Anda di halaman 1dari 16

Ketika Mas Gagah Pergi

Mas Gagah berubah! Ya, sudah beberapa bulan belakangan ini Mas, sekaligus saudara
kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah.
Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah tingkat akhir di Teknik Sipil UI. Ia seorang kakak
yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja ganteng! Mas Gagah juga sudah mampu
membiayai kuliahnya sendiri dari hasil mengajar privat matematika untuk anak-anak SMP dan
SMA, menjadi model majalah, hingga menjadi senpai di sebuah klub karate.
“Hai cewek tomboi!” sapanya suatu kali. “Waktunya kamu belajar bela diri! Percuma kan
punya Mas karateka sabuk hitam, kalau kamu nggak bisa karate?”
Hari-hari kami pun bertambah dengan berlatih karate bersama. “Nggak usah kursus. Kursus
sama Mas aja. Habis ini latihan modeling ya, biar jalanmu nggak lebih gagah dari Mas!”
sindirnya sambil senyum.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku
kemana ia pergi. Ia yang menolong saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk
di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji.
Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak
untukku.
Saat memasuki usia dewasa kami jadi makin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya
bersama. Jalan-jalan, nonton film, konser musik atau sekadar bercanda bersama teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan
membuat lelucon-lelucon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak-bahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling
mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan dulu di Kemang atau tempat-tempat
yang sedang happening.

tiba-tiba dunia jadi lebih benderang!” tambahnya penuh


Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga semangat. “Nanti kapan-kapan kita ke sana ya, Git.
atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman- Huh.
temanku menyukai sosoknya! Dan begitulah. Mas Gagah pun berubah menjadi lebay dalam
“Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih hal agama seperti sekarang, hingga aku seolah tak mengenal
kosong nggak sih?” dirinya lagi.
“Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang dulu, yang selalu
orang serumahku sering membanding-bandingkan teman kubanggakan kini entah ke mana….
cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?” ===
“Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?” “Mas Gagah! Mas Gagaaaaaahhh!” teriakku kesal sambil
Dan masih banyak lontaran-lontaran senada yang mampir ke mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras.
kupingku. Aku cuma mesam-mesem. Bangga. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama Mas Gagah ada di
Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas
punya pacar. Apa jawabnya? Gagah. Tulisan berbahasa arab gundul. Tak bisa kubaca. Tapi
“Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian aku bisa membaca artinya : Jangan masuk sebelum memberi
kalau Mas pacaran, banyak anggaran. Banyak juga yang patah salam!
hati! Hehehe,” kata Mas Gagah pura-pura serius. “Assalaamu’alaikuuum!” seruku.
Mas Gagah dalam pandanganku adalah sosok ideal. Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.
Kombinasi yang unik dari banyak talenta. Ia punya rancangan “Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh. Ada apa
masa depan, tapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tapi Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?” tanyanya.
tak pernah meninggalkan shalat! He’s a very easy going “Matiin CD-nya!” kataku sewot.
person. Almost perfect! “Lho memang kenapa?”
Huaa, itulah Mas Gagah. Mas Gagah-ku yang dulu! “Gita kesel bin sebel dengerin CD Mas Gagah! Memangnya
Namun seperti yang telah kukatakan, entah mengapa kita orang Arab, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!” aku
beberapa bulan belakangan ini ia berubah. Drastis! Dan kalau cemberut.
aku tak salah, itu seusai ia pulang dari Madura. “Ini nasyid. Bukan sekadar nyanyian Arab tapi zikir, Gita!”
“Memang ngapain sih Mas, ke Madura segala? Lama lagi!” “Bodo!”
“Diajak survei sama salah satu profesor dan kontraktor, untuk “Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh dong
perencanaan bangunan besar di sana, Dik Manis! Sekalian Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik
penelitian skripsi Mas….” di kamar sendiri,” kata Mas Gagah sabar. “Kemarin waktu
Ah, soal bangunan dan penelitian skripsi. Lalu kenapa Mas Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek, Mama bingung.
Gagah bisa berubah jadi aneh gara-gara hal tersebut? Pikirku Jadinya ya, dipasang di kamar.”
waktu itu. “Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin Lady
“Mas ketemu kiai hebat di Madura,” cerita Mas Gagah Gaga eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!”
antusias. “Namanya Kiai Ghufron! Subhanallah, orangnya “Mas kan pasangnya pelan-pelan.”
sangat bersahaja, santri-santrinya luar biasa! Di sana Mas “Pokoknya kedengaran!”
memakai waktu luang Mas untuk mengaji pada beliau. Dan

Ketika Mas Gagah Pergi 1


“Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang tegurku suatu hari. “Jangan gitu dong. Sama aja nggak
bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus, lho! Ada koleksi menghargai orang!”
Cat Steven alias Yusuf Islam yang Mas baru download nih” “Justru karena Mas menghargai dia makanya Mas begitu,”
“Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!” aku ngeloyor pergi dalihnya, lagi-lagi dengan nada amat sabar. “Gita lihat kan
sambil membanting pintu kamar Mas Gagah. orang Sunda salaman? Santun meski nggak sentuhan. Itu
Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik sangat baik!”
Mas Gagah jadi begitu. Kemana CD para rocker yang selama Huh. Nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu,
ini dikoleksinya? sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?
“Wah, ini nggak seperti itu, Gita! Dengerin Lady Gaga dan Mas Gagah membawa sebuah buku dan menyorongkannya
teman-temannya itu belum tentu mendatangkan manfaat, padaku. “Nih, baca, Dik!”
apalagi pahala. Lain lah ya dengan senandung nasyid Islami. Kubaca keras-keras. “Dari ‘Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah,
Gita mau denger? Ambil aja dari laptop. Mas punya banyak demi Allah. Rasulullah Saw tidak pernah berjabat tangan
kok!” begitu kata Mas Gagah. dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhari
Oalaa! Muslim!”
=== Si Mas tersenyum.
Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak cuma itu. Banyak. “Tapi Kiai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji
Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang Toto, Ustadz Ali,” kataku.
baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan- “Bukankah Rasulullah uswatun hasanah? Teladan terbaik?”
perubahan itu, walau bingung untuk mencernanya. kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. “Biar saja
Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat mereka begitu, tetapi Mas tidak, nggak apa kan? Coba untuk
waktu, berjama’ah di masjid, ngomongnya soal agama terus. mengerti dan menghargai ya, Dik Manis?”
Kalau aku iseng mengintip di lubang kunci, ia pasti lagi ngaji Dik Manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku
atau baca buku Islam. Dan kalau aku mampir di kamarnya, ia ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.
dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, Menurutku Mas Gagah sekarang terlalu fanatik! Aku jadi
atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya, “Ayo dong khawatir. Ah, aku juga takut kalau dia terbawa oleh orang-
Gita, lebih feminin. Kalau kamu pakai rok atau baju panjang, orang sok agamis tapi ngawur. Namun, akhirnya aku nggak
Mas rela deh kasih voucher belanja yang Mas punya buat berani menduga demikian. Mas-ku itu orangnya cerdas
beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus sekali! Jenius malah! Umurnya baru 20 tahun tapi sudah
anggun. Coba Dik manis, ngapain sih rambut ditrondolin skripsi di FTUI! Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam.
gitu!” Hanya, yaaa akhir-akhir ini ia berubah. Itu saja. Kutarik napas
Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat dalam-dalam.
penampilanku yang tomboi. Dia tahu aku cuma punya dua ===
rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga nggak “Mau kemana, Git!?”
pernah keberatan kalau aku meminjam kaos atau kemejanya. “Nonton sama teman-teman.” Kataku sambil mengenakan
Ia sendiri dulu sering memanggilku Gito, bukan Gita! Eh, sepatu. “Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang
sekarang pakai manggil Dik Manis segala! kebanyakan nolaknya!”
Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. “Ikut Mas aja, yuk!”
Sering juga Mama menegurnya. “Kemana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah! Gita kayak
“Penampilanmu kok sekarang lain, Gah?” orang bego di sana!”
“Lain gimana, Ma?” Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu yang lalu Mas Gagah
“Ya, nggak semodis dulu. Nggak dandy lagi. Biasanya kamu mengajakku pengajian di rumah temannya. Terus pernah juga
yang paling sibuk dengan penampilan kamu yang kayak cover aku diajak menghadiri tabligh akbar di suatu tempat.
boy itu.” Bayangin, berapa kali aku dilihatin sama cewek-cewek lain
Mas Gagah cuma senyum. “Suka begini, Ma. Bersih, rapi yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya, aku kesana memakai
meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun.” kemeja lengan pendek, jins belel dan ransel kumalku. Belum
Ya, dalam penglihatanku Mas Gagah jadi lebih kuno dengan lagi rambut trondol yang tak bisa kusembunyikan, meski
kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan sudah memakai topi. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku
celana panjang longgar. “Jadi mirip Pak Gino,” komentarku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai
menyamakannya dengan sopir kami. “Untung saja masih mengaji. Aku nolak sambil mengancam tak mau ikut.
lebih ganteng.” “Assalaamu’alaikum!” terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah
berlalu. dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan
Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga sangat kurasakan. teman-teman si Mas ini. Masuk, lewat, nunduk-nunduk,
Sekarang Mas Gagah nggak lucu seperti dulu. Kayaknya dia senyum sedikit, nggak ngelirik aku, persis kelakuannya Mas
juga malas banget ngobrol lama atau becanda sama Gagah.
perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, “Lewat aja nih, Mas? Gita nggak dikenalin?” tanyaku iseng.
peragawati sebelah rumah, kebingungan. Dan yang paling Dulu nggak ada deh teman Mas Gagah yang nggak akrab
gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah jarang
apa sih maunya Mas Gagah? memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya
“Sok keren banget sih Mas? Masak nggak mau salaman sama lumayan ganteng.
Tresye? Dia tuh cewek paling beken di Sanggar Gita tahu?” Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. “Ssssttt !”

Ketika Mas Gagah Pergi 2


Seperti biasa, aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti “Nah yaaaa!” aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami
ngomongin soal-soal keIslaman, diskusi, belajar baca Al- bersama-sama membaca buku Memilih Jodoh dan Tata Cara
Quran atau bahasa Arab, yaaa begitu deh! Meminang dalam Islam itu….
=== “Maaaas….”
“Subhanallah, berarti kakak kamu ikhwan dong!” seru Tika “Apa, Dik manis?”
setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini “Gita akhwat bukan sih?”
memang sudah sebulan ini berjilbab rapi. Memuseumkan “Memangnya kenapa?”
semua baju you can see-nya. “Gita akhwat apa bukan? Ayo jawab,” tanyaku manja.
“Ikhwan?” ulangku. “Makanan apaan tuh? Saudaranya Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar,
bakwan atau tekwan?” suaraku yang keras membuat ia berbicara kepadaku. Tentang Allah, tentang Rasulullah.
beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami. Tentang ajaran Islam yang indah namun diabaikan dan tak
“Huss! Untuk laki-laki ikhwan, untuk perempuan akhwat. dipahami ummatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang
Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara sering jadi sasaran fitnah dan tentang hal-hal lainnya. Dan
seiman kita,” ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa
“Kamu tahu Hendra atau Isa, kan? Aktivis Rohis kita itu kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.
contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini.” Mas Gagah dengan semangat terus berbicara. Terkadang ia
Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip tersenyum, sesaat sambil menitikkan air mata. Hal yang tak
Mas Gagah. pernah kulihat sebelumnya!
“Udah deh, Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. “Mas, kok nangis?”
Ngaji! Insya Allah kamu akan tahu meyeluruh tentang din “Mas sedih karena Allah, Rasul dan Al Islam kini sering
kita. Orang-orang seperti Hendra, Isa, atau Mas Gagah dianggap remeh. Sedih karena ummat yang banyak
bukanlah orang-orang yang error atau ke arah teroris. Nggak- meninggalkan Al-Quran dan Sunnah, juga berpecah belah.
lah. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah
baik. Kitanya saja yang mungkin belum mengerti dan sering dengan tenang, saudara-saudara kita di negeri sendiri banyak
salah paham.” yang mengais-ngais makanan di jalan, dan tidur beratap
Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat langit, sementara di belahan bumi lainnya sedang
dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku diperangi….”
menjelma begitu dewasa. Sesaat kami terdiam. Ah, Masku yang gagah dan tegar ini
“Eh, kapan main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ternyata sangat perasa. Sangat peduli.
ingin kita tetap dekat, Gita,” ujar Tika tiba-tiba. “Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?” tanya Mas
“Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah,” Gagah tiba-tiba.
kataku jujur. “Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku “Gita capek marahan sama Mas Gagah!” ujarku sekenanya.
sedih.” “Emangnya Gita ngerti yang Mas katakan?”
Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup “Tenang aja, Gita nyambung kok!” kataku jujur. Ya, Mbak
angin. “Aku senang kamu mau membicarakan hal ini Nadia juga pernah menerangkan hal demikian. Aku mengerti
denganku. Nginap di rumah, yuk. Biar kita bisa cerita banyak. meski tak mendalam.
Sekalian kukenalkan pada Mbak Nadia.” Malam itu aku tidur ditemani tumpukan buku-buku Islam
“Mbak Nadia?” milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah!
“Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari ===
Amrik malah pakai jilbab! Itulah hidayah!” Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi, meski
“Hidayah?” aktivitas yang kami lakukan berbeda dengan yang dahulu.
“Nginap, ya! Kita ngobrol sampai malam sama Mbak Nadia!” Sebenarnya banyak hal yang belum bisa kupahami, belum
=== bisa kuterima dari keberadaan Mas Gagah, tetapi sungguh
“Assalaamu’alaikum, Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!” tegurku aku tak mau kehilangan sosoknya. Aku ingin bisa menjaga
ramah. kedekatan kami selama ini.
“Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya Kini tiap hari Minggu kami ke berbagai masjid, mendengarkan
langsung pulang!” kata Mas Gagah pura-pura marah, usai ceramah umum, atau ke tempat-tempat tabligh akbar
menjawab salamku. digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah, kadang-kadang
“Dari rumah Tika, teman sekolah,” jawabku pendek. “Lagi bila sedikit kupaksa Mama Papa juga ikut.
ngapain, Mas?” tanyaku sambil mengintari kamarnya. “Masa sekali aja nggak bisa, Pa…, tiap minggu rutin
Kuamati beberapa poster kaligrafi, gambar-gambar pejuang ngunjungin relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?”
Palestina. Puisi-puisi Muhammad Iqbal tentang pemuda Islam tegurku.
yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu empat rak koleksi Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, “Iya
buku ke-Islaman…. deh, iya!”
“Cuma lagi baca, Git,” katanya. Pernah Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan
“Buku apa?” temannya. Aku sempat bingung juga. Soalnya pengantinnya
“Tumben kamu pengin tahu?” nggak bersanding tapi terpisah! Tempat acaranya juga begitu:
“Tunjukin dong, Mas. Buku apa sih?” desakku. dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama suvenir,
“Eit, Eiiit!” Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya. para tamu dibagikan risalah nikah juga.
Kugelitik kakinya, dia tertawa dan menyerah. “Nih!” serunya Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu
memperlihatkan buku yang sedang dibacanya dengan wajah bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu
setengah memerah. tak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Ia

Ketika Mas Gagah Pergi 3


juga wanti-wanti agar aku tak mengulangi ulah mengintip “Ih, kok tanya itu lagi. Kan udah aku kasih tahu itu wajib,”sela
tempat cowok dari tempat cewek! Tika setengah berbisik.
Aku nyengir kuda. Aku tak peduli. “Ya, setahu saya sih gitu. Ada banyak teman
“Mungkin kamu, mungkin kita nggak setuju, Sayang, Tapi saya masuk pesantren. Di sana mereka pakai jilbab, tapi pas
coba untuk menghargai ya?” katanya sambil mengusap keluar ya mereka lepas-lah, malah ada yang jadi rocker.”
kepalaku. Gerrrrr, hadirin tertawa. Tika menatapku sambil geleng-
Kini tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku. geleng kepala.
Soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai Aku bingung, tapi tetap semangat. “Kayak saya nih.. Saya mau
rok panjang, ketawa nggak cekakaan. pakai jilbab, tapi ya ntar, nunggu udah nikah, udah tua atau
“Coba pakai jilbab, Git!” pinta Mas Gagah suatu ketika. pensiun. Lagian yang penting kan kita bisa jilbabin hati, ya ga?
“Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol! Lagian belum mau Buat apa pakai jilbab kalau nggak bisa jilbabin hati.
deh jreng!” Mendingan nggak dong!”
Mas Gagah tersenyum. “Gita lebih anggun kalau pakai jilbab Hadirin riuh rendah, bertepuk tangan.
dan insya Allah lebih dicintai Allah. Kayak Mama”. Moderator garuk-garuk kepala, persis Tika, di sampingku.
Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab. Gara- “Oke, pertanyaan ditampung.”
garanya dinasehati terus sama si Mas, dibeliin buku-buku Saat moderator meminta para pembicara menanggapi, Mbak
tentang wanita, juga dikompori sama teman-teman pengajian Nadia tersenyum, “Sahabat sekalian, sebagai seorang
beliau. muslimah, sedikitnya saya punya 8 alasan mengapa saya
“Gita mau, tapi nggak sekarang,” kataku. Aku memikirkan memakai jilbab.”
bagaimana dengan seabreg aktivitasku kini, prospek masa Aku menatap Mbak Nadia yang tampak lebih cantik dengan
depan, calon suami nanti, dan semacamnya. jilbab ungunya.
“Itu bukan halangan,” ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan “Mengapa saya mengenakan jilbab?. Alasan pertama karena
pikiranku. berjilbab adalah perintah Allah dalam surat Al Ahzab ayat 59
Aku menggelengkan kepala. Heran. Mama yang wanita karier dan An Nur ayat 31. Kedua, karena jilbab merupakan
itu kok cepat sekali terpengaruh sama Mas Gagah! identitas utama untuk dikenali sebagai seorang muslimah.
“Ini hidayah, Gita!” kata Mama. Papa yang duduk di samping Astri Ivo, seorang artis, justru mulai menggunakan jilbab saat
beliau senyum-senyum. kuliah di jerman. Saya Alhamdulillah mulai mengenakannya
“Hidayah? Perasaan Gita duluan deh yang dapat hidayah baru saat kuliah di Amerika.”
Mama! Gita pakai rok aja udah hidayah!” “Wuuuuiiiiih,” hadirin berdecak kagum.
“Lho?” Mas Gagah bengong. Alasan ketiga saya mengenakan jilbab, karena dengan
=== berjilbab saya merasa lebih aman dari gangguan. Dengan
Dengan penuh kebanggaan, kutatap lekat wajah Mas Gagah. berjilbab, orang akan menyapa saya “Assalamu’alaikum”,
Bagaimana tak bangga? Dalam acara seminar umum tentang atau memanggil saya “Bu Haji” yang juga merupakan do’a.
generasi muda Islam yang diadakan di UI, Mas Gagah menjadi Jadi selain merasa aman, bonusnya adalah mendapatkan
salah satu pembicaranya! Aku yang berada di antara ratusan do’a. Hal ini akan berbeda bila muslimah mengenakan
peserta ini rasa-rasanya ingin berteriak, “Hei, itu kan Mas pakaian yang ‘you can see everything’.
Gagah-ku!” Hadirin tertawa. Hmmm.
Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, “ Alasan keempat, dengan berjilbab, seorang muslimah akan
materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar merasa lebih merdeka dalam artian yang sebenarnya.
biasa! Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Perempuan yang memakai rok mini di dalam angkot misalnya
Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadis akan resah menutupi bagian-bagian tertentu tubuhnya
Rasul. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. dengan tas tangan. Nah, kalau saya naik angkot dengan
Aku sempat bingung lho, kok Mas Gagah bisa sih? Bahkan berbusana muslimah saya bisa duduk seenak saya. Ayo, lebih
materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang merdeka yang mana?”
dibawakan oleh kiai-kiai kondang atau ustadz tenar yang Hadirin tertawa lagi.
biasa kudengar! “Alasan kelima, dengan berjilbab, seorang muslimah tidak
Pembicara yang lain Mbak Nadia Hayuningtyas. Diam-diam dinilai dari ukuran fisiknya. Kita tidak akan dilihat dari kurus,
aku makin kagum pada kakaknya Tika ini. Lembut, cantik. gemuknya kita. Tidak dilihat bagaimana hidung atau betis
Cocok kali ya sama Mas Gagah! Hihi, aku jadi nyengir sendiri. kita…. melainkan dari kecerdasan, karya dan kebaikan hati
Tika yang duduk di sebelahku juga tampaknya punya pikiran kita.”
yang sama. Jadi kami sering lirik-lirikan dan senyum-senyum Aku menunduk. Benar juga.
sendiri. “Keenam, dengan berjilbab kontrol ada di tangan
Ketika sesi pertanyaan dibuka lagi, aku mengacungkan tangan perempuan, bukan lelaki. Perempuan itu yang berhak
tinggi-tinggi. Ada beberapa yang ingin bertanya. Yup menentukan pria mana yang berhak dan tidak berhak
alhamdulillah moderator memilihku! melihatnya”.
“Yes!” kata Tika. Hadirin manggut-manggut. Yes!
Kulihat Mas Gagah tersenyum dari jauh. “Ke tujuh. Dengan berjilbab pada dasarnya wanita telah
“Assalaamu’alaikum, saya Gita, masih SMA. Mau nanya nih, melakukan seleksi terhadap calon suaminya. Orang yang
gimana sih hukumnya jilbab? Kan sunnah ya?” tanyaku sambil tidak memiliki dasar agama yang kuat, akan enggan untuk
sok menjawab sendiri. melamar gadis berjilbab, bukan?”
Hadirin kasak kusuk. Aku menunduk lebih dalam.

Ketika Mas Gagah Pergi 4


“Terakhir, berjilbab tak pernah menghalangi muslimah untuk Aku ternganga.
maju dalam kebaikan,” ujar Mbak Nadia. “O ya berjilbab Mataku basah saat mereka berebutan mencium tangan kami
memang bukanlah satu-satunya indikator ketakwaan, namu dan tak berhenti bercerita. Mas Gagah memeluk, bertanya ini
berjilbab merupakan sebuah realisasi amaliyah dari keimanan itu, mengajarkan beberapa hal, juga sempat bermain
seorang muslimah. Jadi lakukanlah semampunya. Tak perlu bersama mereka.
ada pernyataan-pernyataan negatif seperti “Kalau aku hati Belum hilang kagetku, tiga orang berbadan besar, sebagian
dulu yang dijilbabin”. Hati kan urusan Allah, tugas kita bertato, tiba-tiba menghampiri kami. Ah tempat seperti ini
beramal saja dengan ikhlas.” memang banyak premannya. Aku sudah bersiap pasang kuda-
“Setujuuuu,” koor hadirin. kuda ketika kemudian….
“Nah, sebagai bagian dari ummat yang besar ini, masalah “Gagah!”
jilbab bukanlah masalah yang harus membuat kita What? Mas Gagah dan ketiga orang itu berjabat tangan lalu
bertengkar. Pakailah dengan kesadaran dan jangan mengejek berangkulan sambil mengucapkan salam.
atau memaksa muslimah yang belum memakainya, malah “Git, kenalin: ini Bang Urip, Bang Ucok dan Kang Asep.”
kita harus merangkul mereka. Tunjukkan ahlak kita yang Aku mengangguk sambil mengernyitkan kening.
indah sebagai muslimah.” “Mereka yang jaga tempat ini dan melindungi anak-anak dari
Kini semua orang bertepuk tangan. orang-orang jahat. Kami berkenalan enam bulan lalu dan
Aku berdiri memberi applaus pada Mbak Nadia. Keren banget membuka rumah baca bagi anak-anak di sini….”
alasannya berjilbab. “Alasan ini Mbak, yang bisa saya terima!” Aku melongo. Rumah baca? Preman?
teriakku. “Biasanya yang saya dengar: kita, perempuan pakai “Ya, kami preman insyap hahaha,” kata salah satu di antara
jilbab untuk membantu lelaki menjaga pandangannya. Huh mereka.
parah! Sebel dengarnya! Kenapa harus kita yang repot Aku masih tak mengerti.
menjaga pandangan mereka? Nggak banget deh!” teriakku. “Dulu kite pernah palakin Gagah, trus kite babak belur. Nah
Gerrrrrrr, para hadirin tertawa lagi. Sebagian menunjuk- senpai kite palak! Hehehe,” tukas Bang Urip padaku.
nunjuk ke arahku. Tika menarik-narik ujung baju menyuruhku Lalu kulihat mereka bercerita macam-macam pada Mas
kembali duduk. Gagah.
Tiba-tiba, kudengar suara Mas Gagah, “Moderator dan “Sudah banyak perbaikan. Yang jadi copet sudah tak ada. Yg
hadirin, perkenalkan, penanya tentang jilbab ini adalah adik jadi garong apalagi. Piss, Piiis, Gagah. Terimakasih
saya Gita Ayu Pertiwi.” bimbinganmu selama ini. Eh, yang mau ikut ngaji bertambah
Semua orang menoleh kepadaku yang masih berdiri. Aku lagi. Itu, pimpinan preman RW sebelah,” kata Bang Ucok.
salah tingkah. Mas Gagah tersenyum. Mbak Nadia juga. Tika “Alhamdulillah. Seru itu Bang!” kata Mas Gagah akrab.
nyengir. Aku makin salah tingkah. “Terus, anak-anak di sini jadi tambah senang baca euy. Baca
“Insya Allah sebagaimana kita semua, Gita sedang berproses melulu. Jadi kepintaran kadang-kadang! Kami teh bisa kalah
menjadi pribadi yang lebih baik. Ishlah dalam setiap desah atuh sama mereka,” selak Kang Asep sambil nyengir.
napas. Kita doakan ya agar Allah memberi semua kebaikan, Mas Gagah tertawa.
hidayahnya kepada Gita… dan kita semua di sini.” “Nyok kite sholat dulu, Gah. Noh mushola kite nyang bulan
“Aaamiiiiiin,” seru hadirin. Suara Tika terdengar paling keras. lalu belum kelar, sekarang ude bagus gara-gara elo dan
Mas Gagah tersenyum dari jauh. Alhamdulillah sepertinya ia temen-temen lo,” ujar Bang Urip.
tak marah padaku.. “Alhamdulillah,” senyum Mas Gagah lagi, sambil memberi
“Masih mau ikut Mas nggak?” tanya Mas Gagah saat kami isyarat tangan padaku untuk melihat jauh ke depan, arah
berdua dalam perjalanan pulang. pojok kanan dari tempat kami berdiri. Sebuah mushala kecil
“Mau. Ke mana, Mas? Ke tempat Mbak Nadia?” godaku. dengan bata merah yang baru disemen.
“Kirain belum kenal sama kakaknya Tika, ternyata….Uuu, Gita “Eh, setiap ketemu kan kite yel dulu!” kata Bang Urip.
mau tuh jadi adik iparnya Mbak Nadia nanti!” Lalu seperti diaba-aba, kulihat mereka semua berdiri:
“Hus!” Mas Gagah tersipu, menggandengku. “Preman insaaaaap!” teriak Bang Urip.
Mobil kami terus berjalan, jauh sekali, melintasi entah daerah Lalu kulihat Mas Gagah, Bang Ucok, Bang Urip dan Kang Asep
yang asing bagiku. Mas Gagah berhenti sekali di sebuah melompat-lompat sambil mengepalkan tangan ke atas,
supermarket kecil. Aku mengerutkan kening melihatnya berseru penuh semangat ala militer: “Huh huh huh huh:
membeli makanan kering, mie instan beberapa kardus, buku istiqomah!” Mereka berangkulan. Kemudian setengah berlari
dan alat-alat tulis. Mau ke mana? sambil tertawa, menuju mushala.
Hujan turun rintik-rintik, lalu makin deras. Mobil kami susah Di belakang mereka, anak-anak kecil mengikuti sambil
payah masuk di jalan kecil yang hanya pas untuk satu mobil. melambai-lambai mengajakku ke mushala pula. Ah, Mas
Jalan kumuh dengan rumah-rumah triplek dan kardus Gagah…, apa lagi yang telah ia lakukan? Mengapa akhir-akhir
berjejalan, di sebuah kolong jembatan di daerah Jakarta ini ia semakin sering membuatku menangis, lalu menorehkan
Utara. pelangi di dada yang sesak?
Ketika hujan benar-benar reda, aku mencium aroma sampah ===
yang kuat. Kami turun dan segera kakiku disambut cipratan Dengan penuh kebanggaan, kutatap lekat wajah Mas Gagah.
air sisa hujan yang menghitam. Beberapa anak berlarian Bagaimana tak bangga? Dalam acara seminar umum tentang
menghampiri kami, di antaranya bertelanjang dada. Wajah generasi muda Islam yang diadakan di UI, Mas Gagah menjadi
mereka sumringah. salah satu pembicaranya! Aku yang berada di antara ratusan
“Mas Gagah! Mas Gagah datang! Horeeeeee!” peserta ini rasa-rasanya ingin berteriak, “Hei, itu kan Mas
Mas Gagah menatapku sambil tersenyum. “Kenalkan, ini adik- Gagah-ku!”
adik kita, Gita!”

Ketika Mas Gagah Pergi 5


Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, “ Alasan keempat, dengan berjilbab, seorang muslimah akan
materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar merasa lebih merdeka dalam artian yang sebenarnya.
biasa! Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Perempuan yang memakai rok mini di dalam angkot misalnya
Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadis akan resah menutupi bagian-bagian tertentu tubuhnya
Rasul. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. dengan tas tangan. Nah, kalau saya naik angkot dengan
Aku sempat bingung lho, kok Mas Gagah bisa sih? Bahkan berbusana muslimah saya bisa duduk seenak saya. Ayo, lebih
materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang merdeka yang mana?”
dibawakan oleh kiai-kiai kondang atau ustadz tenar yang Hadirin tertawa lagi.
biasa kudengar! “Alasan kelima, dengan berjilbab, seorang muslimah tidak
Pembicara yang lain Mbak Nadia Hayuningtyas. Diam-diam dinilai dari ukuran fisiknya. Kita tidak akan dilihat dari kurus,
aku makin kagum pada kakaknya Tika ini. Lembut, cantik. gemuknya kita. Tidak dilihat bagaimana hidung atau betis
Cocok kali ya sama Mas Gagah! Hihi, aku jadi nyengir sendiri. kita…. melainkan dari kecerdasan, karya dan kebaikan hati
Tika yang duduk di sebelahku juga tampaknya punya pikiran kita.”
yang sama. Jadi kami sering lirik-lirikan dan senyum-senyum Aku menunduk. Benar juga.
sendiri. “Keenam, dengan berjilbab kontrol ada di tangan
Ketika sesi pertanyaan dibuka lagi, aku mengacungkan tangan perempuan, bukan lelaki. Perempuan itu yang berhak
tinggi-tinggi. Ada beberapa yang ingin bertanya. Yup menentukan pria mana yang berhak dan tidak berhak
alhamdulillah moderator memilihku! melihatnya”.
“Yes!” kata Tika. Hadirin manggut-manggut. Yes!
Kulihat Mas Gagah tersenyum dari jauh. “Ke tujuh. Dengan berjilbab pada dasarnya wanita telah
“Assalaamu’alaikum, saya Gita, masih SMA. Mau nanya nih, melakukan seleksi terhadap calon suaminya. Orang yang
gimana sih hukumnya jilbab? Kan sunnah ya?” tanyaku sambil tidak memiliki dasar agama yang kuat, akan enggan untuk
sok menjawab sendiri. melamar gadis berjilbab, bukan?”
Hadirin kasak kusuk. Aku menunduk lebih dalam.
“Ih, kok tanya itu lagi. Kan udah aku kasih tahu itu wajib,”sela “Terakhir, berjilbab tak pernah menghalangi muslimah untuk
Tika setengah berbisik. maju dalam kebaikan,” ujar Mbak Nadia. “O ya berjilbab
Aku tak peduli. “Ya, setahu saya sih gitu. Ada banyak teman memang bukanlah satu-satunya indikator ketakwaan, namu
saya masuk pesantren. Di sana mereka pakai jilbab, tapi pas berjilbab merupakan sebuah realisasi amaliyah dari keimanan
keluar ya mereka lepas-lah, malah ada yang jadi rocker.” seorang muslimah. Jadi lakukanlah semampunya. Tak perlu
Gerrrrr, hadirin tertawa. Tika menatapku sambil geleng- ada pernyataan-pernyataan negatif seperti “Kalau aku hati
geleng kepala. dulu yang dijilbabin”. Hati kan urusan Allah, tugas kita
Aku bingung, tapi tetap semangat. “Kayak saya nih.. Saya mau beramal saja dengan ikhlas.”
pakai jilbab, tapi ya ntar, nunggu udah nikah, udah tua atau “Setujuuuu,” koor hadirin.
pensiun. Lagian yang penting kan kita bisa jilbabin hati, ya ga? “Nah, sebagai bagian dari ummat yang besar ini, masalah
Buat apa pakai jilbab kalau nggak bisa jilbabin hati. jilbab bukanlah masalah yang harus membuat kita
Mendingan nggak dong!” bertengkar. Pakailah dengan kesadaran dan jangan mengejek
Hadirin riuh rendah, bertepuk tangan. atau memaksa muslimah yang belum memakainya, malah
Moderator garuk-garuk kepala, persis Tika, di sampingku. kita harus merangkul mereka. Tunjukkan ahlak kita yang
“Oke, pertanyaan ditampung.” indah sebagai muslimah.”
Saat moderator meminta para pembicara menanggapi, Mbak Kini semua orang bertepuk tangan.
Nadia tersenyum, “Sahabat sekalian, sebagai seorang Aku berdiri memberi applaus pada Mbak Nadia. Keren banget
muslimah, sedikitnya saya punya 8 alasan mengapa saya alasannya berjilbab. “Alasan ini Mbak, yang bisa saya terima!”
memakai jilbab.” teriakku. “Biasanya yang saya dengar: kita, perempuan pakai
Aku menatap Mbak Nadia yang tampak lebih cantik dengan jilbab untuk membantu lelaki menjaga pandangannya. Huh
jilbab ungunya. parah! Sebel dengarnya! Kenapa harus kita yang repot
“Mengapa saya mengenakan jilbab?. Alasan pertama karena menjaga pandangan mereka? Nggak banget deh!” teriakku.
berjilbab adalah perintah Allah dalam surat Al Ahzab ayat 59 Gerrrrrrr, para hadirin tertawa lagi. Sebagian menunjuk-
dan An Nur ayat 31. Kedua, karena jilbab merupakan nunjuk ke arahku. Tika menarik-narik ujung baju menyuruhku
identitas utama untuk dikenali sebagai seorang muslimah. kembali duduk.
Astri Ivo, seorang artis, justru mulai menggunakan jilbab saat Tiba-tiba, kudengar suara Mas Gagah, “Moderator dan
kuliah di jerman. Saya Alhamdulillah mulai mengenakannya hadirin, perkenalkan, penanya tentang jilbab ini adalah adik
saat kuliah di Amerika.” saya Gita Ayu Pertiwi.”
“Wuuuuiiiiih,” hadirin berdecak kagum. Semua orang menoleh kepadaku yang masih berdiri. Aku
Alasan ketiga saya mengenakan jilbab, karena dengan salah tingkah. Mas Gagah tersenyum. Mbak Nadia juga. Tika
berjilbab saya merasa lebih aman dari gangguan. Dengan nyengir. Aku makin salah tingkah.
berjilbab, orang akan menyapa saya “Assalamu’alaikum”, “Insya Allah sebagaimana kita semua, Gita sedang berproses
atau memanggil saya “Bu Haji” yang juga merupakan do’a. menjadi pribadi yang lebih baik. Ishlah dalam setiap desah
Jadi selain merasa aman, bonusnya adalah mendapatkan napas. Kita doakan ya agar Allah memberi semua kebaikan,
do’a. Hal ini akan berbeda bila muslimah mengenakan hidayahnya kepada Gita… dan kita semua di sini.”
pakaian yang ‘you can see everything’. “Aaamiiiiiin,” seru hadirin. Suara Tika terdengar paling keras.
Hadirin tertawa. Hmmm. Mas Gagah tersenyum dari jauh. Alhamdulillah sepertinya ia
tak marah padaku..

Ketika Mas Gagah Pergi 6


“Masih mau ikut Mas nggak?” tanya Mas Gagah saat kami “Alhamdulillah,” senyum Mas Gagah lagi, sambil memberi
berdua dalam perjalanan pulang. isyarat tangan padaku untuk melihat jauh ke depan, arah
“Mau. Ke mana, Mas? Ke tempat Mbak Nadia?” godaku. pojok kanan dari tempat kami berdiri. Sebuah mushala kecil
“Kirain belum kenal sama kakaknya Tika, ternyata….Uuu, Gita dengan bata merah yang baru disemen.
mau tuh jadi adik iparnya Mbak Nadia nanti!” “Eh, setiap ketemu kan kite yel dulu!” kata Bang Urip.
“Hus!” Mas Gagah tersipu, menggandengku. Lalu seperti diaba-aba, kulihat mereka semua berdiri:
Mobil kami terus berjalan, jauh sekali, melintasi entah daerah “Preman insaaaaap!” teriak Bang Urip.
yang asing bagiku. Mas Gagah berhenti sekali di sebuah Lalu kulihat Mas Gagah, Bang Ucok, Bang Urip dan Kang Asep
supermarket kecil. Aku mengerutkan kening melihatnya melompat-lompat sambil mengepalkan tangan ke atas,
membeli makanan kering, mie instan beberapa kardus, buku berseru penuh semangat ala militer: “Huh huh huh huh:
dan alat-alat tulis. Mau ke mana? istiqomah!” Mereka berangkulan. Kemudian setengah berlari
Hujan turun rintik-rintik, lalu makin deras. Mobil kami susah sambil tertawa, menuju mushala.
payah masuk di jalan kecil yang hanya pas untuk satu mobil. Di belakang mereka, anak-anak kecil mengikuti sambil
Jalan kumuh dengan rumah-rumah triplek dan kardus melambai-lambai mengajakku ke mushala pula. Ah, Mas
berjejalan, di sebuah kolong jembatan di daerah Jakarta Gagah…, apa lagi yang telah ia lakukan? Mengapa akhir-akhir
Utara. ini ia semakin sering membuatku menangis, lalu menorehkan
Ketika hujan benar-benar reda, aku mencium aroma sampah pelangi di dada yang sesak?
yang kuat. Kami turun dan segera kakiku disambut cipratan ===
air sisa hujan yang menghitam. Beberapa anak berlarian Sudah lepas Isya. Mas Gagah belum pulang juga.
menghampiri kami, di antaranya bertelanjang dada. Wajah “Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh,” hibur
mereka sumringah. Mama lagi.
“Mas Gagah! Mas Gagah datang! Horeeeeee!” Tetapi detik demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai
Mas Gagah menatapku sambil tersenyum. “Kenalkan, ini adik- jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
adik kita, Gita!” “Nginap barangkali, Ma?” duga Papa.
Aku ternganga. Mama menggeleng. “Kalau mau nginap Gagah selalu bilang,
Mataku basah saat mereka berebutan mencium tangan kami Pa!”
dan tak berhenti bercerita. Mas Gagah memeluk, bertanya ini Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab
itu, mengajarkan beberapa hal, juga sempat bermain putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah
bersama mereka. segera pulang dan melihatku memakainya.
Belum hilang kagetku, tiga orang berbadan besar, sebagian “Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinggg !” Telpon berdering.
bertato, tiba-tiba menghampiri kami. Ah tempat seperti ini Papa mengangkat telepon. “Halo, ya betul. Apa? Gagah?”
memang banyak premannya. Aku sudah bersiap pasang kuda- “Ada apa, Pa?” tanya Mama cemas.
kuda ketika kemudian…. “Gagah…, kritis, Rumah Sakit Mitra,” suara Papa lemah.
“Gagah!” “Mas Gagaaaaaahhh!” Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
What? Mas Gagah dan ketiga orang itu berjabat tangan lalu Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit.
berangkulan sambil mengucapkan salam. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.
“Git, kenalin: ini Bang Urip, Bang Ucok dan Kang Asep.” ===
Aku mengangguk sambil mengernyitkan kening.
“Mereka yang jaga tempat ini dan melindungi anak-anak dari Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring
orang-orang jahat. Kami berkenalan enam bulan lalu dan lemah. Tangan, kaki, kepalanya penuh perban. Dua orang
membuka rumah baca bagi anak-anak di sini….” polisi hilir mudik di sekitar kami. Salah satunya sibuk
Aku melongo. Rumah baca? Preman? menelpon. Tampak juga beberapa sahabat Mas Gagah.
“Ya, kami preman insyap hahaha,” kata salah satu di antara Beberapa suster melarang kami untuk masuk ke dalam
mereka. ruangan.
Aku masih tak mengerti. “Tapi saya Gita, adiknya, Suster! Mas Gagah pasti mau lihat
“Dulu kite pernah palakin Gagah, trus kite babak belur. Nah saya pakai jilbab iniii!” kataku emosi pada suster di depanku.
senpai kite palak! Hehehe,” tukas Bang Urip padaku. Mama merangkulku, “Sabar, Sayang, sabar.”
Lalu kulihat mereka bercerita macam-macam pada Mas Di ujung ruangan Papa tampak serius berbicara dengan
Gagah. dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka
“Sudah banyak perbaikan. Yang jadi copet sudah tak ada. Yg suram.
jadi garong apalagi. Piss, Piiis, Gagah. Terimakasih “Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, Suster? Dokter?
bimbinganmu selama ini. Eh, yang mau ikut ngaji bertambah Ma?” tanyaku. “Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada
lagi. Itu, pimpinan preman RW sebelah,” kata Bang Ucok. syukuran Gita kan?” air mataku terus mengalir.
“Alhamdulillah. Seru itu Bang!” kata Mas Gagah akrab. Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan
“Terus, anak-anak di sini jadi tambah senang baca euy. Baca dinding putih rumah sakit. Dan dari kamar kaca kulihat tubuh
melulu. Jadi kepintaran kadang-kadang! Kami teh bisa kalah yang biasa gagah enerjik itu bahkan tak bergerak!
atuh sama mereka,” selak Kang Asep sambil nyengir. “Mas Gagah, sembuh ya, Mas…, Mas Gagah…, Gita udah jadi
Mas Gagah tertawa. adik Mas yang manis. Mas Gagah…,” bisikku.
“Nyok kite sholat dulu, Gah. Noh mushola kite nyang bulan “Terjadi kerusuhan di Bogor. Ada ratusan orang yang ingin
lalu belum kelar, sekarang ude bagus gara-gara elo dan merusak sebuah rumah ibadah. Gagah melintasi daerah itu.
temen-temen lo,” ujar Bang Urip. Ia turun dari mobil dan berusaha menenangkan massa,”
suara seorang polisi bicara pada Papa. “Ia bahkan berdiri di

Ketika Mas Gagah Pergi 7


depan rumah ibadah itu, melindungi mereka bersama dua Tak lama dokter Joko yang menangani Mas Gagah
orang temannya.” menghampiri kami. “Ia sudah sadar dan memanggil nama Ibu,
“Sebenarnya massa sudah tenang, mendengar apa yang bapak, dan Gi….”
disampaikan Gagah. Bahwa Islam itu mengajarkan kedamaian “Gita…,” suaraku serak menahan tangis.
dan membawa pada keselamatan. Gagah bahkan bilang “Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya seperti
saatnya kita bergandeng tangan dan berjabat hati untuk permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan
membangun negeri….Mereka secara bergerombolan pun saya, lukanya terlalu parah,” perkataan terakhir Dokter Joko
beranjak pergi,” tambah salah satu teman Mas Gagah. mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!
“Lalu kenapa jadinya begini?” tanya Mama berlinang airmata. “Mas…, ini Gita, Mas…,” sapaku berbisik.
“Entahlah, ketika massa pergi, tiba-tiba kami lihat hujan batu, Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin
entah dari mana. Sebelum kami sadar apa yang terjadi, Gagah mengucapkan sesuatu.
sudah jatuh berlumuran darah!” kata teman Mas Gagah lagi. Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai… jilbab,”
“Kami tidak lihat siapa yang melukainya!” lirihku. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada
“Lalu massa bubar,” kata salah satu polisi. “Beberapa tangannya.
diantaranya melepas jubah yang mereka kenakan di jalan. Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.
Katanya mereka bukan warga desa itu. Mereka entah datang “Zikir, Mas,” suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat wajah
darimana.” Mas Gagah yang separuhnya tertutup perban. Wajah itu
“Orang yang menyakiti Mas Gagah pasti orang jahat! begitu tenang.
Jahaaaaaaat! Gilaaa!” teriakku terisak. “Gi…ta….”
“Mama memelukku lagi. “Pasti, Gita. Dan Mas Gagah….Mas- Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali!
mu orang baik, Gita. Ia sedang berbuat baik saat terluka…,” “Gita di sini, Mas. Semua ada di sini. Mama, Papa, Bang Ucok,
tapi airmata Mama tak kalah deras. Bang Urip, Kang Asep, Mbak Nadia, Tika, yang lain juga….
Aku masih menangis dan memukuli dinding. Mama dan Papa Perlahan kelopak matanya terbuka. Aku tersenyum.
berusaha menenangkanku. Seorang teman Mas Gagah “Gita udah pakai jilbab,” kutahan isakku.
mengingatkan bahwa ini jalan yang harus dilalui Mas Gagah. Memandangku lembut, Mas Gagah tersenyum. Bibirnya
“Jalan yang dipilih Gagah adalah jalan mulia, Gita,” tuturnya. seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdalah.
Jalan yang sungguh mulia. Kami bersaksi!” “Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas,” ujarku pelan ketika
“Mana tersangkanya, Pak? Mana? Biar ia rasakan juga apa kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.
yang dirasakan Gagah sekarang! Manaaaa?” Suara seseorang, Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU
parau! memang tak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku
Aku menoleh. Bang Ucok dari pemukiman kumuh itu! keluar. Ya Allah…, sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus
Seorang polisi menghampirinya, “Tenang, maaf…kami belum sekali!
mendapatkan tersangkanya. Kami berjanji akan mengusut Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter
tuntas kasus ini.” mengatakan Mas Gagah tampaknya menginginkan kami
Tiba-tiba kulihat di belakang Bang Ucok, Bang Urip dan Kang semua berkumpul.
Asep tergopoh-gopoh. Mata mereka basah dan merah. Wajah Kian lama kurasakan tubuh Mas Gagah semakin pucat. Tapi
mereka kaku, penuh bias kehilangan yang dalam. sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia
“Harusnya kite bertige ade di sono! Harusnya kite bertige ade juga masih bisa mendengar apa yang kami katakan meski
di sono, ya Allaaah!” suara Bang Urip. “Gagah orang nyang hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.
paling baek, Bapak, Ibu. Dia nyang paling peduli ama kami Kuusap setitik lagi airmata yang jatuh. “Sebut nama Allah
yang dianggap sampah masyarakat. Dia deketin kami terus banyak-banyak, Mas,” kataku sambil menggenggam
lagi suseh apalagi seneng. Kagak pernah ade unsur politiknye tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat
kayak orang-orang laen,” ujar Bang Urip menghampiri Mama menginginkan Mas Gagah terus hidup. Tapi sebagai insan
dan Papa. beriman, seperti yang dikatakan Mbak Nadia, aku pasrah
“Gagah mah udah membuat kami jadi lebih pede, lebih pada ketentuan Allah. Allah tentu lebih tahu apa yang terbaik
berarti, ngerti habluminallah habluminannaas,” tambah Kang bagi Mas Gagah.
Asep. “Laa…ilaaha…illa…llah…, Muham…mad…Ra…sul…Al…lah…,”
Mama Papa memandang mereka haru. suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk kami
Aku masih terisak di sudut ruangan. Geram. Marah. Pedih. dengar.
Gelisah. Sampai kulihat Tika dan Mbak Nadia datang. Setelah Mas Gagah telah kembali pada Allah. Tenang sekali. Seulas
mengucapkan simpati pada Mama dan Papa, mereka senyum menghiasi wajahnya.
menghampiri, berusaha menenangkan dan menghiburku. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-
Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit.. Sekitar kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami
ruang ICU mulai sepi. Tinggal kami, seorang bapak paruh baya rela dia pergi.
yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis, Tika, Selamat jalan, Mas Gagah!
Mbak Nadia, serta beberapa sahabat Mas Gagah, Bang Ucok, ===
Bang Urip dan Kang Asep. Aku sudah lebih tenang, berzikir Buat adikku manis Gita Ayu Pratiwi,
dan terus berdoa, dibimbing Mbak Nadia. Ya Allah, Semoga memperoleh umur yang berkah,
selamatkan Mas Gagah, Gita, Mama dan Papa butuh Mas Dan jadilah muslimah sejati
Gagah, ummat juga.” yang selalu mengedepankan nurani
Agar Allah selalu besertamu.

Ketika Mas Gagah Pergi 8


Ingat Islam itu indah… kondektur yang belum stress, serta bangku-bangku yang
Islam itu cinta… belum seluruhnya terisi.
Kalau kau tak setuju pada suatu kebaikan, “Asalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh! Salam
yang mungkin belum kau pahami, sejahtera!”
kau selalu bisa menghargainya… Aku melihat ke depan. Para penumpang lain juga melakukan
Sun Sayang, hal yang sama tanpa menjawab salamnya. Pengamen atau
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah! mau minta sumbangan nih?
Kulihat lelaki dengan kemeja kotak-kotak cokelat dan celana
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan panjang krim. Ia menyandang tas hitam. Tak ada gitar atau
memenuhi rongga-rongga dadaku. kotak amal di tangannya. So, mau ngapain nih orang?
Rok dan blus panjang, serta jilbab hijau muda, manis sekali. Aku melengos.
Ah, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk “Maaf bila kehadiran saya mengganggu kenyamanan bapak
hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris. Ibu dan saudara-saudara. Tetapi ijinkanlah saya menunaikan
Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu kewajiban sebagai hamba yang telah diberikan setitik ilmu
panggilan Dik Manis, Aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi- oleh Allah SWT, yang tentunya harus disampaikan setelah
diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah diamalkan.”
melantunkan kalam Ilahi yang selamanya tiada kudengar lagi. Lalu tiba-tiba saja ia mengucapkan basmallah, hamdalah…,
Hanya gambar-gambar kaligrafi di dinding kamar yang serta syahadat. Lalu dilanjutkannya dengan ayat Al-Qur’an
menatapku. Puisi-puisi Iqbal tentang pemuda yang seolah dan hadis. Kayak orang yang mau ceramah saja! Tetapi … aku
bergema di ruang ini. tergetar. Suaranya merdu.
Lalu wajah adik-adik di kolong jembatan berlintasan, wajah “Saudara-saudaraku, Bapak-bapak dan Ibu-Ibu…, sudahkah
Bang Ucok, Bang Urip, kang Asep…, Mbak Nadia, doa-doa anda membaca koran pagi ini?” sapanya.
buat negeri dan ummat yang selalu ia panjatkan…. Tak ada yang menjawab. Lelaki itu tersenyum. Aku jengah.
Setitik air mataku jatuh lagi. Tak habis pikir…, mau ngapain sih orang ini? Kutatap wajah
“Mas, Gita akhwat bukan sih?” dan sosoknya. Hampir tak berbeda dengan para mahasiswa
“Ya, Insya Allah akhwat!” pada umumnya. Tinggi, kurus, hitam berambut agak ikal dan
“Yang bener?” berkacamata minus. Yaa lumayan manis deh….
“Iya, dik manis!” “Mengapa banyak orang di negeri kita menjadi koruptor? Apa
“Kalau ikhwan itu harus ada jenggotnya, ya?!” yang sebenarnya terjadi? Tidakkah kita malu, sebagai bangsa
“Kok nanya gitu?” muslim terbesar di dunia, kita malah mendapat ranking
“Lha, Mas Gagah ada jenggotnya dikit!” tertinggi dalam korupsi? Bagaimana cara mencegahnya?”
“Ganteng kan?” Aku mulai terperangah. Orang-orang di dalam bus mulai
“Uuu! Eh, Mas, kita kudu jihad, ya? Jihad itu apa sih?” mengatur duduk mereka lagi, mencari posisi yang lebih
“Ya always dong! Jihad itu kamu sungguh-sungguh berbuat nyaman untuk…ini dia… mendengarkan lelaki aneh itu!
baik…” Apalagi yang mau dia katakan?
Setetes, dua tetes, air mataku kian menganak sungai. Lelaki itu terus bicara. Dan lama-lama para penghuni bus,
Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. termasuk aku larut mendengar omongannya. Seorang bapak
Selamat jalan, Mas Ikhwan! Selamat jalan, Mas Gagah… yang sebelumnya duduk terkantuk-kantuk di sampingku, kini
=== duduk tegak dengan kening berkerut. Seorang mahasiswi
Setahun kemudian… yang duduk tak jauh di hadapanku terlihat memiringkan
Pagi itu aku kembali berlari-lari mengejar bus jurusan Pulo kepala dan memicingkan matanya. Dua pemuda berambut
Gadung-Depok dengan seragam putih abu-abu. gondrong yang baru saja bermaksud mengamen segera
Ya, sejak kami sekeluarga pindah dari Pasar Minggu ke mengurungkan niatnya, bahkan kondektur sesaat lupa
Rawamangun, perjalananku menuju SMA Cendana jadi lebih menagih ongkos!
lama. Bukan itu saja, aku yang terbiasa berjalan kaki ke Wah, lelaki ini membuat semua terkesima!
sekolah kini harus berdesak-desakan dalam bus, menahan “Berapa banyak orang miskin kian miskin karena perilaku
sabar saat macet, mendengarkan sumpah serapah kondektur korupsi skala kecil maupun besar. Bermula dari diri kita,
bus pada beberapa mahasiswa yang selalu dikiranya keluarga dan sekitar, mari kita berjuang untuk menjadi
karyawan, dan tiba di sekolah dengan perut mual serta pribadi yang lebih jujur, dan berahlak mulia. Jadi
kepala pening akibat supir yang ugal-ugalan dan suka kesimpulannya, Islam itu indah, tetapi kita sebagai umat
mengerem mobilnya secara mendadak. Islam, seringkali membuatnya tampak buruk. Kalau kita orang
“Kamu nggak mau diantar saja, Gita? Capek loh di jalan. Islam, wajib malu dengan stigma korupsi yang melekat di
Apalagi kamu sudah kelas III,” tanya Mama. negeri ini. Kebenaran itu mutlak milik Allah, dan bila ada
Aku menggeleng. Sejak Mas Gagah meninggal, entah kesalahan maka itu semata karena kekhilafan saya. Billahi
mengapa aku tak pernah mau naik sedan itu lagi. Hal yang fisabililhaq. Wassalamu’alaikum warohmatullahi
akan semakin mengingatkanku pada masa-masa wabarokatuh.”
bersamanya….Lagi pula macet yang dahsyat selalu “Wa’alaikum salaaaaaaammm!”
membuatku merasa lebih baik naik kendaraan umum. Kudengar hampir seluruh penumpang bus menjawab
Jadi begitulah, aku selalu berangkat lebih pagi. Jam setengah salamnya diiringi dengan tepukan tangan.
enam aku sudah berada dalam bus dan semua jadi lebih “Minggu! Minggu! Minggu!” teriak kondektur.
menyenangkan. Udara yang segar, jalanan lengang, Sopir dan Aku bergegas turun. Di depanku, lelaki orator itu telah
melompat lebih dulu dan segera hilang ditelan keramaian.

Ketika Mas Gagah Pergi 9


“Tadinya saya kira dia mahasiswa gila. Nggak tahunya anak dia keren? Seperti siapa? Seperti Nicholas Saputra, Dude
cerdas berbudi! Hebat dia!” seru seorang bapak yang sempat Herlino? Atau seganteng almarhum Mas Gagah?”
kudengar. Aku menarik napas panjang. Tri…Tri….
=== “Maaf Gita, maaf…aku nggak bermaksud mengingatkanmu
Jam 06.00. Aku baru saja membuka buku sosiologiku sambil pada almarhum…,” tukas Tri seperti mengerti pikiranku.
menikmati semilir angin pagi ketika sebuah salam menyapa “Assalaamu’alaikum!”
seluruh penumpang bus yang masih tampak terkantuk- Aku menoleh. Tika!
kantuk…. “Kalian berdua tidak ikut rapat rohis? Hari ini ada beberapa
Lelaki itu lagi! Kali ini ia mengenakan kemeja kotak-kotak program yang akan kita bicarakan lho,” kata Tika sambil
hijau dan menyandang ransel. duduk di sampingku.
“Maaf, saya mengganggu perjalanan Anda semua,” katanya “Oh iya, Tik! Aku malah ada usulan yel untuk rohis baru kita!”
tersenyum. “Sesungguhnya orang yang ‘laisa minal khoisirin’ seruku seperti ingat sesuatu. Wajah Bang Ucok, Bang Urip,
atau bukan termasuk orang-orang yang merugi adalah Kang Asep dan Mas Gagah melintas di hadapanku.
mereka yang senantiasa nasehat-menasehati dalam keadaan “Oh ya?” wajah Tika berseri. “Seperti apa yel-nya? Teman kita
apa pun.” yang laki-laki juga belum dapat tuh yel rohis.”
Kututup buku sosiologiku. Penasaran. Tri pun menatapku ingin tahu.
“Ibnu Umar pernah berkata: “Aku datang kepada Nabi SAW, Aku melihat sekeliling. Sudah lumayan sepi. Saatnya beraksi.
maka bertanyalah seorang pria Anshor: Ya Rasulullah, “Nih, kayak gini nih yel -nya!” Aku berdiri tegak menghadap
siapakah orang yang paling bijaksana dan paling mulia?” mereka, lalu berteriak keras , “Rohis Cendana!” Setelah itu
Maka Nabi Saw menjawab: “Orang-orang yang paling banyak aku melompat lompat sambil mengepalkan tangan ke atas:
mengingat mati dan gigih berusaha untuk persiapan Huh huh huh huh: Istiqomah!”
menghadapi mati, merekalah orang-orang yang bijaksana Tika dan Tri memandangku aneh.
sehingga mereka itu nantinya pergi dengan membawa “Itu tadi apaan, Git?” Tanya Tika.
kemuliaan dunia dan keutamaan akhirat,” demikian hadist Ah, mereka memang tak tahu yel keren. Sangat tidak
riwayat Ibnu Majah. Maka kembali pada diri kita, sudahkah apresiatif. Mereka malah geleng-geleng kepala.
kita siap menghadapi kematian yang pasti datang? Dalam Al- “Dasar kelakuan! Dah pakai jilbab, masih aja preman!” seru
Qur’an dikatakan kita tak akan bisa lari daripadanya. Bahkan Tri padaku.
saudaraku, bisakah kita menjamin bahwa esok kelak kala Tika tergelak.
matahari terbit kita masih hidup?” O…o!
Hening. Yang terdengar cuma deru mobil dan suara teriakan Hari itu, pulang sekolah, Tri mengajakku dan Tika mampir ke
kondektur bus. Aku tergetar. Ah, mati. Mengapa lelaki ini rumahnya di Depok I. Sambil menyelesaikan paper Sosiologi,
bicara soal mati? Hal yang sudah lama tak lagi kupikirkan kami melanjutkan obrolan tentang “makhluk aneh dalam bus
sejak Mas Gagah pergi…. itu”. Tapi sepertinya Tri lebih tertarik membicarakan Bob,
Lelaki itu terus bicara. Suaranya yang keras bersaing dengan anak basket idola cewek-cewek Cendana.
deru bus dan hingar bingar jalan raya. Tapi ia seolah tak Akhirnya tak lama aku pulang. Kali ini naik kereta Jabotabek.
peduli. Kini kutangkap ketulusan, juga semangat yang Aku biasa turun di Cikini dan dengan menyambung sekali
menyala-nyala dalam dirinya. kendaraan sudah bisa sampai di rumah.
“Minggu! Minggu!” Kereta melaju dan bergoyang-goyang. Aku menyelusuri
Setelah berpamitan pada semua penumpang, seperti biasa ia gerbong demi gerbong, mencari tempat yang agak nyaman.
turun. Sebelumnya kudengar suara seorang Ibu. “Saya kira Seperti biasa angkutan rakyat ini benar-benar berjubel.
anak tadi ceramah terus minta duit…, nyatanya kok enggak Semua jenis manusia dengan beragam profesi ada di sini.
ya, padahal saya sudah siapin!” katanya tak mengerti sambil Mahasiswa, pedagang asongan, dosen, karyawan, karyawati,
memasukkan kembali selembar ribuan ke dalam tasnya. pengangguran, pencopet, dan tentu saja… para pengemis
Beberapa kepala yang lain manggut-manggut. yang selalu ‘memeriahkan suasana’!
Upss! Mestinya aku turun juga di Pasar Minggu. Yaaa, Bau keringat, bau sampah. Suara makian, batuk. Lalu ludah
kelewatan deh! Habis, lelaki itu hari ini membuatku harus dan dahak yang dibuang sembarangan, tangisan bayi,
mengusap airmata. Mati. Kata-kata itu terngiang terus kerincingan para pengamen….
setelah aku sampai di sekolah! Sampai di gerbong ke empat…ya ampun! Aku terkejut sekali!
=== Si Mas Kotak-kotak (kemejanya selalu kotak-kotak) itu ada di
“Memangnya orang itu ngapain? Iseng banget?” tanya Tri situ! Dan seperti biasa, ia sedang ceramah!
teman sekelasku, di kantin sekolah. Suaranya di ujung gerbong tak begitu terdengar dari
“Ya ceramah!” kataku sewot. Dari tadi aku sudah ramai tempatku berdiri kini. Aku maju mendekat. Kebetulan ada
cerita….eee Tri malah telmi! bangku kosong tak jauh di depan Si Kotak-kotak. Dan dengan
“Orang kan ceramah di masjid, di mushala. Masak di bus!? cueknya aku duduk. Sungguh, aku ingin mendengar apa yang
Terus penumpang dimintain duit berapa?” tanyanya sambil dikatakannya.
meminum teh botolku. “Jadi untuk apa kita hidup? Sebagai muslim, kita harus punya
“Kan tadi udah aku ceritain, dia nggak pernah minta duiiit!” jawaban pasti untuk pertanyaan tadi,” katanya.
bibirku maju beberapa senti, dan tanganku merebut kembali “Hidup ya untuk makan, menikah dan bayarin sekolah anak-
teh botolku tepat sebelum Tri menghabiskannya. anak!” kata seorang bapak tua bergigi ompong, pedagang
“Jangan marah dong, Non. Kayaknya kamu kesengsem sama jambu yang duduk di dekat pintu, disambut gerrr yang lain
cowok tak bernama itu ya?” Tri cengar-cengir. “Memangnya dan gemuruh suara kereta.
Si Kotak-kotak Merah Hati tersenyum.

Ketika Mas Gagah Pergi 10


“Hidup itu ya untuk berusaha…,” kataku tiba-tiba dengan Beberapa lelaki ikut turun.
suara keras. Miniarta lalu melaju. Dari kaca belakang miniarta kulihat Si
“Ya, adik betul! Berusaha untuk senantiasa mengabdi Kemeja kotak-kota berusaha mencegah amuk beberapa
kepadaNya. Di surat Adz-Dzariyat ayat 56 Allah bersabda: pemuda. Ia merangkul pencopet itu dan mengajaknya entah
Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk kemana.
beribadah, mengabdi kepadaKu!” Semoga insyaf tuh orang, pikirku. Syukur saja tak jadi bulan-
Aku menunduk. Kena lagi gua! bulanan.
=== Soal Si Kotak-kotak, terus terang aku makin penasaran pada
Entah apa namanya. Kebetulan barangkali. Tetapi hari terus pribadinya. Siapa dia? Siapa orangtuanya? Kuliahkah,
berlalu dan hampir setiap hari aku bertemu dengan lelaki tak pengangguran atau sudah bekerja? Di mana rumahnya? Dan
bernama yang selalu memakai kemeja kotak-kotak itu. Di bus, mengapa ia seakan sangat mirip dengan seseorang yang
dalam kereta… bahkan yang bikin aku heran bukan kepalang, dekat denganku?
aku pernah bertemu dengannya kala tak sengaja menyusuri Pertanyaan itu belum juga terjawab hingga aku diterima di
rumah-rumah triplek di sepanjang kali Ciliwung! Pernah juga Fakultas Ilmu Budaya UI!
di Tanah Abang, lalu di Pekan Raya Jakarta saat aku, Mama, ===
dan Papa ke sana! Kebayang nggak sih? Di PRJ dia ceramah ini “Palestina masih terus berjuang untuk kemerdekaan mereka.
sambil menggelar buku-buku agama. Di negeri itu, semua yang menentang penjajahan disebut
“Buku ini berapa, Nak?” tanya seorang bapak tua berbaju teroris, bahkan bocah-bocah yang membawa batu melempari
lusuh bersandal jepit sambil memegang buku tentang sholat tentara Israel. Dan dunia diam. Mengapa? Karena korbannya
tersebut. muslim? Jadi berapa pun yang tewas tak ada yang peduli?
“Mengapa Bapak memilih buku itu?” PBB cuma mengaku bersimpati. Amerika cuma jago
Si Bapak tersenyum malu. “Saya ingin menjaga shalat saya. menghimbau, sementara negeri-negeri Islam berpecah belah.
Selama ini belum benar.” Wahai kaum muslimin Indonesia, dimanakah kalian? Tidakkah
“Ambillah, Pak. Semoga bermanfaat. Saya berikan untuk kita sempat untuk sekadar mendoakan mereka?”
Bapak.” Ramadhan, jelang berbuka puasa. Di dalam kereta api
Si Bapak terpana. Langsung mendekap buku tebal karangan Jabotabek dari kampus menuju Cikini, kulihat airmata
Al-Ghazali itu dengan haru. mengambang di pelupuk mata lelaki tak bernama itu. Ia
“Sekarang boleh saya meminta buku tentang warisan ini?” masih seperti dulu. Aneh, tapi kharismatik. Dengan semangat
tanya seorang Ibu berpakaian bagus. Wow, silau juga aku yang tak surut sedikit pun. Bahkan pada saat puasa begini ia
memandang perhiasannya. membuatku ingin menangis.
“Silakan Ibu letakkan uang infaqnya di kaleng ini seikhlas Ibu. “Ramadhan seperti apakah yang dilalui saudara-saudara kita
Insya Allah untuk disalurkan pada orang yang berhak di Palestina? Tahukah Anda, pada Ramadhan mulia ini
menerimanya,” seru Si Kotak-kotak. kebiadaban dan kekejian terus digelar di sana? Apa yang
Begitulah. Di mana ia berada di sana selalu banyak yang terjadi melebihi tragedi Nazi. Para bocah kehilangan tangan
memperhatikannya. Wajar. Habis yang diangkat menjadi dan kaki, para pemuda dan wanita juga dibantai, rumah-
bahan pembicaraan selalu yang menarik, seru, aktual dan rumah mereka dirobohkan dan tanah mereka dirampas,
hebat. Belum lagi manuvernya. sementara kita di sini masih tertawa-tawa tak percaya.”
Lelaki berkemeja kotak-kotak itu juga sangat unpredictable “Darimana kamu tahu tentara Israel lebih kejam dari Nazi?”
dan berani. Pernah kami sama-sama di dalam miniarta yang kejar seorang bapak—sepertinya dosen—dingin.
padat. Hampir tak ada celah, sesak sekali. Ia bahkan tak Si Kotak-kotak mengeluarkan berbagai kliping surat kabar dan
menyampaikan tausiyahnya seperti biasa. Tiba-tiba saja majalah, lengkap dengan foto-foto yang telah diperbesar.
terjadi keributan. Dalam gerak cepat kulihat lelaki itu “Lihatlah sendiri. Saya mengumpulkannya dari berbagai
mencengkeram tangan seorang pemuda berbaju rapi. majalah internasional. Silakan anda lihat! Pertanyaan saya
“Kembalikan handphone ibu itu!” katanya tegas, pada cuma satu. Adakah ukhuwah Islamiyah yang masih tersisa di
pemuda tersebut, sambil memegang tangan si pemuda yang dada kita? Bahkan kita kalah reaktif dengan rakyat Amerika
mencoba menyembunyikan sebuah ponsel. Serikat yang bila ada satu saja warga negaranya tewas di Irak
Para penumpang langsung ribut dan berteriak-teriak, atau hilang di Indonesia, pemberitaan begitu gencar dan
“Copeeet! Copeet! Gebukin aja, Bang! Habisin! Habisin!” simpati dunia segera mengalir. Tapi ribuan saudara kita
beberapa pemuda mencoba merangsek maju seakan ingin dibantai kita bahkan tak mengetahuinya….”
membantu Si Kotak-kotak! “Kenapa kita harus memikirkan Palestina? Jauh amat. Pikirin
“Tahan!” teriak Si Kotak-kotak. “Bu, ini hape ibu. Lain kali yang dekat-dekat saja dulu. Nih negeri kita yang semakin
hati-hati,” ujarnya. miskin dan kacau…,”nada sinis seorang pemuda gondrong.
Si Ibu yang diajak ngomong bengong. “Lah kapan “Palestina dipikirin. Kayak nggak ada kerjaan….”
diambilnya?” gerutunya sambil menerima benda itu kembali. Lelaki berkemeja kota-kotak itu menghampiri si Pemuda.
“Nah iya ini hape saya! Dasar copet!” “Abang betul,” katanya. “Prioritas kita adalah saudara-
Beberapa orang mendekati si pencopet, sepertinya ingin saudara kita satu bangsa, satu tanah air. Satu daerah, satu RT,
menghakimi. Lalu tiba-tiba sebuah pukulan mendarat di pera tetangga kita! Kita tak boleh mengabaikan mereka. Apa
wajah pencopet itu! yang bisa kita lakukan untuk meringankan beban saudara-
“Tahan, Bang! Tahan!” teriak si Kotak-kotak lagi. “Pak Sopir, saudara kita di sini, harus disegerakan, karena ada hak-hak
berhenti, Pak!” atas mereka dalam diri kita yang harus ditunaikan.”
Saat miniarta berhenti Lelaki itu menarik si pencopet turun. Si Gondrong menatapnya tajam.
“Kamu harus bertanggungjawab,” katanya.

Ketika Mas Gagah Pergi 11


“Tetapi Islam mengajarkan kita, untuk berbuat maksimal. Di bisa menjadi sumber aktivitas terbesar bagi anggota tubuh
mana pun kita berada, itu adalah bumi Allah, termasuk kita. Sebagai dokter, ia melihat kebiasaan berdoa bagaikan
Palestina. Di sana sedang terjadi penjajahan biadab puluhan tambang radium yang menyalurkan sinar dan melahirkan
tahun. Kita tak usah bicara Islam, bicara nilai-nilai kekuatan diri.”
kemanusiaan yang Abang anggap lebih universal. Apakah kita “O ya? Begitu ya, Bang?” tanya seorang cowok sambil
akan menjadi bangsa yang bungkam atas nasib bangsa menggeleng-gelengkan kepalanya diiringi decak kagum.
lainnya? Bukankah Indonesia adalah negeri yang tak pernah Aku masih terpaku di pintu.
mentolerir penjajahan? Lagi pula, secara historis, ada warisan “Eh, nasinya keburu dingin nanti! Ayo kita makan. Rasulullah
Islam, Masjid Al Quds, tempat Nabi Muhammad SAW Isra- saja tak pernah membiarkan makanan menunggu lho!” ujar si
mi”raj yang sedang terancam hancur. Siapa yang akan peduli? kotak-kotak memecahkan suasana yang sesaat hening.
Lalu karena alasan Indonesia belum makmur, kita tak boleh “Eh iya, Bang…memang sudah lapar kali ni,” ujar seseorang
menengok nasib mereka? Sekadar mendoakan dari jauh pun yang tepat berada di depan si kotak-kotak dalam dialek
tak mau? Lihat, dalam kesengsaraan mereka warga Palestina Sumatera Utara.
masih setia membantu kita setiap kali negeri kita dilanda “Tapi jangan lupa, setiap kali kita bisa menjumpai makanan,
bencana. Dan itu mereka lakukan sejak sebelum kita merdeka selain bersyukur, kita juga harus ingat saudara-saudara kita
dulu!” yang dhuafa di negeri ini…”
Si Gondrong diam, mengusap-usap pipinya. “Waaaah tak bisa makan aku nanti, Bang,” seru si logat
“Ya, adik benar,” suara orang yang tadi kuduga dosen. Sumatera Utara tadi.
Aku mengusap mataku yang mulai berembun. Kulihat “Para tetangga terdekat kita…,” Si Kotak-kotak tersenyum.
beberapa orang di sekitarku juga tampak seperti disentakkan “Jangan sampai kita makan, mereka tak makan….”
dan terenyuh. “Makin tak bisa makanlah, Bang…,” lelaki di depan si Kotak-
“Saya ingin menyumbang…,” kata seseorang. “Bisa lewat kotak itu kebingungan sendiri. Cengengesan.
adik?” Si Kotak-kotak tertawa. Dipegangnya pundak orang itu akrab,
“Tidak. Tapi pergilah ke yayasan-yayasan Islam atau Bulan “Kita juga harus makan, Dik. Sebab Allah lebih menyukai
Sabit Merah Indonesia. Alhamdulillah, Allah menggerakkan muslim yang kuat daripada yang lemah,” kata lelaki tak
hati Bapak.” bernama itu bijak. Dengan tubuh yang sehat, kemungkinan
Kereta terus melaju. Berguncang-guncang. Melonjak keras. kita menolong mereka lebih besar bukan?”
Seperti hatiku, setiap kali mendengar kata-kata lelaki tak Hening. Aku tercengang lagi. Wong cowok-cowok kantin di
bernama itu. sini biasa senengnya godain kita-kita sambil main gitar, terus
“Oh ya, ini memang tak seberapa, tetapi lumayan untuk sekarang memasang mimik sedih?
berbuka puasa,” sekitar lima menit sebelum adzan lelaki itu “Mbak, nasi sama semur dagingnya!” teriakku dari depan
membagi-bagikan kurma pada para penghuni gerbong yang pintu. Maklum, perut sudah melilit… ee si mbaknya asyik
mulai resah mencari-cari makanan. senyam-senyum sambil memandang Si Mas Kotak-kotak.
“Silakan, Dik,” ujarnya ramah padaku yang terbengong- “Mbaaaaak!” teriakku. “Nasi sama semur daging!”
bengong. Kontan semua memandangku, termasuk Si Kotak-kotak.
Ada sih orang kayak gini?! Aku tergagap. Masuk pelan-pelan. Segera mengambil nasi
=== bungkusku dan berlari. Salah sendiri masuk ke kandang
macan, weeeeee!
Aku sering bertemu Si Kotak-kotak itu hingga aku lulus SMA ===
dan diterima di Fakultas Ilmu Budaya UI. Beberapa kali
kutemukan ia tengah berada di UI. Apa ia juga kuliah di sini? “Apaan, Mbak?” ulang si pelayan kantin Kukusan dengan
Aku tak bisa memastikannya. UI terlalu luas. Bahkan fakultas suara keras.
satu dengan yang lain berjarak cukup jauh dan biasanya di “Ssssssst, jangan teriak gitu dong! Saya cuma mau nanya.
tempuh dengan bis kuning, meski masih satu lingkungan. Dan Mas yang kemarin makan di sini, yang pakai baju kotak-kotak
mahasiswanya…, banyak sekali. Aku sendiri memasuki tingkat ungu muda itu namanya siapa?”
dua memutuskan untuk kos. Capek juga pulang balik naik bus “Yang ceramah? Yang bikin kantin saya laris?”
atau kereta tiap hari. Aku mengangguk cepat.
Akhir semester lalu, aku masih ingat. Hari itu aku baru pulang “Wah, saya juga ndak tahu tuh, Mbak. Dia jarang kok makan
ujian dan berniat mampir di Kantin Kukusan, dekat tempat di sini? Memangnya kenapa sih? Situ naksir, ya?”
kos –untuk membeli nasi bungkus. Tiba-tiba kudengar suara berondongnya.
seseorang. Suara yang keras, tegas, berwibawa dan enak Aku menghela napas dan segera berlalu.
didengar. Begitu kukenal. Ah, kutepiskan pikiranku dan “Sama dong, Mbak! Kita juga naksir!” teriak si pelayan itu.
masuk ke dalam kantin. Di depan pintu aku terpaku. “Saingan ni yeee!”
Belasan orang duduk tak teratur menghadap seseorang yang Aku cemberut. Ember tuh orang! Siapa yang naksir?
berdiri di sudut ruangan. Si Mas Kotak-kotak tak bernama itu! Emangnya kita cewek apaan. Sewot betul aku! Aku kan cuma
Dan di sekitarnya… ya ampun, cowok semua! Kecuali pelayan penasaran! Bayangkan! Sudah lama aku melihat Si kotak-
rumah makan yang juga sedang terbengong-bengong! Kutarik kotak itu berkeliaran…bahkan namanya saja aku tidak tahu!
napas panjang, dasar nasib, udah tahu markas cowok teknik, Wajar dong penasaran!
nekat juga. Ya, cueklah! Namanya juga orang lapar! Sekian lama aku tak bertemu Si Mas Kotak-kotak. Kebetulan
“Namanya Dr. Alexis Carrel. Ia peraih Nobel dalam bidang aku juga sibuk di kampus, apalagi teman-teman di Forum
kedokteran tahun 1912, dan direktur riset Rockfeller Amal dan Studi Islam (FORMASI) benar-benar melibatkanku
Foundation. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa berdoa dalam banyak kegiatan. Aku sendiri baru ikut kegiatan itu

Ketika Mas Gagah Pergi 12


setahun lalu. Apa ya, motivasinya? Yaaa, pengen jadi orang “Rasulullah Saw berkata bahwa kefakiran itu dekat dengan
yang lebih baik aja… sekaligus ingin lebih dalam lagi mengenal kekufuran. Karena itu meski kita miskin harta, hendaknya
Islam dan umatnya di bumi ini seperti… Mas Gagah tetap kaya iman. Jangan sampai sudah kita miskin di dunia,
dan…lelaki tak bernama itu. Ah, jujur. Secara tak langsung, banyak berbuat maksiat pula, hingga kelak melarat di akhirat.
setelah Mas Gagah tiada, semangat untuk belajar Islam Na’udzubillahi min dzalik.”
memang kembali kudapat dari dia. Orang yang tak kukenal Kulihat para warga serius mendengar. Sesekali mereka
sama sekali! mengangguk-angguk.
“Gita, jangan lupa lho…, total uang yang kuberikan padamu “Demikian dulu dari saya. Saya mohon maaf bila ada kata
tiga juta rupiah. Lalu dua puluh kardus mie instan, lima yang salah. Sesungguhnya kebenaran itu dari dan milik Allah
kardus baju bekas dan tiga karung beras!” suara Tutut , semata. Semoga Allah senantiasa meneguhkan hati dan
sahabatku di jurusan, mengagetkanku. persaudaraan kita. Marilah kita saling mendoakan.”
“Iya, aman!” Seruku sekenanya. Usai mengucap doa dan salam lelaki itu bangkit.
“Sip!” Tutut tersenyum dan berlari meninggalkanku. “Tunggu! Siapakah nama anak? Saya juga ingin mendoakan
Lelaki kotak-kotak tak bernama itu sekarang ada di mana ya? anak…,” kata seorang Ibu tua tiba-tiba.
Semoga Allah selalu memberi kekuatan padanya. Aku jadi Aku tersentak. Ya, siapakah namamu?
ingat Tutut pernah cerita ada seorang teman kakaknya yang Lelaki itu tersenyum. “Nama saya Abdullah, Bu. Saya bukan
sejak SMP dan SMA menjuarai berbagai lomba pidato sampai siapa-siapa dan saya pun akan mendoakan semua yang ada di
lomba debat tingkat nasional. Sekarang dia sering sini. Assalamu’alaikum.”
memberikan ceramah dimana-mana bahkan tanpa dibayar Pemuda itu pun bergegas pergi setelah bersalaman dengan
dan dipinta. beberapa pemuka warga.
“Tempatnya juga nggak lazim. Di bus, kereta, restoran, panti- “Baiklah, sekarang kita kedatangan adik-adik dari UI,” kata
panti, nggak jelas deh. Tapi orangnya tulus dan rendah hati seorang bapak berpeci. Tepuk tangan kembali bergema
sekali.” mengiringi kehadiran Eki dan kawan-kawan FORMASI di
“Namanya, Tut? Terus kuliahnya di mana? Dia suka pakai baju hadapan warga.
kotak-kotak ya?” Tetapi mataku tertuju keluar. Memandang lelaki itu hingga ia
Tutut mengernyitkan dahi. “Ada apa nih?” tanyanya nyengir. menjelma titik kecil dan menghilang di kejauhan.
“Ayo, berhati-hatilah dengan hatimu…,” katanya waktu itu Abdullah? Betulkah itu namanya? Mas Gagah-ku yang muncul
sambil melirik penuh arti dan menghentikan informasi. kembali?
Yaaa, penonton kan kecewa. Tapi Tutut benar. Kenapa sih ===
aku terlalu ingin tahu dengan sosok misterius itu? Apakah
karena sosok itu mengingatkanku pada…Mas Gagah? Senja ini, aku memang berniat pulang ke rumah. Kangen
“Gita, ayo berangkat! Panggilin teman-teman yang lain!” sama Mama Papa. Di stasiun UI aku bersungut-sungut. Kereta
teriak Eki dan beberapa kawan membuyarkan lamunanku. api Jabotabek yang sejak tadi kutunggu, tak muncul juga.
Yap. Aku mengangguk dan segera berkemas. Eeeh, setelah satu jam menunggu akhirnya terdengar
Tak lama aku dan anak-anak FORMASI sudah menuju daerah pengumuman: KRL tak dapat beroperasi karena listrik mati!
Tanah Tinggi untuk memberikan bantuan bagi korban Geregetan. Kontan aja aku putar arah. Jalan kaki ke Kober lalu
kebakaran besar di sana. menyambung naik bus.
Setelah sampai, kami semua dengan mengenakan jaket Baru saja aku menginjakkan kaki ke atas bus, kulihat Si Mas
kuning segera mengeluarkan barang bantuan dan disambut Kotak-kotak duduk tepat di paling depan. Kuedarkan
oleh beberapa pemuka warga dengan haru. Tangisku hampir pandangan ke sekeliling mencari bangku kosong. Sia-sia.
pecah melihat bayi dan balita tidur beralaskan tikar di atas Penuh semua!
reruntuhan rumah mereka yang terbakar. “Silakan, Dik!” suara Si Kotak-kotak!
“Warga yang lain kemana, Pak?” tanya Eki heran. “Makasih, Mas Abdullah.” Ups, aku kelepasan! Sok akrab
Aku melihat sekeliling. Kok sepi ya…. banget. Sepintas kulihat dia mengerutkan kening.
“Iya nih, lagi pada ngaji di bedeng. Ayo deh Bapak antar ke O…o!
sana,” kata seorang bapak ramah. Aku menunggu-nunggu lelaki ini bicara seperti biasa. Tetapi ia
Kami semua berjalan menuju sebuah bedeng triplek yang tampak tenang-tenang. Hanya sesekali badannya limbung
terkesan dibangun asal jadi. karena Pak Sopir kerap mengerem mendadak. Sampai di
“Ayo, masuk, Nak!” Lenteng Agung, kulihat lelaki itu pindah ke depan.
Di dalam bedeng sekitar seratus orang lebih sedang “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” sapanya.
mendengarkan ceramah. Aku duduk perlahan, menatap ke Dan kemudian seperti hari-hari kemarin kudengar dan
depan dengan pandangan tak percaya. kucermati kata-katanya.
“Jadi musibah bisa jadi adalah ujian dari Allah atas keimanan “Fii ahsani taqwim. Artinya Allah menciptakan kita dengan
kita. Di dalam hadis dikatakan bahwa bila ada seseorang yang sebaik-baik bentuk. Anda merasa pesek, jereng, tonggos,
kena musibah, walau hanya tertusuk oleh duri, niscaya jerawatan, hitam legam? Merasa jelek? Tak perlu demikian.
dosanya akan dikurangi oleh Allah.” Percayalah anda harus tetap bersyukur karena itu sebaik-baik
Lelaki dengan kemeja kotak-kotak itu terus bicara. Wajahnya bentuk Anda. Amalan anda yang akan membuat Anda lebih
teduh. Ya Allah, kenapa orang ini senantiasa bersegera dalam ganteng dan cantik, terutama di hadapanNya. Dan sebaik baik
kebajikan? Kenapa ia selalu hadir lebih dulu? Kenapa ia manusia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Jadi
begitu mirip? Wajahnya tak seganteng Mas Gagah. Bukan sudahkah kita bersyukur atas keberadaan kita hari ini?”
wajah yang mirip…mungkin perangai…atau….

Ketika Mas Gagah Pergi 13


Orang-orang di bus memandang lelaki ini serius sambil bagai…mana…kali…an bisa… berbuat… begi…ni,” gumamnya
manggut-manggut, beberapa cengengesan. Aku juga. Lelaki pedih.
itu terus bicara diiringi deru kendaraan. Aku bangkit dari tempat duduk dan berteriak histeris.
“Mari sama-sama arif memandang apapun,” ujar lelaki itu “Polisiiii! Polisiiii! Paaaak, cepat kemariiiii!” teriakku.
lagi. Cobalah memandang sesuatu tidak hanya dari sudut Para remaja itu berhamburan keluar bus setelah mereka
pandang Anda, tetapi dari sudut pandang orang lain dan merampas tas Mas Abdullah. Salah satunya, yang paling
Tuhan.” tengil sempat kutendang dari belakang!
“Sudut pandang Tuhan seperti apa itu?” celutuk seorang “To…long…, tolong mereka…,” kataku memelas pada para
Bapak. penumpang.
“Apa yang tertulis di kitab suci, diriwayatkan hadis dan “Tunggu… polisi!” teriak seseorang ketakutan.
dicatat oleh nurani kita, insya Allah,” katanya sambil “Polisi belum datang! Tadi saya pura-pura!” teriakku panik.
tersenyum. “Cepat keluarkan mereka!” Suara seseorang.
Tanpa terasa bus yang kami naiki sudah memasuki Pasar Aku menoleh. Seorang pemuda bergegas ke arahku dan
Minggu. Tiba-tiba jalan bus terhenti, di hadang kerumunan membantu membopong Mas Abdullah dan anak sekolah yang
pelajar putih abu-abu! Mereka berteriak-teriak Ada yang terluka itu. Aku seperti mengenalnya….
mengacung-acungkan pisau, golok, rantai, clurit juga… “Kamu….”
samurai! Tubuhku langsung lemas. “Saya Manto, Mbak…,”ujar pemuda itu.
Aku dan para penumpang lain serba salah. Turun atau Kuhirup napas dalam-dalam. Aku merasa pernah melihatnya.
bertahan di bus? Bisa-bisa kami kena batu nyasar! Tapi itu tak penting. Yang paling penting adalah segera
Jantungku berdebar cepat! Ya ampun, mana nih pak polisi! menolong Mas Abdullah dan pelajar itu. “Saya Gita,” tukasku.
Aksi para pelajar itu brutal sekali! Mereka saling lempar dan Lalu aku, pemuda itu dan dua lelaki separuh baya turun
saling baku hantam! mencari bantuan.
PRANNNGGG! PRANNNGGG! Jalanan mulai sepi. Hanya batu-batu, ceceran darah dan
Kaca jendela yang berada tepat dibelakangku pecah porak- pecahan kaca di sekitar. Dari jauh kudengar sirine polisi.
poranda. Seorang Ibu mengaduh memegangi pelipisnya yang Kuhentikan dua buah taksi.
berdarah! Ayo, Pak! Masukkan mereka!” teriakku pada yang
“Serbuuuuuuuuuu! E… eh…, mau kemana lu! Jangan lari! membopong.
Bangsattt!” “Saya nggak megang uang, Neng!”
Ya Allah, seorang pelajar dengan tubuh berdarah naik ke atas Kukeluarkan dompetku. “Saya yang bayar! Rumah sakit
bus ini. Aku bingung harus bagaimana. Pelajar itu mencari- terdekat, Pak!” aku masuk ke dalam taksi. Sementara si
cari tempat sembunyi. pemuda rapi tadi di taksi yang lain bersama pelajar yang
“Hei! Gila! Kenapa naik ke sini? Bisa-bisa kami yang jadi terluka itu. “Biar mbak, saya ada uang untuk bayar taksi,”
sasaran!” teriak seorang bapak panik. Sementara seorang katanya.
wanita memeluk bayinya erat-erat. Barulah aku menyadari, pemuda rapi itu adalah pria yang
“Sa… ya bisa… mati… kalau… tu… run…,” kata pelajar itu waktu itu tertangkap tangan Mas Abdullah sedang mencopet
lemah. handphone di miniarta.
Si Mas Kotak-kotak segera memapah anak itu bersembunyi di “Ia membantu saya berubah…,” katanya seperti tahu
antara bangku. pertanyaanku.
“Eh, mane die?! Hajarr! Bunuhh! Subhanallah. Tak ada waktu. Kami bergegas.
“Pak, jalanin bisnya!” teriak seorang Ibu panik. Taksi melaju. Kudengar lelaki yang entah mengapa kini
“Nggak bisa, Bu! Mereka bergerombol di depan!” bentak Pak kuanggap saudaraku itu berzikir satu-satu.
Sopir tak kalah panik. “Tahan ya, Mas. Insya Allah, kita segera ke rumah sakit!”
DUG! DUG! Tiba-tiba bayangan Mas Gagah melintas di hadapanku.
PRANGGGG! PRRANNGG! Apakah nyeri seperti ini yang ia rasakan dulu? Mengapa
Segerombolan pelajar naik ke dalam bus membawa berbagai orang baik yang selalu menjadi korban? Aku menggigil.
senjata. Pengecut! Beraninya ramai-ramai! Sungguh aku ingin Sesampainya di RS, kedua korban segera dimasukkan ke UGD.
meludahi anak-anak tengil ini! Aku resah menunggu, juga bingung. Ketika petugas
“Mane tuh anak?! Periksa-periksa!” teriak mereka. menanyakan nama Si Mas Kotak-kotak, aku cuma sebut
Seluruh penumpang bergidik. Abdullah.
“Adik cari siapa?” Suara penuh kesejukan itu bergetar. “Identitasnya ada, Mbak?”
“Minggir lu! Jangan ngalangin gue kalo nggak mau mampus!” “Saya juga nggak kenal, Bu. Tadi tasnya diambil pelajar-
Lelaki dengan kemeja kotak-kotak hijau itu beristighfar. pelajar brengsek itu!” tegasku. Kasihan Mas Kotak-kotak.
“Nie die, Coy! Gue temuiin! Ni die!” Malah dia belum sadar….
“Hajarrrr! Tusuk!” Aku mencari pemuda rapi tadi. Di mana dia?
Para pelajar itu maju dan… aku serasa tak berpijak di bumi… “Suster lihat pemuda yang bersama saya tadi membawa
mereka membacoknya! Seluruh penumpang histeris! korban?”
“Tahan! Berkacalah, bagaimana kalian bisa membunuh “Iya mbak, tapi ia tadi terburu-buru, katanya sudah terlambat
saudara sendiriii…?” ke tempat kerja. Ia menitipkan ini pada mbak.
CRESH…. Mbak, maaf saya buru-buru. Sumpah, saya sudah tidak jadi
“Aaaaa!” aku terkejut. pencopet lagi. Lewat dia saya dapat hidayah. Semoga Allah
Lelaki berbaju kotak-kotak…, Mas Abdullah jatuh tersungkur melindungiNya. Besok insya Allah saya ke sini lagi. Manto.
sambil memegangi dadanya. “A…dikku…, “Adik yang tadi dalam bis?”

Ketika Mas Gagah Pergi 14


Aku terperanjat. Polisi…. “Ah, emang lo inget artinya istiqomah?” serobot Kang Asep.
Aku mengangguk. “Ya, saya Gita.” “Kayaknya konsisten, persisten, resisten!”
“Ikut ke kantor kami untuk memberi keterangan.” “Apa artinya itu, memang kau ingat? Sok anak kuliah kau kali
Dua hari aku bolak-balik kampus-kantor polisi. Diantaranya kau!”
untuk menjadi saksi siapa pelaku penusukan. Demi Bang Urip garuk-garuk kepala, “Ya kagak sih. Gue ingat
kebenaran, aku menurut. Pelaku penusukan yang berwajah belakangnye ten semua. Ah udeh nyang penting teguh maju
bengis itu pun sudah diamankan. jalan lurus terus! Istiqomah ntu gitu kate si Gagah!”
Dan hari ini, ketika aku kembali ke Rumah Sakit untuk “Preman insaaaap!” seru Bang Ucok.
menjenguk, aku terperanjat. Bang Urip dan Kang Asep langsung berdiri tegak, menyusul
“Sudah meninggal kemarin, Mbak….” Bang Ucok: “Huh huh huh huh: istiqomah!” mereka lompat-
“Apa?” lompat sambil mengepalkan tangan ke atas, seperti tentara
“Pelajar yang kena tusuk sudah meninggal.” yang paling bersemangat. Seperti dulu saat masih bersama
“Saya nanya yang satu lagi, yang masuknya bareng sama Mas Gagah. Tak jauh di belakang mereka, anak-anak rumah
pelajar itu!” baca juga melompat-lompat melakukan hal yang sama.
Sang suster mengangguk-angguk. “Ooo, baru setengah jam Aku tersenyum. Mereka masih terus mengingat Mas Gagah
yang lalu dijemput keluarganya dan pemuda yang kemarin dan masih sering bercerita tentangnya, seperti aku berharap
bersama mbak kemari. Lukanya tidak terlalu parah. Ia juga setiap kali masih bisa menemukan sosoknya di rumah
berpesan untuk menyampaikan terimakasih kepada mbak sepulang dari kuliah.
yang sudah menolongnya.” “Mbak Gita sekarang tambah ayu ya?”
Aku mengangguk dan menggigit bibir. Tanpa terasa buliran “Iya, lebih kalem…”
bening menetes membasahi pipiku. “Terimakasih, Suster,” Celutuk beberapa anak tiba-tiba, sambil mencuri-curi
ujarku pelan. “Terimakasih Allah, ia tak pergi secepat Mas pandang ke arahku.
Gagah….” Sudah senja. Kupeluk mereka dan segera pulang. “Nanti
Begitulah ceritanya. Hari, minggu, bulan, tahun berganti. Aku Mbak Gita bawakan lagi buku yang banyak, insya Allah!”
tak pernah bertemu lagi dengan lelaki itu. Setiap hari, saat janjiku.
pulang dan pergi dengan bus atau kereta api, entah mengapa
aku berharap bisa bertemu atau sekadar melihat sosoknya Lama setelah itu aku belum juga kembali bertemu dengan Si
seperti dulu. Tapi ia tak ada. Ia seperti menghilang begitu Kemeja Kotak-kotak.
saja, meninggalkan aku yang tak tahu kemana harus Kini aku sudah lebih rapi dalam berjilbab. Tutut yang paling
mencarinya. Dan ini adalah rasa kehilangan keduaku yang girang sampai sujud syukur segala melihat aku bertekad
besar, setelah kepergian Mas Gagah. untuk tak lagi pakai baju ketat atau kerudung terawang.
Sebenarnya aku bertekad, bila aku bisa bertemu dengannya Alhamdulillah. Tetapi kalau mau jujur, Mas Kotak-kotak itu
sekali lagi, aku akan memberanikan diri menyapanya. Aku punya andil dalam keislamanku, meski aku lebih teguh
akan bercerita tentang Mas Gagah, tentang kepeduliannya berjilbab bukan karena dia, melainkan karena Allah semata.
pada sekitar sebagaimana lelaki tak bernama itu. Aku bahkan Dan kini, tak terasa aku sudah tamat kuliah. Aku juga ingin
berencana mengenalkan merekapada Bang Ucok, Bang Urip, bisa segera bekerja, seperti teman-temanku yang lain. Bisa
Kang Asep dan adik-adik di kolong jembatan yang dulu dibina bermanfaat bagi orang banyak, bukan sekadar mencari uang.
Mas Gagah. “Kenapa sih tidak kerja di perusahaan Papa saja?” tanya
“Memang orangnya kayak Gagah, Mbak?” Tanya Bang Ucok, Papa.
saat kami bersama-sama membenahi buku-buku koleksi Aku hanya mencium kening beliau dan berkata, “Gita mau
taman bacaan. berusaha mandiri dulu….”
Bang Urip menatapku ingin tahu. Di depan taman bacaan Untunglah Papa mau mengerti dan senang melihat anaknya
mungil ini, adik-adik kecil sibuk membuat layang-layang untuk selalu berusaha mandiri. “Kamu akan jadi perempuan yang
dijual. kuat, Gita Ayu Pratiwi,” ujarnya sambil menepuk-nepuk
Aku tercenung. “Mungkin wajahnya nggak ya, Bang. Tapi apa bahuku.
yang dia lakukan, kepeduliannya…entahlah. Gita merasa Dan hari ini aku cukup deg-degan.
dekat saja dengannya. Gita merasa spirit yang sama dalam Sebuah perusahaan elektronik membutuhkan tenaga
dirinya seperti spirit dalam diri Mas Gagah.” marketing yang menguasai bahasa Inggris. Aku mencoba
Bang Urip dan Bang Ucok garuk-garuk kepala. “Jadi pengin melamar. Namanya juga usaha. Kemarin aku sudah dipanggil
kenalan,” kata Bang Ucok. Bang Urip dan Kang Asep untuk wawancara. Ya, siapa tahu diterima meski kurang
mengangguk. pengalaman, kan?
“Suatu saat Gita akan ajak ia kemari, Bang, insya Allah.” “Mbak Gita?”
“Iya, tak ada lagi yang mengajar kami mengaji sejak Gagah Aku mengangguk.
tidak ada,” ujar Bang Ucok. “Mbak diminta langsung menghadap Direktur kami!” ujar
“Ya iye, pada takut dipalak duluan. Lewat sini aje mereka resepsionis di hadapanku.
kagak berani,” tambah Bang Urip. “Ye, emangnye mereka Si Aku berdiri, dengan perasaan tak menentu “Direktur?”
Gagah? Ketahuan die sinpai karate. Kita palak, malah dulu tanyaku. “Bukan ke HRD lagi yang mbak?”
kite nyang babak belur, trus malah diajak ngaji. Waktu kite “Iya, data mbak sudah dipelajari oleh HRD kami. Wawancara
ude kagak mabok, kagak main judi, kagak malak orang, trus oleh HRD juga sudah kan kemarin. Ini wawancara berikutnya,
jadi orang yang peduli ame lingkungan kite, Gagah bilang kite Mbak.”
itu: preman insap! Kate Gagah dulu sahabat Nabi juga banyak “Wawancara lagi?” aku tak mengerti.
nyang preman. Pas insap mereka langsung istiqomah!” “Pak Yudhistira minta Mbak langsung menghadapnya.”

Ketika Mas Gagah Pergi 15


“Oh,” kutepis rasa heranku. “Ini Manto,” ujarnya. “OB kita yang hebat. Manto yang
“Silakan, Mbak,” seorang perempuan lain yang kukira mengingatkan saya akan nama Anda.”
sekretaris menemaniku menuju ruang direktur. Manto mengangguk, “Mbak Gita….”
Penuh rasa optimis aku melangkah. “Selamat pagi,” sapaku Aku ternganga: pemuda rapi yang dulu pernah ia tangkap
biasa, saat melangkah masuk. saat mencopet dulu! Yang juga membantuku menolong
Seorang lelaki dengan kemeja kotak-kotak menjawab pelajar itu!
salamku. “Setelah menasehati saya dulu, Pak Yudi mengajak saya ke
Aku terperangah! sanggar milik temannya. Kami belajar ngaji sambil membuat
Dia juga! kerajinan tangan. Setelah lama tak bertemu, setahun lalu, Pak
Kubaca nama yang terpampang di mejanya: Yudhistira Arifin, Yudi mengajak saya bekerja di sini.”
Ph.D -Direktur. “Manto rajin dan jujur, jadi Gita bisa minta tolong apa saja
“Gita Ayu Pratiwi?“ padanya,” Pak Yudi tersenyum. Aku juga.Subhanallah.
Aku mengangguk. Sorenya, setelah makan bakso di sekitar (calon) kantorku, aku
“Saya merasa pernah melihat Anda. Di mana ya?” tanyanya naik ke Trans Jakarta tujuan Rawamangun.
tiba-tiba. Aku baru saja akan membuka berkas-berkas yang diberikan
Suaraku tercekat di kerongkongan. “ Dalam…ng… bus…, Mas Abdul eh…Pak Yudi…, ketika satu sosok yang kukenal
Pak….?” naik ke dalam bus sambil tersenyum.
Dia mengangguk. Tersenyum, berdiri, merapikan jas di bahu “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh….”
bangkunya. “Mungkin di UI karena saya juga lulusan sana…,” Aku melongo. Nyaris tak percaya.
ujarnya simpatik. “Atau dalam bus dan kereta api?” ia “Nak Yudi!” Seru seorang bapak. “Senang bisa mendengar
tertawa. “Barangkali malah di rumah sakit?” Anda lagi!”
Aku tersenyum, namun bingung. “Ya, perjalanan panjang seakan tak berarti bersama Dik
“Anda tahu mengapa Anda saya panggil kemari?” Yudi!” seru penumpang lain.
Aku menggeleng. Pak Supir tertawa. Penumpang yang lain tersenyum senang.
“Pertama, karena Anda gadis itu. Gadis yang membawa saya Aku ternganga. Dan seperti dulu, dengan gaya khasnya, ia
ke Rumah Sakit…bertahun lalu saat peristiwa tawuran pelajar berbicara dan orang-orang mendengarkan.
itu….” “Apakah hakikat sabar itu, Saudaraku? Apa hakikat cinta di
Aku tercengang. tengah masyarakat kita yang kini sudah semakin tak peduli?
“Gita….subhanallah….” Mau mendengar cerita tentang cinta dan sabar? Tentang
Aku mengangguk, “Saya, Pak.” bagaimana kita harus berjabat hati dalam membangun negeri
“Keluar dari rumah sakit , saya diberitahu nama orang yang ini?”
menolong saya. Gita. Tak mungkin saya lupa…,”katanya lagi. Semua mengangguk tanpa sadar. Aku juga.
“Maaf, sesudah pemulihan, saya kesulitan menghubungi Dan seperti tahun-tahun lalu pula… kata-katanya begitu
anda. Rumah sakit juga tidak menyimpan data Anda. Saya menyentuh dan berpengaruh, mengingatkanku pada sosok
kemudian mendapat beasiswa kuliah di Perancis. Jadi…saya yang seperti terus berada dalam rinduku….
belum mengucapkan terimakasih….” “Ajari saya… Islam. Saya mau… mengaji, Nak,” bisik seorang
Hening. Ibu berwajah Chinese yang duduk tepat di sampingku, saat
Tiba-tiba sekretaris yang tadi mengantarku, masuk kembali Yudi baru saja menyudahi ceramahnya.
sambil membawa beberapa map. “Pak, ada undangan Aku haru.
mengisi ceramah dari Departemen Keuangan, beberapa hotel Dari balik kacamatanya, kulihat mata lelaki berkemeja kotak-
berbintang dan dari universitas di Jerman serta Australia,” kotak rapi itu berkaca-kaca. Selalu, seperti dulu, saat pertama
Departemen Keuangan? Hotel berbintang? Universitas di kali aku menatapnya.
Jerman dan Australia? Hebat sekali! Batinku. Angin tak ada, dibungkam AC bus Trans Jakarta, namun
“Jadi, kualifikasi Anda cocok dengan yang kami butuhkan. semilirnya menyelusup dalam batinku. Sejuk. Lelaki itu
Selamat, Gita! Anda kami terima!” mengangguk padaku, tersenyum lama.
“Alhamdulillah,” kataku. “Terimakasih, Pak.” Dalam senja yang temaram, dari balik jendela busway, kulihat
“Kembali,” katanya ringan. “Oh ya, Gita, sekali lagi saya Mas Gagah di antara kerumunan orang yang menunggu bus.
ucapkan terimakasih atas pertolongan Anda. Hanya Allah Wajahnya cerah.
yang mampu membalasnya. Ah kalau saja Anda tidak
membawa saya ke rumah sakit waktu itu, tentu saya tak akan Dan jadilah muslimah sejati
ada di sini sekarang….” yang selalu mengedepankan nurani
“Dan mungkin saja saya tidak akan diterima bekerja di sini…,” Agar Allah selalu besertamu.
candaku. “ Ya, sama-sama, Pak….” Ingat Islam itu indah…
Ia tertawa. Islam itu cinta…
“Panggil saya Yudi saja. Anda mulai bekerja besok. Silakan
pelajari berkas-berkas ini….”
Aku mengangguk.
“Tolong panggil OB kita ya,” katanya pada sekretarisnya
kemudian.
Aku baru akan beranjak, saat seseorang masuk. Wajah yang
pernah kulihat lagi!

Ketika Mas Gagah Pergi 16

Anda mungkin juga menyukai