Makalah ini disusun Untuk memenuhi tugas mata kuliah tafsir tarbawi
Dosen Pengampu: Dr.Hamsir,S.Pd,M.Pd.I
Kelompok 2
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas izin-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tak lupa pula salawat serta salam kita sanjung-
agungkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat, hingga akhir
zaman.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam dan Lingkungan Hidup
yang berjudul “Tafsir Al-Qur’an Tentang Manusia” Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan
mengenai tentang Tafsir Al-Quran Tentang Manusia Penulis berharap makalah ini dapat
memberikan informasi kepada kita semua.
Kami menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran dari semua pihak penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, penulis
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan makalah ini dari
awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai semua usaha kita, Aamiin.
Kelompok 2
ii
DAFTAR ISI
BAB I ................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN .............................................................................................................................1
C. Tujuan .....................................................................................................................................1
BAB II ..............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN ...............................................................................................................................3
B. Tafsir al-Qur’an awal mula penciptaan manusia (Q.S. As-Sajdah 7-8) .....................................5
PENUTUP ...................................................................................................................................... 13
KESIMPULAN............................................................................................................................... 13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Manusia merupakan salah satu ciptaan makhluk hidup terbaik dari Allah SWT. Yang berada
dimuka bumi ini yang sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. As-Sajdah sebagai berikut :
Artinya: “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang
memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian dia menjadikan keturunannya dari sari
pati air yang hina (air mani)” (QS. As-Sajdah: 7-8)
Allah Swt. menceritakan bahwa Dia telah menciptakan segala sesuatu dengan ciptaan yang
sebaik-baiknya dan serapi-rapinya.
mukhaiyar, dan mujizat. Manusia adalah makhluk yang mempunyai nilai-nilai fitri dan
sifat insaniah, seperti dhaif ‘lemah’ (an-Nisa’:28), Jahula ‘bodoh’ (al-Ahzab:72), faqir
‘ketergantungan atau memerlukan’ (Faathir:15), kaafuro’ ‘sangat mengingkari nikmat’ (al-
Israa’:67) syukur (al-Insaan:3), serta fujur dan taqwa (as-Syams:8)
Manusia adalah makhluk pilihan yang dimuliakan oleh Allah dari makhluk ciptaanNya
yang lainnya, dengan segala keistimewaan yang ada pada manusia, seperti akal manusia
yang mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, kemudian memilihnya. Allah
SWT menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya cipta (ahsanutaqwim), dan
menundukkan alam semesta baginya agar dia dapat memakmurkan dan memelihara
kemudian melestarikan keberlangsungan hidup di alam semesta ini. Dengan hatinya
manusia dapat memutuskan sesuatu sesuai dengan petunjuk Robbnya, dengan
raganya, diharapkan aktif untuk menciptakan karya besar dan tindakan yang benar, hingga
ia tetap pada posisi kemuliaan yang sudah diberikan Allah kepadanya seperti ahsanu
3
taqwim, ulul albab, rabbaniun dan lai-lain. Maka, dengan semua sifat kemuliaan dan semua
sifat insaniah yang ada dengan kekurangan dan keterbatasan, Allah SWT menugaskan misi
khusus kepada umat manusia untuk menguji dan mengetahui mana yang jujur, beriman dan
dusta dalam beragama.
Manusia disebut sebagai makhluk Allah SWT yang paling sempurna bukan karena manusia
tidak pernah melakukan kesalahan. Manusia disebut sebagai makhluk Allah SWT paling
sempurna karena manusia dibekali akal budi. Dan akal inilah yang membedakan manusia
dengan makhluk lainnya. Akal membantu manusia untuk melakukan tindakan yang
seharusnya dilakukan oleh manusia.
Selain keunggulan akal yang dimiliki manusia dibandingkan makhluk lainnya, apa itu
manusia juga memiliki keunggulan lainnya. Keunggulan manusia dibandingkan dengan
makhluk lainnya ini terletak dari amanat dan tanggung jawab yang dibebankan pada apa
itu manusia.
Allah menanyakan kepada langit, bumi, dan pegunungan apakah mereka mampu
menjalankan tugas sebagai khalifah di dunia ini. Tidak ada satu pun dari mereka yang
bersedia, bahkan mereka merasa khawatir bahwa mereka tidak mampu memikul tanggung
jawab tersebut.
Namun, manusia akhirnya yang bersedia untuk mengambil amanah tersebut dan pada
akhirnya akan dimintai pertanggungjawaban di hari pembalasan, yakni yaumul qiyamah.
4
B. Tafsir al-Qur’an awal mula penciptaan manusia (Q.S. As-Sajdah 7-8)
Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan makna firman-Nya:
Sesudah Allah menyebutkan tentang penciptaan langit dan bumi, kemudian Dia
menyebutkan tentang penciptaan manusia. Untuk itu Dia berfirman:
ٍ ِان مِ ْن ط
{ين ِ سَ }وبَدَأ َ خ َْلقَ اْل ْن
َ
Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina. (As-Sajdah: 8)
Yaitu mereka berkembang biak melalui nutfah (air mani) yang dikeluarkan dari antara
tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.1
Allah ﷻmenyebutkan bahwa Allah memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan setelah
itu Allah menyebutkan secara khusus bahwa di antara makhluk yang indah tersebut adalah
manusia.
1
Tafsir Ibnu Katsir
2
Tafsir Ibnu ‘Athiyah 4/359
3
Tafsir Al-Qurthubi 14/90
5
langit, udara, laut dan sebagainya dengan kesempurnaan yang sesuai dengan porsinya. Ini
semua diatur oleh Allah ﷻ. Ini adalah salah satu bukti adanya Tuhan, sehingga alam semesta
bisa berjalan dengan serasi yang semua itu untuk kepentingan manusia.
Contohnya: udara yang Allah ciptakan di antaranya terdapat oksigen dengan ukuran yang
pas. Manusia membutuhkan oksigen, namun jika oksigen tersebut berlebihan maka akan
berbahaya karena mudah terjadi ledakan dan kebakaran jika terkena sedikit sulutan api.
Kita memang membutuhkan oksigen akan tetapi Allah memberikan oksigen dengan kadar
sekian yang sesuai. Semua ini yang mengatur adalah Allah ﷻ, dan Allah ﷻmengaturnya
dengan sempurna. Oleh karenanya setiap makhluk yang kita lihat adalah makhluk yang
sempurna. Setiap yang Allah ciptakan adalah ciptaan yang sempurna. Oleh karenanya
Allah berfirman “Yang menyempurnakan segala sesuatu”. Ulama yang mengatakan bahwa
makna ahsana artinya memperindah karena semua yang Allah ciptakan adalah indah. Allah
menciptakan hewan-hewan, manusia, gunung, lautan, pepohonan dengan ciptaan yang
indah. Allah membuat matahari terbit dan terbenam dengan begitu indah. Semua ini
menunjukkan akan adanya Tuhan. Oleh karenanya di antara dalil yang menunjukkan
adanya Tuhan adalah dalil tahsin atau makhluk itu indah. Karena menurut logika orang-
orang ateis semua ini terjadi tanpa sebab dan semua ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada
tujuan. Jika memang ini semua terjadi sesuai dengan logika mereka, maka seharusnya
semua ini terjadi dengan berantakan, tidak teratur, dan tidak ada yang indah. Jika kita
perhatikan, semua ciptaan yang ada itu indah, maka ini menunjukkan bahwa ada Dzat yang
menciptakannya dengan teratur. Jika semua ini terjadi dengan sendirinya, tidak ada tuhan
yang menciptakan dan tidak ada tujuan maka ini salah. Karena kita dapati semua ciptaan
ini indah dan keindahan adalah salah satu tujuan. Sehingga ini menunjukkan akan adanya
tuhan yang menciptakan segala sesuatu dengan tujuan. Kemudian Allah menyebutkan
tentang manusia.
ان مِ ْن طِ ي ٍْن
ِ س ِ ْ ََوبَدَاَ خ َْلق
َ اْل ْن
6
Sebagaimana dijelaskan juga dalam Hadits :
إن أَ َحدَ ُكم َّ :صد ُْو ُق ْ صا ِد ُق ْال َم َّ سلَّ َم وه َُو ال َ ُصلَّى هللا
َ علَ ْي ِه َو ِ س ْو ُل
َ هللا ُ َحدَّثَنَا َر:َع ْنهُ قال َ ُي هللا َ ض ِ ْعو ٍد َر ْ بن َمس ِ هللا َ ع ْن
ِ ع ْب ِد َ
ث ُ َّم، َعلَقَةً مِ ثْ َل ذَلِك ْ ُط ِن أ ُ ِ ِّم ِه أ َ ْربَ ِعيْنَ يَ ْو ًما ن
َ ُ ث ُ َّم يَ ُك ْون،ًطفَة ْ َس ُل إِلَ ْي ِه ْال َملَكُ يُ ْج َم ُع خلقُهُ فِ ْي ب
َ ث ُ َّم ي ُْر، َضغَةً مِ ث َل ذَلِكْ ُك ْو ُن ُم
ْ فَ َوهللاِ الَّ ِذ،ٌس ِع ْيد
ُ َي ْلَ إِلَه
إِ َّن،ُغي ُْره َ ي أ َ ْو
ٌّ ش ِق َ َو،ِ َوأ َ َج ِله،ِب ِر ْزقِه
َ َو،ِع َم ِله ِ ْ بِ َكت:ٍ َويُؤْ َم ُر بِأ َ ْربَ ِع َك ِل َمات،الر ْو َح
ُّ فيَ ْنفُ ُخ فِ ْي ِه
،ار فَيَدْ ُخلُ َها ِ َّعلَ ْي ِه ْال ِكتَابُ فَيَ ْع َم ُل بِعَ َم ِل أَ ْه ِل الن
َ أ َ َحدَ ُك ْم لَيَ ْع َم ُل بِعَ َم ِل أ َ ْه ِل ْال َجنَّ ِة َحتَّى َما يَ ُك ْو ُن بَ ْينَهُ َوبَ ْينَ َها إِْلَّ ذ َِراعٌ فَيَ ْسبِ ُق
فَيَ ْع َم ُل ِب َع َم ِل أ َ ْه ِل ْال َجنَّ ِة، ُعلَ ْي ِه ْال ِكتَاب
َ ُار َحتَّى َما يَ ُك ْو ُن بَ ْينَهُ َوبَ ْينَ َها ِإْلَّ ذ َِراعٌ فَيَ ْس ِبق ِ ََّو ِإ َّن أ َ َحدَ ُك ْم لَيَ ْع َم ُل ِب َع َم ِل أ َ ْه ِل الن
ي َو ُم ْس ِل ٌم ِ َر َواهُ ْالبُخ.فَ َيدْ ُخلُ َها
ُّ َار
Al-Qur’an menyatakan proses penciptaan manusia mempunyai dua jenis yang berbeda,
yaitu: Pertama, dari benda padat. Manusia pertama, Adam a.s. diciptakan dari al-tin (tanah),
al-turob (tanah debu), min shal (tanah liat), min hamainmasnun (tanah lumpur hitam yang
busuk) yang dibentuk Allah Swt dengan seindah- indahnya, kemudian Allah Swt,
meniupkan ruh dari-Nya ke dalam diri (manusia) tersebut. Kedua, dari benda cair.
Penciptaan manusia selanjutnya adalah melalui proses biologis yang dapat dipahami secara
sains-empirik. Allah SWT menciptakan manusia berasal dari tanah, kemudian menjadi
7
nutfah, alaqah, dan mudgah sehingga akhirnya menjadi makhluk Allah SWT yang paling
sempurna dan memiliki berbagai kemampuan. Allah SWT sudah menciptakan manusia
ahsanu taqwim, yaitu sebaik-baik cipta dan menundukkan alam beserta isinya bagi manusia
agar manusia dapat memelihara dan mengelola serta melestarikan kelangsungan hidup di
alam semesta ini.
Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang awal
penciptaan manusia di dalam rahim seorang ibu, yang berawal dari nuthfah (bercampurnya
sperma dengan ovum), ‘alaqah (segumpal darah), lalu mudhghah (segumpal daging).
Pertama: Allah menciptakan manusia dari setetes air mani yang hina yang menyatu
dengan ovum.
Kedua : Kemudian setelah lewat 40 hari, dari air mani tersebut, Allah menjadikannya
segumpal darah yang disebut ‘alaqah.
Ketiga : Kemudian setelah lewat 40 hari -atau 80 hari dari fase nuthfah– fase ‘alaqah
beralih ke fase mudhghah, yaitu segumpal daging.
Keempat : Kemudian setelah lewat 40 hari -atau 120 hari dari fase nuthfah- dari segumpal
daging (mudhghah) tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan daging yang
bertulang, dan Dia memerintahkan malaikat untuk meniupkan ruh padanya serta mencatat
empat kalimat, yaitu rizki, ajal, amal dan sengsara atau bahagia. Jadi, ditiupkannya ruh
kepada janin setelah ia berumur 120 hari.
Terhitung sejak bertemunya sel sperma dengan ovum. Artinya, peniupan tersebut ketika
janin berusia empat bulan penuh, masuk bulan kelima. Pada masa inilah segala hukum
mulai berlaku padanya. Karena itu, wanita yang ditinggal mati suaminya menjalani masa
‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, untuk memastikan bahwa ia tidak hamil dari
8
suaminya yang meninggal, agar tidak menimbulkan keraguan ketika ia menikah lagi lalu
hamil.
Ruh adalah sesuatu yang membuat manusia hidup dan ini sepenuhnya urusan Allah.
Kemudian di alam rahim, Allah Ta’ala pun memerintahkan malaikat untuk mencatat
kembali empat kalimat, yaitu rizki, ajal, amal, sengsara atau bahagia.
1. Rizki.
Allah Yang Maha Pemurah telah menetapkan rizki bagi seluruh makhluk-Nya, dan setiap
makhluk tidak akan mati apabila rizkinya belum sempurna.
2. Ajal.
Ajal makhluk Allah sudah tercatat, tidak dapat dimajukan atau diundurkan.
3. Amal.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencatat amal-amal setiap makhluk-Nya, baik dan
buruknya. Akan tetapi setiap makhluk Allah pasti akan beramal, amal baik atau pun amal
buruk. Dan Allah dan Rasul-Nya memerintahkan para hamba-Nya untuk beramal baik.
Yang dimaksud “celaka” dalam hadits ini ialah, orang yang celaka dengan dimasukkannya
ke neraka. Sedangkan yang dimaksud “bahagia”, yaitu orang yang sejahtera dengan
dimasukkannya ke dalam surga. Hal ini telah tercatat sejak manusia berusia 120 hari dan
masih di dalam rahim, yaitu apakah ia akan menjadi penghuni neraka atau ia akan menjadi
penghuni surga. Akan tetapi, “celaka” dan “bahagia” seorang hamba tergantung dari
amalnya selama hidupnya.
Tentang keempat hal tersebut, tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikatnya. Oleh
karenanya, tidak boleh bagi seseorang pun enggan untuk beramal shalih, dengan alasan
bahwa semuanya telah ditakdirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Memang benar, bahwa
Allah telah mentakdirkan akhir kehidupan setiap hamba, namun Dia Yang Maha Bijaksana
9
juga menjelaskan jalan-jalan untuk mencapai kebahagiaan. Sebagaimana Allah Yang Maha
Pemurah telah mentakdirkan rizki bagi setiap hamba-Nya, namun Dia juga memerintahkan
hamba-Nya keluar untuk mencarinya.
Apabila ada yang bertanya, untuk apalagi kita beramal jika semuanya telah tercatat
(ditakdirkan)?
Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal ini ketika menjawab
pertanyaan Sahabat Suraqah bin Malik bin Ju’syum Radhiyallahu ‘anhu. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Beramallah kalian, karena semuanya telah dimudahkan oleh Allah menurut apa yang
Allah ciptakan atasnya. Adapun orang yang termasuk golongan orang-orang yang
berbahagia, maka ia dimudahkan untuk beramal dengan amalan orang-orang yang
berbahagia. Dan adapun orang yang termasuk golongan orang-orang yang celaka, maka ia
dimudahkan untuk beramal dengan amalan orang-orang yang celaka”.4
Orang yang beramal baik, maka Allah akan memudahkan baginya untuk menuju surga.
Begitu pun orang yang beramal keburukan, maka Allah akan memudahkan baginya untuk
menuju neraka. Hal ini menunjukkan tentang kesempurnaan ilmu Allah, juga sempurnanya
kekuasaan, qudrah dan iradah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.
Orang yang ditakdirkan oleh Allah untuk menuju surga, maka dia pun akan dimudahkan
oleh Allah untuk melakukan amalan-amalan shalih. Begitu juga orang yang ditakdirkan
oleh Allah untuk menuju neraka, maka dia pun dimudahkan oleh Allah untuk melakukan
amalan-amalan kejahatan
4
HR. al Bukhari no. 4949 dan Muslim no. 2647
10
Meskipun setiap manusia telah ditentukan menjadi penghuni surga atau menjadi penghuni neraka,
namun setiap manusia tidak dapat bergantung kepada ketetapan ini, karena setiap manusia tidak
ada yang mengetahui apa-apa yang dicatat di Lauhul Mahfuzh. Kewajiban setiap manusia adalah
berusaha dan beramal kebaikan, serta banyak memohon kepada Allah agar dimasukkan ke surga.
Meskipun setiap manusia telah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala demikian, akan tetapi Allah tidak
berbuat zhalim terhadap hamba-Nya.
11
C. Tujuan diciptakannya Manusia
Allah SWT menciptakan segala sesuatu tentu memiliki tujuan dan maksud tertentu, termasuk
penciptaan manusia di dunia ini tentu ada tujuan-tujuan yang sangat mulia. Setidaknya, ada dua
tujuan utama diciptakannya manusia di bumi ini yakni pertama: sebagai Abdullah (hamba Allah)
dan kedua: khalifah (pemimpin, pemakmur dan perawat).
Tujuan yang pertama sebagai Abdullah (hamba Allah) ini disebutkan dalam Al-Qur’an surat Adz-
Dzariyat ayat 56:
س ا َِّْل ِليَ ْعبُد ُْو ِن ِ ْ َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َو
َ اْل ْن
Artinya : “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.: melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. (Adz-Dzariyat: 56) maksudnya Yakni agar mereka mengakui kehambaan mereka
kepada-Ku, baik dengan sukarela maupun terpaksa.5
Sedangkan dalam pendapat ulama lain : Kami tidak menciptakan jin dan manusia kecuali kami
perintahkan mereka untuk beribadah, yaitu merendah, tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah
SWT. Kemudian di dalam tafsir al misbah Prof. Dr. Quraish Syihab menyatakan bahwa Aku tidak
menciptakan jin dan manusia untuk suatu manfaat yang kembali kepada-Ku, tetapi mereka Aku
ciptakan untuk beribadah kepada-Ku. Dan ibadah itu sangat bermanfaat untuk mereka sendiri.6
Dari penjelasan para ulama di atas terkait tugas utama manusia sebagai hamba Allah, maka dapat
diambil suatu pelajaran penting yaitu, pertama: manusia itu diciptakan oleh Allah di muka bumi
untuk beribadah hanya kepada-Nya bukan kepada selain-Nya. Kedua: mengakui akan eksistensi
atau keberadaan dirinya sebagai seorang hamba yang tunduk dan menyerahakan diri sepenuhnya
pada Allah. Ketiga: ibadah yang dikerjakan oleh hamba itu sangat bermanfaat kepada mereka
sendiri bukan pada Allah.
5
Tafsir Ibnu Katsir
6
Tafsir Al-Wajiz
12
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Menurut ulama Abdurrahman an-Nahlawy, ada dua hakikat penciptaan manusia dilihat dari
sumbernya. Yang pertama adalah asal atau sumber yang jauh yakni menyangkut proses penciptaan
manusia dari tanah dan disempurnakannya manusia dari tanah tersebut dengan ditiupkannya ruh.
Asal yang kedua adalah penciptaan manusia dari sumber yang dekat yakni penciptaan manusia
dari nutfah yakni sel telur dan sel sperma.
Allah menciptakan manusia dengan dua unsur yakni jasmani dan rohani. Unsur jasmani Adalah
tubuh atau jasad manusia yang tersusun atas organ dan sistem organ. Unsur yang kedua yakni
unsur ruh atau jiwa. Kedua unsur ini berkaitan satu sama lain dan apabila kedua unsur tersebut
berpisah maka manusia disebut mati sehingga tidak lagi dapat disebut sebagai manusia.
Sejak awal penciptaannya, manusia pertama yakni Adam As telah mengakui Allah sebagai
Tuhannya dan hal tersebut mendorong manusia untuk senantiasa beriman kepada Allah SWT.
Penciptaan manusia juga memiliki hakikat bahwa Allah menciptakan agama islam sebagai
pedoman hidup yang harus dijalani oleh manusia selama hidupnya. Seluruh ajaran islam adalah
diperuntukkan untuk manusia dan oleh karena itu manusia wajib beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan yang maha Esa yakni Allah SWT.
Adapun Allah menciptakan manusia untuk mengabdi dan menjadi hamba yang senantiasa
beribadah dan menyembah Allah SWT.
13
DAFTAR PUSTAKA
Tafsir Al-Qurthubi
Tafsir Al-Wajiz
14