Anda di halaman 1dari 13

Tarif

Tarif adalah nilai suatu jasa pelayanan yang ditetapkan dengan ukuran sejumlah uang
berdasarkan pertimbangan bahwa dengan nilai uang tersebut sebuah perusahaan bersedia
memberikan jasa kepada pelanggannya (Gani, 1995). Kotler dan Keller (2006) berpendapat
bahwa harga adalah salah satu unsur bauran pemasaran yang menghasilkan pendapatan yang
paling mudah disesuaikan. Harga juga mengkomunikasikan posisi nilai yang dimaksudkan
perusahaan kepada pasar tentang produk dan mereknya.
Penetapan tarif di rumah sakit harus selalu berpedoman pada biaya yang dikeluarkan untuk
menciptakan pelayanannya, sebab bila rumah sakit menetapkan tarif dibawah biayanya, maka
rumah sakit tersebut akan mengalami kerugian, sehingga kelangsungan hidup rumah sakit
tidak akan terjamin (Primadinta, 2009). Penetapan tarif dapat dilakukan dengan menghitung
anggaran biaya variabel rata-rata yang ditambah dengan presentase tertentu dan dapat juga
dilakukan dengan taksiran biaya penuh yang ditambah dengan nilai perolehan laba yang
diinginkan (Sutomo, 2003). Menurut Azwar (1996), untuk dapat menetapkan tarif pelayanan
yang dapat menjamin total pendapatan yang tidak lebih rendah dari total pengeluaran, banyak
faktor yang perlu diperhitungkan diantaranya:
1) Biaya Investasi
Untuk suatu rumah sakit, biaya investasi (Invesment cost) yang terpenting adalah biaya
pembangunan gedung, pembelian berbagai peralatan medis, pembelian peralatan non medis
serta biaya pendidikan dan pelatihan tenaga pelaksana sehingga dapat disimpulkan bahwa
jika biaya investasi cukup besar maka tariff pelayanan yang diterapkan akan cenderung
mahal.
2) Biaya Kegiatan Rutin
Untuk sarana kesehatan biaya kegiatan rutin (operational cost) yang dimaksudkan adalah
mencakup semua biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan.
Ditinjau dari kepentingan pemakai jasa pelayanan maka biaya kegiatan rutin dapat dibedakan
atas dua macam:
a) Biaya untuk kegiatan yang berhubungan langsung dengan kebutuhan pelayanan kesehatan
(Direct cost)
b) Biaya untuk kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan pelayanan
kesehatan (Indirect cost)
3) Biaya Rencana Pengembangan
Biaya rencana pengembangan yang dimaksud adalah mulai dari rencana perluasan bangunan,
penambahan peralatan, penambahan jumlah dan peningkatan pengetahuan serta keterampilan
karyawan dan atau rencana penambahan jenis pelayanan.
4) Besarnya Target Keuntungan
Tergantung dari filosofi yang dianut oleh pemilik sarana kesehatan sehingga persentase
keuntungan tersebut seyogyanya keuntungan suatu sarana kesehatan tidak boleh sama dengan
keuntungan berbagai kegiatan usaha lainnya.
Penentuan tarif yang ideal dapat dilakukan dengan analisis penetapan tarif itu sendiri yang
bertujuan untuk (Trisnantoro, 2006):
1) Meningkatkan pemulihan biaya rumah sakit (cost recovery rate) rumah sakit. Hal ini
terutama terdapat pada rumah sakit pemerintah yang semakin berkurang subsidinya.
2) Peningkatan akses pelayanan.
Salah satu cara meningkatkan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin adalah
dengan menetapkan tarif pelayanan yang rendah. Penetapan tarif dengan cara ini hendaknya
diikuti oleh subsidi yang memadai dari pemilik atau pemerintah sehingga mutu pelayanan
tetap terjaga.
3) Peningkatan mutu pelayanan.
Di beberapa rumah sakit pemerintah daerah, kebijakan penetapan tarif pada bangsal kelas I
bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan dan peningkatan kepuasan kerja dokter
spesialis.
4) Penetapan tarif dengan tujuan lain.
Penetapan tarif yang bertujuan mengurangi pesaing, memaksimalkan pendapatan,
meminimalkan penggunaan dan menciptakan corporate image. Penetapan tarif untuk tujuan
mengurangi pesaing dilakukan untuk mencegah rumah sakit baru yang akan menjadi pesaing.
Penetapan tarif untuk memaksimalkan keuntungan dapat dilakukan pada pasar yang dikuasai
oleh salah satu rumah sakit (monopoli), sehingga pada demand yang tinggi, penetapan tarif
dapat dilakukan setinggi-tingginya. Penetapan tarif dengan bertujuan menciptakan corporate
image adalah penetapan tarif yang ditetapkan dengan tujuan menciptakan citra sebagai rumah
sakit golongan masyarakat kelas atas.
Menurut Trisnantoro (2006) proses penetapan tarif di rumah sakit dapat berbeda tergantung
misi dan tujuan masing-masing rumah sakit. Pada rumah sakit dengan menggunakan
pendekatan perusahaan penetapan tarif dapat dilakukan dengan teknik-teknik sebagai berikut:
1) Full cost pricing.
Informasi serta analisis biaya mutlak diperlukan. Berdasarkan unit cost maka asumsinya tidak
ada pesaing atau demand sangat tinggi.
2) Contract dan cost plus.
Tarif ditetapkan berdasarkan kontrak, misalnya kontrak dengan perusahaan asuransi atau
konsumen yang tergabung dalam suatu organisasi. Tarif kontrak dapat memakasa rumah sakit
menyesuaikan tarifnya sesuai kontrak yang ditawarkan asuransi, sehingga untuk dapat
bersaing, rumah sakit harus mempertimbangkan masalah efisiensi.
3) Target rate of return pricing.
Penetapan tarif berdasarkan target yang merupakan modifikasi dari metode full cost. Teknik
ini berbasis pada unit cost dengan mempertimbangkan faktor demand dan pesaing.
4) Acceptance pricing.
Teknik ini diterapkan apabila pada suatu pasar terdapat satu rumah sakit
dianggap sebagai panutan harga, maka rumah sakit lain akan mengikuti pola pentarifan yang
digunakan oleh rumah sakit tersebut. Salah satu strategi penetapan harga (pricing strategy)
dengan memberikan potongan harga pada customer. Cara ini merupakan wujud nyata dari
strategi pemasaran yang berfungsi untuk menarik minat dan mempertahankan kesetiaan
customer (Simaremare, 2002).
Biaya satuan (unit cost)
Biaya satuan adalah biaya yang dihitung untuk satu satuan produk pelayanan yang diperoleh
dengan cara membagi biaya total dengan jumlah produk. Untuk menghitung biaya satuan
harus ditetapkan terlebih dahulu besaran produk (cakupan pelayanan). Per definisi biaya
satuan seringkali disamakan average cost (Mulyadi, 2007).
Perhitungan biaya satuan terdapat dua macam biaya satuan yaitu: a) biaya satuan normatif
adalah biaya yang berlaku sesuai peraturan daerah dan b) biaya satuan aktual adalah suatu
hasil perhitungan berdasarkan atas pengeluaran nyata untuk menghasilkan produk pada kurun
waktu tertentu. Biaya satuan aktual dapat dijadikan dasar dalam penetapan tarif pelayanan
kesehatan (Gani et al, 1995)

Analisis biaya
Analisis biaya merupakan suatu proses menghitung biaya untuk berbagai jenis pelayanan
yang ditawarkan,baik secara total maupun per pelayanan per klien dengan cara menghitung
seluruh biaya pada seluruh unit yang ada, dimana biaya yang terdapat pada unit yang tidak
menghasilkan produk (pusat biaya) didistribusikan kepada unit-unit yang menghasilkan
produk dan menghasilkan pendapatan (Kartadinata, 2000).
Menurut Gani (1999), terdapat beberapa metode untuk menganalisis biaya, yaitu:
1) Simple distribution
Melakukan distribusi biaya yang dikeluarkan pusat biaya penunjang, langsung ke berbagai
pusat biaya produksi. Distribusi ini dilakukan satu per satu dari masing-masing pusat biaya
penunjang. Kelebihan dari cara ini adalah kesederhanaannya sehingga mudah dilakukan.
Namun kelemahannya adalah asumsi dukungan fungsional hanya terjadi antara unit
penunjang dan unit produksi.
2) Step down
Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kekurangan dari metode simple distribution.
Kelebihan dari metode ini adalah sudah dilakukannya distribusi dari unit penunjang ke unit
penunjang lain, namun distribusi ini masih belum sempurna karena distribusi ini hanya terjadi
satu pihak.
3) Double distribution
Pada tahap pertama metode ini, melakukan distribusi biaya yang dikeluarkan di unit
penunjang ke unit penunjang lain dan unit produksi. Hasil sebagian unit penunjang sudah di
distribusikan ke unit produksi, tapi sebagian masih berada di unit penunjang, yaitu biaya yang
diterima dari unit penunjang lain. Biaya yang masih ada di unit penunjang ini dalam tahap
selanjutnya di distribusikan ke unit produksi, sehingga tidak ada lagi biaya tersisa di unit
penunjang. Metode ini dianggap cukup akurat dan relatif mudah dilaksanakan dan merupakan
metode yang terpilh untuk analisis biaya di Puskesmas dan Rumah Sakit di Indonesia.
4) Multiple distribution
Distribusi biaya dilakukan secara lengkap, yaitu antara sesama unit penunjang ke unit
produksi dan antara sesama unit produksi.
5) Activity-based costing
Metode ini merupakan metode terbaik diantara metode analisis biaya yang ada,meskipun
pelaksanaannya tidak semudah metode yang lain. Fokus utama metode ini adalah akstivitas.
Langkah penyusunan metode ini adalah mengidentifikasi biaya aktivitas dan kemudian ke
produk. Metode activity based costing adalah metode perhitungan biaya (costing) yang
dirancang untuk menyediakan informasi biaya bagi manajer untuk keputusan strategis yang
mungkin akan mempengaruhi kapasitas dan biaya tetap (Garrison, 2006).
6) Real cost
Metode ini sebenarnya mengacu pada konsep ABC dengan berbagai perubahan karena
adanya kendala sistem. Oleh karena itu, metode ini menggunakan asumsi yang sedikit
mungkin.
Menurut Sihombing (2004) terdapat empat langkah dasar yang harus ditempuh dalam analisis
biaya, yaitu:
1) Identifikasi biaya.
Umumnya pusat biaya dapat dikelompokkan menjadi pusat biaya produksi dan pusat biaya
penunjang (bagian administrasi, dapur, cuci, dan laundry)
2) Pengumpulan data biaya.
Data biaya dikumpulkan dari semua sumber yang ada, baik dari laporan keuangan maupun
perincian biaya di setiap pusat biaya. Data biaya diuraikan dalam komponen-komponen
biaya. Misalnya biaya personil, pemeliharaan, dan investasi. Keberhasilan pengumpulan data
sangat tergantung pada sistem perencanaan dilaksanakn di Laboratorium tersebut.
3) Perhitungan biaya asli.
Perhitungan besarnya biaya asli diperoleh dari setiap unit penunjang dan unit produksi yang
diuraikan menurut jenis biaya (investasi dan operasional) dan komponen-komponennya.
Komponen biaya investasi di antaranya biaya untuk gedung, alat medis, dan kendaraan.
Komponen biaya operasional antara lain biaya untuk gaji, obat, dan bahan habis pakai. Biaya
asli setiap unit dihitung untuk semua biaya yang telah digunakan waktu tertentu biasanya
selama satu tahun.
4) Pendistribusian biaya.
Biaya asli setiap unit penunjang dipindahkan ke setiap unit produksi yang terkait. Pada
dasarnya setiap unit penunjang akan memindahkan biaya aslinya secara berbeda jumlah di
unit produksi terkait. Apabila seluruh biaya asli unit penunjang telah dipindahkan ke unit
produksi terkait maka tidak ada lagi biaya tersisa di suatu unit penunjang apapun. Dengan
demikian, biaya akhir yang ada di setiap akhir unit produksi adalah merupakan biaya asli unit
produksi itu sendiri ditambah dengan biaya pindahan dari unit penunjang. Biaya satuan
didapatkan dari biaya akhir/total di suatu unit pelayanan tersebut akan dibagi dengan jumlah
pelayanan yang diberikan selama satu tahun yang sama.
1.1 Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan melalui mekanisme asuransi
sosial yang bertujuan agar seluruh penduduk Indonesia terlindungi dengan sistem asuransi.
Negara Indonesia menuju Universal health Coverage (UHC) berdasarkan Undang-Undang
Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 pasal 13 menyatakan bahwa: setiap orang berkewajiban ikut
serta dalam program Jaminan kesehatan sosial. Jaminan Kesehatan Nasional adalah bagian
dari SJSN yang diselenggarakan melalui mekanisme asuransi berdasarkan Undang-Undang
RI nomor 40 tahun 2004. Tujuan asuransi kesehatan agar seluruh penduduk Indonesia
terlindungi dari masalah pembiayaan kesehatan kebutuhan dasar masyarakat akan dapat
terpenuhi (BPJS Kesehatan, 2014). Implementasi JKN dalam SJSN tahun 2014 adalah untuk
menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) karena Millenium
Development Goals (MDGs) tahun 2015 harus segera dapat dicapai sehingga identifikasi
perlindungan akses melalui jaminan pembiayaan persalinan dengan kepesertaan dalam JKN
menjadi penting. Sejalan dengan peningkatan cakupan SJSN maka peserta Jampersal secara
bertahap akan menjadi peserta JKN. Lingkup paket manfaat jampersal menjadi bagian dari
paket manfaat JKN yang komprehensif sesuai dengan kebutuhan medis, kecuali ha-hal yang
bersifat nonmedis seperti biaya transportasi (Mukti, 2012). Prinsip-prinsip Penyelenggaraan
JKN berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011, mengacu pada prinsip-prinsip
sebagai berikut: kegotong royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas,
efisiensi dan efektifitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanah dan hasil
pengelolaan dana jaminan sosial. Manfaat jaminan kesehatan yang bisa diperoleh dalam
program JKN bersifat pelayanan perseorangan yang mencakup pelayanan promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif termasuk pelayanan kebidanan dan neonatal. Cakupan pelayanan
kebidanan dan neonatal yang termasuk di dalam program JKN meliputi: pelayanan
pemeriksaan kehamilan (antenatal care), pertolongan persalinan (intranatal care),
pemeriksaan bayi baru lahir (neonatus), pemeriksaan pascasalin (postnatal care) dan
pelayanan Keluarga Berencana setelah melahirkan (BPJS Kesehatan, 2013). Program JKN
memberikan jaminan pembiayaan pada pelayanan kebidanan dan neonatal berdasarkan
pembayaran non kapitasi. Peserta JKN mendapatkan pelayanan kebidanan pada puskesmas-
puskesmas, rumah sakit dan fasilitas pelayanan swasta yang bekerjasama dengan BPJS.
Manfaat pelayanan kebidanan dan neonatal yang diberikan oleh JKN berupa : Pemeriksaan
ANC, pelayanan persalinan, Pemeriksaan PNC dan bayi baru lahir (neonatus) dan pelayanan
keluarga berencana. Indonesia menuju UHC berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor
36 tahun 2009 pasal 13 yang menyatakan bahwa: setiap orang berkewajiban ikut serta dalam
program Jaminan Kesehatan Sosial. Program JKN juga memberikan jaminan pembiayaan
pada pelayanan kebidanan dan neonatal berdasarkan pembayaran non kapitasi untuk
mendapatkan pelayanan kebidanan pada puskesmas-puskesmas, rumah sakit dan fasilitas
pelayanan swasta yang bekerjasama dengan BPJS (BPJS Kesehatan, 2014). Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 59 tahun 2014 tentang Standar Tarif
Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan pasal 11 ayat 1
(a) menyatakan bahwa: jasa pelayanan kebidanan, neonatal dan keluarga berencana yang
dilakukan oleh bidan atau dokter bersifat non kapitasi yaitu besaran pembayaran klaim oleh
BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jenis dan jumlah
pelayanan kesehatan yang diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Pemeriksaan kehamilan (ANC) sesuai standar yang diberikan dalam bentuk paket paling
sedikit 4 kali pemeriksaan, sebesar Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah)
2) Persalinan pervaginam normal sebesar Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah)
3) Persalinan pervaginam dengan tindakan emergensi dasar sebesar di puskesmas PONED Rp
750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)
4) Pemeriksaan PNC dan neonatus sesuai standar dilaksanakan dengan dua kali kunjungan
ibu nifas dan neonatus pertama (KF1-KN1) dan kunjungan ibu nifas dan neonatus kedua
(KF2-KN2) serta satu kali kunjungan neonatus ketiga (KN3) dan satu kali kunjungan ibu
nifas ketiga (KF3), sebesar Rp 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) untuk tiap kunjungan
dan diberikan kepada pemberi pelayanan yang pertama dalam kurun waktu kunjungan.
5) Pelayanan tindakan pasca persalinan di puskesmas PONED, sebesar Rp 175.000,00
(seratus tujuh puluh lima ribu rupiah)
6) Pelayanan pra rujukan pada komplikasi kebidanan dan neonatal Rp 125.000,00 (seratus
dua puluh lima ribu rupiah), dan
7) Pelayanan Keluarga Berencana:
a) Pemasangan atau pencabutan IUD/Implan sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah)
b) Pelayanan suntik KB sebesar Rp 15.000,00 (lima belas ribu rupiah) setiap kali suntik
c) Penanganan komplikasi KB sebesar Rp 125.000,00 (seratus dua puluh lima ribu rupiah),
dan
d) Pelayanan KB MOP/vasektomi sebesar Rp 350.000,00 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah).
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Nomor 143 Tahun 2014
tentang Implementasi Permenkes Nomor 59 tahun 2014 menjelaskan bahwa :
1) Pemeriksaan ANC dan PNC/neonatus dapat diberikan dan ditagihkan oleh Fasilitas
Kesehatan tingkat pertama (FKTP)
2) Penagihan biaya pelayanan oleh jejaring melalui faskes induk. Pemotongan biaya
pembinaan terhadap jejaring oleh faskes induk maksimal 10 % dari total klaim (Permenkes
nomor 28 tahun 2014)
3) Tarif pemeriksaan ANC merupakan tarif paket untuk pelayanan ANC paling sedikit 4
(empat) kali pemeriksaan dalam masa kehamilannya yaitu 1 (satu) kali pada trimester
pertama, 1 (satu) kali pada trimester kedua, dan 2 (dua) kali pada trimester ketiga kehamilan
dan tidak dapat dipecah menjadi 4 (empat) misalnya per kali pemeriksaan masing-masing Rp
50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)
4) Apabila pemeriksaan ANC dilakukan kurang dari jumlah minimal (< 4 kali) pemeriksaan
sesuai waktu yang ditentukan maka biaya pemeriksaan ANC tidak dapat ditagihkan.
5) Penagihan biaya pemeriksaan ANC dapat ditagihkan apabila telah dilakukan minimal 4
kali pemeriksaan ANC sesuai waktu yang ditetapkan (dapat bersamaan dengan klaim
persalinan yang diajukan atau terpisah jika persalinan dilakukan di faskes lain) disertai
dengan bukti pelayanan kepada peserta.
6) Untuk menjaga kontinuitas pelayanan pemeriksaan ANC maka perlu adanya informed
consent bagi pasien untuk melakukan pemeriksaan ANC dan PNC di satu tempat yang sama
(baik oleh FKTP maupun jejaring bidan sesuai dengan prosedur). Pemeriksaan ANC dan
PNC pada tempat yang sama dimaksudkan untuk : keteraturan pencatatan partograf,
monitoring terhadap perkembangan kehamilan, memudahkan dalam administrasi pengajuan
klaim ke BPJS Kesehatan.
7) Yang dimaksud dengan perkali kunjungan pemeriksaan PNC adalah paket kunjungan ibu
nifas dan neonatus (kedatangan keduanya dihitung untuk 1 kali kunjungan)
8) Pemeriksaan ANC dan PNC di Fasilitas Kesehatan Rawat inap Tingkat Lanjutan (FKRTL)
dilakukan berdasarkan indikasi medis
9) Kartu ibu dan buku kesehatan ibu dan anak (Buku KIA) disediakan oleh faskes sebagai
pencatatan dan pemantauan status kesehatan peserta kebidanan.
10) Fasilitas kesehatan tingkat pertama yang dapat menagihkan tarif pelayanan persalinan
pervaginam dengan tindakan emergensi dasar sebesar Rp 750.000,00 (tujuh ratus lima puluh
ribu rupiah) dan pelayanan tindakan pasca persalinan sebesar Rp 175.000,00 (seratus tujuh
puluh lima ribu rupiah) hanyalah Puskesmas yang ditetapkan sebagai Puskesmas PONED
(Pelayanan Obstretrik Neonatal Emergensi Dasar).
11) Apabila pelayanan persalinan pervaginam dengan tindakan emergensi dasar ditagihkan
oleh FKTP lain selain Puskesmas PONED, maka disetarakan sesuai tarif persalinan
pervaginam normal sebesar Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah )
12) Pelayanan KB dapat diberikan dan ditagihkan oleh FKTP
13) Kantor cabang agar berkoordinasi dengan BKKBN di masing-masing daerah terkait
ketersediaan alat dan obat kontrasepsi (alkon)
14) Penagihan biaya pelayanan oleh jejaring melalui faskes induk, pemotongan biaya
pembinaan terhadap jejaring oleh faskes induk maksimal 10% dari total klaim (Permenkes
nomor 28 tahun 2014)
15) Khusus pelayanan KB MOP/vasektomi dapat diberikan pada FKTP yang ditunjuk
berdasarkan rekomendasi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan
kompetensi dan kelengkapan sarana dan prasarana faskes. Tarif pelayanan kebidanan yang
berlaku di Kabupaten Tabanan berdasarkan kesepakatan organisasi Ikatan Bidan Indonesia
(IBI) cabang Tabanan tahun 2013 menetapkan tarif minimal yang dapat dijadikan acuan oleh
BPM, sudah termasuk jasa pelayanan, obat yang digunakan dan kelengkapan sarana
prasarana yaitu:
1) Pemeriksaan kehamilan : Rp 30.000 – Rp 50.000,-
2) Persalinan normal dan bayi baru lahir : Rp 900.000 – Rp 1.200.000,-
3) Perawatan nifas dan ibu menyusui : Rp 30.000 – Rp 50.000,-
4) Pemasangan IUD : Rp 150.000 – Rp 300.000,-
5) Suntik KB: Rp 25.000 – Rp 40.000,-
6) Konseling : Rp 10.000,-
7) Imunisasi : masing-masing Rp 20.000 – Rp 40.000,-
8) Rujukan : berdasarkan Unit Cost
Bila dilihat dari tarif tersebut maka terdapat kesenjangan antara kesepakatan yang dibuat oleh
organisasi dibandingkan dengan penetapan tarif pelayanan kebidanan yang ditetapkan oleh
pemerintah (BPJS Kesehatan). Hasil penelitian Januraga, dkk (2009) di Kabupaten Jembrana
menunjukkan bahwa: Terdapat pemahaman yang keliru pada sebagian besar policy makers
program Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) terhadap konsep kebutuhan dasar kesehatan dan
konsep keadilan egaliter dalam bidang kesehatan sehingga menimbulkan resistensi atau
penolakan terhadap kebijakan pembayaran premi, khususnya premi Pemberi Pelayanan
Kesehatan (PPK) I JKJ. Sebagian besar policy makers dan PPK program JKJ memiliki
persepsi yang buruk terhadap sistem pembayaran kapitasi karena dipandang memiliki
kelemahan dalam pemerataan, keadilan, kepuasan pasien dan mutu pelayanan kesehatan.
Untuk mengatasi hal itu sebaiknya besaran biaya per kapita dihitung berdasarkan unit cost
atau biaya klaim yang selama ini berlaku serta dikomunikasikan secara baik antara Badan
pelayanan dan PPK . Selain itu, beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko
kerugian finansial PPK adalah dengan melakukan risk adjusment capitation, curve out, dan
reinsurance. Risk adjustment capitation, besaran kapitasi dihitung dengan penyesuaian
terhadap faktor demografi, riwayat kesehatan peserta, riwayat kunjungan peserta, dan
beberapa indikator klinik. Curve out, dilakukan dengan mengeluarkan pelayanan tertentu dari
perhitungan kapitasi untuk dibayar dengan cara lain. Peran Badan pelayanan bersama-sama
dengan PPK dibutuhkan untuk membahas jenis pelayanan yang harus dikeluarkan, tetapi
dengan tetap memperhatikan hak-hak peserta untuk memperoleh pelayanan yang optimal.
Cara terakhir adalah dengan melakukan reinsurance. Reasuransi pada perusahaan reasuransi
dilakukan oleh Badan pelayanan untuk menghindari terjadinya kerugian pada PPK akibat
pengeluaran yang tidak terduga. Hampir sama seperti pendapat policy makers, sebagian besar
PPK melihat Program Kesehatan Jembrana khususnya kapitasi sebagai sistem yang
merugikan dari sisi kebebasan konsumen dalam memilih pelayanan, di samping pandangan
negatif akan adanya risiko finansial berupa kerugian pada pihak PPK. Ketakutan akan
kegagalan secara finansial bahkan juga dirasakan oleh PPK yang justru menganggap kapitasi
sebagai suatu cara pembayaran yang baik. Senada dengan pendapat sebelumnya pangkal
semua ketakutan terjadi karena kebebasan masyarakat memperoleh pelayanan yang menurut
anggapan PPK sulit untuk diubah.
Cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan meliputi:
1) Pemeriksaan ANC sekurang-kurangnya dilakukan 4 kali dengan distribusi waktu satu kali
trimester satu, satu kali trimester dua dan dua kali pada trimester ketiga kehamilan yang
disesuaikan dengan usia kehamilan.
2) Pemeriksaan ANC berupa pengukuran tinggi badan dan berat badan, pemeriksaan tekanan
darah, pengukuran lingkar lengan atas, pemeriksaan tinggi fundus uteri, pemeriksaan denyut
jantung janin dan posisi janin, skrining status dan pemberian imunisasi tetanus toksoid,
pemberian tablet tambah darah dan asam folat, serta temu wicara.
3) Pemeriksaan ANC berupa pemeriksaan laboraturium rutin meliputi pemeriksaan kadar
hemoglobin dan pemeriksaan golongan darah pada ibu hamil wajib dilakukan oleh pemberi
pelayanan antenatal yang memiliki alat pemeriksaan laboraturium tersebut. Sedangkan untuk
pemeriksaan laboraturium lainnya dilakukan atas indikasi.
4) Persalinan pervaginam dengan tindakan emergensi dasar di puskesmas PONED meliputi
penatalaksanaan untuk mengatasi kegawatdaruratan medis, perdarahan pada kehamilan muda
(abortus), preeklamsia, eklamsia dan persalinan macet (distosia)
5) Pelayanan pada ibu nifas meliputi : pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu,
pemeriksaan tinggi fundus uteri, pemeriksaan lochea dan pengeluaran pervaginam lainnya,
pemeriksaan payudara dan dukungan pemberian ASI Ekslusif, pemberian vitamin A,
pemberian pelayanan Keluarga Berencana pascasalin, konseling dan edukasi perawatan
kesehatan, serta penanganan resiko tinggi dan komplikasi pada ibu nifas.
6) Pelayanan pada ibu nifas diberikan sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali dengan distribusi
waktu pada 6 jam sampai 3 hari setelah melahirkan (KF1), pada hari ke 4 sampai dengan hari
ke 28 pascapersalinan (KF2), dan pada hari ke 29 sampai dengan hari ke 42 pasca bersalin
(KF3).
7) Pelayanan neonatal meliputi: pelayanan neonatal dengan menggunakan formulir
Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM), memastikan pemberian vitamin K1, pemberian
salep mata antibiotika, pemberian imunisasi Hepatitis B 0, perawatan tali pusat serta
konseling terkait pemberian ASI ekslusif, perawatan tali pusat, deteksi dini tanda bahaya dan
pencegahan infeksi.
8) Pelayanan neonatus diberikan sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali sesuai standar dengan
distribusi waktu pada 6 jam sampai dengan 48 jam pasca salin (KN1), pada hari ke 3 sampai
dengan hari ke 7 setelah lahir (KN2) dan pada hari ke 8 sampai dengan hari ke 28 setelah
melahirkan (KN3).
9) Hasil pelayanan kebidanan, neonatal dan KB dicatat pada kartu ibu dan buku KIA.
10) Buku KIA wajib dibawa oleh peserta Jaminan Kesehatan pada tiap kunjungan untuk
mendapatkan pelayanan kebidanan, neonatal dan KB. Beberapa manfaat JKN untuk
masyarakat adalah: memberikan keuntungan dengan premi yang terjangkau, asuransi JKN
yang menerapkan prinsip kendali mutu dan biaya, asuransi kesehatan sosial yang menjamin
kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkelanjutan serta asuransi kesehatan
sosial yang dapat digunakan diseluruh Indonesia (Kemenkes RI,2013). Berdasarkan hasil
analisis koordinasi pelaksanaan pembiayaan kesehatan ibu dan anak (KIA) di Kabupaten
Lombok Tengah, program Jampersal juga belum berjalan optimal. Walaupun tidak ditemukan
terjadinya tumpang tindih pembiayaan dan tidak ada pelayanan KIA yang tidak terbiayai,
namun masih ditemukan adanya iuran biaya untuk obat maupun biaya rujukan serta tidak
dilibatkannya pihak swasta dalam program Jampersal. Pelaksanaan program Jampersal dinas
kesehatan kabupaten seharusnya dapat bekerjasama dengan klinik atau bidan praktek swasta
(Erpan,dkk.2011).

Anda mungkin juga menyukai