Anda di halaman 1dari 3

Resensi Film “Sepatu Dahlan”

Judul : Sepatu Dahlan

Produksi : Rizaludin Kurniawan

Tahun : 2014

Genre : Film Drama

Sutradara : Benni Setiawan

Penulis Skenario : Jujur Prananto

Pemain : Aji Santosa, Donny Damara, Kinaryosih

Durasi : 98 menit

Katagori Penonton : Semua umur

Dialog : Bahasa Indonesia

Dahlan Iskan, seseorang menteri BUMN yang memang cukup menarik perhatian, terlebih jika kita telusuri
rekam jejak kehidupannya. Tertuang dalam novel bertajuk “Sepatu Dahlan” yang berhasil terjual
sebanyak 80.000 copy dan menjadi best seller dalam kurun waktu lima bulan saja, rupanya juga
membuat salah satu rumah produksi film tertarik untuk mengangkat kisah hidup sang menteri ke layar
lebar. Menggunakan judul yang sama yaitu Sepatu Dahlan, film dengan durasi lebih dari 90 menit ini
akan menuturkan cerita seputar masa kecil Dahlan Iskan, tentang bagaimana sosoknya berusaha untuk
bertahan dalam liku-liku kehidupannya yang sederhana.

Berikut adalah cerita singkat mengenai film “Sepatu Dahlan” yang penuh inspiratif.

“Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya,” begitu semangat Dahlan. Hingga, keinginannya
memiliki sepatu dan sepeda, cukup dia benamkan dalam impiannya.

Kemiskinan yang dirasakan orang tuanya dan umumnya masyarakat Kebon Dalem, sebuah desa kecil di
Magetan, tidak menyurutkan Dahlan untuk tidak bersekolah walau harus bertelanjang kaki, melangkah
puluhan kilometer untuk sampai disekolah dasarnya. Setelah masuk di sebuah Madrasah Tsanawiyah di
Pesantren Takeran, perjalanan pergi pulang dari pesantren yang jaraknya dua kali lipat dari jarak
sekolahnya dahulu. Tak jarang kakinya melepuh bahkan lecet.

Dahlan sempat memiliki sepeda yang ditukar dengan kambing bapaknya, hanya gara-gara Ia dipaksa
Maryati, temannya untuk mencoba belajar naik sepeda Maryati, tapi justru Dahlan merusak sepeda
Maryati yang membuat berang ayahnya Maryati. Akhirnya sepeda yang rusak itu diganti dengan kambing
ternak ayahnya. Dahlan merasa bersalah besar.
Keluarga Dahlan sangatlah miskin bahkan untuk sarapan saja hanya secangkir teh. Terkadang Dahlan
ataupun adiknya, bahkan Dahlan lebih sering mengikatkan sarung di perut untuk menahan lapar. Namun,
impian memakai sepatu terus timbul tenggelam diantara rasa lapar itu. Bahkan bagi Dahlan impian
memiliki sepatu itu sudah punah, sewaktu ibunya meninggal dunia.

Sesekali ada kegirangan di hatinya, saat cintanya mulai bersemi pada Maryati, sang pujaan hati. Namun,
Dahlan tak kuasa bicara pada Maryati, karena kondisinya. Apalagi Dahlan benar-benar pada situasi sulit,
harus memiliki sepatu, karena panitia penyelenggara pertandingan voli tingkat kecamatan mewajibkan
pesertanya menggunakan sepatu. Dahlan sendiri, adalah kapten voli pesantren Takeran.

Pemilihan para pemain seperti Doni Damara yang memerankan Iskan, ayahanda Pak Dahlan dan
Kinaryosih sebagai ibunda Pak Dahlan terasa pas sekali. Entah kenapa aku pribadi merasa
Kinaryosih ini selalu berhasil menjiwai sosok tokoh yang diperankannya. Begitu juga dengan
Doni Damara. Seperti menyatu dengan tokoh yang diperankannya. Selebihnya, seperti tokoh
Dahlan kecil dan adiknya itu, keren banget.

Secara keseluruhan, para pemain benar-benar seperti menyatu dengan perannya masing-masing.

Tentang Film

Karena sebelumnya aku belum pernah membaca novelnya, jadi sejak awal aku hanya membawa
rasa penasaran. Baru setelah aku nonton filmnya, aku baca seri komiknya karya Tita Larasati.
Ada perbedaan dari kedua versi tersebut. Kalau di film yang disutradarai oleh Benni Setiawan ini
tidak ada scene sumur tua dan ibunda pingsan di dapur, sedangkan di versi komik ada cerita
tentang sumur tua dan ibunda pingsan di kebun belakang rumah. Selebihnya relatif sama.

Detail properti terasa sempurna alami ditambah dengan pemilihan lokasi yang menunjang
menurutku. Film ini bukan sekedar ingin menyampaikan potret kemiskinan warga di tanah
airnya yang katanya kaya raya, yang katanya tanam apa saja pasti tumbuh subur, tapi masih ada
rakyatnya yang harus menahan lapar semampunya dan bahkan sampai harus mencuri hanya
untuk mengisi perut yang tak terisi berhari-hari. Ke sekolah tanpa sepatu, ada jurang pemisah
yang lebar antara si kaya dan si miskin.

Melalui film ini, ada banyak pesan yang ingin


disampaikan. Seperti misalnya, perjuangan seorang Dahlan Iskan yang pergi dan pulang sekolah
harus ditempuh hanya dengan jalan kaki tanpa alas kaki, bagaimana kita harus bersyukur untuk
setiap rejeki yang Allah berikan untuk kita melalui berbagai cara. Bagaimana sebuah cita-cita itu
harus dikejar untuk mewujudkannya. Ada sebuah pesan istimewa juga di sana dari Pak Dahlan
ketika ditanya oleh ayahandanya,…aku pilih sugih, ananging iman, Pak.*)

Beberapa scene membuat aku mau tidak mau akhirnya meneteskan airmata, seperti ketika ibunda
akhirnya meninggal dunia, bagaimana Dahlan kecil sangat kehilangan ibundanya sampai
mencium kain yang masih tergantung di tempat biasa ibunda membatik sambil menangis,
bagaimana Dahlan kecil merasa malu hati ketika menerima hadiah sepatu yang ukurannya
kekecilan, bagaimana senangnya Dahlan ketika menerima sepatu baru yang sesuai ukurannya
dari ayahanda, bagaimana Zain si bungsu ingin membuat mendiang ibundanya bangga seperti
ibunda bangga pada Dahlan kecil.

Secara keseluruhan, film ini memang sangat layak dan sangat direkomendasikan untuk ditonton.
Bahkan sangat boleh ditonton oleh anak-anak. Ya setidaknya, Dahlan kecil bisa menginspirasi
anak-anak itu soal kerja keras, pantang menyerah.

Saat aku publish tulisan ini, adalah hari pertama film Sepatu Dahlan secara resmi bisa ditonton
oleh masyarakat. Sekali lagi, tidak ada unsur politik di sini.

Anda mungkin juga menyukai