Anda di halaman 1dari 24

TAFSIR TENTANG AYAT-AYAT TUHAN

DARI SEGI POTENSI DAN SEGI KEDUDUKAN

Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Tafsir I

Dosen Pengampu
DR. IDA AFIDAH, DRA., M.AG.

Oleh
AHMAD RAFIEZAL MAIZAN 10020220060
DAVA AVICIENA HIZBULLAH 10020220038
LAILA AMANDA LEKSONO 10020220062

PROGRAM STUDI
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1442 H/2021 M
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Syukur alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Tafsir I dengan judul “Tasir
Ayat – Ayat Tuhan Dari Segi Potensi dan Dari Segi Kedudukan”.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa dan saran. Sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu
penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak, akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.
Khususnya dalam bidang tafsir, kami sebagai penulis sangat berharap besar kepada
mahasiswa muslim Indonesia dapat mempunyai perhatian lebih untuk mempelajari tafsir Al
Qur’an ini.

Bandung. 7 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… ii


DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………….. iii
BAB I : PENDAHULUAN ………………………………………………………… 1
A. Latar Belakang ……………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………. 2
C. Tujuan Penulisan ……………………………………………………... 2
D. Manfaat Penulisan ……………………………………………………. 2
BAB II : PEMBAHASAN …………………………………………………………… 3
1. Apa pengertian potensi manusia? ……………………………………… 3
2. Bagaimana tafsir ayat-ayat Tuhan dari segi potensi? …………………. 3
3. Bagaimana tasfir ayat-ayat Tuhan dari segi kedudukan? ……………... 10
4. Apa saja Kedudukan dan Fungsi Manusia di Muka Bumi? ………….. 17
BAB III : PENUTUPAN ……………………………………………………………. 19
A. Kesimpulan ………………………………………………………….. 19
B. Saran …………………………………………………………………. 19
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah Swt menciptakan alam semesta dan telah menentukan fungsi-fungsi dari setiap
elemen alam ini. Matahari punya fungsi, bumi punya fungsi, udara punya fungsi, begitulah
seterusnya; bintang-bintang, awan, api, air, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya, termasuk
manusia pun diciptakan di muka bumi ini, juga memiliki kedudukan dan tugasnya sendiri.
Sebagaimana dijelaskan di dalam banyak ayat, bahwa manusia memiliki dua predikat
atau status yaitu sebagai hamba Allah Swt (`abdullah) dan sekaligus sebagai wakil Allah Swt
(khalifatullah) di muka bumi. Sebagai hamba Allah, manusia hanya sekadar makhluk
sebagaimana makhluk lain ciptaan-Nya.
Oleh karena itu, tugasnya adalah menyembah dan berpasrah diri kepada-Nya. Di sisi
lain, sebagai khalifatullah, manusia diberi tugas dan tanggung jawab sangat besar di muka
bumi, yaitu memakmurkannya.
Kedudukan manusia sebagai basyar tergantung sepenuhnya pada alam, pertumbuhan
dan perkembangan fisiknya tergantung pada apa yang dimakan. Sedangkan manusia dalam
pengertian insan mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang sepenuhnya tergantung
pada kebudayaan, pendidikan, penalaran, kesadaran, dan sikap hidupnya. Untuk itu, pemakaian
kedua kata insan dan basyar untuk menyebut manusia mempunyai pengertian yang berbeda.
Insan dipakai untuk menunjuk pada kualitas pemikiran dan kesadaran. Sedangkan basyar
dipakai untuk menunjukkan pada dimensi alamiahnya, yang menjadi ciri pokok manusia pada
umumnya.
Dari kedudukan sebagai insan dan basyar, manusia merupakan makhluk yang dibekali
Allah dengan potensi fisik maupun psikis yang memiliki potensi untuk berkembang. Alquran
berulangkali mengangkat derajat manusia dan berulangkali pula merendahkan derajat manusia.
Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi, dan bahkan para malaikat. Allah juga
menetapkan bahwa manusia dijadikan-Nya sebagai makhluk yang paling sempurna
keadaannya dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian potensi manusia?
2. Bagaimana tafsir ayat-ayat Tuhan dari segi potensi?
3. Bagaimana tasfir ayat-ayat Tuhan dari segi kedudukan?

1
4. Apa saja Kedudukan dan Fungsi Manusia di Muka Bumi?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian potensi manusia
2. Untuk mengetahui tafsir tentang ayat-ayat Tuhan dari segi potensi
3. Untuk mengetahui tafsir tentang ayat-ayat Tuhan dari segi kedudukan
4. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi manusia di muka bumi

D. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini selain dari memenuhi tugas dari mata kuliah Tafsir I.
Makalah ini dibuat dengan tujuan supaya pembaca dapat memahami tentang pengertian
potensi manusia, memahami ayat-ayat Tuhan dari segi kedudukan, dan untuk memahami
kedudukan dan fungsi manusia di muka bumi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Potensi Manusia


Potensi diri merupakan kemampuan, kekuatan, baik yang belum terwujud maupun yang
telah terwujud, yang dimiliki seseorang, tetapi belum sepenuhnya terlihat atau dipergunakan
secara maksimal. Manusia menurut agama Islam adalah makhluk Allah yang berpotensi.
Dalam al-Qur’an, ada tiga kata yang menunjuk pada manusia, yang digunakan adalah basyar
insan atau nas dan bani Adam.
Kata basyar diambil dari akar kata yang berarti ‘penampakan sesuatu dengan baik dan
indah’. Dari kata itu juga, muncul kata basyarah yang artinya ‘kulit’. Jadi, manusia disebut
basyar karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang. Manusia dipilih oleh
Allah sebagai khalifah karena manusia memiliki berbagai potensi. Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman:
‫َار َو ااْلَ اف ِٕـ َدةَ ۙ لَعَلَّ ُك ام تَ ا‬
٧٨ - َ‫شك ُُر اون‬ َّ ‫شياـًٔ ۙا َّو َجعَ َل لَ ُك ُم ال‬
َ ‫س ام َع َو ااْلَ ابص‬ ُ ُ‫ّٰللاُ اَ اخ َر َج ُك ام ِّم ْۢ ان ب‬
َ َ‫ط او ِّن ا ُ َّم ٰهتِّ ُك ام َْل تَ اعلَ ُم اون‬ ‫َو ه‬
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu
bersyukur.” (QS. An-Nahl 16: ayat 78)
Dari ayat di atas terdapat tiga unsur dalam diri manusia yaitu pendengaran, penglihatan
dan hati (yang dimaksud hati di sini adalah akal yang berpusat di kalbu) yang Allah Swt
anugerahkan kepada manusia agar dengan ketiga hal tersebut dapat dipergunakan sesuai
fungsinya karena dengan ketiga alat atau sarana tersebut manusia dapat mengenal Tuhannya
dengan mendengarkan ayat-ayatnya, melihat ciptaannya dan dapat merasakan bahwa
kehidupan ini ada penciptanya yang wajib di sembah dan diibadahi yaitu Allah Swt.
Istilah basyar berdasarkan al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faz Al-Quran dengan berbagai
derivasinya disebutkan sebanyak 37 kali. Asal kata dari istilah ini menurut kitab Al-Mufradat
Fi Gharib Al-Quran adalah al-basyarah yang bermakna permukaan kulit. Penggunaan
istilah basyar sebagai manusia dapat dipahami karena permukaan anggota tubuh manusia yang
paling tampak adalah kulitnya. Hal tersebut berbeda dengan hewan yang lebih terlihat bulu
atau rambut yang menutupi permukaan anggota tubuhnya. Kata bisyarah dan busyra yang
bermakna kabar gembira merupakan kata turunan dari kata basyar. Bisa dipahami karena saat
kondisi gembira, darah yang terdapat dalam tubuh manusia akan menyebar ke seluruh kulit
yang mengakibatkan perubahan pada raut wajahnya. Selain itu, istilah mubasyarah yang

3
dikiaskan sebagai hubungan suami istri, secara bahasa diartikan dengan persentuhan kulit juga
berasal dari kata basyar. Penjelasan di atas mengarahkan bahwa ketika manusia disebut Al-
Quran dengan kata basyar menunjukkan manusia dari segi biologis. Hal ini diperkuat dengan
ayat-ayat yang menggunakan istilah basyar lebih banyak menjelaskan aspek yang
menunjukkan persamaan fisik antara rasul dengan manusia lainnya.
Rasa syukur sudah seharusnya dilakukan manusia yaitu dengan menggunakan nikmat-
nikmat-Nya dalam tujuannya yang untuk itu ia diciptakan, dapat beribadah kepada-Nya, dan
agar dengan setiap anggota tubuh kalian melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Alhasil yang
diharapkan dari potensi jasmani yaitu berupa pendengaran dan penglihatan adalah kesehatan
dan afiatnya yang bukan sekedar sehat dalam arti kemampuannya digunakan dengan baik tapi
yang terlebih penting yaitu keterhindarannya dari segala yang berdampak negatif baik bagi
kehidupan dunia maupun akhiratnya. Dengan demikian potensi jasmaniahnya dapat menyatu
dengan potensi rohaniahnya (akalnya) demi menuju kepada kebaikan keduanya.

B. Tafsir Ayat-Ayat Tuhan dari Segi Potensi


1. Tafsir QS. An-Nahl (16: 78)
‫َار َو ااْلَ اف ِٕـ َدةَ ۙ لَ َعلَّ ُك ام تَ ا‬
٧٨ - َ‫شك ُُر اون‬ َّ ‫شياـًٔ ۙا َّو َج َع َل لَ ُك ُم ال‬
َ ‫س ام َع َو ااْلَ ابص‬ ُ ُ‫ّٰللاُ اَ اخ َر َج ُك ام ِّم ْۢ ان ب‬
َ َ‫ط او ِّن ا ُ َّم ٰه ِّت ُك ام َْل تَ اعلَ ُم اون‬ ‫َو ه‬
Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu
bersyukur.
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Sebuah peristiwa gaib yang dekat, tetapi ia cukup jauh mendalam. Proses kejadian janin
bisa jadi terdeteksi oleh manusia. Akan tetapi, mereka tak tahu bagaimana proses itu bisa
terjadi, sebab ia merupakan rahasia kehidupan yang tersembunyi. Ilmu yang selama ini diakui
manusia dan ia merasa tinggi dengannya sehingga ia ingin menguji kebenaran oeristiwa hari
kiamat dana lam gaib lainnya, adalah ilmu yang dangkal yang baru saja ia peroleh, sebab,
“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apa
pun …”
Tuhan yang melahirkan para pakar dan para peneliti, dan mengeluarkannya dari perut
ibunya dalam kondisi tidak mengetahui apa-apa, adalah Mahadekat sekali! Setiap ilmu yang ia
dapatkan sesudah itu, semuanya adalah anugerah dari Allah sesuai ukuran yang dikehendaki-
Nya untuk kepentingan manusia dan untuk mencukupi keperluan manusia untuk hidup di muka
bumi ini, “Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati.”

4
Dalam bahasa Al-Qur’an, hati terkadang diungkapkan dengan kata qalbu atau dengan
kata fu’aad, untuk menjelaskan setiap alat (organ) pemahaman pada diri manusia. Hal ini
meliputi apa yang diistilahkan dengan akal, juga potensi inspiratif (ilham) pada diri manusia
yang tersembunyi dan tak diketahui hakikatnya serta cara kerjanya. Allah memberimu
pendengaran, penglihatan, dan hati itu dalam rangka, “agar kamu bersyukur.”
Jadi agar kamu bersyukur apabila kamu memahami betul nilai yang terkandung pada
nikmat-nikmat tersebut dan nikmat-nikmat Allah lainnya yang diberikan kepadamu. Ekspresi
syukur yang pertama adalah dalam bentuk beriman kepada Allah sebagai Sesembahan Yang
Maha Esa.
Proses pertumbuhan manusia dari bayi hingga dewasa sangatlah menakjubkan.
Anggota tubuhnya berkembang mencapai kesempurnaan. Kapasitas dan kemampuan
berpikirnya berkembang hingga ia menjadi makhluk yang pintar serta mampu mencerap,
merasakan, dan menyimpan berbagai pengalaman hidupnya. Semua fenomena itu sungguh
sangat mengagumkan. Hanya Allah yang mampu dan berkuasa melakukan semua itu. Dialah
Sang Maha Pencipta, Sang Maha Perancang, dan Sang Maha Pelaksana. Kemahakuasaan-Nya
mencakup segala hal yang terjadi di darat, laut, dan udara.1

2. Tafsir QS. Al-Isra (17: 36)


Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Akidah Islam adalah akidah yang gamblang, lurus, dan bersih. Sehingga, taka da sedikitpun
dalam akidah Islam ini yang berdiri di atas landasan yang penuh keraguan, utopia, atau
praduga. Allah berfirman,
ٰٰۤ
‫ع انهُ َم ا‬
٣٦ - ‫سـُٔ او اْل‬ َ َ‫ول ِٕىكَ كَان‬ ُ ‫س ام َع َوا ال َبص ََر َوا الفُؤَا َد ُك ُّل ا‬
َّ ‫اس لَكَ ِّب ٖه ِّع ال ٌم ۗاِّنَّ ال‬ ُ ‫َو َْل تَ اق‬
َ ‫ف َما لَي‬
“Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran,
penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (al-Israa: 36)
Beberapa kalimat dalam ayat ini menjadi landasan bagi terbangunnya sebuah manhaj
komprehensif untuk urusan hati (jiwa) dan akal (rasio). Manhaj ini meliputi metodologi ilmiah
yang ditemukan manusia akhir-akhir ini. Lebih dari sekadar metodologi ilmiah, manhaj ini pun
mempunyai nilai tambah berupa teori untuk meluruskan hati dan muraqabatullah ‘pemantauan
Allah’. Yakni, suatu keistimewaan manhaj Islam yang tak dimiliki oleh sistem dan metodologi
intelektual lainnya yang kering nilai.
Sikap klarifikasi dalam menerima setiap berita, setiap fenomena, dan setiap gerakan
sebelum memutuskan tindakan lebih lanjut adalah seruan Al-Qur’an dan sistem metologis

5
Islam yang sangat akurat. Karena apabila hati dan akal (rasio) ini lurus di atas manhaj Islam,
pastilah tak akan ada lagi ruang bagu tumbuhnya utopia, ilusi, dan khurafat dalam dunia akidah
(ideology). Tak ada lagi tempat bagi adanya prasangka dan keragu-raguan dalam dunia hukum
dan dunia pergaulan. Juga tala da lagi tempat bagi penilaian yang dangkal dan hipotesis yang
tak berdasar fakta dalam dunia penelitian dan praktek-praktek ilmiah.
Amanat ilmiah yang sangat didambakan para pakar di dunia modern ini, hanyalah
sekelumit dari bagian Amanat Intelektual (akal) dan Amanat Spiritual (hati) yan sudah
ditetapkan pertanggungjawabannya oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an menetapkan bahwa manusia
bertanggung jawab atas pendengaran, penglihatab, dan hati. Inilah manat atas seluruh anggota
tubuh dan indra, akal dan hati. Suatu amanat akan dimintakan pertanggungjawabannya atas
setiap manusia, dan akan ditanyakan juga kepada anggota tubuh, pancaindra, akal, dan hati itu
seluruhnya. Sebuah amanat besar dan mendasar, sehingga mampu menggetarkan hati nurani di
saat lisan mengucapkan kata-kata, atau tatkala menyampaikan sebuah riwayat. Juga setiap kali
hendak memberikan penilaian (pernyataan) atas orang lain atau kejadian dan masalah tertentu.
“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya.” Artinya, janganlah kamu mengikuti sesuatu yang belum kamu ketahui secara
pasti, dan belum kamu klarifikasi kebenarannya, baik itu berupa berita yang muncul maupun
riwayat tertentu; berupa interpretasi terhadap sebuah fenomena atau analisis terhadap sebuah
kejadian; atau berupa hukum syar’i atau masalah keyakinan (akidah). Dalam sebuah hadits
dikatakan, “Berhati-hatilah terhadap prasangka, karena prasangka itu merupakan
pembicaraan yang paling bohong.”
َ ‫ َز‬:‫الر ُج ِّل‬
‫ع ُموا‬ َّ ‫اس َمطِّ يَّ ِّة‬
َ ‫بِّئ‬
“Seburuk-buruknya tunggangan (alasan, argument) seseorang adalah ucapan, ‘Mereka
berkata.’’’’ (HR Abu Dawud)
َ ‫ع اينَ اي ِّه ماَلَ ام تَ َريا‬
َ ‫الر ُج ُل‬
َّ ‫ي‬َ ‫إِّنَّ ا َ اف َرى االفَ اري أ َ ان يُ ِّر‬
“Sesungguhnya kebohongan terbesar adalah seseorang yang berusaha memperlihatkan
kepada kedua matanya sesuatu yang belum pernah dilihat oleh kedua matanya itu.”
Begitulah, saling mendukung antar berbagai ayat dan hadits untuk menandaskan
manhaj ilmiah yang sempurna dan integrasi ini. Sebuah metodologi yang tidak hanya
mengharuskan akal semata supaya berhati-hati dalam menetapkan hukum dan melakukan
klarifikasi dalam meneliti. Tetapi, tugas ini juga dibebankan kepada hati (kalbu) dalam setiap
intuisi, persepsi, perasaan, dan ketetapan-ketetapannya. Sehingga, tidak sampai terjadi lisan
mengucapkan suatu kalimat, dan meriwayatkan suatu peristiwa atau menukil sebuah riwayat;
dan juga akal (rasio) tidak akan menetapkan suatu hukum atau memutuskan suatu perkara,

6
sebelum ia melakukan klarifikasi terlebih dahulu dan mempelajarinya dari semua sisi tentang
kondisi yang melatarbelakangi dan akibat yang akan timbul dari setiap permasalahan. Dengan
begitu, tak aka nada keraguan atau ketidakjelasan akan kebenarannya. Sungguh Maha benar
Allah yang telah berfirman, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini membawa petunjuk kepada jalan
yang lebih lurus.”
Tafsir Jalalain
‫( َو َ ا‬Dan janganlah kamu mengikuti) menuruti َ‫ص َر َاو ْالف َؤا اد‬
‫ل تَ ْقفا‬ َ ‫س ْم َع َاو ْال َب‬
َّ ‫ْسالَكَ ا ِبهِاع ِْل ٌما ِإ َّناال‬
َ ‫( َماالَي‬apa yang
kami tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
َ ‫( كلُّا أولَئِكَ ا َكانَ ا‬semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya)
hati) yakni kalbu ‫ع ْنها َمسْئو‬
pemiliknya akan dimintai pertanggungjawabannya, yaitu apakah yang diperbuat dengannya?

3. Tafsir QS. Al-Mu’minun (23: 78)


‫َار َو ااْلَ افـِٕ َد ۗةَ قَ ِّلي ااًل َّما تَ ا‬
٧٨ – َ‫شك ُُر اون‬ َّ ‫شا َ لَ ُك ُم ال‬
َ ‫س ام َع َو ااْلَ ابص‬ ْٓ‫َوه َُو الَّذ ا‬
َ ‫ِّي اَ ان‬
“Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian pendengara, penglihatan, dan hati. Amat
sedikitlah kamu bersyukur.”
Seandainya manusia merenungkan penciptaannya dan bentuk tubuhnya, pancaindra
dan anggota-anggota tubuhnya, dan kekuatan serta pengetahuannya, maka dia pasti
menemukan Allah. Ia juga pasti mendapat hidayah untuk sampai kepada-Nya melalui
keajaiban-keajaiban yang menunjukkan bahwa Dia adalah Maha Pencipta. Karena tidak ada
seorang pun selain Allah yang mampu menciptakan alam semesta yang sangat mengagumkan
ini, baik yang kecil maupun yang besar.
Alat pendengaran saja, bagaimana ia bekerja? Bagaimana telinga menerima suara dan
mengaturnya? Alat penglihatan, bagaimana ia bisa melihat? Bagaimana ia menerima cahaya
dan bermacam-macam bentuk barang? Al-Fuad ‘nurani’, apa ia sesungguhnya? Bagaimana ia
mampu menganalisis? Bagaimana ia mengatur suatu perkara yang bermacam-macam, juga
makna-makna, norma-norma, perasaan-perasaan, dan pengetahuan-pengetahuan?
Sesungguhnya hanya mengetahui tabiat dari indra ini, kekuatannya, dan cara kerjanya
telah dihitung sebagai suatu mukjizat dalam alam manusia. Apalagi, kalau bisa
menciptakannya dan merancangnya dalam bentuk yang sangat serasi dengan tabiat alam
semesta di mana manusia hidup di dalamnya. Keserasian yang dapat dilihat dengan jelas.
Apabila terjadi perselisihan sedikit saja atau salah satu dari bagiannya menyimpang dari tabiat
alam atau tabiat manusia, pasti ia akan kehilangan hubungan. Maka, telinga pun tidak mungkin
menerima suara dan mata pun tidak mungkin dapat menerima cahaya.

7
Tetapi, kekuasaan Yang Mahakuasa telah mengatur dengan penuh keserasian antara
tabiat manusia dan tabiat alam sehingga sempurnalah hubungan antara keduanya. Hanya saja
sedikit di antara manusia yang mensyukurinya.
“… Amat sedikitlah kamu bersyukur.”
Kesyukuran itu diawali dengan mengenal Pemberi karunia dan nikmat, mengagungkan-
Nya dengan segala sifat-sifat-Nya, kemudian beribadah hanya kepada-Nya. Dan, Dialah yang
keesaan-Nya dapat disaksikan dalam bekas-bekas ciptaan-Nya. Hal itu juga dapat dirasakan
penggunaan indra-indra dan kekuatan-kekuatan untuk menikmati kehidupan dan segala
kesenangannya, dengan perasaan seorang hamba yang mengabdi kepada Allah dalam setiap
kegiatan dan setiap kesenangan.
Tafsir Al-Muyassar/Kementerian Agama Saudi Arabia
Dan Dia-lah Dzat yang menciptakan bagi kalian pendengaran untuk menangkap apa-
apa yang didengar, dan penglihatan unttuk menangkap apa-apa yang dilihat, dan hati untuk
memahami. Meskipun demikian, rasa syukur kalian terhadap nikmat-nikmat yang tidak putus
pada kalian ini kecil tidak ada artinya.
Tafsir as-Sa’di/Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 H
Allah memberitahukan tentang limpahan karuniaNya bagi para hambaNya yang
mengajak mereka untuk mensyukuriNya dan menjalankan hak-hakNya. Allah berfirman, “dan
Dia-lah yang telah menciptakan kamu sekalian, pendengaran,” yang dengan indera tersebut,
kalian bisa mengindera hal-hal yang terdengar, hingga kalian mendapatkan manfaat agama dan
duniawi, “dan penglihatan,” yang dengan sarana itu, kalian bisa memahami obyek-obyek yang
terlihat, hingga kalian sanggup menginderai kemaslahatan-kemaslahatan kalian.
“dan hati,” yaitu akal-akal yang kalian gunakan untuk mencerna segala sesuatu dan
piranti yang menyebabkan kalian berbeda dengan binatang-binatang. Jika kalian tidak
mempunyai pendengaran, penglihatan, dan akal, maka kalian akan menjadi tuli, buta, dan bisu
lalu bagaimana nanti kondisi kalian? Kebuuthan primer dan kebutuhan apa saja yang hilang
dari kalian? Tidaklah engkau menysukuri Dzat yang telah melimpahkan nikmat-nikmat ini
kepada kalian, selnjutnya kalian mengesakanNya (dalam ibadah) dan menjalankan ketaatan
kepadaNya, tetapi kalian tidak bersyukur, padahal kenikmatanNya kepada kalian datang secara
kontinyu.
Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI
Melanjutkan penyebutan anugerah-anugerah pada ayat-ayat sebelumnya, Allah
menyatakan sebagai berikut, wahai manusia, bagaimana kamu mengingkari dan mendurhakai
Allah, sedang dia-lah yang telah menciptakan bagimu pendengaram agar kamu mendengar

8
kebenaran, penglihatan agar kamu mengamati tanda-tanda kebesaran Allah, dan hati nurani
agar kamu dapat berpikir lalu beriman dan bersyukur kepada Allah, tetapi sedikit sekali kamu
bersyukur. Dan dia-lah yang menciptakan dan mengembangbiakkan kamu di bumi ini dan
hanya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan di akhirat nanti untuk menerima balasan.

4. Tafsir QS. Ar-Rahmaan (55: 4)


٤ - َ‫علَّ َمهُ ا البَيَان‬
َ
“Mengajarnya pandai berbicara.”
Tafsir Fi Zhalalil Qur’an
Kami tinggalkan secara ihwal permulaan penciptaan manusia. Kami akan
membahasnya di depan dan pada surah ini, sebab tujuan pengungkapannya di sini ialah
pengajaran berbicara yang membuatnya dapat membicara Al-Qur’an.
Kita melihat manusia dapat bertutur, mengungkapkan, menjelaskan, saling memahami,
dan berdialog dengan orang lain. Karena terlampau biasa, kita melupakan anugerah yang besar
dan keluarbiasaan ini. Maka, Al-Qur’an mendorong anugerah ini dalam berbagai ayat.
Apakah manusia itu? Apakah asalnya? Bagaimana ia bermula? Dan, bagaimana dia
diajari berbicara?
Manusia adalah sebuah sel yang mengawali kehidupannya di dalam rahim. Sebuah sel
yang sederhana, kecil, hina, dan tidak bernilai. Ia hanya dapat dilihat melalui kaca pembesar
dengan tidak terlampau jelas. Ia tidak tampak nyata.
Tidak lama berselang sel ini pun menjadi janin, yaitu janin yang terdiri dari jutaan sel
yang bervariasi, penting, memiliki tulang rawan, otot, syaraf, dan kulit. Dari sel itulah tercipta
organ tubuh, indra, dan aneka fungsinya yang menakjubkan seperti pendengaran, penglihatan,
perasaan, penciuman, perabaan, dan selainnya. Kemudian tercipta pula suatu hal yang sangat
luar biasa dan rahasia yang agung, yaitu kemampuan memahami, menerangkan, merasa, dan
intuisi. Semua itu berasal dari sebuah sel yang sederhana, kecil, tidak berarti, dan hina yang
tidak jelas dan tidak tampak nyata.
“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa
pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.”
Penciptaan alat tutur itu sendiri sungguh menakjubkan. Keaajaibannya tidak pernah
habis. Lidah, dua bibir, langit-langit, tenggorokan, saluran udara, filter, dan paru-paru.
Semuanya itu terlibat dalam proses menghasilkan suara yang mekanistis. Ia merupakan sebuah
lingkaran dalam rangkaian al-bayan. Karena lingkaran itu demikian besar, maka ia tidak dapat

9
digambarkan kecuali aspek mekanistik-instrumentalnya dalam proses yang kompleks ini, yang
juga berkaitan dengan pendengaran, otak, dan syaraf. Kemudian berkaitan dengan akal yang
kita pahami sebatas ihwal substansi dan hakikat akal. Bahkan, kita nyaris tidak mengetahui apa
pun ihwal fungsi dan cara kerjanya.
Bagaimana proses seseorang menuturkan patah kata? Itu adalah proses yang kompleks
dan melibatkan beberapa fase, langkah, dan perlengkapan-sebagian fase itu tetap diketahui
hingga sekarang. Proses itu dimulai dengan adanya rasa perlu untuk menuturkan kata itu guna
menyampaikan tujuan tertentu. Perasaan ini berpindah (kita tidak tahu mengapa ia berpindah)
dari pemahaman, atau akal, atau ruh ke pelaksanaan perbuatan konkret. Otak… Katanya,
otaklah yang memberikan perintah melalui urat-urat syaraf agar menuturkan kata yang
dikehendaki. Kata itu sendiri merupakan sesuatu yang diajarkan Allah kepada manusia dan
yang maknanya diajarkan pula oleh-Nya.
Setelah itu paru-paru mensuplai udara yang tersimpan di dalamnya dengan kadar
tertentu. Lalu, ia melintas dari filter ke saluran udara melalui tenggorokan dan pita suara yang
menakjubkan yang tidak dapat dianalogikan dengan senar instrument suara apa pun yang
dibuat manusia, dan tidak pula dengan alat-alat suara dengan segala nadanya. Lalu udara pada
tenggorokan mengeluarkan bunyi yang dibuat selaras dengan kehendak akal. Apakah suara itu
tinggi atau rendah, cepat atau lambat, kasar atau lembut, menggema atau melengking, hingga
bentuk dan karakter suara lainnya.
Di samping tenggorokan, ada pula lidah, dua bibir, langit-langit, dan gigi. Suara
melintasi alat-alat ini sehingga terbentuklah tekanan tertentu dalam berbagai artikulasi huruf
yang bervariasi. Melalui lidah itu sendiri dapat dihasilkan huruf dengan artikulasi yang
memiliki nada tertentu; agar ia menghasilkan huruf dengan bunyi tertentu pula.
Semua proses itu menyangkut satu kata, sedang di balik kata ada ungkapan, topik,
gagasan, dan perasaan akan sesuatu yang terdahulu dan yang kemudian. Masing-masing
merupakan alam yang menakjubkan dan mempesona, yang ada pada mikirokosmos manusia
yang menakjubkan dan mempesona berkat ciptaan ar-Rahmaan dan karunia ar-Rahmaan pula.

C. Tafsir Ayat-Ayat Tuhan dari Segi Kedudukan


1. Tafsir QS. Al-Baqarah (2: 30)
ٰۤ
‫ح‬ َ ُ‫الد َم ٰۤا َۚ َء َونَ اح ُن ن‬
ُ ِّ‫سب‬ ِّ ُ‫س ِّفك‬
‫س ُد فِّ ايهَا َويَ ا‬ ِّ ‫َواِّذا قَا َل َربُّكَ لِّلا َم ٰل ِٕى َك ِّة ِّان اِّي جَا ِّع ٌل فِّى ااْلَ ار‬
ِّ ‫ض َخ ِّليافَةا ۗ قَالُ آْو ا اَت َ اج عَ ُل فِّ ايهَا َم ان يُّ اف‬
‫س لَكَ ۗ قَا َل اِّن آِّْي ا َ ا‬
٣٠ - ‫علَ ُم َما َْل ت َ اعلَ ُم او َن‬ ُ ‫بِّ َح امدِّكَ َونُقَ ِّد‬
Artinya: “(Ingat) ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat, ‘Aku ingin menjadikan khalifah
di bumi.’ Mereka bertanya, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan

10
menumpahkan darah di sana? Padahal, kami bertasbih memuji dan menyucikan nama-Mu.’
Dia berkata, ‘Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui,’” (Surat Al-Baqarah
ayat 30).

Dalam ayat ini dan sesudahnya, Allah menggambarkan tentang anugerah yang
diberikan kepada anak cucu adam. Yaitu Dia membincangkannya di hadapan para malaikat-
Nya sebelum menciptakannya di muka bumi.
‫َوإِّذا قَا َل َربُّكَ لِّلا َم ًَلئِّ َك ِّة‬
Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat.
Maksudnya, “Ingatlah, wahai Muhammad, saat Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat tentang berita ini, ceritakanlah kisah ini kepada kaummu.”
Kata ‫ إِّذ‬dalam ayat itu adalah keterangan waktu lampau. Jadi, maksudnya “Ceritakanlah
kepada kaummu tatkala Tuhanmu berfirman...”
Abû Ubaidah–Muhammar bin al-Matsna–berpendapat bahwa ‫ إِّذ‬disini hanyalah
tambahan, sehingga makna ayatnya: “Dan berkatalah Tuhanmu kepada para malaikat...”
Namun, pendapat ini dibantah ath-Thabârî. Menurutnya, dalam al-Qur’an tidak ada
tambahan. Menurut al-Qurthubi, semua ahli tafsir menolak pendapat Abû Ubaidah ini.
Bahkan az-Zujaz mengatakan, apa yang dilakukan Abû Ubaidah adalah bentuk kelancangan
terhadap Kalâmullâh.

Tafsir Jalalain
Dan ingatlah wahai Muhammad ketika tuhanmu berkata kepada malaikat “aku ingin
menjadikan khalifa di muka bumi. Menggantikan ku dalam melaksanakan ketentun-Ku
didalamnya, yaitu Adam.
ِّ ُ‫س ِّفك‬
‫الد َماء‬ ِّ ‫َقالُوا أَت َ اجعَ ُل فِّيهَا َم ان يُ اف‬
‫س ُد فِّيهَا َويَ ا‬
Mereka bertanya, “Apakah engkau hendak menjadikan orang yang merusak) dengan
Tindakan maksiatnya (dan menumpahkan darah) menuangkannya melalui pembunuhan
sebagaimana dilakukan bangsa jin. Mereka awalnya penghuni bumi. Tetapi ketika mereka
berbuat kerusakan, Allah mengutus malaikat untuk mengusir mereka kedaerah pulau pulau dan
pegunungan.
‫سبِّ ُح َونَ اح ُن‬ ُ ‫لَكَ َونُقَد‬
َ ُ‫ِّس بِّ َح ام ِّدكَ ن‬
Disana (padahal kami) selalu (bertasbih memujimu) dengan “subhannallah” (dan
mensucikan nama-Mu) mensucikan nama-Mu dari segala sifat yang tidak layak bagi-Mu,
artinya “kami lebih berhak sebgai pengganti-Mu

11
‫تَ اعلَ ُمونَ َْل َما أ َ اعلَ ُم ِّإنِّي َقا َل‬
Dia (Allah) berkata, “sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.)” Aku
mengetahui kemaslahatan dalam mengangkat adam sebagai pengganti-Ku. Keturun Adam
terdiri dari hamba yang taat dan maksiat sehingga keadilan-Ku tampak ditengah mereka.
Malaikat kemudin menyambutku, “Tuhan kamitidak menciptakan mahluk yang lebih
mulia dari kami dan lebih tahu karena kehadiran kami lebih awal darinya dan penglihatan kami
pada apa yang tidak dilihat olehnya.”
Allah kemudian menciptakan Adam dari permukaan bumi. Allah “mengambil’’ segenggam
dari beragam warnah tanah bumi yang kemudian dicampur dengan air yang berbeda beda.
Allah lalu menyempurnkan dan meniupkan roh padanya lalu ia menjadi makhluk hidup yang
merasa setelah sebelumnya mati.

2. Tafsir QS. Al- An’am (6: 165)


ٰۤ
َ َ‫ت ِّليَ ابلُ َو ُك ام فِّ اي َما ْٓ ٰا ٰتى ُك ۗ ام اِّنَّ َربَّك‬
ِّ ِۖ ‫س ِّر اي ُع ا ال ِّعقَا‬
‫ب َواِّنَّ ٗه‬ ٍ ‫ض ُك ام فَ اوقَ بَ اع‬
ٍ ‫ض د ََر ٰج‬ َ ‫ض َو َرفَ َع بَ اع‬ َ ‫ِّي َجعَلَ ُك ام َخ ٰل ِٕى‬
ِّ ‫ف ااْلَ ار‬ ‫َوه َُو الَّذ ا‬
- ‫لَغَفُ او ٌر َّر ِّح اي ٌم‬
١٦٥ࣖ
Artinya, “Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia
meninggikan sebagian kamu beberapa derajat atas sebagian (yang lain) untuk menguji kamu
atas apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat hukuman-Nya.
Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (165)

Setelah menegaskan bahwa Allah. Akan mengembalikan semua manusia kepada-Nya,


maka melalui ayat ini diingatkan-Nya bahwa dan disamping Allah. Tuhan pemelihara dari
segala sesuatu Dia juga yang menjadikan kalian sebagai khalifah khalifah di bumi, yakni
pengganti umat-umat yang lalu dalam mengembangkan alam, dan Dia meninggikan derajat
akal, ilmu, harta kedudukan sosial, kekuatan jasmani, dan lain lain sebahagian kamu atas
sebahagian yang lain beberapa derajat. Itu semua untuk menguji kamu melalui apa yang Dia
anugerahkan-Nya kepada kamu. Sesungguhnya Tuhanmu wahai Nabi Muhammad saw. –
bukan tuhan-tuhan yang mereka sembah – amat cepat siksaan-Nya karena Dia tidak
membutuhkan waktu, alat, dan tidak pula disibukkan oleh satu aktivitas untuk menyelesaikan
aktivitas yang lain dan sesunggunya Dia Maha Pengampun bagi yang tulus bertaubat lagi
sungguh Maha Penyayang, bagi hamba-hamba-Nya yang taat.
ٰۤ
َ ‫ ) َخ ٰل ِٕى‬khalā’if adalah bentuk jamak dari kata (‫ )خليفة‬khalifah. Kata ini terambil
Kata (‫ف‬
dari kata khalf yang pada mulanya berarti di belakang. Dari sini kata khalifah seringkali

12
diartikan yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya, ini
karena kedua makna itu selalu berada atau yang datang sesudah yang ada atau datang
sebelumnnya.
Ar-Raghib al-Ashfahani dalam “Mufradāt”-nya menjelaskan bahwa menggantikan
yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang
digantikannya maupun sesudahnya. Lebih lanjut pakar bahasa al-Qur’an itu menulis bahwa
kekhalifahan tersebut dapat terlaksana akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau
ketidakmampuan yang digantikan itu, dan dapat juga karena yang digantikan memberi
kepercayaan dan penghormatan kepada yang menggantikannya. Atas dasar ini, ada yang
memahami kata khalifah dalam arti yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-
Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya, tetapi bukan karena Allah bermaksud menguji
manusia dan memberinya penghormatan. Ada lagi yang memahaminya dalam arti yang
menggantikan makhluk lain dalam menghuni bumi ini.
Dalam buku penulis “Membumikan al-Qur’an” antara lain penulis kemukakan bahwa
petunjuk jamak yang digunakan al-Qur’an untuk kata khalifah adalah khalāif dan khulafā.
Setelah memperhatikan konteks ayat-ayat yang menggunakan kedua bentuk jamak itu penulis
berkesimpulan bahwa bila kita khulafā digunakan al-Qur’an, maka itu mengesankan adanya
makna kekuasaan wilayah tidak termasuk dalam maknanya. Tidak digunakannya bentuk
tunggal untuk makna ini, mengesankan bahwa kekhalifaan yang diemban oleh setiap orang
tidak dapat terlaksana, kecuali dengan bantuan dan kerjasama dengan orang lain.
Asy-Sya’rawi mengemukakan kesannya tentang ayat ini melalui satu analisis yang
menarik. Ulama Mesir kenamaan ini, bertitik tolak juga dari makna kebahasaan kata khalifah,
yakni yang menggantikan. Menurutnya, yang menggantikan itu boleh jadi menyangkut waktu,
boleh jadi juga tempat. Ayat ini dapat berarti pergantian antara sesama makhluk manusia dalam
kehidupan dunia ini, tetapi dapat juga berarti kekhalifahan manusia yang diterimanya dari
Allah SWT. Tetapi di sini asy-Sya’rawi tidak memahaminya dalam arti bahwa manusia yang
menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-
Nya, serta memakmurkan bumi sesuai apa yang digariskan-Nya – bukan dalam arti tersebut –
tetapi ia memahami kekahlifahan tersebut berkaitan dengan reaksi dan ketundukan bumi
kepada manusia. Segala sesuatu tunduk dan bereaksi kepada Allah swt. Sekelumit dari
kekuasaan-Nya menundukkan dianugerahkan-Nya kepada manusia, sehingga sebagian dari
ciptaan Allah pun tunduk dan bereaksi kepada manusia. Jika anda menyalakan api, maka dia
akan menyala, jika Anda menabur benih di tanah, maka dia akan tumbuh, jika Anda minum,
maka reaksinya adalah rasa haus Anda hilang, jika Anda makan, maka reaksinya adalah Anda

13
kenyang. Demikian seterunya. “Nah dari mana kemampuan dan ketundukan hal-hal tersebut,
dari mana reaksinya engkau peroleh hai manusia? Tanya asy-Sya’rawi. Jelas dari Allah swt.
melalui perintah-Nya kepada benda-benda itu untuk bereaksi terhadap Anda. Jika demikian,
Anda adalah kgalifah Allah, yakni khalifah iradat/kehendak. Maksudnya Allah memberi Anda
sebagian dari kekuasaan-Nya, sehingga sebagaimana apa yang dikehendaki Allah terjadi
melalui reaksi sesuatu, Anda pun – untuk batas-batas yang dianugerahkan-Nya – dapat
mewujudkan apa yang Anda kehendaki melalui perintah Allah kepada benda-benda itu untuk
bereaksi terhadap tindakan Anda. Ini – menurut asy-Sya’rawi – untuk membuktikan bahwa
Allah Maha Berkehendak. Dia melakukan apa yang dikehendaki-Nya.
Jika Anda ingin membuktikan kebenaran hal ini kata asy-Sya’rawi maka amatilah sang
kafir ketika ia akan berdiri dari tempat duduknya. Ketika itu anggota badannya melakukan
upaya berdiri, tetapi siapa yang memerintahkan dia berdiri? Dia tidak tahu atau tidak sadar,
bahwa itu terjadi pada saat terlintas dalam benaknya untuk berdiri, dan saat itu peristiwa berdiri
terlaksana. Agar supaya Anda tidak menduga bahwa Anda atau siapapun melakukan hal itu
karena kepandaiannya, maka Allah swt. menjadikan sebagian apa yang kita alami tidak berbeda
antara seorang yang lain. Kelahiran dan kematian yang dialami manusia sama, misalnya orang
Inggris atau Perancis, dan mereka tidak berbeda dalam hal ini dengan orang Arab. Tertawa dan
tangis pun demikia. Tidak berbeda tawa seorang komunis dan seorang kapitalis, karena
“Dialah (Allah) yang menjadikan seseorang tertawa dan menangis” (QS. An-Najm [53]: 43).
Maha Suci Allah, Dia yang menghidangakan sesuatu yang serupa antar semua manusia.
Anda berbicara dan bekerja dalam bentuk dan cara yang Anda kehendaki, tetapi sadarkah Anda
ketika tertawa bahwa Allah swt. yang menjadikan Anda tertawa? Ketika Anda hendak berbasa
basi dengan seseorang, lalu Anda tertawa padanya, Anda temukan tawa Anda dibuat-buat.
Allah menjelaskan kepada Anda bahwa kendali alam raya ditangan-Ku, Aku jadikan manusia
memiliki pilihan untul hal-hal tertentu dan aku jadikan mereka terpaksa dan menyatum walau
mereka enggan utnuk sekian hal tertentu pula. Sesungguhnya kehendak Anda pada sebagian
diri Anda dan pada indera-indera Anda, sehingga dia bereaksi – wahai manusa – adalah
anugerah untuk Anda dari Allah Yang Maha Penganugerah, lagi Maha Berkehendak itu.
Maha Suci Allah yang terkadang mencabut beberapa hal dari sekian manusia, sehingga
reaksi yang dia harapkan tidak muncul. Dia Yang Maha Kuasa itu memerintahkan otak:
“Jangan mengirim isyarat ke anggota tubuh untuk bergerak”, maka ketika itu juga manusia ini
menjadi lumpuh. Seandainya gerak yang dimaksud itu adalah karena kuasa manusia, maka
pasti dia melawan isyarat itu. Tulis asy-Sya’rawi yang akhirnya berkesimpulan bahwa kita

14
manusia adalah khalifah-khalifah di bumi, segala sesuatu bereaksi sesuai dan sebesar kadar
reaksi yang dikehendaki Allah.
Untuk membuktikan bahwa bukan manusia yang melakukan reaksi itu, Allah sekali
lagi menjelaskan bahwa, “Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain)
beberapa derajat” yakni karena adanya kekhalifahan itu kita menjadi tidak sama, kita menjadi
berbeda. Dia Yang Maha Kuasa itu bekehendak agar kita saling melengkapi dalam bakat dan
kesempurnaan, karena kalau manusia semua persisi sama dalam bentuk yang berulang-ulang
maka kehidupan akan binasa, sebab kebutuhan hidup manusia beragam. Apa jadinya kalau
semua manusia menjadi dokter atau insinyur atau semua menjadi petani?
Allah swt. berkehendak agar ada yang ditinggakan atas yang lain dan ada yang
direndahkan dari yang lain. Siapa yang ditinggikan dan siapa yang direndahkan-Nya itu? Tanya
asy-Sya’rawi? Setiap orang ditinggikan atas orang lain dari sisi kemampuannya pada bidang
tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain, tetapi yang ditinggikan itu juga direndahkan oleh
orang yang lain pada sisi di mana dia tidak memiliki kemampuan. Ini karena Allah swt.
mengehendaki terjalinnya kerjasama antar makhluk, dan kerja sama itu bukan atas anugerah
seseorang atas lainnya, tetapi atas dasar kebutuhan bersama. Demikian lebih kurang uraian asy-
Sya’rawi dalam acara TV Mesir yang dihidangkan secar rutin setiap minggu, dan kemudian
dibukukan dalam buku yang dinamai “Tafsir asy-Sya’rawi”.
Ayat ini ditutup dengan menyebut satu sifat Allah yang berkaitan dengan siksa-Nya,
yaitu amat cepat siksaan-Nya, tetapi menyebut dua sifat-Nya yang berkaitan dengan rahmat
dan anugerah-Nya yaitu Maha Pengampun dan Maha Penyayang yang diserta dengan kata
sesungguhnya. Ini sebagai isyarat tentang limpahan kasih sayang-Nya, guna menenangkan
kaum mukmin sekaligus mengundang yang durhaka untuk meninggalkan kedurhakaan dan
datang memohon ampunan dan rahmat-Nya.
Di atas ketika menjelaskan ayat 164 tela dikemukakan bahwa ayat ini menjadi bukti
ketika menyangkut Tauhid dan keniscayaan Hari Kiamat. Perbedaan-perbedaan yang terlihat
dalam kehdiupan duniawi bertujuan agar terjadi kerjasama antara manusia guna memakmurkan
dunia ini. Ia bukan kebetulan tetapi diatur oleh Allah swt. guna menguji manusia siapa yang
taat dan siapa yang pula durhaka. Dan tentu saja tidak sama kesudahan orang yang bertakwa
dan yang durhaka. Kehidupan dunia seringakali tidak memberi ganjaran dan sanksi tuntas yang
seimbang. Untuk itu, pasti aka nada Hari Kemudian untuk menuntaskan ganjaran dari sanksi
itu. Di sisi lain, siapa yang kuasa menghidupkan manusia dan menempatkannya di tempat
manusia lain yang telah dimatikan Allah, maka tentu Dia kuasa pula untuk menghidupkan
kembali yang sudah mati itu, karena menghidupkan yang mati dan yang sebelumnya telah

15
pernah hidup lebih mudah – menurut logika kita – dari pada menghidupkan sesuatu yang belum
pernah ada sama sekali.
Pada akhir sura dinyatakan bahwa Dia yang menjadikan kamu khalifah-khalifah, ini
bertemu dengan firman-Nya pada awal surah ini: “Dia yang menciptakan kamu dari tanah”
(QS. Al-An’am [6]: 2), karena tujuan penciptaan itu adalah agar mansuai menjadi khalifah.
Sedang firman-Nya: “Apakah aku mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan
bagi segala sesuatu”, bertemu dengan firman-Nya: “Segala puji bagi Allah Yang telah
menciptakan banyak langit dan bumi, dan menjadikan aneka gelap dan terang, kemudian
orang-orang yang kafir mempersamakan (sesuati) dengan Tuhan Mereka” (QS. Al-An’am [6]:
1).
Demikian juga akhir surah al-An’am yang diakhiri dengan dua sifat Allah, yaitu ghafūr
dan rahim mengundang semua manusia untuk mensyukuri pengampunan dan rahmat Ilahi yang
tercurah itu demikian akhirnya bertemu dengan awalnya yang dimulai dengan alhamdulillah.
Memang bagi Allah segala puji sejak awal hingga akhir. Wal-lāhu A’lam.

3. Tafsir QS. Hud (11: 61)


Kisah Nabi Shaleh dengan Kaum Tsamud
‫ستَ اع َم َر ُك ام ِّف ايهَا َفا ا‬
ُ‫ستَ اغف ُِّر اوه‬ ‫ض َوا ا‬ َ ‫ّٰللا َما لَ ُك ام مِّ ان ا ِّٰل ٍه‬
َ ‫غ اي ُرهٗ ۗه َُو اَ ان‬
َ ‫شا َ ُك ام مِّ نَ ا‬
ِّ ‫اْل ار‬ ٰ ‫۞ َوا ِّٰلى ث َ ُم او َد ا َ َخاهُ ام‬
َ ‫ص ِّل احا ۘ َقا َل ٰيقَ او ِّم ا اعبُدُوا ه‬
٦١ – ‫اب‬ ٌ ‫اب ُّم ِّجي‬ٌ ‫ث ُ َّم ت اُوبُ آْوا اِّ َل اي ِّه ۗاِّنَّ َر ِّب اي َق ِّري‬
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka, Shaleh. Shaleh berkata, ‘Hai kaumku,
sembahlah allah, sekali-kali tidak ada bagimu tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu
dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya. Karena itu, mohonlah ampunan-Nya,
kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi
memperkenankan (doa hamba-Nya).”’ (Hud: 61)
Shaleh mengingatkan mereka tentang asal-usul mereka dari tanah, pertumbuhan jenis
merka, pertumbuhan personalia mereka yang diberi makan dari tanah atau dari unsur-unsurnya
yang darinyalah terbentuk unsur-unsur pembangun tubuh mereka. Di samping mereka sendiri
diciptakan dari tanah, dari unsur-unsurnya, Allah juga menjadikan mereka sebagai
pemakmurnya. Dijadikan-Nya jenis mereka (manusia) dengan personalianya menjadi
pengelola bumi ini setelah lenyapnya umat-umat sebelumnya.
Akan tetapi, setelah itu mereka mempersekutukan Tuhan mereka dengan tuhan-tuhan
lain, “Karena itu, mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya.”
Dan, mantapkanlah hatimu bahwa Dia pasti mengabulkan dan menerimanya,
“Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).”

16
Idhafah ‘penggabungan’ kata rabbii ‘Tuhanku’ dengan kata ‘qarib ‘dekat’ dan ‘mujib
‘memperkenankan’ dalam satu rangkaian dan pada tempat berdekatan, melukiskan suatu
gambaran tentang hakikat uluhiah (ketuhanan) sebagaimana yang tampak dalam hati yang
jernih dan pilihan. Sehingga, menimbulkan suasana ketenangan, keberhubungan, dan kasih
sayang, yang berkembang dari hati nabi yang saleh ke hati para pendengarnya, kalau mereka
mempunyai hati.

D. Kedudukan dan Fungsi Manusia di Muka Bumi


1. Abdul Mu’abbid
Kedudukan manusia di alam ini yang sering diangkat oleh para pakar adalah sebagai
hamba yang harus beribadah kepada Allah SWT. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
َ َّ‫َو َما   َخلَ اقتُ   ا ال ِّجن‬
َ ‫  وا ا ِّْل ان‬
‫س  ا َِّّْل   ِّليَ اعبُد اُو ِّن‬
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-
Ku.” (QS. Az-Zariyat 51: 56).
Manusia sebagai makhluk yang paling mulia diberi potensi untuk mengembangkan diri
dan kemanusiannya. Potensi-potensi tersebut merupakan modal dasar bagi manusia dalam
menjalankan berbagai fungsi dan tanggungjawab kemanusiaannya. Agar potensi-potensi itu
menjadi aktual dalam kehidupan perlu dikembangkan dan digiring pada penyempurnaan-
penyempurnaan melalui upaya pendidikan, karena itu diperlukan penciptaan arah bangun
pendidikan yang menjadikan manusia layak untuk mengembang misi Ilahi.
Beribadah berarti mencakup keseluruhan kegiatan manusia dalam hidup di dunia ini,
termasuk kegiatan duniawi sehari-hari, jika kegiatan itu dilakukan dengan sikap batin serta niat
pengabdian dan penghambaan diri kepada Tuhan, yakni sebagai tindakan bermoral yakni untuk
menempuh hidup dengan kesabaran penuh bahwa makna dan tujuan keberadaan manusia ialah
“perkenaan” atau ridha Allah SWT.
2. Khalifah
Manusia diberi status yang terhormat yaitu sebagai khalifah Allah di muka bumi,
lengkap dengan kerangka dan program kerjanya. Secara simbolis fungsi dan kerangka kerja
itu dinyatakan Allah pada proses penciptaan Adam as. Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman:‫ا‬
ٰۤ
َ ُ‫الد َم ٰۤا َۚ َء َونَ احنُ ن‬
َ‫سبِّ ُح بِّح اَمدِّك‬ ِّ ُ‫س ِّفك‬ ِّ ‫ض َخ ِّل ايفَةا ۗ َقالُ آْوا اَتَ اجعَ ُل ِّف ايهَا َم ان يُّ اف‬
‫س ُد ِّف ايهَا َويَ ا‬ ِّ ‫َواِّ اذ َقا َل َربُّكَ ِّل ال َم ٰل ِٕى َك ِّة ِّان اِّي جَا ِّع ٌل فِّى ااْلَ ار‬
٣٠ - َ‫ِّس لَكَ ۗ َقا َل اِّن آِّْي ا َ اعلَ ُم َما َْل ت َ اعلَ ُم اون‬ ُ ‫َونُقَد‬
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadian
khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak

17
dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan
nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS.
Al-Baqarah 2: 30).
Allah SWT. mengetahui dalam penciptaan manusia ini terdapat kemaslahatan yang
lebih besar daripada kerusakan yang dikhawatirkan dan tidak diketahui oleh malaikat. Allah
menjadikan di antara mereka para nabi dan rasul. Dan di antara mereka juga terdapat para
shiddiqun, syuhada’, orang-orang shalih, orang-orang yang taat beribadah, ahli zuhud, para
wali, orang-orang yang dekat dengan Allah, para orang khusyu’, dan orang-orang yang cinta
kepada-Nya serta orang-orang yang mengikuti rasul-Nya.

18
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Sebagai akhir pembahasan, dapat disimpulkan bahwa manusia adalah mahkluk yang
paling mulia dari seluruh ciptaan ALLAH swt ada beberapa potensi yang membuat manusia
lebih unggul :

1. Manusia keturunan Adam as, fisiknya berasal dari tanah, bukan dari hewan.
2. Mempunyai bentuk dan struktur fisik yang relative lebih baik dan sempurna.
3. Memiliki ruh dan jiwa (potensi akal, emosi, kesadaran,dan kemauan.
4. Potensi hidayah (fitrah/instink, indera, akal, agama (wahyu), dan taufik (bimbingan
secara langsung).
5. Diberikan potensi oleh Allah berbuat baik atau berbuat buruk (Asyams[91]:7-8)
6. Diberi amanah sebagai khalifah Allah di muka bumi (QS. Al Baqarah[2]: 30),
kedudukan sebagai hamba Allah (QS. Ad-Dhaariyat[51]:56).
7. Semua yang diciptakan di alam semesta untuk manusia (QS.Al Baqarah[2]: 29 danQS.
Al Baqarah: 29 dan Al a’raf: 179

Untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya dan untuk memanfaatkan serta


mempertahankan keunggulan manusia, mereka hendaklah menyadari akan eksistensi
dirinya di dunia, bahwa pada hakikatnya mereka diciptakan oleh Allah SWT tidak lain ialah
supaya beribadah kepada-Nya (QS. 51: 56) dan menjadi khalifah-Nya (QS. 2:30). Jika
mereka benar-benar telah menyadari, lalu tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian
menjalankan amanah kekhalifahan-Nya sesuai dengan tuntunan-Nya dengan menggunakan
segala potensi dan kemampuan yang ada secara maksimal dan sebaik mungkin, niscaya
manusia akan bahagia hidupnya di dunia dan akhirat serta tinggi derajatnya.

B. Saran
1. Hendaknya kita selalu memperhatikan tentang potensi dan kedudukan kita di dunia,
dengan begitu kita akan benar-benar paham untuk apa kita ( Manusia ) Allah ciptakan
di muka bumi ini.
2. Ayat-ayat tentang potensi dan kedudukan manusia di muka bumi ini sangat penting
untuk sama-sama kita pahami. Agar bisa memberi manfaat terhadap diri kita dan orang
lain.

19
3. Kami penulis dari makalah ini sangat menyarankan. Seluruh pembaca untuk paham
tentang ayat-ayat potensi dan kedudukan manusia di muka bumi ini

20
DAFTAR PUSTAKA

1
Al-Ghazali, Muhammad. 2007. Menikmati Jamuan Allah: Inti Pesan Quran dari Tema ke
Tema Jilid 2. Jakarta: Serambi. h. 40.
Quthb, Sayyid. 2008. Tafsir Fi Zhalalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Jilid 6. Jakarta:
Gema Insani.
Quthb, Sayyid. 2008. Tafsir Fi Zhalalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Jilid 7. Jakarta:
Gema Insani.
Quthb, Sayyid. 2004. Tafsir Fi Zhalalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Jilid 8. Jakarta:
Gema Insani.
Quthb, Sayyid. 2009. Tafsir Fi Zhalalil Qur’an dibawah naungan Al-Qur’an Jilid 11. Jakarta:
Gema Insani.
Al-Ghazali, Muhammad. 2007. Menikmati Jamuan Allah: Inti Pesan Quran dari Tema ke
Tema Jilid 1. Jakarta: Serambi.
Al-Ghazali, Muhammad. 2007. Menikmati Jamuan Allah: Inti Pesan Quran dari Tema ke
Tema Jilid 2. Jakarta: Serambi.
Al-Khalidi, Shalah ‘Abdul Fattah, DR. 2016. Tafsir Ibnu Katsir: Tahdzib wa Tartib Jilid 1.
Jakarta: Maghfirah Pustaka.
Shihab, M. Quraish. 2003. Tafsir Al-Mishbah Volume 4. Jakarta: Lentera Hati.
Zaenal. 2014. “Makalah Tafsir Tarbawi “Potensi Manusia”,
http://munierzero.blogspot.com/2015/07/makalah-tafsir-tarbawi-potensi-
manusia_8.html?m=1, diakses pada 6 November 2021.
Suharsono. 2021. “Tugas dan Kedudukan Manusia di Muka Bumi Menurut Al-Qur’an”,
https://tafsiralquran.id/tugas-dan-kedudukan-manusia-di-muka-bumi-menurut-al-quran/amp/,
diakses pada 14 November 2021.
https://tafsirweb.com/5970-surat-al-muminun-ayat-78.html.

21

Anda mungkin juga menyukai