Ibadah Tidak Diterima
Ibadah Tidak Diterima
Awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti
Mereka yang belum mengenal Allah (makrifatullah) dapat disebabkan karena mereka memahami apa
yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau
Akibat mereka dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang
pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir adalah ibadah mereka
tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla karena ibadah mereka bukan kepada Tuhan yang sebenarnya,
layaknya orang yang menyekutukan Tuhan karena beribadah kepada tuhan yang disangkakan
Imam Ja’far As Shadiq berkata : “Barang siapa yang mengatakan bahwa Tuhan bertempat di mana
mana atau bertempat di atas sesuatu atau berasal daripada sesuatu maka dia telah syirik”
Mereka beribadah kepada sesuatu yang diyakininya (dii’tiqodkan) bersandarkan selalu berpegang
pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sebagaimana contoh
allah-swt-itu/
2] Allah Ta’ala itu berada di tempat yang paling tinggi (‘Arsy), dan seseorang yang berada di dataran
tinggi lebih dekat jaraknya dengan Allah Ta’ala ketimbang orang yang berada di dataran rendah;
3] Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘arsy mirip seperti bulan; Bulan itu bertempat di langit, namun dia
bersama kita, walaupun kita berjalan ke perkotaan; ke perkampungan; ke puncak gunung; ke puncak
bukit; ke tengah lautan luas; ataupun ke pemukiman penduduk, namun bulan selalu bersama-sama
1
dengan kita semua. Begitu juga dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bertempat di atas ‘arsy-Nya,
18] Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk berduaan dengan Allah Ta’ala;
20] Allah Ta’ala turun ke langit dunia serupa dengan seseorang yang baru turun satu tingkat dari atas
mimbar;
21] Kalo Allah Ta’ala berkehendak, niscaya Dia akan bersemayam di atas punggung nyamuk;
Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa tuhan mereka berambut keriting dan berpakaian warna
hijau,
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar
Silahkan periksa tulisan dari kalangan ulama panutan mereka, Abdul Hakim bin Amir Abdat seperti
2
Silahkan baca pula informasi tentang pendapat ulama panutan mereka lainnya, Ibn Baz (Muhammad
bin Abdul Aziz bin Baz) bahwa kedua tangan Allah adalah kanan, seperti yang disampaikan
pada http://abuolifa.wordpress.com/2012/12/21/menurut-wahabi-salafi-allah-memiliki-dua-tangan-
keduanya-adalah-kanan/
Dalam kitab yang berjudul Fatawa al Aqidah karya Muhammad ibn Shalih al Utsaimin hal. 112 ia
mengatakan: “Sesungguhnya Allah datang dengan sebenar-benar datang.” Dan pada hal. 114 ia
mengatakan: “Sesungguhnya dhahirnya terdapat kedatangan Allah dengan bergegas dan ini tidak
Ibnu Utsaimin berkata, “Mazhab Ahlussunah adalah: Bahwa Allah memiliki dua mata, Dia melihat
dengan keduanya secara hakikat sesuai dengan kedudukan yang layak bagi-Nya. Keduanya
Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjelaskan: “Wajah (Allah) merupakan sifat yang terbukti
keberadaannya berdasarkan dalil Al-Kitab, As-Sunnah dan kesepakatan ulama salaf.” Kemudian beliau
menyebutkan ayat ke-27 dalam surat Ar-Rahman… (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 48)
Dan dalam kitab yang berjudul Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah cetakan Yayasan Cordoba al Andalus
hal. 14-15 Ibn Utsaimin mengatakan: “Kami beriman bahwa Allah memiliki dua mata dengan
sebenarnya”. Ia juga mengatakan: “Ahlussunnah telah bersepakat bahwa mataNya ada dua”.
Dalam kitab yang berjudul Tafsir ayat al Kursiy karya Muhammad ibn Utsaimin hal. 27 disebutkan:
“Dan kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah azza wa jalla.”
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa)
yang diketuai Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dalam fatwa Nomor 2331 menetapkan bahwa Nabi
Adam AS diciptakan dalam bentuk Allah Yang Maha Pengasih sebagaimana yang telah diarsip
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/07/dalam-bentuknya/
Berikut contoh orang-orang yang belajar agama di wilayah kerajaan dinasti Saudi yang dipaksakan
untuk mengikuti ajaran Wahabi sebagaimana yang dapat saksikan dalam video
Berikut transkriptnya,
“Ya sudah kalau kita apa, misalkan tangan Allah, ya sudah itu tangan Allah.
3
Allah punya tangan akan tetapi apakah tangan Allah seperti tangan makhluk ? tidak.
Sedangkan sama sama makhluknya Allah subhanahu wa ta’ala, kaki gajah dengan kaki semut ndak
sama. Sama-sama kaki namanya. Kaki meja dengan kaki kamera ini yang untuk tahan sandaran ini,
ndak sama.
Apalagi tangan Allah subhanahu wa ta’ala dengan tangan makhluknya ndak sama karena Allah
Subhanahu wa ta’ala berfirman “Laisa kamitslihi syai’un wahuwa samii’u bashiir” tidak ada yang sama
dengan Allah subhanahu wa ta’ala, apapun di dunia ini, adapun kalau sama namanya ndak sama
Mereka mengatakan bahwa “kaki gajah dan kaki semut tidak sama walaupun sama-sama kaki
namanya. Begitupula kaki meja dan kaki kamera yang untuk sandaran juga tidak sama walaupun
Anggota badan yang menopang tubuh dan dipakai untuk berjalan (dari pangkal paha ke bawah),
kaki langit, batas pandangan secara horizontal yang seolah-olah langit bagian bawah berbatas dengan
Bagian suatu benda yang menjadi penopang (penyangga) yang berfungsi sebagai kaki seperti kaki
kaki tiga, penyangga (pada kamera dan sebagainya) yang terdiri atas tiga batang yang dapat dilipat
(tripod)
Jadi walaupun kaki manusia, kaki meja, kaki kursi, kaki kamera berbeda bentuk dan ukurannya
namun mempunyai sifat yang sama yakni bagian bawah, untuk penopang (penyangga) sedangkan
Allah Ta’ala “Laisa kamitslihi syaiun” tidak serupa dengan makhlukNya dari sisi apapun.
4
Mereka lupa bahwa walaupun bentuk dan ukuran kakinya berbeda, sifat kaki bagi kaki semut, kaki
gajah, kaki meja atau kaki kamera adalah untuk menopang sesuatu yang mempunyai suatu bentuk
serta ukuran.
Jika tidak menopang sesuatu maka tidak disifatkan dengan kaki seperti kaki semut, kaki gajah, kaki
Jadi mereka mensifatkan yang tidak dilayak bagi Allah yakni sifat kaki, suatu bagian yang menopang
sesuatu yang mempunyai suatu bentuk serta ukuran walaupun dikatakan bentuknya tidak serupa
dengan makhlukNya sedangkan bentuk dan ukuran adalah sifat makhluq bukan sifat Allah Ta’ala.
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh
disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-
sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata
dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang)
“Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui
(belum mengenal) Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (Diriwayatkan oleh Abu
َص ُّح ْال ِعبَادَة ُ إالّ بَ ْعدَ َم ْع ِرفَ ِة ْال َم ْعب ُْو ِد
ِ الَ ت
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib
disembah”.
KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu
faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang
Berikut kutipannya
5
***** awal kutipan *****
===========================
Ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat Allah dan para rasul-Nya, baik sifat-sifat yang wajib,
mustahil maupun ja’iz, yang jumlah semuanya ada 50 sifat. Sifat yang wajib bagi Allah ada 20 sifat
dan sifat yang mustahil ada 20 sifat serta sifat yang ja’iz ada 1 sifat. Begitupula sifat yang wajib bagi
para rasul ada 4 sifat (sidiq. tabligh, amanah, dan fathanah) dan sifat yang mustahil ada 4 sifat (kidzb
/ bohong, kitman / menyembunyikan, khianat, dan bodoh) serta sifat yang ja’iz ada 1 sifat. 50 sifat ini
2. Objek atau Sasaran Ilmu Tauhid ()موضوعه: Dzat Allah dan sifat-sifat Allah.
3. Pelopor atau Pencipta Ilmu Tauhid ()واضعاه: Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (260 H – 330 H / 873 M –
947 M ) dan Imam Abul Manshur Al-Mathuridi ( 238 – 333 H / 852 – 944 M ).
4. Hukum Mempelajari Ilmu Tauhid ()حكمه: Wajib ‘ain dengan dalil ijmali (global) dan wajib kifayah
5. Nama Ilmu Tauhid ()اسمه: Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Kalam dan Ilmu ‘Aqa’id.
6. Hubungan Ilmu Tauhid dengan Ilmu-ilmu lain ()نسبته: Asal untuk ilmu-ilmu agama dan cabang untuk
ilmu selainnya.
7. Masalah-masalah Ilmu Tauhid ()مسائله: Sifat-sifat wajib, mustahil, dan ja’iz bagi Allah swt dan para
Rasul-Nya.
8. Pengambilan Ilmu Tauhid ()استمداده: Diambil dari Al-Qur’an, Al-Hadits, dan akal yang sehat.
9. Faedah Ilmu Tauhid ()فائدته: Supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia.
10. Puncak Mempelajari Ilmu Tauhid ()غايته: Memperoleh kebahagian, baik di dunia maupun akherat
dan mendapat ridha dari Allah swt serta mendapat tempat di surga.
Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah)
dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana mengenal Allah yang
merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat
6
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat pula kita pergunakan
sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.
Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaima yang
Dalam masalah i’tiqod di antara mazhab yang empat tidak ada perbedaan karena i’tiqod bukanlah
masalah yang bersifat furu’iyyah. Kesalahpahaman dalam i’tiqod menyebabkan terjerumus kekufuran
dalam i’tiqod
Pada kenyataannya mereka mengikuti orang-orang yang semula bermazhab Hambali yang menjadi
imam atau guru besar kaum musyabbihah yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah dari sudut
artinya saja atau memahaminya dengan selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir)
seperti,
1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin Ali al-Baghdadial-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-
Hanbali. Beliau ini pengarangbuku ushuluddin yang bernama “syarah usuluddin” dimana diuraikan
2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmadal-Baghdadi al-Hanbali, dikenal
dengan sebutan Abu Ya’la al-Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H. Beliau ini banyak mengarang
kitab Usuluddin yang banyak menyampaikan tentang tasybih. Ada ulama mengatakan bahwa “Aib
yang dibuat Abu Ya’ala ini tidak dapat dibersihkan dengan air sebanyak air laut sekalipun”.
3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Nashr az-Zaghunial-Hanbali, wafat 527 H. Beliau ini pengarang
sebuah buku dalam usuluddin yangberjudul “Al Idah”, di mana banyak diterangkan soal tasybih dan
tajsim.
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi
as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab
menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama yang semula Hanabila yang merupakan guru guru besar
7
***** awal kutipan ****
Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن هلل خلق
” ءادمعلى صورته, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga
menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata,mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya,
dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki.
Sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah
memiliki kepala”,
Mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa
mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”.
Lalu–dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal).
Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara
yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli
Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat
tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li”
Mereka dapat terjerumus bertasyabuh dengan kaum Yahudi karena memahami apa yang telah Allah
Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya dan apa yang telah disampaikan oleh lisan RasulNya
selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir.
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy
dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada
Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari,
seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan
semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang
8
raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang
artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits diatas sebagai bukti
pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah
kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “ وما
“( ” قدروا هللا حق قدرهDan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az
Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Jikalau beri’tiqod (beraqidah) selalu dengan makna dzahir (selalu berpegang pada nash secara dzahir)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian
jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut
Ibn Al Jawzi berkata , “Hadits ini menunjukan bahwa hati setiap manusia di bawah kekuasaan Allah.
Ketika diungkapkan “” بين أصبعين,artinya bahwa Allah sepenuhnya menguasai hati tersebut dan Allah
Dari Syahru bin Hausyab berkata; saya telah mendengar Ummu Salamah meceritakan bahwa
muqallibalqulubtsabit qalbi ‘ala dini (Ya Allah,yang membolak balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas
agamamu). Ia berkata;saya berkata; “Wahai Rasululah! Apakah hati itu berbolak balik?” beliau
menjawab: “Ya, tidaklah ciptaan Allah dari manusia anak keturunan Adam kecuali hatinya berada di
antara dua jari dari jari-jari Allah. Bila Allah Azza wa Kalla berkehendak, Ia akan meluruskannya, dan
jika Allah berkehendak,Ia akan menyesatkannya. Maka kami memohon kepada Allah; ‘Wahai Tuhan
kami,janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah kami diberi petunjuk.’ Dan kami memohon
kepada-Nya supaya memberikan kepada kita rahmat dari sisinya, sesungguhnya dia adalah Maha
Mereka yang beri’tiqod bahwa Tuhan memiliki dua mata berdalilkan salah satunya dengan sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Ketahuilah bahwasanya dajjal itu buta sebelah, sedang rabb
kalian tidak buta sebelah, tertulis diantara kedua matanya KAFIR” (HR Bukhari)
9
Dajjal memiliki mata yang buta sebelah bukanlah menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla memiliki
dua mata namun Dajjal memiliki mata yang buta sebelah dan tertulis diantara kedua matanya KAFIR
adalah menunjukkan ketidakberdayaannya sehingga dengan keadaan Dajjal tersebut maka kita dapat
Ibn al Jawzi menyampaikan bahwa “Mereka yang menyimpulkan bahwa Allah memiliki dua mata
hanya karena didasarkan kepada makna dzahir hadits Nabi: ”” ليس بأعور, [makna dzahir hadits ini
mengatakan ”Allah tidak buta”] padahal yang dimaksud hadits tersebut adalah untuk menjelaskan
bahwa Allah maha suci dari segala bentuk kekurangan, cela dan aib, sedikitpun bukan untuk
menetapkan bahwa Allah memiliki anggota-anggota badan dan atau memiliki bagian-bagian. Seorang
yang berkeyakinan tanzîh maka dia akan paham bahwa al-’ain pada hak Allah yang dimaksud bukan
sebagai anggota badan dan bukan sebagai bagian dari Dzat-Nya [karena Allah maha suci dari bagian-
bagian].
Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah
kaki seperti
“Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang dapat
memperkirakan ukurannya.”
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat
Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa
riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa
hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa
hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah
Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah
bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki
10
Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada
Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya
Bahkan kitab Al Qur’an dan Terjemah yang disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi telah
mengalami perubahan/ penambahan/ distorsi yang menyimpang dan tidak sesuai lagi dengan
terjemah dan tafsir dari Dewan Penterjemah Depag RI sebagaimana yang telah disampaikan
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/08/01/perubahan-terjemahan/
wahabi.jpg
Pada bagian footnote dalam mushaf Al Qur’an dan Terjemahnya yang diterbitkan Arab Saudi tertulis:
“Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassir mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang mengartikan
kekuasaanNya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” adalah tempat letak telapak Kaki-Nya.”
Salafush Sholeh terhadap ayat-ayat sifat mereka tidak memahaminya dengan makna dzahir namun
أمروها كما جاءت بال تفسير: سألت األوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن األحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي: قال الوليد بن مسلم
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin
Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-
ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya.
Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
11
Begitupula ketika ada orang yang mengutip perkataan atau pendapat Imam Mazhab yang empat dan
para pengikutnya terkait ayat-ayat sifat maka kita harus dapat membedakan apakah perkataan atau
pendapat tersebut berfungsi menyampaikan untuk menjelaskan atau sekedar ‘ala sabilil hikayah,
menetapkan lafazhnya (itsbatul lafzhi) saja; yaitu hanya mengucapkan kembali apa yang diucapkan
oleh al Qur’an. Tidak lebih dari itu yaitu tidak memaknakan (tafsir) atau tidak menetapkan maknanya
(itsbatul ma’na) seperti Tuhan memiliki dua mata, dua kaki, dua tangan dan kedua-duanya kanan dan
lain lain.
Terhadap lafazh-lafazh ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih
tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di
dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan
membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk
Al Qur’an dan As Sunnah diturunkan Allah Azza wa Jalla dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi.
Nash-nash yang fushahah dapat kita pahami dengan makna dzahir namun nash-nash yang balaghah
tidak selalu dapat dipahami dengan makna dzahir melainkan dengan makna majaz (metaforis)
Makna dzahir atau makna harfiah atau makna literal atau makna indrawi atau makna apa yang tertulis
(tersurat) atau makna leksilkal yakni makna dasar yang terdapat pada setiap kata atau kalimat atau
makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lain dalam sebuah susunan kata atau
kalimat.
Sedangkan makna majaz (makna kiasan) adalah termasuk makna bathin atau makna di balik yang
tertulis atau makna di balik yang tersurat (makna tersirat) atau makna yang terkait dengan makna
gramatikal yakni makna turunan atau makna kata yang terbentuk karena penggunaan kata tersebut
dalam kaitannya dengan tata bahasa. Makna gramatikal muncul karena kaidah tata bahasa, seperti
afiksasi, pembentukan kata majemuk, penggunaan atau susunan kata dalam kalimat dan lain lain
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa Al-Haditsiyyah menisbahkan kepada Imam Ibn
‘Uyainah, beliau berkata: “Hadits itu menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab tersebut lalu mensyarahkan perkataan itu:
“Sesungguhnya hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut
bahwa keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya, bahkan
12
ada juga yang mengandung nasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya. Bahkan dalam
hadits juga mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu
Rabbuna… yang mana tidak diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha’ (ahli fiqh). Berbeda
dengan mereka yang sekedar mengetahui apa yang dzahir daripada hadits-hadits (khususnya
mutasyabihat) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-hadits mutasyabihat dengan makna
dzahir) pun sesat seperti yang berlaku pada sebahagian ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti
Di atas, Imam Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa hadits itu dapat menyesatkan kecuali bagi
para fuqaha (ahli fiqih) seperti hadits yang mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya (jika dipahami
selalu dengan makna dzahir) membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… dan
Berikut contoh kutipan penjelasan tentang pola pemahaman Ibnu Taimiyyah yang diikuti oleh
dari http://ustadchandra.wordpress.com/2010/02/13/sosok-dan-pemikiran-ibn-taimiyah/
Berikut kutipannya
Pemikiran Ibnu taimiyah sering menjadi ajang polemik di kalangan para Ulama, sejak zaman Ibnu
Taimiyah sendiri, dan gara-gara itu dia sering keluar masuk penjara, terutama mengenai masalah-
masalah Akidah dan Fiqih. Keberanian Ibnu Taimiah ini tidak hanya berbeda dengan para ulama di
zamannya, namun Ibnu Taimiyah juga sering menyalahi Ijma`. Itulah yang membuat ulama di
Pemikiran pertama yang menjadi kontrofersi terjadi pada tahun 698 H. Hal itu gara-gara satu fatwa
yang dikenal dengan masalah hamawiah. Fatwa ini membuat Qadhi waktu itu turun tangan, yaitu
Imamauddin al-Quzwaini. Qadhi itu memberi fatwa “Barang siapa yang mengambil pendapatnya Ibnu
taimiah maka dia akan dita`zir.” Pada tahun 705 Ibnu Taimiah kembali membikin heboh yang
membuat dirinya kembali masuk penjara, dan pada tahun 709 dia dipindahkan ke Iskandariah, di
sanapaun dia jaga mengeluarkan fatwa-fatwa aneh yang dipermasalahkan oleh ulama setempat.
13
Begitulah seterusnya Ibnu taimiiyah, dia terus keluar masuk penjara baik ketika dia di Syam atau di
Mesir. Dalam beberapa kasus, Ibnu Taimiyah terkesan tidak konsekwen pada pendapatnya, kadang
dia mengaku bermazhab Syafii, atau bermazhab Hambali dan kadang dia juga mengaku berakidah
Asyairah namun di lain kesempatan dia juga mencaci tokoh-tokoh Asya’irah, seperti Imam Ghazali
dan yang lainnya. Tidak hanya itu, Ibnu Taimiyah juga berani lancang mencaci sahabat Nabi (Ibnu
Oleh sebab itulah, ulama dari masa ke masa senantiasa memperselisihkan sosok dan pemikiran Ibnu
Taimiyah, ada yang menganggapnya fasik, ada yang menganggapnya mubtadi` (ahli bid’ah) dan
bahkan ada yang menganggap kafir. Tidak hanya para penentangnyya yang mengkritik Ibnu taimiyah,
murid-muridnya juga sering berbeda dan menasehatinya, seperti Ibnu Katsir dan adz-Dzahabi.
Bahkan adz-Dzahabi menulis sebuah risalah husus yang berisi nasehat-nasehat agar Ibnu Taimiyah
kembali dan bertobat. Surat ini di kenal dengan an-Nashîhah adz-Dzahabiyah li Ibn Taimiyah.( lihat
Penentang Ibnu Taimiyah sejak zaman Ibnu Taimiyah sendiri sampai pada saat ini terus mengalir,
mulai dari kalangan fuqaha madzahabil arb’ah sampai para ulama kalam. Sedang yang mengarang
kitab yang berisi kritikan pada Ibnu taimiyah juga sangat banyak, seperti as-Subki dan ulama-ulama
setelahnya. (Lihat Ahmad Muhammad al ya?qubi Fatawa Ibnu Taimiyah fil Mizan Hal 20-28)
Adapun pemikiran Ibnu Taimiyah yang dianggap bertentangan dengan Ijma`dan mayoritas ahlu
1. Keyakinnanya tentang Zat Allah yang mempunyai jasad seperti jasadnya makhluk, duduk seperti
duduknya makhluk, bertangan, mempunyai mata dang telinga. Bahkan Ibnu Taimiyah berkata bahwa
Allah turun dari langit sebagai mana turunnya dia dari mimbar. Mazhab ini di sebut al-Hasyawiyah al-
Mujassamah. Dewasa ini beberapa ulama telah menulis penelitian dan mempelajari pemikiran ini
dengan seksama, di antaranya adalah Kasyfu al-Shaghîr ‘an ‘Aqîdah Ibnu Taimiyah, karya Said Fudah,
Ibnu Taimiyah Laisa Salafiyan, desertasi Doktor oleh Mansur Muhammad Ghawaiesy, dan Fatâwâ Ibnu
2. Berani mencaci Ulama dan Sahabat Nabi. Kelancangan Ibnu taimiyah ini membuat nyawanya
terancam karena telah berani mencaci Imam al-Ghazali dan pengikut Asya`irah lainnya. Bukan hanya
itu, Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa Imannya Sayyidina Ali tidak sah, sebab beliau masuk Islam
sebelum baligh, dan Iman sayyidina Abu Bakar juga tidak sah karena Abu Bakar beriman dalam
14
keadaan pikun hingga beliau tidak mengerti apa yang di ucapkan. Imam Ali ra. menurutnya
mempunyai 17 kesalahan. Dan beliau berperang karena cinta kedudukan. Sedang sayyidina Utsman
menurutnya sangat cinta dunia. Dalam kitab Durarul Kaminah dan kitab Fatawa Ibnu Taimiyah fil-
3. Inkar terhadap Majaz. Ibnu Taimiyah berasumsi bahwa dirinya dengan pemikiran itu berada dalam
Manhaj salaf. Sebab sebagaimana yang telah masyhur bahwa ulama dalam menyikapi ayat-ayat
musytabihat ada dua kelompak, kelompok pertama adalah Tafwidh (menyerahkan penafsirannya pada
Allah sendiri) mazhab ini yang diikuti oleh kebanyakan ulama salaf. Dan kelompok kedua adalah
mazhab Ta`wil (mentafsiri ayat musytabihat sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah) cara ini
Sedang pendapat Ibnu Taimiyah dalam masalah ini berkonsekwensi pada pemahaman yang
berbahaya dalam memahamii al-Quran dan nama dan sifat Allah, sebab hanya membawa pada
pengertian yang mustahil pada zat dan sifat Allah. Adapun pendapat salaf mengenai masalah Tafwidh,
salaf tidak mau panjang lebar mengenai masalah ini, sehingga menyerahkan urusan ini pada Allah.
Beda halnya dengan Ibnu taimiyah yang berani menafsiri Al-Quran dengan lahirnya saja, sehingga
Disamping itu keingkaran Ibnu taymiyah pada majaz dapat menimbulkan pengertian yang salah
terhadap teks Syariah, Ibnu Qayyim sendiri sebagai murid setia Ibnu Taimiyah merasa kebingungan
menyikapi masalah ini, sebab tidak sedikit dari ulama salaf dan pengikut mazhab Hanafi (Ibnu
Taimiyah mengaku bermazhab ini) yang mempercayai adanya majaz dalam al-Quran. Seperti Ibnu Abi
Ya`la, Ibnu Agil, Ibnu al-Khattab dan lain-lain sangat menganggap keberadaan majaz dalam al-Quran.
Seseorang yang membaca kitab Shawaiq al-Mursalah karya Ibnu Qayyim, maka akan tampak
4. Ibnu Taimiyah menyalahi Ijma` ulama. Seperti pendapatnya talak waktu haid itu tidak terjadi,
masalah ta`liq talak, seorang haid boleh tawaf tampa membayar kaffarat, kata-kata talak tiga hanya
terjadi satu dan beberapa pendapat nyeleneh lainnya. Al-hasil banyak pendapat Ibnu taimiyah yang
Al Hafizh Ibnu Hajar (W. 852 H) menukil dalam kitab ad-Durar al Kaminah juz I, hal. 154-155 bahwa
para ulama menyebut Ibnu Taimiyah dengan tiga sebutan: Mujassim, Zindiq, Munafiq. Ibnu Hajar
15
menyatakan; Ibnu Taimiyah menyalahkan sayyidina ‘Umar ibn al Khaththab –semoga Allah
meridlainya-, dia menyatakan tentang sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq –semoga Allah meridlainya-
bahwa beliau masuk Islam di saat tua renta dan tidak menyadari betul apa yang beliau katakan
(layaknya seorang pikun). Sayyidina Utsman ibn ‘Affan –semoga Allah meridlainya-, -masih kata Ibnu
Taimiyah- mencintai dan gandrung harta dunia dan sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib –semoga Allah
meridlainya-, -menurutnya- salah dan menyalahi nash al Qur’an dalam 17 permasalahan, ‘Ali menurut
Ibnu Taimiyah tidak pernah mendapat pertolongan dari Allah ke manapun beliau pergi, dia sangat
gandrung dan haus kekuasaan dan dia masuk Islam di waktu kecil padahal anak kecil itu Islamnya
tidak sah
Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi menyampaikan bahwa selain
kebanyakan Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap
“Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak
pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html
Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan,
khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar
A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.
Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu
Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu
suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sependapat dengan mereka.
Di Indonesia, sejumlah Tokoh Wahabi secara terang-terangan menyatakan bahwa Madzhab Asy’ari
1. Yazid Abdul Qadir Jawaz dalam buku “Mulia dengan Manhaj Salaf” bab 13 hal. 519 – 521.
2. Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam buku “Risalah Bid’ah” bab 19 hal. 295 dan buku “Lau Kaana
16
3. Hartono Ahmad Jaiz dalam buku “Bila Kyai Dipertuhankan” hal.165 – 166
Penjelasan Habib Rizieq Shihab lainnya bahwa mereka mensesatkan Asy’ariyah dan Maturidiyah
2H6hpA
Karena itu saya sangat prihatin terbit sebuah buku dengan judul “Mulia dengan manhaj salaf”.
Judulnya bagus betul. Diterbitkan oleh pustaka At Taqwa, Yang menulis Yazid bin Abdul Qodir.
Kenapa saya prihatin dengan kehadiran buku ini. Kalau kita buka pada bab yang ketigabelas yaitu bab
yang terakhir. Disini penulis menyebutkan firqoh-firqoh sesat dan menyesatkan. Yang nomor delapan
disebutkan Asy’ariah. Yang nomor sembilan disebut Maturidiyah. Kemudian yang nomor empat belas
atau yang nomor tiga belas Shufiyah, ahli tasawuf. Yang nomor empat belas Jama’ah Tabligh. Yang
nomor lima belas Ikhwanul Muslimin. Yang nomor tujuh belas Hizbut Tahrir
Buku-buku semacam ini memecah belah umat. Kalau pengarang ini merasa bahwa Wahhabi adalah
ajaran yang paling benar, silahkan. Dia menamakan dirinya pengikut Salafi atau di Indonesia lebih
dikenal dengan nama istilah Wahhabi. Kalau dia merasa Salafi Wahhabi paling benar, hak dia. Kalau
dia merasa paling suci, hak dia. Kalau dia merasa paling lurus, hak dia. Tapi dia tidak punya hak
Bahkan mereka menyalahkan para ulama terdahulu sekaliber Imam Baihaqi, Imam Nawawi dan Ibnu
Hajar yang dalam memahami ayat-ayat sifat tidak selalu berpegang pada nash secara dzahir namun
jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak
patut bagiNya sehigga diperlukan mentakwilkannya dengan ilmu balaghah seperti dengan makna
terdahulu https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/09/ulama_dan_tahdzir.pdf
“Wahai Syaikh, engkau membawakan biografi 3 ulama terdahulu yaitu Al-Baihaqy, An-Nawawy dan
Ibnu Hajar. Mereka terjatuh pada penakwilan terhadap sebagian sifat-sifat Allah. Mereka memiliki
karya-karya tulis yang besar dan berfaedah. Oleh karena itulah Ahlus Sunnah memandang bahwa
17
manusia sangat membutuhkan untuk mengambil faedah dari kitab-kitab mereka selain kebid’ahan
Mereka berpendapat bahwa pentakwilan terhadap sebagian sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh
Imam Baihaqi, Imam Nawawi dan Ibnu Hajar telah terjatuh dalam kebid’ahan.
“Ibnu Hajar dan An Nawawi rahimahumallah memang dalam beberapa masalah aqidah terdapat
ketergelinciran terutama dalam pembahasan Asma’ wa Shifat, di mana mereka berdua di antara orang
yang mentakwil makna nama dan sifat Allah tanpa dalil. Namun demikianlah kesalahan ini tertutupi
dengan kemanfaatan ilmu dan keutamaan mereka. Moga Allah merahmati mereka.“
Sumber: http://www.rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/3375-ibnu-hajar-dan-imam-
nawawi-dikatakan-mubtadi.html
Begitupula fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset
Ilmiah dan Fatwa) kerajaan dinasti Saudi ditanya tentang aqidah Imam Nawawi dan menjawab: “Lahu
aghlaath fish shifat” (Beliau memiliki beberapa kesalahan dalam bab sifat-sifat Allah).
Sumber: http://muslim.or.id/biografi/biografi-ringkas-imam-nawawi.html.
Mereka menganggap sesat Asy’ariyah dan Maturidiyah, salah satunya karena menganggapnya
termasuk Jahmiyah yakni mengingkari sifat-sifat Allah karena tidak sepaham (sependapat) dengan
mereka yang memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada
nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir sebagaimana yang disampaikan
pada http://risalahamar.blogspot.com/2012/03/bantahan-untuk-kaum-jahmiyah-asyariyah.html
Berikut contoh mereka “menjelaskan tentang kekafiran” atau menganggap “telah terjerumus
kekafiran” bagi muslim lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka atau tidak
mengikuti mereka yang memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu
berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir sebagaimana
wa-sifat/
Mengingkarinya setelah mengetahui bahwa itu memang benar adanya. Mereka mengingkarinya secara
sengaja, dan mengajak yang lain untuk mengingkarinya. Maka mereka yang berlaku seperti ini telah
kafir karena mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya. Padahal mereka mengetahui
18
Jahmiyah adalah orang-orang yang mengingkari sifat-sifat Allah
Sedangkan kaum muslim yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat,
bukannya mengingkari sifat-sifat Allah namun mengingkari memahami apa yang telah Allah Ta’ala
sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan
Jumhur ulama telah menyampaikan bahwa jika memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun
perkataan ulama salaf (terdahulu) selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya
selalu dengan makna dzahir dari sudut arti bahasa saja maka kemungkinan besar akan berakibat
negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan dan
Jadi permasalahan terbesar yang dapat menjerumuskan kekufuran dalam i’tiqod adalah cara mereka
menetapkan sifat Allah yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau penetapan sifat Allah
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum
Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi”
mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan
makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa
sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal
(contohnya tangan) sebagaimana jisim-jisim lainnya (sebagaimana tangan lainnya), maka orang
19
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim
(contohnya tangan) namun tidak serupa dengan jisim-jisim lainnya (tidak serupa dengan tangan
makhlukNya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada
– I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah ta’ala dengan sifat-
sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah
dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya
: “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru
atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur
dalam i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa
ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-
Memang salah satu ciri khas mereka yang mengikuti ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul
Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat adalah dalam
memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna
metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab. Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah
mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena dengan
adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan
pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa, “sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna
lahirnya (makna dzahir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks
20
Kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah seperti makna majaz timbul contohnya jika dipahami dengan
makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Imam ath Thahawi dalam kitabnya Aqiidah ath Thaahawiyah berkata “Barangsiapa yang enggan (tidak
mau) menafikan sifat makhluk kepada Allah atau menyamakan-Nya dengan sifat makhluk, maka ia
telah sesat dan tidak melakukan tanzih (mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk). Karena
sesungguhnya Tuhan kami yang Maha Agung dan Maha Mulia itu disifati dengan sifat-sifat
wahdaniyyah (tunggal) dan fardaniyyah (kesendirian). Hal ini artinya, tidak ada satupun makhluk
yang menyamaiNya. Maha Suci Allah dari segala macam batasan, tujuan, pilar, anggota dan aneka
benda. Allah ta’ala tidak butuh enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya
makhluk ( Abu Ja’far Ahmad bin Salamah Ath Thahawi , Aqidah Ath Thahaawiyyah halaman 26)
Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat
termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga akan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik
dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu
sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para
ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan
Jadi kesimpulannya orang-orang yang sesat dan menyesatkan dapat dikarenakan kurang mendalami
Oleh karenanya lebih baik mensyaratkan bagi pondok pesantren, majelis tafsir, ormas-ormas yang
mengaku Islam, lembaga kajian Islam maupun lembaga-lembaga Islam lainnya termasuk lembaga
Bahtsul Masail untuk dapat memahami dan beristinbat (menetapkan hukum perkara) dalam
implementasi agama dan menghadapi permasalahan kehidupan dunia sampai akhir zaman yang
bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, wajib menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu
tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun
ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul
fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash,
ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada
21
yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz
hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain sebagaimana yang telah disampaikan dalam
Ciri-ciri orang-orang yang tidak mengenal Allah karena mereka mendalami ilmu agama secara
otodidak (shahafi) adalah mereka bertambah ilmu namun mereka semakin jauh dari Allah karena
mereka sombong
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan akan bermuncululan orang-orang yang
bertambah ilmunya namun semakin jauh dari Allah karena tidak bertambah hidayahnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak
bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Sungguh celaka orang yang tidak berilmu. Sungguh celaka orang yang beramal tanpa ilmu Sungguh
celaka orang yang berilmu tetapi tidak beramal Sungguh celaka orang yang berilmu dan beramal
tetapi tidak menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan.
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin
jauh dari Allah Ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah)
maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat)
disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin
merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya
terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan
Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman,
Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari
22
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan
adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)
Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang
paling baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah
Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus
hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)
Sayyidina Umar ra menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara /
bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain
Sayyidina Umar ra juga menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti
imannya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain;
wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam
bermasyarakat (bergaul)“.
Al-Hâfizh adz-Dzahabi adalah murid dari Ibn Taimiyah. Walaupun dalam banyak hal adz-Dzahabi
mengikuti faham-faham Ibn Taimiyah, –terutama dalam masalah akidah–, namun ia sadar bahwa ia
sendiri, dan gurunya tersebut, serta orang-orang yang menjadi pengikut gurunya ini telah menjadi
bulan-bulanan mayoritas umat Islam dari kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah pengikut madzhab al-
Kondisi ini disampaikan oleh adz-Dzahabi kepada Ibn Taimiyah untuk mengingatkannya agar ia
berhenti dari menyerukan faham-faham ekstrimnya, serta berhenti dari kebiasaan mencaci-maki para
ulama saleh terdahulu. Untuk ini kemudian adz-Dzahabi menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat
kepada Ibn Taimiyah, sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap kesesatan
gurunya sendiri. Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua
Dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm, adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang diperuntukan bagi Ibn
Taimiyah sebagai berikut [Secara lengkap dikutip oleh asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-
23
“Hindarkanlah olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu. Alangkah bahagianya dirimu jika
engkau selamat dari ilmumu sendiri karena engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari
musuhmu atau engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari dirimu sendiri. Demi Allah, kedua
mataku ini tidak pernah mendapati orang yang lebih luas ilmunya, dan yang lebih kuat kecerdasannya
dari seorang yang bernama Ibn Taimiyah. Keistimewaannya ini ditambah lagi dengan sikap zuhudnya
dalam makanan, dalam pakaian, dan terhadap perempuan. Kemudian ditambah lagi dengan
konsistensinya dalam membela kebenaran dan berjihad sedapat mungkin walau dalam keadaan
apapun. Sungguh saya telah lelah dalam menimbang dan mengamati sifat-sifatnya (Ibn Taimiyah) ini
hingga saya merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan ternyata saya medapatinya
mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan Syam (sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan
mengkafirkannya, adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus
terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap dengkinya terhadap para ulama
terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar bencana yang ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an” dan
Nasehat adz-Dzahabi lainnya terhadap Ibn Taimiyah ia tuliskan dalam risalah an-Nashîhah adz-
Dzahabiyyah, secara lengkap dalam terjemahannya sebagai berikut [Teks lebih lengkap dengan
aslinya lihat an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah dalam dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/25/nasehat-seorang-murid/
Begitu pula ulama panutan mereka lainnya yakni Muhammad bin Abdul Wahhab sebagaimana yang
t,Tanggapan+atas+Tulisan+KH+Ali+Mustafa+Yaqub+soal+Wahabi+NU-.phpx
Kedua, akhlak pendiri Wahhabi sangat sombong sekali, dan ini berbeda dengan Hadhratusy Syaikh
Hasyim Asy`ari yang sangat santun dan toleran; juga berbeda dengan khazanah nilai-nilai NU yang
tawasuth, tawazun, dan tasamuh. Pendiri Wahhabi menganggap Islam yang dibawakannya, pada saat
itu, adalah hal baru yang sebelumnya tidak diajarkan oleh para gurunya. Al-Faqir batasi saja dari
kata-kata pendiri Wahhabi demikian: “Demi Allah yang tidak ada ilah kecuali Dia, sungguh saya telah
mencari ilmu dan orang yang mengenali saya meyakini bahwa saya memiliki pengetahuan, dan saya
saat itu tidak mengetahui makna la ilaha illallah, dan saya tidak mengetahui agama Islam sebelum
kebaikan yang Allah karuniakan ini; dan begitu juga guru-guru saya, tidak seorang pun di antara
24
mereka mengetahui hal itu (Muhammad bin `Abdul Wahhab, Mu’allafât, jilid VII, dalam kitab “Rasâ’il
Bagi al-Faqir, kesombongan terhadap para guru yang mengajari dan memberi ilmu adalah
fundamental yang harus dipertimbangkan dari pendiri Wahhabi, dan secara umum bagi gerakan
Wahhabi. Bagi orang NU, hubungan guru-murid adalah fundamental, dibawa sampai mati, karena
tidak ada yang disebut mantan guru. Pendiri Wahhabi, dengan gamblang, dengan kesombongannya,
menyebutkan tidak ada seorang pun dan bahkan guru-gurunya yang tahu Islam dan makna la ilaha
Berikut kutipan perkataan al-Albani dalam kata pengantar cetakan pertama kitabnya Shahih al-Kalim
ath-Thayyib li ibn Taimiyyah yang tercantum di halaman 16, cetakan ke-1 tahun 1390 H sebagaimana
ulama-wahhabi-yang-merasa-lebih-mengerti-ilmu-hadits-daripada-imam-bukhari-imam-muslim-dan-
ulama-muhaddits-lain/
“Aku nasihatkan kepada setiap orang yang membaca buku ini atau buku yang lainnya, untuk tidak
cepat-cepat mengamalkan hadits-hadits yang tercantum di dalam buku-buku tersebut, kecuali setelah
benar-benar menelitinya. Aku telah memudahkan jalan tersebut dengan komentar-komentar yang aku
berikan atas hadits tersebut, apabila hal tersebut (komentar dariku) ada, maka barulah ia
mengamalkan hadits tersebut dan menggigit gerahamnya. Jika tidak ada (komentar dariku), maka
Perhatikan, dari perkataan al-albani diatas (perhatikan juga bahwa tata bahasa arab yang beliau
gunakan dalam beberapa kalimat terakhir di atas juga sedikit kacau balau, namun meskipun
susunannya kacau balau masih dapat ditangkap maksudnya) dapat dipahami bagaimana al-albani
memposisikan dirinya sebagai ahli hadits yang kemampuannya melebihi ulama hadits mu’tabar yang
terdahulu. Dia melarang umat muslim untuk mengamalkan hadits-hadits shahih dari para imam
muhaddits besar seperti al-Imaam al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan lain-lain terkecuali setelah ada
komentar dari al-albani bahwa hadits-hadits itu dinyatakan sebagai hadits shahih oleh al-albani. Jika
tidak dikatakan shohih oleh al-albani, maka hadits-hadits tersebut ditinggalkan atau tidak boleh
Sekarang yang menjadi permasalahan adalah, Apakah kapasitas keilmuan al-albani lebih jauh hebat
daripada ulama’-ulama’ muhaddits terdahulu? Sedangkan ulama’ – ulama’ ahli hadits yang mu’tabar
25
tersebut masa kehidupannya jauh lebih dekat dengan masa Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam.
Coba bandingkan dengan masa kehidupan al-albani di abad 20 Masehi ini yang sangat jauh dari masa
Dari statement singkat al-albani yang tercantum di dalam kata pengantar bukunya tersebut, dapat
disimpulkan juga bahwasanya menurut al-albani dan pengikutnya apabila sebuah hadits tidak ada
“embel-embel” dishahihkan oleh al-albani maka hadits tersebut diragukan keshahihannya meskipun
hadits tersebut tercantum di dalam kitab-kitab hadits tershohih sekalipun seperti Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim.
Jadi Albani karena merasa sebagai ahli hadits sehingga melarang para pengikutnya mengamalkan
Wassalam
26
Mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga
menimbulkan fitnah
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang
Kita umat Islam prihatin dengan mereka yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat selalu dengan
makna dzahir sehingga menimbulkan fitnah sehingga mereka secara tidak langsung memfitnah
Rasulullah maupun para Sahabat atau Salafush Sholeh akibat mereka salah memahami Al Qur’an dan
Hadits
Contoh fitnahnya mereka mengatakan bahwa Rasulullah yang mengatakan Tuhan punya tangan dan
kedua-duanya kanan.
Dari Abdullah bin ‘Amr رضي هللا عنهia berkata: Rasulullah صلى هللا عليه وسلمtelah bersabda: “Sesungguhnya
orang-orang yang adil di sisi Allah ( عزوجلpada hari kiamat) di atas mimbar-mimbar dari nur (cahaya)
di sebelah kanan Ar Rahman عزوجلdan KEDUA TANGAN-Nya adalah KANAN. Yaitu orang-orang yang
27
berlaku adil di dalam hukum mereka, dan pada kelaurga mereka, dan pada apa yang mereka pimpin”.
(Hadits shahih riwayat. Muslim no 1827 dan Nasaa-i no 5379 dan yang selain dari keduanya.
Fitnah mereka dengan mengatasnamakan Rasulullah maupun Salafush Sholeh sebagai perawi hadits
akibat mereka membaca dan memahami sebuah hadits shahih namun karena salah memahaminya
Mereka bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat mereka selalu
berpegang pada nash atau dalil secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Jelas sekali bahwa apa yang mereka sampaikan bukan aqidah atau pemahaman para Sahabat
(Salafush Sholeh) melainkan aqidah atau pemahaman mereka sendiri menurut akal pikiran mereka
tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi
as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya
dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada
tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh
ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau
makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena
jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak
patut bagiNya.
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu
balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik
dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu
sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para
ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan
28
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan
Ironisnya mereka yang terjerumus kesesatan akibat salah memahami Al Qur’an dan Hadits, justru
mereka menganggap “telah kafir” bagi umat Islam yang tidak mau mengikuti pemahaman mereka
yang “tanpa perlu takwil” alias “tanpa takwil” yakni memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan
untuk diriNya selalu dengan makna dzahir karena dianggap telah mengingkari sifat-sifat Allah
tauhid-asma-wa-sifat/
Mengingkarinya setelah mengetahui bahwa itu memang benar adanya. Mereka mengingkarinya secara
sengaja, dan mengajak yang lain untuk mengingkarinya. Maka mereka yang berlaku seperti ini telah
kafir karena mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya. Padahal mereka mengetahui
Kaum muslim yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat tentu bukanlah
mengingkari sifat-sifat Allah atau bukanlah mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya
namun mengingkari memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang
pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir karena akan terjerumus
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum
Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam dalam kitab “Tanbiat Al-Ghabiy Bi
Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang
berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad
, ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan,
Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat benda
dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
29
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah
dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya:
“Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau
karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam
i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan
mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-
Mereka yang mengingkari Allah dan hukumnya ‘aashin yakni berbuat durhaka kepada Allah akibat
mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan
makna dzahir.
Berikut kutipan tulisan syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi
mengitiqadkan-allah-swt-seperti-makhluk/
(seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya, maka orang
tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah
Oleh karenanya sebaiknya janganlah berguru atau mengambil pendapat dari orang-orang yang
“kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka
sendiri karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an
dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”.
(HR. Ahmad)
Mereka yang menyatakan bahwa “Tuhan yang bilang memiliki wajah, mata, pinggang, tangan, kaki
dan lain lain, bahkan ada yang menyatakan Tuhan mereka memiliki dua tangan dan keduanya kanan
maka pernyataan itu membuktikan bahwa mereka memahami firman Allah secara otodidak (shahafi)
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/07/16/tuhan-yang-bilang/
30
Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang
Dalam perkara aqidah atau i’tiqod tidak ada perbedaan di antara mazhab yang empat karena i’tiqod
bukanlah masalah yang bersifat furu’iyyah. Kesalahpahaman dalam i’tiqod menyebabkan terjerumus
Apa yang mereka alami pada masa sekarang, dahulu kala telah dihadapi oleh ulama Hanbali yang
ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-
Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi ketika meluruskan kesalahpahaman 3 ulama semula
bermazhab Hanbali akibat mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman
Ibn al Jawzi berkata, “sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar
Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih untuk
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal).
Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara
yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli
Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat
tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li”
Ibn al Jawzi di atas menjelaskan bahwa mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il”
(sifat perbuatan) saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
31
Kita mengetahui “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) bagi Allah seperti Maha Melihat , Maha Mendengar
namun terlarang mensifatkan DzatNya seperti Allah memiliki wajah, pinggang, dua mata, dua tangan
dan keduanya kanan dan lain lainnya karena tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu
Jadi mereka yang mengaku ahlussunnah namun pada kenyataannya mereka melanggar larangan
Rasulullah yakni larangan untuk menanyakan atau memikirkan DzatNya sebagaimana yang telah
Rasulullah bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir
Paham Wahabisme adalah ajaran berdasarkan pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhamnad
bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang
dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana contoh informasi resmi
dari http://saudiembassy.net/islam
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined
forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of
Berikut contoh kutipan catatan kaki (footnote) ketika mereka menafsirkan QS Al Baqarah [2]:255
sebagaimana termuat dalam mushaf Al Madinah An Nabawiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan dicetak di Komplek Percetakkan Al Qur’an Al Karim kepunyaan Raja Fahd yang biasa
161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang
mengartikan kekuasaan-Nya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak
telapak Kaki-Nya.”
quran/ebook-quran-indonesian-translation.html
Begitupula dalam perkara aqidah, ustadz panutan mereka, Khalid Basalamah salah dalam memahami
Al Qur’an dan Hadits akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamanya selalu
dengan makna dzahir sebagaimana yang dapat disaksikan dalam sebuah video yang dipublikasikan
pada http://www.youtube.com/watch?v=IxPYMh-KWFg
32
Pada menit 02:55 Beliau berpendapat bahwa, “Allah itu Maha Besar. Jadi kenapa Allah itu tidak
Pada menit 03:35 Beliau berpendapat bahwa, “Ayat kursi berarti informasi tentang pijakan kakinya
Allah di singgasana”.
Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah
kaki seperti
Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat
Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa
riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa
hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa
hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah
Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah
bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki
Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada
Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya
Contoh lain mereka yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai Telapak Kaki (Qadamur Rahman)
akibat memahami selalu dengan makna dzahir terhadap riwayat seperti berikut,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Setiap kali Jahannam dilempari (dengan
‘Izzah (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak kaki-
33
Nya di atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya, lalu ia (Jahannam)
berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848)
Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-
bagi, tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan berpindah-
pindah. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid al-Harawi dan Imam al-Hasan al-Bashri, bahwa ia (al-
Hasan al-Bahsri) berkata: Yang dimaksud “ ( ” قدمmakna dzahirnya kaki) dalam hadits di atas adalah
orang-orang yang didatangkan (dimasukkan) oleh Allah dari para makhluk-Nya yang jahat di dalam
neraka Jahanam”.
Akibat mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu
dengan makna dzahir sehingga mereka belum dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy
dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada
Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari,
seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan
semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang
raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang
artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti
pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah
kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “ وما
“( ” قدروا هللا حق قدرهDan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az
Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Mereka mengatakan bahwa “kaki gajah dan kaki semut tidak sama walaupun sama-sama kaki
namanya. Begitupula kaki meja dan kaki kamera yang untuk sandaran juga tidak sama walaupun
34
Walaupun kaki manusia, kaki meja, kaki kursi, kaki kamera berbeda bentuk dan ukurannya namun
mempunyai sifat yang sama yakni bagian bawah, untuk penopang (penyangga) sedangkan Allah
Ta’ala “Laisa kamitslihi syaiun” tidak serupa dengan makhlukNya dari sisi apapun.
Mereka lupa bahwa walaupun bentuk dan ukuran kakinya berbeda, sifat kaki bagi kaki semut, kaki
gajah, kaki meja atau kaki kamera adalah untuk menopang sesuatu yang mempunyai suatu bentuk
serta ukuran.
Jika tidak menopang sesuatu maka tidak disifatkan dengan kaki seperti kaki semut, kaki gajah, kaki
Jadi mereka mensifatkan yang tidak dilayak bagi Allah yakni sifat kaki, suatu bagian yang menopang
sesuatu yang mempunyai suatu bentuk serta ukuran walaupun dikatakan bentuknya tidak serupa
dengan makhlukNya sedangkan bentuk dan ukuran adalah sifat makhluq bukan sifat Allah Ta’ala.
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh
disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-
sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata
dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang)
Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata:“Barang siapa beranggapan
(berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui (belum mengenal) Tuhan yang
Mereka yang belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya sehingga dapat berakibat amal
Imam Al Ghazali berkata : “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengenal Allah yang
wajib disembah”
KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu
faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang
Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
35
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai
Selain itu aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan
sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.
Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah)
dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana mengenal Allah yang
merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat
Begitupula kita umat Islam prihatin atas kitab al Ibanah yang dicetak dan tersebar sekarang dan
dinisbatkan kepada al Imam Abu al Hasan al Asy’ari telah banyak dimasuki sisipan-sisipan palsu dan
penuh kebohongan atau ada bagian yang dihilangkan atau diterjemahkan selalu dengan makna dzahir
ibanah-dipalsukan/
Tentunya kita mengetahui arti penting dari ungkapan yang lenyap tersebut.
Sehingga dengan adanya ungkapan itu akan memberi penjelasan bahwa sifat-sifat Allah seperti istiwa,
yadd, ain, janbun dan lain lain bi la kayf – tanpa kaif (tanpa membagaimanakan) yakni maksudnya
tidak memaknakan istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dengan makna yang asal menurut bahasa
atau makna dzahir namun membiarkan sebagaimana lafaznya dan menyerahkan maknanya kepada
Begitupula Salasush Sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada
Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada
sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa
tafsir“
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-
Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu
itu”.
36
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-
ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya.
Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak
boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan
(makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).
Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak
boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada
bahasa Arab”.
Jadi ada dua cara dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah yang ditetapkanNya
yakni
1. Cara yang dipergunakan oleh Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan ulama salaf (terdahulu) pada
Yakni beriman kepada lafaz-lafaz seperti istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain namun tidak meng-kaif
atau tidak membagaimanakan istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain maksudnya tidak memaknakan
istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dengan makna dzahir dan menyerahkan maknanya kepada Allah
Ta’ala
2. Cara yang digunakan oleh ulama khalaf (kemudian) untuk menjawab pertanyaan orang-orang yang
suka menggunakan akal pikirannya sendiri yakni TAKWIL TAFSILI (memalingkan dari makna dzahir)
Yakni beriman pada lafaz-lafaz seperti istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dan memahaminya
menggunakan ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan
dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush
shilat [41]:3)
Si A berkata bahwa gadis itu cantik bagaikan bulan. Sore itu bulan masuk ke warung makan.
Takwil Ijmali “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung
makan” tetapi saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah
yang mengetahuinya
37
Takwil Tafsili “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung
makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di
waktu malam, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.
Jadi dalam memahami sifat Allah yang ditetapkanNya boleh menggunakan takwil ijmali atau takwil
tafsili karena takwil ijmali dengan takwil tafsili adalah sejalan atau tidak bertentangan yakni sama-
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang aqidah mereka yang mengaku pengikut
Mazhab Hambali, apakah aqidah Imam Ahmad bin Hanbal seperti aqidah mereka ?
هل عقيدة اإلمام أحمد بن حنبل، في عقائد الحنابلة ما ال يخفى على شريف علمكم: مطلب في عقيدة اإلمام أحم د رضي هللا عنه وأرضاه وسئل رضي هللا عنه ونفعنا به
Beliau menjawab:
عقيدة إمام السنة أحمد بن حنل رضي هللا عنه وأرضاه وجعل جنان المعارف متقلبه ومأواه وأقاض علينا وعليه من سوابغ امتنانه وبوأه الفردوس األعلى: فأجاب بقوله
من جنانه موافقة لعقيدة أهل السنة والجماعة من المبالغة التامة في تنزيه هللا تعالى عما يقول الظالمون والجاحدون علوا كبيرا من الجهة والجسمية وغيرهما من سائر
وما اشتهر به جهلة المنسوبين إلى هذا اإلمام األعظم المجتهد من أنه قائل بشيء من الجهة أو نحوها فكذب، بل وعن كل وصف ليس فيه كمال مطلق، سمات النقص
فلعن هللا من نسب ذلك إليه أو رماه بشيء من هذه المثالب التي برأه هللا منها، وبهتان وافتراء عليه
Aqidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah meridhoinya dan menjadikannya
meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan aqidah
Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh
orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan
bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang
Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang mengaku-ngaku sebagai
pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat
dan semisalnya, maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap beliau.
Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh
beliau dengan tuduhan yang Allah telah membersihkan beliau darinya itu.
وقد بين الحافظ الحجة القدوة اإلمام أبو الفرج ابن الجوزي من أئمة مذهبه المبرئين من هذه الوصمة القبيحة الشنيعة أن كل ما نسب إليه من ذلك كذب عليه وافتراء وبهتان
فاعلم ذلك فإنه مهم، وأن نصوصه صريحة في بطالن ذلك وتنزيه هللا تعالى عنه، .
38
Al Hafizh Al Hujjah Al Imam, Sang Panutan, Abul Faraj Ibnul Jauzi, salah seorang pembesar imam
mazhab Hambali yang membersihkan segala macam tuduhan buruk ini, telah menjelaskan tentang
masalah ini bahwa segala tuduhan yang dilemparkan kepada sang imam adalah kedustaan dan
tuduhan yang keji terhadap sang imam. Bahkan teks-teks perkataan sang imam telah menunjukkan
kebatilan tuduhan itu, dan menjelaskan tentang sucinya Allah dari semua itu. Maka pahamilah
وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة، وإياك أن تصغي إلى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن قيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ إلهه هواه وأضله هللا على علم
وكيف تجاوز هؤالء الملحدون الحدود وتعدوا الرسوم وخرقوا سياج الشريعة والحقيقة فظنوا بذلك أنهم على هذى من ربهم وليسوا كذلك بل هم، فمن يهديه من بعد هللا
على أسوإ الضالل وأقبح الخصال وأبلغ المقت والخسران وأنهى الكذب والبهتان فخذل هللا متبعه وطهر األرض من أمثالهم
Janganlah sekali-kali kamu dekati buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim
dan orang selain mereka berdua yang telah menjadikan hawa nafsu mereka sebagai tuhan
sesembahan dan disesatkan oleh Allah atas ilmu, yang Allah telah menutup telinga, hati dan
penglihatannya. Siapa yang bisa memberikan petunjuk orang seperti itu selain Allah?
Bagaimana orang-orang atheis itu melampaui batas-batas, menabrak aturan-aturan dan merusak
tatanan syariat dan hakikat, lalu mereka menyangka bahwa mereka berada di atas petunjuk dari
tuhan mereka, padahal tidaklah demikian. Bahkan mereka berada pada kesesatan paling buruk,
kemurkaan paling tinggi, kerugian paling dalam dan kedustaan paling besar. Semoga Allah
menghinakan orang yang mengikutinya dan membersihkan bumi ini dari orang-orang semisal mereka.
Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti
Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan sebuah tulisan berjudul
“Taubatkah Ibnu Taimiyah ke dalam Aqidah Asy’ariyah?” dari sebuah link yang kami arsip (simpan)
Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari
pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan
makna dzahir
Memang ada yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian
taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai sidang ke empat hingga ia
39
wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar
dari http://www.muslimedianews.com/2015/02/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-ditangan.html
Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa Beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala
Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka
menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat)
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-
ibnu-taimiyyah.pdf
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah
(menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul
Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun
ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang
merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad
Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak
lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil
Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada
penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id
bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat
pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
40
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan
kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian
Hal yang perlu kita ingat bahwa sesat berbeda dengan kafir.
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami (W 974H) pernah ditanya tentang ungkapan yang berbunyi,
“Hadits itu menyesatkan kecuali untuk para ahli fikih,” apakah itu hadits atau bukan, dan apa
maknanya, padahal mengetahui hadits termasuk salah satu syarat seseorang disebut sebagai ahli
fikih? Mana yang lebih mulia dan utama, ahli fikih atau ahli hadits ?
Beliau menjawab: Itu bukan hadits, melainkan ucapan Ibnu ‘Uyainah (*) atau selainnya. Makna
ungkapan itu adalah bahwa hadits seperti Al Quran, ada yang lafalnya umum tapi maknanya khusus
dan sebaliknya, ada yang nasikh dan ada yang mansukh, ada juga yang tidak diamalkan, ada yang
lafalnya musykil (bermasalah), jika dipahami secara dzahir (literal) dapat menimbulkan pemahaman
tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) seperti hadits yang berbunyi, “yanzilu Rabbuna… dst.”
Tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fikih. Berbeda dengan mereka yang
hanya mengerti hadits saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadits
zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya. Dari sini,
dapat diketahui keutamaan para ahli fikih yang memiliki pemahaman dibandingkan dengan para ahli
hadits yang tidak memiliki pemahaman. (Al Fatawa Al Haditsiyah halaman 202)
*) Ibnu ‘ Uyainah nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran, salah seorang Tabi’i tsiqoh,
dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H.
Di atas, Imam Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa hadits itu dapat menyesatkan kecuali bagi
para fuqaha (ahli fikih) seperti hadits yang mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya (jika dipahami
selalu dengan makna dzahir) membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… dan
kesesatan tersebut di alami Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat dan para pengikutnya.
Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat)
bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah
menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara
41
ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga
berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga
berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci
atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman
116)
Seorang Ahli Hadits yang mendapat gelar Al-Hafidz Al-Faqih, Waliyuddin Al-Iraqi bin Syaikh Al-Haffadz
Zainuddin Al-Iraqi berkata ” Sesungguhnya Ibnu Taimiyyah telah merusak mayoritas umat muslim di
dalam banyak permasalahan, dikatakan mencapai 60 permasalahan sebagian mengenai aqidah dan
Memang ada ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau
mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang
menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat
kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’
Akibatnya para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengungkapkan
pada http://faisalchoir.blogspot.co.id/2011/12/ibnu-taimiyah-dikafirkan-ibnu-hajar.html
Penyebab kitab ini dikarang sebagaimana yang tercantum dalam kitab tersebut adalah Fatwa yang
menyebar di khalayak Umum saat itu tentang kafirnya orang yang memberi julukan ibnu Taimiyah
sebagai Syaikhul Islam dan tidak sah sholat dibelakang orang tersebut.
Fatwa tersebut secara jelas bukan saja pengkafiran terhadap Ibnu Taimiyah, tapi juga pengkafiran
terhadap pengikutnya.
Sebagai pembelaan terhadap ulama panutan mereka dengan mengutip tulisan Al Hafizh as-Sakhawi
dalam kitab Al-Jawahir wad-Durar, 2/734-736 menukil pendapat gurunya, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-
Asqalani , “Beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah Syaikhul Islam tanpa ada keraguan” sebagaimana tulisan
Namun mereka tampaknya kurang memperhatikan catatan penting Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab
والذي أخطأ فيه ال يقلد فيه، ويترحم عليه بسببه، فالذي أصاب فيه – وهو األكثر – يستفاد منه، ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب
42
“Meskipun demikian, beliau adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran
yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil
dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
Catatan penting tersebut bukanlah masalah furuiyyah namun masalah pokok yakni aqidah
sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-
Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 sebagaimana yang dinformasikan pada http://www.aswj-
rg.com/2014/06/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al-asqalani-terhadap-ibnu-taimiyah.html
Manusia terbagi menjadi beberapa kubu dalam menilai Ibnu Taimiyyah, ada sebagian kelompok yang
menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam
kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya : Ibnu Taimiyyah
mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah,
dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya. Maka ketika dipersoalkan, hal itu
akan melazimkan Allah memiliki batasan dan bagian, maka ia menjawab, “ Aku tidak setuju batasan
dan bagian termasuk kekhushusan jisim “. Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah
Jadi Ibnu Hajar Al-Asqalani pun menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap permasalahan pokok
bukan furuiyah yakni dalam perkara aqidah atau kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang mensifatkan Dzat
Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan
Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang
cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat)
dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan
menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat
Berikut kutipannya
Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H
hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu
menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
43
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2
Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan,
khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar
A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.
Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu
Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang
bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa
dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan
membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah
karena beliau mengutip pendapat ulama terdahulu maupun memahami Al Qur’an dan As Sunnah
bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri
dan beliau selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman beliau selalu dengan makna
dzahir
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian
menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat
Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah
44
an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata:
“Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan
wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu
Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara
8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal
dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti
dijelaskan dalam:
– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
45
10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn
11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H).
Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul
12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan
menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam
Rasulullah.
13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.
14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu
15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya
16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua
risalahnya:
17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-
19. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk
memenjarakannya.
20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam
21. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al
Muhith.
22. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).
46
23. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah alKubra.
24. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya :‘Uyun at-
Tawarikh.
25. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al
26. Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri al Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al Mardhiyyah fi ar-
Radd ‘Ala Man Yunkir az- Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan
27. Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743 H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq
28. Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani al- Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhatsal
29. Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad, yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H)
30. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya: – Ad-Durar al Kaminah fi
A’yan al Mi-ah ats-Tsaminah – Lisan al Mizan – Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari – Al Isyarah Bi
31. Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-
ilah al Makkiyyah.
32. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli Syuhbah asy- Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadli Syuhbah
33. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa
34. Pimpinan para ulama seluruh Afrika, Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803 H).
35. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamid ad-Din al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W867 H) dalam
36. Syekh Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki (W899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.
37. Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam Al I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.
47
38. Ahmad ibn Muhammad Yang dikenal denganIbnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul
39. Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W 968
40. al Bayyadli al Hanafi (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram Min ‘Ibarat al Imam.
41.Syekh Ahmad ibn Muhammad al Witri (W 980 H) dalam Raudlah an- Nazhirin WaKhulashah
Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Wassalam
Hal yang dilarang mencari-cari takwil bukan menakwilkan dengan ilmu yang terkait bahasa
Arab
48
Contoh lainnya mereka melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala
“Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak
ada yang tahu takwilnya kecuali Allah Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. ” (Q.S. Al Imran [3] : 7)
Justru mereka yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga
menimbulkan fitnah.
Contoh fitnah mereka dengan mengatasnamakan sebagai pemahaman para Sahabat (Salafus Sholeh),
salah satu ulama panutan mereka yang membaca dan memahami sebuah hadits shahih namun
karena salah memahaminya sehingga mereka bertuhan bukan kepada Allah Ta’ala.
Mereka bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat mereka selalu
berpegang pada nash atau dalil secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Jelas sekali bahwa apa yang mereka sampaikan bukan aqidah atau pemahaman para Sahabat
(Salafush Sholeh) melainkan aqidah atau pemahaman mereka sendiri menurut akal pikiran mereka
tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan
Sedangkan mereka yang mencari-cari takwil adalah mereka yang menakwilkan mengikuti hawa nafsu
mereka.
Jadi yang dilarang adalah mencari-cari takwil bukan menakwilkan dengan ilmu-ilmu yang terkait
bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani,
bayan dan badi’) dan lain lain karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush
shilat [41]:3)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentu tidak mendoakan hal yang terlarang yakni mendoakan
49
Ya Allah dalamkanlah pengetahuannya dalam agama dan ajarilah ia takwil Qur’an
atau
atau
Ya Allah dalamkan pengetahuannya dalam agama dan alilmkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al
Begitupula “tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah” namun pada ayat yang lain Allah Ta’ala telah
berfirman bahwa Dia mengkaruniakan kemampuan takwil kepada yang dikehendakiNya yakni Ulil
Albab
Kemampuan takwil adalah kemampuan memahami dengan mengambil pelajaran berdasarkan karunia
hikmah dari Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada siapa yang dikehendakiNya
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah)
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui”
“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak
Ulil Albab atau ahli dzikir atau orang yang mempunyai pengetahuan karena karunia hikmah dari Allah
Ta’ala adalah
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
50
Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah
dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya
selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut
Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk
menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan
pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna
dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks
tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh
ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau
makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena
jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak
patut bagiNya.
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu
balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik
dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu
sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para
ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan
Ironisnya mereka yang terjerumus kesesatan akibat salah memahami Al Qur’an dan Hadits, justru
mereka menganggap “telah kafir” bagi umat Islam yang tidak mau mengikuti pemahaman mereka
yang “tanpa perlu takwil” alias “tanpa takwil” yakni memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan
51
untuk diriNya selalu dengan makna dzahir karena dianggap telah mengingkari sifat-sifat Allah
tauhid-asma-wa-sifat/
Mengingkarinya setelah mengetahui bahwa itu memang benar adanya. Mereka mengingkarinya secara
sengaja, dan mengajak yang lain untuk mengingkarinya. Maka mereka yang berlaku seperti ini telah
kafir karena mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya. Padahal mereka mengetahui
Kaum muslim yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat tentu bukanlah
mengingkari sifat-sifat Allah atau bukanlah mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya
namun mengingkari memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang
pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir karena akan terjerumus
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum
Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam dalam kitab “Tanbiat Al-Ghabiy Bi
Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang
berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad
, ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan,
Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat benda
dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah
dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya:
“Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau
karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam
i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan
52
mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-
Mereka yang mengingkari Allah dan hukumnya ‘aashin yakni berbuat durhaka kepada Allah akibat
mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan
makna dzahir.
Berikut kutipan tulisan syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi
mengitiqadkan-allah-swt-seperti-makhluk/
(seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya, maka orang
tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah
Oleh karenanya sebaiknya janganlah berguru atau mengambil pendapat dari orang-orang yang
“kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka
sendiri karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an
dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”.
(HR. Ahmad)
Mereka yang menyatakan bahwa “Tuhan yang bilang memiliki wajah, mata, pinggang, tangan, kaki
dan lain lain, bahkan ada yang menyatakan Tuhan mereka memiliki dua tangan dan keduanya kanan
maka pernyataan itu membuktikan bahwa mereka memahami firman Allah secara otodidak (shahafi)
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/07/16/tuhan-yang-bilang/
Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang
53
Dalam perkara aqidah atau i’tiqod tidak ada perbedaan di antara mazhab yang empat karena i’tiqod
bukanlah masalah yang bersifat furu’iyyah. Kesalahpahaman dalam i’tiqod menyebabkan terjerumus
Apa yang mereka alami pada masa sekarang, dahulu kala telah dihadapi oleh ulama Hanbali yang
ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-
Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi ketika meluruskan kesalahpahaman 3 ulama semula
bermazhab Hanbali akibat mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman
Ibn al Jawzi berkata, “sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar
Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih untuk
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal).
Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara
yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli
Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat
tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li”
Ibn al Jawzi di atas menjelaskan bahwa mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il”
(sifat perbuatan) saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
Kita mengetahui “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) bagi Allah seperti Maha Melihat , Maha Mendengar
namun terlarang mensifatkan DzatNya seperti Allah memiliki wajah, pinggang, dua mata, dua tangan
54
dan keduanya kanan dan lain lainnya karena tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu
Jadi mereka yang mengaku ahlussunnah namun pada kenyataannya mereka melanggar larangan
Rasulullah yakni larangan untuk menanyakan atau memikirkan DzatNya sebagaimana yang telah
Paham Wahabisme adalah ajaran berdasarkan pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhamnad
bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang
dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana contoh informasi resmi
dari http://saudiembassy.net/islam
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined
forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of
Berikut contoh kutipan catatan kaki (footnote) ketika mereka menafsirkan QS Al Baqarah [2]:255
sebagaimana termuat dalam mushaf Al Madinah An Nabawiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan dicetak di Komplek Percetakkan Al Qur’an Al Karim kepunyaan Raja Fahd yang biasa
161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang
mengartikan kekuasaan-Nya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak
telapak Kaki-Nya.”
quran/ebook-quran-indonesian-translation.html
Begitupula dalam perkara aqidah, ustadz panutan mereka, Khalid Basalamah salah dalam memahami
Al Qur’an dan Hadits akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamanya selalu
dengan makna dzahir sebagaimana yang dapat disaksikan dalam sebuah video yang dipublikasikan
pada http://www.youtube.com/watch?v=IxPYMh-KWFg
Pada menit 02:55 Beliau berpendapat bahwa, “Allah itu Maha Besar. Jadi kenapa Allah itu tidak
Pada menit 03:35 Beliau berpendapat bahwa, “Ayat kursi berarti informasi tentang pijakan kakinya
Allah di singgasana”.
55
Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah
kaki seperti
Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat
Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa
riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa
hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa
hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah
Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah
bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki
Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada
Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya
Contoh lain mereka yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai Telapak Kaki (Qadamur Rahman)
akibat memahami selalu dengan makna dzahir terhadap riwayat seperti berikut,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Setiap kali Jahannam dilempari (dengan
‘Izzah (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak kaki-
Nya di atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya, lalu ia (Jahannam)
berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848)
Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-
bagi, tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan berpindah-
pindah. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid al-Harawi dan Imam al-Hasan al-Bashri, bahwa ia (al-
56
Hasan al-Bahsri) berkata: Yang dimaksud “ ( ” قدمmakna dzahirnya kaki) dalam hadits di atas adalah
orang-orang yang didatangkan (dimasukkan) oleh Allah dari para makhluk-Nya yang jahat di dalam
neraka Jahanam”.
Akibat mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu
dengan makna dzahir sehingga mereka belum dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy
dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada
Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari,
seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan
semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang
raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang
artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti
pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah
kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “ وما
“( ” قدروا هللا حق قدرهDan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az
Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Mereka mengatakan bahwa “kaki gajah dan kaki semut tidak sama walaupun sama-sama kaki
namanya. Begitupula kaki meja dan kaki kamera yang untuk sandaran juga tidak sama walaupun
Walaupun kaki manusia, kaki meja, kaki kursi, kaki kamera berbeda bentuk dan ukurannya namun
mempunyai sifat yang sama yakni bagian bawah, untuk penopang (penyangga) sedangkan Allah
Ta’ala “Laisa kamitslihi syaiun” tidak serupa dengan makhlukNya dari sisi apapun.
Mereka lupa bahwa walaupun bentuk dan ukuran kakinya berbeda, sifat kaki bagi kaki semut, kaki
gajah, kaki meja atau kaki kamera adalah untuk menopang sesuatu yang mempunyai suatu bentuk
serta ukuran.
57
Jika tidak menopang sesuatu maka tidak disifatkan dengan kaki seperti kaki semut, kaki gajah, kaki
Jadi mereka mensifatkan yang tidak dilayak bagi Allah yakni sifat kaki, suatu bagian yang menopang
sesuatu yang mempunyai suatu bentuk serta ukuran walaupun dikatakan bentuknya tidak serupa
dengan makhlukNya sedangkan bentuk dan ukuran adalah sifat makhluq bukan sifat Allah Ta’ala.
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh
disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-
sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata
dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang)
Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata:“Barang siapa beranggapan
(berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui (belum mengenal) Tuhan yang
Mereka yang belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya sehingga dapat berakibat amal
Imam Al Ghazali berkata : “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengenal Allah yang
wajib disembah”
KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu
faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang
Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai
Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah)
dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana mengenal Allah yang
merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat
58
Selain itu aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan
sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.
Ada dua cara dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah yang ditetapkanNya yakni
Beriman pada lafaz-lafaz yadd, ain, janbun dan lain lain namun tidak meng-kaif atau tidak
membagaimanakan yadd, ain, janbun dan lain lain maksudnya tidak memaknakan yadd, ain, janbun
dan lain lain dengan makna dzahir atau makna yang asal menurut bahasa namun membiarkan
sebagaimana lafaznya dan menyerahkan maknanya kepada Allah yang disebut dengan TAKWIL IJMALI
2. Cara yang digunakan oleh ulama khalaf (kemudian) untuk menjawab pertanyaan orang-orang yang
Beriman pada lafaz-lafaz yadd, ain, janbun dan lain lain dan memahaminya menggunakan ilmu tata
bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu
lainnya karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) yang disebut
Si A berkata bahwa gadis itu cantik bagaikan bulan. Sore itu bulan masuk ke warung makan.
Takwil Ijmali “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung
makan” tetapi saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah
yang mengetahuinya
Takwil Tafsili “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung
makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di
waktu malam, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.
Jadi dalam memahami sifat Allah yang ditetapkanNya boleh menggunakan takwil ijmali atau takwil
tafsili karena takwil ijmali dengan takwil tafsili adalah sejalan atau tidak bertentangan.
Para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa Salafush
Sholeh bermanhaj isbat yakni mengisbatkan (menetapkan) semua sifat-sifat Allah dengan mengetahui
59
maknanya dan Salafush Sholeh hanya menafikan pengetahuan tentang keadaan sifat tersebut (nafi
ilmul kaif)
Pada kenyataannya, Salafush Sholeh bukanlah nafi ilmul kaif melainkan nafi aslul kaif yakni menafikan
akan adanya keadaan kaif itu sendiri yang di nisbat kan pada Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Menafikan aslul kaif berarti mencegah orang dari menggambarkan lafaz-lafaz ayat sifat tersebut
dengan maknanya dari sudut bahasa atau makna dzahir karena ketika seseorang mendengar lafaz-
lafaz ayat sifat akan terus menggambarkan sifat-sifat tersebut dengan makna dzahir maka dia akan
Terhadap lafaz-lafaz ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan selalu berdasarkan maknanya
secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafaz-lafaz ayat
sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Terhadap lafaz-lafaz ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih
tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di
dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan
membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk
Salafush Sholeh bukanlah menetapkan berdasarkan makna dzahir (isbat makna dzahir) sebagaimana
pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah melainkan menetapkan berdasarkan
lafaznya (isbat lafaz) dan tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa dan menyerahkan maknanya
kepada Allah.
Salasush Sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin
Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah?
Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak
boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan
(makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).
Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak
boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada
bahasa Arab”.
60
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-
Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu
itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-
ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya.
Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Ada pula para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang tidak anti takwil namun
mereka hanya mau mentakwilkan kalau ada qorinah (petunjuk) dari ayat lain atau ada penjelasan dari
Penakwilan atau memalingkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih sesuai selain
Ada pula penakwilan berdasarkan qorinah (petunjuk) dari ayat itu sendiri dalam jumlah keseluruhan
atau sebahagian dari ayat tersebut yang dimengerti oleh para ahlinya berdasarkan ilmu-ilmu terkait
bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani,
bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya sebagaimana yang telah disampaikan
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/08/pengertian-takwil/
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa “Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang
pengambilan makna dari lafaz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti
yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafaz dzahir.”
Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa: “Membawa makna lafaz dzahir yang mempunyai ihtimal
Sedangkan menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafaz dari artinya yang dzahir kepada
Jadi dapat disimpulkan bahwa takwil adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain
yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173].
Alasan yang dapat diterima oleh akal sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni
1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.
61
2. Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al
Quran.
Contoh ayat mengandung lafazh yang kalau dipahami dengan makna dzahir adalah wajah Allah.
Salah seorang ulama panutan mereka yakni Albani menentang takwil QS al-Qashash [28] : (88) yang
Ketika ditanya tentang penakwilan seperti dalam Shahih al-Bukhari tersebut, al-Albani mengatakan
Siapa yang mentakwil firman Allah “Kullu Sya’in Halikun Illa Wajhahu” dengan takwil “kecuali Mulk”
maka “Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman“ sebagaimana gambar
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/03/menentang-takwil.jpg
Para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa perkataan Albani,
“Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman“ bukanlah ditujukan kepada Imam
Bukhari namun kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna rahimahullah karena menurut mereka
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa pada riwayat An-Nasafi terhadap Shahih Al
Bukhari terdapat lafal: “kecuali Mulk” yang dinisbatkan kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin Al Mutsanna.
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata; “Perkataan “kecuali wajah-Nya” adalah kecuali Mulk, ada
pada riwayat An-Nasafi. Ma’mar berkata;…(seperti telah disebutkan). Dan Ma’mar adalah Abu
Ubaidah, Ibnul Mutsanna. Dan ini adalah perkataannya dalam kitab-Nya Majaz Al Qur’an namun
Jadi jelaslah Ma’mar bin al-Mutsanna Abu Ubaidah menafsirkan dengan menakwilkan lafaz yang kalau
dimaknai secara dzahir adalah “Wajah Nya” dengan memalingkannya kepada sifat Mulk atau Malikul
Mulk (Pemilik kerajaan, Raja dari segala raja) yang dimaksud adalah Allah Ta’ala itu sendiri dan pada
62
ْ { ُك ُّل ش:وهكذا قوله ها هنا.
إال إياه:َيءٍ هَا ِلكٌ إِال َو ْج َههُ } أي
“Demikian juga, firmanNya di sini: “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya”, yaitu kecuali
Jadi kesimpulannya mereka menyalahkan , menganggap bukan “muslim yang beriman” atau bahkan
mengkafirkan (menganggap bukan muslim) terhadap muslim lain yang tidak sepaham (sependapat)
dengan mereka seperti muslim yang memahami firman Allah QS al-Qashash [28] : 88 sebagai “Segala
Mereka menganggap atau menuduh muslim lain yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka
sebagai bukan “muslim yang beriman”, sebaimana anggapan atau tuduhan mereka terhadap Abu
‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w. 208) pakar ilmu bayan, pengarang kitab pertama kali yang
disusun dalam bidang balaghah, tentang ilmu bayan, yaitu kitab Majazul Qur’an sebagaimana
Ibn Al Jawzi menjelaskan bahwa para ahli tafsir berkata: ”Makna ” ;”ويبقى وجه ربكartinya ”” ;”ويبقى ربكDan
Tuhanmu (Allah) maha kekal”. Demikian pula pemahaman firman Allah yang senada dengan ayat di
atas, firman-Nya: ” ;”يريدون وجههpara ahli tafsir berkata: ”Artinya ”” ;”يريدونهMereka bertujuan ikhlas
karena Allah”. Sementara Imam ad-Dlahhak dan Abu Ubaidah menafsirkan firman Allah ” كل شىء هالك إال
Begitupula dari kalangan masyarajat Arab klasik bahwa kata wajah biasa digunakan merujuk kepada
wajah yang dikenal secara denotatif, dan kadang juga digunakan oleh bangsa Arab merujuk diri
seseorang, artinya mereka menggunakan ungkapan “wajah” untuk menyebut “diri seseorang”,
Begitu juga dengan juga kata “wajah”, orang Arab biasa menggunakannya secara majaz (metaforis
atau makna kiasan) untuk mengungkapkan sosok seseorang demi memuliakannya. Maka mereka
Paham Wahabisme terjerumus mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat, salah
satunya karena Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa apa yang disampaikannya adalah mazhab salaf
dan-salafiyah/
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah
63
dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat
kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti
Istilah mazhab (manhaj) Salaf adalah keliru karena penisbatan nama mazhab kepada nama
Penisbatan nama mazhab adalah kepada fuqaha (ahli fiqih) atau ahli istidlal yang telah meraih
Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam As-Salafiyyah: Marhalah Zamaniyyah
Mubarakah, La Mazhab Islami yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Gema
Insani Press menjelaskan bahawasanya, “istilah salaf itu bukanlah suatu mazhab dalam Islam,
sebagaimana yang dianggap oleh sebagian mereka yang mengaku sebagai salafi, tetapi istilah salaf
Hal yang perlu kita ingat bahwa nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in tercantum pada hadits,
pada umumnya sebagai perawi bukanlah menyampaikan pemahaman atau hasil ijtihad dan istinbat
mereka.
Para perawi sekedar mengulangi kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah.
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya-dalam
lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada
orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) menyampaikannya kepada orang
yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak
memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang sekedar menghafal dan menyampaikan
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam
bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu
‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi
darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak meluangkan
64
waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan
furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang
dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para Sahabat) merupakan
pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-
hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar
dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas dapat kita pahami bahwa Imam Mazhab yang empat yang
menyusun ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip dasar ( asas) beserta cabangnya (furu) yang akan
Mereka yang membeli atau memiliki kitab-kitab hadits kemudian mereka membacanya maka tidak
dapat dikatakan bahwa mereka telah mengikuti pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh) hanya
dikarenakan dalam hadits tercantum nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in karena ketika mereka
membaca hadits maka itu adalah pemahaman mereka sendiri terhadap hadits yang mereka baca,
Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh) berijtihad dengan
Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu
mereka sendiri.
Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala
mereka sendiri.
Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan pahami
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka hanya
dikenal sebagai ahli membaca hadits bukan dikenal berkompetensi sebagai ahli istidlal sebagaimana
Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada para Sahabat (Salafush
Sholeh) .
Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap para Sahabat (Salafush Sholeh)
65
Berikut kutipan tulisan Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA yang menjelaskan bahwa ke empat mazhab fiqih
itulah the real salaf, sedangkan paham Wahabisme yang mengangkat pola pemahaman Ibnu
Taimiyyah adalah mazhab dzahiriyyah yakni mereka yang selalu berpegang pada nash secara dzahir
Sementara kita memperbincangkan bahwa salaf itu bukan nama sebuah sistem, sebenarnya justru
keempat mazhab yang kita kenal itu hidupnya malah di masa salaf, alias di masa lalu.
Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir hanya terpaut 70 tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Apalah
seorang Abu Hanifah bukan orang salaf? Al-Imam Malik lahir tahun 93 hijriyah, Al-Imam Asy-Syafi’i
lahir tahun 150 hijriyah dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal lahir tahun 164 hijriyah. Apakah mereka
Maka kalau ada yang bilang bahwa mazhab fiqih itu bukan salaf, barangkali dia perlu belajar sejarah
Islam terlebih dahulu. Sebab mazhab yang dibuangnya itu ternyata lahirnya di masa salaf. Justru
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka
juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah SAW wafat.
Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun
dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem dan
metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah menciptakan ilmu
ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak
menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya
Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf,
sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah
66
yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka
Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas,
mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka
tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-
jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu
mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut mereka
lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya
sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu
tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua
terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya
ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar
mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang
mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.
Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti
Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan sebuah tulisan berjudul
link http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/04/23/taubatkah-ibnu-taimiyah-kedalam-aqidah-
asyariyah/
Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari
pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan
makna dzahir
67
Memang ada yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian
taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai sidang ke empat hingga ia
wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar
dari http://www.muslimedianews.com/2015/02/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-ditangan.html
Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala
Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka
menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat)
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-
ibnu-taimiyyah.pdf
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah
(menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul
Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun
ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang
merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad
Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak
lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil
Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada
penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id
bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat
pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
68
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan
kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian
Hal yang perlu kita ingat bahwa sesat berbeda dengan kafir. Kesesatan bukan selalu berarti kafir atau
bukan Islam. Kesesatan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Seorang Ahli Hadits yang mendapat gelar Al-Hafidz Al-Faqih, Waliyuddin Al-Iraqi bin Syaikh Al-Haffadz
Zainuddin Al-Iraqi berkata ” Sesungguhnya Ibnu Taimiyyah telah merusak mayoritas umat muslim di
dalam banyak permasalahan, dikatakan mencapai 60 permasalahan sebagian mengenai akidah dan
Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat)
bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah
menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara
ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga
berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga
berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci
atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman
116)
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami) berkata ” Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan
apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya
dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah
menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjadikan penghalang atas
pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telah Allah
Memang ada ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau
mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang
menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat
kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’
69
Akibatnya para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengungkapkan
pada http://faisalchoir.blogspot.co.id/2011/12/ibnu-taimiyah-dikafirkan-ibnu-hajar.html
Penyebab kitab ini dikarang sebagaimana yang tercantum dalam kitab tersebut adalah Fatwa yang
menyebar di khalayak Umum saat itu tentang kafirnya orang yang memberi julukan ibnu Taimiyah
sebagai Syaikhul Islam dan tidak sah sholat dibelakang orang tersebut.
Fatwa tersebut secara jelas bukan saja pengkafiran terhadap Ibnu Taimiyah, tapi juga pengkafiran
terhadap pengikutnya.
Sebagai pembelaan terhadap ulama panutan mereka dengan mengutip tulisan Al Hafizh as-Sakhawi
dalam kitab Al-Jawahir wad-Durar, 2/734-736 menukil pendapat gurunya, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-
Asqalani , “Beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah Syaikhul Islam tanpa ada keraguan” sebagaimana tulisan
Namun mereka tampaknya kurang memperhatikan catatan penting Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab
والذي أخطأ فيه ال يقلد فيه، ويترحم عليه بسببه، فالذي أصاب فيه – وهو األكثر – يستفاد منه، ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب
“Meskipun demikian, beliau adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran
yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil
dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
Catatan penting tersebut bukanlah masalah furuiyyah namun masalah pokok yakni aqidah
sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-
Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 sebagaimana yang dinformasikan pada http://www.aswj-
rg.com/2014/06/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al-asqalani-terhadap-ibnu-taimiyah.html
Manusia terbagi menjadi beberapa kubu dalam menilai Ibnu Taimiyyah, ada sebagian kelompok yang
menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam
kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya : Ibnu Taimiyyah
mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah,
dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya. Maka ketika dipersoalkan, hal itu
akan melazimkan Allah memiliki batasan dan bagian, maka ia menjawab, “ Aku tidak setuju batasan
dan bagian termasuk kekhushusan jisim “. Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah
70
mengatakan batasan bagi Dzat Allah.
Jadi Ibnu Hajar Al-Asqalani pun menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap permasalahan pokok
bukan furuiyah yakni dalam perkara aqidah atau kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang mensifatkan Dzat
Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan
Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang
cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat)
dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan
menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat
Berikut kutipannya
Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H
hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu
menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2
Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan,
khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar
A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.
71
Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu
Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang
bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa
dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan
membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah
karena beliau mengutip pendapat ulama terdahulu maupun memahami Al Qur’an dan As Sunnah
bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri
dan beliau selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman beliau selalu dengan makna
dzahir
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian
menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat
Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah
an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata:
“Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan
wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu
Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara
72
7. Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam berapa karyanya:
8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal
dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti
dijelaskan dalam:
– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn
11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H).
Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul
12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan
menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam
Rasulullah.
13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.
14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu
15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya
73
16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua
risalahnya:
17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-
19. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk
memenjarakannya.
20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam
21. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al
Muhith.
22. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).
23. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah alKubra.
24. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya :‘Uyun at-
Tawarikh.
25. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al
26. Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri al Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al Mardhiyyah fi ar-
Radd ‘Ala Man Yunkir az- Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan
27. Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743 H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq
28. Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani al- Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhatsal
29. Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad, yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H)
74
30. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya: – Ad-Durar al Kaminah fi
A’yan al Mi-ah ats-Tsaminah – Lisan al Mizan – Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari – Al Isyarah Bi
31. Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-
ilah al Makkiyyah.
32. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli Syuhbah asy- Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadli Syuhbah
33. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa
34. Pimpinan para ulama seluruh Afrika, Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803 H).
35. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamid ad-Din al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W867 H) dalam
36. Syekh Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki (W899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.
37. Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam Al I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.
38. Ahmad ibn Muhammad Yang dikenal denganIbnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul
39. Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W 968
40. al Bayyadli al Hanafi (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram Min ‘Ibarat al Imam.
41. Syekh Ahmad ibn Muhammad al Witri (W 980 H) dalam Raudlah an- Nazhirin WaKhulashah
Wassalam
75
« Sidratul Muntaha
Isbat lafaz »
Pengertian takwil
8 Februari 2016 oleh mutiarazuhud
Pengertian takwil dan fungsi pencegahan mensifatkan Tuhan dengan sifat tidak layak
bagiNya
Ada pula dari mereka yang menyatakan bahwa mereka dalam menetapkan seluruh sifat-sifat yang
telah Allah tetapkan untuk diriNya, dan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
76
sallam tidak selalu tanpa takwil atau tidak anti takwil atau tidak menterjemahkan dan memahami
selalu dengan makna dzahir yakni ketika ada qorinah (petunjuk) dari ayat atau nash yang lain untuk
Selain menakwilkan berdasarkan qorinah (petunjuk) dari ayat atau nash yang lain, penakwilan atau
memalingkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai berdasarkan qorinah
(petunjuk) dari ayat itu sendiri dalam jumlah keseluruhan atau sebahagian dari ayat tersebut.
pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Tentulah kita mempergunakan akal pikiran untuk memahami Al Qur’an namun ada dua jenis cara
“Menggunakan” ayat-ayat Allah untuk menegakkan KEBENARAN inilah yang disebut “BERDALIL”
Contoh orang-orang yang suka mempergunakan firman Allah bukan untuk berdalil tetapi untuk
berdalih adalah orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari Bani Tamim yakni orang-
orang yang menyalahkan umat Islam lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka
sehingga mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yang
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Oleh karena mereka salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka bersikap takfiri
yakni mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka dan berujung
77
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari Bani Tamim atau kaum khawarij suka
mempergunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk
Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-
ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang
Sedangkan akal pikiran mengikuti firmanNya adalah akal pikiran yang ditundukkan kepada akal qalbu
Untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah tidak cukup dengan arti bahasa saja dan apalagi hanya
Makna dzahir atau makna harfiah atau makna literal atau makna indrawi adalah makna dari apa yang
tampak atau makna dari apa yang tertulis (tersurat) atau makna leksikal yakni makna dasar yang
terdapat pada setiap kata atau kalimat atau makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang
Sedangkan makna majaz (makna kiasan) adalah termasuk makna bathin atau makna di balik yang
tampak atau makna di balik yang tertulis (tersurat) atau makna tersirat atau makna yang terkait
dengan makna gramatikal yakni makna turunan atau makna kata yang terbentuk karena penggunaan
kata tersebut dalam kaitannya dengan tata bahasa. Makna gramatikal muncul karena kaidah tata
bahasa, seperti afiksasi, pembentukan kata majemuk, penggunaan atau susunan kata dalam kalimat
Contoh tangan makna harfiah atau makna kata secara lepas adalah bagian dari anggota tubuh
manusia namun ketika bersusunan seperti buah tangan, tangan kanan, tangan besi, ringan tangan
Oleh karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) maka diperlukan
kompetensi menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat
seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum
secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat
lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz
mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq,
78
ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan
“rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab“ijtihad” adalah mengetahui naql.
Termasuk di antara faedah ilmu naql ini adalah mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk
memahami pengertian khitab-khitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya dengan
melalui makna lahiriah (makna tersurat / makna dzahir) dari berita-berita yang ada. Demikianpula
Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui bagaimana caranya mengambil kesimpulan
hukum-hukum dari makna yang tersirat dibalik nas-nas yang ada. Termasuk di antara penyelidikan
yang menyangkut nas-nas tersebut adalah mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah
(makna dzahir) dan makna yang tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang terkandung
didalamnya.
Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas, ada sebuah atsar yang bersumber dari Abu
Abdur Rahman. ia telah menceritakan bahwa sahabat Ali ra, berjumpa dengan seorang qadi atau
hakim, lalu Ali ra bertanya kepadanya “Apakah kamu mengetahui masalah nasikh dan masukh?” Si
Qadi tadi menjawab: “Tidak”. Maka Ali ra menegaskan “Kamu adalah orang yang celaka dan
mencelakakan”
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa Al-Haditsiyyah menisbahkan kepada Imam Ibn
‘Uyainah, beliau berkata: “Hadits itu menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab tersebut lalu mensyarahkan perkataan itu:
“Sesungguhnya hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut
bahwa keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya, bahkan
ada juga yang mengandung nasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya. Bahkan dalam
hadits juga mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu
Rabbuna… yang mana tidak diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha’ (ahli fiqh). Berbeda
dengan mereka yang sekedar mengetahui apa yang dzahir daripada hadits-hadits (khususnya
mutasyabihat) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-hadits mutasyabihat dengan makna
79
dzahir) pun sesat seperti yang berlaku pada sebahagian ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti
Di atas, Imam Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan bagaimana ahli hadits (ahli membaca hadits) seperti
Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya yang sesat dan menyesatkan karena selalu berpegang pada
nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat mengelompokkan
ulama seperti Ibnu Taimiyyah , Muhammad bin Abdul Wahhab maupun Albani sebagai ahli hadits
dalam arti ahli membaca hadits bukan ahli hadits yang menerima hadits-hadits dari ahli hadits
sebelumnya secara turun temurun sehingga tersambung kepada Salafush Sholeh dan tersambung
Dalam memahami apa yang Allah Azza wa Jalla sifatkan untuk diriNya perlu menguasai ilmu balaghah
(sastra Arab) karena kita memahami dan meyakini apa yang tidak tampak oleh mata kepala
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)
Oleh karenanya dikatakan bahwa tidak sempurna jika hanya mengetahui dan menguasai ilmu nahwu
dan sharaf tanpa mengetahui dan menguasai ilmu balaghah atau ilmu sastra Arab sebagaimana yang
ketidakseimbangan/
Fungsi sastra adalah fungsi rekreatif, didaktif, estetis, moralitas dan religius yang semua itu
berhubungan dengan hati sehingga dapat membuka mata hati yang berujung dapat menyaksikan
Perhatikan ulama-ulama terdahulu kita yang mumpuni rata-rata mereka menguasai sastra dan
diantaranya dikenal sebagai pujangga atau sastrawan sehingga mereka keras dalam arti tegas
berpendirian, halus tutur katanya. Pandai memilih kata dalam memberi nasehat.
Rasulullah telah bersabda bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah bermunculan suara-suara
Apa yang diperingatkan oleh Rasulullah tampaknya mulai kita saksikan pada masa kini di mana ulama
berdakwah seperti khotbah sholat Jum’at dengan suara meninggi (berteriak) , keras dan kasar karena
80
Seolah-olah dihadapan para pendakwah tersebut adalah para pendosa dan hanya diri merekalah yang
akan masuk surga. Padahal mereka berpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah secara dzahir atau
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap
pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang
yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk
neraka“
Dalam kajian ilmu-ilmu Balaghah, ungkapan dalam bentuk majaz lebih berkesan daripada ungkapan
hakiki. Berkesan di sini dalam arti mempunyai nilai tinggi dan makna yang dalam karena tidak seperti
ungkapan-unkapan seperti biasanya. Misalnya, seseorang hendak memuji kebaikan orang lain dengan
berkata “sungguh, kau adalah malaikat bagiku.” Ekspresi ini tentunya lebih bermakna dari pada
mengatakan “kau sangat baik, telah membantuku menyelesaikan masalah ini.” perumpamaan
“malaikat” tentunya dimaksudkan untuk mengungkapkan kebaikan yang sifatnya lebih dari pada
Hal ini tidak hanya terjadi dalam percakapan sehari-hari, al-Qur’an juga banyak menyuguhkan
Contohnya pada surat al-Baqarah ayat 187 yang artinya, “makanlah dan minumlah sehingga tampak
jelas bagimu benang putih dari benang hitamnya fajar, kemudian sempurnakanlah puasa hingga
malam.”
“Benang putih dari benang hitamnya fajar” yang dimaksud dalam ayat ini bukan benang dalam arti
alat yang biasanya dipakai untuk menjahit, akan tetapi –sebagaimana dijelaskan oleh Nabi dalam
hadisnya-, bahwa maksud ayat ini adalah putihnya siang dan hitamnya malam.
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id Telah menceritakan kepada kami Jarir dari
Mutharrif dari Asy Sya’bi dari ‘Adi bin Hatim radliallahu ‘anhu berkata; Aku bertanya ya Rasulullah
apakah yang dimaksud benang putih dan benang hitam itu? Apakah benar-benar berbentuk benang
tali? Beliau menjawab: ‘Sesunguhnya lehermu terlalu panjang bila melihat kedua benang itu. tidak
demikian, sesungguhnya yang dimaksud adalah hitamnya malam dan putihnya siang hari.’ (HR
Bukhari 4150)
Jadi pengertian takwil adalah memalingkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai
berdasarjan qorinah (petunjuk) dari ayat itu sendiri dalam jumlah keseluruhan atau sebahagian ayat
81
tersebut yang dimengerti oleh para ahlinya berdasarkan ilmu-ilmu terkait bahasa Arab atau ilmu tata
bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu
lainnya.
Pengertian Takwil secara laughwi (etimologis) takwil berasal dari kata al-awl (يؤول
ّ – ) ّأول, artinya
kembali; atau dari kata al ma’al artinya tempat kembali; al- iyalah yang berarti al –siyasah yang
berarti mengatur.
Muhammad Husaya al-Dzahabi berpendapat bahwa pengertian takwil adalah penafsiran suatu
pembicaraan teks dan menerangkan maknanya, tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan
Begitupula sebagian ulama berpendapat bahwa pada hakikatnya takwil sama dengan tafsir.
Secara bahasa kata Tafsir ( ) تفســيرberasal dari kata فَس ََّرyang mengandung arti: menjelaskan,
Kata الفســرberarti menyingkapkan sesuatu yang tertutup (Al-Qaththan, 1992: 450 – 451).
Menurut istilah, Tafsir berarti Ilmu untuk mengetahui kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammas shallallahu alaihi wasallam dan penjelasan maknanya serta pengambilan hukum dan
Definisi lain tentang pengertian Tafsir dikemukakan oleh As-Shabuni [1985: 66], bahwa Tafsir adalah
Ilmu yang membahas tentang Al-Quranul-Kariem dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa “Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang
pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan
arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafazh dzahir.”
Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa: “Membawa makna lafazh dzahir yang mempunyai ihtimal
Kaum muhadditsin mendefinisikan takwil, sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul
fiqh, yaitu: menurut Wahab Khalaf takwil yaitu “memalingkan lafazh dari dzahirnya, karena adanya
dalil.”
82
Sedangkan menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang dzahir kepada
Dari pengertian kedua istilah ini dapat disimpulkan, bahwa tafsir adalah penjelasan terhadap makna
dzahir (lahiriah) dari ayat Al Quran yang penegrtiannya secara tegas menyatakan maksud yang
dikehendaki oleh Allah; sedangkan takwil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbathkan dari
Jadi dapat disimpulkan bahwa takwil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain
yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173].
Alasan yang dapat diterima oleh akal sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni
1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.
2. Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al
Quran.
Ibn Al Jawzi menjelaskan bahwa para ahli tafsir berkata: ”Makna ” ;”ويبقى وجه ربكartinya ”” ;”ويبقى ربكDan
Tuhanmu (Allah) maha kekal”. Demikian pula pemahaman firman Allah yang senada dengan ayat di
atas, firman-Nya: ” ;”يريدون وجههpara ahli tafsir berkata: ”Artinya ”” ;”يريدونهMereka bertujuan ikhlas
karena Allah”. Sementara Imam ad-Dlahhak dan Abu Ubaidah menafsirkan firman Allah ” كل شىء هالك إال
Begitupula dari kalangan masyarajat Arab klasik bahwa kata wajah biasa digunakan merujuk kepada
wajah yang dikenal secara denotatif, dan kadang juga digunakan oleh bangsa Arab merujuk diri
seseorang, artinya mereka menggunakan ungkapan “wajah” untuk menyebut “diri seseorang”,
Begitu juga dengan juga kata “wajah”, orang Arab biasa menggunakannya secara majaz (metaforis
atau makna kiasan) untuk mengungkapkan sosok seseorang demi memuliakannya. Maka mereka
Contoh lain
83
“Allah di atas segala sesuatu” bukanlah berarti “Allah berada di atas segala sesuatu” karena menurut
Ibn Al Jawzi, pengertian “fawq”, “ ” فوقdalam makna indrawi (makna dzahir) “berada di atas” hanya
Perbuatan mensifatkan Tuhan dengan sifat benda adalah perkara terlarang karena mensifatkan Tuhan
Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (W. 321 H) menyatakan dalam kitabnya al-Aqidah ath-Thahawiyah:
Ta’ala ‘anil Hududi wal Ghayati wal Arkani wal A’dha’i wal Adawati La Tahwihil Jihatus Sittu Kasairil
Mubtada’at, “Maha Suci Allah dari ukuran, batas akhir, sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (Seperti
tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (Seperti mata dan lidah) Dia tidak diliputi oleh arah
penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi
oleh arah)”.
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa orang Arab sering menggunakan ungkapan: “ ;” فالن فوق فالنartinya;
“derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan
Contoh lain bangsa Arab juga menggunakan kata janbun (pinggang) secara majaz (metaforis atau
makna kiasan).
Orang Arab sering mengatakan haadzal amru yashghuru fii janbi haadzaa (urusan ini menempel pada
Atas dasar itu, maka ayat seperti yaa hasrotanaa alaa maa farrothnaa fii janbillaahi (QS Az Zumar 56)
tidak dapat dipergunakan untuk menetapkan berdasarkan makna dzahir (isbat makna dzahir) bahwa
Allah memiliki pinggang namun ditafsirkan (ditakwilkan) terkait dengan mengabaikan (melalaikan)
urusan Allah atau mengabaikan (melalaikan) kewajiban terhadap Allah yakni mengabaikan
Salafush Sholeh bukanlah menetapkan berdasarkan makna dzahir (isbat makna dzahir) sebagaimana
pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah melainkan menetapkan berdasarkan
lafaznya (isbat lafaz) dan tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa dan menyerahkan maknanya
kepada Allah.
84
Salasush Sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin
Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah?
Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak
boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan
(makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).
Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak
boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada
bahasa Arab”.
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-
Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu
itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-
ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya.
Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Ibnu al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna
dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks
tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah seperti makna majaz timbul jika dipahami
dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Hal yang perlu kita ingat bahwa menakwilkan dengan ilmu balaghah seperti makna majaz bukanlah
perkara terlarang.
1. Orang-orang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga
menimbulkan fitnah seperti ada yang mengatakan bahwa Tuhan mereka bertangan dua dan kedua-
duanya kanan
2. Orang-orang mencari-cari takwil untuk memperturutkan hawa nafsunya seperti mengingkari sifat-
sifat Allah
85
Firman Allah yang artinya, “Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-
Sedangkan pada ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman bahwa Dia mengkaruniakan kemampuan takwil
Kemampuan takwil adalah kemampuan memahami dengan mengambil pelajaran berdasarkan karunia
hikmah dari Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada siapa yang dikehendakiNya
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab“ (QS Ali Imran [3]:7)
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah)
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui”
“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak
Ulil Albab atau ahli dzikir atau orang yang mempunyai pengetahuan karena karunia hikmah dari Allah
Ta’ala adalah
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendoakan untuk Ibnu Abbas ra agar Allah Ta’ala
atau
86
Allahumma ‘allimhu al hikmah.
atau
Ya Allah dalamkan pengetahuannya dalam agama dan alilmkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al
Tentulah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mendoakan hal yang terlarang bagi Ibnu Abbas
ra.
Oleh karenanya dapat kita simpulkan bahwa yang dilarang adalah “mencari-cari takwil” sedangkan
menakwilkan dengan ilmu balaghah seperti makna majaz tidak terlarang karena Al Qur’an dalam
bahasa Arab.
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu
balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik
dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu
sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para
ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan
Berikut contoh pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang memahami apa yang
telah dikabari oleh Allah dan RasulNya selalu dengan makna dzahir dan menolak makna majaz
(makna kiasan) yakni Abdul Hakim bin Amir Abdat yang menyatakan bahwa tuhan mereka bertangan
pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-
adalah-kanan/
87
Mereka yang meneruskan kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dapat mengakibatkan amal ibadah mereka tidak
diterima Allah karena mereka beribadah bukan kepada Tuhan yang sebenarnya namun kepada tuhan
Mereka beribadah kepada sesuatu yang diyakininya (dii’tiqodkan) bersandarkan selalu berpegang
pada nash secara dzahir atau pemamaham mereka selalu dengan makna dzahir
Mereka beribadah kepada sesuatu yang mempunyai dua mata, dua tangan (ada yang mengatakan
keduanya kanan), lima jari, dua kaki, betis, telapak kaki, sebagaimana contoh tulisan mereka
pada http://ajaranislamyanghaq.wordpress.com/2013/02/04/bagaimanakah-bentuk-allah-swt-itu/
Blog tersebut telah diproteksi untuk kalangan mereka sendiri namun kami sempat mengarsipnya
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/bentuk-tuhan-mereka.pdf
Berikut contoh bagaimana mereka mengungkapkan yang mereka sembah sebagaimana yang dapat
03 detik 15
Berikut transkriptnya,
“Ya sudah kalau kita apa, misalkan tangan Allah, ya sudah itu tangan Allah.
Allah punya tangan akan tetapi apakah tangan Allah seperti tangan makhluk ? tidak.
Sedangkan sama sama makhluknya Allah Subhanahu wa Ta’ala, kaki gajah dengan kaki semut ndak
sama. Sama-sama kaki namanya. Kaki meja dengan kaki kamera ini yang untuk tahan sandaran ini,
ndak sama.
Apalagi tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tangan makhluknya ndak sama karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Laisa kamitslihi syai’un wahuwa samii’u bashiir” tidak ada yang sama
dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, apapun di dunia ini, adapun kalau sama namanya ndak sama
Mereka mengatakan bahwa “kaki gajah dan kaki semut tidak sama walaupun sama-sama kaki
namanya. Begitupula kaki meja dan kaki kamera yang untuk sandaran juga tidak sama walaupun
88
***** awal kutipan *****
Anggota badan yang menopang tubuh dan dipakai untuk berjalan (dari pangkal paha ke bawah),
kaki langit, batas pandangan secara horizontal yang seolah-olah langit bagian bawah berbatas dengan
Bagian suatu benda yang menjadi penopang (penyangga) yang berfungsi sebagai kaki seperti kaki
kaki tiga, penyangga (pada kamera dan sebagainya) yang terdiri atas tiga batang yang dapat dilipat
(tripod)
Jadi walaupun kaki manusia, kaki meja, kaki kursi, kaki kamera berbeda bentuk dan ukurannya
namun mempunyai sifat yang sama yakni bagian bawah, untuk penopang (penyangga) sedangkan
Allah Ta’ala “Laisa kamitslihi syaiun” tidak serupa dengan makhlukNya dari sisi apapun.
Mereka lupa bahwa walaupun bentuk dan ukuran kakinya berbeda, sifat kaki bagi kaki semut, kaki
gajah, kaki meja atau kaki kamera adalah untuk menopang sesuatu yang mempunyai suatu bentuk
serta ukuran.
Jika tidak menopang sesuatu maka tidak disifatkan dengan kaki seperti kaki semut, kaki gajah, kaki
Jadi mereka mensifatkan yang tidak dilayak bagi Allah yakni sifat kaki, suatu bagian yang menopang
sesuatu yang mempunyai suatu bentuk serta ukuran walaupun dikatakan bentuknya tidak serupa
dengan makhlukNya sedangkan bentuk dan ukuran adalah sifat makhluq bukan sifat Allah Ta’ala.
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh
disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-
sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata
dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang)
Dalam kitab yang berjudul Fatawa al Aqidah karya Muhammad ibn Shalih al Utsaimin hal. 112 ia
mengatakan: “Sesungguhnya Allah datang dengan sebenar-benar datang.” Dan pada hal. 114 ia
89
mengatakan: “Sesungguhnya dhahirnya terdapat kedatangan Allah dengan bergegas dan ini tidak
Ibnu Utsaimin berkata, “Mazhab Ahlussunah adalah: Bahwa Allah memiliki dua mata, Dia melihat
dengan keduanya secara hakikat sesuai dengan kedudukan yang layak bagi-Nya. Keduanya
Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjelaskan: “Wajah (Allah) merupakan sifat yang terbukti
keberadaannya berdasarkan dalil Al-Kitab, As-Sunnah dan kesepakatan ulama salaf.” Kemudian beliau
menyebutkan ayat ke-27 dalam surat Ar-Rahman… (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 48)
Dan dalam kitab yang berjudul Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah cetakan Yayasan Cordoba al Andalus
hal. 14-15 Ibn Utsaimin mengatakan: “Kami beriman bahwa Allah memiliki dua mata dengan
sebenarnya”. Ia juga mengatakan: “Ahlussunnah telah bersepakat bahwa mataNya ada dua”.
Dalam kitab yang berjudul Tafsir ayat al Kursiy karya Muhammad ibn Utsaimin hal. 27 disebutkan:
“Dan kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah azza wa jalla.”
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa)
yang diketuai Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dalam fatwa Nomor 2331 menetapkan bahwa Nabi
Adam AS diciptakan dalam bentuk Allah Yang Maha Pengasih sebagaimana yang dipublikasikan
pada http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaDetails.aspx?languagename=id&lang=id&IndexItemID=180
956&SecItemHitID=193124&ind=13&Type=Index&View=Page&PageID=1024&PageNo=1&BookID=3&
Title=DisplayIndexAlpha.aspx
Kedua: Pronomina (kata ganti) yang terdapat dalam sabda Nabi Dalam bentuk-Nya kembali kepada
lafadz jalalah (Allah), dalilnya terdapat di dalam riwayat lain yang derajatnya juga shahih Dalam
bentuk Allah Yang Maha Pengasih Ini jika ditinjau dari konteks hadits secara eksplisit. Makna ini
tentunya tidak berimplikasi pada adanya tasybih (penyerupaan), karena Allah telah menamakan diri-
Nya dengan nama-nama yang juga dipakai oleh makhluk-Nya, dan menyifati diri-Nya dengan sifat-
sifat yang dipakai makhluk-Nya. Dan hal ini sama sekali tidak berimplikasi pada adanya penyerupaan.
Begitu juga dengan masalah bentuk. Ketika bentuk itu dinisbatkan kepada Alah tidaklah dengan serta
merta ada penyerupaan terhadap makhluk-Nya, karena adanya kesamaan dalam nama dan arti
secara umum tidak dengan serta merta berimplikasi pada adanya penyerupaan terhadap hal yang
90
menyangkut kekhususan masing-masing dari keduanya, berdasarkan firman Allah Ta’ala: Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/07/dalam-bentuknya/
Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata: “Barang siapa beranggapan
(berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui (belum mengenal) Tuhan yang
wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W 430 H) dalam
Al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata: “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah
KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu
faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai
Awal beragama adalah mengenal Allah dan akhir beragama adalah menyaksikan Allah dengan hati
(ain bashiroh)
Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah)
dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana mengenal Allah yang
merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat
Mereka yang meneruskan kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sehingga mereka dapat terjerumus durhaka
kepada Allah
Syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin”
91
mempunyai jisim (seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya,
maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat
Sedangkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan
sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah
dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya
: “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru
atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur
dalam i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa
Ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-
Akibat mereka taqlid buta dan meneruskan kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sehingga mereka dapat
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy
dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada
Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari,
seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan
semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang
raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang
artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits diatas sebagai bukti
pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah
kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “ وما
“( ” قدروا هللا حق قدرهDan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az
Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
92
Oleh karenanya para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat
menasehatkan bahwa sebaiknya janganlah taqlid buta mengikuti pemahaman (pendapat) Ibnu
Taimiyyah sebelum bertaubat yang dilabeli dengan nama atau istilah mazhab (manhaj) salaf karena
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar
Para ulama telah menasehatkan jagalah aqidahmu, janganlah memahami apa yang telah Allah Ta’ala
sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum
Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,
“Jagalah aqidahmu dari selalu berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu
Cara atau upaya kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi untuk
menyesatkan para pengikut ulama Najed, ditengarai adalah dengan menyodorkan kitab-kitab Ibnu
Taimiyyah sebelum bertaubat kepada Muhammad bin Abdul Wahhab sebagaimana contoh informasi
dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam
ke-1/
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan
sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam
mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang
93
selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
Kitab pokok atau kitab dasar aqidah ajaran atau paham Wahabi (wahabisme) adalah kitab Al Aqidah
Al Wasithiyah karya Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin
Abdul Wahhab dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana yang telah disampaikan
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/12/24/kitab-aqidah-wahabisme
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah
yang merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul
Wahhab. Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian
dicetak lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah
liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada
penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id
bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat
pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
Kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dihadirkan dan dibacakan dalam persidangan yang
memutuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan yang ditetapkan oleh
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2
halaman 210 menegaskan : “Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
Dan di tahun 707 hari ke-6 bulan Rabi’ul Awwal hari Kamis, Ibnu Taimiyyah menyatakan taubatnya
dari akidah dan ajaran sesatnya di hadapan para ulama Ahlus sunnah wal jama’ah dari kalangan
empat madzhab, bahkan ia membuat perjanjian kepada para ulama dan hakim dengan tertulis dan
tanda tangan untuk tidak kembali ke ajaran sesatnya, namun setelah itu ia pun masih sering
membuat fatwa-fatwa nyeleneh dan mengkhianati surat perjanjiannya hingga akhirnya ia mondar-
mandir masuk penjara dan wafat di penjara setelah sidang ke empat. Beliau wafat pada malam hari
94
tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H. sebagaimana yang dikabarkan pada http://ibnu-
alkatibiy.blogspot.co.id/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html
Begitupula sejalan dengan keputusan Qodhi Empat Mazhab pada masa lalu, Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) Aceh belum lama ini juga menyatakan bahwa ajaran baru kelompok Salafi adalah ajaran
sesat dan menyesatkan, baik dibidang aqidah maupun ibadahnya. Hal ini tertuang dalam Fatwa MPU
Aceh Nomor 09 Tahun 2014 Tentang Pemahaman, Pemikiran, Pengalaman, dan Penyiaran Agama
Islam di Aceh.
Fatwa para ulama Aceh yang dikeluarkan pada 27 Sya’ban 1435 H/ 25 Juni 2014 ini menyebutkan
bahwa pengajian Kelompok Salafi di Gampong Pulo Raya Kecamatan Titeu Kabupaten Pidie dan
ditempat lainnya adalah sesat dan meminta pemerintah untuk segera menutup pengajian, penyiaran
Ketua MPU Aceh, Drs Tgk H Gazali Mohd Syam, mengatakan fatwa ini dikeluarkan setelah melakukan
pengkajian mendalam bersama puluhan ulama di berbagai kabupaten/ kota, dan pertemuan dengan
“Fatwa MPU Aceh dikeluarkan terhadap ajaran Salafi itu dilakukan setelah beberapa pengkajian
bersama 47 ulama, yang berada di kabupaten/ kota, termasuk beberapa kali pertemuan dengan
pimpinan Salafi,” kata Ketua MPU Aceh, Drs Tgk H Gazali Mohd Syam, Kamis (21/8/ 2014).
Disebutkan ajaran Salafi di Pulo Raya khususnya di Aceh, sangat jauh berbeda dengan ajaran Salafi
yang berkembang di masa sahabat Nabi Muhammad, Salafi di Mesir dan Salafi di Arab Saudi.
Hasil keputusan fatwa MPU Aceh menghasilkan 4 poin penting di bidang aqidah dan 5 poin di bidang
ibadah yang ajarannya bertentangan dengan ajaran agama Islam. Seperti yang tertuang dalam ajaran
Salafi, Allah itu berada di atas ‘Arsy/ langit dan Allah itu membutuhkan tempat, waktu, dan arah. Ini
berarti Allah membutuhkan makhluk karena semua itu baik Arsy, tempat, dan waktu adalah ciptaan
Inilah 4 poin aqidah Salafi yang sesat dan menyesatkan yang dikeluarkan MPU Aceh:
95
Sedangkan di ibadah yang salah dalam ajaran Salafi adalah niat shalat di luar takbiratul ihram, haram
qunut pada shalat Shubuh, haram memperingati maulid Nabi Muhammad SAW, haram berzikir dan
berdoa berjama’ah, serta wajib mengikuti hanya Alquran dan hadist dalam bidang aqidah, syariah dan
akhlak.
aceh-aqidah-salafi-itu.html
Begitupula negara tetangga Malaysia mulai melarang penyebarluasan ajaran (paham) Wahabi
(wahabisme) yakni ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali
ajaran (paham) Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi
Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia menegaskan bahwa pengharaman penyebarluasan ajaran Wahabi
(wahabiyyah) yang dipelopori oleh Majlis Agama Islam Negeri Sembilan tidak akan menjejaskan
(mempengaruhi) hubungan negara dengan Arab Saudi sebagaimana kabar yang telah diarsip
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/28/tak-sesuai-di-malaysia/
Dalam kabar tersebut Pengerusi Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan, Prof Emeritus Tan Sri Dr Abdul
“Hak mengeluarkan fatwa adalah hak negeri masing-masing. Contoh seperti apa dilakukan Majlis
Agama Islam Negeri Sembilan yang mengeluarkan fatwa mengharamkan penyebaran Wahabi di
“Saya fikir, negeri tersebut mengharamkan Wahabi kerana tidak mahu berlaku kacau bilau dalam
Dalam pada itu, Abdul Shukor berkata, tindakan negeri tersebut juga tidak akan menjejaskan
hubungan negara dan Arab Saudi kerana sememangnya itu hak negeri tersebut.
“Jika perkara itu akan menjejaskan hubungan, maknanya tiada hak kepada negeri untuk membuat
keputusan sendiri.
“Malahan Jakim dan Majlis Fatwa Kebangsaan telah membincangkan perkara tersebut lebih awal
96
Sejak tahun 2012, mufti Negeri Perak Darul Ridzuan telah memelopori mengeluarkan fatwa
pelarangan ajaran (paham) Wahabisme sebagaimana yang mereka publikasikan pada http://www.e-
fatwa.gov.my/fatwa-negeri/fatwa-mengenai-penegahan-menyebarkan-aliran-dan-dakyah-wahabiah
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/08/fatwa-negeri-perak-tentang-penegahan-
wahabiah.jpg
Pesanan Mufti Haji Said, Sungguhpun umat Islam di negara ini sejak dahulu lagi menganut fahaman
dan `aqidah Ahlus Sunnah wal Jama`ah, tetapi kini mereka telah banyak diresapi oleh fahaman
`aqidah-`aqidah yang berlawanan dan bertentangan dengan fahaman dan `aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama`ah, sehingga ada yang sudah dipengaruhi oleh fahaman dan `aqidah Syiah dan Mu’tazilah,
bahkan ada pula yang telah terpengaruh dan mengikut fahaman dan `aqidah Ibnu Taimiyyah dan lain
– lainnya.
Fatwa Mufti Pehin Haji Ismail, Adalah mazhab as-Salafiyah yang dihidupkan oleh al-Allamah Ibnu
Taimiyah dan yang dipakai serta diamalkan oleh al-Wahhabiyah itu bukan mazhab Ahli Sunnah Wal
Jamaah dan ia keluar dari mazhab yang empat. Mazhab as-Salafiyah berdasarkan Allah berjisim dan
menyerupai
Begitupula dalam wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahim memasukkan mazhab atau
pemahaman Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya yang bertemu langsung seperti Ibnu Qoyyim Al
Jauziyah maupun yang tidak bertemu langsung seperti Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai mazhab
khawarij artinya mazhab yang menyempal keluar (kharaja) dari mazhab Imam Mazhab yang empat
syeikh-abdullah-fahim.html
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya
mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah.
Maksud mereka itu hendak mengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan
Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab
Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyim al-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya
97
Ulama terdahulu kita dari kalangan Sunni Syafei yang ternama sampai Semenanjung Tanah Melayu,
Brunei Darussalam, Singapur sampai Pathani, negeri Siam atau Thailand yakni KH. Sirajuddin Abbas
(lahir 5 Mei 1905, wafat 23 Ramadhan 1401H atau 5 Agustus 1980) dalam buku berjudul I’tiqad
Ahlussunah Wal Jamaah yang diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Baru, Jl Tebet Barat XA No.28,
Jakarta Selatan 12810 dalam cetakan ke 8, 2008 tercantum dua buah sekte atau firqoh dalam Islam
yakni firqoh berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari halaman 296 sampai 351 dan firqoh
berdasarkan pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab dari halaman 352 sampai 380.
Begitupula pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk
menghindari pemahaman Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha maupun mereka yang meneruskan
kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, pendiri firqah Wahabi dan penerus kebid’ahan Ibnu
Taimiyah sebelum bertaubat serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Abdul Hadi,
sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6 selengkapnya
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2015/08/risalah-aswaja.pdf
Diantara mereka (sekte yang muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang
mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan kebid’ahan
Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim
Penjelasan para ulama lainnya tentang kesesatan pemahaman Ibnu Taimiyyah, salah satunya dapat
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa
dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan
membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah
karena beliau mengutip pendapat ulama terdahulu maupun memahami Al Qur’an dan As Sunnah
bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri
dan beliau selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman beliau selalu dengan makna
dzahir
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian
menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat
Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah
98
an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata:
“Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan
wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu
Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara
8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal
dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti
dijelaskan dalam:
– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
99
10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn
11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H).
Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul
12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan
menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam
Rasulullah.
13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.
14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu
15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya
16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua
risalahnya:
17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-
19. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk
memenjarakannya.
20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam
21. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al
Muhith.
22. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).
100
23. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah alKubra.
24. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya :‘Uyun at-
Tawarikh.
25. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al
26. Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri al Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al Mardhiyyah fi ar-
Radd ‘Ala Man Yunkir az- Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan
27. Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743 H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq
28. Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani al- Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhatsal
29. Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad, yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H)
30. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya: – Ad-Durar al Kaminah fi
A’yan al Mi-ah ats-Tsaminah – Lisan al Mizan – Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari – Al Isyarah Bi
31. Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-
ilah al Makkiyyah.
32. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli Syuhbah asy- Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadli Syuhbah
33. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa
34. Pimpinan para ulama seluruh Afrika, Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803 H).
35. Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan
orang yang menyebutnya Syekh al Islam1. Artinya orang yang menyebutnya dengan julukan Syekh al
Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al
36. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamid ad-Din al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W867 H) dalam
101
37. Syekh Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki (W899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.
38. Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam Al I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.
39. Ahmad ibn Muhammad Yang dikenal denganIbnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul
40. Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W 968
41. al Bayyadli al Hanafi (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram Min ‘Ibarat al Imam.
42. Syekh Ahmad ibn Muhammad al Witri (W 980 H) dalam Raudlah an- Nazhirin WaKhulashah
43. Syekh Ibnu Hajar al Haytami (W 974 H)dalam karya-karyanya; – Al Fatawi al Haditsiyyah – Al
Wassalam
Isbat lafaz
isbat lafaz
Salaf bukanlah isbat makna dzahir namun isbat lafaz dan menyerahkan maknanya kepada Allah
Para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam tulisan-tulisan mereka memang
mengutip perkataan ulama salaf (terdahulu) maupun ulama khalaf (kemudian) ataupun mengutip Al
102
Qur’an dan Hadits namun permasalahannya mereka terjemahkan dan pahami selalu dengan makna
dzahir.
Salah seorang penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah adalah ulama panutan mereka yakni ust Firanda
Andirja sebagaimana Tesis S2 nya berjudul “Jawaban Ibnu Taimiyyah terhadap syubhat-syubhat
terperinci yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah dzatiyah yang dilontarkan oleh para penolak sifat”
sebagaimana yang dipublikasikannya pada http://firanda.com/index.php/tentang-kami
Contohnya dalam sebuah tulisan ust Firanda mengutip perkataan Abul Hasan Al-Asy’ari namun
mentafsirkan, menterjemahkan dan memahaminya dengan “bahwasanya Allah beristiwaa’ di atas
‘arsyNya sebagaimana firmanNya, dan bahwasanya Allah berada di atas segala sesuatu” sebagaimana
yang dipublikasikan pada pada http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/76-mengungkap-tipu-
muslihat-abu-salafy-cs
diterjemahkan dan dipahami mereka dengan, “sedangkan Ia berada di atas ‘Arsy. Dan Allah berada di
atas segala sesuatu”
Sisipan kata “berada” bukanlah pemahaman Salafush Sholeh namun pemahaman mereka sendiri karena
mereka enggan tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk dengan menakwilkan atau
memalingkan makna fawq “berada di atas” ke makna lain yang lebih sesuai karena jika dipahami dengan
makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Selain menakwilkan berdasarkan qorinah (petunjuk) dari ayat atau nash yang lain, penakwilan atau
memalingkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih sesuai berdasarkan qorinah (petunjuk)
dari ayat itu sendiri dalam jumlah keseluruhan atau sebahagian dari ayat tersebut yang dimengerti oleh
para ahlinya berdasarkan ilmu-ilmu terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat
seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya sebagaimana yang
telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/08/pengertian-takwil/
103
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa “Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang
pengambilan makna dari lafaz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti
yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafaz dzahir.”
Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa: “Membawa makna lafaz dzahir yang mempunyai ihtimal
(probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.
Sedangkan menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafaz dari artinya yang dzahir kepada makna
yang lain, tetapi bukan dzahirnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa takwil adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang
lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173].
Alasan yang dapat diterima oleh akal sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni
1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.
2. Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al
Quran.
“Allah di atas segala sesuatu” bukanlah berarti “Allah berada di atas segala sesuatu” karena menurut Ibn
Al Jawzi, pengertian “fawq”, “ ” فوقdalam makna indrawi (makna dzahir) “berada di atas” hanya berlaku
bagi setiap jawhar dan benda saja.
Perbuatan mensifatkan Tuhan dengan sifat benda adalah perkara terlarang karena mensifatkan Tuhan
dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya
104
Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (W. 321 H) menyatakan dalam kitabnya al-Aqidah ath-Thahawiyah:
Ta’ala ‘anil Hududi wal Ghayati wal Arkani wal A’dha’i wal Adawati La Tahwihil Jihatus Sittu Kasairil
Mubtada’at, “Maha Suci Allah dari ukuran, batas akhir, sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (Seperti
tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (Seperti mata dan lidah) Dia tidak diliputi oleh arah
penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh
arah)”.
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa orang Arab sering menggunakan ungkapan: “ ;” فالن فوق فالنartinya;
“derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A)
berada di atas pundak si fulan (B)
Jadi makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, ““ ;” علو المرتبةderajat yang tinggi”.
Contoh lain bangsa Arab juga menggunakan kata janbun (pinggang) secara majaz (metaforis atau makna
kiasan).
Orang Arab sering mengatakan haadzal amru yashghuru fii janbi haadzaa (urusan ini menempel pada
pinggang ini) yaitu melekat kepadanya apabila ia berkaitan dengannya.
Atas dasar itu, maka ayat seperti yaa hasrotanaa alaa maa farrothnaa fii janbillaahi (QS Az Zumar 56)
tidak dapat dipergunakan untuk menetapkan berdasarkan makna dzahir (isbat makna dzahir) bahwa
Allah memiliki pinggang namun ditafsirkan (ditakwilkan) terkait dengan mengabaikan (melalaikan)
urusan Allah atau mengabaikan (melalaikan) kewajiban terhadap Allah yakni mengabaikan (melalaikan)
perintahNya dan laranganNya.
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li” (sifat
perbuatan) saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
Kita mengetahui “Sifat Fi’li” (sifat perbuatan) bagi Allah seperti Maha Melihat , Maha Mendengar namun
terlarang mensifatkan DzatNya seperti Allah memiliki wajah, pinggang, dua mata, dua tangan dan
keduanya kanan dan lain lainn karena Rasulullah melarang kita untuk memikirkan DzatNya dan
menyarankan untuk meyakini keberadaan Allah dengan memikirkan nikmat yang telah diberikanNya
105
atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Azza wa Jalla sebagai wujud perbuatan Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan
sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah“.
Mereka megatakan bahwa Salafush Sholeh bermanhaj isbat yakni mengisbatkan (menetapkan) semua
sifat-sifat Allah dengan mengetahui maknanya dan Salafush Sholeh hanya menafikan pengetahuan
tentang keadaan sifat tersebut (nafi ilmul kaif)
Contohnya, menurut Ibn Taimiyah, Salafus Sholeh memahami bahwa yang dimaksudkan dengan yadd
Allah adalah tangan Allah tetapi keadaan tanganNya tersebut tidak diketahui atau mengatakan bahwa
tangan Allah tidak serupa dengan tangan makhlukNya
Syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” mengatakan
bahwa barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim
(seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut
hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. I’tiqad
yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu
bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah
Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Sedangkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-
sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat
akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai
Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena
pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam i’tiqod)
karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan mensifati-
Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi(w. 725 H)
dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
106
Pada kenyataannya, Salafush Sholeh bukanlah nafi ilmul kaif melainkan nafi aslul kaif yakni menafikan
akan adanya keadaan kaif itu sendiri yang di nisbat kan pada Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Menafikan aslul kaif berarti mencegah orang dari menggambarkan lafaz-lafaz ayat sifat tersebut dengan
maknanya dari sudut bahasa atau makna dzahir karena ketika seseorang mendengar lafaz-lafaz ayat
sifat akan terus menggambarkan sifat-sifat tersebut dengan makna dzahir maka dia akan terjerumus
kepada paham tajsim atau menjisimkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Terhadap lafaz-lafaz ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan selalu berdasarkan maknanya secara
dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafaz-lafaz ayat sifat sangat
beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Terhadap lafaz-lafaz ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih
tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di
dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan
membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh
dalam kesesatan tasybîh”
Salafush Sholeh bukanlah menetapkan berdasarkan makna dzahir (isbat makna dzahir) sebagaimana
pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah melainkan menetapkan berdasarkan
lafaznya (isbat lafaz) dan tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa dan menyerahkan maknanya
kepada Allah.
Salasush Sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin
Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka
semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir“
Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak boleh
seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan (makna)
bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).
107
Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak boleh
menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada bahasa
Arab”.
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya
dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat
sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya.
Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Jadi pada hakikatnya Salafush Sholeh terhadap ayat-ayat sifat menggunakan manhaj takwil
(memalingkan makna sesuatu lafaz daripada makna dzahir atau makna yang asal menurut bahasa) yakni
takwil secara ijmali (ringkas dan menyeluruh) yakni menetapkan berdasarkan lafaznya (isbat lafaz) dan
tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa walaupun tidak memberikan makna lain kepada lafaz
tersebut dan menyerahkan maknanya kepada Allah.
Sedangkan ulama-ulama yang dikatakan sebagai ulama khalaf (ulama kemudian) ketika menghadapi
semakin ramainya orang-orang bukan Arab memeluk Islam dan semakin banyak pula pengaruh budaya-
budaya dan pengaruh asing masuk ke dalam umat Islam maka, timbullah falsafah-falsafah luar yang
menggugat institusi aqidah islamiyah dalam umat Islam, khususnya bagi umat Islam yang bukan dari
orang-orang Arab.
Hal ini memaksa ulama-ulama khalaf membuat satu pendekatan yang lebih mudah iaitu, dengan
memberi ta’wil kepada ayat-ayat mutasyabihat tersebut dengan makna lain, yang bersesuaian dengan
kaedah Bahasa Arab itu sendiri yang disebut takwil tafsili karena pendekatan tafwidh dengan
menyerahkan maknanya kepada Allah tidak cukup memuaskan kebutuhan orang-orang awam yang
cenderung terus bertanya mempergunakan akal pikiran mereka sendiri.
Salah satu pilar aqidah Islam adalah tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk dengan
menakwilkan atau memalingkan makna sebuah lafazh ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang
lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau makna kiasan)
108
Takwil dibutuhkan atau digunakan hanya jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah
dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah
memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih:
“Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali
dengannya, maka hukumnya wajib”.
Untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah tidak cukup dengan arti bahasa saja dan apalagi hanya
berbekal makna dzahir saja.
Makna dzahir atau makna harfiah atau makna literal atau makna indrawi adalah makna dari apa yang
tampak atau makna dari apa yang tertulis (tersurat) atau makna leksikal yakni makna dasar yang
terdapat pada setiap kata atau kalimat atau makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lain
dalam sebuah susunan kata atau kalimat.
Sedangkan makna majaz (makna kiasan) adalah termasuk makna bathin atau makna di balik yang
tampak atau makna di balik yang tertulis (tersurat) atau makna tersirat atau makna yang terkait dengan
makna gramatikal yakni makna turunan atau makna kata yang terbentuk karena penggunaan kata
tersebut dalam kaitannya dengan tata bahasa. Makna gramatikal muncul karena kaidah tata bahasa,
seperti afiksasi, pembentukan kata majemuk, penggunaan atau susunan kata dalam kalimat dan lain lain
Contoh tangan makna harfiah atau makna kata secara lepas adalah bagian dari anggota tubuh manusia
namun ketika bersusunan seperti buah tangan, tangan kanan, tangan besi, ringan tangan mempunyai
makna yang berlainan.
109
Oleh karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) maka diperlukan kompetensi
menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu,
sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar
dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al
Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada
lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz,
ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain.
Begitupula dalam memahami apa yang Allah Azza wa Jalla sifatkan untuk diriNya perlu menguasai ilmu
balaghah (sastra Arab) karena kita memahami dan meyakini apa yang tidak tampak oleh mata kepala
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)
Oleh karenanya dikatakan bahwa tidak sempurna jika hanya mengetahui dan menguasai ilmu nahwu
dan sharaf tanpa mengetahui dan menguasai ilmu balaghah atau ilmu sastra Arab sebagaimana yang
telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/07/penyebab-
ketidakseimbangan/
Fungsi sastra adalah fungsi rekreatif, didaktif, estetis, moralitas dan religius yang semua itu
berhubungan dengan hati sehingga dapat membuka mata hati yang berujung dapat menyaksikan Allah
dengan hatinya (ain bashiroh)
Ibnu al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna
dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut
bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh ayat
dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau makna
kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena jika
110
dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut
bagiNya.
Hal yang perlu kita ingat bahwa menakwilkan dengan ilmu balaghah seperti makna majaz bukanlah
perkara terlarang.
1. Orang-orang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga
menimbulkan fitnah seperti ada yang mengatakan bahwa Tuhan mereka bertangan dua dan kedua-
duanya kanan
2. Orang-orang mencari-cari takwil untuk memperturutkan hawa nafsunya seperti mengingkari sifat-
sifat Allah
Firman Allah yang artinya, “Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari
takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya” (Q.S. Al Imran [3] : 7)
Sedangkan pada ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman bahwa Dia mengkaruniakan kemampuan takwil
kepada yang dikehendakiNya yakni Ulil Albab
Kemampuan takwil adalah kemampuan memahami dengan mengambil pelajaran berdasarkan karunia
hikmah dari Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada siapa yang dikehendakiNya
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab“ (QS Ali Imran [3]:7)
111
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269).
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui”
(QS Fush shilat [41]:3)
“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak
mengetahui.” (QS. an-Nahl [16] : 43)
Ulil Albab atau ahli dzikir atau orang yang mempunyai pengetahuan karena karunia hikmah dari Allah
Ta’ala adalah
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali
Imran [3] : 191)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendoakan untuk Ibnu Abbas ra agar Allah Ta’ala
menganugerahkan kemampuan takwil
atau
112
Allahumma ‘allimhu al hikmah.
atau
Ya Allah dalamkan pengetahuannya dalam agama dan alilmkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al
Qur’an (HR Ibnu Majah)
Tentulah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mendoakan hal yang terlarang bagi Ibnu Abbas ra.
Oleh karenanya dapat kita simpulkan bahwa yang dilarang adalah “mencari-cari takwil” sedangkan
menakwilkan dengan ilmu balaghah seperti makna majaz tidak terlarang karena Al Qur’an dalam bahasa
Arab.
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah
dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga
mereka akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari
Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus
mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga
bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang
bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari
98).
113
Jadi permasalahan terbesar yang dapat menjerumuskan kekufuran dalam i’tiqod adalah cara mereka
menetapkan sifat Allah yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau penetapan sifat Allah selalu
berdasarkan makna dzahir
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum
Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu
pangkal kekufuran”.
Mereka yang mengikuti aqidah firqah Wahabi mengatakan bahwa Istiwa’ adalah hakikat dan bukan
majaz sebagaimana yang dipublikasikan pada http://muslim.or.id/aqidah/sifat-istiwa-allah-di-atas-
arsy.html
Istiwa’ adalah hakikat dan bukan majas. Kita bisa memahaminya dengan bahasa Arab yang dengannya
wahyu diturunkan. Yang tidak kita ketahui adalah kaifiyyah (cara/bentuk) istiwa’ Allah, karena Dia tidak
menjelaskannya. Ketika ditanya tentang ayat 5 Surat Thaha ()الرحمن على العرش استوى, Rabi’ah bin
Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan:
ٌاجب ِ َو،ٌ َواْل َكيْف َمجْ ه ْول،ا ِال ْست َِواء َم ْعل ْو ٌم.
ِ اإلي َمان بِ ِه َو
“Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad, Al-
Ghazali)
Allah Ta’ala bersemayam di atas Arsy. Di dalam ayat disebutkan Ar-Rahmaanu ‘alal ‘arsyistawaa. Secara
bahasa istiwa’ itu memiliki empat makna yaitu:
1. ‘ala (tinggi)
2. Irtafa’a (terangkat)
3. Sho’uda (naik)
114
4. Istaqarra (menetap)
Sehingga makna Allah istiwa’ di atas ‘Arsy ialah menetap tinggi di atas ‘Arsy
Ketahuilah, kata Istawâ “ ”استوىdalam bahasa Arab memiliki berbagai macam arti
Kata Istawâ dapat pula bermakna tamma “ ; ”تمartinya sempurna. Dalam makna ini seperti firman Allah
tentang Nabi Musa yang artinya, ”Ketika dia (Nabi Musa) telah mencapai kekuatannya dan telah
sempurna Kami (Allah) berikan kepadanya kenabian dan ilmu”. (QS. Al-Qashash: 14).
Kata Istawâ dapat pula bermakna al-Qashd Ilâ asy-Syai’ “ ”القصد إلى الشىءartinya; bertujuan terhadap
sesuatu. Dalam makna ini seperti firman Allah
Yang dimaksud Istawâ dalam ayat ini ialah qashada “”قصد, artinya bahwa Allah berkehendak (bertujuan)
untuk menciptakan langit].
Dalam Shubah al-Tashbih hal:23 , Ibn al Jawzi juga membolehkan menafsirkan istiwa sebagai “al-qahr”,
menguasai.
115
Ibn Battal mengatakan, “pengartian pengaturan dan kekuasaan”, “menguasai” dan “penaklukan” tidak
dianggap berlawanan dengan Sang Pencipta (Al-Khalik) sebagaimana “Zahir”, “Qahhar”, “ghalib”atau
“Qahir”, tidak dianggap berlawanan atas bagian zat lainnya. Hal ini diperkuat oleh ayat, “Dan Dialah
yang mempunyai kekuasaan tertinggi (Al-Qahir) atas semua hamba-Nya” (6:18, 6:61) dan “ Allah
berkuasa (Al-Ghalib) terhadap urusan-Nya” (12:21).
Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam kitabnya, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn. Terkait ini Imam az-
Zabidi kemudian menyebutkan bahwa seorang yang menafsirkan Istawâ dengan Istawlâ tidak berbuat
kesalahan apapun dan tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh. Artinya, menurut Imam
az-Zabidi penafsiran semacam ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan keagungan Allah. Hal ini jauh
berbeda dengan yang memaknai Istawâ dengan Istaqarra, penafsiran semacam ini sama sekali tidak
dapat dibenarkan, karena sama dengan mensifati Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya, sebagaimana
yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/18/dalil-
tanpa-tempat/
Jadi orang-orang yang memaknai Istawâ dengan Istaqarra adalah sama dengan mensifati Allah dengan
sifat-sifat makhluk-Nya
Ibnu Taimiyyah yang diikuti oleh para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ulama yang
menetapkan istawa Allah dengan makna dzahir (makna indrawi atau makna harfiah) sebagai istaqarra
yakni menetap, berada atau bertempat. Hal itu sama juga dengan orang yang menetapkan istawa Allah
adalah duduk.
Mereka menjelaskan bahwa Ibnu Taimiyyah dalam permasalahan ini menetapkan apa yang telah Allah
tetapkan sendiri untuk diri-Nya, yaitu bahwa Dia (Allah) ber-istiwa’ diatas arsy dengan bentuk istiwa’
yang sesuai dengan kemuliaan-Nya Subhanahu. Tanpa takyif (menanyakan bagaimana istiwa’ Allah?),
tanpa tamtsil (menirukan istiwa’ Allah dengan bentuk perbuatan), dan tanpa tasybih (menyamakan
istiwa’ Allah dengan istiwa’ makhluk-Nya), hal ini seperti ucapan Imam Malik bin Anas dan selainnya,
، اال ْستِواء غيْر مجهول:] كيْف استوى؟ فقال5:علَى ْال َع ْر ِش ا ْست ََوى} [طه َّ { يا أبَا عب ِد للا:سئِ َل اإلمام مالك بن أنس َرحمه للا فَقِي َل
َ الرحْ َمن
بالرج ِل فأ ْخ ِر َج َ ٌ
َّ ثم أ َم َر، واإليمان به واجبٌ والسُّؤال ع ْنه بدعة،والكيْف غيْر م ْعقول
116
Mereka memaknai “al-Istiwa Ghair Majhul”, ”Istiwaa’ itu bukanlah hal yang tidak diketahui” maksudnya
“maknanya diketahui” alias maknanya sebagaimana diketahui secara dzahir sebagaimana contoh tulisan
mereka pada http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/03/benarkah-ibnu-qudamah-al-maqdisiy.html
Ungkapan seperti “al Istiwa ma’lum wa al kayfiyyah majhulah” atau “Istiwa (bersemayam) Allah seperti
yang kita ketahui maknanya, mengimaninya wajib dan bagaimana Istiwa (bersemayam) Allah tidak
diketahui” sama sekali bukan riwayat yang berasal dari al Imam Malik atau lainnya.
Orang-orang yang menetapkan istiwa (bersemayam) Allah dengan makna dzahir dengan maksud Allah
Subhanahu wa Ta’ala berada (bertempat) atau menetap tinggi di atas ‘Arsy maka mereka justru telah
menetapkan adanya kaifiyyah bagi istawa Allah walaupun mereka mengikutinya dengan perkataan
“kaifiyyahnya tidak diketahui”.
Al istiwa ma’lum bukan berarti istiwa sebagaimana yang diketahui dengan makna dzahir namun artinya
istiwa sudah jelas diketahui atau disebutkan dalam Al Qur’an
Dalam riwayat al-Lalika-i dari Ummu Salamah; Umm al-Mu’minin, dan riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-
Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik) berkata:
“al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kaif Ghairu Ma’qul” artinya “Istiwaa’ itu bukanlah hal yang tidak diketahui
dan adanya al-Kaif (sifat benda) bagi Allah adalah sesuatu yang tidak masuk akal”
Hal yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” , “Istiwaa’ itu bukanlah hal yang tidak diketahui” adalah
bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-Qur’an.
Dalam riwayat lain dari al-Lalika-i mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah
benar-benar disebutkan dalam al-Qur’an.
117
Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al istiwa ma’lum” atau “al-Istiwa Ghair Majhul”
atau “al-Istiwa madzkur” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di dalam
al-Qur’an
Al-Hafizh al-Bayhaqi dari jalur Yahya ibn Yahya telah meriwayatkan bahwa ia -Yahya ibn Yahya- berkata:
“Suatu saat ketika kami berada di majelis al-Imam Malik ibn Anas, tiba-tiba datang seseorang
menghadap beliau, seraya bekata: Wahai Abu Abdlillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimanakah
Istawa Allah? Lalu al-Imam Malik menundukan kepala hingga badanya bergetar dan mengeluarkan
keringat. Kemudian beliau berkata: “al-Istiwa’ telah jelas -penyebutannya dalam al-Qur’an- (al-Istiwa
Ghair Majhul), dan “Bagaimana (sifat benda)” tidak logis dinyatakan kepada Allah (al-Kaif Ghair Ma’qul),
beriman kepada adanya sifat al-Istiwa adalah wajib, dan mempermasalahkan masalah al-Istiwa tersebut
adalah perbuatan bid’ah. Dan bagiku, engkau tidak lain kecuali seorang ahli bid’ah”. Lalu al-Imam Malik
menyuruh murid-muridnya untuk mengeluarkan orang tersebut dari majelisnya. Al-Imam al-Bayhaqi
berkata: “Selain dari al-Imam Malik, pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Rabi’ah ibn Abd ar-
Rahman, guru dari al-Imam Malik sendiri” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).
Dalam mengomentari peristiwa ini, asy-Syaikh Salamah al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar
terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya berjudul Furqan al-Qur’an, mengatakan sebagai
berikut:
“Penilaian al-Imam Malik terhadap orang tersebut sebagai ahli bid’ah tidak lain karena kesalahan orang
itu mempertanyakan kaifiyyah Istiwa bagi Allah (kesalahan orang itu karena bertanya “bagaimanakah
Istiwa Allah”).
Hal ini menunjukan bahwa orang tersebut memahami ayat ini secara indrawi dan dalam makna
dzahirnya. Tentu makna dzahir istawa adalah menetap, duduk, bertempat, atau menempelnya suatu
benda di atas benda yang lain. Makna dzhahir inilah yang dipahami oleh orang tersebut, namun ia
meragukan tentang kaifiyyah dari sifat duduk tersebut, karena itu ia bertanya kepada al-Imam Malik.
118
Artinya, orang tersebut memang sudah menetapkan adanya kaifiyyah bagi (istawa) Allah. Ini jelas
merupakan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), dan karena itu al-Imam Malik
meyebut orang ini sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain Shifat al-Khaliq Wa al-Akwan, h. 22).
Ada dua ungkapan seseorang menjadi kafir atau terjerumus kekufuran dalam i‘tiqod yakni
“Allah di atas ‘arsy, dan aku tidak tahu arah ‘arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”
Seseorang menjadi kafir atau terjerumus kekufuran dalam i‘tiqod dengan kedua ungkapan tersebut
karena menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah.dan setiap yang membutuhkan kepada tempat
dan arah maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yang baharu (huduts).
Hal yang sama juga telah dijelaskan oleh Imam al-‘Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz.
Beliau berkata: “-Imam Abu Hanifah mengkafirkan (kufur dalam i’tiqod) orang mengatakan dua
ungkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat.
Dan siapa yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang Musyabbih (seorang
kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” (Dikutip oleh Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-
Fiqh al Akbar, h. 198).
Tentang istawa Imam Abu Hanifah mengatakan “Dan kita mengimani adanya ayat “ar-Rahman ‘Ala al-
‘Arsy Istawa” -sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an- dengan menyakini bahwa Allah tidak
membutuhkan kepada ‘‘arsy tersebut dan tidak bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang
memelihara ‘‘arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena jika Allah membutuhkan
kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini, dan berarti Dia
seperti seluruh makhluk-Nya sendiri. Jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat, lantas sebelum
menciptakan makhluk-Nya -termasuk ‘arsy- di manakah Dia? Allah maha suci dari itu semua dengan
kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq
Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul
Akbar, h. 70.).
119
Dalam salah satu kitab al-Fiqh al-Akbar [selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi’i juga menuliskan
Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar] Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah ketika
ditanya terkait firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Beliau berkata “Dia tidak
diliputi oleh tempat (ruang), tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk)
dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci
dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Orang-orang yang mengatakan bahwa Allah berada atau bertempat atau menetap tinggi di atas ‘Arsy
alias Allah berbatas atau dibatasi ‘Arsy adalah orang-orang yang mengingkari Allah dan RasulNya karena
Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir” (QS Al Hadiid [57]:3)
Allah Ta’ala tidak bertempat sebelum diciptakan ‘Arsy maka Allah Ta’ala tidak bertempat setelah
diciptakan ‘Arsy karena Allah Ta’ala tidak berubah. Allah Ta’ala sebagaimana awalnya dan sebagaimana
akhirnya.
Allah Ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan ciptaanNya.
Allah Ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ‘’Arsy
Dalam Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat diketahui bahwa Allah
itu bersifat Qidam (Maha Dahulu) dan mustahil Allah itu Huduts (baru)
Oleh karenanya mustahil Allah itu berubah dari sebelumnya bukan di atas arsy, kemudian menjadi di
atas arsy. karena sifat berubah adalah sifat makhlukNya
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :“Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia
menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya (sifat qadim), sebagaimana Dia ada
sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”.
[Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36].
120
Al-Imâm al-Qurthubi menuliskan: “Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau
berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau
berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman.
Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’ Li Ahkam
al-Qur’an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr: 22).
Para ulama menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil salah satunya dari sabda Rasulullah shalllallahu
berikut ini.
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir dari Suhail dia
berkata; Abu Shalih pernah menganjurkan kami yaitu, apabila salah seorang dari kami hendak tidur,
maka hendaknya ia berbaring dengan cara miring ke kanan seraya membaca doa;
Azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), Al-Bathin (yang tidak dapat dibayangkan)
Contohnya Al-Imam al Baihaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata :
“Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah
shalllallahu ‘alayhi wa sallam “Ya Allah, Engkaulah, Azh-Zhahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan
Engkau al-Bathin, tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya)
Dalam kitab Bayan Talbisul Jahmiyyah jilid 4, Ibnu Taimiyyah menjelaskan hadits tersebut secara lebih
detail.
121
Intinya ialah bahwa nama Azh Zhahir (isim fa’il dari kata Zhuhur) maknanya adalah ‘tinggi’. Karenanya,
Allah mensifati tembok besi yang dibangun oleh Dzulqarnain ‘alaihissalaam dengan ungkapan ( فما اسطاعوا
“ )أن يظهروهMereka (Ya’juj dan Ma’juj) takkan dapat mendaki/berada diatasnya”, yang berarti bahwa
tembok itu sangatlah tinggi.
Allah menamakan dirinya dengan nama azh-Zhahir tersebut sebab Dia lah yang paling tinggi, karenanya
dikatakan: falaisa fauqoka syai’un, yang artinya tidak ada sesuatu pun di atas-Mu.
Berhubung sesuatu yang tinggi biasanya nampak jelas, padahal Allah bersifat ghaib, maka untuk
menepis asumsi tersebut Rasulullah mengatakan bahwa Allah memiliki nama lainnya, yaitu Al-Baathin,
yang mengandung pengertian ‘tersembunyi’ dan ‘dekat’. Karenanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam merangkainya dengan kalimat: “ فلَيس دونك شيءmaka tidak ada sesuatu yang lebih dekat dari-Mu.”
Menurut Syaikhul Islam, kata ‘duuna’ di sini diambil dari kata ‘ad dunuww‘ yang artinya dekat, bukan
dari kata ‘ad-duun‘ yang artinya ‘rendah’ atau ‘di bawah’. (Jadi terjemah yang tepat untuk doa nabi di
atas adalah dan “Engkaulah Al-Bathin, maka tidak ada sesuatu yang lebih dekat dari-Mu.“)
Mereka menterjemahkan “Tidak ada sesuatu di dekat Mu” sama saja “Tidak ada sesuatu di bawah Mu”
karena pada prinsipnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
122
“Allah ada tanpa tempat. Dia saat ini pada apa adanya Dia ada.”
Syaikh Ibnu Athoilah berkata “Allah ada, dan tiada sesuatu besertaNya. Dia kini adalah tetap
sebagaimana adanya”
َ َ ِجئْنَاكَ ِلنَتَفَقَّهَ فِي ال ِدي ِْن َو ِلنَ ْسأَلَك:َاس مِ ْن أ َ ْه ِل ْاليَ َم ِن فَقَال ْوا
ع ْن أ َ َّو ِل ٌ صيْن قَا َل إِنِ ْي ِع ْن َد النَّبِي ِ صلى للا عليه وسلم إِ ْذ َد َخ َل ن
َ ع ْن ِع ْم َرانَ ب ِْن ح
َ
غيْره َ َكانَ للا َولَ ْم َيك ْن: قَا َل. ََهذَا اْأل َ ْم ِر َما َكان
َ ش ْي ٌء
رواه البخاري
“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan
menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab: “Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari 3191)
Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:
ع ْرشَهَ َع َماء َما تَحْ ت َه ه ََوا ٌء َو َما فَ ْوقَه ه ََوا ٌء َو َخلَق َ ي ْ ِ يَا َرس ْو َل للاِ أَيْنَ َكانَ َربُّنَا قَ ْب َل أ َ ْن يَ ْخلقَ خ َْلقَه ؟ قَا َل َكانَ ف: ع ْن أَبِ ْي َر ِزيْن قَا َل ق ْلت
َ
س ٌن ح
َ َ ٌ
ْثيدِ ح
َ اَ ذهَ و ي
َ ُّ ذ
ِ ِمرْ ت
ِ ال ل
َ ا َ ق ء ي
ٌ ْ ش
َ ه عم ْس
َ َ َ ْي َ ل يَ أ اء مََ ع ْ
ال َنوْ َار
ه ْن ب ْديزَِ ي ل
َ اَ ق ْع ي ن
ِ م
َ ْن ب دمَ ْحَ أ ل
َ اَ ق ِاءم ْ
ال لى
َ َ َ ع.
“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum
menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa
sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu.
Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata,
maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi
berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, 3109)
Ada dari mereka yang bertanya, di surga nanti dalil-dalil menunjukkan bahaw kita melihat Allah di surga.
Nah, mata penduduk surga ke arah mana saat melihat Allah ?
123
Al-Imâm al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama Salaf terkemuka
perintis madzhab Hanafi, berkata:
َ َوالَ يَك ْون بَينَه َوبَيْنَ َخ ْل ِق ِه َم، ويَ َراه ْالمؤْ مِ ن ْونَ َوه ْم فِي ْال َجن ِة بِأعْي ِن رؤ ْو ِس ِه ْم بِالَ ت َ ْشبِيْه َوالَ َكمِ ية،َوللا تَعَالَى ي َرى فِي اﻵخِ َرة
سافَة
“Allah di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika mereka di surga
dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya, bukan sebagai
bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa
tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun
samping kiri)” (al-Fiqh al-Akbar karya al-Imâm Abu Hanifah dengan penjelasannya karya Mulla Ali al-
Qari, h. 136-137 )
Al-Imâm asy-Syaikh Abu ath-Thayyib Sahl ibn Muhammad asy-Syafi’i (w 404 H), seorang mufti wilayah
Nisafur pada masanya berkata:
في جهة وال ينضم بعضكم- تعالى- “تضامون” بضم أوله وتشديد الميم يريد ال تجتمعون لرؤيته:سمعت الشيخ أبا الطيب الصعلوكي يقول
”إلى بعض فإنه ال يرى في جهة
“Saya telah mendengar asy-Syaikh Abu at-Thayyib as-Sha’luki berkata dalam menerangkan hadits
tentang Ru’yatullâh (melihat Allah bagi orang-orang mukmin). Dalam hadits tersebut terdapat kata “Lâ
Tudlammûn”, al-Imâm as-Sha’luki mengartikannya bahwa kelak orang-orang mukmin di surga akan
melihat Allah tanpa tempat dan tanpa arah, mereka ketika itu tidak saling berdesakan satu sama lainnya.
Orang-orang mukmin tersebut berada di dalam surga, namun Allah tidak dikatakan di dalam atau di luar
surga. Karena Allah bukan benda (yang mempunyai bentuk dan ukuran), Dia ada tanpa tempat dan
tanpa arah”. (Pernyataan al-Imâm as-Sha’luki ini dikutip pula oleh al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dan
kitab Fath al-Bâri dan disepakatinya)
Penduduk surga kelak, ketika dosa telah tiada, ketika hijab dibuka, mereka akan melihat Allah dengan
mata kepala namun langsung menghujam ke dalam hati sehingga terlihat bukan dalam suatu bentuk
atau ukuran karena tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya
124
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati
Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang
dinamakan buta mata hati.
shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima
kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak dapat menerima
panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu
mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 :
46)
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan
lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk
menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
125
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-
Ahzab:21)
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah)
kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya
(bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau
mereka yang selalu menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat
sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat,
menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau
muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan.
Muslim yang memandang Allah Ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat adalah
muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu
sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut
senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat
ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-
utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana
pun ia berada“
126
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa
Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah
Anda pernah melihat Tuhan?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya
lihat?” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa
dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang
ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah Ta’ala, pada saat yang
sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari
memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan
tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Para ulama Allah mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-
dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam
kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab
terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita
bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan,
bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
127
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.”
(Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat
sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan
manusia” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman,
Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku)
maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan
adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya
belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain; wara yang
menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“.
Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang
paling baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya,
dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)
Sayyidina Umar ra menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara /
bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan
tangan dan lidahnya“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan akan bermuncululan orang-orang yang
bertambah ilmunya namun semakin jauh dari Allah karena tidak bertambah hidayahnya.
128
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak
bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Sungguh celaka orang yang tidak berilmu. Sungguh celaka orang yang beramal tanpa ilmu Sungguh
celaka orang yang berilmu tetapi tidak beramal Sungguh celaka orang yang berilmu dan beramal tetapi
tidak menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan.
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh
dari Allah Ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka
hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan
dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin
merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Sedangkan mereka menjadikan Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai ulama panutannya.
Contohnya Muhammad bin Abdul Wahhab berkata “Demi Allah yang tidak ada ilah kecuali Dia, sungguh
saya telah mencari ilmu dan orang yang mengenali saya meyakini bahwa saya memiliki pengetahuan,
dan saya saat itu tidak mengetahui makna la ilaha illallah, dan saya tidak mengetahui agama Islam
sebelum kebaikan yang Allah karuniakan ini; dan begitu juga guru-guru saya, tidak seorang pun di antara
mereka mengetahui hal itu (Muhammad bin `Abdul Wahhab, Mu’allafât, jilid VII, dalam kitab “Rasâ’il
asy-Syakhsyiyah”, risalah ke-28, hlm. 186-187 dan seterusnya) sebagaimana pula yang termuat di
kalangan mereka sendiri pada http://thoifah-manshurah.blogspot.co.id/2012/03/surat-syaikh-
muhammad-ibnu-abdil-wahhab.html
129
Muhammad bin Abdul Wahhab dengan gamblang dan dengan kesombongannya, menyebutkan tidak
ada seorang pun dan bahkan guru-gurunya yang tahu Islam dan makna la ilaha illalah sebelum ia merasa
menerima karunia Allah.
Dengan pengakuannya bahwa memperoleh pengetahuan tentang Islam dan makna la ilaha ilalah bukan
dari para gurunya membuktikan bahwa pengetahuan tersebut adalah pemahamannya terhadap Al
Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal
pikirannya sendiri.
Pada hakikatnya kita tidak boleh merasa selain kita tidak mendapatkan petunjukNya karena setelah
Rasulullah wafat yang menjaga agama Allah sampai akhir zaman adalah para kekasih Allah (Wali Allah)
dan Imamnya
Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i: “Bumi ini tidak akan kosong dari
hamba-hamba Allah yang menegakkan agama Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga
agama Allah tidak akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan
dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang mereka. Demi Allah, jumlah
mereka tidak banyak, tetapi nilai mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga
agamaNya dan syariatNya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka. Mereka
menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan, mereka senang dengan
kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam
malakut. Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’i kepada agamaNya yang
lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka” (Nahjul Balaghah hal 595 dan Al Hilya jilid 1 hal.
80)
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada
yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq
HidayahNya”
Abu Yazid al Busthami mengatakan: “Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan
takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya“.
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal
Waliyullah, ia menjawab: “Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang
130
serupa dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk
mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
Ciri-ciri atau tanda orang-orang yang beriman dan bertaqwa atau orang-orang yang mengikuti Rasulullah
adalah dengan amal ibadah menghantarkannya menjadi muslim yang Ihsan
Janganlah sholat cuma sampai di sajadah, zakat dan sedekah cuma sampai ke tangan penerima, haji
cuma sampai di Mekah, kurban cuma sampai di mulut yang memakan, jenggot menutupi mata hati.
Para Sahabat mempertanyakan jenggot orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari
bani Tamim yang terkenal gigih menjalankan sunnah Rasulullah namun tidak menjadikan mereka seperti
Rasulullah atau tidak menjadikan mereka berakhlak baik atau muslim yang Ihsan
Dalam syarah Shahih Muslim, Jilid. 17, No.171 diriwayatkan Khalid bin Walīd ra bertanya kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah penduduk Najed
dari bani Tamim yang suka menampakkan “bekas” amalnya dan berakhlak buruk dengan pertanyaan,
“Wahai Rasulullah, orang ini memiliki semua bekas dari ibadah-ibadah sunnahnya: matanya merah
karena banyak menangis, wajahnya memiliki dua garis di atas pipinya bekas airmata yang selalu
mengalir, kakinya bengkak karena lama berdiri sepanjang malam (tahajjud) dan jenggot mereka pun
lebat”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab : camkan makna ayat ini : qul in’kuntum tuhib’būnallāh
fattabi’unī – Katakanlah: “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu. karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
131
Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Jadilah orang yang ramah seperti aku, bersikaplah penuh
kasih, cintai orang-orang miskin dan papa, bersikaplah lemah-lembut, penuh perhatian dan cintai
saudara-saudaramu dan jadilah pelindung bagi mereka.”
Dari riwayat di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegaskan bahwa ketaatan yang dilakukan
oleh orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah penduduk Najed dari bani Tamim dan suka
“menampakkannya” tidaklah berarti apa-apa karena tidak menimbulkan ke-sholeh-an.
Orang-orang yang mengamalkan sunnah Rasulullah namun tidak menjadikannya muslim yang ihsan atau
muslim yang berakhlakul karimah adalah menunjukkan amal ibadah mereka tidak diterima.
Contoh lima penyebab amal ibadah tidak diterima oleh Allah , telah disampaikan dalam tulisan pada
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/10/09/lima-penyebab-tak-diterima/
Sebagaimana sabda Rasulullah di atas bahwa ciri-ciri atau tanda orang-orang yang beriman dan
bertaqwa atau orang-orang yang mengikuti Rasulullah atau orang- orang yang mencintai Allah sehingga
dicintai oleh Allah dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah
3. Berjihad di jalan Allah, bergembira dalam menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang
murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka
dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap
keras (tegas / berpendirian) terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut
kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah
[5]:54)
132
Dalam firman Allah di atas telah difirmankan bahwa jika telah bermunculan orang-orang yang murtad
dari agamanya seperti melesatnya anak panah dari busurnya yakni bermunculan orang-orang yang
membunuh orang-orang Islam yang dituduh kafir, dituduh bukan Islam, dituduh berhukum dengan
hukum thaghut , dituduh musyrik menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir
namun mereka membiarkan atau bahkan bekerjasama dengan kaum yang dimurkai Allah yakni para
penyembah berhala yang sudah jelas kemusyrikannya maka hijrahlah atau ikutilah (merujuklah) kepada
para ulama Allah yakni para wali Allah, suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintaiNya
Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , ‘Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah”. Bersabda Nabi shallallahu
alaihi wasallam : mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-orang Yaman’.
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul menjawab,
‘Mereka adalah ahlu Yaman dari suku Kindah, Sukun dan Tajib’.
Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-
Maidah, Umar berkata, ‘Saya dan kaum saya wahai Rasulullah’. Rasul menjawab, ‘Bukan, tetapi ini untuk
dia dan kaumnya, yakni Abu Musa al-Asy’ari’.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani telah meriwayatkan suatu hadits dalam kitabnya berjudul Fath al-Bari,
dari Jabir bin Math’am dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, ‘Wahai ahlu Yaman kamu
mempunyai derajat yang tinggi. Mereka seperti awan dan merekalah sebaik-baiknya manusia di muka
bumi’
Dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Suyuthi meriwayatkan hadits dari Salmah bin Nufail, ‘Sesungguhnya aku
menemukan nafas al-Rahman dari sini’. Dengan isyarat yang menunjuk ke negeri Yaman”. Masih dalam
Jami’ al-Kabir, Imam al-Sayuthi meriwayatkan hadits marfu’ dari Amru ibnu Usbah , berkata Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, ‘Sebaik-baiknya lelaki, lelaki ahlu Yaman‘.
Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang mencintai orang-
orang Yaman berarti telah mencintaiku, siapa yang membenci mereka berarti telah membenciku”
133
Begitupula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa jika telah bermunculan fitnah
atau perselisihan atau bahkan pembunuhan terhadap umat la ilaha illallah karena perbedaan pendapat
maka hijrahlah ke Hadramaut, Yaman, bumi para Wali Allah atau ikutilah (merujuklah) kepada pendapat
Ahlul Hadramaut, Yaman.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi
shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana
banyak terdapat keberkahan’
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga
keberkahan dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke
negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat beribadah’
Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Pergilah
kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan buminya
mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangkan pahala yang banyak’
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa ahlul Yaman adalah orang-orang yang
mudah menerima kebenaran, mudah terbuka mata hatinya (ain bashiroh) dan banyak dikaruniakan
hikmah (pemahaman yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaimana Ulil Albab
Dan telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah
menceritakan kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami
bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya.
Fiqh ada pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)
Dari Abi Hurairah (radiyallahu ‘anhu) dari Nabi (Shalallahu ‘alaihi wassallam) beliau bersabda : “Telah
datang kepada kalian Ahlul Yaman, mereka orang yang lemah lembut hatinya, Iman itu di negara Yaman,
dan hikmah di negara Yaman dan fiqih (ilmu) itu di negara Yaman,”. (Muttafaqun ‘alaih).
134
Berkata para Ulama’ tentang arti hadits di atas :
Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hanbali (Rahimahullah Ta’ala) telah menggambarkan Ahlul Yaman, berkata
(rahimahullah) : “Mereka orang-orang yang sedikit berbicara akan tetapi banyak beramal, oleh karena
mereka orang-orang yang beriman, dan diantara arti Iman adalah beramal”.
Berkata As-Safaarini (Rahimahullah Ta’ala) : “Dan yang dimaksud bahwa Nabi (Shalallahu ‘alaihi
wassalam) menyifatkan hati-hati mereka (orang-orang Yaman) dengan lemah lembut hatinya adalah
bahwa mereka memilki hubungan yang erat untuk membela agama dari segala tipu-daya yang
menyesatkan dan dari syahwat (hawa nafsu) yang diharamkan”. [Tsulatsiyaat Musnad Al-Imam Ahmad
(1/698-699)].
Berkata Abu Bakar Ibnul ‘Arabi (Rahimahullah Ta’ala) : “Adapun pujian Ar-Rasul (Shalallahu ‘alaihi
wassalam) untuk negara Yaman karena penduduk negeri tersebut orang-orang yang menolong agama
dan penjaga agama Islam dan yang memberikan perlindungan kepada Ar-Rasul (Salallahu ‘Alaihi Wa
Salam). Adapun arti dari “Al-Hikmah” adalah karena amalan mereka berdasarkan ilmu dan itulah orang-
orang Yaman”. [‘Aridlo Al-Ahwadzi (9/45).
Alhamdulillah , umat Islam pada umumnya dan khususnya di negeri kita mendapatkan pengajaran
agama dari para ulama yang berasal dari Hadramaut, Yaman yang bersumber dari ulama kalangan ahlul
bait, keturunan cucu Rasulullah yakni dari apa yang disampaikan oleh Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa
bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin
Sayyidina Husain ra
Imam Ahmad Al Muhajir , sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman, beliau menganut madzhab Syafi’i dalam
fiqih , Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam
Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti
ulama-ulama tasawuf muktabaroh yang bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang
sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad
serta kemurnian agama dan aqidahnya.
135
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk
Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan
memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah, mereka berjuang dan berdakwah dengan
kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian
dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam
berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah,
Ijma dan Qiyas.
Wassalam
136
Cara memahami istawa
Para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa Salafush
Sholeh bermanhaj isbat yakni mengisbatkan (menetapkan) semua sifat-sifat Allah dengan mengetahui
maknanya dan Salafush Sholeh hanya menafikan pengetahuan tentang keadaan sifat tersebut (nafi
ilmul kaif)
Pada kenyataannya, Salafush Sholeh bukanlah nafi ilmul kaif melainkan nafi aslul kaif yakni menafikan
akan adanya keadaan kaif itu sendiri yang di nisbat kan pada Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Menafikan aslul kaif berarti mencegah orang dari menggambarkan lafaz-lafaz ayat sifat tersebut
dengan maknanya dari sudut bahasa atau makna dzahir karena ketika seseorang mendengar lafaz-
lafaz ayat sifat akan terus menggambarkan sifat-sifat tersebut dengan makna dzahir maka dia akan
Terhadap lafaz-lafaz ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan selalu berdasarkan maknanya
secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafaz-lafaz ayat
sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Terhadap lafaz-lafaz ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih
tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di
dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan
membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk
Salafush Sholeh bukanlah menetapkan berdasarkan makna dzahir (isbat makna dzahir) sebagaimana
pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah melainkan menetapkan berdasarkan
lafaznya (isbat lafaz) dan tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa dan menyerahkan maknanya
kepada Allah.
Salasush Sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin
Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah?
Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak
boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan
(makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).
137
Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak
boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada
bahasa Arab”.
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-
Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu
itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-
ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya.
Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Beriman pada lafaz istawa namun tidak meng-kaif (tidak membagaimanakan) istawa maksudnya tidak
memaknakan istawa dengan makna dzahir atau makna yang asal menurut bahasa namun
membiarkan sebagaimana lafaznya dan menyerahkan maknanya kepada Allah yang disebut dengan
2. Cara yang digunakan oleh ulama khalaf (kemudian) untuk menjawab pertanyaan orang-orang yang
Beriman pada lafaz istawa dan memahaminya menggunakan ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat
seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya karena “bacaan Al
Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) yang disebut dengan TAKWIL TAFSILI
Dalam memahami sifat Allah yang ditetapkanNya boleh menggunakan takwil ijmali atau takwil tafsili
karena takwil ijmali dengan takwil tafsili adalah sejalan atau tidak bertentangan.
Si A berkata bahwa gadis itu cantik bagaikan bulan. Sore itu bulan masuk ke warung makan.
Takwil Ijmali “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung
makan” tetapi saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah
yang mengatahuinya
138
Takwil Tafsili “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung
makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di
waktu malam, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.
Jadi klaim para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah bahwa Salafush Sholeh
menetapkan seluruh sifat-sifat Allah dengan “TANPA TAKWIL” adalah sebuah fitnah karena pada
kenyataannya Salafush Sholeh terhadap ayat-ayat sifat menggunakan manhaj takwil (memalingkan
makna sesuatu lafaz daripada makna dzahir atau makna yang asal menurut bahasa) yakni takwil
secara ijmali (ringkas dan menyeluruh) yakni menetapkan berdasarkan lafaznya (isbat lafaz) dan
tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa walaupun tidak memberikan makna lain kepada lafaz
tersebut dan menyerahkan maknanya kepada Allah sebagaimana yang telah disampaikan
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/12/takwil-ijmali-dan-tafsili/
Salah satu pilar aqidah Islam adalah tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk dengan
menakwilkan atau memalingkan makna sebuah lafazh ayat dari makna dzahir ke makna yang lain
yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau makna kiasan)
Takwil dibutuhkan atau digunakan hanya jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah
Ada kita temukan kitab-kitab terjemahan Al Qur’an yang mengartikan kata Istawa dengan kata
Makna yang mendekati kata Istawa adalah makna kata bersemayam dalam makna majaz (makna
Terkait dengan hati, terpendam dalam hati, tersimpan (kata kiasan); Contohnya “sudah lama dendam
itu bersemayam di hatinya” atau “cinta bersemayam di hatinya”. “Bersemayam di hati” dapat
Al-Qushayri dalam Lata’if al-Isharat, telah menyebutkan : Adapun mengenai singgasana Qalbu, “Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan” . telah disimpulkan pula bahwasanya : “Dia (Allah) Yang
Maha Rahman menetapkan Dirinya sendiri atasnya (`alayhi istawa); sedang mengenai arsy di hati:
139
Yang Maha Rahman menguasainya (`alayhi istawla). Arsy di langit adalah kiblat bagi doa seluruh
makhluk, sedang arsy di hati adalah tempat melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi. Sehingga, ada
perbedaan besar antara kedua arsy itu” (Lata’if al-Isharat jilid 4 hal:118)”
Para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat membolehkan
memaknai istiwa dengan bersemayam dalam makna majaz artinya menguasai dan terlarang dimaknai
bersemayam dalam makna dzahir yakni menetap atau bertempat karena menetap atau bertempat
Imam al-Hâfizh al-Lughawiy Muhammad Murtadla az-Zabidi al Hanafi (w 1205 H) dalam kitabnya,
Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn menyebutkan bahwa seorang yang menafsirkan Istawâ dengan Istawlâ
tidak berbuat kesalahan apapun dan tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh. Menurut
Imam az-Zabidi penafsiran semacam ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan keagungan Allah. Hal
ini jauh berbeda dengan yang memaknai Istawâ dengan Istaqarra (menetap atau bertempat),
penafsiran semacam ini sama sekali tidak dapat dibenarkan, karena sama dengan mensifati Allah
Ibn Battal mengatakan, “pengartian pengaturan dan kekuasaan”, “menguasai” dan “penaklukan” tidak
dianggap berlawanan dengan Sang Pencipta (Al-Khalik) sebagaimana “Zahir”, “Qahhar”, “ghalib”atau
“Qahir”, tidak dianggap berlawanan atas bagian zat lainnya. Hal ini diperkuat oleh ayat, “Dan Dialah
yang mempunyai kekuasaan tertinggi (Al-Qahir) atas semua hamba-Nya” (6:18, 6:61) dan “ Allah
Dalam Shubah al-Tashbih hal:23 , Ibn al Jawzi juga membolehkan menafsirkan istiwa sebagai “al-
qahr”, menguasai.
Sedangkan orang-orang yang menolak memahami istiwa sebagai menguasai berpendapat bahwa
pemaknaan Istawâ dengan Qahara dan Ghalaba memberikan indikasi adanya “pertentangan” antara
Allah dengan arsy, dan kemudian Allah memenangkan “pertentangan” tersebut. Artinya, menurut
mereka seakan pada awalnya Allah dikalahkan (Maghlûb), lalu kemudian Dia dapat mengalahkan
(Ghâlib). Mereka memandang bahwa di sini ada pemahaman Sabq al-Mughâlabah, artinya seakan
Imam al-Hâfizh al-Lughawiy Muhammad Murtadla az-Zabidi al Hanafi (w 1205 H) dalam Ithâf as-
140
“Jika ada orang yang menentang pemaknaan Istawâ dengan Istawlâ, Qahara atau Ghalaba dengan
alasan karena hal itu memberikan indikasi bahwa Allah dikalahkan lalu kemudian mengalahkan, kita
jawab: Pemahaman semacam itu sama sekali tidak benar. Pemahaman semacam demikian itu hanya
terjadi bila arsy dianggap sesuatu yang qadim; tanpa permulaan, dan bukan makhluk. Ini jelas tidak
benar, karena arsy adalah makhluk Allah. Segala sesuatu apapun (selain Allah); semuanya adalah
makhluk Allah dan di bawah kekuasaan Allah. Jika arsy atau selain arsy tidak diciptakan oleh Allah
maka semua itu tidak akan pernah ada. Adapun penyebutan arsy dalam ayat tersebut secara khusus
adalah karena arsy itu makhluk Allah yang paling besar bentuknya. Ini untuk memberikan isyarat, jika
makhluk yang paling besar bentuknya dikuasai oleh Allah maka secara otomatis demikian pula dengan
Imam Abu Nashr al-Qusyairi (w 514 H) dalam at-Tadzkirah asy-Syarqiyyah sebagaimana dikutip oleh
Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn, j. 2, hlm. 108, menuliskan
sebagai berikut:
“Jika ada yang mengatakan bahwa pemaknaan Istawâ dengan Qahara atau Ghalaba memberikan
indikasi seakan Allah terlebih dahulu dikalahkan, maka kita jawab: ”Jika demikian, lantas
bagaimanakah pemahaman kalian tentang firman Allah: ”Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-
An’am: 18), apakah dengan dasar ayat ini kalian juga akan mengatakan bahwa Allah terlebih dahulu
dikalahkan oleh hamba-hamba-Nya?! Pemahaman kalian benar-benar keliru. Bagaimana kalian akan
berani mengatakan bahwa hamba-hamba Allah mengalahkan Allah, padahal mereka semua adalah
makhluk-makhluk-Nya?! Justeru sebaliknya, jika makna Istawâ ini di artikan seperti yang dipahami
oleh kaum Musyabbihah yang bodoh itu bahwa Allah bersemayam (bertempat) dengan Dzat-Nya di
atas arsy maka berarti hal tersebut memberikan pemahaman bahwa Allah berubah, dari sebelumnya
bukan di atas arsy, kemudian menjadi di atas arsy, karena sesungguhnya arsy itu adalah ciptaan
Allah”.
“Jika ada yang berkata: ”Bukankah firman Allah: ”ar-Rahmân ‘Alâ al-arsy Istawâ” (QS. Thaha: 5)
harus kita pahami sesuai makna zahirnya?”, kita jawab: ”Allah juga berfirman: ”Wa Huwa Ma’akum
Aynamâ Kuntum” (QS. Al-Hadid: 4), kemudian dalam ayat lain: ”Alâ Innahu Bikulli Syai-in Muhîth”
(QS. Fushshilat: 54), dalam pendapat kalian apakah ayat-ayat semacam ini harus juga dipahami
sesuai dengan makna zahirnya?! Bila demikian, maka berarti sesuai pendapat kalian, dalam waktu
yang sama Allah dengan Dzat-Nya ada di atas arsy, juga ada di sisi kita bersama kita, dan juga ada
meliputi alam ini dengan Dzat-Nya. Sangat mustahil dalam satu keadaan dengan Dzat-Nya Dia berada
141
di semua tempat tersebut”. Kemudian jika mereka berkata: “Yang dimaksud dengan firman-Nya “Wa
Huwa Ma’akum” adalah dalam pengertian bahwa Allah maha mengetahui terhadap segala apa yang
kita perbuat, dan yang dimaksud dengan firman-Nya “Bi Kulli Syai-in Muhîth” adalah dalam pengertian
bahwa segala apapun yang terjadi pada alam ini diketahui oleh Allah”, maka kita katakan kepada
mereka: ”Demikian pula dengan firman Allah “’Alâ al-arsy Istawâ” adalah dalam pengertian bahwa Dia
Simak pula perkataan Imam al-Haramain dalam kitab al-Irsyâd, hlm. 59, sebagai bantahan atas kaum
“Jika orang-orang Musyabbihah mengambil dalil dengan zahir firman Allah: ”ar-Rahmân ‘Alâ al-arsy
Istawâ” (QS. Thaha: 5) untuk menetapkan keyakinan mereka bahwa Allah berada di atas arsy, maka
jalan untuk membantah mereka adalah dengan mengutip beberapa ayat yang secara pasti
membutuhkan kepada takwil, seperti firman Allah: ”Wa Huwa Ma’akum Aynamâ Kuntum” (QS. Al-
Hadid: 4), atau firman Allah: ”Afaman Huwa Qâ-imun ‘Alâ Kulli Nafsin Bimâ Kasabat” (QS. Ar-Ra’ad:
33), kemudian kita tanyakan makna-makna ayat tersebut kepada mereka. Jika mereka memaknai
ayat semacam tersebut dalam pengertian bahwa Allah maha mengetahui segala rincian yang terjadi,
maka kita katakan kepada mereka; ”Demikian pula memaknai Istawâ dalam pengertian Qahara dan
Ghalaba, sama sekali tidak dilarang, dan pemaknaan seperti demikian itu biasa dipakai dalam bahasa
Arab. Oleh karenanya jika dikatakan dalam bahasa Arab “Istawâ Fulân ‘Alâ al-Mamâlik”, maka artinya
bahwa si fulan telah telah menguasai banyak kerajaan dan banyak menundukan manusia. Adapun
penyebutan arsy dalam ayat ini secara khusus adalah karena arsy adalah makhluk Allah yang paling
besar bentuknya. Dengan demikian penyebutan arsy secara khusus ini memberikan isyarah bahwa
Allah juga menguasai segala apa yang bentuknya lebih kecil dari pada arsy”.
Kemudian jika mereka berkata: ”Memaknai Istawâ dengan Ghalaba memberikan pemahaman seakan
adanya pertentangan antara Allah dengan arsy; yang pada mulanya Allah kalah lalu kemudian
menang”, kita jawab: ”Pendapat kalian ini batil. Jika Allah menundukan arsy dalam pengertian yang
kalian katakan tentu Allah akan memberitakan demikian adanya. Sebaliknya, Istawâ dalam pengertian
yang kalian pahami yaitu bersemayam (bertempat) dengan Dzat-Nya sangat jelas memberikan
pemahaman bahwa Allah berubah dari tanpa arsy menjadi butuh kepada arsy. Dan keyakinan
Imam al-Qâdlî Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab berjudul Idlâh ad-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thîl,
142
“Jika ada yang berkata: ”Penggunaan Istawlâ atau Qahara adalah hanya bagi yang sebelumnya tidak
menguasai dan belum menundukan, atau hanya bagi yang memiliki penentang saja, artinya ia belum
menundukan atau lemah lalu kemudian dapat menundukan dan berkuasa”, kita jawab: ”Yang
dimaksud dengan Istawlâ dan Qahara di sini adalah sifat kuasa Allah yang sempurna yang sama sekali
Kemudian kata “tsumma” dalam firman-Nya: “Tsumma Istawâ” bukan dalam pengertian “tertib atau
Kemudian jika ia berkata: ”Bukankah Allah menguasai seluruh makhluk-Nya, lantas untuk apa
penyebutan arsy secara khusus yang dikuasai oleh Allah?”, kita jawab: Asry disebut secara khusus
karena ia adalah makhluk Allah yang paling besar bentuknya, sebagaimana telah disepakati ulama.
Ini seperti penyebutan arsy secara khusus dalam firman-Nya: ”Wa Huwa Rabb al-arsy al-‘Azhîm” (QS.
At-Taubah: 129), artinya bahwa Allah adalah Tuhan arsy yang agung, padahal Allah adalah Tuhan
bagi seluruh alam ini. Dengan demikian dapat dipahami jika Allah menguasai makhluk yang paling
besar bentuknya, yaitu arsy, maka sudah pasti demikian adanya terhadap makhluk-makhluk yang
Wassalam
jaga
Diusir Imam Malik »
Al Ibanah dipalsukan
2 Oktober 2017 oleh mutiarazuhud
143
Waspada pemalsuan kitab Al Ibanah
Kita umat Islam prihatin atas kitab al Ibanah yang dicetak dan tersebar sekarang dan dinisbatkan
kepada al Imam Abu al Hasan al Asy’ari telah banyak dimasuki sisipan-sisipan palsu dan penuh
kebohongan atau ada bagian yang dihilangkan atau diterjemahkan selalu dengan makna dzahir.
Tentunya kita mengetahui arti penting dari ungkapan yang lenyap tersebut.
Sehingga dengan adanya ungkapan itu akan memberi penjelasan bahwa sifat-sifat Allah seperti istiwa,
yadd, ain, janbun dan lain lain bi la kayf – tanpa kaif (tanpa membagaimanakan) yakni maksudnya
tidak memaknakan istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dengan makna yang asal menurut bahasa
atau makna dzahir namun membiarkan sebagaimana lafaznya dan menyerahkan maknanya kepada
Begitupula Salasush Sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada
Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada
144
sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa
tafsir“
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-
Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu
itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-
ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya.
Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak
boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan
(makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).
Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak
boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada
bahasa Arab”.
Jadi ada dua cara dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah yang ditetapkanNya
yakni
1. Cara yang dipergunakan oleh Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan ulama salaf (terdahulu) pada
Yakni beriman kepada lafaz-lafaz seperti istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain namun tidak meng-kaif
atau tidak membagaimanakan istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain maksudnya tidak memaknakan
istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dengan makna dzahir dan menyerahkan maknanya kepada Allah
Ta’ala
2. Cara yang digunakan oleh ulama khalaf (kemudian) untuk menjawab pertanyaan orang-orang yang
suka menggunakan akal pikirannya sendiri yakni TAKWIL TAFSILI (memalingkan dari makna dzahir)
Yakni beriman pada lafaz-lafaz seperti istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dan memahaminya
menggunakan ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan
dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush
shilat [41]:3)
145
Berikut contoh cara memahami TAKWIL IJMALI dan TAFSILI,
Si A berkata bahwa gadis itu cantik bagaikan bulan. Sore itu bulan masuk ke warung makan.
Takwil Ijmali “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung
makan” tetapi saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah
yang mengetahuinya
Takwil Tafsili “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung
makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di
waktu malam, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.
Jadi dalam memahami sifat Allah yang ditetapkanNya boleh menggunakan takwil ijmali atau takwil
tafsili karena takwil ijmali dengan takwil tafsili adalah sejalan atau tidak bertentangan yakni sama-
Ulama Hanbali, Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami
dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka
berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna
kiasan).
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh
ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau
makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena
jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak
patut bagiNya.
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu
balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik
dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu
sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para
ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan
146
Mereka yang terjerumus melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah
Ta’ala dan RasulNya yakni mereka melarang (mengharamkan) mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat
adalah akibat mereka salah memahami firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak
ada yang tahu takwilnya kecuali Allah Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. ” (Q.S. Al Imran [3] : 7)
Mereka yang salah memahami firman Allah tersebut, justru terjerumus mengikuti ayat-ayat
Contoh fitnah mereka dengan mengatasnamakan sebagai pemahaman para Sahabat (Salafus Sholeh),
salah satu ulama panutan mereka yang membaca dan memahami sebuah hadits shahih namun
karena salah memahaminya sehingga mereka bertuhan bukan kepada Allah Ta’ala.
Mereka bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat mereka selalu
berpegang pada nash atau dalil secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Jelas sekali bahwa apa yang mereka sampaikan bukan aqidah atau pemahaman para Sahabat
(Salafush Sholeh) melainkan aqidah atau pemahaman mereka sendiri menurut akal pikiran mereka
tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan
Sedangkan mereka yang mencari-cari takwil adalah mereka yang menakwilkan mengikuti hawa nafsu
mereka.
Jadi yang dilarang adalah mencari-cari takwil bukan menakwilkan dengan ilmu-ilmu yang terkait
bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani,
bayan dan badi’) dan lain lain karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush
shilat [41]:3)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentu tidak mendoakan hal yang terlarang yakni mendoakan
147
Ya Allah dalamkanlah pengetahuannya dalam agama dan ajarilah ia takwil Qur’an
atau
atau
Ya Allah dalamkan pengetahuannya dalam agama dan alilmkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al
Begitupula “tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah” namun pada ayat yang lain Allah Ta’ala telah
berfirman bahwa Dia mengkaruniakan kemampuan takwil kepada yang dikehendakiNya yakni Ulil
Albab
Kemampuan takwil adalah kemampuan memahami dengan mengambil pelajaran berdasarkan karunia
hikmah dari Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada siapa yang dikehendakiNya
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah)
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui”
“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak
Ulil Albab atau ahli dzikir atau orang yang mempunyai pengetahuan karena karunia hikmah dari Allah
Ta’ala adalah
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
148
Ada pula para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang tidak anti takwil namun
mereka hanya mau mentakwilkan kalau ada qorinah (petunjuk) dari ayat lain atau ada penjelasan dari
Penakwilan atau memalingkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih sesuai selain
Ada pula penakwilan berdasarkan qorinah (petunjuk) dari ayat itu sendiri dalam jumlah keseluruhan
atau sebahagian dari ayat tersebut yang dimengerti oleh para ahlinya berdasarkan ilmu-ilmu terkait
bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani,
bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya sebagaimana yang telah disampaikan
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/08/pengertian-takwil/
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa “Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang
pengambilan makna dari lafaz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti
yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafaz dzahir.”
Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa: “Membawa makna lafaz dzahir yang mempunyai ihtimal
Sedangkan menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafaz dari artinya yang dzahir kepada
Jadi dapat disimpulkan bahwa takwil adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain
yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173].
Alasan yang dapat diterima oleh akal sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni
1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.
2. Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al
Quran.
Contoh ayat mengandung lafazh yang kalau dipahami dengan makna dzahir adalah wajah Allah.
Salah seorang ulama panutan mereka yakni Albani menentang takwil QS al-Qashash [28] : (88) yang
149
Ketika ditanya tentang penakwilan seperti dalam Shahih al-Bukhari tersebut, al-Albani mengatakan
Siapa yang mentakwil firman Allah “Kullu Sya’in Halikun Illa Wajhahu” dengan takwil “kecuali Mulk”
maka “Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman“ sebagaimana gambar
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/03/menentang-takwil.jpg
Para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa perkataan Albani,
“Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman“ bukanlah ditujukan kepada Imam
Bukhari namun kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna rahimahullah karena menurut mereka
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa pada riwayat An-Nasafi terhadap Shahih Al
Bukhari terdapat lafal: “kecuali Mulk” yang dinisbatkan kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin Al Mutsanna.
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata; “Perkataan “kecuali wajah-Nya” adalah kecuali Mulk, ada
pada riwayat An-Nasafi. Ma’mar berkata;…(seperti telah disebutkan). Dan Ma’mar adalah Abu
Ubaidah, Ibnul Mutsanna. Dan ini adalah perkataannya dalam kitab-Nya Majaz Al Qur’an namun
Jadi jelaslah Ma’mar bin al-Mutsanna Abu Ubaidah menafsirkan dengan menakwilkan lafaz yang kalau
dimaknai secara dzahir adalah “Wajah Nya” dengan memalingkannya kepada sifat Mulk atau Malikul
Mulk (Pemilik kerajaan, Raja dari segala raja) yang dimaksud adalah Allah Ta’ala itu sendiri dan pada
“Demikian juga, firmanNya di sini: “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya”, yaitu kecuali
Jadi kesimpulannya mereka menyalahkan , menganggap bukan “muslim yang beriman” atau bahkan
mengkafirkan (menganggap bukan muslim) terhadap muslim lain yang tidak sepaham (sependapat)
dengan mereka seperti muslim yang memahami firman Allah QS al-Qashash [28] : 88 sebagai “Segala
150
Mereka menganggap atau menuduh muslim lain yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka
sebagai bukan “muslim yang beriman”, sebaimana anggapan atau tuduhan mereka terhadap Abu
‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w. 208) pakar ilmu bayan, pengarang kitab pertama kali yang
disusun dalam bidang balaghah, tentang ilmu bayan, yaitu kitab Majazul Qur’an sebagaimana
Ibn Al Jawzi menjelaskan bahwa para ahli tafsir berkata: ”Makna ” ;”ويبقى وجه ربكartinya ”” ;”ويبقى ربكDan
Tuhanmu (Allah) maha kekal”. Demikian pula pemahaman firman Allah yang senada dengan ayat di
atas, firman-Nya: ” ;”يريدون وجههpara ahli tafsir berkata: ”Artinya ”” ;”يريدونهMereka bertujuan ikhlas
karena Allah”. Sementara Imam ad-Dlahhak dan Abu Ubaidah menafsirkan firman Allah ” كل شىء هالك إال
Begitupula dari kalangan masyarajat Arab klasik bahwa kata wajah biasa digunakan merujuk kepada
wajah yang dikenal secara denotatif, dan kadang juga digunakan oleh bangsa Arab merujuk diri
seseorang, artinya mereka menggunakan ungkapan “wajah” untuk menyebut “diri seseorang”,
Begitu juga dengan juga kata “wajah”, orang Arab biasa menggunakannya secara majaz (metaforis
atau makna kiasan) untuk mengungkapkan sosok seseorang demi memuliakannya. Maka mereka
Ironisnya mereka yang terjerumus kesesatan akibat salah memahami Al Qur’an dan Hadits, justru
mereka menganggap “telah kafir” bagi umat Islam yang tidak mau mengikuti pemahaman mereka
yang “tanpa perlu takwil” alias “tanpa takwil” yakni memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan
untuk diriNya selalu dengan makna dzahir karena dianggap telah mengingkari sifat-sifat Allah
tauhid-asma-wa-sifat/
Mengingkarinya setelah mengetahui bahwa itu memang benar adanya. Mereka mengingkarinya secara
sengaja, dan mengajak yang lain untuk mengingkarinya. Maka mereka yang berlaku seperti ini telah
kafir karena mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya. Padahal mereka mengetahui
Kaum muslim yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat tentu bukanlah
mengingkari sifat-sifat Allah atau bukanlah mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya
151
namun mengingkari memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang
pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir karena akan terjerumus
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum
Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam dalam kitab “Tanbiat Al-Ghabiy Bi
Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang
berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad
, ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan,
Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat benda
dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah
dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya:
“Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau
karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam
i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan
mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-
Mereka yang mengingkari Allah dan hukumnya ‘aashin yakni berbuat durhaka kepada Allah akibat
mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan
makna dzahir.
Berikut kutipan tulisan syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi
mengitiqadkan-allah-swt-seperti-makhluk/
(seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya, maka orang
152
tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah
Oleh karenanya sebaiknya janganlah berguru atau mengambil pendapat dari orang-orang yang
“kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka
sendiri karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an
dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”.
(HR. Ahmad)
Mereka yang menyatakan bahwa “Tuhan yang bilang memiliki wajah, mata, pinggang, tangan, kaki
dan lain lain, bahkan ada yang menyatakan Tuhan mereka memiliki dua tangan dan keduanya kanan
maka pernyataan itu membuktikan bahwa mereka memahami firman Allah secara otodidak (shahafi)
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/07/16/tuhan-yang-bilang/
Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang
Dalam perkara aqidah atau i’tiqod tidak ada perbedaan di antara mazhab yang empat karena i’tiqod
bukanlah masalah yang bersifat furu’iyyah. Kesalahpahaman dalam i’tiqod menyebabkan terjerumus
Apa yang mereka alami pada masa sekarang, dahulu kala telah dihadapi oleh ulama Hanbali yang
ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-
Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi ketika meluruskan kesalahpahaman 3 ulama semula
bermazhab Hanbali akibat mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman
Ibn al Jawzi berkata, “sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar
153
Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih untuk
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal).
Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara
yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli
Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat
tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li”
Ibn al Jawzi di atas menjelaskan bahwa mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il”
(sifat perbuatan) saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
Kita mengetahui “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) bagi Allah seperti Maha Melihat , Maha Mendengar
namun terlarang mensifatkan DzatNya seperti Allah memiliki wajah, pinggang, dua mata, dua tangan
dan keduanya kanan dan lain lainnya karena tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu
Jadi mereka yang mengaku ahlussunnah namun pada kenyataannya mereka melanggar larangan
Rasulullah yakni larangan untuk menanyakan atau memikirkan DzatNya sebagaimana yang telah
Paham Wahabisme adalah ajaran berdasarkan pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhamnad
bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang
dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana contoh informasi resmi
dari http://saudiembassy.net/islam
154
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined
forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of
Berikut contoh kutipan catatan kaki (footnote) ketika mereka menafsirkan QS Al Baqarah [2]:255
sebagaimana termuat dalam mushaf Al Madinah An Nabawiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan dicetak di Komplek Percetakkan Al Qur’an Al Karim kepunyaan Raja Fahd yang biasa
161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang
mengartikan kekuasaan-Nya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak
telapak Kaki-Nya.”
quran/ebook-quran-indonesian-translation.html
Begitupula dalam perkara aqidah, ustadz panutan mereka, Khalid Basalamah salah dalam memahami
Al Qur’an dan Hadits akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamanya selalu
dengan makna dzahir sebagaimana yang dapat disaksikan dalam sebuah video yang dipublikasikan
pada http://www.youtube.com/watch?v=IxPYMh-KWFg
Pada menit 02:55 Beliau berpendapat bahwa, “Allah itu Maha Besar. Jadi kenapa Allah itu tidak
Pada menit 03:35 Beliau berpendapat bahwa, “Ayat kursi berarti informasi tentang pijakan kakinya
Allah di singgasana”.
Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah
kaki seperti
Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat
Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa
155
riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa
hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa
hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah
Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah
bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki
Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada
Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya
Contoh lain mereka yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai Telapak Kaki (Qadamur Rahman)
akibat memahami selalu dengan makna dzahir terhadap riwayat seperti berikut,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Setiap kali Jahannam dilempari (dengan
‘Izzah (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak kaki-
Nya di atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya, lalu ia (Jahannam)
berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848)
Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-
bagi, tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan berpindah-
pindah. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid al-Harawi dan Imam al-Hasan al-Bashri, bahwa ia (al-
Hasan al-Bahsri) berkata: Yang dimaksud “ ( ” قدمmakna dzahirnya kaki) dalam hadits di atas adalah
orang-orang yang didatangkan (dimasukkan) oleh Allah dari para makhluk-Nya yang jahat di dalam
neraka Jahanam”.
Akibat mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu
dengan makna dzahir sehingga mereka belum dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya
156
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy
dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada
Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari,
seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan
semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang
raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang
artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti
pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah
kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “ وما
“( ” قدروا هللا حق قدرهDan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az
Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Mereka mengatakan bahwa “kaki gajah dan kaki semut tidak sama walaupun sama-sama kaki
namanya. Begitupula kaki meja dan kaki kamera yang untuk sandaran juga tidak sama walaupun
Walaupun kaki manusia, kaki meja, kaki kursi, kaki kamera berbeda bentuk dan ukurannya namun
mempunyai sifat yang sama yakni bagian bawah, untuk penopang (penyangga) sedangkan Allah
Ta’ala “Laisa kamitslihi syaiun” tidak serupa dengan makhlukNya dari sisi apapun.
Mereka lupa bahwa walaupun bentuk dan ukuran kakinya berbeda, sifat kaki bagi kaki semut, kaki
gajah, kaki meja atau kaki kamera adalah untuk menopang sesuatu yang mempunyai suatu bentuk
serta ukuran.
Jika tidak menopang sesuatu maka tidak disifatkan dengan kaki seperti kaki semut, kaki gajah, kaki
Jadi mereka mensifatkan yang tidak dilayak bagi Allah yakni sifat kaki, suatu bagian yang menopang
sesuatu yang mempunyai suatu bentuk serta ukuran walaupun dikatakan bentuknya tidak serupa
dengan makhlukNya sedangkan bentuk dan ukuran adalah sifat makhluq bukan sifat Allah Ta’ala.
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh
disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-
157
sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata
dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang)
Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata:“Barang siapa beranggapan
(berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui (belum mengenal) Tuhan yang
Mereka yang belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya sehingga dapat berakibat amal
Imam Al Ghazali berkata : “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengenal Allah yang
wajib disembah”
KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu
faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang
Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai
Selain itu aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan
sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.
Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah)
dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana mengenal Allah yang
merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang aqidah mereka yang mengaku pengikut
Mazhab Hambali, apakah aqidah Imam Ahmad bin Hanbal seperti aqidah mereka ?
هل عقيدة اإلمام أحمد بن حنبل، في عقائد الحنابلة ما ال يخفى على شريف علمكم: مطلب في عقيدة اإلمام أحمد رضي هللا عنه وأرضاه وسئل رضي هللا عنه ونفعنا به
Beliau menjawab:
158
***** awal kutipan ******
عقيدة إمام السنة أحمد بن حنل رضي هللا عنه وأرضاه وجعل جنان المعارف متقلبه ومأواه وأقاض علينا وعليه من سوابغ امتنانه وبوأه الفردوس األعلى: فأجاب بقوله
من جنانه موافقة لعقيدة أهل السنة والجماعة من المبالغة التامة في تنزيه هللا تعالى عما يقول الظالمون والجاحدون علوا كبيرا من الجهة والجسمية وغيرهما من سائر
وما اشتهر به جهلة المنسوبين إلى هذا اإلمام األعظم المجتهد من أنه قائل بشيء من الجهة أو نحوها فكذب، بل وعن كل وصف ليس فيه كمال مطلق، سمات النقص
فلعن هللا من نسب ذلك إليه أو رماه بشيء من هذه المثالب التي برأه هللا منها، وبهتان وافتراء عليه
Aqidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah meridhoinya dan menjadikannya
meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan aqidah
Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh
orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan
bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang
Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang mengaku-ngaku sebagai
pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat
dan semisalnya, maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap beliau.
Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh
beliau dengan tuduhan yang Allah telah membersihkan beliau darinya itu.
وقد بين الحافظ الحجة القدوة اإلمام أبو الفرج ابن الجوزي من أئمة مذهبه المبرئين من هذه الوصمة القبيحة الشنيعة أن كل ما نسب إليه من ذلك كذب عليه وافتراء وبهتان
فاعلم ذلك فإنه مهم، وأن نصوصه صريحة في بطالن ذلك وتنزيه هللا تعالى عنه، .
Al Hafizh Al Hujjah Al Imam, Sang Panutan, Abul Faraj Ibnul Jauzi, salah seorang pembesar imam
mazhab Hambali yang membersihkan segala macam tuduhan buruk ini, telah menjelaskan tentang
masalah ini bahwa segala tuduhan yang dilemparkan kepada sang imam adalah kedustaan dan
tuduhan yang keji terhadap sang imam. Bahkan teks-teks perkataan sang imam telah menunjukkan
kebatilan tuduhan itu, dan menjelaskan tentang sucinya Allah dari semua itu. Maka pahamilah
وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة، وإياك أن تصغي إلى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن قيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ إلهه هواه وأضله هللا على علم
وكيف تجاوز هؤالء الملحدون الحدود وتعدوا الرسوم وخرقوا سياج الشريعة والحقيقة فظنوا بذلك أنهم على هذى من ربهم وليسوا كذلك بل هم، فمن يهديه من بعد هللا
على أسوإ الضالل وأقبح الخصال وأبلغ المقت والخسران و أنهى الكذب والبهتان فخذل هللا متبعه وطهر األرض من أمثالهم
Janganlah sekali-kali kamu dekati buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim
dan orang selain mereka berdua yang telah menjadikan hawa nafsu mereka sebagai tuhan
159
sesembahan dan disesatkan oleh Allah atas ilmu, yang Allah telah menutup telinga, hati dan
penglihatannya. Siapa yang bisa memberikan petunjuk orang seperti itu selain Allah?
Bagaimana orang-orang atheis itu melampaui batas-batas, menabrak aturan-aturan dan merusak
tatanan syariat dan hakikat, lalu mereka menyangka bahwa mereka berada di atas petunjuk dari
tuhan mereka, padahal tidaklah demikian. Bahkan mereka berada pada kesesatan paling buruk,
kemurkaan paling tinggi, kerugian paling dalam dan kedustaan paling besar. Semoga Allah
menghinakan orang yang mengikutinya dan membersihkan bumi ini dari orang-orang semisal mereka.
Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti
Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan sebuah tulisan berjudul
“Taubatkah Ibnu Taimiyah ke dalam Aqidah Asy’ariyah?” dari sebuah link yang kami arsip (simpan)
Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari
pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan
makna dzahir
Memang ada yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian
taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai sidang ke empat hingga ia
wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar
dari http://www.muslimedianews.com/2015/02/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-ditangan.html
Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa Beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala
Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka
menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat)
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-
ibnu-taimiyyah.pdf
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah
160
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah
(menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul
Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun
ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang
merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad
Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak
lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil
Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada
penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id
bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat
pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan
kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian
Hal yang perlu kita ingat bahwa sesat berbeda dengan kafir.
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami (W 974H) pernah ditanya tentang ungkapan yang berbunyi,
“Hadits itu menyesatkan kecuali untuk para ahli fikih,” apakah itu hadits atau bukan, dan apa
maknanya, padahal mengetahui hadits termasuk salah satu syarat seseorang disebut sebagai ahli
fikih? Mana yang lebih mulia dan utama, ahli fikih atau ahli hadits ?
Beliau menjawab: Itu bukan hadits, melainkan ucapan Ibnu ‘Uyainah (*) atau selainnya. Makna
ungkapan itu adalah bahwa hadits seperti Al Quran, ada yang lafalnya umum tapi maknanya khusus
dan sebaliknya, ada yang nasikh dan ada yang mansukh, ada juga yang tidak diamalkan, ada yang
161
lafalnya musykil (bermasalah), jika dipahami secara dzahir (literal) dapat menimbulkan pemahaman
tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) seperti hadits yang berbunyi, “yanzilu Rabbuna… dst.”
Tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fikih. Berbeda dengan mereka yang
hanya mengerti hadits saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadits
zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya. Dari sini,
dapat diketahui keutamaan para ahli fikih yang memiliki pemahaman dibandingkan dengan para ahli
hadits yang tidak memiliki pemahaman. (Al Fatawa Al Haditsiyah halaman 202)
*) Ibnu ‘ Uyainah nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran, salah seorang Tabi’i tsiqoh,
dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H.
Di atas, Imam Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa hadits itu dapat menyesatkan kecuali bagi
para fuqaha (ahli fikih) seperti hadits yang mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya (jika dipahami
selalu dengan makna dzahir) membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… dan
kesesatan tersebut di alami Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat dan para pengikutnya.
Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat)
bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah
menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara
ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga
berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga
berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci
atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman
116)
Seorang Ahli Hadits yang mendapat gelar Al-Hafidz Al-Faqih, Waliyuddin Al-Iraqi bin Syaikh Al-Haffadz
Zainuddin Al-Iraqi berkata ” Sesungguhnya Ibnu Taimiyyah telah merusak mayoritas umat muslim di
dalam banyak permasalahan, dikatakan mencapai 60 permasalahan sebagian mengenai aqidah dan
Memang ada ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau
mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang
menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat
kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’
162
Akibatnya para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengungkapkan
pada http://faisalchoir.blogspot.co.id/2011/12/ibnu-taimiyah-dikafirkan-ibnu-hajar.html
Penyebab kitab ini dikarang sebagaimana yang tercantum dalam kitab tersebut adalah Fatwa yang
menyebar di khalayak Umum saat itu tentang kafirnya orang yang memberi julukan ibnu Taimiyah
sebagai Syaikhul Islam dan tidak sah sholat dibelakang orang tersebut.
Fatwa tersebut secara jelas bukan saja pengkafiran terhadap Ibnu Taimiyah, tapi juga pengkafiran
terhadap pengikutnya.
Sebagai pembelaan terhadap ulama panutan mereka dengan mengutip tulisan Al Hafizh as-Sakhawi
dalam kitab Al-Jawahir wad-Durar, 2/734-736 menukil pendapat gurunya, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-
Asqalani , “Beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah Syaikhul Islam tanpa ada keraguan” sebagaimana tulisan
Namun mereka tampaknya kurang memperhatikan catatan penting Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab
والذي أخطأ فيه ال يقلد فيه، ويترحم عليه بسببه، فالذي أصاب فيه – وهو األكثر – يستفاد منه، ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب
“Meskipun demikian, beliau adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran
yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil
dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
Catatan penting tersebut bukanlah masalah furuiyyah namun masalah pokok yakni aqidah
sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-
Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 sebagaimana yang dinformasikan pada http://www.aswj-
rg.com/2014/06/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al-asqalani-terhadap-ibnu-taimiyah.html
Manusia terbagi menjadi beberapa kubu dalam menilai Ibnu Taimiyyah, ada sebagian kelompok yang
menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam
kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya : Ibnu Taimiyyah
mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah,
dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya. Maka ketika dipersoalkan, hal itu
akan melazimkan Allah memiliki batasan dan bagian, maka ia menjawab, “ Aku tidak setuju batasan
dan bagian termasuk kekhushusan jisim “. Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah
163
mengatakan batasan bagi Dzat Allah.
Jadi Ibnu Hajar Al-Asqalani pun menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap permasalahan pokok
bukan furuiyah yakni dalam perkara aqidah atau kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang mensifatkan Dzat
Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan
Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang
cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat)
dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan
menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat
Berikut kutipannya
Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H
hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu
menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2
Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan,
khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar
A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.
164
Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu
Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang
bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa
dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan
membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah.
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian
menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat
Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah
an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata:
“Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan
wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu
Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara
7. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal
dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
165
8. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau
semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi
9. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan
menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam
Rasulullah.
Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Wassalam
Bi la kayf
21 September 2017 oleh mutiarazuhud
166
Contoh kata penting yang dihilangkan dalam kitab Al Ibanah adalah bi la kayf
Ternyata mereka mengakui sabda Rasulullah bahwa Allah ada tanpa tempat sebagaimana yang telah
Begitupula Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari (W. 324 H) –semoga Allah meridlainya- berkata:
“Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” (diriwayatkan oleh al Baihaqi dalam al Asma’ wa as-Shifat)
Ini adalah salah satu bukti yang menunjukkan bahwa kitab al Ibanah yang dicetak dan tersebar
sekarang dan dinisbatkan kepada al Imam Abu al Hasan al Asy’ari telah banyak dimasuki sisipan-
pada http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/04/pemalsuan-kitab-al-ibanah-imam-abu-
hasan-al-asyariy/
Sebagaimana yang terungkap dalam gambar di atas, contoh kata penting yang dihilangkan adalah bi
la kayf
Tentunya kita mengetahui arti penting dari ungkapan yang lenyap tersebut.
167
Sehingga dengan adanya ungkapan itu akan memberi penjelasan bahwa sifat Istiwa’ Allah Subhanahu
wa Ta‘ala bi la kayf – tanpa kaif (tanpa membagaimanakan) yakni maksudnya tidak memaknakan
istiwa dengan makna yang asal menurut bahasa atau makna dzahir (seperti bertempat atau menetap
tinggi atau bahkan melayang tinggi di atas ‘Arsy) namun membiarkan sebagaimana lafaznya dan
menyerahkan maknanya kepada Allah yang disebut dengan TAKWIL IJMALI (ringkas dan menyeluruh)
Begitupula Salasush Sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada
Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada
sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa
tafsir“
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-
Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu
itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-
ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya.
Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak
boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan
(makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).
Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak
boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada
bahasa Arab”.
Jadi ada dua cara dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah yang ditetapkanNya
yakni
1. Cara yang dipergunakan oleh Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan ulama salaf (terdahulu) pada
Yakni beriman kepada lafaz-lafaz seperti istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain namun tidak meng-kaif
atau tidak membagaimanakan istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain maksudnya tidak memaknakan
istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dengan makna dzahir dan menyerahkan maknanya kepada Allah
Ta’ala
168
2. Cara yang digunakan oleh ulama khalaf (kemudian) untuk menjawab pertanyaan orang-orang yang
suka menggunakan akal pikirannya sendiri yakni TAKWIL TAFSILI (memalingkan dari makna dzahir)
Yakni beriman pada lafaz-lafaz seperti istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dan memahaminya
menggunakan ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan
dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush
shilat [41]:3)
Si A berkata bahwa gadis itu cantik bagaikan bulan. Sore itu bulan masuk ke warung makan.
Takwil Ijmali “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung
makan” tetapi saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah
yang mengetahuinya
Takwil Tafsili “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung
makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di
waktu malam, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.
Jadi dalam memahami sifat Allah yang ditetapkanNya boleh menggunakan takwil ijmali atau takwil
tafsili karena takwil ijmali dengan takwil tafsili adalah sejalan atau tidak bertentangan yakni sama-
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi
as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya
dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada
tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh
ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau
makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena
jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak
patut bagiNya.
169
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu
balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik
dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu
sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para
ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan
I’tiqod atau aqidah umat Islam, salah satunya berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya “Dialah
Allah Ta’ala ada sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan
ciptaanNya.
Allah Ta’ala ada sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ’Arsy
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :“Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka
Dia menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya (sifat qadim), sebagaimana Dia ada
sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”.
Al-Imâm al-Qurthubi menuliskan: “Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau
berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau
berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan
zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’
Syaikh Ibnu Athoilah berkata “Allah ada, dan tiada sesuatu besertaNya. Dia kini adalah tetap
sebagaimana adanya”
170
Berikut beberapa hadits yang menjadikan rujukan i’tiqod atau aqidah umat Islam bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda. Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan)
dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (HR. al Bukhari, al Baihaqi dan Ibn al Jarud)
ُ كَانَ هللا:َ قَال. َ ِجئْنَاكَ ِلنَتَفَقَّهَ فِي ال ِدّي ِْن َو ِلنَ ْسأَلَكَ َع ْن أ َ َّو ِل َهذَا اْأل َ ْم ِر َما كَان:َاس مِ ْن أَ ْه ِل ْاليَ َم ِن فَقَالُ ْوا
ٌ ي صلى هللا عليه وسلم إِ ْذ دَ َخ َل نِّ ِصي ٍْن َقا َل إِنِّ ْي ِع ْندَ النَّب
َ َع ْن ع ِْم َرانَ ب ِْن ُح
ْ َولَ ْم يَ ُك ْن ش
رواه البخاري- َُي ٌء َغي ُْره
“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar
agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR
Bukhari)
Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:
لى ْال َماءِ قَا َل أَحْ َمدُ بْنُ َمنِيْعٍ قَا َل َ ْس ْو َل هللاِ أَيْنَ كَانَ َربُّنَا قَ ْب َل أَ ْن يَ ْخلُقَ خ َْلقَهُ ؟ قَا َل كَانَ ف ِْي َع َماءٍ َما تَحْ تَهُ ه ََوا ٌء َو َما فَ ْوقَهُ ه ََوا ٌء َو َخلَقَ عَر
َ شه ُ َع ُ يَا َر: َُع ْن أَبِ ْي َر ِزي ٍْن قَا َل قُ ْلت
“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita
sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada
tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada
sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun
berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat).
إذ ال يجوز عليه التغير، والدليل عليه هو أن هللا تعالى كان وال مكان له فخلق المكان وهو على صفته األزلية كما كان قبل خلقه المكان،واعلموا أن هللا تعالى ال مكان له
ولهذا المعنى، تعالى هللا عن ذلك علوا كبيرا، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، وألن من له مكان فله تحت،في ذاته وال التبديل في صفاته
13 ص،) استحال عليه الزوجة والولد ألن ذلك ال يتم إال بالمباشرة واالتصال واالنفصال (الفقه األكبر
Artinya :
171
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan
tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan
tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya
maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah
bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang
memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu
pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan
adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-
pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab
itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h.
13).
“كان هللا وال مكان وهو اآلن على ما عليه كان: قال سيدنا علي رضي هللا عنه
“Allah ada dan belum ada tempat dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti
“ إن هللا خلق العرش إظهارا لقدرته ولم يتخذه مكانا لذاته: وقال سيدنا علي رضي هللا عنه
Dalam Muktamar Internasional Ahlussunnah wal Jama’ah di Chechnya, bulan Agustus 2016, dimana
salah satu hal yang dibahas adalah adanya pihak yang menganggap (menuduh) Asy’ariyah dan
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/09/07/hasil-muktamar-di-chechnya/
Contohnya mereka yang menganggap Asy’ariyah bukan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah karena
mereka menganggap (menuduh) Asy’ariyah beri’tiqod bahwa Allah berada di tiap-tiap tempat (Allah di
mana-mana).
atau
172
“apa yang terlihat di mana mana adalah wujud (keberadaan) Allah”
bukan berarti Allah Ta’ala bertempat di mana mana namun maknanya adalah bahwa kita bisa
mengetahui dan meyakini keberadaan dan kebesaran Allah Ta’ala serta mengenal Allah
(makrifatullah) adalah dengan memperhatikan alam dan isinya atau semua yang terlihat oleh mata
yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya atau disebut juga ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat yang
meliputi segala macam ciptaan Allah,baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar
(makrokosmos).
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada
diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah
Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush
Shilat [41]:53)
“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda
kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS
Hal ini sesuai dengan saran Rasulullah bahwa untuk meyakini keberadaan Allah dengan memikirkan
nikmat-nikmat yang telah diberikanNya atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Azza
Rasulullah bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir
Imam sayyidina Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa pertanyaan “Di mana” tidak boleh bagi Allah
Ta’ala.
” إن الذي أين األين ال يقال له أين وإن الذي كيف الكيف ال يقال له كيف: وقال سيدنا علي رضي هللا عنه
“Sesungguhnya yang menciptakan aina (tempat) tidak boleh dikatakan baginya di mana (pertanyaan
tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan baginya
bagaimana”
terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh
173
dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga
Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan: “Allah ada sebelum
ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan
belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?”
Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan
“bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerihpayah, dan kreasi-kreasi yang mampu
menggambari-Nya,atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada
sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang
Lalu ada dari mereka yang bertanya bahwa kalau tidak boleh menanyakan “di mana Allah” apakah
Salah satu satu pokok permasalahan para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu
Taimiyyah sebelum bertaubat dalam perkara aqidah , salah satunya mereka berpegang pada hadits
ahad (satu jalur perawi) yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami yang baru masuk Islam
yang dapat diketahui dengan pernyataannya “Wahai Rasul shallallahu alaihi wasallam sesungguhnya
aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang Islam”
Hal pokok yang shahih dan tidak diperselisihkan dari hadits tersebut adalah pada bagian sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di
dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-
Qur’an.”
Sedangkan hadits yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami pada bagian kisah budak
Jariyah diperselisihkan.
Dalam istilah para ulama hadits, riwayat yang diperselisihkan matan (redaksinya) oleh para perawi
Kekacauan (keguncangan) matan (redaksi) dalam hadits tersebut disebabkan sebagian perawi
meriwayatkan hadits tidak dengan matan (redaksi) asli sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, ia
meriwayatkannya dengan ma’nan (hanya kandungan maknanya saja). Karenanya ia terjatuh dalam
174
kesalahan. Sementara matan (redaksi) hadits yang benar ialah tidak ada pertanyaan: “Di mana
Allah?”
Jadi pada bagian kisah budak Jariyah adalah matan (redaksi) dari dia secara pribadi berdasarkan
penyaksiannya terhadap percakapan secara isyarat yang dapat pula dipengaruhi oleh keadaan
Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami yang baru masuk Islam ketika meriwayatkan kisah budak Jariyah.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa pada bagian kisah budak Jariyah yang diriwayatkan Muawiyah bin
al-Hakam as-Sulami diragukan ke-shohih-annya dan seandainya shohih hadits tersebut maka
pertanyan “di mana Allah” sekedar untuk mengetahui apakah budak Jariyah masih menunjuk berhala
atau tidak.
Imam Syafi’i ~rahimahullah tentang hadits Jariyah berkata : “Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan
matan nya (hadits jariyah), dan seandainya shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi – shallallahu
‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya, karena bahwa dia
(hamba) dan kawan- kawannya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang
ada di bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanannya,maka Nabi bertanya : “Dimana Allah ?”
sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam, maka
manakala ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia
adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi, atau Nabi
Begitupula Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka
ia mentakwilnya agar tidak menyalahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni
pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah,
karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan
untuk menanyakan kedudukan atau derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu
kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah
sangat tinggi).
Ibn Al Jawzi berkata “Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Para ulama (Ahlussunnah Wal Jama’ah) telah
menetapkan bahwa Allah tidak diliputi oleh langit dan bumi serta tidak diselimuti oleh segala arah.
Adapun bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan mengatakan di arah langit adalah untuk
tujuan mengagungkan.
Berkata Imam Ahlus Sunnah Abu Mansur Al-Maturidi: “Adapun mengangkat tangan ke langit adalah
ibadah, hak Allah menyuruh hamba-Nya dengan apa yang Ia kehendaki, dan mengarahkan mereka
175
kemana yang Ia kehendaki, dan sesungguhnya sangkaan seseorang bahwa mengangkat pandangan
ke langit karena Allah di arah itu, sungguh sangkaan itu sama dengan sangkaan seseorang bahwa
Allah di dasar bumi karena ia meletakkan muka nya di bumi ketika Shalat dan lain nya, dan juga sama
seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di timur/barat karena ia menghadap ke arah tersebut ketika
Shalat, atau Allah di Mekkah karena ia menunaikan haji ke Mekkah” [Kitab At-Tauhid – 75]
Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu menghadap ke
langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu
karena Allah di langit, sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di arah Ka’bah, karena
sesungguhnya langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Ibnu Batthal berkata: sesungguhnya langit itu qiblat doa,
sebagaimana Ka’bah itu qiblat Shalat” [Fathul Bari, jilid 2, hal 296]
Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Maka adapun angkat tangan ke arah langit ketika
berdoa, karena sesungguhnya langit itu qiblat doa” [Ittihaf, jilid 2, hal 170]. kemudian Imam Al-
Hafidh Murtadha Az-Zabidi juga berkata: “Jika dipertanyakan, ketika adalah kebenaran itu maha suci
Allah yang tidak ada arah (jihat), maka apa maksud mengangkat tangan dalam doa ke arah langit ?
maka jawaban nya dua macam yang telah disebutkan oleh At-Thurthusyi :
Pertama: sesungguhnya angkat tangan ketika doa itu permasalahan ibadah seperti menghadap
Ka’bah dalam Shalat, dan meletakkan dahi di bumi dalam sujud, serta mensucikan Allah dari tempat
Ka’bah dan tempat sujud, maka langit itu adalah qiblat doa.
Kedua: manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat dan
berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit
adalah tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu
kepada Malaikat, dan Malaikat-lah yang memberikan kepada penduduk bumi, dan begitu juga tentang
diangkat nya segala amalan (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan langit ada
syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit itu tempat bagi perkara-perkara mulia
tersebut, dan tempat tersimpan Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentingan ke langit,
dan orang-orang berdoa pun menunaikan ke atas langit”[Ittihaf, jilid 5, hal 244]
langit” karena “berada di atas” adalah ungkapan dalam makna dzahir dalam arti ketinggian fisik yang
176
berhubungan dengan jihah (arah) Padahal jihah (arah) hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda
saja yang seharusnya dinafikan atau tidak boleh disifatkan bagi Allah.
Terjemahan yang benar adalah “Yang di langit” dalam makna majaz yakni ketinggian dalam arti
Imam al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan dalam Kitab at-Tauhid; “Al Kirmani berkata, ِس َماء
َّ َم ْن فِى ال
makna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah
tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia di banding sisi-sisi lainnya, maka ia
disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian dalam arti kemuliaan atau keagungan Dzat
dan sifat-Nya.“
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang seringkali disalahpahami oleh kaum mujassimah adalah firman
Allah
Argumen kuat dan nyata telah menegaskan bahwa yang dimaksud ayat ini bukan dalam makna
dzahirnya karena dasar kata fis sama dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan
sesuatu yang ”berada di dalam sebuah tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”; padahal Allah
Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi (makna dzahir) seperti ini,
karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit (bisa jadi sama besar, lebih besar, atau
Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan keagungan dan
kemuliaan Allah.
Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya turut menjelaskan perkara yang sama dalam menafsirkan ayat
tersebut, yang dimaksud dengan perkataan ‘man’ (siapa) dalam ayat tersebut adalah ‘Allah’ maka
tidak boleh dikatakan keberadaan Allah itu di langit karena Allah tidak memerlukan langit tetapi
maknanya adalah ‘kerajaan Allah’ bukan ‘Dzat Allah’. Maha suci Allah dari sifat makhlukNya.
177
Berikut kutipan dari tafsir Jalalain penerbit Sinar Baru Algensindo buku ke 2 hal 1129, juz 29, Al Mulk
[67]:16
a-amintum, (Apakah kalian merasa aman) dapat dibaca secara tahqiq dan dapat pula dibaca secara
tashil
man fiis samaa-i, (terhadap kekuasaan Allah yang di langit) yakni pengaruh dan kekuasaan-Nya yang
di langit
an yakhsifa, (bahwa Dia akan menjungkir balikkan) berkedudukan menjadi badal dari lafaz man
bikumul ardha fa-idzaa hiya tamuuru, (bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu
Oleh karenanya terhadap firmanNya pada (QS Al Mulk [67]:16) para mufassir (ahli tafsir) telah
sepakat menyisipkan “(berkuasa)” agar tidak dipahami “berada” atau “bertempat” sehingga
menafsirkannya menjadi,
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir
balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?
Sedangkan makna pujian fawq (di atas) seperti “Yang di atas” bagi Allah adalah bukan dalam
pengertian tempat dan arah, tapi dalam pengertian Maha Tinggi (ketinggian derajat) , Maha
Menguasai dan Maha Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala , wahuwal
(Dan Dialah yang berkuasa) Maha Kuasa tidak ada sesuatupun yang melemahkanNya dan Dia Maha
Al-Imam Badruddin ibn Jama’ah berkata “ ” فوق, “fawq” bukanlah dalam pengertian tempat karena
adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu yang batil, maka pemaknaan fawq pada hak Allah
pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya, Maha Menguasai dan Maha
Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala , wa huwa al-qaahiru fawqa ‘ibaadihi
Jika yang dimaksud fawq dalam pengertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan
indikasi kemuliaan dan keistimewaan karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang
178
bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya – Apakah itu menunjukan bahwa
pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri ?
Al-Hâfizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybîh, dalam penjelasan firman Allah: “Wa Huwa
Mereka lupa bahwa pengertian “fawq”, “ ” فوقdalam makna indrawi (makna dzahir) hanya berlaku bagi
Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “علو المرتبة
ّ ”; “derajat yang
tinggi”.
Padahal dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan: “ ;” فالن فوق فالنartinya; “derajat si fulan (A) lebih
tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas
Al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa makna ini; yaitu makna
menguasai dan menundukan serta ketinggian derajat, adalah makna yang dimaksud dari salah salah
satu sifat Allah; al-‘Uluww. (sifat Maha Tinggi) Dan inilah makna yang dimaksud dari firman Allah:
“Sabbihisma Rabbik al-‘Ala” (QS. Al-A’la: 1), dan firman-Nya: “Wa Huwa al-‘Alyy al-‘Azhim” (QS al-
Baqarah: 255).
Karena makna al-‘Uluww (sifat Maha Tinggi) dalam pengertian indrawi (makna dzahir), yaitu tempat
atau arah atas hanya berlaku pada makhluk saja yang notabene sebagai benda yang memiliki bentuk
dan ukuran, tentunya hal itu adalah suatu yang mustahil bagi Allah.
Dalam hal ini Ibn Hajar menuliskan sebagai berikut: “Sesungguhnya mensifati Allah dengan sifat al-
‘Uluww (sifat Maha Tinggi) adalah dalam pengertian maknawi (makna majaz), karena mustahil
memaknai al-‘Uluww (pada hak Allah) dalam pengertian indrawi (makna dzahir). Inilah pengertian
Pada halaman lain dalam kitab yang sama, al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan alasan mengapa para
ulama sangat keras mengingkari penisbatan arah bagi Allah, adalah tidak lain karena hal itu sama
saja dengan menetapkan tempat bagi-Nya. Dan sesungguhnya Allah mustahil membutuhkan kepada
tempat, karena Dia bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran, dan Dia tidak boleh disifati
179
dengan sifat-sifat benda (Fath al-Bari Bi Syarh Shahih al-Bukhari, j. 3, h. 30, j. 7, h. 124, dan j. 11, h.
505).
Al-Imâm Ibn Jahbal dalam Risalah Fi Nafy al-Jihah ‘An Allah menuliskan sebagai berikut:
Pertama; Fawq dalam pengertian tempat bagi suatu benda yang berada di atas benda lainnya. Artinya
posisi benda yang pertama berada di arah kepala posisi benda yang kedua. Pemaknaan semacam ini
tidak akan pernah dinyatakan bagi Allah kecuali oleh seorang yang berkeyakinan tasybîh dan tajsîm.
Kedua; Fawq dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan. Contoh, bila dikatakan dalam
bahasa Arab: “al-Khalifah Fawq as-Sulthan Wa as-Sulthan Fawq al-Amir”, maka artinya: “Khalifah
lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau
bila dikatakan: “Jalasa Fulan Fawq Fulan”, maka artinya: “Si fulan yang pertama kedudukannya di
atas si fulan yang kedua”, atau bila dikatakan: “al-‘Ilmu Fawq al-‘Amal” maka artinya: “Ilmu
Contoh makna ini dalam firman Allah: “Wa Rafa’na Ba’dlahum Fawqa Ba’dlin Darajat” (QS. Az-
Zukhruf: 32), artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian
yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-
Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan para pengikut Fir’aun: “Wa Inna Fawqahum Qahirun”
(QS. Al-A’raf: 127). Yang dimaksud ayat ini adalah bahwa para pengikut yang setia kepada Fir’aun -
merasa- menguasai dan lebih tinggi kedudukannya di atas Bani Isra’il. Makna ayat ini sama sekali
bukan berarti para pengikut Fir’aun tersebut berada di atas pundak-pundak atau di atas punggung-
(Lihat dalam Risalah fi Nafy al-Jihah dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah, j. 9, h. 47. Risalah ini adalah
bantahan keras terhadap Ibn Taimiyah yang mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy).
Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an menuliskan tentang
180
“…antara lain sifat fawqiyyah, seperti dalam firman-Nya: “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa ‘Ibadih” (QS. Al-
An’am: 18), dan firman-Nya: “Yakhafuna Rabbahum Min Fawqihim” (QS. An-Nahl: 50). Makna fawq
dalam ayat ini bukan dalam pengertian arah atas. Makna fawq dalam ayat tersebut sama dengan
makna fawq dalam firman Allah yang lain tentang perkataan Fir’aun: “Wa Inna Fawqahum Qahirun”
(QS. Al-A’raf: 127), bahwa pengertiannya bukan berarti Fir’aun berada di atas pundak Bani Isra’il, tapi
Ada pula dari mereka yang ngeyel atau keukeuh (bersikukuh) mengatakan bahwa Tuhan mereka
berada di atas langit adalah mengikuti i’tiqod atau aqidah Imam Ahmad bin Hanbal.
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang aqidah mereka yang mengaku pengikut
Mazhab Hambali, apakah aqidah Imam Ahmad bin Hanbal seperti aqidah mereka ?
هل عقيدة اإلمام أحمد بن حنبل، في عقائد الحنابلة ما ال يخفى على شريف علمكم: مطلب في عقيدة اإلمام أحمد رضي هللا عنه وأرضاه وسئل رضي هللا عنه ونفعنا به
Beliau menjawab:
عقيدة إمام السنة أحمد بن حنل رضي هللا عنه وأرضاه وجعل جنان المعارف متقلبه ومأواه وأقاض علينا وعليه من سوابغ امتنانه وبوأه الفردوس األعلى: فأجاب بقوله
من جنانه موافقة لعقيدة أهل السنة والجماعة من المب الغة التامة في تنزيه هللا تعالى عما يقول الظالمون والجاحدون علوا كبيرا من الجهة والجسمية وغيرهما من سائر
وما اشتهر به جهلة المنسوبين إلى هذا اإلمام األعظم المجتهد من أنه قائل بشيء من الجهة أو نحوها فكذب، بل وعن كل وصف ليس فيه كمال مطلق، سمات النقص
فلعن هللا من نسب ذلك إليه أو رماه بشيء من هذه المثالب التي برأه هللا منها، وبهتان وافتراء عليه
Aqidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah meridhoinya dan menjadikannya
meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan aqidah
Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh
orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan
bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang
Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang mengaku-ngaku sebagai
pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat
dan semisalnya, maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap beliau.
Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh
beliau dengan tuduhan yang Allah telah membersihkan beliau darinya itu.
181
وقد بين الحافظ الحجة القدوة اإلمام أبو الفرج ابن الجوزي من أئمة مذهبه المبرئين من هذه الوصمة القبيحة الشنيعة أن كل ما نسب إليه من ذلك كذب عليه وافتراء وبهتان
فاعلم ذلك فإنه مهم، وأن نصوصه صريحة في بطالن ذلك وتنزيه هللا تعالى عنه، .
Al Hafizh Al Hujjah Al Imam, Sang Panutan, Abul Faraj Ibnul Jauzi, salah seorang pembesar imam
mazhab Hambali yang membersihkan segala macam tuduhan buruk ini, telah menjelaskan tentang
masalah ini bahwa segala tuduhan yang dilemparkan kepada sang imam adalah kedustaan dan
tuduhan yang keji terhadap sang imam. Bahkan teks-teks perkataan sang imam telah menunjukkan
kebatilan tuduhan itu, dan menjelaskan tentang sucinya Allah dari semua itu. Maka pahamilah
وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة، وإياك أن تصغي إلى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن قيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ إلهه هواه وأضله هللا على علم
وكيف تجاوز هؤالء الملحدون الحدود وتعدوا الرسوم وخرقوا سياج الشريعة والحقيقة فظنوا بذلك أنهم على هذى من ربهم وليسوا كذلك بل هم، فمن يهديه من بعد هللا
على أسوإ الضالل وأقبح الخصال وأبلغ المقت والخسران وأنهى الكذب والبهتان فخذل هللا متبعه وطهر األرض من أمثالهم
Janganlah sekali-kali kamu dekati buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim
dan orang selain mereka berdua yang telah menjadikan hawa nafsu mereka sebagai tuhan
sesembahan dan disesatkan oleh Allah atas ilmu, yang Allah telah menutup telinga, hati dan
penglihatannya. Siapa yang bisa memberikan petunjuk orang seperti itu selain Allah?
Bagaimana orang-orang atheis itu melampaui batas-batas, menabrak aturan-aturan dan merusak
tatanan syariat dan hakikat, lalu mereka menyangka bahwa mereka berada di atas petunjuk dari
tuhan mereka, padahal tidaklah demikian. Bahkan mereka berada pada kesesatan paling buruk,
kemurkaan paling tinggi, kerugian paling dalam dan kedustaan paling besar. Semoga Allah
menghinakan orang yang mengikutinya dan membersihkan bumi ini dari orang-orang semisal mereka.
Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti
Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan sebuah tulisan berjudul
“Taubatkah Ibnu Taimiyah ke dalam Aqidah Asy’ariyah?” dari sebuah link yang kami arsip (simpan)
Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari
pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan
makna dzahir
182
Memang ada yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian
taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai sidang ke empat hingga ia
wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar
dari http://www.muslimedianews.com/2015/02/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-ditangan.html
Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa Beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala
Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka
menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat)
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-
ibnu-taimiyyah.pdf
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah
(menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul
Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun
ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang
merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad
Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak
lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil
Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada
penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id
bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat
pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
183
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan
kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian
Hal yang perlu kita ingat bahwa sesat berbeda dengan kafir.
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami (W 974H) pernah ditanya tentang ungkapan yang berbunyi,
“Hadits itu menyesatkan kecuali untuk para ahli fikih,” apakah itu hadits atau bukan, dan apa
maknanya, padahal mengetahui hadits termasuk salah satu syarat seseorang disebut sebagai ahli
fikih? Mana yang lebih mulia dan utama, ahli fikih atau ahli hadits ?
Beliau menjawab: Itu bukan hadits, melainkan ucapan Ibnu ‘Uyainah (*) atau selainnya. Makna
ungkapan itu adalah bahwa hadits seperti Al Quran, ada yang lafalnya umum tapi maknanya khusus
dan sebaliknya, ada yang nasikh dan ada yang mansukh, ada juga yang tidak diamalkan, ada yang
lafalnya musykil (bermasalah), jika dipahami secara dzahir (literal) dapat menimbulkan pemahaman
tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) seperti hadits yang berbunyi, “yanzilu Rabbuna… dst.”
Tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fikih. Berbeda dengan mereka yang
hanya mengerti hadits saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadits
zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya. Dari sini,
dapat diketahui keutamaan para ahli fikih yang memiliki pemahaman dibandingkan dengan para ahli
hadits yang tidak memiliki pemahaman. (Al Fatawa Al Haditsiyah halaman 202)
*) Ibnu ‘ Uyainah nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran, salah seorang Tabi’i tsiqoh,
dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H.
Di atas, Imam Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa hadits itu dapat menyesatkan kecuali bagi
para fuqaha (ahli fikih) seperti hadits yang mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya (jika dipahami
selalu dengan makna dzahir) membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… dan
kesesatan tersebut di alami Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat dan para pengikutnya.
Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat)
bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah
menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara
184
ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga
berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga
berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci
atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman
116)
Seorang Ahli Hadits yang mendapat gelar Al-Hafidz Al-Faqih, Waliyuddin Al-Iraqi bin Syaikh Al-Haffadz
Zainuddin Al-Iraqi berkata ” Sesungguhnya Ibnu Taimiyyah telah merusak mayoritas umat muslim di
dalam banyak permasalahan, dikatakan mencapai 60 permasalahan sebagian mengenai aqidah dan
Memang ada ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau
mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang
menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat
kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’
Akibatnya para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengungkapkan
pada http://faisalchoir.blogspot.co.id/2011/12/ibnu-taimiyah-dikafirkan-ibnu-hajar.html
Penyebab kitab ini dikarang sebagaimana yang tercantum dalam kitab tersebut adalah Fatwa yang
menyebar di khalayak Umum saat itu tentang kafirnya orang yang memberi julukan ibnu Taimiyah
sebagai Syaikhul Islam dan tidak sah sholat dibelakang orang tersebut.
Fatwa tersebut secara jelas bukan saja pengkafiran terhadap Ibnu Taimiyah, tapi juga pengkafiran
terhadap pengikutnya.
Sebagai pembelaan terhadap ulama panutan mereka dengan mengutip tulisan Al Hafizh as-Sakhawi
dalam kitab Al-Jawahir wad-Durar, 2/734-736 menukil pendapat gurunya, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-
Asqalani , “Beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah Syaikhul Islam tanpa ada keraguan” sebagaimana tulisan
Namun mereka tampaknya kurang memperhatikan catatan penting Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab
والذي أخطأ فيه ال يقلد فيه، ويترحم عليه بسببه، فالذي أصاب فيه – وهو األكثر – يستفاد منه، ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب
185
“Meskipun demikian, beliau adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran
yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil
dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
Catatan penting tersebut bukanlah masalah furuiyyah namun masalah pokok yakni aqidah
sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-
Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 sebagaimana yang dinformasikan pada http://www.aswj-
rg.com/2014/06/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al-asqalani-terhadap-ibnu-taimiyah.html
Manusia terbagi menjadi beberapa kubu dalam menilai Ibnu Taimiyyah, ada sebagian kelompok yang
menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam
kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya : Ibnu Taimiyyah
mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah,
dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya. Maka ketika dipersoalkan, hal itu
akan melazimkan Allah memiliki batasan dan bagian, maka ia menjawab, “ Aku tidak setuju batasan
dan bagian termasuk kekhushusan jisim “. Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah
Jadi Ibnu Hajar Al-Asqalani pun menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap permasalahan pokok
bukan furuiyah yakni dalam perkara aqidah atau kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang mensifatkan Dzat
Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan
Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang
cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat)
dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan
menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat
Berikut kutipannya
Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H
hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu
menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
186
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2
Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan,
khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar
A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.
Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu
Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang
bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa
dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan
membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah
karena beliau mengutip pendapat ulama terdahulu maupun memahami Al Qur’an dan As Sunnah
bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri
dan beliau selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman beliau selalu dengan makna
dzahir
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian
menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat
Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah
187
an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata:
“Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan
wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu
Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara
8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal
dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti
dijelaskan dalam:
– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
188
10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn
11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H).
Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul
12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan
menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam
Rasulullah.
13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.
14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu
15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya
16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua
risalahnya:
17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-
19. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk
memenjarakannya.
20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam
21. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al
Muhith.
22. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).
189
23. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah alKubra.
24. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya :‘Uyun at-
Tawarikh.
25. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al
26. Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri al Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al Mardhiyyah fi ar-
Radd ‘Ala Man Yunkir az- Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan
27. Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743 H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq
28. Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani al- Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhatsal
29. Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad, yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H)
30. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya: – Ad-Durar al Kaminah fi
A’yan al Mi-ah ats-Tsaminah – Lisan al Mizan – Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari – Al Isyarah Bi
31. Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-
ilah al Makkiyyah.
32. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli Syuhbah asy- Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadli Syuhbah
33. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa
34. Pimpinan para ulama seluruh Afrika, Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803 H).
35. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamid ad-Din al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W867 H) dalam
36. Syekh Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki (W899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.
37. Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam Al I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.
190
38. Ahmad ibn Muhammad Yang dikenal denganIbnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul
39. Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W 968
40. al Bayyadli al Hanafi (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram Min ‘Ibarat al Imam.
41.Syekh Ahmad ibn Muhammad al Witri (W 980 H) dalam Raudlah an- Nazhirin WaKhulashah
Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Wassalam
Al Ibanah
11 Maret 2011 oleh mutiarazuhud
Berikut cuplikan artikel terkait adanya pemalsuan Kitab Al-Ibanah Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.
http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/04/pemalsuan-kitab-al-ibanah-imam-abu-hasan-al-
asyariy/
Proyek pengelabuan umat yang dilakukan beberapa kalangan sentak menggelitik telinga para santri
tradisional tanah air yang notabene mereka mempelajari kitab-kitab karya para ulama al-Asy‘ariyyah
seperti al-Jawâhir al-Kalâmiyyah, al-Aqwâl al-Mardhiyyah, Kifâyah al-‘Awwâm, Fath al-Majîd (bukan
kitab Wahhâbî), Ummu al-Barâhîn, al-Dasûqî, Nazhm Jawhar al-Tawhîd, dan lain sebagainya. Isu-isu
yang mereka angkat adalah bahwa para santri dan masyarakat yang mengaku sebagai pengikut al-
191
Asy‘arî yang disebut dengan al-Asy‘ariyyah telah menyalahi al-Asy‘arî sendiri, terbukti bahwa al-
Asy‘arî dengan kitab al-Ibânahnya dan beberapa kitab lain berbeda akidah dengan orang-orang yang
mengaku sebagai pengikutnya atau al-Asy‘ariyyah. Al-Asy‘arî mengakui keberadaan Allah subhânahû
wa ta‘âlâ bertempat di atas ‘Arasy sementara al-Asy‘ariyyah tidak. Tentunya hal ini bertolak belakang
antara al-Asy‘arî dengan pemahaman penggikutnya. Begitulah diantara argumen mereka untuk
merusak keharmonisan antara al-Asy‘arî dan al-Asy‘ariyyah. Sebuah usaha yang amat buruk dan
tercela. Namun apa benar seperti itu? Kita akan mencoba membandingkan, al-Ibânah manakah kira-
kira yang menjadi landasan bagi sementara kalangan yang mengatakan bahwa al-Asy‘arî meyakini
Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat (hulûl), bersemayam, menetap. Berikut scannan tiga versi al-
1. Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang
terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi
2. Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi
Kemudian tulisan tersebut dilanjutkan dengan mengungkapkan fasa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan
http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/05/benarkah-imam-abu-hasan-al-asyari-melalui-3-
fase-pemikiran/
Berikut cuplikannya,
Kitab al-Ibanah `an Usul al-Diyanah di dakwa sebagai hujjah bagi golongan yang mengatakan bahawa
pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase perkembangan di dalam kehidupannya.
Memang harus diakui, bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah dan
sebagian kitab-kitab yang lain juga dinisbahkan terhadapnya mengikuti metodologi yang berbeda
dengan kitab-kitab yang pernah dikarang olehnya. Di dalam kitab al-Ibanah, al-Imam Abu al-Hassan
al-Asy`ari mengikuti metodologi tafwidh yang diikuti oleh mayoritas ulama’ Salaf berkaitan dengan
ayat-ayat mutasyabihat. Berdasarkan hal ini, sebagian golongan memahami bahwa al-Imam Abu al-
Hassan al-Asy`ari sebenarnya telah meninggalkan mazhabnya yang kedua yaitu mazhab Ibn Kullab,
Di atas telah kami paparkan, bahawa Ibn Kullab bukanlah ahli agama yang menyalahi ulama’ Salaf.
Bahkan dia termasuk dalam kalangan ulama’ Salaf dan konsisten mengikuti metodologi tafwidh
192
sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani di dalam kitabnya Lisan al-Mizan.
Paparan di atas sebenarnya telah cukup untuk membatalkan dakwaan yang mengatakan bahawa al-
Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan metodologi Ibn Kullab dan berpindah ke metodologi
Salaf, kerana Ibn Kullab sendiri termasuk dalam kalangan ulama’ Salaf yang konsisten dengan
metodologi Salaf.
Oleh itu, bagaimana dengan kitab al-Ibanah yang menjadi dasar kepada kelompok yang mengatakan
bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapatnya yang mengikuti Ibn
Kullab?
Di sini, dapatlah kita ketahui bahawa kitab al-Ibanah yang asli telah membatalkan kenyataan
golongan Wahhabi yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan
pendapatnya yang mengikuti Ibn Kullab, karena kitab al-Ibanah di tulis untuk mengikuti metodologi
Ibn Kullab, sehingga tidak mungkin dakwaan yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-
Asy`ari telah meninggalkan pendapat tersebut. Ada beberapa fakta sejarah yang mengatakan bahwa
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari menulis kitab al-Ibanah dengan mengikut metodologi Ibn Kullab,
kenyataan ini disebut oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani di dalam kitabnya Lisan al-Mizan yaitu :
“Metodologi Ibn Kullab diikuti oleh al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah”. (Ibn Hajar al-`Asqalani(t.t.),
Pernyataan al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani ini menambah keyakinan kita bahwa Ibn Kullab konsisten
dengan metodologi Salaf al-Salih dan termasuk ulama’ mereka, karena kitab al-Ibanah yang dikarang
oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari pada akhir hayatnya dan mengikuti metodologi Salaf, juga
mengikuti metodologi Ibn Kullab. Hal ini membawa kepada kesimpulan bahawa metodologi Salaf dan
metodologi Ibn Kullab ADALAH SAMA, dan itulah yang diikuti oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari
Dengan demikian, kenyataan al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani tersebut juga telah membatalkan
dakwaan golongan Wahhabi melalui kenyataan mereka yang mengatakan bahwa pemikiran al-Imam
Abu al-Hassan al-Asy`ari mengalami tiga fase perkembangan. Bahkan kenyataan tersebut dapat
menguatkan lagi kenyataan yang menyatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari
hanya mengalami dua fase perkembangan saja, yaitu fase ketika mengikuti faham Muktazilah dan
fase kembalinya al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari kepada metodologi Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah
yang sebenarnya sebagaimana yang diikuti oleh Ibn Kullab, al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi, al-
193
Bukhari, Muslim, Abu Tsaury, al-Tabari dan lain-lain. Dalam fase kedua ini al-Imam Abu al-Hassan al-
Dalil lain yang menguatkan lagi bahwa kitab al-Ibanah yang dikarang oleh al-Imam Abu al-Hassan al-
Asy`ari sesuai dengan mengikut metodologi Ibn Kullab adalah fakta sejarah, kerana al-Imam Abu al-
Hassan al-Asy`ari pernah menunjukkan kitab al-Ibanah tersebut kepada sebagian ulama’ Hanabilah di
Baghdad yang sangat menitik beratkan tentang fakta, mereka telah menolak kitab al-Ibanah tersebut
karena tidak setuju terhadap metodologi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari. Di dalam hal ini, al-Hafiz
“Ketika al-Asy`ari datang ke Baghdad, dia mendatangi Abu Muhammad al-Barbahari (ketua mazhab
Hanbali) dan berkata : Aku telah membantah al-Jubba’i. Aku telah membantah Majusi. Aku telah
membantah Kristen. Abu Muhammad menjawab, Aku tidak mengerti maksud perkataanmu dan aku
tidak mengenal kecuali apa yang dikatakan oleh al-Imam Ahmad. Kemudian al-Asy`ari pergi dan
menulis kitab al-Ibanah. Ternyata al-Barbahari tetap tidak menerima al-Asy`ari”. (Al-Dzahabi(1994),
Siyar A`lam al-Nubala, Muassasah al-Risalah, Beirut, ed, Syuaib al-Arnauth, juz 12, hal. 82 dan juga
juz 15, hal. 90 dan Cetakan Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.9, hal.372; Ibn Abi Ya’la al-
Farra’(t.t.) Tabaqat al-Hanabilah, Salafiyyah, Cairo, ed. Hamid al-Faqi, juz 2, hal. 18)
Fakta sejarah di atas menyimpulkan, bahwa al-Barbahari mewakili kelompok Hanabilah tidak
menerima konsep yang ditawarkan oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari. Kemudian al-Imam Abu
al-Hassan al-Asy`ari menulis kitab al-Ibanah dan diajukan kepada al-Barbahari, ternyata ditolaknya
juga. Hal ini menjadi bukti bahwa al-Ibanah yang asli ditulis oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari
tidak sama dengan kitab al-Ibanah yang kini diikuti oleh golongan Wahhabi. Kitab al-Ibanah yang asli
Perlu diketahui pula, bahwa sebelum fase al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari, kelompok Hanabilah
yang cenderung kepada penelitian fakta itu telah menolak metodologi yang ditawarkan oleh Ibn
Kullab, al-Bukhari, Muslim, Abu Tsaury, al-Tabari dan lain-lain berkaitan dengan MASALAH BACAAN
Sekarang, apabila kitab al-Ibanah yang asli sesuai dengan metodologi Ibn Kullab, lalu bagaimana
dengan kitab al-Ibanah yang tersebar dewasa ini yang menjadi dasar kaum Wahhabi untuk mendakwa
Berdasarkan kajian yang mendalam, para pakar telah membuat kesimpulan bahwa kitab al-Ibanah
yang dinisbahkan kepada al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari tersebut telah tersebar dewasa ini penuh
194
dengan tahrif/distorsi, pengurangan dan penambahan. Terutama kitab al-Ibanah yang diterbitkan di
Saudi Arabia dan ditahqiqkan oleh ulama Wahhabi. Untuk melihat bukti tahrif/distorsi yang dilakukan
oleh kalangan Wahabi baca artikel ini: Pemalsuan Kitab Al-Ibanah Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.
Benar-benar wahabi memang sengaja MENYEBAR TIPU DAYA dan FITNAH pada semua umat Islam di
dunia
Semoga setelah membaca dengan pelan-pelan, pikiran terbuka, tanpa ada emosi dan mengutamakan
SIKAP OBYEKTIF, kita bisa lebih waspada akan apa-apa yang disampaikan oleh kaum salafy wahabi
ini.
Semoga bermanfaat.
Share this:
Facebook
Terkait
Pemalsuan kitabdalam "Islam"
Ibnu Taimiyahdalam "Umum"
Al Ibanah dipalsukandalam "Islam"
Ditulis dalam Islam, Umum | Dengan kaitkata Asyari, buku, ibanah, Imam, Kitab, Pemalsua | 8 Komentar
8 Tanggapan
Kasus seperti itu menimpa al Ghozali, sulaiman bin abdul wahab dan beberapa tokoh lainnya. Wallahu
a’lam
terus brjuang, ustadz. Tetap brhati hati akan tipu daya kaum wahabi.
195
3. pada 18 Agustus 2011 pada 1:39 am | Balas Moh Nadjib
Di kampung saya yang lain lagi, seorang ust dituduh sesat, dipropokasi untuk dijauhi, lantaran ust tsb
Ust ini masih eksis dan istiqomah terus saja membina kholaqoh, semakin banyak santri nya, dan
memang keimanan kuat dan mendasar, karena yang digali selalu Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Sementara ust yang memprofokasi santrinya semakin sedikit dan selalu saja ajarannya cuma
Akhirnya kegiatan jamaahnya rutin tiap tahun jiarah wali songo sampai ke Bali (kuta lihat bule-bule
?), tiap malam jum’at yasinan-ratiban, kalau ada yang meninggal tiap malam tahlilan sampai 7 hari
lalu 40 hari dan seterusnya, dan banyak lagi puji-pujian yang dilantunkan setiap kesempatan.
Baguskan ?
Jalankan saja apa yang diyakini, dengan syarat terus belajar mencari ilmu.
Moh Nadjib->kenapa komentar antum tidak sesuai dengan isi artikel? Tapi mudah-mudahan komentar
dan http://www.persis.or.id bagian Fiqh (Pokok-Pokok Aqidah Ahlus Sunnah (I): disampaikan
mengenai akidah menurut al ibanah). Mudah2an kita bisa lebih objektif dan lebih jernih lagi dalam
196
o pada 5 Januari 2012 pada 8:08 pm | Balas mutiarazuhud
Mas Heri Sopari, ulama-ulama yang tergabung dalam Persis dan Muhammadiyyah adalah ulama-
Mereka lebih menyandarkan dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah
(menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah).
Hal yang harus kita ingat bahwa Al Qur’an pada awalnya tidaklah dibukukan. Ayat-ayat Al Qur’an
hanya dibacakan dan dihafal (imla) kemudian dipahami bersama dengan yang menyampaikannya.
Apakah yang kamu pahami telah disampaikan / dikatakan oleh ulama-ulama terdahulu yang
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat
dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang
berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR
Bukhari)
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dari
orang yang disampaikan secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin
Kita tidak diperkenankan menyampaikan apa yang kita pahami dengan akal pikiran sendiri dengan
cara membaca dan memahami namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari lisan
mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
karena hanya perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau
ilmuNya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal
pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR.
Ahmad)
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka
pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan
197
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata
mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka”
(HR.Tirmidzi)
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ;
“Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya
Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan
Rasulullah.
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan
Al Imam Syafi’i ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Al-Imam Malik
Al-Imam Malik bin Anas ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Al-Imam
Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari
Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari
Salah satu cara mempertahankan sanad ilmu atau sanad guru adalah dengan mengikuti
pendapat/pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab
198
yang empat dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka
Ulama yang tidak mau bermazhab , pada hakikatnya telah memutuskan rantai sanad ilmu atau
sanad guru, berhenti pada akal pikirannya sendiri dimana didalamnya ada unsur hawa nafsu atau
kepentingan
Buya Hamka boleh jadi akan kecewa melihat keadaan saudara-saudara kita yang tergabung dalam
ormas Muhammadiyyah.
Pada masa Buya Hamka, keanehan Wahabi tak begitu terasa atau lebih tepatnya, pada saat itu
belum terasa perbedaan antara Salafi-nya Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh dengan
Salafi-nya Wahabi.
Dari sejarah kita mengetahui, bahwa ide-ide awal Salafi dilahirkan oleh Ulama Ibnu Taimiyyah.
Melihat bahwa banyak negeri Muslim yang dijajah Eropa, beliau menarik kesimpulan bahwa hal
tersebut akibat ijtihad telah mati dan umat Islam tenggelam dalam kejumudan. Salah satu penyebab
Lalu oleh pengikut Salafi berikutnya digeneralisasikan bahwa Sufi adalah sesat; gerakan
pembaharuan yang mulanya untuk memerangi syirik, khurafat dan tahyul kemudian malah
melahirkan mazhab baru karena melahirkan fatwa-fatwa fiqh di luar mazhab-mazhab yang telah
Salafi Al Afghani dan Salafi Wahabi adalah saudara kandung, sehingga di antara mereka banyak
Salafi Al Afghani menerima bentuk organisasi modern yang merupakan produk Barat. Ikhwanul
Muslimin, PKS, dan Muhammadiyah, Hasan Al Banna, Yusuf Qardhawi, dan KH Ahmad Dahlan bisa
menerima bentuk negara republik, bisa menerima demokrasi, berpartai, dll. Sedangkan Salafi
Wahaby, Hizbut Tahrir, dll tidak dapat menerima bentuk lain selain khilafah atau negara Islam.
Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan Hasyim Azhari pendiri NU memiliki guru yang sama
Di Saudi, mereka juga memiliki guru yang sama, yaitu Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi –
ulama kelahiran Padang yang di masa itu dapat menduduki posisi Imam di Mekah karena ketinggian
199
Syekh Ahmad Khatib adalah ulama bermazhab Syafi’i, tetapi beliau sendiri yang menyarankan
murid-muridnya untuk mengikuti gerakan Salafi Al Afghani yang saat itu dimotori oleh murid Al
Afghani, Rasyid Ridha, dan muridnya Muhammad Abduh. Jadi kita bisa menyimpulkan, bahwa
perbedaan di antara ulama-ulama mazhab dan Salafi saat itu tidak terlalu berbeda jauh.
Ketika kembali ke tanah air, KH Ahmad Dahlan dan Hasyim Azhari sama-sama melakukan
Di sekolah-sekolah itu, ia tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga ilmu-ilmu
Sedangkan Hasyim Asy’ari, pendiri NU, tetap mempertahankan metodologi pengajaran pesantren.
Tetapi selain ilmu-ilmu agama, di pesantren tersebut juga diajarkan ilmu-ilmu modern. Pesantren
Hanya itulah perbedaan mereka, perbedaan yang sangat kecil. Keduanya tetap bermazhab Syafi’i,
KH Ahmad Dahlan membaca qunut dalam shalat Subuh dan Tharawih 23 rakaat.
Maka wajar bila Buya Hamka yang hidupnya lebih dekat ke masa hidupnya Ahmad Dahlan tidak
melihat perbedaan signifikan antara Islam umum dengan Salafi, antara Salafi Al Afghani dengan
Salafi Wahabi.
Kalau Buya Hamka hidup di masa kini, kemungkinan besar akan berkata lain karena Hamka juga
berzikir dengan tasbih, suatu perbuatan yang dianggap bid’ah oleh Salafy Wahaby kontemporer.
Buya Hamka pun menjalankan tasawuf dan menuliskan kitab berjudul “Tasawuf Modern”
Buya Hamka sendiri pernah berujar bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi “Hampa” , selengkapnya
Kalau memang mengaku bermazhab Syafi’i, maka harus konsisten dan memegang teguh semua
fatwanya, kalau ga salah beliau tdk pernah tahlilah atau maulid. Kalau meninggalkan sebagian
200
fatwanya dan menjalankan sebagiannya, berarti sama saja tdk bermadzhab bukan…???
Apakah beliau penganut tsawuf, dan menyatakan ikut tasawuf….??? kalau perilaku/akhlak seperti
zuhud, waro, tdkn cinta dunia, itu adalah ajaran Islam, dan tdk hanya penganut tasawuf yg
mengamalkan itu.
Ya betul Ijtihad itu tidak tertutup sampai hari kiamat, oleh karena itu kita harus belajar terus, jangan
merasa puas dg apa yg diperoleh sekarang. Coba pelajari pemahaman yg lainnya , siapa tahu disana
banyak kebenaran.
Ahli hadits itu Imam Ahmad, Imam Bukahari, Imam Muslim, dll, kemungkinan ada hadits shahih yg
tidak terpakai/ bertentangan dg Ijtihad Imam Syafi’i itu tetap ada. Beliau berijtihad, jika salah tetap
dapat pahala. Apakah setelah beliau tdk ada lagi ulama yg mampu berijtihad…???? pasti banyak
termasuk saat ini, qurais shihab sbg ahli tafsir, ulama salafy, ulama IKhwanul Muslimin, dan mungkin
ulama2 NU, Muhammadiyyah, Persis juga. jadi artinya apa…?? masing2 berijtihad tentunya
merekapun sudah memenuhi syarat Ijtihad apalagi Arab Saudi banyak DR. dibidang Hadits (Seperti
Syaikh Fauzan, dll), Muhammdiyyah dg majlis tarjihnya banyak juga Professornya. nah pada level ini
Ijtihad masing2 adalah hasil usaha mereka dalam menentukan hukum (fikih/tauhid/dll), bisa jadi
sama dg salah satu Imam Madzhab, Bisa jadi tidak disatu sisi. Karena yg mereka pegang adalah AL
Qur’an dan As-Sunnah (hadits), adapun pendapat madzhab bisa dijadikan referensi/pertimbangan.
jadi menurut hemat saya, ini adalah bukti bahwa akal ini harus digunakan untuk berfikir, jangan
hanya ikut2an saja, sebagaimana kebanyakan umat islam di Indonesia…, sehingga akhirnya mereka
sangat rapuh ilmunya dan tidak mau mempelajari lebih dalam lagi, karena sudah merasa cukup dg
ikut ulama yg ada didekatnya, tanpa crosscek ulang. Sehingga kalau begini ya umat islam akan tetap
Ibnu Taimiyah
10 Februari 2010 oleh mutiarazuhud
A. Sejarah Ringkasnya
201
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyuddin, Abdul Abbas bin Syihabuddin, Abu Mahasin Abd. Halim bin
Majduddin, Abi Barakat Abdissalam bin Abi Muhammad Abdillah bin Abi Utsman al Khadar,
Sepanjang sejarah, bahwa asal perkataan “Taimiyah” adalah dari kakeknya yang bernama
Muhammad bin Al Khadar. Beliau ketika naik haji ke Mekkah melalui jalan Taima’.
Sekembalinya dari haji ia dapati isterinya melahirkan seorang anak perempuan, yang kemudian diberi
Ahmad Taqiyuddin, yang kemudian dimasyhurkan dengan Ibnu Taimiyah saja, lahir di desa Heran,
Daerah Heran ini terkenal sedari dulu sebagai daerah Kristen Shabiin dan pola daerah orang pandai-
Desa ini didiami bukan oleh suku Arab tetapi oleh suku Kurdi, maka karena itu Ahmad Taqiyuddin
Ia dari kecil belajar agama dari bapaknya, Syihabuddin. Syihabuddin adalah seorang Ulama penganut
Madzhab Hanbali, begitu juga bapak Syihabuddin (nenek Ibnu Taimiyah) Majduddin juga ulama besar
Setelah usia 7 tahun, yaitu tahun 667 H. Seluruh famili Ibnu Taimiyah ini mengungsi ke Damsyik,
Syria, karena desanya mungkin akan diserang oleh orang kafir, tentara Tartar, yang ketika itu sudah
menduduki Bagdad.
Penduduk Damsyik ketika itu adalah campuran dari penganut-penganut Madzhab Hanbali, Madzhab
Bapaknya, Syihabuddin, lantas menggabungkan diri dengan sebuah penganut madrasah agama dari
Madzhab Hanbali yang ada di kota Damsyik. Dan anaknya Taqiyuddin, yakni Ibnu Taimiyah,
dimasukkannya pula dalam sekolah itu. Di situlah Ibnu Taimiyah mendapat seluruh ilmunya, yaitu dari
Ibnu Taimiyah kemudian menjadi ulama besar dalam Madzhab Hanbali, bukan saja dalam ilmu fiqih,
202
Sayangnya, ia kemudian terpengaruh dengan faham kaum “musyabbihah dan mujassimah”, yaitu
sekelompok kaum yang menyatakan bahwa Tuhan itu menyerupai manusia, pakai tangan, pakai kaki
Di dalam fiqih pun, walaupun ia penganut Madzhab Hanbali, tetapi banyak pula fatwa-fatwanya yang
Jadi, Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama penganut Madzhab Hanbali yang kadang-kadang
Ia kadang-kadang berfatwa bersendiri, bebas dari garis Madzhab Hanbali, tetapi usul fikihnya tetap
menurut Madzhab Hanbali, karena ia tidak mempunyai usul fikih sendiri (Baca buku “Ibnu Taimiyah”
1. Kitabullah.
2. Sunnah Rasul.
3. Fatwa sahabat-sahabat.
4. hadits Mursal atau Hadits Dha’if.
5. Qiyas.
Kalau diteliti kitab “Fatawi Ibnu Taimiyah” (Fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah) nyatalah bahwa beliau
memang benar-benar memegang garis usul Hanbali ini dalam fatwa-fatwa fikih.
Dan ia tidak pernah mengatakan bahwa sudah menjadi Mujtahid Muthlaq, lepas dari Madzhab Hanbali.
Di atas kami katakan bahwa ia banyak menyeleweng dari Madzhab Hanbali yang murni.
Ibnu Bathuthah, seorang pengembara abad ke VII H. Dari Tanjah Tunisia; menerangkan dalam
bukunya terkenal “Rahlah Ibnu Bathuthah” (Pengembaraan Ibnu Bathuthah) pada jilid I, halaman 57
begini:
“Adalah di kota Damsyik seorang ahli fikih yang besar dalam Madzhab Hanbali, namanya Taqiyuddin
Ibnu Taimiyah. Ia banyak membicarakan soal-soal ilmu pengetahuan, tetapi sayang “fi ‘aqlihi syai-un”
Penduduk kota Damsyik menghormati orang itu. Pada suatu kali ia mengajar, berdiri di atas mimbar
mesjid Damsyik yang besar itu. Ia mengeluarkan fatwa-fatwa yang berlainan dari ahli fikih yang lain,
sehingga ia akhirnya diadukan orang kepada Raja Nashir yang berkedudukan di Kairo. (Damsyik
ketika itu di bawah kekuasaan Kairo). Ia dibawa ke Kairo dan kepadanya dihadapkan beberapa
203
tuduhan dalam suatu pengadilan. Jaksa penuntut ketika itu namanya Syarafuddin Zawawi, seorang
Ibnu Taimiyah tidak menjawab sekalian tuduhan yang dimajukan kepadanya, tetapi jawabnya hanya
ucapan “La Ilaha illallah” saja. Akhirnya ia dimasukkan dalam penjara, ditahan beberapa tahun.
Setelah ditahan beberapa lama di penjara Kairo, ibunya memanjatkan permohonan kepada Raja
Raja Nashir memperkenankan permohonan ibu ini dan Ibnu Taimiyah menjadi bebas, dan pulang ke
Damsyik.
Tetapi – kata Ibnu Bathuthah – terjadi lagi hal yang serupa itu. Saya ketika itu sedang berada di
Pada hari Jum’at Ibnu Taimiyah berpidato di atas mimbar mesjid Damsyik. Di antara ucapannya
dikatakan, bahwa Tuhan Allah turun ke langit dunia tiap-tiap malam, seperti turunnya saya ini, lalu ia
Ketika itu hadir seorang ulama Madzhab lain, namanya Ibnu Zahra’. Ahli fikih ini mendebat Ibnu
Taimiyah, karena ia menyerupakan Tuhan dengan dirinya, tetapi beberapa orang murid Ibnu Taimiyah
memukul Ibnu Zahra’ ini, dan membawanya kepada Qadhi dalam Madzhab Hanbali (Madzhab Ibnu
Taimiyah). Qadhi Izzuddin menghukum Ibnu Zahra’ beberapa hari dalam penjara, tetapi ahli-ahli fikih
yang lain, yaitu ahli-ahli fikih Madzhab Syafi’i dan Maliki, memprotes hukuman Qadhi Izzuddin ini dan
mengajukan perkaranya kepada Raja Besar (Malikul Muluk) bernama Saifuddin Tankiz.
Raja ini orang baik, kata Ibnu Bathuthah. Ia memerintah kepada Raja Nashir di Kairo supaya Ibnu
Taimiyah dibawa ke pengadilan tinggi, karena fatwa Ibnu Taimiyah dalam agama banyak yang salah.
Di antara fatwanya yang salah itu, kata Ibnu Bathuthah, ialah bahwa thalaq tiga dijatuhkan sekaligus
jatuh satu, berziarah ke Madinah ke makam Rasulullah adalah ma’syiyat (munkar) dan lain-lain.
Pengadilan Tinggi memutuskan bahwa ibnu Taimiyah melakukan banyak kesalahan dalam Fatwanya,
dalam fikih maupun dalam usuluddin, dan ia dihukum penjara dalam benteng Damsyik. Ia ditahan dan
1. Ibnu Taimiyah penganut Madzhab Hanbali, tetapi ia banyak menyeleweng dalam fatwanya.
2. Ia dua klai dimajukan ke muka pengadilan yang akhirnya dihukum penjara.
3. Ia wafat dalam penjara.
204
Tersebut dalam buku “Ibnu Taimiyah” karangan Dr. Muhammad Yusuf Musa, keluaran Daruts
Tsaqafah Mesir, yaitu buku yang sangat berpihak kepada Ibnu Taimiyah, pada halaman 102, 103, 104
“ Bagaimana jugapun, ia dibawa ke mahkamah dan dituduh bahwa ia mempercayai bahwa Tuhan itu
duduk benar-benar di atas ‘Arasy, boleh ditunjuk dengan jari ke atas, bahwa Tuhan berkata dengan
Jaksa menuntut supaya Ibnu Taimiyah dihukum mati. Setelah Ketua pengadilan, Qadhi Ibnu Makhluf
bertanya kepada Ibnu Taimiyah tentang tuduhan itu, beliau memulai jawabannya dengan
alhamdulillah dan salawat seperti berpidato, maka ia dibentak, bahwa tempat itu bukan tempat untuk
Ibnu Taimiyah menjawab : Engkau musuh saya, bagaimana bisa menghukum saya?
Sesudah itu keluar siaran pemerintah, supaya sekalian rakyat yang termakan pengajaran Ibnu
Taimiyah supaya kembali kepada kebenaran, kalau tidak akan diambil tindakan.
Banyaklah ketika itu penganut-penganut Madzhab Hanbali, yang menerima pengajian Ibnu Taimiyah
Setelah ia ditahan setahun dan beberapa bulan ia dibebaskan atas permintaan seorang raja Arab,
namanya Hisamuddin.
Setelah dibebaskan ia tidak pulang ke Damsyik tetapi tinggal di Mesir. Di Mesir ia berfatwa
Kemudian ia ditangkap lagi lalu diberi hukuman pulang ke Damsyik atau tinggal di Iskandariah atau
penjara.
Maka ia menerima penjara, karena tidak mau menerima syarat-syarat, tetapi kemudian murid-
Kemudian pada tahun 726 H. ia ditangkap lagi atas perintah Sultan dan dikurung dalam penjara
benteng Damsyik. Banyak murid-muridnya ketika itu ditangkap dan dikurung bersama-sama,
205
diantaranya muridnya yang setia Syamsuddin Muhammad bin Al Qayim al Jauziah (Ibnu Qayim al
Maka wafatlah beliau dalam penjara benteng Damsyik 20 Dzil Kaedah tahun 728.
Demikian keringkasan keterangan Doktor Muhammad Yusuf Musa. Keterangan ini hampir sama
Tersebut dalam kitab “Daf’us Syubah man tasyabbaha wa tamarrad” karangan Mufti dan Syeikhul
Islam Taqiyuddin al Husaini ad Dimsyaqi (wafat di Damsyik tahun 829 H) pada pagina 41 bengini
artinya :
“Mengabarkan Abu Hasan ‘Ali Ad Dimsyaqi, ia terima dari bapaknya, bahwa bapaknya menghadiri
majelis Ibnu Taimiyah di Mesjid Damsyik. Ibnu Taimiyah memberi pelajaran di hadapan umum. Ketika
ia sampai kepada pengajian ayat “Tuhan istawa di atas ‘Arasy” maka ia mengatakan, bahwa Tuhan
Pada ketika itu pendengar jadi ribut, karena Ibnu Taimiyah menyerupakan selanya dengan sela
Tuhan, sehingga Ibnu Taimiyah dilempari dengan sandal, sepatu dan diturunkan dari kursi duduknya,
Jadi dapat diyakini, sesuai dengan fakta-fakta sejarah, bahwa Ibnu Taimiyah banyak mengeluarkan
fatwa-fatwa yang salah, yang bertentangan dengan pendapat Ulama-ulama Islam yang lain, sehingga
beliau pada akhirnya masuk penjara dua kali, satu di Mesir dan kedua di Damsyik dan wafat dalam
Inilah sejarah singkat dari Ibnu Taimiyah, yang dikatakan orang pemimpin gerakan modernisasi
agama Islam dan penganut faham Salaf atau pemimpin gerakan Salaf.
B. Konsepsinya
Konsepsi Ibnu Taimiyah dalam memodernisasi agama dan faham agama adalah di antaranya sebagai
berikut :
a. Dalam usuluddin
Tuhan bersela di atas ‘Arasy, serupa selanya Ibnu Taimiyah.
Tuhan sama besarnya dengan ‘Arasy.
Tuhan turun setiap akhir malam ke langit dunia serupa turunnya Ibnu Taimiyah dari mimbar.
Tuhan bersabda di jihat atas, boleh ditunjuk dengan telunjuk ke atas.
Tuhan bertubuh, berjihat dan pindah-pindah tempat.
Tuhan bicara dengan huruf dan suara.
Sifat Tuhan hadits (baru) dan yang hadits itu melekat pada Zat Tuhan yang qadim.
206
Qur’an itu baru (Hadits) bukan qadim.
Nabi-nabi tidak mashum.
Bepergian ziarah ke makam-makam, seumpama makam Nabi di Madinah, makam Ibrahim di
mesjid Rhanl, makam wali dan ulama adalah pekerjaan mashiyat (munkar).
Mendo’a dengan bertawassul syirik.
Istiqatsah dengan Nabi Syirik.
Neraka akan lenyap bukan kekal.
Mengingkari ijma’ tidak kafir.
b. Dalam fiqih.
Thalaq tiga sekaligus jatuh satu.
Thalaq ketika isteri berkain kotor tidak jatuh.
Sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja tidak diqadha.
Orang junub boleh sembahyang sunat malam tanpa mandi lebih dahulu.
Bersumpah dengan thalaq, tidak jatuh ketika sumpah itu dilanggar, tapi wajib dibayar kafarat
sumpah saja.
Orang yang tidak sembahyang tidak boleh diberi zakat.
Boleh qashar sembahyang dalam perjalanan, walaupun perjalanan itu pendek.
Boleh tayamum walaupun ada air untuk sembahyang, kalau dikhawatirkan akan habis waktu
kalau berwudhu’.
Syarat si Wakil tak diperdulikan.
Thalaq di waktu suci yang disetubuhi tidak jatuh.
Wanita yang tidak bisa mandi di rumah dan sulit pergi mandi ke kolam di luar rumah boleh
tayamum saja.
Air yang sedikit (kurang dua kulah) tidak akan menjadi najis oleh kemasukan najis, kecuali kalau
ada perobahannya.
c. Dalam tasauf
Tasauf dan amal orang tasauf seumpama tharikat-tharikat harus dibuang jauh-jauh.
Ulama-ulama tasauf dikecam habis-habisan.
Demikian konsepsi Ibnu Taimiyah dalam memodernisasi agama, yang kami kutip dari bermacam-
macam buku diantaranya buku karangan Doktor Yusuf Musa, yang berjudul “Ibnu Taimiyah”.
Sumber: 40 Masalah Agama, K.H. Siradjuddin Abbas, Jilid 2, hal 217 s/d 224
dari http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/06/01/para-ulama-ahlussunnah-memerangi-
ibn-taimiyah-mengenal-tiang-utama-ajaran-sesat-wahabi/
Ibn Taimiyah (w 728 H) adalah sosok kontroversial yang segala kesesatannya telah dibantah oleh
berbagai lapisan ulama dari empat madzhab; ulama madzhab Syafi’i, ulama madzhab Hanafi, ulama
madzhab Maliki, dan oleh para ulama madzhab Hanbali. Bantahan-bantahan tersebut datang dari
mereka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri maupun dari mereka yang datang
setelahnya. Berikut ini adalah di antara para ulama tersebut dengan beberapa karyanya masing-
masing :
207
1. Al-Qâdlî al-Mufassir Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Jama’ah asy-Syafi’i (w 733 H).
4. Al-Qâdlî Ahmad ibn Umar al-Maqdisi al-Hanbali. Ibn Taimiyah di masa hidupnya dipenjarakan
karena kesesatannya hingga meninggal di dalam penjara dengan rekomedasi fatwa dari para hakim
ulama empat madzhab ini, yaitu pada tahun 726 H. Lihat peristiwa ini dalam kitab ‘Uyûn at-Tawârikh
karya Imam al-Kutubi, dan dalam kitab Najm al-Muhtadî Fî Rajm al-Mu’tadî karya Imam Ibn al-
Mu’allim al-Qurasyi.
5. Syekh Shaleh ibn Abdillah al-Batha-ihi, Syekh al-Munaibi’ ar-Rifa’i. salah seorang ulama terkemuka
6. Syekh Kamaluddin Muhammad ibn Abi al-Hasan Ali as-Sarraj ar-Rifa’i al-Qurasyi asy-Syafi’i. salah
seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.
7. Ahli Fiqih dan ahli teologi serta ahli tasawwuf terkemuka di masanya; Syekh Tajuddin Ahmad ibn
8. Pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât) di seluruh wilayah negara Mesir; Syekh Ahmad ibn Ibrahim
9. Pimpinan para hakim madzhab Maliki di seluruh wilayah negara Mesir pada masanya; Syekh Ali ibn
Makhluf (w 718 H). Di antara pernyataannya sebagai berikut: “Ibn Taimiyah adalah orang yang
berkeyakinan tajsîm, dan dalam keyakinan kita barangsiapa berkeyakinan semacam ini maka ia telah
10. Syekh al-Faqîh Ali ibn Ya’qub al-Bakri (w 724 H). Ketika suatu waktu Ibn Taimiyah masuk wilayah
Mesir, Syekh Ali ibn Ya’qub ini adalah salah seorang ulama terkemuka yang menentang dan
11. Al-Faqîh Syamsuddin Muhammad ibn Adlan asy-Syafi’i (w 749 H). Salah seorang ulama terkemuka
yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah yang telah mengutip langsung bahwa di antara kesesatan
Ibn Taimiyah mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy, dan secara hakekat Dia berada dan
bertempat di atasnya, juga mengatakan bahwa sifat Kalam Allah berupa huruf dan suara.
12. Imam al-Hâfizh al-Mujtahid Taqiyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 756 H).
208
• an-Nazhar al-Muhaqqaq Fi al-Halaf Bi ath-Thalâq al-Mu’allaq.
13. Al-Muhaddits al-Mufassir al-Ushûly al-Faqîh Muhammad ibn Umar ibn Makki yang dikenal dengan
sebutan Ibn al-Murahhil asy-Syafi’i (w 716 H). Di masa hidupnya ulama besar ini telah berdebat dan
14. Imam al-Hâfizh Abu Sa’id Shalahuddin al-‘Ala-i (w 761 H). Imam terkemuka ini mencela dan telah
memerangi Ibn Taimiyah. Lihat kitab Dakhâ-ir al-Qashr Fî Tarâjum Nubalâ’ al-‘Ashr karya Ibn Thulun
15. Pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât) kota Madinah Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam
16. Imam Syekh Ahmad ibn Yahya al-Kullabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal (w
17. Al-Qâdlî Kamaluddin ibn az-Zamlakani (w 727 H). Ulama besar yang semasa dengan Ibn Taimiyah
ini telah memerangi seluruh kesesatan Ibn Taimiyah, hingga beliau menuliskan dua risalah untuk itu.
Pertama dalam masalah talaq, dan kedua dalam masalah ziarah ke makam Rasulullah.
18. Al-Qâdlî Shafiyuddin al-Hindi (w 715 H), semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.
19. Al-Faqîh al-Muhaddits Ali ibn Muhammad al-Baji asy-Syafi’i (w 714 H). Telah memerangi Ibn
Taimiyah dalam empat belas keyakinan sesatnya, dan telah mengalahkan serta menundukannya.
20. Sejarawan terkemuka (al-Mu-arrikh) al-Faqîh al-Mutakallim al-Fakhr ibn Mu’allim al-Qurasyi (w
725 H).
21. Al-Faqîh Muhammad ibn Ali ibn Ali al-Mazini ad-Dahhan ad-Damasyqi (w 721 H).
22. Al-Faqîh Abu al-Qasim Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad asy-Syirazi (w 733 H).
24. As-Sulthan Ibn Qalawun (w 741 H). Beliau adalah Sultan kaum Muslimin saat itu, telah
209
25. Al-Hâfizh adz-Dzahabi (w 748 H) yang merupakan murid Ibn Taimiyah sendiri.
• an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah.
27. Syekh Afifuddin Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i al-Yamani al-Makki (w 768 H).
28. Al-Faqîh Syekh Ibn Bathuthah, salah seorang ulama terkemuka yang telah banyak melakukan
rihlah (perjalanan).
29. Al-Faqîh Tajuddin Abdul Wahhab ibn Taqiyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 771 H).
30. Seorang ulama ahli sejarah terkemuka (al-Mu-arrikh) Syekh Ibn Syakir al-Kutubi (w 764 H).
• ‘Uyûn at-Tawârikh.
31. Syekh Umar ibn Abi al-Yaman al-Lakhmi al-Fakihi al-Maliki (w 734 H).
• al-Maqâlât al-Mardliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Man Yunkir az-Ziyârah al-Muhammadiyyah, dicetak satu
34. Syekh Ahamad ibn Utsman at-Turkimani al-Jauzajani al-Hanafi (w 744 H).
35. Imam al-Hâfizh Abdul Rahman ibn Ahmad yang dikenal dengan Ibn Rajab al-Hanbali (w 795 H).
• Lisân al-Mizân.
38. Al-Faqîh al-Mu-arrikh Imam Ibn Qadli Syubhah asy-Syafi’i (w 851 H).
39. Al-Faqîh al-Mutakallim Abu Bakar al-Hushni penulis kitab Kifâyah al-Akhyâr (829 H).
210
• Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad Wa Nasaba Dzâlika Ilâ Imam Ahmad.
40. Salah seorang ulama terkemuka di daratan Afrika pada masanya; Syekh Abu Abdillah ibn Arafah
41. Al-‘Allâmah Ala’uddin al-Bukhari al-Hanafi (w 841 H). Beliau mengatakn bahwa Ibn Taimiyah
adalah seorang yang kafir. Beliau juga mengkafirkan orang yang menyebut Ibn Taimiyah dengan
Syekh al-Islâm jika orang tersebut telah mengetahui kekufuran-kekufuran Ibn Taimiyah. Pernyataan
al-’Allâmah Ala’uddin al-Bukhari ini dikutip oleh Imam al-Hâfizh as-Sakhawi dalam kitab adl-Dlau’ al-
Lâmi’.
42. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamiduddin al-Farghani ad-Damasyqi al-Hanafi (w 867 H).
45. Syekh Ahmad ibn Muhammad yang dikenal dengan Ibn Abd as-Salam al-Mishri (w 931 H)
46. Al-‘Allâmah Syekh Ahmad ibn Muhammad al-Khawarizmi ad-Damasyqi yang dikenal dengan Ibn
• al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah.
51. Syekh Abd an-Nafi ibn Muhammad ibn Ali ibn Iraq ad-Damasyqi (w 962 H). Lihat kitab Dakhâ-ir
al-Qashr Fî Tarâjum Nubalâ’ al-Ashr karya Ibn Thulun pada halaman 32-33.
211
• Syarh asy-Syifâ Bi Ta’rif Huqûq al-Musthafâ Li al-Qâdlî ‘Iyâdl.
55. Syekh al-Muhaddits Muhammad ibn Ali ibn Allan ash-Shiddiqi al-Makki (w 1057 H).
• Azhar ar-Riyâdl.
59. Syekh Abd al-Ghani an-Nabulsi ad-Damasyqi (1143 H). Beliau banyak menyerang Ibn Taimiyah
60. Al-Faqîh ash-Shûfi Syekh Muhammad Mahdi ibn Ali ash-Shayyadi yang dikenal dengan nama ar-
• Qilâdah al-Jawâhir.
63. Syekh Musthafa ibn Syekh Ahmad ibn Hasan asy-Syathi ad-Damasyqi al-Hanbali, hakim Islam
64. Syekh Musthafa ibn Ahmad asy-Syathi al-Hanbali ad-Damasyqi (w 1348 H).
• an-Nuqûl asy-Syar’iyyah.
66. Mufti kota Madinah Syekh al-Muhaddits Muhammad al-Khadlir asy-Syinqithi (w 1353 H).
67. Syekh Abd al-Qadir ibn Muhammad Salim al-Kailani al-Iskandarani (w 1362 H).
212
69. Syekh Salamah al-Azami asy-Syafi’i (w 1376 H)
70. Mufti negara Mesir Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i (w 1354 H).
71. Wakil para Masyâyikh Islam pada masa Khilafah Utsmaniyyah Turki Syekh al-Muhaddits
72. Syekh Ibrahim ibn Utsman as-Samnudi al-Mishri, salah seorang ulama yang hidup di masa
sekarang.
73. Ulama terkemuka di kota Mekah Syekh Muhammad al-Arabi at-Tabban (w 1390 H).
75. Syekh Manshur Muhammad Uwais, salah seorang ulama yang masih hidup di masa sekarang.
76. Al-Hâfizh Syekh Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Maghribi (w 1380 H).
• Hidâyah ash-Shughrâ’.
• al-Qaul al-Jaliyy.
77. Syekh al-Musnid al-Habîb Abu al-Asybal Salim ibn Husain ibn Jindan, salah seorang ulama
• ar-Rasâ’il al-Ghumâriyyah.
79. Syekh Hamdullah al-Barajuri, salah seorang ulama terkemuka di Saharnafur India.
213
80. Syekh Abu Saif al-Hamami secara terang telah mengkafirkan Ibn Taimiyah dalam karyanya
berjudul Ghauts al-‘Ibâd Bi Bayân ar-Rasyâd. Beliau adalah salah seorang ulama besar dan terkemuka
di wilayah Mesir. Kitab karyanya ini telah direkomendasikan oleh para masyayikh Azhar dan ulama
besar lainnya, yaitu oleh Syekh Muhammad Sa’id al-Arfi, Syekh Yusuf ad-Dajwi, Syekh Mahmud Abu
Daqiqah, Syekh Muhammad al-Bujairi, Syekh Muhammad Abd al-Fattah Itani, Syekh Habibullah al-
Jakni asy-Syinqithi, Syekh Dasuqi Abdullah al-Arabi, dan Syekh Muhammad Hafni Bilal.
• Jalâ’ al-Awhâm ‘An Madzhab al-A-immah al-‘Izhâm Wa at-Tawassul Bi Jâh Khayr al-Anâm -‘Alaih
ash-Shalât Wa as-Salâm-. Kitab ini berisi bantahan atas kitab karya Ibn Taimiyah berjudul Raf’u al-
Malâm.
• Mir’âh an-Najdiyyah.
85. KH. Ihsan ibn Muhammad Dahlan Jampes Kediri, salah seorang ulama terkemuka Indonesia yang
86. KH. Hasyim Asy’ari Tebu Ireng Jombang. Salah seorang ulama terkemuka Indonesia, perintis
ormas Islam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Beliau merintis ormas ini tidak lain hanya untuk
membentengi kaum Ahlussunnah Indonesia dari faham-faham Ibn Taimiyah yang telah diusung oleh
kaum Wahhabiyyah.
88. KH. Ali Ma’shum Yogyakarta (w 1410 H), salah seorang ulama terkemuka Indonesia.
89. KH. Ahmad Abd al-Halim Kendal, salah seorang ulama besar Indonesia.
90. KH. Bafadlal ibn Syekh Abd asy-Syakur as-Sinauri Tuban. Salah seorang ulama terkemuka
Indonesia yang cukup produktif menulis berbagai karya yang sangat berharga.
214
• Al-‘Iqd al-Farîd Bi Syarh Jawharah at-Tauhîd
91. Tuan Guru Zainuddin ibn Abd al-Majîd Pancor Lombok Nusa Tenggara Barat.
92. KH. Muhammad Syafi’i Hadzami ibn Muhammad Saleh Ra’idi, salah seorang ulama betawi, pernah
menjabat ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi DKI Jakarta (1990-2000).
• Taudlîh al-Adillah.
Share this:
Facebook8
Terkait
Siapakah Ibnu Taimiyahdalam "Islam"
Pemahaman Ibnu Taimiyahdalam "Islam"
Ibnu Arabidalam "Islam"
86 Tanggapan
janganlah menyebut “beliau” sembarangan, karena hanya pantas untuk orang yang kita yakini pantas
tersebut. marah halal untuk meluruskan yang sesat, tidak semua orang bisa dilemah lembuti. ALLAH
SWT saja mengancam manusia yang sesat dengan siksa neraka yang teramat pedih.
* Tuhan turun setiap akhir malam ke langit dunia serupa turunnya Ibnu Taimiyah dari mimbar.
215
* Tuhan bertubuh, berjihat dan pindah-pindah tempat.
* Sifat Tuhan hadits (baru) dan yang hadits itu melekat pada Zat Tuhan yang qadim.
* Bepergian ziarah ke makam-makam, seumpama makam Nabi di Madinah, makam Ibrahim di mesjid
masyaallah… antum dapat darimana ini??? bacalah dulu kitabnya dengan benar, antum bilang Allah
bersela diatas arsy sebagaimana berselanya ibnu taimiyyah?? sungguh ini suatu fitnah yang keji….
maka sudah wajib yang menulis artikel ini harus bertobat…coba antum belajar lagi… jangan cuma
denger dari ustadz antum.. baca dulu kitab aslinya dengan benar… setelah itu bertobatlah… karena
Proses “pengangkatan” kembali karya-karya Syaikh Ibnu Taimiyah (yang pada zaman beliau hidup
merupakan ulama yang ditentang pendapatnya oleh jumhur ulama) merupakan adanya sikap
Saat ini sudah banyak keraguan mana kitab yang asli dari karya Syaikh Ibnu Taimiyah. Ada kitab
yang fokus pada pelarangan muslim untuk belajar Tasawuf ada kitab yang memperbolehkan muslim
untuk belajar tasawuf. namun pada akhirnya Syaikh Ibnu Taimiyah bertobat akan metode
Wallaahu a’lam
216
Mas, baca dulu bukunya sumbernya, scan atau copy buat bukti kasih ke kita, kalau tidak ada
telusuri dari orang per orang sanadnya bisa dipercaya atau tidak.
Begini saja ya pa zuhud, coba tanya sama seluruh murid dan pengikut Ibnu Taimiyah, apakah
mereka berpaham dan membenarkan bahwa Ibnu Taimiyah menyamakan turunnya Allah dengan
Kalau bapak sendiri ragu akan keaslian kitab2 Ibnu Taimiyah, lalu kenapa memposting dan
menyimpulkannya?
Waw, antum ni kemakan dengan fitnah akhir zaman tanpa tau kitab-kitab asli Ibnu Taimiyah,
Mereka mengatakan bahwa dalam membahas masalah agama dengan pedoman Al Qur’an dan
Salah satu fitnah akhir zaman adalah orang-orang pada masa kini (khalaf) yang mengaku-aku
mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun pada kenyataannya tentu mereka tidak bertemu
Perlu kita ingat bahwa nama para Sahabat tercantum pada hadits pada umumnya sebagai perawi
bukanlah menyampaikan pemahaman atau hasil ijtihad atau istinbat mereka melainkan para
Sahabat sekedar mengulangi kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam
217
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda: Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia
menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia
menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits)
menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa
ilmu agama (hadits) tidak memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu
Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam
lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi (para Sahabat) yang sekedar menghafal dan
Jadi pendapat atau pemahaman para Sahabat tidak bisa didapatkan dari membaca hadits.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam
bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat
radhiallahu ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan
lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak
meluangkan waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip
asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah
mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para
Sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan
usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan
prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah
Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa ketika orang membaca hadits maka itu adalah pemahaman
Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman para Sahabat berijtihad dengan pendapatnya
terhadap hadits yang mereka baca. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada
hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi
apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri. Sayangnya mereka
mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan sampaikan adalah
218
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka
tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar
atau salah, mereka atas namakan kepada para Sahabat. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah
Mereka yang merasa atau mengaku mengikuti pemahaman para Sahabat tampaknya adalah
orang-orang hasil pengajaran para ulama yang dipaksakan oleh sekutu Zionis Yahudi Inggris dan
Amerika yakni kerajaan dinasti Saudi untuk mengikuti ajaran atau pemahaman ulama Najed yakni
pada http://www.saudiembassy.net/about/country-
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined
forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of
Ulama Najed mengingatkan kita kepada penduduk Najed yang mempunyai keunikan tersendiri
karena mereka disebutkan dalam beberapa hadits untuk kita ambil hikmah atau pelajaran
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/29/mengenal-najed/
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pengikut yang tidak pernah bertemu muka yakni mengikuti
pola pemahaman Ibnu Taimiyyah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak
(shahafi) dengan akal pikirannya sendiri karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih.
Berikut contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang menyebut Muhammad bin Abdul
muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya
219
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar yang kemudian dikembangkan
sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam
mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang
selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
Begitupula dari biografi Ibnu Taimiyyah pun kita mengetahui bahwa beliau termasuk kalangan
dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman
analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
Begitupula dengan Al Albani yang sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan
pada http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nashiruddin_Al-Albani
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya.
Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan
tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi
perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan
dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari
untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No.
merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab
saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama,
220
maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka
menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini
sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang
artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para
ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut
pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili
10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui
kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika
ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan
Jadi mereka pada kenyataannya dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan
salaf bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran
mereka sendiri dan memahami atau berfatwa selalu berpegang pada nash secara dzahir
sebagaimana pula yang disampaikan oleh Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan
pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya,
mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan
lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu
pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti
sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah
menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau
polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak
menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu
221
Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai
salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir,
metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena
kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas,
mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus,
mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih
(thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak
bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat
keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi
Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya
sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits
itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya.
Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang
namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu
ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya
ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.
Prof. Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan “Muhammadiyah bukan Dahlaniyah” artinya
Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan
sebuah sekte atau firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan
sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa sekarang mengikuti
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
222
Ahmad Dahlan pada masa hidupnya mengikuti fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut
Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih, ormas Muhammadiyah tidak lagi mengikuti apa yang telah
Jadi ketika sebuah jama’ah minal muslimin atau sebuah kelompok kaum muslim atau sebuah
ormas menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari
kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak berkompetensi sebagai Imam
Mujtahid Mutlak atau ahli istidlal maka berubahlah menjadi sebuah sekte atau firqah.
Sedangkan Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad
Abduh ataupun Albani maupun Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, mereka bukanlah Imam Mujtahid Mutlak
Ulama yang sholeh terdahulu kita dari kalangan Sunni Syafei yang ternama sampai Semenanjung
Tanah Melayu, Brunei Darussalam, Singapur sampai Pathani, negeri Siam atau Thailand yakni KH.
Sirajuddin Abbas (lahir 5 Mei 1905, wafat 23 Ramadhan 1401H atau 5 Agustus 1980) dalam buku
berjudul I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah yang diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Baru, Jl Tebet
Barat XA No.28, Jakarta Selatan 12810 dalam cetakan ke 8, 2008 tercantum dua buah sekte atau
firqoh dalam Islam yakni firqoh berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari halaman 296 sampai
351 dan firqoh berdasarkan pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab dari halaman 352 sampai
380.
lampau/bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim
Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul
Ulama) halaman 9-10 menasehatkan untuk tidak mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul
Wahhab , Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi
Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahim sebagaimana contohnya yang
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya
mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah.
Maksud mereka itu hendak mengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan
223
Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab
Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyim al-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala
Sebagaimana wasiat di atas, para ulama memasukkan mazhab atau pemahaman Ibnu Taimiyyah
dan para pengikutnya yang bertemu langsung seperti Ibnu Qoyyim Al Jauziyah maupun yang tidak
bertemu langsung seperti Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai mazhab khawarij artinya mazhab
yang menyempal keluar (kharaja) dari mazhab Imam Mazhab yang empat.
Selain sekelompok orang (firqah) yang mengaku mengikuti pemahaman para Sahabat, adapula
sekelompok orang (firqah) yang mengaku-ngaku mengikuti pemahaman para imam dari kalangan
ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah yang dikenal dengan kaum Syiah, contohnya syiah Rafidhah
Imam Zaid bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib ditanya oleh para pengikutnya yakni pasukan
atau tentara yang semula mendukungnya dengan pertanyaan “Kami akan menyokong
perjuangamu, namun sebelumnya kami ingin tahu terlebih dahulu sikapmu terhadap Abu Bakar
Siddiq dan Umar bin Khattab di mana kedua-duanya telah menzalimi kakekmu Imam Ali bin Abi
Thalib”.
Imam Zaid menjawab: “bagi saya mereka berdua adalah orang yang baik, dan saya tak pernah
mendengar ucapan dari ayahku Imam Zainal Abidin tentang perihal keduanya kecuali kebaikan.
Dan kalaulah saat ini saya berani melawan dan menantang perang Bani Umayyah, itu disebabkan
karena mereka telah membunuh kakek saya (imam Husain bin Ali). Di samping itu, mereka telah
memberanguskan kota Madinah di tengah teriknya matahari pada siang hari. Ketika itu terjadilah
peperangan sengit di pintu Tiba kota Madinah. Dan tentara Yazid bin Mu’awiyah (w 63H) ketika itu
telah menginjak-injak kehormatan kami, dan membunuh beberapa orang sahabat. Dan mereka
Setelah mendengar sikap dan jawaban Imam Zaid, para tentara Kufah meninggalkan Imam Zaid.
Dan Imam Zaid berkata kepada mereka: “kalian telah menolak saya, kalian telah menolak saya”.
Semenjak hari itu pasukan atau tentara yang semula mendukung Beliau dikenal dengan nama
224
Jadi Syiah Rafidhah meninggalkan seorang penunjuk (ahli istidlal) dari kalangan ahlul bait,
keturunan cucu Rasululah, Imam Zaid dan mengikuti pasukan atau tentara yang semula
mendukungnya yakni mereka memahami Al Qur’an dan Hadits maupun perkataan Imam Ahlul Bait
bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka
Hal serupa dengan yang disampaikan peneliti aliran Syiah, Prof Dr Kamaluddin Nurdin Marjuni
zaidiyah.html
Salah satu ulama Zaidiyyah, Imam Ahmad as-Syarafiy (w. 1055 H) menegaskan bahwa: “Syi’ah
Zaidiyah terpecah kepada tiga golongan, yaitu: Batriyah, Jaririyah, dan Garudiyah.
Dan konon ada yang membagi sekte Zaidiyah kepada: Shalihiyah, Sulaimaniyah dan Jarudiyah.
Jadi ketiga sekte tersebut merupakan golongan-golongan Syi’ah Zaidiyyah pada era awal. Ketiga
sekte inipun tidak berafiliasi (tidak ada hubungannya) kepada keturunan Ahlu Bait sama sekali.
Mereka hanyalah sekedar penyokong berat (bekas tentara atau pasukan) imam Zaid ketika terjadi
revolusi melawan Bani Umayah, dan mereka ikut berperang bersama imam Zaid”.
Jadi adalah sebuah fitnah jika mengaku-aku mengikuti Imam Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi
Thalib namun pada kenyataannya mereka mengikuti para pendukung (bekas tentara atau
Padahal sejak abad 7 H, Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far
Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra, beliau menganut
madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam
Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang
akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf yang muktabaroh dan bermazhab
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus
berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena
225
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke
“ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah
dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah
dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang
dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai
kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya
Marilah kita mengikuti sunnah Rasulullah untuk menghindari firqah-firqah yang menyempal keluar
(kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yang disebut juga dengan khawarij.
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari
rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena
itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum
muslim).” (HR.IbnuMajah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al
Mayoritas kaum muslim pada masa generasi Salafush Sholeh adalah orang-orang mengikuti
Sedangkan pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) adalah bagi siapa
saja yang mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
226
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai
seorang penunjuk
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah
tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa
Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah. Penunjuk para Tabi’in adalah para
Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum muslim sampai
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah
adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash.
Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat
disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat
yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim
mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan
adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal adalah
Imam Mazhab yang empat walaupun mereka tidak maksum namun mereka diakui oleh jumhur
ulama sejak dahulu kala sampai sekarang sebagai ulama yang berkompetensi sebagai Imam
Mujtahid Mutlak sehingga patut untuk dijadikan pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat bagi
kaum muslim.
Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.
Contohnya Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena
bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai
227
dari tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke
Iraq, pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke
Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis,
tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran
kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh,
melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah
Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang
membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti
Jadi kalau kita ingin ittiba li Rasulullah (mengikuti Rasulullah) atau mengikuti Salafush Sholeh
maka kita menemui dan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari kalangan
Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” adalah para ulama
yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang
sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat
atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang
empat.
Jadi bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim
yang tidak lagi bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush Sholeh sebagaimana yang telah
bermazhab/
Pada hakikatnya sangat sulit untuk memenuhi kompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak pada
masa sekarang ini karena tidak lagi dapat bertemu dengan para perawi hadits atau Salafush
Sholeh.
orang yang salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena bersandarkan mutholaah (menelaah
228
kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri dapat menjadi liberal atau bahkan
Memang wajar, bahkan sangat wajar sekali jika ada seseorang mempertanyakan adanya
perbedaan pandangan. Tapi tidak wajar kalau mereka membawa-bawa label “Kembali pada Al
Qur’an dan As Sunnah” kemudian meyalahkan para Imam Mujtahid, seakan-akan para Imam
Justru para Imam Mujtahid orang yang paling mengerti madlul ayat dan hadits dibanding kita-kita
yang masih berlabel “Muqollid”, bahkan dengan strata taqlid paling rendah.
Mereka bilang “Saya tidak mau terpaku dengan ajaran orang tua dan guru saya. Saya mau
mencari ajaran yang benar”. Hal ini yang membuat kita semakin khawatir. Dengan umur yang
masih seperti itu, mereka begitu yakin untuk tidak ber-taqlid (ikuti) kepada yang memang
seharusnya ia taqlid.
Mereka menolak untuk menerima sepenuhnya apa yang ia dapatkan dari rumah, juga dari gurunya
tapi mereka tidak punya pegangan untuk bisa berdiri dan menjadi sandaran sendiri.
Akhirnya, yang dilakukan kembali mencari di jalanan, seperti dengan buka laptop, searching
google dan akhirnya bertemu dengan ratusan bahkan ribuan hal yang sejatinya mereka belum siap
menerimanya semua. Sampai saat ini kita masih tidak memandang google sebagai sumber
pencarian ilmu yang valid dan aman. Mendatangi guru dan bermuwajahah dengan beliau itu yang
Hal yang kita khawatirkan, nantinya mereka besar menjadi muslim yang membenci para imam
mazhab dengan seluruh ijtihadnya. Dan kelompok pemuda semacam ini sudah kita temui banyak
Dengan dalih “Kembali kapada al-quran dan sunnah”, mereka dengan pongah berani mecemooh
para imam, padahal apa yang dipermasalahkan itu memang benar-benar masalah yang sama
Atau lebih parah lagi, ia menjadi orang yang anti dengan syariahnya sendiri. Karena sejak kecil
229
Seperti orang yang belum matang dengan agamanya sendiri tapi kemudian sudah belajar
perbandingan agama. Ujung-ujungnya mereka jadi atheism, karena banyak kerancuan yang dia
temui.
Sama juga orang yang belum matang fiqih satu mazhab, kemudian mereka tiba-tiba belajar
perbandingan mazhab. Satu mazhab belum beres, kemudian sudah dibanding-bandingkan. Ujung-
ujungnya jadi Liberal, yang menganggap bahwa ijtihad itu terbuka untuk siapa saja dan dimana
Mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan
oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi
“orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang
Cara menghancurkan Islam dari dalam adalah menghasut dan mengajak untuk memahami Al
Qur’an dan As Sunnah secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri sehingga timbullah
kelompok-kelompok seperti Al Qaeda, ISIS atau pelaku bom bunuh diri di tengah kaum muslim
telah kafir.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi: ‘Apakah kamu yang telah membunuhnya? ‘
Dia menjawabnya, ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi: ‘Lalu apa yang hendak kamu perbuat dengan kalimat,
‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah’, jika di hari kiamat kelak ia datang (untuk
minta pertanggung jawaban) pada hari kiamat nanti? ‘ (HR Muslim 142)
Mereka terhasut untuk membuang-buang waktu atau menyibukkan diri mengulang kembali apa
yang telah dikerjakan dan dihasikan oleh Imam Mazhab yang empat namun mereka tidak
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para ulama non-Yahudi
(termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat
ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka
230
berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah
bertumbangan…..
Salah satu upaya mengdiskreditkan Imam Mazhab yang empat adalah menyalahgunakan
perkataan atau pendapat Imam Mazhab yang empat yang jsutru untuk meninggalkan apa yang
Mereka yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) meninggalkan
Imam Mazhab yang empat dengan alasan seperti “kita harus mengikuti hadits shahih bukan
mengikuti ulama.
Mereka mengingatkan bahwa Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa
mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang
bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan
dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat
mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah
mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan
Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk
orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i
belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa
dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang
sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini
karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di
dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang
sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn
Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-
231
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang
bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam
Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya
pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-
adalah-mazhabku-bag-2/
Mereka pada umumnya juga salah memahami pendapat seperti Imam Syaukani yang berkata:
“Seseorang yang hanya mengandalkan taqlid (mengikut pandangan tertentu) seumur hidupnya
tidak akan pernah bertanya kepada sumber asli yaitu “Qur’an dan Hadits”, dan ia hanya bertanya
kepada pemimpin mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya kepada sumber asli Islam
Mereka salah memahami perkataan Imam Syaukani yang terbatas bagi siapa saja yang mampu
Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i,
as-syafi’i/
Berikut kutipannya
Definisi madzhab adalah apa-apa yang dipilih oleh Imam As Syafi’i dan para pengikutnya terhadap
hukum dalam berbagai masalah, sebagaimana disebutkan Imam Al Mahalli dalam Syarh beliau
Dengan definisi di atas, otomatis madzhab As Syafi’i tidak hanya mencakup pendapat Imam As
Syafi’i saja, namun, juga pendapat para pengikutnya. Nah, siapa para pengikut yang berhak
Tentu, itu bisa terjawab dengan pemaparan tingkatan para mufti yang dianggap mu’tabar dalam
madzhab.
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab (1/71), mengenai tingkatan
mufti dalam madzhab As Syafi’i. Merujuk kepada pendapat Al Hafidz Ibnu Shalah, beliau membagi
232
1. Mufti Mustaqil
Mufti mustaqil adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam madzhab, Ibnu Shalah
juga menyebutkannya sebagai mujtahid mutlaq. Artinya, tidak terikat dengan madzhab. Bahkan
mujtahid inilah perintis madzhab. Tentu dalam Madzhab As Syafi’i, mufti mustaqil adalah Imam As
Syafi’i. Imam An Nawawi sendiri menyebutkan pendapat beberapa ulama ushul bahwa tidak ada
mujtahid mustaqil setelah masa As Syafi’i. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72)
Keistimewaan mufti mustaqil yang tidak dimiliki oleh tingkatan mufti di bawahnya adalah
2. Mujtahid Madzhab
Yakni, mufti yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam madzhab (pendapat) atau dalilnya
namun tetap menisbatkan kepada imam karena mengikuti metode imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh
Al Muhadzadzab, 1/72)
Contoh ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani dan Al Buwaithi,
sebagaimana disebutkan Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan
Sedangkan Imam An Nawawi juga menyebutkan bahwa Abu Ishaq As Syairazi yang masa hidupnya
jauh dari masa Imam As Syafi’i mengaku sampai pada derajat ini. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al
Muhadzadzab, 1/72)
Di kalangan muta’akhirin Imam As Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini, sebagaimana
Mufti golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taklid,
baik kepada beliau maupun kepada para imam lainnya, sebagaimana disebutkan Imam An Nawawi
Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah level ini, sebab itulah Ibnu Shalah
sendiri berpendapat bahwa pelarangan taklid dari para imam tidak bersifat mutlak. (lihat, Al
Golongan ini pula yang menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang berhak mengoreksi
pendapat Imam, di saat mereka mengetahui ada hadits shahih yang bertantangan dengan
pendapat imam. Kenapa harus mereka? Karena bisa jadi imam sengaja meninggalkan hadits walau
233
ia shahih dikarenakan manshukh atau ditakhsis, dan hal ini tidak akan diketahui kecuali yang
bersangkutan telah menela’ah semua karya As Syafi’i dan para pengikutnya, dan hal ini amatlah
sulit, menurut penilaian ulama sekaliber Imam An Nawawi sekalipun. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al
Muhadzdzab, 1/99 dan Ma’na Al Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al Hadits fa Huwa
Madzhabi)
Jika sesorang sampai pada derajat ini, ia bisa menyelisihi pendapat imamnya sendiri, dan hal ini
tidaklah jadi persoalan, karena sudah sampai pada derajat mujtahid walau tetap memakai kaidah
imam. Tak heran jika beberapa pendapat Imam Al Muzani berbeda dengan pendapat Imam As
Syafi’i seperti dalam masalah masa nifas, Imam As Syafi’i berpendapat bahwa maksimal masa
nifas 60 hari sedangkan Al Muzani 40 hari. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 2/106)
3. Ashab Al Wujuh
Ashab Al Wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil
maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang
belum disebutkan imam dengan menyimpulkan dan menkiyaskan (takhrij) dari pendapat Imam,
sebagaimana para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan diri
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para ulama As Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini
adalah ashab al wujuh. Yakni mereka yang mengkiyaskan masalah yang belum di-nash oleh imam
kepada pendapat imam. Sehingga, orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya tidak
bertaklid kepada mereka, namun bertaklid kepada imam. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab,
1/73)
Contoh dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid
atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, Mufti Syafi’iyyah di Bashrah, sebagaimana disebutkan Syeikh
4. Mujtahid Fatwa
Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun
menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam
Perlu diketahui, dengan adanya mufti-mufti yang berada di atas tingkatan ini, dalam madzhab
sudah banyak terjadi khilaf, baik antara imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan
234
perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap pendapat imam. Disinilah ulama pada
Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi menyebutkan bahwa yang berada dalam tingkatan ini
Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi yang dikenal sebagai mujtahid fatwa.(lihat, An Nihayah, hal.
Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An
Nawawi seperti Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika
ingin mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada buku-buku tersebut.
5. Mufti Muqallid
Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik
untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti
mufti-mufti di atasnya. Maka fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya
tentang madzhab dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid
Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ar Ramli dan As Subramilsi termasuk kelompok mufti Muqallid, walau
sebagian berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa masalah. (lihat,
Jika tidak menemui nuqilan dalam madzhab, maka ia tidak boleh mengeluarkan fatwa, kecuali jika
mereka memandang bahwa masalahnya sama dengan apa yang nash madzhab, boleh ia
mengkiyaskannya. Namun, menurut Imam Al Haramain, kasus demikian jarang ditemui. (lihat, Al
Namun tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana yang rajih
menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang demikian sebagai orang yang bodoh dan
Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak berinteraksi dengan karya-karya
para mujtahid fatwa, yang telah menjelaskan pendapat rajih dalam madzhab.
Penutup
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para mufti selain mufti mustaqil, yang telah disebutkan di
atas termasuk mufti muntasib, dalam artian tetap menisbatkan diri dalam madzhab. Dan
235
semuanya harus menguasai apa yang dikuasai oleh mufti muqallid. Barang siapa berfatwa
sedangkan belum memenuhi syarat di atas, maka ia telah menjerumuskan diri kepada hal yang
Tentu, amat tidak mudah untuk masuk jajaran mufti di atas hatta mufti muqallid jika orang
sekaliber Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Ar Ramli masih dinilai berada dalam tingkatan itu!
Namun ironisnya banyak anak-anak muda yang baru mencari ilmu dengan tanpa beban menyesat-
nyesatkan siapa saja yang bertaklid. Kemudian menyerukan untuk mentarjih pendapat sesuai
berdasarkan dalil yang ia pahami seakan-akan ia setingkat dengan Imam An Nawawi, atau bahkan
menggugurkan pendapat mujtahid mustaqil dengan berargumen, idza shahah al hadits fahuwa
madzhabi, seakan-akan ia satu level dengan Imam Al Muzani! Padahal yang bersangkutan belum
menghatamkan dan menguasai kitab fiqih yang paling sederhana sekalipun dalam madzhab.
Mudah-mudahan kita terlindung dari hal-hal yang demikian. Dan tetap bersabar untuk terus
mencari ilmu, hingga sampai kepada kita keputusan Allah, sampai dimana ilmu yang mampu kita
Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan tidak dalam bentuk tulisan namun disampaikan
melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dengan imla atau secara hafalan.
Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam proses menuntut ilmu.
Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Setiap menerima wahyu, beliau langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk
menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau menafsirkan dan
Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk
kandungannya, tapi juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini,
walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya. Kaitan
antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya, Al-
Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan.
nya, semuanya dilakukan secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang
236
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya
telah tertera dalam ingatan sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai
penunjang semata.
Oleh karenanya dikatakan sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami taat) bukan kami baca dan
kami taat
Ilmu agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulama terdahulu yang tersambung kepada
Rasulullah bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa
yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku
dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan apa yang kita baca dan pahami sendiri
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh
dan didengar dari para ulama yang sholeh dan disampaikan secara turun temurun yang bersumber
Dalam memahami kalimat “pewaris para Nabi” kita pahami dahulu arti kata mewarisi
adalah:
Jadi ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang sholeh sebelumnya secara
Cara untuk menelusuri kebenaran adalah melalui para ulama yang sholeh yang memiliki sanad
ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena
237
Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah
Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap
tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya
sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il
“asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini
kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad,
maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan
akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya
1/47 no:32)
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata :
Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah
menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari
Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang
salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru
belajar)”.
“Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang
meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan
sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk
meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil
sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan
begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi
238
wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh,
Imam Malik ~rahimahullah berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari
orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu) dan dari orang
yang mendustakan perkataan manusia (ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi60) ; “Barangsiapa tidak
memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir
Jadi fitnah tanduk syaitan adalah fitnah dari orang-orang yang menjadikan gurunya syaitan karena
memahami Al Qur’an dan Hadits bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak
« Ibnu Taimiyah
Baha’iyah »
239
Pendapat ulama terdahulu tentang Muhammad bin Abdul Wahhab
Dalam buku “Kasfus Syubahat” karangan ulama-ulama Wahabi, cetakan “An Nur” Nejdi, dapat diambil
Muhammad bin Abdul Wahab berasal dari kabilah Banu Tamim, lahir 1115 H, wafat tahun 1206 H.
Mula-mula ia belajar agama di Makkah dan di Madinah. Di antara gurunya di Makkah terdapat nama
Syeikh Muhammad Sulaiman al Kurdi, Syeikh Abdul Wahab (bapaknya sendiri) dan kakaknya Syeikh
Guru-gurunya semua termasuk bapak dan kakaknya adalah ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.
240
Menurut Ustadz Hasan Khazbyk dalam suatu karangannya dikatakan, bahwa Muhammad bin Abdul
Wahab pada ketika mudanya banyak membaca, buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan lain-lain
pemuka.
Perantara tahun wafat Ibnu Taimiyah (728H) dan Muhammad bin Abdul Wahab (1206H) adalah 478
tahun. Ibnu Taimiyah meninggal di Syria sedang Muhammad bin Abdul Wahab meninggal di Nejdi.
Menurut buku “Kasfus Syubahat” tersebut, yang berasal dari tulisan cucu-cucu dari keluarga
Muhammad bin Abdul Wahab, yaitu Abdul Lathif bin Ibrahim Ali Syeikh, bahwa,
Muhammad bin Abdul Wahab lahir di suatu desa bernama “Ainiyah” pada tahun 1115 H. Ia belajar
agama kepada bapaknya, karena bapaknya, adalah ulama / qadhi di negeri ‘Ainiyah itu.
Setelah ia mencapai usia dewasa ia pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan kembali ke
Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab datang lagi ke Makkah dan Madinah yang kedua kali. Lama ia
Katanya, pada kali yang kedua inilah ia banyak melihat di Madinah amal-amal/ibadat-ibadat orang
Islam di hadapan makam Nabi yang berlainan dari syari’at Islam, menurut kacamatanya.
Kemudian ia pindah ke Basrah dan menyiarkan fatwanya yang ganjil-ganjil tetapi ia segera diusir oleh
Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab pergi ke Hassa dan berguru lagi di situ dengan Syeikh
Abdullah bin Abdul Lathif, seorang ulama di Hassa. Ketika itu. Kemudian ia pindah ke Huraimalah,
Mula-mula ia menyiarkan fatwanya yang ganjil-ganjil di negerinya sendiri, yaitu di ‘Ainyah. Tetapi
Raja di negeri itu namanya Utsman bin Ahmad bin Ma’mar yang mulanya menolong tetapi setelah
Kemudian ia pindah ke Dur’iyah. Raja Dur’iyah bernama Muhammad bin Sa’ud menolong Muhammad
bin Abdul Wahab dalam penyiaran paham-pahamnya. Maka bersatulah dua orang “Muhammad”, yang
berlain kepentingan, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad bin Sa’ud.
241
Muhammad bin Abdul Wahab membutuhkan seorang penguasa untuk menolong penyiaran pahamnya
yang baru dan Muhammad bin Sa’ud membutuhkan seorang ulama yang dapat mengisi rakyatnya
dengan ideology yang keras, demi untuk memperkokoh pemerintahan dan kekuasaannya.
Maka bersatulah antara paham agama dengan raja, sebagai bersatunya paham Syi’ah di Iran dengan
Syah Iran dan bersatunya paham Syi’ah Imamiyah di Yaman dengan “Imam” yang menguasai Yaman
(sebelum Republik).
Demikian tersebut dalam buku “Kasfus Syubahat” cetakan percetakan “An Nur” Riyadh.
Jelas dari uraian ini bahwa paham Muhammad bin Abdul Wahab tidak diterima di Basrah juga tidak
diterima di “Ainiyah, sehingga ia diusir dari kedua tempat itu oleh penguasa.
Tetapi dengan pertolongan Muhammad bin Sa’ud di kota Dur’iyah banyak jugalah pengikut-pengikut
Muhammad bin Abdul Wahab yang terdiri dari orang-orang padang pasir, sehingga menjadi kekuasaan
yang tidak dapat diabaikan oleh Turki dan Syarif-Syarif di Makkah ketika itu.
Pada suatu ketika mereka mengirim delegasinya ke Makkah menemui Syarif Makkah, yaitu Syazif
Mas’ud sambil mengerjakan haji. Delegasi ini menyiarkan fatwa-fatwa Wahabiyah yang ganjil-ganjil,
di Makkah.
Syarif Mas’ud menangkapi orang-orang ini dan bahkan membunuh sebahagiannya, tetapi sebagiannya
Dari mulai tanggal ini berkobarlah permusuhan antara kaum Wahabi di Nejdi dengan Syarif-syarif
(penguasa-penguasa di Makkah).
Dalam hal ini Syarif Mas’ud membuat suatu kesalahan karena ia menangkap orang haji dan
membunuh mereka, padahal Tuhan telah berfirman dalam Al Qur’an, bahwa “Barangsiapa masuk
Seharusnya kalau ia tidak sesuai dengan paham Wahabi ia boleh mengusir saja orang tanpa
membunuh.
Tetapi dalam sejarah ini dapat diambil pula, bahwa Raja Makkah ketika itu tidak menyukai paham
Muhammad bin Abdul Wahab biasa memfatwakan bahwa orang-orang di Makkah itu banyak yang
kafir, karena mereka membolehkan mendo’a dengan tawassul di hadapan makam nabi, membolehkan
242
berkunjung dari jauh menziarahi makam Nabi, mendo’a menghadap ke makam Nabi, memuji-muji
Nabi dengan membaca nazhasn Burdah “Amin Tadza”, membaca shalawat Dalailul Khairat yang
berlebih-lebihan memuji Nabi, membaca kisah-kisah Maulud Barzanji dan akhirnya mereka dikafirkan
Terebut dalam sejarah, bahwa suatu kali terjadi perdebatan antara Muhammad bin Abdul Wahab
dengan saudaranya Sulaiman bin Abdul Wahab, dalam soal kafir-mengkafirkan ini.
Muhammad: Apa, ?
Sesudah itu ia berusaha menangkap kakaknya dan akan membunuhnya, tetapi Sulaiman bin Abdul
Wahab dapat lolos ke Makkah dan setibanya di Makkah ia mengarang buku “As Shawa’iqul Ilahiyah
firraddi ‘alal Wahabiyah” (Petir yang membakar untuk menolak paham Wahabi) sebagaimana gambar
di atas. https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/as-shawaiqul-ilahiyah-firraddi-alal-
wahabiyah.jpg
Dari buku ini kita dapat melihat fatwa-fatwa Muhammad bin Abdul Wahab yang ganjil-ganjil dan baru-
baru.
Tertulis juga dalam buku ini sejarah perdebatan seorang laki-laki dengan Muhammad bin Abdul
Wahab.
Seorang laki-laki bertanya : “Berapa orang yang dibebaskan Tuhan dalam bulan Ramadhan?”
Laki-laki itu bertanya lagi : “Pada akhir malam bulan Ramadhan berapa?”
Muhammad bin Abdul Wahab menjawab : “Pada akhir bulan Ramadhan dibebaskan Tuban sebanyak
yang telah dibebaskannya tiap-tiap malam Ramadhan”. (Jawaban ini sesuai dengan sebuah hadits
Nabi).
Laki-laki ini bertanya lagi : “Dari mana diambil orang Islam sebanyak itu padahal murid kamu tidak
sampai sebanyak itu?” Muhammad bin Abdul Wahab marah dan berusaha menangkap orang itu.
243
Dari riwayat ini dapat dipetik suatu hal, yaitu bahwa Muhammad bin Abdul Wahab pada permulaan
fatwa-fatwanya banyak sekali mengkafirkan orang-orang yang tidak mau menerima fatwanya.
Muhammad bin Abdul Wahab sejak membuka fatwanya di Dur’iyah tidak mau ke Makkah dan Madinah
lagi, karena ia tidak sudi melihat orang-orang membuat “ma’shiat” di Makkah dan di Madinah,
katanya.
Yang dikatakannya, “makshiat” itu ialah berbondong-bondong pergi ziarah ke makam Nabi, mendo’a
dengan bertawassul dengan “jah” Nabi, mendo’a dengan menghadap ke makam Nabi (bukan ke
pekuburan Uhud di Madinah juga dan ditempat maulud Nabi di Suq al leil di Mekkah ini semua
menurut Muhammad bin Abdul Wahab; amalan syirik atau sekurangnya membawa kepada syirik.
Yang kedua setelah keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani yang diupayakan oleh Mustafa Kemal
Attaturk (Yahudi dari Dumamah) dan “pengaruh” Terrence E. Lawrence (Yahudi dari Inggris) yang
harum namanya di Saudi dan disebut sebagai Lawrence of Arabia, atau dengan kata lain kaum Wahabi
menguasai Hijaz untuk kedua kalinya mulai tahun 1925 M. sampai sekarang.
Tulisan di atas bersumber: I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah, KH Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah
Baru
http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/05/26/sejarah-ringkas-muhammad-ibn-abdil-
wahhab-dan-gerakan-wahhabiyyah-supaya-anda-kenal-bahwa-kaum-wahhabi-bukan-ahlussunnah/
Permulaan munculnya Muhammad ibn Abdil Wahhab ini ialah di wilayah timur sekitar tahun 1143 H.
Gerakannya yang dikenal dengan nama Wahhabiyyah mulai tersebar di wilayah Nejd dan daerah-
daerah sekitarnya. Muhammad ibn Abdil Wahhab meninggal pada tahun 1206 H. Ia banyak
menyerukan berbagai ajaran yang ia anggap sebagai berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah.
Ajarannya tersebut banyak ia ambil atau tepatnya ia hidupkan kembali dari faham-faham Ibn
Taimiyah yang sebelumnya telah padam, di antaranya; mengharamkan tawassul dengan Rasulullah,
mengharamkan perjalanan untuk ziarah ke makam Rasulullah atau makam lainnya dari para Nabi dan
244
orang-orang saleh untuk tujuan berdoa di sana dengan harapan dikabulkan oleh Allah, mengkafirkan
orang yang memanggil dengan “Ya Rasulallah…!”, atau “Ya Muhammad…!”, atau seumpama “Ya Abdul
Qadir…! Tolonglah aku…!” kecuali, menurut mereka, bagi yang hidup dan yang ada di hadapan saja,
mengatakan bahwa talak terhadap isteri tidak jatuh jika dibatalkan. Menurutnya talak semacam itu
hanya digugurkan dengan membayar kaffarah saja, seperti orang yang bersumpah dengan nama
Selain menghidupkan kembali faham-faham Ibn Timiyyah, Muhammad ibn Abdil Wahhab juga
membuat faham baru, di antaranya; mengharamkan mengenakan hirz (semacam jimat) walaupun di
dalamnya hanya terkandung ayat-ayat al-Qur’an atau nama-nama Allah, mengharamkan bacaan
keras dalam shalawat kepada Rasulullah setelah mengumandangkan adzan. Kemudian para
pengikutnya, yang kenal dengan kaum Wahhabiyyah, mengharamkan perayaan maulid nabi
Muhammad. Hal ini berbeda dengan Imam mereka; yaitu Ibn Taimiyah, yang telah membolehkannya.
Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti Mekah pada masanya di sekitar masa akhir kesultanan
Utsmaniyyah, dalam kitab Târikh yang beliau tulis menyebutkan sebagai berikut:
“Pasal; Fitnah kaum Wahhabiyyah. Dia -Muhammad ibn Abdil Wahhab- pada permulaannya adalah
seorang penunut ilmu di wilayah Madinah. Ayahnya adalah salah seorang ahli ilmu, demikian pula
Ayahnya, yaitu Syekh Abdul Wahhab dan saudaranya Syekh Sulaiman, serta banyak dari guru-
gurunya mempunyai firasat bahwa Muhammad ibn Abdil Wahhab ini akan membawa kesesatan. Hal
ini karena mereka melihat dari banyak perkataan dan prilaku serta penyelewengan-penyelewengan
Muhammad ibn Abdil Wahhab itu sendiri dalam banyak permasalahan agama. Mereka semua
Di kemudian hari ternyata Allah menentukan apa yang telah menjadi firasat mereka pada diri
Muhammad ibn Abdil Wahhab. Ia telah banyak membawa ajaran sesat hingga menyesatkan orang-
orang yang bodoh. Ajaran-ajarannya tersebut banyak yang berseberangan dengan para ulama agama
ini. bahkan dengan ajarannya itu ia telah mengkafirkan orang-orang Islam sendiri. Ia mengatakan
bahwa ziarah ke makam Rasulullah, tawassul dengannya, atau tawassul dengan para nabi lainnya
atau para wali Allah dan orang-orang, serta menziarahi kubur mereka untuk tujuan mencari berkah
adalah perbuatan syirik. Menurutnya bahwa memanggil nama Nabi ketika bertawassul adalah
perbuatan syirik. Demikian pula memanggil nabi-nabi lainnya, atau memanggil para wali Allah dan
orang-orang saleh untuk tujuan tawassul dengan mereka adalah perbuatan syirik. Ia juga meyakini
245
bahwa menyandarkan sesuatu kepada selain Allah, walaupun dengan cara majâzi (metapor) adalah
pekerjaan syirik, seperti bila seseorang berkata: “Obat ini memberikan manfa’at kepadaku” atau “Wali
Dalam menyebarkan ajarannya ini, Muhammad ibn Abdil Wahhab mengambil beberapa dalil yang
sama sekali tidak menguatkannya. Ia banyak memoles ungkapan-ungkapan seruannya dengan kata-
kata yang menggiurkan dan muslihat hingga banyak diikuti oleh orang-orang awam.
Dalam hal ini Muhammad ibn Abdil Wahhab telah menulis beberapa risalah untuk mengelabui orang-
orang awam, hingga banyak dari orang-orang awam tersebut yang kemudian mengkafirkan orang-
Dalam kitab tersebut kemudian Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:
“Banyak sekali dari guru-guru Muhammad ibn Abdil Wahhab ketika di Madinah mengatakan bahwa dia
akan menjadi orang yang sesat, dan akan banyak orang yang akan sesat karenanya. Mereka adalah
orang-orang yang di hinakan oleh Allah dan dijauhkan dari rahmat-Nya. Dan kemudian apa yang
Muhammad ibn Abdil Wahhab sendiri mengaku bahwa ajaran yang ia serukannya ini adalah sebagai
pemurnian tauhid dan untuk membebaskan dari syirik. Dalam keyakinannya bahwa sudah sekitar
enam ratus tahun ke belakang dari masanya seluruh manusia ini telah jatuh dalam syirik dan kufur. Ia
mengaku bahwa dirinya datang untuk memperbaharui agama mereka. Ayat-ayat al-Qur’an yang turun
tentang orang-orang musyrik ia berlakukan bagi orang-orang Islam ahli tauhid. Seperti firman Allah:
“Dan siapakah yang lebih sesat dari orang yang berdoa kepada selain Allah; ia meminta kepada yang
tidak akan pernah mengabulkan baginya hingga hari kiamat, dan mereka yang dipinta itu lalai
terhadap orang-orang yang memintanya” (QS. al-Ahqaf: 5), dan firman-Nya: “Dan janganlah engkau
berdoa kepada selain Allah terhadap apa yang tidak memberikan manfa’at bagimu dan yang tidak
memberikan bahaya bagimu, jika bila engkau melakukan itu maka engkau termasuk orang-orang
yang zhalim” (QS. Yunus: 106), juga firman-Nya: ”Dan mereka yang berdoa kepada selain Allah sama
sekali tidak mengabulkan suatu apapun bagi mereka” (QS. al-Ra’ad: 1), serta berbagai ayat lainnya.
Muhammad ibn Abdil Wahhab mengatakan bahwa siapa yang meminta pertolongan kepada Rasulullah
atau para nabi lainnya, atau kepada para wali Allah dan orang-orang saleh, atau memanggil mereka,
atau juga meminta syafa’at kepada mereka maka yang melakukan itu semua sama dengan orang-
orang musyrik, dan menurutnya masuk dalam pengertian ayat-ayat di atas. Ia juga mengatakan
246
bahwa ziarah ke makam Rasulullah atau para nabi lainnya, atau para wali Allah dan orang-orang saleh
untuk tujuan mencari berkah maka sama dengan orang-orang musyrik di atas.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang perkataan orang-orang musyrik saat mereka menyembah
berhala: “Tidaklah kami menyembah mereka -berhala-berhala- kecuali untuk mendekatkan diri
kepada Allah” (QS. al-Zumar: 3), menurut Muhammad ibn Abdil Wahhab bahwa orang-orang yang
melakukan tawassul sama saja dengan orang-orang musyrik para penyembah berhala yang
mengatakan tidaklah kami menyembah berhala-berhala tersebut kecuali untuk mendekatkan diri
“Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah ibn Umar dari Rasulullah dalam menggambarkan sifat-
sifat orang Khawarij bahwa mereka mengutip ayat-ayat yang turun tentang orang-orang kafir dan
Dalam Hadits lain dari riwayat Abdullah ibn Umar pula bahwa Rasulullah telah bersabda: “Hal yang
paling aku takutkan di antara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah seseorang yang
membuat-buat takwil al-Qur’an, ia meletakan -ayat-ayat al-Qur’an tersebut- bukan pada tempatnya”.
Dua riwayat Hadits ini benar-benar telah terjadi pada kelompok Wahhabiyyah ini” (al-Futûhat al-
Islâmiyyah, j. 2, h. 68).
Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan masih dalam buku tersebut menuliskan pula:
“Di antara yang telah menulis karya bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab adalah salah
seorang guru terkemukanya sendiri, yaitu Syekh Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, penulis kitab
Hâsyiah Syarh Ibn Hajar Alâ Matn Bâ Fadlal. Di antara tulisan dalam karyanya tersebut Syekh
Sulaiman mengatakan: Wahai Ibn Abdil Wahhab, saya menasehatimu untuk menghentikan cacianmu
Masih dalam kitab yang sama Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan juga menuliskan:
dikumandangkan adzan di atas menara-menara. Bahkan disebutkan ada seorang yang saleh yang
tidak memiliki penglihatan, beliau seorang pengumandang adzan. Suatu ketika setelah
mengumandangkan adzan ia membacakan shalawat atas Rasulullah, ini setelah adanya larangan dari
kaum Wahhabiyyah untuk itu. Orang saleh buta ini kemudian mereka bawa ke hadapan Muhammad
ibn Abdil Wahhab, selanjutnya ia memerintahkan untuk dibunuh. Jika saya ungkapkan bagimu seluruh
247
apa yang diperbuat oleh kaum Wahhabiyyah ini maka banyak jilid dan kertas dibutuhkan untuk itu,
Di antara bukti kebenaran apa yang telah ditulis oleh Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dalam
pengkafiran kaum Wahhabiyyah terhadap orang yang membacakan shalawat atas Rasulullah setelah
dikumandangkan adzan adalah peristiwa yang terjadi di Damaskus Siria (Syam). Suatu ketika
pengumandang adzan masjid Jami’ al-Daqqaq membacakan shalawat atas Rasulullah setelah adzan,
dengan nada yang keras. Tiba-tiba seorang Wahhabi yang sedang berada di pelataran masjid
berteriak dengan keras: “Itu perbuatan haram, itu sama saja dengan orang yang mengawini ibunya
sendiri…”. Kemudian terjadi pertengkaran antara beberapa orang Wahhabi dengan orang-orang
Ahlussunnah, hingga orang Wahhabi tersebut dipukuli. Akhirnya perkara ini dibawa ke mufti
Damaskus saat itu, yaitu Syekh Abu al-Yusr Abidin. Kemudian mufti Damaskus ini memanggil
pimpinan kaum Wahhabiyyah, yaitu Nashiruddin al-Albani, dan membuat perjanjian dengannya untuk
tidak menyebarkan ajaran Wahhabi. Syekh Abu al-Yusr mengancamnya bahwa jika ia terus
“Muhammad ibn Abdil Wahhab, perintis berbagai gerakan bid’ah ini, sering menyampaikan khutbah
jum’at di masjid ad-Dar’iyyah. Dalam seluruh khutbahnya ia selalu mengatakan bahwa siapapun yang
bertawassul dengan Rasulullah maka ia telah menjadi kafir. Sementara itu saudaranya sendiri, yaitu
Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab adalah seorang ahli ilmu. Dalam berbagai kesempatan, saudaranya
ini selalu mengingkari Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam apa yang dia lakukan, ucapakan dan
segala apa yang ia perintahkan. Sedikitpun, Syekh Sulaiman ini tidak pernah mengikuti berbagai
Suatu hari Syekh Sulaiman berkata kepadanya: “Wahai Muhammad Berapakah rukun Islam?”
Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: “Lima”. Syekh Sulaiman berkata: “Engkau telah
menjadikannya enam, dengan menambahkan bahwa orang yang tidak mau mengikutimu engkau
Suatu hari ada seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab: “Berapa banyak orang yang
Allah merdekakan (dari neraka) di setiap malam Ramadlan? Ia menjawab: “Setiap malam Ramadlan
Allah memerdekakan seratus ribu orang, dan di akhir malam Allah memerdekakan sejumlah orang
yang dimerdekakan dalam sebulan penuh”. Tiba-tiba orang tersebut berkata: “Seluruh orang yang
248
mengikutimu jumlah mereka tidak sampai sepersepuluh dari sepersepuluh jumlah yang telah engkau
sebutkan, lantas siapakah orang-orang Islam yang dimerdekakan Allah tersebut?! Padahal menurutmu
orang-orang Islam itu hanyalah mereka yang mengikutimu”. Muhammad ibn Abdil Wahhab terdiam
Ketika perselisihan antara Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan saudaranya; Syekh Sulaiman
semakin memanas, saudaranya ini akhirnya khawatir terhadap dirinya sendiri. Karena bisa saja
Muhammad ibn Abdil Wahhab sewaktu-waktu menyuruh seseorang untuk membunuhnya. Akhirnya ia
hijrah ke Madinah, kemudian menulis karya sebagai bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab
Namun, Muhammad ibn Abdil Wahhab tetap tidak bergeming dalam pendirian sesatnya. Demikian
pula banyak para ulama madzhab Hanbali yang telah menulis berbagai risalah bantahan terhadap
Muhammad ibn Abdil Wahhab yang mereka kirimkan kepadanya. Namun tetap Muhammad ibn Abdil
Suatu ketika, salah seorang kepala sautu kabilah yang cukup memiliki kekuatan hingga hingga
Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak dapat menguasainya berkata kepadanya: ”Bagaimana sikapmu
jika ada seorang yang engkau kenal sebagai orang yang jujur, amanah, dan memiliki ilmu agama
berkata kepadamu bahwa di belakang suatu gunung terdapat banyak orang yang hendak menyerbu
dan membunuhmu, lalu engkau kirimkan seribu pasukan berkuda untuk mendaki gunung itu dan
melihat orang-orang yang hendak membunuhmu tersebut, tapi ternyata mereka tidak mendapati satu
orangpun di balik gunung tersebut, apakah engkau akan membenarkan perkataan yang seribu orang
tersebut atau satu orang tadi yang engkau anggap jujur?” Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab:
”Saya akan membenarkan yang seribu orang”. Kemudian kepada kabilah tersebut berkata:
”Sesungguhnya para ulama Islam, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dalam
karya-karya mereka telah mendustakan ajaran yang engkau bawa, mereka mengungkapkan bahwa
ajaran yang engkau bawa adalah sesat, karena itu kami mengikuti para ulama yang banyak tersebut
dalam menyesatkan kamu”. Saat itu Muhammad ibn Abdil Wahhab sama sekali tidak berkata-kata.
Terjadi pula peristiwa, suatu saat seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab: ”Ajaran
agama yang engkau bawa ini apakah ini bersambung (hingga Rasulullah) atau terputus?”. Muhammad
ibn Abdil Wahhab menjawab: ”Seluruh guru-guruku, bahkan guru-guru mereka hingga enam ratus
tahun lalu, semua mereka adalah orang-orang musyrik”. Orang tadi kemudian berkata: ”Jika demikian
ajaran yang engkau bawa ini terputus! Lantas dari manakah engkau mendapatkannya?” Ia menjawab:
”Apa yang aku serukan ini adalah wahyu ilham seperti Nabi Khadlir”. Kemudian orang tersebut
249
berkata: ”Jika demikian berarti tidak hanya kamu yang dapat wahyu ilham, setiap orang bisa
mengaku bahwa dirinya telah mendapatkan wahyu ilham. Sesungguhnya melakukan tawassul itu
adalah perkara yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah, bahkan dalam hal ini Ibn Taimiyah
memiliki dua pendapat, ia sama sekali tidak mengatakan bahwa orang yang melakukan tawassul telah
Yang dimaksud oleh Muhammad ibn Abdil Wahhab bahwa orang-orang terdahulu dalam keadaan syirik
hingga enam ratus tahun ke belakang dari masanya ialah hingga tahun masa hidup Ibn Taimiyah,
yaitu hingga sekitar abad tujuh dan delapan hijriyah ke belakang. Menurut Muhammad ibn Abdil
Wahhab dalam rentang masa antara hidup Ibn Taimiyah, yaitu di abad tujuh dan delapan hijriyah
dengan masa hidupnya sendiri yaitu pada abad dua belas hijriyah, semua orang di dalam masa
tersebut adalah orang-orang musyrik. Ia memandang dirinya sendiri sebagai orang yang datang untuk
memperbaharui tauhid. Dan ia menganggap bahwa hanya Ibn Taimiyah yang selaras dengan jalan
dakwah dirinya. Menurutnya, Ibn Taimiyah di masanya adalah satu-satunya orang yang menyeru
kepada Islam dan tauhid di mana saat itu Islam dan tauhid tersebut telah punah. Lalu ia mengangap
bahwa hingga datang abad dua belas hijriyah, hanya dirinya seorang saja yang melanjutkan dakwah
Ibn Taimiyah tersebut. Klaim Muhammad ibn Abdil Wahhab ini sungguh sangat sangat aneh,
bagaimana ia dengan sangat berani mengakafirkan mayoritas umat Islam Ahlussunnah yang
jumlahnya ratusan juta, sementara ia menganggap bahwa hanya pengikutnya sendiri yang benar-
benar dalam Islam?! Padahal jumalah mereka di masanya hanya sekitar seratus ribu orang. Kemudian
di Najd sendiri, yang merupakan basis gerakannya saat itu, mayoritas penduduk wilayah tersebut di
masa hidup Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak mengikuti ajaran dan faham-fahamnya. Hanya saja
memang saat itu banyak orang di wilayah tersebut takut terhadap dirinya, oleh karena prilakunya
yang tanpa segan membunuh orang-orang yang tidak mau mengikuti ajakannya.
Perilaku jahat Muhammad ibn Abdil Wahhab ini sebagaimana diungkapkan oleh al-Amir ash-Shan’ani,
Pada awalnya, ash-Shan’ani memuji-muji dakwah Muhammad ibn Abdil Wahhab, namun setelah ia
mengetahui hakekat siapa Muhammad ibn Abdil Wahhab, ia kemudian berbalik mengingkarinya.
Sebelum mengetahui siapa hakekat Muhammad ibn Abdil Wahhab, ash-Shan’ani memujinya dengan
menuliskan beberapa sya’ir, yang pada awal bait sya’ir-sya’ir tersebut ia mengatakan:
250
“Salam tercurah atas kota Najd dan atas orang-orang yang berada di dalamnya, walaupun salamku
Bait-bait sya’ir tulisan ash-Shan’ani ini disebutkan dalam kumpulan sya’ir-sya’ir (Dîwân) karya ash-
Shan’ani sendiri, dan telah diterbitkan. Secara keseluruhan, bait-bait syair tersebut juga dikutip oleh
as-Syaukani dalam karyanya berjudul al-Badr at-Thâli’, juga dikutip oleh Shiddiq Hasan Khan dalam
karyanya berjudul at-Tâj al-Mukallal, yang oleh karena itu Muhammad ibn Abdil Wahhab mendapatkan
Padahal al-Amir ash-Shan’ani setelah mengetahui bahwa perilaku Muhammad ibn Abdil Wahhab selalu
membunuh orang-orang yang tidak sepaham dengannya, merampas harta benda orang lain,
mengkafirkan mayoritas umat Islam, maka ia kemudian meralat segala pujian terhadapnya yang telah
ia tulis dalam bait-bait syairnya terdahulu, yang lalu kemudian balik mengingkarinya. Ash-Shan’ani
kemudian membuat bait-bait sya’ir baru untuk mengingkari apa yang telah ditulisnya terdahulu, di
ِ سى ن َِج ْد ن
َاص ًحا يَ ْهدي العبَادَ َويست ْهدِي َ ظنَ ْنتُ ب ِه َخي ًْرا فَقُ ْـلتُ َعـ
َ سى َعـ
ـن لل َحقَائِق لِي يهدِي َ الظن الَ خَاب نصـ ُحنا و َمـا ك ّل
ٍّ ظ ُّ َ لقَد خ
َـاب فيْه
سـائل يُكَـفّر أ ْه َل األرْ ض ف ْي َها َعلَى َعم ِد َ وقَـد َجـا َء مِـن تأليــ ِف ِه
َ بر
ِ ت الع ْنكَبو
ت لدَى النّق ِد ِ ولـفق فِـي تَ ْكـف
ِ ِيره ْم كل ُحــ ّج ٍة ت ََراهـا ك َبي
“Aku ralat ucapanku yang telah aku ucapkan tentang seorang yang berasal dari Najd, sekarang aku
“Dahulu aku berbaik sangka baginya, dahulu aku berkata: Semoga kita mendapati dirinya sebagi
“Ternyata prasangka baik kita tentangnya adalah kehampaan belaka. Namun demikian bukan berarti
nasehat kita juga merupakan kesia-siaan, karena sesungguhnya setiap prasangka itu didasarkan
“Telah datang kepada kami “Syekh” ini dari tanah asalnya. Dan telah menjadi jelas bagi kami dengan
“Telah datang dalam beberapa tulisan risalah yang telah ia tuliskan, dengan sengaja di dalamnya ia
“Seluruh dalil yang mereka jadikan landasan dalam mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi
251
tersebut jika dibantah maka landasan mereka tersebut laksana sarang laba-laba yang tidak memiliki
kekuatan”.
Selain bait-bait sya’ir di atas terdapat lanjutannya yang cukup panjang, dan ash-Shan’ani sendiri telah
menuliskan penjelasan (syarh) bagi bait-bait syair tersebut. Itu semua ditulis oleh ash-Shan’ani hanya
untuk membuka hekekat Muhammad ibn Abdil Wahhab sekaligus membantah berbagai sikap ekstrim
dan ajaran-ajarannya. Kitab karya al-Amir ash-Shan’ani ini beliau namakan dengan judul “Irsyâd
Saudara kandung Muhammad ibn Abdil Wahhab yang telah kita sebutkan di atas, yaitu Syekh
Sulaiman ibn Abdil Wahhab, juga telah menuliskan karya bantahan kepadanya. Beliau namakan
karyanya tersebut dengan judul ash-Shawâ-iq al-Ilâhiyyah Fî al-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, dan buku
Kemudian terdapat karya lainnya dari Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab, yang juga merupakan
bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab dan para pengikutnya, berjudul “Fashl al-Khithâb Fî
Kemudian pula salah seorang mufti madzhab Hanbali di Mekah pada masanya, yaitu Syekh
Muhammad ibn Abdullah ibn Humaid an-Najdi al-Hanbali, wafat tahun 1295 hijriyah, telah menulis
sebuah karya berjudul “as-Suhub al-Wâbilah ‘Alâ Dlarâ-ih al-Hanâbilah”. Kitab ini berisi penyebutan
biografi ringkas setiap tokoh terkemuka di kalangan madzhab Hanbali. Tidak sedikitpun nama
Muhammad ibn Abdil Wahhab disebutkan dalam kitab tersebut sebagai orang yang berada di jajaran
Sebaliknya, nama Muhammad ibn Abdil Wahhab ditulis dengan sangat buruk, namanya disinggung
dalam penyebutan nama ayahnya; yaitu Syekh Abdul Wahhab ibn Sulaiman. Dalam penulisan biografi
ayahnya ini Syekh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi mengatakan sebagai berikut:
“Dia (Abdul Wahhab ibn Sulaiman) adalah ayah kandung dari Muhammad yang ajaran sesatnya telah
menyebar ke berbagai belahan bumi. Antara ayah dan anak ini memiliki perbedaan faham yang
sangat jauh, dan Muhammad ini baru menampakan secara terang-terangan terhadap segala faham
dan ajaran-ajarannya setelah kematian ayahnya. Aku telah diberitahukan langsung oleh beberapa
orang dari sebagian ulama dari beberapa orag yang hidup semasa dengan Syekh Abdul Wahhab,
bahwa ia sangat murka kepada anaknya; Muhammad. Karena Muhammad ini tidak mau mempelajari
ilmu fiqih (dan ilmu-ilmu agama lainnya) seperti orang-orang pendahulunya. Ayahnya ini juga
mempunyai firasat bahwa pada diri Muhammad akan terjadi kesesatan yang sanat besar. Kepada
252
banyak orang Syekh Abdul Wahhab selalu mengingatkan: ”Kalian akan melihat dari Muhammad ini
suatu kejahatan…”. Dan ternyata memang Allah telah mentaqdirkan apa yang telah menjadi firasat
Demikian pula dengan saudara kandungnya, yaitu Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab, ia sangat
mengingkari sepak terjang Muhammad. Ia banyak membantah saudaranya tersebut dengan berbagai
dalil dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits, karena Muhammad tidak mau menerima apapun
kecuali hanya al-Qur’an dan Hadits saja. Muhammad sama sekali tidak menghiraukan apapun yang
dinyatakan oleh para ulama, baik ulama terdahulu atau yang semasa dengannya. Yang ia terima
hanya perkataan Ibn Taimiyah dan muridnya; Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Apapun yang dinyatakan
oleh dua orang ini, ia pandang laksana teks yang tidak dapat diganggu gugat. Kepada banyak orang ia
selalu mempropagandakan pendapat-pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim, sekalipun terkadang
Syekh Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi berkata dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala
Dharaih al-Hanabilah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai
berikut:
Pada halaman yang sama, disebutkan bahwa di suatu wilayah terdapat seorang gila yang memiliki
orang-orangnya untuk memasukkan orang gila tersebut dengan pedang ditangannya ke masjid di saat
Syekh Sulaiman sedang sendiri di sana. Ketika orang gila itu dimasukan, Syekh Sulaiman hanya
melihat kepadanya, dan tiba-tiba orang gila tersebut sangat ketakutan darinya. Kemudian orang gila
tersebut langsung melemparkankan pedangnya, sambil berkata: ”Wahai Sulaiman janganlah engkau
takut, sesungguhnya engkau adalah termasuk orang-orang yang aman”. Orang gila itu mengulang-
253
ulang kata-katanya tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini jelas merupakan karamah” (as-Suhub
Dari kalangan ulama madzhab al-Maliki, Al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki, ulama
terkemuka abad 12 Hijriah dan semasa dengan pendiri Wahhabi, berkata dalam Hasyiyah ‘ala Tafsir
ِ ض ْالحِ َج
از يُقَا ُل َ َسنَّ ِة َويَ ْستَحِ لُّ ْونَ بِذَلِكَ ِد َما َء ْال ُم ْسلِمِ يْنَ َوأَ ْم َوالَ ُه ْم َك َما ه َُو ُمشَا َهدٌ اْآلَنَ ف ِْي ن
ِ ْظائ ِِر ِه ْم َو ُه ْم فِرْ قَةٌ بِأَر ِ ج الَّ ِذيْنَ يُ َح ِ ّرفُ ْونَ تَأ ْ ِو ْي َل ْال ِكتَا
ُّ ب َوال ِ َه ِذ ِه اْآلَيَةُ نَزَ لَتْ فِي ْالخ ََو
ِ ار
٣٠٧/٣ ، (حاشية الصاوي على تفسير الجاللين. ََيءٍ أَالَ إِنَّ ُه ْم ُه ُم ْالكَا ِذب ُْون َ ْ)لَ ُه ُم ْال َوهَّابِيَّةُ يَح.
َ سب ُْونَ أَنَّ ُه ْم َع
ْ لى ش
“Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij, yaitu mereka yang mendistorsi penafsiran al-Qur’an
dan Sunnah, dan oleh sebab itu mereka menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin
sebagaimana yang terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu kelompok di negeri Hijaz yang
disebut dengan aliran Wahhabiyah, mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh sesuatu
(manfaat), padahal merekalah orang-orang pendusta.” (Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, juz
3, hal. 307).
Dari kalangan ulama madzhab Hanafi, al-Imam Muhammad Amin Afandi yang populer dengan sebutan
Ibn Abidin, juga berkata dalam kitabnya, Hasyiyah Radd al-Muhtar sebagai berikut:
“ َب الَّ ِذيْنَ خ ََر ُج ْوا مِ ْن نَجْ ٍد َوتَغَلَّب ُْوا َعلَى ْال َح َر َمي ِْن َوكَان ُْوايَ ْنتَحِ لُ ْون
ِ َك َما َوقَ َع ف ِْي زَ َمانِنَاف ِْي أَتْبَاعِ ا ْب ِن َع ْب ِد ْال َوهَّا: ج ف ِْي زَ َمانِنَا ِ ب ْالخ ََو ْ َم
ِ ط َلبٌ فِي أَتْبَاعِ ُم َح َّم ِد ب ِْن َع ْب ِد ْال َوهَّا
ِ ار
َ ب بِالَدَ ُه ْم َو
ظف َِر َ علَ َمائِ ِه ْم َحتَى َك
َ س َر الل ُهش َْو َكتَ ُه ْم َوخ ََر ُّ َب ْال َحنَابِلَ ِة لَ ِكنَّ ُه ْم اِ ْعتَقَد ُْوا أَنَّ ُه ْم ُه ُم ْال ُم ْس ِل ُم ْونَ َوأَ َّن َم ْن خَالَفَا ْعتِقَادَ ُه ْم ُم ْش ِر ُك ْونَ َوا ْستَبَا ُح ْوا بِذَلِكَ قَتْ َل أَ ْه ِل ال
ُ سنَّ ِة َوقَتْ َل َ َم ْذه
٢٦٢/٤ ، حاشية رد المحتار،” اهـ (ابن عابدين. ٍث َوثَالَثِيْنَ َومِ ائَتَ ْين َِوأَ ْلف َ ساك ُِر ْال ُم ْسلِمِ يْنَ َع
ٍ َام ثَال َ )بِ ِه ْم َع.
“Keterangan tentang pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, kaum Khawarij pada masa kita.
Sebagaimana terjadi pada masa kita, pada pengikut Ibn Abdil Wahhab yang keluar dari Najd dan
berupaya keras menguasai dua tanah suci. Mereka mengikuti madzhab Hanabilah. Akan tetapi mereka
meyakini bahwa mereka saja kaum Muslimin, sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan
mereka adalah orang-orang musyrik. Dan oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh
Ahlussunnah dan para ulamanya sampai akhirnya Allah memecah kekuatan mereka, merusak negeri
mereka dan dikuasai oleh tentara kaum Muslimin pada tahun 1233 H.” (Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al-
Sebaik-baiknya orang yang wafat karena dibunuh adalah orang yang dibunuh oleh kaum khawarij
sedangkan seburuk-buruknya orang terbunuh adalah anjing-anjing neraka alias kaum khawarij
Dari Abi Ghalib rahimahullah berkata: “Abu Umamah radiyallahu ‘anhu melihat kepala-kepala manusia
(kaum khawarij) ditancapkan ditangga masjid Damaskus. Maka Abu Umamah radiyallahu ‘anhu
254
berkata: Mereka adalah anjing-anjing neraka, seburuk-buruk orang yang terbunuh di kolong langit,
dan sebaik-baik orang yang dibunuh adalah orang yang mereka bunuh, kemudian membaca ayat
(pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berserih, dan ada pula muka yang hitam buram) QS
Ali Imran [3]:106, Aku berkata kepada Abu Umamah radiyallahu ‘anhu. Apakah kamu mendengarnya
dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam? Beliau berkata, tidaklah saya mendengar kecuali sekali,
dua kali tiga kali, empat kali, lima kali, enam kali, tujuh kali maka saya tidak mungkin mengabarkan
Kaum khawarij adalah orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni
orang-orang yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham)
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Khawarij adalah orang-orang yang menyalahkan umat Islam lainnya yang tidak sepaham
Oleh karena mereka salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mengkafirkan umat Islam
yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka dan berujung menghalalkan darah atau membunuh
Salah satu ciri khas orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah atau kaum khawarij , orang-orang yang
membaca Al Qur’an tidak melampaui tenggorokannya (tidak mempegaruhi hatinya) karena salah
paham sehingga berakhlak buruk adalah suka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-
Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-
ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah, penduduk Najed bani Tamim atau kaum khawarij disebut oleh
Rasulullah dengan kata kiasan “orang-orang muda” yakni orang-orang yang belum memahami agama
dengan baik, mereka seringkali mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, tapi itu semua
dipergunakan untuk menyesatkan, atau bahkan untuk mengkafirkan orang-orang yang berada di luar
kelompok mereka. Padahal kualitas iman mereka sedikitpun tidak melampaui kerongkongan mereka.
Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Al
A’masy dari Khaitsamah dari Suwaid bin Ghafalah berkata, ‘Ali radliallahu ‘anhu berkata; Sungguh,
aku terjatuh dari langit lebih aku sukai dari pada berbohong atas nama beliau shallallahu ‘alaihi
255
wasallam dan jika aku sampaikan kepada kalian tentang urusan antara aku dan kalian, (ketahuilah)
bahwa perang itu tipu daya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda:
Akan datang di akhir zaman orang-orang muda dalam pemahaman (lemah pemahaman atau sering
salah pahaman). Mereka berbicara dengan ucapan manusia terbaik (Khairi Qaulil Bariyyah,
maksudnya suka berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits)) namun mereka keluar dari agama bagaikan
anak panah melesat keluar dari target buruan yang sudah dikenainya. Iman mereka tidak sampai ke
Dalam syarah Shahih Muslim, Jilid. 17, No.171 diriwayatkan Khalid bin Walīd ra bertanya kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah penduduk Najed
dari bani Tamim yang menampakkan amalnya namun berakhlak buruk dengan pertanyaan,
“Wahai Rasulullah, orang ini memiliki semua bekas dari ibadah-ibadah sunnahnya: matanya merah
karena banyak menangis, wajahnya memiliki dua garis di atas pipinya bekas airmata yang selalu
mengalir, kakinya bengkak karena lama berdiri sepanjang malam (tahajjud) dan janggut mereka pun
lebat”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab : camkan makna ayat ini : qul in’kuntum
tuhib’būnallāh fattabi’unī – Katakanlah: “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Jadilah orang yang ramah seperti aku, bersikaplah penuh
kasih, cintai orang-orang miskin dan papa, bersikaplah lemah-lembut, penuh perhatian dan cintai
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegaskan bahwa ketaatan yang dilakukan oleh orang-orang
seperti Dzul Khuwaisarah at Tamimi an Najdi tidaklah cukup jika tidak menimbulkan ke-sholeh-an
seperti bersikap ramah, penuh kasih, mencintai orang-orang miskin dan papa, lemah lembut penuh
perhatian dan mencintai saudara muslim dan menjadi pelindung bagi mereka.
Indikator atau ciri-ciri atau tanda-tanda orang yang mencintai Allah dan dicintai oleh Allah adalah
3. Berjihad di jalan Allah, bergembira dalam menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya
256
Allah Azza wa Jalla telah berfirman bahwa jika telah bermunculan orang-orang yang murtad dari
agamanya seperti melesatnya anak panah dari busurnya yakni bermunculan orang-orang yang
membunuh orang-orang Islam yang dituduh kafir, dituduh bukan Islam, dituduh berhukum dengan
hukum thaghut , dituduh musyrik menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir
namun mereka membiarkan atau bahkan bekerjasama dengan kaum yang dimurkai Allah yakni para
penyembah berhala yang sudah jelas kemusyrikannya maka hijrahlah atau ikutilah (merujuklah)
kepada para ulama Allah yakni suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/20/ulama-allah/
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang
murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min,
yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut
kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah
[5]:54)
Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , ‘Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah”. Bersabda Nabi shallallahu
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul
menjawab, ‘Mereka adalah ahlu Yaman dari suku Kindah, Sukun dan Tajib’.
Ibnu Jarir meriwayatkan, ketika dibacakan tentang ayat tersebut di depan Rasulullah shallallahu alaihi
Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-
Maidah, Umar berkata, ‘Saya dan kaum saya wahai Rasulullah’. Rasul menjawab, ‘Bukan, tetapi ini
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani telah meriwayatkan suatu hadits dalam kitabnya berjudul Fath al-
Bari, dari Jabir bin Math’am dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, ‘Wahai ahlu Yaman
kamu mempunyai derajat yang tinggi. Mereka seperti awan dan merekalah sebaik-baiknya manusia di
muka bumi’
257
Dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Suyuthi meriwayatkan hadits dari Salmah bin Nufail, ‘Sesungguhnya
aku menemukan nafas al-Rahman dari sini’. Dengan isyarat yang menunjuk ke negeri Yaman”. Masih
dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Sayuthi meriwayatkan hadits marfu’ dari Amru ibnu Usbah , berkata
Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang mencintai orang-
orang Yaman berarti telah mencintaiku, siapa yang membenci mereka berarti telah membenciku”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa ahlul Yaman adalah orang-orang
yang mudah menerima kebenaran, mudah terbuka mata hatinya (ain bashiroh) dan banyak
dikaruniakan hikmah (pemahaman yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaimana Ulil Albab
Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu’aib Telah
menceritakan kepada kami Abu Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah orang-
orang yang berperasaan dan hatinya paling lembut, kefaqihan dari Yaman, hikmah ada pada orang
Dan telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah
menceritakan kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami
bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut
hatinya. Fiqh ada pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)
Dari Abi Hurairah (radiyallahu ‘anhu) dari Nabi (Shalallahu ‘alaihi wassallam) beliau bersabda : “Telah
datang kepada kalian Ahlul Yaman, mereka orang yang lemah lembut hatinya, Iman itu di negara
Yaman, dan hikmah di negara Yaman dan fiqih (ilmu) itu di negara Yaman,”. (Muttafaqun ‘alaih).
Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hanbali (Rahimahullah Ta’ala) telah menggambarkan Ahlul Yaman, berkata
(rahimahullah) : “Mereka orang-orang yang sedikit berbicara akan tetapi banyak beramal, oleh karena
mereka orang-orang yang beriman, dan diantara arti Iman adalah beramal”.
Berkata As-Safaarini (Rahimahullah Ta’ala) : “Dan yang dimaksud bahwa Nabi (Shalallahu ‘alaihi
wassalam) menyifatkan hati-hati mereka (orang-orang Yaman) dengan lemah lembut hatinya adalah
bahwa mereka memilki hubungan yang erat untuk membela agama dari segala tipu-daya yang
258
menyesatkan dan dari syahwat (hawa nafsu) yang diharamkan”. [Tsulatsiyaat Musnad Al-Imam
Ahmad (1/698-699)].
Berkata Abu Bakar Ibnul ‘Arabi (Rahimahullah Ta’ala) : “Adapun pujian Ar-Rasul (Shalallahu ‘alaihi
wassalam) untuk negara Yaman karena penduduk negeri tersebut orang-orang yang menolong agama
dan penjaga agama Islam dan yang memberikan perlindungan kepada Ar-Rasul (Salallahu ‘Alaihi Wa
Salam). Adapun arti dari “Al-Hikmah” adalah karena amalan mereka berdasarkan ilmu dan itulah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa jika telah bermunculan fitnah atau
perselisihan atau bahkan pembunuhan terhadap umat la ilaha illallah karena perbedaan pendapat
maka hijrahlah ke Hadramaut, Yaman, bumi para Wali Allah atau ikutilah (merujuklah) kepada
Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi
shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga
keberkahan dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah
Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
‘Pergilah kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan
buminya mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangkan pahala yang banyak’
Para Habib atau para ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah hijrah ke Hadramaut,
Naashibah (-Jamaknya : Nawaashib-) adalah kaum yang sering melecehkan (mencaci maki) Sayyidina
Ali bin Abi Thalib dan Ahli Bait Nabi Shallallahu alaihi wasallam lainnya
Para ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah adalah aset umat Islam karena
mereka mendapatkan pengajaran agama Islam dari lisan ke lisan orang tuanya secara turun temurun
Orang-orang yang terhasut meninggalkan para Habib karena dianggap atau dituduh syiah
259
Kalau Syiah benar-benar mengikuti ahlul bait maka mereka akan mengikuti Imam Ahmad Al Muhajir
bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal
Imam Ahmad Al Muhajir sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) adalah Syiah Ali
yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat sebagaimana yang telah disampaikan
Imam Ahmad Al Muhajir , sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman, beliau menganut madzhab Syafi’i
dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab
Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan
mengikuti ulama-ulama tasawuf muktabaroh yang bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus
berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk
Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan
memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan
kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan
kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan
Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar
Contohnya mereka meninggalkan bahkan mencekal Prof. Dr. Assayyid Muhammad bin Assayyid Alawi
bin Assayyid Abbas bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki Alasy’ari Assyadzili atau yang
lebih dikenal dengan panggilan Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki
Ayah dan kakek beliau, adalah ketua para khatib dan da’i di kota Makkah. Demikian juga dengan
Abuya, profesi tersebut digeluti yakni sejak tahun 1971 dan harus berakhir pada tahun 1983, saat
beliau dicekal dari kedudukan terhormat itu akibat penerbitan kitabnya yang berjudul; Mafahim Yajibu
meluruskan paham yang selama ini diyakini oleh ulama-ulama Wahabi. Paham Wahabi sangat
menguasai keyakinan mayoritas ulama Saudi Arabia dan mempunyai peran pesar dalam
260
Terjemahan kitab tersebut dapat dibaca
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/12/paham_yang_harus_diluruskan.pdf
Setelah pencekalan beliau dari pengajian umum dan khutbah, beliau mendedikasikan dirinya dalam
pendidikan secara privat kepada ratusan murid-muridnya, dengan penekanan murid-murid dari Asia
Salah satu guru kami melukiskan pencekalan tersebut menceritakan bahwa waktu itu ada seorang
jama’ah haji dari Indonesia ingin mengunjungi kediamaan Abuya namun karena ia belum mengenal
jalan-jalan di sana dan bertanya kepada seseorang berbekal alamat yang dicatat, orang yang ditanya
tersebut tidak mau memberitahukannya dan tersirat diwajahnya rasa ketakutan padahal tempat yang
dituju tidak jauh dari tempatnya bertanya. Seolah-olah perkara terlarang untuk memberitahukan
tempat Abuya.
Imam Syafi’i ~rahimahullah bersyair, “Wahai Ahlul-Bait Rasulallah, mencintai kalian adalah kewajiban
dari Allah diturunkan dalam al-Quran cukuplah bukti betapa tinggi martabat kalian tiada sholat tanpa
Jabir ibnu Abdillah berkisah: “Aku melihat Rasulullah dalam haji Wada` pada hari Arafah. Beliau
menyampaikan khutbah dalam keadaan menunggangi untanya yang bernama Al-Qashwa. Aku
mendengar beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia! Sungguh aku telah meninggalkan pada kalian
dua perkara yang bila kalian mengambilnya, maka kalian tidak akan sesat yaitu kitabullah dan ‘itrati
ahlul baitku.” (Hadits diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3786, kitab Al-Manaqib
‘an Rasulillah , bab Manaqib Ahli Baitin Nabi shallallahu alaihi wa sallam)
Abu Said Al-Khudri dan Zaid bin Arqam meriwayatkan, “Sungguh aku meninggalkan pada kalian
perkara yang bila kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan sesat sepeninggalku.
Salah satu dari perkara itu lebih besar daripada perkara yang lainnya, yaitu kitabullah tali Allah yang
terbentang dari langit ke bumi. Dan (perkara lainnya adalah) ‘itrati, yaitu ahlul baitku. Keduanya tidak
akan berpisah hingga keduanya mendatangiku di haudl. Maka lihatlah dan perhatikanlah bagaimana
kalian menjaga dan memperhatikan keduanya sepeninggalku.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya
Selain meninggalkan dan mencekal para ulama yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka,
dikabarkan ajaran mereka menghalalkan dan membunuh para ulama yang tidak sepaham
261
m,dinamic-s,detail-ids,4-id,57680-lang,id-c,kolom-
t,Tanggapan+atas+Tulisan+KH+Ali+Mustafa+Yaqub+soal+Wahabi+NU-.phpx
Perbedaan penting antara Wahhabi dan NU, di antaranya al-Faqir hanya menyebutkan dalam tulisan
pembunuhan terhadap sesama muslim, dibuktikan dengan dibunuhnya para ulama sunni dari empat
madzhab, tokoh sufi, dan mereka yang tidak sejalan dengan pikiran Wahhabi pada awal pendirian
Wahhabi; dan saat ini unsur-unsur Wahhabi juga terlibat di banyak pergolakan-kekisruhan di seluruh
dunia muslim. Sejarah soal ini bisa dilacak dari kitab-kitab sejarah yang mendokumentasikannya, baik
dari mereka yang membela korban-korban, maupun dari para algojo Wahhabi. Mustahil guru kita ini
tersilap dalam soal ini. Al-Faqir, melihat pembunuhan sesama muslim dan mengabsyahkannya adalah
Dalam soal ini, sejarawan Wahhabi, Ibnu Bisyr mengakui dengan terus terang bahwa: “Syaikh
(maksudnya Muhammad bin Abdul Wahhab) memerintahkan untuk melakukan jihad terhadap siapa
saja yang mengingkari tauhid (versi pendiri Wahhabi) (Ibnu Bisyr, `Unwân al-Majd fî Târîkh Najd
(Riyadh: Daratul Malik Abdul Aziz, 1982, I: 48). Dalam praktiknya, jihad kaum Wahhabi dulu itu,
adalah untuk memerangi orang-orang Islam di kalangan berbagai madzhab yang menolak mereka,
memberontak pada pemerintahan Islam. Anehnya Wahhabi bisa bergandengan dengan Amerika dalam
penemuan minyak dan Inggris dalam pendirian Arab Saudi. Di sisi lain, Wahhabi membunuhi sesama
kaum muslimin, yang telah dianggapnya musyrik, pelaku bid’ah, dan sejenisnya, yang sejatinya
adalah para pengikut madzhab empat, kalangan sufi, dan para pecinta ahlul bait Nabi. Di sini
pentingnya melihat Wahhabi juga dari sudut korban, bukan dari pernyataan kitab pendirinya saja.
Dapat pula kita ketahui dari informasi yang didapat secara turun temurun dari keluarga Syaikh
pada http://www.facebook.com/photo.php?fbid=220630637981571&set=a.220630511314917.56251.
100001039095629
Berikuti kutipannya :
“Pada zaman dahulu di kota Mekkah keluarga Syeikh Nawawi bin Umar Al-Bantani (pujangga
Indonesia dan makamnya di Ma’la Mekkah Saudi Arabia) pun tidak luput dari sasaran pembantaian
262
Wahabi. Ketika salah seorang keluarga beliau bernama Syeikh Ahmad Hadi asal Jaha Cilegon Banten
sedang duduk memangku cucunya, tiba-tiba gerombolan Wahabi datang memasuki rumahnya tanpa
diundang dan dengan kejamnya mereka langsung membantai dengan cara menyembelihnya hingga
tewas. Dalam pembantaian (penyembelihan) itu darah Syeikh Ahmad Hadi mengalir membasahi tubuh
Kaum Yahudi telah berhasil menyesatkan kaum Nasrani melalui Paulus, Yahudi dari Tarsus
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/21/upaya-penyesatan/
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang
beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Sedangkan mereka termakan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan
contohnya oleh perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama
Laurens Of Arabian adalah seorang orientalis dunia, telah membuat kajian-kajian tentang puncak-
Laurens Of Arabian telah diarahkan supaya menyelidiki ke dalam masyarakat Islam dengan menyamar
sebagai ulama dan mendalami ilmu Islam di Mekah dan Mesir dan ia telah bertemu dengan ratusan
ulama besar yang masyur, memperbincangkan tentang cara untuk membiasakan umat Islam disegi
kemajuan dunia seperti kebiasaan barat serta ia menyebarkan faham supaya umat Islam tidak terikat
Hasil hasutan Laurens Of Arabian adalah mereka meninggalkan para ulama yang mengikuti Rasulullah
Sejak Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi, menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) tahun
1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di tanah Haram. Kelompok Islam lain dilarang
263
Saat itu terjadi eksodus besar-besaran para ulama dari seluruh dunia yang berkumpul di Haramain,
mereka pindaha atau pulang ke negara masing-masing, termasuk para santri asal Indonesia.
Dengan alasan untuk menjaga kemurnian agama dari musyrik dan bid’ah, berbagai tempat
bersejarah, baik rumah Nabi Muhammad dan sahabat termasuk makam Nabi hendak dibongkar.
Dalam kondisi seperti itu umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah merasa
sangat perihatin kemudian mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang
Pertama, Memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu dari
mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut
hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak
dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut di bidang tasawuf, aqoid
maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, imam Sanusi dan lain-lainnya
yang sudaha terkenal kebenarannya. Hal tersebut tidak lain adalah semata-mata untuk memperkuat
hubungan dan persaudaraan umat Islam yang bermazhab sehingga umat Islam menjadi sebagi tubuh
yang satu, sebab umat Muhammad tidak akan bersatu dalam kesesatan.
Setelah awal abad ke 20 tidaklah terdengar lagi mufti-mufti mazhab di wilayah kerajaan dinasti Saudi
karena mereka termakan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh
kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi
Ulama besar Indonesia yang pernah menjadi mufti Mazhab Syafi’i sekaligus menjadi imam, khatib dan
guru besar di Masjidil Haram pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah Syeikh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi. Beliau memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan di sana menjadi
Jadi sejak sekitar 1924 kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi ditengarai
telah berhasil melancarkan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) di mulai dari wilayah
kerajaan dinasti, sehingga selanjutnya mereka beragama sebatas pemahaman Muhammad bin Abdul
Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat sebagaimana yang
sebelum-bertobat/
264
Pustaka yang perlu dicek ulang:
===============================================
Share this:
Facebook61
Terkait
Ada apa merekadalam "Umum"
Wahbiyyah dan Wahabiyyahdalam "Islam"
Saudaraku Salafiyyahdalam "Islam"
Ditulis dalam Umum | Dengan kaitkata arabia, Kerajaan, Saudi, Wahabi, Wahabiyah | 48 Komentar
48 Tanggapan
Insya Allah Wahabi sampai qiamat akan menguasai dan menjaga mekah dan madinah
Silahkan akhi kalau mau tetap mengikuti salafi yakni “orang yang berupaya” mengikuti Salaf .
Kami kan cuma mau menyarankan saja, lalu mengapa tidak mengikuti Salaf secara langsung.
Mengikuti salaf secara langsung? mereka sudah meninggal sementara saya bukan kaum sufi yang
265
Salafi Wahabi dan Ibnu Taimiyah itu sama, mereka cuma menyampaikan,
Bagaimana logikanya ? Ibnu Taimiyah semoga dirahmati Allah, pun sudah meninggal.
Sekali lagi, ikutilah ulama Salaf, bukannya mengikuti ulama yang berupaya mengikuti ulama Salaf
Apa bedanya ngikutin ulama salaf dengan mengikuti orang yang berupaya ngikutin ulama salaf ?
kadang kalo mengikuti orang yang berupaya mengikuti ulama salaf tar ujung2nya jadi salah
kadang kalo mengikuti orang yang berupaya mengikuti ulama salaf tar ujung2nya jadi salah
akhi… saya dengar informasi bahwa muhammad bin wahab difitnah sesat padahal tidak demikian.
mohon tabayyun
266
pada 18 November 2015 pada 4:31 am mutiarazuhud
Apakah informasi yang anda dengar berasal dari sumber yang terpecaya ?
Bagi umat Islam sumber yang boleh dipercaya adalah dari para fuqaha yang mengikuti Rasulullah
dengan mengikuti Imam Maazhab yang empat karena merekalah yang paling mengetahui hukum-
hukum Allah
Yang perlu kita wasapadai pada masa sekarang adalah umat Islam korban hasutan atau korban
ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang
beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Mereka terhasut untuk meninggalkan para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti
Imam Mazhab yang empat dan mereka kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan
mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri dan
mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna
dzahir .
pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR.
Ahmad)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda bahwa kelak umat Islam jumlahnya banyak namun
“bagaikan buih di atas lautan” , rapuh dan terombang-ambing karena keyakinan mereka mengikuti
orang-orang yang memahami “Al Qur’an dan AS Sunnah” bersandarkan mutholaah (menelaah
kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah
Mereka meninggalkan para ulama yang istiqomah mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam
Mazhab yang empat atau para ulama tersebut telah diwafatkan oleh Allah Azza wa Jalla.
Mereka membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan dan rapuh karena mereka
267
berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif sehingga mereka akan selalu
dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Oleh karenanya dapat kita temukan di
antara mereka berselisih, sehingga mereka beradu argumen dan bersepakat bahwa yang “kalah”
dalam adu argumen akan mengikuti keyakinan yang “menang” dalam adu argumen.
Mereka memandang nash-nash Al-Quran dan As Sunnah bagaikan bukti-bukti atau premis-premis
yang berdiri sendiri. Sehingga mereka mengkaitkan diantara premis-premis yang ada untuk
Oleh karenanya mereka mungkin saja berpendapat bahwa pemahaman yang shahih menurut
logika (masuk akal) mereka atas mengutip beberapa nash-nash Al-Qur’an dan As Sunnah (premis-
premis) namun kenyataannya adalah pemahaman yang salah, misalnya karena mereka tidak
memperhatikan asbabun nuzul atau tidak memperhatikan kaitan antara satu ayat dengan ayat
sebelum dan sesudahnya, kaitannya dengan ayat pada surat yang lain dan kaitannya dengan
hadits yang menjelaskan maupun dengan ilmu-ilmu yang lain yang harus dikuasai seperti ilmu-
ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf,
balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar
dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih dan lain lain.
Al Ajurri rahimahullah dalam kitabnya Asy Syariah menceritakan dengan sanadnya bahwa suatu
hari ketika Imam Malik bin Anas rahimahullah pulang dari masjid, ada seorang bernama Abul
Juwairiyah (seorang yang disebutkan mempunyai pemikiran murji`ah) berkata kepadanya ‘Wahai
Abu Abdillah (kun-yah / panggilan Imam Malik) dengarkan aku sebentar, aku ingin berbicara
Imam Malik kembali bertanya “Kalau ada orang lain datang kemudian mendebat kita dan
menang?”
Imam Malik kemudian berkata “Wahai hamba Allah, Allah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan satu agama, sedangkan aku melihatmu berpindah dari satu agama ke agama
lain.
Umar bin Abdul Azizi berkata: “Barangsiapa menjadikan agamanya tempat berdebat dia akan
banyak berpindah.”
268
Sejalan dengan hal itu, Rasulullah telah bersabda bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah
diambilnya ilmu agama dari al ashaaghir yakni orang-orang yang mendalami ilmu agama secara
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata :
Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah
menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari
Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang
salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru
belajar)”.
“Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang
meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia
Walaupun para ulama panutan mereka pada awalnya berguru dengan ulama yang mempunyai
sanad guru atau susunan guru tersambung kepada lisannya Rasulullah namun menjadi tidak
berarti apa-apa jika pada akhirnya mereka lebih banyak mendalami ilmu agama di balik
perpustakaan artinya sanad ilmu (sanad guru) terputus hanya sampai akal pikirannya semata.
Berikut contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang menyatakan bahwa Muhammad bin
Abdul Wahhab dan dipanggil (dianggap) sebagai imam bagi mereka pada akhirnya mendalami ilmu
agama secara otodidak (shahafi) atau belajar sendiri dengan akal pikirannya sendiri seperti yang
abdul-wahhab-bag-ke-1/
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh
269
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan
sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam
mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang
selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
Mereka sendiri yang menyatakan bahwa Ibnu Taimiyyah yang menjadi ulama panutan bagi
Muhammad bin Abdul Wahhab juga termasuk kalangan otodidak (shahafi) seperti contoh informasi
dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman
analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
Begitupula mereka sendiri yang menyatakan bahwa ulama panutan mereka yakni Al Albani sangat
terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik
pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya.
Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan
tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi
perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan
dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari
untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No.
Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk
membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi
laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-
waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan
Janganlah mengambil pendapat atau ilmu agama dari ulama dlaif yakni orang-orang yang kembali
kepada Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak
270
(shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/31/ulama-dlaif/
Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi
orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperoleh dan
Syaikh Nashir al-Asad ketika diajukan pertanyaan, “Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab
hadits layak disebut ahli hadits ?”, menjawabnya bahwa “Orang yang hanya mengambil ilmu
melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-
majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai
ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang
semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif,
yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendapatkan dan
mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian,
Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini”
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui
kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika
ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama
seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat
kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi60) ; “Barangsiapa tidak
memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir
Jadi pengikut syaitan atau wali syaitan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan
As Sunnah seperti orang-orang yang mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme.
271
Orang-orang yang mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme menunjukkan
sanad ilmu terputus hanya sampai pada akal pikirannya sendiri karena tanda atau ciri seorang
ulama tidak terputus sanad guru (sanad ilmu) adalah pemahaman atau pendapat ulama tersebut
tidak menyelisihi pendapat gurunya dan guru-gurunya terdahulu hingga tersambung kepada
Rasulullah serta ditunjukkan atau dibuktikan dengan berakhlak baik sebagaimana yang telah
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan
sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk
meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil
sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan
begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh,
Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu atau kekerasan
Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri
Mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah telah mengajukan untuk menyatukan lembaga fatwa
di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari
para fuqaha.
Piihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad (mujahidin) atau jahat
(teroris) sehingga dapat diketahui apakah mati syaihd atau mati sangit adalah “ulil amri di antara
kamu” (QS An Nisaa [4]:59) atau ulil amri setempat yakni para fuqaha setempat karena ulama di
luar negara (di luar jama’ah minal muslimin) tidak terbebas dari fitnah sebagaimana yang telah
Begitupula pemimpin Republik Chechnya Ramzan Kadyrov mengatakan bahwa firqah Wahhabi
adalah pengikut setan karena mereka memahami Al Qur’an dan As Sunnah secara otodidak
pada http://islamtimes.org/id/doc/news/438079/pemimpin-cechen-isis-produk-amerika
272
****** awal kutipan ******
Pemimpin Republik Chechnya Ramzan Kadyrov mengatakan Amerika Serikat dan negara-negara
Barat lainnya sengaja menciptakan ISIS karena ingin memerangi Islam secara rahasia.
Menurut dia, ISIS mengambil apa yang mereka inginkan dari ajaran Islam padahal firman Allah
Kadyrov melanjutkan ISIS bertujuan merusak Islam dari dalam hingga dunia berpaling dari Islam.
Lihat pula video berjudul “Chechen President Pledges to Kill all Chechen Salafi Terrorists if they
Begitupula pemerintah Tunisia berencana menutup sekitar 80 masjid yang diduga kerap
menghasut dan memicu kekerasan. Langkah ini dilakukan pemerintah sebagai upaya
kontraterorisme setelah serangan penembakan di hotel tepi pantai di kawasan pantai wisata di
pada http://arrahmahnews.com/2015/06/27/80-masjid-wahabi-ditutup-pemerintah-tunisia/
Reuters melaporkan bahwa Perdana Menteri Habib Essid menyatakan bahwa selain memicu
kekerasan, terdapat dugaan puluhan masjid tersebut ikut mendanai sejumlah kelompok militan
setempat.
Langkah ini diambil setelah serangan teroris “yang dilakukan kelompok radikal Wahabi”
menewaskan 39 orang, sebagian wisatawan asing termasuk warga Inggris, Jerman, dan Belgia,
yang hendak berlibur dan menginap di The RIU Imperial Marhaba Hotel yang terletak di tepi pantai
masjid di Kairo. Dari pemeriksaan tersebut pemerintah menyita buku-buku yang berbau gerakan
Salafi, terutama buku-buku yang ditulis oleh; Muhammad bin Abdul Wahab, Ibn Baz, Ibn Utsaimin,
Ibn Taimiyah, Said Abdul ‘Adhim, Abdul Latif Mustahri, Abu Ishaq al-Huwaini, Mohammed Hussein
pada http://arrahmahnews.com/2015/06/27/mesir-bersihkan-masjid-dan-perpustakan-dari-buku-
buku-wahabi/
273
***** awal kutipan *****
Kementerian Wakaf (Agama) mengingatkan para imam masjid, khotib dan dan petugas masjid
untuk meneliti buku-buku yang ada di perpustakaan masjid, dan menyita buku-buku yang
mengadopsi pemikiran wahabi yang tidak sesuai dengan toleransi dalam Islam, atau buku-buku
yang berbau militansi, seperti buku-buku yang ditulis oleh ikhwanul muslimin, terutama pendahulu
Kementerian itu juga membantah berita pembakaran buku-buku yang disita, lebih lanjut ia
menegaskan bahwa mereka hanya mengarahkan pemeriksaan semua buku, sebagai langkah awal
pembentukan sebuah komite pemeriksaan ulang buku-buku tersebut, demi menghindari pemikiran
radikal wahabi.
Sementara itu, Depertemen Kementerian Wakaf (Agama) akan terus memantau dan melakukan
pemeriksaan masjid dan perpustakaan di setiap Provinsi, untuk memastikan dua tempat itu bersih
dari buku-buku yang mengajak pada “militansi dan ekstremisme”, baik perafiliasi dengan
Wahabi (wahabiyyah) yang dipelopori oleh Majlis Agama Islam Negeri Sembilan tidak akan
menjejaskan (mempengaruhi) hubungan negara dengan Arab Saudi sebagaimana kabar yang telah
Dalam kabar tersebut Pengerusi Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan, Prof Emeritus Tan Sri Dr Abdul
“Hak mengeluarkan fatwa adalah hak negeri masing-masing. Contoh seperti apa dilakukan Majlis
Agama Islam Negeri Sembilan yang mengeluarkan fatwa mengharamkan penyebaran Wahabi di
“Saya fikir, negeri tersebut mengharamkan Wahabi kerana tidak mahu berlaku kacau bilau dalam
Dalam pada itu, Abdul Shukor berkata, tindakan negeri tersebut juga tidak akan menjejaskan
hubungan negara dan Arab Saudi kerana sememangnya itu hak negeri tersebut.
274
“Jika perkara itu akan menjejaskan hubungan, maknanya tiada hak kepada negeri untuk membuat
keputusan sendiri.
“Malahan Jakim dan Majlis Fatwa Kebangsaan telah membincangkan perkara tersebut lebih awal
Kita tidak perlu menunggu fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena sejak dahulu kala
pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul
Wahhab dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi adalah sesat dan menyesatkan merupakan
keputusan (fatwa) Qodhi Empat Mazhab dan merupakan ijma para ulama dan umara sebagaimana
yang ditegaskan oleh Imam Taqiyuddin As-Subki rhm sebagaimana yang telah disampaikan
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/11/04/fatwa-wahabi-dahulu/
Akibat ajaran Wahabi atau ajaran (pemahaman) Muhammad bin Abdul Wahhab mengangkat
kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat sehingga mereka memunculkan bentuk
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/10/08/bentuk-kesyirikan-baru/
Timbul permasalahan besar karena mereka mengatakan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah
sebelum bertaubat adalah manhaj (mazhab) salaf sehingga akan menyesatkan orang banyak dan
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/09/30/pemahaman-menyesatkan/
Begitupula KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari pemahaman Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha maupun mereka yang meneruskan kebid’ahan Muhammad bin Abdul
Wahab al-Najdi yang mengikuti dan menyebarluaskan pemahaman Ibnu Taimiyah sebelum
bertaubat serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Abdul Hadi, sebagaimana yang
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2015/08/risalah-aswaja.pdf
Diantara mereka (sekte yang muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang
mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan kebid’ahan
Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim
275
Mereka mengharamkan hal-hal yang telah disepakati oleh orang-orang Islam sebagai sebuah
kesunnahan, yaitu bepergian untuk menziarahi makam Rasulullah Saw. serta berselisih dalam
kesepakatan-kesepakatan lainnya.
Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Fatawa-nya: “Jika seseorang bepergian dengan berkeyakinan
bahwasanya mengunjungi makam Nabi Saw. sebagai sebuah bentuk ketaatan, maka perbuatan
tersebut hukumnya haram dengan disepakati oleh umat Muslim. Maka keharaman tersebut
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-
Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini
sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri
dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan Islam.”
Maka wajib menanggalkan/menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular.
Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang
mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf
Mereka menyatakan: “Para ulama bukanlah orang-orang yang terbebas dari dosa, maka tidaklah
layak mengikuti mereka, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal.” Mereka
menyebarkan (pandangan/asumsi) ini pada orang-orang bodoh agar tidak dapat mendeteksi
kebodohan mereka
Maksud dari propaganda ini adalah munculnya permusuhan dan kericuhan. Dengan penguasaan
atas jaringan teknologi, mereka membuat kerusakan di muka bumi. Mereka menyebarkan
dirinya melaksanakan amar makruf nahi munkar, merecoki masyarakat dengan mengajak untuk
mengikuti ajaran-ajaran syariat dan menjauhi kebid’ahan. Padahal Allah Maha Mengetahui, bahwa
mereka berbohong.
276
« Contoh bid’ah wajib
Pluralitas dan Pluralisme »
Hadits aina Allah shahih dalam rantai sanad namun guncang dalam matan haditsnya
Kami mendapatkan sebuah video dialog dengan KH Tengku Zulkarnain yang saat ini sebagai Wakil
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat, salah satunya tentang kajian pokok aqidah
Wahabisme yakni ajaran (pemahaman) ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab
yang mengangkat kembali atau penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat
dari http://www.youtube.com/watch?v=dFBav2llXPs
Salah satu pokok permasalahannya adalah mereka berpegang pada hadits ahad (satu jalur perawi)
yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami yang baru masuk Islam yang dapat diketahui
dengan pernyataannya “Wahai Rasul shallallahu alaihi wasallam sesungguhnya aku adalah seorang
Hal pokok yang shahih dan tidak diperselisihkan dari hadits tersebut adalah pada bagian sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di
277
dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-
Qur’an.”
Sedangkan hadits yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami pada bagian kisah budak
Jariyah diperselisihkan.
Dalam istilah para ulama hadits, riwayat yang diperselisihkan matan (redaksinya) oleh para perawi
Kekacauan (keguncangan) matan (redaksi) dalam hadits tersebut disebabkan sebagian perawi
meriwayatkan hadits tidak dengan matan (redaksi) asli sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, ia
meriwayatkannya dengan ma’nan (hanya kandungan maknanya saja). Karenanya ia terjatuh dalam
kesalahan. Sementara matan (redaksi) hadits yang benar ialah tidak ada pertanyaan: “Di mana
Allah?”
Jadi pada bagian kisah budak Jariyah adalah matan (redaksi) dari dia secara pribadi berdasarkan
penyaksiannya terhadap percakapan secara isyarat yang dapat pula dipengaruhi oleh keadaan
Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami yang baru masuk Islam ketika meriwayatkan kisah budak Jariyah.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa pada bagian kisah budak Jariyah yang diriwayatkan Muawiyah bin
al-Hakam as-Sulami diragukan ke-shohih-annya dan seandainya shohih hadits tersebut maka
pertanyan “di mana Allah” sekedar untuk mengetahui apakah budak Jariyah masih menunjuk berhala
atau tidak.
Imam Syafi’i ~rahimahullah tentang hadits Jariyah berkata : “Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan
matan nya (hadits jariyah), dan seandainya shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi – shallallahu
‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya, karena bahwa dia
(hamba) dan kawan- kawannya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang
ada di bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanannya,maka Nabi bertanya : “Dimana Allah ?”
sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam, maka
manakala ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia
adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi, atau Nabi
Begitupula Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka
ia mentakwilnya agar tidak menyalahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni
pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah,
278
karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan
untuk menanyakan kedudukan atau derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu
kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah
sangat tinggi).
Ibn Al Jawzi berkata “Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Para ulama (Ahlussunnah Wal Jama’ah) telah
menetapkan bahwa Allah tidak diliputi oleh langit dan bumi serta tidak diselimuti oleh segala arah.
Adapun bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan mengatakan di arah langit adalah untuk
tujuan mengagungkan.
Alasan lain matan (redaksi) hadits yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami pada bagian
kisah budak Jariyah dianggap kacau (guncang) karena sebagaimana dijelaskan oleh Imam sayyidina
Ali bin Abi Thalib bahwa pertanyaan “Di mana” tidak boleh bagi Allah Ta’ala.
” إن الذي أين األين ال يقال له أين وإن الذي كيف الكيف ال يقال له كيف: وقال سيدنا علي رضي هللا عنه
“Sesungguhnya yang menciptakan aina (tempat) tidak boleh dikatakan baginya di mana (pertanyaan
tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan baginya
bagaimana”
terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh
dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga
Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan: “Allah ada sebelum
ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan
belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?”
Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan
“bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerihpayah, dan kreasi-kreasi yang mampu
menggambari-Nya,atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada
sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang
279
“Allah wujud (ada) di mana mana”
atau
bukan berarti Allah Ta’ala bertempat di mana mana namun maknanya adalah bahwa kita bisa
mengetahui dan meyakini keberadaan dan kebesaran Allah Ta’ala serta mengenal Allah
(makrifatullah) adalah dengan memperhatikan alam dan isinya atau semua yang terlihat oleh mata
yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya atau disebut juga ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat yang
meliputi segala macam ciptaan Allah,baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar
(makrokosmos).
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada
diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah
Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush
Shilat [41]:53)
“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda
kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS
Hal ini sesuai dengan sunnah Rasulullah bahwa untuk meyakini keberadaan Allah dengan memikirkan
nikmat-nikmat yang telah diberikanNya atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Azza
wa Jalla.
Rasulullah bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir
Jadi alasan lain matan (redaksi) hadits yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami pada
bagian kisah budak Jariyah dianggap kacau (guncang) karena pertanyaan “di mana” bagi Allah telah
Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah
dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya
selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
280
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut
Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk
menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan
pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi
as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya
dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada
tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh
ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau
makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena
jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak
patut bagiNya.
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu
balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik
dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu
sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para
ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan
karena “berada di atas” adalah ungkapan dalam makna dzahir dalam arti ketinggian fisik yang
281
Padahal jihah (arah) hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja yang seharusnya dinafikan atau
Terjemahan yang benar adalah “Yang di langit” dalam makna majaz (makna kiasan atau metaforis)
Imam al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan dalam Kitab at-Tauhid; “Al Kirmani berkata, ِس َماء
َّ َم ْن فِى ال
makna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah
tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia di banding sisi-sisi lainnya, maka ia
disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian dalam arti kemuliaan atau keagungan Dzat
dan sifat-Nya.“
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang seringkali disalahpahami oleh kaum mujassimah adalah firman
Allah
Argumen kuat dan nyata telah menegaskan bahwa yang dimaksud ayat ini bukan dalam makna
dzahirnya karena dasar kata fis sama dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan
sesuatu yang ”berada di dalam sebuah tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”; padahal Allah
Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi (makna dzahir) seperti ini,
karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit (bisa jadi sama besar, lebih besar, atau
Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan keagungan dan
kemuliaan Allah.
Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya turut menjelaskan perkara yang sama dalam menafsirkan ayat
tersebut, yang dimaksud dengan perkataan ‘man’ (siapa) dalam ayat tersebut adalah ‘Allah’ maka
tidak boleh dikatakan keberadaan Allah itu di langit karena Allah tidak memerlukan langit tetapi
maknanya adalah ‘kerajaan Allah’ bukan ‘Dzat Allah’. Maha suci Allah dari sifat makhlukNya.
282
Berikut kutipan dari tafsir Jalalain penerbit Sinar Baru Algensindo buku ke 2 hal 1129, juz 29, Al Mulk
[67]:16
a-amintum, (Apakah kalian merasa aman) dapat dibaca secara tahqiq dan dapat pula dibaca secara
tashil
man fiis samaa-i, (terhadap kekuasaan Allah yang di langit) yakni pengaruh dan kekuasaan-Nya yang
di langit
an yakhsifa, (bahwa Dia akan menjungkir balikkan) berkedudukan menjadi badal dari lafaz man
bikumul ardha fa-idzaa hiya tamuuru, (bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu
Oleh karenanya terhadap firmanNya pada (QS Al Mulk [67]:16) para mufassir (ahli tafsir) telah
sepakat menyisipkan “(berkuasa)” agar tidak dipahami “berada” atau “bertempat” sehingga
menafsirkannya menjadi,
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir
balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?
Begitupula makna pujian fawq (di atas) atau “Yang di atas” bagi Allah adalah bukan dalam makna
dzahir yakni dalam pengertian tempat dan arah, tapi dalam pengertian Maha Tinggi (ketinggian
derajat) , Maha Menguasai dan Maha Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala
(Dan Dialah yang berkuasa) Maha Kuasa tidak ada sesuatupun yang melemahkanNya dan Dia Maha
Al-Imam Badruddin ibn Jama’ah berkata “ ” فوق, “fawq” bukanlah dalam pengertian tempat karena
adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu yang batil, maka pemaknaan fawq pada hak Allah
pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya, Maha Menguasai dan Maha
Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala , wa huwa al-qaahiru fawqa ‘ibaadihi
Jika yang dimaksud fawq dalam pengertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan
indikasi kemuliaan dan keistimewaan karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang
283
bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya – Apakah itu menunjukan bahwa
pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri ?
Al-Hâfizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybîh, dalam penjelasan firman Allah: “Wa Huwa
Mereka lupa bahwa pengertian “fawq”, “ ” فوقdalam makna indrawi (makna dzahir) hanya berlaku bagi
Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “علو المرتبة
ّ ”; “derajat yang
tinggi”.
Padahal dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan: “ ;” فالن فوق فالنartinya; “derajat si fulan (A) lebih
tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas
Al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa makna ini; yaitu makna
menguasai dan menundukan serta ketinggian derajat, adalah makna yang dimaksud dari salah salah
satu sifat Allah; al-‘Uluww. (sifat Maha Tinggi) Dan inilah makna yang dimaksud dari firman Allah:
“Sabbihisma Rabbik al-‘Ala” (QS. Al-A’la: 1), dan firman-Nya: “Wa Huwa al-‘Alyy al-‘Azhim” (QS al-
Baqarah: 255).
Karena makna al-‘Uluww (sifat Maha Tinggi) dalam pengertian indrawi (makna dzahir), yaitu tempat
atau arah atas hanya berlaku pada makhluk saja yang notabene sebagai benda yang memiliki bentuk
dan ukuran, tentunya hal itu adalah suatu yang mustahil bagi Allah.
Dalam hal ini Ibn Hajar menuliskan sebagai berikut: “Sesungguhnya mensifati Allah dengan sifat al-
‘Uluww (sifat Maha Tinggi) adalah dalam pengertian maknawi (makna majaz), karena mustahil
memaknai al-‘Uluww (pada hak Allah) dalam pengertian indrawi (makna dzahir). Inilah pengertian
Pada halaman lain dalam kitab yang sama, al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan alasan mengapa para
ulama sangat keras mengingkari penisbatan arah bagi Allah, adalah tidak lain karena hal itu sama
saja dengan menetapkan tempat bagi-Nya. Dan sesungguhnya Allah mustahil membutuhkan kepada
tempat, karena Dia bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran, dan Dia tidak boleh disifati
284
dengan sifat-sifat benda (Fath al-Bari Bi Syarh Shahih al-Bukhari, j. 3, h. 30, j. 7, h. 124, dan j. 11, h.
505).
Al-Imâm Ibn Jahbal dalam Risalah Fi Nafy al-Jihah ‘An Allah menuliskan sebagai berikut:
Pertama; Fawq dalam pengertian tempat bagi suatu benda yang berada di atas benda lainnya. Artinya
posisi benda yang pertama berada di arah kepala posisi benda yang kedua. Pemaknaan semacam ini
tidak akan pernah dinyatakan bagi Allah kecuali oleh seorang yang berkeyakinan tasybîh dan tajsîm.
Kedua; Fawq dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan. Contoh, bila dikatakan dalam
bahasa Arab: “al-Khalifah Fawq as-Sulthan Wa as-Sulthan Fawq al-Amir”, maka artinya: “Khalifah
lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau
bila dikatakan: “Jalasa Fulan Fawq Fulan”, maka artinya: “Si fulan yang pertama kedudukannya di
atas si fulan yang kedua”, atau bila dikatakan: “al-‘Ilmu Fawq al-‘Amal” maka artinya: “Ilmu
Contoh makna ini dalam firman Allah: “Wa Rafa’na Ba’dlahum Fawqa Ba’dlin Darajat” (QS. Az-
Zukhruf: 32), artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian
yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-
Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan para pengikut Fir’aun: “Wa Inna Fawqahum Qahirun”
(QS. Al-A’raf: 127). Yang dimaksud ayat ini adalah bahwa para pengikut yang setia kepada Fir’aun -
merasa- menguasai dan lebih tinggi kedudukannya di atas Bani Isra’il. Makna ayat ini sama sekali
bukan berarti para pengikut Fir’aun tersebut berada di atas pundak-pundak atau di atas punggung-
(Lihat dalam Risalah fi Nafy al-Jihah dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah, j. 9, h. 47. Risalah ini adalah
bantahan keras terhadap Ibn Taimiyah yang mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy).
Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an menuliskan tentang
285
“…antara lain sifat fawqiyyah, seperti dalam firman-Nya: “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa ‘Ibadih” (QS. Al-
An’am: 18), dan firman-Nya: “Yakhafuna Rabbahum Min Fawqihim” (QS. An-Nahl: 50). Makna fawq
dalam ayat ini bukan dalam pengertian arah atas. Makna fawq dalam ayat tersebut sama dengan
makna fawq dalam firman Allah yang lain tentang perkataan Fir’aun: “Wa Inna Fawqahum Qahirun”
(QS. Al-A’raf: 127), bahwa pengertiannya bukan berarti Fir’aun berada di atas pundak Bani Isra’il, tapi
Begitupula memang kita temukan dalam kitab-kitab terjemahan Al Qur’an arti kata Istawa adalah
bersemayam namum kata bersemayam mempunyai dua makna yakni makna dzahir dan makna majaz
(makna kiasan).
Hal terlarang jika kata istawa yang artinya bersemayam dimaknai dengan makna dzahir (makna
harfiah) atau makna yang tersurat (makna yang tertulis) yang menurut kamus bahasa Indonesia
adalah
Makna yang mendekati kata Istawa adalah makna kata bersemayam dalam makna majaz (makna
kiasan) atau makna yang tersirat (makna di balik yang tertulis) yakni
Terkait dengan hati, terpendam dalam hati, tersimpan (kata kiasan); Contohnya “sudah lama dendam
itu bersemayam di hatinya” atau “cinta bersemayam di hatinya”. “Bersemayam di hati” dapat
Al-Qushayri dalam Lata’if al-Isharat, telah menyebutkan : Adapun mengenai singgasana Qalbu, “Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan” . telah disimpulkan pula bahwasanya : “Dia (Allah) Yang
Maha Rahman menetapkan Dirinya sendiri atasnya (`alayhi istawa); sedang mengenai arsy di hati:
Yang Maha Rahman menguasainya (`alayhi istawla). Arsy di langit adalah kiblat bagi doa seluruh
makhluk, sedang arsy di hati adalah tempat melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi. Sehingga, ada ada
perbedaan besar antara kedua arsy itu” (Lata’if al-Isharat jilid 4 hal:118)”
Para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat membolehkan
memaknai istiwa dengan bersemayam dalam makna majaz artinya menguasai dan terlarang dimaknai
bersemayam dalam makna dzahir yakni menetap atau bertempat karena menetap atau bertempat
286
Imam al-Hâfizh al-Lughawiy Muhammad Murtadla az-Zabidi al Hanafi (w 1205 H) dalam kitabnya,
Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn menyebutkan bahwa seorang yang menafsirkan Istawâ dengan Istawlâ
tidak berbuat kesalahan apapun dan tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh. Menurut
Imam az-Zabidi penafsiran semacam ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan keagungan Allah. Hal
ini jauh berbeda dengan yang memaknai Istawâ dengan Istaqarra (menetap atau bertempat),
penafsiran semacam ini sama sekali tidak dapat dibenarkan, karena sama dengan mensifati Allah
Ibn Battal mengatakan, “pengartian pengaturan dan kekuasaan”, “menguasai” dan “penaklukan” tidak
dianggap berlawanan dengan Sang Pencipta (Al-Khalik) sebagaimana “Zahir”, “Qahhar”, “ghalib”atau
“Qahir”, tidak dianggap berlawanan atas bagian zat lainnya. Hal ini diperkuat oleh ayat, “Dan Dialah
yang mempunyai kekuasaan tertinggi (Al-Qahir) atas semua hamba-Nya” (6:18, 6:61) dan “ Allah
Dalam Shubah al-Tashbih hal:23 , Ibn al Jawzi juga membolehkan menafsirkan istiwa sebagai “al-
qahr”, menguasai.
Begitupula Al-Imam al Baihaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata :
“Sebagian Sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah
shalllallahu ‘alaihi wasallam “Ya Allah, Engkaulah, Azh-Zhahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu,
dan Engkau al-Bathin, tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya)
Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:
لى ْال َماءِ قَا َل أَحْ َمدُ بْنُ َم ِني ٍْع قَا َل َ ْس ْو َل هللاِ أَيْنَ كَانَ َربُّنَا قَ ْب َل أَ ْن َي ْخلُقَ خ َْلقَهُ ؟ قَا َل كَانَ ف ِْي َع َماءٍ َما تَحْ تَهُ ه ََوا ٌء َو َما فَ ْوقَهُ ه ََوا ٌء َو َخلَقَ عَر
َ شه ُ َع ُ َيا َر: َُع ْن أَ ِب ْي َر ِزي ٍْن قَا َل قُ ْلت
“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita
sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada
tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada
sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun
berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat).
Dalam riwayat di atas pun sudah jelas bahwa Rasulullah bersabda “Allah ada tanpa sesuatu apapun
yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu.
287
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan)
dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (HR. al Bukhari, al Baihaqi dan Ibn al Jarud)
ُ كَانَ هللا:َ قَال. َ ِج ْئنَاكَ ِلنَتَفَقَّهَ فِي ال ِدّي ِْن َو ِلنَ ْسأَلَكَ َع ْن أ َ َّو ِل َهذَا اْأل َ ْم ِر َما َكان:س مِ ْن أَ ْه ِل ْال َي َم ِن فَقَالُ ْوا
ٌ ي صلى هللا عليه وسلم ِإ ْذ دَ َخ َل نَاِّ صي ٍْن َقا َل ِإنِّ ْي ِع ْندَ النَّ ِب
َ َع ْن ع ِْم َرانَ ب ِْن ُح
ْ َولَ ْم يَ ُك ْن ش
رواه البخاري- َُي ٌء َغي ُْره
“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar
agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR
Bukhari)
“كان هللا وال مكان وهو اآلن على ما عليه كان: قال سيدنا علي رضي هللا عنه
“Allah ada dan belum ada tempat dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti
Syaikh Ibnu Athoilah berkata “Allah ada, dan tiada sesuatu besertaNya. Dia kini adalah tetap
sebagaimana adanya”
إذ ال يجوز عليه التغير، والدليل عليه هو أن هللا تعالى كان وال مكان له فخلق المكان وهو على صفته األزلية كما كان قبل خلقه المكان،واعلموا أن هللا تعالى ال مكان له
ولهذا المعنى، تعالى هللا عن ذلك علوا كبيرا، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، وألن من له مكان فله تحت،في ذاته وال التبديل في صفاته
13 ص،)استحال عليه ال زوجة والولد ألن ذلك ال يتم إال بالمباشرة واالتصال واالنفصال (الفقه األكبر
Artinya :
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan
tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan
tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya
maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah
bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang
memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu
pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan
288
adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-
pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab
itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h.
13).
Sabda Rasulullah di atas berikut penjelasan para ulama bahwa “Allah ada tanpa tempat atau tanpa
sesuatu apapun yang menyertaiNya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu.
Dia sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula ada tanpa tempat” sesuai pula
dengan firman Allah Ta’ala yang menjadi landasan i’tiqod atau aqidah umat Islam pada umumnya
Allah Ta’ala ada sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan
ciptaanNya.
Allah Ta’ala ada sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ’Arsy
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :“Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka
Dia menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya (sifat qadim), sebagaimana Dia ada
sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”.
Al-Imâm al-Qurthubi menuliskan: “Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau
berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau
berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan
zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’
Sebenarnya, keyakinan bahwa Tuhan bertempat terimbas oleh cerita-cerita tradisional bahwa ‘alam
Tuhan’ itu berada di langit, seiring dengan ‘alam dewa-dewa’ keyakinan non muslim. Alam dewa dan
alam Tuhan selalu dikaitkan dengan alam tinggi, yang dipersepsi berada di langit, dalam arti ruang
yang sesungguhnya. Sehingga, kita sering mendengar cerita-cerita tentang ‘turunnya’ para dewa-
dewi, bidadari, atau bahkan ‘Tuhan’ sendiri dari langit nun jauh di sana menuju ke Bumi.
289
Sebenarnya, konsep seperti ini bukan konsep Islam. Melainkan konsep keyakinan pagan yang justru
diluruskan oleh datangnya Islam yang dibawa oleh para Nabi dan keluarga nabi Ibrahim alaihi salam –
Berikut cara Rasulullah meluruskan para Sahabat yang masih terpengaruh i’tiqod (keyakinan) kaum
sebelumnya bahwa Tuhan berada di arah atas sehingga orang-orang yang tinggal di dataran tinggi
“lebih dekat” kepada Tuhan dari pada orang-orang yang tinggal di dataran rendah sebagaimana yang
Hal ini disampaikan contohnya oleh Al-Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Maliki
(seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah), dalam karyanya berjudul “al-Muqtafa Fi
Syaraf al-Musthafa” telah menuliskan pernyataan al-Imam Malik untuk menjelaskan bahwa Allah ada
ولهذا أشار مالك رحمه:ذَكر اإلمام قاضي القضاة ناصر الدين بن ال ُمنَيِّر اإلسكندري المالكي في كتابه “المنتقى في شرف المصطفى” لما تكلم على الجهة وقرر نفيَها قال
إنما خص يونس للتنبيه على التنزيه ألنه صلى هللا عليه وسلم رفع إلى العرش: فقال مالك،” “ال تفضلوني على يونس بن متى:هللا تعالى في قوله صلى هللا عليه وسلم
ّ
ولو كان الفضل بالمكان لكان عليه السالم أقرب من يونس،الحق جل جالله نسبة واحدة ويونس عليه السالم هبط إلى قاموس البحر ونسبتهما مع ذلك من حيث الجهة إلى
Dalam karyanya tersebut, al-Imam Ibn al-Munayyir mengutip sebuah hadits, riwayat al-Imam Malik
bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta”.
Dalam penjelasan hadits ini al-Imam Malik berkata bahwa Rasulullah secara khusus menyebut nabi
Yunus dalam hadits ini, tidak menyebut nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman akidah
Hal ini karena Rasulullah diangkat ke atas ke arah arsy (ketika peristiwa Mi’raj), sementara nabi
Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam (ketika Beliau ditelan oleh ikan
besar), dan kedua arah tersebut, baik arah atas maupun arah bawah, keduanya bagi Allah sama saja.
Artinya satu dari lainnya tidak lebih dekat kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat. Karena
seandainya kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah tidak akan
melarang melebih-lebihkan Beliau atas nabi Yunus ibn Matta”. (Lihat penjelasanini dalam al-Muqtafa Fi
290
syaraf al-Mustahafa. Perkataan Al-Imam Malik ini juga dikutip oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki
dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang berjudul as-
Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil. Demikian pula perkataan Al-Imam Malik ini dikutip oleh Al-
Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadahal-Muttaqin Bi Syarah Ihya
‘Ulumiddin).
Begitupula Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi
al Maliki mengatakan:
“Telah mengabarkan kepadaku banyak dari sahabat-sahabat kami dari Imam al-Haramain Abu al
Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu
arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu” Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oleh
hadits ini?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihissalam menghempaskan dirinya
kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam kegelapan yang tiga.
Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk
Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik
hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan bermunajat
kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau
shallallahu alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam yang
berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia
mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi atasNya, keadaan mereka bagaimanapun
Al-’Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Asy-Syafi’i Al-Bantani Al-Jawi dalam kitabnya ” Nur Adh-
٤٢ قال العالمة الشيخ محمد نووى الشافعي البنتني الجاوى في كتابه نور الظالم صحيفة
و ليس هللا سبحانه و تعالى فى مكان و ال جهة تنزه هللا عن ذلك و إنما المكان منسوب الى النبى صلى هللا عليه و سلم قال صلى هللا عليه و سلم ال تفضلوني على يونس بن
متى أى ال تظنوا أني أقرب الى هللا من يونس بن متى حيث ارتقى بي فوق السموات السبع و يونس في قعر ا لبحر في بطن الحوت فكالنا بالنسبة للقرب منه على حد سواء
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berada di suatu tempat maupun arah , Maha suci Allah dari yang
demikian (bertempat atau berarah) , tempat hanya dinisbatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : Janganlah kamu menganggap aku
lebih utama daipada Nabi Yunus bin Matta , maksudnya : Janganlah kamu berprasangka bahwa aku
291
lebih dekat kepada Allah daripada Nabi Yunus hanya karena Allah mengangkat aku ke atas langit yang
tujuh sedangkan Nabi Yunus berada didasar lautan didalam ikan , masing-masing dari kami berdua
Berikut kutipan penjelasan Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki dalam kitab karyanya yang berjudul
“Wahuwa bi al’ufuq al-a’la” dan telah diterjemahkan oleh penerbit Sahara publisher dengan judul
‘Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah,
seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu,
karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallahu
alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu
dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah Ta’ala dengan
ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh
perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallahu walaihi wasallam
naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan Beliau di hadapan
penduduk langit dan Beliau adalah makhluk Allah yang paling utama. Pengertian ini dikuatkan dengan
dinaikkannya Beliau diatas Buraq oleh Allah Ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan
Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat Beliau tanpa menggunakan buraq.
Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa
alaihissalam dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya
arah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
292
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada Beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke
tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau
berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat Beliau bermunajat dan bermohon kepada
Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati
tempat itu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu
karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah
Walaupun Beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di mana Beliau
mendengar gerak qalam, tetapi Beliau shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihissalam ketika
ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam kedekatan
dengan Allah Ta’ala. Karena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari
menempati ruang.
Berkata Imam Ahlus Sunnah Abu Mansur Al-Maturidi: “Adapun mengangkat tangan ke langit adalah
ibadah, hak Allah menyuruh hamba-Nya dengan apa yang Ia kehendaki, dan mengarahkan mereka
kemana yang Ia kehendaki, dan sesungguhnya sangkaan seseorang bahwa mengangkat pandangan
ke langit karena Allah di arah itu, sungguh sangkaan itu sama dengan sangkaan seseorang bahwa
Allah di dasar bumi karena ia meletakkan muka nya di bumi ketika Shalat dan lain nya, dan juga sama
seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di timur/barat karena ia menghadap ke arah tersebut ketika
Shalat, atau Allah di Mekkah karena ia menunaikan haji ke Mekkah” [Kitab At-Tauhid – 75]
Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu menghadap ke
langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu
karena Allah di langit, sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di arah Ka’bah, karena
sesungguhnya langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Ibnu Batthal berkata: sesungguhnya langit itu qiblat doa,
sebagaimana Ka’bah itu qiblat Shalat” [Fathul Bari, jilid 2, hal 296]
Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Maka adapun angkat tangan ke arah langit ketika
berdoa, karena sesungguhnya langit itu qiblat doa” [Ittihaf, jilid 2, hal 170]. kemudian Imam Al-
Hafidh Murtadha Az-Zabidi juga berkata: “Jika dipertanyakan, ketika adalah kebenaran itu maha suci
293
Allah yang tidak ada arah (jihat), maka apa maksud mengangkat tangan dalam doa ke arah langit ?
maka jawaban nya dua macam yang telah disebutkan oleh At-Thurthusyi :
Pertama: sesungguhnya angkat tangan ketika doa itu permasalahan ibadah seperti menghadap
Ka’bah dalam Shalat, dan meletakkan dahi di bumi dalam sujud, serta mensucikan Allah dari tempat
Ka’bah dan tempat sujud, maka langit itu adalah qiblat doa.
Kedua: manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat dan
berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit
adalah tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu
kepada Malaikat, dan Malaikat-lah yang memberikan kepada penduduk bumi, dan begitu juga tentang
diangkat nya segala amalan (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan langit ada
syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit itu tempat bagi perkara-perkara mulia
tersebut, dan tempat tersimpan Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentingan ke langit,
dan orang-orang berdoa pun menunaikan ke atas langit”[Ittihaf, jilid 5, hal 244]
Wassalam
294
Jelas berbeda antara WAHBIYYAH dengan WAHABIYYAH
Penamaan firqah Wahabi dinisbatkan kepada nama ayahnya Muhammad bin Abdul Wahhab adalah
sekedar untuk membedakan antara ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang
mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat dengan ajaran Nabi Muhammad
Contoh penisbatan bukan pada nama sendiri lainnya adalah seperti pendapat Imam Ahmad bin
Hanbal, kita sepakati dinamakan sebagai mazhab Hambali karena hal itu adalah hasil ijtihad dan
istinbat beliau dalam perkara fiqih berdasarkan sumber ijtihad yang dimilikinya seperti hafalan hadits
yang melebihi jumlah hadits yang telah dibukukan pada zaman kini dan kompetensinya dalam
memahami Al Qur’an dan As Sunnah yang diakui oleh jumhur ulama sebagai salah satu Imam
Mujtahid Mutlak
Ada pula orang yang terjerumus mengikuti paham Wahabisme yakni ajaran (pemahaman) ulama
Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebelum
bertaubat karena termakan syubhat atau propaganda bahwa Wahabi sesungguhnya adalah ajaran
Padahal ajaran (pemahaman) Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum disebut dengan
WAHBIYYAH RUSTUMIYYAH yang merupakan turunan dari ajaran (pemahaman) WAHBIYYAH yang
Jelas berbeda antara WAHBIYYAH dengan WAHABIYYAH sebagaimana yang telah dijelaskan
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/05/06/dongeng-rustumiyyah/
Sedangkan WAHABIYYAH merupakan ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim yakni
Muhammad bin Abdul Wahhab berasal dari kabilah Banu Tamim an Najdi yang wafat tahun 1206 H.
295
Istilah WAHABI pertama kali disematkan oleh Syaikh Sulamain bin Abdul Wahab al-Hanbali saudara
kandungnya sendiri dalam kitabnya yang berjudul “As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi ‘alal Wahabiyah”
Muhammad: “Apa?”
Sulaiman: “Kamu memfatwakan bahwa siapa, yang mengikutimu adalah mu’min dan yang tidak
Sesudah itu ia berusaha menangkap kakaknya dan akan membunuhnya, tetapi Sulaiman dapat lolos
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/petir-yang-membakar.pdf
Ulama dari kalangan mereka sendiri Abdul Aziz bin Abdillah bin Bazz ketika mentashhihkan kitab
biografi Muhammad ibnu Abdil Wahhab karya Ahmad ibn Hajar al- Butami juga membenarkan bahwa
Wahhabi adalah pengikut ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab
“maka tegaklah revolusi di atas tangan para da’i Wahhabi” (hal 59)
Begitupula salah seorang pemuka ulama mereka , Muhammad Khalil Harras dengan bangga
menuliskan judul karyanya dengan “al Harakah al Wahabiyyah” (Gerakan Paham Wahabi). Buku ini
dicetak penerbit Dar al Kutub al Arabi. Isi buku ini adalah pembelaan “mati-matian” terhadap ajaran
296
atau paham Wahabi (Wahabisme), penulisannya dengan bangga menamakan gerakan ajaran Wahabi
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah
yang merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul
Wahhab. Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian
dicetak lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah
liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada
penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id
bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat
pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
Kitab pokok atau kitab dasar aqidah ajaran atau paham Wahabi (wahabisme) adalah kitab Al Aqidah
Al Wasithiyah karya Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin
Cara atau upaya kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi untuk
menyesatkan para pengikut ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab ditengarai
(diduga) adalah dengan menyodorkan kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat sebagaimana
contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab
abdul-wahhab-bag-ke-1/
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya
297
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan
sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam
mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang
selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti
Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan sebuah tulisan berjudul
“Taubatkah Ibnu Taimiyah ke dalam Aqidah Asy’ariyah?” dari sebuah link yang kami arsip (simpan)
Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari
pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan
makna dzahir
Memang ada yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian
taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai sidang ke empat hingga ia
wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar
dari http://www.muslimedianews.com/2015/02/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-ditangan.html
Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa Beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala
Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka
menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat)
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-
ibnu-taimiyyah.pdf
298
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah
(menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul
Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun
ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para
Berikut kutipan tulisan ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dari tulisannya
berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah) sebagaimana
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan
‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang
muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah
juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan
dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’
di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara
Pemahaman “tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” tentu bukanlah pemahaman para Sahabat atau
Salafush Sholeh namun pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat ketika beliau membaca dan
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam
terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang
meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya
Berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah tersebut, mereka mengatakan bahwa walaupun Tuhan
mereka berada atau bertempat atau menetap tinggi atau bahkan melayang tinggi di atas ‘Arsy
(karena menafikan menempel di atas ‘Arsy) dan setiap sepertiga malam terakhir turun ke langit dunia
299
namun ‘Arsy tidak kosong sebagaimana yang telah disampaikan
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/10/27/akibat-bermazhab-otodidak/
Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam (Q.S. Al Imran [3] : 7), mereka mengikuti ayat-ayat
mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga menimbulkan fitnah sebagaimana yang telah
Contoh fitnah yang lain mereka mengatakan bahwa Rasulullah yang mengatakan Tuhan punya tangan
Dari Abdullah bin ‘Amr رضي هللا عنهia berkata: Rasulullah صلى هللا عليه وسلمtelah bersabda: “Sesungguhnya
orang-orang yang adil di sisi Allah ( عزوجلpada hari kiamat) di atas mimbar-mimbar dari nur (cahaya)
di sebelah kanan Ar Rahman عزوجلdan KEDUA TANGAN-Nya adalah KANAN. Yaitu orang-orang yang
berlaku adil di dalam hukum mereka, dan pada kelaurga mereka, dan pada apa yang mereka pimpin”.
(Hadits shahih riwayat. Muslim no 1827 dan Nasaa-i no 5379 dan yang selain dari keduanya.
Fitnah mereka dengan mengatasnamakan Rasulullah maupun Salafush Sholeh sebagai perawi hadits
akibat mereka menemukan, membaca, menterjemahkan dan memahami sebuah hadits shahih secara
otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri dan salah memahaminya sehingga mereka
Mereka bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat mereka selalu
berpegang pada nash atau dalil secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Jelas sekali bahwa apa yang mereka sampaikan bukan aqidah atau pemahaman para Sahabat
(Salafush Sholeh) melainkan aqidah atau pemahaman mereka sendiri menurut akal pikiran mereka
tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan.
Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah
dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya
selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna
300
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut
Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk
menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan
pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi
as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya
dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada
tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh
ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau
makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena
jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak
patut bagiNya.
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu
balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik
dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu
sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para
ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan
kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian
Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan
Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang
cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat)
dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan
301
menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat
Berikut kutipannya
Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H
hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu
menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2
Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan,
khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar
A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.
Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu
Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang
bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa
dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan
membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah
karena beliau mengutip pendapat ulama terdahulu maupun memahami Al Qur’an dan As Sunnah
bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri
302
dan beliau selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman beliau selalu dengan makna
dzahir
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian
menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat
Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah
an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata:
“Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan
wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu
Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara
303
8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal
dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti
dijelaskan dalam:
– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn
11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H).
Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul
12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan
menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam
Rasulullah.
13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.
14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu
15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya
16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua
risalahnya:
17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-
19. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk
memenjarakannya.
304
20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam
21. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al
Muhith.
22. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).
23. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah alKubra.
24. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya :‘Uyun at-
Tawarikh.
25. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al
26. Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri al Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al Mardhiyyah fi ar-
Radd ‘Ala Man Yunkir az- Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan
27. Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743 H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq
28. Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani al- Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhatsal
29. Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad, yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H)
30. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya: – Ad-Durar al Kaminah fi
A’yan al Mi-ah ats-Tsaminah – Lisan al Mizan – Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari – Al Isyarah Bi
31. Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-
ilah al Makkiyyah.
32. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli Syuhbah asy- Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadli Syuhbah
33. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa
34. Pimpinan para ulama seluruh Afrika, Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803 H).
305
35. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamid ad-Din al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W867 H) dalam
36. Syekh Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki (W899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.
37. Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam Al I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.
38. Ahmad ibn Muhammad Yang dikenal denganIbnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul
39. Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W 968
40. al Bayyadli al Hanafi (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram Min ‘Ibarat al Imam.
41.Syekh Ahmad ibn Muhammad al Witri (W 980 H) dalam Raudlah an- Nazhirin WaKhulashah
Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Wassalam
306
Contoh bid’ah hasanah yang hukumnya wajib
Cara para fuqaha (ahli fiqih) dalam menghadapi apapun yang tidak dijumpai pada zaman Rasulullah
dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat
maka mereka menimbangnya dengan hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang
membatasi umat Islam untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib ,
Para fuqaha (ahli fiqih) menggunakan hukum taklifi untuk menetapkan hukum atas bid’ah atau
perkara baru (muhdats) atau perkara yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah atau tidak dijumpai
dalam Al Qur’an dan As Sunnah mencontoh dan mengikuti para Sahabat seperti Mu’adz bin Jabal ra
yang menerima pujian dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sabdanya, “Ummatku yang
paling tahu akan yang halal dan yang haram ialah Mu’adz bin Jabal”
Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu’adz hampir sama dengan
Umar bin Khathab. Ketika Rasulullah hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, “Apa
yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu’adz?” “Kitabullah,” jawab Mu’adz.
“Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?”, tanya Rasulullah pula. “Saya putuskan dengan
Sunnah Rasul.” “Jika tidak kamu temukan dalam Sunnah Rasulullah?” “Saya pergunakan pikiranku
307
untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia,” jawab Muadz. Maka berseri-serilah wajah
Rasulullah. “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang
Imam Ibnu Abdis Salam mencontohkan bid’ah hasanah dan hukumnya wajib adalah menguasai ilmu
tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) sebagai
Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah
memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih:
“Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali
Oleh karenanya sebaiknya janganlah mengikuti mereka yang berpendapat atau berfatwa namun
menguasai bahasa Arab hanya artinya dan berbekal makna dzahir saja karena mereka akan
Ad-Dahhak ibnu Muzahim telah menceritakan, bahwa pada suatu hari Ibnu Abbas r.a. berjumpa
dengan seorang qadhi yang sedang memutuskan suatu perkara, lalu ia menendang dengan kakinya
seraya bertanya: “Apakah kamu telah mengetahui tentang mana yang nasikh dan mana yang
mansukh?”, Lalu qadhi itu berkata: “Siapakah yang mengetahui mana yang nasikh dan mana yang
mansukh?”, Ibnu Abbas bertanya kembali: “Jadi kamu masih belum mengetahui mana yang nasikh
dan mana yang mansukh?” Qadhi menjawab: “Tidak”, lalu Ibnu Abbas r.a.berkata: “Kamu ini adalah
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah berkata kepada seorang qadhi: Apakah kamu mengetahui nasikh dan
Dari Khudzaifah Ibnul Yaman ra , dalam nubuatnya Rasulullah bersabda bahwa kelak akan timbul
fitnah dan perselisihan dari orang-orang Arab sendiri yakni orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah
Rasulullah bersabda mereka adalah penyeru menuju pintu jahannam, barangsiapa yang memenuhi
308
ْ ص ْف ُه ْم لَنَا قَا َل نَعَ ْم قَ ْو ٌم مِ ْن ِج ْلدَتِنَا َويَتَ َكلَ ُم ْونَ بِأ َ ْل ِسنَتِنَا
ُقثلت ِ ِس ْو ُل هللا
ُ يَا َر
“Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka! Nabi menjawab; Mereka adalah
seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita. (HR Bukhari)
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti
kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Samalah dengan bangsa kita , seberapa banyak orang yang menguasai tata bahasa dan sastra
Indonesia?
Jadi walaupun orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim, bahasa
ibunya adalah bahasa Arab namun tidak mendalami dan menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa
Arab kemudian mereka menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits, lalu menyatakan pendapat atau
Untuk memahami Al Qur’an dan Hadits tidak cukup dengan arti bahasa saja dan apalagi hanya
Oleh karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) maka
diperlukan kompetensi menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab
atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk
menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga
mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir,
ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada
yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula
Kalau tidak menguasai ilmu-ilmu tersebut kemudian berpendapat, berfatwa atau beristinbat, menggali
hukum dari Al Qur’an dan Hadits maka akan sesat dan menyesatkan.
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik
dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu
sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para
ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan
309
Pada hakikatnya orang-orang yang mengaku muslim namun memusuhi bahkan membunuhi muslim
lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka adalah korban hasutan atau korban
ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang
dengan Zionis Yahudi karena kaum yang diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla mempunyai rasa
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang
beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Mereka yang terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum
Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan zionis Yahudi menjadikan mereka sombong mengikuti
kaum Yahudi.
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu
(pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang
(diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” (QS Al Baqarah [2]
: 87)
Mereka menjadi sombong dan mengabaikan siapapun yang mengingatkan atau memberikan petunjuk
kepada mereka karena mereka hanya berpegang pada pemahaman atau pendapat mereka sendiri
Contohnya mereka yang sombong dan merasa lebih pandai dari KH Ahmad Dahlan sebagaimana yang
Contoh penghasut pada masa keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani sekitar tahun 1924 M adalah
seperti Thomas Edward Lawrence, perwira Yahudi Inggris yang dikenal oleh ulama jazirah Arab
sebagai Laurens Of Arabian, selain menghasut untuk membiasakan umat Islam disegi kemajuan dunia
seperti kebiasaan barat, termasuk nasionalisme Arab dan Sekulerisme, ia juga menyebarkan hasutan
supaya umat Islam tidak terikat dan tidak fanatik kepada aliran mazhabiah.
Hasil hasutan Laurens Of Arabian adalah mereka meninggalkan para ulama yang mengikuti Rasulullah
Mereka meninggalkan Imam Mazhab yang empat, salah satunya karena salah memahami potongan
perkataan Al-Imam Al-Syafi’i, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih,
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/10/19/menemukan-hadits-shahih/
310
Imam Syafi’i melarang taqlid bagi yang berkompetensi sebagai ahli istidlal (mujtahid) bukan bagi
orang awam
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang
bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam
Imam An Nawawi juga menjelaskan,”Hal ini, apa yang dikatakan As Syafi’i, bukan bermakna bahwa
siapa saja yang melihat hadits shahih dia mengatakan,’ini adalah madzhab As Syafi’i’, dan
mengamalkan dzahirnya. Dan sesungguhnya hal ini bagi siapa yang sampai pada derajat ijtihad dalam
pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-
adalah-mazhabku-bag-2/
Perbedaan pendapat yang boleh dan dapat diterima adalah perbedaan pendapat di antara ahli istidlal
sedangkan perbedaan pendapat di antara orang awam adalah sesat dan menyesatkan.
“Jika ia benar mendapat dua pahala, jika salah hanya mendapat satu pahala” hanyalah berlaku untuk
ahli istidlal yang dipunyai para fuqaha, yakni ulama yang faqih dalam menggali hukum dari Al Qur’an
dan As Sunnah.
Adapun orang yang bukan ahli istidlal lantas berpendapat dan menghukumi, dia tidak dapat pahala. Ia
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (12/13), Para ulama’ berkata: ”Telah menjadi ijma’ bahwa hadits
ini adalah untuk hakim yang alim dan ahli hukum, jika keputusannya benar maka dia mendapat 2
(dua) pahala yaitu pahala ijtihadnya dan pahala benarnya, jika salah maka dapat satu pahala yaitu
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam menjelaskan hadits ini: “(Beliau) mengisyaratkan bahwa tidaklah
mesti – disaat ditolak hukumnya atau fatwanya lantaran berijtihad lalu keliru – maka dia mendapat
dosa dengan (kesalahan) tersebut. Akan tetapi apabila dia telah mengerahkan kemampuannya, maka
ia mendapat pahala, jika (hukumnya) benar, maka digandakan pahalanya. Namun apabila dia
menetapkan hukum atau berfatwa dengan tanpa ilmu maka dia mendapat dosa.” (Fathul Bari:
13/331)
311
Ibnul-Mundzir rahimahullahu berkata : “Seorang hakim yang keliru hanyalah diberi pahala jika ia
seorang yang ‘aalim terhadap metodologi ijtihad, lalu melakukan ijtihad. Jika ia bukan seorang yang
‘aalim, tidak diberikan pahala”. Ia berdalil dengan hadits tiga golongan qaadliy dimana padanya
disebutkan dua golongan yang masuk neraka: “Qaadliy (hakim) yang memutuskan perkara bukan
berdasarkan kebenaran, maka ia masuk neraka. Dan qaadliy (hakim) yang memutuskan perkara
Begitupula hal yang perlu diketahui bahwa ahli hadits berbeda dengan para fuqaha (ahli fiqih).
Ahli hadits tidak berhak untuk bertindak sebagai fuqaha. Oleh karenanya tidak ditemukan penisbatan
Ahli hadits hanyalah menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya kemudian
mengumpulkan, meneliti dan menyampaikan dalam kitab-kitab hadits atau menyusunnya berdasarkan
nama perawi sehingga menjadi kitab-kitab musnad atau menyusunnya berdasarkan klasifikasi
Contoh perbedaan di antara dua Ibnu Hajar yakni Ibnu Hajar Al ‘Asqalani adalah ahli hadits dari
mazhab Syafi’i sedangkan Ibnu Hajar al-Haitami adalah seorang fuqaha dari mazhab Syafi’i sehingga
Ibnu Hajar al-Haitami, sebelum umur 20 tahun, Beliau sudah diminta para gurunya untuk mengajar
dan memberi fatwa di Mesir. Beliau berhak berfatwa karena menguasai berbagai ilmu antara lain
tafsir, hadis, ilmu kalam, fikih, ushul fiqh, ilmu waris, ilmu hisab, nahwu, sharaf, ilmu ma’ani, ilmu
Tujuan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang ditengarai (diduga) dilancarkan oleh
kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi untuk meninggalkan Imam Mazhab
yang empat dan menghasut untuk berguru atau mengambil pendapat dari mereka yang “kembali
kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran masing-masing
adalah untuk memecah belah dan meruntuhkan ukhuwah Islamiyah dari dalam.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal
pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Contoh penyeru menuju pintu jahannam sehingga akan menghempaskan anda ke neraka jahannam
adalah mereka mengaku muslim namun suka mencela, menyalahkan, menganggap sesat dan bahkan
mengkafirkan umat Islam yang tidak sependapat dengan kitab tafsir Al Qur’an dan kitab Hadits yang
312
mereka baca, terjemahkan dan pahami secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka
sendiri.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah
Mereka yang suka mencela karena belum dapat melihat Allah dengan hatinya sebagaimana yang telah
“Ketika aku mendengar orang berbicara atas nama Islam dengan bahasa yang kasar serta caci-maki.”
“Aku bersyukur kepada Allah, tidak memahami Islam lewat lisan mereka”
Salah dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena bukan ahli istidlal akan menimbulkan
perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan sehingga
Contohnya sebagaimana turunan Salafi Wahabi (nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahhab) seperti
Salafi Suruuriyyah (nisbat kepada Muhammad Suruur), Salafi Haddaadiyyah (nisbat kepada Mahmuud
Contoh lainnya pengikut Ali Hasan Al Halabi dinamakan oleh salafi yang lain sebagai Halabiyun
halabiyun-rodja-asatidzah-ahlussunnah-pun-dibidiknya/
Berikut kutipannya
Kita lanjutkan sedikit pemaparan bukti dari kisah Haris, Jafar Salih dkk.
Cileungsi termasuk daerah terpapar virus Halabiyun Rodja pada ring pertama.
Tak heran jika kepedulian asatidzah begitu besar terhadap front terdepan (disamping daerah Jakarta
tentunya).
313
Daurah-daurah begitu intensif dilaksanakan, jazahumullahu khaira. Kemarahan mereka telah kita
saksikan bersama dan faktanya, amarah/ketidaksukaan ini juga mengalir deras pada sebagian dai
Berdusta (atas nama Asy Syaikh Muqbil rahimahullah-pun) dilakukan, menjuluki sebagai Ashhabul
Manhaj sebagaimana yang dilontarkan dengan penuh semangat oleh Muhammad Barmim, berupaya
Asy-Syathibi mengatakan bahwa orang-orang yang berbeda pendapat atau pemahaman sehingga
hubungan. maka mereka menjadi firqah-firqah dalam Islam sebagaimana yang Beliau sampaikan
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/27/ciri-aliran-sesat/
Jadi FIRQAH DALAM ISLAM timbul ketika sebuah kelompok kaum muslim (jama’ah minal muslimin)
atau sebuah ormas (organisasi kemasyarakatan) menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang
atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan Hadits namun mereka
tidak berkompetensi sebagai ahli istidlal apalagi sebagai imam mujtahid mutlak atau mufti mustaqil
Sering timbul pertanyaan apakah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Ikhwanul Muslimin dan
organisasi-organisasi seperti itu termasuk kedalam firqah atau sekte dalam Islam ?
Organisasi-organisasi seperti itu sekedar jama’ah minal muslimin atau kumpulan kaum muslim atau
disebut organisasi kemasyarakatan yakni mereka yang menerapkan atau merealisasikan atau
Organisasi-organisasi seperti itu tidak termasuk kedalam firqah atau sekte dalam Islam selama
Sekelompok umat Islam (jama’ah minal muslimin) seperti sebuah ormas (organisasi kemasyarakatan)
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya
furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab
itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh
314
bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya
berbeda.
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang
satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka
yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/21/perbedaan-adalah-rahmat/
Imam Mazhab yang empat walaupun mereka tidak maksum namun mereka diakui oleh jumhur ulama
sejak dahulu kala sampai sekarang sebagai ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak
sehingga patut untuk dijadikan pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat bagi kaum muslim.
Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.
Contohnya Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena
bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari
tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq,
pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir.
Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi
untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam
Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari
yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah
Jadi bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang
Memang ada mazhab selain yang empat, namun pada masa sekarang sudah sulit ditemukan ulama
yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari imam mazhab selain yang empat sehingga tidak mudah
Sebagaimana pepatah mengatakan “malu bertanya sesat di jalan” maka kesesatan dapat timbul dari
keengganan untuk bertanya kepada orang-orang yang dianugerahi karunia hikmah oleh Allah Azza wa
Jalla.
315
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS.
an-Nahl : 43]
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui”
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai
seorang penunjuk
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak
memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran“.
Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Penunjuk
para Tabi’in adalah para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk
kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat.
Contohnya Imam Mujtahid telah mengingatkan bahwa jika salah dalam berijtihad dan beristinbat
(menggali hukum) dari Al Qur’an dan Hadits dapat terjerumus perbuatan menyekutukan Allah yakni
melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau
sebaliknya mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya sebagaimana yang telah
Firman Allah yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang
timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu
menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu
mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian
ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal,
Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada
mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka
sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan
Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
316
Bahkan Adz Dzahabi murid Ibnu Taimiyyah sendiri dalam kitab beliau Al Kabair (mengenai dosa-dosa
besar) berkata, “Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk kekufuran
yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Tidak ragu lagi bahwa siapa saja yang sengaja
berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghalalkan yang haram dan
Contoh yang lain akibat mereka menemukan, membaca, menterjemahkan dan memahami sebuah
hadits shahih secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri dan salah memahaminya
Mereka bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat mereka selalu
berpegang pada nash atau dalil secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam (Q.S. Al Imran [3] : 7), mereka mengikuti ayat-ayat
Fitnah mereka dengan mengatasnamakan Rasulullah maupun Salafush Sholeh sebagai perawi hadits
dengan mereka mengatakan bahwa Tuhan punya tangan dan kedua-duanya kanan.
Jelas sekali bahwa apa yang mereka sampaikan bukan aqidah atau pemahaman para Sahabat
(Salafush Sholeh) melainkan aqidah atau pemahaman mereka sendiri menurut akal pikiran mereka
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami (W 974H) pernah ditanya tentang ungkapan yang berbunyi,
“Hadits itu menyesatkan kecuali untuk para ahli fikih,” apakah itu hadits atau bukan, dan apa
maknanya, padahal mengetahui hadits termasuk salah satu syarat seseorang disebut sebagai ahli
fikih? Mana yang lebih mulia dan utama, ahli fikih atau ahli hadits ?
Beliau menjawab: Itu bukan hadits, melainkan ucapan Ibnu ‘Uyainah (*) atau selainnya. Makna
ungkapan itu adalah bahwa hadits seperti Al Quran, ada yang lafalnya umum tapi maknanya khusus
dan sebaliknya, ada yang nasikh dan ada yang mansukh, ada juga yang tidak diamalkan, ada yang
lafalnya musykil (bermasalah), jika dipahami secara dzahir (literal) dapat menimbulkan pemahaman
tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) seperti hadits yang berbunyi, “yanzilu Rabbuna… dst.”
Tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fikih. Berbeda dengan mereka yang
hanya mengerti hadits saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadits
317
zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya. Dari sini,
dapat diketahui keutamaan para ahli fikih yang memiliki pemahaman dibandingkan dengan para ahli
hadits yang tidak memiliki pemahaman. (Al Fatawa Al Haditsiyah halaman 202)
*) Ibnu ‘ Uyainah nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran, salah seorang Tabi’i tsiqoh,
dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H.
Di atas, Imam Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa hadits itu dapat menyesatkan kecuali bagi
para fuqaha (ahli fikih) seperti hadits yang mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya (jika dipahami
selalu dengan makna dzahir) membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… dan
kesesatan tersebut di alami ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat dan diikuti oleh
para pengikutnya.
Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti
Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan sebuah tulisan berjudul
“Taubatkah Ibnu Taimiyah ke dalam Aqidah Asy’ariyah?” dari sebuah link yang kami arsip (simpan)
Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari
pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan
makna dzahir
Memang ada yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian
taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai sidang ke empat hingga ia
wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar
dari http://www.muslimedianews.com/2015/02/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-ditangan.html
Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa Beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala
Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka
menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat)
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-
ibnu-taimiyyah.pdf
318
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah
(menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul
Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun
ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang
merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad
Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak
lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil
Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada
penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id
bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat
pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
Berikut kutipan tulisan ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dari tulisannya
berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah) sebagaimana
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan
‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang
muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah
juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan
dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’
di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara
319
Pemahaman “tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” tentu bukanlah pemahaman para Sahabat atau
Salafush Sholeh namun pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat ketika beliau membaca dan
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam
terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang
meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya
Berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah tersebut, mereka mengatakan bahwa walaupun Tuhan
mereka berada atau bertempat atau menetap tinggi atau bahkan melayang tinggi di atas ‘Arsy
(karena menafikan menempel di atas ‘Arsy) dan setiap sepertiga malam terakhir turun ke langit dunia
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/10/27/akibat-bermazhab-otodidak/
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan
kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian
Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan
Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang
cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat)
dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan
menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat
Berikut kutipannya
Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H
hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu
menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
320
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2
Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan,
khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar
A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.
Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu
Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang
bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa
dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan
membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah.
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian
menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat
Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah
an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam
321
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata:
“Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan
wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu
Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara
7. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal
dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
8. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau
semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi
9. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan
menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam
Rasulullah.
Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Wassalam
322
Bacaan Al Qur’an adalah ibarah atau ungkapan dari pada sifat kalam Allah yang kekal
Ustadz panutan mereka, Firanda Andirja memvonis Asyariyah sesat karena melakukan takwil terhadap
pada http://www.youtube.com/watch?v=Q3vBvrlIdn8
Mereka menuduh Asyariyah sesat karena berkeyakinan bahwa al-Qur’an bukan kalamullah dan
Mereka menuduh Asyariyah sesat karena berkeyakinan bahwa al-Qur’an yang kita baca sekarang
Mereka tampaknya belum dapat membedakan antara Sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah ad-
Hal yang dimaksud Al Qur’an bukan makhluk adalah mengacu pada sifat kalam Allah yang kekal
(Kalam Allah ad-Dzati) yang bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa karena huruf, suara maupun
323
Sedangkan Bacaan Al-Qur’an adalah lafazh-lafazh yang diturunkan (al-Lafzh al-Munazzal), yang ditulis
dengan tinta di antara lebaran-lembaran kertas (al-Maktub Bain al-Masha-hif), yang dibaca dengan
lisan (al-Maqru’ Bi al-Lisan), dan dihafalkan di dalam hati (al-Mahfuzh Fi ash-Shudur) adalah berupa
bahasa Arab, tersusun dari huruf-huruf, serta berupa suara saat dibaca.
Tentulah huruf, suara maupun bahasa adalah makhluk (diciptakan) sehingga bacaan Al-Qur’an dalam
Bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal) adalah ibarah atau ungkapan dari pada sifat kalam Allah yang
kekal (Kalam Allah al-Dzati) yang bukan suara, bukan huruf-huruf, dan bukan bahasa.
Sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah ad-Dzati) adalah qadim, tanpa permulaan dan tanpa
penghabisan serta tidak menyerupai sifat kalam yang ada pada makhluk.
Oleh sebab itu kita tidak percaya bahwa kalam Allah ada permulaannya, atau kalamNya itu adalah
suatu tindakan seperti pembicaraan kita, karena dengan hal itu berarti Allah butuh kepada selainNya
Suatu ketidaksempurnaan jika kalamNya untuk mengungkapkan apa yang diketahuiNya itu berupa
serial (kata-kata berurutan, perkataan satu demi satu, atau perkataan dengan huruf atau suara),
karena kalam yang terdiri dari ekspresi serial itu pasti memiliki awal dan akan ada penundaan
Contoh dalam “Bismillah”, misalnya “i” ada setelah datang “b”, sehingga ketika anda mengatakan
Bismillah, suara “i” hanya menjadi ada setelah ketidak adaan “b”
Pada hakikatnya kita tidak boleh mengimani sifat Allah yang dipengaruhi atau dibatasi oleh ciptaanNya
Allah Azza wa Jalla dengan sifat kalamNya tidak membutuhkan atau tidak dipengaruhi atau dibatasi
Kalam yang terdiri dari suara dan huruf adalah kalam ciptaan, karena alasan ini seseorang tidak boleh
mengatakan bahwa sifat kalam Allah yang kekal adalah huruf dan suara, karena Allah berfirman yang
artinya: “tidak ada sesuatu yang menyerupai Dia” (QS Asy Syuura [53]:11)
324
Imam Abu Hanifah (150 H) mengatakan “Kami berbicara dengan alat dan huruf sedangkan Allah
Ta’ala berbicara tanpa alat dan huruf, sedangkan huruf itu makhluk dan kalamullah bukanlah makhluk
sesungguhnya kalam Allah itu tidaklah dengan huruf dan suara karena huruf dan suara mengandung
bolehnya pendahuluan dan pengakhiran, yang demikian itu mustahil bagi Allah yang Maha Qadim “.
Imam Al-Qurthubi mengatakan : “ Fasal. Hadits “ Maka diserukan dengan suara “, dijadikan hujjah
oleh orang yang berkata Allah berbicara dengan huruf dan suara, sungguh Maha Suci Allah sesuci-
sucinya dari apa yang diucapkan kaum mujassimah dan pengingkar, sesungguhnya nida (seruan)
yang dinisbatkan kepada Allah diartikan seruan sebagian malaikat muqarrabin Allah dengan izin dan
Begitupula pada hari kiamat kelak, Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dari bangsa manusia
dan jin.
Mereka akan memahami dari kalam Allah tersebut pertanyaan-pertanyaan tentang segala apa yang
telah mereka kerjakan, segala apa yang mereka katakan, dan segala apa yang mereka yakini ketika
Mereka akan memahami dari kalam Allah yang bukan huruf dan suara sehingga tidak diperlukan
penterjemah
Rasulullah bersabda: “Setiap orang akan Allah perdengarkan Kalam-Nya kepadanya (menghisabnya)
pada hari kiamat, tidak ada penterjemah antara dia dengan Allah”. (HR. al-Bukhari)
Mereka akan memahami dari kalam Allah yang bukan huruf dan suara, tanpa penterjemah, dan yang
Allah Azza wa Jalla akan menghisab seluruh hamba-Nya dalam waktu yang sangat singkat
sebagaimana firmanNya yang artinya “dan Dia Allah yang menghisab paling cepat (QS Al An’am
[6]:62]
325
Seandainya Allah menghisab mereka dengan suara, susunan huruf, dan dengan bahasa, maka Allah
akan membutuhkan waktu beratus-ratus ribu tahun untuk menyelesaikan hisab tersebut, karena
Jelaslah seandainya Kalam Allah berupa suara, huruf, dan bahasa maka dalam menghisab semua
makhluk tersebut Allah akan membutuhkan kepada waktu yang sangat panjang. Karena dalam
Huruf berganti huruf, kemudian kata menyusul kata, dan demikian seterusnya. Dan bila demikian
maka maka berarti Allah bukan sebagai Asra’ al-Hasibin (Penghisab yang paling cepat), tapi
sebaliknya; Abtha’ al-Hasibin (Penghisab yang paling lambat). Tentunya hal ini mustahil bagi Allah.
Al-Imam al-Mutakallim Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi dalam kitab Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu’tadi
“Asy-Syaikh al-Imam Abu Ali al-Hasan ibn Atha’ pada tahun 481 H ketika ditanya sebuah
permasalahan berkata: Sesungguhnya huruf-huruf itu dalam penggunaannya saling mendahuli satu
atas lainnya. Pergantian saling mandahului antara huruf seperti ini tidak dapat diterima oleh akal jika
terjadi pada Allah yang maha Qadim. Sebab pengertian bahwa Allah maha Qadim adalah bahwa Dia
ada tanpa permulaan, sementara pergantian huruf-huruf dan suara adalah sesuatu yang baharu
Kemudian seluruh sifat-sifat Allah itu Qadim; tanpa permulaan, termasuk sifat Kalam-Nya.
Seandainya Kalam Allah tersebut berupa huruf-huruf dan suara maka berarti pada kalam-Nya tersebut
terjadi pergantian antara satu huruf dengan lainnya, antara satu suara dengan suara lainnya, dan bila
demikian maka Dia akan disibukan oleh perkara tersebut. Padahal Allah tidak disibukan oleh satu
Dengan demikian harus dibedakan antara bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal) dan Sifat kalam
Allah yang kekal (al-Kalam adz-Dzati). Sebab apa bila tidak dibedakan antara dua perkara ini, maka
setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an akan mendapatkan gelar “Kalimullah” sebagaimana
Tentu hal ini menjadi rancu dan tidak dapat diterima. Padahal, Nabi Musa mendapat gelar “Kalimullah”
adalah karena beliau pernah mendengar dan memahami al-Kalam adz-Dzati yang bukan berupa
326
Seandainya setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an mendapat gelar “Kalimullah” seperti gelar
Nabi Musa alaihi salam maka berarti tidak ada keistimewaan sama sekali bagi Nabi Musa alaihi salam
Dalam al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan apa bila seseorang dari orang-orang
musyrik meminta perlidungan darimu (wahai Muhammad) maka lindungilah ia hingga ia mendengar
Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam untuk memberikan
perlidungan kepada seorang kafir musyrik yang diburu oleh kaumnya, jika memang orang musyrik ini
meminta perlindungan darinya. Artinya, Orang musyrik ini diberi keamanan untuk hidup di kalangan
orang-orang Islam hingga ia mendengar Kalam Allah. Setelah orang musyrik tersebut diberi
keamanan dan mendengar Kalam Allah, namun ternyata ia tidak mau masuk Islam, maka ia
Dalam ayat ini, yang dimaksud bahwa orang musyrik tersebut “mendengar Kalam Allah” adalah
mendengar bacaan kitab al-Qur’an yang berupa lafazh-lafazh dalam bentuk bahasa Arab (al-Lafzh al-
Munazzal), bukan dalam pengertian mendengar al-Kalam adz-Dzati. Sebab jika yang dimaksud
mendengar al-Kalam adz-Dzati maka berarti sama saja antara orang musyrik tersebut dengan Nabi
Musa yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah”. Dan bila demikian maka berarti orang musyrik
tersebut juga mendapatkan gelar “Kalimullah”, persis seperti Nabi Musa. Tentunya hal ini tidak bisa
dibenarkan.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman: “Inama Amruhu Idza Arada Sya’ian An Yaqula Lahu Kun Fayakun”
Makna ayat ini bukan berarti bahwa setiap Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka dia
berkata: “Kun”, dengan huruf “Kaf” dan “Nun” yang artinya “Jadilah…!”.
Karena seandainya setiap berkehendak menciptakan sesuatu Allah harus berkata “Kun”, maka dalam
setiap saat perbuatan-Nya tidak ada yang lain kecuali hanya berkata-kata: “kun, kun, kun…”.
Hal ini tentu mustahil atas Allah. Karena sesungguhnya dalam waktu yang sesaat saja bagi kita, Allah
maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang tidak terhitung jumlanya.
327
Deburan ombak di lautan, rontoknya dedaunan, tetesan air hujan, tumbuhnya tunas-tunas, kelahiran
bayi manusia, kelahiran anak hewan dari induknya, letusan gunung, sakitnya manusia dan
kematiannya, serta berbagai peristiwa lainnya, semua itu adalah hal-hal yang telah dikehendaki Allah
dan merupakan ciptaan-Nya. Semua perkara tersebut bagi kita terjadi dalam hitungan yang sangat
Adapun sifat perbuatan Allah sendiri (Shifat al-Fi’il) tidak terikat oleh waktu. Allah menciptakan segala
sesuatu, sifat perbuatan-Nya atau sifat menciptakan-Nya tersebut tidak boleh dikatakan “di masa
lampau”, “di masa sekarang”, atau “di masa mendatang”. Sebab perbuatan Allah itu azali, tidak
Perbuatan Allah tidak terikat oleh waktu, dan tidak dengan mempergunakan alat-alat. Benar, segala
kejadian yang terjadi pada alam ini semuanya baharu, semuanya diciptakan oleh Allah, namun sifat
perbuatan Allah atau sifat menciptakan Allah (Shifat al-Fi’il) tidak boleh dikatakan baharu.
Kemudian dari pada itu, kata “Kun” adalah bahasa Arab yang merupakan ciptaan Allah (al-Makhluk).
Sedangkan Allah adalah Pencipta (Khaliq) bagi segala bahasa. Maka bagaimana mungkin Allah sebagai
Seandainya Kalam Allah merupakan bahasa, tersusun dari huruf-huruf, dan merupakan suara, maka
berarti sebelum Allah menciptakan bahasa Dia diam; tidak memiliki sifat Kalam, dan Allah baru
memiliki sifat Kalam setelah Dia menciptakan bahasa-bahasa tersebut. Bila seperti ini maka berarti
Allah baharu, persis seperti makhluk-Nya, karena Dia berubah dari satu keadaan kepada keadaan
Dengan demikian makna yang benar dari ayat dalam QS. Yasin: 82 diatas adalah sebagai ungkapan
bahwa Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa
ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk
menciptakan segala sesuatu yang Ia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat akan terjadi, tanpa
Salah satu hal yang membuat orang-orang terjerumus mengikuti aqidah Wahabisme penerus
kebid’ahan Ibnu Taimiyyah adalah syubhat, propaganda atau fitnah yang mengatakan bahwa Imam
Abu al-Hassan al-Asy`ari telah bertaubat dua kali alias melalui tiga fase pemikiran
Apakah benar tuduhan mereka bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari melalui tiga fase pemikiran dan fase
terakhir adalah Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan metodologi Ibn Kullab dan berpindah ke
328
metodologi Salaf serupa yang dipahami oleh ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul
pada http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/05/benarkah-imam-abu-hasan-al-asyari-
melalui-3-fase-pemikiran/
Sejarawan terkemuka, Ibn Khaldun berkata: “Hingga akhirnya tampil Syaikh Abu al-Hassan al-Asy`ari
dan berdebat dengan sebagian tokoh Muktazilah tentang masalah-masalah shalah dan aslah, lalu dia
membantah metodologi mereka (Muktazilah) dan mengikut pendapat Abdullah bin Said bin Kullab,
Abu al-Abbas al-Qalanisi dan al-Harits al-Muhasibi dari kalangan pengikut Salaf dan Ahl al-Sunnah”.
(Ibn Khaldum(2001), al-Muqaddimah, Dar al-Fikr, Beirut, ed. Khalil Syahadah, hal. 853)
Fakta yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun tersebut menyimpulkan bahwa setelah al-Imam Abu al-
Hassan al-Asy`ari keluar daripada faham Muktazilah, beliau mengikuti mazhab Abdullah bin Sa`id bin
Kullab, al-Qalanisi dan al-Muhasibi yang merupakan pengikut ulama’ Salaf alias Ahlussunnah wal
Jama`ah.
Dalam Muktamar Internasional Ahlussunnah wal Jama’ah di Chechnya, bulan Agustus 2016, dimana
salah satu hal yang dibahas adalah adanya pihak yang menganggap (menuduh) Asyariyah dan
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/09/07/hasil-muktamar-di-chechnya/
Mereka menganggap Asyariyah bukan pengikut Imam Abu al Hasan al Asy’ari, salah satunya karena
mereka berpegang pada kitab Al Ibanah yang telah dipalsukan sebagaimana yang telah disampaikan
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/09/21/bi-la-kayf/
Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti
Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan sebuah tulisan berjudul
“Taubatkah Ibnu Taimiyah ke dalam Aqidah Asy’ariyah?” dari sebuah link yang kami arsip (simpan)
Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari
pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan
makna dzahir
329
Memang ada yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian
taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai sidang ke empat hingga ia
wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar
dari http://www.muslimedianews.com/2015/02/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-ditangan.html
Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa Beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala
Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka
menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat)
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-
ibnu-taimiyyah.pdf
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah
(menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul
Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun
ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang
merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad
Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak
lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil
Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada
penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id
bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat
pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
330
Berikut kutipan tulisan ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dari tulisannya
berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah) sebagaimana
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan
‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang
muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah
juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan
dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’
di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara
Pemahaman “tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” tentu bukanlah pemahaman para Sahabat atau
Salafush Sholeh namun pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat ketika beliau membaca dan
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam
terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang
meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya
Berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah tersebut, mereka mengatakan bahwa walaupun Tuhan
mereka berada atau bertempat atau menetap tinggi atau bahkan melayang tinggi di atas ‘Arsy
(karena menafikan menempel di atas ‘Arsy) dan setiap sepertiga malam terakhir turun ke langit dunia
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/10/27/akibat-bermazhab-otodidak/
Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam (Q.S. Al Imran [3] : 7), mereka mengikuti ayat-ayat
mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga menimbulkan fitnah sebagaimana yang telah
Contoh fitnah yang lain mereka mengatakan bahwa Rasulullah yang mengatakan Tuhan punya tangan
331
Dari Abdullah bin ‘Amr رضي هللا عنهia berkata: Rasulullah صلى هللا عليه وسلمtelah bersabda: “Sesungguhnya
orang-orang yang adil di sisi Allah ( عزوجلpada hari kiamat) di atas mimbar-mimbar dari nur (cahaya)
di sebelah kanan Ar Rahman عزوجلdan KEDUA TANGAN-Nya adalah KANAN. Yaitu orang-orang yang
berlaku adil di dalam hukum mereka, dan pada kelaurga mereka, dan pada apa yang mereka pimpin”.
(Hadits shahih riwayat. Muslim no 1827 dan Nasaa-i no 5379 dan yang selain dari keduanya.
Fitnah mereka dengan mengatasnamakan Rasulullah maupun Salafush Sholeh sebagai perawi hadits
akibat mereka menemukan, membaca, menterjemahkan dan memahami sebuah hadits shahih secara
otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri dan salah memahaminya sehingga mereka
Mereka bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat mereka selalu
berpegang pada nash atau dalil secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Jelas sekali bahwa apa yang mereka sampaikan bukan aqidah atau pemahaman para Sahabat
(Salafush Sholeh) melainkan aqidah atau pemahaman mereka sendiri menurut akal pikiran mereka
tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan.
Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah
dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya
selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut
Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk
menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan
pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi
as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya
dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada
tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna
332
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh
ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau
makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena
jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak
patut bagiNya.
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu
balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik
dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu
sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para
ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan
kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian
Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan
Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang
cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat)
dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan
menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat
Berikut kutipannya
Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H
hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu
menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
333
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2
Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan,
khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar
A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.
Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu
Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang
bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa
dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan
membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah.
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian
menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat
Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah
an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam
334
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata:
“Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan
wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu
Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara
7. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal
dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
8. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau
semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi
9. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan
menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam
Rasulullah.
Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Wassalam
335
Kekeliruan dalam memahami sunnah taqririyyah dan sunnah Khulafaur Rasyidin
Keliru kalau mengatakan sunnah taqririyyah adalah penetapan syariat baru oleh para Sahabat karena
Diamnya Rasulullah atau Rasulullah membolehkan apa-apa yang tidak dilakukan atau tidak
dicontohkan oleh Rasulullah karena perkara baru (muhdats / bid’ah) atau kebiasaan baru tersebut
Contohnya bid’ah hasanah atau kebiasaan yang tidak diajarkan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah
adalah para Sahabat yang mempunyai kebiasaan selalu membaca surah al Ikhlas dalam sholatnya
Diriwayatkan ketika Imam Masjid Quba setiap kali sholat ia selalu membaca surat Al Ikhlas, setiap
sholat ia selalu membaca surat Al Fatihah, Al Ikhlas, baru surat lainnya. Ada orang yang
mengadukannya pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian ia ditanya oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam : Mengapa kau melakukan hal itu? Maka ia menjawab : “inniy uhibbuhaa” ,
336
Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka
iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada kami Ibn Wahb telah
menceritakan kepada kami Amru dari Ibnu Abu Hilal bahwa Abu Rijal Muhammad bin Abdurrahman
menceritakan kepadanya dari Ibunya Amrah binti Abdurrahman yang dahulu dalam asuhan Aisyah
isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari ‘Aisyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
mengutus seorang laki-laki dalam sebuah eskpedisi militer, lantas laki-laki tersebut membaca untuk
sahabatnya dalam shalatnya dengan QULHUWALLAHU AHAD (Surat al Ikhlash) dan menutupnya juga
dengan surat itu. Dikala mereka pulang, mereka menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tolong tanyailah dia, mengapa dia
berbuat sedemikian? ‘ Mereka pun menanyainya, dan sahabat tadi menjawab, ‘Sebab surat itu adalah
menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’ Spontan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya. (HR
Bukhari 6827)
Kebiasaan membaca surat Al Ikhlas didiamkan atau tidak dilarang atau diperbolehkan oleh Rasulullah
karena ditetapkan oleh Rasulullah ada bagian dari sholat yang memang tidak terlarang untuk berbeda
atau baru.
Contoh lainnya Abdulah bin Umar ra. menambahkan lafaz tahiyat sebagaimana dalam HR Abu Daud
dalam Sunannya. Adapun lafaz tahiyat yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
adalah;
Asyhadu an la Ilaha Illallah, Ibn Umar berkata; saya menambahkan Wahdahu la syarikalah…(HR. Abu
Daud).
Salah seorang sahabat yang bernama Rifa’ah bin Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata; Suatu hari
kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Ketika beliau mengangkat
kepala setelah ruku’ beliau membaca: Sami’allahu Liman Hamidah, tiba-tiba salah seorang makmum
berkata;
ار ًكا فِ ْي ِه َ َربَّنَا َولَكَ ْال َح ْمدُ َح ْمدًا َكثِي ًْرا
َ َطيِّبًا ُمب
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: Siapakah yang mengatakan kalimat itu tadi?. Orang yang
yang dimaksud menjawab: Saya Wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
337
Bersabda: Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama
mencatatnya. (HR. Bukhari, Abu Daud, Al- Nasa’i, Ahmad, dan Imam Malik) .
Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah bin Rafi ini beliau katakan:
Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan kebolehan menyusun zikir yang tidak ma’tsur di dalam
shalat selama tidak bertentangan dengan yang ma’tsur (yang berasal dari Nabi shallallahu alaihi
wasallam).
Jadi dalam sholat memang ada bagian yang diperbolehkan berbeda dengan apa yang dicontohkan
oleh Rasulullah.
Sholat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah adalah ibadah mahdhah sedangkan kebiasaan
para Sahabat membaca surah al Ikhlas dalam sholatnya adalah ibadah ghairu mahdah.
Mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH, salah satunya akibat mereka belum dapat membedakan antara
Para ulama Allah telah mengklasifikasikan ibadah ke dalam dua jenis yakni ibadah mahdhah dan
ghairu mahdhah
1. Ibadah mahdhah sebagaimana yang telah disyariatkan meliputi ibadah yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah dan apa yang telah diwajibkanNya yakni wajib dijalankan dan wajib dijauhi.
Prinsip ibadah mahdhah diformulakan dengan KA + SS yakni karena Allah + sesuai syariat.
Ibadah mahdhah bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan
ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami
rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau
tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka
Azas ibadah mahdhah adalah “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah
kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla
kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah
satu misi utama diutus Rasululullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk dipatuhi.
2. Ibadah Ghairu Mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat, ada yang
dicontohkan oleh Rasulullah dan ada pula yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah namun selama
338
tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan RasulNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an
Prinsip ibadah ghairu mahdhah diformulakan dengan BB + KA yakni berbuat baik + karena Allah
Prinsip ibadah ghairu mahdhah adalah tidak perlu sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah
karena keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah Ta’ala dan
Ibadah ghairu mahdhah bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya,
manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika
Azas ibadah ghairu mahdhah adalah “manfaat” maksudnya selama itu bermanfaat, maka selama itu
boleh dilakukan.
Jadi kebiasaan para Sahabat membaca surah al Ikhlas dalam sholatnya adalah ibadah ghairu mahdah
Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka
iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”
Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’
Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah
menyukainya
Jadi para Sahabat mempunyai kebiasaan yang tidak diajarkan oleh Rasulullah yakni kebiasaan
membaca surat Al Ikhlas, namun diperbolehkan atau tidak dilarang oleh Rasulullah karena pada
Jika tidak dilarang oleh Rasulullah maka perkara seperti itu bukan perkara terlarang sampai
kapanpun.
Begitupula kebiasaan panggilan sayyidina dalam sholawat ketika sholat termasuk ibadah ghairu
mahdhah boleh dilakukan berdasarkan manfaat yakni padanya ada sopan santun.
Oleh karenanya para fuqaha (ahli fiqih) membolehkan menambah perkataan sayyidina dalam sholawat
ketika sholat karena dalam sholat memang ada bagian yang diperbolehkan bid’ah atau perkara baru
(muhdats) atau berbeda dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
339
Berkata Syaikh Syihabuddin al Qaliyubi, pengarang dan pensyarah kitab minhaj Imam nawawi,
لورودها فى رواية كما قاله شيخنا وال زيادة عبده مع رسوله وال,نعم ! ال يضر زيادة هيم فى عليك وال يا نداء قبل ايها وال وحده ال شريك له بعد اشهد ان ال اله اال هللا
هنا وفى الصالة عليه االتية بل هو افضل الن فيه مع سلوك االدب امتثال االمر قليوبى.زيادة سيدنا قبل محمد
Artinya :”ya ! tidak merusakkan (dalam tasyahud) menambahkan huruf “mim” pada “’alaika”, begitu
juga menambahkan “ya” sebelum “ayyuha”, begitu juga membaca “wahdahu la syarikalah” sesudah
“asyhadu an la ilaha illallah”, begitu juga menambahkan “’abduhu” sebelum lafadh “warasuluhu”,
begitu juga menambah “sayidina” sebelum nama “Muhammad” (dalam tasyahud atau dalam
shalawat), tetapi membaca sayidina lebih afdhal karena dalam membaca “sayidina” itu kita sudah
menjalankan perintah nabi serentak dengan memuliakan dan menghormati nabi. (Qaliyubi I, hal 167).
Begitupula keliru kalau mengatakan bahwa sunnah Khulafaur Rasyidin adalah penetapan syariat baru
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya siapa diantara kamu yang hidup (berumur panjang), maka ia
akan melihat perselisihan yang banyak. Maka ikutilah sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin yang
Pengertian mengikuti sunnah Khulafaur Rasyidin dalam riwayat di atas bukanlah dalam pengertian
mengikuti syariat Khulafaur Rasyidin namun dalam pengertian mengikuti contoh Khulafaur Rasyidin
dalam mentaati dan menjalani apa yang telah disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla dan RasulNya
karena yang menetapkan syariat adalah Allah Azza wa Jalla dan diwahyukan kepada Rasulullah yakni
apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang
telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Selebihnya adalah perkara mubah (boleh). Allah Ta’ala
tidak lupa.
Begitupula keliru kalau mengatakan sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam
berkesinambungan setiap malam sepanjang bulan Ramadhan adalah sunnah Khulafaur Rasyidin
“sebaik-baik bid’ah adalah ini” , setelah Beliau melihat orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan
Dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata;
Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid,
340
ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri
dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka
‘Umar berkata: Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang
imam, itu lebih baik. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka
Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam
satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.
Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam, yang ia
maksudkan untuk mendirikan shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum
Begitupula Ka’ab bin Malik menegaskan bahwa, “Ini sebelumnya tidak ada”
Diriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik berkata pada ‘Umar, “Ini sebelumnya tidak ada”. “Aku tahu, akan
Begitupula keliru pula kalau mengatakan bahwa Khalifah Umar menghidupkan kembali sunnah
Rasulullah karena Rasulullah tidak pernah “mensunnahkan” atau memerintahkan para Sahabat untuk
Khalifah Umar mengatakan sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam adalah bid’ah yang
baik pada malam berikutnya karena Beliau tahu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak
melakukannya berkesinambungan setiap malam agar umat Islam tidak menganggapnya sebagai
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun
yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat tarawih
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para
sahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat
maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam), kemudian
mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam
bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang
341
mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’
Jadi yang dimaksud sholat taraweh adalah sebaik-baik bid’ah yakni sholat taraweh yang dilakukan
berkesinambungan setiap malam di bulan Ramadhan karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Hukum shalat tarawih berkesinambungan setiap malam di bulan Ramadhan atau dikatakan sebagai
“menegakkan Ramadhan” adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-
Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang
“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah
“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa
Shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh
Jadi shalat tarawih berjama’ah yang berkesinambungan setiap malam pada bulan Ramadhan adalah
perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yakni kebiasaan yang baik dan manfaat atau
Dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u
sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat
adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang
Contohnya amalan atau perbuatan kita menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan
Contoh hukum asalnya mubah menjadi haram yakni ketika tulisannya berisikan celaan karena
342
Rasulullah bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah
Sedangkan jika tujuan (maqoshid) kita menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam
rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala
Jadi perantara (wasail) kita menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah
Jadi cara membedakan antara ibadah mahdhah dengan ghairu mahdhah dapat dilihat dari wasail
Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada
Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya
Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana) sedangkan
Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh
ditinggalkan.
Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan
meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil
Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli
atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali
tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air
adalah wajib.
Jadi pahala yang diperoleh kaum muslim dari peringatan Maulid Nabi adalah dari bentuk kegiatan
343
Pada kenyataannya Rasulullah juga memperingati kelahirannya dengan sabdanya bahwa puasa Senin
Dari Abi Qatadah Al Anshari Radliyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Beliau bersabda,” di hari Senin itu saya dilahirkan dan saya
diangkat menjadi Rasulullah, dan diturunkan pada saya pada hari itu Al-Qur’an. v
Jadi berdasarkan sabda Rasulullah bahwa puasa Senin sekaligus memperingati hari kelahirannya
menjadi salah satu dalil bagi umat Islam untuk membolehkan memperingati Maulid Nabi dengan
kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar
laranganNya atau selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan
As Sunnah.
Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan
khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro
(pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan
Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan
Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermazhab Syafi’i
dan merupakan guru besar dari Al-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-
Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan, “merupakan Bid’ah hasanah
yang mulia di zaman kita ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran
(Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan,
maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir
dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara
dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat
bagi semesta alam” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah
Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.
Begitupula dengan peringatan atau perayaan ulang tahun dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri
sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di esok hari maupun di akhirat kelak
344
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa
Dapat kita simpulkan bahwa perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun
hukum asalnya adalah mubah (boleh) selama kegiatan yang mengisi acara tersebut tidak melanggar
laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Pahala diperoleh dari bentuk
kegiatan untuk mengisi perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun
tersebut.
melaksanakan “pekan memorial” atau sepekan mengenang Muhammad bin Abdul Wahhab
Ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih al Utsaimin berfatwa bahwa salah satu alasan mereka
membolehkannya adalah karena kegiatan mengenang ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin
Abdul Wahhab bukan dilaksanakan sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.
Kalau kegiatan mereka mengenang ulama panutan mereka dikatakan bukan untuk mendekatkan diri
kepada Allah maka itu artinya kegiatan mereka tersebut untuk menjauhkan diri dari Allah.
Jadi mereka tampaknya gemar melakukan hal yang buruk (keburukan) karena seluruh sikap dan
perbuatan yang bukan untuk (taqarrub) mendekatkan diri kepada Allah alias menjauhkan diri dari
Allah atau berpaling dari Allah adalah amal keburukan (lawan dari amal kebaikan) yakni seluruh sikap
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS
Shaad [38]:26)
“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat
demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56
Dalam sebuah diskusi, salah seorang yang sepakat dengan fatwa pekan memorial tersebut
Tidak ada yang salah dengan fatwa tersebut karena pekan memorial TIDAK DIANGGAP mendekatkan
345
Pekan memorial itu hanya mengenang Muhammad bin Abdul Wahhab.
Syah syah saja atau boleh mengenang pahlawan yang dianggap berjasa menurut negara masing-
masing.
Contohnya negara kita mengenang para pahlawan seperti mengenang perjuangan Jendral Sudirman.
Ummat sekarang harus tahu sejarah perjuangan para pendahulu yang memperjuangkan Islam di
Fatwa ulama panutan mereka tersebut untuk menjawab pertanyaan mengapa Maulid Nabi dingkari
atau dilarang (diharamkan) namun pekan memorial yakni acara MENGENANG ulama mereka sebagai
Fatwa ulama panutan mereka tersebut jelas salah karena dalil ‘aqli atau alasan mereka menggunakan
Mengapa mereka membolehkan MENGENANG ulama mereka sebagai pahlawan namun mereka
Tampaknya mereka lebih mencintai ulama panutan mereka daripada mencintai Rasulullah karena
mereka membolehkan mengenang dan memuji para ulama panutan mereka sepuas hati mereka dan
melarang umat Islam mengenang dan memuji Rasulullah, manusia yang paling mulia sebagaimana
memorial/
Begitupula kalau dilarang (diharamkan) peringatan Maulid Nabi karena diadakan secara rutin maka hal
itu bertentangan dengan sabda Rasulullah yang menganjurkan untuk melakukan kebiasaan yang baik
Rasulullah bersabda bersabda : “Amalan yang lebih dicintai Allah adalah amalan yang terus-menerus
Ibnul Jauzi juga berkata : Sesungguhnya Allah lebih mencintai amalan yang dilakukan secara rutin.
346
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar, “Nabi shallallahu alaihi wasallam
selalu mendatangi masjid Quba setiap hari sabtu baik dengan berjalan kaki maupun dengan
mengendarai kendaraan, sedangkan Abdullah selalu melakukannya.” (HR. Imam al-Bukhari dalam
Dalam mengomentari hadits ini Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini dengan sekian jalur
yang berbeda menunjukkan akan diperbolehkannya menjadikan hari-hari tertentu untuk sebuah ritual
yang baik dan istiqamah. Hadits ini juga menerangkan bahwa larangan bepergian ke selain tiga
masjid (Masjid al-Haram, Masjid al-Aqsa, dan Masjid Nabawi) tidaklah haram. ((Al Hujjatul Islam Ibnu
Para fuqaha (ahli fiqih) menetapkan bahwa peringatan Maulid Nabi maupun peringatan hari besar
agama Islam lainnya seperti Nuzulul Qur’an, Isra Mi’raj, Tahun baru Islam dan lain lain hukumnya
Pada hakikatnya segala perkara yang MUBAH (BOLEH) pun adalah IBADAH dan BERPAHALA karena
seluruh sikap dan perbuatan selama tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan RasulNya adalah amal
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun
terdapat sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, jika salah seorang diantara kami menyalurkan
nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala? beliau menjawab: Bagaimana sekiranya kalian
meletakkannya pada sesuatu yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, bila
kalian meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala. (HR Muslim
1674)
Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah.
Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada
seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474, 529)
Semua contoh perkara di atas adalah yang disebut dengan ibadah ghairu mahdhah yang meliputi
Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau
saling mengamalkan.
347
Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan
Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.
Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul
fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu
maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan
yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’
atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan
Oleh karenanya dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan,
budaya atau adat apapun, termasuk yang tidak ada pada zaman Rasulullah selama tidak menyalahi
larangan Allah Ta’ala dan larangan RasulNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan
Jadi mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH pada umumnya akan terjerumus BID’AH dalam URUSAN
AGAMA yakni menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang
(diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga
348
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru (bid’ah)
dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka
Perkara agama atau urusan agama meliputi perkara kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) maupun
larangan (jika dilanggar berdosa) berasal dari Allah Azza wa Jalla bukan menurut akal pikiran
manusia.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu
tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku
Perintah Allah dan RasulNya hukumnya ada dua yakni Wajib dan Sunnah (mandub).
Sedangkan larangan Allah dan RasulNya hukumnya ada dua pula yakni Haram dan Makruh.
Selebihnya hukumnya adalah mubah (boleh) dan Allah Ta’ala tidak lupa.
Para ulama mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman
atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah.
Jadi mereka yang menuduh dan memfitnah Rasulullah telah menyembunyikan sesuatu dari apa-apa
yang diturunkan Allah Ta’ala (Hr Bukhari 7380 dan Muslim 177) atau menuduh (menganggap) Allah
Ta’ala lupa adalah para pelaku BID’AH dalam URUSAN AGAMA yakni orang-orang yang menganggap
buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah
Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa
kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan
beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah
mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah
349
mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu
Rasulullah shallallau alaihi wasallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah
halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya
adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa
terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu
itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Imam Malik berkata “Barangsiapa yang membuat BID’AH dalam ISLAM yang ia memandangnya baik,
maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal
itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”.
Maka apa saja yang pada hari itu bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari
Hal yang dimaksud oleh Imam Malik dengan perkataannya “Barangsiapa yang membuat BID’AH dalam
ISLAM” adalah BID’AH dalam URUSAN AGAMA atau BID’AH dalam IBADAH MAHDAH yakni
menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya
atau sebaliknya menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang
Contoh BID’AH dalam ISLAM atau BID’AH dalam URUSAN AGAMA atau BID’AH dalam perkara IBADAH
MAHDHAH adalah terlarang sholat subuh tiga rakaat walaupun (rasional) menganggapnya baik karena
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR
Tidak boleh azan dalam sholat ied walaupun (rasional) menganggapnya baik berdasarkan kaidah ushul
fiqih
Artinya bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum
itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya.
350
Maksud dari berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang
didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan
Berikut riwayat yang mencontohkan BID’AH dalam ISLAM atau BID’AH dalam URUSAN AGAMA atau
Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari
Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu?”
Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan?”
Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka hendaklah orang-orang
yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur :
63] Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang
Dari contoh di atas, dapat kita pahami bahwa “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih
jauh dari itu” adalah perbedaan yang terlarang karena berbeda dengan yang diajarkan oleh Rasulullah
pada bagian yang terlarang untuk berbeda dan termasuk ibadah mahdah yang merupakan otoritas
Dalam Ibadah Mahdah berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal ibadah
adalah haram ) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram
kecuali ada nash yang mensyariatkannya) karena keberadaan ibadah mahdhah harus berdasarkan
adanya dalil dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-
Maaidah: [5] : 3)
351
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal
melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan
Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah
Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan
Oleh karenanya dikatakan pelaku bid’ah dalam urusan agama lebih disukai Iblis daripada pelaku
maksiat karena mereka menjadikan sembahan-sembahan selain Allah dan karena para pelaku tidak
Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah merasa berbuat salah dan
merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang
Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar
Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena
pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS Asy Syuura [42]:21)
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta
sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”,
“Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu
menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah
menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian
mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
352
Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih
dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang
yang sebenarnya tidak dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau
Firman Allah Ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami
dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan
dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-
adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah
yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan
pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara
mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. al Hadid [57]: 27)
Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri
dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni
melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang
tidak diwajibkanNya
Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti
1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa
2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur
Namun Rasulullah menegur dan mengkoreksi mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang
berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara
kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan
para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”
Jadi orang-orang yang gagal paham tentang bid’ah akibat salah memahami dan menggali hukum dari
Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka dapat terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Nasrani
yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang menganggap buruk sesuatu
sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya
atau sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah
Ta’ala dan RasulNya sehingga mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain
Allah
353
Begitupula ada kita temukan mereka yang melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang oleh Allah
Ta’ala dan RasulNya atau melarang (mengharamkan) tidak berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan Hadits
melainkan berdasarkan perkataan manusia seperti, “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi”
Perkataan tersebut bukan firman Allah Ta’ala, bukan sabda Rasulullah dan bukan pula perkataan para
Sahabat.
Bahkan perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” mirip dengan perkataan orang-orang kafir
dalam firmanNya,
“waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khairan maa sabaquunaa ilaihi wa-idz lam
“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al-Qur’an)
adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena
mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang
Ayat Al Ahqaaf [46]:11 tentang orang-orang kafir meremehkan orang-orang yang beriman yakni Bilal,
‘Ammar, Shuhaib, dan Khabbab serta orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan kaum
lemah, para budak dan hamba sahaya, karena orang-orang kafir berkeyakinan bahwa mereka
Qutadah mengatakan bahwa ayat Al Ahqaaf [46]:11 diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang
musyrikin (kafir) yang suatu ketika berkata, “Kami yang paling mulia, perkasa, dan terhormat. Jika
terdapat kebaikan dalam Al-Qur’an / Islam, tentulah kami yang pertama kali masuk Islam
Secara umum QS Al-Ahqaaf [46]:11 itu menyampaikan bahwa orang-orang kafir meremehkan, bahwa
jika beriman pada Al-Qur’an itu mendatangkan kebaikan tentu derajat atau kedudukan Bilal, ‘Ammar,
Perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” memang ada dalam kitab Ibnu Katsir pada tafsir
(QS al Ahqaaf [46]:11) yang umumnya diterjemahkan oleh mereka artinya “Seandainya hal itu baik,
354
Perlu ada penyelidikan lebih lanjut kehadiran perkataan tersebut karena perkataan “Lau Kaana
Khairan Lasabaquunaa ilaihi” sebagaimana yang diartikan oleh mereka tidak ada kaitannya dengan
Bahkan dari perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” tidak ada kata yang dapat diartikan
Ayat (QS al Ahqaaf [46]:11) justru menjelaskan bahwa para Sahabat “melakukannya” sedangkan
Para Sahabat beriman pada Al Qur’an sedangkan orang kafir tidak beriman pada Al Qur’an
Kebiasaan yang dilakukan atau tidak dilakukan para Sahabat bukanlah hukum dalam Islam yang
Bid’ah bukan hukum dalam Islam yang membatasi kita untuk tidak melakukan apapun yang tidak
Hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau
tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Jadi umat Islam boleh melakukan kebiasaan apapun selama tidak melanggar larangan Allah Ta’ala dan
RasulNya.
Ada pula dari mereka yang menjilat air ludahnya sendiri alias meralat pendapatnya bahwa ternyata
Mereka terpaksa menciptakan perantara, yang jika tanpa perantara ini mereka tidak dapat melakukan
aktifitas yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah maupun para Sahabat.
Pembagian atau klasifikasi bid’ah tersebut tidak pernah disebutkan oleh para ulama yang mengikuti
355
Mereka mengingkari pembagian bid’ah ke yang baik (hasanah) dan buruk (sayyiah) berdasarkan
Sedangkan pembagian bid’ah menjadi bid’ah diniyyah yang tidak boleh dan bid’ah duniawiyyah yang
boleh, adalah tindakan bid’ah atau tindakan mengada-ada yang sayyiah (buruk) sebenarnya karena
dengan mereka berpendapat bahwa bid’ah duniawiyyah tidak ada konsekuensi apapun maka mereka
Sebab dengan sikap ini mereka memvonis bahwa semua bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas
Bagi umat Islam dalam menghadapi bid’ah atau perkara baru atau muhdats atau perkara yang tidak
dijumpai pada masa Rasulullah menimbangnya dengan hukum dalam Islam yang dikenal dengan
hukum taklifi yang membatasi umat Islam untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan
Para fuqaha (ahli fiqih) menggunakan hukum taklifi untuk menetapkan hukum atas bid’ah atau
perkara baru (muhdats) atau perkara yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah atau tidak dijumpai
dalam Al Qur’an dan As Sunnah mencontoh dan mengikuti para Sahabat seperti Mu’adz bin Jabal ra
yang menerima pujian dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sabdanya, “Ummatku yang
paling tahu akan yang halal dan yang haram ialah Mu’adz bin Jabal”
Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu’adz hampir sama dengan
Umar bin Khathab. Ketika Rasulullah hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, “Apa
yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu’adz?” “Kitabullah,” jawab Mu’adz.
“Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?”, tanya Rasulullah pula. “Saya putuskan dengan
Sunnah Rasul.” “Jika tidak kamu temukan dalam Sunnah Rasulullah?” “Saya pergunakan pikiranku
untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia,” jawab Muadz. Maka berseri-serilah wajah
Rasulullah. “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang
Al Imam Al Hafizh An Nawawi menerangkan bahwa hadits tentang SUNNAH HASANAH (contoh atau
perkara baru yang baik) dan SUNNAH SAYYIAH (contoh atau perkara baru yang buruk) adalah hadits
yang mentakhsis hadits “kullu bid’atin dholalah” dan sebagai sumber atau dasar pembagian bid’ah
mengikuti hukum taklifi yang lima sebagaimana yang termuat di dalam kitab hadits “Shahih Muslim bi
Syarhi an-Nawawi” jilid 4 halaman 104-105, cetakan “Darul Fikr” Beirut Libanon (lihat
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/shohih-muslim-bi-syarhi-an-nawawi.jpg
356
Berikut kutipannya
Pembagian bid’ah bersumber dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, yaitu:
“Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala
orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-
buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya
“Setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Adapun yang dimaksud hadits tersebut adalah perkara-perkara baru yang bersifat bathil dan bid’ah-
1. Bid’ah wajib,
2. Bid’ah sunnah,
3. Bid’ah haram,
5. Bid’ah mubah.
Begitupula Al Imam Al Hafiz Al-Qurthubi mengatakan: “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii),
maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang
berbunyi : “seburuk-buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan setiap bid’ah adalah dhalalah”
(wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang
tidak sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wasallam, atau perbuatan Sahabat
radhiyallahu ‘anhum.
“Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala
orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat
buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya”
357
(Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik
dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
Begitupula sebagaimana Imam Nawawi di atas membagi bid’ah kepada lima bagian mengikuti hukum
taklifi yang lima, pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari dalam Risalatu Ahlissunnah
Imam Ibnu Abdis Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima.
Beliau berkata: “Bid‟ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa
1. Bid‟ah Wajibah: seperti mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib baik
yang terdapat di dalam al-Quran ataupun as-Sunnah, dimana pemahaman terhadap syari‟ah menjadi
3. Bid‟ah Mandubah: seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-
madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.
4. Bid‟ah Makruhah: seperti berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushaf dan lain
sebagainya.
5. Bid‟ah Mubahah: seperti bersalaman selesai shalat Shubuh dan Ashar, membuat lebih dalam
Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka maka diketahui bahwa adanya klaim
bahwa berikut ini adalah bid‟ah, seperti memakai tasbih, melafadzkan niat, membaca tahlil ketika
bersedekah setelah kematian dengan catatan tidak adanya perkara yang mencegah untuk bersedekah
tersebut, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid‟ah.
Dan sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar-pasar
malam, bermain undian pertunjukan gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk-buruknya bid‟ah.
358
Di atas, sebagaimana yang disampaikan oleh KH Hasyim Asyari bahwa Imam Ibnu Abdis Salam
mencontohkan bid’ah hasanah dan hukumnya wajib adalah menguasai ilmu tata bahasa Arab atau
ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) sebagai syarat dasar untuk dapat
Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah
memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih:
“Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali
Dalam Qawaid Al Ahkam (2/339), dengan cukup gamblang Imam Izzuddin menyatakan bahwa
Hal ini juga dinukil juga oleh Imam An Nawawi dalam Tahdzib Al Asma wa Al Lughat (3/22), serta Al
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ (3/459),”Adapun bersalaman yang dibiasakan setelah
shalat shubuh dan ashar saja telah menyebut As Syeikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdis Salam
rahimahullah Ta’ala,’Sesungguhnya hal itu bagian dari bid’ah-bid’ah mubah, tidak bisa disifati dengan
makruh dan tidak juga istihbab (sunnah).’ Dan yang beliau katakan ini baik.”
Ba Alawi mufti As Syafi’iyah Yaman, dalam kumpulan fatwa beliau Bughyah Al Mustrasyidin (hal. 50)
juga menyebutkan pula bahwa Imam Izzuddin memandang masalah ini sebagai bid’ah mubah
sebagaimana pemahaman Imam An Nawawi,”Berjabat tangan yang biasa dilakukan setelah shalat
shubuh dan ashar tidak memiliki asal baginya dan telah menyebut Ibnu Abdissalam bahwa hal itu
Bukan hanya ulama As Syafi’iyah saja yang memahami istilah khusus yang digunakan oleh Imam
Izuddin. Meskipun As Safarini seorang ulama mazhab Hanbali, beliau memahami bahwa Imam
Izzuddin menyatakan masalah ini sebagai bi’dah mubah. Tertulis dalam Ghidza Al Albab (1/235),
dalam rangka mengomentari pernyataan Ibnu Taimiyah yang menyebutkan bahwa berjabat tangan di
dua waktu tersebut adalah bid’ah yang tidak dilakukan oleh Rasul dan tidak disunnahkan oleh seorang
ulama sekalipun, ”Aku berkata, dan yang dhahir (jelas) dari pernyataan Ibnu Abdissalam dari As
359
Contoh bid’ah haram, Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam mencontohkan di antaranya: Golongan
(Firqah) Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, dan Mujassimah (musyabbihah). Menolak terhadap mereka
Lalu mereka bertanya mengapa tidak suka dikatakan sebagai ahli bid’ah
Umat Islam tidak suka dianggap atau dituduh sebagai ahli bid’ah karena memang sebagian besar
bid’ah adalah sesat yakni semua bid’ah dalam ibadah mahdhah dan bid’ah dalam perkara ibadah
ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat yang menyalahi
larangan Allah Ta’ala dan RasulNya atau yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Pengecualiannya atau yang dibolehkan hanyalah bid’ah dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi
perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat yang tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan
Al Imam Al Hafizh An Nawawi juga berkata “Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah
dholalah” ini adalah ‘Amm Makhshus, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang
dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan semuanya” (Syarh Shahih Muslim, 6/154)
Jadi mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH secara tidak langsung memfitnah Rasulullah dengan
Padahal para ahli tata bahasa Arab sepakat bahwa arti kata KULLU yang lebih tepat adalah SETIAP
Perbedaan pokok dari kata SETIAP dan kata SEMUA adalah kata SETIAP dapat menerima pengecualian
Contohnya perkataan seseorang dapat dibenarkan jika berkata bahwa “saya setiap pagi sarapan
makan roti” walaupun sesekali ia sarapan makan bubur nasi contohnya ketika ia sakit perut.
Jadi perkataan “saya setiap pagi sarapan makan roti” dibenarkan karena “sebagian besar pagi ia
Contoh lainnya “setiap pria tidak beranting” kecuali pria nyeleneh yang beranting
Sangat jelas “setiap pria tidak beranting” maksudnya adalah “sebagian besar pria tidak beranting”
360
Lalu ada yang bertanya bagaimana kalau bunyi hadits “wa kullu dholalatin finnar” apakah berarti “dan
Hal yang perlu diketahui bahwa Kullu dapat sebagai kullu ba’din maksudnya ”SETIAP dalam arti
SEBAGIAN” dan dapat pula sebagai kullu jam’in maksudnya “SETIAP dalam arti SEMUA”
Kullu pada “SETIAP kesesatan akan bertempat di neraka” adalah kullu jam’in (kullu / setiap dalam arti
semua) karena kata KULLU diikuti kata “kesesatan” yang sudah jelas (lugas) sifat jelek (sayyiah).
Sedangkan kullu dalam “kullu bid’ah dholalah” adalah kullu ba’din (kullu / setiap dalam arti sebagian)
Begitupula dengan hadits “Kullu bid’ah dholalah” tidak tercantum sifat dari bid’ah maka jika ditulis
a. Kemungkinan pertama :
Setiap “bid’ah yang baik” itu sesat (dholalah), dan setiap yang sesat (dholalah) masuk neraka
Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat (dholalah) berkumpul dalam satu benda dan
dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil.
b. Kemungkinan kedua :
ضالَ لَ ٍة فِىالنَّاِر
َ ضالَ لَ ٍة َو ُك ُّل َ ُك ُّل ِب ْد َع ٍة
َ س ِيئَ ٍة
Setiap “bid’ah yang jelek” itu sesat (dholalah), dan setiap yang sesat (dholalah) masuk neraka
Jadi kesimpulannya bid’ah yang sesat masuk neraka adalah bid’ah yang jelek (sayyiah)
Al Imam Al Hafizh An Nawawi mencontohkan kata KULLU yang diikuti kata yang belum menunjukkan
361
“karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap kapal” (QS Al Kahfi [18]:79)
Dalam ayat tersebut sifat kapal yang baik tidak tercantum namun dijelaskan oleh Nabi Khidir
alaihisalam bahwa Beliau mengetahui dihadapan mereka kelak akan ada seorang raja yang suka
merampas setiap kapal yang baik sehingga kapal kepunyaan beberapa orang miskin perlu dirusak
sedikit agar kelak mudah diperbaiki sehingga bilapun raja melihatnya maka ia menduga kapal itu
Jadi kata bid’ah dan kapal belum menunjukkan sifat sehingga kata setiap pada “setiap bid’ah” dan
“setiap kapal” adalah “setiap dari sebagian” yang memerlukan penjelasan lebih lanjut atau hadits
Jumhur ulama terdahulu seperti Al Imam Al Hafizh An Nawawi, Al Imam Al Hafizh Al Qurthubi, Al
Imam Al Hafizh As Suyuthi dan lainnya telah sepakat bahwa hadits untuk men-TAKHSIS hadits “kullu
bid’atin dholalah” adalah hadits tentang SUNNAH HASANAH dan SUNNAH SAYYIAH
Pengertian TAKHSIS adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk di dalam
lafadz ‘AMM.
Para ulama men-takhsis atau menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz
‘amm dengan dalil sehingga takhsis ada dua yakni takhsis muttasil dan takhsis munfasil
Takhsis Muttasil ialah dimana takhsis itu terjadi dalam satu kalimat yang sama.
Takhsis Munfasil ialah takhsis yang berada dalam kalimat yang lain atau terpisah
Jadi hadits “kullu bid’atin dholalah” takhsisnya terpisah (takhsis munfasil) pada hadits tentang
Berikut hadits selengkapnya yang menjadi salah satu dalil BID’AH HASANAH
Rasulullah alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang melakukan satu SUNNAH HASANAH dalam Islam,
maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan SUNNAH tersebut
setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu
SUNNAH SAYYIAH dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang
mengamalkan SUNNAH tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR
Muslim 4830)
362
Kata SUNNAH dalam hadits tentang “SUNNAH HASANAH” dan “SUNNAH SAYYIAH” bukanlah Sunnah
Dalam kamus bahasa Arab dapat dengan mudah kita ketahui bahwa arti kata SUNNAH adalah “Jalan
Pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau
tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.
Jadi kata SUNNAH dalam hadits tentang “SUNNAH HASANAH” dan “SUNNAH SAYYIAH” artinya contoh
(teladan) atau kebiasaan baru yakni kebiasaan yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya.
Contoh (teladan) atau kebiasaan baru tersebut bisa baik (hasanah) dan bisa pula buruk (sayyiah)
Jadi kesimpulannya Rasulullah menyebut BID’AH HASANAH dengan istilah SUNNAH HASANAH artinya
contoh (teladan) atau muhdats (perkara baru) atau kebiasaan baru yang BAIK yakni contoh atau
kebiasaan baru yang tidak menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As
Sunnah
Sedangkan Rasulullah menyebut BID’AH SAYYIAH dengan istilah SUNNAH SAYYIAH artinya contoh
(teladan) atau muhdats (perkara baru) atau kebiasaan baru yang BURUK yakni contoh atau kebiasaan
baru yang menyalahi laranganNya atau bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa “Yang membedakan
antara SUNNAH HASANAH dengan SAYYIAH adalah adanya kesesuaian atau tidak dengan pokok-
pokok syar’i“
Jadi perbedaan antara SUNNAH HASANAH (BID’AH HASANAH) dengan SUNNAH SAYYIAH (BID”AH
SAYYIAH) adalah tidak bertentangan atau bertentangan dengan pokok-pokok syar’i yakni Al Qur’an
dan As Sunnah.
Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
“Cara mengetahui BID’AH yang HASANAH dan SAYYIAH menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika
perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk
BID’AH HASANAH, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk BID’AH SAYYIAH
363
Begitupula dalam Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313
Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan
menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar
ج- الطالبين1 ص313 (حاشية إعانة- ُ شيْئا ً مِ ْن ذَلِكَ فَ ُه َو البِ ْد َعةُ ال َمحْ ُم ْودَة ُ ) َوما َ أَحْ دَثَ مِ نَ ال َخي ِْر َولَ ْم يُخاَل
َ ِف
Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak
menyalahi (tidak bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah BID’AH yang TERPUJI
Abu Nuaim dalam kitab Hilyah Al-Aulia, hlm. 9/76 meriwayatkan pernyataan Imam Syafi’i di mana ia
berkata:
نعمت البدعة: واحتج بقول عمر بن الخطاب في قيام رمضان، وما خالف السنة فهو مذموم، فما وافق السنة فهو محمود. وبدعة مذمومة، بدعة محمودة،البدعة بدعتان
هي
Artinya: Bid’ah itu ada dua: bid’ah terpuji (mahmudah) dan bid’ah tercela (madzmumah). Bid’ah yang
sesuai Sunnah disebut bidah terpuji. Yang berlawanan dengan sunnah disebut bid’ah tercela. Imam
Syafi’i berargumen dengan perkataan Umar bin Khattab dalam soal shalat tarawih bulan Ramadan:
Wassalam
364
Dalil Bid’ah Hasanah
Dalam sebuah diskusi di jejaring sosial Facebook, salah seorang bertanya, apakah dalil untuk bid’ah
Jumhur ulama terdahulu seperti Al Imam Al Hafizh An Nawawi, Al Imam Al Hafizh Al Qurthubi, Al
Imam Al Hafizh As Suyuthi dan lainnya telah sepakat bahwa hadits untuk men-TAKHSIS hadits “kullu
bid’atin dholalah” adalah hadits tentang SUNNAH HASANAH dan SUNNAH SAYYIAH
Pengertian TAKHSIS adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk di dalam
lafadz ‘AMM.
Para ulama men-takhsis atau menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz
‘amm dengan dalil sehingga takhsis ada dua yakni takhsis muttasil dan takhsis munfasil
Takhsis Muttasil ialah dimana takhsis itu terjadi dalam satu kalimat yang sama.
Takhsis Munfasil ialah takhsis yang berada dalam kalimat yang lain atau terpisah.
Jadi hadits “kullu bid’atin dholalah” takhsisnya terpisah (takhsis munfasil) pada hadits tentang
Berikut hadits selengkapnya yang menjadi salah satu dalil BID’AH HASANAH
Rasulullah alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang melakukan satu SUNNAH HASANAH dalam Islam,
maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan SUNNAH tersebut
setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu
SUNNAH SAYYIAH dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang
365
mengamalkan SUNNAH tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR
Muslim 4830)
Kata SUNNAH dalam hadits tentang “SUNNAH HASANAH” dan “SUNNAH SAYYIAH” bukanlah Sunnah
Dalam kamus bahasa Arab dapat dengan mudah kita ketahui bahwa arti kata SUNNAH adalah “Jalan
Pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau
tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.
Jadi kata SUNNAH dalam hadits tentang “SUNNAH HASANAH” dan “SUNNAH SAYYIAH” artinya contoh
(teladan) atau kebiasaan baru yakni kebiasaan yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya.
Contoh (teladan) atau kebiasaan baru tersebut bisa baik (hasanah) dan bisa pula buruk (sayyiah)
Jadi kesimpulannya Rasulullah menyebut BID’AH HASANAH dengan istilah SUNNAH HASANAH artinya
contoh (teladan) atau muhdats (perkara baru) atau kebiasaan baru yang BAIK yakni contoh atau
kebiasaan baru yang tidak menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As
Sunnah
Sedangkan Rasulullah menyebut BID’AH SAYYIAH dengan istilah SUNNAH SAYYIAH artinya contoh
(teladan) atau muhdats (perkara baru) atau kebiasaan baru yang BURUK yakni contoh atau kebiasaan
baru yang menyalahi laranganNya atau bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa “Yang membedakan
antara SUNNAH HASANAH dengan SAYYIAH adalah adanya kesesuaian atau tidak dengan pokok-
pokok syar’i“
Jadi perbedaan antara SUNNAH HASANAH (BID’AH HASANAH) dengan SUNNAH SAYYIAH (BID”AH
SAYYIAH) adalah tidak bertentangan atau bertentangan dengan pokok-pokok syar’i yakni Al Qur’an
dan As Sunnah.
Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
ٌي ُم ْستَ ْقبَ َحة َّ َوإِ ْن كَانَتْ مِ َّما تَ ْند َِر ُج تَحْ تَ ُم ْستَ ْقبَحٍ ف ِْي ال،ٌسنَة
َ شرْ عِ فَ ِه َ شرْ عِ فَ ِه
َ ي َح َ ْ َوالتَّحْ ِقيْقُ أَنَّ َها إِ ْن كَانَتْ ِم َّما تَ ْند َِر ُج تَحْ تَ ُم ْست َح.
َّ س ٍن ف ِْي ال
“Cara mengetahui BID’AH yang HASANAH dan SAYYIAH menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika
perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk
366
BID’AH HASANAH, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk BID’AH SAYYIAH
Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan
menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar
ج- الطالبين1 ص313 (حاشية إعانة- ُ شيْئا ً مِ ْن ذَلِكَ فَ ُه َو البِ ْد َعةُ ال َمحْ ُم ْودَة ُ ) َوما َ أَحْ دَثَ مِ نَ ال َخي ِْر َولَ ْم يُخاَل
َ ِف
Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak
menyalahi (tidak bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah BID’AH yang TERPUJI
Abu Nuaim dalam kitab Hilyah Al-Aulia, hlm. 9/76 meriwayatkan pernyataan Imam Syafi’i di mana ia
berkata:
نعمت البدعة: واحتج بقول عمر بن الخطاب في قيام رمضان، وما خالف السنة فهو مذموم، فما وافق السنة فهو محمود. وبدعة مذمومة، بدعة محمودة،البدعة بدعتان
هي
Artinya: Bid’ah itu ada dua: bid’ah terpuji (mahmudah) dan bid’ah tercela (madzmumah). Bid’ah yang
sesuai Sunnah disebut bidah terpuji. Yang berlawanan dengan sunnah disebut bid’ah tercela. Imam
Syafi’i berargumen dengan perkataan Umar bin Khattab dalam soal shalat tarawih bulan Ramadan:
Sebagaimana Imam Syafi’i , kita berpegang pada perkataan Khalifah Umar bin Khattab, “Sebaik-baik
Jadi keliru kalau mengatakan sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam berkesinambungan
setiap malam sepanjang bulan Ramadhan adalah sunnah Khulafaur Rasyidin karena Khalifah Umar
mengatakannya,
“sebaik-baik bid’ah adalah ini” , setelah Beliau melihat orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan
367
Dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata;
Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid,
ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri
dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka
‘Umar berkata: Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang
imam, itu lebih baik. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka
Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam
satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.
Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam, yang ia
maksudkan untuk mendirikan shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum
Begitupula Ka’ab bin Malik menegaskan bahwa, “Ini sebelumnya tidak ada”
Diriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik berkata pada ‘Umar, “Ini sebelumnya tidak ada”. “Aku tahu, akan
Keliru pula kalau mengatakan bahwa Khalifah Umar menghidupkan kembali sunnah Rasulullah karena
Rasulullah tidak pernah “mensunnahkan” atau memerintahkan para Sahabat untuk berjamaah dengan
Khalifah Umar mengatakan sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam adalah bid’ah yang
baik pada malam berikutnya karena Beliau tahu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak
melakukannya berkesinambungan setiap malam agar umat Islam tidak menganggapnya sebagai
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun
yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat tarawih
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para
sahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat
maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam), kemudian
mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi
368
wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam
bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang
mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’
Jadi yang dimaksud sholat taraweh adalah sebaik-baik bid’ah yakni sholat taraweh yang dilakukan
berkesinambungan setiap malam di bulan Ramadhan karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Hukum shalat tarawih berkesinambungan setiap malam di bulan Ramadhan atau dikatakan sebagai
“menegakkan Ramadhan” adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-
Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang
“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah
“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa
Shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh
Jadi shalat tarawih berjama’ah yang berkesinambungan setiap malam pada bulan Ramadhan adalah
perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yakni kebiasaan yang baik dan manfaat atau
Contoh bid’ah hasanah atau kebiasaan yang tidak diajarkan oleh Rasulullah adalah para Sahabat yang
mempunyai kebiasaan selalu membaca surah al Ikhlas dalam sholatnya sehingga kebiasaan tersebut
Diriwayatkan ketika Imam Masjid Quba setiap kali sholat ia selalu membaca surat Al Ikhlas, setiap
sholat ia selalu membaca surat Al Fatihah, Al Ikhlas, baru surat lainnya. Ada orang yang
mengadukannya pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian ia ditanya oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam : Mengapa kau melakukan hal itu? Maka ia menjawab : “inniy uhibbuhaa” ,
369
Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka
iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada kami Ibn Wahb telah
menceritakan kepada kami Amru dari Ibnu Abu Hilal bahwa Abu Rijal Muhammad bin Abdurrahman
menceritakan kepadanya dari Ibunya Amrah binti Abdurrahman yang dahulu dalam asuhan Aisyah
isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari ‘Aisyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
mengutus seorang laki-laki dalam sebuah eskpedisi militer, lantas laki-laki tersebut membaca untuk
sahabatnya dalam shalatnya dengan QULHUWALLAHU AHAD (Surat al Ikhlash) dan menutupnya juga
dengan surat itu. Dikala mereka pulang, mereka menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tolong tanyailah dia, mengapa dia
berbuat sedemikian? ‘ Mereka pun menanyainya, dan sahabat tadi menjawab, ‘Sebab surat itu adalah
menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’ Spontan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya. (HR
Bukhari 6827)
Lalu mereka mengatakan bahwa kebiasaan membaca surah Al-Ikhlas dengan sepengetahuan dan
seizinnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dinamai sunnah taqrir. Boleh kita laksanakan.
Hal yang perlu kita pahami bahwa sunnah taqririyyah yakni diamnya Nabi shallallahu alaihi wasallam
atas apa yang dikatakan atau diperbuat oleh para Sahabat bukanlah sebagai penetapan syariat baru
Begitupula Khulafaur Rasyidin tidaklah membuat syariat baru, sebagaimana yang pernyataan khalifah
Umar di atas
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya siapa diantara kamu yang hidup (berumur panjang), maka ia
akan melihat perselisihan yang banyak. Maka ikutilah sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin yang
Pengertian mengikuti sunnah Khulafaur Rasyidin dalam riwayat di atas bukanlah dalam pengertian
mengikuti syariat Khulafaur Rasyidin namun dalam pengertian mengikuti contoh Khulafaur Rasyidin
dalam mentaati dan menjalani apa yang telah disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla dan RasulNya
karena yang menetapkan syariat adalah Allah Azza wa Jalla dan diwahyukan kepada Rasulullah yakni
370
apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang
telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Selebihnya adalah perkara mubah (boleh). Allah Ta’ala
tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa
kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan
beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah
mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah
mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu
Rasulullah shallallau alaihi wasallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah
halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya
adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa
terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu
itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH, salah satunya akibat mereka belum dapat membedakan antara
Para ulama Allah telah mengklasifikasikan ibadah ke dalam dua jenis yakni ibadah mahdhah dan
ghairu mahdhah
1. Ibadah mahdhah sebagaimana yang telah disyariatkan meliputi ibadah yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah dan apa yang telah diwajibkanNya yakni wajib dijalankan dan wajib dijauhi.
Prinsip ibadah mahdhah diformulakan dengan KA + SS yakni karena Allah + sesuai syariat.
Ibadah mahdhah bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan
ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami
rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau
tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka
Azas ibadah mahdhah adalah “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah
kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla
kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah
satu misi utama diutus Rasululullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk dipatuhi.
371
2. Ibadah Ghairu Mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat, ada yang
dicontohkan oleh Rasulullah dan ada pula yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah namun selama
tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan RasulNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an
Prinsip ibadah ghairu mahdhah diformulakan dengan BB + KA yakni berbuat baik + karena Allah
Prinsip ibadah ghairu mahdhah adalah tidak perlu sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah
karena keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah Ta’ala dan
Ibadah ghairu mahdhah bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya,
manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika
Azas ibadah ghairu mahdhah adalah “manfaat” maksudnya selama itu bermanfaat, maka selama itu
boleh dilakukan.
Jadi sholat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah adalah ibadah mahdhah sedangkan
kebiasaan para Sahabat membaca surah al Ikhlas dalam sholatnya adalah ibadah ghairu mahdah yang
Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka
iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”
Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’
Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah
menyukainya
Jadi para Sahabat mempunyai kebiasaan yang tidak diajarkan oleh Rasulullah yakni kebiasaan
membaca surat Al Ikhlas, namun diperbolehkan atau tidak dilarang oleh Rasulullah karena pada
Jika tidak dilarang oleh Rasulullah maka perkara seperti itu bukan perkara terlarang sampai
kapanpun.
Begitupula kebiasaan panggilan sayyidina dalam sholawat ketika sholat termasuk ibadah ghairu
mahdhah boleh dilakukan berdasarkan manfaat yakni padanya ada sopan santun.
372
Oleh karenanya para fuqaha (ahli fiqih) membolehkan menambah perkataan sayyidina dalam sholawat
ketika sholat karena dalam sholat memang ada bagian yang diperbolehkan bid’ah atau perkara baru
(muhdats) atau berbeda dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Berkata Syaikh Syihabuddin al Qaliyubi, pengarang dan pensyarah kitab minhaj Imam nawawi,
لورودها فى رواية كما قاله شيخنا وال زيادة عبده مع رسوله وال,نعم ! ال يضر زيادة هيم فى عليك وال يا نداء قبل ايها وال وحده ال شريك له بعد اشهد ان ال اله اال هللا
هنا وفى الصالة عليه االتية بل هو افضل الن فيه مع سلوك االدب امتثال االمر قليوبى.زيادة سيدنا قبل محمد
Artinya :”ya ! tidak merusakkan (dalam tasyahud) menambahkan huruf “mim” pada “’alaika”, begitu
juga menambahkan “ya” sebelum “ayyuha”, begitu juga membaca “wahdahu la syarikalah” sesudah
“asyhadu an la ilaha illallah”, begitu juga menambahkan “’abduhu” sebelum lafadh “warasuluhu”,
begitu juga menambah “sayidina” sebelum nama “Muhammad” (dalam tasyahud atau dalam
shalawat), tetapi membaca sayidina lebih afdhal karena dalam membaca “sayidina” itu kita sudah
menjalankan perintah nabi serentak dengan memuliakan dan menghormati nabi. (Qaliyubi I, hal 167).
Dalam Ibadah Mahdah berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal ibadah
adalah haram ) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram
kecuali ada nash yang mensyariatkannya) karena keberadaan ibadah mahdhah harus berdasarkan
adanya dalil dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan
Contoh BID’AH dalam IBADAH MAHDHAH adalah terlarang sholat subuh tiga rakaat walaupun
(rasional) menganggapnya baik karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sholatlah
Tidak boleh azan dalam sholat ied walaupun (rasional) menganggapnya baik berdasarkan kaidah ushul
fiqih
Artinya bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum
itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya.
Maksud dari berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang
didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan
373
Imam Malik berkata “Barangsiapa yang membuat BID’AH dalam ISLAM yang ia memandangnya baik,
maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal
itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”.
Maka apa saja yang pada hari itu bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari
Berikut riwayat yang mencontohkan BID’AH dalam IBADAH MAHDHAH dan oleh Imam Malik disebut
Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari
Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu?”
Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan?”
Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka hendaklah orang-orang
yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur :
63] Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang
Dari contoh di atas, dapat kita pahami bahwa “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih
jauh dari itu” adalah perbedaan yang terlarang karena berbeda dengan yang diajarkan oleh Rasulullah
pada bagian yang terlarang untuk berbeda dan termasuk ibadah mahdah yang merupakan otoritas
Jadi yang dimaksud oleh Imam Malik dengan perkataannya “Barangsiapa yang membuat BID’AH
dalam ISLAM” adalah bid’ah dalam urusan agama yakni menganggap baik sesuatu sehingga
mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap buruk
sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan
RasulNya.
Sedangkan dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati
hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam perkara muamalah, kebiasaan,
374
budaya atau adat adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau
Contohnya amalan atau perbuatan kita menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan
Contoh hukum asalnya mubah menjadi haram yakni ketika tulisannya berisikan celaan karena
Rasulullah bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah
Sedangkan jika tujuan (maqoshid) kita menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam
rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala
Jadi perantara (wasail) kita menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah
Jadi cara membedakan antara ibadah mahdhah dengan ghairu mahdhah dapat dilihat dari wasail
Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada
Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya
Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana) sedangkan
Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh
ditinggalkan.
Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan
meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil
375
Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli
atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali
tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air
adalah wajib.
Jadi pahala yang diperoleh kaum muslim dari peringatan Maulid Nabi adalah dari bentuk kegiatan
Pada kenyataannya Rasulullah juga memperingati kelahirannya dengan sabdanya bahwa puasa Senin
Dari Abi Qatadah Al Anshari Radliyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Beliau bersabda,” di hari Senin itu saya dilahirkan dan saya
diangkat menjadi Rasulullah, dan diturunkan pada saya pada hari itu Al-Qur’an.
Jadi berdasarkan sabda Rasulullah bahwa puasa Senin sekaligus memperingati hari kelahirannya
menjadi salah satu dalil bagi umat Islam untuk membolehkan memperingati Maulid Nabi dengan
kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar
laranganNya atau selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan
As Sunnah.
Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan
khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro
(pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan
Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan
Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermazhab Syafi’i
dan merupakan guru besar dari Al-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-
Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan, “merupakan Bid’ah hasanah
yang mulia di zaman kita ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran
(Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan,
maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir
dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara
dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat
bagi semesta alam” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah
376
Lalu mereka bertanya mengapa tidak suka dikatakan sebagai ahli bid’ah
Umat Islam tidak suka dianggap atau dituduh sebagai ahli bid’ah karena memang sebagian besar
bid’ah adalah sesat yakni semua bid’ah dalam ibadah mahdhah dan bid’ah dalam perkara ibadah
ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat yang menyalahi
larangan Allah Ta’ala dan RasulNya atau yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Pengecualiannya atau yang dibolehkan hanyalah bid’ah dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi
perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat yang tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan
Al Imam Al Hafizh An Nawawi juga berkata “Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah
dholalah” ini adalah ‘Amm Makhshus, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang
dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan semuanya” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH secara tidak langsung memfitnah Rasulullah dengan
Padahal para ahli tata bahasa Arab sepakat bahwa arti kata KULLU yang lebih tepat adalah SETIAP
Perbedaan pokok dari kata SETIAP dan kata SEMUA adalah kata SETIAP dapat menerima pengecualian
Contohnya perkataan seseorang dapat dibenarkan jika berkata bahwa “saya setiap pagi sarapan
makan roti” walaupun sesekali ia sarapan makan bubur nasi contohnya ketika ia sakit perut.
Jadi perkataan “saya setiap pagi sarapan makan roti” dibenarkan karena “sebagian besar pagi ia
Contoh lainnya “setiap pria tidak beranting” kecuali pria nyeleneh yang beranting
Sangat jelas “setiap pria tidak beranting” maksudnya adalah “sebagian besar pria tidak beranting”
Lalu ada yang bertanya bagaimana kalau bunyi hadits “wa kullu dholalatin finnar” apakah berarti “dan
Hal yang perlu diketahui bahwa Kullu dapat sebagai kullu ba’din maksudnya ”SETIAP dalam arti
SEBAGIAN” dan dapat pula sebagai kullu jam’in maksudnya “SETIAP dalam arti SEMUA”
377
Kullu pada “SETIAP kesesatan akan bertempat di neraka” adalah kullu jam’in (kullu / setiap dalam arti
semua) karena kata KULLU diikuti kata “kesesatan” yang sudah jelas (lugas) sifat jelek (sayyiah).
Sedangkan kullu dalam “kullu bid’ah dholalah” adalah kullu ba’din (kullu / setiap dalam arti sebagian)
Begitupula dengan hadits “Kullu bid’ah dholalah” tidak tercantum sifat dari bid’ah maka jika ditulis
a. Kemungkinan pertama :
Setiap “bid’ah yang baik” itu sesat (dholalah), dan setiap yang sesat (dholalah) masuk neraka
Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat (dholalah) berkumpul dalam satu benda dan
dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil.
b. Kemungkinan kedua :
ضالَ لَ ٍة فِىالنَّاِر
َ ضالَ لَ ٍة َو ُك ُّل َ ُك ُّل بِ ْد َع ٍة
َ سيِئَ ٍة
Setiap “bid’ah yang jelek” itu sesat (dholalah), dan setiap yang sesat (dholalah) masuk neraka
Jadi kesimpulannya bid’ah yang sesat masuk neraka adalah bid’ah yang jelek (sayyiah)
Al Imam Al Hafizh An Nawawi mencontohkan kata KULLU yang diikuti kata yang belum menunjukkan
“karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap kapal” (QS Al Kahfi [18]:79)
Dalam ayat tersebut sifat kapal yang baik tidak tercantum namun dijelaskan oleh Nabi Khidir
alaihisalam bahwa Beliau mengetahui dihadapan mereka kelak akan ada seorang raja yang suka
merampas setiap kapal yang baik sehingga kapal kepunyaan beberapa orang miskin perlu dirusak
378
sedikit agar kelak mudah diperbaiki sehingga bilapun raja melihatnya maka ia menduga kapal itu
Jadi kata bid’ah dan kapal belum menunjukkan sifat sehingga kata setiap pada “setiap bid’ah” dan
“setiap kapal” adalah “setiap dari sebagian” yang memerlukan penjelasan lebih lanjut atau hadits
Al Imam Al Hafizh An Nawawi menerangkan bahwa hadits tentang SUNNAH HASANAH (contoh atau
perkara baru yang baik) dan SUNNAH SAYYIAH (contoh atau perkara baru yang buruk) adalah hadits
yang mentakhsis hadits “kullu bid’atin dholalah” dan sebagai sumber atau dasar pembagian bid’ah
mengikuti hukum taklifi yang lima sebagaimana yang termuat di dalam kitab hadits “Shahih Muslim bi
Syarhi an-Nawawi” jilid 4 halaman 104-105, cetakan “Darul Fikr” Beirut Libanon (lihat
pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/shohih-muslim-bi-syarhi-an-nawawi.jpg
Berikut kutipannya
Pembagian bid’ah bersumber dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, yaitu:
“Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala
orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-
buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya
“Setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Adapun yang dimaksud hadits tersebut adalah perkara-perkara baru yang bersifat bathil dan bid’ah-
1. Bid’ah wajib,
2. Bid’ah sunnah,
3. Bid’ah haram,
5. Bid’ah mubah.
379
Silahkan download atau baca secara online pada http://archive.org/details/SahihMuslimSharhNawawi
Begitupula Al Imam Al Hafiz Al-Qurthubi mengatakan: “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii),
maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang
berbunyi : “seburuk-buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan setiap bid’ah adalah dhalalah”
(wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang
tidak sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wasallam, atau perbuatan Sahabat
radhiyallahu ‘anhum.
“Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala
orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat
buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya”
(Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik
dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
Begitupula sebagaimana Imam Nawawi di atas membagi bid’ah kepada lima bagian mengikuti hukum
taklifi yang lima, pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari dalam Risalatu Ahlissunnah
Imam Ibnu Abdis Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima.
Beliau berkata: “Bid‟ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa
1. Bid‟ah Wajibah: seperti mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib baik
yang terdapat di dalam al-Quran ataupun as-Sunnah, dimana pemahaman terhadap syari‟ah menjadi
3. Bid‟ah Mandubah: seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-
madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.
4. Bid‟ah Makruhah: seperti berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushaf dan lain
sebagainya.
380
5. Bid‟ah Mubahah: seperti bersalaman selesai shalat Shubuh dan Ashar, membuat lebih dalam
Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka maka diketahui bahwa adanya klaim
bahwa berikut ini adalah bid‟ah, seperti memakai tasbih, melafadzkan niat, membaca tahlil ketika
bersedekah setelah kematian dengan catatan tidak adanya perkara yang mencegah untuk bersedekah
tersebut, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid‟ah.
Dan sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar-pasar
malam, bermain undian pertunjukan gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk-buruknya bid‟ah.
Di atas, sebagaimana yang disampaikan oleh KH Hasyim Asyari bahwa Imam Ibnu Abdis Salam
mencontohkan bid’ah hasanah dan hukumnya wajib adalah menguasai ilmu tata bahasa Arab atau
ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) sebagai syarat dasar untuk dapat
Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah
memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih:
“Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali
Dalam Qawaid Al Ahkam (2/339), dengan cukup gamblang Imam Izzuddin menyatakan bahwa
Hal ini juga dinukil juga oleh Imam An Nawawi dalam Tahdzib Al Asma wa Al Lughat (3/22), serta Al
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ (3/459),”Adapun bersalaman yang dibiasakan setelah
shalat shubuh dan ashar saja telah menyebut As Syeikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdis Salam
rahimahullah Ta’ala,’Sesungguhnya hal itu bagian dari bid’ah-bid’ah mubah, tidak bisa disifati dengan
makruh dan tidak juga istihbab (sunnah).’ Dan yang beliau katakan ini baik.”
Ba Alawi mufti As Syafi’iyah Yaman, dalam kumpulan fatwa beliau Bughyah Al Mustrasyidin (hal. 50)
juga menyebutkan pula bahwa Imam Izzuddin memandang masalah ini sebagai bid’ah mubah
381
sebagaimana pemahaman Imam An Nawawi,”Berjabat tangan yang biasa dilakukan setelah shalat
shubuh dan ashar tidak memiliki asal baginya dan telah menyebut Ibnu Abdissalam bahwa hal itu
Bukan hanya ulama As Syafi’iyah saja yang memahami istilah khusus yang digunakan oleh Imam
Izuddin. Meskipun As Safarini seorang ulama mazhab Hanbali, beliau memahami bahwa Imam
Izzuddin menyatakan masalah ini sebagai bi’dah mubah. Tertulis dalam Ghidza Al Albab (1/235),
dalam rangka mengomentari pernyataan Ibnu Taimiyah yang menyebutkan bahwa berjabat tangan di
dua waktu tersebut adalah bid’ah yang tidak dilakukan oleh Rasul dan tidak disunnahkan oleh seorang
ulama sekalipun, ”Aku berkata, dan yang dhahir (jelas) dari pernyataan Ibnu Abdissalam dari As
Contoh bid’ah haram, Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam mencontohkan di antaranya: Golongan
(Firqah) Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, dan Mujassimah (musyabbihah). Menolak terhadap mereka
Para fuqaha (ahli fiqih) menggunakan hukum taklifi untuk menetapkan hukum atas bid’ah atau
perkara baru (muhdats) atau perkara yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah atau tidak dijumpai
dalam Al Qur’an dan As Sunnah mencontoh dan mengikuti para Sahabat seperti Mu’adz bin Jabal ra
yang menerima pujian dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sabdanya, “Ummatku yang
paling tahu akan yang halal dan yang haram ialah Mu’adz bin Jabal”
Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu’adz hampir sama dengan
Umar bin Khathab. Ketika Rasulullah hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, “Apa
yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu’adz?” “Kitabullah,” jawab Mu’adz.
“Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?”, tanya Rasulullah pula. “Saya putuskan dengan
Sunnah Rasul.” “Jika tidak kamu temukan dalam Sunnah Rasulullah?” “Saya pergunakan pikiranku
untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia,” jawab Muadz. Maka berseri-serilah wajah
Rasulullah. “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang
Mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH pada umumnya akan terjerumus BID’AH dalam URUSAN AGAMA
yakni mereka yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak
dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap baik sesuatu
sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya
382
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru (BID’AH)
dalam URUSAN AGAMA yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka
Perkara agama atau urusan agama meliputi perkara kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) maupun
larangan (jika dilanggar berdosa) berasal dari Allah Azza wa Jalla bukan menurut akal pikiran
manusia.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu
tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku
Perintah Allah dan RasulNya hukumnya ada dua yakni Wajib dan Sunnah (mandub).
Sedangkan larangan Allah dan RasulNya hukumnya ada dua pula yakni Haram dan Makruh.
Selebihnya hukumnya adalah mubah (boleh) dan Allah Ta’ala tidak lupa.
Para ulama mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman
atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah.
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-
Maaidah: [5] : 3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal
melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan
Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah
Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan
383
Oleh karenanya dikatakan pelaku bid’ah dalam urusan agama lebih disukai Iblis daripada pelaku
maksiat karena mereka menjadikan sembahan-sembahan selain Allah dan karena para pelaku tidak
Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah merasa berbuat salah dan
merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang
Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar
Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena
pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS Asy Syuura [42]:21)
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta
sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”,
“Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu
menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah
menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian
mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih
dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang
yang sebenarnya tidak dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau
Firman Allah Ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami
dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan
dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-
adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah
384
yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan
pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara
mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. al Hadid [57]: 27)
Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri
dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni
melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang
tidak diwajibkanNya
Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti
1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa
2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur
Namun Rasulullah menegur dan mengkoreksi mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang
berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara
kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan
para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”
Jadi orang-orang yang gagal paham tentang bid’ah akibat salah memahami dan menggali hukum dari
Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka dapat terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Nasrani
yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang menganggap buruk sesuatu
sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya
atau sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah
Ta’ala dan RasulNya sehingga mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain
Allah.
Contoh mereka yang gagal paham bid’ah sehingga dapat terjerumus menjadikan ulama-ulama mereka
sebagai tuhan-tuhan selain Allah adalah ironisnya mereka melarang (mengharamkan) Maulid Nabi
namun mereka membolehkan melaksanakan “pekan memorial” atau sepekan mengenang Muhammad
Ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih al Utsaimin berfatwa bahwa salah satu alasan mereka
membolehkannya adalah karena kegiatan mengenang ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin
Abdul Wahhab bukan dilaksanakan sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.
385
Kalau kegiatan mereka mengenang ulama panutan mereka dikatakan bukan untuk mendekatkan diri
kepada Allah maka itu artinya kegiatan mereka tersebut untuk menjauhkan diri dari Allah.
Jadi mereka tampaknya gemar melakukan hal yang buruk (keburukan) karena seluruh sikap dan
perbuatan yang bukan untuk (taqarrub) mendekatkan diri kepada Allah alias menjauhkan diri dari
Allah atau berpaling dari Allah adalah amal keburukan (lawan dari amal kebaikan) yakni seluruh sikap
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS
Shaad [38]:26)
“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat
demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56
Dalam sebuah diskusi, salah seorang yang sepakat dengan fatwa pekan memorial tersebut
Tidak ada yang salah dengan fatwa tersebut karena pekan memorial TIDAK DIANGGAP mendekatkan
Syah syah saja atau boleh mengenang pahlawan yang dianggap berjasa menurut negara masing-
masing.
Contohnya negara kita mengenang para pahlawan seperti mengenang perjuangan Jendral Sudirman.
Ummat sekarang harus tahu sejarah perjuangan para pendahulu yang memperjuangkan Islam di
Fatwa ulama panutan mereka tersebut untuk menjawab pertanyaan mengapa Maulid Nabi dingkari
atau dilarang (diharamkan) namun pekan memorial yakni acara MENGENANG ulama mereka sebagai
386
Fatwa ulama panutan mereka tersebut jelas salah karena dalil ‘aqli atau alasan mereka menggunakan
Mengapa mereka membolehkan MENGENANG ulama mereka sebagai pahlawan namun mereka
Tampaknya mereka lebih mencintai ulama panutan mereka daripada mencintai Rasulullah karena
mereka membolehkan mengenang dan memuji para ulama panutan mereka sepuas hati mereka dan
melarang umat Islam mengenang dan memuji Rasulullah, manusia yang paling mulia sebagaimana
memorial/
Begitupula kalau dilarang (diharamkan) peringatan Maulid Nabi karena diadakan secara rutin maka hal
itu bertentangan dengan sabda Rasulullah yang menganjurkan untuk melakukan kebiasaan yang baik
Rasulullah bersabda bersabda : “Amalan yang lebih dicintai Allah adalah amalan yang terus-menerus
Ibnul Jauzi juga berkata : Sesungguhnya Allah lebih mencintai amalan yang dilakukan secara rutin.
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar, “Nabi shallallahu alaihi wasallam
selalu mendatangi masjid Quba setiap hari sabtu baik dengan berjalan kaki maupun dengan
mengendarai kendaraan, sedangkan Abdullah selalu melakukannya.” (HR. Imam al-Bukhari dalam
Dalam mengomentari hadits ini Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini dengan sekian jalur
yang berbeda menunjukkan akan diperbolehkannya menjadikan hari-hari tertentu untuk sebuah ritual
yang baik dan istiqamah. Hadits ini juga menerangkan bahwa larangan bepergian ke selain tiga
masjid (Masjid al-Haram, Masjid al-Aqsa, dan Masjid Nabawi) tidaklah haram. ((Al Hujjatul Islam Ibnu
387
Para fuqaha (ahli fiqih) menetapkan bahwa peringatan Maulid Nabi maupun peringatan hari besar
agama Islam lainnya seperti Nuzulul Qur’an, Isra Mi’raj, Tahun baru Islam dan lain lain hukumnya
Pada hakikatnya segala perkara yang MUBAH (BOLEH) pun adalah IBADAH dan BERPAHALA karena
seluruh sikap dan perbuatan selama tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan RasulNya adalah amal
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun
terdapat sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, jika salah seorang diantara kami menyalurkan
nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala? beliau menjawab: Bagaimana sekiranya kalian
meletakkannya pada sesuatu yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, bila
kalian meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala. (HR Muslim
1674)
Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah.
Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada
seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474, 529)
Semua contoh perkara di atas adalah yang disebut dengan ibadah ghairu mahdhah yang meliputi
Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau
saling mengamalkan.
Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan
Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.
Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah
388
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul
fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu
maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan
yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’
atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan
Oleh karenanya dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan,
budaya atau adat apapun, termasuk yang tidak ada pada zaman Rasulullah selama tidak menyalahi
larangan Allah Ta’ala dan larangan RasulNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan
Begitupula ada kita temukan mereka yang melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang oleh Allah
Ta’ala dan RasulNya atau melarang (mengharamkan) tidak berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan Hadits
melainkan berdasarkan perkataan manusia seperti, “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi”
Perkataan tersebut bukan firman Allah Ta’ala, bukan sabda Rasulullah dan bukan pula perkataan para
Sahabat.
Bahkan perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” mirip dengan perkataan orang-orang kafir
dalam firmanNya,
“waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khairan maa sabaquunaa ilaihi wa-idz lam
“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al-Qur’an)
adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena
389
mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang
Ayat Al Ahqaaf [46]:11 tentang orang-orang kafir meremehkan orang-orang yang beriman yakni Bilal,
‘Ammar, Shuhaib, dan Khabbab serta orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan kaum
lemah, para budak dan hamba sahaya, karena mereka (orang-orang kafir) berkeyakinan bahwa
Qutadah mengatakan bahwa ayat Al Ahqaaf [46]:11 diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang
musyrikin (kafir) yang suatu ketika berkata, “Kami yang paling mulia, perkasa, dan terhormat. Jika
terdapat kebaikan dalam Al-Qur’an / Islam, tentulah kami yang pertama kali masuk Islam
Secara umum QS Al-Ahqaaf [46]:11 itu menyampaikan bahwa orang-orang kafir meremehkan, bahwa
jika beriman pada Al-Qur’an itu mendatangkan kebaikan tentu derajat atau kedudukan Bilal, ‘Ammar,
Perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” memang ada dalam kitab Ibnu Katsir pada tafsir
(QS al Ahqaaf [46]:11) namun perlu ada penyelidikan lebih lanjut kehadiran perkataan tersebut
karena perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” sebagaimana yang diartikan oleh mereka
Bahkan dari perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” tidak ada kata yang dapat diartikan
Ayat (QS al Ahqaaf [46]:11) justru menjelaskan bahwa para Sahabat “melakukannya” sedangkan
Para Sahabat beriman pada Al Qur’an sedangkan orang kafir tidak beriman pada Al Qur’an
Kebiasaan yang dilakukan atau tidak dilakukan para Sahabat bukanlah hukum dalam Islam yang
Umat Islam boleh melakukan kebiasaan apapun selama tidak melanggar larangan Allah Ta’ala dan
RasulNya.
390
Begitupula bagi umat Islam, bid’ah bukan hukum dalam Islam yang membatasi kita untuk tidak
Hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau
tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Ada pula dari mereka yang menjilat air ludahnya sendiri alias meralat pendapatnya bahwa ternyata
Mereka terpaksa menciptakan perantara, yang jika tanpa perantara ini mereka tidak dapat melakukan
aktifitas yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah maupun para Sahabat.
Pembagian atau klasifikasi bid’ah tersebut tidak pernah disebutkan oleh para ulama yang mengikuti
Mereka yang mengingkari pembagian bid’ah ke yang baik (hasanah) dan buruk (sayyiah) berdasarkan
hadits Rasulullah tentang sunnah hasanah dan sunnah sayyiah maka pembagian bid’ah menjadi bid’ah
diniyyah yang tidak boleh dan bid’ah duniawiyyah yang boleh, adalah tindakan bid’ah dan mengada-
ada yang sayyiah (buruk) sebenarnya karena mereka berpendapat bahwa bid’ah duniawiyyah tidak
Sebab dengan sikap ini mereka memvonis bahwa semua bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas
Mereka dapat terjerumus mengikuti paham sekularisme yang dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) didefinisikan bahwa pengikut sekularisme agama adalah mereka yang memisahkan urusan
dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan,
sedangkan urusan dunia atau hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan
kesepakatan sosial.
Pengikut paham sekularisme yang mengaku muslim menyalahgunakan potongan hadits ,”wa antum
a’lamu bi amri dunyakum, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-urusan duniamu”. (HR.
Muslim 4358)
391
Riwayat selengkapnya,
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan ‘Amru An Naqid seluruhnya dari Al
Aswad bin ‘Amir; Abu Bakr berkata; Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Amir; Telah
menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Hisyam bin ‘Urwah dari Bapaknya dari ‘Aisyah
dan dari Tsabit dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati suatu kaum yang
sedang mengawinkan pohon kurma lalu beliau bersabda: “Sekiranya mereka tidak melakukannya,
kurma itu akan (tetap) baik”. Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak.
Hingga suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau
bertanya: ‘Ada apa dengan pohon kurma kalian? Mereka menjawab; Bukankah anda telah
mengatakan hal ini dan hal itu? Beliau lalu bersabda: ‘Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian’
Kaum sekulerisme berpendapat urusan dunia tidaklah diurus oleh agama, terbukti dalam hadits
tersebut Rasulullah salah memberikan nasehat dalam penanaman kurma berikut contoh pernyataan
mereka selengkapnya,
“Ketika Nabi shallalahu alaihi wasallam memberikan nasihat tentang cara mengawinkan pohon kurma
supaya berbuah, ini bisa dianggap bahwa beliau sudah memasukkan otoritas agama untuk urusan
duniawi yang di mana beliau tidak mendapatkan wahyu atau kewenangan untuk itu.
Tapi ternyata dalam masalah menanam kurma ini pendapat beliau keliru. Pohon kurma itu malah
menjadi mandul. Maka para petani kurma itu mengadu lagi kepada Nabi saw, meminta
pertanggungjawaban beliau. Dan beliau menyadari kesalahan advisnya waktu itu dan dengan rendah
hati berkata, “Kalau itu berkaitan dengan urusan agama ikutilah aku, tapi kalau itu berkaitan dengan
urusan dunia kamu, maka “Antum a’lamu bi umuri dunyaakum”, kamu sekalian lebih mengetahui
urusan duniamu.
Rasulullah mengakui keterbatasannya. Rasulullah bukanlah penentu untuk segala hal. Rasul bukanlah
orang yang paling tahu untuk segala hal. Bahkan untuk urusan dunia di jaman beliau pun beliau
Jadi tidak mungkin jika kita menuntut Rasulullah untuk mengetahui segala sesuatu hal tentang urusan
dunia. Apalagi kalau mengurusi urusan kita di jaman modern ini…! Tentu tidak mungkin kita harus
mencari-cari semua aturan tetek-bengek dalam hadist beliau. Itu namanya set-back. Lha wong di
jamannya saja Rasulullah menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak beliau pahami dan hendaknya
392
tidak mengikuti pendapat beliau dalam ‘urusan duniamu’ tersebut.”
Dalam hadits di atas Rasulullah hanya memberikan tanggapan mengapa mesti kurma itu dikawinkan
segala, mengapa tidak dibiarkan begitu saja secara alami. Hal ini dapat kita ketahui terkait firman
Allah Azza wa Jalla, “subhaana alladzii khalaqa al-azwaaja kullahaa mimmaa tunbitu al-ardhu” , “Maha
Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan
Permasalahan kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak tidaklah terkait dengan tanggapan
Rasulullah.
Sedangkan makna perkataan Rasulullah, “wa antum a’lamu bi amri dunyakum”, “dan kamu sekalian
lebih mengetahui urusan-urusan duniamu” , yang dimaksud “urusan dunia” khusus urusan disiplin
ilmu tertentu atau pengetahuan tertentu di luar ilmu agama, seperti dalam hadits tersebut adalah ilmu
Namun bagi umat Islam, urusan dunia seperti ilmu pengetahuan yang didalami oleh manusia maupun
apapun yang tidak dijumpai pada zaman Rasulullah dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang
meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat maka kita menimbangnya dengan hukum
dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak
melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Wassalam
Semua Ibadah »
Dalil Bid’ah
20 April 2010 oleh mutiarazuhud
Mengambil Pelajaran dari Dalil Tentang Bid’ah
Ketika saya membuat tulisan hati-hati dalam memahami bid’ah
393
Banyak yang memberikan tanggapan dengan memberikan dalil-dalil banyak sekali tentang
Mereka (yang memberikan dalil-dalil) tidak melakukan langkah berikutnya, cukup berpuas diri pada
dalil-dalil semata.
Langkah berikutnya adalah “mengambil pelajaran” dari semua dalil-dalil berhubungan dengan
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah)
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
Semoga kita diberikan anugerah hikmah oleh Allah yang Maha Penyayang,
Jika tidak kita dapatkan anugerah hikmah, maka bisa saja termasuk yang disebut “Iman mereka tidak
sebelumnya https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/12/tawil/
Urutan pertama adalah cari dalil yang bersifat umum (prinsip/dalil umum) biasanya mengandung kata
“Jauhilah olehmu sesuatu yang diada-adakan karena yang diada-adakan itu bid’ah dan sekalian bid’ah
Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan: “Barangsiapa yang berbuat satu kebid’ahan di
dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah azza wajalla telah menyatakan:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian. Dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku
kepada kalian. Dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al- Maidah: 3)
394
Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya
“Barangsiapa yang menbuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak” (H.R
Arti kata-kata “kebid’ahan di dalam Islam” , “dalam urusan kami” ialah urusan keagamaan, karena
Nabi Muhammad Saw, diutus Allah untuk menyampaikan agama. Maka dari hadist-hadits ini dapat
diambil pengertian bahwa kalau dalam urusan keduniaan atau ghairu mahdah boleh saja diadakan
Sehingga sebagian ulama memaknai bahwa bid’ah yang bukan dalam Islam atau bukan urusan
keagamaan, yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, tidak menentang perbuatan-
perbuatan Sahabat Nabi, dan tidak menentang Ijma maka dikategorikan bid’ah hasanah.
Imam as Syafii ra berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul
atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dlalalah. Dan apa yang baru terjadi
dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah
(terpuji).
Hadist Nabi yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu adalah sesat, adalah masih dapat menerima
pengecualian, karena lafadz kullu bid’atin adalah isim yang dimudlafkan kepada isim nakirah,
sehingga dlalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah
menerima pengecualian. Untuk itulah dijelaskan oleh hadits yang lain dengan istilah “di dalam
Wassalam
Share this:
Facebook8
Terkait
Ibadah dan Bid'ahdalam "Islam"
Seluruhnya Ibadahdalam "Islam"
Maulid Nabi sawdalam "Islam"
Ditulis dalam Islam, Umum | Dengan kaitkata bid'ah, dholalah, hasanah | 117 Komentar
117 Tanggapan
395
1. pada 30 April 2010 pada 9:06 pm | Balas salafi
Imam Samudera ketika akan ditembak dia senyum2 saja karena menganggap dirinya sedang berjihad
di jalan Allah…
quburiyun, sufiyun, khurofatiyun ketika berada di atas kapal yang mau tenggelam …. yang mereka
seru siapa?? rasulullah, nabi2, malaikat, syaikh, para wali, jimat, dll … di samping menyeru Allah…
tapi seorang pelacur atau pezinah, peminum khamr dan pembunuh, bisa dengan cepat sadar karena
mereka tau mereka di atas kesesatan, tapi orang yang terjatuh ke dalam pemahaman sesat, sampai
Saya ingin tanya, kalo memang saudara meyakini bahwa ‘Maulid’ itu termasuk bid’ah hasanah, maka
————————————————–
NB : saya harap pertanyaan saya diatas dijawab tidak dalam bentuk link, singkat saja asal jelas,
-terima kasih-
Terima kasih antum sudah berlaku adil, yakni meletakkan komentar pada tempatnya.
396
Ibadah umum beberapa dicontohkan oleh Rasulullah dan disunahkan untuk mengikuti , namun
sebagian lagi diserahkan kepada manusia sesuai keinginan, teknologi atau zaman
Ibadah umum seperti bekerja, berdoa/berzikir, berjama’ah, sedekah, infaq, belajar / menuntut ilmu,
metode pengajaran, berpolitik, menggunakan safety belt ketika berkendara mobil, menggunakan
pedal rem ketika menjalankan kendaraan, menggunakan helm ketika berkendara motor, berangkat
naik haji menggunakan sarana transportasi yang lebih baik seperti dengan pesawat terbang.
Yang perlu diingat bahwa “semua yang diserahkan kepada manusia” itu tidak boleh bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Inilah yang disebut dengan mengikuti petunjuk Allah atau pegangan
Ibadah umum, berdoa/berzikir, disunnahkan mengikuti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW
namun boleh dilakukan sesuai kebutuhan/keinginan (tidak sesuai yang dicontohkan) namun
Sedangkan Maulid Nabi memang tidak dicontohkan oleh Nabi SAW maupun para sahabat sehingga
Ada 5 point hal yg ingin saya sampaikan dan tanyakan (saya harap saudara menjawabnya satu
persatu)….
1. Ini adalah salah satu kekeliruan saudara dalam memahami agama (Islam) ini yakni meng-
2. Bagaimana bisa, dzikir, sholawat dan berdoa yg pada hakikatnya merupakan amaliah dalam hal
‘habluminallah’ disamakan kaidah hukumnya dengan perbuatan2 seperti menggunakan safety belt
ketika berkendara mobil, menggunakan pedal rem ketika menjalankan kendaraan, dan
menggunakan helm ketika berkendara motor yg dimana perbuatan2 tsb kaitannya hanyalah
3. Dengan mengatakan bahwa “……..Maulid Nabi memang tidak dicontohkan oleh Nabi maupun
itu tandanya bahwa saudara sebenarnya telah paham kaitan antara perayaan ‘Maulid’ dengan
397
bid’ah ! bahkan (menurut saya) perkataan tsb menandakan bahwa secara tidak langsung dan
karena keliru umat muslim apabila beramal sholeh, namun tidak mencontoh Rasulullah dan
Rasulullah bersabda ;
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”
adapun maksud ‘….amalan yang bukan ajaran kami….’ itu adalah seperti yg saudara jelaskan yakni
AMALAN YANG TIDAK DICONTOHKAN OLEH NABI MAUPUN SAHABAT ! maka apabila kita
melakukan suatu ‘amaliah’ yg tidak ada contoh sebelumnya, maka tertolaklah amalan itu dengan
lalu saya ingin tanya, apakah perayaan ‘Maulid’ itu bukan suatu amalan bagi orang-orang yg
merayakannya? lalu kalo memang itu merupakan suatu amalan, apakah amalan tsb telah ada
contohnya dari Rasulullah dan para Sahabat? tentu saudara telah menjawabnya……lalu, jika tidak
pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para Sahabat, apa konsekuensinya apabila kita merujuk
4. kalo memang berdoa/berzikir itu pelaksanaannya boleh tidak sesuai dengan yang dicontohkan
oleh Rasulullah dan Sahabat, lalu saya ingin tanya, memangnya Rasulullah dan Sahabat tidak
5. Dengan saudara mengatakan bahwa perayaan ‘Maulid’ itu tidak termasuk ke dalam ‘urusan
kami’ (urusan keagamaan), itu menandakan bahwa saudara sendiri sebenarnya tidak paham
dengan apa yg saudara katakan, bukankah bagi orang-orang yg merayakan ‘Maulid’ seperti
saudara, saudara selalu berdalil bahwa di dalam perayaan ‘Maullid’ tsb terdapat sholawat dan
dzikir? kalo memang begitu, bagaimana bisa sholawat dan dzikir bukan (tidak) termasuk ke dalam
urusan keagamaan?
Mohon maaf, saya ringkas dalam 1 jawaban, agar tidak membuang waktu berharga.
Maulid Nabi SAW adalah peringatan kelahiran Nabi SAW. Peringatan biasa dilakukan oleh lebih 1
398
orang. Sehinga perbuatan ini pun bisa masuk kategori habluminannas. Hubungan antar manusia
Apa yang dilakukan dalam peringatan tersebut yakni membaca sholawat (sudah ada tuntunannya),
dzikir dan doa, pengajian atau majelis taklim dengan tematik riwayat Nabi Muhammad
Adab diskusi yang baik adalah 2 s/d 3 kali tanya jawab. Selebihnya marilah kita ikhlaskan pada
pemahaman masing-masing.
Yang pasti kita adalah bersaudara karena kita adalah sama-sama muslim. Bagaimana “hubungan”
antum dan saya kepada Allah, marilah kita ikhlas kepada kehendak Allah. Semoga antum
dirahmati Allah.
Mengkhususkan perkara yg tidak pernah dikhususkan oleh Rasulullah dan para Sahabat
merupakan suatu kekeliruan dalam beragama pastinya, pernahkah para Sahabat mengkhususkan
memperingati hari kelahiran Rasulullah dengan mengkhususkan juga melakukan dzikir secara
beramai-ramai (berjamaah)?
“Tujuh (orang) yang akan diberi naungan oleh Allah pada naungan-Nya di hari yang tidak ada
TEMPAT YANG SEPI sehingga kedua matanya meneteskan air mata.” [HR.Bukhari no.660;
Muslim, no.1031]
jujur saja, saya memang tidak ikhlas jika umat muslim lebih mengenal ritual-ritual peribadatan
baru yg tidak pernah dilakukan (dicontohkan) oleh Rasulullah dan Sahabat, ketimbang mengenal
sunnah-sunnah beliau….
saya juga tidak ikhlas jika umat muslim lebih membela mati-matian ritual-ritual peribadatan yg
tidak pernah dilakukan (dicontohkan) oleh Rasulullah dan Sahabat ketimbang membela sunnah-
sunnah beliau….
kenapa saya tidak ikhlas terhadap hal tsb? karena saya tidak ikhlas jika amaliah sunnah menjadi
399
walaupun pertanyaan saya tidak seluruhnya dijawab, akan tetapi sepertinya saya akhiri saja
diskusi seperti ini, karena saya takut masuk ke dalam perdebatan dan jidal yg memang
terlarang……
apabila ada kata-kata yg keliru dan menyinggung, saya minta maaf, saya meminta ampun kepada
Allah, semoga ada manfaat yg bisa dipetik di dalam diskusi kita ini….
-terima kasih-
Assalamuallaikum…..
Mari kita temukan kenikmatan dalam Iman dan Islam sehingga InsyaAllah, kita dapat merasakan
kedekatan dengan Allah sebagaimana Allah telah sampaikan dalam firmanNya yang artinya
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah:
85).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf: 16)
Sehingga dengan kedekatan itu, InsyaAllah kita dapat merasakan bahwa Allah yang
artinya,
“…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarimu (memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui
Kalau boleh saya mengingatkan antum, sebaiknya antum ikhlas dengan pemahaman muslim yang
lain karena karunia pemahaman yang Allah berikan itu tergantung kehendak Allah. Bahkan
ketidak-ikhlasan antum dapat mengakibatkan secara tidak langsung antum tidak percaya tentang
Terima kasih atas kesediaan antum untuk mengakhiri diskusi tentang bid’ah ini. Semoga antum
dirahmati Allah.
400
Saya akhiri dengan mohon maaf pula, jika ada kesalahan dari saya.
mohon maaf sebelumnya, saya hanya ingin komentar sedikit saja, karena ada sesuatu yg menggelitik
Jadi, kalimat ‘tidak ikhlas’ saya disitu lebih condong kepada rasa tidak rela saya apabila umat muslim
lebih mengenal ritual peribadatan baru yg tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan Sahabat karena
disebabkan umat muslim lebih sering melakukan peribadatan baru yg tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah dan Sahabat , sehingga keberadaan Sunnah terancam ‘punah’, hal tsb membuat orang-
orang yg ingin menegakkan Sunnah menjadi asing, maka benarlah Sabda Rasulullah ;
“Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali pula dalam keadaan asing,
maka berbahagialah orang-orang dikatakan asing.” (HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu
Dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah bersabda: “Akan datang kepada manusia suatu masa, di
mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya ibaratnya seperti orang yang memegang bara
Dan perlu diketahui bahwa tidak semua pemahaman itu datang dari Allah, karena hanya pemahaman
yg berdasarkan dan sejalan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah lah yg datang dari Allah…..
mengenai ke-akuan atau egosentris, tidak perlulah saudara mengeluarkan kata-kata seperti itu
karena kata-kata seperti itu bisa saja berbalik kepada saudara sendiri…Jadi, saudara sendiri juga
harus berhati-hati dengan ke-akuan, egosentris atau bahkan ‘merasa dirinya paling benar’……
Dan ada satu hal lagi yg sangat menggelitik bagi saya tentang artikel saudara diatas adalah kenapa di
dalam artikel yg membahas tentang bid’ah diatas, tidak dijelaskan apa arti dari kata bid’ah itu sendiri
baik arti secara bahasa maupun arti secara istilah (syariat)? karena kita tau bahwa bid’ah itu bukanlah
bahasa Indonesia….
Jadi, kalo boleh saya kasih saran, jika saudara ingin membuat artikel yg membahas tentang bid’ah,
alangkah baiknya jika saudara juga menjelaskan apa itu arti bid’ah, sehingga permasalahan yg
401
ada satu artikel dari blog ‘tetangga’ yg (mungkin) menarik untuk disimak khususnya bagi para
http://kaahil.wordpress.com/2010/04/11/bagai-menggenggam-bara-api-islam-datang-dalam-
keadaan-asing-dan-akan-kembali-pula-daam-keadaan-asing-maka-berbahagialah-orang-orang-
dikatakan-asing/
semoga bermanfaat…
wassalamm….
Maaf, saya sekedar mengingatkan saja, karena perbedaan pemahaman adalah semata-mata
kehendak Allah bukan kehendak kita sebagai manusia yang lemah. Jikalau antum belum paham juga
, itulah kenyataan adanya perbedaan pemahaman, sehingga kita harus ikhlas dengan kehendak
Allah.
Jika antum atau pembaca, ingin lebih jauh tentang bid’ah (pandangan dari segala sisi), silahkan
http://ummatiummati.wordpress.com/2010/06/20/kupas-tuntas-masalah-bidah-oleh-ulama-
ahlussunnah-waljamaah/
http://aahik.multiply.com/journal/item/6
di link yg saudara kasih diatas,walaupun isinya panjang lebar, tapi tidak ada satupun yg menjelaskan
kalau para pengunjung blog saudara ini benar2 ingin tau apa itu bid’ah, ingin bisa memahami bid’ah
secara bahasa (umum) dan istilah (khusus), serta ingin tau kaitan bid’ah dengan kesempurnaan
Islam, maka para pengunjung blog ini bisa mengunjungi link berikut ;
402
http://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-1.html
disitu terdapat beberapa artikel yg mengupas tuntas tentang bid’ah dengan singkat dan jelas….
http://maramissetiawan.wordpress.com/2009/05/21/download-audio-kupas-tuntas-akar-bidah/
di rekaman kajian tsb bisa terjawab, apakah benar bahwa Salaf itu suka mengkafirkan seorang
Dan bagi yg ingin sharing dan bertukar pikiran tentang bid’ah dengan saya, bisa via email
di ibra_alfarisi87@yahoo.com
sdr. Yusuf Ibrahim memang betul. Tulisan dalam blog ini ngambang dan seperti “DAGELAN” alias
Dagelan tentang ibadah yang dibandingkan dengan safety belt, biasanya kalau bicara tentang bid’ah
akan membuat perumpamaan antara haji naik unta dengan haji naik pesawat, betul-betul “DAGELAN”
kyai kampung. Yang setelah hal itu dikatakan, para hadirin tertawa bersama.
Ya.. sudahlah…hanya “DAGELAN KYAI KAMPUNG” yang jauh dari ilmu, hanya untuk hahaha dan hihihi
pendengarnya.
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/20/semua-ibadah/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/18/memahami-bidah/
Ass. Wr. Wb
Saya salut kepada Sdr. Yusuf Ibrahim & Mutiara Zuhud karena bisa berdiskusi dengan hati yang
403
tenang dan pikiran yang jernih. Khusus untuk Sdr. Sunan, saya himbau kalau memberikan komentar
ke depannya bisa lebih santun, walaupun berbeda pendapat marilah kita mengungkapkan pendapat
kita dengan bahasa yang yang tidak menyinggung maupun melukai perasaan orang lain apalagi kita
sesama muslim. Semuanya marilah kita serahkan kepada Allah SWT dengan adanya perbedaan yang
ada karena semuanya mempunyai dasar masing-masing yang diyakininya. Apakah anda yakin bahwa
anda lebih baik dibandingkan Sdr Mutiara Zuhud ? Yakin bisa masuk surga duluan ?
Karena sebenarnya Bid’ah tidak dijelaskan secara detail oleh Rasulullah SAW. Maka ada banyak
definisi bid’ah dan dengan berbagai penafsirannya yang disampaikan oleh para ulama terdahulu.
Sehingga sampai dengan sekarang pun terdapat perbedaan pendapat tentang bid’ah.
Di lapangan ada yang berpendapat bahwa bersalaman setelah sholat merupakan bid’ah karena tidak
dilakukan Rasulullah SAW pada masa dahulu tetapi ada yang memperbolehkan. Saya pribadi
memperbolehkan karena bersalaman sebenarnya di luar ibadah sholat yang telah diatur dengan jelas
tata caranya (yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam) tetapi saya juga
tidak memaksakan pendapat saya tersebut. Silakan saja masing-masing karena kita semua memiliki
Sebenarnya energi kita banyak terkuras dengan diskusi dan perdebatan yang menurut saya sampai
kapan pun tidak akan selesai karena masing-masing sebenarnya punya dasar masing-masing. Kita
sibuk mengurusi masalah salaman setelah sholat, mengurusi masalah maulid nabi Muhammad SAW,
mengurusi masalah shalawat antar waktu sholat tarawih, mengurusi puji-pujian/shalawat sebelum
Kalau kita sibuk mengurusi masalah salaman setelah sholat misalkan, atau shalawat antar sholat
tarawih (menurut saya tidak masuk dalam ibadah sholat yang telah diatur tata caranya), sekarang
saya ingin menanyakan, apakah ceramah agama pada sholat sholat tarawih termasuk bid’ah atau
bukan ?
Lebih ekstrim lagi telah kita ketahui bahwa khutbah pada sholat jumat merupakan rangkaian ibadah
dan tata caranya pun sudah diatur, kita pun yang mendengarkan dilarang berbicara pada saat sholat
jumat. Sekarang pertanyaan saya, apakah pada saat itu Rasulullah SAW melakukan khutbah jumat
dengan bahsa Indonesia ? sekarang di Indonesia hampir semuanya menggunakan bahasa Indonesia,
apakah hal tersebut bid’ah ? Padahal menurut saya kalau misalkan salaman dsb dianggap bid’ah yang
sesat maka khutbah jumat memakai bahasa indonesia merupakan bid’ah karena jelas-jelas tidak
sesuai dengan tuntunan yang jelas-jelas dilaksanakan Rasulullah SAW dengan bahasa arab (kita
Mohon maaf jika ada kata-kata yang salah, semoga kita semua dilindungi Allah SWT. Amin
404
7. pada 14 Agustus 2010 pada 10:00 pm | Balas mam srihono
Mohon menambahkan, yang berpendapat bahwa semua bid’ah sesat dan sebagai contoh membaca
sholawat antar waktu sholat tarawih dan salaman setelah sholat merupakan bid’ah, maka menurut
saya konsekuensinya ceramah agama waktu sholat tarawih pun merupakan bid’ah yang sesat,
khutbah jumat memakai bahasa indonesia pun merupakan bid’ah yang sesat. Apa yg harus dilakukan
? tidak perlu ada ceramah agama pada saat sholat tarawih dan pada saat khutbah jumat pun harus
Mohon maaf saya tidak menyudutkan kelompok tertentu, marilah kita semua berusaha arif dengan
Insya Alllah saya pernah mengikuti pengajian kelompok yang melarang bid’ah, saya juga mengikuti
pengajian kelompok yang memperbolehkan bid’ah dan Insya Allah saya tidak apriori terhadap
kelompok tertentu. Dengan mengikuti pengajian dari berbagai pihak maka kita akan bisa memperkaya
wawasan, walaupun tidak sependapat kita akan mengetahui mengapa seseorang berpendapat seperti
itu. Kadang kala dalam suatu pengajian, jika membahas 10 poin, maka saya setuju 8 poin, yang 2
poin saya tidak setuju karena saya sudah mempunyai dasar yang lain. Apa yang saya lakukan ?
Saya hanya bisa menghimbau saya pribadi dan saudara-saudara sekalian, marilah kita ikuti pengajian
dari berbagai kelompok dengan tanpa apriori dahulu, dengarkan dasar-dasarnya, dan jika kita tidak
setuju maka hormatilah pendapat orang lain sama seperti kita yang ingin pendapat kita juga
Jadi begini pak, bersalaman secara adat pada bangsa manapun adalah pada saat pertama kali
Begitu juga perilaku di masjid, pada saat kita memasuki masjid kita bertemu dengan beberapa
Kemudian kita sholat berjamaah dengan mereka, ketika salam ada teman kita di sebelah kita yg kita
belum bersalaman sebelumnya, ya kita bersalaman dengannya, juga termasuk “salam perjumpaan”.
405
Selesai sholat berjamaah kita pun pulang, bersalaman dengan orang /jamaah yang kebetulan kita
Ini adalah hal yang lumrah dan sudah semestinya dilakukan sebagai sesama muslim.
Yang jadi permasalahan adalah ketika kita sudah bersalaman ketika bertemu, setelah sholat kita
salaman lagi “bukan salam pertemuan ataupun salam perpisahan”, salaman apakah ini? maksudnya
pun tidak jelas, seolah olah sesuatu yang sakral. Karena setelah bersalaman pun, mereka tidak
Inilah salaman yang “ANEH” tujuannya pun tidak jelas. Mau dikatakan salaman pertemuan, lha wong
sudah salaman sebelumnya, mau dikatakan salaman perpisahan setelah itu duduk bareng, aneh kan.
Buktinya :
– saya pernah sholat sunnah setelah berzikir, ternyata orang yang bersalaman merasa terganggu
dengan sholat saya, merekapun melintas di wilayah sujud saya (sutrah), coba bayangkan, mereka
anggap bersalaman muter lebih mulia dari orang yg lagi sujud di hadapan Alloh (sholat)
– Bersalaman ini pun diikuti oleh bid’ah yang lain sebelumnya, yaitu dzikir dan doa berjamaah. kalau
dzikir dan do’anya masing-masing (mengikuti sunnah rasululloh saw), tidak mungkin bersalam-
– Acara ini pun dilakukan di masjid yang jauh dari ajaran sunnah, seperti ada nyanyian (puji-pujian)
setelah adzan, padahal saat itu banyak yg lagi sholat sunnah, mereka malah teriak-teriak sambil
menyanyi. Padahal, jangankan menyanyikan syair, membaca alqur’an pun terlarang ketika ada orang
sholat.
-bahkan di beberapa masjid sudah membawa alat musik rebana, mereka bernyanyi, menari di dalam
rumah Alloh swt, astaghfirulloh…, mungkin suatu saat piano dan gitar pun akan masuk dalam masjid
-Apakah kita biarkan penyimpangan 2 diatas ? dengan dalih demi persatuan? persatuan diatas
kesesatan?
– Kita wajib memberitahukan kepada mereka dengan cara yang terbaik, meskipun kita mempunyai
resiko dikucilkan, dianggap aliran keras, bahkan diusir, itulah resiko dakwah yang menyerukan
406
o pada 20 Agustus 2010 pada 1:44 pm | Balas mutiarazuhud
Ber amar ma’ruf nahi munkar kepada manusia untuk mengajak kepada jalan Tuhan perlu dilakukan
cara yang baik, sebagaimana firman Allah yang artinya, “Serulah ( manusia ) kepada jalan Tuhan-
mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS an
Nahl: 125).
Apalagi kalau kita ber amar ma’ruf nahi munkar kepada seorang muslim yang sudah taat
mengerjakan sholat, melaksakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah, menjauhi hal-hal yang
diharamkan-Nya perlu dilakukan secara lemah lembut, sangat harus dihindari tindakan kasar atau
Kalau antum merasa sudah melestarikan ajaran Rasulullah saw, apakah antum meyakini bahwa
muslim lainnya belum mengikuti ajaran Rasulullah saw ? Siapkah antum “mendengarkan” hujjah
Apakah antum yakin bahwa batasan ajaran Rasulullah saw adalah sebatas yang antum ketahui dan
pahami ?
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/2010/07/26/salahpaham-pemahaman/
Saya siap menerima hujjah mereka, asalkan hujjahnya berdasarkan dalil yang shohih, kalau mereka
Tapi kalo dalilnya adalah qias, atau “ini kan baik”, …waduh ya maaf karena ibadah itu ittiba’
407
10. pada 25 Agustus 2010 pada 3:20 pm | Balas mam srihono
Assalamu’alaikum wr wb,
Sebelum diskusi panjang lebar, saya informasikan dahulu bahwa saya berpendapat bahwa tidak
semua bid’ah sesat (tetapi saya juga mempersilahkan dan menghormati rekans yang punya pendapat
lain). Pada dasarnya saya bisa memahami jalan pikiran anda, sama seperti saya bisa memahami jalan
pikiran Sdr Mutiara Zuhud dan rekans yang lain. Yang membedakan adalah bahwa saya tidak
menganggap orang yang tidak sama dengan saya amalannya “salah” karena saya berpendapat bahwa
orang tersebut mesti “punya dasar yang belum saya ketahui” atau “saya juga tahu tetapi saya tidak
Sebagai contoh :
1. Dalam suatu pengajian ada ustadz (ustadz tersebut kebetulan juga berpendapat bahwa semua
bid’ah sesat) yang menyampaikan bahwa perempuan haid boleh berdiam di masjid untuk
mendengarkan pengajian karena penting/darurat untuk mendengarkan pengajian dan sekarang kan
sudah modern, sudah ada pembalut wanita sehingga tidak ditakutkan untuk mengotori masjid. Saya
tidak setuju dengan pendapat tersebut karena menurut saya sudah jelas di surat annisa bahwa yang
boleh hanya lewat, bukan berdiam diri. Kalau disebut darurat/ penting juga menurut saya nggak
terlalu bisa dijadikan alasan karena belajar bisa lewat internet, buku dsb. Kalau dulu dianggap takut
mengotori ttp sekarang tidak saya juga nggak begitu setuju karena bisa jadi wanita2 dahulu juga
sudah punya cara agar tidak tembus/mengotori, dan masjid2 dahulu pun kan juga beralaskan tanah.
“Tapi saya tidak menyalahkan ustadz tersebut, walaupun ada beberapa hal yang berbeda pandangan
saya tetap mengikuti pengajiannya, kalau nggak cocok ya sudah nggak saya ikuti. gitu aja”.
Pertanyaannya adalah, apakah ustadz tersebut berdosa jika ada wanita haid yang berdiam diri di
masjid ? itu bukan wilayah saya untuk menghakimi, biarlah Allah SWT yang menentukan apakah
2. Masalah membersihkan spring bed bekas anak yang mengompol (kebetulan ustadz yang sama),
beliau berpendapat cukup dilap, saya berpendapat harus dicuci (walaupun sangat berat) karena saya
berpendapat yang bisa dilap adalah benda yang mengkilat dan tidak mempunyai pori2 seperti piring
dsb.
1. Walaupun ustadz tersebut termasuk golongan yang berpendapat bahwa semua bid’ah sesat (selalu
408
disampaikan pada saat membuka pengajian), saya tetap mengikuti pengajiannya walaupun kadang
2. Yang lebih penting lagi menurut saya adalah bukan wilayah saya untuk menghakimi bahwa ustadz
Masalah bid’ah :
1. Sudah saya sampaikan di tulisan terdahulu bahwa ulama2 terdahulu yang ilmunya sudah pada
tinggi2 pun beda penafsiran/pandangan tentang bid’ah. Kalau hanya 1 pandangan tentu tidak akan
2. Mas Sunan bisa menjelaskan panjang lebar, tapi pertanyaan saya tentang ceramah waktu tarawih
Saya cuplikkan pendapat tentang maslahah mursalah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’
Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk
melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat,
namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara
tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.“
Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor
pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya :
Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan
shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan
Pertanyaannya adalah :
Jaman Nabi Muhammad SAW, kan Islam sudah tersiar sampai luar negeri arab (bahkan pada masa
awal2 islam pun para sahabat sudah ada yang diperintahkan untuk hijrah). Nah….waktu sholat Jumat,
waktu khutbah yang jelas2 merupakan rangkaian ibadah sholat jum’at, (bahkan kita dilarang
berbicara) apakah khatib menggunakan bahasa arab atau bahasa setempat ? Padahal menurut
penjelasan Ibnu Taimiyah jelas2 bukan maslahah mursalah (Jaman rasulullah sudah ada). Kalau
sekarang hampir semua masjid menggunakan bahasa setempat, berarti tidak sesuai tuntunan dan
merupakan bid’ah. Harusnya yang berpendapat semua bid’ah sesat tetap menggunakan bahasa arab
Terus pada saat sholat tarawih diselingi ada ceramah agama, hal itu merupakan bid’ah bukan ?
409
3. Mas Sunan merasa ada golongan yang dikucilkan, yang tidak mau bersalaman setelah sholat, mas
pernah nggak membayangkan perasaan orang lain pada saat ustadz-ustadz yang setuju bahwa semua
bid’ah sesat, pada saat mau memberikan ceramah selain mengajak bertakwa selalu menyampaikan
hadits bahwa semua bid’ah sesat, dan semua yang sesat adalah neraka ? seolah hadits itu wajib
disampaikan pada saat mau ceramah. Saya tahu maksudnya mengajak amar ma’ruf nafi mungkar,
tapi apa ya sudah jelas di hadapan Allah SWT bahwa tingkatan golongan yang menganggap semua
Semua ulama sependapat bahwa zina dosa, mencuri dosa, tidak satu ulama pun yang berbeda
pendapat. Tapi untuk bid’ah, banyak ulama yang berbeda pendapat, dan di masing2 pihak ada banyak
ulama besar yang kita yakin banyak hafal Al Qur’an, banyak hafalan hadits nya (tidak seperti saya
yang baru hafal 1 atau 2 hadits saja). Ulama2 seperti itu saja bisa bebeda pendapat kok, kita yang
4. Walaupun saya berpendapat tidak semua bid’ah sesat, berikut ini saya sampaikan tentang tulisan
“dzikir berjamaah” yang ditulis Sdr. Kholid Sholeh. Menanggapi tulisan Mas Sunan bahwa dzikir
berjamaah merupakan bid’ah. Saya nggak ngerti juga kalau setelah membaca tulisan ini Mas Sunan
merasa bahwa dalil-dalilnya kurang tetapt atau merupakan hadits palsu dsb.
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Dari Nabi saw., beliau bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha
Memberkahi lagi Maha Tinggi memiliki banyak malaikat yang selalu mengadakan perjalanan yang
jumlahnya melebihi malaikat pencatat amal, mereka senantiasa mencari majelis-majelis zikir. Apabila
mereka mendapati satu majelis zikir, maka mereka akan ikut duduk bersama mereka dan mengelilingi
dengan sayap-sayapnya hingga memenuhi jarak antara mereka dengan langit dunia. Apabila para
peserta majelis telah berpencar mereka naik menuju ke langit. Beliau melanjutkan: Lalu Allah Yang
Maha Mulia lagi Maha Agung menanyakan mereka padahal Dia lebih mengetahui daripada mereka:
Dari manakah kamu sekalian? Mereka menjawab: Kami datang dari tempat hamba-hamba-Mu di
dunia yang sedang mensucikan, mengagungkan, membesarkan, memuji dan memohon kepada
Engkau. Allah bertanya lagi: Apa yang mereka mohonkan kepada Aku? Para malaikat itu menjawab:
Mereka memohon surga-Mu. Allah bertanya lagi: Apakah mereka sudah pernah melihat surga-Ku?
Para malaikat itu menjawab: Belum wahai Tuhan kami. Allah berfirman: Apalagi jika mereka telah
melihat surga-Ku? Para malaikat itu berkata lagi: Mereka juga memohon perlindungan kepada-Mu.
Allah bertanya: Dari apakah mereka memohon perlindungan-Ku? Para malaikat menjawab: Dari
neraka-Mu, wahai Tuhan kami. Allah bertanya: Apakah mereka sudah pernah melihat neraka-Ku? Para
malaikat menjawab: Belum. Allah berfirman: Apalagi seandainya mereka pernah melihat neraka-Ku?
410
Para malaikat itu melanjutkan: Dan mereka juga memohon ampunan dari-Mu. Beliau bersabda
kemudian Allah berfirman: Aku sudah mengampuni mereka dan sudah memberikan apa yang mereka
minta dan Aku juga telah memberikan perlindungan kepada mereka dari apa yang mereka takutkan.
Beliau melanjutkan lagi lalu para malaikat itu berkata: Wahai Tuhan kami! Di antara mereka terdapat
si Fulan yaitu seorang yang penuh dosa yang kebetulan lewat lalu duduk ikut berzikir bersama
mereka. Beliau berkata lalu Allah menjawab: Aku juga telah mengampuninya karena mereka adalah
kaum yang tidak akan sengsara orang yang ikut duduk bersama mereka (Shahih Muslim no.1548)
Dalam hadits itu, jelas disebutkan bahwa malai kat mencari-cari majelis dzikir. Jadi ada kata-kata
“majelis” di dalamnya, dan disebutkan bahwa majelis itu adalah majelis dzikir. Dan, dzikir di sini
bukan bermakna ilmu atau mempelajari Islam. Dzikir di sini benar-benar seperti dzikir yang kita
kenal, karena pada hadits tsb disebutkan bahwa orang-orang yang berada di dalam majelis dzikir itu
takbir, tahlil dan tahmid, dan mereka juga mengajukan permohonan kepada Allah di dalam majelis
itu.
Sepertinya, atas dasar hadits seperti inilah lantas ada sebagian ummat Islam yang berinisiatif
membentuk majelis-majelis dzikir. Dan setahu saya, hal ini tidak bermasalah karena memang pada
hadits di atas disebutkan bahwa yang namanya majelis dzikir adalah majelis yang penuh berkah, dan
bahkan disebutkan pula pada hadits di atas bahwa Allah bisa saja mengampuni dosa seseorang yang
“cuma numpang hadir” di dalam majelis tersebut.Yang ada hanyalah kriteria umum yang
menyebutkan bahwa kalau ada orang-orang yang berkumpul pada satu majelis. lalu mereka membaca
tasbih, takbir, tahlil dan tahmid di dalam majelis tsb, maka majelis itu disebut sebagai majelis dzikir.
Bagaimana kalau ternyata Rasulullah tidak pernah membuat jamaah dzikir ? Bagaimana pula kalau
Sebagian pendapat menyebutkan bahwa kalau aturan umum-nya sudah mengatakan boleh, maka hal
itu tetap diperbolehkan meskipun kalau Rasulullah tidak pernah mencontohkannya. Dalilnya, salah
satunya, adalah kisah tentang para shahabat yang berinisiatif melakukan praktek ibadah yang “tidak
pernah dicontohkan oleh Rasulullah secara teknis”, tapi diperbolehkan berdasarkan dalil umum.
Hadist riwayat Anas bin Malik ra.:Dari Muhammad bin Abu Bakar As-Tsaqafi, bahwa dalam suatu
perjalanan dari Mina ke Arafah, ia bertanya kepada Anas bin Malik: Apa yang dahulu kalian lakukan
pada hari ini bersama Rasulullah saw.? Ia (Anas) menjawab: Di antara kami ada yang bertalbiah dan
411
beliau tidak mengingkarinya. Di antara kami ada yang membaca takbir dan beliau tidak
Jadi, kalau sebuah dalil umum sudah membolehkan, maka “ada atau tidak adanya contoh dari
Rasulullah” bukanlah pertanyaan yang harus diajukan. Yang harus diajukan justru pertanyaan
sebaliknya, yaitu, mana dalil yang melarang teknis pelaksanaan dalil umum tersebut ? Dan ini
disebutkan secara jelas pada hadits di atas, yaitu selama Rasulullah tidak mengingkarinya, selama hal
itu berdasarkan pada dalil umum yang membolehkan, maka berarti hal itu boleh dilakukan.
Hal ini sama persis dengan perintah untuk menyembelih sapi betina kepada bani Israil (dan ini adalah
masalah ibadah juga). Karena perintahnya adalah “sembelihlah seekor sapi betina”, maka baik itu sapi
betina yang masih kecil, yang masih muda, yang sudah agak tua, yang sudah sangat tua, yang sudah
punya banyak anak, atau yang belum punya anak, selama “tidak ada larangan” dari nabi Musa as,
maka semua sapi tersebut masuk dalam kriteria “sapi betina yang boleh disembelih”. Jangan
mempersulit diri dengan menanyakan sapi betina umur berapa yang tidak boleh disembelih, atau sapi
Ini yang saya tahu tentang dalil-dalil yang sering dipakai oleh orang yang rajin membuat majelis
dzikir, baik itu dzikir sendiri-sendiri di satu tempat, maupun dzikir secara satu suara di satu tempat.
Wassalam
Mohon maaf saya tambahkan, tadi belum saya tuliskan, saya mencuplik tulisan Muhammad Abduh
Tuasikal :
“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara
yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan
mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka
ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul
setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut
adalah maslahat.“
Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor
412
pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya :
Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan
shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan
Di bagian mengenai pendapat Ibnu Taimiyah sampai dengan contoh adzan saya cuplikkan dari tulisan
Terima kasih
Assalaamu’alaikum Wr Wb
1. Dalam tulisan saya di atas ada kata2 “Amar ma’ruf nafi mungkar” harusnya “Amar ma’ruh nahi
mungkar”
2. Sebenarnya saya pernah juga membaca & mempelajari dasar2 golongan yang berpendapat semua
bid’ah sesat, saya juga membaca & mempelajari dasar2 golongan yang berpendapat bahwa tidak
semua bid’ah sesat. Tapi mohon maaf, saya tidak dapat mengutip/menuliskan kembali karena terlalu
banyak. Disamping itu saya juga merasa semua golongan akan sulit menerima pendapat golongan
yang lain. Walaupun harapan sangat sulit terealisasi, saya hanya ingin masing-masing pihak tidak
saling menyalahkan karena masing-masing punya penafsiran dengan dasarnya masing2. Jadi menurut
3. Saya Mohon maaf jika ada kata-kata yang menyinggung perasaan, semoga kita semua selalu
Wassalaamu’alaikum Wr Wb
413
14. pada 26 Agustus 2010 pada 1:48 pm | Balas sunan
Dari Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah 2 Hari Raya (yakni Idul Fitri dan
Idul Adha), bukan hanya 1 atau 2 kali, tanpa adzan dan tanpa iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)
Ibnu Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini dan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma melakukan Shalat Id tanpa
Al-Imam Malik berkata: “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami, dan para ulama
sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu
Rajab, 6/94
Masalah wanita haid, memang ulama ikhtilaf ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Ustadz
yang bijak akan menjelaskan dalil dari 2 pendapat tadi, baru setelah itu dia mengatakan saya lebih
condong pada pendapat yang ini atau itu. Jadi yang ikhtilaf itu bukan di level kita yang jahil tapi di
level ulama.
Masalah majelis zikir, pengertiannya adalah majelis ilmu syar’i, yang bisa mengeluarkan sesorang dari
Dan tidak ada satu dalilpun yang menjelaskan bahwa rasululloh pernah memimpin para sahabat untuk
berzikir secara berjamaah, dilantunkan dengan “koor” seperti “kaum nasrani”, kemudian menangis
bersama, nauzubillah. Kalau hal itu ada, pasti ada dalil yang akan diriwayatkan baik oleh imam
Kalo bidah itu tidak sesat, lantas siapa orang yang berhak membuat bidah? siapa yang berhak
Siapa yang akan menjelaskan ibadah yg baru ini ganjarannya begini dan begitu, siapa yang sanggup
Ibadah yang asli dan jelas dari rasululloh saw itu sudah banyak dan komplit, mengapa kita belum
puas juga? apa kita sudah melaksanakannya? jangan-jangan kita ini melakukan yang tidak jelas
414
15. pada 28 Agustus 2010 pada 5:07 pm | Balas Yusuf Ibrahim
-mam srihono-
sekedar mengingatkan, jika kita berbicara masalah agama (Islam), maka kita tidak boleh mengatakan
‘menurut saya begini dan begitu’, karena agama Islam ini harus ‘tegak’ dengan dalil-dalil yg shahih,
tidak boleh kita beragama dengan menggunakan perasaan atau berdasarkan pendapat akal kita
semata….
jika mas mam mengatakan khutbah jumat menggunakan bahasa Indonesia itu bid’ah, sepertinya mas
mam ini memahami bid’ah hanya sebatas pengertian secara bahasa saja, namun (maaf) tidak
memahami pengertian bid’ah secara istilah (syari’at), karena sesuatu yang menurut bahasa bid’ah,
belum tentu bid’ah menurut istilah. dan bid’ah yang sesat sebagaimana yg dimaksud Rasulullah
Al Imam Asy Syatibi berkata bahwa bid’ah adalah : “Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat dan
menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukannya adalah sebagaimana niat
ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah)”. (Al I’tishom, 1/26, Asy
Syamilah)
dengan syari’at dengan cara menyelisihinya atau melakukannya dengan cara menambah atau
mengurangi” (Al Amru bil ittiba’ wan nahyu ‘anil ibtida’ hal.88)
Jika mas mam ini berkeyakinan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, maka Rasulullah membantah
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-
adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
tapi ingat ya mas, yg dimaksud ‘semua bidah itu sesat’ adalah semua bid’ah dalam pengertian syari’at
(istilah) saja….makanya itu, kita perlu memiliki pemahaman bid’ah secara bahasa dan istilah…..
415
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena
(sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy
dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para
saya rasa perkataan Abdullah bin Umar dan Ibnu Mas’ud diatas sudah sangat jelas sekali…..
“Majelis dzikir adalah majelis ilmu dan nasehat (peringatan). Yaitu majelis yang diuraikan padanya
firman-firman Allah, Sunnah Rasul-Nya dan keterangan para salafus shaleh serta imam-imam ahli
zuhud yang terdahulu, jauh dari kepalsuan dan kebid’ahan yang penuh dengan tujuan-tujuan yang
Diantara yang menguatkan hal ini adalah beberapa nash Al-Qur’an dan sunnah. Di antaranya adalah
“………….Maka tanyakanlah kepada ahli dzikir jika kalian tidak mengetahuinya.” (QS An-Nahl: 43)
Para ahli tafsir menafsirkan “ahli dzikir” dengan makna “Para ‘Ulama”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir:
2/571-572)
Jadi terserah, umat muslim disini ingin mengikuti pendapatnya mas mam atau pemahamannya Imam
Dan satu hal lagi yg perlu diketahui oleh seluruh umat muslim didunia ini adalah syarat sah atau
diterimanya suatu ibadah (Shohih Tafsir Ibnu Katsir oleh Syaikh Musthofa Al Adawiy
2. Mengikuti petunjuk Rasulullah (baik waktunya, tata caranya, dan bilangannya (jika berhubungan
dengan bilangan)).
Jadi, niat baik saja tidaklah cukup dalam beribadah kepada Allah….
-sukron-
416
16. pada 29 Agustus 2010 pada 12:12 am | Balas mam srihono
1. Sebenarnya masalah adzan saya tidak memerlukan penjelasan lagi, di posting-posting tambahan
yang dulu, saya sebenarnya hanya ingin menambahkan bahwa dalam tulisan saya di awal, saya hanya
mengutip tulisan dari Sdr. Abduh Tuasikal (etika dalam menulis kutipan dari tulisan orang lain).
2. Yang saya tanyakan sebenarnya adalah di kalimat-kalimat berikutnya, yaitu apakah khutbah jumat
pakai bahasa indonesia dan ceramah pada saat sholat tarawih merupakan bid’ah ?
a. Bagaimana dengan adzan 2 kali pada saat sholat Jum’at yang dimulai pada jaman Usman bin Affan
b. Apakah Ali bin Abi Thalib juga bid’ah sesat ketika membuat redaksi shalawat ? Apakah Ibnu Mas’ud
juga bid’ah sesat ketika membuat redaksi shalawat ? Apakah Imam Syafii bid’ah sesat ketika
c. Bagaimana tanggapan anda bahwa Imam Ahmad bin Hanbal membaca doa selama 40 tahun dalam
“Ya Allah, ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i”.
Doa ini dibaca oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam setiap sujud dalam shalatnya selama empat puluh
d. Kalau Anda menganggap berdzikir secara berjama’ah itu bid’ah, bagaimana Anda menanggapi Ibnu
Taimiyah yang melakukan dzikir jama’ah setiap habis sholat shubuh, lalu dilanjutkan dengan
membaca surat al-Fatihah sampai Matahari naik ke atas, dan ia selalu menatapkan matanya ke langit.
Padahal apa yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah ini tidak ada contohnya dari Rasulullah saw.
e. Banyak lagi sebenarnya contoh-contoh bid’ah yang lain yang tidak bisa dituliskan satu persatu.
3. Tapi saya kira tidak perlu diperpanjang lagi diskusi ini. Semoga kita semua selamat sesuai dengan
4. Saya setuju dengan pendapat bahwa dalam banyak hal, mesti terdapat banyak ikhtilaf ulama, tentu
saja hal tersebut wajar karena para ulama sangat banyak dan masing-masing memiliki pengetahuan
417
dan penafsirannya terhadap dalil-dalil yang ada. Hanya saja mohon maaf, setelah kita berdiskusi,
a. Mas Sunan menurut saya menggunakan standar ganda. Mas Sunan bisa mengatakan bahwa ada
ikhtilaf ulama tentang orang haid/junub dalam menafsirkan Surat An Nisa ayat 43 sedangkan untuk
masalah bid’ah yang dari hadits Mas Sunan tidak setuju ada ikhtilaf Ulama, langsung menyampaikan
bahwa bid’ah sesat.Padahal kalau kita mau jujur, banyak ulama juga yang berpendapat bahwa tidak
b. Kalau Mas Sunan tidak punya standar ganda, mestinya Mas Sunan sudah mempunyai ilmu yang
setinggi gunung sedalam lautan sehingga pada satu kasus bisa menjelaskan bahwa ada ikhtilaf ulama
sedangkan pada kasus yang lain langsung menghakimi sesat, tidak mengakui bahwa ada ikhtilaf
ulama. Saya hanya ingin kita semua orang Islam tidak saling menghakimi, seolah-olah yang paling
benar, seolah-olah kita hakim yang sudah punya hak untuk menghakimi salah padahal kita semua
juga tidak mengetahui keputusan dari Yang Maha Tahu, Hakim yang Maha Adil, Allah SWT. Semoga
Beberapa Ulama yang berpendapat bahwa tidak semua bid’ah sesat diantaranya :
mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela),maka yang sejalan dengan sunnah maka ia
terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin
Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-
87)
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa
makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan
semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang
dimaksud adalah hal hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan
Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya :
“Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala
orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat
buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya”
418
(Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik
dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka
baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya,
dan barangsiapa membuat buat hal baru yang dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk
membuat kebiasaan kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan
pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah
sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela”. (Syarh
Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104- 105) Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama
membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yang wajib, Bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah
yang makruh dan bid’ah yang haram. Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil
pada ucapan ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala
bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah,
membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yang Mubah adalah bermacam macam dari
jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian
dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa
inilah sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada
pengecualiannya), seperti firman Allah :“… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25)
dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat :“Sungguh telah kupastikan ketentuanku
untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya”QS Assajdah-13), dan pada
kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi
bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua
jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy
5. Sebenarnya inti dari perbedaan pandangan tentang bid’ah adalah karena ada golongan yang
menafsirkan bahwa redaksi hadits tersebut (kalimat kullu) ditafsirkan tidak ada pengecualian
sedangkan golongan yang lain berpendapat bahwa ada pengecualian. Padahal banyak redaksi Al
419
Qur’an maupun hadits yang mempunyai makna semuanya/seluruhnya tetapi tidak bermakna
***** “Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga
Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan
“Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala”. QS. Ar-Rahman:15. Begitu juga
***** Dari al-Asyari berkata: “ Rasulullah SAW bersabda: “ setiap mata berzina” (musnad Imam
Ahmad)
Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan
****** :“Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia
keseluruhannya”QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi
ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim
******* “… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak
segalanya hancur.
********”……sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia
semuanya.” padahal yang dimaksudkan adalah manusia dan jin yang durhaka.
6. Mohon maaf kalau ada bahasa yang tidak berkenan, semoga kita selalu mendapatkan ampunan
Catatan :
Saya sangat berterima kasih kepada Mas Yusuf Ibrahim telah diingatkan tata cara dalam menulis
(penggunaan kata “pendapat saya”), sebenarnya maksud saya adalah bahwa pendapat saya tentunya
didasari juga oleh dalil-dalil yang , sebagai contoh dalam masalah junub saya memakai dalil surat An
Saya mengakui memang jika kita melihat tekstual kalimat yang dibicarakan/ditulis bisa menimbulkan
salah tafsir.
“Anak saya sembuh setelah berobat ke dokter tadi malam”. atau kalimat
“Anak saya sembuh setelah minum obat itu” dan masih banyak kalimat-kalimat yang lain.
Kalau kita melihat tekstual kalimat tersebut maka kita seolah-olah syirik karena dokter atau obat
420
tersebut yang bisa menyembuhkan. Padahal maksudnya yang menyembuhkan tentu tetap hanya
Allah, tapi sangat jarang saya (mungkin juga kita) membawa-bawa Allah “secara eksplisit/terucap
secara lahir” walaupun niat kita Insya Allah mesti semuanya hanya dari Allah dari Allah.
Masalahnya konsep bid’ah sendiri para ulama belum sepakat, beberapa pembagian bid’ah diantaranya
a. bid’ah syar’iyah, yaitu bid’ah yang tidak memiliki landasan dan dalil dalam agama. Hal ini berarti
menambahi syari’at agama. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini dilarang (manhaj al-salaf :338, Ilmu
b. bid’ah lughawiyah, yaitu sebuah perbuatan yang secara bahasa disebut bid’ah, akan tetapi
b. bid’ah dunyawiyah, yaitu bid’ah yang berkaitan dengan masalah dunia (bukan agama)
b. bid’ah idlafiyah, yaitu bid’ah yang memiliki dua sisi; satu sisi ia didukung oleh dalil, akan tetapi dari
a. bid’ah hasanah
b. bid’ah sayyi’ah
Semoga kita semua selamat sesuai dengan keyakinan kita masing-masing (tentunya dengan dalil
421
Mohon maaf koreksi ada tambahan surat dan ayat di kalimat berikut ini :
********”……sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia
semuanya.” (QS Huud:119) padahal yang dimaksudkan adalah manusia dan jin yang durhaka.
hadits Abdullah bin Abbas ra, beliau berkata, “Sesungguhnya mengangkat suara dalam dzikir ketika
orang-orang telah selesai dari shalat fardhu itu terjadi pada masa Rasulullah SAW.” [HR. Imam
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan dalam Fat-hul Bari, “Dalam hadits tersebut terkandung
Imam Nawawi mengatakan bahwa ini adalah suatu dalil bagi sebagian ulama salaf bahwa sunat
hukumnya menyaringkan suara ketika membaca takbir & dzikir setelah selesai sholat fardhu.
Sedangkan ulama mutakkhirin yang dengan tegas menyatakan sunatnya hal itu adalah Imam Ibn
Hazm Al Zahiri.
Syaddad bin Aus ra juga meriwayatkan, dan dibenarkan oleh Ubadah bin Ash-Shamit, dia berkata:
Kami berada di sisi Rasulullah SAW ketika beliau bersabda, “Adakah di antara kalian orang yang
asing?” Kami menjawab, “Tidak ada yaa Rasulullah.” Lalu beliau memerintahkan untuk mengunci
pintu, lalu bersabda, “Angkatlah kedua tangan kalian, lalu ucapkanlah LAA ILAAHA ILLALLAAH.” Kami
pun mengangkat kedua tangan kami sesaat. Kemudian Rasulullah SAW meletakkan tangannya dan
bersabda, “Al-hamdu lillaah, yaa Allaah, sesungguhnya Engkau telah mengutusku dengan
(mengemban) kalimat (tauhid) ini. Engkau memerintahkan aku untuk mengamalkannya, dan Engkau
menjanjikan surga bagiku karenanya. Sesungguhnya Engkau tidak mengingkari janji.” Kemudian
Rasulullah SAW bersabda, “Bergembiralah, karena sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosa
2. Masalah Bid’ah, mohon maaf saya tidak hanya mengartikan secara bahasa seperti yang anda
maksud. Maka saya menanyakan hukum menggunakan bahasa Indonesia dalam khutbah Jumat yang
jelas-jelas masuk dalam syariat/rangkaian ibadah Sholat Jumat. Saya terus terang seringkali bingung
terhadap golongan yang dengan ringannya menghakimi bahwa bid’ah sesat (dengan dalil yang
422
diyakininya tentunya), tetapi dalam kasus-kasus tertentu mengatakan suatu amalan bukan bid’ah.
Misalkan menganggap berjabat tangan setelah sholat bid’ah, tetapi tetapi mengumpulkan Al Qur’an
bukan dianggap bid’ah, khutbah jumat dengan bahasa Indonesia tidak dianggap bid’ah (Padahal
khutbah jumat, mengumpulkan Al Qur’an, jga ceramah tarawih kalau mau juga bisa dilaksanakan
Pertanyaan yang sama saya sampaikan kepada mas, apakah hal-hal di bawah ini termasuk bid’ah ?
a. Bagaimana dengan adzan 2 kali pada saat sholat Jum’at yang dimulai pada jaman Usman bin Affan
b. Apakah Ali bin Abi Thalib juga bid’ah sesat ketika membuat redaksi shalawat ? Apakah Ibnu Mas’ud
juga bid’ah sesat ketika membuat redaksi shalawat ? Apakah Imam Syafii bid’ah sesat ketika
c. Bagaimana tanggapan anda bahwa Imam Ahmad bin Hanbal membaca doa selama 40 tahun dalam
“Ya Allah, ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i”.
Doa ini dibaca oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam setiap sujud dalam shalatnya selama empat puluh
d. Kalau Anda menganggap berdzikir secara berjama’ah itu bid’ah, bagaimana Anda menanggapi Ibnu
Taimiyah yang melakukan dzikir jama’ah setiap habis sholat shubuh, lalu dilanjutkan dengan
membaca surat al-Fatihah sampai Matahari naik ke atas, dan ia selalu menatapkan matanya ke langit.
Padahal apa yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah ini tidak ada contohnya dari Rasulullah saw.
3. Sebaiknya diskusi masalah bid’ah kita akhiri, terima kasih atas wawasan dan ilmu baru yang telah
saya dapatkan. Semoga kita semua selalu dilindungi Allah SWT. Amin
Saya mohon ampun kepada Allah jika ada yang salah yang saya sampaikan, saya juga minta maaf
kepada rekans semua jika ada kalimat yang salah dan menyakiti rekans semua.
423
20. pada 31 Agustus 2010 pada 10:59 pm | Balas Yusuf Ibrahim
Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap mas mam, saya ingin mencoba meluruskan syubhat
1. Alangkah baiknya jika kita (umat muslim) mampu memahami pengertian bid’ah baik secara bahasa
(umum) dan bid’ah secara istilah (khusus)…..coba simak baik-baik pengertian bid’ah dibawah ini :
– Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam Al
– Sedangkan Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al
Bid’ah adalah suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat dan menyerupai syari’at (ajaran Islam),
yang dimaksudkan ketika melakukannya adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu
2. Tidak boleh bagi kita (umat muslim) membenturkan Sabda Rasulullah dengan perkataan orang lain
di dunia ini, saya bilang Rasulullah bersabda bahwa setiap bid’ah itu sesat tanpa terkecuali, mas
Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma berkata: “Hampir saja diturunkan kepada kalian hujan batu dari
langit, (ketika) saya berkata ‘Rosulullah shollallohu alaihi wa sallam bersabda’, sedangkan kamu
(membantah) berkata ‘Abu Bakar dan Umar berkata demikian’.” (Syarh Kitab Tauhid 1/482)
3. Banyak orang salah paham terhadap perkataan para Imam Ahli Ilmu mengenai bid’ah, padahal
yang dimaksud mereka (para Imam) itu adalah bid’ah secara bahasa, sedangkan yang sesat adalah
bid’ah dalam pengertian secara istilah……coba perhatikan perbedaan pengertian bid’ah secara bahasa
– Bid’ah secara bahasa contohnya itu seperti internet, hp, lampu listrik, mobil, motor, mikropon,
speaker, radio dll. Dan itu semua tidak harus merujuk ke jaman Rasulullah, karena bid’ah secara
bahasa maknanya umum, jangankan di jaman Rasulullah, pada abad ke 15 saja belum ada yg
-Sedangkan bid’ah secara istilah contohnya seperti merayakan maulid, yasinan setiap malam jumat,
adzan di dalam kubur pada saat penguburan dll. yg dimana perbuatan tsb harus merujuk kepada
Sunnah Rasulullah dan para Sahabat karena bid’ah secara istilah berkaitan dengan peribadatan atau
424
‘interaksi’ kita langsung kepada Allah (Habluminallah)….dan bid’ah inilah yg dimaksud Rasulullah
dalam sabdanya….karena Rasulullah dan para Sahabat tidak pernah melakukannya, padahal pada saat
itu (zaman Rasulullah), tidak ada faktor penghalang untuk melakukannya, namun mereka tidak
melakukannya……
Jadi, bid’ah sesat yg dimaksud Rasulullah itu ruang lingkupnya terbatas, hanya dalam urusan
4. Mengenai khutbah jumat menggunakan bahasa Indonesia, itu termasuk bid’ah secara bahasa saja
dan itu tidak terlarang selama tidak mengandung unsur yg dilarang karena berkaitan dg
Habluminannas,
Dikatakan bid’ah secara bahasa karena memang tidak ada contoh sebelumnya khutbah jumat
menggunakan bahasa Indonesia, lain halnya jika kita meniadakan khutbah pada shalat jumat, maka
itu bisa masuk ke dalam bid’ah pengertian secara istilah (syari’at) yg sesat menyesatkan….kalo kita
memahami bid’ah hanya sebatas berdasarkan pengertian secara bahasa saja, bisa-bisa kita
menganggap shalat jamaah di masjid yg selama ini kita lakukan itu termasuk bid’ah, karena apa?
5. Jika ada hasil ijtihad Sahabat Khulafaur Rasyidin yg termasuk perkara baru dengan sebab dan
alasan tertentu, maka tolong letakkan di dalam kepala kita (kaum muslimin) untuk mendudukan
HASIL IJTIHAD tsb sebagai salah satu Sunnah Khulafaur Rasyidin yg diberi petunjuk, JANGAN
didudukan hasil ijtihad tsb sebagai hukum bolehnya membuat perkara baru (dlm hal agama) karena
yg termasuk Sunnah Khulafaur Rasyidin itu BUKANLAH membuat perkara barunya, melainkan HASIL
Jadi, yg termasuk Sunnah Khulafaur Rasyidin itu adalah HASIL IJTIHAD-nya saja seperti
mengumpulkan Al-Quran dlm satu mushaf, adzan jumat lebih dari satu kali dg sebab tertentu,
mengumpulkan umat shalat tarawih dengan satu imam dll, BUKAN membuat perkara barunya, karena
Seperti puasa sunnah yg Rasulullah lakukan di hari senin yg dimana hari senin tsb merupakan hari
kelahiran Rasulullah, maka yg termasuk Sunnah Rasulullah itu adalah puasanya, bukan memperingati
hari kelahirannya….
6. Mengenai Imam Ahmad yg berdoa ketika sujud dalam shalat, saya kira itu bukanlah bid’ah mas,
karena Rasulullah bersabda : “……ketauhilah bahwa aku dilarang membaca Al-Qur’an ketika rukuk dan
sujud. Saat rukuk, agungkanlah Ar-Rabb. Saat sujud, bersungguh-sungguhlah untuk berdo’a,
425
Dari hadits diatas, dapat diambil sebuah pelajaran bahwa membaca Al-Quran pun, jika tidak tepat
7. Mengenai penjelasan majelis dzikir sekali lagi, Atha’ bin Abi Rabbah rahimahullah pernah
menjelaskan cakupan makna Majelis Dzikir sebagaimana tercantum dalam riwayat berikut :
ما: قلت لعطاء: قال أبو هزان. من جلس مجلس ذكر كفر هللا عنه بذلك المجلس عشرة مجالس من مجالس الباطل: سمعت عطاء بن أبي رباح يقول: عن أبي هزان قال
وكيف تطلق وتبيع وتشتري، وكيف تنكح، وكيف تصوم، وكيف تصلي، مجلس الحالل والحرام: مجلس الذكر ؟ قال
Dari Abu Haazin ia berkata : Aku mendengar ‘Atha’ bin Abi Rabbah (salah seorang pembesar di
kalangan tabi’in – murid Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu – Abu ‘Aisyah ) ia berkata : “Barangsiapa
yang duduk di majelis dzikir, niscaya Allah akan menghapus dengannya sepuluh majelis dari majelis-
majelis kebathilan yang pernah ia lakukan”. Abu Haazin berkata : Aku bertanya kepada ‘Atha’ :
‘Atha’ menjawab : “Majelis yang menjelaskan perkara halal dan haram, bagaimana shalat yang benar,
bagaimana berpuasa yang benar, bagaimana pernikahan dilakukan, bagaimana syari’at tentang thalaq
8. Mengeraskan suara bacaan dzikir memang diperbolehkan, jika mengeraskan bacaan dzikir tsb
dilakukan semata-mata dalam rangka untuk mengajarkan. sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir –
فكان أول ما بدئ بذلك في جامع بغداد والرصافة يوم الجمعة،وفيها كتب المأمون إلى إسحاق بن إبراهيم نائب بغداد يأمره أن يأمر الناس بالتكبير عقيب لموات الخمس
وهذه بدعة أحدثها المأمون. ثم مروا على ذلك في بقية الصلوات، وذلك أنهم كانوا إذا قضوا الصالة قام الناس قياما فكبروا ثالث تكبيرات،الربع عشر ليلة ت من رمضان
ولكن ثبت في الصحيح عن ابن عباس أن رفع الصوت بالذكر على عهد رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ليعلم، فإن هذا لم يفعله قبله أحد،أيضا بال مستند وال دليل وال مد
وقد عن الشافعي: قال النووي. المذاهب االربعة على عدم استحبابه: وقال ابن بطال. وقد استحب هذا طائفة من ماء كابن حزم وغيره،حين ينصرف الناس من المكتوبة
وهذا كما روى عن ابن عباس أنه كان يجهر في الفاتحة في صالة الجنازة. فلما علم لم يبق للجهر معنى، إنما كان ذلك ليعلم الناس أن الذكر بعد الصلوات مشروع:أنه قال
وفيها وقع شديد جدا. وأما هذه البدعة التي أمر بها المأمون فإنها بدعة محدثة لم يعمل بها أحد من السلف. ولهذا نظائر وهللا أعلم، ليعلم ؟ أنها سنة.
“Pada waktu itu, Al-Ma’mun (Seorang Khalifah ketujuh Bani ‘Abbasiyyah, putra dari Khalifah Harun Ar-
Rasyid) menulis surat yang ditujukan kepada Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Baghdad. Isinya perintah
agar dia menyuruh orang-orang bertakbir (dengan suara nyaring) seusai shalat lima waktu. Yang
pertama kali dilakukan adalah di Masjid Jaami’ Baghdad dan Ar-Rashafah pada hari Jum’at, empat hari
sebelum Ramadlan. Jelasnya, setelah menyelesaikan shalat, orang-orang berdiri secara serentak lalu
mereka bertakbir tiga kali. Kemudian mereka dapat melanjutkan shalat lain yang belum dilaksanakan.
Ini merupakan bid’ah yang dilakukan oleh Al-Ma’mun. Yang demikian itu tidak pernah dilakukan
seorang pun sebelumnya. Disebutkan dalam Ash-Shahiih, dari Ibnu ‘Abbas bahwa mengeraskan suara
dzikir pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, untuk menandai selesainya
orang-orang dari shalat fardlu. Memang ada sebagian ulama, seperti Ibnu Hazm dan yang lainnya
426
menganjurkan hal itu. Ibnu Baththal menyatakan : ‘Empat madzhab tidak menganjurkannya’. An-
Nawawi berkata : Dari Asy-Syaafi’iy bahwasannya ia berkata : ‘Yang demikian itu (dzikir dengan suara
nyaring) UNTUK MENGAJARI bahwa dzikir seusai shalat disyari’atkan. Setelah orang-orang
mengetahuinya, maka tidak ada maknanya menyaringkan dzikir’.[1] Yang demikian ini seperti yang
diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, bahwa ia pernah menyaringkan bacaan Al-Fatihah saat shalat jenazah
karena hendak mengajarkan kepada orang-orang bahwa bacaan Al-Fatihah itu merupakan sunnah
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Contoh-contoh lain semacam ini banyak. Wallaahu a’lam. Adapun
bid’ah yang diperintahkan Al-Ma’mun ini, maka itu jelas merupakan bid’ah yang diada-adakan, tidak
pernah dilakukan seorang pun di antara orang-orang salaf. Karena itulah muncul penentangan yang
keras”.
(Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 10/296. Lihat pula Tarikh Al-Umam wal-Mulk oleh Al-Imam Ibnu Jarir
Ath-Thabari, 10/281.)
suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran.
Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian
tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka
sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak.
Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam
agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan
(bid’ah)?”
Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan
selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak
mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
———————————————–
فإن هللا، ويخفيان الذكر إال أن يكون إماما ً يجب أن يُتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تُعُ ِلّم منه ثم يُس ُِّر، وأختار لإلمام والمأموم أن يذكرا هللا بعد االنصراف من الصالة
حتى ال تسمع نفسك: وال تخافت. ترفع: وال تجهر، ] يعني – وهللا تعالى أعلم – الدعاء110 : { وال تجهر بصالتك وال تخافت بها } [ اإلسراء: عز وجل يقول
“Dan aku memilih bagi imam dan makmum agar berdoa kepada Allah setelah selesai melakukan
shalat, dan MELEMBUTKAN SUARA DALAM BERDZIKIR kecuali seorang imam yang ingin
427
MENGAJARKAN kepada makmum. Hendaknya ia mengeraskan bacaan dzikir sehingga makmum
mengetahui bahwa mereka telah diajarkan, kemudian setelah itu imam harus melembutkan suaranya
dengan pelan ketika berdoa, sebagaimana firman Allah : “Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-
Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama
yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula
merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Israa’ : 110). Dan yang
Apa yang ditegaskan oleh Asy-Syafi’i adalah benar lagi mencocoki firman Allah ta’ala : { ََوا ْذ ُكرْ َربَّكَ فِي نَ ْفسِك
“Dan berdzikirlah/sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut,
dan DENGAN TIDAK MENGERASKAN SUARA, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk
mam srihono, penjelasan pak yusuf ibrahim sudah sangat gamblang, semoga Alloh swt memberi
– Kalo menurut anda bid’ah itu tidak sesat, lantas siapa orang yang berhak membuat bid’ah?
– Siapa yang akan menjelaskan ibadah yg baru ini (bid’ah) ganjarannya begini dan begitu, siapa yang
Saya heran kepada bapak yusuf ibrahim, padahal imam syafi’i sendiri tidak melarang adanya maulid
428
dengan adanya perdebatan ini, sya harap di hati kita tidak ada rasa KEBENCIAN antar sesama
muslim, karena lewat KEBENCIAN itu lah setan berusaha memisahkan. mencerai-beraikan umat
muslim. Zaman sekarang seharusnya jgn terus-terusan masalah ilmu yg di debatkan, tapi masalah
akhlak, akhlak-akhlak anak muda sekarang sudah hancur karena ulah orang-orang nasrani dan
yahudi, kenapa kita masih memperdebatkan masalah ini, kenapa kita tidak mendebatkan orang-orang
nasrani dan yahudi yg sudah menghancurkan akhlak umat islam. orang yang berilmu belum tentu
-Faris-
….ya jelas tidak ada larangannya mas dari Imam Syafi’i,……Memangnya perayaan maulid itu pertama
kali muncul tahun brp mas? Sedangkan Imam Syafi’i wafat tahun brp? Bagaimana bisa Imam Syafi’i
melarang suatu perbuatan yang baru muncul jauh setelah beliau wafat? jadi saya mohon
Namun yg perlu digaris bawahi disini adalah bagaimana Imam Syafi’i memberikan suatu kaidah yang
(Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya)
Dan saudara perlu simak dan pahami kaidah yang dikeluarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berikut ini,
429
Ibadah asal mulanya tidak diperbolehkan, kecuali yang disyari’atkan oleh Allah. Dan segala sesuatu
(selain ibadah) asal mulanya diperbolehkan, kecuali yang dilarang oleh Allah
Jujur saja mas, saya disini tidak membenci si A atau si B, si fulan atau si fulan, adapun yang saya
benci itu hanyalah sebatas perbuatannya saja….dan saya disini tentu tidak menyalahkan masing-
masing individu yang melakukan bid’ah tsb, karena bisa saja mereka masih belum tahu (paham)
tentang apa itu sebenarnya bid’ah karena mungkin masih banyak syubhat (kerancuan) dikepalanya
….
Kalo saudara merasa bahwa masalah ilmu itu dinomor duakan setelah akhlak, maka saya ingin
Itulah sebabnya mengapa yahudi dan nasrani seolah sangat mudah sekali merusak akhlak umat
muslim khususnya anak-anak muda sekarang ini, hal tsb dikarenakan kurangnya ilmu mereka
tentang agama Islam ini, sehingga membuat akhlak mereka mudah sekali ‘goyah’ bahkan sampai
ada yang ‘rusak’ akibat minimnya ilmu yang mereka miliki tentang Islam ini…..
Jadi, membahas masalah ilmu itu penting juga mas, karena berkaitan dengan akhlak juga. Akhlak
Namun dengan adanya permasalahan tentang akhlak anak muda tsb, bukan berarti masalah bid’ah
menjadi ‘tidak penting’ atau seolah tidak perlu dibahas lagi. Perlu saudara Faris ketahui bahwa
bid’ah itu merupakan suatu permasalahan yang sama pentingnya, karena iblis dan bala tentaranya
lebih menyukai umat muslim melakukan perbuatan bid’ah ketimbang perbuatan maksiat, karena
perbuatan maksiat bisa memungkinkan sesorang untuk bertaubat dikemudian hari, sedangkan orang
yang melakukan perbuatan bid’ah akan sangat sulit untuk bertaubat karena merasa perbuatannya
itu benar……
“Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiatan dan pelaku kemaksiatan masih
mungkin ia untuk bertaubat dari kemaksiatannya sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat
dari kebid’ahannya.”
(Riwayat al-Lalika-i dalam Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (no.238))
Imam Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf al-Barbahari berkata,
“Jauhilah setiap perkara bid’ah sekecil apapun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan menjadi
besar. Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada ummat ini berasal dari perkara kecil dan remeh
430
yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka
sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai
agama. Tanpa disadari, pelan- pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”
(Syarhus Sunnah lil Imaam al-Barbahary (no.7), tahqiq Khalid bin Qasim ar-
Waallahu ‘Alam…….
Akhi,
(Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya)
Perkataan Imam Syafi’i adalah menganggap baik dalam agama atau ibadah mahdah atau sebagian
Sedangkan disisi lain Imam Syafi’i menyatakan bid’ah mahmudah untuk bid’ah dibidang ibadah
ghairu mahdah
Imam as Syafii ra mengatakan “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah
Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang
baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah
Perhatikan kata kuncinya mas ! yakni sesuai dengan sunnah atau tidak menyalahi Al-Quran dan
Sunnah, jika bid’ah mahmudah yang dikatakan oleh Imam Syafi’I tsb disandarkan kepada
perbuatan-perbuatan seperti merayakan maulid setiap tahun, yasinan setiap malam jumat dari
satu rumah ke rumah lainnya, adzan di dalam kubur, tahlilan di setiap hari kesekian dan sekian di
perkataan Imam Syafi’I tidaklah tepat, karena Imam Syafi’I mengatakan sesuai dengan sunnah
atau tidak menyelisihi Al-Quran dan Sunnah, sedangkan perbuatan-perbuatan tsb apakah sesuai
431
dengan Al-Quran dan Sunnah atau tidak? jika sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, pernahkah
Rasulullah dan para Sahabat melakukannya? Jika tidak, maka ketahuilah bahwa perbuatan-
perbuatan tsb pastilah menyelisihi Al-Quran dan Sunnah. Jika sesuai dengan sunnah, maka
sunnahnya siapa? Sunnah Rasulullahkah? Sunnah Sahabat Khulafaur Rasyidin kah? Sunnah
Ibnu Rajab berkata :”…..Adapun bid’ah mahmudah (yang baik) yakni sesuai dengan sunnah, yaitu
apa-apa yang ada asalnya berupa sunnah sebagai tempat merujuk kepadanya, dan yang
dimaksudkan oleh beliau tersebut hanyalah merupakan pengertian bid’ah secara bahasa, bukan
menurut syara’….”
(Shifatus Shafwah,2/256)
Jadi, sebagaimana yang sudah saya jelaskan sebelumnyabahwa kebanyakan para ‘aktivis bid’ah’
salah paham terhadap perkataan Imam Syafi’I tsb, padahal bid’ah mahmudah yang dimaksud
adalah bid’ah dalam pengertian secara bahasa saja sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Rajab
yang maknanya umum seperti yang sudaha saya jelaskan diatas sebelumnya dan memiliki faktor
penghalang yang membuat perkara baru tsb tidak ada di zaman Rasulullah dann zaman Sahabat.
Sebagai contoh adalah adzan menggunakan mikrophon dan speaker, apakah di zaman Rasulullah
dan Sahabat ada faktor penghalang tidak digunakannya mikrophon dan speaker pada saat adzan?
perkembangan teknologi seperti mikrophon, speaker, hp, internet dll yang berkaitan dengan hal
keduniaan, maka itu diperbolehkan selama tidak mengandung unsur yang dilarang,
“Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu
contoh lainnya adalah pengumpulan Al-Quran dalam satu mushaf, apakah ada faktor penghalang
dikumpulkannya Al-Quran di zaman Rasulullah? Ada ! karena memang ayat-ayat pada zaman
Rasulullah hidup masih turun dan syari’at bisa berubah sewaktu-waktu sesuai dengan kehendak
Allah yang kemudian disampaikan kepada Rasul-Nya…..selain itu, pengumpulan Al-Quran dalam
satu mushaf ini juga merupakan hasil ijma (kesepakatan) para Sahabat yang sudah bisa dijadikan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/97) mengatakan, “Sesuatu yang
menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an adalah karena pada saat itu wahyu masih terus
432
turun. Allah masih bisa mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala
itu Al Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena
adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten setelah wafatnya beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula Al Qur’an tidak terdapat lagi penambahan atau
pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin
Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah,
maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak ada contoh sebelumnya, pen).”
contoh berikutnya adalah mengumpulkan umat shalat tarawih dalam satu imam selama satu bulan
penuh, apakah ada faktor penghalang yang membuat Rasulullah tidak melakukan shalat tarawih
terus-menerus selama satu bulan penuh? Ada ! karena Rasulullah khawatir jika beliau melakukan
shalat tarawih terus-menerus, maka akan membuat shalat tarawih itu diwajibkan, sehingga dapat
memberatkan umat muslim diseluruh dunia….dikatakan oleh Umar bid’ah karena memang pada
zaman kekhalifahan sebelumnya (Abu Bakar), tidak pernah dilakukan shalat tarawih berjamaah
satu bulan penuh. Jadi, bid’ah dalam perkataan Umar tsb adalah bid’ah dalam pengertian secara
bahasa yang memiliki makna yang umum (tidak ada contoh sebelumnya) yang dalam hal ini masa
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,” Bid’ah ada dua macam: bid’ah syari’at seperti sabda Nabi
“Sesungguhnya setiap yang ada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Dan bid’ah lughowiyah (bahasa) seperti perkataan umar bin Khaththab ketika mengumpulkan
manusia untuk sholat tarawih :”Inilah sebaik-baiknya bid’ah”. (Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anil
‘Adziem 1/223)
Namun, sesuatu yang menurut bahasa bid’ah, belum tentu secara istilah dianggap bid’ah.
Dan yang harus kita fahami adalah bahwa Allah dan Rosul-Nya selalu menyampaikan syari’at ini
dengan makna syari’at, seperti bila Allah dan Rosul-Nya menyebutkan kata ‘sholat’, maka
maknanya adalah makna secara syari’at yakni perbuatan dan perkataan yang dimulai dengan
takbirotul ihram dan diakhiri dengan salam, bukan makna sholat secara bahasa. Demikian pula
kata bid’ah, bila diucapkan oleh pemilik syari’at, maka harus dibawa kepada makna syari’at, bukan
makna bahasa.
433
Berbeda halnya dengan merayakan maulid atau memperingati hari kelahiran Rasulullah, apakah
ada faktor penghalang tidak dilakukannya perayaan maulid di zaman Rasulullah dan zaman
Sahabat? Jawabannya adalah TIDAK ADA ! tapi, kenapa Rasulullah dan para Sahabat tidak
Rasulullah setiap tahunnya? Kalo memang memperingati maulid Nabi itu baik (maslahat) dan
BUKAN MAKSIAT dan tidak ada faktor penghalangnya, kenapa para Sahabat tidak ada yang
melakukannya?
Jawabannya adalah tentu karena memang merayakan hari kelahiran atau memperingati hari ulang
tahun itu tidak ada syari’atnya dalam Islam…..maka, jika tidak ada faktor penghalangnya, namun
Rasulullah dan para Sahabat tidak melakukannya padahal bukan maksiat, maka sesungguhnya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap
perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu
ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila
faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah
Jadi, bisa dikatakan bahwa merayakan maulid itu termasuk bid’ah dalam pengertian secara istilah
(syari’at) yang terlarang dan termasuk perbuatan yang menyelisihi Al-Quran dan Sunnah,
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S Ali-Imran : 31)
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas
setiap orang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi tidak berada di atas jalan
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia dusta dalam pengakuannya mencintai Allah
Azza wa Jalla sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah k dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak mengingat
434
Khulafa-ur Rasyidîn dan para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya tidak pernah
mengadakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap tahunnya dan tidak pernah
mengajak untuk melakukannya. Padahal mereka adalah sebaik-baik umat ini setelah Nabi
”…Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâ-ur Râsyidîn
yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan
jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-
adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” [Shahîh: HR. Ahmad (IV/126-127),
Abû Dâwud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Dârimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus
Sunnah (I/205), al-Hâkim (I/95), dishahîhkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Irwâ-
Sekali lagi, peringatan maulid tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para Shahabatnya. SEANDAINYA PERBUATAN ITU BAIK, NISCAYA MEREKA TELAH LEBIH DAHULU
MELAKUKANNYA.
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan
dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
bid’ah. Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita.
Sebab mereka tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu
melaksanakannya.”
Ada beberapa kesalahpahaman tentang penyandaran perkataan Imam Syafi’I tsb, salah satunya
contohnya adalah tentang masalah tahlilan di hari ke 3, 7, 40, 100, dan 1000 dirumah duka,
sebagian besar orang yang melakukannya berdalil bahwa itu (tahlilan di hari ke sekian sampai
sekian) adalah bid’ah hasanah dengan berlandaskan kepada perkataan Imam Syafi’I yang
membolehkan bid’ah hasanah, padahal Imam Syafi’I sendiri berkata dalam kitab Al Umm,
“Aku tidak menyukai mat’am, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak
ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru.” (Asy Syafi’i, Al Umm, juz
1, hal. 248)
waallahu ‘alam…..
435
pada 14 September 2010 pada 9:50 am mutiarazuhud
Tampaknya antum belum memahami tentang ibadah mahdah (ibadah ketaatan) dan ibadah ghairu
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/08/ibadah-ketaatan-dan-kebaikan/
bisakah saudara ‘mutiarazuhud’ ini sebutkan, siapa yang menciptakan kaidah/pembagian ibadah
seperti yang mas sebutkan itu? apakah dari Rasulullah sebagai pembawa risalah, Sahabat, Imam
Madzhab, atau dari Ulama-Ulama Salaf (terdahulu)? adakah dari mereka yang membagi ibadah
datang dari siapakah pemahaman adanya ibadah mahdah dan ghairu mahdah tsb?
karena sejauh yang saya tau dan saya pelajari sampai detik ini, yang namanya ibadah itu hanya
ada 2 jenis :
1. ibadah wajib (fardu), dan ibadah fardu tsb masih dibagi 2 lagi yakni fardu ‘ain dan fardu kifayah.
2. ibadah sunnah/sunnat.
waallahu ‘alam…..
Dan didalam Mazhab Imam Syafi’i, dalam sholat subuh memakai doa Qunut, Bapak Yusuf Ibrahim
sendiri sholat sbuhnya pakai doa Qunut atau tidak?kalau tidak, kenapa Bapak pakai perkataanya
Imam Syafi’i?
436
Mas Yusuf & Mas Sunan ysh,
Masalah Bid’ah,dzikir berjamaah, peringatan maulid nabi dsb menurut saya tidak akan selesai.
1. Sebenanrnya masalah dzikir berjamaah saya juga sudah banyak membaca yang pro dan kontra,
seperti yang telah Mas Yusuf tuliskan tentang riwayat Ibnu Mas’ud dsb pun saya sudah mengetahui.
Tetapi mohon maaf, saya tidak menampilkan di sini dalil-dalil lebih lanjut golongan yang
memperbolehkan dzikir berjamaah (kalau saya tampilkan sekarang juga akan terlalu panjang, karena
saya akan mencuplikkan artikel tentang Maulid Nabi yang saya peroleh dari majelis rasulullah). Yang
saya ingin garis bawahi sebenarnya adalah jangan dengan gampang mengatakan golongan lain
2. Mengenai Peringatan Maulid, saya cuplikkan artikel dari majelis rasulullah sbb :
Ketika kita membaca kalimat diatas maka didalam hati kita sudah tersirat bahwa kalimat ini akan
langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin, saya akan meringkas penjelasannya
secara ‘Aqlan wa syar’an, (logika dan syariah). Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yg
membuat mereka gembira, apakah keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka
merayakannya dengan pesta, mabuk mabukan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk
pelampiasan kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat diseluruh dunia. Sampai disini saya jelaskan
* Firman Allah : “(Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku,
dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS Maryam 33)
* Firman Allah : “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan hari wafatnya
* Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits no.4177)
* Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yg menjadi pembantunya Aminah ra bunda Nabi
saw, ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia (ibu utsman) melihat bintang bintang
mendekat hingga ia takut berjatuhan diatas kepalanya, lalu ia melihat cahaya terang benderang
keluar dari Bunda Nabi saw hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari
* Ketika Rasul saw lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam)
* Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat melahirkan Nabi saw
melihat cahaya yg terang benderang hingga pandangannya menembus dan melihat Istana Istana
437
Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
* Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah jendela
besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yg 1000 tahun tak pernah padam.
Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul
menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah saw
di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi nabi
sebelumnya.
Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu adalah hari
kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162). dari hadits ini sebagian
saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw asal dg puasa. Rasul saw jelas jelas
memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau saw daripada hari lainnya, dan
hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau saw tak menjawab misalnya : “oh puasa
hari senin itu mulia dan boleh boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”,
menunjukkan bagi beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya, contoh
mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?”,
maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah.. bukankah jelas jelas bahwa zeyd
memahami bahwa 1 januari adalah hari yg berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir
menyatakan dengan jelas bahwa 1 januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk
orang yg perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dg hari kelahirannya maka pastilah ia
tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi saw tak
memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda
maksud dengan jawaban beliau saw yg lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh
diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka
mereka yg berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dg puasa saja maka tentunya dari
Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw menjawab : hari itu
hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada pribadi beliau saw,
sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yg
perhatian pada hari kelahiran beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya
islam.
438
Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka Rasul saw
menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka Abbas ra memuji dg syair
yg panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah
cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini
dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya”
Kasih sayang Allah atas kafir yg gembira atas kelahiran Nabi saw
Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas
bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, abu lahab menjawab : “di neraka, Cuma diringankan
siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran
Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13701, syi’bul
iman no.281, fathul baari Almasyhur juz 11 hal 431). Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam
barzakh, namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak
Allah swt, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira dg kelahiran Rasul saw
Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun mimpi dapat
dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan
Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan Nabi saw maka Imam imam diatas
yg meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui
Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yg lalu ditegur oleh Umar ra, lalu Hassan
berkata : “aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yg lebih mulia dari engkau wahai
Umar (yaitu Nabi saw), lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan berkata : “bukankah kau
dengar Rasul saw menjawab syairku dg doa : wahai Allah bantulah ia dengan ruhulqudus?, maka Abu
Hurairah ra berkata : “betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits no.2485)
Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana beberapa
hadits shahih yg menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa yg dilarang adalah syair
syair yg membawa pada Ghaflah, pada keduniawian, namun syair syair yg memuji Allah dan Rasul
Nya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasul saw bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau saw
sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasul saw
mendirikan mimbar khusus untuk hassan bin tsabit di masjid agar ia berdiri untuk melantunkan syair
syairnya (Mustadrak ala shahihain hadits no.6058, sunan Attirmidzi hadits no.2846) oleh Aisyah ra
439
bahwa ketika ada beberapa sahabat yg mengecam Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata :
“Jangan kalian caci hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw”(Musnad Abu Ya’la
Telah jelas dan kuat riwayat yg sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan
bertemu dengan Yahudi yg berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya maka
mereka berkata : “hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami
berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “kita lebih berhak atas
Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yg diberikan pada
suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dg pelbagai cara,
seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yg melebihi
kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH
PADA ORANG ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS Al Imran
164)
Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber akikah untuk dirinya
setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832 dg sanad shahih dan Sunan
Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya
kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali,
maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yg kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw
kepada Allah swt yg telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa
Syariah utk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan
Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman teman dan saudara saudara, menjamu dg makanan
makanan dan yg serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan Imam
Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama :
Merupakan Bid’ah hasanah yg mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yg diperbuat setiap tahunnya
di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara,
seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan
440
4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif
Maulidissyariif :
Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab
: “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan
budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah
menyusuinya (saw)” (shahih Bukhari). maka apabila Abu Lahab Kafir yg Alqur’an turun
mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka
bagaimana dg muslim ummat Muhammad saw yg gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka demi
usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia akan dimasukkan ke
Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy : Serupa dg ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljuzri,
berkata “tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan
tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pd malamnya dg
berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka
dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan
dengan karangan maulidnya yg terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid,
“Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dg tercapai semua maksud dan
9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148
cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kpd orang yg
10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yg terkenal dg Ibn Dihyah
441
11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri dg maulidnya “urfu at
12. Imam al Hafidh Ibn Katsir yg karangan kitab maulidnya dikenal dg nama : “maulid ibn katsir”
14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi
maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al
hadi.
16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi dg maulidnya al mawarid al haniah fi maulid
khairil bariyyah
17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy yg terkenal dg ibn
18. Imam ibn hajar al haitsami dg maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid syayidi waladu
adam
19. Imam Ibrahim Baajuri mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dg nama tuhfa al basyar ala
21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji dg maulidnya yg terkenal maulid barzanji
23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani dg maulid Al yaman wal is’ad bi maulid
khair al ibad
24. Al Allamah Syeikh Yusuf bin ismail An Nabhaniy dg maulid jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as
syafi’
442
28. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati dg maulid Al Kaukab al azhar alal ‘iqdu al jauhar fi maulid
nadi al azhar
30. As syeikh Muhammad Al maghribi dg maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah.
Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yg menentang dan melarang hal ini, mengenai
beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yg menentang maulid sebagaimana disampaikan
oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para
Imam itu, dengan kelicikan yg jelas jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan
Islam.
Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari menyambut kedatangan Islam dan Syariah
Rasul saw, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa risalah pada kehidupan kita,
hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yg dianjurkan oleh Rasul saw adalah berdiri,
sebagaimana diriwayatkan ketika sa’ad bin Mu’adz ra datang maka Rasul saw berkata kepada kaum
anshar : “Berdirilah untuk tuan kalian” (shahih Bukhari hadits no.2878, Shahih Muslim
hadits no.1768), demikian pula berdirinya Thalhah ra untuk Ka’b bin Malik ra.
Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yg dijelaskan bahwa
berkata Imam Alkhattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk majikannya, juga berdirinya murid untuk
kedatangan gurunya, dan berdiri untuk kedatangan Imam yg adil dan yg semacamnya merupakan hal
yg baik, dan berkata Imam Bukhari bahwa yg dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yg duduk, dan
Imam Nawawi yg berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka taka apa, sebagaimana Nabi saw
berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah ra saat ia datang, namun adapula pendapat lain yg
melarang berdiri untuk penghormatan.(Rujuk Fathul Baari Almasyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi
Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca maulid itu tak
ada hubungan apa apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul saw tidak dhohir dalam
pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasul saw hadir saat pembacaan maulid, itu bukan
pembahasan kita, masalah seperti itu adalah masalah ghaib yg tak bisa disyarahkan dengan hukum
dhohir, semua ucapan diatas adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yg Rasul
saw pernah melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau saw.
Jauh berbeda bila kita yg berdiri penghormatan mengingat jasa beliau saw, tak terikat dengan beliau
hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk semangat kita menyambut risalah Nabi saw, dan
443
penghormatan kita kepada kedatangan Islam, dan kerinduan kita pada nabi saw, sebagaimana kita
bersalam pada Nabi saw setiap kita shalat pun kita tak melihat beliau saw.
Diriwayatkan bahwa Imam Al hafidh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam Besar dan
terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan Imam Imam besar
dizamannya dalam perkumpulan yg padanya dibacakan puji pujian untuk nabi saw, lalu diantara syair
syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam Assubkiy dan seluruh Imam imam yg hadir
bersamanya, dan didapatkan kesejukan yg luhur dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan,
dan berkata Imam Ibn Hajar Alhaitsamiy rahimahullah bahwa Bid’ah hasanah sudah menjadi
kesepakatan para imam bahwa itu merupakan hal yg sunnah, (berlandaskan hadist shahih
muslim no.1017 yg terncantum pd Bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala dan bila
ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah, Dan
berkata pula Imam Assakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah mulailah hal ini
dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh dunia dan membawa keberkahan
Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan muslimin untuk Medan Tablig dan
bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yg diselingi bershalawat dan salam pada Rasul
saw, dan puji pujian pada Allah dan Rasul saw yg sudah diperbolehkan oleh Rasul saw, dan untuk
mengembalikan kecintaan mereka pada Rasul saw, maka semua maksud ini tujuannya adalah
kebangkitan risalah pada ummat yg dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada
yg mengingkarinya karena jelas jelas merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin,
hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap muslimin aqlan wa syar’an (secara logika dan
hukum syariah), karena hal ini merupakan hal yg mustahab (yg dicintai), sebagaiman kaidah syariah
bahwa “Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yg menjadi penyebab kewajiban
dengannya maka hukumnya wajib. contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup
aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat
kita akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu,
maka membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan
shalat yg wajib .
contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya mubah saja,
lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tak berkantong, maka perlulah bagi
kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita
menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yg hukumnya sunnah.
Maka perayaan Maulid Nabi saw diadakan untuk Medan Tablig dan Dakwah, dan dakwah merupakan
444
hal yg wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tak perduli dg Nabinya
saw, tak pula perduli apalagi mencintai sang Nabi saw dan rindu pada sunnah beliau saw, dan untuk
mencapai tablig ini adalah dengan perayaan Maulid Nabi saw, maka perayaan maulid ini menjadi
wajib, karena menjadi perantara Tablig dan Dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi saw serta
silaturahmi.
Sebagaimana penulisan Alqur’an yg merupakan hal yg tak perlu dizaman nabi saw, namun menjadi
sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yg membutuhkan penjelasan
Alqur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yg wafat, karena ditakutkan
sirnanya Alqur’an dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa Alqur’an telah dijaga oleh
Allah.
Hal semacam in telah difahami dan dijelaskan oleh para khulafa’urrasyidin, sahabat
radhiyallahu’anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin yg
awam, namun hanya sebagian saudara saudara kita muslimin yg masih bersikeras untuk
menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, amiin.
Walillahittaufiq
Saya sampaikan juga pendapat para Imam & Muhaddits yang saya peroleh dari majelis rasulullah juga
sbb :
Telah jelas dan kuat riwayat yang sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah
dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya
maka mereka berkata : “hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa,
maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “Kita lebih
berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yang
diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dengan
pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yang
melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN
ANUGERAH PADA ORANG-ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS
Al Imran 164)
Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber akikah untuk dirinya
setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832 dengan sanad shahih dan Sunan
445
Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300, dan telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya
kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali,
maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yang kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau
saw kepada Allah swt yang telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan
membawa Syariah untuk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran
dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman-teman dan saudara-saudara, menjamu
dengan makanan-makanan dan yang serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
kebahagiaan. Bahkan Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid
Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap
tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para
fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau
4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif
Maulidissyariif :
Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab
: “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan
budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah
menyusuinya (saw)” (shahih Bukhari hadits no.4813). maka apabila Abu Lahab Kafir yg Alqur’an turun
mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka
bagaimana dg muslim ummat Muhammad saw yang gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka demi
usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh-sungguh ia akan dimasukkan ke
Serupa dengan ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljuzri, yaitu menukil hadits Abu Lahab.
berkata “tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan
tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pada malamnya dengan
berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka
446
dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan
dengan karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid,
“Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud
dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: “Maka
Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai
hari besar”.
10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yang terkenal dengan Ibn
Dihyah alkalbi dengan karangan maulidnya yg bernama “Attanwir fi maulid basyir an nadzir”.
11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri dengan maulidnya “urfu
12. Imam al Hafidh Ibn Katsir yang karangan kitab maulidnya dikenal dengan nama : “maulid ibn
katsir”
13. Imam Al Hafidh Al ‘Iraqy dengan maulidnya “maurid al hana fi maulid assana”
14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi
maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al
hadi.
16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi dengan maulidnya al mawarid al haniah fi maulid
khairil bariyyah
17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy yang terkenal
18. Imam ibn hajar al haitsami dengan maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid sayid waladu
adam
19. Imam Ibrahim Baajuri mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dengan nama tuhfa al basyar ala
20. Al Allamah Ali Al Qari’ dengan maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi
21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji dengan maulidnya yang terkenal maulid
barzanji
23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani dengan maulid Al yaman wal is’ad bi maulid
447
khair al ibad
Namun memang setiap kebaikan dan kebangkitan semangat muslimin mestilah ada yg
menentangnya, dan hal yg lebih menyakitkan adalah justru penentangan itu bukan dari kalangan
kuffar, tapi dari kalangan muslimin sendiri, mereka tak suka Nabi saw dicintai dan dimuliakan,
padahal para sahabat radhiyallahu’anhum sangat memuliakan Nabi saw, Setelah Rasul saw wafat
maka Asma binti Abubakar shiddiq ra menjadikan baju beliau saw sebagai pengobatan, bila ada yg
sakit maka ia mencelupkan baju Rasul saw itu di air lalu air itu diminumkan pada yg sakit (shahih
seorang sahabat meminta Rasul saw shalat dirumahnya agar kemudian ia akan menjadikan bekas
tempat shalat beliau saw itu mushollah dirumahnya, maka Rasul saw datang kerumah orang itu dan
bertanya : “dimana tempat yg kau inginkan aku shalat?”. Demikian para sahabat bertabarruk dengan
bekas tempat shalatnya Rasul saw hingga dijadikan musholla (Shahih Bukhari hadits no.1130).
Sayyidina Umar bin Khattab ra ketika ia telah dihadapan sakratulmaut, Yaitu sebuah serangan pedang
yg merobek perutnya dengan luka yg sangat lebar, beliau tersungkur roboh dan mulai tersengal
sengal beliau berkata kepada putranya (Abdullah bin Umar ra), “Pergilah pada ummulmukminin,
katakan padanya aku berkirim salam hormat padanya, dan kalau diperbolehkan aku ingin
dimakamkan disebelah Makam Rasul saw dan Abubakar ra”, maka ketika Ummulmukminin telah
mengizinkannya maka berkatalah Umar ra : “Tidak ada yang lebih kupentingkan daripada mendapat
tempat di pembaringan itu” (dimakamkan disamping makam Rasul saw” (Shahih Bukhari
hadits no.1328). Dihadapan Umar bin Khattab ra Kuburan Nabi saw mempunyai arti yg sangat Agung,
hingga kuburannya pun ingin disebelah kuburan Nabi saw, bahkan ia berkata : “Tidak ada yang lebih
Dan masih banyak riwayat shahih lainnya tentang takdhim dan pengagungan sahabat pada Rasulullah
saw, namun justru hal itu ditentang oleh kelompok baru di akhir zaman ini, mereka menganggap hal
hal semacam itu adalah kultus, ini hanya sebab kedangkalan pemahaman syariah mereka, dan
kebutaan atas ilmu kemurnian tauhid. Maka marilah kita sambut kedatangan Bulan Kebangkitan Cinta
Muslimin pada Nabi saw ini dengan semangat juang untuk turut berperan serta dalam Panji Dakwah,
jadikan medan ini benar benar sebagai ajang perjuangan kita untuk menerangi wilayah kita,
masyarakat kita, masjid kita, musholla kita, rumah rumah kita, dengan cahaya Kebangkitan Sunnah,
Cahaya Semangat Hijrah, kemuliaan kelahiran Nabi saw yg mengawali seluruh kemuliaan islam, dan
wafatnya Nabi saw yg mengawali semangat pertama setelah wafatnya beliau saw.
Saudara saudarku, kelompok anti maulid semakin gencar berusaha menghalangi tegaknya panji
dakwah, maka kalian jangan mundur dan berdiam diri, bela Nabimu saw, bela idolamu saw, tunjukkan
448
akidah sucimu dan semangat juangmu, bukan hanya mereka yg memiliki semangat juang dan
mengotori masji masjid ahlussunnah dengan pencacian dg memfitnah kita adalah kaum musyrik
Saudaraku bangkitlah, karena bila kau berdiam diri maka kau turut bertanggung jawab pula atas
kesesatan mereka, padahal mereka saudara saudara kita, mereka teman kita, mereka keluarga kita,
maka bangkitlah untuk memperbaiki keadaan mereka, bukan dengan pedang dan pertikaian, sungguh
kekerasan hanya akan membuka fitnah lebih besar, namun dg semangat dan gigih untuk menegakkan
Nah saudara saudaraku, para pembela Rasulullah saw.. jadikan 12 Rabiul awwal adalah sumpah
setiamu pada Nabimu Muhammad saw, Sumpah Cintamu pada Rasulullah saw, dan Sumpah
Sekali lagi saya sampaikan, jangan suka menganggap golongan lain sesat hanya karena berbeda
pendapat. Ini baru masalah perbedaan pendapat masalah dzikir dan peringatan maulid nabi, belum
Wassalam
Mungkin mas mam dan habib munzir ini lupa atau pura-pura tidak tahu, sudah bukan rahasia umum
lagi kalo hampir semua umat muslim termasuk beberapa yang awam tahu kalo yang namanya
merayakan hari kelahiran setiap tahun atau bahasa sekarangnya adalah merayakan hari ulang tahun
>>>>>>>Mengenai Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang memuliakan hari kelahirannya
“Itu adalah hari aku dilahirkan, aku diutus atau diwahyukan kepadaku.” [HR.Muslim 1162]
———————————————————-
Berdalil dengan hadits tsb tidaklah tepat, apabila ditinjau dari beberapa segi:
1. Apabila maksud dari maulid disini adalah mensyukuri atas nikmat kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, maka secara dalil dan akal hendaknya syukur tersebut diwujudkan sebagaimana
449
syukurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu dengan berpuasa pada hari senin yang berarti
bahwa hendaknya kita berpuasa sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa.
Sehingga apabila kita ditanya maka kita menjawab bahwa hari Senin adalah hari kelahiran Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah azza wa jalla dan
2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengkhususkan pada hari kelahirannya yaitu tanggal
12 Rabi’ul Awal -sebagaimana pendapat yang masyhur- dengan puasa atau amalan lainnya. Beliua
shallallahu ‘alaihi wasallam hanya berpuasa pada hari Senin yang datang setiap pekan. Sedangkan
“Sesunggunya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
[QS.al-Ahzab/33 :21]
3. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari kelahirannya, apakah beliau
menambahinya dengan perayaan maulid seperti yang dilakukan oleh orang-orang? Jawabnya, tentu
tidak, cukup HANYA dengan berpuasa. Jadi, mengapa umatnya tidak merasa cukup dengan petunjuk
nabinya?!! Ingatlah bahwa ibadah itu harus dibangun di atas dalil bukan perasaan dan hawa nafsu !
[Lihat Al-Inshof fima Qila fil Maulid: 44-45 oleh Syaikh Abu Bakar al-Jazairi]
4. Rasulullah tidak merayakan hari kelahiran beliau sewaktu beliau hidup, demikian juga para
sahabat tidak merayakannya. Seandainya hal itu disyariatkan, niscaya mereka mendahului kita,
karena mereka jauh lebih cinta kepada Nabi daripada kita. Mungkinkah mereka meninggalkan
5. Puasa hari Senin bukan hanya karena hari itu hari kelahiran Nabi, tetapi Nabi jugamenyebutkan
alasan-alasan lainnya yaitu turunnya wahyu dan diangkatnya amalan kepada Allah. Lantas, kenapa
hanya diambil satu alasan saja untuk sebuah syariat yang tidak diajarkan Allah dan Rasul-Nya?!
6. Jika memang Sabda Rasul tsb itu adalah sebuah Sunnah memperingati hari kelahiran Rasulullah,
adakah Sahabat yang menafsirkan Sabda Rasulullah tsb seperti apa yang Habib tafsirkan? Jawablah
450
7. Rasulullah tidak berpuasa pada hari kelahiran beliau yaitu tanggal 12 rabbui awal (inipun masih
ada perselisihan mengenai tanggal lahir Rasulullah), akan tetapi beliau berpuasa pada hari senin
yang setiap bulan berulang sampai empat kali……(Lihat Ar-Roddul Qowy hal.61-62)
8. Rasulullah tidak mengkhususkan berpuasa hanya pada hari senin saja, melainkan beliau juga
berpuasa pada hari kamis, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah secara marfu’ :
“Amalan-amalan disodorkan setiap hari senin dan kamis, maka saya senang jika amalan saya
Jadi, berdalilkan dengan puasa hari senin untuk membolehkan perayaan maulid adalah puncak
takalluf (pemaksaan) dan pendapat yang sangat jauh dari kebenaran. (Hammad Abu Mu’awiyah As-
>>>>>>>Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan
Abbas bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, abu lahab menjawab : “di neraka, Cuma
diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku
atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra
hadits no.13701, syi’bul iman no.281, fathul baari Almasyhur juz 11 hal 431).
————————————————————
1. Itu adalah mimpi dan mimpi tidak bisa dijadikan hujah dalam syariat [Lihat masalah ini secara
panjang lebar dan keterangan para ulama tentangnya dalam al-Muqoddimat al-Mumahhidat as-
Salafiyyat fi Tafsir Ru’aa wal Manamat hal.247-283 oleh Syaikh Masyhur bin Hasan dan Umar bin
Ibrahim], sekalipun dia ahli ibadah dan berilmu, KECUALI mimpi para nabi karena mimpi mereka
2. Hadits tsb memberikan pahala kepada orang kafir, padahal al-Qur’an menegaskan bahwa orang
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu
“Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Robb mereka dan (kufur terhadap)
perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslan amalan-amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu
penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” [QS.al-Kahfi/18: 105][ Lihat Fathul Bari Ibnu
Hajar: 9/145]
451
3. Kegembiraan Abu Lahab dengan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah kegembiraan
tabi’at saja, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keponakannya, sedangkan kegembiraan
4. Abu Lahab tidak mengetahui kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu (lahirnya
Rasulullah), buktinya setelah dia mengetahuinya maka dia memusuhi Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya untuk dilakukan.[ Al-Maurid fi Hukmil Ihtifal
bil Maulid hal.21-23, Aqil bin Muhammad al-Yamani. Lihat pula al-Qoulul Fashl Ismail al-
Anshori hal.486-489]
Telah jelas dan kuat riwayat yg sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah
dan bertemu dengan Yahudi yg berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya
maka mereka berkata : “hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa,
maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “kita lebih
—————————————————————-
1. Sesunggunya seluruh umat islam mengetahui sunnahnya puasa Asyuro, sebagai wujud realisasi
dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ungkapan syukur atau dimenangkannya
kebenaran dan dihancurkannya kebathilan. Namun, bukan berarti hadits ini sebagai kaidah yang
membenarkan perayaan maulid nabi atau perayaan-perayaan lainnya. Jadi anjuran Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam untuk berpuasa Asyuro bukan berarti anjuran untuk menjadikannya sebagai
perayaan maulid, tetapi anjuran untuk bersyukur kepada Allah azza wa jalla dengan berpuasa pada
hari tersebut seperti yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. [Lihat Hiwar Ma’al
2. Kita semua senang dan gembira dengan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, diutusnya
beliau sebagai nabi, hijrahnya beliau dan semua perjalanan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
berupa jihad dan ilmu. Kita senang dan bergembira serta mengambil pelajaran darinya. Namun
semua itu bukan hanya dalam sehari saja dalam setahun, akan tetapi disyariatkan pada setiap
waktu dan setiap tempat.[ Lihat Hiwar Ma’al Maliki hal.85, Abdullah al-Mani’]
3. Mengqiyaskan (menganalogikan) bid’ah maulid dengan puasa Asyuro adalah suatu bentuk takalluf
(pemaksaan) yang nyata dan tertolak karena ibadah landasannya adalah syariat, bukan berdasarkan
pendapat ataupun anggapan baik. (Hammad Abu Mu’awiyah As-Salafi, studi kritis perayaan maulid
nabi, hal.217)
452
4. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari sanjungan yang Allah
berikan dan ridhai. Tetapi banyak orang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tersebut, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta
kecuali kepada Allah. Sebagian dari perbuatan-perbuatan ini dilakukan ketika peringatan maulid
(lihat : http://alqiyamah.wordpress.com/2009/12/10/barzanji-kitab-induk-peringatan-maulid-nabi-
shallallahu-alaihi-wa-sallam/)
‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani
‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau
adalah sayyid (tuan/penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.”
“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan
kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan” [Shahîh: HR. Abû Dâwud (4806), Ahmad
(IV/24, 25), al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (211/ Shahîhul Adâbil Mufrad no 155), an-Nasâ-i
—————————————————————
Ketahuilah ! seandainya maulid Nabi adalah sebuah kebaikan, maka Nabilah orang pertama yang
mengerjakannya, karena acara ini menyangkut kelahiran beliau. Seandainya maulid Nabi adalah
sebuah kebaikan, tentu paman Nabi, Al-Abbas bin Abdul Muthalib lah yang paling tahu tentang
kelahiran Rasulullah yang lebih dahulu merayakannya. Seandainya maulid Nabi adalah sebuah
kebaikan, niscaya dua Sahabat beliau yang terdekat yakni Abu Bakar dan Umar lah yang lebih
dahulu merayakannya. Seandainya maulid Nabi adalah sebuah kebaikan, tentu istri-istri Nabi
lahyang pertama kali memperingatinya karena merekalah orang-orang yang paling dekat dengan
Rasulullah. Seandainya maulid Nabi adalah sebuah kebaikan, tentu para Sahabat beliau dan
penduduk Madinah akan mengadakannya karena mereka adalah orang-orang yang berkumpul
Tapi kenyataannya, tidak ada satupun riwayat dari mereka semua yang menyebutkan bahwa
mereka memperingati kelahiran Rasulullah setiap tahunnya. Bisakah anda menuduh bahwa mereka
sengaja membuat umat lupa terhadap hari kelahiran Rasulullah? Karena terbukti bahwa para ulama
453
saja masih berselisih pendapat tentang tanggal kelahiran beliau.
—————————————————————-
Note :
Imam asy-Syathibi rahimahullah: “Betapa sering engkau dapati ahli bid’ah dan penyesat umat
mengemukakan dalil dari al-Qur’an dan hadits dengan memaksakannya agar sesuai dengan
pemikiran mereka dan menipu orang-orang awam dengannya. Lucunya mereka menganggap bahwa
Lanjut beliau: “Oleh karenanya, maka semestinya bagi setiap orang yang berdalil dengan dalil syar’i
agar memahaminya seperti pemahaman para pendahulu (sahabat) dan oraktik amaliah mereka,
karena itulah jalan yang benar dan lurus.” [Al-Muwafaqot Fi Ushul Syariah: 3/52]
waallahu ‘alam…..
———————————————
http://alqiyamah.wordpress.com/2010/02/16/menjawab-syubhat-syubhat-perayaan-maulid-nabi-
dan-benarkah-ibnu-taimiyyah-rahimahullah-mendukung-maulid-nabi/
http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/02/15/peringatan-maulid-nabi-shallallahu-alaihi-wa-
sallam-menurut-syariat-islam/
“Itu adalah hari aku dilahirkan, aku diutus atau diwahyukan kepadaku.” [HR.Muslim 1162]
Hadits ini membuktikan bahwa Rasulullah saw mengingat hari kelahiran Beliau walaupun menurut
Tidak ada larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. jika hamba Allah swt memperingati kelahiran
Rasulullah saw dengan ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan seperti pengajian atau
bersholawat. Dan tidak satupun ulama yang menganggap bahwa peringatan kelahiran Rasulullah
saw adalah merupakan suatu kewajiban bagi muslim karena mereka paham bahwa Kewajiban,
Larangan dan Pengharaman harus berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits, dan selebihnya Allah swt
Apalagi bagi muslim yang mengerjakan sesuatu perbuatan/ibadah yang dibolehkan dan merupakan
anjuran dalam Al-Qur’an dan Hadits, maka mereka akan mendapatkan kebaikan/pahala.
454
Bacalah tulisan selengkapnya pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/08/ibadah-
ketaatan-dan-kebaikan/
“Itu adalah hari aku dilahirkan, aku diutus atau diwahyukan kepadaku.” [HR.Muslim 1162]
Hadits ini membuktikan bahwa Rasulullah saw mengingat hari kelahiran Beliau………..”
———————————————————-
Adakah dari kalangan Sahabat yang menafsirkan Sabda Rasulullah tsb sebagaimana yang saudara
‘mutiarazuhud’ tafsirkan?
Adakah dari kalangan Sahabat yang menggunakan Sabda Rasulullah tsb sebagai dalil untuk
Apakah ada Sahabat yang merayakan hari kelahiran Rasulullah setiap tahunnya? Jika tidak ada,
maka apakah para Sahabat tidak paham apa yang disampaikan Rasulullah dalam Sabdanya tsb?
“Tidak ada larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. jika hamba Allah swt memperingati kelahiran
Rasulullah saw dengan ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan seperti pengajian atau
bersholawat….”
—————————————————————-
Kalo kaidahnya “…yang penting tidak ada larangannya….”, maka repot urusannya, akan jadi apa
agama (Islam) ini? pantas saja orang-orang sufi dzikirnya sambil menari-nari (muter-muter),
sholawatnya diiringi musik band seperti berdoanya orang-orang nasrani, kyainya berdakwah
sambil bernyanyi-nyanyi seperti pendeta nasrani, semua itu memang secara khusus tidak ada
larangannya……
membaca Al-Quran sambil ‘nungging’ juga tidak ada larangannya mas, membaca Al-Quran dari kiri
maka, termasuk ke dalam ibadah apakah perbuatan-perbuatan tsb? ibadah ghairu mahdah atau
ibadah mahdah?
(maaf jika tersinggung, karena memang sebagian besar isi blog ini juga banyak yang menyinggung
saya)
“Dan tidak satupun ulama yang menganggap bahwa peringatan kelahiran Rasulullah saw adalah
merupakan suatu kewajiban bagi muslim karena mereka paham bahwa Kewajiban, Larangan dan
Pengharaman harus berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits, dan selebihnya Allah swt diamkan atau
455
————————————————————-
Kalo memang perayaan maulid itu bukan suatu kewajiban, apakah itu artinya merayakan hari
“Apalagi bagi muslim yang mengerjakan sesuatu perbuatan/ibadah yang dibolehkan dan
merupakan anjuran dalam Al-Qur’an dan Hadits, maka mereka akan mendapatkan
kebaikan/pahala.”
—————————————————————-
Kalo memang merayakan maulid itu termasuk perbuatan yang diperbolehkan dan dianjurkan
dalam Al-Quran dan Hadits, lalu adakah dari kalangan Sahabat yang merayakan maulid setiap
tahun? kalo tidak ada, apakah saudara ingin menuduh bahwa para Sahabat tidak mengerjakan
Apakah anda ingin menuduh bahwa para Sahabat malas merayakan maulid setiap tahun? padahal
tidak ada faktor penghalangnya, akan tetapi para Sahabat tidak ada yang merayakan maulid setiap
Bagaimanakah antum bertanya “Kalo memang merayakan maulid itu termasuk perbuatan yang
diperbolehkan dan dianjurkan dalam Al-Quran dan Hadits, lalu adakah dari kalangan Sahabat yang
Sedangkan kita paham bahwa perbuatan/ibadah ghairu mahdah, maulid Nabi saw adalah perkara
yang baik yang mulai dilaksanakan setelah Zaman Salafush Sholeh. Kita paham bahwa maulid
Nabi saw tidak ada satupun larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ini sesuai dengan hadits Nabi
saw berikut
Maknanya: “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia
akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya
“Hukum asal (segala sesuatu) yang dilarang (tahriim) jika ada dalil yang menegaskan (‘ibahah)”
“Segala sesuatu tidak boleh dianggap sebagai syari’at kecuali dengan adanya dalil dari al-Kitab
atau as-Sunnah“
456
“Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya“
Kita sudah paham bahwa Allah swt telah menetapkan seluruh kewajiban, larangan dan
pengharaman sedangkan selebihnya Allah swt telah diamkan/bolehkan. dan Allah swt tidak lupa.
Seluruh yang Allah swt telah tetapkan, sudah dijelaskan, disampaikan oleh Rasulullah saw kepada
umatnya, kepada hamba Allah swt. Seluruh kewajiban, seluruh “urusan kami” telah dicontohkan
oleh Rasulullah saw. Itulah yang disebut ibadah mahdah atau ibadah ketaatan.
Seluruh kewajiban, larangan dan pengharaman atau seluruh syariat bagi hamba Allah swt telah
ditetapkan oleh Allah swt dalam Al-Qur’an dan Hadits, selebihnya adalah perbuatan/ibadah yang
Seluruh perbuatan/ibadah yang dibolehkan dan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan
Hadits disebut ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan, sebagai tanda kasih Allah swt pada
hambaNya.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka
jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu
langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan
Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka
Oleh karenanya dapat kita pahami kesalah-pahaman ulama/syaikh selama ini dengan kaidah
““Hukum asal ibadah adalah bathil/haram/terlarang kecuali ada dalil yang memerintahkan” karena
seluruh yang bathil, yang diharamkan, yang dilarang, telah Allah swt syariatkan, telah Allah swt
tetapkan dan telah disampaikan, dijelaskan Rasulullah saw, seluruh kewajiban, seluruh “urusan
kami” telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan Allah swt tidak lupa !
——————————————————————–
1. Sepertinya ada kekeliruan dalam mengartikan Sabda Rasul diatas sehingga menjadi rancu.
457
2. Di dalam lafadz (teks) pada Hadits tsb tertulis “man sanna fil islami sunnatan hasanatan”, yang
dimana bahwa kata “man sanna” adalah “barangsiapa yang melakukan amalan (sunnah)” sebagai
penerapan dari syariat yang telah ada sebelumnya karena dilanjutkan dengan kalimat “fil islami”
(di dalam islam). Artinya amalan tersebut telah ada tempat kembali (asalnya) dalam syariat.
3. Sehingga dapat dipahami bahwa arti “sanna” ialah melakkukan, melaksanakan (mengerjakan),
4. Yang menunjukan bahwa pengertian yang lebih tepat adalah “Barangsiapa yang melakukan
sunnah” yakni faktor penyebab disabdakannya Hadits tsb, yaitu sedekah yang memang sudah ada
syariatkan,
Dari Jabir bin Abdullah berkata : Rasulullah pernah berkhutbah kepada kami, lalu beliau memberi
semangat kepada manusia untuk bersedekah, akan tetapi mereka berlambat-lambat untuk
5. Sesungguhnya sahabat yang memulai melakukan amalan sedekah tsb tidaklah melakukan
sesuatu yang baru dalam syari’at. Sedekah memang sudah disyaria’tkan dan dianjurkan oleh Rabb
6. Di sini, sedekah dikatakan sebagai sunnah hasanah, dan tidak bersedekah sebagai sunnah
sayyiah (jelek), yang jelas menunjukkan bahwa bersedekah adalah bagian dari sunnah Rasulullah
shollallahu `alaihi wa sallam, dan tidak bersedekah adalah bagian dari sunnah yang buruk yang
7. Sekedar mengingatkan bahwa pengertian ‘sunnah’ menurut bahasa artinya adalah jalan/cara,
8. Jika Sabda Rasulullah diartikan “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam……..” yang
dalam Islam yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah , maka hal tsb tentu sangatlah
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka
458
perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718).
“…..maulid Nabi saw adalah perkara yang baik yang mulai dilaksanakan setelah Zaman Salafush
Sholeh……”
——————————————————-
Kalaulah perbuatan itu baik, pastilah para Sahabat telah mendahului kita melakukannya. Jika para
Sahabat tidak melakukannya padahal BUKAN MAKSIAT dan tidak ada faktor penghalangnya,
Maka cukuplah Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang membantah perkataan saudara,
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li
Perayaan maulid setiap tahun itu termasuk perbuatan yang mengada-ada di dalam Islam. Buktinya
saudara sendiri mengakui dan menjawabnya bahwa perbuatan tsb tidak pernah dilakukan di
zaman Salafush Shalih. Itulah sebabnya perkara tsb termasuk ke dalam perkara bid’ah secara
syari’at
Al Imam Asy Syatibi berkata bahwa bid’ah adalah : “Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat
dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukannya adalah
sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah)”. (Al
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka
perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)
“………Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan
adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676)
waallahu ‘alam…..
459
Tampaknya antum masih salah paham saja tentang bid’ah.
Baiklah saya jelas lagi dengan cara yang lain. Silahkan baca tulisan pada
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/17/kesalahpahaman-bidah/
Tampaknya saudara mutiarazuhud ini belum memahami makna dari kata bid’ah itu sendiri, baik
makna secara bahasa dan makna secara istilah (syari’at) sehingga menafsirkan Sabda Rasul
seenaknya……
Ingat mas ! Islam itu agama yang tegas aturannya dan jelas batasan-batasannya, jangan sampai
kaidah yang saudara buat (karang) yakni pembagian ibadah menjadi ibadah mahdah dan ghairu
mahdah membuat hukum Islam itu sendiri menjadi rancu dan tidak jelas batasan-batasannya….
Salafush Shalih mana yang membagi ibadah menjadi 2 yakni ibadah mahdah dan ghairu mahdah?
Jangan seperti ahmadiyah yang menafsirkan (sendiri) bahwa yang dimaksud ‘penutup para nabi’
sedangkan saudara menafsirkan ‘bid’ah dholalah’ yang dimaksud dalam Sabda Rasul itu adalah
yang jika dicermati bersama-sama dimana kedua tafsiran itu adalah tafsiran-tafsiran belakangan
Mungkin agar permasalahan menjadi lebih jelas dan penjelasan yang saudara maksud bisa sampai
kepada saya dan teman-teman yang sepaham dengan saya yang sedang mengunjungi blog
saudara, maka saya ingin kasih saudara cara lain untuk menjelaskan selain memberi link tulisan-
tulisan saudara sendiri, karena penjelasan saudara itu penuh dengan kerancuan…..
adapun cara yang saya sarankan itu adalah menjawab pertanyaan saya yang belum terjawab yakni
Salafush Shalih mana yang membagi ibadah menjadi 2 yakni ibadah mahdah dan ghairu mahdah?
dan juga menjawab pertanyaan saudara ‘sunan’ dibawah yang sepertinya juga belum dijawab….
mungkin dengan dijawabnya pertanyaan tsb, tidak akan terjadi kesalah pahaman lagi….
waallahu ‘alam…..
460
pada 27 September 2010 pada 9:02 am mutiarazuhud
Pembagian perbuatan/ibadah dalam dua kategori ibadah mahdah dan ghairu mahdah untuk tujuan
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka
jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu
langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan
Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia
dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa
dan
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang
yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau
1. Perbuatan yang Allah swt telah tetapkan berupa kewajiban, larangan dan pengharaman.
Kategori ini disebut ibadah mahdah atau ibadah ketaatan atau perkara syariat atau “urusan kami”
2. Perbuatan yang Allah swt telah diamkan/bolehkan termasuk disini adalah perkara mubah,
perkara sunnah, perkara makruh, kategori ini disebut ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan
Contoh sholat wajib termasuk kategori ibadah mahdah (ibadah ketaatan) merupakan sebuah
kewajiban bagi setiap muslim, atau hukumnya wajib artinya perbuatan/ibadah yang jika
461
Bid’ah atau perkara baru pada kategori ibadah mahdah (ibadah ketaatan) adalah dholalah
(buruk/tertolak).
Bid’ah atau perkara baru pada kategori ibadah ghairu mahdah (perbuatan/ibadah yang telah Allah
swt diamkan) pada asalnya hukumnya boleh(mubah) bahkan perkara baru yang baik dinamakan
Pak mutiara zuhud, kalo memang membuat ibadah jenis baru itu boleh dan baik, maka :
– Apakah dia sanggup menjelaskan ini pahalanya sekian, ganjarannya di akherat begini dan begitu
(perkara ghaib)?
Saya mau tahu jawaban anda, manusia jenis apa yang mampu membuat, menyusun, dan
Mas MutiaraZuhud, saya mau tanya, batasan seseorang menganggap sesuatu itu sebagai ibadah yang
baik seperti apa..? Apakah saya juga bisa membuat sesuatu yang saya anggap baik..? Misalnya, saya
membuat perayaan tentang kemenangan Perang Badar, karena hal tersebut dapat mengingatkan
ummat akan tentang sebuah peristiwa penting dalam sejarah ummat Islam….
Saya akan merayakan hari kemenangan Perang Badar dengan serangkaian acara yang meriah, ada
pembacaan ayat suci al Quran, lalu membaca sirah Badar, setelah itu diadakan pula tari2an perang
yang menyimbolkan patriotisme para ahlul Badr, setelah itu dilanjutkan dengan dzikir bersama dan
Saya juga akan memperingati hari kekalahan di Medan Uhud, dengan serangkaian acara, yaitu
pembacaan ayat suci al quran yang berkaitan dengan perang Uhud, pembacaan sirah tentang perang
Uhud, lalu dilanjutkan dengan menangis bersama2 dan bersedih atas kekalahan di medan uhud. ya,
mirip2 orang syi’ah dalam merayakan karbala, tapi tidak seekstrem mereka… Apakah diperbolehkan..?
462
Jika diperbolehkan, mengapa..? Dan jika dasarnya kuat saya juga akan membuat hal2 baru yang lain
Jika tidak diperbolehkan dan termasuk bid’ah, mengapa..? Bukankah memulai sesuatu yang baik
adalah kebaikan..?
Perbuatan memperingati masa lampau untuk pelajaran hari esok termasuk ibadah ghairu mahdah
(ibadah kebaikan).
Namun yang menjadi hal yang harus diperhatikan adalah bentuk pengisian acara peringatannya,
Pak mutiara zuhud, kalo memang membuat ibadah jenis baru itu boleh dan baik, maka :
– Apakah dia sanggup menjelaskan ini pahalanya sekian, ganjarannya di akherat begini dan begitu
(perkara ghaib)?
Saya mau tahu jawaban anda, manusia jenis apa yang mampu membuat, menyusun, dan
Panggil saja saya Zon, saya tinggal di Jonggol, Kab bogor 16830
463
Prinsipnya adalah:
Perkara baru / bid’ah dalam hal perbuatan/ibadah ibadah mahdah yakni yang hukumnya wajib, baik
wajib ditaati (kewajiban) maupun wajib dijauhi/ditinggalkan (haram – dilarang atau diharamkan)
tertolak (dholalah).
Sedangkan perkara baru / bid’ah dalam hal perbuatan/ibadah ibadah ghairu mahdah yakni
boleh-tidak disukai (makruh) adalah boleh atau termasuk perbuatan/ibadah yang Allah swt
diamkan/bolehkan. Perkara baru / bid’ah dalam kategori ibadah ghairu mahdah yang tidak
melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits merupakan perkara baik atau bid’ah hasanah atau
bid’ah mahudah.
Hakikatnya dikatakan amal shaleh / Kebaikan jika menjalankan seluruh perbuatan/ibadah yang
boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan menjauhi seluruh yang boleh-boleh (mubah) dan boleh-
Hakikatnya dikatakan orang beriman jika menjalankan seluruh perbuatan/ibadah yang wajib dan
Jika seorang muslim menjalankan dan mentaati kedua-duanya sampai akhir hidupnya maka dia
dijanjikan Allah swt untuk masuk surga tanpa hisab sebagaimana firmanNya yang artinya
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia
dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa
dan
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang
yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau
Sebagai contoh, biasanya kami sampaikan kepada yang merokok bukan bahayanya merokok namun
sampaikan apakah mau masuk surga tanpa dihisab. Intinya kami dalam penyampaian membiasakan
untuk tidak menakuti-nakuti namun menumbuhkan kesadaran mengingat Allah swt dengan
menyampaikan kenikmatan yang akan didapat sesuai janji Allah swt dan Allah swt pasti menepati
janjinya. Innallâha lâ yukhliful mî`âd (sesungguhnya Allah Swt. tidak mengingkari janji-Nya) (QS Ali
Imran [3]:9 )
464
“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:7)
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/27/gigitlah-sunnah/
Pak mutiara zuhud, kalo memang membuat ibadah jenis baru itu boleh dan baik, maka :
– Apakah dia sanggup menjelaskan ini pahalanya sekian, ganjarannya di akherat begini dan begitu
(perkara ghaib)?
Saya mau tahu jawaban anda, manusia jenis apa yang mampu membuat, menyusun, dan
Berhubung sepertinya tanggapan-tanggapan saudara ‘mutiarazuhud’ ini sudah mulai banyak yang
rancu, ‘ngambang’, ‘jaka sembung’, mutar-muter, tidak menjawab pertanyaan secara tegas, dan
cenderung itu-itu saja, maka langsung saja saya tarik kesimpulan berdasarkan tanggapan-
1. Membuat Islam yang pada awalnya Agama yang tegas aturannya dan jelas batasan-batasannya,
menjadi agama yang rancu dan tidak jelas batasannya dengan membagi ibadah menjadi 2 yakni
ibadah mahdah dann ghairu mahdah sebagai ‘hasil’ penafsiran sendiri dengan tannpa ilmu pastinya.
Padahal tidak ada Salafush Shalih yang membagi ibadah menjadi 2 sebagaimana yang diyakini
‘mutiarazuhud’ ini.
465
2. Menafsirkan Firman Allah dan Sabda Rasul dengan tanpa ilmu dan lebih mengedepankan akal dan
3. Membuat kaidah sendiri yakni membagi perbuatan ketaatan dan perbuatan kebaikan, seolah-olah
kedua-duannya itu berbeda, maka tanyakanlah apakah perbuatan ketaatan bukanlah suatu perbuatan
4. Beribadah hanya berdasarkan akal dan perasaan semata. Padahal Agama (Islam) ini adalah agama
yang berdasarkan wahyu Allah yang disampaikan melalui Sunnah Rasulullah, bukan suatu hasil
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S Ali-Imran : 31)
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas setiap
orang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi tidak berada di atas jalan Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia dusta dalam pengakuannya mencintai Allah Azza wa
Jalla sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
Dari Ali bin Abi Thalib Radiallahu anhu berkata :Seandainya agama itu semata-mata menggunakan
akal maka seharusnya yang diusap adalah bagian bawah sepatu daripada bagian atasnya. Sungguh
aku telah melihat Rasulullah mengusap bagian atas kedua sepatunya (diriwayatkan oleh, Imam Abu
Daud No. 162, Imam Baihaqi (1/292), Imam Daruqutni (1/75), Imam Addarimi (1/181), Imam
Baghwai (239) dan dishahihkan Al Hafidz Ibnu Hajar didalam kitabnya At Talkhisu Al Khabir)
Abis bin Rabi’ah, dia berkata : “Aku melihat Umar bin Kahthtab Radhiyallahu‘anhu mencium Hajar
“Sungguh aku tahu engkau adalah batu yang tidak bisa memberi mudharat dan tidak bisa memberi
manfaat. Kalau bukan karena aku melihat Rasulullah mencium engkau, maka aku tidak akan
Coba perhatikan ! Umar mencium batu tersebut bukan karena kemuliaan batu tersebut dan bukan
karena menghormatinya tetapi Umar mencium karena dia mengikuti sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi
wa sallam (Lihatlah ! betapa Umar Radhiyallahu ‘anhu lebih mendahulukan dalil dengan mencontoh
kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada mendahulukan akalnya. Dan demikian sifat dan
466
Imam Syafi’i berkata,
(Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya)
kaidah yang disampaikan mutiara zuhud bukanlah karangan beliau sendiri, itu merupakan
kesimpulan ulama Ahli Sunnah yang betul betul Rosikh fil ilm berikut saya bawakan salah satu
sumbernya
Menurut DR. Abdul karim zaidan dalam bukunya Al- madkhol lidirosati syari`atil Islamiyah bahwa
Secara garis besar Nushusyari`ah baik dari qur`an maupun hadist nabi, kita dapati nushusyari`ah
1. masalah Prinsip atau Aqidah seperti iman kepada Allah malaikat kitab dan lain lain masalah
aqidah
2. masalah Akhlak seperti jujur, ikhlas, tepat janji yang bisa kita pelajari dari ilmu akhlak atau
Tashowuf
3. masalah muamalat terbagi menjadi dua : a. hubungan manusia dengan Tuhanya b. hubungan
A. Hubungan manusia dengan tuhannya atau apa yang disebut dengan Ibadah jika kita cermati dalil-
dalil yang berkaitan dengan I`badah kita dapati ibadah itu ada dua :
pertama, Ibadah yang terikat dengan tata cara atau kaifiyat yang digariskan oleh Allah dan Rosulnya
seperti sholat, zakat, puasa haji, dan lain lain ibadah yang diikat dengan tata cara pelaksanaanya
Kedua, Ibadah yang tidak diikat dengan tata cara atau kaifiyat tertentu seperti dzikrulallah, sodaqoh
dan lain – lain ibadah yang tidak terikat dengan tata cara pelaksanaannya atau disebut ibadah
Ghoiru mahdloh.
Beribadah hanya berdasarkan akal dan perasaan semata dst kesimpulan nt keliru sebab 1. Qur`an
467
dan Hadist untuk orang yang berakal 2. tanpa akal tidak mungkin qur`an hadist bisa dipahami 3.
mutiara zuhud tidak akal akalan seperti yang kita lihat bersama, meskipun di beberapa sisi masih
nt faham tidak apa yang dimaksud oleh imam syafi`i tentang Istihsan ? kalo nt faham nt ga bakal
menukil qoul imam Syafi`i ini untuk menguatkan pendapat nt, sebab yang dimaksud dengan
Istihsan diatas adalah Istihsan Yang Fasid sebagai mana di jelaskan oleh Doktor Wahbah Zuhaili
dalam tulisannya Usul Fiqh Islam dan ulama syafi`iyah lainya menyatakan hal yang sama, jadi
6. Menganggap semua/setiap perbuatan itu ibadah, padahal tidak semua perbuatan itu dikatakan
ibadah, maka tanyakanlah apakah ‘ngupil’, main remi, main catur, main gaple, apakah itu semua
termasuk ibadah?
7. Meyakini adanya bid’ah hasanah di dalam Islam, maka tanyakanlah apakah batasan-batasan suatu
perbuatan itu dikatakan bid’ah hasanah? apakah setiap perbuatan yang kita anggap baik bisa kita
masukan ke dalam bid’ah hasanah? apakah ada, perkara hasanah yang belum ada di dalam Islam?
8. Jika bid’ah hasanah itu termasuk ibadah yang berpahala dan termasuk bagian dari Islam, maka
tanyakanlah siapa orang yang berhak dan berwenang menciptakan/membuat bid’ah hasanah di dalam
Islam saat ini? dan siapa juga orang yang mampu menjelaskan keutamaan dan pahala dari ‘ibadah’
baru tsb?
9. Meyakini adanya bid’ah hasanah dalam Agama (Islam) ini, berarti secara tidak langsung telah
memberikan catatan kaki terhadap Firman Allah yang berbunyi : “Pada hari ini telah Aku sempurnakan
————————————–
[1] Belum sempurna ! masih ada perayaan maulid setiap tahun, tahlilan setiap malam ke sekian dan
468
31. pada 5 Oktober 2010 pada 10:39 pm | Balas Yusuf Ibrahim
10. Meyakini bahwa ada ibadah yang Allah diamkan, padahal Allah telah sempurnakan Agama (Islam)
ini tanpa ada yang tertinggal satupun kecuali telah dijelaskan melaliu Rasul-Nya sehingga tidak
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku
bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian…..” (Al Maidah : 3)
Imam Malik bin Anas berkata : “Barangsiapa yang melakukan suatu kebid’ahan dan menganggapnya
baik, maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
telah berkhianat dalam (menyampaikan) risalah. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman:
“Pada hari ini, Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu, dan Aku cukupkan ni’mat-Ku kepadamu,
Maka, apa-apa yang pada hari itu (turunnya ayat tersebut) bukan termasuk ajaran agama, maka
niscaya tidak akan menjadi ajaran agama pada hari ini.” (al I’stisham oleh Imam asy Syathibi juz
I hal.49)
11. Meyakini bahwa ibadah dzikir dan shalawat boleh dilakukan dengan berbagai cara dan tidak
terikat (tidak harus) mencontoh Rasulullah, seolah-olah Allah dan Rasul-Nya tidak pernah
mengajarkan bagaimana cara dzikir dan shalawat. Jangankan dzikir dan shalawat, buang air saja
diwajibkan/diharuskan mengikuti Sunnah Rasulullah, bagaimana mungkin dzikir dan shalawat tidak
harus mengikuti Rasulullah? kecuali jika saudara ‘mutiarazuhud’ ini ‘cebok’ dengan tangan kanan.
Abû Dzarr radhiyallâhu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam wafat dan tidaklah
burung membolak-balikkan kedua sayapnya di langit kecuali beliau telah menyebutkan ilmu darinya.”
Artinya, perkara sekecil apapun telah diterangkan dalam syariat yang suci ini. Setelah itu, Abû Dzarr
menyebutkan sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah tersisa sesuatu pun yang
mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan kepada kalian.” [H.R.
Ath-Thabarani]
Diriwayatkan oleh Imam Muslim (1/223,262), At Tirmidzi (1/16,24), An Nasai (1/40, 72), Abu Daud
(1/3,7), Ibnu Majah (1/15,115) dari Salman Al Farisi radliyallahu ‘anhu, katanya:
“Seorang musyrik berkata kepadanya sambil mengejek:”Sungguh, saya lihat sahabat kalian ini
469
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam) mengajarkan segala-galanya kepada kalian
Salman mengatakan:”Betul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memerintahkan kami
agar tidak menghadap kiblat (Ka’bah) atau memunggunginya ketika buang air besar, dan agar kami
jangan istinja` (cebok) dengan tangan kanan, serta agar kami mencukupkan dengan tiga buah batu
point 9 dan 10 . yusuf Ibrahim membawakan ayat tentang kesempurnaan agama : “Pada hari ini
telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian
seolah olah orang yang meyakini adanya Bid`ah hasanah telah menentang ayat ini, serta
membawakan qoul Imam malik ra. : “Barangsiapa yang melakukan suatu kebid’ahan dan
menganggapnya baik, maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
faham kah yusuf ibrahim dengan yang dimaksud oleh ayat 3 surat maidah tentang sempurnanya
agama ini ?.
faham kah yusuf Ibrahim dengan perkataan Imam malik ra ? yang dia nukil dari al I`tisham, coba nt
pelajari lagi Tafsir tentang ayat 3 surat al-maidah dari kitab kitab yang mu`tabar.
poin 12. yang menentang dan menganjurkan ummat untuk meninggalkan Ibnu taymiyah bukan
hanya mutiara zuhud banyak sekali ulama yang menyatakan hal itu bahkan sejak ibnu taymiyah
masih Hidup, hingga beliau matyi dalam penjara, bahkan kalo nt sudah baca karya karya orsinil ibnu
taymiyah, nt akan dapati Ibnu taymiyah mengkafirkan Ibnu taymiyah sungguh aneh bukan ?
point 13. yusuf ibrahim menganggap sempit pandangan kaum sufi terhadap maksiat meskipun kata
sufi masih diberi tanda kutip, menurut saya yang sempit itu justru nt yusuf Ibrahim karena nt tidak
tahu kaum sufi sebenarnya, dan jika nt menjadikan Asyathibi sebagai salah satu panutan, kenapa
justru nt tidak mengikuti Asyathibi yang banyak menyanjung Kaum sufi ? atau nt hanya milih milih
pendapat ulama seperti Asyathibi hanya untuk mendukung hawa nafsu nt saja ? sementara
untuk ponit ke 14 mas mutiara zuhud sudah mengomentarinya, mohon maaf saya ikut
berkomentar,.
470
32. pada 5 Oktober 2010 pada 10:41 pm | Balas Yusuf Ibrahim
12. Menentang (membantah) bahkan menganjurkan umat muslim untuk meninggalkan seorang
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (guru dari Ibnu Katsir & Ibnu Qayyim Al-Jauziyah) dengan tanpa ilmu
dan kedudukan (siapa ‘mutiarazuhud’? seorang ulamakah?), padahal keilmuan ‘mutiarazuhud’ ini jika
dibandingkan dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ibarat sebutir buih di tengah lautan.
13. Memiliki sudut pandang yang sempit terhadap perbuatan maksiat, karena sepertinya perbuatan
maksiat dimata si sufi ‘mutiarazuhud’ ini hanyalah sebatas minum khamar, judi, zina, dan riba saja.
Sa’id bin Musayyib pernah melihat orang sholat setelah munculnya fajar lebih dari dua rakaat, maka
diapun melarang orang tersebut. Lalu orang itu menjawab: “Wahai Abu Muhammad ! Apakah Allah
akan menyiksaku karena sholat?! Beliau menjawab: Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena
menyelisihi sunnah“. (Riwayat Baihaqi 2/466, ad-Darimi 1/116 dll dengan sanad shohih).
14. Secara tidak langsung telah menuduh para Sahabat lalai dalam melaksanakan/mengerjakan salah
satu amaliah kebaikan yang berpahala dalam Islam yang dianggap baik oleh saudara ‘mutiarazuhud’,
namun tidak dikerjakan oleh para Sahabat seperti merayakan maulid setiap tahun misalnya.
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan dan
perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah.
Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita. Sebab
mereka tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu
melaksanakannya.”
——————————————-
Note :
“Kalau seorang belajar tasawuf di waktu pagi, maka pada waktu siang dia telah menjadi orang yang
paling dungu.” (Al Fikru ash Shufi hal.49 & 63 oleh Syaikh Abdurrahman Aabdul Khaliq)
Waallahu ‘alam……
471
o pada 5 Oktober 2010 pada 11:45 pm | Balas mutiarazuhud
Termasuk note dari Imam Syafi’i Rahimullah, namun cara memahaminya yang berbeda.
Terlampau banyak komentarnya, semua sudah saya uraikan dalam tulisan-tulisan silahkan baca
pada
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/17/kesalahpahaman-bidah/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/17/urusan-kami/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/23/melampaui-batas/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/27/gigitlah-sunnah/
14. Secara tidak langsung telah menuduh para Sahabat lalai dalam melaksanakan/mengerjakan
salah satu amaliah kebaikan yang berpahala dalam Islam yang dianggap baik oleh saudara
‘mutiarazuhud’, namun tidak dikerjakan oleh para Sahabat seperti merayakan maulid setiap tahun
misalnya.
Apakah perbuatan baik / amal kebaikan yang tidak melanggar larangan/batas dalam Al-Qur’an dan
Hadits walaupun tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw maupun para Sahabat atau Salafush
Sholeh atau tidak pernah dicontohkan ulama salaf ( ingat! berbeda dengan ulama salaf(i) ) bukanlah
Apakah perbuatan baik / amal kebaikan yang dilakukan kaum muslim pada zaman sekarang maupun
nanti sampai menjelang kiamat dan jelas tidak melanggar larangan/batas dalam Al-Qur’an dan
Hadits, namun belum pernah dicontohkan , bukanlah perbuatan baik atau amal kebaikan ?
ghuluw/ekstrem/berlebihan/melampaui batas.
Mereka lakukan dengan membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atas mereka
serta mencegah/melarang hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka.
472
Contoh ada ulama yang mengharamkan peringatan maulid Nabi saw.
Kalau ada ulama yang mengharamkan/melarang tata cara mengisi peringatan maulid Nabi saw
masih dibenarkan karena dapat kita temukan dalil/hujjah dalam Al-Qur’an dan Hadits, seperti tata
Contoh lain, keliru jika ada ulama yang melarang/mengharamkan matan/isi sholawat Nabi
dasarnya/awalnya adalah boleh sehingga perkara baru/bid’ah dalam hal ini sejauh tidak melanggar
larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits adalah perkara baik, hasanah atau mahmudah.
Hal yang perlu diinggat bahwa perkara baru (bid’ah) dalam perbuatan/ibadah yang telah Allah swt
diamkan / bolehkan asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits merupakan
perkara baik walaupun perbuatan tersebut tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw, Salafush Sholeh
Oleh karenanya ada ulama berpendapat bahwa hadits dhoif dapat digunakan sebagai landasan amal
(ibadah ghairu mahdah ) asalkan matan/isi hadits tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan
Hadits lainnya.
Namun hadits dhoif dilarang untuk landasan hukum perbuatan, baik hukumnya wajib maupun
hukumnya haram
* wajib dihindari (perbuatan/ibadah yang hukumnya haram, berupa yang dilarang dan diharamkan)
disukai / makruh)
473
Dengan tumbuhnya kesadaran sebelum melakukan perbuatan inilah yang merupakan bagian
Sebagaimana yang telah saya sampaikan bahwa akhlakul karimah adalah kesadaran atau
Dengan pemetaan perbuatan/ibadah ini kita dapat menghindari dari paham sekularisme yang
membolehkan perbuatan memperturutkan kepada hawa nafsu atau menghamba kepada hawa nafsu.
Ingat selalu pepatah orang tua kita dahulu, “Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak
berguna“
Setiap tindakan atau perbuatan itu hendaknya dipikirkan dahulu baik-baik (mengingat Allah,
merujuk kepada petunjukNya) sebelum dikerjakan agar tidak timbul penyesalan di kemudian hari
Wassalam
“Apakah perbuatan baik / amal kebaikan yang tidak melanggar larangan/batas dalam Al-Qur’an
dan Hadits WALAUPUN TIDAK PERNAH DICONTOHKAN oleh Rasulullah saw maupun para Sahabat
atau Salafush Sholeh atau tidak pernah dicontohkan ulama salaf ( ingat! berbeda dengan ulama
——————————————
saya balik tanya dulu sebelumnya, apakah ada suatu perbuatan baik/amal kebaikan yang belum
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan
dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
bid’ah. Karena BILA HAL ITU BAIK, NISCAYA MEREKA AKAN LEBIH DAHULU MELAKUKANNYA
DARIPADA KITA. Sebab MEREKA TIDAK PERNAH MENGABAIKAN SATU KEBAIKAN PUN KECUALI
474
Janganlah suadara membuat pemahaman sendiri dengan berkata bahwa masih ada
perbuatan/amal kebaikan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah dan para Sahabat…….
makanya dari itu saya berkata kepada saudara, jika saudara masih meyakini bahwa masih ada
perbuatan/amal kebaikan yang berpahala yang tidak dicontohkan/dijelaskan Rasulullah dan para
Sahabat, maka itu sama saja saudara telah menuduh mereka telah lalai dalam menjalankan salah
Bahkan ekstrimnya sebagaimana perkataan Imam Malik, saudara sama saja telah menuduh
You wrote:
“Saya balik tanya dulu sebelumnya, apakah ada suatu perbuatan baik/amal kebaikan yang belum
Baiklah akan kami contohkan bahwa perbuatan baik/amal kebaikan atau perbuatan/ibadah ghairu
mahdah yang tidak melanggar larangan dalam Al-Quran dan Hadits tetaplah sebagai
Jika seorang muslim menemukan sebuah penemuan alat atau sistem yang bermanfaat bagi
Saya memperbaiki mesin cuci tetangga sebelah yang tua renta tetaplah sebagai amal kebaikan
Saya membeli tiket pesawat untuk orang tua saya, tetaplah sebagai amal kebaikan walaupun amal
Kami merasa bahwa masa kehidupan kami telah terlampau jauh dengan masa kehidupan
Rasulullah, maka kami merasa perlu mengingat kembali perjalanan hidup Rasulullah untuk
memotivasi kami meneladani Rasulullah bagi kehidupan kami masa kini dan esok. Sehingga kami
sepakati melakukan pengajian dengan tematik perjalanan kehidupan Rasulullah dan menyesuaikan
475
pelaksanaannya pada bulan kelahiran Rasulullah. Amal kebaikan ini tetaplah amal kebaikan
Sekali lagi kami sampaikan sekalian itu bukan berarti seluruhnya karena sesungguhnya bid’ah
dholalah hanya untuk perbuatan/ibadah mahdah saja . Ibadah Mahdah adalah urusan kami, ibadah
yang telah ditetapkan/disyariatkan/disyaratkan oleh Allah swt baik berupa kewajiban, larangan dan
pengharaman. Semua yang ditetapkan Allah ta’ala telah dijelaskan dan diuraikan oleh Rasulullah
saw.
Contoh lain yang lebih jelas lagi silahkan baca tulisan yang merupakan sebuah tinjauan terhadap
pendapat umum ulama Wahabi/Salaf(i) terhadap sistem pemerintahan kerajaan (monarki) dan
pembiaran para ulama Wahabi terhadap kebijakan umara mereka mengikat perjanjian dengan
kaum kafir.
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/17/pemimpin-dalam-islam/
SUFI/TASAWUF/THOREQOT/NU/ atau apapun namamu, telah merubah syariat islam yang sempurna.
Syahadat pertama anda dipertanyakan, kenapa ? anda tidak berdoa langsung kepada Alloh swt.
Syahadat anda yang kedua “ashadu anna muhammadarrosululloh” di pertanyakan, kenapa? anda
sudah tidak menganggap beliau SAW sebagai rasululloh lagi, karena syariat yang beliau bawa anda
Tasawuf berkata : Berdoalah melalui imam tasawuf yang sudah mati, ada karomah, “Jangan Langsung
ke Alloh”. “ente ngga level”, pake analogi dagelan “kalo mau menghadap presiden melalui mentri
dulu”.
Rasululloh bersabda : Selisihilah yahudi dan nasrani. (perayaan kelahiran, kematian, dll)
Tasawuf berkata : Rayakanlah kelahiran Nabi SAW, rayakanlah kematian syekh fulan…
476
Ajaran Rasululloh : Berzikir sendiri-sendiri
Rasululloh bersabda : Jangan ada asap, berilah makanan pada keluarga mayit.
Tasawuf berkata : Masaklah selama 7 hari, berikan makanan pada yang mendoakan mayit.
Ajaran Tasawuf : Adzan untuk orang mati, berangkat haji, pindahan rumah.
Ajaran Rasululloh : Kuburan rata dengan tanah, atau sejengkal, hanya di beri tanda.
Ajaran tasawuf : Kuburan dibangun megah, apalagi kuburan guru/imam tasawuf seperti istana.
Ajaran Tasawuf : Bermusik di masjid, bernyanyi di masjid, sebagian ada yang menari di masjid (tarian
sufi), setelah adzan bernyanyi (mereka bilang puji-pujian). Dan lain-lain, masih banyak.
Fatwa/ajaran dan guru-guru tasawuf sudah cukup untuk membuat agama baru yaitu “AGAMA
TASAWUF” yang sangat berbeda dengan agama Islam yang dibawa oleh Rasululloh saw. Beribadahnya
berbeda, kebiasaannya berbeda, berdoanya pun bukan langsung kepada Alloh yaitu melalui imam
Allah berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang
lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di
antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik
477
Sungguh setiap muslim pada umumnya terproteksi dari kesyirikan bagi mereka yang memahami
ucapan-ucapan yang berulang kali setiap hari, bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah
ta’ala dan bahwa Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam adalah utusan Allah ta’ala. begitu juga
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”
adalah sesat.
“Sebenar benar perkataan adalah kitabullah(alquran) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas) berkata “Setiap (pendapat) dari kita diambil dan ditolak darinya
kecuali pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad
Shollallahu Alaih.
Padahal teknik pemahaman mereka lebih besar kemungkinannya keliru yakni secara tekstual,
harfiah, tersurat menjauhi dari karunia Allah ta’ala yakni pemahaman yang dalam, hikmah, tersirat.
Saudaraku kaum Wahabi mengeneralisir saudara muslim lain dengan apa yang mereka
prasangkakan. Contoh ketika ada seorang muslim mengaku mereka mendalami Tasawuf dalam
ISlam, maka otomatis dipikiran mereka adalah orang-orang thawaf di kuburan, penyembah kuburan,
menjadikan perantara wali dalam pengertian dzhahir dan lain-lain prasangka buruk yang intinya
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/17/2010/07/20/tasawuf-dalam-islam/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/17/2010/07/24/mengenal-tasawuf/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/17/2010/05/25/istilah-tasawuf/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/16/2010/05/07/perlunya-tasawuf/
478
https://mutiarazuhud.wordpress.com/page/2010/04/12/ilmu-tasawuf/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/page/2010/05/07/kaum-sufi/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/page/2010/05/07/tasawuf-athaillah/
Kalau boleh kami mengingatkan antum, sebaiknya janganlah meremehkan setiap saudara muslim
Ketika Sahabat Usamah RA meremehkan, berprasangka buruk, menyangsikan terhadap orang yang
telah mengucapkan syahadat bahkan telah membunuhnya. Rasulullah saw menegurnya dan berkata
“Halla syaqogta qolbuhu?” Artinya, Apakah engkau telah membelah hatinya, sehingga engkau
Kita sebagai muslim dilarang merendahkan, menghinakan setiap orang yang telah bersyahadat
(muslim)
Bahkan merendahkan saudara muslim lain maka kelak tidak akan masuk surga. Naudzubillah min
zalik
“Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan.
Wassalam
Justru yang kaum tasawuf rendahkan adalah Alloh swt dan rasulnya, dengan tidak berdoa langsung
kepada Alloh swt, dan merubah syariat yang diajarkan beliau SAW.
Sebenarnya simple saja, beribadhalah, berdoalah hanya kepada Alloh swt saja, dan gunakanlah
tatacara ibadah ala Rasululloh SAW. Agama ini mudah….siap pake, ngga perlu berfilsafat, meditasi,
479
o pada 17 Oktober 2010 pada 7:09 am | Balas mutiarazuhud
Kami adalah kaum muslim yang insyaallah selalu memegang teguh pada firmanNya yang artinya:
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”
Kami adalah kaum muslim yang insyaallah selalu teguh pada hukum/perkara ibadah sebagaimana
yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Perbuatan/ibadah yang hukumnya sunnah/mandub maka
kami tetaplah sebagai yang sunnah/mandub. Kita dapa melihat sebagain ulama wahabi/salaf(i)
Lantas untuk apa kalian membangun bangunan yang megah pada kuburan-kuburan guru kalian?
sebagian dari kalian ada yang bertawaf mengelilingi kuburan guru kalian, untuk apa?
Sebagian lagi berwudlu sebelum memasuki kuburan sang guru, apakah ini syariat islam?
Sebagian lagi menganggap ada keutamaan berdoa di kuburan sang guru, tempat mustajab, aturan
dari mana?
Kita harus melihatnya kasus per kasus. Sebaiknya tidak mengeneralisir. Bukankah kita tidak bisa
mengatakan bahwa agama Islam itu menghalalkan minuman keras setelah melihat seorang muslim
480
yang saya jelaskan adalah tentang torekot sufiah yang anda tawarkan. Kuburan mursyid kalian pun
diagungkan, di bangun dengan megah, siapa yang menggeneralisasi masalah ini? saya fokus
membicarakat torekot anda pada khususnya, dan thorekot yang lain pada umum nya
mas mutiara zuhud , tolong di posting sebenarnya manhaj atau metodologi yang digunakan oleh
sekte wahabi salafi dalam memahami Nushusyari`ah seperti apa ? sebab dari sekian banyak
komentar yang di lontarkan oleh pembela wahabi salafi, terlihat ngawur dan fasid, ibarat membuka
sebuah baut rupanya alat yang digunakan bukan kuncinya yang pas, malah bisa jadi baut itu
dibuka paksa menggunakan pahat dan palu, memang sih baut itu bisa dibuka tapi ya rusak dan
tidak bisa dipakai lagi karena dibuka bukan dengan alatnya, jadi tolong mas mutiara zuhud bikin
postingan tentang manhaj atau metodologi yang digunakan kaum wahabi salafi dalam memahami
Qur`an dan Hadist, atau mungkin pengikut wahabi salafi ada yang bisa menyampaikan dan
menjelaskan metodologi mereka ? tapi tolong jangan bilang mengikuti manhaj salaf ya, sebab
manhaj salaf terlau banyak dan masing masing mempunyai metodologi yang berbeda hingga kita
mengenal banyak madzhab waktu itu, sekalian tolong sebutkan sumber hukum bagi mereka apa
saja ? menurut saya ini sangat penting untuk menguji keabsahan metodologi yang mereka
gunakan , apakah lebih mendekati kebenaran atau lebih dekat dengan kesesatan. sebelumnya
To all wahabi salafi, Rosulallah salallahu alaihi wasallam tidak pernah melarang peringatan hari
lahirnya ( maulid nabi ) kenapa justru kalian mengaramkannya ? hati hati kalian telah mengharamkan
481
sesuatu yang tidak diharamkan oleh pembawa syarea`t, jika maulid nabi itu haram niscaya Allah
melalui rasulnya akan mengabarkannya kepada kita bahwa maulidan haram jangan dilakukan.
to yusuf ibrahim penisbatan pemahaman kita terhadap nushusyari`ah jangan sekali kali kita katakan
menurut islam bla bla bla sebab itu hanya persepsi kita saja, kecuali pada masalah tertentu yang
datang dengan dalil yang bersifat qoth`i, shorih seperti sholat zakat puasa naik haji haramnya babi dll
yang ada dalil qoth`i dan shorihnya, diluar itu sebaiknya dinisbatkan kepada kita ” menurut
pemahaman saya terhadap nash bla bla bla seperti itulah manhaj salaf dalam mengemukakan
point 6 yusuf ibarahim menolak bahwa semua perbuatan bisa menjadi ibadah, ini menunjukan betapa
minimnya hadist yang dia ketahui, hingga membawakan contoh-contoh perbuatan yang tidak sesuai.
point 7 dan 8. yusuf ibrahim menolak adanya bid`ah Hasanah ini menunjukan minimnya ilmu yang
-ahmadsyahid-
ya sudah…..kalau saja anda lebih memahami hadits tentang bid’ah hasanah, maka saya ingin tau,
siapa orang di jaman sekarang ini yang berhak membuat/menciptakan bid’ah hasanah dalam agama
Mas Yusuf, saya rasa dalam hal ini penulis masih mencampurkan antara istilah dan bahasa.. jadi
482
40. pada 7 Desember 2010 pada 9:58 pm | Balas Faris
Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak
“Barangsiapa membuat – buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya
dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang seam, maka baginya dosanya
dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya”
(Shahih Muslim hadits No.1017. Demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah,
Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi)
-faris-
ya sudah…..kalau memang sabda Rasulullah itu diartikan menjadi “Barangsiapa membuat – buat hal
baru yang baik dalam Islam dst………”, lantas saya ingin bertanya seperti pertanyaannya saudara
‘sunan’, kalau begitu, siapa orang yang berhak membuat hal baru tsb dalam agama Islam sekarang
ini? ustadzkah? kiayikah? habibkah? atau setiap muslim berhak membuat perkara baru dalam
agama?
Antum harus paham bahwa perkara baru dalam agama atau syariat atau perkara yang hukumnya
Wajib atau hukumnya Haram ditetapkan oleh Allah ta’ala dan Allah ta’ala tidak lupa.
Namun ada perkara baru yang merupakan “turunan” dari apa yang telah Allah Azza wa Jalla telah
tetapkan. Inilah yang sekarang ini disebut fatwa ulama. Hal yang perlu diingat fatwa ulama tidak
dikeluarkan secara perorangan atau secara sepihak suatu kaum saja. Namun dilakukan oleh para
halinya dengang merujuk kepada Al-Qur’an, Hadits dan pendapat-pendapat ulama terdahulu yang
483
Sedangkan perkara baru dalam amal kebaikan atau ghairu mahdah, bisa saja muncul atas
kehendak Allah ta’ala sampai hari akhir nanti dan kita meyakini perkara baru berdasarkan Al-
Qur’an dan Hadits berlaku sampai hari akhir nanti. Contoh pada zaman Rasulullah tidak dikenal
istilah fiqih atau sifat 20 Allah, namun semua itu merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Wassalamualikum
Meyakini adanya bid’ah hasanah dalam agama tentu memiliki konsekuensi, sedangkan pertanyaan
saya tsb merupakan konsekuensi dari keyakinan adanya bid’ah hasanah dalam agama.
Maka dari itu saya selalu bertanya, kalau memang sabda Rasulullah tsb diartikan“Barangsiapa
membuat – buat hal baru yang baik dalam Islam dst………”, lantas siapa orang yang berhak
Begitu juga, jika memang membuat perkara baru dalam agama ini memang ada, maka apa
batasan-batasan suatu perbuatan itu dikatakan bid’ah hasanah? karena hasanah menurut kita,
belum tentu hasanah menurut orang lain, begitu juga hasanah menurut orang lain, belum tentu
Seperti misalnya,
tidak kita ingkari bahwa adzan merupakan hasanah terbesar dalam Islam, salah satu syiar Islam
terbesar adalah adzan, lantas jika seandainya ada orang yang adzan dulu sebelum makan, maka
Bid’ah terhadap sesuatu yang sudah disampaikan oleh Rasulullah ataupun sudah
ditetapkan/disyariatkan oleh Allah ta’ala bukanlah yang dimaksud dengan bid’ah hasanah. Salah
satu contoh bid’ah hasanah adalah tentang Fiqih walaupun tidak dikenal atau tidak disampaikan
oleh Rasulullah namun Fiqih merupakan metodologi yang istimewa dalam memahami Al Qur’an dan
Hadits. Contoh kesalahpahaman ulama kaum Salafi Wahhabi tentang bid’ah selengkapnya silahkan
484
41. pada 27 Maret 2011 pada 10:36 pm | Balas Wisnu Wardana
Mereka sering sekali mengatakan tulisan golongan lain sebagai:”Tidak ilmiyah”, atau:”Tidak pakai
logika”, serta tuduhan tuduhan lain yang terkesan “merasa pintar sendiri”.
(Saya sedikit menyitir tulisan diatas”adzan sebelum makan”. Betapa bodohnya ini orang. Adzan itu
maksudnya untuk apa? dan adakah hubungannya dengan makan. Katanya anda pandai, kupas sana,
Padahal nyata sekali alur pikiran serta nalar merekalah yang sulit difahami oleh logika umum yang
Sebagai contoh:
Mereka menempatkan “kaum kafir” lebih rendah dari seekor binatang. Misalnya tidak boleh menegur
lebih dahulu, tidak boleh memberi salam lebih dahulu, kalau seorang kafir berjalan didepan kita, harus
Padahal tidakkah mereka sadari bahwa semua “kenyamanan” yang mereka nikmati selama ini, adalah
sepenuhnya buah karya kaum kafir yang mereka benci sampai keurat lehernya.
Adakah sumbangsih kaum takfirin pada perkembangan dunia modern, selain memecah belah ummat
Islam ?
Kalau kita mengikuti faham kaum mujassim, niscaya bukannya maju, namun akan mundur 14 abad.
Buktinya:
Siapapun tahu dan telah terbukti bahwa dunia ini bulat, namun apa kata Bin Baz? “Dunia ini ceper
seperti piring”.
Kita sudah lama meningalkan konsep (prasejarah) geosentris. Eehh..mereka malah bangga akan
Sungguh. Dizaman modern ini, masih ada kaum yang mengaku dirinya “Ilmiyah” namun masih
485
Bagaimana pendapat kita kalau melihat ada orang yang memiliki dua buah tangan, namun tangan
kanan semua.
Niscaya akan terbersit pemikiran: “Kasihan, tangannya cacat. Bagaimana caranya dia merengkuh,
memeluk, menggotong, serta kegiatan lainnya yang memerlukan kerjasama tangan kiri dan sekaligus
tangan kanan.
Sampai ahirnya kita akan menyadari betapa sempurnanya Allah menciptakan kedua tangan untuk
digunakan manusia.
Namun bukanlah watak wahabi/salafi kalau tidak “senantiasa terlihat berbeda/unik”. Sebagai rasa
terima kasih yang dalam, mereka “hadiahkan” tuhan, dua buah tangan. Celakanya tangan kanan
semua.
Tidak lupa mereka “suruh” tuhannya naik turun tiap malam dari arasy ke dunia, untuk sekedar
Nah kalau tiap hari kerjanya tuhan cuma naik turun kedunia, bagaimana tuhan mampu mengurus
sekitar 100 milyar Galaksi, yang masing-masing galaksi memiliki 300 milyar bintang, dan masing-
Aduuh aduh.
Coba deh pikir. Bagaimana anda bisa bergaul didunia internasional, kalau hanya modal janggut kusut,
Bukan maksud saya hendak merendahkan mereka. Namun merekalah yang merendahkan agama,
Wallahu’alam.
(Saya sedikit menyitir tulisan diatas”adzan sebelum makan”. Betapa bodohnya ini orang. Adzan itu
maksudnya untuk apa? dan adakah hubungannya dengan makan. Katanya anda pandai, kupas sana,
—————————————-
486
mas wisnu wardana yang pintar, itu hanya contoh saja mas, seandainya bid’ah hasanah dalam agama
itu ada, maka saya ingin tanya, apakah adzan sebelum makan bisa kita masukan ke dalam bid’ah
hasanah?
Bukankah org yg adzan di dalam kuburan (pada saat pemakaman) boleh? adzan mengantarkan org
berangkat haji boleh? adzan sebelum memberangkatkan pengantin boleh?…..lalu kalau adzan di
dalam kuburan boleh, adzan sebelum memberangkatkan org haji boleh, maka saya ingin tau, adzan
sebelum makan boleh atau tidak? bolehkah kita masukan perbuatan tsb ke dalam bid’ah hasanah?
Jadi, pertanyaan saya diatas itu bukanlah bodoh-bodohan, atau tanpa sebab mas, melainkan memiliki
“….tidakkah mereka sadari bahwa semua “kenyamanan” yang mereka nikmati selama ini, adalah
sepenuhnya buah karya kaum kafir yang mereka benci sampai keurat lehernya. Listrik, komputer,
—————————————-
terus masalahnya apa mas? intinya apa? apakah kita lantas tidak boleh ‘benci’ dengan orang-orang
kafir?
sekedar mengingatkan saja mas, dalam urusan muamalah atau keduniaan, kita boleh-boleh saja
bermuamalah dengan orang2 kafir mas….Islam itu agama yang adil mas….tidak semua orang kafir itu
“Kita sudah lama meningalkan konsep (prasejarah) geosentris. Eehh..mereka malah bangga akan
—————————————-
kalo masalah tsb, itu sih terserah anda, anda mau ikut pendapat siapa, kalo anda ingin mengikuti
pendapatnya pythagoras, copernicus, aristoteles, galileo, yaa saya sih silahkan saja…..
bukankah kita ini bebas berpendapat mas? kenapa jika pendapat kita menyelisihi pendapatnya orang-
orang kafir, anda tidak suka? mereka (orang kafir) saja boleh berpendapat, tp knp kita tidak boleh…..?
“Sungguh. Dizaman modern ini, masih ada kaum yang mengaku dirinya “Ilmiyah” namun masih
———————————
apakah menurut anda orang2 yang mengikuti Al-Quran dan Hadits serta ijma para Sahabat adalah
‘orang purba’?
saya ingin tau, pngertian ‘maju’ yang ada di pikiran anda itu seperti apa ya?
487
“……Tidak lupa mereka “suruh” tuhannya naik turun tiap malam dari arasy ke dunia, untuk sekedar
Nah kalau tiap hari kerjanya tuhan cuma naik turun kedunia, bagaimana tuhan mampu mengurus
sekitar 100 milyar Galaksi, yang masing-masing galaksi memiliki 300 milyar bintang, dan masing-
——————————————–
aduh….aduh……
makanya jangan dibayangin donk mas bagaimana seperti apanya, semakin anda membayangkan
seperti apa dan bagaimana Allah Subhanahu wata’ala bersemayam di Arsy, maka semakin banyak
sampai kapanpun, akal anda tidak akan bisa menjangkau kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala mas,
ketika Imam Malik (wafat th. 179 H) ditanya tentang bagaimana istiwa’ Allah Subhanahu wata’ala,
“Istiwa’-nya Allah ma’lum (sudah diketahui maknanya), dan kaifiatnya tidak dapat dicapai nalar (tidak
dapat diketahui), dan beriman kepadanya wajib, bertanya tentang hal tsb adalah perkara bid’ah, dan
kemudian Imam Malik menyuruh orang tsb pergi dari majelisnya. (Syarhus Sunnah lil Imaam al-
Baghawi (I/171))
“Barangsiapa yang mengingkari bahwa Allah Subhanahu wata’ala berada diatas langit, maka ia telah
“Coba deh pikir. Bagaimana anda bisa bergaul didunia internasional, kalau hanya modal janggut
—————————————-
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah satu kaum mengolok-olok kaum yang lain. Boleh jadi
mereka yang diolok-olok lebih baik daripada mereka yang mengolok-olok…….” (Q.S Al-Hujaraat : 11)
488
43. pada 16 Mei 2011 pada 1:25 pm | Balas Kiki
Apakah ada dalilnya yang melarang atau mengharamkannya? kalau ya, tolong sampaikan dalil yang
dimaksud.
Dibanyak literatur atau jurnal-2 ilmiah yang dipublikasikan sampai saat ini, nampaknya gambaran
kejam, ganas dan tanpa ampunnya kaum Khawarij terhadap kaum non muslim, bahkan terhadap
ummat Islam sendiri. Dan Khawarij ini merupakan tiga serangkai yang tidak terpisahkan dari Wahabi
Bagaimana tidak, lahir dari rahim yang sama, beribu bapak sama, berkerabat sama, demikian juga
berperilaku sama. Bedanya Khawarij Wahabi sudah mengantongi “Licence to kill”. Sedangkan Salafi
masih digodok dalam kawah Candradimuka, baru sebatas mencoba nyali untuk mengkafirkan sesama
muslim.
Jadi jangan lagi bicara mengenai Ukhuwah Wathoniah, Ukhuwah Islamiyahnya sendiri sangat
diabaikan.
Tegasnya. Ummat Islam yang tidak sefaham, dicap sebagai penyembah kubur, pencinta khurafat,
Sedangkan untuk thogut-thogut non-muslim telah disiapkan berbagai racikan bom, lengkap, mulai
Itulah contoh tidak adanya konsistensi antara kata dan perbuatan. Orangnya dibunuh, karyanya
Berpendapat demikian tentunya boleh-boleh saja, tidak ada yang melarang. Antitesa.
Namun kemajuan sains dan teknologi, yang didorong oleh perkembangan akal budi. Berdasarkan
fakta-fakta, telah dapat disimpulkan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari, bukan sebaliknya.
Atau konsep Heliosentris (Copernicus) telah menumbangkan teori purba Geosentris Ptolomeus).
Bilamana pada zaman modern ini, yang kata Alvin Toffler berada pada “era informasi”dimana ilmu
pengetahuan demikian mudah diakses melalui internet, atau jurnal-jurnal ilmiah, dan kita masih
berpegang teguh pada teori purba itu. Apa kata dunia? Antitesa.
489
Inilah salah satu contoh jumud, yang disebabkan oleh taqlid yang membabi buta. Seperti kata
Apakah menurut anda orang2 yang mengikuti Al-Quran dan Hadits serta ijma para Sahabat adalah
‘orang purba’?
Tentu tidak. Mereka berpandangan sangat jauh kedepan, atau dalam bahasa gaulnya “futuristik”.
Sebaliknya andalah yang telah mempersempit cakrawala luas para pengikut Al-Qur’an, Hadits, serta
SWT.
Kami bukan penganut musyabbih mujassim. Eksistensi Allah sudah dijelaskan didalam sifat 20. Allah
tidak bertempat. Sehingga kami tidak perlu bersusah payah mereka-reka bentuk fisik Allah. Dan
dengan terbata-bata, bersusah payah menjelaskan eksistensi jissim Allah SWT. Yang bagi dirinya
sendiripun merupakan sebuah dogma yang sulit difahami, jangan lagi untuk orang lain.
Eksistensi Allah untuk lebih jelasnya, barangkali bisa dilihat di An-Nur 35.
Dengan “menjisimkan Allah” itu, selain telah merendahkan derajat Allah, juga telah menentang sunat
Kalau memperolok-olokkan, sumbernya bukanlah dari kami, tapi dari kabilah anda sendiri. Bagaimana
menuduh kami sebagai penyembah kubur, pencinta khurafat, musyrik, bahkan dituduh kafir.
Berpuluh tahun sudah bergandengan tangan dengan Muhammadiyah, namun tidak pernah pernah
benturan. Lain halnya dengan kaum takfirin ini. Baru berapa tahun saja sudah nampak usaha mereka
Sungguh, saya concern sekali atas usaha-usaha “Menebar fitnah, merusak aqidah” yang selama ini
dilakukan oleh kaum takfirin secara inten terhadap mereka yang tidak sefaham.
Mereka serasa sudah memiliki surga dengan mengancam ummat Islam yang tidak seaqidah (aqidah
Padahal apabila kami teliti lebih jauh lagi, siapa itu Ibnu Taymiyyah, Albani, Bin Baz, Fauzan, dll.
Ternyata mereka itu, banyak menyimpan masalah atau setidaknya kontradiksi selama kiprahnya.
490
Wallahu’ alam bishawab.
Apakah ada dalilnya yang melarang atau mengharamkannya? kalau ya, tolong sampaikan dalil yang
dimaksud….”
———————————–
Lah….koq malah nanya? menurut mas wisnu kan saya ini org bodoh, masa’ sampeyan bertanya kpd
saya ini bertanya, adzan sebelum makan bs kita masukan ke dalam bid’ah hasanah atau tidak?
jawabannya HANYA YA atau TIDAK, jika YA kenapa? jika TIDAK kenapa? apa msh blm jelas
pertanyaan saya?
“Khawarij ini merupakan tiga serangkai yang tidak terpisahkan dari Wahabi dan Salafi. Ibarat faham
Trinitas…”
——————————
jgn lah anda berkata sesuatu yg sebenarnya anda tidak ketahui karena sesungguhnya setiap
bagaimana bisa mas, khawarij disamakan dg salafi-wahhabi? itu kalo ada org khawarij baca, bs
ada satu perbedaan yg sangat menonjol dan sangat terkenal antara khawarij dg salafi-wahhabi mas,
dan semoga anda sedang tidak PURA-PURA TIDAK TAU, perbedaan itu sangatlah vital sehingga
perbedaan tsb adalah khawarij terkenal mengkafirkan pemerintah dan yg taat kpd pemerintah sama
saja kafir, sedangkan salafi-wahhabi terkenal sangat taat kepada pemerintah (selama tdk diperintah
maksiat), sangking taatnya, mereka sampai-sampai melarang demonstrasi (melarang dg dalil &
hujjah pastinya).
491
“….Tegasnya. Ummat Islam yang tidak sefaham, dicap sebagai penyembah kubur, pencinta
————————————————
sebelumnya, mas wisnu ini tau ga syarat-syarat seseorang layak dijatuhi vonis kafir?
“…..Itulah contoh tidak adanya konsistensi antara kata dan perbuatan. Orangnya dibunuh, karyanya
————————————-
sbnrnya mas wisnu ini lg ngomongin siapa sih? khawarij atau salafi-wahhabi?
kalo yg dimaksud salafi-wahhabi, tentu ini merupakan tuduhan yg keji, karena saya yg seorang
salafi-wahhabi ini selalu diajarkan di majelis-majelis ilmu satu hadits shahih dari Rasulullah
” Barangsiapa yang membunuh kafir mu’ahad, ia tidak akan mencium bau surga, dan sesungguhnya
bau surga itu tercium dari perjalanan 40 tahun ” . [HR. Al-Bukhary dalam Shohih-nya (3166)]
“Kami bukan penganut musyabbih mujassim. Eksistensi Allah sudah dijelaskan didalam sifat 20.
———————————–
Jika Allah Subhanahu wata’ala tidak bertempat, lantas bagaimana hukum bertanya ‘DIMANA
ALLAH?’, bukankah pertanyaan ‘DIMANA’ menunjukan bahwa org yg bertanya tsb meyakini bahwa
Lantas bagaimana dengan org yg selalu berkata ; ‘semuanya tergantung sama yg diatas’?
————————————–
kalo lebih baik, menurut saya tidak ada yg baik antara keduanya, yg pasti seorang pelacur
mempunyai kans utk bertobat jauh lebih besar ketimbang ‘aktivis’ maulid, karena seorang pelacur
mengetahui bahwa perbuatannya itu salah, sedangkan ‘aktivis’ maulid merasa bahwa perbuatannya
tsb benar, sehingga kans utk taubat seorang pelacur lebih besar…..paham?
——————————
itu sih kata sampeyan mas, tidak ada seorang muslim yg msh sehat akalnya yg berkata demikian….
“Padahal apabila kami teliti lebih jauh lagi, siapa itu Ibnu Taymiyyah, Albani, Bin Baz, Fauzan, dll.
Ternyata mereka itu, banyak menyimpan masalah atau setidaknya kontradiksi selama kiprahnya….”
—————————————————
492
tidak perlulah anda menjelek-jelekkan ulama, apalagi ulamanya itu sekaliber Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah…..jika dibandingkan dg beliau, ilmu anda itu ibarat buih di tengah lautan mas…..apa
kapasitas anda merendahkan beliau? sudah setara kah ilmu anda dg beliau?
sekedar perbandingan, sudahkah anda atau guru anda turun langsung di medan perang jihad?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sudah melakukannya di perang Tartar melawan pasukan Mongol…..
mampukah anda atau guru anda melahirkan murid-murid sekaliber Ibnu Katsir, Ibnu Jauzy, Imam
AdzDzhabi?
-mutiarazuhud-
Begitu pun jg saya mas, saya jg disini ingin meluruskan kesalah pahaman-kesalah pahaman
bahkan saya sering kali berdiskusi di blog ‘anti-wahhabi’, di blog itu ‘wahhabi’ digambarkan sangat
menakutkan, suka mengkafirkan seorg muslim, menghalalkan darah, berbicara kasar dan lain lain
dan lain lain banyak sekali….akan tetapi ketika saya meminta utk menunjukan satu saja bukti ;
‘apakah ada perkataan saya yg seorg wahhabi ini yg menggambarkan tuduhan2 tsb?’, maka tidak
Mas Yusuf Ibrahim, ulama yang suka meng-ahlul bid’ahkan orang yang telah bersyahadat adalah
termasuk yang mengkafirkan seorang muslim karena segala kesesatan tempatnya di neraka.
493
Cobalah periksa sejarah berapa jiwa muslim yang terbunuh hanya karena telah dianggap ahlul
Janganlah fanatik dengan ulama sehingga kita menutup mata hati kita sendiri.
tidak selamanya pelaku kebid’ahan itu lantas langsung divonis ahlul bid’ah, dan tidak selamanya
org yg melakukan kesyirikan lantas langsung di vonis musyrik serta tidak selamanya org yg
menutup mata terhadap ilmu, karena sesungguhnya ilmu Allah Subhanahu wata’ala itu luas….siapa
saya katakan dg tegas bahwa tidak selamanya org yg melakukan kebid’ahan, kesyirikan atau
kekufuran lantas kita vonis org tsb ahlul bid’ah, musyrik dan kafir….TIDAK ! TIDAK SAMA SEKALI,
karena banyak hal-hal yg perlu dipertimbangkan dalam memvonis individu per individunya…..
melakukannya…..karena bisa saja org yg melakukan kebid’ahan, kesyirikan dan kekufuran tsb
masih belum tahu kalo perbuatan tsb bid’ah, syirik dan kufur karena mungkin saja org tsb msh
memiliki ‘syubhat’ (kerancuan) di dalam otaknya atau mungkn minimnya ilmu yg dimilikinya
sehingga vonis thd org tidak bisa dijatuhi begitu saja atau bisa jg org yg melakukan perbuatan tsb
dilakukan diatas ancaman dll msh bnyak lg sebab-sebabnya…..maka hal tsb msh diberi uzur, dan
lain halnya jika yg melakukan kebid’ahan, kesyirikan, dan kekufuran tsb adalah orang2 yg sudah
tau (sampai dakwah kepadanya) kalo perbuatan tsb bid’ah, syirik, dan kufur, orang2 tsb berakal
(tidak gila), baligh, dalam keadaan merdeka (tidak sedang dlm ancaman), sudah dinasihati dll,
maka vonis thd orangnya bisa saja ‘jatuh’, akan tetapi itupun yg berhak memvonis org tsb adalah
ulama.
Mengenai vonis masuk nerakanya, itu adalah hak Allah Subhanahu wata’ala…..jadi tidak ada disini
yg mengatakan si A masuk neraka, si B masuk neraka, atau si fulan masuk neraka…..TIDAK ADA !
jika Allah Subhanahu wata’ala mau memaafkan, maka tidak ada satupun makhluk yg bisa
mencegahnya….
494
Yang ada adalah jika kita melakukan perbuatan syirik, maka kita akan terancam masuk neraka dan
Mengenai istilah om zuhud ; “Meng-ahlul bid’ah-kan adalah bahasa halus dari pen-takfir-an….”
tentu itu merupakan ungkapan tanpa ilmu yg didasari perasaan saja, tentu berbeda jauh sekali om
Menakutkan
menguasai dunia. Jauh lebih dahsyat dari apa yang mampu kita perkirakan.
Kejahiliyahan para penguasa Saudi Arabia, yang sudah kita kenal selama ini, mungkin tidak sebanding
Seni budaya tidak berkembang karena diharamkan, sehingga banyak fakultas yang ditutup,
diantaranya jurusan sinematografi, koreografi, dsb. Pagelaran musik, pertunjukan film, pameran
busana, dilarang. Sehingga gedung-gedung pertemuan atau gedung pertunjukan kesenian banyak
yang tutup. Demikian juga dengan gedung pertunjukan film, dan konservatori.
Tidak boleh ada lagi pendapat yang menyatakan bahwa bumi ini bulat. Tidak boleh ada lagi pendapat
yang menyatakan bahwa bumi ini mengelilingi matahari. karena semua itu merupakan perbuatan
kufur.
Bumi harus berbentuk ceper seperti permukaan meja, dan matarilah yang mengelilingi bumi. Karena
semua itu merupakan fatwa yang telah disampaikan oleh ulama ulama Wahabi.
Mereka harus tetap berpegang teguh, bahkan bila perlu, fatwa sang ulama itu digigit dengan gigi
gerahamnya.
Globe (miniatur bola dunia) dimusnahkan. GPS, Glonas, dan Google Earth, dilarang dipergunakan.
Karena semua itu merupakan representasi dari wujud dunia yang bulat.
495
Setiap pesawat yang sedang terbang tinggi, terutama bagi pesawat antar benua, harus menutup
seluruh tirai jendelanya. Karena takut penumpang mengintip keluar, dan melihat kenyataan, bahwa
Pabrik rokok harus ditutup, karena rokok merupakan barang haram. Namun ini barangkali satu-
Bursa saham, bursa efek, serta perdagangan porto folio lainnya harus ditutup. Karena mengandung
Demikian pula dengan ratusan Bank Bank konvensional, dengan ribuan cabang-cabangnya, terpaksa
harus ditutup. Karena itupun riba, dan hukumnya sudah jelas haram.
Yang lebih menyedihkan, kita tidak akan lagi mendengar lantunan indah ayat-ayat suci al-Qur’an,
demikian juga panggilan shalat melalui indahnya lantunan adzan yang menyelinap jauh kerelung hati.
496