TP Virtopsy
TP Virtopsy
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian otopsi adalah pemeriksaan medis terhadap mayat dengan membuka rongga
kepala, leher, dada, perut, dan panggul serta bagian tubuh lain bila diperlukan, disertai
dengan pemeriksaan jaringan dan organ tubuh di dalamnya, baik secara fisik maupun dengan
dukungan pemeriksaan laboratorium. Pelaksanaan otopsi seperti pengertian di atas mendapat
istilah baru yaitu otopsi konvensional.1 Otopsi konvensional dapat dimodifikasi berdasarkan
keperluan seperti diseksi leher pada kasus pencekikan, diseksi bagian dorsal pada kecelakaan
kendaraan bemotor, diseksi tenggelam dengan tes diatom jika diperlukan.3
Dalam otopsi virtual menggunakan beberapa peralatan pemindaian canggih yang saling
melengkapi yaitu:
Pemindaian permukaan tiga dimensi (3D color encoded surface scanning) yang
didesain untuk pemetaan tubuh bagian luar. Penggunaan alat ini dapat memberikan
informasi dan menyimpan gambaran area permukaan secara detail.
4
Multi slice computed tomography (MSCT).
CT scan adalah suatu alat radiologi yang menggunakan radiasi dan rekonstruksi oleh
komputer untuk mebuat citra secara tomografi (potongan). MSCT menggunakan
empat sampai 6 detektor sehingga mampu memberikan hasil pencitraan dalam
potongan yang lebih tipis. (Dirnhofer et al)
Kelebihan: mampu memberikan gambaran secara potongan, mampu membuat
gambaran tiga dimensi objek tertentu, dapat memperkirakan jumlah cairan pada kasus
tertentu (darah). Pada virtual otopsi alat ini dapat memdeteksi dengan baik fraktur,
perdarahan dalam jumlah besar pada trauma jaringan, terkumpulnya udara patologis
pada organ (pada kasus emboli udara, emfisema subkutis akibat trauma, hiperbarik
trauma atau efek dari pembusukan). Alat ini hanya membutuhkan waktu singkat untuk
pemeriksaan yaitu kurang lebih 10 menit. (MJ Thali)
(MRI) yang akan dapat memvisualisasikan tubuh bagian dalam, sehingga dapat
diperiksa secara detail setiap potongan bagian tubuh.
Magnetic resonance imaging (MRI) adalah suatu alat radiologi yang digunakan untuk
menampilkan citra berupa potongan gambar tubuh manusia yang bekerja dengan
prinsip resonansi.
Kelebihan : memberikan gambaran dari berbagai posisi tanpa mengubah posisi
jenazah. Mampu melihat jaringan lunak (otot, sumsum tulang belakang atau sarar)
dengan jelas. Karena kelebihan dari alat ini, pada virtual otopsi alat ini sensitif lebih
spesifik pada kasus trauma jaringan lunak, trauma saraf dan bukan saraf serta kasus
bukan trauma. Pemeriksaan menggunakan alat ini lebih lama jika dibandingkan
dengan CT scan. MRI spectroscopy melalui pengukuran kadar metabolit dalam otak
dapat memperkirakan saat kematian. (MJ thali)
5
Gambar 1. Bagan alur otopsi virtual2
Selain cara kematian (seperti sebab alamiah, kecelakaan, pembunuhan, bunuh diri, sebab
yang tidak diketahui), kematian dapat memiliki sebab yang bervariasi. Beberapa penyebab
spesifik mengenai organ tertentu seperti otak, jantung, dan paru. Penemuan sistemik yang
bervariasi dapat juga mengindikasikan sebab kematian.2
Otak
Temuan tipe trauma pada radiologi klinis divisualisasikan sama bagus pada pencitraan
postmortem. Peningkatan tekanan intracranial akibat trauma atau iskemik, secara khas
bermanifestasi pada otopsi berupa herniasi transtentorial dari lobus temporal atau herniasi
serebelum ke dalam foramen magnum, dengan kesan pada dasar serebelum yang sama
dengan foramen magnum. Bila terdapat banyak temuan patologis dalam otak yang
bertanggung jawab terhadap peningkatan tekanan intracranial, pencitraan postmortem
memberikan visualisasi yang detail. Kapasitas ini sangat membantu ketika terjadi
peningkatan derajat pembusukan membuat otopsi tidak dapat dilakukan pada struktur otak
yang tersisa. Pada beberapa kasus, MRI postmortem memberikan gambaran anatomi otak
yang cukup baik dan memungkinkan untuk eksklusi perubahan patologis dalam otak. Studi
terbaru melakukan investigasi sensitivitas dan signifikasi dari MRI postmortem untuk
membedakan perubahan otak. Pemeriksaan MRI 3-T pada tubuh mengindikasi kurangnya
sensitifitas untuk lesi otak yang lebih kecil dari 5 mm, pada system 1,5-T dapat diatasi
dengan meningkatkan intensitas medan hingga gambaran matriks mencapai 1024.
6
Selanjutnya, studi pencitraan postmortem berjanji mengatasi keterbatasan pencitraan cross-
sectional dalam menggambarkan lesi otak yang kecil dalam region yang sangat penting.2
Jantung
7
Sebagian besar kematian alami disebabkan insufisiensi jantung. Penyakit jantung kronis
seperti kardiopati atau iskemik akut dapat menimbulkan insufisiensi jantung. Jantung sering
menjadi target injury dalam pembunuhan atau bunuh diri. Injury pada jantung secara khas
bermanifestasi pada pencitraan postmortem sebagai cardial tamponade dan hematothorax.
Kegagalan ventrikel kanan setelah emboli udara vena pada trauma kepala seperti pada luka
tembak di kepala atau luka tusuk di leher, merupakan penyebab kematian yang berhubungan
dengan jantung. Berlawanan dengan teknik otopsi tradisional, CT postmortem memberikan
visualisasi 3D yang detail dari struktur yang mengalami emboli, dengan jumlah emboli.2
8
Gambar 3. Gambaran pada jantung2
Paru
9
postmortem yang dapat dibandingkan dengan temuan pencitraan cross-sectional klinis,
seperti peningkatan gambaran ground-glass pada CT atau peningkatan intensitas sinyal pada
MRI. Pneumonia juga menyebabkan hyperattenuation dan hyperintensity. Perubahan paru
pada gambaran postmortem axial dapat ditutupi oleh overlap sedimentasi darah, temuan ini
tidak seharusnya diinterpretasi salah sebagai pneumonia local pada paru bagian dorsal. 2
10
Temuan otopsi pada tenggelam adalah ditemukan adanya lumpur/pasir atau cairan tempat
korban tenggelam dalam saluran nafas atau paru, paru-paru yang menggembung dan
kongesti, cairan dalam sinus paranasal, lambung, dan dilatasi paru-paru kanan dan pembuluh
darah vena. Tanda-tanda tersebut merupakan variable-variabel yang diteliti dengan
menggunakan MRI dan kemudian dikonfirmasi dengan temuan otopsi pada penelitian yang
dilakukan Levy et al. Dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa adanya sedimentasi pada
trakea dan percabangan bronkus utama (93%), cairan di dalam sel mastoid (100%), cairan
dalam sinus paranasal (25%) dan 89% paru-paru dengan gambaran ground-glass. Sementara
itu 89% lambung korban mengalami distensi. Hasil yang sama juga ditemukan pada
penelitian di Switzerland, meskipun pada penelitian ini mereka menggunakan MSCT. Kedua
penelitian ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan MRI maupun MSCT hasil yang
didapat tidak jauh berbeda dengan hasil temuan otopsi dan histopatologi.1
Lapisan jaringan-jaringan ini tidak bernilai untuk evaluasi lokasi dan kekuatan yang
mengenai jaringan tersebut. Contohnya pada gambar di bawah ini, kontusio akibat cedera
langsung regio pantat saat kecelakaan sepeda motor. Untuk menilai luasnya kerusakan pada
lapisan lemak subkutan (hematoma tau laserasi), digunakan gulungan permukaan tambahan
11
pada kaki. Pencitraan memberikan perbedaan antara jaringan lemak dengan hematom saja
dan adanya laserasi pada lemak subkutan. Hematom jaringan setelah cekikan, dapat
ditampakkan dengan baik menggunakan MRI. Pada kasus cekikan oleh orang lain, lesinya
tampak lebih berat, jadi penulis optimis akan kemampuan MRI untuk menunjukkan hematom
otot pada beberapa kasus.3
Temuan sistemik
Dokumentasi nondestruktif pada jenazah penting untuk dua alasan yaitu :1,4
Otopsi virtual berawal dari penolakan yang kuat dari masyarakat akan otopsi konvensional
dan juga perkembangan yang amat pesat dalam medical imaging. Dunia kedokteran
khususnya ilmu kedokteran forensic senantiasa mengikuti perkembangan dalam konteks
12
keilmuannya. Pada satu sisi otopsi virtual lebih baik jika dibandingkan otopsi konvensional
dalam menegakkan diagnosis untuk kepentingan klinis, namun tidak untuk kepentingan
medikolegal. Penelitian-penelitian terus berlangsung sampai saat ini untuk mencoba
mengatasi kekurangan-kekurangan dalam otopsi virtual. Banyak hal yang harus
dipertimbangkan untuk menerima otopsi virtual sebagai pengganti otopsi konvensional,
seperti :1
13
Kematian akibat keracunan dan hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan
obat.
5. Aspek medikolegal dari masing-masing negara
Jepang sebuah negara maju dan sudah lama menekuni otopsi virtual tetap berhati-hati
dengan PMCT, ada 3 peraturan yang mereka laksanakan hingga hari ini yaitu PMCT
sebagai skrining untuk penyebab kematian, skrining kandidat untuk dilakukan otopsi
dan komplementer untuk otopsi konvensional. Aspek medikolegal otopsi virtual
sebagai alat bukti yang sah dalam system peradilan di Indonesia masih diperlukan
kajian yang lebih lanjut. Mengingat bahwa interest based otopsi virtual adalah untuk
mendiagnosa penyakit. Hal ini berbeda dengan konsep otopsi forensic yang lebih
mengedepankan untuk proses penegakan hukum dan peradilan.1
Otopsi konvensional berdasarkan tujuannya dibagi menjadi 3 jenis yaitu otopsi klinik, otopsi
anatomi, dan otopsi medikolegal. Masing-masing otopsi tersebut diatur oleh aturan
perundang-undangan dalam pelaksanaannya.
Otopsi klinik atau bedah mayat klinis dilakukan pada pasien suatu rumah sakit atas izin
keluarga dengan tujuan untuk mengetahui penyakit atau kelainan yang menjadi sebab
kematian, menilai hasil usaha dari pemulihan kesehatan, serta penelitian untuk
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan. Pelaksanaan otopsi klinik diatur oleh
UU RI nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 119 serta Peraturan Pemerintah nomor
18 tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi
Alat Bantu dan atau Jaringan Tubuh Manusia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut
dijelaskan pelaksanaan otopsi klinis harus disertai persetujuan tertulis dari pasien (sewaktu
hidup misal dalam surat wasiat) atau keluarga terdekat setelah pasien meninggal. Namun
dalam keadaan tertentu otopsi klinik ini dapat dilakukan bila pasien menderita suatu keadaan
yang membahayakan orang lain misalnya penyakit baru yang mematikan. Tempat melakukan
otopsi klinik hanya boleh dilakukan di rumah sakit yang mempunyai ruangan khusus untuk
itu, dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan (Dokter
Spesialis Forensik). Sebaiknya otopsi klinik dilakukan secara lengkap, namun dalam keadaan
amat memaksa dapat dilakukan otopsi parsial bahkan needle necropsy terhadap organ tertentu
meskipun pada kedua keadaan tersebut kesimpulannya sangat tidak akurat.
14
Otopsi anatomis atau bedah mayat anatomis berdasarkan UU RI nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan pasal 120, serta Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981 bertujuan
untuk pendidikan calon dokter serta tenaga kesehatan lainnya. Dalam pelaksanaannya harus
memperhatikan syarat-syarat tertentu seperti pelaksanaan otopsi klinis. Syarat tersebut adalah
persetujuan dari pasien atau keluarga jenazah, dilakukan oleh mahasiswa kedokteran atau
tenaga kesehatan di bawah pengawasan ahli urai (ahli anatomi tubuh manusia), tempat
pelaksanaannya adalah ruangan khusus (ruang Anatomi) di Fakultas Kedokteran.
Otopsi medikolegal atau otopsi forensic dilakukan terhadap jenazah seseorang yang diduga
meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti kasus kecelakaan, pembunuhan,
maupun bunuh diri. Tujuannya untuk mengetahui sebab kematian, identifikasi korban,
mengumpulkan bukti medis dan mencari adanya penyakit yang dapat memberikan kontribusi
pada kematian. Dasar hokum pelaksanaan otopsi medikolegal adalah UU RI nomor 36 tahun
2009 tentang Kesehatan pasal 122, KUHAP pasal 133 dan 134, KUHP pasal 222 serta
Instruksi Kapolri nomor INS/E/20/IX/1975. Pelaksanaan otopsi medikolegal ini harus
berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik sesuai yang tercantum dalam pasal 133
KUHAP. Tujuannya untuk membantu penyidik menemukan kebenaran material sehingga
penyidik dapat menentukan identitas jenazah, sebab pasti kematian, mekanisme kematian,
perkiraan saat kematian, mengumpulkan dan memeriksa benda bukti medis untuk penentuan
identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan. Dalam hal persetujuan dari keluarga
berdasarkan KUHAP pasal 134 keluarga tidak mempunyai hak untuk menolak namun
mempunyai hak untuk diberitahu. Namun undang-undang memberikan kesempatan pada
keluarga untuk berunding, bila tidak ada tanggapan setelah dua hari dari pemberitahuan,
maka penyidik dapat memerintahkan untuk melakukan otopsi sebagaimana ketentuan yang
dimaksud pasal 133 ayat 3 KUHAP.
Namun hingga saat ini masih belum ada aturan perundang-undangan baku yang mengatur
penggunaan otopsi virtual, terutama dalam bidang medikolegal.
CT scan postmortem dapat membantu mendokumentasikan posisi yang benar atau salah dari
tube, kateter, probe dibandingkan prosedur otopsi lainnya. Hal ini memberikan keuntungan
medikolegal yang besar terutama pada kasus pasien meninggal selama atau setelah dilakukan
prosedur invasive atau invasive yang minimal.2,3
Otopsi virtual sebagai alat bukti yang sah dalam system peradilan di Indonesia memerlukan
kajian yang lebih lanjut. Terlebih otopsi virtual lebih mengarah kepada mendiagnosis
15
penyakit. Hal ini berbeda dengan konsep otopsi forensic yang lebih mengedepankan untuk
proses penegakkan hukan dan peradilan.
Otopsi virtual dapat menjelaskan lima prinsip medikolegal penting dalam otopsi
konvensional yaitu:4
16
Pasal 121
(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh dokter sesuai
dengan keahlian dan kewenangannya
(2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis ditemukan
adanya dugaan tindak pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan kepada penyidik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 122
(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli
forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke tempat
yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas tersedianya pelayanan bedah
mayat forensik di wilayahnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bedah mayat forensik diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bedah mayat klinis hanya boleh dilakukan dalam keadaan sebagai berikut
a. Dengan persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah penderita
meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat ditentukan dengan pasti;
b. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila diduga penderita
menderita penyakit yang dapat membahayakan orang lain atau masyarakat sekitarnya
c. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila dalam jangka waktu
2x24 jam (dua kali dua puluh empat) jam tidak ada keluarga terdekat dari yang meninggal
dunia datang ke rumah sakit.
Pasal 3
Bedah mayat klinis hanya dilakukan di ruangan dalam rumah sakit yang disediakan untuk
keperluan itu.
17
Pasal 4
Perawatan mayat sebelum, selama dan sesudah bedah mayat klinis dilakukan sesuai dengan
masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan diatur oleh
Menteri Kesehatan.
Pasal 5
Untuk bedah mayat anatomis diperlukan mayat yang diperoleh dari rumah sakit dengan
memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf a dan c.
Pasal 6
Bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan dalam bangsal anatomi suatu fakultas
kedokteran.
Pasal 7
Bedah mayat anatomis dilakukan oleh mahasiswa fakultas kedokteran dan sarjana kedokteran
dibawah pimpinan dan tanggung jawab langsung seorang ahli urai.
Pasal 8
Perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat anatomis dilaksanakan sesuai
dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan diatur
oleh Menteri Kesehatan.
Pasal 133
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit
harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan
diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan
pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pasal 134
18
(1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak
mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga
korban.
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya
tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang
diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Pasal 122
Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan
mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Instruksi Kapolri No: Ins/E/20/IX/75 tentang Tatacara Permohonan/Pencabutan Visum
et Repertum
Pasal 3
Dengan visum et repertum atas mayat, berarti mayat harus dibedah. Sama sekali tidak
dibenarkan mengajukan permintaan visum atas mayat berdasarkan pemeriksaan luar saja.
Pasal 6
Bila ada keluarga korban/mayat keberatan jika diadakan bedah mayat, maka adalah
kewajiban petugas polisi dan pemeriksa untuk secara persuasif memberikan penjelasan
tentang perlunya dan pentingnya otopsi untuk kepentingan penyidikan. Kalau perlu bahkan
ditegakkan pasal 222 KUHP.
Jadi dari undang-undang yang berlaku di Indonesia, belum ada yang mengatur tentang otopsi
virtual. Bedah mayat yang diatur adalah otopsi konvensional.
19