Anda di halaman 1dari 55

METROPOLE

Agnes Purwanti

DIALOG MIMIK & BLOKING TARI MUSIK LATAR & LAMPU


Tarian pembuka, sejarah singkat pasar Metropole Terang & gegap gempita.
yang dulunya muncul begitu saja, kemudian
membesar. Tiap pedagang yang pergi lalu kembali
sambil membawa lebih banyak orang. Lalu orang-
orang bawaan itu kemudian yg membangun
Metropole hingga Metropole menjadi besar.
Namun pasar metropole masih saja sama, tidak
berubah.

Digambarkan Jargo muncul sebagai alpha Lampu merah, seperti api.


man Metropole. Berkacak pinggang, dagu
diangkat, memandang sekitar. Jargo menunjuk
pasar metropole, sebagai simbol Jargo
berambisi mengubah pasar Metropole menjadi Para penghuni pasar yang marah. Mereka ramai-
pasar modern berwujud gedung, tapi ditolak ramai memasang spanduk dan plang bertuliskan,
oleh penghuni pasar. Lalu Jargo terpukul ”Kami menolak modernisasi pasar!”
mundur. “Tanah ini milik perorangan, bukan milik
Pemerintah Kota Metropole!”
“Bikin pasarmu sendiri! Jangan ganggu pasar
kami!”
...dan yang semacam itu.

Mendadak gelap.

Seorang misterius dengan penutup wajah Ilustrasi musik menggambarkan situasi Pelan-pelan nyala tapi tetap redup.
(Slira) pelan-pelan mendekati salah seorang yang tegang.
pedagang pasar yang sedang berjaga malam
dengan Mahisa. Tiba-tiba orang itu menyergap
pedagang itu, menggorok lehernya lalu pergi.
Mahisa kaget dan dengan panik masuk ke Lampu padam. Hening bersamaan.
dalam pasar sambil berteriak-teriak minta
tolong.

1 Malino berjalan menuju kedai dengan gayanya Lampu pada Malino saja. Begitu
yang kenes. Malino sampai di depan pasar, lampu
Ketika Malino sudah sampai di dalam pasar, pelan-pelan terang, tanda hari sudah
semua mendadak hidup. Malino berjalan terus berganti.
sampai masuk ke dalam kedai kopi Ludi.
Semua orang tumpah ruah. Gambaran pagi Penari berbaur dgn pemeran. Tiap-tiap orang dari
yang riuh. 12 penari fungsinya mengisi kios sebagai
Antara penghuni pasar dan para pekerja kerah pedagang, sisanya sebagai pengunjung pasar.
putih bercampur baur. Masing-masing
pedagang berada pada tempatnya. Semua
orang berbisik-bisik membicarakan peristiwa
pembunuhan semalam. Tandi dan Slira sibuk
mengamankan bekas pembunuhan, sambil
mengamati sekeliling, mencari barang bukti.

Tiba-tiba muncul rombongan walikota. Dirat Yang di bahunya kita sandangkan


muncul dengan dramatis sambil melambaikan harapan
tangan khas pejabat , diikuti Diani, Jargo. Menuju Metropole baru
Satru, Kroda di sekeliling mereka, bermuka Menuju Metropole maju
waspada. Orang-orang merubungi mereka, Dirat Jayadilaga pemimpin kita
kecuali Slira-Tandi yang menyingkir masuk ke
kedai. Ludi menyambut Tandi dan Slira di
kedai.

Dirat: Terima kasih, warga Metropole. Terima


kasih banyak atas kepercayaan yang sudah
diberikan . Mari bersiap untuk perubahan dan
percepatan menuju Metropole yang baru,
Metropole ultra modern. Dirat menyudahi sapaannya. Jargo merangkul
Dirat, membisikan sesuatu padanya, lalu
mereka tertawa sambil melanjutkan
perjalanan. Beberapa orang nampak berebut
berjabat tangan dengan Dirat dan Diani.
Pelan-pelan mereka berlalu.

Ludi: Makin ke sini makin musim pencitraan ya? Berkacak pinggang, sambil memperhatikan
Iklannya saja yang bagus, slogannya oke, pada rombongan Dirat yang berlalu.
kenyataannya nihil.

Tandi: Ehehehehe, sah sah saja itu. Sama juga Mahisa sesekali jalan-jalan berkeliling pasar
tukang obat. Dia bikin iklan yang menarik jika tidak ada pembeli.
perhatian orang banyak, dipuji setinggi langit
dagangannya, sampai sesumbar bisa
menghidupkan orang mati segala.
Ya sah saja kan bohong demi melariskan
dagangan.
Toh pembeli yang tidak mempan kena kibul tetap
tidak akan beli.
Nah, kau termasuk yang kena kibul atau bukan?

Ludi: Kita lihat saja dulu lah kinerjanya. Yang


jelas aku tidak suka ide pembangunan pasar
modernnya.

Slira: Pak, cepat atau lambat pasar modern itu


akan berdiri di sini. Siap-siap saja.

Ludi: kami tetap tidak mau pergi! Enak saja... ini Ngotot.
tanah pribadi. Pasar ini berdiri secara de facto,
bukan pemerintah kota yang bangun.
Coba saja bongkar paksa. Rusaklah citranya
sebagai pemimpin yang demokratis. Berhati Mencibir.
nurani? Omong kosong lah!

Slira: Jangan salah, Pak. Mereka sudah buat


jajak pendapat. Tidak semua warga Metropole
menolak pembangunan pasar modern, apalagi
golongan menengah ke atas. Mereka sangat
mendukung program ini.

Tandi: Sebenarnya aku kurang senang


dengan orang-orang di sekitar walikota kita
yang baru itu. Jika bukan karena mereka, aku
yakin Dirat tidak akan meneruskan proyek
pasar modern ini.
Kau tahu kan Dirat pendatang, asalnya dari
Otikas yang begitu terpencil sampai tidak ada
listrik yang masuk ke sana.
Aku yakin Dirat tipikal pemimpin yang
sederhana.

Ludi: Hmm... pastinya karena pengaruh Jargo


Yudha, mertuanya itu. Semacam balas budi
karena Jargo patron kampanye Dirat kemarin.
Ngomong-ngomong, sudah dapat petunjuk? Kira- Mendekatkan wajah ke lawan bicaranya,
kira siapa pelaku pembunuh Gari semalam? antusias.

Slira: Belum. Masih gelap. Sama sekali tidak ada


jejak, tidak ada barang bukti yang tercecer sama
sekali.
Tandi: Aku curiga. Jangan-jangan ini ulah
mereka. Sengaja dia menebar teror, supaya
kalian lekas pindah dari sini.

Ludi: Walikota baru itu maksudmu? Atau


mertuanya?

Tandi: Ah, mereka kan sama saja. Satu


komplotan. Bisa saja kan?
Tinggal tunjuk saja siapa yang mau dihabisi,
orang suruhannya yang eksekusi. Begitu kan
biasanya permainan orang-orang berduit?

Slira: Kamu itu terlalu banyak nonton tv. Ekspresinya biasa saja, seakan tidak ada apa-
Ayo kita kembali saja ke markas. Lapor Pak apa. Dengan santai berdiri, merogoh saku
Kepala dulu. sambil mengeluarkan uang pembayar kopi.

Tandi: Ayo. Menyeruput kopi sambil bergegas berdiri.


Ludi, jangan khawatir. Kami akan rutin menengok Memegang bahu Ludi.
ke mari. Mungkin juga akan bergantian berjaga
malam.
Siapa tahu biang kerok itu beraksi lagi.

Ludi: Haha, sebelum kau bilang pun aku sudah


khawatir.
Terima kasih banyak ya. kami sungguh Balas megang bahu Tandi.
mengandalkan kalian.

Slira dan Tandi pergi meninggalkan kedai.


Ludi mengelap meja. Lalu pergi ke
belakang.
Johan tiba di pasar. Berdiri lesu di depan
telepon umum. Kertas dalam genggaman
diremasnya, lalu dibuang sembarangan.
Johan menelepon bapaknya.

Johan: Bapak... Ditolak lagi, Pak. Johan


sudah kehabisan uang. Bisa kirimkan lagi?
Tidak, Pak. Johan tidak mau pulang.
Biarlah Johan kejar impian Johan di
Metropole, Bapak harus sabar. Suatu hari
Johan dapat pekerjaan, Johan ganti semua
uang Bapak.
Pak.....tolong dengar dulu, jangan marah! Ck!

Telepon dimatikan dengan sebal. Johan


mondar-mandir gusar. Dia ingin ke kios
pamannya, tapi ada rasa enggan. Buyon
memperhatikan Johan dari kejauhan,acuh
tak acuh, sambil melap buah-buahan yang
akan disusun di kiosnya.
Akhirnya Johan menghampiri Buyon.

Johan: Hai, Paman. Bagaimana kabar memeluk Buyon, memaksa diri untuk .
Paman? tersenyum.

Buyon: Gagal lagi?

Johan: Haha, iya. Dan sekarang uangku


habis.

Buyon: Jadi pegawai kantoran tak semudah


dugaanmu kan, Anak Kuliahan?
Hehehehehe. Lalu apa rencanamu
berikutnya?

Johan: Eng...begini, Paman.... Bolehkah aku


meminjam uang? Sekedar untuk hidup
selama sepekan.

Buyon: Sudah sebulan, Johan. Kau yakin


mau coba lagi?

Johan: Belum seluruh gedung aku datangi,


Paman. Pastilah ada satu kesempatan
untukku di jagat Metropole ini.

Buyon: Pulang sajalah, Johan. Kerjakan


yang pasti-pasti saja. Bantu bapakmu! Kau
kan anak laki-laki satu-satunya, tenagamu lah
yang paling dibutuhkan di kebun.
Johan: Justru karena aku anak laki-laki satu-
satunya maka aku harus berhasil kerja di
kota! Nasibku tidak akan jadi lebih baik jika
aku menetap di Vileja, yang hanya akan
berakhir seperti bapak! kesal, membanting tasnya.

Buyon: Ada yang salah dengan bapakmu, bertolak pinggang, mendekatkan wajahnya
hah? Kau pikir menjadi petani itu hina? Aku ke wajah Johan, mengeraskan rahang.
tidak suka nada bicaramu, Nak! Johan beringsut takut.
Buyon mengambil jarak, meneruskan
pekerjaannya.

Buyon: Aku tidak mau lagi memberimu


pinjaman. Kau bisa tinggal di sini sementara,
bekerja denganku, Johan kaget, wajahnya protes
Hei, tidak ada makan siang gratis!
Kau tinggal di sini, bekerja, sambil tetap
menjajakan dirimu ke kantor-kantor itu. Johan menunduk, wajahnya tidak senang.
Itu juga kalau kau mau. Kalau tidak ya pulang
saja...atau pinjam uang LAGI pada teman-
temanmu. Jika kau masih punya muka untuk
melakukannya.

Johan: Baiklah. Masih lebih baik dari pada


harus pulang.

Buyon: Hei, Nak. Aku titip sebentar ya. Aku


ada perlu di belakang.

Johan: Tapi, bagaimana kalau ada pembeli?

Buyon: Kau layani lah! Improvisasi. mengibas tangan lalu pergi setengah
berlari.
Johan: Tapi....tapi aku tidak tahu apa-apa. Mengangkat bahu, mangacak-acak rambut,
Aku baru datang.... panik.
Ck! Tidak ada daftar harga pula. Matilah! Dengan serampangan memeriksa kios.
Mudah-mudahan tidak ada pembeli yang
datang...
Terduduk lemas, pasrah.
Kazima berjalan menunduk, berhenti di
depan kios buah. Johan terperangah.
Kazima tidak melihat Johan,
memperhatikan buah-buahan saja.

Kazima: Paman, aku mau apel ini saja satu masih tidak melihat Johan, matanya tertuju
kilo. ke arah lain.

Johan: Anu... Paman Buyon sedang ada


perlu sebentar.

Kazima: Oh, aku tidak tahu sekarang Paman Menatap Johan.


Buyon punya pegawai. Tolong apelnya satu
kilo saja ya, Bang.

Johan: Eng.... Panggil Johan saja. Saya


kemenakan Paman Buyon.

Kazima: Oke, Bang Johan. Tolong ditimbang


sekarang ya, saya sedang buru-buru.

Johan: Ck! Tidak usah pakai ‘bang’. Sebal. Mulai menimbang

Kazima mengamat-amati Johan. Selesai


ditimbang, Johan menyerahkan apel yang
dibungkus. Kazima menyodorkan
sejumlah uang, tapi buru-buru ditolak
Johan.

Johan: Saya tidak tahu berapa harganya,


nanti saja bayarnya.

Kazima: Saya langganan kok, sekilo apel


harganya delapan belas kron. Tinggal
ambilkan kembalian dua kron saja.

Johan: Eng...saya baru datang, Nona.


Sungguh saya belum tahu apa-apa...
Kazima: Ya sudah. Ini, ambil saja
kembaliannya. Terima kasih.

Kazima bergegas pergi. Johan keluar kios,


mengamati sampai Kazima tidak terlihat
lagi. Buyon sudah kembali. Tersenyum geli
mengamati tingkah Johan.

Johan: Cantik...

Buyon: Siapa?

Johan: Paman! Menyergap bahu Buyon, bersemangat sekali.


Itu tadi langganan paman, dia beli sekilo apel,
tapi aku tidak tahu di mana harus ambil
kembalian, lalu katanya tidak usah
dikembalikan.

Buyon: Langgananku banyak sekali, Johan.


Siapa namanya?

Johan: Nama? Iya ya...siapa ya namanya?

Buyon: Ya sudahlah. Kalau pembeli bilang


tidak usah dikembalikan, berarti tidak usah di
kasih kembalian. Anggap saja itu tip.

Johan: Tip?
Aneh, belanja ke pasar kok kasih tip. Biasanya
kan yang belanja ke pasar pasti minta diskon.

Buyon: Hahaha. Kebiasaan yang disalah


kaprah itu.
Coba kau pikir, kenapa orang memberi tip di
hotel atau di restoran mewah tapi makan di
warung pinggir jalan bayar pas?
Kalau makan banyak malah minta potongan
harga. Aneh tidak?
Upah pelayan restoran mewah jelas lebih
besar daripada pelayan warung makan
pinggir jalan.
Seperti menyuapi orang gemuk lalu meminta
makanan pada orang kurus kering.
Aku tidak mengerti pola pikir yang seperti itu.
Aku harap kamu bukan orang yang
demikian...

Buyon dan Johan terdiam sejenak. Johan


memerhatikan sekeliling pasar.

Johan: Ada apa dengan pasar ini , Paman?

Buyon: Oh, biasalah. Ulah penguasa.

Johan: Pasar ini mau digusur?

Buyon: Hmm. Mengangguk.


Sebenarnya isu lama yang dibangkitkan kembali.
Walikota Metropole yang baru ini merasa punya
nyali untuk meruntuhkan pasar, kemudian
menggantinya dengan pasar modern yang lebih
beradab, katanya.
Hah, coba saja kalau bisa.

Johan: Kalau memang itu program pemerintah


kota, kenapa tidak bisa?

Buyon: Kepemilikan tanah dan bangunan yang


ada di wilayah pasar ini, masing-masing milik
pribadi, bukan milik pemerintah kota.
Sejak Metropole belum lahir sebagai kota, pasar
ini sudah ada, berdiri begitu saja atas inisiatif
warga.
Memang bisa saja dia mengusir kami, jika dia
tidak keberatan nampak seperti penjajah di mata Tertawa sinis.
rakyat yang memilihnya...haha.

Johan: Ooo. Tidak adakah yang membela


kalian? Warga di sekitar sini? Atau mahasiswa
mungkin?

Buyon: Hhf.... Menghembus napas panjang.

Dalam dua dekade terakhir, semenjak aku tinggal


di Metropole, ada banyak sekali perubahan.
Dahulu setiap orang saling peduli, hidup
sederhana.
Sekarang? Orang-orang berubah seperti batu.
Tak acuh satu sama lain. Masing-masing
berlomba menjadi yang paling...wah. Membentangkan tangan.
Gaya hidup konsumtif, apa saja dibeli demi
kesenangan.
Mahasiswa? Mahasiswa sekarang lebih senang
belajar saja. Berlomba mengejar nilai tertinggi
demi masuk kualifikasi pegawai korporat nomor
wahid. Seperti kamu. Melirik Johan.
Mendengar pasar ini mau digusur dan dirubah
menjadi pasar modern, mereka diam saja. Malah
setuju. Geleng-geleng.

Johan: Apa ada yang salah dengan perubahan? Gelagatnya mulai defensif.

Buyon: Tidak. Tentu tidak. Hanya saja....dalam


perubahan juga perlu mempertahankan rasa
kemanusiaan.
Tidak serta merta mengganti yang usang dengan
yang baru seperti membuang sepatu lamamu
begitu saja demi yang baru.
Pasar ini bukan sepatu usang. Bahkan sejarah
berdirinya kota ini, asalnya ya dari pasar ini. Merenung.

Johan menangkap bayangan Kazima dari Danya dan Supi mulai masuk ke
kedai. Dengan gemas ditepuk-tepuk pundak panggung. Mereka berdua sedang
Buyon. bolak-balik mengangkut peti-peti telur.

Johan: Nah! Nah! Itu dia orangnya, Paman! Mengguncang-guncang bahu Buyon.
Itu yang di dalam kedai kopi itu! Menunjuk ke arah Kazima dalam kedai.
Wajah Buyon tak senang karena pembicaraan
teralih begitu saja.

Buyon: Kamu suka? Johan, terima saranku. Memicingkan mata. Johan salah tingkah.
Jauhi Kazima. Jangan pernah dekati dia.
Bermimpi pun jangan.

Johan: Loh, aku kan tidak bilang apa-apa. Defensif.


Jeda yang canggung.
Eng...apa dia sudah punya suami?

Buyon: Hahaha. Aku serius, Johan. Tidak usah


mencoba mendekatinya.
Johan: Bapaknya galak?
Buyon: Tidak. Ludi, sahabatku, baik dan ramah
sekali. Dulu, istrinya pernah pergi meninggalkan
dia dan kazima kecil. Pergi begitu saja, entah ke
mana, tak ada yang tahu.
Tapi kemudian istrinya pulang, sudah dalam
keadaan menyedihkan. Kurus, pucat, sakit berat.
Ludi masih bersedia mengurusnya dengan penuh
cinta. Hingga istrinya yang tak setia itu tiada.
Coba kau bayangkan, mana ada lagi lelaki sebaik
itu di dunia ini.

Johan: Ooooh... kasihan.

Buyon: Nah, Kazima itu....sepenuhnya gen


ibunya.
Kau tahu tidak? Binatang sebangsa reptil Mendramatisir.
yang berwarna cerah dan menarik mata
justru yang paling beracun. Kira-kira
perempuan cantik macam Kazima juga
begitu.
Menarik matamu, menyita perhatianmu,
membuatmu tergila-gila, lalu tanpa sadar
kamu sudah kena racunnya, yang habis Raina mendekati pasar, melihat-lihat sekeliling
menggerogoti dirimu sampai tak bersisa. dengan hati-hati. Semua pria yang ada di sana
Bahkan harga dirimu pun ikut tak tersisa. menengok kearah Raina, ada juga yang
bersiul menggoda.

Johan: Ah, Paman hiperbola sekali. Muka hilang selera.

Buyon: Ya sudah. Terserah padamu. Yang Sambil membawa peti kayu kemasan buah,
penting aku sudah kasih peringatan. pergi ke belakang.

Johan: Paman, pertanyaanku yang tadi belum Merajuk.


dijawab.
Dia masih gadis? Istri orang? Atau sudah janda? Mengekor Buyon ke belakang.

Danya dan Supi yang dari tadi bolak-balik


mengangkut peti telur, berhenti dekat kios
buah.

Danya: Berhenti dulu di sini. Istirahat Raina mendekati Danya dan Supi.
sebentar saja. Tanganku rasanya mati rasa.

Raina: Maaf, permisi. Danya dan supi bertatapan, kebingungan


melihat wanita dengan dandanan yang sangat
mencolok berada di pasar.

Supi: Y-ya. Ada apa, Nona? Apa Nona


tersesat?

Raina: Oh tidak, saya hanya mau Tanya. Menyodorkan foto pada Danya dan Supi.
Apa kalian kenal perempuan ini?

Supi: Ini…anaknya Tuan Ludi… ya kan,


Kak?

Danya: Iya, ini Kazima.


Nona cari orang ini? Coba saja ke kedai kopi
di sebelah sana. Nona ini anaknya pemilik
kedai, Kazima namanya.

Raina: Oh, begitu… Manggut-manggut, lalu merogoh tasnya,


Kalau orang ini, kenal? mengeluakan foto lain.

Danya: Ini Tuan Goma.

Supi: Iya betul, ini Tuan Goma. Kami baru sekali Menjawab ragu-ragu.
bertemu, dia bukan dari sini.

Raina: Masa? Betul orang ini tidak sering ke


sini?

Danya: Saya tidak tahu. Bisa jadi Tuan Goma Johan dan Buyon kembali ke kios.
sering ke mari. Yang jelas hanya sekali saja dia
mampir ke kios kami.
Sebenarnya ada apa ya, Nona?

Raina: Oh, tidak apa-apa. Saya hanya ingin Raina memegang bahu Danya, lalu pergi ke
Tanya-tanya saja. Terima kasih ya. kedai

Danya: Kenapa semakin banyak orang aneh Geleng-geleng.


mampir ke pasar…
Buyon: Siapa dia, Danya?

Danya: Tidak tahu, Paman. Sepertinya dia


ada perlu dengan Kazima. Buyon manggut-manggut, lalu kembali
duduk. Danya dan Johan bertatapan, tapi
tidak saling menyapa. Acuh tak acuh saja.

Supi: Kak, kenapa kita tidak pergi saja dari Sebelum benar-benar sampai di kedai,
sini? Raina menurunkan penutup wajah yang
Uang yang ditawarkan Tuan Goma tempo menempel di topinya, mengenakan
hari itu cukuplah untuk memulai hidup baru di kacamata hitam.
tempat lain. Malino menyambut, mempersilakan
Siapa tahu nasib kita lebih baik dari duduk. Raina bertingkah seperti
sekarang. pelanggan biasa.

Danya: Belum tentu, Supi. Memangnya


kamu mau pindah ke mana?

Supi: Ke kampung mungkin?

Danya: Hahaha, ini kampungmu, Supi. Ini


kampung kita. Sejak lahir kita sudah tinggal di
sini. Menunjuk-nunjuk tanah yang diinjaknya.

Supi: Bapak dan ibu kan asalnya dari Otikas.


Kita pergi saja ke sana.

Danya: Otikas memang kampung halaman


bapak dan ibu, tapi bukan kampung halaman
kita.
Yang kudengar, di sana hanya ada kebun
dan ladang. Penduduknya menggarap lahan
untuk hidup. Memang kamu bisa bercocok
tanam?
Bahkan mereka mengirim anak-anak mereka
ke Metropole supaya bisa hidup layak, eh kau
malah ingin ke Otikas. Ck..ck..ck…

Supi: Kita kan bisa belajar, Kak.


Danya: Dengar, aku tidak tahu lagi tempat
terbaik untuk kita tinggal selain di sini. Inilah
rumah kita dahulu dan sekarang. Tidak ada
keluarga atau siapapun yang aku kenal di
dunia ini, kecuali orang-orang di pasar ini.
Merekalah keluarga kita, sejak dulu hingga
sekarang.
Sebanyak apapun uang yang ditawarkan
tuan berjas necis itu, tetap tidak bisa membeli
keluarga.

Supi: Abang Igo?

Danya: Bahkan mendiang bapak dan ibu


sudah menganggap dia tidak ada. Jangan
kau sebut-sebut lagi pengkhianat itu. Sudah,
ayo jalan lagi.

Supi menurut. Mereka kembali


mengangkut peti telur dengan hati-hati.

Danya: Kalau kamu berkeras ingin pergi dari


sini, sana pergi cari calon suami yang
asalnya bukan dari Metropole.
Aku hanya mau melepasmu pergi jika kau
ikut merantau dengan suamimu.

Supi: Aku tidak mau menikah kalau kakak Mahisa muncul dari salah satu sisi
belum menikah. panggung.

Danya: Nah, kalau begitu kamu akan tinggal


di sini sampai mati. Berpapasan dengan Mahisa yang hendak
pergi ke kedai.
Mahisa: Mari sini abang saja yang bawa.
Danya: Oh tidak apa, terima kasih, bang. Saya Sambil terus jalan.
masih kuat.

Mahisa: Pura-pura lemah lah sekali-sekali,


Danya. Biar abang kelihatan perkasa...hehehehe.
Malino menyambut di depan kedai.
Malino: Kalau cucianku hanyut di sungai abang
mau bantu ambil?

Mahisa: Wah, biar yang lain saja yang bantu


ambil, Lin.

Malino: Loh, katanya mau kelihatan perkasa.


Tolong aku dong.

Mahisa: Apa saja boleh, asal jangan yang


berhubungan dengan sungai. Abang tidak bisa
berenang!

Malino: Hmm, payah ah. Mencibir.

Mahisa: Kopi hitam ya, Lin. Gulanya tiga sendok.


Pisang goreng ada? Goma masuk ke kedai, perhatian Malino
segera beralih.

Malino: Eh, Tuan Goma. Segera menghampiri Goma, sambil menengok


kiri-kanan.
Pak Ludi sudah berangkat. Berdiri merapat Goma. Raina tetap duduk
dengan tenang. Diam-diam memperhatikan.
Goma: Bisa tolong panggilkan Kazima.

Mahisa: Malino! Memanggil setengah berbisik.

Malino: Nanti juga dia keluar, sedang ke Dengan kenes makin merapatkan diri dekat
belakang sebentar. Goma.

Mahisa: Malino! Memanggil dengan volume suara normal.

Malino: Tuan sudah makan? Mau coba roti bakar


buatan saya?

Mahisa: Malino! Pesananku! Memanggil dengan suara yang meninggi.


Melotot gemas.

Goma: Ah tidak usah, terima kasih. Saya ada


perlu dengan Kazima saja.

Mahisa: Tuh, dia tidak mau beli apa-apa. Ayo


cepat bawakan pesananku!
Malino: Ih, si abang ini. Merusak kesenangan
orang.

Mahisa: Bhahahahahaha! Kamu senang, dia tak Tertawa geli.


senang. Lihat lah itu wajahnya, Malino, pucat
sejak melihatmu!
Malino pergi ke belakang dengan cemberut,
Goma tetap berdiri kalem dan senyum tipis.
Lalu tak lama Kazima muncul. Kazima
menyingkir sedikit dari kedai, sambil
menengok kiri-kanan. Gelagat membicarakan
sesuatu yang rahasia.

Johan datang ke kedai, langkahnya melambat


di depan kedai. Senyum-senyum bingung,
matanya mencari-cari Kazima.

Mahisa: Hai, Bung. Cari siapa? Mengangkat dagu, bertingkah superior.

Johan: Saya...anu.... Johan salah tingkah. Malino datang membawa


Saya....cari Kazima. Ada? pesanan Mahisa.

Mahisa: Wah, nona kita itu sedang sibuk hari ini,


Bung. Itu dia di sana. Mari sini duduk dulu, sambil Menunjuk ke arah Kazima dengan dagu. Air
tunggu dia selesaikan urusannya. muka Johan berubah lesu ketika melihat
Kazima dan Goma.
Johan: Terima kasih. Saya di sini saja. Canggung. Malino mendekati Johan.

Malino: Nona Kazima hampir setiap saat sibuk,


kalau saya tidak. Banyak waktu senggang. Genit.
Ada yang bisa saya bantu?

Johan: Eng, tidak. Terima kasih. Ludi masuk dari sisi lain kedai,
Anu, saya Cuma mau mengantar kembalian. Tadi mengangkut karung kopi. Matanya
dia belanja, belum saya kasih kembaliannya. sambil memperhatikan kedai.

Mahisa: He? Kamu pedagang di sini? Jualan Kaget.


apa? Kok saya tidak tahu.....
Hmm...saya baru tahu ada orang pasar yang Matanya memeriksa Johan dari ujung kepala
necis begini. sampai kaki Johan.

Johan: Saya Johan, kemenakan Paman Buyon,


kios buah situ. Menunjuk kios Buyon.
Saya baru datang hari ini, sementara bantu-bantu
paman sampai dapat pekerjaan.

Malino: Wah, saya baru tahu Pak Buyon punya


kemenakan begini tampan.
Kalau suatu hari saya belanja ke kios dan lupa
ambil kembalian, susul saya juga ya? Senyum-senyum menggoda.

Mahisa: Hush! Sana-sana ke belakang saja!


Kamu kayak lalat saja. Tiap ada lelaki yang
datang pasti ditempel.

Malino: Ck! Melipir.


Kalau cemburu bilang saja terus terang. Tidak
usah bertingkah menyebalkan, huh! Balik badan dgn gestur tetap genit.

Kazima dan Goma nampak sudah selesai


bicara. Goma buru-buru pergi. Kazima
mendekati Johan.
Kazima: Cari saya? Ada apa ya? Supi dan Danya berjalan ke kedai,
masing-masing membawa
sekeranjang penuh telur.
Johan: Ini uang kembalian pembeli apel tadi, Menyodorkan uang, matanya berbinar-binar.
dua kron. Kazima menyungging senyum sambil melipat
tangannya di dada.

Kazima: Buat kamu saja. Kan sudah saya


bilang tadi, ambil saja kembaliannya.
Kalau mau kenalan, bilang terus terang saja. Menyodorkan tangan sambil tersenyum geli.
Ayo, tidak apa-apa? Mahisa tertawa meledak. Johan gugup, salah
tingkah, merasa malu.

Ludi berjalan lambat ke depan kedai dari arah


dalam.

Johan: P-permisi! Menunduk malu, lalu buru-buru balik badan


dan pergi, berpapasan dengan Supi yang
membawa keranjang telur dan Danya
yang berjalan di belakang Supi. Terjadilah
tabrakan beruntun yang berakibat
pecahnya beberapa butir telur dari
keranjang Supi.
Makin meledaklah tawa Mahisa, Kazima
menutup mulutnya, menyembunyikan
tawanya.

Danya: Hei! Kalau jalan pakai mata! Membentak dengan ketus.

Johan: Aduh, ma-maaf maaf. Permisi! Raina memperhatikan Johan.

Mahisa: Ahahahahaha, sial betul dia. Sudah


jatuh tertimpa tangga pula.

Ludi: Kazima. Siapa itu?

Mahisa: Kemenakan Buyon dia itu.


Ck..ck...ck...terlalu sadis kau, Kazima. Orang baru
sudah dibuat malu begitu. Kasihan.

Ludi: Kazima, cepat susul dia, minta maaf!


Tidak sopan membuat orang lain malu di
muka umum.

Kazima: Loh, salahku apa? Justru dia yang


menyinggung perasaanku, tidak mau diajak
salaman.

Ludi: Perkataanmu tadi lebih dulu menyinggung


perasaannya. Ayo lekas pergi minta maaf!
Melotot.
Kazima berlari dengan muka sebal,
menyusul Johan ke kios buah. Ludi
mengawasi dari kejauhan sambil berkacak
pinggang.Johan mengeraskan rahang
karena kesal dan malu.Raina masih terus
memerhatikan Johan. Buyon
memerhatikan tingkah mereka.

Kazima: Saya minta maaf ya. Maafkan


tingkah saya yang menyebalkan tadi. Menyodorkan tangan.

Johan: Sejenak diam.


Ya. Terima kasih sudah menyadarinya. Menjabat tangan Kazima.

Kazima: Lain kali jika ingin bertemu saya, Tersenyum tulus & manis.
terus terang saja.
Tak apa kok ajak saya kenalan, mengobrol,
lalu kita pergi jalan-jalan. Tidak usah cari-cari Menggeleng, mengerutkan hidung sambil
alasan sebelumnya. Trik usang. mengibas tangan di depan mukanya.
Dah! Sampai jumpa. Melambaikan tangan lalu berbalik pergi
kembali ke kedai.
Johan: Ish! Kenapa sih perempuan itu?
Percaya diri sekali!

Buyon: Hihihihi...memang iya kan? Kau pergi Terkekeh geli.


ke kedai sebenarnya untuk kenalan dengan Di kedai, Raina menghabiskan kopi,
dia, toh? Bukan untuk kembalian itu. Kan membayar pesanan pada Malino lalu pergi
sudah kuberi tahu, Kazima itu beracun. Nah, menuju kios Buyon.
sekarang kau rasakan sendiri racunnya.

Johan: Iya, iya. Sudahlah jangan dibahas Garuk-garuk kepala yang tak gatal.
lagi.

Buyon: Hehehe...turutilah nasihat orang tua,


maka kau tidak akan merugi. Menepuk bahu Johan.
Pergi ganti bajumu di belakang sana! Raina pura-pura lewat di depan kios buah,
Tampilanmu kurang menyatu dengan pasar ini. mengamati sekitar,

Johan pergi ke belakang sambil memanggul fokus cahaya beralih dari kios Buyon
ranselnya. Buyon di kios memperhatikan ke kedai Ludi.
Raina dengan wajah penuh tanya.. Raina
pergi keluar pasar.

Kazima berada di balik meja kasir, bertingkah


seakan tidak ada apa-apa. Ludi
memperhatikan gelagatnya sambil mendekat
perlahan.

Ludi: Lelaki berkacamata tadi...siapa? Kazima kaget, tapi berusaha disembunyikan.

Kazima: Oh, teman lama.

Ludi: Masa?
Bapak hapal semua kawanmu sejak kau masih
kecil sampai kau sebesar ini.
Wajah itu tadi baru akhir-akhir ini saja kulihat.
Kenapa juga dia selalu pergi ketika bapak ada?
Kazima: Karena sering bergaul dengan polisi-
polisi itu, apa Bapak sekarang jadi polisi juga?
Senang betul cari-cari tahu urusan orang.

Ludi: Kamu itu anakku! Menjawil hidung Kazima.


Hanya satu-satunya yang Bapak punya di dunia.
Kalau kamu sampai kenapa-kenapa...
membayangkannya saja Bapak tidak mau!

Jelas Bapak berhak tahu siapa-siapa saja yang


berhubungan denganmu. Apalagi kalau lawan
jenis...

Kazima: Pak. Kita pindah saja yuk dari sini.

Ludi: Eh, mengalihkan pembicaraan. Tidak mau!

Kazima: Kalau ada yang mau bayar tanah kita ini


dengan harga lima kali lipat dari yang ditawarkan
pemerintah kota, Bapak mau pindah?

Ludi: Tidak mau!

Kazima: Pak, kita pasti bisa membuka kedai


seperti ini di tempat lain.

Ludi: Kenangan dengan ibumu tidak ada di


mana-mana lagi selain di sini, Kazima.

Kazima: Bapak, ibu sudah tidak ada dan tidak Nada suaranya meninggi.
akan ada lagi!
Kapan saja kita bisa dipaksa keluar dari sini,
mungkin dalam hitungan hari dari sekarang.
Lebih baik kita terima saja uangnya lalu pergi
baik-baik dari sini!

Ludi: Kesalahan apa yang sudah kubuat selama Terperanjat.


mendidikmu?
Kenapa kamu jadi begini....materialistis?

Kazima: Bapak pikir aku sanggup melihat Bapak


pukul-pukulan dengan aparat?
Bapak kira aku sanggup melihat kedai, rumah kita
yang penuh kenangan ini dicabik-cabik alat
berat?
Ini bukan soal uang, Pak. ini soal kenyataan yang
harus kita terima dan hadapi dengan arif.

Ludi: Jika menuruti keinginan penguasa itu arif,


maka Bapak memilih untuk tidak menjadi arif.
Tanah ini milik Bapak....dan tanah ini tidak akan
Bapak jual pada siapapun. Bersiap pergi ke belakang, berhenti sebentar,
berbalik ke arah Kazima lagi.
Kamu juga masih milik Bapak! Mendadak suaranya mengeras.
Tidak boleh ada lelaki manapun yang berani
kucing-kucingan menemuimu tanpa
sepengetahuan Bapak!
Sekali lagi lelaki itu ke mari dan sengaja
menghindar bertemu dengan Bapak, kutembak
kepalanya saat itu juga. Paham?

Kazima tercengang, mengangguk saja. Lalu


Ludi pergi ke belakang.
Lampu meredup lalu mati. Latar
berubah.

Latar malam. Johan sendirian


Johan: Kenapa aku tidak bisa berhenti Tiduran bersandar tangan yang terlipat di
memikirkan gadis itu? belakang kepala. Melihat bulan di langit.
Sebenarnya aku tidak suka. Ngomong sendiri.
Tapi semakin aku tidak suka, aku malah jadi
semakin suka.
Ini bukan cinta kan?
Tidak mungkin ini cinta.

Gestur Johan seperti orang mabuk. [ada tarian utk scene ini] Getir manis senyumannya,
Tak ingin kupandang tapi hati ingin.
Angkuh anggun pembawaannya,
Slira dengan penutup muka muncul agak jauh Tak ingin kukenang tapi hati ingin.
di belakang Johan dengan belati di tangannya. Nampaknya pun tak manis budinya,
Setiap kali Slira mau mendekat, Johan Tak ingin aku mendekat tapi hati ingin.
bergerak menghadap ke belakang, Slira jadi
kesulitan menangkap Johan. Siapakah itu nona jelita?
Pantaskah dimiliki hatinya?
Makin lama Johan mendekat ke kedai Ludi Atau baiknya untuk pemanis mataku
yang tutup. Memandangi meja kasir tempat saja?
biasa Kazima berdiri
Ibarat diri menjadi Hawa, nona jelita lah
si buah legenda.
Bila pun hanya kuraih, akankah menjadi
dosa
Dari belakang Danya muncul, Slira langsung Atau sebatas neraka bagiku saja?
kabur. Danya memerhatikan Johan sambil
terkikik geli. Digila-gila aku.
Aku tergila-gila.
Johan: Nona jelita, sudilah berdansa denganku. Berbicara seakan-akan Kazima ada di
depannya.

Danya: Tidak mau! Johan kaget, malu, salah tingkah.

Johan: Eh, nona telur. Celingak-celinguk.


Sudah lama di sini?

Danya: Nona telur??

Johan: Nona yang tadi siang bawa telur lalu saya Malu-malu
tabrak.

Danya: Iya. Kau hutang padaku empat belas Pura-pura judes.


butir ya!

Johan: Maaf... nanti kalau saya sudah punya


penghasilan, pasti saya ganti, Nona... Menggantung di ujung kalimat, maksudnya
mengajak kenalan, menyodorkan tangan.

Danya: Danya. Namaku Danya. Jangan panggil


nona telur lagi ya. Menyambut tangan Johan.

Johan: Saya Johan, kemenakan Paman Buyon.


Eng... Danya sedang apa malam-malam begini?

Danya: Kamu sendiri sedang apa di sini?


Menari-nari seperti orang gila di malam buta.
Sedang latihan ya?

Johan: Latihan?

Danya: Latihan mengajak Kazima berdansa.


Hahahahahah. Johan malu. Tambah salah tingkah.
Memang begitu ya kalau orang jatuh cinta?
Jadi kehilangan kewarasan?

Johan: Ini bukan cinta kok. Mungkin saya hanya


suka saja..

Danya: Mungkin?? Hah! Hipokrit! Gemas.


Hai, Bung. Kalau betul suka, akui saja lah! bilang Mendadak sok akrab.
juga di depannya, ‘hai, Kazima. Aku suka kamu!’
begitu.
Beres kan. Tidak merana berkepanjangan, tidak
perlu salah tingkah, dan tetap waras. Ya kan?

Johan: Eng...tapi saya kan baru saja kenal Garuk-garuk belakang kepala.
Kazima. Mana mungkin....

Danya: Yah, aku hanya kasih saran saja. Supaya


besok-besok kau tidak kepergok orang sedang
menari-nari sendirian seperti tadi. Hihihihi.
Beruntunglah kau, ini Cuma aku.
Berita kegilaanmu malam ini tidak akan sampai
terdengar orang satu pasar.
Duduk bersila memandangi bulan.

Johan: Terima kasih ya. Menunduk hormat, lalu ikut duduk bersila
dengan gaya yang canggung.
Nah, kau sendiri sedang apa ke mari?

Danya: Mau nonton itu. Menunjuk bulan.

Johan: Bulan ditonton?


Hahaha. Gadis gila.

Danya: Daripada nonton televisi, jadi bodoh!


Waktu aku kecil, penduduk kota ini merayakan
malam bulan purnama di pasar hingga tengah
malam.
Orang-orang ke luar makan malam atau minum-
minum, sambil mengobrol di kedai-kedai. Anak-
anak main kejar-kejaran, makan gula-gula. Ada
panggung boneka anak di sebelah sana. Meriah Menunjuk ke arah dekat kios bunga.
sekali.
Sejak televisi mulai ada di Metropole. Tidak ada
lagi yang mau datang ke pasar tiap malam bulan
purnama. Semua sibuk nonton televisi, seperti
orang kena hipnotis.
Termasuk juga adikku...hahaha.
Jadi aku di sini, menemani bulan yang sendirian.
Johan terpana, tidak berhenti menatap Danya,
tanpa suara, tersenyum saja.
Danya terlambat sadar. Danya baru menoleh
ke arah Johan setelah hening yang panjang.
Lalu mereka saling bertatapan.

Slira: Hai, sedang apa di situ? Slira yang sudah berseragam polisi menyorot
Johan dan Danya dengan senter.

Danya: Kami hanya duduk-duduk saja. Memicingkan mata karena silau.

Slira: Ayo pulang sana! Tidak aman berada di


luar hampir tengah malam begini. Kalian tahu kan
kemarin malam ada yang terbunuh, kalian mau
jadi korban berikutnya?

Danya dan Johan menggeleng, lalu balik


badan pergi pulang.
Slira masih menyenter ke sana ke mari.
2 Lampu mati..
Latar berubah.
Jargo, Dirat dan Satru sedang berolah raga.
Jargo: Dirat, ayo segera bergerak. Jangan lagi
ditunda-tunda!

Dirat: Kita tidak bisa serta-merta mengusir


mereka pergi.

Jargo: Kenapa tidak bisa?


Kamu pemimpin mereka, Dirat. Sudah sepatutnya
rakyat tunduk patuh pada pemimpin.
Apalagi ini kali pertama Metropole
membangun pasar secara resmi.
Jajak pendapat sudah dilakukan. Sebagian
mendukung proyek pembangunan pasar baru ini.
Apalagi yang kurang?
Dirat: Pemerintah pusat belum juga mencairkan
dana untuk membayar pembebasan lahan.

Jargo: Pakai uangku! Jangan sama degilnya


kau dengan walikota-walikota sebelumnya.
Sudah kubilang, pakai saja uangku! Tugasmu
hanya menyediakan lahannya saja.

Dirat: hmm.. Menggeleng.


Bagi saya sisa sebagian rakyat yang menolak
pembangunan pasar ini serius, Pak. bukan
sebatas persoalan besar-kecil uang ganti rugi.
Mereka tidak mau jika Bapak yang mendanai
proyek ini. Mereka menolak praktek monopoli
swasta.

Jargo: Apa salahnya jika hanya aku yang Marah yang berapi-api.
mampu, heh?
Jika terus menunggu pemerintah pusat
mengucurkan dana, Metropole tidak akan
pernah punya pasar modern. Tidak akan
maju. Tidak akan terpandang. Stagnan begini
saja. toh selama ini pemerintah pusat tidak
tertarik mengurusi kota kecil seperti Metropole
kita ini.

Satru: Masalahnya lagi, Jargo. Tanah itu


milik mereka. Tentu kau tahu jika bukan
karena inisiatif para pendahulu mereka, kota
ini tidak akan punya pasar. Tidak ada pusat
geliat ekonomi.
Lalu sekarang kita mau mendepak mereka
keluar dari tanah mereka sendiri. Geleng-geleng.
Seperti orang tak tahu balas budi saja.

Jargo: Kematian pasar lama bukan kesia-siaan.


Ini demi melahirkan pasar baru yang lebih layak.

Satru: Layak untuk siapa? Untuk yang berduit


saja?

Jargo: Sebenarnya kamu memihak siapa sih?


Satru: Jangan salah paham. Maksudku,
pikirkanlah cara yang lebih halus.
Ingat, Dirat baru menjabat. Tak baik jika Dirat
terkesan otoriter, bisa pecah huru-hara.

Jargo: Huru-hara mengusir investor. Metropole


punya seorang Jargo Yudha, Metropole tidak Tepuk dada.
perlu investor!
Kuterima baik buruknya kota ini, asalkan tidak
menolak diajak maju. Menengok ke arah Dirat.
Kau hanya kurang nyali saja, Dirat. Aku
selalu di belakangmu. Tidak perlu khawatir
soal pendanaan.

Dirat: Justru karena Bapak selalu ada di


belakang saya maka saya selalu khawatir.

Jargo: Apa maksudmu? Menaikan alis.

Satru: Ssh..ssh! Urusan menantu dan mertua Melerai, menunjuk wajah Dirat.
nanti saja kau bicarakan di rumah.
Ada perkembangan yang berarti dari Goma?

Jargo: Loh, kenapa tanya? Harusnya kami yang Sewot. Muka Satru berubah gusar.
tanya. Dia kan anak buahmu. Jargo berhenti lari, mengelap mukanya
dengan handuk.
Jargo: Dirat... Kau pendatang. Pengetahuanmu
soal kota ini tentu tidak seberapa. Cintamu pada
kota ini pun mungkin hanya sekedarnya.
Tapi aku... aku lahir dan besar di kota ini. Seumur
hidup aku mencintai Metropole.
Orang pikir aku gila kekuasaan, menggunakan
segala cara untuk menguasai kota ini.
Persetan lah!
Aku hanya ingin menjaga Metropole, melihatnya
tumbuh dan berkembang.
Metropole punya potensi untuk menjadi besar.
Hanya karena Metropole bukan ibukota negara
lantas selalu dinomorduakan pemerintah pusat. Mendengus kesal, membuang muka.

Dirat: Pak. saya sepenuhnya paham maksud


Bapak. Saya tahu Bapak hanya menginginkan
yang terbaik bagi Metropole.
Tapi bagaimanapun saya lah pemimpinnya, saya
yang memutuskan dengan cara apa saya akan
bertindak.

Jargo: Ya, kita lihat saja. Menepuk-nepuk bahu Dirat . Berpapasan Diani masuk.
Diani, sepulang dari sini bawa Dirat jalan-jalan. dengan Diani yang membawakan botol air.
Bersenang-senanglah kalian. Dirat kurang Jargo mengambil sebotol lalu minum.
rekreasi.
Diani mengangguk, Jargo pergi ke luar. Satru
juga ikut ke luar.

Diani memberi botol air minum pada Dirat.

Diani: Ada apa sih?

Dirat: Hhff...
Bapakmu, sulit sekali menghadapinya.
Ya, memang beliau sangat berjasa atas
semua pencapaian ini. Tapi aku lelah
menuruti semua perintahnya. Memang kami
satu tujuan, tapi caranya.....sering
bertentangan dengan nuraniku.

Diani: Sabar ya?


Papa tidak pernah bermaksud jahat pada
siapapun. Sifatnya memang ambius,
terutama menyangkut Metropole.
Harus kamu pahami, bapak lahir dan besar di
Metropole. Seumur hidup didedikasikan untuk
kemajuan Metropole. Kekalahannya di
pemilihan yang lalu memang mengubah
perangainya sedikit. Bayangkan betapa besar
rasa kecewa yang ditanggungnya.
Aku bersyukur...setidaknya kemenanganmu
menyenangkan hatinya.

Dirat: Kamu tidak mengerti rasanya jadi aku.


Kamu tahu? Rasanya aku seperti tidak punya
harga diri, diatur-atur seperti ini,
Diani: Kamu pikir aku tidak demikian?
Tidak mudah hidup sebagai anaknya.
Seumur hidup aku berada di bawah
kendalinya. Dari mulai hal-hal kecil seperti
aku harus pakai baju apa, lalu harus bergaul
dengan siapa, harus sekolah di mana, harus
kuliah di mana jurusan apa, harus menikah
dengan siapa,

Dirat: Ehmm.

Diani: Ehehe, yang terakhir sungguh tidak Kaget.


pernah kusesali.

Intinya, sabar saja. Ikuti saja arahannya. Selama


kita menurut, maka tidak akan ada masalah.
Aku setuju dengan papa. Kamu kurang jalan-
jalan. Apa urusanmu sudah selesai? Memijit-mijit pundak Dirat.
Ayo kita jalan-jalan.

Ups, sepertinya aku harus tunggu di luar ya? Satru masuk ke ruangan.
Aku ke pasar dulu ya. Ada yang mau kubeli. Kita
bertemu lagi di rumah.
Berpamitan mesra dengan Dirat.
Dirat: Tuan, bagaimana ini?
Mengapa sama sekali tidak ada kabar dari Tuan
Goma?

Satru: Sabar dulu, Dirat. Kita semua tahu ini


bukan perkara mudah.

Dirat: Uangnya...
Apa Tuan Goma sudah membawa seluruh uang
itu?

Satru: Ya, tentu. Uang tunai. Supaya rencana


kita berjalan mulus. Goma itu negosiator ulung,
ditambah dengan uang tunai di depan muka, Menyeringai jumawa.
siapa lah yang tahan menolak.

Dirat: Tuan percayakan begitu saja?

Satru: Ya. Dia salah satu anak buahku yang


setia dan terbaik di bidangnya. Aku yakin dia tidak
akan mangkir dari tugas... Apalagi sampai
membawa lari uang itu.

Dirat: Ya semoga saja dia sebaik sangkaan Mendengus sinis.


Tuan.
Tuan tahu sendiri kan, jika kita tidak bisa Tiba-tiba Goma masuk.
menangani ini dengan cara halus maka bapak,

Satru: Nah! Ini dia yang kita tunggu-tunggu. Memotong Dirat bicara. Sumringah.
Sudah kubilang, dia dapat diandalkan.

Goma: Ada apa? Apa mulai ada kabar bahwa


aku membawa lari uang? Melirik Dirat.

Dirat: Langsung saja. Bagaimana hasilnya?


Mengapa selama ini tidak memberi kabar?

Goma: Hmm... Saya akui, saya kalah taji dengan


orang-orang pasar. Mereka tidak silau dengan
uang. Tanah itu tetap mereka pegang erat.

Satru: Jadi si Ludi itu menolak uang lima puluh


juta kron?

Goma: Hmm. Mengangguk.


Ah, tapi jangan khawatir. Ludi bukan satu-satunya
orang yang didengarkan di pasar itu.
Ada Buyon, pedagang buah. Dari usaha miliknya,
kelihatan jelas bahwa keadaan Buyon jauh lebih
melarat ketimbang Ludi.
Siapa tahu orang ini lebih berselera terhadap
uang..hahaha.

Dirat: Sekarang uangnya di mana?

Goma: Tenang saja. Aman. Tidak mungkin saya


jinjing ke mana-mana.
Ayolah, jangan begitu curiga!
Beri saya waktu dua hari dari sekarang. Dua hari.
Jika saya gagal, saya kembalikan uangnya, dan
silakan bongkar paksa pasar itu.
Dirat: Saya tidak mau ada bongkar paksa!

Goma: Mau bagaimana lagi, Tuan?


Persoalan negosiasi begini sayalah yang terbaik.
Jika saya gagal, maka tak ada lagi yang bisa.
Terpaksa harus Anda bongkar paksa supaya
rencana Anda bisa jalan.

Dirat: Jeda.
Datanglah ke sini tepat dua hari lagi, setelah
tengah hari.
Mau bergegas pergi.

Goma: Tuan! Mencegat Dirat.


Sekiranya saya gagal, bagaimana jika pasar
yang baru kita bangun di ujung timur
Metropole, mendekati kota satelit. Ada lahan
yang kosong yang cukup luas untuk dijadikan
pasar di sana.

Dirat: Tidak, tidak! Terlalu jauh. Kota satelit


sebelah timur sana masih kumuh.
Keberadaan pasar baru yang modern ini tidak
akan sesuai dengan keadaan sekelilingnya.
Bapak mertuaku, penggagas proyek ini,
pastinya juga tidak akan setuju.

Satru: Menurutku ide Goma ini bagus, Dirat.


Siapa tahu keberadaan pasar modern di sana
bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi
penduduk sebelah timur. Kita bikin maju yang
kumuh. Toh pemekaran kota pada umumnya
bergerak ke luar, bukan ke tengah. Mengilustrasikan gerak bunga mekar dan
sebaliknya dengan tangan.
Dirat: Agenda saya bukan untuk
mengadakan pemekaran.
Tuan Satru, Anda mengenal Bapak mertua
saya jauh lebih lama dari saya mengenal
beliau.
Nah, Anda pasti tahu bahwa keinginannya
tidak bisa ditawar-tawar.
Tuan Goma, saya sepenuhnya percaya pada
keahlian Anda. Tolong jangan kecewakan
saya. Ingat-ingatlah dengan imbalan yang
akan saya berikan jika Anda berhasil
menjalankan tugas Anda sesuai dengan
Menepuk-nepuk bahu Goma, lalu pergi .
harapan kami.

Satru: Dari mana saja kau? Meremas kerah Goma


Jangan diulangi lagi kejadian seperti ini! Bikin
malu! Kau seperti amatiran saja. Goma dihempas dengan kesal.

Goma: Maaf, Tuan. Yang penting sekarang


saya di sini.

Satru: Tolong selalu beri kabar, apapun yang


terjadi.
Rencana kita ini bukan semata demi uang.
Kita harus tampak sangat sungguh-sungguh
menyokong keinginan Dirat. Apapun itu.
Supaya Dirat lebih percaya pada kita
ketimbang bapak mertuanya.
Jangan lagi kau tawarkan alternatif seperti
tadi! Paham?

Goma: Baik, Tuan.


Kalau begitu, mohon tambahkan uang pelicinnya
untuk membujuk tukang buah itu. Supaya urusan
ini cepat selesai.

Satru: Loh. Uang pelicin untuk Ludi berarti utuh


toh?

Goma: Saya coba gandakan supaya orang itu


betul-betul tidak mampu menolak.
Anda mau urusan ini cepat selesai atau tidak?

Satru: Ggrrr!
Ya kau ke kantorku sana. Minta uangnya pada
asistenku

Diani di pasar. Semua pedagang menatap


Diani. Beberapa pengunjung dan pedagang
Nampak menghampiri Diani untuk
bersalaman, sebagian lainnya hanya
menganggukan kepala tanda hormat. Diani
berhenti di depan kios Buyon.

Diani: Hai. Sudah lama tak bertemu. Apa Salah tingkah


kabarmu?

Buyon: Dunia tetap berputar, waktu terus


berjalan, dan aku baik-baik saja.
Angin apa yang membawamu ke mari? Salah tingkah.

Diani: Biasa… pekerjaan perempuan, belanja.


Hahaha. Berusaha mencairkan suasana.
Aku mau masing-masing satu kilo.

Buyon: Wah. Suatu kehormatan bagiku bisa


melayani wanita nomor satu di Metropole.

Diani: Jadi…. Kau sendirian di sini? Di mana


Nyonya Buyon?

Buyon: Hehehehehe… tidak ada Nyonya Buyon.


Ada kemenakanku yang membantu, tapi dia
sedang pergi, mencari pekerjaan di sana. Menunjuk ke arah gedung-gedung Metropole
dengan dagu.
Diani: Kau belum menikah?

Buyon: Belum ada wanita lain lagi setelahmu.

Kemudian mereka berdua terdian dalam jeda


yang canggung. Buyon sudah selesai
menimbang dan membungkus buah. Diani
dengan gugup mengambil dompet dalam tas.

Buyon: Ah, tidak perlu!


Hadiah dariku. Terimalah. Hadiah sederhana
untuk kau dan.....suamimu.

Eng...seingatku kau suka sekali makan buah. aku


tidak tahu bagaimana dengan suamimu.
Semoga dia juga suka.

Diani: Terima kasih… Terharu, kikuk.

Buyon, bangunlah kehidupan baru di tempat lain.


Kau lelaki baik...
Kau layak mendapatkan yang lebih baik dari ini.

Buyon: Apa suamimu yang menyuruh ke mari


untuk membujukku pindah?
Untuk itukah kau ke mari? Setelah bertahun-
tahun kau menolak menemuiku..

Diani: Tidak! Sama sekali tidak. Dirat sama


sekali tidak tahu tentangmu.
Aku hanya ingin kau meneruskan hidupmu
dengan merdeka. Bebas dari kenangan masa
lalu. Terlalu banyak kenangan kita di sini. Tidak
baik untukmu. Aku ingin kau bahagia juga.

Buyon: Hahahaha.
Kenangan itu ada di sini dan sini. Tertawa getir.
Apa kepala dan hatiku harus dibuang juga? Menunjuk kepala dan dada

Tidak perlu kau ajari bagaimana aku meneruskan


hidup, Diani.
Tidak perlu…

Dirat: Ah, di sini kau rupanya. Beli apa? Dirat menghampiri Diani.
Diani kaget sampai bahunya naik.

Diani: I-ini, aku mau beli buah. tapi Tuan penjual


buah ini malah menghadiahkan ini semua untuk
kita.

Dirat: Terima kasih banyak, Tuan. Terima kasih. Dirat sumringah, mengulurkan tangan,
menjabat tangan Buyon.

Buyon: Semoga Anda menyukainya, Tuan Senyum tulus.


Walikota. Sehat-sehatlah selalu.
Hari-hari yang berat menunggu di depan. Perlu
tubuh yang sehat untuk menghadapinya.
Wajah Dirat berubah tidak enak, terbayang
bagaimana dia harus segera menggusur pasar
demi mewujudkan proyek mertuanya. Diani
menangkap kegamangan itu, segera Dirat
dituntun menjauhi kios. Diani menyenderkan
kepalanya di bahu Dirat, mereka berjalan
keluar pasar.
3 Kazima berdiri gelisah di sudut pasar, Lagu Di Ujung Malam. Di sudut pasar, malam, lampu
sembunyi. remang-remang.
Goma tiba-tiba datang mengamit lengan
Kazima, mengajak berdansa.

Kazima: Lama sekali!


Kalau sampai bapakku sadar aku tidak di rumah,
kita betul-betul celaka!

Goma: Heheh, santai saja. Terkekeh. Menatap Kazima agak lama.


Tahu tidak? Sampai detik ini aku masih tidak
percaya bisa sedekat ini denganmu.
Kau sungguh-sungguh mau ikut denganku?

Kazima: Ya. Kenapa?

Goma: Kau tidak takut?

Kazima: Takut apa?

Goma: Kecewa padaku.

Kazima: Memang kau sampai hati membuatku


kecewa, hmm?

Goma hanya tersenyum.


Kazima: Dari sekian banyak lelaki yang katanya
mencintaiku, tapi hanya kau yang dengan gigih
mendekat. Kuhargai nyalimu, Tuan.
Aku yakin kau tidak akan merusak piala
kemenanganmu.

Goma menempelkan dahinya di dahi Kazima.


Goma: Jadi, ke mana kita akan pergi?
Kazima: Ke manapun. Asal bisa keluar dari sini.

Goma: Lalu bapakmu?


Dia tidak akan mau ikut dengan kita. Akan kau
tinggalkan begitu saja?

Kazima: Ya. Jika dia tahu aku pergi, pasti dia


akan pergi juga dari sini. Kapan kita akan
berangkat?

Goma: Dua hari lagi, asalkan aku berhasil


membujuk Buyon pindah dari sini. Kesempatan
terakhir membuat mereka pindah dari sini.
Aku yakin sebentar lagi, mungkin kurang dari
sepekan, tempat ini akan dibongkar paksa.

Kazima: Bagaimana bisa begitu yakin?

Goma: Situasi di pemerintahan kota sedang


memanas. Si pemilik modal sudah tidak sabaran.

Kazima: Kalau begitu biar aku saja yang dekati


Buyon.

Goma: Kenapa harus kau? Kenapa bukan aku


saja?

Kazima: Aku kenal kemenakannya.

Goma: Oh, baiklah.

Kazima: Dengan tawaran yang sama bukan?

Goma: Ya. tapi jika kau berhasil membujuknya,


maka tidak ada uang untuk bapakmu.

Kazima: Minta lagi saja.

Goma: Tentu aku bisa minta lagi, asalkan


bapakmu mau pindah.

Kazima: Kan kau bisa berbohong. Mereka tidak


akan tahu.
Ayolah, kita sudah kepalang membohongi Membujuk dengan halus.
mereka.
Sediakan lagi uangnya, sisanya biar kuurus.

Goma: Kemenakan Buyon, Di sudut yang lain kelihatan Raina


Seperti apa orangnya? memperhatikan Goma. Meski hanya
berdiri diam, tidak bicara.
Kazima: Johan. Anak muda itu kelihatan lugu,
naif, gayanya seperti anak kota kebanyakan.
Nampaknya dia terpaksa tinggal di sini. Mungkin
karena belum dapat pekerjaan yang diinginkan.
Kelihatan sekali dari penampilan dan gerak-
geriknya yang serba canggung.

Goma: Hmm... Jangan terlarut Mencubit hidung Kazima, ceritanya cemburu..


memperhatikannya ya.

Kazima: Jangan khawatir. Tidak akan terjadi


apa-apa. Dia bukan seleraku

Goma: Aku percaya padamu.


Akan kuusahakan segala yang terbaik untuk kita.
Secepatnya kita bertemu lagi.
Beri aku kabar baik, ya?
Melepas rangkulan.

Mencium tangan Kazima. Lalu pergi. Raina dari kejauhan masuk. Sorot
lampu pada Raina, yang lain gelap.
Raina menelpon Jargo.
Raina: Barusan Tuan Goma bertemu dengan
wanita dari kedai kopi di pasar, Tuan.
Sepertinya mereka sedang merencanakan
sesuatu.
Jeda, mendengarkan.
Yang saya dengar, mereka berencana pergi dari
Metropole dua hari lagi.
Apa Tuan ingin saya bereskan Tuan Goma
sekarang?
Jeda.
Baik, Tuan. Segera. Menutup telepon.

Ada Tandi dan Slira sedang berjaga, mereka


berpapasan.
Slira: Raina! Sedang apa di sini?

Raina: Jalan-jalan saja.

Tandi: Jalan-jalan di pasar yang sudah tutup.


Mengarang indah ya?

Raina: Bukan urusanmu!

Slira:Raina, pulanglah! Jangan sering keluyuran


malam-malam. Kau kan sedang dalam
pengawasan.

Raina: Ck, tidak usah pedulikan aku.

Tandi: Seandainya kau tidak brengsek, kami


tidak perlu repot-repot peduli!
Kau itu seharusnya jadi tukang pukul bayaran
saja! Jangan jadi polisi.

Raina: Kau hanya iri padaku, Tandi. Akui saja.


Daripada kau hanya kenyang gengsi tapi perutmu
selalu lapar, sini ikut aku. biar kukenalkan kau
pada majikanku.

Tandi: Cih! Lebih baik aku miskin tujuh turunan


daripada kaya hasil menghinakan diri macam
kau!

Slira: Ssh, sudah! Sudah! Kita di sini untuk jaga


keamanan, bukan jadi biang keributan.
Raina, sebaiknya kau cepat pergi dari sini. Jika
kami melihatmu masih berkeliaran di sini, kami
tak segan mengamankanmu dalam sel.
Raina pergi dengan wajah dingin. Tiba-tiba di
ujung jalan, Raina berpapasan dengan Danya.

Danya: Eh, Nona. Sedang apa? Menunjuk Raina, sambil mendekat


meyakinkan matanya.
Raina tidak bergeming, tetap melaju pergi.

Tandi: Siapa itu? Menyorot Danya dengan senter.


Danya: Ini saya.

Slira: Eh, kamu lagi!

Tandi: Kenapa keluyuran malam-malam begini?

Danya: Saya sedang mencari adik saya, Supi.


Sore tadi dia mengantar telur ke rumah
pelanggan di utara, tidak jauh.
Tapi sampai malam begini belum kembali.

Tandi: Dia sendirian?

Danya: Iya, biasanya memang dia sendiri yang Khawatir.


pergi. Baru kali ini saja terlambat pulang.

Slira: Mungkin dia pergi ke rumah temannya,


atau tidak sengaja bertemu teman lama di
perjalanan, lalu mereka mengobrol sampai lupa
waktu.
Biasa kan perempuan suka begitu, ya tidak? Menyikut Tandi.

Danya: Supi tidak seperti itu.


Tadi saya minta tolong Abang Mahisa menyusul
Supi. Tapi sampai sekarang dia juga belum
kembali.

Slira: Ah, mungkin mereka sedang kencan. Pergi


nonton barangkali. Adikmu sudah dewasa kan?

Danya: Heh, jangan bicara sembarangan ya!

Tandi: Sudah jangan cemas. Begini saja, kamu


pulang saja dulu. Tunggu di rumah. Kami berjaga
sepanjang malam di sini, kalian akan baik-baik
saja.
Jika dalam waktu satu kali dua puluh empat jam
adikmu belum pulang, kami akan cari dia.

Danya: Satu kali dua puluh empat jam?? Yang


benar saja? Bagaimana jika dia dicelakai orang?

Tandi: Ya, begitu prosedurnya menangani kasus


orang hilang, Nona.

Slira: Baru bisa dinyatakan hilang jika sudah


lebih dari sehari tidak kembali tanpa kabar.
Apalagi ini orang dewasa dan...baru beberapa Melirik jam.
jam saja perginya.
Sudahlah, pulang sana. Tunggu saja di rumah.

Mahisa: Danyaaaaaaa! Memanggil dari kejauhan.


Mahisa muncul dari jauh, sambil memapah
Supi yang lunglai, basah dan kotor.

Danya: Supiiiiiii! Menghambur meraih Supi.


Supi masih lunglai, setengah sadar, bicaranya
Kenapa ini Supi, Bang? meracau tidak jelas.

Mahisa: Sepertinya dia dibius, Danya.


Waktu aku mencarinya tadi, kutanya-tanya orang
sekitar situ. Tidak ada yang lihat.
Bolak-balik aku telusuri jalan pergi-pulang.
Waktu aku teliti di sisi parit besar dekat rumah
langgananmu, aku lihat ada sandal Supi.
Benar saja! Supi di dalam parit. Badannya diikat
di batu besar, mata dan mulutnya diikat juga!
Hari sudah mulai gelap, aku minta tolong orang-
orang, tapi mereka diam saja. Mungkin takut.
Hanya seorang bapak tua pengangkut sampah
yang mau berhenti menolong kami. Lumayan lah
kami dapat tumpangan di gerobaknya sampai di
sana. Menunjuk ke sisi tempat dia muncul tadi.

Tandi: Ck...ck....ck.
Keterlaluan. Ini betul-betul teror!
Setelah kemarin ada yang dibunuh, lalu sekarang
ada yang disekap. Kalian sengaja sedang dibuat
takut.
Mari sini kubantu kalian pulang.
Slira, kau berjaga di sini ya. Jika kau lihat ada
warga yang ke luar rumah, suruh mereka pulang
lagi. Demi keamanan, jangan lagi ada yang keluar
masuk pasar malam ini!

4 Johan bermuka muram menunggui kios.


Buyon tertidur di sebelahnya. Johan
memperhatikan pedagang lain di sekitarnya.
Para pedagang berkerumun di kios telur.
Mereka berebut ingin tahu tentang kejadian
semalam. Danya tampak diam saja, Supi juga
diam karena syok, Mahisa yang menceritakan
semua kejadian itu pada yang lain. Buyon juga
ada di sana.
Ketika mata Johan berpapasan dengan
Danya, Johan membuang muka, lalu tersentak
kaget sebab ternyata Kazima sudah ada di
depannya.
Kazima: Hai.

Johan: Hhh. Kaget, memegangi dadanya.


H-hai. Apa kabar?

Kazima: Hahahaha, kamu terbiasa basa-basi


ya?
Eh, sibuk tidak?

Johan: sama sekali tidak.

Kazima: Saya ada perlu, mau bicara denganmu. Tengok kiri kanan.
Berdua saja ya.

Johan: Eng, tapi, anu… Paman, Tergagap, menunjuk Buyon yang sedang
berada di kios telur.
Kazima: Oh, tinggalkan saja sebentar.
Sebentaaar saja.

Johan tidak bilang apa-apa selain menurut.


Mereka berjalan sedikit menjauhi kios. Danya
memperhatikan Johan dan Kazima dengan
setengah curiga, namun tetap tak acuh seperti
biasa.
Kazima: Johan, bisakah kau bujuk Paman Buyon
supaya mau mengajak semua penghuni pasar
pindah dari sini. Ada imbalan yang besar untuk
kau dan paman, uang ganti rugi lima kali lipat dari
yang ditawarkan pemerintah kota.

Johan: Kazima, terus terang saja. Tidak mungkin


itu. Saya tidak akan bisa.

Kazima: Kenapa? Dicoba saja belum…

Johan: Paman Buyon tidak akan mau, begitu


juga dengan yang lainnya. Paman pernah cerita
soal ini, soal pasar yang akan diambil alih.

Kazima: Bisa kita buat jadi lebih mudah. Cukup


kau yakinkan Paman Buyon pindah. Paman
Buyon seorang saja. Bagaimana?

Johan: Saya serius, dia tidak akan mau. Tidak


akan! Saya kenal betul tabiat paman. Kalau
sudah itu maunya, ya tidak akan berubah-ubah.
Kenapa bukan kau saja yang bicara padanya?

Kazima: Ah, saya ini kan bukan siapa-siapanya.


Hanya pelanggan biasa. Lain jika kemenakannya
yang bicara.

Johan: Lantas siapa kau dalam hal ini? Mengapa


bukan bapakmu saja yang bicara dengan paman?
Mereka kawan baik bukan?

Kazima: Kau tidak mau membantu, maka kau Jengah, tersudut.


tidak berhak tahu terlalu banyak.
Saya permisi.

Johan: Eh, tunggu lah! Saya kan belum bilang


iya atau tidak.

Kazima: Jadi? Ya atau tidak?

Johan: Apa untungnya ini bagi saya?

Kazima: Apa yang sebenarnya kau kerjakan di Sedikit bernada……merayu.


sini? Apa yang kau cari di Metropole?
Saya tahu, bukan tujuanmu menetap di sini.
Saya tahu, kamu tidak ingin ada di sini.
Betul kan?
Johan: Hm, Menelan ludah.
Ra-rasanya ini semua bukan tentang saya. Tercekat mundur.

Kazima: Tentu ini semua tentangmu, Johan. Mengintimidasi.


Sebab kamu yang akan membantu saya, maka
saya perlu tahu apa yang kau inginkan sebagai
imbalan. Makin lama berdirinya makin dekat Johan.
Nah, sekarang katakan saja. Apa yang kau
inginkan?

Johan: Diam sejenak.


Pekerjaan. Carikan pekerjaan belakang meja di
pusat Metropole.

Kazima: Itu saja?


Betul?
Tidak mau uang?

Johan: Dari pekerjaan itu saya akan dapat uang.


Uang banyak tidak bisa memberi saya pekerjaan.

Kazima: Oo…

Johan: Boleh minta satu hal lagi?

Kazima: Apa?

Johan: Boleh kah saya mengenalmu lebih


dekat?

Kazima: Ahahahaha. Oke. Boleh saja.

Johan: Semisal saya gagal. Masih bolehkah


saya mengenalmu lebih dekat?

Kazima: Tentu saja boleh.sekedar ngobrol-


ngobrol saja, mengapa tidak boleh?

Kazima kembali ke kedai. Buyon juga kembali


ke kiosnya. Melihat Johan yang baru selesai
bicara dengan Kazima, Buyon tersenyum
menggoda Johan.

Buyon: Ehm... jadi sekarang kamu sudah akrab


dengan dia?

Johan: Ehehehe. Yaaa, begitulah.


Kazima tidak seseram yang Paman tuduhkan
kok.
Eh, itu tadi ada apa di sana, Paman? Ramai betul
kelihatannya.

Buyon: Supi, yang di kios telur itu. Semalam


disekap orang. Sepertinya mau ditenggelamkan
di parit besar perumahan warga sebelah utara
sana, yang dekat sungai.
Mengerikan..
Setelah pembunuhan tempo hari, lalu percobaan
pembunuhan, besok apa lagi?
Mungkin juga besok aku yang mati.

Johan: Maksud Paman warga pasar ini memang


sudah jadi sasaran pembunuhan?

Buyon: Memangnya ada dugaan lain lagi?

Johan: Ayo kita pindah saja dari sini, Paman.


Jangan khawatirkan soal biayanya. Asalkan
Paman mau pindah dari sini, berapapun dan
apapun yang Paman butuhkan, pasti aku penuhi.
Yang penting Paman selamat.

Buyon: Bah! Kau saja tidak bisa menyelamatkan


dirimu sendiri. Bagaimana kau bisa bantu aku?

Johan: Ada yang menawarkan uang banyak.


Katanya sekitar lima kali lipat dari uang ganti rugi
pembebasan tanah Paman.
Semua uang itu utuh untuk Paman. asal Paman
mau pindah dari sini.
Ayo ambil saja, Paman. Uang itu pasti lebih dari
cukup untuk buka usaha di tempat lain.
Lagipula di sini sudah tidak baik kondisinya, ya
kan?
Buyon: Kau! Marah sekali. Kerah baju Johan diremas, lalu
Beraninya kau bicara demikian padaku... diangkat hingga wajah Johan berada dekat
Anak kemarin sore kau itu, baru juga datang sekali ke wajah Buyon.
kemarin, beraninya kau bujuk aku soal
pembebasan tanah.
Siapa yang menyuruhmu, hah?

Johan: Tidak penting siapa yang menyuruh aku. Orang-orang mulai ramai merubung kios
Sekali ini saja, tolong Paman dengarkan aku, Buyon.
pertimbangkan baik-baik tawaran ini, Paman. Di kedai kopi, Malino yang penasaran
Toh semua ini demi kebaikan Paman. menarik-narik lengan baju Kazima. Kazima
mengedikan bahu, pura-pura tidak tahu.

Buyon: Sudah kuberi tahu, aku tidak akan Buyon marah sekali.
melepas tanah ini. Sampai kapan pun tidak akan
aku lepas pada siapapun. Mahisa dan Danya datang melerai. Mahisa
Nah,cepat katakan siapa yang menyuruhmu atau menahan Buyon, Danya menahan bahu
kulempar kau ke luar. Johan.

Johan: Apa alasannya, Paman?


Pasti semua ada alasannya kan?

Buyon: kalian jangan ikut campur! Berontak. Mahisa dan Danya menyingkir takut.
Apa pedulimu dengan alasanku? Dilepas genggamannya dari kerah Johan.
Tahu tidak yang paling menyakitkan hatiku? Marahnya mereda, tapi hampir menangis.
Kenyataan bahwa kau mau menjualku,
pamanmu, demi keuntunganmu sendiri.
Cih! Pura-pura kehabisan uang segala...
Sekarang kau pergi lah dari sini! Memungut barang-barang Johan yang ada di
Nih! Bawa barang-barangmu. kios, dilempar ke Johan.

Johan tertegun sambil membereskan barang-


barangnya, dibantu Danya, Kazima
memperhatikan. Mereka tidak saling bicara,
hanya saling tatap. Kazima merasa ada yang
tidak beres dengan rencananya.

Kazima: Goma, lekas ke kedai. Jemput aku di Kazima menelepon Goma dari kedai, berbisik-
pintu belakang. Bawa semua uang itu. Kita pergi bisik.
sekarang juga!

Telepon ditutup. Kazima mengisyaratkan


Malino agar menggantikannya di kasir, Kazima
bergegas ke belakang.

Buyon: Ini hasilnya kau sekolah tinggi-tinggi,


heh? Hanya untuk jadi kacung!
Dibayar untuk mengerjakan perintah orang lain.
Bah! Tidak berguna!

Johan: Aku tidak mengerti... Bicara sambil memunguti barang-barangnya


Kenapa sekarang Paman bertingkah seakan- dengan lambat.
akan tidak bisa hidup selain di sini?
Dulu siapa yang meyakinkan aku untuk sekolah
sampai ke luar Vileja, Paman kan?
Siapa yang bilang manusia bisa hidup di mana
saja asal berusaha, Paman kan?
Kujadikan Paman panutanku sedari kecil,
lambang pria perantau yang pemberani dan
tangguh.
Tapi rupanya Paman juga mengecewakan... Tidak Geleng-geleng.
sama perkataan dengan perbuatan.

Buyon: Aku tidak minta kau idolakan. Goma masuk diam-diam, menjemput
Aku maafkan kelancangan akibat Kazima, lalu mereka pergi diam-diam.
ketidaktahuanmu ini. Sebelumnya kazima melempar botol
Apa yang dilihat matamu, tidak seperti berisi minyak dengan sumbu api ke
kelihatannya, Johan. dapur kedai. Kelihatan api menyala di
Kios-kios butut itu, bukan sekedar tempat cari dapur, sedikit demi sedikit mulai
uang, jika kau mau tahu. Ini rumah kami, sesuatu membesar.
yang berharga bagi kami.
Sesuatu yang ingin kami jaga dan wariskan pada
keturunan kami.
Seandainya kau tahu posisiku di sini, pasti kau Membelakangi Johan, mendengus kesal. Ada
tidak akan sembarang menilaiku. jeda yang canggung.

Johan: Maafkan aku, Paman. Satu-satu orang yang merubung mulai bubar.
Ya, aku memang tidak paham soal ini. Kecuali Danya.
Bagiku, apa yang sedang direncanakan
pemerintah kota bukanlah hal buruk, malah patut
didukung, demi kebaikan bersama. Danya memegang bahu Johan, tapi ditepis
Lagipula Paman kan tidak punya keturunan. Johan. Danya dan Johan bertatapan sekilas,
Tidak ada penerus untuk mewarisi tempat ini. lalu Johan buang muka.
Harusnya tidak menjadi masalah,
Malino: Aaaaaaaa! Kebakaraaaaan! Menjerit.
Toloooong! Kebakaraaaan!
Semua orang yang ada di pasar merubung ke
kedai Ludi. Ada yang bergegas mengambil
ember, mencari air, ada yang mengambil
karung yg dicelupkan ke air utk memadamkan
api.

Kazima dan Goma yang lari ke arah


sebaliknya. Setelah menjauh dari pasar,
mereka memerhatikan sekeliling, memastikan
tidak ada orang yang melihat mereka. Namun
tiba-tiba muncul Raina memukul belakang
kepala Goma. Goma jatuh tersungkur
kesakitan.
Slira membekap mulut Kazima, lalu
menyeretnya pergi.
Raina menduduki punggung Goma yang
terkapar, lalu membekap lehernya. Tangan
yang satu mengambil belati dari kakinya.

Raina: Kutinggalkan keluargaku demi menikah Melap pisau di baju Goma untuk
denganmu, kukorbankan karirku demi menghilangkan ceceran darahnya. Mengambil
melindungimu, lalu kau mau kabur dengan tas berisi uang, meludahi jasad Goma, lalu
perempuan lain. Keparat! pergi.

Goma: Sayang, dengar dulu penjelasanku. Ini Panik tercekik.


tidak seperti yang kau kira. Dia anak adik
perempuanku! Kita akan dapat uang sangat besar
setelah menjualnya, aku akan bawa kau pergi
dari sini!

Raina: Bohoooong! Raina berteriak marah. Diayunkan belati ke


leher Goma.
Lampu mendadak mati.
5 Dapur kedai Ludi hangus. Orang-orang Kedai Ludi.
merubung kedai. Tandi sibuk mengusir orang-
orang yang menonton bekas kebakaran.
Mahisa sibuk berkeliling kedai, bertanya pada
Malino apa gas di dapur bocor, lalu kakinya
menemukan botol kaca yang pecah. Diambil
lalu dicium botol itu.
Mahisa: Ini bensin. Ada yang lempar botol ini,
kena karung biji kopi kering di sana, langsung
menyambar kompor. Kebakaran ini disengaja!
Tandi mendekat, merampas pecahan botol

Tandi: Heh, jangan sembarang pegang kau! Memasukkan pecahan botol ke dalam plastik
Saya polisi! Kamu bukan! dengan ketus.
Selain polisi tidak boleh sentuh apa-apa di tempat
kejadian!

Buyon: Siapa yang sengaja berbuat begini? Buyon melotot ke arah Johan.

Johan: B-bukan aku! Dari tadi kan saya bersama


paman.

Malino: Sudahlah, tidak penting siapa pelakunya.


Mungkin dia sudah kabur. Yang penting semua
selamat, tidak ada yang terluka.

Mahisa: Eh, Kazima bagaimana? Aku tidak lihat


dia sejak tadi. Apa dia baik-baik saja?

Malino: Oh iya ya. Ke mana dia ya? Tadi sih ada


di dalam.
Nona! Nonaaa! Berteriak sambil masuk ke dalam kedai. Lama-
lama teriakannya bernada panic.
Aduh, dia tidak ada. Bagaimana ini? Menggigit-gigit jari.

Pedagang Bunga: Ada mayaaaat! Pedagang bunga berteriak.


Lalu semua orang berbondong-bondong
mendekati kios bunga. Mahisa dengan sigap
mendahului yang lain. Tandi jauh tertinggal.
Pelan-pelan di balik jasad itu.

Mahisa: Tuan Goma! Terkesima.


Malino yang membuntuti Mahisa kemudian
lunglai lalu jatuh pingsan.

Tandi: Heh, kau ini lancang betul!


Sana! Sana! Kau mengacaukan pekerjaanku!
Ck, mana ini Slira. Kenapa tidak juga datang.

Ludi baru datang ke kedai, sambil membawa


sekarung kopi. Kebingungan melihat kedainya
separuh hangus, dan menatap penuh Tanya
orang-orang yang berkerumun. Dilihatnya
Malino yang pingsan, mayat Goma, dan tas di
dekat mayat Goma.
Seketika dijatuhkan karung kopi yang
dibawanya, lari menghambur meraih tas
Kazima.
Dibuka tas situ, dikeluarkan semua isinya.
Baju dalam tas dipeluk erat, lalu Ludi
menangis meraung. Semua orang menatap
bingung.

Ludi: Kazima? Kazimaaa? Mencari-cari seperti orang linglung. Buyon


mendekat, memegang bahu Ludi.

Ludi: Buyon, ke mana Kazima? Mana anakku?


Apa yang terjadi di sini?

Buyon tidak menjawab, tangannya tetap


menggiring Ludi kembali ke kedai. Sembari
memberi tanda pada Mahisa dan Johan untuk
mengangkat Malino ke kedai.
Sesampainya mereka di kedai..

Johan: Tuan, saya saja yang cari Kazima.

Buyon: Jangan gara-gara kau naksir dia lalu kau


mau cari muka di depan bapaknya.
Pergi sana! Kau sudah tidak ada urusan di sini! Menghardik.

Johan: Paman, Kazima yang memintaku


membujuk Paman pindah dari sini.

Yang mendengar kaget ternganga. Malino


terbangun, masih kaget, dilihatnya Ludi ada di
situ. Segera Malino bersimpuh di depan Ludi.

Malino: Ampun, Tuan!


Nona Kazima menghilang. Sebelumnya dapur
kedai terbakar. Saya tidak tahu Nona Kazima
pergi ke luar, saya tidak lihat!
Tolong jangan salahkan saya, Tuan! Mengiba.
Ludi terduduk lemas. Dipandanginya Malino,
Johan, dapur yang terbakar, dan orang-orang
yang mengelilinginya.

Ludi: Jargo. Ini pasti ulah Jargo.

Jargo: Ulahku? Yang mana? Jargo muncul, semua orang terkesima.


Slira bawa dia ke sini!
Ini anakmu kan? Kazima yang terikat badannya menunduk,
Seharusnya kau berterima kasih padaku. Masih sikunya dipegangi Slira.
kubiarkan dia hidup.
Hampir saja membawa lari uangku dan uangnya,
asal kau tahu. Menunjuk Satru.

Satru: Dan gara-gara anakmu, anak buah


terbaikku mati!

Jargo: Ah, dia tidak baik-baik amat kok.


Goma si mucikari pantas mati. Dia bikin kotor
Metropoleku.

Kazima: Mucikari?? Muka tidak percaya.

Jargo: Ya, kamu baru tahu ya?


Kalau begitu kau berhutang banyak padaku,
Nona.
Jika tidak percaya, coba saja tanyakan pada
istrinya itu? Menunjuk Raina.

Kazima: Istrinya??

Raina: Ya, Goma memang mucikari. Sebelum Satru salah tingkah.


kuhabisi, Goma mengatakan sesuatu…
Betul kau kemenakannya?

Kazima: Kemenakan apa? Aku tidak tahu!

Ludi: Benar, Kazima. Goma itu kakak dari ibumu.


Ini sebab mengapa Bapak mengancam tempo
hari. Jika Bapak katakan yang sebenarnya, tentu
kamu tidak akan percaya. Kamu akan mengira
Bapak membual.
Raina: Jadi….dia tidak berbohong padaku. Wajahnya mau menangis, menyesal.

Jargo: Wah…wah…wah… rupanya ada drama Tertawa puas.


keluarga yang sangat mengharukan di sini.
Hahaha… sungguh menyentuh hati.
Sudahlah, Raina. Jangan ditangisi. Kau jadi
pahlawan Metropole hari ini, memberantas
gembong prostitusi.
Satru, karena kau temanku sejak kecil,
kumaafkan kau. Asal kau mau menjual seluruh
hotelmu padaku. Aku tidak mau lagi ada bisnis
kotor dalam hotel. Tidak boleh ada prostitusi di
Metropole!

Satru: Sok tahu! Memang aku berbuat apa?

Jargo: Jangan berkelit lagi. Kau pikir aku tidak


tahu permainanmu dan Goma?
Mau cari muka di hadapan Dirat, ha?
Kau tidak akan menang. Sejak kapan kebusukan
menang melawan kebaikan, ha?

Satru: Kita semua sama busuknya, Jargo.


Kau lupa bercermin hari ini?

Tandi: Aduuuh, sebenarnya ada apa ini? Tandi lari tergopoh-gopoh pergi menjemput
Ah, biar kupanggil walikota ke sini! Dirat.

Jargo: Aku mungkin busuk, tapi moralku tidak


mati. Tidak seperti kau, orang dusun. Aku kira kau
akan berbeda dengan kebanyakan orang-orang di
kampong halamanmu yang suka menjual anak
gadis mereka. Rupanya sama saja!

Lihat! Lihat perbuatan kalian para pendatang,


bikin kumuh kota!
Metropoleku terlihat menyedihkan karena ulah
orang-orang yang kalian bawa dari kampung!
Prostitusi, judi, candu, preman, buruh-buruh
kasar, orang-orang tidak beradab, semuanya
masuk lewat pasar ini.
Danya: Apanya yang tidak beradab? Marah. Bergantian menatap Jargo dan Slira.
Kau pikir sengaja membunuh, menculik dan
membakar kedai termasuk perbuatan beradab?

Slira: Gari itu penyelundup candu. Sampah


masyarakat seperti dia layak dibasmi.

Mahisa: Betul juga sih.. Lirih,seperti berbisik.

Danya: Lalu kenapa kalian serang adikku?


Dia bukan orang jahat!

Jargo: Teror yang sebenarnya baru akan dimulai.


Sayangnya aku sudah tidak sabar lagi
menghadapi kalian yang miskin, sombong dan
bodoh!
Sudah diminta pindah baik-baik, diberi uang
pengganti yang pantas, masih saja tidak mau
pergi.
Sekarang sudah kubuka semua borok-borok
kalian, masih saja tidak tahu diri!

Buyon: Sebenarnya ada perlu apa kau ke mari?


Kau sama sekali tidak punya wewenang
menyuruh kami pergi! Jargo menunjuk Ludi.

Jargo: Oh, ya ampun… hampir saja lupa.


Tentu saya mau mengembalikan anak tuan itu,
asalkan kalian semua mau pindah dari sini
dengan sukarela.

Ludi: Berikan anakku, lalu aku akan pergi dari


sini. Tapi biarkan yang lain tinggal.

Jargo: Ohoho, tidak bisa. Kalian semua harus


pergi dari sini!
Jika tidak, gadis ini akan dipotong tangannya di
alun-alun Metropole, atas tindakannya membawa Dirat dan Diani datang.
lari uangku.
Kejahatannya sungguh tidak terbantahkan.

Mahisa: Aku tidak mau!


Selama ini aku hidup bersih. Sama sekali jauh
dari yang dituduhkan orang itu. Kenapa aku harus Menunjuk Jargo.
ikut menanggung buah perbuatan orang lain?
Jargo: Aku bukan pedagang, tidak bisa tawar-
menawar. Kalian pindah, kumaafkan dia,
tangannya selamat. Kalian keras kepala,
kupotong tangannya, kubuat hidup kalian tidak
tenang di sini!

Dirat: Bapak! Ada apa ini?

Jargo: Kamu diam dan perhatikan baik-baik!


Kuberi kau contoh bagaimana seharusnya jadi
pemimpin.

Kazima: Ayo sudahi semua ini.


Aku tidak takut tanganku hilang, toh aku sendiri
yang membakar kedai.

Ludi: Kazima…

Kazima: Sengaja kubakar supaya Bapak dan


yang lain pergi dari sini. Cari tempat lain, teruskan
hidup tanpa harus mengenang-ngenang ‘oh
dahulu di sini begini, dahulu di sini begitu…’
Pasar ini bukan lagi pasar yang sama.
Orang-orang berubah tanpa bisa kita cegah.
Tidak ada lagi yang manis mesra di sini, semua
tinggal kenangan.

Jika memang benar pasar ini sarang penyamun


seperti yang dituduhkan, kita turuti saja kemauan
orang ini. Mungkin tempat ini akan jadi lebih baik
tanpa kita di dalamnya.

Ludi: Kazima,

Kazima: Aku tahu Bapak dan Paman Buyon


hanya menjaga amanat, menjaga segala sesuatu
tetap pada tempatnya, memastikan anak-anak
meneruskan pekerjaan orang tua mereka.
Tapi Bapak dan Paman tidak akan bisa menjamin
setiap anak tumbuh seperti orang tua mereka.
Tidak ada jaminan pasar ini tetap tentram seperti
dulu, saat generasi kalian berjaya. Ya kan?
Kita tidak bisa mencegah zaman yang berubah
kan?

semua diam. Semua saling bertatapan. Buyon


dan Ludi bertatapan seperti sedang
menyepakati sesuatu.
Jargo: Sungguh pidato yang bagus, Nona manis.
Bukan begitu, Dirat?

Dirat: Pak, saya rasa ini bukan cara yang baik


untuk,

Jargo:Sssh! Sudah kamu diam saja dan


perhatikan!

Buyon dan Ludi mengambil batu dan apapun


yang ditemui di tanah, dilemparkan ke kedai.
Ludi mengambil Kazima, melepaskan
ikatannya, lalu berdiri berhadapan dengan
Jargo.
Ludi: Ambil! Buat seluruh kota ini jadi jadi lebih
baik seperti katamu.
Ayo, Nak. Kita pergi.

Mahisa dan Danya nampak keberatan, Buyon


merangkul mereka.

Buyon: Di mana saja kita bisa hidup, anak-anak.


Jangan takut. Berusaha saja. Ya kan, Johan?

Johan: Benar, paman! Tersenyum lebar.

Supi memeluk Danya.


Supi: Seperti yang kubilang tempo hari kan, Kak.
Ayo kita ikut pergi. Selama kita tetap sama-sama,
kita tetap keluarga, di manapun tempatnya.

Danya senyum, lalu ikut pergi. Mahisa masih


diam di tempat menatap bergantian antara
kiosnya dan Danya.
Mahisa: Danya, Supi. Kalian sungguh-sungguh
mau pergi?
Danya dan Supi tidak menjawab, hanya
tersenyum saja sambil melambai tangan
mengajak.
Abang ikut!

Malino: Aku juga mau ikuuut, Abang! Menghambur, menggelayut di lengan Mahisa.

Tersisa Jargo, Satru, Raina, Slira, Tandi, Dirat


dan Diani. Mereka memperhatikan para
pedagang pergi.

Jargo: Hahahahaha! Lihat, Dirat!


Rupanya mudah menyuruh mereka pergi.
Persetan lah dengan teori diplomasi, caraku
terbukti lebih efektif kan?
Ayo semua! Sekarang kita lanjut bekerja. Melenggang pergi.

Dirat mematung, berjalan ke samping Slira,


lalu jongkok.

Dirat: Percuma jadi pemimpin jika tidak punya


harga diri.saya tidak mau jadi pemimpin boneka! Dengan sigap Dirat mengambil pistol yang ada
di pinggang Slira, lalu menembak kepalanya.

Lampu mendadak gelap.

Selesai.

Anda mungkin juga menyukai