Anda di halaman 1dari 16

Makalah

“Manusia dan Kodratnya”


Makalah Ini di susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Tafsir Ayat Siyasah

Oleh:
Afdhal Dzulhaqi
2220203874235040
Jumiati
2020203874235052
Dosen Pengampuh
Dr H. Suarning, M.Ag.

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS FAKHSI
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAIN) NEGERI PAREPARE
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. Atas segala rahmat, karunia, serta petunjuk-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Makalah ini membahas tentang “Manusia dan kodratnya: al-Alaq: 2; at-Tin: 4; al-Balad:
4; al-anbiya’: 37; al-Ma’rij: 19; al-Nisa: 28.” saya makalah ini dapat memberikan kontribusi
dan pemahaman yang lebih dalam mengenai “Manusia dan kodratnya: al-Alaq: 2; at-Tin: 4; al-
Balad: 4; al-anbiya’: 37; al-Ma’rij: 19; al-Nisa: 28.” kepada pembaca .saya menyadari bahawa
masih banyak kekurangan dalam makalah ini ,oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
saya harapkan perbaikan di masa yang akan datang .

Akhir kata, saya berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan menjadi
sumbangsih kecil dalam pengembangan ilmu pengetahuan.sekali lagi saya ucapkan terima kasih
yang sebesar besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................1
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................2
BAB I..................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN..................................................................................................................................3
A. Latar Belakang.........................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................4
BAB II.................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN....................................................................................................................................5
A. Al-Alaq: 2................................................................................................................................5
B. At-tin;4...................................................................................................................................6
C. Al- Balad:4..............................................................................................................................7
D. Al-Anbiya:37...........................................................................................................................9
E. Al-Ma’arij: 19........................................................................................................................10
F. An-Nisa : 28...........................................................................................................................11
BAB III..............................................................................................................................................13
PENUTUP.........................................................................................................................................13
A. Kesimpulan...........................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam al-Qur’an memuat begitu banyak aspek kehidupan manusia. Tidak ada rujukan
yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan al-Qur’an yang hikmahnya meliputi
seluruh alam dan isinya baik yang tersurat maupun yang tersirat tak akan pernah habis untuk
digali dan dipelajari. Ketentuan-ketentuan hukum yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan al-
Hadis berlaku secara universal untuk semua waktu, tempat dan tak bisa berubah, karena
memang tak ada yang mampu merubahnya. Al-Qur’an sebagai ajaran suci umat Islam, di
dalamnya berisi petunjuk menuju ke arah kehidupan yang lebih baik, tinggal bagaimana
manusia memanfaatkannya.

Menanggalkan nilainilai yang ada di dalamnya berarti menanti datangnya masa


kehancuran. Sebaliknya kembali kepada al-Qur’an berarti mendambakan ketenangan lahir
dan batin, karena ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an berisi kedamaian. Ketika umat Islam
menjauhi alQur’an atau sekedar menjadikan al-Qur’an hanya sebagai bacaan keagamaan
maka sudah pasti al-Qur’an akan kehilangan relevansinya terhadap realitas-realitas alam
semesta. Kenyataannya orang-orang di luar Islamlah yang giat mengkaji realitas alam
semesta sehinggamereka dengan mudah dapat mengungguli bangsa-bangsa lain, padahal
umat Islamlah yang seharusnya memegang semangat al-Qur’an.1

Manusia merupakan mahluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna, diantara
makhluk-mahluk manusia diberi ciptaan-Nya akal pikiran lainnya. Yang kesempurnaannya
tersebut, berfungsi untuk mengatur dan mengendalikan dirinya dalam menjalani kehidupan di
dunia. Untuk selalu patuh dan taat terhadap segala perintah-Nya, dan selalu menjauhi segala
larangan-Nya.

Akan tetapi dunia lebih menghanyutkan dan menawarkan kebahagiaan lebih kongkrit
keberadaannya, membentuk keadaan jiwa manusia dalam kekuasaan finansial, pikiran, hati
dan tingkah laku dalam norma keserakahan demi kepentingan pribadi. Mereka lupa akan
peringatan Allah SWT dalam al-Qur’an, padahal sesungguhnya kampung akhirat adalah

1
Muhammad al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1999), Cet. IV, h. 21.
lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertaqwa. Hal ini memberi
pengertian bahwa manusia harus memikirkan tujuan akhir semua aktivitas yang dijalani.

Agar tujuan itu dapat direalisasikan oleh manusia, maka alQur’an datang dengan
petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan, aturan-aturan, prinsip-prinsip, konsep-konsep,
baik yang bersifat global maupun terperinci, bersifat eksplisit maupun implisit dalam
persoalan dan bidang kehidupan Sudah sekian banyak para ulama, ustadz, kiyai yang
mengingatkan kepada kita agar senantiasa mempelajari dan mengamalkan al-Qur’an. Namun
biasanya kita akan mengalami kebingungan, dari mana harus memulai, mana titik tolak yang
harus ditempuh ketika ingin segara mengamalkan al-Qur’an. Oleh karena itu, kebingungan
tersebutlah yang mengakibatkan tidak sedikit umat Islam yang pada akhirnya justru tidak
mengamalkan al-Qur’an sehingga jauh dari nilai-nilai Islam.2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Manusia dan kodratnya menurut surah al-Alaq: 2; at-Tin: 4; al-Balad: 4; al-
anbiya’: 37; al-Ma’rij: 19; al-Nisa: 28?

2
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir jilid 10, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-
Syafi’i), h. 358.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Al-Alaq: 2
‫َخ َلَق اِاْل ْنَس اَن ِم ْن َع َلٍۚق‬

Artinya, (2) Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.

Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan firman Allah: "Khalaqal-insāna", yakni


anak Adam. Min ‘alaq, yakni dari darah. Kalimat 'alaq merupakan bentuk jamak dari
'alaqah. Makna 'alaqah sendiri adalah segumpal darah. Penyebutan 'alaq dengan bentuk
jamak karena Allah menghendaki maksudnya adalah seluruh manusia, dimana seluruh
manusia diciptakan dari segumpal darah, setelah sebelumnya berupa air mani. Penyebutan
insan secara khusus bertujuan untuk memuliakannya.

Ada yang mengatakan penyebutan insan secara khusus karena Allah menghendaki
untuk menjelaskan kadar nikmat yang diberikan-Nya kepada manusia dengan penciptaannya
dari segumpal darah yang hina hingga menjadi manusia yang sempurna, berakal, dan mampu
membedakan berbagai hal.(Syamsuddin al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, [Mesir, Darul Kutub
al-Mishriyah: 1384 H/1964 M], juz XX, halaman 119). Al-Baidhawi menjelaskan ayat
"Khalaqal-insāna", dengan makna: "Dia menciptakan manusia, atau Dzat yang menciptakan
insan yang pada ayat pertama Allah menyamarkannya, kemudian menjelaskannya untuk
memuliakan dan menunjukkan keajaiban tentang penciptaan manusia". Berkaitan dengan
ayat min ‘alaq, pengunaan bentuk plural lafal 'alaq menunjukan manusia keseluruhannya.3

Karena itu kewajiban paling awal adalah mengetahui atau mengenal Allah. Ayat ini
pertama kali diturunkan oleh Allah untuk menunjukkan atas wujud (keberadaan), kekuasan
menciptakan, dan kesempurnaan hikmah-Nya. (Nasiruddin as-Syairazi al-Baidhawi, Anwarut
Tanzil wa Asrarut Ta'wil, [Beirut, Darul Ihya': 1418 H], juz V, halaman 523). Penafsiran al-
Baidhawi di atas memberikan pemahaman bahwa kewajiban pertama kali bagi manusia
adalah makrifat atau mengenal Allah. Menurutnya hal itu dapat dipahami dengan adanya ayat

3
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi’, al-Mu'jam al-mufahras } li alfa>z} al-Qur'a>n alkari>m (Mesir: Dar al-Hadis, 2018
M.), h 688-690.
ini. Ayat ini termasuk dari ayat yang pertama kali diturunkan, di mana Allah menjelaskan
dan mengenalkan Dzat-Nya sebagai pencipta manusia.4

Sementara al-Maraghi menafsirkan ayat ke dua ini dengan makna: "Sesungguhnya


Dzat pencipta manusia yang merupakan makhluk paling mulia dari segumpal darah,
kemudian Dia memberikannya kemampuan penguasaan, menjadikannya mampu mengusai
sesuatu yang ada di bumi ini dengan pengetahuannya, serta menundukannya untuk
melayaninya, Dialah dzat yang mampu menjadikan manusia yang sempurna seperti Nabi
saw, yang dapat membaca sekalipun belum pernah belajar membaca". (Ahmad bin Musthafa
al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, [Mesir: Matba'ah Musthafa al-Babil Halabi: 1365H/1946M],
juz XXX, halaman 199).

Sederhananya, Dzat yang mampu menciptakan dari segumpal darah menjadi manusia
hidup, dapat berbicara, dan mampu menguasai seluruh makhluk yang ada di bumi, mampu
juga menjadikan Muhammad saw seorang yang dapat membaca, sekalipun tidak pernah
belajar membaca dan menulis. Wallahu a'lam.

B. At-tin;4
‫َأ‬
‫َلَقْد َخ َلْق َن ا اِإْلْن َس اَن ِفي ْح َس ِن َت ْق ِو يٍم‬
Artinya: “ Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.”

Ayat keempat menjelaskan bahwa Allah SWt telah menciptakan manusia dengan
sebaik-baiknya bentuk. Proses penciptaan manusia berbeda dengan makhluk ciptaan Allah
SWT lainnya. Di mana manusia memiliki keistimewaan yang berupa akal, jasmani, rohami,
serta nafsu. Tubuh manusia pun memiliki bentuk yang seimbang dan bisa digunakan untuk
melakukan berbagai aktivitas. Sementara hewan, hanya memiliki jasmani dan nafsu saja.
Hewan tak memiliki akal yang bisa berpikir logis dalam mencari sebuah solusi untuk
permasalahan.5

4
Ibnu Katsir, Tafsi>r Ibnu Kas|i>r, diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar E.M.dkk, Judul asli, Lubabut Tafsi>r min Ibnu
Kas|i>r (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’ 2008 M.), Jilid 1, h. 105-107
5
Wahbah az-Zuhaili, Tafsi>r al-Muni>r fil Aqi>dah wa Syari>’ah wa Manhaj (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991 M.), Juz 10,
h. 337.
Keberadaan manusia di dunia ini bukanlah atas kehendak bebasnya sendiri atau hasil
evolusi alam, melainkan atas kehendak Allah. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, oleh
karena itu manusia tidak lepas dari ketergantungannya kepada Tuhan dalam hidupnya. Dia
juga tidak bisa lepas dari aturannya. Sebagai makhluk, manusia berada dalam posisi lemah
atau terbatas. Dalam arti, ia tidak memiliki kemampuan untuk menolak, menentang, atau
merekayasa yang sudah dipastikan oleh Allah. Dalam Q.S. at-Tin ayat 4 Allah berfirman:6

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”

Sesuai dengan fitrah penciptaannya, manusia hidup di dunia memiliki kewajiban


untuk mengabdi hanya kepada Allah, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. adz-Dzariyat
ayat 56:

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.”

Sudah diketahui dengan baik bahwa manusia adalah makhluk sosial. Dilihat dari
kodratnya, manusia memiliki potensi untuk bersosialisasi dan berinteraksi secara positif dan
konstruktif dengan orang lain dan lingkungannya. Sebagai khalifah, manusia memiliki
amanat dan tanggung jawab untuk mengambil prakarsa dan berpartisipasi aktif dalam
penciptaan tatanan kehidupan yang baik dalam masyarakat, berusaha mencegah gangguan
nilai-nilai kemanusiaan dan perusakan lingkungan. Orang sebagai khalifah dalam konteks
Islam berarti orang yang memiliki banyak kelebihan. Manfaat ini termasuk kemampuan
untuk mengendalikan alam dan membuatnya berkembang.

C. Al- Balad:4
‫َلَقۡد َخ َلۡق َنا اِاۡل ۡن َس اَن ِفۡى َك َبٍؕد‬

Artinya:

“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.”

6
agib al-Asfahani, Mufrada>t fil Gari>b al-Qur’a>n, h. 375. 122 Ahmad Mukhtar, al-Mu’jam al-Mausu>’i lialfa>dz Al-
Qur’a>n (Riyadh: alMamlakah al-Arabiyyah as-Su’u>diyyah, 2002 M.) h. 920
Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. Siapa pun,
termasuk Nabi, dalam masa hidupnya pasti menemui kepayahan, sejak dalam kandungan
sampai masa dewasa. Manusia mesti bersusah payah mencari nafkah, mengalami sakit, dan
mati. Dalam alam kubur menuju alam mahsyar pun manusia menghadapi kepayahan.
Manusia harus mengisi kehidupannya di dunia dengan amal saleh agar tidak menemukan
kepayahan lagi di akhirat.

Setelah bersumpah, Allah menyampaikan pesan penting yang hendak dikemukakan-


Nya yang karena itu Ia perlu terlebih dahulu bersumpah. Pesan itu adalah bahwa manusia
terlahir dalam kesulitan. Maksudnya, manusia tidak bisa lagi hidup tanpa susah payah
sebagaimana dialami oleh nenek moyang mereka, Adam dan Hawa, di surga, karena
semuanya tersedia. Tetapi mereka harus hidup dengan terlebih dahulu bersusah payah:
berusaha, mencari rezeki, mengatasi berbagai rintangan, dan sebagainya.

Berdasarkan perjuangan itulah, Allah menilai manusia tersebut. Semakin besar


perjuangan yang dilakukan manusia dan semakin besar manfaat yang diberikan hasil
perjuangannya itu bagi umat manusia, semakin tinggi nilai manusia itu dalam pandangan
Allah. Begitu pulalah Nabi Muhammad di kota ini, beliau perlu berjuang agar kebenaran
menjadi nyata dan kebatilan menjadi sirna. Demikian pula seluruh manusia. Oleh karena itu,
manusia mati seharusnya meninggalkan jasa.

Surat Al Balad ayat 4 adalah salah satu surat dalam Al Quran yang menyampaikan
berita tentang penciptaan manusia. Pada permulaan ayat,, surat ini dimulai dengan
pernyataan sumpah atas keagungan dan kesucian Kota Mekah.

Sebab itu, surat ini dinamai Al-Balad yang mengandung arti negeri karena berisikan
sumpah atas balad (negeri). Surat yang berada dalam urutan no-35 dalam mushaf Al Quran
ini terdiri dari 20 ayat.

Menurut tafsir dari Al Quran Kementerian Agama (Kemenag), surat Al Balad ayat 4
menjelaskan bahwa tiap fase kehidupan manusia pasti akan menemui kesulitan. Mulai dari
dilahirkan hingga saat menemui kematian.
"Dalam alam kubur menuju alam mahsyar pun manusia menghadapi kepayahan.
Manusia harus mengisi kehidupannya di dunia dengan amal saleh agar tidak menemukan
kepayahan lagi di akhirat," tulis Kemenag.

Kesulitan yang dimaksud dalam ayat ini, menurut Kemenag, adalah kesulitan untuk
bersusah payah dalam mengatasi masalah. Misalnya, mencari rezeki untuk menjalani
kehidupan.

Senada dengan itu, Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa kata ‫( َك َبٍد‬al kabad)
dalam ayat di atas memiliki makna tegak lurus. Hal ini ditafsirkan oleh beberapa ahli tafsir
sebagai penciptaan manusia yang sempurna dan tegak.

Dikisahkan dari Abdul Hamid ibnu Ja'far berkata bahwa ia pernah mendengar imam
besar Muhammad ibnu Ali alias Abu Ja'far Al-Baqir bertanya kepada seorang lelaki dari
kalangan Ansar mengenai makna firman surat Al Balad ayat 4.

Lalu lelaki tersebut menjawab bahwa untuk dapat berdiri dan tegak, manusia harus
mengalami susah payah. Kemudian, imam besar Abu Ja'far Al-Baqir tidak menyangkal
pernyataan tersebut.

Kemudian, susah payah yang dimaksud adalah susah payah dalam perkara duniawi
maupun perkara akhirat. Bahkan dalam proses kelahiran manusia, seorang ibu harus melalui
kondisi yang sulit sebagaimana diceritakan dalam Al Quran.

"Yakni mengalami susah payah dalam menanggulangi suatu urusan dari perkara
dunianya dan suatu urusan dari perkara akhiratnya. Dan menurut riwayat yang lain,
disebutkan mengalami kesusahan hidup di dunia dan kesusahan di akhirat," tulis Ibnu Katsir.

D. Al-Anbiya:37
‫ُخ ِلَق اِاْل ْنَس اُن ِم ْن َع َج ٍۗل َس ُاوِر ْيُك ْم ٰا ٰي ِتْي َفاَل َتْسَتْع ِج ُلْو ِن‬

Manusia diciptakan (bersifat) tergesa-gesa. Kelak Aku akan memperlihatkan


kepadamu (azab yang menjadi) tanda-tanda (kekuasaan)-Ku. Maka, janganlah kamu
meminta Aku menyegerakannya. (QS Al-Anbiya: 37)

Menurut Tafsir Kementerian Agama, pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa
manusia dijadikan sebagai mahluk yang bertabiat suka tergesa-gesa dan terburu nafsu.
Kemudian Allah memperingatkan kaum kafir agar mereka jangan meminta
disegerakannya azab yang diancamkan kepada mereka karena Allah pasti akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda dari azab-Nya itu.

Di sini dapat kita ketahui bahwa Allah melarang manusia untuk bersifat tergesa-
gesa, meminta segera didatangkannya sesuatu yang belum tiba saatnya, dan pasti
datangnya. Di samping itu Allah menerangkan bahwa walaupun sifat tergesa-gesa itu
sudah dijadikan-Nya sebagai salah satu sifat pada manusia, namun manusia telah diberi
kemampuan untuk menahan diri dan mengatasi sifat tersebut dengan cara membiasakan
diri bersikap tenang, sabar, dan mawas diri.

Sifat tergesa-gesa dan terburu nafsu selalu menimbulkan akibat yang tidak baik
serta merugikan diri sendiri atau orang lain, yang akhirnya akan menimbulkan rasa
penyesalan yang tidak berkesudahan. Sebaliknya, sikap tenang, sabar, berhati-hati dan
mawas diri dapat menyampaikan seseorang kepada apa yang ditujunya, dan mencapai
sukses yang gemilang dalam hidupnya.

Itulah sebabnya Alquran selalu memuji orang-orang yang bersifat sabar, dan
menjanjikan kepada mereka bahwa Allah senantiasa akan memberikan perlindungan,
petunjuk, dan pertolongan kepada mereka.

Sedang orang-orang yang suka terburu-buru, lekas marah, mudah terpedaya oleh
godaan iblis yang akan menjerumuskannya ke jurang kebinasaan, dan menyeleweng dari
kebenaran akan mendapat kerugian.

Permintaan orang-orang kafir agar azab Allah segera didatangkan kepada mereka,
dengan jelas menunjukkan ketidakpercayaan mereka terhadap adanya azab tersebut, serta
keingkaran mereka bahwa Allah kuasa menimpakan azab kepada orang-orang yang
zalim.

E. Al-Ma’arij: 19

‫ِاَّن اِاۡل ۡن َس اَن ُخ ِلَق َهُلۡو ًعا‬

“Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh”.


Dalam ayat ini dijelaskan bahwa manusia memiliki sifat suka berkeluh kesah dan
kikir. Namun, sifat ini dapat diubah jika menuruti petunjuk Tuhan yang dinyatakan-Nya
dalam ayat 22 sampai 24 surah ini. Manusia yang tidak mempedulikan petunjuk Tuhan
dan seruan rasul adalah orang yang sesat. Firman Allah: Dan kebanyakan manusia tidak
akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya. (Yusuf/12: 103)

Manusia bisa sesat dari jalan Allah karena sifatnya yang tergesa-gesa, gelisah, dan
kikir. Hal ini bukanlah ketentuan dari Allah terhadapnya, tetapi mereka menjadi mukmin
atau menjadi kafir karena usaha dan pilihan mereka sendiri.

Dialah yang menciptakan kamu, lalu di antara kamu ada yang kafir dan di antara
kamu (juga) ada yang mukmin. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (At-
Tagabun/64: 2)

Kepada manusia dibentangkan jalan lurus menuju keridaan Allah dan


kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat seperti yang disampaikan Rasulullah,
sebagaimana yang termuat dalam Al-Qur'an dan hadis. Di samping itu, terbentang pula
jalan yang sesat, jalan yang dimurkai Allah dan menuju ke tempat yang penuh derita dan
sengsara di akhirat. Manusia boleh memilih salah satu dari kedua jalan itu; jalan mana
yang akan ditempuhnya, apakah jalan yang lurus atau jalan yang sesat. Kemudian mereka
diberi balasan sesuai dengan pilihan mereka.

F. An-Nisa : 28
‫ُيِريُد ُهَّللا َأْن ُيَخ ِّفَف َع ْنُك ْم َو ُخ ِلَق اِإْل ْنَس اُن َضِع يًفا‬

Artinya, “Allah menghendaki meringankan kalian dalam hukum-hukum agama


sementara manusia diciptakan dalam kondisi lemah.” (An-Nisa’: 28).

Imam Abu Ja'far At-Thabari mengatakan, makna ayat “yurīdullāhu ayyukhaffifa


'ankum”, Allah menghendaki meringankan kalian, adalah Allah menghendaki memberi
keringanan kepada kalian umat Nabi Muhammad saw, yaitu dengan diberi izin menikahi
budak perempuan yang beriman ketika tidak mampu membayar mahar untuk menikahi
perempuan merdeka. Karena kalian diciptakan dalam kondisi lemah dari menahan diri
untuk tidak mengakses kebutuhan seksual atau bersetubuh dengan perempuan. Karena
itulah Allah mengizinkan lelaki untuk menikahi budak perempuan saat tidak mampu
membayat mahar bagi wanita merdeka, agar tidak melakukan perzinaan.

Tadabbar ayat Al-Qur'an kali ini mengkaji Surat An-Nisa Ayat 28 di mana Allah
menciptakan manusia bersifat lemah (dhaif). Mengingat kondisi manusia yang lemah,
Allah menghendaki keringanan bagi kaum Muslimin. Dalam ayat ini, Allah
memberitahukan bahwa manusia sangat lemah, terutama dalam menghadapi godaan hawa
nafsunya. Sehingga kaum Muslimin diperintahkan menjaga dirinya agar jangan sampai
melakukan pelanggaran seperti berzina dan sebagainya.

enurut tafsir Kementerian Agama, ayat ini menerangkan bahwa tidak ada hukum
Allah di luar kemampuan manusia untuk memikulnya. Manusia harus menyadari
kelemahan dirinya. Karena itu perlu membentengi diri dengan iman yang kuat dan
mengetahui tuntunan Allah dan cara-cara mengatasi godaan hawa nafsunya. Dalam tafsir
Ibnu Katsir dijelaskan makna "Allah hendak memberikan keringanan kepada kalian",
yaitu dibolehkannya mengawini budak-budak perempuan dengan syarat-syarat tertentu.
Seperti dikatakan oleh Mujahid dan lainnya sehubungan dengan firman-Nya: "Dan
manusia dijadikan bersifat lemah." (An-Nisa: 28) Menurut Waki', kata lemah dalam ayat
ini yakni terhadap perkara wanita. Artinya, akal lelaki lemah apabila menghadapi wanita.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang berinduk dari Adam. Manusia ini
wujudnya terlihat jelas yang mampu berbicara, berpikir dan berkomunikasi dengan
sesamanya dalam komunitas bermasyarakat. Asal kejadian Adam berbeda dengan asal
kejadian manusia secara keseluruhan. Adam diciptakan secara khusus dari tanah, sedangkan
manusia berasal dari saripati berasal dari tanah (sulalah min tin) kemudian menjadi air mani
(nutfah), kemudian menjadi segumpal darah (‘alaqah) kemudian menjadi segumpal daging
(mudgah), kemudian menjadi tulang belulang (‘izam), kemudian dibungkus dengan daging
(lahm), kemudian menjadi bayi. Bayi tumbuh menjadi dewasa, dewasa tumbuh menjadi tua
renta selanjutnya wafat dan dikebumikan kembali ke asal kejadiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir jilid 10, (Jakarta:
Pustaka Imam Asy-Syafi’i), h. 358.
agib al-Asfahani, Mufrada>t fil Gari>b al-Qur’a>n, h. 375. 122 Ahmad Mukhtar, al-Mu’jam al-
Mausu>’i lialfa>dz Al-Qur’a>n (Riyadh: alMamlakah al-Arabiyyah as-Su’u>diyyah,
2002 M.) h. 920
Ibnu Katsir, Tafsi>r Ibnu Kas|i>r, diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar E.M.dkk, Judul asli,
Lubabut Tafsi>r min Ibnu Kas|i>r (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’ 2008 M.), Jilid 1, h.
105-107
Muhammad al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1999), Cet. IV, h. 21.
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi’, al-Mu'jam al-mufahras } li alfa>z} al-Qur'a>n alkari>m (Mesir:
Dar al-Hadis, 2018 M.), h 688-690.
Wahbah az-Zuhaili, Tafsi>r al-Muni>r fil Aqi>dah wa Syari>’ah wa Manhaj (Damaskus: Dar al-
Fikr, 1991 M.), Juz 10, h. 337.

Anda mungkin juga menyukai