Anda di halaman 1dari 3

RESENSI BUKU : Panglima Besar JENDERAL SOEDIRMAN

I.Identitas Buku
Judul Buku :Panglima Besar JENDERAL SOEDIRMAN
Editor :Amrin Imran
Penerbit Buku :PT MUTIARA SUMBER WIDYA
Cetakan :KE-6,1992
Ketebalan Buku :88 Halaman
Peresensi :ABIYYU WICAKSONO
Kelas :X IPS 3
Sekolah :SMA N 1 BREBES

II.Sinopsis
Jenderal Soedirman lahir Dukuh Rembang,Purbalingga,Jawa Tengah pada
tanggal 24 Januari 1916.Ia lahir dari pasangan Karsid dan Sijem,tetapi dari kecil
ia dirawat dan di asuh oleh Pak Tjokro.
Soedirman melakukan aksi perang GERILYA dengan kemauan yang kuat dan
juga karena ia telah berjanji dan bersumpah untuk membela dan menjaga
keutuhan Negara Indonesia saat ia dilantik menjadi Panglima Besar angkatan
bersenjata Republik Indonesia. Jenderal Soedirman melakukan gerilya dalam
keadaan sakit parah dan bertahan hanya dengan satu paru-paru yang berfungsi
dengan baik.
Pak Dirman wafat pada usia 34 Tahun di rumah peristirahatan tentara di taman
Badakan,Magelang pada sore hari sekitar pukul18.30.Beliau di makamkan di
Taman Makam Pahlawan (TMP) Semaki,Yogyakarta ke esokan harinya.

III.Kelebihian dan Kekurangan


Kelebihan :Buku ini dapat mengajarkan kita tentang perjuangan untuk tetap
mempertahankan kesatuan,persatuan, dan keamanan Republik Indonesia dan juga
dapat menambah rasa nasionalisme para pembaca .
Kekurangan :Karena buku ini di tulis pada tahun 1992,banyak kata yang belum
menggunakan EYD seperti sekarang dan ada beberapa kata yang sulit untuk di
mengerti.

Design Cover by Yudi Irawan S.Sn

Apresiasi terhadap buku ini begitu kentara dari Penulis buku Best Seller Atlas
Wali Songo (K.H. Agus Sunyoto) Pak Agus Sunyoto memberikan komentarnya
terhadap buku ini, berikut bunyinya. "Sangat menarik. Pengungkapan yang
cemerlang antara aktualita, faktualita, politik, sejarah, budaya dan jiwa patriotik
melalui bahasa naratif yang komunikatif dan mudah di cerna."

pun dengan penulis buku Dalang Galau Ngetwit dan konsep Ngawur Karena
Benar (Sujiwo Tejo)
"Di dalam buku sejarah, pahlawan adalah orang yang pada akhirnya
membosankan. Di dalam roman, pahlawan bisa penuh warna seperti manusia
biasa pada umumnya. Begitu pula Kiai Lelonobronto, nama samaran Panglima
Besar Jenderal Soedirman dalam Karya E. Rokajat Asura ini. Kejenakaannya
bersama sang adik, Samingan, maupun romantismenya bersama Sang Istri, Alfiah,
barulah sebagian warna warni sang gerilyawan dalam karyanya."

Ketika Bung Karno menolak ikut gerilya. Tubuhnya yang ringkih dengan
menahan sakit paru di dada memilih jalan gerilya, membakar semangat prajurit,
dan membuktikan pada dunia bahwa negeri tercinta Indonesia masih ada walau
pemimpin politik kita telah di tawan oleh Belanda. Mungkin, inikah skenario yang
sudah di buat oleh para pemimpin bangsa kita ketika itu, Bung Karno lebih
memilih jalur diplomasi dan Dimas (demikian Bung Karno memanggil)
Soedirman memilih gerilya, kontak fisik dengan pasukan Belanda. Ada sebuah
percakapan antara Dimas dan BUng Karno yang sangat menyentuh dada dan
membuat hati ini tak karuan di buku ini. "Sekarang yang akan memimpin perang
itu, Panglima Besar atau Panglima Tinggi?" ujarnya. Bung Karno mengerenyit
tapi kemudian tersenyum tenang. "Kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi Dirman,
kondisinya sudah begini!". "Siap!" Soedirman menghormat. "Kalau Panglima
Tertinggi tidak bisa memimpin, mohon izin Panglima Besar akan memimpin
perang gerilya ini!. kau masih sakit, Dirman!". Sergah Bung Karno, nada suaranya
meninggi!". Yang sakit itu Soedirman, Panglima Besar tidak pernah sakit,"
ujarnya. Hiks hiks. Luar biasa dialog yang menggugah rasa nasionalisme ku.
Bagaimana mungkin seorang yang sedang sakit, badan ringkih dan di tandu
mempunyai Semangat perjuangan dan pengorbanan yang begitu luar biasa, hanya
untuk membela tanah air kita tercinta. Hidup matinya hanya untuk Indonesia
kawan. Apakah para pejabat negeri kita ini sudah membaca buku-buku sejarah
yang menggugah rasa memiliki nusantara ini. apakah mereka yang membuat
kebijakan untuk mengelola negeri ini masih bisa berjuang tanpa pamrih, tanpa
perduli golongannya. Apakah masyarakat kita termasuk saya sudah menghargai
dengan cara perilaku yang membuat bangga nusantara. Aaaaah sudahlah. Kok
malah ngelantur. lanjuuuut.

Dialog tersebut adalah pembuka dari buku ini yang begitu hidup, mengalir deras
dan membakar emosi kita tentang sosok yang sederhana namun gigih dalam
memperjuangkan setiap cita-citanya. Dalam sosok Jenderal Besar ini, kita bisa
mengambil sebuah pelajaran tentang hidup, kehidupan, romantisme, kegigihan,
dan kecerdasan.

Pernah suatu ketika di tahun 1934, Soedirman yang tergabung dan memimpin
kepanduan Hizbul Wathan Muhammaddiyah cabang Cilacap mengadakan diklat
di kaki Gunung Slamet. Memang seru ketika kita curhat di ketinggian atau untuk
mengorek sesuatu dari kawan kita, dan itu yang di lakukan Sidik, seorang sahabat
Soedirman untuk mengetahui lebih jauh tentang rasa suka Soedirman terhadap
Alfiah, putri seorang saudagar batik dan pengurus Muhammadiyah. Dan seperti
biasa, seorang yang kasmaran tidak akan menjawab dengan jujur apa yang di
rasakannya. udara dingin Gunung Slamet menjadi saksi kegigihan seorang
Soedirman yang mampu bertahan, sementara kawan-kawan yang lain turun dan
tak kuat menahan teror dingin di Gunung Slamet itu. Hingga azan Subuh
berkumandang Soedirman tetap mampu mengalahkan rasa dingin itu. Apa yang di
ajarkan oleh Raden Suwarjo Tirtosupono, begitu membekas dalam diri
Soedirman. "Susah dan senang menghadapi tantangan alam, berasal dari pikiran
kowe sendiri," ujar Raden Suwarjo. Kegigihan yang luar biasa yang akhirnya
menjadikan seorang Soedirman mampu mengemban tugas negara dengan briliant.
Walau di tandu, walau parunya hanya sebelah yang bekerja, walau tubuhnya
ringkih, strategi, kharisma dan wibawanya mampu membuat komando yang
begitu tepat dan dahsyat.

Sang pejuang gerilya itu pun akhirnya tak mampu melawan penyakitnya. "Aku
bangga sekali, Bu. sepanjang hidupku Gusti Allah memberikan jalan yang
sederhana, dekat dengan alam, anak-anak dan rakyat yang hidup dengan
pikirannya sederhana.Rasanya tugasku seudah selesai, Kalaupun pada akhirnya di
pundut sing kagungan, aku rela,"ujar Soedirman

Jangan sekali sekali melupakan sejarah kawan. Semoga Seluruh anggota


masyarakat Indonesia, para anggota dewan dan pejabat yang membuat kebijakan
mampu bersinergi dengan elegant. dan mereka yang mempunyai kebijakan selalu
berpihak untuk untuk kebaikan rakyat yang bisa dinikmati oleh rakyat indonesia
dan cita-cita luhur para pendiri bangsa kita tercapai. Amiin. Kesederhaan Bung
Hatta mungkin bisa di bilang zuhud. Kegemilangan Bung Karno dalam
membangun karakter bangsa membuat bangsa kita di segani ketika itu, bahkan
Bung karno di nobatkan sebagai pahlawan Islam di Asia-Afrika. ketika Bung
Karno berpidato Bung Karno yang fenomenal di depan Sidang Umum PBB XV,
30 September 1960. Pidato itu diberinya judul To Build the World Anew,
Membangun Tatanan Dunia yang Baru.

Anda mungkin juga menyukai