Anda di halaman 1dari 27

YAYASAN WAKAF UMI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

KONSEP KETUHANAN MENURUT ISLAM

Disusun Oleh :
KELOMPOK 1
1.
2.
3.
4.

Rizky Auliarahman Salim ( 03120160172 )


Arifansya Mustakim ( 03120160174 )
Muh. Fahriadi hasan ( 03120160175 )
Lalu Akbar Kurniawan ( 03120160177 )

Kelas A5
DOSEN PEMBIMBING :
Dr. Drs. H. Musrifu.H . M.hi
FAKULTAS TEKNIK JURUSAN PROGRAM STUDI SIPIL
MAKASSAR 2016

KATA PENGANTAR



Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah swt., atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
Konsep Ketuhanan Menurut Islam dengan segala ikhtiar dan kemampuan yang
kami miliki, meski masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan
kami.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini tidak akan terwujud
sebagaimana adanya tanpa bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu kami mengucapkan terima kasih kepada rekan rekan sekelas yang senantiasa
mendoakan dan mendorong kami. Ucapan terima kasih dan penghargaan sebesarbesarnya kami sampaikan kepada bapak Dr. Drs. H. Musrifu.H . M.hi yang telah
membimbing kami hingga bisa menyelesaikan makalah ini.
Semoga segala bantuan dan pengorbanan yang telah diberikan kepada kami
mendapat pahala dan bernilai ibadah di sisi Allah SWT.
Kami

menyadari

kesempurnaan.

Karena

sepenuhnya
itu

kami

bahwa

makalah

mengharapkan

ini

masih

sumbang

jauh

saran

dari
demi

penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberi manfaat terutama


dalam mengetahui konsep ketuhanan menurut islam bagi seluruh ummat manusia.
`
2016

Makassar,

Oktober

Kelompok 1
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................. i
KATA PENGANTAR...............................................................................

ii

DAFTAR ISI..........................................................................................

iii

BAB

I.

PENDAHULUAN...................................................................
A. Latar Belakang ..............................................................1

BAB II.

B. Rumusan Masalah..........................................................

C. Tujuan Penulisan .........

PEMBAHASAN.....................................................................

1. Urgensi Iman Kepada Tuhan ..........................................

2. Filsafat Ketuhanan dalam Islam.....................................

10

3. Sejarah Pemikiran Tentang Tuhan Menurut Pemikiran Barat

BAB III.

11

4. Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Umat Islam .......

13

5. Tuhan Menurut Agama Wahyu ......................................

14

PENUTUP ..........................................................................

22

A. Kesimpulan ...................................................................

22

B. Saran ............................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 23

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengetahuan tentang Tuhan dan kesetiaan terhadap aturan-aturan-Nya
merupakan dasar bagi tiap agama, baik agama langit atau pun bumi . Namun
kesadaran manusia akan eksistensinya menggiring ia untuk melihat bahwa
eksistensinya dipengaruhi oleh tiga sifat; faktisitas, transendensi dan kebutuhan
untuk mengerti.Faktisitas berarti, bahwa eksistentsi selalu Nampak di depan
kesadaran manusia sebagai sesuatu yang sudah ada. Sedangkan yang dimaksud
dengan transendensi pada eksistensi manusia merupakan sifat yang nampak
secara langsung dalam kesadaran manusia bahwa ia manusia, bukan hanya
sekedar tubuh yang nampak dalam ruang dan waktu bersama ada yang lain,
namun manusia adalah makhluk yang dapat melampaui dirinya melebihi dari
batas ruang dan waktu dalam kesadarannya.
Keberadaan kebutuhan untuk mengerti merupakan modus yang paling jelas
dari transendensi kesadaran manusia. Termasuk dalam kesadaran ini adalah
bahwa manusia selalu terdorong untuk selalu mempertanyakan hakikat dirinya
dan dunianya. Karena hal inilah kemudian menimbulkan suatu pertanyaan
mengenai dari mana ia dan dunianya berasal. Dalam filsafat ketuhanan,
pertanyaan ini akan bermuara pada wilayah mengenai eksistensi Tuhan.
Persoalan mengenai eksistensi Tuhan walau kadang suka melingkar pada
pengulangan kata ada dan tiada namun dapat diterangkan dengan beberapa
argumentasi, yakni: argumentasi ontology, teologi dan kosmologi. Pendekatan
ontology lebih bersifat apriori, yang mencakup tentang pengetahuan mistik dan
kesadaran manusia, sedangkan argumentasi teologi dan kosmologi merupakan
argumentasi yang bersifat apriost Setiap yang ada memiliki eksistensinya, dan
yang bereksistensi pasti memiliki sebab keberadaannya dalam mengada untuk
sebuah ada dari eksistensinya. Oleh karena hal itu, alam semestapun memiliki
sebab dari bermulanya. Pengejaran sebab atau alasan inilah yang menjadi kajian
hangat dalam argumentasi sebuah penciptaan, baik dari
kalangan filsafat ataupun saintis.

Dalam makalah atau resensi tentang konsep ketuhanan ini akan kami bahas
beberapa aliran, baik aliran yang mempercayai Tuhan ataupun
yang semi percaya Tuhan bahkan yang menolak eksistensiNya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil permasalahan yang
dihadapi yaitu:
Bagaimana konsep dasar ketuhanan menurut islam?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan yaitu :
a) Untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah pendidikan
Agama
b) Untuk mengenal lebih dalam tentang konsep ketuhanan menurut
islam
c) Untuk memahami filsafat ketuhanan
d) Untuk memahami bagaimana pemikiran manusia tentang tuhan
e) Untuk mengetahui tuhan menurut agama wahyu
BAB II
PEMBAHASAN

1. Urgensi Iman Kepada Tuhan


Secara bahasa, Iman itu dapat diartikan dengan 'percaya'
bahkan pada hakikatnya definisi dari Iman itu sendiri adalah Keyakinan, lebih
dari sekadar percaya. Secara istilah Iman adalah keyakinan kuat yang tidak
dicampuri dengan keraguan dan disertai dengan perbuatan yang
membuktikan keyakinan itu. Sebagaimana dijelaskan di dalam buku Al Iman
karya Syaikh Abdul Majid Az Zindani. Definisi di atas menunjukkan adanya
cakupan dua aspek yang dimiliki oleh Iman yaitu keyakinan dan perbuatan.
Perlu kita ketahui bahwa selain ilmu, iman juga menjadi faktor penentu
diterimanya amalan seorang hamba.
Maksud seorang muslim iman kepada Allah SWT adalah ia
membernarkan keberadaan Rabb Tabaraka wad an membenarkan bahwa dia
adalah pencipta seluruh langit dan bumi,maha mengetahui yang gaib dan

nyata, Rabb segala sesuatu dan Rajanya,tiada ilah yang berhak diibadahi
selain dia dan tidak ada Rabb selainNYA. Juga membenarkan bahwa Allah
disifati dengan segala kesempurnaan dan terbebas dari segala kekurangan.
Keimanan merupakan hidayah Allah kepadanya, kemudian berdasarkan dalildalil naqli (Al-Quran atau As-Sunnah) dan aqli (logika).
Iman kepada Allah berarti percaya dan cinta kepada ajaran Allah, yaitu Al-Quran dan
Sunnah Rasul. Apa yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang yang beriman, sehingga
dapat menimbulkan tekad untuk mengorbankan apa saja untuk mewujudkan harapan dan
kemauan yang menuntun Allah kepadanya.
Beriman kepada Allah Subhanahuwata`ala merupakan iman yang paling
tinggi kedudukannya dan paling mulia nilainya. Sebab, seluruh kehidupan
seorang muslim berpusar di situ dan terbentuk karenanya. Iman kepada
AllahSubhanahuwata`ala merupakan dasar segala prinsip di dalam sistem umum
bagi kehidupan seorang muslim secara keseluruhan. Manakala keimanan ini
sudah terbangun dengan baik, maka keimanan-keimanan yang lainnya akan
mengikuti.
Seorang muslim beriman kepada Allah Subhanahuwata`ala dalam arti, dia
meyakini wujud (keberadaan) Allah Yang Maha Suci, dan bahwa sesungguhnya
Dia adalah Penciptaan langit dan bumi, Maha Mengetahui yang ghaib dan
tampak, Rabb (Pencipta, Pemilik, Penguasa, Pengatur) segala sesuatu dan
PemilikNya. Tiada tuhan (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Dia, dan
tiada rabb selain Dia. Dan (meyakini) bahwasanya Dia bersifat dengan segala
sifat kesempurnaan, suci dari segala kekurangan. Yang demikian itu, karena
petunjuk Allah Subhanahuwata`ala kepadanya (seorang muslim) , kemudian
karena dalil-dalil naqli dan`aqli berikut ini :
A. Dalil-dalil Naqli (dari Al-Qur`an)
1. Allah Subhanahuwata`ala sendiri memberitakan tentang wujudNya, tentang
rububiyahNya atas makhlukNya dan tenang asma`Nya (nama-namaNya) dan
sifat-sifatNya. Berita tersebut ada di dalam Kitab Suci Al-Qur`an. Diantaranya
adalah firmanNya,





Artinya :

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang Telah menciptakan langit


dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas Arsy. dia menutupkan
malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya
pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada
perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha
Suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al-A`raf : 54)
Juga firmanNya tatkala Dia menyeru Nabi Musa `alaihissalam dari
sebatang pohon, ditepi kanan sebuah lembah, disuatu tempat yang diberkahi,





Artinya :
Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah)
pinggir lembah yang sebelah kanan(nya) pada tempat yang diberkahi, dari
sebatang pohon kayu, yaitu: Ya Musa, Sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan
semesta alam. (QS. Al-Qashash : 30)

Juga firmanNya dalam mengagungkan diriNya serta menyebutkan namanama dan sifat-sifatNya,






Artinya :
Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib
dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah
yang tiada Tuhan selain Dia, raja, yang Maha suci, yang Maha Sejahtera, yang
Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang
Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang
membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa
yang di langit dan bumi. dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al- Hasyr : 22-24).
Juga firmanNya di dalam membatalkan klaim adanya rabb selain Dia, atau
adanya Ilah (sesembahan) selain Dia di langit dan di bumi,






Artinya :
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah
keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai Arsy
daripada apa yang mereka sifatkan. (QS. Al-Anbiya : 22).
2. Berita dari lebih 124.000 nabi dan rasul tentang wujud
Allah Subhanahuwata`ala, rubububiyahNya bagi semesta alam, tentang
penciptaanNya terhadap alam semesta ini dan penguasaanNya; dan tentang
asma` dan sifat-sifatNya. Tiada seorang Nabi atau rasul pun diantara mereka
melainkan Allah Subhanahuwata`ala telah mewahyukan kepada hati dan
akalnya sesuatu yang memastikan bahwa apa yang disampaikanNya adalah
firman (kalam) dan wahyu dari AllahSubhanahuwata`ala kepadanya. Berita
yang disampaikan oleh sejumlah besar manusia pilihan tersebut tidak
memungkinkan bagi akal sehat untuk mendustakannya, sebagaimana tidak
mungkin jumlah sebesar itu sepakat untuk berdusta dan menyampaikan
berita tentang sesuatu yang tidak mereka ketahui, tidak mereka yakini dan
tidak memastikan kebenarannya, padahal mereka adalah manusia pilihan,
manusia yang paling suci jiwanya, paling cerdas akal pikirannya dan paling
benar pembicaraannya.

3. Keyakinan dan kepercayaan milyaran manusia tentang wujud (adanya) Tuhan


Penciptaan alam semesta serta ibadah dan ketundukan mereka kepadaNya.
Padahal kebiasaan manusia itu berlaku hanya dengan diyakininya oleh satu
orang atau dua orang saja, apalagi kalau diyakini oleh sekelompok, satu umat
dan jumlah manusia yang tidak terhitung, ditambah dengan kesaksian akal
dan fitrah atas validitas (keshahihan) Tuhan yang mereka yakini dan mereka
beritakan, dan mereka beribadah serta bertaqarub (mendekatkan diri)
kepadaNya.
4. Berita yang disampaikan oleh jutaan ulama tentang wujud
Allah Subhanahuwata`ala, sifat-sifat dan nama-namaNya, rububiyahNya atas
segala sesuatu, kekuasaanNya atas segala sesuatu, maka dari itu mereka
beribadah, menyembah dan patuh kepadaNya, cinta karenaNya dan benci
karenaNya pula.

B. Dalil-dalil `Aqli
1. Adanya alam semesta dan makhluk yang beraneka ragam memberikan
kesaksian akan wujud (adanya) Sang Pencipta, yaitu
Allah Subhanahuwata`ala. Karena tidak ada seorang pun di alam raya ini
yang mengklaim telah menciptakan alam raya ini beserta isi-isinya selain dari
Allah Subhanahuwata`ala. Akal manusia pun menyatakan mustahil (tidak
mungkin) adanya sesuatu tanpa adanya sang pencipta (yang mengadakan),
bahkan juga akan menyatakan mustahil akan adanya sesuatu yang sangat
sederhana tanpa ada yang mengadakannya, seperti adanya makanan tanpa
adanya orang yang berupaya untuk memasaknya, atau adanya hamparan di
bumi tanpa adanya yang menghamparkannya.
Maka bagaimana dengan alam raya yang luar biasa besarnya yang terdiri
dari langit dengan segala planet-planet yang dikandungnya, matahari, bulan
dan bintang-bintang, semuanya berbeda besar dan kecilnya, bentuk dan
rupanya, dimensi-dimensinya dan pergerakannya; bumi dengan segala apa
yang dipermukaannya, seperti manusia, jin, dan berbagai hewan dengan
segala jenis dan spesiesnya dan dengan segala perbedaan warna dan
bahasa, perbedaan pengetahuan dan pemahaman, karekteristik dan cirri, dan
dengan segala apa yang dikandungnya seperti tambang yang bermacammacam warna dan kegunaannya; dengan segala sungai yang mengalir,
daratan yang diliputi lautan dan samudera, serta dengan segala macam
tumbuh-tumbuhan , pepohonan yang beraneka macam buah-buahannya,
yang berbeda-beda pula macam dan jenisnya, rasa dan baunya, kekhususan
dan kegunaannya.
2. Adanya firmanNya pada kita yang selalu kita baca dan kita hayati serta kita
fahami maknanya adalah sebagai bukti atas wujud Allah Subhanahuwata`ala,
karena sangat mustahil ada pembicaraan (kalam) tanpa adanya pembicara
(mutakallim) atau adanya ucapan tanpa adanya yang mengucapkan.

Jadi kalam atau firman Allah Subhanahuwata`ala itu menunjukkan wujudNya,


apalagi firmanNya itu mengandung ajaran yang paling kokoh dan sempurna
yang pernah diketahui oleh manusia dan undang-undang (aturan) yang paling
bijaksana yang dapat merealisasikan berbagai kebaikan bagi umat manusia.
Ia juga meliputi teori-teori ilmiah yang paling benar, serta meliputi berbagai
masalah ghaibiyah. Dan tidak ada seorang pun ahli sejarah yang berani
membatalkan satu kisah peristiwa dari kisah-kisah yang dimuat di dalam
firmanNya, lalu kemudian ia mendustakannya atau menafikan (meniadakan)
satu kejadian dari kejadian-kejadian bersejarah yang disebutkan dan
diinformasikan secara rinci.
Ucapan (kalam) yang bijaksana lagi benar seperti itu membuat akal menjadi
mustahil akan menisbatkan kepada seorang manusia, karena kalam seperti
itu diluar kemampuan manusia dan di luar tingkat pengetahuan mereka.
Maka apabila sudah tidak mungkin lagi dikatakan bahwa kalam (firman, alQur`an) adalah ucapan manusia, maka ia adalah kalam (firman) Sang
Pencipta manusia dan sekaligus sebagai dalil atas wujudNya, ilmuNya,
QudratNya, (kekuasaanNya) dan kebijaksanaanNya.
Adanya sistem yang sangat teratur rapi seperti ini, yang tercermin pada
sunnah kauniyah (sunnatullah) di dalam penciptaan, pembentukkan,
pertumbuhan dan pengembangan bagi seluruh makhluk hidup yang ada di
alam semesta ini. Sesungguhnya, semuanya patuh dan tunduk
kepada sunnatullah, tidak dapat keluar darinya bagaimana pun jua. Sebagai
contoh adalah manusia. Ia diciptakan bermula dari sperma yang tercurahkan
ke dalam rahim, kemudian melalui beberapa fase yang sangat ajaib dimana
tidak ada seorang pun selain Allah Subhanahuwata`ala yang ikut campur di
situ, lalu keluar darinya sebagai sosok manusia yang sempurna. Itu adalah
dalam masa penciptaan dan pembentukannya.
Demikian pula pertumbuhan dan perkembangannya, dari bayi dan anakanak hingga menjadi seorang remaja dan dewasa, dan terus berlanjut
memasuki masa tua.
Sunnah umum yang terjadi pada manusia dan hewan seperti tersebut di
atas juga berlaku pada pepohonan dan tumbuh-tumbuhan. Demikian pula
langit dan benda-benda yang ada di dalamnya, semuanya tunduk dan patuh
kepada aturan dan sunnah yang telah ditetapkan kepadanya, tidak
pernahmenyimpang darinya dan tidak pernah keluar dari jalurnya. Maka,
kalau saja terjadi penyimpangan atau sejumlah planet keluar dari garis
edarnya, nicaya hancurlah alam semesta ini dan berakhirlah kehidupan ini
Berdasarkan dalil-dalil dan argumen-argumen `aqli yang logis dan naqli
seperti di atas, maka seorang muslim beriman kepada
Allah Subhanahuwata`ala, kepada rububiyahNya atas segala sesuatu dan
ilahiyanNya bagi manusia terdahulu dan manusia masa kini. Atas dasar dan

prinsip keimanan dan keyakinan ini pulalah kehidupan seorang muslim


dengan segala aspek terbentuknya.

2. Filsafat Ketuhanan dalam Islam


Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta,
dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat
berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini alSyaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan
cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan
perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia
menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu,
berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan
pengalaman-pengalaman manusia.[1]
Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat
telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481411 SM), yang dikenal sebagai orang yang pertama yang menggunakan
perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa
pengertian filsafat dari segi kebahasan atau semantik adalah cinta terhadap
pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu
kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan
sebagai sasaran utamanya.
Keimanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang fundamental,
kajian ini harus dilaksanakan secara intensif. Keimanan kepada Allah Swt,
kecintaan, pengharapan, ikhlas, kekhawatiran, tidak dalam ridho-Nya,

tawakal nilai yang harus ditumbuhkan secara subur dalam pribadi muslim
yang tidak terpisah dengan aspek pokok ajaran yang lain dalam Islam.
Ketaatan merupakan karunia yang sangat besar bagi muslim dan
sebagian orang yang menyebut kecerdasan spiritual yang ditindak lanjuti
dengan kecerdasan sosial. Inti ketaatan tidak dinilai menurut Allah Swt, bila
tidak ada nilai pada aspek sosial.
Muslim yang baik memiliki kecerdasan intelektual sekaligus
kecerdasan spiritual (QS. Ali Imran: 190-191) sehingga sikap
keberagamaannya tidak hanya pada ranah emosi tetapi didukung kecerdasan
pikir atau ulul albab. Terpadunya dua hal tersebut insya Allah menuju dan
berada pada agama yang fitrah. (QS.Ar-Rum: 30).
Jadi, filsafat Ketuhanan dalam Islam bisa diartikan juga yaitu
kebijaksanaan Islam untuk menentukan Tuhan, dimana Ia sebagai dasar
kepercayaan umat Muslim.

3. Sejarah Pemikiran Tentang Tuhan Menurut Pemikiran Barat


Yang dimaksud dengan konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah hasil
pemikiran tentang Tuhan baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah dari penelitian
rasional, maupun pengalaman batin.
Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori
yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana,
lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula
dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor,
Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses perkembangan pemikiran
tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:

Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui
adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu
yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda

mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan


ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda
disebut dengan nama yang berbeda-beda,
seperti mana (Melanesia), tuah(Melayu), dan syakti (India). Mana adalah
kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera.
Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun nama
tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.

Animisme
Masyarakat primitif pun mempercayai adanya peran roh dalam
hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh
masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun
bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang
selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang apabila
kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak
terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan
kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah salah
satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.

Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan
kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh
yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas
dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang
bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yangmembidangi masalah air,
ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.

Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum
cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan
seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lamakelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif
(tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan
Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain.
Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme
(Tuhan Tingkat Nasional).

Monoteisme

Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi


monoteisme. Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk
seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau
dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme,
panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana
dinyatakan oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew
Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat
primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah
juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka
mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang
khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud
yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur
golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana
agama terutama di Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan
memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka
menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi
dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan
pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh
kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan buktibukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah
monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan
(Zaglul Yusuf, 1993:26-27).

4. Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Umat Islam


Perkembangan Pemikiran tentang Tuhan dalam islam melahirkan ilmu kalam, ilmu tauhid
atau ilmu ushuluddin dikalangan umat Islam, setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Aliran-

aliran tersebut ada yang bersifat liberal, tradisional dan ada aliran diantara keduanya. Ketiga
corak pemikiran ini mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan (teologi) dalam Islam. Aliranaliran tersebuut adalah:
1. Muktazilah, adalah kelompok rasionalis dikalangan orang Islam, yang sangat menekankan
penggunaan akal dalam memahami semua ajaran Islam. Dalam menganalisis masalah
ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem teologi
untuk mempertahankan kedudukan keimanan. Hasil dari paham Mutazilah
yang bercorak rasional ialah muncul abad kemajuan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Namun kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya menurun
dengan kalahnya mereka dalam perselisihan dengan kaum Islam ortodoks.
Mutazilahlahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah ,
sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawarij
2. Qodariyah, adalah kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan
berkehendak dan berbuat.[5] Manusia berhak menentukan dirinya kafir atau mukmin sehingga
mereka harus bertanggung jawab pada dirinya. Jadi, tidak ada investasi Tuhan dalam perbuatan
manusia.
3. Jabariyah, adalah kelompok yang berpendapat bahwa kehendak dan perbuatan manusia sudah
ditentukan Tuhan. Jadi, manusia dalam hal ini tak ubahnya seperti wayang. Ikhtiar dan doa
yang dilakukan manusia tidak ada gunanya.
4. Asyariyah dan Maturidiyah, adalah kelompok yang mengambil jalan tengah
antara Qodariyah dan Jabariyah.Manusia wajib berusaha semaksimal mungkin. Akan tetapi,
Tuhanlah yang menentukan hasilnya.
Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan
dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran
mana saja diantara aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang
dianutnya, tidak menyebabkan ia keluar dari islam. Menghadapi situasi dan
perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu
mengadakan koreksi ilmu berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa
dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.
Di antara aliran tersebut yang nampaknya lebih dapat menunjang
perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan etos kerja adalah
aliranMutazilah dan Qadariah.

5. Tuhan Menurut Agama Wahyu

Secara etimologi wahyu berarti isyarat, bisikan buruk, ilham, perintah.


Sedangkan menurut termonologi berartinama bagisesuatu yang
disampaikansecaracepatdari Allah kepadaNabi-Nabi-Nya.
Dalam pengertian lain, wahyu berasaldari kata arab , dan al-wahy
adalah kata asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang
berartisuara, api, dan kecepatan. Di samping itu juga mengandung arti
bisikan, isyarat, tulisan dan kitab.Selanjutnya mengandung arti
pemberitahuan secarasembunyi - sembunyi dan dengan cepat.Tentang
penjelasan cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-Nabi, diberikan
oleh al-Quran sendiri. Dalam Islam wahyuatausabdaTuhan yang
disampaikankepadaNabi Muhammad SAW terkumpul semuanya dalam alQuran.Salah satunya dijelaskan dalam Surat al-Syura : 51 yang artinya :
Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau
dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya
dengan seizin-Nya apa yang Diakehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi
lagi Maha Bijaksana.
Dari sejumlah uraian di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Kata akal
berasal dari kata Arab al-Aqly yang artinya mengerti, memahami dan berfikir
Polemik yang terjadi antara aliran - aliran teologi Islam yang
bersangkutanialah : yang manakah diantara keempat masalah itu yang dapat
diperoleh dengan akal dan yang mana yang melalui wahyu.Menurut
beberapapan dengan Teologi Islam yang memberikan argumennya masingmasing mengenai persoalan - persoalan yang melibatkan peranakal dan
wahyu adalah sebagai berikut :
Menurut kaum Mutazilah keempat masalahta didapat diketahui dengan
akal berbeda dengan paham Asyariyah yang mengatakan akal hanya bisa
mengetahui pengetahuan saja yaitu mengetahui Allah dan baik dan jahat,
sedangkan yang berhubungan dengan kewajiban akal tidak dapat
mengetahui dan yang dapat mengetahui adalah wahyu. Kalau menurut
paham Maturidiyah Samarkhan ungkapannya hamper mendekati
Mutazilahhanya saja satu hal yang membedakannya yaitu kewajiban
mengetahui baik dan jahathanya dapat diketahui dengan wahyu. Sedangkan
menurut paham Maturidiyah Bukhara ungkapannya hamper sama mendekati
Asyariyah. Jika dia mengadakan perbandingan antara keempat golongan ini
ditemukan bahwa dua aliran memberikan daya kuat kepada akal , yaitu aliran
Mutazilah dan Maturidiyah Samarkhandan dua aliran memandang akal
manusia lemah, yaitu aliran maturidiyah Bukhara dan aliran Asyariyah.
Pengkajian manusia tentang Tuhan, yang hanya didasarkan atas
pengamatan dan pengalaman serta pemikiran manusia, tidak akan pernah
benar. Sebab Tuhan merupakan sesuatu yang ghaib, sehingga informasi
tentang Tuhan yang hanya berasal dari manusia biarpun dinyatakan sebagai
hasil renungan maupun pemikiran rasional, tidak akan benar.

Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan antara lain tertera


dalam:
1. QS 21 (Al-Anbiya): 92, Sesungguhnya agama yang diturunkan Allah
adalah satu, yaitu agama Tauhid. Oleh karena itu seharusnya manusia
menganut satu agama, tetapi mereka telah berpecah belah. Mereka akan
kembali kepada Allah dan Allah akan menghakimi mereka.
Ayat tersebut di atas memberi petunjuk kepada manusia bahwa
sebenarnya tidak ada perbedaan konsep tentang ajaran ketuhanan sejak
zaman dahulu hingga sekarang. Melalui Rasul-rasul-Nya, Allah
memperkenalkan dirinya melalui ajaran-Nya, yang dibawa para Rasul,
Adam sebagai Rasul pertama dan Muhammad sebagai terakhir.
Jika terjadi perbedaan-perbedaan ajaran tentang ketuhanan di antara
agama-agama adalah karena perbuatan manusia. Ajaran yang tidak
sama dengan konsep ajaran aslinya, merupakan manipulasi dan
kebohongan manusia yang teramat besar.
2. QS 5 (Al-Maidah):72, Al-Masih berkata: Hai Bani Israil sembahlah Allah
Tuhaku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti mengharamkan kepadanya syurga,
dan tempat mereka adalah neraka.
3. QS 112 (Al-Ikhlas): 1-4, Katakanlah, Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah
adalah Tuhan yang bergantung pada-Nya segala sesuatu. Dia tiada
beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang
setara dengan Dia.
Dari ungkapan ayat-ayat tersebut, jelas bahwa Tuhan adalah Allah.
Kata Allah adalah nama isim jumid atau personal name. Merupakan suatu
pendapat yang keliru, jika nama Allah diterjemahkan dengan kata Tuhan,
karena dianggap sebagai isim musytaq.
Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau
disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan
kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah sebagai
prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya.
Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari al-quran
memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk
mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap
dan praktik menjalani kehidupan.
Makna Wahyu adalah pilar dan pondasi kenabian serta termasuk salah
satu dari rukun agamaagama samawi. Wahyu merupakan jalur khusus
dan rahasia yang menghubungkan antara Tuhan dan manusia-manusia
pilihan (baca: nabi dan rasul). Tuhan "berhubungan" dengan nabi dan
rasul, baik secara langsung maupun tak langsung, dengan perantaraan
wahyu. Dan Tuhan menurunkan wahyu yang mengandung, pengetahuan,
hukum-hukum, dan undang-undang ke dalam hati nabi dan

memerintahkan kepadanya untuk menyampaikannya kepada seluruh umat


manusia. Para nabi mendapatkan hakikat-hakikat dari alam gaib dengan
perantaraan hubungan malakuti dan transenden yang tercipta melalui hati
bukan dengan menggunakan indra-indra lahiriah, akal, pemikiran, dan
silogisme logikal. Berdasarkan hubungan malakuti inilah para nabi
mengenal Tuhan dan menerima tanggungjawab suci yang dibebankan
kepadanya sebagai utusan Tuhan dan nabi untuk mengarahkan umat
manusia mencapai tujuan hakiki penciptaannya, yakni kebahagiaan abadi
dan kesempurnaan hakiki pasca kehidupan di dunia ini.
Wahyu adalah sebuah eksistensi transendental yang berada di luar
ranah dan wilayah akal pikiran manusia, karena itu manusia mustahil
mengetahui esensi dan hakikat wahyu dengan perantaraan akal.
Wahyu bukanlah sebuah eksistensi yang bersifat material atau
berhubungan dengan alam natural sehingga manusia bisa mengetahuinya
dengan menggunakan perangkat-perangkat indrawi dan alat-alat ilmu
empirik. Hakikat wahyu tidaklah bisa dideskripsikan oleh akal dan tidak
bisa didefenisikan dengan apapun. Para nabi memahami hakikat wahyu
dan menyaksikannya dengan keluasan dan kesucian batinnya. Hakikat
wahyu yang disaksikan langsung oleh para nabi bukan dalam bentuk hurufhuruf dan tidak bisa disampaikan kepada yang orang lain, akan tetapi
kandungan wahyu yang kaya dan sarat dengan informasi dari Tuhanlah
yang bisa ditransfer kepada orang lain. Ketika para nabi menyampaikan
wahyu tidaklah berarti bahwa para nabi menyampaikan pengalaman
batinnya di alam metafisika yang merupakan sebuah eksistensi di luar
alam materi dan alam tabiat. Para pengikut dan sahabat hanyalah
menyaksikan tanda-tanda bahwa nabi menerima wahyu dan mereka tidak
mengalami apa yang terjadi pad nabi pada saat menerima hakikat wahyu.
Oleh karena itu, kami dengan jelas mengatakan bawa kita tidak bisa
menjelaskan dan memahami hakikat wahyu dan tidak dapat memberikan
definisi yang komprehensif terhadap sebuah eksistensi transendental yang
diluar jangkauan akal manusia. Dan para pembaca yang budiman
sebaiknya tidak berharap demikian, akan tetapi tujuan kami adalah
menjelaskan apa-apa yang akan membantu kita dalam memahami wahyu
secara lahiriah dan mendekatkan pikiran kita tentang hubungan rahasia
dan luar biasa ini.
Inilah tujuan kami ketika mengutip dan menyandarkan perkataan kami
kepada para filosof dan para urafa. Dan dengan menalaah perkataan para
ilmuwan tersebut akan memberikan perspektif yang benar tentang wahyu
pada kita. Bukan berarti bahwa dengan ketidakmampuan mengetahui
esensi wahyu menyebabkan pengingkaran pada wahyu, kenabian, rasul,
dan pembawa wahyu itu sendiri, karena kenabian adalah masalah yang

telah dibahas dan diteliti secara cermat dalam buku-buku teologi dan
filsafat serta sudah dibuktikan keberadaannya dengan mengemukakan
argumentasi logikal dan rasional. Pembuktian kebenaran kenabian tidak
bergantung pada pengetahuan kita tentang hakikat dan esensi wahyu.
Disamping itu, pengutusan para nabi adalah sebuah kenyataan sejarah
yang tak dapat dipungkiri. Dan di sepanjang sejarah kehidupan manusia,
manusia-manusia pilihan bangkit dan hadir untuk membimbing dan
memberi petunjuk kepada manusia dan memproklamirkan bahwa mereka
miliki hubungan khusus dengan Tuhan. Dan mereka memiliki program dan
rencana untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran dan menunjukkan
jalan keselamatan dan kebahagian di dunia dan akhirat. Dengan kesaksian
sejarah pula, para nabi merupakan manusia-manusia pilihan yang tidak
memiliki cacat dan celah dalam kehidupannya, mereka terkenal sebagai
orang yang amanah, orang shaleh, jujur, ikhlas, berakhlak baik, dan
berbudi pekerti yang luhur.
Di samping itu, mereka juga menunjukkan mukjizat untuk
membuktikan kenabian mereka, memaparkan perintah-perintah Tuhan
dengan pasti dan bijaksana, menampakkan keimanan yang kuat dan
perkataan yang benar, dan mengajak manusia untuk beriman kepada
Tuhan dan alam gaib. Mereka terkenal sebagai orang jujur dan amanah
serta bisa dipercaya, karena itu manusia mempercayainya dan menerima
ajakannya, setia, berjihad, dan bersungguh-sungguh untuk mengamalkan
perintah-perintahnya.

4. Dari kedua pemaknaan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa wahyu


memiliki enam makna sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Bisikan;
Suara yang tak terdengar;
Isyarat;
Tulisan;
Risalah dan utusan;
Ilham.

Setiap makna di atas mengandung dua unsur: kecepatan dalam


pemahaman dan rahasia. Syekh Mufid menyatakan, "Makna utama wahyu
ialah bisikan, lalu secara mutlak diartikan sebagai sesuatu yang digunakan
untuk menjelaskan dan memahamankan sebuah obyek kepada lawan bicara
dengan cepat dan tersembunyi." Allamah Thaba-thabai berkata, "Wahyu ialah
suatu isyarat dan petunjuk yang cepat." Dan penulis tafsir Ruhul al-Bayan
mengatakan, "Makna inti wahyu ialah isyarat yang cepat, sesuatu dikatakan
sebagai wahyu karena terlaksana dengan cepat, wahyu adalah pemahaman

itu sendiri, memahamkan itu sendiri, dan yang dipahami itu sendiri." Dalam
makna leksikal wahyu tidak ditekankan secara khusus subjek pemberi wahyu,
baik itu Tuhan, malaikat, manusa, jin, dan setan.
Demikian pula, subjek penerima wahyu tidak ditegaskan secara
khusus, siapa yang menerimanya dan apa yang diwahyukan. Wahyu dalam
Al-Quran Kata Wahyu dan derivasinya disebutkan 78 kali dalam al-Quran dan
seluruhnya memiliki makna yang berbeda-beda, sebagai berikut:
1. Insting dan fitrah Allah berfirman, "Dan Allahmu mewahyukan kepada
lebah buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon dan
tempa-tempat yang dibuat manusia." Syekh Mufid menuliskan, "Yang
dimaksud dengan wahyu adalah ilham tersembunyi. Lebah
memahami tanggung jawabnya tanpa perantaraan kata-kata." Lebah
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menakjubkan seperti membuat
rumah heksagonal yang bersegi enam, menjaga rumah, melakukan
perjalanan jauh untuk mencari bunga, mengisap saripati bunga,
merubah saripati tersebut menjadi madu, kembali ke sarangnya
sendiri, tinggal di sarang mereka, menjaga ratu, dan puluhan
pekerjaan yang menakjubkan. Semua itu muncul dari insting yang ada
pada diri mereka. Berdasarkan insting dan fitrah serta ilham dari
Tuhan lebah melakukan pekerjaan yang menakjubkan tersebut.
2. Sunnatullah dan Hukum Alam Allah berfirman, "Kemudian Dia menuju
pada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia
berkata kepadanya dan kepada bumi: " datanglah kamu keduanya
menurut perintahKu dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya
menjawab: "kami datang dengan suka hati." Maka dia menjadikannya
tujuh langit dalam dua masa dan dia mewahyukan pada tiap-tiap
langit urusannya. Dan kami hiasi langit yang dekat dengan bintangbintang yang cemerlang dan kami memeliharanya dengan sebaikbaiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui". Di dalam ayat lain disebutkan, "Apabila digoncangkan
dengan goncangan yang dahsyat dan bumi telah mengeluarkan
beban-beban berat yang dikandungnya dan manusia bertanya:
mengapa bumi jadi begini? Pada hari itu bumi menceritakan beritanya
karena sesungguhnya Allahmu telah memahyukan (yang sedemikian
itu) kepadanya." Tuhan menciptakan bumi, langit, dan alam materi
sesuai dengan "sunnah" dan hukum sebab-akibat (kausalitas). Dan
alam semesta tersebut berjalan sesusai dengan "sunnah". Alam
semesta memiliki hukum dan "sunnah" tersendiri dan diatur sesuai
dengan "sunnah" tersebut. "Sunnah" tersebut berasal dari Tuhan dan
berjalan sesuai dengan perintah-Nya.

Jadi yang dimaksud dengan wahyu Ilahi dalam ayat tersebut yaitu
sunnatullah dan hukum alam. Sebagian penafsir menjelaskan bahwa wahyu
yang dimaksud pada ayat itu adalah wahyu kepada ahli langit yakni para
malaikat. Dari kedua ayat ini ada dua hal penting yang bisa kita tarik
kesimpulan pertama wahyu turun tidak melalui perantaraan kata-kata dan
yang kedua penerima wahyu tidak mesti harus yang berakal.
3. Ilham, bisikan, dan inspirasi ke dalam hati Al-Quran dalam masalah
ibu Nabi Musa As mengatakan, "Yaitu ketika kami mengilhamkan
kepada ibumu suatu yang diilhamkan yaitu letakkanlah ia (Musa) di
dalam peti kemudian lemparkanlah ia kesungai Nil maka pasti sungai
itu membawanya ke tepi supaya di ambil oleh musuh-Ku." Dalam ayat
lain dikatakan, "dan kami ilhamkan kepada ibu Musa " susukanlah dia
apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke dalam
sungai Nil dan janganlah kamu khawatir dan jangan pula bersedih hati
karena sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu dan
menjadikannya salah seorang dari para rasul." Penerima wahyu pada
kedua ayat tersebut adalah ibu nabi Musa as, dan sudah tak bisa
dipungkir bahwa wahyu tersebut bukanlah wahyu yang diterima para
nabi as tetapi satu bentuk pemberian pemahaman secara sembunyi,
ilham, inspirasi dan bisikan ke dalam hati baik dalam tidur maupun
ketika terjaga. Syekh Mufid berkata, "kaum muslimin sepakat bahwa
ibu nabi Musa diberikan wahyu apakah ketika terjaga ataukah ketika
tidur."
4. Isyarah Allah Swt berfirman dalam surah Maryam ayat 10-11, "Zakaria
berkata: ya Allahku berilah aku suatu tanda Allah berfirman tanda
bagimu ialah bahwa kamu tidak dapaat bercakap-ccakap dengan
manusia selama tiga malam padahal kamu sehat. maka ia keluar dari
mihrab menuju kaumnya lalu ia memberi isyaraat kepadamereka
hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang." Pada ayat lain
dinukilkan kisah Nabi Zakaria As pada surah Ali Imran ayat 41,
"Berkata Zakaria berilah aku suatu tanda (bahwa isteriku telah
mengandung) Allah berfirman : tandanya bagimu kamu tidak dapat
berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat
dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di
waktu petang dan pagi hari." Dalam kedua ayat tersebut yang
memberikan wahyu adalah Nabi Zakaria As dan penerima wahyu
adalah kaumnya, wahyu adalah memberikan pemahaman dalam
bentuk isyarat dimana hanya orang yang diajak bicara saja yang bisa
memahaminya.
5. Wahyu kepada hawariyyun (pengikut khusus Nabi Isa As) Allah Swt
berfirman dalam surah al-Maidah ayat 111, "Dan ingatlah ketika Aku
ilhamkan kepada pengikut nabi isa as yang setia: " berimanlah kamu

kepadaKU dan kepada rrrasulKu". Mereka menjawab : " kami telah


beriman dan saksikanlah wahai rasul bahwa sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)." Pemberi wahyu
dalam ayat ini adalah Allah swt dan penerima wahyu adalah
Hawariyyun dan sahabat nabi Isa as. Sebagain penafsir memberikan
kemungkinan yang dimaksud hawariyyun adalah nabi juga. Oleh
karena itu, wahyu mereka terima termasuk dalam wahyu istilah. Akan
tetapi karena kenabian mereka belum bisa dibuktikan maka wahyu
dalam ayat tersebut bermakna bisikan yang diinspirasikan dan
diilhamkan ke dalam hati.
6. Wahyu kepada Malaikat Allah Swt berfirman dalam surah al-Anfal ayat
12, "Ingatlah ketika Allahmu mewahyukan kepada para malaikat:
"sesungguhnya aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian
orang-orang yang telah beriman". kelak akan jatuhkan rasa ketakutan
ke dalam hati orang-orang kafir maka penggallah kepala mereka dan
potonglah tiap-tiap ujung jari mereka." Dalam ayat di atas disebutkan
bahwa pemberi wahyu adalah Allah swt dan penerima wahyu adalah
para malaikat, akan tetapi bukan wahyu kenabian dan bukan juga
dengan perantaraan suara dan percakapan, karena para malaikat
bukan makhluk jasmani.
7. Wahyu dari Setan Allah Swt berfirman dalam surah al-An'am ayat 121,
"Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut
nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan
semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya setan itu
membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah
kamu dan jika kamu menuruti mereka sesungguhnya kamu tentulah
menjadi orang-orang musyrik." Dalam surah al An'am ayat 112
disebutkan, "Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu
musuh, yaitu syaitan-syaitan dari jenis manusia dan dari jenis jin
sebagian dari mereka membisikkan atas sebagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah untuk menipu, jikalau Allahmu
menghendaki niscaya mereka tidak megerjakannya, maka
tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan." Pemberi
wahyu dalam ayat di atas adalah setan dari jin dan manusia yang
membisikkan sesuatu yang menyesatkan. Oleh karena itu, wahyu
bermakna pembicaraan rahasia dan rasa was was yang dibisikkan ke
teliga yang lain. Karena setan dari jin dan manusia adalah pemberi
wahyu yang menghembuskan rasa was-was ke dalam hati manusia
dan menyesatkannya.
8. Wahyu kepada Para Nabi Sekalipun dalam al-Quran kata wahyu
digunakan untuk selain para nabi sebagaimana telah kami sebutkan,

akan tetapi mayoritas kata wahyu tersebut digunakan untuk para


nabi. Sebagai contoh, Allah Swt berfirman dalam surah an-Nisa ayat
163,
"Sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu
sebagaimana kami telah berikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi
kemudiannya, dan kami telah berikan wahyu pula kepada Ibrahim,
Ismail, Ishaq, Ya'qub dan anak-anak cucunya. Isa, Ayyub, Yunus, Harun
dan sulaiman. Dan kami berikan Zabur kepada Daud." Dan dalam
surah Yusuf ayat 3, "Dan kami menceritakan kepadamu kisah yang
paling baik dengan mewahyukan al quran kepadamu dan
sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukannya) adalah
termasuk orang-orang yang belum mengetahui."
Begitu pula dalam surah al-An'am ayat 19 disebutkan, "Katakanlah
siapakah yang lebih kuat persaksiannya? Katakanlah: Allah" dia
menjadi saksi antara aku dan kamu dan al-Quran ini diwahyukan
kepadaku supaya Dia dengan aku memberi peringatan kepadamu dan
kepada orang-orang yang sampai al-Quran kepadanya." Puluhan ayat
akan kami paparkan dalam pembahasan yang akan datang.
Dalam hal ini, pemberi wahyu adalah Allah Swt dan penerima wahyu
adalah para nabi. Wahyu adalah pengetahuan dan berita yang diturunkan
oleh Allah Swt untuk manusia. Sekalipun dari segi bahasa wahyu adalah
bisikan dan inspirasi yang diberikan kepada orang yang diajak bicara secara
sembunyi dan cepat serta memiliki makna yang sangat luas, namun wahyu
yang diberikan kepada para nabi memiliki perbedaan yang esensial dimana
akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
Istilah Wahyu Sepanjang sejarah, Para nabi mengaku bahwa mereka
memiliki hubungan langsung dan khusus dengan Tuhan, mereka menerima
hakikat di mana manusia biasa tidak akan mampu menampungnya. Para nabi
melihat dan mendengar suara Malaikat sang pembawa wahyu dengan indraindra batin. Dan para nabi bertugas untuk menyampaikan berita dan perintah
Tuhan kepada umat manusia, membimbing dan memberi petunjuk kepada
hamba-hamba-Nya.
Hubungan khusus yang bersifat rahasia itu, dalam istilah, disebut
sebagai wahyu. Syekh Mufid menyatakan, "Ketika wahyu dinisbahkan kepada
Tuhan, dalam istilah Islam, maka wahyu itu hanyalah dikhususkan kepada
para nabi As." Hamu menuliskan, "Terkadang Tuhan mengispirasikan sesuatu
kepada sebagian manusia dalam keadaan tidur dan kemudian hal tersebut
benar-benar terjadi, maka inspirasi ini dalam terminologi Islam tidak disebut
wahyu.

Dengan demikian, tidak dikatakan bahwa fulan telah mendapatkan


wahyu. Kami meyakini bahwa para imam suci menerima ilmu akan tetapi
tidak disebut sebagai wahyu, hal ini karena kaum muslimin sepakat bahwa
pasca Nabi Muhammad saw tidak turun lagi wahyu kepada seorangpun."
Telah banyak defenisi wahyu yang telah dikemukakan, akan tetapi bukanlah
defenisi yang bersifat hakiki. Pada dasarnya, kita mustahil mendefenisikan
wahyu dari segi hakikatnya, karena wahyu bukanlah sejenis hubungan biasa
sehingga kita bisa memahaminya kemudian mendefenisikannya. Allamah
Thabathabai mengungkapkan, "Wahyu ialah sejenis makrifat dan
pengetahuan khusus di dalam batin para nabi dimana tak seorangpun bisa
mengetahuinya kecuali dengan bantuan dan inayah Tuhan." Lebih lanjut dia
katakan, "Wahyu ialah perkara yang sangat ajaib, sejenis persepsi-persepsi
batin, dan pengetahuan yang sangat simbolik dimana tidak terjangkau oleh
indra-indra lahiriah."
Dan Muhammad Farid berkata, "Wahyu adalah pengajaran Tuhan
kepada para nabi dengan perantaraan malaikat mengenai perkara-perkara
agama. Muhammad Rasyid Ridha berkata, "Mereka mendefenisikan wahyu
sebagai pengajaran Tuhan tentang hukum agama kepada salah seorang nabi,
akan tetapi saya mendefenisikan wahyu sebagai sebuah bentuk pengetahuan
dimana seseorang mendapatkannya dalam dirinya sendiri dan meyakini
bahwa hal tersebut dari Tuhan baik dengan perantara ataupun tanpa
perantara." Zarqani menulis, "Wahyu dalam defenisi agama adalah bahwa
Tuhan menginformasikan apa-apa yang hendak diajarkan kepada hambahamba pilihan-Nya namun dengan cara rahasia dan tersembunyi." Dalam
agama Kristen, John Hick mendefiniskan wahyu sebagai berikut, "Wahyu
adalah kumpulan hakikat-hakikat yang termanifestasikan dalam bentuk
hukum-hukum dan proposisi-proposisi.
Dengan perantaraan wahyu, perkara-perkara hakiki dan pengetahuan
Ilahi berpindah kepada manusia." Dalam Eksiklopedia Katolik disebutkan,
"Wahyu didefenisikan sebagai perpindahan sebagian hakikat-hakikat dari
Tuhan kepada makhluk yang berakal melalui suatu perantaraan yang dalam
bentuk suatu proses alami. Sementara dalam Kitab Muqaddas tertera, "Pada
umumnya, yang dimaksud dengan wahyu adalah ilham."
Sebagaimana anda perhatikan bahwa semua defenisi yang kami telah
kemukakan itu tidaklah menjelaskan hakikat wahyu, akan tetapi hanyalah
penjelasan yang bersifat semantik. Poin penting yang harus disampaikan
adalah kata "wahyu" telah digunakan di tiga tempat :
1. Bermakna mengirim wahyu dimana merupakan sifat dari pemberi
wahyu;

2. Bermakna pengetahuan dan pemahaman atas sesuatu, yakni


sebagai sifat dari penerima wahyu;
3. Bermakna diwahyukan yakni hasil dari perbuatan Tuhan dan para
nabi dimana merupakan sifat dari ilmu-ilmu, pengetahuanpengetahuan, dan hukum-hukum agama.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Setelah menyelesaikan makalah ini, kami dapat menyimpulkan bahwa konsep Ketuhanan
dapat diartikan sebagai kecintaan, pemujaan atau sesuatu yang dianggap penting oleh manusia
terhadap sesuatu hal (baik abstrak maupun konkret). Filsafat Ketuhanan dalam Islam merupakan
aspek ajaran yang fundamental, kajian ini harus dilaksanakan secara intensif. Kata iman berasal
dari bahasa Arab, yaitu amina-yukminu-imanan, yang secara ethimologi berarti yakin atau
percaya. Sedangkan takwa berasal dari bahasa Arab, yaitu waqa-yuwaqi-wiqayah, secara
ethimologi artinya hati-hati, waspada, mawasdiri, memelihara, dan melindungi. Pengertian Takwa
secara terminologi dijelaskan dalam Al-hadits, yang artinya menjalankan semua perintah Allah
dan menjauhi segala larangan-Nya.

B. SARAN
Kita sebagai manusia seharusnya lebih mengembangkan pengetehuan
tentang referensi konsep ketuhanan menurut islam sehingga pemahaman
kita tentang konsep ketuhanan dalam islam tidak terbatas terutama
mengenai filsafat ketuhanan,pemikiran manusia tentang tuhan,tuhan menurt
wahyu,dan dalil dalil pembuktian eksintensi tuhan.
Dan kita dikatakan sosok manusia yang seutuhnya apabila ada
keselarasan manusia dengan tuhannya.maka dari itu kita sebagai penerus
pemuda bangsa dan negara mari kita pahamkan dalam keseharian kita
tentang pemahaman konsep dasar ketuhanan menurut islam.








~Semoga Bermanfaat~

DAFTAR PUSTAKA
rezkyfausi.blogspot.co.id/2012/12/konsep-ketuhanan-dalam-islam.html
http://manhajuddinzuhudi.blogspot.co.id/2014/07/urgensi-iman-dan
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza`iri. 2006. Minhajul Muslimin. Jakarta : Darul
Haq.
https://semakinterang.wordpress.com/2011/11/21/pentingnya-imankepada-allah/

http://nuristiar.blogspot.co.id/2013/10/makalah-pai-konsep-ketuhanandalam-islam.html

Anda mungkin juga menyukai