DOSEN PENGAMPU:
NOVIALDI, S.Ag, M.Pd
NIDN. 2112057104
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dan pendidikan merupakan hal utama dan pertama dalam peran
manusia untuk terus hidup dan memakmurkan dunia ini. Sehingga di dalam
ruang lingkup filsafat Pendidikan adalah semua aspek yang berhubungan
dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu
sendiri, yang berhubungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan yang
baik dan bagaimana tujuan pendidikan itu dapat tercapai seperti yang dicita-
citakan. Inilah yang kemudian manusia terus berupaya untuk mengembangkan
pengetahuannya melalui pendidikan dari generasi ke generasi.
Dalam keilmuan pendidikan ada 4 (Empat) bagian pokok pendidikan
yang penting dikaji dan dipelajari, yaitu Proses penciptaan manusia, Tujuan
Penciptaan manusia, Term manusia dalam Al-qur’an, dan Potensi Manusia.
Oleh karena itu, melihat urgensinya manusia dan pendidikan ini maka hal
tersebut melatar belakangi kami untuk membahas dalam makalah Konsep
Manusia dalam Filsafah Pendidikan Islam ini. Sebab.
B. Batasan Masalah
1. Bagaimanakah Proses penciptaan manusia?
2. Bagaimanakah Tujuan Penciptaan manusia?
3. Bagaimanakah Term manusia dalam Al-qur’an?
4. Apa sajakah Potensi Manusia?
C. Tujuan
1. Menjelaskan tentang Proses penciptaan manusia
2. Menjelaskan tentang Tujuan Penciptaan manusia
3. Menjelaskan tentang Term manusia dalam Al-qur’an
4. Menjelaskan tentang Potensi Manusia
1
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses penciptaan manusia
Kata “manusia” merupakan istilah dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa
Inggris, kata “manusia” disepadankan dengan kata “man” dan “human”.
dalam bahasa Arab istilah “manusia” secara sederhana disepadankan dengan
kata “basyar”, “insan”, dan “nas”. Dalam konteks bahasa
Indonesia, “manusia” diartikan sebagai ‘makhluk yang berakal budi atau
mampu menguasai makhluk lain’.1 Tetapi para filsuf mempunyai pemikiran
bahwa manusia dalah makhluk yang berpikir atau dalam bahasa filsuf muslim,
manusia disebut sebagai al-hayawan al-nathiq. Hal ini dikaitkan dengan
penggunaan logika sebagai paradigma berpikir.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari sari pati tanah, maksudnya proses
kejadian manusia itu berasal dari sari pati tanah yang menghasilkan berbagai
jenis makanan yang kemudian dikonsumsi oleh manusia. Hal ini diterangkan
dalam Al- Qur’an surat Al–Mu’minun ayat 12-14:
1
Rudi Ahmad Suryadi, Dimensi-Dimensi Manusia: Perspektif Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: Deepublish. 2015), hlm. 1.
2
3
Hal ini menjadikan suatu hal yang memang sudah jelas dinyatakan dalam
kitab Al-Qur’an dan disitu timbul perdebatan antara Allah dengan para
malaikat. Tidak semudah yang kita bayangkan seperti dalam lafad “Kun
Fayakun”. Jika ditinjau lebih dalam, ternyata proses penciptaan nabi adam, itu
lebih rumit dan menimbulkan kisah yang panjang dibandingkan dengan proses
penciptaan nabi Isa ‘Alaihi Sallam.
1. Plato: Manusia sebagai pribadi yang tidak terbatas pada saat bersatunya
jiwa dengan raga. Manusia lahir ke dunia telah membawa ide
kebaikan (innate idea).
2. Aristoteles: Manusia adalah makhluk organis yang fungsionalisasinya
tergantung pada jiwanya.
3. Rene Descartes (1596-1650): Hakikat manusia ada pada aspek
kesadaran yang eksistensinya ada pada daya intelek sebagai hakikat
jiwa.
4. Schopenhauer (1788-1860): Kesadaran dan intelek hanyalah
permukaan jiwa kita, di bawah itu ada kehendak yang tidak sadar.
Kehendak adalah suatu kekuatan yang menggerakkan intelek itu untuk
dirinya. Kehendak dapat mengakibatkan hidup tertekan dan merupakan
penderitaan, maka perlu kebijaksanaan. Selanjutnya banyak ahli yang
terpancing untuk membicarakan tentang kesadaran tersebut.
5. Auguste Comte (1798-1857): Berupaya menjelaskan tahap per
kembangan intelek manusia dengan hukum tiga tahapnya.
6. Edmund Husserl (1859-1938) berupaya membuat kategorisasi
kesadaran dan aktivitasnya yang kemudian mempengaruhi analisis
eksistensial yang dibuat oleh Martin Heidegger (1889-1976) dengan
mengatakan bahwa keterlemparan manusia di dunia memastikan dirinya
mengakui keterbatasannya, sehingga hidupnya selalu beranjak dari
masalah yang satu ke masalah lain tanpa henti.
Musa Asy’arie menyebutkan ada empat tahap proses penciptaan
manusia. Pertama, tahap jasad. Permulaan penciptaan manusia adalah dari
tanah (turab), yaitu tanah berdebu. Al-Qur’an menyebut tanah ini terkadang
dengan istilah thin dan tsalsal. Namun yang pasti, yang dimaksud dengan tanah
ini adalah sari patinya atau sulalah. Kedua, tahap hayat. Awal mula kehidupan
manusia adalah air, sebagaimana kehidupan tumbuhan dan binatang. Maksud
air kehidupan di sini adalah air sperma. Sperma inilah yang merupakan awal
mula kehidupan seorang manusia.
5
Ketiga, tahap ruh. Ruh di sini adalah sesuatu yang ditiupkan Tuhan dalam
diri manusia dan kemudian menjadi bagian dari diri manusia. Pada saat yang
sama, Tuhan juga menjadikan bagi manusia pendengaran, penglihatan, dan
hati. Adanya proses peniupan ruh yang ditiupkan Tuhan dalam diri manusia dan
kemudia diiringi dengan pemberian pendengaran, penglihatan dan hati ini
merupakan bukti bahwa yang menjadi pimpinan dalam diri manusia adalah ruh.
Keempat, tahap nafs. Kata nafs dalam al-Qur’an mempunyai empat pengertian,
yaitu nafsu, nafas, jiwa dan diri (keakuan). Dari keempat pengertian ini, al-
Qur’an lebih sering menggunakan kata nafs untuk pengertian diri. Diri atau
keakuan adalah kesatuan dinamis dari jasad, hayat dan ruh. Dinamikanya
terletak pada aksi atau kegiatannya. Kesatuannya bersifat spiritual yang
tercermin dalam aktivitas kehidupan manusia.2
Dalam satu pendapat tujuan penciptaan manusia keatas permukaan bumi ini
adalah:
2
Zainuddin dan Mohd. Nasir, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Cita Pustaka Media
Perintis, 2010), h. 28-33.
6
3
K. Bartens, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2017), hlm. 8.
7
4
Endah Kusumawardani, Jurnal Kajian Tokoh Filsafat Abad Pertengahan: Plotinus, 2012,
hlm. 3-5. Sumber: anzdoc.com dikses pada 27 Sep 2022, Pukul: 16.30
8
D. Potensi Manusia
Dalam falsafat Islam dikenal manusia itu sebagai makhluk
multidimensional dan multipotensional. Manusia sebagai makhluk
multidimensional setidak-tidaknya memiliki 7 dimensi (aspek) dalam
kehidupannya.
1. Dimensi jasmani. Jasmani diakui Islam eksistensinya karena jiwa
dibutuhkan badan agar dapat melaksanakan fungsi-fungsi dan tugasnya.
Tanpa bantuan badan jiwa tidak akan dapat melaksanakan fungsi dan
tugasnya seperti berpikir, merasa, dan bertindak. Dimensi jasmani
melukiskan konsep manusia sebagai sosok al-basyar.
2. Dimensi Rohani/Spiritual Keagamaan. Rohani (spiritual keagamaan)
adalah pokok dan sentral dari kehidupan manusia. Pengambangan
dimensi ini adalah untuk tujuan utama manusia, yaitu beribadah pada
Allah SWT. Pengembangan dimensi dan potensi ini dalam Islam
melukiskan konsep manusia sebagai sosok al-ins.
3. Dimensi Akidah. Pada hakikatnya tiada seorang pun manusia ini yang
ateis, karena dimensi akidah (agama, ketuhanan) sudah ada pada setiap
manusia sebelum ia dilahirkan ke bumi, sekalipun ia bukan dilahirkan
dari seorang ibu yang non-Islam. Pengembangan dimensi akidah/agama
ini melukiskan konsep manusia sebagai al-ins dan makhluk agamais.
4. Dimensi sosial. Setiap manusia dilahirkan menjadi salah seorang
anggota kelompok sosial, man is born a social being. Dengan demikian
manusia adalah makhluk sosial. Pengembangan dimensi sosial
melukiskan konsep manusia sebagai sosok an-naas.
5. Dimensi akhlak. Akhlak merupakan pula salah satu dimensi pokok
dalam kehidupan manusia menurut Islam. Pendeknya kalau akhlak
sudah mulia, kesehatan jiwa akan diperoleh, kebahagiaan akan dicapai,
kesempurnaan akan dirasakan, serta pada akhirnya manusia dapat
berhubungan dan bersatu dengan Allah. Pengembangan dimensi akhlak
ini melukiskan konsep manusia sebagai sosok 'ibaadullah.
9
5
Dinasril Amir, Konsep Manusia dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jurnal Al-Ta’lim, Jilid
1, Nomor 3, November 2012), hlm. 191-197. Sumber: anzdoc.com dikses pada 27 Sep 2022, Pukul:
16.36
6
Ibid., hal. 195-197.
10
kepada manusia itulah makna ibadat dalam arti luas, serta itu pula makna
pendidikan dalam Islam.
Sehingga pendidikan hendaklah pula upayanya dimaksudkan untuk
mengembangkan potensi akhak dan sifat-sifat Allah SWT yang dimiliki umat
agar pas dan pasti. Konsep manusia semacam ini adalah juga konsep insan
saleh, insan kamil atau manusia seutuhnya dalam Islam yang menjadi tujuan
pelayanan pendidikan. Konsep ini adalah pula konsep manusia yang seimbang
dalam partumbuhan dan perkembangan kepribadiannya secara total yang
didapat melalui pelatihan jiwa, semangat, motivasi dan kekuatan spiritual
keagamaan serta intelektual, rasionalitas diri, emosional, sosial, dan kepekaan
rasa tubuh.
Dengan dimikian pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia
dalam segala hakikat, dimensi dan potensinya, baik secara individual maupun
kelompok, serta mendorong semua pengembangan itu untuk mencapai
kebaikan dan kesempurnaan. Terwujudnya konsep manusia mulidimensional
dan multipotensial di atas sudah barang tentu meminta sejumlah persyaratan.
Apakah itu persyaratan yang bersifat internal maupun eksternal.
Di antara persyaratan internal adalah will (kemauan kuat, kebulatan tekad)
dari umat Islam sendiri untuk mewujudkan, membangkitkan, atau menumbuh-
kembangkan nilai-nilai keIslaman dalam segala aspek kehidupan menuju
kebangkitan Islam kembali.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kajian tentang manusia dalam filsafat harus kita pahami sebagai suatu
metode untuk berfikir yang masing masing mempunyai cara pandang berbeda
dan terbatas. Sebab itulah manusia, mempunyai sifat terbatas. Karnanya, ketika
berfikir tentang awal mula manusia akan lebih baik kita merujuk pada Al
Khalik yakni Allah SWT sebagai pencipta manusia dan lebih mengetahui secara
pasti tentang manusia, keinginannya, kebutuhannya dan yang terbaik bagi
manusia itu didalam ajaran Islam.
Manusia sebagai mahuk multidimensi dan multipotensi sangat baik jika kita
dalami dengan pemahaman yang sifatnya pengembagan manusia dalam
pendidikan Islam. Sebab, Islam telah memberikan cara dan metode dalam
pengembangan manusia dengan melihat Rasulullah ﷺ, para sahabatnya, ulama-
ulama, serta para khalifah pada zaman kehilafahan memberikan kontribusi
positif dalam keilmuan dan tehnologi. Sehingga pada masa Khilafah bani
Abbasiyah terkenal dengan masa keemasan (The Golden Ages).
B. Saran
Pemakalah menyadari bahwa Kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt. Di
samping itu barangkali makalah yang kami sajikan ini masih jauh dari kata
sempurna. Maka pemakalah sangat mengharapkan ide-ide yang cemerlang dari
rekan mahasiswa semua untuk berfartisifasi dalam meningkatkan pengetahuan
kami di pertemuan yang akan dating berupa kritik dan saran.
11
12
DAFTAR PUSTAKA
Rudi Ahmad Suryadi, 2015. Dimensi-Dimensi Manusia: Perspektif Pendidikan
Islam. Yogyakarta: Deepublish.
Zainuddin dan Mohd. Nasir, 2010. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Cita
Pustaka Media Perintis.
Dinasril Amir, Konsep Manusia dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jurnal Al-
Ta’lim, Jilid 1, Nomor 3, November 2012), hlm. 191-197.
Sumber: anzdoc.com dikses pada 27 Sep 2022, Pukul: 16.36
12