Anda di halaman 1dari 18

Makalah Tasir Ayat - Ayat Tentang Manusia I ; Tafsir Ayat Segi

Fitrah Manusia dan Segi Kemuliaan

Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Tafsir I

Dosen Pengampu
DR. IDA AFIDAH, DRA., M.AG.

Oleh :
Agnia Karimah (10020220044)
Reza Umami (10020220048)
Fathi Umar Mustaqima (10020219075)

PROGRAM STUDI
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1442 H/2020 M
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu


wa ta'ala yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Tafsir
I dengan judul “Tasir Ayat - Ayat Tentang Manusia I ; Tafsir Ayat Segi Fitrah Manusia
dan Segi Kemuliaan”.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa dan saran. Sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh
karena itu penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang
membangun dari berbagai pihak, akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Bandung, 24 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 3
C. Tujuan.................................................................................................... 4
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Fitrah................................................................................... 5
B. Hubungan Fitrah dengan Pendidikan Islam dalam Al-Qur’an.............. 6
C. Hakikat Manusia dalam Al-qur’an ...................................................... 8
D. Dimensi-Dimensi Hakikat Manusia...................................................... 10
E. Fungsi Kemuliaan Manusia dalam Kehidupan Sosial.......................... 11
BAB III : PENUTUPAN
A. Kesimpulan........................................................................................... 13
B. Saran...................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sangat kompleks sekali,


terbukti dengan beratus bahkan beribu-ribu syaraf dan organ yang ada di dalam
tubuh manusia. Manusia yang tercipta dari tanah itu pun yang kemudian menjadi
pemimpin di bumi. Bahkan sebagai makhluk terbaik (dalam penciptaannya)
dibanding makhluk yang lain seperti hewan, jin bahkan malaikat sekalipun.

Pada tataran ini al Quran juga menegaskan adanya potensi yang dimiliki manusia
sebagai unsur dominan yang sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia dalam
menjalankan tugas dan kedudukannya di muka bumi ini. Potensi tersebut secara
sederhana disebut dengan fitrah.

Apabila kita menelusuri tentang substansi manusia, maka Kita akan


menemukan tiga substansi pokok, yaitu , pertama, substansi material dan kedua
substansi imaterial, dan ketiga substansi fungsional. Secara mateital, manusia
disebut dengan al-Basyar yang ujungnya berakar ke tanah. Sementara dipandang
dari sudut imaterial, manusia terdiri unsur ruhaniah seperti ruh, akal, indra, d1l.
Sedangkan dipandang dari sudut fungsional al-Qur'an menyebut manusia sebagai
abdun atau 'abid yang artinya hamba yang tugasnya mengabdi. Di samping itu
al-Qur'an menyebut sebagai khalifah manusia memiliki potensi dalam
mengembangkan karya dan ilmu.

Dari paparan di atas penulis mencoba membongkar tentang hal-hal yang


berkaitan dengan basic pokok manusia menurut al-Qur'an.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Fitrah?
2. Apa Hubungan Fitrah dengan Pendidikan Islam dalam Al-Qur’an?
3. Apa Hakikat Manusia dalam Al-qur’an ?
4. Bagaimana Dimensi-Dimensi Hakikat Manusia?
5. Bagaimana Fungsi Kemuliaan Manusia dalam Kehidupan Sosial ?

3
C. Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini selain untuk memenuhi tugas dari mata kuliah
tafsir I, makalah ini dibuat dengan tujuan supaya pembaca memahami arti fitrah,
mengenal hubungan fitrah dengan pendidikan islam dalam al – qur’an, mengenal
hakikat manusia dalam al – qur’an, serta fungsi kemuliaan manusia dalam
kehidupan sosial.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fitrah

Dari segi bahasa, kata fithrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti belahan,
dan dari makna ini lahir makna-makna lain, diantaranya “penciptaan” atau “kejadian”.
Konon sahabt Nabi Ibnu Abbas tidak tahu persis makna kata father pada ayat-ayat yang
berbicara tentang penciptaan langit dan bumi sampai ia mendengar pertengkaran tentang
kepemilikan saru sumur. Salah seorang mereka berkata: “Ana fathartuhu”. Ibnu Abbas
kemudian memahami kalimat ini dalam arti, “Saya yang membuatnya pertam kali”. Dan
dari situ beliau memahami bahwa kata ini digunakan untuk penciptaan atau kejadian sejak
awal. Dengan demikian kata Quraish Shihab (1996: 284) Fithrah manusia berarti
kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahirnyaa.
Allah swt berfirman:
‫اس اَل‬ِ َّ‫ٱلدينُ ْٱلقايِ ُم او َٰلا ِك َّن أ ا ْكثا ار ٱلن‬
ِ ‫ٱَّللِ ۚ َٰذ الِكا‬
َّ ‫ق‬ ِ ‫اس اعلا ْي اها ۚ اَل ت ا ْبدِي ال ِلخ ْال‬ ‫ٱَّللِ ٱلَّتِى فا ا‬
‫ط ار ٱلنَّ ا‬ ْ ِ‫ِين احنِيفًا ۚ ف‬
َّ ‫ط ارتا‬ ِ ‫فاأاقِ ْم اوجْ اهكا ِللد‬
‫يا ْعلا ُمونا‬
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. al-
Rum:30)
Merujuk kepada pengertian fitrah di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa maksud
fitrah pada ayat tersebut bahwa manusia sejak asal kejadiannya membawa potensi
beragama yang lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.
Namun demikian, Fitrah manusia tidak terbatas pada fitrah keagaam saja sebagaimana
ayat berikut ini, walaupun tidak menggunakan redaksi fitrah:
‫ض ِة او ْال اخ ْي ِل ْال ُم ا‬
‫س َّو ام ِة او ْاَلا ْن اع ِام‬ َّ ‫ب او ْال ِف‬ ِ ‫س ۤا ِء او ْال اب ِنيْنا او ْالقان‬
‫ااطي ِْر ْال ُم اق ْن ا‬
ِ ‫ط ار ِة ِمنا الذَّ اه‬ ‫الن ا‬
ِ ‫ت ِمنا‬ َّ ‫اس حُبُّ ال‬
ِ ‫ش اه َٰو‬ ِ َّ‫ُز ِينا ِللن‬
ِ ‫ّٰللاُ ِع ْندا ٗه ُح ْسنُ ْال ام َٰا‬
‫ب‬ ُ ‫ث ۗ َٰذلِكا امتاا‬
‫ع ْال اح َٰيوةِ الدُّ ْنياا اۗو ه‬ ِ ‫او ْال اح ْر‬
Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan,
berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk
emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.
(Q.S. Ali Imran ayat 14)
Karena itu cukup mewakili jika Muhammad bin Asyr mendefinisikan fitrah sebagai
bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap mahluk. Fitrah yang berkaitan
5
dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan
jasmani dan akalnya serta ruhaniyahnya. Dengan demikian berjalan dengan kakinya adalah
fitrah jasadiahnya manusia, menarik kesimpulan melalui premis-premisnya adalah fitrah
akliahnya. Senang menerima nikmat dan sedih bila ditimpa musibah juga adalah fitrahnya.

B. Hubungan Fitrah dengan Pendidikan Islam dalam Al-Qur’an


Manusia dalam pandangan Islam adalah khalifah Allah di muka bumi. Sebagai duta
Tuhan, dia memiliki karakteristik yang multidimensi, yakni pertama, diberi hak untuk
mengatur alam ini sesuai kapasitasnya. Dalam mengemban tugas ini, manusia dibekali
wahyu dan kemampuan mempersepsi, kedua, dia menempati posisi terhormat di antara
makhluk Tuhan yang lain. Anugerah ini diperoleh lewat kedudukan, kualitas dan kekuatan
yang diberikan Tuhan kepadanya, ketiga, dia memiliki peran khusus yang harus dimainkan
di planet ini, yaitu mengembangkan dunia sesuai dasar dan hukum-hukum yang ditetapkan
oleh Tuhan.[1] Potensi akal secara fitrah mendorong manusia memahami simbol-simbol,
hal-hal yang abstrak, menganalisa, memperbandingkan maupun membuat kesimpulan dan
akhirnya memilih maupun memisahkan yang benar dan salah.[2] Di samping itu menurut
Jalaluddin, akal dapat mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan
kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan kemampuan akalnya mampu menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi, mengubah serta merekayasa lingkungannya, menuju
situasi kehidupan yang lebih baik, aman dan nyaman.[3]
Sebelum terlalu jauh kita mengulas tentang hubungan konsep fitrah dan
hubungannya dengan pendidikan Islam ada baiknya kita telusuri terlebih dahulu tujuan dari
pendidikan Islam secara umum. Secara general tendensi dari pendidikan Islam itu sendiri
adalah mengetahui hakikat kemanusiaan menurut Islam, yakni nilai-nilai ideal yang
diyakini serta dapat mengangkat harkat dan martabat manusia. Sementara Achmadi
meletakkan keterangan tujuan Pendidikan Islam dalam “tiga karakteristik” yakni
tujuan tertinggi/akhir, tujuan umum, tujuan khusus.[4] Tujuan tertinggi adalah bersifat
mutlak, tidak mengalami perubahan karena sesuai dengan konsep Ilahi yang mengandung
kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi/akhir ini pada dasarnya sesuai dengan
tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah. Salah satu prilaku itu identitas
Islami itu sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai prilaku manusia yang didasari
atau dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang
harus ditaati. Tujuan selanjutnya adalah tujuan umum yang berbeda substansinya dengan
tujuan pertama yang cenderung mengarah kepada nilai filosofis. Tujuan ini lebih bersifat
6
empiric. dan realistic. Ahmad tafsir mengemukakan tujuan umum bersifat tetap, berlaku di
sepanjang tempat, waktu, dan keadaan. Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang taraf
pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian
subjek didik, sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah pribadi yang utuh.
Itulah yang disebut realisasi diri (self realization).[5] Sementara tujuan khusus merupakan
pengkhususan atau operasionalisasi tujuan tertinggi/akhir dan tujuan umum pendidikan
Islam. Tujuan khusus bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan
dimana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka
tujuan tertinggi/akhir dan umum itu Pengkhususan tujuan pendidikan Islam tersebut
menurut Achmadi didasarkan pada: kultur dan cita-cita suatu bengsa dimana pendidikan
itu diselenggarakan, minat, bakat, dan kesanggupan subjek didil; dan tuntunan situasi,
kondisi pada kurun waktu tertentu.[6]
Konsep fitrah dalam hubungannya dengan pendidikan Islam mengacu pada tujuan
bersama dalam menghadirkan perubahan tingkah laku, sikap dan kepribadian setelah
seseorang mengalami proses pendidikan. Menjadi masalah adalah bagaimana sifat dan
tanda-tanda (indikator) orang yang beriman dan bertaqwa. Maka konsep fitrah terhadap
pendidikan Islam dimaksudkan di sini, bahwa seluruh aspek dalam menunjang seseorang
menjadi menusia secara manusiawi adanya penyesuaian akan aktualisasi fitrah-nya yang
diharapkan, yakni pertama, konsep fitrah mempercayai bahwa secara alamiah manusia itu
positif (fitrah), baik secara jasadi, nafsani (kognitif dan afektif) maupun ruhani (spiritual).
Kedua, mengakui bahwa salah satu komponen terpenting manusia adalah qalbu. Perilaku
manusia bergantung pada qalbunya. Di samping jasad, akal, manusia memiliki qalbu.
Dengan qalbu tersebut manusia dapat mengetahui sesuatu (di luar nalar) berkecenderungan
kepada yang benar dan bukan yang salah (termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran),
dan memiliki kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa.[7]
Menghubungkan keterangan ini secara ilmiah dengan adanya teori pendidikan
Islam maka secara disiplin ilmu merupakan konsep pendidikan yang mengandung berbagai
teori yang dapat dikembangkan dari hipotesa-hipotesa yang bersumber dari al-Qur’an
maupun hadits baik dari segi sistem, proses, dan produk yang diharapkan mampu
membudayakan umat manusia agar bahagia dan sejahtera dalam hidupnya. Inilah yang
disebut secara implikasi konsep fitrah kecenderungan peserta didik pada yang benar dalam
memiliki secara pendekatan ilmiah kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa. Sedang
pendidikan bila diberikan pengertian dari al-Qur’an maka kalangan pemikir pendidikan

7
Islam meletakkan pada tiga karakteristik di antaranya rabb, ta’lim, ta’dib dimaksud dalam
al-Qur’an.
Dari ketiga kata tersebut, Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqy dalam bukunya al-
Mu’jam al Mufahras li Alfadz al-qur’an al-Karim telah menginformasikan bahwa di dalam
al-Qur’an kata Tarbiyah dengan berbagai kata yang serumpun dengan diulang sebanyak
lebih dari 872 kali.[8] Kata tersebut berakar pada kata rabb. Kata ini sebagaimana dikutip
oleh Abuddin Nata dari al-Raghib al-Ashfahany, pada mulanya berarti al-Tarbiyah yaitu
insy al-syaihalan fa halun ila hadd al-tamam yang artinya mengembangkan atau
menumbuhkan sesuatu setahap demi tahap sampai pada batas yang
sempurna. (Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi : 1988)

C. Hakikat Manusia dalam Al-Qur’an


Pembicaraan tentang hakikat manusia pada dasarnya membicarakan persoalan yang
selalu menarik untuk dibicarakan karena tidak pemah habis selama manusia masih berpikir.
Pembicaraan pada-dasarnya membabas pokok persoalan yang bersifat radikal, yaitu
berusaha menemukan akan pengertian manusia yang mungkin saja melewati batas-batas
pengertian yang hanya menekan pada salah satu aspek kehidupannya. Seperti yang terdapat
dalam kajian berbagai disiplin ilmu, umpamanya antropologi, sosiologi, biologi dan
psikologi. Hakikat manusia adalah sesuatu yang amat vital yang menemukan kehidupannya
di tengah kancah kehidupan sosial.[9]
Prof Dr. M. Quraish Shihab telah mengutip pendapat Dr. A. Carrel dalam bukunya
Man The Unknown yang menjelaskan tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui
hakikat manusia. Dia mengatakan bahwa pengetahuan tentang makhluk-makhluk hidup
secara umum dan manusia khususnya belum mencapai kemajuan, seperti yang telah dicapai
dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya.[10]
Kesukaran itu menurut Quraish Shihab disebabkan oleh tiga hal yaitu:
1. Pembahasan tentang masalah manusia terlambat dilakukan karena pada mulanya perhatian
manusia hanya tertuju pada penyelidikan alam.
2. Ciri khas akal manusia yang lebih cenderung memainkan hal-hal yang tidak kompleks
3. Multikompleksnya masalah manusia
Namun demikian, Pencarian hakikat manusia ini akan melahirkan kesadaran bahwa
dirinya memiliki asal yang sangat terkait dengan unsur-unsur manusia itu sendiri.
Upaya pencarian hakikat manusia tidak cukup berhenti pada suatu pandangan untuk
menjelaskan tentang unsur pokok yang secara internal ada di dalam dirinya atau pun ada
8
pada apa yang dimilikinya yang sesungguhnya bersifat eksternal. Untuk itu, diperlukan
sandaran pemikiran yang lebih mendasar guna memahami dan menentukan hakikat
manusia itu, yaitu suatu sandaran yang dapat membawa ke arah pemahman yang lebih
mendasar dan berada pada tingkat yang lebih tinggi dari hasil pemikiran manusia (ilmu
dan filsaftat). Sandaran yang dimaksud lebih tinggi dan lebih kuat dari sekadar hasil
pemikiran manusia itu adalah firman-firman Tuhan (wahyu ilahi)[11]
Konsep manusia dalam Islam, diambil dari ayat al-Qur’an dan Hadits. Menurut
surat al- Mu'minun ayat 12-16, manusia diptakan Allah dari intisari tanah yang dijadikan
nuhtfah dan disimpan di tampat yang kokoh. Kemudian nuthfah itu dijadikan darah beku,
darah beku Itu dijadian mudghah,, mudghah dijadikan tulang, tulang yang dibalut dengan
daging dan kemudian dijadikan Allah makhluk lain. Surat as-Sajdah ayat 7-9 selanjutnya
menjelaskan bahwa setelah kejadian manusia dalam kandungan mengambil bentuk,
ditiupkanlah ruh oleh Allah Swt. ke dalamnya dan dijadikannya pendenganran,
penglihatan, dan perasaan. Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim menyatakan
bahwa ruh dihembuskan Allah Swt ke dalam janin setelah ia mengalami perkembangan 40
hari nuthfah, 40 hari darah beku, dan 40 ha ri mudhgah.[12]
Berdasarkan ayat dan hadits tersebut di atas, jelas bahwa manusia terdiri dari dua
unsur, macam dan material, jasmani dan ruhani. Pembicaraan mengenai kedua unsur ini
sangat menarik karena banyak istilah dan pendapat yang dikemukakan para ilmuwan.
Prof Dr. Harun Nasution misalnya menjelaskan tentang kedua unsur manusia itu
dengan jelas. menurutnya manusia tersusun dari unsur materi yaitu tubuh yang mempunyai
hayat dan unsur imateri yaitu ruh yang mempunyai dua daya: daya rasa di dada dan daya
pikir di kepala. Daya rasa jika diasah dengan baik, mempertajam hati nurani, daya pikir
jika dilatih mempertajam penalaran.[13]
Senada dengan pendapat Harun Nasution, Dr. H. Afif Muhammad [14]
berpendapat bahwa hakikat substansi manusia terdiri dari dua unsur yaitu : unsur bawah
dan unsur atas. Unsur bawah yang dimaksud adalah tanah, jasad (turab, basyor) Sedangkan
unsur atas adalah ruh yang dimasukan ke janin.[15]
Dengan demikian, Apabila kita menghubungkan ayat dan hadits juga pendapat--
pendapat di atas dengan QS. adz-Dzaari ayat: 56, maka kita dapat mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk Allah yang terdiri unsur jasmani dan ruhani yang berkewajiba
untuk mengabdi (lbadah).
D. Hakikat Manusia dan Kemuliaan

9
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini.
Allah menjadikan manusi khalifah di bumi sebab manusia mempunyai kecenderungan dengan
Allah SWT. dan mendudukan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya berupa jasmani dan
rohani. Al-Qur'an memberi acuan konseptual yang sangat mapan dalam memberi pemenuhan
kebutuhan jasmani dan ruhani agar manusia berkembang secara wajar dan baik. Al-Qur'an
memberi keterangan tentang manusia dari banyak seginya. Berangkat dari tujuan diciptakan
manusia untuk taat dan patuh pada-Nya, melalui ajaran – ajaran agama yang diberikan yaitu
Islam. Ajaran Islam diyakini mampu membawa dan menuntun manusia untuk mendekatkan
diri kepada Allah dan membimbing manusia kepada jalan yang lurus.
Seiring berjalannya waktu tibalah manusia pada zaman modern, zaman yang
ditandai dengan dua hal, yaitu (1) penggunaan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan
manusia, dan (2) berkembangnya ilmu pengatahuan sebagai wujud dari kemajuan intelektual
manusia. Jadi manusia modern adalah manusia yang berpikir logis dan mampu menggunakan
berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Melalui kecerdasan dan
bantuan teknologi, manusia seharusnya lebih bijak dan arif, tetapi kenyataannya banyak
manusia yang memiliki kearifan yang tidak sepadan dengan kemajuan berfikir dan teknologi
yang dicapainya.
Akibatnya kemuliaan manusia juga semakin rendah. Kemuliaan manusia yang
rendah membuatnya bertindak di luar kemanusiaan, dengan menghalalkan segala cara demi
memenuhi keinginannya. Begitu banyak kejadian yang terjadi di sekitar kita yang
dilatarbelakangi oleh lemahnya pemahaman akan pentingnya menjaga kualitas kemuliaan
manusia, misalnya perampokan, bunuh diri, korupsi, pecelehan seksual, aliran sesat, dan
konflik antar agama, suku dan ras. Realitas Ini menunjukkan bahwa manusia sudah kehilangan
kemuliaan, dan memposisikan martabatnya sederajat dengan binatang. Manusia tidak lagi
memiliki waktu yang cukup untuk melakukan refleksi tentang eksistensi diri, bahkan manusia
cenderung mudah letih jasmani dan rohani serta letih mental. Sebagaimana firman Allah SWT
Q.S Ar-Rum : 41 : ‫ي اع ِملُ ْوا لاعالَّ ُه ْم يا ْر ِجعُ ْونا‬
ْ ‫ض الَّ ِذ‬ ْ ‫ساد ُ فِى ْالبا ِر او ْالباحْ ِر بِ اما اك اس اب‬
ِ َّ‫ت ا ا ْيدِى الن‬
‫اس ِليُ ِذ ْيقا ُه ْم با ْع ا‬ ‫ظ اه ار ْالفا ا‬
‫ا‬
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Kemuliaan manusia (karāmah insāniah) adalah amanah dan anugerah yang
diberikan oleh Allah SWT. sebagai panduan dalam meniti kehidupan yang rukun dan damai
dalam bermasyarakat. Sejarah bangsa Arab sebelum Islam datang menjadi pelajaran bahwa,
sebuah peradaban yang tidak berprikemanusiaan dalam tatanan kehidupan. Seperti :
10
pembunuhan, perzinahan dan penyembahan patung-patung yang tak berdayat, tidak saja
bertentangan dengan nilai kemuliaan manusia yang terkandung dalam al-Qur’an, tetapi juga
efek kerusakan dalam kehidupan sosial. Surah al- Isra’ ayat 70 memiliki kandungan (makna)
tentang kemuliaan manusia yang sangat dalam.
Di antara kandungan yang terdapat di dalamnya adalah ajaran bahwa umat manusia
agar senantiasa menjaga kehormatan antar sesama manusia, senantiasa bersyukur terhadap
karunia yang diberikan Allah swt, dan menjunjung tinggi amanah yang diberikan Allah SWT
sebagai makhluk yang mulia di antara makhluk lainnya. Sisi lain yang menarik dari ayat
adalah ajaran yang dikandungnya menjadi rujukan dan pedoman hidup bagi manusia ditengah
meraknya peristiwa-peristiwa kekerasaan yang cenderung mengabaikan kemuliaan manusia.

E. Fungsi Kemuliaan Manusia dalam Kehidupan Sosial


Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa di antara kemuliaan yang diberikan Tuhan kepada
manusia adalah adanya potensi kekhalifahan di muka bumi. Sebagaimana firman-Nya:
ۤ
‫الد ام ۤا ۚ اء اوناحْ نُ نُ ا‬
‫سبِ ُح‬ ِ ‫اواِذْ قاا ال اربُّكا ِل ْل ام َٰل ِٕى اك ِة ِانِ ْي اجا ِع ٌل فِى ْاَلا ْر‬
ِ ُ‫ض اخ ِل ْيفاةً ۗ قاالُ ْْٓوا ااتاجْ عا ُل فِ ْي اها ام ْن ُّي ْف ِسد ُ فِ ْي اها اويا ْس ِفك‬
‫ِس لاكا ۗ قاا ال اِنِ ْْٓي اا ْعلا ُم اما اَل تا ْعلا ُم ْونا‬
ُ ‫بِ اح ْمدِكا اونُقاد‬
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak
menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang
yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan
menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.”
Ayat di atas dipahami sebagai salah satu informasi kemuliaan yag diberikan
Tuhan, sehingga manusia berkewajiban menjaga kemuliaan itu. Sebagai seorang
khalifah, manusia berkewajiban menjaga kelestarian alam dan kehidupan masyarakat
secara umum. manusia diberikan kekhalifaan untuk menjaga kemakmuran dan kelestarian
bumi (darat dan laut), karena manusia berkemampuan untuk menyusun konsep-konsep,
menciptakan dan mengemukakan gagasan, serta melaksanakannya.
Karena itulah, fungsi kemuliaan manusia ditinjau dari aspek khalifahnya, di antaranya
adalah:
Manusia berkewajiban menjaga kesinambungan segala sesuatu yang ada di alam ini.
Mereka tidak boleh melakukan kerusakan yang dapat mengganggu kelestarian alam.
Inilah makna dari firman Allah ‚janganlah kalian melakukan kerusakan di muka bumi
setelah dilakukan perbaikan di sana‛.

(1) Manusia juga berkewajiban untuk mewujudkan hidup ini penuh dengan pengabdian
11
kepada Allah, sebab itulah yang diandalkan para malaikat ketika Allah
menginformasikan bahwa Dia akan menciptakan khalifah di muka bumi. Tapi ternyata
‚kritikan‛ para malaikat itu dibantah oleh Tuhan dengan pernyataannya.
Kemudian kemuliaan yang kedua sebagaimana disebutkan di atas adalah adanya
hak atau potensi untuk mendapatkan rezki yang baik. Oleh karena itu, sebagai wujud
aksiologi atas potensi itu adalah manusia mesti memanfaatkan rezeki yang diberikan
Tuhan untuk pemberdayaan kehidupan social yang lebih baik. Apatah lagi di dalam al-
Qur’an, banyak ayat yang menunjukkan cara penyaluran rezeki tersebut sebagai wujud
syukur atas nikmat yang diberikan Tuhan.
Manusia diperintahkan Allah SWT. untuk menceri rezeki bukan hanya untuk
mencukupi kebutuhannya, tetapi al-Qur’an memerintahkan untuk mencari apa yang
diisthilahkan fadhllAllah, yang secara harfiah berarti ‚kelebihan yang bersumber dari
Allah ‛. salah satu ayat yang menunjukkan ini adalah:
‫ّٰللاا اك ِثي ًْرا لَّ اعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح ْونا‬
‫ّٰللاِ اواذْ ُك ُروا ه‬ ِ ‫ص َٰلوة ُ فاا ْنتاش ُِر ْوا فِى ْاَلا ْر‬
ْ ‫ض اوا ْبتاغُ ْوا ِم ْن فا‬
‫ض ِل ه‬ َّ ‫ت ال‬ ِ ُ‫فا ِاذاا ق‬
ِ ‫ض اي‬
Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.
Kelebihan tersebut dimaksudkan antara lain agar yang memperoleh dapat
melakukan ibadah secara sempurna serta mengulurkan tangan bantuan kepada pihak lain
yang oleh karena satu dan lain sebab tidak berkucupan.
Selanjutnya kemuliaan yang ketiga adalah keutamaan manusia atas mahkluk lain.
Perbedaan yang sangat mendasar antara ,manusia dan makhluk lainnya terletak pada iman
dan ilmu (sains) yang merupakan kreteria manusia. refleksi dari keutamaan manusia atas
makhluk lain harus dibuktikan dengan memanusiakan manusia itu sendiri. Kemanusian
manusia sebagai mahkluk social mampu mengelolah alam sekitarnya dengan menejeman
yang baik.
Dengan nilai-nilai yang melekat pada diri manusia, maka diharapkan dapat
memberikan kepadanya suatu kemuliaan yang tinggi yaitu martabat kemanusiaan. Suatu
martabat terhormat dengan jaminan- jaminan perlindungann hukum dan terhormat pula
dengan penungasan yang bertanggun jawab untuk meningkatkan dan menyempurnakan
nilai diri dan nilai hidupnya.

12
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. Merujuk kepada pengertian fitrah di
atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa maksud fitrah pada ayat tersebut bahwa
manusia sejak asal kejadiannya membawa potensi beragama yang lurus, dan
dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.
Manusia dalam pandangan Islam adalah khalifah Allah di muka bumi.
Sebagai duta Tuhan, dia memiliki karakteristik yang multidimensi, yakni pertama,
diberi hak untuk mengatur alam ini sesuai kapasitasnya. Salah satu prilaku itu
identitas Islami itu sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai prilaku
manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Allah sebagai
sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Maka konsep fitrah terhadap
pendidikan Islam dimaksudkan di sini, bahwa seluruh aspek dalam menunjang
seseorang menjadi menusia secara manusiawi adanya penyesuaian akan aktualisasi
fitrah-nya yang diharapkan, yakni pertama, konsep fitrah mempercayai bahwa
secara alamiah manusia itu positif , baik secara jasadi, nafsani maupun ruhani .
Namun demikian, Pencarian hakikat manusia ini akan melahirkan
kesadaran bahwa dirinya memiliki asal yang sangat terkait dengan unsurunsur
manusia itu sendiri. Upaya pencarian hakikat manusia tidak cukup berhenti pada
suatu pandangan untuk menjelaskan tentang unsur pokok yang secara internal ada
di dalam dirinya atau pun ada pada apa yang dimilikinya yang sesungguhnya
bersifat eksternal. Untuk itu, diperlukan sandaran pemikiran yang lebih mendasar
guna memahami dan menentukan hakikat manusia itu, yaitu suatu sandaran yang
dapat membawa ke arah pemahman yang lebih mendasar dan berada pada tingkat
yang lebih tinggi dari hasil pemikiran manusia . Menurut surat al Mu'minun ayat
1216, manusia diptakan Allah dari intisari tanah yang dijadikan nuhtfah dan
disimpan di tampat yang kokoh.
Seperti yang dikatakan Prof Dr. Harun Nasution menurutnya manusia
tersusun dari unsur materi yaitu tubuh yang mempunyai hayat dan unsur imateri
yaitu ruh yang mempunyai dua daya: daya rasa di dada dan daya pikir di kepala.
Daya rasa jika diasah dengan baik, mempertajam hati nurani, daya pikir jika dilatih
mempertajam penalaran.
13
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka
bumi ini. Allah menjadikan manusi khalifah di bumi sebab manusia mempunyai
kecenderungan dengan Allah SWT. dan mendudukan manusia sebagai makhluk
ciptaan-Nya berupa jasmani dan rohani. Al-Qur'an memberi acuan konseptual yang
sangat mapan dalam memberi pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruhani agar
manusia berkembang secara wajar dan baik. Jadi manusia modern adalah manusia
yang berpikir logis dan mampu menggunakan berbagai teknologi untuk
meningkatkan kualitas kehidupannya. Melalui kecerdasan dan bantuan teknologi,
manusia seharusnya lebih bijak dan arif, tetapi kenyataannya banyak manusia yang
memiliki kearifan yang tidak sepadan dengan kemajuan berfikir dan teknologi yang
dicapainya.
Akibatnya kemuliaan manusia juga semakin rendah. Sebagaimana firman Allah
ْ ‫ض الَّ ِذ‬
SWT Q.S Ar-Rum : 41 : ‫ي اع ِملُ ْوا‬ ِ َّ‫ت ا ا ْيدِى الن‬
‫اس ِليُ ِذ ْي اق ُه ْم اب ْع ا‬ ‫ساد ُ فِى ْالبا ِر او ْالباحْ ِر ِب اما اك ا‬
ْ ‫سبا‬ ‫ظ اه ار ْالفا ا‬
‫ا‬
‫«لا اعلَّ ُه ْم اي ْر ِجعُ ْونا‬Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena
perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
perbuatan mereka, agar mereka kembali ».
Kemuliaan manusia adalah amanah dan anugerah yang diberikan oleh Allah
SWT. sebagai panduan dalam meniti kehidupan yang rukun dan damai dalam
bermasyarakat.

dan sebagaimana yang disebutkan tadi, bahwa di antara kemuliaan yang diberikan
Tuhan kepada manusia adalah adanya potensi kekhalifahan di muka bumi.
Sebagaimana firman-Nya:

ۤ
‫الد ام ۤا ۚ اء اوناحْ نُ نُ ا‬
‫س ِب ُح‬ ِ ‫اواِذْ قاا ال اربُّكا ِل ْل ام َٰل ِٕى اك ِة ِانِ ْي اجا ِع ٌل فِى ْاَلا ْر‬
ِ ُ‫ض اخ ِل ْيفاةً ۗ قاالُ ْْٓوا ااتاجْ اع ُل فِ ْي اها ام ْن يُّ ْف ِسدُ فِ ْي اها اويا ْس ِفك‬
‫ِس لاكا ۗ قاا ال ا ِِن ْْٓي اا ْعلا ُم اما اَل تا ْع ال ُم ْونا‬
ُ ‫ِب اح ْمدِكا اونُقاد‬
Ayat di atas dipahami sebagai salah satu informasi kemuliaan yag diberikan
Tuhan, sehingga manusia berkewajiban menjaga kemuliaan itu. Sebagai seorang
khalifah, manusia berkewajiban menjaga kelestarian alam dan kehidupan
masyarakat secara umum. manusia diberikan kekhalifaan untuk menjaga
kemakmuran dan kelestarian bumi. Karena itulah, fungsi kemuliaan manusia
ditinjau dari aspek khalifahnya, salah satunya adalah: Manusia diperintahkan Allah
SWT. untuk menceri rezeki bukan hanya untuk mencukupi kebutuhannya, tetapi al-
Qur’an memerintahkan untuk mencari apa yang diisthilahkan fadhllAllah, yang
14
secara harfiah berarti ‚kelebihan yang bersumber dari Allah ‛. salah satu ayat yang
menunjukkan ini adalah:

‫ّٰللاا اك ِثي ًْرا لَّ اعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح ْونا‬


‫ّٰللاِ اواذْ ُك ُروا ه‬ ِ ‫ص َٰلوة ُ فاا ْنتاش ُِر ْوا ِفى ْاَلا ْر‬
ْ ‫ض اوا ْبتاغُ ْوا ِم ْن فا‬
‫ض ِل ه‬ َّ ‫ت ال‬ ِ ُ‫فا ِاذاا ق‬
ِ ‫ض اي‬
Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.

B. Saran
Berdasarkan beberapa pemaparan yang telah disampaikan di atas,
diharapkan pembaca dapat lebih memahami tentang tafsir ayat dari segi fitrah
manusia dan dalam segi kemuliaannya. Sehingga, pembaca dapat mengambil hal-
hal posotif dari pemaparannya.

15
DAFTAR PUSTAKA
[1] Rif’at Syauqi Op. Cit., h. 67
[2] Muin Salim, Konsepsi Politik dalam al-Qur’an (LSIK & Rajawali Press, Jakarta, 1994),
h. 25
[3] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris, (Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2005), h. 123
[4] Ibid
[5] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Remaja Rosdakarya,cet. VII,
Bandung, 2007), h. 154
[6] Acmadi, Loc. Cit
[7] Mujib, Op. Cit., h. 51
[8] Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, 1988, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-
Karim, (Dar al-Hadits, al-Qahiroh, 1998), h.237
[9] Syahidin, metode Pendidikan Qurani: Teori dan Aplikasi. (Jakarta: misaka Gazila
1999), cet ke-1 h. 27
[10] M. Quraish Shihab, wawasan Quran, (Bandung Mizan, 1996) cet. Ke-1, hal 277
[11] Syahidin, op. Cit h. 28
[12] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), cet ke-1, hal 37.
[13] Harun Nasution, op, cit. hal 38.
[14] Dr. H. Afif Muhammad, MA. Adalah mantan ketua jurusan Tafsir Hadis pada Fakultas
Ushuluddin dan sekarang menjabat sdebagai Asisten Direktur 1 pasca Sarjana IAIN
“SGD” Bandung.
[15] Sari tulisan wawancara dengan mantan Ketua Tafsir Hadist, Dr. H. Afif Muhammad,
MA. Oada tanggal 8 maret 2004.

16

Anda mungkin juga menyukai