Anda di halaman 1dari 13

KASUS BANK LIPPO

Profil perusahaan
PT Bank Lippo Tbk merupakan perusahaan yang menyediakan produk perbankan umum dan
pelayanan dengan segmen konsumen dan perusahaan di Indonesia. Perusahaan ini
menyediakan account pribadi, kartu debit, kartu distribusi, kartu kredit, produk investasi,
bancassurance, safe deposit dan produk dan layanan pembayaran. PT Bank Lippo Tbk juga
menawarkan deposito, giro, pengiriman uang, pembukaan, rekening tabungan, pembiayaan
perdagangan, dan produk bank draft dan jasa. Pada 24 April 2007, beroperasi 400
cabangdan kantor, dan 693 anjungan tunai mandiri. Sejarah Bank Lippo dimulai pada tahun
1948 dan didirikan oleh Mochtar Riady bersama grup Lippo hingga sempat menjadi bank
kesembilan terbesar dalam jumlah aktiva yang dimilikinya. Saat Asia mengalami krisis pada
tahun 1997, Indonesia menjual sebagian saham di Bank Lippo yang digunakan untuk
menutup defisit anggaran pemerintah Indonesia yang mencapai 450 triliun rupiah. Penjualan
itu akhirnya juga digunakan untuk menyelamatkan keuangan bank-bank yang mengalami
krisis pada saat itu. Kemudian pada tahun 2004 sebuah lembaga asal Swiss yang bernama
Swissasia Global, membeli 52,1 persen saham Bank Lippo dari Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN). Selanjutnya Pada tanggal 26 Agustus 2005, pemegang saham bank dan
Bank Indonesia menyetujui penjualan 52,05% saham mayoritas dimiliki oleh Swissasia
Global ke Santubong Investment BV yang sepenuhnya dimiliki oleh Khazanah Nasional
Berhad, sebuah institusi investasi milik pemerintah federal Malaysia. Penjualan mulai
berlaku pada Sejak Khazanah, memiliki kepentingan langsung dari 93 persen di Bank Lippo
melalui Santubong Investment BV dan Greatville Pte. Ltd, dan juga memiliki 64 persen dari
Bank CIMB Niaga melalui Bumiputra-Commerce Holdings, Bank Niaga dan Bank Lippo
harus digabung untuk memenuhi ke "kebijakan kepemilikan tunggal" bank sentral Indonesia.
Pada November 2008, Lippo Bank resmi bergabung dengan Bank CIMB Niaga dan dikenal
sebagai PT Bank CIMB Niaga Tbk anak perusahaan Indonesia dari CIMB Group.

Overview Kasus
Seperti diketahui, telah terjadi perbedaan laporan keuangan Bank Lippo per 30
September 2002, antara yang dipublikasikan di media massa dan yang dilaporkan ke BEJ.
Dalam laporan yang dipublikasikan melalui media cetak pada tanggal 28 November 2002
disebutkan total aktiva perusahaan sebesar Rp 24 triliun dengan laba bersih Rp 98
Miliar.Sedangkan dalam laporan ke BEJ tanggal 27 Desember 2002, total aktiva berkurang
menjadi Rp 22,8 triliun dan rugi bersih (yang belum diaudit) menjadi Rp 1,3 triliun.
Manajemen Lippo beralasan, perbedaan itu terutama pada kemerosotan nilai agunan yang
diambil alih (AYDA) dari Rp 2,393 triliun pada laporan publikasi dan Rp 1,42 triliun pada
laporan ke BEJ. Akibatnya keseluruhan neraca dan akun-akun berbeda signifikan, termasuk
penurunan rasio kecukupan modal (CAR) dari 24,77 persen menjadi 4,23 persen
Dalam Press release bapepam , ternyata terdapat 3 versi laporan keuangan PT Bank
Lippo Tbk per 30 september 200, dari 3 versi ini semuanya dinyatakan telah diaudit, yaitu:
1. Laporan Keuangan PT Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang diiklankan di surat
kabar pada tanggal 28 November 2002;
2. Laporan Keuangan PT Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang disampaikan ke BEJ
pada tanggal 27 Desember 2002;
3. Laporan Keuangan PT Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang disampaikan oleh
Akuntan Publik KAP Prasetio, Sarwoko &Sandjaja kepada Manajemen PT Bank Lippo Tbk
pada tanggal 6 Januari 2003. Ketiga versi laporan keuangan tersebut disajkan ditabel berikut
ini:
Versi lapopran keuangan 1. Laporan Keuangan PT Bank 2. 2. Laporan Keuangan PT Bank
Lippo Tbk per 30 September 2002 Lippo Tbk per 30 September 2002
yang diiklankan di surat kabar pada yang disampaikan ke BEJ pada
tanggal 28 November 2002; tanggal 27 Desember 2002;
Pemuatan iklan tersebut Penyampaian laporan tersebut
merupakan pelaksanaan kewajiban merupakan pemenuhan kewajiban
PT Bank Lippo Tbk atas ketentuan PT Bank Lippo Tbk untuk
menyampaikan Laporan Keuangan
Bank Indonesia.
Triwulan ke-3 tahun 2002

Informasi dalam laporan a. 1. pernyataan Manajemen PT Banka. Pernyataan manajemen PT Bank


Lippo Tbk bahwa laporan Lippo Tbk bahwa laporan
keuangan keuangan tersebut disusun keuangan yang disampaikan adalah
berdasarkan Laporan keuangan laporan keuangan “audited” yang
Konsolidasi yang telah diaudit oleh tidak disertai dengan opini akuntan
KAP Prasetio,Sarwoko & Sandjaya public
(penanggung jawab Drs. Ruchjat b. Penyajian dalam bentuk komparasi
Kosasih) dengan pendapat wajar per 30 September 2002(“audited”)
tanpa pengecualian dan 30 September 2001
b. Penyajian dalam bentuk komparasi (“unaudited”).
per 30 September 2002(“Diaudit”) c. Nilai Agunan Yang Diambil Alih-
dan per 30 September 2001 bersih (“AYDA”) per 30
(“Tidak Diaudit”) September 2002 sebesar Rp 1,42 T
c. Nilai Agunan Yang Diambil Alih d. Total aktiva per 30 September
(“AYDA”) per 30 September 2002 2002 sebesar Rp 22,8 triliun;
sebesar Rp 2,393 triliun; e. Rugi bersih per 30 September
d. Total aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp 1,273 triliun
2002 sebesar Rp 24,185 triliun; f. Rasio K
e. . Laba tahun berjalan per 30
September 2002 sebesar Rp 98,77
M
f. Rasio Kewajiban Modal Minimum
Yang Tersedia sebesar 24,77%

Sumber Press Release BAPEPEM)

Seperti terlihat pada tabel, rasio kecukupan modal (CAR) juga terjadi penurunan yang
signifikan dari 24,77% menjadi hanya sebesar 4,23%, dimana Rasio Kecukupan modal yang
disyaratkan oleh Bank Indonesia pada saat itu adalah sebesar 8%.

Tanggapan Manajemen
Atas Perbedaan Laporan keuangan ini, pada tanggal 15 januari 2003,Bank Lippo
dipanggil BEJ dan Bapepam untuk menjelaskan soal laporan ganda, MenurutPresiden
Direktur Bank Lippo I Gusti Made Mantra, seperti dituturkan Direktur Utama BEJ Erry
Firmansyah, laporan keuangan kuartal III tahun 2002 yang dipublikasikan pada 28 November
2002 lalu belum memasukkan hasil penilai terhadap transaksi yang diketahui kemudian.
Laporan keuangan itu dilansir guna memenuhi ketentuan Bank Indonesia, agar laporan
keuangan diumumkan paling lambat 60 hari setelah masa buku ditutup. "Kalau menurut BEJ
tidak harus diumumkan itu," kata Erry.
Pihak Lippo berdalih, kerugian itu terjadi menyusul adanya laporan konsultan penilai
per 16 Desember terhadap aset yang diambil alih dan sekarang dalam proses penjualan.
Menurut penilaian konsultan mengacu harga pasar, aset properti senilai Rp 2,6 triliun itu
telah menurun menjadi Rp 1,6 triliun sehingga Lippo harus menyediakan cadangan sebesar
Rp 980 miliar. Selain itu, bank ini juga mencadangkan untuk aset lain yang kualitasnya
memburuk sebesar Rp 400 miliar. Sehingga total dana yang dicadangkan sebesar Rp 1,4
triliun. Keuntungan bank ini sebesar Rp 200 miliar tidak memadai untuk menutupi
pencadangan sebesar Rp 1,4 triliun, sehingga Bank Lippo dianggap rugi Rp 1,2
triliun. Menjawab teka-teki dalam maalah laporan keuangan ini tidaklah mudah, terutama
karena manajemen Lippo Bank cenderung tutup mulut. Hal ini dibenarkan oleh Presiden
Direktur Lippo Bank, I Gusti Made Mantra. "Direksi diperintahkan tutup mulut," ujarnya
menjawab telepon TEMPO, Sabtu tanggal 27 januari 2003 "Saya diminta puasa bicara,"
katanya menambahkan.
Dalam sebuah konferensi pers, Presiden Direktur Bank Lippo, I Gusti Made Mantera,
menjelaskan bahwa perbedaan isi laporan disebabkan adanya peristiwa setelah tanggal neraca
(subsequent event), yakni berupa penurunan nilai aset yang diambil alih (AYDA) dari Rp 2,4
triliun menjadi Rp 1,42 triliun. Menurut seorang pejabat Bank Lippo yang tak mau disebut
namanya, penurunan drastis nilai aset yang kebanyakan berbentuk properti ini terjadi karena
saat itu--Juni 2002-- BPPN mengguyur pasar melalui penjualan aset secara besar-besaran
dengan harga obral. "Akibatnya, ketika aset itu dinilai otomatis nilainya turun," kata pejabat
itu. Namun, yang menarik, pihak direksi terkesan berusaha menutupi fakta bahwa aset
tersebut berasal dari Grup Lippo, yang diserahkan kepada Bank Lippo menjelang
rekapitalisasi pada 1999.
Pada tanggal 24 Februari 2003, Presiden Direktur Bank Lippo, I.G.M. Mantera,
menyatakan, Untuk menambal kerugian yang besar itu, Mantera mengatakan, Bank Lippo
akan melakukan penambahan kapital. Besarnya tambahan modal memang belum dipastikan,
tapi diperkirakan lebih dari Rp 1 triliun. Para analis lagi-lagi melongo. Tiga tahun lalu, bank
yang didirikan keluarga Riady itu sudah diinjeksi modal Rp 7,7 triliun dari pemerintah. Kok,
mau menambah kapital lagi? Sementara itu, di pasar modal, harga saham Bank Lippo terus
merosot. Dalam tempo tujuh bulan sejak April 2002, harga saham bank terbesar nomor tujuh
Indonesia itu telah melorot turun hingga 75 persen. Padahal, harga saham bank lain di bursa
Jakarta justru sebaliknya, malah terus membaik.
Tanggapan BEJ
Sehubungan dengan temuan ini, BEJ telah melakukan beberapa tindakan. Tanggal 15
Januari 2003 lalu, BEJ meminta manajemen Lippo melakukan klarifikasi. Karena dua kali
hearing, BEJ menilai klarifikasi yang dilakukan belum jelas, manajemen bank itu diwajibkan
melakukan paparan publik. Paparan publik dilakukan pada tanggal 11 Februari lalu
Sebelumnya, dalam rilis yang dikirimkan, BEJ menilai manajemen Lippo telah melakukan
kelalaian. Yaitu, mencantumkan kata audited pada laporan keuangan yang
unaudited, sehingga mengakibatkan kerancuan informasi pada publik. Sehubungan dengan
itu, BEJ memberikan sanksi berupa peringatan keras kepada manajemen.
Terkait dengan dilakukannya penilaian kembali atas Aset Yang Diambil Alih
(AYDA), maka BEJ mewajibkan manajemen untuk memberikan progress report yang ada,
pada hari bursa pertama setiap minggunya. Laporan perkembangan ini harus dilakukan
manajemen Lippo mulai tanggal 24 Februari hingga dikeluarkannya laporan keuangan
auditan per 31 Desember 2002 kepada publik.
Bapepam Periksa Akuntan yang mengaudit Bank Lippo
Badan Pengawas Pasar Modal pada senin 3 februari 2003, memeriksa kantor akuntan
publik Ernst & Young, Sarwoko and Sanjaya, yang mengaudit laporan keuangan PT Bank
Lippo Tbk. Pemeriksaan ini untuk mengklarifikasi pernyataan Managing Partners Sarwoko
Iman Sarwoko beberapa waktu lalu, yang mengaku hanya mengaudit laporan keuangan Lippo
yang dilaporkan ke Bursa Efek Jakarta.
Menanggapi hal ini, Managing Partners Sarwoko yaitu Iman Sarwoko, bersikukuh
menyatakan bahwa kantornya hanya mengaudit laporan keuangan Lippo yang dilaporkan ke
BEJ. "Kita cuma merasa membuat audit report ke BEJ tuh,". Saat laporan keuangan Lippo
pertama kali keluar kepada publik, yaitu ke Bank Indonesia, kantornya belum selesai
mengaudit laporan keuangan itu. "Valuasinya belum selesai karena belum menyesuaikan
agunannya," kata dia, sambil menambahkan ada selisih waktu sekitar 3 minggu dari laporan
ke BI dan selesainya audit oleh kantornya. Jadi, lanjutnya, dia tidak tahu menahu kenapa ada
laporan keuangan yang sebenarnya belum beres diaudit tapi sudah dilaporkan ke BI.
"Harusnya kalau memang mau dilaporkan juga, bilang saja itu bukan laporan belum diaudit,"
imbuhnya. Karena itu, tutur Iman, sulit bagi Sarwoko dan Sanjaya untuk ikut pula
mempertanggungjawabkan laporan keuangan ganda itu.Dia mengaku siap diperiksa dan
dimintai keterangan oleh BEJ, Bapepam, dan BPPN terkait laporan keuangan ini. "Kita punya
bukti kok audit report-nya yang ke BEJ," tandasnya. Tapi Iman belum bisa mengungkapkan
hasil pertemuan hari ini dengan bapepam. Karena, yang memenuhi panggilan itu adalah
penanggung jawab langsung laporan itu dari Sarwoko dan Sanjaya, Ruhiyat Kosasih. "Anda
hubungi dia saja," katanya.

Tanggapan Komisaris
Laksamana Sukardi, Mentri Negara BUMU mengatakan akan segera memangiil
komisaris pemerintah di Bank Lippo. wakil pemerintah di Bank Lippo adalah Anggito
Abimanyu, Deputi Kepala BPPN Junianto Triprijono dan Asisten Menko Perekonomian
Hadiah Herawati.
Anggito mengatakan laporan ganda merupakan hal yang biasa. Kata dia, ini biasa
disebut dengan dual dating. “Biasa itu kalau ada sub sequen event lalu ada laporan
berikutnya. Dan tahun lalu juga terjadi demikian,” kata wakil pemerintah di Bank Lippo ini
yang juga menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan. Ia menegaskan pihaknya sudah
mengakui itu sebagai kelalaian. Dan sudah dijelaskan dalam paparan publik beberapa waktu
lalu tidak ada dua laporan melainkan hanya satu. “Mereka lalai mencantunkan kata-kata
audit, lalu apalagi sudah minta maaf sekarang tinggal serahkan ke Bapepam (Badan
Pengawas Pasar Modal),” tegas Anggito.
Dalam setiap rapat, ungkap dia, jajaran komisaris sudah mengingatkan untuk
mencermati kembali setiap laporan. Tapi, soal paparan publik itu merupakan urusan jajaran
direksi. “Yang menyampaikan laporan keuangan itu kan direksi. Masa komisaris memeriksa
kalimat per kalimat,” Karenanya ketika ditanya kalau Bapepam menyatakan kesalahan di
pihak Lippo apakah ia siap mundur? Ia menjawab, “pokoknya semua proses hasil prosedur
kita serahkan ke Bapepam.” Toh, kata dia, kesalahan itu tidak terlalu fatal karena hanya alpa
mencantumkan kata audit pada laporan ke Bursa Efek Jakarta. Anggito mengatakan kinerja
banknya tidak ada yang salah. Pihaknya akan tutup buku dan Anggito menambahakan
penjualan aset kredit sudah tidak dilakukan lagi oleh pihaknya. Bank Lippo memutuskan
untuk menunggu sampai kondisi membaik. “Karena dalam RUPS (rapat umum pemegang
saham) juga sudah diputuskan bahwa penjualan itu dengan syarat tidak merugikan jadi
tunggu situasi lebih baik,” jelas dia.
DI kalangan wartawan, Roy Tirtadji dikenal dengan sebutan Mr. Off The Record.
Tiap kali diwawancarai, ia selalu buru-buru meminta semua pernyataannya tak dikutip. Tapi
pekan lalu, seiring kian memuncaknya skandal Bank Lippo, "tradisi" ini mendadak ia
tinggalkan. "Sudah saatnya saya bicara," Wakil Presiden Komisaris Bank Lippo ini memberi
alasan saat menerima tim TEMPO, Kamis kemarin, di sebuah kamar suite di Hotel Aryaduta.
Berikut petikannya pada tanggal 3 maret 2003
Kenapa laporan keuangan Bank Lippo yang tak diaudit dikatakan
sudah diaudit?
Laporan keuangan yang kita laporkan cuma satu, tapi tanggalnya saja yang ganda: tanggal 20
November, 22 November, dan 16 Desember. Ini normal untuk standar internasional, tapi
memang baru di Indonesia. Jadi, tidak ada dua laporan audit. Hanya satu. Opininya satu,
tanda tangannya juga satu.
Berarti BEJ salah memberi peringatan keras kepada Lippo?
Silakan tanya ke BEJ. Ini masalah rumit. Laporan yang kami publikasi pada 28 November
memang belum ditandatangani. Tapi, kalau ditanya apakah itu sudah diaudit, jawabannya
sudah.
Soal aset yang diambil alih (AYDA), siapa debitor aslinya?
Ada asas kerahasiaan bank sehingga saya tidak bisa memberi tahu Anda. Saya profesional,
dan harus menuruti peraturan yang berlaku.
Peraturan Bank Indonesia mengatakan yang wajib dirahasiakan
hanya nasabah dan simpanannya. Soal kredit kan tidak.
Saya rasa tidak begitu. Saya tidak tahu ada peraturan yang mengharuskan bank mempublikasi
aset yang diambil alih.
Apakah pengutang itu masih terafiliasi dengan Grup Lippo?
Perlu diingat, ada peraturan di mana perusahaan publik yang minimal 30 persen sahamnya
dimiliki masyarakat tidak dianggap terafiliasi. AYDA itu memang ada yang dari Lippo
Karawaci. Terkait atau tidak? Saya katakan tidak, karena ada peraturan tadi.

Tanggapan BPPN
Pada tanggal 27 januari 2003,Ketua BPPN Syafruddin Temenggung memastikan
untuk tidak merekap Lippo. "Enak saja," katanya. Deputi Ketua BPPN Bidang
Restrukturisasi Perbankan, I Nyoman Sender, pun sepakat dengan bosnya. Bahkan, katanya,
BPPN akan mengganti manajemen Lippo jika mereka tidak mampu mengelolanya. Sender
pun mengakui bahwa pengaruh pemilik lama di Lippo Bank masih kuat.
Raymond van Beekum Kepala Divisi Komunikasi BPPN, pada yanggal 24 februari
2003, memberikan tanggapan terkait kasus ini, antara lain:
1. Pernyataan bahwa penjualan AYDA membuat CAR merosot dari 24,7 persen menjadi 4,1
persen tidak sepenuhnya benar. Proses penjualan AYDA saat ini masih berlangsung,
sedangkan penurunan CAR dimaksud terjadi karena adanya pencadangan atas nilai AYDA
yang dinilai oleh penilai independen. Dengan demikian masalah penjualan AYDA dan
penilaian aset penjualan merupakan dua hal yang terpisah.
2. Penjualan AYDA telah diagendakan dalam rapat umum pemegang saham luar biasa
(RUPSLB) pada 22 November 2002. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang
mewakili pemerintah telah memberikan persetujuan atas penjualan AYDA, dengan catatan
bahwa penjualan aset tersebut dilaksanakan secara terbuka, mengacu pada praktek pasar yang
sehat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka menjaga kinerja Bank
Lippo. Proses penjualan AYDA adalah merupakan fenomena umum dan bukan hanya terjadi
pada Bank Lippo. Beberapa bank di bawah pengawasan BPPN juga telah melaksanakan
program penjualan aset dimaksud.
3. Penurunan nilai AYDA baru diketahui oleh BPPN setelah BPPN menyetujui usulan
penjualan AYDA melalui RUPSLB. Sebagai informasi dapat kami sampaikan bahwa
RUPSLB dilaksanakan pada 22 November 2002, sedangkan informasi hasil penilaian pihak
independen atas AYDA ini baru disampaikan Bank Lippo ke media massa melalui press
release pada 17 Desember 2002.
4. Menindaklanjuti pengumuman bersama antara BPPN dan Bank Lippo pada 17 Januari 2003,
telah ditunjuk pihak penilai independen untuk melakukan penilaian kembali atas AYDA yang
dimaksud. Saat ini pihak penilai independen tersebut sedang menjalankan tugasnya.
5. BPPN saat ini masih menunggu hasil dari penilaian AYDA dimaksud, yang akan tecermin
pada laporan keuangan per posisi 31 Desember 2002 sebelum BPPN menentukan tindakan
selanjutnya. Untuk itu BPPN mengharapkan agar semua pihak untuk dapat bersabar.
6. Perlu kami klarifikasi bahwa Ketua BPPN, Bapak Syafruddin A. Temenggung, tidak
menempati posisi jabatan Komisaris Bank Lippo. Hal tersebut sebagaimana pernah beliau
sampaikan bahwa penunjukan dirinya sebagai komisaris Bank Lippo dalam RUPS pada 24
Januari 2002 sebenarnya belum pernah efektif, dan karenanya secara de facto tidak pernah
terlibat langsung dalam kepengurusan Bank Lippo. Beliau telah mengundurkan diri sebagai
anggota komisaris secara resmi dan berlaku efektif sejak 22 April 2002. Pengunduran diri ini
dilakukan sebelum beliau diangkat menjadi Ketua BPPN pada tanggal 23 April 2002. Sejak
tanggal pengunduran dirinya sampai pengangkatannya menjadi Ketua BPPN, beliau belum
mengikuti proses fit and proper test di Bank Indonesia sehingga belum dinyatakan efektif
sebagai anggota komisaris Bank Lippo. Dengan demikian hingga saat ini beliau tidak pernah
melaksanakan fungsi kepengurusan di Bank Lippo.
Aset Yang Diambil Alih (AYDA)
Berdasarkan pengumuman bersama antara BPPN dan Bank Lippo pada 17 Januari
2003, telah ditunjuk pihak penilai independen untuk melakukan penilaian kembali atas
AYDA
Tanggal 27 februari 2003, Valuasi aset Bank Lippo tersebut dilakukan oleh Satyatama
Graha Tara ,tim penilai independen valuasi aset ini menyatakan bahwa nilai aset yang
diambil alih (AYDA) Lippo saat ini, tak jauh berbeda dengan perhitungan awal, yakni senilai
Rp 2,4 triliun. Konsekuensinya, rasio kecukupan modal (CAR) Bank Lippo masih di atas 20
persen.
Konsekuensinya, rasio kecukupan modal (CAR) Bank Lippo masih di atas 20 persen.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional pun memastikan tak perlu melakukan right
issue (penerbitan saham untuk dijual) untuk meningkatkan modal Bank Lippo. "Hitungan
AYDA tak menurun signifikan, tapi hanya sedikit," kata Kepala BPPN Syafruddin
Temenggung di Jakarta, Kamis (27/2).
Valuasi aset Bank Lippo tersebut dilakukan oleh Satyatama Graha Tara. Menurut
Syafruddin, penilaian ulang aset itu bertujuan untuk menjernihkan kontroversi mengenai
penurunan nilai aset Bank Lippo. Polemik dualisme laporan keuangan itu dipublikasikan
pada Desember 2002.
Berdasarkan valuasi, Syafruddin menambahkan, BPPN tidak bakal menjual AYDA
pada disstress value atau harga yang tertekan. "Pokoknya, sedang kita hitung," kata dia.
Sebab jika dijual juga, justru akan menyebabkan CAR Bank Lippo anjlok. Namun akan
segera dilakukan rapat umum pemegang saham luar biasa Lippo dalam waktu dekat. Menurut
Syafruddin, manajemen Lippo menggunakan asumsi, AYDA bakal dijual pada tahun ini
karena kebutuhan likuiditas dan untuk menurunkan biaya dana atas aset yang diambil alih.
Tapi, bila penjualan malah menyebabkan AYDA menurun secara signifikan, BPPN bisa
menolak penjualan AYDA seperti yang ditargetkan Lippo.
Pernyataan Syafruddin memang mengenakkan sesaat. Tengok saja. Pada saat yang
sama, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) justru menyerahkan penanganan
pemeriksaan terhadap lembaga penilai Bank Lippo kepada Direktorat Jenderal Lembaga
Keuangan Departemen Keuangan. Alasannya, menurut Ketua Bapepam Herwidayatmo,
pemeriksaan lembaga penilai bukan kewenangan embaganya. Pemeriksaan versi Bapepam
hanya soal skandal laporan keuangan ganda ke dugaan rekayasa harga saham di pasar modal.
Pemeriksaan terhadap laporan keuangan Bank Lippo memang baru akan diumumkan
pada pertengahan Maret mendatang. Langkah tersebut menyangkut pemeriksaan akuntan
publik Bank Lippo, manajemen, serta lembaga penilai AYDA yang ditunjuk BPPN.
Pascapemeriksaan, Herwidayatmo menambahkan, akan diketahui pihak yang bertanggung
jawab terhadap laporan keuangan ganda Bank Lippo tersebut. "Ini untuk melihat, apakah
penilai sudah independen dan melaksanakan tugasnya dengan baik," kata dia.(BMI/Tim
Liputan 6 SCTV)
Perbankan Nasional pun memastikan tak perlu melakukan right issue (penerbitan
saham untuk dijual) untuk meningkatkan modal Bank Lippo. "Hitungan AYDA tak menurun
signifikan, tapi hanya sedikit," kata Kepala BPPN Syafruddin Temenggung di Jakarta, Kamis
(27/2).
Valuasi aset Bank Lippo tersebut dilakukan oleh Satyatama Graha Tara. Menurut
Syafruddin, penilaian ulang aset itu bertujuan untuk menjernihkan kontroversi mengenai
penurunan nilai aset Bank Lippo. Polemik dualisme laporan keuangan itu dipublikasikan
pada Desember 2002. Berdasarkan valuasi, Syafruddin menambahkan, BPPN tidak bakal
menjual AYDA pada disstress value atau harga yang tertekan. "Pokoknya, sedang kita
hitung," kata dia. Sebab jika dijual juga, justru akan menyebabkan CAR Bank Lippo
anjlok.Namun akan segera dilakukan rapat umum pemegang saham luar biasa Lippo dalam
waktu dekat.

Pendapat Pengamat Perbankan


Menurut pengamat perbankan dari Bahana Sekuritas Mirza Adityaswara, sebenarnya
perusahaan sudah mengetahui adanya penurunan nilai agunan yang diambil alih (AYDA),
sebelum kedua laporan keuangan itu dikeluarkan. Namun perusahaan tetap memakai dua
laporan keuangan yang berbeda. Karena itu dia menduga, manajemen Lippo berusaha
membohongi publik dengan menyebutkan perusahaannya mendapat untung. Mereka takut,
katanya, publik akan merespon negatif jika mengetahui kinerja bank milik Mochtar Riady
jeblok. “Harusnya tidak perlu takut kalau memang rugi,” tandasnya.
Selain takut diketahui menderita rugi, menurut Mirza, hal ini juga terkait dengan
adanya usaha put option yang akan dilakukan pemerintah, dalam hal ini BPPN, untuk
menjual saham Bank Lippo yang dimilikinya kepada Lippo Group. Dia menjelaskan,
sebelumnya Menteri Keuangan pada saat itu hanya mau melepas saham Lippo seharga Rp
300 miliar saham (Rp 300 per saham) kepada Lippo Group. Namun Lippo sendiri melalui
penilai independen mengatakan nilai wajar Bank Lippo sebesar Rp 30 per saham. Menurut
Mirza, dengan adanya nilai Rp 30 per saham menunjukkan mereka sudah akan melakukan
penyusutan nilai agunan yang diambil alih. Hal ini dilakukan agar saham yang dijual
pemerintah bisa dibeli dengan harga murah. “Jadi mereka harusnya sudah tahu lebih dulu.
Tidak masuk akal alasan timing different,” imbuhnya. Meski Lippo telah melakukan revisi
atas laporan keuangan tersebut, Mirza menilai harus tetap ada sanksi yang tegas terhadap
bank itu. ada penurunan nilai aset yang diambil alih, dari Rp 2,39 triliun menjadi hanya Rp
1,42 triliun. Aset ini merupakan jaminan yang diserahkan Grup Lippo sebagai pembayaran
atas utang-utangnya kepada Lippo Bank.
Mirza juga mengatakan , Lippo Bank seperti tak memberikan banyak pilihan kepada
BPPN. Dengan CAR di bawah delapan persen, mau tidak mau BPPN harus merekap ulang.
Jika tidak, BI akan menutupnya. "Ada upaya fait accompli," kata Mirza. Pilihan lain,
divestasi saham, sami mawon. Cara ini berakibat dua hal: saham pemerintah akan berkurang
atau saham pemerintah tetap melalui suntikan modal. Nah, jika pemerintah tidak mengambil
haknya, pemilik lama akan masuk karena mereka masih punya saham sekitar 8,11 persen
melalui Lippo E-Net.
Analis lainya Lin Che Wei yakin bahwa pemilik lama Lippo, yaitu keluarga Riady,
berniat membeli aset berharga mereka (properti) dengan harga murah,misalnya AYDA, yang
Rp 1,42 triliun. Tapi secara hampir bersamaan mereka juga memborong saham Bank Lippo
dengan harga supermurah. Memang ada indikasi bahwa harga saham Bank Lippo terus
ditekan. Dalam enam bulan, harganya jatuh dari Rp 75 per lembar menjadi cuma Rp 25. Saat
itulah Grup Lippo memborong saham Lippo di bursa. Pialang yang menggoreng saham
ternyata yang itu-itu juga. Satu di antaranya adalah Ciptadana Securities, anak perusahaan
Lippo sendiri, yang pernah memborong 74 juta lembar saham dalam sekali transaksi.
Kebetulan Oversight Committee Badan Penyehatan Perbankan Nasional (OCBPPN)
cepat bertindak dengan merekomendasikan kepada Kepala BPPN, Syafruddin Temenggung,
agar manajemen Lippo diganti. Akibat kisruh ini, penjualan aset yang berupa properti
ditunda. Sementara itu, analisis konsultan UBS Warbrug menyimpulkan bahwa AYDA
senilai Rp 2,4 triliun itu setara dengan 82 persen modal bank. UBS Warbrug lalu
mempermasalahkan kesehatan Bank Lippo dalam hubungannya dengan AYDA. Ternyata,
ketika AYDA dilepas oleh Bank Lippo, rasio kecukupan modalnya (capital adequacy
ratio/CAR) serta-merta anjlok dari 24,77 persen menjadi 4,38 persen. Berarti ini sudah di
bawah ketentuan Bank Indonesia, yang menetapkan CAR setinggi delapan persen. Tentu saja
Bank Lippo memerlukan tambahan modal. Deni Daruri dari Centre for Banking Crisis
menilai bahwa manuver Lippo itu menggulirkan buah simalakama kepada pemerintah.
Soalnya, untuk menambah modal, bank harus menerbitkan saham baru (right issue).
Andaikata pemerintah tak mau beli saham itu?karena tak punya duit?porsi sahamnya di Lippo
otomatis menyusut alias dilusi. Tetapi, jika pemerintah nekat membelinya, jelaslah hal itu
akan membebani APBN. Kemungkinan buruk seperti itu bukan tidak diketahui, baik oleh
BPPN, BI, maupun Bapepam. Tapi mereka pasif sampai kini. Menurut Lin Che Wei, mereka
saling melempar tanggung jawab. Hal ini pun tak terlepas dari kelihaian Lippo melobi dan
"menempatkan" orang yang loyal pada pemilik lama di berbagai institusi
24 februari 2003,Che Wei menjadi orang terdepan yang menyerang keganjilan-
keganjilan di Bank Lippo. Ia membongkar berbagai praktek bengkok di bank yang mendapat
suntikan modal Rp 6 triliun dari pemerintah tersebut. Ia menelisik kejanggalan laporan
keuangan ganda sampai indikasi manipulasi harga saham. Semuanya berujung pada dugaan:
pemilik lama Bank Lippo, keluarga Mochtar Riady, ingin menguasai kembali banknya
dengan harga murah. Bagaimana persisnya upaya yang dilakukan keluarga Riady mencaplok
Bank Lippo? Panjang ceritanya. Ini bermula dari laporan keuangan kuartal ketiga 2002 yang
dipublikasikan akhir November lalu. Saat itu Bank Lippo menyatakan total asetnya mencapai
Rp 24 triliun, dengan keuntungan bersih Rp 99 miliar. Tapi hanya sebulan kemudian, dalam
laporan ke Bursa Efek Jakarta, aset Lippo merosot menjadi Rp 22,8 triliun. Keuntungan?
Hilang lenyap, malah berganti dengan kerugian yang jumlahnya mencapai Rp 1,3 triliun.
Menurut pengelola Bank Lippo, penurunan itu terkait dengan anjloknya nilai agunan yang
sudah diambil alih (biasa disebut sebagai AYDA), dari semula Rp 2,4 triliun menjadi Rp 1
triliun. Untuk menutup jebloknya nilai agunan itu, Bank Lippo menyisihkan dana yang
diambil dari pos modal. Tentu saja langkah ini membuat rasio kecukupan modal (CAR) Bank
Lippo melorot dari semula 24,8 persen menjadi 4,2 persen. Anjloknya nilai agunan yang
begitu dahsyat sungguh mencurigakan. Padahal sebagian besar jaminan yang diambil alih
Lippo berupa petak tanah. Menurut data sejumlah agen properti, harga tanah sejak 1998-2002
terus meningkat. Bagaimana mungkin nilai properti Lippo, yang merupakan 70 persen
AYDA, turun sendirian? Che Wei mempertanyakan lelang yang kurang transparan dan
berlangsung cepat. Lippo mengumumkan penjualan aset itu beberapa hari menjelang akhir
tahun 2002, melalui iklan di surat kabar yang begitu kecil. Beberapa investor yang mencoba
menawar seperti dihalangi dengan pelbagai syarat. Misalnya, mereka harus menyerahkan
deposit dalam jumlah besar, padahal informasi tentang asetnya sangat tak memadai. Dari
sinilah muncul kecurigaan adanya niat dari pengelola Bank Lippo menjual AYDA-antara lain
terdiri atas rumah dan tanah di Lippo Cikarang-kepada kelompok sendiri. Lantaran
kecurigaan itu pula Komite Pemantau BPPN minta agar proses lelang itu dihentikan.
Bersamaan dengan itu, terjadi aksi "menggoreng" saham Bank Lippo di pasar modal.
Beberapa broker secara bergantian berusaha menyeret turun harga saham bank papan tengah
itu. Salah satu broker itu sebagian sahamnya dimiliki Kelompok Lippo. Che Wei bahkan
mencatat adanya transaksi ganjil: menjelang pasar ditutup, beberapa pialang menjual saham
Bank Lippo di bawah harga pasar. Gerakan pelorotan itu dilakukan selama 40 hari berturut-
turut sejak 4 November 2002 hingga 10 Januari 2003. Jatuhnya nilai buku dan penggorengan
saham berhasil memojokkan harga saham Bank Lippo. Dari Rp 450 di awal November
menjadi cuma Rp 210, atau turun sekitar 50 persen. Merosotnya harga saham Bank Lippo
terasa ganjil karena harga saham perbankan relatif stabil, bahkan menanjak (lihat grafik Liku-
liku Sebuah Gerilya). Karena modalnya mepet, Bank Lippo tak punya pilihan lain kecuali
melakukan suntikan kapital. Ini perlu agar Bank Lippo tetap masuk standar bank sehat
menurut ketentuan Bank Indonesia, yang mengharuskan rasio kecukupan modal 8 persen.
Kalau tak bisa menambah modal, pilihan lain Bank Lippo adalah likuidasi. Tapi jurus ini
kurang masuk akal mengingat Bank Lippo tergolong sistemic bank. Artinya, kalau ditutup,
puluhan perusahaan yang terkait dengannya akan ikut terseret ambruk. Langkah penambahan
modal bisa dilakukan dengan penerbitan saham baru. Tapi ini tak mudah-terutama bagi
pemerintah yang menguasai mayoritas (hampir 60 persen) saham Bank Lippo. Untuk
mempertahankan kepemilikannya, pemerintah harus ikut menyuntikkan modal sesuai dengan
jatah. Jika Bank Lippo harus menambah modal Rp 1,4 triliun (sesuai dengan nilai agunan
yang "hilang"), misalnya, pemerintah harus menyetor sedikitnya Rp 840 miliar. Itu bukan
jumlah yang ringan untuk sebuah negeri yang sedang kesulitan uang. Pemerintah tak punya
pos anggaran untuk menambah modal bank. Justru sebaliknya, pemerintah akan menjual
kepemilikan sahamnya di perbankan (termasuk di Bank Lippo) untuk membiayai anggaran.
Jika pemerintah tak bisa menyuntikkan modal, jatahnya bisa dimanfaatkan pemilik saham
Lippo yang lain (termasuk Riady), sekaligus mengambil alih posisi mayoritas dari tangan
pemerintah. Keluarga Riady bahkan bisa berlagak bak pahlawan karena bisa "membantu"
pemerintah menyehatkan Bank Lippo dengan menyuntikkan seluruh modal yang dibutuhkan.
Sampai di sini, pemilik lama bisa datang menagih janji lama pemerintah yang tertuang dalam
Perjanjian Kinerja, Manajemen, dan Investasi (IMPA). Perjanjian itu menyatakan pemilik
lama (keluarga Riady) boleh membeli kembali bagian sahamnya dengan harga pasar. Saat ini
harga saham Lippo hanya Rp 30. Nyaris sepersepuluh dari harga saham waktu direkap
pemerintah dulu, yaitu Rp 260 per saham. Sebuah skenario yang hampir sempurna, nyaris
tanpa cacat. Dengan sejumlah jurus yang licin, Lippo akan segera kembali ke pemilik
lamanya. Persoalannya, mengapa pemerintah seperti tak menyadari jurus-jurus kungfu Lippo
yang sebetulnya masih "standar" itu. Mengapa mereka tak bertindak? Bank Indonesia,
misalnya, selama ini menempatkan lima pengawas di Bank Lippo. Mungkinkah mereka tak
mencium kejanggalan dalam penilaian AYDA yang menjatuhkan modal Bank Lippo? Adnan
Juanda, Kepala Bagian Direktorat Pengawasan Perbankan Bank Indonesia yang mengawasi
Bank Lippo, menjawab secara diplomatis. "Barangkali itu di luar job rekan-rekan yang
melakukan pengawasan," katanya. Jawaban lebih jujur diungkapkan seorang bankir. Bank
sentral, katanya, telah mencurigai keanehan penilaian agunan oleh lembaga penilai yang
ditunjuk Bank Lippo. Tapi BI tak punya otoritas minta penilaian ulang. "Itu wewenang BPPN
sebagai pemilik, kita cuma pengawas," kata sumber tadi menirukan pejabat BI. Saling lempar
tanggung jawab diperlihatkan pula oleh otoritas Bursa Efek Jakarta (BEJ). Mereka
mendiamkan manipulasi harga saham Bank Lippo selama 40 hari. Baru setelah kontroversi
berkembang, BEJ mengeluarkan peringatan keras kepada pengelola Bank Lippo soal laporan
keuangan ganda. "Hanya sebatas itu wewenang kami," kata Direktur Utama BEJ, Erry
Firmansyah. Soal manipulasi harga saham, Erry mengaku masih menyelidiki soal itu.
Menurut penelitian awal BEJ, harga saham Bank Lippo dibentuk oleh beberapa transaksi
besar di awal perdagangan. "Transaksi satu menit menjelang penutupan pasar itu cuma
mengikuti," kata Erry. Artinya, BEJ tak melihat adanya kecurangan, apalagi manipulasi. Erry
menampik kecurigaan dirinya bertindak lamban dan tak fokus dalam kasus ini, karena pernah
bekerja delapan tahun di Lippo. "Saya ini profesional. Lagi pula saya sudah memberikan
peringatan keras," katanya. Dosa Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) tak kalah besar.
Lembaga ini terkesan tak berinisiatif memeriksa adanya laporan keuangan ganda. Mereka
juga mengabaikan surat peringatan adanya manipulasi saham yang dikirim oleh Scott Ashton,
seorang investor institusional. Lebih celaka lagi, Bapepam tak mengendus rekayasa membeli
kembali saham Bank Lippo oleh pemilik lama dengan harga murah. Padahal semua itu
menjadi tugas Bapepam, yang berada di garda depan pengawasan perdagangan saham. Ketua
Bapepam Herwidayatmo mengaku tengah meneliti laporan keuangan ganda itu. Hasilnya
akan diumumkan akhir bulan ini. Bila ada pelanggaran, ia berjanji akan mengambil tindakan.
Tapi pagi-pagi Herwid sudah lebih dulu menduga, laporan ganda itu terjadi "karena
kelalaian". Herwid juga berjanji akan memeriksa dugaan manipulasi harga saham. Tapi
Bapepam tak mau berurusan dengan dugaan adanya rekayasa keluarga Riady untuk membeli
kembali Bank Lippo. "Itu urusan BPPN," katanya. Herwid menepis kecurigaan ia kurang
aktif lantaran dekat dengan Lippo. Ia merasa tidak naik pangkat karena Lippo. "Kalau benar
saya orang Lippo, kenapa Bambang Sudibyo mengangkat saya menjadi Ketua Bapepam?
Sampai sekarang saya tidak pernah dikutik-kutik, tuh," tuturnya. Dari semua instansi
pemerintah, yang paling konyol dalam urusan Bank Lippo tak lain adalah BPPN. Komisaris
yang ditunjuk mewakili pemerintah di sana ternyata tak berfungsi dengan benar. Ini tampak
dari keputusannya menyetujui penjualan AYDA pada harga murah dan menyepakati rencana
penambahan modal. Padahal ini memudahkan pemilik lama membeli kembali sahamnya
dengan harga murah. Anggito Abimanyu, salah satu komisaris Bank Lippo dari BPPN, tetap
ngotot tak melakukan blunder. "Kinerja Lippo baik, tak yang salah," katanya. Ia membantah
kabar Bank Lippo merencanakan penambahan modal. Untuk itu Anggito siap
mempertanggungjawabkan posisinya sebagai komisaris. Ketua BPPN Syafruddin
Temenggung sudah berkali-kali berjanji akan mengganti manajemen Bank Lippo. Tapi
sampai saat ini janji itu tak terpenuhi. "Setelah asetnya dinilai kembali, saya akan melakukan
sesuatu, jangan khawatir," katanya kembali melempar janji. Untuk mencegah terulangnya
jurus-jurus kungfu Bank Lippo, Che Wei mendesak penggantian manajemen. Upaya lain:
membatalkan pelelangan aset atau penilaian kembali AYDA. "Biar saja aset itu tetap di Bank
Lippo," katanya, "nanti dinilai sekalian ketika pemerintah mau menjual sahamnya." Dengan
cara ini, aset Lippo tak merosot, begitu pula modalnya. Meskipun demikian, peluang keluarga
Riady menguasai kembali Bank Lippo bukannya tertutup. Mereka masih bisa beraksi ketika
pemerintah menjual sahamnya. Untuk itu, kata Mirza Adityaswara, mereka mesti dimasukkan
daftar orang tercela karena terlibat pelanggaran batas maksimal pemberian kredit. Sayang,
pelbagai tudingan ini tak ditanggapi keluarga Riady. Roy Tirtadji, yang biasa menjadi juru
bicara, cuma sedikit memberikan komentar. Itu pun ia minta off the record. Aneh, soal ini
menyangkut reputasi. Roy mestinya paham betul, dalam industri keuangan, reputasi adalah
segala-galanya.
Kasus Bank Lippo Masuk Pengadilan
Kasus yang mencuat dari laporan keuangan ganda itu kini melebar ke pengadilan.
Komisaris Bank Lippo Rudi Toha Bachrie menggugat analis bursa Lin Che Wei secara
perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (26/2). Che Wei dinilai mencemarkan
nama baik manajemen Bank Lippo. Presiden Direktur PT SG Securities itu dituntut
membayar ganti rugi sebesar Rp 103 miliar. Dalam tulisannya di sebuah surat kabar harian,
Che Wei menduga telah terjadi praktik perampokan kekayaan negara dalam jumlah besar.
Orang yang pertama mencurigai laporan keuangan ganda itu menuding manajemen Bank
Lippo merekayasa harga saham dengan tujuan pemilik lama bisa membeli saham dengan
harga murah. Saat ini, saham Bank Lippo di lantai bursa hanya Rp 30 per lembar. Padahal,
ketika menyuntik Lippo, pemerintah harus membayar Rp 260 untuk tiap lembarnya. Analisis
Che Wei juga didukung pihak lain. Laporan Koalisi Masyarakat Antiskandal Bank Lippo
kepada Kejaksaan Agung menyebutkan kasus itu berpotensi merugikan negara senilai Rp 6
triliun atau setara dengan saham yang pernah disetorkan pemerintah. Karena harga saham
yang terus melorot, saham pemerintah hanya tersisa Rp 600 miliar. BEJ yang menyelidiki
masalah ini menemukan Bank Lippo memberikan informasi yang dapat menyesatkan
public Dalam pandangan Che Wei, laporan keuangan bertujuan memberikan informasi
yang benar kepada publik. Tapi yang dilakukan Bank Lippo dengan laporan ganda
adalah suatu rekayasa untuk menurunkan nilai buku dari perusahaan. "Itu sama
dengan pemalsuan kepada publik, bahkan BEJ telah memberi peringatan keras," kata
dia melalui video telekonferens dari Bali. Sedangkan Roy Tirtadji berpendapat laporan
keuangan yang berbeda itu dimungkinkan untuk kepentingan berbeda sehingga
angkanya juga bisa berlainan. Paskah berharap peristiwa ini tak menganggu kepemilikan
saham pemerintah dan merusak harga saham.Menurut dia, Lippo adalah bank swasta nasional
terbesar ketiga setelah Bank Central Asia dan Bank Danamon. Bank Lippo yang kini
memiliki 367 cabang dan 6.000 karyawan itu melayani sekitar 3,5 juta nasabah. Rasio
kecukupan modal (CAR) Bank Lippo sejak direkapitalisasi terus meningkat, bahkan
mencapai 31 persen pada 2001. Angka ini melebihi ketentuan Bank Indonesia yang hanya 12
persen. Kepemilikan saham Bank Lippo tersebar pada tiga pihak: 59,26 persen pemerintah,
32,57 persen publik, dan delapan persen pengelola. Namun pengamat ekonomi Faisal Basri
berpendapat, ada kejanggalan dalam perwakilan komisaris di Bank Lippo. Meski pemegang
saham mayoritas, pemerintah hanya diwakili empat orang yakni dua pejabat BPPN, petinggi
Kantor Menteri Koordinator Perekonomian, dan pejabat Departemen Keuangan. Jumlah itu
sama dengan komisaris dari Bank Lippo. Che Wei juga menyoroti tentang sumber penjualan
aset-aset Bank Lippo, Desember 2002. Roy Tirtadji menjawab ada hal-hal yang tak bisa
dijelaskan kecuali atas permintaan BI. "Kami mempunyai kode etik dan rahasia perbankan,"
kata dia. Menurut Roy, jika terjadi kejanggalan penjualan aset tentunya diketahui tiga pejabat
BI yang setiap hari mengawasi. Menurut Wakil Ketua Komisi IX DPR Paskah Suzetta,
berdasarkan perjanjian dengan pemerintah, Bank Lippo diperbolehkan menjual lima persen
dari aset yang diambil alih. Dia menuturkan, laporan keuangan periode 1999-2001
menyebutkan laba dan CAR Bank Lippo juga meningkat. "Ini artinya kepercayaan
masyarakat bertambah, bahkan total dana pihak ketiga mencapai Rp 21 triliun," ujar dia.
Fakta yang diperoleh Che Wei menunjukkan harga saham Bank Lippo turun secara
sistematis. Selama tujuh bulan sejak April 2002, harga saham bank terbesar nomor tujuh
Indonesia itu merosot tajam hingga 75 persen. Padahal, harga saham bank lain justru terus
membaik. "Dalam jangka waktu tersebut, Bank Lippo the worst performer di antara saham
perbankan," kata dia. Roy Tirtadji mempertanyakan kecenderungan serupa pada keseluruhan
harga saham di pasar modal. "Apakah hanya saham Bank Lippo saja yang turun," tanya dia.
Anehnya, kata Che Wei, kecurigaan itu diperkuat saat BEJ menghentikan transaksi penjualan
saham ketika seorang investor melaporkan kejanggalan itu ke Dana Moneter Internasional
(IMF) dan Bank Dunia. "Itu membuktikan ada konspirasi kok kebetulan banget. Saya punya
bukti," ujar dia menegaskan. Roy Tirtadji menyanggah manajemen merekayasa harga saham
di bursa karena mereka tidak mengurus hal tersebut. Menurut Roy, para pendiri dan
manajemen Bank Lippo berkomitmen mengelola bank tersebut. Hal ini terlihat ketika mereka
menyerahkan dana pribadinya sebesar Rp 4 triliun untuk dana rekapitulasi. "Dari sekian bank
yang direkap, pemerintah hanya memiliki 60 persen saham di Bank Lippo," kata dia. Roy
juga mengungkapkan, Bank Lippo akan menjual aset-asetnya pada pada 2003. Di sesi
terakhir, Che Wei menegaskan, kecurigaan yang diungkapnya itu bukan persoalan pribadi
dirinya dengan jajaran komisaris dan direksi Bank Lippo. "Ini usaha saya mempertahankan
independensi sebagai analis yang tidak bisa diancam oleh pengadilan manapun," kata dia.
Che Wei juga berharap pejabat pemerintah tidak saling melempar tanggung jawab dan
menjaga investasi uang rakyat. Sedangkan Roy Tirtadji mengingatkan Che Wei agar berhati-
hati menuding telah terjadi praktik perampokan dan penjarahan di Bank Lippo. Berbeda
dengan Rudi Toha Bachrie, Roy tidak tertarik menggugat Che Wei ke meja hijau. "Saya
berkonsentrasi mengelola bank karena mempunyai tanggung jawab secara hukum," kata dia.

Siapa di balik Akal-akalan Lippo?


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/02/17/EB/mbm.20030217.EB85110.id.html
Sesaat sebelum proses rekapitalisasi bank dimulai pada 1999, dengan gesit Bank Lippo
menarik sejumlah aset Grup Lippo senilai Rp 2,45 triliun. Hal ini dilakukan untuk menekan
jumlah kredit macet di grup usaha Lippo itu. Alhasil, Bank Lippo lolos fit and proper
testyang digelar BI saat itu. Tetapi aset grup yang dialihkan ke bank Lippo lama-lama jadi
bom waktu. Awal tahun ini, Grup Lippo berniat membeli kembali aset tersebut. Rencana ini
buyar ketika pers mencium keganjilan di balik laporan keuangan ganda yang dibuat Bank
Lippo akhir tahun 2002 lalu. Berikut adalah pihak-pihak yang diperkirakan ikut memiliki
kontribusi dalam skandal Lippo kali ini. Dr. Mochtar Riady Sebagai pendiri sekaligus
Presiden Komisaris Bank Lippo, dialah yang merestui langkah direksi Bank Lippo yang
berniat menjual aset yang dialihkan (AYDA) senilai Rp 2,45 triliun. Dalam laporan tahunan
Bank Lippo tahun 2001, Mochtar mengatakan masa krisis adalah masa transisi untuk
berubah. Jadi, Lippo berniat meninggalkan kebiasaan lama dalam berbisnis. Untuk meraih
kepercayaan publik, Bank Lippo sangat mengandalkan SDM yang berkualitas, bahkan
sampai menciptakan moto baru, yakni The Power of Change. Ternyata moto tidak serta-
merta mengubah watak perusahaan ini, begitu pula tekad untuk berubah yang dicanangkan
pendirinya, Mochtar Riady. James Tjahaja Riady Ketika James diangkat sebagai CEO Grup
Lippo pada pertengahan 1990-an, majalah Business Week menobatkannya sebagai raja pasar
uang Indonesia. Salah satu modal James adalah keluwesannya bergaul. Mulai dari mantan
presiden Soeharto, Habibie, hingga Bill Clinton. Bahkan Habibie dan James saling
mengagumi. "He call me 'uncle'," kata Habibie, sekadar menggambarkan keakraban mereka.
James memang dikenal piawai mengutak-atik keuangan perusahaan agar nilainya bertambah.
Di mata analis ekonomi Lin Che Wei, James-lah yang menjadi otak berbagai rekayasa
keuangan Grup Lippo. Salah satu buktinya adalah penggorengan saham Bank Lippo yang
dilakukan Ciptadana Securities sejak akhir 2002. Pernah dalam sekali transaksi, Ciptadana,
yang juga anak perusahaan Lippo, memborong 74 juta lembar saham Bank Lippo. Tetapi,
dalam wawancara dengan TEMPO di tahun 1999, James membantah bahwa dirinya
dipersiapkan menjadi raja imperium Lippo. Katanya, "Jika memandang Lippo hanya dari
figur Mochtar dan James, berarti orang melihat Lippo dari luarnya saja." Padahal,
ditambahkannya, dalam pengambilan keputusan Grup Lippo, semua ikut ambil
bagian. Syafruddin Temenggung, Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional Tanpa
persetujuan BPPN, mustahil aset milik Bank Lippo bisa dijual. Soalnya, BPPN mewakili
pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas di Bank Lippo (59,25 persen). Dalam hal ini
dipertanyakan sikap Syafruddin, yang membiarkan penjualan AYDA sehingga berakibat
rasio kecukupan modal (CAR) Bank Lippo merosot dari 24,7 persen menjadi 4,1 persen.
Bank Lippo tentu perlu modal tambahan, tapi dampaknya bisa menyudutkan pemerintah.
Sayang, keterangan Syafruddin tentang masalah ini tak bisa diperoleh karena ia sedang
melawat ke luar negeri. Herwidayatmo, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Kasus
laporan keuangan ganda Lippo bukanlah "akrobat" Lippo yang pertama di bursa saham. Pada
2000 lalu, Lippo Life "disulap" menjadi Lippo E-Net. Akibatnya, Bapepam mendenda Lippo
E-Net "cuma" Rp 500 juta. Selain itu, direksi dan komisaris Lippo E-Net didenda Rp 5
miliar. Tetapi, menghadapi aksi Ciptadana saat memborong saham Bank Lippo dan juga
laporan gandanya, Bapepam seolah kebingungan. Seorang eks pejabat Bapepam tak kaget
atas sikap lembek Herwid kepada Lippo. Saat masih bertugas di Bapepam bersama
Herwid?demikian Herwidayatmo biasa disapa?ia tahu bahwa keluarga Riady dekat dengan
Herwid sejak tahun 1996. Waktu itu Herwid menjabat Kepala Biro Penilaian Keuangan
Perusahaan I di Bapepam. Tanpa buang waktu, pihak Lippo langsung menempel Herwid,
tentu agar diberi kemudahan "bermain" di pasar saham. Pada 1998, James membawa Herwid
kepada Menteri BUMN waktu itu, Tanri Abeng. Tujuannya agar Herwid diangkat menjadi
asisten Tanri, dan upayanya membuahkan hasil. Sejak saat itu karier Herwid terus meroket
hingga diangkat menjadi Ketua Bapepam tahun 2000 lalu. Martin Panggabean, seorang
ekonom, mengaku tak kaget atas kasus laporan ganda Lippo ini. "Banyak kasus di bursa
selama Herwid menjadi Ketua Bapepam. Misalnya, kasus Semen Gresik dan Lippo E-Net."
Katanya. Namun, semua cerita miring itu dibantah Herwid. "Orang yang ngomong seperti itu
karena iri. Saya tak mau menanggapi," katanya. Ia juga membantah ketika dikatakan bahwa
Bapepam tidak menjatuhkan sanksi apa-apa atas Bank Lippo. "Kita lihat Maret nanti, saya
akan tindak tegas jika memang bersalah," ujarnya, menantang.

PERTANYAAN
Tindakan manajemen laba telah memunculkan beberapa kasus skandal pelaporan akuntansi.
Bank Lippo merupakan salah satu kasus skandal pelaporan akuntansi di Indonesia selain
Kimia Farma dan tentunya Enron, Merck, WorldCom (Amerika).
Menurut Saudara bagaimana manajemen laba yang dilakukan oleh Bank Lippo dan
seharusnya apa yang harus dilakukan oleh pihak Manajemen (agent) sehingga tidak terjadi
manajemen laba. Jelaskan Pendapat Saudara dengan Argumen dari berbagai literature

Anda mungkin juga menyukai