Anda di halaman 1dari 3

ARRAHMANU ALAL ARSYISTAWA

Memang ada ikhtilaf di kalangan ulama mengenai makna "Istawa" Namun Tidak ada IKHTILAF
mengenai makna Arrahmanu alal arsy Allah di atas Arasy. Artinya semua ulama sepakat bahwa allah
di atas Arasy. - Tapi jangan bertanya bagaimana istawa allah di atas arasy? - tidak boleh mengartikan
" Bumi kan bulat lah kalo nunjuk ke atas, atas yang mana?? - tak boleh membayangkan bahwa allah
itu mutar, ke arah mana saja disana allah. - tak boleh mengartikan "Bagaimana Allah turun ke langit
dunia di sepertiga malam? Ini semua Pertanyaan mengenai Dzat Allah, mengenai Bagaimana istawa
allah itu. Ini semua pertanyaan bid'ah Menurut imam malik. MEYAKINI ALLAH DI ATAS ARASY
INI MASUK AKAL, MENANYAKAN BAGAIMANA ISTAWA ALLAH DI ATAS ARASY INI
BID'AH, karna gak masuk akal. Karna kita tidak diberitahu lebih jauh dalam Al Qur'an.

1. Penyebab Mu'athillah menafikan Istiwa-'alal-'Arsy adalah : a. Melakukan Qiyas dan tasybih antara
Sifat Allah dgn sifat makhluk/manusia. Apabila diterima bahwa Allah istiwa 'ala (tinggi, menetap di atas,)
'Arsy, maka: - berarti Allah memerlukan 'Arsy ( tempat ) - karena memerlukan tempat, berarti Allah lebih
kecil dari 'Arsy ( tempat ,) - apabila "Arsy ( tempat ) hilang/jatuh , maka Allah juga jatuh.

2. Bantahannya, dengan contoh makhluk yi antara langit dan bumi : - langit diatas, tetapi tidak
memerlukan bumi yg berada dibawah - langit diatas, tetapi langit lebih luas dari bumi. - langit tanpa tiang
, tetapi tidak jatuh

3. Meng-qiyas dan mentasybih antara Allah dgn manusia adalah suatu kesalahan yg fatal, karena
manusia : - memiliki sifat kekurangan - manusia setiap saat membutuhkan Allah - jangankan sampai ke
'Arsy, naik ke atas (dibawah langit) saja tidak mampu, tanpa alat - melihat dan mengetahui ttg 'Arsy saja
tidak tahu. Allah Maha-pencipta dan Maha-Kuasa. QS.al Anbiya ayat 23 " : "Dia (Allah) tidak ditanya
tentang apa yang dikerjakan , tetapi merekalah yang akan ditanya"

Telah maklum dalam aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa Allah bukanlah jisimatau eksistensi
material yang mempunyai volume. Tak dapat dihitung jumlah ulama yang memustahilkan makna material
(jismiyah) dari Allah, salah satunya adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang dengan tegas berkata:

ٍ ‫ي ْال ِج ْس َم – َعلَى ِذي ِط‬


‫ول‬ ِ َ‫ضعُوا هَ َذا اال ْس َم – أ‬ َ ‫ َوأَ ْه ُل اللُّ َغ ِة َو‬،‫إِ َّن األَ ْس َما َء َمأْ ُخو َذةٌ ِمنَ ال َّش ِري َع ِة َواللُّ َغ ِة‬
‫ج ع َْن َذلِكَ ُكلِّ ِه – أي ُمن َّزهٌ َع ْنه – فَلَ ْم َيج ُْز أَ ْن‬vٌ ‫خَار‬
ِ ُ‫ َوهللا‬،‫يف‬ ٍ ِ‫ُور ٍة َوتَأْل‬
َ ‫ب َوص‬ ٍ ‫ك َوتَرْ ِكي‬ٍ ‫ض َو َس ْم‬ ٍ ْ‫َو َعر‬
َ َ‫ َولَ ْم يَ ِجىءْ في ال َّش ِري َع ِة َذلِكَ فَب‬،‫خروج ِه ع َْن َم ْعنَى ْال ِج ْس ِميّ ِة‬
‫طل‬ ِ ِ‫يُس َّمى ِج ْس ًما ل‬
"Sesungguhnya istilah-istilah itu diambil dari peristilahan syariah dan peristilahan bahasa sedangkan ahli
bahasa menetapkan istilah ini (jisim) untuk sesuatu yang punya panjang, lebar, tebal, susunan, bentuk dan
rangkaian, sedangkan Allah berbeda dari itu semua. Maka dari itu, tidak boleh mengatakan bahwa Allah
adalah jisim sebab Allah tak punya makna jismiyah. Dan, istilah itu juga tidak ada dalam istilah syariat,
maka batal menyifati Allah demikian". (Abu al-Fadl at-Tamimy, I’tiqâd al-Imam al-Munabbal Ahmad bin
Hanbal, 45).

Lalu bagaimana dengan suatu ungkapan yang terbilang lumrah di telinga penduduk Indonesia bahwa
Allah bersemayam di atas Arasy? Bolehkah mengatakan Allah bersemayam meskipun bersemayam
adalah sebuah tindakan fisikal yang hanya bisa dilakukan oleh jism (materi)? Apabila kita membaca Al-
Qur’an terjemahan Kementerian Agama dari surat at-Taha ayat 5 berikut:

ِ ْ‫الرَّحْ ٰ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش ا ْستَ َو ٰى‬
Maka akan kita dapati terjemahannya adalah: “Tuhan yang Mahapemurah yang bersemayam di atas
‘Arasy”. Terjemahan ini diberi catatan sebagai berikut: “Bersemayam di atas ‘Arasy ialah satu sifat Allah
yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya”. (Lihat: Al Qur’an dan
Terjemahnya terbitan Kementerian Agama)

Bila kita terima begitu saja terjemahan tersebut berarti jawabannya sudah jelas: Ya, Allah bersemayam.
Tetapi masalahnya tak sesederhana ini. Kita tak boleh membahas masalah aqidah hanya berdasarkan pada
terjemahan saja sebab bisa jadi terjemahannya tidak tepat. Dan, tentu saja cara seseorang menerjemah
tergantung pada mazhab yang ia anut sehingga terjemahan satu orang bisa berbeda dengan lainnya,
apalagi ini terkait dengan ayat Al-Qur’an yang memang kaya makna.

Ayat tersebut menggunakan redaksi istawayang diterjemahkan sebagai “bersemayam”. Bila kita melihat
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bersemayam berarti: duduk, berkediaman, tinggal atau bila
konteksnya adalah bersemayam dalam hati, maka maknanya adalah terpatri dalam hati. Dengan demikian,
dapat diketahui bahwa dalam peristilahan bahasa Indonesia, kalimat “bersemayam di atas ‘Arasy” artinya
adalah duduk, berdiam atau tinggal di atas Arasy. Kesemua makna ini tanpa diragukan adalah makna
jismiyah yang seharusnya dibuang jauh-jauh dari Allah sebab tak layak bagi kesucian-Nya. Makna duduk
sendiri secara tegas dikecam sangat keras oleh Imam Syafi’i, bahkan hingga level dianggap kafir. Imam
Syafi’i sebagaimana diriwayatkan oleh Qadli Husain menjelaskan bahwa di antara yang dianggap kafir
adalah sebagai berikut:

‫ ومن ال‬،‫ وبأنه ال يعلم المعدومات قبل وجودها‬،‫ كالقائلين بخلق القرآن‬:‫ومن كفرناه من أهل القبلة‬
‫ القاضي الحسين هنا عن نص‬v‫ وكذا من يعتقد أن هللا جالس على العرش؛ كما حكاه‬،‫يؤمن بالقدر‬
‫الشافعي‬.
“Orang yang kami kafirkan dari kalangan orang yang shalat adalah: mereka yang berkata bahwa al-
Qur’an adalah makhluk, bahwa Allah tak mengetahui sesuatu sebelum terjadinya, juga orang yang tak
percaya takdir, demikian juga orang yang mengatakan bahwa Allah duduk di atas Arasy. Seperti
diriwayatkan oleh Qadli Husain dari penjelasan literal Imam Syafi’i.” (Ibnu ar-Rif’ah, Kifâyat al-Nabîh fî
Syarh at-Tanbîh, juz IV, halaman 23).

Tentang vonis kafir terhadap aliran sesat di atas sebenarnya bukanlah hal yang disepakati di kalangan
ulama, namun setidaknya semua sepakat bahwa pendapat seperti di atas adalah sesat. Bagaimana tidak
sesat, mengatakan Allah duduk di Arasy sama saja dengan mengatakan bahwa Allah punya pantat yang
menempel di atas Arasy; mengatakan Allah tinggal atau berdiam di Arasy sama saja dengan mengatakan
bahwa Allah punya volume dan ukuran fisik sehingga pasti Allah juga makhluk. Kesemuanya sama sekali
mustahil bagi Allah dan Maha Suci Allah dari semua itu. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa
mengatakan Allah bersemayam di atas Arasy adalah ungkapan yang tidak tepat.

Tim penerjemah dari Kementerian Agama tampaknya sadar akan celah ini sehingga mereka memberi
catatan “Bersemayam di atas ‘Arasy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran
Allah dan kesucian-Nya” seolah mau menjelaskan bahwa bersemayam yang mereka maksud bukanlah
bersemayam dalam arti duduk, tinggal atau berdiam yang kesemuanya tidak layak bagi kebesaran dan
kesucian Allah, tetapi makna lain yang layak bagi-Nya. Namun bagaimanapun harus diakui bahwa diksi
yang dipilih oleh tim penerjemah Kementerian Agama tersebut kurang tepat sebab kata bersemayam tak
punya arti lain dalam kamus bahasa Indonesia selain makna jismiyah tersebut. Diksi yang kurang tepat ini
rawan menimbulkan salah paham bagi orang awam. Padahal, dalam bahasa Arab kata istawa tak selalu
bermakna jismiyah, namun bisa diartikan bermacam-macam sesuai konteksnya.

Hal ini berbeda kasusnya dengan kata “yad” yang oleh Kementerian Agama diterjemah sebagai “tangan”.
Meskipun kata “tangan” juga berkonotasi jismiyah, namun dalam KBBI kata ini tak hanya bermakna
tangan sebagai organ tubuh tetapi bisa juga bermakna non-jismiyah seperti makna kekuasaan, perintah
dan sebagainya sehingga penerjemahan kata “yad” menjadi “tangan” lebih bisa dimaklumi. Yang justru
paling aman adalah tidak menerjemah kata-kata berupa sifat khabariyah ini tetapi membiarkannya apa
adanya lalu diberi catatan berbagai kemungkinan makna yang layak bagi Allah.Wallahua’lam.

Anda mungkin juga menyukai