya:

– Al I’tibar Bi Baqa al Jannah Wa an-Nar

– Ad-Durrah al Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah

– Syifa as-Saqam fi Ziyarah Khairi al Anam

– An-Nazhar al Muhaqqaq fi al Halif Bi ath-Thalaq al Mu’allaq

– Naqd al Ijtima’ Wa al Iftiraq fi Masa-il alAyman wa ath-Thalaq

– at-Tahqiq fi Mas-alah at Ta’liq

– Raf’ asy-Syiqaq ‘An Mas-alah ath-Thalaq.

8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal

dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.

9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti

dijelaskan dalam:

– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.

– Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam.

188
10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn

Musallam ibn Malik ash-Shalihi al Hanbali (W 762 H).

11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H).

Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul

Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.

12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan

menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam

Rasulullah.

13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.

14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu

Taimiyah dalam empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.

15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya

Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi.

16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua

risalahnya:

– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalahath-Thalaq.

– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalah az-Ziyarah.

17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-

Radd ‘Ala ibn Taimiyah..

18. Al Faqih al Muhaddits Jalal ad-Din Muhammad al Qazwini asy-Syafi’i (W 739 H)

19. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk

memenjarakannya.

20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam

dua risalahnya : – Bayan Zaghal al ‘Ilm wa ath-Thalab. – An-Nashihah adz-Dzahabiyyah

21. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al

Muhith.

22. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).

189
23. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah alKubra.

24. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya :‘Uyun at-

Tawarikh.

25. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al

Mukhtarah Fi ar-Radd ‘Ala Munkir az-Ziyarah.

26. Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri al Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al Mardhiyyah fi ar-

Radd ‘Ala Man Yunkir az- Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan

Al-Barahin as- Sathi’ah karya Al ’Azami.

27. Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743 H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq

28. Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani al- Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhatsal

Jaliyyah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah.

29. Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad, yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H)

dalam : Bayan Musykil al Ahadits al Waridah fi Anna ath-Thalaq ats-Tsalats Wahidah.

30. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya: – Ad-Durar al Kaminah fi

A’yan al Mi-ah ats-Tsaminah – Lisan al Mizan – Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari – Al Isyarah Bi

Thuruq Hadits az-Ziyarah

31. Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-

ilah al Makkiyyah.

32. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli Syuhbah asy- Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadli Syuhbah

33. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa

Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila al Imam Ahmad.

34. Pimpinan para ulama seluruh Afrika, Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803 H).

35. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamid ad-Din al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W867 H) dalam

risalahnya Ar-Radd ‘Ala Ibnu

36. Syekh Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki (W899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.

37. Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam Al I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.

190
38. Ahmad ibn Muhammad Yang dikenal denganIbnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul

an-Nashir fi Raddi Khabath ‘Ali ibn Nashir.

39. Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W 968

H), beliau mencela Ibnu Taimiyah.

40. al Bayyadli al Hanafi (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram Min ‘Ibarat al Imam.

41.Syekh Ahmad ibn Muhammad al Witri (W 980 H) dalam Raudlah an- Nazhirin WaKhulashah

Manaqib ash- Shalihin.

Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

« Ulama yang Sholeh


Manusia paling mulia »

Al Ibanah
11 Maret 2011 oleh mutiarazuhud

Berikut cuplikan artikel terkait adanya pemalsuan Kitab Al-Ibanah Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.

Selengkapnya silahkan baca tulisan pada

http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/04/pemalsuan-kitab-al-ibanah-imam-abu-hasan-al-

asyariy/

Three in One (3 in 1); Tiga al-Ibânah, Satu al-Asy‘arî

Proyek pengelabuan umat yang dilakukan beberapa kalangan sentak menggelitik telinga para santri

tradisional tanah air yang notabene mereka mempelajari kitab-kitab karya para ulama al-Asy‘ariyyah

seperti al-Jawâhir al-Kalâmiyyah, al-Aqwâl al-Mardhiyyah, Kifâyah al-‘Awwâm, Fath al-Majîd (bukan

kitab Wahhâbî), Ummu al-Barâhîn, al-Dasûqî, Nazhm Jawhar al-Tawhîd, dan lain sebagainya. Isu-isu

yang mereka angkat adalah bahwa para santri dan masyarakat yang mengaku sebagai pengikut al-

191
Asy‘arî yang disebut dengan al-Asy‘ariyyah telah menyalahi al-Asy‘arî sendiri, terbukti bahwa al-

Asy‘arî dengan kitab al-Ibânahnya dan beberapa kitab lain berbeda akidah dengan orang-orang yang

mengaku sebagai pengikutnya atau al-Asy‘ariyyah. Al-Asy‘arî mengakui keberadaan Allah subhânahû

wa ta‘âlâ bertempat di atas ‘Arasy sementara al-Asy‘ariyyah tidak. Tentunya hal ini bertolak belakang

antara al-Asy‘arî dengan pemahaman penggikutnya. Begitulah diantara argumen mereka untuk

merusak keharmonisan antara al-Asy‘arî dan al-Asy‘ariyyah. Sebuah usaha yang amat buruk dan

tercela. Namun apa benar seperti itu? Kita akan mencoba membandingkan, al-Ibânah manakah kira-

kira yang menjadi landasan bagi sementara kalangan yang mengatakan bahwa al-Asy‘arî meyakini

Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat (hulûl), bersemayam, menetap. Berikut scannan tiga versi al-

Ibânah karya al-Asy‘arî;

1. Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang

terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi

Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).

2. Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi

Basyîr Muhammad ‘Uyûn.

3. Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.

Kemudian tulisan tersebut dilanjutkan dengan mengungkapkan fasa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan

al-Asy`ari. Selengkapnya dapat dibaca pada

http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/05/benarkah-imam-abu-hasan-al-asyari-melalui-3-

fase-pemikiran/

Berikut cuplikannya,

Kitab al-Ibanah `an Usul al-Diyanah di dakwa sebagai hujjah bagi golongan yang mengatakan bahawa

pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase perkembangan di dalam kehidupannya.

Memang harus diakui, bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah dan

sebagian kitab-kitab yang lain juga dinisbahkan terhadapnya mengikuti metodologi yang berbeda

dengan kitab-kitab yang pernah dikarang olehnya. Di dalam kitab al-Ibanah, al-Imam Abu al-Hassan

al-Asy`ari mengikuti metodologi tafwidh yang diikuti oleh mayoritas ulama’ Salaf berkaitan dengan

ayat-ayat mutasyabihat. Berdasarkan hal ini, sebagian golongan memahami bahwa al-Imam Abu al-

Hassan al-Asy`ari sebenarnya telah meninggalkan mazhabnya yang kedua yaitu mazhab Ibn Kullab,

dan kini beralih kepada metodologi Salaf.

Di atas telah kami paparkan, bahawa Ibn Kullab bukanlah ahli agama yang menyalahi ulama’ Salaf.

Bahkan dia termasuk dalam kalangan ulama’ Salaf dan konsisten mengikuti metodologi tafwidh

192
sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani di dalam kitabnya Lisan al-Mizan.

Paparan di atas sebenarnya telah cukup untuk membatalkan dakwaan yang mengatakan bahawa al-

Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan metodologi Ibn Kullab dan berpindah ke metodologi

Salaf, kerana Ibn Kullab sendiri termasuk dalam kalangan ulama’ Salaf yang konsisten dengan

metodologi Salaf.

Oleh itu, bagaimana dengan kitab al-Ibanah yang menjadi dasar kepada kelompok yang mengatakan

bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapatnya yang mengikuti Ibn

Kullab?

Di sini, dapatlah kita ketahui bahawa kitab al-Ibanah yang asli telah membatalkan kenyataan

golongan Wahhabi yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan

pendapatnya yang mengikuti Ibn Kullab, karena kitab al-Ibanah di tulis untuk mengikuti metodologi

Ibn Kullab, sehingga tidak mungkin dakwaan yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-

Asy`ari telah meninggalkan pendapat tersebut. Ada beberapa fakta sejarah yang mengatakan bahwa

al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari menulis kitab al-Ibanah dengan mengikut metodologi Ibn Kullab,

kenyataan ini disebut oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani di dalam kitabnya Lisan al-Mizan yaitu :

“Metodologi Ibn Kullab diikuti oleh al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah”. (Ibn Hajar al-`Asqalani(t.t.),

Lisan al-Mizan, Dar, al-Fikr, Beirut, juz 3, hal. 291)

Pernyataan al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani ini menambah keyakinan kita bahwa Ibn Kullab konsisten

dengan metodologi Salaf al-Salih dan termasuk ulama’ mereka, karena kitab al-Ibanah yang dikarang

oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari pada akhir hayatnya dan mengikuti metodologi Salaf, juga

mengikuti metodologi Ibn Kullab. Hal ini membawa kepada kesimpulan bahawa metodologi Salaf dan

metodologi Ibn Kullab ADALAH SAMA, dan itulah yang diikuti oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari

setelah keluar dari Muktazilah.

Dengan demikian, kenyataan al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani tersebut juga telah membatalkan

dakwaan golongan Wahhabi melalui kenyataan mereka yang mengatakan bahwa pemikiran al-Imam

Abu al-Hassan al-Asy`ari mengalami tiga fase perkembangan. Bahkan kenyataan tersebut dapat

menguatkan lagi kenyataan yang menyatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari

hanya mengalami dua fase perkembangan saja, yaitu fase ketika mengikuti faham Muktazilah dan

fase kembalinya al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari kepada metodologi Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah

yang sebenarnya sebagaimana yang diikuti oleh Ibn Kullab, al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi, al-

193
Bukhari, Muslim, Abu Tsaury, al-Tabari dan lain-lain. Dalam fase kedua ini al-Imam Abu al-Hassan al-

Asy`ari mengarang kitab al-Ibanah.

Dalil lain yang menguatkan lagi bahwa kitab al-Ibanah yang dikarang oleh al-Imam Abu al-Hassan al-

Asy`ari sesuai dengan mengikut metodologi Ibn Kullab adalah fakta sejarah, kerana al-Imam Abu al-

Hassan al-Asy`ari pernah menunjukkan kitab al-Ibanah tersebut kepada sebagian ulama’ Hanabilah di

Baghdad yang sangat menitik beratkan tentang fakta, mereka telah menolak kitab al-Ibanah tersebut

karena tidak setuju terhadap metodologi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari. Di dalam hal ini, al-Hafiz

al-Zahabi telah berkata :

“Ketika al-Asy`ari datang ke Baghdad, dia mendatangi Abu Muhammad al-Barbahari (ketua mazhab

Hanbali) dan berkata : Aku telah membantah al-Jubba’i. Aku telah membantah Majusi. Aku telah

membantah Kristen. Abu Muhammad menjawab, Aku tidak mengerti maksud perkataanmu dan aku

tidak mengenal kecuali apa yang dikatakan oleh al-Imam Ahmad. Kemudian al-Asy`ari pergi dan

menulis kitab al-Ibanah. Ternyata al-Barbahari tetap tidak menerima al-Asy`ari”. (Al-Dzahabi(1994),

Siyar A`lam al-Nubala, Muassasah al-Risalah, Beirut, ed, Syuaib al-Arnauth, juz 12, hal. 82 dan juga

juz 15, hal. 90 dan Cetakan Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.9, hal.372; Ibn Abi Ya’la al-

Farra’(t.t.) Tabaqat al-Hanabilah, Salafiyyah, Cairo, ed. Hamid al-Faqi, juz 2, hal. 18)

Fakta sejarah di atas menyimpulkan, bahwa al-Barbahari mewakili kelompok Hanabilah tidak

menerima konsep yang ditawarkan oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari. Kemudian al-Imam Abu

al-Hassan al-Asy`ari menulis kitab al-Ibanah dan diajukan kepada al-Barbahari, ternyata ditolaknya

juga. Hal ini menjadi bukti bahwa al-Ibanah yang asli ditulis oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari

tidak sama dengan kitab al-Ibanah yang kini diikuti oleh golongan Wahhabi. Kitab al-Ibanah yang asli

sebenarnya mengikut metodologi Ibn Kullab.

Perlu diketahui pula, bahwa sebelum fase al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari, kelompok Hanabilah

yang cenderung kepada penelitian fakta itu telah menolak metodologi yang ditawarkan oleh Ibn

Kullab, al-Bukhari, Muslim, Abu Tsaury, al-Tabari dan lain-lain berkaitan dengan MASALAH BACAAN

SESEORANG TERHADAP AL-QURAN APAKAH TERMASUK MAKHLUK ATAU BUKAN.

Sekarang, apabila kitab al-Ibanah yang asli sesuai dengan metodologi Ibn Kullab, lalu bagaimana

dengan kitab al-Ibanah yang tersebar dewasa ini yang menjadi dasar kaum Wahhabi untuk mendakwa

bahwa al-Asy`ari telah membuang mazhabnya ?

Berdasarkan kajian yang mendalam, para pakar telah membuat kesimpulan bahwa kitab al-Ibanah

yang dinisbahkan kepada al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari tersebut telah tersebar dewasa ini penuh

194
dengan tahrif/distorsi, pengurangan dan penambahan. Terutama kitab al-Ibanah yang diterbitkan di

Saudi Arabia dan ditahqiqkan oleh ulama Wahhabi. Untuk melihat bukti tahrif/distorsi yang dilakukan

oleh kalangan Wahabi baca artikel ini: Pemalsuan Kitab Al-Ibanah Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.

Benar-benar wahabi memang sengaja MENYEBAR TIPU DAYA dan FITNAH pada semua umat Islam di

dunia

Semoga setelah membaca dengan pelan-pelan, pikiran terbuka, tanpa ada emosi dan mengutamakan

SIKAP OBYEKTIF, kita bisa lebih waspada akan apa-apa yang disampaikan oleh kaum salafy wahabi

ini.

Semoga bermanfaat.

Share this:

 Facebook

Terkait
Pemalsuan kitabdalam "Islam"
Ibnu Taimiyahdalam "Umum"
Al Ibanah dipalsukandalam "Islam"

Ditulis dalam Islam, Umum | Dengan kaitkata Asyari, buku, ibanah, Imam, Kitab, Pemalsua | 8 Komentar

8 Tanggapan

1. pada 13 Maret 2011 pada 3:20 am | Balas Budi

Kasus seperti itu menimpa al Ghozali, sulaiman bin abdul wahab dan beberapa tokoh lainnya. Wallahu

a’lam

2. pada 10 Agustus 2011 pada 11:51 am | Balas salafy totok

terus brjuang, ustadz. Tetap brhati hati akan tipu daya kaum wahabi.

195
3. pada 18 Agustus 2011 pada 1:39 am | Balas Moh Nadjib

Di kampung saya yang lain lagi, seorang ust dituduh sesat, dipropokasi untuk dijauhi, lantaran ust tsb

pernah masuk bui jaman orba.

Ust ini masih eksis dan istiqomah terus saja membina kholaqoh, semakin banyak santri nya, dan

memang keimanan kuat dan mendasar, karena yang digali selalu Al-Qur’an dan Al-Hadist.

Sementara ust yang memprofokasi santrinya semakin sedikit dan selalu saja ajarannya cuma

melakukan ritual-ritual fadhilah saja dengan akidah yang lemah.

Akhirnya kegiatan jamaahnya rutin tiap tahun jiarah wali songo sampai ke Bali (kuta lihat bule-bule

?), tiap malam jum’at yasinan-ratiban, kalau ada yang meninggal tiap malam tahlilan sampai 7 hari

lalu 40 hari dan seterusnya, dan banyak lagi puji-pujian yang dilantunkan setiap kesempatan.

Masjid dan lingkungan memang jadi meriah (speaker bunyi terus).

Baguskan ?

Gak usah ribut dengan perbedaan, insy semua juga benar.

Jalankan saja apa yang diyakini, dengan syarat terus belajar mencari ilmu.

Ilmu kan tidak ada ujungnya.

4. pada 18 Agustus 2011 pada 7:57 am | Balas Afif Fatkhurrohman

Moh Nadjib->kenapa komentar antum tidak sesuai dengan isi artikel? Tapi mudah-mudahan komentar

antum dijawab oleh ustadz Zon dengan objektif.

5. pada 5 Januari 2012 pada 3:17 pm | Balas hery sopari

Silahkan dibaca di http://www.muhammadiyyah.or.id ttg “Wahhabi” atau “Muwahhid” Strategi

Dakwah dan Pengaruhnya dalam Kehidupan Dunia

dan http://www.persis.or.id bagian Fiqh (Pokok-Pokok Aqidah Ahlus Sunnah (I): disampaikan

mengenai akidah menurut al ibanah). Mudah2an kita bisa lebih objektif dan lebih jernih lagi dalam

menilai saudara kita

196
o pada 5 Januari 2012 pada 8:08 pm | Balas mutiarazuhud

Mas Heri Sopari, ulama-ulama yang tergabung dalam Persis dan Muhammadiyyah adalah ulama-

ulama yang tidak bermazhab pada Imam Mazhab yang empat

Mereka lebih menyandarkan dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah

(menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah).

Hal yang harus kita ingat bahwa Al Qur’an pada awalnya tidaklah dibukukan. Ayat-ayat Al Qur’an

hanya dibacakan dan dihafal (imla) kemudian dipahami bersama dengan yang menyampaikannya.

Hal yang akan ditanyakan seperti :

Apakah yang kamu pahami telah disampaikan / dikatakan oleh ulama-ulama terdahulu yang

tersambung lisannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ?

Siapakah ulama-ulama terdahulu yang mengatakan hal itu ?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat

dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang

berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR

Bukhari)

Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dari

orang yang disampaikan secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin

Abdullah Shallallahu alaihi wasallam.

Kita tidak diperkenankan menyampaikan apa yang kita pahami dengan akal pikiran sendiri dengan

cara membaca dan memahami namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari lisan

mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

karena hanya perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau

ilmuNya

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal

pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR.

Ahmad)

Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka

pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan

oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )

197
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata

mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka”

(HR.Tirmidzi)

Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.

Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan

orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”

Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ;

“Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya

gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203

Sanad ilmu / sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits.

Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan

Rasulullah.

Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan

penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah.

Contoh sanad Ilmu atau sanad guru Imam Syafi’i ra

1. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam

2. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra

3. Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra

4. Al-Imam Malik bin Anas ra

5. Al-Imam Syafei’ Muhammad bin Idris ra

Al Imam Syafi’i ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Al-Imam Malik

bin Anas ra,

Al-Imam Malik bin Anas ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Al-Imam

Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra,

Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari

lisannya Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra,

Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari

lisannya Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam

Salah satu cara mempertahankan sanad ilmu atau sanad guru adalah dengan mengikuti

pendapat/pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab

198
yang empat dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka

mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.

Ulama yang tidak mau bermazhab , pada hakikatnya telah memutuskan rantai sanad ilmu atau

sanad guru, berhenti pada akal pikirannya sendiri dimana didalamnya ada unsur hawa nafsu atau

kepentingan

Buya Hamka boleh jadi akan kecewa melihat keadaan saudara-saudara kita yang tergabung dalam

ormas Muhammadiyyah.

Pada masa Buya Hamka, keanehan Wahabi tak begitu terasa atau lebih tepatnya, pada saat itu

belum terasa perbedaan antara Salafi-nya Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh dengan

Salafi-nya Wahabi.

Dari sejarah kita mengetahui, bahwa ide-ide awal Salafi dilahirkan oleh Ulama Ibnu Taimiyyah.

Melihat bahwa banyak negeri Muslim yang dijajah Eropa, beliau menarik kesimpulan bahwa hal

tersebut akibat ijtihad telah mati dan umat Islam tenggelam dalam kejumudan. Salah satu penyebab

kejumudan adalah akibat tradisi Sufi yang melahirkan banyak bid’ah.

Lalu oleh pengikut Salafi berikutnya digeneralisasikan bahwa Sufi adalah sesat; gerakan

pembaharuan yang mulanya untuk memerangi syirik, khurafat dan tahyul kemudian malah

melahirkan mazhab baru karena melahirkan fatwa-fatwa fiqh di luar mazhab-mazhab yang telah

lebih dulu mapan di masyakat Muslim.

Salafi Al Afghani dan Salafi Wahabi adalah saudara kandung, sehingga di antara mereka banyak

kemiripan. Perbedaan besar mereka terutama dalam hal berorganisasi.

Salafi Al Afghani menerima bentuk organisasi modern yang merupakan produk Barat. Ikhwanul

Muslimin, PKS, dan Muhammadiyah, Hasan Al Banna, Yusuf Qardhawi, dan KH Ahmad Dahlan bisa

menerima bentuk negara republik, bisa menerima demokrasi, berpartai, dll. Sedangkan Salafi

Wahaby, Hizbut Tahrir, dll tidak dapat menerima bentuk lain selain khilafah atau negara Islam.

Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan Hasyim Azhari pendiri NU memiliki guru yang sama

dengan RA Kartini di Indonesia, yaitu KH Sholeh Darat.

Di Saudi, mereka juga memiliki guru yang sama, yaitu Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi –

ulama kelahiran Padang yang di masa itu dapat menduduki posisi Imam di Mekah karena ketinggian

ilmunya (tidak harus Wahaby Arab seperti saat ini).

199
Syekh Ahmad Khatib adalah ulama bermazhab Syafi’i, tetapi beliau sendiri yang menyarankan

murid-muridnya untuk mengikuti gerakan Salafi Al Afghani yang saat itu dimotori oleh murid Al

Afghani, Rasyid Ridha, dan muridnya Muhammad Abduh. Jadi kita bisa menyimpulkan, bahwa

perbedaan di antara ulama-ulama mazhab dan Salafi saat itu tidak terlalu berbeda jauh.

Ketika kembali ke tanah air, KH Ahmad Dahlan dan Hasyim Azhari sama-sama melakukan

pembaharuan di bidang pendidikan (bukan bidang politik).

KH Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah di mana metodologinya meniru

pendidikan Barat yang memiliki jenjang (berkelas-kelas).

Di sekolah-sekolah itu, ia tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga ilmu-ilmu

modern (baca: Barat).

Sedangkan Hasyim Asy’ari, pendiri NU, tetap mempertahankan metodologi pengajaran pesantren.

Tetapi selain ilmu-ilmu agama, di pesantren tersebut juga diajarkan ilmu-ilmu modern. Pesantren

beliau dinamakan Pesantren Modern Tebu Ireng.

Hanya itulah perbedaan mereka, perbedaan yang sangat kecil. Keduanya tetap bermazhab Syafi’i,

sesuai dengan mazhab guru mereka, Syekh Ahmad Khatib.

KH Ahmad Dahlan membaca qunut dalam shalat Subuh dan Tharawih 23 rakaat.

Maka wajar bila Buya Hamka yang hidupnya lebih dekat ke masa hidupnya Ahmad Dahlan tidak

melihat perbedaan signifikan antara Islam umum dengan Salafi, antara Salafi Al Afghani dengan

Salafi Wahabi.

Kalau Buya Hamka hidup di masa kini, kemungkinan besar akan berkata lain karena Hamka juga

berzikir dengan tasbih, suatu perbuatan yang dianggap bid’ah oleh Salafy Wahaby kontemporer.

Buya Hamka pun menjalankan tasawuf dan menuliskan kitab berjudul “Tasawuf Modern”

Buya Hamka sendiri pernah berujar bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi “Hampa” , selengkapnya

dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/08/28/hampa/

6. pada 2 Februari 2012 pada 11:12 am | Balas hery

Kalau memang mengaku bermazhab Syafi’i, maka harus konsisten dan memegang teguh semua

fatwanya, kalau ga salah beliau tdk pernah tahlilah atau maulid. Kalau meninggalkan sebagian

200
fatwanya dan menjalankan sebagiannya, berarti sama saja tdk bermadzhab bukan…???

Apakah beliau penganut tsawuf, dan menyatakan ikut tasawuf….??? kalau perilaku/akhlak seperti

zuhud, waro, tdkn cinta dunia, itu adalah ajaran Islam, dan tdk hanya penganut tasawuf yg

mengamalkan itu.

Ya betul Ijtihad itu tidak tertutup sampai hari kiamat, oleh karena itu kita harus belajar terus, jangan

merasa puas dg apa yg diperoleh sekarang. Coba pelajari pemahaman yg lainnya , siapa tahu disana

banyak kebenaran.

Ahli hadits itu Imam Ahmad, Imam Bukahari, Imam Muslim, dll, kemungkinan ada hadits shahih yg

tidak terpakai/ bertentangan dg Ijtihad Imam Syafi’i itu tetap ada. Beliau berijtihad, jika salah tetap

dapat pahala. Apakah setelah beliau tdk ada lagi ulama yg mampu berijtihad…???? pasti banyak

termasuk saat ini, qurais shihab sbg ahli tafsir, ulama salafy, ulama IKhwanul Muslimin, dan mungkin

ulama2 NU, Muhammadiyyah, Persis juga. jadi artinya apa…?? masing2 berijtihad tentunya

merekapun sudah memenuhi syarat Ijtihad apalagi Arab Saudi banyak DR. dibidang Hadits (Seperti

Syaikh Fauzan, dll), Muhammdiyyah dg majlis tarjihnya banyak juga Professornya. nah pada level ini

Ijtihad masing2 adalah hasil usaha mereka dalam menentukan hukum (fikih/tauhid/dll), bisa jadi

sama dg salah satu Imam Madzhab, Bisa jadi tidak disatu sisi. Karena yg mereka pegang adalah AL

Qur’an dan As-Sunnah (hadits), adapun pendapat madzhab bisa dijadikan referensi/pertimbangan.

jadi menurut hemat saya, ini adalah bukti bahwa akal ini harus digunakan untuk berfikir, jangan

hanya ikut2an saja, sebagaimana kebanyakan umat islam di Indonesia…, sehingga akhirnya mereka

sangat rapuh ilmunya dan tidak mau mempelajari lebih dalam lagi, karena sudah merasa cukup dg

ikut ulama yg ada didekatnya, tanpa crosscek ulang. Sehingga kalau begini ya umat islam akan tetap

terpuruk, kurangnya intelektual muslim.

Ibnu Taimiyah
10 Februari 2010 oleh mutiarazuhud

IBNU TAIMIYAH (Wafat tahun 1328 M.)

A. Sejarah Ringkasnya

201
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyuddin, Abdul Abbas bin Syihabuddin, Abu Mahasin Abd. Halim bin

Majduddin, Abi Barakat Abdissalam bin Abi Muhammad Abdillah bin Abi Utsman al Khadar,

bin Muhammad bin Al Khadar bin Ali bin Abdillah.

Famili ini dinamai Ibnu Taimiyah.

Sepanjang sejarah, bahwa asal perkataan “Taimiyah” adalah dari kakeknya yang bernama

Muhammad bin Al Khadar. Beliau ketika naik haji ke Mekkah melalui jalan Taima’.

Sekembalinya dari haji ia dapati isterinya melahirkan seorang anak perempuan, yang kemudian diberi

nama Taimiyah dan keturunannya dinamai Keturunan Ibnu Taimiyah.

Ahmad Taqiyuddin, yang kemudian dimasyhurkan dengan Ibnu Taimiyah saja, lahir di desa Heran,

sebuah desa kecil di Palestina, tanggal 10 Rabi’ul Awal tahun 661 H.

Daerah Heran ini terkenal sedari dulu sebagai daerah Kristen Shabiin dan pola daerah orang pandai-

pandai, ahli filsafat yang selalu mempermainkan akal.

Desa ini didiami bukan oleh suku Arab tetapi oleh suku Kurdi, maka karena itu Ahmad Taqiyuddin

bukanlah dari bangsa Arab tetapi dari suku Kurdi.

Ia dari kecil belajar agama dari bapaknya, Syihabuddin. Syihabuddin adalah seorang Ulama penganut

Madzhab Hanbali, begitu juga bapak Syihabuddin (nenek Ibnu Taimiyah) Majduddin juga ulama besar

penganut Madzhab Hanbali.

Setelah usia 7 tahun, yaitu tahun 667 H. Seluruh famili Ibnu Taimiyah ini mengungsi ke Damsyik,

Syria, karena desanya mungkin akan diserang oleh orang kafir, tentara Tartar, yang ketika itu sudah

menduduki Bagdad.

Penduduk Damsyik ketika itu adalah campuran dari penganut-penganut Madzhab Hanbali, Madzhab

Syafi’i dan Madzhab Maliki.

Bapaknya, Syihabuddin, lantas menggabungkan diri dengan sebuah penganut madrasah agama dari

Madzhab Hanbali yang ada di kota Damsyik. Dan anaknya Taqiyuddin, yakni Ibnu Taimiyah,

dimasukkannya pula dalam sekolah itu. Di situlah Ibnu Taimiyah mendapat seluruh ilmunya, yaitu dari

perguruan Madzhab Hanbali.

Ibnu Taimiyah kemudian menjadi ulama besar dalam Madzhab Hanbali, bukan saja dalam ilmu fiqih,

tetapi juga dalam usuluddin, dalam ilmu tauhid.

202
Sayangnya, ia kemudian terpengaruh dengan faham kaum “musyabbihah dan mujassimah”, yaitu

sekelompok kaum yang menyatakan bahwa Tuhan itu menyerupai manusia, pakai tangan, pakai kaki

dan pakai muka.

Di dalam fiqih pun, walaupun ia penganut Madzhab Hanbali, tetapi banyak pula fatwa-fatwanya yang

berlainan dari Madzhab Hanbali yang murni.

Jadi, Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama penganut Madzhab Hanbali yang kadang-kadang

menyeleweng dari Madzhabnya.

Ia kadang-kadang berfatwa bersendiri, bebas dari garis Madzhab Hanbali, tetapi usul fikihnya tetap

menurut Madzhab Hanbali, karena ia tidak mempunyai usul fikih sendiri (Baca buku “Ibnu Taimiyah”

karangan Dr. Muhammad Yusuf Musa, halaman 168-169-170_.

Sumber-sumber dalam Madzhab Hanbali adalah :

1. Kitabullah.
2. Sunnah Rasul.
3. Fatwa sahabat-sahabat.
4. hadits Mursal atau Hadits Dha’if.
5. Qiyas.

Kalau diteliti kitab “Fatawi Ibnu Taimiyah” (Fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah) nyatalah bahwa beliau

memang benar-benar memegang garis usul Hanbali ini dalam fatwa-fatwa fikih.

Dan ia tidak pernah mengatakan bahwa sudah menjadi Mujtahid Muthlaq, lepas dari Madzhab Hanbali.

Di atas kami katakan bahwa ia banyak menyeleweng dari Madzhab Hanbali yang murni.

Ibnu Bathuthah, seorang pengembara abad ke VII H. Dari Tanjah Tunisia; menerangkan dalam

bukunya terkenal “Rahlah Ibnu Bathuthah” (Pengembaraan Ibnu Bathuthah) pada jilid I, halaman 57

begini:

“Adalah di kota Damsyik seorang ahli fikih yang besar dalam Madzhab Hanbali, namanya Taqiyuddin

Ibnu Taimiyah. Ia banyak membicarakan soal-soal ilmu pengetahuan, tetapi sayang “fi ‘aqlihi syai-un”

(otaknya sedikit goncang).

Penduduk kota Damsyik menghormati orang itu. Pada suatu kali ia mengajar, berdiri di atas mimbar

mesjid Damsyik yang besar itu. Ia mengeluarkan fatwa-fatwa yang berlainan dari ahli fikih yang lain,

sehingga ia akhirnya diadukan orang kepada Raja Nashir yang berkedudukan di Kairo. (Damsyik

ketika itu di bawah kekuasaan Kairo). Ia dibawa ke Kairo dan kepadanya dihadapkan beberapa

203
tuduhan dalam suatu pengadilan. Jaksa penuntut ketika itu namanya Syarafuddin Zawawi, seorang

ahli hukum dalam Madzhab Hanbali juga.

Ibnu Taimiyah tidak menjawab sekalian tuduhan yang dimajukan kepadanya, tetapi jawabnya hanya

ucapan “La Ilaha illallah” saja. Akhirnya ia dimasukkan dalam penjara, ditahan beberapa tahun.

Setelah ditahan beberapa lama di penjara Kairo, ibunya memanjatkan permohonan kepada Raja

Nashir, agar anaknya itu dibebaskan.

Raja Nashir memperkenankan permohonan ibu ini dan Ibnu Taimiyah menjadi bebas, dan pulang ke

Damsyik.

Tetapi – kata Ibnu Bathuthah – terjadi lagi hal yang serupa itu. Saya ketika itu sedang berada di

Damsyik, kata Bathuthah.

Pada hari Jum’at Ibnu Taimiyah berpidato di atas mimbar mesjid Damsyik. Di antara ucapannya

dikatakan, bahwa Tuhan Allah turun ke langit dunia tiap-tiap malam, seperti turunnya saya ini, lalu ia

turun dari mimbar.

Ketika itu hadir seorang ulama Madzhab lain, namanya Ibnu Zahra’. Ahli fikih ini mendebat Ibnu

Taimiyah, karena ia menyerupakan Tuhan dengan dirinya, tetapi beberapa orang murid Ibnu Taimiyah

memukul Ibnu Zahra’ ini, dan membawanya kepada Qadhi dalam Madzhab Hanbali (Madzhab Ibnu

Taimiyah). Qadhi Izzuddin menghukum Ibnu Zahra’ beberapa hari dalam penjara, tetapi ahli-ahli fikih

yang lain, yaitu ahli-ahli fikih Madzhab Syafi’i dan Maliki, memprotes hukuman Qadhi Izzuddin ini dan

mengajukan perkaranya kepada Raja Besar (Malikul Muluk) bernama Saifuddin Tankiz.

Raja ini orang baik, kata Ibnu Bathuthah. Ia memerintah kepada Raja Nashir di Kairo supaya Ibnu

Taimiyah dibawa ke pengadilan tinggi, karena fatwa Ibnu Taimiyah dalam agama banyak yang salah.

Di antara fatwanya yang salah itu, kata Ibnu Bathuthah, ialah bahwa thalaq tiga dijatuhkan sekaligus

jatuh satu, berziarah ke Madinah ke makam Rasulullah adalah ma’syiyat (munkar) dan lain-lain.

Pengadilan Tinggi memutuskan bahwa ibnu Taimiyah melakukan banyak kesalahan dalam Fatwanya,

dalam fikih maupun dalam usuluddin, dan ia dihukum penjara dalam benteng Damsyik. Ia ditahan dan

mati dalam penjara Damsyik tanggal 27 Syawal tahun 728 H.”

Demikianlah keterangan Ibnu Bathuthah seorang pengembara yang netral.

Dari cerita Ibnu Bathuthah ini dapat diambil kesimpulan :

1. Ibnu Taimiyah penganut Madzhab Hanbali, tetapi ia banyak menyeleweng dalam fatwanya.
2. Ia dua klai dimajukan ke muka pengadilan yang akhirnya dihukum penjara.
3. Ia wafat dalam penjara.

204
Tersebut dalam buku “Ibnu Taimiyah” karangan Dr. Muhammad Yusuf Musa, keluaran Daruts

Tsaqafah Mesir, yaitu buku yang sangat berpihak kepada Ibnu Taimiyah, pada halaman 102, 103, 104

dan 105 begini terjemahan bebasnya :

“ Bagaimana jugapun, ia dibawa ke mahkamah dan dituduh bahwa ia mempercayai bahwa Tuhan itu

duduk benar-benar di atas ‘Arasy, boleh ditunjuk dengan jari ke atas, bahwa Tuhan berkata dengan

huruf dan suara”.

Jaksa menuntut supaya Ibnu Taimiyah dihukum mati. Setelah Ketua pengadilan, Qadhi Ibnu Makhluf

bertanya kepada Ibnu Taimiyah tentang tuduhan itu, beliau memulai jawabannya dengan

alhamdulillah dan salawat seperti berpidato, maka ia dibentak, bahwa tempat itu bukan tempat untuk

berpidato tetapi langsung harus jawab, bagaimana ?

Ibnu Taimiyah bertanya : Siapa ketua pengadilan :

Dijawab : Ibnu Makhluf.

Ibnu Taimiyah menjawab : Engkau musuh saya, bagaimana bisa menghukum saya?

Kemudian Ibnu Taimiyah dihukum penjara.

Sesudah itu keluar siaran pemerintah, supaya sekalian rakyat yang termakan pengajaran Ibnu

Taimiyah supaya kembali kepada kebenaran, kalau tidak akan diambil tindakan.

Banyaklah ketika itu penganut-penganut Madzhab Hanbali, yang menerima pengajian Ibnu Taimiyah

dimasukkan dalam penjara, baik di Syam ataupun di Mesir.

Setelah ia ditahan setahun dan beberapa bulan ia dibebaskan atas permintaan seorang raja Arab,

namanya Hisamuddin.

Setelah dibebaskan ia tidak pulang ke Damsyik tetapi tinggal di Mesir. Di Mesir ia berfatwa

menghantam Ulama-ulama tasauf.

Kemudian ia ditangkap lagi lalu diberi hukuman pulang ke Damsyik atau tinggal di Iskandariah atau

penjara.

Maka ia menerima penjara, karena tidak mau menerima syarat-syarat, tetapi kemudian murid-

muridnya mendesak supaya ia pulang ke Damsyik.

Pada tahun 712 ia kembali ke Damsyik sesudah meninggalkannya selama 7 tahun.

Kemudian di Damsyik ia berfatwa lagi yang ganjil-ganjil, di antaranya:


1. Bersumpah dengan thalak tidak jatuh thalak kalau dilanggar, apabila yang bersumpah
membayar kafarat sumpah.
2. Thalak 3 sekaligus jatuh satu.
3. Bepergian ziarah ke makam-makam, seperti makam Nabi Ibrahim di Madinatul Khalil dan
makam Nabi Muhammad SAW. di Madinah adalah perbuatan munkar.

Kemudian pada tahun 726 H. ia ditangkap lagi atas perintah Sultan dan dikurung dalam penjara

benteng Damsyik. Banyak murid-muridnya ketika itu ditangkap dan dikurung bersama-sama,

205
diantaranya muridnya yang setia Syamsuddin Muhammad bin Al Qayim al Jauziah (Ibnu Qayim al

Jauzi, pengarang Zadul Ma’ad, pen).

Maka wafatlah beliau dalam penjara benteng Damsyik 20 Dzil Kaedah tahun 728.

Demikian keringkasan keterangan Doktor Muhammad Yusuf Musa. Keterangan ini hampir sama

dengan keterangan Ibnu Bathuthah.

Tersebut dalam kitab “Daf’us Syubah man tasyabbaha wa tamarrad” karangan Mufti dan Syeikhul

Islam Taqiyuddin al Husaini ad Dimsyaqi (wafat di Damsyik tahun 829 H) pada pagina 41 bengini

artinya :

“Mengabarkan Abu Hasan ‘Ali Ad Dimsyaqi, ia terima dari bapaknya, bahwa bapaknya menghadiri

majelis Ibnu Taimiyah di Mesjid Damsyik. Ibnu Taimiyah memberi pelajaran di hadapan umum. Ketika

ia sampai kepada pengajian ayat “Tuhan istawa di atas ‘Arasy” maka ia mengatakan, bahwa Tuhan

duduk bersela di atas ‘Arasy seperti saya ini.

Pada ketika itu pendengar jadi ribut, karena Ibnu Taimiyah menyerupakan selanya dengan sela

Tuhan, sehingga Ibnu Taimiyah dilempari dengan sandal, sepatu dan diturunkan dari kursi duduknya,

ditampar dan diperpukulkan bersama-sama”. Demikian al Husaini.

Jadi dapat diyakini, sesuai dengan fakta-fakta sejarah, bahwa Ibnu Taimiyah banyak mengeluarkan

fatwa-fatwa yang salah, yang bertentangan dengan pendapat Ulama-ulama Islam yang lain, sehingga

beliau pada akhirnya masuk penjara dua kali, satu di Mesir dan kedua di Damsyik dan wafat dalam

penjara tahun 728 H.

Inilah sejarah singkat dari Ibnu Taimiyah, yang dikatakan orang pemimpin gerakan modernisasi

agama Islam dan penganut faham Salaf atau pemimpin gerakan Salaf.

B. Konsepsinya

Konsepsi Ibnu Taimiyah dalam memodernisasi agama dan faham agama adalah di antaranya sebagai

berikut :

a. Dalam usuluddin
 Tuhan bersela di atas ‘Arasy, serupa selanya Ibnu Taimiyah.
 Tuhan sama besarnya dengan ‘Arasy.
 Tuhan turun setiap akhir malam ke langit dunia serupa turunnya Ibnu Taimiyah dari mimbar.
 Tuhan bersabda di jihat atas, boleh ditunjuk dengan telunjuk ke atas.
 Tuhan bertubuh, berjihat dan pindah-pindah tempat.
 Tuhan bicara dengan huruf dan suara.
 Sifat Tuhan hadits (baru) dan yang hadits itu melekat pada Zat Tuhan yang qadim.

206
 Qur’an itu baru (Hadits) bukan qadim.
 Nabi-nabi tidak mashum.
 Bepergian ziarah ke makam-makam, seumpama makam Nabi di Madinah, makam Ibrahim di
mesjid Rhanl, makam wali dan ulama adalah pekerjaan mashiyat (munkar).
 Mendo’a dengan bertawassul syirik.
 Istiqatsah dengan Nabi Syirik.
 Neraka akan lenyap bukan kekal.
 Mengingkari ijma’ tidak kafir.

b. Dalam fiqih.
 Thalaq tiga sekaligus jatuh satu.
 Thalaq ketika isteri berkain kotor tidak jatuh.
 Sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja tidak diqadha.
 Orang junub boleh sembahyang sunat malam tanpa mandi lebih dahulu.
 Bersumpah dengan thalaq, tidak jatuh ketika sumpah itu dilanggar, tapi wajib dibayar kafarat
sumpah saja.
 Orang yang tidak sembahyang tidak boleh diberi zakat.
 Boleh qashar sembahyang dalam perjalanan, walaupun perjalanan itu pendek.
 Boleh tayamum walaupun ada air untuk sembahyang, kalau dikhawatirkan akan habis waktu
kalau berwudhu’.
 Syarat si Wakil tak diperdulikan.
 Thalaq di waktu suci yang disetubuhi tidak jatuh.
 Wanita yang tidak bisa mandi di rumah dan sulit pergi mandi ke kolam di luar rumah boleh
tayamum saja.
 Air yang sedikit (kurang dua kulah) tidak akan menjadi najis oleh kemasukan najis, kecuali kalau
ada perobahannya.

c. Dalam tasauf
 Tasauf dan amal orang tasauf seumpama tharikat-tharikat harus dibuang jauh-jauh.
 Ulama-ulama tasauf dikecam habis-habisan.

Demikian konsepsi Ibnu Taimiyah dalam memodernisasi agama, yang kami kutip dari bermacam-

macam buku diantaranya buku karangan Doktor Yusuf Musa, yang berjudul “Ibnu Taimiyah”.

Sumber: 40 Masalah Agama, K.H. Siradjuddin Abbas, Jilid 2, hal 217 s/d 224

Dibawah ini tentang Ibnu Taimiyah, bersumber

dari http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/06/01/para-ulama-ahlussunnah-memerangi-

ibn-taimiyah-mengenal-tiang-utama-ajaran-sesat-wahabi/

Ibn Taimiyah (w 728 H) adalah sosok kontroversial yang segala kesesatannya telah dibantah oleh

berbagai lapisan ulama dari empat madzhab; ulama madzhab Syafi’i, ulama madzhab Hanafi, ulama

madzhab Maliki, dan oleh para ulama madzhab Hanbali. Bantahan-bantahan tersebut datang dari

mereka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri maupun dari mereka yang datang

setelahnya. Berikut ini adalah di antara para ulama tersebut dengan beberapa karyanya masing-

masing :

207
1. Al-Qâdlî al-Mufassir Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Jama’ah asy-Syafi’i (w 733 H).

2. Al-Qâdlî Ibn Muhammad al-Hariri al-Anshari al-Hanafi.

3. Al-Qâdlî Muhammad ibn Abi Bakr al-Maliki.

4. Al-Qâdlî Ahmad ibn Umar al-Maqdisi al-Hanbali. Ibn Taimiyah di masa hidupnya dipenjarakan

karena kesesatannya hingga meninggal di dalam penjara dengan rekomedasi fatwa dari para hakim

ulama empat madzhab ini, yaitu pada tahun 726 H. Lihat peristiwa ini dalam kitab ‘Uyûn at-Tawârikh

karya Imam al-Kutubi, dan dalam kitab Najm al-Muhtadî Fî Rajm al-Mu’tadî karya Imam Ibn al-

Mu’allim al-Qurasyi.

5. Syekh Shaleh ibn Abdillah al-Batha-ihi, Syekh al-Munaibi’ ar-Rifa’i. salah seorang ulama terkemuka

yang telah menetap di Damaskus (w 707 H).

6. Syekh Kamaluddin Muhammad ibn Abi al-Hasan Ali as-Sarraj ar-Rifa’i al-Qurasyi asy-Syafi’i. salah

seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.

• Tuffâh al-Arwâh Wa Fattâh al-Arbâh

7. Ahli Fiqih dan ahli teologi serta ahli tasawwuf terkemuka di masanya; Syekh Tajuddin Ahmad ibn

ibn Athaillah al-Iskandari asy-Syadzili (w 709 H).

8. Pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât) di seluruh wilayah negara Mesir; Syekh Ahmad ibn Ibrahim

as-Suruji al-Hanafi (w 710 H).

• I’tirâdlât ‘Alâ Ibn Taimiyah Fi ‘Ilm al-Kalâm.

9. Pimpinan para hakim madzhab Maliki di seluruh wilayah negara Mesir pada masanya; Syekh Ali ibn

Makhluf (w 718 H). Di antara pernyataannya sebagai berikut: “Ibn Taimiyah adalah orang yang

berkeyakinan tajsîm, dan dalam keyakinan kita barangsiapa berkeyakinan semacam ini maka ia telah

menjadi kafir yang wajib dibunuh”.

10. Syekh al-Faqîh Ali ibn Ya’qub al-Bakri (w 724 H). Ketika suatu waktu Ibn Taimiyah masuk wilayah

Mesir, Syekh Ali ibn Ya’qub ini adalah salah seorang ulama terkemuka yang menentang dan

memerangi berbagai faham sesatnya.

11. Al-Faqîh Syamsuddin Muhammad ibn Adlan asy-Syafi’i (w 749 H). Salah seorang ulama terkemuka

yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah yang telah mengutip langsung bahwa di antara kesesatan

Ibn Taimiyah mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy, dan secara hakekat Dia berada dan

bertempat di atasnya, juga mengatakan bahwa sifat Kalam Allah berupa huruf dan suara.

12. Imam al-Hâfizh al-Mujtahid Taqiyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 756 H).

• al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa an-Nâr.

• ad-Durrah al-Mudliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah.

• Syifâ’ as-Saqâm Fî Ziyârah Khair al-Anâm

208
• an-Nazhar al-Muhaqqaq Fi al-Halaf Bi ath-Thalâq al-Mu’allaq.

• Naqd al-Ijtimâ’ Wa al-Iftirâq Fî Masâ-il al-Aymân Wa ath-Thalâq.

• at-Tahqîq Fî Mas-alah at-Ta’lîq.

• Raf’u asy-Syiqâq Fî Mas’alah ath-Thalâq.

13. Al-Muhaddits al-Mufassir al-Ushûly al-Faqîh Muhammad ibn Umar ibn Makki yang dikenal dengan

sebutan Ibn al-Murahhil asy-Syafi’i (w 716 H). Di masa hidupnya ulama besar ini telah berdebat dan

memerangi Ibn Taimiyah.

14. Imam al-Hâfizh Abu Sa’id Shalahuddin al-‘Ala-i (w 761 H). Imam terkemuka ini mencela dan telah

memerangi Ibn Taimiyah. Lihat kitab Dakhâ-ir al-Qashr Fî Tarâjum Nubalâ’ al-‘Ashr karya Ibn Thulun

pada halaman 32-33.

• Ahâdîts Ziyârah Qabr an-Naby.

15. Pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât) kota Madinah Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam

ibn Malik ash-Shalihi al-Hanbali (w 726 H).

16. Imam Syekh Ahmad ibn Yahya al-Kullabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal (w

733 H), semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.

• Risâlah Fî Nafyi al-Jihah.

17. Al-Qâdlî Kamaluddin ibn az-Zamlakani (w 727 H). Ulama besar yang semasa dengan Ibn Taimiyah

ini telah memerangi seluruh kesesatan Ibn Taimiyah, hingga beliau menuliskan dua risalah untuk itu.

Pertama dalam masalah talaq, dan kedua dalam masalah ziarah ke makam Rasulullah.

18. Al-Qâdlî Shafiyuddin al-Hindi (w 715 H), semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.

19. Al-Faqîh al-Muhaddits Ali ibn Muhammad al-Baji asy-Syafi’i (w 714 H). Telah memerangi Ibn

Taimiyah dalam empat belas keyakinan sesatnya, dan telah mengalahkan serta menundukannya.

20. Sejarawan terkemuka (al-Mu-arrikh) al-Faqîh al-Mutakallim al-Fakhr ibn Mu’allim al-Qurasyi (w

725 H).

• Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu’tadî

21. Al-Faqîh Muhammad ibn Ali ibn Ali al-Mazini ad-Dahhan ad-Damasyqi (w 721 H).

• Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fî Mas-alah ath-Thalâq

• Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fî Mas-alah az-Ziayârah

22. Al-Faqîh Abu al-Qasim Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad asy-Syirazi (w 733 H).

• Risâlah Fi ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah

23. Al-Faqîh al-Muhaddits Jalaluddin al-Qazwini asy-Syafi’i (w 739 H).

24. As-Sulthan Ibn Qalawun (w 741 H). Beliau adalah Sultan kaum Muslimin saat itu, telah

menuliskan surat resmi prihal kesesatan Ibn Taimiyah.

209
25. Al-Hâfizh adz-Dzahabi (w 748 H) yang merupakan murid Ibn Taimiyah sendiri.

• Bayân Zaghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab.

• an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah.

26. Al-Mufassir Abu Hayyan al-Andalusi (745 H).

• Tafsîr an-Nahr al-Mâdd Min al-Bahr al-Muhîth

27. Syekh Afifuddin Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i al-Yamani al-Makki (w 768 H).

28. Al-Faqîh Syekh Ibn Bathuthah, salah seorang ulama terkemuka yang telah banyak melakukan

rihlah (perjalanan).

29. Al-Faqîh Tajuddin Abdul Wahhab ibn Taqiyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 771 H).

• Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ

30. Seorang ulama ahli sejarah terkemuka (al-Mu-arrikh) Syekh Ibn Syakir al-Kutubi (w 764 H).

• ‘Uyûn at-Tawârikh.

31. Syekh Umar ibn Abi al-Yaman al-Lakhmi al-Fakihi al-Maliki (w 734 H).

• at-Tuhfah al-Mukhtârah Fî ar-Radd ‘Alâ Munkir az-Ziyârah

32. Al-Qâdlî Muhammad as-Sa’di al-Mishri al-Akhna’i (w 750 H).

• al-Maqâlât al-Mardliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Man Yunkir az-Ziyârah al-Muhammadiyyah, dicetak satu

kitab dengan al-Barâhîn as-Sâthi’ah karya Syekh Salamah al-Azami.

33. Syekh Isa az-Zawawi al-Maliki (w 743 H).

• Risâlah Fî Mas-alah ath-Thalâq.

34. Syekh Ahamad ibn Utsman at-Turkimani al-Jauzajani al-Hanafi (w 744 H).

• al-Abhâts al-Jaliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah.

35. Imam al-Hâfizh Abdul Rahman ibn Ahmad yang dikenal dengan Ibn Rajab al-Hanbali (w 795 H).

• Bayân Musykil al-Ahâdîts al-Wâridah Fî Anna ath-Thalâq ats-Tsalâts Wâhidah.

36. Imam al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani (w 852 H).

• ad-Durar al-Kâminah Fî A’yân al-Mi-ah ats-Tsâminah.

• Lisân al-Mizân.

• Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri.

• al-Isyârah Bi Thuruq Hadîts az-Ziyârah.

37. Imam al-Hâfizh Waliyuddin al-Iraqi (w 826 H).

• al-Ajwibah al-Mardliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-As-ilah al-Makkiyyah.

38. Al-Faqîh al-Mu-arrikh Imam Ibn Qadli Syubhah asy-Syafi’i (w 851 H).

• Târîkh Ibn Qâdlî Syubhah.

39. Al-Faqîh al-Mutakallim Abu Bakar al-Hushni penulis kitab Kifâyah al-Akhyâr (829 H).

210
• Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad Wa Nasaba Dzâlika Ilâ Imam Ahmad.

40. Salah seorang ulama terkemuka di daratan Afrika pada masanya; Syekh Abu Abdillah ibn Arafah

at-Tunisi al-Maliki (w 803 H).

41. Al-‘Allâmah Ala’uddin al-Bukhari al-Hanafi (w 841 H). Beliau mengatakn bahwa Ibn Taimiyah

adalah seorang yang kafir. Beliau juga mengkafirkan orang yang menyebut Ibn Taimiyah dengan

Syekh al-Islâm jika orang tersebut telah mengetahui kekufuran-kekufuran Ibn Taimiyah. Pernyataan

al-’Allâmah Ala’uddin al-Bukhari ini dikutip oleh Imam al-Hâfizh as-Sakhawi dalam kitab adl-Dlau’ al-

Lâmi’.

42. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamiduddin al-Farghani ad-Damasyqi al-Hanafi (w 867 H).

• ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fi al-I’tiqâdât.

43. Syekh Ahamd Zauruq al-Fasi al-Maliki (w 899 H).

• Syarh Hizb al-Bahr.

44. Imam al-Hâfizh as-Sakhawi (902 H)

• al-I’lân Bi at-Taubikh Liman Dzamma at-Târîkh.

45. Syekh Ahmad ibn Muhammad yang dikenal dengan Ibn Abd as-Salam al-Mishri (w 931 H)

• al-Qaul an-Nâshir Fî Radd Khabbath ‘Ali Ibn Nâshir.

46. Al-‘Allâmah Syekh Ahmad ibn Muhammad al-Khawarizmi ad-Damasyqi yang dikenal dengan Ibn

Qira (w 968 H).

47. Imam al-Qâdlî al-Bayyadli al-Hanafi (1098 H)

• Isyârât al-Marâm Min ‘Ibârât Imam.

48. Syekh al-‘Allâmah Ahmad ibn Muhammad al-Witri (w 980 H)

• Raudlah an-Nâzhirîn Wa Khulâshah Manâqib ash-Shâlihîn.

49. Al-Faqîh al-’Allâmah Syekh Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H).

• al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah.

• al-jawhar al-Munazh-zham Fî Ziyârah al-Qabr al-Mu’azham.

• Hâsyihah al-Idlâh Fî Manâsik al-Hajj Wa al-‘Umrah.

50. Syekh Jalaluddin ad-Dawani (w 928 H).

• Syarh al-‘Aqâ-id al-Adludiyyah.

51. Syekh Abd an-Nafi ibn Muhammad ibn Ali ibn Iraq ad-Damasyqi (w 962 H). Lihat kitab Dakhâ-ir

al-Qashr Fî Tarâjum Nubalâ’ al-Ashr karya Ibn Thulun pada halaman 32-33.

52. Syekhal-Qâdlî Abu Abdillah al-Maqarri.

• Nazhm al-La-âlî Fî Sulûk al-Âmâlî.

53. Syekh Mulla Ali al-Qari al-Hanafi (w 1014 H)

211
• Syarh asy-Syifâ Bi Ta’rif Huqûq al-Musthafâ Li al-Qâdlî ‘Iyâdl.

54. Imam Syekh Abd ar-Ra’uf al-Munawi asy-Syafi’i (w 1031 H).

• Syarh asy-Syamâ’il al-Muhammadiyyah Li at-Tirmidzi.

55. Syekh al-Muhaddits Muhammad ibn Ali ibn Allan ash-Shiddiqi al-Makki (w 1057 H).

• aL-Mubrid al-Mubki Fî Radd ash-Shârim al-Manki.

56. Syekh Ahmad al-Khafaji al-Mishri al-Hanafi (w 1069 H).

• Syarh asy-Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ Li al-Qâdlî ‘Iyâdl.

57. Al-Mu-arrikh Syekh Ahmad Abu al-Abbas al-Maqarri (w 1041 H).

• Azhar ar-Riyâdl.

58. Syekh Muhammad az-Zarqani al-Maliki (w 1122 H)

• Syarh al-Mawâhib al-Ladunniyyah.

59. Syekh Abd al-Ghani an-Nabulsi ad-Damasyqi (1143 H). Beliau banyak menyerang Ibn Taimiyah

dalam berbagai karyanya.

60. Al-Faqîh ash-Shûfi Syekh Muhammad Mahdi ibn Ali ash-Shayyadi yang dikenal dengan nama ar-

Rawwas (w 1287 H).

61. Syekh Idris ibn Ahmad al-Wizani al-Fasi al-Maliki.

• an-Nasyr ath-Thayyib ‘Alâ Syarh Syekh ath-Thayyib.

62. Syekh as-Sayyid Muhammad Abu al-Huda ash-Shayyadi (w 1328 H).

• Qilâdah al-Jawâhir.

63. Syekh Musthafa ibn Syekh Ahmad ibn Hasan asy-Syathi ad-Damasyqi al-Hanbali, hakim Islam

wilayah Duma, hidup sekitar tahun 1331 H.

• Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah.

64. Syekh Musthafa ibn Ahmad asy-Syathi al-Hanbali ad-Damasyqi (w 1348 H).

• an-Nuqûl asy-Syar’iyyah.

65. Syekh Mahmud Khaththab as-Subki (w 1352 H).

• ad-Dîn al-Khâlish Aw Irsyâd al-Khlaq Ilâ Dîn al-Haq.

66. Mufti kota Madinah Syekh al-Muhaddits Muhammad al-Khadlir asy-Syinqithi (w 1353 H).

• Luzûm ath-Thalâq ats-Tsalâts Daf’ah Bimâ La Yastahî’ al-Âlim Daf’ah.

67. Syekh Abd al-Qadir ibn Muhammad Salim al-Kailani al-Iskandarani (w 1362 H).

• an-Naf-hah az-Zakiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah.

• al-Hujjah al-Mardliyyah Fî Itsbât al-Wâsithah al-Latî Nafathâ al-Wahhâbiyyah.

68. Syekh Ahmad Hamdi ash-Shabuni al-Halabi (w 1374 H).

• Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah.

212
69. Syekh Salamah al-Azami asy-Syafi’i (w 1376 H)

• al-Barâhîn as-Sâth’iah Fî Radd Ba’dl al-Bida’ asy-Syâ-i’ah.

• Berbagai makalah dalam surat kabar al-Muslim Mesir.

70. Mufti negara Mesir Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i (w 1354 H).

• Tath-hîr al-Fu’âd Min Danas al-‘I’tiqâd.

71. Wakil para Masyâyikh Islam pada masa Khilafah Utsmaniyyah Turki Syekh al-Muhaddits

Muhammad Zahid al-Kautsari (1371 H).

• Kitâb al-Maqâlât al-Kautsari.

• at-Ta’aqqub al-Hatsîts Limâ Yanfîhi Ibn Taimiyah Min al-Hadîts.

• al-Buhûts al-Wafiyyah Fî Mufradât Ibn Taimiyah.

• al-Isyfâq ‘Alâ Ahkâm ath-Thalâq.

72. Syekh Ibrahim ibn Utsman as-Samnudi al-Mishri, salah seorang ulama yang hidup di masa

sekarang.

• Nushrah Imam as-Subki Bi Radd ash-Shârim al-Manki.

73. Ulama terkemuka di kota Mekah Syekh Muhammad al-Arabi at-Tabban (w 1390 H).

• Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn.

74. Syekh Muhammad Yusuf al-Banuri al-Bakistani.

• Ma’ârif as-Sunan Syarh Sunan at-Tirmidzi.

75. Syekh Manshur Muhammad Uwais, salah seorang ulama yang masih hidup di masa sekarang.

• Ibn Taimiyah Laysa Salafiyyan.

76. Al-Hâfizh Syekh Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Maghribi (w 1380 H).

• Hidâyah ash-Shughrâ’.

• al-Qaul al-Jaliyy.

77. Syekh al-Musnid al-Habîb Abu al-Asybal Salim ibn Husain ibn Jindan, salah seorang ulama

terkemuka di Indonesia (w 1389 H)

• al-Khulâshah al-Kâfiyah Fî al-Asânid al-‘Âliyah.

78. Syekh al-Muhaddits Abdullah al-Ghumari al-Maghribi (w 1413 H).

• Itqân ash-Shun’ah Fî Tahqîq Ma’nâ al-Bid’ah.

• ash-Shubh as-Sâfir Fî Tahqîq Shalât al-Musâfir.

• ar-Rasâ’il al-Ghumâriyyah.

• Dan berbagai tulisan beliau lainnya.

79. Syekh Hamdullah al-Barajuri, salah seorang ulama terkemuka di Saharnafur India.

• al-Bashâ-ir Li Munkirî at-Tawassul Bi Ahl al-Qubûr.

213
80. Syekh Abu Saif al-Hamami secara terang telah mengkafirkan Ibn Taimiyah dalam karyanya

berjudul Ghauts al-‘Ibâd Bi Bayân ar-Rasyâd. Beliau adalah salah seorang ulama besar dan terkemuka

di wilayah Mesir. Kitab karyanya ini telah direkomendasikan oleh para masyayikh Azhar dan ulama

besar lainnya, yaitu oleh Syekh Muhammad Sa’id al-Arfi, Syekh Yusuf ad-Dajwi, Syekh Mahmud Abu

Daqiqah, Syekh Muhammad al-Bujairi, Syekh Muhammad Abd al-Fattah Itani, Syekh Habibullah al-

Jakni asy-Syinqithi, Syekh Dasuqi Abdullah al-Arabi, dan Syekh Muhammad Hafni Bilal.

81. Syekh Muhammad ibn Isa ibn Badran as-Sa’di al-Mishri.

82. As-Sayyid Syekh al-Faqîh Alawi ibn Thahir al-Haddad al-Hadlrami.

83. Syekh Mukhtar ibn Ahmad al-Mu’ayyad al-Azhami (w 1340 H).

• Jalâ’ al-Awhâm ‘An Madzhab al-A-immah al-‘Izhâm Wa at-Tawassul Bi Jâh Khayr al-Anâm -‘Alaih

ash-Shalât Wa as-Salâm-. Kitab ini berisi bantahan atas kitab karya Ibn Taimiyah berjudul Raf’u al-

Malâm.

84. Syekh Isma’il al-Azhari.

• Mir’âh an-Najdiyyah.

85. KH. Ihsan ibn Muhammad Dahlan Jampes Kediri, salah seorang ulama terkemuka Indonesia yang

cukup produktif menulis berbagai karya yang sangat berharga.

• Sirâj ath-Thâlibîn ‘Alâ Minhâj al-‘Âbidîn Ilâ Jannah Rabb al-‘Âlamîn.

86. KH. Hasyim Asy’ari Tebu Ireng Jombang. Salah seorang ulama terkemuka Indonesia, perintis

ormas Islam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Beliau merintis ormas ini tidak lain hanya untuk

membentengi kaum Ahlussunnah Indonesia dari faham-faham Ibn Taimiyah yang telah diusung oleh

kaum Wahhabiyyah.

• ‘Aqîdah Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ’ah.

87. KH. Sirajuddin Abbas, salah seorang ulama terkemuka Indonesia.

• I’tiqad Ahl as-sunnah Wa al-Jama’ah.

• Empat Puluh Masalah Agama

88. KH. Ali Ma’shum Yogyakarta (w 1410 H), salah seorang ulama terkemuka Indonesia.

• Hujjah Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ’ah.

89. KH. Ahmad Abd al-Halim Kendal, salah seorang ulama besar Indonesia.

• Aqâ-id Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ’ah. Ditulis tahun 1311 H

90. KH. Bafadlal ibn Syekh Abd asy-Syakur as-Sinauri Tuban. Salah seorang ulama terkemuka

Indonesia yang cukup produktif menulis berbagai karya yang sangat berharga.

• Risâlah al-Kawâkib al-Lammâ’ah Fî Tahqîq al-Musammâ Bi Ahl as-Sunnah.

• Syarh Risâlah al-Kawâkib al-Lammâ’ah Fî Tahqîq al-Musammâ Bi Ahl as-Sunnah.

214
• Al-‘Iqd al-Farîd Bi Syarh Jawharah at-Tauhîd

91. Tuan Guru Zainuddin ibn Abd al-Majîd Pancor Lombok Nusa Tenggara Barat.

• Hizb Nahdlah al-Wathan

92. KH. Muhammad Syafi’i Hadzami ibn Muhammad Saleh Ra’idi, salah seorang ulama betawi, pernah

menjabat ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi DKI Jakarta (1990-2000).

• Taudlîh al-Adillah.

93. KH. Ahmad Makki Abdullah Mahfuzh Sukabumi Jawa Barat.

• Hishn as-Sunnah Wa al-Jama’âh

Share this:

 Facebook8

Terkait
Siapakah Ibnu Taimiyahdalam "Islam"
Pemahaman Ibnu Taimiyahdalam "Islam"
Ibnu Arabidalam "Islam"

Ditulis dalam Umum | Dengan kaitkata Ibnu, Taimiyah | 86 Komentar

86 Tanggapan

1. pada 21 April 2010 pada 8:29 pm | Balas badar

janganlah menyebut “beliau” sembarangan, karena hanya pantas untuk orang yang kita yakini pantas

menerimanya, takutnya pembaca awam salah menafsirkan arti yg mengandung pernghormatan

tersebut. marah halal untuk meluruskan yang sesat, tidak semua orang bisa dilemah lembuti. ALLAH

SWT saja mengancam manusia yang sesat dengan siksa neraka yang teramat pedih.

2. pada 1 Mei 2010 pada 4:44 pm | Balas hamba Allah

* Tuhan bersela di atas ‘Arasy, serupa selanya Ibnu Taimiyah.

* Tuhan sama besarnya dengan ‘Arasy.

* Tuhan turun setiap akhir malam ke langit dunia serupa turunnya Ibnu Taimiyah dari mimbar.

* Tuhan bersabda di jihat atas, boleh ditunjuk dengan telunjuk ke atas.

215
* Tuhan bertubuh, berjihat dan pindah-pindah tempat.

* Tuhan bicara dengan huruf dan suara.

* Sifat Tuhan hadits (baru) dan yang hadits itu melekat pada Zat Tuhan yang qadim.

* Qur’an itu baru (Hadits) bukan qadim.

* Nabi-nabi tidak mashum.

* Bepergian ziarah ke makam-makam, seumpama makam Nabi di Madinah, makam Ibrahim di mesjid

Rhanl, makam wali dan ulama adalah pekerjaan mashiyat (munkar).

* Mendo’a dengan bertawassul syirik.

* Istiqatsah dengan Nabi Syirik.

* Neraka akan lenyap bukan kekal.

* Mengingkari ijma’ tidak kafir.

masyaallah… antum dapat darimana ini??? bacalah dulu kitabnya dengan benar, antum bilang Allah

bersela diatas arsy sebagaimana berselanya ibnu taimiyyah?? sungguh ini suatu fitnah yang keji….

maka sudah wajib yang menulis artikel ini harus bertobat…coba antum belajar lagi… jangan cuma

denger dari ustadz antum.. baca dulu kitab aslinya dengan benar… setelah itu bertobatlah… karena

antum akan dapati bahwa itu dusta… dan seburuk-buruknya kedustaan..

o pada 1 Mei 2010 pada 9:15 pm | Balas mutiarazuhud

Saya sudah menyebutkan sumber tulisan itu.

Proses “pengangkatan” kembali karya-karya Syaikh Ibnu Taimiyah (yang pada zaman beliau hidup

merupakan ulama yang ditentang pendapatnya oleh jumhur ulama) merupakan adanya sikap

pragmatis (berlatar kepentingan).

Saat ini sudah banyak keraguan mana kitab yang asli dari karya Syaikh Ibnu Taimiyah. Ada kitab

yang fokus pada pelarangan muslim untuk belajar Tasawuf ada kitab yang memperbolehkan muslim

untuk belajar tasawuf. namun pada akhirnya Syaikh Ibnu Taimiyah bertobat akan metode

pemahaman beliau pada awalnya.

Wallaahu a’lam

 pada 19 Mei 2010 pada 9:26 pm SALAFI WAHABI

216
Mas, baca dulu bukunya sumbernya, scan atau copy buat bukti kasih ke kita, kalau tidak ada

telusuri dari orang per orang sanadnya bisa dipercaya atau tidak.

Begini saja ya pa zuhud, coba tanya sama seluruh murid dan pengikut Ibnu Taimiyah, apakah

mereka berpaham dan membenarkan bahwa Ibnu Taimiyah menyamakan turunnya Allah dengan

turunnya Ibnu Taimiyah dari mimbar???

 pada 19 Mei 2010 pada 9:43 pm SALAFI WAHABI

Kalau bapak sendiri ragu akan keaslian kitab2 Ibnu Taimiyah, lalu kenapa memposting dan

menyimpulkannya?

 pada 10 Desember 2014 pada 4:26 pm fauzi

Waw, antum ni kemakan dengan fitnah akhir zaman tanpa tau kitab-kitab asli Ibnu Taimiyah,

Abdul Wahab etc.

 pada 11 Desember 2014 pada 1:58 am mutiarazuhud

Mereka mengatakan bahwa dalam membahas masalah agama dengan pedoman Al Qur’an dan

Hadits menurut pemahaman para Sahabat

Apa yang mereka maksud dengan “pemahaman para Sahabat” ?

Salah satu fitnah akhir zaman adalah orang-orang pada masa kini (khalaf) yang mengaku-aku

mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun pada kenyataannya tentu mereka tidak bertemu

dengan Salafush Sholeh untuk mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh.

Perlu kita ingat bahwa nama para Sahabat tercantum pada hadits pada umumnya sebagai perawi

bukanlah menyampaikan pemahaman atau hasil ijtihad atau istinbat mereka melainkan para

Sahabat sekedar mengulangi kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi

wasallam

217
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

bersabda: Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia

menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia

menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits)

menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa

ilmu agama (hadits) tidak memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu

Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam

lainnya).

Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi (para Sahabat) yang sekedar menghafal dan

menyampaikan saja tanpa memahami hadits yang dihafal dan disampaikannya.

Jadi pendapat atau pemahaman para Sahabat tidak bisa didapatkan dari membaca hadits.

Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam

bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat

radhiallahu ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan

lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak

meluangkan waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip

asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah

mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para

Sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan

usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan

prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah

dan selain dari mereka berdua.”

Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa ketika orang membaca hadits maka itu adalah pemahaman

orang itu sendiri bukan pendapat atau permahaman para Sahabat

Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman para Sahabat berijtihad dengan pendapatnya

terhadap hadits yang mereka baca. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada

hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi

apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri. Sayangnya mereka

mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan sampaikan adalah

pemahaman para Sahabat.

218
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka

tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar

atau salah, mereka atas namakan kepada para Sahabat. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah

yang namanya fitnah terhadap para Sahabat.

Mereka yang merasa atau mengaku mengikuti pemahaman para Sahabat tampaknya adalah

orang-orang hasil pengajaran para ulama yang dipaksakan oleh sekutu Zionis Yahudi Inggris dan

Amerika yakni kerajaan dinasti Saudi untuk mengikuti ajaran atau pemahaman ulama Najed yakni

Muhammad bin Abdul Wahhab

Berikut informasi dari situs resmi mereka seperti

pada http://www.saudiembassy.net/about/country-

information/Islam/saudi_arabia_Islam_heartland.aspx berikut kutipannya

“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined

forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of

Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.

Ulama Najed mengingatkan kita kepada penduduk Najed yang mempunyai keunikan tersendiri

karena mereka disebutkan dalam beberapa hadits untuk kita ambil hikmah atau pelajaran

sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/29/mengenal-najed/

Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pengikut yang tidak pernah bertemu muka yakni mengikuti

pola pemahaman Ibnu Taimiyyah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak

(shahafi) dengan akal pikirannya sendiri karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih.

Berikut contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang menyebut Muhammad bin Abdul

Wahhab sebagai imam seperti pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-

muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/

***** awal kutipan *****

Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya

ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.

Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya

Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.

219
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh

Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.

Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar yang kemudian dikembangkan

sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam

mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang

selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan

***** akhir kutipan *****

Begitupula dari biografi Ibnu Taimiyyah pun kita mengetahui bahwa beliau termasuk kalangan

otodidak (shahafi) seperti contoh informasi

dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/

***** awal kutipan ******

Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman

analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.

***** akhir kutipan ******

Begitupula dengan Al Albani yang sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan

waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan sebagaimana contoh informasi

pada http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nashiruddin_Al-Albani

**** awal kutipan *****

Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya.

Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan

tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi

perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan

dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari

untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No.

77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)

***** akhir kutipan *****

Rasulullah bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan

merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?

Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab

saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama,

220
maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka

menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini

sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang

artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para

ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut

pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili

10)

Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui

kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika

ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan

pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.

Jadi mereka pada kenyataannya dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan

salaf bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran

mereka sendiri dan memahami atau berfatwa selalu berpegang pada nash secara dzahir

sebagaimana pula yang disampaikan oleh Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan

pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm

**** awal kutipan *****

Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya,

mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah

shallallahu alaihi wasallam wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan

lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita.

Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu

pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti

sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah

menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau

polanya.

Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak

menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu

levelnya cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.

Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri

221
Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai

salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir,

metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena

kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.

Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas,

mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus,

mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan

adanya nash yang lebih baru turunnya.

Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih

(thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak

bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat

keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi

menurut mereka kalah shahih pun dibuang.

Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya

sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits

itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar

dari pakem para ahli hadits sendiri.

Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya.

Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang

namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu

ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya

ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.

***** akhir kutipan *****

Prof. Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan “Muhammadiyah bukan Dahlaniyah” artinya

Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan

sebuah sekte atau firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan

sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa sekarang mengikuti

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.

Prof.Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan

pada http://www.sangpencerah.com/2013/08/profdr-yunahar-ilyas-lc-ma-ini.html bahwa Kyai Haji

222
Ahmad Dahlan pada masa hidupnya mengikuti fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut

dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat.

Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih, ormas Muhammadiyah tidak lagi mengikuti apa yang telah

diteladani oleh pendirinya Kyai Haji Ahmad Dahlan

Jadi ketika sebuah jama’ah minal muslimin atau sebuah kelompok kaum muslim atau sebuah

ormas menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari

kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak berkompetensi sebagai Imam

Mujtahid Mutlak atau ahli istidlal maka berubahlah menjadi sebuah sekte atau firqah.

Sedangkan Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad

Abduh ataupun Albani maupun Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, mereka bukanlah Imam Mujtahid Mutlak

sehingga tidak patut untuk ditaklidi (diikuti) oleh kaum muslim

Ulama yang sholeh terdahulu kita dari kalangan Sunni Syafei yang ternama sampai Semenanjung

Tanah Melayu, Brunei Darussalam, Singapur sampai Pathani, negeri Siam atau Thailand yakni KH.

Sirajuddin Abbas (lahir 5 Mei 1905, wafat 23 Ramadhan 1401H atau 5 Agustus 1980) dalam buku

berjudul I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah yang diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Baru, Jl Tebet

Barat XA No.28, Jakarta Selatan 12810 dalam cetakan ke 8, 2008 tercantum dua buah sekte atau

firqoh dalam Islam yakni firqoh berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari halaman 296 sampai

351 dan firqoh berdasarkan pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab dari halaman 352 sampai

380.

Sebagaimana tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-

lampau/bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim

Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul

Ulama) halaman 9-10 menasehatkan untuk tidak mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul

Wahhab , Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi

Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahim sebagaimana contohnya yang

termuat pada http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html

***** awal kutipan *****

Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya

mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah.

Maksud mereka itu hendak mengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan

pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.

223
Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab

Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyim al-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala

kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.

***** akhir kutipan *****

Sebagaimana wasiat di atas, para ulama memasukkan mazhab atau pemahaman Ibnu Taimiyyah

dan para pengikutnya yang bertemu langsung seperti Ibnu Qoyyim Al Jauziyah maupun yang tidak

bertemu langsung seperti Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai mazhab khawarij artinya mazhab

yang menyempal keluar (kharaja) dari mazhab Imam Mazhab yang empat.

Selain sekelompok orang (firqah) yang mengaku mengikuti pemahaman para Sahabat, adapula

sekelompok orang (firqah) yang mengaku-ngaku mengikuti pemahaman para imam dari kalangan

ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah yang dikenal dengan kaum Syiah, contohnya syiah Rafidhah

Siapakah Syiah Rafidhah ?

Imam Zaid bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib ditanya oleh para pengikutnya yakni pasukan

atau tentara yang semula mendukungnya dengan pertanyaan “Kami akan menyokong

perjuangamu, namun sebelumnya kami ingin tahu terlebih dahulu sikapmu terhadap Abu Bakar

Siddiq dan Umar bin Khattab di mana kedua-duanya telah menzalimi kakekmu Imam Ali bin Abi

Thalib”.

Imam Zaid menjawab: “bagi saya mereka berdua adalah orang yang baik, dan saya tak pernah

mendengar ucapan dari ayahku Imam Zainal Abidin tentang perihal keduanya kecuali kebaikan.

Dan kalaulah saat ini saya berani melawan dan menantang perang Bani Umayyah, itu disebabkan

karena mereka telah membunuh kakek saya (imam Husain bin Ali). Di samping itu, mereka telah

memberanguskan kota Madinah di tengah teriknya matahari pada siang hari. Ketika itu terjadilah

peperangan sengit di pintu Tiba kota Madinah. Dan tentara Yazid bin Mu’awiyah (w 63H) ketika itu

telah menginjak-injak kehormatan kami, dan membunuh beberapa orang sahabat. Dan mereka

menghujani mesjid dengan lemparan batu dan api”.

Setelah mendengar sikap dan jawaban Imam Zaid, para tentara Kufah meninggalkan Imam Zaid.

Dan Imam Zaid berkata kepada mereka: “kalian telah menolak saya, kalian telah menolak saya”.

Semenjak hari itu pasukan atau tentara yang semula mendukung Beliau dikenal dengan nama

Rafidhah. Pengertian al-Rafidhah (‫ )الرافضة‬adalah mereka yang menolak.

224
Jadi Syiah Rafidhah meninggalkan seorang penunjuk (ahli istidlal) dari kalangan ahlul bait,

keturunan cucu Rasululah, Imam Zaid dan mengikuti pasukan atau tentara yang semula

mendukungnya yakni mereka memahami Al Qur’an dan Hadits maupun perkataan Imam Ahlul Bait

bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka

sendiri yang berakibat timbullah firqah-firqah.

Hal serupa dengan yang disampaikan peneliti aliran Syiah, Prof Dr Kamaluddin Nurdin Marjuni

dalam blognya pada http://dr-kamaluddin-nurdin.blogspot.com/2010/05/aliran-aliran-syiah-

zaidiyah.html

***** awal kutipan *****

Salah satu ulama Zaidiyyah, Imam Ahmad as-Syarafiy (w. 1055 H) menegaskan bahwa: “Syi’ah

Zaidiyah terpecah kepada tiga golongan, yaitu: Batriyah, Jaririyah, dan Garudiyah.

Dan konon ada yang membagi sekte Zaidiyah kepada: Shalihiyah, Sulaimaniyah dan Jarudiyah.

Dan pandangan Shalihiyah pada dasarnya sama dengan pandangan Batriyyah.

Dan sekte Sulaymaniyah sebenarnya adalah Jarririyah.

Jadi ketiga sekte tersebut merupakan golongan-golongan Syi’ah Zaidiyyah pada era awal. Ketiga

sekte inipun tidak berafiliasi (tidak ada hubungannya) kepada keturunan Ahlu Bait sama sekali.

Mereka hanyalah sekedar penyokong berat (bekas tentara atau pasukan) imam Zaid ketika terjadi

revolusi melawan Bani Umayah, dan mereka ikut berperang bersama imam Zaid”.

***** akhir kutipan ******

Jadi adalah sebuah fitnah jika mengaku-aku mengikuti Imam Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi

Thalib namun pada kenyataannya mereka mengikuti para pendukung (bekas tentara atau

pasukan) Imam Zaid

Padahal sejak abad 7 H, Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far

Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra, beliau menganut

madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam

Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang

akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf yang muktabaroh dan bermazhab

dengan Imam Mazhab yang empat.

Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus

berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena

kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.

225
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke

“ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah

dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah

dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang

dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai

kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya

yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas

Marilah kita mengikuti sunnah Rasulullah untuk menghindari firqah-firqah yang menyempal keluar

(kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yang disebut juga dengan khawarij.

Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.

Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan

tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia

menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari

rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-

sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“

Rasulullah bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena

itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum

muslim).” (HR.IbnuMajah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al

Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)

Mayoritas kaum muslim pada masa generasi Salafush Sholeh adalah orang-orang mengikuti

Rasulullah yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in

Sedangkan pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) adalah bagi siapa

saja yang mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam

Mazhab yang empat.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya

“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang

mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)

226
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

[QS. an-Nahl : 43]

Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.

Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai

seorang penunjuk

Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah

tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa

kebenaran“. (QS Al A’raf [7]:43)

Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah. Penunjuk para Tabi’in adalah para

Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum muslim sampai

akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat.

Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah

adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash.

Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat

disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara

pengambilan kesimpulannya berbeda.

Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat

yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim

mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.

Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan

adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal adalah

kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang banyak

Imam Mazhab yang empat walaupun mereka tidak maksum namun mereka diakui oleh jumhur

ulama sejak dahulu kala sampai sekarang sebagai ulama yang berkompetensi sebagai Imam

Mujtahid Mutlak sehingga patut untuk dijadikan pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat bagi

kaum muslim.

Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.

Contohnya Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena

bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai

227
dari tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke

Iraq, pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke

Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis,

tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran

kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh,

melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah

Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang

membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti

sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Jadi kalau kita ingin ittiba li Rasulullah (mengikuti Rasulullah) atau mengikuti Salafush Sholeh

maka kita menemui dan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari kalangan

“orang-orang yang membawa hadits”.

Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” adalah para ulama

yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang

sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat

atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang

empat.

Jadi bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim

yang tidak lagi bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush Sholeh sebagaimana yang telah

disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/04/08/kita-butuh-

bermazhab/

Pada hakikatnya sangat sulit untuk memenuhi kompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak pada

masa sekarang ini karena tidak lagi dapat bertemu dengan para perawi hadits atau Salafush

Sholeh.

Bahasa tulisan mempunyai keterbatasan dibandingkan dengan bertalaqqi, mendapatkan ilmu

agama dengan bertemu atau mengaji.

Sebagaimana tulisan ust Ahmad Zarkasih yang kami arsip

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/06/matang-sebelum-waktunya/ bahwa orang-

orang yang salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena bersandarkan mutholaah (menelaah

228
kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri dapat menjadi liberal atau bahkan

atheis. Berikut kutipannya

***** awal kutipan *****

Memang wajar, bahkan sangat wajar sekali jika ada seseorang mempertanyakan adanya

perbedaan pandangan. Tapi tidak wajar kalau mereka membawa-bawa label “Kembali pada Al

Qur’an dan As Sunnah” kemudian meyalahkan para Imam Mujtahid, seakan-akan para Imam

Mujtahid tidak mengerti isi ayat dan kandungan hadits.

Justru para Imam Mujtahid orang yang paling mengerti madlul ayat dan hadits dibanding kita-kita

yang masih berlabel “Muqollid”, bahkan dengan strata taqlid paling rendah.

Mereka bilang “Saya tidak mau terpaku dengan ajaran orang tua dan guru saya. Saya mau

mencari ajaran yang benar”. Hal ini yang membuat kita semakin khawatir. Dengan umur yang

masih seperti itu, mereka begitu yakin untuk tidak ber-taqlid (ikuti) kepada yang memang

seharusnya ia taqlid.

Mereka menolak untuk menerima sepenuhnya apa yang ia dapatkan dari rumah, juga dari gurunya

tapi mereka tidak punya pegangan untuk bisa berdiri dan menjadi sandaran sendiri.

Akhirnya, yang dilakukan kembali mencari di jalanan, seperti dengan buka laptop, searching

google dan akhirnya bertemu dengan ratusan bahkan ribuan hal yang sejatinya mereka belum siap

menerimanya semua. Sampai saat ini kita masih tidak memandang google sebagai sumber

pencarian ilmu yang valid dan aman. Mendatangi guru dan bermuwajahah dengan beliau itu yang

diajarkan syariah dan jalan yang paling aman.

Hal yang kita khawatirkan, nantinya mereka besar menjadi muslim yang membenci para imam

mazhab dengan seluruh ijtihadnya. Dan kelompok pemuda semacam ini sudah kita temui banyak

disekitar kita sekarang.

Dengan dalih “Kembali kapada al-quran dan sunnah”, mereka dengan pongah berani mecemooh

para imam, padahal apa yang dipermasalahkan itu memang benar-benar masalah yang sama

sekali tidak berdampak negatif kalau kita berbeda didalamnya.

Atau lebih parah lagi, ia menjadi orang yang anti dengan syariahnya sendiri. Karena sejak kecil

sudah terlalu matang dengan banyak keraguan di sana sini.

229
Seperti orang yang belum matang dengan agamanya sendiri tapi kemudian sudah belajar

perbandingan agama. Ujung-ujungnya mereka jadi atheism, karena banyak kerancuan yang dia

temui.

Sama juga orang yang belum matang fiqih satu mazhab, kemudian mereka tiba-tiba belajar

perbandingan mazhab. Satu mazhab belum beres, kemudian sudah dibanding-bandingkan. Ujung-

ujungnya jadi Liberal, yang menganggap bahwa ijtihad itu terbuka untuk siapa saja dan dimana

saja. Jadi sebebas-bebasnya lah mereka menafsirkan ini itu.

***** akhir kutipan *****

Mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan

oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi

Firman Allah ta’ala yang artinya,

“orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang

Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)

Cara menghancurkan Islam dari dalam adalah menghasut dan mengajak untuk memahami Al

Qur’an dan As Sunnah secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri sehingga timbullah

kelompok-kelompok seperti Al Qaeda, ISIS atau pelaku bom bunuh diri di tengah kaum muslim

bahkan di masjid-masjid karena kesalahpahaman mereka sehingga menganggap selain mereka

telah kafir.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi: ‘Apakah kamu yang telah membunuhnya? ‘

Dia menjawabnya, ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi: ‘Lalu apa yang hendak kamu perbuat dengan kalimat,

‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah’, jika di hari kiamat kelak ia datang (untuk

minta pertanggung jawaban) pada hari kiamat nanti? ‘ (HR Muslim 142)

Mereka terhasut untuk membuang-buang waktu atau menyibukkan diri mengulang kembali apa

yang telah dikerjakan dan dihasikan oleh Imam Mazhab yang empat namun mereka tidak

berkompetensi sebagai mujtahid mutlak.

Protokol Zionis yang ketujuhbelas

…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para ulama non-Yahudi

(termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat

ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka

230
berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah

dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu akan

bertumbangan…..

Salah satu upaya mengdiskreditkan Imam Mazhab yang empat adalah menyalahgunakan

perkataan atau pendapat Imam Mazhab yang empat yang jsutru untuk meninggalkan apa yang

telah dikerjakan dan dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat.

Mereka yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) meninggalkan

Imam Mazhab yang empat dengan alasan seperti “kita harus mengikuti hadits shahih bukan

mengikuti ulama.

Mereka mengingatkan bahwa Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa

mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.

Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang

bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan

dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat

mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah

mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan

langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.

Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk

orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i

belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa

dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang

sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini

karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di

dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”

Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang

sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn

Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-

Syafii, sangat terkenal.” [“Majmu’ Syarh Al-Muhadzab” 1/105]

231
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang

bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam

bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“

Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya

pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-

adalah-mazhabku-bag-2/

Mereka pada umumnya juga salah memahami pendapat seperti Imam Syaukani yang berkata:

“Seseorang yang hanya mengandalkan taqlid (mengikut pandangan tertentu) seumur hidupnya

tidak akan pernah bertanya kepada sumber asli yaitu “Qur’an dan Hadits”, dan ia hanya bertanya

kepada pemimpin mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya kepada sumber asli Islam

tidak dikatagorikan sebagai Muqallid (pengikut)”.

Mereka salah memahami perkataan Imam Syaukani yang terbatas bagi siapa saja yang mampu

mencapai tingkatan mujtahid mutlak

Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i,

silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-

as-syafi’i/

Berikut kutipannya

****** awal kutipan ******

Definisi madzhab adalah apa-apa yang dipilih oleh Imam As Syafi’i dan para pengikutnya terhadap

hukum dalam berbagai masalah, sebagaimana disebutkan Imam Al Mahalli dalam Syarh beliau

terhadap Al Minhaj. (lihat, Hasyiyatani Qalyubi wa Umairah, 1/7)

Dengan definisi di atas, otomatis madzhab As Syafi’i tidak hanya mencakup pendapat Imam As

Syafi’i saja, namun, juga pendapat para pengikutnya. Nah, siapa para pengikut yang berhak

memberi kontribusi kepada madzhab? Pendapatnya diperhitungkan sebagai pendapat madzhab?

Tentu, itu bisa terjawab dengan pemaparan tingkatan para mufti yang dianggap mu’tabar dalam

madzhab.

Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab (1/71), mengenai tingkatan

mufti dalam madzhab As Syafi’i. Merujuk kepada pendapat Al Hafidz Ibnu Shalah, beliau membagi

mufti dalam madzhab menjadi beberapa kelompok:

232
1. Mufti Mustaqil

Mufti mustaqil adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam madzhab, Ibnu Shalah

juga menyebutkannya sebagai mujtahid mutlaq. Artinya, tidak terikat dengan madzhab. Bahkan

mujtahid inilah perintis madzhab. Tentu dalam Madzhab As Syafi’i, mufti mustaqil adalah Imam As

Syafi’i. Imam An Nawawi sendiri menyebutkan pendapat beberapa ulama ushul bahwa tidak ada

mujtahid mustaqil setelah masa As Syafi’i. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72)

Keistimewaan mufti mustaqil yang tidak dimiliki oleh tingkatan mufti di bawahnya adalah

kemampuannya menciptakan metode yang dianut madzhabnya.

2. Mujtahid Madzhab

Yakni, mufti yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam madzhab (pendapat) atau dalilnya

namun tetap menisbatkan kepada imam karena mengikuti metode imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh

Al Muhadzadzab, 1/72)

Contoh ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani dan Al Buwaithi,

sebagaimana disebutkan Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan

Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)

Sedangkan Imam An Nawawi juga menyebutkan bahwa Abu Ishaq As Syairazi yang masa hidupnya

jauh dari masa Imam As Syafi’i mengaku sampai pada derajat ini. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al

Muhadzadzab, 1/72)

Di kalangan muta’akhirin Imam As Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini, sebagaimana

disebutkan Syeikh Ba’alawi. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)

Mufti golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taklid,

baik kepada beliau maupun kepada para imam lainnya, sebagaimana disebutkan Imam An Nawawi

(lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).

Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah level ini, sebab itulah Ibnu Shalah

sendiri berpendapat bahwa pelarangan taklid dari para imam tidak bersifat mutlak. (lihat, Al

Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72).

Golongan ini pula yang menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang berhak mengoreksi

pendapat Imam, di saat mereka mengetahui ada hadits shahih yang bertantangan dengan

pendapat imam. Kenapa harus mereka? Karena bisa jadi imam sengaja meninggalkan hadits walau

233
ia shahih dikarenakan manshukh atau ditakhsis, dan hal ini tidak akan diketahui kecuali yang

bersangkutan telah menela’ah semua karya As Syafi’i dan para pengikutnya, dan hal ini amatlah

sulit, menurut penilaian ulama sekaliber Imam An Nawawi sekalipun. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al

Muhadzdzab, 1/99 dan Ma’na Al Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al Hadits fa Huwa

Madzhabi)

Jika sesorang sampai pada derajat ini, ia bisa menyelisihi pendapat imamnya sendiri, dan hal ini

tidaklah jadi persoalan, karena sudah sampai pada derajat mujtahid walau tetap memakai kaidah

imam. Tak heran jika beberapa pendapat Imam Al Muzani berbeda dengan pendapat Imam As

Syafi’i seperti dalam masalah masa nifas, Imam As Syafi’i berpendapat bahwa maksimal masa

nifas 60 hari sedangkan Al Muzani 40 hari. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 2/106)

3. Ashab Al Wujuh

Ashab Al Wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil

maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang

belum disebutkan imam dengan menyimpulkan dan menkiyaskan (takhrij) dari pendapat Imam,

sebagaimana para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan diri

dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)

Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para ulama As Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini

adalah ashab al wujuh. Yakni mereka yang mengkiyaskan masalah yang belum di-nash oleh imam

kepada pendapat imam. Sehingga, orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya tidak

bertaklid kepada mereka, namun bertaklid kepada imam. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab,

1/73)

Contoh dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid

atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, Mufti Syafi’iyyah di Bashrah, sebagaimana disebutkan Syeikh

Muhammad bin Sulaiman Al Qurdi (lihat, Mukhtashar Al Fawaid Al Makiyyah, hal.53).

4. Mujtahid Fatwa

Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun

menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam

madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)

Perlu diketahui, dengan adanya mufti-mufti yang berada di atas tingkatan ini, dalam madzhab

sudah banyak terjadi khilaf, baik antara imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan

234
perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap pendapat imam. Disinilah ulama pada

tingkatan ini berperan untuk mentarjih.

Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi menyebutkan bahwa yang berada dalam tingkatan ini

Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi yang dikenal sebagai mujtahid fatwa.(lihat, An Nihayah, hal.

7 dan Al Bughyah, hal. 7)

Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An

Nawawi seperti Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika

ingin mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada buku-buku tersebut.

5. Mufti Muqallid

Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik

untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti

mufti-mufti di atasnya. Maka fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya

tentang madzhab dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid

madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)

Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ar Ramli dan As Subramilsi termasuk kelompok mufti Muqallid, walau

sebagian berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa masalah. (lihat,

Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal 7)

Jika tidak menemui nuqilan dalam madzhab, maka ia tidak boleh mengeluarkan fatwa, kecuali jika

mereka memandang bahwa masalahnya sama dengan apa yang nash madzhab, boleh ia

mengkiyaskannya. Namun, menurut Imam Al Haramain, kasus demikian jarang ditemui. (lihat, Al

Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).

Namun tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana yang rajih

menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang demikian sebagai orang yang bodoh dan

menyelisihi ijma. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 9)

Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak berinteraksi dengan karya-karya

para mujtahid fatwa, yang telah menjelaskan pendapat rajih dalam madzhab.

Penutup

Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para mufti selain mufti mustaqil, yang telah disebutkan di

atas termasuk mufti muntasib, dalam artian tetap menisbatkan diri dalam madzhab. Dan

235
semuanya harus menguasai apa yang dikuasai oleh mufti muqallid. Barang siapa berfatwa

sedangkan belum memenuhi syarat di atas, maka ia telah menjerumuskan diri kepada hal yang

amat besar! (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)

Tentu, amat tidak mudah untuk masuk jajaran mufti di atas hatta mufti muqallid jika orang

sekaliber Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Ar Ramli masih dinilai berada dalam tingkatan itu!

Namun ironisnya banyak anak-anak muda yang baru mencari ilmu dengan tanpa beban menyesat-

nyesatkan siapa saja yang bertaklid. Kemudian menyerukan untuk mentarjih pendapat sesuai

berdasarkan dalil yang ia pahami seakan-akan ia setingkat dengan Imam An Nawawi, atau bahkan

menggugurkan pendapat mujtahid mustaqil dengan berargumen, idza shahah al hadits fahuwa

madzhabi, seakan-akan ia satu level dengan Imam Al Muzani! Padahal yang bersangkutan belum

menghatamkan dan menguasai kitab fiqih yang paling sederhana sekalipun dalam madzhab.

Mudah-mudahan kita terlindung dari hal-hal yang demikian. Dan tetap bersabar untuk terus

mencari ilmu, hingga sampai kepada kita keputusan Allah, sampai dimana ilmu yang mampu kita

serap dan kita amalkan.

******* akhir kutipan *******

Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan tidak dalam bentuk tulisan namun disampaikan

melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dengan imla atau secara hafalan.

Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam proses menuntut ilmu.

Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Setiap menerima wahyu, beliau langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk

menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau menafsirkan dan

menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan.

Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk

menghafalkan Al-Qur’an bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman

kandungannya, tapi juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini,

walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya. Kaitan

antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya, Al-

Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan.

Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-

nya, semuanya dilakukan secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang

dimaksud dengan “membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan.

236
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya

telah tertera dalam ingatan sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai

penunjang semata.

Oleh karenanya dikatakan sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami taat) bukan kami baca dan

kami taat

Ilmu agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulama terdahulu yang tersambung kepada

lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Rasulullah bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa

yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku

dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)

Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan apa yang kita baca dan pahami sendiri

dari kitab atau buku

Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh

dan didengar dari para ulama yang sholeh dan disampaikan secara turun temurun yang bersumber

dari lisannya Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.

Rasulullah bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi).

Dalam memahami kalimat “pewaris para Nabi” kita pahami dahulu arti kata mewarisi

Dalam kamus besar bahasa Indonesia atau contoh penjelasan

pada http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/185pengertian mewarisi

adalah:

1. memperoleh warisan atau

2. memperoleh sesuatu yang ditinggalkan

Jadi ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang sholeh sebelumnya secara

turun-temurun tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Cara untuk menelusuri kebenaran adalah melalui para ulama yang sholeh yang memiliki sanad

ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena

kebenaran dari Allah ta’ala dan disampaikan oleh RasulNya

237
Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah

Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap

tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.

Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya

sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il

“asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini

kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang

berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan

perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“.

Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad,

maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan

akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya

1/47 no:32)

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata :

Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami

Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah

menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari

Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi

wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang

salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru

belajar)”.

Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab :

“Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang

meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia

bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.

Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan

sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk

meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil

sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan

begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi

238
wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh,

makna dan pengamalan“

Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.

Imam Malik ~rahimahullah berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari

orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu) dan dari orang

yang mendustakan perkataan manusia (ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan

(hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”

Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan

orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”

Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi60) ; “Barangsiapa tidak

memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir

Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203

Jadi fitnah tanduk syaitan adalah fitnah dari orang-orang yang menjadikan gurunya syaitan karena

memahami Al Qur’an dan Hadits bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak

(shahafi) dengan akal pikirannya sendiri

« Ibnu Taimiyah
Baha’iyah »

Muhammad bin Abdul Wahab


10 Februari 2010 oleh mutiarazuhud

239
Pendapat ulama terdahulu tentang Muhammad bin Abdul Wahhab

Dalam buku “Kasfus Syubahat” karangan ulama-ulama Wahabi, cetakan “An Nur” Nejdi, dapat diambil

sejarah paham Wahabi ini ialah :

Muhammad bin Abdul Wahab berasal dari kabilah Banu Tamim, lahir 1115 H, wafat tahun 1206 H.

Mula-mula ia belajar agama di Makkah dan di Madinah. Di antara gurunya di Makkah terdapat nama

Syeikh Muhammad Sulaiman al Kurdi, Syeikh Abdul Wahab (bapaknya sendiri) dan kakaknya Syeikh

Sulaiman bin Abdul Wahab.

Guru-gurunya semua termasuk bapak dan kakaknya adalah ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.

240
Menurut Ustadz Hasan Khazbyk dalam suatu karangannya dikatakan, bahwa Muhammad bin Abdul

Wahab pada ketika mudanya banyak membaca, buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan lain-lain

pemuka.

Perantara tahun wafat Ibnu Taimiyah (728H) dan Muhammad bin Abdul Wahab (1206H) adalah 478

tahun. Ibnu Taimiyah meninggal di Syria sedang Muhammad bin Abdul Wahab meninggal di Nejdi.

Menurut buku “Kasfus Syubahat” tersebut, yang berasal dari tulisan cucu-cucu dari keluarga

Muhammad bin Abdul Wahab, yaitu Abdul Lathif bin Ibrahim Ali Syeikh, bahwa,

Muhammad bin Abdul Wahab lahir di suatu desa bernama “Ainiyah” pada tahun 1115 H. Ia belajar

agama kepada bapaknya, karena bapaknya, adalah ulama / qadhi di negeri ‘Ainiyah itu.

Setelah ia mencapai usia dewasa ia pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan kembali ke

‘Ainiyah sesudah mengerjakan haji.

Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab datang lagi ke Makkah dan Madinah yang kedua kali. Lama ia

tinggal menuntut ilmu di Makkah dan Madinah.

Katanya, pada kali yang kedua inilah ia banyak melihat di Madinah amal-amal/ibadat-ibadat orang

Islam di hadapan makam Nabi yang berlainan dari syari’at Islam, menurut kacamatanya.

Kemudian ia pindah ke Basrah dan menyiarkan fatwanya yang ganjil-ganjil tetapi ia segera diusir oleh

pengusaha dan dikeluarkan dari kota Basrah.

Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab pergi ke Hassa dan berguru lagi di situ dengan Syeikh

Abdullah bin Abdul Lathif, seorang ulama di Hassa. Ketika itu. Kemudian ia pindah ke Huraimalah,

suatu desa kecil di negeri Nejdi.

Mula-mula ia menyiarkan fatwanya yang ganjil-ganjil di negerinya sendiri, yaitu di ‘Ainyah. Tetapi

Raja di negeri itu namanya Utsman bin Ahmad bin Ma’mar yang mulanya menolong tetapi setelah

mendengar fatwa-fatwanya lalu mengusir dan bahkan berusaha membunuhnya.

Kemudian ia pindah ke Dur’iyah. Raja Dur’iyah bernama Muhammad bin Sa’ud menolong Muhammad

bin Abdul Wahab dalam penyiaran paham-pahamnya. Maka bersatulah dua orang “Muhammad”, yang

berlain kepentingan, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad bin Sa’ud.

241
Muhammad bin Abdul Wahab membutuhkan seorang penguasa untuk menolong penyiaran pahamnya

yang baru dan Muhammad bin Sa’ud membutuhkan seorang ulama yang dapat mengisi rakyatnya

dengan ideology yang keras, demi untuk memperkokoh pemerintahan dan kekuasaannya.

Maka bersatulah antara paham agama dengan raja, sebagai bersatunya paham Syi’ah di Iran dengan

Syah Iran dan bersatunya paham Syi’ah Imamiyah di Yaman dengan “Imam” yang menguasai Yaman

(sebelum Republik).

Demikian tersebut dalam buku “Kasfus Syubahat” cetakan percetakan “An Nur” Riyadh.

Jelas dari uraian ini bahwa paham Muhammad bin Abdul Wahab tidak diterima di Basrah juga tidak

diterima di “Ainiyah, sehingga ia diusir dari kedua tempat itu oleh penguasa.

Tetapi dengan pertolongan Muhammad bin Sa’ud di kota Dur’iyah banyak jugalah pengikut-pengikut

Muhammad bin Abdul Wahab yang terdiri dari orang-orang padang pasir, sehingga menjadi kekuasaan

yang tidak dapat diabaikan oleh Turki dan Syarif-Syarif di Makkah ketika itu.

Pada suatu ketika mereka mengirim delegasinya ke Makkah menemui Syarif Makkah, yaitu Syazif

Mas’ud sambil mengerjakan haji. Delegasi ini menyiarkan fatwa-fatwa Wahabiyah yang ganjil-ganjil,

di Makkah.

Syarif Mas’ud menangkapi orang-orang ini dan bahkan membunuh sebahagiannya, tetapi sebagiannya

lolos dan pulang memberikan laporan kepada Muhammad bin Sa’ud.

Dari mulai tanggal ini berkobarlah permusuhan antara kaum Wahabi di Nejdi dengan Syarif-syarif

(penguasa-penguasa di Makkah).

Dalam hal ini Syarif Mas’ud membuat suatu kesalahan karena ia menangkap orang haji dan

membunuh mereka, padahal Tuhan telah berfirman dalam Al Qur’an, bahwa “Barangsiapa masuk

Makkah adalah aman” (Surat Ali Imran:97).

Seharusnya kalau ia tidak sesuai dengan paham Wahabi ia boleh mengusir saja orang tanpa

membunuh.

Tetapi dalam sejarah ini dapat diambil pula, bahwa Raja Makkah ketika itu tidak menyukai paham

Wahabi, serupa dengan Raja-raja di Basrah dan di ‘Ainiyah.

Muhammad bin Abdul Wahab biasa memfatwakan bahwa orang-orang di Makkah itu banyak yang

kafir, karena mereka membolehkan mendo’a dengan tawassul di hadapan makam nabi, membolehkan

242
berkunjung dari jauh menziarahi makam Nabi, mendo’a menghadap ke makam Nabi, memuji-muji

Nabi dengan membaca nazhasn Burdah “Amin Tadza”, membaca shalawat Dalailul Khairat yang

berlebih-lebihan memuji Nabi, membaca kisah-kisah Maulud Barzanji dan akhirnya mereka dikafirkan

karena tidak mau mengikut Muhammad bin Abdul Wahab.

Terebut dalam sejarah, bahwa suatu kali terjadi perdebatan antara Muhammad bin Abdul Wahab

dengan saudaranya Sulaiman bin Abdul Wahab, dalam soal kafir-mengkafirkan ini.

Sulaiman bertanya kepada adiknya: “Berapa, rukun Islam”

Muhammad menjawab: “lima”.

Sulaiman: Tetapi kamu menjadikan 6!

Muhammad: Apa, ?

Sulaiman: Kamu memfatwakan bahwa siapa, yang mengikutimu adalah

mu’min dan yang tidak sesuai dengan fatwamu adalah kafir.

Muhammad : Terdiam dan marah.

Sesudah itu ia berusaha menangkap kakaknya dan akan membunuhnya, tetapi Sulaiman bin Abdul

Wahab dapat lolos ke Makkah dan setibanya di Makkah ia mengarang buku “As Shawa’iqul Ilahiyah

firraddi ‘alal Wahabiyah” (Petir yang membakar untuk menolak paham Wahabi) sebagaimana gambar

di atas. https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/as-shawaiqul-ilahiyah-firraddi-alal-

wahabiyah.jpg

Dari buku ini kita dapat melihat fatwa-fatwa Muhammad bin Abdul Wahab yang ganjil-ganjil dan baru-

baru.

Tertulis juga dalam buku ini sejarah perdebatan seorang laki-laki dengan Muhammad bin Abdul

Wahab.

Seorang laki-laki bertanya : “Berapa orang yang dibebaskan Tuhan dalam bulan Ramadhan?”

Muhammad bin Abdul Wahab : “Seratus ribu”.

Laki-laki itu bertanya lagi : “Pada akhir malam bulan Ramadhan berapa?”

Muhammad bin Abdul Wahab menjawab : “Pada akhir bulan Ramadhan dibebaskan Tuban sebanyak

yang telah dibebaskannya tiap-tiap malam Ramadhan”. (Jawaban ini sesuai dengan sebuah hadits

Nabi).

Laki-laki ini bertanya lagi : “Dari mana diambil orang Islam sebanyak itu padahal murid kamu tidak

sampai sebanyak itu?” Muhammad bin Abdul Wahab marah dan berusaha menangkap orang itu.

243
Dari riwayat ini dapat dipetik suatu hal, yaitu bahwa Muhammad bin Abdul Wahab pada permulaan

fatwa-fatwanya banyak sekali mengkafirkan orang-orang yang tidak mau menerima fatwanya.

Muhammad bin Abdul Wahab sejak membuka fatwanya di Dur’iyah tidak mau ke Makkah dan Madinah

lagi, karena ia tidak sudi melihat orang-orang membuat “ma’shiat” di Makkah dan di Madinah,

katanya.

Yang dikatakannya, “makshiat” itu ialah berbondong-bondong pergi ziarah ke makam Nabi, mendo’a

dengan bertawassul dengan “jah” Nabi, mendo’a dengan menghadap ke makam Nabi (bukan ke

Qiblat), adanya kubbah-kubbah di atas pekuburan mu’ala di Mekkah, di Baqi’i di Madinah, di

pekuburan Uhud di Madinah juga dan ditempat maulud Nabi di Suq al leil di Mekkah ini semua

menurut Muhammad bin Abdul Wahab; amalan syirik atau sekurangnya membawa kepada syirik.

Kaum Wahabi sudah dua kali menguasai Hijaz.

Yang pertama pada tahun 1803 M. sampai dengan 1813 M.

Yang kedua setelah keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani yang diupayakan oleh Mustafa Kemal

Attaturk (Yahudi dari Dumamah) dan “pengaruh” Terrence E. Lawrence (Yahudi dari Inggris) yang

harum namanya di Saudi dan disebut sebagai Lawrence of Arabia, atau dengan kata lain kaum Wahabi

menguasai Hijaz untuk kedua kalinya mulai tahun 1925 M. sampai sekarang.

Tulisan di atas bersumber: I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah, KH Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah

Baru

Berikut kutipan tentang Muhammad Ibn Abdil Wahab bersumber dari:

http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/05/26/sejarah-ringkas-muhammad-ibn-abdil-

wahhab-dan-gerakan-wahhabiyyah-supaya-anda-kenal-bahwa-kaum-wahhabi-bukan-ahlussunnah/

****** awal kutipan ******

Permulaan munculnya Muhammad ibn Abdil Wahhab ini ialah di wilayah timur sekitar tahun 1143 H.

Gerakannya yang dikenal dengan nama Wahhabiyyah mulai tersebar di wilayah Nejd dan daerah-

daerah sekitarnya. Muhammad ibn Abdil Wahhab meninggal pada tahun 1206 H. Ia banyak

menyerukan berbagai ajaran yang ia anggap sebagai berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah.

Ajarannya tersebut banyak ia ambil atau tepatnya ia hidupkan kembali dari faham-faham Ibn

Taimiyah yang sebelumnya telah padam, di antaranya; mengharamkan tawassul dengan Rasulullah,

mengharamkan perjalanan untuk ziarah ke makam Rasulullah atau makam lainnya dari para Nabi dan

244
orang-orang saleh untuk tujuan berdoa di sana dengan harapan dikabulkan oleh Allah, mengkafirkan

orang yang memanggil dengan “Ya Rasulallah…!”, atau “Ya Muhammad…!”, atau seumpama “Ya Abdul

Qadir…! Tolonglah aku…!” kecuali, menurut mereka, bagi yang hidup dan yang ada di hadapan saja,

mengatakan bahwa talak terhadap isteri tidak jatuh jika dibatalkan. Menurutnya talak semacam itu

hanya digugurkan dengan membayar kaffarah saja, seperti orang yang bersumpah dengan nama

Allah, namun ia menyalahinya.

Selain menghidupkan kembali faham-faham Ibn Timiyyah, Muhammad ibn Abdil Wahhab juga

membuat faham baru, di antaranya; mengharamkan mengenakan hirz (semacam jimat) walaupun di

dalamnya hanya terkandung ayat-ayat al-Qur’an atau nama-nama Allah, mengharamkan bacaan

keras dalam shalawat kepada Rasulullah setelah mengumandangkan adzan. Kemudian para

pengikutnya, yang kenal dengan kaum Wahhabiyyah, mengharamkan perayaan maulid nabi

Muhammad. Hal ini berbeda dengan Imam mereka; yaitu Ibn Taimiyah, yang telah membolehkannya.

Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti Mekah pada masanya di sekitar masa akhir kesultanan

Utsmaniyyah, dalam kitab Târikh yang beliau tulis menyebutkan sebagai berikut:

“Pasal; Fitnah kaum Wahhabiyyah. Dia -Muhammad ibn Abdil Wahhab- pada permulaannya adalah

seorang penunut ilmu di wilayah Madinah. Ayahnya adalah salah seorang ahli ilmu, demikian pula

saudaranya; Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab.

Ayahnya, yaitu Syekh Abdul Wahhab dan saudaranya Syekh Sulaiman, serta banyak dari guru-

gurunya mempunyai firasat bahwa Muhammad ibn Abdil Wahhab ini akan membawa kesesatan. Hal

ini karena mereka melihat dari banyak perkataan dan prilaku serta penyelewengan-penyelewengan

Muhammad ibn Abdil Wahhab itu sendiri dalam banyak permasalahan agama. Mereka semua

mengingatkan banyak orang untuk mewaspadainya dan menghindarinya.

Di kemudian hari ternyata Allah menentukan apa yang telah menjadi firasat mereka pada diri

Muhammad ibn Abdil Wahhab. Ia telah banyak membawa ajaran sesat hingga menyesatkan orang-

orang yang bodoh. Ajaran-ajarannya tersebut banyak yang berseberangan dengan para ulama agama

ini. bahkan dengan ajarannya itu ia telah mengkafirkan orang-orang Islam sendiri. Ia mengatakan

bahwa ziarah ke makam Rasulullah, tawassul dengannya, atau tawassul dengan para nabi lainnya

atau para wali Allah dan orang-orang, serta menziarahi kubur mereka untuk tujuan mencari berkah

adalah perbuatan syirik. Menurutnya bahwa memanggil nama Nabi ketika bertawassul adalah

perbuatan syirik. Demikian pula memanggil nabi-nabi lainnya, atau memanggil para wali Allah dan

orang-orang saleh untuk tujuan tawassul dengan mereka adalah perbuatan syirik. Ia juga meyakini

245
bahwa menyandarkan sesuatu kepada selain Allah, walaupun dengan cara majâzi (metapor) adalah

pekerjaan syirik, seperti bila seseorang berkata: “Obat ini memberikan manfa’at kepadaku” atau “Wali

Allah si fulan memberikan manfaat apa bila bertawassul dengannya”.

Dalam menyebarkan ajarannya ini, Muhammad ibn Abdil Wahhab mengambil beberapa dalil yang

sama sekali tidak menguatkannya. Ia banyak memoles ungkapan-ungkapan seruannya dengan kata-

kata yang menggiurkan dan muslihat hingga banyak diikuti oleh orang-orang awam.

Dalam hal ini Muhammad ibn Abdil Wahhab telah menulis beberapa risalah untuk mengelabui orang-

orang awam, hingga banyak dari orang-orang awam tersebut yang kemudian mengkafirkan orang-

orang Islam dari para ahli tauhid” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 66).

Dalam kitab tersebut kemudian Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:

“Banyak sekali dari guru-guru Muhammad ibn Abdil Wahhab ketika di Madinah mengatakan bahwa dia

akan menjadi orang yang sesat, dan akan banyak orang yang akan sesat karenanya. Mereka adalah

orang-orang yang di hinakan oleh Allah dan dijauhkan dari rahmat-Nya. Dan kemudian apa yang

dikhawatirkan oleh guru-gurunya tersebut menjadi kenyataan.

Muhammad ibn Abdil Wahhab sendiri mengaku bahwa ajaran yang ia serukannya ini adalah sebagai

pemurnian tauhid dan untuk membebaskan dari syirik. Dalam keyakinannya bahwa sudah sekitar

enam ratus tahun ke belakang dari masanya seluruh manusia ini telah jatuh dalam syirik dan kufur. Ia

mengaku bahwa dirinya datang untuk memperbaharui agama mereka. Ayat-ayat al-Qur’an yang turun

tentang orang-orang musyrik ia berlakukan bagi orang-orang Islam ahli tauhid. Seperti firman Allah:

“Dan siapakah yang lebih sesat dari orang yang berdoa kepada selain Allah; ia meminta kepada yang

tidak akan pernah mengabulkan baginya hingga hari kiamat, dan mereka yang dipinta itu lalai

terhadap orang-orang yang memintanya” (QS. al-Ahqaf: 5), dan firman-Nya: “Dan janganlah engkau

berdoa kepada selain Allah terhadap apa yang tidak memberikan manfa’at bagimu dan yang tidak

memberikan bahaya bagimu, jika bila engkau melakukan itu maka engkau termasuk orang-orang

yang zhalim” (QS. Yunus: 106), juga firman-Nya: ”Dan mereka yang berdoa kepada selain Allah sama

sekali tidak mengabulkan suatu apapun bagi mereka” (QS. al-Ra’ad: 1), serta berbagai ayat lainnya.

Muhammad ibn Abdil Wahhab mengatakan bahwa siapa yang meminta pertolongan kepada Rasulullah

atau para nabi lainnya, atau kepada para wali Allah dan orang-orang saleh, atau memanggil mereka,

atau juga meminta syafa’at kepada mereka maka yang melakukan itu semua sama dengan orang-

orang musyrik, dan menurutnya masuk dalam pengertian ayat-ayat di atas. Ia juga mengatakan

246
bahwa ziarah ke makam Rasulullah atau para nabi lainnya, atau para wali Allah dan orang-orang saleh

untuk tujuan mencari berkah maka sama dengan orang-orang musyrik di atas.

Dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang perkataan orang-orang musyrik saat mereka menyembah

berhala: “Tidaklah kami menyembah mereka -berhala-berhala- kecuali untuk mendekatkan diri

kepada Allah” (QS. al-Zumar: 3), menurut Muhammad ibn Abdil Wahhab bahwa orang-orang yang

melakukan tawassul sama saja dengan orang-orang musyrik para penyembah berhala yang

mengatakan tidaklah kami menyembah berhala-berhala tersebut kecuali untuk mendekatkan diri

kepada Allah” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 67).

Pada halaman selanjutnya Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:

“Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah ibn Umar dari Rasulullah dalam menggambarkan sifat-

sifat orang Khawarij bahwa mereka mengutip ayat-ayat yang turun tentang orang-orang kafir dan

memberlakukannya bagi orang-orang mukmin.

Dalam Hadits lain dari riwayat Abdullah ibn Umar pula bahwa Rasulullah telah bersabda: “Hal yang

paling aku takutkan di antara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah seseorang yang

membuat-buat takwil al-Qur’an, ia meletakan -ayat-ayat al-Qur’an tersebut- bukan pada tempatnya”.

Dua riwayat Hadits ini benar-benar telah terjadi pada kelompok Wahhabiyyah ini” (al-Futûhat al-

Islâmiyyah, j. 2, h. 68).

Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan masih dalam buku tersebut menuliskan pula:

“Di antara yang telah menulis karya bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab adalah salah

seorang guru terkemukanya sendiri, yaitu Syekh Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, penulis kitab

Hâsyiah Syarh Ibn Hajar Alâ Matn Bâ Fadlal. Di antara tulisan dalam karyanya tersebut Syekh

Sulaiman mengatakan: Wahai Ibn Abdil Wahhab, saya menasehatimu untuk menghentikan cacianmu

terhadap orang-orag Islam” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 69).

Masih dalam kitab yang sama Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan juga menuliskan:

“Mereka (kaum Wahhabiyyah) malarang membacakan shalawat atas Rasulullah setelah

dikumandangkan adzan di atas menara-menara. Bahkan disebutkan ada seorang yang saleh yang

tidak memiliki penglihatan, beliau seorang pengumandang adzan. Suatu ketika setelah

mengumandangkan adzan ia membacakan shalawat atas Rasulullah, ini setelah adanya larangan dari

kaum Wahhabiyyah untuk itu. Orang saleh buta ini kemudian mereka bawa ke hadapan Muhammad

ibn Abdil Wahhab, selanjutnya ia memerintahkan untuk dibunuh. Jika saya ungkapkan bagimu seluruh

247
apa yang diperbuat oleh kaum Wahhabiyyah ini maka banyak jilid dan kertas dibutuhkan untuk itu,

namun setidaknya sekedar inipun cukup” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 77).

Di antara bukti kebenaran apa yang telah ditulis oleh Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dalam

pengkafiran kaum Wahhabiyyah terhadap orang yang membacakan shalawat atas Rasulullah setelah

dikumandangkan adzan adalah peristiwa yang terjadi di Damaskus Siria (Syam). Suatu ketika

pengumandang adzan masjid Jami’ al-Daqqaq membacakan shalawat atas Rasulullah setelah adzan,

sebagaimana kebiasaan di wilayah itu, ia berkata: “as-Shalât Wa as-Salâm ‘Alayka Ya Rasûlallâh…!”,

dengan nada yang keras. Tiba-tiba seorang Wahhabi yang sedang berada di pelataran masjid

berteriak dengan keras: “Itu perbuatan haram, itu sama saja dengan orang yang mengawini ibunya

sendiri…”. Kemudian terjadi pertengkaran antara beberapa orang Wahhabi dengan orang-orang

Ahlussunnah, hingga orang Wahhabi tersebut dipukuli. Akhirnya perkara ini dibawa ke mufti

Damaskus saat itu, yaitu Syekh Abu al-Yusr Abidin. Kemudian mufti Damaskus ini memanggil

pimpinan kaum Wahhabiyyah, yaitu Nashiruddin al-Albani, dan membuat perjanjian dengannya untuk

tidak menyebarkan ajaran Wahhabi. Syekh Abu al-Yusr mengancamnya bahwa jika ia terus

mengajarkan ajaran Wahhabi maka ia akan dideportasi dari Siria.

Kemudian Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:

“Muhammad ibn Abdil Wahhab, perintis berbagai gerakan bid’ah ini, sering menyampaikan khutbah

jum’at di masjid ad-Dar’iyyah. Dalam seluruh khutbahnya ia selalu mengatakan bahwa siapapun yang

bertawassul dengan Rasulullah maka ia telah menjadi kafir. Sementara itu saudaranya sendiri, yaitu

Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab adalah seorang ahli ilmu. Dalam berbagai kesempatan, saudaranya

ini selalu mengingkari Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam apa yang dia lakukan, ucapakan dan

segala apa yang ia perintahkan. Sedikitpun, Syekh Sulaiman ini tidak pernah mengikuti berbagai

bid’ah yang diserukan olehnya.

Suatu hari Syekh Sulaiman berkata kepadanya: “Wahai Muhammad Berapakah rukun Islam?”

Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: “Lima”. Syekh Sulaiman berkata: “Engkau telah

menjadikannya enam, dengan menambahkan bahwa orang yang tidak mau mengikutimu engkau

anggap bukan seorang muslim”.

Suatu hari ada seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab: “Berapa banyak orang yang

Allah merdekakan (dari neraka) di setiap malam Ramadlan? Ia menjawab: “Setiap malam Ramadlan

Allah memerdekakan seratus ribu orang, dan di akhir malam Allah memerdekakan sejumlah orang

yang dimerdekakan dalam sebulan penuh”. Tiba-tiba orang tersebut berkata: “Seluruh orang yang

248
mengikutimu jumlah mereka tidak sampai sepersepuluh dari sepersepuluh jumlah yang telah engkau

sebutkan, lantas siapakah orang-orang Islam yang dimerdekakan Allah tersebut?! Padahal menurutmu

orang-orang Islam itu hanyalah mereka yang mengikutimu”. Muhammad ibn Abdil Wahhab terdiam

tidak memiliki jawaban.

Ketika perselisihan antara Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan saudaranya; Syekh Sulaiman

semakin memanas, saudaranya ini akhirnya khawatir terhadap dirinya sendiri. Karena bisa saja

Muhammad ibn Abdil Wahhab sewaktu-waktu menyuruh seseorang untuk membunuhnya. Akhirnya ia

hijrah ke Madinah, kemudian menulis karya sebagai bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab

yang kemudian ia kirimkan kepadanya.

Namun, Muhammad ibn Abdil Wahhab tetap tidak bergeming dalam pendirian sesatnya. Demikian

pula banyak para ulama madzhab Hanbali yang telah menulis berbagai risalah bantahan terhadap

Muhammad ibn Abdil Wahhab yang mereka kirimkan kepadanya. Namun tetap Muhammad ibn Abdil

Wahhab tidak berubah sedikitpun.

Suatu ketika, salah seorang kepala sautu kabilah yang cukup memiliki kekuatan hingga hingga

Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak dapat menguasainya berkata kepadanya: ”Bagaimana sikapmu

jika ada seorang yang engkau kenal sebagai orang yang jujur, amanah, dan memiliki ilmu agama

berkata kepadamu bahwa di belakang suatu gunung terdapat banyak orang yang hendak menyerbu

dan membunuhmu, lalu engkau kirimkan seribu pasukan berkuda untuk mendaki gunung itu dan

melihat orang-orang yang hendak membunuhmu tersebut, tapi ternyata mereka tidak mendapati satu

orangpun di balik gunung tersebut, apakah engkau akan membenarkan perkataan yang seribu orang

tersebut atau satu orang tadi yang engkau anggap jujur?” Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab:

”Saya akan membenarkan yang seribu orang”. Kemudian kepada kabilah tersebut berkata:

”Sesungguhnya para ulama Islam, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dalam

karya-karya mereka telah mendustakan ajaran yang engkau bawa, mereka mengungkapkan bahwa

ajaran yang engkau bawa adalah sesat, karena itu kami mengikuti para ulama yang banyak tersebut

dalam menyesatkan kamu”. Saat itu Muhammad ibn Abdil Wahhab sama sekali tidak berkata-kata.

Terjadi pula peristiwa, suatu saat seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab: ”Ajaran

agama yang engkau bawa ini apakah ini bersambung (hingga Rasulullah) atau terputus?”. Muhammad

ibn Abdil Wahhab menjawab: ”Seluruh guru-guruku, bahkan guru-guru mereka hingga enam ratus

tahun lalu, semua mereka adalah orang-orang musyrik”. Orang tadi kemudian berkata: ”Jika demikian

ajaran yang engkau bawa ini terputus! Lantas dari manakah engkau mendapatkannya?” Ia menjawab:

”Apa yang aku serukan ini adalah wahyu ilham seperti Nabi Khadlir”. Kemudian orang tersebut

249
berkata: ”Jika demikian berarti tidak hanya kamu yang dapat wahyu ilham, setiap orang bisa

mengaku bahwa dirinya telah mendapatkan wahyu ilham. Sesungguhnya melakukan tawassul itu

adalah perkara yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah, bahkan dalam hal ini Ibn Taimiyah

memiliki dua pendapat, ia sama sekali tidak mengatakan bahwa orang yang melakukan tawassul telah

menjadi kafir” (ad-Durar as-Saniyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, h. 42-43).

Yang dimaksud oleh Muhammad ibn Abdil Wahhab bahwa orang-orang terdahulu dalam keadaan syirik

hingga enam ratus tahun ke belakang dari masanya ialah hingga tahun masa hidup Ibn Taimiyah,

yaitu hingga sekitar abad tujuh dan delapan hijriyah ke belakang. Menurut Muhammad ibn Abdil

Wahhab dalam rentang masa antara hidup Ibn Taimiyah, yaitu di abad tujuh dan delapan hijriyah

dengan masa hidupnya sendiri yaitu pada abad dua belas hijriyah, semua orang di dalam masa

tersebut adalah orang-orang musyrik. Ia memandang dirinya sendiri sebagai orang yang datang untuk

memperbaharui tauhid. Dan ia menganggap bahwa hanya Ibn Taimiyah yang selaras dengan jalan

dakwah dirinya. Menurutnya, Ibn Taimiyah di masanya adalah satu-satunya orang yang menyeru

kepada Islam dan tauhid di mana saat itu Islam dan tauhid tersebut telah punah. Lalu ia mengangap

bahwa hingga datang abad dua belas hijriyah, hanya dirinya seorang saja yang melanjutkan dakwah

Ibn Taimiyah tersebut. Klaim Muhammad ibn Abdil Wahhab ini sungguh sangat sangat aneh,

bagaimana ia dengan sangat berani mengakafirkan mayoritas umat Islam Ahlussunnah yang

jumlahnya ratusan juta, sementara ia menganggap bahwa hanya pengikutnya sendiri yang benar-

benar dalam Islam?! Padahal jumalah mereka di masanya hanya sekitar seratus ribu orang. Kemudian

di Najd sendiri, yang merupakan basis gerakannya saat itu, mayoritas penduduk wilayah tersebut di

masa hidup Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak mengikuti ajaran dan faham-fahamnya. Hanya saja

memang saat itu banyak orang di wilayah tersebut takut terhadap dirinya, oleh karena prilakunya

yang tanpa segan membunuh orang-orang yang tidak mau mengikuti ajakannya.

Perilaku jahat Muhammad ibn Abdil Wahhab ini sebagaimana diungkapkan oleh al-Amir ash-Shan’ani,

penulis kitab Subul as-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm.

Pada awalnya, ash-Shan’ani memuji-muji dakwah Muhammad ibn Abdil Wahhab, namun setelah ia

mengetahui hakekat siapa Muhammad ibn Abdil Wahhab, ia kemudian berbalik mengingkarinya.

Sebelum mengetahui siapa hakekat Muhammad ibn Abdil Wahhab, ash-Shan’ani memujinya dengan

menuliskan beberapa sya’ir, yang pada awal bait sya’ir-sya’ir tersebut ia mengatakan:

‫إن كَانَ تَ ْس ِليْمِ ْي َعلَى البُ ْع ِد الَ يجْ دِي‬


ْ ‫سالَ ٌم َعلَى نَجْ ٍد َو َم ْن َح ّل فِي نَجْ ِد َو‬
َ

250
“Salam tercurah atas kota Najd dan atas orang-orang yang berada di dalamnya, walaupun salamku

dari kejauhan tidak mencukupi”.

Bait-bait sya’ir tulisan ash-Shan’ani ini disebutkan dalam kumpulan sya’ir-sya’ir (Dîwân) karya ash-

Shan’ani sendiri, dan telah diterbitkan. Secara keseluruhan, bait-bait syair tersebut juga dikutip oleh

as-Syaukani dalam karyanya berjudul al-Badr at-Thâli’, juga dikutip oleh Shiddiq Hasan Khan dalam

karyanya berjudul at-Tâj al-Mukallal, yang oleh karena itu Muhammad ibn Abdil Wahhab mendapatkan

tempat di hati orang-orang yang tidak mengetahui hakekatnya.

Padahal al-Amir ash-Shan’ani setelah mengetahui bahwa perilaku Muhammad ibn Abdil Wahhab selalu

membunuh orang-orang yang tidak sepaham dengannya, merampas harta benda orang lain,

mengkafirkan mayoritas umat Islam, maka ia kemudian meralat segala pujian terhadapnya yang telah

ia tulis dalam bait-bait syairnya terdahulu, yang lalu kemudian balik mengingkarinya. Ash-Shan’ani

kemudian membuat bait-bait sya’ir baru untuk mengingkari apa yang telah ditulisnya terdahulu, di

antaranya sebagai berikut:

‫ف الّذِي عندِي‬ ْ ّ‫َر َج ْعتُ َعن القَول ال‬


ُ َ‫ذي قُلتُ فِي النّجدِي فقَ ْد ص َّح لِي عنهُ خال‬

ِ ‫سى ن َِج ْد ن‬
‫َاص ًحا يَ ْهدي العبَادَ َويست ْهدِي‬ َ ‫ظنَ ْنتُ ب ِه َخي ًْرا فَقُ ْـلتُ َعـ‬
َ ‫سى َعـ‬

‫ـن لل َحقَائِق لِي يهدِي‬ َ ‫الظن الَ خَاب نصـ ُحنا و َمـا ك ّل‬
ٍّ ‫ظ‬ ُّ َ ‫لقَد خ‬
‫َـاب فيْه‬

‫أحـواله ك ّل َما يبـدِي‬


َ ‫مِن‬ْ ‫أرضـه الشيخ مِ رْ بَدُ ف َحقّق‬
ِ ‫وقَـ ْد جـا َءنا من‬

‫سـائل يُكَـفّر أ ْه َل األرْ ض ف ْي َها َعلَى َعم ِد‬ َ ‫وقَـد َجـا َء مِـن تأليــ ِف ِه‬
َ ‫بر‬

ِ ‫ت الع ْنكَبو‬
‫ت لدَى النّق ِد‬ ِ ‫ولـفق فِـي تَ ْكـف‬
ِ ‫ِيره ْم كل ُحــ ّج ٍة ت ََراهـا ك َبي‬

“Aku ralat ucapanku yang telah aku ucapkan tentang seorang yang berasal dari Najd, sekarang aku

telah mengetahui kebenaran yang berbeda dengan sebelumnya”.

“Dahulu aku berbaik sangka baginya, dahulu aku berkata: Semoga kita mendapati dirinya sebagi

seorang pemberi nasehat dan pemeberi petunjuk bagi orang banyak”

“Ternyata prasangka baik kita tentangnya adalah kehampaan belaka. Namun demikian bukan berarti

nasehat kita juga merupakan kesia-siaan, karena sesungguhnya setiap prasangka itu didasarkan

kepada ketaidaktahuan akan hakekat-hakekat”.

“Telah datang kepada kami “Syekh” ini dari tanah asalnya. Dan telah menjadi jelas bagi kami dengan

sejelas-jelasnya tentang segala hakekat keadaannya dalam apa yang ia tampakkan”.

“Telah datang dalam beberapa tulisan risalah yang telah ia tuliskan, dengan sengaja di dalamnya ia

mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi, -selain pengikutnya sendiri-”.

“Seluruh dalil yang mereka jadikan landasan dalam mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi

251
tersebut jika dibantah maka landasan mereka tersebut laksana sarang laba-laba yang tidak memiliki

kekuatan”.

Selain bait-bait sya’ir di atas terdapat lanjutannya yang cukup panjang, dan ash-Shan’ani sendiri telah

menuliskan penjelasan (syarh) bagi bait-bait syair tersebut. Itu semua ditulis oleh ash-Shan’ani hanya

untuk membuka hekekat Muhammad ibn Abdil Wahhab sekaligus membantah berbagai sikap ekstrim

dan ajaran-ajarannya. Kitab karya al-Amir ash-Shan’ani ini beliau namakan dengan judul “Irsyâd

Dzawî al-Albâb Ilâ Haqîqat Aqwâl Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.

Saudara kandung Muhammad ibn Abdil Wahhab yang telah kita sebutkan di atas, yaitu Syekh

Sulaiman ibn Abdil Wahhab, juga telah menuliskan karya bantahan kepadanya. Beliau namakan

karyanya tersebut dengan judul ash-Shawâ-iq al-Ilâhiyyah Fî al-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, dan buku

ini telah dicetak.

Kemudian terdapat karya lainnya dari Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab, yang juga merupakan

bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab dan para pengikutnya, berjudul “Fashl al-Khithâb Fî

ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.

Kemudian pula salah seorang mufti madzhab Hanbali di Mekah pada masanya, yaitu Syekh

Muhammad ibn Abdullah ibn Humaid an-Najdi al-Hanbali, wafat tahun 1295 hijriyah, telah menulis

sebuah karya berjudul “as-Suhub al-Wâbilah ‘Alâ Dlarâ-ih al-Hanâbilah”. Kitab ini berisi penyebutan

biografi ringkas setiap tokoh terkemuka di kalangan madzhab Hanbali. Tidak sedikitpun nama

Muhammad ibn Abdil Wahhab disebutkan dalam kitab tersebut sebagai orang yang berada di jajaran

tokoh-tokoh madzhab Hanbali tersebut.

Sebaliknya, nama Muhammad ibn Abdil Wahhab ditulis dengan sangat buruk, namanya disinggung

dalam penyebutan nama ayahnya; yaitu Syekh Abdul Wahhab ibn Sulaiman. Dalam penulisan biografi

ayahnya ini Syekh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi mengatakan sebagai berikut:

“Dia (Abdul Wahhab ibn Sulaiman) adalah ayah kandung dari Muhammad yang ajaran sesatnya telah

menyebar ke berbagai belahan bumi. Antara ayah dan anak ini memiliki perbedaan faham yang

sangat jauh, dan Muhammad ini baru menampakan secara terang-terangan terhadap segala faham

dan ajaran-ajarannya setelah kematian ayahnya. Aku telah diberitahukan langsung oleh beberapa

orang dari sebagian ulama dari beberapa orag yang hidup semasa dengan Syekh Abdul Wahhab,

bahwa ia sangat murka kepada anaknya; Muhammad. Karena Muhammad ini tidak mau mempelajari

ilmu fiqih (dan ilmu-ilmu agama lainnya) seperti orang-orang pendahulunya. Ayahnya ini juga

mempunyai firasat bahwa pada diri Muhammad akan terjadi kesesatan yang sanat besar. Kepada

252
banyak orang Syekh Abdul Wahhab selalu mengingatkan: ”Kalian akan melihat dari Muhammad ini

suatu kejahatan…”. Dan ternyata memang Allah telah mentaqdirkan apa yang telah menjadi firasat

Syekh Abdul Wahhab ini.

Demikian pula dengan saudara kandungnya, yaitu Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab, ia sangat

mengingkari sepak terjang Muhammad. Ia banyak membantah saudaranya tersebut dengan berbagai

dalil dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits, karena Muhammad tidak mau menerima apapun

kecuali hanya al-Qur’an dan Hadits saja. Muhammad sama sekali tidak menghiraukan apapun yang

dinyatakan oleh para ulama, baik ulama terdahulu atau yang semasa dengannya. Yang ia terima

hanya perkataan Ibn Taimiyah dan muridnya; Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Apapun yang dinyatakan

oleh dua orang ini, ia pandang laksana teks yang tidak dapat diganggu gugat. Kepada banyak orang ia

selalu mempropagandakan pendapat-pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim, sekalipun terkadang

dengan pemahaman yang sama sekali tidak dimaksud oleh keduanya.

****** akhir kutipan ******

Syekh Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi berkata dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala

Dharaih al-Hanabilah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai

berikut:

ِ ‫الر ِدّ َعلىَ ُم َح َّم ِد ب ِْن َع ْب ِد ْال َوهَّا‬


‫ب‬ َّ ‫ب فِي‬ ِ ‫طا‬ َ ِ‫ص ُل ْالخ‬ ْ َ‫ش ْي ُخ سُلَ ْي َمانُ َردَّهُ َعلَ ْي ِه ( ف‬ َّ ‫س َّمى ال‬ ِ َ ‫سلَ ْي َمانُ أَخ ُْو ُم َح َّم ٍد كَانَ ُمنَافِيًا لَهُ ف ِْي دَع َْوتِ ِه َو َردَّ َعلَ ْي ِه َردًّا َجيِّداًبِاْآلَيا‬
َ ‫ت َواْآلَثا َ ِر َو‬ ُ ُ‫َو َكذَلِكَ ا ْبنُه‬
‫ت اْألَبَا ِعدَ فَإِنَّهُ كَانَ ِإذَا بَايَنَهُ أَ َحدٌ َو َردَّ َعلَ ْي ِه َولَ ْم يَ ْق ِدرْ َعلَى قَتْ ِل ِه ُم َجاه ََرةًيُرْ ِس ُل ِإلَ ْي ِه َم ْن يَ ْغتَالُهُ فِ ْي ف َِرا ِش ِه أَ ْو فِي‬ِ َ‫ص ْولَ ِة ْال َهائِلَ ِة الَّتِيْأَرْ َعب‬
َّ ‫سلَّ َمهُ هللاُ مِ ْن ش ِ َّر ِه َو َم ْك ِر ِه َم َع ت ِْلكَ ال‬
َ ‫) َو‬
٢٧٥ ،‫ السحب الوابلة على ضرائح الحنابلة‬،‫ اهـ (ابن حميد النجدي‬.ِ‫ق لَ ْيالً ِلقَ ْو ِل ِه بِتَ ْك ِفي ِْر َم ْن خَالَفَ ُه َوا ْستِحْ الَ ِل قَتْ ِله‬ ِ ‫)الس ُّْو‬.
“Demikian pula putra beliau, Syaikh Sulaiman (kakak Muhammad bin Abdul Wahhab), juga
menentang terhadap dakwahnya dan membantahnya dengan bantahan yang baik berdasarkan ayat-
ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Syaikh Sulaiman menamakan
bantahannya dengan judul Fashl al-Khithab fi al-Radd ‘ala Muhammad bin Abdul Wahhab. Allah telah
menyelamatkan Syaikh Sulaiman dari keburukan dan tipu daya adiknya meskipun ia sering melakukan
serangan besar yang mengerikan terhadap orang-orang yang jauh darinya. Karena setiap ada orang
yang menentangnya, dan membantahnya, lalu ia tidak mampu membunuhnya secara terang-
terangan, maka ia akan mengirim orang yang akan menculik dari tempat tidurnya atau di pasar pada
malam hari karena pendapatnya yang mengkafirkan dan menghalalkan membunuh orang yang
menyelisihinya.” (as-Suhub al-Wâbilah Ala Dlara-ih al-Hanbilah, h. 275).

Pada halaman yang sama, disebutkan bahwa di suatu wilayah terdapat seorang gila yang memiliki

kebiasaan membunuh siapapun yang ada di hadapannya. Kemudian Muhammad memerintahkan

orang-orangnya untuk memasukkan orang gila tersebut dengan pedang ditangannya ke masjid di saat

Syekh Sulaiman sedang sendiri di sana. Ketika orang gila itu dimasukan, Syekh Sulaiman hanya

melihat kepadanya, dan tiba-tiba orang gila tersebut sangat ketakutan darinya. Kemudian orang gila

tersebut langsung melemparkankan pedangnya, sambil berkata: ”Wahai Sulaiman janganlah engkau

takut, sesungguhnya engkau adalah termasuk orang-orang yang aman”. Orang gila itu mengulang-

253
ulang kata-katanya tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini jelas merupakan karamah” (as-Suhub

al-Wâbilah Ala Dlara-ih al-Hanbilah, h. 275).

Dari kalangan ulama madzhab al-Maliki, Al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki, ulama

terkemuka abad 12 Hijriah dan semasa dengan pendiri Wahhabi, berkata dalam Hasyiyah ‘ala Tafsir

al-Jalalain sebagai berikut:

ِ ‫ض ْالحِ َج‬
‫از يُقَا ُل‬ َ َ‫سنَّ ِة َويَ ْستَحِ لُّ ْونَ بِذَلِكَ ِد َما َء ْال ُم ْسلِمِ يْنَ َوأَ ْم َوالَ ُه ْم َك َما ه َُو ُمشَا َهدٌ اْآلَنَ ف ِْي ن‬
ِ ْ‫ظائ ِِر ِه ْم َو ُه ْم فِرْ قَةٌ بِأَر‬ ِ ‫ج الَّ ِذيْنَ يُ َح ِ ّرفُ ْونَ تَأ ْ ِو ْي َل ْال ِكتَا‬
ُّ ‫ب َوال‬ ِ ‫َه ِذ ِه اْآلَيَةُ نَزَ لَتْ فِي ْالخ ََو‬
ِ ‫ار‬
٣٠٧/٣ ،‫ (حاشية الصاوي على تفسير الجاللين‬. َ‫َيءٍ أَالَ إِنَّ ُه ْم ُه ُم ْالكَا ِذب ُْون‬ َ ْ‫)لَ ُه ُم ْال َوهَّابِيَّةُ يَح‬.
َ ‫سب ُْونَ أَنَّ ُه ْم َع‬
ْ ‫لى ش‬

“Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij, yaitu mereka yang mendistorsi penafsiran al-Qur’an

dan Sunnah, dan oleh sebab itu mereka menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin

sebagaimana yang terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu kelompok di negeri Hijaz yang

disebut dengan aliran Wahhabiyah, mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh sesuatu

(manfaat), padahal merekalah orang-orang pendusta.” (Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, juz

3, hal. 307).

Dari kalangan ulama madzhab Hanafi, al-Imam Muhammad Amin Afandi yang populer dengan sebutan

Ibn Abidin, juga berkata dalam kitabnya, Hasyiyah Radd al-Muhtar sebagai berikut:

“ َ‫ب الَّ ِذيْنَ خ ََر ُج ْوا مِ ْن نَجْ ٍد َوتَغَلَّب ُْوا َعلَى ْال َح َر َمي ِْن َوكَان ُْوايَ ْنتَحِ لُ ْون‬
ِ ‫ َك َما َوقَ َع ف ِْي زَ َمانِنَاف ِْي أَتْبَاعِ ا ْب ِن َع ْب ِد ْال َوهَّا‬: ‫ج ف ِْي زَ َمانِنَا‬ ِ ‫ب ْالخ ََو‬ ْ ‫َم‬
ِ ‫ط َلبٌ فِي أَتْبَاعِ ُم َح َّم ِد ب ِْن َع ْب ِد ْال َوهَّا‬
ِ ‫ار‬
َ ‫ب بِالَدَ ُه ْم َو‬
‫ظف َِر‬ َ ‫علَ َمائِ ِه ْم َحتَى َك‬
َ ‫س َر الل ُهش َْو َكتَ ُه ْم َوخ ََر‬ ُّ ‫َب ْال َحنَابِلَ ِة لَ ِكنَّ ُه ْم اِ ْعتَقَد ُْوا أَنَّ ُه ْم ُه ُم ْال ُم ْس ِل ُم ْونَ َوأَ َّن َم ْن خَالَفَا ْعتِقَادَ ُه ْم ُم ْش ِر ُك ْونَ َوا ْستَبَا ُح ْوا بِذَلِكَ قَتْ َل أَ ْه ِل ال‬
ُ ‫سنَّ ِة َوقَتْ َل‬ َ ‫َم ْذه‬

٢٦٢/٤ ،‫ حاشية رد المحتار‬،‫” اهـ (ابن عابدين‬. ٍ‫ث َوثَالَثِيْنَ َومِ ائَتَ ْين َِوأَ ْلف‬ َ ‫ساك ُِر ْال ُم ْسلِمِ يْنَ َع‬
ٍ َ‫ام ثَال‬ َ ‫)بِ ِه ْم َع‬.

“Keterangan tentang pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, kaum Khawarij pada masa kita.

Sebagaimana terjadi pada masa kita, pada pengikut Ibn Abdil Wahhab yang keluar dari Najd dan

berupaya keras menguasai dua tanah suci. Mereka mengikuti madzhab Hanabilah. Akan tetapi mereka

meyakini bahwa mereka saja kaum Muslimin, sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan

mereka adalah orang-orang musyrik. Dan oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh

Ahlussunnah dan para ulamanya sampai akhirnya Allah memecah kekuatan mereka, merusak negeri

mereka dan dikuasai oleh tentara kaum Muslimin pada tahun 1233 H.” (Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al-

Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, juz 4, hal. 262).

Sebaik-baiknya orang yang wafat karena dibunuh adalah orang yang dibunuh oleh kaum khawarij

sedangkan seburuk-buruknya orang terbunuh adalah anjing-anjing neraka alias kaum khawarij

Dari Abi Ghalib rahimahullah berkata: “Abu Umamah radiyallahu ‘anhu melihat kepala-kepala manusia

(kaum khawarij) ditancapkan ditangga masjid Damaskus. Maka Abu Umamah radiyallahu ‘anhu

254
berkata: Mereka adalah anjing-anjing neraka, seburuk-buruk orang yang terbunuh di kolong langit,

dan sebaik-baik orang yang dibunuh adalah orang yang mereka bunuh, kemudian membaca ayat

(pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berserih, dan ada pula muka yang hitam buram) QS

Ali Imran [3]:106, Aku berkata kepada Abu Umamah radiyallahu ‘anhu. Apakah kamu mendengarnya

dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam? Beliau berkata, tidaklah saya mendengar kecuali sekali,

dua kali tiga kali, empat kali, lima kali, enam kali, tujuh kali maka saya tidak mungkin mengabarkan

hadits ini kepada kalian”. (Shahih Tirmidzi:3199).

Kaum khawarij adalah orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni

orang-orang yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham)

Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.

Khawarij adalah orang-orang yang menyalahkan umat Islam lainnya yang tidak sepaham

(sependapat) dengan mereka.

Oleh karena mereka salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mengkafirkan umat Islam

yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka dan berujung menghalalkan darah atau membunuh

umat Islam yang yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka.

Salah satu ciri khas orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah atau kaum khawarij , orang-orang yang

membaca Al Qur’an tidak melampaui tenggorokannya (tidak mempegaruhi hatinya) karena salah

paham sehingga berakhlak buruk adalah suka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-

orang kafir untuk menyerang kaum muslim

Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-

ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang

beriman”.[Lihat: kitab Sahih Bukhari jilid:4 halaman:197]

Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah, penduduk Najed bani Tamim atau kaum khawarij disebut oleh

Rasulullah dengan kata kiasan “orang-orang muda” yakni orang-orang yang belum memahami agama

dengan baik, mereka seringkali mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, tapi itu semua

dipergunakan untuk menyesatkan, atau bahkan untuk mengkafirkan orang-orang yang berada di luar

kelompok mereka. Padahal kualitas iman mereka sedikitpun tidak melampaui kerongkongan mereka.

Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Al

A’masy dari Khaitsamah dari Suwaid bin Ghafalah berkata, ‘Ali radliallahu ‘anhu berkata; Sungguh,

aku terjatuh dari langit lebih aku sukai dari pada berbohong atas nama beliau shallallahu ‘alaihi

255
wasallam dan jika aku sampaikan kepada kalian tentang urusan antara aku dan kalian, (ketahuilah)

bahwa perang itu tipu daya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda:

Akan datang di akhir zaman orang-orang muda dalam pemahaman (lemah pemahaman atau sering

salah pahaman). Mereka berbicara dengan ucapan manusia terbaik (Khairi Qaulil Bariyyah,

maksudnya suka berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits)) namun mereka keluar dari agama bagaikan

anak panah melesat keluar dari target buruan yang sudah dikenainya. Iman mereka tidak sampai ke

tenggorokan mereka. (HR Bukhari 3342)

Dalam syarah Shahih Muslim, Jilid. 17, No.171 diriwayatkan Khalid bin Walīd ra bertanya kepada

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah penduduk Najed

dari bani Tamim yang menampakkan amalnya namun berakhlak buruk dengan pertanyaan,

“Wahai Rasulullah, orang ini memiliki semua bekas dari ibadah-ibadah sunnahnya: matanya merah

karena banyak menangis, wajahnya memiliki dua garis di atas pipinya bekas airmata yang selalu

mengalir, kakinya bengkak karena lama berdiri sepanjang malam (tahajjud) dan janggut mereka pun

lebat”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab : camkan makna ayat ini : qul in’kuntum

tuhib’būnallāh fattabi’unī – Katakanlah: “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah

mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Khalid bin Walid bertanya, “Bagaimana caranya ya Rasulullah ? ”

Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Jadilah orang yang ramah seperti aku, bersikaplah penuh

kasih, cintai orang-orang miskin dan papa, bersikaplah lemah-lembut, penuh perhatian dan cintai

saudara-saudaramu dan jadilah pelindung bagi mereka.”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegaskan bahwa ketaatan yang dilakukan oleh orang-orang

seperti Dzul Khuwaisarah at Tamimi an Najdi tidaklah cukup jika tidak menimbulkan ke-sholeh-an

seperti bersikap ramah, penuh kasih, mencintai orang-orang miskin dan papa, lemah lembut penuh

perhatian dan mencintai saudara muslim dan menjadi pelindung bagi mereka.

Indikator atau ciri-ciri atau tanda-tanda orang yang mencintai Allah dan dicintai oleh Allah adalah

1. Bersikap lemah lembut terhadap sesama muslim

2. Bersikap keras (tegas / berpendirian) terhadap orang-orang kafir

3. Berjihad di jalan Allah, bergembira dalam menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya

4. Tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela

256
Allah Azza wa Jalla telah berfirman bahwa jika telah bermunculan orang-orang yang murtad dari

agamanya seperti melesatnya anak panah dari busurnya yakni bermunculan orang-orang yang

membunuh orang-orang Islam yang dituduh kafir, dituduh bukan Islam, dituduh berhukum dengan

hukum thaghut , dituduh musyrik menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir

namun mereka membiarkan atau bahkan bekerjasama dengan kaum yang dimurkai Allah yakni para

penyembah berhala yang sudah jelas kemusyrikannya maka hijrahlah atau ikutilah (merujuklah)

kepada para ulama Allah yakni suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun

mencintaiNya sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/20/ulama-allah/

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang

murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai

mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min,

yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut

kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang

dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah

[5]:54)

Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , ‘Allah akan

mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah”. Bersabda Nabi shallallahu

alaihi wasallam : mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-orang Yaman’.

Dari Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul

menjawab, ‘Mereka adalah ahlu Yaman dari suku Kindah, Sukun dan Tajib’.

Ibnu Jarir meriwayatkan, ketika dibacakan tentang ayat tersebut di depan Rasulullah shallallahu alaihi

wasallam, beliau berkata, ‘Kaummu wahai Abu Musa, orang-orang Yaman’.

Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-

Maidah, Umar berkata, ‘Saya dan kaum saya wahai Rasulullah’. Rasul menjawab, ‘Bukan, tetapi ini

untuk dia dan kaumnya, yakni Abu Musa al-Asy’ari’.

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani telah meriwayatkan suatu hadits dalam kitabnya berjudul Fath al-

Bari, dari Jabir bin Math’am dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, ‘Wahai ahlu Yaman

kamu mempunyai derajat yang tinggi. Mereka seperti awan dan merekalah sebaik-baiknya manusia di

muka bumi’

257
Dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Suyuthi meriwayatkan hadits dari Salmah bin Nufail, ‘Sesungguhnya

aku menemukan nafas al-Rahman dari sini’. Dengan isyarat yang menunjuk ke negeri Yaman”. Masih

dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Sayuthi meriwayatkan hadits marfu’ dari Amru ibnu Usbah , berkata

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ‘Sebaik-baiknya lelaki, lelaki ahlu Yaman‘.

Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang mencintai orang-

orang Yaman berarti telah mencintaiku, siapa yang membenci mereka berarti telah membenciku”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa ahlul Yaman adalah orang-orang

yang mudah menerima kebenaran, mudah terbuka mata hatinya (ain bashiroh) dan banyak

dikaruniakan hikmah (pemahaman yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaimana Ulil Albab

Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu’aib Telah

menceritakan kepada kami Abu Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi

shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah orang-

orang yang berperasaan dan hatinya paling lembut, kefaqihan dari Yaman, hikmah ada pada orang

Yaman.” (HR Bukhari 4039)

Dan telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah

menceritakan kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami

bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi

wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut

hatinya. Fiqh ada pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)

Dari Abi Hurairah (radiyallahu ‘anhu) dari Nabi (Shalallahu ‘alaihi wassallam) beliau bersabda : “Telah

datang kepada kalian Ahlul Yaman, mereka orang yang lemah lembut hatinya, Iman itu di negara

Yaman, dan hikmah di negara Yaman dan fiqih (ilmu) itu di negara Yaman,”. (Muttafaqun ‘alaih).

Berkata para Ulama’ tentang arti hadits di atas :

Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hanbali (Rahimahullah Ta’ala) telah menggambarkan Ahlul Yaman, berkata

(rahimahullah) : “Mereka orang-orang yang sedikit berbicara akan tetapi banyak beramal, oleh karena

mereka orang-orang yang beriman, dan diantara arti Iman adalah beramal”.

Berkata As-Safaarini (Rahimahullah Ta’ala) : “Dan yang dimaksud bahwa Nabi (Shalallahu ‘alaihi

wassalam) menyifatkan hati-hati mereka (orang-orang Yaman) dengan lemah lembut hatinya adalah

bahwa mereka memilki hubungan yang erat untuk membela agama dari segala tipu-daya yang

258
menyesatkan dan dari syahwat (hawa nafsu) yang diharamkan”. [Tsulatsiyaat Musnad Al-Imam

Ahmad (1/698-699)].

Berkata Abu Bakar Ibnul ‘Arabi (Rahimahullah Ta’ala) : “Adapun pujian Ar-Rasul (Shalallahu ‘alaihi

wassalam) untuk negara Yaman karena penduduk negeri tersebut orang-orang yang menolong agama

dan penjaga agama Islam dan yang memberikan perlindungan kepada Ar-Rasul (Salallahu ‘Alaihi Wa

Salam). Adapun arti dari “Al-Hikmah” adalah karena amalan mereka berdasarkan ilmu dan itulah

orang-orang Yaman”. [‘Aridlo Al-Ahwadzi (9/45)]

Para Habib mengikuti sunnah Rasulullah hijrah ke Hadramaut, Yaman.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa jika telah bermunculan fitnah atau

perselisihan atau bahkan pembunuhan terhadap umat la ilaha illallah karena perbedaan pendapat

maka hijrahlah ke Hadramaut, Yaman, bumi para Wali Allah atau ikutilah (merujuklah) kepada

pendapat Ahlul Hadramaut, Yaman.

Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi

shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena

disana banyak terdapat keberkahan’

Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga

keberkahan dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah

ke negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat beribadah’

Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

‘Pergilah kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan

buminya mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangkan pahala yang banyak’

Para Habib atau para ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah hijrah ke Hadramaut,

Yaman adalah dalam rangka berlepas diri dari kaum Naashibah

Naashibah (-Jamaknya : Nawaashib-) adalah kaum yang sering melecehkan (mencaci maki) Sayyidina

Ali bin Abi Thalib dan Ahli Bait Nabi Shallallahu alaihi wasallam lainnya

Para ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah adalah aset umat Islam karena

mereka mendapatkan pengajaran agama Islam dari lisan ke lisan orang tuanya secara turun temurun

tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Orang-orang yang terhasut meninggalkan para Habib karena dianggap atau dituduh syiah

259
Kalau Syiah benar-benar mengikuti ahlul bait maka mereka akan mengikuti Imam Ahmad Al Muhajir

bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal

Abidin bin Sayyidina Husain ra

Imam Ahmad Al Muhajir sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) adalah Syiah Ali

yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat sebagaimana yang telah disampaikan

dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/02/kelompok-awal-islam/

Imam Ahmad Al Muhajir , sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman, beliau menganut madzhab Syafi’i

dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab

Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan

mengikuti ulama-ulama tasawuf muktabaroh yang bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.

Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus

berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena

kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.

Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk

Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan

memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan

kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan

kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan

Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar

Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.

Contohnya mereka meninggalkan bahkan mencekal Prof. Dr. Assayyid Muhammad bin Assayyid Alawi

bin Assayyid Abbas bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki Alasy’ari Assyadzili atau yang

lebih dikenal dengan panggilan Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki

Ayah dan kakek beliau, adalah ketua para khatib dan da’i di kota Makkah. Demikian juga dengan

Abuya, profesi tersebut digeluti yakni sejak tahun 1971 dan harus berakhir pada tahun 1983, saat

beliau dicekal dari kedudukan terhormat itu akibat penerbitan kitabnya yang berjudul; Mafahim Yajibu

an Tushahhhah (Pemahaman-Pemahaman yang Harus Diluruskan), sebuah kitab yang banyak

meluruskan paham yang selama ini diyakini oleh ulama-ulama Wahabi. Paham Wahabi sangat

menguasai keyakinan mayoritas ulama Saudi Arabia dan mempunyai peran pesar dalam

mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.

260
Terjemahan kitab tersebut dapat dibaca

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/12/paham_yang_harus_diluruskan.pdf

Setelah pencekalan beliau dari pengajian umum dan khutbah, beliau mendedikasikan dirinya dalam

pendidikan secara privat kepada ratusan murid-muridnya, dengan penekanan murid-murid dari Asia

Tenggara, di kediaman di jalan Al Maliki di distrik Rushaifah Makkah.

Salah satu guru kami melukiskan pencekalan tersebut menceritakan bahwa waktu itu ada seorang

jama’ah haji dari Indonesia ingin mengunjungi kediamaan Abuya namun karena ia belum mengenal

jalan-jalan di sana dan bertanya kepada seseorang berbekal alamat yang dicatat, orang yang ditanya

tersebut tidak mau memberitahukannya dan tersirat diwajahnya rasa ketakutan padahal tempat yang

dituju tidak jauh dari tempatnya bertanya. Seolah-olah perkara terlarang untuk memberitahukan

tempat Abuya.

Imam Syafi’i ~rahimahullah bersyair, “Wahai Ahlul-Bait Rasulallah, mencintai kalian adalah kewajiban

dari Allah diturunkan dalam al-Quran cukuplah bukti betapa tinggi martabat kalian tiada sholat tanpa

shalawat bagi kalian.”

Jabir ibnu Abdillah berkisah: “Aku melihat Rasulullah dalam haji Wada` pada hari Arafah. Beliau

menyampaikan khutbah dalam keadaan menunggangi untanya yang bernama Al-Qashwa. Aku

mendengar beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia! Sungguh aku telah meninggalkan pada kalian

dua perkara yang bila kalian mengambilnya, maka kalian tidak akan sesat yaitu kitabullah dan ‘itrati

ahlul baitku.” (Hadits diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3786, kitab Al-Manaqib

‘an Rasulillah , bab Manaqib Ahli Baitin Nabi shallallahu alaihi wa sallam)

Abu Said Al-Khudri dan Zaid bin Arqam meriwayatkan, “Sungguh aku meninggalkan pada kalian

perkara yang bila kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan sesat sepeninggalku.

Salah satu dari perkara itu lebih besar daripada perkara yang lainnya, yaitu kitabullah tali Allah yang

terbentang dari langit ke bumi. Dan (perkara lainnya adalah) ‘itrati, yaitu ahlul baitku. Keduanya tidak

akan berpisah hingga keduanya mendatangiku di haudl. Maka lihatlah dan perhatikanlah bagaimana

kalian menjaga dan memperhatikan keduanya sepeninggalku.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya

3/14,17 dan At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3788)

Selain meninggalkan dan mencekal para ulama yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka,

dikabarkan ajaran mereka menghalalkan dan membunuh para ulama yang tidak sepaham

(sependapat) dengan mereka sebagaimana yang dikabarkan pada http://www.nu.or.id/a,public-

261
m,dinamic-s,detail-ids,4-id,57680-lang,id-c,kolom-

t,Tanggapan+atas+Tulisan+KH+Ali+Mustafa+Yaqub+soal+Wahabi+NU-.phpx

***** awal kutipan ******

Perbedaan penting antara Wahhabi dan NU, di antaranya al-Faqir hanya menyebutkan dalam tulisan

ini sebagian saja, yaitu:

Pertama, dakwah Wahhabi mengabsyahkan dan mencontohkan kekerasan dan pembunuhan-

pembunuhan terhadap sesama muslim, dibuktikan dengan dibunuhnya para ulama sunni dari empat

madzhab, tokoh sufi, dan mereka yang tidak sejalan dengan pikiran Wahhabi pada awal pendirian

Wahhabi; dan saat ini unsur-unsur Wahhabi juga terlibat di banyak pergolakan-kekisruhan di seluruh

dunia muslim. Sejarah soal ini bisa dilacak dari kitab-kitab sejarah yang mendokumentasikannya, baik

dari mereka yang membela korban-korban, maupun dari para algojo Wahhabi. Mustahil guru kita ini

tersilap dalam soal ini. Al-Faqir, melihat pembunuhan sesama muslim dan mengabsyahkannya adalah

fundamental, harus dipertimbangkan untuk melihat Wahhabi.

Dalam soal ini, sejarawan Wahhabi, Ibnu Bisyr mengakui dengan terus terang bahwa: “Syaikh

(maksudnya Muhammad bin Abdul Wahhab) memerintahkan untuk melakukan jihad terhadap siapa

saja yang mengingkari tauhid (versi pendiri Wahhabi) (Ibnu Bisyr, `Unwân al-Majd fî Târîkh Najd

(Riyadh: Daratul Malik Abdul Aziz, 1982, I: 48). Dalam praktiknya, jihad kaum Wahhabi dulu itu,

adalah untuk memerangi orang-orang Islam di kalangan berbagai madzhab yang menolak mereka,

memberontak pada pemerintahan Islam. Anehnya Wahhabi bisa bergandengan dengan Amerika dalam

penemuan minyak dan Inggris dalam pendirian Arab Saudi. Di sisi lain, Wahhabi membunuhi sesama

kaum muslimin, yang telah dianggapnya musyrik, pelaku bid’ah, dan sejenisnya, yang sejatinya

adalah para pengikut madzhab empat, kalangan sufi, dan para pecinta ahlul bait Nabi. Di sini

pentingnya melihat Wahhabi juga dari sudut korban, bukan dari pernyataan kitab pendirinya saja.

****** akhir kutipan ******

Dapat pula kita ketahui dari informasi yang didapat secara turun temurun dari keluarga Syaikh

Nawawi Al Bantani sebagaimana yang termuat

pada http://www.facebook.com/photo.php?fbid=220630637981571&set=a.220630511314917.56251.

100001039095629

Berikuti kutipannya :

***** awal kutipan *****

“Pada zaman dahulu di kota Mekkah keluarga Syeikh Nawawi bin Umar Al-Bantani (pujangga

Indonesia dan makamnya di Ma’la Mekkah Saudi Arabia) pun tidak luput dari sasaran pembantaian

262
Wahabi. Ketika salah seorang keluarga beliau bernama Syeikh Ahmad Hadi asal Jaha Cilegon Banten

sedang duduk memangku cucunya, tiba-tiba gerombolan Wahabi datang memasuki rumahnya tanpa

diundang dan dengan kejamnya mereka langsung membantai dengan cara menyembelihnya hingga

tewas. Dalam pembantaian (penyembelihan) itu darah Syeikh Ahmad Hadi mengalir membasahi tubuh

cucunya yang masih kecil yang sedang berada dalam pangkuannya“.

***** akhir kutipan *****

Kaum Yahudi telah berhasil menyesatkan kaum Nasrani melalui Paulus, Yahudi dari Tarsus

sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/21/upaya-penyesatan/

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang

beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)

Sedangkan mereka termakan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan

contohnya oleh perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama

jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian

Laurens Of Arabian adalah seorang orientalis dunia, telah membuat kajian-kajian tentang puncak-

puncak kekuatan umat Islam.

Laurens Of Arabian telah diarahkan supaya menyelidiki ke dalam masyarakat Islam dengan menyamar

sebagai ulama dan mendalami ilmu Islam di Mekah dan Mesir dan ia telah bertemu dengan ratusan

ulama besar yang masyur, memperbincangkan tentang cara untuk membiasakan umat Islam disegi

kemajuan dunia seperti kebiasaan barat serta ia menyebarkan faham supaya umat Islam tidak terikat

dan tidak fanatik kepada aliran mazhabiah.

Hasil hasutan Laurens Of Arabian adalah mereka meninggalkan para ulama yang mengikuti Rasulullah

dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.

Sehingga kaum muslim mengajukan permohonan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz

sebagaimana yang dikabarkan pada http://www.nu.or.id/post/read/39479/komite-hijaz

***** awal kutipan *****

Sejak Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi, menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) tahun

1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di tanah Haram. Kelompok Islam lain dilarang

mengajarkan mazhabnya, bahkan tidak sedikit para ulama yang dibunuh.

263
Saat itu terjadi eksodus besar-besaran para ulama dari seluruh dunia yang berkumpul di Haramain,

mereka pindaha atau pulang ke negara masing-masing, termasuk para santri asal Indonesia.

Dengan alasan untuk menjaga kemurnian agama dari musyrik dan bid’ah, berbagai tempat

bersejarah, baik rumah Nabi Muhammad dan sahabat termasuk makam Nabi hendak dibongkar.

Dalam kondisi seperti itu umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah merasa

sangat perihatin kemudian mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang

kemudian disebut dengan Komite Hijaz.

Komite bertugas menyampaikan lima permohonan:

Pertama, Memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu dari

mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut

hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak

dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut di bidang tasawuf, aqoid

maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, imam Sanusi dan lain-lainnya

yang sudaha terkenal kebenarannya. Hal tersebut tidak lain adalah semata-mata untuk memperkuat

hubungan dan persaudaraan umat Islam yang bermazhab sehingga umat Islam menjadi sebagi tubuh

yang satu, sebab umat Muhammad tidak akan bersatu dalam kesesatan.

***** akhir kutipan *****

Setelah awal abad ke 20 tidaklah terdengar lagi mufti-mufti mazhab di wilayah kerajaan dinasti Saudi

karena mereka termakan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh

kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi

Ulama besar Indonesia yang pernah menjadi mufti Mazhab Syafi’i sekaligus menjadi imam, khatib dan

guru besar di Masjidil Haram pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah Syeikh Ahmad Khatib

Al-Minangkabawi. Beliau memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan di sana menjadi

guru para ulama Indonesia.

Jadi sejak sekitar 1924 kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi ditengarai

telah berhasil melancarkan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) di mulai dari wilayah

kerajaan dinasti, sehingga selanjutnya mereka beragama sebatas pemahaman Muhammad bin Abdul

Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat sebagaimana yang

telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/07/paham-

sebelum-bertobat/

264
Pustaka yang perlu dicek ulang:

Muhammad bin Abdul Wahhab01

Muhammad bin Abdul Wahab02

===============================================

Share this:

 Facebook61

Terkait
Ada apa merekadalam "Umum"
Wahbiyyah dan Wahabiyyahdalam "Islam"
Saudaraku Salafiyyahdalam "Islam"

Ditulis dalam Umum | Dengan kaitkata arabia, Kerajaan, Saudi, Wahabi, Wahabiyah | 48 Komentar

48 Tanggapan

1. pada 9 Mei 2010 pada 2:29 pm | Balas salafi

Insya Allah Wahabi sampai qiamat akan menguasai dan menjaga mekah dan madinah

o pada 9 Mei 2010 pada 4:39 pm | Balas mutiarazuhud

Akh akatsuki, Allah yang menjaga Mekah dan Madinah.

Wahabi merupakan yang diberikan amanah.

Silahkan akhi kalau mau tetap mengikuti salafi yakni “orang yang berupaya” mengikuti Salaf .

Kami kan cuma mau menyarankan saja, lalu mengapa tidak mengikuti Salaf secara langsung.

 pada 19 Mei 2010 pada 9:32 pm SALAFI WAHABI

Mengikuti salaf secara langsung? mereka sudah meninggal sementara saya bukan kaum sufi yang

bisa mendatangkan mereka.

265
Salafi Wahabi dan Ibnu Taimiyah itu sama, mereka cuma menyampaikan,

Allah berfirman, Rasul bersabda, sahabat mendengarkan, membenarkan dan mengimaninya.

 pada 20 Mei 2010 pada 4:32 am mutiarazuhud

Bagaimana logikanya ? Ibnu Taimiyah semoga dirahmati Allah, pun sudah meninggal.

Sekali lagi, ikutilah ulama Salaf, bukannya mengikuti ulama yang berupaya mengikuti ulama Salaf

 pada 20 Mei 2010 pada 9:08 pm salafi wahabi

Apa bedanya ngikutin ulama salaf dengan mengikuti orang yang berupaya ngikutin ulama salaf ?

gak ada bedanya toh ….

Mengikuti ulama salaf secara langsung bagaimana maksudnya.

 pada 24 Mei 2010 pada 11:21 pm danie

kadang kalo mengikuti orang yang berupaya mengikuti ulama salaf tar ujung2nya jadi salah

bukannya salah ckckkkkk

 pada 24 Mei 2010 pada 11:21 pm danie

kadang kalo mengikuti orang yang berupaya mengikuti ulama salaf tar ujung2nya jadi salah

bukannya salaf ckckkkkk

 pada 18 November 2015 pada 1:04 am diahlembuta@gmail.com

akhi… saya dengar informasi bahwa muhammad bin wahab difitnah sesat padahal tidak demikian.

mohon tabayyun

266
 pada 18 November 2015 pada 4:31 am mutiarazuhud

Apakah informasi yang anda dengar berasal dari sumber yang terpecaya ?

Bagi umat Islam sumber yang boleh dipercaya adalah dari para fuqaha yang mengikuti Rasulullah

dengan mengikuti Imam Maazhab yang empat karena merekalah yang paling mengetahui hukum-

hukum Allah

Yang perlu kita wasapadai pada masa sekarang adalah umat Islam korban hasutan atau korban

ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal

sekarang dengan Zionis Yahudi

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang

beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)

Mereka terhasut untuk meninggalkan para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti

Imam Mazhab yang empat dan mereka kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan

mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri dan

mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna

dzahir .

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal

pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR.

Ahmad)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda bahwa kelak umat Islam jumlahnya banyak namun

“bagaikan buih di atas lautan” , rapuh dan terombang-ambing karena keyakinan mereka mengikuti

orang-orang yang memahami “Al Qur’an dan AS Sunnah” bersandarkan mutholaah (menelaah

kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah

disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/10/26/bagaikan-buih/

Mereka meninggalkan para ulama yang istiqomah mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam

Mazhab yang empat atau para ulama tersebut telah diwafatkan oleh Allah Azza wa Jalla.

Mereka membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan dan rapuh karena mereka

membangun keyakinannya secara ilmiah (alasan logis) atau keyakinannya semata-mata

267
berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif sehingga mereka akan selalu

dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Oleh karenanya dapat kita temukan di

antara mereka berselisih, sehingga mereka beradu argumen dan bersepakat bahwa yang “kalah”

dalam adu argumen akan mengikuti keyakinan yang “menang” dalam adu argumen.

Mereka memandang nash-nash Al-Quran dan As Sunnah bagaikan bukti-bukti atau premis-premis

yang berdiri sendiri. Sehingga mereka mengkaitkan diantara premis-premis yang ada untuk

mendapatkan pemahaman yang shahih menurut logika (masuk akal) mereka.

Oleh karenanya mereka mungkin saja berpendapat bahwa pemahaman yang shahih menurut

logika (masuk akal) mereka atas mengutip beberapa nash-nash Al-Qur’an dan As Sunnah (premis-

premis) namun kenyataannya adalah pemahaman yang salah, misalnya karena mereka tidak

memperhatikan asbabun nuzul atau tidak memperhatikan kaitan antara satu ayat dengan ayat

sebelum dan sesudahnya, kaitannya dengan ayat pada surat yang lain dan kaitannya dengan

hadits yang menjelaskan maupun dengan ilmu-ilmu yang lain yang harus dikuasai seperti ilmu-

ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf,

balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar

dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih dan lain lain.

Al Ajurri rahimahullah dalam kitabnya Asy Syariah menceritakan dengan sanadnya bahwa suatu

hari ketika Imam Malik bin Anas rahimahullah pulang dari masjid, ada seorang bernama Abul

Juwairiyah (seorang yang disebutkan mempunyai pemikiran murji`ah) berkata kepadanya ‘Wahai

Abu Abdillah (kun-yah / panggilan Imam Malik) dengarkan aku sebentar, aku ingin berbicara

denganmu, membawakan hujjahku dan pendapatku’

Imam Malik balik bertanya “Kalau kamu mengalahkanku dalam berdebat?”

Dia menjawab ‘ Kalau aku menang, maka kau harus mengikutiku’

Imam Malik kembali bertanya “Kalau ada orang lain datang kemudian mendebat kita dan

menang?”

Dia menjawab ‘Kita akan mengikutinya’

Imam Malik kemudian berkata “Wahai hamba Allah, Allah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi

wa sallam dengan satu agama, sedangkan aku melihatmu berpindah dari satu agama ke agama

lain.

Umar bin Abdul Azizi berkata: “Barangsiapa menjadikan agamanya tempat berdebat dia akan

banyak berpindah.”

268
Sejalan dengan hal itu, Rasulullah telah bersabda bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah

diambilnya ilmu agama dari al ashaaghir yakni orang-orang yang mendalami ilmu agama secara

otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri.

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata :

Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami

Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah

menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari

Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi

wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang

salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru

belajar)”.

Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab :

“Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang

meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia

bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.

Walaupun para ulama panutan mereka pada awalnya berguru dengan ulama yang mempunyai

sanad guru atau susunan guru tersambung kepada lisannya Rasulullah namun menjadi tidak

berarti apa-apa jika pada akhirnya mereka lebih banyak mendalami ilmu agama di balik

perpustakaan artinya sanad ilmu (sanad guru) terputus hanya sampai akal pikirannya semata.

Berikut contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang menyatakan bahwa Muhammad bin

Abdul Wahhab dan dipanggil (dianggap) sebagai imam bagi mereka pada akhirnya mendalami ilmu

agama secara otodidak (shahafi) atau belajar sendiri dengan akal pikirannya sendiri seperti yang

dikabarkan mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-

abdul-wahhab-bag-ke-1/

***** awal kutipan *****

Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya

ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.

Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya

Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.

Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh

Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.

269
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan

sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam

mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang

selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan

***** akhir kutipan *****

Mereka sendiri yang menyatakan bahwa Ibnu Taimiyyah yang menjadi ulama panutan bagi

Muhammad bin Abdul Wahhab juga termasuk kalangan otodidak (shahafi) seperti contoh informasi

dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/

***** awal kutipan ******

Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman

analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.

***** akhir kutipan ******

Begitupula mereka sendiri yang menyatakan bahwa ulama panutan mereka yakni Al Albani sangat

terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik

perpustakaan sebagaimana contoh informasi

pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-

al.html atau pada http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nashiruddin_Al-Albani

**** awal kutipan *****

Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya.

Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan

tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi

perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan

dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari

untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No.

77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)

Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk

membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi

laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-

waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan

ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan

***** akhir kutipan *****

Janganlah mengambil pendapat atau ilmu agama dari ulama dlaif yakni orang-orang yang kembali

kepada Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak

270
(shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/31/ulama-dlaif/

Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi

orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperoleh dan

memperlihatkannya kepada ulama

Syaikh Nashir al-Asad ketika diajukan pertanyaan, “Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab

hadits layak disebut ahli hadits ?”, menjawabnya bahwa “Orang yang hanya mengambil ilmu

melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-

majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai

ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang

semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif,

yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendapatkan dan

mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian,

Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini”

(Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)

Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui

kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika

ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan

pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.

Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama

seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat

kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits

“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai

guru maka gurunya adalah syaitan

Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi60) ; “Barangsiapa tidak

memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir

Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203

Jadi pengikut syaitan atau wali syaitan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan

As Sunnah seperti orang-orang yang mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme.

271
Orang-orang yang mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme menunjukkan

sanad ilmu terputus hanya sampai pada akal pikirannya sendiri karena tanda atau ciri seorang

ulama tidak terputus sanad guru (sanad ilmu) adalah pemahaman atau pendapat ulama tersebut

tidak menyelisihi pendapat gurunya dan guru-gurunya terdahulu hingga tersambung kepada

Rasulullah serta ditunjukkan atau dibuktikan dengan berakhlak baik sebagaimana yang telah

disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/10/20/tanda-sanad-ilmu/

Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan

sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk

meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil

sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan

begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi

wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh,

makna dan pengamalan“

Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu atau kekerasan

berdasarkan kesalapahamannya dalam memahami Al Qur’an dan Hadits

Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri

sebenarnya yakni para fuqaha

Mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah telah mengajukan untuk menyatukan lembaga fatwa

di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari

para fuqaha.

Piihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad (mujahidin) atau jahat

(teroris) sehingga dapat diketahui apakah mati syaihd atau mati sangit adalah “ulil amri di antara

kamu” (QS An Nisaa [4]:59) atau ulil amri setempat yakni para fuqaha setempat karena ulama di

luar negara (di luar jama’ah minal muslimin) tidak terbebas dari fitnah sebagaimana yang telah

disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/06/02/radikal-al-qaeda-dan-isis/

Begitupula pemimpin Republik Chechnya Ramzan Kadyrov mengatakan bahwa firqah Wahhabi

adalah pengikut setan karena mereka memahami Al Qur’an dan As Sunnah secara otodidak

(shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang dikabarkan

pada http://islamtimes.org/id/doc/news/438079/pemimpin-cechen-isis-produk-amerika

272
****** awal kutipan ******

Pemimpin Republik Chechnya Ramzan Kadyrov mengatakan Amerika Serikat dan negara-negara

Barat lainnya sengaja menciptakan ISIS karena ingin memerangi Islam secara rahasia.

“Wahhabi mengikuti jalan setan,” kata Kadyrov dalam akun Instagram-nya.

Menurut dia, ISIS mengambil apa yang mereka inginkan dari ajaran Islam padahal firman Allah

tidak bisa dipisah-pisahkan.

Kadyrov melanjutkan ISIS bertujuan merusak Islam dari dalam hingga dunia berpaling dari Islam.

Mereka melakukan kebrutalan seperti penembakan, pemenggalan bahkan pembakaran.

****** akhir kutipan *****

Lihat pula video berjudul “Chechen President Pledges to Kill all Chechen Salafi Terrorists if they

Return from Syria” pada http://www.youtube.com/watch?v=_Oe_hYEJIDg

Begitupula pemerintah Tunisia berencana menutup sekitar 80 masjid yang diduga kerap

menghasut dan memicu kekerasan. Langkah ini dilakukan pemerintah sebagai upaya

kontraterorisme setelah serangan penembakan di hotel tepi pantai di kawasan pantai wisata di

Sousse, Tunisia pada Jumat (26/6) sebagaimana yang diberitakan

pada http://arrahmahnews.com/2015/06/27/80-masjid-wahabi-ditutup-pemerintah-tunisia/

***** awal kutipan *****

Reuters melaporkan bahwa Perdana Menteri Habib Essid menyatakan bahwa selain memicu

kekerasan, terdapat dugaan puluhan masjid tersebut ikut mendanai sejumlah kelompok militan

setempat.

Langkah ini diambil setelah serangan teroris “yang dilakukan kelompok radikal Wahabi”

menewaskan 39 orang, sebagian wisatawan asing termasuk warga Inggris, Jerman, dan Belgia,

yang hendak berlibur dan menginap di The RIU Imperial Marhaba Hotel yang terletak di tepi pantai

di Sousse, 140 km dari ibukota Tunisia.

***** akhir kutipan *****

Sedangkan Kementerian Wakaf (Kementerian Agama) Mesir lakukan pemeriksaan di sejumlah

masjid di Kairo. Dari pemeriksaan tersebut pemerintah menyita buku-buku yang berbau gerakan

Salafi, terutama buku-buku yang ditulis oleh; Muhammad bin Abdul Wahab, Ibn Baz, Ibn Utsaimin,

Ibn Taimiyah, Said Abdul ‘Adhim, Abdul Latif Mustahri, Abu Ishaq al-Huwaini, Mohammed Hussein

Yacoub, dan Mohammed Hassan sebagaimana yang diberitakan

pada http://arrahmahnews.com/2015/06/27/mesir-bersihkan-masjid-dan-perpustakan-dari-buku-

buku-wahabi/

273
***** awal kutipan *****

Kementerian Wakaf (Agama) mengingatkan para imam masjid, khotib dan dan petugas masjid

untuk meneliti buku-buku yang ada di perpustakaan masjid, dan menyita buku-buku yang

mengadopsi pemikiran wahabi yang tidak sesuai dengan toleransi dalam Islam, atau buku-buku

yang berbau militansi, seperti buku-buku yang ditulis oleh ikhwanul muslimin, terutama pendahulu

mereka Hasan al-Bana dan Yusuf al-Qardhawi.

Kementerian itu juga membantah berita pembakaran buku-buku yang disita, lebih lanjut ia

menegaskan bahwa mereka hanya mengarahkan pemeriksaan semua buku, sebagai langkah awal

pembentukan sebuah komite pemeriksaan ulang buku-buku tersebut, demi menghindari pemikiran

radikal wahabi.

Sementara itu, Depertemen Kementerian Wakaf (Agama) akan terus memantau dan melakukan

pemeriksaan masjid dan perpustakaan di setiap Provinsi, untuk memastikan dua tempat itu bersih

dari buku-buku yang mengajak pada “militansi dan ekstremisme”, baik perafiliasi dengan

pemikiran Ikhwanul Muslimin maupun Salafi Wahabi.

***** akhir kutipan *****

Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia menegaskan bahwa pengharaman penyebarluasan ajaran

Wahabi (wahabiyyah) yang dipelopori oleh Majlis Agama Islam Negeri Sembilan tidak akan

menjejaskan (mempengaruhi) hubungan negara dengan Arab Saudi sebagaimana kabar yang telah

diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/28/tak-sesuai-di-malaysia/

Dalam kabar tersebut Pengerusi Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan, Prof Emeritus Tan Sri Dr Abdul

Shukor Husin menyampaikan

****** awal kutipan *****

“Hak mengeluarkan fatwa adalah hak negeri masing-masing. Contoh seperti apa dilakukan Majlis

Agama Islam Negeri Sembilan yang mengeluarkan fatwa mengharamkan penyebaran Wahabi di

negeri itu, sememangnya ia tidak bertentangan.

“Saya fikir, negeri tersebut mengharamkan Wahabi kerana tidak mahu berlaku kacau bilau dalam

masyarakat Islam negeri itu,” katanya.

Dalam pada itu, Abdul Shukor berkata, tindakan negeri tersebut juga tidak akan menjejaskan

hubungan negara dan Arab Saudi kerana sememangnya itu hak negeri tersebut.

274
“Jika perkara itu akan menjejaskan hubungan, maknanya tiada hak kepada negeri untuk membuat

keputusan sendiri.

“Malahan Jakim dan Majlis Fatwa Kebangsaan telah membincangkan perkara tersebut lebih awal

sebelum isu ini kembali disensasikan,” katanya.

****** akhir kutipan *******

Kita tidak perlu menunggu fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena sejak dahulu kala

pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul

Wahhab dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi adalah sesat dan menyesatkan merupakan

keputusan (fatwa) Qodhi Empat Mazhab dan merupakan ijma para ulama dan umara sebagaimana

yang ditegaskan oleh Imam Taqiyuddin As-Subki rhm sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/11/04/fatwa-wahabi-dahulu/

Akibat ajaran Wahabi atau ajaran (pemahaman) Muhammad bin Abdul Wahhab mengangkat

kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat sehingga mereka memunculkan bentuk

kesyirikan yang baru sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/10/08/bentuk-kesyirikan-baru/

Timbul permasalahan besar karena mereka mengatakan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah

sebelum bertaubat adalah manhaj (mazhab) salaf sehingga akan menyesatkan orang banyak dan

memfitnah Salafush Sholeh sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/09/30/pemahaman-menyesatkan/

Begitupula KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari pemahaman Muhammad

Abduh dan Rasyid Ridha maupun mereka yang meneruskan kebid’ahan Muhammad bin Abdul

Wahab al-Najdi yang mengikuti dan menyebarluaskan pemahaman Ibnu Taimiyah sebelum

bertaubat serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Abdul Hadi, sebagaimana yang

termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6 selengkapnya

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2015/08/risalah-aswaja.pdf

***** awal kutipan *****

Diantara mereka (sekte yang muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang

mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan kebid’ahan

Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim

dan Abdul Hadi.

275
Mereka mengharamkan hal-hal yang telah disepakati oleh orang-orang Islam sebagai sebuah

kesunnahan, yaitu bepergian untuk menziarahi makam Rasulullah Saw. serta berselisih dalam

kesepakatan-kesepakatan lainnya.

Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Fatawa-nya: “Jika seseorang bepergian dengan berkeyakinan

bahwasanya mengunjungi makam Nabi Saw. sebagai sebuah bentuk ketaatan, maka perbuatan

tersebut hukumnya haram dengan disepakati oleh umat Muslim. Maka keharaman tersebut

termasuk perkara yang harus ditinggalkan.”

Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-

Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini

sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri

dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan Islam.”

Maka wajib menanggalkan/menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular.

Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang

mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf

Mereka menyatakan: “Para ulama bukanlah orang-orang yang terbebas dari dosa, maka tidaklah

layak mengikuti mereka, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal.” Mereka

menyebarkan (pandangan/asumsi) ini pada orang-orang bodoh agar tidak dapat mendeteksi

kebodohan mereka

Maksud dari propaganda ini adalah munculnya permusuhan dan kericuhan. Dengan penguasaan

atas jaringan teknologi, mereka membuat kerusakan di muka bumi. Mereka menyebarkan

kebohongan mengenai Allah, padahal mereka menyadari kebohongan tersebut. Menganggap

dirinya melaksanakan amar makruf nahi munkar, merecoki masyarakat dengan mengajak untuk

mengikuti ajaran-ajaran syariat dan menjauhi kebid’ahan. Padahal Allah Maha Mengetahui, bahwa

mereka berbohong.

***** akhir kutipan *******

276
« Contoh bid’ah wajib
Pluralitas dan Pluralisme »

Hadits aina Allah


12 November 2017 oleh mutiarazuhud

Hadits aina Allah shahih dalam rantai sanad namun guncang dalam matan haditsnya

Kami mendapatkan sebuah video dialog dengan KH Tengku Zulkarnain yang saat ini sebagai Wakil

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat, salah satunya tentang kajian pokok aqidah

Wahabisme yakni ajaran (pemahaman) ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab

yang mengangkat kembali atau penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat

dari http://www.youtube.com/watch?v=dFBav2llXPs

Salah satu pokok permasalahannya adalah mereka berpegang pada hadits ahad (satu jalur perawi)

yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami yang baru masuk Islam yang dapat diketahui

dengan pernyataannya “Wahai Rasul shallallahu alaihi wasallam sesungguhnya aku adalah seorang

yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang Islam”

Hal pokok yang shahih dan tidak diperselisihkan dari hadits tersebut adalah pada bagian sabda

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di

277
dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-

Qur’an.”

Sedangkan hadits yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami pada bagian kisah budak

Jariyah diperselisihkan.

Dalam istilah para ulama hadits, riwayat yang diperselisihkan matan (redaksinya) oleh para perawi

disebut mudhtharib, hadits kacau (guncang) matan (redaksinya).

Kekacauan (keguncangan) matan (redaksi) dalam hadits tersebut disebabkan sebagian perawi

meriwayatkan hadits tidak dengan matan (redaksi) asli sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, ia

meriwayatkannya dengan ma’nan (hanya kandungan maknanya saja). Karenanya ia terjatuh dalam

kesalahan. Sementara matan (redaksi) hadits yang benar ialah tidak ada pertanyaan: “Di mana

Allah?”

Jadi pada bagian kisah budak Jariyah adalah matan (redaksi) dari dia secara pribadi berdasarkan

penyaksiannya terhadap percakapan secara isyarat yang dapat pula dipengaruhi oleh keadaan

Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami yang baru masuk Islam ketika meriwayatkan kisah budak Jariyah.

Jumhur ulama telah sepakat bahwa pada bagian kisah budak Jariyah yang diriwayatkan Muawiyah bin

al-Hakam as-Sulami diragukan ke-shohih-annya dan seandainya shohih hadits tersebut maka

pertanyan “di mana Allah” sekedar untuk mengetahui apakah budak Jariyah masih menunjuk berhala

atau tidak.

Imam Syafi’i ~rahimahullah tentang hadits Jariyah berkata : “Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan

matan nya (hadits jariyah), dan seandainya shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi – shallallahu

‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya, karena bahwa dia

(hamba) dan kawan- kawannya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang

ada di bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanannya,maka Nabi bertanya : “Dimana Allah ?”

sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam, maka

manakala ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia

adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi, atau Nabi

mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datang dalam Al-Quran”.

Begitupula Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka

ia mentakwilnya agar tidak menyalahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni

pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah,

278
karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan

untuk menanyakan kedudukan atau derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu

kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah

sangat tinggi).

Ibn Al Jawzi berkata “Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Para ulama (Ahlussunnah Wal Jama’ah) telah

menetapkan bahwa Allah tidak diliputi oleh langit dan bumi serta tidak diselimuti oleh segala arah.

Adapun bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan mengatakan di arah langit adalah untuk

tujuan mengagungkan.

Alasan lain matan (redaksi) hadits yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami pada bagian

kisah budak Jariyah dianggap kacau (guncang) karena sebagaimana dijelaskan oleh Imam sayyidina

Ali bin Abi Thalib bahwa pertanyaan “Di mana” tidak boleh bagi Allah Ta’ala.

‫” إن الذي أين األين ال يقال له أين وإن الذي كيف الكيف ال يقال له كيف‬: ‫وقال سيدنا علي رضي هللا عنه‬

“Sesungguhnya yang menciptakan aina (tempat) tidak boleh dikatakan baginya di mana (pertanyaan

tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan baginya

bagaimana”

Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu al Bâri-nya,1/221:“Karena sesungguhnya jangkauan akal

terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh

dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga

mengalamatkan kepada keberadaan Dzat-Nya: Di mana?.”

Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan: “Allah ada sebelum

ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan

belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?”

atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.

Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan

“bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerihpayah, dan kreasi-kreasi yang mampu

menggambari-Nya,atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada

sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang

mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.

Sedangkan ungkapan-ungkapan seperti,

279
“Allah wujud (ada) di mana mana”

atau

“apa yang terlihat di mana mana adalah wujud (keberadaan) Allah”

bukan berarti Allah Ta’ala bertempat di mana mana namun maknanya adalah bahwa kita bisa

mengetahui dan meyakini keberadaan dan kebesaran Allah Ta’ala serta mengenal Allah

(makrifatullah) adalah dengan memperhatikan alam dan isinya atau semua yang terlihat oleh mata

yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya atau disebut juga ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat yang

meliputi segala macam ciptaan Allah,baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar

(makrokosmos).

Firman Allah Ta’ala yang artinya

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada

diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah

Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush

Shilat [41]:53)

“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda

kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS

Yunus [10] : 101).

Hal ini sesuai dengan sunnah Rasulullah bahwa untuk meyakini keberadaan Allah dengan memikirkan

nikmat-nikmat yang telah diberikanNya atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Azza

wa Jalla.

Rasulullah bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir

tentang Dzat Allah“.

Jadi alasan lain matan (redaksi) hadits yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami pada

bagian kisah budak Jariyah dianggap kacau (guncang) karena pertanyaan “di mana” bagi Allah telah

melanggar larangan Rasulullah untuk memikirkan atau menanyakan Dzat Allah.

Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah

dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya

selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.

280
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna

metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.

Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut

Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk

menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan

pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/

Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi

as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya

dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada

tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna

majaz (metaforis atau makna kiasan).

Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh

ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau

makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena

jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak

patut bagiNya.

Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu

balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu

sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan.

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik

dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu

sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para

ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan

orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan

menyesatkan (HR Bukhari 98)

Contohnya pujian ِ‫س َماء‬


َّ ‫“ َم ْن فِى ال‬man fiis samaa-i” maknanya bukannya “Yang berada di atas langit”

karena “berada di atas” adalah ungkapan dalam makna dzahir dalam arti ketinggian fisik yang

berhubungan dengan jihah (arah)

281
Padahal jihah (arah) hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja yang seharusnya dinafikan atau

tidak boleh disifatkan bagi Allah.

Terjemahan yang benar adalah “Yang di langit” dalam makna majaz (makna kiasan atau metaforis)

yakni ketinggian dalam arti kemuliaan atau keagungan Allah

Imam al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan dalam Kitab at-Tauhid; “Al Kirmani berkata, ِ‫س َماء‬
َّ ‫َم ْن فِى ال‬

makna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah

tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia di banding sisi-sisi lainnya, maka ia

disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian dalam arti kemuliaan atau keagungan Dzat

dan sifat-Nya.“

Ibn al Jawzi dalam kitab Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih menjelaskan

**** awal kutipan *****

Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang seringkali disalahpahami oleh kaum mujassimah adalah firman

Allah

َّ ‫أَأَمِ ْنت ُ ْم َم ْن فِي ال‬


ِ‫س َماء‬

aamintum man fiis samaa-i (QS Al Mulk [67]:16)

Argumen kuat dan nyata telah menegaskan bahwa yang dimaksud ayat ini bukan dalam makna

dzahirnya karena dasar kata fis sama dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan

sesuatu yang ”berada di dalam sebuah tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”; padahal Allah

tidak diliputi oleh suatu apapun.

Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi (makna dzahir) seperti ini,

karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit (bisa jadi sama besar, lebih besar, atau

lebih kecil dari langit itu sendiri)

Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan keagungan dan

kemuliaan Allah.

***** akhir kutipan ******

Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya turut menjelaskan perkara yang sama dalam menafsirkan ayat

tersebut, yang dimaksud dengan perkataan ‘man’ (siapa) dalam ayat tersebut adalah ‘Allah’ maka

tidak boleh dikatakan keberadaan Allah itu di langit karena Allah tidak memerlukan langit tetapi

maknanya adalah ‘kerajaan Allah’ bukan ‘Dzat Allah’. Maha suci Allah dari sifat makhlukNya.

282
Berikut kutipan dari tafsir Jalalain penerbit Sinar Baru Algensindo buku ke 2 hal 1129, juz 29, Al Mulk

[67]:16

***** awal kutipan ******

a-amintum, (Apakah kalian merasa aman) dapat dibaca secara tahqiq dan dapat pula dibaca secara

tashil

man fiis samaa-i, (terhadap kekuasaan Allah yang di langit) yakni pengaruh dan kekuasaan-Nya yang

di langit

an yakhsifa, (bahwa Dia akan menjungkir balikkan) berkedudukan menjadi badal dari lafaz man

bikumul ardha fa-idzaa hiya tamuuru, (bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu

berguncang) menjadi gempa dan menindih kalian

****** akhir kutipan ******

Oleh karenanya terhadap firmanNya pada (QS Al Mulk [67]:16) para mufassir (ahli tafsir) telah

sepakat menyisipkan “(berkuasa)” agar tidak dipahami “berada” atau “bertempat” sehingga

menafsirkannya menjadi,

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir

balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?

Begitupula makna pujian fawq (di atas) atau “Yang di atas” bagi Allah adalah bukan dalam makna

dzahir yakni dalam pengertian tempat dan arah, tapi dalam pengertian Maha Tinggi (ketinggian

derajat) , Maha Menguasai dan Maha Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala

, wahuwal qaahiru fawqa ‘ibaadihi dalam tafsir Jalalain disebutkan

(Dan Dialah yang berkuasa) Maha Kuasa tidak ada sesuatupun yang melemahkanNya dan Dia Maha

Tinggi (atas sekalian hamba-hambaNya)

Al-Imam Badruddin ibn Jama’ah berkata “‫ ” فوق‬, “fawq” bukanlah dalam pengertian tempat karena

adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu yang batil, maka pemaknaan fawq pada hak Allah

pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya, Maha Menguasai dan Maha

Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala , wa huwa al-qaahiru fawqa ‘ibaadihi

Jika yang dimaksud fawq dalam pengertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan

indikasi kemuliaan dan keistimewaan karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang

283
bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya – Apakah itu menunjukan bahwa

pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri ?

Al-Hâfizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybîh, dalam penjelasan firman Allah: “Wa Huwa

al-Qahiru Fawqa ‘Ibadih” (QS. Al-An’am: 18), menuliskan sebagai berikut:

***** awal kutipan ****

Mereka lupa bahwa pengertian “fawq”, “‫ ” فوق‬dalam makna indrawi (makna dzahir) hanya berlaku bagi

setiap jawhar dan benda saja.

Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “‫علو المرتبة‬
ّ ”; “derajat yang

tinggi”.

Padahal dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan: “‫ ;” فالن فوق فالن‬artinya; “derajat si fulan (A) lebih

tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas

pundak si fulan (B).

***** akhir kutipan ****

Al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa makna ini; yaitu makna

menguasai dan menundukan serta ketinggian derajat, adalah makna yang dimaksud dari salah salah

satu sifat Allah; al-‘Uluww. (sifat Maha Tinggi) Dan inilah makna yang dimaksud dari firman Allah:

“Sabbihisma Rabbik al-‘Ala” (QS. Al-A’la: 1), dan firman-Nya: “Wa Huwa al-‘Alyy al-‘Azhim” (QS al-

Baqarah: 255).

Karena makna al-‘Uluww (sifat Maha Tinggi) dalam pengertian indrawi (makna dzahir), yaitu tempat

atau arah atas hanya berlaku pada makhluk saja yang notabene sebagai benda yang memiliki bentuk

dan ukuran, tentunya hal itu adalah suatu yang mustahil bagi Allah.

Dalam hal ini Ibn Hajar menuliskan sebagai berikut: “Sesungguhnya mensifati Allah dengan sifat al-

‘Uluww (sifat Maha Tinggi) adalah dalam pengertian maknawi (makna majaz), karena mustahil

memaknai al-‘Uluww (pada hak Allah) dalam pengertian indrawi (makna dzahir). Inilah pengertian

sifat-sifat Allah al-‘Aali, al-‘Alyy, dan al-Muta’ali”.

Pada halaman lain dalam kitab yang sama, al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan alasan mengapa para

ulama sangat keras mengingkari penisbatan arah bagi Allah, adalah tidak lain karena hal itu sama

saja dengan menetapkan tempat bagi-Nya. Dan sesungguhnya Allah mustahil membutuhkan kepada

tempat, karena Dia bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran, dan Dia tidak boleh disifati

284
dengan sifat-sifat benda (Fath al-Bari Bi Syarh Shahih al-Bukhari, j. 3, h. 30, j. 7, h. 124, dan j. 11, h.

505).

Al-Imâm Ibn Jahbal dalam Risalah Fi Nafy al-Jihah ‘An Allah menuliskan sebagai berikut:

***** awal kutipan ******

“Penggunaan kata fawq dikembalikan kepada dua pengertian.

Pertama; Fawq dalam pengertian tempat bagi suatu benda yang berada di atas benda lainnya. Artinya

posisi benda yang pertama berada di arah kepala posisi benda yang kedua. Pemaknaan semacam ini

tidak akan pernah dinyatakan bagi Allah kecuali oleh seorang yang berkeyakinan tasybîh dan tajsîm.

Kedua; Fawq dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan. Contoh, bila dikatakan dalam

bahasa Arab: “al-Khalifah Fawq as-Sulthan Wa as-Sulthan Fawq al-Amir”, maka artinya: “Khalifah

lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau

bila dikatakan: “Jalasa Fulan Fawq Fulan”, maka artinya: “Si fulan yang pertama kedudukannya di

atas si fulan yang kedua”, atau bila dikatakan: “al-‘Ilmu Fawq al-‘Amal” maka artinya: “Ilmu

kedudukannya di atas amal”.

Contoh makna ini dalam firman Allah: “Wa Rafa’na Ba’dlahum Fawqa Ba’dlin Darajat” (QS. Az-

Zukhruf: 32), artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian

yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-

Nya berada di atas pundak sebagian yang lain.

Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan para pengikut Fir’aun: “Wa Inna Fawqahum Qahirun”

(QS. Al-A’raf: 127). Yang dimaksud ayat ini adalah bahwa para pengikut yang setia kepada Fir’aun -

merasa- menguasai dan lebih tinggi kedudukannya di atas Bani Isra’il. Makna ayat ini sama sekali

bukan berarti para pengikut Fir’aun tersebut berada di atas pundak-pundak atau di atas punggung-

punggung Bani Isra’il”

(Lihat dalam Risalah fi Nafy al-Jihah dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah, j. 9, h. 47. Risalah ini adalah

bantahan keras terhadap Ibn Taimiyah yang mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy).

****** akhir kutipan ******

Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an menuliskan tentang

pemahaman fawq pada hak Allah, sebagai berikut:

285
“…antara lain sifat fawqiyyah, seperti dalam firman-Nya: “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa ‘Ibadih” (QS. Al-

An’am: 18), dan firman-Nya: “Yakhafuna Rabbahum Min Fawqihim” (QS. An-Nahl: 50). Makna fawq

dalam ayat ini bukan dalam pengertian arah atas. Makna fawq dalam ayat tersebut sama dengan

makna fawq dalam firman Allah yang lain tentang perkataan Fir’aun: “Wa Inna Fawqahum Qahirun”

(QS. Al-A’raf: 127), bahwa pengertiannya bukan berarti Fir’aun berada di atas pundak Bani Isra’il, tapi

dalam pengertian ia menguasai Bani Isra’il”.

Begitupula memang kita temukan dalam kitab-kitab terjemahan Al Qur’an arti kata Istawa adalah

bersemayam namum kata bersemayam mempunyai dua makna yakni makna dzahir dan makna majaz

(makna kiasan).

Hal terlarang jika kata istawa yang artinya bersemayam dimaknai dengan makna dzahir (makna

harfiah) atau makna yang tersurat (makna yang tertulis) yang menurut kamus bahasa Indonesia

adalah

1. duduk; Contohnya, “Pangeran bersemayam di kursi kerajaan”

2. tinggal; berkediaman, bertempat; Contohnya, “Presiden bersemayam di Istana Negara”

Makna yang mendekati kata Istawa adalah makna kata bersemayam dalam makna majaz (makna

kiasan) atau makna yang tersirat (makna di balik yang tertulis) yakni

Terkait dengan hati, terpendam dalam hati, tersimpan (kata kiasan); Contohnya “sudah lama dendam

itu bersemayam di hatinya” atau “cinta bersemayam di hatinya”. “Bersemayam di hati” dapat

diartikan pula dengan “menguasai hati”

Al-Qushayri dalam Lata’if al-Isharat, telah menyebutkan : Adapun mengenai singgasana Qalbu, “Kami

angkut mereka di daratan dan di lautan” . telah disimpulkan pula bahwasanya : “Dia (Allah) Yang

Maha Rahman menetapkan Dirinya sendiri atasnya (`alayhi istawa); sedang mengenai arsy di hati:

Yang Maha Rahman menguasainya (`alayhi istawla). Arsy di langit adalah kiblat bagi doa seluruh

makhluk, sedang arsy di hati adalah tempat melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi. Sehingga, ada ada

perbedaan besar antara kedua arsy itu” (Lata’if al-Isharat jilid 4 hal:118)”

Para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat membolehkan

memaknai istiwa dengan bersemayam dalam makna majaz artinya menguasai dan terlarang dimaknai

bersemayam dalam makna dzahir yakni menetap atau bertempat karena menetap atau bertempat

mensifatkan Allah dengan sifat makhluk.

286
Imam al-Hâfizh al-Lughawiy Muhammad Murtadla az-Zabidi al Hanafi (w 1205 H) dalam kitabnya,

Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn menyebutkan bahwa seorang yang menafsirkan Istawâ dengan Istawlâ

tidak berbuat kesalahan apapun dan tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh. Menurut

Imam az-Zabidi penafsiran semacam ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan keagungan Allah. Hal

ini jauh berbeda dengan yang memaknai Istawâ dengan Istaqarra (menetap atau bertempat),

penafsiran semacam ini sama sekali tidak dapat dibenarkan, karena sama dengan mensifati Allah

dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

Ibn Battal mengatakan, “pengartian pengaturan dan kekuasaan”, “menguasai” dan “penaklukan” tidak

dianggap berlawanan dengan Sang Pencipta (Al-Khalik) sebagaimana “Zahir”, “Qahhar”, “ghalib”atau

“Qahir”, tidak dianggap berlawanan atas bagian zat lainnya. Hal ini diperkuat oleh ayat, “Dan Dialah

yang mempunyai kekuasaan tertinggi (Al-Qahir) atas semua hamba-Nya” (6:18, 6:61) dan “ Allah

berkuasa (Al-Ghalib) terhadap urusan-Nya” (12:21).

Dalam Shubah al-Tashbih hal:23 , Ibn al Jawzi juga membolehkan menafsirkan istiwa sebagai “al-

qahr”, menguasai.

Begitupula Al-Imam al Baihaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata :

“Sebagian Sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah

shalllallahu ‘alaihi wasallam “Ya Allah, Engkaulah, Azh-Zhahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu,

dan Engkau al-Bathin, tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya)

Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:

‫لى ْال َماءِ قَا َل أَحْ َمدُ بْنُ َم ِني ٍْع قَا َل‬ َ ْ‫س ْو َل هللاِ أَيْنَ كَانَ َربُّنَا قَ ْب َل أَ ْن َي ْخلُقَ خ َْلقَهُ ؟ قَا َل كَانَ ف ِْي َع َماءٍ َما تَحْ تَهُ ه ََوا ٌء َو َما فَ ْوقَهُ ه ََوا ٌء َو َخلَقَ عَر‬
َ ‫شه ُ َع‬ ُ ‫ َيا َر‬: ُ‫َع ْن أَ ِب ْي َر ِزي ٍْن قَا َل قُ ْلت‬

ٌ‫سن‬ ٌ ‫ي َو َهذَا َح ِدي‬


َ ‫ْث َح‬ ُّ ‫َي ٌء قَا َل التِّرْ مِ ِذ‬
ْ ‫ْس َم َعهُ ش‬ ْ َ‫َار ْونَ ْال َع َما ُء أ‬
َ ‫ي لَي‬ ُ ‫يَ ِز ْيدُ بْنُ ه‬.

“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita

sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada

tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada

sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun

berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat).

Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).

Dalam riwayat di atas pun sudah jelas bahwa Rasulullah bersabda “Allah ada tanpa sesuatu apapun

yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu.

287
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan)

dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (HR. al Bukhari, al Baihaqi dan Ibn al Jarud)

Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

ُ‫ كَانَ هللا‬:َ‫ قَال‬. َ‫ ِج ْئنَاكَ ِلنَتَفَقَّهَ فِي ال ِدّي ِْن َو ِلنَ ْسأَلَكَ َع ْن أ َ َّو ِل َهذَا اْأل َ ْم ِر َما َكان‬:‫س مِ ْن أَ ْه ِل ْال َي َم ِن فَقَالُ ْوا‬
ٌ ‫ي صلى هللا عليه وسلم ِإ ْذ دَ َخ َل نَا‬ِّ ‫صي ٍْن َقا َل ِإنِّ ْي ِع ْندَ النَّ ِب‬
َ ‫َع ْن ع ِْم َرانَ ب ِْن ُح‬

ْ ‫َولَ ْم يَ ُك ْن ش‬
‫رواه البخاري‬- ُ‫َي ٌء َغي ُْره‬

“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa

sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar

agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR

Bukhari)

Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata

‫ “كان هللا وال مكان وهو اآلن على ما عليه كان‬: ‫قال سيدنا علي رضي هللا عنه‬

“Allah ada dan belum ada tempat dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti

semula ada tanpa tempat”

Syaikh Ibnu Athoilah berkata “Allah ada, dan tiada sesuatu besertaNya. Dia kini adalah tetap

sebagaimana adanya”

Imam asy-Syafi’i berkata:

‫ إذ ال يجوز عليه التغير‬،‫ والدليل عليه هو أن هللا تعالى كان وال مكان له فخلق المكان وهو على صفته األزلية كما كان قبل خلقه المكان‬،‫واعلموا أن هللا تعالى ال مكان له‬

‫ ولهذا المعنى‬،‫ تعالى هللا عن ذلك علوا كبيرا‬،‫ ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق‬،‫ وألن من له مكان فله تحت‬،‫في ذاته وال التبديل في صفاته‬

13‫ ص‬،‫)استحال عليه ال زوجة والولد ألن ذلك ال يتم إال بالمباشرة واالتصال واالنفصال (الفقه األكبر‬

Artinya :

“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan

tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan

tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya

maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah

bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang

memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu

pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan

288
adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-

pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab

itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h.

13).

Sabda Rasulullah di atas berikut penjelasan para ulama bahwa “Allah ada tanpa tempat atau tanpa

sesuatu apapun yang menyertaiNya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu.

Dia sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula ada tanpa tempat” sesuai pula

dengan firman Allah Ta’ala yang menjadi landasan i’tiqod atau aqidah umat Islam pada umumnya

yakni yang artinya,

“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir” (QS Al Hadiid [57]:3)

Allah Ta’ala ada sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya.

Allah Ta’ala ada sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan

ciptaanNya.

Allah Ta’ala ada sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ’Arsy

Jadi Allah Ta’ala tidak berubah.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :“Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka

Dia menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya (sifat qadim), sebagaimana Dia ada

sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”.

[Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36].

Al-Imâm al-Qurthubi menuliskan: “Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau

berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau

berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan

zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’

Li Ahkam al-Qur’an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr: 22)

Sebenarnya, keyakinan bahwa Tuhan bertempat terimbas oleh cerita-cerita tradisional bahwa ‘alam

Tuhan’ itu berada di langit, seiring dengan ‘alam dewa-dewa’ keyakinan non muslim. Alam dewa dan

alam Tuhan selalu dikaitkan dengan alam tinggi, yang dipersepsi berada di langit, dalam arti ruang

yang sesungguhnya. Sehingga, kita sering mendengar cerita-cerita tentang ‘turunnya’ para dewa-

dewi, bidadari, atau bahkan ‘Tuhan’ sendiri dari langit nun jauh di sana menuju ke Bumi.

289
Sebenarnya, konsep seperti ini bukan konsep Islam. Melainkan konsep keyakinan pagan yang justru

diluruskan oleh datangnya Islam yang dibawa oleh para Nabi dan keluarga nabi Ibrahim alaihi salam –

termasuk keturunan terakhirnya Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam

Berikut cara Rasulullah meluruskan para Sahabat yang masih terpengaruh i’tiqod (keyakinan) kaum

sebelumnya bahwa Tuhan berada di arah atas sehingga orang-orang yang tinggal di dataran tinggi

“lebih dekat” kepada Tuhan dari pada orang-orang yang tinggal di dataran rendah sebagaimana yang

diriwayatkan oleh Imam Malik rahimahullah adalah sabda Rasulullah,

‫ال تفضلوني على يونس بن متى‬

“La Tufadl-dliluni ‘Ala Yunus Ibn Matta”

”Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta”

Hal ini disampaikan contohnya oleh Al-Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Maliki

(seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah), dalam karyanya berjudul “al-Muqtafa Fi

Syaraf al-Musthafa” telah menuliskan pernyataan al-Imam Malik untuk menjelaskan bahwa Allah ada

tanpa tempat dan tanpa arah.

‫ ولهذا أشار مالك رحمه‬:‫ذَكر اإلمام قاضي القضاة ناصر الدين بن ال ُمنَيِّر اإلسكندري المالكي في كتابه “المنتقى في شرف المصطفى” لما تكلم على الجهة وقرر نفيَها قال‬

‫ إنما خص يونس للتنبيه على التنزيه ألنه صلى هللا عليه وسلم رفع إلى العرش‬:‫ فقال مالك‬،”‫ “ال تفضلوني على يونس بن متى‬:‫هللا تعالى في قوله صلى هللا عليه وسلم‬

ّ
‫ ولو كان الفضل بالمكان لكان عليه السالم أقرب من يونس‬،‫الحق جل جالله نسبة واحدة‬ ‫ويونس عليه السالم هبط إلى قاموس البحر ونسبتهما مع ذلك من حيث الجهة إلى‬

‫بن متى وأفضل َول َما نهى عن ذلك‬.

Dalam karyanya tersebut, al-Imam Ibn al-Munayyir mengutip sebuah hadits, riwayat al-Imam Malik

bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta”.

Dalam penjelasan hadits ini al-Imam Malik berkata bahwa Rasulullah secara khusus menyebut nabi

Yunus dalam hadits ini, tidak menyebut nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman akidah

tanzih (bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah).

Hal ini karena Rasulullah diangkat ke atas ke arah arsy (ketika peristiwa Mi’raj), sementara nabi

Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam (ketika Beliau ditelan oleh ikan

besar), dan kedua arah tersebut, baik arah atas maupun arah bawah, keduanya bagi Allah sama saja.

Artinya satu dari lainnya tidak lebih dekat kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat. Karena

seandainya kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah tidak akan

melarang melebih-lebihkan Beliau atas nabi Yunus ibn Matta”. (Lihat penjelasanini dalam al-Muqtafa Fi

290
syaraf al-Mustahafa. Perkataan Al-Imam Malik ini juga dikutip oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki

dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang berjudul as-

Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil. Demikian pula perkataan Al-Imam Malik ini dikutip oleh Al-

Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadahal-Muttaqin Bi Syarah Ihya

‘Ulumiddin).

Begitupula Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi

al Maliki mengatakan:

“Telah mengabarkan kepadaku banyak dari sahabat-sahabat kami dari Imam al-Haramain Abu al

Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu

arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu” Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oleh

hadits ini?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihissalam menghempaskan dirinya

kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam kegelapan yang tiga.

Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk

orang-orang yang zhalim,” sebagaimana Allah Ta’ala memberitakan tentang dia.

Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik

hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan bermunajat

kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau

shallallahu alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam yang

berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia

mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi atasNya, keadaan mereka bagaimanapun

mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan mereka“.

Al-’Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Asy-Syafi’i Al-Bantani Al-Jawi dalam kitabnya ” Nur Adh-

Dhalam” syarah ‘Aqidatul ‘Awam halaman 42 baris 3-6 mengatakan:

٤٢ ‫قال العالمة الشيخ محمد نووى الشافعي البنتني الجاوى في كتابه نور الظالم صحيفة‬

‫و ليس هللا سبحانه و تعالى فى مكان و ال جهة تنزه هللا عن ذلك و إنما المكان منسوب الى النبى صلى هللا عليه و سلم قال صلى هللا عليه و سلم ال تفضلوني على يونس بن‬

‫متى أى ال تظنوا أني أقرب الى هللا من يونس بن متى حيث ارتقى بي فوق السموات السبع و يونس في قعر ا لبحر في بطن الحوت فكالنا بالنسبة للقرب منه على حد سواء‬

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berada di suatu tempat maupun arah , Maha suci Allah dari yang

demikian (bertempat atau berarah) , tempat hanya dinisbatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu

alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : Janganlah kamu menganggap aku

lebih utama daipada Nabi Yunus bin Matta , maksudnya : Janganlah kamu berprasangka bahwa aku

291
lebih dekat kepada Allah daripada Nabi Yunus hanya karena Allah mengangkat aku ke atas langit yang

tujuh sedangkan Nabi Yunus berada didasar lautan didalam ikan , masing-masing dari kami berdua

nisbat kedekatan dari Allah ada pada batasan yang sama

Berikut kutipan penjelasan Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki dalam kitab karyanya yang berjudul

“Wahuwa bi al’ufuq al-a’la” dan telah diterjemahkan oleh penerbit Sahara publisher dengan judul

“Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam” pada hal 284

***** awal kutipan *****

‘Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah,

seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu,

karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.

Naik dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallahu

alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi

Beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).

Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu

dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah Ta’ala dengan

ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan

ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh

perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.

Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallahu walaihi wasallam

naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan Beliau di hadapan

penduduk langit dan Beliau adalah makhluk Allah yang paling utama. Pengertian ini dikuatkan dengan

dinaikkannya Beliau diatas Buraq oleh Allah Ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan

Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat Beliau tanpa menggunakan buraq.

***** akhir kutipan *****

Berikut penjelasan beliau selanjutnya pada hal 286

***** awal kutipan ******

Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa

alaihissalam dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya

arah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.

292
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada Beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke

tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau

berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat Beliau bermunajat dan bermohon kepada

Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati

tempat itu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi

Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu

karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah

tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.

Walaupun Beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di mana Beliau

mendengar gerak qalam, tetapi Beliau shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihissalam ketika

ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam kedekatan

dengan Allah Ta’ala. Karena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari

menempati ruang.

***** akhir kutipan *****

Berkata Imam Ahlus Sunnah Abu Mansur Al-Maturidi: “Adapun mengangkat tangan ke langit adalah

ibadah, hak Allah menyuruh hamba-Nya dengan apa yang Ia kehendaki, dan mengarahkan mereka

kemana yang Ia kehendaki, dan sesungguhnya sangkaan seseorang bahwa mengangkat pandangan

ke langit karena Allah di arah itu, sungguh sangkaan itu sama dengan sangkaan seseorang bahwa

Allah di dasar bumi karena ia meletakkan muka nya di bumi ketika Shalat dan lain nya, dan juga sama

seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di timur/barat karena ia menghadap ke arah tersebut ketika

Shalat, atau Allah di Mekkah karena ia menunaikan haji ke Mekkah” [Kitab At-Tauhid – 75]

Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu menghadap ke

langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu

karena Allah di langit, sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di arah Ka’bah, karena

sesungguhnya langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang

Shalat” [Syarah Shahih Muslim jilid :5 hal :22]

Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Ibnu Batthal berkata: sesungguhnya langit itu qiblat doa,

sebagaimana Ka’bah itu qiblat Shalat” [Fathul Bari, jilid 2, hal 296]

Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Maka adapun angkat tangan ke arah langit ketika

berdoa, karena sesungguhnya langit itu qiblat doa” [Ittihaf, jilid 2, hal 170]. kemudian Imam Al-

Hafidh Murtadha Az-Zabidi juga berkata: “Jika dipertanyakan, ketika adalah kebenaran itu maha suci

293
Allah yang tidak ada arah (jihat), maka apa maksud mengangkat tangan dalam doa ke arah langit ?

maka jawaban nya dua macam yang telah disebutkan oleh At-Thurthusyi :

Pertama: sesungguhnya angkat tangan ketika doa itu permasalahan ibadah seperti menghadap

Ka’bah dalam Shalat, dan meletakkan dahi di bumi dalam sujud, serta mensucikan Allah dari tempat

Ka’bah dan tempat sujud, maka langit itu adalah qiblat doa.

Kedua: manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat dan

berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit

adalah tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu

kepada Malaikat, dan Malaikat-lah yang memberikan kepada penduduk bumi, dan begitu juga tentang

diangkat nya segala amalan (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan langit ada

syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit itu tempat bagi perkara-perkara mulia

tersebut, dan tempat tersimpan Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentingan ke langit,

dan orang-orang berdoa pun menunaikan ke atas langit”[Ittihaf, jilid 5, hal 244]

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

« Untuk memecah belah


Melafadzkan niat »

Wahbiyyah dan Wahabiyyah


6 November 2017 oleh mutiarazuhud

294
Jelas berbeda antara WAHBIYYAH dengan WAHABIYYAH

Penamaan firqah Wahabi dinisbatkan kepada nama ayahnya Muhammad bin Abdul Wahhab adalah

sekedar untuk membedakan antara ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang

mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat dengan ajaran Nabi Muhammad

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Contoh penisbatan bukan pada nama sendiri lainnya adalah seperti pendapat Imam Ahmad bin

Hanbal, kita sepakati dinamakan sebagai mazhab Hambali karena hal itu adalah hasil ijtihad dan

istinbat beliau dalam perkara fiqih berdasarkan sumber ijtihad yang dimilikinya seperti hafalan hadits

yang melebihi jumlah hadits yang telah dibukukan pada zaman kini dan kompetensinya dalam

memahami Al Qur’an dan As Sunnah yang diakui oleh jumhur ulama sebagai salah satu Imam

Mujtahid Mutlak

Ada pula orang yang terjerumus mengikuti paham Wahabisme yakni ajaran (pemahaman) ulama

Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebelum

bertaubat karena termakan syubhat atau propaganda bahwa Wahabi sesungguhnya adalah ajaran

(pemahaman) Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum [208 H/823 M]

Padahal ajaran (pemahaman) Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum disebut dengan

WAHBIYYAH RUSTUMIYYAH yang merupakan turunan dari ajaran (pemahaman) WAHBIYYAH yang

merupakan ajaran (pemahaman) Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi (38 H)

Jelas berbeda antara WAHBIYYAH dengan WAHABIYYAH sebagaimana yang telah dijelaskan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/05/06/dongeng-rustumiyyah/

Sedangkan WAHABIYYAH merupakan ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim yakni

Muhammad bin Abdul Wahhab berasal dari kabilah Banu Tamim an Najdi yang wafat tahun 1206 H.

295
Istilah WAHABI pertama kali disematkan oleh Syaikh Sulamain bin Abdul Wahab al-Hanbali saudara

kandungnya sendiri dalam kitabnya yang berjudul “As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi ‘alal Wahabiyah”

(Petir yang membakar untuk menolak paham Wahabi)

Berikut kutipan dari kitabnya,

Sulaiman bertanya kepada adiknya: “Berapa, rukun Islam”

Muhammad menjawab: “lima”.

Sulaiman: “Tetapi kamu menjadikan 6!”

Muhammad: “Apa?”

Sulaiman: “Kamu memfatwakan bahwa siapa, yang mengikutimu adalah mu’min dan yang tidak

sesuai dengan fatwamu adalah kafir“.

Muhammad : “Terdiam dan marah“.

Sesudah itu ia berusaha menangkap kakaknya dan akan membunuhnya, tetapi Sulaiman dapat lolos

ke Makkah dan setibanya di Makkah ia mengarang buku tersebut.

Silahkan unduh (download) kutipan kitabnya

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/petir-yang-membakar.pdf

Ulama dari kalangan mereka sendiri Abdul Aziz bin Abdillah bin Bazz ketika mentashhihkan kitab

biografi Muhammad ibnu Abdil Wahhab karya Ahmad ibn Hajar al- Butami juga membenarkan bahwa

Wahhabi adalah pengikut ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab

‫فقامت الثورات على يد دعاة الوهابيين‬

“maka tegaklah revolusi di atas tangan para da’i Wahhabi” (hal 59)

‫على أساس من الدعوة الدينية الوهابية في مكة‬

“atas dasar dari dakwah agama wahhabi di Mekkah” (hal 60)

‫يدينون باإلسالم على المذهب الوهابي‬

“mereka beragama dengan Islam atas mazhab Wahhabi” (hal 60)

‫استطاع هؤالﺀ المسلمونالوهابيون‬

“sangguplah mereka orang Islam Wahhabi” (hal 60)

Begitupula salah seorang pemuka ulama mereka , Muhammad Khalil Harras dengan bangga

menuliskan judul karyanya dengan “al Harakah al Wahabiyyah” (Gerakan Paham Wahabi). Buku ini

dicetak penerbit Dar al Kutub al Arabi. Isi buku ini adalah pembelaan “mati-matian” terhadap ajaran

296
atau paham Wahabi (Wahabisme), penulisannya dengan bangga menamakan gerakan ajaran Wahabi

dengan “ad Da’wah al Wahabiyyah”, lihat di halaman 37.

Berikut beberapa kutipan kalimat dari kitab tersebut

‫اسس الحركة الوهابية‬

Dasar-dasar gerakan Wahhabi

‫الحركة الوهابية تدعو الي توكيد التوحيد‬

gerakan Wahhabi menyeru kepada menguatkan tauhid

‫الحركة الوهابية تدعو الي سبيل ربها‬

gerakan Wahhabi menyeru kepada jalan Tuhan nya

Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah

yang merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul

Wahhab. Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian

dicetak lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah

liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.

Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada

penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id

bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat

pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah

Kitab pokok atau kitab dasar aqidah ajaran atau paham Wahabi (wahabisme) adalah kitab Al Aqidah

Al Wasithiyah karya Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin

Abdul Wahhab dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi.

Cara atau upaya kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi untuk

menyesatkan para pengikut ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab ditengarai

(diduga) adalah dengan menyodorkan kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat sebagaimana

contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab

sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-

abdul-wahhab-bag-ke-1/

***** awal kutipan *****

Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya

ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.

297
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya

Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.

Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh

Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.

Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan

sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam

mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang

selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan

***** akhir kutipan *****

Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti

pemahaman seorang ulama sebelum bertaubat.

Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan sebuah tulisan berjudul

“Taubatkah Ibnu Taimiyah ke dalam Aqidah Asy’ariyah?” dari sebuah link yang kami arsip (simpan)

dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/07/12/taubatkah-ibnu-taimiyyah/

Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari

pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan

makna dzahir

Memang ada yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian

taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai sidang ke empat hingga ia

wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar

dari http://www.muslimedianews.com/2015/02/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-ditangan.html

Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa Beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala

menerima taubat Beliau.

Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka

menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat)

dengannya sebagaimana informasi yang kami arsip (salin)

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-

ibnu-taimiyyah.pdf

298
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah

(W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.

Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah

(menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul

Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)

Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun

ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para

pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.

Berikut kutipan tulisan ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dari tulisannya

berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah) sebagaimana

contoh yang termuat pada http://mahadilmi.wordpress.com/2011/04/18/allah-turun-ke-langit-dunia/

**** awal kutipan ****

Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan

‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang

muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah

juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan

dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’

di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara

akal kita terbatas untuk melliputi ilmu Allah Ta’ala”

**** akhir kutipan ****

Pemahaman “tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” tentu bukanlah pemahaman para Sahabat atau

Salafush Sholeh namun pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat ketika beliau membaca dan

menjelaskan hadits shahih berikut

“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam

terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang

meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya

akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)

Berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah tersebut, mereka mengatakan bahwa walaupun Tuhan

mereka berada atau bertempat atau menetap tinggi atau bahkan melayang tinggi di atas ‘Arsy

(karena menafikan menempel di atas ‘Arsy) dan setiap sepertiga malam terakhir turun ke langit dunia

299
namun ‘Arsy tidak kosong sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/10/27/akibat-bermazhab-otodidak/

Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam (Q.S. Al Imran [3] : 7), mereka mengikuti ayat-ayat

mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga menimbulkan fitnah sebagaimana yang telah

disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/10/02/mengikuti-ayat-mutasyabih

Contoh fitnah yang lain mereka mengatakan bahwa Rasulullah yang mengatakan Tuhan punya tangan

dan kedua-duanya kanan.

Lalu mereka menyampaikan dalilnya,

Dari Abdullah bin ‘Amr ‫ رضي هللا عنه‬ia berkata: Rasulullah ‫ صلى هللا عليه وسلم‬telah bersabda: “Sesungguhnya

orang-orang yang adil di sisi Allah ‫( عزوجل‬pada hari kiamat) di atas mimbar-mimbar dari nur (cahaya)

di sebelah kanan Ar Rahman ‫ عزوجل‬dan KEDUA TANGAN-Nya adalah KANAN. Yaitu orang-orang yang

berlaku adil di dalam hukum mereka, dan pada kelaurga mereka, dan pada apa yang mereka pimpin”.

(Hadits shahih riwayat. Muslim no 1827 dan Nasaa-i no 5379 dan yang selain dari keduanya.

Fitnah mereka dengan mengatasnamakan Rasulullah maupun Salafush Sholeh sebagai perawi hadits

akibat mereka menemukan, membaca, menterjemahkan dan memahami sebuah hadits shahih secara

otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri dan salah memahaminya sehingga mereka

bertuhan bukan kepada Allah Ta’ala.

Mereka bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat mereka selalu

berpegang pada nash atau dalil secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.

Jelas sekali bahwa apa yang mereka sampaikan bukan aqidah atau pemahaman para Sahabat

(Salafush Sholeh) melainkan aqidah atau pemahaman mereka sendiri menurut akal pikiran mereka

sendiri terhadap nash atau dalil yang mereka baca.

Silahkan periksa tulisannya pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-

tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan.

Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah

dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya

selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.

Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna

metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.

300
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut

Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk

menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan

pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/

Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi

as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya

dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada

tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna

majaz (metaforis atau makna kiasan).

Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh

ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau

makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena

jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak

patut bagiNya.

Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu

balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu

sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan.

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik

dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu

sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para

ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan

orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan

menyesatkan (HR Bukhari 98)

Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan

kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian

diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.

Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan

Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang

cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat)

dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan

301
menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat

sebagaimana yang dipubllikasikan pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html

Berikut kutipannya

***** awal kutipan *****

Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H

hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu

menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :

1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.

2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.

3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.

4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.

Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2

halaman 210 menegaskan :

“‫”وحبس بإحماع العلماء ووالة األمور‬.

“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”

Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan,

khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar

A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.

Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu

Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang

bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang

tidak sependapat dengan mereka.

***** akhir kutipan ******

Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa

dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan

membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah

karena beliau mengutip pendapat ulama terdahulu maupun memahami Al Qur’an dan As Sunnah

bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri

302
dan beliau selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman beliau selalu dengan makna

dzahir

Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:

1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian

menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat

Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah

an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan

biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.

2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al

Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.

3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam

I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.

4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata:

“Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan

wajib dibunuh”.

5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau

mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya

6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu

Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara

(berfirman) dengan huruf dan suara”.

7. Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam berapa karyanya:

– Al I’tibar Bi Baqa al Jannah Wa an-Nar

– Ad-Durrah al Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah

– Syifa as-Saqam fi Ziyarah Khairi al Anam

– An-Nazhar al Muhaqqaq fi al Halif Bi ath-Thalaq al Mu’allaq

– Naqd al Ijtima’ Wa al Iftiraq fi Masa-il alAyman wa ath-Thalaq

– at-Tahqiq fi Mas-alah at Ta’liq

– Raf’ asy-Syiqaq ‘An Mas-alah ath-Thalaq.

303
8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal

dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.

9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti

dijelaskan dalam:

– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.

– Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam.

10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn

Musallam ibn Malik ash-Shalihi al Hanbali (W 762 H).

11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H).

Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul

Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.

12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan

menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam

Rasulullah.

13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.

14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu

Taimiyah dalam empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.

15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya

Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi.

16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua

risalahnya:

– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalahath-Thalaq.

– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalah az-Ziyarah.

17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-

Radd ‘Ala ibn Taimiyah..

18. Al Faqih al Muhaddits Jalal ad-Din Muhammad al Qazwini asy-Syafi’i (W 739 H)

19. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk

memenjarakannya.

304
20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam

dua risalahnya : – Bayan Zaghal al ‘Ilm wa ath-Thalab. – An-Nashihah adz-Dzahabiyyah

21. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al

Muhith.

22. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).

23. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah alKubra.

24. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya :‘Uyun at-

Tawarikh.

25. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al

Mukhtarah Fi ar-Radd ‘Ala Munkir az-Ziyarah.

26. Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri al Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al Mardhiyyah fi ar-

Radd ‘Ala Man Yunkir az- Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan

Al-Barahin as- Sathi’ah karya Al ’Azami.

27. Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743 H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq

28. Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani al- Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhatsal

Jaliyyah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah.

29. Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad, yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H)

dalam : Bayan Musykil al Ahadits al Waridah fi Anna ath-Thalaq ats-Tsalats Wahidah.

30. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya: – Ad-Durar al Kaminah fi

A’yan al Mi-ah ats-Tsaminah – Lisan al Mizan – Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari – Al Isyarah Bi

Thuruq Hadits az-Ziyarah

31. Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-

ilah al Makkiyyah.

32. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli Syuhbah asy- Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadli Syuhbah

33. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa

Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila al Imam Ahmad.

34. Pimpinan para ulama seluruh Afrika, Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803 H).

305
35. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamid ad-Din al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W867 H) dalam

risalahnya Ar-Radd ‘Ala Ibnu

36. Syekh Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki (W899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.

37. Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam Al I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.

38. Ahmad ibn Muhammad Yang dikenal denganIbnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul

an-Nashir fi Raddi Khabath ‘Ali ibn Nashir.

39. Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W 968

H), beliau mencela Ibnu Taimiyah.

40. al Bayyadli al Hanafi (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram Min ‘Ibarat al Imam.

41.Syekh Ahmad ibn Muhammad al Witri (W 980 H) dalam Raudlah an- Nazhirin WaKhulashah

Manaqib ash- Shalihin.

Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

« Ungkapan kalam Allah


Hadits aina Allah »

Contoh bid’ah wajib


12 November 2017 oleh mutiarazuhud

306
Contoh bid’ah hasanah yang hukumnya wajib

Cara para fuqaha (ahli fiqih) dalam menghadapi apapun yang tidak dijumpai pada zaman Rasulullah

dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat

maka mereka menimbangnya dengan hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang

membatasi umat Islam untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib ,

sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.

Para fuqaha (ahli fiqih) menggunakan hukum taklifi untuk menetapkan hukum atas bid’ah atau

perkara baru (muhdats) atau perkara yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah atau tidak dijumpai

dalam Al Qur’an dan As Sunnah mencontoh dan mengikuti para Sahabat seperti Mu’adz bin Jabal ra

yang menerima pujian dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sabdanya, “Ummatku yang

paling tahu akan yang halal dan yang haram ialah Mu’adz bin Jabal”

Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu’adz hampir sama dengan

Umar bin Khathab. Ketika Rasulullah hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, “Apa

yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu’adz?” “Kitabullah,” jawab Mu’adz.

“Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?”, tanya Rasulullah pula. “Saya putuskan dengan

Sunnah Rasul.” “Jika tidak kamu temukan dalam Sunnah Rasulullah?” “Saya pergunakan pikiranku

307
untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia,” jawab Muadz. Maka berseri-serilah wajah

Rasulullah. “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang

diridhai oleh Rasulullah,” sabda beliau.

Imam Ibnu Abdis Salam mencontohkan bid’ah hasanah dan hukumnya wajib adalah menguasai ilmu

tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) sebagai

syarat dasar untuk dapat memahami Al Qur’an dan As Sunnah.

Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah

memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih:

“Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali

dengannya, maka hukumnya wajib”.

Oleh karenanya sebaiknya janganlah mengikuti mereka yang berpendapat atau berfatwa namun

menguasai bahasa Arab hanya artinya dan berbekal makna dzahir saja karena mereka akan

menghempaskan anda ke neraka jahannam

Ad-Dahhak ibnu Muzahim telah menceritakan, bahwa pada suatu hari Ibnu Abbas r.a. berjumpa

dengan seorang qadhi yang sedang memutuskan suatu perkara, lalu ia menendang dengan kakinya

seraya bertanya: “Apakah kamu telah mengetahui tentang mana yang nasikh dan mana yang

mansukh?”, Lalu qadhi itu berkata: “Siapakah yang mengetahui mana yang nasikh dan mana yang

mansukh?”, Ibnu Abbas bertanya kembali: “Jadi kamu masih belum mengetahui mana yang nasikh

dan mana yang mansukh?” Qadhi menjawab: “Tidak”, lalu Ibnu Abbas r.a.berkata: “Kamu ini adalah

orang yang celaka dan mencelakakan.”

Imam Sayyidina Ali r.a. pernah berkata kepada seorang qadhi: Apakah kamu mengetahui nasikh dan

mansukh? Ia menjawab: Tidak. Ali berkata: kamu celaka dan mencelakakan.

Dari Khudzaifah Ibnul Yaman ra , dalam nubuatnya Rasulullah bersabda bahwa kelak akan timbul

fitnah dan perselisihan dari orang-orang Arab sendiri yakni orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah

penduduk Najed dari bani Tamim.

Rasulullah bersabda mereka adalah penyeru menuju pintu jahannam, barangsiapa yang memenuhi

seruan mereka maka mereka akan menghempaskan orang-orang itu ke dalamnya

‫ب َج َهنَّ َم َم ْن أ َ َجابَ ُه ْم ِإلَ ْي َها قَذَفُ ْوهُ فِ ْي َها‬


ِ ‫دُ َعاة ٌ َعلَى أَب َْوا‬

Khudzaifah Ibnul Yaman ra bertanya

308
ْ ‫ص ْف ُه ْم لَنَا قَا َل نَعَ ْم قَ ْو ٌم مِ ْن ِج ْلدَتِنَا َويَتَ َكلَ ُم ْونَ بِأ َ ْل ِسنَتِنَا‬
ُ‫قثلت‬ ِ ِ‫س ْو ُل هللا‬
ُ ‫يَا َر‬

“Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka! Nabi menjawab; Mereka adalah

seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita. (HR Bukhari)

Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti

kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.

Samalah dengan bangsa kita , seberapa banyak orang yang menguasai tata bahasa dan sastra

Indonesia?

Jadi walaupun orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim, bahasa

ibunya adalah bahasa Arab namun tidak mendalami dan menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa

Arab kemudian mereka menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits, lalu menyatakan pendapat atau

menetapkan fatwa maka mereka akan sesat dan menyesatkan.

Untuk memahami Al Qur’an dan Hadits tidak cukup dengan arti bahasa saja dan apalagi hanya

berbekal makna dzahir saja.

Oleh karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) maka

diperlukan kompetensi menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab

atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk

menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga

mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir,

ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada

yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula

nasikh dan mansukh dan lain-lain.

Kalau tidak menguasai ilmu-ilmu tersebut kemudian berpendapat, berfatwa atau beristinbat, menggali

hukum dari Al Qur’an dan Hadits maka akan sesat dan menyesatkan.

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik

dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu

sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para

ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan

orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan

menyesatkan (HR Bukhari 98).

309
Pada hakikatnya orang-orang yang mengaku muslim namun memusuhi bahkan membunuhi muslim

lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka adalah korban hasutan atau korban

ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang

dengan Zionis Yahudi karena kaum yang diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla mempunyai rasa

permusuhan terhadap umat Islam adalah kaum Yahudi

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang

beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)

Mereka yang terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum

Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan zionis Yahudi menjadikan mereka sombong mengikuti

kaum Yahudi.

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu

(pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang

(diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” (QS Al Baqarah [2]

: 87)

Mereka menjadi sombong dan mengabaikan siapapun yang mengingatkan atau memberikan petunjuk

kepada mereka karena mereka hanya berpegang pada pemahaman atau pendapat mereka sendiri

terhadap Al Qur’an dan As Sunnah secara otodidak (shahafi).

Contohnya mereka yang sombong dan merasa lebih pandai dari KH Ahmad Dahlan sebagaimana yang

telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/11/01/disalahkan-pengikutnya/

Contoh penghasut pada masa keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani sekitar tahun 1924 M adalah

seperti Thomas Edward Lawrence, perwira Yahudi Inggris yang dikenal oleh ulama jazirah Arab

sebagai Laurens Of Arabian, selain menghasut untuk membiasakan umat Islam disegi kemajuan dunia

seperti kebiasaan barat, termasuk nasionalisme Arab dan Sekulerisme, ia juga menyebarkan hasutan

supaya umat Islam tidak terikat dan tidak fanatik kepada aliran mazhabiah.

Hasil hasutan Laurens Of Arabian adalah mereka meninggalkan para ulama yang mengikuti Rasulullah

dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.

Mereka meninggalkan Imam Mazhab yang empat, salah satunya karena salah memahami potongan

perkataan Al-Imam Al-Syafi’i, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih,

maka hadits itulah mazhabku)” sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/10/19/menemukan-hadits-shahih/

310
Imam Syafi’i melarang taqlid bagi yang berkompetensi sebagai ahli istidlal (mujtahid) bukan bagi

orang awam

Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang

bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam

bab, atau masalah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“

Imam An Nawawi juga menjelaskan,”Hal ini, apa yang dikatakan As Syafi’i, bukan bermakna bahwa

siapa saja yang melihat hadits shahih dia mengatakan,’ini adalah madzhab As Syafi’i’, dan

mengamalkan dzahirnya. Dan sesungguhnya hal ini bagi siapa yang sampai pada derajat ijtihad dalam

madzhab”. (Al Majmu’, 1/105)

Contoh kajian lainnya qoul Imam Syafi’i dapat dibaca

pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-

adalah-mazhabku-bag-2/

Perbedaan pendapat yang boleh dan dapat diterima adalah perbedaan pendapat di antara ahli istidlal

sedangkan perbedaan pendapat di antara orang awam adalah sesat dan menyesatkan.

“Jika ia benar mendapat dua pahala, jika salah hanya mendapat satu pahala” hanyalah berlaku untuk

ahli istidlal yang dipunyai para fuqaha, yakni ulama yang faqih dalam menggali hukum dari Al Qur’an

dan As Sunnah.

Adapun orang yang bukan ahli istidlal lantas berpendapat dan menghukumi, dia tidak dapat pahala. Ia

justru berdosa karena bukan ahlinya.

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (12/13), Para ulama’ berkata: ”Telah menjadi ijma’ bahwa hadits

ini adalah untuk hakim yang alim dan ahli hukum, jika keputusannya benar maka dia mendapat 2

(dua) pahala yaitu pahala ijtihadnya dan pahala benarnya, jika salah maka dapat satu pahala yaitu

pahala ijtihadnya saja”

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam menjelaskan hadits ini: “(Beliau) mengisyaratkan bahwa tidaklah

mesti – disaat ditolak hukumnya atau fatwanya lantaran berijtihad lalu keliru – maka dia mendapat

dosa dengan (kesalahan) tersebut. Akan tetapi apabila dia telah mengerahkan kemampuannya, maka

ia mendapat pahala, jika (hukumnya) benar, maka digandakan pahalanya. Namun apabila dia

menetapkan hukum atau berfatwa dengan tanpa ilmu maka dia mendapat dosa.” (Fathul Bari:

13/331)

311
Ibnul-Mundzir rahimahullahu berkata : “Seorang hakim yang keliru hanyalah diberi pahala jika ia

seorang yang ‘aalim terhadap metodologi ijtihad, lalu melakukan ijtihad. Jika ia bukan seorang yang

‘aalim, tidak diberikan pahala”. Ia berdalil dengan hadits tiga golongan qaadliy dimana padanya

disebutkan dua golongan yang masuk neraka: “Qaadliy (hakim) yang memutuskan perkara bukan

berdasarkan kebenaran, maka ia masuk neraka. Dan qaadliy (hakim) yang memutuskan perkara

dalam keadaan ia tidak mengetahui (ilmunya), maka ia pun masuk neraka”.

Begitupula hal yang perlu diketahui bahwa ahli hadits berbeda dengan para fuqaha (ahli fiqih).

Ahli hadits tidak berhak untuk bertindak sebagai fuqaha. Oleh karenanya tidak ditemukan penisbatan

nama mazhab kepada nama seorang ahli hadits.

Ahli hadits hanyalah menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya kemudian

mengumpulkan, meneliti dan menyampaikan dalam kitab-kitab hadits atau menyusunnya berdasarkan

nama perawi sehingga menjadi kitab-kitab musnad atau menyusunnya berdasarkan klasifikasi

masalah sehingga menjadi kitab-kitab sunan.

Contoh perbedaan di antara dua Ibnu Hajar yakni Ibnu Hajar Al ‘Asqalani adalah ahli hadits dari

mazhab Syafi’i sedangkan Ibnu Hajar al-Haitami adalah seorang fuqaha dari mazhab Syafi’i sehingga

berhak berpendapat atau berfatwa.

Ibnu Hajar al-Haitami, sebelum umur 20 tahun, Beliau sudah diminta para gurunya untuk mengajar

dan memberi fatwa di Mesir. Beliau berhak berfatwa karena menguasai berbagai ilmu antara lain

tafsir, hadis, ilmu kalam, fikih, ushul fiqh, ilmu waris, ilmu hisab, nahwu, sharaf, ilmu ma’ani, ilmu

bayan, ilmu manthiq dan lain lain.

Tujuan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang ditengarai (diduga) dilancarkan oleh

kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi untuk meninggalkan Imam Mazhab

yang empat dan menghasut untuk berguru atau mengambil pendapat dari mereka yang “kembali

kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran masing-masing

adalah untuk memecah belah dan meruntuhkan ukhuwah Islamiyah dari dalam.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal

pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Contoh penyeru menuju pintu jahannam sehingga akan menghempaskan anda ke neraka jahannam

adalah mereka mengaku muslim namun suka mencela, menyalahkan, menganggap sesat dan bahkan

mengkafirkan umat Islam yang tidak sependapat dengan kitab tafsir Al Qur’an dan kitab Hadits yang

312
mereka baca, terjemahkan dan pahami secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka

sendiri.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan

membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).

Bagi orang-orang yang fasik, tempat mereka adalah neraka jahannam.

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah

jahannam” (QS Sajdah [32]:20)

Mereka yang suka mencela karena belum dapat melihat Allah dengan hatinya sebagaimana yang telah

disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/11/09/mengapa-suka-mencela/

Habib Ali Al Jufri,

“Ketika aku mendengar orang berbicara atas nama Islam dengan bahasa yang kasar serta caci-maki.”

“Aku bersyukur kepada Allah, tidak memahami Islam lewat lisan mereka”

Salah dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena bukan ahli istidlal akan menimbulkan

perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan sehingga

timbullah FIRQAH DALAM ISLAM dengan nama-nama pemimpinnya masing-masing.

Contohnya sebagaimana turunan Salafi Wahabi (nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahhab) seperti

Salafi Suruuriyyah (nisbat kepada Muhammad Suruur), Salafi Haddaadiyyah (nisbat kepada Mahmuud

Al-Haddaad Al-Mishri) dan salafi-salafi lainnya

Contoh lainnya pengikut Ali Hasan Al Halabi dinamakan oleh salafi yang lain sebagai Halabiyun

sebagaimana contoh publikasi mereka pada http://atsarsunnah.wordpress.com/2013/11/20/demi-

halabiyun-rodja-asatidzah-ahlussunnah-pun-dibidiknya/

Berikut kutipannya

***** awal kutipan *****

Kita lanjutkan sedikit pemaparan bukti dari kisah Haris, Jafar Salih dkk.

Cileungsi termasuk daerah terpapar virus Halabiyun Rodja pada ring pertama.

Tak heran jika kepedulian asatidzah begitu besar terhadap front terdepan (disamping daerah Jakarta

tentunya).

313
Daurah-daurah begitu intensif dilaksanakan, jazahumullahu khaira. Kemarahan mereka telah kita

saksikan bersama dan faktanya, amarah/ketidaksukaan ini juga mengalir deras pada sebagian dai

yang menisbahkan diri dan dakwahnya sebarisan dengan kita.

Berdusta (atas nama Asy Syaikh Muqbil rahimahullah-pun) dilakukan, menjuluki sebagai Ashhabul

Manhaj sebagaimana yang dilontarkan dengan penuh semangat oleh Muhammad Barmim, berupaya

mengebiri pembicaraan terkait kelompok-kelompok menyimpang sampaipun Sofyan Ruray

mengumumkan melalui akun facebooknya keputusan seperempat jam saja

****** akhir kutipan ******

Asy-Syathibi mengatakan bahwa orang-orang yang berbeda pendapat atau pemahaman sehingga

menimbulkan perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus

hubungan. maka mereka menjadi firqah-firqah dalam Islam sebagaimana yang Beliau sampaikan

dalam kitabnya, al-I’tisham yang kami arsip

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/27/ciri-aliran-sesat/

Jadi FIRQAH DALAM ISLAM timbul ketika sebuah kelompok kaum muslim (jama’ah minal muslimin)

atau sebuah ormas (organisasi kemasyarakatan) menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang

atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan Hadits namun mereka

tidak berkompetensi sebagai ahli istidlal apalagi sebagai imam mujtahid mutlak atau mufti mustaqil

Sering timbul pertanyaan apakah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Ikhwanul Muslimin dan

organisasi-organisasi seperti itu termasuk kedalam firqah atau sekte dalam Islam ?

Organisasi-organisasi seperti itu sekedar jama’ah minal muslimin atau kumpulan kaum muslim atau

disebut organisasi kemasyarakatan yakni mereka yang menerapkan atau merealisasikan atau

mengimplementasikan sholat berjama’ah dalam kehidupan bermasyarakat.

Organisasi-organisasi seperti itu tidak termasuk kedalam firqah atau sekte dalam Islam selama

mereka bermazhab dengan imam mazhab yang mumpuni.

Sekelompok umat Islam (jama’ah minal muslimin) seperti sebuah ormas (organisasi kemasyarakatan)

yang mengikuti Imam Mazhab yang empat tidaklah dikatakan berfirqah.

Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya

furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab

itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh

314
bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya

berbeda.

Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang

satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka

yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.

Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah

rahmat”. sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/21/perbedaan-adalah-rahmat/

Imam Mazhab yang empat walaupun mereka tidak maksum namun mereka diakui oleh jumhur ulama

sejak dahulu kala sampai sekarang sebagai ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak

sehingga patut untuk dijadikan pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat bagi kaum muslim.

Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.

Contohnya Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena

bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari

tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq,

pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir.

Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi

untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam

Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari

yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah

Jadi bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang

tidak lagi bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush Sholeh.

Memang ada mazhab selain yang empat, namun pada masa sekarang sudah sulit ditemukan ulama

yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari imam mazhab selain yang empat sehingga tidak mudah

untuk menjadikannya tempat bertanya.

Sebagaimana pepatah mengatakan “malu bertanya sesat di jalan” maka kesesatan dapat timbul dari

keengganan untuk bertanya kepada orang-orang yang dianugerahi karunia hikmah oleh Allah Azza wa

Jalla.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya

315
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS.

an-Nahl : 43]

“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui”

(QS Fush shilat [41]:3)

Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.

Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai

seorang penunjuk

Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak

memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran“.

(QS Al A’raf [7]:43)

Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Penunjuk

para Tabi’in adalah para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk

kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat.

Contohnya Imam Mujtahid telah mengingatkan bahwa jika salah dalam berijtihad dan beristinbat

(menggali hukum) dari Al Qur’an dan Hadits dapat terjerumus perbuatan menyekutukan Allah yakni

melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau

sebaliknya mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya sebagaimana yang telah

disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/10/19/suka-mewajibkan/

Firman Allah yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang

timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu

menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu

mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian

ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal,

Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada

mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka

sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan

Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)

316
Bahkan Adz Dzahabi murid Ibnu Taimiyyah sendiri dalam kitab beliau Al Kabair (mengenai dosa-dosa

besar) berkata, “Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk kekufuran

yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Tidak ragu lagi bahwa siapa saja yang sengaja

berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghalalkan yang haram dan

mengharamkan yang halal berarti ia melakukan kekufuran.

Contoh yang lain akibat mereka menemukan, membaca, menterjemahkan dan memahami sebuah

hadits shahih secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri dan salah memahaminya

sehingga mereka bertuhan bukan kepada Allah Ta’ala.

Mereka bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat mereka selalu

berpegang pada nash atau dalil secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.

Silahkan periksa tulisannya pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-

tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam (Q.S. Al Imran [3] : 7), mereka mengikuti ayat-ayat

mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga menimbulkan fitnah

Fitnah mereka dengan mengatasnamakan Rasulullah maupun Salafush Sholeh sebagai perawi hadits

dengan mereka mengatakan bahwa Tuhan punya tangan dan kedua-duanya kanan.

Jelas sekali bahwa apa yang mereka sampaikan bukan aqidah atau pemahaman para Sahabat

(Salafush Sholeh) melainkan aqidah atau pemahaman mereka sendiri menurut akal pikiran mereka

sendiri terhadap nash atau dalil yang mereka baca.

Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami (W 974H) pernah ditanya tentang ungkapan yang berbunyi,

“Hadits itu menyesatkan kecuali untuk para ahli fikih,” apakah itu hadits atau bukan, dan apa

maknanya, padahal mengetahui hadits termasuk salah satu syarat seseorang disebut sebagai ahli

fikih? Mana yang lebih mulia dan utama, ahli fikih atau ahli hadits ?

Beliau menjawab: Itu bukan hadits, melainkan ucapan Ibnu ‘Uyainah (*) atau selainnya. Makna

ungkapan itu adalah bahwa hadits seperti Al Quran, ada yang lafalnya umum tapi maknanya khusus

dan sebaliknya, ada yang nasikh dan ada yang mansukh, ada juga yang tidak diamalkan, ada yang

lafalnya musykil (bermasalah), jika dipahami secara dzahir (literal) dapat menimbulkan pemahaman

tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) seperti hadits yang berbunyi, “yanzilu Rabbuna… dst.”

Tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fikih. Berbeda dengan mereka yang

hanya mengerti hadits saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadits

317
zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya. Dari sini,

dapat diketahui keutamaan para ahli fikih yang memiliki pemahaman dibandingkan dengan para ahli

hadits yang tidak memiliki pemahaman. (Al Fatawa Al Haditsiyah halaman 202)

*) Ibnu ‘ Uyainah nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran, salah seorang Tabi’i tsiqoh,

dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H.

Di atas, Imam Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa hadits itu dapat menyesatkan kecuali bagi

para fuqaha (ahli fikih) seperti hadits yang mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya (jika dipahami

selalu dengan makna dzahir) membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… dan

kesesatan tersebut di alami ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat dan diikuti oleh

para pengikutnya.

Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti

pemahaman seorang ulama sebelum bertaubat.

Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan sebuah tulisan berjudul

“Taubatkah Ibnu Taimiyah ke dalam Aqidah Asy’ariyah?” dari sebuah link yang kami arsip (simpan)

dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/07/12/taubatkah-ibnu-taimiyyah/

Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari

pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan

makna dzahir

Memang ada yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian

taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai sidang ke empat hingga ia

wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar

dari http://www.muslimedianews.com/2015/02/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-ditangan.html

Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa Beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala

menerima taubat Beliau.

Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka

menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat)

dengannya sebagaimana informasi yang kami arsip (salin)

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-

ibnu-taimiyyah.pdf

318
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah

(W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.

Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah

(menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul

Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)

Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun

ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para

pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.

Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang

merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad

bin Abdul Wahhab.

Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak

lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil

Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.

Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada

penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id

bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat

pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah

Berikut kutipan tulisan ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dari tulisannya

berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah) sebagaimana

contoh yang termuat pada http://mahadilmi.wordpress.com/2011/04/18/allah-turun-ke-langit-dunia/

**** awal kutipan ****

Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan

‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang

muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah

juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan

dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’

di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara

akal kita terbatas untuk melliputi ilmu Allah Ta’ala”

**** akhir kutipan ****

319
Pemahaman “tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” tentu bukanlah pemahaman para Sahabat atau

Salafush Sholeh namun pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat ketika beliau membaca dan

menjelaskan hadits shahih berikut

“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam

terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang

meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya

akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)

Berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah tersebut, mereka mengatakan bahwa walaupun Tuhan

mereka berada atau bertempat atau menetap tinggi atau bahkan melayang tinggi di atas ‘Arsy

(karena menafikan menempel di atas ‘Arsy) dan setiap sepertiga malam terakhir turun ke langit dunia

namun ‘Arsy tidak kosong sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/10/27/akibat-bermazhab-otodidak/

Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan

kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian

diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.

Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan

Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang

cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat)

dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan

menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat

sebagaimana yang dipubllikasikan pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html

Berikut kutipannya

***** awal kutipan *****

Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H

hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu

menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :

1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.

2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.

3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.

320
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.

Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2

halaman 210 menegaskan :

“‫”وحبس بإحماع العلماء ووالة األمور‬.

“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”

Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan,

khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar

A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.

Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu

Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang

bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang

tidak sependapat dengan mereka.

***** akhir kutipan ******

Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa

dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan

membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah.

Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:

1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian

menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat

Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah

an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan

biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.

2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al

Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.

3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam

I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.

321
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata:

“Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan

wajib dibunuh”.

5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau

mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya

6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu

Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara

(berfirman) dengan huruf dan suara”.

7. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal

dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.

8. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau

semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi

Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.

9. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan

menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam

Rasulullah.

Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

« Mengapa suka mencela


Contoh bid’ah wajib »

Ungkapan kalam Allah


10 November 2017 oleh mutiarazuhud

322
Bacaan Al Qur’an adalah ibarah atau ungkapan dari pada sifat kalam Allah yang kekal

Ustadz panutan mereka, Firanda Andirja memvonis Asyariyah sesat karena melakukan takwil terhadap

sifat-sifat Allah sebagaimana yang kita saksikan dalam video

pada http://www.youtube.com/watch?v=Q3vBvrlIdn8

Mereka menuduh Asyariyah sesat karena berkeyakinan bahwa al-Qur’an bukan kalamullah dan

menyamakannya dengan Mu’tazilah

Mereka menuduh Asyariyah sesat karena berkeyakinan bahwa al-Qur’an yang kita baca sekarang

adalah ibarat dan karangan Nabi Muhammad

Mereka tampaknya belum dapat membedakan antara Sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah ad-

Dzati) dengan bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal)

Hal yang dimaksud Al Qur’an bukan makhluk adalah mengacu pada sifat kalam Allah yang kekal

(Kalam Allah ad-Dzati) yang bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa karena huruf, suara maupun

bahasa adalah makhluk (diciptakan)

323
Sedangkan Bacaan Al-Qur’an adalah lafazh-lafazh yang diturunkan (al-Lafzh al-Munazzal), yang ditulis

dengan tinta di antara lebaran-lembaran kertas (al-Maktub Bain al-Masha-hif), yang dibaca dengan

lisan (al-Maqru’ Bi al-Lisan), dan dihafalkan di dalam hati (al-Mahfuzh Fi ash-Shudur) adalah berupa

bahasa Arab, tersusun dari huruf-huruf, serta berupa suara saat dibaca.

Tentulah huruf, suara maupun bahasa adalah makhluk (diciptakan) sehingga bacaan Al-Qur’an dalam

pengertian al-Lafzh al-Munazzal maka ia adalah makhluk (diciptakan).

Bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal) adalah ibarah atau ungkapan dari pada sifat kalam Allah yang

kekal (Kalam Allah al-Dzati) yang bukan suara, bukan huruf-huruf, dan bukan bahasa.

Sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah ad-Dzati) adalah qadim, tanpa permulaan dan tanpa

penghabisan serta tidak menyerupai sifat kalam yang ada pada makhluk.

Sifat kalam pada makhluk berupa huruf-huruf, suara dan bahasa.

Oleh sebab itu kita tidak percaya bahwa kalam Allah ada permulaannya, atau kalamNya itu adalah

suatu tindakan seperti pembicaraan kita, karena dengan hal itu berarti Allah butuh kepada selainNya

untuk menciptakan kalamNya supaya menjadi sempurna.

Suatu ketidaksempurnaan jika kalamNya untuk mengungkapkan apa yang diketahuiNya itu berupa

serial (kata-kata berurutan, perkataan satu demi satu, atau perkataan dengan huruf atau suara),

karena kalam yang terdiri dari ekspresi serial itu pasti memiliki awal dan akan ada penundaan

(dimensi waktu) dalam menginformasikan semua yang diketahuiNya.

Contoh dalam “Bismillah”, misalnya “i” ada setelah datang “b”, sehingga ketika anda mengatakan

Bismillah, suara “i” hanya menjadi ada setelah ketidak adaan “b”

Pada hakikatnya kita tidak boleh mengimani sifat Allah yang dipengaruhi atau dibatasi oleh ciptaanNya

seperti dimensi ruang dan waktu.

Allah Azza wa Jalla dengan sifat kalamNya tidak membutuhkan atau tidak dipengaruhi atau dibatasi

kepada ciptaanNya seperti dimensi ruang dan waktu.

Kalam yang terdiri dari suara dan huruf adalah kalam ciptaan, karena alasan ini seseorang tidak boleh

mengatakan bahwa sifat kalam Allah yang kekal adalah huruf dan suara, karena Allah berfirman yang

artinya: “tidak ada sesuatu yang menyerupai Dia” (QS Asy Syuura [53]:11)

324
Imam Abu Hanifah (150 H) mengatakan “Kami berbicara dengan alat dan huruf sedangkan Allah

Ta’ala berbicara tanpa alat dan huruf, sedangkan huruf itu makhluk dan kalamullah bukanlah makhluk

“. (Disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Akbar,al-Washiyyah, al-Alim w al-Muta’allim dan lainnya)

Al-Imam al-Isfiraini (w 418 H) mengatakan : “Dan hendaknya kamu mengetahui bahwa

sesungguhnya kalam Allah itu tidaklah dengan huruf dan suara karena huruf dan suara mengandung

bolehnya pendahuluan dan pengakhiran, yang demikian itu mustahil bagi Allah yang Maha Qadim “.

(at-Tafsir fiddin : 102)

Imam Al-Qurthubi mengatakan : “ Fasal. Hadits “ Maka diserukan dengan suara “, dijadikan hujjah

oleh orang yang berkata Allah berbicara dengan huruf dan suara, sungguh Maha Suci Allah sesuci-

sucinya dari apa yang diucapkan kaum mujassimah dan pengingkar, sesungguhnya nida (seruan)

yang dinisbatkan kepada Allah diartikan seruan sebagian malaikat muqarrabin Allah dengan izin dan

perintah-Nya “. (at-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah : 338)

Begitupula pada hari kiamat kelak, Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dari bangsa manusia

dan jin.

Allah akan memperdengarkan Kalam-Nya kepada setiap orang dari mereka.

Mereka akan memahami dari kalam Allah tersebut pertanyaan-pertanyaan tentang segala apa yang

telah mereka kerjakan, segala apa yang mereka katakan, dan segala apa yang mereka yakini ketika

mereka hidup di dunia.

Mereka akan memahami dari kalam Allah yang bukan huruf dan suara sehingga tidak diperlukan

penterjemah

Rasulullah bersabda: “Setiap orang akan Allah perdengarkan Kalam-Nya kepadanya (menghisabnya)

pada hari kiamat, tidak ada penterjemah antara dia dengan Allah”. (HR. al-Bukhari)

Mereka akan memahami dari kalam Allah yang bukan huruf dan suara, tanpa penterjemah, dan yang

tidak dipengaruhi dimensi ruang dan waktu.

Allah Azza wa Jalla akan menghisab seluruh hamba-Nya dalam waktu yang sangat singkat

sebagaimana firmanNya yang artinya “dan Dia Allah yang menghisab paling cepat (QS Al An’am

[6]:62]

325
Seandainya Allah menghisab mereka dengan suara, susunan huruf, dan dengan bahasa, maka Allah

akan membutuhkan waktu beratus-ratus ribu tahun untuk menyelesaikan hisab tersebut, karena

makhluk Allah sangat banyak.

Jelaslah seandainya Kalam Allah berupa suara, huruf, dan bahasa maka dalam menghisab semua

makhluk tersebut Allah akan membutuhkan kepada waktu yang sangat panjang. Karena dalam

penggunaan huruf-huruf dan bahasa jelas membutuhkan kepada waktu.

Huruf berganti huruf, kemudian kata menyusul kata, dan demikian seterusnya. Dan bila demikian

maka maka berarti Allah bukan sebagai Asra’ al-Hasibin (Penghisab yang paling cepat), tapi

sebaliknya; Abtha’ al-Hasibin (Penghisab yang paling lambat). Tentunya hal ini mustahil bagi Allah.

Al-Imam al-Mutakallim Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi dalam kitab Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu’tadi

menuliskan sebagai berikut:

“Asy-Syaikh al-Imam Abu Ali al-Hasan ibn Atha’ pada tahun 481 H ketika ditanya sebuah

permasalahan berkata: Sesungguhnya huruf-huruf itu dalam penggunaannya saling mendahuli satu

atas lainnya. Pergantian saling mandahului antara huruf seperti ini tidak dapat diterima oleh akal jika

terjadi pada Allah yang maha Qadim. Sebab pengertian bahwa Allah maha Qadim adalah bahwa Dia

ada tanpa permulaan, sementara pergantian huruf-huruf dan suara adalah sesuatu yang baharu

(huduts) yang memiliki permulaan; tidak Qadim.

Kemudian seluruh sifat-sifat Allah itu Qadim; tanpa permulaan, termasuk sifat Kalam-Nya.

Seandainya Kalam Allah tersebut berupa huruf-huruf dan suara maka berarti pada kalam-Nya tersebut

terjadi pergantian antara satu huruf dengan lainnya, antara satu suara dengan suara lainnya, dan bila

demikian maka Dia akan disibukan oleh perkara tersebut. Padahal Allah tidak disibukan oleh satu

perkara atas perkara yang lain.

Dengan demikian harus dibedakan antara bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal) dan Sifat kalam

Allah yang kekal (al-Kalam adz-Dzati). Sebab apa bila tidak dibedakan antara dua perkara ini, maka

setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an akan mendapatkan gelar “Kalimullah” sebagaimana

Nabi Musa alaihi salam yang telah mendapat gelar “Kalimullah”.

Tentu hal ini menjadi rancu dan tidak dapat diterima. Padahal, Nabi Musa mendapat gelar “Kalimullah”

adalah karena beliau pernah mendengar dan memahami al-Kalam adz-Dzati yang bukan berupa

huruf, bukan suara dan bukan bahasa.

326
Seandainya setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an mendapat gelar “Kalimullah” seperti gelar

Nabi Musa alaihi salam maka berarti tidak ada keistimewaan sama sekali bagi Nabi Musa alaihi salam

yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah” tersebut.

Dalam al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan apa bila seseorang dari orang-orang

musyrik meminta perlidungan darimu (wahai Muhammad) maka lindungilah ia hingga ia mendengar

Kalam Allah”. (QS. at-Taubah: 6).

Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam untuk memberikan

perlidungan kepada seorang kafir musyrik yang diburu oleh kaumnya, jika memang orang musyrik ini

meminta perlindungan darinya. Artinya, Orang musyrik ini diberi keamanan untuk hidup di kalangan

orang-orang Islam hingga ia mendengar Kalam Allah. Setelah orang musyrik tersebut diberi

keamanan dan mendengar Kalam Allah, namun ternyata ia tidak mau masuk Islam, maka ia

dikembalikan ke wilayah tempat tinggalnya.

Dalam ayat ini, yang dimaksud bahwa orang musyrik tersebut “mendengar Kalam Allah” adalah

mendengar bacaan kitab al-Qur’an yang berupa lafazh-lafazh dalam bentuk bahasa Arab (al-Lafzh al-

Munazzal), bukan dalam pengertian mendengar al-Kalam adz-Dzati. Sebab jika yang dimaksud

mendengar al-Kalam adz-Dzati maka berarti sama saja antara orang musyrik tersebut dengan Nabi

Musa yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah”. Dan bila demikian maka berarti orang musyrik

tersebut juga mendapatkan gelar “Kalimullah”, persis seperti Nabi Musa. Tentunya hal ini tidak bisa

dibenarkan.

Begitupula firman Allah: “Kun Fayakun” (QS. Yasin: 82).

Dalam al-Qur’an Allah berfirman: “Inama Amruhu Idza Arada Sya’ian An Yaqula Lahu Kun Fayakun”

(QS. Yasin: 82).

Makna ayat ini bukan berarti bahwa setiap Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka dia

berkata: “Kun”, dengan huruf “Kaf” dan “Nun” yang artinya “Jadilah…!”.

Karena seandainya setiap berkehendak menciptakan sesuatu Allah harus berkata “Kun”, maka dalam

setiap saat perbuatan-Nya tidak ada yang lain kecuali hanya berkata-kata: “kun, kun, kun…”.

Hal ini tentu mustahil atas Allah. Karena sesungguhnya dalam waktu yang sesaat saja bagi kita, Allah

maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang tidak terhitung jumlanya.

327
Deburan ombak di lautan, rontoknya dedaunan, tetesan air hujan, tumbuhnya tunas-tunas, kelahiran

bayi manusia, kelahiran anak hewan dari induknya, letusan gunung, sakitnya manusia dan

kematiannya, serta berbagai peristiwa lainnya, semua itu adalah hal-hal yang telah dikehendaki Allah

dan merupakan ciptaan-Nya. Semua perkara tersebut bagi kita terjadi dalam hitungan yang sangat

singkat, bisa terjadi secara beruntun bahkan bersamaan.

Adapun sifat perbuatan Allah sendiri (Shifat al-Fi’il) tidak terikat oleh waktu. Allah menciptakan segala

sesuatu, sifat perbuatan-Nya atau sifat menciptakan-Nya tersebut tidak boleh dikatakan “di masa

lampau”, “di masa sekarang”, atau “di masa mendatang”. Sebab perbuatan Allah itu azali, tidak

seperti perbuatan makhluk yang baharu.

Perbuatan Allah tidak terikat oleh waktu, dan tidak dengan mempergunakan alat-alat. Benar, segala

kejadian yang terjadi pada alam ini semuanya baharu, semuanya diciptakan oleh Allah, namun sifat

perbuatan Allah atau sifat menciptakan Allah (Shifat al-Fi’il) tidak boleh dikatakan baharu.

Kemudian dari pada itu, kata “Kun” adalah bahasa Arab yang merupakan ciptaan Allah (al-Makhluk).

Sedangkan Allah adalah Pencipta (Khaliq) bagi segala bahasa. Maka bagaimana mungkin Allah sebagai

al-Khaliq membutuhkan kepada ciptaan-Nya sendiri (al-Makhluq)?!

Seandainya Kalam Allah merupakan bahasa, tersusun dari huruf-huruf, dan merupakan suara, maka

berarti sebelum Allah menciptakan bahasa Dia diam; tidak memiliki sifat Kalam, dan Allah baru

memiliki sifat Kalam setelah Dia menciptakan bahasa-bahasa tersebut. Bila seperti ini maka berarti

Allah baharu, persis seperti makhluk-Nya, karena Dia berubah dari satu keadaan kepada keadaan

yang lain. Tentu hal seperti ini mustahil atas Allah.

Dengan demikian makna yang benar dari ayat dalam QS. Yasin: 82 diatas adalah sebagai ungkapan

bahwa Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa

ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk

menciptakan segala sesuatu yang Ia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat akan terjadi, tanpa

ada penundaan sedikitpun dari waktu yang Ia kehendakinya.

Salah satu hal yang membuat orang-orang terjerumus mengikuti aqidah Wahabisme penerus

kebid’ahan Ibnu Taimiyyah adalah syubhat, propaganda atau fitnah yang mengatakan bahwa Imam

Abu al-Hassan al-Asy`ari telah bertaubat dua kali alias melalui tiga fase pemikiran

Apakah benar tuduhan mereka bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari melalui tiga fase pemikiran dan fase

terakhir adalah Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan metodologi Ibn Kullab dan berpindah ke

328
metodologi Salaf serupa yang dipahami oleh ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul

Wahhab penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah ?

Contoh jawabannya dapat ditemukan

pada http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/05/benarkah-imam-abu-hasan-al-asyari-

melalui-3-fase-pemikiran/

Sejarawan terkemuka, Ibn Khaldun berkata: “Hingga akhirnya tampil Syaikh Abu al-Hassan al-Asy`ari

dan berdebat dengan sebagian tokoh Muktazilah tentang masalah-masalah shalah dan aslah, lalu dia

membantah metodologi mereka (Muktazilah) dan mengikut pendapat Abdullah bin Said bin Kullab,

Abu al-Abbas al-Qalanisi dan al-Harits al-Muhasibi dari kalangan pengikut Salaf dan Ahl al-Sunnah”.

(Ibn Khaldum(2001), al-Muqaddimah, Dar al-Fikr, Beirut, ed. Khalil Syahadah, hal. 853)

Fakta yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun tersebut menyimpulkan bahwa setelah al-Imam Abu al-

Hassan al-Asy`ari keluar daripada faham Muktazilah, beliau mengikuti mazhab Abdullah bin Sa`id bin

Kullab, al-Qalanisi dan al-Muhasibi yang merupakan pengikut ulama’ Salaf alias Ahlussunnah wal

Jama`ah.

Dalam Muktamar Internasional Ahlussunnah wal Jama’ah di Chechnya, bulan Agustus 2016, dimana

salah satu hal yang dibahas adalah adanya pihak yang menganggap (menuduh) Asyariyah dan

Maturidiyah bukan Ahlusssunnah wal Jama’ah sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/09/07/hasil-muktamar-di-chechnya/

Mereka menganggap Asyariyah bukan pengikut Imam Abu al Hasan al Asy’ari, salah satunya karena

mereka berpegang pada kitab Al Ibanah yang telah dipalsukan sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/09/21/bi-la-kayf/

Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti

pemahaman seorang ulama sebelum bertaubat.

Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan sebuah tulisan berjudul

“Taubatkah Ibnu Taimiyah ke dalam Aqidah Asy’ariyah?” dari sebuah link yang kami arsip (simpan)

dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/07/12/taubatkah-ibnu-taimiyyah/

Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari

pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan

makna dzahir

329
Memang ada yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian

taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai sidang ke empat hingga ia

wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar

dari http://www.muslimedianews.com/2015/02/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-ditangan.html

Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa Beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala

menerima taubat Beliau.

Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka

menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat)

dengannya sebagaimana informasi yang kami arsip (salin)

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-

ibnu-taimiyyah.pdf

Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah

(W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.

Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah

(menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul

Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)

Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun

ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para

pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.

Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang

merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad

bin Abdul Wahhab.

Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak

lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil

Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.

Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada

penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id

bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat

pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah

330
Berikut kutipan tulisan ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dari tulisannya

berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah) sebagaimana

contoh yang termuat pada http://mahadilmi.wordpress.com/2011/04/18/allah-turun-ke-langit-dunia/

**** awal kutipan ****

Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan

‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang

muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah

juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan

dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’

di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara

akal kita terbatas untuk melliputi ilmu Allah Ta’ala”

**** akhir kutipan ****

Pemahaman “tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” tentu bukanlah pemahaman para Sahabat atau

Salafush Sholeh namun pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat ketika beliau membaca dan

menjelaskan hadits shahih berikut

“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam

terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang

meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya

akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)

Berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah tersebut, mereka mengatakan bahwa walaupun Tuhan

mereka berada atau bertempat atau menetap tinggi atau bahkan melayang tinggi di atas ‘Arsy

(karena menafikan menempel di atas ‘Arsy) dan setiap sepertiga malam terakhir turun ke langit dunia

namun ‘Arsy tidak kosong sebagaimana yang telah disampaikan

pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/10/27/akibat-bermazhab-otodidak/

Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam (Q.S. Al Imran [3] : 7), mereka mengikuti ayat-ayat

mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga menimbulkan fitnah sebagaimana yang telah

disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/10/02/mengikuti-ayat-mutasyabih

Contoh fitnah yang lain mereka mengatakan bahwa Rasulullah yang mengatakan Tuhan punya tangan

dan kedua-duanya kanan.

Lalu mereka menyampaikan dalilnya,

331
Dari Abdullah bin ‘Amr ‫ رضي هللا عنه‬ia berkata: Rasulullah ‫ صلى هللا عليه وسلم‬telah bersabda: “Sesungguhnya

orang-orang yang adil di sisi Allah ‫( عزوجل‬pada hari kiamat) di atas mimbar-mimbar dari nur (cahaya)

di sebelah kanan Ar Rahman ‫ عزوجل‬dan KEDUA TANGAN-Nya adalah KANAN. Yaitu orang-orang yang

berlaku adil di dalam hukum mereka, dan pada kelaurga mereka, dan pada apa yang mereka pimpin”.

(Hadits shahih riwayat. Muslim no 1827 dan Nasaa-i no 5379 dan yang selain dari keduanya.

Fitnah mereka dengan mengatasnamakan Rasulullah maupun Salafush Sholeh sebagai perawi hadits

akibat mereka menemukan, membaca, menterjemahkan dan memahami sebuah hadits shahih secara

otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri dan salah memahaminya sehingga mereka

bertuhan bukan kepada Allah Ta’ala.

Mereka bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat mereka selalu

berpegang pada nash atau dalil secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.

Jelas sekali bahwa apa yang mereka sampaikan bukan aqidah atau pemahaman para Sahabat

(Salafush Sholeh) melainkan aqidah atau pemahaman mereka sendiri menurut akal pikiran mereka

sendiri terhadap nash atau dalil yang mereka baca.

Silahkan periksa tulisannya pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-

tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan.

Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah

dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya

selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.

Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna

metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.

Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut

Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk

menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan

pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/

Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi

as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya

dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada

tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna

majaz (metaforis atau makna kiasan).

332
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh

ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau

makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena

jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak

patut bagiNya.

Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu

balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu

sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan.

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik

dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu

sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para

ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan

orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan

menyesatkan (HR Bukhari 98)

Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan

kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian

diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.

Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan

Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang

cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat)

dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan

menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat

sebagaimana yang dipubllikasikan pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html

Berikut kutipannya

***** awal kutipan *****

Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H

hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu

menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :

1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.

333
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.

3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.

4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.

Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2

halaman 210 menegaskan :

“‫”وحبس بإحماع العلماء ووالة األمور‬.

“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”

Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan,

khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar

A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.

Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu

Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang

bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang

tidak sependapat dengan mereka.

***** akhir kutipan ******

Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa

dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan

membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah.

Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:

1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian

menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat

Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah

an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan

biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.

2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al

Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.

3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam

I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.

334
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata:

“Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan

wajib dibunuh”.

5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau

mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya

6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu

Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara

(berfirman) dengan huruf dan suara”.

7. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal

dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.

8. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau

semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi

Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.

9. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan

menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam

Rasulullah.

Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

« Hadits shahih mensirrkan


Hadiah bacaan Salaf »

Memahami sunnah taqririyyah


22 Oktober 2017 oleh mutiarazuhud

335
Kekeliruan dalam memahami sunnah taqririyyah dan sunnah Khulafaur Rasyidin

Keliru kalau mengatakan sunnah taqririyyah adalah penetapan syariat baru oleh para Sahabat karena

yang menetapkan syariat adalah Rasulullah berdasarkan apa yang diwahyukanNya.

Diamnya Rasulullah atau Rasulullah membolehkan apa-apa yang tidak dilakukan atau tidak

dicontohkan oleh Rasulullah karena perkara baru (muhdats / bid’ah) atau kebiasaan baru tersebut

memang ditetapkan oleh Rasulullah bukan perkara terlarang.

Contohnya bid’ah hasanah atau kebiasaan yang tidak diajarkan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah

adalah para Sahabat yang mempunyai kebiasaan selalu membaca surah al Ikhlas dalam sholatnya

sehingga kebiasaan tersebut dipertanyakan oleh Sahabat yang lain

Diriwayatkan ketika Imam Masjid Quba setiap kali sholat ia selalu membaca surat Al Ikhlas, setiap

sholat ia selalu membaca surat Al Fatihah, Al Ikhlas, baru surat lainnya. Ada orang yang

mengadukannya pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian ia ditanya oleh Rasulullah

shallallahu alaihi wasallam : Mengapa kau melakukan hal itu? Maka ia menjawab : “inniy uhibbuhaa” ,

336
Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka

iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada kami Ibn Wahb telah

menceritakan kepada kami Amru dari Ibnu Abu Hilal bahwa Abu Rijal Muhammad bin Abdurrahman

menceritakan kepadanya dari Ibunya Amrah binti Abdurrahman yang dahulu dalam asuhan Aisyah

isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari ‘Aisyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah

mengutus seorang laki-laki dalam sebuah eskpedisi militer, lantas laki-laki tersebut membaca untuk

sahabatnya dalam shalatnya dengan QULHUWALLAHU AHAD (Surat al Ikhlash) dan menutupnya juga

dengan surat itu. Dikala mereka pulang, mereka menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi

wasallam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tolong tanyailah dia, mengapa dia

berbuat sedemikian? ‘ Mereka pun menanyainya, dan sahabat tadi menjawab, ‘Sebab surat itu adalah

menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’ Spontan Nabi

shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya. (HR

Bukhari 6827)

Kebiasaan membaca surat Al Ikhlas didiamkan atau tidak dilarang atau diperbolehkan oleh Rasulullah

karena ditetapkan oleh Rasulullah ada bagian dari sholat yang memang tidak terlarang untuk berbeda

atau baru.

Contoh lainnya Abdulah bin Umar ra. menambahkan lafaz tahiyat sebagaimana dalam HR Abu Daud

dalam Sunannya. Adapun lafaz tahiyat yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

adalah;

Asyhadu an la Ilaha Illallah, Ibn Umar berkata; saya menambahkan Wahdahu la syarikalah…(HR. Abu

Daud).

Salah seorang sahabat yang bernama Rifa’ah bin Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata; Suatu hari

kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Ketika beliau mengangkat

kepala setelah ruku’ beliau membaca: Sami’allahu Liman Hamidah, tiba-tiba salah seorang makmum

berkata;

‫ار ًكا فِ ْي ِه‬ َ ‫َربَّنَا َولَكَ ْال َح ْمدُ َح ْمدًا َكثِي ًْرا‬
َ َ‫طيِّبًا ُمب‬

Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: Siapakah yang mengatakan kalimat itu tadi?. Orang yang

yang dimaksud menjawab: Saya Wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

337
Bersabda: Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama

mencatatnya. (HR. Bukhari, Abu Daud, Al- Nasa’i, Ahmad, dan Imam Malik) .

Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah bin Rafi ini beliau katakan:

Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan kebolehan menyusun zikir yang tidak ma’tsur di dalam

shalat selama tidak bertentangan dengan yang ma’tsur (yang berasal dari Nabi shallallahu alaihi

wasallam).

Jadi dalam sholat memang ada bagian yang diperbolehkan berbeda dengan apa yang dicontohkan

oleh Rasulullah.

Sholat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah adalah ibadah mahdhah sedangkan kebiasaan

para Sahabat membaca surah al Ikhlas dalam sholatnya adalah ibadah ghairu mahdah.

Mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH, salah satunya akibat mereka belum dapat membedakan antara

ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.

Para ulama Allah telah mengklasifikasikan ibadah ke dalam dua jenis yakni ibadah mahdhah dan

ghairu mahdhah

1. Ibadah mahdhah sebagaimana yang telah disyariatkan meliputi ibadah yang telah dicontohkan oleh

Rasulullah dan apa yang telah diwajibkanNya yakni wajib dijalankan dan wajib dijauhi.

Prinsip ibadah mahdhah diformulakan dengan KA + SS yakni karena Allah + sesuai syariat.

Ibadah mahdhah bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan

ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami

rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau

tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka

ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.

Azas ibadah mahdhah adalah “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah

kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla

kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah

satu misi utama diutus Rasululullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk dipatuhi.

2. Ibadah Ghairu Mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat, ada yang

dicontohkan oleh Rasulullah dan ada pula yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah namun selama

338
tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan RasulNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an

dan Hadits hukum asalnya adalah mubah (boleh).

Prinsip ibadah ghairu mahdhah diformulakan dengan BB + KA yakni berbuat baik + karena Allah

Prinsip ibadah ghairu mahdhah adalah tidak perlu sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah

karena keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah Ta’ala dan

Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan.

Ibadah ghairu mahdhah bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya,

manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika

sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.

Azas ibadah ghairu mahdhah adalah “manfaat” maksudnya selama itu bermanfaat, maka selama itu

boleh dilakukan.

Jadi kebiasaan para Sahabat membaca surah al Ikhlas dalam sholatnya adalah ibadah ghairu mahdah

yang boleh dilakukan berdasarkan manfaat yakni

Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka

iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”

Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’

Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah

menyukainya

Jadi para Sahabat mempunyai kebiasaan yang tidak diajarkan oleh Rasulullah yakni kebiasaan

membaca surat Al Ikhlas, namun diperbolehkan atau tidak dilarang oleh Rasulullah karena pada

bagian yang memang tidak terlarang untuk berbeda.

Jika tidak dilarang oleh Rasulullah maka perkara seperti itu bukan perkara terlarang sampai

kapanpun.

Begitupula kebiasaan panggilan sayyidina dalam sholawat ketika sholat termasuk ibadah ghairu

mahdhah boleh dilakukan berdasarkan manfaat yakni padanya ada sopan santun.

Oleh karenanya para fuqaha (ahli fiqih) membolehkan menambah perkataan sayyidina dalam sholawat

ketika sholat karena dalam sholat memang ada bagian yang diperbolehkan bid’ah atau perkara baru

(muhdats) atau berbeda dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

339
Berkata Syaikh Syihabuddin al Qaliyubi, pengarang dan pensyarah kitab minhaj Imam nawawi,

‫ لورودها فى رواية كما قاله شيخنا وال زيادة عبده مع رسوله وال‬,‫نعم ! ال يضر زيادة هيم فى عليك وال يا نداء قبل ايها وال وحده ال شريك له بعد اشهد ان ال اله اال هللا‬

‫ هنا وفى الصالة عليه االتية بل هو افضل الن فيه مع سلوك االدب امتثال االمر قليوبى‬.‫زيادة سيدنا قبل محمد‬

Artinya :”ya ! tidak merusakkan (dalam tasyahud) menambahkan huruf “mim” pada “’alaika”, begitu

juga menambahkan “ya” sebelum “ayyuha”, begitu juga membaca “wahdahu la syarikalah” sesudah

“asyhadu an la ilaha illallah”, begitu juga menambahkan “’abduhu” sebelum lafadh “warasuluhu”,

begitu juga menambah “sayidina” sebelum nama “Muhammad” (dalam tasyahud atau dalam

shalawat), tetapi membaca sayidina lebih afdhal karena dalam membaca “sayidina” itu kita sudah

menjalankan perintah nabi serentak dengan memuliakan dan menghormati nabi. (Qaliyubi I, hal 167).

Begitupula keliru kalau mengatakan bahwa sunnah Khulafaur Rasyidin adalah penetapan syariat baru

oleh Khulafaur Rasyidin.

Rasulullah bersabda “Sesungguhnya siapa diantara kamu yang hidup (berumur panjang), maka ia

akan melihat perselisihan yang banyak. Maka ikutilah sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin yang

mendapat petunjuk“. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi)

Pengertian mengikuti sunnah Khulafaur Rasyidin dalam riwayat di atas bukanlah dalam pengertian

mengikuti syariat Khulafaur Rasyidin namun dalam pengertian mengikuti contoh Khulafaur Rasyidin

dalam mentaati dan menjalani apa yang telah disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla dan RasulNya

karena yang menetapkan syariat adalah Allah Azza wa Jalla dan diwahyukan kepada Rasulullah yakni

apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang

telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Selebihnya adalah perkara mubah (boleh). Allah Ta’ala

tidak lupa.

Begitupula keliru kalau mengatakan sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam

berkesinambungan setiap malam sepanjang bulan Ramadhan adalah sunnah Khulafaur Rasyidin

karena Khalifah Umar mengatakannya,

‫ْالبِ ْد َعةُ َه ِذ ِه‬

“sebaik-baik bid’ah adalah ini” , setelah Beliau melihat orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan

dipimpin seorang imam pada malam berikutnya

Dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata;

Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid,

340
ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri

dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka

‘Umar berkata: Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang

imam, itu lebih baik. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka

dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab.

Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam

satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.

Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam, yang ia

maksudkan untuk mendirikan shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum

melakukan shalat pada awal malam. (HR Bukhari 1871)

Begitupula Ka’ab bin Malik menegaskan bahwa, “Ini sebelumnya tidak ada”

Diriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik berkata pada ‘Umar, “Ini sebelumnya tidak ada”. “Aku tahu, akan

tetapi perbuatan ini baik (hasan)”, jawab ‘Umar.

Begitupula keliru pula kalau mengatakan bahwa Khalifah Umar menghidupkan kembali sunnah

Rasulullah karena Rasulullah tidak pernah “mensunnahkan” atau memerintahkan para Sahabat untuk

berjamaah dengan Beliau namun kemauan para Sahabat sendiri.

Khalifah Umar mengatakan sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam adalah bid’ah yang

baik pada malam berikutnya karena Beliau tahu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak

melakukannya berkesinambungan setiap malam agar umat Islam tidak menganggapnya sebagai

sebuah kewajiban di bulan Ramadhan.

Rasulullah bersabda “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun

yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat tarawih

itu) akan diwajibkan atas kalian.” ( HR Muslim 1270 )

Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para

sahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat

maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam), kemudian

mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi

wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam

bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang

341
mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’

dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.”

Jadi yang dimaksud sholat taraweh adalah sebaik-baik bid’ah yakni sholat taraweh yang dilakukan

berkesinambungan setiap malam di bulan Ramadhan karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

tidak melakukannya berkesinambungan setiap malam.

Hukum shalat tarawih berkesinambungan setiap malam di bulan Ramadhan atau dikatakan sebagai

“menegakkan Ramadhan” adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-

Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang

diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

‫غف َِر لَهُ َما تَقَد ََّم مِ ْن ذَ ْن ِب ِه‬


ُ ‫سابًا‬
َ ِ‫صانَ ِإ ْي َمانًا َواحْ ت‬ َ َ‫َم ْن ق‬
َ ‫ام َر َم‬

“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah

Ta’ala , niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)

“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa

shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282).

Shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh

Shahih Muslim, 6/282)

Jadi shalat tarawih berjama’ah yang berkesinambungan setiap malam pada bulan Ramadhan adalah

perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yakni kebiasaan yang baik dan manfaat atau

berfungsi sebagai syiar Islam.

Dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u

sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat

adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang

melarang atau mengharamkannya“.

Contohnya amalan atau perbuatan kita menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan

menulis itu hukum asalnya adalah mubah (boleh)

Contoh hukum asalnya mubah menjadi haram yakni ketika tulisannya berisikan celaan karena

melanggar larangan Rasulullah.

342
Rasulullah bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah

kekufuran”. (HR Muslim).

Sedangkan jika tujuan (maqoshid) kita menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam

rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala

atau sunnah (mandub)

Jadi perantara (wasail) kita menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah

dalam rangka berdakwah adalah ibadah ghairu mahdhah.

Jadi cara membedakan antara ibadah mahdhah dengan ghairu mahdhah dapat dilihat dari wasail

(perantara) dan maqoshidnya (tujuan).

Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada

maqoshid dan wasail

Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya

maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.

Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana) sedangkan

maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenal Rasulullah dan meneladani nya.

Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh

ditinggalkan.

Lalu mengapa menjadi sunnah dalam arti dikerjakan berpahala ?

Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan

meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil

wasail hukmul maqoshid.

Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli

atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali

tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air

adalah wajib.

Jadi pahala yang diperoleh kaum muslim dari peringatan Maulid Nabi adalah dari bentuk kegiatan

yang mengisi acara peringatan Maulid Nabi.

343
Pada kenyataannya Rasulullah juga memperingati kelahirannya dengan sabdanya bahwa puasa Senin

adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya

Dari Abi Qatadah Al Anshari Radliyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Beliau bersabda,” di hari Senin itu saya dilahirkan dan saya

diangkat menjadi Rasulullah, dan diturunkan pada saya pada hari itu Al-Qur’an. v

Jadi berdasarkan sabda Rasulullah bahwa puasa Senin sekaligus memperingati hari kelahirannya

menjadi salah satu dalil bagi umat Islam untuk membolehkan memperingati Maulid Nabi dengan

kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar

laranganNya atau selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan

As Sunnah.

Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan

khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro

(pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan

Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan

kaitannya dengan kehidupan masa kini.

Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermazhab Syafi’i

dan merupakan guru besar dari Al-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-

Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan, “merupakan Bid’ah hasanah

yang mulia di zaman kita ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran

(Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan,

maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir

dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara

dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat

bagi semesta alam” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah

Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.

Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.

Begitupula dengan peringatan atau perayaan ulang tahun dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri

sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di esok hari maupun di akhirat kelak

344
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa

lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)

Dapat kita simpulkan bahwa perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun

hukum asalnya adalah mubah (boleh) selama kegiatan yang mengisi acara tersebut tidak melanggar

laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Pahala diperoleh dari bentuk

kegiatan untuk mengisi perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun

tersebut.

Ironisnya mereka melarang (mengharamkan) Maulid Nabi namun mereka membolehkan

melaksanakan “pekan memorial” atau sepekan mengenang Muhammad bin Abdul Wahhab

Ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih al Utsaimin berfatwa bahwa salah satu alasan mereka

membolehkannya adalah karena kegiatan mengenang ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin

Abdul Wahhab bukan dilaksanakan sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.

Kalau kegiatan mereka mengenang ulama panutan mereka dikatakan bukan untuk mendekatkan diri

kepada Allah maka itu artinya kegiatan mereka tersebut untuk menjauhkan diri dari Allah.

Jadi mereka tampaknya gemar melakukan hal yang buruk (keburukan) karena seluruh sikap dan

perbuatan yang bukan untuk (taqarrub) mendekatkan diri kepada Allah alias menjauhkan diri dari

Allah atau berpaling dari Allah adalah amal keburukan (lawan dari amal kebaikan) yakni seluruh sikap

atau perbuatan yang melanggar larangan Allah Ta’ala dan RasulNya.

Firman Allah Ta’ala yang artinya

“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS

Shaad [38]:26)

“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat

demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56

Dalam sebuah diskusi, salah seorang yang sepakat dengan fatwa pekan memorial tersebut

menyampaikan pendapatnya sebagai berikut

***** awal kutipan ******

Tidak ada yang salah dengan fatwa tersebut karena pekan memorial TIDAK DIANGGAP mendekatkan

diri (taqarrub) kepada Allah.

345
Pekan memorial itu hanya mengenang Muhammad bin Abdul Wahhab.

Syah syah saja atau boleh mengenang pahlawan yang dianggap berjasa menurut negara masing-

masing.

Contohnya negara kita mengenang para pahlawan seperti mengenang perjuangan Jendral Sudirman.

Ummat sekarang harus tahu sejarah perjuangan para pendahulu yang memperjuangkan Islam di

negerinya, mau ulama atau pahlawan lainnya.

***** akhir kutipan *****

Fatwa ulama panutan mereka tersebut untuk menjawab pertanyaan mengapa Maulid Nabi dingkari

atau dilarang (diharamkan) namun pekan memorial yakni acara MENGENANG ulama mereka sebagai

pahlawan tidak diingkari atau dibolehkan.

Fatwa ulama panutan mereka tersebut jelas salah karena dalil ‘aqli atau alasan mereka menggunakan

logika adalah kontradiksi.

Mengapa mereka membolehkan MENGENANG ulama mereka sebagai pahlawan namun mereka

melarang (mengharamkan) Maulid Nabi untuk MENGENANG Rasulullah.

Apakah lebih mulia ulama atau pahlawan mereka daripada Rasulullah?

Apakah Rasulullah bukan pahlawan bagi mereka?

Apakah mereka tidak menganggap Rasulullah memperjuangkan Islam?

Tampaknya mereka lebih mencintai ulama panutan mereka daripada mencintai Rasulullah karena

mereka membolehkan mengenang dan memuji para ulama panutan mereka sepuas hati mereka dan

melarang umat Islam mengenang dan memuji Rasulullah, manusia yang paling mulia sebagaimana

yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/06/30/boleh-pekan-

memorial/

Begitupula kalau dilarang (diharamkan) peringatan Maulid Nabi karena diadakan secara rutin maka hal

itu bertentangan dengan sabda Rasulullah yang menganjurkan untuk melakukan kebiasaan yang baik

walaupun sedikit secara rutin, konsisten atau istiqomah.

Rasulullah bersabda bersabda : “Amalan yang lebih dicintai Allah adalah amalan yang terus-menerus

dilakukan walaupun sedikit”

Ibnul Jauzi juga berkata : Sesungguhnya Allah lebih mencintai amalan yang dilakukan secara rutin.

346
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar, “Nabi shallallahu alaihi wasallam

selalu mendatangi masjid Quba setiap hari sabtu baik dengan berjalan kaki maupun dengan

mengendarai kendaraan, sedangkan Abdullah selalu melakukannya.” (HR. Imam al-Bukhari dalam

Sahih al-Bukhari I/398 hadits 1174)

Dalam mengomentari hadits ini Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini dengan sekian jalur

yang berbeda menunjukkan akan diperbolehkannya menjadikan hari-hari tertentu untuk sebuah ritual

yang baik dan istiqamah. Hadits ini juga menerangkan bahwa larangan bepergian ke selain tiga

masjid (Masjid al-Haram, Masjid al-Aqsa, dan Masjid Nabawi) tidaklah haram. ((Al Hujjatul Islam Ibnu

Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari III/69, Dar al-Fikr Beirut)

Para fuqaha (ahli fiqih) menetapkan bahwa peringatan Maulid Nabi maupun peringatan hari besar

agama Islam lainnya seperti Nuzulul Qur’an, Isra Mi’raj, Tahun baru Islam dan lain lain hukumnya

adalah MUBAH (BOLEH)

Pada hakikatnya segala perkara yang MUBAH (BOLEH) pun adalah IBADAH dan BERPAHALA karena

seluruh sikap dan perbuatan selama tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan RasulNya adalah amal

kebaikan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Azza wa Jalla

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun

terdapat sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, jika salah seorang diantara kami menyalurkan

nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala? beliau menjawab: Bagaimana sekiranya kalian

meletakkannya pada sesuatu yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, bila

kalian meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala. (HR Muslim

1674)

Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah.

Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada

seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474, 529)

Semua contoh perkara di atas adalah yang disebut dengan ibadah ghairu mahdhah yang meliputi

perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat.

Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan

Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau

saling mengamalkan.

347
Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan

hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)

Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.

Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf

Firman Allah Ta’ala yang artinya

Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah

dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)

Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul

fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu

maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik

sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.

Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan

al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).

Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf

al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).

Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan

yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’

atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan

dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Oleh karenanya dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan,

budaya atau adat apapun, termasuk yang tidak ada pada zaman Rasulullah selama tidak menyalahi

larangan Allah Ta’ala dan larangan RasulNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan

Hadits maka hukum asalnya adalah mubah (boleh).

Jadi mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH pada umumnya akan terjerumus BID’AH dalam URUSAN

AGAMA yakni menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang

(diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga

mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya.

348
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru (bid’ah)

dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka

tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perkara agama atau urusan agama meliputi perkara kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) maupun

larangan (jika dilanggar berdosa) berasal dari Allah Azza wa Jalla bukan menurut akal pikiran

manusia.

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu

tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya

dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).

Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang

dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)

Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku

larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).

Perintah Allah dan RasulNya hukumnya ada dua yakni Wajib dan Sunnah (mandub).

Sedangkan larangan Allah dan RasulNya hukumnya ada dua pula yakni Haram dan Makruh.

Selebihnya hukumnya adalah mubah (boleh) dan Allah Ta’ala tidak lupa.

Para ulama mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman

atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah.

Jadi mereka yang menuduh dan memfitnah Rasulullah telah menyembunyikan sesuatu dari apa-apa

yang diturunkan Allah Ta’ala (Hr Bukhari 7380 dan Muslim 177) atau menuduh (menganggap) Allah

Ta’ala lupa adalah para pelaku BID’AH dalam URUSAN AGAMA yakni orang-orang yang menganggap

buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah

Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak

diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa

kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan

beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah

mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah

349
mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu

perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)

Rasulullah shallallau alaihi wasallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah

halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya

adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa

terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu

itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)

Imam Malik berkata “Barangsiapa yang membuat BID’AH dalam ISLAM yang ia memandangnya baik,

maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal

itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”.

Maka apa saja yang pada hari itu bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari

ini bukan menjadi bagian dari agama”

Hal yang dimaksud oleh Imam Malik dengan perkataannya “Barangsiapa yang membuat BID’AH dalam

ISLAM” adalah BID’AH dalam URUSAN AGAMA atau BID’AH dalam IBADAH MAHDAH yakni

menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya

atau sebaliknya menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang

(diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya.

Contoh BID’AH dalam ISLAM atau BID’AH dalam URUSAN AGAMA atau BID’AH dalam perkara IBADAH

MAHDHAH adalah terlarang sholat subuh tiga rakaat walaupun (rasional) menganggapnya baik karena

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR

Bukhari 595, 6705).

Tidak boleh azan dalam sholat ied walaupun (rasional) menganggapnya baik berdasarkan kaidah ushul

fiqih

‫ان يُ ِف ْيدُ ْال َحص َْر‬


ِ َ‫س ُك ْوتُ فِي َمقَ ِام ْالبَي‬
ُّ ‫اَل‬

“Diam dalam perkara yang telah ada keterangannya menunjukkan pembatasan.”

Artinya bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum

itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya.

350
Maksud dari berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang

didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan

maka yang didiamkan menunjukkan pembolehan.

Berikut riwayat yang mencontohkan BID’AH dalam ISLAM atau BID’AH dalam URUSAN AGAMA atau

BID’AH dalam perkara IBADAH MAHDHAH

Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari

mana saya akan memulai berihram?”

Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang

beliau berihram dari sana”.

Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu?”

Dijawab : “Aku tidak setuju itu”.

Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?”

Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”.

Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan?”

Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka hendaklah orang-orang

yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur :

63] Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang

tidak diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”

Dari contoh di atas, dapat kita pahami bahwa “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih

jauh dari itu” adalah perbedaan yang terlarang karena berbeda dengan yang diajarkan oleh Rasulullah

pada bagian yang terlarang untuk berbeda dan termasuk ibadah mahdah yang merupakan otoritas

wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.

Dalam Ibadah Mahdah berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal ibadah

adalah haram ) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram

kecuali ada nash yang mensyariatkannya) karena keberadaan ibadah mahdhah harus berdasarkan

adanya dalil dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan

oleh akal atau logika keberadaannya.

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan

telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-

Maaidah: [5] : 3)

351
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal

melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan

tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”

Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah

Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan

lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.

Oleh karenanya dikatakan pelaku bid’ah dalam urusan agama lebih disukai Iblis daripada pelaku

maksiat karena mereka menjadikan sembahan-sembahan selain Allah dan karena para pelaku tidak

menyadarinya sehingga mereka sulit bertaubat.

Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah merasa berbuat salah dan

merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang

melakukan bid’ah dalam urusan agama..

Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar

Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena

pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan

oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 )

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang

mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS Asy Syuura [42]:21)

Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka

sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31)

Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta

sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”,

“Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu

menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta

itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“

Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah

menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian

mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

352
Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih

dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang

yang sebenarnya tidak dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau

mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya

Firman Allah Ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami

dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan

dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-

adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah

yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan

pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara

mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. al Hadid [57]: 27)

Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri

dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni

melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang

tidak diwajibkanNya

Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti

1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa

2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur

3. Melarang dirinya untuk menikah

Namun Rasulullah menegur dan mengkoreksi mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang

berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara

kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan

para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”

Jadi orang-orang yang gagal paham tentang bid’ah akibat salah memahami dan menggali hukum dari

Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka dapat terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Nasrani

yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang menganggap buruk sesuatu

sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya

atau sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah

Ta’ala dan RasulNya sehingga mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain

Allah

353
Begitupula ada kita temukan mereka yang melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang oleh Allah

Ta’ala dan RasulNya atau melarang (mengharamkan) tidak berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan Hadits

melainkan berdasarkan perkataan manusia seperti, “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi”

Perkataan tersebut bukan firman Allah Ta’ala, bukan sabda Rasulullah dan bukan pula perkataan para

Sahabat.

Bahkan perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” mirip dengan perkataan orang-orang kafir

dalam firmanNya,

“waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khairan maa sabaquunaa ilaihi wa-idz lam

yahtaduu bihi fasayaquuluuna haadzaa ifkun qadiimun

“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al-Qur’an)

adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena

mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang

lama”. (QS al Ahqaaf [46]:11 ).

Ayat Al Ahqaaf [46]:11 tentang orang-orang kafir meremehkan orang-orang yang beriman yakni Bilal,

‘Ammar, Shuhaib, dan Khabbab serta orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan kaum

lemah, para budak dan hamba sahaya, karena orang-orang kafir berkeyakinan bahwa mereka

mempunyai kedudukan terhormat

Qutadah mengatakan bahwa ayat Al Ahqaaf [46]:11 diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang

musyrikin (kafir) yang suatu ketika berkata, “Kami yang paling mulia, perkasa, dan terhormat. Jika

terdapat kebaikan dalam Al-Qur’an / Islam, tentulah kami yang pertama kali masuk Islam

(Diriwayatkan Ibnu Jarir)

Secara umum QS Al-Ahqaaf [46]:11 itu menyampaikan bahwa orang-orang kafir meremehkan, bahwa

jika beriman pada Al-Qur’an itu mendatangkan kebaikan tentu derajat atau kedudukan Bilal, ‘Ammar,

Shuhaib dll akan sebaik mereka.

Perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” memang ada dalam kitab Ibnu Katsir pada tafsir

(QS al Ahqaaf [46]:11) yang umumnya diterjemahkan oleh mereka artinya “Seandainya hal itu baik,

tentulah para Sahabat telah mendahului kita untuk melakukannya”

354
Perlu ada penyelidikan lebih lanjut kehadiran perkataan tersebut karena perkataan “Lau Kaana

Khairan Lasabaquunaa ilaihi” sebagaimana yang diartikan oleh mereka tidak ada kaitannya dengan

ayat yang ditafsir.

Bahkan dari perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” tidak ada kata yang dapat diartikan

sebagai “para Sahabat”

Ayat (QS al Ahqaaf [46]:11) justru menjelaskan bahwa para Sahabat “melakukannya” sedangkan

orang kafir tidak “melakukannya”.

Para Sahabat “mengamalkannya” sedangkan orang kafir tidak “mengamalkannya”

Para Sahabat beriman pada Al Qur’an sedangkan orang kafir tidak beriman pada Al Qur’an

Kebiasaan yang dilakukan atau tidak dilakukan para Sahabat bukanlah hukum dalam Islam yang

membatasi untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan.

Bid’ah bukan hukum dalam Islam yang membatasi kita untuk tidak melakukan apapun yang tidak

dijumpai pada masa Rasulullah.

Hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau

tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.

Jadi umat Islam boleh melakukan kebiasaan apapun selama tidak melanggar larangan Allah Ta’ala dan

RasulNya.

Ada pula dari mereka yang menjilat air ludahnya sendiri alias meralat pendapatnya bahwa ternyata

tidak semua bid’ah itu terlarang.

Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi dua yakni

1) Bid’ah diniyah (urusan agama) yang terlarang

2) Bid’ah duniawiyyah (urusan dunia) tidak terlarang.

Mereka terpaksa menciptakan perantara, yang jika tanpa perantara ini mereka tidak dapat melakukan

aktifitas yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah maupun para Sahabat.

Pembagian atau klasifikasi bid’ah tersebut tidak pernah disebutkan oleh para ulama yang mengikuti

Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.

355
Mereka mengingkari pembagian bid’ah ke yang baik (hasanah) dan buruk (sayyiah) berdasarkan

hadits Rasulullah tentang sunnah hasanah dan sunnah sayyiah.

Sedangkan pembagian bid’ah menjadi bid’ah diniyyah yang tidak boleh dan bid’ah duniawiyyah yang

boleh, adalah tindakan bid’ah atau tindakan mengada-ada yang sayyiah (buruk) sebenarnya karena

dengan mereka berpendapat bahwa bid’ah duniawiyyah tidak ada konsekuensi apapun maka mereka

telah keliru dalam menetapkan hukum..

Sebab dengan sikap ini mereka memvonis bahwa semua bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas

sangat berbahaya dan bisa menimbulkan fitnah dan bencana.

Bagi umat Islam dalam menghadapi bid’ah atau perkara baru atau muhdats atau perkara yang tidak

dijumpai pada masa Rasulullah menimbangnya dengan hukum dalam Islam yang dikenal dengan

hukum taklifi yang membatasi umat Islam untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan

yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.

Para fuqaha (ahli fiqih) menggunakan hukum taklifi untuk menetapkan hukum atas bid’ah atau

perkara baru (muhdats) atau perkara yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah atau tidak dijumpai

dalam Al Qur’an dan As Sunnah mencontoh dan mengikuti para Sahabat seperti Mu’adz bin Jabal ra

yang menerima pujian dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sabdanya, “Ummatku yang

paling tahu akan yang halal dan yang haram ialah Mu’adz bin Jabal”

Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu’adz hampir sama dengan

Umar bin Khathab. Ketika Rasulullah hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, “Apa

yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu’adz?” “Kitabullah,” jawab Mu’adz.

“Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?”, tanya Rasulullah pula. “Saya putuskan dengan

Sunnah Rasul.” “Jika tidak kamu temukan dalam Sunnah Rasulullah?” “Saya pergunakan pikiranku

untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia,” jawab Muadz. Maka berseri-serilah wajah

Rasulullah. “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang

diridhai oleh Rasulullah,” sabda beliau.

Al Imam Al Hafizh An Nawawi menerangkan bahwa hadits tentang SUNNAH HASANAH (contoh atau

perkara baru yang baik) dan SUNNAH SAYYIAH (contoh atau perkara baru yang buruk) adalah hadits

yang mentakhsis hadits “kullu bid’atin dholalah” dan sebagai sumber atau dasar pembagian bid’ah

mengikuti hukum taklifi yang lima sebagaimana yang termuat di dalam kitab hadits “Shahih Muslim bi

Syarhi an-Nawawi” jilid 4 halaman 104-105, cetakan “Darul Fikr” Beirut Libanon (lihat

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/shohih-muslim-bi-syarhi-an-nawawi.jpg

356
Berikut kutipannya

******* awal kutipan *******

Pembagian bid’ah bersumber dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, yaitu:

“Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala

orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-

buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya

dan tak berkurang sedikit pun dari dosanya”.

Hadits ini mentakhsis hadits Nabi yang berbunyi (yang artinya)

“Setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.

Adapun yang dimaksud hadits tersebut adalah perkara-perkara baru yang bersifat bathil dan bid’ah-

bid’ah yang bersifat tercela.

Dengan demikian, bid’ah dibagi kepada lima bagian, yaitu:

1. Bid’ah wajib,

2. Bid’ah sunnah,

3. Bid’ah haram,

4. Bid’ah makruh, dan

5. Bid’ah mubah.

****** akhir kutipan ******

Silahkan download atau baca secara online pada http://archive.org/details/SahihMuslimSharhNawawi

Begitupula Al Imam Al Hafiz Al-Qurthubi mengatakan: “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii),

maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang

berbunyi : “seburuk-buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan setiap bid’ah adalah dhalalah”

(wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang

tidak sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wasallam, atau perbuatan Sahabat

radhiyallahu ‘anhum.

Sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya :

“Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala

orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat

buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya”

357
(Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik

dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

Begitupula sebagaimana Imam Nawawi di atas membagi bid’ah kepada lima bagian mengikuti hukum

taklifi yang lima, pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari dalam Risalatu Ahlissunnah

wal Jama’ah halaman 4 menjelaskan

****** awal kutipan *******

Imam Ibnu Abdis Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima.

Beliau berkata: “Bid‟ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam (Bid‟ah tersebut adakalanya):

1. Bid‟ah Wajibah: seperti mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib baik

yang terdapat di dalam al-Quran ataupun as-Sunnah, dimana pemahaman terhadap syari‟ah menjadi

tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya.

2. Bid‟ah Muharramah: seperti aliran Qadariyah, Jabariyah dan Mujassimah.

3. Bid‟ah Mandubah: seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-

madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.

4. Bid‟ah Makruhah: seperti berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushaf dan lain

sebagainya.

5. Bid‟ah Mubahah: seperti bersalaman selesai shalat Shubuh dan Ashar, membuat lebih dalam

makanan dan minuman, pakaian dan lain sebagainya.”

Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka maka diketahui bahwa adanya klaim

bahwa berikut ini adalah bid‟ah, seperti memakai tasbih, melafadzkan niat, membaca tahlil ketika

bersedekah setelah kematian dengan catatan tidak adanya perkara yang mencegah untuk bersedekah

tersebut, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid‟ah.

Dan sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar-pasar

malam, bermain undian pertunjukan gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk-buruknya bid‟ah.

****** akhir kutipan *****

Selengkapnya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2015/08/risalah-aswaja.pdf

358
Di atas, sebagaimana yang disampaikan oleh KH Hasyim Asyari bahwa Imam Ibnu Abdis Salam

mencontohkan bid’ah hasanah dan hukumnya wajib adalah menguasai ilmu tata bahasa Arab atau

ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) sebagai syarat dasar untuk dapat

memahami Al Qur’an dan As Sunnah.

Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah

memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih:

“Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali

dengannya, maka hukumnya wajib”.

Contoh bid’ah mubah adalah bersalaman setelah sholat

Dalam Qawaid Al Ahkam (2/339), dengan cukup gamblang Imam Izzuddin menyatakan bahwa

bersalaman setelah ashar dan shubuh merupakan bid’ah mubah

Hal ini juga dinukil juga oleh Imam An Nawawi dalam Tahdzib Al Asma wa Al Lughat (3/22), serta Al

Adzkar dalam Al Futuhat Ar Rabaniyah (5/398) dengan makna yang sama.

Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ (3/459),”Adapun bersalaman yang dibiasakan setelah

shalat shubuh dan ashar saja telah menyebut As Syeikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdis Salam

rahimahullah Ta’ala,’Sesungguhnya hal itu bagian dari bid’ah-bid’ah mubah, tidak bisa disifati dengan

makruh dan tidak juga istihbab (sunnah).’ Dan yang beliau katakan ini baik.”

Ba Alawi mufti As Syafi’iyah Yaman, dalam kumpulan fatwa beliau Bughyah Al Mustrasyidin (hal. 50)

juga menyebutkan pula bahwa Imam Izzuddin memandang masalah ini sebagai bid’ah mubah

sebagaimana pemahaman Imam An Nawawi,”Berjabat tangan yang biasa dilakukan setelah shalat

shubuh dan ashar tidak memiliki asal baginya dan telah menyebut Ibnu Abdissalam bahwa hal itu

merupakan bid’ah-bid’ah mubah.”

Bukan hanya ulama As Syafi’iyah saja yang memahami istilah khusus yang digunakan oleh Imam

Izuddin. Meskipun As Safarini seorang ulama mazhab Hanbali, beliau memahami bahwa Imam

Izzuddin menyatakan masalah ini sebagai bi’dah mubah. Tertulis dalam Ghidza Al Albab (1/235),

dalam rangka mengomentari pernyataan Ibnu Taimiyah yang menyebutkan bahwa berjabat tangan di

dua waktu tersebut adalah bid’ah yang tidak dilakukan oleh Rasul dan tidak disunnahkan oleh seorang

ulama sekalipun, ”Aku berkata, dan yang dhahir (jelas) dari pernyataan Ibnu Abdissalam dari As

Syafi’iyah bahwa sesungguhnya hal itu adalah bid’ah mubah”

359
Contoh bid’ah haram, Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam mencontohkan di antaranya: Golongan

(Firqah) Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, dan Mujassimah (musyabbihah). Menolak terhadap mereka

termasuk bid’ah yang wajib.

Lalu mereka bertanya mengapa tidak suka dikatakan sebagai ahli bid’ah

Umat Islam tidak suka dianggap atau dituduh sebagai ahli bid’ah karena memang sebagian besar

bid’ah adalah sesat yakni semua bid’ah dalam ibadah mahdhah dan bid’ah dalam perkara ibadah

ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat yang menyalahi

larangan Allah Ta’ala dan RasulNya atau yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

Pengecualiannya atau yang dibolehkan hanyalah bid’ah dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi

perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat yang tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan

RasulNya atau yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

Al Imam Al Hafizh An Nawawi juga berkata “Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah

dholalah” ini adalah ‘Amm Makhshus, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang

dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan semuanya” (Syarh Shahih Muslim, 6/154)

Jadi mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH secara tidak langsung memfitnah Rasulullah dengan

menterjemahkan dan memahami sabda Rasulullah, KULLU adalah SEMUA

Padahal para ahli tata bahasa Arab sepakat bahwa arti kata KULLU yang lebih tepat adalah SETIAP

karena kata KULLU (SETIAP) tidak selalu berarti SEMUA

Perbedaan pokok dari kata SETIAP dan kata SEMUA adalah kata SETIAP dapat menerima pengecualian

sedangkan kata SEMUA tidak dapat menerima pengecualian.

Contohnya perkataan seseorang dapat dibenarkan jika berkata bahwa “saya setiap pagi sarapan

makan roti” walaupun sesekali ia sarapan makan bubur nasi contohnya ketika ia sakit perut.

Jadi perkataan “saya setiap pagi sarapan makan roti” dibenarkan karena “sebagian besar pagi ia

sarapan makan roti”

Contoh lainnya “setiap pria tidak beranting” kecuali pria nyeleneh yang beranting

Sangat jelas “setiap pria tidak beranting” maksudnya adalah “sebagian besar pria tidak beranting”

kecuali pria nyeleneh yang beranting.

360
Lalu ada yang bertanya bagaimana kalau bunyi hadits “wa kullu dholalatin finnar” apakah berarti “dan

SETIAP kesesatan akan bertempat di neraka bukan SEMUA kesesatan ?

Hal yang perlu diketahui bahwa Kullu dapat sebagai kullu ba’din maksudnya ”SETIAP dalam arti

SEBAGIAN” dan dapat pula sebagai kullu jam’in maksudnya “SETIAP dalam arti SEMUA”

Kullu pada “SETIAP kesesatan akan bertempat di neraka” adalah kullu jam’in (kullu / setiap dalam arti

semua) karena kata KULLU diikuti kata “kesesatan” yang sudah jelas (lugas) sifat jelek (sayyiah).

Sedangkan kullu dalam “kullu bid’ah dholalah” adalah kullu ba’din (kullu / setiap dalam arti sebagian)

karena kata “bid’ah” belum menunjukkan sifatnya.

Dalam ilmu balaghah dikatakan

‫حدف الصفة على الموصوف‬

“membuang sifat dari benda yang bersifat”

Begitupula dengan hadits “Kullu bid’ah dholalah” tidak tercantum sifat dari bid’ah maka jika ditulis

lengkap dengan sifat dari bid’ah kemungkinannya adalah

a. Kemungkinan pertama :

‫ار‬ َ ‫ضالَ لَةٌ َو ُك ُّل‬


ِ ‫ضالَ لَ ٍة فِى ال َّن‬ َ ‫ُك ُّل بِ ْد َع ٍة َح‬
َ ‫سنَ ٍة‬

Setiap “bid’ah yang baik” itu sesat (dholalah), dan setiap yang sesat (dholalah) masuk neraka

Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat (dholalah) berkumpul dalam satu benda dan

dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil.

b. Kemungkinan kedua :

‫ضالَ لَ ٍة فِىالنَّاِر‬
َ ‫ضالَ لَ ٍة َو ُك ُّل‬ َ ‫ُك ُّل ِب ْد َع ٍة‬
َ ‫س ِيئَ ٍة‬

Setiap “bid’ah yang jelek” itu sesat (dholalah), dan setiap yang sesat (dholalah) masuk neraka

Jadi kesimpulannya bid’ah yang sesat masuk neraka adalah bid’ah yang jelek (sayyiah)

pengecualiannya adalah bid’ah yang baik (hasanah).

Al Imam Al Hafizh An Nawawi mencontohkan kata KULLU yang diikuti kata yang belum menunjukkan

sifat adalah firman Allah Ta’ala,

“wakaana waraa’ahum malikun ya’khudzu kulla safiinatin ghashbaan”

361
“karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap kapal” (QS Al Kahfi [18]:79)

Dalam ayat tersebut sifat kapal yang baik tidak tercantum namun dijelaskan oleh Nabi Khidir

alaihisalam bahwa Beliau mengetahui dihadapan mereka kelak akan ada seorang raja yang suka

merampas setiap kapal yang baik sehingga kapal kepunyaan beberapa orang miskin perlu dirusak

sedikit agar kelak mudah diperbaiki sehingga bilapun raja melihatnya maka ia menduga kapal itu

adalah kapal yang buruk dan membiarkannya.

Jadi kata bid’ah dan kapal belum menunjukkan sifat sehingga kata setiap pada “setiap bid’ah” dan

“setiap kapal” adalah “setiap dari sebagian” yang memerlukan penjelasan lebih lanjut atau hadits

yang mengecualikannya atau mentakhsisnya.

Jumhur ulama terdahulu seperti Al Imam Al Hafizh An Nawawi, Al Imam Al Hafizh Al Qurthubi, Al

Imam Al Hafizh As Suyuthi dan lainnya telah sepakat bahwa hadits untuk men-TAKHSIS hadits “kullu

bid’atin dholalah” adalah hadits tentang SUNNAH HASANAH dan SUNNAH SAYYIAH

Pengertian TAKHSIS adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk di dalam

lafadz ‘AMM.

Para ulama men-takhsis atau menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz

‘amm dengan dalil sehingga takhsis ada dua yakni takhsis muttasil dan takhsis munfasil

Takhsis Muttasil ialah dimana takhsis itu terjadi dalam satu kalimat yang sama.

Takhsis Munfasil ialah takhsis yang berada dalam kalimat yang lain atau terpisah

Jadi hadits “kullu bid’atin dholalah” takhsisnya terpisah (takhsis munfasil) pada hadits tentang

SUNNAH HASANAH dan SUNNAH SAYYIAH

Berikut hadits selengkapnya yang menjadi salah satu dalil BID’AH HASANAH

Rasulullah alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang melakukan satu SUNNAH HASANAH dalam Islam,

maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan SUNNAH tersebut

setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu

SUNNAH SAYYIAH dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang

mengamalkan SUNNAH tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR

Muslim 4830)

362
Kata SUNNAH dalam hadits tentang “SUNNAH HASANAH” dan “SUNNAH SAYYIAH” bukanlah Sunnah

Rasulullah karena tidak ada Sunnah Rasulullah yang sayyiah (buruk)

Dalam kamus bahasa Arab dapat dengan mudah kita ketahui bahwa arti kata SUNNAH adalah “Jalan

dan kebiasaan yang baik atau yang jelek”.

Pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau

tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.

Jadi kata SUNNAH dalam hadits tentang “SUNNAH HASANAH” dan “SUNNAH SAYYIAH” artinya contoh

(teladan) atau kebiasaan baru yakni kebiasaan yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya.

Contoh (teladan) atau kebiasaan baru tersebut bisa baik (hasanah) dan bisa pula buruk (sayyiah)

Jadi kesimpulannya Rasulullah menyebut BID’AH HASANAH dengan istilah SUNNAH HASANAH artinya

contoh (teladan) atau muhdats (perkara baru) atau kebiasaan baru yang BAIK yakni contoh atau

kebiasaan baru yang tidak menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As

Sunnah

Sedangkan Rasulullah menyebut BID’AH SAYYIAH dengan istilah SUNNAH SAYYIAH artinya contoh

(teladan) atau muhdats (perkara baru) atau kebiasaan baru yang BURUK yakni contoh atau kebiasaan

baru yang menyalahi laranganNya atau bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa “Yang membedakan

antara SUNNAH HASANAH dengan SAYYIAH adalah adanya kesesuaian atau tidak dengan pokok-

pokok syar’i“

Jadi perbedaan antara SUNNAH HASANAH (BID’AH HASANAH) dengan SUNNAH SAYYIAH (BID”AH

SAYYIAH) adalah tidak bertentangan atau bertentangan dengan pokok-pokok syar’i yakni Al Qur’an

dan As Sunnah.

Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:

ٌ‫ي ُم ْستَ ْقبَ َحة‬


َ ‫شرْ عِ فَ ِه‬ ٍ َ‫ َو ِإ ْن كَانَتْ مِ َّما تَ ْند َِر ُج تَحْ تَ ُم ْستَ ْقب‬،ٌ‫سنَة‬
َّ ‫ح ف ِْي ال‬ َ ‫شرْ عِ فَ ِه‬
َ ‫ي َح‬ َ ْ‫ َوالتَّحْ ِقيْقُ أَنَّ َها ِإ ْن كَانَتْ ِم َّما تَ ْند َِر ُج تَحْ تَ ُم ْست َح‬.
َّ ‫س ٍن ف ِْي ال‬

“Cara mengetahui BID’AH yang HASANAH dan SAYYIAH menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika

perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk

BID’AH HASANAH, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk BID’AH SAYYIAH

(MUSTAQBAHAH)” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).

363
Begitupula dalam Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313

، ُ‫سنَّةً أَ ْو إِ ْج َماعا ً أَ ْو أَثَ ًرا فَ ُه َو البِ ْد َعةُ الضاَلَة‬


ُ ‫ف كِتاَبا ً أَ ْو‬
َ َ‫ما َ أَحْ دَثَ َوخاَل‬- ُ‫ي هللاُ َع ْنه‬ ِ ‫شاَفِعِي َر‬
َ ‫ض‬ ّ ‫قا َ َل ال‬

Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan

menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar

(Pernyataan sahabat) adalah BID’AH yang SESAT (bid’ah dholalah).

‫ج‬- ‫الطالبين‬1 ‫ ص‬313 ‫(حاشية إعانة‬- ُ ‫شيْئا ً مِ ْن ذَلِكَ فَ ُه َو البِ ْد َعةُ ال َمحْ ُم ْودَة‬ ُ ‫) َوما َ أَحْ دَثَ مِ نَ ال َخي ِْر َولَ ْم يُخاَل‬
َ ‫ِف‬

Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak

menyalahi (tidak bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah BID’AH yang TERPUJI

(BID’AH MAHMUDAH atau BID’AH HASANAH), bernilai pahala.

Abu Nuaim dalam kitab Hilyah Al-Aulia, hlm. 9/76 meriwayatkan pernyataan Imam Syafi’i di mana ia

berkata:

‫ نعمت البدعة‬:‫ واحتج بقول عمر بن الخطاب في قيام رمضان‬،‫ وما خالف السنة فهو مذموم‬،‫ فما وافق السنة فهو محمود‬.‫ وبدعة مذمومة‬،‫ بدعة محمودة‬،‫البدعة بدعتان‬

‫هي‬

Artinya: Bid’ah itu ada dua: bid’ah terpuji (mahmudah) dan bid’ah tercela (madzmumah). Bid’ah yang

sesuai Sunnah disebut bidah terpuji. Yang berlawanan dengan sunnah disebut bid’ah tercela. Imam

Syafi’i berargumen dengan perkataan Umar bin Khattab dalam soal shalat tarawih bulan Ramadan:

“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

« Sholat dengan sayyidina


Dzikir berjama’ahnya khawarij »

Dalil Bid’ah Hasanah


7 Agustus 2017 oleh mutiarazuhud

364
Dalil Bid’ah Hasanah

Dalam sebuah diskusi di jejaring sosial Facebook, salah seorang bertanya, apakah dalil untuk bid’ah

hasanah sebagaimana yang terungkap dalam gambar di atas.

Jumhur ulama terdahulu seperti Al Imam Al Hafizh An Nawawi, Al Imam Al Hafizh Al Qurthubi, Al

Imam Al Hafizh As Suyuthi dan lainnya telah sepakat bahwa hadits untuk men-TAKHSIS hadits “kullu

bid’atin dholalah” adalah hadits tentang SUNNAH HASANAH dan SUNNAH SAYYIAH

Pengertian TAKHSIS adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk di dalam

lafadz ‘AMM.

Para ulama men-takhsis atau menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz

‘amm dengan dalil sehingga takhsis ada dua yakni takhsis muttasil dan takhsis munfasil

Takhsis Muttasil ialah dimana takhsis itu terjadi dalam satu kalimat yang sama.

Takhsis Munfasil ialah takhsis yang berada dalam kalimat yang lain atau terpisah.

Jadi hadits “kullu bid’atin dholalah” takhsisnya terpisah (takhsis munfasil) pada hadits tentang

SUNNAH HASANAH dan SUNNAH SAYYIAH

Berikut hadits selengkapnya yang menjadi salah satu dalil BID’AH HASANAH

Rasulullah alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang melakukan satu SUNNAH HASANAH dalam Islam,

maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan SUNNAH tersebut

setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu

SUNNAH SAYYIAH dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang

365
mengamalkan SUNNAH tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR

Muslim 4830)

Kata SUNNAH dalam hadits tentang “SUNNAH HASANAH” dan “SUNNAH SAYYIAH” bukanlah Sunnah

Rasulullah karena tidak ada Sunnah Rasulullah yang sayyiah (buruk)

Dalam kamus bahasa Arab dapat dengan mudah kita ketahui bahwa arti kata SUNNAH adalah “Jalan

dan kebiasaan yang baik atau yang jelek”.

Pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau

tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.

Jadi kata SUNNAH dalam hadits tentang “SUNNAH HASANAH” dan “SUNNAH SAYYIAH” artinya contoh

(teladan) atau kebiasaan baru yakni kebiasaan yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya.

Contoh (teladan) atau kebiasaan baru tersebut bisa baik (hasanah) dan bisa pula buruk (sayyiah)

Jadi kesimpulannya Rasulullah menyebut BID’AH HASANAH dengan istilah SUNNAH HASANAH artinya

contoh (teladan) atau muhdats (perkara baru) atau kebiasaan baru yang BAIK yakni contoh atau

kebiasaan baru yang tidak menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As

Sunnah

Sedangkan Rasulullah menyebut BID’AH SAYYIAH dengan istilah SUNNAH SAYYIAH artinya contoh

(teladan) atau muhdats (perkara baru) atau kebiasaan baru yang BURUK yakni contoh atau kebiasaan

baru yang menyalahi laranganNya atau bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa “Yang membedakan

antara SUNNAH HASANAH dengan SAYYIAH adalah adanya kesesuaian atau tidak dengan pokok-

pokok syar’i“

Jadi perbedaan antara SUNNAH HASANAH (BID’AH HASANAH) dengan SUNNAH SAYYIAH (BID”AH

SAYYIAH) adalah tidak bertentangan atau bertentangan dengan pokok-pokok syar’i yakni Al Qur’an

dan As Sunnah.

Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:

ٌ‫ي ُم ْستَ ْقبَ َحة‬ َّ ‫ َوإِ ْن كَانَتْ مِ َّما تَ ْند َِر ُج تَحْ تَ ُم ْستَ ْقبَحٍ ف ِْي ال‬،ٌ‫سنَة‬
َ ‫شرْ عِ فَ ِه‬ َ ‫شرْ عِ فَ ِه‬
َ ‫ي َح‬ َ ْ‫ َوالتَّحْ ِقيْقُ أَنَّ َها إِ ْن كَانَتْ ِم َّما تَ ْند َِر ُج تَحْ تَ ُم ْست َح‬.
َّ ‫س ٍن ف ِْي ال‬

“Cara mengetahui BID’AH yang HASANAH dan SAYYIAH menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika

perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk

366
BID’AH HASANAH, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk BID’AH SAYYIAH

(MUSTAQBAHAH)” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).

Begitupula dalam Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313

، ُ‫سنَّةً أَ ْو ِإ ْج َماعا ً أَ ْو أَثَ ًرا فَ ُه َو ال ِب ْد َعةُ الضاَلَة‬


ُ ‫ف كِتاَبا ً أَ ْو‬
َ َ‫ما َ أَحْ دَثَ َوخاَل‬- ُ‫ي هللاُ َع ْنه‬ ِ ‫شاَفِعِي َر‬
َ ‫ض‬ ّ ‫قا َ َل ال‬

Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan

menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar

(Pernyataan sahabat) adalah BID’AH yang SESAT (bid’ah dholalah).

‫ج‬- ‫الطالبين‬1 ‫ ص‬313 ‫(حاشية إعانة‬- ُ ‫شيْئا ً مِ ْن ذَلِكَ فَ ُه َو البِ ْد َعةُ ال َمحْ ُم ْودَة‬ ُ ‫) َوما َ أَحْ دَثَ مِ نَ ال َخي ِْر َولَ ْم يُخاَل‬
َ ‫ِف‬

Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak

menyalahi (tidak bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah BID’AH yang TERPUJI

(BID’AH MAHMUDAH atau BID’AH HASANAH), bernilai pahala.

Abu Nuaim dalam kitab Hilyah Al-Aulia, hlm. 9/76 meriwayatkan pernyataan Imam Syafi’i di mana ia

berkata:

‫ نعمت البدعة‬:‫ واحتج بقول عمر بن الخطاب في قيام رمضان‬،‫ وما خالف السنة فهو مذموم‬،‫ فما وافق السنة فهو محمود‬.‫ وبدعة مذمومة‬،‫ بدعة محمودة‬،‫البدعة بدعتان‬

‫هي‬

Artinya: Bid’ah itu ada dua: bid’ah terpuji (mahmudah) dan bid’ah tercela (madzmumah). Bid’ah yang

sesuai Sunnah disebut bidah terpuji. Yang berlawanan dengan sunnah disebut bid’ah tercela. Imam

Syafi’i berargumen dengan perkataan Umar bin Khattab dalam soal shalat tarawih bulan Ramadan:

“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”

Sebagaimana Imam Syafi’i , kita berpegang pada perkataan Khalifah Umar bin Khattab, “Sebaik-baik

bid’ah adalah ini”

Jadi keliru kalau mengatakan sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam berkesinambungan

setiap malam sepanjang bulan Ramadhan adalah sunnah Khulafaur Rasyidin karena Khalifah Umar

mengatakannya,

‫ْالبِ ْد َعةُ َه ِذ ِه‬

“sebaik-baik bid’ah adalah ini” , setelah Beliau melihat orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan

dipimpin seorang imam pada malam berikutnya

367
Dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata;

Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid,

ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri

dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka

‘Umar berkata: Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang

imam, itu lebih baik. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka

dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab.

Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam

satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.

Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam, yang ia

maksudkan untuk mendirikan shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum

melakukan shalat pada awal malam. (HR Bukhari 1871)

Begitupula Ka’ab bin Malik menegaskan bahwa, “Ini sebelumnya tidak ada”

Diriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik berkata pada ‘Umar, “Ini sebelumnya tidak ada”. “Aku tahu, akan

tetapi perbuatan ini baik (hasan)”, jawab ‘Umar.

Keliru pula kalau mengatakan bahwa Khalifah Umar menghidupkan kembali sunnah Rasulullah karena

Rasulullah tidak pernah “mensunnahkan” atau memerintahkan para Sahabat untuk berjamaah dengan

Beliau namun kemauan para Sahabat sendiri.

Khalifah Umar mengatakan sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam adalah bid’ah yang

baik pada malam berikutnya karena Beliau tahu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak

melakukannya berkesinambungan setiap malam agar umat Islam tidak menganggapnya sebagai

sebuah kewajiban di bulan Ramadhan.

Rasulullah bersabda “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun

yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat tarawih

itu) akan diwajibkan atas kalian.” ( HR Muslim 1270 )

Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para

sahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat

maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam), kemudian

mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi

368
wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam

bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang

mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’

dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.”

Jadi yang dimaksud sholat taraweh adalah sebaik-baik bid’ah yakni sholat taraweh yang dilakukan

berkesinambungan setiap malam di bulan Ramadhan karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

tidak melakukannya berkesinambungan setiap malam.

Hukum shalat tarawih berkesinambungan setiap malam di bulan Ramadhan atau dikatakan sebagai

“menegakkan Ramadhan” adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-

Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang

diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

‫غف َِر لَهُ َما تَقَد ََّم مِ ْن ذَ ْنبِ ِه‬


ُ ‫سابًا‬
َ ِ‫صانَ إِ ْي َمانًا َواحْ ت‬ َ َ‫َم ْن ق‬
َ ‫ام َر َم‬

“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah

Ta’ala , niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)

“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa

shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282).

Shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh

Shahih Muslim, 6/282)

Jadi shalat tarawih berjama’ah yang berkesinambungan setiap malam pada bulan Ramadhan adalah

perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yakni kebiasaan yang baik dan manfaat atau

berfungsi sebagai syiar Islam.

Contoh bid’ah hasanah atau kebiasaan yang tidak diajarkan oleh Rasulullah adalah para Sahabat yang

mempunyai kebiasaan selalu membaca surah al Ikhlas dalam sholatnya sehingga kebiasaan tersebut

dipertanyakan oleh Sahabat yang lain

Diriwayatkan ketika Imam Masjid Quba setiap kali sholat ia selalu membaca surat Al Ikhlas, setiap

sholat ia selalu membaca surat Al Fatihah, Al Ikhlas, baru surat lainnya. Ada orang yang

mengadukannya pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian ia ditanya oleh Rasulullah

shallallahu alaihi wasallam : Mengapa kau melakukan hal itu? Maka ia menjawab : “inniy uhibbuhaa” ,

369
Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka

iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada kami Ibn Wahb telah

menceritakan kepada kami Amru dari Ibnu Abu Hilal bahwa Abu Rijal Muhammad bin Abdurrahman

menceritakan kepadanya dari Ibunya Amrah binti Abdurrahman yang dahulu dalam asuhan Aisyah

isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari ‘Aisyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah

mengutus seorang laki-laki dalam sebuah eskpedisi militer, lantas laki-laki tersebut membaca untuk

sahabatnya dalam shalatnya dengan QULHUWALLAHU AHAD (Surat al Ikhlash) dan menutupnya juga

dengan surat itu. Dikala mereka pulang, mereka menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi

wasallam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tolong tanyailah dia, mengapa dia

berbuat sedemikian? ‘ Mereka pun menanyainya, dan sahabat tadi menjawab, ‘Sebab surat itu adalah

menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’ Spontan Nabi

shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya. (HR

Bukhari 6827)

Lalu mereka mengatakan bahwa kebiasaan membaca surah Al-Ikhlas dengan sepengetahuan dan

seizinnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dinamai sunnah taqrir. Boleh kita laksanakan.

Hal yang perlu kita pahami bahwa sunnah taqririyyah yakni diamnya Nabi shallallahu alaihi wasallam

atas apa yang dikatakan atau diperbuat oleh para Sahabat bukanlah sebagai penetapan syariat baru

oleh para Sahabat.

Begitupula Khulafaur Rasyidin tidaklah membuat syariat baru, sebagaimana yang pernyataan khalifah

Umar di atas

‫ْالبِ ْد َعةُ َه ِذ ِه‬

“sebaik-baik bid’ah adalah ini”

Rasulullah bersabda “Sesungguhnya siapa diantara kamu yang hidup (berumur panjang), maka ia

akan melihat perselisihan yang banyak. Maka ikutilah sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin yang

mendapat petunjuk“. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi)

Pengertian mengikuti sunnah Khulafaur Rasyidin dalam riwayat di atas bukanlah dalam pengertian

mengikuti syariat Khulafaur Rasyidin namun dalam pengertian mengikuti contoh Khulafaur Rasyidin

dalam mentaati dan menjalani apa yang telah disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla dan RasulNya

karena yang menetapkan syariat adalah Allah Azza wa Jalla dan diwahyukan kepada Rasulullah yakni

370
apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang

telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Selebihnya adalah perkara mubah (boleh). Allah Ta’ala

tidak lupa.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa

kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan

beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah

mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah

mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu

perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)

Rasulullah shallallau alaihi wasallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah

halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya

adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa

terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu

itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)

Mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH, salah satunya akibat mereka belum dapat membedakan antara

ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.

Para ulama Allah telah mengklasifikasikan ibadah ke dalam dua jenis yakni ibadah mahdhah dan

ghairu mahdhah

1. Ibadah mahdhah sebagaimana yang telah disyariatkan meliputi ibadah yang telah dicontohkan oleh

Rasulullah dan apa yang telah diwajibkanNya yakni wajib dijalankan dan wajib dijauhi.

Prinsip ibadah mahdhah diformulakan dengan KA + SS yakni karena Allah + sesuai syariat.

Ibadah mahdhah bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan

ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami

rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau

tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka

ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.

Azas ibadah mahdhah adalah “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah

kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla

kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah

satu misi utama diutus Rasululullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk dipatuhi.

371
2. Ibadah Ghairu Mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat, ada yang

dicontohkan oleh Rasulullah dan ada pula yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah namun selama

tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan RasulNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an

dan Hadits hukum asalnya adalah mubah (boleh).

Prinsip ibadah ghairu mahdhah diformulakan dengan BB + KA yakni berbuat baik + karena Allah

Prinsip ibadah ghairu mahdhah adalah tidak perlu sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah

karena keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah Ta’ala dan

Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan.

Ibadah ghairu mahdhah bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya,

manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika

sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.

Azas ibadah ghairu mahdhah adalah “manfaat” maksudnya selama itu bermanfaat, maka selama itu

boleh dilakukan.

Jadi sholat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah adalah ibadah mahdhah sedangkan

kebiasaan para Sahabat membaca surah al Ikhlas dalam sholatnya adalah ibadah ghairu mahdah yang

boleh dilakukan berdasarkan manfaat yakni

Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka

iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”

Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’

Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah

menyukainya

Jadi para Sahabat mempunyai kebiasaan yang tidak diajarkan oleh Rasulullah yakni kebiasaan

membaca surat Al Ikhlas, namun diperbolehkan atau tidak dilarang oleh Rasulullah karena pada

bagian yang memang tidak terlarang untuk berbeda.

Jika tidak dilarang oleh Rasulullah maka perkara seperti itu bukan perkara terlarang sampai

kapanpun.

Begitupula kebiasaan panggilan sayyidina dalam sholawat ketika sholat termasuk ibadah ghairu

mahdhah boleh dilakukan berdasarkan manfaat yakni padanya ada sopan santun.

372
Oleh karenanya para fuqaha (ahli fiqih) membolehkan menambah perkataan sayyidina dalam sholawat

ketika sholat karena dalam sholat memang ada bagian yang diperbolehkan bid’ah atau perkara baru

(muhdats) atau berbeda dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Berkata Syaikh Syihabuddin al Qaliyubi, pengarang dan pensyarah kitab minhaj Imam nawawi,

‫ لورودها فى رواية كما قاله شيخنا وال زيادة عبده مع رسوله وال‬,‫نعم ! ال يضر زيادة هيم فى عليك وال يا نداء قبل ايها وال وحده ال شريك له بعد اشهد ان ال اله اال هللا‬

‫ هنا وفى الصالة عليه االتية بل هو افضل الن فيه مع سلوك االدب امتثال االمر قليوبى‬.‫زيادة سيدنا قبل محمد‬

Artinya :”ya ! tidak merusakkan (dalam tasyahud) menambahkan huruf “mim” pada “’alaika”, begitu

juga menambahkan “ya” sebelum “ayyuha”, begitu juga membaca “wahdahu la syarikalah” sesudah

“asyhadu an la ilaha illallah”, begitu juga menambahkan “’abduhu” sebelum lafadh “warasuluhu”,

begitu juga menambah “sayidina” sebelum nama “Muhammad” (dalam tasyahud atau dalam

shalawat), tetapi membaca sayidina lebih afdhal karena dalam membaca “sayidina” itu kita sudah

menjalankan perintah nabi serentak dengan memuliakan dan menghormati nabi. (Qaliyubi I, hal 167).

Dalam Ibadah Mahdah berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal ibadah

adalah haram ) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram

kecuali ada nash yang mensyariatkannya) karena keberadaan ibadah mahdhah harus berdasarkan

adanya dalil dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan

oleh akal atau logika keberadaannya.

Contoh BID’AH dalam IBADAH MAHDHAH adalah terlarang sholat subuh tiga rakaat walaupun

(rasional) menganggapnya baik karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sholatlah

sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari 595, 6705).

Tidak boleh azan dalam sholat ied walaupun (rasional) menganggapnya baik berdasarkan kaidah ushul

fiqih

‫ان يُ ِف ْيدُ ْال َحص َْر‬


ِ َ‫س ُك ْوتُ فِي َمقَ ِام ْالبَي‬
ُّ ‫اَل‬

“Diam dalam perkara yang telah ada keterangannya menunjukkan pembatasan.”

Artinya bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum

itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya.

Maksud dari berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang

didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan

maka yang didiamkan menunjukkan pembolehan.

373
Imam Malik berkata “Barangsiapa yang membuat BID’AH dalam ISLAM yang ia memandangnya baik,

maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal

itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”.

Maka apa saja yang pada hari itu bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari

ini bukan menjadi bagian dari agama”

Berikut riwayat yang mencontohkan BID’AH dalam IBADAH MAHDHAH dan oleh Imam Malik disebut

dengan BID’AH dalam ISLAM.

Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari

mana saya akan memulai berihram?”

Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang

beliau berihram dari sana”.

Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu?”

Dijawab : “Aku tidak setuju itu”.

Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?”

Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”.

Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan?”

Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka hendaklah orang-orang

yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur :

63] Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang

tidak diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”

Dari contoh di atas, dapat kita pahami bahwa “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih

jauh dari itu” adalah perbedaan yang terlarang karena berbeda dengan yang diajarkan oleh Rasulullah

pada bagian yang terlarang untuk berbeda dan termasuk ibadah mahdah yang merupakan otoritas

wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.

Jadi yang dimaksud oleh Imam Malik dengan perkataannya “Barangsiapa yang membuat BID’AH

dalam ISLAM” adalah bid’ah dalam urusan agama yakni menganggap baik sesuatu sehingga

mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap buruk

sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan

RasulNya.

Sedangkan dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati

hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam perkara muamalah, kebiasaan,

374
budaya atau adat adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau

sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.

Contohnya amalan atau perbuatan kita menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan

menulis itu hukum asalnya adalah mubah (boleh)

Contoh hukum asalnya mubah menjadi haram yakni ketika tulisannya berisikan celaan karena

melanggar larangan Rasulullah.

Rasulullah bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah

kekufuran”. (HR Muslim).

Sedangkan jika tujuan (maqoshid) kita menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam

rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala

atau sunnah (mandub)

Jadi perantara (wasail) kita menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah

dalam rangka berdakwah adalah ibadah ghairu mahdhah.

Jadi cara membedakan antara ibadah mahdhah dengan ghairu mahdhah dapat dilihat dari wasail

(perantara) dan maqoshidnya (tujuan).

Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada

maqoshid dan wasail

Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya

maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.

Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana) sedangkan

maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenal Rasulullah dan meneladani nya.

Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh

ditinggalkan.

Lalu mengapa menjadi sunnah dalam arti dikerjakan berpahala ?

Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan

meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil

wasail hukmul maqoshid.

375
Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli

atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali

tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air

adalah wajib.

Jadi pahala yang diperoleh kaum muslim dari peringatan Maulid Nabi adalah dari bentuk kegiatan

yang mengisi acara peringatan Maulid Nabi.

Pada kenyataannya Rasulullah juga memperingati kelahirannya dengan sabdanya bahwa puasa Senin

adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya

Dari Abi Qatadah Al Anshari Radliyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Beliau bersabda,” di hari Senin itu saya dilahirkan dan saya

diangkat menjadi Rasulullah, dan diturunkan pada saya pada hari itu Al-Qur’an.

Jadi berdasarkan sabda Rasulullah bahwa puasa Senin sekaligus memperingati hari kelahirannya

menjadi salah satu dalil bagi umat Islam untuk membolehkan memperingati Maulid Nabi dengan

kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar

laranganNya atau selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan

As Sunnah.

Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan

khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro

(pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan

Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan

kaitannya dengan kehidupan masa kini.

Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermazhab Syafi’i

dan merupakan guru besar dari Al-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-

Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan, “merupakan Bid’ah hasanah

yang mulia di zaman kita ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran

(Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan,

maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir

dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara

dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat

bagi semesta alam” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah

Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.

376
Lalu mereka bertanya mengapa tidak suka dikatakan sebagai ahli bid’ah

Umat Islam tidak suka dianggap atau dituduh sebagai ahli bid’ah karena memang sebagian besar

bid’ah adalah sesat yakni semua bid’ah dalam ibadah mahdhah dan bid’ah dalam perkara ibadah

ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat yang menyalahi

larangan Allah Ta’ala dan RasulNya atau yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

Pengecualiannya atau yang dibolehkan hanyalah bid’ah dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi

perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat yang tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan

RasulNya atau yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

Al Imam Al Hafizh An Nawawi juga berkata “Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah

dholalah” ini adalah ‘Amm Makhshus, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang

dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan semuanya” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).

Mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH secara tidak langsung memfitnah Rasulullah dengan

menterjemahkan dan memahami sabda Rasulullah, KULLU adalah SEMUA

Padahal para ahli tata bahasa Arab sepakat bahwa arti kata KULLU yang lebih tepat adalah SETIAP

karena kata KULLU (SETIAP) tidak selalu berarti SEMUA

Perbedaan pokok dari kata SETIAP dan kata SEMUA adalah kata SETIAP dapat menerima pengecualian

sedangkan kata SEMUA tidak dapat menerima pengecualian.

Contohnya perkataan seseorang dapat dibenarkan jika berkata bahwa “saya setiap pagi sarapan

makan roti” walaupun sesekali ia sarapan makan bubur nasi contohnya ketika ia sakit perut.

Jadi perkataan “saya setiap pagi sarapan makan roti” dibenarkan karena “sebagian besar pagi ia

sarapan makan roti”

Contoh lainnya “setiap pria tidak beranting” kecuali pria nyeleneh yang beranting

Sangat jelas “setiap pria tidak beranting” maksudnya adalah “sebagian besar pria tidak beranting”

kecuali pria nyeleneh yang beranting.

Lalu ada yang bertanya bagaimana kalau bunyi hadits “wa kullu dholalatin finnar” apakah berarti “dan

SETIAP kesesatan akan bertempat di neraka bukan SEMUA kesesatan ?

Hal yang perlu diketahui bahwa Kullu dapat sebagai kullu ba’din maksudnya ”SETIAP dalam arti

SEBAGIAN” dan dapat pula sebagai kullu jam’in maksudnya “SETIAP dalam arti SEMUA”

377
Kullu pada “SETIAP kesesatan akan bertempat di neraka” adalah kullu jam’in (kullu / setiap dalam arti

semua) karena kata KULLU diikuti kata “kesesatan” yang sudah jelas (lugas) sifat jelek (sayyiah).

Sedangkan kullu dalam “kullu bid’ah dholalah” adalah kullu ba’din (kullu / setiap dalam arti sebagian)

karena kata “bid’ah” belum menunjukkan sifatnya.

Dalam ilmu balaghah dikatakan

‫حدف الصفة على الموصوف‬

“membuang sifat dari benda yang bersifat”

Begitupula dengan hadits “Kullu bid’ah dholalah” tidak tercantum sifat dari bid’ah maka jika ditulis

lengkap dengan sifat dari bid’ah kemungkinannya adalah

a. Kemungkinan pertama :

‫ار‬ َ ‫ضالَ لَةٌ َو ُك ُّل‬


ِ ‫ضالَ لَ ٍة فِى ال َّن‬ َ ‫ُك ُّل ِب ْد َع ٍة َح‬
َ ‫سنَ ٍة‬

Setiap “bid’ah yang baik” itu sesat (dholalah), dan setiap yang sesat (dholalah) masuk neraka

Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat (dholalah) berkumpul dalam satu benda dan

dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil.

b. Kemungkinan kedua :

‫ضالَ لَ ٍة فِىالنَّاِر‬
َ ‫ضالَ لَ ٍة َو ُك ُّل‬ َ ‫ُك ُّل بِ ْد َع ٍة‬
َ ‫سيِئَ ٍة‬

Setiap “bid’ah yang jelek” itu sesat (dholalah), dan setiap yang sesat (dholalah) masuk neraka

Jadi kesimpulannya bid’ah yang sesat masuk neraka adalah bid’ah yang jelek (sayyiah)

pengecualiannya adalah bid’ah yang baik (hasanah).

Al Imam Al Hafizh An Nawawi mencontohkan kata KULLU yang diikuti kata yang belum menunjukkan

sifat adalah firman Allah Ta’ala,

“wakaana waraa’ahum malikun ya’khudzu kulla safiinatin ghashbaan”

“karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap kapal” (QS Al Kahfi [18]:79)

Dalam ayat tersebut sifat kapal yang baik tidak tercantum namun dijelaskan oleh Nabi Khidir

alaihisalam bahwa Beliau mengetahui dihadapan mereka kelak akan ada seorang raja yang suka

merampas setiap kapal yang baik sehingga kapal kepunyaan beberapa orang miskin perlu dirusak

378
sedikit agar kelak mudah diperbaiki sehingga bilapun raja melihatnya maka ia menduga kapal itu

adalah kapal yang buruk dan membiarkannya.

Jadi kata bid’ah dan kapal belum menunjukkan sifat sehingga kata setiap pada “setiap bid’ah” dan

“setiap kapal” adalah “setiap dari sebagian” yang memerlukan penjelasan lebih lanjut atau hadits

yang mengecualikannya atau mentakhsisnya

Al Imam Al Hafizh An Nawawi menerangkan bahwa hadits tentang SUNNAH HASANAH (contoh atau

perkara baru yang baik) dan SUNNAH SAYYIAH (contoh atau perkara baru yang buruk) adalah hadits

yang mentakhsis hadits “kullu bid’atin dholalah” dan sebagai sumber atau dasar pembagian bid’ah

mengikuti hukum taklifi yang lima sebagaimana yang termuat di dalam kitab hadits “Shahih Muslim bi

Syarhi an-Nawawi” jilid 4 halaman 104-105, cetakan “Darul Fikr” Beirut Libanon (lihat

pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/shohih-muslim-bi-syarhi-an-nawawi.jpg

Berikut kutipannya

******* awal kutipan *******

Pembagian bid’ah bersumber dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, yaitu:

“Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala

orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-

buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya

dan tak berkurang sedikit pun dari dosanya”.

Hadits ini mentakhsis hadits Nabi yang berbunyi (yang artinya)

“Setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.

Adapun yang dimaksud hadits tersebut adalah perkara-perkara baru yang bersifat bathil dan bid’ah-

bid’ah yang bersifat tercela.

Dengan demikian, bid’ah dibagi kepada lima bagian, yaitu:

1. Bid’ah wajib,

2. Bid’ah sunnah,

3. Bid’ah haram,

4. Bid’ah makruh, dan

5. Bid’ah mubah.

****** akhir kutipan ******

379
Silahkan download atau baca secara online pada http://archive.org/details/SahihMuslimSharhNawawi

Begitupula Al Imam Al Hafiz Al-Qurthubi mengatakan: “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii),

maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang

berbunyi : “seburuk-buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan setiap bid’ah adalah dhalalah”

(wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang

tidak sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wasallam, atau perbuatan Sahabat

radhiyallahu ‘anhum.

Sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya :

“Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala

orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat

buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya”

(Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik

dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

Begitupula sebagaimana Imam Nawawi di atas membagi bid’ah kepada lima bagian mengikuti hukum

taklifi yang lima, pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari dalam Risalatu Ahlissunnah

wal Jama’ah halaman 4 menjelaskan

****** awal kutipan *******

Imam Ibnu Abdis Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima.

Beliau berkata: “Bid‟ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam (Bid‟ah tersebut adakalanya):

1. Bid‟ah Wajibah: seperti mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib baik

yang terdapat di dalam al-Quran ataupun as-Sunnah, dimana pemahaman terhadap syari‟ah menjadi

tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya.

2. Bid‟ah Muharramah: seperti aliran Qadariyah, Jabariyah dan Mujassimah.

3. Bid‟ah Mandubah: seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-

madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.

4. Bid‟ah Makruhah: seperti berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushaf dan lain

sebagainya.

380
5. Bid‟ah Mubahah: seperti bersalaman selesai shalat Shubuh dan Ashar, membuat lebih dalam

makanan dan minuman, pakaian dan lain sebagainya.”

Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka maka diketahui bahwa adanya klaim

bahwa berikut ini adalah bid‟ah, seperti memakai tasbih, melafadzkan niat, membaca tahlil ketika

bersedekah setelah kematian dengan catatan tidak adanya perkara yang mencegah untuk bersedekah

tersebut, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid‟ah.

Dan sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar-pasar

malam, bermain undian pertunjukan gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk-buruknya bid‟ah.

****** akhir kutipan *****

Selengkapnya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2015/08/risalah-aswaja.pdf

Di atas, sebagaimana yang disampaikan oleh KH Hasyim Asyari bahwa Imam Ibnu Abdis Salam

mencontohkan bid’ah hasanah dan hukumnya wajib adalah menguasai ilmu tata bahasa Arab atau

ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) sebagai syarat dasar untuk dapat

memahami Al Qur’an dan As Sunnah.

Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah

memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih:

“Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali

dengannya, maka hukumnya wajib”.

Contoh bid’ah mubah adalah bersalaman setelah sholat

Dalam Qawaid Al Ahkam (2/339), dengan cukup gamblang Imam Izzuddin menyatakan bahwa

bersalaman setelah ashar dan shubuh merupakan bid’ah mubah

Hal ini juga dinukil juga oleh Imam An Nawawi dalam Tahdzib Al Asma wa Al Lughat (3/22), serta Al

Adzkar dalam Al Futuhat Ar Rabaniyah (5/398) dengan makna yang sama.

Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ (3/459),”Adapun bersalaman yang dibiasakan setelah

shalat shubuh dan ashar saja telah menyebut As Syeikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdis Salam

rahimahullah Ta’ala,’Sesungguhnya hal itu bagian dari bid’ah-bid’ah mubah, tidak bisa disifati dengan

makruh dan tidak juga istihbab (sunnah).’ Dan yang beliau katakan ini baik.”

Ba Alawi mufti As Syafi’iyah Yaman, dalam kumpulan fatwa beliau Bughyah Al Mustrasyidin (hal. 50)

juga menyebutkan pula bahwa Imam Izzuddin memandang masalah ini sebagai bid’ah mubah

381
sebagaimana pemahaman Imam An Nawawi,”Berjabat tangan yang biasa dilakukan setelah shalat

shubuh dan ashar tidak memiliki asal baginya dan telah menyebut Ibnu Abdissalam bahwa hal itu

merupakan bid’ah-bid’ah mubah.”

Bukan hanya ulama As Syafi’iyah saja yang memahami istilah khusus yang digunakan oleh Imam

Izuddin. Meskipun As Safarini seorang ulama mazhab Hanbali, beliau memahami bahwa Imam

Izzuddin menyatakan masalah ini sebagai bi’dah mubah. Tertulis dalam Ghidza Al Albab (1/235),

dalam rangka mengomentari pernyataan Ibnu Taimiyah yang menyebutkan bahwa berjabat tangan di

dua waktu tersebut adalah bid’ah yang tidak dilakukan oleh Rasul dan tidak disunnahkan oleh seorang

ulama sekalipun, ”Aku berkata, dan yang dhahir (jelas) dari pernyataan Ibnu Abdissalam dari As

Syafi’iyah bahwa sesungguhnya hal itu adalah bid’ah mubah”

Contoh bid’ah haram, Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam mencontohkan di antaranya: Golongan

(Firqah) Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, dan Mujassimah (musyabbihah). Menolak terhadap mereka

termasuk bid’ah yang wajib.

Para fuqaha (ahli fiqih) menggunakan hukum taklifi untuk menetapkan hukum atas bid’ah atau

perkara baru (muhdats) atau perkara yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah atau tidak dijumpai

dalam Al Qur’an dan As Sunnah mencontoh dan mengikuti para Sahabat seperti Mu’adz bin Jabal ra

yang menerima pujian dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sabdanya, “Ummatku yang

paling tahu akan yang halal dan yang haram ialah Mu’adz bin Jabal”

Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu’adz hampir sama dengan

Umar bin Khathab. Ketika Rasulullah hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, “Apa

yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu’adz?” “Kitabullah,” jawab Mu’adz.

“Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?”, tanya Rasulullah pula. “Saya putuskan dengan

Sunnah Rasul.” “Jika tidak kamu temukan dalam Sunnah Rasulullah?” “Saya pergunakan pikiranku

untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia,” jawab Muadz. Maka berseri-serilah wajah

Rasulullah. “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang

diridhai oleh Rasulullah,” sabda beliau.

Mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH pada umumnya akan terjerumus BID’AH dalam URUSAN AGAMA

yakni mereka yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak

dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap baik sesuatu

sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya

382
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru (BID’AH)

dalam URUSAN AGAMA yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka

tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perkara agama atau urusan agama meliputi perkara kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) maupun

larangan (jika dilanggar berdosa) berasal dari Allah Azza wa Jalla bukan menurut akal pikiran

manusia.

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu

tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya

dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).

Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang

dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)

Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku

larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).

Perintah Allah dan RasulNya hukumnya ada dua yakni Wajib dan Sunnah (mandub).

Sedangkan larangan Allah dan RasulNya hukumnya ada dua pula yakni Haram dan Makruh.

Selebihnya hukumnya adalah mubah (boleh) dan Allah Ta’ala tidak lupa.

Para ulama mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman

atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah.

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan

telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-

Maaidah: [5] : 3)

Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal

melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan

tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”

Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah

Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan

lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.

383
Oleh karenanya dikatakan pelaku bid’ah dalam urusan agama lebih disukai Iblis daripada pelaku

maksiat karena mereka menjadikan sembahan-sembahan selain Allah dan karena para pelaku tidak

menyadarinya sehingga mereka sulit bertaubat.

Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah merasa berbuat salah dan

merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang

melakukan bid’ah dalam urusan agama..

Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar

Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena

pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan

oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 )

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang

mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS Asy Syuura [42]:21)

Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka

sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31)

Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta

sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”,

“Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu

menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta

itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“

Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah

menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian

mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih

dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang

yang sebenarnya tidak dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau

mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya

Firman Allah Ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami

dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan

dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-

adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah

384
yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan

pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara

mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. al Hadid [57]: 27)

Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri

dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni

melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang

tidak diwajibkanNya

Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti

1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa

2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur

3. Melarang dirinya untuk menikah

Namun Rasulullah menegur dan mengkoreksi mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang

berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara

kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan

para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”

Jadi orang-orang yang gagal paham tentang bid’ah akibat salah memahami dan menggali hukum dari

Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka dapat terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Nasrani

yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang menganggap buruk sesuatu

sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya

atau sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah

Ta’ala dan RasulNya sehingga mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain

Allah.

Contoh mereka yang gagal paham bid’ah sehingga dapat terjerumus menjadikan ulama-ulama mereka

sebagai tuhan-tuhan selain Allah adalah ironisnya mereka melarang (mengharamkan) Maulid Nabi

namun mereka membolehkan melaksanakan “pekan memorial” atau sepekan mengenang Muhammad

bin Abdul Wahhab

Ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih al Utsaimin berfatwa bahwa salah satu alasan mereka

membolehkannya adalah karena kegiatan mengenang ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin

Abdul Wahhab bukan dilaksanakan sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.

385
Kalau kegiatan mereka mengenang ulama panutan mereka dikatakan bukan untuk mendekatkan diri

kepada Allah maka itu artinya kegiatan mereka tersebut untuk menjauhkan diri dari Allah.

Jadi mereka tampaknya gemar melakukan hal yang buruk (keburukan) karena seluruh sikap dan

perbuatan yang bukan untuk (taqarrub) mendekatkan diri kepada Allah alias menjauhkan diri dari

Allah atau berpaling dari Allah adalah amal keburukan (lawan dari amal kebaikan) yakni seluruh sikap

atau perbuatan yang melanggar larangan Allah Ta’ala dan RasulNya.

Firman Allah Ta’ala yang artinya

“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS

Shaad [38]:26)

“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat

demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56

Dalam sebuah diskusi, salah seorang yang sepakat dengan fatwa pekan memorial tersebut

menyampaikan pendapatnya sebagai berikut

***** awal kutipan ******

Tidak ada yang salah dengan fatwa tersebut karena pekan memorial TIDAK DIANGGAP mendekatkan

diri (taqarrub) kepada Allah.

Pekan memorial itu hanya mengenang Muhammad bin Abdul Wahhab.

Syah syah saja atau boleh mengenang pahlawan yang dianggap berjasa menurut negara masing-

masing.

Contohnya negara kita mengenang para pahlawan seperti mengenang perjuangan Jendral Sudirman.

Ummat sekarang harus tahu sejarah perjuangan para pendahulu yang memperjuangkan Islam di

negerinya, mau ulama atau pahlawan lainnya.

***** akhir kutipan *****

Fatwa ulama panutan mereka tersebut untuk menjawab pertanyaan mengapa Maulid Nabi dingkari

atau dilarang (diharamkan) namun pekan memorial yakni acara MENGENANG ulama mereka sebagai

pahlawan tidak diingkari atau dibolehkan.

386
Fatwa ulama panutan mereka tersebut jelas salah karena dalil ‘aqli atau alasan mereka menggunakan

logika adalah kontradiksi.

Mengapa mereka membolehkan MENGENANG ulama mereka sebagai pahlawan namun mereka

melarang (mengharamkan) Maulid Nabi untuk MENGENANG Rasulullah.

Apakah lebih mulia ulama atau pahlawan mereka daripada Rasulullah?

Apakah Rasulullah bukan pahlawan bagi mereka?

Apakah mereka tidak menganggap Rasulullah memperjuangkan Islam?

Tampaknya mereka lebih mencintai ulama panutan mereka daripada mencintai Rasulullah karena

mereka membolehkan mengenang dan memuji para ulama panutan mereka sepuas hati mereka dan

melarang umat Islam mengenang dan memuji Rasulullah, manusia yang paling mulia sebagaimana

yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/06/30/boleh-pekan-

memorial/

Begitupula kalau dilarang (diharamkan) peringatan Maulid Nabi karena diadakan secara rutin maka hal

itu bertentangan dengan sabda Rasulullah yang menganjurkan untuk melakukan kebiasaan yang baik

walaupun sedikit secara rutin, konsisten atau istiqomah.

Rasulullah bersabda bersabda : “Amalan yang lebih dicintai Allah adalah amalan yang terus-menerus

dilakukan walaupun sedikit”

Ibnul Jauzi juga berkata : Sesungguhnya Allah lebih mencintai amalan yang dilakukan secara rutin.

Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar, “Nabi shallallahu alaihi wasallam

selalu mendatangi masjid Quba setiap hari sabtu baik dengan berjalan kaki maupun dengan

mengendarai kendaraan, sedangkan Abdullah selalu melakukannya.” (HR. Imam al-Bukhari dalam

Sahih al-Bukhari I/398 hadits 1174)

Dalam mengomentari hadits ini Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini dengan sekian jalur

yang berbeda menunjukkan akan diperbolehkannya menjadikan hari-hari tertentu untuk sebuah ritual

yang baik dan istiqamah. Hadits ini juga menerangkan bahwa larangan bepergian ke selain tiga

masjid (Masjid al-Haram, Masjid al-Aqsa, dan Masjid Nabawi) tidaklah haram. ((Al Hujjatul Islam Ibnu

Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari III/69, Dar al-Fikr Beirut)

387
Para fuqaha (ahli fiqih) menetapkan bahwa peringatan Maulid Nabi maupun peringatan hari besar

agama Islam lainnya seperti Nuzulul Qur’an, Isra Mi’raj, Tahun baru Islam dan lain lain hukumnya

adalah MUBAH (BOLEH)

Pada hakikatnya segala perkara yang MUBAH (BOLEH) pun adalah IBADAH dan BERPAHALA karena

seluruh sikap dan perbuatan selama tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan RasulNya adalah amal

kebaikan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Azza wa Jalla

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun

terdapat sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, jika salah seorang diantara kami menyalurkan

nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala? beliau menjawab: Bagaimana sekiranya kalian

meletakkannya pada sesuatu yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, bila

kalian meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala. (HR Muslim

1674)

Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah.

Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada

seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474, 529)

Semua contoh perkara di atas adalah yang disebut dengan ibadah ghairu mahdhah yang meliputi

perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat.

Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan

Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau

saling mengamalkan.

Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan

hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)

Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.

Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf

Firman Allah Ta’ala yang artinya

Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah

dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)

388
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul

fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu

maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik

sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.

Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan

al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).

Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf

al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).

Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan

yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’

atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan

dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Oleh karenanya dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan,

budaya atau adat apapun, termasuk yang tidak ada pada zaman Rasulullah selama tidak menyalahi

larangan Allah Ta’ala dan larangan RasulNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan

Hadits maka hukum asalnya adalah mubah (boleh).

Begitupula ada kita temukan mereka yang melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang oleh Allah

Ta’ala dan RasulNya atau melarang (mengharamkan) tidak berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan Hadits

melainkan berdasarkan perkataan manusia seperti, “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi”

Perkataan tersebut bukan firman Allah Ta’ala, bukan sabda Rasulullah dan bukan pula perkataan para

Sahabat.

Bahkan perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” mirip dengan perkataan orang-orang kafir

dalam firmanNya,

“waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khairan maa sabaquunaa ilaihi wa-idz lam

yahtaduu bihi fasayaquuluuna haadzaa ifkun qadiimun

“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al-Qur’an)

adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena

389
mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang

lama”. (QS al Ahqaaf [46]:11 ).

Ayat Al Ahqaaf [46]:11 tentang orang-orang kafir meremehkan orang-orang yang beriman yakni Bilal,

‘Ammar, Shuhaib, dan Khabbab serta orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan kaum

lemah, para budak dan hamba sahaya, karena mereka (orang-orang kafir) berkeyakinan bahwa

mereka mempunyai kedudukan terhormat

Qutadah mengatakan bahwa ayat Al Ahqaaf [46]:11 diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang

musyrikin (kafir) yang suatu ketika berkata, “Kami yang paling mulia, perkasa, dan terhormat. Jika

terdapat kebaikan dalam Al-Qur’an / Islam, tentulah kami yang pertama kali masuk Islam

(Diriwayatkan Ibnu Jarir)

Secara umum QS Al-Ahqaaf [46]:11 itu menyampaikan bahwa orang-orang kafir meremehkan, bahwa

jika beriman pada Al-Qur’an itu mendatangkan kebaikan tentu derajat atau kedudukan Bilal, ‘Ammar,

Shuhaib dll akan sebaik mereka.

Perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” memang ada dalam kitab Ibnu Katsir pada tafsir

(QS al Ahqaaf [46]:11) namun perlu ada penyelidikan lebih lanjut kehadiran perkataan tersebut

karena perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” sebagaimana yang diartikan oleh mereka

tidak ada kaitannya dengan ayat yang ditafsir.

Bahkan dari perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” tidak ada kata yang dapat diartikan

sebagai “para Sahabat”

Ayat (QS al Ahqaaf [46]:11) justru menjelaskan bahwa para Sahabat “melakukannya” sedangkan

orang kafir tidak “melakukannya”.

Para Sahabat “mengamalkannya” sedangkan orang kafir tidak “mengamalkannya”

Para Sahabat beriman pada Al Qur’an sedangkan orang kafir tidak beriman pada Al Qur’an

Kebiasaan yang dilakukan atau tidak dilakukan para Sahabat bukanlah hukum dalam Islam yang

membatasi untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan.

Umat Islam boleh melakukan kebiasaan apapun selama tidak melanggar larangan Allah Ta’ala dan

RasulNya.

390
Begitupula bagi umat Islam, bid’ah bukan hukum dalam Islam yang membatasi kita untuk tidak

melakukan apapun yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah.

Hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau

tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.

Ada pula dari mereka yang menjilat air ludahnya sendiri alias meralat pendapatnya bahwa ternyata

tidak semua bid’ah itu terlarang.

Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi dua yakni

1) Bid’ah diniyah (urusan agama) yang terlarang

2) Bid’ah duniawiyyah (urusan dunia) tidak terlarang.

Mereka terpaksa menciptakan perantara, yang jika tanpa perantara ini mereka tidak dapat melakukan

aktifitas yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah maupun para Sahabat.

Pembagian atau klasifikasi bid’ah tersebut tidak pernah disebutkan oleh para ulama yang mengikuti

Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.

Mereka yang mengingkari pembagian bid’ah ke yang baik (hasanah) dan buruk (sayyiah) berdasarkan

hadits Rasulullah tentang sunnah hasanah dan sunnah sayyiah maka pembagian bid’ah menjadi bid’ah

diniyyah yang tidak boleh dan bid’ah duniawiyyah yang boleh, adalah tindakan bid’ah dan mengada-

ada yang sayyiah (buruk) sebenarnya karena mereka berpendapat bahwa bid’ah duniawiyyah tidak

ada konsekuensi apapun, mereka telah keliru dalam menetapkan hukum.

Sebab dengan sikap ini mereka memvonis bahwa semua bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas

sangat berbahaya dan bisa menimbulkan fitnah dan bencana.

Mereka dapat terjerumus mengikuti paham sekularisme yang dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia

(MUI) didefinisikan bahwa pengikut sekularisme agama adalah mereka yang memisahkan urusan

dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan,

sedangkan urusan dunia atau hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan

kesepakatan sosial.

Pengikut paham sekularisme yang mengaku muslim menyalahgunakan potongan hadits ,”wa antum

a’lamu bi amri dunyakum, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-urusan duniamu”. (HR.

Muslim 4358)

391
Riwayat selengkapnya,

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan ‘Amru An Naqid seluruhnya dari Al

Aswad bin ‘Amir; Abu Bakr berkata; Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Amir; Telah

menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Hisyam bin ‘Urwah dari Bapaknya dari ‘Aisyah

dan dari Tsabit dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati suatu kaum yang

sedang mengawinkan pohon kurma lalu beliau bersabda: “Sekiranya mereka tidak melakukannya,

kurma itu akan (tetap) baik”. Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak.

Hingga suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau

bertanya: ‘Ada apa dengan pohon kurma kalian? Mereka menjawab; Bukankah anda telah

mengatakan hal ini dan hal itu? Beliau lalu bersabda: ‘Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian’

(HR Muslim 4358)

Kaum sekulerisme berpendapat urusan dunia tidaklah diurus oleh agama, terbukti dalam hadits

tersebut Rasulullah salah memberikan nasehat dalam penanaman kurma berikut contoh pernyataan

mereka selengkapnya,

**** awal kutipan *****

“Ketika Nabi shallalahu alaihi wasallam memberikan nasihat tentang cara mengawinkan pohon kurma

supaya berbuah, ini bisa dianggap bahwa beliau sudah memasukkan otoritas agama untuk urusan

duniawi yang di mana beliau tidak mendapatkan wahyu atau kewenangan untuk itu.

Tapi ternyata dalam masalah menanam kurma ini pendapat beliau keliru. Pohon kurma itu malah

menjadi mandul. Maka para petani kurma itu mengadu lagi kepada Nabi saw, meminta

pertanggungjawaban beliau. Dan beliau menyadari kesalahan advisnya waktu itu dan dengan rendah

hati berkata, “Kalau itu berkaitan dengan urusan agama ikutilah aku, tapi kalau itu berkaitan dengan

urusan dunia kamu, maka “Antum a’lamu bi umuri dunyaakum”, kamu sekalian lebih mengetahui

urusan duniamu.

Rasulullah mengakui keterbatasannya. Rasulullah bukanlah penentu untuk segala hal. Rasul bukanlah

orang yang paling tahu untuk segala hal. Bahkan untuk urusan dunia di jaman beliau pun beliau

bukanlah orang yang paling tahu.

Jadi tidak mungkin jika kita menuntut Rasulullah untuk mengetahui segala sesuatu hal tentang urusan

dunia. Apalagi kalau mengurusi urusan kita di jaman modern ini…! Tentu tidak mungkin kita harus

mencari-cari semua aturan tetek-bengek dalam hadist beliau. Itu namanya set-back. Lha wong di

jamannya saja Rasulullah menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak beliau pahami dan hendaknya

392
tidak mengikuti pendapat beliau dalam ‘urusan duniamu’ tersebut.”

**** akhir kutipan *****

Dalam hadits di atas Rasulullah hanya memberikan tanggapan mengapa mesti kurma itu dikawinkan

segala, mengapa tidak dibiarkan begitu saja secara alami. Hal ini dapat kita ketahui terkait firman

Allah Azza wa Jalla, “subhaana alladzii khalaqa al-azwaaja kullahaa mimmaa tunbitu al-ardhu” , “Maha

Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan

oleh bumi” (QS Yaa Siin [36]:36).

Permasalahan kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak tidaklah terkait dengan tanggapan

Rasulullah.

Sedangkan makna perkataan Rasulullah, “wa antum a’lamu bi amri dunyakum”, “dan kamu sekalian

lebih mengetahui urusan-urusan duniamu” , yang dimaksud “urusan dunia” khusus urusan disiplin

ilmu tertentu atau pengetahuan tertentu di luar ilmu agama, seperti dalam hadits tersebut adalah ilmu

pertanian, ilmu pengetahuan manusia dalam membantu perkawinan kurma.

Namun bagi umat Islam, urusan dunia seperti ilmu pengetahuan yang didalami oleh manusia maupun

apapun yang tidak dijumpai pada zaman Rasulullah dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang

meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat maka kita menimbangnya dengan hukum

dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak

melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Semua Ibadah »

Dalil Bid’ah
20 April 2010 oleh mutiarazuhud
Mengambil Pelajaran dari Dalil Tentang Bid’ah
Ketika saya membuat tulisan hati-hati dalam memahami bid’ah

393
Banyak yang memberikan tanggapan dengan memberikan dalil-dalil banyak sekali tentang

“bid’ah”, mungkin maksudnya agar saya lebih memahaminya.

Mereka (yang memberikan dalil-dalil) tidak melakukan langkah berikutnya, cukup berpuas diri pada

dalil-dalil semata.

Langkah berikutnya adalah “mengambil pelajaran” dari semua dalil-dalil berhubungan dengan

bid’ah, sebagaimana firman Allah yang artinya,

“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah)

kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah

dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil

pelajaran (dari firman Allah). (Al Baqarah : 269)

Semoga kita diberikan anugerah hikmah oleh Allah yang Maha Penyayang,

Jika tidak kita dapatkan anugerah hikmah, maka bisa saja termasuk yang disebut “Iman mereka tidak

melampaui kerongkongan mereka”. Naudzubillah min zalik.

Marilah kita mengambil pelajaran atau memaknai atau menta’wilkan.

Siapa yang menta’wilkan Al-Quran dan sunnah, silahkan lihat tulisan

sebelumnya https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/12/tawil/

Urutan pertama adalah cari dalil yang bersifat umum (prinsip/dalil umum) biasanya mengandung kata

“sekalian” atau “setiap”

Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Rasulullah menerangkan sbb:

“Jauhilah olehmu sesuatu yang diada-adakan karena yang diada-adakan itu bid’ah dan sekalian bid’ah

adalah dholalah (sesat)”

Ada hadits-hadits yang senada dengan ini.

“Sekalian bid’ah” diterangkan atau dikhususkan oleh hadits-hadits lainnya seperti:

Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan: “Barangsiapa yang berbuat satu kebid’ahan di

dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah Muhammad

shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah azza wajalla telah menyatakan:

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian. Dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku

kepada kalian. Dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al- Maidah: 3)

394
Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya

“Barangsiapa yang menbuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak” (H.R

Muslim – Lihat Syarah Muslim XII – hal 16)

Arti kata-kata “kebid’ahan di dalam Islam” , “dalam urusan kami” ialah urusan keagamaan, karena

Nabi Muhammad Saw, diutus Allah untuk menyampaikan agama. Maka dari hadist-hadits ini dapat

diambil pengertian bahwa kalau dalam urusan keduniaan atau ghairu mahdah boleh saja diadakan

asal tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.

Sehingga sebagian ulama memaknai bahwa bid’ah yang bukan dalam Islam atau bukan urusan

keagamaan, yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, tidak menentang perbuatan-

perbuatan Sahabat Nabi, dan tidak menentang Ijma maka dikategorikan bid’ah hasanah.

Imam as Syafii ra berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul

atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dlalalah. Dan apa yang baru terjadi

dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah

(terpuji).

Hadist Nabi yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu adalah sesat, adalah masih dapat menerima

pengecualian, karena lafadz kullu bid’atin adalah isim yang dimudlafkan kepada isim nakirah,

sehingga dlalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah

menerima pengecualian. Untuk itulah dijelaskan oleh hadits yang lain dengan istilah “di dalam

Islam” atau “urusan kami”.

Wassalam

Share this:

 Facebook8

Terkait
Ibadah dan Bid'ahdalam "Islam"
Seluruhnya Ibadahdalam "Islam"
Maulid Nabi sawdalam "Islam"

Ditulis dalam Islam, Umum | Dengan kaitkata bid'ah, dholalah, hasanah | 117 Komentar

117 Tanggapan

395
1. pada 30 April 2010 pada 9:06 pm | Balas salafi

bid’ah itu lebih berbahaya daripada maksiat…

Imam Samudera ketika akan ditembak dia senyum2 saja karena menganggap dirinya sedang berjihad

di jalan Allah…

quburiyun, sufiyun, khurofatiyun ketika berada di atas kapal yang mau tenggelam …. yang mereka

seru siapa?? rasulullah, nabi2, malaikat, syaikh, para wali, jimat, dll … di samping menyeru Allah…

tapi seorang pelacur atau pezinah, peminum khamr dan pembunuh, bisa dengan cepat sadar karena

mereka tau mereka di atas kesesatan, tapi orang yang terjatuh ke dalam pemahaman sesat, sampai

sakratul maut pun mereka akan tetap meyakininya sampai ajal….

mudah2an Allah memberi taufik dan hidayah kepada kita semua….amin

2. pada 16 Juni 2010 pada 8:46 pm | Balas Yusuf Ibrahim

Saya ingin tanya, kalo memang saudara meyakini bahwa ‘Maulid’ itu termasuk bid’ah hasanah, maka

di bagian mana letak bid’ahnya?

kalo hasanahnya, saya sudah tau jawabannya……

————————————————–

NB : saya harap pertanyaan saya diatas dijawab tidak dalam bentuk link, singkat saja asal jelas,

kopas juga gpp , asal tidak dalam bentuk link……

-terima kasih-

o pada 16 Juni 2010 pada 10:41 pm | Balas mutiarazuhud

Terima kasih antum sudah berlaku adil, yakni meletakkan komentar pada tempatnya.

Mauild Nabi termasuk kategori ghairu mahdah (ibadah umum).

396
Ibadah umum beberapa dicontohkan oleh Rasulullah dan disunahkan untuk mengikuti , namun

sebagian lagi diserahkan kepada manusia sesuai keinginan, teknologi atau zaman

Ibadah umum seperti bekerja, berdoa/berzikir, berjama’ah, sedekah, infaq, belajar / menuntut ilmu,

metode pengajaran, berpolitik, menggunakan safety belt ketika berkendara mobil, menggunakan

pedal rem ketika menjalankan kendaraan, menggunakan helm ketika berkendara motor, berangkat

naik haji menggunakan sarana transportasi yang lebih baik seperti dengan pesawat terbang.

Yang perlu diingat bahwa “semua yang diserahkan kepada manusia” itu tidak boleh bertentangan

dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Inilah yang disebut dengan mengikuti petunjuk Allah atau pegangan

hidup manusia mengarungi dunia yakni Al-Quran dan Hadits.

Ibadah umum, berdoa/berzikir, disunnahkan mengikuti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW

namun boleh dilakukan sesuai kebutuhan/keinginan (tidak sesuai yang dicontohkan) namun

biasanya mengikuti sunnah adab berdoa.

Sedangkan Maulid Nabi memang tidak dicontohkan oleh Nabi SAW maupun para sahabat sehingga

dikatakan bid’ah. Namun bukan bid’ah “urusan kami”,

 pada 18 Juni 2010 pada 7:57 pm Yusuf Ibrahim

Ada 5 point hal yg ingin saya sampaikan dan tanyakan (saya harap saudara menjawabnya satu

persatu)….

1. Ini adalah salah satu kekeliruan saudara dalam memahami agama (Islam) ini yakni meng-

umum-kan ibadah khusus…..

2. Bagaimana bisa, dzikir, sholawat dan berdoa yg pada hakikatnya merupakan amaliah dalam hal

‘habluminallah’ disamakan kaidah hukumnya dengan perbuatan2 seperti menggunakan safety belt

ketika berkendara mobil, menggunakan pedal rem ketika menjalankan kendaraan, dan

menggunakan helm ketika berkendara motor yg dimana perbuatan2 tsb kaitannya hanyalah

sebatas kepada ‘habluminannas’/urusan keduniaan…..?

3. Dengan mengatakan bahwa “……..Maulid Nabi memang tidak dicontohkan oleh Nabi maupun

para sahabat sehingga dikatakan bid’ah………..”,

itu tandanya bahwa saudara sebenarnya telah paham kaitan antara perayaan ‘Maulid’ dengan

397
bid’ah ! bahkan (menurut saya) perkataan tsb menandakan bahwa secara tidak langsung dan

tanpa disadari saudara telah mengakui kekeliruan saudara…..

karena keliru umat muslim apabila beramal sholeh, namun tidak mencontoh Rasulullah dan

Sahabat, karena hanya merekalah sebaik-baiknya contoh orang-orang yg paling bertaqwa……

Rasulullah bersabda ;

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”

(HR. Muslim no. 1718)

adapun maksud ‘….amalan yang bukan ajaran kami….’ itu adalah seperti yg saudara jelaskan yakni

AMALAN YANG TIDAK DICONTOHKAN OLEH NABI MAUPUN SAHABAT ! maka apabila kita

melakukan suatu ‘amaliah’ yg tidak ada contoh sebelumnya, maka tertolaklah amalan itu dengan

merujuk kepada Sabda Rasulullah tsb…..

lalu saya ingin tanya, apakah perayaan ‘Maulid’ itu bukan suatu amalan bagi orang-orang yg

merayakannya? lalu kalo memang itu merupakan suatu amalan, apakah amalan tsb telah ada

contohnya dari Rasulullah dan para Sahabat? tentu saudara telah menjawabnya……lalu, jika tidak

pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para Sahabat, apa konsekuensinya apabila kita merujuk

kepada Sabda Rasul diatas?

4. kalo memang berdoa/berzikir itu pelaksanaannya boleh tidak sesuai dengan yang dicontohkan

oleh Rasulullah dan Sahabat, lalu saya ingin tanya, memangnya Rasulullah dan Sahabat tidak

pernah mengajarkan tata cara sholawat dan dzikir?

5. Dengan saudara mengatakan bahwa perayaan ‘Maulid’ itu tidak termasuk ke dalam ‘urusan

kami’ (urusan keagamaan), itu menandakan bahwa saudara sendiri sebenarnya tidak paham

dengan apa yg saudara katakan, bukankah bagi orang-orang yg merayakan ‘Maulid’ seperti

saudara, saudara selalu berdalil bahwa di dalam perayaan ‘Maullid’ tsb terdapat sholawat dan

dzikir? kalo memang begitu, bagaimana bisa sholawat dan dzikir bukan (tidak) termasuk ke dalam

urusan keagamaan?

 pada 19 Juni 2010 pada 5:32 am mutiarazuhud

Mohon maaf, saya ringkas dalam 1 jawaban, agar tidak membuang waktu berharga.

Maulid Nabi SAW adalah peringatan kelahiran Nabi SAW. Peringatan biasa dilakukan oleh lebih 1

398
orang. Sehinga perbuatan ini pun bisa masuk kategori habluminannas. Hubungan antar manusia

yang baik adalah yang selalu mengajak untuk mengingat Allah.

Apa yang dilakukan dalam peringatan tersebut yakni membaca sholawat (sudah ada tuntunannya),

dzikir dan doa, pengajian atau majelis taklim dengan tematik riwayat Nabi Muhammad

(disesuaikan dengan kebutuhan), kegiatan amal.

Adab diskusi yang baik adalah 2 s/d 3 kali tanya jawab. Selebihnya marilah kita ikhlaskan pada

pemahaman masing-masing.

Yang pasti kita adalah bersaudara karena kita adalah sama-sama muslim. Bagaimana “hubungan”

antum dan saya kepada Allah, marilah kita ikhlas kepada kehendak Allah. Semoga antum

dirahmati Allah.

 pada 20 Juni 2010 pada 6:53 pm Yusuf Ibrahim

Mengkhususkan perkara yg tidak pernah dikhususkan oleh Rasulullah dan para Sahabat

merupakan suatu kekeliruan dalam beragama pastinya, pernahkah para Sahabat mengkhususkan

memperingati hari kelahiran Rasulullah dengan mengkhususkan juga melakukan dzikir secara

beramai-ramai (berjamaah)?

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Tujuh (orang) yang akan diberi naungan oleh Allah pada naungan-Nya di hari yang tidak ada

naungan kecuali naungan-Nya……..(diantaranya): “Seorang laki-laki yang menyebut nama Allah di

TEMPAT YANG SEPI sehingga kedua matanya meneteskan air mata.” [HR.Bukhari no.660;

Muslim, no.1031]

jujur saja, saya memang tidak ikhlas jika umat muslim lebih mengenal ritual-ritual peribadatan

baru yg tidak pernah dilakukan (dicontohkan) oleh Rasulullah dan Sahabat, ketimbang mengenal

sunnah-sunnah beliau….

saya juga tidak ikhlas jika umat muslim lebih membela mati-matian ritual-ritual peribadatan yg

tidak pernah dilakukan (dicontohkan) oleh Rasulullah dan Sahabat ketimbang membela sunnah-

sunnah beliau….

kenapa saya tidak ikhlas terhadap hal tsb? karena saya tidak ikhlas jika amaliah sunnah menjadi

‘redup’, sedangkan amaliah bid’ah menjadi ‘hidup’…..

399
walaupun pertanyaan saya tidak seluruhnya dijawab, akan tetapi sepertinya saya akhiri saja

diskusi seperti ini, karena saya takut masuk ke dalam perdebatan dan jidal yg memang

terlarang……

apabila ada kata-kata yg keliru dan menyinggung, saya minta maaf, saya meminta ampun kepada

Allah, semoga ada manfaat yg bisa dipetik di dalam diskusi kita ini….

-terima kasih-

Assalamuallaikum…..

 pada 21 Juni 2010 pada 9:44 am mutiarazuhud

Insyaallah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan pemahaman kami.

Mari kita temukan kenikmatan dalam Iman dan Islam sehingga InsyaAllah, kita dapat merasakan

kedekatan dengan Allah sebagaimana Allah telah sampaikan dalam firmanNya yang artinya

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya

Aku adalah dekat.” (QS Al-BAqarah : 186).

“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah:

85).

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf: 16)

Sehingga dengan kedekatan itu, InsyaAllah kita dapat merasakan bahwa Allah yang

mengajari/memimpin kita dalam menjalani kehidupan di dunia, sebagaimana firmanNya yanga

artinya,

“…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarimu (memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui

segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282).

Kalau boleh saya mengingatkan antum, sebaiknya antum ikhlas dengan pemahaman muslim yang

lain karena karunia pemahaman yang Allah berikan itu tergantung kehendak Allah. Bahkan

ketidak-ikhlasan antum dapat mengakibatkan secara tidak langsung antum tidak percaya tentang

pengaturan Allah. Berhati-hatilah dengan ke-aku-an atau egosentris.

Terima kasih atas kesediaan antum untuk mengakhiri diskusi tentang bid’ah ini. Semoga antum

dirahmati Allah.

400
Saya akhiri dengan mohon maaf pula, jika ada kesalahan dari saya.

Wassalammualaikum Wr. Wb.

3. pada 27 Juni 2010 pada 10:40 am | Balas Yusuf Ibrahim

mohon maaf sebelumnya, saya hanya ingin komentar sedikit saja, karena ada sesuatu yg menggelitik

saya untuk sedikit berkomentar…..

Jadi, kalimat ‘tidak ikhlas’ saya disitu lebih condong kepada rasa tidak rela saya apabila umat muslim

lebih mengenal ritual peribadatan baru yg tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan Sahabat karena

disebabkan umat muslim lebih sering melakukan peribadatan baru yg tidak pernah dicontohkan oleh

Rasulullah dan Sahabat , sehingga keberadaan Sunnah terancam ‘punah’, hal tsb membuat orang-

orang yg ingin menegakkan Sunnah menjadi asing, maka benarlah Sabda Rasulullah ;

“Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali pula dalam keadaan asing,

maka berbahagialah orang-orang dikatakan asing.” (HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu

Umar radhiallahu ‘anhuma)

Dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah bersabda: “Akan datang kepada manusia suatu masa, di

mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya ibaratnya seperti orang yang memegang bara

api”. (H.R. At-Tirmidzi).

Dan perlu diketahui bahwa tidak semua pemahaman itu datang dari Allah, karena hanya pemahaman

yg berdasarkan dan sejalan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah lah yg datang dari Allah…..

mengenai ke-akuan atau egosentris, tidak perlulah saudara mengeluarkan kata-kata seperti itu

karena kata-kata seperti itu bisa saja berbalik kepada saudara sendiri…Jadi, saudara sendiri juga

harus berhati-hati dengan ke-akuan, egosentris atau bahkan ‘merasa dirinya paling benar’……

Dan ada satu hal lagi yg sangat menggelitik bagi saya tentang artikel saudara diatas adalah kenapa di

dalam artikel yg membahas tentang bid’ah diatas, tidak dijelaskan apa arti dari kata bid’ah itu sendiri

baik arti secara bahasa maupun arti secara istilah (syariat)? karena kita tau bahwa bid’ah itu bukanlah

bahasa Indonesia….

Jadi, kalo boleh saya kasih saran, jika saudara ingin membuat artikel yg membahas tentang bid’ah,

alangkah baiknya jika saudara juga menjelaskan apa itu arti bid’ah, sehingga permasalahan yg

dibahas menjadi semakin jelas…..

401
ada satu artikel dari blog ‘tetangga’ yg (mungkin) menarik untuk disimak khususnya bagi para

pengunjung blog ‘mutiarazuhud’ ini ;

http://kaahil.wordpress.com/2010/04/11/bagai-menggenggam-bara-api-islam-datang-dalam-

keadaan-asing-dan-akan-kembali-pula-daam-keadaan-asing-maka-berbahagialah-orang-orang-

dikatakan-asing/

semoga bermanfaat…

-terima kasih atas kesempatannya-

wassalamm….

o pada 27 Juni 2010 pada 10:31 pm | Balas mutiarazuhud

Maaf, saya sekedar mengingatkan saja, karena perbedaan pemahaman adalah semata-mata

kehendak Allah bukan kehendak kita sebagai manusia yang lemah. Jikalau antum belum paham juga

, itulah kenyataan adanya perbedaan pemahaman, sehingga kita harus ikhlas dengan kehendak

Allah.

Jika antum atau pembaca, ingin lebih jauh tentang bid’ah (pandangan dari segala sisi), silahkan

baca tulisan pada

http://ummatiummati.wordpress.com/2010/06/20/kupas-tuntas-masalah-bidah-oleh-ulama-

ahlussunnah-waljamaah/

atau jika perlu ditambah dengan membaca tulisan pada

http://aahik.multiply.com/journal/item/6

4. pada 30 Juni 2010 pada 10:50 pm | Balas Yusuf Ibrahim

di link yg saudara kasih diatas,walaupun isinya panjang lebar, tapi tidak ada satupun yg menjelaskan

arti bid’ah secara istilah….

kalau para pengunjung blog saudara ini benar2 ingin tau apa itu bid’ah, ingin bisa memahami bid’ah

secara bahasa (umum) dan istilah (khusus), serta ingin tau kaitan bid’ah dengan kesempurnaan

Islam, maka para pengunjung blog ini bisa mengunjungi link berikut ;

402
http://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-1.html

disitu terdapat beberapa artikel yg mengupas tuntas tentang bid’ah dengan singkat dan jelas….

dan bisa juga download audio yg mengupas tentang bid’ah di ;

http://maramissetiawan.wordpress.com/2009/05/21/download-audio-kupas-tuntas-akar-bidah/

di rekaman kajian tsb bisa terjawab, apakah benar bahwa Salaf itu suka mengkafirkan seorang

muslim atau tidak…

Dan bagi yg ingin sharing dan bertukar pikiran tentang bid’ah dengan saya, bisa via email

di ibra_alfarisi87@yahoo.com

5. pada 8 Agustus 2010 pada 4:25 pm | Balas sunan

sdr. Yusuf Ibrahim memang betul. Tulisan dalam blog ini ngambang dan seperti “DAGELAN” alias

mbanyol, jauh dari ilmiah.

Dagelan tentang ibadah yang dibandingkan dengan safety belt, biasanya kalau bicara tentang bid’ah

akan membuat perumpamaan antara haji naik unta dengan haji naik pesawat, betul-betul “DAGELAN”

kyai kampung. Yang setelah hal itu dikatakan, para hadirin tertawa bersama.

Ya.. sudahlah…hanya “DAGELAN KYAI KAMPUNG” yang jauh dari ilmu, hanya untuk hahaha dan hihihi

pendengarnya.

o pada 8 Agustus 2010 pada 6:57 pm | Balas mutiarazuhud

Silahkan dilanjutkan dengan membaca tulisan pada

https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/20/semua-ibadah/

https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/18/memahami-bidah/

6. pada 14 Agustus 2010 pada 9:38 pm | Balas mam srihono

Ass. Wr. Wb

Saya salut kepada Sdr. Yusuf Ibrahim & Mutiara Zuhud karena bisa berdiskusi dengan hati yang

403
tenang dan pikiran yang jernih. Khusus untuk Sdr. Sunan, saya himbau kalau memberikan komentar

ke depannya bisa lebih santun, walaupun berbeda pendapat marilah kita mengungkapkan pendapat

kita dengan bahasa yang yang tidak menyinggung maupun melukai perasaan orang lain apalagi kita

sesama muslim. Semuanya marilah kita serahkan kepada Allah SWT dengan adanya perbedaan yang

ada karena semuanya mempunyai dasar masing-masing yang diyakininya. Apakah anda yakin bahwa

anda lebih baik dibandingkan Sdr Mutiara Zuhud ? Yakin bisa masuk surga duluan ?

Karena sebenarnya Bid’ah tidak dijelaskan secara detail oleh Rasulullah SAW. Maka ada banyak

definisi bid’ah dan dengan berbagai penafsirannya yang disampaikan oleh para ulama terdahulu.

Sehingga sampai dengan sekarang pun terdapat perbedaan pendapat tentang bid’ah.

Di lapangan ada yang berpendapat bahwa bersalaman setelah sholat merupakan bid’ah karena tidak

dilakukan Rasulullah SAW pada masa dahulu tetapi ada yang memperbolehkan. Saya pribadi

memperbolehkan karena bersalaman sebenarnya di luar ibadah sholat yang telah diatur dengan jelas

tata caranya (yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam) tetapi saya juga

tidak memaksakan pendapat saya tersebut. Silakan saja masing-masing karena kita semua memiliki

pendapat dan dasar masing-masing.

Sebenarnya energi kita banyak terkuras dengan diskusi dan perdebatan yang menurut saya sampai

kapan pun tidak akan selesai karena masing-masing sebenarnya punya dasar masing-masing. Kita

sibuk mengurusi masalah salaman setelah sholat, mengurusi masalah maulid nabi Muhammad SAW,

mengurusi masalah shalawat antar waktu sholat tarawih, mengurusi puji-pujian/shalawat sebelum

sholat fardhu, mengurusi tahlilan dll.

Kalau kita sibuk mengurusi masalah salaman setelah sholat misalkan, atau shalawat antar sholat

tarawih (menurut saya tidak masuk dalam ibadah sholat yang telah diatur tata caranya), sekarang

saya ingin menanyakan, apakah ceramah agama pada sholat sholat tarawih termasuk bid’ah atau

bukan ?

Lebih ekstrim lagi telah kita ketahui bahwa khutbah pada sholat jumat merupakan rangkaian ibadah

dan tata caranya pun sudah diatur, kita pun yang mendengarkan dilarang berbicara pada saat sholat

jumat. Sekarang pertanyaan saya, apakah pada saat itu Rasulullah SAW melakukan khutbah jumat

dengan bahsa Indonesia ? sekarang di Indonesia hampir semuanya menggunakan bahasa Indonesia,

apakah hal tersebut bid’ah ? Padahal menurut saya kalau misalkan salaman dsb dianggap bid’ah yang

sesat maka khutbah jumat memakai bahasa indonesia merupakan bid’ah karena jelas-jelas tidak

sesuai dengan tuntunan yang jelas-jelas dilaksanakan Rasulullah SAW dengan bahasa arab (kita

mengadakan hal baru dengan berbahasa Indonesia).

Mohon maaf jika ada kata-kata yang salah, semoga kita semua dilindungi Allah SWT. Amin

404
7. pada 14 Agustus 2010 pada 10:00 pm | Balas mam srihono

Mohon menambahkan, yang berpendapat bahwa semua bid’ah sesat dan sebagai contoh membaca

sholawat antar waktu sholat tarawih dan salaman setelah sholat merupakan bid’ah, maka menurut

saya konsekuensinya ceramah agama waktu sholat tarawih pun merupakan bid’ah yang sesat,

khutbah jumat memakai bahasa indonesia pun merupakan bid’ah yang sesat. Apa yg harus dilakukan

? tidak perlu ada ceramah agama pada saat sholat tarawih dan pada saat khutbah jumat pun harus

memakai bahasa arab seperti khutbah-khutbah jumat pada masjid tertentu.

Mohon maaf saya tidak menyudutkan kelompok tertentu, marilah kita semua berusaha arif dengan

segala perbedaan yang ada.

Insya Alllah saya pernah mengikuti pengajian kelompok yang melarang bid’ah, saya juga mengikuti

pengajian kelompok yang memperbolehkan bid’ah dan Insya Allah saya tidak apriori terhadap

kelompok tertentu. Dengan mengikuti pengajian dari berbagai pihak maka kita akan bisa memperkaya

wawasan, walaupun tidak sependapat kita akan mengetahui mengapa seseorang berpendapat seperti

itu. Kadang kala dalam suatu pengajian, jika membahas 10 poin, maka saya setuju 8 poin, yang 2

poin saya tidak setuju karena saya sudah mempunyai dasar yang lain. Apa yang saya lakukan ?

silakan saja anda berpendapat demikian, saya berpendapat demikian.

Saya hanya bisa menghimbau saya pribadi dan saudara-saudara sekalian, marilah kita ikuti pengajian

dari berbagai kelompok dengan tanpa apriori dahulu, dengarkan dasar-dasarnya, dan jika kita tidak

setuju maka hormatilah pendapat orang lain sama seperti kita yang ingin pendapat kita juga

dihormati orang lain.

8. pada 20 Agustus 2010 pada 10:39 am | Balas sunan

Jadi begini pak, bersalaman secara adat pada bangsa manapun adalah pada saat pertama kali

bertemu dan pada saat berpisah.

Begitu juga perilaku di masjid, pada saat kita memasuki masjid kita bertemu dengan beberapa

jamaah kita berjabatan tangan, katagori “salam perjumpaan”.

Kemudian kita sholat berjamaah dengan mereka, ketika salam ada teman kita di sebelah kita yg kita

belum bersalaman sebelumnya, ya kita bersalaman dengannya, juga termasuk “salam perjumpaan”.

405
Selesai sholat berjamaah kita pun pulang, bersalaman dengan orang /jamaah yang kebetulan kita

temui sebagai “salam perpisahan”.

Ini adalah hal yang lumrah dan sudah semestinya dilakukan sebagai sesama muslim.

Yang jadi permasalahan adalah ketika kita sudah bersalaman ketika bertemu, setelah sholat kita

salaman lagi “bukan salam pertemuan ataupun salam perpisahan”, salaman apakah ini? maksudnya

pun tidak jelas, seolah olah sesuatu yang sakral. Karena setelah bersalaman pun, mereka tidak

berpisah, mereka sholat sunnah, kemudian duduk2 membicarakan sesuatu.

Inilah salaman yang “ANEH” tujuannya pun tidak jelas. Mau dikatakan salaman pertemuan, lha wong

sudah salaman sebelumnya, mau dikatakan salaman perpisahan setelah itu duduk bareng, aneh kan.

SALAMAN INI PUN DIANGGAP IBADAH

Buktinya :

– orang yg tidak mau ikut bersalaman, dikucilkan.

– saya pernah sholat sunnah setelah berzikir, ternyata orang yang bersalaman merasa terganggu

dengan sholat saya, merekapun melintas di wilayah sujud saya (sutrah), coba bayangkan, mereka

anggap bersalaman muter lebih mulia dari orang yg lagi sujud di hadapan Alloh (sholat)

– Bersalaman ini pun diikuti oleh bid’ah yang lain sebelumnya, yaitu dzikir dan doa berjamaah. kalau

dzikir dan do’anya masing-masing (mengikuti sunnah rasululloh saw), tidak mungkin bersalam-

salaman dapat dilakukan.

– Acara ini pun dilakukan di masjid yang jauh dari ajaran sunnah, seperti ada nyanyian (puji-pujian)

setelah adzan, padahal saat itu banyak yg lagi sholat sunnah, mereka malah teriak-teriak sambil

menyanyi. Padahal, jangankan menyanyikan syair, membaca alqur’an pun terlarang ketika ada orang

sholat.

-bahkan di beberapa masjid sudah membawa alat musik rebana, mereka bernyanyi, menari di dalam

rumah Alloh swt, astaghfirulloh…, mungkin suatu saat piano dan gitar pun akan masuk dalam masjid

seperti kaum nasrani…nauzubillah.

-Apakah kita biarkan penyimpangan 2 diatas ? dengan dalih demi persatuan? persatuan diatas

kesesatan?

-Bagaimana tugas kita ber amarma’ruf nahimungkar ?

-Kalo bukan kita yg melestarikan ajaran rasululloh saw, siapa lagi?

– Kita wajib memberitahukan kepada mereka dengan cara yang terbaik, meskipun kita mempunyai

resiko dikucilkan, dianggap aliran keras, bahkan diusir, itulah resiko dakwah yang menyerukan

kembali kepada sunnah.

wallohua’lam bisowab, Semoga bermanfaat.

406
o pada 20 Agustus 2010 pada 1:44 pm | Balas mutiarazuhud

Ber amar ma’ruf nahi munkar kepada manusia untuk mengajak kepada jalan Tuhan perlu dilakukan

cara yang baik, sebagaimana firman Allah yang artinya, “Serulah ( manusia ) kepada jalan Tuhan-

mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS an

Nahl: 125).

Itu petunjukNya terhadap manusia yang belum paham jalan Tuhan.

Apalagi kalau kita ber amar ma’ruf nahi munkar kepada seorang muslim yang sudah taat

mengerjakan sholat, melaksakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah, menjauhi hal-hal yang

diharamkan-Nya perlu dilakukan secara lemah lembut, sangat harus dihindari tindakan kasar atau

merasa pemahaman kita pasti benar.

Kalau antum merasa sudah melestarikan ajaran Rasulullah saw, apakah antum meyakini bahwa

muslim lainnya belum mengikuti ajaran Rasulullah saw ? Siapkah antum “mendengarkan” hujjah

atau dalil yang mereka yakini ?

Apakah antum yakin bahwa batasan ajaran Rasulullah saw adalah sebatas yang antum ketahui dan

pahami ?

Inilah yang telah saya uraikan dalam tulisan pada

https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/2010/07/26/salahpaham-pemahaman/

9. pada 20 Agustus 2010 pada 3:01 pm | Balas sunan

Saya siap menerima hujjah mereka, asalkan hujjahnya berdasarkan dalil yang shohih, kalau mereka

benar, ya saya ikuti, saya siap sami’na wa atho’na.

Tapi kalo dalilnya adalah qias, atau “ini kan baik”, …waduh ya maaf karena ibadah itu ittiba’

(mengikuti) rasululloh, bukan mengingkarinya.

407
10. pada 25 Agustus 2010 pada 3:20 pm | Balas mam srihono

Mas Sunan ysh,

Assalamu’alaikum wr wb,

Sebelum diskusi panjang lebar, saya informasikan dahulu bahwa saya berpendapat bahwa tidak

semua bid’ah sesat (tetapi saya juga mempersilahkan dan menghormati rekans yang punya pendapat

lain). Pada dasarnya saya bisa memahami jalan pikiran anda, sama seperti saya bisa memahami jalan

pikiran Sdr Mutiara Zuhud dan rekans yang lain. Yang membedakan adalah bahwa saya tidak

menganggap orang yang tidak sama dengan saya amalannya “salah” karena saya berpendapat bahwa

orang tersebut mesti “punya dasar yang belum saya ketahui” atau “saya juga tahu tetapi saya tidak

setuju karena sudah punya dasar yang lain”.

Sebagai contoh :

1. Dalam suatu pengajian ada ustadz (ustadz tersebut kebetulan juga berpendapat bahwa semua

bid’ah sesat) yang menyampaikan bahwa perempuan haid boleh berdiam di masjid untuk

mendengarkan pengajian karena penting/darurat untuk mendengarkan pengajian dan sekarang kan

sudah modern, sudah ada pembalut wanita sehingga tidak ditakutkan untuk mengotori masjid. Saya

tidak setuju dengan pendapat tersebut karena menurut saya sudah jelas di surat annisa bahwa yang

boleh hanya lewat, bukan berdiam diri. Kalau disebut darurat/ penting juga menurut saya nggak

terlalu bisa dijadikan alasan karena belajar bisa lewat internet, buku dsb. Kalau dulu dianggap takut

mengotori ttp sekarang tidak saya juga nggak begitu setuju karena bisa jadi wanita2 dahulu juga

sudah punya cara agar tidak tembus/mengotori, dan masjid2 dahulu pun kan juga beralaskan tanah.

“Tapi saya tidak menyalahkan ustadz tersebut, walaupun ada beberapa hal yang berbeda pandangan

saya tetap mengikuti pengajiannya, kalau nggak cocok ya sudah nggak saya ikuti. gitu aja”.

Pertanyaannya adalah, apakah ustadz tersebut berdosa jika ada wanita haid yang berdiam diri di

masjid ? itu bukan wilayah saya untuk menghakimi, biarlah Allah SWT yang menentukan apakah

beliau berdosa atau tidak.

2. Masalah membersihkan spring bed bekas anak yang mengompol (kebetulan ustadz yang sama),

beliau berpendapat cukup dilap, saya berpendapat harus dicuci (walaupun sangat berat) karena saya

berpendapat yang bisa dilap adalah benda yang mengkilat dan tidak mempunyai pori2 seperti piring

dsb.

“saya juga berpendapat silakan saja, tapi saya nggak setuju”

Dengan 2 contoh di atas saya hanya ingin menunjukkan bahwa :

1. Walaupun ustadz tersebut termasuk golongan yang berpendapat bahwa semua bid’ah sesat (selalu

408
disampaikan pada saat membuka pengajian), saya tetap mengikuti pengajiannya walaupun kadang

kala ada beberapa poin yang saya tidak sependapat.

2. Yang lebih penting lagi menurut saya adalah bukan wilayah saya untuk menghakimi bahwa ustadz

tersebut salah karena beda dengan saya pendapatnya.

Masalah bid’ah :

1. Sudah saya sampaikan di tulisan terdahulu bahwa ulama2 terdahulu yang ilmunya sudah pada

tinggi2 pun beda penafsiran/pandangan tentang bid’ah. Kalau hanya 1 pandangan tentu tidak akan

rame sd sekarang heheehehe.

2. Mas Sunan bisa menjelaskan panjang lebar, tapi pertanyaan saya tentang ceramah waktu tarawih

maupun khutbah Jum’at tidak dikomentari.

Saya cuplikkan pendapat tentang maslahah mursalah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’

Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk

melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat,

namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara

tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu

‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.“

Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor

pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya :

Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa

sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan

shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan

meninggalkannya adalah sunnah.”

Pertanyaannya adalah :

Jaman Nabi Muhammad SAW, kan Islam sudah tersiar sampai luar negeri arab (bahkan pada masa

awal2 islam pun para sahabat sudah ada yang diperintahkan untuk hijrah). Nah….waktu sholat Jumat,

waktu khutbah yang jelas2 merupakan rangkaian ibadah sholat jum’at, (bahkan kita dilarang

berbicara) apakah khatib menggunakan bahasa arab atau bahasa setempat ? Padahal menurut

penjelasan Ibnu Taimiyah jelas2 bukan maslahah mursalah (Jaman rasulullah sudah ada). Kalau

sekarang hampir semua masjid menggunakan bahasa setempat, berarti tidak sesuai tuntunan dan

merupakan bid’ah. Harusnya yang berpendapat semua bid’ah sesat tetap menggunakan bahasa arab

seperti pada masjid2 tertentu.

Terus pada saat sholat tarawih diselingi ada ceramah agama, hal itu merupakan bid’ah bukan ?

409
3. Mas Sunan merasa ada golongan yang dikucilkan, yang tidak mau bersalaman setelah sholat, mas

pernah nggak membayangkan perasaan orang lain pada saat ustadz-ustadz yang setuju bahwa semua

bid’ah sesat, pada saat mau memberikan ceramah selain mengajak bertakwa selalu menyampaikan

hadits bahwa semua bid’ah sesat, dan semua yang sesat adalah neraka ? seolah hadits itu wajib

disampaikan pada saat mau ceramah. Saya tahu maksudnya mengajak amar ma’ruf nafi mungkar,

tapi apa ya sudah jelas di hadapan Allah SWT bahwa tingkatan golongan yang menganggap semua

bid’ah sesat lebih tinggi ? pasti lebih selamat ?

Semua ulama sependapat bahwa zina dosa, mencuri dosa, tidak satu ulama pun yang berbeda

pendapat. Tapi untuk bid’ah, banyak ulama yang berbeda pendapat, dan di masing2 pihak ada banyak

ulama besar yang kita yakin banyak hafal Al Qur’an, banyak hafalan hadits nya (tidak seperti saya

yang baru hafal 1 atau 2 hadits saja). Ulama2 seperti itu saja bisa bebeda pendapat kok, kita yang

ilmunya baru sedikit saja kok seolah-olah sudah tahu segalanya.

4. Walaupun saya berpendapat tidak semua bid’ah sesat, berikut ini saya sampaikan tentang tulisan

“dzikir berjamaah” yang ditulis Sdr. Kholid Sholeh. Menanggapi tulisan Mas Sunan bahwa dzikir

berjamaah merupakan bid’ah. Saya nggak ngerti juga kalau setelah membaca tulisan ini Mas Sunan

merasa bahwa dalil-dalilnya kurang tetapt atau merupakan hadits palsu dsb.

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Dari Nabi saw., beliau bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha

Memberkahi lagi Maha Tinggi memiliki banyak malaikat yang selalu mengadakan perjalanan yang

jumlahnya melebihi malaikat pencatat amal, mereka senantiasa mencari majelis-majelis zikir. Apabila

mereka mendapati satu majelis zikir, maka mereka akan ikut duduk bersama mereka dan mengelilingi

dengan sayap-sayapnya hingga memenuhi jarak antara mereka dengan langit dunia. Apabila para

peserta majelis telah berpencar mereka naik menuju ke langit. Beliau melanjutkan: Lalu Allah Yang

Maha Mulia lagi Maha Agung menanyakan mereka padahal Dia lebih mengetahui daripada mereka:

Dari manakah kamu sekalian? Mereka menjawab: Kami datang dari tempat hamba-hamba-Mu di

dunia yang sedang mensucikan, mengagungkan, membesarkan, memuji dan memohon kepada

Engkau. Allah bertanya lagi: Apa yang mereka mohonkan kepada Aku? Para malaikat itu menjawab:

Mereka memohon surga-Mu. Allah bertanya lagi: Apakah mereka sudah pernah melihat surga-Ku?

Para malaikat itu menjawab: Belum wahai Tuhan kami. Allah berfirman: Apalagi jika mereka telah

melihat surga-Ku? Para malaikat itu berkata lagi: Mereka juga memohon perlindungan kepada-Mu.

Allah bertanya: Dari apakah mereka memohon perlindungan-Ku? Para malaikat menjawab: Dari

neraka-Mu, wahai Tuhan kami. Allah bertanya: Apakah mereka sudah pernah melihat neraka-Ku? Para

malaikat menjawab: Belum. Allah berfirman: Apalagi seandainya mereka pernah melihat neraka-Ku?

410
Para malaikat itu melanjutkan: Dan mereka juga memohon ampunan dari-Mu. Beliau bersabda

kemudian Allah berfirman: Aku sudah mengampuni mereka dan sudah memberikan apa yang mereka

minta dan Aku juga telah memberikan perlindungan kepada mereka dari apa yang mereka takutkan.

Beliau melanjutkan lagi lalu para malaikat itu berkata: Wahai Tuhan kami! Di antara mereka terdapat

si Fulan yaitu seorang yang penuh dosa yang kebetulan lewat lalu duduk ikut berzikir bersama

mereka. Beliau berkata lalu Allah menjawab: Aku juga telah mengampuninya karena mereka adalah

kaum yang tidak akan sengsara orang yang ikut duduk bersama mereka (Shahih Muslim no.1548)

Dalam hadits itu, jelas disebutkan bahwa malai kat mencari-cari majelis dzikir. Jadi ada kata-kata

“majelis” di dalamnya, dan disebutkan bahwa majelis itu adalah majelis dzikir. Dan, dzikir di sini

bukan bermakna ilmu atau mempelajari Islam. Dzikir di sini benar-benar seperti dzikir yang kita

kenal, karena pada hadits tsb disebutkan bahwa orang-orang yang berada di dalam majelis dzikir itu

adalah orang-orang yang “yusabbihuunaka, wa yukabbirunaka, wa yuhalliluunaka, wa

yuhammiduunaka, wa yas’aluunaka” .Artinya, mereka adalah orang-orang yang membaca tasbih,

takbir, tahlil dan tahmid, dan mereka juga mengajukan permohonan kepada Allah di dalam majelis

itu.

Sepertinya, atas dasar hadits seperti inilah lantas ada sebagian ummat Islam yang berinisiatif

membentuk majelis-majelis dzikir. Dan setahu saya, hal ini tidak bermasalah karena memang pada

hadits di atas disebutkan bahwa yang namanya majelis dzikir adalah majelis yang penuh berkah, dan

bahkan disebutkan pula pada hadits di atas bahwa Allah bisa saja mengampuni dosa seseorang yang

“cuma numpang hadir” di dalam majelis tersebut.Yang ada hanyalah kriteria umum yang

menyebutkan bahwa kalau ada orang-orang yang berkumpul pada satu majelis. lalu mereka membaca

tasbih, takbir, tahlil dan tahmid di dalam majelis tsb, maka majelis itu disebut sebagai majelis dzikir.

Bagaimana kalau ternyata Rasulullah tidak pernah membuat jamaah dzikir ? Bagaimana pula kalau

ternyata Rasulullah tidak pernah melakukan dzikir berjamaah ?

Sebagian pendapat menyebutkan bahwa kalau aturan umum-nya sudah mengatakan boleh, maka hal

itu tetap diperbolehkan meskipun kalau Rasulullah tidak pernah mencontohkannya. Dalilnya, salah

satunya, adalah kisah tentang para shahabat yang berinisiatif melakukan praktek ibadah yang “tidak

pernah dicontohkan oleh Rasulullah secara teknis”, tapi diperbolehkan berdasarkan dalil umum.

Hadist riwayat Anas bin Malik ra.:Dari Muhammad bin Abu Bakar As-Tsaqafi, bahwa dalam suatu

perjalanan dari Mina ke Arafah, ia bertanya kepada Anas bin Malik: Apa yang dahulu kalian lakukan

pada hari ini bersama Rasulullah saw.? Ia (Anas) menjawab: Di antara kami ada yang bertalbiah dan

411
beliau tidak mengingkarinya. Di antara kami ada yang membaca takbir dan beliau tidak

mengingkarinya. Hadis Shahih Muslim no 2254.

Jadi, kalau sebuah dalil umum sudah membolehkan, maka “ada atau tidak adanya contoh dari

Rasulullah” bukanlah pertanyaan yang harus diajukan. Yang harus diajukan justru pertanyaan

sebaliknya, yaitu, mana dalil yang melarang teknis pelaksanaan dalil umum tersebut ? Dan ini

disebutkan secara jelas pada hadits di atas, yaitu selama Rasulullah tidak mengingkarinya, selama hal

itu berdasarkan pada dalil umum yang membolehkan, maka berarti hal itu boleh dilakukan.

Hal ini sama persis dengan perintah untuk menyembelih sapi betina kepada bani Israil (dan ini adalah

masalah ibadah juga). Karena perintahnya adalah “sembelihlah seekor sapi betina”, maka baik itu sapi

betina yang masih kecil, yang masih muda, yang sudah agak tua, yang sudah sangat tua, yang sudah

punya banyak anak, atau yang belum punya anak, selama “tidak ada larangan” dari nabi Musa as,

maka semua sapi tersebut masuk dalam kriteria “sapi betina yang boleh disembelih”. Jangan

mempersulit diri dengan menanyakan sapi betina umur berapa yang tidak boleh disembelih, atau sapi

betina warna apa yang tidak boleh disembelih.

Ini yang saya tahu tentang dalil-dalil yang sering dipakai oleh orang yang rajin membuat majelis

dzikir, baik itu dzikir sendiri-sendiri di satu tempat, maupun dzikir secara satu suara di satu tempat.

Demikian Mas Sunan, terima kasih

Wassalam

11. pada 25 Agustus 2010 pada 3:34 pm | Balas mam srihono

Mohon maaf saya tambahkan, tadi belum saya tuliskan, saya mencuplik tulisan Muhammad Abduh

Tuasikal :

“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara

yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan

mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka

ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul

setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut

adalah maslahat.“

Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor

412
pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya :

Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa

sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan

shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan

meninggalkannya adalah sunnah.”

12. pada 25 Agustus 2010 pada 3:39 pm | Balas mam srihono

Mohon maaf saya tambahkan,

Di bagian mengenai pendapat Ibnu Taimiyah sampai dengan contoh adzan saya cuplikkan dari tulisan

Sdr Muhammad Abduh Tuasikal.

Terima kasih

13. pada 26 Agustus 2010 pada 9:50 am | Balas mam srihono

Assalaamu’alaikum Wr Wb

Rekans ysh, ada beberapa hal yang akan saya sampaikan :

1. Dalam tulisan saya di atas ada kata2 “Amar ma’ruf nafi mungkar” harusnya “Amar ma’ruh nahi

mungkar”

2. Sebenarnya saya pernah juga membaca & mempelajari dasar2 golongan yang berpendapat semua

bid’ah sesat, saya juga membaca & mempelajari dasar2 golongan yang berpendapat bahwa tidak

semua bid’ah sesat. Tapi mohon maaf, saya tidak dapat mengutip/menuliskan kembali karena terlalu

banyak. Disamping itu saya juga merasa semua golongan akan sulit menerima pendapat golongan

yang lain. Walaupun harapan sangat sulit terealisasi, saya hanya ingin masing-masing pihak tidak

saling menyalahkan karena masing-masing punya penafsiran dengan dasarnya masing2. Jadi menurut

saya bahasan bid’ah mungkin bisa dibahas sampai di sini saja.

3. Saya Mohon maaf jika ada kata-kata yang menyinggung perasaan, semoga kita semua selalu

mendapatkan perlindungan Allah SWT. Amin

Wassalaamu’alaikum Wr Wb

413
14. pada 26 Agustus 2010 pada 1:48 pm | Balas sunan

Mas mam yang saya hormati,

Masalah adzan untuk ied, silahkan baca hadist berikut :

Dari Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah 2 Hari Raya (yakni Idul Fitri dan

Idul Adha), bukan hanya 1 atau 2 kali, tanpa adzan dan tanpa iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)

Ibnu Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini dan bahwa Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma melakukan Shalat Id tanpa

adzan dan iqamah.”

Al-Imam Malik berkata: “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami, dan para ulama

sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu

Rajab, 6/94

Masalah wanita haid, memang ulama ikhtilaf ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Ustadz

yang bijak akan menjelaskan dalil dari 2 pendapat tadi, baru setelah itu dia mengatakan saya lebih

condong pada pendapat yang ini atau itu. Jadi yang ikhtilaf itu bukan di level kita yang jahil tapi di

level ulama.

Masalah majelis zikir, pengertiannya adalah majelis ilmu syar’i, yang bisa mengeluarkan sesorang dari

kegelapan menuju cahaya, dari kebodohan menjadi berilmu.

Dan tidak ada satu dalilpun yang menjelaskan bahwa rasululloh pernah memimpin para sahabat untuk

berzikir secara berjamaah, dilantunkan dengan “koor” seperti “kaum nasrani”, kemudian menangis

bersama, nauzubillah. Kalau hal itu ada, pasti ada dalil yang akan diriwayatkan baik oleh imam

bukhori, muslim, dsb.

Kalo bidah itu tidak sesat, lantas siapa orang yang berhak membuat bidah? siapa yang berhak

membuat ibadah baru?

Siapa yang akan menjelaskan ibadah yg baru ini ganjarannya begini dan begitu, siapa yang sanggup

mengetahui perkara yg ghaib tersebut mas?

Ibadah yang asli dan jelas dari rasululloh saw itu sudah banyak dan komplit, mengapa kita belum

puas juga? apa kita sudah melaksanakannya? jangan-jangan kita ini melakukan yang tidak jelas

(bidah) dan meninggalkan yang jelas (sunnah)…nauzubillahimindzalik.

414
15. pada 28 Agustus 2010 pada 5:07 pm | Balas Yusuf Ibrahim

-mam srihono-

sekedar mengingatkan, jika kita berbicara masalah agama (Islam), maka kita tidak boleh mengatakan

‘menurut saya begini dan begitu’, karena agama Islam ini harus ‘tegak’ dengan dalil-dalil yg shahih,

tidak boleh kita beragama dengan menggunakan perasaan atau berdasarkan pendapat akal kita

semata….

jika mas mam mengatakan khutbah jumat menggunakan bahasa Indonesia itu bid’ah, sepertinya mas

mam ini memahami bid’ah hanya sebatas pengertian secara bahasa saja, namun (maaf) tidak

memahami pengertian bid’ah secara istilah (syari’at), karena sesuatu yang menurut bahasa bid’ah,

belum tentu bid’ah menurut istilah. dan bid’ah yang sesat sebagaimana yg dimaksud Rasulullah

adalah bid’ah dalam pengertian secara istilah (syari’at) saja.

Sehingga perlu kita ketahui mas, bid’ah secara istilah adalah :

Al Imam Asy Syatibi berkata bahwa bid’ah adalah : “Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat dan

menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukannya adalah sebagaimana niat

ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah)”. (Al I’tishom, 1/26, Asy

Syamilah)

As suyuthi rahimahullah berkata,”Bid’ah adalah ungkapan tentang perbuatan yang bertabrakan

dengan syari’at dengan cara menyelisihinya atau melakukannya dengan cara menambah atau

mengurangi” (Al Amru bil ittiba’ wan nahyu ‘anil ibtida’ hal.88)

Jika mas mam ini berkeyakinan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, maka Rasulullah membantah

keyakinan mas dengan bersabda :

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk

adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-

adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)

tapi ingat ya mas, yg dimaksud ‘semua bidah itu sesat’ adalah semua bid’ah dalam pengertian syari’at

(istilah) saja….makanya itu, kita perlu memiliki pemahaman bid’ah secara bahasa dan istilah…..

415
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li

Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena

(sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy

dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para

perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)

saya rasa perkataan Abdullah bin Umar dan Ibnu Mas’ud diatas sudah sangat jelas sekali…..

Mengenai ‘majelis dzikir’, Imam Al Qurthubi mengatakan:

“Majelis dzikir adalah majelis ilmu dan nasehat (peringatan). Yaitu majelis yang diuraikan padanya

firman-firman Allah, Sunnah Rasul-Nya dan keterangan para salafus shaleh serta imam-imam ahli

zuhud yang terdahulu, jauh dari kepalsuan dan kebid’ahan yang penuh dengan tujuan-tujuan yang

rendah dan ketamakan.” (Fikih Sunnah 2/87).

Diantara yang menguatkan hal ini adalah beberapa nash Al-Qur’an dan sunnah. Di antaranya adalah

firman Allah Ta’ala:

َ‫فَاسْأَلُوا أَ ْه َل ال ِذّ ْك ِر إِ ْن ُك ْنت ُ ْم الَ تَ ْعلَ ُمون‬

“………….Maka tanyakanlah kepada ahli dzikir jika kalian tidak mengetahuinya.” (QS An-Nahl: 43)

Para ahli tafsir menafsirkan “ahli dzikir” dengan makna “Para ‘Ulama”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir:

2/571-572)

Jadi terserah, umat muslim disini ingin mengikuti pendapatnya mas mam atau pemahamannya Imam

Al-Qurthubi tentang pengertian ‘majelis dzikir’….

Dan satu hal lagi yg perlu diketahui oleh seluruh umat muslim didunia ini adalah syarat sah atau

diterimanya suatu ibadah (Shohih Tafsir Ibnu Katsir oleh Syaikh Musthofa Al Adawiy

hafidzahullah hal.57/III, terbitan Dar Ibnu Rojab, Mesir) ) antara lain :

1. Ikhlas karena Allah, dan

2. Mengikuti petunjuk Rasulullah (baik waktunya, tata caranya, dan bilangannya (jika berhubungan

dengan bilangan)).

Jadi, niat baik saja tidaklah cukup dalam beribadah kepada Allah….

-sukron-

416
16. pada 29 Agustus 2010 pada 12:12 am | Balas mam srihono

Mas Sunan ysh,

Terima kasih banyak penjelasannya,

1. Sebenarnya masalah adzan saya tidak memerlukan penjelasan lagi, di posting-posting tambahan

yang dulu, saya sebenarnya hanya ingin menambahkan bahwa dalam tulisan saya di awal, saya hanya

mengutip tulisan dari Sdr. Abduh Tuasikal (etika dalam menulis kutipan dari tulisan orang lain).

2. Yang saya tanyakan sebenarnya adalah di kalimat-kalimat berikutnya, yaitu apakah khutbah jumat

pakai bahasa indonesia dan ceramah pada saat sholat tarawih merupakan bid’ah ?

3. Apakah hal-hal di bawah ini bid’ah dan sesat ?

a. Bagaimana dengan adzan 2 kali pada saat sholat Jum’at yang dimulai pada jaman Usman bin Affan

b. Apakah Ali bin Abi Thalib juga bid’ah sesat ketika membuat redaksi shalawat ? Apakah Ibnu Mas’ud

juga bid’ah sesat ketika membuat redaksi shalawat ? Apakah Imam Syafii bid’ah sesat ketika

membuat redaksi shalawat ?

c. Bagaimana tanggapan anda bahwa Imam Ahmad bin Hanbal membaca doa selama 40 tahun dalam

sujud ketika shalat. Beliau membaca doa berikut itu:

‫ي‬ َّ ‫ْس ال‬


ِّ ‫شافِ ِع‬ َ ‫ي َو ِل ُم َح َّم ِد ب ِْن إِد ِْري‬ ْ ‫اَللَّ ُه َّم ا ْغفِرْ ل‬
َّ َ‫ِي َول َِوا ِلد‬

“Ya Allah, ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i”.

Doa ini dibaca oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam setiap sujud dalam shalatnya selama empat puluh

tahun. Apakah beliau termasuk bid’ah yang sesat ?

d. Kalau Anda menganggap berdzikir secara berjama’ah itu bid’ah, bagaimana Anda menanggapi Ibnu

Taimiyah yang melakukan dzikir jama’ah setiap habis sholat shubuh, lalu dilanjutkan dengan

membaca surat al-Fatihah sampai Matahari naik ke atas, dan ia selalu menatapkan matanya ke langit.

Padahal apa yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah ini tidak ada contohnya dari Rasulullah saw.

e. Banyak lagi sebenarnya contoh-contoh bid’ah yang lain yang tidak bisa dituliskan satu persatu.

3. Tapi saya kira tidak perlu diperpanjang lagi diskusi ini. Semoga kita semua selamat sesuai dengan

pendapat kita masing-masing (tentunya berdasarkan dalil-dalil yang diyakini masing-masing).

4. Saya setuju dengan pendapat bahwa dalam banyak hal, mesti terdapat banyak ikhtilaf ulama, tentu

saja hal tersebut wajar karena para ulama sangat banyak dan masing-masing memiliki pengetahuan

417
dan penafsirannya terhadap dalil-dalil yang ada. Hanya saja mohon maaf, setelah kita berdiskusi,

saya agak heran dengan Mas Sunan karena :

a. Mas Sunan menurut saya menggunakan standar ganda. Mas Sunan bisa mengatakan bahwa ada

ikhtilaf ulama tentang orang haid/junub dalam menafsirkan Surat An Nisa ayat 43 sedangkan untuk

masalah bid’ah yang dari hadits Mas Sunan tidak setuju ada ikhtilaf Ulama, langsung menyampaikan

bahwa bid’ah sesat.Padahal kalau kita mau jujur, banyak ulama juga yang berpendapat bahwa tidak

semua bid’ah sesat.

b. Kalau Mas Sunan tidak punya standar ganda, mestinya Mas Sunan sudah mempunyai ilmu yang

setinggi gunung sedalam lautan sehingga pada satu kasus bisa menjelaskan bahwa ada ikhtilaf ulama

sedangkan pada kasus yang lain langsung menghakimi sesat, tidak mengakui bahwa ada ikhtilaf

ulama. Saya hanya ingin kita semua orang Islam tidak saling menghakimi, seolah-olah yang paling

benar, seolah-olah kita hakim yang sudah punya hak untuk menghakimi salah padahal kita semua

juga tidak mengetahui keputusan dari Yang Maha Tahu, Hakim yang Maha Adil, Allah SWT. Semoga

kita semua mendapatkan ampunan dari allah SWT. Amin

Beberapa Ulama yang berpendapat bahwa tidak semua bid’ah sesat diantaranya :

a. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii

rahimahullah (Imam Syafii)

Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah

mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela),maka yang sejalan dengan sunnah maka ia

terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin

Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-

87)

b. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah

“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa

makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan

semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang

dimaksud adalah hal hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan

Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya :

“Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala

orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat

buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya”

418
(Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik

dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

c. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf

Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)

“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka

baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya,

dan barangsiapa membuat buat hal baru yang dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk

membuat kebiasaan kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan

pada hadits ini terdapat

pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah

sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela”. (Syarh

Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104- 105) Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama

membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yang wajib, Bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah

yang makruh dan bid’ah yang haram. Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil

pada ucapan ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala

bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah,

membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yang Mubah adalah bermacam macam dari

jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian

dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa

inilah sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)

d. Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy

Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada

pengecualiannya), seperti firman Allah :“… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25)

dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat :“Sungguh telah kupastikan ketentuanku

untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya”QS Assajdah-13), dan pada

kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi

bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua

jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy

Juz 3 hal 189).

5. Sebenarnya inti dari perbedaan pandangan tentang bid’ah adalah karena ada golongan yang

menafsirkan bahwa redaksi hadits tersebut (kalimat kullu) ditafsirkan tidak ada pengecualian

sedangkan golongan yang lain berpendapat bahwa ada pengecualian. Padahal banyak redaksi Al

419
Qur’an maupun hadits yang mempunyai makna semuanya/seluruhnya tetapi tidak bermakna

keseluruhan, sebagai contoh :

***** “Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga

beriman?” QS. Al-Anbiya’:30.

Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan

dari air. Sebagaimana disebutkan dalam ayat surat yang lain :

“Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala”. QS. Ar-Rahman:15. Begitu juga

malaikat tidak diciptakan dari air.

***** Dari al-Asyari berkata: “ Rasulullah SAW bersabda: “ setiap mata berzina” (musnad Imam

Ahmad)

Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan

tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada ajnabiyah.

****** :“Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia

keseluruhannya”QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi

ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim

******* “… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak

segalanya hancur.

********”……sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia

semuanya.” padahal yang dimaksudkan adalah manusia dan jin yang durhaka.

6. Mohon maaf kalau ada bahasa yang tidak berkenan, semoga kita selalu mendapatkan ampunan

dari Allah SWT Amin.

Catatan :

Saya sangat berterima kasih kepada Mas Yusuf Ibrahim telah diingatkan tata cara dalam menulis

(penggunaan kata “pendapat saya”), sebenarnya maksud saya adalah bahwa pendapat saya tentunya

didasari juga oleh dalil-dalil yang , sebagai contoh dalam masalah junub saya memakai dalil surat An

Nisa ayat 43.

Saya mengakui memang jika kita melihat tekstual kalimat yang dibicarakan/ditulis bisa menimbulkan

salah tafsir.

Sebagai contoh kalimat :

“Anak saya sembuh setelah berobat ke dokter tadi malam”. atau kalimat

“Anak saya sembuh setelah minum obat itu” dan masih banyak kalimat-kalimat yang lain.

Kalau kita melihat tekstual kalimat tersebut maka kita seolah-olah syirik karena dokter atau obat

420
tersebut yang bisa menyembuhkan. Padahal maksudnya yang menyembuhkan tentu tetap hanya

Allah, tapi sangat jarang saya (mungkin juga kita) membawa-bawa Allah “secara eksplisit/terucap

secara lahir” walaupun niat kita Insya Allah mesti semuanya hanya dari Allah dari Allah.

Mas Yusuf ysh,

Masalahnya konsep bid’ah sendiri para ulama belum sepakat, beberapa pembagian bid’ah diantaranya

******bid’ah dibagi menjadi dua, yaitu :

a. bid’ah syar’iyah, yaitu bid’ah yang tidak memiliki landasan dan dalil dalam agama. Hal ini berarti

menambahi syari’at agama. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini dilarang (manhaj al-salaf :338, Ilmu

ushul al-bida’ : 95)

b. bid’ah lughawiyah, yaitu sebuah perbuatan yang secara bahasa disebut bid’ah, akan tetapi

substansinya memiliki landasan dan dalil di dalam agama.

*******bid’ah dibagi menjadi dua, yaitu :

a. bid’ah diniyah, yaitu bid’ah yang berkaitan dengan permasalahan agama.

b. bid’ah dunyawiyah, yaitu bid’ah yang berkaitan dengan masalah dunia (bukan agama)

********bid’ah dibagi menjadi dua, yaitu :

a. bid’ah haqiqiyah, yaitu bid’ah yang tidak didukung oleh dalil.

b. bid’ah idlafiyah, yaitu bid’ah yang memiliki dua sisi; satu sisi ia didukung oleh dalil, akan tetapi dari

sisi yang lain tidak didukung oleh dalil.

********bid’ah dibagi menjadi dua, yaitu :

a. bid’ah hasanah

b. bid’ah sayyi’ah

Semoga kita semua selamat sesuai dengan keyakinan kita masing-masing (tentunya dengan dalil

yang kita yakini masing-masing).Amin

17. pada 29 Agustus 2010 pada 12:14 am | Balas mam srihono

421
Mohon maaf koreksi ada tambahan surat dan ayat di kalimat berikut ini :

********”……sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia

semuanya.” (QS Huud:119) padahal yang dimaksudkan adalah manusia dan jin yang durhaka.

18. pada 29 Agustus 2010 pada 5:35 am | Balas mam srihono

Mas Yusuf ysh,

1. Sebenarnya masalah majelis dzikir buka pendapat saya pribadi.

hadits Abdullah bin Abbas ra, beliau berkata, “Sesungguhnya mengangkat suara dalam dzikir ketika

orang-orang telah selesai dari shalat fardhu itu terjadi pada masa Rasulullah SAW.” [HR. Imam

Bukhori dan Imam Muslim]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan dalam Fat-hul Bari, “Dalam hadits tersebut terkandung

makna bolehnya mengeraskan dzikir setelah mendirikan shalat.”

Imam Nawawi mengatakan bahwa ini adalah suatu dalil bagi sebagian ulama salaf bahwa sunat

hukumnya menyaringkan suara ketika membaca takbir & dzikir setelah selesai sholat fardhu.

Sedangkan ulama mutakkhirin yang dengan tegas menyatakan sunatnya hal itu adalah Imam Ibn

Hazm Al Zahiri.

Syaddad bin Aus ra juga meriwayatkan, dan dibenarkan oleh Ubadah bin Ash-Shamit, dia berkata:

Kami berada di sisi Rasulullah SAW ketika beliau bersabda, “Adakah di antara kalian orang yang

asing?” Kami menjawab, “Tidak ada yaa Rasulullah.” Lalu beliau memerintahkan untuk mengunci

pintu, lalu bersabda, “Angkatlah kedua tangan kalian, lalu ucapkanlah LAA ILAAHA ILLALLAAH.” Kami

pun mengangkat kedua tangan kami sesaat. Kemudian Rasulullah SAW meletakkan tangannya dan

bersabda, “Al-hamdu lillaah, yaa Allaah, sesungguhnya Engkau telah mengutusku dengan

(mengemban) kalimat (tauhid) ini. Engkau memerintahkan aku untuk mengamalkannya, dan Engkau

menjanjikan surga bagiku karenanya. Sesungguhnya Engkau tidak mengingkari janji.” Kemudian

Rasulullah SAW bersabda, “Bergembiralah, karena sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosa

kalian.” [HR. Imam Ahmad, Imam Thabrani, Al-Bazzar, Imam Al-Hakim]

2. Masalah Bid’ah, mohon maaf saya tidak hanya mengartikan secara bahasa seperti yang anda

maksud. Maka saya menanyakan hukum menggunakan bahasa Indonesia dalam khutbah Jumat yang

jelas-jelas masuk dalam syariat/rangkaian ibadah Sholat Jumat. Saya terus terang seringkali bingung

terhadap golongan yang dengan ringannya menghakimi bahwa bid’ah sesat (dengan dalil yang

422
diyakininya tentunya), tetapi dalam kasus-kasus tertentu mengatakan suatu amalan bukan bid’ah.

Misalkan menganggap berjabat tangan setelah sholat bid’ah, tetapi tetapi mengumpulkan Al Qur’an

bukan dianggap bid’ah, khutbah jumat dengan bahasa Indonesia tidak dianggap bid’ah (Padahal

khutbah jumat, mengumpulkan Al Qur’an, jga ceramah tarawih kalau mau juga bisa dilaksanakan

pada jaman Nabi Muhammad SAW)

Pertanyaan yang sama saya sampaikan kepada mas, apakah hal-hal di bawah ini termasuk bid’ah ?

a. Bagaimana dengan adzan 2 kali pada saat sholat Jum’at yang dimulai pada jaman Usman bin Affan

b. Apakah Ali bin Abi Thalib juga bid’ah sesat ketika membuat redaksi shalawat ? Apakah Ibnu Mas’ud

juga bid’ah sesat ketika membuat redaksi shalawat ? Apakah Imam Syafii bid’ah sesat ketika

membuat redaksi shalawat ?

c. Bagaimana tanggapan anda bahwa Imam Ahmad bin Hanbal membaca doa selama 40 tahun dalam

sujud ketika shalat. Beliau membaca doa berikut itu:

‫ي‬ َّ ‫ْس ال‬


ِّ ‫شافِ ِع‬ َ ‫ي َو ِل ُم َح َّم ِد ب ِْن ِإد ِْري‬ ْ ‫اَللَّ ُه َّم ا ْغفِرْ ل‬
َّ َ‫ِي َول َِوا ِلد‬

“Ya Allah, ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i”.

Doa ini dibaca oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam setiap sujud dalam shalatnya selama empat puluh

tahun. Apakah beliau termasuk bid’ah yang sesat ?

d. Kalau Anda menganggap berdzikir secara berjama’ah itu bid’ah, bagaimana Anda menanggapi Ibnu

Taimiyah yang melakukan dzikir jama’ah setiap habis sholat shubuh, lalu dilanjutkan dengan

membaca surat al-Fatihah sampai Matahari naik ke atas, dan ia selalu menatapkan matanya ke langit.

Padahal apa yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah ini tidak ada contohnya dari Rasulullah saw.

3. Sebaiknya diskusi masalah bid’ah kita akhiri, terima kasih atas wawasan dan ilmu baru yang telah

saya dapatkan. Semoga kita semua selalu dilindungi Allah SWT. Amin

19. pada 29 Agustus 2010 pada 6:52 am | Balas mam srihono

Astaghfirullahal’adzim, Astaghfirullahal’adzim, Astaghfirullahal’adzim

Saya mohon ampun kepada Allah jika ada yang salah yang saya sampaikan, saya juga minta maaf

kepada rekans semua jika ada kalimat yang salah dan menyakiti rekans semua.

423
20. pada 31 Agustus 2010 pada 10:59 pm | Balas Yusuf Ibrahim

Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap mas mam, saya ingin mencoba meluruskan syubhat

(kerancuan) tentang bid’ah disini,

1. Alangkah baiknya jika kita (umat muslim) mampu memahami pengertian bid’ah baik secara bahasa

(umum) dan bid’ah secara istilah (khusus)…..coba simak baik-baik pengertian bid’ah dibawah ini :

– Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam Al

Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah)

– Sedangkan Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al

Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom.

Bid’ah adalah suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat dan menyerupai syari’at (ajaran Islam),

yang dimaksudkan ketika melakukannya adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu

untuk mendekatkan diri pada Allah).

2. Tidak boleh bagi kita (umat muslim) membenturkan Sabda Rasulullah dengan perkataan orang lain

di dunia ini, saya bilang Rasulullah bersabda bahwa setiap bid’ah itu sesat tanpa terkecuali, mas

bilang (membantah) bahwa tidak semua bid’ah itu sesat…..

Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma berkata: “Hampir saja diturunkan kepada kalian hujan batu dari

langit, (ketika) saya berkata ‘Rosulullah shollallohu alaihi wa sallam bersabda’, sedangkan kamu

(membantah) berkata ‘Abu Bakar dan Umar berkata demikian’.” (Syarh Kitab Tauhid 1/482)

3. Banyak orang salah paham terhadap perkataan para Imam Ahli Ilmu mengenai bid’ah, padahal

yang dimaksud mereka (para Imam) itu adalah bid’ah secara bahasa, sedangkan yang sesat adalah

bid’ah dalam pengertian secara istilah……coba perhatikan perbedaan pengertian bid’ah secara bahasa

dan istilah diatas……

– Bid’ah secara bahasa contohnya itu seperti internet, hp, lampu listrik, mobil, motor, mikropon,

speaker, radio dll. Dan itu semua tidak harus merujuk ke jaman Rasulullah, karena bid’ah secara

bahasa maknanya umum, jangankan di jaman Rasulullah, pada abad ke 15 saja belum ada yg

namanya internet dan hp….

-Sedangkan bid’ah secara istilah contohnya seperti merayakan maulid, yasinan setiap malam jumat,

adzan di dalam kubur pada saat penguburan dll. yg dimana perbuatan tsb harus merujuk kepada

Sunnah Rasulullah dan para Sahabat karena bid’ah secara istilah berkaitan dengan peribadatan atau

424
‘interaksi’ kita langsung kepada Allah (Habluminallah)….dan bid’ah inilah yg dimaksud Rasulullah

dalam sabdanya….karena Rasulullah dan para Sahabat tidak pernah melakukannya, padahal pada saat

itu (zaman Rasulullah), tidak ada faktor penghalang untuk melakukannya, namun mereka tidak

melakukannya……

Jadi, bid’ah sesat yg dimaksud Rasulullah itu ruang lingkupnya terbatas, hanya dalam urusan

keagamaan saja yg berkaitan dengan ibadah Habluminallah….

4. Mengenai khutbah jumat menggunakan bahasa Indonesia, itu termasuk bid’ah secara bahasa saja

dan itu tidak terlarang selama tidak mengandung unsur yg dilarang karena berkaitan dg

Habluminannas,

Dikatakan bid’ah secara bahasa karena memang tidak ada contoh sebelumnya khutbah jumat

menggunakan bahasa Indonesia, lain halnya jika kita meniadakan khutbah pada shalat jumat, maka

itu bisa masuk ke dalam bid’ah pengertian secara istilah (syari’at) yg sesat menyesatkan….kalo kita

memahami bid’ah hanya sebatas berdasarkan pengertian secara bahasa saja, bisa-bisa kita

menganggap shalat jamaah di masjid yg selama ini kita lakukan itu termasuk bid’ah, karena apa?

karena Rasulullah tidak pernah shalat di Indonesia bukan?…..

5. Jika ada hasil ijtihad Sahabat Khulafaur Rasyidin yg termasuk perkara baru dengan sebab dan

alasan tertentu, maka tolong letakkan di dalam kepala kita (kaum muslimin) untuk mendudukan

HASIL IJTIHAD tsb sebagai salah satu Sunnah Khulafaur Rasyidin yg diberi petunjuk, JANGAN

didudukan hasil ijtihad tsb sebagai hukum bolehnya membuat perkara baru (dlm hal agama) karena

yg termasuk Sunnah Khulafaur Rasyidin itu BUKANLAH membuat perkara barunya, melainkan HASIL

IJTIHAD-nya saja …..

Jadi, yg termasuk Sunnah Khulafaur Rasyidin itu adalah HASIL IJTIHAD-nya saja seperti

mengumpulkan Al-Quran dlm satu mushaf, adzan jumat lebih dari satu kali dg sebab tertentu,

mengumpulkan umat shalat tarawih dengan satu imam dll, BUKAN membuat perkara barunya, karena

kedudukan Sunnah jauh lebih tinggi dibanding bid’ah (walaupun hasanah)……

Seperti puasa sunnah yg Rasulullah lakukan di hari senin yg dimana hari senin tsb merupakan hari

kelahiran Rasulullah, maka yg termasuk Sunnah Rasulullah itu adalah puasanya, bukan memperingati

hari kelahirannya….

6. Mengenai Imam Ahmad yg berdoa ketika sujud dalam shalat, saya kira itu bukanlah bid’ah mas,

karena Rasulullah bersabda : “……ketauhilah bahwa aku dilarang membaca Al-Qur’an ketika rukuk dan

sujud. Saat rukuk, agungkanlah Ar-Rabb. Saat sujud, bersungguh-sungguhlah untuk berdo’a,

kemungkinan besar do’amu dikabulkan.” (H.R Muslim (479))

425
Dari hadits diatas, dapat diambil sebuah pelajaran bahwa membaca Al-Quran pun, jika tidak tepat

waktu dan tempatnya, maka terlarang hukumnya……

7. Mengenai penjelasan majelis dzikir sekali lagi, Atha’ bin Abi Rabbah rahimahullah pernah

menjelaskan cakupan makna Majelis Dzikir sebagaimana tercantum dalam riwayat berikut :

‫ ما‬: ‫ قلت لعطاء‬: ‫ قال أبو هزان‬. ‫ من جلس مجلس ذكر كفر هللا عنه بذلك المجلس عشرة مجالس من مجالس الباطل‬: ‫ سمعت عطاء بن أبي رباح يقول‬: ‫عن أبي هزان قال‬

‫ وكيف تطلق وتبيع وتشتري‬، ‫ وكيف تنكح‬، ‫ وكيف تصوم‬، ‫ وكيف تصلي‬، ‫ مجلس الحالل والحرام‬: ‫مجلس الذكر ؟ قال‬

Dari Abu Haazin ia berkata : Aku mendengar ‘Atha’ bin Abi Rabbah (salah seorang pembesar di

kalangan tabi’in – murid Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu – Abu ‘Aisyah ) ia berkata : “Barangsiapa

yang duduk di majelis dzikir, niscaya Allah akan menghapus dengannya sepuluh majelis dari majelis-

majelis kebathilan yang pernah ia lakukan”. Abu Haazin berkata : Aku bertanya kepada ‘Atha’ :

“Apakah itu majelis dzikir ?”.

‘Atha’ menjawab : “Majelis yang menjelaskan perkara halal dan haram, bagaimana shalat yang benar,

bagaimana berpuasa yang benar, bagaimana pernikahan dilakukan, bagaimana syari’at tentang thalaq

dan jual-beli” (Hilyatul-Auliyaa’ 3/313.)

8. Mengeraskan suara bacaan dzikir memang diperbolehkan, jika mengeraskan bacaan dzikir tsb

dilakukan semata-mata dalam rangka untuk mengajarkan. sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir –

penulis kitab tafsir yang terkenal – berkata dalam Al-Bidaayah wan-Nihaayah :

‫ فكان أول ما بدئ بذلك في جامع بغداد والرصافة يوم الجمعة‬،‫وفيها كتب المأمون إلى إسحاق بن إبراهيم نائب بغداد يأمره أن يأمر الناس بالتكبير عقيب لموات الخمس‬

‫ وهذه بدعة أحدثها المأمون‬.‫ ثم مروا على ذلك في بقية الصلوات‬،‫ وذلك أنهم كانوا إذا قضوا الصالة قام الناس قياما فكبروا ثالث تكبيرات‬،‫الربع عشر ليلة ت من رمضان‬

‫ ولكن ثبت في الصحيح عن ابن عباس أن رفع الصوت بالذكر على عهد رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ليعلم‬،‫ فإن هذا لم يفعله قبله أحد‬،‫أيضا بال مستند وال دليل وال مد‬

‫ وقد عن الشافعي‬:‫ قال النووي‬.‫ المذاهب االربعة على عدم استحبابه‬:‫ وقال ابن بطال‬.‫ وقد استحب هذا طائفة من ماء كابن حزم وغيره‬،‫حين ينصرف الناس من المكتوبة‬

‫ وهذا كما روى عن ابن عباس أنه كان يجهر في الفاتحة في صالة الجنازة‬.‫ فلما علم لم يبق للجهر معنى‬،‫ إنما كان ذلك ليعلم الناس أن الذكر بعد الصلوات مشروع‬:‫أنه قال‬

‫ وفيها وقع شديد جدا‬.‫ وأما هذه البدعة التي أمر بها المأمون فإنها بدعة محدثة لم يعمل بها أحد من السلف‬.‫ ولهذا نظائر وهللا أعلم‬،‫ ليعلم ؟ أنها سنة‬.

“Pada waktu itu, Al-Ma’mun (Seorang Khalifah ketujuh Bani ‘Abbasiyyah, putra dari Khalifah Harun Ar-

Rasyid) menulis surat yang ditujukan kepada Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Baghdad. Isinya perintah

agar dia menyuruh orang-orang bertakbir (dengan suara nyaring) seusai shalat lima waktu. Yang

pertama kali dilakukan adalah di Masjid Jaami’ Baghdad dan Ar-Rashafah pada hari Jum’at, empat hari

sebelum Ramadlan. Jelasnya, setelah menyelesaikan shalat, orang-orang berdiri secara serentak lalu

mereka bertakbir tiga kali. Kemudian mereka dapat melanjutkan shalat lain yang belum dilaksanakan.

Ini merupakan bid’ah yang dilakukan oleh Al-Ma’mun. Yang demikian itu tidak pernah dilakukan

seorang pun sebelumnya. Disebutkan dalam Ash-Shahiih, dari Ibnu ‘Abbas bahwa mengeraskan suara

dzikir pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, untuk menandai selesainya

orang-orang dari shalat fardlu. Memang ada sebagian ulama, seperti Ibnu Hazm dan yang lainnya

426
menganjurkan hal itu. Ibnu Baththal menyatakan : ‘Empat madzhab tidak menganjurkannya’. An-

Nawawi berkata : Dari Asy-Syaafi’iy bahwasannya ia berkata : ‘Yang demikian itu (dzikir dengan suara

nyaring) UNTUK MENGAJARI bahwa dzikir seusai shalat disyari’atkan. Setelah orang-orang

mengetahuinya, maka tidak ada maknanya menyaringkan dzikir’.[1] Yang demikian ini seperti yang

diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, bahwa ia pernah menyaringkan bacaan Al-Fatihah saat shalat jenazah

karena hendak mengajarkan kepada orang-orang bahwa bacaan Al-Fatihah itu merupakan sunnah

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Contoh-contoh lain semacam ini banyak. Wallaahu a’lam. Adapun

bid’ah yang diperintahkan Al-Ma’mun ini, maka itu jelas merupakan bid’ah yang diada-adakan, tidak

pernah dilakukan seorang pun di antara orang-orang salaf. Karena itulah muncul penentangan yang

keras”.

(Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 10/296. Lihat pula Tarikh Al-Umam wal-Mulk oleh Al-Imam Ibnu Jarir

Ath-Thabari, 10/281.)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati

suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran.

Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,

“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian

tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka

sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak.

Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam

agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan

(bid’ah)?”

Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan

selain kebaikan.”

Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak

mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)

———————————————–

[1] Telah berkata Al-Imam Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm :

‫ فإن هللا‬، ‫ ويخفيان الذكر إال أن يكون إماما ً يجب أن يُتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تُعُ ِلّم منه ثم يُس ُِّر‬، ‫وأختار لإلمام والمأموم أن يذكرا هللا بعد االنصراف من الصالة‬

‫ حتى ال تسمع نفسك‬: ‫ وال تخافت‬. ‫ ترفع‬: ‫ وال تجهر‬، ‫ ] يعني – وهللا تعالى أعلم – الدعاء‬110 : ‫ { وال تجهر بصالتك وال تخافت بها } [ اإلسراء‬: ‫عز وجل يقول‬

“Dan aku memilih bagi imam dan makmum agar berdoa kepada Allah setelah selesai melakukan

shalat, dan MELEMBUTKAN SUARA DALAM BERDZIKIR kecuali seorang imam yang ingin

427
MENGAJARKAN kepada makmum. Hendaknya ia mengeraskan bacaan dzikir sehingga makmum

mengetahui bahwa mereka telah diajarkan, kemudian setelah itu imam harus melembutkan suaranya

dengan pelan ketika berdoa, sebagaimana firman Allah : “Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-

Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama

yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula

merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Israa’ : 110). Dan yang

dimaksud dengan ayat ini adalah doa”.

Apa yang ditegaskan oleh Asy-Syafi’i adalah benar lagi mencocoki firman Allah ta’ala : { َ‫َوا ْذ ُكرْ َربَّكَ فِي نَ ْفسِك‬

َ‫صا ِل َوال تَ ُك ْن مِ نَ ْالغَافِلِين‬


َ ‫ض ُّرعًا َوخِ يفَةً َودُونَ ْال َج ْه ِر مِ نَ ْالقَ ْو ِل بِ ْالغُدُ ّ ِو َواآل‬
َ َ‫} ت‬

“Dan berdzikirlah/sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut,

dan DENGAN TIDAK MENGERASKAN SUARA, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk

orang-orang yang lalai” [QS. Al-A’raaf : 205].

Wallahu ‘Alam…semoga bermanfaat……

21. pada 1 September 2010 pada 12:57 pm | Balas sunan

mam srihono, penjelasan pak yusuf ibrahim sudah sangat gamblang, semoga Alloh swt memberi

petunjuk kepada anda, amin.

Mas mam tolong jawab pertanyaan saya :

– Kalo menurut anda bid’ah itu tidak sesat, lantas siapa orang yang berhak membuat bid’ah?

– Siapa yang akan menjelaskan ibadah yg baru ini (bid’ah) ganjarannya begini dan begitu, siapa yang

sanggup mengetahui perkara yg ghaib tersebut mas?

22. pada 2 September 2010 pada 11:33 pm | Balas Faris

Ass. Wr. Wb.

Saya heran kepada bapak yusuf ibrahim, padahal imam syafi’i sendiri tidak melarang adanya maulid

Nabi SAW, tapi kenapa anda menggunakan perkataan imam syafi’i??

428
dengan adanya perdebatan ini, sya harap di hati kita tidak ada rasa KEBENCIAN antar sesama

muslim, karena lewat KEBENCIAN itu lah setan berusaha memisahkan. mencerai-beraikan umat

muslim. Zaman sekarang seharusnya jgn terus-terusan masalah ilmu yg di debatkan, tapi masalah

akhlak, akhlak-akhlak anak muda sekarang sudah hancur karena ulah orang-orang nasrani dan

yahudi, kenapa kita masih memperdebatkan masalah ini, kenapa kita tidak mendebatkan orang-orang

nasrani dan yahudi yg sudah menghancurkan akhlak umat islam. orang yang berilmu belum tentu

berakhlak tapi orang yg berakhlak sudah pasti berilmu.

demikian yg sy smpaikan, kurang lebih sya mohon maaf

Wss. Wr. Wb.

o pada 4 September 2010 pada 5:06 pm | Balas Yusuf Ibrahim

-Faris-

….ya jelas tidak ada larangannya mas dari Imam Syafi’i,……Memangnya perayaan maulid itu pertama

kali muncul tahun brp mas? Sedangkan Imam Syafi’i wafat tahun brp? Bagaimana bisa Imam Syafi’i

melarang suatu perbuatan yang baru muncul jauh setelah beliau wafat? jadi saya mohon

pertanyaannya itu yang rasional sedikit….

Namun yg perlu digaris bawahi disini adalah bagaimana Imam Syafi’i memberikan suatu kaidah yang

sangat bagus, yakni :

Imam Syafi’i berkata,

“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu”

(Ar-Risalah, hal. 507)

Imam Syafi’i juga berkata,

“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (dalam agama, menurut pendapat/akalnya),

sesungguhnya ia telah membuat syari’at (baru)”

(Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya)

Dan saudara perlu simak dan pahami kaidah yang dikeluarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

berikut ini,

429
Ibadah asal mulanya tidak diperbolehkan, kecuali yang disyari’atkan oleh Allah. Dan segala sesuatu

(selain ibadah) asal mulanya diperbolehkan, kecuali yang dilarang oleh Allah

(Majmuu’ Fataawaa karya Syakhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/196)

Jujur saja mas, saya disini tidak membenci si A atau si B, si fulan atau si fulan, adapun yang saya

benci itu hanyalah sebatas perbuatannya saja….dan saya disini tentu tidak menyalahkan masing-

masing individu yang melakukan bid’ah tsb, karena bisa saja mereka masih belum tahu (paham)

tentang apa itu sebenarnya bid’ah karena mungkin masih banyak syubhat (kerancuan) dikepalanya

….

Kalo saudara merasa bahwa masalah ilmu itu dinomor duakan setelah akhlak, maka saya ingin

tanya, bagaimana bisa akhlak ‘tegak’ tanpa ilmu?

Itulah sebabnya mengapa yahudi dan nasrani seolah sangat mudah sekali merusak akhlak umat

muslim khususnya anak-anak muda sekarang ini, hal tsb dikarenakan kurangnya ilmu mereka

tentang agama Islam ini, sehingga membuat akhlak mereka mudah sekali ‘goyah’ bahkan sampai

ada yang ‘rusak’ akibat minimnya ilmu yang mereka miliki tentang Islam ini…..

Jadi, membahas masalah ilmu itu penting juga mas, karena berkaitan dengan akhlak juga. Akhlak

akan bisa tegak dengan kokoh hanya dengan ilmu….

Namun dengan adanya permasalahan tentang akhlak anak muda tsb, bukan berarti masalah bid’ah

menjadi ‘tidak penting’ atau seolah tidak perlu dibahas lagi. Perlu saudara Faris ketahui bahwa

bid’ah itu merupakan suatu permasalahan yang sama pentingnya, karena iblis dan bala tentaranya

lebih menyukai umat muslim melakukan perbuatan bid’ah ketimbang perbuatan maksiat, karena

perbuatan maksiat bisa memungkinkan sesorang untuk bertaubat dikemudian hari, sedangkan orang

yang melakukan perbuatan bid’ah akan sangat sulit untuk bertaubat karena merasa perbuatannya

itu benar……

Imam Sufyan ats-Tsaury berkata,

“Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiatan dan pelaku kemaksiatan masih

mungkin ia untuk bertaubat dari kemaksiatannya sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat

dari kebid’ahannya.”

(Riwayat al-Lalika-i dalam Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (no.238))

Imam Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf al-Barbahari berkata,

“Jauhilah setiap perkara bid’ah sekecil apapun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan menjadi

besar. Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada ummat ini berasal dari perkara kecil dan remeh

430
yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka

sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai

agama. Tanpa disadari, pelan- pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”

(Syarhus Sunnah lil Imaam al-Barbahary (no.7), tahqiq Khalid bin Qasim ar-

Radadi, cet.II/Darus Salaf, th. 1418 H)

Waallahu ‘Alam…….

 pada 4 September 2010 pada 6:19 pm mutiarazuhud

Akhi,

Imam Syafi’i juga berkata,

“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (dalam agama, menurut pendapat/akalnya),

sesungguhnya ia telah membuat syari’at (baru)”

(Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya)

Perkataan Imam Syafi’i adalah menganggap baik dalam agama atau ibadah mahdah atau sebagian

hadits menyebutnya “urusan kami” yang disebut bid’ah dholalah.

Sedangkan disisi lain Imam Syafi’i menyatakan bid’ah mahmudah untuk bid’ah dibidang ibadah

ghairu mahdah

Imam as Syafii ra mengatakan “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah

Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang

baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah

bid’ah mahmudah (terpuji)“.

 pada 13 September 2010 pada 9:12 am Yusuf Ibrahim

Perhatikan kata kuncinya mas ! yakni sesuai dengan sunnah atau tidak menyalahi Al-Quran dan

Sunnah, jika bid’ah mahmudah yang dikatakan oleh Imam Syafi’I tsb disandarkan kepada

perbuatan-perbuatan seperti merayakan maulid setiap tahun, yasinan setiap malam jumat dari

satu rumah ke rumah lainnya, adzan di dalam kubur, tahlilan di setiap hari kesekian dan sekian di

rumah duka dll, maka penyandaran perbuatan-perbuatan tsb dengan mengatasnamakan

perkataan Imam Syafi’I tidaklah tepat, karena Imam Syafi’I mengatakan sesuai dengan sunnah

atau tidak menyelisihi Al-Quran dan Sunnah, sedangkan perbuatan-perbuatan tsb apakah sesuai

431
dengan Al-Quran dan Sunnah atau tidak? jika sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, pernahkah

Rasulullah dan para Sahabat melakukannya? Jika tidak, maka ketahuilah bahwa perbuatan-

perbuatan tsb pastilah menyelisihi Al-Quran dan Sunnah. Jika sesuai dengan sunnah, maka

sunnahnya siapa? Sunnah Rasulullahkah? Sunnah Sahabat Khulafaur Rasyidin kah? Sunnah

Sahabat lainnyakah? Atau Sunnah Imam Madzhabkah?

Ibnu Rajab mengomentari perkataan Imam Syafi’i tentang bid’ah dibagi 2,

Ibnu Rajab berkata :”…..Adapun bid’ah mahmudah (yang baik) yakni sesuai dengan sunnah, yaitu

apa-apa yang ada asalnya berupa sunnah sebagai tempat merujuk kepadanya, dan yang

dimaksudkan oleh beliau tersebut hanyalah merupakan pengertian bid’ah secara bahasa, bukan

menurut syara’….”

(Shifatus Shafwah,2/256)

Jadi, sebagaimana yang sudah saya jelaskan sebelumnyabahwa kebanyakan para ‘aktivis bid’ah’

salah paham terhadap perkataan Imam Syafi’I tsb, padahal bid’ah mahmudah yang dimaksud

adalah bid’ah dalam pengertian secara bahasa saja sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Rajab

yang maknanya umum seperti yang sudaha saya jelaskan diatas sebelumnya dan memiliki faktor

penghalang yang membuat perkara baru tsb tidak ada di zaman Rasulullah dann zaman Sahabat.

Sebagai contoh adalah adzan menggunakan mikrophon dan speaker, apakah di zaman Rasulullah

dan Sahabat ada faktor penghalang tidak digunakannya mikrophon dan speaker pada saat adzan?

Jawabannya Ada ! karena dahulu teknologi tidak secanggih sekarang….lagipula mengenai

perkembangan teknologi seperti mikrophon, speaker, hp, internet dll yang berkaitan dengan hal

keduniaan, maka itu diperbolehkan selama tidak mengandung unsur yang dilarang,

“Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu

adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad)

contoh lainnya adalah pengumpulan Al-Quran dalam satu mushaf, apakah ada faktor penghalang

dikumpulkannya Al-Quran di zaman Rasulullah? Ada ! karena memang ayat-ayat pada zaman

Rasulullah hidup masih turun dan syari’at bisa berubah sewaktu-waktu sesuai dengan kehendak

Allah yang kemudian disampaikan kepada Rasul-Nya…..selain itu, pengumpulan Al-Quran dalam

satu mushaf ini juga merupakan hasil ijma (kesepakatan) para Sahabat yang sudah bisa dijadikan

‘pegangan’ dalam agama Islam ini….

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/97) mengatakan, “Sesuatu yang

menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an adalah karena pada saat itu wahyu masih terus

432
turun. Allah masih bisa mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala

itu Al Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena

adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten setelah wafatnya beliau

shallallahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula Al Qur’an tidak terdapat lagi penambahan atau

pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin

melaksanakan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya.

Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah,

maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak ada contoh sebelumnya, pen).”

contoh berikutnya adalah mengumpulkan umat shalat tarawih dalam satu imam selama satu bulan

penuh, apakah ada faktor penghalang yang membuat Rasulullah tidak melakukan shalat tarawih

terus-menerus selama satu bulan penuh? Ada ! karena Rasulullah khawatir jika beliau melakukan

shalat tarawih terus-menerus, maka akan membuat shalat tarawih itu diwajibkan, sehingga dapat

memberatkan umat muslim diseluruh dunia….dikatakan oleh Umar bid’ah karena memang pada

zaman kekhalifahan sebelumnya (Abu Bakar), tidak pernah dilakukan shalat tarawih berjamaah

satu bulan penuh. Jadi, bid’ah dalam perkataan Umar tsb adalah bid’ah dalam pengertian secara

bahasa yang memiliki makna yang umum (tidak ada contoh sebelumnya) yang dalam hal ini masa

kekhalifahan sebelum Umar yakni Abu Bakar……

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,” Bid’ah ada dua macam: bid’ah syari’at seperti sabda Nabi

shallallahu ‘alaihi wasallam :

“Sesungguhnya setiap yang ada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.

Dan bid’ah lughowiyah (bahasa) seperti perkataan umar bin Khaththab ketika mengumpulkan

manusia untuk sholat tarawih :”Inilah sebaik-baiknya bid’ah”. (Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anil

‘Adziem 1/223)

Namun, sesuatu yang menurut bahasa bid’ah, belum tentu secara istilah dianggap bid’ah.

Dan yang harus kita fahami adalah bahwa Allah dan Rosul-Nya selalu menyampaikan syari’at ini

dengan makna syari’at, seperti bila Allah dan Rosul-Nya menyebutkan kata ‘sholat’, maka

maknanya adalah makna secara syari’at yakni perbuatan dan perkataan yang dimulai dengan

takbirotul ihram dan diakhiri dengan salam, bukan makna sholat secara bahasa. Demikian pula

kata bid’ah, bila diucapkan oleh pemilik syari’at, maka harus dibawa kepada makna syari’at, bukan

makna bahasa.

433
Berbeda halnya dengan merayakan maulid atau memperingati hari kelahiran Rasulullah, apakah

ada faktor penghalang tidak dilakukannya perayaan maulid di zaman Rasulullah dan zaman

Sahabat? Jawabannya adalah TIDAK ADA ! tapi, kenapa Rasulullah dan para Sahabat tidak

melakukannya?pernahkah setelah Rasulullah wafat, para Sahabat merayakan hari kelahiran

Rasulullah setiap tahunnya? Kalo memang memperingati maulid Nabi itu baik (maslahat) dan

BUKAN MAKSIAT dan tidak ada faktor penghalangnya, kenapa para Sahabat tidak ada yang

melakukannya?

Jawabannya adalah tentu karena memang merayakan hari kelahiran atau memperingati hari ulang

tahun itu tidak ada syari’atnya dalam Islam…..maka, jika tidak ada faktor penghalangnya, namun

Rasulullah dan para Sahabat tidak melakukannya padahal bukan maksiat, maka sesungguhnya

perkara tsb bukanlah maslahat dan pasti maksiat……

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap

perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu

ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak

melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila

faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah

maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.”

Jadi, bisa dikatakan bahwa merayakan maulid itu termasuk bid’ah dalam pengertian secara istilah

(syari’at) yang terlarang dan termasuk perbuatan yang menyelisihi Al-Quran dan Sunnah,

bukankah Allah telah berfirman,

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan

mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S Ali-Imran : 31)

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas

setiap orang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi tidak berada di atas jalan

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia dusta dalam pengakuannya mencintai Allah

Azza wa Jalla sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu

‘alaihi wa sallam dalam setiap perkataan, perbuatan, dan keadaannya.”

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi

orang yang mengharap (rahmat) Allah k dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak mengingat

Allah Azza wa Jalla.” [al-Ahzâb/33: 21]

434
Khulafa-ur Rasyidîn dan para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya tidak pernah

mengadakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap tahunnya dan tidak pernah

mengajak untuk melakukannya. Padahal mereka adalah sebaik-baik umat ini setelah Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

”…Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâ-ur Râsyidîn

yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan

jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-

adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” [Shahîh: HR. Ahmad (IV/126-127),

Abû Dâwud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Dârimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus

Sunnah (I/205), al-Hâkim (I/95), dishahîhkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Irwâ-

ul Ghalîl (no. 2455) dari Shahabat al-‘Irbâdh bin Sariyah z .]

Sekali lagi, peringatan maulid tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan

para Shahabatnya. SEANDAINYA PERBUATAN ITU BAIK, NISCAYA MEREKA TELAH LEBIH DAHULU

MELAKUKANNYA.

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan

dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah

bid’ah. Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita.

Sebab mereka tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu

melaksanakannya.”

[ Tafsîr Ibni Katsîr (VII/278-279)]

Ada beberapa kesalahpahaman tentang penyandaran perkataan Imam Syafi’I tsb, salah satunya

contohnya adalah tentang masalah tahlilan di hari ke 3, 7, 40, 100, dan 1000 dirumah duka,

sebagian besar orang yang melakukannya berdalil bahwa itu (tahlilan di hari ke sekian sampai

sekian) adalah bid’ah hasanah dengan berlandaskan kepada perkataan Imam Syafi’I yang

membolehkan bid’ah hasanah, padahal Imam Syafi’I sendiri berkata dalam kitab Al Umm,

“Aku tidak menyukai mat’am, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak

ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru.” (Asy Syafi’i, Al Umm, juz

1, hal. 248)

waallahu ‘alam…..

435
 pada 14 September 2010 pada 9:50 am mutiarazuhud

Tampaknya antum belum memahami tentang ibadah mahdah (ibadah ketaatan) dan ibadah ghairu

mahdah (ibadah kebaikan). Silahkan baca tulisan pada

https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/08/ibadah-ketaatan-dan-kebaikan/

 pada 14 September 2010 pada 8:00 pm Yusuf Ibrahim

sepertinya ada satu kaidah rancu disini….

bisakah saudara ‘mutiarazuhud’ ini sebutkan, siapa yang menciptakan kaidah/pembagian ibadah

seperti yang mas sebutkan itu? apakah dari Rasulullah sebagai pembawa risalah, Sahabat, Imam

Madzhab, atau dari Ulama-Ulama Salaf (terdahulu)? adakah dari mereka yang membagi ibadah

menjadi ibadah mahdah dan ghairu mahdah?

datang dari siapakah pemahaman adanya ibadah mahdah dan ghairu mahdah tsb?

karena sejauh yang saya tau dan saya pelajari sampai detik ini, yang namanya ibadah itu hanya

ada 2 jenis :

1. ibadah wajib (fardu), dan ibadah fardu tsb masih dibagi 2 lagi yakni fardu ‘ain dan fardu kifayah.

2. ibadah sunnah/sunnat.

waallahu ‘alam…..

23. pada 5 September 2010 pada 7:58 pm | Balas Faris

Dan didalam Mazhab Imam Syafi’i, dalam sholat subuh memakai doa Qunut, Bapak Yusuf Ibrahim

sendiri sholat sbuhnya pakai doa Qunut atau tidak?kalau tidak, kenapa Bapak pakai perkataanya

Imam Syafi’i?

24. pada 6 September 2010 pada 12:15 am | Balas mam srihono

436
Mas Yusuf & Mas Sunan ysh,

Masalah Bid’ah,dzikir berjamaah, peringatan maulid nabi dsb menurut saya tidak akan selesai.

1. Sebenanrnya masalah dzikir berjamaah saya juga sudah banyak membaca yang pro dan kontra,

seperti yang telah Mas Yusuf tuliskan tentang riwayat Ibnu Mas’ud dsb pun saya sudah mengetahui.

Tetapi mohon maaf, saya tidak menampilkan di sini dalil-dalil lebih lanjut golongan yang

memperbolehkan dzikir berjamaah (kalau saya tampilkan sekarang juga akan terlalu panjang, karena

saya akan mencuplikkan artikel tentang Maulid Nabi yang saya peroleh dari majelis rasulullah). Yang

saya ingin garis bawahi sebenarnya adalah jangan dengan gampang mengatakan golongan lain

melakukan bid’ah dan sesat, seolah-olah kita yang paling tahu.

2. Mengenai Peringatan Maulid, saya cuplikkan artikel dari majelis rasulullah sbb :

Peringatan Maulid Nabi SAW

Ketika kita membaca kalimat diatas maka didalam hati kita sudah tersirat bahwa kalimat ini akan

langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin, saya akan meringkas penjelasannya

secara ‘Aqlan wa syar’an, (logika dan syariah). Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yg

membuat mereka gembira, apakah keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka

merayakannya dengan pesta, mabuk mabukan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk

pelampiasan kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat diseluruh dunia. Sampai disini saya jelaskan

dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasul saw.

Allah merayakan hari kelahiran para Nabi Nya

* Firman Allah : “(Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku,

dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS Maryam 33)

* Firman Allah : “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan hari wafatnya

dan hari ia dibangkitkan” (QS Maryam 15)

* Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits no.4177)

* Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yg menjadi pembantunya Aminah ra bunda Nabi

saw, ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia (ibu utsman) melihat bintang bintang

mendekat hingga ia takut berjatuhan diatas kepalanya, lalu ia melihat cahaya terang benderang

keluar dari Bunda Nabi saw hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari

Almasyhur juz 6 hal 583)

* Ketika Rasul saw lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam)

* Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat melahirkan Nabi saw

melihat cahaya yg terang benderang hingga pandangannya menembus dan melihat Istana Istana

437
Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)

* Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah jendela

besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yg 1000 tahun tak pernah padam.

(Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)

Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul

menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah saw

di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi nabi

sebelumnya.

Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw

Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu adalah hari

kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162). dari hadits ini sebagian

saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw asal dg puasa. Rasul saw jelas jelas

memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau saw daripada hari lainnya, dan

hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau saw tak menjawab misalnya : “oh puasa

hari senin itu mulia dan boleh boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”,

menunjukkan bagi beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya, contoh

mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?”,

maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah.. bukankah jelas jelas bahwa zeyd

memahami bahwa 1 januari adalah hari yg berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir

menyatakan dengan jelas bahwa 1 januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk

orang yg perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dg hari kelahirannya maka pastilah ia

tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi saw tak

memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda

maksud dengan jawaban beliau saw yg lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh

diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka

mereka yg berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dg puasa saja maka tentunya dari

dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa.

Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw menjawab : hari itu

hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada pribadi beliau saw,

sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yg

perhatian pada hari kelahiran beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya

islam.

Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw

438
Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka Rasul saw

menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka Abbas ra memuji dg syair

yg panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah

cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini

dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya”

(Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417)

Kasih sayang Allah atas kafir yg gembira atas kelahiran Nabi saw

Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas

bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, abu lahab menjawab : “di neraka, Cuma diringankan

siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran

Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13701, syi’bul

iman no.281, fathul baari Almasyhur juz 11 hal 431). Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam

barzakh, namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak

Allah swt, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira dg kelahiran Rasul saw

dengan membebaskan budaknya.

Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun mimpi dapat

dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan

Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan Nabi saw maka Imam imam diatas

yg meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui

oleh imam imam dan mereka tak mengingkarinya.

Rasulullah saw memperbolehkan Syair pujian di masjid

Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yg lalu ditegur oleh Umar ra, lalu Hassan

berkata : “aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yg lebih mulia dari engkau wahai

Umar (yaitu Nabi saw), lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan berkata : “bukankah kau

dengar Rasul saw menjawab syairku dg doa : wahai Allah bantulah ia dengan ruhulqudus?, maka Abu

Hurairah ra berkata : “betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits no.2485)

Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana beberapa

hadits shahih yg menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa yg dilarang adalah syair

syair yg membawa pada Ghaflah, pada keduniawian, namun syair syair yg memuji Allah dan Rasul

Nya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasul saw bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau saw

sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasul saw

mendirikan mimbar khusus untuk hassan bin tsabit di masjid agar ia berdiri untuk melantunkan syair

syairnya (Mustadrak ala shahihain hadits no.6058, sunan Attirmidzi hadits no.2846) oleh Aisyah ra

439
bahwa ketika ada beberapa sahabat yg mengecam Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata :

“Jangan kalian caci hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw”(Musnad Abu Ya’la

Juz 8 hal 337).

Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas perayaan Maulid

1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :

Telah jelas dan kuat riwayat yg sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan

bertemu dengan Yahudi yg berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya maka

mereka berkata : “hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami

berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “kita lebih berhak atas

Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yg diberikan pada

suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dg pelbagai cara,

seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yg melebihi

kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH

PADA ORANG ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS Al Imran

164)

2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah :

Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber akikah untuk dirinya

setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832 dg sanad shahih dan Sunan

Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya

kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali,

maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yg kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw

kepada Allah swt yg telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa

Syariah utk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan

Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman teman dan saudara saudara, menjamu dg makanan

makanan dan yg serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan Imam

Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama :

“Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”.

3. Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) :

Merupakan Bid’ah hasanah yg mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yg diperbuat setiap tahunnya

di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara,

seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan

bersyukur kepada Allah dg kelahiran Nabi saw.

440
4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif

Maulidissyariif :

Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab

: “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan

budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah

menyusuinya (saw)” (shahih Bukhari). maka apabila Abu Lahab Kafir yg Alqur’an turun

mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka

bagaimana dg muslim ummat Muhammad saw yg gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka demi

usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia akan dimasukkan ke

sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya.

5. Pendapat Imam Al Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy dalam kitabnya

Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy : Serupa dg ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljuzri,

yaitu menukil hadits Abu Lahab

6. Pendapat Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah

berkata “tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan

tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pd malamnya dg

berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka

keberkahan yg sangat besar”.

7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah

dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan

maulid di bulan kelahiran nabi saw”

8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah

dengan karangan maulidnya yg terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid,

“Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dg tercapai semua maksud dan

keinginan bagi siapa yg membacanya serta merayakannya”.

9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148

cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kpd orang yg

menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.

10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yg terkenal dg Ibn Dihyah

alkalbi dg karangan maulidnya yg bernama “Attanwir fi maulid basyir an nadzir”

441
11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri dg maulidnya “urfu at

ta’rif bi maulid assyarif”

12. Imam al Hafidh Ibn Katsir yg karangan kitab maulidnya dikenal dg nama : “maulid ibn katsir”

13. Imam Al Hafidh Al ‘Iraqy dg maulidnya “maurid al hana fi maulid assana”

14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi

maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al

hadi.

15. Imam assyakhawiy dg maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi

16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi dg maulidnya al mawarid al haniah fi maulid

khairil bariyyah

17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy yg terkenal dg ibn

diba’ dg maulidnya addiba’i

18. Imam ibn hajar al haitsami dg maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid syayidi waladu

adam

19. Imam Ibrahim Baajuri mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dg nama tuhfa al basyar ala

maulid ibn hajar

20. Al Allamah Ali Al Qari’ dg maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi

21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji dg maulidnya yg terkenal maulid barzanji

23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani dg maulid Al yaman wal is’ad bi maulid

khair al ibad

24. Al Allamah Syeikh Yusuf bin ismail An Nabhaniy dg maulid jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as

syafi’

25. Imam Ibrahim Assyaibaniy dg maulid al maulid mustofa adnaani

26. Imam Abdulghaniy Annanablisiy dg maulid Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi”

27. Syihabuddin Al Halwani dg maulid fath al latif fi syarah maulid assyarif

442
28. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati dg maulid Al Kaukab al azhar alal ‘iqdu al jauhar fi maulid

nadi al azhar

29. Asyeikh Ali Attanthowiy dg maulid nur as shofa’ fi maulid al mustofa

30. As syeikh Muhammad Al maghribi dg maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah.

Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yg menentang dan melarang hal ini, mengenai

beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yg menentang maulid sebagaimana disampaikan

oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para

Imam itu, dengan kelicikan yg jelas jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan

Islam.

Berdiri saat Mahal Qiyam dalam pembacaan Maulid

Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari menyambut kedatangan Islam dan Syariah

Rasul saw, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa risalah pada kehidupan kita,

hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yg dianjurkan oleh Rasul saw adalah berdiri,

sebagaimana diriwayatkan ketika sa’ad bin Mu’adz ra datang maka Rasul saw berkata kepada kaum

anshar : “Berdirilah untuk tuan kalian” (shahih Bukhari hadits no.2878, Shahih Muslim

hadits no.1768), demikian pula berdirinya Thalhah ra untuk Ka’b bin Malik ra.

Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yg dijelaskan bahwa

berkata Imam Alkhattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk majikannya, juga berdirinya murid untuk

kedatangan gurunya, dan berdiri untuk kedatangan Imam yg adil dan yg semacamnya merupakan hal

yg baik, dan berkata Imam Bukhari bahwa yg dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yg duduk, dan

Imam Nawawi yg berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka taka apa, sebagaimana Nabi saw

berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah ra saat ia datang, namun adapula pendapat lain yg

melarang berdiri untuk penghormatan.(Rujuk Fathul Baari Almasyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi

ala shahih muslim juz 12 hal 93)

Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca maulid itu tak

ada hubungan apa apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul saw tidak dhohir dalam

pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasul saw hadir saat pembacaan maulid, itu bukan

pembahasan kita, masalah seperti itu adalah masalah ghaib yg tak bisa disyarahkan dengan hukum

dhohir, semua ucapan diatas adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yg Rasul

saw pernah melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau saw.

Jauh berbeda bila kita yg berdiri penghormatan mengingat jasa beliau saw, tak terikat dengan beliau

hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk semangat kita menyambut risalah Nabi saw, dan

443
penghormatan kita kepada kedatangan Islam, dan kerinduan kita pada nabi saw, sebagaimana kita

bersalam pada Nabi saw setiap kita shalat pun kita tak melihat beliau saw.

Diriwayatkan bahwa Imam Al hafidh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam Besar dan

terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan Imam Imam besar

dizamannya dalam perkumpulan yg padanya dibacakan puji pujian untuk nabi saw, lalu diantara syair

syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam Assubkiy dan seluruh Imam imam yg hadir

bersamanya, dan didapatkan kesejukan yg luhur dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan,

dan berkata Imam Ibn Hajar Alhaitsamiy rahimahullah bahwa Bid’ah hasanah sudah menjadi

kesepakatan para imam bahwa itu merupakan hal yg sunnah, (berlandaskan hadist shahih

muslim no.1017 yg terncantum pd Bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala dan bila

ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah, Dan

berkata pula Imam Assakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah mulailah hal ini

dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh dunia dan membawa keberkahan

bagi mereka yg mengadakannya. (Sirah Al Halabiyah Juz 1 hal 137)

Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan muslimin untuk Medan Tablig dan

bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yg diselingi bershalawat dan salam pada Rasul

saw, dan puji pujian pada Allah dan Rasul saw yg sudah diperbolehkan oleh Rasul saw, dan untuk

mengembalikan kecintaan mereka pada Rasul saw, maka semua maksud ini tujuannya adalah

kebangkitan risalah pada ummat yg dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada

yg mengingkarinya karena jelas jelas merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin,

hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap muslimin aqlan wa syar’an (secara logika dan

hukum syariah), karena hal ini merupakan hal yg mustahab (yg dicintai), sebagaiman kaidah syariah

bahwa “Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yg menjadi penyebab kewajiban

dengannya maka hukumnya wajib. contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup

aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat

kita akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu,

maka membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan

shalat yg wajib .

contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya mubah saja,

lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tak berkantong, maka perlulah bagi

kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita

menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yg hukumnya sunnah.

Maka perayaan Maulid Nabi saw diadakan untuk Medan Tablig dan Dakwah, dan dakwah merupakan

444
hal yg wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tak perduli dg Nabinya

saw, tak pula perduli apalagi mencintai sang Nabi saw dan rindu pada sunnah beliau saw, dan untuk

mencapai tablig ini adalah dengan perayaan Maulid Nabi saw, maka perayaan maulid ini menjadi

wajib, karena menjadi perantara Tablig dan Dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi saw serta

silaturahmi.

Sebagaimana penulisan Alqur’an yg merupakan hal yg tak perlu dizaman nabi saw, namun menjadi

sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yg membutuhkan penjelasan

Alqur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yg wafat, karena ditakutkan

sirnanya Alqur’an dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa Alqur’an telah dijaga oleh

Allah.

Hal semacam in telah difahami dan dijelaskan oleh para khulafa’urrasyidin, sahabat

radhiyallahu’anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin yg

awam, namun hanya sebagian saudara saudara kita muslimin yg masih bersikeras untuk

menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, amiin.

Walillahittaufiq

Terakhir Diperbaharui ( Sunday, 30 March 2008 )

Saya sampaikan juga pendapat para Imam & Muhaddits yang saya peroleh dari majelis rasulullah juga

sbb :

1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :

Telah jelas dan kuat riwayat yang sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah

dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya

maka mereka berkata : “hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa,

maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “Kita lebih

berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yang

diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dengan

pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yang

melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN

ANUGERAH PADA ORANG-ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS

Al Imran 164)

2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah :

Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber akikah untuk dirinya

setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832 dengan sanad shahih dan Sunan

445
Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300, dan telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya

kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali,

maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yang kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau

saw kepada Allah swt yang telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan

membawa Syariah untuk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran

dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman-teman dan saudara-saudara, menjamu

dengan makanan-makanan dan yang serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan

kebahagiaan. Bahkan Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid

dengan nama : “Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”.

3. Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) :

Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap

tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para

fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau

saw, dan bersyukur kepada Allah dengan kelahiran Nabi saw.

4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif

Maulidissyariif :

Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab

: “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan

budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah

menyusuinya (saw)” (shahih Bukhari hadits no.4813). maka apabila Abu Lahab Kafir yg Alqur’an turun

mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka

bagaimana dg muslim ummat Muhammad saw yang gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka demi

usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh-sungguh ia akan dimasukkan ke

sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya.

5. Pendapat Imam Al Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy dalam kitabnya

Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy :

Serupa dengan ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljuzri, yaitu menukil hadits Abu Lahab.

6. Pendapat Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah

berkata “tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan

tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pada malamnya dengan

berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka

keberkahan yang sangat besar”.

7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah

446
dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan

maulid di bulan kelahiran nabi saw”

8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah

dengan karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid,

“Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud

dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.

9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah

dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: “Maka

Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai

hari besar”.

10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yang terkenal dengan Ibn

Dihyah alkalbi dengan karangan maulidnya yg bernama “Attanwir fi maulid basyir an nadzir”.

11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri dengan maulidnya “urfu

at ta’rif bi maulid assyarif”

12. Imam al Hafidh Ibn Katsir yang karangan kitab maulidnya dikenal dengan nama : “maulid ibn

katsir”

13. Imam Al Hafidh Al ‘Iraqy dengan maulidnya “maurid al hana fi maulid assana”

14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi

maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al

hadi.

15. Imam assyakhawiy dengan maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi

16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi dengan maulidnya al mawarid al haniah fi maulid

khairil bariyyah

17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy yang terkenal

dengan ibn diba’ dengan maulidnya addiba’i

18. Imam ibn hajar al haitsami dengan maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid sayid waladu

adam

19. Imam Ibrahim Baajuri mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dengan nama tuhfa al basyar ala

maulid ibn hajar

20. Al Allamah Ali Al Qari’ dengan maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi

21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji dengan maulidnya yang terkenal maulid

barzanji

23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani dengan maulid Al yaman wal is’ad bi maulid

447
khair al ibad

Namun memang setiap kebaikan dan kebangkitan semangat muslimin mestilah ada yg

menentangnya, dan hal yg lebih menyakitkan adalah justru penentangan itu bukan dari kalangan

kuffar, tapi dari kalangan muslimin sendiri, mereka tak suka Nabi saw dicintai dan dimuliakan,

padahal para sahabat radhiyallahu’anhum sangat memuliakan Nabi saw, Setelah Rasul saw wafat

maka Asma binti Abubakar shiddiq ra menjadikan baju beliau saw sebagai pengobatan, bila ada yg

sakit maka ia mencelupkan baju Rasul saw itu di air lalu air itu diminumkan pada yg sakit (shahih

Muslim hadits no.2069).

seorang sahabat meminta Rasul saw shalat dirumahnya agar kemudian ia akan menjadikan bekas

tempat shalat beliau saw itu mushollah dirumahnya, maka Rasul saw datang kerumah orang itu dan

bertanya : “dimana tempat yg kau inginkan aku shalat?”. Demikian para sahabat bertabarruk dengan

bekas tempat shalatnya Rasul saw hingga dijadikan musholla (Shahih Bukhari hadits no.1130).

Sayyidina Umar bin Khattab ra ketika ia telah dihadapan sakratulmaut, Yaitu sebuah serangan pedang

yg merobek perutnya dengan luka yg sangat lebar, beliau tersungkur roboh dan mulai tersengal

sengal beliau berkata kepada putranya (Abdullah bin Umar ra), “Pergilah pada ummulmukminin,

katakan padanya aku berkirim salam hormat padanya, dan kalau diperbolehkan aku ingin

dimakamkan disebelah Makam Rasul saw dan Abubakar ra”, maka ketika Ummulmukminin telah

mengizinkannya maka berkatalah Umar ra : “Tidak ada yang lebih kupentingkan daripada mendapat

tempat di pembaringan itu” (dimakamkan disamping makam Rasul saw” (Shahih Bukhari

hadits no.1328). Dihadapan Umar bin Khattab ra Kuburan Nabi saw mempunyai arti yg sangat Agung,

hingga kuburannya pun ingin disebelah kuburan Nabi saw, bahkan ia berkata : “Tidak ada yang lebih

kupentingkan daripada mendapat tempat di pembaringan itu”.

Dan masih banyak riwayat shahih lainnya tentang takdhim dan pengagungan sahabat pada Rasulullah

saw, namun justru hal itu ditentang oleh kelompok baru di akhir zaman ini, mereka menganggap hal

hal semacam itu adalah kultus, ini hanya sebab kedangkalan pemahaman syariah mereka, dan

kebutaan atas ilmu kemurnian tauhid. Maka marilah kita sambut kedatangan Bulan Kebangkitan Cinta

Muslimin pada Nabi saw ini dengan semangat juang untuk turut berperan serta dalam Panji Dakwah,

jadikan medan ini benar benar sebagai ajang perjuangan kita untuk menerangi wilayah kita,

masyarakat kita, masjid kita, musholla kita, rumah rumah kita, dengan cahaya Kebangkitan Sunnah,

Cahaya Semangat Hijrah, kemuliaan kelahiran Nabi saw yg mengawali seluruh kemuliaan islam, dan

wafatnya Nabi saw yg mengawali semangat pertama setelah wafatnya beliau saw.

Saudara saudarku, kelompok anti maulid semakin gencar berusaha menghalangi tegaknya panji

dakwah, maka kalian jangan mundur dan berdiam diri, bela Nabimu saw, bela idolamu saw, tunjukkan

448
akidah sucimu dan semangat juangmu, bukan hanya mereka yg memiliki semangat juang dan

mengotori masji masjid ahlussunnah dengan pencacian dg memfitnah kita adalah kaum musyrik

karena mengkultuskan Nabi,

Saudaraku bangkitlah, karena bila kau berdiam diri maka kau turut bertanggung jawab pula atas

kesesatan mereka, padahal mereka saudara saudara kita, mereka teman kita, mereka keluarga kita,

maka bangkitlah untuk memperbaiki keadaan mereka, bukan dengan pedang dan pertikaian, sungguh

kekerasan hanya akan membuka fitnah lebih besar, namun dg semangat dan gigih untuk menegakkan

kebenaran, mengobati fitnah yg merasuki muslimin muslimat..

Nah saudara saudaraku, para pembela Rasulullah saw.. jadikan 12 Rabiul awwal adalah sumpah

setiamu pada Nabimu Muhammad saw, Sumpah Cintamu pada Rasulullah saw, dan Sumpah

Pembelaanmu pada Habibullah Muhammad saw.

Terakhir Diperbaharui ( Thursday, 27 March 2008 )

Sekali lagi saya sampaikan, jangan suka menganggap golongan lain sesat hanya karena berbeda

pendapat. Ini baru masalah perbedaan pendapat masalah dzikir dan peringatan maulid nabi, belum

perbedaan pendapat yang lain.

Wassalam

o pada 13 September 2010 pada 9:23 am | Balas Yusuf Ibrahim

Mungkin mas mam dan habib munzir ini lupa atau pura-pura tidak tahu, sudah bukan rahasia umum

lagi kalo hampir semua umat muslim termasuk beberapa yang awam tahu kalo yang namanya

merayakan hari kelahiran setiap tahun atau bahasa sekarangnya adalah merayakan hari ulang tahun

itu bukanlah ‘ritual’ yang ada di dalam Islam…..

>>>>>>>Mengenai Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang memuliakan hari kelahirannya

sebagaimana dalam hadits tentang puasa hari Senin, sabda beliau:

“Itu adalah hari aku dilahirkan, aku diutus atau diwahyukan kepadaku.” [HR.Muslim 1162]

———————————————————-

Berdalil dengan hadits tsb tidaklah tepat, apabila ditinjau dari beberapa segi:

1. Apabila maksud dari maulid disini adalah mensyukuri atas nikmat kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi

wasallam, maka secara dalil dan akal hendaknya syukur tersebut diwujudkan sebagaimana

449
syukurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu dengan berpuasa pada hari senin yang berarti

bahwa hendaknya kita berpuasa sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa.

Sehingga apabila kita ditanya maka kita menjawab bahwa hari Senin adalah hari kelahiran Nabi

shallallahu ‘alaihi wasallam, kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah azza wa jalla dan

mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah yang disyariatkan.

2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengkhususkan pada hari kelahirannya yaitu tanggal

12 Rabi’ul Awal -sebagaimana pendapat yang masyhur- dengan puasa atau amalan lainnya. Beliua

shallallahu ‘alaihi wasallam hanya berpuasa pada hari Senin yang datang setiap pekan. Sedangkan

Allah azza wa jalla berfirman:

“Sesunggunya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang

yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

[QS.al-Ahzab/33 :21]

3. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari kelahirannya, apakah beliau

menambahinya dengan perayaan maulid seperti yang dilakukan oleh orang-orang? Jawabnya, tentu

tidak, cukup HANYA dengan berpuasa. Jadi, mengapa umatnya tidak merasa cukup dengan petunjuk

nabinya?!! Ingatlah bahwa ibadah itu harus dibangun di atas dalil bukan perasaan dan hawa nafsu !

[Lihat Al-Inshof fima Qila fil Maulid: 44-45 oleh Syaikh Abu Bakar al-Jazairi]

4. Rasulullah tidak merayakan hari kelahiran beliau sewaktu beliau hidup, demikian juga para

sahabat tidak merayakannya. Seandainya hal itu disyariatkan, niscaya mereka mendahului kita,

karena mereka jauh lebih cinta kepada Nabi daripada kita. Mungkinkah mereka meninggalkan

amalan kebajikan dan meremehkannya?!! Sekali-kali tidak.

5. Puasa hari Senin bukan hanya karena hari itu hari kelahiran Nabi, tetapi Nabi jugamenyebutkan

alasan-alasan lainnya yaitu turunnya wahyu dan diangkatnya amalan kepada Allah. Lantas, kenapa

hanya diambil satu alasan saja untuk sebuah syariat yang tidak diajarkan Allah dan Rasul-Nya?!

[Minhatul Allam 5/78-79 oleh Syaikh Abdullah al-Fauzan]

6. Jika memang Sabda Rasul tsb itu adalah sebuah Sunnah memperingati hari kelahiran Rasulullah,

adakah Sahabat yang menafsirkan Sabda Rasulullah tsb seperti apa yang Habib tafsirkan? Jawablah

wahai habib,…atau mungkin mas mam bisa menjelaskan….

450
7. Rasulullah tidak berpuasa pada hari kelahiran beliau yaitu tanggal 12 rabbui awal (inipun masih

ada perselisihan mengenai tanggal lahir Rasulullah), akan tetapi beliau berpuasa pada hari senin

yang setiap bulan berulang sampai empat kali……(Lihat Ar-Roddul Qowy hal.61-62)

8. Rasulullah tidak mengkhususkan berpuasa hanya pada hari senin saja, melainkan beliau juga

berpuasa pada hari kamis, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah secara marfu’ :

“Amalan-amalan disodorkan setiap hari senin dan kamis, maka saya senang jika amalan saya

disodorkan sedang saya dalam keadaaan berpuasa.” (HR. At-Tirmidzi no.747)

Jadi, berdalilkan dengan puasa hari senin untuk membolehkan perayaan maulid adalah puncak

takalluf (pemaksaan) dan pendapat yang sangat jauh dari kebenaran. (Hammad Abu Mu’awiyah As-

Salafi, studi kritis perayaan mauled nabi, hal.221)

>>>>>>>Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan

Abbas bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, abu lahab menjawab : “di neraka, Cuma

diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku

atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra

hadits no.13701, syi’bul iman no.281, fathul baari Almasyhur juz 11 hal 431).

————————————————————

1. Itu adalah mimpi dan mimpi tidak bisa dijadikan hujah dalam syariat [Lihat masalah ini secara

panjang lebar dan keterangan para ulama tentangnya dalam al-Muqoddimat al-Mumahhidat as-

Salafiyyat fi Tafsir Ru’aa wal Manamat hal.247-283 oleh Syaikh Masyhur bin Hasan dan Umar bin

Ibrahim], sekalipun dia ahli ibadah dan berilmu, KECUALI mimpi para nabi karena mimpi mereka

adalah haq (kebenaran).

2. Hadits tsb memberikan pahala kepada orang kafir, padahal al-Qur’an menegaskan bahwa orang

kafir tidak diberi pahala di akhirat dan amal perbuatannya sia-sia.

“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu

yang beterbangan.” [QS.al-Furqon/25: 23]

“Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Robb mereka dan (kufur terhadap)

perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslan amalan-amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu

penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” [QS.al-Kahfi/18: 105][ Lihat Fathul Bari Ibnu

Hajar: 9/145]

451
3. Kegembiraan Abu Lahab dengan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah kegembiraan

tabi’at saja, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keponakannya, sedangkan kegembiraan

tidaklah diberi pahala melainkan apabila untuk Allah azza wa jalla.

4. Abu Lahab tidak mengetahui kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu (lahirnya

Rasulullah), buktinya setelah dia mengetahuinya maka dia memusuhi Nabi shallallahu ‘alaihi

wasallam dan melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya untuk dilakukan.[ Al-Maurid fi Hukmil Ihtifal

bil Maulid hal.21-23, Aqil bin Muhammad al-Yamani. Lihat pula al-Qoulul Fashl Ismail al-

Anshori hal.486-489]

>>>>>>>>>Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :

Telah jelas dan kuat riwayat yg sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah

dan bertemu dengan Yahudi yg berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya

maka mereka berkata : “hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa,

maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “kita lebih

berhak atas Musa as dari kalian”

—————————————————————-

1. Sesunggunya seluruh umat islam mengetahui sunnahnya puasa Asyuro, sebagai wujud realisasi

dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ungkapan syukur atau dimenangkannya

kebenaran dan dihancurkannya kebathilan. Namun, bukan berarti hadits ini sebagai kaidah yang

membenarkan perayaan maulid nabi atau perayaan-perayaan lainnya. Jadi anjuran Nabi shallallahu

‘alaihi wasallam untuk berpuasa Asyuro bukan berarti anjuran untuk menjadikannya sebagai

perayaan maulid, tetapi anjuran untuk bersyukur kepada Allah azza wa jalla dengan berpuasa pada

hari tersebut seperti yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. [Lihat Hiwar Ma’al

Maliki hal.55-56, Abdullah al-Mani’]

2. Kita semua senang dan gembira dengan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, diutusnya

beliau sebagai nabi, hijrahnya beliau dan semua perjalanan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

berupa jihad dan ilmu. Kita senang dan bergembira serta mengambil pelajaran darinya. Namun

semua itu bukan hanya dalam sehari saja dalam setahun, akan tetapi disyariatkan pada setiap

waktu dan setiap tempat.[ Lihat Hiwar Ma’al Maliki hal.85, Abdullah al-Mani’]

3. Mengqiyaskan (menganalogikan) bid’ah maulid dengan puasa Asyuro adalah suatu bentuk takalluf

(pemaksaan) yang nyata dan tertolak karena ibadah landasannya adalah syariat, bukan berdasarkan

pendapat ataupun anggapan baik. (Hammad Abu Mu’awiyah As-Salafi, studi kritis perayaan maulid

nabi, hal.217)

452
4. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari sanjungan yang Allah

berikan dan ridhai. Tetapi banyak orang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

tersebut, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta

kecuali kepada Allah. Sebagian dari perbuatan-perbuatan ini dilakukan ketika peringatan maulid

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

(lihat : http://alqiyamah.wordpress.com/2009/12/10/barzanji-kitab-induk-peringatan-maulid-nabi-

shallallahu-alaihi-wa-sallam/)

‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani

‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau

adalah sayyid (tuan/penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

“Sayyid (tuan/penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”

Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan :

“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan

kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan” [Shahîh: HR. Abû Dâwud (4806), Ahmad

(IV/24, 25), al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (211/ Shahîhul Adâbil Mufrad no 155), an-Nasâ-i

dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (247, 249).]

—————————————————————

Ketahuilah ! seandainya maulid Nabi adalah sebuah kebaikan, maka Nabilah orang pertama yang

mengerjakannya, karena acara ini menyangkut kelahiran beliau. Seandainya maulid Nabi adalah

sebuah kebaikan, tentu paman Nabi, Al-Abbas bin Abdul Muthalib lah yang paling tahu tentang

kelahiran Rasulullah yang lebih dahulu merayakannya. Seandainya maulid Nabi adalah sebuah

kebaikan, niscaya dua Sahabat beliau yang terdekat yakni Abu Bakar dan Umar lah yang lebih

dahulu merayakannya. Seandainya maulid Nabi adalah sebuah kebaikan, tentu istri-istri Nabi

lahyang pertama kali memperingatinya karena merekalah orang-orang yang paling dekat dengan

Rasulullah. Seandainya maulid Nabi adalah sebuah kebaikan, tentu para Sahabat beliau dan

penduduk Madinah akan mengadakannya karena mereka adalah orang-orang yang berkumpul

dengan beliau dan hidup bersama beliau di kota Madinah.

Tapi kenyataannya, tidak ada satupun riwayat dari mereka semua yang menyebutkan bahwa

mereka memperingati kelahiran Rasulullah setiap tahunnya. Bisakah anda menuduh bahwa mereka

sengaja membuat umat lupa terhadap hari kelahiran Rasulullah? Karena terbukti bahwa para ulama

453
saja masih berselisih pendapat tentang tanggal kelahiran beliau.

—————————————————————-

Note :

Imam asy-Syathibi rahimahullah: “Betapa sering engkau dapati ahli bid’ah dan penyesat umat

mengemukakan dalil dari al-Qur’an dan hadits dengan memaksakannya agar sesuai dengan

pemikiran mereka dan menipu orang-orang awam dengannya. Lucunya mereka menganggap bahwa

diri mereka diatas kebenaran.”

Lanjut beliau: “Oleh karenanya, maka semestinya bagi setiap orang yang berdalil dengan dalil syar’i

agar memahaminya seperti pemahaman para pendahulu (sahabat) dan oraktik amaliah mereka,

karena itulah jalan yang benar dan lurus.” [Al-Muwafaqot Fi Ushul Syariah: 3/52]

waallahu ‘alam…..

———————————————

Penjelasan ilmiah selengkapnya bisa di lihat di :

http://alqiyamah.wordpress.com/2010/02/16/menjawab-syubhat-syubhat-perayaan-maulid-nabi-

dan-benarkah-ibnu-taimiyyah-rahimahullah-mendukung-maulid-nabi/

http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/02/15/peringatan-maulid-nabi-shallallahu-alaihi-wa-

sallam-menurut-syariat-islam/

 pada 14 September 2010 pada 9:46 am mutiarazuhud

“Itu adalah hari aku dilahirkan, aku diutus atau diwahyukan kepadaku.” [HR.Muslim 1162]

Hadits ini membuktikan bahwa Rasulullah saw mengingat hari kelahiran Beliau walaupun menurut

antum terjadi perbedaan pendapat mengenai tanggal 12 Rabiul Awal.

Tidak ada larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. jika hamba Allah swt memperingati kelahiran

Rasulullah saw dengan ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan seperti pengajian atau

bersholawat. Dan tidak satupun ulama yang menganggap bahwa peringatan kelahiran Rasulullah

saw adalah merupakan suatu kewajiban bagi muslim karena mereka paham bahwa Kewajiban,

Larangan dan Pengharaman harus berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits, dan selebihnya Allah swt

diamkan atau bolehkan (mubah), Allah swt tidak lupa.

Apalagi bagi muslim yang mengerjakan sesuatu perbuatan/ibadah yang dibolehkan dan merupakan

anjuran dalam Al-Qur’an dan Hadits, maka mereka akan mendapatkan kebaikan/pahala.

454
Bacalah tulisan selengkapnya pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/08/ibadah-

ketaatan-dan-kebaikan/

 pada 14 September 2010 pada 8:04 pm Yusuf Ibrahim

“Itu adalah hari aku dilahirkan, aku diutus atau diwahyukan kepadaku.” [HR.Muslim 1162]

Hadits ini membuktikan bahwa Rasulullah saw mengingat hari kelahiran Beliau………..”

———————————————————-

Adakah dari kalangan Sahabat yang menafsirkan Sabda Rasulullah tsb sebagaimana yang saudara

‘mutiarazuhud’ tafsirkan?

Adakah dari kalangan Sahabat yang menggunakan Sabda Rasulullah tsb sebagai dalil untuk

melakukan perayaan hari kelahiran Rasulullah setiap tahun?

Apakah ada Sahabat yang merayakan hari kelahiran Rasulullah setiap tahunnya? Jika tidak ada,

maka apakah para Sahabat tidak paham apa yang disampaikan Rasulullah dalam Sabdanya tsb?

“Tidak ada larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. jika hamba Allah swt memperingati kelahiran

Rasulullah saw dengan ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan seperti pengajian atau

bersholawat….”

—————————————————————-

Kalo kaidahnya “…yang penting tidak ada larangannya….”, maka repot urusannya, akan jadi apa

agama (Islam) ini? pantas saja orang-orang sufi dzikirnya sambil menari-nari (muter-muter),

sholawatnya diiringi musik band seperti berdoanya orang-orang nasrani, kyainya berdakwah

sambil bernyanyi-nyanyi seperti pendeta nasrani, semua itu memang secara khusus tidak ada

larangannya……

membaca Al-Quran sambil ‘nungging’ juga tidak ada larangannya mas, membaca Al-Quran dari kiri

ke kanan seperti membaca lafadz latin juga tidak ada larangannya……

maka, termasuk ke dalam ibadah apakah perbuatan-perbuatan tsb? ibadah ghairu mahdah atau

ibadah mahdah?

(maaf jika tersinggung, karena memang sebagian besar isi blog ini juga banyak yang menyinggung

saya)

“Dan tidak satupun ulama yang menganggap bahwa peringatan kelahiran Rasulullah saw adalah

merupakan suatu kewajiban bagi muslim karena mereka paham bahwa Kewajiban, Larangan dan

Pengharaman harus berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits, dan selebihnya Allah swt diamkan atau

bolehkan (mubah), Allah swt tidak lupa.”

455
————————————————————-

Kalo memang perayaan maulid itu bukan suatu kewajiban, apakah itu artinya merayakan hari

kelahiran Rasulullah itu hukumnya sunnah? atau mubah?

“Apalagi bagi muslim yang mengerjakan sesuatu perbuatan/ibadah yang dibolehkan dan

merupakan anjuran dalam Al-Qur’an dan Hadits, maka mereka akan mendapatkan

kebaikan/pahala.”

—————————————————————-

Kalo memang merayakan maulid itu termasuk perbuatan yang diperbolehkan dan dianjurkan

dalam Al-Quran dan Hadits, lalu adakah dari kalangan Sahabat yang merayakan maulid setiap

tahun? kalo tidak ada, apakah saudara ingin menuduh bahwa para Sahabat tidak mengerjakan

anjuran yang ada pada Al-Quran dan Hadits?

Apakah anda ingin menuduh bahwa para Sahabat malas merayakan maulid setiap tahun? padahal

tidak ada faktor penghalangnya, akan tetapi para Sahabat tidak ada yang merayakan maulid setiap

tahun pada saat itu……

 pada 15 September 2010 pada 1:02 am mutiarazuhud

Bagaimanakah antum bertanya “Kalo memang merayakan maulid itu termasuk perbuatan yang

diperbolehkan dan dianjurkan dalam Al-Quran dan Hadits, lalu adakah dari kalangan Sahabat yang

merayakan maulid setiap tahun?

Sedangkan kita paham bahwa perbuatan/ibadah ghairu mahdah, maulid Nabi saw adalah perkara

yang baik yang mulai dilaksanakan setelah Zaman Salafush Sholeh. Kita paham bahwa maulid

Nabi saw tidak ada satupun larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ini sesuai dengan hadits Nabi

saw berikut

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:

Maknanya: “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia

akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya

tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)

Sungguh tepatlah ketiga kaidah ini

“Hukum asal (segala sesuatu) yang dilarang (tahriim) jika ada dalil yang menegaskan (‘ibahah)”

“Segala sesuatu tidak boleh dianggap sebagai syari’at kecuali dengan adanya dalil dari al-Kitab

atau as-Sunnah“

456
“Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya“

Kita sudah paham bahwa Allah swt telah menetapkan seluruh kewajiban, larangan dan

pengharaman sedangkan selebihnya Allah swt telah diamkan/bolehkan. dan Allah swt tidak lupa.

Seluruh yang Allah swt telah tetapkan, sudah dijelaskan, disampaikan oleh Rasulullah saw kepada

umatnya, kepada hamba Allah swt. Seluruh kewajiban, seluruh “urusan kami” telah dicontohkan

oleh Rasulullah saw. Itulah yang disebut ibadah mahdah atau ibadah ketaatan.

Seluruh kewajiban, larangan dan pengharaman atau seluruh syariat bagi hamba Allah swt telah

ditetapkan oleh Allah swt dalam Al-Qur’an dan Hadits, selebihnya adalah perbuatan/ibadah yang

boleh dilakukan selama tidak ada dalil yang melarangnya.

Apalagi jika perbuatan/ibadah yang dibolehkan tersebut termasuk perbuatan/ibadah yang

dianjurkan maka mereka yang melaksanakan akan mendapatkan kebaikan/pahala.

Seluruh perbuatan/ibadah yang dibolehkan dan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan

Hadits disebut ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan, sebagai tanda kasih Allah swt pada

hambaNya.

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka

jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu

langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan

Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka

jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).

Oleh karenanya dapat kita pahami kesalah-pahaman ulama/syaikh selama ini dengan kaidah

““Hukum asal ibadah adalah bathil/haram/terlarang kecuali ada dalil yang memerintahkan” karena

seluruh yang bathil, yang diharamkan, yang dilarang, telah Allah swt syariatkan, telah Allah swt

tetapkan dan telah disampaikan, dijelaskan Rasulullah saw, seluruh kewajiban, seluruh “urusan

kami” telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan Allah swt tidak lupa !

 pada 23 September 2010 pada 9:43 pm Yusuf Ibrahim

Rasulullah bersabda : “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam……..”

——————————————————————–

1. Sepertinya ada kekeliruan dalam mengartikan Sabda Rasul diatas sehingga menjadi rancu.

457
2. Di dalam lafadz (teks) pada Hadits tsb tertulis “man sanna fil islami sunnatan hasanatan”, yang

dimana bahwa kata “man sanna” adalah “barangsiapa yang melakukan amalan (sunnah)” sebagai

penerapan dari syariat yang telah ada sebelumnya karena dilanjutkan dengan kalimat “fil islami”

(di dalam islam). Artinya amalan tersebut telah ada tempat kembali (asalnya) dalam syariat.

Bukan menciptakan/membuat suatu sunnah yang baru.

3. Sehingga dapat dipahami bahwa arti “sanna” ialah melakkukan, melaksanakan (mengerjakan),

bukan berarti membuat (menciptakan) suatu sunnah.

4. Yang menunjukan bahwa pengertian yang lebih tepat adalah “Barangsiapa yang melakukan

sunnah” yakni faktor penyebab disabdakannya Hadits tsb, yaitu sedekah yang memang sudah ada

syariatkan,

Dari Jabir bin Abdullah berkata : Rasulullah pernah berkhutbah kepada kami, lalu beliau memberi

semangat kepada manusia untuk bersedekah, akan tetapi mereka berlambat-lambat untuk

bersedekah sampai-sampai nampak kemarahan diwajah beliau kemudian datanglah seorang

anshar dengan sekantong (sedekah) lalu orang-orang (bersedekah) mengikutinya sehingga

Nampak keceriaan diwajah beliau, maka beliaupun bersabda : “Barangsiapa……….”

5. Sesungguhnya sahabat yang memulai melakukan amalan sedekah tsb tidaklah melakukan

sesuatu yang baru dalam syari’at. Sedekah memang sudah disyaria’tkan dan dianjurkan oleh Rabb

alam semesta dalam Al Qur’an dan juga ada dalam sunnah.

6. Di sini, sedekah dikatakan sebagai sunnah hasanah, dan tidak bersedekah sebagai sunnah

sayyiah (jelek), yang jelas menunjukkan bahwa bersedekah adalah bagian dari sunnah Rasulullah

shollallahu `alaihi wa sallam, dan tidak bersedekah adalah bagian dari sunnah yang buruk yang

memang tidak dicontohkan oleh Rasulullah.

7. Sekedar mengingatkan bahwa pengertian ‘sunnah’ menurut bahasa artinya adalah jalan/cara,

apakah itu baik atau buruk. (Lisaanul ‘Arab (VI/399).

8. Jika Sabda Rasulullah diartikan “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam……..” yang

mengandung pengertian bahwa bolehnya membuat (menciptakan) perkara baru/syari’at baru

dalam Islam yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah , maka hal tsb tentu sangatlah

mustahil, karena disisi lain Rasulullah juga bersabda,

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka

458
perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718).

Jadi, mana mungkin Sabda Rasulullah saling bertentangan?

“…..maulid Nabi saw adalah perkara yang baik yang mulai dilaksanakan setelah Zaman Salafush

Sholeh……”

——————————————————-

Saya ingin tanya, baik menurut siapa?

Kalaulah perbuatan itu baik, pastilah para Sahabat telah mendahului kita melakukannya. Jika para

Sahabat tidak melakukannya padahal BUKAN MAKSIAT dan tidak ada faktor penghalangnya,

pastinya perbuatan itu TIDAK MENGANDUNG MASLAHAT !

Maka cukuplah Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang membantah perkataan saudara,

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li

Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)

Perayaan maulid setiap tahun itu termasuk perbuatan yang mengada-ada di dalam Islam. Buktinya

saudara sendiri mengakui dan menjawabnya bahwa perbuatan tsb tidak pernah dilakukan di

zaman Salafush Shalih. Itulah sebabnya perkara tsb termasuk ke dalam perkara bid’ah secara

syari’at

Al Imam Asy Syatibi berkata bahwa bid’ah adalah : “Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat

dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukannya adalah

sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah)”. (Al

I’tishom, 1/26, Asy Syamilah)

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka

perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

“………Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan

adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676)

waallahu ‘alam…..

 pada 23 September 2010 pada 10:19 pm mutiarazuhud

459
Tampaknya antum masih salah paham saja tentang bid’ah.

Baiklah saya jelas lagi dengan cara yang lain. Silahkan baca tulisan pada

https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/17/kesalahpahaman-bidah/

 pada 24 September 2010 pada 8:32 pm Yusuf Ibrahim

Tampaknya saudara mutiarazuhud ini belum memahami makna dari kata bid’ah itu sendiri, baik

makna secara bahasa dan makna secara istilah (syari’at) sehingga menafsirkan Sabda Rasul

seenaknya……

Ingat mas ! Islam itu agama yang tegas aturannya dan jelas batasan-batasannya, jangan sampai

kaidah yang saudara buat (karang) yakni pembagian ibadah menjadi ibadah mahdah dan ghairu

mahdah membuat hukum Islam itu sendiri menjadi rancu dan tidak jelas batasan-batasannya….

Salafush Shalih mana yang membagi ibadah menjadi 2 yakni ibadah mahdah dan ghairu mahdah?

Jangan seperti ahmadiyah yang menafsirkan (sendiri) bahwa yang dimaksud ‘penutup para nabi’

dalam sabda Rasul itu adalah Nabi yang membawa syari’at…..

sedangkan saudara menafsirkan ‘bid’ah dholalah’ yang dimaksud dalam Sabda Rasul itu adalah

bid’ah dalam hal ibadah mahdah……

yang jika dicermati bersama-sama dimana kedua tafsiran itu adalah tafsiran-tafsiran belakangan

(baru) yang diciptakan demi membenarkan ‘amalan’ mereka….

Mungkin agar permasalahan menjadi lebih jelas dan penjelasan yang saudara maksud bisa sampai

kepada saya dan teman-teman yang sepaham dengan saya yang sedang mengunjungi blog

saudara, maka saya ingin kasih saudara cara lain untuk menjelaskan selain memberi link tulisan-

tulisan saudara sendiri, karena penjelasan saudara itu penuh dengan kerancuan…..

adapun cara yang saya sarankan itu adalah menjawab pertanyaan saya yang belum terjawab yakni

Salafush Shalih mana yang membagi ibadah menjadi 2 yakni ibadah mahdah dan ghairu mahdah?

dan juga menjawab pertanyaan saudara ‘sunan’ dibawah yang sepertinya juga belum dijawab….

mungkin dengan dijawabnya pertanyaan tsb, tidak akan terjadi kesalah pahaman lagi….

waallahu ‘alam…..

460
 pada 27 September 2010 pada 9:02 am mutiarazuhud

Pembagian perbuatan/ibadah dalam dua kategori ibadah mahdah dan ghairu mahdah untuk tujuan

pengajaran, berlandaskan firman Allah swt dan hadits.

Kami mengkajinya dari,

dari Hadits Nabi saw

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka

jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu

langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan

Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka

jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).

dan firman Allah swt

“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia

dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa

hisab. (QS Al Mu’min [40]:40 )

dan

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang

yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau

sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124

Perbuatan/ibadah seorang muslim ada dua kategori yakni

1. Perbuatan yang Allah swt telah tetapkan berupa kewajiban, larangan dan pengharaman.

Kategori ini disebut ibadah mahdah atau ibadah ketaatan atau perkara syariat atau “urusan kami”

2. Perbuatan yang Allah swt telah diamkan/bolehkan termasuk disini adalah perkara mubah,

perkara sunnah, perkara makruh, kategori ini disebut ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan

atau amal kebaikan/sholeh.

Sebagian ulama mendangkalkan/mempersempit kategori ini hanyalah sebagai perkara muamalah.

Contoh sholat wajib termasuk kategori ibadah mahdah (ibadah ketaatan) merupakan sebuah

kewajiban bagi setiap muslim, atau hukumnya wajib artinya perbuatan/ibadah yang jika

ditinggalkan akan berdosa.

461
Bid’ah atau perkara baru pada kategori ibadah mahdah (ibadah ketaatan) adalah dholalah

(buruk/tertolak).

Bid’ah atau perkara baru pada kategori ibadah ghairu mahdah (perbuatan/ibadah yang telah Allah

swt diamkan) pada asalnya hukumnya boleh(mubah) bahkan perkara baru yang baik dinamakan

bid’ah hasanah atau mahmudah.

25. pada 22 September 2010 pada 5:23 pm | Balas sunan

Pak mutiara zuhud, kalo memang membuat ibadah jenis baru itu boleh dan baik, maka :

– Siapakah yang berhak membuat ibadah model baru?

– Apakah dia sanggup menjelaskan ini pahalanya sekian, ganjarannya di akherat begini dan begitu

(perkara ghaib)?

Saya mau tahu jawaban anda, manusia jenis apa yang mampu membuat, menyusun, dan

menciptakan ibadah baru, tolong jelaskan.

26. pada 28 September 2010 pada 6:03 am | Balas Akh Fillah

Mas MutiaraZuhud, saya mau tanya, batasan seseorang menganggap sesuatu itu sebagai ibadah yang

baik seperti apa..? Apakah saya juga bisa membuat sesuatu yang saya anggap baik..? Misalnya, saya

membuat perayaan tentang kemenangan Perang Badar, karena hal tersebut dapat mengingatkan

ummat akan tentang sebuah peristiwa penting dalam sejarah ummat Islam….

Saya akan merayakan hari kemenangan Perang Badar dengan serangkaian acara yang meriah, ada

pembacaan ayat suci al Quran, lalu membaca sirah Badar, setelah itu diadakan pula tari2an perang

yang menyimbolkan patriotisme para ahlul Badr, setelah itu dilanjutkan dengan dzikir bersama dan

berdoa bersama.. apakah boleh..?

Saya juga akan memperingati hari kekalahan di Medan Uhud, dengan serangkaian acara, yaitu

pembacaan ayat suci al quran yang berkaitan dengan perang Uhud, pembacaan sirah tentang perang

Uhud, lalu dilanjutkan dengan menangis bersama2 dan bersedih atas kekalahan di medan uhud. ya,

mirip2 orang syi’ah dalam merayakan karbala, tapi tidak seekstrem mereka… Apakah diperbolehkan..?

462
Jika diperbolehkan, mengapa..? Dan jika dasarnya kuat saya juga akan membuat hal2 baru yang lain

yang menurut saya baik…

Jika tidak diperbolehkan dan termasuk bid’ah, mengapa..? Bukankah memulai sesuatu yang baik

adalah kebaikan..?

o pada 28 September 2010 pada 8:37 am | Balas mutiarazuhud

Perbuatan memperingati masa lampau untuk pelajaran hari esok termasuk ibadah ghairu mahdah

(ibadah kebaikan).

Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad

Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu (QS al Hasyr [59] : 18 )

Namun yang menjadi hal yang harus diperhatikan adalah bentuk pengisian acara peringatannya,

apakah ada menyalahi larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits ?

27. pada 28 September 2010 pada 8:35 pm | Balas sunan

Pak mutiara zuhud, kalo memang membuat ibadah jenis baru itu boleh dan baik, maka :

– Siapakah yang berhak membuat ibadah model baru?

– Apakah dia sanggup menjelaskan ini pahalanya sekian, ganjarannya di akherat begini dan begitu

(perkara ghaib)?

Saya mau tahu jawaban anda, manusia jenis apa yang mampu membuat, menyusun, dan

menciptakan ibadah baru, tolong jelaskan.

o pada 28 September 2010 pada 9:26 pm | Balas mutiarazuhud

Panggil saja saya Zon, saya tinggal di Jonggol, Kab bogor 16830

463
Prinsipnya adalah:

Perkara baru / bid’ah dalam hal perbuatan/ibadah ibadah mahdah yakni yang hukumnya wajib, baik

wajib ditaati (kewajiban) maupun wajib dijauhi/ditinggalkan (haram – dilarang atau diharamkan)

tertolak (dholalah).

Sedangkan perkara baru / bid’ah dalam hal perbuatan/ibadah ibadah ghairu mahdah yakni

hukumnya boleh, baik perkara boleh-boleh (mubah), boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) atau

boleh-tidak disukai (makruh) adalah boleh atau termasuk perbuatan/ibadah yang Allah swt

diamkan/bolehkan. Perkara baru / bid’ah dalam kategori ibadah ghairu mahdah yang tidak

melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits merupakan perkara baik atau bid’ah hasanah atau

bid’ah mahudah.

Hakikatnya dikatakan amal shaleh / Kebaikan jika menjalankan seluruh perbuatan/ibadah yang

boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan menjauhi seluruh yang boleh-boleh (mubah) dan boleh-

tidak disukai (makruh)

Hakikatnya dikatakan orang beriman jika menjalankan seluruh perbuatan/ibadah yang wajib dan

menghindari seluruh yang dilarang dan yang diharamkan.

Jika seorang muslim menjalankan dan mentaati kedua-duanya sampai akhir hidupnya maka dia

dijanjikan Allah swt untuk masuk surga tanpa hisab sebagaimana firmanNya yang artinya

“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia

dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa

hisab.” (QS Al Mu’min [40]:40 )

dan

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang

yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau

sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124

Sebagai contoh, biasanya kami sampaikan kepada yang merokok bukan bahayanya merokok namun

sampaikan apakah mau masuk surga tanpa dihisab. Intinya kami dalam penyampaian membiasakan

untuk tidak menakuti-nakuti namun menumbuhkan kesadaran mengingat Allah swt dengan

menyampaikan kenikmatan yang akan didapat sesuai janji Allah swt dan Allah swt pasti menepati

janjinya. Innallâha lâ yukhliful mî`âd (sesungguhnya Allah Swt. tidak mengingkari janji-Nya) (QS Ali

Imran [3]:9 )

464
“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:7)

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan

memberikan surga untuk mereka“. (QS At Taubah [9]:111 )

Selengkapnya silahkan baca tulisan

https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/27/gigitlah-sunnah/

28. pada 5 Oktober 2010 pada 5:24 pm | Balas sunan

Jawaban anda ngga nyambung bung.

saya ulangi pertanyaan saya.

Pak mutiara zuhud, kalo memang membuat ibadah jenis baru itu boleh dan baik, maka :

– Siapakah yang berhak membuat ibadah model baru?

– Apakah dia sanggup menjelaskan ini pahalanya sekian, ganjarannya di akherat begini dan begitu

(perkara ghaib)?

Saya mau tahu jawaban anda, manusia jenis apa yang mampu membuat, menyusun, dan

menciptakan ibadah baru, tolong jelaskan.

29. pada 5 Oktober 2010 pada 10:32 pm | Balas Yusuf Ibrahim

Berhubung sepertinya tanggapan-tanggapan saudara ‘mutiarazuhud’ ini sudah mulai banyak yang

rancu, ‘ngambang’, ‘jaka sembung’, mutar-muter, tidak menjawab pertanyaan secara tegas, dan

cenderung itu-itu saja, maka langsung saja saya tarik kesimpulan berdasarkan tanggapan-

tanggapannya bahwa saudara ‘mutiarazuhud’ ini telah :

1. Membuat Islam yang pada awalnya Agama yang tegas aturannya dan jelas batasan-batasannya,

menjadi agama yang rancu dan tidak jelas batasannya dengan membagi ibadah menjadi 2 yakni

ibadah mahdah dann ghairu mahdah sebagai ‘hasil’ penafsiran sendiri dengan tannpa ilmu pastinya.

Padahal tidak ada Salafush Shalih yang membagi ibadah menjadi 2 sebagaimana yang diyakini

‘mutiarazuhud’ ini.

465
2. Menafsirkan Firman Allah dan Sabda Rasul dengan tanpa ilmu dan lebih mengedepankan akal dan

perasaan dalam menafsirkan dalil.

3. Membuat kaidah sendiri yakni membagi perbuatan ketaatan dan perbuatan kebaikan, seolah-olah

kedua-duannya itu berbeda, maka tanyakanlah apakah perbuatan ketaatan bukanlah suatu perbuatan

kebaikan? dan apakah perbuatan kebaikan bukanlah suatu perbuatan ketaatan?

4. Beribadah hanya berdasarkan akal dan perasaan semata. Padahal Agama (Islam) ini adalah agama

yang berdasarkan wahyu Allah yang disampaikan melalui Sunnah Rasulullah, bukan suatu hasil

pemikiran akal dan perasaan semata.

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan

mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S Ali-Imran : 31)

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas setiap

orang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi tidak berada di atas jalan Nabi

Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia dusta dalam pengakuannya mencintai Allah Azza wa

Jalla sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa

sallam dalam setiap perkataan, perbuatan, dan keadaannya.”

Dari Ali bin Abi Thalib Radiallahu anhu berkata :Seandainya agama itu semata-mata menggunakan

akal maka seharusnya yang diusap adalah bagian bawah sepatu daripada bagian atasnya. Sungguh

aku telah melihat Rasulullah mengusap bagian atas kedua sepatunya (diriwayatkan oleh, Imam Abu

Daud No. 162, Imam Baihaqi (1/292), Imam Daruqutni (1/75), Imam Addarimi (1/181), Imam

Baghwai (239) dan dishahihkan Al Hafidz Ibnu Hajar didalam kitabnya At Talkhisu Al Khabir)

Abis bin Rabi’ah, dia berkata : “Aku melihat Umar bin Kahthtab Radhiyallahu‘anhu mencium Hajar

Aswad dan berkata,

“Sungguh aku tahu engkau adalah batu yang tidak bisa memberi mudharat dan tidak bisa memberi

manfaat. Kalau bukan karena aku melihat Rasulullah mencium engkau, maka aku tidak akan

menciummu” [Shahih Targhib wa Tarhib 1/94/41]

Coba perhatikan ! Umar mencium batu tersebut bukan karena kemuliaan batu tersebut dan bukan

karena menghormatinya tetapi Umar mencium karena dia mengikuti sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi

wa sallam (Lihatlah ! betapa Umar Radhiyallahu ‘anhu lebih mendahulukan dalil dengan mencontoh

kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada mendahulukan akalnya. Dan demikian sifat dan

sikap semua para sahabat)

466
Imam Syafi’i berkata,

“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu”

(Ar-Risalah, hal. 507)

Imam Syafi’i juga berkata,

“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (dalam agama, menurut pendapat/akalnya),

sesungguhnya ia telah membuat syari’at (baru)”

(Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya)

o pada 15 November 2010 pada 12:02 pm | Balas ahmadsyahid

buat yusuf ibrahim and all wahabi/salafi

kaidah yang disampaikan mutiara zuhud bukanlah karangan beliau sendiri, itu merupakan

kesimpulan ulama Ahli Sunnah yang betul betul Rosikh fil ilm berikut saya bawakan salah satu

sumbernya

Menurut DR. Abdul karim zaidan dalam bukunya Al- madkhol lidirosati syari`atil Islamiyah bahwa

Secara garis besar Nushusyari`ah baik dari qur`an maupun hadist nabi, kita dapati nushusyari`ah

tersebut mengandung tiga hal

1. masalah Prinsip atau Aqidah seperti iman kepada Allah malaikat kitab dan lain lain masalah

aqidah

2. masalah Akhlak seperti jujur, ikhlas, tepat janji yang bisa kita pelajari dari ilmu akhlak atau

Tashowuf

3. masalah muamalat terbagi menjadi dua : a. hubungan manusia dengan Tuhanya b. hubungan

manusia dengan sesamanya

A. Hubungan manusia dengan tuhannya atau apa yang disebut dengan Ibadah jika kita cermati dalil-

dalil yang berkaitan dengan I`badah kita dapati ibadah itu ada dua :

pertama, Ibadah yang terikat dengan tata cara atau kaifiyat yang digariskan oleh Allah dan Rosulnya

seperti sholat, zakat, puasa haji, dan lain lain ibadah yang diikat dengan tata cara pelaksanaanya

yang disebut dengan ibadah mahdloh

Kedua, Ibadah yang tidak diikat dengan tata cara atau kaifiyat tertentu seperti dzikrulallah, sodaqoh

dan lain – lain ibadah yang tidak terikat dengan tata cara pelaksanaannya atau disebut ibadah

Ghoiru mahdloh.

YUSUF IBRAHIM berkesimpulan ponit 4

Beribadah hanya berdasarkan akal dan perasaan semata dst kesimpulan nt keliru sebab 1. Qur`an

467
dan Hadist untuk orang yang berakal 2. tanpa akal tidak mungkin qur`an hadist bisa dipahami 3.

mutiara zuhud tidak akal akalan seperti yang kita lihat bersama, meskipun di beberapa sisi masih

ada yang belum dipahami.

yusuf ibrahim menukil qoul imam Syafi`i

Imam Syafi’i berkata,

“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu”

(Ar-Risalah, hal. 507) dst.

nt faham tidak apa yang dimaksud oleh imam syafi`i tentang Istihsan ? kalo nt faham nt ga bakal

menukil qoul imam Syafi`i ini untuk menguatkan pendapat nt, sebab yang dimaksud dengan

Istihsan diatas adalah Istihsan Yang Fasid sebagai mana di jelaskan oleh Doktor Wahbah Zuhaili

dalam tulisannya Usul Fiqh Islam dan ulama syafi`iyah lainya menyatakan hal yang sama, jadi

sebaiknya nt banyak blajar dulu lah sebelum berkomentar.

30. pada 5 Oktober 2010 pada 10:36 pm | Balas Yusuf Ibrahim

6. Menganggap semua/setiap perbuatan itu ibadah, padahal tidak semua perbuatan itu dikatakan

ibadah, maka tanyakanlah apakah ‘ngupil’, main remi, main catur, main gaple, apakah itu semua

termasuk ibadah?

7. Meyakini adanya bid’ah hasanah di dalam Islam, maka tanyakanlah apakah batasan-batasan suatu

perbuatan itu dikatakan bid’ah hasanah? apakah setiap perbuatan yang kita anggap baik bisa kita

masukan ke dalam bid’ah hasanah? apakah ada, perkara hasanah yang belum ada di dalam Islam?

8. Jika bid’ah hasanah itu termasuk ibadah yang berpahala dan termasuk bagian dari Islam, maka

tanyakanlah siapa orang yang berhak dan berwenang menciptakan/membuat bid’ah hasanah di dalam

Islam saat ini? dan siapa juga orang yang mampu menjelaskan keutamaan dan pahala dari ‘ibadah’

baru tsb?

9. Meyakini adanya bid’ah hasanah dalam Agama (Islam) ini, berarti secara tidak langsung telah

memberikan catatan kaki terhadap Firman Allah yang berbunyi : “Pada hari ini telah Aku sempurnakan

untuk kalian agama kalian……[1]”

————————————–

[1] Belum sempurna ! masih ada perayaan maulid setiap tahun, tahlilan setiap malam ke sekian dan

sekian, merayakan/memperingati ini dan itu dan lain-lain dan lain-lain……

468
31. pada 5 Oktober 2010 pada 10:39 pm | Balas Yusuf Ibrahim

10. Meyakini bahwa ada ibadah yang Allah diamkan, padahal Allah telah sempurnakan Agama (Islam)

ini tanpa ada yang tertinggal satupun kecuali telah dijelaskan melaliu Rasul-Nya sehingga tidak

memerlukan lagi tambahan sedikitpun,

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku

bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian…..” (Al Maidah : 3)

Imam Malik bin Anas berkata : “Barangsiapa yang melakukan suatu kebid’ahan dan menganggapnya

baik, maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam

telah berkhianat dalam (menyampaikan) risalah. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman:

“Pada hari ini, Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu, dan Aku cukupkan ni’mat-Ku kepadamu,

dan Aku ridla Islam jadi agamamu..”(Al Maidah 3).

Maka, apa-apa yang pada hari itu (turunnya ayat tersebut) bukan termasuk ajaran agama, maka

niscaya tidak akan menjadi ajaran agama pada hari ini.” (al I’stisham oleh Imam asy Syathibi juz

I hal.49)

11. Meyakini bahwa ibadah dzikir dan shalawat boleh dilakukan dengan berbagai cara dan tidak

terikat (tidak harus) mencontoh Rasulullah, seolah-olah Allah dan Rasul-Nya tidak pernah

mengajarkan bagaimana cara dzikir dan shalawat. Jangankan dzikir dan shalawat, buang air saja

diwajibkan/diharuskan mengikuti Sunnah Rasulullah, bagaimana mungkin dzikir dan shalawat tidak

harus mengikuti Rasulullah? kecuali jika saudara ‘mutiarazuhud’ ini ‘cebok’ dengan tangan kanan.

Abû Dzarr radhiyallâhu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam wafat dan tidaklah

burung membolak-balikkan kedua sayapnya di langit kecuali beliau telah menyebutkan ilmu darinya.”

Artinya, perkara sekecil apapun telah diterangkan dalam syariat yang suci ini. Setelah itu, Abû Dzarr

menyebutkan sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah tersisa sesuatu pun yang

mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan kepada kalian.” [H.R.

Ath-Thabarani]

Diriwayatkan oleh Imam Muslim (1/223,262), At Tirmidzi (1/16,24), An Nasai (1/40, 72), Abu Daud

(1/3,7), Ibnu Majah (1/15,115) dari Salman Al Farisi radliyallahu ‘anhu, katanya:

“Seorang musyrik berkata kepadanya sambil mengejek:”Sungguh, saya lihat sahabat kalian ini

469
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam) mengajarkan segala-galanya kepada kalian

sampai urusan buang air besar?”

Salman mengatakan:”Betul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memerintahkan kami

agar tidak menghadap kiblat (Ka’bah) atau memunggunginya ketika buang air besar, dan agar kami

jangan istinja` (cebok) dengan tangan kanan, serta agar kami mencukupkan dengan tiga buah batu

(istijmar) tidak dengan tulang dan kotoran hewan yang kering.”

o pada 15 November 2010 pada 12:54 pm | Balas ahmadsyahid

point 9 dan 10 . yusuf Ibrahim membawakan ayat tentang kesempurnaan agama : “Pada hari ini

telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian

dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian…..” (Al Maidah : 3)

seolah olah orang yang meyakini adanya Bid`ah hasanah telah menentang ayat ini, serta

membawakan qoul Imam malik ra. : “Barangsiapa yang melakukan suatu kebid’ahan dan

menganggapnya baik, maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala

alihi wa sallam telah berkhianat dalam (menyampaikan) risalah.

faham kah yusuf ibrahim dengan yang dimaksud oleh ayat 3 surat maidah tentang sempurnanya

agama ini ?.

faham kah yusuf Ibrahim dengan perkataan Imam malik ra ? yang dia nukil dari al I`tisham, coba nt

pelajari lagi Tafsir tentang ayat 3 surat al-maidah dari kitab kitab yang mu`tabar.

poin 12. yang menentang dan menganjurkan ummat untuk meninggalkan Ibnu taymiyah bukan

hanya mutiara zuhud banyak sekali ulama yang menyatakan hal itu bahkan sejak ibnu taymiyah

masih Hidup, hingga beliau matyi dalam penjara, bahkan kalo nt sudah baca karya karya orsinil ibnu

taymiyah, nt akan dapati Ibnu taymiyah mengkafirkan Ibnu taymiyah sungguh aneh bukan ?

point 13. yusuf ibrahim menganggap sempit pandangan kaum sufi terhadap maksiat meskipun kata

sufi masih diberi tanda kutip, menurut saya yang sempit itu justru nt yusuf Ibrahim karena nt tidak

tahu kaum sufi sebenarnya, dan jika nt menjadikan Asyathibi sebagai salah satu panutan, kenapa

justru nt tidak mengikuti Asyathibi yang banyak menyanjung Kaum sufi ? atau nt hanya milih milih

pendapat ulama seperti Asyathibi hanya untuk mendukung hawa nafsu nt saja ? sementara

pendapatnya yang tidak sesuai dengan hawa nafsu nt, nt tinggalin ?.

untuk ponit ke 14 mas mutiara zuhud sudah mengomentarinya, mohon maaf saya ikut

berkomentar,.

470
32. pada 5 Oktober 2010 pada 10:41 pm | Balas Yusuf Ibrahim

12. Menentang (membantah) bahkan menganjurkan umat muslim untuk meninggalkan seorang

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (guru dari Ibnu Katsir & Ibnu Qayyim Al-Jauziyah) dengan tanpa ilmu

dan kedudukan (siapa ‘mutiarazuhud’? seorang ulamakah?), padahal keilmuan ‘mutiarazuhud’ ini jika

dibandingkan dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ibarat sebutir buih di tengah lautan.

13. Memiliki sudut pandang yang sempit terhadap perbuatan maksiat, karena sepertinya perbuatan

maksiat dimata si sufi ‘mutiarazuhud’ ini hanyalah sebatas minum khamar, judi, zina, dan riba saja.

Sa’id bin Musayyib pernah melihat orang sholat setelah munculnya fajar lebih dari dua rakaat, maka

diapun melarang orang tersebut. Lalu orang itu menjawab: “Wahai Abu Muhammad ! Apakah Allah

akan menyiksaku karena sholat?! Beliau menjawab: Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena

menyelisihi sunnah“. (Riwayat Baihaqi 2/466, ad-Darimi 1/116 dll dengan sanad shohih).

14. Secara tidak langsung telah menuduh para Sahabat lalai dalam melaksanakan/mengerjakan salah

satu amaliah kebaikan yang berpahala dalam Islam yang dianggap baik oleh saudara ‘mutiarazuhud’,

namun tidak dikerjakan oleh para Sahabat seperti merayakan maulid setiap tahun misalnya.

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan dan

perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah.

Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita. Sebab

mereka tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu

melaksanakannya.”

[ Tafsîr Ibni Katsîr (VII/278-279)]

——————————————-

Note :

Imam Syafi’I berkata :

“Kalau seorang belajar tasawuf di waktu pagi, maka pada waktu siang dia telah menjadi orang yang

paling dungu.” (Al Fikru ash Shufi hal.49 & 63 oleh Syaikh Abdurrahman Aabdul Khaliq)

Waallahu ‘alam……

471
o pada 5 Oktober 2010 pada 11:45 pm | Balas mutiarazuhud

Alhamdulillah, panjang sekali komentar yang antum berikan.

Termasuk note dari Imam Syafi’i Rahimullah, namun cara memahaminya yang berbeda.

Terlampau banyak komentarnya, semua sudah saya uraikan dalam tulisan-tulisan silahkan baca

pada

https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/17/kesalahpahaman-bidah/

https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/17/urusan-kami/

https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/23/melampaui-batas/

https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/27/gigitlah-sunnah/

Saya hanya akan mengomentari

14. Secara tidak langsung telah menuduh para Sahabat lalai dalam melaksanakan/mengerjakan

salah satu amaliah kebaikan yang berpahala dalam Islam yang dianggap baik oleh saudara

‘mutiarazuhud’, namun tidak dikerjakan oleh para Sahabat seperti merayakan maulid setiap tahun

misalnya.

Wahai saudaraku, Yusuf Ibrahim.

Apakah perbuatan baik / amal kebaikan yang tidak melanggar larangan/batas dalam Al-Qur’an dan

Hadits walaupun tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw maupun para Sahabat atau Salafush

Sholeh atau tidak pernah dicontohkan ulama salaf ( ingat! berbeda dengan ulama salaf(i) ) bukanlah

perbuatan baik atau amal kebaikan ?

Apakah perbuatan baik / amal kebaikan yang dilakukan kaum muslim pada zaman sekarang maupun

nanti sampai menjelang kiamat dan jelas tidak melanggar larangan/batas dalam Al-Qur’an dan

Hadits, namun belum pernah dicontohkan , bukanlah perbuatan baik atau amal kebaikan ?

Adanya kecenderungan sebagian ulama (tanpa mereka sadari) bersikap

ghuluw/ekstrem/berlebihan/melampaui batas.

Mereka lakukan dengan membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atas mereka

serta mencegah/melarang hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka.

Maknanya mereka mengubah hukum perbuatan yang semula sunnah/mandub menjadi

wajib atau hukum perbuatan yang semula sunnah/mandub menjadi haram/dilarang

472
Contoh ada ulama yang mengharamkan peringatan maulid Nabi saw.

Kalau ada ulama yang mengharamkan/melarang tata cara mengisi peringatan maulid Nabi saw

masih dibenarkan karena dapat kita temukan dalil/hujjah dalam Al-Qur’an dan Hadits, seperti tata

cara peringatan Maulid dengan pesta foya-foya dll.

Contoh lain, keliru jika ada ulama yang melarang/mengharamkan matan/isi sholawat Nabi

berdasarkan ungkapan kecintaan pribadi karena sesungguhnya sholawat itu hukum

dasarnya/awalnya adalah boleh sehingga perkara baru/bid’ah dalam hal ini sejauh tidak melanggar

larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits adalah perkara baik, hasanah atau mahmudah.

Hal yang perlu diinggat bahwa perkara baru (bid’ah) dalam perbuatan/ibadah yang telah Allah swt

diamkan / bolehkan asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits merupakan

perkara baik walaupun perbuatan tersebut tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw, Salafush Sholeh

maupun ulama salaf.

Oleh karenanya ada ulama berpendapat bahwa hadits dhoif dapat digunakan sebagai landasan amal

(ibadah ghairu mahdah ) asalkan matan/isi hadits tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan

Hadits lainnya.

Namun hadits dhoif dilarang untuk landasan hukum perbuatan, baik hukumnya wajib maupun

hukumnya haram

Berikut pemetaan hukum perbuatan/ibadah.

Ibadah mahdah (ibadah ketaatan), ibadah wajib yakni

* wajib dilakukan (perbuatan/ibadah yang hukumnya wajib)

* wajib dihindari (perbuatan/ibadah yang hukumnya haram, berupa yang dilarang dan diharamkan)

Ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan), ibadah boleh yakni

* sebaiknya dilakukan (perbuatan/ibadah yang hukumnya boleh-dianjurkan / sunnah / mandub)

* sebaiknya dihindari (perbuatan/ibadah yang hukumnya boleh-boleh / mubah dan boleh-tidak

disukai / makruh)

Pemetaan perbuatan/ibadah ini diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran dan pemahaman

terhadap segala perbuatan yang akan kita lakukan.

473
Dengan tumbuhnya kesadaran sebelum melakukan perbuatan inilah yang merupakan bagian

akhlakul karimah atau kesadaran mengingat Allah swt.

Sebagaimana yang telah saya sampaikan bahwa akhlakul karimah adalah kesadaran atau

perbuatan/perilaku secara sadar dan mengingat Allah swt.

Dengan pemetaan perbuatan/ibadah ini kita dapat menghindari dari paham sekularisme yang

membolehkan perbuatan memperturutkan kepada hawa nafsu atau menghamba kepada hawa nafsu.

Ingat selalu pepatah orang tua kita dahulu, “Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak

berguna“

Setiap tindakan atau perbuatan itu hendaknya dipikirkan dahulu baik-baik (mengingat Allah,

merujuk kepada petunjukNya) sebelum dikerjakan agar tidak timbul penyesalan di kemudian hari

atau di akhirat kelak.

Wassalam

 pada 16 Oktober 2010 pada 10:41 pm Yusuf Ibrahim

“Apakah perbuatan baik / amal kebaikan yang tidak melanggar larangan/batas dalam Al-Qur’an

dan Hadits WALAUPUN TIDAK PERNAH DICONTOHKAN oleh Rasulullah saw maupun para Sahabat

atau Salafush Sholeh atau tidak pernah dicontohkan ulama salaf ( ingat! berbeda dengan ulama

salaf(i) ) bukanlah perbuatan baik atau amal kebaikan ?”

——————————————

saya balik tanya dulu sebelumnya, apakah ada suatu perbuatan baik/amal kebaikan yang belum

(tidak) pernah dilakukan/dijelaskan/dicontohkan oleh Rasulullah/Sahabat Khulafaur Rasyidin/Para

Sahabat Salafush Shalih?

apa masih kurang jelas perkataan Ibnu Katsir dibawah ini ;

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan

dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah

bid’ah. Karena BILA HAL ITU BAIK, NISCAYA MEREKA AKAN LEBIH DAHULU MELAKUKANNYA

DARIPADA KITA. Sebab MEREKA TIDAK PERNAH MENGABAIKAN SATU KEBAIKAN PUN KECUALI

MEREKA TELAH TERLEBIH DAHULU MELAKSANAKANNYA.”

[ Tafsîr Ibni Katsîr (VII/278-279)]

474
Janganlah suadara membuat pemahaman sendiri dengan berkata bahwa masih ada

perbuatan/amal kebaikan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah dan para Sahabat…….

makanya dari itu saya berkata kepada saudara, jika saudara masih meyakini bahwa masih ada

perbuatan/amal kebaikan yang berpahala yang tidak dicontohkan/dijelaskan Rasulullah dan para

Sahabat, maka itu sama saja saudara telah menuduh mereka telah lalai dalam menjalankan salah

satu amaliah berpahala di dalam Islam…….

Bahkan ekstrimnya sebagaimana perkataan Imam Malik, saudara sama saja telah menuduh

Rasulullah telah berkhianat dalam menyampaikan risalah Allah…..

Ingatlah selalu perkataan Imam Syafi’i,

“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu”

(Ar-Risalah, hal. 507)

 pada 17 Oktober 2010 pada 7:20 am mutiarazuhud

You wrote:

“Saya balik tanya dulu sebelumnya, apakah ada suatu perbuatan baik/amal kebaikan yang belum

(tidak) pernah dilakukan/dijelaskan/dicontohkan oleh Rasulullah/Sahabat Khulafaur Rasyidin/Para

Sahabat Salafush Shalih?”

Baiklah akan kami contohkan bahwa perbuatan baik/amal kebaikan atau perbuatan/ibadah ghairu

mahdah yang tidak melanggar larangan dalam Al-Quran dan Hadits tetaplah sebagai

perbuatan/perkara baik atau hasanah atau mahmudah.

Jika seorang muslim menemukan sebuah penemuan alat atau sistem yang bermanfaat bagi

kebaikan manusia walaupun penemuan itu belum pernah dicontohkan.

Saya memperbaiki mesin cuci tetangga sebelah yang tua renta tetaplah sebagai amal kebaikan

walaupun amal kebaikan ini tidak pernah dicontohkan.

Saya membeli tiket pesawat untuk orang tua saya, tetaplah sebagai amal kebaikan walaupun amal

kebaikan ini tidak pernah dicontohkan.

Kami merasa bahwa masa kehidupan kami telah terlampau jauh dengan masa kehidupan

Rasulullah, maka kami merasa perlu mengingat kembali perjalanan hidup Rasulullah untuk

memotivasi kami meneladani Rasulullah bagi kehidupan kami masa kini dan esok. Sehingga kami

sepakati melakukan pengajian dengan tematik perjalanan kehidupan Rasulullah dan menyesuaikan

475
pelaksanaannya pada bulan kelahiran Rasulullah. Amal kebaikan ini tetaplah amal kebaikan

walaupun tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah

Kullu bid’atin dhalaalah, “Sekalian bid’ah adalah dholalah” .

Sekali lagi kami sampaikan sekalian itu bukan berarti seluruhnya karena sesungguhnya bid’ah

dholalah hanya untuk perbuatan/ibadah mahdah saja . Ibadah Mahdah adalah urusan kami, ibadah

yang telah ditetapkan/disyariatkan/disyaratkan oleh Allah swt baik berupa kewajiban, larangan dan

pengharaman. Semua yang ditetapkan Allah ta’ala telah dijelaskan dan diuraikan oleh Rasulullah

saw.

Contoh lain yang lebih jelas lagi silahkan baca tulisan yang merupakan sebuah tinjauan terhadap

pendapat umum ulama Wahabi/Salaf(i) terhadap sistem pemerintahan kerajaan (monarki) dan

pembiaran para ulama Wahabi terhadap kebijakan umara mereka mengikat perjanjian dengan

kaum kafir.

https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/17/pemimpin-dalam-islam/

33. pada 16 Oktober 2010 pada 8:24 am | Balas sunan

SUFI/TASAWUF/THOREQOT/NU/ atau apapun namamu, telah merubah syariat islam yang sempurna.

Syahadat pertama anda dipertanyakan, kenapa ? anda tidak berdoa langsung kepada Alloh swt.

Syahadat anda yang kedua “ashadu anna muhammadarrosululloh” di pertanyakan, kenapa? anda

sudah tidak menganggap beliau SAW sebagai rasululloh lagi, karena syariat yang beliau bawa anda

rubah, tolak, dan lawan. contoh :

Alloh SWT berfirman : Bedoalah langsung kepadaku

Tasawuf berkata : Berdoalah melalui imam tasawuf yang sudah mati, ada karomah, “Jangan Langsung

ke Alloh”. “ente ngga level”, pake analogi dagelan “kalo mau menghadap presiden melalui mentri

dulu”.

Rasululloh bersabda : Setiap bid’ah sesat

Tasawuf berkata : Bid’ah itu baik (hasanah)

Rasululloh bersabda : Jangan duduk-duduk (bermajelis) di kuburan

Tasawuf berkata : Kuburan di megahkan, dibangun masjid, tempat berdoa.

Rasululloh bersabda : Selisihilah yahudi dan nasrani. (perayaan kelahiran, kematian, dll)

Tasawuf berkata : Rayakanlah kelahiran Nabi SAW, rayakanlah kematian syekh fulan…

476
Ajaran Rasululloh : Berzikir sendiri-sendiri

Ajaran Tasawuf : Berzikirkah berjamaah, lebih afdhol

Rasululloh bersabda : Jangan ada asap, berilah makanan pada keluarga mayit.

Tasawuf berkata : Masaklah selama 7 hari, berikan makanan pada yang mendoakan mayit.

Ajaran Rasululloh : Talqin untuk orang hidup menjelang ajal

Ajaran tasawuf : Talqin untuk mayit.

Rasululloh bersabda : Adzan adalah panggilan sholat

Ajaran Tasawuf : Adzan untuk orang mati, berangkat haji, pindahan rumah.

Ajaran Rasululloh : Membaca Alquran sendiri-sendiri

Ajaran tasawuf : Membaca Alquran berjamaah (koor).

Ajaran Rasululloh : Kuburan rata dengan tanah, atau sejengkal, hanya di beri tanda.

Ajaran tasawuf : Kuburan dibangun megah, apalagi kuburan guru/imam tasawuf seperti istana.

Ajaran Rasululloh : Puasa senin kamis, maksimum puasa daud.

Ajaran Tasawuf : Puasa setiap hari (kyai hos)

Rasululloh bersabda : MUSIK HARAM

Ajaran Tasawuf : Bermusik di masjid, bernyanyi di masjid, sebagian ada yang menari di masjid (tarian

sufi), setelah adzan bernyanyi (mereka bilang puji-pujian). Dan lain-lain, masih banyak.

Fatwa/ajaran dan guru-guru tasawuf sudah cukup untuk membuat agama baru yaitu “AGAMA

TASAWUF” yang sangat berbeda dengan agama Islam yang dibawa oleh Rasululloh saw. Beribadahnya

berbeda, kebiasaannya berbeda, berdoanya pun bukan langsung kepada Alloh yaitu melalui imam

tasawuf yang sudah MATI. Naudzubillahi min zaalik.

o pada 16 Oktober 2010 pada 5:48 pm | Balas mutiarazuhud

Astaghfirullah, begitukah prasangka antum terhadap sesama muslim.

Allah berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,

sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang

lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di

antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik

kepadanya.” (QS 49: 12).

477
Sungguh setiap muslim pada umumnya terproteksi dari kesyirikan bagi mereka yang memahami

ucapan-ucapan yang berulang kali setiap hari, bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah

ta’ala dan bahwa Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam adalah utusan Allah ta’ala. begitu juga

mereka mengulang-ngulang setiap sholat wajib bahwa

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”

(QS Al Fatihah [1]:5 ).

Saudaraku-saudaraku kaum wahabi/salaf(i) sering berprasangka bahwa selain pemahaman mereka

adalah sesat.

Padahal pendapat/pemahaman/pemikiran bisa benar dan bisa salah.

Yang benar hanyalah lafadz/nash-nash/perkataan dalam Al-Qur’an dan Hadits

“Sebenar benar perkataan adalah kitabullah(alquran) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk

Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam..”(HR.Muslim).

Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas) berkata “Setiap (pendapat) dari kita diambil dan ditolak darinya

kecuali pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad

Shollallahu Alaih.

Sebuah kekeliruan jika seorang muslim mengatakan bahwa pendapat/pemahaman/pemikirannya

adalah pasti benar sehingga menjadi fanatik dengan pendapat/pemahaman/pemikiran sendiri

Padahal teknik pemahaman mereka lebih besar kemungkinannya keliru yakni secara tekstual,

harfiah, tersurat menjauhi dari karunia Allah ta’ala yakni pemahaman yang dalam, hikmah, tersirat.

Saudaraku kaum Wahabi mengeneralisir saudara muslim lain dengan apa yang mereka

prasangkakan. Contoh ketika ada seorang muslim mengaku mereka mendalami Tasawuf dalam

ISlam, maka otomatis dipikiran mereka adalah orang-orang thawaf di kuburan, penyembah kuburan,

menjadikan perantara wali dalam pengertian dzhahir dan lain-lain prasangka buruk yang intinya

adalah menuju kesyirikan.

Kalau mau tahu tentang tasawuf dalam Islam adalah

https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/17/2010/07/20/tasawuf-dalam-islam/

https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/17/2010/07/24/mengenal-tasawuf/

https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/17/2010/05/25/istilah-tasawuf/

https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/16/2010/05/07/perlunya-tasawuf/

478
https://mutiarazuhud.wordpress.com/page/2010/04/12/ilmu-tasawuf/

https://mutiarazuhud.wordpress.com/page/2010/05/07/kaum-sufi/

https://mutiarazuhud.wordpress.com/page/2010/05/07/tasawuf-athaillah/

Kalau boleh kami mengingatkan antum, sebaiknya janganlah meremehkan setiap saudara muslim

yang telah bersyahadat.

Ketika Sahabat Usamah RA meremehkan, berprasangka buruk, menyangsikan terhadap orang yang

telah mengucapkan syahadat bahkan telah membunuhnya. Rasulullah saw menegurnya dan berkata

“Halla syaqogta qolbuhu?” Artinya, Apakah engkau telah membelah hatinya, sehingga engkau

mengerti kalau ia bersayahadat karana takut kau bunuh?

Kita sebagai muslim dilarang merendahkan, menghinakan setiap orang yang telah bersyahadat

(muslim)

“Seorang Muslim adalah saudara muslim lainnya, ia tidak menzaliminya, merendahkannya,

menyerahkan (kepada musuh) dan tidak menghinakannya.” (HR. Muslim)

Bahkan merendahkan saudara muslim lain maka kelak tidak akan masuk surga. Naudzubillah min

zalik

“Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan.

kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)

Wassalam

34. pada 17 Oktober 2010 pada 1:03 am | Balas sunan

Justru yang kaum tasawuf rendahkan adalah Alloh swt dan rasulnya, dengan tidak berdoa langsung

kepada Alloh swt, dan merubah syariat yang diajarkan beliau SAW.

Sebenarnya simple saja, beribadhalah, berdoalah hanya kepada Alloh swt saja, dan gunakanlah

tatacara ibadah ala Rasululloh SAW. Agama ini mudah….siap pake, ngga perlu berfilsafat, meditasi,

takwil untuk membuat ibadah jenis baru.

479
o pada 17 Oktober 2010 pada 7:09 am | Balas mutiarazuhud

Siapa yang tidak berdoa langsung kepada Allah swt ?

Kami adalah kaum muslim yang insyaallah selalu memegang teguh pada firmanNya yang artinya:

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”

(QS Al Fatihah [1]:5 ).

Siapa merubah syariat yang diajarkan beliau SAW ?

Kami adalah kaum muslim yang insyaallah selalu teguh pada hukum/perkara ibadah sebagaimana

yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Perbuatan/ibadah yang hukumnya sunnah/mandub maka

kami tetaplah sebagai yang sunnah/mandub. Kita dapa melihat sebagain ulama wahabi/salaf(i)

merubah hukumnya sunnah/mandub menjadi hukumnya wajib atau merupah hukumnya

sunnah/mandub menjadi hukumnya haram (terlarang).

35. pada 18 Oktober 2010 pada 9:31 pm | Balas sunan

Lantas untuk apa kalian membangun bangunan yang megah pada kuburan-kuburan guru kalian?

sebagian dari kalian melakukan safar hanya untuk ke kuburan?

sebagian dari kalian ada yang bertawaf mengelilingi kuburan guru kalian, untuk apa?

Sebagian lagi berwudlu sebelum memasuki kuburan sang guru, apakah ini syariat islam?

Sebagian lagi menganggap ada keutamaan berdoa di kuburan sang guru, tempat mustajab, aturan

dari mana?

o pada 20 Oktober 2010 pada 11:54 am | Balas mutiarazuhud

Kita harus melihatnya kasus per kasus. Sebaiknya tidak mengeneralisir. Bukankah kita tidak bisa

mengatakan bahwa agama Islam itu menghalalkan minuman keras setelah melihat seorang muslim

atau sekelompok muslim tengah meminum minuman keras.

36. pada 1 November 2010 pada 1:13 pm | Balas sunan

480
yang saya jelaskan adalah tentang torekot sufiah yang anda tawarkan. Kuburan mursyid kalian pun

diagungkan, di bangun dengan megah, siapa yang menggeneralisasi masalah ini? saya fokus

membicarakat torekot anda pada khususnya, dan thorekot yang lain pada umum nya

o pada 3 November 2010 pada 9:14 pm | Balas mutiarazuhud

Memang akhi tahu tarekat/manhaj yang saya ikuti ?

 pada 15 November 2010 pada 11:28 am ahmadsyahid

mas mutiara zuhud , tolong di posting sebenarnya manhaj atau metodologi yang digunakan oleh

sekte wahabi salafi dalam memahami Nushusyari`ah seperti apa ? sebab dari sekian banyak

komentar yang di lontarkan oleh pembela wahabi salafi, terlihat ngawur dan fasid, ibarat membuka

sebuah baut rupanya alat yang digunakan bukan kuncinya yang pas, malah bisa jadi baut itu

dibuka paksa menggunakan pahat dan palu, memang sih baut itu bisa dibuka tapi ya rusak dan

tidak bisa dipakai lagi karena dibuka bukan dengan alatnya, jadi tolong mas mutiara zuhud bikin

postingan tentang manhaj atau metodologi yang digunakan kaum wahabi salafi dalam memahami

Qur`an dan Hadist, atau mungkin pengikut wahabi salafi ada yang bisa menyampaikan dan

menjelaskan metodologi mereka ? tapi tolong jangan bilang mengikuti manhaj salaf ya, sebab

manhaj salaf terlau banyak dan masing masing mempunyai metodologi yang berbeda hingga kita

mengenal banyak madzhab waktu itu, sekalian tolong sebutkan sumber hukum bagi mereka apa

saja ? menurut saya ini sangat penting untuk menguji keabsahan metodologi yang mereka

gunakan , apakah lebih mendekati kebenaran atau lebih dekat dengan kesesatan. sebelumnya

saya ucapkan teimakasih

37. pada 11 November 2010 pada 12:47 pm | Balas ahmadsyahid

To all wahabi salafi, Rosulallah salallahu alaihi wasallam tidak pernah melarang peringatan hari

lahirnya ( maulid nabi ) kenapa justru kalian mengaramkannya ? hati hati kalian telah mengharamkan

481
sesuatu yang tidak diharamkan oleh pembawa syarea`t, jika maulid nabi itu haram niscaya Allah

melalui rasulnya akan mengabarkannya kepada kita bahwa maulidan haram jangan dilakukan.

to yusuf ibrahim penisbatan pemahaman kita terhadap nushusyari`ah jangan sekali kali kita katakan

menurut islam bla bla bla sebab itu hanya persepsi kita saja, kecuali pada masalah tertentu yang

datang dengan dalil yang bersifat qoth`i, shorih seperti sholat zakat puasa naik haji haramnya babi dll

yang ada dalil qoth`i dan shorihnya, diluar itu sebaiknya dinisbatkan kepada kita ” menurut

pemahaman saya terhadap nash bla bla bla seperti itulah manhaj salaf dalam mengemukakan

pendapat dalam agama.

38. pada 15 November 2010 pada 12:22 pm | Balas ahmadsyahid

point 6 yusuf ibarahim menolak bahwa semua perbuatan bisa menjadi ibadah, ini menunjukan betapa

minimnya hadist yang dia ketahui, hingga membawakan contoh-contoh perbuatan yang tidak sesuai.

point 7 dan 8. yusuf ibrahim menolak adanya bid`ah Hasanah ini menunjukan minimnya ilmu yang

bersangkutan dalam memahami Hadist hadist tentang Bid`ah.

atau memahaminya tanpa ilmu

o pada 6 Februari 2011 pada 1:42 pm | Balas Yusuf Ibrahim

-ahmadsyahid-

ya sudah…..kalau saja anda lebih memahami hadits tentang bid’ah hasanah, maka saya ingin tau,

siapa orang di jaman sekarang ini yang berhak membuat/menciptakan bid’ah hasanah dalam agama

Islam yang mulia ini?

39. pada 7 Desember 2010 pada 2:13 am | Balas abdullah

Mas Yusuf, saya rasa dalam hal ini penulis masih mencampurkan antara istilah dan bahasa.. jadi

jawabannya ya tetap kesitu aja..

482
40. pada 7 Desember 2010 pada 9:58 pm | Balas Faris

Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak

menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw :

“Barangsiapa membuat – buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya

dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang seam, maka baginya dosanya

dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya”

(Shahih Muslim hadits No.1017. Demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah,

Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi)

o pada 6 Februari 2011 pada 1:50 pm | Balas Yusuf Ibrahim

-faris-

ya sudah…..kalau memang sabda Rasulullah itu diartikan menjadi “Barangsiapa membuat – buat hal

baru yang baik dalam Islam dst………”, lantas saya ingin bertanya seperti pertanyaannya saudara

‘sunan’, kalau begitu, siapa orang yang berhak membuat hal baru tsb dalam agama Islam sekarang

ini? ustadzkah? kiayikah? habibkah? atau setiap muslim berhak membuat perkara baru dalam

agama?

 pada 6 Februari 2011 pada 8:21 pm mutiarazuhud

Antum harus paham bahwa perkara baru dalam agama atau syariat atau perkara yang hukumnya

Wajib atau hukumnya Haram ditetapkan oleh Allah ta’ala dan Allah ta’ala tidak lupa.

Namun ada perkara baru yang merupakan “turunan” dari apa yang telah Allah Azza wa Jalla telah

tetapkan. Inilah yang sekarang ini disebut fatwa ulama. Hal yang perlu diingat fatwa ulama tidak

dikeluarkan secara perorangan atau secara sepihak suatu kaum saja. Namun dilakukan oleh para

halinya dengang merujuk kepada Al-Qur’an, Hadits dan pendapat-pendapat ulama terdahulu yang

jelas sanad ilmu mereka.

483
Sedangkan perkara baru dalam amal kebaikan atau ghairu mahdah, bisa saja muncul atas

kehendak Allah ta’ala sampai hari akhir nanti dan kita meyakini perkara baru berdasarkan Al-

Qur’an dan Hadits berlaku sampai hari akhir nanti. Contoh pada zaman Rasulullah tidak dikenal

istilah fiqih atau sifat 20 Allah, namun semua itu merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits.

Wassalamualikum

 pada 6 Februari 2011 pada 9:32 pm Yusuf Ibrahim

Meyakini adanya bid’ah hasanah dalam agama tentu memiliki konsekuensi, sedangkan pertanyaan

saya tsb merupakan konsekuensi dari keyakinan adanya bid’ah hasanah dalam agama.

Maka dari itu saya selalu bertanya, kalau memang sabda Rasulullah tsb diartikan“Barangsiapa

membuat – buat hal baru yang baik dalam Islam dst………”, lantas siapa orang yang berhak

membuat perkara baru tsb dalam agama ini?

Begitu juga, jika memang membuat perkara baru dalam agama ini memang ada, maka apa

batasan-batasan suatu perbuatan itu dikatakan bid’ah hasanah? karena hasanah menurut kita,

belum tentu hasanah menurut orang lain, begitu juga hasanah menurut orang lain, belum tentu

hasanah menurut Al-Quran dan Sunnah Rasulullah.

Seperti misalnya,

tidak kita ingkari bahwa adzan merupakan hasanah terbesar dalam Islam, salah satu syiar Islam

terbesar adalah adzan, lantas jika seandainya ada orang yang adzan dulu sebelum makan, maka

apakah perkara tsb bisa kita masukan ke dalam bid’ah hasanah?

 pada 7 Februari 2011 pada 8:07 am mutiarazuhud

Bid’ah terhadap sesuatu yang sudah disampaikan oleh Rasulullah ataupun sudah

ditetapkan/disyariatkan oleh Allah ta’ala bukanlah yang dimaksud dengan bid’ah hasanah. Salah

satu contoh bid’ah hasanah adalah tentang Fiqih walaupun tidak dikenal atau tidak disampaikan

oleh Rasulullah namun Fiqih merupakan metodologi yang istimewa dalam memahami Al Qur’an dan

Hadits. Contoh kesalahpahaman ulama kaum Salafi Wahhabi tentang bid’ah selengkapnya silahkan

baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/18/paham-anti-mazhab/

484
41. pada 27 Maret 2011 pada 10:36 pm | Balas Wisnu Wardana

Sulit rasanya memahami alur pemikiran kaum Takfirin/Mujassim ini.

Mereka sering sekali mengatakan tulisan golongan lain sebagai:”Tidak ilmiyah”, atau:”Tidak pakai

logika”, serta tuduhan tuduhan lain yang terkesan “merasa pintar sendiri”.

(Saya sedikit menyitir tulisan diatas”adzan sebelum makan”. Betapa bodohnya ini orang. Adzan itu

maksudnya untuk apa? dan adakah hubungannya dengan makan. Katanya anda pandai, kupas sana,

bahas sini. kasih wejangan ini dan itu. Tapi nyatanya?)

Padahal nyata sekali alur pikiran serta nalar merekalah yang sulit difahami oleh logika umum yang

normal, atau dalm istilah umum sebagai “common sense”.

Sebagai contoh:

Mereka menempatkan “kaum kafir” lebih rendah dari seekor binatang. Misalnya tidak boleh menegur

lebih dahulu, tidak boleh memberi salam lebih dahulu, kalau seorang kafir berjalan didepan kita, harus

didesak dan tidak boleh diberi jalan, dst.

Padahal tidakkah mereka sadari bahwa semua “kenyamanan” yang mereka nikmati selama ini, adalah

sepenuhnya buah karya kaum kafir yang mereka benci sampai keurat lehernya.

Listrik, komputer, ponsel, internet, kendaraan, dst.

Adakah sumbangsih kaum takfirin pada perkembangan dunia modern, selain memecah belah ummat

Islam ?

Kalau kita mengikuti faham kaum mujassim, niscaya bukannya maju, namun akan mundur 14 abad.

Buktinya:

Siapapun tahu dan telah terbukti bahwa dunia ini bulat, namun apa kata Bin Baz? “Dunia ini ceper

seperti piring”.

Juga mereka percayai dengan takzim bahwa:”Matahari tenggelam/terbenam dilumpur hitam.

Kita sudah lama meningalkan konsep (prasejarah) geosentris. Eehh..mereka malah bangga akan

“penemuna baru” dan meyakini bahwa :”Mataharilah yang mengelilingi bumi”.

Sungguh. Dizaman modern ini, masih ada kaum yang mengaku dirinya “Ilmiyah” namun masih

menganut faham purba. Bagaimana bisa maju.

485
Bagaimana pendapat kita kalau melihat ada orang yang memiliki dua buah tangan, namun tangan

kanan semua.

Niscaya akan terbersit pemikiran: “Kasihan, tangannya cacat. Bagaimana caranya dia merengkuh,

memeluk, menggotong, serta kegiatan lainnya yang memerlukan kerjasama tangan kiri dan sekaligus

tangan kanan.

Sampai ahirnya kita akan menyadari betapa sempurnanya Allah menciptakan kedua tangan untuk

digunakan manusia.

Namun bukanlah watak wahabi/salafi kalau tidak “senantiasa terlihat berbeda/unik”. Sebagai rasa

terima kasih yang dalam, mereka “hadiahkan” tuhan, dua buah tangan. Celakanya tangan kanan

semua.

Tidak lupa mereka “suruh” tuhannya naik turun tiap malam dari arasy ke dunia, untuk sekedar

“menengok” kaum mujassim ini.

Nah kalau tiap hari kerjanya tuhan cuma naik turun kedunia, bagaimana tuhan mampu mengurus

sekitar 100 milyar Galaksi, yang masing-masing galaksi memiliki 300 milyar bintang, dan masing-

masing bintang masih memiliki sejumlah planet/tata surya.

Aduuh aduh.

Coba deh pikir. Bagaimana anda bisa bergaul didunia internasional, kalau hanya modal janggut kusut,

celana isbal, sendal jepit dan sejengkal ranting siwak.

Bukan maksud saya hendak merendahkan mereka. Namun merekalah yang merendahkan agama,

golongannya, sekaligus merendahkan tuhannya.

Wallahu’alam.

42. pada 17 April 2011 pada 2:50 pm | Balas Yusuf Ibrahim

mas wisnu wardana :

(Saya sedikit menyitir tulisan diatas”adzan sebelum makan”. Betapa bodohnya ini orang. Adzan itu

maksudnya untuk apa? dan adakah hubungannya dengan makan. Katanya anda pandai, kupas sana,

bahas sini. kasih wejangan ini dan itu. Tapi nyatanya?)

—————————————-

486
mas wisnu wardana yang pintar, itu hanya contoh saja mas, seandainya bid’ah hasanah dalam agama

itu ada, maka saya ingin tanya, apakah adzan sebelum makan bisa kita masukan ke dalam bid’ah

hasanah?

Bukankah org yg adzan di dalam kuburan (pada saat pemakaman) boleh? adzan mengantarkan org

berangkat haji boleh? adzan sebelum memberangkatkan pengantin boleh?…..lalu kalau adzan di

dalam kuburan boleh, adzan sebelum memberangkatkan org haji boleh, maka saya ingin tau, adzan

sebelum makan boleh atau tidak? bolehkah kita masukan perbuatan tsb ke dalam bid’ah hasanah?

dan ini belum terjawab…..

Jadi, pertanyaan saya diatas itu bukanlah bodoh-bodohan, atau tanpa sebab mas, melainkan memiliki

korelasi dengan kenyataan yg memang sudah ada sebelumnya…..

“….tidakkah mereka sadari bahwa semua “kenyamanan” yang mereka nikmati selama ini, adalah

sepenuhnya buah karya kaum kafir yang mereka benci sampai keurat lehernya. Listrik, komputer,

ponsel, internet, kendaraan, dst…..”

—————————————-

terus masalahnya apa mas? intinya apa? apakah kita lantas tidak boleh ‘benci’ dengan orang-orang

kafir?

sekedar mengingatkan saja mas, dalam urusan muamalah atau keduniaan, kita boleh-boleh saja

bermuamalah dengan orang2 kafir mas….Islam itu agama yang adil mas….tidak semua orang kafir itu

harus diperangi….. seharusnya anda sudah akan hal tau…..

“Kita sudah lama meningalkan konsep (prasejarah) geosentris. Eehh..mereka malah bangga akan

“penemuna baru” dan meyakini bahwa :”Mataharilah yang mengelilingi bumi”.

—————————————-

kalo masalah tsb, itu sih terserah anda, anda mau ikut pendapat siapa, kalo anda ingin mengikuti

pendapatnya pythagoras, copernicus, aristoteles, galileo, yaa saya sih silahkan saja…..

bukankah kita ini bebas berpendapat mas? kenapa jika pendapat kita menyelisihi pendapatnya orang-

orang kafir, anda tidak suka? mereka (orang kafir) saja boleh berpendapat, tp knp kita tidak boleh…..?

“Sungguh. Dizaman modern ini, masih ada kaum yang mengaku dirinya “Ilmiyah” namun masih

menganut faham purba. Bagaimana bisa maju.”

———————————

apakah menurut anda orang2 yang mengikuti Al-Quran dan Hadits serta ijma para Sahabat adalah

‘orang purba’?

saya ingin tau, pngertian ‘maju’ yang ada di pikiran anda itu seperti apa ya?

487
“……Tidak lupa mereka “suruh” tuhannya naik turun tiap malam dari arasy ke dunia, untuk sekedar

“menengok” kaum mujassim ini.

Nah kalau tiap hari kerjanya tuhan cuma naik turun kedunia, bagaimana tuhan mampu mengurus

sekitar 100 milyar Galaksi, yang masing-masing galaksi memiliki 300 milyar bintang, dan masing-

masing bintang masih memiliki sejumlah planet/tata surya.”

——————————————–

aduh….aduh……

makanya jangan dibayangin donk mas bagaimana seperti apanya, semakin anda membayangkan

seperti apa dan bagaimana Allah Subhanahu wata’ala bersemayam di Arsy, maka semakin banyak

pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala anda….sehingga semakin banyak syubhat (kerancuan)

yang muncul di dalam otak anda nantinya….

sampai kapanpun, akal anda tidak akan bisa menjangkau kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala mas,

kita cukup meyakini saja akan sifat-sifat Allah Subhanahu wata’ala…..

sebagaimana kisah dari Imam Malik berikut ini,

ketika Imam Malik (wafat th. 179 H) ditanya tentang bagaimana istiwa’ Allah Subhanahu wata’ala,

maka beliau menjawab ;

“Istiwa’-nya Allah ma’lum (sudah diketahui maknanya), dan kaifiatnya tidak dapat dicapai nalar (tidak

dapat diketahui), dan beriman kepadanya wajib, bertanya tentang hal tsb adalah perkara bid’ah, dan

aku tidak melihatmu kecuali dalam kesesatan.”

kemudian Imam Malik menyuruh orang tsb pergi dari majelisnya. (Syarhus Sunnah lil Imaam al-

Baghawi (I/171))

Imam Abu Hanifah :

“Barangsiapa yang mengingkari bahwa Allah Subhanahu wata’ala berada diatas langit, maka ia telah

kafir.” (Mukhtashar al-‘Uluw ‘Aliyyil Ghaffaar (hal.137,no.119)

“Coba deh pikir. Bagaimana anda bisa bergaul didunia internasional, kalau hanya modal janggut

kusut, celana isbal, sendal jepit dan sejengkal ranting siwak…..”

—————————————-

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah satu kaum mengolok-olok kaum yang lain. Boleh jadi

mereka yang diolok-olok lebih baik daripada mereka yang mengolok-olok…….” (Q.S Al-Hujaraat : 11)

488
43. pada 16 Mei 2011 pada 1:25 pm | Balas Kiki

Satu persatu ya mas.

Masalah adzan menjelang makan, atau dipemakaman.

Apakah ada dalilnya yang melarang atau mengharamkannya? kalau ya, tolong sampaikan dalil yang

dimaksud.

Sekarang mengenai interaksi terhadap kaum non muslim.

Dibanyak literatur atau jurnal-2 ilmiah yang dipublikasikan sampai saat ini, nampaknya gambaran

kejam, ganas dan tanpa ampunnya kaum Khawarij terhadap kaum non muslim, bahkan terhadap

ummat Islam sendiri. Dan Khawarij ini merupakan tiga serangkai yang tidak terpisahkan dari Wahabi

dan Salafi. Ibarat faham Trinitas.

Bagaimana tidak, lahir dari rahim yang sama, beribu bapak sama, berkerabat sama, demikian juga

berperilaku sama. Bedanya Khawarij Wahabi sudah mengantongi “Licence to kill”. Sedangkan Salafi

masih digodok dalam kawah Candradimuka, baru sebatas mencoba nyali untuk mengkafirkan sesama

muslim.

Jadi jangan lagi bicara mengenai Ukhuwah Wathoniah, Ukhuwah Islamiyahnya sendiri sangat

diabaikan.

Tegasnya. Ummat Islam yang tidak sefaham, dicap sebagai penyembah kubur, pencinta khurafat,

musyrik, bahkan dituduh kafir.

Sedangkan untuk thogut-thogut non-muslim telah disiapkan berbagai racikan bom, lengkap, mulai

dari LE sampai dengan HEAP.

Itulah contoh tidak adanya konsistensi antara kata dan perbuatan. Orangnya dibunuh, karyanya

dinikmati. Munafik abizz.

Mengenai pendapat matahari mengelilingi bumi, serta

pendapat bahwa Dunia ini datar.

Berpendapat demikian tentunya boleh-boleh saja, tidak ada yang melarang. Antitesa.

Namun kemajuan sains dan teknologi, yang didorong oleh perkembangan akal budi. Berdasarkan

fakta-fakta, telah dapat disimpulkan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari, bukan sebaliknya.

Atau konsep Heliosentris (Copernicus) telah menumbangkan teori purba Geosentris Ptolomeus).

Bilamana pada zaman modern ini, yang kata Alvin Toffler berada pada “era informasi”dimana ilmu

pengetahuan demikian mudah diakses melalui internet, atau jurnal-jurnal ilmiah, dan kita masih

berpegang teguh pada teori purba itu. Apa kata dunia? Antitesa.

489
Inilah salah satu contoh jumud, yang disebabkan oleh taqlid yang membabi buta. Seperti kata

pepatah “Agama tanpa ilmu buta, ilmu tapa agama tuli”.

Apakah menurut anda orang2 yang mengikuti Al-Quran dan Hadits serta ijma para Sahabat adalah

‘orang purba’?

Tentu tidak. Mereka berpandangan sangat jauh kedepan, atau dalam bahasa gaulnya “futuristik”.

Sebaliknya andalah yang telah mempersempit cakrawala luas para pengikut Al-Qur’an, Hadits, serta

Ijma dari para sahabat Rasulullah.

Sebagian diantaranya melalui pemahaman secara literal/letterlijk/tekstual atas Firman-firman Allah

SWT.

Mengenai jisim Allah. SWT.

Kami bukan penganut musyabbih mujassim. Eksistensi Allah sudah dijelaskan didalam sifat 20. Allah

tidak bertempat. Sehingga kami tidak perlu bersusah payah mereka-reka bentuk fisik Allah. Dan

dengan terbata-bata, bersusah payah menjelaskan eksistensi jissim Allah SWT. Yang bagi dirinya

sendiripun merupakan sebuah dogma yang sulit difahami, jangan lagi untuk orang lain.

Eksistensi Allah untuk lebih jelasnya, barangkali bisa dilihat di An-Nur 35.

Dengan “menjisimkan Allah” itu, selain telah merendahkan derajat Allah, juga telah menentang sunat

Allah. Sulit difahami kan?

Kalau memperolok-olokkan, sumbernya bukanlah dari kami, tapi dari kabilah anda sendiri. Bagaimana

menuduh kami sebagai penyembah kubur, pencinta khurafat, musyrik, bahkan dituduh kafir.

Seorang pelacur masih lebih baik daripada penggiat Maulid.

Iblis masih lebih terhormat daripada malaikat.

Berpuluh tahun sudah bergandengan tangan dengan Muhammadiyah, namun tidak pernah pernah

benturan. Lain halnya dengan kaum takfirin ini. Baru berapa tahun saja sudah nampak usaha mereka

untuk memecah belah ummat.

Sungguh, saya concern sekali atas usaha-usaha “Menebar fitnah, merusak aqidah” yang selama ini

dilakukan oleh kaum takfirin secara inten terhadap mereka yang tidak sefaham.

Mereka serasa sudah memiliki surga dengan mengancam ummat Islam yang tidak seaqidah (aqidah

trinitasnya kaum Wahabbi) dengan api neraka.

Padahal apabila kami teliti lebih jauh lagi, siapa itu Ibnu Taymiyyah, Albani, Bin Baz, Fauzan, dll.

Ternyata mereka itu, banyak menyimpan masalah atau setidaknya kontradiksi selama kiprahnya.

490
Wallahu’ alam bishawab.

o pada 25 Mei 2011 pada 8:29 pm | Balas Yusuf Ibrahim

-kiki alias wisnu wardana-

“Masalah adzan menjelang makan, atau dipemakaman.

Apakah ada dalilnya yang melarang atau mengharamkannya? kalau ya, tolong sampaikan dalil yang

dimaksud….”

———————————–

Lah….koq malah nanya? menurut mas wisnu kan saya ini org bodoh, masa’ sampeyan bertanya kpd

orang bodoh sih?

saya ini bertanya, adzan sebelum makan bs kita masukan ke dalam bid’ah hasanah atau tidak?

jawabannya HANYA YA atau TIDAK, jika YA kenapa? jika TIDAK kenapa? apa msh blm jelas

pertanyaan saya?

“Khawarij ini merupakan tiga serangkai yang tidak terpisahkan dari Wahabi dan Salafi. Ibarat faham

Trinitas…”

——————————

jgn lah anda berkata sesuatu yg sebenarnya anda tidak ketahui karena sesungguhnya setiap

perkataan akan dipertanggung jawabkan di akhirat nanti….

bagaimana bisa mas, khawarij disamakan dg salafi-wahhabi? itu kalo ada org khawarij baca, bs

marah dia sama sampeyan…..

ada satu perbedaan yg sangat menonjol dan sangat terkenal antara khawarij dg salafi-wahhabi mas,

dan semoga anda sedang tidak PURA-PURA TIDAK TAU, perbedaan itu sangatlah vital sehingga

TIDAK MUNGKIN keduanya itu bs disamakan….

perbedaan tsb adalah khawarij terkenal mengkafirkan pemerintah dan yg taat kpd pemerintah sama

saja kafir, sedangkan salafi-wahhabi terkenal sangat taat kepada pemerintah (selama tdk diperintah

maksiat), sangking taatnya, mereka sampai-sampai melarang demonstrasi (melarang dg dalil &

hujjah pastinya).

jadi, menyamakan keduanya merupakan satu bentuk ‘PEMAKSAAN’…

491
“….Tegasnya. Ummat Islam yang tidak sefaham, dicap sebagai penyembah kubur, pencinta

khurafat, musyrik, bahkan dituduh kafir….”

————————————————

sebelumnya, mas wisnu ini tau ga syarat-syarat seseorang layak dijatuhi vonis kafir?

“…..Itulah contoh tidak adanya konsistensi antara kata dan perbuatan. Orangnya dibunuh, karyanya

dinikmati. Munafik abizz.”

————————————-

sbnrnya mas wisnu ini lg ngomongin siapa sih? khawarij atau salafi-wahhabi?

kalo yg dimaksud salafi-wahhabi, tentu ini merupakan tuduhan yg keji, karena saya yg seorang

salafi-wahhabi ini selalu diajarkan di majelis-majelis ilmu satu hadits shahih dari Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wasallam,

” Barangsiapa yang membunuh kafir mu’ahad, ia tidak akan mencium bau surga, dan sesungguhnya

bau surga itu tercium dari perjalanan 40 tahun ” . [HR. Al-Bukhary dalam Shohih-nya (3166)]

Liat mas ! membunuh orang kafir, apalagi membinuh seorang muslim?

“Kami bukan penganut musyabbih mujassim. Eksistensi Allah sudah dijelaskan didalam sifat 20.

Allah tidak bertempat…..”

———————————–

Jika Allah Subhanahu wata’ala tidak bertempat, lantas bagaimana hukum bertanya ‘DIMANA

ALLAH?’, bukankah pertanyaan ‘DIMANA’ menunjukan bahwa org yg bertanya tsb meyakini bahwa

apa yg ditanyakannya itu memiliki tempat?

Lantas bagaimana dengan org yg selalu berkata ; ‘semuanya tergantung sama yg diatas’?

“Seorang pelacur masih lebih baik daripada penggiat Maulid….”

————————————–

kalo lebih baik, menurut saya tidak ada yg baik antara keduanya, yg pasti seorang pelacur

mempunyai kans utk bertobat jauh lebih besar ketimbang ‘aktivis’ maulid, karena seorang pelacur

mengetahui bahwa perbuatannya itu salah, sedangkan ‘aktivis’ maulid merasa bahwa perbuatannya

tsb benar, sehingga kans utk taubat seorang pelacur lebih besar…..paham?

“Iblis masih lebih terhormat daripada malaikat…”

——————————

itu sih kata sampeyan mas, tidak ada seorang muslim yg msh sehat akalnya yg berkata demikian….

“Padahal apabila kami teliti lebih jauh lagi, siapa itu Ibnu Taymiyyah, Albani, Bin Baz, Fauzan, dll.

Ternyata mereka itu, banyak menyimpan masalah atau setidaknya kontradiksi selama kiprahnya….”

—————————————————

492
tidak perlulah anda menjelek-jelekkan ulama, apalagi ulamanya itu sekaliber Syaikhul Islam Ibnu

Taimiyah…..jika dibandingkan dg beliau, ilmu anda itu ibarat buih di tengah lautan mas…..apa

kapasitas anda merendahkan beliau? sudah setara kah ilmu anda dg beliau?

sekedar perbandingan, sudahkah anda atau guru anda turun langsung di medan perang jihad?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sudah melakukannya di perang Tartar melawan pasukan Mongol…..

mampukah anda atau guru anda melahirkan murid-murid sekaliber Ibnu Katsir, Ibnu Jauzy, Imam

AdzDzhabi?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sudah melakukanya….

 pada 25 Mei 2011 pada 9:25 pm mutiarazuhud

Mas Yusuf Islam, kami sekedar menyampaikan kesalahpahaman-kesalahpahaman saja koq

 pada 26 Mei 2011 pada 11:09 pm Yusuf Ibrahim

-mutiarazuhud-

Begitu pun jg saya mas, saya jg disini ingin meluruskan kesalah pahaman-kesalah pahaman

sebagian besar kaum muslimin ttg salafi-wahhabi…..

bnyk org yg bilang salafi-wahhabi itu begini dan begitu….

bahkan saya sering kali berdiskusi di blog ‘anti-wahhabi’, di blog itu ‘wahhabi’ digambarkan sangat

menakutkan, suka mengkafirkan seorg muslim, menghalalkan darah, berbicara kasar dan lain lain

dan lain lain banyak sekali….akan tetapi ketika saya meminta utk menunjukan satu saja bukti ;

‘apakah ada perkataan saya yg seorg wahhabi ini yg menggambarkan tuduhan2 tsb?’, maka tidak

ada satupun org yg mampu membuktikannya, yg ada jawabannya kemana-mana…..

 pada 27 Mei 2011 pada 5:02 am mutiarazuhud

Mas Yusuf Ibrahim, ulama yang suka meng-ahlul bid’ahkan orang yang telah bersyahadat adalah

termasuk yang mengkafirkan seorang muslim karena segala kesesatan tempatnya di neraka.

Meng-ahlul bid’ah-kan adalah bahasa halus dari pen-takfir-an.

493
Cobalah periksa sejarah berapa jiwa muslim yang terbunuh hanya karena telah dianggap ahlul

bid’ah atau kafir.

Janganlah fanatik dengan ulama sehingga kita menutup mata hati kita sendiri.

 pada 28 Mei 2011 pada 12:02 am Yusuf Ibrahim

Coba pelajari kembali om…..

tidak selamanya pelaku kebid’ahan itu lantas langsung divonis ahlul bid’ah, dan tidak selamanya

org yg melakukan kesyirikan lantas langsung di vonis musyrik serta tidak selamanya org yg

berbuat kekufuran lantas langsung di vonis kafir……pahami….pahami dan pahami kembali….jangan

menutup mata terhadap ilmu, karena sesungguhnya ilmu Allah Subhanahu wata’ala itu luas….siapa

yg sebenarnya disini yg taklid membabi buta?

saya katakan dg tegas bahwa tidak selamanya org yg melakukan kebid’ahan, kesyirikan atau

kekufuran lantas kita vonis org tsb ahlul bid’ah, musyrik dan kafir….TIDAK ! TIDAK SAMA SEKALI,

karena banyak hal-hal yg perlu dipertimbangkan dalam memvonis individu per individunya…..

ada kaidah-kaidah sebelum memvonis orangnya…

Adapun memvonis perbuatannya, tidak lantas langsung memvonis orang yg

melakukannya…..karena bisa saja org yg melakukan kebid’ahan, kesyirikan dan kekufuran tsb

masih belum tahu kalo perbuatan tsb bid’ah, syirik dan kufur karena mungkin saja org tsb msh

memiliki ‘syubhat’ (kerancuan) di dalam otaknya atau mungkn minimnya ilmu yg dimilikinya

sehingga vonis thd org tidak bisa dijatuhi begitu saja atau bisa jg org yg melakukan perbuatan tsb

dilakukan diatas ancaman dll msh bnyak lg sebab-sebabnya…..maka hal tsb msh diberi uzur, dan

tidak langsung divonis orangnya…..

lain halnya jika yg melakukan kebid’ahan, kesyirikan, dan kekufuran tsb adalah orang2 yg sudah

tau (sampai dakwah kepadanya) kalo perbuatan tsb bid’ah, syirik, dan kufur, orang2 tsb berakal

(tidak gila), baligh, dalam keadaan merdeka (tidak sedang dlm ancaman), sudah dinasihati dll,

maka vonis thd orangnya bisa saja ‘jatuh’, akan tetapi itupun yg berhak memvonis org tsb adalah

ulama.

Mengenai vonis masuk nerakanya, itu adalah hak Allah Subhanahu wata’ala…..jadi tidak ada disini

yg mengatakan si A masuk neraka, si B masuk neraka, atau si fulan masuk neraka…..TIDAK ADA !

jika Allah Subhanahu wata’ala mau memaafkan, maka tidak ada satupun makhluk yg bisa

mencegahnya….

494
Yang ada adalah jika kita melakukan perbuatan syirik, maka kita akan terancam masuk neraka dan

kekal di dalamnya jika sebelum wafat kita belum bertaubat….

Mengenai istilah om zuhud ; “Meng-ahlul bid’ah-kan adalah bahasa halus dari pen-takfir-an….”

tentu itu merupakan ungkapan tanpa ilmu yg didasari perasaan saja, tentu berbeda jauh sekali om

antara perbuatan bid’ah dengan perbuatan kufur……

44. pada 16 Mei 2011 pada 9:35 pm | Balas Wisnu Wardana

Menakutkan

Betapa menakutkan serta menyeramkannya bilamana kaum kawarij-salafi-wahabi (kasawah) sampai

menguasai dunia. Jauh lebih dahsyat dari apa yang mampu kita perkirakan.

Kejahiliyahan para penguasa Saudi Arabia, yang sudah kita kenal selama ini, mungkin tidak sebanding

dengan sepak terjang mereka dikemudian hari.

Seni budaya tidak berkembang karena diharamkan, sehingga banyak fakultas yang ditutup,

diantaranya jurusan sinematografi, koreografi, dsb. Pagelaran musik, pertunjukan film, pameran

busana, dilarang. Sehingga gedung-gedung pertemuan atau gedung pertunjukan kesenian banyak

yang tutup. Demikian juga dengan gedung pertunjukan film, dan konservatori.

Buku-buku geografi direvisi total

Tidak boleh ada lagi pendapat yang menyatakan bahwa bumi ini bulat. Tidak boleh ada lagi pendapat

yang menyatakan bahwa bumi ini mengelilingi matahari. karena semua itu merupakan perbuatan

kufur.

Bumi harus berbentuk ceper seperti permukaan meja, dan matarilah yang mengelilingi bumi. Karena

semua itu merupakan fatwa yang telah disampaikan oleh ulama ulama Wahabi.

Tidak peduli ilmu pengetahuan dan sains berpendapat lain.

Mereka harus tetap berpegang teguh, bahkan bila perlu, fatwa sang ulama itu digigit dengan gigi

gerahamnya.

Globe (miniatur bola dunia) dimusnahkan. GPS, Glonas, dan Google Earth, dilarang dipergunakan.

Karena semua itu merupakan representasi dari wujud dunia yang bulat.

495
Setiap pesawat yang sedang terbang tinggi, terutama bagi pesawat antar benua, harus menutup

seluruh tirai jendelanya. Karena takut penumpang mengintip keluar, dan melihat kenyataan, bahwa

dunia ini bulat.

Pabrik rokok harus ditutup, karena rokok merupakan barang haram. Namun ini barangkali satu-

satunya berita baik untuk kita semua.

Bursa saham, bursa efek, serta perdagangan porto folio lainnya harus ditutup. Karena mengandung

riba, dan itu haram hukumnya.

Demikian pula dengan ratusan Bank Bank konvensional, dengan ribuan cabang-cabangnya, terpaksa

harus ditutup. Karena itupun riba, dan hukumnya sudah jelas haram.

Yang lebih menyedihkan, kita tidak akan lagi mendengar lantunan indah ayat-ayat suci al-Qur’an,

demikian juga panggilan shalat melalui indahnya lantunan adzan yang menyelinap jauh kerelung hati.

Itu baru sebagian, yang lainnya masih banyak lagi.

Semoga itu tidak akan pernah terjadi. Wallahu alam bishawab.

496

Anda mungkin juga menyukai