Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


Tentang
KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAH PENDIDIKAN
ISLAM

DISUSUN OLEH KELOMPOK 2:


1. SRI UTAMI
2. DEDIANSYAH
3. SITRA YULIARNIS
4. RIFA YANTI
5. SYAKILA AZ ZAHRA
6. RAHMI YOLANDA

DOSEN PENGAMPU:
NOVIALDI, S.Ag, M.Pd
NIDN. 2112057104

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


JURUSAN TARBIYYAH
STAI - YAPTIP PASAMAN BARAT
1443 H / 2022 M
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum Wr.Wb
Alhamdulillah, Puji syukur kepada Allah Yang Maha Esa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayah – Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana dengan judul
Konsep Manusia dalam Perspektif Filsafah Pendidikan Islam. Semoga makalah
ini dapat di pergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk, maupun pedoman bagi
pembacanya. Sekaligus sebagai salah satu syarat dalam mensukseskan perkulliahan
dengan bapak Dosen Novialdi, S.Ag, M.Pd
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu kiranya penulis dengan ketulusan hati
mengucapkan terima kasih kepada Pembimbing Mata Kulliah Filsafat Pendidikan
Islam yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis
juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak, yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi perbaikan laporan selanjutanya. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Wassalamu alaikum Wr.Wb

Simpang Empat, 29 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Batasan Masalah........................................................................................... 1
C. Tujuan .......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 2
A. Proses penciptaan manusia ....................................................................... 2
B. Tujuan Penciptaan Manusia ..................................................................... 5
C. Term Manusia dalam Al-qur’an ............................................................... 6
D. Potensi Manusia........................................................................................ 8
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 11
A. Kesimpulan ................................................................................................ 11
B. Saran........................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 12

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dan pendidikan merupakan hal utama dan pertama dalam peran
manusia untuk terus hidup dan memakmurkan dunia ini. Sehingga di dalam
ruang lingkup filsafat Pendidikan adalah semua aspek yang berhubungan
dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu
sendiri, yang berhubungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan yang
baik dan bagaimana tujuan pendidikan itu dapat tercapai seperti yang dicita-
citakan. Inilah yang kemudian manusia terus berupaya untuk mengembangkan
pengetahuannya melalui pendidikan dari generasi ke generasi.
Dalam keilmuan pendidikan ada 4 (Empat) bagian pokok pendidikan
yang penting dikaji dan dipelajari, yaitu Proses penciptaan manusia, Tujuan
Penciptaan manusia, Term manusia dalam Al-qur’an, dan Potensi Manusia.
Oleh karena itu, melihat urgensinya manusia dan pendidikan ini maka hal
tersebut melatar belakangi kami untuk membahas dalam makalah Konsep
Manusia dalam Filsafah Pendidikan Islam ini. Sebab.
B. Batasan Masalah
1. Bagaimanakah Proses penciptaan manusia?
2. Bagaimanakah Tujuan Penciptaan manusia?
3. Bagaimanakah Term manusia dalam Al-qur’an?
4. Apa sajakah Potensi Manusia?
C. Tujuan
1. Menjelaskan tentang Proses penciptaan manusia
2. Menjelaskan tentang Tujuan Penciptaan manusia
3. Menjelaskan tentang Term manusia dalam Al-qur’an
4. Menjelaskan tentang Potensi Manusia

1
2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses penciptaan manusia
Kata “manusia” merupakan istilah dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa
Inggris, kata “manusia” disepadankan dengan kata “man” dan “human”.
dalam bahasa Arab istilah “manusia” secara sederhana disepadankan dengan
kata “basyar”, “insan”, dan “nas”. Dalam konteks bahasa
Indonesia, “manusia” diartikan sebagai ‘makhluk yang berakal budi atau
mampu menguasai makhluk lain’.1 Tetapi para filsuf mempunyai pemikiran
bahwa manusia dalah makhluk yang berpikir atau dalam bahasa filsuf muslim,
manusia disebut sebagai al-hayawan al-nathiq. Hal ini dikaitkan dengan
penggunaan logika sebagai paradigma berpikir.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari sari pati tanah, maksudnya proses
kejadian manusia itu berasal dari sari pati tanah yang menghasilkan berbagai
jenis makanan yang kemudian dikonsumsi oleh manusia. Hal ini diterangkan
dalam Al- Qur’an surat Al–Mu’minun ayat 12-14:

ْ ِ ً‫( ُُثَّ َج َع ْلنٰهُ نُطْ َفة‬12) ‫ي‬


‫ِف قَ َرا ٍر‬ ٍ ْ ‫سا َن ِم ْن ُس ٰللَ ٍة ِم ْن ِط‬ ِ
َ ْ‫َولََق ْد َخلَ ْقنَا ْاْلن‬
‫ضغَةً فَ َخلَ ْقنَا‬ ْ ‫( ُُثَّ َخلَ ْقنَا النُّطْ َفةَ َعلَ َقةً فَ َخلَ ْقنَا ال َْعلَ َقةَ ُم‬13) ۖ ‫ي‬ ٍ ْ ِ‫َّمك‬
ٰ ‫شأْنٰهُ َخ ْل ًقا اٰ َخ َۗر فَتَ بَ َار َك‬
ُ‫اّلل‬ َ ْ‫س ْوََن الْعِظٰ َم ََلْ ًما ُُثَّ اَن‬ ٰ ِ ْ ‫ال ُْم‬
َ َ ‫ضغَةَ عظ ًما فَ َك‬
َۗ ِِ
(14) ‫ي‬ َ ْ ‫اْلَالق‬
ْ ‫س ُن‬ َ ‫اَ ْح‬
Artinya: "Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati
(berasal) dari tanah." (12). "Kemudian Kami menjadikannya air mani
(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim)." (13).
"Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu
sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami
menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah,
Pencipta yang paling baik."(14). (Q.S. Al–Mu’minun ayat 12-14).

1
Rudi Ahmad Suryadi, Dimensi-Dimensi Manusia: Perspektif Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: Deepublish. 2015), hlm. 1.

2
3

Ketika Allah akan menjadikan Adam, Allah berfirman kepada malaikat,


sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30:
ٰۤ
ِ ِ ِ
ِ ‫ْمل ِٕى َكةِ ِاّنْ َجاع ٌل ِِف ْاْلَ ْر‬
‫ض َخلْي َفةً َۗ قَالُْْٓوا اَََتْ َع ُل‬ ٰ ِ َ ُّ‫ال رب‬ ِ
َ ‫ك لل‬ َ َ َ‫َوا ْذ ق‬
‫س‬ ِ ‫الدم ٰۤا َۚء وََْنن نُسبِح ِِبم ِد َك ونُ َق‬ ِ ُ ‫فِْي َها من يُّ ْف ِس ُد فِْي َها ويس ِف‬
ُ َ َْ ُ َ ُ َ َ َ ‫ك‬
‫د‬ ْ ََ َْ
‫ال اِِّنْْٓ اَ ْعلَ ُم َما َْل تَ ْعلَ ُم ْو َن‬
َ َ‫َك َۗ ق‬
َ‫ل‬
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"
Demikian kecemasan para malaikat yang dinyatakan Allah kepada kita,
bahwa malaikat itu takut jika mereka (manusia) nantinya menjadi hamba Allah
yang suka dengan melakukan kemaksiatan. Kekhawatiran malaikat itu menjadi
hilang, setelah mendapat penjelasan dari Allah, bahwa Allah yang lebih
mengetahui dari apa yang tidak diketahui oleh hamba-Nya. Dalam proses nabi
Adam ketika Allah hendak menciptakannya untuk menegakkan kekhalifahan
dibumi ini, para malaikat mengajukan protes serta berbagai pertanyaan-
pertanyaan tentang penciptaan nabi Adam tersebut seperti yang telah
dipaparkankan pada surat Al-Baqarah ayat 30 di atas.

Hal ini menjadikan suatu hal yang memang sudah jelas dinyatakan dalam
kitab Al-Qur’an dan disitu timbul perdebatan antara Allah dengan para
malaikat. Tidak semudah yang kita bayangkan seperti dalam lafad “Kun
Fayakun”. Jika ditinjau lebih dalam, ternyata proses penciptaan nabi adam, itu
lebih rumit dan menimbulkan kisah yang panjang dibandingkan dengan proses
penciptaan nabi Isa ‘Alaihi Sallam.

Mengenai hakikat manusia, Muhmidayeli (2011: 43-60) menyebutkan


beberapa tokoh filsafat yang memberikan pandangan mengenai manusia, antara
lain sebagai berikut:
4

1. Plato: Manusia sebagai pribadi yang tidak terbatas pada saat bersatunya
jiwa dengan raga. Manusia lahir ke dunia telah membawa ide
kebaikan (innate idea).
2. Aristoteles: Manusia adalah makhluk organis yang fungsionalisasinya
tergantung pada jiwanya.
3. Rene Descartes (1596-1650): Hakikat manusia ada pada aspek
kesadaran yang eksistensinya ada pada daya intelek sebagai hakikat
jiwa.
4. Schopenhauer (1788-1860): Kesadaran dan intelek hanyalah
permukaan jiwa kita, di bawah itu ada kehendak yang tidak sadar.
Kehendak adalah suatu kekuatan yang menggerakkan intelek itu untuk
dirinya. Kehendak dapat mengakibatkan hidup tertekan dan merupakan
penderitaan, maka perlu kebijaksanaan. Selanjutnya banyak ahli yang
terpancing untuk membicarakan tentang kesadaran tersebut.
5. Auguste Comte (1798-1857): Berupaya menjelaskan tahap per
kembangan intelek manusia dengan hukum tiga tahapnya.
6. Edmund Husserl (1859-1938) berupaya membuat kategorisasi
kesadaran dan aktivitasnya yang kemudian mempengaruhi analisis
eksistensial yang dibuat oleh Martin Heidegger (1889-1976) dengan
mengatakan bahwa keterlemparan manusia di dunia memastikan dirinya
mengakui keterbatasannya, sehingga hidupnya selalu beranjak dari
masalah yang satu ke masalah lain tanpa henti.
Musa Asy’arie menyebutkan ada empat tahap proses penciptaan
manusia. Pertama, tahap jasad. Permulaan penciptaan manusia adalah dari
tanah (turab), yaitu tanah berdebu. Al-Qur’an menyebut tanah ini terkadang
dengan istilah thin dan tsalsal. Namun yang pasti, yang dimaksud dengan tanah
ini adalah sari patinya atau sulalah. Kedua, tahap hayat. Awal mula kehidupan
manusia adalah air, sebagaimana kehidupan tumbuhan dan binatang. Maksud
air kehidupan di sini adalah air sperma. Sperma inilah yang merupakan awal
mula kehidupan seorang manusia.
5

Ketiga, tahap ruh. Ruh di sini adalah sesuatu yang ditiupkan Tuhan dalam
diri manusia dan kemudian menjadi bagian dari diri manusia. Pada saat yang
sama, Tuhan juga menjadikan bagi manusia pendengaran, penglihatan, dan
hati. Adanya proses peniupan ruh yang ditiupkan Tuhan dalam diri manusia dan
kemudia diiringi dengan pemberian pendengaran, penglihatan dan hati ini
merupakan bukti bahwa yang menjadi pimpinan dalam diri manusia adalah ruh.
Keempat, tahap nafs. Kata nafs dalam al-Qur’an mempunyai empat pengertian,
yaitu nafsu, nafas, jiwa dan diri (keakuan). Dari keempat pengertian ini, al-
Qur’an lebih sering menggunakan kata nafs untuk pengertian diri. Diri atau
keakuan adalah kesatuan dinamis dari jasad, hayat dan ruh. Dinamikanya
terletak pada aksi atau kegiatannya. Kesatuannya bersifat spiritual yang
tercermin dalam aktivitas kehidupan manusia.2

B. Tujuan Penciptaan Manusia


Allah swt. Berfirman dalam Al-qur’an mengenai tentang tujuan penciptaan
manusia:

‫س اَِّْل لِيَ ْعبُ ُد ْو ِن‬ ِ ِ ُ ‫وما َخلَ ْق‬


َ ْ‫ت ا ْْل َّن َو ْاْلن‬ ََ
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q. S. Adz-Dzariyat: 56)
Ayat di atas menjelaskan bahwa tujuan penciptaan manusia di muka bumi
ini adalah untuk beribadah. Ibadah di sini tidaklah dipahami dalam pengertian
yang sempit, tetapi dalam pengertiannya yang luas. Seluruh aktivitas manusia
dalam kehidupan ini adalah ibadah, manakala aktivitas tersebut ditujukan
semata-mata hanya untuk mencari ridha Allah Swt.

Dalam satu pendapat tujuan penciptaan manusia keatas permukaan bumi ini
adalah:

1. Dalam Al-quran telah ditegaskan bahwa manusia diciptakan hanya


untuk mengabdi kepada sang khaliq yaitu Allah swt.

2
Zainuddin dan Mohd. Nasir, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Cita Pustaka Media
Perintis, 2010), h. 28-33.
6

2. Tujuan manusia dalam Perspektif Pendidikan Islam terlahir kedunia ini


tidak lain adalah untuk menjadi pemimpin atau khalifah.3
Dapat disimpulkan bahwa Allah swt telah memberikan mandat kepada
manusia untuk menjadi penguasa yang mengatur tatanan bumi dan segala
isinya. Inilah kekuasaan yang bersifat umum yang diberikan Allah kepada
manusia sebagai khalifah yakni untuk memakmurkan kehidupan di bumi.
Dalam konteks ibadah dapat dimaknai bahwa segala aktifitas yang
dilakukan manusia dalam keseharianya harus disandarkan dengan tujuan
ibadah.
Segala bentuk pengabdian harus disertai dengan niat dan tujuan hanya
karena allah. Makna ibadah tidak saja dapat diartikan dalam bentuk ritual
keagamaan yang bersifat wajib saja, namun secara mendalam, konteks
ibadah merupakan bentuk perlakuan dan perbuatan manusia yang
disandarkan dengan niat dan tujuan hanya untuk mengabdi kepada allah
semata.
C. Term Manusia dalam Al-qur’an
Dalam al-Qur’an manusia disebut dengan berbagai nama, di antaranya: al-
basyar, al-insān, banî ādam, dan an nas. Nama sebutan ini mengacu kepada
gambaran tugas yang seharusnya diperankan oleh manusia. Sehubungan dengan
hal itu, maka untuk memahami peran manusia, perlu dipahami konsep yang
mengacu kepada sebutan-sebutan tersebut:
1. Manusia sebagai al-Basyar (‫)البشر‬
Manusia dalam konsep al-basyar dipandang dari pendekatan
biologis (Muhaimin, 1993:11). Sebagai makhluk biologis berarti
manusia terdiri atas unsur materi, sehingga menampilkan sosok dalam
bentuk fisik material, berupa tubuh kasar (jasmani). Dalam kaitan ini,
manusia merupakan makhluk jasmaniah yang secara umum terikat
dengan kaidah-kaidah umum dari kehidupan makhluk biologis.
2. Manusia sebagai Al-Insan (‫)اال نسان‬

3
K. Bartens, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2017), hlm. 8.
7

Kata al-Insan sebagai kata bentukan yang termuat dalam al-


Qur’an, yang mengacu pada potensi yang diberikan Allah kepada
manusia. Potensi tersebut antara lain berupa potensi untuk bertumbuh
dan berkembang secara fisik (QS. Al- Mukminun (23): 12-14) dan juga
potensi untuk tumbuh dan berkembang secara mental spiritual.
3. Manusia sebagai Al Nas (‫)الناس‬
Dalam al-Qur’an kosa kata al-Nas umumnya dihubungkan
dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan
sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki
dan perempuan, kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa, untuk
saling kenal-mengenal (QS. 49: 13). Manusia menjadi makhluk sosial
yang secara fitrah senang hidup berkelompok, sejak dari bentuk satuan
yang terkecil (keluarga) hingga ke yang paling besar dan kompleks,
yaitu bangsa dan umat manusia.4
4. Manusia sebagai Bani Adam (‫)بني آدم‬
Manusia sebagai Bani Adam termaktub di tujuh tempat dalam
al-Qur’an. Kata ‘bani’ berarti keturunan, sedangkan panitia Penafsir al-
Qur’an Departemen Agama RI, mengartikannya sebagai “umat
manusia” yang berasal dari silsilah keturunan Adam a.s. (Panitian
Penafsiran, 1971: 224, catatan kaki nomor 530).
Konsep Bani Adam selebihnya mengacu kepada penghormatan
kepada nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Konsep ini
menitikberatkan pada upaya pembinaan hubungan persaudaraan antar
sesama manusia. Menyatukan visi bahwa manusia pada hakikatnya
berawal dari nenek moyang yang sama, yaitu Adam a.s.
Menurut singkat pemakalah, Dengan demikian, manusia, apapun latar
belakang sosio-kultural, agama, ras, bangsa dan bahasanya, harus dihargai dan
dimuliakan. Dalam tataran ini manusia akan berstatus sebagai sebuah keluarga
yang bersaudara, karena berasal dari nenek moyang yang sama.

4
Endah Kusumawardani, Jurnal Kajian Tokoh Filsafat Abad Pertengahan: Plotinus, 2012,
hlm. 3-5. Sumber: anzdoc.com dikses pada 27 Sep 2022, Pukul: 16.30
8

D. Potensi Manusia
Dalam falsafat Islam dikenal manusia itu sebagai makhluk
multidimensional dan multipotensional. Manusia sebagai makhluk
multidimensional setidak-tidaknya memiliki 7 dimensi (aspek) dalam
kehidupannya.
1. Dimensi jasmani. Jasmani diakui Islam eksistensinya karena jiwa
dibutuhkan badan agar dapat melaksanakan fungsi-fungsi dan tugasnya.
Tanpa bantuan badan jiwa tidak akan dapat melaksanakan fungsi dan
tugasnya seperti berpikir, merasa, dan bertindak. Dimensi jasmani
melukiskan konsep manusia sebagai sosok al-basyar.
2. Dimensi Rohani/Spiritual Keagamaan. Rohani (spiritual keagamaan)
adalah pokok dan sentral dari kehidupan manusia. Pengambangan
dimensi ini adalah untuk tujuan utama manusia, yaitu beribadah pada
Allah SWT. Pengembangan dimensi dan potensi ini dalam Islam
melukiskan konsep manusia sebagai sosok al-ins.
3. Dimensi Akidah. Pada hakikatnya tiada seorang pun manusia ini yang
ateis, karena dimensi akidah (agama, ketuhanan) sudah ada pada setiap
manusia sebelum ia dilahirkan ke bumi, sekalipun ia bukan dilahirkan
dari seorang ibu yang non-Islam. Pengembangan dimensi akidah/agama
ini melukiskan konsep manusia sebagai al-ins dan makhluk agamais.
4. Dimensi sosial. Setiap manusia dilahirkan menjadi salah seorang
anggota kelompok sosial, man is born a social being. Dengan demikian
manusia adalah makhluk sosial. Pengembangan dimensi sosial
melukiskan konsep manusia sebagai sosok an-naas.
5. Dimensi akhlak. Akhlak merupakan pula salah satu dimensi pokok
dalam kehidupan manusia menurut Islam. Pendeknya kalau akhlak
sudah mulia, kesehatan jiwa akan diperoleh, kebahagiaan akan dicapai,
kesempurnaan akan dirasakan, serta pada akhirnya manusia dapat
berhubungan dan bersatu dengan Allah. Pengembangan dimensi akhlak
ini melukiskan konsep manusia sebagai sosok 'ibaadullah.
9

6. Dimensi akal. Akal adalah satu-satu dimensi kehidupan yang


meninggikan manusia dari malaikat dan hewan karena dengannya
kualitas manusia menjadi bertambah tinggi dan kedudukannya semakin
unik di bumi. Dalam pengembangan dimensi akal ini ajaran Islam
memiliki potensi dan sumber motivasi yang besar bagi manusia untuk
berkembang, karena ajarannya banyak bersifat rasional. Pengembangan
dimensi akal ini melukiskan konsep manusia sebagai sosok al-unaas.
7. Dimensi estetika. Ajaran Islam tidak membantah adanya dimensi
estetika (seni) dalam kehidupan manusia dan nilainya cukup tinggi dari
nilai politik. Prinsip seni dalam Islam menjadikan seni untuk
peningkatan harkat, martabat, kebahagiaan, dan kualitas hidup manusia.
Pengembangan dimensi estetika ini melukiskan konsep manusia sebagai
sosok yang indah dan halus.5
Sedangkan manusia sebagai makhluk multipotensial memiliki banyak
potensi baik (fitrah) dalam kehidupannya. Fitrah atau potensi baik itu adalah
dalam bentuk akhlak dan sifat-sifat Allah yang agung sebagai yang terkandung
dalam asmaaul husnaa. Asmaaul husnaa merupakan potensi yang dikaruniakan
Allah kepada manusia yang wajib ditumbuh-kembangkan melalui kegiatan
pendidikan Islam.6
Manusia memang memiliki kemungkinan untuk menumbuh-
kembangkan potensi-potensi itu seoptimal mungkin, tetapi tidak akan mampu
menandingi sifat-sifat ke-Maha-an Allah. Kalau manusia memaksakan juga, itu
namanya tidak amanah dan melampaui batas serta bisa mengundang timbulnya
kebinasaan. Misalnya, dalam kehidupan seperti apa yang dialami oleh Fir'aun
dalam pengembangan sifat kuasanya sehingga ia mendakwakan dirinya sebagai
Tuhan yang wajib disembah, dan akhirnya ia mengalami kebinasaan.
Pengembangan potensi sebatas kemampuan dan amanah yang dibebankan

5
Dinasril Amir, Konsep Manusia dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jurnal Al-Ta’lim, Jilid
1, Nomor 3, November 2012), hlm. 191-197. Sumber: anzdoc.com dikses pada 27 Sep 2022, Pukul:
16.36
6
Ibid., hal. 195-197.
10

kepada manusia itulah makna ibadat dalam arti luas, serta itu pula makna
pendidikan dalam Islam.
Sehingga pendidikan hendaklah pula upayanya dimaksudkan untuk
mengembangkan potensi akhak dan sifat-sifat Allah SWT yang dimiliki umat
agar pas dan pasti. Konsep manusia semacam ini adalah juga konsep insan
saleh, insan kamil atau manusia seutuhnya dalam Islam yang menjadi tujuan
pelayanan pendidikan. Konsep ini adalah pula konsep manusia yang seimbang
dalam partumbuhan dan perkembangan kepribadiannya secara total yang
didapat melalui pelatihan jiwa, semangat, motivasi dan kekuatan spiritual
keagamaan serta intelektual, rasionalitas diri, emosional, sosial, dan kepekaan
rasa tubuh.
Dengan dimikian pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia
dalam segala hakikat, dimensi dan potensinya, baik secara individual maupun
kelompok, serta mendorong semua pengembangan itu untuk mencapai
kebaikan dan kesempurnaan. Terwujudnya konsep manusia mulidimensional
dan multipotensial di atas sudah barang tentu meminta sejumlah persyaratan.
Apakah itu persyaratan yang bersifat internal maupun eksternal.
Di antara persyaratan internal adalah will (kemauan kuat, kebulatan tekad)
dari umat Islam sendiri untuk mewujudkan, membangkitkan, atau menumbuh-
kembangkan nilai-nilai keIslaman dalam segala aspek kehidupan menuju
kebangkitan Islam kembali.
11

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kajian tentang manusia dalam filsafat harus kita pahami sebagai suatu
metode untuk berfikir yang masing masing mempunyai cara pandang berbeda
dan terbatas. Sebab itulah manusia, mempunyai sifat terbatas. Karnanya, ketika
berfikir tentang awal mula manusia akan lebih baik kita merujuk pada Al
Khalik yakni Allah SWT sebagai pencipta manusia dan lebih mengetahui secara
pasti tentang manusia, keinginannya, kebutuhannya dan yang terbaik bagi
manusia itu didalam ajaran Islam.
Manusia sebagai mahuk multidimensi dan multipotensi sangat baik jika kita
dalami dengan pemahaman yang sifatnya pengembagan manusia dalam
pendidikan Islam. Sebab, Islam telah memberikan cara dan metode dalam
pengembangan manusia dengan melihat Rasulullah ‫ﷺ‬, para sahabatnya, ulama-
ulama, serta para khalifah pada zaman kehilafahan memberikan kontribusi
positif dalam keilmuan dan tehnologi. Sehingga pada masa Khilafah bani
Abbasiyah terkenal dengan masa keemasan (The Golden Ages).
B. Saran
Pemakalah menyadari bahwa Kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt. Di
samping itu barangkali makalah yang kami sajikan ini masih jauh dari kata
sempurna. Maka pemakalah sangat mengharapkan ide-ide yang cemerlang dari
rekan mahasiswa semua untuk berfartisifasi dalam meningkatkan pengetahuan
kami di pertemuan yang akan dating berupa kritik dan saran.

11
12

DAFTAR PUSTAKA
Rudi Ahmad Suryadi, 2015. Dimensi-Dimensi Manusia: Perspektif Pendidikan
Islam. Yogyakarta: Deepublish.

Zainuddin dan Mohd. Nasir, 2010. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Cita
Pustaka Media Perintis.

K. Bartens, 2017. Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, (Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama.

Endah Kusumawardani, Jurnal Kajian Tokoh Filsafat Abad Pertengahan:


Plotinus, 2012, hlm. 3-5. Sumber: anzdoc.com dikses pada 27 Sep
2022, Pukul: 16.30

Dinasril Amir, Konsep Manusia dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jurnal Al-
Ta’lim, Jilid 1, Nomor 3, November 2012), hlm. 191-197.
Sumber: anzdoc.com dikses pada 27 Sep 2022, Pukul: 16.36

12

Anda mungkin juga menyukai