Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

TAFSIR TARBAWI
“Posisi Akal dan Kedudukan Nafsu dalam Islam serta Kedudukannya
dalam Pendidikan Islam”
Dosen Pengampu : Marwan, S.Ag., M.Pd.I

Disusun Oleh : ( Kelompok 7 )


1. Nurhidayatunnisa T.PAI.I.2021.012
2. Repa Topia Sari T.PAI.I.2021.004
3. Rati Kumalasari T.PAI.I.2021.027

INSTITUT AGAMA ISLAM SYEKH MAULANA QORI BANGKO


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puja dan puji syukur kita haturkan kehadirat Allah


Subhanahu Wata’ala yang telah melimpahkan karunia-Nya sehingga kami
dapat menyusun makalah yang berjudul “Posisi Akal dan Kedudukan
Nafsu dalam Islam serta Kedudukannya dalam Pendidikan Islam”. Salawat
serta salam marilah kita haturkan kepada junjungan kita nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman
terang benderang semilir keimanan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan, walaupun penulis telah berusaha menyajikan yang
terbaik bagi pembaca. Oleh karena itu, kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini dengan senang hati penulis terima. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Aamiin.

Bangko, 01 Desember 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................

A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................

A. Akal..........................................................................................................2
B. Hawa Nafsu..............................................................................................5

BAB III PENUTUP............................................................................................

A. Kesimpulan..............................................................................................9
B. Saran........................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam siklus sebuah penciptaan, Allah SWT telah meninggikan
derajat mahluk yang bernama manusia. Beragam ilmu dan pengetahuan telah
Dia benamkan dalam akal manusia. Akal, inilah perantara Tuhan untuk
membenamkan ilmu dan pengetahuan, yang nantinya akan dipergunakan
sebagai alat bertahan hidup dimuka bumi, yang memang manusia dipersiapkan
untuk menjadi khalifahnya, pemimpinnya. Dengan akal, dan ilmu
pengetahuan yang terbenam didalamnya manusia mampu melakukan
improvisasi dalam rangka menjalankan perannya sebagai pemimpin dimuka
bumi. Terlebih, ada banyak kejadian dialam semesta, atau ayat-ayat Kauniyah,
yang Alloh berikan sehingga manusia dapat belajar dengan akalnya.
Nafsu sebagai salah satu sifat yang Alloh berikan kepada manusia,
selalu digunakan oleh Iblis, Setan dan kawan-kawannya, untuk memperdaya
manusia. Yang seringkali membuat keputusan-keputusan yang diambil oleh
manusia didominasi oleh nafsu yg dikuasai setan. Keputusan yang di
provokatori oleh setan itu cenderung melalaikan hakikat khalifah dimuka
bumi, melalaikan sebuah siklus “kehidupan” dikampung akhirat, melalaikan
dari pengharapan ridho Illahi dalam setiap penjalanan aktifitas. Kemudian
Alloh mengutus Nabi dan Rasul, yang bersamanya dititipkan Firman-firman
Tuhan, ayat-ayat Illahiah, aturan main bagi manusia, pedoman dasar bagi
manusia dalam menjalani perannya sebagai khalifah. Sebuah aturan main yang
menjelaskan hal-hal yg harus dilakukan, dan juga hal-hal yang harus dihindari,
tidak boleh disentuh sama sekali. Disini juga dijelaskan bagimana Iblis, setan
dkk menjadi musuh manusia yang paling utama. Serta diajarkan juga
bagaimana caranya mengekang hawa nafsu, dan mengoptimalkan kerja akal.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana posisi akal dalam islam?
2. Bagaimana posisi nafsu dalam islam

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Akal
Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata arab
al-‘aql ( ‫ )العقل‬yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy (
‫)الوحى‬, tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an, sebagaimana dikatakan
Harun Nasution hanya membawa bentuk kata kerjanya aqaluh ( ‫ )عقلوه‬dalam
1 ayat, ta’qilun ( ‫ )تعقلون‬24 ayat, na’qil ( ‫ ) نعقل‬1 ayat, ya’qiluha ( ‫ ) يعقلها‬dan
ya’qilun (‫ون‬QQ‫ ) يعقل‬22 ayat. Kata-kata ini datang dalam arti paham dan
mengerti.1
Selain itu di dalam Al-Qur’an terkadang kata akal diidentifikasikan
dengan kata lub jamaknya al-albab. Sehingga kata Ulu al-bab dapat diartikan
orang-orang yang berakal. Hal ini misalnya dijumpai padaa ayat yang
berbunyi:

‫ت ُأِلولِي‬
ٍ ‫ار آَل يَا‬ِ َ‫ف اللَّ ْي ِل َوالنَّه‬ ْ ‫ض َو‬
ِ ‫اختِاَل‬ ِ ْ‫ت َواَأْلر‬ ِ ‫اوا‬ َ ‫ق ال َّس َم‬ ْ ‫ِإ َّن فِي‬
ِ ‫خَل‬
‫ق‬ ْ ‫ الَّ ِذينَ يَ ْذ ُكرُونَ هَّللا َ قِيَا ًما َوقُعُودًا َو َعلَ ٰى ُجنُوبِ ِه ْم َويَتَفَ َّكرُونَ فِي‬.  ‫ب‬
ِ ‫خَل‬ ِ ‫اَأْل ْلبَا‬
ِ َّ‫اب الن‬
‫ار‬ ِ َ‫ض َربَّنَا َما َخلَ ْقتَ ٰهَ َذا ب‬
َ ‫اطاًل ُسب َْحانَكَ فَقِنَا َع َذ‬ ِ ْ‫ت َواَأْلر‬ َ ‫ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬
Artinya ; Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka. ( Q.S.Ali-Imran, 3:190-191)

Pada ayat tersebut terlihat bahwa orang yang berakal ( ulu al-bab) adalah
orang yang melakukan dua hal yaitu tazakkur yakni mengingat (Allah), dan
tafakkur, memikirkan (ciptaan Allah). Sementara Imam abi al-Fida Isma’il
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ulu al-bab adalah orang-orang
yang akalanya sempurna dan bersih yang dengannya dapat ditemukan
berbagai keistimewaan dan keagungan mengenai sesuatu, tidak seperti orang
yang buta dan gagu yang tidak dapat berfikir. Dengan melakukan dua hal
1
Harun Nasution, akal dan wahyu dalam islam, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. II, hal.5
3

tersebut ia sampai kepada hikmah yang berada di balik proses mengingat


(tazakkur) dan berfikir (tafakkur), yaitu mengetahui, memahami dan
menghayati bahwa dibalik fenomena alam dan segala sesuatu yang ada di
dalamnya menunjukkan adanya Sang Pencipta, Allah SWT. Muhammad
Abduh mengatakan bahwa dengan merenungkan penciptaan langit dan bumi,
pergantian siang dan malam akan membawa manusia menyaksikan tentang ke-
Esaan Allah, yaitu adanya aturan yang dibuat-Nya serta karunia dan berbagai
manfaat yang terdapat di dalamnya. Hal ini memperlihatkan kepada fungsi
akal sebagai alat untuk mengingat dan berfikir.

Dalam lisan al-Arab dijelaskan bahwa al-a-‘aql berarti al-hijr yang berarti
menahan dan mengekang hawa nafsu. Seternusnya diterangkan pula bahwa
al-‘aql mengandung arti kebijaksanaan (al-nuha), lawan dari lemah pikiran (al-
humq). Selanjutnya disebutkan pula al-‘aql juga mengandung arti kalbu (al-
qalb). Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa kata aqala mengandung arti
memahami. Demikian pula dalam kamus-kamus arab, dapat dijumpai kata
aqala yang berarti mengikat dan menahan.

Berbagai pengertian tentang akal tersebut terjadi karena pengaruh


pemikiran filsafat yunani, yang banyak menggunakan akal pikiran. Seluruh
pengertian akal tersebut adalah menunjukkan adanya potensi yang dimiliki
oleh akal itu sendiri, yaitu selain berfungsi sebagai alat untuk mengingat,
memahami, mengerti, juga menahan, mengikat dan mengendalikan hawa
nafsu.

Dalam pemahaman Profesor Izutzu, sebagaimana dikutip harun nasution,


bahwa kata ‘aql di zaman jahiliyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis
(practical intellegence) yang dalam istilah psikologi modern disebut
kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Orang berakal
menurutnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan
masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problem dan selanjutnya dapat
melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi.
4

Dengan kata lain ketika akal melakukan fungsinya sebagai alat untuk
memahami apa yang tersirat dibalik yang tersurat, dan dari padanya ia
menemukan rahasia kekuasaan Tuhan, lalu ia tunduk dan patuh kepada Allah,
maka pada saat itulah akal dinamai pula al-qalb. Akal dalam pengertian yang
demikian itu dapat dijumpai pada pemakaiannya di dalam surat al-Kahfi ayat
18 yang artinya: dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur,
dan kami alik-balikan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka
menukurkan kedua lengannya ke muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan
mereka tentulah kami akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri)
dan tentulah hati kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka.
(Q.S. al-Kahfi,18:18).

Akal dalam pengertian yang demikian itulah yang kini disebut dengan
istilah kecerdasan emosional, yaitu suatu kemampuan mengelola diri agar
dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Hali ini didasarkan pada
pertimbangan, bahwa keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata tidak
semata-mata ditentukan oleh prestasi akademisnya di sekolah, melainkan juga
oleh kemampuannya mengelola diri.2

Pemahaman terhadap potensi berfikir yang dimiliki akal sebagaimana


tersebut di atas memiliki hubungan yang amat erat dengan pendidikan.
Benyamin Bloom, cs., dalam bukunya Taxonomy of Educational Objective
(1956) membagi tujuan-tujuan pendidikan dalam tiga ranah, yaitu ranah
kognitif, afektif dan psikomotorik. Tiap-tiap ranah dapat dirinci lagi dalam
tujuan-tujuan yang lebih spesifik dan hierarkis. Ranah kognitif dan afektif
tersebut sangat erat kaitannya dengan fungsi kerja dari akal. Dalam ranah
kognitif terkandung fungsi mengetahui, memahami, menerapkan, menganalis,
mensitesis dan mengevaluasi.3 Fungsi-fungsi ini erat kaitannya dengan fungsi
akal pada aspek berfikir (tafakkur). Sedangkan dalam ranah afektif terkandung
fungsi memperhatikan, merespon, menghargai, mengorganisasi nilai, dan
mengkarakterisasi. Fungsi-fungsi ini erat kaitannya dengan fungsi akal pada
2
Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, (Bandung: Prima, 2001), cet. I, hal 12
3
Nasution, asas-asas Kkurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), cet. I, hal.50
5

aspek mengingat (tazakkur). Orang yang mampu mempergunakan fungsi


berfikir yang terdapat pada ranah kognitif dan fungsi mengingat yang terdapat
pada ranah afektif adalah yang termasuk ke dalam kategori ulul al-bab. Orang
yang demikian itulah yang akan berkembang kemampuan intelektualnya,
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta emosionalnya dan mampu
mempergunakan semua itu untuk berbakti kepada Allah dalam arti yang
seluas-luasnya.

Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak


dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja,
tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan islam sendiri.
Pemakaian akal dalam islam diperintahkan oleh Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an
itu sendiri baru dapat dipahami, dihayati dan dipraktekkan oleh orang-orang
yang berakal. Selanjutnya seluruh aturan ibadah dan lainnya dalam ajaran
Islam baru diwajibkan apabila sasarannya (manusia) memiliki akal yang yang
sudah berfungsi (baligh).

B. Hawa Nafsu

Di dalam Al-Qur’an terdapat 37 kata al-Hawa yang dapat mencakup


berbagai aspek. Pertama, menyangkut pengertiannya, yaitu kebinasaan.
Kedua, berkenaan dengan sifatnya yaitu enggan menerima kebenaran. Ketiga,
berkenaan dengan sasarannya, yaitu menyesatkan manusia, sehimgga mereka
diperingatkan agar tidak megikutinya. Keempat, berkenaan dengan lawannya,
yaitu al-haqq (kebenaran). Kelima, berkenaan dengan pahala bagi orang yang
tidak terpedaya oleh hawa nafsu, dan lebih mematuhi Allah. Keenam
berkenaaan dengan akibat bagi orang yang mengikutinya, yaitu bahwa orang
yang mengikuti hawa nafsunya daripada mengikuti kebenaran, maka orang
tersebut akan melakukan kerusakan di muka bumi.

Berdasarkan informasi di atas, dapatlah diketahui bahwa hawa nafsu


adalah termasuk salah satu potensi rohanian yang terdapat dalam diri manusia
yang cenderung kepada hal-hal yang bersifat merusak, menyesatkan,
6

menyengsarakan, dan menghinakan bagi orang yang mengikutinya. Atas dasar


itu, maka manusia diperingatkan agar berhati-hati untuk tidak terpedaya
mengikutinya, karena bukan hanya membahayakan orang ang melakukannya,
melainkan juga orang lain.

Salah satu hal penting yang berkenaan dengan hawa nafsu adalah bahwa
hawa nafsu cenderung membawa manusia berbuat menyimpang dari
kebenaran (al-haqq). Untuk ini perhatikan firman Allah SWT sebagai berikut:

‫ق َواَل تَتَّبِ ِع ْٱلهَ َو ٰى‬ِّ ‫اس بِ ْٱل َح‬ ِ ْ‫ك خَ لِيفَةً فِى ٱَأْلر‬
ِ َّ‫ض فَٱحْ ُكم بَ ْينَ ٱلن‬ َ َ‫ٰيَدَا ُوۥ ُد ِإنَّا َج َع ْل ٰن‬
‫يل ٱهَّلل ِ لَهُ ْم َع َذابٌ َش ِدي ۢ ٌد بِ َما‬
ِ ِ‫ضلُّونَ عَن َسب‬ ِ َ‫ضلَّكَ عَن َسبِي ِل ٱهَّلل ِ ۚ ِإ َّن ٱلَّ ِذينَ ي‬ ِ ُ‫فَي‬
ِ ‫ُوا يَوْ َم ْٱل ِح َسا‬
‫ب‬ ۟ ‫نَس‬

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di


muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan
Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan (Q.S. Shaad, 38:26)

Pada ayat tersebut dengan tegas Allah mengingatkan Daud sebagai


penguasa (raja) agar memimpin rakyatnya dengan memutuskan berbagai
perkara dengan seadil-adilnya4. Yaitu sikap yang tidak membeda-bedakan
antara satu kelompok dengan kelompok lain, antara rakyat yang miskin
dengan yang kaya, antara yang cantik dengan yang kurang cantik dan
seterusnya, dan keadilan ini keluar dari akal pikiran yang sehat. Selanjutnya
Daud diingatkan pula agar jangan memperturutkan hawa nafsu, karena hawa
nafsu tersebut dapat menyebabkan manusia melakukan perbuatan yang tidak
sejalan dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan yang demikian itu
akan merugikan dirinya dan masyarakat sekitarnya, bahkan akan menerima

4
Ahmad Mushthafa al-Maraghy, Jilid VIII, (Beirut: Daral-Fikr, tp.th.), hal. 111.
7

azab dari Tuhan. Dengan demikian, mengikuti hawa nafsu menjadi penyebab
manusia mendapatkan azab dari Allah.

Hawa nafsu yang ada dalam diri manusia adalah merupakan tempat
dimana Syaitan memasukkan pengaruhnya. Pengaruh Syaitan tersebut dapat
tampil delam berbagai bentuknya, dan menyentuh semua lapisan masyarakat,
baik kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, pedagang atau pegawai, wanita
atau pria, pemuda maupun orang tua, dan seterusnya.

Jika keadaan manusia sudah diperbudak oleh hawa nafsunya maka akan
hancurlah tatanan kehidupan, baik di bidang ekonomi, politik, sosial,
kebudayaan, ilmu pengetahuan, kesenian, dan sebagainya. Adanya krisis multi
dimensi yang dialami bangsa Indonesia saat ini, penyebab utamanya adalah
karena manusia telah mengikuti hawa nafsunya daripada mengikuti oetunjuk
Allah. Dalam hubungan ini Allah SWT mengingatkan.

‫ت َوااْل َرْ ضُ َو َمنْ فِي ِْه ۗنَّ َب ْل اَ َتي ْٰن ُه ْم‬ ِ َ‫َو َل ِو ا َّت َب َع ْال َح ُّق اَهْ َو ۤا َء ُه ْم َل َف َسد‬
ُ ‫ت الس َّٰم ٰو‬
‫ۗ بذ ِْك ِر ِه ْم َف ُه ْم َعنْ ذ ِْك ِر ِه ْم مُّعْ ِرض ُْو َن‬ ِ
Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan mereka, pasti binasalah
langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Bahkan Kami telah
memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari
peringatan itu. (Q.S al-Mu’minun, 23:71)

Implikasi kependidikan dari pemahaman terhadap uraian tersebut adalah


bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang harus
mempertimbangkan potensi akal, pendidikan harus membina, mengarahkan
dan mengembangkan potensi akal pikirannya sehingga ia terampil
memecahkan berbagai masalah, diisi dengan berbagai konsep-konsep dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki pemahaman tentang yang
baik dan benar.

Seiring dengan itu pula pendidikan harus mengarahkan dan mengingatkan


manusia agar tidak melakuakn perbuatan-perbuatan yang dapat merangsang
8

dorongan hawa nafsu, seperti berpakaian mini yang membuka aurat, berjudi,
minum-minuman keras, narkoba, pergaulan bebas, dan sebagainya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Orang yang berakal adalah orang yang selalu mengingat Allah dan
selalu memikirkan ciptaan Allah. Akal adalah menunjukkan bahwa adanya
potensi yang dimiliki oleh akal itu sendiri, yaitu selain berfungsi sebagai alat
untuk mengingat, memahami, mengerti, juga menahan, mengikat dan
mengendalikan hawa nafsu. Melalui proses memahami dan mengerti secara
mendalam terhadap segala ciptaan Allah, manusia selain akan menemukan
berbagai temuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, juga akan
membawa dirinya dekat dengan Allah. Dan melalui proses menahan, mengikat
dan mengendalikan hawa nafsunya membawa manusia selalu berada di jalan
yang benar, jauh dari kesesatan dan kebinasaan.
Nafsu juga termasuk salah satu potensi rohaniah yang berupa rayuan atau
godaan yang terdapat dalam diri manusia yang cenderung kepada hal-hal yang
bersifat merusak, menyesatkan, menyengsarakan, dan menghinakan bagi
orang yang mengikutinya. Untuk itu, manusia lebih berhati-hati terhadap
godaan dunia dan rayuan nafsu.
Implikasi tentang posisi akal dan nafsu terhadap bidang pendidikan adalah
bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang harus
mempertimbangkan potensi akal. Pendidikan harus membina, mengarahkan
dan mengembangkan potensi akal pikirannya sehingga ia terampil dalam
memecahkan berbagai masalah, diisi dengan berbagai konsep-konsep dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki pemahaman tentang yang
baik dan benar. Berbagai materi pendidikan yang terdapat dalam kurikulum
harus memuat mata pelajaran yang bertujuan membina akal tersebut.
Demikian pula metode dan pendekatan yang merangsang akal pikiran harus
dipergunakan.

9
10

B. Saran
Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat
bagi kita semua umumnya kami pribadi.Yang baik datangnya dari Allah SWT,
dan yang buruk datangnya dari kami sebagai hamba-Nya. Dan kami sadar
bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan
dari berbagai sisi. jadi kami harapkan saran dan juga kritiknya yang bersifat
membangun, untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Nasution Harun, akal dan wahyu dalam islam, (Jakarta: UI Press, 1986)

Mushthafa Ahmad al-Maraghy, Jilid VIII, (Beirut: Daral-Fikr, tp.th)

11

Anda mungkin juga menyukai