Anda di halaman 1dari 244

STUDI

KASUS
Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS
ke Dalam Sistem Kesehatan di Indonesia
STUDI
KASUS
Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS
ke Dalam Sistem Kesehatan di Indonesia
Studi Kasus Integrasi Kebijakan dan Program HIV dan AIDS ke dalam
Sistem Kesehatan di Indonesia

Penyusun
Ita Perwira; Ignatius Praptoraharjo; Hersumpana; M. Suharni; Swasti
Sempulur; Satiti Retno Pudjiati; Eviana Hapsari Dewi

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KTD)


Studi Kasus Integrasi Kebijakan dan Program HIV dan AIDS ke dalam Sistem
Kesehatan di Indonesia/Ita Perwira; Ignatius Praptoraharjo; Hersumpana; M.
Suharni; Swasti Sempulur; Satiti Retno Pudjiati; Eviana Hapsari Dewi
Yogyakarta: Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada (PKMK FK UGM)

xi+xi halaman/xi x xi cm
Cetakan pertama, September 2016
ISBN: 978-602-73880-6-2
1. Studi Kasus 2. HIV dan AIDS 3. Integrasi 4. Indonesia
I. Studi Kasus Integrasi Kebijakan dan Program HIV dan AIDS ke dalam
Sistem Kesehatan di Indonesia

Laporan ini disusun melalui kerjasama antara Department of Foreign Affairs


and Trade (DFAT) dan PKMK FK UGM. Tulisan yang diungkapkan dalam
laporan ini tidak mencerminkan pandangan Pemerintah Australia, maupun
Pemerintah Indonesia.

Laporan ini bisa dikutip, disalin, dan digandakan dengan menyebutkan


sumbernya dan dipergunakan untuk kepentingan pendidikan masyarakat,
bukan untuk kepentingan komersial.

Sitasi yang disarankan:


PKMK FK UGM. 2016. Studi Kasus Integrasi Kebijakan dan Program HIV dan
AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia. Yogyakarta: PKMK FK UGM

Copyright ©2016
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada
STUDI
KASUS
Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS
ke Dalam Sistem Kesehatan di Indonesia
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Daftar Isi — iv Daftar Tabel — vi

I. Pendahuluan — 1 III. Studi Kasus - 23


Daftar Isi
A. Situasi Penanggulangan HIV 1. Studi Kasus: Program
dan AIDS di Indonesia dan Pencegahan HIV Melalui
Permasalahannya — 1 Transmisi Seksual (PMTS) pada
B. Pertanyaan Penelitian — 5 Wanita Pekerja Seks — 24
C. Tujuan Penelitian — 6 A. Gambaran Program — 24
D. Kerangka Konseptual — 6 B. Analisis Kontekstual — 27
C. Analisis Pemangku
Kepentingan — 30
D. Deskripsi Pelaksanaan Fungsi
II. Metodologi - 11 Sistem Kesehatan — 35
A. Desain Penelitian — 11 E. Tingkat Integrasi Program
PMTS pada WPS ke dalam
B. Lokasi dan Waktu — 14
Sistem Kesehatan — 52
C. Instrumen dan Metode
F. Faktor-faktor yang
Pengumpulan Data — 14
Memengaruhi Integrasi
D. Informan — 14 Program PMTS-WPS ke dalam
iv E. Manajemen dan Analisa Data — Sistem Kesehatan — 54
15 G. Efektifitas Program PMTS —
F. Keterbatasan Penelitian — 20 55
G. Struktur penulisan laporan — 21 H. Hubungan Tingkat Integrasi
dengan Kinerja Program
PMTS-WPS — 58

2. Studi Kasus: Program Layanan


Alat Suntik Steril — 60
A. Gambaran Implementasi
Layanan Alat Suntik Steril
(LASS) — 60
B. Analisis Kontekstual — 61
C. Analisis Pemangku
kepentingan — 67
D. Deskripsi Fungsi Sistem
Kesehatan daln Program LASS
— 70
E. Tingkat Integrasi Program
LASS ke dalam Sistem
Kesehatan — 82
F. Faktor-faktor yang
Memengaruhi Integrasi
Program LASS ke dalam
Sistem Kesehatan — 82
G. Efektifitas Program LASS — 82
H. Hubungan Integrasi dengan
Efektifitas — 87
Daftar Isi

Daftar Gambar — vii Daftar Akronim & Ringkasan Eksekutif — x


Singkatan — viii

3. Studi Kasus: Program Lelaki


Seks dengan Lelaki (LSL) — 90
5. Studi Kasus: Program Anti
Retroviral Treatment (ART) —
IV. Pembahasan - 189
156 A. Integrasi Penanggulangan
A. Gambaran Program LSL — 90 HIV dan AIDS ke dalam Sistem
A. Deskripsi intervensi program
B. Analisis Kontekstual — 92 ART — 156 Kesehatan — 189
C. Analisis Pemangku B. Analisis kontekstual — 158 B. Pengaruh Integrasi terhadap
kepentingan — 96 Efektivitas Program — 197
C. Analisis pemangku
D. Deskripsi Fungsi Sistem kepentingan — 162
Kesehatan dan Program LSL —
100 D. Deskripsi Fungsi Sistem
E. Tingkat Integrasi Program
Kesehatan dalam Layanan
ARV — 168
V. Kesimpulan - 213
PMTS LSL ke dalam Sistem
E. Tingkat Integrasi Layanan ARV A. Tingkat Integrasi — 213
Kesehatan — 113
ke dalam Sistem Kesehatan — B. Integrasi dan Efektivitas Program
F. Faktor-faktor yang 180 — 215
Memengaruhi Integrasi
terhadap Efektifitas Program F. Faktor-faktor yang
— 115 Memengaruhi Integrasi — 181
F. Efektifitas Program LSL — 116 G. Efektifitas Program — 182 V. Rekomendasi - 219
G. Hubungan Tingkat Integrasi H. Hubungan antara Tingkat A. Fungsi kebijakan dan regulasi —
Integrasi dengan Kinerja 219 v
dengan Kinerja Program LSL
— 119 Program ART — 185 B. Fungsi pembiayaan — 220
C. Fungsi Pengelolaan Informasi
4. Studi Kasus: Layanan Link To Strategis — 220
Care dan Tes HIV — 121 D. Fungsi Penyediaan Farmasi dan
A. Gambaran Layanan Link To Alat Kesehatan — 221
Care dan Tes HIV — 121 E. Fungsi Pengelolaan SDM — 221
B. Deskripsi Fungsi Sistem F. Fungsi Penyediaan Layanan —
Kesehatan dalam Layanan Tes 221
HIV dan Link to Care HIV — G. Fungsi Penggerakan Partisipasi
123 Masyarakat — 222
C. Tingkat Integrasi Layanan Link
to Care dan tes HIV ke dalam
Sistem Kesehatan — 139
D. Faktor–faktor yang
Memengaruhi Integrasi — 144
E. Efektivitas Layanan Link To
Care HIV — 149
F. Hubungan Antara Integrasi
Tes HIV ke dalam Pelayanan
Puskesmas/Rumah Sakit
Dengan Efektifitas Program
Link To Care HIV — 151
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Daftar Tabel

13 64 117
Tabel 1. Universitas, lokasi dan pilihan Tabel 11. Sumber Pendanaan Untuk Tabel 21. Cakupan Program LSL di Kota
studi kasus Program Penanggulangan AIDS di DKI Denpasar 2014
Jakarta Tahun 2012
23 118
Tabel 2. Daftar studi kasus, universitas 77 Tabel 22. Cakupan dan perubahan
peneliti dan wilayah penelitian Tabel 12. Jenis Pelatihan yang diikuti perilaku LSL di Kota Surabaya
oleh LSM berdasarkan IBBS 2007 dan 2011
24
Tabel 3. Tujuan & Komponen Program 83 145
PMTS Tabel 13. Penilaian Tingkat Integrasi Tabel 23. Penilaian Tingkat Integrasi Sub-
Sistem Kesehatan
38 85
Tabel 4. Sumber Pembiayaan untuk Tabel 14. Sebaran Populasi Penasun di 160
Pembangunan Kesehatan dan DKI Jakarta Tahun 2012 Tabel 24. Gambaran Pendapatan Asli
Penanggulangan HIV dan AIDS di Medan, Daerah (PAD) Provinsi DKI Jakarta Tahun
vi
Kupang dan Merauke
86 2008-2015

41 Tabel 15. Target Pencapaian Intervensi


Program LASS 166
Tabel 5. Perbandingan Anggaran untuk Tabel 25. Gambaran Kekuasaan pada
Kegiatan Promotif/Preventif, Kuratif dan
Rehabilitatif di Kota Kupang 87 Rumah Sakit di Berbagai Tingkatan

Tabel 16. Cakupan Program LASS Tahun


171
42 2014
Tabel 26. Estimasi Kkebutuhan Dana
Tabel 6. Jumlah Peserta JKN dan
Jamkesda di Merauke dan Kupang (2014) 102 untuk Penanggulangan HIV dan AIDS
(dalam Milyar)
Tabel 17. Anggaran penanggulangan HIV

44 dan AIDS di Kota Surabaya tahun 2014


dan 2015 177
Tabel 7. Komposisi dan Jumlah Tenaga Tabel 27. Jumlah Layanan ARV di
Kesehatan yang Terlibat dalam Program
HIV dan AIDS di Kota Medan 103 Fasyankes Daerah

Tabel 18. Anggaran Upaya


180
53 Penanggulangan HIV di Kota Denpasar
Tabel 28. Tingkat Integrasi pada Sub-
Tabel 8. Penilaian Tingkat Integrasi
Program PMTS WPS ke Dalam Sistem 104 sistem Fungsi Kesehatan dan Dimensinya
208
Kesehatan Tabel 19. Proporsi Anggaran Upaya
Penanggulangan HIV dan AIDS untuk
190
56 Kegiatan Promotif, Preventif, Kuratif dan
Rehabilitatif di Kota Surabaya tahun 2015 Tabel 29. Tingkat Integrasi
Tabel 9. Data Cakupan Program pada Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
WPS berdasarkan STBP
113 Sistem Kesehatan berdasarkan jenis
intervensi spesifik (PMTS WPS, PMTS LSL,
57 Tabel 20. Tingkat integrasi per dimensi
dan per sub-sistem program LSLdi
LASS, KTS dan ART)

Tabel 10. Data Cakupan Program pada Surabaya dan Denpasar


WPS berdasarkan Data Program
Daftar Tabel / Daftar Gambar

Daftar Gambar

193 2 153
Tabel 30. Dana penanggulangan HIV dan Gambar 1. Prevalensi HIV menurut Gambar 11. Jumlah ODHA yang Mengikuti
AIDS di Kota/Kabupaten Terpilih kelompok populasi kunci Tes dan Perawatan HIV

198 7 157
Tabel 31. Cakupan Intervensi dan Tingkat Gambar 2. Bagan kerangka konseptual Gambar 12. Alur perawatan ARV dan
Integrasi integrasi tempat layanannya

203 12 158
Tabel 32. SDM Dalam Penanggulangan Gambar 3. Tahapan penelitian studi kasus Gambar 13. Pengadaan ARV di Indonesia
HIV dan AIDS
16 163
Gambar 4. Bagan tahapan pengolahan Gambar 14. Kuadran Tingkat Kepentingan
data primer menggunakan metode dan Kekuasaan Para Pemangku
framework approach Kepentingan

19 184 vii
Gambar 5. Analisis faktor-faktor yang Gambar 15. Cascade Program ART DKI
memengaruhi hubungan antara integrasi Jakarta dan Sulawesi Selatan
dan efektifitas
192
31 Gambar 16. Analisis Pemangku
Gambar 6. Posisi Pemangku Kepentingan Kepentingan dalam Pencegahan dan
berdasarkan Kepentingan dan Perawatan HIV
Kekuasaannya
196
66 Gambar 17. Struktur organisasi
Gambar 7. Posisi Pemangku Kepentingan penanggulangan HIV dan AIDS dan
Berdasarkan Kepentingan dan Tingkat Integrasinya
Kekuasaannya
201
94 Gambar 18. Kebutuhan, ketersediaan dan
Gambar 8. Anggaran SKPD untuk sumber pendanaan program HIV dan AIDS
penanggulangan HIV dan AIDS di Kota 2015-2019
Surabaya Tahun 2014 -2015

97
Gambar 9. Posisi Pemangku Kepentingan
Program LSL berdasarkan Kepentingan
dan Kekuasaannya

152
Gambar 10. Jumlah Pasien Yang Mengikuti
Test HIV
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

ADB Asian Development Bank Fasyankes Fasilitas dan Layanan


Daftar Akronim & Singkatan

ADD Alokasi Dana Desa Kesehatan

AIDS Acquired Immunodeficiency FHI Family Health International


Syndrome FK Fakultas Kedokteran
AIPH The Australia–Indonesia FKTP Fasilitas Kesehatan Tingkat
Partnership for HIV Pertama
APBN/D Anggaran Pendapatan dan GF Global Fund
Belanja Nasional/Daerah GF-ATM Global Fund AIDS, TB dan
ART Antiretroviral Treatment Malaria
ARV Antiretroviral GWL-INA Jaringan Gaya Warna Lentera -
AS Amerika Serikat Indonesia

ASA Aksi Stop AIDS HAART Highly Active Antiretroviral


Therapy
Bappeda Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah HAM Hak Asasi Manusia

Bappenas Badan Perencanaan HAPP HIV/AIDS Prevention Program


Pembangunan Nasional
 HCPI The HIV Cooperation
BKKBN Badan Kependudukan Program for Indonesia
dan Keluarga Berencana HIV Human Immunodeficiency Virus
viii Nasional HPTN HIV Prevention Trial Network
BLUD Badan Layanan Umum Daerah HR Harm Reduction
BNN Badan Narkotika Nasional ICA Investment Case Analysis
BOK Bantuan Operasional IDF Institutional Development
Kesehatan Framework
BP2KB Badan Pemberdayaan IHPCP Indonesia HIV/AIDS Prevention
Perempuan dan Keluarga and Care Project
Berencana
IMS Infeksi Menular Seksual
BPJS Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial IO Infeksi Oportunistik

BPS Badan Pusat Statistik IPF Indonesian Partnership Fund

CATS Community Access to IU Implementing Unit


Treatment Services Study JKN Jaminan Kesehatan Nasional
CCM Country Coordinating K3 Keselamatan dan Keamanan
Mechanism Kerja
CFR Case Fatality Rate KDS Kelompok Dukungan Sebaya
CSR Corporate Social Responsibility Kemenkes Kementerian Kesehatan
Depkes Departemen Kesehatan Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan
(sekarang menjadi Kementerian Kepres Keputusan Presiden
Kesehatan)
KIA Kesehatan Ibu dan Anak
DFAT Department of Foreign Affairs
and Trade, Government of KIE Komunikasi, Informasi dan
Australia Edukasi

DfID The Department for KPA (N/P/D) Komisi Penanggulangan AIDS


International Development (Nasional/Provinsi/Daerah)

Dinkes Dinas Kesehatan KPP Komunikasi Perubahan Perilaku

Dinsos Dinas Sosial KPS Kartu Papua Sehat

DKAI Dana Kemitraan AIDS Indonesia KTIP Konseling dan Tes HIV atas
Inisiatif Pemberi Pelayanan
DKI Daerah Khusus Ibukota Kesehatan
Daftar Akronim & Singkatan

KTP Kartu Tanda Penduduk Penasun Pengguna Napza Suntik SOP Standard of Procedures
KTS Konseling Tes Sukarela PEPFAR President’s Emergency Plan for SPM Standar Pelayanan Minimum
LAJSS Layanan Jarum dan Alat Suntik AIDS Relief SR Sub Recipient
Steril Perda Peraturan Daerah SRAN Strategi dan Rencana Aksi
Lapas Lembaga Pemasyarakatan Permendagri Peraturan Menteri Dalam Nasional
LASS Layanan Alat Suntik Steril Negeri SRAN/D Strategi dan Rencana Aksi
LBH Lembaga Bantuan Hukum Permenkes Peraturan Menteri Kesehatan Nasional/Daerah

LBT Lelaki Berisiko Tinggi Permenkokesra Peraturan Menteri Koordinator SSP Survei Surveilans Perilaku
Kesejahteraan Rakyat SSR Sub Sub-Recipient
LKB Layanan Komprehensif dan
Berkelanjutan Perpres Peaturan Presiden STBP Surveilans Terpadu Biologi dan
LSL Lelaki berhubungan seks Perwakos Persatuan Waria Kota Surabaya Perilaku
dengan lelaki PKBI Perkumpulan Keluarga STBP Survey Terpadu Biologis dan
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat Berencana Indonesia Perilaku

MDGs Millenium Development Goals PKNI Persaudaraan Korban Napza Stranas Strategi nasional
Indonesia SUFA Strategic Use of ARV
Mendagri Menteri Dalam Negeri
PKR Pusat Kesehatan Reproduksi SUM Scaling Up For Most-At-Risk
MK Manajer Kasus
PMTS Pencegahan Melalui Transmisi Populations
MMDP Majelis Masyarakat Desa Seksual TB Tuberkulosis
Pakaraman ix
PNS Pegawai Negeri Sipil TNI Tentara Nasional Indonesia
Monev Monitoring dan Evaluasi
PP Peraturan Pemerintah UGM Universitas Gadjah Mada
MoU Memorandum of Understanding
PPIA Pencegahan Penularan Ibu dan UHC Universal Health Coverage
MPI Mitra Pembangunan Anak
Internasional UKM Upaya Kesehatan Masyarakat
PPK Pusat Penelitian Kependudukan
Musrenbang Musyawarah Perencanaan UKP Upaya Kesehatan Perorangan
Pembangunan PR Principal Recipient
UN United Nations
NAPZA Narkoba, Psikotropika dan Zat PSK Pekerja Seks Komersial
UNAIDS Joint United Nations
Aditif lainnya PTRM Program Terapi Rumatan Programme on HIV/AIDS
NASA National AIDS Spending Metadon
UNGASS United Nations General
Assessment Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat Assembly Special Session
NGO Non-Government Organization Renja Rencana Kerja UNODC United Nations Office on Drugs
NU Nadhatul Ulama RI Republik Indonesia and Crime
OAT Obat Anti Tuberkulosis RPJMD Rencana Pembangunan Jangka UPT Unit Pelaksana Teknis
OBM Organisasi Berbasis Menengah Daerah US United States
Masyarakat RS Rumah Sakit USAID United States Agency for
OCAT Organizational Capacity RSCM Rumah Sakit Cipto International Development
Assessment Tool Mangunkusumo UU Undang-Undang
ODHA Orang dengan HIV dan AIDS RSU Rumah Sakit Umum WHO World Health Organization
OMS Organisasi Masyarakat Sipil RSUD Rumah Sakit Umum Daerah WPSL Wanita Pekerja Seks Langsung
OPSI Organisasi Perubahan Sosial RUK Rencana Usulan Kegiatan WPSTL Wanita Pekerja Seks Tidak
Indonesia Rutan Rumah Tahanan Langsung
Otsus Otonomi Khusus Satpol PP Satuan Polisi Pamong Praja YMM Yayasan Mitra Masyarakat
P2 Pengendalian Penyakit SDM Sumber Daya Manusia
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa SIHA Sistem Informasi HIV dan AIDS
PBR erawatan Berbasis Rumah SK Surat Keputusan
PDP Perawatan, Dukungan dan SKN Sistem Kesehatan Nasional
Pengobatan
SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah
PELITA Pembangunan Lima Tahun
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Tujuan integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam


Ringkasan Eksekutif sistem kesehatan untuk memperkuat efektivitas, efisiensi
dan keadilan penanggulangan HIV dan AIDS beserta
sistem kesehatannya. Penelitian-penelitian tentang
integrasi sebelumnya lebih banyak melihat program
penanggulangan HIV dan AIDS secara keseluruhan. Jika
dicermati lebih lanjut setiap intervensi dalam program
penanggulangan HIV dan AIDS memiliki karakteristik
dan problematika yang berbeda. Hal ini tentunya
berpengaruh terhadap tingkat integrasinya ke dalam
sistem kesehatan. Kajian kasus integrasi intervensi spesifik
dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang disajikan
dalam buku ini merupakan kajian pelaksanaan intervensi-
intervensi yang mencakup pencegahan HIV melalui
transmisi seksual (PMTS) bagi wanita pekerja seks (WPS),
lelaki yang berhubungan dengan lelaki (LSL), pengurangan
dampak buruk napza suntik yang secara spesifik melihat
layanan alat suntik steril (LASS), keterkaitan antara tes
x
HIV baik secara sukarela (KTS) maupun inisiatif dari
penyedia layanan (KTIP) dengan perawatan HIV (KTS
& link to care) dan pegobatan ARV yang dilaksanakan
di tingkat kabupaten/kota. Tujuan dari kajian kasus ini
untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi
tingkat integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
sistem kesehatan serta untuk mengeksplorasi mekanisme
kontribusi tingkat integrasi tersebut terhadap efektivitas
penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat kabupaten.
Kajian kasus ini mengadaptasi konsep integrasi yang
dikembangkan oleh Atun et al., (2010a) dan Coker et al., (2010)
untuk mengukur tingkat integrasi intervensi spesifik program
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan dan
mekanisme kontribusi tingkat integrasi terhadap efektifitas. Kerangka
tersebut secara sederhana akan memandu dalam pengumpulan data
yang difokuskan pada upaya untuk menjawab tiga pertanyaan dasar
tentang integrasi yaitu: 1) ‘apa yang diintegrasikan?’ (mencakup analisis
tentang fungsi sistem kesehatan di mana integrasi diharapkan terjadi –
peraturan, pembiayaan, sumber daya, logistik, informasi strategis dan
partipasi masyarakat); 2) ‘bagaimana integrasi dilakukan?’ (mengkaji
interaksi antar pemangku kepentingan dalam sistem kesehatan
dan penanggulangan HIV dan AIDS yang memperlihatkan sejauh
mana integrasi tersebut dijalankan; 3) ‘apa yang dihasilkan dari
Ringkasan Eksekutif

integrasi?’ untuk melihat dampak dari integrasi dalam sistem kesehatan, baik untuk efektivitas dan
dan mekanismenya, di mana dengan adanya jaminan keberlanjutan program di masa depan di
integrasi memungkinkan intervensi yang dilakukan tingkat daerah maupun nasional; maupun 2) untuk
memberikan dampak pada kinerja/hasil kesehatan. memperkuat sistem kesehatan yang berlaku. .

Ada delapan kota yang terpilih menjadi lokasi Secara umum kelima kajian status tersebut
kajian kasus ini. Tiga kota menelaah tentang telah menunjukkan bahwa integrasi kebijakan dan
intervensi PMTS pada WPS (Medan, Kupang, dan program penanggulangan HIV dan AIDS belum
Merauke), Denpasar dan Surabaya difokuskan pada sepenuhnya terwujud dalam fungsi-fungsi utama
intervensi PMTS pada LSL. Sementara LASS dan sistem kesehatan. Dinamika faktor eksternal
link to care dilakukan hanya di satu kota yaitu DKI yang tampak dalam interaksi antar aktor dalam
Jakarta dan Manokwari. . Penelitian ini merupakan penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat nasional
penelitian multi-center yang melibatkan sembilan maupun daerah yang kurang mendukung integrasi,
universitas di berbagai daerah di Indonesia dan yakni komitmen politik yang berubah-ubah,
PKMK FK UGM berperan sebagai koordinator dalam hukum dan regulasi yang seringkali berbenturan
pelaksanaan penelitian. Penelitian di masing- dengan kepentingan penanggulangan HIV dan
masing kota dilakukan oleh Universitas Sumatera AIDS serta karakteristik dari permasalahan HIV
Utara untuk Kota Medan, Universitas Cendrawasih dan AIDS sendiri yang multi sektoral. Konsep
untuk Kabupaten Merauke, Universitas Nusa integrasi yang sudah dicita-citakan dalam berbagai
Cendana untuk Kota Kupang, Universitas Airlangga dokumen penanggulangan HIV dan AIDS selama
untuk Kota Surabaya, Universitas Udayana untuk ini ternyata masih bersifat normatif dan jauh dari
Kota Denpasar, Universitas Atmajaya dan UPT HIV implementasinya karena adanya faktor-faktor
RSCM – UI untuk Provinsi DKI Jakarta. Universitas eksternal tersebut. Pelaksanaan fungsi-fungsi
Hasanuddin untuk Makassar dan Universitas program penanggulangan HIV dan AIDS yang
Papua untuk Manokwari. Penulisan hasil penelitian sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal tersebut xi
dilakukan dalam dua tingkat, yaitu laporan pada belum mampu mencerminkan substansi dan
tingkat universitas yang merupakah hasil penelitian semangat integrasi. Dengan demikian, efektivitas
yang dilakukan pada masing-masing kota program yang tampak dalam cakupan intervensi
berdasarkan intervensi spesifik yang telah dipilih, spesifik menjadi bervariasi, baik pada jenis
dan yang kedua adalah laporan gabungan yang intervensinya maupun lokasi di mana intervensi
merupakan sintesis hasil penelitian yang dilakukan tersebut dilaksanakan.
delapan kota tersebut.

Apa yang diintegrasikan


Temuan Pokok dan seberapa jauh tingkat
Dengan memberikan fokus pada tiga intervensi
pencegahan (PMTS-WPS, PMTS-LSL dan LASS)
integrasinya?
serta dua intervensi perawatan dan pengobatan Kecenderungan tingkat integrasi yang ditunjukkan
HIV (link to care dan ART), kajian kasus yang oleh kelima kasus intervensi tersebut, menunjukkan
disajikan dalam buku ini bertujuan untuk menggali bahwa intervensi-intervensi pencegahan dan
secara analitis pengaruh tingkat integrasi antara perawatan HIV belum sepenuhnya terintegrasi ke
upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem dalam sistem kesehatan. Artinya bahwa berbagai
kesehatan terhadap efektivitas program. Selain itu, fungsi-fungsi pokok intervensi spesifik tersebut
bertujuan pula untuk mengidentifikasi mekanisme belum menjadi bagian pelaksanaan fungsi sistem
di mana integrasi berkontribusi pada efektivitas kesehatan di daerah berdasarkan 17 dimensi
program. Dari hasil kajian kasus ini setidaknya ada integrasi dari ketujuh fungsi sistem kesehatan
dua hal yang diharapkan, yaitu 1) menyediakan yang mencakup fungsi manajemen dan regulasi,
bukti tentang manfaat potensial integrasi kebijakan pembiayaan, pengaturan sumber daya manusia,
dan program penanggulangan HIV dan AIDS ke penyediaan obat dan alat kesehatan, pengelolaan
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

informasi strategis, penyediaan layanan dan pendanaan dari pusat tidak ditangkap sebagai
pengelolaan partisipasi masyarakat. Pada peluang untuk memperkuat respons daerah
intervensi pencegahan, dari 17 dimensi ternyata terhadap penanggulangan HIV dan AIDS,
hanya dua dimensi yang menunjukkan tingkat tetapi lebih dianggap sebagai peluang untuk
integrasinya lebih tinggi, yaitu dimensi regulasi mengalokasi pendanaan daerah untuk masalah
dan dimensi penyediaan layanan. Tingkat integrasi kesehatan prioritas yang lain.
yang seperti ini konsisten dengan kecenderungan
c. Gambaran tentang intervensi pencegahan
bahwa respons penanggulangan HIV dan AIDS
dan perawatan HIV menunjukkan bahwa pada
cenderung bersifat normatif melalui respons
tingkatan normatif, kebijakan penanggulangan
kelembagaan dan produksi kebijakan dari pada
HIV dan AIDS di daerah sudah menjadi bagian
respons yang bersifat implementatif. Sementara
dari sistem regulasi yang umum ditempuh
itu pada program perawatan dan pengobatan
daerah untuk mengembangkan program
ARV, integrasi yang lebih tinggi tampak pada
pembangunannya. Sayangnya, regulasi-
penyediaan pelayanan karena pada dasarnya
regulasi tersebut tidak mampu tercermin dalam
berbagai program penanggulangan HIV dan AIDS
pelaksanaan program karena daerah sudah
saat ini bertumpu pada fasilitas layanan kesehatan
memiliki penugasan berdasarkan perencanaan
primer yaitu puskesmas. Integrasi tidak terjadi baik
dan sumber daya dari pusat. Tidak sambungnya
pada program pencegahan maupun perawatan dan
antara perencanaan pusat dan regulasi di
pengobatan ARV pada fungsi-fungsi pembiayaan,
tingkat daerah berimplikasi pada sulitnya
penyediaan obat dan alat kesehatan, pengelolaan
mendorong upaya untuk mengatur pendanaan,
sumber daya manusia, informasi strategis dan
administrasi, pengorganisasian dan skenario
partisipasi masyarakat.
programatik yang dirancang untuk menciptakan
konektivitas, keselarasan, dan kolaborasi di
xii tingkat frontline.
Bagaimana integrasi d. Upaya pencegahan sebagai respons multi
dilakukan? sektoral tidak bisa dikendalikan dengan hanya
mengandalkan sektor kesehatan semata. Hal ini
Berbagai faktor yang bisa diidentifikasikan dari
menjadi hambatan untuk mengintegrasikannya
kajian kasus intervensi spesifik di atas, yang
ke dalam sistem kesehatan. Sebaliknya
mungkin bisa memengaruhi tingkat integrasi
integrasi bisa lebih mudah dilakukan pada
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem
upaya perawatan HIV karena intervensi ini
kesehatan antara lain:
berada dalam kendali medis pada satu sisi dan
a. Interaksi antar aktor pada tingkat nasional pada sisi yang lain keterlibatan pasien terhadap
maupun antar aktor nasional dan daerah saat proses perawatan ini cenderung lebih besar
ini menunjukkan kepentingan pragmatis yang karena secara langsung bisa dilihat dampak
cukup dominan di mana sebagian besar masih ketidakpatuhannya terhadap kendali medik
menghendaki penanggulangan HIV dan AIDS tersebut.
berjalan paralel karena menguntungkan baik
e. Desentralisasi dalam penanggulangan HIV dan
bagi aktor daerah maupun nasional.
AIDS pada dasarnya bisa berjalan dengan baik
b. Cita-cita bahwa integrasi akan membawa selain tergantung dari kapasitas teknis, juga dari
upaya penanggulangan HIV dan AIDS lebih kapasitas administratif dari daerah. Kapasitas
terdesentralisasi tidak bisa didukung oleh administratif yang dimaksud berupa kapasitas
kajian-kajian kasus dalam penelitian ini. Skema untuk merencanakan program dan mobilisasi
pembiayaan hibah dan APBN pada dasarnya sumber daya. Dari hasil kajian kasus di atas
bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menunjukkan bahwa intervensi pencegahan dan
penguatan sistem kesehatan jika ada kemauan perawatan HIV merupakan kebijakan vertikal
politik baik dari donor maupun pemerintah di mana kewenangan administratif dan teknis
pusat. Pada sisi aktor daerah, adanya ada di tingkat pusat dengan mengembangkan
Ringkasan Eksekutif

sebuah struktur terpisah dari pelayanan menunjukkan adanya dominasi pusat atas
kesehatan. Struktur ini terdiri dari OMS/OBK daerah terkait kepemilikan data. Kepemilikan
yang bertanggungjawab langsung kepada data ini sebenarnya juga bersifat parsial
pusat. karena masing-masing pengelola program
dalam penanggulangan HIV dan AIDS
mengembangkan sistem pengumpulan
Apa hasil dari integrasi? dan pemanfaatan data sesuai dengan
kepentingannya masing-masing. Adanya
Intervensi PMTS pada WPS dan LSL serta LASS sistem informasi strategis yang paralel ini telah
yang dianalisis dalam kajian status ini menunjukkan menyebabkan perencanaan, monitoring dan
bahwa cakupan intervensi yang ditargetkan secara evaluasi program menjadi terfragmentasi baik
nasional belum bisa dicapai oleh ketiga jenis dari segi laporan, SDM, pembiayaan, maupun
intervensi tersebut. Dilihat dari tingkat integrasinya, sediaan farmasi dan alat kesehatan di tingkat
ketiga intervensi tersebut tidak terintegrasi dengan daerah.
pelaksanaan fungsi-fungsi sistem kesehatan
b. Model perencanaan penanggulangan HIV
yang berlaku di tingkat daerah. Meski tidak
dan AIDS di tingkat nasional menjadi tidak
mencapai target yang ditentukan secara nasional,
bisa digunakan sebagai acuan bagi daerah
intervensi KTS/link to care dan ART menunjukkan
karena disusun tanpa memerhatikan prinsip
cakupan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
desentralisasi pada bidang kesehatan. Dengan
intervensi pencegahan. Demikian pula dari tingkat
demikian, perencanaan penanggulangan
integrasinya, dua intervensi dalam perawatan HIV
HIV dan AIDS di Indonesia pada dasarnya
tersebut memiliki tingkat integrasi sebagian dengan
merupakan perencanaan nasional yang tidak
pelaksanaan fungsi-fungsi sistem kesehatan di
mencerminkan kepentingan daerah. Sebagai
tingkat daerah. xiii
konsekuensinya, sumber pembiayaanpun hanya
didedikasikan untuk mendanai perencanaan
pusat.
Bagaimana integrasi bisa c. Ketidakpastian masa depan pendanaan dari
memengaruhi efektivitas? mitra pembangunan internasional serta adanya
ketidakpastian standard dan renumerasi SDM,
Secara umum, analisis tentang hubungan
telah berimplikasi pada ketidakpastian atas
tingkat integrasi dengan efektivitas kelima
masa depan SDM yang selama ini bekerja.
jenis intervensi tersebut menunjukkan
Ketidakpastian seperti ini terjadi pada intervensi
bahwa pelaksanaan fungsi-fungsi program
pencegahan yang selama ini menggantungkan
penanggulangan HIV dan AIDS masih belum
pendanaannya pada mitra pembangunan
konsisten dengan berbagai asumsi dan kondisi
internasional, seperti ditunjukkan pada kajian
yang diharapkan dalam upaya melakukan integrasi.
kasus intervensi WPS, LSL dan LASS di lima
Pelaksanaan fungsi program yang terfragmentasi
daerah. Situasi ini sedikit berbeda dengan
dari fungsi-fungsi sistem kesehatan yang berlaku
intervensi perawatan HIV (KTS/link to care
di daerah ini menjadikan intervensi tidak mampu
dan ART) di mana sebagian besar SDMnya
mencapai taget intervensi yang telah ditetapkan.
merupakan pegawai pemerintah daerah yang
Gambaran pelaksanaan fungsi-fungsi program
ditempatkan di layanan kesehatan di daerah
penanggulangan HIV dan AIDS yang menjadi
tersebut.
mekanisme integrasi berkontribusi terhadap
efektivitas intervensi, dapat disimpulkan sebagai d. Sistem penyediaan farmasi dan alat kesehatan
berikut: dalam penanggulangan HIV dan AIDS telah
memberikan keuntungan yang potensial
a. Ketersediaan data program dan data
dari pengelolaan terpusat, tetapi tidak bisa
stratejik penanggulangan HIV dan AIDS
dipungkiri bahwa masih banyak hambatan-
yang hanya terdapat di tingkat nasional,
hambatan yang terjadi di lapangan. Keputusan
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

untuk melakukan pengadaan di tingkat sebagai pemantau yang memastikan program


pusat yang tujuannya adalah efisiensi, pada berjalan dengan baik, menyebabkan partisipasi
kenyataannya justru tidak efisien ketika ‘semu’ dari OMS/OBK dalam penanggulangan
dilaksanakan di tingkat daerah bahkan jika HIV dan AIDS di pusat maupun daerah.
dikaitkan dengan kinerja justru menjadi salah Akibatnya ruang dialog yang seharusnya
satu hambatan yang utama untuk mencapai membuka kesempatan interaksi yang kritis
layanan komprehensif dan berkesinambungan. tidak bisa terjadi dan advokasi kepentingan
konstituennya pun selanjutnya jadi melemah
e. Prinsip intervensi penanggulangan
bahkan cenderung menjadi kompromi-
HIV dan AIDS yang komprehensif dan
kompromi ekonomi. Dampak dari hal ini adalah
berkesinambungan belum tampak dalam
terabaikannya kepentingan konstituen dan lebih
fungsi penyediaan layanan di tingkat lapangan
jauh lagi adalah kemauan untuk memanfaatkan
karena masing-masing intervensi masih tampak
layanan pun menjadi semakin berkurang.
sebagai intervensi yang mandiri dan kurang
memperhitungkan intervensi sebelum dan
sesudahnya. Puskesmas atau OMS sebagai
pelaksana di lapangan selama ini hanya berisi Rekomendasi
berbagai program-program yang berasal dari
Rekomendasi yang disajikan di bawah ini
pusat yang tidak terkoordinasi dengan baik.
berpegang pada asumsi bahwa dalam situasi
Upaya untuk mengintegrasikan layanan HIV
program yang masih menggantungkan dengan
dan AIDS ke dalam layanan kesehatan umum di
dukungan finansial dan teknis dari inisiatif
tingkat lapangan (frontline) menjadi sulit untuk
kesehatan global, integrasi merupakan strategi
diwujudkan karena tidak adanya kewenangan
yang tepat untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi
administratif dalam menentukan dan
xiv dan keberlanjutan program HIV dan AIDS di masa
memobilisasi sumber daya yang dimilikinya.
depan. Beberapa upaya yang bisa dilakukan
Padahal kewenangan administratif tersebut
adalah sebagai berikut:
merupakan syarat utama dalam upaya integrasi
di tingkat layanan terdepan. 1. Menyusun Norma dan Standar Pelaksanaan
Kerja (NSPK) sebagai sebuah road map tentang
f. Kebijakan sektor non-kesehatan secara
pembagian wewenang, peran serta tanggung
langsung memberikan pengaruh terhadap
jawab yang jelas antara aktor yang ada di pusat
efektivitas penanggulangan HIV dan AIDS
dan daerah dan sebagai acuan pelaksanaan
di tingkat daerah dan secara tidak langsung
penanggulangan HIV dan AIDS untuk
memengaruhi adopsi ke dalam sistem
mewujudkan prinsip desentralisasi kesehatan.
kesehatan. Hal ini terjadi melalui kebijakan
Road map ini dikembangkan berdasarkan
pemerintah daerah yang melakukan
pemetaan yang mencakup 1) jenis program
kriminalisasi pekerja seks atau homoseksual.
(pencegahan, perawatan dan pengobatan,
Kriminalisasi ini terjadi melalui pembentukan
mitigasi dampak);2) status program saat ini
perda anti maksiat, anti prostitusi atau
(lingkup program dan aktifitas); 3) pelaksanaan
ketertiban umum. Sebagai konsekuensinya
fungsi-fungsi programatik; dan 4) kinerja
atas situasi ini menyebabkan keterlibatan
program.
sektor kesehatan (dinas kesehatan dan
puskesmas) dalam intervensi pencegahan pada 2. Sumber pembiayaan penanggulangan HIV
populasi kunci menjadi relatif minimal karena dan AIDS yang dikelola secara paralel dengan
bertentangan dengan kebijakan daerah. pembiayaan kesehatan secara umum telah
menimbulkan dampak pada pengelolaan
g. Pragmatisme pada OMS dan populasi kunci
program yang juga paralel dengan program
dalam partisipasinya di dalam penanggulangan
kesehatan secara umum. Untuk itu menjadi
HIV dan AIDS menjadi hal yang bisa
penting mengintegrasikan pembiayaan
menentukan efektivitas intervensi. Keinginan
penanggulangan HIV dan AIDS khususnya yang
untuk menjadi pelaksana program dari pada
Ringkasan Eksekutif

berasal dari inisiatif kesehatan global ke dalam kontrak individu maupun secara organisasional
mekanisme APBN atau APBD. dengan menggunakan dana APBD atau BLUD.

3. Perawatan dan pengobatan HIV sebaiknya 7. Perlunya membangun mekasime


menjadi skema manfaat dari JKN termasuk pengembangan kapasitas sumber daya
tes diagnostik dan obat-obatan terkait dengan kesehatan daerah baik bagi staf yankes
perawatannya. Hal ini untuk memastkan maupun OMS melalui berbagai pelatihan untuk
keberlangsungan rantai logistik dan cakupan berbagai jenis layanan. KPAD dan Dinkes perlu
program yang lebih tinggi. Perlu juga bertanggungjawab dalam merencanakan
diperhatikan skema di JKN yang mampu hal ini mengingat selama ini pengembangan
memberikan ruang bagi kelompok populasi kapasitas ini dilakukan oleh pusat (Kementerian
kunci yang memiliki status kependudukan yang Kesehatan, KPAN atau MPI) Untuk itu,
tidak lengkap agar bisa menjadi peserta JKN tersedianya mekanisme pengembangan
sebagai upaya untuk mengurangi inequity. kapasitas yang berkelanjutan di tingkat daerah
menjadi keharusan jika pelaksanaan kegiatan
4. Pemerintah daerah harus memiliki sistem
penanggulangan HIV dan AIDS diharapkan
dalam mengelola informasi yang terkait
berkelanjutan. Skema pengembangan kapasitas
dengan situasi epidemik, data program, dan
ini perlu dipahami oleh perencana program di
data hasil atau dampak agar mampu membuat
tingkat daerah, sehingga bisa dijadikan mata
perencanaan dan penganggaran program
anggaran rutin dalam peningkatan kualitas
yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Saat
layanan kesehatan di daerah tersebut.
ini informasi strategis tersebut sepenuhnya
dikelola oleh pusat, baik pemerintah maupun 8. Diperlukan pemahaman bersama dan
mitra pembangunan internasional. Untuk konsensus serta terbangunnya peta jalan untuk
itu perlu ada pemberian kewenangan dan kesinambungan penyediaan layanan berbasis xv
keleluasaan bagi pemerintah daerah dalam pada layanan frontline termasuk layanan
mengumpulkan, memproduksi, memanfaatkan, yang disediakan oleh organisasi masyarakat
dan mendiseminasikan informasi strategis sipil yang bekerja untuk program promosi dan
tersebut kepada publik. pencegahan pada populasi kunci yang selama
ini mayoritas bersumber dana donor, sehingga
5. Perlu adanya regulasi baru dalam penyediaan
seolah-olah berada di luar sektor kesehatan.
farmasi dan alat kesehatan termasuk alat
pencegahan untuk penanggulangan HIV dan 9. Permasalahan terkait dengan layanan
AIDS, termasuk kondom dan alat suntik steril penanggulangan HIV dan AIDS banyak terjadi
yang menegaskan kembali bahwa sektor di tingkat lapangan yang tidak mudah dipotret
kesehatan sebagai penanggung jawab untuk pada tingkat nasional, khususnya praktek-
menjamin keberlangsungan proses penyediaan praktek diskriminasi pada populasi kunci
dan distribusinya di masa depan. dalam mengakses pelayanan kesehatan dan
munculnya berbagai peraturan dan regulasi di
6. Pengelolaan SDM dalam penanggulangan HIV
tingkat daerah yang menghambat pelaksanaan
dan AIDS yang memiliki karakteristik berbeda
program. Menjadi sangat penting keterlibatan
(tenaga kesehatan dan tenaga non-kesehatan;
OMS di tingkat daerah dalam penentuan
PNS, honorer dan staf OMS) mengimplikasikan
kebijakan strategis dalam penanggulangan
perlu adanya terobosan dalam kebijakan
HIV dan AIDS di daerahnya. Hal ini hanya
SDM di daerah mengingat secara normatif
bisa terjadi jika pengembangan kebijakan dan
hal ini belum diatur di sebagain besar daerah.
program bisa didesentralisasikan di tingkat
Terobosan dalam bidang SDM yang bisa
daerah.
dilakukan selain dengan membangun payung
hukum yang inklusif, bisa juga dilakukan dengan
melakukan inovasi pada aspek pembiayaan
layanan. Pemerintah daerah bisa melakukan
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

I. Pendahuluan

xvi
Pendahuluan

A. Situasi Penanggulangan HIV dan AIDS


di Indonesia dan Permasalahannya
Meskipun upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Asia
Pasifik menunjukkan hasil yang cukup baik dengan
penurunan infeksi HIV baru sebesar 31% antara tahun 2000
dan 2014, upaya yang telah dilakukan di Indonesia selama
hampir tiga dekade ini masih menghadapi tantangan.
Indonesia masih menjadi salah satu dari tiga penyumbang
terbesar infeksi HIV baru bersama dengan China dan
India yang ketiganya menyumbang sekitar 78% kasus
(UNAIDS, 2014). Menjelang tahun 2016, komitmen global
untuk penanggulangan HIV dan AIDS memiliki target baru
yaitu sepuluh target fast track untuk tahun 2020, yang
tujuannya adalah mengakhiri epidemi AIDS pada tahun
2030. Untuk mencapai target tersebut, Indonesia sebagai
bagian dari komunitas global perlu memiliki komitmen
yang lebih besar dalam upaya penanggulangan HIV dan
1
AIDS. Salah satunya melalui upaya menjangkau populasi
yang dianggap paling membutuhkan yang selama ini
masih terlupakan atau mengalami diskriminasi dan stigma
untuk mencapai inklusi sosial dalam upaya universal
health access. Beberapa kelompok populasi kunci yang
dianggap masih sering terabaikan di Indonesia antara lain
adalah kelompok wanita pekerja seks (WPS), lelaki yang
berhubungan seks dengan lelaki (LSL), wanita pria (waria),
pengguna narkoba suntik (penasun), warga binaan, dll.
Penularan infeksi baru HIV di Indonesia sebagian besar terjadi
melalui pola perilaku berisiko pada populasi kunci WPS, waria, LSL,
dan penasun. Mengingat tingginya kompleksitas epidemi HIV dan AIDS
dan hubungannya dengan aspek perilaku dan aspek sosial lainnya,
penanganan epidemi tersebut dan penyakit IMS membutuhkan
kebijakan pemerintah yang komprehensif dan melibatkan lintas sektor,
mulai dari pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi.

Beberapa kebijakan sebenarnya telah dikembangkan untuk


mengintegrasikan upaya pencegahan dan pengobatan IMS dan HIV
ke dalam sistem kesehatan melalui intervensi program spesifik pada
populasi kunci seperti Penularan Melalui Transmisi Seksual (PMTS)
untuk WPS, Program LASS (Layanan Alat Suntik Steril) untuk penasun,
Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA) untuk ibu hamil dan ibu
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Sumber: Kemenkes, 2013

Gambar 1. Prevalensi yang memiliki bayi yang hidup dengan HIV serta program pengobatan
dengan Anti Retroviral Treatment (ART) bagi orang hidup dengan HIV
HIV menurut dan AIDS (ODHA). Meskipun demikian, kajian sistematis mengenai
kelompok populasi sejauh mana hubungan integrasi dengan efektifitas dan keberlanjutan
kunci dari intervensi program spesifik tersebut masih sangat terbatas.
Apakah program tersebut terintegrasi dalam sistem kesehatan yang
ada sehingga terjamin keberlanjutannya melalui mekanisme layanan
kesehatan komprehensif (continuum of care) mulai dari pencegahan,
pengobatan dan rehabilitasi? Untuk mengetahui hal tersebut ,
diperlukan kajian pada beberapa kasus pencegahan dan pengobatan
HIV dan IMS untuk melihat secara analitis hubungan tingkat integrasi
program HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan dan kontribusinya
terhadap efektifitas layanan di tingkat provinsi/kabupaten/kota.

Kebijakan desentralisasi yang sudah sejak tahun 2001 digulirkan


oleh pemerintah pusat di satu sisi telah memberikan kewenangan
bagi daerah untuk mengatur urusan kesehatan sebagai urusan wajib
daerah dan di sisi lain telah memengaruhi komitmen pemerintah
daerah terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Secara
konkrit pengaruh desentralisasi terhadap komitmen pemerintah
daerah terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS telah nampak
pada kebijakan dan peraturan daerah serta implementasinya
melalui komitmen anggaran untuk penanggulangan HIV dan AIDS
Pendahuluan

di daerahnya. Adanya komitmen pemerintah pelayanan dan skenario klinis yang dirancang
daerah untuk mengalokasikan anggaran HIV untuk menciptakan konektivitas, keselarasan dan
dan AIDS di APBD menjadi penting dengan kolaborasi. Keadaan ini akan menghasilkan kinerja
semakin menurunnya dukungan program dan intervensi yang lebih baik, misalnya dalam hal
pembiayaan dari inisiatif global. Kehadiran inisiatif cakupan, aksesibilitas dan kemerataan layanan.
kesehatan global di Indonesia telah mendorong
Studi lain seperti yang dilakukan di Malawi dan
pemerintah Indonesia menjadi lebih aktif dalam
Ethiopia juga memperkuat asumsi bahwa integrasi
mengembangkan upaya penanggulangan HIV dan
program ART berkontribusi terhadap efektivitas
AIDS. Komitmen pemerintah Indonesia dalam hal
fungsi sistem kesehatan di beberapa aspek,
anggaran telah mengalami peningkatan hingga
seperti perluasan tenaga kerja kesehatan yang
40 persen dari total pembiayaan, dibandingkan
memfasilitasi pelaksanaan pendekatan kesehatan
dengan pendanaan dari sumber global yang
masyarakat dan desentralisasi progresif perawatan
berupa bantuan dana bilateral maupun multilateral
ART ke tingkat kesehatan primer (Rasschaert et al,
(Nadjib, 2013).
2011). Studi integrasi tes HIV dan konseling dalam
Dengan semakin surutnya pendanaan global, pelayanan antenatal di Morogoro Tanzania juga
diperlukan komitmen pemerintah daerah untuk menunjukkan bahwa integrasi telah meningkatkan
dapat memberikan pendanaan yang bersumber cakupan tes HIV, terutama di kalangan masyarakat
dari APBD secara lebih memadai guna menjamin di wilayah yang sulit dijangkau, serta meningkatkan
keberlanjutan upaya penanggulangan HIV dan kenyamanan, efisiensi dan kerahasiaan yang
AIDS. Beberapa kajian memperkuat pandangan sekaligus mengurangi stigma bagi perempuan (An
bahwa integrasi penanggulangan penyakit et al , 2015). Dengan demikian, tingkat integrasi
tertentu (misalnya HIV dan AIDS) ke dalam sistem yang lebih tinggi mengarahkan kemampuan
kesehatan dipandang sebagai strategi potensial sistem kesehatan untuk meningkatkan kinerjanya
dalam mengamankan keberlanjutan dan efektivitas melalui peningkatan status kesehatan, peningkatan 3
intervensi dan penguatan sistem kesehatan kepuasan pemanfaat dan kenyamanan bagi semua
(Kawonga et al, 2012; Maher 2010; Grepin dan pihak.
Reich, 2008; Cash-Gibson dan Rosenmoller 2014;.
Di sisi lain, ada pula berbagai hasil penelitian
Shigayeva et al, 2010). Untuk itu, pengintegrasian
yang menunjukkan bahwa integrasi suatu
upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
intervensi spesifik ke dalam sistem kesehatan
sistem kesehatan dipercaya akan menjadi
belum menjamin tercapainya efektivitas (Atun
jalan alternatif bagi keberlanjutan upaya
et al, 2010a, b; Conseil et al, 2013; Desai et al,
penanggulangan HIV dan AIDS.
2010; Dongbao et al, 2008; Kawonga et al, 2012;
Beberapa penelitian lain juga mendukung Shakarishvili et al, 2010). Penelitian-penelitian ini
asumsi bahwa semakin tinggi tingkat integrasi mencatat bahwa integrasi tidak akan memberikan
mengindikasikan kinerja intervensi yang lebih baik. pengaruh yang maksimal apabila sistem kesehatan
Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Atun yang akan diintegrasikan tersebut masih lemah.
et al (2009) bahwa tingkat integrasi yang lebih Dengan demikian, penguatan sistem kesehatan
tinggi dapat berkontribusi mengurangi fragmentasi, secara umum sebenarnya merupakan prasyarat
penghematan melalui penggabungan pendanaan untuk terjadinya integrasi antara program
dan keahlian, serta meningkatkan sumber daya. intervensi spesifik upaya penanggulangan HIV
Hal ini karena konsep integrasi secara intrinsik dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. Hal ini telah
terkait dengan kerjasama, kemitraan, kolaborasi, direkomendasikan oleh para ahli (Atun et al, 2010;
perawatan yang terkoordinasi dan berkelanjutan, Coker et al, 2010; Kawonga, 2012).
keselarasan dan jaringan (Shigayeva et al.,
Dari berbagai studi tentang efektivitas
2010). Senada dengan Shigayeva, Coker et al.
penanggulangan HIV dan AIDS yang dilakukan
(2010) mendefinisikan integrasi sebagai spektrum
untuk monitoring dan evaluasi program (Grassly
pengaturan organisasi yang terkait dengan
et al, 2001; Homan et al, 2002; Paltiel, 2005;
pendanaan, administrasi, pengorganisasian,
Walensky et al, 2006; Fairall et al, 2008; Lagu et
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

al, 2015; dan Wilson et al, 2015), dapat disimpulkan Banyak organisasi yang melaksanakan program
beberapa kriteria umum terkait efektifitas penanggulangan HIV dan AIDS yang telah
intervensi program spesifik. Pertama, intervensi mengembangkan sendiri indikator efektivitas
dinilai efektif jika mencapai tujuannya; apakah mereka, baik untuk intervensi tertentu dan juga
tujuannya untuk mengurangi insiden IMS dan HIV, untuk tingkat program secara menyeluruh Alliance
meningkatkan penggunaan kondom atau alat (2008), misalnya, memiliki 56 indikator, Global Fund
suntik steril, perubahan pengetahuan dan perilaku, (2011) memiliki total 48, PEPFAR (2009) memiliki
meningkatkan jumlah orang yang dijangkau, 147, UNGASS (2010) memiliki 23, USAID (2000)
perubahan pola ketergantungan dan pengobatan, memiliki 50, UNAIDS (2000) memiliki 47, dan Komisi
dan sebagainya (Sadler, 1996; Schillinger 2010). Penanggulangan AIDS Nasional Indonesia (2010)
Sebagai contoh, sebuah studi oleh Wilson et al. memiliki 28 indikator. Beberapa indikator yang
(2015) menyimpulkan bahwa terapi substitusi cukup digunakan oleh berbagai organisasi, ada yang
efektif sebagai bagian dari gabungan pendekatan serupa ataupun tumpang tindih satu sama lain.
pengurangan dampak buruk (harm reduction), Misalnya, beberapa indikator yang digunakan oleh
karena hal itu telah menyebabkan tercapainya Global Fund juga merupakan indikator PEPFAR,
tujuan intervensi, yakni mengurangi risiko penularan dan sebagian besar indikator yang digunakan oleh
HIV sebesar rata-rata 54%di kalangan penasun. USAID serupa dengan indikator yang digunakan
oleh UNAIDS.
Kedua, intervensi yang efektif harus dapat
diterapkan dalam kehidupan nyata dengan Meskipun ada variasi dalam jumlah dan jenis
memperhitungkan konteks epidemiologi lokal indikator efektifitas, biasanya indikator-indikator
sebelum direplikasi di lingkungan masyarakat tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut;
lainnya untuk pengembangan ke konteks yang (1) indikator program, proses, atau masukan, (2)
lebih besar (Brook dan Lohr, 1991; Gartlehner et indikator keluaran (output), (3) indikator hasil
4 al., 2006; dan UNAIDS, 2010). Misalnya, Grassly (outcome), dan (4) indikator dampak (impact).
et al. (2001) menekankan bahwa intervensi yang Sebagian besar sumber sepakat bahwa pada
ditargetkan pada pekerja seks komersial mungkin dasarnya efektivitas program HIV dan AIDS
lebih efektif di daerah perkotaan. Namun demikian, dapat diukur dengan indikator dua kategori
tidak berarti bahwa intervensi ini akan berhasil terakhir (Alliance, 2008; Global Fund, 2011; Komisi
di semua daerah perkotaan karena konteks Penanggulangan AIDS Nasional, 2010). Kesamaan
epidemiologi juga dapat bervariasi dari satu daerah kriteria penilaian efektifitas dari sumber-sumber
perkotaan dengan daerah lainnya di negara yang tersebut adalah penekanan pada pentingnya
sama. Oleh karena itu, intervensi yang efektif indikator cakupan. UNAIDS (2010) mendefinisikan
adalah intervensi yang secara khusus dirancang cakupan sebagai sejauh mana suatu program/
agar sesuai dengan konteks masyarakatnya. intervensi dilaksanakan di tempat yang tepat
(cakupan geografis) dan mencapai target populasi
Ketiga, keterbatasan sumber daya mendorong
yang dimaksudkan (cakupan individu). Bila dilihat
para pengambil kebijakan untuk mengembangkan
dari keempat indikator di atas, maka cakupan yang
intervensi yang memungkinan value for money atau
dimaksud masuk pada indikator keluaran (output).
“hemat biaya/cost-effective” (Palmer dan Torgerson,
Cakupan merupakan indikator penting karena
1999). Misalnya studi intervensi PPIA menunjukkan
menunjukkan apakah program mencapai dan
bahwa ketika ada dua intervensi HIV yang bersaing,
melayani populasi sasaran yang tepat.
yang dianggap efektif adalah yang lebih hemat
biaya dengan manfaat kesehatan yang potensial Disamping itu, indikator kualitas layanan yang
(Van Deusen et al; 2015). masuk pada indikator pertama pada kategori
yang dijelaskan di atas, menjadi elemen penting
Untuk memberikan penilaian atas efektivitas
lainnya dari pengukuran keluaran. Berbeda dengan
suatu intervensi/program dilakukan studi
cakupan yang lebih mudah untuk diukur, indikator
evaluasi yang cukup ketat dan berdasarkan
kualitas layanan agak sulit untuk didefinisikan
pengetahuan ilmiah serta analisis informasi yang
karena sangat ditentukan oleh persepsi pribadi
dibangun berdasarkan tujuan dari intervensi.
Pendahuluan

individu dan keyakinan, sehingga membuat lebih besar dari para pemangku kepentingan dalam
proses penjaminan kualitas cukup subjektif. Hal ini pengambilan keputusan untuk mengkoordinasikan
merupakan alasan mengapa indikator kualitas tidak dan mengelola penanggulangan HIV dan AIDS
dominan dalam indikator yang ditetapkan oleh diindikasikan oleh Conseil et al. (2010) dan
berbagai organisasi. Meskipun demikian, seperti Rasschaert et al. (2011) sebagai mekanisme di mana
yang ditunjukkan oleh Alliance (2008) minimal integrasi memberikan kontribusi terhadap efektivitas
indikator kualitas harus menilai akses ke layanan intervensi tertentu.
program, keterkaitan dengan layanan lain, dan
Tujuan integrasi penanggulangan HIV dan
keterlibatan pemangku kepentingan masyarakat.
AIDS ke dalam sistem kesehatan adalah untuk
Banyak faktor yang telah diidentifikasi sebagai memperkuat efektivitas, efisiensi dan keadilan
prediktor efektivitas penanggulangan HIV dan terkait penanggulangan HIV dan AIDS tersebut
AIDS seperti keterlibatan sektor masyarakat (WHO, beserta sistem kesehatannya. Pada penelitian
2001; 2006; 2008; dan Lee, 2010) (Travis et al terdahulu yang dilakukan oleh PKMK, integrasi
2004), kapasitas sistem kesehatan yang ada untuk untuk penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
mengatasi masalah HIV dan AIDS, serta integrasi sistem kesehatan telah digali dan menghasilkan
program kesehatan dan sistem kesehatan (Atun et variasi tingkat integrasi yang berbeda antara
al 2008; 2010; Coker et al, 2010; Grepin dan Reich, program pencegahan, perawatan dan pengobatan,
2008; Shigayeva et al, 2010). Satu pertanyaan dan mitigasi dampak. Penelitian tersebut belum
penting yang harus dijawab dalam menilai secara rinci melihat seberapa jauh pengaruh tingkat
hubungan antara tingkat integrasi dan efektivitas integrasi tersebut dengan tingkat efektivitas untuk
intervensi kesehatan tertentu adalah mekanisme masing-masing program. Demikian juga, penelitian
yang memungkinkan terjadinya kontribusi dari tentang integrasi layanan spesifik juga cenderung
tingkat integrasi penanggulangan HIV dan AIDS melihat tingkat integrasi untuk penyakit spesifik
ke dalam sistem kesehatan terhadap efektivitas dengan sistem kesehatan dan belum banyak 5
penanggulangan HIV dan AIDS. melakukan pendalaman tentang hubungan tingkat
integrasi dan efektivitas programnya (Shigayeva
Penelitian sebelumnya (PKMK, 2015) telah
et al, 2010). Untuk itu, dalam rangka memberikan
diidentifikasi faktor-faktor yang mungkin bisa
bukti atas manfaat dari integrasi terhadap
memengaruhi tingkat integrasi penanggulangan
efektivitas, penelitian lanjut ini bertujuan untuk
HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan yang
menggali secara analitis pengaruh tingkat integrasi
mencakup komitmen politik, situasi epidemi
antara penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem
setempat, regulasi dan hukum yang mendukung
kesehatan terhadap efektivitas program dan untuk
atau menghambat penanggulangan HIV dan AIDS
mengidentifikasi mekanisme di mana integrasi
dan situasi ekonomi daerah. Penelitian sebelumnya
berkontribusi pada efektivitas program.
menunjukkan beberapa faktor yang memengaruhi
tingkat integrasi, antara lain keterlibatan pemangku
kepentingan, dan prosedur pengetahuan dan
teknologi yang jelas (Biesma et al, 2009;. Corbin B. Pertanyaan Penelitian
dan Mittelmark, 2008; Conseil, A. et al, 2010; Desai
Berdasarkan deskripsi di atas, pertanyaan utama
et al, 2010; Hanvoravongchai et al, 2010; Rasschaert
dalam penelitian ini adalah “Apakah integrasi
et al, 2011;. VanDeusen et al, 2015). Secara spesifik,
kebijakan dan program HIV dan AIDS ke dalam
Coker et al. (2010) menunjukkan mekanisme
sistem kesehatan memberikan kontribusi pada
bagaimana integrasi memengaruhi efektivitas bisa
efektivitas pencegahan HIV dan AIDS dan
diidentifikasi berdasarkan pelaksanaan fungsi-
perawatan di tingkat kabupaten?”. Secara khusus
fungsi sistem kesehatan. Fungsi-fungsi sistem
penelitian ini akan menjawab pertanyaan-
kesehatan tersebut adalah: (i) pengawasan dan
pertanyaan di bawah ini:
tata kelola; (ii) pembiayaan; (iii) perencanaan; (iv)
pemberian layanan; (v) monitoring dan evaluasi; a. Apakah integrasi manajemen dan peraturan
dan (vi) permintaan yang timbul. Keterlibatan yang terkait penanggulangan HIV dan AIDS ke
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

dalam sistem kesehatan berkontribusi terhadap sistem kesehatan terhadap efektivitas intervensi
efektivitas pencegahan dan perawatan HIV dan pencegahan dan perawatan HIV dan AIDS;
AIDS? Bagaimana kontribusinya?
b. Untuk menggali kontribusi integrasi sistem
b. Apakah integrasi pembiayaan kesehatan terkait pembiayaan kesehatan dalam penanggulangan
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan
kesehatan berkontribusi terhadap pencegahan terhadap efektivitas intervensi pencegahan dan
dan perawatan HIV dan AIDS? Bagaimana cara perawatan HIV dan AIDS;
kerjanya?
c. Untuk menggali kontribusi integrasi sistem
c. Apakah integrasi sumber daya manusia terkait penyediaan pasokan obat dan alat kesehatan
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem dalam penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
kesehatan berkontribusi terhadap pencegahan sistem kesehatan terhadap efektivitas intervensi
dan perawatan HIV dan AIDS? Bagaimana cara pencegahan dan perawatan HIV dan AIDS;
kerjanya?
d. Untuk menggali kontribusi sistem pengelolaan
d. Apakah integrasi penyediaan pasokan dan sumber daya manusia di bidang kesehatan
peralatan medis terkait penanggulangan dalam penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan sistem kesehatan terhadap efektivitas intervensi
berkontribusi terhadap pencegahan dan pencegahan dan perawatan HIV dan AIDS;
perawatan HIV dan AIDS? Bagaimana cara
e. Untuk menggali kontribusi integrasi sistem
kerjanya?
informasi strategis dalam penanggulangan
e. Apakah integrasi informasi strategis terkait HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem terhadap efektivitas intervensi pencegahan dan
6 kesehatan berkontribusi terhadap pencegahan perawatan HIV dan AIDS; dan
dan perawatan HIV dan AIDS? Bagaimana cara
f. Untuk menggali kontribusi integrasi sistem
kerjanya?
pengelolaan partisipasi masyarakat dalam
f. Apakah integrasi partisipasi masyarakat terkait penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem sistem kesehatan terhadap efektivitas intervensi
kesehatan berkontribusi terhadap pencegahan pencegahan dan perawatan HIV dan AIDS.
dan perawatan HIV dan AIDS? Bagaimana cara
kerjanya?
D. Kerangka Konseptual
Penelitian ini mengadaptasi konsep integrasi
C. Tujuan Penelitian yang dikembangkan oleh Atun et al., (2010a)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor- dan Coker et al., (2010) untuk mengukur integrasi
faktor eksternal yang memengaruhi integrasi intervensi spesifik program penanggulangan
dan untuk mengeksplorasi kontribusi integrasi HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan yang
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem divisualisasikan dalam kerangka konseptual
kesehatan terhadap efektivitas penanggulangan seperti yang digambarkan di bawah ini. Kontribusi
HIV dan AIDS di tingkat kabupaten, serta tingkat integrasi terhadap efektifitas dipengaruhi
mengidentifikasi mekanisme di mana integrasi oleh (1) karakteristik dari permasalahan, kebijakan
tersebut berkontribusi terhadap efektivitas dan program HIV dan AIDS (pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS. Tujuan khusus dari perawatan, dukungan, dan pengobatan); (2)
penelitian ini adalah sebagai berikut: interaksi berbagai pelaku dalam lingkup sistem
kesehatan dan penanggulangan HIV dan AIDS;
a. Untuk menggali kontribusi integrasi
(3) pelaksanaan fungsi-fungsi sistem kesehatan
sistem manajemen dan regulasi dalam
dan interaksinya antara satu dengan yang lain;
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
(4) konteks politik, ekonomi, hukum dan regulasi
Pendahuluan

Permasalahan
Ekonomi Politik Hukum
Kesehatan

Sistem Kesehatan
Manajemen & Penyediaan Informasi Partisipasi
Pembiayaan SDM
Regulasi Farmasi & Alkes Strategis Masyarakat

Program Penanggulangan HIV & AIDS

Aktor
Manajemen & Penyediaan Informasi Partisipasi
Pembiayaan SDM
Regulasi Farmasi & Alkes Strategis Masyarakat

Penyediaan Layanan HIV & AIDS


Pencegahan, Perawatan, Dukungan & Mitigasi Dampak 7

Perjalanan Penyakit - HIV & AIDS

Gambar 2. Bagan di mana sistem kesehatan dan penanggulangan HIV dan AIDS
berlangsung (Atun et al., 2010, Coker et al., 2010). Diasumsikan bahwa
kerangka konseptual keempat komponen ini akan berinteraksi dan secara bersama-sama
integrasi memengaruhi tingkat integrasi dan sekaligus akan menentukan tingkat
efektivitas dari penanggulangan HIV dan AIDS.

Kerangka konseptual di atas membantu lebih dalam jalannya


proses integrasi dalam tiga hal, yaitu: 1) ‘apa’, untuk melihat fungsi
sistem kesehatan di mana integrasi diharapkan terjadi – peraturan,
pembiayaan, sumber daya, logistik, informasi strategis dan partipasi
masyarakat; 2) ‘mengapa’, untuk melihat dampak dari integrasi
dan mekanisme di mana integrasi memungkinkan intervensi yang
dilakukan memberikan dampak pada kinerja/hasil kesehatan; dan 3)
‘bagaimana’, untuk mengkaji interaksi antar pemangku kepentingan
dalam sistem kesehatan dan penanggulangan HIV dan AIDS yang
memperlihatkan sejauh mana integrasi tersebut dijalankan.

Dalam penelitian ini, integrasi didefinisikan sebagai upaya


pengaturan organisasional yang ditujukan untuk mengadopsi
program HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di tingkat daerah.
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Pengaturan organisasi ini meliputi dua aspek; (1)


fungsional: melalui koordinasi, adaptasi, konteksitas
dan jaringan di antara program yang berbeda
untuk tujuan penyederhanaan pelaksanaan
program masing-masing, dan (2) struktural: melalui
penggabungan layanan dari program yang berbeda
dalam satu atap (layanan satu atap). (Criel, et al,
1997). Efektivitas didefinisikan sebagai kemampuan
intervensi HIV dan AIDS untuk mencapai tujuannya
berdasarkan kerangka kerja sistemik (UNAIDS,
2010). Menggunakan kerangka berfikir seperti
ini maka penelitian ini mengasumsikan bahwa
integrasi antara program penanggulangan HIV dan
AIDS ke dalam sistem kesehatan akan memberikan
kontribusi positif terhadap cakupan pelayanan HIV
dan AIDS melalui pelaksanaan fungsi-fungsi sistem
kesehatan dalam penanggulangan HIV dan AIDS
yang tidak terpisah dari fungsi sistem kesehatan
untuk pelayanan kesehatan yang lain di tingkat
daerah.

8
Pendahuluan

9
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

II. Metodologi

10
Metodologi

A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan metode
kualitiatif. Desain studi kasus dipilih karena secara
metodologis dianggap relevan dengan tujuan penelitian
ini, sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Yin (1994) dan
Crowe et al. (2011) bahwa untuk melakukan penggalian
dan memperoleh pemahaman secara mendalam
mengenai konteks dan masalah yang berkaitan dengan
pelayanan tertentu untuk menginformasikan kebijakan
(Burchett et al., 2014; El-Jardali et al., 2014; Aantjes et
al., 2014; Jenkins et al., 2013). Hal ini sangat bermanfaat
saat melakukan penggalian kompleksitas integrasi
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem
kesehatan, serta menilai bagaimana integrasi memberikan
kontribusi terhadap efektivitas penanggulangan HIV dan 11
AIDS di tingkat kabupaten.
Definisi studi kasus menurut Green dan Thorogood (2009) adalah
penelitian yang dilakukan secara mendalam atas satu kasus tertentu
yang bisa merupakan lokasi, individu atau kebijakan. Desain ini juga
sesuai untuk penelitian ini berdasarkan teori dari Yin (1994) yang
menyatakan bahwa studi kasus dapat dilakukan bila: (a) fokus pada
studi yang ingin menjawab pertanyaan ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’; (b)
saat peneliti tidak mempunyai kontrol terhadap apa yang terjadi pada
sesuatu kasus; (c) peneliti ingin membahas tentang kondisi kontekstual
karena percaya bahwa hal tersebut relevan dengan fenomena yang
ada pada studi; (d) batas antara fenomena dan konteks tidak jelas.
Studi kasus dalam penelitian ini melihat integrasi yang terjadi pada
program penanggulangan HIV dan AIDS yang meliputi layanan
pencegahan antara lain PMTS pada WPS dan LSL, LASS, mengkaitkan
tes HIV dengan ‘link to care’ serta layanan perawatan yaitu pada
program ART.

Penelitian ini merupakan penelitian multi center yang melibatkan


sembilan universitas di delapan pro­vinsi di Indonesia dan PKMK FK
UGM berperan sebagai koordinator dalam pelaksanaan penelitian.
Karena bentuknya yang multi center, dalam penelitian ini ada dua
tingkatan dalam penyampaian hasil penelitian yaitu laporan penelitian
pada masing-masing universitas berdasarkan intervensi spesifik
yang telah dipilih, dan yang kedua adalah laporan gabungan yang
merupakan elaborasi dari seluruh hasil penelitian dari kesembilan
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

universitas. Secara umum studi kasus dalam penelitian ini dilakukan


melalui tiga tahapan yang digambarkan pada gambar 3.

a. Tahap pendahuluan

Tahap ini merupakan persiapan dengan mengembangkan protokol


studi kasus untuk menggali data upaya penanggulangan HIV
dan AIDS ke dalam sistem kesehatan pada tingkat daerah dan
kontribusinya terhadap efektivitas intervensi program spesifik
dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Tahap ini juga melakukan
penentuan kasus, lokasi penelitian di tingkat kabupaten/kota.
Pemilihan kasus intervensi program spesifik di tingkat daerah
mempertimbangkan aspek ketersediaan data, tingkat urgensinya
di daerah dan keterjangkauan sumber dayanya.

b. Tahap pengumpulan data dan analisis

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan


pengumpulan data sekunder yang relevan dengan kasusnya.
Data yang dikumpulkan adalah data terkait sistem kesehatan
dan intervensi program spesifik yang dilakukan di daerah
Gambar 3. Tahapan penelitian. Data primer dan sekunder yang dikumpulkan kemudian
diklasifikasikan berdasarkan konteks, pemangku kepentingan dan
penelitian studi fungsi sistem kesehatan. Selanjutnya data-data tersebut dianalisa
kasus pada tingkat universitas menggunakan pendekatan kerangka
12 kerja mulai dari familiarisasi, kodifikasi, indexing, dan interpretasi
dan pemaknaan terhadap kesimpulan dari temuan data dari
masing-masing kasus. Sejalan dengan proses analisa di tingkat
Metodologi

No Universitas Kasus Lokasi

1 Universitas Sumatera Utara PMTS pada WPS Medan


7 Universitas Cenderawasih PMTS pada WPS Merauke
9 Universitas Nusa Cendana PMTS pada WPS Kupang
2 Universitas Airlangga PMTS pada LSL Surabaya
6 Universitas Udayana PMTS pada LSL Denpasar
3 Universitas Atmajaya HR – LASS DKI Jakarta
4 UPT HIV RSCM – UI ARV DKI Jakarta
5 Universitas Hasanuddin ARV Makassar
8 Universitas Papua Test HIV dengan Link to Care Manokwari

Tabel 1. Universitas, universitas, seluruh data dari sembilan universitas dikompilasi 13


oleh PKMK FK UGM. Analisa lanjut menggunakan pendekatan
lokasi dan pilihan yang sama kemudian dilakukan interpretasi dan pemaknaan
studi kasus terhadap kesimpulan dari temuan data yang sudah dikelompokkan
berdasarkan masing-masing studi kasus. Selain analisa secara
spesifik berdasarkan masing-masing studi kasus, di tingkat ini
juga dilakukan pembahasan gabungan yang mengelaborasi
kesembilan studi kasus tersebut ke dalam pembahasan gabungan.

c. Tahap kesimpulan dan rekomendasi

Di tahap ini dilakukan identifikasi seluruh temuan penelitian yang


telah diklasifikasikan ke dalam konteks, pemangku kepentingan
dan fungsi sistem kesehatan. Hasil identifikasi tersebut kemudian
diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan serta dianalisa
bagaimana implikasinya dari masing-masing studi kasus ke dalam
sistem kesehatan. Kajian lebih lanjut dilakukan untuk melihat
keterkaitannya dengan faktor-faktor yang memengaruhi tingkat
integrasi dan kontribusinya terhadap efektifitas program. Selain itu,
identifikasi berbagai upaya kebijakan dilakukan berdasarkan atas
interpretasi dan kesimpulan. Hal ini dilakukan untuk memperkuat
program spesifik penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
sistem kesehatan dalam bentuk rekomendasi kepada pengambil
kebijakan di tingkat daerah, Komisi Penanggulangan AIDS dan
Kementerian Kesehatan. Proses yang sama juga dilakukan
untuk pengambilan kesimpulan dan rekomendasi dalam laporan
gabungan ini.
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

B. Lokasi dan Waktu arti kapasitas untuk pengambilan keputusan


terkait upaya penanggulangan HIV dan AIDS di
Lokasi penelitian ini meliputi delapan provinsi daerah.
yakni; Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur,
Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, c. Fungsi-fungsi sistem kesehatan dalam
Papua dan Papua Barat. Pemilihan lokasi ini penanggulangan HIV dan AIDS yang mencakup
mempertimbangkan keterwakilan perkembangan pelaksanaan tujuh sub sistem fungsi manajemen
situasi epidemi di Indonesia bagian barat, bagian dan regulasi, pembiayaan, pengelolaan sumber
tengah dan Indonesia bagian timur. Penelitian ini daya manusia, penyediaan kefarmasian
mengkaji kasus intervensi program spesifik pada dan alat kesehatan, pengelolaan informasi
tingkat kabupaten/kota. Dua kajian intervensi strategis, mobilisasi partisipasi masyarakat dan
spesifik yang berbeda dilakukan oleh PPH (Pusat penyediaan layanan kesehatan. Setiap fungsi
Penelitian HIV dan AIDS) Universitas Atma Jaya sistem kesehatan ini kemudian dikelompokkan
dan UPT HIV RSCM-UI pada tingkat provinsi (DKI berdasarkan sub-sub tema yang berupa
Jakarta). Untuk detail lokasi, universitas dan dimensi-dimensi dari pelaksanaan fungsi
intervensi spesifik yang dipilih digambarkan pada tersebut. Secara keseluruhan ketujuh fungsi
tabel di bawah ini. sistem kesehatan tersebut mencakup 17 dimensi.

Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih d. Efektifitas kinerja dari layanan meliputi cakupan
sembilan bulan dimulai dari persiapan instrumen hasil kinerja program intervensi spesifik dari
yang dilakukan dalam workshop penyusunan masing-masing kasus di daerah baik dilihat dari
instrumen bersama dengan sembilan universitas data kuantitatif, perubahan perilaku dan kualitas
pada April 2015, kemudian pengumpulan data, baik layanan dari aspek penerima manfaat.
primer dan sekunder mulai Juni 2015 dilanjutkan Pengumpulan data primer dilakukan melalui
14 dengan analisa data di tingkat universitas. Laporan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap
ini merupakan pembacaan terhadap data gabungan informan kunci, dengan menggunakan format
yang dihasilkan oleh sembilan universitas tersebut. pertanyaan terstruktur yang telah diadaptasi sesuai
kasus terpilih. Data sekunder yang dikumpulkan
meliputi data terkait cakupan dari laporan
C. Instrumen dan Metode lembaga-lembaga terkait, hasil survei (STPB, SCP)
dan berbagai dokumen-dokumen relevan terkait
Pengumpulan Data kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS, situasi
Instrumen dikembangkan sesuai dengan kerangka ekonomi dan situasi epidemi di daerah. Kompilasi
konseptual yang digunakan untuk pengumpulan data primer dan sekunder dari daerah ini menjadi
data pada aspek sistem kesehatan dan program materi pembacaan oleh Tim peneliti PKMK FK UGM.
spesifik HIV dan AIDS, meliputi data sebagai berikut:

a. Konteks penanggulangan HIV dan AIDS yang


mencakup data terkait sistem kebijakan dan D. Informan
operasionalisasinya dalam intervensi program Pemilihan informan dilakukan dengan
dari empat kategori meliputi; komitmen politik mempertimbangkan ketercukupan kebutuhan
daerah, hukum dan peraturan terkait HIV dan informasi berdasarkan kategorisasi tertentu. Jumlah
AIDS, situasi ekonomi dan permasalahan informan di setiap daerah bervariasi sesuai dengan
kesehatan umum di daerah. konteks kasus program spesifik yang dipilih.
b. Pemangku kepentingan kunci penanggulangan Meskipun demikian, secara keseluruhan informan
HIV dan AIDS dan sistem kesehatan di daerah dari penelitian ini mewakili beberapa kategori
dengan menggali data dari tiga aspek yakni; berikut:
kepentingan yang dimiliki dari masing-masing
pemangku kepentingan kunci, sumber daya
yang dimiliki, dan kekuasaan politik dalam
Metodologi

1. Informan untuk sistem kesehatan proses analisa. Sedangkan untuk data sekunder
dikumpulkan sesuai dengan kebutuhan
Informan untuk sistem kesehatan meliputi (a)
berdasarkan isu atau studi kasus yang dibahas.
Badan Perencanaan Daerah yaitu; Kepala
Selanjutnya,tahapan analisis dilakukan seperti
Badan Perencanaan Daerah, Kepala Divisi
pada gambar 4.
Kesejahteraan Sosial, (b) Dinas Kesehatan
Kabupaten yaitu; Kepala Dinas Kesehatan a. Pengenalan
Kabupaten, Kepala Divisi Pelayanan Kesehatan,
Tahap analisa ini merupakan upaya untuk
Kepala Divisi Sumber Daya Manusia, Kepala
memahami data dengan melakukan
Divisi Ibu dan Anak (KIA), Kepala Unit Umum
pembacaan atas transkrip hasil wawancara
dan Program (di bawah Sekretariat Dinkes
atau data sekunder dari masing-masing kasus
Kabupaten).
yang dipilih oleh daerah untuk (1) menilai
2. Informan untuk program HIV dan AIDS kelengkapan dari data yang telah terkumpul
dan (2) mendapatkan tema-tema kunci di setiap
Informan untuk program HIV dan AIDS
transkrip atau data sekunder. Langkahnya
mencakup; (a) Badan Perencanaan Daerah:
dimulai dengan membaca transkrip atau
manajer program atau penanggung jawab
mendengarkan kembali rekaman yang telah
(Person In Charge/PIC) program GF di Dinas
dibuat dan dokumen sekunder yang relevan
Kesehatan Kabupaten, (b) Pusat Kesehatan
beserta berbagai catatan yang dibuat selama
Masyarakat (PKM): manajer program atau
pengumpulan data.
penanggung jawab program tertentu (HR, VCT,
PMTCT, PMS) dan pemegang data; (c) KPA b. Identifikasi kerangka tematik
Kabupaten, khususnya sekretaris KPA, manajer
Selanjutnya, peneliti melakukan kodifikasi
program atau PIC program tertentu (Harm
berdasarkan kata kunci, dimensi, atau tema 15
Reduction, Transmisi Seksual, dan Perawatan,
yang muncul dari data primer dan sekunder.
Dukungan dan Pengobatan) dan Petugas M&E;
Langkahnya dengan melakukan pemeriksaan
(d) LSM yang melaksanakan program HIV dan
secara cermat data primer (transkrip) dengan
AIDS meliputi; manajer program, petugas M&E,
memberikan kode-kode yang relevan dengan
pekerja penjangkauan atau pendamping bagi
pandangan atau pengalaman yang muncul
ODHA.
dalam data atau transkrip. Semua transkrip
3. Informan untuk sistem dan program spesifik atau data sekunder diberikan kode sesuai
yakni; (a) Kepala Divisi Pengendalian Penyakit dengan daftar kata kunci yang telah dibuat
Menular (P2PL) di Dinas Kesehatan Kabupaten pada tahapan sebelumnya. Sub-kode atau
(b) Rumah Sakit Rujukan (Klinik ARV-AIDS) sub-kata kunci juga dikembangkan sesuai
terdiri kepala klinik (dokter penanggung dengan transkrip atau data sekunder yang
jawab), perawat, pemegang data dan kepala tersedia ketika sudah memungkinkan lagi untuk
puskesmas. mengkode menggunakan kata kunci yang ada.

4. Informan untuk kualitas layanan adalah c. Penyusunan indeks


perwakilan dari populasi kunci di masing-
Penyusunan indeks (indexing) adalah tahapan
masing daerah.
yang dilakukan setelah semua data selesai
diberikan kode. Penyusunan indeks dilakukan
dengan mengumpulkan, mengurutkan
E. Manajemen dan Analisa dan mengelompokkan kutipan/data yang
Data berdasar kode-kode tertentu. Melalui indexing
diketahui berbagai variasi jawaban untuk kode
Data primer dari hasil wawancara mendalam tertentu. Kecermatan dan kehati-hatian dalam
berupa rekaman wawancara yang kemudian penyusunan indeks ini sangat penting karena
ditranskrip secara verbatim untuk memudahkan hasilnya digunakan sebagai dasar untuk
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

16

Gambar 4. Bagan mendiskripsikan tema-tema pokok dalam penelitian ini (dimensi


dan sub sistem).
tahapan pengolahan
d. Penyusunan data
data primer
menggunakan Penyusunan data dilakukan sebagai lanjutan atas hasil
penyusunan indeks. Setiap sub- sistem dibuatkan sebuah matriks
metode framework yang mencakup hasil penyusunan indeks untuk data primer dan
approach sekunder. Penyusunan data primer dan sekunder ini bermanfaat
untuk melengkapi topik-topik tertentu dan juga sebagai tahapan
proses triangulasi untuk memastikan bahwa pernyataan atau
kutipan dari data primer bisa direfleksikan dalam data sekunder
atau sebaliknya.

Penyusunan data ini didasarkan pada tema-tema utama yang


ingin digali dari penelitian ini yaitu konteks sistem kesehatan dan
program HIV, peran pemangku kepentingan, tingkat integrasi,
faktor-faktor yang memengaruhi integrasi dan penilaian efektivitas
intervensi spesifik berdasarkan kinerja program.

e. Pemetaan dan interpretasi

Pemetaan dan interpretasi dilakukan untuk menentukan tipologi


atau pola, menemukan hubungan antar tema, dan memberikan
Metodologi

penjelasan atas variasi tipologi atau yang memampukan pemangku


pola. Proses pemetaan dilakukan dengan kepentingan untuk mengambil keputusan
menggambarkan masing-masing tema besar dan memobilisasi sumber daya.
yang telah disusun dalam tahap sebelumnya.
2) Kekuasaan yang didasarkan pada
Sementara interpretasi dilakukan untuk
besarnya sumber daya yang dimiliki oleh
memahami gambaran tentang tema-tema
pemangku kepentingan dan kemampuan
utama agar mampu menjelaskan dan menjawab
untuk memberikan pengaruh terhadap
pertanyaan penelitian.
pemangku kepentingan yang memiliki
Secara lebih detail proses pemetaan dan kekuasaan politik.
interpretasi data sebagai berikut:
d. Pengkategorian berdasarkan tinggi (T) dan
1. Analisis kontekstual rendah (R) dilakukan dengan melihat peran
normatif dan peran senyatanya dari para
Analisa ini dilakukan dengan mendiskripsikan
pemangku kepentingan HIV dan AIDS di
secara rinci hasil penyusunan data berdasarkan
daerah yang dilihat dari deskripsi yang
tema-tema pokok yang terkait dengan isu
dibuat pada matriks analisis pemangku
kontekstual yaitu komitmen politik, ekonomi,
kepentingan. Untuk penilaian kekuasaan
hukum dan regulasi, dan permasalahan
didasarkan pada hasil penilaian kekuasaan
kesehatan.
sumberdaya dan kekuasaan politik.

e. Berdasarkan posisi pemangku kepentingan,


2. Analisis pemangku kepentingan kemudian dilakukan analisis lanjutan untuk
memetakan para pemangku kepentingan
Analisa ini dilakukan untuk memetakan peran
yang memiliki posisi yang paling strategis di
dan kedudukan aktor-aktor yang terlibat dalam 17
dalam penanggulangan di daerah dan apa
sistem kesehatan dan penanggulangan HIV dan
pengaruh dari masing-masing posisi terhadap
AIDS (identifikasi peran, kepentingan, sumber
kebijakan dan program. Langkah untuk
daya dan kekuatan). Tahapan yang dilakukan
analisa lanjutan adalah mengelompokkan
adalah sebagai berikut:
pemangku kepentingan ke dalam kuadran
a. Identifikasi peran dan fungsi pemangku berdasarkan (1) Kepentingan Tinggi dan
kepentingan dalam program Kekuasaan Tinggi; (2) Kepentingan Tinggi dan
penanggulangan HIV dan AIDS di daerah Kekuasaan Rendah; (3) Kepentingan Rendah
berdasarkan kepentingan dan kekuasaan dan Kekuasaan Tinggi; (4) Kepentingan
yang dimiliki dalam pengembangan Rendah dan Kekuasaan Rendah.
kebijakan dan program HIV dan AIDS di
daerah.
3. Analisa tingkat integrasi
b. Kepentingan adalah peran yang diinginkan
atau diharapkan agar memberikan manfaat Analisa untuk melihat tingkat integrasi program
bagi pemangku kepentingan dalam program HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan
penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. dilakukan melalui proses berikut:

c. Kekuasaan yang dimaksud adalah sumber a. Mendiskripsikan pelaksanaan ketujuh fungsi


daya yang dimiliki dan kemampuan (sub-sistem) kesehatan berdasarkan dimensi-
untuk memengaruhi atau mengontrol dimensi untuk masing-masing fungsinya.
pelaksanaan perubahan kebijakan. Dalam Deskripsi diharapkan bisa memberikan
hal ini kekuasaan yang dimiliki pemangku gambaran bagaimana pelaksanaan masing-
kepentingan dibedakan menjadi: masing fungsi sistem kesehatan di masing-
masing kabupaten/kota secara rinci sesuai
1) Kekuasaan yang didasarkan pada posisi
dengan program intervensi yang dipilih.
politik atau legal pemangku kepentingan
Sumber untuk melakukan deskripsi ini adalah
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

matriks yang dibuat pada tahap analisis 1) Terintegrasi Penuh (P): apabila
data. pelaksanaan dimensi fungsi sistem
kesehatan dalam penanggulangan HIV
b. Setelah masing-masing dimensi
dan AIDS di daerah tersebut mengacu
dideskripsikan dengan jelas dan
atau konsisten dengan pelaksanaan
logis maka tahap berikutnya adalah
fungsi sistem kesehatan untuk
melakukan penilaian tingkat integrasi yaitu
pengendalian penyakit menular pada
membandingkan konsistensi gambaran yang
umumnya.
ada pada tingkat sistem dan tingkat program
untuk dimensi-dimensi yang telah ditentukan. 2) Terintegrasi Sebagian (S): apabila
Untuk membantu menilai konsistesi, di pelaksanaan dimensi fungsi sistem
bawah ini disusun tabel untuk masing-masing kesehatan dalam penanggulangan HIV
dimensi beserta pertanyaan kontrol yang dan AIDS di daerah tersebut sebagian
mengarahkan penilaian tersebut. mengacu atau konsisten dan sebagian
yang lain berbeda dengan pelaksanaan
c. Selain itu untuk menilai integrasi juga digali
fungsi sistem kesehatan untuk
faktor-faktor yang memengaruhi hubungan
pengendalian penyakit menular di daerah
integrasi antara program penanggulangan
tersebut.
HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan
yang dianalisa dari matriks hasil pengkodean 3. Tidak Terintegrasi (T): apabila
data primer dan sekunder dari hasil analisis pelaksanaan dimensi fungsi sistem
pada bagian : kesehatan dalam penanggulangan HIV
dan AIDS di daerah tersebut berbeda
1) Konteks sebagai situasi sosial di mana
sepenuhnya dengan pelaksanaan fungsi
sistem kesehatan dan program HIV dan
18 AIDS berlangsung: politik, ekonomi,
sistem kesehatan untuk pengendalian
penyakit menular pada umumnya.
hukum dan regulasi, permasalahan
kesehatan yang memengaruhi tingkat f. Untuk menentukan tingkat integrasi pada
integrasi pada masing-masing sub-sistem. tingkat fungsi (sub-sistem) hasil penilaian
untuk dimensi-dimensi yang relevan dengan
2) Pemangku kepentingan yang memiliki
masing-masing fungsi sistem kesehatan
kepentingan dan kekuasaan dalam
untuk setiap intervensi digabungkan.
memengaruhi hubungan integrasi yang
Penggabungan skor ini dilakukan melalui
terjadi antara sistem kesehatan dan
intepretasi atas penjumlahan skor di masing-
program penanggulangan HIV dan AIDS
masing dimensi dari sub-sistem dengan
di tingkat daerah.
memberikan argumentasi untuk setiap skor
d. Penilaian tingkat integrasi berdasarkan gabungan yang dihasilkan. Demikian pula
konsistensi atas deskripsi di tingkat sistem untuk menilai gambaran integrasi untuk
dan program untuk masing-masing dimensi semua sub-sistem secara keseluruhan bagi
dilakukan dengan penilaian subyektif intervensi penanggulangan HIV dan AIDS
(subjective scoring). Berdasarkan matriks dilakukan dengan cara yang sama.
integrasi (lihat lampiran), masing-masing
peneliti melakukan scoring secara terpisah
untuk masing-masing dimensi. Jika terjadi 4. Kontribusi integrasi terhadap efektifitas
perbedaan penilaian, kedua peneliti program
melakukan diskusi untuk verifikasi atas
a. Mengukur efektifitas dari pelaksanaan
penilaian yang dibuat.
program penanggulangan HIV dan AIDS
e. Definisi tingkat integrasi yang digunakan berdasarkan kuantitas dan kualitas.
adalah sebagai berikut:
1) Kuantitas. Efektifitas dinilai sesuai data
program meliputi output dan outcome
Metodologi

yang kemudian dibandingkan dengan target dari program


di kabupaten/kota dan juga dibandingkan dengan target
nasional. Untuk memudahkan analisa efektifitas program,
sesuai dengan manajemen data untuk variabel efektifitas,
data sekunder yang didapat (data terbaru tahun 2014)
dipilih yang paling sesuai untuk menggambarkan cakupan,
aksesibilitas, kualitas dan perubahan perilaku. Data dibuat
matriks untuk membantu memudahkan analisa.

2) Kualitas. Diperoleh dari data primer mengenai penilaian


kualitas layanan. Informasi ini diperoleh dari wawancara
terhadap pemberi layanan (pelaksana program di
Gambar 5. Analisis puskesmas, rumah sakit atau klinik serta LSM untuk
faktor-faktor yang pendampingan) dan juga populasi kunci atau ODHA sebagai
penerima manfaat. Dari data primer informasi ini dapat dilihat
memengaruhi pada pertanyaan di sub-sistem partisipasi masyarakat pada
hubungan antara dimensi akses dan pemanfaatan layanan. Analisa dilakukan
dengan mendeskripsikan variasi-variasi yang ditemukan
integrasi dan terkait akses, prosedur dan ketersediaan layanan dari para
efektifitas informan.

19
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

b. Hubungan antara kinerja program intervensi Zaidah (2007) dan juga keterbatasan yang spesifik
khusus dengan tingkat integrasi, dianalisa antara lain:
untuk menjawab pertanyaan seberapa jauh
a. Penelitian dengan menggunakan studi kasus
kontribusi tingkat integrasi terhadap kinerja
seringkali dianggap ‘lack of rigour’. Hal ini
intervensi spesifik yang dipilih. Argumentasi
juga dibahas oleh Yin (1984) bahwa seringkali
dibangun dari analisa yang sudah
peneliti ceroboh dan memberikan pandangan
dilakukan sebelumnya (faktor-faktor yang
yang bias untuk memengaruhi arah temuan
memengaruhi integrasi –analisis kontekstual
dan kesimpulan. Dan sebaliknya hasilnya juga
dan analisis pemangku kepentingan dan
mudah didebat oleh pihak yang tidak memiliki
deskripsi tentang masing-masing sub-
pendapat yang sejalan. Untuk meminimalisasi
sistem) sebagai konteks atau latar belakang
hal ini beberapa tahapan dalam penelitian
hubungan antara tingkat integrasi dengan
dilakukan seperti yang dijelaskan pada
efektivitas. Secara sederhana analisa ini bisa
paragraf di bawah ini;
dilihat pada gambar 5.
b. Studi kasus biasanya sulit digeneralisasi karena
Langkah ini dilakukan untuk semua studi
menggunakan contoh kasus di satu atau
kasus. Hasil dari langkah ini merupakan
beberapa wilayah saja sehingga tidak bisa
argumentasi kualitatif yang menjelaskan
atau sulit untuk digeneralisasikan ke wilayah
tentang seberapa jauh dan bagaimana
lain. Keadaan ini sudah sepenuhnya disadari
mekanisme tingkat integrasi pada masing-
oleh tim peneliti sehingga dalam penelitian
masing intervensi spesifik berhubungan atau
ini ada beberapa kasus yang diambil dari
tidak dengan efektivitas program.
beberapa daerah untuk melihat adanya variasi.
c. Tahap terakhir dari analisa kualitatif ini Hasilnya pun nantinya tidak akan bisa langsung
20 adalah penyimpulan tentang seberapa jauh digeneralisasikan ke daerah lain tetapi tetap
tingkat integrasi intervensi spesifik secara harus melihat kondisi daerah lainnya tersebut;
keseluruhan berkaitan terhadap efektivitas
c. Kompleksitas dari studi kasus membuat
dan bagaimana mekanisme tingkat intergrasi
metode ini sulit dipresentasikan secara
ini bisa berpengaruh atau tidak terhadap
sederhana. Untuk mengatasi hal ini tim peneliti
efektivitas. Penyimpulan secara kualitatif
sudah mencoba meminimalkan dengan
dibuat berdasarkan layanan pencegahan
mengembangkan metode penelitian yang akan
dan perawatan untuk melihat perbedaan
memberikan panduan sampai dengan penulisan
pada masing-masing layanan dalam
dan presentasi hasil sehingga diharapkan
program penanggulangan HIV dan AIDS
hasilnya tetap sejalan dan fokus dengan tujuan
utama;

F. Keterbatasan Penelitian d. Metode studi kasus juga identik dengan jumlah


data yang besar, terutama bila dilakukan
Keuntungan dipakainya penelitian studi kasus dalam skala besar (baik wilayah ataupun multi
telah dibahas dalam sub-bab desain penelitian, di kasus). Untuk itu, penelitian ini dalam beberapa
mana keuntungan-keuntungan tersebut menjadi hal seperti analisis kontekstual kesehatan
pertimbangan mengapa dipilih metode ini. Namun, membatasi hanya pada empat konteks saja,
selain keuntungan-keuntungan tersebut, metode ini meskipun pada kenyataannya ada banyak
juga memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan sekali konteks yang memengaruhi kesehatan.
yang dimiliki juga meliputi keterbatasan yang di­ Hal ini dilakukan untuk membatasi jumlah
mi­liki oleh penelitian kualitatif pada umumnya dan dan disesuaikan dengan tujuan dan metode
pe­nelitian studi kasus secara khusus. Keterbatasan penelitian serta keterbatasan lain seperti
yang ditulis di sini adalah keterbatasan secara sumber daya manusia, pendanaan dan waktu.
teori seperti yang dibahas oleh Hodskin (2001) dan
Metodologi

G. Struktur Penulisan Laporan


Laporan gabungan dari studi kasus intervensi
spesifik ini terdiri dari lima bab. Bab I sebagai
pendahuluan berisi tentang latar belakang
penelitian yang menjelaskan bagaimana situasi
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia saat
ini beserta segala permasalahan yang dihadapi,
kemudian dari latar belakang tersebut maka
muncul pertanyaan-pertanyaan penelitian yang
menjadi tujuan dari penelitian serta kerangka
konseptual yang dikembangkan dalam penelitian
ini. Bab II dari laporan ini membahas secara
rinci tentang metodologi yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi desain penelitian, lokasi dan
waktu penelitian, instrumen yang digunakan serta
metode pengumpulan data. Setelah itu dijelaskan
juga dalam bab ini bagaimana manajemen
dan pengolahan data serta proses analisanya.
Keterbatasan penelitian juga akan dibahas dalam
bab ini diikuti dengan penjelasan bagaimana
struktur penulisan dan penyajian laporan. Bab III
membahas secara rinci berbagai intervensi spesifik
melalui lima studi kasus yang berbeda yaitu: Studi 21
kasus 1 - PMTS untuk WPS; Studi kasus 2 - PMTS
untuk LSL; Studi kasus 3 – LASS; Studi Kasus 4 –
Program Link to Care; dan Studi kasus 5 - Program
ART. Struktur penulisan masing-masing studi kasus
akan membahas mulai analisa kontekstual, analisa
pemangku kepentingan, analisa tingkat integrasi
dan bagaimana kontribusi integrasi terhadap
efektifitas program.

Selanjutnya bab IV akan merangkum hasil


seluruh studi kasus dalam pembahasan yang
menjawab pertanyaan dan tujuan penelitian yang
dibahas dari sisi pencegahan dan perawatan
secara tersendiri. Bab terakhir yaitu bab V akan
menyampaikan kesimpulan dan rekomendasi
umum terkait integrasi program ke dalam sistem
kesehatan untuk mencapai kinerja yang efektif.
Dokumen-dokumen terkait proses penulisan
laporan penelitian seperti instrumen, matriks data
dan lain sebagainya dapat dilihat pada bagian
lampiran.
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

III. Studi Kasus

22
Studi Kasus

Pada bagian ini, dibahas lima intervensi spesifik dari


beberapa daerah. Intervensi spesifik yang dipilih
beserta daerahnya dapat dilihat pada tabel 2.
Berdasarkan tabel tersebut, masing-masing intervensi
spesifik dibahas secara rinci pada sub-bab studi kasus,
mulai dari gambaran umum pelaksanaan masing-
masing program di wilayah penelitian dan analisis
faktor-faktor yang memengaruhi integrasi yaitu analisis
kontekstual dan analisis pemangku kepentingan.
Setelah itu dijelaskan tentang deskripsi dan analisis tingkat integrasi
dengan membahas pada tingkat dimensi di masing-masing sub-
sistem mulai dari manajemen dan regulasi; pembiayaan; sumber daya
manusia; penyediaan farmasi dan alat kesehatan; informasi strategis;
partisipasi masyarakat; dan upaya kesehatan. Pada bagian akhir
sub-bab ini dilakukan penilaian integrasi secara umum dalam program
intervensi spesifik tersebut. Sub-bab selanjutnya membahas faktor-
faktor yang memengaruhi tingkat integrasi untuk menggambarkan
bagaimana berbagai faktor eksternal tersebut memengaruhi tingkat
integrasi program ke dalam sistem kesehatan yang ada.
23
Sub-bab selanjutnya membahas kontribusi integrasi terhadap
tingkat efektifitas program. Untuk membahas hal ini, di awal sub-bab
telah dideskripsikan terlebih dahulu mengenai kinerja masing-masing
program berdasarkan hasil capaian dan juga efektifitas secara
kualitatif dari program berdasarkan informasi dari penerima manfaat.
Analisis selanjutnya adalah bagaimana kontribusi integrasi terhadap
efektivitas kinerja program, bagaimana mekanisme kontribusi yang
terjadi diantara keduanya. Selanjutnya adalah pembahasan dan
diskusi yang menganalisa lebih lanjut hasil pembahasan pada sub-bab
sebelumnya dengan disertai rujukan yang mendukung ataupun tidak
mendukung dari berbagai penelitian sebelumnya. Dan terakhir adalah
kesimpulan dan rekomendasi dari masing-masing intervensi spesifik
tersebut.

Tabel 2. Daftar studi No Studi Kasus Universitas Peneliti Provinsi/Kabupaten/


kasus, universitas Kota

peneliti dan wilayah 1 PMTS pada WPS USU, Undana dan Uncen Medan, Kupang dan
Merauke
penelitian 2 Program LSL Unair dan Udayana Surabaya dan Denpasar

3 Program LASS PPH Atmajaya DKI Jakarta

4 Link to Care Unipa Manokwari

5 Program ART UPT HIV RSCM – UI dan Unhas DKI Jakarta dan Makassar
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

01.
Studi Kasus : Program Pencegahan HIV
Melalui Transmisi Seksual (PMTS) pada
Wanita Pekerja Seks

A. Gambaran Program berperilaku aman dan mencegah penularan HIV.


Pedoman PMTS Paripurna (KPAN, 2014) memiliki
Program Pencegahan Melalui Transmisi Seksual empat tujuan yang masing-masing direfleksikan
(PMTS) adalah upaya pencegahan penularan dalam komponen program seperti yang terlihat di
melalui jalur seksual secara komprehensif pada tabel 3.
semua populasi kunci yang memiliki kerentanan
tinggi dengan mendayagunakan kekuatan Studi kasus PMTS-WPS ini dilakukan di
dari berbagai sektor yaitu pemerintah melalui tiga lokasi, yakni; Kota Medan, Kota Kupang
berbagai SKPD, sektor swasta, masyarakat dan Kabupaten Merauke. Gambaran tentang
umum dan komunitas. Upaya ini dilakukan untuk pelaksanaan PMTS pada WPS di ketiga kota
memberdayakan WPS agar secara mandiri dapat tersebut di atas bisa di lihat di bawah ini:
24

Tabel 3. Tujuan dan


Komponen Program
No Tujuan Komponen Program
PMTS
1 Mendorong terciptanya Peningkatan peran positif
lingkungan yang kondusif dalam pemangku kepentingan
upaya pencegahan HIV bagi
populasi kunci LBT, WPS, LSL dan
waria.

2 Mendorong praktek perilaku Komunikasi Perubahan


aman baik pada tingkat individu, Perilaku
kelompok dan komunitas pada
populasi kunci LBT, WPS, LSL dan
waria.

3 Memfasilitasi tersedianya Manajemen pasokan


kondom dan pelicin yang mudah kondom dan pelicin
diakses oleh populasi kunci LBT,
WPS, LSL dan waria.

4 Mendorong tersedianya layanan Penatalaksanaan IMS


IMS, HIV dan AIDS yang mudah dan HIV
diakses oleh populasi kunci LBT,
WPS, LSL dan waria.
Studi Kasus

1. Peningkatan peran positif pemangku pemeriksaan pasti dikasih penyuluhan.” (Wawancara


mendalam Tim Uncen dengan penanggung jawab
kepentingan lokalisasi Yobar di Merauke, Juli 2015).
Penciptaan lingkungan kondusif merupakan “Tugas-tugasnya ini mengevaluasi, misalnya masalah
kunci untuk mendorong optimalisasi layanan, nyaman gak-nya. Umpamanya kemaren,
pencegahan HIV pada kelompok risiko tinggi [ada] penangkapan-penangkapan oleh satpol PP
kan ada kasus, yang termasuk orang [WPS] ODHA
untuk mengurangi stigma dan diskriminasi di
ditangkap. Ternyata dia masih konsumsi ARV, jadi
masyarakat. Oleh karena itu, PMTS melibatkan WPS ini ODHA [yang] ditangkap sehingga terputus
dukungan aktif multisektor terdiri dari instansi ARVnya. [Jadi] dengan adanya pokja ini kita inisiasi
pemerintah, sektor swasta, dan komunitas. Hal dengan satpol pp [agar saat] razia kalau ada WPS
ini dilakukan melalui pembentukan kelompok [yang] tertangkap dan butuh obat [agar] hubungi
ke KPA. Nanti KPA yang menelfon ke LSM. Mohon
kerja (Pokja) PMTS yang terdiri dari pihak-pihak difasilitasi obatnya, supaya dia tidak putus obatnya.”
yang berkaitan dengan WPS di lokasi-lokasi (Wawancara mendalam Tim USU dengan KPA Kota
hotspot, seperti pengelola tempat hiburan, Medan, September 2015).
RT dan RW setempat, penyedia layanan
kesehatan, maupun instansi pemerintah seperti
Satpol PP dan SKPD lainnya. Di Medan tidak Baik di Medan, Merauke dan Kupang, pihak
terdapat lokalisasi sehingga Pokja PMTS ini keamanan seperti kepolisian dan khususnya
disebut sebagai pokja kota: Satpol PP secara khusus dijadikan bagian
“...kalau di tempat lain itu ada lokalisasi. Kalau di
dari Pokja PMTS dengan tujuan agar mereka
Medan itu namanya lokasi [hotspot] terpisah-pisah tidak menghambat kegiatan PMTS pada
yang tidak mungkin dibuat adanya pokja lokasi. WPS. Dengan keterlibatan kepolisian di
Kenapa? Karena oukup1 itu gak kompak. Belum tentu Medan, kepemilikan kondom sudah tidak lagi
kita bisa buat. Misalnya ada sekitar 80 oukup, gak
digunakan sebagai alat bukti untuk melakukan 25
mungkin kita buat 80 pokja lokasi. Jadinya yang
ada itu pokja kota. Pokja kota itu pokja PMTS Kota penangkapan WPS. Satpol PP masih melakukan
Medan. Yang terlibat disitu dinas kesehatan, satpol tugasnya untuk melakukan razia, tetapi di
PP, polisi, dinas pariwisata dan layanan.” (Wawancara Medan mereka menunjukkan dukungannya
mendalam Tim USU dengan KPA Kota Medan, dengan tidak merazia tempat hiburan yang
September 2015).
melaksanakan PMTS.
“Jadi istilahnya kalo semua tempat itu dirajia,
akhirnya kan agak menyulitkan kita juga gitu. Jadi
Peran Pokja PMTS, baik pokja lokasi
justru yang sebenarnya dirajia itu tempat-tempat
dan pokja kota di bawah koordinasi KPA yang nggak bisa kita ajak kerjasama. Aaa, kan jadi
melakukan monitoring dan evaluasi konsistensi umpamanya ada satu tempat, ini nggak bisa diajak
penggunaan kondom untuk WPS di lokalisasi kerjasama, ya rajia terserah. Tapi kalau dia mau ya,
dan tempat-tempat hiburan yang potensial janganlah.” (Wawancara mendalam Tim USU dengan
KPA Kota Medan, September 2015).
terjadi perilaku seks yang tidak aman. Kutipan
berikut menggambarkan sebagian peran
yang dilakukan oleh beberapa pihak, seperti
Dengan keterlibatan dari berbagai pihak,
penanggung jawab lokasi pada kutipan
diharapkan bisa tercipta lingkungan yang
pertama, serta LSM, Satpol PP, dan KPA pada
mendukung bagi WPS untuk secara konsisten
kutipan berikut ini:
berperilaku aman dengan menggunakan
“Adapun masalah yang selama ini kami terapkan kondom untuk mencegah penularan HIV/IMS.
untuk pencegahan IMS dan HIV kepada seluruh
anggota kita, kita tekankan untuk responsif
penggunaan kondom. Kami ada pertemuan rutin
setiap bulan…. Tentang penggunaan kondom, 2. Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP)
mungkin dari dokter PKR sendiri sudah setiap bulan
menekankan ke anak-anak kami, biasakan setiap KPP merupakan pengembangan kesadaran
untuk peningkatan pengetahuan komprehensif
1) Oukup adalah sauna tradisional di Sumatera Utara, di mana
tempat-tempat oukup tertentu menjadi tempat WPS berkumpul. bagi WPS agar berperilaku aman. KPP ini
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

dilakukan melalui berbagai macam kegiatan dipastikan bahwa WPS memiliki akses yang
komunikasi yang dilakukan secara sistematis baik terhadap kondom dan pelicin. Komponen
kepada WPS, baik secara kolektif maupun program ini dikoordinir dan difasilitasi oleh KPA
secara individu. Hal ini dilakukan dengan melalui penyediaan kondom subsidi maupun
merekrut pendidik-pendidik sebaya, yaitu WPS kondom mandiri bagi WPS.
sendiri sebagai role model bagi kelompoknya
Kondom subsidi merupakan kondom yang
dalam berperilaku aman supaya dapat menjadi
disalurkan oleh KPAN kepada KPAK, kemudian
pendidik yang efektif. Mereka biasanya dilatih
oleh KPAK diteruskan kepada LSM atau kepada
oleh KPA atau oleh LSM yang berkoordinasi
petugas penjangkau –baik dari KPA ataupun
dengan KPA.
dari LSM– untuk diberikan kepada outlet
“....biasanya dari Yasanto yang kasih [pelatihan] PE kondom, pendidik sebaya, atau kepada WPS
atau bimbingan. Biasanya pekerja-pekerja yang
secara langsung melalui petugas penjangkau
dipanggil dari satu tempat biasanya dipanggil 2
orang, nanti teman-teman itu yang menjelaskan tersebut. Karena KPA yang mengoordinasikan
[ke] teman-temannya kembali. Jadi kita sangat PMTS, maka semua distribusi dan penggunaan
mendukung hal itu, kalau ada penyuluhan- kondom bersubsidi dan pelicin dicatat
penyuluhan begitu. Ya dari sisi pekerjaan sih oleh petugas penjangkau atau lembaga
sebenarnya mereka rugi karena biasa [dilakukan dari
yang mendapatkan distribusi dari KPA dan
pagi] sampai sore, tapi kan [dilakukan] untuk kebaikan
semua jadi saya bilang tidak pa-palah.” (Wawancara memberikan laporannya kepada KPA.
mendalam Tim Uncen dengan Koordinator PHRI Panti “Jadi saya udah ambil ke Medan Plus udah gak
Pijat di Merauke, Juli 2015). ke KPA lagi, saya ambil dari sana lalu ketika udah
di sini saya kasih ke lokasi-lokasi pekerja-pekerja
seks, nah di sana ada outlet kondomnya kan. Outlet
Selain melalui pendidik sebaya, KPP juga kondomnya itu adalah pekerja seks itu juga, jadi saya
26 dilakukan oleh kader lokasi yang biasa me­
ada juga sih yang langsung bagi perorang tapi yang
udah ada outlet kondomnya terbentuk ada orang
ru­pakan mucikari, pemilik losmen atau pe­ngi­ yang bisa dipercaya saya bagi ke satu orang, nanti
nap­an, dan pihak-pihak lain yang berada di mereka bagi ke temennya.” (Wawancara mendalam
sekitar lokasi WPS. Mereka bisa melakukan Tim USU dengan Manajer Program P3M, Agustus
2015).
KPP kepada WPS secara person to person
atau secara masal melalui penyuluhan da­lam
pertemuan-pertemuan. Komunikasi juga di­la­
ku­kan secara tidak langsung melalui berbagai Pembentukan outlet kondom merupakan salah
media komunikasi mandiri seperti poster, leaflet satu kegiatan dalam manajemen pasokan kondom.
ataupun brosur. Informasi yang disampaikan KPA di masing-masing daerah mencatat bahwa
tidak saja tentang bagaimana berperilaku seks di Merauke terdapat 89 outlet kondom, di Medan
aman tetapi juga di mana WPS bisa mengakses 158 outlet, dan di Kupang sebanyak 28 outlet.
layanan untuk pemeriksaan IMS, HIV maupun Ter­bentuknya outlet-outlet kondom ini sangat
kesehatan lainnya. Perekrutan dan pelatihan membantu terdistribusinya kondom dengan baik
pendidik sebaya dilakukan secara terus me­ne­ ke­pada WPS karena keberadaan mereka yang me­
rus mengingat mobilitas WPS relatif tinggi. mang menjadi bagian dari lingkungan WPS sendiri.

Kondom subsidi diharapkan hanya menjadi


bantuan saja yang sewaktu-waktu bisa berhenti,
3. Manajemen pasokan kondom dan sehingga diharapkan daerah bisa menunjukkan
pelicin kemandiriannya dalam pengelolaan distribusi
kondom. Dari ketiga daerah ini, kemandirian sudah
Pengelolaan pasokan kondom dan pelicin
terlihat di Merauke di mana ada koperasi kondom
bertujuan untuk menjamin akses dan keter­
yang pengadaannya dilakukan secara mandiri oleh
sediaan kondom bagi WPS untuk mencegah
pokja lokalisasi. Pengelolaan kondom mandiri ini
penularan HIV/IMS dan mengurangi dampak
dilakukan untuk mengurangi ketergantungan WPS
buruk yang lebih luas. Oleh karena itu, perlu
pada kondom subsidi.
Studi Kasus

“ Kita ada punya program kondom mandiri di lokalisasi dites sipilis sejumlah 1.233 orang, jumlah kasus
Yobar, artinya bahwa itu kita diskusi, kita sepakatkan IMS yang ditemukan sebanyak 1.127 orang dan
bahwa ada pendistribusian kondom, terus kemudian ada
yang diobati sebanyak 891 orang. Sedangkan
salah satu wisma di sana kita beri tanggung jawab, dia
yang akan menjual kondom sutra, dengan harga sesuai Dinkes menetapkan target sebesar 100% bagi
dengan di apotek, lebih murah dari itu. Kita mengantisipasi yang kasusnya ditemukan, sehingga dari data
supaya kebutuhan kondom yang diinginkan mereka tetap tersebut terlihat bahwa masih ada kesenjangan
ada di lokalisasi Yobar. Kedua mereka tidak keluar dari
antara target dengan capaian pengobatannya.
Yobar. Dan juga yang ketiga, bahwa dengan adanya
kondom mandiri dengan mereka beli kita punya cadangan
Meskipun demikian, tes dan perawatan IMS
mengantisipasi kalau nanti program kondom dari KPA juga menjadi pintu untuk merujuk pasien ke
nasional ini hilang.” (Wawancara Mendalam Tim Uncen klinik VCT. Ada sebanyak 1.648 orang atau 81%
dengan Sekretaris KPA Kabupaten Merauke, Juli 2015). dari WPS yang datang ke layanan IMS yang
kemudian dirujuk untuk mendapatkan tes HIV.

4. Penatalaksanaan IMS dan HIV


Puskesmas dan rumah sakit bertanggungjawab B. Analisis Kontekstual
melaporkan kepada Dinkes Kota tentang
Dalam penelitian ini, konteks didefinisikan sebagai
berapa pasien yang dilayaninya, tetapi
situasi sosial di mana integrasi program HIV dan
puskesmas tidak melapor kepada KPA. Di ketiga
AIDS ke dalam sistem kesehatan berlangsung,
daerah ini, puskesmas juga melakukan kegiatan
meliputi aspek politik, ekonomi, hukum dan regulasi,
mobile clinic untuk pengobatan IMS dan VCT
serta permasalahan kesehatan. Berbagai faktor
ke lokasi-lokasi hotspot bekerjasama dengan
tersebut menentukan mekanisme bekerjanya
petugas penjangkau dari LSM.
proses adaptasi program spesifik seperti program
“Kami turun ke lokasi. Jadi kalau untuk pembagian PMTS ke dalam sistem kesehatan secara umum. 27
kondom, mereka sudah ada outlet sendiri. Itu mereka
Bagian ini menjelaskan pengaruh faktor-faktor
ada kerjasama langsung dengan KPA. Populasi
kunci langsung kerjasama dengan KPA jadi kita situasi sosial tersebut.
tidak berhubungan dengan [kami untuk] distribusi
kondom dan lain-lain cuman kita disediakan tempat,
klinik untuk kita melakukan pelayanan pada mereka.
Jadi, 1 minggu 1 kali di lokalisasi. Mereka mau untuk
1. Komitmen politik
memeriksa. Cuman kita kendalanya lagi di sana itu Komitmen politik terhadap penanggulangan HIV
pemeriksaan labnya tidak bisa, jadi paling sekedar
dan AIDS telah diwujudkan sebagai kebijakan
pendekatan sindrom saja di sana. Kondom mereka
sudah menyediakan disana, jadi hanya obat-obatan pemerintah melalui peraturan daerah, akan
saja yang kita sediakan.” (Wawancara mendalam tetapi implementasinya masih terbatas. Misal,
Tim Undana dengan Penanggungjawab Program IMS di Kabupaten Merauke terdapat kebijakan
Puskesmas Alak Kupang, Agustus 2015). penang­gulangan HIV dan AIDS No. 3 Tahun
2013 yang merupakan pembaharuan atas
ke­bijakan yang dikeluarkan pada 10 tahun
Model layanan mobile menjadi metode yang sebelumnya. Penanggulangan HIV dan AIDS di
efektif untuk meningkatkan cakupan IMS dan ka­bupaten ini juga diperkuat dengan komitmen
tes HIV seperti di Medan yang menargetkan peningkatan efektifitas peran KPA melalui
kunjungan VCT mobile dua kali sebulan dan Perbup No. 16 Tahun 2015. Kebijakan-kebijakan
layanan IMS mobile empat kali per bulan. ini berkonsekuensi pada penyediaan anggaran
Meskipun demikian, cakupan tes dalam laporan pro­gram HIV dan AIDS dan pendanaan KPA dan
tidak dipisahkan antara yang berasal layanan dukungan lintas sektoral termasuk kepada LSM
mobile dengan layanan statis di fasyankes. dalam bentuk alokasi dari APBD. Sementara
Implikasinya, data yang tersedia di SIHA adalah di Medan bentuk komitmen politik pemerintah
data keseluruhan tes VCT dan IMS. Misalnya, daerah bisa dilihat dari rancangan Perwal
di Medan cakupan jumlah kunjungan WPS ke sebagai penerjemahan dari Perda No. 1 Tahun
layanan IMS sebanyak 2.034 orang, dan yang 2012, SK Dinas Kesehatan No. 800 Tahun 2013
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

tentang pembentukan forum koordinasi LKB HIV 2. Ekonomi


dan AIDS. Di Kupang, bentuk komitmen politik
Dalam beberapa tahun terakhir di ketiga
pemerintah daerah untuk program HIV dan AIDS
daerah ini terdapat pertumbuhan ekonomi yang
diwujudkan dengan kebijakan-kebijakan daerah
berdampak pada peningkatan pendapatan
terkait HIV seperti Perda No. 8 Tahun 2011 dan
daerah. Kupang, contohnya, mengalami
ditindaklanjuti dengan Perwali tahun 2013,
peningkatan PAD sampai 14% antara tahun
hingga pengembangan regulasi tentang pokja
2012-2014. Peningkatan ini memungkinkan
lokalisasi dan SK Lurah tentang WPA.
pemerintah masing-masing daerah untuk
Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa ada semakin meningkatkan alokasi anggarannya
pemaknaan yang berbeda tentang dampak untuk berbagai bidang, termasuk kesehatan. Di
desentralisasi dari perspektif pemerintah daerah Kupang, data sekunder menunjukkan anggaran
dengan perspektif pelaksana program HIV dan daerah untuk kesehatan jumlahnya hampir
AIDS di daerah setempat. Bagi pemerintah, mencapai 10% dari total APBD. Sementara
desentralisasi dimaknai positif karena peme­rin­ di Kabupaten Merauke, kebijakan Otonomi
tah daerah memiliki kewenangan untuk secara Khusus (Otsus) juga memberikan dampak
man­diri membuat kebijakan dan menentukan positif terhadap peningkatan anggaran
prio­ritas pembangunannya. Sementara bagi pembangunan sektor kesehatan, khususnya
aktor-aktor pelaksana program HIV dan AIDS untuk penanggulangan penyakit menular dan
khususnya di Medan dan Kupang, desen­ tidak menular termasuk IMS dan HIV.
tra­lisasi dilihat sebagai sesuatu yang bisa
“[Di] awal-awal [anggaran] itu memang kecil, mungkin
ber­dampak kurang baik bagi pelaksanaan sekitar 6-7% total APBD. Tapi terakhir-terakhir sudah
program, khususnya apabila di daerah tersebut hampir 9-10%. Memang saya lihat juga ini otsus sudah
pe­mimpinnya tidak memiliki kepedulian untuk 15%. Cuma kalau otsus sudah besar, DAU biasa sudah
28 pe­nanggulangan HIV dan AIDS. tidak besar. Kalau kita bilang kesehatan penting,
ketika kita lihat alokasi dana kabupaten memang di
“Jadi, kalau dulu perintah dari atas itu lebih mudah nomor 2 nomor 3, berarti itu betul.” (Wawancara Tim
dicerna. ..gambarannya kalau dulu kan dari tingkat Uncen dengan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
pusat kalau ada perintah, ada Permendagri itu semua Merauke, Juli 2015)
ikut langsung. Kalau sekarang, e kepala daerah kan
bisa punya kajian macem-macem. Istilahnya, ‘ah ini
belum perlu kali.” (Wawancara mendalam Tim USU
dengan KPA Kota Medan, September 2015). Ketiga daerah ini juga memiliki komitmen
dalam hal penganggaran sehingga anggaran
untuk upaya penanggulangan HIV dan AIDS
Kebijakan desentralisasi ini bagi penanggulang­ mengalami peningkatan secara signifikan. Di
an HIV dan AIDS ditentukan oleh ada atau Merauke misalnya, besaran anggaran yang
ti­dak­­nya kepedulian pemimpin setempat dialokasikan untuk penanggulangan IMS dan
ter­hadap isu HIV dan AIDS. Hal ini bisa dibuk­ HIV menunjukkan peningkatan sekitar 48,15%
tikan dari respons daerah yang berinisiatif dari total alokasi anggaran untuk penyakit
mem­­berikan komitmennya untuk peningkatan menular yang besarnya Rp 2.409.315.000. Di
pem­­biayaan penanggulangan HIV dan AIDS Kupang, alokasi APBD untuk KPA Kota Kupang
se­bagai bagian dari kewenangan desentralisasi meningkat hampir 100% untuk anggaran tahun
yang dimilikinya. Sebaliknya, ada situasi di ma­ 2015. Peningkatan anggaran daerah untuk KPA
na aktor-aktor pemerintah daerah bisa memiliki di Kota Medan juga terjadi. Di ketiga daerah
pe­­mahaman yang berlawanan dengan inisiatif ini, besaran kontribusi dana dari MPI untuk
pro­gram HIV dan AIDS dari pusat. Hal ini tentu IMS dan HIV ditemukan tidak signifikan jika
saja bagi aktor program seperti KPA terasa dibandingkan dengan alokasi pendanaan dari
meng­­hambat penanggulangan HIV dan AIDS di APBD. Dukungan MPI lebih menjadi penyerta
daerah. program yang sudah ada, di Merauke MPI
sudah menarik dukungannya dari pemerintah
setempat sehingga program penanggulangan
Studi Kasus

HIV dan AIDS dibiayai oleh pemerintah daerah denda maksimum Rp 50.000.000 atau 6 bulan
dari APBN. kurungan penjara (Pasal 34 ayat 1 Perda No.
3 Tahun 2013). Hal ini berdampak pada rasa
Di Medan terdapat kontribusi dana dari swasta
takut untuk memeriksakan diri karena ada
(dana CSR) untuk penanggulangan HIV dan
petugas PPNS dan Satpol PP yang melakukan
AIDS yang diberikan kepada LSM, namun
pemantauan dan penindakan.
skalanya masih terbatas dan lebih diberikan
dalam bentuk kegiatan. Di Kupang dan Merauke “...kami Satpol PP selalu melaksanakan operasi
maupun pengawasan-pengawasan penertiban
tidak ditemukan dana dari pihak swasta. Dana
Perda itu. Entah itu siang malam kami biasanya
masyarakat juga tidak dicatat oleh pemerintah jalan biasanya di Yobar kami datangi, di Belsumbor
daerah di ketiga lokasi ini karena jumlahnya (Belakang Sumur Bor), kalau dulu Belrusak (Belakang
yang tidak signifikan. Meski demikian, tetap Rumah Sakit) kami selalu datangi dalam tugas
ada dana masyarakat yang digunakan untuk Satpol PP melakukan penetrasi, dalam artian bahwa
misalnya itu hanya memberikan teguran bahkan
mendukung program misalnya dalam bentuk
teguran administrasi, misalnya ijin apa dicabut. ..Jadi
donasi untuk koperasi kondom di Merauke. kami selalu rutin secara umum untuk mengawal
semua Perda itu.” (Wawancara mendalam Tim Uncen
Meski di satu sisi peningkatan status ekonomi di
dengan Satpol PP Kabupaten Merauke, Juli 2015).
daerah membuat pemerintah setempat semakin
mampu untuk mengalokasikan anggaran
kesehatan serta penanggulangan HIV dan AIDS
Demikian halnya di Kota Medan dan Kupang,
yang lebih besar, di sisi lain tetap ada masalah
peraturan setempat yang secara tidak
kesenjangan ekonomi dan sosial yang terjadi.
langsung memberikan hambatan terhadap
Dokumen RPJMD Kota Kupang maupun Kota
akses WPS terhadap layanan kesehatan
Medan secara khusus menyebutkan bahwa
adalah peraturan terkait Penyandang Masalah
masalah kemiskinan masih menjadi salah satu
Kesejahteraan Sosial (PMKS). WPS dimasukkan 29
isu yang perlu ditanggulangi. Karena faktor
ke dalam kategori ini sehingga menjadi
kemiskinan memengaruhi berkembangnya
objek untuk penangkapan oleh Satpol PP
pekerja migran dan prostitusi yang berpotensi
guna direhabilitasi dalam program-program
terjadinya penularan penyakit IMS dan HIV
pengalihan profesi yang dilakukan oleh Dinsos.
melalui transmisi seksual.
Hal ini membuat WPS semakin sulit dijangkau,
padahal pemerintah setempat tidak mengakui
adanya lokalisasi sehingga keberadaan WPS
3. Hukum dan Regulasi sebenarnya sudah sangat tersembunyi.
Meskipun tidak ada aturan hukum yang
secara langsung menghambat akses untuk
mendapatkan layanan kesehatan di ketiga 4. Permasalahan kesehatan
daerah ini, akan tetapi pemerataan akses
Kapasitas daerah dalam memanfaatkan hasil
populasi kunci untuk mendapatkan layanan
survei yang dilakukannya melalui mekanisme-
kesehatan masih belum optimal. Seperti pekerja
mekanisme yang ada masih terbatas.
seks yang berasal dari luar daerah umumnya
Akibatnya, daerah masih lebih mengandalkan
tidak bisa mengakses layanan karena tidak
hasil analisis yang dilakukan oleh pemerintah
memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai
pusat untuk perencanaannya khususnya untuk
syarat mendapatkan layanan kesehatan.
penanggulangan HIV dan AIDS yang bersifat
Kebijakan yang berpotensi menimbulkan vertikal. Hal ini bisa dilihat dari pemanfaatan
hambatan juga masih terjadi pada implementasi informasi strategis untuk pengembangan
Perda Penanggulangan AIDS seperti di perencanaan program penanggulangan
Merauke. Apabila pekerja seks ketahuan HIV dan AIDS, khususnya PMTS yang lebih
menderita penyakit IMS/HIV dan tidak mengandalkan desain program yang dilakukan
melaporkan diri, akan mendapatkan sanksi oleh pusat dan donor. Meskipun sebenarnya
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

berdasarkan informan dari Dinkes Medan program pada PMTS ini menyebabkan di ketiga
mengatakan bahwa secara rutin melakukan daerah tersebut menjalankan desain program
penentuan status kesehatan melalui surveilans dari pusat, kecuali Merauke lebih mandiri
rutin situasi epidemi daerah. karena sudah tidak dalam skema dukungan dari
“Kalau berbicara mengenai epidemiologi kita tidak
GF sehingga respons terhadap pencegahan dan
bisa lepaskan dari waktu tempat orang kita harus penularan melalui jalur seksual menyesuaikan
melihat secara detail, HIV AIDS ini menimpa siapa, kebutuhan di tingkat daerah berdasarkan
penyebarannya itu lewat apa, termasuk wilayah- permasalahan kesehatan yang ada.
wilayah yang beresiko karena itu di dalam sero
survei itu kami menyusuri wilayah-wilayah yang kami
anggap berpotensial untuk melakukan penyebaran-
penyebaran… saat sero survei itu kami melakukan
pengumpulan data dan pengambilan sampel, kami
C. Analisis Pemangku
tindak lanjuti dengan memberikan penyuluhan. Kepentingan
Sero survei masih dilakukan secara rutin, termasuk
sosialisasi di tingkat kelurahan.” (Wawancara Analisis pemangku kepentingan di bawah ini
Mendalam Tim Undana dengan Kadinkes Kota dilakukan untuk memetakan seperti apa posisi
Kupang, Oktober 2015).
para pemangku kepentingan dalam program PMTS
Di Merauke juga terdapat anggaran untuk pada WPS, dilihat dari segi kepentingannya serta
survei epidemi di RKA, namun kenyataannya kekuasaan berdasarkan sumber daya dan posisi
sejauh ini anggaran tersebut belum terealisasi. secara politik. Posisi para pemangku kepentingan
Hal ini menunjukkan bahwa meski secara ini memiliki implikasi sejauhmana program PMTS
normatif daerah menyatakan memiliki berbagai dapat diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan.
mekanisme untuk mengetahui besaran masalah Pemetaan pemangku kepentingan ini dilakukan
kesehatan di daerahnya, pada prakteknya terhadap pemangku kepentingan yang menjadi
30 informan dari level sistem maupun program yang
daerah masih lebih mengandalkan laporan
yang dikumpulkan dari unit-unit layanan, baik ada di tiga daerah penelitian. BPJS, PKR, Satpol PP
untuk program kesehatan secara umum maupun dan Dinas Sosial merupakan informan yang hanya
untuk program HIV dan AIDS. Dengan demikian, diwawancarai di Merauke saja, sehingga informasi
perencanaan untuk penganggaran kesehatan yang disampaikan tentang para pemangku
mengacu pada data-data di tingkat lokal. kepentingan ini tidak mewakili Medan dan Kupang.

Perencanaan sektor kesehatan di daerah dalam Gambaran hasil analisa atas posisi dari
batas tertentu sudah memanfaatkan data-data berbagai pemangku kepentingan menurut
survei di tingkat populasi yang dilaksanakan kepentingan dan kekuasaan yang dimilikinya
oleh pemerintah pusat, seperti Riskesdas, SCP terhadap program PMTS pada WPS di Kupang,
dan STBP. KPA Kota Medan juga secara rutin Merauke dan Medan bisa dilihat pada gambar 6.
melaksanakan pemetaan populasi kunci bekerja
sama dengan KPAN, salah satu MPI dan pernah
pula didanai oleh APBD untuk pemetaan di tiga 1. Dinas Kesehatan
kelompok populasi kunci (waria, LSL dan WPS).
Kepentingan Dinkes terhadap PMTS rendah
Sayangnya tidak didapatkan informasi tentang
karena Dinkes hanya mengambil peran yang
sejauh mana hasil pemetaan ini digunakan di
sesuai dengan tugas pokoknya, yakni tata
dalam perencanaan penanggulangan HIV dan
laksana IMS yang menjadi kompetensinya
AIDS di daerah. Lemahnya kapasitas daerah
dan tidak mengambil peran pada layanan
dalam menganalisa dan memanfaatkan data-
pencegahan untuk perubahan perilaku.
data epidemi ini dapat dibuktikan dengan
Padahal dalam Permenkes No. 21 Tahun 2013
sulitnya mendapatkan data epidemi di tingkat
diamanatkan bahwa Dinkes tidak hanya
kabupaten/kota. Implikasi dari lemahnya
berperan kuratif tetapi juga memberikan
kemampuan daerah dalam pengolahan dan
layanan pencegahan. Demikian juga terkait
pemanfaatan data untuk pengembangan
dengan kekuasaan Dinkes, pembiayaan tata
Studi Kasus

Keterangan:
  KPA
PKR LSM  Kepentingan Tinggi,
Kekuasaan Rendah
WPS 
Tinggi

Kepentingan Tinggi,
   Dinas Sosial*  Kekuasaan Tinggi
 Kepentingan Rendah
KE P ENTI NG A N

Kekuasaan Rendah
 Kepentingan Rendah,
Kekuasaan Tinggi
Satpol PP*
Puskesmas  
  Dinas Kesehatan Kab. Merauke * = memiliki kepentingan dan
kekuasaan yang tinggi tetapi
Rendah

tidak digunakan untuk memberi


Dinas Kesehatan Kota Kupang dan manfaat bagi program PMTS
Medan   
BPJS
  Rumah Sakit Bappeda*

Rendah Tinggi

K E K UA S A A N

31
Gambar 6. Posisi laksana IMS di fasyankes masih mengandalkan sumber daya dari
donor, khususnya untuk Kota Kupang dan Medan. Hal ini berbeda
Pemangku dengan di Merauke yang lebih mandiri karena Dinkes sepenuhnya
Kepentingan menggunakan sumber dayanya sendiri untuk menyediakan
berdasarkan layanan IMS dan VCT dengan target yang ditetapkan oleh Dinkes
sendiri. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa kepentingan dan
Kepentingan dan kekuasaan sumber daya Dinkes di Merauke tinggi.
Kekuasaannya
2. Rumah Sakit
Kepentingan rumah sakit di Merauke terhadap PMTS rendah,
sebab layanan IMS dan VCT dilakukan oleh PKR. Rumah sakit
lebih bersifat pasif menunggu rujukan dari PKR atau puskesmas
untuk memberikan layanan pengobatan IO atau pengobatan
bagi yang positif HIV. Demikian juga di Kupang dan Medan,
kepentingan rumah sakit rendah karena layanan VCT hanya
merupakan layanan tambahan yang diinisiasi GF dan Dinkes,
rumah sakit hanya menyediakan tempatnya saja. Layanan VCT
tetap disediakan oleh rumah sakit demi mendapatkan pendanaan
dari GF dan mendapatkan nilai tambah untuk status akreditasinya.
Disamping itu, tugas layanan IMS dan VCT di rumah sakit dianggap
oleh petugas rumah sakit sebagai tambahan kerja dengan
penghargaan minim.

Dari aspek sumber daya rumah sakit tergolong rendah, sebab


rumah sakit tidak mengalokasikan penambahan sumber daya
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

untuk layanan VCT dan IMS. Kekuasaan terlihat bahwa ada insentif yang didapat oleh
politik rumah sakit juga rendah sebab sekretariat KPA dari pelaksanaan program
kemampuannya untuk memobilisasi sumber PMTS, yaitu sesuai dengan desain program
daya guna mendukung layanan VCT dan IMS yang tertuang dalam panduan paripurna PMTS.
yang diberikannya terbatas. Di Kupang, rumah KPA memiliki kemampuan untuk mengelola
sakit sempat mencoba untuk mendapatkan aspek-aspek program yang bukan menjadi
pemasukan tambahan dengan beberapa kali keahlian dari Dinkes seperti mengoordinir LSM
mengajukan permintaan hibah untuk digunakan dalam melakukan penjangkauan bagi WPS,
dalam layanan VCT dan IMS. Namun pengajuan membentuk pokja lokasi, dan sebagainya.
tersebut tidak disetujui oleh pemerintah daerah
Kekuasaan politik KPA dalam program
karena dipandang layanan HIV di rumah sakit
PMTS di ketiga daerah ini tinggi karena KPA
sudah mendapatkan dana dari donor.
yang mengoordinir paling kurang tiga dari
empat komponen program PMTS, kecuali
penatalaksanaan IMS. Di Merauke, peran
3. Puskesmas koordinasi KPA ini semakin diperkuat dengan
Kepentingan puskesmas untuk PMTS rendah. Peraturan Bupati No. 16 Tahun 2015. Di
Puskesmas ditunjuk oleh Dinkes sebagai Kupang, kekuasaan politik KPA terlihat dengan
penyedia layanan sehingga kepentingan kemampuannya memobilisasi sumber daya
puskesmas dalam menjalankan program ini yaitu meningkatkan jumlah anggaran daerah
sekedar untuk memenuhi tanggung jawabnya sebanyak 80% pada tahun anggaran 2015
kepada Dinkes. Hal ini nampak di Merauke, dan mengalokasikan pembiayaan untuk
sedangkan untuk kasus di Kupang dan Medan PMTS mencapai 33%, sementara di Medan
pertanggungjawabannya kepada donor. mengalokasikan 20% dari total anggarannya
32 untuk PMTS. Di ketiga daerah ini, KPA memiliki
“Kalau kita sebagai, ini ya, sebagai pelaksana di
lapangan. Jadi kalau ada program yang turun, atau sumber daya tinggi untuk mengelola anggaran
apa, kita tinggal melanjutkan saja, menjalankan daerah yang dialokasikan kepadanya.
saja.” (Wawancara mendalam Tim Undana dengan
Penanggungjawab program IMS Puskesmas Alak,
Agustus 2015).
5. LSM
Kepentingan LSM terhadap program PMTS
Kekuasaan untuk mengalokasikan sumber pada WPS tinggi karena dari LSM mendapatkan
daya bagi program PMTS juga rendah karena sumber penghidupannya yang utama dari
masih tergantung pada Dinkes. Dinkes yang donor. Selain itu, LSM juga memiliki kepentingan
menentukan disetujui atau tidaknya usulan untuk mempertegas posisinya sebagai sektor
program dan anggaran dari puskesmas. Hal yang memiliki keahlian yang tidak dimiliki
ini terjadi karena puskesmas di daerah tidak sektor kesehatan yaitu untuk menjangkau,
memiliki kuasa anggaran untuk merencanakan mendampingi dan mewakili populasi
dan mengalokasikan kebutuhan untuk layanan tersembunyi seperti WPS. Keahlian inilah yang
PMTS secara langsung, harus melalui Dinkes menjadi kekuasaan sumber daya utama yang
dimiliki oleh LSM. Mereka telah terlibat sejak
lama dalam program PMTS, dan beberapa LSM
4. KPA yang menjadi informan di Medan, Merauke dan
Kupang memang didirikan untuk tujuan yang
Sebagai komisi yang memiliki mandat, KPA
berhubungan dengan PMTS sehingga SDM nya
memiliki kepentingan tinggi karena dengan
memang memiliki kompetensi yang diakui.
melaksanakan program ini maka KPA telah
melaksanakan tanggung jawabnya dalam “Sesuai dengan latar belakangnya, [kami] memiliki
visi terkait tentang kesehatan masyarakat secara
pencegahan penularan HIV melalui transmisi
umum khususnya masyarakat yang memang
seksual di ketiga daerah. Selain itu di Medan
Studi Kasus

termarjinalkan….. Jadi kegiatan kita tu melakukan kliennya masih lemah dan karena sumber
pendampingan, penjangkauan, kemudian dan daya yang dimiliki oleh WPS terbatas. Dengan
pemeriksaan untuk IMS dan HIV nya… khususnya
demikian, WPS merupakan penerima manfaat
untuk LBT, pada saat itu lelaki beresiko tinggi sama
pekerja seks khususnya pekerja-pekerja tidak utama dari program PMTS dan lebih menjadi
langsung yang ada di massage atau oukup…..” obyek program.
(Wawancara mendalam Tim USU dengan salah satu
LSM di Medan, Agustus 2015).

7. Bappeda
Secara politik, LSM juga memiliki kapasitas Bappeda merupakan salah satu pemangku
memengaruhi pemangku kepentingan di tingkat kepentingan yang memiliki kekuasaan yang
politik. Contohnya, satu LSM di Medan pernah tinggi di dalam pemerintahan daerah. Akan
berhasil membuat nota kesepakatan dengan tetapi, karena tidak mendapatkan insentif
Dinkes agar mengalokasikan sumber dayanya dari program PMTS pada WPS, Bappeda
untuk melakukan kegiatan VCT dan klinik memiliki kepentingan rendah. Berdasarkan
bergerak di lokasi-lokasi hotspot. Selain itu, posisi politiknya, Bappeda memiliki kekuasaan
beberapa LSM di kota yang sama juga sempat yang tinggi untuk mengarahkan SKPD agar
mendesak pemerintah daerah untuk menambah lebih berperan dalam upaya penanggulangan
jumlah layanan dan memastikan terpenuhinya kesehatan termasuk program-program HIV
rentang layanan, jauh sebelum konsep LKB dan AIDS seperti PMTS. Sayangnya di Medan
diperkenalkan oleh Kemenkes. LSM memiliki dan Kupang ditemukan bahwa Bappeda justru
sumber daya tinggi untuk melakukan advokasi menjadi pihak yang membatasi SKPD untuk
ke pemerintah. bekerja sesuai tupoksinya saja.
“...pekerjaan itu bukan bagian mereka, ga ada 33
tupoksinya untuk penyuluhan, kecuali tanda rambu
6. WPS lalu lintas bolehlah [Dinas] Perhubungan buat seperti
itu, tapi kalo HIV walaupun sasarannya supir angkot,
Kepentingan WPS terhadap program PMTS kan itu kerjaannya Dinas Kesehatan...” (Wawancara
tinggi khususnya bagi WPS yang sudah memiliki mendalam Tim USU dengan Kabid Sosbud Bappeda
Kota Medan, September 2015).
kesadaran untuk melindungi kesehatannya.
Dengan adanya program ini maka WPS bisa
memeriksakan kesehatannya secara rutin
Hal ini menyulitkan KPA untuk memobilisasi
lewat mobile clinic yang diadakan secara rutin
SKPD lain agar mengalokasikan sumber
ke lokasinya, serta mendapatkan layanan
dayanya untuk program-program HIV dan AIDS.
pemeriksaan IMS/HIV maupun perawatannya
Akibatnya, program PMTS pada WPS menjadi
secara gratis di puskesmas. WPS juga bisa
program yang mengandalkan pendanaan dari
mendapatkan informasi maupun kondom
donor, pusat atau Dinkes saja untuk aspek-
bersubsidi dari penjangkau atau LSM.
aspek program terkait kuratif.
Namun, sumber daya dan kekuasaan WPS
rendah karena keberadaan mereka tidak
diakui oleh penguasa daerah. Meskipun 8. BPJS
sudah berserikat, WPS akan sangat sulit untuk
memberikan tekanan pada para pengambil Kepentingan BPJS terhadap program PMTS
keputusan. Seharusnya WPS bisa memiliki rendah karena BPJS tidak memiliki hubungan
pengaruh misalnya dengan menuntut adanya secara langsung dengan program tersebut.
layanan yang berkualitas dan bersahabat Kelompok WPS juga tidak dilihat sebagai
untuknya, akan tetapi contoh seperti ini tidak kelompok yang potensial karena seringkali
ditemukan pada informan yang ada di Medan tidak memiliki identitas, berpindah-pindah
dan Kupang. Posisi tawar WPS terhadap sehingga memiliki tingkat risiko tinggi
terhadap kestabilan pembayaran premi yang
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

menjadi kepentingan utama BPJS. Di lain Jadi renstra ada, tapi kenyataannya, tergantung dari
pihak, kekuasaan sumber daya BPJS tinggi dinas.” (Wawancara Mendalam Tim Uncen dengan
Kepala Pusat Kesehatan Reproduksi Kabupaten
karena BPJS bisa memberikan akses terhadap
Merauke, Juli 2015).
layanan kesehatan kepada populasi marjinal
seperti WPS. Di Merauke, keberadaan BPJS
memberikan jaminan bagi orang miskin untuk Dengan kepentingan yang tinggi, implikasi
mendapatkan layanan kesehatan dengan Kartu terhadap program PMTS di Merauke adalah PKR
Papua Sehat (KPS). WPS juga termasuk yang memiliki peran dalam mengembangkan program-
mendapatkan pengobatan gratis. program PMTS bersama dengan lembaga-lembaga
“Ya hampir semua, tapi kita yang berobat ke sini lain yang menjadi bagian dari program PMTS. Akan
sebagian besar itu tidak bayar, karena apalagi putra tetapi meski perannya strategis, namun seberapa
daerah, mereka mau berobat saja sudah bagus.
jauh PKR bisa memenuhi mandatnya untuk
Intinya kita dapat sih dana BPJS, tapi itu sih lari ke
puskesmas, tapi itu baru-baru saja.” (Wawancara Tim menanggulangi masalah IMS dan HIV di kabupaten
Uncen dengan Kepala PKR Kabupaten Merauke, Juli ini masih sangat tergantung pada Dinkes.
2015).

10. Satpol PP
Implikasi posisi BPJS yang seperti ini
terhadap PMTS adalah kekuasaan BPJS bisa Kepentingan Satpol PP terhadap WPS tinggi
dioptimalkan untuk meningkatkan pembiayaan tetapi tidak dengan cara yang menguntungkan
terkait layanan pencegahan IMS, pengobatan program PMTS. Kepentingan Satpol PP
dan rehabilitasinya. BPJS memberikan adalah melakukan fungsi penertiban dengan
jaminan pemerataan layanan kesehatan bagi melakukan razia terhadap WPS. Hal ini dalam
34 peserta baik masyarakat yang rentan maupun prakteknya membuat WPS menjadi populasi
masyarakat yang mandiri. yang semakin sulit untuk dijangkau. WPS juga
menjadi takut untuk melakukan pemeriksaan
kesehatan karena khawatir terkena denda
bila diketahui mengidap IMS. Hal ini tentu saja
9. Pusat Kesehatan Reproduksi (PKR)
berdampak negatif terhadap program PMTS.
PKR memiliki kepentingan yang tinggi dalam
Kekuasaan Satpol PP secara politik tinggi
program PMTS karena merupakan lembaga
dalam hubungannya dengan penegakan
yang dibentuk secara khusus untuk menangani
hukum. Mereka mendapatkan mandat dari
PMTS di Kabupaten Merauke. PKR memiliki
pemerintah daerah sekaligus penegasan
kewenangan dalam merencanakan program
berupa Surat Edaran dari Menteri Dalam Negeri
dan penganggaran untuk pencegahan IMS
terkait pelibatan Satpol PP sebagai bagian
dan HIV. Tetapi kekuasaan dan sumber daya
dari pemangku kepentingan dalam upaya
PKR rendah karena masih tergantung dengan
penanggulangan HIV dan AIDS. Akan tetapi
keputusan Dinkes dalam proses perencanaan
untuk program PMTS, kekuasaan sumber daya
program, meskipun PKR sudah mempunyai
Satpol PP rendah karena tidak ada sumber
renstra.
daya yang secara langsung bisa digunakan
“Kami sebetulnya pernah menyusun renstra sebanyak untuk memperkuat program ini. Dengan posisi
2 kali kalau tidak salah. Tapi ya itu pak, renstra ya di
Satpol PP ini, mereka menjadi pihak yang
atas kertas saja. Jadi terus terang itu renstra terakhir
itu 2014 kalau tidak salah. 2012, saya lupa lagi. Sejak selalu perlu diajak bekerjasama agar dapat
itu tidak buat renstra lagi, percuma buat juga akhirnya melakukan tupoksinya tanpa memberikan
nggak [digunakan]. Jadi kalau saya lihat, apa yang hambatan terhadap penanggulangan PMTS
saya susun dan dinas setujui itu seperti rutin saja
di daerah. Pelibatan Satpol PP dalam pokja
dan meng-copy dari tahun-tahun sebelumnya. Jadi
seperti pengadaan reagen, pengadaan apa juga, loh
lokasi merupakan strategi yang relevan untuk
kok ini copy-an dari tahun sebelumnya. Padahal kami dilakukan guna menyikapi situasi ini.
setiap semester, selalu mengusulkan perencanaan.
Studi Kasus

11. Dinas Sosial akan tetapi program penanggulangan HIV dan


AIDS masuk menjadi bagian dari peraturan
Sama halnya dengan Satpol PP, kepentingan
daerah tentang penanggulangan HIV dan
Dinsos terhadap WPS tinggi tetapi kepada
AIDS. Konsekuensinya, PMTS masuk menjadi
program PMTS rendah, karena Dinsos memiliki
bagian dari kebijakan sektor kesehatan melalui
pendekatan program yang berbeda dengan
Renstra Dinkes setempat. Di ketiga daerah ada
PMTS. Kepentingan Dinsos yang berkaitan
kesamaan terkait dengan regulasi PMTS yang
dengan WPS adalah untuk program PMKS,
menginduk pada kebijakan daerah, RPJMD.
di mana tujuannya adalah bukan untuk
Misal, kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS
membuat WPS bisa mampu melindungi dirinya
telah masuk dalam kerangka pendanaan APBD.
dari perilaku seks yang berisiko, tetapi untuk
Di Kupang fokus penanggulangan penyakit
mengalihkan profesi mereka melalui rehabilitasi
menular (malaria, DB, diare, TB dan HIV), di
sosial.
Medan fokus pada program KIA, pencegahan
“Misalnya ada perkiosan sementara ini dari PMI penyakit menular, perbaikan gizi dan
memberikan bahan-bahan untuk kegiatan perkiosan, kesehatan lingkungan. Sementara, di Merauke,
sehingga nanti yang diharapkan beralih dari nanti
penanggulangan HIV dan AIDS menjadi bagian
kegiatan PSK itu ke usaha-usaha kios. Itu yang dari
dinas menyiapkan lagi bahan-bahan perkiosan dari peningkatan penanggulangan penyakit
begitu, berapa orang yang bisa meninggalkan itu menular dan tidak menular bersama dengan
termasuk ada yang mau usaha jual makanan dan kita peningkatan akses layanan kesehatan yang
akan memfasilitasi, nanti ke depannya seperti itu.” terjangkau, penanggulangan gizi buruk,
(Wawancara Mendalam Tim Uncen dengan Kepala
dan jaminan kesehatan bagi masyarakat
Dinas Sosial Kabupaten Merauke, Juli 2015)
miskin. Dengan masuknya ke dalam bagian
dari Renstra Dinkes, konsekuensinya PMTS
Kekuasaan Dinsos secara politik bagi
mendapatkan alokasi anggaran dari APBD di 35
ketiga daerah.
program PMTS tinggi karena Dinsos memiliki
kewenangan untuk memberikan surat Meskipun demikian, pengelolaan program
keterangan bagi keluarga miskin yang tidak PMTS menghadapi hambatan dalam
memiliki NIK sehingga bisa mendapatkan operasionalisasinya. Informan di Kupang dan
akses layanan BPJS. Sementara kekuasaan Medan menyatakan kurangnya kerja sama
sumber daya Dinsos tinggi tapi tidak memberi lintas sektor sebagai salah satu hambatan
manfaat positif bagi PMTS. Sumber daya Dinsos dalam pengelolaan program ini. Selain itu,
digunakan untuk mengatasi permasalahan hambatan yang dirasakan di Medan adalah
kemiskinan melalui perspektif moral. Implikasi sulitnya penjangkauan ke pelanggan WPS,
posisi Dinsos terhadap program PMTS adalah sehingga memengaruhi pencapaian target
Dinsos perlu terus didekati oleh pihak-pihak untuk kelompok ini meskipun untuk WPS sendiri
yang berkepentingan untuk memastikan tidak ditemukan hambatan yang sama karena
pembayaran layanan bagi WPS. relatif lebih mudah diidentifikasi. Sedangkan
hambatan yang dirasakan di Kupang adalah
belum tersedianya layanan VCT di tingkat
D. Deskripsi Pelaksanaan puskesmas, termasuk layanan VCT mobile.
Hal ini mengakibatkan terjadinya penumpukan
Fungsi Sistem Kesehatan pasien di rumah sakit, sehingga dikhawatirkan
WPS yang telah pergi ke rumah sakit tidak
1) Manajemen dan regulasi
bisa terlayani. Sedang di Merauke, layanan
a) Regulasi kesehatan untuk HIV dan IMS menghadapi
kendala kurangnya tenaga untuk menjangkau
Meskipun belum terdapat kebijakan khusus
daerah terpencil dan masih mengandalkan
yang mengatur pelaksanaan program
tenaga kontrak layanan kesehatan untuk
pencegahan HIV/IMS melalui transmisi seksual,
mengatasi kesenjangan tersebut.
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Pada regulasi dapat ditarik simpulan bahwa dominan mekanisme perencanaan PMTS
meski masih terdapat kendala teknis di layanan merupakan produk dari pusat khususnya
akan tetapi secara umum pengelolaan HIV untuk perencanaan pengadaan dan distribusi
dan PMTS sudah terintegrasi dalam kebijakan kondom yang dikelola oleh KPAN. Penentuan
daerah. Hal ini dapat dilihat dari komitmen target capaian program dilakukan oleh MPI
penganggaran untuk HIV dan PMTS melalui yang kemudian diimplementasikan oleh KPAD,
mekanisme Renstra Dinkes di ketiga daerah. Dinkes dan LSM. Dalam program PMTS secara
umum daerah cenderung memainkan peran
sebagai pelaksana program dari pusat dan
b) Formulasi kebijakan belum memainkan peran yang lebih bermakna
dan strategis untuk intervensi program PMTS.
Dalam proses pengambilan keputusan terkait
Kecuali di Merauke yang sudah melakukan
PMTS belum semua daerah mengacu pada
penganggaran di APBD melalui Unit Pelaksana
mekanisme Musrenbang yang melibatkan
Teknis tersendiri yang dibentuk daerah, yakni
pemangku kepentingan secara aktif. Di
Pusat Kesehatan Reproduksi (PKR).
Merauke, meski proses perencanaan Dinkes
lebih mengacu pada RPJM akan tetapi lebih Pengembangan kebijakan berbasis bukti ini
terkesan top-down, dan tidak ada informasi menjadi tantangan di ketiga daerah tersebut
tentang sejauh mana proses perencanaan se­hingga formulasi kebijakan di daerah ma­
dari bawah ke Dinkes berlangsung. Proses sing-masing sesuai dengan data epidemi dan
perencanaan dari bawah ke atas lebih terlihat ke­butuhan respons yang diperlukan. Dapat
di Medan dan Kupang yaitu melalui Minlok disim­­pulkan bahwa dimensi formulasi kebijakan
Puskesmas untuk menjaring usulan. Usulan ini ini belum terintegrasi dengan sistem kesehatan
kemudian ditampung di RUK, yang kemudian pa­da umumnya.
36 dirapatkan di Rakerkesda untuk memutuskan
apakah akan dilaksanakan dan dianggarkan
atau tidak. Di Kupang, hasil perencanaan sektor c) Akuntabilitas dan Daya Tanggap
kesehatan ini dipadukan dengan perencanaan
Di Kupang, Medan dan Merauke, proses
pembangunan pemerintah daerah yang didapat
Musrenbang sudah berjalan dan sudah meli­
melalui proses Musrenbang.
bat­kan perwakilan dari berbagai komponen
“Dari tingkat puskesmas itu ada istilahnya mini masya­rakat seperti dari pemerintah, tokoh
lokakarya atau Minlok, itu buat semacam usulan
masya­rakat, tokoh agama, RT/RW, perangkat
kegiatan kemudian ditampung dalam RUK atau
Rencana Umum Kegiatan, kemudian dipadukan kelurahan, serta organisasi kemasyarakatan.
dengan Musrenbang tingkat kelurahan, tingkat Akan tetapi forum ini dirasa belum memberikan
kecamatan... RUK dan Musrenbang tingkat kelurahan kontribusi yang signifikan dalam pengambilan
kecamatan itu ditampung, digabung dalam renja keputusan bagi sektor kesehatan yang ada di
dinas, kemudian renja dinas digabung lagi dengan
Kupang dan Medan. Hal ini disebabkan ma­
musrenbang kota. Jadi dia bertingkat dari puskesmas,
masuk ke dinas dan disesuaikan dengan Renja dinas suk­an-masukan yang didapat lewat proses
yang ada. Disini ada dua elemen perencanaan [yaitu] Musrenbang cenderung berpusat pada
sektor kesehatan dan perencanaan pemerintah pem­bangunan infrastruktur saja. Sementara,
daerah. Jadi pemerintah daerah itu ada musrenbang ma­sukan untuk pengembangan program ke­
kelurahan ada musrenbang kecamatan, kemudian
se­hatan dibawa ke Rakerkesda oleh Dinkes
musrenbang kota. Ditingkat dinas ada RUK ada
RENJA, ini yang diafilisasi lagi.” (Wawancara me­lalui proses Minlok. Proses Minlok yang
mendalam Tim Undana dengan Sektretaris Dinas dila­kukan oleh puskesmas memang melibatkan
Kesehatan Kota, September 2015). masya­rakat yang ada di sekitarnya, namun
fo­rum Rakerkesda sendiri tidak melibatkan ma­
sya­rakat umum dan tidak bersifat lintas bidang.
Pemanfaatan data untuk pengambilan De­ngan demikian, memang ada proses untuk
kebijakan terkait PMTS masih terbatas. Secara me­nampung aspirasi masyarakat, namun proses
Studi Kasus

pengam­bilan keputusan yang dilakukan oleh pertanggungjawaban kepada komunitas secara


sek­tor kesehatan sudah tidak lagi melibatkan terbuka, sehingga mekanisme yang semestinya
masyarakat. bisa menjadi media bagi akuntabilitas program
tidak optimal dan lebih bersifat formalisme
Untuk program HIV dan AIDS termasuk
dari pada membangun mekanisme kontrol
PMTS, upaya pelibatan populasi kunci di
yang partisipatif. Oleh karena itu, dimensi
Medan, Kupang dan Papua lebih diarahkan
akuntabilitas dan daya tanggap belum
untuk menunjang pelaksanaan program dan
terintegrasi.
pemanfaatannya daripada perencanaan
dan evaluasi. Monitoring yang dilakukan di
Merauke melibatkan populasi kunci tujuannya
cenderung programatik, yaitu untuk mengawasi
2) Pembiayaan kesehatan
ketersediaan kondom. Di ketiga daerah ini a. Pengelolaan sumber pembiayaan
ada berbagai alasan yang dikemukakan oleh
Pengelolaan sumber pembiayaan untuk
informan sebagai hambatan untuk melibatkan
penanggulangan HIV dan AIDS belum
masyarakat umum dan populasi kunci, misalnya
mencerminkan keseluruhan sumber-sumber
keterbatasan kapasitas KPA untuk melibatkan
pendanaannya. Pengelolaan sumber
secara bermakna peran serta populasi kunci
pembiayaan untuk penanggulangan HIV dan
dalam pengambilan keputusan. Sehingga, ada
AIDS dan PMTS oleh daerah khususnya, adalah
indikasi bahwa kemauan dan komitmen untuk
dana-dana yang bersumber dari APBN berupa
melakukan upaya pelibatan memang masih
Dana Alokasi Khusus (DAU), Dana Operasional
terbatas. Laporan program yang dihasilkan oleh
Kesehatan (DOK), Bantuan Operasional
KPA dan LSM juga masih belum dapat diakses.
Kesehatan (BOK), Dana Dekonsentrasi dan
Di ketiga daerah ini, tidak ditemukan upaya Dana Pembantuan. Sementara untuk sumber- 37
yang sifatnya terencana untuk membuat sumber pendanaan dari MPI dan CSR belum
masyarakat bisa mengetahui dan mengevaluasi terlaporkan menjadi bagian dari pengelolaan
berbagai program kesehatan yang ada beserta pembiayaan daerah. Pengolaan sumber
penganggarannya. Umumnya kegiatan yang pendanaan di daerah secara umum di bawah
dilakukan sebatas sosialisasi oleh petugas kontrol dari Bappeda atau Badan Pengelolaan
kesehatan, sehingga informasi yang dibahas Keuangan dan Aset, termasuk pengoordinasian
lebih cenderung pada program kesehatan saja berbagai sumber dari MPI. Di Merauke, Bappeda
dan tidak terkait penganggaran, apalagi untuk tidak mencatatkan sumber pembiayaan yang
mengevaluasi program kesehatan. Dari ketiga langsung diberikan ke layanan seperti dana
daerah tersebut, hanya di Kupang yang terlihat kapitasi dari BPJS maupun BOK. Di Medan,
ada upaya untuk menyampaikan penganggaran sumber dana yang berasal dari MPI dan CSR
dari BPJS ke setiap puskesmas, namun sifatnya (termasuk untuk program HIV dan AIDS) tidak
juga pasif yaitu dengan menempelkan informasi dicatat atau dikoordinasikan oleh Bappeda
tersebut di papan pengumuman. melainkan oleh Dinas Kesehatan Kota.
“Nah gini, mungkin kalau programnya memang kita Sementara itu, Bappeda Kota Kupang turut
sampaikan, tapi kalau untuk anggaran sampai saat mencatat dan memerhitungkan pembiayaan
ini belum sevulgar gitulah kita buka ya, karna tidak dari MPI. Berikut adalah gambaran sumber
semua orang bisa memahami anggaran, bisa nati
pembiayaan sektor kesehatan di tiga daerah.
dia punya pemahaman yang berbeda.” (Wawancara
mendalam Tim USU dengan Kabid PMK, September Dalam RPJMD, Bappeda Kota Kupang tidak
2015).
merincikan secara eksplisit sumber pembiayaan
yang berasal dari MPI sebagaimana yang
dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota dalam
Kecenderungan data menunjukkan bahwa
Renstra Dinas Kesehatan 2013-2017. Namun
di sebagian besar daerah belum ada upaya
menurut Kasie P2 ada pelaporan dari Dinas
yang serius untuk menyampaikan mekanisme
Kesehatan Kota kepada bagian Perencanaan
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Tabel 4. Sumber Pembiayaan untuk Pembangunan Kesehatan dan


Penanggulangan HIV dan AIDS di Medan, Kupang dan Merauke

No Sumber Pembiayaan untuk Jumlah Anggaran di Jumlah Anggaran di Jumlah Anggaran di


Pembangunan Kesehatan di Daerah Medan (Rp.) Kupang (Rp.) Merauke (Rp.)

1 APBD kesehatan untuk Dinas Kesehatan 119.638.000.000 72.569.646.075 88.248.994.557


Kota (Medan dan Kupang) dan Dinas
Kesehatan Kabupaten (Merauke)
2 APBD kesehatan untuk Rumah Sakit Tidak ada 23.260.478.191 107.246.406.472
3 APBN: Dana Alokasi Khusus 3.669.800.000 (untuk 5.128.354.000 (untuk 3.044.890.000
obat) farmasi 3.389.920.000 (Pengadaan Obat)
& pelayanan dasar 745.454.953 (Pengadaan
1.272.220.000) Obat – DAK Lanjutan)

4 APBN: Dana Operasional Kesehatan Tidak ada Tidak ada 1.616.000.000 untuk
biaya operasional dan
pemeliharaan
5 APBN: Dana Dekonsentrasi Tidak ada 10.000.000 Tidak ada
6 APBN: Dana Otonomi Khusus Tidak ada Tidak ada 7.930.000.000
7 APBN: Dana Pembantuan 3.427.100.000 (BOK) 2.759.000.000 (BOK) Tidak ada informasi
2.000.000.000
8 APBN: Dana Hibah 500.000.000 Tidak ada informasi Tidak Ada informasi
9 Jamkesmas 6.950.150.000 Tidak ada informasi 5.635.900.000 untuk
38 kesehatan orang miskin
10 MPI Tidak ada informasi 29.647.200 (GF) Tidak ada data
110.613.000 (AIPMNH)

No Sumber Pembiayaan untuk Jumlah Anggaran di Jumlah Anggaran di Jumlah Anggaran di


Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah Medan (Rp.) Kupang (Rp.) Merauke (Rp.)

1 APBD 120.960.000, 4.500.000 (transport 410.000.000 (Pelayanan


500.000.000 (untuk penjangkau), 1.875.000 danPencegahan HIV/AIDS/
KPAK) untuk penemuan kasus ke PKR )
IMS & konseling penyakit, 300.000.000 untuk IMS
600.000.000 untuk KPAK ke PKR
450.000.000 untuk IMS ke
Pokja RSUD

2 APBN: Dana Alokasi Khusus 5.564.040.000 Tidak ada informasi Tidak ada informasi
3 APBN: Dana Dekonsentrasi 3.357.730.000 Tidak ada informasi Tidak ada informasi
4 APBN: Dana Otonomi Khusus Tidak ada Tidak ada informasi 1.160.000.000
5 APBN: Dana Hibah 500.000.000 200.000.000 (melalui KPA) 1.000.000.000 (Yasanto),
1.000.000.000 (KPA)
300.000.000 (Sanggar)
6 Dana Masyarakat Tidak tercatat Tidak tercatat Tidak Tercatat
7 Dana CSR Tidak tercatat Tidak ada Tidak ada
8 MPI Tidak tercatat Dana GF melalui KPA Dana UNFPA untuk KPA
156.294.000, Dana GF 300.000.000
melalui Dinas Kesehatan
Kota29.647.200

Sumber: Data sekunder Tim Peneliti USU, Undana dan Uncen (2014)
Studi Kasus

dan Evaluasi Bappeda sehingga jelas Bappeda yang kita inginkan. Jadi yang prioritas itu yang kita
melakukan pencatatan atas pembiayaan yang dahulukan. Yang lain itu ada dana-dana insidentil
masuknya kesitu. Kalau program rutin itu program
berasal dari MPI.
yang tiap tahun ada, sama seperti kegiatan-kegiatan
“Kalau dananya juga biasa dari Bagian yang diadakan oleh puskesmas. Kalau program
Perencanaan dan Evaluasi [Bappeda Kota] itu rutin ada uang atau tidak selalu jalan.” (Wawancara
setiap bulan mengambil kesini, memberikan form, mendalam Tim Undana dengan Sekretaris Dinas
setiap triwulan itu mencatat dana bantuan dari GF Kesehatan Kota Kupang, 7 September 2015).
itu berapa, trus kegiatannya apa-apa, nanti mereka
“Misalnya seperti review petugas, itu kan
laporkannya satu kali, jadi seluruh sumber dana
sebenarnya, namanyalah kita usulan, kalau
tercatat di Bagian Perencanaan jadi mereka yang
mengusulkan pun pastilah sebanyak-banyaknya,
melaporkan karena [sesuai] sistemnya mereka.”
tapi [ada kalanya] kita harus cut, tutup atau ambil
(Wawancara mendalam Tim Undana dengan Kasie P2
dulu, toh ada pertemuan bulanan. .....Jadi kalau
Dinas Kesehatan Kota Kupang, 19 Agustus 2015).
itu kan istilahnya, kalau gak dilaksanakan pun toh
ada kegiatan lain. Misalnya seperti kami kemaren
pengadaan pt sputum, misalnya untuk TB, toh kita
Pencatatan sumber pembiayaan kesehatan dapat juga dari provinsi, jadi seperti kegiatan-kegaitan
buffer gitu sebenarnya yang kita potong tadi, bukan
seperti di atas lebih bertujuan untuk memastikan
kegiatan yang bisa apa itu... fatal.” (Wawancara
agar tidak ada pengalokasian anggaran yang mendalam Tim USU dengan Kabid PMK Kota Medan,
tumpang tindih atas berbagai sumber dana. 2 September 2015).
Contohnya, Dinas Kesehatan Kota Medan
tidak akan menganggarkan apa yang sudah
dianggarkan oleh pusat atau MPI, atau hanya Variasi jawaban informan juga ditemukan
akan menganggarkan dalam jumlah kecil saja dalam penilaian atas kecukupan pembiayaan
untuk cadangan obat (buffer stock). Sama dibandingkan dengan target penanggulangan
halnya dengan di Kupang, apa yang sudah HIV dan AIDS secara umum dan pelaksanaan 39
ditanggung oleh MPI maupun KPA maka tidak program PMTS secara khusus. Di Kupang dan
akan dianggarkan lagi oleh Dinas Kesehatan Merauke, Dinas Kesehatan Kota menyatakan
Kota. Contohnya untuk sero survei karena bahwa pemerintah kota sendiri yang
sudah dianggarkan oleh KPA maka Dinas menentukan target pengobatan IMS yaitu
Kesehatan Kota tidak akan menganggarkan 100% seperti yang tertuang dalam RPJMD
lagi tinggal berkoordinasi dengan KPA untuk dan pembiayaan yang ada untuk obat agar
pelaksanaannya. mencukupi untuk memenuhi target yang
Meski fungsi-fungsi koordinasi anggaran ada. Sementara itu untuk LSM dan KPA yang
sudah ditemukan, namun ada indikasi bahwa targetnya ditentukan oleh MPI, pembiayaan
daerah belum bisa membuat perkiraan yang ada dinilai tidak sebanding dengan target
tentang jumlah pembiayaan yang dibutuhkan yang ditetapkan.
untuk menyelenggarakan program-program Pengelolaan sumber pendanaan dari berbagai
kesehatannya, termasuk untuk penanggulangan sumber domestik dan donor untuk PMTS di
PMTS. Akibatnya, penilaian informan di ketiga ketiga daerah masih berjalan paralel untuk
daerah ini atas cukup-tidaknya anggaran masing-masing pilar PMTS sesuai dengan fungsi
dibandingkan dengan kebutuhan sangat utama masing-masing sektor. Sehingga tata
variatif. Meski demikian, secara intuitif umumnya kelola sumber pembiayaan PMTS belum sinkron
informan di Kupang dan Medan menjawab dari keempat pilar pokok yang menjadi kegiatan
bahwa anggaran tidak cukup sebab ada utama dari PMTS. Oleh karena itu, dimensi
skala prioritas yang harus diterapkan dalam pengelolaan sumber pembiayaan masih belum
menjalankan program-program yang tidak rutin terintegrasi.
sifatnya.
“Kita menyusun berdasarkan skala prioritas,
makanya ada istilah fokus arah tadi karena kita tahu
bahwa anggaran kita itu tidak sesuai dengan apa
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

b. Penganggaran, proporsi, distribusi dan tetapi juga yang lain lagi. ...Namanya Gizi berarti
pengeluaran hampir semua sektor bukan hanya ibu saja. Tetapi di
point-point tertentu lebih di spesifikkan. Ada sendiri.
Mekanisme pooling dan pendistribusian ...Gizi diluar ibu hamil dan balita, misalnya ada survei
pendanaan untuk HIV dan AIDS / PMTS belum pemantauan wilayah setempat, Pemantauan Status
Gizi (PSG) itu masyarakat secara umum. Tetapi ada
cukup memadai dan kesenjangannya cukup [ juga] bantuan-bantuan paket untuk penanggulangan
tinggi. Misal, di Merauke, proporsi APBD Dinkes gizi BUMIL KEK dengan balita gizi buruk.” (Wawancara
untuk pengendalian penyakit menular mencapai mendalam Tim Undana dengan Sekretaris Dinas
2,74% dan dari jumlah ini 48,1% diantaranya Kesehatan Kota, 7 September 2015).
dialokasikan untuk penanggulangan HIV dan
IMS. Di Kupang, proporsi APBD Dinkes untuk
lima penyakit utama hanya sekitar 0.6% dari Bila dilihat dari proporsi peruntukan anggaran­
anggaran APBD untuk Dinkes yang mencapai nya, di ketiga daerah ini paling besar untuk
Rp 72.5 milyar. Di Medan jumlah anggaran kuratif, disusul promotif dan preventif. Di
untuk TB, DBD dan KIA sekitar 0.5% dari APBD Kupang, perbandingan antara anggaran untuk
yang dikelola oleh Dinkes. ku­ratif dan promotif/preventif yang bersumber
dari APBD tidak terlampau jauh (tidak sampai
Di Kupang, dari dana Rp 600 juta yang Rp 2 milyar), seperti yang terlihat dalam tabel 5.
dianggarkan ke KPA Kota Kupang, 37%
diantaranya (sekitar Rp 225 juta) dialokasikan Untuk program penanggulangan HIV dan
untuk program PMTS. Sementara dari APBD AIDS, proporsi anggaran APBD melalui Dinas
yang disalurkan ke Dinkes, anggaran untuk Kese­hatan memang fokus kepada pengobatan,
PMTS hanya sebesar Rp 1.875.000 untuk sementara proporsi anggaran APBD melalui
penemuan kasus IMS dan konseling. Di APBD, KPA maupun SKPD di luar Dinkes lebih ba­
40 tidak ada mata anggaran khusus untuk PMTS nyak digunakan untuk pencegahan dengan
tetapi Dinkes maupun KPA yang menentukan ben­tuk kegiatan yang paling umum berupa
proporsi anggaran untuk program ini. Dalam sosialisasi. Kegiatan-kegiatan pencegahan HIV/
Dinkes, anggaran untuk program-program IMS yang dilakukan oleh LSM juga dibiayai
HIV seperti PMTS seringkali dibuat sebagai oleh APBD melalui regulasi Bansos/dana
anggaran yang sifatnya lintas bidang, sehingga hibah. Di Merauke, ada salah satu LSM yang
tidak ada alokasi secara terpisah dan khusus telah berhasil mendapatkan pendanaan dari
untuk PMTS saja. APBD dengan jumlah yang signifikan, yaitu
mencapai satu milyar rupiah. Jika dikaji lebih
Pola penganggaran lintas bidang seperti ini dalam sebenarnya sumber pendanaan dari
juga ditemukan untuk program kesehatan di pusat untuk pencegahan ini relatif kecil seperti
luar HIV dan AIDS. Di Kupang, Merauke dan yang diterima oleh Kupang, karena bentuknya
Medan, anggaran untuk program-program dukungan untuk pengadaan kondom saja.
kesehatan yang saling berkaitan seperti KIA Sementara, pengadaan obat IO, reagen berasal
dan gizi, anggarannya ada yang dibuat terpisah dari APBD.
atau mandiri per program tetapi ada juga yang
bersifat lintas bidang. Anggaran yang terpisah Ketercukupan pembiayaan PMTS di daerah
adalah anggaran yang sesuai tupoksi program masih menghadapi kendala dengan ter­ba­
tertentu, sementara anggaran lintas bidang tas­nya alokasi pendanaan di ketiga daerah,
adalah anggaran yang berlaku untuk bidang- mes­kipun di semua daerah alokasi pendanaan
bidang yang relevan dengan program tersebut. su­dah memasukan untuk penanggulangan IMS
dan HIV. Apalagi perencanaan, pengadaan dan
“Ada yang mandiri, ada yang lintas [bidang].
Kalau yang lintas [bidang] itu KIA, Ibu dan Anak,
dis­tribusi untuk kondom dan lubrikan pada WPS
ada Gizi, Penyakit Menular, Malaria pada ibu hamil se­penuhnya masih bergantung pada pusat yang
dan bayi, dan HIV AIDS. ...Kesehatan Ibu dan Anak di­dukung oleh donor sehingga kontribusi daerah
ada seksi tersendiri, ada [ juga] seksi Gizi, seksi gizi un­tuk pembiayaan alat pencegahan penularan
ini mengganggarkan bukan full [untuk] Gizi sendiri
HIV melalui jalur seks belum berjalan. Oleh
Studi Kasus

Tabel 5.
Perbandingan
Anggaran untuk Sumber Promotif dan Kuratif Rehabilitatif
Preventif
Kegiatan Promotif/
Preventif, Kuratif APBD 12.929.235.292 14.786.321.800 -
dan Rehabilitatif di
APBN/DAK 1.534.322.340 4.024.290.000 -
Kota Kupang
TOTAL 14.463.557.632 18.810.611.800 -

Sumber: Dinas Kesehatan Kota seperti yang


dikumpulkan oleh Tim Peneliti Undana

karena itu, dimensi penganggaran, proporsi, dan AIDS termasuk untuk keperluan PMTS. 41
distribusi dan pengeluaran belum terintegrasi. Namun sebagaimana daerah-daerah lain di
Indonesia, di ketiga daerah ini layanan PMTS
yang dijamin JKN sebatas pada pengobatan
c. Mekanisme pembayaran layanan IMS. Tes HIV juga tidak ditanggung JKN tetapi
ditanggung oleh program. Selain itu ada pula
Untuk mengakses layanan-layanan kesehatan
permasalahan kelengkapan identitas atau
yang disediakan oleh pemerintah, masyarakat
identitas yang tidak sesuai domisili mengingat
marjinal di Kupang, Merauke dan Medan bi­sa
WPS merupakan populasi yang sering
menggunakan JKN dengan menjadi Pe­ne­ri­ma
berpindah-pindah, sehingga WPS banyak
Bantuan Iuran (PBI), ataupun dengan meng­
menghadapi kesulitan untuk ikut serta sebagai
gunakan Jamkesda yang di Merauke dike­nal
PBI di JKN.
dengan nama Kartu Papua Sehat. Tabel 6
menunjukkan jumlah masyarakat yang di­ikut­ Sejauh ini, cara pemerintah daerah di Kupang
kan sebagai peserta PBI dan Jamkesda di dan Medan untuk menyediakan jaminan
ke­tiga daerah ini. Fasilitas Jamkesda ini bisa pembayaran bagi masyarakat marjinal
di­ak­ses oleh masyarakat lokal dengan syarat yang berada di luar JKN adalah dengan
ke­lengkapan administrasi seperti Kartu Tanda menyediakan layanan secara gratis sampai di
Pen­duduk dan Kartu Keluarga. Selain itu, di tingkat puskesmas. Jaminan ini termasuk untuk
ke­tiga wilayah ini masyarakat bisa mengakses pembayaran mereka yang mengakses layanan
la­yanan secara gratis di tingkat puskesmas, PMTS, yaitu pemeriksaan dan pengobatan IMS.
de­ngan variasi ada beberapa yang menerapkan Di Merauke, penduduk asli baik yang memiliki
bia­ya ‘karcis’ (bervariasi antara Rp 5-15 ribu/pa­ KTP ataupun tidak, bisa mengakses layanan
si­en/kunjungan). secara gratis bahkan sampai ke tingkat rumah
sakit. Bagi penduduk pendatang khususnya
Mekanisme pembayaran layanan di atas
yang tidak memiliki identitas, ada upaya dari
berlaku juga untuk pembayaran layanan HIV
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Dinsos setempat untuk membantu dengan d. Sumber Daya Manusia


membuatkan Nomor Induk Kependudukan (NIP)
1. Kebijakan dan sistem manajemen
pengganti. Mekanisme pembayaran seperti
ini dianggap sudah meningkatkan akses dan Di Medan, Kupang dan Merauke, status
mengurangi hambatan masyarakat umum kepegawaian SDM kesehatan terdiri dari
maupun populasi kunci terhadap layanan PNS, PTT dan honorer/kontrak. Di Kupang
kesehatan. dan Medan, sebagian besar SDM kesehatan
adalah PNS, sementara tenaga kontrak
Mekanisme pembayaran untuk jaminan
umumnya direkrut untuk tenaga-tenaga
terhadap pengobatan PMTS sebagian besar
pendukung seperti satpam, petugas
masih menghadapi kendala untuk WPS oleh
kebersihan, supir puskesmas keliling serta
karena di sebagian besar daerah, WPS tidak
tenaga admin. Di Medan selain posisi-posisi
memiliki identitas sebagai prasyarat mekanisme
pendukung ini ada pula tenaga kontrak
memperoleh jaminan kesehatan nasional
yang sifatnya diperbantukan di program
sehingga akses layanan kesehatan untuk
mana saja yang memerlukan. Di Merauke
WPS ini masih mengandalkan pembayaran
proporsi pegawai kontrak cukup besar yaitu
menggunakan dana sendiri (out of pocket).
mencapai 40% dari semua SDM yang ada.
Dengan demikian, dimensi pembayaran
layanan masih belum terintegrasi. Di Medan sistem rekrutmen untuk tena­ga
kontrak dilakukan dengan melihat la­tar
belakang kualifikasi dan dengan meng­
gu­nakan SK Dinkes, yang artinya Dinkes

42

Tabel 6. Jumlah
Peserta JKN
dan Jamkesda Jumlah Peserta berdasarkan
Jumlah
Jenis Kepesertaan JKN
di Merauke dan Lokasi Peserta
Kupang (2014) Jamkesda

PBI Non-PBI

Merauke 412.998 761.942 Tidak ada


informasi

Kupang 87.653 136.643 217.360

Sumber: Data sekunder yang dikumpulkan oleh Tim Peneliti Uncen, Undana dan USU
Studi Kasus

bisa menentukan sendiri kebutuhan tenaga “Nah itulah masalahnya, karna kita ini nggak full
kontraknya. Di Merauke prosesnya juga semua disini, misalnya kami sebagai konselor,
[kami] punya tugas masing masing juga. Misalnya
serupa. Variasi sistem rekrutmen ditemukan
saya di [bagian] Kulit, [ jadi] memang tidak
di Kupang, di mana layanan khususnya semua [petugas] jumpa dengan pasien juga,
pus­kesmas hanya bisa mengusulkan tenaga jadi memang masalahnya itu….” (Wawancara
kontrak yang dibutuhkan ke Dinas Kese­ mendalam Tim USU dengan Penanggungjawab
Klinik VCT di RS Pirngadi, 20 September 2015)
hatan, tetapi Dinas Kesehatan sendiri tidak
berwenang untuk merekrut tenaga kontrak Kebijakan sumber daya manusia untuk
tersebut. Kewenangan untuk merekrut layanan PMTS pada tatalaksana IMS
dan mengalokasikan jumlah yang direkrut di ketiga daerah tidak terpisah dengan
ada di Pemerintah Kota yaitu di Badan sistem kesehatan daerah, khususnya
Kepegawaian Daerah (BKD). Tenaga-tenaga untuk tata laksana IMS. Sementara,
yang direkrut ini kemudian disalurkan tenaga penjangkauan dan pendamping
ke layanan yang memerlukan. Selama dikembangkan kerjasama dengan LSM.
puskesmas belum memiliki status BLUD, Pemenuhan kebutuhan SDM PMTS untuk
puskesmas tidak memiliki kewenangan tenaga di luar tata laksana IMS masih
untuk melakukan perekrutan sendiri. terpisah dan belum menjadi bagian dari
Di Kupang, SDM kesehatan di rumah sakit kebijakan kesehatan di tiga daerah. Dengan
yang terlibat dalam program HIV terdiri demikian, dimensi kebijakan dan sistem
dari dokter PDP, konselor, petugas lab/ manajemen SDM-PMTS belum terintegrasi.
analis, perawat, dan tenaga administrasi.
Se­dangkan di puskesmas ada pengelola,
bi­dan, konselor, analis, perawat dan 2. Pembiayaan SDM
promkes. Komposisi serupa juga ditemukan 43
Di Medan dan Kupang terdapat kesamaan
di Merauke dan Medan, seperti yang sumber dana untuk membiayai SDM
ditunjukkan di tabel 7. kesehatan, yaitu semua SDM kesehatan
Para petugas kesehatan yang terlibat dalam yang berstatus PNS dibiayai dari APBD,
layanan berstatus PNS dan tidak terlibat sementara untuk staf kontrak ada yang
di layanan HIV atau PMTS saja, tetapi me­ dibiayai APBD dan ada yang dibiayai oleh
mil­iki tugas ‘reguler’ lainnya. Contohnya, program/donor. Sementara di Merauke,
kli­nik VCT di Medan ada di bawah Bagian komposisi status staf juga sama yaitu
Kulit/Kelamin. Dengan demikian, dokter ada yang PNS dan ada yang kontrak/
yang ditempatkan di klinik hanya tersedia honor, semuanya didanai oleh APBD. Di
pa­da jam yang sesuai jam gilirannya saja, Medan dan Kupang ada insentif untuk SDM
ke­mudian harus kembali melakukan ‘tugas kesehatan yang berasal dari APBD dan
re­gulernya’ di bagian Kulit/Kelamin. Kondisi dari donor, tetapi insentif dari donor hanya
se­perti ini juga ditemukan di Kupang, baik di berlaku untuk SDM kesehatan yang terlibat
ting­kat puskesmas maupun tingkat rumah di program yang didukung oleh donor
sakit. tersebut. Sebaliknya, insentif dari APBD
berlaku untuk semua PNS sebagai bagian
“Hambatan mungkin tenaga ya, tenaganya
dari gaji (tunjangan). Di Merauke hanya
terbatas. Tenaga (untuk program HIV)nya me­
mang di puskesmas ada 3, pengelolanya 1.
ada insentif untuk kategori terakhir ini, yaitu
Trus, labnya 1, sama pencatat pelaporannya untuk SDM kesehatan yang kategorinya
1. Di pustu-pustu, ada 1-1 tenaga juga, cuman PNS. Hal ini dikarenakan di Merauke tidak
kita merangkap. Melaksanakan tugas inti di ada donor, maka insentif untuk staf kontrak
pus­kesmas dan juga tugas program tambahan.”
tidak ada. Selain itu, di ketiga daerah ini ada
(Wa­wancara mendalam Tim Undana dengan
Pe­nanggungjawab Program IMS Puskesmas Alak, pula insentif dari dana kapitasi untuk jasa
Agustus 2015). pelayanan.
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Tabel 7. Komposisi
dan Jumlah Tenaga
Jenis
Layanan
Jumlah Unit
Layanan
Spesifikasi
Petugas
Jumlah
Petugas
Kesehatan yang
Terlibat dalam
VCT 7 Koordinator 7 Program HIV dan
Konselor 17
Petugas administrasi 2 AIDS di Kota Medan
Petugas lab/analis 6
ARV 5 Dokter PDP 5
Perawat PDP 5
Farmasi 5
Manajer kasus 6
PMTCT 2 Dokter obgyn 2
Dokter anak 2
Perawat 2
Bidan 4
IMS 10 Koordinator 2
Dokter 10
Perawat 10
Konselor 10
Bidan 10
Analis 10
44 Administrasi 10
PTRM 2 Koordinator layanan 2
Dokter 2
Perawat 4
Asisten apoteker 2
Administrasi 2
Petugas penjangkau 2

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Medan seperti yang dikumpulkan oleh Tim Peneliti USU

Mekanisme serupa juga ditemui dalam transport atau uang administrasi yang
pembiayaan SDM kesehatan yang dihitung per pasien yang ditangani per
terlibat dalam program PMTS. Apabila bulan dengan jumlah yang bervariasi. Di
mereka berstatus PNS maka sumber kedua lokasi ini, LSM yang terlibat dalam
pembiayaannya dari APBD, sementara program PMTS umumnya berstatus pegawai
apabila statusnya adalah tenaga kontrak kontrak yang sumber pembiayaannya baik
maka pendanaannya bisa dari APBD untuk gaji maupun insentif berasal dari GF.
bisa dari donor, tergantung posisinya. Di Variasi sumber pembiayaan untuk SDM
Medan dan Kupang, ada insentif tambahan kesehatan yang terlibat dalam program HIV
yang diberikan kepada SDM kesehatan terlihat di Merauke yang semenjak tidak lagi
yang terlibat dalam program HIV. Insentif mendapatkan dukungan pembiayaan dari
ini dibiayai oleh GF dalam bentuk uang GF, maka tidak lagi mendapatkan insentif
Studi Kasus

khusus. Sumber pembiayaan untuk gaji PNS menjadi konselor kepada staf puskesmas
berasal dari APBD saja, termasuk untuk dan rumah sakit, pelatihan PMTCT, LKB,
yang berstatus pegawai kontrak. PICT, IMS dan HIV. Meski, ada juga yang
sifatnya manajerial seperti pelatihan
Pembiayaan SDM untuk PMTS didanai
monitoring dan evaluasi, manajemen
dari sumber APBD terutama untuk tenaga
data dan administasi. Hal ini sama juga di
pada layanan pengobatan di bawah dinas
Kupang, Medan dan Merauke.
kesehatan. Sementara itu, pembiayaan
tenaga honor pendamping dari sektor non Pergantian staf karena mutasi dan rotasi
kesehatan didanai dari sumber pembiayaan cukup menjadi masalah di Merauke dan
donor, kecuali Merauke karena MPI sudah Medan, sebab kesempatan maupun dana
menarik diri sehingga alokasi pembiayaan untuk pelatihan staf pengganti tidak selalu
tenaga PMTS bersumber dari APBD. Dengan tersedia. Di Kupang hal ini tidak dianggap
demikian, dimensi pembiayaan SDM PMTS sebagai gangguan yang berdampak pada
masih belum terintegrasi. layanan sebab telah ada antisipasi dengan
pengkaderan khususnya untuk pengelola
program. Hal ini terjadi baik untuk SDM
3. Kompetensi SDM kesehatan umum maupun SDM kesehatan
yang terlibat dalam program. Salah satu
Khusus untuk SDM kesehatan yang bekerja
cara mengatasi potensi kendala karena
dalam layanan PMTS, sumber pembiayaan
pergantian staf yang diterapkan di Merauke
pengembangan kapasitas umumnya berasal
dan Medan adalah penerapan ikatan
dari Dinas Kesehatan, KPA maupun dari
kontrak kepada SDM kesehatan yang dilatih
MPI (GF) kecuali untuk Merauke. Mengingat
untuk tetap berada di lembaga yang sama
SDM yang terlibat dalam program PMTS 45
setelah sekian tahun diikutkan di diklat.
tidak terbatas pada SDM kesehatan saja,
maka ada juga pelatihan-pelatihan terkait Karena layanan PMTS merupakan bagian
teknis program yang ditujukan pada SDM dari layanan lain di fasyankes maka tidak
non-kesehatan seperti tenaga program dari ada upaya akreditasi dan sertifikasi layanan
LSM. Akan tetapi, penyelenggara pelatihan PMTS secara terpisah. Sertifikasi dilakukan
tersebut umumnya adalah MPI dan KPA. di tingkat nakes yang terlibat dalam layanan
Dinas Kesehatan di Kupang dan Medan turut PMTS, misalnya nakes yang bertindak
melakukan pelatihan bagi staf LSM, tetapi sebagai konselor harus memiliki sertifikasi
dengan pendanaan dari donor. Tidak ada sebagai konselor. Namun pada prakteknya
standarisasi untuk tenaga non-kesehatan tidak semua tenaga yang terlibat dalam
dari Dinas Kesehatan. layanan PMTS memiliki sertifikasi yang
sesuai dengan layanan yang diberikannya,
Topik pengembangan kapasitas SDM
dan kemampuan Dinas Kesehatan untuk
kesehatan umumnya berfokus pada
menerapkan sertifikasi tersebut hanya
kompetensi teknis maupun manajerial.
terbatas pada nakes yang merupakan SDM
Kompetensi teknis berkaitan dengan
kesehatan.
peningkatan kemampuan nakes untuk
melaksanakan program sesuai SOP, Kompetensi SDM kesehatan untuk PMTS di
sementara kemampuan manajerial ketiga wilayah masih mengalami kendala
berkaitan dengan kemampuan pengelolaan untuk ketersediaan tenaga berkualitas
program kesehatan, seperti cara pelaporan, secara memadai, khususnya tenaga
pengembangan SIKDA, dan sebagainya. kesehatan yang sudah memiliki kompetensi
Sementara itu, untuk SDM kesehatan yang karena mekanisme kebijakan pemindahan
terlibat dalam program HIV, umumnya topik yang menimbulkan kekosongan. Disamping
yang dilatih adalah hal-hal yang berkaitan itu, untuk pemenuhan tenaga non kesehatan
dengan teknis program misalnya pelatihan tidak ada standarisasi dari Dinas Kesehatan,
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

sehingga upaya peningkatan kompetensi Di ketiga daerah ini, mekasnime pengadaan,


tenaga non-kesehatan, keberadaannya penyimpanan dan distribusi obat-obatan
mengandalkan dukungan dari pendanaan terkait program PMTS mengikuti mekanisme di
dari donor. Dengan demikian, dimensi sistem kesehatan. Untuk obat IMS dan reagen,
kompetensi SDM masih belum terintegrasi. pengadaannya dilakukan oleh Dinas Kesehatan
berdasarkan usulan (RUK) puskesmas dengan
memperhatikan estimasi kasus atau data pasien
3) Penyediaan farmasi dan alat dan perhitungan kebutuhan obat. Proses seperti
kesehatan ini berjalan di Medan dan Kupang. Sedangkan
di Merauke ada sedikit variasi karena
a. Regulasi penyediaan, penyimpanan, dilakukan oleh PKR, tetapi mekanismenya
diagnostik dan terapi tetap sama yaitu dilakukan dengan RKA untuk
Mekanisme pengadaan obat dan alat kesehatan disampaikan ke Bidang Farmasi dan Makanan,
pada ketiga daerah ini pada intinya sama, yaitu kemudian dikumpulkan dalam DPA dan proses
berdasarkan perencanaan kebutuhan puskemas pengadaannya dilakukan melalui lelang.
yang disampaikan ke Dinas Kesehatan melalui Perbedaan mekanisme pengadaan untuk
RUK dan Renja dan disesuaikan dengan pagu program PMTS terletak pada pengadaan
dana. Dinas Kesehatan kemudian mengusulkan kondom sebagai alat kesehatan karena
pengadaannya kepada pemerintah kota atau diatur oleh sistem di luar Dinas Kesehatan
pusat. Permintaan ini dibuat berdasarkan (yaitu oleh KPA), dengan perencanaan yang
estimasi dan pengadaannya sekali per dilakukan oleh KPAN. Di Medan, data yang
tahun. Di Medan apabila ada kejadian yang digunakan oleh KPAK dalam mengusulkan
menyebabkan ada kebutuhan obat tambahan pengadaan kondom terkait HIV dan AIDS
46 maka dimungkinkan untuk meminta obat dilakukan berdasarkan kalkulasi kebutuhan di
tambahan ke provinsi. lapangan, tetap pada kenyataannya jumlah
Mekanisme pendistribusian di Kupang, yang didistribusikan ditentukan dari pusat
Medan dan Merauke juga serupa. Di Kupang dan tidak selalu memenuhi usulan dari KPAK.
pendistribusian dari gudang Pofabelkes (Pos Pendistribusian kondom dilakukan oleh KPAN
Farmasi dan Perbekalan Kesehatan) ke unit langsung ke KPAP. KPAP/K yang kemudian
layanan dilakukan berdasarkan estimasi yang mengelola pendistribusiannya ke outlet dan
dibuat dari penggunaan obat sebelumnya yang unit layanan. Hal ini berlaku sama untuk Medan
dilaporkan ke Dinas Kesehatan. Sementara itu di dan Kupang, perbedaannya adalah di Merauke
Medan, distribusi dilakukan oleh kepala gudang kondom pengadaannya meskipun lewat KPA
farmasi ke puskesmas sesuai kebutuhan dan tapi didistribusikan melalui BKKBN dan Dinas
permintaan. Di Merauke, reagen dan obat IMS Kesehatan Provinsi/Kota dan unit-unit layanan
disalurkan dari gudang farmasi Dinas Kesehatan di bawahnya. Untuk pendistribusian kondom
ke gudang PKR, selanjutnya PKR yang mendis­ ke outlet KPA menggunakan tenaga petugas
tri­busikannya ke puskesmas dan rumah sakit. Di lapangan.
Kupang dan Medan, tidak ada masalah ter­kait Kebijakan logistik obat dan alkes untuk PMTS
pengadaan dan distribusi obat-obatan dan alat masih bersifat vertikal ditentukan dari pusat
kesehatan. Di Kupang yang menjadi ken­dala seperti pengadaan kondom dan lubrikan.
ada pada penyimpanan, di mana tidak ada Daerah lebih berperan sebagai pelaksana
pemisahan tempat penyimpanan obat dan alat program yang mendistribusikan kondom
kesehatan. Masalah lain yang ditemukan di dan lubrikan secara gratis kepada kelompok
Kupang adalah pencatatan di mana obat dan populasi kunci. Akibatnya, belum terjadi
alat kesehatan yang keluar gudang tidak se­lalu sinkronisasi antara pusat dengan daerah
dibuatkan catatannya ke dalam Laporan Per­ sehingga mengakibatkan obat menjadi
min­taan dan Laporan Penggunaan Obat (LPLO). kadaluarsa atau menumpuk di gudang. Oleh
Studi Kasus

karena itu, dimensi kebijakan penyediaan, Biaya distribusi obat-obatan yang digunakan
penyimpanan, diagnostik dan terapi obat belum dalam PMTS mengikuti pola sistem kesehatan
terintegrasi. di atas. Sedangkan biaya distribusi kondom
dari KPAN ke KPAP/K ditanggung oleh program.
Dari KPAK ke outlet kondom tidak ada biaya
b. Sumber Daya distribusi sebab didistribusikan oleh PL. Proses
ini sama untuk Merauke, Medan dan Kupang,
Di Kupang, Medan dan Merauke, jenis obat,
tetapi bedanya di Medan dari 4 PL yang ada di
vaksin dan alkes yang dianggarkan oleh APBD
KPA, 2 diantaranya dibiayai oleh program dan 2
terbatas pada obat tertentu saja karena alkes
lagi dibiayai oleh APBD.
dan obat sebagian besar didanai dari pusat
melalui DAK. Sementara untuk obat-obatan dan Di ketiga daerah ini, tidak ada informasi tentang
alkes yang digunakan dalam program PMTS, pengalaman kehabisan persediaan obat IMS,
jenis obat yang dianggarkan di APBD adalah namun mekanisme pinjam-meminjam antar
sebagian reagen dan obat IMS. Sebagian lagi fasyankes untuk obat-obatan merupakan
berasal dari pusat, sementara pemerintah sesuatu yang umum terjadi. Untuk kondom,
provinsi mengadakan cadangannya saja. pada tahun 2013 di Medan pernah terjadi
Mekanisme ini ditemukan di Kupang, Merauke kehabisan stok kondom sehingga KPA
maupun Medan. Di ketiga daerah ini tidak meminjam ke BKKBN. Menurut KPAK Medan,
ada anggaran untuk kondom karena sudah secara kuantitas memang jumlah kondom
ditanggung dana program melalui KPAN. yang dikirim oleh pusat belum sesuai dengan
kebutuhan daerah.
Untuk biaya distribusi obat dan alkes terdapat
variasi, seperti di Merauke tidak ada biaya “Jadi kalau penentuan target [distribusi kondom],
target yg ditentukan nasional itu sebenarnya
distribusi. Masalah ini diperumit dengan 47
untuk kota Medan itu cukup kecil. Mangkanya
kondisi geografis yang luas sehingga ada kita selalu mencapai target. Kenapa? Jadi kalau
hambatan untuk menjangkau puskesmas dalam pendistribusi kondom kita hanya 3 bulan itu
pembantu (pustu) yang berada di pedalaman/ di targetkan sekitar 50 ribu distribusi…. 50 ribulah
pulau. Sejauh ini cara mengatasi kendala kan tadi hitung-hitungannya kalau semua terima
pelanggan 2 aja kita butuh 68ribu per-bulan. Itu baru
tersebut adalah dengan menitipkan obat ke
1 populasi kunci, belum lagi LSL, waria. Memang
masyarakat yang akan melakukan perjalanan kebutuhan LSL sama waria masih kecillah. Tapi kita
ke daerah tersebut. Sementara di Kupang dan kan musti tau karna WPS di Kota Medan itu 1600,
Medan, terdapat pendanaan untuk distribusi anggap aja 1/3 yang butuh. 1 bulan butuhnya 2 kali
obat-obatan dan alat kesehatan ke unit ajalah, cukup banyak.” (Wawancara mendalam Tim
USU dengan KPA Kota Medan, 15 September 2015).
layanan. Biaya distribusi bisa ditanggung oleh
pemerintah pusat apabila pengadaan obat atau Sistem informasi untuk mengelola pengadaan
alkes tersebut berasal dari pusat, dan bisa pula dan penyimpanan obat-obatan dan alkes
dari daerah sendiri dengan anggaran dari Dinas cukup bervariasi, di mana Dinas Kesehatan
Kesehatan. Di Medan, dana pendistribusian ini di Kupang menggunakan LPLO yang sifatnya
juga bisa dianggarkan oleh puskesmas dengan lokal atau belum bisa digunakan di tingkat
menggunakan dana BOK. nasional. Di Medan belum menerapkan sistem
“Ada, jadi setiap bulannya [obat-obatan dan alat informasi, sementara rumah sakit di Merauke
kesehatan] diantar oleh dinas ke puskesmas. menggunakan SIM-RS (Sistem Informasi
Termasuk dana untuk pendistribusian itu ada, kecuali Manajemen-Rumah Sakit).
ketika puskesmas tiba-tiba mengalami lonjakan kasus
mereka bisa meminta dan membuat permohonan Mekanisme distribusi obat masih menghadapi
sendiri untuk kemudian mengambilnya sendiri kendala terutama pembiayaan distribusi yang
digudang. Kalau mereka sendiri yang datang ada tidak dianggarkan sehingga mengakibatkan
dananya yaitu Dana Operasional.” (Wawancara
mendalam Tim Undana dengan Sekretaris Dinas
sebagian menjadi kadaluarsa. Kesenjangan
Kesehatan Kota, 2 September 2015). pembiayaan untuk mekanisme distribusi
obat menjadi catatan penting dalam jaminan
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

ketersediaan logistik. Dengan demikian, dimensi b. Diseminasi dan pemanfaatan


sumber daya obat tidak terintegrasi.
Menurut Dinas Kesehatan Kupang, data-data
yang dihasilkan oleh Dinas Kesehatan sudah
digunakan untuk perencanaan program
4) Informasi strategis kesehatan, serta advokasi dan sosialisasi
a. Sinkronisasi sistem informasi kepada lembaga eksekutif dan legislatif.
Sayangnya tidak diberikan penjelasan secara
Sistem informasi dan format pelaporan PMTS
lebih lanjut bagaimana data-data yang ada
yang dikumpulkan oleh masing-masing lembaga
kemudian berhasil digunakan Dinas Kesehatan
berjalan sendiri-sendiri. Contohnya, rumah sakit
untuk memengaruhi para pimpinan daerah
di Medan dan Merauke mengumpulkan datanya
dalam mengambil kebijakan kesehatan.
dengan menggunakan form SIHA. Puskesmas
menggunakan SIK Puskesmas serta form dari Meskipun sudah ada upaya dari Dinas
Dinas Kesehatan yang menyesuaikan dengan Kesehatan untuk mengumpulkan,
format dari GF, yang isinya merincikan data mendiseminasikan, serta memanfaatkan data-
pasien yang dilayani seperti umur, jenis kelamin, data kesehatan untuk perencanaan, upaya
faktor risiko, pekerjaan, dll. LSM menggunakan tersebut, tampak lebih berhasil untuk program
format pelaporan dan sistem informasinya kesehatan umum dibanding untuk program HIV
sendiri tergantung dari siapa donornya, di dan AIDS seperti PMTS. Hal ini dikarenakan
mana informan LSM yang ada di Kupang dan Dinas Kesehatan sendiri tidak selalu berhasil
Medan menggunakan SINU sebagai sistem mengoordinasikan data-data yang dikumpulkan
informasinya. oleh lembaga-lembaga di luar Dinas Kesehatan
yang terlibat dalam penanggulangan program
Tidak ada koordinasi atas data program
48 PMTS, seperti LSM dan KPA. LSM sendiri
yang dikembangkan dengan sistem informasi
menyatakan bahwa mereka tidak selalu secara
yang berbeda dalam pengumpulan dan
rutin melaporkan data-datanya kepada Dinas
pelaporannya di tingkat daerah. LSM dan
Kesehatan, sifatnya lebih sering tergantung
KPA tidak memiliki akses kepada SIHA, jadi
permintaan dari Dinas Kesehatan.
apabila memerlukan mereka meminta langsung
kepada Dinas Kesehatan. Sebaliknya apabila Sejauh ini, pihak LSM sendiri tidak tahu
membutuhkan data program dari KPA dan LSM, pemanfaatannya seperti apa sehingga
maka Dinas Kesehatan akan memintanya. dorongan untuk secara aktif melaporkan
Namun di ketiga daerah ini tidak ditemukan kepada Dinas Kesehatan menjadi rendah
pelaporan secara rutin dari LSM maupun KPA -terlebih antara LSM dengan Dinas Kesehatan
kepada Dinas Kesehatan. Data program milik tidak ada relasi pemberi dan penerima
LSM dan KPA diinformasikan kepada Dinas dukungan dana seperti halnya antara LSM
Kesehatan tetapi hanya melalui pertemuan tiga dengan MPI. Tanggung jawab pelaporan
bulanan yang diadakan oleh KPA. Laporan yang lebih berjalan kepada pemberi dana masing-
secara rutin diberikan kepada Dinas Kesehatan masing, dan hal ini tidak saja terjadi pada LSM.
terbatas data program milik rumah sakit dan Menurut Kasie P2, data dari klinik VCT juga
puskesmas, yaitu setiap bulan. dilaporkan langsung ke Kementrian Kesehatan,
tidak ke Dinas Kesehatan. Dinas Kesehatan
Di tingkat daerah sinkronisasi sistem kesehatan
memiliki akses terhadap laporan tersebut tetapi
tidak berjalan. Masing-masing memiliki
berdasarkan permintaan.
mekanisme tersendiri dalam mengumpulkan
data sesuai dengan kebutuhannya. Variasinya Oleh karena itu, meskipun ada pernyataan dari
seperti SI NU, SI PKBI, SI LASS, dan seterusnya. Dinas Kesehatan di ketiga daerah ini bahwa
Dengan demikian, informasi strategis tidak data program HIV dan AIDS dari berbagai
terintegrasi dengan sistem kesehatan daerah. pihak juga diperhitungkan dalam membuat
perencanaan maupun pelaporan tentang situasi
Studi Kasus

dan respons HIV dan AIDS di kota/kabupaten umum untuk pengembangan layanan PMTS di
masing-masing, namun mengingat masalah daerah masing-masing. Sementara itu, ada satu
koordinasi data di atas tidak jelas tentang contoh bentuk keterlibatan masyarakat dari
seberapa jauh data yang dikumpulkan oleh Kupang yang menerapkan puskesmas reformasi
lembaga-lembaga di luar Dinas Kesehatan untuk meningkatkan mutu layanan sejak 2014.
tercermin dalam laporan Dinas Kesehatan, Keterlibatan masyarakat dilakukan dengan
maka. dapat disimpulkan bahwa dimensi melibatkan tokoh masyarakat di puskesmas
diseminasi dan pemanfaatan belum terintegrasi. sebagai dewan yang memberikan masukan
sekaligus membantu mencari sumber dana bagi
kegiatan yang tidak diakomodir pemerintah.
5) Partisipasi masyarakat Terdapat variasi dalam ketersediaan dana
Pelibatan masyarakat dalam proses APBD sektor kesehatan yang dialokasikan
perencanaan masih belum bermakna dan untuk memperkuat partisipasi pengembangan
berkontribusi secara aktif dalam pengembangan layanan kesehatan. Di Medan dana seperti ini
PMTS sesuai dengan kebutuhan komunitas. tidak tersedia, sementara Merauke ada alokasi
Akan tetapi, masukan yang diberikan oleh APBD yang sudah diakses masyarakat untuk
masyarakat termasuk perwakilan LSM lebih membiayai pelatihan atau kegiatan-kegiatan
sebagai legitimasi untuk menghindari protes untuk peningkatan kapasitas. Di Kupang, dana
dan perdebatan. Diterimanya masukan tidak untuk mendorong partisipasi masyarakat
menjamin bahwa aspirasi tersebut akan tampak tersedia dalam bentuk hibah yang bisa diakses
dalam program dan anggaran yang kemudian dengan membuat proposal. Meskipun demikian,
disahkan. Opini dengan nada serupa juga partisipasi strategis populasi kunci dalam proses
disampaikan oleh informan dari Kupang yang pengambilan keputusan yang memengaruhi
hajat hidup para WPS masih belum bermakna. 49
menyatakan bahwa sering kali Bappeda sendiri
sudah memiliki agenda dan proses Musrenbang Keterlibatan populasi WPS dalam perencanaan
sekedar dilakukan untuk memenuhi tuntutan lebih menjadi ruang untuk pemenuhan
prosedur dan mengonfirmasi program-program prasyarat demokrasi akan tetapi belum
yang sebenarnya sudah direncanakan menyentuh permasalahan dasar terkait dengan
oleh Bappeda. Dengan kondisi seperti ini, aspirasi dari populasi kunci sendiri. Dengan
ketertarikan masyarakat untuk terlibat dalam demikian, dimensi partisipasi masyarakat dalam
proses Musrenbang menjadi lemah. program PMTS tidak terintegrasi.

Mekanisme musrenbang umumnya belum


menjadi forum yang digunakan untuk
6) Upaya kesehatan
menampung aspirasi masyarakat atau populasi
kunci dalam pengembangan layanan PMTS, a. Ketersediaan layanan
sebab keterwakilan dari populasi kunci sendiri
Layanan kesehatan umum di ketiga daerah
masih terbatas. Sebenarnya KPA mempunyai
ini sudah mencukupi, meskipun dilihat dari
forum rutin yaitu pertemuan koordinasi, hanya
jumlahnya tiga daerah ini memang tidak bisa
belum optimal karena kehadiran dari SKPD
dibandingkan. Di antara tiga daerah ini, sebagai
tidak lengkap. Agenda pertemuan juga lebih
kota yang paling besar dengan populasi
menjadi ruang untuk sinkronisasi data untuk
penduduk terbanyak adalah Medan. Medan
kebutuhan pelaporan dan monitoring program.
memiliki jumlah layanan terbanyak dengan 41
Menurut informan dari LSM di Kupang, hal
puskesmas yang 11 diantaranya bisa melayani
ini dikarenakan KPA lebih memainkan peran
rawat inap, sementara di Kupang hanya ada 10
sebagai implementor daripada koordinator.
puskesmas dengan 4 puskesmas yang memiliki
Dengan demikian, forum-forum komunikasi
fasilitas rawat inap. Dari segi kelengkapan
ini belum menjadi wadah untuk menampung
layanan, Medan memiliki fasilitas terlengkap
aspirasi populasi kunci apalagi masyarakat
dengan 2 rumah sakit tipe A. Dengan demikian,
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

rujukan ke luar daerah untuk mendapatkan yang mencakup pengobatan IMS (dan VCT
perawatan yang lebih baik bisa diminimalisir. untuk kasus Kupang). Tugas ini juga diperankan
Hal ini berbeda dengan kondisi di Kupang dan oleh puskesmas, namun dalam pencegahan
Merauke, masih sering terjadi rujukan ke luar puskesmas juga melakukan penapisan IMS/
daerah yang jumlah dokter spesialisnya lebih HIV. Kegiatan puskesmas maupun rumah sakit
banyak dan fasilitasnya lebih lengkap. ini dikoordinir oleh Dinas Kesehatan, sementara
kegiatan-kegiatan pencegahan cenderung
Meskipun demikian, apabila dilihat dari segi
menjadi tanggung jawab sektor non-kesehatan
akses masyarakat ke fasilitas kesehatan dasar
seperti LSM dengan koordinasi dari KPA.
di sekitar lingkungan rumahnya, masyarakat
LSM memainkan peran sebagai penjangkau
di Kupang cukup memiliki kemudahan dengan
yang merujuk WPS untuk mendapatkan
banyaknya fasilitas pendukung seperti 35
informasi pencegahan serta mengakses
puskesmas pembantu dan 5 pos kesehatan
layanan. Layanan yang bersifat rehabilitatif
keluarga. Ada juga puskesmas keliling untuk
seperti mitigasi dampak diserahkan kepada
menjangkau rukun warga tertentu yang belum
masyarakat umum ataupun Dinas Sosial.
memiliki fasilitas layanan kesehatan dasar.
Sebaliknya di Medan karena sebaran penduduk Ketersediaan layanan tata laksana IMS secara
paling padat ada di pusat kota, maka layanan mendasar sudah terpenuhi di tiga daerah kajian
dasar juga cenderung terpusat di daerah- yang diberikan melalui layanan kesehatan
daerah padat penduduk tersebut. Akibatnya, umum pada fasilitas kesehatan di tingkat
kemampuan masyarakat di pinggiran kota untuk pertama (puskesmas). Hampir sebagian
menjangkau layanan menjadi lebih terbatas. besar fasilitas layanan kesehatan yang
berkontribusi sudah memenuhi persyaratan
Masalah akses yang tidak merata seperti ini
untuk melakukan promosi dan pencegahan
50 baru terasa di Kupang, apabila seseorang
PMTS melalui fungsi-fungsi tradisional pada
hendak mengakses layanan PMTS seperti VCT
aspek kuratif (pengobatan). Dengan demikian
dan IMS. Layanan VCT yang ada di daerah ini
dapat disimpulkan bahwa dimensi ketersediaan
ada 3 dan semuanya berlokasi di rumah sakit
layanan sudah terintegrasi.
provinsi yang berlokasi di Kupang, sehingga
relatif mudah dijangkau oleh masyarakat kota
Kupang tetapi tidak untuk masyarakat yang
b. Koordinasi dan rujukan
berada jauh dari kota. Jumlah ini tergolong
sedikit apabila dibandingkan dengan Medan Mekanisme rujukan dalam program PMTS
yang memiliki 24 lokasi layanan VCT. memiliki kesamaan dengan perawatan
Sementara di Merauke, layanan PMTS juga kesehatan umum dan dilakukan secara
terdapat di 24 puskesmas, 1 RSUD dan PKR. berjenjang mulai dari tingkat primer, dari Pustu
Dari jumlah tersebut terdapat 6 puskesmas ke puskesmas, RSU Kota dan RSU Provinsi.
satelit yang memberikan layanan IMS dan HIV. Akan berbeda bila dalam memperoleh layanan
Namun terlepas dari variasi jumlah layanan, bagi WPS karena dibantu dengan LSM.
kesamaan yang ditemui dari layanan VCT dan Siklus layanan PMTS ini dilakukan mulai dari
IMS yang ada di Medan, Merauke dan Kupang konseling, tes, dan jika positif akan dirujuk ke
adalah layanan-layanan ini tidak tersedia di RSU untuk pengobatan ARV. Sementara jika
semua fasyankes melainkan hanya tersedia di negatif akan dirujuk kembali ke LSM yang
fasyankes tertentu saja. mendampinginya.

Layanan PMTS belum sepenuhnya dilakukan Sistem rujukan yang berbeda ini menimbulkan
oleh semua komponen secara komprehensif potensi masalah koordinasi antar fasyankes
karena ada pembagian peran untuk puskesmas menjadi lebih besar bagi layanan HIV dibanding
dan RSU yang lebih sebagai penyedia layanan. layanan kesehatan umum. Terbukti di Medan
Dalam PMTS, rumah sakit berfokus pada dan di Kupang, hambatan utama yang
kegiatan kuratif yaitu penatalaksanaan IMS dikeluhkan dalam menyediakan layanan HIV
Studi Kasus

secara komprehensif adalah hambatan yang hambatan dalam implementasi layanan.


terkait dengan masalah koordinasi. Untuk
Kedua, penjaminan kualitas layanan juga
mengatasi masalah ini maka diimplementasikan
dilakukan dengan melakukan akreditasi dan
strategi seperti LKB untuk memperkuat
sertifikasi layanan. Namun mekanisme seperti
jejaring layanan. Tetapi di ketiga daerah
ini baru dilakukan di Merauke dan baru mulai
ini penerapannya juga masih simpang siur
diperkenalkan di Kupang dan Medan. Rencana
meskipun semua menyatakan bahwa jejaring
implementasi di kedua daerah ini pada tahun
layanan kesehatan antara puskesmas, LSM dan
2016 sebagai bagian dari langkah untuk
pokja sudah berjalan. Namun ketidakjelasan
menjadikan puskesmas sebagai badan usaha
yang ada mengakibatkan hasil dari strategi LKB
daerah. Di Merauke, ditemukan bahwa kualitas
terhadap ketersediaan layanan belum terlihat
layanan kesehatan masih rendah dilihat dari
di 3 daerah ini, seperti halnya dengan strategi
hasil akreditasi yang rata-rata nilainya masih di
SUFA.
kategori C+.
Mekanisme koordinasi dan rujukan medis belum
Ketiga, penjaminan kualitas juga dilakukan
secara konsisten dilakukan seperti mekanisme
dengan mekanisme survei kepuasan pelanggan
rujuk balik dari puskesmas atau rumah sakit
atau dengan menaruh kotak keluhan dan saran.
kepada puskesmas atau ke LSM dalam layanan
Kedua mekanisme ini pernah dilakukan oleh
lanjut terhadap ODHA. Dalam mekanisme
rumah sakit dan puskesmas yang ada di Medan,
continuum of care (layanan komprehensif),
Kupang maupun Merauke, namun masih ada
koordinasi dan mekanisme rujukan menjadi
beberapa masalah dalam implementasinya.
vital untuk menjaga kepatuhan berobat supaya
Pertama, mekanisme pengumpulan pendapat
tidak menimbulkan resistensi obat. Hal ini
dari pelanggan ini masih belum dilakukan
membutuhkan komitmen dari penyedia layanan,
baik dari sektor kesehatan maupun dari non-
secara rutin, dan kedua, tidak ada tindak lanjut 51
yang jelas dari temuan yang didapatkan. Dinas
kesehatan. Dapat disimpulkan bahwa dimensi
Kesehatan sendiri tidak selalu mendapatkan
koordinasi dan rujukan, belum terintegrasi.
informasi tentang hasil survei kepuasan
pelanggan di tingkat layanan, dan apabila
mendapatkan tidak selalu menjadikan hasil
c. Jaminan kualitas layanan
survei tersebut sebagai bagian dari upaya
Mekanisme jaminan kualitas layanan sudah Bimtek yang harus dilakukannya.
dilakukan oleh Dinas kesehatan sebagai “Yang terakhir dilakukan itu pada tahun kemarin,
penanggung jawab penyelenggaraan upaya ada survei kepuasan pasien terhadap pelayanan
kesehatan di daerah, meskipun demikian belum kesehatan di Puskesmas Pasir Panjang. Bukan hanya
ada standarisasi yang jelas untuk layanan Puskesmas Pasir Panjang tetapi ada beberapa
puskesmas, 7 puskesmas yang melakukannya
yang diberikan oleh tenaga kesehatan dan non
sudah dari tahun lalu.. Tahun kemarin itu puskesmas
kesehatan. Jaminan kualitas layanan sektor memberikan [survei] kepada masyarakat untuk dinilai
kesehatan dilakukan tiga hal yaitu: Pertama, pelayanan kesehatannya, tetapi selanjutnya saya
supervisi dan bimbingan teknis kepada layanan tidak tahu hasil akhirnya seperti apa. Karena tahun
kesehatan seperti rumah sakit, klinik dan lalu itu gencar-gencarnya dilakukan pelayanan
publik, program walikota, kepuasan pelanggan.
puskesmas secara berkala setiap tiga bulan
Sudah ada dilaksanakan tetapi tindaklanjutnya tidak
yang dilakukan oleh semua dinas kesehatan dimasukan kesini.” (Wawancara mendalam Tim Uncen
di tiga daerah. Supervisi dilakukan untuk dengan Kabid Yankes, 13 Agustus 2015).
mengecek implementasi program apakah
“Kalau untuk itu kita sebenarnya sudah, karena di
sesuai yang direncanakan atau sudah sesuai dalam setiap kegiatan, di dalam setiap rapat-rapat,
dengan SOP, mengecek kelengkapan fasilitas kita memang sudah menyarankan kepada layanan
serta ketersediaan alat dan bahan pengobatan, untuk coba menilai kepuasan pasien itu secara
sederhana. Tapi [dari] Dinas juga tidak menindak
memeriksa aspek ketenagaan seperti kualifikasi
lanjuti.” (Wawancara mendalam Tim USU dengan
dan kecukupannya, serta untuk menemukan Kabid Yankes, 14 September 2015).
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Dalam PMTS, upaya penjaminan kualitas dan pendampingan yang diberikan oleh LSM
layanan IMS juga sudah menyesuaikan dikoordinasikan oleh KPA dan monitoring serta
dengan mekanisme yang dilakukan oleh evaluasi programnya dilakukan oleh pihak
sistem kesehatan. Dinas Kesehatan melakukan donor masing-masing. Selain itu, di tingkat
bantuan teknis dan supervisi dengan intensitas LSM tidak ditemukan upaya khusus untuk
yang sama dengan program kesehatan lainnya, mengumpulkan masukan dari populasi kunci
yaitu setiap tiga bulan. Aspek yang diperiksa yang dilayaninya terkait kualitas layanan
dalam supervisi sama dengan supervisi pada yang diberikan. Dalam aspek inilah terdapat
program kesehatan lainnya, yaitu aspek perbedaan antara mekanisme penjaminan
ketenagaan untuk menilai apakah nakes kualitas layanan kesehatan umum dengan
yang melayani program HIV sudah terlatih, layanan PMTS. Sehingga dapat disimpulkan
aspek ketersediaan reagen untuk tes IMS dan bahwa dimensi jaminan kualitas layanan belum
HIV, obat IMS, pelaksanaan pelayanan dan terintegrasi.
capaiannya, serta kelengkapan administratif
seperti ada tidaknya buku pedoman dan
pencatatan untuk pelaporan. Dinas Kesehatan
juga mengembangkan panduan dan SOP
E. Tingkat Integrasi Program
untuk memandu implementasi program PMTS pada WPS ke dalam
seperti panduan pelaksanaan PMTS dan
Sistem Kesehatan
penatalaksanaan IMS untuk petugas layanan,
serta melatih tenaga kesehatannya untuk bisa Dalam penelitian ini, integrasi didefinisikan sebagai
memberikan layanan IMS dan VCT seperti di pengaturan organisasional yang ditujukan untuk
Merauke. mengadopsi program HIV dan AIDS ke dalam
52 sistem kesehatan di tingkat daerah. Pengaturan
Akan tetapi yang menjadi catatan adalah peran
organisasional ini bisa terjadi di tingkat fungsional
supervisi terhadap layanan tidak saja menjadi
dalam bentuk koordinasi, penyesuaian, serta
tanggung jawab Dinas Kesehatan tetapi juga
hubungan antara sistem kesehatan dengan
dilakukan oleh MPI secara langsung. Karena
program tertentu, atau di tingkat struktural dalam
MPI, dalam hal ini GF, memberikan pendanaan
bentuk penggabungan layanan. Berdasarkan
bagi Dinas Kesehatan di Medan dan Kupang,
gambaran fungsi sub-sistem kesehatan di atas, bisa
maka GF memberikan target kepada Dinas
diambil kesimpulan-kesimpulan tentang tingkat
Kesehatan Kota untuk melakukan supervisi dan
integrasi dari masing-masing dimensi sub-sistem
melaporkan hasilnya kepada GF. Contohnya,
kesehatan dengan program PMTS, seperti yang
Dinas Kesehatan Kota Medan memiliki target
ditampilkan pada tabel 8.
kunjungan supervisi yaitu 43 kali per tahun
ke semua fasyankes yang memiliki layanan Secara umum gambaran dan analisis
HIV dan AIDS dan temuannya kemudian pelaksanaan fungsi sistem kesehatan di atas
disampaikan kepada GF. GF sendiri dilaporkan menunjukkan bahwa program pencegahan HIV/
melakukan kunjungan supervisi ke layanan IMS melalui transmisi seksual belum terintegrasi ke
langsung, sehingga peran supervisi ini tidak dalam sistem kesehatan umum. Dari ketujuh belas
semata-mata dilakukan oleh Dinas Kesehatan dimensi hanya terdapat 2 dimensi yang terintegrasi
saja. yakni dimensi manajemen dan regulasi, serta
dimensi ketersediaan layanan. Dimensi kebijakan
Sedangkan penjaminan kualias untuk sektor
lebih terintegrasi karena secara kebijakan di tiga
non kesehatan karena tidak ada hubungan
daerah, Medan, Kupang dan Merauke, pemerintah
kerja yang sifatnya resmi antara Dinas
daerah sudah mengeluarkan Peraturan Daerah
Kesehatan dengan lembaga di luar sektor
tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, dan sudah
kesehatan seperti LSM, maka Dinas Kesehatan
memberikan komitmen alokasi penganggaran untuk
tidak mengawasi kualitas layanan yang
penanggulangan HIV dan AIDS meskipun masih
diberikan oleh LSM. Layanan penjangkauan
terbatas.
Studi Kasus

Tingkat
Sub-sistem Dimensi
Integrasi

Manajemen dan Regulasi þ


regulasi
Formulasi kebijakan ý
Akuntabilitas ý
Pembiayaan Pengelolaan sumber pembiayaan ý
Penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran ý
Mekanisme pembayaran layanan ý
Sumber daya manusia Kebijakan dan sistem manajemen SDM ý
Pembiayaan SDM ý
Kompetensi SDM ý
Penyediaan farmasi dan Regulasi penyediaan, penyimpanan, diagnostik dan terapi ý
alat kesehatan
Sumber daya ý
Informasi strategis Sinkronisasi sistem informasi ý
Diseminasi dan pemanfaatan ý
Partisipasi masyarakat ý
Upaya kesehatan Ketersediaan layanan þ
Koordinasi dan rujukan ý 53
Jaminan kualitas layanan ý

þ Terintegrasi penuh ý Tidak terintegrasi ¨ Terintegasi Sebagian

Tabel 8. Penilaian Dimensi kedua, yang terintegrasi adalah ketersediaan layanan.


Ketersediaan layanan lebih terintegrasi karena secara fungsional
Tingkat Integrasi di ketiga daerah sudah tersedia layanan infrastuktur layanan
Program PMTS kesehatan (service delivery) di tingkat puskesmas yang dirancang
WPS ke Dalam oleh pemerintah untuk memberikan layanan untuk IMS dan HIV pada
tingkat layanan primer. Meskipun sumber pendanaan untuk kegiatan
Sistem Kesehatan tersebut tidak sama dengan sumber pendanaan bagi layanan
kesehatan lainnya. Secara khusus di Merauke, layanan PMTS memiliki
kebijakan tersendiri dengan pembentukan unit pelaksana teknis di
bawah Dinas Kesehatan yang menangani pencegahan penularan HIV/
IMS melalui transmisi seksual. Dengan adanya unit khusus layanan
PMTS sebagai bagian dari nomen klatur dalam sistem kesehatan,
menjadikan ketersediaan layanan PMTS Kabupaten Merauke
terintegrasi penuh dengan sistem kesehatan daerah.

Pada tabel 8 bisa juga dilihat bahwa dimensi-dimensi fungsi


pembiayaan tidak terintegrasi seperti fungsi pembiayaan dalam
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

sistem pembiayaan kesehatan umum. Hal ini terintegrasi. Oleh karena itu, tidak terintegrasinya
memang tidak bisa dilepaskan dengan karakter PMTS ke dalam sistem kesehatan dipengaruhi
program PMTS sendiri yang dirancang secara oleh berbagai faktor. Berikut adalah faktor-faktor
vertikal dari pusat, sehingga pada daerah yang mengapa PMTS kurang terintegrasi ke dalam sistem
masih di bawah dukungan GF hampir sebagian kesehatan umum;
besar implementasi program PMTS mulai dari
perencanaan desain program dan pelaksanaannya
1) Lemahnya komitmen politik
berjalan secara paralel dengan sistem kesehatan pemerintah daerah untuk mendukung
lain, kecuali pada komponen tata laksana IMS PMTS
yang dikerjakan oleh Dinas Kesehatan (puskesmas
Komitmen pemimpin daerah yang masih masuk
dan rumah sakit). Sementara tiga komponen
dalam skema dukungan GF cenderung lebih
lainnya, yaitu Komunikasi Perubahan Perilaku;
lemah untuk memberikan perhatian peningkatan
pendistribusian kondom dan pelicin; serta
intervensi PMTS di daerahnya. Kurang kuatnya
penciptaan lingkungan kondusif dengan penguatan
komitmen tersebut dipengaruhi oleh faktor
koordinasi para pemangku kepentingan kunci,
masih tersedianya pendanaan yang berasal
berjalan menggunakan mekanisme yang terpisah
dari donor dan dengan alasan menghindari
melalui hierarki dari KPA, LSM yang mendapatkan
tumpang tindih dengan program yang sudah
dukungan penuh dari Global Fund.
mendapatkan alokasi daerah. Konsekuensinya
Konsekuensi adanya pembiayaan dari GF pembiayaan untuk pencegahan penularan HIV
dalam tata kelola PMTS menjadikan daerah Kupang melalui transmisi seksual tidak mendapatkan
dan Medan menggantungkan semua fungsi-fungsi pembiayaan yang memadai dan sekadarnya.
sistem yang lain seperti logistik pencegahan Faktor ini terbukti dengan penempatan PMTS
(kondom dan pelicin), sistem informasi untuk bukan sebagai prioritas pembangunan
54 pelaporan, dan keterlibatan masyarakat. Meskipun, kesehatan daerah sebagaimana tercermin
beberapa fungsi seperti regulasi dan ketersediaan dalam RPJMD di ketiga daerah. PMTS hanya
layanan sudah terintegrasi dengan mekanisme menjadi bagian kecil dari penanggulangan
sistem kesehatan umumnya. Walaupun Program penyakit menular di bawah P2.
PMTS dikelola secara vertikal, secara programatik
lebih efektif karena bisa lebih menjangkau populasi
kunci secara fleksibel dan melibatkan partisipasi 2) PMTS merupakan program vertikal
aktif dari LSM dalam implementasi programnya. yang menjadi wilayah MPI (donor)
Implikasinya, PMTS memberikan manfaat juga
Program pencegahan penularan HIV dan IMS
untuk penguatan kapasitas pada sektor non
melalui transmisi seksual menjadi domain
kesehatan karena selain pembiayaan program,
dari MPI yang diimplementasikan dengan
GF juga memberikan dukungan untuk peningkatan
pe­ngembangan desain program dengan
kapasitas LSM yang menjadi mitra-mitranya.
pe­laksana utama KPA dan LSM sebagai
mitra-mitra pelaksana di lapangan. Faktor ini
mempengaruhi mekanisme pelaksanaan pro­
F. Faktor-faktor yang gram di tingkat daerah, dimana PMTS berjalan
Memengaruhi Integrasi paralel dengan layanan sistem kesehatan
lainnya, kecuali pada komponen tata laksana
Program PMTS-WPS ke dalam IMS yang menggunakan jalur sektoral melalui
Sistem Kesehatan Dinkes. Pada tingkat praktek, terjadi fragmentasi
pelaksanaan program PMTS sebagai satu
Di bagian sebelumnya, penilaian tingkat integrasi kesatuan antara fungsi yang dijalankan oleh
antara program PMTS pada WPS ke dalam sistem Dinkes dengan unit-unitnya dengan fungsi
kesehatan ditarik simpulan bahwa sebagian besar pencegahan lainnya yang dilakukan oleh KPA
sub-sistem fungsi program dan kesehatan tidak dengan LSM sebagai pelaksana di lapangan.
Studi Kasus

3) Lemahnya fiskal daerah 5) Lemahnya kapasitas daerah dalam


memengaruhi prioritas pembiayaan memanfaatkan data informasi
sektor kesehatan strategis untuk perencanaan PMTS
Tingkat pendapatan daerah di tiga lokasi Program PMTS sebagai program vertikal
penelitian menunjukkan respons yang dikembangkan secara terpusat dengan
berbeda. Meningkatnya pendapatan daerah memanfaatkan data dan informasi pada tingkat
berdampak pada peningkatan anggaran nasional. Dengan masih lemahnya kapasitas
kesehatan seperti di Kupang. Akan tetapi pada daerah dalam mengumpulkan, menganalisa
saat yang bersamaan, dengan peningkatan dan memanfaatkan data dan informasi
angka kemiskinan juga akan berpengaruh menjadikan daerah tidak bisa mengambil
terhadap prioritas penganggaran pembiayaan inisiatif untuk melakukan inovasi program.
pembangunan daerah. Merauke sebagai Oleh karena itu, daerah dalam implementasi
daerah yang lemah pendapatan daerahnya program pencegahan penularan HIV/IMS
tetapi pembiayaan untuk kesehatan mencapai melalui transmisi seksual lebih berperan
angka yang tinggi di atas 10%, demikian juga sebagai pelaksana kegiatan yang sudah
alokasi untuk pembiayaan PMTS cukup tinggi. direncanakan oleh pihak lain. Implikasinya
Hal ini dipengaruhi oleh adanya anggaran yang tidak terjadi sinkronisasi perencanaan program
berasal dari otonomi khusus yang memberikan PMTS dengan situasi epidemi dan kebutuhan
mandat untuk pembiayaan kesehatan yang di daerah, seringkali lebih untuk mengejar
cukup memadai. Meskipun tidak mutlak, akan target. Dalam pendistribusian kondom dan
tetapi faktor peningkatan pendapatan daerah pelicin seringkali belum tentu tepat sasaran
memengaruhi tingkat integrasi pembiayaan karena tidak dibarengi dengan mekanisme
untuk program PMTS seperti di Merauke, di pemantauan dan evaluasi yang memenuhi 55
sam­ping adanya Otsus juga faktor komitmen standar. Kelemahan kapasitas daerah dalam
pe­merintah daerah terhadap tingginya per­ma­ memanfaatkan data dan informasi untuk
salahan epidemi HIV dan AIDS di Merauke. perencanaan program PMTS ini menjadikan
faktor yang menentukan tidak terintegrasinya
PMTS ke sistem kesehatan daerah.
4) Kebijakan diskriminatif terhadap
WPS
Faktor penciptaan lingkungan kondusif G. Efektifitas Program PMTS
yang belum optimal memengaruhi integrasi 1) Kualitas layanan dari persepsi
layanan kesehatan untuk kelompok populasi
pemanfaat
kunci. Adanya kebijakan dan peraturan
yang diskriminatif dengan situasi populasi WPS yang berada di Medan, Merauke dan
kunci menjadikan integrasi layanan PMTS Kupang menilai bahwa mereka sangat terbantu
menghadapi tantangan serius. Adanya dengan adanya layanan yang diberikan LSM
kebijakan nasional dari Kemensos untuk dalam pemberian informasi dan rujukan.
menutup lokalisasi menjadikan populasi kunci Mereka juga menilai bahwa adanya layanan
(WPS) mengalami kerentanan untuk tidak pemeriksaan dan pengobatan IMS gratis
mendapatkan hak kesehatan yang harus membuat mereka bisa lebih memperhatikan
diterimanya. Disamping itu, WPS yang umumnya status kesehatan mereka secara rutin. Tidak
adalah pekerja migran sering kali mengalami ada keluhan yang berarti terkait ketersediaan
kesulitan untuk mendapatkan jaminan layanan, sebab layanan pemeriksaan IMS
kesehatan karena tidak memiliki kartu identitas dan tes HIV telah tersedia di layanan yang
setempat. bisa diakses oleh WPS. Di Kupang, WPS bisa
mengakses layanan secara rutin melalui mobile
clinic, sementara di Merauke ada layanan
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

penjemputan bagi kelompok WPS yang suka-sukanya. Gratis itu kan memang suka-suka,
berada jauh dari fasyankes. Hanya informan begitu jadinya.” (Wawancara Tim USU dengan
Pendamping WPS di Medan, Agustus 2015).
dari Merauke yang mengeluhkan masih tidak
tersedianya fasilitas rapid test sehingga hasil
tes tidak bisa segera diketahui.
Perbedaan perlakuan ini mengakibatkan
Meskipun dari segi ketersediaan layanan tidak beberapa WPS di Kupang memilih untuk
ada keluhan yang berarti, namun dari segi meng­akses layanan di tingkat rumah sakit
sikap petugas, beberapa WPS di Medan dan di seba­gai pasien umum, meskipun itu berarti
Kupang menyampaikan bahwa ada petugas- mereka harus membayar sendiri. Selain untuk
petugas yang bersifat diskriminatif terhadap menghindari potensi perbedaan perlakuan,
WPS yang mengakses layanan. Bentuk- ada pula WPS yang memilih berobat langsung
bentuk diskriminasi yang dirasakan adalah ke rumah sakit dan membayar sendiri demi
petugas mengajukan pertanyaan-pertanyaan menghindari sistem rujukan berjenjang yang
yang bersifat pribadi dan tidak berhubungan menjadi syarat pembayaran layanan dengan
dengan perawatan, misalnya alasan mengapa JKN. Jadi, meskipun para WPS ini memiliki KTP
pasien memilih bekerja sebagai WPS. Bentuk lokal sehingga bisa mengurus JKN, namun
diskriminasi yang lain adalah tidak memberikan mereka menilai sistem rujukan membuat mereka
diagnosis dan layanan kepada pasien WPS terpapar dengan berbagai jenjang layanan,
sebaik kepada pasien umum lainnya. Masalah sehingga potensi status mereka diketahui lebih
yang sama juga dikeluhkan oleh WPS di banyak orang menjadi lebih besar pula. Di sisi
Kupang. lain ada pula WPS yang tidak memiliki pilihan
“Teman-teman dampingan kan cerita, ini di wilayah untuk membayar sendiri ataupun menggunakan
ini seperti ini dokternya. Masak mereka kasar sekali, JKN karena mereka tidak memiliki identitas
56 kalau ngomong segala macam. Kita kan disitu mau lokal atau kelengkapan identitas, sehingga
berobat bukan mau apa. Walaupun itu memang mereka hanya bisa mengakses layanan
layanan gratis. Jangan mentang-mentang karena
gratis di puskesmas dan berharap tidak akan
pelayanannya gratis, e layanannya kepada teman-
teman dampingan gratis juga jadinya. Dalam arti, memerlukan layanan di rumah sakit.

Tabel 9. Data
Cakupan Program
pada WPS Capaian Penjangkauan
Kota Sumber
berdasarkan STBP* pada WPS

Medan** 48% STBP 2007

Merauke 97% STBP 2007

Kupang 75.3 % STBP 2011

*) Data Merauke adalah data frekuensi WPS yang mengikuti diskusi/intervensi dalam satu
tahun terakhir; data Sumatera Utara merupakan data check up WPS dalam satu bulan terakhir
dan Kupang adalah data frekuensi kunjungan WPS ke klinik IMS.
**) Keterangan: data di level provinsi
Studi Kasus

Tabel 10. Data


Cakupan Program
pada WPS Provinsi
Capaian
Penjangkauan Sumber
berdasarkan Data pada WPS
Program Sumatra Utara 61.4% SI PKBI 2014

Papua 5.9% SI PKBI 2014

NTT 63% SI NU, 2014

2) Cakupan program PMTS pada WPS Sebagai perbandingan, apabila data yang
digu­nakan adalah data program penjangkauan
Empat komponen program PMTS yaitu pe­ning­
yang dilakukan oleh LSM, keuntungan yang
katan peran positif pemangku kepen­tingan,
di­dapat adalah data yang ada lebih baru dari
ma­najemen dan distribusi kondom, komunikasi
pada data STBP yaitu data dari 2014. Se­lain
peru­bahan perilaku dan penatalaksanaan IMS
itu, indikator yang diukur oleh dua sumber
semuanya berujung pada sejauh mana WPS
yang digunakan (SIPKBI dan SINU) juga sama.
terpapar pada program yang mendukung dia
Akan tetapi, ada beberapa masalah lain seperti 57
untuk mengubah perilakunya agar tidak bere­si­
data yang tersedia adalah data di tingkat
ko. Untuk menilai keterpaparan WPS terhadap
pro­­vinsi dan bukan di tingkat kota/kabupaten.
pro­gram ini, ada dua sumber data yang bisa
Kemudian, ada indikasi bahwa data dari Papua
digunakan yaitu data STBP atau data dari LSM
ber­sifat under-reported karena ada beberapa
yang melakukan penjangkauan kepada WPS.
ka­bupaten termasuk Merauke yang tidak ada
Data cakupan program dengan menggunakan
datanya.
STBP bisa dilihat di tabel 9.
Apabila direrata, data STBP menunjukkan bah­
Ada beberapa kelemahan dengan data dari
wa cakupan program pada WPS di tiga daerah
STBP ini. Pertama, data yang tersedia ber­va­
ini adalah 73%, sementara rerata berdasarkan
ria­si berdasarkan tahun survei. Kedua, da­­ta
data program hasilnya lebih rendah yaitu 43%.
juga bervariasi berdasarkan tingkat wila­yah
Ter­lepas dari variasi ini, secara umum bisa di­
pengukuran sehingga data dari kota Medan
simpulkan bahwa cakupan program masih di
diwakili dengan data di tingkat provinsi,
bawah target nasional yaitu 80%. Meskipun de­
sementara data Merauke dan Kupang meng­gu­
mi­kian dengan mengacu pada data STPB 2007,
na­kan tingkat kota. Ketiga, STBP meng­gu­nakan
di Merauke capaiannya sudah efektif karena
tiga indikator untuk menilai cakupan program,
sudah melampaui target yang ditentukan.
yaitu berapa kali WPS menghadiri pertemuan,
berapa kali WPS mengunjungi IMS untuk check
up selama sebulan terakhir, serta frekuensi
3) Perubahan perilaku pada WPS
men­dapatkan kondom gratis dalam tiga bulan
terakhir. Masalahnya, data tersedia hanya Perubahan perilaku pada WPS bisa diasosiasi­
un­tuk sebagian indikator, sehingga data yang kan sebagai hasil dari program PMTS di
ditampilkan di tabel 9 ini adalah data yang wi­la­yah tertentu, sehingga pada aspek inilah
tertinggi dari indikator yang tersedia. ke­berhasilan atau efektifitas program PMTS
diukur. Data untuk program ini bisa didapatkan
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

dari STBP, di mana indikator yang digunakan Ruisendaal, 2015; Wilson, 2015). Demikian halnya,
untuk mengukur perubahan perilaku WPS apabila mekanisme pengadaan dan supply chain
adalah konsistensi penggunaan kondom dalam logistik alkes terintegrasi dengan sistem ke­se­
hubungan seks seminggu terakhir. Di Merauke, hat­an maka sistem manajemen yang efisien dan
data menunjukkan bahwa perubahan perilaku ber­ke­lanjutan akan berjalan (David, J Ripin et
pada WPS paling baik dibanding dua daerah al., 2014). Hal ini akan meningkatkan efektifitas
lainnya, yaitu mencapai 65%. Jika dibandingkan mi­salnya dengan adanya kerjasama penyediaan
dengan target nasional yaitu sebesar 60% maka per­alatan, pembagian pengelolaan tingkat me­ne­
target ini sudah tercapai. Dengan demikian, ngah, kerjasama pelatihan dan supervisi mau­pun
dapat dikatakan bahwa program PMTS di ker­jasama pengelolaan sistem informasi (Sweeney,
kabupaten ini sudah berjalan dengan efektif.2 Sedona et al., 2012). Akan tetapi, oleh kare­na pe­
Di Kupang, hasil yang dicapai adalah 48%, nelitian ini menunjukkan masih adanya dis­kri­minasi
sementara perubahan perilaku yang terendah yang dilakukan oleh petugas layanan ke­­sehatan
adalah di Provinsi Sumatera Utara yaitu 16% bagi populasi kunci (WPS) di Medan, ma­­ka kinerja
(tidak tersedia data untuk kota Medan saja). program PMTS dikatakan masih belum efektif.
Dengan demikian apabila hasil di tiga daerah
Sub-sistem pembiayaan PMTS tidak terintegrasi
ini dibuat rerata, hasilnya adalah 43%. Dengan
ke dalam mekanis­me pembiayaan daerah melalui
demikian, secara keseluruhan program PMTS
APBD sehingga belum memberikan kontribusi
pada WPS di ketiga daerah belum mencapai
se­cara memadai dalam arti ketercukupan pen­da­
hasil yang ditargetkan, karena di bawah target
na­an program PMTS untuk penjangkauan WPS
60%. Dengan demikian, secara keseluruhan di
yang dilakukan oleh sektor non kesehatan (LSM). Di
tiga daerah dapat dikatakan kinerja program
Kupang dan Medan, pembiayaan kegiatan pen­jang­
PMTS masih belum efektif. Hanya saja untuk
kuan masih mengandalkan dukungan MPI, ke­cua­li
58 Merauke, konsistensi penggunaan kondom
di Merauke yang sudah memberikan alokasi pem­
pada seks seminggu terakhir menunjukkan
bia­yaan untuk LSM dari APBD.
angka yang melampaui target nasional.
Pengadaan kondom dan lubrikan untuk program
PMTS yang terpusat berdampak pada efektifitas

H. Hubungan Tingkat Integrasi yang rendah. Kebijakan pengadaan kondom un­tuk


program PMTS yang menggantungkan peren­ca­
dengan Kinerja Program na­an, pembiayaan dan pendistribusian dari pusat
PMTS-WPS meng­a­kibatkan alur distribusi yang panjang,
ber­tingkat-tingkat dan memakan waktu. Dalam
Upaya untuk mengembangkan lingkungan kondusif hal pendistribusian kondom, dilakukan melalui
bagi pelaksanaan PMTS, melalui keterlibatan KPA dengan jaringan LSM sebagai pelaksana di
komu­nitas WPS secara lebih bermakna bersama la­pangan seperti Pokja HV dan AIDS lokasi melalui
pe­mangku kepentingan kunci (Dinas Kesehatan, outlet, pendidik sebaya, kader lokasi, sebagai
Polisi, Bappeda, dan pemangku kepentingan jalur pendistribusiannya, termasuk mekanisme
terkait lainnya), menjadi vital dalam advokasi akses pe­laporannya. Dengan situasi tersebut, tidak ada
layanan kesehatan yang adil tanpa diskriminasi. jaminan untuk ketersediaan kondom secara ber­ke­
Upaya pendekatan integrasi struktural secara lanjutan dan gratis karena menggantungkan se­pe­
aktif oleh komunitas WPS dengan para pengambil nuh­nya dari donor seperti di Kupang dan Medan.
kebijakan terbukti berkontribusi secara efektif Ber­beda dengan di Merauke karena ada inisiatif
dalam meningkatkan penggunaan kondom, untuk mengembangkan kondom mandiri yang
konseling dan tes, dan pengurangan dampak dike­lola oleh mucikari bersama dengan para tokoh
buruk kekerasan dan stigma (Gumani et al., 2011; lokal untuk keberlanjutan ketersediaan kondom di
daerah hotspot.
2) Data di tingkat layanan pada tahun 2014 menunjukkan
hasil yang lebih signifikan lagi, dimana persentase perubahan
Partisipasi komunitas WPS tidak terintegrasi ke
perilaku WPS dilihat dari konsistensi penggunaan kondom ini
mencapai 98,30 % berdasarkan data dari PKR. dalam sistem kesehatan. Hal ini berakibat efek­
Studi Kasus

Penanggulangan IMS dan HIV/AIDS memberikan aturan penggunaan kondom


100% menjadikan kinerja program menjadi lebih kondusif. Meskipun demikian,
adanya kebijakan rasia terhadap WPS yang dilakukan oleh Satpol PP di ketiga
daerah, dan kebijakan denda bagi WPS yang ketahuan menderita IMS di
Merauke turut memengaruhi efektifitas layanan. Berbeda dengan daerah lain,
Program PMTS menjadi satu UPT yakni Pusat Kesehatan Reproduksi (PKR). Ini
merupakan pengembangan model lokal oleh Dinas Kesehatan. PKR memiliki
kewenangan melakukan perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan PMTS untuk
obat IMS, kondom, dan peningkatan kapasitas nakes untuk penanggulangan
HIV dan AIDS. PKR memiliki staf tersendiri yang digaji oleh pemerintah
daerah dengan dana APBD yang berstatus sebagai PNS dan tenaga kontrak
sebagaimana mekanisme SDM Kesehatan lainnya. Dengan adanya PKR maka
kontrol terhadap penularan dan penyebaran penyakit menular IMS dan HIV
dapat ditekan. Keberhasilan kinerja PKR ini ditunjukkan dengan data konsistensi
penggunaan kondom pada WPS di Kota Merauke yang mencapai 98,30% (Tahun
2014). Sebuah contoh kasus model yang terintegrasi penuh dan berkontribusi
pada capaian kinerja layanan yang efektif.

tif­­itas­nya rendah karena komunitas tidak men­ Dinas Kesehatan maka perencanaan dan koordinasi 59
da­­pat informasi yang memadai terkait layanan. berjalan paralel dengan upaya kesehatan yang
Mi­­sal­nya jam layanan yang terbatas menjadikan dila­kukan KPA dan pemangku kepentingan lain­
ke­sempatan memeriksakan diri bagi kelompok nya. Dinas Kesehatan merencanakan dan meng­
WPS rendah. WPS bekerja pada malam hari ma­ka oordinasikan layanan IMS dan VCT secara ter­pi­sah,
men­jadi penting bagi layanan mengambil kebi­ sementara perencanaan dan koordinasi un­tuk
jak­an untuk buka layanan di sore hari. Selain itu, kom­ponen pencegahan lainnya dilakukan oleh
WPS seringkali mendapatkan diskriminasi untuk KPA. Hal ini memunculkan adanya potensi ma­
meng­akses layanan di layanan primer sehingga sa­lah dalam sistem rujukan antara layanan yang
mem­buat kesadaran untuk melakukan pemeriksaan ber­gerak dalam pencegahan dengan mereka yang
rutin (kepatuhan memeriksakan diri) rendah. Fak­ ber­gerak di perawatan, seperti yang ditemukan di
tor-faktor minimnya pemahaman terhadap hak Kupang. WPS yang sudah berhasil dijangkau oleh
ke­­­se­­hatan baik dari petugas kesehatan maupun LSM dirujuk ke klinik VCT yang hanya tersedia di
dari WPS menjadi penting untuk dikuatkan melalui tiga fasyankes sekunder untuk seluruh kota Kupang
pen­­didikan dan training sistematis. Penguatan WPS dan provinsi NTT. Akibatnya, terjadi penumpukan
se­bagai komunitas menjadi penting untuk dapat pa­sien yang menyebabkan layanan menjadi tidak
am­bil bagian secara bermakna dalam proses pe­ efisien, sehingga ada masalah dalam link to care
ren­­canaan pembanguan kesehatan. Komunitas yang membuat penjangkauan WPS menjadi kurang
WPS selama ini dilibatkan secara terbatas dan ti­dak efektif. Demikian halnya di Merauke, meskipun
men­jadi bagian aktif dalam pemantauan dan eva­ secara struktural semua fasyankes primer telah
lua­si implementasi program. Akibatnya ko­mu­nitas di­nyatakan dapat memberikan layanan IMS akan
WPS mengalami marginalisasi sehingga ke­butuhan te­tapi karena sumber daya kesehatan terbatas,
akses layanan kesehatan menjadi rendah dan la­yanan untuk pemeriksaan IMS dan rujukan ba­­gi
terbatas. yang positif HIV/IMS mengacu ke PKR dan Pok­ja
HIV dan AIDS RSUD sehingga membatasi kemu­
Dalam upaya kesehatan, sebagai dampak dari
dahan akses layanan VCT dan IMS untuk WPS.
hanya diambilnya komponen perawatan saja oleh
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

02.
Studi Kasus : Program Layanan Alat Suntik
Steril

A. Gambaran Implementasi 6. Program penggunaan jarum suntik seril

Layanan Alat Suntik Steril 7. Program pemusnahan peralatan suntik


bekas pakai
(LASS) 8. Program layanan terapi ketergantungan
Program LASS adalah salah satu jenis intervensi napza
spesifik dalam program penanggulangan HIV 9. Program terapi subtitusi
dan AIDS yang bertujuan untuk mengurangi risiko 10. Program perawatan dan pengobatan HIV
penularan HIV melalui pemakaian jarum suntik
11. Program pendidikan sebaya
secara bergantian pada penasun. Studi kasus ini
akan membahas secara spesifik program LASS di 12. Program layanan kesehatan dasar.
60 DKI Jakarta dengan sedikit memberikan pengantar
program LASS secara nasional. Program LASS
adalah bagian dari program pengurangan dampak Layanan alat suntik steril (LASS) menjadi
buruk napza yang sudah diinisiasi sejak tahun bagian dari upaya untuk memutus rantai penularan
1999, saat terjadi pergeseran kecenderungan HIV di antara pengguna napza suntik dengan
penularan HIV dari transmisi seksual ke penularan diimbangi pemberian layanan metadone secara
melalui jarum suntik. Program ini mulai diinisiasi bertahap agar dapat terbebas dari pengaruh obat-
oleh MPI dengan program penyediaan peralatan obatan. Berdasarkan Kepmenkes tersebut, LASS
suntik steril bagi penasun. Kementerian Kesehatan dapat dilaksanakan dengan 3 metode distribusi,
RI menyebutkan bahwa pengurangan dampak yaitu menetap (fixed site) melalui drop in center,
buruk napza menjadi bagian dari prioritas dalam puskesmas, atau institusi kesehatan lain; bergerak
penanggulangan HIV dan AIDS yang secara (mobile) yang dilakukan oleh petugas lapangan
eksplisit dinyatakan pula dalam Strategi dan dengan membawa jarum steril dan media informasi
Rencana Aksi Nasional Penanggulangan AIDS dengan mendatangi tempat-tempat yang sering
2003 – 2007. Kepmenkes Nomor 567/Menkes/ dikunjungi penasun, dan satelit dengan menaruh
SK/VIII/2006 serta Permenko Kesra No 02/2007 jarum steril di area tempat penasun berkumpul, di
menjadi payung hukum dalam pelaksanaan komunitas yang telah dipercaya dan dilatih sebagai
program LASS. Komponen dalam pendekatan harm perpanjangan dari lokasi menetap.
reduction meliputi : Pengurangan Dampak Buruk Pengguna
1. Program penjangkauan dan pendampingan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik
menekankan pentingnya menerapkan program
2. Program komunikasi, edukasi dan informasi
harm reduction secara komprehensif termasuk LASS
3. Program pengurangan penilaian risiko dengan melibatkan berbagai kelembagaan, seperti
4. Program konseling dan tes HIV secara Dinkes, Kepolisian, BNN, dan KPAD. Tetapi dalam
sukarela pelaksanaan layanan pertukaran/pembagian jarum
5. Program penyucihamaan suntik steril di lapangan masih mengalami kendala
Studi Kasus

karena perbedaan acuan aspek legal/hukum di Steril di DKI Jakarta. Kebijakan yang lebih luas
antara Dinkes, BNN, Kepolisian dan LSM. dalam kerangka upaya penanggulangan HIV dan
AIDS tertuang dalam Perda No. 5/2008.
Di Indonesia, dukungan finansial diberikan
oleh lembaga internasional yang berfokus pada Penelitian ini dilakukan untuk melihat sejauh
isu pengguna napza suntik, antara lain IHPCP, mana program LASS terintegrasi dalam sistem
FHI, HCPI serta GF. Begitu pula untuk pengadaan kesehatan dan bagaimana efektifitas program
LASS didukung sepenuhnya oleh MPI. Ada dua LASS.
sumber pengadaan LASS dengan mekanisme
yang berbeda. HCPI memberikan dukungan LASS
melalui LSM dan puskesmas, sementara pola
pendanaan GF adalah pengadaan jarum melalui
B. Analisis Kontekstual
KPAP. Jarum dari KPAN disimpan dalam gudang Pada bagian ini berisikan uraian tentang situasi
KPAP selanjutnya didistribusikan ke puskesmas. sosial di mana sistem kesehatan dan program
GF mendorong penasun untuk mengakses layanan HIV dan AIDS berlangsung. Situasi sosial tersebut
LASS ke puskesmas melalui LSM. Sejak tahun meliputi empat aspek yakni komitmen politik,
2009-2015, HCPI menjadi donor utama dalam ekonomi, hukum dan regulasi serta permasalahan
menjalankan program LASS dengan memberikan kesehatan.
dukungan dalam bentuk logistik hingga bimbingan
dan bantuan teknis ke puskesmas maupun LSM
terkait. 1) Komitmen politik
Di Jakarta program LASS dimulai pada 2008 Pemerintah DKI Jakarta memiliki komitmen
dengan jumlah layanan LASS sebanyak 31 site, yang tinggi pada bidang kesehatan dan
dan terus berkembang hingga saat ini menjadi 38 penanggulangan HIV dan AIDS. Komitmen ini 61
puskesmas dari 44 puskesmas. Masing-masing ditunjukkan dengan menjadikan kesehatan
puskesmas memiliki kader muda untuk membantu dan program HIV sebagai prioritas arah
proses pencatatan dan pendistribusian LASS di pembangunan. Program kesehatan yang
puskesmas. Kader muda direkrut oleh puskesmas dijalankan oleh pemerintah sejalan dengan
melalui koordinator program harm reduction (HR) berbagai regulasi baik perda, dan pergub
di puskesmas. Terdapat juga 11 LSM yang khusus yang menunjukkan keberpihakan pemerintah
melayani program HR di Jakarta yaitu, Stigma, Kios terhadap isu kesehatan. Pemerintah
Atma Jaya, Yayasan Karisma, PKBI, PPK-UI, Yayasan memberikan jaminan pemeliharaan kesehatan
Mutiara Maharani, Partisan, Gema Indonesia, dan sejalan dengan Perda No. 4 Tahun 2009
Kupeta. Secara spesifik yang membagikan LASS tentang Sistem Kesehatan Daerah, Pergub
melalui penjangkauan ataupun dengan mekanisme No. 123 Tahun 2014 tentang Kepesertaan dan
satelit dilakukan oleh 4 LSM, yaitu Kios Atma Jaya Pelayanan Jaminan Kesehatan. Pemerintah
(area Jakarta Barat & Jakarta Utara), Yayasan daerah juga memberikan jaminan layanan
Karisma (Jakarta Timur & Jakarta Pusat), serta PPK- kesehatan kepada masyarakat yang tidak
UI (Jakarta Selatan), dan PKBI. Sehubungan dengan mampu dengan program Kartu Jakarta Sehat
akan berakhirnya dukungan HCPI di tahun 2015, (KJS), nantinya program ini akan dialihkan
Pemda DKI Jakarta telah mengeluarkan kebijakan pembiayaannya melalui JKN. Sementara
untuk mengantisipasi berakhirnya pendanaan bagi masyarakat yang belum ditanggung
tersebut agar program LASS dapat terus berlanjut pembiayaannya oleh JKN, pemerintah
dengan pendanaan mandiri. Berbagai kebijakan mengalokasikan APBD melalui Jamkesda
tersebut diantaranya Surat Edaran Kepala Dinas bekerjasama dengan LSM khususnya bagi
tentang Kemandirian Penganggaran Program masyarakat yang tidak memiliki KTP.
Harm Reduction No. 3884/1.778/2009, Surat Edaran
Secara garis besar arah pembangunan
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta No.
Pemerintah DKI Jakarta tertuang dalam RPJMD
63/SE/2012 tentang Layanan Jarum dan Alat Suntik
2013-2017 dan RPJTD 2015-2025 yang mengacu
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

pada capaian MDGs. RPJMD menyebutkan kebutuhan penasun. Kemandirian puskesmas


bahwa indikator yang akan dicapai dalam untuk mengalokasikan jarum bagi penasun
program pengendalian penyakit dan dikuatkan dengan adanya Surat Edaran Kepala
penyehatan lingkungan antara lain menurunnya Dinas Kesehatan tentang Kemandirian Program
angka kesakitan akibat penyakit DBD; Harm Reduction yang menyatakan bahwa perlu
menurunnya persentase penemuan kasus baru ada kemandirian dari puskesmas untuk program
TB paru BTA positif; meningkatnya persentase LASS termasuk di dalamnya adalah anggaran
cakupan akses layanan kesehatan pada ODHA; untuk pertemuan penasun dan pengadaan
meningkatnya proporsi jumlah penduduk metadon.
usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan “…..Kemandirian pemda itu haha itu komponen mulai
komprehensif tentang HIV/AIDS. Sementara itu dari pertemuan penasun, pertemuan keluarga,
komitmen politik Pemda DKI dalam program pemberian jarum, sampe kepada komponen
HIV dan AIDS tampak dengan adanya peran pembelian metadon waktu itu dianggarkan kita bikin
unit costnya tapi karena ada beberapa hal mungkin
dan kebijakan Gubernur DKI yang diikuti oleh
khususnya metadon masih regulasi kemudian
SKPD dengan menjadikan HIV sebagai program itu didelete. Artinya itu tidak dianggarkan oleh
prioritas. Realisasi dari kebijakan tersebut puskesmas sampe seperti itu. Nah apa pembelajaran
adalah dengan dengan bertambahnya layanan dari membuat suatu unit cost HR, itu puskesmas
VCT di rumah sakit dan puskesmas. Saat ini menjadi bisa merencanakan untuk kebutuhan-
kebutuhan HIV lain selanjutnya gitu lho, ke depan…..”
sudah ada 30 rumah sakit yang melayani ARV
(wawancara mendalam dengan staf HR, dinas
dan 28 puskesmas sebagai satelit dan inisiasi Kesehatan DKI)
ARV.
“….Iya jadi puskesmas aja udah 28, rumah sakit 30
an. Nah itu kebijakan itu kita dorong karena untuk Program HR secara khusus diatur pula dalam
62 membuka puskesmas karena yang puskesmas Keputusan Gubernur No. 670 Tahun 2014
yang terdekat kan dengan masyarakat. Jadi akses
tentang tim pembina program pemulihan adiksi
tujuannya meningkatkan akses layanan ODHA,
dengan itu jadi kita bukalah ke PK 1 untuk bisa berbasis masyarakat tingkat provinsi serta
melayani bahkan menginisiasi [ARV]” (wawancara Peraturan Gubernur No. 183 Tahun 2012 tentang
mendalam Tim PPH Atmajaya dengan Pengelola Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat.
Program HIV dan AIDS Dinas Kesehatan DKI)
Adanya berbagai regulasi dalam
penanggulangan HIV dan AIDS tersebut menjadi
Informasi yang tidak jauh berbeda ditunjukkan salah satu tolok ukur bahwa adanya niatan
dengan data bersumber dari KPA bahwa sampai dari Pemda DKI untuk mengurai permasalahan
dengan tahun 2012 terdapat 55 layanan VCT, HIV dan AIDS. Hanya saja implementasi dari
24 rumah sakit CST, 19 puskesmas satelit kebijakan tersebut perlu dilakukan sungguh-
ARV, 38 layanan IMS, 18 layanan PMTCT, 43 sungguh agar berdampak secara luas dalam
layanan TB-HIV, 18 layanan PTRM, dan 38 upaya penanggulangan HIV dan AIDS.
LJASS. Jumlah fasilitas pelayanan PTRM dan “…..kalo bicara komitmen sebenernya untuk
LASS di DKI Jakarta merupakan yang terbanyak penanggulangan HIV AIDS di jakarta sudah cukup
dibandingkan provinsi lain3. bagus. Dibandingkan provinsi lain menurut saya.
Gubernurnya mendukung , dananya besar , itu jangan
Pemerintah juga memiliki perhatian terhadap jadi kurang sebenernya komitmen ya. Tinggal yang
upaya pencegahan HIV melalui jarum suntik, dipermasalahkan adalah masalah pelaksanaannya
aja. Apakah dana yang besar itu berdampak tidak
dengan adanya layanan HR di puskesmas.
pada penaggulangan HIV AIDS…” (wawancara
Dari 44 puskesmas yang ada, 38 diantaranya mendalam dengan PKBI Jakarta, 23 September 2015)
menyediakan layanan LASS. Pengadaan
LASS di 38 puskesmas ini disesuaikan dengan
Pengaruh desentralisasi terhadap kebijakan
3) Evaluasi Program Penanggulangan HIV dan AIDS DKI
Jakarta, 2008-2012, Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI
dan program penanggulangan HIV dan AIDS
Jakarta, 2013 membuat pemda memiliki keleluasaan dan
Studi Kasus

kemandirian dalam sektor kesehatan karena untuk penanggulangan HIV dan AIDS juga
memiliki kendali untuk memperluas layanan bersumber dari MPI. Dari penjelasan salah
sarana dan prasarana kesehatan, termasuk satu informan menyebutkan bahwa besaran
memiliki kewenangan untuk mengatur biaya untuk sektor kesehatan sebesar 10% dari
keuangan. Desentralisasi juga memungkinkan dana APBD yang diperuntukkan bagi Dinkes,
puskesmas lebih leluasa mengatur kebutuhan Sudin, puskesmas, dan KPA. Data sekunder
anggaran melalui BLUD termasuk untuk menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda
program HIV dan AIDS. Pola desentralisasi di terkait dengan proporsi pendanaan untuk sektor
Pemda DKI berbeda dengan provinsi lain yang kesehatan. Jumlah APBD pada tahun 2014
memberikan keleluasaan untuk mengatur sebesar Rp 38.8 trilyun. Dari total anggaran
pemerintahannya pada level kabupaten/ tersebut alokasi dana untuk sektor kesehatan
kota. Sementara di Pemerintah DKI Jakarta sebesar Rp 5.1 trilyun atau sekitar 13%4. Besaran
desentralisasi berada di level provinsi sehingga tersebut sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2009
kota administratif dalam hal perencanaan tentang kesehatan, bahwa besarnya anggaran
dan penganggaran mengacu pada provinsi. kesehatan pemerintah provinsi, kabupaten/
Begitupula dengan kelembagaan Koordinasi kota dialokasikan minimal 10% dari APBD.
Penanggulangan AIDS (KPA), KPAP memiliki Sementara itu dalam Perda DKI No. 4 Tahun
kewenangan untuk mengajukan anggaran 2009, juga menyebutkan bahwa maksimal
yang cukup besar, kewenangan ini tidak penggunaan dana APBD untuk kesehatan
dimiliki oleh KPAK. Dengan demikian, dalam sebesar 15%.5 Sementara itu sumber pendanaan
perencanaannya KPAK menitipkan pengajuan sektor kesehatan dari APBN yang berupa
anggarannya melalui KPAP. dana dekonsentrasi, dana alokasi khusus dan
askeskin tidak diperoleh informasi secara detail
Namun demikian mengacu ada pola kerjasama
antara pemerintah dengan donor semisal GF,
bahkan dalam profil kesehatan DKI Jakarta 63
tahun 2012 tidak terdapat sumber pendanaan
dapat dikatakan bahwa desentralisasi tidak
APBN. Namun demikian diperoleh informasi dari
banyak memberikan pengaruh dalam program
informan yang menyebutkan bahwa terdapat
HIV dan AIDS. Pola kerjasama dalam proyek GF
dana APBN yang diwujudkan dalam bentuk
masih berjenjang mulai dari PR, SR dan turunan
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang
di bawahnya adalah SSR. Pola ini terasa
disalurkan secara langsung kepada puskesmas.
sekali di DKI Jakarta, karena Dinkes sebagai
SR perpanjangan dari PR yang dipegang oleh “…..Ada..[dana yang bersumber dari pusat] setau tapi
tapi kita juga ga ditembusin, mereka langsung ke
Kementerian Kesehatan.
puskesmas namanya biaya operasional kesehatan
“….He-eh. Terus juga kan kalo diliat kalo memang ya, dan itu juga peruntukannya yang ngatur
itu sudah terasa ada beberapa beberapa wilayah puskesmas itu sendiri…... Program nasional ada apa,
yang memang tidak mengakses dananya global fund dia minta dibantu sama puskesmas…” (wawancara
misalkan, minimal sih ngakses. Jadi kementerian mendalam dengan Bappeda DKI Jakarta)
kesehatan tetep ada SR dan SSR itu tetep aja ada
turunan dibawa dialokasikannya di di di kementerian,
kementerian menjadi PR, PR menjadi SSR, SSRnya itu
dinas kesehatan itu tetep ya jadi masih tetep sentral
Sumber pendanaan untuk program
aja…” (wawancara mendalam Tim PPH Atmajaya penanggulangan HIV dan AIDS berasal dari
dengan Program Manajer Kios) APBD, BLUD dan MPI. Sementara itu proporsi
pendanaan yang bersumber dari MPI sebesar
30% dari total pembiayaan untuk program HIV
2. Ekonomi dan AIDS yang bersumber dari APBD.

Sumber-sumber pendanaan untuk sektor ..”Dan APBD berapa perbandingannya? Yaitu 70


[%] per 30 [%]. Mitranya 30. Tapi untuk mencapai
kesehatan dan program penanggulangan
HIV dan AIDS memiliki kesamaan yaitu 4) Badan Pengelola Keuangan Daerah Provinsi DKI Jakarta,
bersumber dari dana APBN dan APBD. Khusus diakses dari website: www.jakarta.go.id
5) Peraturan Dearah DKI Jakarta No 4 Tahun 2009, pasal 30 (3)
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Tabel 11. Sumber


Pendanaan
Sumber Total Pendanaan
Untuk Program Pendanaan (Rp)
Penanggulangan
AIDS di DKI Jakarta APBD 15.100.000.000
Tahun 2012 Global Fund 1.984.116.396
HCPI 3.682.077.693
SUM 1 938.000.000
SUM 2 5.544.079.449

Sumber : Evaluasi Renstra Penanggulangan HIV dan AIDS DKI Jakarta 2008-2012

64 eh rencana induk, master plannya, renstranya kita Sumber pendanaan sebagaimana dalam
masih butuh jauh. Karena kita membutuhkan setiap tabel di atas, diperuntukkan bagi LSM, SKPD,
tahunnya sebetulnya kalo mau tuntas sekitar 253
rumah sakit maupun KPAP untuk kegiatan
miliar ya….” (wawancara Tim Peneliti PPH Atmajaya
dengan sekretaris KPAP DKI Jakarta) pengembangan media, operasional sekretariat
KPAP, serta penjangkauan dan kegiatan pada
populasi kunci.
Besaran dana APBD untuk penanggulangan Pemda DKI memberikan prioritas kesehatan
HIV dan AIDS pada tahun 2012 sebesar Rp 15.1 pada populasi yang rentan dan miskin. Kantong
milyar. Sementara pendanaan dari luar APBD kemiskinan menjadi rawan penyakit sehingga
berasal dari SUM1, GF dan HCPI. Hanya saja prioritas kesehatan adalah pada penyediaan
MPI tidak berkoordinasi dengan Bappeda dan sarana prasarana sebagai tindakan kuratif
langsung bekerjasama dengan mitra terkait6. termasuk perubahan puskesmas menjadi rumah
HCPI mendukung pendanaan program HR sakit type D, serta penambahan rumah sakit.
termasuk LASS di puskesmas melalui kerja Akibatnya adalah biaya kesehatan untuk upaya
sama dengan Dinkes DKI Jakarta. Dukungan ini kuratif menjadi besar. Sementara untuk kegiatan
sangat membantu Dinkes dalam menjalankan yang bersifat promotif dan preventif masih
program HR di puskesmas. Selain itu, kegiatan belum optimal dilakukan.
juga didukung oleh 5 LSM mitra HCPI (Karisma,
“…..Semuanya dibangunlah yang tadi, puskesmas
KIOS Atmajaya, PPK-UI, dan PKBI DKI) yang
jadi rumah sakit tipe d kemudian penambahan kamar,
spesifik menjalankan program LASS. penambahan rumah sakit. Nah itu kan prioritasnya
masih tindakan medis gitu kuratif. Sebenernya yang
Dari data sekunder diketahui bahwa besaran
perlu juga kan harusnya juga pencegahan. Karena
dana untuk penanggulangan HIV dan AIDS di kan kalo kita udah bicara tentang kuratif, itu pasti
DKI Jakarta dapat dilihat di tabel 11. anggarannya udah semakin besar kan. Pasti akan
terus meningkat. Saya yakin juga BPJS juga udah
kewalahan kan. Nah nah itu tadi dari segi promotif
6) Wawancara mendalam dengan Bappeda preventifnya belom di digarap dengan serius kalo
Studi Kasus

menurut saya sih…” (wawancara tim PPH dengan Di sisi yang lain, program LASS masih dianggap
Bappeda DKI Jakarta) memiliki kebijakan yang tidak cukup jelas,
terutama terkait dengan penyediaan dan
distribusi jarum. Mekanisme pengadaan dan
Perubahan puskesmas menjadi rumah sakit type distribusi jarum yang merupakan alat kesehatan
D menjadikan masyarakat termasuk populasi merupakan ranah kebijakan kesehatan. Namun
kunci kesulitan untuk mengakses rujukan dari demikian dalam program LASS, LSM dapat
puskesmas karena dengan peralihan tersebut, menyediakan jarum dan mendistribusikannya
mereka harus berpindah puskesmas untuk bagi penasun dengan mengacu pada kebijakan
mendapatkan rujukan ke rumah sakit. Kepmenkes Nomor 567/MENKES/SK/VII/2006.
Meskipun pendistribusian jarum dapat melalui
mekanisme layanan mobile dan satelit, namun
3) Hukum dan peraturan dari sisi pelaporan tetap terpusat di puskesmas.

Ada perbedaan antara hukum dan peraturan Kebijakan lain yang dianggap tidak jelas
pa­­da level sistem dan program. Di level sistem adalah Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011
tidak terdapat aturan yang menghambat ma­ tentang Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL).
sya­­rakat untuk mengakses kesehatan se­cara Ketidakjelasan dalam PP ini ada pada tingkat
umum. Justru pemerintah mempermudah pem­­bi­ implementasinya di mana pecandu yang sudah
ayaan kesehatan bagi masyarakat pada umum­ melaporkan diri, tidak memiliki bukti apapun.
nya dan masyarakat tidak mampu dengan Ada kekhawatiran nantinya bahwa IPWL ini
ada­­­nya BPJS dan Jamkesda untuk mengakses akan tidak berdampak manakala penasun
la­­­yan­an kesehatan, termasuk layanan HIV dan tertangkap karena kecanduannya.
HR.
65
Landasan kebijakan program HR di Pemda
DKI mengacu pada kebijakan nasional yakni
4. Permasalahan kesehatan
Permenkes No. 567 Tahun 2006 tentang pedo­ Dalam kontek permasalahan kesehatan ter­
man pelaksanaan pengurangan dampak buruk da­pat kesamaan di mana menjadikan HIV
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (Napza). se­bagai satu proritas dalam sektor kesehatan.
Namun demikian dalam implementasi program HIV menjadi salah satu dari 5 jenis penyakit
penanggulangan HIV dan AIDS masih terdapat prioritas di DKI Jakarta, disamping TB dan DBD,
peraturan yang kontradiktif yang justru berjalan serta penyakit tidak menular seperti stroke
tidak sinergi. Semisal kebijakan BNN yang justru dan diabetes. Secara spesifik HIV telah masuk
membuat penasun tidak berani mengakses dalam program prioritas kesehatan di DKI
layanan LASS karena jarum sebagai salah satu ka­rena sudah tertuang di Renstra Kesehatan,
alat bukti untuk proses hukum. Ada pemahaman RPJMD 2013-2017 dan sejalan dengan MDGs,
dan perspektif yang berbeda dalam melihat terutama untuk meningkatkan akses layanan
situasi penasun antara pihak penegak hukum, dan pengetahuan HIV di kalangan remaja dan
BNN dan penyedia layanan kesehatan. Bagi dikaitkan dengan Kartu Jakarta Sehat (KJS). Ada
penegak hukum kegiatan yang dilakukan alasan yang kuat untuk menjadikan HIV sebagai
cenderung represif. Bukan upaya untuk prioritas program dengan mempertimbangkan
pemulihan sebagaimana dalam program HR. situasi epidemi HIV dan AIDS di DKI Jakarta.
“…..Nah sekarang apalagi. Memang jor-joran sih. Data surveilans yang dilakukan oleh Dinkes
Nangkep-nangkepin bandar-bandar itu. Dan ini menunjukkan bahwa sampai dengan September
memang terasa dampaknya di temen-temen LSM. 2014 diketahui jumlah HIV di DKI Jakarta
Temen-temen apa, pengguna jarum suntik tuh berasa
sebesar 32.782 kasus dan jumlah kasus AIDS
banget. Nggak ada lagi putawnya…” (wawancara
mendalam tim PPH Atmajaya dengan KPAK Jakarta
sebanyak 7.477 dengan tingkat prevalensi AIDS
Timur) sebesar 77.82%. Sementara secara spesifik
dari data STBP 2011 diketahui prevelansi HIV
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Keterangan:

LSM Dinas Kesehatan  Kepentingan Tinggi,


Kekuasaan Rendah

Tinggi

Kepentingan Tinggi,
Sudinkes Puskesmas Kekuasaan Tinggi
 Kepentingan Rendah
KE P ENTI NG A N

Kekuasaan Rendah
Penasun MPI  Kepentingan Rendah,
Kekuasaan Tinggi

 
 KPAP Bappeda
Rendah

KPAK Biro Kesos 

Rendah Tinggi

K E K UA S A A N

66

Gambar 7. Posisi di kalangan penasun sebesar 56.4%, meningkat 2.5% dari tahun
2007.7
Pemangku
Ada banyak variasi untuk menentukan besaran masalah
Kepentingan kesehatan termasuk HIV dan AIDS. Disamping memanfaatkan
Berdasarkan data sebagaimana disebutkan di atas, mekanisme yang dilakukan
adalah dengan membandingkan capaian program sebelumnya.
Kepentingan dan Namun demikian ada anggapan bahwa pemerintah DKI Jakarta
Kekuasaannya masih mengandalkan indikator capaian yang dibuat oleh donor
semisal GF untuk melihat besaran masalah.
“……Nah tapi ini yang menjadi menarik adalah semua itu hanya based
on projectnya GF, kalo yang di yang di buat oleh misalkan pertemuan
monitoring evaluasi eeh penanggulangan harm redaction DKI Jakarta
Barat gitu. Kalo kita datangpun, itu hanya membahas indikator-indikatornya
program GF, tidak kita menyeluruh. Apalagi seperti kita tidak menyeluruh
untuk ini. Terus yang kedua eeh ya itu pun dilakukan hanya se se apa
namanya sebatas itu tadi. Melihat angka-angka terus memverifikasi data itu
pun data-data program yang didanai oleh…[donor]…”(wawancara mendalam
tim PPH Atmajaya dengan Kios)

7) Laporan Perkembangan HIV dan AIDS Triwulan III, Ditjen PP & PL Kemenkes RI
Studi Kasus

C. Analisis Pemangku sudah merencanakan dan menganggarkan


kebutuhan program penanggulangan HIV dan
kepentingan AIDS secara umum. Sehingga dapat disimpulkan
Pemangku kepentingan dalam program LASS bahwa Bappeda memiliki kepentingan dan
terdiri dari berbagai pihak, yakni dari unsur SKPD, sumber daya yang rendah, namun memiliki
penyedia layanan, LSM, MPI dan populasi kunci. kekuasaan yang tinggi untuk menentukan
Masing-masing memiliki pengaruh strategis da­lam pendanaan bagi program LASS.
implementasi baik dari sisi kepentingan dan ke­
kuasaan terhadap program LASS. Secara ring­kas
kepentingan dan kekuasaan pemangku kepen­ting­ 2) Dinas Kesehatan (Dinkes)
an dalam program LASS tampak dalam gambar 7.
Dinas kesehatan merupakan leading sek­tor
dalam bidang kesehatan, di mana pe­nang­
gu­langan HIV dan AIDS menjadi salah satu
1) Badan Perencanaan dan prioritas di sektor kesehatan. Sesuai dengan
Pembangunan Daerah (Bappeda) kewenangannya Dinkes memiliki kepentingan
Sesuai dengan perannya, Bappeda meru­pa­ yang tinggi untuk memastikan pencapaian
kan lembaga pemerintah yang memiliki ke­ kinerja kesehatan melalui kebijakan dan
wenangan dalam hal penentuan perencanaan supervisi termasuk program LASS. Salah satu
pembangunan dan anggaran daerah termasuk kebijakan yang dikeluarkan adalah surat
dalam sektor kesehatan. Isu HIV sudah menjadi edaran kemandirian program HR di puskesmas.
bagian dari isu prioritas dalam sektor kesehatan Secara normatif sumber daya yang dimiliki
sehingga mendapatkan alokasi pendanaan puskesmas dimanfaatkan untuk mendukung
daerah. Besaran dana APBD yang dialokasikan implementasi layanan melalui supervisi dan
67
untuk program HIV tahun 2012 sebesar Rp 15.1 pendanaan.
milyar8. Namun demikian terhadap program Secara politis Dinkes memiliki kekuasaan
LASS, Bappeda tidak memiliki kepentingan penuh untuk mengajukan besaran anggaran
yang tinggi. Hal ini nampak dari belum adanya program penanggulangan HIV dan AIDS
anggaran secara spesifik untuk program LASS. kepada Bappeda. Namun, Dinkes belum
Bappeda juga memiliki sumber daya rendah melakukan penganggaran yang spesifik untuk
terhadap program LASS karena secara teknis program LASS. Dinkes secara politis mampu
Bappeda tidak memiliki posisi secara langsung memengaruhi kebijakan pelaksana teknis
yang memengaruhi program LASS, baik dari sisi di Dinkes termasuk menentukan puskesmas
sumber daya manusia maupun keuangan. sebagai penyedia LASS. Oleh karenanya
Bappeda memiliki kewenangan untuk dapat disimpulkan bahwa Dinkes memiliki
melakukan analisa ketercapaian indikator kepentingan, sumber daya dan kekuasaan yang
dan kesesuaian anggaran untuk mencapai tinggi untuk program LASS.
target dari SKPD. Sehingga secara politis
Bappeda memiliki kekuasaan yang tinggi untuk
menentukan besaran anggaran program di 3) Mitra Pembangunan Internasional
SKPD. Namun dalam kekuasaannya Bappeda (MPI)
dibatasi oleh Peraturan Daerah DKI Jakarta
MPI memiliki kepentingan yang tinggi dalam
No. 4 Tahun 2009 serta UU No. 36 Tahun 2009
program LASS karena harus memastikan
yang mengatur tentang maksimal penggunaan
pendanaan yang diberikan berjalan dengan
dana APBD. Secara spesifik Bappeda
semestinya. MPI melakukan perencanaan
belum pernah melakukan perencanaan dan
program LASS dengan mengacu Kepmenkes
penganggaran untuk program LASS, namun
Nomor 567/MENKES/SK/VII/2006. MPI mem­
8) Lihat tabel Sumber Pendanaan Untuk Program be­rikan bantuan logistik berupa jarum me­
Penanggulangan AIDS di DKI Jakarta
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

lalui mekanisme pengadaan langsung di 38 APBD untuk program penanggulangan HIV


puskesmas. Untuk memastikan pen­dis­tri­bu­si­ dan AIDS. Meskipun demikian, KPAP sangat
annya, HCPI menerima laporan dari LSM dan ter­­gantung kepada persetujuan dari Dinkes
puskesmas tentang capaian program LASS. untuk pengajuan dananya. Secara spesifik
da­lam program LASS, KPAP tidak memiliki
Sumber daya yang dimiliki MPI sangat besar
sumber daya yang tinggi karena secara teknis
terutama sumber daya keuangan yang
tidak terlibat dalam tata kelola. Begitu juga
diperuntukkan bagi program LASS. Pembiayaan
dalam kepentingan politis, KPAP tidak memiliki
MPI tidak hanya untuk pengadaan jarum saja,
kemampuan untuk memengaruhi pihak-pihak
akan tetapi juga pada peningkatan kapasitas
yang terlibat dalam program LASS. Fungsi
kelembagaan bagi mitra kerja MPI, serta
KPAP hanya sebatas pada pengkoordinasian,
pembiayaan untuk kegiatan penjangkauan
dan peran ini pun masih dianggap lemah. Se­
yang dilakukan oleh LSM. Secara politis MPI
ca­ra keseluruhan dapat disimpulkan bahwa
memiliki pengaruh yang cukup besar untuk
KPAP memiliki kepentingan, sumber daya, dan
menentukan target capaian, dan besaran dana
pe­ngaruh politik yang rendah dalam program
serta mekanisme bantuan yang diberikan untuk
LASS.
program LASS karena menjadi satu satunya
pembiayaan untuk program LASS.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan 5) Biro Kesejahteraan Sosial (Biro Kesos)
bah­wa peran MPI sangat besar dalam program
Tupoksi Biro Kesos termasuk perumusan kebi­
LASS, baik dari kepentingan, sumber daya dan
jak­an, koordinasi serta monitoring-evaluasi ber­
ke­kuasaan. Hal ini menyebabkan program
bagai program kesejahteraan sosial, termasuk
LASS tetap dapat berjalan, meskipun peran
program penanggulangan HIV dan AIDS. Peran
68 dan kontribusi daerah menjadi sedikit dalam
utama Biro Kesos adalah untuk menyelaraskan
pro­gram ini. Dengan demikian, ketergantungan
kebijakan antar SKPD, termasuk melakukan
ter­hadap keberadaan MPI sangat tinggi untuk
mediasi lintas sektor tentang fungsi jarum
pro­gram LASS .
sebagai alat kesehatan.

Sebagai pihak yang berwenang mengumpulkan


4) Komisi Penanggulangan AIDS dan melakukan pertemuan koordinasi lintas
Propinsi (KPAP) sektor SKPD terutama yang berhubungan de­
ngan perumusan kebijakan, Biro Kesos memiliki
Secara normatif KPAP memiliki peranan yang
peran besar dalam pelaksanaan program
cukup strategis dalam penanggulangan HIV
ke­sehatan termasuk program LASS agar dapat
dan AIDS, yaitu mengkoordinasikan kegiatan
berjalan lancar dengan dukungan semua SKPD
penanggulangan HIV dan AIDS di daerah agar
terkait. Namun demikian, secara spesifik Biro
tidak terjadi overlapping. Kewenangan KPA
Kesos tidak terlibat secara langsung dalam
diatur dalam Pergub No. 26 Tahun 2012 tentang
pengelolaan program LASS. Dengan demikian
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan
dapat disimpulkan bahwa Biro Kesejahteraan
Kota/Kabupaten bahwa KPAP memiliki tugas
Sosial memiliki kepentingan dan sumber daya
untuk menyusun rencana strategis daerah
yang rendah dalam program LASS, namun
un­tuk penanggulangan HIV dan AIDS. Namun
memiliki pengaruh tinggi untuk mensinergikan
demikian dalam program LASS, KPAP memiliki
program LASS antar SKPD.
ke­pentingan yang rendah. Kerjasama MPI
da­lam program LASS tidak melalui koordinasi
KPAP akan tetapi langsung dengan puskesmas
6) Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes)
melalui Dinkes.
Dalam program LASS, Sudinkes melakukan
Dari sisi sumber daya, KPAP memiliki potensi
supervisi atas kerja puskesmas dan memberi
pendanaan yang besar bersumber dari
bimbingan teknis bagi staf puskesmas dalam
Studi Kasus

program untuk mendukung puskesmas men­ 8) Lembaga Swadaya Masyarakat


ca­pai target program yang diharapkan dan
LSM memiliki kepentingan yang tinggi dalam
ditetapkan dari Dinkes. Dalam program
program LASS karena posisi LSM sebagai
LASS, Sudinkes meskipun tidak secara
penerima manfaat atas keberadaan donor.
langsung berurusan dengan program LASS
Kepentingan yang dimiliki oleh LSM dalam
namun pencapaian dan kinerja SDM LASS di
hal ini adalah melakukan upaya promosi
puskesmas menjadi area supevisi Sudinkes.
pencegahan melalui kegiatan penjangkauan
Sumber daya yang dimiliki oleh Sudinkes
dan pendistribusian jarum serta mendorong
diperlukan untuk memberikan bimbingan
penasun untuk mengakses layanan di
teknis dan supervisi puskesmas untuk men­
puskesmas. Dari sisi sumber daya, LSM memiliki
ca­pai kinerja yang diharapkan. Namun de­
sumber daya yang tinggi untuk melakukan
mikian kewenangan Sudinkes dibatasi oleh
mobilisasi dan distribusi jarum kepada
kewenangan Dinkes. Otorisasi untuk men­ja­
penasun melalui kegiatan penjangkauan.
lankan fungsinya sebagai regulator tidak dimiliki
Dalam melakukan kerja ini, LSM bekerja sama
oleh Sudinkes. Hal ini menyebabkan Sudinkes
dan berkoordinasi dengan puskesmas. Dari
hanya memiliki peran teknis untuk melakukan
sisi politik, LSM tidak memiliki kekuasaan
pengawasan puskesmas. Dapat disimpulkan
yang tinggi untuk memengaruhi kebijakan
bahwa Sudinkes memiliki kepentingan dan
program LASS karena hanya berperan sebagai
sumber daya yang tinggi dalam program LASS,
pelaksana dari program saja. Dapat disimpulkan
namun tidak memiliki kekuatan politis untuk
bahwa LSM memiliki kepentingan dan sumber
menentukan kebijakan karena kewenangannya
daya yang tinggi dalam program LASS, namun
dibatasi pada level provinsi.
tidak memiliki memiliki kekuasaan politis untuk
memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan
69
program LASS.
7) KPA Kabupaten/Kota
Sesuai Pergub No.26 Tahun 2012, wewenang
KPAK adalah memimpin, mengelola, 9) Populasi Kunci (Penasun)
mengendalikan dan memantau serta
Dalam program LASS populasi kunci sangat
mengevaluasi pelaksanaan program
diuntungkan karena ada kemudahan untuk
penanggulangan HIV dan AIDS di kotanya.
mendapatkan jarum suntuk steril dengan cara
Dalam program LASS, KPAK tidak memiliki
yang lebih aman melalui petugas penjangkau,
kepentingan secara spesifik karena tidak ada
sehingga kemungkinan untuk berbagi jarum
keterlibatan peran KPAK dalam progam LASS
menjadi berkurang. Program LASS merupakan
secara langsung. Begitu juga dalam hal sumber
program yang efektif untuk mengurangi perilaku
daya Keuangan, pendanaan KPAK bergantung
menyuntik berisiko sehingga mengurangi
pada pendanaan dari KPAP. Dalam melakukan
risiko terinfeksi HIV. Program ini juga memiliki
kerjanya, KPAK bertanggung jawab untuk
nilai ekonomis bagi penasun karena jarum
masalah HIV di wilayahnya melalui supervisi
diperoleh secara mudah dan tidak berbayar.
langsung ke tempat pelaksana dan melakukan
Dari sisi sumber daya, populasi kunci memiliki
koordinasi lintas sektor tingkat kota. Secara
kemampuan untuk melakukan mobilisasi
politis KPAK tidak memiliki kemampuan untuk
komunitasnya melalui jaringan sosial untuk
memberikan pengaruh kepada SKPD maupun
mengakses layanan kesehatan di puskesmas,
penyedia layanan program LASS. Dengan
sehingga dapat berimplikasi terhadap
demikian KPAK tidak memiliki kepentingan,
peningkatan capaian program di puskesmas.
sumber daya bahkan tidak pula memiliki
Populasi kunci tidak memiliki pengaruh yang
pengaruh politik dalam program LASS.
besar dalam menentukan kebijakan program
LASS karena belum banyak dilibatkan dalam
perencanaan. Dengan demikian, populasi kunci
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

memiliki kepentingan dan sumber daya yang efektif dan tidak banyak memberikan dampak
tinggi namun tidak memiliki kemampuan untuk yang nyata.
mempengaruhi perencanaan program LASS. “….Kita bukan mau melihat uangnya ada di mana
udah berapa banyak dihabisin, nggak. Hasilnya ada
nggak. Karena arahan Pak Ahok kan selalu hilangkan
sosialisasi. Penyuluhan-penyuluhan itu tidak berguna
10) Puskesmas
ya kan. Cost effective-nya tidak ada. Cost-nya high
Sebagai pelaksana program LASS, puskesmas sekali, dampaknya kecil. Tidak berdampak sama
sekali. Orang keluar dari ruangan langsung ilang,
memiliki kepentingan yang tinggi untuk
bleng. Orang keluar dari lapangan yang bicara
memastikan pencapaian target program narsumnya ngomong, yang ini yang ini. Jadi, tolong
melalui koordinasi yang dilakukan bersama hilangkan sosialisasi itu tidak ada. Jadi masuk
LSM. Begitu pula dalam hal sumber daya, benar-benar yang ke substansinya….. “ (wawancara
puskesmas memiliki kewenangan untuk mendalam tim PPH Atmajaya dengan KPAK Jakarta
Timur)
mengatur anggarannya sendiri melalui dana
BLUD untuk pembiayaan yang tidak dapat
dianggarkan melalui APBD. Puskesmas di DKI
Upaya kesehatan pemerintah DKI Jakarta
Jakarta memiliki keuntungan di mana kegiatan
mengacu Perda No. 4 Tahun 2009 tentang
yang tidak bisa dianggarkan di APBD, dapat
Sistem Kesehatan Masyarakat yang
dimasukan melalui BLUD. Dana BLUD yang
menjelaskan bahwa upaya kesehatan
dikeluarkan di awal tahun dapat dipergunakan
masyarakat adalah adalah kegiatan
untuk memenuhi kebutuhan logistik. Namun
yang dilakukan pemerintah Provinsi DKI
dalam hal kebutuhan logistik berupa jarum
Jakarta dan/atau masyarakat serta swasta
untuk program LASS belum dianggarkan melalui
untuk memelihara serta mencegah dan
perencanaan puskemas. Simpulannya adalah
70 menanggulangi timbulnya masalah kesehatan
puskesmas memiliki kepentingan, sumber daya
di masyarakat. Perda ini sekaligus menjadi
dan kekuasaan politis dalam program LASS.
dasar hukum terhadap pelaksanaan program
HIV dan AIDS di Jakarta, yang secara
operasional kegiatannya dituangkan dalam
D. Deskripsi Fungsi Sistem Strategi dan Rencana Aksi Penanggulangan
Kesehatan daln Program LASS AIDS Provinsi (SRAP) DKI Jakarta 2013-2017.
Dalam SRAP tersebut, LASS menjadi salah
1) Manajemen dan regulasi prioritas dengan target cakupan 60% penasun
tidak berbagi peralatan suntik secara konsisten
a. Regulasi
dan sampai dengan tahun 2017 ditargetkan 80%
Pelaksanaan program kesehatan di DKI populasi penasun mengakses layanan LASS.
Jakarta telah mengacu pada Renstra yang
Selain itu, dalam Rencana Strategis Dinas
selanjutnya diturunkan dalam rencana
Kesehatan 2013-2017 juga menyebutkan secara
kerja tahunan. Program sektor kesehatan
spesifik bahwa program LASS menjadi bagian
diprioritaskan pada sisi kuratif dibandingkan
dari urusan kewenangan wajib Dinkes yang
sisi preventif dan promotif. Hal ini tampak
menjadi bagian dari program kesehatan jiwa
dari besaran anggaran yang banyak dipakai
masyarakat. Kerangka tugas Dinkes dalam
untuk penyediaan fasilitas layanan kesehatan
program ini tidak hanya fokus pada layanan
dengan penambahan sarana dan prasarana
pertukaran jarum suntik semata, akan tetapi
kesehatan, salah satu contohnya adalah
mengkaitkannya dalam konteks pencegahan
peningkatan status puskesmas menjadi rumah
HIV secara terpadu yang meliputi: (1) advokasi
sakit type D. Sementara kegiatan pencegahan
dan koordinasi pelayanan jarum suntik steril
yang dilakukan melalui kegiatan sosialisasi
dan metadon bagi pengguna napza suntik; (2)
atau penyuluhan di sekolah dan masyarakat
Layanan Pertukaran Jarum Suntik Steril (LJSS)
proporsinya sedikit karena dianggap kurang
di 38 puskesmas dan pelayanan metadon di
Studi Kasus

12 puskesmas kecamatan, 2 rumah sakit pusat sehinga tidak berdasarkan pagu, akan tetapi
dan 2 Lembaga Pemasyarakatan; (3) Pelayanan berdasarkan kebutuhan.
institusi wajib lapor pecandu narkotika di “….Kalau di daerah itu biasanya anggarannya nempel
puskesmas kecamatan dan rumah sakit. dengan dinas kesehatan, kabupaten kota. Tapi
kalau di Jakarta sendiri-sendiri. Puskesmas punya
Sementara kebijakan program LASS secara anggaran sendiri, suku dinas maupun dinas punya
spesifik diatur dalam Perda No. DKI Jakarta No. anggaran sendiri. Sehingga kami lebih leluasa untuk
5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan melaksanakan kegiatan yang mensupport program.
AIDS, dimana salah satu pasalnya menyebutkan Ya salah satunya mungkin program HIV/AIDS. Nah
sehingga temen-temen mudah mau melakukan
bahwa program pengurangan dampak buruk
suatu kegiatan. Sehingga memang mungkin daya
(Harm Reduction) melalui 12 komponen untuk ungkitnya atau daya dongkraknya adalah layanan
memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS. atau program HIV/AIDSnya berjalan dengan baik.”
Tata kelola program LASS ini mengacu pada (wawancara mendalam Tim Peneliti PPH Atma Jaya
Permenkes No. 567 Tahun 2006 yang secara dengan Kepala Puskesmas Jatinegara)

spesifik mencantumkan komponen LASS dalam


regulasi tersebut. Dari aspek regulasi, program
Proses perencanaan anggaran biasanya
LASS diatur dengan sangat jelas.
sudah dimulai pada bulan Maret sebelum
Untuk tata kelola program HIV seharusnya tahun anggaran berjalan. Musrenbang
berada di bawah koordinasi KPAP, namun merupakan wadah yang dipergunakan untuk
saat ini khususnya untuk program LASS, menampung aspirasi masyarakat dalam proses
KPAP belum mampu menunjukkan fungsi perencanaan. Namun sayang forum ini tidak
koordinasinya. Hal ini salah satunya cukup leluasa untuk membahas permasalahan
disebabkan karena keterbatasan kekuasaan dan kebutuhan kesehatan secara detail dan
KPAP yang merupakan badan ad-hoc sehingga belum digunakan secara maksimal untuk 71
sulit melakukan koordinasi langsung dengan merespons penanggulangan HIV dan AIDS.
SKPD, sebagaimana tertuang dalam Peraturan
Masing-masing puskesmas/UPT mengajukan
Gubernur Nomor 26/2012 yang belum
perencanaan kepada Dinkes dan selanjutnya
menyebutkan secara spesifik siapa yang
diteruskan sampai ke Bappeda. Mekanisme
bertanggung jawab mengkoordinir SKPD.
perencanaan anggaran di DKI Jakarta yang
Dari diksripsi di atas dapat disimpulkan bahwa bersumber dari APBD menggunakan sistem
pada dimensi regulasi program LASS dianggap e-katalog. Bila komponen budget tidak tersedia
sudah terintegrasi penuh dengan regulasi di APBD maka dimasukkan ke BLUD. Acuan
yang ada pada sistem kesehatan. Hal ini dilihat perencanaan dan penganggaran adalah hasil
dari berbagai produk kebijakan program HIV evaluasi capaian dan serapan data tahun
termasuk LASS. Hal ini telah tercermin dan sebelumnya ditambah estimasi kenaikan 10%,
menjadi bagian dari prioritas sistem kesehatan bukan dari data.
di daerah, meskipun dalam pelaksanaan tata
Sementara itu mekanisme perencanaan di KPAP
kelola penanggulangan HIV dan AIDS fungsi
memanfaatkan pertemuan rapat kerja daerah
KPA sebagai koordinator pelaksana program
sebagai wadah bagi setiap SKPD anggota
masih belum berfungsi secara maksimal.
KPAP untuk mengajukan kegiatan terkait HIV
dan AIDS. Hasil rapat yang kemudian diajukan
sebagai rencana kerja tahunan untuk didanai
b. Formulasi kebijakan
oleh dana hibah dari APBD. Pihak luar seperti
Adanya regulasi yang mendukung dalam Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN)
pembangunan di sektor kesehatan dan dan GF memberikan pengaruh terhadap
program HIV dan AIDS memungkinkan Pemda penentuan target di wilayah berdasarkan SRAN
DKI Jakarta memiliki keleluasaan untuk atau target sebelumnya.
melakukan perencanaan anggaran kesehatan
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Sementara pada program LASS, perencana­an­ LASS masih sepenuhnya didukung oleh HCPI.
nya mengacu pada mekanisme perencanaan Yang terjadi saat ini, pola perencanaan dan
dan pelaporan dari MPI. Saat ini pengadaan penga­daan LASS tidak mengikuti sistem yang
jarum untuk program LASS sepenuhnya dijalankan program kesehatan lainnya, namun
bersumber dari dana MPI. Meskipun secara mengikuti pola perencanaan yang diberlakukan
regulasi perencanaan melalui dana APBD oleh MPI.
untuk program LASS sudah ada, namun
karena sudah ada ketercukupan pembiayaan
program LASS dari MPI maka puskesmas tidak c. Akuntabilitas
mengajukan pengadaan untuk program LASS
Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan
ke Dinkes. Mekanisme pengadaan logistik jarum
program kesehatan hanya terjadi pada saat
pada program LASS yang dilakukan di luar
dilakukannya proses perencanaan melalui
pengadaan Dinkes dilakukan melalui LSM dan
Musrenbang. Namun sayangnya tidak ada
puskesmas yang mengajukan permintaan jarum
informasi yang spesifik dan detail dalam forum
ke MPI (HCPI). Selanjutnya jarum dikirimkan
tersebut khususnya yang berkaitan dengan
ke puskesmas untuk didistribusikan melalui
program LASS serta keterlibatan masyarakat
poli ataupun melalui petugas penjangkau.
dan LSM. Selain itu belum ada mekanisme
Perencanaan kebutuhan LASS didasarkan
yang melibatkan masyarakat dan populasi
atas perhitungan kebutuhan yang dihitung dari
kunci untuk melakukan fungsi kontrol yaitu
laporan yang dibuat oleh puskesmas dan LSM.
monitoring dan evaluasi terhadap capaian
Sehingga akan muncul dua permintaan yaitu
program termasuk program LASS. Akses publik
kebutuhan jarum berdasarkan kebutuhan di poli
masih sangat terbatas terhadap informasi
puskesmas dan kebutuhan jarum berdasarkan
program-program dan serapan dana. Informasi
72 kebutuhan LSM. Namun keduanya tetap dalam
yang paling mudah diakses hanyalah profil
koordinasi puskesmas.
kesehatan daerah atau beberapa informasi
“….Untuk menghitung ini, si puskesmas LSM itu kesehatan lainnya yang dapat diakses melalui
selalu bermeeting-meeting mereka. Kami biasanya
website pemerintah daerah Jakarta9, namun
di DKI itu mungkin kirim 3 kali sampai 4 kali dalam
setahun. Jadi kira-kira tiap 3 bulan, mereka akan apa,
tidak ada informasi terkait program LASS.
dalam singkronisasi data mereka ada, terus mereka
Di level program dimensi akuntabilitas tidak
bilang oh kalian butuh berapa, segini, LSM butuh
berapavsegini. Nah itu ada 2 tabelnya, untuk layanan terjadi dalam program LASS. Populasi kunci
fixed, kemudian layanan mobile. Fixed itu sebetulnya tidak dilibatkan dalam hal perencanaan
fixed ada mobile-nya juga. Cuman yang di bawah program, kecuali dimintai masukan mengenai
koordinasinya puskesmas langsung…” (wawancara pemberian layanan. Perencanaan program
tim Peneliti PPH Atmajaya dengan HCPI)
LASS dilakukan oleh MPI bersama dengan LSM
dan puskesmas sebagai pelaksana program.
Saat ini pelibatan masyarakat baru sebatas
Mengacu pada diskripsi di atas maka sub-sistem
mengikutsertakan LSM dalam perencanaan
formulasi kebijakan yaitu proses pe­ngem­
kerja serta diskusi anggaran dan program di
bangan program (perencanaan, peng­ang­
KPAP.
garan, alokasi dana dan pertanggung­jawaban)
dalam sistem kesehatan. Program LASS secara Berdasarkan hal tersebut maka disimpulkan
spesifik di DKI Jakarta belum terintegrasi bahwa tidak ada integrasi dalam dimensi
dengan sistem kesehatan. Meskipun Pemda akuntabilitas terkait dengan program LASS.
DKI telah mempersiapkan untuk keman­
dirian LASS dengan mengalokasikan ang­
gar­an untuk program LASS melalui dana
APBD dengan mekanisme perencanaan yang
nan­tinya mengikuti pola yang ada dalam
sis­tem kesehatan, namun saat ini kebutuhan 9) www.jakarta.go.id
Studi Kasus

2) Pembiayaan kesehatan kita ada ininya juga di sini jadi di situ sudah di apa
polakan lah mana yang kegiatan ini memang untuk
a. Pengelolaan sumber pembiayaan dinas, mana yang ini faktor kegiatannya untuk
tingkat sudin kota, dan mana untuk puskesmas, atau
Telah ada mekanisme sinkronisasi sumber rumah sakit, untuk UPT semua ada dipolakan di situ
pendanaan yang dilakukan oleh Dinkes, itu namanya synkronisasi. Jadi eh biar sama dan
namun masih belum maksimal karena masih mungkin juga biar kita ga tumpang tindih overlapping,
misalnya masa nanti puskesmas ngadain supervisi
ada sumber pendanaan yang berasal dari
kemana, ah ga cocok kan. Harusnya dia yang
MPI yang tidak diketahui besaran dan tidak tatanan layanan ya udah menunya lain menu-menu…”
dikoordinasikan kepada Bappeda sehingga (wawancara mendalam Tim Peneliti PPH Atma Jaya
tidak menjadi bagian yang disinkronisasi dengan Pengelola Program HIV Dinas kesehatanDKI
Jakarta)
dalam pembiayaan program. Secara
normatif pengelolaan sumber pembiayaan
ini pengkoordinasiannya melalui KPAP
sebagaimana mandat dalam Perda No. Sinkronisasi pengelolaan sumber dana melalui
5/2008 tentang HIV dan AIDS pasal 23 koordinasi Dinkes dilakukan setiap tiga bulan
yang menyatakan bahwa seluruh kegiatan sekali. Selanjutnya Bappeda akan melakukan
terkait penanggulangan HIV dan AIDS harus analisa ketercapaian indikator dan kesesuaian/
dikordinasikan dengan KPAP. Namun demikian kecukupan anggaran dalam pelaksanaan
terkait pengelolaan anggaran, belum ada program untuk bisa mencapai target yang telah
mekanisme atau forum yang dipakai oleh KPAP ditetapkan dalam perencanaan. Hasil analisa ini
untuk memonitoring dan mengevaluasi seluruh nantinya akan disampaikan kepada Gubernur
dana HIV dan AIDS yang dianggarkan oleh DKI Jakarta.
SKPD, UPT, LSM maupun MPI. Dampak dari tidak Sumber pendaaan untuk program LASS saat ini
adanya monitoring sumber pembiayaan adalah sebagian besar berasal dari MPI. Pemerintah 73
Pemda DKI Jakarta tidak dapat mengetahui daerah secara spesifik tidak mengelola
secara pasti jumlah total kebutuhan dana pendanaan untuk program LASS karena
untuk respons HIV yang dibutuhkan, dimana pengelolaannya langsung kepada MPI. MPI
masih ada celah kebutuhan yang masih sebagai pemberi dana memperoleh laporan dari
perlu dukungan pendanaan atau bagaimana Sudinkes dan Dinkes. Khusus untuk cakupan
mencegah terjadinya overlapping dalam program LASS, puskemas langsung melapor ke
implementasi program. HCPI sebagai donor. Laporan LASS masuk pula
“…Harusnya kan komisi penanggulangan HIV itu dalam sistem SIHA yang dilaporkan puskesmas
kan menjadi leading sektornya. Harusnya semua kepada Dinkes.
melapor ke situ. Jadi semua dana yang menyangkut
HIV itu harusnya lapor ke KPA… Tapi ini kan ngga, Mengacu pada deskripsi di atas maka dapat
KPA cuma lapor dana yang didapatkan aja. Yang 14 dikatakan bahwa dari dimensi sinkronisasi
m itu aja umpamanya gitu…Kalo yang dari layanan, pembiayaan program LASS berjalan secara
di puskesmas ya ke sudinnya, sudin ke dinas kan.
paralel dengan sistem kesehatan yang ada.
Dinasnya melakukan ke provinsi. Nah ini yang jadi
masalah kemaren, maunya gubernur kan harusnya
itu satu pintu semua. Harus apa ya kordinasi dengan
KPA….” (wawancara Tim Peneliti PPH Atmajaya b. Penganggaran, proporsi, distribusi, dan
dengan PKBI Jakarta) pengeluaran

Program HIV sudah terdapat dalam mata


Sementara itu Dinkes memiliki mekanisme anggaran APBD. Anggaran ini dapat
sinkronisasi anggaran bagi Suku Dinas diakses oleh SKPD, UPTD dan KPAP. Namun
Kesehaan dan Puskesmas. penganggaran secara spesifik untuk LASS
di dalam APBD masih belum ada, meskipun
“….Hm-mh, dan kita memang di dinas juga ada ada
sudah terdapat regulasi untuk perencanaan
yang namanya sinkronisasi ya jadi sinkronisasi itu
baik dari eh anggaran, dan apa ya faktor kegiatan dan penganggaran pengadaan LASS melalui
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

dana APBD. Hal ini terjadi karena masih adanya besar dibandingkan dengan sumber dana
bantuan dana dari MPI untuk program LASS dan lainnya. Namun, data tersebut adalah gam­
selama ini penganggaran untuk LASS sudah bar­an secara umum penanggulangan HIV dan
tercukupi dari MPI (HCPI). Adanya bantuan luar AIDS. Sementara secara spesifik untuk program
negeri ini menyebabkan proses penganggaran, harm reduction yang di dalamnya termasuk
proporsi, distribusi dan pengeluaran antara program LASS bersumber sepenuhnya dari MPI,
program LASS dan sistem kesehatan tidak yakni dari HCPI sebesar Rp 3.7 milyar12.
terintegrasi.
Secara spesifik untuk program LASS, kegiatan
Proporsi anggaran diatur dalam Peraturan yang saat ini masih didanai oleh MPI ke
Daerah No. 4 Tahun 2009 Pasal 30, poin a.3 depannya sangat mungkin akan tetap berjalan
yang menyebutkan alokasi dana yang berasal sesuai kebutuhan dengan pengalihan dana dari
dari pemerintah untuk penyelenggaraan UKM donor kepada dana mandiri atau APBD. Hal ini
dan UKP dilakukan melalui penyusunan APBD karena sudah ada regulasi yang memasukkan
paling banyak 15% dari total anggaran belanja program LASS ke dalam layanan kesehatan.
daerah setiap tahunnya.Proporsi anggaran Meskipun mungkin nantinya masih ada kendala
APBD untuk penanggulangan HIV dan AIDS yaitu petugas penjangkau belum mendapat
di DKI Jakarta dananya sudah cukup besar pendanaan dari APBD.
dan kecenderungan semakin meningkat dari “…..Tapi gimana dengan LSM? Karena sampai
tahun ke tahun, dan tidak hanya Dinkes saja dengan sekarang, belum ada tuh pendanaan khusus
yang dapat mengalokasikan dana untuk misalkan untuk petugas lapangan, buat yang
penanggulangan HIV dan AIDS, sebagaimana operational, okelah katakanlah operational karena
tugasnya di lapangan tapi untuk untuk program
yang disampaikan oleh informan berikut:
outrige itu main programnya itu adalah orang. Tapi
“... dari 2013 itu semua SKPD sudah boleh dari dari sekarang belum ada tuh dukungan khusus
74
menganggarkan tentang penanggulangan HIV di selain dari donor atau khususnya dari pemerintah
masing-masing instasinya. Jadi kalau saya bergerak untuk mendukung mereka, karena ga mungkin
di pemuda saya bisa minta, seperti Pemuda dan dong pegawai negeri yang turun ke lapangan…”
Olahraga, dia boleh untuk semua pemuda dia bikin (wawancara mendalam Tim Peneliti PPH Atma Jaya
sosialisasi ya silahkan. Udah dikasih itu banyak dengan Lembaga Kios-Atmajaya Jakarta)
sampai 30M, anggarannya ada di saya semua.
Artinya saya tau anggaran ini siapa sih, besarannya
tiap tahun meningkat. Tahun 2015 sedang saya
menyorot ke BAPPEDA nanya jumlahnya berapa
Dari deskripsi ini dapat disimpulkan bahwa di­
sih? yang ngambil duit itu dinas mana saja sih, mensi penganggaran program LASS belum ter­
SKPD mana sih yang pake, kegiatannya apa saja integrasi di dalam sistem kesehatan yang ada.
sih. Jadi sekarang tidak semua ada di kita[KPAP]…”
(wawancara mendalam Tim Peneliti PPH Atmajaya
dengan Sekretaris KPAP DKI)
c. Mekanisme pembayaran

Program LASS sampai saat ini tidak termasuk


Data sekunder menunjukkan bahwa biaya dalam pembiayaan JKN. BPJS tidak secara
program penanggulangan HIV dan AIDS spesifik mengatur biaya pencegahan terutama
bersumber dari APBD sebesar Rp 15.1 milyar10, pada layanan jarum suntik steril bagi penasun
sementara dana yang bersumber dari MPI dalam upaya mengurangi penularan HIV.
sebesar Rp 12.1 milyar11. Hal ini menunjukkan Sebagian besar program LASS masih menjadi
bahwa sebenarnya dana APBD yang digunakan bagian dari pembiayaan program yang didanai
dalam penanggulangan HIV dan AIDS lebih oleh MPI seperti yang telah dijelaskan pada
dua dimensi terkait pembiayaan di atas. Hal ini
10) Evaluasi Program Penanggulangan AIDS di DKI Jakarta, membantu memudahkan penasun untuk dapat
2008-2012 mengakses LASS di puskesmas secara gratis.
11) Lihat tabel Sumber Pendanaan Untuk Program
Penanggulangan AIDS di DKI Jakarta
Tahun 2012 12) ibid
Studi Kasus

Dari data sekunder diperoleh informasi bahwa 3) SDM kesehatan


kepesertaan masyarakat yang mengikuti JKN di
a. Kebijakan dan sistem manajemen
DKI, peserta PBI sebanyak 4.018.755 orang yang
meliputi PBI APBN sebanyak 1.271.293 orang, Pada dimensi kebijakan dan sistem manajemen
dan PBI APBD sebanyak 2.747.462 orang, dan SDM ini, program LASS tidak terintegrasi dengan
non PBI sebanyak 3.915.619 orang. Dari total pengaturan SDM pada sistem kesehatan. Hal
penduduk Jakarta sebesar 9.768.25013. Namun ini disebabkan karena belum semua komponen
dalam konteks pembiayaan JKN yang lebih luas program LASS masuk dalam nomen klatur
ada kebijakan pemerintah untuk memperbesar SDM di sistem kesehatan. Belum ada regulasi
cakupan layanan melalui JKN, yaitu Peraturan formal dan sistem manajemen yang mengatur
Gubernur No. 123/2014 yang menjelaskan pembiayaan SDM untuk program LASS.
bahwa Pemda DKI Jakarta menambah alokasi Komponen SDM pada program LASS terdiri dari
pembiayaan untuk BPJS bagi masyarakat. petugas penjangkau yang berasal dari LSM,
Dalam Pergub tersebut mencantumkan pula serta puskesmas yang di dalamnya meliputi
layanan untuk HIV dan IMS serta pembiayaan tenaga dokter dan perawat yang merupakan
bagi ODHA terutama untuk kasus IO yang tenaga kesehatan yang sudah ada dan ditunjuk
sudah ditanggung dalam JKN. oleh puskesmas karena kompetensinya
dalam program HIV. Biasanya status tenaga
Pemahaman masyarakat termasuk populasi
kesehatan yang ada di Dinkes dan fasyankes
kunci dan ODHA tentang pembiayaan BPJS
tersebut adalah pegawai PNS dan non PNS
masih cukup bervariasi. Beberapa informan
dengan mekanisme rekruitmen mengacu pada
menyebutkan bahwa BPJS tidak dapat menang­
UU Aparat Sipil Negara. Rekrutmen dilakukan
gung biaya pengobatan HIV dan narkoba,
melalui Dinkes bagian kepegawaian sebagai
namun pada realisasinya JKN dapat digunakan
untuk pengobatan terkait HIV di Jakarta. Pe­
upaya dari Dinkes untuk proses rekrutmen SDM 75
melalui satu pintu.
nyakit penyerta HIV yang muncul akibat infeksi
oportunistik juga ditanggung oleh JKN walau­ “….Kalo PNS kan berarti kita dapet, eh dapet dari atas
pun tidak untuk tes penunjang seperti tes darah ya. Nah tapi kalo untuk non PNS berarti kita sistem
recruitmentnya itu adalah kita buka nih di umum
dan laboratorium. Hal ini dimungkinkan dengan
pengumuman, setelah itu kita recruitment di sini, eh
me­manfaatkan Pergub yang disebutkan di atas ada beberapa tes yang harus dijalanin, harus dijalani
sebagai dasar hukum untuk memberikan ak­ses oleh eh temen-temen, nah dari situ , nanti diterima,
kesehatan bagi seluruh warga DKI Jakarta. 3 bulan itu percobaan. Artinya kalo dia punya
Pihak puskesmas juga mendorong pa­sien attitude yang baik, punya prestasi kerja yang baik,
berarti terus. Nah ke depan dinas kesehatan akan
dari program HIV untuk membuat kartu JKN
mengadakan sistem recruitment satu pintu, jadi ketika
walaupun proses aktivasi membutuhkan waktu saya butuh tenaga, saya pasang pengumuman tapi
yang lama. Hal ini dimungkinkan karena pus­ yang nanti tesnya di dinas kesehatan..” (wawancara
kesmas mendapatkan dana kapitasi dari BPJS Tim PPH Atmajaya dengan Kepala PKM Cengkareng)
berdasarkan jumlah penduduk di wilayahnya.

Pada umumnya JKN dapat diakses oleh siapa Ada komponen SDM lain di puskesmas
saja tanpa diskriminasi. Masalah terkait akses untuk membantu program LASS yaitu Kader
yang masih muncul merupakan kendala akibat Muda yang direkrut oleh puskesmas melalui
tidak memiliki kartu identitas ataupun karena koordinator program harm reduction. Umumnya
bukan penduduk DKI Jakarta. Dari dimensi ini kader muda yang direkrut berstatus Non-
nyata sekali bahwa tidak ada integrasi dalam PNS dan berada di bawah tanggung jawab
dimensi mekanisme pembayaran khususnya puskesmas. Sampai saat ini belum ada struktur
pada program LASS di DKI Jakarta. Akses kepegawaian dan analisa jabatan bagi kader
terhadap LASS dipenuhi semuanya dari MPI. muda. Begitu pula untuk petugas penjangkau
merupakan SDM yang direkrut oleh LSM melalui
13) BPJS kesehatan 2015-Data Kumulatif Sampai dengan Bulan
proses rekrutmen yang berlaku di lembaga
Desember 2014
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

masing-masing. Kesimpulannya, pengaturan sistem kesehatan. Hal ini semakin memperlebar


SDM pada program LASS baru mengakomodir kesenjangan pembiayaan yang terjadi antara
SDM dengan status kepegawaian PNS. Jumlah program LASS dengan sistem kesehatan secara
SDM kesehatan di DKI Jakarta saat ini di tingkat umum.
rumah sakit sebanyak 24.711 orang sementara “….Dari GF itu misalnya untuk HIV AIDS kita
di non rumah sakit sebanyak 17.324 orang. melakukan dokling ya, dokter keliling ke biasanya
Jumlah SDM kesehatan puskesmas sebanyak kita melakukan keluar kan, layanan keluar, nah di
5.849 orang, non puskesmas sebanyak 1.181 situ ada untuk LSMnya, ya penjangkaunya, dikasih
insentif sekian, kemudian ada untuk dokternya berapa
orang14. Sementara untuk program HIV dan
gitu, satuannya ada, kemudian untuk para medisnya,
AIDS tidak ada staf khusus. Fasyankes biasanya laboratoriumnya seperti itu. Jadi memang udah ada
menunjuk SDM yang ada dan dianggap satuan-satuannya yang memang ada aturannya
kompeten terhadap program HV dan AIDS, di GF…” (wawanacara mendalam Tim Peneliti PPH
atau sudah pernah mendapatkan pelatihan Atmajaya denganKepala Puskesmas Cengkareng)

terkait penanggulangan HIV dan AIDS. Hal ini


menjadikan staf yang menangani program HIV
dan AIDS merasa terbebani karena mereka juga c. Kompetensi SDM
mengerjakan tugas yang lain. Tingkat integrasi dalam dimensi kompetensi
SDM ini masih berkaitan dengan dua dimensi
sebelumnya. Oleh karena belum adanya nomen
b. Pembiayaan SDM klatur yang jelas untuk beberapa komponen
Belum adanya nomenklatur SDM program program LASS, hal ini juga berpengaruh pada
LASS maka ketentuan sumber pendanaan regulasi kompetensi yang harus dimiliki oleh
untuk SDM ini belum dapat diperhitungkan petugas. Pengembangan kompetensi terjadi
76 dalam mekanisme pembiayaan daerah. baik di level sistem maupun program untuk HIV
Sumber pembiayaan bagi SDM penjangkau dan AIDS. KPAN memberikan pelatihan terkait
LASS mengandalkan sepenuhnya dari MPI. manajemen program umumnya, pelatihan
Dengan kata lain pembiayaan program LASS tentang LASS didukung oleh HCPI atau IHPCP.
tidak terintegrasi dalam pembiayaan SDM Pelatihan menyangkut layanan dan logistik ada
kesehatan. Pembiayaan daerah diperuntukkan pada kewenangan Dinkes, sementara yang
bagi SDM kesehatan yang bekerja di Dinkes terkait dengan kelembagaan, LSM, komunitas,
dan puskesmas di Pemda DKI yang berstatus populasi kunci dilakukan oleh KPAP. Sehingga
sebagai pegawai PNS dan Non PNS yang dapat dipetakan bahwa pengembangan
didanai oleh APBD dan BLUD serta dana hibah. kompetensi dilakukan melalui dua cara,
Insentif kepada SDM kesehatan dari BLUD yaitu melalui Dinkes khususnya untuk staf
dapat diberikan untuk non-PNS sedangkan PNS tenaga kesehatan dan melalui KPAN dan LSM
mendapat tunjangan kinerja daerah, diberikan yang bekerjasama dengan MPI bagi staf non
berdasarkan performance/TKD yang diisi secara kesehatan seperti penjangkau dan kader muda.
online. Sementara itu dana khusus untuk staf Sumber pembiayaan untuk pengembangan
KPAP, sumber dana untuk gaji berasal dari kompetensi tenaga kesehatan di puskesmas
APBD hibah. Ada pengecualiaan di Pemda berasal dari APBD, namun tidak diketahui
DKI Jakarta bahwa dana hibah untuk KPAP besarannya. Pengembangan kompetensi SDM
diberikan secara kontinyu setiap tahun. puskesmas dilakukan melalui kegiatan in
Di samping itu, MPI seperti GF memberikan house training dengan frekuensi sebulan sekali.
beberapa insentif tambahan bagi SDM yang Pengembangan kegiatan dilakukan melalui
merangkap mengerjakan program HIV dan bagian sumber daya kesehatan di Sudinkes.
AIDS. Konsep insentif sendiri tidak ada dalam Puskesmas dapat memanfaatkan dana BLUD
mekanisme pembiayaan SDM untuk PNS di untuk pengembangan kompetensi bagi stafnya.
Sementara pembiayaan peningkatan kapasitas
14) Profil kesehatan Indonesia 2014
Studi Kasus

Tabel 12. Jenis


Pelatihan yang Yang mengorganisir
No Jenis Pelatihan
diikuti oleh LSM pelatihan

Karisma
1 Pemahaman HR untuk LASS Karisma
2 Manajemen Kasus FHI/KPA
3 Konselor VCT, Adiksi FHI/Circle Indonesia/KPA
4 Pelatihan Relawan, Pelatihan Karisma
Adiksi, Motivational Interviewing
5 Para Legal UNODC
6 TB HIV Dinkes
7 Penjangkauan Pendampingan ILOM
LASS
8 CEFIL (Kepemimpinan)
9 Pelatihan Data FHI/HCPI
10 Manajemen Program FHI/HCPI
(Keberlanjutan, peran, dan fungsi
PM & Korlap)
Kios Atma Jaya
11 Outreach (dasar, menengah, HCPI, ASA, Kemenkes
advance)
12 Konseling VCT & Adiksi KPA, BNN, Kemkes 77
13 Monev KPA, Donor
14 Keuangan (fraud) Donor
15 Kespro HCPI, Kemkes
16 Advokasi Jaringan
17 Burn out management Internal Kios
18 Manajemen program PPH, Satu Nama (HCPI,
Circle (SUM)
19 Cycle management UNDP

bagi tenaga non kesehatan berasal dari dana SDM kesehatan yang diselenggarakan oleh
hibah KPAP dan dari MPI. Hal ini diperkuat Dinkes. Sementara jenis pelatihan bagi LSM
dengan data sekunder yang menunjukkan seperti tampak pada tabel 12.
bahwa peningkatan kapasitas khusus untuk
Permasalahan lain dalam kompetensi SDM
program HR dilakukan melalui pendanaan dari
adalah persoalan rotasi pegawai. Melalui
donor, seperti HCPI dan SUM15.
Binwasdal Sudin, ada regulasi dari Dinkes bila
Jenis pelatihan bagi puskesmas terkait dengan SDM sudah dilatih komprehensif, minimal dia
program Harm Reduction meliputi adiksi, drugs, harus melaksanakan tugasnya 2-3 tahun di
leadership, ketrampilan komunikasi tentang tempat kerja.
drug, dan konseling komunitas. Tidak banyak “….Nah ada satu regulasi yang dikeluarkan oleh
informasi yang didapat terkait dengan jenis dinas kesehatan apabila eh SDM ini sudah dilatih
pengembangan kapasitas/kompetensi bagi komprehensif minimal dia harus melaksanakan
tugasnya sesuai dengan kompetensinya itu saya lupa
15) Evaluasi renstra HIV aan AIDS 2008-2012
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

2 apa 3 tahun itu ada satu konsul yang menyatakan “….Kalo misalkan kan dinas kan nggak punya gudang
eh itu nah diluar itu kita sudah prediksi artinya oh yang besar juga dan jarum itu memakan tempat yang
ini kan akan terjadi dia akan dimutasi atau apa kita banyak gitu kan. Boksnya gede-gede. Jadi mereka
sudah prediksi, kita buat satu perencanaan untuk waktu itu bilang kalau bisa dibantu untuk distribusi
pelatihan berikutnya gitu. Kita udah tau lah nih akan langsung ke puskesmas. Nah soal pembagiannya
terjadi mutasi dan orang ini eh ada apa sih namanya itu, gue bikin jadi 2 gitu ya. Kebutuhan untuk di loket,
ya emang sih selama ini untuk mutasi itu regulernya sama kebutuhan outreach oleh LSM…” (wawancara
ga keliatan, cuma tiba-tiba tiba-tiba saya mau Tim Peneliti PPH Atmajaya dengan HCPI)
pindah, saya naik jabatan, itu ga bisa diprediksi sih
sebenernya sama kita tapi kita sudah punya ancer-
ancer untuk perencanaan 2 sampe 3 tahun ke depan
untuk menganitisipasi mutasi tadi…” (wawancara Tim
Sementara mekanisme penyediaan farmasi
PPH Atmajaya dengan Program HR Dinas Kesehatan selain LASS, pengadaannya menjadi wewenang
DKI Jakarta) Dinkes. Perencanaan pengadaan farmasi dan
alat kesehatan dilakukan melalui e-budgeting
yang kemudian harus mendapatkan persetujuan
Sementara di LSM tidak memiliki mekanisme dari Dinkes. Kebutuhan alat kesehatan dan obat
untuk mengantisipasi permasalahan turn over terkait HIV di puskesmas digabungkan dalam
SDMnya. anggaran keseluruhan dan sudah terintegrasi
“….Dalam proses rotasi di karisma, petugas secara dengan program lain yang masuk ke usulan
individu diharapkan dapat melakukan penyesuaian farmasi16. Jalur pendistribusian alkes dan
terhadap tugas baru mereka. Belum ada mekanisme obat dilakukan melalui Dinkes. Namun hal ini
khusus yang mengatur transfer knowledge dari posisi berbeda dengan perencanaan pada puskesmas
sebelumnya… “ (wawncara Tim Peneliti PPH Atmajaya
BLUD, di mana memiliki keleluasaan untuk
dengan Koordinator Lapangan Kharisma)
menganggarkan kebutuhan melalui dana BLUD.
78
4) Penyediaan farmasi dan alat b. Sumber daya
kesehatan
Sumber-sumber pembiayaan untuk pengadaan
a. Regulasi penyediaan, penyimpanan, LASS sebagian besar berasal dari MPI, ter­
diagnostik dan terapi ma­­suk dalam hal pendistribusian sampai
Penyediaan dan penyimpanan serta distribusi de­ngan tingkat layanan. HCPI sebagai mitra
LASS berbeda dengan mekanisme yang diatur pembangunan internasional yang memberikan
dalam penyediaan logistik program lainnya. Hal dukungan langsung kepada program LASS
ini disebabkan mekanisme penyediaan alkes melalui dukungan teknis dan logistik dimulai
untuk program LASS lebih banyak mengikuti pada 2008. Kegiatan yang dilakukan MPI men­
pola yang ditetapkan oleh donor dari pada ca­kup penguatan puskesmas, bekerja sama
menggunakan sistem yang ada. Dengan kata de­ngan LSM sebagai jembatan bagi penasun
lain pada dimensi ini program LASS tidak un­tuk datang ke puskesmas. Pola ini berbeda
terintegrasi dengan sistem kesehatan pada de­ngan sistem kesehatan yang ada. Oleh ka­
umumnya. Sebagaimana tampak dalam re­nanya, dapat disimpulkan bahwa dimensi
deskripsi di bawah ini. Penyimpanan logistik sum­ber daya dalam penyediaan farmasi dan
LASS justru disimpan di gudang puskesmas alat kesehatan untuk program LASS tidak ter­in­
sesuai dengan permintaan dari Dinkes agar te­grasi dalam sistem kesehatan yang ada.
MPI membantu dalam hal pendistribusian “…..Kalo saat ini kita masih di-supply dari HCPI,.Dari
secara langsung kepada penyedia layanan. HCPI terakhir 2015. Kita sampe sekarang distribusi
jarum kita masih.. stok jarum kita masih banyak.
Mekanisme pendistribusian LASS dilakukan
Jadi kita belum berani menganggarkan, karna takut
melalui satu pintu yaitu puskesmas. LSM me­ng­ expired dan segala macem. Karna pengambilan
ambil jarum di puskesmas untuk didistribusikan jarum ini masih sedikit. Tidak banyak..(wawancara
ke­pada penasun, atau penasun dapat secara
16) Indepth interview dengan Kepala Puskesmas Cengkareng
langsung mengakses ke puskesmas. dan PKM Jatinegara.
Studi Kasus

mendalam Tim Peneliti PPH Atmajaya dengan Kepala berasal dari puskesmas dan Sudinkes untuk
Puskesmas Jatinegara) selanjutnya dipergunakan sebagai bahan untuk
perencanaan kegiatan dan profil kesehatan.
Tidak ada mekanisme untuk melakukan
5) Informasi strategis diseminasi capaian program. Sharing laporan
a. Sinkronisasi sistem informasi hanya dilakukan di internal Dinkes, namun
dapat diakses untuk publik apabila ada yang
Program LASS belum sepenuhnya memanfa­ membutuhkan. Di puskemas, diseminasi dan
at­kan sistem informasi yang digunakan oleh pemanfaatan informasi dilakukan melalui
Dinkes. Mekanisme informasi program LASS mini lokakarya yang menjadi forum untuk
berjalan secara paralel dengan sistem infor­ma­ perencanaan berbasis puskesmas. Sementara
si kesehatan pada umumnya. Hal ini tam­pak tidak diperoleh informasi terkait dengan
dari mekanisme pelaporan yang tidak ter­pu­sat pemanfaatan dan diseminasi laporan yang
pada satu sistem yang tersedia yakni me­la­lui diserahkan kepada MPI.
Dinkes. Sistem infomasi program LASS menga­
cu pada sistem yang dikembangkan oleh MPI Ada penjelasan bahwa laporan kesehatan
sebagai pemberi dana. Begitu pula dengan dapat diakses oleh masyarakat, namun tidak
LSM melakukan pelaporan berdasarkan proyek dijelaskan bagaimana mekanismenya untuk
sehingga sistem pelaporan yang dipergunakan mengakses informasi tersebut. Informasi lain
menggunakan acuan yang dipakai oleh menyebutkan bahwa laporan pencapaian hasil
MPI. Meskipun demikian, ada pula LSM yang program tidak perlu disampaikan kembali ke
memberikan laporan kegiatan selain kepada populasi kunci atau penasun karena dianggap
donor juga kepada Sudinkes dan KPA. tidak relevan dan tidak dibutuhkan oleh
populasi kunci
Sementara itu Dinkes sudah memiliki sistem 79
“….Enggak, laporannya gak dilaporkan secara itu ya.
informasi kesehatan (SIK), di mana data pro­ Karena khawatirnya, mereka juga gak..buat apaan
gram HIV sudah masuk sebagai bagian dari sih gitu. Dilaporkannya paling…bukan dilaporkan,
pe­laporan data kesehatan, melalui sistem SIHA. tapi dengan cara mungkin dalam pertemuan. Dan
Pengumpulan data dilakukan dari berbagai itu juga gak dilaporkan…jarum suntik yang ter­dis­
tri­busi, kecuali dengan suku Dinas. Jadi kita ada
sumber sesuai dengan lingkup kerjanya.
pertemuan koordinasi dengan suku Dinas dan se­
Se­mua laporan terkumpul di Dinkes untuk lu­ruh puskesmas, terus ada KPAK, tapi dampingan
dipergunakan sebagai dasar pengembangan gak diajak disini. Gak masuk disitu. Karena kadang
kebijakan. Jenis data yang dikumpulkan meli­ buat mereka apaan sih, gak relevan buat mereka.
puti surveilans, survei cepat perilaku (SCP), data Mendingan gua nyari duit buat beli hal - hal..” (wa­wan­
cara Tim Peneliti PPH Atmajaya dengan PM Kharisma)
penyakit rutin dan lain-lain. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa dimensi sinkronisasi
sistem informasi belum terintegrasi dengan
Hal ini didukung dengan pernyataan informan
sistem kesehatan yang berlaku di Dinkes.
lainnya yang menyatakan bahwa data yang
dikumpulkan untuk monitoring program yang
dilakukan selama ini belum dimanfaatkan se­
b. Diseminasi dan pemanfaatan
cara maksimal untuk pengembangan program.
Program LASS tidak terintegrasi dalam hal
“….yang paling mendasar sih jadi, jadi monitoring
diseminasi dan pemanfaatan informasi dulu buat temen-temen pekerja lapaangan,
strategis, meskipun sudah ada pemanfaatan bulanannya temen-temen, gitu. Untuk monitoring
data yang dilakukan oleh Dinkes. Namun hasil-hasilnya mereka. lalu kalau kegunaannya
hal ini belum mengakomodir semua yang untuk pengembangan program data tersebut masih
belum maksimal sih hahaha” (wawancara Tim Peneliti
dilakukan oleh pelaku dalam program LASS. PPH Atmajaya dengan Koordinator Lapangan LSM
Dinkes memanfaatkan berbagai sumber Kharisma-Jakarta)
pelaporan rutin per bulan dan per triwulan yang
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

6) Partisipasi masyarakat Dari gambaran sub-sistem partisipasi


masyarakat dapat disimpulkan bahwa belum
Keterlibatan populasi kunci dalam program ada integrasi dalam sub-sistem ini, karena
LASS sebatas sebagai penerima manfaat. terdapat mekanisme pelibatan masyarakat
Sementara partisipasi masyarakat melalui dalam dalam perencanaan yang berbeda.
Musrenbang tidak secara spesifik membahas
dan merencanakan program LASS, namun
lebih kepada permasalahan kesehatan pada 7) Upaya kesehatan
umumnya. Di sisi yang lain perencanaan
program LASS dilakukan berdasarkan laporan a. Ketersediaan layanan
yang bersumber dari LSM dan puskesmas, tidak Dimensi ketersediaan layanan terintegrasi
melibatkan populasi kunci. penuh. Layanan LASS sudah dapat diakses
Permenkes No. 21 Tahun 2013 menyebutkan dengan mudah di 38 puskesmas di DKI
bahwa setiap orang harus secara aktif Jakarta. LASS dapat diakses melalui petugas
melakukan upaya pencegahan dan penjangkau LSM maupun diakses secara
menanggulangi epidemi HIV sesuai dengan mandiri ke puskesmas. Layanan LASS
kemampuan dan perannya. Dapat dimaknai sudah terintegrasi dengan layanan lainnya
bahwa seluruh masyarakat termasuk dalam berupa layanan VCT, kesehatan dasar dan
hal ini populasi kunci semestinya terlibat Metadon, penasun dapat mengakses semua
dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS. layanan dalam satu tempat (one stop service).
Namun, implementasi kebijakan ini belum dapat Melalui pendekatan Layanan Komprehensif
diterapkan sepenuhnya pada populasi kunci. Berkesinambungan serta fleksibilitas waktu
pemberian layanan semakin mempermudah
Secara umum sudah ada keterlibatan
80 penasun untuk mengakses layanan yang
masyarakat dalam Musrenbang, serta dibutuhkan, mulai dari akses jarum melalui
penyertaan masyarakat dalam penyediaan penjangkauan maupun di puskesmas, serta
layanan kesehatan berbasis masyarakat perawatan terkait lainnya. LASS dapat diakses
(posyandu). Kegiatan promotif dan preventif di puskesmas dengan mekanisme tidak
melibatkan mobilisasi masyarakat seperti berbayar, sehingga tidak ada masalah dengan
penyuluhan keliling melibatkan kader yang tidak adanya jaminanan LASS dalam JKN.
bekerja secara sukarela karena adanya
kebijakan yang tidak memperbolehkan Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
memberikan insentif untuk kader. layanan yang meliputi aspek promotif, preventif
kuratif dan rehabilitatif sudah tersedia di
Secara spesifik diketahui bahwa forum penasun layanan tingkat dasar, termasuk di dalamnya
dilakukan melalui pokja IDU yang dikelola oleh adalah layanan rujukan, meskipun ada
KPAD, namun sebagai media aspirasi Pokja ini kecenderungan bahwa perubahan puskesmas
tidak berjalan sebagaimana mestinya karena menjadi rumah sakit mempersulit pasien untuk
ada keterbatasan dalam pengelolaannya. mengakses layanan primer, sebagaimana yang
“….He-eh wadahnya dari situ. LSM sumbang saran, dipersyaratkan dalam sistem rujukan.
mungkin juga penasunnya bisa terlibat di situ.
Sayangnya [pokja HR] ga jalan. Ga jalannya ya dari
dari sini dari dinas kesehatan. Yang pegang cuma
satu. Hehe iya maksudnya sebenernya iya yang b. Koordinasi dan rujukan
punya cuma saya sendiri, program HR. kemampuan
Mekanisme koordinasi dalam program LASS
untuk ya itu mengendalikan, monev, merencanakan,
kurang SDMnya…” (wawancara Tim Peneliti PPH dilakukan antara LSM dan puskesmas selaku
Atmajaya dengan staf program Harm Reduction komponen pelaksana program. Koordinasi
Dinas Kesehatan DKI Jakarta) dengan LSM dilakukan melalui pertemuan yang
diselenggarakan untuk melakukan perencanaan
kebutuhan dan pendistribusian LASS, serta
Studi Kasus

mengidentifikasi permasalahan dan pelaporan HIV sekalian kan di situ juga, ga perlu pindah-pindah.
kasus HIV. Koordinasi dalam program LASS Anak metadon juga kalo buat akses ARV di situ
aja. Jadi LKB ini banyak kemudahan dari kitanya
belum secara spesifik melibatkan peran Dinkes
gampang, pasiennya juga gampang…”(wawancara
sebagai leading sector kesehatan secara umum Tim Peneliti PPH Atmajya dengan Koordinator HR
sebagaimana program yang lain. Sementara PKM Tanjung Priok)
puskesmas adalah unit pelaksana dari Dinkes,
sehingga semestinya Dinkes berperan dalam
koordinasi program LASS. Oleh karena itu, c. Jaminan kualitas layanan
dimensi koordinasi dan rujukan tidak terintegrasi
Dalam dimensi kualitas layanan, program LASS
dengan sistem kesehatan.
tidak terintegrasi dalam sistem kesehatan yang
Sebagai penyedia layanan kesehatan, selain ada. Mekanisme supervisi yang dilakukan untuk
memberikan layanan kesehatan secara menjamin kualitas layanan yang dilakukan
umum, puskesmas juga memberikan layanan oleh Dinkes hanya fokus pada area layanan
LASS dan VCT. Namun, tidak semua penasun kesehatan di fasyankes (puskesmas) saja.
mau mengakses LASS secara langsung ke Jaminan kualitas layanan sudah dilakukan
puskesmas. Untuk itu, dalam hal pendistribusian oleh Sudinkes melalui Bimtek yang dilakukan
LASS, puskesmas bekerja sama dengan per tiga bulan sekali. Begitu pula untuk
petugas penjangkau untuk memberikan LASS akreditasi dan ISO bagi puskesmas. Akreditasi
secara langsung kepada penasun. Komponen dilakukan per semester dengan sistem ISO,
lain dalam LASS adalah kader muda yang namun tidak dilakukan untuk program HR.
melakukan peran pencatatan pendistribusian Sudah ada regulasi bahwa Dinkes memiliki
jarum baik yang dilakukan oleh puskesmas tupoksi untuk melakukan supervisi sebanyak 4
melalui poli ataupun melalui petugas kali dalam satu semester, Bimtek sebanyak 2
penjangkau. Kader muda juga dapat membantu kali dalam setahun, Biswadal sebanyak 1 kali
81
puskesmas untuk melayani pendistribusian dalam setahun. Kegiatan dalam bantuan teknis
jarum bagi penasun yang mengakses langsung termasuk melihat data, evaluasi pelaporan, up
ke puskesmas. Satu informan mengatakan PKM date SIHA, SUFA, dan ARV. Sementara bagi
ada one stop service, selain LASS ada PTRM, puskesmas yang masih lemah dalam sistem
VCT dan mereka bisa internal referral merujuk pelaporan, Sudinkes wajib melakukan Bimtek
ke poli lain. sebanyak 2 kali dalam setahun.
“….Pertama mereka punya layanan yang one stop Sementara kinerja komponen SDM lain di luar
service. Jadi selain LASS, ada metadon barengan,
sektor kesehatan, supervisi dilakukan melalui
terus ada, ada layanan VCT, ada layanan [1 kata tidak
jelas], terus layanan ibu hamil itu PPIA ya? di situ mekanisme yang berlaku di LSM. Jaminan
ada, kemudian secara apa namanya, secara internal kualitas layanan kegiatan di LSM menjadi
referral ya? Jadi mereka merujuk ke poli lain gitu, itu terlepas dari sistem yang dikembangkan untuk
juga berjalan banget. Kadang-kadang kan karena memantau kinerja SDM kesehatan yang sudah
penasun sering mereka jalurnya hanya ke layanan
memiliki regulasi untuk penerapannya. KPA
HR aja. Tapi misalkan mereka punya keluhan yang
lain kan ada loket pasien umum gitu ya. Kadang- meskipun secara normatif memiliki peran untuk
kadang kalau penasun belum mau daftar langsung mengkoordinasikan kegiatan penanggulangan
ke penasun umum, dari layanan ini langsung rujuk HIV dan AIDS termasuk yang diakukan oleh
ke poli lain, layanan lain itu berjalan banget dan gue LSM, namun secara struktural tidak ada
tau….” (wawancara Tim Peneliti PPH Atmajaya dengan
mekanisme supervisi dari KPA dan Dinkes
HCPI)
terhadap kegiatan yang dilakukan oleh LSM.
“….sebenernya kan yang di LKB itu kan semua yang
berhubungan sama HIV ngumpul satu semua dari
IMSnya, metadonnya, terus LASSnya, jadi satu
semua. Yang enak dengan LKB itu berarti petugas
tidak perlu terlalu banyak kan. Cukup itu aja mereka
udah menguasai semuanya. Terus kemudahan dari si
pasien, misalnya ngeliat ada IMS, langung diperiksa
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

E. Tingkat Integrasi Program pembiayaan maupun tata kelola. Satu contoh


pada dimensi kebijakan dan sistem manajemen
LASS ke dalam Sistem SDM. Pengelolan SDM pada program LASS seakan
Kesehatan terpisah dari manajemen SDM kesehatan. Dengan
tidak adanya staf khusus untuk mengelola LASS
Pada bagian ini menjelaskan tentang penilaian sebenarnya menginisiasi terintegrasinya program
terhadap tingkat integrasi yang diperoleh LASS dalam layanan kesehatan secara umum.
berdasarkan hasil deskripsi dan analisa yang telah Namun komponen SDM lain dalam program LASS
dijabarkan di atas. Integrasi didefinisikan sebagai untuk tenaga penjangkau tidak masuk dalam
pengaturan organisional yang ditujukan untuk struktur dan analisa kepegawaian.
mengadopsi program HIV dan AIDS ke dalam
sistem kesehatan di tingkat daerah. Pengaturan Kedua, program LASS pada dasarnya
organisasional ini bisa terjadi di tingkat fungsional merupakan program yang kompleksitas
dalam bentuk koordinasi, penyesuaian, serta pengelolaannya relatif rendah dibandingkan
hubungan antara sistem kesehatan dengan program intervensi spesifik lainnya seperti PMTS.
program tertentu, atau di tingkat struktural dalam Program LASS tidak melibatkan banyak komponen
bentuk penggabungan layanan. Berdasarkan dalam pengelolaannya, di samping itu program
gambaran fungsi sub-sistem kesehatan dapat LASS lebih spesifik pada pengadaan dan distribusi
disimpulkan tingkat integrasi dalam dimensi fungsi jarum suntik yang secara nyata dibutuhkan
sistem kesehatan tampak dalam tabel 13. oleh penasun. Namun sayangnya program ini
belum mendapatkan dukungan dari pemangku
kepentingan. Kontradiksi antara pendekatan
hukum dengan pendekatan kesehatan dapat
F. Faktor-faktor yang menjadi salah satu penghambat dalam penyediaan
82
Memengaruhi Integrasi pembiayaan daerah.

Program LASS ke dalam Ketiga, adalah konteks ekonomi. APBD DKI


Jakarta sangat besar yang dialokasikan untuk
Sistem Kesehatan sektor kesehatan yakni sebesar 13% dari total
Pada bagian ini akan menjelaskan berbagai faktor APBD. Sementara itu dari sisi regulasi sudah ada
yang memengaruhi integrasi program LASS ke kebijakan Pemda untuk program LASS, namun
dalam sistem kesehatan. Penjelasan ini didasarkan sayangnya besarnya pendanaan untuk sektor
atas penilaian tingkat integrasi pada tujuh sub- kesehatan tidak berjalan sinergis dengan kebijakan
sistem kesehatan. Dalam penilaiannya disimpulkan kemandirian program LASS.
bahwa sub-sistem program LASS tidak terintegrasi
Keempat, adalah belum adanya peraturan dan
ke dalam sistem kesehatan. Tidak terintegrasinya
regulasi yang mengatur peran dan pembiayaan
ini karena dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai
untuk SDM non kesehatan. Sementara itu dalam
berikut:
program LASS komponen SDM non kesehatan ini
Pertama, komitmen politik terhadap program sangat strategis untuk menutupi kesenjangan peran
HIV sangat tinggi di DKI Jakarta, terbukti dengan yang tidak dapat dilakukan oleh pemerintah.
adanya kebijakan yang menjadi landasan dalam
pelaksanaan program HIV. Begitu pula dengan
program LASS, payung hukum pelaksanaan LASS G. Efektifitas Program LASS
didasari oleh Permenkes No. 567 Tahun 2006.
Kebijakan ini diturunkan menjadi kebijakan tingkat Untuk melihat efektifitas program LASS maka
daerah dalam wujud, Perda dan Surat Edaran Dinas digunakan dua sumber data, yaitu data kualitatif
Kesehatan. Namun sayangnya kebijakan ini belum yang diperoleh melalui wawancara dengan
diimplementasikan karena ada pertimbangan penasun sebagai penerima manfaat program.
ketercukupan pendanaan dari MPI. Dalam program Sumber data kedua adalah data sekunder berupa
LASS pengaruh MPI sangat besar baik dari sisi cakupan yang diperoleh melalui laporan program
Studi Kasus

Tingkat Integrasi
Fungsi Sistem
Dimensi
Kesehatan
Dimensi Subsistem

Manajemen dan Regulasi þ


Regulasi Formulasi Kebijakan ý ý
Akuntabilitas dan Daya Tanggap ý
Pembiayaan Pengelolaan Sumber Pembiayaan ý
Penganggaran, Proporsi, Distribusi dan
ý ý
Pengeluaran
Mekanisme Pembayaran Layanan ý
SDM Kebijakan dan Sistem Manajemen ý
Pembiayaan ý ý
Kompetensi ý
Penyediaan Obat dan Regulasi Penyediaan, Penyimpanan, Diagnostik
ý
Perlengkapan Medik dan Terapi ý
Sumber Daya ý
Sistem Informasi Sinkronisasi Sistem Informasi ý
ý
Diseminasi dan Pemanfaatan ý 83
Partisipasi Masyarakat Partisipasi Masyarakat ý ý
Penyediaan Layanan Ketersediaan Layanan ý
Koordinasi dan Rujukan ý ý
Jaminan Kualitas Layanan ý

þ Terintegrasi penuh ý Tidak terintegrasi ¨ Terintegasi Sebagian

Tabel 13. Penilaian dan data IBBS. Penilaian terhadap efektifitas program LASS dilakukan
dengan membandingkan antara data cakupan dengan target program.
Tingkat Integrasi

1) Akses dan kualitas layanan dari persepsi pemanfaat


Akses terhadap LASS diperoleh melalui dua jalur layanan, yaitu
meng­akses langsung ke puskesmas atau mendapatkan dari petu­
gas penjangkau. Layanan LASS di puskesmas dilakukan mela­
lui poli dengan dibantu oleh kader muda. Penasun lebih suka
meng­akses LASS kepada petugas penjangkau LSM karena faktor
flek­sibilitas. LASS dapat diperoleh kapanpun dan tidak dibatasi
jum­lahnya. Bahkan setiap hari dapat mengakses LASS dari petu­
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

gas penjangkau dengan catatan membawa Berkaitan dengan cara pembayaran layanan,
jarum bekas yang sudah terpakai. Sementara penasun dapat mengakses LASS secara gratis
jam layanan akses LASS di puskesmas tidak di puskesmas, terutama bagi yang memiliki
berbeda dengan layanan kesehatan lannya, identitas sebagai penduduk DKI Jakarta.
yakni mulai pukul 08.00 – 15.00. Untuk menda­ Sementara bagi yang tidak memiliki identitas
pat­kan layanan LASS penasun mengikuti penduduk DKI dikenakan biaya pendaftaran
prosedur sebagaimana layanan di puskesmas. sebesar Rp 5.000. Cara untuk mengakses LASS
Puskesmas memberikan batasan jumlah jarum, sama halnya dengan pasien puskesmas pada
dalam satu paket terdapat 5-10 jarum baru. umumnya.
Maksi­mal pemberian paket jarum dalam sekali “Jadi sebelumnya kan kita masukin data dulu. Ya kan.
pengambilan sebanyak 2 paket layanan LASS. Nama, nomor telepon, alamat. Katanya sih data aja
Penasun tidak diperbolehkan mengakses di dalam. Kalau untuk pengambilannya sih ya kita
LASS setiap hari. Sementara itu, ada situasi di minta, nanti kita tanda tangan nama kita. Karena kan
kita udah terdaftar di situ. Kalau yang belum terdaftar
ma­na penasun memberikan jarumnya kepada
kan nggak boleh. Jadi gampang sekali, tinggal daftar,
te­mannya yang akan pakaw (menyuntikkan minta, tulis nama tanda tangan. Udah.” (Wawancara
putau) tetapi tidak memiliki jarum baru. mendalam tim Peneliti PPH Atmajaya dengan R9)

“…..Karena mereka itu eeh prefer buat pemakainya


sendiri. Jadi eeh misal, kan eem kalo mereka ber­pi­
kirnya gini ga mungkin dalam satu hari itu kamu pake Syarat untuk mendapatkan LASS juga
sampe dua puluh kali lebih kan, ngabisin dua puluh diangap tidak terlalu rumit. Sebelumnya
jarum suntik. Sementara kan kita ga mungkin kalo
kita punya misalnya temen ga punya, kasian kalo
mereka sudah mendapatkan penjelasan
kita liat dia sharing ya kan. Atau kita liat dia pake dari petugas puskesmas untuk mengakses
yang bekas, atau dia mesti sterilin dulu. Pasti kan aku layanan LASS. Bahwa ada persyaratan untuk
84 kasih gitu kan. Jadi eeh tapi kalo orang puskesmas itu mengembalikan jarum bekas pakai sebelum
taunya ya satu satu amplop atau dua amplop itu satu
mengambil jarum baru. Namun, penasun juga
amplop itu biasa isi sepuluh kalo mereka. Dua amplop
itu ya eeh dua puluh itu ga mungkin buat satu hari.
tetap dapat mengakses LASS meskipun tidak
Paling ga tiga hari, gitu ….(wawancara tim Peneliti PPH mengembalikan jarum sesuai jumlah permintaan
Atmajaya dengan R2). sebelumnya.
“Mekanismenya ga ribet sih, kita cuma ditanya nama,
ID, sama apa namanya tanggal bulan tahun, sama
Penasun juga merasa lebih nyaman mengakses ehem nanti ketentuannya kalo misalnya kita mau
LASS di LSM melalui petugas penjangkau akses kita biasanya kalo pertama, baru pertama
nanti kita dikasih kartu, kayak kartu keanggotaan gitu
karena petugas penjangkau dari LSM memiliki
nanti untuk selanjutnya kalo kita mau akses lagi, kita
latar belakang sebagai penasun, sehingga diharuskan bawa yang bekasannya jangan dibuang
memiliki pengalaman yang sama dan lebih ya dibilang gitu pasti dibilang kayak gitu, kalo bisa
nyaman untuk diajak bercerita. Sementara jangan dibuang biar eh kita juga ada laporannya
petugas kader muda belum tentu memiliki latar jadi misalnya kalo sekali akses tuh kalo di LSM tuh
sekali akses dapet satu amplop yang isinya 5 intake
belakang sebagai penasun.
baru, 5 apa namanya alcohol swap, terus 3 kondom,
“……Eeh, kalo dibilang memadai ya mereka sih sama 1 kartu yang apa kaya keterangan gitu deh..”.
welcome welcome, cuma eeh kalo dibilang ya (Wawancara mendalam tim Peneliti PPH Atmajaya
mungkin kalo aku ngerasanya lebih nyaman di LSM dengan R4)
lah. Mungkin karena Basicnya kali mungkin kalo di
LSM juga banyak mantan eeh IDU juga, atau mungkin
dari background yang sama gitu kan. Tapi kalo di
puskesmas kan ga. Rata-rata paling kadernya aja,
Program LASS sangat membantu dan dirasakan
kader juga ga semua paling kan beberapa aja…” besar manfaatnya bagi penasun. Tidak hanya
(wawancara Tim PPH Atmajaya dengan R2) kemudahan untuk mengakses LASS, akan tetapi
ada perlindungan bagi mereka untuk terhindar
dari penularan HIV. Program LASS tidak hanya
sekedar membagikan jarum steril saja, akan
Studi Kasus

Tabel 14. Sebaran Populasi


Penasun di DKI Jakarta Tahun
2012

tetapi diikuti dengan informasi yang dibutuhkan


oleh penasun, seperti perilaku aman bagi
penasun. Jenis informas yang diterima meliputi
sterilisasi jarum, serta informasi terkait HIV.
“….Setelah digalakin gini ada apa dari LSM dari
LSM baru kita mengerti oh akibatnya begini begini
kan, sampe kita sakit atau apa. Belakangnya
baru tau coba kalo dari dulu kalo ada LSM anjurin
anjurin kaya gini kan jarum itu dibagi-bagi boleh
Jumlah
diambil puskesmas mungkin untuk penyakit itu lebih
Populasi
Wilayah sedikitlah….” (wawancara tim Peneliti PPH Atmajaya
Penasun dengan R6)
(orang)

JakartaPusat 1716 Faktor jarak dan kenyamanan menjadi


Jakarta Utara 585 pertimbangan penasun untuk mengakses 85

Jakarta Barat 897 layanan LASS. Kenyamanan untuk mengakses


layanan LASS lebih banyak diperoleh melalui
Jakarta 1139
petugas penjangkau. Namun demikian
Selatan
kedekatan jarak dengan penyedia layanan
Jakarta Timur 571 juga menjadi pertimbangan bagi pensun untuk
Kepulaaun N/A memilih tempat akses LASS karena petugas
Seribu penyedia layanan juga relatif nyaman, sudah
Total 4.908 saling mengenal dengan penasun, di samping
itu puskesmas juga tidak memberikan batasan
wilayah domisili bagi penasun yang hendak
mengakses layanan LASS. Petugas penyedia
layanan juga dapat memberikan jaminan
kerahasiaan status penasun.
Sumber : Pemetaan Populasi Kunci KPAP, Tahun 2012

2) Cakupan program
Pada bagian ini cakupan program dibuat
berdasarkan data pemetaan populasi penasun
tahun 2012 serta estimasi nasional populasi
penasun tahun 2012. Dari data pemetaan
diketahui bahwa jumlah populasi penasun di
DKI Jakata sebesar 4.908 orang yang tersebar
di 6 wilayah di DKI Jakarta dengan angka
sebaran seperti terlihat pada tabel 14.
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Intervensi Program Target Pencapaian (%)

2013 2014 2015 2016 2017

Penjangkauan 20 40 60 80 100

Mengakses LJSS 20 40 50 60 80

Test HIV 20 40 50 60 80
Tabel 15. Target
Pencapaian
Sumber: Strategi Rencana Aksi Penanggulangan AIDS DKI Jakarta 2013-2017 Intervensi Program
LASS

Sementara itu penetapan target pencapaian bulan, atau sekitar 4 jarum dalam seminggu.
program LASS yang dikembangkan dalam Data STBP menunjukkan bahwa frekuensi
86 Strategi Rencana Aksi Penanggulangan AIDS di menyuntik rata-rata 2 kali dalam 2 hari terakhir,
DKI Jakarta (SRAP) menggunakan data estimasi oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa
nasional populasi penasun di DI Jakarta terdapat ketercukupan jumlah jarum.
sebanyak 7.245 orang. Secara rinci rencana
Efektifitas program LASS dapat pula diukur
pencapaian target intervensi program LASS
melalui perubahan perilaku, yakni dari
tampak dalam tabel 15.
kebiasaan penggunaan jarum secara
Dari target pencapaian berdasarkan data bergantian dan pola menyuntik, mengacu dari
estimasi menunjukkan bahwa kegiatan data di tahun yang sama. Namun hal ini belum
penjangkauan klien baru LASS tahun dapat dilakukan, karena tidak ada ketersediaan
2014 sebesar 3.157 penasun, atau sekitar data, yaitu Survei Terpadu Biologis dan Perilku
43%, sehingga dapat dikatakan cakupan (STBP) setelah tahun 2014.
penjangkauan pada populasi penasun sudah
Dari deskripsi akses kualitas layanan serta
melebihi target yang ditetapkan dalam SRAP
cakupan program, dapat disimpulkan bahwa
DKI Jakarta. Capaian ini menjadi jauh lebih
kinerja program LASS sangat baik. Akses
tinggi yakni sebesar 64% apabila dibandingkan
terhadap LASS sangat mudah diperoleh, dan
dengan jumlah hasil pemetaan populasi
tidak berbayar. Petugas di fasilitas layanan
penasun.
kesehatan tidak melakukan pembedaan
Sementara itu dari sisi ketercukupan jarum, perlakuan terhadap penasun, serta memberikan
menunjukkan bahwa capaian distribusi jarum layanan dengan ramah. Penasun lebih suka
tahun 2014 sebanyak 605.540 buah, yang mengambil jarum melalui layanan mobile oleh
merupakan angka kumulatif dari cakupan petugas penjangkau karena waktunya lebih
distribusi jarum di puskesmas dan LSM. fleksibel dan lebih percaya karena petugas
Sementara jumlah klien LASS sebanyak 13.816 penjangkau berasal dari komunitas penasun.
orang. Dengan demikian rata-rata penasun
mendapatkan jarum sebanyak 16 buah per
Studi Kasus

Kriteria Jumlah Sumber

Jumlah Penasun 4.908 Pemetaan KPAP,


2012
Jumlah Klien LASS di 13.816 SIHA, 2014
Fasyankes
Jumlah Klien baru LASS 3.157 SIHA, 2014

Jumlah Jarum 54.546 HCPI, 2014


terdistribusi Fasyankes
Tabel 16. Cakupan Jumlah Jarum 550.994 HCPI, 2014
Program LASS terdistribusi LSM

Tahun 2014 Sumber : diolah dari berbagai sumber

H. Hubungan Integrasi dengan tidak terintegrasi secara penuh dalam sistem


kesehatan. Kesimpulan penilaian ini berdasarkan
Efektifitas atas penilaian integrasi di masing-masing dimensi. 87
Untuk memberikan penjelasan kontribusi integrasi Dari keseluruhan dimensi dalam sub-sistem
terhadap efektivitas, digunakan hasil deskripsi kesehatan hanya ada 2 dimensi yang terintegrasi
dan analisa penilaian tingkat integrasi, akses yaitu dimensi regulasi dan dimensi ketersediaan
ketersediaan layanan, kualitas layanan dan layanan. Dari hasil penilaian tersebut, semestinya
cakupan layanan pada program LASS. Kerangka program LASS akan menghasilkan efektifitas yang
konseptual yang dikembangkan penelitian ini rendah. Namun dari gambaran kinerja program
mengasumsikan bahwa integrasi pada intervensi LASS menunjukkan adanya kualitas dan cakupan
spesifik pada sistem kesehatan umum berkontribusi layanan yang sesuai dengan target. Untuk itu pada
pada efektifitas layanan. Mekanisme integrasi bagian ini akan menjelaskan bagaimana hubungan
dapat terjadi melalui pengaturan atau adopsi integrasi pada program LASS yang berkontribusi
pada tata kelola, pembiayaan, perencanaan, terhadap efektifitas. Pengertian efektifitas dalam
pemberian layanan, monitoring evaluasi serta penelitian ini mengacu pada kemampuan sebuah
demand generation (Atun.2010). Integrasi dapat intervensi untuk mencapai tujuan, penghematan
meningkatkan cakupan dan aksesibilitas layanan biaya dengan pemanfaatan yang lebih besar
(Car et al. 2012; An et al ,2015), mengurangi serta kesesuaian dengan posisi kontekstual.
fragmentasi, penghematan melalui penggabungan Sebagaimana yang ditunjukkan dalam berbagai
pendanaan dan keahlian, serta meningkatkan literatur (Wilson et al.,2015; Grassly et al.,2001; Van
sumber daya (Atun et al.2009), mengamankan ke­ Deusen et al., 2015).
ber­­lanjutan dan efektivitas intervensi dan pe­ngu­ Pelaksanaan program LASS di DKI Jakarta
at­an sistem kesehatan (Kawonga et al, 2012; 2013; mengacu pada Permenkes yang menjadi regulasi
Maher 2010; Grepin dan Reich, 2008;Cash-Gibson nasional program LASS. Apabila dikaji lebih
dan Rosenmoller 2014;. Shigayeva et al, 2010). dalam regulasi ini sudah mencerminkan adanya
Penilaian tingkat integrasi program LASS intervensi program yang dapat mengurangi risiko
menunjukkan bahwa fungsi sistem program LASS penularan HIV yang sesuai dengan karakteristik
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

penasun. Namun sayangnya pemerintah daerah perencanaan dalam sistem kesehatan secara
tidak menjadikan regulasi ini menjadi bagian umum. Meskipun bersifat vertikal namun tetap
dari perencanaan program penanggulangan HIV memberikan kontribusi terhadap efektifitas, karena
dan AIDS, justru MPI yang menjadikan regulasi memberikan keleluasaan untuk menentukan
ini sebagai dasar pengembangan program LASS pengadaan jenis jarum yang sesuai dengan
sehingga setiap komponen pelaksanaan LASS kebutuhan penasun. Dari dimensi regulasi/aturan,
memiliki aturan main yang sangat jelas. Dengan pengadaan LASS didistribusikan melalui mekanisme
kata lain, adanya regulasi ini menjadikan tata yang efektif tidak berbelit. Pengadaan jarum
kelola program LASS menjadi baik, ditambah disesuaikan dengan perencanaan permintaan dari
lagi dengan adanya penguatan kapasitas dan LSM dan puskesmas. Kedua lembaga/ institusi ini
kelembagaan pelaksana program serta didukung saling berkoordinasi untuk membuat perencanaan
pembiayaannya oleh MPI. Dengan demikian, masuk yang berbasis pada hasil capaian periode
akal jika program LASS menjadi efektif. sebelumnya. Kontribusi efektifitas dipengaruhi
pula oleh dimensi sumber daya dalam penyediaan
Efektifitas program LASS disumbang oleh
farmasi, yakni kebutuhan penasun terhadap jarum
ketercukupan dan jaminan pembiayaan yang
steril difasilitasi dengan pola tidak berbayar, baik
didukung oleh perencanaan yang tepat oleh
pendistribusian melalui LSM maupun puskesmas.
MPI. Pembiayaan MPI bersifat menyeluruh dalam
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
artian keseluruhan komponen yang mendukung
manajemen penyediaan LASS memengaruhi kinerja
dalam pelaksanaan program LASS ditanggung
program.
pembiayaannya. Pembiayaan tidak hanya meliputi
penyediaan jarum, tetapi juga meliputi penguatan Informasi strategis pada program LASS
kapasitas dan kelembagaan pelaksana program dilakukan melalui mekanisme vertikal, dalam
LASS. Sementara dari perspektif penasun, prinsip artian pelaporan cakupan program oleh LSM
88 pemberian LASS kepada mereka dengan cara tidak dan puskesmas terpusat kepada MPI. MPI
berbayar secara jelas sesuai dengan karakteristik memiliki kepentingan yang besar terhadap
dan kebutuhan mereka. Dengan demikian, ada data yang terkait dengan program LASS seperti
kemudahan akses dalam mendapatkan jarum suntik laporan pendistribusian jarum, dan jumlah, untuk
steril apabila dikaitkan dengan tingginya kebutuhan dimanfaatkan sebagai basis perencanaan program
penasun terhadap jarum suntik steril. LASS. Komponen kegiatan dan pemain dalam
program LASS cukup sederhana yaitu LSM dan
SDM dalam program LASS tidak hanya meliputi
puskesmas, sehingga dalam perencanaan dan
SDM kesehatan saja, akan tetapi ada komponen
evaluasi program MPI terbatas pada lingkup yang
sumber daya lain yang dibutuhkan, yakni sumber
terbatas pula. Karena polanya terpusat, maka
daya non kesehatan yang diperankan oleh LSM
dimensi sinkronisasi dan diseminasi yang tidak
yang mampu berkontribusi secara bermakna
terintegrasi dengan sistem kesehatan daerah
dalam meningkatkan cakupan LASS. Peran LSM
tetap menghasilkan efektifitas program, karena
sangat strategis karena memiliki flesksibilitas
ketersediaan jarum sudah terpenuhi melalui sistem
waktu pendistribusian jarum kepada penasun
perencanaan dan pengadaan yang dikendalikan
melalui layanan mobile. Sementara fleksibilitas
oleh pusat (MPI).
ini tidak dimiliki oleh tenaga kesehatan yang
bekerja di puskesmas, sehingga kesenjangan ini Selama perencanaan dalam program LASS
dapat dijembatani melalui peran yang dilakukan bersifat vertikal, maka pelibatan populasi kunci
oleh petugas penjangkau. Peran-peran yang dalam perencanaan tidak menjadi bermakna.
dilakukan oleh petugas penjangkau atau petugas Namun populasi kunci justru sangat bermakna
non kesehatan ini mayoritas masih mengandalkan untuk berkontribusi terhadap efektifitas LASS,
sumber pembiayaan dari MPI. melalui kemampuan untuk mendorong komunitas
lewat lingkaran atau jaringan sosialnya agar
Penyediaan farmasi tidak terintegrasi karena
mengakses layanan. Pendekatan melalui jaringan
pendanaan jarum suntik disediakan secara
dapat menghasilkan efek yang lebih luas dan
langsung oleh MPI tanpa melalui mekanisme
Studi Kasus

cepat karena ada faktor kepercayaan. Penggunaan


SDM penjangkau penasun yang berasal dari
komunitasnya (indigineos people) merupakan
srategi yang efektif untuk meningkatkan cakupan
karena mereka mengenal karakteristik, lokasi dan
dipercaya oleh komunitasnya. Dapat disimpulkan
bahwa pelibatan penjangkau yang berasal
dari komunitas dalam pelaksanaan program
berkontribusi secara efektif dalam program LASS.

89
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

03.
Studi Kasus : Program Lelaki Seks dengan
Lelaki (LSL)

A. Gambaran Program LSL Bentuk kegiatan utama dalam program LSL


seperti yang dilakukan oleh Gaya Nusantara
Program pencegahan HIV dan AIDS melalui Surabaya dan Gaya Dewata Denpasar adalah: (1)
trans­misi seksual pada kelompok LSL (Lelaki membentuk jaringan dan advokasi; (2) melakukan
Seks dengan Lelaki) merupakan intervensi yang penjangkauan, pendampingan dan pendidikan
dila­kukan dengan tujuan mengurangi penularan komunitas melalui kegiatan KIE; serta (3)
HIV melalui hubungan seks yang tidak aman di menghubungkan LSL ke fasilitas layanaan yang
ka­langan LSL. Dalam beberapa tahun terakhir, inter­ mereka butuhkan (link to care). Kedua LSM ini sejak
vensi ini menjadi penting mengingat terjadi pening­ awal telah terlibat dalam gerakan penanggulangan
katan prevalensi HIV dan IMS yang signifikan pada HIV dan AIDS di masing-masing daerah. Berikut
komunitas ini. Hasil STBP tahun 2007 menun­juk­­kan gambaran kegiatan dalam program LSL yang
90 bahwa prevalensi HIV pada LSL ada­lah 5%, yang dilakukan oleh kedua LSM ini.
meningkat menjadi 12 % pada 2011. STBP di tahun
2007 dan 2011 juga menunjukkan pening­katan
prevalensi IMS pada LSL, yaitu dari 4% menjadi 13%. 1) Pembentukan jaringan dan advokasi
Menyikapi situasi ini maka salah satu strategi LSL ke pemangku kepentingan
yang dikembangkan adalah penguatan pendekatan
LSM yang mewakili kelompok LSL seringkali
struktural yang biasa disebut dengan Pencegahan
tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat
Penularan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS)
dan pembuat kebijakan. Untuk itu, advokasi
paripurna yang mentargetkan kelompok berisiko
merupakan kegiatan utama dalam program
ting­­gi dalam penularan HIV melalui hubungan
LSL untuk memastikan agar tersedia layanan
seksu­al seperti pekerja seks, pelanggan pekerja
yang bisa diakses oleh LSL dan sesuai dengan
seks dan LSL. Program LSL lebih banyak digunakan
kebutuhan. Advokasi ini mentargetkan pembuat
un­tuk menggambarkan program pencegahan ‘PMTS
kebijakan atau penyedia layanan baik langsung
pada LSL’17. Program LSL ini memang sudah lebih
maupun tidak langsung misalnya melalui
dahulu berjalan dan dikenal daripada pendekatan
jaringan penanggulangan HIV dan AIDS yang
struktural ini. Ada beberapa ciri khas yang dimi­liki
ada di wilayahnya masing-masing. Isu advokasi
oleh program LSL yaitu dominasi peran komunitas
yang dibawa biasanya merupakan respons atas
di LSM yang fokus pada isu LSL dalam meng­
permasalahan tertentu yang ada di kalangan
gerakkan berbagai kegiatan dalam upaya meme­
LSL. Misalnya, satu hambatan utama bagi
nuhi keperluan mereka. Pada sisi yang lain karena
LSL dalam mengakses layanan kesehatan
meru­pakan komunitas yang tersembunyi maka
adalah ketakutan terhadap diskriminasi yang
pe­ran pemangku kepentingan HIV dan AIDS lainnya
mungkin terjadi dari petugas layanan kesehatan
sangat terbatas.
karena orientasi seksual ataupun perilaku seks
17) Pada tulisan ini dipakai istilah program LSL, mengingat mereka. Advokasi yang dilakukan dengan
program ini sudah lebih dahulu dilaksanakan sebelum ada melakukan pendekatan kepada penyedia
pedoman PMTS pada LSL.
Studi Kasus

layanan tertentu untuk menyediakan layanan informasi kepada LSL tentang hubungan seks
kesehatan yang ramah terhadap LSL. ‘Ramah yang aman dan mendorong LSL memeriksakan
LSL’ artinya penyedia layanan tersebut bersedia kesehatan mereka khususnya untuk mengetahui
menyediakan layanan yang dibutuhkan status HIV-nya.
oleh komunitas LSL dan petugasnya mampu
Dalam mendukung kegiatan penjangkauan,
berinteraksi dengan LSL tanpa prasangka dan
program LSL juga dilengkapi dengan
menjaga kerahasiaan. Hasil dari advokasi
penyediaan kondom dan pelicin yang
tersebut adalah lingkungan yang lebih kondusif
pengadaan dan distribusinya dilakukan oleh
bagi LSL untuk memanfaatkan layanan
KPAN. Kondom dan pelicin ini dibagikan kepada
kesehatan.
komunitas LSL melalui petugas lapangan yang
bertanggungjawab untuk wilayah-wilayah
tersebut. Ada beberapa kondom outlet yang
2) Penjangkauan dan pendampingan dikembangkan di beberapa tempat yang
LSL dekat dengan tempat berkumpulnya LSL
LSL adalah populasi yang tersembunyi dan dan di fasilitas pelayanan kesehatan yang
sulit dijangkau. Umumnya mereka memiliki menyediakan layanan bagi LSL atau kelompok
kepentingan untuk menjaga kerahasiaan populasi kunci yang lain.
orientasi dan perilaku seksual mereka. “Kita pakai outlet di warung-warung yang ada di
Oleh karena itu, strategi yang efektif untuk hotspot. Setiap warung dulunya kita kasih dana
menjangkau LSL adalah menggunakan secara swadaya per bulan 25.000. Karena memang
dana dari KPA tidak ada. Untuk sekarang satu box
Petugas Lapangan (PL) yang memiliki orientasi
kondom besar ada dana 100.000 di setiap outlet.
atau perilaku seksual yang sama, sehingga Sekarang ada 2 oulet ada di setiap hotspot. Warung
mudah untuk memahami kebutuhan serta yang ada di Pattaya dan posko yang dibuka untuk
91
mudah diterima oleh komunitas LSL. Selain kumpulnya teman2. Disana ada informasi dan
kondom dan pelicin gratis. Pas ada program buka
itu, karakteristik petugas tersebut juga akan
setiap hari. Begitu project habis seminggu posko 2
memudahkan untuk menemukan lokasi kali buka.” (Wawancara mendalam Tim Unair dengan
hotspot di mana LSL berkumpul. Akibatnya, Koordinator lapangan Gaya Nusantara, Sepember
proses penjangkauan bisa dilakukan dengan 2015)
lebih efektif seperti yang diungkapkan oleh
koordinator dari salah satu LSM di Surabaya:
“Kita mengetahui kondisi di lapangan karena kita 3) Link to care LSL ke fasilitas
sering ke lapangan. Jadi kita tahu kebutuhan teman- pelayanan kesehatan
teman LSL di lapangan. Kita mapping dulu, baru
kita melibatkan teman-teman PL untuk kegiatan di Tujuan dari kegiatan penjangkauan selain
lapangan. Dari hotspot kita ambil PL sebagai bagian untuk memberikan informasi dan meningkatkan
dari proses mapping.” (Wawancara mendalam Tim kepedulian terhadap penularan HIV adalah
Unair dengan Koordinator lapangan Gaya Nusantara,
untuk menghubungkan LSL ke fasilitas
September 2015).
pelayanan kesehatan untuk mengetahui
status HIV dan pemeriksaan infeksi menular
Selain menggunakan strategi berbasis hotspots, seksualnya. Upaya ini dilakukan dengan
penjangkauan juga dilakukan secara person to mengembangkan mekanisme rujukan bagi LSL
person atau menggunakan fasilitas media sosial yang telah dijangkau untuk memeriksakan IMS
yang memungkinkan cakupan yang lebih luas maupun tes HIV ke fasilitas kesehatan yang
dan privasi yang lebih tinggi. Beberapa aplikasi ada di sekitar lokasi penjangkauan atau fasilitas
yang biasa digunakan oleh lembaga-lembaga kesehatan lain yang telah ditentukan.
tersebut antara lain sms gateway, media “Kita setiap minggu keliling dengan manajer, PL dan
pertemanan berbasis media sosial. Berbagai dampingan ke Puskesmas untuk memberitahukan
ke dampingan bahwa di layanan ini bisa periksa,
media ini digunakan untuk memberikan
jam berapa, layanan apa saja.. kita beritahukan ke
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

dampingan. Sehingga mereka tidak canggung apabila rinci berbagai situasi kontekstual tersebut dan
mendatangi layanan.” (Wawancara mendalam Tim pengaruhnya terhadap pelaksanaan program LSL
Unair dengan Korlap Gaya Nusantara, September
di kedua wilayah tersebut.
2015)

Di Surabaya saat ini ada empat puskesmas


yang aktif membantu pelayanan HIV dan 1) Komitmen politik
IMS pada LSL, yaitu Puskesmas Perak Timur,
Puskesmas Sememi, Puskesmas Putat Jaya Pemerintah daerah Kota Denpasar dan
dan Puskesmas Kedung Doro. Selain itu Surabaya menunjukkan komitmennya yang
di kota ini juga terdapat lima rumah sakit besar terhadap sektor kesehatan dan upaya
yang memberikan pelayanan IMS dan HIV penanggulangan HIV dan AIDS. Komitmen ini
terhadap LSL dan waria yaitu Rumah Sakit tercermin dengan adanya kebijakan daerah
Bayangkara, RS Angkatan Laut Dr. Ramelan, seperti RPMJD yang menyebutkan sektor
RS Jiwa Menur, dan RSUD Suwandi serta RS kesehatan adalah salah satu sektor penting
Dr Sutomo Surabaya. Sedangkan di Denpasar, dalam RPMJD dan adanya Renstra kesehatan
berdasarkan Laporan Tim Peneliti Universitas dan alokasi sumber daya dan pembiayaan
Udayana (2015), layanan HIV sudah menjadi untuk melaksanakan komitmen tersebut. Seca­
layanan standar di fasyankes. Layanan VCT ra khusus, komitmen politik Pemda terhadap
sudah ada di 11 puskesmas, layanan satelit penang­gulangan HIV dan AIDS dapat dilihat
ARV sudah ada di empat puskesmas, layanan dari adanya program HIV dan AIDS yang
VCT dan CST di RSUD Wangaya, layanan VCT, dialokasikan di dalam APBD. Komitmen untuk
CST dan PMTCT di RSUP Sanglah, layanan membiayai penanggulangan HIV dan AIDS
VCT, CST, dan IMS di Yayasan Kerti Praja, serta sebagai komitmen dari pemimpin daerah dapat
layanan VCT dan IMS di Klinik Gumitir PKBI Bali. dilihat pada pernyataan pejabat pemda Kota
92
Laporan dari penyedia layanan di dua kota Denpasar di bawah ini:
tersebut menunjukkan layanan IMS dan HIV “…… saat ini kita berkomitmen untuk berantas HIV
yang disediakan semakin banyak dimanfaatkan AIDS pada masyarakat kota Denpasar karena HIV
oleh LSL di kedua kota tersebut. AIDS di kota Denpasar bagaikan gunung es, dulunya
kota Denpasar mendapat bantuan dari pihak luar
negeri, nah sekarang sudah akan ditarik dan kita dari
Pemerintah kota Denpasar sudah dari awal kita ikut

B. Analisis Kontekstual dampingi anggaran itu, artinya sudah dari jauh-jauh


hari kita sudah memikirkan, anggaran pun kita sudah
Meski secara programatik program LSL memiliki plot pada lintas sektor” (wawancara mendalam tim
Udayana, Kasubdit bidang sosial- Bappeda kota
komponen-komponen program yang relatif sama, Denpasar, November 2015)
tetapi di dalam pelaksanaannya memiliki variasi
baik dalam penerimaan program, besaran program,
dukungan dari pemangku kepentingan terhadap Hal yang sama juga terlihat pada komitmen
program yang tampak dalam pembiayaan atau pimpinan daerah di kota Surabaya dalam upaya
pengembangan regulasi yang mendukungnya. penanggulangan HIV dan AIDS seperti yang
Berbagai variasi dalam pelaksanaan program diungkapkan oleh informan berikut ini:
menunjukkan adanya pengaruh faktor kontekstual
“kalau kita lihat dari komitmen pemerintah untuk
di mana program tersebut dilaksanakan. Faktor-
program penanggulangan HIV AIDS kita bisa
faktor kontekstual ini tampak pada bagaimana lihat di KPA sendiri disini ada ... terdiri dari seluruh
kepentingan dalam program ini diartikulasikan SKPD di Surabaya, dari SKPD-SKPD itu yang
dalam proses penyusunan regulasi atau aturan mana didalamnya itu mendukung pelaksanaan
yang mendukung program, dukungan sumber program penanggulangan HIV AIDS untuk teman-
teman LSL misalnya di dinas kesehatan itu ada
daya dari pemerintah lokal dan besar kecilnya
beberapa puskesmas yang memang sudah ramah
permasalahan HIV dan AIDS di wilayah tersebut. LSL” (Wawancara mendalam tim Unair, Pemegang
Di bawah ini akan digambarkan secara lebih Program KPA Kota Surabaya, November 2015)
Studi Kasus

Secara spesifik, program LSL belum begitu 2) Ekonomi


menjadi perhatian dari pemerintah daerah,
Salah satu indikator untuk melihat
sama halnya dengan program pencegahan
perkembangan ekonomi suatu daerah adalah
pada populasi kunci karena pemerintah daerah
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dalam
cenderung mengalokasikan anggarannya untuk
RPMJD kota Surabaya disebutkan bahwa
pencegahan pada populuasi umum. Komunitas
PDRB kota Surabaya sejak 2006 hingga 2010
LSL bahkan cenderung lebih mengalami
relatif cukup baik. Perkembangan nilai PDRB
keterasingan dalam wacana penanggulangan
berdasarkan harga konstan dari 2006 sebesar
HIV dan AIDS di daerah karena masih kurang
Rp 125,36 triliun, meningkat menjadi Rp 162,83
diterimanya komunitas ini di dalam masyarakat
triliun pada tahun 2008 dan menjadi Rp 205,16
seperti tampak pada pernyataan dari staf
triliun pada tahun 2010 (RPMJD Kota Surabaya
pemerintah daerah di bawah ini:
2010-2015). Di Denpasar, PDRB kota Denpasar
“Karena memang sensitif, isu yang terkait dengan
pada tahun 2007 sebesar Rp 7,95 triliun dan
GWL (Gay, Waria dan Lesbian) , isu yang terkait
dengan sexual orientation identity itu sangat minim
pada tahun 2008 sebesar Rp 9,40 triliun. Laju
di ranah SKPD sendiri. Makanya itu dianggap tidak pertumbuhan riil ekonomi kota Denpasar tahun
begitu penting dari sisi institusi ataupun instansi 2007 sebesar 6,60% dan pada tahun 2008
pemerintah.. Jadi mereka tidak menganggap ini sebesar 6, 83% (RPMJ Kota Denpasar 2010
pokok permasalahan kita bersama bukan cuma
-2015).
kelompok LSL aja, dan beberapa yang saya liat juga,
beberapa orang yang gak punya pengetahuan lebih Kontribusi terhadap PDRB Surabaya dan
tentang LGBT dan juga GWL, itu cenderung mereka
Denpasar dari 2006 – 2010 didominasi oleh
lebih menstigma sendiri kepada temen-temen dari
komunitas. Makanya, kenapa sampai sekarang itu sektor tersier (sektor perdagangan, hotel dan
perkembangan untuk pencegahan penularan HIV restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi,
AIDS itu hanya mandek di temen-temen komunitas.” sektor keuangan, persewaan dan jasa perusa­ 93
(Pemegang program LSL KPA Kota Denpasar) haan, dan sektor jasa). Sektor ini terkait dengan
mobilitas penduduk yang dinamis berpotensi
untuk terdampak pada penularan HIV dan IMS.
Meski berfluktuasi dari tahun ke tahun, komit­
men politik pemerintah kota Surabaya dan Di sisi lain, situasi perekonomian di daerah
Denpasar terhadap penanggulangan HIV dan berkontribusi terhadap perhatian pemerintah
AIDS sebenarnya sudah cukup tinggi, karena daerah untuk meningkatkan layanan kesehatan
te­lah diadopsinya permasalahan HIV dan AIDS dalam bentuk peningkatan anggaran kesehat­
se­bagai permasalahan di daerah yang tampak an. Proporsi APBD untuk kesehatan kota
pa­da ditetapkannya anggaran HIV dan AIDS Denpasar menunjukkan kecenderungan me­
ke dalam APBD setiap tahunnya. Program LSL ning­kat sejak tahun 2010 hingga tahun 2014,
diper­sepsikan sebagai program yang bersifat yai­tu dari 11% menjadi 14,64% (Profil Kesehatan
sensitif sehingga pemerintah daerah belum Dinkes Kota Denpasar 2014). Dana APBD
menunjukkan dukungannya yang lebih besar un­tuk program HIV di kota Denpasar secara
seperti halnya dengan populasi kunci lainnya total mulai dari tahun 2009-2014 sebesar Rp
atau pencegahan pada populasi umum. Pada 1.249.872.173 yang diperuntukkan bagi ope­ra­
sisi yang lain, kenyataan bahwa ada dukungan sio­nal sekretariat KPA Kota Denpasar. Selain itu
dari luar pemerintah yang cukup besar terhadap juga ada dana di SKPD anggota KPAK sebagai
penanggulangan HIV dan AIDS pada populasi da­na HIV dan AIDS di lintas sektoral (Tim
ini, menjadi alasan bagi pemerintah daerah peneliti Unud, 2015)
untuk tidak mengalokasikan dana pencegahan Sama halnya dengan alokasi pendanaan untuk
tersebut di dalam APBD. kesehatan di kota Surabaya yang menurut tim
peneliti Unair menyebutkan bahwa proporsi
APBD kota Surabaya untuk kesehatan tidak
termasuk gaji, meningkat dari 9% pada tahun
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

94
Sumber: KPA Kota Surabaya, 2015, diolah oleh Tim Peneliti Unair, 2015

Gambar 8. Anggaran 2013 menjadi 10% pada tahun 2014. Sedangkan anggaran untuk
program HIV dan AIDS pada tahun 2014 dan 2015 tersebar di
SKPD untuk beberapa SKPD kota Surabaya dengan jumlah yang bervariasi
penanggulangan antar SKPD.
HIV dan AIDS di Kondisi ekonomi di dua wilayah tersebut menunjukkan
Kota Surabaya peningkatan PDRB dari tahun ke tahun. Hal ini telah berimplikasi
pada meningkatnya proporsi anggaran kesehatan yang hingga
Tahun 2014 -2015 saat ini mencapai sekitar 10% dari total APBD pada tahun 2014.
Peningkatan anggaran pemerintah ini pun juga berimplikasi lebih
jauh pada peningkatan dana bagi penanggulangan HIV dan
AIDS yang semakin meningkat di dua daerah tersebut. Meskipun
demikian, peningkatan pendanaan HIV dan AIDS tercermin di
dalam program LSL di mana program yang ada di kedua wilayah
tersebut masih didanai hampir semuanya oleh bantuan luar negeri.

3) Hukum dan regulasi


Peraturan daerah terkait upaya penanggulangan HIV dan
AIDS di Denpasar adalah Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2013
Studi Kasus

tentang penanggulangan HIV. Sedangkan di Di Surabaya Perwali Nomor 9 Tahun 2015


kota Surabaya ada Perda No. 4 Tahun 2013 yang mengatur tentang jaminan kesehatan
tentang penanggulangan HIV dan AIDS di Kota bagi masyarakat miskin dibiayai oleh APBD.
Surabaya. Hal yang penting terkait program Data dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya
LSL dalam Perda tersebut adalah tentang menunjukan bahwa 24,77% warga Surabaya
pemakaian kondom pada hubungan seks yang mendapat jaminan kesehatan. Rinciannya
berisiko. Beberapa isu dalam Perda HIV dan yakni; Jaminan Kesehatan Nasional dengan
AIDS di kota Surabaya dan kota Denpasar yang cakupan sebesar 23,98%, Penerima Bantuan
perlu menjadi perhatian antara lain: Iuaran (PBI) APBN sebesar 13,68%, PBI APBD
sebesar 10,30%, Jamkesda sebesar 0,79%.
• upaya pencegahan terhadap hubungan
Di Denpasar menurut data BPJS Kesehatan
seks berisiko dilakukan dengan pemakaian
Cabang Denpasar sampai akhir tahun 2014,
kondom.
peserta yang telah terdaftar sebagai peserta
• mendukung penyediaan sarana prasarana JKN berjumlah 681.279 orang atau sekitar
untuk layanan pencegahan hingga 42,5% dari penduduk Kota Denpasar (Tim
pengobatan, perawatan dan dukungan HIV. Peneliti Unud, 2015). Sayangnya data ini tidak
dapat menunjukkan berapa populasi kunci
• Sarana pelayanan kesehatan yang ada
seperti LSL yang telah memperoleh jaminan
harus bermutu dan terjangkau oleh seluruh
kesehatan.
lapisan masyarakat, dan
Aturan daerah yang diidentifikasi dapat
• tidak boleh diskriminasi
menghambat pelaksanaan program
pencegahan HIV melalui transmisi seksual
(PMTS) yang dirancang untuk pencegahan di
Secara spesifik, belum ada regulasi yang 95
lokalisasi adalah Perda Kota Surabaya Nomor
mendukung program LSL sebagai acuan
7 tahun 1999 tentang larangan memanfaatkan
pelaksanaan perda tersebut. Aturan program
bangunan untuk kegiatan prostitusi yang
LSL masih mengacu pada pedoman teknis yang
direalisasikan dengan penutupan lokalisasi
dikembangkan oleh donor atau pedoman PMTS
Dolly. Penutupan ini menimbulkan pengaruh
yang di keluarkan oleh KPAN. Aturan nasional
langsung terhadap program PMTS yang
terkait pembiayaan kesehatan adalah Jaminan
dirancang dengan basis pencegahan di
Kesehatan Nasional. Di tingkat daerah ada
lokalisasi. Program PMTS di Surabaya kesulitan
juga aturan daerah, seperti Jaminan Kesehatan
melakukan pemetaan besaran populasi kunci
Bali Mandara yang berlaku di Kota Denpasar
dan pelanggannya. Selain itu, populasi kunci
dan Perwali jaminan pelayanan kesehatan
kesulitan mengakses layanan seperti layanan
masyarakat miskin di Surabaya. Pemerintah
kondom dan pelicin yang biasanya tersedia
daerah Kota Denpasar mengacu pada
dilokalisasi.
peraturan Gubernur Bali terkait dengan akses
terhadap Jaminan Kesehatan Bali. Laporan Tim Sementara itu untuk program LSL dalam
Peneliti Udayana (2015) menyebutkan bahwa: implementasinya masih menunjukkan berbagai
produk hukum terbaru terkait JKBM yaitu Peraturan kendala di lapangan, misalnya seperti
Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2015 tentang diungkapkan oleh staf puskesmas di bawah ini:
perubahan atas Peraturan Gubernur No. 54 Tahun
“Populasi kunci susahnya itu bagi saya adalah
2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan
eksklusif sekali, kalau bukan orang yang biasa
Kesehatan Bali Mandara (JKBM). Berdasarkan Pasal 2
dengan LSL, jadi mereka agak sensitive untuk
tentang persyaratan peserta JKBM disebutkan bahwa
masuk ke daerah seperti itu. Mungkin dia pernah
yang berhak menjadi peserta JKBM adalah penduduk
diduga melakukan hubungan, kita cek” (Wawancara
Bali yang memiliki Kartu Keluarga (KK) dan atau Kartu
mendalam Tim peneliti Unud dengan Kepala
Tanda Penduduk (KTP) Bali sehingga JKBM tidak bisa
Puskesma Denpasar Timur, September 2015)
diakses oleh penduduk pendatang termasuk populasi
kunci yang sebagian besar berasal dari luar Bali
(Laporan Tim Peneliti Universitas Udayana, 2015).
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Uraian di atas menunjukkan bahwa secara Secara spesifik, permasalahan penularan pada
hukum dan peraturan formal upaya komunitas LSL menjadi persoalan yang perlu
penanggulangan HIV dan AIDS pada komunitas dicermati dengan seksama mengingat data hasil
LSL mengacu pada regulasi tentang HIV dan re-estimasi populasi kunci oleh KPA Provinsi Bali
AIDS yang berlaku di masing-masing daerah. (2014) menunjukkan bahwa prevalensi HIV di
Oleh karena bersifat pedoman umum maka Bali berkisar 6.7% dengan estimasi jumlah LSL di
regulasi yang ada belum mampu secara sensitif Bali sebanyak 14.098 kasus; dan jumlah ODHA
menangkap kebutuhan dan permasalahan sebanyak 949 orang. Sedangkan di Surabaya
pada komunitas LSL secara khusus. Tidak prevalensi HIV pada kelompok LSL adalah
adanya panduan operasional dan kekhawatiran 6% (STBP, 2007) meningkat menjadi 9,6%
terhadap stigma, masih menjadi hambatan (STBP,2011). Prevalensi sifilis 4% (STBP, 2007)
utama dalam program untuk komunitas LSL di dan meningkat menjadi 9,6% ( STBP, 2011).
kedua kota tersebut.

C. Analisis Pemangku
4) Permasalahan kesehatan
Kepentingan
Permasalahan HIV telah ditetapkan oleh
pemerintah daerah menjadi salah satu dari lima Analisis pemangku kepentingan program
permasalahan utama kesehatan di masing- LSL dilakukan dengan menggunakan kriteria
masing kota selain DB, TB, dan Rabies serta kepentingan dan kekuasaan para pemangku
penyakit tidak menular berupa hipertensi, kepentingan terhadap kebijakan dan implementasi
DM, penyakit jantung dan pembuluh darah di program LSL di wilayah penelitian. Pemangku
Denpasar dan AKI, AKB, balita gizi buruk/kurang kepentingan yang berperan dalam upaya
96 penanggulangan HIV dan AIDS yang fokus pada
dan stunting, di Surabaya.
populasi LSL di Denpasar dan Surabaya adalah
Terkait dengan respons pemerintah daerah Bappeda, Dinkes, KPAK, LSM, puskesmas, rumah
terhadap permasalahan HIV dan AIDS, Kota sakit, dan populasi kunci. Di Denpasar ada
Surabaya sudah menyediakan berbagai Majelis Masyarakat Desa Pakaraman (MMDP)
layanan, seperti yang disampaikan informan sebagai pemangku kepentingan adat yang juga
berikut ini. berperan dalam upaya penanggulangan HIV dan
“…Respon pemerintah khususnya dinas kesehatan AIDS. Gambaran kepentingan dan kekuasaaan
untuk menyiapkan segala sesuatunya dalam masing-masing pemangku kepentingan tersebut
penanggulangan HIV AIDS ada 63 puskesmas yang digambarkan secara sederhana pada gambar 9.
sudah bisa melakukan tes HIV kemudian ada 5
puskesmas LKB dan sudah ada 28 untuk layanan IMS Penjelasan secara rinci tentang peran masing-
dan sebenarnya seluruh puskesmas itu sudah mampu masing pemangku kepentingan tersebut dijelaskan
menangani IMS hanya saja pendekatannya itu hanya
pada bagian di bawah ini.
pendekatan simptom, kalau 28 itu sudah dengan
pendekatan laborat (wawancara mendalam tim Unair,
PIC HIV KPAK Surabaya, November 2015)

1) Badan Perencanaan Pembangunan


Daerah (Bappeda)
Jumlah kasus baru HIV di Denpasar
seperti tampak dalam profil kesehatan 2014 Bappeda mempunyai tugas melaksanakan
menunjukkan peningkatan kasus baru HIV dari penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
tahun ke tahun, mulai dari 221 kasus tahun daerah di bidang perencanaan pembangunan
2011 menjadi 294 kasus pada tahun 2012, dan daerah. Dalam program LSL Bappeda
290 kasus pada tahun 2013 serta pada tahun tidak terlibat secara teknis, oleh karena itu
2014 ditemukan kasus baru sebanyak 332 kepentingan Bappeda dalam program LSL
kasus. (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2015). rendah. Ada komitmen Bappeda terhadap
upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang
Studi Kasus

Keterangan:

Dinas Kesehatan  Kepentingan Tinggi,


Kekuasaan Rendah

Tinggi

Kepentingan Tinggi,
LSL KPAD Kekuasaan Tinggi
 Kepentingan Rendah
KE P ENTI NG A N

Kekuasaan Rendah
LSM  Kepentingan Rendah,
Kekuasaan Tinggi

 
 RS Bappeda
Rendah

PKM MMDP

Rendah Tinggi

K E K UA S A A N

97

Gambar 9. Posisi diwujudkan RPMJD. Hanya saja, belum ada indikasi yang
menunjukkan Bappeda mempunyai kepentingan yang tinggi
Pemangku terhadap program LSL di Kota Surabaya dan Denpasar. Sebagai
Kepentingan contoh, Bappeda kota Denpasar menyatakan komitmennya
Program LSL terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS secara umum dan
belum menunjukkan kepentingannya pada program LSL.
berdasarkan “…saat ini kita berkomitmen untuk berantas HIV AIDS pada masyarakat kota
Kepentingan dan Denpasar karena HIV AIDS di kota Denpasar bagaikan gunung es, dulunya
kota Denpasar mendapat bantuan dari pihak luar negeri, nah sekarang
Kekuasaannya sudah akan ditarik dan kita dari Pemerintah kota Denpasar sudah dari awal
kita ikut dampingi anggaran itu, artinya sudah dari jauh-jauh hari kita sudah
memikirkan, anggaran pun kita sudah plot pada lintas sektor (Wawancara
mendalam tim Udayana, Kasubdit bidang sosial - Bappeda kota Denpasar,
September 2015).

Dalam kapasitasnya sebagi perencana pembangunan dan


penganggaran, Bappeda mempunyai kekuasaan yang tinggi
untuk memastikan kelayakan dan ketepatan peruntukan anggaran
terhadap program LSL. Bappeda berkuasa untuk menerima atau
menolak anggaran yang diusulkan SKPD untuk program LSL.
Seperti yang dijelaskan informan dari Bappeda Kota Denpasar
berikut ini:
“Tim anggaran harus tau, tanya untuk apa, dan kita kesana…. argumen pun
tidak sekedar argumen. Masuk akal atau tidak. Misal untuk ngecek orang
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

HIV AIDS. Gimana caranya ngecek? Nah itu, kita 3) Komisi Penanggulangan AIDS Kota
datang, adakan razia, setelah cek kita cek darimana
datangnya, dari KTP itu, tenaga kesehatan cek darah” (KPAK)
(wawancara mendalam tim Udayana, Kasubdin Kesra
KPAK sebagai koordinator upaya penanggu­
Bappeda Kota Denpasar,September 2015).
lang­an HIV dan AIDS di daerah18 mempunyai
kepentingan yang tinggi terhadap program LSL,
karena program LSL menjadi indikator ki­nerja
Implikasi dari posisi Bappeda dengan kepen­
KPAK. KPAK Denpasar berperan da­lam meng­ko­
tingan rendah dan kekuasaan tinggi terhadap
or­dinasi berbagai pemangku kepen­ting­an AIDS
program LSL adalah dukungan terhadap
di Denpasar.
pro­gram LSL menjadi rendah, walaupun ada
usul­an program dan anggaran dari SKPD terkait “... KPA lebih kepada menfasilitasi, istilahnya mengko­
dengan program LSL. or­dinasikan antara sinergi antara layanan kemudian
komunitas LSM dan advokasi dari pemerintah sendiri
ibaratnya kita mengkoordinasikan ke semua lininya
itu. Kita menghubungkan antara komunitas karena
2. Dinkes memang tidak gampang antara puskesmas dengan
pendekatan kepada LSM jadi biasanya puskesmas
Dinas kesehatan dalam melaksanakan tugas­ penekanan kepada LSM biasanya dijembatani
nya di bidang kesehatan menyelenggarakan oleh kita (Wawancara mendalam tim Udayana, PIC
fung­si perumusan kebijakan teknis, penye­ Program LSL KPAK Denpasar, Agustus 2015).

leng­garaan, pembinaan dan pelaksanaan


bi­dang kesehatan. Oleh karena itu, Dinkes
mempunyai kepentingan yang tinggi untuk Selain peran koordinasi, KPAK mempunyai
mewujudkan RPJMD sektor kesehatan karena kekuasaan manajerial dalam hal pengelolaan
Dinkes bertanggung jawab penuh terhadap pasokan dan distribusi kondom dan pelicin
98 di daerah. Keberhasilan manajeman kondom
sektor ini. Terkait dengan program LSL di kedua
wilayah penelitian, Dinkes melihat bahwa LSL dan pelicin sangat menentukan keberhasilan
merupakan target yang strategis dalam upaya program LSL. Pasokan kondom dan pelicin
penanggulangan HIV dan AIDS di daerahnya. berasal dari KPAN atau dari lembaga
Untuk itu, Dinkes melakukan investasi untuk pemerintah lain, seperti yang ditemui pada
program ini seperti yang dilakukan oleh Dinkes peran KPAK Denpasar dalam pengelolaan
Kota Denpasar yang menyediakan dana untuk pasokan kondom dan pelicin.
tenaga penjangkau program LSL. “….kondom kita dari KPAN, tapi kita diberikan kondom
juga oleh KB, BKKBN, tapi KB itu juga mengadakan
“…ada PL yang direkrut Dinkes dengan target
kondom khusus APBD. Itu diberikan ke kami, termasuk
tersendiri karena puskesmas tidak pernah diakses
lubricant. Jadi biasanya ya kita berikan temen-temen LSL
LSL sebelumnya walaupun sudah ada layanan VCT…”
itu kondom, lubricant. Kita mendistribusikan kondom lewat
(Wawancara mendalam tim Unud dengan , PL Gaya
temen-temen disana, kita berikan flyer, leaflet. Memang
Dewata, September 2015)
kita kadang-kadang susah kalau dia tidak nyaman, tidak
kenal dengan kita…” (Wawancara mendalam tim Udayana,
Sekretaris KPAK Denpasar, Agustus 2015)
Investasi untuk layananan LSL juga dilakukan
oleh Dinkes dengan membuat kebijakan
penyediaan layanan puskesmas yang 4) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
ramah LSL di Denpasar dan di Surabaya.
Layanan kesehatan LSL tersedia di fasilitas LSM yang bergerak dalam isu LSL mempunyai
layanan kesehatan yang sudah ada, seperti kepentingan tinggi terhadap program LSL
di puskesmas dan Rumah Sakit Daerah di karena biasanya LSM ini dibentuk oleh
Denpasar dan Surabaya. LSL guna menyuarakan kepentingan dan

18) Pokja PMTS adalah elemen dalam PMTS Paripurna. Lihat


Pedoman PMTS Paripurna Kemitraan Pemerintah, Swasta dan
Komunitas. KPAN. 2014
Studi Kasus

memberdayakan anggotanya. Selain itu, Implikasi dari kepentingan dan kekuasaan


LSM LSL menjadi wadah bagi para LSL untuk LSM yang tinggi dalam program LSL adalah
melakukan pertemuan dan saling memberikan kepemilikan program LSL yang selama
dukungan. ini menjadi ranah kegiatan LSM LSL perlu
“Jadi kita yang menjembatani mereka untuk bisa
mendapat dukungan dari pemangku
kontak ke layanan ataupun kepada komunitas kepentingan lainnya agar daya ungkit program
sendiri. Jadi kalau misalnya mereka perlu juga LSM lebih meningkat.
kepada dinas kesehatan, kita biasanya kontak LSM
menyampaikan ke kita dan kita juga menyampaikan
ke dinas kesehatan apa-apa saja kebutuhan dari LSM
dan apa-apa saja kebutuhan dari komunitasnya itu. 5) Pusat kesehatan masyarakat
LSM (LSL) ikut membantu jika mobile VCT dilakukan (Puskesmas)
di lokasi tempat mereka berkumpul” (Wawancara
mendalam tim Udayana, PL Gaya Dewata, September Kepentingan puskesmas terhadap program
2015). LSL rendah karena adanya program LSL tidak
memberikan kontribusi yang nyata terhadap
kinerja puskesmas. Kepentingan mencapai
Kekuasaan LSM LSL tinggi dalam program LSL target juga dirasakan sebagai penambah beban
karena mereka bisa menjadi kelompok penekan karena penentuan target telah ditentukan oleh
para pemangku kepentingan lainnya. Selain itu, Dinkes. Hal ini dirasakan baik di Surabaya
mereka mampu memobilisasi sumber dana dan maupun di Denpasar, termasuk dalam hal
sumber daya dari berbagai sumber. Misalnya penetapan PL yang mendapat subsidi APBD
mendorong agar panti pinjat menyampaikan seperti di puskesmas Denpasar Barat.
informasi terkait HIV dan AIDS, melakukan tes
“Itu [PL] dapatnya dari Dinas jadi Dinas yang
HIV dan mendorong pemakaian kondom. menggajinya dari dana APBD dan mungkin kebetulan, 99
“Saya punya kesepakatan dengan bosnya saya Dinas juga melihat sasaran kita itu kali ya, kita
bisa memberi kalian kayak kondom pelicin, kalian dikasih PL yang dari LSL” (Wawancara Mendalam
paling tidak bisa menginformasikan berapa yang Tim Udayana dengan Kapusksmas Denpasar Barat,
datang dan mau melakukan tes, harus … kerja dengan September 2015).
mereka, setelah di … lah. Harus itu paling tidak ini
lah, baik buat kamu juga gitu lo, kamu juga dapet
Implikasi dari kepentingan dan kekuasaannya
kondom pelicin gitu karena banyak sekali orang yang yang rendah terhadap program LSL maka
datang gitu” (Wawancara mendalam tim Udayana, PL kemerataan dan kemudahan akses LSL
Yayasan Gaya Dewata, September 2015). terhadap layanan di puskesmas akan
fluktuatif. Kinerja program LSL di puskesmas
sangat tergantung dari dukungan pemangku
Kemampuan LSM LSL dalam mengakes kepentingan lain, terutama Dinkes sebagai
sumber dana ini menjadi kekuatan LSM untuk atasan langsung puskesmas.
tidak bergantung pada hanya satu sumber
pendanaan. LSM Gaya Nusantra di Surabaya
misalnya, mampu memobilisi sumber dana 6) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
dan sumber daya seperti yang disampaikan
direkturnya saat diwawancarai tim peneliti Rumah sakit daerah mempunyai fungsi peru­
Unair pada bulan September 2015. LSM Gaya mus­an kebijakan teknis dan pemberian du­kung­
Nusantara menerima dana dari berbagai an atas penyelenggaraan kesehatan dae­rah.
sumber, antara lain KPAN, MPI, SUM dan Dalam program PMTS LSL kepentingan RSUD
GWL-INA. LSM Gaya Nusantara di Denpasar rendah karena RSUD hanya menjadi rujuk­
mempunyai kemampuan memobilisasi sumber an perawatan tetapi tidak melakukan upa­ya
dana dan juga menyediakan layanan untuk preventif dan promotif secara lang­sung kepada
LSL, seperti layanan VCT di Gaya Nusantara, LSL. Program LSL juga tidak me­mberikan kontri­
layanan IMS di YCU dan YKP. busi yang banyak terhadap keber­lang­sung­an
rumah sakit.
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Kekuasaan RSUD terkait sumber daya dan 8) Populasi LSL


ke­­mampuan memobilisasi sumber daya terkait
Kepentingan LSL tehadap program LSL tinggi
pro­gram LSL rendah. RSUD hanya mampu me­
karena dengan adanya program LSL maka
nge­lola sumber daya yang ada dalam RSUD
akses mereka terhadap layanan menjadi
sendiri, tetapi belum mampu memengaruhi
terbuka. Program LSL memungkinan mereka
pe­­­mangku kepentingan lain, seperti Dinkes,
untuk berinteraksi dengan penyedia layanan,
Bappeda atau MPI. Sebagai contoh, target la­
KPA Kota dan Dinkes untuk menyuarakan ke­
yanan HIV dan AIDS seperti VCT di Rumah Sakit
pentingan mereka. Dilihat dari sisi kekuasa­an­
Wangaya masih mengikuti target yang di­ten­
nya, LSL merupakan kelompok rentan dan ter­
tu­kan oleh program pusat. RSUD Wangaya di
stigma. Mereka masih mengalami stigma ka­rena
Denpasar mampu mengolah dan meng­ana­lisa
dianggap bertentangan dengan nilai agama,
da­ta pasien untuk perencanaan logistik ru­­mah
adat dan budaya. Dari sisi kekuasaan po­litik
sakit, tetapi data ini belum dapat digu­na­­kan
juga sangat lemah. Stigma terhadap LSL ma­sih
da­lam menegosiasikan target program HIV
ada dalam masyarakat di kedua daerah pe­
de­ngan pihak MPI atau Kemenkes. Implikasi
nelitian ini sehingga kekuasaan mereka rendah.
ren­­dahnya kepentingan dan kekuasaan RSUD
ter­hadap program LSL adalah pengaruh ca­kup­
an penggunaan layanan RSUD oleh LSL akan
ren­dah. D. Deskripsi Fungsi Sistem
Kesehatan dan Program LSL
7) Majelis Masyarakat Desa Pakraman (MMDP) Bagian ini mendiskripsikan tentang pelaksanaan
fungsi-fungsi sistem kesehatan dalam penanggu­
MMDP adalah lembaga adat yang ada di
100 Denpasar yang kepentingannya rendah terha­
lang­an HIV dan AIDS pada kelompok LSL di
Surabaya dan Denpasar. Gambaran untuk pelak­sa­
dap penanggulangan HIV dan AIDS, termasuk
na­an masing-masing fungsi bisa dilihat pada bagian
program LSL. HIV tidak bersinggungan langsung
di bawah ini:
dengan ranah kerja adat. MMDP menganggap
permasalahan kasus HIV masih jarang dan
pengetahuan informan yang mewakili MMDP
tentang HIV dan AIDS masih terbatas. 1) Manajemen dan regulasi
Sebagai lembaga adat maka kekuasaan a. Regulasi
MMDP dalam masyarakat Denpasar cukup Regulasi penting yang menjadi acuan dalam
tinggi dan masyarakat sangat menghormati sektor kesehatan di daerah adalah RPJMD,
adat istiadat. Sebagai simbol adat, MMDP Renstra dan APBD untuk sektor kesehatan.
mampu memobilisasi masyarakat untuk Rencana Strategis (Renstra) Dinas Kesehatan
berbagai kepentingan, memengaruhi kebijakan Kota Surabaya dan Denpasar sudah menga­
pemerintah Kota Denpasar. Sayangnya dalam ko­modasi upaya penanggulangan HIV dan
kasus program LSL, MMDP tidak memanfaatkan AIDS dalam prioritas pembangunan kesehatan
kekuasaannya untuk membantu dan dalam upaya pengendalian penyakit menular
mendukung program LSL. Sebaliknya, MMDP dan telah mendapatkan dukungan anggaran
melihat masalah LSL sebagai perilaku yang dari APBD, APBN dan sumber-sumber lainnya.
bertentangan dengan adat dan nilai budaya Realisasi pengendalian penyakit me­nu­lar di
yang ada. Akibatnya, kekuasaan tinggi MMDP Surabaya dan Denpasar dapat dili­hat dalam
justru kontraproduktif dengan program LSL. profil kesehatan masing-masing kota.

Tata kelola program HIV dan AIDS melibatkan


pemangku kepentinganan lintas sektoral yang
diatur dalam Perda AIDS Kota Surabaya dan
Kota Denpasar. Sedangkan tata kelola program
Studi Kasus

LSL mengacu pada pedoman PMTS yang kesehatan memberikan ruang bagi masyarakat
dikeluarkan oleh KPAN dengan melibatkan untuk ikut partisipasi dalam merencanakan
pembagian kewenangan dan tanggung jawab program yang akan dilaksanakan di daerah.
masing-masing pemangku kepentingan. Musrenbang kesehatan di Denpasar dan
Sebagai contoh di Surabaya dalam upaya Surabaya sebagai proses perencanaan dan
melaksanakan pedoman PMTS, dengan penganggaran dengan sistem bottom - up.
melibatkan peran berbagai SKPD, seperti Pada tingkat kelurahan, Musrenbang ini dihadiri
yang disebutkan oleh informan Bappeko Kota oleh perwakilan masyarakat meliputi PKK,
Surabaya: Karang Taruna, tokoh adat sebagai perwakilan
“…..kebijakan untuk pengurangan HIV dan AIDS sudah
masyarakat. Di Surabaya, masyarakat Kota
ada di setiap SKPD jadi sesuai dengan tupoksinya Surabaya termasuk ODHA dan populasi
masing-masing, misalnya di saya contohkan di dinas kunci dapat berpartisipasi langsung dalam
perhubungan itu ada sosialisasi untuk problem- Musrenbang on line Kota Surabaya19 dengan
problem di terminal terkait HIV jadi kita sesuai tupoksi
login memakai NIK Kota Surabaya.
SKPD” (wawancara mendalam tim Unair dengan
pemegang program anggaran kesehatan Bappeko Formulasi kebijakan terkait program HIV dan
Surabaya, November 2015)
AIDS masih vertikal dengan peran pemerintah
pusat dan MPI yang kuat. Di Denpasar temuan
tim peneliti Unud (2015) mempertegas bahwa
Berdasarkan gambaran di atas, regulasi upaya
peran MPI sangat kuat dalam perencanaan
penanggulangan HIV dan AIDS terintegrasi
dan penganggaran program HIV da AIDS di
penuh dengan regulasi dalam sistem kesehatan
Denpasar.
di Kota Surabaya dan Denpasar yang masuk
dalam upaya pengendalian penyakit menular. Perencanaan dan penganggaran untuk
Regulasi program LSL mengacu pada pedoman program HIV di Denpasar menyesuaikan 101
PMTS nasional yang dalam pelaksanaannya dengan program GF. Kegiatan dan logistik
menekankan peran masing-masing SKPD ang­ yang direncanakan dan dianggarkan GF
go­ta KPAK. Adanya alokasi anggaran di APBD tidak dianggarkan lagi dari APBD. Mekanisme
untuk upaya penanggulangan HIV dan AIDS tersebut diawali dengan penyampaian masukan
ser­ta ada aturan tentang pengelolaan program dari Dinkes Kota ke Dinkes Provinsi. Dinkes
HIV yang melibatkan KPAK dan Dinkes di Provinsi lalu mengikuti pertemuan dengan
Denpasar dan Surabaya. Kemkes dan GF lalu disusunlah perencanaan.
Dinkes Kota Denpasar menyusun perencanaan
sesuai dengan kesepakatan dalam pertemuan
b. Formulasi kebijakan tersebut (Laporan Tim Peneliti Unud, 2015)

Kebijakan perencanaan dan penganggaran Perencanaan program LSL banyak diinisiasi


bi­dang kesehatan mengacu pada RPJMD yang oleh pemerintah pusat (KPAN dan Kemenkes)
diterjemahkan dalam Renstra dan RKA bi­dang dengan dukungan MPI. Dinkes dan KPAK tidak
kesehatan. RKA Dinkes berdasarkan hasil eva­ membuat perencanaan khusus program LSL.
luasi dari pelaksanaan program tahun se­be­ KPAK hanya membuat kelompok kerja LSL
lumnya dengan mempertimbangkan sum­ber dengan mengundang Dinkes dan LSM, seperti
da­ya, sumber dana dan kemampuan Din­kes. yang disampaikan informan dari KPAK Kota
Pe­merintah pusat memberikan masukan tek­nis Surabaya berikut ini :
te­tapi keputusan terkait RKA adalah ke­we­­ “Tidak ada spesifikasi khusus untuk LSL. Karena
nangan Dinkes, seperti yang di temukan di semua secara global. Setiap pertemuan yang
Denpasar dalam menentukan program HIV dan melibatkan CSO, GWL dilibatkan dan pasti datang. Di
AIDS. sektap ada juga di POKJA.” (Wawancara Tim Peneliti
Universitas Airlangga dengan Sekretaris KPA Kota
Selanjutnya, Musrenbang sebagai mekanisme Surabaya, September, 2015)
perencanan dan penganggaran di sektor
19) http://musrenbang.surabaya.go.id/musrenbang/
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Kondisi ini mempertegas bahwa perencanaan menunjukkan belum ada mekanisme yang jelas
program LSL banyak ditentukan oleh dalam hal akuntabilitas progam LSL di kedua
perencanaan dari pusat, baik dari KPAN atau wilayah penelitian. Secara keseluruhan, sub-
dari MPI. Hal ini menunjukkan bahwa formulasi sistem regulasi dan manajemen program LSL
kebijakan program LSL tidak terintegrasi dengan tidak terintegrasi dengan program pencegahan
formulasi program pencegahan penyakit penyakit umumnya di wilayah penelitian.
lainnya. Hanya dimensi regulasi saja yang diadopsi dari
upaya pencegahan penyakit menular, tetapi
untuk formulasi kebijakan dan akuntabilitas
c. Akuntabilitas dari regulasi tersebut masih berbeda dengan
pencegahan penyakit menular lainnya.
Dalam program PMTS pada LSL, belum ada
mekanisme yang memberikan akses bagi LSL
untuk terlibat dalam proses perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program 2) Pembiayaan kesehatan
secara bermakna. Kalaupun perwakilan LSL a. Pengelolaan sumber pembiayaan
di kedua daerah ini banyak berkiprah dalam
Dana sektor kesehatan dan dana program HIV
menginisiasi berbagai kegiatan di Jaringan
dan AIDS berasal dari berbagai sumber dan
GWL, hal ini biasanya pada tingkat nasional
pengelolaannya dikoordinasikan oleh para
dan bukan keaktifan di tingkat daerah, sehingga
pemangku kepentingan HIV dan AIDS di lokasi
pengaruhnya pada tingkat daerah tidak
penelitian. Di Denpasar, sumber dana kesehatan
signifikan.
sebesar 96,6% berasal APBD dan sebesar 0,4%
Bentuk-bentuk pelibatan kelompok populasi berasal dari APBN dan tidak tercatat dana dari
102 kunci sudah direncanakan dari pusat dalam MPI. Sedangkan di Surabaya sebesar 99.16%
bentuk pembentukan pokja populasi kunci, dari APBD, sebesar 0,69% dari APBN dan
seperti pokja GWL. Contoh, pelibatan LSL dalam sebesar 0,11% berasal dari hibah luar negeri.
pencegahan adalah pembentukan Pokja LSL Pada tahun 2014 di Surabaya, persentase dana
di hot spot seperti panti pijat dan Spa dengan dekonsentrasi sebesar 0,04% dan dana tugas
tujuan meningkatkan partisipasi para pemilik pembantuan sebesar 0,65% dari anggaran
panti pijat dan Spa serta pelibatan pemangku kesehatan Kota Surabaya.
kepentingan tingkat lokal lainnya. Penelitian
Salah satu sumber pembiayaan pemanfaaatan
ini menemukan bahwa pokja ini belum aktif
layanan kesehatan adalah dana BPJS. BPJS
melakukan pemantauan pada upaya perubahan
dapat membantu masyarakat, termasuk LSL,
perilaku di kalangan LSL. Gambaran ini

Tabel 17. Anggaran


penanggulangan No Sumber Jumlah Anggaran Jumlah Anggaran
HIV dan AIDS di Pembiayaan (Rp) 2014 (Rp) 2015

Kota Surabaya 1 APBD 5.188.434.691 6.762.544.631


tahun 2014 dan 2015
2 Dana Donor 148.753.000 179.732.500
(GF)

Sumber: KPA Kota Surabaya olahan Tim Peneliti Universitas Airlangga, 2015
Studi Kasus

Dinas Kesehatan KPA


Tahun Total
APBD II GF-AIDS APBD II GF-AIDS

2009 39.685.500 188.510.000 400.000.000 137.661.000 765.856.500

2010 55.985.000 490.752.400 354.000.000 263.085.600 1.163.823.000

2011 214.685.000 651.306.800 704.000.000 373.279.652 1.943.271.452

2012 77.382.700 659.383.900 1.208.700.000 192.176.638 2.137.643.238

2013 105.886.700 925.987.050 978.593.950 231.415.676 2.241.883.376

2014 427.349.000 979.987.078 1.176.879.100 174.032.365 2.758.247.543

Sumber: Dinkes Kota Denpasar (2014) di olah oleh Tim Peneliti Univesitas Udayana, 2015

103

Tabel 18. untuk mengakses layanan kesehatan. Sejak adanya dana BPJS
maka anggaran pengadaan obat dikurangi karena sudah dicakup
Anggaran Upaya oleh BPJS, walaupun saat penelitian ini dilakukan hal ini masih
Penanggulangan dalam masa transisi sehingga masih ada dana obat juga dari
HIV di Kota Dinkes. Namun, dana BPJS tidak mengalokasikan pembelian
material pencegahan seperti kondom dan alat pelicin yang dibu­
Denpasar tuh­kan oleh LSL.

Data dari KPAK Kota Surabaya tahun 2015 menurut tim peneliti
Unair (2015) menunjukkan bahwa pembiayaan AIDS dari APBD
le­bih besar dari dana yang berasal dari MPI melalui program GF-
AIDS pada 2014 dan 2015, seperti yang terlihat dalam tabel 17.

Di Denpasar, tim peneliti Udayana (2015) melaporkan bahwa sum­


ber pendanaan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Denpasar
ju­ga berasal dari APBD dan MPI melalui skema pem­bia­ya­an pro­
gram GF AIDS, secara rinci dapat dilihat pada tabel 18.

Terkait pelaporan dan pencatatan sumber dana yang masuk,


khususnya pendanaan yang diterima LSM langsung dari donor,
mengakibatkan tanggung jawab mereka lebih kepada donor
atau pemberi dana. Tidak ada koordinasi tentang pendanaan di
program LSL ke KPAK atau Dinkes. Sumber dana dalam bentuk
fundraising dari komunitas untuk LSL ditemukan di Denpasar, yaitu
dari Rainbow Community yang bisa diakses oleh ODHA LSL untuk
pengobatan dan perawatan.
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Sumber Dana
(APBD, non-APBD, Jumlah Dana (Rp)
dan donor)
No Jenis Kegiatan

Rencana Realisasi

1 Promotif dan Preventif Donor (GF) 123.185.793 108.440.000


(contoh: penyuluhan penyakit dll.) APBD n.a 457.970.770

2 Kuratif(contoh: pengobatan penyakit, APBD n.a. 2.234.286.980


pengadaan obat, dll). Donor (GF) 17.550.000 15.519.500

3 Rehabilitatif Donor (GF) 29.420.000 29.347.000


APBD n.a 992.671.570

4 Gaji staf PK/PA,KPAK Donor (GF) 48.746.532 32.426.000

Sumber : KPA Kota Surabaya di olah oleh Tim Peneliti Universitas Airlangga, 2015

104

Tabel 19. Proporsi Gambaran di atas menunjukkan bahwa dari dimensi pengelolaan
sumber pembiayaan hanya terintegrasi sebagian dalam arti
Anggaran Upaya pe­merintah baik melalui Dinkes maupun KPAD telah mengko­or­
Penanggulangan dinasikan pendanaan program dari berbagai sumber. Namun, dana
HIV dan AIDS untuk pro­gram LSL yang dikelola oleh LSM tidak dikoordinasikan ke
Dinkes atau ke KPAK.
Kegiatan Promotif,
Preventif, Kuratif
b. Penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran
dan Rehabilitatif
Penelitian ini menemukan bahwa anggaran khu­sus untuk HIV
di Kota Surabaya dan AIDS ada dalam anggar­an pencegahan penyakit menular
tahun 2015 dalam APBD yang dikelola oleh Dinkes dan KPAK. Proporsi dana
yang tersedia untuk promotif dan preventif ter­masuk program
LSL kebanyakan dikelola oleh KPAK, sedangkan layanan kuratif
oleh Dinkes. Anggaran untuk HIV di Dinkes Bali men­capai 20%
dari anggaran P2 Dinkes. Dana di Dinkses dapat digunakan untuk
mem­berikan insentif pada petugas penjangkau yang bekerja di
puskesmas. Di Denpasar, selain dana melalui SKPD, ada juga dana
pe­nang­gulangan HIV dan AIDS dalam bentuk hibah ke KPAK yang
ditu­­runkan lewat P2P Dinkes. Di Surabaya, belum ada dana untuk
program LSL di puskes­mas. Menurut Kepala Puskesmas Perak
Studi Kasus

Timur, pa­da saat wawancara mendalam dengan c. Mekanisme pembayaran layanan


Tim Unair pada bulan September 2015, upaya
JKN adalah mekanisme pembayaran layanan
pro­mo­tif untuk LSL selama ini belum didanai
untuk semua warga negara yang memenuhi
dan belum dianggarkan. Sebagai gambaran
persyarataan. Penelitian ini menemukan bahwa
pro­por­si anggaran upaya penanggulangan HIV
JKN mencakup layanan kesehatan dasar
dan AIDS di Kota Surabaya berdasarkan data
termasuk pemeriksaan HIV. Untuk ARV dan
KPA Kota Surabaya 2015 terlihat pada tabel 19.
material pencegahan tidak ditanggung oleh
Proporsi anggaran dari APBD untuk program JKN tetapi melalui mekanisme dana program.
LSL berupa pemberian insentif pada petugas Populasi kunci termasuk LSL dapat mengakses
lapangan dan manajer kasus dengan jumlah JKN dengan melengkapi persyaratan yang
yang sangat terbatas. Contoh, di Surabaya. berlaku untuk warga negara umumnya.
“Banyak sih mbak anggaran [untuk HIV dan AIDS] Peserta JKN di Denpasar sebanyak 681.279
yang kita tahun lalu dan tahun ini ya. Salah satunya
orang dengan rincian anggota PBI sebanyak
ya itu tadi kita dengan e apa pemberian ini apa
penjangkauan, manajer kasus itu. Kan sudah menjadi 241.863 orang. Di Surabaya peserta JKN
menjadi kegiatan rutin kita ya. Honor mereka sudah sebanyak 387.393 orang dengan anggota PBI
kita cover dengan APBD.” (Wawancara mendalam tim dari APBD sebanyak 291.686 orang. Tidak
peneliti Unair dengan Pengelola Program HIV Dinas ada informasi tentang berapa banyak LSL
Kesehatan Kota Surabaya, September,2015).
yang sudah menjadi anggota JKN. LSL dapat
mengakses JKN, Jamkesos atau Jamkesda
seperti warga negara lainnya. Hambatan
Demikian juga di Denpasar, dana APBD untuk
LSL mendapatkan kepesertaan JKN adalah
LSL berupa insentif untuk PL.
hambatan administrasi penduduk seperti
“....karena diawal saja kita di bantu oleh GF, setelah tidak ada KTP atau mereka sendiri tidak mau 105
itu mulai di potong untuk PL. maka kita mulailah ma­ mendaftar sebagai anggota JKN.
suk ke APBD. Karena kita rasa memang PL sangat
membantu. Tapi untuk PL yang lewat APBD kan Dinas kesehatan dan KPAK sudah mensosiali­
khusus kita yang merekrutnya. Kalau dari Gaya sa­sikan kepesertaan JKN ini pada LSL. Namun
Dewata dia memang perlu ada PL maka dia yang
demikian ada hambatan sosial yang ditemui
membayarnya. [Insentif] dulu megacu dari global Fun,
Rp. 800.000/bulan kemudian naik sekarang masih Rp. di luar persyaratan administratif, yakni masih
1.300.000/bulan. Pakai UMR kalau di pemda. Kalau adanya stigma terhadap LSL. Adanya stigma
tahun depan naik lagi jadi 1.800.000. dilihat juga ini ini mendorong LSL untuk tidak menggunakan
lebih berisiko sehingga naik.” (Wawancara Mendalam
layanan yang disediakan tetapi memilih mem­
Tim Unud dengan Penanggung Jawab Program HIV di
Dinkes Kota Denpasar, September, 2015)
ba­yar sendiri di layanan yang mereka anggap
nyaman, seperti Bali Medika di Denpasar.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa meka­


Gambaran di atas menunjukkan bahwa dana nisme pembayaran layanan kesehatan untuk
untuk program pencegahan HIV dan AIDS telah LSL tidak terintegrasi dengan pembayaran
dianggarkan dalam ABPD, proporsi peng­ang­ layanan umum dengan berbagai variasi, yakni
garan untuk HIV cukup tinggi. Proporsi dana JKN, dana program untuk ARV, dana dengan
APBD untuk program LSL sangat kecil dan pola pembayaran sendiri atau out of pocket.
di­­per­­untuk­kan untuk insentif petugas la­pang­an. Untuk pola pembayaran sendiri belum ada
Ber­­dasar­kan uraian di atas dapat disim­pulkan mekanisme kerjasama dengan JKN dalam
bah­­wa untuk dimensi ini, program LSL tidak bentuk pengganti biaya pengobatan yang
ter­in­­te­gra­si ke dalam sistem kesehatan yang dipilih sendiri oleh LSL. Secara keseluruhan
ada ka­­rena proporsi anggaran untuk LSL sangat dimensi pembiayaan untuk program LSL tidak
ke­cil. terintegrasi dengan pembiayaan pencegahan
menyakit menular lainnya. Pengelolaan dan
proprorsi anggaran program LSL terintegrasi
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

sebagian tetapi dalam hal pembayaran layanan satu PNS, tenaga kontrak dengan dana GF dan
tidak terintegrasi. satu PL. Sedangkan di puskesmas, staf untuk
HIV dan AIDS ada lima orang yang terdiri dari
dokter, perawat sebagai staf administarsi, RR,
3) Sumber Daya Manusia konselor, dan analis laboratorium.

a. Kebijakan dan sistem manajemen Di RS Wangaya Denpasar, SDM untuk


menangani HIV dan AIDS ada enam orang
Regulasi yang mengatur SDM untuk program
yang terdiri dari dokter spesialis, dokter
LSL termasuk dalam tenaga kesehatan menga­
umum, perawat, petugas laboratorium, tenaga
cu pada regulasi rekrutmen kepegawaian
administrasi, dan konselor. Kesemua SDM
umum, sedangkan untuk tenaga program
tersebut berstatus PNS. Tenaga PL program LSL
LSL yang non kesehatan hanya diatur oleh
merupakan tenaga kontrak dengan syarat harus
kebi­jakan institusi. Ada empat macam status
dari komunitas LSL di Denpasar. Ada empat
kepegawaian berdasarkan kriteria status
puskesmas yang mempunyai PL LSL yakni
kepegawaian tenaga kesehatan, yakni PNS,
Puskesmas Denpasar Utara II, Denpasar Barat II,
PTT, tenaga kontrak, dan relawan.
Denpasar Selatan II, Denpasar Timur I.
Di Denpasar tenaga kesehatan yang berstatus
Regulasi SDM untuk HIV mengacu pada regulasi
PNS sebanyak 488 orang, yang berstatus PTT
rekrutmen tenaga kesehatan, sedangkan
sebanyak 18 orang, dan yang honorer sebanyak
SDM non kesehatan yang bukan PNS direkrut
165 orang. Di Denpasar sistem rekrutmen PNS
sesuai kebutuhan seperti PL direkrut oleh Dinas
adalah satu pintu melalui pemda, terbu­ka,
Kesehatan Kota dengan kebijakan Kepala Dinas
diumumkan luas melalui website dan penya­
Kesehatan Kota. Namun, adanya regulasi KPAN
luran­nya melalui Dinkes dan RSUD Wangaya
106 dalam menentukan SDM manajerial KPAD dan
Denpasar. Regulasi mengacu pada aturan
adanya regulasi lembaga di LSM yang beragam
peme­rintah pusat dengan prioritas CPNS dan
antar organisasi menunjukan bahwa dimensi
kon­trak berdasarkan kebutuhan, target dan
regulasi SDM ini terintegrasi sebagian. Ini juga
ang­garan yang tersedia.
menunjukkan bahwa sub-sistem regulasi SDM
SDM LSL non kesehatan ada di fasyankes untuk program LSL adalah terintegrasi sebagian
dan LSM. Pengadaan tenaga non kesehatan dengan regulasi SDM untuk pencegahan
di puskesmas seperti petugas lapangan atau penyakit menular umumnya.
kader diatur oleh regulasi puskesmas yang
merujuk pada aturan yang dibuat dinas kese­
hat­an. Sedangkan SDM di LSM diatur dengan b. Pembiayaan
aturan lembaga yang mempe­ker­ja­kan­nya.
Sumber pembiayaan SDM HIV dan AIDS
Ada SDM dalam program LSL yang berbeda
yang berstatus PNS berasal dari pemerintah
keberadaanya dengan SDM kese­hat­­an umum,
lewat APBN atau APBD. SDM kesehatan yang
yakni SDM manajerial dan kese­kre­tariatan
berstatus PNS didanai oleh pemerintah lewat
KPAK. Untuk sekretaris KPAK ada syarat yang
skema penggajian pegawai negeri dengan
berlaku dan ditetapkan dengan regulasi dari
mendapatkan gaji pokok dan tunjangan
KPAN, yaitu pernah atau sedang menduduki
lainnya sesuai peraturan PNS. Sedangkan SDM
posisi dengan jabatan eselon II atau III. Pejabat
non-kesehatan yang bekerja untuk program
aktif yang menduduki esellon II atau III bisa
LSL, seperti PL didanai oleh MPI atau APBD
men­jadi Sekretaris KPAK, contohnya Sekretaris
dengan sistem kontrak. Di Denpasar tidak ada
KPAK Kota Surabaya.
insentif selain gaji dari pemerintah kota untuk
Di Kota Surabaya, jumlah tenaga kesehatan tenaga kontrak. Tidak ada pemberian insentif
yang melayani program HIV di fasyankes khusus untuk jasa layanan HIV dan AIDS yang
(Balai Pengobatan, KIA, Gigi, Bidan) berjumlah diberikan kepada SDM kesehatan dengan
24 orang. SDM di KPAK Surabaya terdiri dari status PNS.
Studi Kasus

Insentif yang diterima pemberi jasa layanan untuk SDM kesehatan yang berstatus PNS dan
diperhitungkan dari semua layanan yang SDM non-kesehatan tenaga kontrak Dinkes.
diberikan. Tidak ada pembedaan antara Pembiayaan untuk SDM non-kesehatan berasal
jasa layanan terkait HIV dan AIDS dengan dari MPI melalui LSM tempat tenaga tersebut
jasa layanan penyakit umum, seperti yang bekerja. Adanya SDM non-kesehatan program
disampaikan oleh informan berikut. LSL yang dikontrak oleh Dinkes dengan
“Jasa pelayanan yang disetor akan diamprah oleh
menggunakan dana APBD jumlahnya sangat
puskesmas kembali sesuai dengan layanan yang sedikit sehinggg dimensi ini disimpulkan tidak
sudah diberikan, dana jasa pelayanan masuk terintegrasi.
ke dinkes kota kemudian ke rekening bendahara
walikota, besarnya jasa pelayanan diperhitungkan
oleh Sub Bagian Yankes (Wawancara mendalam tim
Unud dengan Kasubag Umum dan SDM Dinkes Kota, c. Kompetensi
Sepetember 2015)
Standar kompetensi SDM non-kesehatan
program LSL berbeda dengan standar
kompetensi SDM kesehatan umum. Ada
Hal yang menarik adalah sumber pembiayaan
regulasi yang mengatur standar kompetensi
SDM di KPA Kota Surabaya yang berasal dari
dan kewajiban SDM kesehatan, sedangkan
APBD dan MPI.
kompetensi SDM non kesehatan di program LSL
“[SDM KPA Kota Surabaya ] ada 5, 1 PNS 2 kontrak tidak ada20. SDM untuk HIV Dan AIDS di kedua
dr dana APBD. Ada pengelola logistik dari GF dan 1 lokasi penelitian mengacu dalam SRAN, yakni
PL. Sekretaris KPA kota direkrut dari esellon 2 atau 3
SDM a) tingkat Lapangan, (b) tingkat layanan, c)
atau mantan eselon 2 atau 3 . Dalam perjalanannya
adalah Mantan Kabid, mantan kadinkes, merangkap manjemen tingkat kota.
dengan Kabid di dinkes itu Bu estu tahun 2006.
Kompetensi SDM kesehatan di Denpasar 107
Pensiunan dana gajinya dari GF dan APBD”
(Wawancara mendalam Tim Unair dengan Sekretaris ditentukan oleh program atau masing-masing
KPAK Surabaya, September 2015) . bidang di Dinkes sesuai kebutuhan dan bagian
SDM ikut memberikan pertimbangan dan
persetujuan. Di tingkat LSM, kompetensi SDM
Selanjutnya, pembiayaan untuk SDM non-kesehatan ditentukan oleh LSM sendiri
lapangan non-kesehatan program LSL masih dan tidak ada acuan baku untuk standar SDM
mengandalkan dana dari MPI, walaupun di LSM HIV, sehingga ada perbedaan antara
ada petugas lapangan yang didanai dari satu LSM dengan LSM lainnya. Peningkatan
APBD dengan sistem kontrak. Penelitian ini kompetensi SDM kesehatan yang bekerja di
menemukan bahwa ada PL untuk LSL yang layanan kesehatan selama ini berdasarkan
di kontrak dengan dana APBD, seperti yang pada kebutuhan akan pengembangan layanan
dilaporkan oleh Tim peneliti Universitas yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Udayana (2015) berikut ini. Sebagai contoh, di Denpasar ada pelatihan
“Saat ini sudah ada tenaga PL yang bekerja di 6
(On Job Training/OJT) ARV saat puskesmas
puskesmas di Kota Denpasar tapi hanya satu orang akan dijadikan sebagai satelit ARV oleh
PL yang khusus untuk menjangkau LSL. Semua RSUD Wangaya. Pelatihan VCT di puskesmas
tenaga PL yang bekerja di puskesmas berstatus akan dimulai dengan layanan VCT, pelatihan
tenaga kontrak yang dapat diperpanjang setiap
puskesmas ramah GWL berdasarkan pada
tahunnya. …… Tapi untuk PL yang lewat APBD
kan khusus kita yang merekrutnya.” (Wawancara
kebutuhan akses layanan oleh LSL. Kegiatan
mendalam Pemegang Program HIV dan AIDS Dinkes pelatihan sebagian didanai dari APBD dan
Denpasar, September, 2015). Kemenkes, tapi sebagian pelatihan didanai oleh
donor (GF dan HCPI). Di Surabaya beberapa
Dari uraian di atas terlihat bahwa ada variasi
upaya peningkatan kapasitas juga dilakukan,
dalam sumber pembiayaan SDM yang terlibat
dalam program LSL. Ada pembiayaan SDM
20) Lihat Permenkes no 21 tahun 2013 pasal 43 ayat 2 yang
yang berasal dari APBD dan APBN, yaitu menjadi landasan kompetensi SDM AIDS.
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

misalnya pelatihan pemetaan dan manajemen seperti kondom dan pelicin mengikuti aturan
IMS , konselor, dan SIHA yang diikuti oleh staf yang ditetapkan oleh KPAN. Di Denpasar,
program dengan sumber dana dari Kemenkes proses pengadaan reagen, obat IMS dan IO
dan APBD. mulai dari usulan fasyankes direncanakan di
bagian P2 Dinkes dengan penambahan 10% dari
Tidak tersedia dana khusus dari APBD untuk
usulan pengadaan obat IMS dan IO dari tahun
peningkatan staf LSM yang bekerja di program
sebelumnya. Di Surabaya, Dinkes membuat
HIV dan AIDS di Surabaya dan Denpasar.
perencanaan dengan menerima masukan dari
Peningkatan kompetensi SDM non-kesehatan
laborat dan fasyankes. Puskesmas diberikan
program LSL di LSM didapat dari berbagai
wewenang untuk merencanakan kebutuhan
pelatihan yang didanai oleh MPI dan APBN.
obat dan perencanaan per tahun. Dalam
KPAK pun tidak menyediakan pendanaan untuk
perencanaan, permintaan reagen berdasarkan
peningkatan kompetensi SDM non-kesehatan
kunjungan pasien di puskesmas dan Dinkes
program LSL.
menghitung semua kebutuhan puskesmas di
“Di KPA tidak ada anggaran untuk peningkatan daerah dan ada kebijakan bahwa pengajuan
kapasitas SDM. Untuk workshop kita mengikuti
berdasarkan permintaan tahun lalu ditambah
karena ada funding penyelenggara yang membiayai”
(Wawancara mendalam Tim Unair dengan sekretaris 10%.
KPAK Surabaya, September 2015).
Hal yang membedakan antara regulasi
pengadaan logistik kesehatan umum dengan
logistik program LSL adalah pengadaan dan
Gambaran di atas menunjukkan bahwa standar
pendistribusian material pencegahan seperti
kompetensi SDM non-kesehatan program
kondom dan pelicin. Manajemen dan tatakelola
LSL berbeda dengan tenaga kesehatan pada
kondom dan pelicin diatur oleh KPAN mulai dari
108 umumnya dan belum ada mekanisme yang
pengadaan dan pendistribusianya dari KPAN ke
standar dalam peningkatan kompetensi SDM
KPAD sampai ke fasyankes atau LSM.
non tenaga kesehatan program LSL. Dengan
demikian, dimensi kompetensi SDM program LSL
tidak terintegrasi ke dalam sistem kesehatan
b. Sumber daya obat dan alkes
umum. Dengan demikian, sub-sistem Sumber
Daya Manusia program LSL cenderung tidak Ada empat sumber pembiayaan obat dan
terintegrasi ke dalam sistem kesehatan. Hal alkes terkait HIV dan AIDS, yakni pembiayaan
ini berimplikasi pada ketersediaan SDM non- APBN, APBD, BPJS dan MPI. Perencanaan
kesehatan di program LSL yang berkompeten logistik program LSL terkait dengan reagen,
untuk peningkatan kinerja program LSL di obat IMS dan IO di bagian P2 dengan RKA untuk
daerah. pengajuan logistik. Sedangkan, pengadaan
ARV langsung dari APBN, kondom dan pelicin
dari KPAN. ARV didrop ke provinsi kemudian
4) Penyediaan farmasi dan alkes didistribuskian ke rumah sakit pengampu.
Kebutuhan ARV di puskesmas diperoleh dari
a. Regulasi penyediaan, penyimpanan, Rumah Sakit Daerah seperti di Denpasar.
diagnostik dan terapi Sedangkan untuk reagen ada sharing dana dari
Regulasi penyediaan, penyimpanan, diagnostik APBD baik di Denpasar maupun di Surabaya.
dan terapi untuk program LSL menggunakan Untuk mengantisipasi kekurangan reagen
regulasi yang berbeda dengan regulasi maka dalam perencanaan memperhitungkan
logistik kesehatan umumnya. Penyediaan dan buffer stock sebesar 10%. Selain itu, jika terjadi
distribusi reagen, obat IO dan IMS mengacu kelebihan reagen di satu layanan maka akan
pada regulasi pengadaan obat pada umumnya. diberikan ke layanan yang membutuhkan,
Regulasi ART mengacu pada regulasi pusat. demikian juga jika kekurangan maka terjadi
Sedangkan distribusi materi pencegahan pinjam meminjam dengan fasyankes lain.
Studi Kasus

Kejadian stock out reagen untuk VCT dan menjadi profil kesehatan Kota Denpasar.
reagen sifilis pernah terjadi di puskesmas di Secara kelembagaan ada tiga lembaga yang
Denpasar, sehingga menghambatan layanan aktif mengumpulkan data, yakni Dinkes dan
pada LSL. Pada saat penelitian ini dilakukan seluruh instansi di bawahnya, KPA dan LSM.
di Denpasar, dilaporkan bahwa reagen yang Sistem informasi terkait AIDS di Surabaya dan
paling sering habis di puskesmas adalah reagen Denpasar menggunakan SIHA dengan jenis
sifilis karena jumlah persedian yang sedikit dan data yang dikumpulkan berupa data program
periode kadaluwarsanya singkat, tetapi hal ini VCT dan Metadon. Ada juga mekanisme
tidak terjadi di rumah sakit (Laporan Tim Peneliti pengumpulan data yang dilakukan oleh KPAK,
Unud, 2015). seperti di Denpasar data yang dikumpulkan
KPAK adalah jumlah masyarakat yang diberi
Sumber pendanaan material preventif seperti
penyuluhan, jumlah jangkauan, kasus HIV
kondom dan pelicin menggunakan mekanisme
positif, rujukan ke layanan, remaja yang dilatih
yang ditetapkan oleh KPAN mulai dari
tutor sebaya, data program KDPA, KSPAN,
pengadaan sampai pada pendistribusiannya ke
PMTS LSL. Sayangnya tidak ada mekanisme
fasyankes atau LSM. Seperti yang disampaikan
untuk mensinkronkan berbagai data yang
oleh informan di Denpasar berikut ini :
dikumpulkan tersebut. Dinkes menghasilkan
“Kalau kondom lewat KPA. Karena masuk lewat data yang lebih cenderung pada data
KIE. Tapi memang ada kondom khusus layanan
pengobatan dan perawatan termasuk jenis
tapi kita sementara masukkan di gudangnya KPA.
Awalnya dropping kondom kan dari KPA pusat. Jadi penyakit dan obat-obatan. Kalaupun ada sero
jika layanan perlu kondom, mengajukannya ke KPA. survei penyakit, survei kesehatan, dan STBP,
Tapi bukunya tersendiri untuk layanan dari KPA. Dinkes hanya sebagai pelaksana daerah,
Dari APBD, KPA juga ada menganggarkan kondom.” tetapi perencanaannya dari pemerintah pusat.
(Wawancara Mendalam Tim Unud dengan PIC HIV
AIDS Dinkes Kota Denpasar, Sepember 2015).
SIHA lebih banyak diinisiasi oleh Kemenkes 109
dan dalam pelaksanaannya masih mengalami
berbagai kendala dan masih lemahnya
dukungan infrastruktur dan kemampuan SDM.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa
LSM cenderung mengumpulkan data program
pembiayaan untuk material pencegahan untuk
dan pelaporannya pada pemberi donor,
program LSL seperti kondom dan pelicin masih
kalaupun disampaikan ke KPAK bentuknya
vertikal dari KPAN dan tidak terintegrasi dengan
sebagai laporan pelaksanaan program yang
sumber daya obat dan alkes umum. Walaupun,
mendapat dukungan dari KPAK. KPAK Kota
pembiayaan untuk obat IMS dan IO untuk LSL
Surabaya melakukan pengelolaan data tetapi
sama dengan pembiayaan obat umumnya,
tidak link ke SIHA.
tapi hal yang paling utama dalam komponen
pencegahan adalah material pencegahan Penjelasan di atas mengindikasikan bahwa
maka sub-sistem ini secara keseluruhan tidak tidak ada kerjasama atau sinkronisasi antar
terintegrasi ke dalam sistem kesehatan. lembaga pengumpul data sehingga sistem
informasi AIDS pada program LSL tidak
terintegrasi dengan sistem informasi kesehatan
5) Informasi strategis umum di daerah.

a. Sinkronisasi sistem informasi

Cara pengumpulan data dalam sistem informasi b. Diseminasi dan pemanfaatan


kesehatan umum dan program LSL bervariasi di
Hasil pengolahan data yang berupa laporan
lokasi penelitian. Di Denpasar, Sistem Informasi
rutin tahunan bidang kesehatan adalah profil
Kesehatan diisi oleh Dinkes sesuai dengan
kesehatan kota. Pada saat penelitian dilakukan,
indikator SPM. Selain itu ada pengumpulan
diperoleh profil kesehatan untuk Kota Denpasar
data berdasarkan laporan tahunan Dinkes,
dan Surabaya dalam bentuk cetak, namun profil
jenis data yang dikumpulkan dirangkum
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

yang up to date susah diakses masyakat. Belum 6) Partispasi masyarakat


ada ketersediaan profil kesehatan kedua kota
Keterlibatan masyarakat umum dalam perenca­
ini dalam bentuk online yang mudah diakses
na­an pembangunan kesehatan melalui me­
oleh masyarakat umum.
ka­nisme Musrenbang di mana masyarakat
Data program LSL tidak masuk dalam profil da­pat ikut serta mulai dari tingkat desa atau
kesehatan. Data program LSL ada dalam kelurahan. Dalam bentuk umum, keterlibatan
bentuk laporan program dari lembaga yang masyarakat dalam penanggulangan HIV dan
melaksanakannya seperti LSM Gaya Nusantara AIDS adalah pembentukan Warga Peduli AIDS
di Surabaya dan LSM Gaya Dewata di Bali. (WPA) di Surabaya dan Denpasar. Di Denpasar
Mereka membuat laporan program yang selain WPA ada juga pembentukan KSPAN
disampaikan ke pemberi dana dalam bentuk dengan kegiatan yang ada kaitannya dengan
laporan rutin program, sedangkan ke KPAK pen­didikan tentang HIV dan AIDS dalam bentuk
atau Dinkes disampaikan dalam pertemuan perlombaan dan jambore. Contoh lainnya ada­
koordinasi atau jika diminta. lah keterlibatan kader LKB di Surabaya dan
Data yang sudah dikumpulkan dimanfaatkan ada­­nya kader kesehatan puskesmas sebagai
oleh masing-masing lembaga sesuai kepen­ ben­tuk partisipasi dalam pencegahan penyakit
ting­annya. Data yang dikumpulkan Dinkes menular.
dalam bentuk laporan rutin digunakan sebagai Sedangkan partisipasi LSL dalam program
masukan untuk pengembangan program. HIV dan AIDS dapat dilihat variasinya di level
Data layanan dianalisis dan digunakan untuk lembaga maupun kegiatan. Di level LSM dan
perencanaan logistik di layanan seperti fasilitas layanan seperti puskesmas, partisipasi
puskesmas dan rumah sakit. Data penggunaan LSL sangat tinggi. Keterlibatan LSL dalam
110 layanan, data dari LSM dan data dari KPAK koordinasi adalah kehadiran mereka sebagai
digunakan sebagai bahan dalam advokasi populasi kunci dalam berbagai pertemuan yang
perencanaan dan penganggaran di Bappeda. dilakukan oleh KPAK baik di Denpasar maupun
Data yang dimasukkan ke SIHA digunakan juga di Surabaya. Di LSM, LSL dilibatkan mulai dari
untuk pemesanan reagen dan ARV. perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi
Dalam pengembangan program terkait program LSM. Selain itu, LSL juga terlibat dalam
pengobatan dan perawatan dan ketersedian berbagai jaringan LSL baik dalam bentuk
reagen dan ARV, Dinkes menggunakan laporan kepengurusan di jaringan seperti GWL Ina
rutin dan SIHA. Selain itu pengembangan atau sebagai peserta bila ada kegiatan yang
program masih berdasarkan data masing- dilakukan jaringan. Di fasilitas kesehatan LSL
masing lembaga, tetapi belum ada koordinasi berpartisipasi sebagai penjangkau, Budies dan
dan komitmen untuk menggunakan sistem dalam pembentukan kelompok dukungan.
informasi HIV dan AIDS yang baku dalam Keberadaan LSL sebagai tenaga penjangkau
bentuk SIHA untuk semua program pencegahan diharapkan meningkatkan partisipasi LSL
dan PDP. Dengan kata lain, sistem informasi dalam pemanfaatan layanan. Akan tetapi,
HIV dan AIDS yang dikembangkan dalam kenyataannya tidak selalu demikian, seperti
bentuk SIHA belum digunakan optimal untuk yang ditemukan di Denpasar. Kendala yang
perencanaan program pencegahan di daerah, ditemui pada populasi kunci yaitu komunitas
sehingga dalam hal pemanfaatan data LSL sulit untuk dijangkau karena dari segi
tidak terintegrasi antara sumber data dan pendidikan dan pekerjaaan mereka sangat
ketersediaan data. Dari penjelasan di atas bervariasi. Selain itu, LSL muda kurang
dapat disimpulkan bahwa sub-sistem informasi mau membicarakan isu HIV karena adanya
strategis program LSL tidak terintegrasi ke kesalahan persepsi LSL yang merasa tidak
dalam sistem kesehatan di lokasi penelitian. mungkin terkena HIV.
Studi Kasus

Komunitas LSL aktif dalam program LSL bahkan ”…..sebenarnya kita gak pernah menanyakan dia
cenderung militan karena LSL menginisiasi nyaman apa tidak , ya paling tidak dia juga harus
sadar diri juga mengerti situasi, kita gak menfokuskan
ke­giatannya sendiri. Hanya saja dalam hal
mengelompokkan dia harus special banget,
peren­canaan program dan monitoring evaluasi sebenarnya jangan sampe gitu, saya sih sebenarnya
program peran mereka belum menunjukkan gak setuju, harus menspesialkan ruang khusus,
peran yang signifikan. Dengan demikian, tempat yang khusus. Emangnya pemerintah melayani
dia doang? Kalo saya sih mikirnya seperti itu. Saya
par­­tisipasi masyarakat dalam program LSL
pengennya dia bisa membaur dengan masyarakat
ter­integrasi sebagian dalam sistem kesehatan (Wawancara mendalam Tim Unud dengan PL Gaya
umum. Dewata, September 2015)

7) Upaya kesehatan Untuk memberikan kenyamanan LSL dalam


mengakses layanan dan juga mengurangi
a. Ketersediaan layanan
stigma dan diskriminasi maka pihak Dinas
Layanan kesehatan di Denpasar dan Surabaya Kesehatan Kota Surabaya menginisiasi
sudah tersedia lengkap, mencakup fasilitas puskesmas ramah LSL dengan petugas
layanan kesehatan primer, sekunder dan ter­ lapangannya adalah LSL. Dilihat dari
si­er. Layanan terkait program LSL mulai dari ketersedian layanan yang ada dapat dikatakan
penjang­kauan, VCT, penyuluhan dan sosialisasi bahwa dimensi ini terintegrasi penuh dengan
pro­gram serta sistem rujukan untuk populasi layanan kesehatan yang ada karena terjadi
kunci ada di kedua kota ini. penggabungan layanan LSL dengan layanan
kesehatan umum yang sudah ada.
Upaya kesehatan yang dilakukan Dinas Kese­
hatan Kota Surabaya dalam rangka penang­
111
gu­langan HIV dan AIDS dan IMS adalah
b. Koordinasi dan rujukan
pen­ce­gahan melalui penemuan penderita
secara dini melalui klinik VCT dan penanganan Koordinasi dan rujukan layanan untuk
penderita yang ditemukan (Profil Kesehatan program LSL sudah berjalan di lokasi
Kota Surabaya, 2014). Di Surabaya klinik VCT penelitian. Di Denpasar ada jejaring antara
tersedia di 69 tempat VCT/PITC dan 13 tempat puskesmas sebagai pemberi layanan, LSM
pemeriksaan IMS yang ada di puskesmas sebagai penjangkauan, Dinkes dan KPA
dan rumah sakit. Layanan yang bisa diakses dalam pelaksanaan program LSL. Adanya
LSL di Surabaya ada di delapan puskesmas pembentukan KDS di puskesmas juga dalam
dengan lima diantaranya puskesmas LKB dan upaya penguatan LSL untuk bisa mengakses
rumah sakit daerah. Di Denpasar ada sebelas layanan. Misalnya, Puskesmas Perak Timur
puskesmas dengan tujuh puskesmas yang su­ Surabaya belum memiliki layanan PDP
dah menjalankan LKB. Selain itu ada LSM yang walaupun sebenarya ada tenaga terlatih untuk
melakukan penjangkauan ke LSL yakni Gaya memberikan layanan tersebut. Di Puskesmas
Dewata. Selain itu ada beberapa LSM yang Perak Timur ada dua kelompok KDS yakni
melakukan kegiatan penjangkauan dan pe­nye­ Recopin 1 dan Recopin 2. Adanya pembentukan
diaan layanan untuk populasi kunci lainnya. KDS memungkinkan LSL saling bertemu dan
saling menguatkan untuk memanfaatkan
Layanan HIV di rumah sakit atau puskesmas
layanan yang tersedia.
ada yang terpisah dengan layanan penya­kit
umum, kondisi ini sebenarnya tidak sepe­nuh­ Sistem rujukan dalam program LKB dan SUFA
nya diinginkan oleh LSL, karena yang me­ memudahkan LSL mengakses layanan yang
re­ka butuhkan adalah kenyamanan bu­kan mereka butuhkan. LKB di Denpasar sudah
keterpisahan ruangan. Seperti yang disam­ berjalan di tujuh puskesmas dan di Surabaya
pai­kan salah satu informan LSL pada saat ada lima puskesmas,yaitu Putajaya, Perak
dilakukan wawancara mendalam: Timur, Dupak, Sememi dan Jagir. Di Surabaya
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

LKB sudah berjalan dan jejaring LKB sudah bisa diakses (Laporan penelitian Tim Peneliti
dimulai pada akhir tahun 2012 terutama untuk Universitas Udayana, 2015)
sistem rujukan dari LSM ke fasyankes dan
Survei kepuasan sudah dilakukan oleh
dari fasyankes ke rumah sakit. LKB sangat
puskesmas secara rutin dan dilaporkan kepada
membantu program IMS dan HIV, dengan
Dinkes Kota tapi tidak ada survei kepuasan
program ini kerjasama antara fasyankes, LSM,
layanan yang khusus pada LSL. Tidak ada
kader kesehatan dan rumah sakit bisa saling
survei kepuasan khusus untuk layanan VCT.
berkesinambungan. Gambaran ini menunjukkan
bahwa koordinasi dan rujukan untuk LSL untuk Kualitas layanan bila dilihat dari kapasitas dan
pencegahan dan pengobatan terintegrasi penuh keterampilan petugas secara umum di kedua
dengan sistem rujukan kesehatan umum. wilayah dianggap cukup baik dan ramah, serta
selama ini tidak ada penolakan dari petugas
dan kerahasiaan cukup aman terjaga. Untuk
c. Jaminan kualitas layanan informasi layanan mungkin lebih banyak
diperoleh justru dari LSM bukan dari puskesmas.
Jaminan kualitas layanan program LSL
Pengalaman dalam mendapatkan alkes seperti
dapat dilihat dari supervisi dan evaluasi
kondom cukup mudah di fasyankes dan gratis.
terhadap layanan yang diberikan. Dinkes
Di kedua wilayah penelitian ditemukan LSL
sebagi penanggung jawab ketersediaan dan
yang tidak mengambil kondom karena merasa
keterjaminan layanan di daerah melakukan
tidak nyaman dengan tempat pengambilan
supervisi ke layanan program LSL, seperti di
kondom.
Denpasar dilakukan setiap tiga bulan sekali.
Sedangkan KPAD sebagai koordinator juga Kualitas layanan dan rujukan menurut mitra
melakukan supervisi pada lembaga yang layanan seperti LSM sudah menunjukan kualitas
112 memberikan layanan seperti LSM dan KDPAN yang baik, seperti yang disebutkan oleh salah
dan KSPAN di Denpasar. Untuk program LSL seorang informan berikut ini:
di Bali, monitoring dilakukan oleh KPAD dan “Kalo dari fasilitas yang disediakan layanan
GF secara periodik dua atau tiga bulan sekali pemerintah seperti puskesmas tu misalkan dari test tu
selama ada pendanaan dari GF, tetapi pasca cukup baik ya, selalu terpenuhi, selalu ada ya, reagen
pendanaan MPI tidak dilakukan. sipilis, reagen hiv, tes buat hiv, pengobatan herpes,
dan pengobatan yang lain pasti ada. Dan itupun kalo
Sama halnya di Surabaya, penjaminan kualitas tidak ada, dia sedikitnya juga ada kontak koordinasi
layanan dilakukan melalui supervisi oleh Dinkes dengan mereka, dia pasti mengontak koordinasi,
mungkin dia kasi nomor, “bli, mulai tanggal sekian lo
tiap tiga bulan. Selain itu, pertemuan rutin untuk
gada reagen bli dari dinasnya seperti ini seperti ini
koordinasi dan membahas masalah layanan. seperti ini ” (Wawancara Mendalam Tim Unud dengan
Di Surabaya penjaminan kualitas dilakukan PL Gaya Dewata Bali, Agustu 2015)
per­te­muan antara PKM, KPAK, Dinkes dan
LSM. Monev dilakukan secara insidental dan
hanya kegiatan yang mendapat dukungan Gambaran di atas menunjukkan bahwa
GF dan SUM yang ada monev rutinnya. Hal jaminan kualitas layanan pada program LSL
ini dilaporkan oleh tim peneliti Universitas tidak terintegrasi ke dalam sistem kesehatan
Udayana. umum. Koordinasi, supervisi antar pemangku
kepentingan dilakukan ketika ada dukungan
Saat masih ada MPI diadakan rapat rutin
dana dari MPI tetapi setelahnya, hal ini tidak
untuk membahas permasalahan yang terjadi
dilakukan. Monitoring pencegahan dilakukan
di layanan, termasuk keluhan terkait layanan
oleh KPA Kota sedangkan monitoring PDP
dari komunitas LSL, tetapi pasca MPI rapat ter­
dilakukan oleh Dinkes.
se­but tidak diadakan lagi. KPA saat ini masih
rutin mengundang komunitas untuk datang
ke layanan agar mengetahui layanan yang
Studi Kasus

Tingkat Integrasi Tingkat Integrasi


Subsistem Dimensi
per Dimensi per Sub sistem

Manajemen dan Regulasi ¨


regulasi
Formulasi kebijakan ý ý
Akuntabilitas ý
Upaya kesehatan Ketersediaan layanan þ
Koordinasi dan rujukan þ ¨
Jaminan kualitas layanan ý
Sumber daya manusia Kebijakan dan sistem manajemen SDM ¨
Pembiayaan SDM ý ý
Kompetensi SDM ý
Pembiayaan Pengelolaan sumber pembiayaan ¨
Penganggaran, proporsi, distribusi dan
ý ý
pengeluaran
Mekanisme pembayaran layanan ý
Penyediaan farmasi dan Regulasi penyediaan, penyimpanan,
¨
alat kesehatan diagnostik dan terapi ý
Sumber daya ý 113
Partisipasi Masyarakat Partisipasi ¨ ¨
Informasi strategis Sinkronisasi Sistem Informasi ý
ý
Diseminasi dan Pemanfaatan ý

þ Terintegrasi penuh ý Tidak terintegrasi ¨ Terintegasi Sebagian

Tabel 20. Tingkat E. Tingkat Integrasi Program PMTS LSL ke


integrasi per dalam Sistem Kesehatan
dimensi dan per Bagian ini mendiskripsikan tingkat integrasi program LSL di Surabaya
sub-sistem program dan Denpasar dalam sistem kesehatan. Berdasarkan uraian untuk
masing-masing dimensi dalam setiap sub-sistem seperti digambarkan
LSLdi Surabaya dan di atas maka secara keseluruhan lima sub-sistem pada program LSL
Denpasar tidak terintegrasi ke dalam sistem kesehatan, hanya sub-sistem upaya
kesehatan dan partisipasi masyarakat yang terintegrasi sebagian.
Secara ringkas tingkat integrasi program LSL ke dalam sistem
kesehatan dapat dilihat pada tabel 20.

Mengacu pada tabel di atas pelaksanaan sub-sistem regulasi


dan manajemen program LSL di daerah penelitian, tidak terintegrasi
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

dengan regulasi dan manjemen pencegahan belum ada. Regulasi yang ada baru di tingkat LSM
penyakit menular umumnya. Regulasi pencegahan dan berlaku di LSM yang mempekerjakan mereka.
sebagian sudah diadopsi dalam regulasi daerah Padahal, keberadaan mereka sangat penting,
tetapi ada juga regulasi yang berbeda dan tetap ketersediaan SDM yang handal di penyediaan
mengacu kebijakan pusat yang belum sepenuhnya layanan akan berimplikasi pada pelayanan yang
mencerminkan respons daerah. Formulasi kebijak­ optimal sehingga pemanfaatan layanan oleh LSL
an LSL masih mengacu dari ketersediaan data meningkat.
na­sional dan belum berbasis bukti daerah dan
Sub-sistem informasi strategis program LSL
sesuai dengan keperluan LSL. Terkait dengan akun­
belum disinkronkan dengan sistem informasi stra­
tabilitas regulasi belum ada mekanisme pertang­
te­gis pencegahan penyakit menular umumnya di
gung­ja­waban pelaksanaan program sebagai
wilayah penelitian. Koordinator sistem informasi
ben­tuk pertanggungjawaban kepada publik dalam
stra­tegis untuk pencegahan adalah KPAK. Informasi
pro­gram LSL. Hal ini berimplikasi pada upaya
stra­tegis yang terkait dengan perawatan dan
pe­nyediaan kesehatan untuk LSL di daerah yang
pe­­ngobatan dikoordinasi oleh Dinas Kesehatan,
be­lum terintegrasi sepenuhnya dengan upaya ke­
se­­dangkan LSM juga mengembangkan sistem in­for­
sehatan umum.
ma­si untuk kepentingan program lembaganya yang
Sub-sistem pembiayaan program LSL berbeda di­sampaikan pada donor programnya. Pe­ne­litian ini
dengan pembiayaan upaya kesehatan umum. menemukan bahwa sistem informasi pro­gram LSL
Pembiayaan untuk materi pencegahan secara tidak sinkron antara para pemilik data, sehing­ga
vertikal yang dikelola oleh KPAN. Pembiayaan sulit mencari data baku sebagai acuan un­­tuk meng­
untuk pengobatan LSL mengikuti mekanisme hitung efektifitas program LSL di wilayah penelitian.
pembayaran yang paralel dengan mekanisme
Selanjutnya, partisipasi LSL dalam program
pembayaran penyakit umum. Hal ini memengaruhi
114 pemanfaatan penggunaan layanan yang ada.
LSL terintegrasi sebagian namun jika diperluas ke
masyarakat umum sub-sistem partisipasi masya­ra­
Artinya upaya kesehatan yang tersedia untuk LSL
kat cenderung tidak terintegrasi. Keterlibatan LSL
masih dalam bentuk projek yang pembiayaannya
dalam program cenderung ekslusif yang mem­
berbeda dengan pembiayaan penyakit menular
ba­tasi diri pada kegiatan advokasi layanan yang
umumnya. Pendanaan yang tersedia masih dalam
dibutuhkan dan melaksanakan program yang
bentuk pendanaan program yang disediakan oleh
di­danai MPI. Sebagai pemangku kepentingan yang
MPI karena dana dari APBD terbatas. Keterbatasan
stra­tegis maka LSL seharusnya terlibat aktif dalam
dana APBD untuk program LSL karena fokus
peren­canaan dan pelaksanaan serta pemanfaatan
anggaran kesehatan lebih banyak pada aspek
hasil monev. Penelitian ini menemukan bahwa
kuratif, sedangkan program LSL lebih cenderung ke
belum ada mekanisme yang pasti untuk melibatkan
preventif. Kecukupan dana adalah hal yang sangat
LSL dalam perencanaan, pelaksanaan dan
penting untuk meningkatkan cakupan program,
pemanfaatan hasil monev di wilayah penelitian.
terbatasnya dana untuk penjangkauan berimplikasi
pada efektifitas pelaksanaan program LSL. Upaya kesehatan terintegrasi sebagian ke
dalam sistem pencegahan penyakit menular
Sub-sistem SDM program LSL tidak terintegrasi
umumnya. Layanan untuk LSL tersedia di fasilitas
dengan SDM pencegahan penyakit menular
layanan umum. Untuk perawatan dan pengobatan
umumnya di wilayah penelitian. SDM non-
sistem rujukan di kalangan LSL sama dengan
kesehatan program LSL berbeda dengan SDM
rujukan layanan kesehatan umumnya. Dimensi
kesehatan umum dan memerlukan regulasi jelas
rujukan dan koordinasi program LSL terintegrasi
sebagai acuan untuk merekrut SDM non-kesehatan
penuh dengan sistem rujukan yang ada pada
program LSL, memberikan gaji dan insentifnya dan
pencegahan penyakit menular lainnya. Sedangkan
juga peningkatan kompetensi mereka. Walau SDM
jaminan kualitas program LSL berbeda dengan
non-kesehatan program LSL di tingkat lapangan
jaminan kualitas pencegahan penyakit menular
sangat menentukan keberhasilan program, regulasi
umumnya. Peran MPI dalam jaminan kualitas
teknis untuk memenuhi kebutuhan tenaga lapangan
program masih tinggi.
Studi Kasus

F. Faktor-faktor yang layanan yang mendorong agar populasi dapat


mengakses layananan yang dibutuhkan.
Memengaruhi Integrasi Penerimaan pemerintah daerah terhadap program
terhadap Efektifitas Program LSL baru ditunjukan dengan penyediaan layanan
yang terkait dengan layanan kesehatan dasar,
Mengacu kerangka kerja penelitian ini yang sedangkan layanan alat dan material pencegahan
dikembangkan berdasarkan Atun, et.al (2010) seperti kondom dan pelicin masih banyak
maka faktor konteks berkontribusi terhadap adopsi disediakan oleh pusat dengan dana MPI.
program LSL di kedua wilayah penelitian. Faktor
konteks yang diidentifikasi berpengaruh terhadap Kedua, penganggaran pembiayaan program
integrasi adalah faktor komitmen pemerintah LSL belum dilandaskan penilaian kebutuhan
daerah hanya sebatas regulasi, namun penyediaan preventif program LSL, tetapi lebih mengacu pada
anggaran masih rendah dan masih terdapat aturan pengobatan dan perawatan. Dinas kesehatan
yang belum mendukung program LSL. Selain sebagai leading sector bidang kesehatan
itu, program LSL yang melibatkan multi pihak merencanakan program LSL dari sisi keperluan
belum mencerminkan adanya peran pemangku pengobatan dan perawatan, tetapi belum optimal
kepentingan program AIDS yang menunjukkan dalam upaya pencegahan. Fungsi KPAK dalam
kapasitas untuk memengaruhi penerimaan atau memobilisasi sumber daya dan sumber dana yang
adopsi program LSL dalam pembangunan sektor ada selama ini hanya menekankan pada APBD
kesehatan di lokasi penelitian. Akibatnya, tingkat saja, untuk dana di luar APBD perencananan,
integrasi program LSL ke dalam sistem kesehatan peruntukan dan distribusinya masih menjadi
rendah dan hanya dimensi penyediaan layanan wewenang pemerintah pusat.
dan dimensi sistem rujukan dan koordinasi yang Ketiga, hukum dan peraturan yang
terintegrasi penuh dengan sistem kesehatan. terkait penanggulangan HIV dan AIDS belum 115
Lima dimensi terintegrasi sebagian yakni dimensi; mencerminkan bahwa program LSL terintegrasi
1) regulasi, 2) kebijakan dan manajemen SDM, ke dalam sistem pencegahan penyakit menular
3) pengelolaan sumber pembiayaan, 4) regulasi umumnya di wilayah penelitian. Hukum dan
penyediaan, penyimpanan, diagnostik dan terapi, peraturan yang ada masih menekankan pada
dan 5) partisipasi masyarakat. Jika dilihat per upaya penanggulangan HIV dan AIDS secara
sub-sistem maka hanya upaya penanggulangan umum, tetapi belum ada aturan operasional untuk
kesehatan dan partisipasi masyarakat yang program LSL. Ada aturan pencegahan melalui
terintegrasi sebagian. transmisi seksual dengan penggunaan kondom
Dari gambaran ini, teridentifikasi beberapa dalam perda, tetapi untuk program LSL acuannya
faktor yang terkait konteks dan sistem kesehatan masih berpegang pada aturan pusat yang
yang menyebabkan rendahnya tingkat dikeluarkan KPAN atau aturan yang disepakati
integrasi di program LSL. Pertama, komitmen antara LSM dan MPI. Selanjutnya, aturan dalam
pemerintah daerah terhadap bidang kesehatan JKN tidak mencakup material pencegahan
dalam pencegahan penyakit menular belum penularan HIV pada kelompok populasi kunci
mencerminkan bahwa pemerintah daerah termasuk LSL, seperti kondom dan pelicin tidak
mengadopsi program LSL. Hal ini terlihat dari masuk dalam skema JKN. Selain itu, adopsi
penerimaan pemerintah daerah hanya pada program LSL di daerah menghadapi kendala
tingkat regulasi dan penyediaan sumber dana karena penerbitan aturan yang terkait moral.
dan sumber daya yang kecil. Sebagai contoh, Kendala ini juga dipengaruhi oleh peran pemangku
investasi untuk petugas lapangan hanya satu PL di kepentingan yang punya kekuasaan tinggi namun
Denpasar dengan insentif di bawah upah minimum kepentingannya rendah dalam PMTS seperti
pekerja di Denpasar. Selanjutnya, belum adanya keberadaan MMDP di Denpasar.
inovasi pemerintah daerah untuk meningkatkan Keempat, permasalahan kesehatan yang tekait
kompetensi SDM dan pengadaan anggaran dengan perilaku belum diadopsi pemerintah daerah
yang mencukupi serta mekanisme pembayaran dalam perencanan pembangunan kesehatan.
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Program LSL adalah program yang berkaitan perilaku LSL dianggap sebagai perilaku yang
erat dengan perilaku yang permasalahannya bertentangan dengan norma nilai dan istiadat.
melibatkan multi pihak, sehingga lembaga yang Masyarakat tidak mendukung kegiatan yang
diamanatkan untuk memobilisasi sumber daya bertentangan dengan nilai, sehingga programnya
dan sumber dana adalah KPAK. Kenyataannya, tidak akan pernah mendapat legitimasi dukungan
dalam mekanisme yang ada KPAD melakukan kelompok yang afiliasi dengan nilai, norma dan
perencanaan yang berbeda dengan perencanaan adat istiadat. Contohnya, penutupan lokasi dolly
bidang kesehatan, tidak ada Musrenbang yang di Surabaya mendapat dukungan dari masyarakat
dilakukan oleh KPAK sehingga tidak ada sistem karena didukung oleh nilai yang dianut masyarakat,
yang memungkinkan KPAK untuk ikut dalam tetapi kampanye kondom menjadi hal yang
Musrenbang. Berbagai perencanaan pengusulan sangat ditentang masyarakat. Kondisi ini menjadi
anggaran yang ada di KPAK berbeda dengan tantangan terbesar dalam pelaksanaan program
mekanime pengusulan anggaran di dinas LSL sehingga berpengaruh terhadap partisipasi
kesehatan. Selain itu, penganggaran program masyarakat dan efektivitas program pencegahan
pencegahan di KPAK masih didominasi oleh HIV dan AIDS di kelompok LSL.
perencanaan dari pusat. Pembentukan Pokja
LSL yang ada di KPAK lebih didorong oleh
kebijakan KPAN, sehingga adanya Pokja LSL
lebih mencerminkan pemenuhan administrarif KPA
G. Efektifitas Program LSL
dibandingkan dengan kebutuhan langsung program 1) Kualitas layanan dari persepsi
LSL di daerah. pemanfaat
Kelima, peran para aktor menunjukkan bahwa Program LSL tidak terintegrasi dalam sistem
aktor yang mempunyai kekuasaan tinggi belum kesehatan nasional, namun demikian dari
116 menunjukkan komitmennya yang tinggi juga persepsi populasi kunci program ini sangat
untuk mengadopsi program LSL. Ada dua aktor membantu mereka dalam memperoleh layanan
yang mempunyai kekuasaan tinggi tetapi pada berupa KIE, pemeriksaan IMS dan HIV, serta
kenyataannya mempunyai kepentingan rendah mendapatkan material pencegahan, kondom
dalam program LSL, yakni Bappeda dan MMDP dan pelicin. Informasi ini didapat melalui
di Bali. Bappeda mempunyai kekuasaan tinggi wawancara mendalam dengan LSL terkait
karena posisi birokrasi formalnya dalam penentuan dengan persepsi dan pengalaman mereka
perencanaan dan penganggaran, sedangkan tentang kenyamanan, kemudahan akses,
MMDP kekuasaannya tinggi karena faktor adat dan kualitas layanan dan pemanfaatan BPJS dalam
budaya yang bisa melegitimasi program LSL dalam mengakses layanan di fasyankes. Pengalaman
masyarakat. Selain itu, posisi LSM yang punya informan mengakses layanan bervariasi. Ada
kepentingan tinggi dan kekuasaan tinggi baru pada yang menyatakan layanan di puskesmas
batas mempertahankan keberadaannya, belum cukup memuaskan ada juga yang menyatakan
mampu melakukan perubahan mendasar untuk layanan di LSM lebih memuaskan daripada di
memaksa program program LSL menjadi bagian puskesmas. Salah satu informan menyatakan
dari upaya pencegahan penyakit umumnya. Peran ketidakpuasannya terhadap layanan yang
LSM LSL yang masih berkisar pada pendidikan diberikan di salah satu puskesmas di Denpasar,
dan penyediaan layanan pencegahan dan karena untuk mendapatkan hasil tesnya harus
belum bisa sebagai kelompok advokasi yang menunggu beberapa hari.
bermakna. LSM LSL belum mampu mendorong
“Cukup baik cukup ramah baik pokoknya puas
perubahan lingkungan yang signifikan, misalnya aja sama layanannya. Lama sih nunggunya [hasil
komunitas belum mampu mengadvokasi kelompok test] berapa hari ya waktu itu seminggu lebih
yang kontra terhadap keberadaan LSL seperti ada sekitar dua mingguan mungkin bisa. Kalau
perkumpulan masyarakat adat di Bali. Akibatnya, masalah menunggu ngantrinya memang diharuskan
mengantri” (wawancara mendalam LSL, Denpasar,
program pencegahan pada LSL masih banyak
September 2015).
mendapat tentangan dari masyarakat karena
Studi Kasus

Namun demikian, ada juga pengalaman LSL Walaupun menurut LSL layanan sudah bagus
yang kurang puas dengan layanan yang namun beberapa hal yang perlu diperhatikan
diberikan oleh dokter, seperti yang dinyatakan dalam upaya peningkatan akses dan
oleh informan berikut; pemanfaatan layanan adalah terkait dengan
“…… kalau pemeriksaan dari dokternya sih kadang-
waktu layanan yang disediakan seperti
kadang saya, ada juga yang menjengkelkan, ada lamanya antri.
juga yang baik hati..macem-macem karakter orang.
“Kalo menurut saya sih jamnya aja kali ya, jam aja.
Tapi kalau pelayanan di pengambilan obat, di
Kalo untuk masalah hasil, saya sih ga masalah
pertama kita penerimaan pasien itu, dia sih baik-baik
nunggu hasilnya sampe selesai ga masalh, toh
semua, malah dia menyarankan gimana-gimana itu,
juga nanti dikasi kabar gitu kan, tapi masalah jam
kadang-kadang menanyakan gimana obatnya rutin
aja sih, ….kadang mereka schedule nya apa jadwal
diminum gitu. Tapi kalau dokternya sendiri, kadang-
kerjanya itu ga nentu, kalo mereka pas ada yang
kadang ada yang menjengkelkan gitu…. (Wawancara
pas kerja siang malem nih, pas kerja siang, mungkin
mendalam LSL Denpasar, 2015).
dia paginya bisa kesini, tapi yang rata-rata temen
saya kan kerjanya pagi kan ya, mereka yang banyak
kendalanya di situ, karena jam mereka pulang kerja
Sedangkan informasi terkait HIV dan layanan itu biasanya udah tutup, tapi dulu saya pernah sih tes
jam 8 malem, 2009 di sini.” (Wawancara mendalam
banyak didapatkan oleh LSL dari LSM daripada
LSL Denpasar, 2015)
di puskesmas, seperti yang disebutkan informan
berikut ini.
“….malah dapetnya dari sini [Gaya Nusantara) soalnya Dari sisi LSL sendiri, hambatan yang
kan di sini kan eee... i, selalu dikasih bimbingan
dikemukakan adalah tingginya ketergantungan
konseling, macam-macam penyakit, IMS, harphes,
selalu dikasih tau. ..kalok dari puskesmas cuma
LSL kepada petugas lapangan sehingga
ditanya keluhannya apa, waktu itu pernah Sivilis, mengaburkan peran dan fungsi PL. Selain itu,
tapi yaa ditangani itu doank, gak pernah dijelasin LSL masih takut mengakses layanan karena 117
yang lain” (Wawancara mendalam tim Peneliti Unair takut terungkap statusnya sebagai LSL.
dengan LSL Surabaya, 2015)
Terkait dengan pembayaran jasa layanan
yang diakses LSL masih terdapat komponen
layanan yang harus membayar sendiri

Tabel 21. Cakupan


Program LSL di Kota
Denpasar 2014 No Komponen Jumlah
Persentase
Cakupan

1 Mendapat Informasi 887 15 %

2 LSL mendapat Layanan Konseling 1026 17, 4 %


IMS

3 LSL lainya yang mendapat layanan 881 14 %

Sumber: KPA Kota Denpasar, 2014


Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Tabel 22. Cakupan dan


perubahan perilaku LSL di Kota
Surabaya berdasarkan IBBS
2007 dan 2011

Indikator 2007 2011

Cakupan Program

Dikontak oleh PL LSM dalam


36 25.5
tahun terakhir (%)

Mengunjungi klinik IMS atau


dokter untuk gejala IMS 26 14.6
dalam 3 bulan terakhir (%)

Frekuensi mendapatkan
kondom gratis 3 bulan 48 67.2
118 karena tidak ditanggung oleh JKN, berupa terakhir

Catatan: na = tidak ada data tersedia / Sumber : Kemenkes (IBBS 2007, 2011)
pembayaran administrasi dan serangkaian
Perubahan Perilaku
tes yang dilakukan sebelum ARV, seperti tes
CD4, kolesterol dan fungsi hati. Ada juga Selalu menggunakan
sumber dana dari komunitas yang bisa di akses kondom saat hubungan seks
31 38,5
ODHA,yakitu dari Bali Rainbow Community. anal dengan pelanggan laki-
laki dalam 1 minggu terakhir
“….. Bali Rainbow untuk orang-orang yang ODHA
tanggungannya. Kalau orang ODHA yang kita bawa Selalu menggunakan
kesana, dengan sakit apa, apapun, walaupun tidak kondom saat hubungan
terkait dengan status HIVnya, tapi ya kalaupun orang seks anal dengan laki-laki 14 na
gak ODHA kan gak mungkin kesitu.”.(wawancara yang dibayar dalam 1 bulan
mendalam LSL, Denpasar, 2015) terakhir

Selalu menggukan kondom


saat hubungan seks anal
2) Cakupan program dan perubahan dengan laki-laki tidak tetap 21 na
perilaku LSL dan non-komersial dalam 1
bulan terakhir
Selain gambaran di atas, untuk melihat
efektifitas program LSL dapat dilihat dari data Selalu menggunakan
sekunder terkait dengan cakupan, perubahan kondom dalam hubungan
13, 6 na
perilaku dan prevalensi HIV di kalangan LSL seks anal insertif dalam
bulan terakhir
di lokasi penelitan. Berdasarkan estimasi
populasi kunci terdampak HIV dan AIDS 2012
dari Kemenkes, populasi LSL Kota Surabaya
sebanyak 4571 orang dan di Denpasar
sebanyak 5910 orang (Kemenkes, 2014).
Studi Kasus

Penelitian mengukur data cakupan dan menggambarkan mekanismenya. Mekanisme


perubahan perilaku untuk menunjukkan integrasi intervensi spesifik bisa berjalan jika
efektivitas kinerja program LSL. Sumber data fungsi kritis sistem kesehatan berjalan dengan
yang digunakan untuk menunjukkan cakupan baik (Atun, et.al., 2010 dan Coker, et. al., 2010), di
program dan perubahan perilaku adalah data mana mekanismenya terjadi melalui pengaturan
dari IBBS tahun 2007 dan 2011. Sayangnya, atau adopsi pada tata kelola, pembiayaan,
IBBS yang dikeluarkan oleh Kemenkes ini tidak perencanaan, pemberian layanan, monitoring
menyediakan data Kota Denpasar karena evaluasi serta demand generation. Dalam penelitian
tidak termasuk wilayah survei. Untuk melihat ini, kontribusi integrasi terhadap efektifitas program
cakupan program di Denpasar maka digunakan LSL ditentukan oleh bekerjanya mekanisme pada
data cakupan program dari KPA Kota Denpasar. masing-masing fungsi sistem kesehatan nasional,
Gambaran rinci cakupan program dan yakni regulasi dan manajemen, pembiayaan,
perubahan perilaku program LSL di Denpasar sumber daya manusia, farmasi dan alat kesehatan,
dan Surabaya terlihat pada tabel 21 dan tabel partisipasi masyarakat yang akan berpengaruh
22. Di Surabaya, indikator prevalensi dan pada upaya kesehatan dan pada akhirnya akan
perubahan perilaku pada LSL digunakan data mempengaruhi kinerja penyediaan layanan untuk
IBBS 2007 dan 2011 sebagaimana terlihat pada LSL, seperti yang digambarkan dalam kerangka
tabel 22. konseptual pada bagian sebelumnya. Penelitian ini
menunjukkan bahwa program LSL adalah program
Gambaran di atas menunjukkan efektifitas
vertikal yang tidak terintegrasi ke dalam sistem
program rendah di wilayah penelitian. Di
kesehatan dengan efektifitas program rendah di
Surabaya cakupan progam mulai dari dikontak
wilayah penelitian.
oleh petugas hanya 36% (2007) dan 25%
(2011) dan perubahan perilaku berupa selalu Beberapa keterbatasan program LSL sebagai
menggunakan kondom saat hubungan seks program vertikal yang dikelola dengan manajemen 119
anal dengan pelanggan laki-laki dalam 1 projek adalah keterbatasan sumber daya dan
minggu terakhir hanya 31% (2007) dan 38,5% sumber dana untuk mencapai target yang tinggi
(2012). Di Denpasar tidak ada data terkait yang ditentukan oleh pusat (KPAN dan Kemenkes)
perubahan perilaku, tetapi dari sisi cakupan dan permasalahan LSL yang kompleks di wilayah
berdasarkan data dari KPA Kota Denpasar penelitian. Aktor daerah seperi, KPAK, Dinkes
masih rendah, yakni LSL yang mendapatkan dan LSM LSL adalah pelaksana projek dengan
informasi sebesar 15 %, mendapat layanan target dan pembiayaan yang sudah ditentukan.
konseling IMS 17,4%, dan LSL yang mendapat Kecukupan dana yang tersedia hanya pada
layanan 14%. Kinerja program LSL ini masih di kebutuhan projek yang ditentukan pusat. Dana
bawah target yang ditentukan SRAN 2010 -2014 dari APBD untuk program LSL sangat terbatas
yang menargetkan pada tahun 2011 cakupan dengan menyediakan dana untuk gaji petugas
program LSL sebesar 45% dan tahun 2014 lapangan. Dari segi kecukupan pembiayaannya
adalah 80 %. Untuk perubahan perilaku, target belum mencukupi kebutuhan untuk mencapai target
nasional adalah 60% dari LSL yang dicakup cakupan dan perubahan perilaku yang diharapkan
program melakukan perubahan perilaku. di wilayah penelitian. Selain itu, ketersedian dan
kecukupan dana mempengaruhi ketercukupan
kemerataan, dan kapasitas SDM progam LSL di
G. Hubungan Tingkat Integrasi wilayah penelitian. Pembiayaan yang bersumber
dari MPI diperuntukan untuk mendukukung kegiatan
dengan Kinerja Program LSL dan aktivitas yang sudah direncananakan MPI
termasuk untuk pembiayaan SDMnya. Kontribusi
Dalam penelitian ini, konsep untuk mengetahui
pemerintah daerah untuk menyediakan SDM
bagaimana pengaruh integrasi program LSL ke
program LSL sangat terbatas karena minimnya
dalam sistem kesehatan terhadap efektifitas
ketersediaan anggaran untuk program pencegahan
program LSL dapat dijelaskan dengan
HIV dan AIDS. Sehingga ketercukupan SDM
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

dengan segala keterampilan dan kapasitas yang perencanaan program, penentuan target dan
dibutuhkan tidak mencerminkan kebutuhan SDM di cakupan yang telah dicapai.
wilayah penelitian.
Partisipasi komunitas LSL dalam program LSL
SDM yang selama ini banyak di danai oleh tinggi yang dibuktikan dengan adanya LSM LSL
MPI adalah SDM pada manajerial projek di LSM sehingga dapat mendesak pemangku kepentingan
LSL, tenaga lapangan di LSM LSL dan juga SDM untuk menyediakan layanan LSL di wilayan
di sekretariat KPAD yang tidak didanai APBD. penelitian, seperti puskesmas ramah LSL yang ada
Mengacu kepada kebutuhan SDM menurut KPAN di wilayah penelitian Hal ini berkontribusi positif
dalam SRAN 2010 -2014 ada beberapa SDM terhadap upaya kesehatan di daerah berupa
yang diperlukan dalam program pencegahan penyediaan fasilitas layanan untuk LSL di fasiliatas
termasuk dalam program LSL, yakitu MK dan PL layanan yang sudah ada, seperti di puskesmas
dan kader karena fungsinya dapat memberikan dan rumah sakit. Keterlibatan komunitas LSL juga
dukungan sosial dan membantu dalam sistem mendorong pemanfaatan layanan yang optimal
rujukan pemanfaatan layanan. SDM ini memerlukan dalam bentuk sistem rujukan dari LSM ke fasilitas
keterampilan tertentu, bahkan untuk tenaga layanan.
penjangkau preferensinya adalah dari kalangan
LSL sendiri. Hanya saja ketersediaan SDM belum
didukung oleh regulasi dan pembiayaan yang
memadai dari pemerintah sehingga keberlanjutan
untuk SDM ini belum terjamin.

Dari sisi penyediaan farmasi dan alkes, dalam


program LSL pengadaan kondom dan pelicin
120 memakai mekanisme adminsitratif dan pembiayaan
dari pusat di bawah kontrol KPAN. Selama material
pencegahan masih disediakan oleh program
maka tidak ada masalah bagi klien dalam
mengaksesnya. Namun karena disediakan oleh
program, maka keberlanjutan penyediaan materi
pencegahan tidak bisa dipastikan. Saat ini, belum
ada upaya pemerintah daerah untuk menyediakan
pembiayaan material pencegahan yang bersumber
dari dana lokal (APBD atau sumber lainnya di
daerah).

Informasi strategis pada program LSL dikelola


secara vertikal, dalam artian pelaporan, monitoring
dan evaluasi program dan kegiatannya dilakukan
secara terpusat oleh pemerintah pusat dan MPI.
MPI memiliki kepentingan yang besar terhadap
data yang terkait dengan program LSL di wilayah
penelitian seperti laporan pendistribusian
kondom dan pelicin, KIE yang diberikan pada
dampingan. Informasi ini dimanfaatkan sebagai
basis perencanaan program LSL di wilayah
penelitian. Mekanisme ini, menyebabkan tidak
sinkronnya informasi terkait program LSL dengan
sistem informasi HIV dan AIDS di daerah. Kondisi
ini berpengaruh terhadap kinerja program LSL,
Studi Kasus

04.
Studi Kasus: Layanan Link To Care dan Tes HIV

A. Gambaran Layanan Link To fasilitas layanan KTS yaitu Puskesmas Sanggeng,


Puskesmas Amban, Puskesmas Maripi, Puskesmas
Care dan Tes HIV Pasir Putih, Puskesmas Masni dan Puskesmas
Upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Wosi. Dimana untuk layanan KTS tersedia sejumlah
Manokwari meliputi layanan pencegahan, petugas kesehatan yang bertanggungjawab
pengobatan, dukungan dan perawatan (PDP) serta mengelola pelayanan. Jumlah petugas di setiap
mitigasi dampak. Upaya ini dilakukan bersama puskesmas bervariatif antara 5 – 10 orang petugas,
dengan berbagai pemangku kepentingan terkait, tergantung kemampuan dan jumlah Sumber
baik dari pemerintah maupun non pemerintah, di Daya Manusia (SDM) yang tersedia di puskesmas
bawah koordinasi Komisi Penanggulangan AIDS tersebut. Selain secara sukarela, layanan tes HIV
(KPA) Kabupaten Manokwari. Terkait layanan PDP, juga ditawarkan oleh petugas kepada setiap pasien
yang mengakses layanan di fasilitas layanan 121
dalam pelaksanaannya menjadi tanggung jawab
Dinas Kesehatan yang bekerjasama dengan kesehatan dengan melihat riwayat kesehatan
Rumah Sakit Umum Kabupaten Manokwari. pasien atau disebut konseling atas inisiatif petugas
Layanan ini meliputi upaya dalam menemukan kesehatan (KTIP). Dengan kombinasi kedua
pasien HIV secara dini dengan melakukan tes dan metode ini telah meningkatkan jumlah orang yang
konseling HIV pada pasien yang datang ke fasilitas melakukan tes HIV.
pelayanan kesehatan, untuk selanjutnya mendapat Layanan tes HIV di puskesmas dimulai dari
pengobatan, dukungan dan perawatan yang penjaringan pasien yang dilakukan di setiap poli
terintegrasi dan berkesinambungan. yang ada di puskesmas baik itu poli umum, KIA,
Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) poli gigi dan pemeriksaan kehamilan oleh setiap
meliputi penguatan dan pengembangan layanan petugas di puskesmas. Khusus untuk pemeriksaan
kesehatan, pencegahan dan pengobatan infeksi ibu hamil, tes HIV wajib dilakukan oleh setiap ibu
opor­tunistik, pengobatan antiretroviral dan du­kung­ hamil dalam pemeriksaan kehamilan. Setelah di
an serta pendidikan dan pelatihan bagi ODHA. konseling, jika pasien bersedia untuk menjalani tes
Program PDP terutama ditujukan untuk menurunkan HIV, maka dapat langsung dilakukan pemeriksaan
angka kesakitan dan rawat inap, angka kema­ti­an di puskesmas. Berikut kutipan wawancaranya :
yang berhubungan dengan AIDS, dan me­ning­ “Pemeriksaan awal itu, itu kita sebut dengan apa PITC
katkan kualitas hidup orang terinfeksi HIV. Pen­ca­ ya PITC atau biasanya, bahasa indonesianya KTIP ya..
pai­an tujuan tersebut dapat dilakukan antara lain kemudian,.. apa penjaringan diawali dari semua titik pintu
puskesmas; mulai dari Poli umum, kemudian TB, IMS, GIGI,
dengan pemberian terapi antiretroviral (ARV).
e…P2M, ada disitu kusta,,,ya,,,disitu juga malaria, juga
Layanan tes HIV secara sukarela dengan dengan apa? ibu hamil. kita lakukan penjaringan di semua
titik itu…. Kemudian pemeriksaannya tentu di Puskesmas
Konseling Test Sukarela (KTS) sudah tersedia
Amban, karena sampel darah diambil langsung di periksa
di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Hingga di Laboratorium puskesmas, seperti itu” (wawancara
tahun 2015, Dinas Kesehatan Kab. Manokwari dengan Kepala Puskesmas Amban)
telah mengembangkan 6 puskesmas dengan
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Selain di fasilitas layanan kesehatan, penja­ring­ rujukan ke rumah sakit. Sebelum pemberian obat
an juga dilakukan baik oleh puskesmas maupun ARV, pasien harus menjalani sejumlah pemeriksaan
LSM dengan mobile VCT (Voluntary Counseling & kesehatan untuk mengetahui kondisi medis dan
Test) untuk menjangkau populasi kunci di tempat- apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk
tem­­pat yang menjadi hot spot populasi kunci masuk dalam ARV ataukah belum. Jika pasien
ter­se­­but. Untuk kelompok WPS di lokasi tes HIV sudah memenuhi syarat untuk lanjut pada pengo­
di­la­kukan secara rutin tiap empat bulan sekali bat­an ARV, maka akan diberikan konseling persi­
oleh puskesmas yang dekat dengan lokasi. Berikut apan untuk memastikan kesiapan pasien dalam
ku­­tipan wawancara dengan salah satu populasi menjalani pengobatan ARV dan edukasi tentang
bere­siko. manfaat dan efek samping obat serta kepatuhan
“hmm..gak banyak gak bisa di hitung sebetulnya, kalau
minum obat, mengingat keberhasilan pengobatan
kesehatan itu setiap bulan rutin terus setiap 2 bulan sekali sangat bergantung pada kepatuhan minum obat.
di forek terus minimal setiap 4 bulan sekali di vct .itu dari
puskesmas Maripi yang melayani” (Wawancara dengan Jenis pengobatan disesuaikan dengan kondisi
kelompok populasi kunci WPS di lokasi) pasien dan jenis infeksi oportunistik yang dialami
oleh pasien. Pada tahap awal pengobatan,
pasien akan didampingi oleh petugas kesehatan,
Upaya penjangkauan pada populasi umum untuk memantau dan mengevaluasi pengobatan
juga dilakukan melalui penyuluhan dan sosial­ pada tahap awal. Jika pasien sudah stabil, maka
isasi tentang HIV dan AIDS baik di kelompok pengobatan dapat dilakukan oleh puskesmas
ma­sya­rakat, komunitas sekolah dan keagamaan ataupun langsung ke rumah sakit. Selanjutnya
melalui pokja penanggulangan HIV dan AIDS keberlangsungan pengobatan menjadi tanggung
yang telah terbentuk dan dikoordinir oleh KPA jawab masing-masing petugas kesehatan baik di
Kabu­paten Manokwari. Berdasarkan Peraturan puskesmas maupun di rumah sakit. Sampai tahun
122 2015 diketahui sebanyak 7 puskesmas dan 2 rumah
Peme­rintah (PP) No. 20 tahun 2007 menjelaskan
ten­tang keanggotaan dari Pokja penanggulangan sakit yang telah menyediakan layanan tes HIV.
HIV dan AIDS tingkat Kabupaten Manokwari ter­
Berdasarkan hasil penelitian pertama, dike­ta­
di­ri atas instansi dan SKPD terkait seperti Dinas
hui akses terhadap ARV di Provinsi Papua ma­sih
Ke­sehatan, Dinas Sosial, Pemberdayaan Anak &
rendah yaitu hanya mencapai 37,6 persen dari
Perempuan, Dinas Nakertrans, Kepolisian dan Dinas
target 80 persen di tahun 2012, padahal pengo­bat­
Perhubungan, Dinas Pariwisata dan sektor swasta
an ARV dilakukan secara gratis. Beberapa faktor
yang berada di bawah koordinasi dari KPAD. Berikut
yang menyebabkan akses terhadap ARV rendah
kutipan wawancaranya:
ada­lah kurangnya kesadaran diri ODHA untuk taat
“kita bisa lihat berdasarkan PP no.20 2007 itukan semua kepada aturan konsumsi ARV sehingga melibatkan
yang termasuk dalam anggota KPA, itulah adalah semua petugas kesehatan melakukan fungsi kontrol dan
instansi atau SKPD-SKPD yang ada,,,e,,,misalnya kalau
pengawasan serta pendampingan yang terus me­
di dinas kesehatan, pemberdayaan perempuan dan juga
ketenagakerjaannya,jadi semua yang termasuk dalam ne­rus kepada ODHA. Jarak jangkauan akses ARV
anggota-anggota KPA itu e..ada beberapa SKPD dan juga yang jauh bahkan antar kabupaten. Beberapa
termasuk disitu dari pihak kepolisian, perhubungan dan ODHA bertempat tinggal di kabupaten yang ber­
sebagainya. Jadi semua itu adalah anggota KPA berjalan be­da sehingga membutuhkan biaya transportasi
e sesuai dengan tupoksinya masing-masing” (Wawancara
yang relatif mahal serta stigma di masyarakat yang
dengan petugas KPAD)
menyebabkan ODHA takut membuka statusnya
dan mengakses ARV secara interpersonal dengan
Selanjutnya berdasarkan hasil tes, jika negatif pe­tugas ARV atau orang yang menjangkaunya.
maka akan diberikan edukasi dan penyuluhan Se­dangkan tidak tersedia dana untuk membantu
un­tuk menjaga kesehatan dan pencegahan dari trans­portasi ODHA, karena insentif berupa uang
perilaku beresiko, sedangkan untuk yang hasil trans­port yang bersumber dari dana Otsus hanya
tesnya positif akan ditindaklanjuti dengan konseling dibe­rikan kepada petugas puskesmas yang
lanjutan dan persiapan inisiasi ARV dengan sistem melakukan pelayanan.
Studi Kasus

B. Deskripsi Fungsi Sistem Perda Kabupaten Manokwari No 6 Tahun


2006 yang mengatur tentang pencegahan
Kesehatan dalam Layanan Tes penanggulangan HIV dan AIDS serta IMS.
HIV dan Link to Care HIV Dalam perda dijelaskan bahwa kebijakan
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS
1) Manajemen dan regulasi dan IMS perlu dilaksanakan secara terpadu
a. Regulasi melalui upaya peningkatan perilaku hidup sehat
untuk mencegah penularan, dan pemberian
Rencana Strategis (Renstra) Dinas Kesehatan pengobatan, perawatan, dukungan.
Tahun 2011 – 2016 telah berjalan sesuai dengan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) Kabupaten Manokwari. Prioritas b. Formulasi kebijakan
masalah kesehatan menurut Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Manokari antara lain Proses perencanaan dan penganggaran
menurunkan angka kesakitan dan kematian program kesehatan dimulai dari tingkat paling
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), dengan tetap bawah yaitu dari puskesmas, di mana setiap
memperhatikan pelayanan kesehatan, promosi akhir tahun diadakan pertemuan dengan
kesehatan dan pencegahan penyakit, termasuk kepala-kepala puskesmas dengan Dinas
HIV dan AIDS. Berikut kutipan wawancara Kesehatan Kabupaten untuk mengevaluasi
dengan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten. kegiatan yang telah berjalan dan sebagai
dasar menyusun perencanaan program untuk
“Baik prioritas utama untuk tahun 2015 ini, prioritas
tahun depan. Informan lainnya menjelaskan
utama kita memang kita mau menekan angka
kematian ibu dan anak ya, karna itu merupakan
bahwa perencanaan di tingkat puskesmas
indicator, indicator untuk derajat kesehatan dilakukan dengan menyusun perencanaan
Kabupaten Manokwari tanpa juga mengesampingkan program baik program wajib maupun program 123
seluruh program, baik layanan bidang pelayanan penunjang sesuai dengan kebutuhan dana
kesehatan, promosi kesehatan, dan juga pencegahan
kemudian diusulkan ke Dinkes. Data seperti
penyakit, selain imunisasi dan sebagainya”
(Wawancara dengan Kepala Dinas Kesehatan Kab. profil kesehatan, hasil surveilans, data
Manokwari) program kesehatan bermanfaat dalam
mendukung penyusunan perencanaan Dinkes
selalu tersedia sebagai bahan pendukung
Masuknya isu penanggulangan HIV dan AIDS perencanaan program kesehatan. Setelah
ke dalam Renstra dan RPJMD, secara oto­ penetapan program akan dikoordinasikan
matis dana penanggulangan HIV dan AIDS dengan BAPPEDA untuk disesuaikan dengan
pun tersedia dan bersumber dari Anggaran alokasi anggaran yang tersedia. Berikut kutipan
dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) wawancaranya:
Kabupaten Manokwari, walaupun tidak ada “penyusunan progam dilingkungan dinas kesehatan
program dan mata anggaran khusus HIV dan manokwari secara umum harusnya diawali dari e..
AIDS yang terdapat dalam APBD, namun dana monitoring dan evaluasi ditingkat pukesmas. Yang kita
penanggulangan HIV dan AIDS terintegrasi laksanakan tiap tahunnya kita undang para kepala
puskesmas untuk hadir di rapat pertemuan evaluasi
dengan program–program kesehatan lainnya e.. kegiatan tahun yang lalu dimanaevaluasi tersebut
baik yang ada di Dinas Kesehatan, KPAD akan kita gunakan sebagai dasar untuk penyusunan
maupun di SKPD lainnya yang terkait dalam di tahun berikutnya” (wawancara dengan Kabid PE
upaya penanggulangan HIV dan AIDS seperi Dinkes Kab. Manokwari)
Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan
Anak & KB.
Perencanaan program mengacu pada
Secara spesifik upaya pemerintah daerah Renstra di bidang kesehatan yang merupakan
dalam menanggulangi HIV dan AIDS khususnya penjabaran dari visi misi pimpinan daerah.
penyelenggaraan tes HIV diatur dalam Berdasarkan salah satu infroman menyatakan
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

bahwa perencanaan program kesehatan sudah kesehatan, mengingat sebagian besar usulan
mencerminkan kebutuhan masyarakat. dalam Musrenbang lebih menitikberatkan
kepada pembangunan fisik. Dalam Musrenbang
Terkait perencanaan dan penganggaran
pun hanya kepala-kepala distrik yang
program HIV dan AIDS, menurut salah satu
hadir, sebagai representatif masyarakat di
informan, program penanggulangan HIV dan
wilayahnya, sehingga keterlibatan langsung
AIDS masuk dalam program wajib puskesmas.
masyarakat dalam perencanaan pembangunan
Namun untuk layanan tes HIV, Dinkes dan
kesehatan masih terbatas. Berikut kutipan
puskesmas hanya menjalankan program
wawancaranya :
yang berasal dari Kementerian Kesehatan.
Puskesmas hanya membuat perencanaan “Musrenbang memang punya kontribusi tetapi
kan banyakan musrembang itu kan kegiatan yang
kebutuhan obat dan perbekalan farmasi
….khusus bidang kesehatan mereka kan banyak usul
untuk kebutuhan layanan. Layanan tes HIV itu fisik, (diam sejenak) fisik tidak bisa mengobati,
merupakan tanggungjawab Dinkes yang dalam tidak bisa mencegah orang mati, ya jadi kebanyakan
pelaksanaanya terintegrasi dengan program kalo kita musrembang itu asosiasi mereka minta
lainnya seperti KIA, promosi kesehatan, bangun ini…, bangun ini, bangun ini. Padahal program
kesehatan itu 50% itu non fisik.. kegiatan pelayanan.
kesehatan keluarga dan gizi. Dalam Berikut
Jadi, ya tapi dia punya kontribusi memang dan kita
kutipan wawancaranya: juga di dinas ada satu bab yang memang mendata,
“penyakit menular P2M jadi masuk disitu, jadi semua hasil musrembang, mendata hasil data kita, hasil
apa program primer kami harus utamakan dulu penyakit… baru kita klop kan sesuai dengan
termasuk HIV, kemudian semua masuk dalam rencana kemampuan keuangan daerah” (Wawancara dengan
usulan dengan sumber pendanaannya masuk disitu Kepala Dinas Kesehatan Kab.)
diisi didalam rencana usulan” (Wawancara dengan
Kapus Sanggeng)
124 Sedangkan keterlibatan populasi kunci dalam
perencanaan dan monitoring dan evaluasi
Kementerian Kesehatan dalam program (Monev) terkait dengan program HIV dan AIDS
link to care HIV berperan dalam menjamin pun masih terbatas. Mereka lebih banyak
ketersediaan obat ARV di daerah. Namun terlibat sebagai partisipan dalam kegiatan
perlu ditingkatkan komunikasi dan koordinasi yang dilakukan oleh KPA. Masih adanya
pelaksanaannya di lapangan, baik itu stigma dan diskriminasi masyarakat tentang
puskesmas, rumah sakit dan Dinkes sehingga penyakit HIV dan AIDS sehingga keterlibatan
dapat terlaksana dengan baik. Sedangkan populasi kunci masih terbatas. Sampai saat ini,
KPA sendiri dalam menjalankan fungsi sebagai belum banyak terbentuk kelompok dukungan
koordinator masih lemah dalam berkoodinasi sebaya (KDS), hal ini karena ODHA yang masih
dengan instansi terkait dalam mengoptimalkan tertutup atau belum berani membuka statusnya
layanan link to care HIV sehingga lebih kepada keluarga dan masyarakat sehingga
menitikberatkan kepada Dinkes, puskesmas dan berdampak terhadap upaya mitigasi dampak
rumah sakit. oleh pemerintah daerah.

c. Akuntabilitas dan daya tanggap 2) Pembiayaan kesehatan


Perencanaan pembangunan kesehatan a. Pengelolaan sumber pembiayaan
juga melibatkan partisipasi masyarakat
umum melalui Musyawarah Perencanaan Sumber pembiayaan dan besaran dana untuk
Pembangunan (Musrenbang) yang dilakukan sektor kesehatan yang dikelola oleh Dinkes
bertahap di setiap distrik. Namun menurut tahun 2015 berdasarkan data sekunder
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari diantaranya bersumber dari APBD sebesar
hasil Musrenbang tidak banyak dimanfaatkan Rp 53.138.804.657 terdiri dana alokasi khusus
oleh Dinkes sebagai perencanaan program (DAK) dan dana otonomi khusus. Selain itu
Studi Kasus

ada juga dana dari Kementerian Kesehatan gulangan HIV dan AIDS seperi Dinas Sosial
berupa dana Tugas Pembantuan (TP) sebesar dan Pemberdayaan perempuan dan anak, di
Rp 20 milyar. Sedangkan dana Bantuan Ope­ ba­wah koordinasi KPA. Komisi Penanggulangan
ra­sional Kesehatan (BOK) dan dana Badan AIDS (KPA) memiliki sumber dana paling besar
Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) lang­ yang berasal dari APBD untuk tahun 2015
sung diberikan kepada puskesmas. Pengelolaan sebe­sar Rp 350 Juta. Sedangkan di Dinkes,
ang­garan di puskesmas berdasarkan sumber dana penanggulangan program HIV dan AIDS
pembiayaan, jika ada program yang sudah di men­jadi bagian dari dana pencegahan dan
danai oleh APBD maka tidak boleh lagi masuk penanggulangan penyakit menular (P2M) yang
dalam pendanaan BOK, agar tidak terjadi besaran dananya Rp 1.221.445.000, namun
tum­pang tindih anggaran. Berikut kutipan menurut salah satu informan yang menyebutkan
wawancaranya : bahwa dari 11 program yang ditangani bidang
“iya kalau sebenarnya semua untuk program cuman
P2M, penyakit Tuberkulosis Paru, HIV dan
bagaimana karena tidak mencakup 1 bidang jadi AIDS yang memiliki proporsi anggaran yang
mana yang bisa di tangani APBD kita tidak boleh lagi lebih besar dibanding lainnya. Berikut kutipan
tangani di BOK, apa yang di tangani BPJS jadi kita wawancaranya :
tidak boleh pendobelan pembayaran pendanaan,
satu contoh ada lagi dari dinas di subsidi sini “kalau dari 11 program itu porsi terbesar HIV sama TB
pendataan kontak pasien tb atau hiv nah itu kami paru yang paling besar”(Wawancara dengan Kabid
tidak bisa lagi cuman kami pindahkan di dana kusus P2M Dinkes kab.)
obat jadi HIV dengan kusta TB ada 7 obat nah dari
situ saya mendanai transportasi anggota untuk
cek antar obat karena begini bu celaka kita tidak
Setiap penggunaan anggaran akan dicatat
menemukan penderita hiv aids tb kusta lebih celaka
kalau putus obat jadi lebih parah hukuman dosanya dan dilaporkan melalui bendahara secara
lebih besar kalau ada yang putus obat”(Wawancara rutin. Sampai saat ini berdasarkan informasi 125
dengan Kapus Pasir Putih) belum ada dana dari masyarakat untuk upaya
penanggulangan HIV dan AIDS. Berkaitan
dengan kecukupan dana program link to care
Selain Dinkes, pembiayaan kesehatan juga HIV, sebagian besar informan yang merupakan
dialokasikan kepada Rumah Sakit Daerah, petugas puskesmas menyatakan dana tidak
untuk tahun 2015 besaran anggaran kepada cukup, khususnya untuk pendampingan pasien
rumah sakit sebesar Rp 35.011.212.169 yang yang telah dinyatakan positif HIV. Setelah
berasal dari APBD. Sedangkan bantuan melakukan tes HIV di puskesmas jika hasil
dari lembaga donor diantaranya GF, CHAI, tesnya positif, maka pasien akan dirujuk ke
UNICEF, Compact AIPD yang sebagian besar rumah sakit dan didampingi oleh petugas
tidak dalam bentuk dana namun bantuan puskesmas untuk persiapan inisiasi ARV.
program untuk peningkatan kapasitas yang
dikelola langsung oleh lembaga donor. Setiap
sumber dana yang dikelola baik oleh rumah b. Penganggaran, proporsi, distribusi dan
sakit, Dinkes dan Puskesmas disesuikan pengeluaran
dengan rencana pengelolaan keuangan yang
Proporsi anggaran di bidang kesehatan yang
tertuang dalam DPA dan telah disahkan oleh
berasal dari APBD untuk Dinkes sebesar Rp
DPR. Walaupun mengelola banyak sumber
53.138.804.657 lebih besar dari target yang
dana, sebagian besar informan mengeluhkan
ditetapkan yaitu sebesar Rp 51.400.441.172, jadi
masih kekurangan dana, sehingga dilakukan
realisasi anggaran untuk Dinkes melampaui
penentuan prioritas program.
target yaitu sebesar 103,38%. Pembiayaan yang
Sedangkan sumber dana untuk penanggulang­ bersumber dari APBD, proporsinya lebih banyak
an HIV dan AIDS cukup beragam dan tersebar untuk belanja tidak langsung, belanja pegawai,
di beberapa satuan kinerja perangkat dae­rah belanja perjalanan dinas dan lain sebagainya.
(SKPD) yang menjadi bagian pokja penang­ Sedangkan dana dari pusat, menurut salah
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

satu informan, sebagian besar diperuntukkan “kalau untuk sekarang kami yang lebih besar itu bok
untuk kegiatan fisik yang menunjang pelayanan bok itu 200 juta apbd 63 juta tiap tahun kalu bpjs
43 juta perbulan itu terdiri dari jasa dan bahan habis
kesehatan seperti pengadaan kendaraan
pakai jasanya 60 % dan bahan habis pakai 40% itu
opera­sio­nal untuk puskesmas keliling, ambulan sudah ada ketentuan ketentuan kesnya jadi kita tidak
dan pembangunan gedung puskesmas. Berikut boleh lewat dari situ”(wawancara dengan Kapus Pasir
kutipan wawancaranya : Putih)

“kalo alokasi dana yang dari pusat biasanya untuk Terkait proporsi anggaran APBD untuk
kegiatan kegiatan yang sifatnya fisik ya seperti penanggulangan HIV dan AIDS, berdasarkan
tahun yang lalu 2014 kita melaksanakan pengadaan
informan diketahui bahwa anggaran untuk
kendaraan oprasional puskesmas keliling, maupun
ambulans satu dipuskesmas sanggeng kemudian ada program HIV dan AIDS dari DAK dialokasikan
wosi prafi dan sebagainya untuk itu meeeremajakan untuk reagen dan obat-obatan terkait dengan
kendaraan yang sudah ada ya, kemudian untuk tahun infeksi oportunistik dari HIV. Selain pembelian
ini ada pembangunan fisik yang ada di puskesmas obat dan perbekalan farmasi terkait dengan
wosi dan puskesmas prafi” (Wawancara dengan
layanan tes HIV, juga kegiatan penyuluhan
Kabag PE Dinkes Kab. Manokwari)
dan penjaringan di masyarakat umum
seperti di sekolah, komunitas keagaamaan
dan melakukan mobile VCT yang dilakukan
Sedangkan berdasarkan proporsi anggaran,
terintegrasi dengan program promosi kesehatan
menurut Kepala Dinkes diketahui proporsi
dan posyandu. Berikut kutipan wawancaranya:
anggaran lebih besar pada program preventif
dan promotif, dibanding program kuratif. Berikut “Terus sumber dana DAK, khusus untuk pengadaan
kutipan wawancaranya : reagen dan sebagainya.., obat-obatannya dan seba­
gai­nya. Karena kita ada MOU dengan dinas provinsi
126
“Ya, jadi kalau kuratif itu kecil. Yang besar itu yang berdasarkan Peraturan Mentri kesehatan bahwa 70%
preventif, imunisasi itu semua puskesmas kita biaya untuk operasional dan obat dan juga habis
tanggung. Baru promosi kesehatan, promkes itu pakai” (Wawancara dengan Kadinkes Kab Manokwari)
ya promkes itu mungkin sekitar 20%, preventifnya
mungkin sekitar 50% ya, apa sama, baru preventif ini
tidak hanya dikerjakan oleh pencegahan penyakit,
imunisasi, dan sebagainya, jadi pemeriksaan Namun sebagian petugas di puskesmas
ibu hamil yang kemungkinan nanti pendarahan yang menangani HIV dan AIDS mengeluhkan
mudah dicegah oleh KIA. Dan kita besar juga untuk masih terbatasnya dana untuk menjangkau,
pencegahan kematian ibu dan anak itu kita berikan meng­awasi dan mendampingi ODHA dalam
susu untuk ibu hamil dan bayi balita itu pengadaan
itu hampir yan mungkin lebih, itu juga besar. Untuk
menjalani layanan tes HIV dan rujukan ke
pengobatan ini, obat kan kita yang beli” (Wawancara rumah sakit, bahkan tidak jarang mereka harus
dengan Kadinkes Kab. Manokwari) menge­luarkan dana pribadi. Selain untuk
pencegahan dan PDP, anggaran terkait HIV
dan AIDS juga meliputi mitigasi dampak yang
Sedangkan dana untuk puskesmas berasal dari banyak dikelola oleh Dinas Sosial. Berdasarkan
dana BOK dan dana BPJS yang proporsinya informasi tidak ada bantuan sosial yang berasal
yang jumlahnya bervariasi antara satu dari pemerintah kepada Lembaga Swadaya
puskesmas dengan puskesmas lainnya. Salah Masyarakat (LSM) yang bekerjasama untuk
satu kepala puskesmas menjelaskan untuk penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten.
tahun 2015 mereka mengelola dana dari BOK Manokwari, sumber dana LSM sebagian besar
sebesar Rp 200 juta, dana APBD sebesar Rp berasal dari lembaga donor.
63 juta dan BPJS sebesar Rp 43 juta. Khusus
untuk BPJS, ketentuan penggunaan anggaran
terdiri atas pembayaran jasa petugas kesehatan
sebesar 60% sedangkan belanja habis pakai
sebesar 40%. Berikut kutipan wawancaranya :
Studi Kasus

c. Mekanisme pembayaran layanan Sedangkan untuk layanan tes HIV dapat


diakses secara gratis oleh masyarakat,
Secara umum pembayaran layanan ada tiga
layanan yang masuk dalam pembiayaan
je­nis yaitu melalui Jaminan Kesehatan Nasional
BPJS diantaranya obat-obatan untuk infeksi
(JKN), Jamkesda dan pembayaran langsung
oportunistik. Sedangkan pengobatan ARV
di tempat layanan. Berdasarkan informasi dari
diberikan secara gratis karena merupakan
Kadinkes, peserta BPJS lebih banyak yang
program nasional. Untuk pemeriksaan dasar
ber­a­sal dari pegawai negeri sipil, TNI dan
laboratorium belum semua dicover oleh BPJS,
Polri. Jumlah peserta BPJS PBI sebanyak 4.557
sehingga tidak jarang masyarakat perlu
orang, sedangkan yang non PBI sebanyak
mengeluarkan sejumlah uang. Belum lagi
87.653 peserta Hampir sebagian besar layanan
biaya transportasi yang terkadang menjadi
baik di tingkat layanan dasar maupun lanjutan
kendala bagi ODHA untuk mengakses obat
da­pat diakses dengan menggunakan BPJS
ARV di rumah sakit, mengingat tempat tinggal
se­su­ai dengan alur rujukannya. Berikut kutipan
ODHA yang relatif jauh. Hal inilah yang
wawancaranya:
menjadi pertimbangan Dinkes untuk tahun
“itu totalnya 143 ribu dari jumlah penduduk waktu 2015 akan mengembangkan tiga puskesmas
itu 170 tetapi juga pegawai negri 4.557 pegawai
untuk persiapan inisisasi ARV, sehingga ODHA
negeri itu juga sudah persyaratan BPJS, begitu juga
TNI dan polri. Ah jadi sebenarnya tinggal sedikit bisa langsung mengakses ARV di puskesmas
saja 1000 atau 2000an saja yang tidak. Karna ada yang menjadi wilayah pelayanannya. Tidak
peraturan baru mentri ketenagakerjaan itu, semua ada perbedaan layanan antara ODHA dan
yang karyawan kan hadi mall, berdikari ya, yang masyarakat umum, semua layanan dapat
karyawan di atas 30 wajib dia kerja sama kalo tidak
diakses bila menggunakan BPJS.
ijinnya dicabut” (Wawancara dengan Kadinkes Kab.
Manokwari)
127
3) Sumber Daya Manusia
Gambaran data ini menunjukkan bahwa
a. Kebijakan dan sistem manajemen
be­lum semua penduduk tercover dalam
BPJS. Partisipasi masyarakat dalam BPJS Secara umum status kepegawaian SDM
ma­sih rendah, hal ini karena ada pendapat Kesehatan terdiri atas PNS, PTT (Pegawai
dari sebagian masyarakat bahwa tidak ada Tidak Tetap) yang terdiri atas dokter umum,
perbedaan antara menggunakan BPJS ataupun dokter gigi dan bidan, selain itu ada tenaga
yang tidak, karena masyarakat tetap membayar honor dan tenaga magang yang jumlah
premi yang sama dengan membayar layanan dan jenisnya bervariasi. Sampai tahun 2015
difasilitas pelayanan kesehatan. Selain itu, jumlah PNS yang ada di Dinkes berjumlah
kendala dalam persyaratan kelengkapan 428 orang PNS dengan jenis kualifikasi yang
administrasi kependudukan seperti Kartu beragam. Tenaga honorer hanya di Dinkes,
Tanda Penduduk (KTP) dan kartu Keluarga (KK) sedangkan tenaga magang penempatannya di
yang belum dimiliki oleh masyarakat. Selain puskesmas sesuai permintaan dan kebutuhan.
BPJS, ada juga Jamkesda yang baru saja Mekanisme perekrutan, Dinkes berkesempatan
diberlakukan di Provinsi Papua Barat, namun untuk mengajukan permintaan atau usulan
belum jelas regulasi dan pelaksanaannya di jumlah dan kualifikasi tenaga yang diperlukan
lapangan. Berikut kutipan wawancaranya : berdasarkan kebutuhan di fasilitas pelayanan
kesehatan, kemudian dikoordinasikan dengan
“perlakuannya tetap sama. Kadang ada satu yang
saya mengatakan kenapa tidak mengurus BPJS? Dia Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Perekrutan
mengatakan kan sama juga tetap sama dengan yang dilakukan secara terbuka. Dinkes tidak memiliki
lainnya”(Wawancara dengan PJ PKM Wosi)” kewenangan untuk mengatur SDM yang
bekerja di lembaga non pemerintahan seperti
LSM. Dengan demikian, pembiayaan SDM dari
LSM atau swasta sepenuhnya bergantung
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

dari lembaga donor. Keterlibatan SDM non “Eee…kerja sama dengan LSM, sejauh ini ada, dari
pemerintah disesuaikan dengan kebutuhan dan Pt.PS (Peduli Sehat) sendiri dan biasanya, ee dalam
bentuk e…penjaringan, penjaringan jadi…saya
lebih kepada kegiatan peningkatan kemampuan
kasih contoh disini mereka yang menjangkau, terus
serta ketrampilan melalui pendidikan dan mereka yang mengantar, mengantar…apa namanya
pelatihan bersama. orang-orang yang mereka jangkau,,,(sambung
pewaancara : ODHA?) ndak orang-orang yang mau
Tenaga kesehatan yang melakukan pelayanan periksa dulu, seperti itu….Nah kemudian khusus untuk
terkait HIV dan AIDS khususnya PDP di ODHA, sejauh ini dengan Pt.PS kami belum duduk
puskemas variatif, ada yang 2 orang sampai sama-sama untuk, misalnya membagi, artinya ketika
mereka memang mau menangani, kira-kira mereka
10 orang. Sedangkan di rumah sakit untuk
harus,,,e,,,menjangkau berapa ODHA begitu…itu
layanan HIV dan AIDS berjumlah empat orang belum”(Wawancara dengan Kapus Amban)
perawat dan dua orang dokter umum yang
melaksanakan tugas mulai dari konseling,
pemeriksaan dan pendampingan untuk inisiasi Berdasarkan pengelolaan program kesehatan,
ARV. Di Puskesmas Amban, menurut kepala Dinas Kesehatan sebagai leading sector
puskesmas tim penanggulangan HIV dan AIDS pembangunan kesehatan masih mengalami
berjumlah 10 orang yang terdiri atas dokter dan hambatan dalam membangun kerjasama dan
perawat yang masing-masing menjalankan koordinasi yang optimal antar SKPD lain terkait
tugasnya, di mana ada yang bertugas dengan sektor kesehatan. Masih terbatasnya
melakukan penjaringan, konselor, manajer Sumber Daya Manusia (SDM), dana dan
kasus dan pendampingan pasien. Berikut fasilitas pelayanan kesehatan masih dirasakan
kutipan wawancaranya : sebagai hambatan dalam pelaksanaan program
“Ia baik e.. penatalayanan HIV Di Puskesmas Amban kesehatan. Berikut kutipan wawancaranya :
itu, kami tim.. sudah ada tim e..iya, kami tim ada
128 sekitar 10 (sepuluh) orang, Jadi,…Itu terpisah. Ada
“hambatan-hambatan itu masalah tidak ada
kebersamaan tidak ada kebersamaan dana itu ada
yang bergerak untuk e,…. Bagaimana penjaringan,
dana itu ada tenaganya kurang program ada dana
tapi juga ada yang bergerak pada saat e...
da tapi pekerjanya tidak jalan karena tidak ada
penemuan kasus. Jadi penatalaksanaan kasus
kebersamaan antara pengelola artinya pptk dengan
sampai dengan terapi. Seperti itu,…Jadi, tim kita ada
staf ke bawah itu yang pertama trus yang ke 2 tenaga
dokternya, ada perawatnya (perawat penjaring),
kurang jadi ehhh saya sudah berusaha saya sudah
kemudian ada perawat penjaring ini bisa konselor,
ajukan nama-nama untuk tahun 2016 jadi untuk tahun
dia juga bisa berstatus sebagai menejer kasus
ini saya tidak bisa bicara karena saya ada di tengah
kemudian”(Wawancara dengan Kapus Amban)
nanti say berbicara di tahun 2016” (Wawancara
dengan Kabid P2M Dinkes Kab. Manokwari)

Tidak ada rekrutmen khusus untuk tenaga


kesehatan yang menangani program HIV dan b. Pembiayaan SDM
AIDS baik di Dinkes maupun di puskesmas.
Semua petugas kesehatan dianggap memiliki Sumber pembiayaan untuk SDM kesehatan
kemampuan yang sama untuk bekerja dalam semuanya berasal dari APBD yang tersedia
program HIV dan AIDS. Namun sebagian di Dinkes. PNS melalui gaji yang diterima
besar adalah PNS. Sampai saat ini tidak ada perbulan, tenaga honorer dibayar setiap
regulasi yang mengatur kerjasama antara triwulan, sedangkan tenaga magang dengan
fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah pemberian insentif setiap bulannya. Tidak ada
dengan sektor non pemerintah untuk SDM. tunjangan atau insentif khusus untuk tenaga
Namun menurut salah satu informan, ada kesehatan, yang ada hanya tunjangan lauk
kerjasama antara puskesmas dengan LSM, di pauk yang berlaku bagi semua yang berstatus
mana LSM Peduli Sehat biasanya melakukan PNS dan bersumber dari APBD. Demikian
penjangkauan kemudian diantar ke puskesmas pula insentif yang berasal dari lembaga non
untuk melakukan tes HIV. Berikut kutipan pemerintah pun berdasarkan informasi tidak
wawancaranya: ada.
Studi Kasus

Terkait dengan pembiayaan SDM kesehatan terkait program. Mekanisme pengembangan


yang bertanggungjawab terhadap program HIV kapasitas dilakukan berdasarkan kebutuhan,
dan AIDS, juga tidak ada perbedaan semua diusulkan oleh puskesmas kepada Dinkes atau
berasal dari APBD. Namun ada insentif khusus sebaliknya. Bentuknya melalui pelatihan atau
yang diberikan untuk tenaga kesehatan yang pendidikan formal. Terkait dengan layanan tes
bekerja untuk program HIV dan AIDS baik di HIV dan link to care HIV, jenis pelatihan yang
Dinkes maupun di puskemas yang dananya diperoleh staf program untuk puskesmas dan
bersumber dari dana otonomi khusus (Otsus) rumah sakit antara lain pelatihan konselor,
berupa uang transport petugas. Berikut kutipan pelatihan pengobatan dan perawatan ODHA,
wawancaranya : Pelatihan PPIA, pelatihan pencatatan dan
“insentif untuk transport petugas itu sumber dananya
pelaporan data HIV dan AIDS. Pelatihan
dari otsus” (Wawancara dengan Kabid P2M Dinkes yang dilakukan ada yang sumber dananya
Kab.) berasal dari Kementerian Kesehatan, Dinkes
“tahun ini saja kami dari 11 orang yang bekerja ini maupun lembaga donor (CHAI). Sebagian
kami hanya dihargai untuk 5 orang, 5 orang ini, 1 besar pelatihan yang dilakukan berdasarkan
orang 500ribu ya.. 1 orang 500ribu, hanya dihargai kebutuhan di setiap instansi yang erat
selama 1 tahun ini saja ini hanya dihargai dengan 3 kaitannya dengan prioritas program, namun
bulan jadi itu masuk akal tidak?” (Wawancara dengan
tetap disesuaikan dengan ketersediaan dana,
Kapus Amban)
sehingga pelaksanaannya lebih insidental atau
situasional sesuai kebutuhan.
Sedangkan untuk pekerja LSM Mikatekmus Salah satu upaya meningkatkan semangat dan
yang berkecimpung dalam program gairah kerja SDM kesehatan, maka tidak jarang
penanggulangan HIV dan AIDS sumber dilakukan rotasi dan mutasi. Terkait proses
dananya berasal dari lembaga donor HCPI. rotasi dan mutasi memang tidak ada aturan 129
Pekerjanya sebagian besar adalah tenaga khusus yang mengatur, tetapi bergantung
kontrak dan menerima insentif setiap bulannya kepada pimpinan di setiap instansi layanan,
dari lembaga donor. namun tetap memperhatikan telaah kebutuhan
dan komposisi pegawai. Secara umum dampak
Sebagian besar pembiayaan SDM untuk
pergantian karena rotasi atau mutasi cukup
program PDP termasuk layanan tes HIV dan
variatif. Mutasi pegawai dalam jumlah yang
link to care berasal dari dana APBD dan dana
besar terjadi karena adanya pemekaran
Otsus, baik di puskesmas untuk penjaringan
wilayah kabupaten Manokwari, sehingga jumlah
melalui layanan tes HIV dan pendampingan
pegawai pun secara kuantitas mengalami
untuk inisiasi ARV. Insentif yang diberikan
penurunan karena harus di distribusi ke wilayah
harusnya menjadi stimulus dalam menunjang
baru hasil pemekaran. Kondisi ini memang
pelaksanaan dan keberhasilan program PMTS,
cukup memengaruhi etos kerja pegawai yang
namun karena anggarannya terbatas sehingga
menurut salah satu informan mengalami
sering menjadi keluhan petugas. Bantuan
penurunan. Berikut kutipan wawancaranya:
lembaga donor tidak dalam bentuk dana, tapi
menitikberatkan pada program peningkatan “jadi kita tadinya yang 713 pegawai, sekarang tinggal
kapasitas SDM melalui pelatihan. di arfak 100, 200 di selatan. Jadi disini kita masih ada
500. Kalo dari segi kuantitas tapi kalo kualitas kerja
ya etos kerja memang sedikit agak menurun, tetapi
dari segi kuantitas jumlahnya kita memang, kemarin
c. Kompetensi SDM saya liat juga di arfai itu kasian sekali, karna saya
bikin kunci pegawai yang dipuskesmas itu yang kita
Pengembangan kompetensi SDM kesehatan bongkarkan pindah, jadi tidak ada dia ambil dari sini,
lebih menitikberatkan kepada kompetensi yang ada dia ambil dari sini juga biasa bikin sakit
teknis dibandingkan manajerial. Pengembangan kepala, malas bergaul” (Wawancara dengan Kadinkes
Kab. Manowari)
kapasitas teknis ditujukan bagi staf program
dengan pendidikan dan pelatihan teknis
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Permasalahan yang sama juga terjadi pada staf Dinkes. Sedangkan untuk mutasi dan rotasi
program HIV dan AIDS baik di Dinkes maupun di terkait layanan HIV di rumah sakit, salah satu
puskesmas. Setelah diberikan pelatihan lalu di informan menyatakan tidak membutuhkannya,
mutasi atau terjadi pergantian, sehingga dalam cukup mempelajarinya sendiri. Berikut kutipan
melaksanakan layanan perlu ada pengkaderan wawancaranya :
dan menerapkan SOP untuk setiap layanan, “oh tidak perlu saya yang latih dia,, kenapa dia harus
sehingga semua petugas mengetahui prosedur di latih lagi tidak ada ini salah pemahaman kita hiv itu
layanan dan bila terjadi mutasi atau pergantian penyakit apa ini yang salah hiv kan tidak bikin sakit
nakes, tidak memberikan pengaruh yang orang tapi hanya kasih lemah penyakit yang muncul
infeksi yang bikin sakit orang”(Wawancara dengan PJ
signifikan terhadap layanan. Sedangkan bagi
Klinik AIDS RSUD Manokwari)
LSM, pergantian pegawai bisa berdampak
terhadap kehilangan data. Berikut kutipan
wawancaranya :
4) Informasi Strategis
“ini sebenarnya masalah kelasik jadi trun over
kemudian ada yang pergi sekolah terus hang out a. Sinkronisasi sistem informasi
nya tidak jadi take over trada itu yang terjadi
sehinggamenjadi masalah gitu,nah masalah itu Data kesehatan yang benar dan akurat sangat
sebenarnya kami juga salah dalam hal ini kenapa diperlukan sebagai dasar acuan kebijakan
tidak buat protap gitu ada SOP sehingga siapapun dan program kesehatan yang sesuai dengan
yang ada di situ dia bisa menjalankan itu nah itu kondisi dan keadaan yang sesungguhnya di
sekarang solusinya kami mendorong teman-teman
masyarakat. Data kesehatan yang dikumpulkan
puskesmas dan mereka sudah buat”(Wawancara
dengan PIC AIDS Dinkes) oleh Dinas Kesehatan diantaranya data layanan
dari fasilitas pelayanan kesehatan seperti
puskesmas dan rumah sakit, data surveilans
130
Dana pengembangan kapasitas/kompetensi dan data Sistem Kewaspadaan Dini (SKD), data
SDM Kesehatan berdasarkan informasi Kabid alkes, jenis penyakit, pelayanan wajib dan
Kepegawaian tersedia namun sangat terbatas, pengembangan. Selain itu juga dikumpukan
dan mekanisme pengusulan pelatihan berasal data pendukung lainnya seperti laporan
dari masing-masing bidang yang telah keuangan, sarana prasarana, kepegawaian
direncanakan sebelumnya. Berikut kutipan yang dikumpulkan sesuai tupoksi petugas.
wawancaranya : Mekanisme pengumpulan data dilakukan
secara bertingkat. Ada juga data yang
“sangat kurang, kita ajukan dana untuk ini program
ini tidak pernah direalisasi gak tau dimana yang
dikumpulkan secara bersama antara Dinkes dan
memutuskan tapi yang jelas ga pernah direalisasi puskesmas. Ini sangat bergantung pada jenis
contohnya setiap tahun saya ajukan ada perubahan data dan kebutuhan program. Terkait waktu
tentang peaturan kepegawaian untuk diklat-diklat pengumpulan data, ada data yang dikumpulkan
saya ajukan tapi tidak satu disetujui tapi bagian yang
secara rutin mingguan, bulanan, trimester,
lain yang ajukan macam di yankes mengajukan untuk
peningkatan sumberdaya aparatur negara itu kan semester dan tahunan.
proses itu kan di kepegawaian itu disana disetujui dan
Sedangkan sumber informasi yang digunakan
kita tidak pernah dilibatkan kita tidak tau”(Wawancara
dengan Kabid SDM Dinkes Kab. Manokwari) untuk PDP terkait dengan layanan tes HIV
dan link to care adalah data jumlah yang
dijaring dan melakukan tes HIV, data jumlah
Demikian pula halnya dengan ketersediaan yag dikonseling pre tes dan post tes, data
dana untuk pelatihan terkait dengan program yang hasil tesnya positif, data jumlah ODHA
penanggulangan HIV, sebagian besar berasal yang menjalani ARV, tingkat kepatuhan ODHA,
dari lembaga donor seperti CHAI dan GF. data jumlah bumil yang dites HIV, jumlah
Selain Sedangkan dana dari Dinkes baik yang mengalami IMS dan IO, data jumlah
untuk nakes di Dinkes maupun di puskesmas, yang dirujuk. Semua data ini diperoleh dari
disesuaikan dengan anggaran di bidang P2M puskesmas, rumah sakit yang memliki layanan
Studi Kasus

VCT. Sedangkan LSM lebih banyak kepada disertai dengan pelaporan secara manual ke
data penjangkauan yang dilakukan kepada Dinkes setiap bulannya. Sedangkan untuk
populasi kunci, pemberian informasi kepada LSM mereka menggunakan pencatatan dan
populasi yang dijangkau dan data distribusi pelaporan yang diberikan dari donor dan tidak
kondom yang berkoordinasi dengan KPA karena mengikuti sistem informasi yang dipakai oleh
untuk kondom menjadi tanggung jawab KPA. puskesmas maupun rumah sakit.
Namun berdasarkan informasi pendamping
LSM Mikotepmos, diketahui bahwa data yang
dihasilkan tidak dilaporkan kepada Dinkes dan b. Diseminasi dan pemanfaatan
tidak pernah diminta juga oleh pihak Dinkes,
Data kesehatan yang telah dikumpulkan
LSM bertanggung jawab melaporkan data
selanjutnya dibuat laporan rutin tentang
kepada pendonor. Kerjasama dengan Dinkes
program oleh Dinkes meliputi laporan tentang
hanya sebatas koordinasi. Berikut kutipan
pelayanan kesehatan dan jenis penyakit, data
wawancaranya:
alkes, pelayanan wajib dan pengembangan
e…tidak, baik laporan keuangan maupun laporan yang dilakukan di layanan. Laporan-laporan
penjangkauan langsung kami sampaikan 100 %
ini didiseminasikan secara rutin baik secara
menuju ke donor yang bersangkutan,sedangkan pada
pihak dinas kami tidak pernah memberikan laporan
internal dengan mini lokakarya maupun
karena kami sifatnya hanya kordinasi dan juga dinas dengan pihak lintas sektor. Dalam upaya
juga tidak pernah minta laporan dari pada kami pengembangan kebijakan, data program
sehingga kami lebih banyak mengarahkan laporan yang digunakan adalah dari profil kesehatan
kepada pihak pendonor asing” (Wawancara dengan
tahunan. Data-data yang dihasilkan oleh Dinkes
Pendamping LSM Mikotepmos)
selama ini sudah dapat diakses walaupun masih
terbatas, karena Dinkes belum memiliki website
khusus sehingga data belum bisa diakses 131
Sistem informasi yang dipakai untuk pelaporan
secara online. Menurut Kadinkes bahwa sarana
data kesehatan secara umum dari puskesmas
prasarana sementara dipersiapkan, namun
ialah Simpus, namun diakui belum merata di
masih terkendala SDM yang kompeten. Berikut
semua puskesmas karena baru di operasikan
kutipan wawancaranya :
pertengahan tahun 2013. Berdasarkan informasi
dari Kasubag PE Dinkes Kabupaten, sarana “ya jadi kita sudah beli apa yang mereka sintusnya
prasarana penunjang seperti laptop, komputer mereka sudah itu, bahkan kita punya ini dicontoh
oleh provinsi tetapi ya maksudnya SDMnya juga sih,
dan aplikasi Simpus sudah tersedia, namun SDM..karna yang menginput harus ada orang semua
permasalahannya belum adanya kesadaran pasien dan penyakitnya yang hari itu dan obatnya,
dan kepedulian petugas di layanan tentang dia harus input baru saya belum terlalu puas dengan
pentingnya pengelolaan data. Berikut kutipan itu, walaupun program itu sudah ada kita sudah beli
semua komputer, kita sudah upayakan untuk mereka
wawancaranya :
punya laptop, supaya input” (Wawancara dengan
“puskesmas semua kemudian 2013 sa belikan Kadinkes Kab.)
laptop untuk daerah daerah yang belum ada listrik,
tapi kalo mereka peduli data sebetulnya mereka
akan gunakan, tapi mana mereka sekarang peduli
dengan data sich..??terjadi kasus kematian tapi
Sedangkan data terkait dengan PDP dan
dimana lokasinya? penyebabnya apa? Tidak layanan HIV juga terpusat di Dinkes, dimana
jelas”(Wawancara dengan Kasubag PE Dinkes Kab. setiap puskemas dan rumah sakit yang tersedia
Manokwari) layanan HIV dan AIDS melaporkan data
layanan secara rutin setiap bulan untuk direkap
dan didiseminasikan kepada Dinkes Provinsi,
Sedangkan untuk pelaporan dan pencatatan KPAD, LSM dan kepada publik. Walaupun untuk
data terkait layanan HIV dan AIDS baik di data terkait layanan HIV, tidak semua data
puskesmas, rumah sakit adalah SIHA yang dapat dipuplikasikan, namun hanya dipublikan
sudah diakses secara online, namun tetap tentang jumlah atau persentasenya. Dinkes
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

yang bertanggung jawab untuk merilis data berpegang pada peraturan Menteri Kesehatan
terkait gambaran kasus HIV dan AIDS dengan tentang pengadaan obat-obatan dan alkes.
berkoordinasi dengan KPA untuk tingkat Terkait dengan regulasi, ada peraturan
kabupaten Manokwari. Berdasarkan data yang mengatur pembagian terkait dengan
yang dihasilkan maka dapat memetakan pola logistik obat dan alkes melalui Peraturan
epidemi kasus HIV dan AIDS, yang selanjutnya Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
digunakan untuk menetapkan kebijakan dan Pembagian Urusan Pemerintahan antara
pengambilan keputusan oleh Dinkes untuk Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan
dalam penyusunan program penanggulangan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang
HIV dan AIDS. mengatur tentang logistik di mana kabupaten
menanggung 70 persen dan provinsi 30 persen.
Data kesehatan yang dihasilkan oleh
Berikut kutipan wawancaranya :
Dinkes, dapat dimanfaatkan oleh semua
yang membutuhkan. Bagi Dinkes sendiri, “saya yang waktu itu bilang”: karna provinsi dia
tanggung 30% tapi 30%, 13 kabupaten kota kan jadi
data yang dihasilkan dapat menjadi acuan
kan lumayan juga mereka, jadi waktu itu sempat kita
untuk melakukan perencanaan program bilang dia yang tanggung 40 kita yang 60 tetapi
dan penganggaran untuk tahun selanjutnya, karna kita sudah buat nanti saya sisihkan dari dana
juga sebagai bahan evaluasi program yang otsus” (Wawancara dengan Kadinkes Kab.)
telah dilakukan untuk peningkatan layanan.
Demikian halnya data terkait layanan HIV
dan AIDS juga dipakai untuk perencanaan Setiap puskesmas mengisi format kebutuhan
program pencegahan dan pengendalian, obat & alkes yang disesuaikan dengan pagu
serta perencanaan obat dan alkes terkait HIV dana, lalu mengajukan permintaan ke gudang
dan AIDS. Walaupun dalam pelaksanaannya farmasi dan setelah permintaan disetujui, baru
132 belum optimal karena masih banyak petugas bisa diambil oleh puskesmas. Menurut salah
di layanan yang tidak memiliki kepedulian dan satu informan dari Puskesmas Sanggeng,
kesadaran akan pentingnya data layanan. diketahui permintaan obat dan alkes dilakukan
Sedangkan menurut salah satu informan setiap 3 bulan sekali, namun jika persediaan
dari rumah sakit, bahwa mereka tidak akan berkurang dapat langsung mengajukan
memberikan data terkait layanan HIV kepada permintaan ke gudang farmasi. pengadaan obat
LSM, karena tidak ingin dimanfaatkan oleh LSM melalui sistem e–catalog.
menjadi lahan mencari uang kepada lembaga
Sedangkan perencanaan obat dan alkes
donor. Berikut kutipan wawancaranya :
terkait dengan layanan tes HIV dan link to
“kan kami punya prinsip begini oda kami tidak di jual care HIV, juga tidak jauh berbeda. puskesmas
jadi kalau lsm memakai oda kami untuk dia dapat mengusulkan kebutuhan layanan seperti
dana dari luar kami tidak suka makanya kami tidak
kerja sama lagi dengan lsm” (wawancara dengan
reagen, jarum suntik dan obat infeksi
petugas Klinik AIDS di RSUD) oportunistik melalui Dinkes. Untuk kondom tidak
masuk dalam perencanaan dan pengadaan
oleh Dinkes karena merupakan tanggung jawab
5) Penyediaan farmasi dan alat KPA. Sedangkan obat ARV berasal langsung
dari pemerintah pusat yang didistribusikan
kesehatan
melalui pemerintah provinsi, kemudian
a. Regulasi penyediaan, penyimpanan, didistribusi ke rumah sakit daerah, sehingga
diagnostik dan terapi selalu tersedia dan proses distribusinya tidak
terganggu oleh lambatnya proses perencanaan
Mekanisme pengadaan obat-obatan dan alat
dan penganggaran di daerah.
kesehatan di Dinkes Kabupaten Manokwari
dilakukan berdasarkan perencanaan kebutuhan Terkait dengan distribusi obat dan alkes
yang diusulkan oleh puskesmas yang dikirim dilakukan oleh puskesmas sendiri, jadi jika
setiap bulan. Selain itu Dinkes pun tetap mereka mengalami kekurangan obat bisa
Studi Kasus

langsung mengakses ke gudang farmasi Penyimpanan obat dan alkes juga tidak
melalui persetujuan Dinkes. Untuk biaya ditemukan hambatan yang berarti, mengingat
distribusi menjadi tanggung jawab puskesmas gudang farmasi telah tersedia di setiap
masing–masing yang mengambil ke gudang puskesmas, sehingga obat yang didistribusi
farmasi. Namun seringkali mengalami kendala, dari gudang farmasi Dinkes dapat disimpan di
sehingga adakalanya dari gudang farmasi gudang puskesmas masing-masing, dengan
yang mengantarkan ke puskesmas dengan tetap memperhatikan tanggal kadaluarsa obat
memanfaatkan puskesmas keliling. Untuk dan alkes tersebut. Sedangkan untuk sumber
menghindari penumpukan obat di puskesmas, pendanaan obat dan alkes, menurut Kadinkes
jumlah obat yang didistribusi tidak diberikan sebagian besar bersumber dari DAK dan dana
dalam jumlah yang banyak. Berikut kutipan otsus, walaupun ada juga yang berasal dari
wawancaranya : Kementerian Kesehatan. Demikian pula untuk
“iya bisa langsung dibantu jadi itemnya pemberian
pendanaan obat dan alkes terkait layanan
itu tidak sekaligus penuh gitu umpamanya kita minta HIV dan AIDS bersumber dana dari DAK dan
10 ribu mungkin ndak dikasih 10 ribu mungkin dikasih Otsus. Namun ada juga diambil dari 20% dana
berapa tetapi sewaktu waktu obat ini habis kami BPJS untuk puskesmas di pakai oleh Dinkes
bisa dilayani dikabupaten itu enaknya juga jadi gak
untuk membantu pendanaan obat dan alkes
ada penumpukan obat di gudang kami”(Wawancara
dengan Kapus Pasir Putih) untuk mengamankan stock. Berikut kutipan
wawancaranya :
“Tidak boleh namanya stok obat kosong. Tetapi sering
Sedangkan untuk distribusi obat dan alkes kita amankan gudang obat. Obat itu wajib aman,
terkait layanan HIV dan AIDS, juga tidak jauh tapi sumber dana pemberian obat kita dari BPJS juga
20 %, mereka punya itu kita minta dan kita beli, dan
berbeda. Untuk obat infeksi oportunistik, reagen habis pakai juga akan iya…kita dipotong juga oleh
dan jarum suntik didistribusi melalui gudang kementrian juga dari dana DAK, dana DAK dan dana
133
farmasi Dinkes, sedangkan untuk kondom otsus. Khusus untuk kurangan ARV HIV/AIDS, yang
didistribusi oleh KPA ke Dinkes lalu Dinkes tidak bisa dibelanjakan oleh DAK, saya berikan dana
otsus sebagian” (Wawancara dengan Kadinkes Kab.)
distribusi ke Puskesmas. Sedangkan ARV dari
Kementerian ke Dinkes Provinsi dan diteruskan
ke RSUD. Namun, karena alasan jarak yang
jauh ke rumah sakit dan alasan kenyamanan Pencatatan dan pelaporan obat dan alkes
ODHA dengan petugas di puskesmas, sehingga terkait pengadaan, distribusi dan penyimpanan
puskesmas membantu dengan pengambilan secara garis besar tidak ada hambatan.
ARV setiap bulannya di rumah sakit dan Distribusi dan penggunaan obat selalu di catat
mendistribusikan ke ODHA. Pencatatan dan dilaporkan secara rutin melalui Laporan
sederhana juga dilakukan berdasarkan Permintaan dan Laporan Penggunaan Obat
kombinasi dan infeksi oportunistik yang dialami (LPLPO) yang dilakukan secara berjenjang
ODHA, namun tanpa menggunakan mekanisme dari fasyankes ke Dinkes ini dilakukan untuk
LPLPO karena itu menjadi tanggungjawab memantau ketersediaan obat dan alkes.
rumah sakit. Berikut kutipan wawancaranya :
“Kami tidak membuat pelaporan, kami hanya…
b. Sumber daya
pelaporan hanya khusus untuk e… penyakit dan
pelayananannya, tapi untuk obat dan ininya, kami Jenis obat yang dianggarkan dalam APBD
kan masih dibawah rumah sakitya karena kami
terbatas pada obat tertentu, yang jenisnya
amprak rumah sakit itu per pasien item obat, tapi per
pasienjadi pasiennya A obatnya ini untuk dosis satu
ditentukan oleh Dinkes. Proporsi lebih besar
bulan, sehingga kami bawa dan kami bagikan perdua untuk obat dan alkes berasal dana DAK dan
minggu, lihat kondisi pasien” (Wawancara dengan PJ dana Otsus. Namun, jika ada jenis obat yang
Program Puskesmas Masni) tidak ada atau tidak masuk dalam DAK, baru
akan disupport oleh BPJS agar tidak terjadi
pendobelan, namun jenisnya pun terbatas.
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Sedangkan untuk obat dan alkes terkait HIV, sudah tercukupi dan tidak jadi masalah” (Wawancara
menurut Kepala Dinkes ada dana tersedia dengan PIC AIDS Dinkes)

dana otsus dan DAK untuk pengadaan


reagen dan bahan habis pakai, namun untuk
mencukupi kebutuhan obat dan alkes juga Sedangkan terkait BPJS, diperoleh informasi
dipakai 20% dana BPJS yang ada di puskesmas yang bervariasi dari informan. Prinsipnya
untuk pembelian reagen. Berikut kutipan jika pasien yang menggunakan BPJS datang
wawancaranya: dengan diagnosa infeksi oportunistik maka
memperoleh pelayanan yang sama dengan
“kita sudah buat nanti saya sisihkan dari dana otsus.
penyakit umum lainnya yang ditanggung oleh
Jadi beli obat kita, untuk khusus program HIV, jadi
dana dari otsus ada, dan juga dari dana BPJS yang BPJS. Walaupun, sebagian informan kesulitan
kekurangan reagen untuk priksa priksa” (Wawancara untuk menjelaskan jenis obat IMS maupun obat
dengan Kadinkes Kab.) IO yang menjadi tanggung jawab Dinkes Kota,
Dinkes Provinsi, klinik VCT dan BPJS. Prinsipnya,
jika ada jenis obat terkait dengan IMS dan IO
Sedangkan untuk layanan tes HIV hanya yang tidak ada atau tidak masuk dalam DAK
tersedia di tujuh puskesmas dari 22 puskesmas dan otsus, baru akan disuport oleh BPJS agar
yang ada di Manokwari. Kebutuhan puskesmas tidak terjadi pendobelan, namun jenisnya pun
dengan layanan VCT berbeda dengan yang terbatas.
tidak memilik VCT terkait dengan kebutuhan
Terkait dengan ketersediaan obat dan alkes,
obat dan alkes untuk HIV. Kebutuhan ini menjadi
berdasarkan informasi memang belum pernah
tanggung jawab Dinkes diantaranya obat
terjadi stock out untuk obat, baik secara umum
antibiotik yang merupakan obat untuk IMS dan
maupun terkait dengan layanan HIV dan AIDS.
infeksi oportunistik seperti cefixin, acitromycin,
134 Peningkatan permintaan obat biasanya terjadi
cotrimoxazol, clandimicin, nistatin, ketokonazol,
jika banyak dilakukan bakti sosial di kampung-
metronidasol, pedopiun tingtura, rimfaimpicin,
kampung seperti pengobatan gratis sehingga
inh, etambutol, pyrazinamide. Sedangkan
permintaan obat meningkat. Dinkes memiliki
perlengkapan pencegahan HIV dan AIDS
buffer stock sebesar 5% untuk mengantisipasi
seperti kondom dan pelicin, reagen dan alat
permintaan dan penggunaan obat yang
diagnostik HIV dan IMS. Untuk sumber dananya
meningkat. Sedangkan untuk layanan tes HIV,
berasal dari DAK dan Otsus. Berdasarkan
juga banyak dilakukan penjaringan baik kepada
informasi dari PIC AIDS di Dinkes menjelaskan
masyarakat umum maupun kelompok populasi
bahwa untuk ketersediaan reagen selalu
berisiko melalui mobile VCT sehingga terjadi
tercukupi, namun yang menjadi kendala adalah
peningkatan permintaan reagen maupun jarum
obat IO terutama cotrimoxazol. Cotrimoxazol
suntik. Namun berdasarkan informasi untuk
disediakan untuk kebutuhan rutin puskesmas,
reagen masih tercukupi, sedangkan obat-
sedangkan untuk program sendiri tidak ada.
obatan untuk IO dan bahan habis pakai yang
Dengan demikian, penyusunan kebutuhan
sering mengalami stock out. Berikut kutipan
terlepas dari kebutuhan rutin puskesmas.
wawancaranya:
Berikut kutipan wawancaranya:
“itu memang ee kami selalu dengan bahan dan alat
“awal-awal kita masih mulai berjalan itu masalahnya
habis pakai kalau reagen ketercukupannya masih
selalu kita terkendala dengan alat dan bahan habis
kami belum sampai stock out masih tercukupi tetapi
pakai serta beberapa obat yang terkait dengan IO
eee.. obat-obatan yang terkait dengan apa IOnya itu
terutama kotri, kotri itu selalu di butuhkan oleh setiap
yang selalu menjadi kendala dan masalah trus juga
pasien hampir semua dapat kotri sedangkan kotri
dengan bahan alat habis pakai seperti hand skun
yang disiapkan itu untuk kebutuhan rutin puskesmas
kemudian tabung-tabung untuk pemeriksaan eee..
sedangkan untuk program sendiri tidak..sehingga
vakum teaner itu yang sering kali habis nah kenapa
awal-awalnya kita sedikit berargumen dengan teman-
begitu karena penganggaran untuk tahun ini itu kami
teman di farmasi tapi setelah eee..dikasih solusi
tidak bisa mengakses bahannya itu di sini nanti tahun
bagaimana kalau dari program menyusun itu sendiri
depan baru kita bisa pake seperti itu”(Wawancara
terlepas dari kebutuhan rutin di puskesmas sekarang
dengan PIC AIDS Dinkes)
Studi Kasus

Pengobatan kepada pasien IO atau IMS dengan mendukung, seperti layanan VCT yang ada
status HIV positif akan mempertimbangkan dir tujuh puskesmas dari 22 puskesmas yang
tingkat keparahan IO dan IMS-nya lebih ada, diantaranya Puskesmas Sanggeng, Pasir
dulu. Dalam banyak kasus IO dan IMS akan Putih, Wosi, Amban, Maripi, Warmare dan
diobati secara intensif sampai kondisi pasien Puskesmas Masni. Sedangkan rumah sakit
lebih baik, setelah itu dilakukan pengobatan dengan layanan VCT diantaranya RSAL dan
dan perawatan ARV yang didahului dengan RSUD. Ketersediaan layanan ini juga didukung
konseling. dengan jejaring layanan yang komprehensif
dan berkesinambungan. Di puskesmas yang
tersedia layanan VCT, semua petugas di setiap
6) Upaya kesehatan poli layanan wajib melakukan penjaringan
pasien untuk melakukan tes HIV. Layanan
a. Ketersediaan layanan
VCT di puskesmas dan rumah sakit terdapat
Ketersediaan layanan di Kabupaten Manokwari tim AIDS yang terdiri atas 2 hingga 10 orang
sudah tersedia baik dari kuantitas maupun nakes yang bertugas baik sebagai perawat,
kualitas. Sampai tahun 2013, Dinkes Kabupaten. dokter CST, manajer kasus, konselor, petugas
Manokwari memiliki 22 puskesmas, dengan 2 laboratorium dan tenaga farmasi. Selain
rumah sakit yaitu RSUD dan RSAL yang masuk pemeriksaan dalam gedung, puskesmas juga
dalam wilayah pelayanan Dinkes. Sebagian melakukan mobile VCT kepada kelompok
besar masyarakat sudah mampu untuk populasi berisiko. KPA dan LSM fokus kepada
menjangkau layanan dengan baik, beberapa penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat
daerah yang belum terjangkau dibantu dengan dan penjangkauan serta melakukan mobile
layanan Pusling. Layanan sudah mencakup VCT. Sistem rujukan HIV dan AIDS pun sudah
promotif (penyuluhan) dan preventif seperti berjalan, jika penjangkauan dilakukan oleh LSM 135
imunisasi, pemberian abate, gerakan 3 M, aspek dapat dirujuk ke puskesmas untuk pemeriksaan.
kuratif dan rehabilitatif. Prioritas pelayanan, Selanjutnya jika tidak dapat ditangani ataupun
menurut salah satu informan lebih menekankan harus masuk dalam pengobatan, maka pasien
aspek promotif dan preventif dibanding kuratif selanjutnya akan dirujuk ke rumah sakit
dan rehabilitatif. untuk mendapat penanganan lebih lanjut dan
persiapan pengobatan ARV. Setelah mendapat
Layanan rujukan pun berperan penting,
obat dari rumah sakit, maka kembali dirujuk
mekanismenya sama untuk semua penyakit,
ke puskesmas dan puskesmas berkoordinasi
yaitu dimulai dari tingkat dasar yaitu puskesmas
dengan petugas LSM penjangkau untuk
– RSUD, kecuali kondisi kegawatdaruratan
tindaklanjut yaitu kepatuhan minum obat ARV
langsung ke UGD. Sistem rujukan ini sudah
dan konseling yang dikontrol oleh petugas
berjalan, namun karena masih terbatasnya
penjangkau dari LSM. Hal ini dilakukan karena
jumlah dokter spesialis, sehingga masih banyak
ODHA belum berani membuka status dan hanya
yang melakukan rujukan keluar daerah.
mau berkomunikasi dengan petugas yang
Kelompok miskin dan marjinal bisa mengakses
menjangkaunya.
layanan secara gratis lewat JKN dan Jamkesda
dengan syarat administrasi berupa KTP dan Terkait layanan komprehensif berkesinam­
surat keterangan miskin. bung­an (LKB) sudah berjalan, meskipun belum
optimal. Hal ini karena masih lemahnya
Ketersediaan layanan terkait tes HIV dan link
koordinasi yang dilakukan oleh KPAD.
to care HIV cukup lengkap dan memadai,
Sedangkan dana luar negeri untuk program
mengingat Provinsi Papua Barat termasuk
HIV dan AIDS di Kabupaten. Manokwari lebih
dalam daerah dengan epidemi HIV dan AIDS
banyak kepada program–program peningkatan
generalisata, sehingga semua masyarakat
dan penguatan kapasitas SDM. Untuk layanan
masuk dalam kategori berisiko. Ini dapat
tes HIV di puskesmas dan rumah sakit, sebagian
diimbangi dengan ketersediaan layanan yang
besar informan menyatakan bahwa penyakit
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

HIV dan AIDS bukan penyakit ekslusif sehingga sakit dengan LSM terkait dengan layanan
tidak perlu terpisah, tetapi justru dalam PDP. Program LSM masih sangat tergantung
penanganannya membutuhkan kerjasama dan dari program yang ditetapkan oleh lembaga
koordinasi dengan semua bagian karena terkait donor. Hambatan lainnya yaitu kesiapan
dengan IO yang dialami oleh ODHA. Berikut puskesmas dalam pengobatan lanjutan ARV,
kutipan wawancaranya: di mana setelah pasien sudah menjalani
“jadi ndak lagi ada ruangan khusus bagi penderita,
pengobatan ARV pada tahap awal di rumah
tidak ada lagi karena saya yang mengubah begitu, sakit maka akan dikembalikan ke puskesmas
kalo mungkin d jogja itu masih diruang sendiri” asal. Namun dari tujuh puskesmas yang telah
(Wawancara dengan dokter klinik AIDS RSUD) memiliki layanan tes HIV, belum semuanya siap
“iya penyakit HIV dan AIDS nga eksklusif kok…Dia sebagai puskesmas inisasi ARV karena masih
boleh masuk lewat poli mana saja” (Wawancara terbatasnya tenaga kesehatan. Berikut kutipan
dengan PJ AIDS Puskesmas Wosi) wawancaranya:
“Itu yang menjad kendala di kami, karena kami
setelah dinyatakan positif kami harus memberikan
Sedangkan untuk pelayanan tes HIV dan pendampingan sampai ke RSUD, ke poli paru setelah
link to care HIV sudah dilakukan di tingkatan ternyata disana akan dilakukan kroscek ulang,
pelayanan kesehatan dasar atau puskesmas. pemeriksaan ulang…kalau dinyatakan memang positif
lagi disana, baru mereka melakukan pengobatan,
Mengingat epidemi HIV di Papua masuk dalam
e pengobatan itu kami bawa iya toh…terus kami
kategori tergeneralisasi pada populasi umum, melakukan pendampi…PMOnya lewat keluarganya,
sehingga setiap petugas kesehatan di setiap pendampingannya…per bulan kami ambil ke Rumah
tingkatan layanan baik di tingkat dasar maupun sakit…. Nah disitulah makanya ada hal-hal yang
lanjut wajib untuk menawarkan pemeriksaan menjadi kesulitan bagi kami, karena kami tidak cukup
dana untuk pendampingan seperti itu” (Wawancara
HIV kepada setiap pasien yang datang ke
136 dengan PJ program di Puskesmas Masni)
layanan. Ini menunjukkan layanan tes HIV
sudah masuk dalam tata kelola program IMS
dan HIV di tingkat Dinas Kesehatan Kabupaten.
b. Koordinasi dan rujukan
Di tingkat puskesmas tes HIV wajib ditawarkan
oleh petugas baik di poli umum, poli KIA, poli Integrasi komponen program dalam layanan
gigi, poli Tuberkulosis maupun kepada pasien kesehatan sudah ada dan berjalan, seperti
rawat jalan dan rawat inap, demikian halnya di integrasi antara KIA dengan gizi dan imunisasi,
rumah sakit. Selain penjaringan yang dilakukan IMS dan antenatal care (ANC). Komponen yang
di fasilitas pelayanan kesehatan, dilakukan juga diintegrasikan adalah program, data, tenaga
sosialisasi dan penyuluhan kepada kelompok dan manajemen program. Dalam mengintegrasi
masyarakat umum dan mobile VCT. program, ada hambatan yang ditemui
diantaranya kompetensi tenaga, keterbatasan
Terkait hambatan yang dihadapi dalam
jumlah tenaga dan ego program yang masih
pelaksanaan layanan tes HIV dan link to care,
ada, sehingga koordinasi menjadi kurang
salah satu petugas puskesmas mengeluhkan
maksimal di level Dinkes sendiri.
dana pendampingan pasien dan keterbatasan
petugas untuk layanan tes HIV ini. Petugas Layanan tes HIV dikoordinir oleh Dinas
yang ada saat ini pun, ada yang harus Kesehatan. Layanan jangkauan kepada ODHA
melakukan rangkap jabatan dalam memberikan dan populasi kunci dilakukan juga oleh LSM
pelayanan, mengingat keterbatasan tenaga berupa pencegahan penularan dan memberi
kesehatan. Keterlibatan LSM lebih banyak pada konseling untuk ODHA dan keluarganya.
upaya pencegahan dan promosi HIV dan AIDS Namun LSM hanya melayani ODHA yang
serta mitigasi dampak, dibandingkan upaya menjadi jangkauannya karena ketertutupan
pendampingan ODHA dan penjangkauan. Hal ODHA dengan yang petugas jangkauan yang
ini karena tidak ada mekanisme yang mengatur lain. Ada koordinasi LSM dengan puskesmas
kerjasama antara puskesmas dan rumah dan rumah sakit berkaitan dengan pelayanan
Studi Kasus

ARV dan konseling untuk ODHA jangkauan LSM c. Jaminan kualitas layanan
namun tetap di kontrol oleh Dinas kesehatan.
Salah satu upaya menjamin kualitas layanan
ODHA yang telah menjalani pengobatan ARV,
adalah dengan supervisi dan bimbingan teknis.
pada tahap awal akan didampingi oleh petugas
Supervisi dilakukan dengan periode waktu
kesehatan, namun jika ODHA sudah membuka
tertentu dan dilakukan berjenjang. Dinkes
statusnya kepada keluarga diharapkan ODHA
melakukan supervisi ke puskesmas satu tahun
memiliki PMO (Pengawas Minum Obat) yang
sekali, menurut salah satu informan supervisi
dapat membantu mengingatkan jadwal minum
yang dilakukan dari Dinkes ke puskesmas
obat dan pengambilan obat di fasyankes.
sesuai dengan bidang masing masing. Berikut
Hal ini karena belum di semua puskesmas
kutipan wawancaranya :
yang memiliki layanan VCT ada Kelompok
Dukungan Sebaya (KDS), sehingga kemandirian “e.. bimtek dengan supervisi itu dilakukan dengan
masing masing bidang ya, kalo saya di subbag
ODHA dalam menjalani pengobatan masih
bagian pelaporan dan evaluasi hampir sering turun
sangat bergantung pada petugas kesehatan. ke puskesmas ya terutama dalam hal pencatatan dan
Untuk mencegah terjadinya drop out dan pelaporan tadi ya Simpus itu kalo kita tidak dampingi
kegagalan dalam pengobatan, tidak jarang teman teman nanti merasa bosan ya mereka tau
petugas pendamping dari puskesmas sehingga kita sering turun ke mereka yang belum
jalan kita selalu pertanyakan kenapa tidak jalan, kita
selalu menghubungi melalui telepon untuk
bimbing dan sebagainya itulah fungsinya bimbingan
mengingatkan ODHA jadwal kembali untuk teknis ke unit layanan” (Wawancara dengan Kasubag
pengambilan obat di puskesmas. Berikut Perencanaan Dinkes Kab.)
kutipan wawancaranya:
“Kemudian pasien HIV sendiri belum mau membuka
diri, jadi untuk apa keluarga berperan untuk Berdasarkan hasil supervisi diketahui bahwa
mengantar ke layanan belum, biasanya petugas yang semua puskesmas belum memiliki Standart 137
menjemput dan mengantar kalo untuk wilayah kami” Operasional Pelayanan (SOP) dan terkait
(wawancara dengan PJ Puskesmas Wosi)
de­ngan etos kerja dari petugas kesehatan,
pelaporan dan pelayanannya yang menurut
Kadinkes belum maksimal. Dinkes saat ini
Sedangkan untuk layanan di klinik VCT baik di
sedang menggarap Standar Operasional Pela­
puskesmas maupun di RSU, ruang layanannya
yan­an (SOP) dan akreditasi puskesmas untuk
tidak berbeda jauh dengan poli lainnya, di ma­na
tahun 2016 akan diuji coba dua puskesmas
setiap poli terpisah satu dengan lainnya, na­mun
yaitu Puskesmas Pasir Putih dan Puskesmas
ruang perawatan dan ruang inap ti­dak dipi­
Sanggeng baik untuk SOP dan akreditasinya.
sah­kan, hanya ruang VCT saja yang me­mang
Selain itu juga dipersiapkan SDM, alkes dan
terpisah. Petugas yang menjadi bagian dari tim
bangunan sebagai bagian penting untuk
layanan HIV di puskesmas, mengakui bah­wa
mendukung akreditasi puskesmas. Sedangkan
mereka tidak saja mengerjakan pe­la­yanan
RSUD telah terakreditasi C. Berikut kutipan
di klinik VCT saja tetapi juga untuk penyakit
wawancaranya:
lainnya seperti TB, Kusta, Malaria, dll, karena
terbatasnya petugas maka mereka harus “SOP baru kita mau garap. SOP terus terang
saya bilang kita baru mau garap karna baru mau
rangkap tugas layanan. Untuk layanan HIV
puskesmas ini yang mau kita akreditasi. Itu baru
dan AIDS ada insentif yang diterima, walaupun contohnya baru dua yang kita usulkan 2016, yang
hanya sebatas uang transport petugas. di sanggeng dan pasir putih. Itu yang kita sudah
kejar SOP dua-dua itu baru, tim SOP dari dinas
Kegiatan promotif terkait dengan HIV dan AIDS untuk memenuhi SOP ada yang saya turunkan ke
biasanya dilakukan oleh puskesmas beker­ja­ puskesmas untuk membimbing kerjasama itu. Dan
sa­ma dengan KPA maupun LSM. LSM khu­sus juga kan kita dulu dibantu, tapi tidak sempurna,
untuk melakukan pelatihan kepada ODHA, dibantu oleh apa AIPD itu. Tidak terlalu sempurna
karna asal pelatihan begitu saja nga terlalu nyimak.
sedangkan penyuluhan kepada masyarakat Kendala memang kalo kita supervisi ke puskesmas
umum dilakukan bersama dengan KPA. memang kita melihat etos kerja, trus ya laporannya,
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

trus pelayanannya” (Wawancara dengan Kadinkes oleh Dinkes setiap enam bulan sekali. Pelatihan
Kab.) kepada ODHA juga diberikan oleh LSM terkait
dengan pemberdayaan ekonomi.

Sedangkan supervisi yang dilakukan terkait


layanan tes HIV dan program link to care HIV,
7) Partisipasi masyarakat
menurut salah satu informan berkaitan dengan
komunikasi dalam pelaksanaan program yang Partisipasi masyarakat secara aktif dalam
terlambat, sehingga seringkali terjadi perubahan pembangunan kesehatan mutlak diperlukan,
mekanisme layanan maupun kebijakan karena masyarakat tidak saja menjadi objek
di tingkat pusat, namun karena terlambat namun juga subjek pelayanan kesehatan.
disampaikan ke daerah, sehingga temuan di Penilaian partisipasi masyarakat dapat terlihat
lapangan layanan yang diberikan tidak sesuai dalam berbagai kegiatan baik perencanaan dan
dengan kebijakan yang baru. Berikut kutipan pelaksanaan program kesehatan. Salah satunya
wawancaranya : adalah dengan Musrenbang. Berdasarkan hasil
wawancara diketahui bahwa Musrenbang sudah
“jadi selama ini yang yang sudah berjalan sa lihat
sudah cukup baik lah artinya dari level atas dari mencerminkan forum aspirasi masyarakat,
kementrian provinsi kabupaten sampai ke ujung namun tidak banyak dimanfaatkan. Sedangkan
tombak layanan tapi memang di beberapaa level keterlibatan masyarakat nampak dengan
belum ada keseragaman gitu, misalnya ada dari keterlibatan langsung dalam upaya promosi
kementrian misalnya ada perubahan secara teknis
atau hadir dalam sosialisasi, aktif sebagai
perubahan misalnya untuk pemeriksaan keyagen
ini terkadang tidak ada pemberitahuan, terus tiba- kader posyandu balita dan lansia di masing-
tiba disampaikan bahwa tidak bisa menggunakan masing wilayah. Sedangkan untuk keterlibatan
ini padahal kami terus menggunakan ini misalnya dalam perencanaan penanggulangan HIV dan
138 alat keyagen kita sudah harus ganti tetapi itu tidak
AIDS menurut salah seorang pendamping LSM
pernah disampaikan nanti ketika datang supervise,
lho kenapa kalian masih menggunakan ini? lho kapan
Mikotepmos menjelaskan bahwa keterlibatan
kalian sampaikan kita harus menggunakan yang ini masyarakat dengan pembentukan pokja
jadi ada miskomunikasi terkait perubahan kebijakan penanggulangan AIDS di setiap wilayah
dari level atas ke bawah itu” (Wawancara dengan PIC bahkan di gereja dan masjid yang anggotanya
AIDS Dinkes)
adalah masyarakat sendiri, mereka selalu
menyampaikan data hasil penjangkauan dan
memberikan pelaporan kegiatan yang telah
Survey kepuasan juga belum pernah dilakukan
dilakukan kepada LSM pendamping. Berikut
baik di puskesmas maupun di rumah sakit,
kutipan wawancaranya:
namun tersedia kotak saran di setiap fasyankes
yang sudah di koordinasikan ke Dinkes. Akan “mereka sangat berkontribusi terhadap program
pencegahan ini dan salah 1 hasil yang nampak
tetapi dari saran dan masukan yang masuk adalah bahwa kasus di wilayah klasis ransiki karena
dalam kotak saran belum ditanggapi oleh kebetulan kordinator wilayah ransiki adalah juga
Dinkes. Bantuan yang diberikan kepada ODHA kordinator PW tingkat wilayah klasis ransiki sudah
sebagian besar adalah bantuan untuk mitigasi dibentuk komisi penanggulangan HIV di tinggkat
klasis. Sedangkan ditingkat muslim di MUI wilayah
dampak, seperti bahan makanan dan uang
manokwari selatan juga sudah dibentuk untuk komisi
transport yang biasanya dilakukan oleh Dinsos penanggulangan HIV dan itu semua masyarakat
maupun LSM, walaupun tidak rutin. Menurut yang terlibat dalam program ini. Mereka terlibat
salah satu petugas puskesmas, bantuan yang dalam penyampaian data yang mereka kan jangkau
diberikan seringkali tidak sesuai dengan kemudian mereka juga setiap bulan mengirimkan
laporan sehingga itu sekaligus itu kami monitoring
kebutuhan ODHA seperti makanan mi instan
dan evaluasai kinerja mereka setiap bulan itu pada
dan makanan lainnya yang tidak sesuai dengan laporan indikator yang mereka kirim setiap bulan
kebutuhan gizi ODHA. Sedangkan bantuan kepada kami e program yayasan” (Wawancara
teknis kepada petugas biasanya berupa dengan Pendamping LSM Mikotepmos)
pelatihan dari CHAI dan Monev yang dilakukan
Studi Kasus

Terkait peran KPA, hasil wawancara untuk Dinkes dana terkait PDP yaitu layanan
menunjukkan jawaban informan yang tes HIV dan link to care menjadi bagian dari
beragam. Ada yang menyatakan KPA dana pencegahan dan pengendalian penyakit
sebagai forum multi pihak, forum pertemuan menular yang dikelola oleh Dinkes.
khusus untuk populasi kunci, juga KPA
Sedangkan untuk dimensi formulasi kebijakan
hanya berperan sebagai distributor kondom.
terintegasi sebagian dengan sistem kesehatan.
Namun sebagai lembaga koordinator, belum
Proses pengembangan program baik
optimal dalam mengkoordinasi berbagai
perencanaan, penganggaran, alokasi dana
kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS.
dan pertanggungjawaban belum sepenuhnya
Bahkan menurut Kadinkes, KPA seharusnya
menggunakan mekanisme yang ada dalam
aktif dalam pertemuan-pertemuan terkait
sistem kesehatan. Perumusan kebijakan
dengan SKPD terkait, namun dalam setahun
terkait HIV dan AIDS berdasarkan data
terakhir pertemuan hanya dilakukan satu kali.
epidemi HIV dan AIDS dengan mengacu pada
Demikian juga dalam perannya sebagai forum
sistem informasi yang tersedia. Namun dalam
aspirasi dari kelompok populasi kunci, dinilai
pelaksanaannya, Dinkes dan puskesmas
belum optimal, ini ditunjukkan belum banyak
hanya menjalankan program yang berasal dari
terbentuk Kelompok Dukungan Sebaya (KDS),
Kementerian Kesehatan, termasuk layanan tes
kalaupun ada lebih banyak karena peran LSM
HIV. Puskesmas hanya membuat perencanaan
dan petugas puskesmas sebagai pendamping
kebutuhan obat dan perbekalan farmasi untuk
ODHA. Keaktifan ODHA belum nampak, karena
kebutuhan layanan tes HIV dan link to care.
mereka masih sangat tertutup mengingat masih
adanya stigma dan diskriminasi terhadap Terkait dimensi akuntabilitas dan daya tanggap
ODHA. Partisipasi masyarakat umum terkait program penanggulangan HIV dan AIDS
HIV dan AIDS juga masih terbatas karena diketahui tidak terintegrasi dengan sistem 139
pengetahuan masyarakat tentang penyakit HIV kesehatan. Jika dalam proses monitoring dan
dan AIDS. Ini ditunjukkan masih belum banyak evaluasi program kesehatan secara umum,
masyarakat yang mau melakukan tes HIV, ada keterlibatan masyarakat seperti dalam
penjaringan lebih banyak dilakukan melalui Musrenbang yang sudah mencerminkan
KTIP. kebutuhan masyarakat. Namun tidak demikian
dengan program penanggulangan HIV dan
AIDS, terkait dengan layanan tes HIV diketahui

C. Tingkat Integrasi Layanan masyarakat masih belum berpartisipasi secara


aktif. Demikian halnya dengan kelompok
Link to Care dan tes HIV ke ODHA, belum banyak terlibat dalam kegiatan
dalam Sistem Kesehatan monitoring dan evaluasi program. Hal ini karena
mereka belum terbentuk dalam KDS. Masih
1) Manajemen dan regulasi adanya stigma dan diskriminasi terhadap
ODHA, membuat ODHA tertutup dan belum
Tingkat integrasi untuk sub-sistem manajemen
terlibat secara aktif. Hal ini dilatarbelakangi
regulasi terdiri dari tiga dimensi yaitu regulasi,
belum meluasnya penyebaran informasi
formulasi kebijakan dan akuntabilitas dan daya
tentang HIV dan AIDS melalui komunikasi
tangkap. Untuk dimensi regulasi, diketahui
informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat
bahwa terintegrasi penuh dengan sistem
luas.
kesehatan. Berdasarkan dimensi regulasi, isu
HIV dan AIDS telah masuk dalam Renstra Dinas Berdasarkan penilaian dari ketiga dimensi
Kesehatan Tahun 2011–2016 yang disusun baik itu regulasi, akuntabilitas dan formulasi
berdasarkan RPJMD Kabupaten Manokwari, kebijakan, maka dapat disimpulkan bahwa
sehingga tersedia anggaran baik untuk Dinkes untuk sub-sistem manajemen dan regulasi
maupun KPAD. Alokasi anggaran untuk KPA program link to care HIV terintegrasi
tahun 2015 sebesar Rp 350 juta, sedangan sebagian dengan sistem kesehatan. Integrasi
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

yang ada hanya di tingkat regulasi tertulis Mata anggaran terkait layanan tes HIV dan
saja, sedangkan dari sisi proses formulasi program link to care memang tidak spesifik
juga terinterasi sebagian, namun untuk ada dalam APBD tahun 2014, namun digabung
akuntabilitasnya masih belum ada integrasi. bersama dengan program pelayanan
pencegahan dan penanggulangan penyakit
menular lainnya seperti TB, diare dan kusta.
2) Pembiayaan Kegiatan yang terkait dengan program link to
care HIV yang masuk dalam APBD diantaranya
Tingkat integrasi sub-sistem pembiayaan pelaksanaan mobile VCT, pengendalian ODHA
kesehatan terdiri atas dimensi pengelolaan ke tempat asal, pelatihan persiapan ODHA
sumber pembiayaan, dimensi penganggaran, kembali ke masyarakat, penyuluhan IMS, HIV
proporsi, distribusi dan pengeluaran, dimensi dan AIDS, pelatihan VCT dan PMTCT. Jika
pembayaran layanan. Untuk dimensi dibandingkan proporsi anggaran, lebih banyak
pengelolaan sumber pembiayaan, diketahui kepada upaya pencegahan dibandingkan
pemerintah daerah mengkoordinir dan dengan PDP. Sedangkan dana yang terdapat
mengelola berbagai sumber pembiayaan untuk di KPA juga tidak banyak dimanfaatkan untuk
program penanggulangan HIV dan AIDS baik efektifitas program, dari Rp 350 juta total
yang berasal dari pemerintah maupun yang anggaran untuk KPA tahun 2014, hanya Rp
non pemerintahan. Jika dibandingkan,dana 100 juta atau 28,5% penyerapan anggaran.
penanggulangan HIV dan AIDS lebih besar Berdasarkan analisis tersebut, maka dapat
berasal dari pemerintah. Sumber dana yang disimpulkan untuk dimensi penganggaran,
berasal dari pemerintah diantaranya APBD proporsi, distribusi dan pengeluaran terkait
maupun APBN. Secara khusus, dana APBD program link to care HIV adalah terintegrasi
untuk program link to care HIV melalui Dinkes,
140 sebagian dengan sistem kesehatan.
menjadi bagian dari dana penanggulangan
HIV dan AIDS seperti pelaksanaan mobile Sebagian besar masyarakat di Kabupaten
VCT, pengendalian ODHA ke tempat asal, Manokwari sudah dapat memanfaatkan jaminan
pelatihan persiapan ODHA kembali ke kesehatan untuk mengakses layanan kesehatan
masyarakat, penyuluhan IMS, HIV dan AIDS, masyarakat baik di puskesmas maupun di
pelatihan VCT dan PMTCT. Sedangkan sumber rumah sakit. Namun belum semua masyarakat,
pendanaan dari non pemerintah seperti karena masih terkendala dengan premi dan
lembaga donor, sebagaian besar mengelola terkait administrasi kependudukan seperti KTP
dan mengkoordinir dananya sendiri dan hanya dan KK. Demikian halnya untuk layanan terkait
melibatkan pemerintah dalam bentuk program dengan HIV dan AIDS, juga sudah dicover
penguatan kapasitas SDM dan manajemen oleh JKN maupun Jamkesda, walaupun belum
yang terkait dengan program HIV dan AIDS seluruhnya. Untuk tes HIV dapat diakses
seperti dari CHAI dan AIPD Compact. Selain secara gratis oleh masyarakat, dapat dilakukan
Dinkes, dana penanggulangan HIV dan AIDS tanpa perlu memiliki JKN maupun Jamkesda,
bersumber APBD juga tersedia di KPA dan baik di fasilitas pelayanan kesehatan seperti
SKPD terkait yang menjadi bagian dari pokja puskesmas maupun rumah sakit atau melalui
penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten mobile VCT. Sedangkan untuk pemeriksaan
Manokwari, namun karena kurangnya dasar dan penunjang seperti fungsi ginjal dan
koordinasi oleh KPA sehingga belum mampu hati, juga pemeriksaan CD4 dan viral load
mengoptimalkan pengelolaan sumber dana sebagai bagian dari persiapan pengobatan,
yang ada. Berdasarkan analisis ini, maka dapat tidak masuk dalam jaminan kesehatan,
disimpulkan bahwa untuk dimensi pengelolaan sehingga ODHA perlu mengeluarkan sejumlah
sumber pembiayaan terkait program link to uang. Namun untuk pengobatan ARV maupun
care HIV terintegrasi sebagian dengan sistem infeksi oportunistik dapat dicover oleh JKN,
kesehatan. sehingga untuk layanan tes HIV dan link to care
secara umum layanannya belum seluruhnya
Studi Kasus

dapat diakses dengan mekanisme pembayaran pelaporan data kasus HIV dan pelatihan
layanan mengikuti sistem kesehatan yang konselor. SDM dari lembaga non pemerintah
ada. Berdasarkan analisa tersebut maka dapat hanya terlibat dalam pencegahan seperti
disimpulkan bahwa dimensi pembayaran penyuluhan dan sosialisasi tentang HIV dan
layanan terkait layanan tes HIV dan link to care AIDS, juga dalam penjangkauan terhadap
terintegrasi sebagian dengan sistem kesehatan. kelompok populasi berisiko, namun hubungan
kerjasamanya tidak menetap dan sewaktu–
Berdasarkan analisis dimensi-dimensi dalam
waktu dapat berhenti atau mengundurkan diri,
sub-sistem pembiayaan, maka dapat ditarik
karena tidak adanya regulasi yang mengatur.
kesimpulan bahwa sub-sistem pembiayaan
Hubungan kerjasama yang terjalin lebih
layanan tes HIV dan link to care HIV terintegrasi
situasional dan tergantung lembaga donor. Oleh
sebagian dengan sistem kesehatan, di mana
karena itu, maka dapat disimpulkan bahwa
secara umum mekanisme pembayaran
dimensi kebijakan dan sistem manajemen
layanan belum sepenuhnya mengikuti sistem
layanan tes HIV dan link to care terintegrasi
jaminan kesehatan yang ada, karena tidak
sebagian dengan sistem kesehatan.
semua kebutuhan layanan tercover dalam
BPJS maupun Jamkesda sehingga ODHA Pembiayaan pengelolaan SDM untuk layanan
harus mengeluarkan sejumlah uang untuk tes HIV dan link to care HIV sepenuhnya
pembayaran layanan. Demikian halnya dengan menggunakan pembiayaan di sektor
dimensi pengelolaan sumber pembiayaan kesehatan. Selain gaji, petugas kesehatan juga
dan dimensi dimensi penganggaran, proporsi, memperoleh insentif yang bersumber dari dana
distribusi dan pengeluaran yang terintegrasi otonomi khusus, walaupun jumlahnya terbatas
sebagian. Perencanaan dan penganggaran dan insentif yang diberikan berupa uang
masih belum ada koordinasi yang baik dan transport. Insentif diberikan karena petugas
penganggarannya masih belum disesuaikan harus mengantar pasien yang melakukan 141
dengan kebutuhan yang ada di lapangan. rujukan ke rumah sakit dan pendampingan pada
tahap awal pengobatan ARV. Sedangkan untuk
SDM non pemerintah dibiayai oleh lembaganya
3) Sumber Daya Manusia sendiri dengan sumber dana sangat bergantung
dari lembaga donor. Oleh karenanya, dapat
Analisis tingkat integrasi sub-sistem SDM disimpulkan bahwa dimensi pembiayaan SDM
kesehatan dapat dinilai berdasarkan dimensi untuk layanan tes HIV dan program link to
kebijakan dan sistem manajemen, dimensi care HIV terintegrasi penuh dengan sistem
pembiayaan dan dimensi kompetensi SDM. kesehatan.
Pelaksanaan layanan tes HIV dan link to
care lebih menitikberatkan kepada peran dan Dimensi kompetensi SDM terkait layanan tes
tanggungjawab SDM kesehatan pemerintah HIV dan link to care HIV terintegrasi sebagian
dibanding yang non pemerintah. Tidak dengan sistem kesehatan. Peningkatan
ada regulasi dan kebijakan yang mengatur kemampuan SDM dilakukan dengan pelatihan
pengelolaan SDM yang terlibat dalam kepada tenaga kesehatan. Walaupun ada
pelayanan tes HIV dan link to care HIV baik anggaran yang dialokasikan untuk peningkatan
untuk kompetensi maupun penempatan atau kapasitas petugas layanan terkait program link
mutasi karena sepenuhnya menjadi tanggung to care, namun jumlahnya lebih kecil dibanding
jawab Dinas Kesehatan. Sedangkan untuk dana donor. Pelatihan kepada nakes yang
pengembangan kapasitas SDM dan hubungan diberikan seperti pelatihan konselor, pelatihan
kerja dengan non pemerintah, diketahui ada PMTCT, pelatihan PITC, pelatihan reporting
kerjasama dengan MPI melalui program– and report,dll. Walaupun kendalanya masih
program peningkatan dan pengembangan kekurangan nakes dan nakes yang telah dilatih
kapasitas SDM terkait dengan layanan HIV sering dimutasi karena pemekaran wilayah
dan AIDS, seperti pelatihan pencatatan dan pemerintahan, sehingga dapat disimpulkan
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

bahwa untuk dimensi kompetensi SDM untuk ODHA. Dinkes bertanggung jawab untuk
terintegrasi sebagian dengan sistem kesehatan merilis data kasus HIV dan AIDS, yang menjadi
secara umum. data rujukan yang tidak hanya dibutuhkan
oleh Dinkes sendiri tapi juga dapat diakses
Berdasarkan analisis dimensi diketahui sub-
oleh instansi lain dan masyarakat. Walaupun
sistem SDM kesehatan untuk program link to
diakui oleh Kasubag PE Dinkes bahwa belum
care HIV terintegrasi sebagian dengan sistem
maksimal dalam pengelolaan datanya di setiap
kesehatan. Untuk pembiayaan SDM terintegrasi
puskesmas dan terkendala dengan kemampuan
penuh, sedangkan kompetensi SDM, dimensi
SDM dalam mengelola data. Sedangkan untuk
kebijakan dan sistem manajemen terintegrasi
diseminasi data HIV dan AIDS tidak semua data
sebagian dengan sistem kesehatan.
dapat didiseminasikan kepada publik, hanya
jumlah dan persentasenya saja. Berdasarkan
analisis ini, maka dapat disimpulkan bahwa
4) Informasi strategis dimensi diseminasi dan pemanfaatan informasi
Berdasarkan sinkronisasi sistem informasi terkait terkait layanan tes HIV dan program link to
dengan layanan tes HIV dan program link to care HIV terintegrasi sebagian dengan sistem
care HIV diketahui bahwa data yang dihasilkan kesehatan secara umum.
oleh fasilitas pelayanan kesehatan seperti Berdasarkan analisis dimensinya maka dapat
puskesmas dan rumah sakit khusus untuk disimpulkan bahwa sub-sistem informasi
HIV dan AIDS menggunakan sistem informasi strategis terkait layanan tes HIV dan program
SIHA. Data yang dihasilkan diantaranya data link to care HIV terintegrasi sebagian dengan
jumlah yang melakukan tes HIV, data jumlah sistem kesehatan secara umum.
hasil tes positif, data jumlah yang dirujuk, data
142 jumlah yang menerima ARV, data yang patuh
minum ARV dan data yang gagal maupun
5) Penyediaan farmasi dan alkes
pindah. Semua data layanan ini sudah masuk
dalam SIHA yang tersedia dan telah dipakai Penilaian tingkat integrasi sub-sistem
oleh puskesmas maupun di rumah sakit. SIHA penyediaan farmasi dan alat kesehatan
sendiri telah diintegrasikan dalam program dalam program link to care HIV dengan sistem
Sistem Informasi Kesehatan (Siknas) di bawah kesehatan dinilai berdasarkan beberapa
naungan Kemenkes. Tetapi terkait dengan data dimensi. Dimensi regulasi penyediaan,
penjangkauan dan pendampingan populasi penyimpanan material, diagnostik dan terapi
kunci maupun ODHA yang sebagian besar terkait layanan tes HIV dan program link to
dilakukan oleh LSM tidak diakomodasi dalam care HIV terintegrasi sebagian dengan sistem
SIHA. LSM lebih banyak menggunakan sistem kesehatan. Untuk reagen, jarum suntik dan
informasi yang dimiliki oleh lembaga donor. obat IO baik itu penyediaan dan penyimpan
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa masuk dalam perencanaan Dinkes, sedangkan
dimensi sinkronisasi sistem informasi untuk ARV tidak. Hal ini karena ARV penyediaannya
program link to care HIV terintegrasi sebagian dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan
dengan sistem kesehatan secara umum. didistribusi melalui Dinkes Provinsi untuk
selanjutnya ke rumah sakit. Sedangkan untuk
Data yang dihasilkan oleh fasilitas pelayanan
kondom penyediaan dan penyimpanannya
kesehatan terkait dengan layanan tes HIV
menjadi tanggung jawab KPAD, yang
dan link to care HIV telah digunakan untuk
selanjutnya didistribusi ke fasilitas pelayanan
perencanaan dan pengembangan program
kesehatan yaitu puskesmas dan rumah Sakit.
HIV di daerah. Hal ini ditunjukkan dengan
Berdasarkan kondisi ini maka dapat disimpulkan
data dari layanan telah dimanfaatkan dalam
bahwa dimensi regulasi penyediaan dan,
pemetaan epidemi HIV di Kabupaten Manokwari
penyimpanan, diagnostik dan terapi terkait
dan perencanaan kebutuhan obat dan alkes
layanan HIV dan program link to care HIV
Studi Kasus

terintegrasi sebagian dengan sistem kesehatan karena masih perlu dirujuk ke RSUD sebagai
secara umum. satu-satunya fasilitas kesehatan yang
menyediakan ARV untuk Kabupaten Manokwari.
Sumber pembiayaan untuk penyediaan,
Oleh karena itu, untuk tahun 2016 menurut
penyimpanan, dan distribusi obat dan
Kadinkes akan dilakukan percobaan inisiasi ARV
perlengkapan medik untuk layanan tes HIV
di tiga puskesmas yaitu Puskesmas Warmare,
dan program link to care HIV tidak semua
Puskesmas Prafi dan Puskesmas Masni. Hal
ada di dalam anggaran dinas kesehatan
ini dilakukan untuk mendekatkan pelayanan
atau ditanggung oleh JKN. Contohnya, untuk
pengobatan ARV kepada pasien. Sedangkan
obat IO dan IMS sebagian besar didanai oleh
pendampingan dan kepatuhan minum obat bisa
APBD, sehingga penyediaan, penyimpanan
dilakukan oleh petugas puskesmas ataupun
dan distribusinya sesuai dengan peraturan
LSM penjangkau, tergantung pada ODHA itu
penyediaan obat lainnya. Untuk ARV, sumber
sendiri. Mengingat belum banyak terbentuk KDS
dayanya berasal dari Kementerian Kesehatan
ODHA yang menjadi sarana ODHA untuk saling
yang didukung oleh lembaga donor, sehingga
mendukung dan berbagi pengalaman dalam
tidak masuk pembiayaan daerah. Sedangkan
pelayanan dan pengobatan ARV.
untuk kondom ada regulasi yang berbeda dan
belum diatur sesuai peraturan penyediaan obat Dimensi rujukan dan koordinasi terkait
dan alkes lainnya. Hal ini karena penyediaan layanan tes HIV dan program link to care
kondom didanai oleh donor/MPI dan alur HIV menunjukkan integrasi sebagian dengan
distribusi yang berbeda, yaitu melalui KPAD. sistem kesehatan secara umum. Layanan tes
Oleh karena itu untuk dimensi sumber daya HIV hanya terbatas di puskesmas dan rumah
terkait dengan layanan tes HIV dan program sakit yang menyediakan layanan tes HIV, itu
link to care HIV terintegrasi sebagian dengan pun jumlahnya masih terbatas. Sedangkan
sistem kesehatan secara umum. untuk pengobatan ARV terpusat di rumah sakit 143
daerah. Pendampingan pengobatan dilakukan
Berdasarkan analisis sub-sistem penyediaan
baik oleh petugas kesehatan di puskesmas,
farmasi dan alkes terkait layanan tes HIV dan
petugas penjangkau maupun petugas RSU.
link to care HIV terintegrasi sebagian dengan
Namun tetap di bawah koordinasi dari Dinkes.
sistem kesehatan.
Sedangkan koordinasi yang dilakukan oleh
KPA hanya sebatas mengetahui jumlah ODHA
yang menjalani pengobatan ARV, KPA lebih
6) Penyediaan layanan menitikberatkan kepada program pencegahan
Dimensi ketersediaan layanan terintegrasi seperti distribusi kondom dan KIE yang
sebagian dengan sistem kesehatan, di mana pelaporannya juga dikoordinasikan kepada
untuk layanan tes HIV sudah tersedia di tujuh Dinkes. KPA dalam setahun terakhir hanya 1 kali
puskesmas dari 22 puskesmas yang ada di melakukan pertemuan koordinasi dengan SKPD
Kabupaten Manokwari ditambah dua rumah terkait sehingga diakui masih belum optimal
sakit yaitu RSAL dan RSUD. Namun untuk perannya sebagai lembaga yang mengkoordinir
menjangkau wilayah yang lebih luas, juga program penanggulangan HIV dan AIDS di
ditunjang dengan mobile VCT. Jika dilihat daerah.
berdasarkan kuantitas, jumlah klinik VCT Dimensi jaminan kualitas layanan untuk
masih sedikit. Namun untuk ketersediaan program link to care HIV, diketahui ada
layanan, sudah cukup lengkap, mulai dari tes mekanisme supervisi untuk menjamin kualitas
HIV, pemeriksaan dasar, pengobatan IO dan program link to care HIV dan layanan tes HIV,
IMS tersedia. Walaupun fasilitas pelayanan sama dengan mekanisme dalam pelayanan
kesehatan primer belum menyediaan kesehatan lainnya. Walaupun supervisi yang
pelayanan untuk program link to care HIV dilakukan tidak secara khusus pada penyakit
secara komprehensif sampai pada pengobatan, tertentu ataupun bagian tertentu, tapi dilakukan
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

secara umum, karena belum terbentuk tim care HIV. Oleh karena itu, berdasarkan analisis
supervisi untuk program link to care HIV. dari dimensi-dimensi yang ada, disimpulkan
Supervisi dilakukan oleh Dinkes kepada bahwa sub-sistem partisipasi masyarakat untuk
puskesmas dan rumah sakit yang menyediakan tes HIV dan program link to care HIV terintegrasi
layanan tes HIV dengan periode 1 tahun sekali. sebagian dengan sistem kesehatan secara
Supervisi juga dilakukan oleh lembaga donor umum.
kepada LSM terkait dengan capaian program.
Secara garis besar tingkat integrasi untuk setiap
Sedangkan KPA tidak pernah melakukan
sub-sistem dan dimensi kesehatan ditunjukkan
monev terkait program di fasyankes. Hal ini
dalam tabel 23.
menunjukkan dimensi jaminan kualitas layanan
terintegrasi sebagian dengan sistem kesehatan
secara umum.

Berdasarkan analisis dimensi ketersediaan


D. Faktor–faktor yang
layanan, dimensi rujukan dan koordinasi, Memengaruhi Integrasi
dimensi jaminan kualitas layanan untuk layanan
Faktor –faktor yang memengaruhi tingkat integrasi
tes HIV dan link to care HIV, maka dapat
diidentifikasi dari analisis tentang konteks kebijakan
disimpulkan untuk sub-sistem penyediaan
layanan tes HIV dan link to care HIV yang
layanan terintegrasi sebagian dengan sistem
mencakup konteks politik, ekonomi, hukum dan
kesehatan secara umum.
permasalahan kesehatan.

7) Partisipasi masyarakat 1) Konteks politik


144 Berdasarkan tingkat partisipasi masyarakat
Pembangunan sektor kesehatan menjadi salah
untuk layanan tes HIV, memang masih rendah.
satu prioritas pemerintah daerah Kabupaten
Layanan tes HIV secara sukarela lebih sedikit
Manokwari yang tertuang dalam RPJMD
dibanding dengan inisiatif atau rujukan petugas
tahun 2011-2016. Upaya peningkatan kualitas
kesehatan maupun LSM. Walaupun demikian
pelayanan dilakukan dengan mendekatkan
partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam
pelayanan kepada masyarakat melalui dokter
penanggulangan HIV dan AIDS sudah cukup
yang turun ke pelosok. Program ini dilakukan
baik. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya
dengan alasan masyarakat masih sulit mengak­
pokja-pokja penanggulangan HIV dan AIDS
ses layanan kesehatan karena tinggal di daerah
baik itu dalam komunitas keagaaman seperti
yang terpencil dan sulit menjangkau fasilitas
di gereja maupun masjid, maupun komunitas
pelayanan kesehatan. Selain itu, masalah
di sekolah dan lingkungan masyarakat.
kesehatan ibu dan anak (KIA), perilaku hidup
Sedangkan keterlibatan populasi kunci dan
bersih dan sehat (PHBS) serta penyakit-penyakit
ODHA masih terbatas dalam kelompok
menular seperti tuberkulosis, malaria, diare dan
mereka sendiri, seperti untuk wanita pekerja
HIV juga masih menjadi prioritas kesehatan.
seks (WPS) aktif dalam organisasi OPSI
(Organisasi Perubahan Sosial Indonesia), Secara khusus untuk penanggulangan masalah
sedangkan untuk ODHA masih belum banyak HIV dan AIDS, dukungan pemerintah dilakukan
terbentuk KSD, sehingga mereka lebih tertutup dengan masuknya isu penangulangan HIV
dan tidak banyak terlibat dalam program dan AIDS ke dalam RPJMD tingkat kabupaten.
penanggulangan HIV dan AIDS. Sekalipun Ini secara otomatis menjamin adanya
mereka terlibat, namun keterlibatan mereka alokasi anggaran dari APBD terkait dengan
hanya sebagai partisipan dalam kegiatan dan penanggulangan HIV dan AIDS termasuk
tidak terlibat secara strategis dalam proses layanan tes HIV dan program link to care
perencanaan dan evaluasi program terkait HIV. Bentuk komitmen pemerintah daerah
dengan layanan tes HIV dan program link to lainnya, yaitu penguatan kelembagaan Komisi
Studi Kasus

Tingkat Integrasi per Tingkat Integrasi


No Subsistem Dimensi
Dimensi Sub Sistem

1 Regulasi þ
Manajemen dan
2 Formulasi kebijakan ¨ ¨
regulasi
3 Akuntabilitas ý
4 Pengelolaan sumber pembiayaan ¨
Penganggaran, proporsi, distribusi
5 Pembiayaan ¨ ¨
dan pengeluaran
6 Mekanisme pembayaran layanan ¨
Kebijakan dan sistem manajemen
7 ¨
Sumber daya SDM
¨
8 manusia Pembiayaan SDM þ
9 Kompetensi SDM ¨
10 Sinkronisasi Sistem infromasi ¨
Informasi Strategis ¨
11 Diseminasi dan Pemanfaatan ¨
Regulasi penyediaan,
12 Penyediaan farmasi penyimpanan, diagnostik dan ¨
terapi ¨
dan alat kesehatan
13 Sumber daya ¨
145
14 Partisipasi Masyarakat ¨ ¨
15 Ketersediaan layanan ¨
16 Upaya kesehatan Koordinasi dan rujukan ¨ ¨
17 Jaminan kualitas layanan ¨

þ Terintegrasi penuh ý Tidak terintegrasi ¨ Terintegasi Sebagian

Tabel 23. Penilaian Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) melalui SK Bupati No.
402/2004, kemudian mengalami perubahan lagi pada tahun 2006
Tingkat Integrasi melalui Kepres No 75 Tahun 2006, yang saat ini diketuai oleh
Sub-Sistem Bupati dan memiliki alokasi anggaran sendiri yang bersumber dari
Kesehatan APBD. Penguatan kelembagaan dan alokasi anggaran untuk KPAD
bertujuan untuk mengoptimalkan kinerja KPAD dalam melakukan
koordinasi berbagai program pencegahan dan pengendalian
HIV dan AIDS, termasuk layanan tes HIV dan program link to
care HIV melalui pokja-pokja penanggulangan HIV dan AIDS
yang telah terbentuk baik itu di SKPD maupun dalam komunitas
masyarakat. Dasar hukum pembentukan pokja penanggulangan
HIV dan AIDS dan keterlibatan SKPD dan instansi terkait termuat
dalam Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2007, di mana
keanggotaannya terdiri atas Dinkes, Dinsos, Dinas Nakertrans,
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Pemberdayaan Anak dan Perempuan, Dinas oto­­­nomi khusus yang juga berpengaruh pada
Perhubungan, dan Kepolisian. upa­ya penanggulangan HIV dan AIDS dengan
hadirnya Undang-undang Otsus No.21 Tahun
Namun sayangnya, KPAD Kabupaten
2001 yang mengkhususkan Provinsi Papua dan
Manokwari secara struktural memiliki kom­po­sisi
Papua Barat dalam mengelola dana otonomi
yang berbeda, di mana terjadi dualisme ke­
khusus. Dana otsus ini juga dialokasikan untuk
pemim­pinan dalam KPAD. Kondisi ini berdampak
upaya penanggulangan HIV dan AIDS seperti
ter­hadap perencanaan dan penganggaran
pembelian alkes habis pakai dan obat-obatan
dalam KPAD sehingga mengalami keterlam­
infeksi oportunistik. Namun untuk layanan tes
bat­an penganggaran program. Berikut kutipan
HIV dan program link to care HIV sebagian be­
wawancaranya
sar masih mengandalkan inisiatif program dari
“iya memang kita agak sedikit berbeda jadi tidak pu­sat, sehingga daerah hanya menjalankan
sesuai dengan struktur organisasinya yang di pakai
saja.
di seluruh Indonesia. ketua pelaksanaan harian
harusnya wakil bupati yang definitive nah ini yang Dampak negatif dari desentralisasi, diantaranya
terjadi seperti ada 2 kepemimpinan gitu jadi ketua
kewenangan pimpinan daerah dalam meng­
umumnya bapak bupati, wakil ketua sekertaris, trus
wakil ketua harusnya bapak wakil bupati yang aktif, am­­bil keputusan khususnya dalam proses take
tetapi yang terjadi adalah wakil bupati yang sudah over pegawai menyebabkan proses mutasi
pensiun, iya gitu sehingga komunikasi kordinasi tenaga kerja di Kabupaten Manokwari begitu
kadang-kadang tidak sampai”(Wawancara dengan mudah dilakukan karena tergantung kepala
PIC AIDS Dinkes)
daerah dan bisa ditempatkan di mana saja
tan­pa memperhatikan spesifikasi jabatan ter­
ten­tu. Hal ini cukup berdampak pada upaya
Keberhasilan pembangunan sektor kesehatan
pe­nang­gulangan HIV dan AIDS di Kabupaten.
146 tidak terlepas dari dukungan lembaga interna­
Manokwari yang relatif tidak berlanjut akibat
sio­nal melalui berbagai bentuk kerjasama.
pindahnya sumber daya manusia yang telah
Walaupun kehadiran mereka tetap berada di
terlatih ke beberapa daerah pemekaran serta
bawah pengawasan pemerintah daerah. Lem­
program kerja yang telah direncanakan dengan
baga internasional yang bekerjasama dengan
baik oleh beberapa pemangku kepentingan
pemerintah Kabupaten Manokwari dalam sektor
menjadi terhambat, bahkan tidak berjalan
kesehatan diantaranya UNICEF, HCPI, CHAI
ka­rena pergantian jabatan atau orang baru
dan Compact AIPD. Khusus untuk program HIV
yang menduduki posisi di beberapa instansi
dan AIDS diantaranya HCPI dan CHAI yang
pe­mangku kepentingan HIV dan AIDS di
sampai saat ini masih ada, sedangkan GF su­
Manokwari.
dah berakhir. Dukungan MPI menitikberatkan
ke­pada penguatan kapasitas SDM pengelola Secara garis besar kebijakan politik pemerintah
program dan layanan di fasyankes, serta daerah terhadap penanggulangan HIV dan
ma­najemen pengelolaan program baik itu di AIDS termasuk layanan tes HIV dan program
lembaga pemerintah maupun non pemerintah. link to care HIV sudah cukup baik. Hal ini
ditunjukkan dengan masuknya isu pen­cegah­
Desentralisasi yang terjadi selama ini mem­be­
an dan penanggulangan HIV dan AIDS ke
ri­kan pengaruh positif pada sektor kesehatan,
da­lam RPJMD tahun 2011–2016 yang secara
karena desentralisasi membuat daerah mampu
oto­matis berdampak terhadap adanya alo­ka­si
membuat kebijakan dan program kesehatan
ang­garan untuk pencegahan dan penang­gu­
sendiri dengan kemampuan keuangan daerah,
langan HIV dan AIDS, termasuk link to care HIV.
diantaranya Jaminan Kesehatan Daerah
Namun KPAD belum optimal dalam meng­
(Jamkesda), pengangkatan dokter PTT untuk
ko­­ordinir pokja-pokja penanggulangan HIV
men­­­jangkau daerah yang masih terpencil dan
dan AIDS yang ada, karena terjadi dualisme
per­siapan puskesmas menjadi puskesmas inisi­
ke­pemimpinan dan kepedulian pimpinan daerah
asi ARV bagi ODHA. Dampak positif lainnya
ter­hadap isu HIV dan AIDS dan keseriusan
da­­ri desentralisasi yaitu adanya kebijakan
Studi Kasus

pe­merintah daerah sangat tergantung pada program link to care juga tersedia di Dinkes,
interest-nya pemegang jabatan pada isu HIV KPAD maupun SKPD terkait dengan proporsi
dan AIDS. anggaran yang berbeda-beda. Dinas kesehatan
dan rumah sakit sebagai penanggung jawab
program link to care HIV kesulitan untuk
2) Konteks ekonomi menghitung besaran anggarannya, namun
sebagian besar bersumber dari APBD dan
Situasi ekonomi masyarakat berdampak dana otsus baik untuk operasional maupun
terhadap kesehatan, di mana terjadi pening­kat­ perbekalan farmasi terkait dengan layanan tes
an pendapatan asli daerah (PAD) yang cukup HIV, pengobatan IO dan IMS. Alokasi anggaran
signifikan. Jika dibandingkan dengan tahun untuk program HIV dan AIDS menjadi bagian
2011, realiasi total pendapatan Pemerintah dari dana pencegahan dan pengendalian
Daerah Kabupaten Manokwari pada tahun penyakit menular yang dikelola oleh Dinkes
2012 mengalami peningkatan hingga mencapai yang terdiri atas program promotif, preventif
40,42%. Peningkatan ini menandakan adanya dan kuratif. Selain di Dinkes dan rumah sakit,
kemajuan perekonomian di Kabupaten dana operasional terkait program HIV dan
Manokwari dan mampu memenuhi kebutuhan AIDS juga tersedia di KPA. Untuk tahun 2015
rutinnya dari dari PAD, termasuk kebutuhan KPA memperoleh alokasi anggaran sebesar Rp
di sektor kesehatan. Alokasi anggaran sektor 350 juta, namun realisasi anggarannya hanya
kesehatan untuk tahun 2015 bersumber dari Rp 150 juta. Realisasi anggaran yang rendah
APBD dibagi dua yaitu untuk Dinkes dan RSUD oleh KPAD menunjukkan kinerja KPAD dalam
Manokwari. Untuk Dinkes total anggaran melaksanakan program penanggulangan HIV
sebesar Rp 53.138.804.657 sedangkan untuk dan AIDS belum maksimal. Bantuan luar negeri
RSUD sebesar Rp 35.011.212.169. Jumlah ini untuk program penanggulangan HIV dan AIDS 147
menurut Kadinkes sudah mencapai 6-7% dari melalui lembaga donor seperti CHAI, HCPI,
total APBD Kabupaten Manokwari. Berikut UNICEF sebagian besar tidak dalam bentuk
kutipan wawancaranya: dana, namun program penguatan kapasitas
“kalo total anggaran itu (diam sejenak) karna kalo dan manajemen terkait layanan HIV dan AIDS
bicara kesehatan rumah sakit juga harus masuk baik untuk SDM pemerintah maupun yang non
gitu, (diam sejenak) mungkin sekitar 7- 8% dengan pemerintah (LSM).
gabung dengan rumah sakit ya, Otsus begitu juga 15
% baru bagi 2. Biasanya saya lebih banyak karna kan Secara umum berdasarkan konteks ekonomi
harus mengurusin bagaimana orang supaya jangan terkait penanggulangan HIV dan AIDS termasuk
masuk rumah sakit ya, dengan pencegahan, promosi
kesehatan dan sebagainya gitu”(Wawancara dengan
program link to care HIV, menunjukkan komit­
Kadinkes Kab. Manokwari) men pemerintah dengan mengalokasikan
ang­garan untuk program penanggulangan HIV
dan AIDS.
Selain bersumber dari APBD, juga tersedia
dana dari Kementerian Kesehatan berupa
dana Tugas Pembantuan (TP) sebesar 3) Konteks hukum dan regulasi
Rp 20 milyar. Sedangkan dana Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK) dan dana Badan
Aspek hukum melalui peraturan dan
kebijakan semakin memperkuat pelaksanaan
Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS)
pembangunan kesehatan. Manokwari
langsung diberikan kepada puskesmas. Namun
tidak memiliki hukum dan peraturan yang
jika dibandingkan, alokasi anggaran untuk
menghambat akses terhadap layanan
sektor kesehatan besar berasal dari APBD
kesehatan baik secara umum maupun layanan
dibandingkan dana pusat.
terkait HIV dan AIDS, artinya setiap anggota
Sedangkan alokasi anggaran untuk program masyarakat termasuk ODHA maupun kelompok
penanggulangan HIV dan AIDS termasuk populasi berisiko memiliki hak dan kesempatan
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

yang sama untuk mengakses layanan. Secara 4) Konteks permasalahan kesehatan


hukum dan regulasi komitmen pemerintah
daerah terhadap upaya penanggulangan HIV Permasalahan kesehatan di Manokwari
dan AIDS diantaranya dengan membentuk mengalami perubahan dari tahun ke tahun
KPAD berdasarkan SK Bupati No. 402/2004. sesuai dengan pola perkembangan dan
Meskipun KPA sudah dibentuk, tetapi belum bisa kebutuhan masyarakat. Musrenbang sebagai
berbuat banyak karena tidak ada dana khusus wadah aspirasi kebutuhan masyarakat rutin
untuk KPA yang dialokasikan dalam APBD dilaksanakan setiap tahun di setiap tingkatan
Kabupaten Manokwari. Ketika terjadi perubahan pemerintahan. Berdasarkan salah satu
di KPA pada tahun 2006 melalui Kepres No. informan diketahui bahwa Musrenbang telah
75 Tahun 2006, KPA Kabupaten Manokwari mencerminkan kebutuhan masyarakat terkait
akhirnya diketuai oleh Bupati sehingga pada dengan pembangunan kesehatan, walaupun
tahun itu juga disahkan Perda No. 6 Tahun 2006 sebagian besar kebutuhan masyarakat lebih
tentang pencegahan, penanggulangan HIV/ menitikberatkan kepada pembangunan
AIDS dan IMS. kesehatan secara fisik.

Secara umum sudah tersedia layanan jaminan Gambaran status kesehatan masyarakat
kesehatan bagi masyarakat. Berdasarkan diperoleh melalui Riskesda, Surveilans, Sistem
informasi sampai tahun 2015 jumlah peserta Kewaspadaan Dini dan Penyelidikan KLB
BPJS Non PBI sebanyak 87.653 peserta dan Non dengan penyelidikan Epidemiologi (PE). Proses
PBI sebanyak 4.557 orang. Sebagaian besar ini memberikan informasi tentang pola penyakit
dari mereka masih mengalami hambatan dalam yang terjadi di masyarakat di Manokwari. Salah
kelengkapan administrasi sebagai persyaratan satu informan menyatakan bahwa ada lima
menjadi anggota JKN yaitu kartu keluarga dan jenis penyakit menular utama yaitu malaria,
148 KTP. Sebagian besar layanan baik di tingkat DHF, diare, filariasis, TB paru, IMS termasuk HIV
layanan dasar maupun lanjutan dapat diakses dan AIDS.
dengan menggunakan BPJS sesuai dengan Penyakit HIV dan AIDS sebagai salah satu
alur rujukannya, termasuk layanan pengobatan penyakit prioritas pemerintah daerah dan
IMS dan IO maupun rujukan ke rumah sakit. sudah masuk dalam RPJMD tahun 2013-2017. Ini
Sedangkan layanan tes HIV dan pengobatan semakin menunjukkan adanya komitmen dan
ARV diberikan secara gratis dengan dukungan dukungan pemerintah daerah baik dari segi
Kementerian Kesehatan dan lembaga anggaran maupun kebijakan daerah terhadap
donor. Sedangkan untuk Jamkesda belum upaya pencegahan dan penanggulangan
direalisasikan karena belum ada regulasi yang HIV dan AIDS. Selain dukungan pemerintah,
menjadi dasar pelaksanaannya di Manokwari. upaya penanggulangan HIV dan AIDS juga
Konteks hukum dan regulasi terkait didukung oleh lembaga non pemerintah (MPI)
penanggulangan HIV dan AIDS, termasuk melalui lembaga donor seperti CHAI, HCPI
program link to care HIV oleh pemerintah dan GF. Namun perhatian dan dukungan
daerah menunjukkan bahwa tidak ada yang besar terhadap upaya pencegahan dan
aturan dan regulasi yang menghambat atau penanggulangan HIV dan AIDS juga perlu
menghalangi orang untuk mengakses layanan didukung dengan pengelolaan dan koordinasi
kesehatan termasuk layanan tes HIV dan link program yang baik dari setiap pemangku
to care baik bagi masyarakat umum, ODHA kepentingan yang terlibat di dalamnya.
maupun kelompok populasi berisiko. Mekanisme untuk melihat besaran masalah
AIDS dilakukan melalui surveilans yang rutin
dilakukan oleh Dinas Kesehatan. Berdasarkan
surveilans dan data yang dihasilkan di layanan
kesehatan terkait dengan HIV dan AIDS,
diketahui bahwa terjadi peningkatan kasus
Studi Kasus

HIV dan AIDS dan perubahan pola epidemi bisa mengakses obat ARV di rumah sakit, di
HIV di Papua yang berubah dari epidemi samping masih kurangnya kesadaran ODHA itu
terkonsentrasi menjadi epidemi tergeneralisasi, sendiri untuk patuh minum obat dan takut untuk
dimana risiko penularan HIV dan AIDS sudah membuka status HIV-nya kepada keluarga
menyebar ke populasi umum. Perubahan pola sehingga tidak ada dukungan dari keluarga
epidemi HIV yang terjadi di Papua, termasuk dalam pengobatan ARV.
di Manokwari mengubah pola intervensi
kesehatan dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh karena
itu, upaya menjangkau masyarakat untuk
E. Efektivitas Layanan Link To
melakukan tes HIV tidak saja dengan sukarela Care HIV
atau VCT, namun dikolaborasikan dengan
Penelitian ini menemukan bahwa program link
inisiatif petugas atau KTIP.
to care HIV terintegasi sebagian dengan sistem
Layanan tes HIV dan link to care HIV, sebagian kesehatan secara umum. Tingkat integrasi program
besar menjadi tanggung jawab Dinas ke dalam sistem kesehatan dipengaruhi oleh
Kesehatan termasuk di dalamnya puskesmas banyak faktor. Menurut analisis Atun et al. (2010)
dan Rumah Sakit Daerah, upaya penjaringan faktor yang memengaruhi termasuk konteks politik,
dan penjangkauan dilakukan oleh puskesmas ekonomi, sosial dan budaya serta karakteristik
melalui upaya preventif dan promotif baik dari sistem kesehatan itu sendiri. Interaksi antara
kepada masyarakat umum, sedangkan untuk faktor tersebut dapat menciptakan kesempatan
kelompok populasi berisiko lebih banyak atau bahkan hambatan dan akan terlihat
menjadi tanggung jawab LSM. Walaupun dari pada bagaimana para pemangku kepentingan
jumlah keseluruhan puskesmas yang ada di strategis di daerah saling berelasi satu sama lain.
Manokwari yaitu 22 puskesmas, baru tujuh Terintegrasinya layanan link to care HIV ke dalam 149
puskesmas diantaranya yang menyediakan layanan puskesmas dipengaruhi oleh berbagai
layanan tes HIV, namun tidak menjadi kendala faktor yang memungkinkan maupun dapat
bagi nakes untuk menjaring dan menjangkau menghambat integrasi layanan, diantaranya:
orang lebih banyak dengan melakukan mobile
1. Masih terbatasnya SDM kesehatan yang
VCT. Sedangkan untuk mendekatkan pelayanan
memberikan layanan HIV dan AIDS di
pengobatan ARV kepada ODHA, yang selama
puskesmas dapat menghambat terintegrasinya
ini hanya terpusat di Rumah Sakit Daerah, ada
layanan link to care HIV ke dalam layanan
upaya Dinkes untuk melakukan uji coba inisiasi
puskesmas. Tim HIV dan AIDS di tujuh
ARV di lima puskesmas pada tahun 2017 yaitu
puskesmas yang tersedia layanan tes HIV
untuk Puskesmas Masni, Puskmas Pasir Putih,
sebagian besar terdiri atas 5–10 nakes,
Puskesmas Amban, Puskesmas Maripi dan
tergantung dari jumlah nakes yang tersedia di
Puskesmas Sanggeng. Ini dilakukan mengingat
puskesmas. Tim ini terdiri atas dokter, perawat
makin banyak ODHA yang putus obat dan tidak
dan bidan yang masing–masing memiliki
patuh dalam pengobatan. Data secara kumulatif
tanggung jawab layanan seperti konseling,
jumlah ODHA di Rumah Sakit Umum Daerah
tes HIV, pemeriksaan dasar, pengobatan
Manokwari tahun 2015 yang telah menerima
IMS dan IO serta pendampingan ODHA
ARV sebanyak 543 ODHA, dari jumlah ini
pada tahap awal pengobatan ARV. Untuk
sebanyak 163 (30%) ODHA gagal follow up
melaksanakan layanan dan menjaring lebih
sedangkan ODHA yang meninggal sebanyak
banyak orang untuk melakukan tes HIV, tim
133 (24%) orang. Padahal kondisi ini dapat
juga berkoordinasi dengan semua poli yang
dihindari apabila ODHA patuh minum ARV.
ada di layanan. Walaupun demikian, bagian
Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas
yang cukup sulit dirasakan oleh petugas
pendamping di puskesmas yang menyatakan
adalah pendampingan baik untuk rujukan
bahwa sebagian besar ODHA mengeluhkan
maupun pengobatan ARV di rumah sakit,
jauhnya jarak yang harus ditempuh untuk
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

mengingat kesadaran ODHA masih rendah. obat untuk ODHA setiap bulannya di Rumah
Bahkan menurut salah satu petugas, mereka Sakit Umum Daerah, dan mendistribusikannya
harus selalu menelpon dan mengingatkan ke ODHA. Upaya ini dilakukan untuk membantu
ODHA tentang jadwal pengambilan obat ODHA dan memperpendek alur pengambilan
dan memantau kepatuhan minum obat. obat ARV di rumah sakit. Sedangkan di tingkat
Kekurangan SDM dalam layanan link to Dinkes, ada upaya menyediakan layanan
care HIV dapat menghambat terintegrasinya ARV di tingkat puskesmas dengan inisiasi
layanan di puskesmas, namun bekerja sama ARV di puskesmas. Upaya ini direncanakan
dengan semua petugas kesehatan di layanan dilakukan pada tahun 2017, dimulai dengan
puskesmas dapat memungkinkan terjadinya lima puskesmas di Manokari. Namun masih
integrasi. Faktor penghambat lainnya terkait perlu berkonsultasi dengan Kementerian
dengan terbatasnya pembiayaan SDM untuk Kesehatan untuk mempersiapkan rencana
layanan HIV. Tersedianya insentif bagi petugas tersebut. Mengingat penyediaan dan distribusi
yang melakukan pelayanan HIV, dirasakan ARV berbeda dengan penyediaan dan distribusi
masih kurang karena alokasi anggaran tidak untuk pengobatan lainnya.
sesuai dengan jumlah petugas yang melakukan
3. Sistem Informasi HIV dan AIDS (SIHA) yang
pelayanan. Dengan demikian, maka faktor
digunakan oleh puskesmas dan rumah sakit,
SDM kesehatan untuk layanan link to care HIV,
secara umum sudah menjadi bagian dari
memungkinkan terjadinya integrasi layanan
sistem informasi kesehatan nasional. Namun
di puskesmas, namun perlu diperkuat dengan
dalam pelaksanaannya, pencatatan dan
koordinasi dan kerjasama dengan petugas
pelaporan data kasus HIV dan AIDS tidak
lainnya di puskesmas dan membangun
menjadi bagian pencatatan dan pelaporan
kerjasama dengan LSM yang fokus pada
dari layanan ke Dinkes. Di puskesmas untuk
150 penanggulangan HIVdan AIDS sehingga ada
pencatatan dan pelaporan penyakit secara
pembagian tugas dan tidak terlalu membebani
umum menggunakan SIMPUS (Sistem Informasi
petugas di puskesmas.
Puskesmas) dan pencatatan dan pelaporan
2. Ketersediaan layanan tes HIV dan link to care HIV dan AIDS tidak masuk di dalamnya tetapi
HIV di puskesmas hanya tersedia di tujuh terpisah. Kondisi ini dapat menjadi penghambat
puskesmas dari 22 puskesmas yang ada terintegrasinya layanan tes HIV dan link to care
di wilayah pelayanan dan dua rumah sakit. HIV di puskesmas. Selain itu, dalam SIHA juga
Sedangkan untuk jam layanan, sesuai dengan tidak dapat mengakomodir semua pencatatan
jam pelayanan di puskesmas dan rumah sakit dan pelaporan HIV dan AIDS. Untuk data
yaitu mulai dari jam 07.30–13.00 WITA. Kondisi penjangkauan dan pendampingan kepada
ini dapat menjadi penghambat integrasi layanan kelompok populasi kunci maupun ODHA yang
tes HIV dan link to care HIV di puskesmas, lebih banyak dilakukan oleh LSM tidak dapat
mengingat terbatasnya jam layanan. diakomodir dalam SIHA. Oleh karena itu, LSM
Sedangkan tidak semua layanan dapat diakses menggunakan sistem informasi yang disesuikan
di puskesmas, untuk pengobatan ARV ODHA dengan lembaga donor.
harus dirujuk ke rumah sakit. Ini yang menjadi
4. Partisipasi masyarakat maupun kelompok
kendala, karena banyak ODHA yang enggan
populasi kunci dalam layanan tes HIV dan
untuk melanjutkan ke pengobatan ARV di
program link to care HIV di puskesmas masih
RSUD dengan berbagai alasan. Diantaranya
rendah. Upaya penjaringan untuk melakukan
jauhnya jarak yang harus ditempuh dan biaya
tes HIV lebih banyak dengan metode inisiatif
transport yang harus dikeluarkan. Oleh karena
petugas di setiap poli, dibandingkan dengan
itu, pentingnya pendampingan oleh petugas
metode suka rela. Selain itu, pendampingan
puskesmas saat pasien akan dirujuk ke rumah
ODHA sangat bergantung pada petugas
sakit, ataupun dapat bekerjasama dengan
di puskesmas dan belum banyak dibentuk
petugas LSM. Upaya yang saat ini dilakukan
kelompok dukungan sebaya (KDS) yang dapat
oleh petugas puskesmas yaitu mengambil jatah
Studi Kasus

menjadi tempat bagi ODHA untuk saling berbagi membutuhkan, sudah menggunakan ARV secara
pengalaman dan saling menguatkan serta berkesinambungan. Berdasarkan cakupan program
mendampingi dalam menjalani pengobatan yang dibandingkan dengan target, maka dapat
ARV. Hingga saat ini KDS baru terbentuk dikatakan program link to care HIV di Manokwari
di Puskesmas Wosi sedangkan di enam tidak efektif dalam penanggulangan HIV dan AIDS.
puskesmas lainnya belum. LSM yang terlibat
Data sekunder lainnya dari RSUD Manokwari
juga lebih menitikberatkan kepada pencegahan
sampai dengan bulan Agustus tahun 2015, dike­
dan promosi serta mitigasi dampak dibanding
ta­hui jumlah kumulatif orang yang telah masuk
layanan PDP termasuk pendampingan ODHA
perawatan HIV sebanyak 1.230 (73.6%). Dari jum­
dalam pengobatan ARV.
lah ini, diketahui sebanyak 1.003 (81,5%) orang
yang telah memenuhi syarat untuk masuk dalam
pengobatan ARV, sedangkan sebanyak 439 (35,6%)
F. Hubungan Antara Integrasi orang yang sudah memenuhi syarat, tetapi be­
Tes HIV ke dalam Pelayanan lum memulai ARV. Untuk memulai pengobatan
ARV memang diperlukan pemeriksaan dasar dan
Puskesmas/Rumah Sakit pe­nunjang untuk memastikan kondisi kesehatan
Dengan Efektifitas Program ODHA. Jenis pemeriksaan yang dimaksud adalah
pemeriksaan Viral Load, CD4 serta pemeriksaan
Link To Care HIV fungsi hati dan organ vital lainnya. Ini penting dila­
kukan untuk menghindari dampak pengobatan ARV.
Secara umum penilaian tingkat integrasi
berdasarkan penilaian sub-sistem kesehatan untuk Penilaian dampak pengobatan ARV dinilai
program link to care HIV terintegrasi sebagian ke dengan beberapa indikator. Berdasarkan data
dalam sistem kesehatan. Sedangkan penilaian layanan dari RSUD Manokwari tahun 2015 diketahui 151
efektifitas pelaksanaan program link to care HIV jumlah kumulatif ODHA yang telah menjalani
dengan beberapa kriteria baik secara kuantitas pengobatan ARV sebanyak 581 orang, dari jumlah
maupun kualitas. Efektifitas program link to care HIV tersebut diketahui ODHA yang meninggal dalam
dinilai berdasarkan seberapa besar kesenjangan pengobatan sebanyak 136 orang (23.4%), jumlah
antara jumlah yang telah mengambil tes HIV dan ODHA yang menghentikan ARV sebanyak satu
hasilnya positif dengan jumlah yang masuk ke orang (0.17%), jumlah yang gagal follow up selama
dalam perawatan HIV. lebih dari 3 bulan sebanyak 165 orang (28.39%),
jumlah yang rujuk keluar dengan ARV sebanyak
Berdasarkan data rekapan Dinkes Manokwari
17 orang (2.92%), jumlah ODHA yang masih
hingga bulan Agustus 2015, tercatat sebanyak
menjalani pengobatan ARV sebanyak 262 orang
17.367 orang yang telah melakukan tes HIV baik
(45%). Gambaran data ini menunjukkan bahwa
dengan metode sukarela maupun inisiatif petugas.
proporsi ODHA yang meninggal dibanding dengan
Dari sejumlah angka tersebut hanya 3.330 orang
yang masih dalam pengobatan ARV, tidak terlalu
diberikan layanan pasca konseling dengan hasil
jauh perbedaannya sehingga perlu ditingkatkan
HIV positif sebanyak 491 orang (2.82%). Pasien
kepatuhan minum obat dari ODHA. Hasil penilaian
dengan hasil HIV positif yang dirujuk untuk men­da­
tingkat kepatuhan ODHA dalam pengobatan ARV
pa­tkan layanan PDP sebanyak 370 orang (2.13%).
menunjukkan tingkat kepatuhan > 95% atau kurang
Berdasarkan data cakupan layanan masih 3 kali dosis tidak minum obat dalam periode 30 hari.
terdapat kesenjangan yang cukup besar antara
Penilaian efektifitas secara kualitatif program
proporsi cakupan orang yang melakukan tes
link to care HIV berdasarkan dimensi akses dan
HIV dengan proposi cakupan orang yang masuk
ketersediaan layanan. Hasil wawancara salah satu
dalam perawatan HIV yaitu sebesar 2,13%. Bahkan
informan menyatakan tidak mengalami kendala
angka ini masih jauh dari target yang ditetapkan
berarti saat mengakses layanan tes HIV dan PDP di
dalam Strategi Rencana Aksi Nasional (SRAN) HIV
puskesmas maupun di rumah sakit. Berikut kutipan
dan AIDS tahun 2010-2014 yaitu 60% ODHA yang
wawancaranya:
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

“pada saat datang kesini ada dapat kemudahan-kemudahan dari petugas


layanan, dibantu sama petugasnya, untuk mendapatkan pelayanan atau
obat disini mudah, enak, mereka baik-baik, gampang,luar biasa he he he..”
(Wawancara dengan Odha)

Terkait dengan cara pembayaran layanan, diketahui masih


banyak kelompok populasi kunci maupun ODHA yang belum menjadi
peserta JKN/BPJS, sehingga harus mengeluarkan uang sendiri untuk
mengakses layanan. Hambatan sebagian besar adalah kelengkapan
administrasi kependudukan seperti Kartu Keluarga (KK) dan KTP.
Sedangkan, untuk hambatan prosedural sebagian besar informan
menyatakan tidak menemui hambatan terkait prosedural dalam
pelayanan. Menyangkut konfidensialitasnya, ODHA menyatakan
sangat percaya kepada petugas kesehatan di layanan maupun
petugas LSM. Salah satu informan yang berasal dari kelompok
populasi kunci menjelaskan bahwa semua WPS yang diperiksa
atau menjalani tes IMS, HIV dan AIDS tidak ada seorang pun yang
mengetahui status teman lainnya sesama WPS karena sangat dijaga
kerahasiaannya oleh petugas. Berikut kutipan wawancaranya:
Gambar 10. Jumlah “iya semua kalau setelah cek sini kita buka hasilnya masing masing itu kan
Pasien Yang hanya dokter yang tau antara si opsinya sendiri misalnya korekan ya di panggil
1 per 1 sapa taw kita biasanya kan habis di korek kan harus diperiksa di lab perlu
Mengikuti Test HIV minum obat kah tidak itu kan dokter yang punya ini toh dokter punya pekerjaan
152

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari


Studi Kasus

Gambar 11. Jumlah


ODHA yang
Mengikuti Tes dan
Perawatan HIV

saya tidak tau itu semua masih rahasia” (Wawancara petugas karena statusnya baik sebagai ODHA 153
dengan WPSL anggota OPSI) maupun kelompok populasi kunci. Dalam pela­yan­
Sedangkan untuk keterjangkauan layanan ada an pun tidak ada diskriminasi dari petugas layanan.
informan yang menyatakan bahwa biaya transport Justru rasa takut ditolak datang dari ODHA itu
untuk sekali perjalanan menuju fasilitas pelayanan sen­diri.
kesehatan kurang lebih Rp 50 ribu rupiah, untuk Untuk memberikan penjelasan kontribusi
melakukan tes HIV, pemeriksaan dasar dan penun­ integrasi terhadap efektivitas, digunakan hasil
jang. Tidak tersedia biaya operasional kepada deskripsi dan analisa penilaian tingkat integrasi,
ODHA untuk mengakses layanan, insentif berupa akses ketersediaan layanan, kualitas layanan
uang transport hanya diberikan kepada petugas dan cakupan layanan pada program link to care
puskesmas yang melakukan pendampingan dan HIV. Kerangka konseptual yang dikembangkan
peng­ambilan obat ARV di RSUD. penelitian ini mengasumsikan bahwa integrasi
Terkait kapasitas dan kemampuan petugas, pada intervensi spesifik pada sistem kesehatan
in­forman menyatakan dokter yang melakukan pela­ umum berkontribusi pada efektifitas layanan.
yanan sudah cukup baik dan professional. Berikut Mekanisme integrasi dapat terjadi melalui
kutipan wawancaranya : pengaturan atau adopsi pada tata kelola,
pembiayaan, perencanaan, pemberian layanan,
“iya yang jelas ya yang namanya tim dokter pasti orang
orang yang sudah ini lah yang sudah professional dalam
monitoring evaluasi serta demand generation
melayani kesehatannya orang karena kesehatannya (Atun.2010). Integrasi dapat meningkatkan cakupan
orang itu susah sulit jadi gak sembarang sembarang dan aksesibilitas layanan (Car et al. 2012; An et
sembarang orang gak sembarang petugas begitu” al ,2015), mengurangi fragmentasi, penghematan
(Wawancara dengan WPS anggota OPSI)
melalui penggabungan pendanaan dan keahlian,
serta meningkatkan sumber daya (Atun et al.2009),
mengamankan keberlanjutan dan efektivitas
Berdasarkan hasil wawancara diketahui, intervensi dan penguatan sistem kesehatan
infor­man tidak pernah mengalami penolakan dari
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

(Kawonga et al, 2012; 2013; Maher 2010; Grepin dan oleh SDM kesehatan dibanding non kesehatan.
Reich, 2008;Cash-Gibson dan Rosenmoller 2014;. LSM Mikotepmos lebih menitikberatkan kepada
Shigayeva et al, 2010). upaya pencegahan dan promosi kesehatan
kepada masyarakat, tetapi mereka juga melakukan
Penilaian tingkat integrasi program link to
penjaringan kepada masyarakat untuk melakukan
care HIV menunjukkan fungsi sistem program
tes HIV di fasyankes. Peran LSM sangat startegis
link to care HIV terintegrasi sebagian dengan
karena memiliki fleksibilitas waktu dalam
sistem kesehatan secara umum. Kesimpulan
menjangkau dan menjaring masyarakat termasuk
penilaian ini berdasarkan atas penilaian integrasi
kelompok populasi kunci, di mana fleksibilitas
masing-masing dimensi. Dari keseluruhan dimensi
ini tidak dimiliki oleh SDM kesehatan yang ada
dalam sub system kesehatan ada 1 dimensi yang
di puskesmas maupun di rumah sakit sehingga
tidak terintegrasi dengan program link to care
kesenjangan ini dapat menjembatani melalui peran
yaitu dimensi akuntabilitas, sedangkan yang
yang dilakukan oleh petugas penjangkau dari LSM.
terintegrasi secara penuh ada dua dimensi yaitu
Selain itu dapat membantu mengurangi beban kerja
dimensi regulasi dan pembiayaan. Sedangkan
yang cukup besar dari SDM kesehatan. Namun
sisanya terintegrasi sebagian diantaranya dimensi
sayangnya belum ada mekanisme yang mengatur
formulasi kebijakan, dimensi pengeloaan sumber
kerjasama antara SDM kesehatan dan non
pembiayaan, dimensi penganggaran, proporsi,
kesehatan dalam program link to care HIV. Selain
distribusi dan pengeluaran, dimensi mekanisme
itu juga peran yang dilakukan oleh SDM didukung
pembayaran layanan, dimensi kebijakan dan
sepenuhnya oleh lembaga donor. Oleh karena itu,
sistem manajemen SDM, dimensi kompetensi
kerjasama yang terjadi lebih bersifat sementara,
SDM, dimensi sinkronisasi sistem informasi dan
tergantung dari program dan lembaga donor dari
diseminasi dan pemanfaatan informasi, dimensi
LSM tersebut.
regulasi penyediaan, penyimpanan, diagnostik dan
154 terapi, dimensi sumber daya, dimensi ketersediaan Gambaran ini memperkuat terjadinya integrasi
layanan, dimensi koordinai dan rujukan dan dimensi sebagian pada sub-sistem SDM berdampak
jaminan kualitas layanan. terhadap efektifitas layanan oleh SDM sehingga
cakupan layanan rendah. Hal ini ditunjukkan
Hasil penilaian tingkat integrasi sub-sistem
dengan perbedaan kesenjangan yang sangat
tersebut berbanding lurus dengan penilaian
besar antara mereka yang hasil tesnya positif
efektifitas program link to care HIV di Manokari
dengan mereka yang masuk dalam perawatan HIV.
yang menunjukkan efektifitas yang rendah.
Walaupun berdasarkan penilaian kualitas layanan,
Kondisi ini tidak serta merta menjadi dasar
SDM kesehatan yang memberikan pelayanan
penilaian efektifitas program link to care HIV di
dinilai professional dan memiliki kemampuan serta
Manokwari. Oleh karena itu, pada bagian ini akan
konfidensial dalam layanan, namun keterbatasan
menjelaskan bagaimana hubungan integrasi pada
jumlah SDM dan beban kerja yang tinggi dapat
program link to care yang berkontribusi terhadap
memengaruhi efektifitas cakupan layanan di
efektivitas. Pengertian efektivitas dalam penelitian
puskesmas maupun di rumah sakit.
ini mengacu pada kemampuan sebuah intervensi
untuk mencapai tujuan, penghematan biaya untuk Selain SDM, efektifitas pelaksanaan program
pemanfaatan yang lebih besar serta kesesuaian link to care HIV juga perlu ditunjang dengan
dengan posisi kontekstual. Sebagaimana yang ketersediaan farmasi dan alkes seperti reagen,
ditunjukkan dalam berbagai literatur. (Wilson et obat IO dan obat ARV. Menurut PIC AIDS Dinkes
al.,2015; Grassly et al.,2001; Van Deusen et al., Kabupaten Manokwari untuk kebutuhan reagen
2015). sampai dengan saat ini masih tercukupi dengan
baik, sedangkan obat-obatan terkait dengan
Program link to care merupakan bagian dari
IO terutama kotri yang selalu menjadi kendala.
layanan PDP baik yang ada di puskesmas maupun
Hal ini karena kotri itu selalu dibutuhkan oleh
rumah sakit. Efektifitas program sangat ditunjang
setiap pasien, sedangkan kotri yang disiapkan
oleh kuantitas dan kualitas SDM di layanan. Dalam
di puskesmas untuk kebutuhan rutin puskesmas,
pelaksanaanya, peran lebih besar dilaksanakan
Studi Kasus

sedangkan untuk program sendiri tidak ada.


Sedangkan untuk pengobatan ARV hanya tersedia
di RSUD Manokwari yang tidak masuk dalam
perencanaan dan penganggaran kebutuhan
daerah. Kondisi ini menunjukkan untuk sub-
sistem penyediaan farmasi dan alat kesehatan
yang terkait dengan HIV terintegrasi sebagian,
berdampak terhadap efektifitas program link to care
HIV di puskesmas atau rumah sakit yang rendah.

155
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

05.
Studi Kasus: Program Anti Retroviral
Treatment (ART)

A. Deskripsi Intervensi melanjutkan pengobatan di sana. LSM pada alur ini


berperan dalam memberikan dukungan mulai dari
Program ART saat rujukan awal sampai saat proses pengobatan
Obat ARV saat ini masih menjadi pilihan dalam dimulai. Bentuk dukungan bermacam-macam
perawatan ODHA karena sejauh ini ART mampu melalui para petugas lapangan, buddies, manajer
menurunkan angka kematian dan kesakitan kasus juga kelompok dukungan sebaya (KDS).
serta meningkatkan kualitas hidup ODHA. Hal Proses tersebut membutuhkan waktu, tenaga dan
ini menjadikan HIV dan AIDS sebagai penyakit juga biaya yang tidak sedikit dan belum semua
yang bisa dikendalikan meskipun di sisi lain obat layanan ditanggung oleh jaminan kesehatan
ini menimbulkan berbagai efek samping serta nasional (JKN) atau daerah.
kemungkinan resistensi obat (Kementrian Kesehatan Dalam pelaksanaannya, program ART harus
156
RI, 2012). Di Indonesia perawatan HIV melalui ARV, memperhatikan beberapa hal, yaitu:
disertai dengan pengobatan pendamping lainnya
untuk infeksi menular seksual (IMS) dan infeksi 1. Pengobatan ARV harus dilakukan seumur hidup,
oportunistik (IO), menjadi salah satu pilar dalam sehingga perlu pendekatan perawatan penyakit
penanggulangan HIV dan AIDS untuk mencapai kronis;
three zero (zero new infection, zero AIDS related 2. Diperlukan tingkat kepatuhan yang sangat
death and zero discrimination). tinggi yaitu >95% untuk menghindari resistensi
Program ART melalui beberapa tahap mulai dari virus;
penegakan diagnosis HIV melalui konseling dan 3. Layanan ART akan meningkatkan kebutuhan
tes HIV sukarela (KTS) atau Konseling dan Tes HIV layanan KTS dan seiring itu juga meningkatkan
atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan (KTIP) kegiatan pencegahan dan keterlibatan ODHA
di tingkat PKM, klinik swasta atau rumah sakit. Bila dalam penanggulangan HIV dan AIDS;
hasil diagnosisnya positif maka dalam konseling
akan diberikan informasi dan dirujuk ke layanan Oleh karena itu, dibutuhkan layanan
perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) yang komprehensif berkesinambungan yang mampu
ada di rumah sakit untuk melakukan pra-ARV. Ini meningkatkan kualitas hidup ODHA dan juga
adalah serangkaian layanan untuk menilai stadium meningkatkan kepatuhan dalam berobat ARV.
klinis, status imunologis dan virologis yang akan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meluncurkan
menentukan apakah pasien sudah memenuhi program layanan komprehensif HIV-IMS
syarat untuk terapi ARV dan menentukan paduan berkesinambungan (LKB) dan SUFA sebagai
obat ARV yang sesuai (Kementrian Kesehatan bentuk upaya mengatasi permasalahan tersebut,
RI, 2011). Setelah semua tahapan dilalui baru meningkatkan cakupan tes HIV dan ART serta
pelaksanaan ART dapat dilaksanakan. Setelah meningkatkan kepatuhan terhadap ART. Program
menjalani pengobatan ARV dan kondisi stabil ini sudah dilaksanakan di beberapa daerah di
maka ODHA akan dirujuk ke PKM satelit ART untuk Indonesia dan terus dikembangkan.
Studi Kasus

Dukungan dan komitmen yang lebih besar terkait pembiayaan


khususnya dari pemerintah daerah masih sangat dibutuhkan. Meskipun
dari tahun ke tahun pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS terus
meningkat, namun sampai saat ini Indonesia masih bergantung pada
donor asing. Kemenkes menyatakan bahwa kebutuhan ARV sudah
terpenuhi dari anggaran APBN namun senyatanya sampai tahun 2015,
APBN untuk ARV masih mendapatkan sokongan dana dari GF.

Studi kasus ini dilakukan untuk melihat dan menganalisis sejauh


mana program ART sudah terintegrasi dalam sistem kesehatan di
daerah, yaitu di provinsi DKI Jakarta dan Kota Makassar. Berdasarkan
alur di atas, secara umum DKI Jakarta dan Kota Makassar sudah
memiliki layanan ART yang tersebar di beberapa fasyankes baik di
tingkat rumah sakit maupun puskesmas yang terpilih dan memenuhi
syarat untuk melakukan layanan ART. Di wilayah DKI Jakarta saat ini
sudah ada 28 rumah sakit dan 10 PKM yang melaksanakan program
ART mandiri, sementara di Kota Makassar ada enam rumah sakit yang
melayani ART dan lima PKM serta satu BBKPM yang melaksanakan
program ART mandiri. Layanan untuk ART di kedua wilayah ini berjalan
beriringan dengan dilaksanakannya program LKB dan SUFA sebagai
bentuk pelaksanaan program dari Kemenkes.

Analisis studi kasus di kedua daerah ini diharapkan dapat


dimanfaatkan untuk menilai sejauh mana kesiapan daerah untuk
mandiri dalam pengadaan ARV dan pelaksanaan program ARV di 157
daerah bila sudah tidak ada donor. Selain itu, hasil penelitian ini juga
Gambar 12. Alur diharapkan mampu melihat kesempatan di mana program dapat
perawatan ARV dan ditingkatkan atau apakah ada best practice yang sudah berjalan
di daerah yang menjadi daerah penelitian yang mungkin dapat
tempat layanannya dimanfaatkan di daerah lainnya dengan penyesuaian.

Pelaksanaan ART
Diagnosis HIV Pra ART RS dan Puskesmas yang
di Puskesmas, RS, Klinik, RS atau Puskesmas yang menyediakan layanan ARV
Mobile VCT menyediakan layanan ARV atau fasyankes satelit ART
(Puskesmas atau klinik swasta)

• Penilaian stadium klinis


Hasil tes HIV positif • Penilaian imunologis Mulai pengobatan
• Penilaian virologis

Sumber: diadaptasi dari Pedoman LKB


Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Sumber: Kementrian Kesehatan RI, 2015

158
Gambar 13. B. Analisis kontekstual
Pengadaan ARV di Pada bagian ini dibahas beberapa faktor-faktor eksternal
Indonesia yang dianggap cukup memberikan pengaruh pada program
penanggulangan HIV dan AIDS khususnya pada program PDP
(program ART) dan bagaimana integrasinya ke dalam sistem
kesehatan. Dengan mempertimbangkan aspek kunci utama seperti
yang dilakukan Coker, et al (2010) dan yang sudah dilakukan juga
pada penelitian tahap I, konteks yang dianalisis di sini fokus pada
konteks politik, ekonomi, hukum dan peraturan serta permasalahan
kesehatan.

1) Komitmen politik
Provinsi DKI Jakarta telah menunjukkan komitmen politiknya
yang sudah cukup tinggi terkait program penanggulangan HIV
dan AIDS, sementara untuk Kota Makassar meskipun telah
menunjukkan komitmen, namun dianggap masih kurang. Komitmen
politik di kedua wilayah ditunjukkan melalui RPJMD mereka yang
telah memasukkan poin terkait penanggulangan HIV dan AIDS
secara spesifik di dalam salah satu prioritas masalah kesehatan.
Penyusunan RPJMD dilakukan selaras dengan RPJMN dengan
menyesuaikan kondisi dan kebutuhan daerah.

Komitmen politik lainnya terkait penang­gu­lang­an HIV dan AIDS


ditunjukkan oleh pemda di kedua wilayah melalui berbagai
Studi Kasus

regulasi daerah. Misalnya di DKI Jakarta su­dah dalam sistem kesehatan mulai dari fasyankes
ada Perda No. 5 Tahun 2008 tentang penang­ sampai pelayanan dasar termasuk di dalamnya
gu­langan HIV dan AIDS, tiga Pergub, satu surat layanan program HIV dan AIDS di mana
keputusan (SK) dan tiga surat edaran (SE) dari pengelolaan keuangan sudah lebih mandiri,
berbagai SKPD. Di Kota Makassar baru ada SK berdasarkan Permendagri No. 61 Tahun 2007.
Walikota terkait penanggulangan HIV dan AIDS,
sementara perda penanggulangan HIV dan
AIDS saat ini masih berupa draft dan ditargetkan 2) Ekonomi
akan disahkan tahun 2016.
Proporsi dana untuk kesehatan di kedua
Komitmen dalam regulasi juga ditindaklanjuti wila­yah sudah cukup besar. Proporsi APBD
oleh pemda di kedua wilayah dengan komitmen untuk kesehatan yang dialokasikan DKI
terhadap pembiayaan melalui penganggaran Jakarta (13.28%) lebih besar bila dibandingkan
untuk penanggulangan HIV dan AIDS, seperti dengan kota Makassar (sekitar 9%). Menurut
informasi berikut: data badan pengelola keuangan (BPK)21 DKI
“Kebijakan kesehatan mengenai prioritas Jakarta tahun 2015, proporsi anggaran APBD
penanggulangan HIV sudah menjadi bagian tersebut mencakup anggaran program di Dinas
yang harus dipakai oleh semua pimpinan daerah/ Kesehatan (Dinkes) yaitu Rp. 560,801,545,890
kepala SKPD dan telah tercantum didalam RPJMD.
(10.86%), anggaran untuk enam suku dinas
Kita mempunyai satu target. Di DKI komitmen
politiknya dari segi pimpinan sekarang mendukung kesehatan (Sudinkes) yaitu Rp. 281,367,755,168
penanggulangan HIV/AIDS. Hal ini di tunjukkan (5.45%) dan anggaran BLUD untuk rumah
dalam bentuk anggaran untuk HIV/AIDS cukup sakit sebesar Rp. 2,056,283,045,593 (39.83%).
besar menurut kami, yaitu untuk pelayanan program
Sementara di Kota Makassar, dana APBD
yang dilaksanakan oleh PKM dan RS” (wawancara
untuk kesehatan di Dinkes sebesar Rp.
mendalam UPT HIV UI-RSCM, Dinkes DKI Jakarta, 159
September 2015) 180,020,338,000 dan di RSUD sebesar Rp.
79,129,761,000. Bila ditinjau dari UU No. 36
Tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 171 ayat
Namun di Kota Makassar, pendanaannya
(2), maka proporsi anggaran kesehatan di Kota
dianggap masih banyak bergantung dari
Makassar masih belum memenuhi 10%.
donor luar negeri. Pemda Makassar memiliki
kerjasama dengan beberapa lembaga Proporsi dana kesehatan yang disebutkan
internasional yang membantu pembiayaan di atas, sudah meliputi dana untuk
program HIV dan AIDS. Sementara di DKI penanggulangan HIV dan AIDS. Di mana
Jakarta, bentuk kerjasama dengan lembaga dana untuk penanggulangan HIV dan AIDS di
internasional sifatnya langsung berkoordinasi daerah sumbernya tidak hanya dari APBD saja
dengan SKPD terkait atau hanya dalam bentuk namun juga dari APBN dan mitra pembangunan
koordinasi dan fasilitasi yang semuanya diatur internasional (MPI). Untuk wilayah DKI Jakarta,
dalam Pergub Prov DKI Jakarta No. 269 Tahun dana untuk HIV dan AIDS meliputi: (1) dana
2014 tentang Pola Kerjasama Luar Negeri. APBD tahun 2015 yang tersebar di sejumlah
SKPD/UKPD sebesar ± Rp. 21.3M rupiah22;
Meskipun demikian, saat ini pemerintah
(2) anggaran hibah kepada KPAP sebesar
daerah sudah mulai mengantisipasi dan
Rp.17.4M; dan (3) sumber dana lain yaitu GF
menganggarkan dana APBD yang lebih besar
ATM Rp. 1,984,116,396 (untuk KPAP), HCPI
untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Sistem
Rp. 3,682,077,693 (KPAP, Dinkes, RSKO, RS
desentralisasi dianggap memberikan pengaruh
Fatmawati, media), ASA/SUM Rp. 938,000,000,
yang cukup baik dalam pembiayaan layanan
SUM2 Rp. 5,544,079,449 (untuk tahun 2011-
kesehatan. Penggunaan APBD menjadi
lebih efisien serta memberikan otonomi ke
pemerintah daerah untuk membuat program 21) Sumber Data dari Badan Pengelola Keuangan Daerah DKI
dan inovasi sesuai dengan kebutuhan daerah. Jakarta diakses dari website: www.jakarta.go.id
Sistem desentralisasi ini sudah diterapkan 22) informasi dari wawancara dengan Bappeda DKI Jakarta
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Tabel 24. Gambaran


Pendapatan Asli
Daerah (PAD) Nilai Realisasi PAD Peningkatan
No Tahun
Provinsi DKI Jakarta (dalam Triliun) (%)

Tahun 2008-2015 *
1 2008 10.455,57 -

2 2009 10.608,03 1.46

3 2010 12.891,99 21.53

4 2011 17.825,99 38.27

5 2012 22.091,10 23.93

*) Perkembangan PAD DKI Jakarta dari tahun 2008 sampai dengan 2012, diakses dari website:
https://www.google.com/url?q=http://www.jakarta.go.id/v2/uploads/embed/LPPD/2012/files/res/
downloads/page_0309.pdf&sa=U&ved=0ahUKEwjPkdu_uJ_LAhVOBY4KHYRBBSYQFggTMAc&client=i
nternal-uds-cse&usg=AFQjCNGhKHb48RxlweCIPrMXK5u-XBF9zg

160 Situasi ekonomi daerah memengaruhi


2012)23. Sementara data yang terkumpul
untuk kota Makassar anggaran APBD untuk bagaimana akses masyarakat ke layanan
penanggulangan HIV dan AIDS adalah sebesar kesehatan. Bila dikaji berdasarkan teori akses
Rp.405,000,000 ditambah pembiayaan yang layanan kesehatan (Penchasky et al., 1981), di
berasal dari MPI (GF) melalui salah satu LSM luar jaminan kesehatan yang ada, masih ada
pada bulan Januari–September 2015 sebesar biaya lainnya yang perlu dikeluarkan seperti
Rp 1,504,473,105.51 untuk Kota Makassar, Pare- biaya transportasi, kehilangan waktu untuk
pare dan Jeneponto. bekerja dan memperoleh penghasilan dan lain
sebagainya. Situasi ekonomi di masyarakat
Alokasi dana dari pusat tidak diperoleh detil
salah satunya dapat dilihat dari gambaran
besarannya, namun dana kesehatan yang
peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
berasal dari APBN berupa dana dekonsentrasi,
Peningkatan PAD juga memberikan dampak
BOK, DAU dan hibah. Salah satu informan di
pada anggaran, di mana peningkatan PAD
Jakarta menyebutkan ada proporsi pembagian
juga meningkatkan anggaran kesehatan.
sumber dana untuk penanggulangan HIV dan
Secara umum perekonomian di Kota Makassar
AIDS, antara pusat dan daerah, salah satu
menunjukkan tren yang meningkat dengan
contohnya adalah untuk kebutuhan obat dan
rerata pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun
reagen HIV:
2008-2012 termasuk tinggi yaitu 9.64%24. Situasi
“Ada edaran tahun 2013 bahwa pemenuhan yang serupa juga terjadi di DKI Jakarta dengan
pembiayaan logistik dan kebutuhan obat IO – HIV tren PAD yang terus meningkat.
IMS dengan perbandingan 40% pusat 60% pemda
dan reagen HIV 55% Pemda dan 45% pusat, ini
merupakan strategis pusat agar beban tidak hanya
di pusat” (wawancara mendalam UPT HIV UI-RSCM,
Dinkes DKI Jakarta, September 2015). 24) Profil Regional: Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan,
Juli 2015, diakses dari website: https://www.academia.
edu/14750763/Profil_Regional_Kota_Makassar_Prov._
23) Evaluasi Program HIV-AIDS DKI Jakarta 2008-2012 Sulawesi_Selatan
Studi Kasus

3) Hukum dan regulasi pemeriksaan penunjang saat ada BPJS justru menjadi
tidak bisa karena dianggap itu merupakan pelayanan
Saat ini sudah ada hukum dan peraturan yang rujukan sehingga tidak dibiayai BPJS jika dilakukan
pemeriksaan penunjang. Jika mereka bayar tidak ada
mengatur tentang akses layanan HIV dan AIDS
penggantian juga. Akhirnya masyarakat yg awalnya
(termasuk di dalamnya program ART) seperti nyaman dengan KJS kesannya jadi ada kemunduran,
yang telah disebutkan di atas sebagai bentuk sehingga rasanya sih kok kontra produktif ya”
komitmen politik dari pemerintah daerah. (wawancara mendalam UPT HIV UI-RSCM, Dinkes DKI
Sejauh ini juga tidak didapatkan hukum dan Jakarta, September 2015).

peraturan yang dianggap menghambat akses


layanan ART kecuali keluhan terkait syarat
administrasi (kelengkapan identitas diri seperti 4) Permasalahan kesehatan
Kartu Keluarga/KK dan Kartu Tanda Penduduk/
Konteks permasalahan kesehatan termasuk
KTP). Permasalahan yang berkaitan dengan
HIV dan AIDS dibahas di kedua wilayah, salah
administrasi tersebut terjadi pada akses
satunya melalui Musrenbang sebagai wadah
layanan kesehatan lainnya melalui BPJS.
penyusunan rencana pembangunan yang
JKN saat ini dapat diakses melalui BPJS dan dikembangkan dari bawah ke atas. Musrenbang
berlaku untuk semua masyarakat termasuk dilakukan di kedua wilayah untuk mendapakan
populasi kunci dan yang termarjinalkan. Di masukan dan informasi dari masyarakat, seperti
tingkat daerah jaminan kesehatan ini berupa yang dijelaskan oleh salah satu informan di
Jamkesda di mana untuk DKI Jakarta dikenal Kota Makassar:
dengan nama Kartu Jakarta Sehat (KJS) nya. “ini merupakan salah satu proses atau mekanisme
Pemerataan pelayanan melalui pemenuhan yang dijalankan pemerintah bagaimana bisa
fasyankes di semua wilayah DKI Jakarta merumuskan keinginan dan usulan usulan
merujuk pada Pergub DKI Jakarta No. 189 masyarakat, tentunya kan setiap lokasi daerah 161
kecamatan atau kelurahan kan punya kendala dan
Tahun 2015. Tambahan KJS (Jamkesda) di DKI
permasalahan sendiri-sendiri sesuai dengan kondisi
Jakarta juga didukung Pergub DKI Jakarta No. situasi lokasi mereka. Nah, melalui Musrembang
187 Tahun 2012 tentang pembebasan biaya yang dilaksanakan ditingkat kota baik Musrembang
layanan kesehatan untuk semua warga Jakarta, kelurahan, kecamatan dan akan sampai di tingkat
meskipun masih memiliki kendala yang sama kota inikan merupakan salah satu dasar kami dalam
penyusunan perencanaan dan ini memang sudah
terkait administrasi kependudukan.
kebijakan kota.” (wawancara mendalam Unhas,
Sistem JKN yang baru menerapkan layanan Kepala Dinkes Kota Makassar, Oktober 2015)

berjenjang, di mana layanan kesehatan


dasar hanya dilayani oleh puskesmas. Sistem
Mekanisme dalam penetapan masalah
perujukan berjenjang dianggap memberikan
secara umum adalah sama yaitu dengan
dampak negatif dan kontraproduktif dengan
memanfaatkan data-data kesehatan yang ada.
Jamkesda, karena layanan lanjutan tidak dapat
Contohnya di Kota Makassar permasalahan
ditanggung JKN bila dilakukan di fasyankes
kesehatan salah satunya dinilai dari data
dasar, meskipun sebenarnya fasyankes tersebut
yang diperoleh dari kunjungan masyarakat ke
memiliki kapasitas.
fasyankes. Sementara di DKI Jakarta penetapan
“Sebelumnya di DKI kita punya Kartu Jakarta Sehat permasalahan kesehatan salah satunya
(KJS), saat itu seluruh penduduk DKI bisa kita layani
dilakukan melalui data yang dikumpulkan
karena itu adalah wewenang kita karena masuk ke
Jamkesda. Dengan adanya BPJS melebur, dimana dari kegiatan kesehatan berbasis masyarakat
tingkat pelayanan primer BPJS menyamaratakan seperti Posyandu dan Posbindu. Penetapan
dimana tidak ada pemeriksaan rontgen, lab dan permasalahan kesehatan dilakukan oleh
lainnya sedangkan Puskesmas di DKI sudah pemangku kepentingan yang berperan dalam
dilengkapi pemeriksaan penunjang. Jadi kalau
kesehatan, antara lain Dinkes, fasyankes
disimpulkan menjadi mundur karena PKM di DKI
[Jakarta] sebelumnya sudah lengkap. Sedangkan seperti rumah sakit dan PKM serta LSM. Dasar
dengan BPJS yang pada awalnya di Puskesmas bisa epidemiologi yang dipakai untuk melakukan
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

penanggulangan belum terlalu jelas di kedua kesehatan, di mana Bappeda mendapatkan


wilayah tersebut. Pemangku kepentingan masih masukan dari Dinkes sebagai penanggung
merujuk pada data nasional dari Kemenkes, jawab utama kesehatan di daerah. Kemudian
atau bila menggunakan data daerah yang Bappeda menyesuaikan dan menyelaraskan
digunakan antara lain data kunjungan dan usulan yang ada dengan peraturan nasional
perawatan pasien di fasyankes, dan juga dan peraturan daerah lainnya.
prevalensi kasus dari tahun ke tahun. “iya betul jadi saya katakan bahwa HIV/AIDS ini
merupakan bentuk penanggulangan yang sifatnya
Beberapa penyakit menular telah menjadi
nasional nah oleh karena itu pemerintah kabupaten
prio­ritas daerah dalam perencanaan dan peng­ kota termasuk Makassar punya kewajiban untuk
anggaran APBD 2015 di kedua daerah antara melakukan itu melakukan penanggulangan yah
lain DBD, TB dan HIV. Jumlah kasus HIV yang punya kewajiban oleh karena itu di RPJM kita juga
cukup tinggi di kedua wilayah menjadi per­tim­ melalui SKPD lagi itu mereka sudah programkan. Itu
yang terkait dengan SKPD itu yang kita programkan”
bangan mengapa HIV dan AIDS menjadi sa­lah
(wawancara mendalam tim Unhas, Kepala Bappeda
satu penyakit prioritas. Di Kota Makassar ber­ kota Makassar, Oktober, 2015).
da­sarkan data dari KPA hingga Oktober 2015
ter­dapat 7,016 kasus HIV dan AIDS. Sementara
di Provinsi Sulawesi Selatan (merupakan Bappeda bekerja sama dalam kegiatan
pro­­vin­si induk dari Kota Makassar) mencapai advokasi dengan Dinkes agar perencanaan bisa
7,089 kasus HIV/AIDS25. Di provinsi DKI Jakarta disetujui dalam proses kajian oleh DPRD. Dari
ang­­ka kumulatif kasus HIV/AIDS pada triwulan hasil tersebut Bappeda akan mengoordinasikan
II (sampai dengan bulan Juni) 2015 men­­capai kepada seluruh SKPD untuk selanjutnya dapat
45,321 yang merupakan tertinggi di Indonesia. diimplementasikan melalui SKPD terkait.
Namun, meskipun permasalahan kesehatan
162
termasuk salah satu permasalahan wajib
C. Analisis Pemangku daerah yang harus ditangani oleh Bappeda,
namun bila dilihat lebih jauh lagi untuk
Kepentingan penanggulangan HIV dan AIDS khususnya
Analisis pemangku kepentingan dilakukan melalui program ART dianggap kurang prioritas
dengan melakukan identifikasi kepentingan dan karena selama ini masih menjadi program
kekuasaan masing-masing aktor yang terlibat nasional. Berdasarkan pertimbangan tersebut
dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Analisis maka kepentingan Bappeda bila dilihat untuk
fokus pada pengambilan kebijakan khususnya program ART maka kepentingannya rendah.
untuk program ART. Dari hasil pengelolaan data Di lain sisi, berdasarkan kekuasaan atas sumber
primer, telah diidentifikasi beberapa pemangku daya, Bappeda memiliki wewenang untuk
kepentingan yang akan dianalisis lebih lanjut menentukan program prioritas yang diusulkan
antara lain Bappeda, Dinas Kesehatan, KPAD, SKPD, selain itu juga mampu mengalokasikan
RSUD, Puskesmas/PKM, LSM serta populasi kunci sumber dana untuk penanggulangan HIV dan
dan ODHA. Hasil dari analisa dinilai seperti yang AIDS. Di kota Makassar, Bappeda beranggapan
telah dijelaskan pada bab II (halaman 15) dan dibuat bahwa mereka sudah mampu untuk mengatasi
matriks kuadran seperti pada gambar 14. permasalahan dalam penganggaran kesehatan
termasuk di dalamnya untuk HIV dan AIDS, di
mana saat membutuhkan dana yang besar,
1) Bappeda mereka mampu mengatasi dan mencarikan
jalan keluar. Sementara di DKI Jakarta seperti
Peran Bappeda terkait permasalahan HIV
dibahas di bagian komitmen politik daerah,
dan AIDS adalah penyusunan perencanaan
sudah ada komitmen pemda yang cukup besar
untuk pembiayaan menggunakan APBD.
25) Laporan Perkembangan HIV dan AIDS Triwulan II tahun
2015, kementrian Kesehatan Indonesia
Studi Kasus

Keterangan:

Dinas Kesehatan  Kepentingan Tinggi,


Kekuasaan Rendah

Tinggi

Kepentingan Tinggi,
LSM PKM Kekuasaan Tinggi
 Kepentingan Rendah
KE P ENTI NG A N

Kekuasaan Rendah
Populasi kunci  Kepentingan Rendah,
Kekuasaan Tinggi

 
 KPAD Bappeda
Rendah

 RSWS Prov Sulsel RSUD DKI Jakarta

RSUN

Rendah Tinggi

K E K UA S A A N

163
Gambar 14. Kuadran Dari hasil interview menunjukkan bahwa Bappeda melihat HIV
sebagai permasalahan nasional, sehingga kebijakan terkait HIV
Tingkat Kepentingan dan AIDS di daerah harus sejalan juga dengan kebijakan nasional.
dan Kekuasaan Berdasarkan hal tersebut maka penanggulangan HIV dan AIDS
Para Pemangku perlu menjadi prioritas daerah juga. Selain itu Bappeda memiliki
wewenang untuk menerapkan peraturan atau regulasi daerah,
Kepentingan salah satu contohnya adalah SK yang dikeluarkan oleh Walikota
Makassar tentang honor tenaga penjangkau HIV dan AIDS,
sehingga perencanaan anggaran untuk hal ini harus masuk dalam
APBD.

Berdasarkan pertimbangan kekuasaan yang dimiliki atas sumber


daya dan posisi politiknya, maka Bappeda dianggap memiliki
kekuasaan yang tinggi. Dampak yang timbul dari kondisi ini adalah
meskipun memiliki kekuasaan yang besar, Bappeda memerlukan
dorongan yang kuat untuk melakukan perubahan kebijakan dalam
program ART karena selama ini belum menjadi salah satu prioritas
dari Bappeda. Sampai saat ini, program ART masih sepenuhnya
ditanggung pemerintah pusat sehinga dari pemerintah daerah
hanya mengikuti saja kebijakan, regulasi dan termasuk juga
pembiayaan dari pusat.

2) Dinkes
Dinkes sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk
permasalahan kesehatan di daerah memiliki kekuasaan otonomi
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

untuk mengatur kesehatan rakyat di daerahnya. 3) KPAP/D


Untuk mencapai kepentingannya Dinkes di
kedua wilayah penelitian melakukan kajian Peran KPA adalah melakukan peran koordinasi
yang melibatkan masyarakat dan melalui antar SKPD, mitra lokal dan membentuk pokja
proses Musrenbang yang hasilnya menjadi yang dianggap perlu dalam penanggulangan
dasar usulan perencanaan RPJMD di Bappeda. HIV dan AIDS. Namun dalam program
Termasuk dalam perencanaan kesehatan ART, yang menjadi leading sector adalah
tersebut yaitu program HIV dan AIDS, salah Dinkes karena fokus utama adalah layanan
satunya layanan ART. pengobatan melalui fasyankes. Namun, dalam
pelaksanaannya program ART di luar fasyankes
Dinkes juga memiliki peran supervisi dan misalnya dukungan dalam hal menjaga
monev untuk menjaga kualitas mutu layanan kepatuhan minum obat melalui pendamping/
kesehatan, salah satunya melalui sistem buddies dan MK yang umumnya dari LSM.
informasi HIV dan AIDS (SIHA). Terkait hal itu,
Dinkes memiliki peran untuk memfasilitasi dan Berdasarkan hasil wawancara dengan
menyediakan kebutuhan fasyankes khususnya berbagai perwakilan pemangku kepentingan
yang tidak masuk dalam BLUD seperti obat khususnya perwakilan populasi kunci/LSM, KPA
ARV yang pengadaannya melalui pusat. Dinkes dianggap belum berperan maksimal dalam
juga bertanggung jawab dalam mengkoordinasi menjalankan fungsi dan peran koordinasinya
kerjasama antar layanan atau sistem rujukan baik DKI Jakarta maupun Kota Makassar. KPA
pengobatan ARV. Dari gambaran tersebut, jelas lebih sering menjadi implementor (pelaksana
bahwa kepentingan Dinkes sehubungan dengan program) sehingga membingungkan pelaksana
penanggulangan HIV dan AIDS khususnya ART di lapangan.
sangat tinggi. “….Harusnya KPA kota itu melibatkan LSM yang
164 ada di Makassar ini atau organisasi populasi kunci
Adanya desentralisasi daerah memberikan dalam setiap kegiatan yang isunya mengena dengan
Dinkes kekuasaan yang besar baik dalam apa yang ada di RAB mereka. Hitung-hitung itu
pemanfaatan sumber daya maupun posisi sebagai salah satu bentuk koordinasi. Dua eksistensi
politiknya. Termasuk wewenang untuk mendukung bentuk eksistensi LSM yang ada di
Makassar. Yang ketiga mungkin menjalankan fungsi
memanfaatkan sumber pembiayaan lain KPA kota sebagai lembaga koordinatif dan forum
sebagai dukungan program kesehatan aspirasi masyarakat harusnya menurut saya. Jadi
termasuk di dalamnya penanggulangan HIV bukan tidak eksklusif. Menurut saya kemudian KPA
dan AIDS seperti akses terhadap dana BOK, kota atau KPA provinsi menjadi, yaa… dasarnya
bisa dibilang hanya milik beberapa orang, mereka
bantuan MPI dan juga BPJS. Dinkes juga
yang merencanakan, mengonsep suatu kegiatan,
memiliki kewenangan dalam mengelola SDM tanpa melibatkan LSM dan masyarkat. Kemudian
termasuk mengontrak petugas (di luar pegawai implementasinya, implementasi juga mereka
negeri sipil/PNS) dan manajemen logistik yang lakukan” (wawancara mendalam tim Unhas,
terkait layanan ART kecuali ARV yang masih Perwakilan Populasi kunci kota Makassar, Juli 2015)
dari pusat. Secara struktural Dinkes memiliki
kekuasaan dalam menggerakkan fasyankes
di bawahnya untuk pelaksanaan program ART Namun, ada juga yang menyatakan bahwa
termasuk pelaporan secara berjenjang ke pusat KPA cukup membantu dalam menjembatani
terkait kebutuhan ARV. Proses distribusi ARV kepentingan populasi kunci dan ODHA, di
juga berjalan berjenjang baik di DKI Jakarta mana KPAP DKI Jakarta dianggap banyak
maupun Kota Makassar mulai dari pusat, ke membantu dalam memberi dukungan sosial.
Dinkes Provinsi lalu ke Dinkes Kabupaten/Kota Dari gambaran tersebut belum dapat dilihat
selanjutnya didistribusikan ke fasyankes. kepentingan KPA yang cukup tinggi terhadap
program ART.

Bila dilihat dari sisi kekuasaan, KPAP/D dalam


mengakses sumber daya masih sangat
Studi Kasus

tergantung dari dana APBD dan MPI. Di Kota dengan di PKM, memang kita betul betul dilibatkan
Makassar, dukungan dana APBD cukup besar dengan masyarakat dalam pertemuan keluraha,
kecamatan, itu memang tupoksi pkm....” (wawancara
terhadap KPA melalui dana hibah. Dana ini lebih
mendalam tim UPT HIV UI-RSCM, Kepala UPT HIV
banyak dimanfaatkan di sektor pencegahan RSCM, Agustus 2015).
berkoordinasi dengan LSM. Namun, dana hibah
tersebut sulit untuk dimobilisasi karena terikat
berbagai macam peraturan. Sementara itu ada dua tingkat rumah sakit
lainnya yaitu di tingkat provinsi (RS dr. Wahidin
Fungsi koordinasi KPAP/D yang seharusnya
Sudirohusodo/RSWS untuk Provinsi Sulawesi
dapat menjadi kekuatan untuk mengakses
Selatan) di Kota Makassar dan nasional (RS dr.
sumber daya untuk program ART dalam proses
Cipto Mangunkusumo/RSCM dan RS Dharmais)
politik tidak ditemukan dalam penelitian ini.
di DKI Jakarta yang memiliki fungsi dan peran
Posisi KPAP/D sebagai lembaga yang tidak
berbeda sesuai dengan tingkatannya. RSWS
berada dalam struktur Pemkot, membuat
sebagai RS rujukan dari RSUD Kota Makassar,
wewenangnya untuk mendorong SKPD, dalam
sama halnya dengan RSCM dan RS Dharmais
hal ini Dinkes untuk program ART menjadi
yang menjadi pusat rujukan dari RSUD yang
sangat rendah. Dengan kepentingan dan
ada di DKI Jakarta, meskipun ada pasien yang
kekuasaan yang rendah maka implikasi yang
langsung datang tanpa melalui jenjang rujukan.
ditimbulkan KPAP/D terkait program ART
Karena perannya sebagai rumah sakit rujukan
dianggap tidak memberikan dampak yang
dari daerah maka kepentingan ketiga rumah
berarti.
sakit ini sangat terbatas dan dapat dinilai
bahwa kepentingannya rendah.

4) Rumah Sakit (tingkat kabupaten/kota, Dilihat dari sisi kekuasaan, meskipun RSUD
memiliki sumber daya yang besar untuk
165
provinsi dan nasional)
pengobatan, bila digali lagi sumber daya yang
Selain berfungsi memberikan layanan kuratif khusus untuk penanggulangan HIV dan AIDS
bagi seluruh lapisan masyarakat, RSUD masih kurang di kedua wilayah penelitian.
juga berperan sebagai pelaksana program Kekuasaan akan sumber daya internal ada di
kesehatan salah satunya program ARV. RSUD tangan rumah sakit di semua level baik RSUD,
yang terpilih bertugas melaksanakan fungsi RSUP maupun RSUN. Mereka mampu membuat
sebagai pusat rujukan untuk layanan ART. peraturan internal, termasuk menyiapkan
Dalam pelaksanaannya, RSUD memiliki target layanan tambahan untuk HIV khususnya
yang ditetapkan daerah, misalnya target DKI ARV, misalnya layanan saat hari libur atau
Jakarta untuk mencapai tes HIV sebanyak penyesuaian jam kerja.
tiga juta orang yang menjadi target bersama
fasyankes. Namun sebagai unit rujukan, dalam Terkait dengan pengadaan obat, alat kesehatan
proses pemenuhan target tersebut rumah (alkes) dan kebutuhan layanan lainnya,
sakit cenderung lebih pasif. Untuk layanan RSUD baik di DKI Jakarta dan Kota Makassar
ART di kedua wilayah di tingkat puskesmas sudah banyak yang BLUD sehinggga punya
(layanan ART mandiri ataupun satelit) sudah kekuasaan untuk melakukan perencanaan
mengalami peningkatan sehingga RSUD sesuai kebutuhannya sendiri. Ini termasuk untuk
berfungsi lebih banyak sebagai pusat rujukan. obat IO, IMS dan reagen VCT, kecuali untuk
Hal ini menyebabkan kepentingan RSUD untuk pengadaan ARV yang pengadaannya dari
layanan ARV menurun sehingga dianggap pusat. Namun, berapa besar kebutuhan ARV
kepentingannya rendah. berdasarkan hitungan RSUD bukan Dinkes.
Terkait pembiayaan, RSUD hanya memperoleh
“...Konteks RS ini adalah rujukan untuk layanan, kalo
dari pemerintah sehingga ada atau tidaknya
keaktifan sebetulnya si agak sulit jawabnya karena
selama di sini tidak jalan ya masyarakat umum. Jadi
MPI dianggap tidak memberikan pengaruh
keterlibatan masyarakat dalam layanan di sini beda besar pada layanan.
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Tabel 25. Gambaran


Kekuasaan pada
Rumah Sakit di Nama RS
Status dan
Kekuasaan Kepentingan
daerah
Berbagai Tingkatan
RSCM dan RS Nasional, Tinggi Rendah
Dharmais Jakarta

Semua RSUD Kota/ Tinggi Tinggi


(RS Koja, RS Kabupaten,
Pasar Rebo, RS Jakarta
Budhi Asih, RS
Duren Sawit, RS
dr. Sutoyo, RS
Tarakan dan RSUD
Cengkareng)

RSWS Provinsi, Rendah Rendah


Makassar

RSUD Daya dan RS Kota/ Tinggi Tinggi


Labuang Baji Kabupaten,
Makassar

166

Dalam hal koordinasi sumber-sumber dana maupun Kota Makassar. Dalam melaksanakan
kadang rumah sakit merasa tidak banyak program HIV dan AIDS, puskesmas melakukan
dilibatkan, hal ini seperti yang disampaikan oleh penjangkauan misalnya melalui mobile clinic.
perwakilan dari RSCM (sebagai rumah sakit tingkat Hal ini juga menjadi bagian dari perannya
nasional) bahwa rumah sakit lebih dianggap sebagai layanan perifer yang berinteraksi
sebagai penerima anggaran saja. Sistem kesehatan langsung ke masyarakat, dan membuat
dibuat di luar sistem rumah sakit sehingga tidak puskesmas menjadi jauh lebih proaktif
memiliki kekuasaan atau pengaruh. Rumah sakit dalam pelaksanaan program di masyarakat
hanya bisa memberi masukan kepada pemerintah/ dibandingkan dengan rumah sakit.
Dinkes terutama terkait ketersediaan obat atau
Untuk layanan ART, belum semua puskesmas
pemeriksaan, misalnya untuk menurunkan harga
mempunyai layanan ART, namun jumlahnya
karena kebutuhan pasien cukup tinggi melalui
semakin bertambah. Dalam melaksanakan
pertemuan-pertemuan rutin yang diadakan Dinkes.
program ART, puskesmas memiliki kepentingan
Berdasarkan pertimbangan di atas maka tingkat untuk memenuhi target dari Dinkes. Namun
kekuasaan akan dinilai pada masing-masing level kenyataannya masih banyak informan yang
yang ditunjukkan dalam tabel 25. menyatakan tidak ada target spesifik untuk
layanan ART, sehingga pelayanan hanya
berjalan secara mekanis sesuai peran.
5) Puskesmas Dari data yang dikumpulkan, puskesmas di
Peran puskesmas adalah memberikan layanan kedua wilayah sudah melaksanakan program
kesehatan dan pelaksana program kesehatan LKB-SUFA. Program tersebut dianggap
termasuk program ART sebagai bagian cukup membantu mendorong pembentukan
dari layanan HIV dan AIDS di DKI Jakarta layanan ART di puskesmas. Dari gambaran
Studi Kasus

yang diberikan tentang peran dan fungsi mengusulkan regulasi terkait layanan ART
yang dilakukan oleh PKM di kedua wilayah sesuai dengan kebutuhan di layanan. Hal ini
menunjukkan bahwa PKM memiliki kepentingan dapat membantu meningkatkan efektifitas
tinggi dalam program HIV (ART). kerja mereka sebagai bagian dari pemenuhan
kepentingan mereka.
Dalam melaksanakan perannya, puskesmas
memanfaatkan kekuasaannya untuk mengelola
sumber daya yang ada. Puskesmas saat
ini memiliki kewenangan untuk membuat
6) LSM
perencaan RUK, termasuk program ART. Hasil Masing-masing LSM memiliki tujuan dan
perencanaan tersebut nantinya disesuaikan target yang berbeda. Dalam program ART,
dengan kegiatan Pokja HIV Daerah yang LSM memiliki kepentingan yang tinggi karena
kemudian dikaji dan diputuskan oleh Dinkes perannya LSM dalam membantu populasi kunci
terkait pembiayaannya. Beberapa puskesmas dan ODHA. Kekuatan LSM adalah kemampuan
di DKI Jakarta sudah BLUD sehinggga punya pengorganisasian dan pemberdayaan
kekuasaan untuk melakukan perencanaannya terhadap masyarakat maupun komunitas.
sendiri. Mereka berperan sebagai penghubung antara
“...Untuk pkm [Puskesmas] sudah BLUD sehingga komunitas dan layanan kesehatan, berperan
anggaran bisa dirancang sendiri secara leluasa sebagai educator dan pemberi informasi. Dalam
dari mulai perencanaan test, obat dan sdm asalkan melaksanakan perannya, LSM berkerjasama
kegiatan singkron dengan kegiatan di setiap
dengan puskesmas untuk memastikan
tingkatnya sama misalnya dari tingkat sudinkes kota,
dinkes sampai propinsi ....” (wawancara mendalam tim konstituennya dapat mengakses layanan ART
UPT HIV UI-RSCM, PJ program HIV Dinkes Prov DKI dengan baik. Meskipun demikian kinerja LSM
Jakarta, Agustus 2015). bervariasi, beberapa informan dari fasyankes
167
berpendapat bahwa LSM belum terlalu
menunjukkan perannya dan koordinasi dengan
Karena sumber dananya dominan dari fasyankes masih rendah.
pemerintah daerah maka tidak adanya
pendanaan dari donor tidak banyak LSM memiliki akses dana dari MPI untuk
berpengaruh terhadap layanan. Kemungkinan implementasi program, namun sumber dana
pengurangan layanan adalah dampak dari lainnya masih sangat terbatas, misalnya dari
hubungan kerjasama dengan LSM misalnya pemerintah atau swasta. Keterbatasan sumber
melalui kegiatan seperti mobile VCT atau dana ini menyebabkan kerjasama dengan
menerima rujukan pasien dari LSM. Sementara fasyankes terkesan datang dan pergi. Meskipun
LSM masih tergantung dengan donor dari luar. bermitra dengan MPI, LSM tidak memiliki
kekuatan negosiasi, terutama untuk kebutuhan
Puskesmas dalam konteks status politiknya komunitas di luar program yang sudah
mampu memberikan masukan kepada Dinkes dirancang.
terkait pemanfaatan APBD untuk layanan ART,
usulan kebutuhan tenaga penjangkau serta LSM tidak dikuasai oleh Dinkes, sehingga
mengajukan pelatihan-pelatihan tambahan mereka bisa bekerja sama dengan siapapun
sesuai dengan kebutuhannya. Dari deskripsi termasuk fasyankes sesuai kebutuhan.
di atas dapat dilihat bahwa PKM memiliki Namun LSM juga harus menyesuaikan dengan
kekuasaan yang cukup besar dalam mengakses aturan mitra kerja misalnya puskesmas dan
dan pemanfaatan sumber daya, selain itu kondisi pasien. Kerjasama dengan puskesmas
juga memiliki daya tawar yang cukup kuat membantu mekanisme layanan ART untuk
di Dinkes karena fungsinya yang besar di membantu mempermudah akses dan menjamin
layanan kesehatan masyarakat. Dampak ketersediaan ARV bagi konstituennya,
dari keadaan ini adalah bahwa puskesmas misalnya melalui MoU dengan puskesmas.
memiliki kemampuan untuk memengaruhi dan Dalam konteks politik yang lebih tinggi, LSM
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

belum banyak dilibatkan dalam pertemuan memiliki pemahaman dan pengetahuan yang
daerah misalnya Rakerda, sehingga suara bagus mengenai program ART dilibatkan
LSM belum terlalu berpengaruh khususnya misalnya sebagai kader LKB di puskesmas.
program ARV. Dengan demikian, meskipun Namun di luar itu pelibatan komunitas di
memiliki kepentingan tinggi, LSM tidak memiliki tingkat perencanaan program masih minim.
kekuasaan yang cukup besar yang dapat Populasi kunci dan ODHA kadang diundang
memberikan pengaruh terhadap regulasi dan dilibatkan dalam pertemuan perencanaan
program ART. di KPA, namun kekuatannya dalam memberikan
pengaruh kebijakan masih rendah. Dalam
kegiatan monev, pelibatan populasi kunci dan
7) Populasi kunci dan ODHA ODHA lebih sebagai objek untuk memberikan
informasi terkait kebutuhan sebagai masukan
Populasi kunci dan ODHA memiliki kepentingan dalam perencanaan program HIV termasuk di
yang tinggi karena mereka membutuhkan dalamnya program ART. Sehingga sama seperti
akses ke layanan kesehatan, dalam studi kasus LSM, posisi populasi kunci dan ODHA tidak
ini layanan yang dimaksud adalah layanan memberikan pengaruh besar dalam perubahan
ART. Di DKI Jakarta, target pemeriksaan HIV kebijakan di program ART, kecuali hanya
sudah meluas ke populasi umum sehingga sebagai subyek dan target dari program saja.
populasi kunci sudah harus terjangkau.
Layanan kesehatan, termasuk layanan ART, di
kedua wilayah seharusnya sudah bisa diakses
secara gratis melalui JKN atau Jamkesda. D. Deskripsi Fungsi Sistem
Namun di beberapa tempat untuk akses ARV Kesehatan dalam Layanan
masih dikenakan biaya administrasi (sekitar
168
+ Rp. 50,000.00). Bagi beberapa populasi ARV
kunci ini dianggap cukup memberatkan. Di Bagian ini berisi gambaran secara lebih detil pada
sisi lain, faktor status ODHA membuat mereka masing-masing dimensi yang ada di sub-sistem
mendapatkan perlakuan khusus di layanan kesehatan. Hasil integrasi dari masing-masing
kesehatan dan hal ini dianggap menguntungkan dimensi kemudian dianalisa kembali pada tingkat
bagi mereka. sub-sistem untuk menilai integrasi tingkat sub-
Akses informasi HIV sudah banyak diberikan sistem, dan hal yang sama dilakukan untuk menilai
di fasyankes maupun LSM. Populasi kunci dan integrasi pada program ART.
ODHA memiliki sumber daya yang unik yaitu
akses terhadap kelompok dan komunitas
mereka sehingga memudahkan mereka untuk 1) Manajemen dan regulasi
menyampaikan informasi dan mendampingi a. Regulasi
melalui kelompok dukungan sebaya (KDS).
Dalam perannya ini populasi kunci didampingi Pada dimensi regulasi ini antara sistem
dan dibiayai oleh MPI di bawah koordinasi KPA. dan program penanggulangan HIV dan
ODHA dalam akses layanan banyak dibantu AIDS telah menunjukkan integrasi penuh,
oleh dampingannya seperti KDS, sehingga meskipun integrasi yang ditunjukkan
akses lebih mudah misalnya pendaftaran BPJS tidak menggambarkan secara spesifik
secara kolektif. untuk intervensi program ARV. Kesimpulan
ini berdasarkan pertimbangan bahwa
Meskipun memiliki posisi strategis, namun permasalahan HIV dan AIDS sudah masuk
populasi kunci dan ODHA tidak memiliki dalam prioritas kesehatan di kedua wilayah
kemampuan advokasi dan negosiasi. Hal ini (DKI Jakarta26 dan kota Makassar27) yang
menyebabkan kekuasaan mereka rendah.
Beberapa populasi kunci dan ODHA yang 26) RPJMD DKI Jakarta tahun 2013-2017
27) RPJMD Kota Makassar tahun 2014 - 2019
Studi Kasus

diterjemahkan dalam APBD dan diturunkan b. Formulasi kebijakan


dalam renstra kesehatan dan rencana kerja
Proses pengembangan program ART
Dinkes seperti yang digambarkan pada konteks
(perencanaan, penganggaran, alokasi dana
komitmen politik di atas. Meskipun tidak
dan pertanggungjawaban) masih bersifat
diperoleh data detail APBD untuk program
vertikal baik di DKI Jakarta maupun Kota
ARV, dana program ARV sudah ada dalam
Makassar, sehingga bisa dikatakan bahwa
APBD DKI Jakarta dan Kota Makassar yang
proses formulasi kebijakan tidak terintegrasi.
tersebar di SKPD/UKPD. Pemanfaatan dana
Perencanaan kesehatan di kedua wilayah
APBD digunakan untuk mendanai program yang
dikembangkan berbasis data program ART
belum mendapatkan pembiayaan dari APBN
yang telah dikumpulkan dan dianalisa melalui
maupun donor, di mana harus juga dipastikan
SIHA. Namun, diakui bahwa masih ada
tidak terjadi tumpang tindih antara anggaran
hambatan dalam SIHA termasuk pemanfaatan
dari BOK, dana dekonsentrasi, dana dari MPI
data di daerah. Dari data dan masukan dari unit
dan lain sebagainya.
pelaksana seperti puskesmas dan masyarakat,
Pelaksanaan dan tata kelola program HIV disusun renstra kesehatan termasuk program
dan AIDS menjadi tanggung jawab daerah ART oleh Dinkes, seperti contoh yang
dan menyesuaikan dengan SRAD. Karena disampaikan oleh informan di bawah ini:
program ARV masuk dalam wilayah perawatan, “….usulan-usulan program itu memang masukannya
fokus kerja ada pada puskesmas dan RSUD dari puskesmas apa yang akan kita laksanakan apa
di bawah Dinkes. Sementara penyediaan ARV yang kita programkan itu kita masukkan ke dinas
kesehatan kota nanti dinas kesehatan kota yang
semua dikelola pusat (dana APBN didukung
godok lagi untuk penganggarannya.” (wawancara
GF) dan didistribusikan ke daerah melalui mendalam tim Unhas, pengelola program HIV PKM
jalur berjenjang. Obat dan alkes lainnya Kassi, September 2015)
169
terkait program ART dikelola oleh daerah
menggunakan dana APBD seperti yang Namun, untuk program ART pelaksanaan sistem
dijelaskan dalam kutipan di bawah ini: desentralisasi belum terjadi karena program
ART merupakan program nasional sehingga
“….Kita ga menanggung kebutuhan obat, reagen,
formulasi kebijakannya terpusat. Manajemen
alkes fasyankes, itu langsung ke unit masing –
masing. Tetapi untuk pembelian ARV ditanggung
pengadaan ARV sudah dibuat di tingkat
pusat. Sebagai gambaran saja di tingkat nasional nasional, dan daerah tinggal melaksanakannya.
belanja ARV menempati no 2 di tingkat nasional. Perencanaan jumlah kebutuhan disusun
Dari bantuan LN yaitu GF sekitar 12 M/tahun dengan berdasarkan laporan dari fasyankes, yang
WP 3 tahun juli 2012 – juni 2015 untuk DKI saja.”
dilaporkan secara berjenjang, kemudian
(wawancara mendalam Tim UPT HIV UI-RSCM, PJ
program HIV Dinkes Prov DKI Jakarta, Agustus 2015) pengadaan dan distribusi diatur dan dibiayai
dari pusat.

Terkait dengan penganggaran, di DKI Jakarta


Hambatan yang dihadapi di wilayah DKI adalah
tidak diperoleh data detail per program namun
pada keterbatasan pembiayaan yang berbentuk
dari anggaran untuk penanggulangan HIV
hibah sehingga menjadi tidak leluasa dalam
hanya diperoleh informasi dari perwakilan KPAK
pemanfaatannya untuk mendukung kegiatan
Jakarta Pusat bahwa perkiraan penggunaan
LSM. Dibutuhkan regulasi yang lebih jelas
proporsi anggaran HIV sebesar 70% untuk
tentang pemanfaatan dana hibah. Sedangkan
program, 20% untuk gaji, 10% untuk operasional
di Makassar hambatan yang muncul adalah
kantor. Sementara bila dilihat dari sumber
perebutan wilayah kerja antar LSM untuk
dananya, informasi yang sama diperoleh bahwa
memenuhi target daerah yang cukup tinggi
untuk pengadaan obat ARV di kedua wilayah
karena dibuat berdasarkan target nasional.
mendapat pendanaan penuh dari APBN.
Diperlukan koordinasi dan perencanaan
Sementara untuk CST penganggaran berasal
program yang lebih baik sesuai dengan situasi
dari APBD masing-masing daerah, di mana di
epidemi daerah.
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Kota Makassar disusun oleh tim CST dengan 2) Pembiayaan


melibatkan pengelola program HIV PKM dan tim
a. Pengelolaan sumber pembiayaan
lainnya yang terlibat.
Sudah ada mekanisme pengelolaan sumber
dana dan koordinasi bagaimana pemanfaatan
c. Akuntabilitas dana dalam pembiayaan program HIV dan AIDS
Analisis integrasi untuk akuntabilitas mengacu di DKI Jakarta dan Kota Makassar, termasuk
pada akses masyarakat untuk ikut dalam proses di dalamnya program ART. Dapat disimpulkan
monitoring dan evaluasi program ART termasuk bahwa sudah ada integrasi penuh dalam di­
terlibat dalam pengambilan keputusan. Proses men­si ini yang akan digambarkan lebih detail
yang terjadi antara sistem kesehatan umum dan pada penjelasan di bawah, termasuk beberapa
program ART sama, meskipun bila digali lebih hambatan dalam hal koordinasi dan masalah
dalam, peran dan akses masyarakat masih kecukupan anggaran.
sangat kurang terutama dalam pengambilan Sumber dana untuk pelaksanaan pembangunan
keputusan. Berdasarkan penilaian tersebut, yang berasal dari berbagai sumber, mem­bu­­
dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas tuh­kan koordinasi yang baik dalam peman­fa­
dianggap belum terintegrasi. atannya untuk perencanaan dan pelaksanaan
Musrenbang sebagai salah satu cara pro­gram. Pengelolaan dana di DKI Jakarta
keterlibatan masyarakat dalam proses dilakukan bersinergi dengan kebijakan nasional,
perencanaan di DKI Jakarta dan Kota Makassar, sehingga untuk pembiayaan program ART bisa
belum menunjukkan bukti adanya usulan dikelola dengan baik pembagiannya antara
dalam perencanaan untuk layanan ART oleh APBD, APBN atau sumber lainnya. Koordinasi
perwakilan masyarakat. Di DKI Jakarta menurut ini dilakukan oleh Dinkes sebagai penanggung
170
perwakilan dari Dinkes, Musrenbang cukup jawab utama bidang kesehatan di daerah.
bermanfaat, namun perwakilan dari KPAP Sementara di Kota Makassar, koordinasi pe­
berpendapat lain bahwa Musrenbang selama nge­lolaan sumber dana terkadang masih
ini belum terasa manfaatnya. Keterlibatan me­ng­alami permasalahan karena kompleksitas
masyarakat atau populasi kunci dapat dilihat peng­anggaran lintas program.
dalam lingkup LSM, di mana ada keterlibatan Sementara itu, pendanaan untuk program ART
dan koordinasi yang cukup baik dalam (diluar pengadaan obat ARV) yang ada di kedua
perencanaan program di tingkat LSM. Hal ini daerah, bervariasi. Dari data yang terkumpul
diungkapkan oleh perwakilan KPAP DKI Jakarta tidak didapatkan informasi kekurangan atau
secara tertulis: pengalihan atau pemotongan alokasi dana
“Masyarakat dalam hal ini LSM Peduli AIDS dan program ART. Di DKI Jakarta dianggap sudah
Komunitas Jaringan diikut sertakan dalam Rakeda mencukupi untuk pengembangan respons
maupun Rakerwil Kota/Kab setiap Tahun” ( jawaban PDP HIV. Meskipun dana BPJS dianggap
tertulis kepada tim UPT HIV UI-RSCM, KPAP DKI
belum mampu memenuhi semua kebutuhan
Jakarta, Agustus 2015).
layanan ART, namun Pemda memiliki KJS
untuk menutupinya. Di Kota Makassar, alokasi
Akses informasi terkait laporan program ART dana BPJS sebagian bisa digunakan untuk
juga tidak diperoleh informasi bagaimana operasional puskesmas yang mendukung
laporan diinformasikan kepada masyarakat layanan ART (diluar obat ARV) sehingga
sehingga koordinasi dan komunikasi antara membantu mengurangi anggaran dari Dinkes.
pembuat/pelaksana program ART dengan Jumlah pendanaan di Kota Makassar dianggap
masyarakat atau penerima manfaat dianggap masih kurang karena masih banyak bergantung
sangat rendah. dukungan dari program GF. Hal ini sesuai
dengan gambaran yang diberikan oleh salah
satu informan dari PKM di Kota Makassar:
Studi Kasus

“…sejauh ini belum. kalo untuk sementara ini karena itulah kendalanya
persoalan dana karena kadang kenapa saya bilang persoalan dana karena
seperti yang saya bilang tadi kadang-kadang persoalan pendukungnya kaya
reagen, obat VCT dan sebagainya kadang kita kekurangan…” (wawancara
mendalam tim Unhas, pengelola program HIV PKM Kassi, September 2015).

Untuk pembiayaan program ART sejauh ini untuk penyediaan obat


masih sepenuhnya dari pusat. Sementara untuk penunjang program
ART menggunakan dana JKN atau APBD. Dari penggu­na­an dana
tersebut, ada sistem pelaporan dari unit kerja secara langsung
sebagai pertanggungjawaban penggunaan dana.

b. Penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran

Tingkat integrasi pada dimensi penganggaran, proporsi distribusi


dan pengeluaran untuk program ART adalah tidak terintegrasi. Ka­
re­­na meskipun sudah ada mata anggaran untuk program HIV dan
AIDS, namun belum ada mata anggaran spesifik untuk program ARV
di tingkat daerah, semuanya masih dibiayai oleh APBN sehingga
dianggap tidak ada integrasi di tingkat daerah dan program ini ber­ja­
lan paralel dengan program kesehatan lainnya.

Proporsi anggaran APBD untuk penanggulangan HIV dan AIDS di


Tabel 26. Estimasi DKI Jakarta dan Kota Makassar dananya sudah cukup besar dan 171
cenderung semakin meningkat dari tahun ke tahun. Meskipun di Kota
Kebutuhan Makassar dianggap masih belum mencukupi kebutuhan dan masih
Dana untuk banyak tergantung dari donor GF. Untuk proporsi anggaran ke­
Penanggulangan sehatan berdasarkan layanan preventif, kuratif dan rehabilitatif tidak
didapatkan data secara detil dalam APBD, namun diperoleh proporsi
HIV dan AIDS (dalam estimasi kebutuhan untuk dana penanggulangan HIV dan AIDS.
Milyar Rupiah) Sementara untuk proporsi dana yang tersedia untuk program (PDP)

Jenis Kebutuhan 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Pencegahan 244,6 298,4 343,2 326,1 332,6 335,9

PDP 271,6 282,5 299,4 323,4 358,9 376,9

Mitigasi Sosisal

Lingkungan Kondusif 113,6 138,6 160,8 170,4 182,3 191,5

Jumlah 629,8 719,5 803,4 819,9 873,8 904,3

Sumber: SRAP DKI Jakarta tahun 2013-2017


Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

ARV tidak didapatkan data besarannya, yang juga mencakup layanan ART meskipun yang
ada hanya dana untuk HIV secara keseluruhan ditanggung oleh JKN dan Jamkesda belum
misalnya di DKI Jakarta ada sekitar Rp 3 miliar. semua.
“Kalau untuk sekarang ini Alhamdulillah di cover
sama JKN atau BPJS cuman di dalam JKN itu ada
Untuk proporsi pendanaan berdasarkan sebenarnya kriteria-kriteria juga yang sampai teman-
informasi yang didapat di Kota Makassar, dana teman agak muncul pertanyan-pertanyaan seperti
permasalahan kemarin BPJS cuman menanggung
dari donor (GF) termasuk membiayai tes VCT dan
pengobatan CMV tapi dengan catatan CD4 di
terapi ARV bersama dengan dana APBN, dana bawah 100….. Nah yang ke 2 BPJS kalau untuk
BOK untuk kegiatan pencegahan berupa transport teman-teman B20 itu kadang kita mensiasatinya
petugas dan sosialisasi PMTCT. Di DKI Jakarta dengan diagnosisnya ji yang muncul, tapi infeksi
proporsi pendanaan untuk HIV dan AIDS secara oportunistiknya tidak terlalu pudar sebenarnya tapi
pada prinsipnya teman-teman ketika di rawat inap
umum dari daerah (APBD) cukup besar termasuk
itu sudah jelas kelihatan bahwa, contoh salah satu
di dalamnya pembiayaan program ART, di luar rumah sakit Wahidin contoh, ketika dia mengakses
obat ARV pembiayaan lainnya seperti biaya untuk dan rawat inap di infection center lantai 3 itu dengan
pemeriksaan lab dan keperluan pra-ARV sebagian sendirinya pasti statusnya B20 walaupun cuman
dibiayai oleh APBD. yang dimunculkan diagnosis dan IO nya” (wawancara
mendalam tim Unhas, Populasi Kunci, Juli 2015).
Dana penanggulangan HIV dan AIDS selain

dana yang disalurkan melalui SKPD/UPKD tersebut
ada dana hibah, misalnya yang diberikan pada Untuk obat ARV semuanya ditanggung
KPAD maupun Dinkes. Dana hibah ini seharusnya pemerintah pusat melalui anggaran program
bisa dimanfaatkan untuk mendukung pembiayaan nasional, dan untuk pemeriksaan lab lainnya
link to care yang banyak dilakukan oleh LSM dalam masih out of pocket. Di Kota Makassar informasi
172 mendukung layanan ART dalam konteks yang lebih yang didapat adalah belum ada upaya
besar. Namun sayangnya hal ini belum terjadi. Dana untuk menanggung biaya non JKN tersebut.
hibah ini bila tidak terserap harus dikembalikan ke Skema pembayaran layanan kesehatan JKN
pusat. Proses penganggaran, proporsi dan distribusi menggunakan regulasi yang ditetapkan oleh
dana hibah ini sangat dipengaruhi oleh pusat. BPJS. Hal ini cukup membantu akses layanan
kesehatan meskipun masih ada hambatan
dalam pemanfaatan JKN. Populasi kunci
c. Mekanisme pembayaran layanan secara umum bisa mengakses layanan melalui
JKN hanya saja prosedur JKN di DKI Jakarta
Mekanisme pembayaran layanan ART
dianggap cukup menghambat, sementara di
seharusnya masuk dalam JKN (BPJS). Namun,
Makassar ada informan yang menyatakan
beberapa pemeriksaan masih harus bayar
bahwa layanan JKN mensyaratkan pasien untuk
(out of pocket) dan obat ARV masih menjadi
tidak menyertakan status HIV nya.
tanggungan APBN. Dengan pertimbangan
bahwa belum semua aspek layanan ART
dijamin oleh pemerintah maka penilaian dimensi
ini masih terintegrasi sebagian. 3) Sumber Daya Manusia
Untuk pemanfaatan JKN, di DKI Jakarta saat a. Kebijakan dan sistem manajemen
ini diperkirakan ada sekitar 8,492,117 jiwa (6%) Tingkat integrasi untuk kebijakan dan sistem
yang mengakses JKN PBI dan 4,869,009 jiwa manajemen pada sub-sistem sumber daya
(4%) JKN non PBI yang dapat digunakan untuk manusia dianalisa berdasarkan adanya
layanan orang miskin dan termarjinalkan. regulasi yang mengatur tentang SDM yang
Selain melalui JKN PBI di DKI Jakarta ada digunakan dalam program ARV di daerah
jaminan kesehatan dari daerah melalui KJS. yang meliputi kompetensi, pengembangan
Sementara di Makassar layanan Jamkesda juga kapasitas, mutasi, hubungan kerja dengan non
berjalan secara paralel. Layanan kesehatan ini pemerintah. Hasil analisis menunjukkan bahwa
Studi Kasus

dimensi ini hanya terintegrasi sebagian karena yang terlibat di program ART tidak dibiayai oleh
masih ada beberapa nomenklatur SDM dalam pemerintah. Meskipun hampir semua sumber
program ARV yang belum masuk dalam sistem pembiayaan untuk pegawai baik kontrak
kesehatan. maupun honorer yang menjalankan program
kesehatan termasuk program HIV dan AIDS
Status kepegawaian untuk SDM kesehatan di
yang ada di DKI Jakarta dan Kota Makassar
kedua wilayah yang bekerja di kabupaten/
dibiayai APBD, namun masih ada beberapa
kota/provinsi saat ini sama, yaitu PNS, kontrak/
posisi dan ada beberapa biaya tambahan
honorer, relawan yang meliputi seluruh
seperti insentif staf yang diperoleh dari MPI
program kesehatan termasuk program
yaitu GF.
ART. Ada fasyankes yang memiliki tenaga
kesehatan khusus untuk HIV saja (biasanya Status kepegawaian untuk layanan ART di
terdiri dari 3-4 orang yang terdiri dari dokter, fasyankes pemerintah diutamakan PNS namun
perawat dan petugas RR), namun banyak yang karena keterbatasan SDM, ada tenaga yang
masih merangkap seperti yang terjadi di Kota dikontrak menggunakan dana BLUD. Selain itu,
Makassar dan beberapa di DKI Jakarta. ada beberapa fasyankes yang menggunakan
“Kalo khusus untuk HIV gada. Karena kalo perawat
sumber pembiayaan dari BOK misalnya di Kota
dia harus satu poli gitu. Poliklinik gitu, ada dokter Makassar, petugas lapangan PKM dibiayai
bedah, ada dokter penyakit dalam. Itu harus dia dengan dana BOK, dan ada petugas kesehatan
pegang semua dengan 4 perawat kalo sore….” honorer yang mendapat dana dari GF.
(wawancara mendalam tim UPT HIV UI-RSCM, staf
klinik HIV RS Dharmais, Agustus 2015). Insentif untuk tenaga kesehatan di kedua
daerah tidak ada dalam anggaran daerah,
namun di Kota Makassar menyatakan beberapa
Sementara itu, diluar tenaga kesehatan posisi di program ARV seperti pendamping dan 173
ada tenaga penjangkau28 yang tidak hanya petugas mobile VCT mendapatkan insentif dari
menjalankan fungsi sesuai dengan SK yakni GF. Hal inilah yang berbeda dengan sistem
berada di layanan, namun juga mendampingi kesehatan karena semua kegiatan terkait
ODHA. Tenaga penjangkau ini tidak ada dalam kesehatan adalah tanggung jawabnya tanpa
nomenklatur SDM kesehatan di mana contoh ada insentif tambahan. Yang menjadi masalah
nomen klatur SDM kesehatan dapat dilihat adalah keberlanjutan program saat insentif
pada Perda DKI Jakarta No. 4 Tahun 2009 tidak ada, karena sistem ini tidak dapat diadopsi
tentang Sistem Kesehatan Daerah. Menghadapi dalam sistem pembiayaan SDM kesehatan.
situasi ini, sikap pemerintah daerah bervariasi.
“Ini mi, ini mi juga jadi tantangannya karena kalau
Misalnya, di Kota Makassar telah ada SK saya nda tau bagaimana kota Makassar tapi
dari Gubernur yang mengatur tentang hal ini kejadiannya itu di Kabupaten Kota. Dulu waktu masih
sehingga SDM ini bisa masuk dalam APBD. di support dengan GF round 4 mereka rajin untuk
membuat laporan ARV, ketika selesai round 4 tiba-tiba
Untuk tenaga tambahan di luar SDM kesehatan
malas mi” (wawancara mendalam tim Unhas, Populasi
seperti PL atau pendamping, bila dibutuhkan Kunci YPKDS, Juli 2015).
biasanya ada rekomendasi atau kriteria
pengetahuan dasar yang diperlukan.
c. Kompetensi

b. Pembiayaan Kompetensi bagi SDM yang bekerja dalam


program HIV dan AIDS (program ARV) sudah
Analisis integrasi pembiayaan pengelolaan diatur oleh Kemenkes namun masih terbatas
SDM untuk program ARV menunjukkan bahwa pada tenaga kesehatan saja, sementara
dimensi pembiayaan ini hanya terintegrasi tenaga non kesehatan lainnya seperti petugas
sebagian karena masih ada beberapa SDM lapangan, pendamping, konselor, buddies
28) Peraturan Mentri Kesehatan (Permekes) RI nomor 21 Tahun dan manajer kasus belum ada regulasi resmi
2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

dari Kemenkes. Kompetensi bagi tenaga mekanisme JKN, meskipun obat lain yang
non kesehatan tersebut sebagian masih terkait seperti IO sudah masuk dalam JKN.
dikembangkan dengan bergantung dari Sistem perencanaan dan pengadaan obat
pengembangan yang dilakukan oleh MPI. dan alkes untuk program ART sebagian masih
Berdasarkan hal tersebut di atas, dimensi berbeda dengan mekanisme sistem kesehatan.
kompetensi ini dianggap masih terintegrasi Dinas kesehatan hanya mengadakan reagen
sebagian. untuk pemeriksaan HIV saja. Pengadaan reagen
diajukan oleh bagian laboratorium, sementara
Pengembangan kompetensi bagi petugas
untuk pengadaan rapid test 3 metode
kesehatan cukup banyak, namun informasi
disediakan oleh GF melalui Dinkes Provinsi.
terkait kompetensi layanan ART tidak
didapatkan. Anggaran Dinkes untuk Pencatatan dan pelaporan ART dilakukan
pengembangan kapasitas stafnya untuk berjenjang mulai dari fasyankes ke Dinkes
program HIV, juga standar kompetensi untuk sampai dengan pusat (Kemenkes). Sistem ini
layanan sudah ada di APBD. Berdasarkan data digunakan sebagai dasar pengadaan obat baik
sekunder dokumen pelaksanaan anggaran di DKI Jakarta30 maupun Kota Makassar yang
satuan kerja perangkat daerah DKI Jakarta29 saat ini keduanya sudah menggunakan sistem
cukup banyak pelatihan dan bimbingan teknis online yang memanfaatkan database IOM
untuk staf kesehatan, sementara untuk tenaga dan SIHA. Perencanaan pengadaan obat ARV
non kesehatan umumnya dilakukan oleh LSM dibuat berdasarkan banyaknya penggunaan
sesuai kebutuhannya dengan dukungan dana obat dari laporan bagian RR yang terhubung
dari MPI. dengan bagian farmasi. Semua pengadaan dan
distribusi obat HIV oleh Kemenkes dilakukan
Pergantian staf cukup sering terjadi dan
melalui Kimia Farma. Penyimpanan obat
174 dianggap memengaruhi layanan program ART
dilakukan di unit farmasi dengan stok per tiga
karena keahlian SDM sangat penting. Seringkali
bulan untuk antisipasi adanya pasien transfer.
pengganti belum terlatih sehingga mengganggu
Ada permasalahan terkait isu obat kadaluarsa
jalannya layanan.
karena proses distribusi yang panjang. Untuk
“Yang sering dtemukan yaitu Seringkali terjadi dan masalah ini, obat yang kadaluarsa bisa
ditemukan disaat seorang tenaga sudah kompeten
dilaporkan ke pusat dan akan diganti.
dan harus berganti karena promosi, mutasi dan
rotasi sehingga harus melatih kembali tenaga baru Dalam proses pengadaan obat dan alkes ada
kadang menjadi kendala yaitu pekerjaannya menjadi
kemungkinan terjadinya stock out. Jika hal
terganggu capaiannya…” (wawancara mendalam tim
UPT HIV UI-RSCM, PJ program HIV Dinkes Prov DKI tersebut terjadi maka dilakukan komunikasi
Jakarta, Agustus 2015.) dengan POKJA HIV di RS, kemudian ke Dinas
Kesehatan, Global Fund, Kimia Farma, bahkan
sampai Subdit HIV dan AIDS Kemenkes. Dari
4) Penyediaan farmasi dan alkes Dinkes DKI Jakarta menyatakan bahwa di
Jakarta sudah tidak pernah mengalami stock
a. Regulasi penyediaan, penyimpanan, out, karena ada persiapan tiga bulan. Namun
diagnostik dan terapi saat dikonfirmasi di fasyankes, hal ini kadang
Analisis integrasi pada dimensi ini menunjukkan masih terjadi di kedua wilayah. Pada tingkat
belum terintegrasi ke dalam sistem kesehatan. layanan biasanya saling meminjam obat, di
Penilaian berdasarkan bagaimana regulasi mana untuk obat yang dipinjam akan tercatat
penyediaan, penyimpanan material, diagnostik, sebagai obat keluar dengan memberikan
dan terapi terkait program ART belum berjalan keterangan.
seperti penanggulangan permasalahan
kesehatan lainnya. ARV belum masuk dalam
30) Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota
29) Dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja perangkat Jakarta Nomor 45 Tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan
daerah DKI Jakarta tahun 2013, diakses dari www.jakarta.go.id Pengadaan Barang/Jasa secara Elektronik (e-Procurement)
Studi Kasus

“...apabila terjadi stock out pak, kita sebelum terjadi 5) Informasi strategis
stock out ehh mekanisme kita apabila terjadi
kekurangan gitu kita lakukan adalah pemberian lebih a. Sinkronisasi sistem informasi
pendek biasanya jatah arv satu bulan kita kasih dua
minggu, supaya jadi stabil menunggu datangnya Pelaporan data kesehatan termasuk HIV secara
obat” (wawancara mendalam tim UPT HIV UI-RSCM, umum sama dilakukan berjenjang dari bawah
Kepala UPT HIV RSCM, Agustus 2015). ke atas. Namun untuk program AIDS termasuk
di dalamnya program ARV memiliki sistem
informasi tersendiri yaitu SIHA yang berbeda
b. Sumber Daya dan berjalan secara paralel dengan program
Sumber pembiayaan untuk penyediaan, kesehatan lainnya. Berdasarkan hal tersebut
penyimpanan, distribusi obat dan perlengkapan bisa disimpulkan bahwa program HIV termasuk
medik untuk ARV ditanggung oleh pemerintah ARV di dalamnya tidak terintegrasi.
melalui APBN di luar JKN (BPJS). Hal ini Pengumpulan data program ART di Makassar
berdasarkan Permenkes No. 21 Tahun 2013 dilakukan dengan cara pengumpulan data
tentang penanggulangan HIV dan AIDS pasal dari seluruh puskesmas dan rumah sakit yang
44 ayat (1) yang menyebabkan dimensi sumber kemudian dilaporkan ke Dinkes secara rutin
daya untuk penyediaan farmasi dan alat setiap bulannya dan dimasukkan secara online
kesehatan ini belum terintegrasi karena sumber menggunakan SIHA. Di beberapa daerah
dayanya masih terpisah dari sistem kesehatan masih ada sistem informasi lainnya yang
umum. Sementara untuk obat dan alat dikembangkan. Di Kota Makassar ada juga
kesehatan yang berkaitan dengan program HIV SIPKBI yang merupakan sistem informasi yang
dan AIDS seperti obat untuk infeksi oportunistik dikelola oleh PKBI dengan bantuan dari MPI,
dan reagen dibiayai oleh APBD tingkat provinsi, sementara DKI Jakarta memiliki Jakarta AIDS
sama halnya di DKI Jakarta maupun Kota 175
Information System (JAIS). Berbagai sistem
Makassar. informasi yang berbeda ini, seringkali tidak
Di DKI Jakarta dan Kota Makassar, akses tersinkronisasi dengan baik. Selain itu, meskipun
ke layanan ART sudah cukup baik, dimana saat ini bentuk pelaporan sudah semakin
fasyankes yang melayani ARV juga sudah banyak yang dibuat dengan sistem online
semakin bertambah yaitu di DKI Jakarta sudah masih banyak ditemukan laporan dalam bentuk
ada 28 rumah sakit dan 10 PKM, sedangkan di manual karena sistem online masih mengalami
Kota Makassar sudah ada 12 pusat layanan ARV berbagai kendala teknis. Oleh karena itu masih
(terdiri dari 6 rumah sakit, 5 PKM dan 1 BBKPM). diperlukan dua data yaitu online dan hardcopy
Kemudahan akses ini didukung adanya JKN untuk validasi.
(BPJS) dan juga Jamkesda di kedua wilayah Untuk laporan rutin bulanan di program HIV,
ini. Di Kota Makassar, BPJS menanggung obat data yang dikumpulkan berkisar tentang jumlah
IO meskipun mereka mensyaratkan adanya pasien yang pra ARV, jumlah pasien ARV, VCT,
pemeriksaan CD4 yang harus out of pocket dan jumlah pasien yang positif HIV, dll, seperti yang
ada batas minimal untuk CD4. dijelaskan oleh informan dari Kota Makassar:
“….tapi sampai sejauh ini teman2 di layanan “kita kan menggunakan sistem informasi HIV/
provinsi maupun di kota, itu tidak menjadi masalah AIDS online, untuk LKB yang dilaporkan semua
ketika mereka mengakses layanan dengan BPJS layanannya, ada VCT , PIPC, disitu tercantum
dan ketahuan statusnya. Saya nda tau apakah testingnya, rujukan LSM, jumlah yang positif,
kebijakan BPJS melihat infeksi opportunistiknya, atau kunjungan IMS, berapa yang berkunjung, berapa
bagaimana? Karena selama ini nda jadi masalah ji.” yang diobati, dan ada PPIA, PPIA itu lebih kepada
(wawancara mendalam tim Unhas, Populasi Kunci berapa ibu hamil yang terima ARV, ada juga
YPKDS, Juli 2015). methadone yang lebih kepada berapa orang yang
mengakses, dsb. Jadi lengkap semua. Selain online,
mereka juga mengumpulkan hard copy” (wawancara
mendalam tim Unhas, Pengelola program HIV-AIDS
Dinkes Kota Makassar, September 2015).
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

b. Diseminasi dan pemanfaatan monitoring dan evaluasinya tentang bagaimana


pelaksanaan program. Itu yang tidak pernah kita
Pengelolaan dan pemanfaatan informasi biacarakan barangkali. jadi intinya monitoring dan
strategis masih belum jelas mekanismenya evaluaisnya yang belum berjalan dengan baik.”
untuk perencanaan maupun pembuatan (wawancara mendalam tim Unhas, Pelaksana
program HIV PKM Kassi, September, 2015).
kebijakan. Tidak ditemukan bukti-bukti nyata
proses diseminasi kepada para pemangku
kepentingan yang berperan serta dalam
Selain itu belum ada diseminasi hasil
pemanfaatannya. Oleh karena itu, integrasi
program kepada populasi kunci/masyarakat.
untuk dimensi ini adalah belum terintegrasi.
Diseminasi masih terbatas hanya pada SKPD
Kewenangan yang ada di daerah hanya
dan fasyankes yang masuk dalam struktur
sebatas pada pengusulan pengadaan
pemerintahan daerah saja.
berdasarkan kebutuhan ARV atau alkes, namun
kewenangan untuk pemanfaatan informasi
terutama untuk perencanaan program ART
masih terpusat. 6) Partisipasi masyarakat

Idealnya, data laporan rutin melalui SIHA Keterlibatan masyarakat dalam program ART
digunakan sebagai dasar perencanaan lebih banyak diwakili melalui LSM dan juga
kesehatan daerah oleh Dinkes. Namun informan melalui forum khusus yang dikoordinasikan oleh
di DKI menyatakan bahwa pemanfaatan data KPAD. Kondisi ini menunjukkan sudah adanya
SIHA untuk kebijakan daerah masih tidak peranan dan keterlibatan masyarakat dan
jelas. Ketidakjelasan yang dimaksud adalah populasi kunci meskipun belum menunjukkan
bagaimana Dinkes daerah mengolah data bukti tentang keterlibatan secara strategis
dalam proses perencanaan hingga evaluasi
176 sehingga mampu dijadikan dasar rekomendasi
untuk kebijakan perencanaan program daerah program ART di daerah. Oleh karena itu dalam
masih belum maksimal. Seringkali kebijakan dimensi ini dianggap belum terintegrasi.
daerah lebih menyesuaikan dengan kebijakan Salah satu bentuk keterlibatan masyarakat
pusat dibandingkan situasi atau kebutuhan dalam program HIV melalui KPAD sebagai
lokal. Hal ini dapat dilihat misalnya dari belum lembaga koordinasi yang selau terbuka untuk
adanya target daerah terkait pengobatan ARV, komunitas dan NGO dalam bentuk forum
sehingga penilaian keberhasilan program masih aspirasi. Misalnya, yang dilakukan di DKI
menggunakan target nasional. Jakarta yaitu rapat koordinasi tiap tiga bulan
Hal yang serupa terjadi di Kota Makassar. menjadi forum aspirasi untuk populasi kunci,
Pengelolaan dan pelaporan data program ART ODHA dan LSM. Namun tidak didapatkan
di Kota Makassar menggunakan SIHA. Data informasi keterlibatan spesifik masyarakat
tersebut digunakan untuk menentukan besaran untuk program ART. Salah satu informasi yang
dari target program dan keperluan advokasi diperoleh di Kota Makassar menyatakan bahwa
di DPRD. Terkait dengan LKB maka dilakukan pelibatan masyarakat saat ini lebih banyak
pertemuan khusus untuk validasi data. hanya sebagai penerima manfaat program saja
atau pemanfaat layanan kesehatan.
Untuk publikasi dan diseminasi data dilakukan
melalui website KPAP seperti yang dilakukan di Keterlibatan populasi kunci dalam
DKI Jakarta, yang bisa diakses secara umum. penanggulangan HIV dan AIDS juga sudah
Namun sebagian informan merasa belum ditunjukkan dari keterlibatan mereka di
mendapatkan umpan balik dari laporan yang layanan pencegahan, penyuluhan, promosi,
sudah diberikan seperti yang dijelaskan oleh layanan aftercare dan monev di Makassar
salah satu informan dari Makassar: dan DKI Jakarta. Hal tersebut sesuai dengan
Permenkes No. 21 Tahun 201331. Di DKI Jakarta,
“…yang kita laksanakan selama ini kan kita kirim
tiap bulan tapi tidak ada feed back nya, tidak ada
31) Permenkes nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan
Studi Kasus

DKI Jakarta1 Kota Makassar2

Jumlah Rumah Sakit layanan ARV (28): Jumlah Rumah Sakit layanan ARV (6):
Jakarta Pusat (8): RSWS
RS Husada, RS Kramat 128, RS St. Carolous, RSAL Dr. Mintoharjo, RSPAD RS Labuang Baji
Gatot Soebroto, RSUD Tarakan, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, RS RS Dadi
Islam Cempaka Putih RS Bhayangkara
Jakarta Utara (3): RS Pelamonia
RS Pluit, RSPI.Prof. Dr. Sulianti Saroso, RSUD Koja RS Daya
Jakarta Barat (5):
RS Kanker Dharmais, RS PELNI, RS Royal Taruma, RSAB Harapan Kita,
RSUD Cengkareng
Jakarta Timur (9):  
RS Kepolisian Pusat Dr. Soekanto, RSKO Cibubur, RS UKI,  RSJ Duren
Sawit, RSPAU Dr. Esnawan Antariksa, RSUD Budhi Asih dan RSUP
Persahabatan, RS Pengayoman, RS PON
Jakarta Selatan (3):
RS Jakarta, RSU Fatmawati, RSPP

Jumlah PKM layanan ARV mandiri (10): Jumlah PKM 5 + 1 BBKPM layanan ARV:
Jakarta Pusat (1): PKM Jumpandang Baru
PKM Gambir, PKM Jongaya
Jakarta Timur (3): PKM Kassi – Kassi
PKM Jatinegara, PKM Kramat Jati, PKM Pulo Gadung , PKM Pasar Rebo PKM Andalas
Jakarta Utara (2): PKM Makassau
PKM Tjg.Priuk, PKM Koja 1 BKPM
Jakarta Barat (2):  177
PKM Cengkareng, PKM Tambora,
Jakarta Selatan (2):
PKM Tebet, PKM Setiabudi,

*) KPAP DKI Jakarta, Agustus 2015, http://kpap.jakarta.go.id/news/read/193/daftar-layanan-kth-dinkes- 2015


**) Presentasi Dinkes Sulawesi Selatan, Lesson Learnt Strategic Use of ARV (SUFA) di Provinsi Sulawesi selatan, Pertemuan Nasional AIDS V di
Makassar, 2015

Tabel 27. Jumlah hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya jumlah Warga
Peduli AIDS (WPA) yang saat ini berjumlah 25 dan ada sekitar
Layanan ARV di 30 LSM yang aktif bergerak dalam penanggulangan HIV dan
Fasyankes Daerah AIDS32. Hal tersebut juga didukung dengan adanya akses dana
APBD oleh masyarakat meskipun tidak diperoleh informasi secara
detail. Misalnya di wilayah Jakarta Barat terdapat dana untuk
Sosialisasi dan Pembentukan Warga Peduli AIDS (WPA) sebesar
Rp 45.000.0000,0033. Sedangkan di Makassar tidak ada informasi
yang jelas tentang WPA walaupun dalam APBD Dinkes 2014

HIV dan AIDS yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat dituangkan dalam pasal
50,51 dan 53
32) Jakarta AIDS Information System (JAIS) website, diakses 9 Desember 2015, http://
jakartaaids.org/
33) Informasi belanja langsung untuk Sosialisasi dan Pembentukan Warga Peduli AIDS
(WPA) di daerah Jakarta barat, diakses dari website: http://www.jakarta.go.id/v2/apbd/
kegiatan/0/1.20-2014-3.02.00.00.5302.000-info-dari-warga/1/40
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

ada dana promosi dan pemberdayaan belum optimal. Pelaksanaan SUFA terutama
masyarakat sebesar Rp 5,960,241,250,-. Namun untuk ibu hamil terkesan memaksakan layanan
anggaran yang tersedia terbatas sehingga dan program SUFA masih kurang dijelaskan
kegiatan di masyarakat harus bergiliran. dengan baik. Hambatan lainnya yang muncul
Informasi di atas tidak menunjukkan keterlibatan adalah masalah kepatuhan ODHA yang
spesifik untuk program ART. berobat. Di DKI Jakarta beberapa kendala
masih ditemui misalnya terkait proses perujukan
ARV, di mana mekanisme rujukan pasien
7) Upaya kesehatan pindah dianggap menyulitkan karena perlu
menyertakan rujukan dari puskesmas asal.
a. Ketersediaan layanan

Saat ini layanan kesehatan sudah tersebar


cukup merata dan hampir semua fasyankes b. Koordinasi dan rujukan
sudah memiliki layanan HIV. Jejaring layanan
Sudah ada integrasi layanan ART meskipun
untuk ART juga sudah terbangun termasuk
dianggap masih ada hambatan dalam
untuk program LKB dan SUFA yang sudah
koordinasi sistem pelaporan rujukan. Layanan
mulai dilaksanakan di beberapa fasyankes
ART yang ada di daerah dikoordinasikan oleh
dan menunjukkan hasil yang cukup baik. Untuk
Dinas Kesehatan sebagai penanggung jawab
ketersediaan layanan, antara sistem kesehatan
utama, meskipun koordinasi antara Dinkes dan
dan program HIV (ART) sudah menunjukkan
KPAD serta SKPD lainnya masih belum berjalan
integrasi penuh.
dengan baik. Karena program ART masuk dalam
Layanan kesehatan umum di DKI Jakarta dan layanan PDP yang merupakan tanggung jawab
Kota Makassar telah berjalan baik termasuk dan peran utama dari Dinkes dibandingkan
178 sektor lainnya, maka dimensi ini bisa dianggap
jaminan kesehatan juga sudah berjalan
sehingga masyarakat miskin dan marjinal sudah terintegrasi penuh.
dapat mengakses layanan dengan syarat
Di Kota Makassar, integrasi layanan HIV
kelengkapan administrasi kependudukan
di tingkat puskesmas dianggap sebagai
diperlukan baik melalui JKN maupun Jamkesda.
kewajiban, di mana layanan HIV diintegrasikan
Selain itu juga sudah ada jejaring layanan
dalam program layanan kesehatan di
yang cukup baik antara LSM, rumah sakit dan
puskesmas pada bagian pencegahan dan
puskesmas di kedua wilayah.
pemberantasan penyakit. Hal yang sama di
Layanan LKB dan SUFA yang menjalankan DKI Jakarta bahwa layanan HIV sudah menjadi
program ART juga sudah dilaksanakan dengan layanan standar di PKM meskipun khusus untuk
cukup baik di beberapa fasyankes di DKI layanan ARV masih belum semua.
Jakarta, meskipun di beberapa lokasi yang
Untuk layanan ARV, di kedua wilayah sudah
belum ada SUFA dan masih ada yang tidak
ada puskesmas layanan ART dan sistem
mengetahui tentang apa itu SUFA. Sementara
rujukan bila memang diperlukan dirujuk ke
di Makassar pelaksanaan SUFA mendukung
rumah sakit yang melayani ARV. Jumlah rumah
upaya pelacakan kasus di kelompok ibu hamil
sakit yang menjadi rujukan di kedua daerah
dan pasangannya, dan itu meningkatkan
juga sudah cukup banyak (lihat tabel 24 di
cakupan VCT di puskesmas. Pelaksanaan LKB
atas). Meskipun demikian, jumlah ini masih terus
dan SUFA di kedua wilayah ini diikuti dengan
diupayakan bisa bertambah lagi oleh Dinas
peningkatan layanan baik di rumah sakit
Kesehatan Daerah untuk mengatasi beban yang
maupun di puskesmas. Jumlah layanan ARV di
semakin besar.
kedua wilayah ini digambarkan di bawah ini.
“….dinas kesehatan inginnya kan pelayanan
Beberapa permasalahan yang timbul terkait kesehatan ini semua punya mampu daya guna,
SUFA di Makassar adalah banyak pasien drop maunya dinas kesehatan. Sementara di lingkungan
wilayah yang dimaksud itu ada bagian-bagian rumah
out karena konseling ke pasien dan keluarga
Studi Kasus

sakit yang tidak, [atau] belum bisa menjadi pengampu. itu rumah sakit juga melakukan supervisi ke
…….. Sementara dinas bilang saya mau cepet mas. layanan satelit VCT dan CST di daerah setiap
Buat latihan disana, ya sudah kamu komunikasikan,
3 bulan dengan mengajukan permintaan ke
tarik tarakan, nanti monitoring sama mereka. Jadi kita
yang mengampu bukan hanya Jakarta pusat. Jakarta Dinkes provinsi terlebih dahulu.
selatan kita ampu….” (wawancara mendalam tim UPT “....kadang juga ada permintaan asses dari daerah
HIV UI-RSCM, Penanggung Jawab Program HIV RS melalui dinas provinsi untuk RS wahidin melakukan
Tarakan, September, 2015). supervisi layanan CST baik itu untuk VCT maupun
untuk CST nya.” (wawancara mendalam tim Unhas,
Penanggung jawab Program POKJA HIV RSWS,
Kondisi ruang layanan HIV di fasilitas kesehatan September 2015).
baik di DKI Jakarta maupun Makassar
bervariasi, sebagian menggunakan ruangan
yang terpisah untuk pelayanan HIV, namun ada Bimtek untuk PDP dilakukan juga oleh Dinkes
juga sebagian yang tidak memisahkan layanan provinsi khusus untuk tenaga dokter, dilakukan
HIV ini secara khusus. Di beberapa fasilitas tiap triwulan di Kota Makassar. Penjaminan
kesehatan di Makassar, ditemukan hanya ruang kualitas layanan di DKI Jakarta juga dilakukan
konseling saja yang terpisah. melalui pelatihan dan seminar untuk nakes
yang bekerja di penanggulangan HIV. Lembaga
Terkait dengan stigma dan diskriminasi donor seperti GF juga melakukan Bimtek secara
di fasilitas layanan kesehatan, hasil dari mandiri pada pelaksana program GF dengan
wawancara dengan para tenaga kesehatan lingkup Bimtek tentang kinerja lapangan
menunjukkan sudah tidak ada stigma dari nakes dan Keuangan. Selain itu, juga mengenai
di rumah sakit atau puskesmas baik di DKI manajemen KDS, SDM dan kualitas pelaporan
Jakarta maupun di Kota Makassar. Meskipun lembaga. Pelaksana program GF bervariasi
bila dilihat dari segi pengetahun tentang mulai dari Dinkes, KPA maupun LSM dan 179
layanan, khususnya ART seperti di Makassar program yang dijalankan juga bervariasi.
masih ditemukan ada petugas rumah sakit yang
belum paham pengobatan dengan sinkronisasi Di Makassar sudah ada PKM yang sudah
ARV dan pengobatan IO. memiliki ISO (Puskesmas Jumpandang) dan
akan berubah menjadi rumah sakit. Namun,
ada juga yang sedang dalam proses dan
c. Jaminan kualitas layanan ada puskesmas yang belum bersertifikasi
ISO. Sementara hampir semua fasyankes DKI
Sudah ada sistem untuk penjaminan mutu sudah terstandar ISO, ada yang belum dan
dan kualitas melalui supervisi dan Bimtek dari sebagian masih dalam proses akreditasi tahun
Dinkes ke fasyankes, dan hal yang sama juga ini. Sementara rata-rata temuan masalah saat
terjadi pada layanan program ART. Survei supervisi adalah masih adanya hambatan
kepuasan layanan juga sudah dilakukan, tenaga kesehatan dalam menangani pasien
meskipun dari informasi yang diperoleh (di Kota Makassar) dan hambatan di pelaporan
belum terjadwal secara rutin. Berdasarkan yang kadang masih sering salah pengisiannya
pertimbangan tersebut, dimensi jaminan kualitas (di DKI Jakarta).
layanan ini dianggap sudah terintegrasi penuh.
Survey kepuasan sebagai salah satu cara
Proses pengendalian kualitas dan mutu layanan penilaian mutu layanan dilakukan di layanan
pada program HIV (ART) dilakukan melalui kesehatan, diperoleh informasi yang sangat
Bimtek dan supervisi dengan variasi pelaksana beragam baik di DKI Jakarta maupun di Kota
dan juga waktu dari pusat (Kemenkes), KPA Makassar, mulai dari layanan tidak pernah
dan donor. Beberapa contoh bantuan teknis melakukan survei, pernah dilakukan saat ada
yang ada di Makassar adalah dari Bimtek yang kebutuhan ISO atau dilakukan secara rutin tiap
dilakukan Kemkes terkait laboratorium pusat 6 bulan dalam bentuk kuesioner. Contoh di
rujukan dan pemeriksaan di Makassar. Selain Kota Makassar dilakukan penilaian terhadap
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Tabel 28. Tingkat kerja petugas lapangan yang dilakukan oleh Koordinator PL. Hal
ini terkait dengan link to care dan juga dukungan saat pengobatan
Integrasi pada oleh tenaga non-kesehatan. Kegiatan ini dilakukan kepada seluruh
Sub-sistem Fungsi program tidak khusus HIV dengan menggunakan kuesioner tiap 6
Kesehatan dan bulan, dan hasilnya dilaporkan ke Dinkes kota. Kegiatan ini juga
dilakukan di LSM bukan hanya di fasyankes.
Dimensinya

E. Tingkat Integrasi Layanan ARV ke


dalam Sistem Kesehatan
Dalam penelitian ini, integrasi secara khusus didefinisikan sebagai
pengaturan organisasional yang ditujukan untuk mengadopsi program
HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di tingkat daerah. Dari
gambaran integrasi di tingkat dimensi di atas dilakukan penilaian

Sub sistem Integrasi tingkat Integrasi tingkat


No Dimensi
kesehatan dimensi subsistem

1 Manajemen dan Regulasi þ


180 regulasi
2 Formulasi kebijakan ý
ý
3 Akuntabilitas ý
4 Pengelolaan sumber pembiayaan þ
5 Penganggaran, proporsi, distribusi
Pembiayaan dan pengeluaran
¨
6 Mekanisme pembayaran layanan ¨
7 Kebijakan dan sistem manajemen ¨
Sumber daya ¨
8 Pembiayaan ¨
manusia
9 Kompetensi ¨
10 Regulasi penyediaan, ý ý
Penyediaan farmasi penyimpanan, diagnostik dan
dan alat kesehatan terapi
11 Sumber daya ý
12 Informasi strategis Sinkronisasi sistem informasi ý
13 Disseminasi dan pemanfaatan ý ý
14 Partisipasi Partisipasi masyarakat
ý ý
masyarakat
15 Ketersediaan layanan þ
Upaya Kesehatan þ
16 Koordinasi dan rujukan þ
17 Jaminan kualitas layanan þ

þ Terintegrasi penuh ý Tidak terintegrasi ¨ Terintegasi Sebagian


Studi Kasus

integrasi secara bertingkat yang secara sederhana Untuk sub-sistem penyediaan farmasi dan
digambarkan dalam matriks integrasi pada tabel alat kesehatan di kedua dimensi menunjukkan
28. mekanisme yang berjalan paralel mulai dari
regulasi penyedian obat dan alat, penyimpanan,
Pada sub-sistem manajemen dan regulasi,
distribusi sampai dengan sumber daya. Sub-
seperti dijelaskan di atas bahwa dimensi regulasi
sistem informasi strategis juga menunjukkan
menunjukkan integrasi penuh, di mana sudah ada
sistem informasi yang berjalan secara paralel dan
regulasi dan pembiayaan untuk program ART
tergantung kebutuhan masing-masing pemangku
meskipun belum secara spesifik menyebutkan
kepentingan. Belum ada sinkronisasi yang baik
program ART. Namun di dua dimensi lainnya
sehingga juga berdampak pada diseminasi dan
yaitu formulasi kebijakan dan akuntabilitas sama
pemanfaatan yang tidak maksimal. Terakhir pada
sekali tidak menunjukkan adanya integrasi dan
sub-sistem partisipasi masyarakat pada program
manajemen serta regulasi yang berjalan saat ini
layanan ART belum menunjukkan kontribusi yang
masih berjalan vertikal dan diatur pusat. Hal ini
bermakna selain sebagai penerima manfaat saja.
menyebabkan tidak ada proses formulasi kebijakan
Berdasarkan alasan tersebut, ketiga sub-sistem di
dan akuntabilitas yang baik di daerah. Oleh karena
atas tidak terintegrasi.
itu, disimpulkan bahwa tingkat integrasi untuk sub-
sistem manajemen dan kesehatan adalah tidak Sementara untuk upaya kesehatan, kesimpulan
terintegrasi. dari ketiga dimensi cukup jelas karena ketiganya
terintegrasi penuh. Karena sifat program ART
Penilaian tingkat integrasi yang bervariasi
adalah perawatan pada layanan kesehatan, maka
juga terjadi pada dimensi-dimensi yang ada di
pelaksanaannya sesuai dengan peran utama
sub-sistem pembiayaan. Pengelolaan sumber
dari Dinkes yang dilaksanakan melalui rumah
pembiayaan telah terintegrasi dengan baik karena
sakit dan PKM. Hal ini mempermudah koordinasi
semua sumber mulai dari dana nasional dan juga
dalam ketersediaan layanan, sistem rujukan dan 181
dana lain seperti dari MPI telah di koordinasikan
penjaminan mutu kualitas sama seperti layanan
dengan baik untuk pembiayaan program ART.
kesehatan lainnya.
Namun untuk proses penganggaran, proporsi,
distribusi dan pengeluaran sama sekali tidak
terintegrasi karena hal ini sama sekali tidak terjadi
di tingkat daerah. Hal ini akibat sistem yang bersifat F. Faktor-faktor yang
vertikal, sehingga tidak ada mata anggaran untuk
ART di daerah. Program ART juga berjalan secara
Memengaruhi Integrasi
paralel di mana sistemnya berjalan di luar sistem Tingkat integrasi program intervensi spesifik
kesehatan umumnya sehingga program ini tidak dengan sebuah sistem kesehatan oleh Atun, et al,
dibiayai JKN, hanya beberapa pemeriksaan terkait (2010) dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal
saja yang bisa masuk sistem kesehatan. Dari variasi yang menyangkut peran, kekuasaan, norma,
tersebut disimpulkan bahwa tingkat integrasi untuk budaya dan nilai yang diyakini aktor-aktor yang
sub-sistem pembiayaan adalah sebagian. terlibat di dalamnya (Atun, et al., 2011). Dalam
analisis ini, beberapa faktor yang diidentifikasi
Sub-sistem sumber daya manusia memiliki
memiliki pengaruh terhadap integrasi yaitu
tingkat integrasi yang cukup seragam yaitu
komitmen politik, ekonomi, hukum dan regulasi
terintegrasi sebagian. Hal ini terjadi karena pada
serta permasalahan kesehatan. Pemangku
dasarnya SDM dalam layanan program ART secara
kepentingan yang dianalisis dalam studi kasus
umum sudah memanfaatkan sistem SDM yang
ini adalah mereka yang dinilai berkaitan dengan
ada di sistem kesehatan secara umum. Namun,
program ART di DKI Jakarta dan Kota Makassar.
SDM dalam sistem yang ada saat ini masih belum
memenuhi kebutuhan layanan ART, karena ada Dari tujuh sub-sistem kesehatan hanya satu
beberapa posisi yang belum ada nomenklaturnya yang menunjukkan integrasi penuh yaitu sub-sistem
dalam sistem kesehatan. penyediaan layanan. Keadaan ini didukung oleh
adanya sistem dan struktur yang jelas dan cukup
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

kuat baik di tingkat daerah maupun pusat. Program menyediakan ARV terapi (ART) per 1000 pasien
ini berkaitan langsung dengan layanan kesehatan adalah 1–2 orang dokter, 2–7 perawat, 1–3 staf
maka penanggung jawab utama adalah dari farmasi dan lebih banyak konselor, administrator,
Kemkes dan turunannya di daerah. Karena struktur kader pendukung pengobatan (Yuniar, et al., 2014).
yang sudah jelas maka proses koordinasi vertikal
Oleh karena kondisi tersebut, maka kebutuhan
berjalan dengan baik.
pengalihan kerja (task shifting) kepada tenaga
Selain itu, pelaksanaan di tingkat daerah non-kesehatan saat ini menjadi sangat tinggi.
menunjukkan adanya dukungan dari faktor Untuk memenuhi ini beberapa posisi dengan SDM
eksternal yaitu adanya komitmen politik yang tambahan dibuat. Namun sampai saat ini belum
cukup besar dari pemerintah daerah terhadap ada nomen klatur di tingkat nasional. Hal ini
kesehatan secara umum yang ditunjukkan dengan menyebabkan SDM belum terintegrasi. Dampak
adanya dukungan dalam bentuk peningkatan lain yang timbul adalah pada pembiayaan dan
layanan kesehatan masyarakat melalui puskesmas juga penjaminan kompetensi bagi staf yang
dan rumah sakit termasuk pembiayaannya. bekerja di program HIV dan AIDS untuk beberapa
Komitmen politik dari para pemangku kepentingan posisi tertentu seperti konselor, manajer kasus
daerah terkait HIV dan AIDS secara umum sebagai atau buddies dirasa masih kurang. Penambahan
salah satu prioritas sudah ditunjukkan baik oleh SDM yang terjadi saat ini masih berjalan dengan
Bappeda, dan Dinkes kota maupun provinsi mendapatkan dukungan dari donor atau tergantung
dalam penyusunan regulasi, perencanaan dan pada komitmen dan kreatifitas pemerintah daerah.
penganggaran kegiatan penanggulangan HIV. Hal
Sistem informasi untuk ART masuk dalam
ini mendukung percepatan pengembangan layanan
sistem informasi HIV dan AIDS atau SIHA.
ARV di kedua wilayah yang ditunjukkan dengan
Semua perencanaan pengadaan obat ARV akan
semakin bertambahnya jumlah fasyankes yang
182 melayani ARV secara mandiri.
dilakukan berdasarkan laporan yang masuk ke
SIHA oleh fasyankes secara online. Untuk itu
Untuk program ART karena program ini sudah ada regulasi dan mekanisme perhitungan
merupakan program nasional yang bersifat vertical dan penyediaan obat beserta buffer nya untuk
maka pengadaan obat ARV sepenuhnya dibiayai menghindari stock out tersebut. Mekanisme
dari pusat. Proses regulasi spesifik terkait hal tersebut akan berjalan dengan baik bila proses
ini menjadi sebuah kebijakan nasional di mana pelaporan juga berjalan dengan baik dan benar.
daerah tidak memiliki kekuasan melainkan hanya Data pelaporan dari SIHA ini juga harus dapat
lebih sebagai pelaksana program. Program ini disinkronisasi sehingga saat diakses oleh berbagai
tidak banyak terpengaruh oleh APBD maupun level yang berbeda hasilnya tetap valid. Sampai
keadaan perekonomian daerah, kecuali beberapa saat ini masih ada permasalahan terkait sumber
pemeriksaan dan pengobatan seperti pemeriksaan daya dan permasalahan teknis dari sistem online
laboratorium atau pengobatan IO atau IMS yang yang membutuhkan koneksi jaringan yang stabil.
sebagian ditanggung JKN atau Jamkesda dan Sementara, pelaporan di tingkat daerah masih
sebagian masih harus out of pocket. berjalan secara paralel yaitu secara online dan
secara tertulis sebagai alternatif
Pelaksanaan program ART ditinjau dari sisi
SDM belum sepenuhnya terintegrasi dengan
sistem kesehatan. Hal ini karena program ART
cukup kompleks sehingga membutuhkan SDM G. Efektifitas Program
untuk melakukan konseling dan pendampingan
Penilaian efektifitas program ART di sini dilihat
yang pada umumnya tidak dimiliki oleh program
dari dua sumber. Pertama, dari data kualitatif
kesehatan lainnya. Permasalahan SDM lain
yang diperoleh dari wawancara dengan penerima
adalah keterbatasan jumlah SDM yang banyak
manfaat langsung yaitu perwakilan populasi
dikeluhkan oleh hampir semua fasyankes di mana
kunci dan ODHA. Sumber lainnya adalah data
hampir semuanya memiliki beban kerja ganda.
sekunder untuk menilai bagaimana keberhasilan
Secara umum jumlah SDM yang dibutuhkan untuk
Studi Kasus

pelaksanaan program berdasarkan data cakupan bagusnya karena dari dampak sosialnya ketika
yang dibandingkan dengan target program. teman-teman rawat inap menjadi beban moral
teman-teman ketika di jenguk sama keluarganya”
Penilaian efektifitas dilakukan bukan hanya sekedar
(wawancara mendalam tim Unhas, Populasi Kunci,
secara kuantitas saja tetapi kualitas pelaksanaan Juli 2015).
program juga dinilai.

Ketersediaan obat ARV menurut ODHA tidak


1) Akses, ketersediaan, kualitas dan terlalu bermasalah untuk wilayah DKI Jakarta.
pemanfaatan layanan ART Sementara di Makassar masih ditemukan
petugas rumah sakit yang belum paham benar
Ketersediaan layanan dari sisi penyedia
tentang sinkronisasi ARV dan pengobatan IO.
layanan telah dijelaskan sebelumnya bahwa
Selain itu, di Kota Makassar beberapa ODHA
dari sisi jumlah layanan di kedua wilayah tidak
mengeluhkan kadang ada obat yang masa
ada hambatan karena layanan ART semakin
kadaluarsanya pendek dan informasi terkait
bertambah. Permasalahan yang timbul dalam
ART tidak dijelaskan secara detail tentang
akses dan ketersediaan layanan muncul dari
efek samping obat dan proses menjalani ART
individu misalnya karena rendahnya kesadaran
di fasyankes. Masalah ini dapat diatasi oleh
populasi kunci atau masyarakat untuk
pemberian KIE oleh LSM.
mengakses dan memanfaatkan layanan. Selain
itu bila dihubungkan dengan program ART yaitu Kapasitas dan keterampilan dari nakes di
masih minimnya komitmen kepatuhan minum wilayah DKI Jakarta dianggap masih kurang.
obat ARV. Sedangkan di Kota Makassar, petugas telah
cukup terampil namun kepedulian masih
Adanya sistem JKN dan juga Jamkesda telah
rendah. Meskipun demikian, dari informan
banyak membantu kemudahan akses layanan, 183
belum pernah mendapatkan pengalaman
meskipun sama dengan informasi dari penyedia
penolakan karena statusnya di DKI Jakarta,
layanan bahwa masih ada hambatan terkait
namun di Makassar pernah terjadi penolakan
masalah administrasi. Keluhan lain adalah
oleh tenaga kesehatan dengan alasan alat di
tentang prosedur pembayaran premi, antrian,
fasyankes rusak. Hal ini menunjukkan bahwa
sistem rujukan dan pembatasan penggunaan
masih ada stigma yang cukup tinggi dari
layanan yaitu maksimal satu layanan per hari
tenaga kesehatan. Hal yang sama dengan
dalam pemanfaatan BPJS dianggap cukup
konfidentialitas yang dianggap masih bervariasi.
merepotkan. Selain itu, masih adanya beberapa
Secara umum di kedua wilayah ini, petugas
pemeriksaan yang belum ditanggung BPJS.
sudah cukup bisa menjaga konfidensialitas
Pemisahan lokasi layanan HIV di fasyankes pasien namun ada juga yang mengatakan di
oleh beberapa pasien dianggap justru Kota Makassar kerahasiaan belum sepenuhnya
menimbulkan beban sosial tersendiri. Namun, terjaga, karena ada pengalaman status pasien
beberapa justru merasa mendapatkan perhatian LKB tersebar di beberapa layanan di PKM
yang lebih dan mendapatkan kemudahan tersebut.
layanan.
“Kalau dipuskesmas karena belum ada rawat inap
jadi rawat jalan tetap kita di samakan,sama tapi kalau 2) Cakupan program ART
di rumah sakit tetap memang semua ada poli-polinya
tapi kalau dirawat inap itu memang khusus. Jadi ada Penilaian efektifitas program menggunakan
sebagian besar khusus dan ada sebagian kecil kayak data sekunder melihat sejauh mana cakupan
contoh di layanan di bhayangkara dan di plamonia program yang berhasil dicapai dibandingkan
gabung di penyakit dalam, itu misalnya. Tapi kalau dengan target. Untuk program ART, informasi
di wahidin apalagi di infection center, di labuang baji,
baji area trus yang di dadi yang apakah itu yang
dari kedua daerah tidak didapatkan target
dibelakang sekali khusus memang penanganan HIV daerah. Oleh karena itu untuk target digunakan
dan narkoba…….Ada sisi bagusnya ada sisi tidak jumlah kasus HIV positif dan AIDS. Selain
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

itu, data spesifik untuk Kota Makassar tidak lengkap sehingga


sulit untuk dilakukan penilaian bersama untuk kedua wilayah.
Agar penilaian tetap bisa dilakukan, maka data yang digunakan
adalah data tingkat provinsi, sehingga untuk efektifitas ART ini
menggunakan kombinasi data provinsi DKI Jakarta dan Sulawesi
Selatan.

Data cakupan ART dicatat pada setiap tahapan mulai dari jumlah
orang yang positif HIV dan tercatat di daerah tersebut. Dari data
sekunder yang dikumpulkan tidak diperoleh data jumlah tes yang
telah dilakukan pada kedua wilayah sehingga tidak bisa dihitung
jumlah cakupan yang positif HIV dari tes yang sudah dilakukan,
yang dapat ditampilkan hanya angka absolut saja.

Jumlah yang positif HIV di kedua wilayah ini (Provinsi DKI Jakarta
yaitu 45,321 orang dan Sulawesi Selatan sebanyak 7,089 orang)
adalah 52,410 orang. Ada sekitar 50,970 orang atau sebesar 97%
yang masuk dalam perawatan HIV. Dari laporan triwulan II tahun
2015 (Kemenkes, 2015) hanya sekitar 70.4% saja yang memenuhi
syarat untuk menerima ART.

Dari sekitar 35,903 orang yang memenuhi syarat untuk


memperoleh ART ternyata tidak semuanya masuk dalam program
Gambar 15. Cascade ART, hanya sekitar 29,049 orang (80.9%). Berdasarkan target
Program ART DKI nasional (50% dari mereka yang memenuhi syarat), data yang
184
Jakarta dan Sulawesi diperoleh sudah menunjukkan hasil yang melebihi target, di
mana cakupan pengobatan yang berkesinambungan dari mereka
Selatan * yang memenuhi syarat memang sudah mencapai 80.9%. Target

*) Laporan perkembangan HIV-AIDS triwulan II tahun 2015


Studi Kasus

pengobatan ARV masih tetap tercapai bila (2012). Selain itu, masih banyak lagi penelitian
dilakukan penghitungan secara terpisah di terkait integrasi lainnya yang telah dilakukan,
masing-masing daerah, di DKI Jakarta adalah menjadikan kesemuanya itu sebagai dasar dan
82.1%, dan di Kota Makassar mencapai 71.9%. kerangka dalam melakukan analisis hubungan
Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan integrasi dan kinerja dalam program ART.
program ART cukup efektif dalam mencapai
Bila disimpulkan dari hasil penelitian-penelitian
target nasional.
tersebut menunjukkan adanya hubungan yang
Namun, monitoring pelaksanaan ART positif antara integrasi dengan efektifitas program.
tidak hanya berhenti sampai tahap pernah Hubungan positif adalah adanya integrasi program
mendapatkan ARV saja, karena tujuan kesehatan ke dalam sistem kesehatan akan
pengobatan ARV adalah bagaimana meningkatkan kinerja program. Meskipun demikian,
pengobatan bisa dipertahankan seumur hidup dalam implementasinya belum ada jaminan bahwa
menjaga supresi virus yang ada dalam tubuh adanya integrasi dalam pelaksanaan program
ODHA sehingga dapat menurunkan atau ART akan meningkatkan efektifitas program ART.
bahkan mencegah terjadinya penularan. Pada Oleh karena itu, dalam analisis hubungan antara
tahap ini, angka yang didapat mengalami kinerja dan program dalam studi kasus ART ini
penurunan yaitu hanya 54.7%. bertujuan melihat bagaimana idealnya integrasi
ketujuh sub-sistem dalam fungsi sistem kesehatan
dapat mendorong meningkatkan efektifitas dan
H. Hubungan antara Tingkat memastikan keberlanjutan program ART di tingkat
daerah. Hasil penilaian atas tingkat integrasi
Integrasi dengan Kinerja program ART ke dalam fungsi sistem kesehatan
Program ART menunjukkan hasil yang bervariasi (mulai dari
185
tidak terintegrasi, terintegrasi sebagian dan
Kerangka konsep dari penelitian ini mengasumsikan terintegrasi penuh). Ketujuh sub-sistem yang ada
bahwa efektifitas kinerja program ART dipengaruhi saling berinteraksi dan berkontribusi satu sama lain.
oleh tingkat integrasi fungsi sistem kesehatan Namun ada satu sub-sistem kunci yaitu sub-sistem
dengan mengembangkan kerangka konseptual upaya kesehatan yang memberikan pengaruh
dari Atun et al. (2010) dan Coker et al. (2010). secara langsung terhadap kinerja program
Kerangka konsep ini didukung oleh beberapa sehingga kinerja program ART menjadi efektif.
kajian sebelumnya yang menunjukkan bahwa
Pada kajian studi kasus program ART ini,
integrasi program kesehatan ke dalam sistem
ada empat sub-sistem yang menunjukkan pola
kesehatan dipandang sebagai suatu strategi
hubungan negatif yaitu manajemen dan regulasi;
potensial dalam mengamankan keberlanjutan
penyediaan farmasi dan alkes; informasi strategis
dan efektivitas intervensi dan penguatan sistem
dan partisipasi masyarakat. Sifat program ART yang
kesehatan (Shigayeva, 2010; Rasschaert, et al.,
sangat vertikal menyebabkan tidak terintegrasinya
2011). Penelitian secara khusus terkait ART juga
keempat sub-sistem ini. Hal ini tidak memberikan
dilakukan oleh Atun et al (2011) yang menyatakan
hambatan atau dampak yang berarti terhadap
pentingnya integrasi layanan HIV dan AIDS ini
kinerja sub-sistem upaya kesehatan yang
ke dalam program kesehatan secara umum atau
terintegrasi penuh. Hal ini berlawanan dengan
sistem kesehatan. Kajian lain yang menganalisis
kerangka pikir yang diusung dalam penelitian ini,
hubungan integrasi dilihat dari berbagai sub-
seharusnya bila pada tingkat sub-sistem tidak
sistem kesehatan antara lain yang dilakukan
terjadi integrasi maka upaya kesehatan yang ada
oleh Rasschaert et al. (2011) tentang integrasi
tidak akan terintegrasi dan kinerjanya juga menjadi
regulasi dan manajemen program ke dalam sistem
kurang.
kesehatan dan juga menghubungkannya dengan
sub-sistem pembiayaan yang menunjukkan Untuk mengkaji hubungan vertikal yang terjadi,
hubungan yang positif. Hal ini sejalan dengan apa perlu dilihat dan dipahami kembali perihal program
yang dikemukakan oleh Coker (2010) dan Sweeney ART. Program ini merupakan program yang cukup
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

penting dalam penanggulangan HIV dan AIDS atau ada dilakukan di tingkat pusat maka advokasi
seperti yang disebut dalam penelitian Tkatchenko- yang memungkinkan juga harus terjadi di level
Schmidt et al (2010) sebagai program yang ‘socially yang sama yang banyak dilakukan oleh jaringan
important’. Program yang dianggap penting ini komunitas di tingkat nasional.
menjadi tanggung jawab pemerintah sehingga
Berbeda pada sub-sistem pembiayaan dan
kadang untuk menjamin keberlangsungannya
sumber daya manusia yang menunjukkan integrasi
membutuhkan manajemen tersendiri. Selain itu
sebagian. Kedua sub-sistem ini bila dianalisis
program ART ini sifatnya sangat teknis karena
lebih lanjut terkait dengan dukungannya ke sub-
berkaitan dengan pengobatan sehingga perlu
sistem upaya kesehatan, menunjukkan adanya
adanya kepastian regulasi dan juga standar
hubungan yang memberikan dampak positif pada
operasional prosedur. Semua kebutuhan obat
efektifitas program ART. Misalnya pada sub-
khususnya ARV ditanggung oleh pusat (Kemkes)
sistem pembiayaan, mekanisme penganggaran,
dan kebutuhan obat lainnnya terkait program
proporsi, distribusi dan pengeluaran sama sekali
dijamin oleh JKN (obat IMS, obat IO, dll). Keadaan
tidak terjadi di tingkat daerah karena semua
ini merupakan bentuk jaminan nasional dari
pembiayaan terkait pengadaan ARV dilakukan dan
tingkat pusat untuk memastikan kebutuhan obat
ditanggung oleh pusat, namun sudah dilakukan
ARV dan yang terkait dengan program ART dapat
koordinasi sumber pembiayaan di tingkat pusat
terpenuhi. Sistem manajemen dan regulasi yang
oleh Kemkes. Selain itu mekanisme pembayaran
terpusat dalam studi kasus ini justru menjamin
sebagian sudah terintegrasi melalui JKN meskipun
pelaksanaan program secara teknis pada tingkat
sebagian lainnya masih belum ditanggung. Oleh
upaya kesehatan. Khusus program ART ini tidak
karena itu maka pembiayaan terkait program ART
dibutuhkan adanya regulasi dan manajemen yang
secara umum sudah cukup terjamin sehingga upaya
terintegrasi di tingkat daerah.
layanan kesehatan berjalan dengan baik dan hal
186 Sistem pelaporan dan sistem informasi ini mengakibatkan hasil kinerja yang cukup efektif
yang ada semua bersifat terpusat ke atas pada program ART.
dan kepentingan utama sistem pelaporan
Sama halnya dengan sub-sistem sumber
yang ada pada program ART adalah untuk
daya manusia yang terintegrasi sebagian karena
pelaporan penggunaan obat yang kemudian
masih adanya kebutuhan dan fungsi tenaga
digunakan sebagai perencanaan pengadaan
kesehatan dan non kesehatan dalam program
obat di tingkat pusat. Sistem vertikal yang terjadi
ART yang belum terpenuhi dalam fungsi sistem
disini dikondisikan sebagai upaya menjamin
kesehatan yang ada. Namun situasi ini terbantu
pemenuhan kebutuhan ARV. Selama kebutuhan
dengan adanya keterlibatan dan dukungan dari
daerah terpenuhi dari pusat, peran daerah hanya
LSM dan juga MPI yang terlibat dalam program
mendistribusikan obat melalui layanan kesehatan
penanggulangan HIV dan AIDS. Peran mereka
yang tersedia dengan mengikuti regulasi yang ada.
ini mampu mengisi kekurangan yang ada dan
Sementara untuk partisipasi masyarakat tingkat memberikan dukungan ke upaya kesehatan untuk
integrasi yang terjadi memang tidak banyak memberikan layanan yang tidak disediakan oleh
memengaruhi manajemen maupun layanan dari sistem kesehatan yang ada sehingga mendorong
program ART karena masyarakat dalam program kinerja program menjadi lebih baik.
ART lebih dianggap sebagai obyek dan penerima
Sementara sub-sistem upaya kesehatan sendiri,
manfaat saja. Partisipasi masyarakat yang
seperti yang dijelaskan di atas, pelaksanaannya
memengaruhi kinerja program hanya berkaitan
sangat dipengaruhi oleh keenam sub-sistem
dengan kesediaan ODHA untuk berobat dan
tersebut. Meskipun bila dinilai secara umum
kepatuhan dalam berobat. Ini juga dipengaruhi
keenam sub-sistem tersebut lebih banyak yang
oleh upaya kesehatan seperti penjangkauan dan
tidak terintegrasi, namun sifat vertikal program
juga akses layanan. Partisipasi masyarakat dalam
ART yang mengharuskan adanya regulasi dan
konteks komunitas lebih banyak nampak di tingkat
manajemen serta jaminan dari pusat menjadi salah
pusat. Hal ini dikarenakan semua regulasi yang
satu faktor penting yang membuat pelaksanaan
Studi Kasus

upaya kesehatan untuk program ART ini dapat


berjalan dengan baik. Hal ini juga mendorong
terjadinya integrasi dengan sistem kesehatan di
tingkat daerah. Pelaksanaan upaya kesehatan
yang terintegrasi dengan baik ini pada akhirnya
mendorong kinerja yang efektif.

187
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

IV. Pembahasan

188
Pembahasan

A. Integrasi Penanggulangan HIV dan


AIDS ke dalam Sistem Kesehatan
Integrasi sebuah pelayanan kesehatan dengan pela­
yan­an kesehatan yang lain pada dasarnya merujuk
pa­da pengaturan organisasi yang menciptakan ko­nek­
tivitas, keselarasan dan kolaborasi, koordinasi, ke­si­
nam­bungan, dan jaringan antar pelayanan tersebut
(Coker, 2010; Shigayeva et al. 2010). Pengaturan or­
ga­nisasi yang demikian ini pada satu sisi diyakini bisa
meningkatkan efektivitas, efisiensi dan keberlanjutan
pe­layanan dan pada sisi yang lain dapat memberikan
kepuasan pemanfaat layanan. Dari analisis lima ka­
sus yang disajikan di depan perlu disadari bahwa di­
sain penanggulangan HIV dan AIDS selama ini belum
se­cara eksplisit menyebutkan integrasi sebagai se­
bu­ah strategi untuk mencapai tingkat efektivitas yang
diharapkan. Analisis yang disajikan lebih kepada me­ 189
mak­nai integrasi dengan mengacu beberapa istilah
yang paling dekat dengan konsep integrasi seperti
ko­­ordinasi, rentang layanan atau layanan komprehensif
dan berkesinambungan (LKB). Analisis tentang integrasi
ini dilakukan melalui penilaian atas 17 indikator integrasi
da­ri tujuh fungsi sistem kesehatan yang hasilnya seperti
tam­pak pada tabel 29.
Dari tabel ringkasan hasil tingkat integrasi yang disajikan di atas
memperkuat indikasi dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh PKMK FK UGM (2015) bahwa program promosi pencegahan
dalam kasus ini tampak pada intervensi PMTS untuk WPS, PMTS
untuk LSL dan LASS cenderung kurang terintegrasi dibandingkan
dengan program perawatan, pengobatan dan dukungan yang tampak
dalam kasus KTS/link to care dan ART. Seperti terlihat dalam tabel di
atas, di dalam intervensi pencegahan tidak ada satupun fungsi yang
menunjukkan tingkat integrasi penuh, hanya fungsi upaya kesehatan
dalam intervensi LSL yang dilaporkan terintegrasi sebagian. Sementara
itu untuk intervensi ART dilaporkan lebih ada variasi di mana ada
fungsi yang dilakukan secara terintegrasi (upaya kesehatan), fungsi
yang terintegrasi sebagian (sumber daya manusia dan pembiayaan)
dan fungsi yang tidak terintegrasi (farmasi dan alat kesehatan,
regulasi, penyediaan informasi dan partisipasi masyarakat). Sementara
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

PMTS WPS PMTS LSL LASS KTS ART


Fungsi Dimensi Dimens Dimens
Dimensi Fungsi Dimensi Fungsi Dmensi Fungsi Fungsi Fungsi
i i
1 Regulasi     
Manajemen dan regulasi 2 Formulasi kebijakan          
3 Akuntabilitas     
4 Pengelolaan sumber pembiayaan     
Penganggaran, proporsi, distribusi dan
Pembiayaan 5
pengeluaran          
6 Mekanisme pembayaran layanan     
7 Kebijakan dan sistem manajemen SDM     
Sumber daya manusia 8 Pembiayaan SDM          
9 Kompetensi SDM     
Regulasi penyediaan, penyimpanan,
Penyediaan farmasi dan alat 10
diagnostik dan terapi     
kesehatan    
11 Sumber daya     
12 Sinkronisasi Sistem Informasi     
Informasi strategis     
13 Diseminasi dan Pemanfaatan     
Partisipasi Masyarakat 14 Partisipasi Masyarakat         
15 Ketersediaan layanan     
Upaya kesehatan 16 Koordinasi dan rujukan          
17 Jaminan kualitas layanan     

190
Tabel 29. itu, hampir seluruh fungsi dalam intervensi KTS dilaporkan memiliki
tingkat integrasi sebagian. Secara umum kesimpulan dari pengukuran
Tingkat Integrasi integrasi ini adalah tingkat integrasi program penanggulangan HIV
Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan untuk intervensi pencegahan
dan AIDS ke dalam bisa dikategorikan tidak terintegrasi, sedangkan untuk intervensi
perawatan, dukungan dan pengobatan masuk dalam ketegori terin­
Sistem Kesehatan tegrasi sebagian. Berbagai variasi tingkat integrasi dari intervensi
berdasarkan jenis spesifik di atas menunjukkan adanya faktor-faktor yang mungkin
beroperasi secara berbeda pada masing-masing intervensi dalam
intervensi spesifik mendukung atau menghambat terwujudnya tingkat integrasi yang
(PMTS WPS, PMTS lebih tinggi. Berikut ini secara rinci digambarkan faktor-faktor yang
LSL, LASS, KTS dan bisa memengaruhi tingkat integrasi program penanggulangan HIV dan
AIDS pada pelaksanaannya di tingkat kabupaten/kota.
ART)

1. Interaksi antar aktor penanggulangan HIV dan AIDS


Program penanggulangan HIV dan AIDS adalah program yang
kompleks dan dalam pelaksanaannya di tingkat lapangan
melibatkan multisektor. Dengan demikian, pemerintah daerah
seharusnya secara langsung bertanggung jawab terhadap
keberhasilan program ini karena dengan kewenangannya
pemerintah daerah lebih mampu untuk memperhatikan faktor-
faktor lingkungan yang mendukung, berkaitan dengan perilaku,
dan melibatkan banyak aktor daerah yang memiliki kepentingan
yang berbeda-beda (Kelly, 2003). Dalam hubungan antar pusat
Pembahasan

dan daerah, penanggulangan HIV dan AIDS Dari kajian kasus di atas, kekuasaan KPAD
tidak bisa dilepaskan dari peran MPI yang yang secara potensial besar ternyata tidak
didukung oleh OMS nasional atau pemerintah cukup mampu untuk mengarahkan pemerintah
pusat yang sangat dominan khususnya da­ daerah berkomitmen lebih dari sekedar me­
lam pembiayaan dan bantuan teknis program ngem­­bangkan peraturan daerah atau peraturan
pen­cegahan. Dampak negatif dari peran yang bupati. Komitmen lainnya yang cukup penting,
dominan ini adalah peran daerah men­ja­di misalnya dengan mengalokasikan pendanaan
minimal karena kebutuhan dana dan pe­ngem­ APBD untuk penanggulangan HIV dan AIDS.
bang­an kapasitas telah dipenuhi oleh MPI. Hal Sementara itu, dari studi kasus PMTS di
ini misalnya bisa dilihat pada program PMTS, Merauke menunjukkan bahwa peran Dinas
LASS atau LSL yang semuanya didukung pe­ Kesehatan sebagai leading sector di KPAD
nuh oleh MPI. Demikian pula untuk program tampak telah mampu memobilisasi sumber
perawatan HIV, MPI juga berperan khususnya daya yang lebih besar dari pada daerah-daerah
untuk operasional layanan karena ARV sudah yang lain dalam mengembangkan program
disediakan oleh pemerintah melalui APBN dan PMTS. Sementara itu di Jakarta, komitmen
penyediaan reagen tes HIV dibiayai oleh APBN puskesmas sebagai BLUD dengan dukungan
dan APBD. dari Dinas Kesehatan mengindikasikan ke arah
yang positif untuk menjamin keberlangsungan
Pada tingkat daerah, sebagian besar kegiatan
program LASS di Jakarta.
promosi dan pencegahan pada populasi
kun­ci dilakukan oleh Organisasi Masyarakat Integrasi juga dipengaruhi oleh sedikit atau
Sipil (OMS) maupun oleh Organisasi Berbasis banyaknya aktor yang terlibat dalam pe­nang­
Komunitas (OBK) dengan dukungan pendanaan gulangan AIDS. Semakin sedikit maka akan
dari MPI. Namun sebaliknya, sebagian besar semakin memudahkan integrasi (Atun et al,
pelaksanaan kegiatan tes HIV, perawatan, 2008). Dalam program promosi dan pen­ce­ 191
pengo­batan dan dukungan dilakukan oleh gah­an, tampak bahwa aktor yang bermain
fasilitas kesehatan yang dimiliki oleh peme­ dalam program tersebut sangat banyak. Hal
rin­tah dengan dukungan dana baik dari APBN ini mencerminkan bahwa permasalahan ini
atau APBD untuk penyediaan obat dan reagen merupakan permasalahan lintas sektor. Dari
tes HIV. Pendanaan juga diperoleh dari MPI para pemain yang ada, peran OMS sa­ngat
khususnya untuk insentif bagi SDM kesehatan. dominan sehingga berakibat adanya sis­­
Kajian kasus di atas telah menunjukkan tem yang paralel dalam upaya promosi dan
bahwa aktor dalam bidang teknis (OMS, pencegahan baik dari aspek sistem, pen­de­
fasyankes, KDS) merupakan pihak yang sangat kat­an, sumber daya manusia maupun dalam
berkepentingan dengan penanggulangan HIV dokumentasi berbagai kegiatan yang menjadi
dan AIDS di daerah tetapi kurang memiliki komponennya. Aktor yang berasal dari sektor
kekuasaan untuk mengembangkan kebijakan kesehatan cenderung tidak hadir secara aktif
dan program yang mampu mencerminkan dalam kegiatan promosi dan pen­­cegahan. Lain
kebutuhan populasi kunci di daerahnya. Keter­ halnya dengan program perawatan, peng­obat­
gantungan pada skema perencanaan dan an dan dukungan. Selama ini pemainnya yang
pem­biayaan dari pusat tampaknya menjadi aktif dari fasyankes, dinas kesehatan dan MPI
kendala bagi aktor daerah untuk mewujudkan me­lalui Kementerian Kese­hatan. Misalnya ada
hal tersebut. Demikian pula aktor dalam bidang OMS atau OBK yang ter­libat dalam program
teknis ini juga kurang memiliki pengaruh untuk tersebut, perannya sebatas sebagai perujuk
mendesak peran pemerintah daerah yang atau pendamping di lapangan bagi pasien
lebih besar lagi karena terbatasnya perhatian yang akan atau telah meng­akses layanan HIV.
pemerintah daerah terhadap permasalahan Dengan demikian, program perawatan seperti
HIV dan AIDS, apalagi terkait dengan upaya di­gambarkan dalam dua kasus di atas (KTS dan
promosi dan pencegahan pada populasi kunci. ART) cenderung lebih terintegrasi dari pada
program promosi dan pencegahan.
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Pemangku Kepentingan Pencegahan HIV Pemangku Kepentingan Perawatan HIV


Kekuasaan Kekuasaan
R T R T
Populasi Kunci Dinkes Populasi kunci Dinkes
KPA T LSM PKM
T MPI

KEPENTINGAN
KEPENTINGAN

LSM
Satpol PP

Puskesmas Biro Kesos  KPAD Bappeda


R Bappeda R RSUD
RS BPJS

Gambar 16. Lain halnya dengan yang terjadi di Merauke. Tidak banyak
ternyata aktor yang bermain dalam penanggulangan HIV dan
Analisis Pemangku AIDS. Tidak adanya MPI yang bekerja di wilayah tersebut
Kepentingan dalam membuat pemerintah daerah menjadi aktor yang dominan dan
192 Pencegahan dan mampu memobilisasi sumber daya yang diperlukan dalam
penanggulangan HIV dan AIDS. Hal ini menyebabkan integrasi
Perawatan HIV penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan
menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Jumlah aktor baik dalam
pelaksanaan maupun pengambilan keputusan pada program
pencegahan dan perawatan tampaknya berpengaruh terhadap
tingkat integrasi dari intervensi spesifik ke dalam sistem
kesehatan. Hal ini karena adanya kepentingan yang berbeda dan
tersebarnya kekuasaan yang terkait dengan intervensi yang akan
diintegrasikan.

2. Sentralisasi dalam penanggulangan HIV dan AIDS


Sesuai dengan pembagian kewenangan pemerintahan antara
pemerintah pusat dengan daerah maka penyediaan layanan
kesehatan pada dasarnya merupakan tanggung jawab pemerintah
daerah dengan dukungan pemerintah pusat dan provinsi sesuai
dengan kewenangan yang dimilikinya masing-masing. Artinya
bahwa pemerintah pusat akan lebih berfokus pada pengembangan
regulasi dan kebijakan, sedangkan pemerintah provinsi diharapkan
lebih berperan dalam fungsi pembinaan dan pengawasan
termasuk pengembangan kapasitas. Untuk menjamin bahwa
layanan kesehatan dasar ini dilaksanakan oleh pemerintah
daerah maka pemerintah telah mengembangkan SPM sektor
kesehatan yang mencakup layanan HIV dan AIDS. Pada sisi yang
Pembahasan

lain, dengan mengacu pada SPM ini maka (Seweeny dan Obure, et.al 2012). Tidak
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah mengherankan jika model penanggulangan HIV
untuk merencanakan dan menganggarkan dan AIDS bersifat sentralistik, cenderung bersifat
sebagai strategi untuk mengamankan komitmen umum dan diasumsikan bisa berlaku di daerah-
pemerintah daerah untuk penanggulangan HIV daerah yang menjadi lokasi projek. Tabel...
dan AIDS di daerahnya. menyajikan gambaran mengenai pembelanjaan
penanggulangan HIV dan AIDS di daerah di
Meskipun pengaturan ini secara jelas telah
mana kontribusi dana pemerintah baik melalui
dilakukan, bahkan jika mengacu pada undang-
APBN maupun APBD tampak lebih tinggi dari
undang pemerintahan daerah (PP No. 38
pembelanjaan dari donor. Sayangnya, data
Tahun 2007), pengelolaan penanggulangan
yang tersedia tidak menunjukkan proporsi dari
HIV dan AIDS selama ini tidak mencerminkan
besarnya pembelanjaan tersebut baik dari sisi
semangat desentralisasi oleh karena skema
sumber APBN atau APBD. Meskipun demikian,
penanggulangan HIV dan AIDS adalah program
jika dilihat dari hasil NASA untuk tahun 2013 dan
yang bersifat vertikal di mana pusat sebagai
2014 (Nadjib, 2015), tampak bahwa kontribusi
perencana dan daerah sebagai pelaksananya.
daerah berkisar 15% dan pembelanjaan untuk
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari skema
pencegahan sekitar 17% dan sekitar 50%
pembiayaan yang selama ini terkumpul di
dibelanjakan untuk perawatan HIV. Analisis
pusat melalui mekanisme hibah pembangunan
integrasi penanggulangan HIV dan AIDS di
bilateral maupun multilateral atau melalui
berbagai daerah untuk dua jenis program
APBN khususnya untuk pengadaan ARV.
penanggulangan HIV dan AIDS menegaskan
Demi mewujudkan efesiensi dan efektitivitas
adanya kecenderungan sistem yang paralel
program maka ada kecenderungan skema
dengan sistem kesehatan yang bersifat
pembiayaan hibah ini dikelola secara terpusat
melalui perencanaan, pelaksanaan dan sistem
terdesentralisasi. 193
pemantauan dan evaluasi yang terpusat

Tabel 30. Dana


penanggulangan
HIV dan AIDS di Kota
Pemerintah
Donor
(APBD/APBN)
Kota/Kabupaten
Terpilih Medan 1,604,228,100 1,154,019,443

Kupang 606,375,000 376,941,200

Merauke 3,460,000,000 300,000,000

DKI Jakarta 15,100,000,000 12,100,000,000

Surabaya 6,762,544,631 179,732,500

Denpasar 1,604,228,100 1,154,019,443

Sumber: diolah dari berbagai sumber


Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Cita-cita bahwa integrasi akan membawa RPJMD atau Renstra Dinas Kesehatan. Dengan
penanggulangan HIV dan AIDS menjadi lebih demikian, secara regulasi penanggulangan HIV
terdesentralisasi tidak bisa didukung oleh kajian- dan AIDS di tingkat daerah sudah memperoleh
kajian kasus dalam penelitian ini, meski sebenarnya landasan normatif baik dari tingkat nasional
skema pembiayaan hibah dan APBN pada maupun daerah.
dasarnya bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya
Kajian kasus untuk dua jenis intervensi di
untuk penguatan sistem kesehatan dan mendorong
depan sudah menunjukkan bahwa pada
layanan kesehatan jika ada kemauan politik
tingkatan normatif, kebijakan penanggulangan
baik dari donor maupun pemerintah pusat untuk
HIV dan AIDS di daerah sebenarnya sudah
mendorong peran yang lebih besar bagi para aktor
terintegrasi karena sudah menjadi bagian
di tingkat daerah (Rasschaert et al., 2011; Atun,et.
dari sistem regulasi umum yang ditempuh
al., 2011). Pada sisi aktor daerah, adanya program
daerah untuk mengembangkan program
dari pusat tidak ditangkap sebagai peluang untuk
pembangunannya. Meskipun demikian, pada
memperkuat respon daerah tetapi lebih dianggap
tataran pelaksanaannya, kebijakan-kebijakan
sebagai peluang untuk mengalokasi pendanaan
tersebut cenderung tidak digunakan karena
daerah untuk masalah kesehatan prioritas yang
terbatas mengatur hal-hal yang bersifat umum
lain. Akibatnya, ketika pendanaan pusat berhenti
yang tidak mencerminkan permasalahan
maka mengecil atau berhenti pula program
spesifik daerah. Akibatnya, regulasi-regulasi
penanggulangan HIV dan AIDS di daerah tersebut.
tersebut tidak mampu tercermin dalam
Kasus intervensi PMTS dan LASS di atas telah
pelaksanaan program di mana pada tataran
menunjukkan kecenderungan ini.
tersebut daerah sudah memiliki penugasan dari
pusat berdasarkan perencanaan dan sumber
daya dari pusat. Seperti dinyatakan oleh Coker
194 3. Kebijakan pelaksanaan pada tingkat et al. (2010) bahwa tidak sambungnya antara
frontline perencanaan pusat dan regulasi di tingkat
daerah berimplikasi pada sulitnya mendorong
Secara umum penanggulangan HIV dan AIDS
upaya untuk mengatur pendanaan, administrasi,
mengacu pada Perpres No. 75 Tahun 2006
pengorganisasian dan skenario programatik
sebagai acuan pengelolaan program dan
yang dirancang untuk menciptakan konektivitas,
Permenkes No. 21 Tahun 2013 sebagai acuan
keselarasan, dan kolaborasi di tingkat frontline.
teknis program. Untuk pengelolaan program,
Lemahnya regulasi di tingkat frontline ini
Perpres No. 75 Tahun 2006 ini diikuti oleh
mengindikasikan bahwa regulasi di tingkat
Permenkokesra No. 05 Tahun 20017 tentang
daerah pada dasarnya tidak memberikan
organisi dan tata kelola KPAN dan Permendagri
kontribusi terhadap pelaksanaan program
No. 20 Tahun 2007 tentang pedoman umum
penanggulangan HIV dan AIDS karena tidak
pembentukan umum KPA dan pemberdayaan
terjadi koordinasi, kolaborasi dan konsolidasi
masyarakat dalam rangka penanggulangan HIV
kebijakan dan aktivitas untuk mendorong
dan AIDS di daerah. Sementara itu, acuan teknis
terjadinya integrasi dengan pelayanan
program sebagai turunan dari Permenkes No.
kesehatan yang lebih luas sehingga bisa
21 Tahun 2013 juga telah dikembangkan yang
tercapai efektivitas dan efisiensi program yang
mencakup pedoman pengurangan dampak
lebih tinggi (Grepin dan Reich, 2008).
buruk penggunaan napza suntik; pedoman KTS
dan KTIP serta pedoman ART. Satu peraturan
teknis yang tidak diatur melalui Permenkes
ini adalah pedoman PMTS yang dikeluarkan 4) Karakteristik program
oleh KPAN. Pada tingkat daerah, sejumlah Analisis kasus jenis program di atas
regulasi pun juga sudah dikembangkan baik memberikan pemahaman baru tentang faktor
dalam bentuk peraturan daerah, peraturan yang mungkin memengaruhi integrasi. Seperti
bupati/walikota atau bahkan masuk ke dalam tergambar sebelumnya bahwa tingkat integrasi
Pembahasan

program perawatan HIV cenderung lebih tinggi Konteks upaya pencegahan yang merupakan
dari pada program pencegahan. Jika dilihat dari respon multi sektoral akan menjadi sulit
karakteristik programnya maka akan tampak untuk dikontrol oleh sektor kesehatan semata
bahwa fokus program pencegahan adalah pada sehingga menjadi tantangan yang besar
upaya mendorong perubahan perilaku berisiko untuk mengintegrasikannya ke dalam sistem
dari populasi kunci baik dalam penggunaan kesehatan. Hal ini tidak terjadi dengan upaya
kondom secara konsisten maupun penggunaan perawatan HIV yang berada dalam lingkup
jarum steril dalam penggunaan napza. medik dan merupakan peran tradisional
Sebaliknya perawatan HIV lebih berfokus upaya dari penyedia layanan kesehatan. Pada
untuk mendorong kepatuhan bagi mereka yang sisi lain keterlibatan klien (pasien) dalam
telah HIV positif untuk patuh terhadap teknologi proses perawatan ini cenderung lebih besar
medik yang berupa ART. karena secara langsung bisa dilihat dampak
ketidakpatuhannya terhadap kontrol medik
Walaupun tujuan dari kedua program tersebut
tersebut (Atun et al, 2010). Hal ini barangkali
adalah upaya untuk mendorong perubahan
yang menjadi alasan mengapa program
perilaku, tetapi tampaknya perubahan perilaku
pencegahan cenderung tidak terintegrasi
berisiko menjadi kurang berisiko menjadi
dibandingkan dengan program perawatan
lebih sulit diwujudkan karena perilaku berisiko
karena adanya keengganan untuk menjadikan
pada dasarnya berada dalam interaksi sosial
permasalahan pencegahan ini menjadi fokus
yang menyangkut dua orang atau lebih
utama dari sektor kesehatan yang pada
(Van Campenhout et al, 1997). Keputusan
dasarnya berbeda dengan peran tradisionalnya
untuk berperilaku aman akan tergantung
yaitu pada aspek kuratif.
pada konteks interaksi sosialnya apakah
memungkinkan atau tidak. Ketidakpatuhan
terhadap perilaku aman ini yang berupa 195
penularan HIV tidak bisa diobservasi
5. Kewenangan Administratif dan
secara langsung oleh pelakunya sehingga Kewenangan Teknis
keterlibatan terhadap upaya pencegahan
Desentralisasi kesehatan pada dasarnya
cenderung tidak besar. Untuk itu, upaya untuk
merupakan salah satu faktor yang menentukan
mendorong perubahan perilaku berisiko
berjalan atau tidaknya upaya integrasi
ini menjadi permasalahan yang kompleks
intervensi spesifik di tingkat lapangan.
karena harus menyikapi berbagai situasi
Desentralisasi memberikan mandat kepada
sosial yang bervariasi termasuk konteks legal
pemerintah daerah untuk menyediakan
dari perilaku tersebut. Seperti telah diketahui
layanan kesehatan termasuk layanan
bahwa perilaku yang terkait dengan kerja
untuk pencegahan HIV dan AIDS. Dengan
seks, homoseksualitas dan penggunaan
mandat yang seperti ini maka seharusnya
napza merupakan perilaku yang bertentangan
pemerintah daerah mempunyai otoritas untuk
dengan norma sosial dan hukum yang berlaku
merencanakan dan memobilisasi sumber dana
di Indonesia sehingga mereka yang terlibat
untuk penyelenggaraan layanan kesehatan.
dalam dunia tersebut menjadi tersembunyi
Pada kenyataannya, penanggulangan HIV dan
dan sulit untuk diakses keberadaannya,
AIDS bukanlah program yang terdesentralisasi
apalagi mendorong mereka untuk mengubah
karena perencanaan, pembiayaan, penentuan
perilakunya. Upaya untuk menjangkau dan
sumber daya manusia, pengelolaan informasi
mendukung mereka saat ini bahkan cenderung
stratejik, penyediaan farmasi dan alat
menghadapi tantangan yang lebih besar baik
kesehatan sepenuhnya menjadi kewenangan
dari sisi regulasi maupun sikap masyarakat,
pelaksana program di tingkat pusat. Daerah
misalnya upaya untuk menutup tempat
lebih berperan sebagai pelaksana rancangan
transaksi seks, gerakan anti homoseksual, atau
program yang dibuat di tingkat nasional atau
kebijakan untuk melakukan rehabilitasi wajib
hanya terbatas memiliki kewenangan dalam
bagi pengguna napza.
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

pelaksanaan teknis program sehingga kapasitas administrasi tidak


dimiliki daerah.

Desentralisasi dalam penanggulangan HIV dan AIDS pada


dasarnya bisa berjalan dengan baik, selain tergantung dari
kapasitas teknis juga tergantung dari kapasitas administratif dari
daerah yang berupa kapasitas untuk merencanakan program dan
mobilisasi sumber daya (Unger et al, 2003). Tarik menarik antara
kewenangan teknis dan administratif ini pada akhirnya akan
menentukan tingkat integrasinya. Gambaran tentang kajian kasus
jenis program di atas menunjukkan bahwa program pencegahan
merupakan program vertikal di mana kewenangan administratif
dan teknis ada di tingkat pusat dengan mengembangkan sebuah
struktur terpisah dari pelayanan kesehatan yang terdiri dari OMS/
OBK yang bertanggungjawab langsung kepada pusat. Sementara
program perawatan HIV pada dasarnya terintegrasi sebagian
karena kewenangan administratif (perencanaan dan mobilisasi
sumber daya) ada di tingkat pusat sementara struktur kesehatan
yang ada di daerah hanya terbatas dalam melaksanakan kegiatan
teknis. Dari kajian kasus di atas, tidak satupun tampak adanya
program yang terintegrasi penuh dimana perencanaan yang
Gambar 17. ada di tingkat pusat menjadi bagian dari perencanaan di tingkat
daerah. Dalam proses integrasi seperti ini terjadi pendelegasian
Struktur Organisasi kewenangan administratif dari pusat ke daerah untuk
196 Penanggulangan merencanakan dan memobilisasi sumber daya yang diperlukan
HIV dan AIDS dan untuk melaksanakan perencanaan tersebut. Secara ringkas
ketegangan dalam kewenangan administratif dan teknis dari kajian
Tingkat Integrasinya kasus di atas bisa dilihat pada gambar 17.

Terintegrasi

Pemerintah Daerah Pusat (Kemkes, Donor, KPA)

Terintegrasi Terintegrasi Sebagian Vertikal

Pelayanan KTS & ART Pelayanan Pencegahan


Pembahasan

Berbagai faktor yang diidentifikasikan pada tepat (cakupan geografis) dan mencapai target
kajian kasus-kasus intervensi spesifik di atas populasi yang dimaksudkan (cakupan individu)
menegaskan kembali hasil penelitian PKMK (UNAIDS 2010). Dengan demikian cakupan
(2015) sebelumnya yang melihat faktor-faktor merupakan indikator yang bisa digunakan untuk
yang mungkin bisa memengaruhi tingkat melihat apakah program mencapai dan melayani
integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke populasi sasaran yang tepat.
dalam sistem kesehatan yang mencakup
Gambaran tentang lima studi kasus di depan
komitmen politik, situasi epidemi setempat,
juga mengindikasikan bahwa masing-masing
regulasi dan hukum yang mendukung atau
intervensi ini telah mampu memiliki cakupan
menghambat penanggulangan HIV dan AIDS
program yang cukup baik (lihat tabel ...). Bisa dilihat
dan situasi ekonomi daerah. Demikian pula
bahwa cakupan untuk intervensi perawatan (link to
di negara-negara yang lain, menunjukkan
care dan ARV) cenderung memiliki cakupan yang
bahwa faktor-faktor yang memengaruhi tingkat
lebih baik dari pada intervensi pencegahan (PMTS
integrasi adalah keterlibatan pemangku
dan LASS). Sejumlah faktor telah diidentifikasi
kepentingan, prosedur pengetahuan, komitmen
sebagai faktor-faktor yang bisa memengaruhi
politik pemerintah, pelaksanaan desentralisasi
efektivitas penanggulangan HIV dan AIDS seperti
dan tingkat pemanfaatan teknologi bagi
keterlibatan sektor masyarakat (WHO, 2001; 2006;
pengembangan sistem informasi (Biesma et al,
2008; Lee, 2010; Travis et al 2004) dan kapasitas
2009;. Corbin dan Mittelmark, 2008; Conseil, A.
sistem kesehatan yang ada untuk mengatasi
et al, 2010; Desai et al, 2010; Hanvoravongchai
masalah HIV dan AIDS, serta integrasi program
et al, 2010; Rasschaert et al, 2011;. VanDeusen
kesehatan dan sistem kesehatan (Atun et al
et al, 2015).
2008; 2010; Coker et al, 2010; Grepin dan Reich,
2008; Shigayeva et al, 2010). Merujuk bahwa
tingkat integrasi dengan sistem kesehatan bisa 197
B. Pengaruh Integrasi memengaruhi efektivitas program maka tabel di
terhadap Efektivitas Program bawah menggambarkan intervensi perawatan dan
pengobatan HIV yang memiliki cakupan lebih tinggi,
Efektivitas penanggulangan HIV dan AIDS cenderung memiliki tingkat integrasi yang lebih
yang biasanya diukur dalam proses monitoring tinggi dibandingkan dengan intervensi pencegahan
dan evaluasi secara umum mengacu pada yang memiliki cakupan yang lebih rendah.
pengertian pada seberapa jauh program yang Meski demikian, harus diakui bahwa program
dilaksanakan bisa mencapai tujuan akhir (goal) penanggulangan HIV dan AIDS belum efektif,
yang mencakup mengurangi insiden IMS dan HIV, dalam arti belum mampu melayani populasi yang
meningkatkan penggunaan kondom atau alat seharusnya dilayani oleh masing-masing intervensi
suntik steril, perubahan pengetahuan dan perilaku, tersebut seperti yang ditargetkan dalam SRAN
meningkatkan jumlah orang yang dijangkau, 2010-2015. Dari tabel.... tampak bahwa sebenarnya
perubahan pola ketergantungan dan pengobatan, menjadi cukup sulit untuk menyatakan bahwa
dan sebagainya (Grassly et al, 2001; Homan et al, integrasi akan memengaruhi efektivitas program
2002; Paltiel, 2005; Walensky et al, 2006; Fairall et karena bukti yang tersedia tidak mendukung
al, 2008; Lagu et al, 2015; dan Wilson et al, 2015), kesimpulan tersebut.
Sadler, 1996; Schillinger 2010). Namun demikian
Meski secara empirik, kajian kasusintervensi
sejumlah rujukan menyatakan bahwa efektivitas
di atas belum memberikan bukti yang cukup
bisa diukur menyasar pada hasil kinerja program
kuat untuk menunjukkan hubungan antara
secara langsung yang berupa cakupan dari
tingkat integrasi dengan efektivitas program,
program tersebut pada tingkat populasi (Alliance,
satu indikasi yang bisa dilihat berdasarkan
2008; Global Fund, 2011; Komisi Penanggulangan
data di atas adalah capaian ini kemungkinan
AIDS Nasional, 2010). Cakupan yang dimaksud
tidak mudah untuk dipertahankan jika tidak ada
pada dasarnya merujuk pada sejauh mana suatu
upaya yang kuat dari pemerintah pusat dan
program/intervensi dilaksanakan di tempat yang
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Target
Intervensi Cakupan Cakupan Prevalensi
Tingkat
(SRAN 2010- (data (STBP 2015 & HIV
Integrasi
2015) program)* Data Nasional (STBP-2015)

PMTS - WPS 80% 43.43% 44.37% (WPSL) 7.97% (WPSL) Tidak


21.43%
2.20% (WPSTL)
(WPSTL)
PMTS - LSL 80% 20.25% 62.30% 25.80% Tidak
LASS - Penasun 80% 64.32% +
59.56% ++
28.78% Tidak
Link to Care 80% 75.36%* 77.83%** Sebagian
ART (on ART) 80% 54.73% 51.78% Sebagian

+
) penasun yang menerima jarum steril - ++) penasun yang bertemu petugas lapangan
) HIV positif yang memperoleh perawatan HIV **) proporsi populasi kunci yang melakukan tes HIV
*

198
Tabel 31. Cakupan daerah untuk mengintegrasikan upaya-upaya penanggulangan
HIV dan AIDS yang telah didukung secara meluas oleh MPI dalam
Intervensi dan kurun waktu 20 tahun terakhir ini. Sistem paralel yang dijalankan
Tingkat Integrasi dalam penanggulangan HIV dan AIDS selama ini telah mampu
meningkatkan cakupannya dalam jangka pendek karena dikelola
secara khusus untuk intervensi spesifik tersebut. Dalam jangka
panjang seiring dengan perubahan sifat permasalahan HIV dan AIDS
dari permasalahan kegawatdaruratan menjadi permasalahan penyakit
kronis dan semakin berkurangnya dukungan dari MPI ke depan maka
keberlanjutan program penanggulangan HIV dan AIDS akan menjadi
sebuah tantangan besar karena tidak siapnya sistem kesehatan untuk
mengambil alih inisiatif dari program penanggulangan HIV dan AIDS
yang dilaksanakan oleh sebuah sistem yang berbeda dengan sistem
kesehatan yang berlaku.

Untuk itu, menjadi satu hal yang relevan untuk menganalisis


berdasarkan bukti tentang ada atau tidak adanya mekanisme
yang memungkinkan integrasi ini memberikan variasi terhadap
cakupan program selama ini. Pertanyaan ini penting, mengingat
pemahaman mekanisme tersebut secara konseptual dapat digunakan
untuk merancang strategi memperkuatkan proses integrasi untuk
meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan program penanggulangan
HIV dan AIDS di Indonesia seperti dinyatakan dalam Strategi dan
Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2015-2019
(KPAN, 2016). Dalam konteks yang demikian maka penting untuk
melihat pernyataan Coker et al. (2010) bahwa bagaimana integrasi
Pembahasan

memengaruhi efektivitas bisa diidentifikasikan jawab program tersebut (SI NU; SI PKBI; R& R
berdasarkan pelaksanaan fungsi-fungsi sistem KPAN), sementara di daerah yang sama untuk
kesehatan yang mencakup (i) pengawasan dan mencatat kegiatan di bidang medik yang
tata kelola; (ii) pembiayaan; (iii) perencanaan; (iv) mencakup rumatan metadon, KTS/KTIP dan
pemberian layanan; (v) monitoring dan evaluasi; ART menggunakan SIHA yang dikembangkan
dan (vi) mendorong munculnya permintaan layanan. oleh Kemkes. Menjadi lebih kompleks lagi
Sementara itu Conseil et al. (2010) dan Rasschaert ketika di wilayah tersebut (misalnya Jawa
et al. (2011) melihat pada keterlibatan yang lebih Timur, Denpasar, DKI Jakarta, Medan) ada
besar dari para pemangku kepentingan dalam donor bilateral seperti USAID atau DFAT yang
pengambilan keputusan untuk mengkoordinasikan melalui kontraktornya juga mengembangkan
dan mengelola penanggulangan HIV dan AIDS sistem informasi yang berbeda. Sebagai
yang merupakan proses dalam menentukan konsekuensinya, data programatik seperti
bagaimana integrasi bisa memengaruhi efektivitas ini menjadi terpusat di beberapa pengelola
intervensi tertentu. Seturut dengan pemahaman program di tingkat nasional.
di atas, maka pada bagian berikut akan dilihat
Data epidemiologi sebagai data strategis yang
benang merah dari masing-masing kasus intervensi
dikumpulkan secara rutin untuk Kemkes melalui
spesifik yang bisa menggambarkan mekanisme
STBP dan KPAN melalui survei cepat perilaku
pengaruh tingkat integrasi pada efektivitas program
(SCP) diharapkan bisa memotret hasil program
dengan menekankan pada pelaksanaan fungsi-
secara berkesinambungan dan terpusat di
fungsi sistem kesehatan dan keterlibatan pemangku
tingkat nasional sehingga dapat digunakan
kepentingan dalam penanggulangan HIV dan AIDS
untuk kepentingan nasional pula. Sayangnya,
di masing-masing intervensi.
ada kecenderungan pelaksanaan untuk SCP
dan IBBS ini dimana sejumlah daerah dilakukan
dua jenis surveilans ini. Meski telah ada upaya 199
1. Pengelolaan data yang tidak terintegrasi
untuk pengaturan wilayah survei agar tidak
menyebabkan sulitnya untuk menentukan
terjadi duplikasi, tetapi karena metodologi
target yang sesuai dengan situasi epidemi
yang digunakan berbeda maka menyebabkan
daerah
data menjadi tidak bisa diperbandingkan.
Seperti digambarkan dalam kajian kasus di Intensi untuk mengembangkan sistem informasi
depan bahwa pengelolaan informasi strategis sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi
untuk penanggulangan HIV dan AIDS belum justru tidak bisa dipenuhi dengan data yang
menggunakan platform sistem informasi tersebar tersebut. Sejauh ini data di tingkat
yang sama dengan pengelolaan informasi nasional dikembangkan untuk mengembangkan
pada sistem kesehatan pada umumnya. proposal/concept note untuk Global Fund atau
Bahkan dalam penanggulangan HIV dan dimanfaatkan oleh lembaga donor dalam
AIDS terdapat variasi pengelolaan informasi menentukan bentuk, sebaran dan besaran dana
strategis karena setiap pelaksana program yang akan dikomitmenkan.
mengembangkan sendiri-sendiri dan tidak
Pada tingkat daerah kebutuhan terhadap
terintegrasi satu dengan yang lain. Pengelolaan
pemanfaatan data relatif rendah karena
data strategis seperti yang digambarkan
perencanaan telah dikembangkan di tingkat
di atas, sebenarnya tidak bisa dihindari
pusat. Hal ini menyebabkan perencanaan
karena masing-masing pengelola program
cenderung bukan menjadi hal yang
ingin memastikan bahwa informasi yang
prioritas karena selama ini daerah lebih
diperlukannya bisa terkumpul sesuai dengan
diposisikan sebagai pelaksana program.
indikator yang dikembangkannya. Misalnya,
Meski ada komitmen daerah untuk mendanai
program pencegahan yang di laksanakan
penyelenggaraan penanggulangan HIV
di wilayah yang menjadi target Global Fund,
dan AIDS di daerah, tetapi dalam proses
akan menggunakan sistem pengumpulan data
perencanaanya tidak didukung oleh data
program yang dikembangkan oleh penanggung
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

strategis yang tersedia di daerahnya karena sulit bagi daerah untuk membuat perencanaan
sejauh ini belum ada mekanisme di tingkat program.
daerah yang menyatukan data dari berbagai
program yang didanai oleh donor yang
berbeda-beda. Data nasional juga bukan 2. Pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS
merupakan data yang bisa diolah pada tingkat didedikasikan untuk mencapai target nasional
daerah kecuali memanfaatkan laporan-laporan dari pada target daerah
dari berbagai kegiatan pengumpulan data
Dalam SRAN 2015-2019 disebutkan bahwa
strategis tersebut. Kecenderungan seperti ini
kebutuhan dana untuk penyelenggaraan
telah menempatkan daerah pada posisi yang
program HIV dan AIDS dari tahun 2015-2019
cukup lemah dalam pengambilan keputusan
diperkirakan mencapai Rp.6,248,374,000,000
terkait penanggulangan HIV dan AIDS di
(USD 568,034,000). Perkiraan dana yang bisa
daerahnya karena selain tidak tersedianya
dihimpun dengan berpedoman pada situasi
data, menyebabkan kapasitas dalam
saat ini hingga tahun 2019 hanya sebesar
merencanakan program pun rendah. Tidak
Rp.4,419,470,000,000 (USD 401,770,000) yang
mengherankan dalam program pencegahan
hampir separuhnya dibiayai oleh hibah luar
yang didukung oleh APBD cenderung hanya
negeri. Perhitungan mengenai ketersediaan
yang bersifat sosialisasi/penyuluhan karena
dana dilakukan dengan memasukkan dana
terbatasnya kemampuan untuk menyusun
dalam negeri dengan asumsi pertumbuhan 20%
sebuah program yang kontekstual dengan
per tahun pada dana pusat, dan peningkatan
permasalahan HIV dan AIDS di daerahnya.
20% dana daerah. Sementara itu, dana dalam
Deskripsi tentang pengumpulan data ini pada negeri yang berasal dari swasta diperkirakan
dasarnya ingin menunjukkan bagaimana berada pada kisaran 3,4% - 4% dari total
200 dominasi pusat atas daerah pada kepemilikan pendanaan untuk HIV dan AIDS, termasuk di
data programatik dan stratejik. Selain itu, dalamnya layanan kesehatan swasta, ban­tu­
adanya sistem informasi yang paralel saat an swasta, dan CSR. Ketersediaan dana ju­ga
ini menunjukkan hasil yang kurang efisien mencakup dana hibah luar negeri dari Global
dan cenderung mengakibatkan perencanaan, Fund dan dana bilateral lainnya, yang men­ca­
monitoring dan evaluasi program menjadi pai 49% dari total dana untuk HIV dan AIDS.
terfragmentasi baik dari segi laporan, SDM,
Berdasarkan perhitungan kebutuhan dan
pembiayaan, maupun sediaan farmasi dan alat
potensi ketersediaan dana penganggulangan
kesehatan (Kawonga et al, 2012). Inilah yang
HIV dan AIDS lima tahun mendatang, terdapat
menyebabkan kurang berjalannya perencanaan
kesenjangan pendanaan mulai dari tahun
di tingkat daerah karena kepemilikan data ada
2015 sebesar USD 12,057 hingga USD 55,870
di tingkat pusat. Implikasinya adalah bahwa
pada tahun 2019. Kesenjangan ini akan
integrasi pada tingkat penyediaan layanan
semakin membesar pasca tahun 2017 dengan
seperti yang ditunjukkan dalam beberapa
besaran dana yang tersedia hanya sekitar
kasus di atas adalah integrasi yang bersifat
56% - 57% dari kebutuhan (lihat gambar ...).
semu karena daerah hanya bertanggungjawab
Kesenjangan yang terjadi pada dua tahun
terhadap pelaksanaan program tanpa disertai
terakhir (2018 dan 2019) ini disebabkan oleh
oleh kewenangan administratif yang diperlukan
berakhirnya pendanaan dengan skema NFM
untuk mengelola program yang ada di daerah
dari Global Fund pada tahun 2017. Pada
karena tidak dimilikinya data programatik
sisi lain, Pemerintah Australia (DFAT) dan
dan stratejik yang penting bagi pengambilan
Amerika Serikat (USAID) yang pada tahun 2014
keputusan. Kemampuan administratif ini akan
memberikan bantuan sebesar USD 27,816,495
semakin lemah jika dilihat bahwa hampir
dan USD 24,496,612 akan mulai mengurangi
sebagian besar program penanggulangan HIV
dukungan pendanaannya mulai tahun 2015
dan AIDS ini didukung sumber dayanya oleh
sehingga kesenjangan antara kebutuhan
aktor dari pusat yang secara praktis menjadi
Pembahasan

201
Gambar 18. dan ketersediaan dana untuk lima tahun ke depan jelas akan
bertambah besar.
Kebutuhan,
Kajian kasus yang telah dilakukan pada lima jenis intervensi pada
ketersediaan dan tingkat kabupaten/kota menunjukkan bahwa pendanaan program
sumber pendanaan HIV dan AIDS cenderung terpisah dan memiliki pengaturan
program HIV dan organisasi yang berbeda di pemerintah daerah baik dalam sistem
perencanaan, penganggaran, maupun pengelolaan programnya.
AIDS 2015-2019 Bahkan ketika dana tersebut diperuntukkan bagi dinas kesehatan,
rumah sakit maupun puskesmas, pengelolaan dana pun dibedakan
dari pengelolaan dana rutin yang diperoleh dari APBD atau BLUD.
Tidak ada mekanisme yang memungkinkan pendanaan dari donor
ini diintegrasikan sebagai bagian dari pendanaan APBD yang
digunakan untuk penanggulangan HIV dan AIDS karena menuntut
pertanggungjawaban yang berbeda pula.

Ketika sebuah daerah, misalnya Merauke, memiliki komitmen yang


tinggi untuk pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS, logika
program untuk mengembangkan alokasi anggaran sama sekali
berbeda dengan yang menjadi logika dalam pengembangan
SRAN. Logika program yang dipergunakan dalam mengalokasikan
anggaran menyesuaikan dengan nomenklatur anggaran yang
tersedia dalam APBD. Untuk itu jika merujuk hasil Investment Case
Analysis (ICA) yang dilakukan oleh KPAN untuk pembiayaan HIV
dan AIDS di Indonesia menunjukkan bahwa biaya yang dibutuhkan
untuk menangani ODHA per tahun per orang mencapai USD 995
(UNAIDS, 2013), sementara untuk biaya pencegahan diperkirakan
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

2/3 dari angka tersebut (KPAN, 2015) atau pada sosialisasi pada populasi umum atau
sekitar 663 dolar per tahun atau 55 dolar per secara rutin diselenggarakan oleh pelayanan
bulan (setara dengan 561,000 rupiah – sesuai kesehatan. Kegiatan penjangkauan populasi
dengan asumsi nilai dollar dalam APBN 2015) kunci beserta penjangkaunya, manajemen
maka secara praktis perhitungan tersebut kasus HIV dan pendampingan ODHA tidak akan
tidak akan pernah bisa digunakan dalam muncul di dalam penganggaran di APBD.
penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat
Apa yang ingin disampaikan di sini bahwa
daerah. Tidak sesuainya model pembiayaan
model perencanaan penanggulangan HIV
dengan situasi di daerah ini menjadi salah satu
dan AIDS di tingkat nasional menjadi tidak
alasan rendahnya tingkat integrasi dari fungsi
bisa digunakan sebagai acuan bagi daerah
pembiayaan, khususnya dalam pengumpulan
karena disusun tanpa memperhatikan prinsip
sumber dana (fund collection).
desentralisasi pada bidang kesehatan.
Contoh tersebut pada dasarnya ingin Sebagai konsekuensinya, maka perencanaan
menunjukkan bahwa model pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia
penanggulangan HIV dan AIDS yang ada pada dasarnya merupakan perencanaan
selama ini dikembangkan seperti melalui nasional yang tidak mencerminkan kepentingan
ICA, diarahkan untuk melakukan advokasi daerah. Sumber pembiayaannya pun hanya
pembiayaan sumber internasional dari pada didedikasikan untuk mendanai perencanaan
advokasi pembiayaan dalam negeri. Sebagai pusat. Sebaliknya karena keterbatasan
konsekuensinya maka model pembiayaan regulasi dalam penganggaran APBD maka
tersebut dikembangkan untuk mendukung daerah yang telah mengalokasikan untuk
pencapaian target nasional dari pada target penanggulangan HIV dan AIDS hanya
di daerah. Lebih lanjut lagi, pengelolaan dana terbatas pada kegiatan umum yang tidak
202 mencerminkan kebutuhan nyata di lapangan.
penanggulangan HIV dan AIDS ada di tingkat
pusat bukan diserahkan kewenangannya Meski pendanaan APBD atau pendanaan
di tingkat daerah. Oleh karena program lain di tingkat lokal seperti anggaran desa
penanggulangan HIV dan AIDS dikembangkan tersedia, tetapi karena terbatasnya kapasitas
dan dikelola di tingkat pusat maka kemungkinan perencanaan dan advokasi anggaran di tingkat
terjadinya kesenjangan kebutuhan di tingkat daerah menjadi salah satu sebab yang lain dari
daerah menjadi lebih besar, apakah itu terlalu lemahnya pendanaan di tingkat daerah seperti
besar (over estimate) atau terlalu kecil (under digambarkan pada bagian sebelumnya.
estimate) dengan kebutuhan di daerah. Dengan
Dari sisi pembelian layanan (purchasing), secara
kata lain, asumsi yang dipakai oleh SRAN
umum pelayanan kesehatan perseorangan di
tentunya tidak bisa diterapkan oleh daerah dan
Indonesia ditanggung oleh Jaminan Kesehatan
kurang masuk akal diterapkan dalam kerangka
Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS.
anggaran yang ada karena referensi besaran
Sayangnya, belum semua kebutuhan kesehatan
anggaran mengacu pada biaya di daerah
untuk perawatan dan pengobatan HIV dan
tersebut.
AIDS masuk dalam skema pembiayaan ini.
Sementara itu, apa yang terjadi di tingkat Misalnya untuk pengobatan ARV, pemeriksaan
daerah adalah kegiatan yang telah masuk diagnostik yang harus dilakukan sebelum dan
dalam nomenklatur penganggaran yang selama pengobatan ARV seperti CD4 atau viral
dari waktu-waktu bersifat tetap tidak mampu load, dan pengobatan infeksi oportunistik juga
mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan tidak ditanggung dalam JKN. Berbagai jenis
intervensi termasuk jenis sumber daya manusia pembiayaan ini masih ditanggung oleh pasien
yang dibutuhkan. Tidak mengherankan jika (out of pocket) atau bagi daerah tertentu melalui
kegiatan yang didukung APBD cenderung skema bantuan sosial dari pemerintah daerah.
tidak mencerminkan keluasan dari program Menjadi lebih problematik ketika persyaratan
HIV dan AIDS tetapi kegiatan yang berfokus utama untuk memperoleh JKN ini adalah kartu
Pembahasan

Tabel 32. SDM Dalam identitas di mana sebagian dari populasi kunci tidak memilikinya
karena mobilitas mereka dari wilayah satu ke wilayah lainnya
Penanggulangan atau tidak sesuainya jenis kelamin dengan penampilan fisiknya.
HIV dan AIDS Artinya bagi populasi kunci yang tidak memiliki akses terhadap
JKN, keseluruhan pembiayaan kesehatan untuk perawatan dan
pengobatan HIV harus ditanggung sendiri atau dalam proporsi
yang lebih sedikit bisa ditanggung oleh pemerintah daerah melalui
bantuan sosial, misalnya DKI Jakarta atau Merauke. Berbagai
prosedur dalam pembiayaaan kesehatan yang bervariasi seperti
digambarkan di atas yang menyebabkan adanya variasi cakupan
intervensi di satu daerah maupun antar daerah.

SDM Dalam Penanggulangan HIV dan AIDS

Permenkes No. 21 Tahun 2013 SRAN 2010-2014

A. Tenaga Kesehatan: tenaga kesehatan yang A. Tenaga Lapangan


mempunyai kompetensi dan kewenangan sesuai a. Penyuluh (peer educator) 203
ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal b. Petugas penjangkau outreach workers)
11, UU No. 36 Tahun 2014) c. Pengawas program tingkat lapangan
a. Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi. d. Manajer program tingkat lapangan
b. Tenaga keperawatan meliputi perawat dan
bidan. B. Tingkat Layanan
c. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis a. Petugas konselor untuk berbagai layanan (PDP,
farmasi dan asisten apoteker. KT, IMS, PPIA, LASS, PTRM)
d. Tenaga ahli kesehatan masyarakat meliputi b. Dokter spesialis (layanan PDP)
epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, c. Dokter umum untuk berbagai layanan (PDP, KT,
mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, IMS, PPIA, LASS, PTRM)
administrator kesehatan, dan sanitarian. d. Petugas laboratorium untuk berbagai layanan
e. Tenaga ahli gizi meliputi nutrisionis dan (PDP, KT, IMS, PPIA)
dietisien. e. Perawat untuk berbagai layanan (PDP, KT, IMS,
f. Tenaga terapi fisik meliputi fisioterapis, PPIA, LASS, PTRM)
okupasiterapis dan terapis wicara. f. Petugas administrasi untuk pencatatan dan
g. Tenaga teknisi kesehatan meliputi radiografer, pelaporan dari berbagai layanan (PDP, KT, IMS,
radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedik, PPIA, LASS, PTRM)
analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik g. Nutrisionis
prostetik, teknisi transfusi dan petugas perekam h. Bidan
medis. i. Manajer kasus (case managers)

B. Tenaga Non-Kesehatan (tidak diatur dalam UU 36 C. Manajemen di tingkat kabupaten


tahun 2016) a. Manajer program
Tenaga kerja yang berperan dalam bidang b. Pemantauan dan evaluasi, dan surveilans
kebijakan, kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, c. Keuangan dan administrasi
social dan budaya d. Sekretaris atau manajer
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

3. Variasi dalam pengelolaan SDM berjalannya sistem ketenagakerjaan yang


menyebabkan kinerja layanan tidak optimal paralel antara penanggulangan HIV dan
AIDS dengan sistem kesehatan yang berlaku.
Kasus-kasus yang disajikan di depan telah
Hal ini menjadi catatan yang penting untuk
menunjukkan bahwa model pengelolaan
diperhatikan karena anggaran domestik
sumber daya manusia dalam penanggulangan
diharapkan semakin besar pada masa yang
HIV dan AIDS berbeda dalam pengelolaan
akan datang seiring semakin berkurangnya
sumber daya manusia untuk bidang kesehatan
dana dari MPI. Tidak adanya payung hukum
pada umumnya baik dari sisi jenis pekerjaan,
bagi tenaga non-kesehatan dalam bidang
kompetensi, pendanaan, pengembangan
pelayanan kesehatan akan menjadi tantangan
kapasitas maupun statusnya dalam bidang
yang besar khususnya dalam melayani
kesehatan. Perbedaan ini misalnya bisa
kelompok populasi kunci yang selama ini tidak
dilihat dari jenis SDM yang disebutkan dalam
dikenal dalam pelayanan kesehatan pada
Permenkes No. 21 Tahun 2013 yang menyatakan
umumnya.
bahwa sumber daya manusia yang terlibat
dalam pengendalian HIV dan AIDS bisa dibagi Implikasi lain dari penyebutan yang berbeda
menjadi dua yaitu tenaga kesehatan yang ini adalah sulitnya untuk mengembangkan
memiliki kompetensi dalam bidang kesehatan sebuah pelayanan yang mencerminkan
dan tenaga non-kesehatan yang lebih layanan komprehensif dan berkesinambungan
berperan dalam promosi dan pencegahan, (LKB) seperti yang menjadi prinsip dalam
pengambilan kebijakan atau mereka yang penanggulangan HIV dan AIDS. Ini terjadi
bekerja di bidang administratif program. karena adanya persepsi bahwa tenaga
Sementara KPAN mengidentifikasi kebutuhan lapangan atau penjangkauan memiliki posisi
sumber daya manusia yang dibutuhkan sebagai ‘pengumpan’ atau perujuk ke fasilitas
204 dalam penanggulangan HIV dan AIDS dengan layanan kesehatan. Sayangnya, dalam
membagi berdasarkan jenis intervensinya kenyataannya belum tentu ada informasi balik
misalnya tenaga lapangan, tenaga kesehatan atau rujukan balik atas kelompok dampingan
tingkat layanan dan SDM untuk manajemen yang telah dirujuk dari fasilitas pelayanan
program. kesehatan baik untuk KTS, ARV, IMS atau LASS
sehingga keberlanjutan pendampingan menjadi
Secara administratif penyebutan yang berbeda
sulit untuk dilakukan. Persepsi ini didasarkan
ini memberikan implikasi pada pengelolaan
pada pemahaman yang berbeda antara model
SDM yang bersangkutan. Secara umum
pendanaan untuk masing-masing SDM di
pengaturan SDM kesehatan telah diatur
lapangan dan di fasyankes sehingga koordinasi
dengan UU No. 36 Tahun 2014 tentang tenaga
dan kerja sama ini menjadi ‘tidak setara’ karena
kesehatan sementara untuk tenaga non-
SDM lapangan bukan merupakan tenaga
kesehatan yang bekeja di bidang kesehatan
kesehatan.
belum diatur secara spesifik. Akibatnya
payung hukum bagi tenaga non-kesehatan Implikasi lain yang muncul adanya perbedaan
yang menjadi dasar untuk penganggaran pengelolaan ini adalah pada perbedaan
menjadi tidak bisa terpenuhi. Sementara dalam proses pengembangan kapasitas dan
itu dalam penanggulangan HIV dan AIDS, kompetensi antara tenaga penanggulangan
meski menggunakan penyebutan yang HIV dan AIDS dengan tenaga kesehatan pada
berbeda dengan acuan umum dalam bidang umumnya. Selama ini pengembangan kapasitas
kesehatan, penganggaran untuk tenaga tenaga lapangan, penyedia layanan atau
non-kesehatan untuk kegiatan lapangan tenaga manajemen program selalu didukung
atau layanan tidak menjadi persoalan karena oleh program HIV dan AIDS (sesuai dengan
pendanaannya berasal dari dana MPI yang pengelola programnya masing-masing) yang
umum diperuntukkan bagi penanggulangan HIV dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
dan AIDS. Ketidaksesuaian ini mengindikasikan intervensi atau programnya. Situasi ini
Pembahasan

menjadi problematik karena kecenderungan tenaga kesehatan dari pelayanan kesehatan


di penyedia layanan pemerintah secara rutin umum yang tersedot ke layanan HIV dan
melakukan rotasi pegawainya dari satu bagian AIDS karena ada insentif yang lebih besar
ke bagian yang lain. Akibatnya tenaga yang jika mengerjakan layanan tersebut. Tetapi
dilatih akan berpindah dan digantikan oleh ketika pendanaan MPI berhenti maka akan
mereka yang belum dilatih. Ini tentunya tidak semakin kecil kemungkinan SDM yang ada di
akan terjadi jika pengelolaan program HIV penanggulangan HIV dan AIDS akan bertahan
dan AIDS dikembangkan bersama dengan karena tidak ada payung hukum dan insentif
program pengembangan kapasitas tenaga untuk pelayanan penanggulangan HIV dan
kesehatan pada umumnya. Lebih jauh hal ini AIDS. Ketidakpastian masa depan pendanaan
akan berdampak pada pelayanan yang tidak dari MPI berimplikasi pada kinerja SDM karena
optimal bagi pemanfaat program yaitu populasi tidak ada kepastian dukungan untuk pelayanan
kunci termasuk isu stigma terhadap populasi di masa depan (Kang, 2011; Wilson, 2013;
kunci yang seringkali masih ditemukan dari Ruisendaal 2015). Selain itu, ketidakpastian
tenaga kesehatan (lihat penelitian CAT-S, 2013 standar dan renumerasi yang diperoleh akan
dan Jothi – BPS, 2011). Menjadi persoalan memengaruhi kinerja layanan Kesehatan
yang besar sebenarnya bagi pengembangan (Grepin dan Reich, 2008). Ketidakpastian inilah
kapasitas dan kompetensi tenaga non- yang sebenarnya perlu menjadi perhatian
kesehatan yang tidak dikenal dalam UU No. untuk intervensi pencegahan yang selama ini
36 Tahun 2014. Selama masih didukung oleh menggantungkan pendanaannya pada MPI
MPI, pengembangan kapasitas dan kompetensi . Ketidakpastian ini pulalah yang akhirnya
tenaga non-kesehatan tidak terlalu merisaukan memberikan variasi dalam kinerja intervensinya
karena secara rutin kegiatan tersebut dilakukan karena integrasi pembiayaan mernjadi faktor
oleh pengelola program, tetapi ketika sudah yang bisa meningkatkan efisiensi teknis yang 205
tidak ada dukungan lagi, misalnya di Merauke mengurangi pengeluaran seperti insentif yang
dan Manokwari maka kegiatan pengembangan muncul karena adanya program yang berbeda,
kapasitas bagi tenaga lapangan tidak sharing middle management, pelatihan dan
ada lagi. Dinkes tampaknya tidak memiliki supervisi bersama (Sweeney 2012).
kewenangan untuk melatih penjangkauan atau

pendampingan kepada populasi kunci. Hal
ini menjadikan tujuan layanan komprehensif 4. Mekanisme penyediaan kefarmasian dan
dan berkesinambungan hanya akan terjadi alat kesehatan yang terpusat menyebabkan
secara parsial khususnya di penyedia layanan permasalah keberlangsungan stock dan
pemerintah semata sehingga kinerja intervensi kesesuaiannya dengan kebutuhan lapangan
menjadi tidak optimal.
Konsekuensi lain dengan adanya perencanaan
Tiga gambaran implikasi dalam pengelolaan terpusat dalam penanggulangan HIV dan AIDS
sumber daya manusia dalam penanggulangan adalah terpusatnya penyediaan farmasi dan
HIV dan AIDS di atas menunjukkan bahwa ada alat kesehatan. Pengelolaan logistik pelayanan
keterkaitan yang erat antara regulasi sumber yang terpusat ini merujuk pada pembiayaan,
daya kesehatan, model pembiayaan, dan perencanaan, pengadaan, distribusi dan
model pengelolaan sumber daya manusia penyimpanan untuk kondom, alat suntik steril,
untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Selama obat ARV, reagen untuk tes HIV, mesin CD4,
model pembiayaannya masih terpisah dengan dan mesin viral load beserta reagen yang
pembiayaan di bidang kesehatan pada dibutuhkannya. Untuk sebagian reagen IMS dan
umumnya maka tidak akan mempunyai dampak obat infeksi oportunistik masih bisa dibiayai,
yang merugikan bagi tenaga kesehatan direncanakan, diadakan dan didistribusikan
maupun non-kesehatan yang bekerja di oleh pemerintah daerah. Pengelolaan yang
penanggulangan HIV dan AIDS bahkan seperti terpusat ini pada satu sisi menguntungkan
ditemukan oleh Desai et al (2010) bahwa justru karena efisiensi biaya bisa ditingkatkan dengan
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

pengadaan barang dalam jumlah yang besar, putus obatnya menjadi lebih besar. Misalnya
menjamin kualitas dan standar farmasi dan ARV yang biasanya diberikan satu bulan karena
alat kesehatan yang dibutuhkan, mengurangi adanya keterlambatan stok diberikan utuk
kemungkinan terjadinya resistensi obat karena satu minggu sehingga pasien harus datang
hanya pengadaan dan distribusi melalui satu empat kali dalam satu bulan. Demikian pula,
pintu dan jaminan stok logistik yang lebih besar. habisnya jenis ARV tertentu (fixed dose) harus
diganti dengan obat pecahan yang terdiri dari 3
Pada sisi yang lain, situasi di lapangan tidak
kombinasi yang memiliki efek samping berbeda-
seperti yang diharapkan misalnya mekanisme
beda.
distribusi kondom atau alat suntik steril tidak
selalu sesuai dengan kebutuhan di lapangan Gambaran tentang pengelolaan rantai
karena bervariasinya preferensi dari populasi penyediaan kefarmasian dan alat kesehatan
kunci terhadap alat pencegahan tersebut. Alat pada kelima kasus yang dibahas di atas
suntik steril yang pengadaannya dilakukan menunjukkan kecenderungan situasi yang
oleh KPAN misalnya untuk sebagian besar sama. Meski memberikan keuntungan yang
wilayah yang memiliki penasun yang tinggi potensial dari pengelolaan terpusat, tetapi
(Denpasar, Makassar, DKI Jakarta dan tidak bisa dipungkiri bahwa banyak hambatan-
Medan) cenderung tidak dipakai karena hambatan yang terjadi di lapangan. Tentunya
ketidaksesuaian spesifikasinya dengan yang pengelolaan rantai penyediaan logistik
biasa digunakan (Praptoraharjo et al, 2013). tersebut berbeda dengan penyediaan rantai
Beruntung bahwa sebuah lembaga mitra penyediaan logistik untuk layanan kesehatan
internasional bisa menyediakan jarum yang yang umum kecuali untuk penyakit yang
sesuai dengan kebutuhan sehingga jarum menjadi program nasional. Keputusan untuk
tersebut bisa dimanfaatkan. Sebaliknya jarum melakukan pengadaan di tingkat pusat yang
206 yang disediakan oleh KPAN menjadi tidak tujuannya adalah efisiensi pada kenyataannya
dimanfaatkan. Kondom yang pengadaannya justru tidak efisien ketika dilaksanakan di tingkat
disediakan oleh pusat belum tentu digunakan daerah bahkan jika dikaitkan dengan kinerja
dengan optimal oleh populasi kunci mengingat justru menjadi salah satu hambatan yang
distribusinya didasarkan pada distribusi paket utama untuk mencapai layanan komprehensif
pencegahan yang harus diberikan setelah dan berkesinambungan. Hal ini bisa dilihat
mereka ditemukan di lapangan agar bisa pada rendahnya penggunaan kondom,
dihitung sebagai dampingan baru. Bahkan untuk rendahnya pemeriksaan IMS, rendahnya
penasun, kondom dijadikan satu paket dengan link to care atau masih tingginya drop out
alat suntik steril. Ada kemungkinan distribusi ARV. Meski secara politis perencanaan dan
yang dilaporkan sebenarnya overestimate dari pengadaan kefarmasian dan alat kesehatan
yang dipakai. ini bisa dipahami tetapi beranjak dari contoh
permasalahan pelaksanaan rantai penyediaan
Distribusi logistik perawatan HIV yang
pada lima kasus intervensi di atas maka upaya
dilakukan melalui dinas kesehatan provinsi
integrasi yang lebih tinggi di tingkat daerah
juga tidak lepas dari kelemahan. Sejumlah
justru akan lebih efisien dan berkelanjutan dari
daerah mengalami kekosongan ARV karena
pada dilakukan pada tingkat pusat (Ripin et al,
belum memperoleh distribusi dari provinsi.
2014). Artinya bahwa kewenangan perencanaan
Meski alasan yang selalu muncul adalah
kebutuhan logistik perlu dilakukan di tingkat
keterlambatan kabupaten/kota untuk
daerah dengan dukungan regulasi dan
mengajukan kebutuhan ARV secara rutin.
pendanaan yang lebih kuat baik di tingkat pusat
Situasi lebih sulit bagi daerah-daerah yang jauh
maupun daerah.
dari ibu kota provinsi yang membutuhkan waktu
lebih lama untuk distribusinya. Keterlambatan
penyediaan ARV ini menjadi permasalahan bagi
ODHA yang mengaksesnya dan kemungkinan
Pembahasan

5. Penyediaan layanan bersifat koordinatif tetapi intervensi dan sebagai konsekuensinya adalah
pada sisi yang lain tingkat koordinasi menjadi memberikan alokasi pendanaan lokal dengan
cukup sulit karena begitu banyak melibatkan proporsi yang lebih besar.
pemain di tingkat lapangan.
Jika koordinasi dan penerimaan atas
Strategi utama dalam penanggulangan HIV dan strategi LKB bisa berjalan maka OMS atau
AIDS di Indonesia seperti yang digambarkan masyarakat (kader) bisa secara efektif
dalam Permenkes No. 21 Tahun 2013 dan draft melakukan kegiatan promotif dan preventif dan
SRAN 2015-2019 adalah Layanan Komprehensif mendorong pemanfaatan layanan kesehatan
dan Berkesinabungan (LKB). Konsep LKB melalui rujukan untuk mengakses material
pada dasarnya merupakan sebuah bentuk pencegahan (kondom dan ASS), layanan IMS,
integrasi layanan (service integration) yang tes HIV, perawatan HIV dan ARV. Sementara itu
berorientasi pada klien di mana manajemen puskesmas seharusnya mampu menyediakan
dan layanan kesehatan program diarahkan layanan kesehatan untuk HIV dan AIDS secara
untuk memberikan pelayanan berkelanjutan berkualitas serta pada gilirannya, KDS atau
kepada pasien, dalam hal pencegahan dan keluarga dapat memberikan dukungan yang
pengobatan, yang sesuai dengan kebutuhan optmal bagi mereka yang telah mengikuti
pasien dan melibatkan berbagai pihak dari perawatan dan pengobatan ARV. Keberhasilan
sistem kesehatan (WHO, 2008). Berdasarkan strategi ini bisa dilihat pada meningkatnya
sifatnya maka strategi LKB seharusnya cakupan populasi kunci yang terpapar informasi
melibatkan banyak penyedia layanan terdepan HIV, meningkatnya rujukan populasi kunci
(frontline service) yang merupakan pelayanan untuk memperoleh layanan pencegahan yang
kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, berupa pemeriksaan IMS, Layanan Alat Suntik
swasta, organisasi masyarakat sipil yang secara Streril (LASS), mengikuti konseling dan tes di
langsung memberikan pelayanan kepada puskesmas, meningkatnya orang dengan HIV ke 207
masyarakat khususnya kelompok marginal layanan perawatan, meningkatnya ODHA yang
atau kurang terlayani (lihat Hay, David, Judi memperoleh pengobatan ARV, meningkatnya
Varga-Toth Emily Hines, 2006; Canadian Policy ketaatan ODHA dalam perawatan HIV dan
Research Networks Inc, September 2006). meningkatnya ODHA dan keluarganya
mengakses layanan untuk melakukan mitigasi
Dengan demikian, implementasi strategi
dampak.
LKB menuntut koordinasi dari para penyedia
layanan yang lebih tinggi sehingga bisa Dalam lima kasus intervensi yang disajikan di
memudahkan klien untuk mengakses layanan depan tampak jelas bahwa LKB belum menjadi
yang dibutuhkan melalui prosedur rujukan strategi dalam pelaksanaan intervensi tersebut
yang lebih sederhana dan lebih cepat. Dalam karena layanan tampak sebagai intervensi
LKB berbagai pihak yang berkepentingan yang mandiri dan kurang memperhitungkan
untuk memastikan keberlanjutan layanan intervensi sebelum dan sesudahnya. Ambil
bagi populasi kunci dan ODHA adalah OMS, contoh misalnya pelaksanaan PMTS di mana
KDS, keluarga, kelompok masyarakat (kader), 4 pilar utama dalam intervensi tersebut tidak
puskesmas, rumah sakit, dinas kesehatan, KPAD tampak kesinambungannya. KPAD lebih
dan SKPD lain yang berpengaruh terhadap berfokus pada distribusi kondom dari pada
pelaksanaan program seperti dinas sosial, membangun lingkungan yang kondusif bagi
dinas ketertiban (SATPOL PP), polisi atau pelaksanaan program, OMS lebih berfokus
tokoh masyarakat. Dengan demikian secara pada intervensi perubahan perilaku dari pada
ideal peran kabupaten/kota diharapkan akan melakukan upaya advokasi yang diarahkan
lebih besar di wilayahnya masing-masing dan untuk mendukung lingkungan yang kondusif
menjadi lebih penting di masa depan karena dan puskesmas cenderung memerankan fungsi
mereka diharapkan mampu untuk melakukan kuratifnya dari pada terlibat di dalam promosi
koordinasi pelaksanaan dan perluasan dan pencegahan. Dengan situasi yang demikian
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

maka tidak mengherankan jika kinerja antar sama/berkoordinasi untuk mengoptimalkan


komponen PMTS (OMS, Puskesmas, RSUD, layanan. Integrasi ini sangat memungkinkan
KPAD) terjadi kesenjangan, misalnya jumlah karena mereka memiliki target sendiri-sendiri
orang yang dijangkau tidak konsisten dengan tetapi pada sisi yang lain klien yang mereka
jumlah orang yang memanfaatkan layanan IMS layani adalah sama. Integrasi seperti inilah
atau jumlah orang yang pernah memperoleh yang selama ini sudah dikembangkan dan
ARV berbeda dengan orang yang tetap patuh kemudian dikonsepkan dengan istilah Layanan
dengan pengobatan ARV. Komprehensif dan Berkesinambungan.

Seperti diketahui bahwa sebagian besar OMS Tetapi jika dilihat secara lebih mendalam
dalam melaksanakan kegiatan pelayanannya maka belum ada integrasi secara administratif
didukung oleh MPI dari sisi perencanaan khususnya dalam bentuk perencanaan bersama
dan pendanaannya. Kerja sama hanya bisa ( joint planning). Integrasi secara administratif
dilakukan selama OMS memperoleh dukungan merupakan pengaturan organisasional
teknis dan dana dari MPI. Hal yang sama juga khususnya dari sisi manajemen, pembiayaan,
berlaku bagi puskesmas di mana pelayanan HIV perencanaan, atau sistem informasi yang tidak
dan AIDS selama ini di dukung oleh dana MPI berhubungan langsung dengan pelayanan
melalui Kemkes dan Dinas Kesehatan Provinsi tetapi berfungsi menghubungkan integrasi
dan Kabupaten. Kerja sama yang sekarang ini di tingkat pelayanan (Velentijn P.P., S. S. M.,
berlangsung pada dasarnya adalah kerja sama Bruijnzeels M.A., 2013; Unger, Jean-Pierre ,
dalam pelaksanaan proyek karena ada tuntutan Pierre De Paepe and Andrew Green, 2003 ).
“deliverables” pada masing-masing pihak Gambaran yang muncul selama ini adalah
untuk memenuhi target yang ditentukan oleh pihak OMS dengan pihak puskesmas selama
MPI melalui dukungan pendanaannya. Oleh ini tidak memiliki kewenangan administratif
208 karena adanya ketergantungan pendanaan dari di dalam program penanggulangan HIV dan
masing-masing pihak kepada MPI, kerja sama AIDS. Perencanaan OMS dikembangkan dari
antar OMS dan puskesmas dalam perencanaan permintaan donor atas target yang telah
kegiatan bersama di lapangan tampaknya ditentukan dari pusat, sementara puskesmas
menjadi sebuah tantangan besar di masa yang memberikan pelayanan HIV adalah
depan. puskesmas yang ditunjuk oleh Dinkes yang
lebih berperan sebagai perpanjangan tangan
Gambaran tentang situasi pelayanan di tingkat
dari Kemkes sebagai Principal Resipient dari
frontline ini sekaligus menegaskan bahwa
Global Fund. Dengan demikian perencanaan
pendekatan program secara vertikal dalam
kegiatan puskesmas ditentukan oleh dinas
operasionalisasinya akan menghadapi situasi
kesehatan kabupaten/kota sebagai Sub-Sub
yang tidak mudah ketika harus diintegrasikan
Resipient (SSR) Kemkes.
ke dalam kebijakan desentralisasi. Jika
puskesmas atau OMS hanya berisi berbagai Jika kerja sama dalam bentuk perencanaan
program yang berasal dari program vertikal dilakukan di tingkat lapangan, maka OMS
maka tidak ada ruang bagi daerah untuk dan puskesmas perlu memiliki kewenangan
mengembangkan berbagai keputusan strategis. administratif untuk menentukan dan
Segala kebijakan dan strategi akan tetap di memobilisasi sumber daya yang dimilikinya.
tingkat nasional. Integrasi yang bersifat teknis Hubungan ini akan menjadi semakin rumit
harus disertai dengan integrasi administratif jika kerja sama tersebut melibatkan rumah
yang pada dasarnya mencerminkan proses sakit daerah sebagai layanan rujukan di
desentralisasi. Jika dilihat pelaksanaan tingkat kabupaten/kota mengingat rumah sakit
program penanggulangan HIV dan AIDS di merupakan lembaga yang otonom di bawah
tingkat penyedia layanan terdepan, tampak kepala daerah seperti dinas kesehatan. Atau
bahwa integrasi teknis telah terjadi di mana juga perlu melibatkan SKPD atau lembaga lain
OMS, puskesmas dan rumah sakit telah bekerja yang berkepentingan dengan pelaksanaan
Pembahasan

program HIV di tingkat lapangan seperti bertujuan untuk menghilangkan perilaku ini
Satpol PP, polisi atau dinas sosial. Lepas dari dengan mengembangkan serangkaian regulasi
kerumitan tersebut perlu disadari dan diyakini non-kesehatan di tingkat nasional maupun
bahwa integrasi pada layanan HIV dan AIDS di daerah yang meminimalkan terjadinya
terdepan secara prinsip merupakan sebuah perilaku berisiko. Bahkan beberapa kebijakan
keharusan agar pelayanan kepada klien menggunakan alasan pencegahan penularan
atau pasien semakin efektif dan efisien dan HIV sebagai dasar penerbitannya. Misalnya
memang seharusnya menjadi model bagi bisa dilihat dengan kebijakan Indonesia bebas
penyediaan layanan secara umum (Unger, prostitusi pada tahun 2019, penutupan lokalisasi
Jean-Pierre , Pierre De Paepe and Andrew atau lokasi transaksi seks oleh pemerintah
Green, 2003). Konsekuensi atas prinsip integrasi daerah, peraturan daerah anti maksiat atau
ini menuntut adanya kepemimpinan dan anti prostitusi termasuk kriminalisasi perilaku
dukungan dari dinas kesehatan kabupaten/ homoseksual atau rehabilitas napza yang
kota dan rumah sakit daerah, kementerian bersifat wajib.
kesehatan dan kementerian dalam negeri serta
Implikasi kedua adalah pendekatan medik yang
mitra pembangunan internasional menjadi
berupa perawatan dan pengobatan menjadi
sangat penting perannya dalam mewujudkan
prioritas bagi sektor kesehatan dari pada
perencanaan bersama para penyedia layanan
pencegahan karena pencegahan dipersepsikan
HIV dan AIDS terdepan.
sebagai hal yang kurang relevan dengan
sektor kesehatan karena permasalahannya
melebihi dari upaya yang biasa dilakukan.
6. Regulasi non-kesehatan yang kontra produktif
Kecenderungan ini menjadi lebih tampak
dengan peningkatan cakupan program
di mana komitmen pemerintah dalam
Tantangan yang cukup serius dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang tampak 209
meningkatkan efekivitas program dalam pembelanjaan APBN pada tahun 2014
penanggulangan HIV dan AIDS selain terletak sebagian besar digunakan untuk perawatan
pada regulasi dalam sektor kesehatan yang dan pengobatan (50,83%) dibandingkan dengan
belum mendukung terbangunnya integrasi, pencegahan yang hanya 15% dan sisanya
juga berasal dari regulasi sektor non-kesehatan sebagian besar digunakan untuk belanja
yang sering menghambat pelaksanaan manajemen dan insentif SDM (KPAN 2015).
program penanggulangan HIV dan AIDS di Kemkes merupakan kementerian yang paling
tingkat daerah. Mempertimbangkan regulasi besar berkontribusi terhadap pembelanjaan
sektor non-kesehatan ini sangat penting dalam APBN yaitu lebih dari 80%. Sementara
menganalisis efektivitas program HIV dan kementerian/lembaga negara lain lebih
AIDS dan mengingat permasalahan HIV dan membelanjakan untuk kegiatan pencegahan
AIDS merupakan permasalahan lintas sektor yang berupa sosialisasi pencegahan HIV untuk
khususnya yang terkait dengan populasi masyarakat umum atau stafnya. Kesenjangan
kunci. Status perilaku yang ilegal baik dari dalam program pencegahan ini yang kemudian
perilaku seksual maupun penggunaan napza diisi oleh MPI yang memang berfokus pada
di mata hukum yang berlaku di Indonesia pencegahan pada populasi kunci.
menjadi dasar untuk mempertimbangkan
Upaya pencegahan pada populasi kunci yang
kontribusi sektor tersebut dalam menilai
dilaksanakan oleh MPI melalui OMS pada
efektivitas program. Meski ada komitmen
prakteknya secara langsung berhadapan
yang besar untuk penanggulangan HIV dan
dengan kebijakan pada sektor non-kesehatan
AIDS di tingkat nasional dan daerah yang
yang kurang mendukung perluasan cakupan
besar, tetapi kebijakan yang diambil lebih
program tersebut. Misalnya, program PMTS
melihat populasi kunci sebagai vektor dari
pada dasarnya tidak bisa dilaksanakan lagi
pada pengembangan kebijakan yang berbasis
karena asumsi yang dipakai adalah lokasi
hak. Implikasinya adalah kebijakan yang ada
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

transaksi seks yang memiliki pemangku layanan yang terikat komitmen dengan
kepentingan yang tetap (mucikari, pengurus mitra pembangunan internasional dan dinas
RT/RW, aparat kampung/desa, pekerja seks, kesehatan atau KPAD (PKMK, 2015; PPH 2016).
dan tokoh masyarakat, fasyankes setempat). Dengan demikian kebijakan pemerintah di
Ketika lokasi transaksi seks atau lokalisasi sektor non-kesehatan sebagai konteks dari
ditutup maka logika program ini tidak bisa penanggulangan HIV dan AIDS justru lebih
berjalan lagi (kasus penutupan Tanjung Elmo menjadi determinan atas keberhasilan atau
Sentani pada tahun 2015 dan lokalisasi dolly kegagalan dari sebuah program dari pada
pada tahun 2014) karena pokja yang telah kebijakan di sektor kesehatan.
terbentuk tidak memiliki lokasi lagi, para
pekerja seks menyebar ke berbagai tempat,
kegiatan intervensi perubahan perilaku berhenti 7. Partisipasi masyarakat sipil yang kurang
dan layanan IMS puskesmas juga tidak bisa bermakna di tingkat daerah
dilaksanakan (Praptoraharjo et al, 2016).
Kontribusi masyarakat sipil dalam
Dampak dari kebijakan penutupan ini misalnya
penanggulangan HIV dan pada dasarnya telah
bisa dilihat di Kota Surabaya yang menunjukkan
dimulai sejak awal epidemik dengan melakukan
situasi pada tahun 2013 terdapat pokja PMTS,
mobilisasi kepedulian dan sumber daya dari
yaitu tersedia 176 outlet kondom, mobile clinic
masyarakat. Kontribusi ini tetap berlanjut
rutin melaksanakan pemeriksaan di lokasi,
hingga saat ini bahkan keberadaannya
jumlah orang yang mengakses layanan
sebagai mitra pemerintah sangat kuat di mana
Januari-Desember 2013 sebanyak 13,207 dan
organisasi masyarakat sipil dan perwakilan
kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan sebanyak
populasi kunci menjadi anggota KPA baik
378 (Januari-Juni 2013). Pada semester kedua
secara nasional maupun daerah. Meski
210 yaitu tahun 2014 situasi menjadi berubah di
secara formal terlibat menjadi anggota KPA
mana tidak ada lagi pokja PMTS, jumlah outlet
tetapi seberapa partisipasi masyarakat sipil di
kondom menjadi 16, mobile clinic tidak tersedia
dalam penanggulangan HIV dan AIDS pada
lagi, akses ke layanan kesehatan menjadi 5,477
dasarnya akan tergantung pada perspektif
orang dan kasus AIDS meningkat pada 2014
yang digunakan oleh otoritas program.
(Juli-Des) menjadi 424 (WHO, 2015).
Dua hal penting yang perlu diperhatikan
Gambaran di atas menunjukkan bahwa (1) partisipasi masyarakat akan bermakna
kebijakan sektor non-kesehatan selain dan instrumental jika partisipasi dipahami
secara langsung memberikan pengaruh sebagai ‘sarana (means)’ untuk mencapai
terhadap efektivitas penanggulangan HIV tujuan (ends); (2) partisipasi merupakan bentuk
dan AIDS di tingkat daerah juga secara tidak perwujudan atas hak-hak sebagai warga negara
langsung memengaruhi adopsi ke dalam melalui proses penyadaran atas situasi yang
sistem kesehatan. Secara khususpengaruh dialami (Morgan, 2001). Secara pragmatis,
tersebut tampak pada intervensi pencegahan partisipasi masyarakat seharusnya tercermin
bagi populasi kunci karena sektor kesehatan di setiap tahapan pengambilan keputusan,
(dinas kesehatan dan puskesmas) menjadi baik dalam kebijakan maupun program dan
enggan untuk terlibat dalam upaya ini karena pelaksanaan program. Bentuk partisipasi
bertentangan dengan kebijakan pemerintah masyarakat dalam penanggulangan HIV dan
daerah. Pada sisi yang lain, situasi ini juga AIDS antara lain dalam penyediaan layanan,
menunjukkan lemahnya OMS yang bekerja pendidikan masyarakat dan upaya melakukan
bagi populasi kunci untuk melakukan advokasi advokasi kebijakan termasuk keterlibatan
kepada pemerintah daerah terkait dengan dalam pemantauan dan evaluasi kegiatan
pemenuhan hak dari mereka bahkan ada penanggulangan HIV dan AIDS di wilayahnya.
kecenderungan bahwa OMS menjadi lebih
Secara umum kajian lima kasus intervensi
kompromistik dengan situasi ini karena
menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat
posisinya sebagai bagian dari penyedia
Pembahasan

khususnya populasi kunci dalam pemanfaatan Pada sisi OMS dan populasi kunci, partisipasi
layanan masih belum optimal karena masih juga menuntut adanya upaya kerja sama dan
ada kesenjangan antara jumlah estimasi atau advokasi untuk mengamankan kepentingan
pemetaan populasi kunci dengan mereka konsitituen di dalam program. Situasi ini
yang telah mengakses layanan. Sementara yang menyebabkan tarik menarik antara
itu partisipasi dalam pengambilan kebijakan idealisme dengan kebutuhan pragmatis
di tingkat daerah relatif tidak cukup besar misalnya melaksanakan sebuah program
mengingat skema program penanggulangan yang sudah ditetapkan target dari pusat
HIV dan AIDS yang vertikal, di mana kebijakan- (PKMK 2015). Akibat dari pragmatisme ini
kebijakan strategis termasuk penargetan ada kecenderungan untuk berfikir mekanis,
program ditentukan oleh pusat. Sementara kurang responsif terhadap kebutuhan
itu daerah tidak memiliki kewenangan konsitituen, menguasi aspek program tertentu
pengambilan keputusan dalam implementasi dan kehilangan semangat altruisme dan
program nasional tersebut sehingga upaya kerelawanan. Pernyataan bahwa OMS semata-
untuk melibatkan secara bermakna dalam mata ada untuk kesejahteraan konstituennya,
pengambilan keputusan stratejik program pada kenyataannya memiliki kepentingan-
tidak bisa terpenuhi. Bahkan ketika daerah kepentingan pragmatis seperti keberlajutan
memiliki sumber dana untuk mengembangkan program, menjamin dukungan finansial bagi staf
penanggulangan HIV dan AIDS, keputusan atau pengakuan atas kerja-kerja yang selama
tentang jenis kegiatan yang akan didukung ini dilakukan. Di dalam konteks keterbatasan
oleh APBD masih terpusat pada KPAD melalui sumber-sumber pendanaan yang terjadi di
Bagian Kesra Pemerintah Daerah atau Dinkes semua daerah, kepentingan OMS/OBK adalah
sebagai bagian dalam proses pembuatan untuk memastikan adanya cukup pendanaan
rencana kegiatan pembangunan daerah (RKPD) untuk organisasinya dan pada prakteknya 211
dari SKPD yang bersangkutan. Kalaupun hal inilah yang seringkali membuat OMS/OBK
terjadi musrenbang di sektor kesehatan, berada di dalam posisi dimana mereka, sadar
partisipasi populasi kunci tidak tampak karena atau tidak sadar, mengkompromikan peran dan
penanggulangan HIV dan AIDS masih belum fungsi yang menjadi kekuatan utamanya.
menjadi prioritas di tingkat daerah.
Tidak ada ruang partisipasi yang bermakna
Partisipasi masyarakat yang belum optimal pada satu sisi dan adanya kecenderungan
dalam pemanfaatan layanan dan pengambilan pragmatisme dari sisi OMS dan populasi
keputusan di tingkat daerah ini memberikan kunci inilah yang menyebabkan partisipasi
implikasi pada tingkat kepuasan dari populasi ‘semu’ dari OMS/OBK dalam penanggulangan
kunci terhadap layanan yang tersedia di HIV dan AIDS di daerah. Pada akhirnya
daerahnya. Hasil dari lima kasus intervensi ruang dialog yang seharusnya membuka
di atas sekali lagi menunjukkan bahwa meski kesempatan interaksi yang kritis tidak bisa
aksesibilitas mereka terhadap layanan terjadi dan advokasi kepentingan konstituennya
yang dibutuhkan lebih baik dari pada tahun- selanjutnya jadi melemah bahkan cenderung
tahun sebelumnya. Namun, kebutuhan dan menjadi kompromi-kompromi ekonomi. Dampak
kepentingan mereka sebenarnya belum cukup dari hal ini adalah terabaikannya kepentingan
terakomodasi oleh program dan layanan konstituen dan kemauan untuk memanfaatkan
khususnya dari sisi pembiayaan, proses layanan menjadi bukan hal yang penting bagi
memperoleh layanan dan masih ditemukan populasi kunci sebenarnya. Dalam situasi
stigma dan diskriminasi di fasilitas layanan. ini maka cakupan program relatif sulit untuk
Dengan demikian, terbatasnya partisipasi ini diwujudkan.
membuat populasi kunci dan OMS sebagai agen
perubahan belum bisa mendorong pemanfaatan
layanan dan program yang lebih optimal.
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

V. Kesimpulan

212
Kesimpulan

Tujuan integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke


dalam sistem kesehatan adalah untuk memperkuat
efektivitas, efisiensi dan keadilan penanggulangan
HIV dan AIDS beserta sistem kesehatannya. Dengan
memberikan fokus pada tiga intervensi pencegahan
(PMTS-WPS, PMTS-LSL dan LASS) serta dua intervensi
perawatan dan pengobatan HIV (link to care dan ART),
kajian kasus yang disajikan dalam buku ini bertujuan
untuk menggali secara analitis pengaruh tingkat
integrasi antara upaya penanggulangan HIV dan AIDS
dan sistem kesehatan terhadap efektivitas program.
Selain itu, bertujuan pula untuk mengidentifikasi
mekanisme di mana integrasi berkontribusi pada
efektivitas program. Dari hasil kajian kasus ini
setidaknya ada dua hal yang diharapkan, yaitu:
213
1) menyediakan bukti tentang manfaat potensial
integrasi kebijakan dan program penanggulangan
HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan, baik untuk
efektivitas dan jaminan keberlanjutan program di masa
depan di tingkat daerah maupun nasional; maupun 2)
untuk memperkuat sistem kesehatan yang berlaku.

A. Tingkat Integrasi
Kecenderungan tingkat integrasi yang ditunjukkan oleh kelima
kasus intervensi tersebut, menunjukkan bahwa intervensi-intervensi
pencegahan dan perawatan HIV belum sepenuhnya terintegrasi ke
dalam sistem kesehatan. Artinya bahwa berbagai fungsi-fungsi pokok
intervensi spesifik tersebut belum menjadi bagian pelaksanaan fungsi
sistem kesehatan di daerah berdasarkan 17 dimensi integrasi dari
ketujuh fungsi sistem kesehatan yang mencakup fungsi manajemen
dan regulasi, pembiayaan, pengaturan sumber daya manusia,
penyediaan obat dan alat kesehatan, pengelolaan informasi strategis,
penyediaan layanan dan pengelolaan partisipasi masyarakat. Pada
intervensi pencegahan, dari 17 dimensi ternyata hanya dua dimensi
yang menunjukkan tingkat integrasinya lebih tinggi, yaitu dimensi
regulasi dan dimensi penyediaan layanan. Tingkat integrasi yang
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

seperti ini konsisten dengan kecenderungan perujuk atau pendamping di lapangan bagi
bahwa respons penanggulangan HIV dan AIDS pasien yang akan atau telah mengakses layanan
cenderung bersifat normatif melalui respons HIV. Sedikitnya aktor yang bermain di intervensi
kelembagaan dan produksi kebijakan dari pada perawatan dan pengobatan HIV berimplikasi
respons yang bersifat implementatif. Sementara pada kemudahannya untuk melakukan koordinasi
itu pada program perawatan dan pengobatan dan menyesuaikan kepentingan yang dimilikinya
ARV, integrasi yang lebih tinggi tampak pada terhadap kemanfaatan dari intervensi perawatan
penyediaan pelayanan karena pada dasarnya tersebut. Akibatnya, program perawatan seperti
berbagai program penanggulangan HIV dan AIDS yang digambarkan dalam dua kasus di atas (KTS
saat ini bertumpu pada fasilitas layanan kesehatan dan ART) cenderung lebih terintegrasi dari pada
primer yaitu puskesmas. Integrasi tidak terjadi baik program promosi dan pencegahan.
pada program pencegahan maupun perawatan dan
Kedua, cita-cita bahwa integrasi akan
pengobatan ARV pada fungsi-fungsi pembiayaan,
membawa upaya penanggulangan HIV dan AIDS
penyediaan obat dan alat kesehatan, pengelolaan
lebih terdesentralisasi tidak bisa didukung oleh
sumber daya manusia, informasi strategis dan
kajian-kajian kasus dalam penelitian ini. Skema
partisipasi masyarakat.
pembiayaan hibah dan APBN pada dasarnya bisa
Berbagai faktor yang bisa diidentifikasikan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk penguatan
dari kajian kasus intervensi spesifik di atas, yang sistem kesehatan jika ada kemauan politik baik
mungkin bisa memengaruhi tingkat integrasi dari donor maupun pemerintah pusat. Pada sisi
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem aktor daerah, adanya pendanaan dari pusat tidak
kesehatan antara lain: ditangkap sebagai peluang untuk memperkuat
respons daerah terhadap penanggulangan HIV dan
Pertama, interaksi antar aktor pada tingkat
AIDS, tetapi lebih dianggap sebagai peluang untuk
214 nasional maupun antar aktor nasional dan daerah
mengalokasi pendanaan daerah untuk masalah
saat ini menunjukkan kepentingan pragmatis yang
kesehatan prioritas yang lain. Akibatnya, ketika
cukup dominan di mana sebagian besar masih
pendanaan pusat berhenti maka mengecil atau
menghendaki penanggulangan HIV dan AIDS
berhenti pula program penanggulangan HIV dan
berjalan paralel karena menguntungkan baik
AIDS di daerah tersebut. Kasus intervensi PMTS dan
bagi aktor daerah maupun nasional. Kepentingan
LASS di atas telah menunjukkan kecenderungan
lembaga terhadap sumber daya yang tersedia
ini. Dalam kenyataannya sentralisasi pengelolaan
dari tingkat nasional dikhawatirkan akan hilang
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia
jika kewenangan tersebut berada di daerah.
menjadi dasar untuk menghindari tanggung jawab
Perlu menjadi sebuah perhatian yang serius bagi
atas kewajiban untuk penyediaan layanan HIV
daerah yang tidak memiliki kepemimpinan yang
yang merupakan bagian dari layanan dasar di
cukup berpihak pada penanggulangan HIV dan
bidang kesehatan.
AIDS. Kasus tersebut bisa ditunjukkan dengan
adanya kecenderungan bahwa tingkat integrasi Ketiga, kajian kasus intervensi pencegahan
dipengaruhi oleh sedikit atau banyaknya aktor dan perawatan HIV di depan sudah menunjukkan
yang terlibat dalam penanggulangan HIV dan bahwa pada tingkatan normatif, kebijakan
AIDS. Intervensi pencegahan cenderung melibatkan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah
lebih banyak aktor dari lintas sektor sehingga tidak sebenarnya sudah terintegrasi karena sudah
bisa dianggap sebagai permasalahan kesehatan menjadi bagian dari sistem regulasi yang umum
semata. Hal ini tentu saja menjadi cukup sulit jika ditempuh daerah untuk mengembangkan program
diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan. Tidak pembangunannya. Sayangnya, regulasi-regulasi
demikian halnya dengan intervensi perawatan tersebut tidak mampu tercermin dalam pelaksanaan
dan pengobatan HIV, selama ini pemainnya hanya program karena daerah sudah memiliki penugasan
terbatas pada fasyankes, Dinkes dan Kemkes. berdasarkan perencanaan dan sumber daya dari
Meski ada OMS atau OBK yang terlibat dalam pusat. Tidak sambungnya antara perencanaan
program tersebut, perannya sebatas sebagai pusat dan regulasi di tingkat daerah berimplikasi
Kesimpulan

pada sulitnya mendorong upaya untuk mengatur atas tidak menunjukkan adanya intervensi yang
pendanaan, administrasi, pengorganisasian dan terintegrasi penuh dimana terjadi pendelegasian
skenario programatik yang dirancang untuk kewenangan administratif bagi otoritas daerah
menciptakan konektivitas, keselarasan, dan untuk merencanakan dan memobilisasi sumber
kolaborasi di tingkat frontline. Lemahnya regulasi daya yang diperlukan untuk melaksanakan
di tingkat frontline mengindikasikan bahwa regulasi perencanaan tersebut.
di tingkat daerah pada dasarnya tidak memberikan
kontribusi bagi penanggulangan HIV dan AIDS. Hal
ini dikarenakan tidak mungkinnya terjadi koordinasi,
kolaborasi dan konsolidasi kebijakan dan aktivitas
B. Integrasi dan Efektivitas
yang mendorong terjadinya integrasi dengan Program
pelayanan kesehatan yang lebih luas agar tercapai
Intervensi PMTS pada WPS dan LSL serta LASS
efektivitas dan efisiensi program yang lebih tinggi.
yang dianalisis dalam kajian status ini menunjukkan
Keempat, upaya pencegahan sebagai respon bahwa cakupan intervensi yang ditargetkan secara
multi sektoral tidak bisa dikendalikan dengan hanya nasional belum bisa dicapai oleh ketiga jenis
mengandalkan sektor kesehatan semata. Hal ini intervensi tersebut. Dilihat dari tingkat integrasinya,
menjadi hambatan untuk mengintegrasikannya ke ketiga intervensi tersebut tidak terintegrasi dengan
dalam sistem kesehatan. Sebaliknya integrasi bisa pelaksanaan fungsi-fungsi sistem kesehatan
lebih mudah dilakukan pada upaya perawatan yang berlaku di tingkat daerah. Meski tidak
HIV karena intervensi ini berada dalam kendali mencapai target yang ditentukan secara nasional,
medis pada satu sisi dan pada sisi yang lain intervensi KTS/link to care dan ART menunjukkan
keterlibatan pasien terhadap proses perawatan cakupan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
ini cenderung lebih besar karena secara langsung intervensi pencegahan. Demikian pula dari tingkat
bisa dilihat dampak ketidakpatuhannya terhadap integrasinya, dua intervensi dalam perawatan HIV 215
kendali medik tersebut. Hal ini barangkali yang tersebut memiliki tingkat integrasi sebagian dengan
menjadi alasan mengapa program pencegahan pelaksanaan fungsi-fungsi sistem kesehatan di
cenderung tidak terintegrasi dibandingkan dengan tingkat daerah. Secara umum, analisis tentang
program perawatan karena adanya persepsi bahwa hubungan tingkat integrasi dengan efektivitas
permasalahan perilaku berisiko bukan fokus dari kelima jenis intervensi tersebut menunjukkan
sektor kesehatan tetapi lebih merupakan respons bahwa pelaksanaan fungsi-fungsi program
lintas sektoral di wilayah tertentu. penanggulangan HIV dan AIDS masih belum
konsisten dengan berbagai asumsi dan kondisi
Kelima, desentralisasi dalam penanggulangan
yang diharapkan dalam upaya melakukan integrasi.
HIV dan AIDS pada dasarnya bisa berjalan dengan
Pelaksanaan fungsi program yang terfragmentasi
baik selain tergantung dari kapasitas teknis, juga
dari fungsi-fungsi sistem kesehatan yang berlaku
dari kapasitas administratif dari daerah. Kapasitas
di daerah ini menjadikan intervensi tidak mampu
administratif yang dimaksud berupa kapasitas untuk
mencapai taget intervensi yang telah ditetapkan.
merencanakan program dan mobilisasi sumber
Gambaran pelaksanaan fungsi-fungsi program
daya. Dari hasil kajian kasus di atas menunjukkan
penanggulangan HIV dan AIDS yang menjadi
bahwa intervensi pencegahan dan perawatan HIV
mekanisme integrasi berkontribusi terhadap
merupakan kebijakan vertikal di mana kewenangan
efektivitas intervensi, dapat disimpulkan sebagai
administratif dan teknis ada di tingkat pusat dengan
berikut:
mengembangkan sebuah struktur terpisah dari
pelayanan kesehatan. Struktur ini terdiri dari OMS/ a. Terpusatnya data program dan data stratejik
OBK yang bertanggungjawab langsung kepada di tingkat nasional dalam penanggulangan
pusat. Meskipun demikian, intervensi perawatan HIV dan AIDS menunjukkan bagaimana
HIV sedikit lebih terintegrasi karena pelaksanaan dominasi pusat atas daerah pada kepemilikan
teknis intervensi menggunakan fasilitas yang data programatik dan strategis. Kepemilikan
dimiliki oleh pemerintah daerah. Kajian kasus di data ini sebenarnya juga bersifat parsial
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

karena masing-masing pengelola program terpisah dari pembiayaan kesehatan pada


dalam penanggulangan HIV dan AIDS umumnya maka tidak akan mempunyai dampak
mengembangkan sistem pengumpulan yang merugikan bagi tenaga kesehatan
dan pemanfaatan data sesuai dengan maupun non-kesehatan yang bekerja di
kepentingannya masing-masing. Adanya penanggulangan HIV dan AIDS. Bahkan
sistem informasi strategis yang paralel ini telah seringkali tenaga kesehatan dari pelayanan
menyebabkan perencanaan, monitoring dan kesehatan umum tersedot ke layanan HIV dan
evaluasi program menjadi terfragmentasi baik AIDS karena ada insentif yang lebih besar jika
dari segi laporan, SDM, pembiayaan, maupun mengerjakan layanan tersebut. Tetapi ketika
sediaan farmasi dan alat kesehatan di tingkat pendanaan mitra pembangunan internasional
daerah. semakin berkurang atau berhenti maka
akan semakin kecil kemungkinan SDM yang
b. Model perencanaan penanggulangan HIV
ada di penanggulangan HIV dan AIDS akan
dan AIDS di tingkat nasional menjadi tidak
bertahan. Hal ini dikarenakan tidak adanya
bisa digunakan sebagai acuan bagi daerah
payung hukum dan insentif untuk pelayanan
karena disusun tanpa memerhatikan prinsip
penanggulangan HIV dan AIDS.
desentralisasi pada bidang kesehatan. Dengan
demikian, perencanaan penanggulangan d. Meski memberikan keuntungan yang potensial
HIV dan AIDS di Indonesia pada dasarnya dari pengelolaan terpusat, tetapi tidak bisa
merupakan perencanaan nasional yang tidak dipungkiri bahwa banyak hambatan-hambatan
mencerminkan kepentingan daerah. Sebagai yang terjadi di lapangan dalam pengelolaan
konsekuensinya, sumber pembiayaanpun hanya rantai penyediaan kefarmasian dan alat
didedikasikan untuk mendanai perencanaan kesehatan. Keputusan untuk melakukan
pusat. Sebaliknya karena keterbatasan regulasi pengadaan di tingkat pusat yang tujuannya
216 dalam penganggaran APBD dan kapasitas adalah efisiensi, pada kenyataannya justru
yang rendah dalam perencanaan program tidak efisien ketika dilaksanakan di tingkat
HIV dan AIDS maka bagi daerah yang telah daerah bahkan jika dikaitkan dengan kinerja
mengalokasikan untuk penanggulangan HIV justru menjadi salah satu hambatan yang
dan AIDS hanya terbatas pada kegiatan umum utama untuk mencapai layanan komprehensif
yang tidak mencerminkan kebutuhan nyata di dan berkesinambungan. Meski secara politis
lapangan. perencanaan dan pengadaan kefarmasian dan
alat kesehatan secara terpusat bisa dipahami,
c. Ketidakpastian masa depan pendanaan dari
tetapi beranjak dari contoh permasalahan
mitra pembangunan internasional serta adanya
yang muncul pada lima kasus intervensi di atas
ketidakpastian standard dan renumerasi SDM,
maka masih diperlukan upaya integrasi yang
telah berimplikasi pada ketidakpastian atas
lebih tinggi di tingkat daerah yang mungkin
masa depan SDM yang selama ini bekerja.
akan lebih efisien dan berkelanjutan dari pada
Ketidakpastian seperti ini terjadi pada intervensi
dilakukan di tingkat pusat.
pencegahan yang selama ini menggantungkan
pendanaannya pada mitra pembangunan e. LKB belum diterapkan sebagai strategi dalam
internasional, seperti ditunjukkan pada kajian pelaksanaan intervensi penanggulangan
kasus intervensi WPS, LSL dan LASS di lima HIV dan AIDS yang komprehensif dan
daerah. Situasi ini sedikit berbeda dengan berkesinambungan karena masing-masing
intervensi perawatan HIV (KTS/link to care intervensi masih tampak sebagai intervensi
dan ART) di mana sebagian besar SDMnya mandiri yang kurang memperhitungkan
merupakan pegawai pemerintah daerah intervensi sebelum dan sesudahnya. Puskesmas
yang ditempatkan di layanan kesehatan di atau OMS sebagai pelaksana di lapangan
daerah tersebut. Selama pendanaan dari mitra selama ini hanya berisi berbagai program-
pembangunan internasional tersedia dan program yang berasal dari pusat yang tidak
pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS terkoordinasi dengan baik. Perencanaan
Kesimpulan

OMS dikembangkan dari permintaan donor penanggulangan HIV dan AIDS di pusat
atas target yang telah ditentukan dari pusat, maupun daerah. Akibatnya ruang dialog yang
sementara puskesmas yang memberikan seharusnya membuka kesempatan interaksi
pelayanan HIV adalah puskesmas yang yang kritis tidak bisa terjadi dan advokasi
ditunjuk oleh Dinkes yang lebih berperan kepentingan konstituennya pun selanjutnya jadi
sebagai perpanjangan tangan dari Kemkes. melemah bahkan cenderung menjadi kompromi-
Upaya untuk mengintegrasikan layanan HIV kompromi ekonomi. Dampak dari hal ini adalah
dan AIDS ke dalam layanan kesehatan umum di terabaikannya kepentingan konstituen dan lebih
tingkat lapangan (frontline) menjadi sulit untuk jauh lagi adalah kemauan untuk memanfaatkan
diwujudkan karena tidak adanya kewenangan layanan pun menjadi semakin berkurang.
administratif dalam menentukan dan Dibukanya partisipasi OMS/OBK yang lebih
memobilisasi sumber daya yang dimilikinya. besar dalam proses penanggulangan HIV
Padahal kewenangan administratif tersebut dan AIDS justru membuat resistensi di tingkat
merupakan syarat utama dalam upaya integrasi lapangan yang lebih besar karena kepentingan
di tingkat layanan terdepan. populasi kunci justru menjadi prioritas
kedua dari OMS/OBK setelah kepentingan
f. Kebijakan sektor non-kesehatan secara
memperoleh pendanaan.
langsung memberikan pengaruh terhadap
efektivitas penanggulangan HIV dan AIDS
di tingkat daerah dan secara tidak langsung
Simpulan di atas telah menunjukkan bahwa
memengaruhi adopsi ke dalam sistem
integrasi kebijakan dan program penanggulangan
kesehatan. Hal ini terjadi melalui kebijakan
HIV dan AIDS belum sepenuhnya terwujud dalam
pemerintah daerah yang melakukan
fungsi-fungsi utama sistem kesehatan. Dinamika
kriminalisasi pekerja seks atau homoseksual.
Kriminalisasi ini terjadi melalui pembentukan
faktor eksternal yang tampak dalam interaksi 217
antar aktor dalam penanggulangan HIV dan AIDS
perda anti maksiat, anti prostitusi atau
di tingkat nasional maupun daerah, komitmen
ketertiban umum. Sebagai konsekuensinya
politik yang berubah-ubah, hukum dan regulasi
atas situasi ini menyebabkan keterlibatan
yang seringkali berbenturan dengan kepentingan
sektor kesehatan (dinas kesehatan dan
penanggulangan HIV dan AIDS serta karakteristik
puskesmas) dalam intervensi pencegahan
dari permasalahan HIV dan AIDS yang multi
pada populasi kunci menjadi relatif minimal
sektoral ternyata menjadi faktor-faktor penting yang
karena bertentangan dengan kebijakan daerah.
perlu dipertimbangkan untuk mewujudkan integrasi
Situasi ini sekaligus mengindikasikan kurang
tersebut. Konsep integrasi yang sudah dicita-citakan
optimalnya OMS yang bekerja bagi populasi
dalam berbagai dokumen penanggulangan HIV dan
kunci untuk melakukan advokasi kepada
AIDS selama ini ternyata masih bersifat normatif
pemerintah daerah terkait dengan pemenuhan
dan jauh dari implementasinya karena adanya
hak dari dampingan mereka. Hal ini justru
faktor-faktor eksternal tersebut. Pelaksanaan
menimbulkan kecenderungan bahwa OMS
fungsi-fungsi program penanggulangan HIV dan
menjadi lebih kompromistik karena posisinya
AIDS selama ini sangat dipengaruhi oleh berbagai
sebagai bagian dari penyedia layanan yang
faktor kontekstual di atas sehingga menyebabkan
terikat komitmen dengan mitra pembangunan
capaian-capaian program yang tampak dalam
internasional dan Dinkes atau KPAD.
cakupan tidak konsisten dengan tingkat integrasi
g. Muncul kencenderungan pragmatisme pada yang terjadi.
OMS dan populasi kunci dalam partisipasinya
di dalam penanggulangan HIV dan AIDS.
Keinginan untuk menjadi pelaksana program
dari pada sebagai pemantau yang memastikan
program berjalan dengan baik, menyebabkan
partisipasi ‘semu’ dari OMS/OBK dalam
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

VI. Rekomendasi

218
Rekomendasi

Kajian kasus yang disajikan dalam buku ini selain te­lah


menunjukkan gambaran tentang upaya integrasi inter­
ven­si spesifik penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
sistem kesehatan yang ada di tingkat daerah, juga te­lah
mengidentifikasi beberapa permasalahan yang menye­bab­
kan tingkat integrasi yang lebih tinggi tidak bisa dilakukan
serta faktor-faktor yang menyebabkan cakupan intervensi
spesifik tersebut tidak mencapai target nasional. Berbagai
permasalahan yang disajikan tersebut sekaligus bisa
memberikan arahan untuk mengoptimalkan upaya integrasi
kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS
ke dalam sistem kesehatan. Upaya untuk memperkuat
integrasi tetap berpegang pada asumsi bahwa dalam situasi
pro­gram yang masih menggantungkan dengan dukungan
finansial dan teknis dari inisiatif kesehatan global, integrasi
me­rupakan strategi yang tepat untuk meningkatkan efek­
tivitas, efisiensi dan keberlanjutan program HIV dan AIDS di
219
masa depan. Beberapa upaya yang bisa dilakukan adalah
sebagai berikut:

A. Fungsi Kebijakan dan regulasi


1. Menyusun Norma dan Standar Pelaksanaan Kerja (NSPK) sebagai
sebuah road map tentang pembagian wewenang, peran serta
tanggung jawab yang jelas antara aktor yang ada di pusat dan
daerah dan sebagai acuan pelaksanaan penanggulangan HIV dan
AIDS untuk mewujudkan prinsip desentralisasi kesehatan. Road
map ini dikembangkan berdasarkan pemetaan yang mencakup 1)
jenis program (pencegahan, perawatan dan pengobatan, mitigasi
dampak);2) status program saat ini (lingkup program dan aktifitas);
3) pelaksanaan fungsi-fungsi programatik; dan 4) kinerja program.

2. Dikembangkannya NSPK diharapkan dapat menjadi pedoman-


pedoman teknis dan operasional agar memudahkan daerah
da­lam merencanakan, memobilisasi sumber daya, melaksanakan,
me­mantau dan mengevaluasi penanggulangan HIV dan AIDS di
daerahnya.

3. Perlu kesepahaman dan komitmen bersama antara aktor di tingkat


nasional dan daerah untuk menggunakan SRAN sebagai dasar
pengembangan dan pelaksanaan program yang dilaksanakan
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

oleh berbagai aktor termasuk MPI sebagai agar bisa menjadi peserta JKN sebagai upaya
upaya untuk memperkuat sistem kesehatan untuk mengurangi inequity.
yang ada.
4. Upaya promosi dan pencegahan HIV bagi
4. Di tingkat daerah, KPAD perlu diperkuat mandat­ populasi kunci diharapkan bisa menjadi bagian
nya sebagai lembaga yang mengkoordinasikan dari skema pelayanan yang didanai secara
perencanaan, pelaksanaan dan monitoring, rutin oleh puskesmas dari bidang kesehatan
serta evaluasi penanggulangan HIV dan AIDS masyarakat melalui skema BOK atau kapitasi
di daerah. Penguatan ini menuntut adanya JKN. Untuk itu diperlukan lembaga mitra yang
pem­berian kewenangan yang lebih besar dari secara khusus menjangkau mereka dengan
peme­­rintah daerah baik secara politik maupun pesan-pesan pencegahan dan rujukan ke
fi­nansialnya agar mampu melakukan fungsi layanan kesehatan melalui mekanisme
koordinasi. pembiayaan dalam bentuk kontrak pelayanan
(contracting out).

B. Fungsi Pembiayaan
1. Sumber pembiayaan penanggulangan HIV
C. Fungsi Pengelolaan
dan AIDS yang dikelola secara paralel dengan Informasi Strategis
pembiayaan kesehatan secara umum telah
1. Pemerintah daerah harus memiliki sistem
menimbulkan dampak pada pengelolaan
dalam mengelola informasi yang terkait
program yang juga paralel dengan program
dengan situasi epidemik, data program, dan
kesehatan secara umum. Untuk itu menjadi
data hasil atau dampak agar mampu membuat
penting mengintegrasikan pembiayaan
220 perencanaan dan penganggaran program
penanggulangan HIV dan AIDS khususnya yang
yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Saat
berasal dari inisiatif kesehatan global ke dalam
ini informasi strategis tersebut sepenuhnya
mekanisme APBN atau APBD.
dikelola oleh pusat, baik pemerintah maupun
2. Diperlukan upaya untuk mengembangkan mitra pembangunan internasional. Untuk
kapasitas dalam perencanaan dan itu perlu ada pemberian kewenangan dan
penganggaran jika mengharapkan pemerintah keleluasaan bagi pemerintah daerah dalam
daerah mempunyai kemampuan untuk mengumpulkan, memproduksi, memanfaatkan,
mengalokasikan dan mendistribusikan dan mendiseminasikan informasi strategis
dana yang tersedia untuk kebutuhan tersebut kepada publik.
penanggulangan HIV dan AIDS sesuai dengan
2. Sistem informasi dalam penanggulangan HIV
konsep LKB. Untuk itu diperlukan regulasi
dan AIDS terdiri dari berbagai macam sistem
yang mampu memberikan payung hukum bagi
dan masing-masing berjalan paralel dan sulit
daerah untuk mengintegrasikan penganggaran
untuk memperoleh informasi yang menyeluruh
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
tentang situasi kinerja penanggulangan HIV
anggaran sektor kesehatan di tingkat daerah.
dan AIDS di Indonesia. Untuk itu diperlukan
3. Perawatan dan pengobatan HIV sebaiknya sinkronisasi antar sistem informasi tersebut
menjadi skema manfaat dari JKN termasuk dalam alur pelayanan dan data agar bisa
tes diagnostik dan obat-obatan terkait dengan memastikan kelengkapan, keakuratan
perawatannya. Hal ini untuk memastkan dan ketepatan waktu pengisian data dan
keberlangsungan rantai logistik dan cakupan pemanfaatannya secara bersama termasuk
program yang lebih tinggi. Perlu juga diper­ha­ pemanfaatan di tingkat daerah.
ti­kan skema di JKN yang mampu memberikan
ruang bagi kelompok populasi kunci yang me­
mi­liki status kependudukan yang tidak lengkap
Rekomendasi

D. Fungsi Penyediaan Farmasi rutin dalam peningkatan kualitas layanan


kesehatan di daerah tersebut.
dan Alat Kesehatan.
Perlu adanya regulasi baru dalam penyediaan
farmasi dan alat kesehatan termasuk alat pence­ F. Fungsi Penyediaan Layanan
gah­an untuk penanggulangan HIV dan AIDS,
termasuk kondom dan alat suntik steril yang 1. Diperlukan pemahaman bersama dan
me­­ne­gaskan kembali bahwa sektor kesehatan konsensus serta terbangunnya peta jalan untuk
sebagai penanggung jawab untuk menjamin ke­­ kesinambungan penyediaan layanan berbasis
berlangsungan proses penyediaan dan dis­tri­bu­ pada layanan frontline termasuk layanan
si­nya di masa depan. Regulasi ini menjadi sangat yang disediakan oleh organisasi masyarakat
penting karena model distribusi tersebut merupakan sipil yang bekerja untuk program promosi dan
model yang praktis dan efektif dalam proses pencegahan pada populasi kunci yang selama
pengadaan dan distribusinya. ini mayoritas bersumber dana donor sehingga
seolah-olah berada di luar sektor kesehatan.

2. Pemerintah daerah perlu melakukan penguatan


E. Fungsi Pengelolaan SDM layanan kesehatan primer (puskesmas dan
jaringannya) untuk menyediakan layanan HIV
1. Pengelolaan SDM dalam penanggulangan HIV yang terintegrasi dengan layanan kesehatan
dan AIDS yang memiliki karakteristik berbeda lainnya, mulai dari tata kelola, pembiayaan,
(tenaga kesehatan dan tenaga non-kesehatan; sistem informasi, SDM, logistik dan partisipasi
PNS, honorer dan staf OMS) mengimplikasikan masyarakat melalui bimbingan teknis (bimtek)
perlu adanya terobosan dalam kebijakan SDM secara rutin serta melakukan monitoring dan
di daerah mengingat secara normatif hal ini evaluasi untuk memberikan layanan kesehatan 221
belum diatur di sebagain besar daerah. Tero­ dasar termasuk HIV dan AIDS. Pemerintah
bosan dalam bidang SDM yang bisa dilakukan daerah juga perlu memperluas jaringan layanan
selain dengan membangun payung hukum yang HIV tidak hanya pada layanan kesehatan
inklusif, bisa juga dilakukan dengan melakukan milik pemerintah namun juga layanan swasta
inovasi pada aspek pembiayaan layanan. maupun organisasi masyarakat sipil.
Pemerintah daerah bisa melakukan kontrak
individu maupun secara organisasional dengan 3. Upaya untuk membuat layanan yang
menggunakan dana APBD atau BLUD. terintegrasi di tingkat frontline ini tidak hanya
bisa dipandang sebagai sebuah integrasi
2. Perlunya membangun mekasime pengem­ yang bersifat teknis semata, tetapi juga akan
bang­an kapasitas sumber daya kesehatan mencakup pengembangan kapasitas untuk
daerah baik bagi staf yankes maupun OMS merencanakan dan mengelola program,
melalui berbagai pelatihan untuk berbagai advokasi dan mobilisasi sumber daya yang
jenis layanan. KPAD dan Dinkes perlu ber­ dibutuhkan untuk penyediaan layanan di
tang­gungjawab dalam merencanakan hal ini tingkat layanan. Hal ini juga dilakukan dengan
mengingat selama ini pengembangan ka­pa­ cara mengurangi kepentingan lembaga dan
si­tas ini dilakukan oleh pusat (Kementerian mengedepankan kepentingan program yang
Kesehatan, KPAN atau MPI) Untuk itu, terse­ didasari oleh kepentingan alokasi dana donor
dia­nya mekanisme pengembangan kapasitas dibanding pemikiran program mana yang lebih
yang berkelanjutan di tingkat daerah menjadi efektif. Untuk itu diperlukan pengembangan
keharusan jika pelaksanaan kegiatan pe­nang­­ sebuah regulasi di kabupaten/kota yang
gulangan HIV dan AIDS diharapkan ber­ke­lan­ mengatur kerangka kerja yang memungkinkan
jut­an. Skema pengembangan kapasitas ini perlu perencanaan program penanggulangan HIV
dipahami oleh perencana program di tingkat dan AIDS selaras dengan berbagai layanan
dae­rah, sehingga bisa dijadikan mata anggaran pencegahan dan perawatan HIV. Kedua
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

layanan tersebut di dalamnya termasuk sistem permasalahan diskriminasi dalam berbagai


informasi, keuangan dan tata laksana program bentuk. Partisipasi yang seperti ini pada gilirannya
dari berbagai penyedia layanan yang ada di akan mendorong terbangunnya akuntabilitas,
wilayah tersebut. transparansi dan daya tanggap program
penanggulangan HIV dan AIDS dengan kebutuhan
4. Di tingkat lapangan, para penyedia di tingkat
masyarakat di daerah.
layanan perlu mengoptimalkan koordinasi
sebagai konsekuensi atas perencanaan
bersama. Informasi tentang hambatan dalam
penyediaan layanan dan capaian masing-
masing penyedia layanan menjadi hal
penting untuk dibicarakan. Dalam konteks di
kecamatan, puskesmas sebagai simpul dari
berbagai layanan-layanan HIV dan AIDS di
wilayah tersebut bisa memanfaatkan mini
lokakarya triwulanan sebagai forum koordinasi
dengan pihak eksternal

5. Penguatan kapasitas manajerial puskesmas


untuk memperkuat layanan kesehatan primer di
puskesmas sebagai dasar integrasi. Penguatan
manajerial ini memberikan kemampuan untuk
meningkatkan koordinasi dan kolaborasi
dengan aktor lainnya yang terkait, seperti
222 OMS, kader atau masyarakat umum dalam
upaya memberikan dukungan sosial dalam
penyediaan layanan HIV di masyarakat.

G. Fungsi Penggerakan
Partisipasi Masyarakat
Permasalahan terkait dengan layanan
penanggulangan HIV dan AIDS banyak terjadi
di tingkat lapangan yang tidak mudah dipotret
pada tingkat nasional, khususnya praktek-praktek
diskriminasi pada populasi kunci dalam mengakses
pelayanan kesehatan dan munculnya berbagai
peraturan dan regulasi di tingkat daerah yang
menghambat pelaksanaan program. Menjadi
sangat penting keterlibatan OMS di tingkat daerah
dalam penentuan kebijakan strategis dalam
penanggulangan HIV dan AIDS di daerahnya. Hal
ini hanya bisa terjadi jika pengembangan kebijakan
dan program bisa didesentralisasikan di tingkat
daerah. Untuk itu, pusat perlu meninjau kembali
efektivitas perencanaan yang terpusat menjadi
perencanaan yang terdesentralisasi sehingga
mampu mendorong partisipasi yang lebih besar
dari OMS, termasuk dalam menyikapi berbagai
Rekomendasi

Daftar Pustaka Oxford University Press in Association with the London


School of Hygiene and Tropical Medicine. Health Policy
and Planning. 2010:25:i21-i-31
Aantjes C, Quinlan T, Bunders J. 2014. Integration of community Coker, R., Balen, J., Mounier-Jack, S., Shigayeva, A., Lazarus,
home based care programs within national primary J. V., Rudge, J. W., ... & Atun, R. 2010. A conceptual and
health care revitalization strategies in Ethiopia, Malawi, analytical approach to comparative analysis of country
South-Africa and Zambia: a comparative assessment. case studies: HIV and TB control programmes and health
Globalization and Health, 10:85. systems integration. Health policy and planning, 25(suppl
Alliance. 2008. Programme Monitoring and Evaluation Practice 1), i21-i31.
Manual. Corbin J.H. and Mittlemark M.B. 2008. Partnership lessons from
Atun, R. 2012. Commentary Health Systems, Systems Thinking the Global Programme for Health Promotion Effectiveness:
and Innovation, Health Policy and Planning, Oxford a case study. Health Promotion International. Vol 23 no. 4
University Press in Association with The London, of Crowe S, Cresswell, K, Robertson A, Huby, G, Avery A, Sheikh
Hygiene and Tropical Medicine, 27: iv4-iv8 A. 2011. The Case Study Approach. BMC Medical Research
Atun, R. de Jongh,T. Secci F. Ohiri, K., Adeyi O, 2010. A Methodology, 11:100.
Sytematic review of evidence on integration of targeted Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke, 2014. Laporan PMTS
health interventions into health systems. Health Policy Pusat Kesehatan Reproduksi (PKR) 2014. Merauke : Dinkes
and Planning 2010: 25: 1-14 Kabupaten Merauke.
Atun, R. et al. 2009. Integration of Targeted Health Interventions Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2014. Profil Kesehatan Kota
into Health Systems: a Conceptual Framework for Surabaya tahun 2014.
Analysis. Health Policy and Planning. 23: 104-111. Dinas Kesehatan DKI Jakarta (2013). Rencana Strategi Dinas
Atun, R., de Jongh, T., Secci, F., Ohiri, K., & Adeyi, O. 2009. Kesehatan DKI Jakarta tahun 2013-2017.
Integration of targeted health interventions into health Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, 2012 Surat Edaran
systems: a conceptual framework for analysis. Health Kepala Dinkes Provinsi DKI Jakarta No. 63/SE/2012
policy and planning, czp055. tentang Layanan Jarum dan Alat Suntik Steril di DKI
Atun, R., Pothapregada, S. K. Kwansah, J., Degbotse, D. L., Jakarta.
Jeffrey V. 2011. Critical Interactions Between the Global Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, 2009 Surat Edaran
Fund-Supported HIV Programs and the Health System in
Ghana. Journal of acquired immune deficiency syndromes
Kepala Dinas tentang Kemandirian Penganggaran 223
Program Pengurangan dampak buruk No.
(1999) (2011). Volume: 57 Suppl 2, Pages: S72-S76 3884/1.778/2009.
Biesma RG, Brugha Ruairi, Harmer A, Walsh A,Spicer N, Walt Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
G. 2010, The effect of Global Health Initiatives on Country Lingkungan, 2014. Laporan STBP 2013 Survei Terpadu
health Systems: a Review of the Evidence from HIV/AIDS Biologis dan Perilaku.
Control. Health Policy and Planning. 24:239-252.
El-Jardali F., Bou-Karroum L., Ataya N., El-Ghali H.A., and
Brook, R. and Lohr, K.N. 1991. Efficacy, Effectiveness, Variations Hammoud R. 2014. A retrospective health policy analysis
and Quality: Boundary-crossing Research. RAND of the development and implementation of the voluntary
Publication Series, U.S. Department of Health and Human health insurance system in Lebanon: Learning from failure.
Services. Downloaded from http://www.rand.org/content/ Social Science & Medicine, 123: 45-54.
dam/rand/pubs/notes/2007/N3368.pdf, accessed at April
1, 2015. Fairall, L.R., et al. 2007. Effectiveness of Antiretroviral Treatment
in a South African Program A Cohort Study. Arch Intern
Burchett HE, Mounier-Jack S, Torres-Rueda S, Griffiths UK, Med. 2008; 168(1):86-93. doi:10.1001/archinternmed.2007.10.
Ongolo-Zogo P, Rulisa S, Edengue JM, Chavez E, Kitaw Y,
Molla M, Konate M, Gelmon L, Onyango-Ouma W, Lagarde Gartlehner, G., Hansen, R.A., Nissman, D., Lohr, K.N., and Carey,
M, Mills A. 2014. The impact of introducing new vaccines T.S. 2006. Criteria for Distinguishing Effectiveness from
on the health system: case studies from six low- and Efficacy Trials in Systematic Reviews. RTI International
middle-income countries. Vaccine, 32 (48): 6505–6512. - University of North Carolina Evidence-based Practice
Center.
Car, L.T., van Velthoven, M. H. M. M. T., Brusamento, S,.
Elmoniry, H., Car,J. , Majeed,A., Tugwell, P., Welch, Global Fund. 2011. Monitoring and Evaluation Toolkit: HIV,
V., Marusic, A. , Atun. R. 2012. Integrating Prevention of Tuberculosis, Malaria and Health and Community Systems
Mother-to-Child HIV Transmission Programs to Improve Strengthening.
Uptake: A Systematic Review. Published: April 27, 2012DOI: Grassly, N.C., Garnett, G.P., Schwartlander, B., Gregson, S., and
10.1371/journal.pone.0035268 Anderson R.M., 2001. The Effectiveness of HIV Prevention
Cash-Gibson L, Rosenmoller M. 2014. Project INTEGRATE and the Epidemiological Context. Bulletin of the World
- a common methodological approach to understand Health Organization, 79 (12), pp. 1121 – 1135.
integrated health care in Europe. International Journal of Green J, Thorogood N. 2009. Qualitative Methods for Health
Integrated Care, Oct–Dec; URN:NBN:NL:UI:10-1-114802. Research. 2nd edition. Los Angeles: Sage.
Coker R et al. 2010. Conceptual and Analytical Approach to Grepin KA, Reich MR. 2008. Conceptualizing Integration: A
Comparative Analysis of Country Case Studies: HIV and Framework for Analysis Applied to Neglected Tropical
TB Control Programmes and Health Systems Integration. Disease Control Partnerships. Neglected Tropical Disease,
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

2 (4):e174. Health Systems Strengthening in Lesotho. Innovations, fall


Grepin, K. A., & Reich, M. R. 2008. Conceptualizing integration: 2008: 87-106.
a framework for analysis applied to neglected tropical Komisi Penanggulangan AIDS DKI Jakarta, 2014. Laporan Hasil
disease control partnerships. PLoS Negl Trop Dis, 2(4), Pemetaan Populasi Kunci Provinsi DKI Jakarta.
e174. Komisi Penanggulangan AIDS DKI Jakarta, 2013. Strategi
Gurnani, V.,Beattie,T.S., Bhattacharjee, P., Mohan, H.L., Rencana Aksi Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2013-
Maddur, S., , Washington,R., Isac,S., Ramesh, BM., 2017
Moses,S.,Blanchard, J.F. 2011. An integrated structural Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta, 2013.
intervention to reduce vulnerability to HIV and sexually Evaluasi Program Penanggulangan HIV dan AIDS DKI
transmitted infections among female sex workers in Jakarta, 2008-2012.
Karnataka state, South India. BMC Public Health, 11:755
http://www.biomedcentral.com/1471-2458/11/755 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2014. Pedoman
Pencegahan Penularan HIV Melalui Transmisi Seksual
Hanvoravongchai, P., Warakamin, B., Coker, R. 2010. Critical (PMTS) Paripurna. Jakarta: KPAN
Interactions between Global Fund-Supported Programmes
and Health Systems: a Case Study in Thailand. Health Lasker RD, et al. Partnership Synergy: a Practical Framework
Policy and Planning, 25:i53-57. for Studying and Strengthening the Collaborative
Advantage: Milkbank Quaterly 12:1-7.
Homan, R., van Damme, K., Behets, S.M.T., McClamroch,
K., Rasamilalao, D., Rasolofomanana, J.R., Lee, K. 2010. Civil Society Organizations and the Functions
Rasamindrakotroka, A., and van Dam, J. 2002. Estimating of Global Health Governance: What Role within
the Cost and Effectiveness of Different STI Management Intergovernmental Organizations? Global Health
Strategies for Sex Workers in Madagascar. Population Governance vol. III, no. 2 (Spring 2010)
Council. Lindegren M.L., Kennedy C.E., Bain-Brickley D, Azman H,
http://archinte.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=413692 Creanga A.A., Butler L.M., Spaulding A.B., Horvath T,
Kennedy G.E., 2012. Integrating HIV/AIDS Services with
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/nejmsa042088 Services Focused on the Health of Mothers, Infants and
Jenkins R, Othieno C, Okeyo S, Aruwa J, Kingora J, Jenkins B. Children, as well as on Nutrition and Family Planning.
2013. Health System Challenges to Integration of Mental Maher, D. 2010. Re-thinking global health sector efforts for HIV
Health Delivery in Primary Care in Kenya: Perspectives and tuberculosis epidemic control: promoting integration of
of Primary Care Health Workers. BMC Health Services
224 programme activities within a strengthened health system.
Research, 13:368. BMC public health, 10(1), 1.
Kawonga M, Blaauw D, Fonn S. 2012. Aligning Vertical Nadjib M., Megraini, A., Ishardini, L, & Rosalina, L, 2013. National
Interventions to Health Systems: a Case Study of the HIV AIDS Spending Assesment 2011-2012
Monitoring and Evaluation System in South Africa. Health
Research Policy and Systems, 10:2. National AIDS Commission, 2010. Indonesia Monitoring and
Evaluation Plan for HIV and AIDS: 2010 – 2014
Kawonga M, Fonn S, Blaauw D. 2013. Administrative Integration
of Vertical HIV Monitoring and Evaluation into Health Palmer, S. and Togerson, D.J. 1999. Definitions of Efficiency.
Systems: a Case Study from South Africa. Global Health BMJ, 318: 1136
Action, 6:19252 http://dx.doi.org/10.3402/gha.v6i0.19252. Paltiel, D.A.; Weinstein,M.C. , Kimmel, A.D.; Seage, G. R. ; ,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman Losina, E.; Zhang, H.; Freedberg, K.A.;., and Walensky,
Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Narkotika, R.P. 2005. Expanded Screening for HIV in the United
Psikotropika, dan Zat Adiktif. States — An Analysis of Cost-Effectiveness. N Engl J
Med 2005; 352:586-595February 10, 2005DOI: 10.1056/
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal NEJMsa042088
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011.
STBP 2011 Survei Terpadu Biologis dan Perilaku. Peck R, Fitzgerald DW, Liautaud B et.al. 2003. The feasibility,
demand, and effect of integrating primary care services
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat with HIV voluntary conseling and testing – evaluation of
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan a 15 years experience in Haiti, 1985 -2000. Journal of
Lingkungan, 2012c. Surveilans Terpadu Biologis dan Acquired Immune Deficiency Syndromes 33:470 -5.
Perilaku (STBP) 2011. Jakarta: Kemenkes RI Ditjen PP & PL.
Pemerintah Daerah Provinsi DKI, 2009 Peraturan Daerah
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Provinsi DKI Nomor 4 Tahun 2009 tentang Sisitem
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkugan, 2007. Kesehatan Daerah
Surveilance Terpadu Biologis dan Perilaku (STPBP) 2007.
Jakarta : Kemenkes RI Ditjen PP & PL. Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta, 2012 Peraturan
Gubernur nomor 183 tahun 2012 tentang Pemulihan Adiksi
Kementrian Kesehatan RI, 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Berbasis Masyarakat
Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang
Dewasa dan Remaja Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta, 2014 Peraturan
Gubernur nomor 123 tahun 2014 tentang Kepesertaan dan
Kementrian Kesehatan RI, 2012. Pedoman Penerapan Layanan Pelayanan Jaminan Kesehatan.
Komprehensif HIV – IMS Berkesinambungan
PEPFAR. 2009. Next Generation Indicators Reference Guide.
Keshavejee, S., Seung, K. Satti, H., et al. 2008. Building
Capacity for Multidrug-Resistant Tuberculosis Treatment: Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke, 2015 Peraturan Bupati
Rekomendasi

Kabupaten Merauke no. 16 tahun 2015 tentang Komisi Smith, J. and Firth, J. 2011. Qualitative Data Analysis: The
Penanggulangan HIV dan AIDS daerah. Framework Approach, Nurseresearcher, 18(2): 52-62.
Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke, 2013 Peraturan Song, Dahye L. and Altice, Frederick L. and Copenhaver,
Daerah Kabupaten Merauke no. 3 Tahun 2013 tentang Michael M. and Long, Elisa F. 2015. Cost-effectiveness
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. analysis of brief and expanded evidence-based risk
Pemerintah Daerah Kota Medan, 2012 Peraturan Daerah reduction interventions for HIV-infected people who inject
Kota Medan No. 1 Tahun 2012 tentang pencegahan dan drugs in the United States. PLoS One, Num. 2, Volume 10.
penanggulangan HIV dan AIDS. http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0116694

Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2007 Pemerintah Daerah Kota Medan, 2013 Surat Keputusan
Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur no. 3 Walikota Medan No. 800 tahun 2013 tentang
tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan pembentukan forum koordinasi LKB HIV dan AIDS.
HIV dan AIDS. Sweeney, S., Obure C.D., Maier,C.B., Greener, R., Dehne, K., and
Pemerintah Daerah Kota Kupang, 2013 Peraturan Walikota Vassal. 2012. Cost and efficiency of integrating services
Kupang No. 4 Tahun 2013 tentang Komisi Penanggulangan with other health services: a sytermatic review of evidence
HIV dan AIDS Kota Kupang. and experience. Sex transom infect.2012:88:85-99.

Phillips, C. and Thompson, G. 2009. What is Cost-Effectiveness? Sweeney, S., Obure, C. D., Maier, C. B., Greener, R., Dehne,
Health Economics. Hayward Medical Communication. K., & Vassall, A. 2012. Costs and efficiency of integrating
HIV/AIDS services with other health services: a
Pope C., Ziebland S., Mays N. 2000. Analysing Qualitative systematic review of evidence and experience. Sexually
Data: Qualitative Research in Health Care. BMJ, 320: Transmitted Infections, 88(2), 85–99. http://doi.org/10.1136/
114-116. sextrans-2011-050199
Rasschaert, F., Pirard, M., Philips, M. P., Atun, R., Wouters, Tanwar, S.S., Bharat B. Rewari. 2013. Integration of Healthcare
E., Assefa, Y., ... & Van Damme, W. 2011. Positive spill- Programs: A Long-term Policy Perspective for a
over effects of ART scale up on wider health systems Sustainable HIV Program for India. Indian Journal of Public
development: evidence from Ethiopia and Malawi. Journal Health, Volume 57, Issue 3, July-September, 2013.
of the International AIDS Society, 14(1), 1
Travis, P., Bennett, S., Haines, A., Pang T., Bhutta Z., Hyder, A.A.,
Remien, R.H., Berkmanb A., Landon M., Bastosd F. I., Kageee Pielemeier N.R., Mills, A., and Evans, T. 2004. Overcoming
A., and El-Sadr, W. M. 2008. Integrating HIV care Health-Systems Constraints to Achieve the Millenium
and HIV prevention: legal, policy and programmatic Development Goals. The Lancet. 364 (9437): 900-6. 225
recommendations AIDS 2008, 22 (suppl 2):S57–S65.
UNAIDS. 2000. National AIDS Programmes: A Guide to
Ripin, D.J., Jamieson, D., Meyers, A., Warty, U., Dain, M., Khamsi, Monitoring and Evaluation.
C., 2014. Review Antiretroviral Procurement and Suppy
Chain Management. Antiretroviral Therapy. 19 Suppl; 13: UNAIDS. 2010. Strategic Guidance for Evaluating HIV
79-89. Prevention Programmes.

Ritchie J., Spencer L. 2003. Qualitative Research Practice: UNGASS. 2010. Guidelines on Construction of Core Indicators.
A Guide for Social Science Students and Researchers. USAID. 2000. Handbook of Indicators for HIV/AIDS/STI
London: Sage. Programs. First edition.
Ruisendaal, E. 2015. Integrating healthcare services for sex VanDeusen, A., Paintsil, E., Agyarko-Poku, T., & Long, E. F.
workers A qualitative study in Uganda, Kenya and 2015. Cost effectiveness of option B plus for prevention
Vietnam. Amsterdam: MPA2, International Public Health of mother-to-child transmission of HIV in resource-limited
Sadler, B. 1996. International Study of the Effectiveness of countries: evidence from Kumasi, Ghana. BMC infectious
Environmental Assessment, Final report. Ottawa, Canadian diseases, 15(1), 1.
Environmental Assessment Agency. VanDeusen, A., Paintsil, E., Agyarko-Poku, T., Long, E.F. 2015.
Schillinger, D. 2010. An Introduction to Effectiveness, Cost effectiveness of option B plus for prevention of
Dissemination and Implementation Research. P. Fleisher mother-to-child transmission of HIV in Resource-Limited
and E. Goldstein, eds. From the Series: UCSF Clinical and Countries: Evidence from Kumasi, Ghana. BMC Infectious
Translational Science Institute (CTSI) Resource Manuals Diseases, 15:130.
and Guides to Community-Engaged Research, P. Fleisher, Walensky, R. P., Freedberg, K. A., Weinstein,M.C., and Paltie,
ed. Published by Clinical Translational Science Institute D.A. 2006. Cost-Effectiveness of HIV Testing and
Community Engagement Program, University of California Treatment in the United States. Oxford Journals Medicine
San Francisco. Downloaded from http://ctsi.ucsf.edu/files/ & Health Clinical Infectious Diseases. Volume 45, Issue
CE/edi_introguide.pdf, accessed at April 1, 2015. Supplement 4Pp. S248-S254. http://cid.oxfordjournals.org/
Sheikh A., Halani L., Bhopal R., Netuveli G., Partridge M., Car J., content/45/Supplement_4/S248.short
et al. 2009. Facilitating the Recruitment of Minority Ethnic WHO. 2000. The World Health Report 2000. Health
People into Research: Qualitative Case Study of South Systems. Improving Performance. Geneva: World Health
Asians and Asthma. PLoS Med, 6(10):1-11. Organization.
Shigayeva A, Atun R, Mc Kee M, and Coker, R. 2010. Health WHO. 2001. Strategic alliances: The Role of Civil Society in
Systems, Communicable Diseases and Integration, Health Health. Discussion Paper No. 1 CSI/2001/DP1. Geneva:
Policy and Planning, 25: i4-i20. World Health Organization.
Studi Kasus Integrasi Kebijakan & Program HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

WHO. 2006. The Essential Role of Civil Society, Chapter 9 in


Global 2006 Report. Downloaded from http://www.who.int/
hiv/mediacentre/2006_GR_CH09_en.pdf
WHO. 2007. Strengthening Health Systems to Improve Health
Outcomes: WHO’s Framework for Action. Geneva: World
Health Organization.
WHO. 2008. Community involvement in tuberculosis care and
prevention: Towards partnerships for health. Geneva:
World Health Organization.
WHO. 2008. Integrated Health Services. What dan Why.
Technical Brief no. 1, May. 2008. Geneva: World Health
Organization.
WHO. 2009. Systems thinking for health systems strengthening.
Geneva: World Health Organization.
WHO. 2013. Closing the Health Equity Gap: Policy Options
and Opportunities for Action. Geneva: World Health
Organization.
Wilson, D. 2015. HIV programs for sex workers : lessons
and challenges for delivering programs. PloS Med 12(6):
e1001808.doi: 10.1371/journal.pmed.1001808
Wilson, D. P., Donald, B., Shattock, A. J., Wilson, D., & Fraser-
Hurt, N. 2015. The cost-effectiveness of harm reduction.
International Journal of Drug Policy, 26, S5-S11.
Yin R. 1994. Case study research: design and methods. 2nd
edition. Thousand Oaks, CA: Sage Publishing.
Zulu, J. M., Hurtig, A. K., Kinsman, J., & Michelo, C. 2015.
Innovation in health service delivery: integrating
226 community health assistants into the health system at
district level in Zambia. BMC health services research,
15(1), 1.
Dengan memberikan fokus pada tiga intervensi pencegahan (PMTS-WPS, PMTS-LSL
dan LASS) serta dua intervensi perawatan dan pengobatan HIV (link to care dan ART),
kajian kasus yang disajikan dalam buku ini bertujuan untuk menggali secara analitis
pengaruh tingkat integrasi antara upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem
kesehatan terhadap efektivitas program. Selain itu, bertujuan pula untuk mengidentifikasi
mekanisme di mana integrasi berkontribusi pada efektivitas program. Secara umum
kelima kajian kasus tersebut telah menunjukkan bahwa integrasi kebijakan dan program
penanggulangan HIV dan AIDS belum sepenuhnya terwujud dalam fungsi-fungsi utama
sistem kesehatan. Interaksi antar aktor dalam penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat
nasional maupun daerah belum menunjukkan dukungannya terhadap integrasi, misalnya
tampak dalam komitmen politik yang berubah-ubah, hukum dan regulasi yang seringkali
berbenturan dengan kepentingan penanggulangan HIV dan AIDS serta karakteristik dari
permasalahan HIV dan AIDS sendiri yang multi sektoral. Konsep integrasi yang sudah
dicita-citakan dalam berbagai dokumen penanggulangan HIV dan AIDS selama ini
ternyata masih bersifat normatif dan jauh dari implementasinya karena adanya faktor-
faktor eksternal tersebut. Konsekuensi atas dinamika interaksi antar kepentingan dan
kekuasaan yang bervariasi tersebut, efektivitas program menjadi bervariasi pula, baik
dari sisi jenis intervensinya maupun lokasi di mana intervensi tersebut dilaksanakan.

Anda mungkin juga menyukai