Final Script
Final Script
Agnes Purwanti
Mendadak gelap.
Seorang misterius dengan penutup wajah Ilustrasi musik menggambarkan situasi Pelan-pelan nyala tapi tetap redup.
(Slira) pelan-pelan mendekati salah seorang yang tegang.
pedagang pasar yang sedang berjaga malam
dengan Mahisa. Tiba-tiba orang itu menyergap
pedagang itu, menggorok lehernya lalu pergi.
Mahisa kaget dan dengan panik masuk ke Lampu padam. Hening bersamaan.
dalam pasar sambil berteriak-teriak minta
tolong.
1 Malino berjalan menuju kedai dengan gayanya Lampu pada Malino saja. Begitu
yang kenes. Malino sampai di depan pasar, lampu
Ketika Malino sudah sampai di dalam pasar, pelan-pelan terang, tanda hari sudah
semua mendadak hidup. Malino berjalan terus berganti.
sampai masuk ke dalam kedai kopi Ludi.
Semua orang tumpah ruah. Gambaran pagi Penari berbaur dgn pemeran. Tiap-tiap orang dari
yang riuh. 12 penari fungsinya mengisi kios sebagai
Antara penghuni pasar dan para pekerja kerah pedagang, sisanya sebagai pengunjung pasar.
putih bercampur baur. Masing-masing
pedagang berada pada tempatnya. Semua
orang berbisik-bisik membicarakan peristiwa
pembunuhan semalam. Tandi dan Slira sibuk
mengamankan bekas pembunuhan, sambil
mengamati sekeliling, mencari barang bukti.
Ludi: Makin ke sini makin musim pencitraan ya? Berkacak pinggang, sambil memperhatikan
Iklannya saja yang bagus, slogannya oke, pada rombongan Dirat yang berlalu.
kenyataannya nihil.
Tandi: Ehehehehe, sah sah saja itu. Sama juga Mahisa sesekali jalan-jalan berkeliling pasar
tukang obat. Dia bikin iklan yang menarik jika tidak ada pembeli.
perhatian orang banyak, dipuji setinggi langit
dagangannya, sampai sesumbar bisa
menghidupkan orang mati segala.
Ya sah saja kan bohong demi melariskan
dagangan.
Toh pembeli yang tidak mempan kena kibul tetap
tidak akan beli.
Nah, kau termasuk yang kena kibul atau bukan?
Ludi: kami tetap tidak mau pergi! Enak saja... ini Ngotot.
tanah pribadi. Pasar ini berdiri secara de facto,
bukan pemerintah kota yang bangun.
Coba saja bongkar paksa. Rusaklah citranya
sebagai pemimpin yang demokratis. Berhati Mencibir.
nurani? Omong kosong lah!
Slira: Kamu itu terlalu banyak nonton tv. Ekspresinya biasa saja, seakan tidak ada apa-
Ayo kita kembali saja ke markas. Lapor Pak apa. Dengan santai berdiri, merogoh saku
Kepala dulu. sambil mengeluarkan uang pembayar kopi.
Johan: Hai, Paman. Bagaimana kabar memeluk Buyon, memaksa diri untuk .
Paman? tersenyum.
Buyon: Ada yang salah dengan bapakmu, bertolak pinggang, mendekatkan wajahnya
hah? Kau pikir menjadi petani itu hina? Aku ke wajah Johan, mengeraskan rahang.
tidak suka nada bicaramu, Nak! Johan beringsut takut.
Buyon mengambil jarak, meneruskan
pekerjaannya.
Buyon: Kau layani lah! Improvisasi. mengibas tangan lalu pergi setengah
berlari.
Johan: Tapi....tapi aku tidak tahu apa-apa. Mengangkat bahu, mangacak-acak rambut,
Aku baru datang.... panik.
Ck! Tidak ada daftar harga pula. Matilah! Dengan serampangan memeriksa kios.
Mudah-mudahan tidak ada pembeli yang
datang...
Terduduk lemas, pasrah.
Kazima berjalan menunduk, berhenti di
depan kios buah. Johan terperangah.
Kazima tidak melihat Johan,
memperhatikan buah-buahan saja.
Kazima: Paman, aku mau apel ini saja satu masih tidak melihat Johan, matanya tertuju
kilo. ke arah lain.
Johan: Cantik...
Buyon: Siapa?
Johan: Tip?
Aneh, belanja ke pasar kok kasih tip. Biasanya
kan yang belanja ke pasar pasti minta diskon.
Johan: Apa ada yang salah dengan perubahan? Gelagatnya mulai defensif.
Johan menangkap bayangan Kazima dari Danya dan Supi mulai masuk ke
kedai. Dengan gemas ditepuk-tepuk pundak panggung. Mereka berdua sedang
Buyon. bolak-balik mengangkut peti-peti telur.
Johan: Nah! Nah! Itu dia orangnya, Paman! Mengguncang-guncang bahu Buyon.
Itu yang di dalam kedai kopi itu! Menunjuk ke arah Kazima dalam kedai.
Wajah Buyon tak senang karena pembicaraan
teralih begitu saja.
Buyon: Kamu suka? Johan, terima saranku. Memicingkan mata. Johan salah tingkah.
Jauhi Kazima. Jangan pernah dekati dia.
Bermimpi pun jangan.
Buyon: Ya sudah. Terserah padamu. Yang Sambil membawa peti kayu kemasan buah,
penting aku sudah kasih peringatan. pergi ke belakang.
Danya: Berhenti dulu di sini. Istirahat Raina mendekati Danya dan Supi.
sebentar saja. Tanganku rasanya mati rasa.
Raina: Oh tidak, saya hanya mau Tanya. Menyodorkan foto pada Danya dan Supi.
Apa kalian kenal perempuan ini?
Supi: Iya betul, ini Tuan Goma. Kami baru sekali Menjawab ragu-ragu.
bertemu, dia bukan dari sini.
Danya: Saya tidak tahu. Bisa jadi Tuan Goma Johan dan Buyon kembali ke kios.
sering ke mari. Yang jelas hanya sekali saja dia
mampir ke kios kami.
Sebenarnya ada apa ya, Nona?
Raina: Oh, tidak apa-apa. Saya hanya ingin Raina memegang bahu Danya, lalu pergi ke
Tanya-tanya saja. Terima kasih ya. kedai
Supi: Kak, kenapa kita tidak pergi saja dari Sebelum benar-benar sampai di kedai,
sini? Raina menurunkan penutup wajah yang
Uang yang ditawarkan Tuan Goma tempo menempel di topinya, mengenakan
hari itu cukuplah untuk memulai hidup baru di kacamata hitam.
tempat lain. Malino menyambut, mempersilakan
Siapa tahu nasib kita lebih baik dari duduk. Raina bertingkah seperti
sekarang. pelanggan biasa.
Supi: Aku tidak mau menikah kalau kakak Mahisa muncul dari salah satu sisi
belum menikah. panggung.
Malino: Nanti juga dia keluar, sedang ke Dengan kenes makin merapatkan diri dekat
belakang sebentar. Goma.
Johan: Eng, tidak. Terima kasih. Ludi masuk dari sisi lain kedai,
Anu, saya Cuma mau mengantar kembalian. Tadi mengangkut karung kopi. Matanya
dia belanja, belum saya kasih kembaliannya. sambil memperhatikan kedai.
Kazima: Lain kali jika ingin bertemu saya, Tersenyum tulus & manis.
terus terang saja.
Tak apa kok ajak saya kenalan, mengobrol,
lalu kita pergi jalan-jalan. Tidak usah cari-cari Menggeleng, mengerutkan hidung sambil
alasan sebelumnya. Trik usang. mengibas tangan di depan mukanya.
Dah! Sampai jumpa. Melambaikan tangan lalu berbalik pergi
kembali ke kedai.
Johan: Ish! Kenapa sih perempuan itu?
Percaya diri sekali!
Johan: Iya, iya. Sudahlah jangan dibahas Garuk-garuk kepala yang tak gatal.
lagi.
Johan pergi ke belakang sambil memanggul fokus cahaya beralih dari kios Buyon
ranselnya. Buyon di kios memperhatikan ke kedai Ludi.
Raina dengan wajah penuh tanya.. Raina
pergi keluar pasar.
Ludi: Masa?
Bapak hapal semua kawanmu sejak kau masih
kecil sampai kau sebesar ini.
Wajah itu tadi baru akhir-akhir ini saja kulihat.
Kenapa juga dia selalu pergi ketika bapak ada?
Kazima: Karena sering bergaul dengan polisi-
polisi itu, apa Bapak sekarang jadi polisi juga?
Senang betul cari-cari tahu urusan orang.
Kazima: Bapak, ibu sudah tidak ada dan tidak Nada suaranya meninggi.
akan ada lagi!
Kapan saja kita bisa dipaksa keluar dari sini,
mungkin dalam hitungan hari dari sekarang.
Lebih baik kita terima saja uangnya lalu pergi
baik-baik dari sini!
Gestur Johan seperti orang mabuk. [ada tarian utk scene ini] Getir manis senyumannya,
Tak ingin kupandang tapi hati ingin.
Angkuh anggun pembawaannya,
Slira dengan penutup muka muncul agak jauh Tak ingin kukenang tapi hati ingin.
di belakang Johan dengan belati di tangannya. Nampaknya pun tak manis budinya,
Setiap kali Slira mau mendekat, Johan Tak ingin aku mendekat tapi hati ingin.
bergerak menghadap ke belakang, Slira jadi
kesulitan menangkap Johan. Siapakah itu nona jelita?
Pantaskah dimiliki hatinya?
Makin lama Johan mendekat ke kedai Ludi Atau baiknya untuk pemanis mataku
yang tutup. Memandangi meja kasir tempat saja?
biasa Kazima berdiri
Ibarat diri menjadi Hawa, nona jelita lah
si buah legenda.
Bila pun hanya kuraih, akankah menjadi
dosa
Dari belakang Danya muncul, Slira langsung Atau sebatas neraka bagiku saja?
kabur. Danya memerhatikan Johan sambil
terkikik geli. Digila-gila aku.
Aku tergila-gila.
Johan: Nona jelita, sudilah berdansa denganku. Berbicara seakan-akan Kazima ada di
depannya.
Johan: Nona yang tadi siang bawa telur lalu saya Malu-malu
tabrak.
Johan: Latihan?
Johan: Eng...tapi saya kan baru saja kenal Garuk-garuk belakang kepala.
Kazima. Mana mungkin....
Johan: Terima kasih ya. Menunduk hormat, lalu ikut duduk bersila
dengan gaya yang canggung.
Nah, kau sendiri sedang apa ke mari?
Slira: Hai, sedang apa di situ? Slira yang sudah berseragam polisi menyorot
Johan dan Danya dengan senter.
Jargo: Apa salahnya jika hanya aku yang Marah yang berapi-api.
mampu, heh?
Jika terus menunggu pemerintah pusat
mengucurkan dana, Metropole tidak akan
pernah punya pasar modern. Tidak akan
maju. Tidak akan terpandang. Stagnan begini
saja. toh selama ini pemerintah pusat tidak
tertarik mengurusi kota kecil seperti Metropole
kita ini.
Satru: Ssh..ssh! Urusan menantu dan mertua Melerai, menunjuk wajah Dirat.
nanti saja kau bicarakan di rumah.
Ada perkembangan yang berarti dari Goma?
Jargo: Loh, kenapa tanya? Harusnya kami yang Sewot. Muka Satru berubah gusar.
tanya. Dia kan anak buahmu. Jargo berhenti lari, mengelap mukanya
dengan handuk.
Jargo: Dirat... Kau pendatang. Pengetahuanmu
soal kota ini tentu tidak seberapa. Cintamu pada
kota ini pun mungkin hanya sekedarnya.
Tapi aku... aku lahir dan besar di kota ini. Seumur
hidup aku mencintai Metropole.
Orang pikir aku gila kekuasaan, menggunakan
segala cara untuk menguasai kota ini.
Persetan lah!
Aku hanya ingin menjaga Metropole, melihatnya
tumbuh dan berkembang.
Metropole punya potensi untuk menjadi besar.
Hanya karena Metropole bukan ibukota negara
lantas selalu dinomorduakan pemerintah pusat. Mendengus kesal, membuang muka.
Jargo: Ya, kita lihat saja. Menepuk-nepuk bahu Dirat . Berpapasan Diani masuk.
Diani, sepulang dari sini bawa Dirat jalan-jalan. dengan Diani yang membawakan botol air.
Bersenang-senanglah kalian. Dirat kurang Jargo mengambil sebotol lalu minum.
rekreasi.
Diani mengangguk, Jargo pergi ke luar. Satru
juga ikut ke luar.
Dirat: Hhff...
Bapakmu, sulit sekali menghadapinya.
Ya, memang beliau sangat berjasa atas
semua pencapaian ini. Tapi aku lelah
menuruti semua perintahnya. Memang kami
satu tujuan, tapi caranya.....sering
bertentangan dengan nuraniku.
Dirat: Ehmm.
Ups, sepertinya aku harus tunggu di luar ya? Satru masuk ke ruangan.
Aku ke pasar dulu ya. Ada yang mau kubeli. Kita
bertemu lagi di rumah.
Berpamitan mesra dengan Dirat.
Dirat: Tuan, bagaimana ini?
Mengapa sama sekali tidak ada kabar dari Tuan
Goma?
Dirat: Uangnya...
Apa Tuan Goma sudah membawa seluruh uang
itu?
Satru: Nah! Ini dia yang kita tunggu-tunggu. Memotong Dirat bicara. Sumringah.
Sudah kubilang, dia dapat diandalkan.
Dirat: Jeda.
Datanglah ke sini tepat dua hari lagi, setelah
tengah hari.
Mau bergegas pergi.
Satru: Ggrrr!
Ya kau ke kantorku sana. Minta uangnya pada
asistenku
Buyon: Hahahaha.
Kenangan itu ada di sini dan sini. Tertawa getir.
Apa kepala dan hatiku harus dibuang juga? Menunjuk kepala dan dada
Dirat: Ah, di sini kau rupanya. Beli apa? Dirat menghampiri Diani.
Diani kaget sampai bahunya naik.
Dirat: Terima kasih banyak, Tuan. Terima kasih. Dirat sumringah, mengulurkan tangan,
menjabat tangan Buyon.
Mencium tangan Kazima. Lalu pergi. Raina dari kejauhan masuk. Sorot
lampu pada Raina, yang lain gelap.
Raina menelpon Jargo.
Raina: Barusan Tuan Goma bertemu dengan
wanita dari kedai kopi di pasar, Tuan.
Sepertinya mereka sedang merencanakan
sesuatu.
Jeda, mendengarkan.
Yang saya dengar, mereka berencana pergi dari
Metropole dua hari lagi.
Apa Tuan ingin saya bereskan Tuan Goma
sekarang?
Jeda.
Baik, Tuan. Segera. Menutup telepon.
Tandi: Ck...ck....ck.
Keterlaluan. Ini betul-betul teror!
Setelah kemarin ada yang dibunuh, lalu sekarang
ada yang disekap. Kalian sengaja sedang dibuat
takut.
Mari sini kubantu kalian pulang.
Slira, kau berjaga di sini ya. Jika kau lihat ada
warga yang ke luar rumah, suruh mereka pulang
lagi. Demi keamanan, jangan lagi ada yang keluar
masuk pasar malam ini!
Kazima: Saya ada perlu, mau bicara denganmu. Tengok kiri kanan.
Berdua saja ya.
Johan: Eng, tapi, anu… Paman, Tergagap, menunjuk Buyon yang sedang
berada di kios telur.
Kazima: Oh, tinggalkan saja sebentar.
Sebentaaar saja.
Kazima: Oo…
Kazima: Apa?
Johan: Tidak penting siapa yang menyuruh aku. Orang-orang mulai ramai merubung kios
Sekali ini saja, tolong Paman dengarkan aku, Buyon.
pertimbangkan baik-baik tawaran ini, Paman. Di kedai kopi, Malino yang penasaran
Toh semua ini demi kebaikan Paman. menarik-narik lengan baju Kazima. Kazima
mengedikan bahu, pura-pura tidak tahu.
Buyon: Sudah kuberi tahu, aku tidak akan Buyon marah sekali.
melepas tanah ini. Sampai kapan pun tidak akan
aku lepas pada siapapun. Mahisa dan Danya datang melerai. Mahisa
Nah,cepat katakan siapa yang menyuruhmu atau menahan Buyon, Danya menahan bahu
kulempar kau ke luar. Johan.
Buyon: kalian jangan ikut campur! Berontak. Mahisa dan Danya menyingkir takut.
Apa pedulimu dengan alasanku? Dilepas genggamannya dari kerah Johan.
Tahu tidak yang paling menyakitkan hatiku? Marahnya mereda, tapi hampir menangis.
Kenyataan bahwa kau mau menjualku,
pamanmu, demi keuntunganmu sendiri.
Cih! Pura-pura kehabisan uang segala...
Sekarang kau pergi lah dari sini! Memungut barang-barang Johan yang ada di
Nih! Bawa barang-barangmu. kios, dilempar ke Johan.
Kazima: Goma, lekas ke kedai. Jemput aku di Kazima menelepon Goma dari kedai, berbisik-
pintu belakang. Bawa semua uang itu. Kita pergi bisik.
sekarang juga!
Buyon: Aku tidak minta kau idolakan. Goma masuk diam-diam, menjemput
Aku maafkan kelancangan akibat Kazima, lalu mereka pergi diam-diam.
ketidaktahuanmu ini. Sebelumnya kazima melempar botol
Apa yang dilihat matamu, tidak seperti berisi minyak dengan sumbu api ke
kelihatannya, Johan. dapur kedai. Kelihatan api menyala di
Kios-kios butut itu, bukan sekedar tempat cari dapur, sedikit demi sedikit mulai
uang, jika kau mau tahu. Ini rumah kami, sesuatu membesar.
yang berharga bagi kami.
Sesuatu yang ingin kami jaga dan wariskan pada
keturunan kami.
Seandainya kau tahu posisiku di sini, pasti kau Membelakangi Johan, mendengus kesal. Ada
tidak akan sembarang menilaiku. jeda yang canggung.
Johan: Maafkan aku, Paman. Satu-satu orang yang merubung mulai bubar.
Ya, aku memang tidak paham soal ini. Kecuali Danya.
Bagiku, apa yang sedang direncanakan
pemerintah kota bukanlah hal buruk, malah patut
didukung, demi kebaikan bersama. Danya memegang bahu Johan, tapi ditepis
Lagipula Paman kan tidak punya keturunan. Johan. Danya dan Johan bertatapan sekilas,
Tidak ada penerus untuk mewarisi tempat ini. lalu Johan buang muka.
Harusnya tidak menjadi masalah,
Malino: Aaaaaaaa! Kebakaraaaaan! Menjerit.
Toloooong! Kebakaraaaan!
Semua orang yang ada di pasar merubung ke
kedai Ludi. Ada yang bergegas mengambil
ember, mencari air, ada yang mengambil
karung yg dicelupkan ke air utk memadamkan
api.
Raina: Kutinggalkan keluargaku demi menikah Melap pisau di baju Goma untuk
denganmu, kukorbankan karirku demi menghilangkan ceceran darahnya. Mengambil
melindungimu, lalu kau mau kabur dengan tas berisi uang, meludahi jasad Goma, lalu
perempuan lain. Keparat! pergi.
Tandi: Heh, jangan sembarang pegang kau! Memasukkan pecahan botol ke dalam plastik
Saya polisi! Kamu bukan! dengan ketus.
Selain polisi tidak boleh sentuh apa-apa di tempat
kejadian!
Buyon: Siapa yang sengaja berbuat begini? Buyon melotot ke arah Johan.
Kazima: Istrinya??
Tandi: Aduuuh, sebenarnya ada apa ini? Tandi lari tergopoh-gopoh pergi menjemput
Ah, biar kupanggil walikota ke sini! Dirat.
Ludi: Kazima…
Ludi: Kazima,
Malino: Aku juga mau ikuuut, Abang! Menghambur, menggelayut di lengan Mahisa.
Selesai.