Anda di halaman 1dari 4

PERSAHABATAN YANG BERMULA DARI

BULLYING
Saat itu, aku tengah duduk menunggu jemputan di halte depan sekolahku.
Samar-samar kudengar suara keributan dari lapangan basket sekolah. Karena
penasaran, aku pun berdiri dan melongokkan kepala melihat keadaan lapangan dari
luar pagar. Mereka lagi, batinku. Begitu mengetahui sumber keributan. Mereka. Anak
kelas XII-B yang sedang berkerumun di tengah lapangan, mengelilingi seorang siswi
kelas X-A yang terkenal pintar dan pendiam.
Kirana Larasati, namanya. Dia murid baru di sekolahku. Aku dan dia satu kelas,
tapi kami tak pernah berbincang-bincang sebelumnya. Dia sangat pendiam. Jika
berpapasan dengan orang lain, ia hanya akan mengulas senyum tipis. Jika diajak
mengobrol, dia hanya manggut-manggut. Saat jam istirahat, dia selalu menolak diajak
ke kantin. Karena waktu istirahatnya dihabiskan untuk membaca buku di
perpustakaan. Mungkin itulah kenapa aku segan untuk berbincang dengannya.
Terlebih, aku tidak begitu percaya diri untuk memulai pembicaraan.
Seperti biasa, kelima siswi kelas XII-B tersebut, selalu bersikap semena-mena
terhadap orang yang dianggapnya lemah. Dengan dalih, mereka merupakan senior di
sekolah ini. Yang artinya mempunyai kekuasaan lebih. Miris, memang. Tapi begitulah
tingkah laku generasi sekarang. Di saat tujuan sekolah bukan lagi untuk menuntut
ilmu, tapi digunakan untuk ajang mencari ketenaran. Dengan cara menindas yang
lemah.
Di depan pagar aku hanya berdiri mematung. Menatap tidak tega ke arah
Kirana yang sedang berusaha menahan kerudungnya yang ditarik oleh salah satu dari
kelima senior itu.
Dia, Kirana, teman sekelasku. Hanya bisa diam saja tanpa bisa melawan. Dia
tak berdaya. Yang bisa dia lakukan hanyalah menahan kerudungnya agar tak
terlepas.
Tidak ada siapa-siapa lagi di sana, karena semua siswa-siswi dan dewan guru
sudah pulang limabelas menit yang lalu, kecuali lima senior yang sedang
mengerumuni Kirana, dan aku yang hanya berdiri tanpa bisa berbuat apa-apa.
Bosan menarik kerudung Kirana, anak-anak yang suka mem-bully itu akhirnya
melempari Kirana dengan buah kersen, juga menempelkan debu lapangan di kedua
pipi Kirana. Sungguh, aku tidak tega melihat pemandangan tersebut, tapi lagi-lagi aku
hanya menjadi penonton. Aku tidak berani melawan mereka. Karena siapa pun yang
menantang salah satu dari mereka, akan habis dikeroyoknya. Pun, salah satu dari
kelima senior itu adalah tetanggaku.
Di balik kacamatanya, kulihat Kirana meneteskan airmata. Ia menangis.
Bahunya bergetar. Sedari tadi ia memeluk tasnya sambil berjongkok dan menunduk.
Sekolah kami memang dikelilingi pohon kersen. Jadi, cukuplah bagi para senior
itu untuk menyiksa para juniornya. Setelah puas, mereka berlima melenggang pergi.
Kirana pun berdiri, membersihkan bekas buah kersen dan debu yang menempel di
baju serta tasnya. Mengebas-ngebaskan kerudungnya, mengepakan baju serta rok
panjangnya, lalu berjalan menuju pintu gerbang.
Setibanya Kirana di dekatku, aku memberanikan diri menyapanya. ‘’Emm.
Kirana, aku minta maaf. Maaf aku tidak membantumu tadi.’’
‘’Tidak apa-apa. Kau sama sekali tidak bersalah. Tidak perlu meminta maaf,’’
jawabnya tersenyum padaku. Aku malah semakin merasa bersalah melihat
senyumnya.
‘’Ah, sudah sore. Aku pulang dulu, ya. Pasti Umiku sudah menunggu,’’ ucapnya lagi.
Begitu melihat arloji biru di pergelangan tangan kirinya.
Aku mengangguk.
‘’Wassalamu’alaikum,’’ salamnya berlalu dari hadapanku. Kudengar rumah barunya
ada di dekat sini. Mungkin itulah kenapa ia berjalan kaki.
‘’Wa’alaikumsalam,’’ jawabku menatap kepergiannya.
Seminggu setelah kejadian itu, salah seorang dari kelima senior yang mem-
bully Kirana, kebetulan juga tetanggaku, jatuh sakit. Sebagai tetangga, aku pun
datang berkunjung untuk menjenguknya yang terbaring di rumah sakit.
Tidak lama setelah kedatanganku di RS, pintu kamar inap Putri, nama tetangga
sekaligus seniorku, diketuk seseorang dari luar. Kemudian seseorang masuk sambil
mengucapkan salam. Sontak aku menoleh. Betapa terkejutnya aku begitu mengetahui
yang datang adalah Kirana.
Kenapa dia datang ke sini?
Apa yang ingin dia lakukan?
Atau mungkin dia ingin berbuat jahat, sejenis balas dendam, karena orang yang
mem-bullynya beberapa waktu lalu, saat ini sedang terbaring tak berdaya? Dengan
begitu dia akan merasa puas.
Tapi, sepertinya hal tersebut tidak mungkin, apa dia berani?
Aku pandangi Kirana. Ada keranjang kecil yang dibawa olehnya. Sempat
terlihat olehku beberapa buah-buahan dalam keranjang tersebut, seperti apel. Lalu, ia
memberikan keranjang di tangannya kepada tetanggaku tepat di depan mataku.
Sangat ironis memang, kejahatan dibalas dengan kebaikan.

Dua minggu setelah kejadian itu, tetanggaku sudah aktif masuk sekolah
kembali. Kami jalani kehidupan sekolah bagaimana semestinya. Sampai ada kejadian
unik yang membuat takjub orang yang melihatnya.

Anak yang berkacamata itu tetap saja dibully oleh senior-seniorku yang lain,
tapi ketika itu ada seorang yang berani membelanya dan membubarkan orang-orang
yang menghinanya.
Malahan, dia menantang semua siswa yang berani menghina anak berkacamata itu.
Dengan teriakan sedikit keras dia melindungi anak berkacamata tersebut.

Sejak saat itu, tidak ada lagi siswa yang berani membully Kirana. Dan di setiap
harinya aku mendapati temanku dan Kirana sering pulang bersama, di kantin
bersama, datang ke sekolahan pun kadang bersama.

Sejak saat itu, tetanggaku tidak pernah mem-bully siapa pun, Kirana tidak
pernah diganggu lagi, dan ia tak sependiam dulu lagi. Aku, tetanggaku, senoi-senior
itu, dan Kirana kini bersahabat.

Begitulah akhir jika sebuah kejahatan dibalas dengan kebaikan. Dan Allah pun
berfirman agar hamba-Nya senantiasa bersabar dalam menghadapi setiap cobaan
dari-Nya. Selayaknya siswa di sekolah, jika ingin menduduki kelas yang lebih tinggi,
maka harus siap mengikuti ujian. Pun kehidupan. Cobaan diibaratkan soal ulangan,
dan barang siapa yang hendak menduduki kelas yang lebih tinggi, harus siap
menjawab soal tersebut. Yang perlu kita ingat, semakin tinggi kelas seseorang, maka
semakin sulit soal yang harus ia jawab. Oleh sebab itu, Allah menjanjikan pahala yang
besar bagi hamba-Nya yang mampu melewati ujian dengan kesabaran. Sebagaimana
firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah ayat 45-46, yang artinya:

‘’Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang


demikian itu sunggu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ (yaitu), orang-orang
yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan
kembali kepada-Nya.’’
MAKALAH
BAHASA INDONESIA

Disusun oleh : Katerin Carolin Ramadhani


Kelas : IX.1
Guru Pengajar : Kholami S.Pd

SMP NEGERI 4 GUNUNG MEGANG


TAHUN AJARAN
2017/2018

Anda mungkin juga menyukai