Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

TUHAN DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Dosen Pengampu :
Rofiq Hamzah, M.Pd.

Disusun Oleh :
1. Lina Khoirun Nisa’ (126204211046)
2. Naimatus Sa’adah (126204211052)
3. Radit Ari Hernanda (126204212137)
4. Ratna Dwiyanti (126204213192)

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Tuhan dalam Filsafat Pendidikan Islam” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen pada mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk mengetahui dan memahami Tuhan dalam Filsafat Pendidikan Islam
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rofiq Hamzah M.Pd., selaku
dosen mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Tulungagung, 11 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ i


DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah........................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... 3
A. Tuhan dalam Islam ......................................................................... 3
B. Eksistensi Tuhan dalam Islam ......................................................... 6
C. Argumen-Argumen Adanya Tuhan ................................................. 9
1. Argument Ontologis .................................................................. 10
2. Argument Cosmologis (sebab-akibat) ........................................ 11
3. Argument Contingency (kemungkinan) ..................................... 12
4. Argument Teleogis (rancangan) ................................................ 14
5. Argument Religious Experience (pengalaman religious) ........... 15
D. Tuhan dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam .......................... 16
1. Perspektif Tuhan dalam Filsafat Pendidikan Islam..................... 16
2. Implikasi Konsep Tuhan bagi Filsafat Pendidikan Islam ............ 18
BAB III PENUTUP ................................................................................. 20
A. Kesimpulan .................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dilihat dari perspektif sejarah kemanusiaan, hampir semua umat manusia
memiliki kepercayaan adanya Tuhan yang mengatur alam ini. Orang-orang Yunani
Kuno dengan paham politeismenya meyakini bahwa bintang adalah tuhan (dewa),
Venus adalah tuhan (dewa) kecantikan, Mars adalah dewa peperangan, Minerva adalah
dewa kekayaan, sedangkan tuhan tertingginya adalah Apollo atau Dewa Matahari.
Orang-orang Hindu masa lampau juga mempunyai banyak dewa yang diyakini sebagai
tuhan-tuhan. Hal ini sebagaimana tecermin dalam Hikayat Mahabarata. Orang-orang
Mesir juga tidak terkecuali. Mereka meyakini adanya Dewa Iziz, Dewa Oziris, dan
yang tertinggi adalah Dewa Ra’. Masyarakat Persia pun demikian adanya. Mereka
percaya adanya Tuhan Gelap dan Tuhan Terang.
Pengaruh keyakinan-keyakinan ini terus merambah dalam masyarakat Arab,
yang walaupun ketika mereka ditanya tentang penguasa dan pencipta langit dan bumi
mereka menjawab, “Allah”, tetapi pada saat yang sama mereka juga menyembah
berhala-berhala seperti Al-Lata, Al-‘Uzza, dan Manata, tiga berhala terbesar mereka
di samping ratusan berhala lainnya.
Menurut Quraish Shihab , Islam datang dan lahir untuk meluruskan keyakinan-
keyakinan tersebut, dengan membawa ajaran tauhid. Atau dalam bahasa Ashgar Ali
Engineer , kedatangan Islam merupakan sebuah revolusi bagi sejarah kehidupan
manusia. Karena ajaran tauhid yang dibawa, Islam sering disebut sebagai agama
monoteisme (paham satu Tuhan). Monoteisme Islam menitikberatkan pada Zat Tuhan
yang murni keesaannya. Keesaan Tuhan dalam Islam tidak berarti genus, karena genus
adalah kumpulan benda-benda, juga tidak berarti spesies, karena spesies adalah bagian
dari benda. Keesaan Tuhan tidak tersusun dari materi dan bentuk, sebab yang tersusun
dari materi dan bentuk adalah benda. Tuhan dalam Islam adalah yang benar pertama
dan yang benar tunggal. Hanya Dialah yang satu, selain Dia mengandung arti banyak.
Kajian filosofis berikut akan mengungkap pandangan Islam tentang Tuhan, eksistensi
Tuhan, dalil-dalil adanya Tuhan, dan implikasi pandangan tersebut bagi filsafat
pendidikan Islam.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Tuhan dalam Islam?
2. Bagaimana eksistensi Tuhan dalam Islam?
3. Bagaimana argumen-argumen adanya Tuhan?
4. Bagaimana Tuhan dalam perspektif Filsafat Pendidikan Islam?
5. Bagaimana implikasi konsep Tuhan bagi Filsafat Pendidikan Islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Tuhan dalam Islam.
2. Untuk mengetahui eksistensi Tuhan dalam Islam.
3. Untuk mengetahui argumen-argumen adanya Tuhan.
4. Untuk mengetahui Tuhan dalam perspektif Filsafat Pendidikan Islam.
5. Untuk mengetahui implikasi konsep Tuhan bagi Filsafat Pendidikan Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tuhan dalam Islam


Dalam konsep Islam, Tuhan disebut Allah dan diyakini sebagai Zat Maha
Tinggi yang nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang
Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam.
Secara etimologis kata Allah diderivasi dari kata ilah yang berarti
menyembah. Kata Allah juga dapat diderivasi dari kata alih yang berarti
ketenangan, kekhawatiran dan rasa cinta yang mendalam. Ketiga makna kata alih
mengarah kepada makna keharusan untuk tunduk dan mengagungkan. 1
Allah adalah sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan selain Allah); wujud
tertinggi, terunik; Zat Yang Maha Suci, Yang Maha Mulia; daripada-Nya
kehidupan berasal dan kepada-Nya kehidupan kembali. Para filsuf dizaman kuno
menamai Allah SWT dengan nama Pencipta, Akal Pertama, Penggerak pertama,
Penggerak Yang tiada Bergerak, Puncak Cinta, dan Wajib al-Wujud. Allah SWT.
adalah tuntutan setiap jiwa manusia. Setiap puak dan bangsa manusia merasakan
dan menyadari kehadiran-Nya sejak masa yang paling awal dan menamai-Nya
menurut istilah-istilah yang mereka tentukan.
Agama Islam adalah agama yang mengenalkan Tuhan dengan melalui isi
kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Kata “Allah “ dalam Al-Qur’an terulang sebanyak
2697 kali. Belum lagi kata-kata semacam wahid, ahad, ar-Rabb, Al-Ilah atau
kalimat yang menafikan adanya sekutu bagi-Nya dalam perbuatan atau wewenang
menetapkan hukum atatu kewajaran beribadah kepada selain-Nya serta penegasan
2
lain yang semuanya mengarah kepada penjelesan tentang tauhid.
Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam menjelaskan
bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan. Hal ini merupakan fitrah

1
Syafleh, M. Fil. I, “Tuhan Dalam Perspektif Al-Qur’an”, Jurnal At-Tibyan Vol. I No.1 Januari–Juni
2016, hal 151.
2
Hairul Anwar, “Konsepsi Tuhan di Dalam Al-Qur’an”, Jurnal al-Burhan Vol. 15 No. 1 tahun 2015,
hal 36.

3
(bawaan) manusia sejak asal kejadiannya, sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-
Rûm (30) ayat 30 yang berbunyi:

‫الد ْي ُن ْالقَ ِي ُۙ ُم َو ٰلك َِّن ا َ ْكث َ َر النَّا ِس‬


ِ َ‫ّٰللا ٰۗذلِك‬
ِ‫ق ه‬ ِ ‫ع َل ْي َه ۗا ََل ت َ ْب ِد ْي َل ِلخ َْل‬
َ ‫اس‬ َ َ‫ّٰللا الَّتِ ْي ف‬
َ َّ‫ط َر الن‬ ْ ‫فَاَقِ ْم َوجْ َهكَ ل ِِلدي ِْن َحنِ ْيفً ۗا ف‬
ِ ‫ِط َرتَ ه‬
٣٠ َ‫ََل َي ْعلَ ُم ْو ُۙن‬
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi

kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Serta dalam surat Al-A’raf ayat 172 yang berbunyi:

َ ‫ع ٰلْٓى ا َ ْنفُ ِس ِه ْۚ ْم اَلَسْتُ بِ َربِكُ ۗ ْم قَالُ ْوا بَ ٰل ۛى‬


‫ش ِهدْنَا ۛا َ ْن تَقُ ْولُ ْوا‬ ْ ‫َواِذْ ا َ َخذَ َربُّكَ م ْۢ ِْن بَنِ ْْٓي ٰادَ َم‬
َ ‫مِن ظُ ُه ْو ِر ِه ْم ذ ُ ِريَّت َ ُه ْم َوا َ ْش َهدَهُ ْم‬
١٧٢ َ‫ع ْن ٰهذَا ٰغ ِف ِلي ُْۙن‬ َ ‫يَ ْو َم ْال ِق ٰي َم ِة اِنَّا كُنَّا‬
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-
anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab:
"Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."
Fitrah ini dimiliki setiap manusia yang dibawa olehnya sejak kelahiran,
walaupun karena kesibukan dan dosa-dosa ia terkadang menjadi terabaikan dan
bahkan tidak terdengar lagi suaranya. Kehadiran Tuhan merupakan fitrah manusia
sebagai kebuTuhan hidup. Kalaupun ada manusia yang mengingkarinya (ateis), itu
bersifat sementara. Pada akhirnya manusia akan mengakuinya, walaupun hingga
saat jiwanya terpisah dari jasadnya, sebagaimana terjadi pada Fir’aun.
Islam mengajarkan bahwa para nabi dan rasul senantiasa membawa ajaran
tauhid, sebagai upaya meluruskan akidah yang ada sebelumnya. Surah Al-Anbiyâ’
(21) ayat 25 dengan jelas mengungkapkan bahwa tidaklah Allah mengutus seorang
utusan kecuali diperintahkan untuk menyembah Allah yang satu. Tidak ada Tuhan
selain Allah. Ajaran tauhid ini berlaku bukan hanya bagi Muhammad, melainkan
pula bagi nabi-nabi sebelumnya, seperti Nabi Nuh, Hud, Shaleh, Syu’aib, Ibrahim,
Musa, dan Isa. Untuk itu, Al-Qur’an dengan jelas mengingatkan agar umat Islam

4
mempertahankan dan menegakkan ajaran tauhid ini, sebagaimana dilakukan
Ibrahim ketika memporak-porandakan berhala-berhala kaumnya.
Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur’an menjelaskan bahwa
Tuhan dalam Islam adalah Allah. Ia disebutkan dalam Al-Qur’an lebih dari 2500
kali, di luar penyebutan tentang substansi-Nya seperti al-Rabb atau al-Rahmân. Al-
Jurjani dalam Kitâb al-Ta’rîfât mendefinisikan kata “Allah” sebagai nama yang
menunjuk kepada Tuhan yang sebenarnya (al-Ilâh alHaqq), yang merupakan
kumpulan makna bagi seluruh nama-nama-Nya yang baik (al-asmâ al-husnâ).
Sementara itu, Toshihiko Izutsu secara semantik menjelaskan bahwa “Allah”
merupakan kata fokus tertinggi dalam sistem Al-Qur’an. Pandangan teosentrik Al-
Qur’an ini telah membuat konsep tentang Allah menjadi menguasai keseluruhan
kandungan Al-Qur’an. Hingga masa Muhammad mulai berdakwah, orang-orang
Arab Pagan telah memiliki kepercayaan yang kabur terhadap Allah sebagai Tuhan
tertinggi. Pada masa ini kata “Allah” merupakan makna dasar keTuhanan. Kata ini
kemudian dibawa masuk oleh sistem Islam sehingga Al-Qur’an menggunakannya
sebagai nama Tuhan dalam wahyu Islam. Tuhan dalam konteks ini dipahami
sebagai dimensi yang memungkinkan adanya dimensi-dimensi lain. Dia
memberikan arti dan kehidupan kepada setiap sesuatu. Dia serba meliputi. Dia
adalah tak terhingga, dan hanya Dialah yang tak terhingga.
Menurut Yusuf Musa dalam Al-Qur’ân wa al-Falsafah, keyakinan kaum
Muslim kepada Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa, Maha Mengetahui, Maha
Bijaksana dan maha-maha lainnya merupakan akidah Islamiyah tentang
keTuhanan. Akidah ini menjelaskan bahwa Allah adalah Pencipta yang tidak
memiliki awal dan akhir. Allah adalah Maha kuasa dan Maha Mengetahui segala
sesuatu yang ada di langit dan bumi. Alam ini adalah ciptaan-Nya, yang diciptakan
dari tidak ada. Selanjutnya dijelaskan Musa bahwa akidah Islamiyah ini apabila
dilihat dari sudut filsafat akan menemukan adanya dua wujud, yaitu wujud abadi
dan wujud zamani. Wujud abadi adalah wujud Yang Maha Sempurna secara
mutlak. Wujud ini ada berkat kekuasaan-Nya. Sifat abadi dalam wujud ini adalah
pasti menurut akal. Hanya wujud inilah yang tidak mustahil menurut akal, karena
akal akan mangimajinasikan keabadian itu tanpa awal dan akhir, tanpa bagaimana
(kaifa) dan bandingan dengan sesuatu yang lain. Sementara wujud zamani adalah

5
alam ini yang ada secara sementara. Adanya alam terikat oleh zaman. Oleh
karenanya zaman bukanlah sesuatu yang kekal. Keyakinan bahwa zaman itu abadi
merupakan kekacauan berpikir. Bagi kaum Muslim cukuplah mengetahui bahwa
zaman itu tidak abadi, karena zaman itu diadakan oleh wujud yang abadi, artinya
zaman memiliki permulaan dan pengakhiran.
Sementara itu, Abu Al-‘Ainain menambahkan bahwa keimanan kepada
Allah merupakan fondasi segala sesuatu. Keimanan ini terkumpul dalam kalimah
al-‘aqîdah al-Islâmiyah yang sering disebut sebagai kalimat tauhid, yaitu Lâ ilâha
illa Allâh Muhammad Rasûl Allâh. Ucapan ini secara esensi mengandung dua
keyakinan, uluhiyah dan nubuwwah. Uluhiyah artinya keyakinan hanya Allah
satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, dan nubuwwah artinya meyakini
kebenaran risalah Muhammad. Konsep keTuhanan ini dalam Islam merupakan
dasar segala keyakinan yang dijelaskan Al-Qur’an dengan jelas, yang membuat
seorang Muslim tidak ada alasan untuk tidak mengetahuinya. 3
B. Eksistensi Tuhan dalam Islam
Berbicara mengenai eksistensi Tuhan, sebelum melangkah lebih jauh
mengenai bagaimana wujud dari eksistensi Tuhan, anda harus tau apa yang
dimaksud dari eksistensi itu sendiri. Eksistensi adalah segala sesuatu yang telah
ada dan diketahui atau diyakini oleh semua orang. Jadi, segala sesuatu yang hanya
diketahui atau diyakini diri sendiri tidak akan menjadi eksis, kecuali orang lain
mengetahui atau menyakininya juga. Sama seperti halnya Tuhan, jika Tuhan hanya
diketahui atau diyakini satu orang saja, maka Tuhan tidak akan eksis. Lalu muncul
pertanyaan dari kaum filosofis, mengapa kita harus mempercayai adanya Tuhan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka berkaitan erat dengan ekistensi Tuhan.
Menurut Fazlur Rahman, Al-Qur’an telah menyatakan bahwa keyakinan
kepada yang lebih tinggi daripada alam adalah “keyakinan dan kesadaran terhadap
yang gaib”. Hingga batas-batas tertentu, “yang gaib” ini dapat dilihat oleh
manusia-manusia tertentu (seperti Muhammad), walaupun tidak dapat dipahami
secara sempurna oleh siapa pun juga, kecuali oleh Tuhan sendiri. Orang-orang
yang suka merenungi hal ini, maka mereka bisa paham akan esksistensi Tuhan.

3
Dr. Toto Suharto, M.Ag., “Filsafat Pendidikan Islam”, (Depok, Sleman, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media,
2014), hal 53.

6
Sehingga bagi mereka eksistensi Tuhan tidak lagi diyakini sebagai sesuatu yang
“irrasional” dan “tidak masuk akal”, tetapi berubah menjadi “Kebenaran
Tertinggi”. 4 Tetapi yang menjadi masalah di sini bukanlah bagaimana membuat
manusia beriman dengan mengemukakan buki-bukti “theologis” mengenai
eksistensi Tuhan, melainkan bagaimana membuat manusia beriman dengan
memberikan berbagai fakta yang jelas. Diharapkan dengan fakta tersebut mampu
mengingatkan atau mengenalkan manusia kepada eksistensi Tuhan. Ada tiga hal
yang perlu diingat manusia untuk memahami eksistensi Tuhan ini, yaitu
1) Segala sesuatu selain Tuhan, termasuk alam semesta, senantiasa bergantung
pada Tuhan
2) Tuhan Yang Maha Besar dan Perkasa pada dasarnya adalah Tuhan Yang Maha
Pengasih
3) Hal-hal ini sudah tentu mensyaratkan adanya hubungan yang tepat antara
Tuhan dan manusia, yaitu hubungan antara yang diper-Tuan dan hamba-Nya,
yang konsekuensinya melahirkan hubungan manusia dengan manusia

Kalau eksistensi Tuhan dapat dipahami sebagai sesuatu yang bukan


irrasional, lalu bagaimana caranya? Rahman dengan jelas menulis:
“...begitu engkau merenungi dari mana dan ke mana alam semesta ini, maka
engkau pasti akan “menemukan Tuhan”. Pernyataan ini bukan merupakan bukti
terhadap eksistensi Tuhan, karena menurut Al-Qur’an: Jika engkau tidak
menemukan Tuhan, maka engkau tidak akan dapat membuktikan
eksistensinya.... “Menemukan” bukan sebuah perkataan yang hampa. Perkataan
ini meminta sebuah re-evaluasi total terhadap urutan realitas yang prima....
Konsekuensi dari penemuan adalah bahwa Tuhan tidak dapat dipandang sebagai
sebuah eksistensi di antara eksistensi-eksistensi lainnya...Tuhan ada “bersama”
setiap sesuatu. Dialah yang menyebabkan integritas dari setiap sesuatu... Karena
setiap sesuatu itu secara langsung berhubungan dengan Dia, maka setiap sesuatu
itu, melalui dan di dalam hubungannya dengan yang lainlainnya berhubungan
pula dengan Tuhan. Jadi, Tuhan adalah makna dari realitas, sebuah makna yang
dimanifestasikan, dijelaskan, serta dibawakan oleh alam, dan selanjutnya oleh

4
Fazlur Rahman , Tema Pokok Al-Qur’an, hal. 2.

7
manusia. Setiap sesuatu di alam semesta ini adalah “petanda” eksistensi Tuhan...
dan aktivitas-Nya yang mempunyai maksud dan tujuan akan dilanjutkan oleh
manusia....”
Dari beberapa hal di atas, Rahman sebenarnya ingin mengatakan bahwa
untuk dapat mengenal dan mengetahui eksistensi Tuhan, pelajarilah tanda-tanda
kekuasaan dan keagungan-Nya. Al-Qur’an tidak membuktikan adanya Tuhan,
tetapi menunjukkan cara untuk mengenal Tuhan melalui alam semesta yang ada.
Pernyataan ini sesuai dengan hadis Qudsi yang berbunyi: “Aku adalah sesuatu
yang tersembunyi. Aku berkehendak untuk dikenal, maka Kuciptakan makhluk
agar mereka mengenal-Ku”.
Di dalam studi filsafat Islam, konsep Tuhan menurut Ibnu ‘Arabi (w. 1240
M) merupakan salah satu konsep yang paling mudah untuk dikenal dan dipahami.
Menurut Mulyadhi Kartanegara dalam Menembus Batas Waktu: Panorama
Filsafat Islam, Ibnu ‘Arabi yang bergelar Syaikh Akbar telah membagi Tuhan
dalam dua level (wajah); Zat dan Sifat. 5 Tuhan berada pada level Zat ketika kita
merujuk Tuhan pada diri-Nya, terlepas dari kaitannya dengan apa pun. Tuhan pada
level ini tidak dapat kita kenal. Tuhan pada level ini bukanlah sesuatu (ghair al-
muta’ayyan) sehingga tidak mungkin dapat dikenali, sementara manusia hanya
dapat memahami sesuatu (‘ain). Jalan yang paling tepat untuk menggambarkan
Tuhan pada level ini adalah bahwa Dia bukanlah seperti apa pun (laisa ka mitslihi
syai), suatu pendekatan yang dalam terminologi filsafat agama disebut dengan via
negativa (teologi negatif). Tidak ada kata apa pun yang mampu mendeskripsikan-
Nya karena apa pun yang kita deskripsikan dapat dipastikan tidak akan sama
dengan-Nya. Pada level ini, Tuhan tidak memiliki sifat apa pun karena Dia
merupakan Pusaka Tersembunyi (Kanz Makhfi), sebagaimana hadis Qudsi di atas.
Berbeda dengan level pertama di atas, pada level kedua ini Tuhan memiliki
sifat yang muncul hanya dalam konteks hubungan-Nya dengan alam, sedangkan
dalam konteks diri-Nya sendiri, Tuhan tidak memiliki sifat apa pun, kecuali Zat-
Nya saja yang sederhana dan tunggal. Diperkenalkannya sifat-sifat dan nama-nama

5
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Cet. I; Bandung: Mizan,
2002), hlm. 39-41.

8
Tuhan dalam kitab suci, tidak lain dari upaya Tuhan untuk memperkenalkan diri-
Nya kepada makhlukNya, terutama manusia.
Bagaimana manusia mengenal sifat-sifat Tuhan? Ibnu ‘Arabi mengajukan
teori yang berbeda dengan para teolog (mutakallimun). Para teolog lebih
menekankan teori transendensi Tuhan, sehingga Tuhan harus berbeda (tanzih)
dengan manusia dari sudut sifat (level kedua). Sedangkan Ibnu ‘Arabi menawarkan
teori keserupaan (tasybih) antara sifat-sifat Tuhan dengan dengan sifat manusia
dari sudut zat (level pertama). Dengan adanya keserupaan ini memungkinkan
manusia dapat mengenal sifat-sifat Tuhan. Misalnya, sekalipun Tuhan dan
manusia memiliki sifat hidup (hayy), tetapi sifat hidup Tuhan berbeda dengan sifat
hidup manusia dari sudut keabadiannya. Karena adanya sifat hidup pada manusia
inilah manusia dapat memahami sifat hidup Tuhan. Jika manusia tidak hidup,
mustahil dia dapat mengerti apa makna hidup bagi Tuhan. Karena dari 2 pendapat
ini menghasilkan argument yang berbeda-beda, maka secara filosofis eksistensi
Tuhan kiranya lebih mudah dipahami berdasarkan akal daripada menurut kaum
teolog.6
C. Argumen-Argumen Adanya Tuhan
Tuhan itu ada, lalu apa yang menjadi dasar atau bukti bahwa Tuhan itu benar-
benar ada? Dan bagaimana cara untuk membuktikan-Nya?. Nah, pada sub-bab ini
akan dibahas mengenai apa dasar dan bagaiman cara untuk membuktikan-Nya
dalam prespektif islam. Pembuktian mengenai eksistensi Tuhan menuntut adanya
pembuktian yang berdasarkan nalar atau logika. Inilah yang menjadi wacana
perdebatan antara kaum filsuf, kaum teolog, dan kaum sufi. Menurut Amin
Abdullah perdebatan antar ketiganya dalam tradisi keilmuan Islam begitu sengit
sehingga tak jarang terjadi saling mengkafirkan dan saling memurtadkan. Padahal
sesungguhnya ketiganya berasal dari satu rumpun. Perdebatan terjadi karena
epistemologi (sumber dan metode) yang digunakan ketiganya berbeda-beda.
Dengan mengikuti kerangka teori filsafat ilmu Mohammad Abid Al-Jabiri, kaum
filosofis menerapkan epistemologi burhanî yang bersumber dari akal, kaum teolog
dan ushuliyyin menggunakan epistemologi bayani yang bersumber dari teks,

6
Dr. Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam: Menguatkan Epistemologi Islam Dalam Pendidikan,
(Yogyakarta: AR-RUZZ Media, 2014), hlm. 60.

9
sedangkan kaum sufi menerapkan epistemologi irfanî yang lebih menekankan
pada intuisi. 7 Berikut beberapa argumen yang dikemukakan oleh para filsuf,
dengan epistemologi burhani dan irfani-Nya, berkaitan dengan eksistensi Tuhan.
1. Argument Ontologis
Argument ontologis (ontos: sesuatu yang berwujud, ontology : teori/ilmu
tentang wujud tentang hakikat yang ada. Argumen dipelopori oleh filosof
Yunani Plato (428-348 SM) yang dikenal dengan teori ide. Dia menganggap
bahwa semua yang ada dialam nyata muncul karena ada dalam ide. Ide adalah
definisi atau konsep universal dari setiap sesuatu, dan ide ini yang merupakan
hakekat sesuatu.
Keberadaan Tuhan berada dalam persepsi sesuai dengan yang
dipersepsikan. Dalam setiap agama diajarkan tentang Tuhan sebagai suatu
prinsip dasar ajaran agama. Apakah masing-masing agama mempunyai Tuhan
sendiri-sendiri. Jadi jika masing-masing agama punya Tuhan sebagaimana
banyaknya agama-agam terjadi benturan antara Tuhan yang dipersepsikan
terjadi adu argument antar Tuhan yang paling benar. Al-Quran memberi isyarat
bahwa jika di dunia banyak Tuhan pasti akan terjadi kerusakan di bumi dan
dilangit yang diakibatkan peperangan antar pemuja–pemuja Tuhan yang
dipersepsikan penganut agama. Yang dijelaskan dalam surat Al-Anbiya: 19-
22;
َ‫سبِ ُح ْونَ الَّيْل‬ َ ُ‫ ي‬١٩ ْۚ َ‫ع ْن ِعبَادَت ِٖه َو ََل يَ ْست َ ْحس ُِر ْون‬ َ َ‫ض َو َم ْن ِع ْندَ ٗه ََل يَ ْست َ ْكبِ ُر ْون‬ َ ْ ‫ت َو‬
ۗ ِ ‫اَل ْر‬ ِ ‫َولَهٗ َم ْن فِى السَّمٰ ٰو‬
َ‫سدَت َْۚا فَسُب ْٰحن‬ ‫ لَ ْو َكانَ فِ ْي ِه َما ْٓ ٰا ِل َهةٌ ا ََِّل ه‬٢١ َ‫ض هُ ْم يُ ْنش ُِر ْون‬
َ َ‫ّٰللاُ لَف‬ َ ْ َ‫ ا َ ِم اتَّ َخذ ُ ْْٓوا ٰا ِل َهةً مِن‬٢٠ َ‫ار ََل يَ ْفت ُ ُر ْون‬
ِ ‫اَل ْر‬ َ ‫َوالنَّ َه‬
٢٢ َ‫صفُ ْون‬ َ ‫ب ْال َع ْر ِش‬
ِ ‫ع َّما َي‬ ِ ‫ّٰللا َر‬
ِ‫ه‬
Artinya: Dan kepunyaan-Nya-lah segala yang di langit dan di bumi. Dan
malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh
untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih
malam dan siang tiada henti-hentinya. Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan
dari bumi, yang dapat menghidupkan (orang-orang mati). Sekiranya ada di
langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak

7
Dr. Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam: Menguatkan Epistemologi Islam Dalam Pendidikan,
(Yogyakarta: AR-RUZZ Media, 2014), hlm. 60

10
binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ´Arsy daripada apa yang
mereka sifatkan.
2. Argument Cosmologis (sebab-akibat)
 Al-Kindi (w. sekitar 866 M) dengan argumen kebaruan (dalil al-
huduts)Nya.
Untuk membuktikan adanya Allah, filosof islam termasuk Al-Kindi
mempunyai tiga cara, salah satunya yaitu Baharunya alam. Ia
mengemukakan bahwa alam semesta ini betapa pun luasnya pasti terbatas.
Dan karena terbatas, pasti alam memiliki awal dan akhir. Tidak mungkin
alam tidak memiliki awal. Ia pasti memiliki titik awal dalam waktu, dan
materi yang melekat padanya juga terbatas oleh gerak dan waktu. Jika
materi, gerak, dan waktu dari alam ini terbatas, berarti alam semesta ini
baru (huduts). Dan menurut Al-Kindi, segala sesuatu yang baru, pastilah
dicipta (muhdats). Kalau alam ini dicipta, berarti memunculkan adanya
pencipta. Itulah Tuhan sebagai Sebab Pertama, sebab yang menjadikan
adanya alam semesta. Jadi menurut Al-Kindi, melalui argumen kebaruan
ini, Tuhan ada sebagai pencipta alam semesta ini. Apa yang dikatakan Al-
Kindi dengan argumen kebaruan ini dalam kajian filsafat agama disebut
dengan argumen kosmologi, yang menggunakan hukum “sebab-akibat”,
yang mana hukum ini dipelopori oleh aristoteles dan disempurnakan oleh
thomas Aquinas. Hal ini juga dijelaskan dalam firman Allah dalam surah
An-Nahl ayat 10 – 118:
‫ع‬ َّ ‫ يُ ْۢ ْنبِتُ لَكُ ْم بِ ِه ا‬١٠ َ‫ش َج ٌر فِ ْي ِه ت ُ ِسيْ ُم ْون‬
َ ‫لز ْر‬ َ ُ ‫س َم ۤاءِ َم ۤا ًء لَّكُ ْم ِم ْنهُ ش ََرابٌ َّو ِم ْنه‬
َّ ‫ي ا َ ْنزَ َل مِنَ ال‬ ْْٓ ‫ه َُو الَّ ِذ‬
١١ َ‫ت ا َِّن فِ ْي ٰذلِكَ َ َٰليَةً ِلقَ ْو ٍم يَّتَفَ َّك ُر ْون‬
ِ ۗ ‫مِن كُ ِل الث َّ َم ٰر‬
ْ ‫َاب َو‬َ ‫اَل ْعن‬ َ ْ ‫الز ْيت ُ ْونَ َوال َّنخِ ْي َل َو‬
َّ ‫َو‬
Dialah Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kalian,
sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-
tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kalian menggembalakan ternak
kalian. Dia menumbuhkan bagi kalian dengan air hujan itu tanam-
tanaman; zaitun, kurma, anggur, dan segala macam buah-buahan.

8
M.Basir Syam,M.Ag, ANALISIS TERHADAP DALIL-DALIL AL QUR’AN TENTANG EKSISTENSI
TUHAN (Suatu Kajian Teologi Islam), Aqidah-Ta: Jurnal Ilmu Aqidah, Volume 1 , No.1, 2015.

11
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang memikirkan.
3. Argument Contingency (kemungkinan)
 Ibnu Sina (w. 1037 M) melalui argumen kemungkinan (dalil al-jawqz) atau
kontingensi.
Allah itu ada, lalu bagaimana cara untuk membuktikan-Nya yaitu
dengan cara melihat ciptaan-Nya yang berupa alam semesta. Segala sesuatu
yang ada di dunia ini pasti memiliki sebab-akibat dan segala sesuatu yang
ada di dunia ini pasti ada karena ada penciptanya, dan jika ditelusuri lebih
jauh semuanya akan kembali kepada Allah SWT. Misalnya kita melihat
kursi, kursi ada karena manusia yang membuat dan manusia ada karena
Allah SWT yang menciptakan. Hal seperti itu bisa juga disebut rangkaian
sebab-akibat. Sebab–akibat tersebut jika ditelusuri maka semuanya akan
kembali kepada Tuhan, di mana Tuhan satu-satunya yang tidak memiliki
sebab-akibat. Jadi, menurut Ibnu Sina segala sesuatu berasal dari pancaran
Yang Satu (Tuhan), teori ini sering disebut dengan teori emanasi. Di mana
teori ini berawal dari filsafat yunani yang dikemukakan oleh Plotinus.
Berikut 3 objek yang dikemukakan ibnu sina dalam teori emanasi, 9 yaitu:
 Allah, dari pemikiran Tuhan akan timbul akal
 Diri-Nya sebagai wajib al-wujud lighairihi (wujud niscaya), dari
pemikiran itu akan muncul jiwa-jiwa
 Dirinya sebagai mumkin al-wujud lizatihi (wujud mungkin), dari
pemikiran itu terciptalah langit-langit.
Wujud niscaya adalah wujud yang senantiasa harus ada dan tidak
boleh tidak ada. Sedangkan wujud mungkin adalah wujud yang boleh saja
ada atau tiada. Pertanyaannya, apakah alam ini wajib ada? Alam ini adalah
wujud yang boleh ada dan boleh tidak ada. Hal ini didasarkan pada proses
penciptaan alam, alam semesta ini ada karena berawal dari Tuhan yang
memikirkan diri-Nya (zat-Nya) sehingga memunculkan akal yang terdiri

9
Anik Masriyah, “Bukti Eksistensi Tuhan: Integrasi Ilmu Kalam dengan Filsafat Islam Ibnu Sin”a,
volume 19, No.2, Desember 2020.

12
dari akal-akal, jiwa yang berfungsi sebagai penggerak planet, dan langit.
Akal Pertama bersifat tidak berjism atau tidak berbentuk dan tidak pula
berada dalam benda. Akal Pertama memikirkan tentang Allah melahirkan
Akal Kedua. Akal Kedua memikirkan tentang dirinya mewujudkan langit
pertama. Akal Kedua memikirkan tentang Allah melahirkan Akal Ketiga.
Akal Ketiga memikirkan dirinya mewujudkan bintang-bintang dan
seterusya sampai pada Akal kesepuluh memikirkan diri-Nya dalam
mewujudkan Bumi, roh, dan materi pertama yang menjadi dasarnya seperti
air, api, udara dan tanah. Pada akal ini Tuhan tidak bisa lagi melakukan
emanasi karena daya akal ciptaan Allah sudah melemah. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa dalam penciptaan alam semesta ini tidak terjadi dalam
sekejap, melainkan ada prosesnya. Dan dalam prosesnya Allah dibantu
oleh para Malaikat. Membantu disini bukan berarti Allah tidak mampu,
justru menunjukkan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Proses
penciptaan alam semesta secara bertahap sejalan dengan salah satu ayat Al-
Qur’an, salah satunya adalah QS. Hud ayat 710:
‫ع َم ًًل َۗولَ ِٕى ْن‬ َ ‫علَى ْال َم ۤاءِ ِل َي ْبلُ َوكُ ْم اَيُّكُ ْم ا َ ْح‬
َ ‫س ُن‬ َ ٗ‫ض ف ِْي ِست َّ ِة اَي ٍَّام َّو َكانَ َع ْرشُه‬ َ ‫اَل ْر‬ َ ْ ‫ت َو‬ ِ ‫ي َخلَقَ السَّمٰ ٰو‬ ْ ‫َوه َُو الَّ ِذ‬
٧ ‫ِحْر ُّم ِب ْي ٌن‬ ِ ‫قُ ْلتَ اِنَّكُ ْم َّم ْبعُ ْوث ُ ْو َن م ْۢ ِْن َب ْع ِد ْال َم ْو‬
ٌ ‫ت لَ َيقُ ْولَ َّن الَّ ِذ ْينَ َكف َُر ْْٓوا ا ِْن ٰه ْٓذَا ا ََِّل س‬
“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan
adalah singgasana-Nya (sebelum itu) diatas air,agar Dia menguji siapakah
diantara kamu yang lebih baik amalanya, dan jika kamu berkata (kepada
penduduk Makkah): “Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah
mati”, niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: “Ini tidak lain
hanyalah sihir yang nyata” (QS. Hud: 7).
Jadi, alam merupakan wujud yang boleh ada dan boleh tidak ada.
Tergantung pada apa yang dipikirkan atau dikehendaki Tuhan. Akan tetapi,
nyatanya alam ini ada maka ia dipastikan sebagai wujud yang mungkin.
Terma “mungkin” menurut Ibnu Sina adalah potensial, kebalikan dari
aktual. Dengan mengatakan bahwa alam ini mungkin pada diri-Nya, berarti
sifat dasar alam adalah potensial, boleh ada dan tidak bisa mengada dengan

10
Anik Masriyah, “Bukti Eksistensi Tuhan: Integrasi Ilmu Kalam dengan Filsafat Islam Ibnu Sina”,
volume 19, No.2, Desember 2020.

13
sendirinya. Karena alam itu potensial, ia tidak mungkin ada (mewujud)
tanpa adanya sesuatu yang telah aktual, yang telah mengubahnya dari
potensial menjadi aktualitas. Itulah Tuhan sebagai Wujud Niscaya, wujud
yang harus ada. Pandangan Ibnu Sina mengenai argumen kemungkinan ini
sering disebut dengan dalil ontologi karena pendekatannya menggunakan
filsafat wujud .
4. Argument Teleogis (rancangan)
 Ibnu Rusyd (w. 1198 M) Dilihat alam semesta (dalil al-‘inayah)Nya.
Berbeda dengan dua argumen di atas yang berdasarkan pemikiran
logis-spekulatif, Ibnu Rusyd dengan pemikiran rasional-religiusnya
berpendapat bahwa perlengkapan (fasilitas) yang ada di alam ini diciptakan
untuk kepentingan manusia. Bagi Ibnu Rusyd, hal ini merupakan bukti
adanya Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Melalui “rahmat”
yang ada di alam ini, membuktikan bahwa Tuhan ada. Selain itu,
penciptaan alam yang menakjubkan, seperti adanya kehidupan organik,
persepsi indrawi, dan pengenalan intelektual merupakan bukti lain adanya
Tuhan melalui konsep penciptaan keserasian. Penciptaan ini secara rasional
bukanlah suatu kebetulan, melainkan haruslah dirancang oleh agen yang
dengan sengaja dan bijaksana melakukannya dengan tujuan tertentu. Agen
yang dimaksud disini adalah Tuhan. Tuhan sebagai agen pertama atas
segala sesuatu. Misal, kenapa bumi itu bundar dan kenapa bumi memiliki
gaya gravitasi yang pas. Hal ini karenakan Tuhan telah merancang bumi
dengan sebaik-baiknya sehingga kita bisa duduk dengan nyaman. Jika gaya
gravitasi yang di berikan Tuhan itu tidak pas/gravitasinya kecil maka ketika
jatuh, jatuhnya akan lama. Misal lagi adanya siang dan malam, matahari
dan bulan. Bagi Ibnu Rusyd, penciptaan melalui rahmat dan keserasian
(rancangan) ini merupakan bukti adanya Tuhan, yang dapat diterima oleh
semua kalangan manusia. Oleh karena itu, berdasarkan pandangan adanya
keserasian Tuhan, konsep Tuhan menurut Ibnu Rusyd ini sering disebut
pandangan teleologis. 11

11
Dr. Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam: Menguatkan Epistemologi Islam Dalam Pendidikan,
(Yogyakarta: AR-RUZZ Media, 2014), hlm. 61.

14
 Dilihat dari dalil ikhtira’ (kondisi makhluk hidup)
Manusia memiliki level lebih tinggi dibandingkan dengan binatang,
tumbuhan, dan benda-benda. Sehingga semua komposisi atau populasinya
didunia ini menjadi pas. Dan itu semua tidak kebetulan. Hal ini telah diatur
atau dirancang oleh Tuhan. Tetapi tak sedikit orang merusak keseimbangan
alam, seperti penambangan liar, penebangan pohon secara liar, dll.
 Dilihat dari dalil gerak
Dalil ini di peroleh melalui aristoteles. Dimana dalil tersebut
mengungkapkan bahwa alam semesta bergerak dengan suatu gerakan yang
abadi dan gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama yaitu Tuhan.
Misal, gerakan alam semesta yang tertib dengan rotasinya, dengan kondisi
manusianya itu semua pas. Dan itu semua pasti ada yang menggerakkannya
yaitu Tuhan. Karena tidak ada yang bisa menandingi kuasa Tuhan.
5. Argument Religious Experience (pengalaman religious)
Menurut Iqbal, pendekatan epistemologi burhani untuk mengetahui
argumen-argumen adanya Tuhan terlalu dangkal dan mudah sekali mendapat
kritik. Hal ini dikarenakan setiap orang mengalami sesuatu/pengalaman
religious yang berbeda-beda sesuai tradisi/agama masing-masing. Jadi,
Religious Experience tidak bisa didekati dengan akal secara rinci/tergantung
kepercayaan masing-masing individu yang mengalami. Misal, jika argumen
kosmologi menganggap alam sebagai akibat dari Sebab Yang Tak Terbatas.
Maka argumen ini telah kehilangan mata rantai, karena terputus pada Sebab
Yang Pertama yaitu Tuhan. Argumen ontologi yang spekulatif tidak dapat
menjawab tentang sumber Wujud Yang Sempurna secara objektif, sedangkan
argumen teleologi hanya mampu menunjukkan Tuhan sebagai perencana,
bukan pencipta, karena tak bijaksana menciptakan alam dari sesuatu bahan
yang belum teratur. Sang perencana menjadi terbatas, karena keterbatasan
bahan tersebut. Maka dengan ini, Iqbal menawarkan pendekatan epistemologi
irfani yang disebutnya pengalaman religius berdasarkan intuisi. Iqbal menulis:
…pikiran dan realitas sesungguhnya merupakan kesatuan yang tak
terpisahkan. Ini hanya mungkin kalau kita secara saksama meneliti dan
menafsirkan pengalaman kita, dengan mengikuti petunjuk yang diberikan

15
Al-Qur’an yang menganggap pengalaman di dalam serta di luar sebagai
pelambang suatu realitas yang digambarkannya sebagai “Yang Pertama dan
Yang Terakhir”, yang terlihat dan yang tak terlihat.
Jadi, Menurut Muhammad Iqbal, pengalaman religius yang dibimbing
Al-Qur’an, apabila diolah sedemikian rupa dapat menghantarkan manusia
untuk mengenal Yang Pertama dan Yang Terakhir yaitu Tuhan. Pengalaman
religius ini memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan hasrat filsafat
rasional. Agama berusaha mendapatkan pengetahuan yang lebih intim untuk
berhubungan dengan Tuhan sebagai objek yang ditujunya, salah satunya
dengan cara melakukan shalat yang berakhir dengan pencerahan rohaniah.
Dengan peribadatan ini dinilai dapat memengaruhi kesadaran manusia secara
berbeda-beda, mulai dari kesadaran akan eksistensi Tuhan/kenabian hingga
kesadaran tasawuf yang bersifat kognitif. 12
D. Tuhan dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam
1. Perspektif Tuhan dalam Filsafat Pendidikan Islam
Kata Tuhan ini merujuk kepada suatu zat yang abadi dan supranatural,
biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam
semesta atau jagat raya.13 Tuhan adalah sesuatu yang terdapat dalam pikiran
(mind) manusia. Dalam stuktur dalam manusia, hati merupakan kamar kecil
yang terdapat di dalamnya yaitu hati nurani atau suara hati atau disebut
dengan bashirah merupakan satu titik kecil atau kotak kecil (black box) yang
tersembunyi secara kuat dan rapih di dalam hati, hati nurani merupakan hot
line manusia dengan Tuhan atau yang menghubungkan manusia dengan Tuhan
atau disebut dengan (god spot) titik Tuhan disinilah Tuhan hadir di setiap
manusia. Menurut Ibn Qayyim Al-Jauzy, bashirah adalah cahaya yang
ditempatkan Allah di dalam hati manusia. 14 Di dalam Hadits Rasulullah SAW

12
Dr. Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam: Menguatkan Epistemologi Islam Dalam Pendidikan,
(Yogyakarta: AR-RUZZ Media, 2014), hlm. 63.
13
http://id.wiktionary.org/wiki/Tuhan.
14
Ahmad Mubarok, Al-Irsyad an Nafsiy Konseling Agama Teori dan Kasus, (Jakarta: Bina Rena
Pariwara, 2002), hal 31.

16
(Hadis Qudsi) bahwa Allah SWT berada di dalam inti manusia berikut
Hadistnya:
“Aku jadikan pada manusia itu ada istana (qashr), didalam istana itu ada
dada (Shadr), di dalam shadr itu ada kalbu (Qalb), di dalam qalb itu ada
(fu’ad) , di dalam fu’ad itu ada (syaghaf), di dalam syaghaf itu ada (lubb), di
dalam lubb itu ada (sirr), dan di dalam sirr itu ada Aku (Ana)”.15
Hadist ini menjelaskan bahwa Aku ini adalah Allah SWT. Hati nurani
akan menjadi pembimbing terhadap apa yang harus ditempuh dan apa yang
harus diperbuat sesuai dengan world viewnya (iman). Karena iman terletak di
kalbu. Untuk itulah kalbu itulah yang menjadi sasaran pendidikan untuk diisi
dengan iman.
Allah SWT merupakan Sang Pencipta manusia dan alam semesta yang
disebut dengan khalik (sang pencipta) namun sering disebut juga dengan Al-
Rabb, Rabb al-Alamin, Rabb kulli syai’. Berdasarkan kata dasar dari Rabb
yaitu memperbaiki, mengurus, mengatur dan juga mendidik. Rabb biasa
diterjemahkan dengan Tuhan yang mengandung pengertian
sebagai Tarbiyah (yang menumbuh kembangkan sesuatu secara bertahap dan
berangsur-angsur sampai sempurna), juga sebagai murabbi (yang mendidik).
Dengan demikian sebagai al-rabb, atau rabb al-alamin, Allah adalah yang
mengurus, mengatur, memperbaiki proses penciptaan alam semesta.16
Allah dalam artian menumbuh kembangkan merupakan fungsi rububiyah
yang biasa dipahami sebagai fungsi kependidikan. Jadi, proses penciptaan alam
semesta dan manusia merupakan hakikat perwujudan atau realisasi dari fungsi
rububiyah (kependidikan). Sebagaimana dalam Firman Allah yang merupakan
wahyu yang pertama yang di terima oleh Rasulullah SAW yaitu sebagai
berikut:
َ ‫اَل ْن‬
َ‫سان‬ َ ٤ ‫علَّ َم بِ ْالقَلَ ُِۙم‬
ِ ْ ‫علَّ َم‬ َ ‫ِي‬ َ ْ َ‫ اِ ْق َرأْ َو َربُّك‬٢ ‫ق‬
ْ ‫ الَّذ‬٣ ‫اَل ْك َر ُۙ ُم‬ ٍ ْۚ َ‫عل‬ َ ‫اَل ْن‬
َ ‫سانَ م ِْن‬ ْ ‫اِ ْق َرأْ بِاس ِْم َربِكَ الَّ ِذ‬
ِ ْ َ‫ َخلَق‬١ َ‫ي َخ َل ْۚق‬
٥ ‫َما َل ْم َي ْع َل ۗ ْم‬

15
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hal 28.

16
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal 28.

17
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah
Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (Qs. Al-Alaq:1-5).
Dalam Ayat diatas Allah merupakan seorang pendidik yang memberi
pengajaran dari ciptaan-Nya, karena Allah SWt menginginkan manusia
menjadi baik dan bahagia hidup di dunia dan akhirat karena itulah manusia
harus mempunyai bekal pengetahuan agar mengetahui apa yang belum
diketahuinya.
2. Implikasi Konsep Tuhan bagi Filsafat Pendidikan Islam
Beberapa konsepsi Islam tentang Tuhan di atas kiranya mempunyai
dampak dan implikasi pedagogis yang perlu diperhatikan dunia pendidikan
Islam. Implikasi-implikasi tersebut sebagai berikut:
 Allah sebagai Pencipta hendaknya dikenal, diketahui, dan diyakini manusia
melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya. Eksistensi Tuhan seperti ini harus
dipahami adanya sebagai tujuan utama pendidikan Islam. Ini merupakan
unsur iman (akidah) dalam filsafat pendidikan Islam.
 Allah sebagai Rabb mengandung arti bahwa Allah adalah pengatur dan
pemelihara alam semesta ini. Allah sebagai Rabb ini telah menentukan
beberapa aturan (sunatullah) yang perlu diperhatikan manusia. Manusia
tunduk terhadap aturan-aturan ini, dan wajib mengikutinya dalam
kehidupan sehari-hari. Ini merupakan unsur Islam (syariah) dalam filsafat
pendidikan Islam.
 Allah sebagai Pencipta memiliki beberapa sifat yang disebut al-asmâ al-
husnâ. Sifat-sifat ini hendaknya dapat ditransformasikan dalam dunia
pendidikan Islam, dalam rangka mewujudkan manusia sebagai khalifah,
yang bertugas mengemban amanat Allah di bumi. Sifat-sifat ini sedemikian
rupa dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ini merupakan unsur
ihsan (akhlak) dalam filsafat pendidikan Islam.
 Melalui argumen kosmologi, filsafat pendidikan Islam mengandaikan
keterbatasan manusia sebagai makhluk. Keterbatasan ini mengindikasikan
adanya tujuan jangka pendek dan jangka panjang bagi pendidikan Islam.

18
 Melalui argumen ontologi, filsafat pendidikan Islam mengasumsikan
bahwa manusia sebagai wujud mungkin memiliki beberapa potensi.
Potensi-potensi ini sedemikian rupa dikembangkan oleh pendidikan Islam
sehingga menjadi aktual, yang bermanfaat bagi kehidupannya.
 Melalui argumen teleologi, filsafat pendidikan Islam memformulasikan
bahwa alam semesta dirancang Allah sebagai fasilitas hidup bagi
kehidupan manusia. Fasilitas ini harus sedemikian rupa dikembangkan
melalui kreasi dan kreativitas sehingga memunculkan ilmu pengetahuan
dan teknologi, agar manusia dapat merancang hidupnya.
Beberapa implikasi di atas sebenarnya bermuara dari tiga hal. Pertama,
filsafat pendidikan Islam mengunakan prinsip-prinsip Islam dalam
menentukan segi pemikiran kependidikannya. Kedua, filsafat pendidikan Islam
berupaya mengembalikan kaum Muslim untuk menjadikan sumber utama
Islam sebagai dasar bagi pembentukan masyarakat Muslim. Ketiga, dengan
kembali kepada sumber ajaran Islam, filsafat pendidikan Islam berupaya
membangun kepercayaan kaum Muslim akan agamanya, serta bangga dengan
pemikiran dan peninggalan Islam, yang pada gilirannya dapat menguatkan
identitas Islam di pentas global.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Argumen adanya Tuhan Menurut Para Filosof :
 Al-Kindi seorang filsuf Arab (w.sekitar 866 M) dengan argumen kebaruan (dalil
al-huduts) nya.
 Ibnu Sina (w. 1037 M) melalui argumen kemungkinan ( dalil al-jawaz) atau
kontingesi.
 Ibnu Rusyd (w. 1198 M) dengan argumen rancangan (dalil al-inayah)nya. Dengan
pemikiran rasional-religiusnya berpendapat bahwa perlengkapan (fasilitas) yang
ada di alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia.
 Menurut Aristoteles, Tuhan adalah zat yang memberi arti kepada alam, akan tetapi
dapat kita hubungi, artinya bukan Tuhan yang dapat kita sembah dan kita minta.
Implikasi Konsep Tuhan bagi Filsafat Pendidikan Islam : Allah sebagai
pencipta, Allah sebagai Rabb, Allah sebagai Pencipta memiliki beberapa sifat yang
disebut al-asma al-husna, melalui argument kosmologi, melalui argument
ontology, melalui argument teologi

20
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mubarok. 2002. Al-Irsyad an Nafsiy Konseling Agama Teori dan Kasus.
Jakarta: Bina Rena Pariwara.
Dr. Toto Suharto, M.Ag., “Filsafat Pendidikan Islam”, (Depok, Sleman, Yogyakarta :
Ar-Ruzz Media, 2014).
Hairul Anwar, “Konsepsi Tuhan di Dalam Al-Qur’an”, Jurnal al-Burhan Vol. 15 No.
1 tahun 2015.
http://id.wiktionary.org/wiki/Tuhan.
Masriyah Anik. 2020. “Bukti Eksistensi Tuhan: Integrasi Ilmu Kalam dengan Filsafat
Islam Ibnu Sina”, Purwokerto, Juni-Desember.
Muhaimin. 2004. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Suharto Toto, 2014. Filsafat Pendidikan Islam: Menguatkan Epistemologi Islam
Dalam Pendidikan. Yogyakarta: AR-RUZZ Media.
Syafleh, M. Fil. I, “Tuhan Dalam Perspektif Al-Qur’an”, Jurnal At-Tibyan Vol. I No.1
Januari–Juni 2016.
Tafsir Ahmad. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

21

Anda mungkin juga menyukai