Anda di halaman 1dari 69

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir

Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan


Kementerian Kelautan dan Perikanan

ANALISIS CITRA MULTIBEAM DI LINTASAN


SEBELAH BARAT PULAU TANIMBAR
Sugiarta Wirasantosa

FRAKSIONASI UKURAN DARI BIOMASSA


FITOPLANKTON DAN KONDISI PERAIRAN
LAGUNA PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU
Reny Puspasari, Ario Damar, M. Mukhlis Kamal,
Djamar T.F. Lumbanbatu & Ngurah N. Wiadnyana

POLA SEBARAN SPASIAL DAN


KARAKTERISITIK NITRAT-FOSFAT-OKSIGEN
TERLARUT DI PERAIRAN PESISIR MAKASAR
Taslim Arifin, Yulius & Irma Shita Arlyza

Hasil Reklasifikasi Sebaran Substrat Dasar Perairan POTENSI SUMBER DAYA TERUMBU KARANG
Dangkal Pulau Semau NTT.
BERBASISKAN CITRA ALOS DI KAWASAN
PULAU PAGAI, SUMATERA BARAT
Suyarso

EKSTRAKSI SUBSTRAT DASAR PERAIRAN


DANGKAL UNTUK PENGELOLAAN KAWASAN
TERUMBU KARANG YANG BERKELANJUTAN
Syahrial Nur Amri

KONDISI EKOSISTEM MANGROVE PASCA


TSUNAMI DI PESISIR TELUK LOH PRIA LAOT
PULAU WEH DAN UPAYA REHABILITASI
D. Purbani, M. Boer, Marimin, I W.Nurjaya & F. Yulianda

PERAMALAN WAKTU PEMANENAN OPTIMUM


KERANG HIJAU (PERNA VIRIDIS) DI TELUK
JAKARTA BERBASISKAN CITRA MULTI-TEMPORAL
SATELIT MODIS
M. Salam Tarigan , F. Widianwari & S. Wouthuyzen

Jakarta ISSN
J. Segara Volume 7 Nomor 2 Hal. 72 - 129 1907-0659
Desember 2011
ISSN 1907-0659

VOLUME 7 NO. 2 DESEMBER 2011


Nomor Akreditasi: 319/AU1/P2MBI/10/2010
(Periode Oktober 2010 - Oktober 2013)

Jurnal SEGARA adalah Jurnal yang diasuh oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan – KKP, dengan
tujuan menyebarluaskan informasi tentang perkembangan ilmiah bidang kelautan di Indonesia,
seperti: oseanografi, akustik dan instrumentasi, inderaja,kewilayahan sumberdaya nonhayati, energi,
arkeologi bawah air dan lingkungan. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini terutama berasal dari
hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan kelautan Indonesia, yang dilakukan
oleh para peneliti, akademisi, mahasiswa, maupun pemerhati permasalahan kelautan baik dari
dalam dan luar negeri. Terbit pertama kali tahun 2005 dengan frekuensi terbit dua kali dalam satu
tahun.

Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab


Dr. Budi Sulistiyo

Pemimpin Pengelola Redaktur


Prof. Dr. Ngurah N. Wiadnyana

Dewan Editor Mitra Bestari


Prof. Dr. Wahyoe S. Hantoro Prof. Dr. Rosmawati Peranginangin
Dr. Sugiarta Wirasantosa Prof. Dr. Safwan Hadi
Ir. Tukul Rameyo Adi, MT Prof. Dr. Cecep Kusmana
Dr. Irsan S. Brodjonegoro Prof. Dr. Hasanuddin Z. Abiddin
Dr. Richardus Kaswadji Ir. Tjoek Aziz Soeprapto, M. Sc
Dr. Edvin Aldrian Dr. I Wayan Nurjaya
Dr. Hamzah Latif

Redaksi Pelaksana
Bagus Hendrajana, ST, M.Sc
Dicky Hartawan, S.Ikom
Syahrial Nur Amri, M.Si
Dani Saepuloh, A.Md

Redaksi Jurnal Ilmiah Segara bertempat di Kantor Pusat Balitbang Kelautan dan Perikanan
Alamat : JL. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430
Telpon : 021 - 6471-1583
Faksimili : 021 - 6471-1654
E-mail : jurnal.segara@gmail.com

Jurnal Segara Volume 7 No. 2 Desember 2011 diterbitkan oleh


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir
Tahun Anggaran 2011
ISSN 1907-0659

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir


Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan

Volume 7 Nomor 2 Desember 2011


Hal. 72 - 129

ANALISIS CITRA MULTIBEAM DI LINTASAN SEBELAH BARAT


PULAU TANIMBAR
Sugiarta Wirasantosa

FRAKSIONASI UKURAN DARI BIOMASSA FITOPLANKTON DAN


KONDISI PERAIRAN LAGUNA PULAU PARI KEPULAUAN
SERIBU
Reny Puspasari, Ario Damar, M. Mukhlis Kamal, Djamar T.F.
Lumbanbatu & Ngurah N. Wiadnyana

POLA SEBARAN SPASIAL DAN KARAKTERISITIK NITRAT-


FOSFAT-OKSIGEN TERLARUT DI PERAIRAN PESISIR
MAKASAR
Taslim Arifin, Yulius & Irma Shita Arlyza

POTENSI SUMBER DAYA TERUMBU KARANG BERBASISKAN


CITRA ALOS DI KAWASAN PULAU PAGAI, SUMATERA BARAT
Suyarso

EKSTRAKSI SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DANGKAL UNTUK


PENGELOLAAN KAWASAN TERUMBU KARANG YANG
BERKELANJUTAN
Syahrial Nur Amri

KONDISI EKOSISTEM MANGROVE PASCA TSUNAMI DI


PESISIR TELUK LOH PRIA LAOT PULAU WEH DAN UPAYA
REHABILITASI
D. Purbani, M. Boer, Marimin, I W.Nurjaya & F. Yulianda

PERAMALAN WAKTU PEMANENAN OPTIMUM KERANG HIJAU


(PERNA VIRIDIS) DI TELUK JAKARTA BERBASISKAN CITRA
MULTI-TEMPORAL SATELIT MODIS
M. Salam Tarigan , F. Widianwari & S. Wouthuyzen
PENGANTAR REDAKSI

Jurnal Segara adalah jurnal yang diterbitkan dan didanai oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan.

Jurnal Segara Volume 7 No.2 Desember 2011 merupakan terbitan kedua di tahun anggaran 2011. Naskah yang
dimuat dalam jurnal Segara berasal dari hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan kelautan
Indonesia, yang dilakukan oleh para peneliti, akademis, mahasiswa, maupun pemerhati permasalahan kelautan
dari dalam dan luar negeri.

Pada nomor kedua 2011, jurnal ini menampilkan 7 artikel ilmiah hasil penelitian tentang: Analisis citra multibeam
di lintasan sebelah barat Pulau Tanimbar, fraksionasi ukuran dari biomassa fitoplankton dan kondisi perairan Laguna
Pulau Pari Kepulauan Seribu, pola sebaran spasial dan karakterisitik nitrat-fosfat-oksigen terlarut di perairan Pesisir
Makassar, potensi sumber daya terumbu karang berbasiskan citra alos di kawasan Pulau Pagai, Sumatera Barat,
ekstraksi substrat dasar perairan dangkal untuk pengelolaan kawasan terumbu karang yang berkelanjutan, kondisi
ekosistem mangrove pasca tsunami di Pesisir Teluk Loh Pria Laot Pulau Weh dan upaya rehabilitasi, peramalan
waktu pemanenan optimum kerang hijau (Perna Viridis) di Teluk Jakarta berbasiskan Citra Multi-Temporal Satelit
Modis.

Diharapkan artikel tersebut dapat memberikan kontribusi bagi pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang kelautan Indonesia. Akhir kata, Redaksi mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas partisipasi
aktif peneliti dalam mengisi jurnal ini.

REDAKSI

i
ISSN 1907 - 0659

Volume 7 Nomor 2 Desember 2011

DAFTAR ISI Halaman


KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………....................... i

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………............... ii

LEMBAR ABSTRAK .............................................................................................................. iii-vi

Analisis citra multibeam di lintasan sebelah barat Pulau Tanimbar


Sugiarta Wirasantosa ................................................................................................................ 72-79

Fraksionasi ukuran dari Biomassa Fitoplankton dan Kondisi Perairan Laguna Pulau Pari Kepulauan
Seribu
Reny Puspasari, Ario Damar, M. Mukhlis Kamal, Djamar T.F. Lumbanbatu & Ngurah N.
Wiadnyana............................................................................................................................ 80-87

Pola Sebaran Spasial dan Karakterisitik Nitrat-Fosfat-Oksigen Terlarut di Perairan Pesisir Makasar
Taslim Arifin, Yulius & Irma Shita Arlyza........................................................................................... 88-96

Potensi Sumber Daya Terumbu Karang Berbasiskan Citra Alos di Kawasan Pulau Pagai,
Sumatera Barat
Suyarso............................................................................................................................................................................ 97-104

Ekstraksi Substrat Dasar Perairan Dangkal untuk Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang yang
Berkelanjutan
Syahrial Nur Amri................................................................................................................ 105-110

Kondisi Ekosistem Mangrove Pasca Tsunami Di Pesisir Teluk Loh Pria Laot Pulau Weh Dan Upaya
Rehabilitasi
D. Purbani, M. Boer, Marimin, I W.Nurjaya & F. Yulianda..................................................... 111-117

Peramalan Waktu Pemanenan Optimum Kerang Hijau (Perna Viridis) di Teluk Jakarta Berbasiskan
Citra Multi-Temporal Satelit Modis
M.Salam Tarigan, F. Widianwari & S. Wouthuyzen................................................................ 118-129

ii
ANALISIS CITRA MULTIBEAM DI LINTASAN SEBELAH BARAT PULAU TANIMBAR

ANALYSIS OF MULTIBEAM IMAGE FROM THE WEST OF TANIMBAR

Sugiarta Wirasantosa

ABSTRAK ABSTRACT

Citra multibeam berarah Barat Laut – Tenggara pada lint- Multibeam image trending NW-SE across an area to the
asan di sebelah barat P. Tanimbar mencerminkan suatu palung west of Tanimbar Island shows a trough with depth of more than
dengan kedalaman lebih dari 1.500 m. Lereng barat laut palung 1,500 m. The northwestern slope of the trough is steeper than that
tersebut lebih curam dari pada lereng tenggaranya. Citra 3-D of the southeastern. The 3-D image and the bathymetric profile
dan penampang batimetri daerah ini menunjukkan adanya teras- of this area indicate terraces occuring in the northwestern slope.
teras pada lereng barat laut. Teras-teras tersebut mencerminkan These terraces reflect part of accretionary complex morphology in
bagian dari morfologi komplek akresi di daerah tumbukan an- a collision front of Australian continental plate with the Banda arc.
tara lempeng benua Australia dengan busur kepulauan Banda. Erosian channels and slope basins in the accretion complex reflect
Alur erosi dan cekungan lereng pada komplek akresi mencer- the occurence of sediment flow from the upper slope to the trench.
minkan terjadinya aliran sedimen dari lereng atas menuju palung.
Keywords: Multibeam image, bathymetry, aceretion, Tanimbar,
Kata kunci: Citra multibeam, batimetri, akresi, Tanimbar, Laut Arafura Sea
Arafura

FRAKSIONASI UKURAN DARI BIOMASSA FITOPLANKTON DAN KONDISI PERAIRAN


LAGUNA PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

SIZE-FRACTIONATED PHYTOPLANKTON BIOMASS AND CONDITION


OF PULAU PARI LAGUNE, SERIBU ISLANDS WATERS

Reny Puspasari, Ario Damar, M. Mukhlis Kamal, Djamar T.F. Lumbanbatu & Ngurah N. Wiadnyana

ABSTRAK ABSTRACT

Variasi biomassa fitoplankton di laut dipengaruhi oleh kon- Variation in phytoplankton biomass in the sea is influenced
disi lingkungan perairan terutama keberadaan nutrien dan kondisi by environmental condition such as nutrient concentration and size
fitoplankton seperti fraksionasi ukuran dari biomassa fitoplankton fractionated of phytoplankton biomass. The research objective is to
tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fraksion- describe the size fractionated of phytoplankton biomass in Pulau
asi biomassa fitoplankton yang ada di laguna Pulau Pari. Penelitian Pari Lagune. The study was conducted from June – November 2010.
ini dilaksanakan dari Juni – November 2010. Sampel fitoplankton Samples were fractionated by using a 20 μm plankton net to separate
difraksionasi melalui penyaringan dengan plankton net ukuran 20 microphytoplankton and nanophytoplankton. Result shows that nano-
μm. Ukuran fitoplankton yang diamati dibedakan menjadi dua yaitu phytoplankton dominated the chlorophyll-a biomass in the lagune, it
mikrofitoplankton dan nanofitoplankton. Hasil penelitian menunjuk- was 82,10 – 93,40% from total biomass. The highest chlorophyll-a bio-
kan bahwa di perairan laguna Pulau Pari nanofitoplankton mendo- mass of nanoplankton is found in the early of October and the lowest
minasi biomassa klorofil-a yang ada sebanyak 82,10 – 93,40% dari is in the middle of October 2010. High chlorophyll concentration due
total biomassa di perairan. Konsentrasi tertinggi terjadi pada awal to low NH4 concentration observed. The observed NH4, NO3, PO4
Oktober dan konsentrasi terendah terjadi pada pertengahan bu- and Si(OH) concetration ranged between 0,002 to 1,072 mg/l, 0,056 to
lan Oktober 2010. Konsentrasi klorofil a yang tinggi berhubungan 1,615 mg/l, 0,001 to 0,273 mg/l and 0,013 to 1,787 mg/l respectively.
dengan konsentrasi NH4 yang rendah. Selama masa pengamatan
konsentrasi NH4 terukur sebesar 0,002 – 1,072 mg/l, sementara Keywords: phytoplankton, size-fractionated, biomass,
konsentrasi NO3 sebesar 0,056 – 1,615 mg/l mg/l, PO4 sebe- nutrient concentration, Pari Island lagune
sar 0,001 – 0,273 mg/l dan Si(OH) sebesar 0,013 – 1,787 mg/l.

Kata kunci: fitoplankton, fraksionasi ukuran, biomassa,


konsentrasi nutrien, laguna Pulau Pari

iii
POLA SEBARAN SPASIAL DAN KARAKTERISITIK NITRAT-FOSFAT-OKSIGEN
TERLARUT DI PERAIRAN PESISIR MAKASSAR

SPATIAL DISTRIBUTION AND CHARACTERISTICS OF DISSOLVED NITRATE, PHOSPHATE, AND OXIGEN


THE COASTAL WATERS OF MAKASSAR

Taslim Arifin, Yulius & Irma Shita Arlyza

ABSTRAK ABSTRACT

Kawasan pesisir Makassar memiliki potensi untuk pengem- The coastal waters of Makassar consitute the potential for
bangan perikanan budidaya dan pariwisata bahari, akan tetapi in- the development of aquaculture and marine tourism but the new in-
formasi terkini tentang karakteristik kimia perairan masih terbatas. formation about characteristic of chemical waters was still limited.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sebaran spasial dan karak- The research aims to study spatial distribution and characteristic of
teristik nitrat, fosfat dan oksigen terlarut di perairan pesisir Makassar. nitrate (NO3), phosphate (PO4) and dissolved oxygen (OD) in the
Analisis kandungan nitrat dengan Metode Brucine, menggunakan coastal waters of Makassar. Nitrate content was analyzed using
alat spektrofotometer DR 2800 dengan panjang gelombang 410 Brucine method, using spectrophotometer DR 2800 at wavelength
nm, sedangkan kandungan fosfat dengan Metode Asam Askorbik, 410nm, while phosphate content was determined using Ascorbate
menggunakan alat spektrofotometer DR 2800 dan panjang gelom- Acid method at wavelength 660nm. DO measurement was conduct-
bang 660 nm. Pengukuran Oksigen Terlarut (DO), menggunakan ed using portable water quality chaker, TOA-DKK. Spatial pattern of
alat Water Quality Chaker (TOA-DKK) dengan mencelupkan sensor NPO in Makassar coasts was analyzed using Principal Component
kedalam air. Pola sebaran spasial parameter biofisiko-kimiawi per- Analysis (PCA) following zonal analysis using t-test to understand
airan digunakan Principal Component Analysis (PCA), selanjutnya detail characteristics of nitrate, phosphate, and oxygen at different
untuk mengetahui karakteristik nitrat-fosfat-oksigen terlarut pada zones. Contingency matrix showed high variance for each axis, in
setiap zona dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji t. where site 1, 6, 16, 21 (zone 1) and site 2 (zone 2) were distrib-
Matriks korelasi parameter biofisiko-kimiawi perairan memperlihat- uted to high PO4 and turbidity; site 8 (zone 3), 9, 14 (zone 4), 10,
kan bahwa ragam pada komponen utama dari empat sumbu adalah 15 (zone 5), 11 (zone 1), 12 (zone 2) dan site 13 (zone 3) were
tinggi, yaitu 82,90%. Stasiun 1, 6, 16, 21 (zona 1) dan stasiun 2 correlated with high pH, DO, NO3, temperature and salinity; site 3,
(zona 2) dicirikan oleh parameter fosfat dan kekeruhan yang tinggi. 18, 23 (zone 3), 4, 19, 24 (zone 4), 5, 20, 25 (zone 5) dan site 7,
Stasiun 8 (zona 3), 9, 14 (zona 4), 10, 15 (zona 5), 11 (zona 1), 17, 22 (zone 2) were marked with high chlorophyll-a and current
12 (zona 2) dan stasiun 13 (zona 3) dicirikan oleh parameter pH, velocity. Statistical analysis revealed that different traits of NO3 at
DO, NO3, suhu dan salinitas yang tinggi. Stasiun 3, 18, 23 (zona near coast zone compare to off coast zone. Fluctuative feature of
3), 4, 19, 24 (zona 4), 5, 20, 25 (zona 5) dan stasiun 7, 17, 22 (zona dissolved nitrate, phosphate, and oxygen at the coastal waters of
2) dicirikan oleh parameter klorofil-a dan kecepatan arus yang Makassar was effected by terrestrial inputs and water movement.
tinggi. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kandungan nitrat
pada zona dekat pantai dengan zona luar adalah berbeda sangat Keywords: Spatial distribution, biophysical-chemistry waters,
nyata. Kandungan nitrat, fosfat, dan oksigen terlarut tidak berbeda dissolved nitrate-phosphate-oxygen, Makassar.
nyata antara zona dekat pantai dengan zona luar. Tinggi renda-
hnya kandungan nitrat, fosfat, dan oksigen terlarut di perairan ini
dipengaruhi oleh masukan dari daratan dan pergerakan massa air.

Kata kunci: Sebaran spasial, biofisiko-kimia perairan,


nitrat-fosfat-oksigen terlarut, Makassar

POTENSI SUMBER DAYA TERUMBU KARANG BERBASISKAN CITRA ALOS


DI KAWASAN PULAU PAGAI, SUMATERA BARAT

POTENTIAL OF CORAL REEF RESOURCES BASED ON ALOS IMAGE


IN THE PAGAI ISLAND REGION, WEST SUMATRA

Suyarso

ABSTRAK ABSTRACT

Analisis citra satelit Alos yang terekam pada 11 Januari 2007 Analyse of Alos satellite data recorded on the 11 Januari 2007
dengan menggunakan algoritma indeks atenuasi kedalaman dan in- using depth invariant index algorithm and integrated of 33 field data
tegrasi 33 data survey telah dapat mengklasifikasi ekosistem terum- has produced the classification of 166 hectares of coral reef ecosys-
bu karang seluas 166 ha.di perairan Pulau Pagai kedalam lima kelas, tem in the waters of Pagai Island into five classes of: live corals (5.5
yakni: karang hidup (5,5 %), karang mati (16,6 %), pecahan karang %), dead corals (16.6 %), rubbles (15.8 %), mix substrates (13.9 %)
(15,8 %), substrat campuran (13,9 %) dan pasir (38,3 %). Agregasi and sand (38.3 %). Aggregation of corals in the east of island are
karang di bagian timur Pulau Pagai tumbuh dan berkembang di ling- grown and spread out at the reef slopes environment while almost
kungan tubir sementara pada lingkungan rataan karang telah tertutup of reef flat areas were covered by sand substrates. In the west ar-
oleh substrat pasir. Di bagian barat, agregasi karang ditemukan pada eas, aggregation of corals is observed in deep water up to reef slope
dasar perairan hingga tubir sedangkan lingkungan rataan umumnya areas while the reef flat areas are occupied by rampart materials.
telah tertutup oleh material rampart. Algoritma yang dibangun melalui The algorithm that composed of three visible bands is applicable in
tiga kanal sinar tampak mampu mengklasifikasi substrat dasar perai- clear water rather than in turbid water environment. Vegetation cov-
ran di lingkungan perairan jernih. Tutupan vegetasi seperti halnya la- ers such as seagrass, seaweed and macro algae are not identifiable
mun, rumput laut dan makro alga tidak teridentifikasi karena pelam- due to its narrow extent, and usually are associated with turbid wa-
parannya yang sempit dan umumnya berasosiasi dengan air keruh. ters. The research activity which is funded by Critic Coremap - LIPI

iv
Maksud penelitian ini, yang telah dibiayai oleh Critic Coremap – LIPI is aimed in producing Pagai Island map of coral reef ecosystem.
adalah menyusun peta ekosistem terumbu karang di Pulau Pagai.
Keywords: Alos imagery, coral reefs ecosystem, Pagai Island
Kata kunci: Citra Alos, ekosistem terumbu karang, Pulau Pagai

EKSTRAKSI SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DANGKAL


UNTUK PENGELOLAAN KAWASAN TERUMBU KARANG YANG BERKELANJUTAN

THE EXTRACTION OF BOTTOM SUBSTRATE OF SHALLOW WATERS


FOR SUSTAINABLE MANAGEMENT OF CORAL REEF ZONE

Syahrial Nur Amri

ABSTRAK ABSTRACT

Terumbu karang dan obyek bawah permukaan perairan Coral reef and under shallow water object can be detected
dangkal bisa diidentifikasi melalui interpretasi citra satelit. Proses using satellite image interpretation. The process of interpretation
interpretasi didasarkan pada karakteristik objek yang terekam oleh is based on the characteristics of the recorded object by satellite
sensor satelit apabila berinteraksi dengan radiasi elektromagnetik. sensors when interact with electromagnetic radiation. This response
Respon tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk jenis obyek can be used as a guide for the type of objects because each ob-
karena setiap obyek memiliki respon yang spesifik terhadap ra- ject has a specific response to electromagnetic radiation. This
diasi elektomagnetik. Penelitian ini menggunakan citra landsat study uses Landsat 5 TM imagery to identify the substrate in the
5 TM untuk identifikasi substrat dasar perairan dangkal di Pulau shallow waters of Semau Island. Data processing is started with
Semau. Pengolahan dimulai dengan koreksi geometrik, koreksi rectification, correction of radiometric, transformation, enhance-
radiometrik, transformasi, penajaman, cropping, klasifikasi, uji la- ment, cropping, classification, ground truth, reclassification and
pangan, reklasifikasi dan anotasi. Transformasi citra menggunakan annotation. The transformation of the imagery is using Lysenga
algoritma Lysenga yang diuji dengan hasil pengecekan lapangan algorithm and tested by ground truthing and color composite of
dan komposit warna 421 dan 542, kemudian klasifikasi ulang. Ha- 421 and 542 channel, then reclassification. The results show the
sil klasifikasi menunjukkan luasan substrat perairan dangkal seki- substrate width of shallow water was about 32,264 ha with com-
tar 32,264 ha dengan komposisi karang hidup, lamun/rumput laut, position of life coral, seagrass/seaweed, sand, and death coral/
pasir halus, dan karang rusak/rubble. Pemanfaatan lahan perairan rubble. The land use on the shallow water is appropriate for ma-
dangkal sesuai sebagai kawasan pengembangan budidaya, khu- rine culture area, specially on the east of the island, but it needs
susnya pada bagian timur pulau, namun perlu dibuatkan zonasi to develop an utilization zone to avoid the damage the coral reefs.
pemanfaatan agar tidak mengganggu keberadaan terumbu karang.
Keywords: Coral Reef, Remote Sensing, Coastal Management.
Kata kunci: Terumbu Karang, Penginderaan Jauh, Pengelolaan
Pesisir.

KONDISI EKOSISTEM MANGROVE PASCA TSUNAMI DI PESISIR TELUK LOH PRIA LAOT
PULAU WEH DAN UPAYA REHABILITASI

MANGROVE ECOSYSTEM CONDITIONS IN THE COAST TELUK PRIA LAOT


AFTER TSUNAMI AND REHABILITATION EFFORTS

D. Purbani , M. Boer , Marimin , I W.Nurjaya & F. Yulianda

ABSTRAK ABSTRACT

Gempabumi berkekuatan 9,0-9,3 MW yang diikuti tsunami Earthquake of magnitude 9.0-9.3 MW, followed by a tsunami
mengakibatkan kerusakaan infrastruktur dan ekosistem mangrove resulted a damage of infrastructure and mangrove ecosystems on
di pesisir timur Pulau Weh. Kerusakan ekosistem mangrove rusak the east coast of Weh Island. The damage of mangrove ecosystems
parah, lokasi kerusakan: 1. Pantai Taman Wisata Alam Alur Pan- was severe, and the locations are: 1. Pantai Taman Wisata Alam Alur
eh, 2. Pantai Teluk Boih, 3. Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1. Paneh; 2. Pantai Teluk Boih; 3. Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu
4. Pantai Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b, 5. Pantai Lhok Weng 3/ 1; 4. Pantai Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b; 5.Pantai Lhok Weng 3/
Teupin Layeu 1, 6. Pantai Lhut 1. 7. Pantai Lhut 2 dan 8. Pantai Teupin Layeu 1; 6. Pantai Lhut 1; 7. Pantai Lhut 2; and 8. Pantai Lhok
Lhok Weng 1/Lam Nibong. Jenis kerusakan antara lain; patah, Weng 1/Lam Nibong. This type of damage, among others is, broken,
tumbang, tercabut dari akarnya dan hanyut. Kerusakan ekosistem fallen, uprooted and swept away. Mangrove ecosystem damage was
mangrove disebabkan karena tinggi gelombang datang 5 meter dan caused by the incident run up of 5 meters and there no sandy hills
tidak ada bukit pasir sebagai pelindung pantai. Dalam penelitian protecting the coast. In this study the measurement transect square
ini dilakukan pengukuran transek kuadrat dengan ulangan tiga kali was made with three replications and soil sampling around the man-
dan pengambilan sampel tanah di sekitar ekosistem mangrove, sisi grove ecosystem, the outer side adjacent to the coastline and the
luar yang berbatasan dengan garis pantai dan di arah pedalaman inland boundary bordering the mangrove ecosystem. The measure-
yang berbatasan dengan batas ekosistem mangrove. Hasil pengu- ment of transect quadrant was used to get Importance Value Index
kuran transek kuadrat digunakan untuk mendapatkan Indeks Nilai (IVI) and Survival Rate. Maximum density of mangrove ecosystems
Penting (INP) dan tingkat keberlanjutan hidup. Kerapatan maksi- number of trees is 17 trees per 100m2 and a maximum thickness of
mal ekosistem mangrove jumlah pohon adalah 17 pohon per 100 238 m is located at Pantai LhokWeng3/TeupinLayeu2. The process
m2 dan ketebalan maksimal 238 m berada di Pantai Lhok Weng 3/ from the level of Survival Rate was used to determine the number of
Teupin Layeu 2. Hasil olahan dari tingkat keberlanjutan hidup digu- saplings and trees that are needed in rehabilitation. The rehabilita-

v
nakan untuk menentukan jumlah anakan dan pohon yang diperlu- tion of coastal mangroves is based on the length, density, thickness
kan dalam rehabilitasi. Rehabilitasi mangrove menurut panjang and survival rate. Types of species that are used for replanting are
pantai, kerapatan, ketebalan dan tingkat keberlanjutan hidup. Jenis Rhizophora apiculata and Rhizophora stylosa species at a loca-
spesies yang digunakan untuk penanaman kembali adalah spesies tion that matches the type of clay sand-soil and sandy clay-soil.
Rhizopora apiculata dan spesies Rhizopora stylosa di lokasi yang
sesuai dengan jenis tanah pasir berlempung dan lempung berpasir. Keywords: Ecosystem mangrove, importance value index,
survival rate, mangrove rehabilitation, Weh Island.
Kata kunci: Ekosistem mangrove, Indeks nilai penting, Tingkat
kelangsungan hidup, rehabilitasi mangrove,
Pulau Weh.

PERAMALAN WAKTU PEMANENAN OPTIMUM KERANG HIJAU (PERNA VIRIDIS)


DI TELUK JAKARTA BERBASISKAN CITRA MULTI-TEMPORAL SATELIT MODIS

FORECASTING OF GREEN SHELLS (BREATHING VIRIDIS) OPTIMUM HARVESTING TIME IN


THE BAY OF JAKARTA IMAGE - BASED ON MULTI-TEMPORAL MODIS SATELLITE

M. Salam Tarigan , F. Widianwari & S. Wouthuyzen

ABSTRAK ABSTRACT

Teluk Jakarta merupakan perairan yang memiliki nilai ekono- Jakarta Bay waters consitute an important economic value,
mis penting, khususnya di bidang perikanan, pariwisata dan bidang particularly in the field of fisheries, tourism and other fields, but at
lainnya, namun sekaligus mendapat tekanan lingkungan yang berat. a heavy environmental pressure. This study is a joint activity was
Penelitian ini merupakan gabungan kegiatan terintegrasi yakni ka- a integrated study of biological aspects of green mussels with spe-
jian aspek biologi kerang hijau dengan penekanan khusus pada fak- cial emphasis on the factor or condition index (CI): Monitoring water
tor atau indeks kondisi (IK); Pemantauan kualitas perairan di lokasi quality at the location of the green mussel cultivation by using satel-
budidaya kerang hijau dengan menggunakan data satelit Terra- dan lite data Terra-and Aqua-MODIS. The study focused on two locations
Aqua- MODIS. Penelitian difokuskan pada 2 lokasi budidaya kerang cultivated mussels, namely in Muara Angke and Cilincing coast, the
hijau, yaitu di Muara Angke dan pantai Cilincing, Teluk Jakarta pada Bay of Jakarta in July-September 2009. Out of total 2,400 individual
Juli-September 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari to- mussels sampled in two locations and cultivated for 8 times the sam-
tal 2.400 individu kerang hijau yang dicuplik di 2 lokasi budidaya pling, results show that the average value of IK> 100 which means
selama 8 kali sampling memperlihatkan bahwa nilai rata-rata IK > the mussels are in prime condition, although there are minor varia-
100 yang berarti kerang hijau berada dalam kondisi prima, walaupun tions of the individuals which are in conditions of moderate ( IK values
ada variasi kecil dari individu yang berada pada kondisi sedang (nilai 80-100), as well as in poor condition (CI <80). Monitoring of environ-
IK 80-100), maupun dalam kondisi buruk (IK < 80). Pemantauan mental quality in the form of sea surface temperature (SPL), salinity
kualitas lingkungan berupa suhu permukaan laut (SPL), salinitas and chlorophyll-a concentrations using satellite imagery shows that
dan konsentrasi klorofil-a menggunakan citra satelit memperlihat- the prediction of the SPL and chlorophyll-a can be predicted well
kan bahwa pendugaan SPL dan klorofil-a dapat diprediksi dengan by the MODIS sensor, except salinity pattern for a slightly lower es-
baik oleh sensor MODIS, kecuali salinitas yang memperlihatkan ke- timate (underestiamted) from value measurements in the field, but
cenderungan pendugaan yang sedikit lebih rendah (underestiamted) still fit for use. SPL range between 29.10 -30.44 ° C, salinity from
dari nilai pengukuran di lapangan, namun masih layak digunakan. 29.230 to 31.790 psu, and chlorophyll-a 1.737 -> 20 mg/m3. Further-
SPL berkisar antara 29,10 -30,44 oC, salinitas 29,230 – 31,790 psu, more, the value of IK individually is correlated to the SPL, salinity and
dan klorofil-a 1,737 - > 20 mg/m3. Selanjutnya, nilai IK dikorelasi- chlorophyll-a. Unless the SPL, IK is strongly correlated to salinity and
kan secara individual terhadap SPL, salinitas dan klorofil-a. Kecuali chlorophyll-a in both locations, but if all water quality data are cor-
SPL, IK berkorelasi kuat terhadap salinitas dan klorofil-a di kedua related against IK using multiple linear regression equation, namely:
lokasi, namun jika seluruh data kualitas perairan dikorelasikan ter-
hadap IK menggunakan persamaan regresi linier berganda, yakni : Green Mussell CI =-137664,8 + 8376,98 * temperature
-temperature 141,21 * ^ 2
IK Kerang Hijau =-137664,8 + 8376,98 * Suhu – 141.21* suhu^2 +885,65 * salinity - salinity^14,403
+885,65*salinitas – 14,403*Salinitas^2 – 7,935 *2-7935 * chlorophyll-a + 0,37
* klorofil-a + 0,37*klorofil-a^2, *chlorophyll-a ^ 2,

maka diperoleh korelasi yang sangat kuat (R2=0,94). Oleh kare- then obtained a very strong correlation (R2 = 0,94). There-
nanya, persamaan regresi ini dapat dijadikan model awal dalam fore, this regression equation can be used as initial model
menduga tinggi rendahnya nilai IK, yang selanjutnya memungkinkan in the high and low expected value of IK, which in turn al-
untuk dipakai sebagai peramalan waktu pemanenan yang tepat. lows it to be used as forecasting the exact time of harvesting.

Kata kunci: Peramalan, Kerang Hijau, Satelit MODIS, Keywords: Forecasting, Green Mussel, Satellite MODIS,
Teluk Jakarta Jakarta Bay

vi
Analisis citra multibeam di lintasan sebelah barat Pulau Tanimbar (Wirasantosa, S.)

ANALISIS CITRA MULTIBEAM DI LINTASAN SEBELAH BARAT PULAU TANIMBAR

Sugiarta Wirasantosa1)
1)
Peneliti pada Pusat Penelitian Sumber Daya Laut dan Pesisir, Balitbang Kelautan dan Perikanan - KKP

Diterima tanggal: 31 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan: 20 Mei 2011; Disetujui terbit tanggal 06 September 2011

ABSTRAK

Citra multibeam berarah Barat Laut – Tenggara pada lintasan di sebelah barat P. Tanimbar mencer-
minkan suatu palung dengan kedalaman lebih dari 1.500 m. Lereng barat laut palung tersebut lebih curam
dari pada lereng tenggaranya. Citra 3-D dan penampang batimetri daerah ini menunjukkan adanya teras-
teras pada lereng barat laut. Teras-teras tersebut mencerminkan bagian dari morfologi komplek akresi di
daerah tumbukan antara lempeng benua Australia dengan busur kepulauan Banda. Alur erosi dan cekun-
gan lereng pada komplek akresi mencerminkan terjadinya aliran sedimen dari lereng atas menuju palung.

Kata kunci: Citra multibeam, batimetri, akresi, Tanimbar, Laut Arafura.

ABSTRACT

Multibeam image trending NW-SE across an area to the west of Tanimbar Island shows a
trough with depth of more than 1,500 m. The northwestern slope of the trough is steeper than that
of the southeastern. The 3-D image and the bathymetric profile of this area indicate terraces occur-
ing in the northwestern slope. These terraces reflect part of accretionary complex morphology in a
collision front of Australian continental plate with the Banda arc. Erosian channels and slope basins
in the accretion complex reflect the occurence of sediment flow from the upper slope to the trench.

Keywords: Multibeam image, bathymetry, aceretion, Tanimbar, Arafura Sea.

PENDAHULUAN membahas implikasinya terhadap proses dan me-


kanisme sedimentasi yang terjadi disana. Pemba-
Penelitian Laut Arafura dan Laut Timor dilaku- hasan dilakukan menurut penafsiran citra multibeam
kan dalam rangka program ATSEA (Arafura and Timor di lintasan berarah barat laut – tenggara sepanjang
Seas Environmental Action), suatu program kerja sama 90 km dengan lebar kurang lebih 4 km (Gambar 1)
regional antara Indonesia, Timor Leste dan Australia
yang didukung oleh ATSEF (Arafura Timor Seas Ex- Batimetri daerah penelitian meliputi batimetri pa-
pert Forum), UNDP dan GEF. Penelitian dilaksanakan paran benua dan palung dengan kedalaman bervari-
pada bulan Mei 2010 dengan menggunakan Kapal Ri- asi. Kedalaman rata-rata laut Arafura berkisar antara
set Baruna Jaya VIII milik Pusat Penelitian Oseanologi 30 m sampai 90 m. Namun kearah timur, kedalaman
LIPI dan mencakup penelitian oseanografi, batimetri ini menjadi lebih kecil dari 15 m pada bagian dangkal
dan sedimen permukaan, sumber daya ikan, plank- di Selat Torres dan menjadi lebih dalam, berkisar an-
ton dan pencemaran. Makalah ini merupakan lapo- tara 50 m sampai 120 m, di arah barat yang berba-
ran hasil penelitian batimetri berdasarkan pencitraan tasan dengan laut Timor. Beberapa tempat di bagian
multibeam di lintasan yang menunjukkan perubahan barat laut Arafura menunjukkan kedalaman melebihi
batimetri di wilayah sebelah barat Pulau Tanimbar. 1.200 m dan mencapai lebih dari 3.000 m di palung
Timor yang sejajar dengan P. Timor. Batimetri meru-
Batimetri merupakan aspek penting yang pakan salah satu aspek penting karena mempenga-
mempengaruhi karakter laut, habitat maupun din- ruhi karakter oseanografi di daerah tersebut. Misalnya,
amika sumber daya biologi dan non-biologi yang batimetri dangkal di Selat Torres merupakan peng-
ada disana. Tujuan penelitian ini adalah mendeskrip- halang arus massa air dari Lautan Pasifik ke Lautan
sikan kenampakan batimetri Laut Arafura dan Laut Hindia dan sebaliknya, terutama untuk kesinambun-
Timor di lintasan sebelah barat Pulau Tanimbar serta gan massa air dari kedalaman yang besar. Karena
Korespondensi Penulis:
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email: igisugiarta@gmail.com
72
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 72-79

itu, massa air dalam dari kedua lautan tersebut ter- echosounder multibeam SIMRAD EM-1002 untuk akui-
hubung melalui alur dalam selat-selat Makassar, Lom- sisi data batimetry resolusi tinggi. EM 1002 memiliki 111
bok, Lifamatola, Ombai dan di antara pulau-pulau Nusa beam dengan frekuensi 95 kHz dan mempunyai jang-
Tenggara (e.g. Gordon, 2005; Gordon et al., 2008). kauan kedalaman berkisar dari 5 m hingga 1.000 m dan
lebar sapuan hingga 7,4 kali kedalaman. Perekaman
Paparan Sahul merupakan daerah paparan data multibeam dilakukan dengan menggunakan Soft-
yang luas dan tidak tergenang pada kala Pleistosen ware Seafloor Information System (SIS), sedangkan
dan juga pada waktu zaman es terakhir, 18.000 ta- untuk pemrosesan data digunakan software Neptune
hun yang lalu. Transgresi air laut terjadi pada 11.000 dengan memperhitungkan perubahan kecepatan suara
– 8.000 tahun yang lalu. Dalam tulisannya menge- dalam kolom air serta efek dari anggukan (pitch), ge-
nai geodinamik wilayah Indonesia Timur, Hall (2002) lengan (roll) maupun arah kapal (gyro compass) dan
menyatakan bahwa paparan Sahul merupakan ba- juga dilakukan koreksi posisi, koreksi pasang surut dan
gian dari benua Australia dan Papua pada 50 juta ta- noise. Akuisisi data batimetri dengan kedalaman lebih
hun terakhir, dan tidak pernah terpisah sebagai blok. dari 1.000 m dilaksanakan dengan menggunakan single
beam echosounder SIMRAD EA-500 dengan frekuen-
METODE PENELITIAN si 12 kHz dan mempunyai jangkauan kedalaman dari
3 m hingga 11.000 m. Data single beam echosouder
Pencitraan dilakukan dengan menggunakan direkam dengan menggunakan software Navipac.
Lintang Selatan (°)

Lillintasan multibeam

Bujur Timur (°)


Gambar 1. Peta memperlihatkan unsur geodinamik di bagian timur Indonesia. Garis dengan gigi menun-
jukkan lokasi zona tumbukan (collision zone) atau zona subduksi (peta diadaptasi dari De Smet,
1989). Garis merah tebal menunjukkan lintasan multibeam.

Gambar 2. Model subduction melalui P. Timor, digambar ulang dari Jacobson et al. (1981).

73
Analisis citra multibeam di lintasan sebelah barat Pulau Tanimbar (Wirasantosa, S.)

Jongsma et al. (1989) menduga bahwa sedi-


Citra multibeam pada Cruise ATSEA diperoleh men yang menutupi bagian lempeng benua yang
dari lintasan berarah barat laut – tenggara. Lintasan landai berumur Mesozoikum dan menyatakan bahwa
Cruise ATSEA ini terletak diantara dua transek terda- ketebalan lapisan sedimen pada lereng yang curam
hulu, yaitu transect Tanimbar yang terletak di ujung (inner slope) menunjukkan penipisan kearah utara.
timur P. Tanimbar dan transek Timor yang terletak di Menurut informasi yang diperolehnya dari DSDP Site
sebelah timur P. Timor (Jongsma et al., 1989; Jacob- 262 (Deep Sea Drilling Programme) di sebelah barat
son et al., 1981). Dengan demikian, data dan infor- transek Timor para peneliti terdahulu memperkirakan
masi mengenai karakteristik lapisan dan umur sedi- bahwa kecepatan sedimentasi selama Pleistosen
men dari pengamatan seismik refleksi dua dimensi di akhir sampai Resen lebih besar dari pada kecepa-
2 transek tersebut dapat digunakan sebagai pemband- tan sedimentasi selama Pleistosen Awal. Kemudian,
ing untuk membantu penafsiran citra multibeam yang Jongsma et al. (1989) memperkirakan batuan dasar
dikembangkan berdasarkan karakteristik yang lebih palung berumur 5 juta tahun berdasarkan kecepa-
rinci pada citra tersebut. Jacobson et al., (1981), me- tan sedimentasi rata-rata di kawasan transek Timor
nyatakan bahwa sistem palung Timor-Tanimbar-Aru
merupakan bentuk permukaan suatu zona subduksi HASIL DAN PEMBAHASAN
(Gambar 2) akibat tumbukan antara tepian benua
Australia dengan busur Banda yang diperkirakan Survei multibeam yang dilakukan Cruise ATSEA
terjadi pada 3 juta tahun yang lalu (Johnston, 1981). telah menghasilkan profil batimetri (Gambar 3) dan ci-
tra multibeam. Profil batimetri di lintasan ini menunjuk-
Lintang Selatan (°)

Kedalaman (m)

Bujur Timur (°)

Gambar 3. Profil batimetri pada lintasan berarah timur laut – tenggara di sebelah barat Pulau Tanimbar
yang diperoleh Cruise ATSEA 2010. Warna menunjukkan kedalaman (m).

74
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 72-79

Gambar 4. Profil lintasan berarah timur laut – tenggara di sebelah barat Pulau Tanimbar. A menunjukkan
Timur Laut dan B adalah Tenggara.

Gambar 4A. Morfologi rinci bagian Gambar 4 yang dilingkari memperlihatkan teras-teras dan dasar lembah.

kan kedalaman yang bervariasi antara 320 m hingga gian dari Tanimbar transek yang melewati ujung timur
1.540 m dan menunjukkan tiga bentuk morfologi yang P. Tanimbar. Batuan pada lereng yang curam (inner
berbeda, yaitu morfologi dengan kemiringan terjal di slope) mempunyai karakteristik yang berbeda dengan
sisi barat laut, morfologi lembah dan morfologi den- batuan palung maupun batuan di sisi yang landai. Bat-
gan kemiringan yang landai (Gambar 4). Keseluruhan uan sedimen pada lereng yang curam terdeformasi se-
bentuk morfologi pada lintasan ini menunjukkan mor- cara kompresif selama proses tumbukan lempeng tek-
fologi zona tumbukan (collision zone), yaitu tumbukan tonik sebagaimana diamati oleh Jacobson et al. (1981)
lempeng benua Australia terhadap busur kepulauan pada rekaman seismik refleksi yang melalui lintasan di
sebagaimana telah ditafsirkan data seismiknya oleh daerah ini. Pengaruh deformasi pada zona tumbukan
peneliti terdahulu (a.l. Jongsma et al., 1989; Jacobson dan dampaknya terhadap struktur batuan dapat dia-
et al.,1981; Von der Borch, 1979). mati jauh kearah barat sampai di P. Timor (a.l. Keep
et,al., 2005), dan di lintasan Timor transek di ujung
Penelaahan profil batimetri secara rinci timur P. Timor, Jongsma et al. (1989) mendapati adan-
menunjukkan bahwa morfologi terjal di bagian ya batuan sedimen yang tampak transparan pada reka-
barat laut lintasan ini, pada bagian yang diling- man seismik. Kembali pada lintasan seismik di ujung
kari, terdiri dari teras-teras atau undakan mu- timur P. Tanimbar, pada lereng yang curam mulai dari
lai dari atas sampai dasar lembah (Gambar 4A). palung Tanimbar kearah atas (Gambar 5), Jongsma et
al. (1989) mengamati deformasi yang lebih kuat pada
Morfologi pada lintasan Cruise ATSEA ini adalah prisma akresi dengan sesar naik (thrust fault) berjarak
merupakan bagian dari zona tumbukan yang terdefor- kurang dari 1 km. Pada prisma akresi di lintasan ini
masi secara kuat dan pada sekala yang lebih lengkap Jongsma et al. (1989) mengamati adanya cekungan le-
ditunjukkan oleh Gambar 5 yang memperlihatkan ba- reng sebagaimana ditunjukkan pada kotak C, Gambar 5.

75
Analisis citra multibeam di lintasan sebelah barat Pulau Tanimbar (Wirasantosa, S.)

Gambar 5. Penafsiran seismik refleksi pada lintasan di sebelah timur Tanimbar, (Jongsma et al., 1989).

Gambar 6. Rincian penampang seismik refleksi melalui palung Tanimbar memperlihatkan akresi sedimen di
cekungan lereng pada bagian lereng dalam (Kotak C pada Gambar 5, diadaptasi dari (Jongsma
et al, (1989).).

yang berbeda dari karakteristik lereng yang curam dan


Gambaran rinci mengenai cekungan akresi komplek. Dalam hal ini, bentuk palung dan bentuk
atau cekungan lereng yang terdapat pada prisma permukaan lereng lempeng Australia yang landai lebih
akresi di lintasan seismik Jongsma diperlihatkan teratur dan rata sebagaimana ditunjukkan pada Gam-
pada Gambar 6, dan bentuk seperti ini juga tampak bar 7. Jongsma et al. (1989) menyatakan bahwa bat-
pada citra multibeam lengkap dengan teras-teras uan pada lereng landai ini terdiri dari lapisan sedimen
pada sisi lereng yang curam dan alur erosi di lereng berumur Tersier dengan perlapisan horizontal yang
tersebut (inner slope). Gambaran permukaan terse- membaji dan menunjukkan progradasi di atas lapisan
but dapat ditafsirkan sebagai morfologi suatu mint- Mezosoikum yang tebal, dan bahwa lapisan Mesozoi-
akat geologi daerah tumbukan sebagaimana ditafsir- kum tampak menerus di bawah sisi palung yang curam
kan dari penampang seismik oleh peneliti terdahulu. (inner slope) dan dasar palung itu sendiri ditutupi oleh
lapisan sedimen yang diduga berumur Pliosen sampai
Rekaman seismik pantul pada lintasan di se- Resen. Gambaran yang diperlihatkan pada penam-
belah timur P. Tanimbar juga memperlihatkan karak- pang seismik tersebut memperkuat interpretasi citra
teristik bentuk palung dan batuan di sisi timur palung multibeam mengenai bentuk palung dan bentuk per-

76
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 72-79

Gambar 7. Penafsiran seismik refleksi pada lintasan di sebelah timur Tanimbar, menunjukkan lapisan sedimen
Tersier yang membaji dan berprogradasi diatas lapisan Mesozoikum yang tebal. (Jongsma et al., 1989).

Gambar 8. Citra terinci bagian barat laut lintasan memperlihatkan teras, alur erosi dan mungkin akumu-
lasi sedimen pada cekungan lereng dibagian atas teras. Morfologi yang lebih halus pada
bagian dasar lembah mungkin mencerminkan gambaran endapan yang tidak terganggu.

77
Analisis citra multibeam di lintasan sebelah barat Pulau Tanimbar (Wirasantosa, S.)

mukaan batuan baik yang dipengaruhi oleh deformasi yang tidak terganggu dan berumur Pliosen-Pleistosen
pada zona tumbukan maupun pada lereng yang landai. sampai Resen. Sisi yang curam (inner slope) ter-
diri dari batuan yang terdeformasi secara kompresif
Pembahasan citra multibeam yang direkam se- dan mempunyai sesar naik dengan jarak bervariasi
lama Cruise ATSEA lebih difokuskan pada bagian antara 200 m sampai 1.000 m. Di lintasan ini dapat
lereng yang curam sebagaimana ditunjukkan pada diamati adanya cekungan lereng pada bagian atas
Gambar 4A. Citra multibeam tersebut diperlihatkan batuan yang terdeformasi sebagaimana dapat dia-
pada Gambar 8 dengan indikasi kedalaman menggu- mati pada lintasan di ujung timur P. Tanimbar dan
nakan warna. Bentuk morfologi citra tersebut ditafsir- pada citra multibeam di bagian barat P. Tanimbar.
kan dengan mempertimbangkan bentuk morfologi 2
dimensi yang diperlihatkan oleh penampang seismik 2. Lapisan sedimen paling atas pada dasar
sebagaimana telah dibahas di atas, namun dalam palung merupakan lapisan sedimen yang tidak ter-
bentuk yang lebih lengkap kearah lateral. Bentuk mor- ganggu dan mempunyai umur Pliosen sampai Resen.
fologi pada citra multibeam secara lateral memberi ke- Sedimen ini mungkin berasal dari sedimen yang di-
san adanya alur-alur yang kurang lebih sejajar pada endapkan kembali (re-sedimented) melalui alur ero-
sisi lereng yang curam, setidaknya pada kedalaman sional pada sisi lereng yang curam dan dari sisi lereng
antara 600 m sampai 1500 m. Alur-alur sejajar yang yang landai. Selain itu, sebagian dari sedimen pada
terletak pada zona deformasi lebih mungkin meng- dasar palung mungkin berasal dari paparan Sahul di-
gambarkan alur akibat aliran material kearah palung arah timur yang terdistribusi akibat arus lintas Indonesia.
daripada diakibatkan oleh deformasi itu sendiri. Alur
seperti ini mungkin masih dapat ditemukan kearah PERSANTUNAN
atas lereng tersebut dan juga kearah lateral pada le-
reng yang curam. Alur-alur ini diperkirakan menggam- Ucapan terima kasih ditujukan kepada Sekretar-
barkan erosi bawah laut akibat aliran material dari arah iat ATSEA yang telah memberikan kesempatan untuk
atas. Citra multibeam pada bagian yang lebih dang- melakukan penelitian ini dan kepada rekan-rekan M.
kal, yaitu disekitar kedalaman 400 m, memperlihatkan Hasanudin, P. Dwi Santoso dan D. Setiawan dari Pu-
morfologi cekungan yang memberi kesan sebagai sat Penelitian Oseanologi LIPI yang telah membantu
cekungan lereng sebagaimana diperlihatkan dalam dalam operasional multibeam dan pengolahan datanya.
Gambar 5 dan Gambar 6. Namun demikian, ketebalan
sedimen dalam cekungan lereng ini sulit untuk diperki- DAFTAR PUSTAKA
rakan, meskipun Gambar 6 memperlihatkan ketebalan
sedimen yang relatif besar. Cekungan lereng diperki- ATSEA. 2010. ATSEA Cruise Report, ed. Wirasantosa
rakan tersebar disepanjang komplek akresi, sep- S., T.Wagey, S. Nurhakim and D. Nugroho, AT-
erti dijumpai di timur P. Tanimbar (transect Jongsma) SEA Program, Jakarta
dan di barat P. Tanimbar pada citra multibeam. Na-
mun demikian, sampai sejauh mana distribusi cekun- De Smet, M.E.M.1989. A geometrically consistent
gan lereng ini kearah barat tidak dapat dipastikan. plate-tectonic model for Eastern Indonesia; Neth-
erlands Journal of Sea Research, 24 (2/3), 173-
Citra multibeam (Gambar 8) memperlihat- 183
kan bahwa endapan yang terakumulasi pada ba-
gian dasar lembah mempunyai permukaan yang Gordon, A. L. 2005, Oceanography of the Indonesian
halus dan tidak terganggu. Demikian juga sisi seas and their throughflow, Oceanography, 18(4),
tenggara lintasan ini menunjukkan permukaan 14– 27.
yang landai, halus dan tidak terganggu. Sisi teng-
gara lintasan ini dianggap mewakili lempeng ben- Gordon, A. L., R. D. Susanto, A. Ffield, B. A. Huber, W.
ua Australia (misalnya Jacobson et al., 1981). Pranowo & S. Wirasantosa 2008. Makassar Strait
throughflow, 2004 to 2006, Geophys. Res. Lett.,
KESIMPULAN 35, L24605, doi:10.1029/2008GL036372

Lintasan citra multibeam berarah barat Hall, R. 2002. Cenozoic geological and plate tectonic
laut – tenggara di sebelah barat P. Tanim- evolution of SE Asia and the SW Pacific: comput-
bar menunjukkan karakteristik sebagai berikut: er-based reconstructions, model and animations.
1. Lintasan ini merefleksikan zona tumbukan Journal of Asian Earth Sciences 20: 353–434.
antara lempeng benua Australia dengan busur kepu-
lauan Banda. Lempeng benua Australia dengan ke- Jacobson, R.S., G.G. Shor, R.M. Kieckhefer & G.M.
miringan yang landai tertutup oleh lapisan sedimen Purdy, 1981, Seismic refraction and reflection
Mesozoik dan lapisan sedimen berumur Tersier sam- studies in the Timor-Aru trough system and Aus-
pai Resen. Palung yang merupakan bagian dengan tralian continental shelf; in The Geology and Tec-
kedalaman terbesar ditutupi oleh lapisan sedimen tonics of Eastern Indonesia, Geological Research

78
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 72-79
and Development Centre, Spec. Publ. No.2, 1981,
153-169

Jongsma, D., J.M. Woodside, W. Huson, S. Suparka &


D. Kadarisman. 1989. Geophysics and tentative
Late Cenozoic seismic stratigraphy of the Banda
Arc – Australian continent collision zone along
three transects; Netherlands Journal of Sea Re-
search, 24(2/3), 205-229

Johnston, C.R. 1981. A review of Timor tectonics, with


implications for the development of the Banda Arc;
in The Geology and Tectonics of Eastern Indone-
sia, Geological Research and Development Cen-
tre, Spec. Publ. No.2, 1981, 199-216

Keep, M., L. Beckand & P. Bekkers. 2005. Complex


modified thrust systems along the southern mar-
gin of East Timor; APPEA Journal 2005, 297 – 310

Silver, E.A., D. Reed, R. McCaffrey & Y.Yoyodiwiryo,


1983, Back-arc thrusting in the eastern Sunda arc,
Indonesia; a consequence of arc-continental colli-
sion; J. Geophys. Res. 88, 7429-7448

Von der Borch, C. 1979. Continent-island arc collision in


the Banda arc; Tectonophysics 54, 169 -193

79
Fraksionasi Ukuran Dari Biomassa Fitoplankton dan Kondisi Perairan Laguna...(Puspasari, R., et al.)

FRAKSIONASI UKURAN DARI BIOMASSA FITOPLANKTON


DAN KONDISI PERAIRAN LAGUNA PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

Reny Puspasari1), Ario Damar2), M.Mukhlis Kamal2), Djamar T.F. Lumbanbatu2) & Ngurah N. Wiadnyana3)

1)
Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Balitbang Kelautan dan Perikanan - KKP
2)
Dosen pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - Institut Pertanian Bogor
3)
Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Balitbang Kelautan dan Perikanan - KKP

Diterima tanggal: 09 Agustus 2011; Diterima setelah perbaikan: 28 Oktober 2011; Disetujui terbit tanggal 24 November 2011

ABSTRAK

Variasi biomassa fitoplankton di laut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan terutama
keberadaan nutrien dan kondisi fitoplankton seperti fraksionasi ukuran dari biomassa fitoplankton
tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fraksionasi biomassa fitoplankton yang
ada di laguna Pulau Pari. Penelitian ini dilaksanakan dari Juni – November 2010. Sampel fito-
plankton difraksionasi melalui penyaringan dengan plankton net ukuran 20 μm. Ukuran fitoplankton
yang diamati dibedakan menjadi dua yaitu mikrofitoplankton dan nanofitoplankton. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa di perairan laguna Pulau Pari nanofitoplankton mendominasi biomassa klorofil-
a yang ada sebanyak 82,10 – 93,40% dari total biomassa di perairan. Konsentrasi tertinggi terjadi
pada awal Oktober dan konsentrasi terendah terjadi pada pertengahan bulan Oktober 2010. Konsen-
trasi klorofil a yang tinggi berhubungan dengan konsentrasi NH4 yang rendah. Selama masa pen-
gamatan konsentrasi NH4 terukur sebesar 0,002 – 1,072 mg/l, sementara konsentrasi NO3 sebesar
0,056 – 1,615 mg/l mg/l, PO4 sebesar 0,001 – 0,273 mg/l dan Si(OH) sebesar 0,013 – 1,787 mg/l.

Kata kunci: fitoplankton, fraksionasi ukuran, biomassa, konsentrasi nutrien, laguna Pulau
Pari

ABSTRACT

Variation in phytoplankton biomass in the sea is influenced by environmental condition such


as nutrient concentration and size fractionated of phytoplankton biomass. The research objec-
tive is to describe the size fractionated of phytoplankton biomass in Pulau Pari Lagune. The study
was conducted from June – November 2010. Samples were fractionated by using a 20 μm plank-
ton net to separate microphytoplankton and nanophytoplankton. Result shows that nanophyto-
plankton dominated the chlorophyll-a biomass in the lagune, it was 82,10 – 93,40% from total
biomass. The highest chlorophyll-a biomass of nanoplankton is found in the early of October and
the lowest is in the middle of October 2010. High chlorophyll concentration due to low NH4 con-
centration observed. The observed NH4, NO3, PO4 and Si(OH) concetration ranged between
0,002 to 1,072 mg/l, 0,056 to 1,615 mg/l, 0,001 to 0,273 mg/l and 0,013 to 1,787 mg/l respectively.

Keywords: phytoplankton, size-fractionated, biomass, nutrient concentration, Pari Island lagune

PENDAHULUAN ton merupakan taxa utama yang menjadi sumber ba-


han organik dan energi pada sistem rantai makanan
Salah satu faktor biologi yang menentukan be- pelagik di laut. Di beberapa perairan nanoplankton
sarnya tingkat produksi bahan organik adalah fraksion- autotrofik merupakan komponen penyusun utama fito-
asi ukuran dari fitoplankton (Proulx et al., 1996; Dennett plankton (Varella et al., 2002; Moreno-Ostos et al., 2011;
et al., 2001). Autotrofik nanoplankton dan mikroplank- Pommier et al., 2008; Madhu et al., 2010). Besarnya
Korespondensi Penulis:
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430.
80
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 80-87

perbandingan antara nanoplankton dan mikroplankton gan menggunakan botol Van Dorn volume 6 liter pada
berbeda-beda pada setiap perairan. Di pantai bagian kedalaman 3 – 5 meter pada masing-masing stasiun.
tenggara India komunitas nanoplankton menyusun Sampel air sebanyak 6 liter disaring terlebih dahulu
73,2 – 85% dari total biomassa klorofil-a di perairan menggunakan plankton net 20 µm. Sampel plankton
(Madhu et al., 2010). Di Selat Taiwan nanoplankton yang tersaring oleh 20 µm, merupakan sampel untuk
menyumbang 57 – 60% dari total biomassa klorofil-a pengukuran klorofil mikroplankton, sementara plank-
(Huang et al., 1999). Sementara di estuari Sungai Mis- ton yang lolos dari saringan 20 µm merupakan sam-
sissipi nanoplankton menyumbang 30 – 80% dari total pel plankton untuk pengukuran klorofil nanoplankton
klorofil-a (Jochem, 2003). Perairan Turki tidak menun- yang hanya diambil 600 ml untuk pengukuran kloro-
jukkan pola yang sama, dimana fitoplankton fraksi uku- filnya. Selanjutnya masing-masing sampel plankton
ran kecil memberikan kontribusi yang sama dengan tersebut disaring kembali menggunakan nitroce-
fraksi fitoplankton mikroplanktonik (Polat & Aka, 2007). loluse microfiber filter (diameter 47 mm, porositas 1,2
µm) dengan menggunakan bantuan vacuum pump
Komposisi fitoplankton dan variasi dalam proses (tekanan 200 mm Hg), kemudian disimpan pada suhu
fotosintesis di dalam ekosistem laut sangat dipengaruhi -20oC sampai siap untuk dianalisis di laboratorium.
oleh berbagai faktor seperti kondisi kimia (Escravage
& Prins, 2002; Hodgkiss & Lu, 2004; Ault et al., 2000; Pengukuran biomassa fitoplankton dilakukan
Kennington et al., 1999, Gameiro et al., 2004) dan dengan metode spektrofotometri. Pengukuran klorofil-
fisik perairan (Tilstone et al., 1999; Huisman, 1999). a dilakukan dengan metode trichromatic (determinasi
Dinamika dari kondisi fisiko-kimiawi dan biologis per- klorofil-a, -b dan -c) menggunakan spektrofotometri
airan pantai dapat disebabkan salah satunya oleh ad- yang mengacu pada APHA (2005). Di laboratorium
anya masukan air sungai yang sangat mempengaruhi sampel hasil saringan diekstraksi menggunakan ace-
komposisi nutrien di air laut (Gameiro et al., 2004; ton 90% sebanyak 10 ml dengan cara direndam sela-
Damar, 2003; Fachrul et al., 2004) yang pada akhirnya ma 24 jam kemudian digerus sampai halus selanjutnya
dapat mempengaruhi besarnya biomassa fitoplankton. disentrifius dengan putaran 3600 rpm selama 5 menit.
Supernatan yang dihasilkan diukur menggunakan spe-
Perairan laguna Pulau Pari terhubung langsung ktrofotometer pada panjang gelombang 750, 664, 647
dengan perairan Teluk Jakarta. Dinamika yang terjadi dan 630 nm. Nilai serapan pada panjang gelombang
di Teluk Jakarta dapat mempengaruhi secara langsung 664, 647 dan 630 nm digunakan untuk menentukan
kondisi perairan Pulau Pari, walaupun kadar nutrien kandungan klorofil-a, -b dan -c secara berurutan. Se-
dan bahan pencemarnya mengalami pengenceran mentara nilai serapan pada panjang gelobang 750 nm
(Paonganan et al., 2010). Selain adanya pengaruh merupakan nilai koreksi untuk turbiditas. Penghitungan
dari perairan Teluk Jakarta, perairan laguna Pulau Pari nilai konsentrasi klorofil-a dan konsentrasi nutrien (NO3,
juga dipengaruhi oleh pulau-pulau yang ada di seki- PO4, NH4 dan Si(OH)) mengacu pada APHA (2005).
tarnya, dimana di dalam laguna terdapat 5 pulau yaitu
Pulau Pari, Pulau Tikus, Pulau Kongsi, Pulau Burung HASIL DAN PEMBAHASAN
dan Pulau Tengah. Pengaruh dari Teluk Jakarta dan
pulau-pulau yang ada di sekitarnya menjadi penyebab Biomassa Fitoplankton
terjadinya variasi kualitas air dan kondisi plankton di
perairan laguna. Komposisi dari fraksi ukuran fito- Konsentrasi klorofil di perairan laguna Pulau
plankton yang ada dapat menentukan kestabilan jaring- Pari yang diamati sejak Juni sampai November 2010
jaring makanan yang ada di perairan laguna Pulau Pari. berkisar antara 0,622 – 1,770 mg/m3. Dari pengamatan
yang dilakukan pada lima titik sampling diperoleh nilai
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskrip- konsentrasi klorofil yang sangat bervariasi pada setiap
sikan fraksionasi ukuran dari biomassa fitoplank- waktu dan lokasi sampling (Gambar 2).
ton yang ada di perairan laguna Pulau Pari, se-
hingga dapat diketahui fraksi ukuran yang paling Selama masa pengamatan konsentrasi kloro-
berperan dalam proses produksi bahan organik di laut. fil tertinggi terjadi pada awal Oktober (1,770 mg/m3)
sementara konsentrasi klorofil terendah terjadi dua
METODE PENELITIAN minggu setelahnya yaitu pada pertengahan Oktober
(0,622 mg/m3). Fluktuasi pada konsentrasi klorofil
Penelitian dilaksanakan di laguna Pulau Pari Kep- membentuk pola naik turun pada setiap waktu pen-
ulauan Seribu dari Juni – November 2010. Pengam- gambilan sampel, dengan tendensi kenaikan terjadi
bilan sampel dilakukan setiap dua minggu sekali pada pada Juni sampai Agustus dan selanjutnya cend-
lima titik sampling yaitu di Goba Soa besar (St. 1), Goba erung mengalami penurunan konsentrasi klorofil.
Kuanji (St. 2), Goba Labangan Pasir (St. 3), perairan
luar tubir (St. 4) dan goba Besar 1 (St.5) (Gambar 1). Fluktuasi yang terjadi pada konsentrasi klorofil
dapat terjadi karena berbagai hal, diantaranya ket-
Pengambilan sampel fitoplankton dilakukan den- ersediaan unsur pembatas seperti nitrogen dan fosfor,

81
Fraksionasi Ukuran Dari Biomassa Fitoplankton dan Kondisi Perairan Laguna...(Puspasari, R., et al.)

adanya pemangsaan oleh zooplankton (Wiadnyana, Besarnya kontribusi fitoplankton ukuran <20
1985, 1999; Liu & Dagg, 2003) dan pemangsa lain- µm terhadap total biomassa fitoplankton dapat ter-
nya seperti ikan planktivora, dan sirkulasi masa air, jadi karena ukuran yang kecil memberikan keuntun-
yang dapat memindahkan biomassa klorofil ke tempat gan untuk dapat memanfaatkan nutrien secara lebih
lain. Perubahan kondisi lingkungan seperti ketersedi- efektif, hal ini terkait dengan kecepatan penyerapan
aan nutrien terlarut N dan P serta sirkulasi masa air, nutrien dari lingkungan oleh sel dan ditentukan oleh
dipengaruhi oleh musim dimana pada Juni sampai besarnya konstanta Michelis – Menten (K). Menu-
Agustus mendapat pengaruh angin musim timur se- rut Huang et al. (1999) semakin kecil sel maka nilai
dangkan pada September sampai November meru- K dari sel tersebut semakin rendah. Apabila konsen-
pakan musim peralihan dua (Ilahude & Nontji, 1999). trasi nutrien lebih rendah dari nilai K, maka nutrien
akan membatasi pertumbuhan sel. Terkait dengan
Hasil fraksionasi ukuran terhadap biomassa fito- konsentrasi biomassa fitoplankton <20 µm, dapat di-
plankton menunjukkan bahwa fraksi ukuran < 20 µm duga bahwa konsentrasi nutrien di perairan Pulau Pari
mendominasi biomassa fitoplankton. Biomassa fito- jauh lebih tinggi dari nilai K yang dimiliki oleh fraksi
plankton ukuran < 20 µm menyusun antara 82,10 – plankton ukuran <20 µm, sehingga nutrien dapat di-
93,40% dari total keseluruhan biomassa fitoplankton manfaatkan secara maksimal oleh sel fitoplankton <20
di perairan laguna Pulau Pari (Gambar 3). Selama µm. Fitoplankton ukuran <20 µm juga sangat efisien
masa pengamatan rata-rata kontribusi fraksi uku- dalam memanfaatkan intensitas cahaya yang rendah
ran < 20 µm adalah 1,124 mg/m3, sementara rata- (Shiomoto, 1997). Pemanfaatan nutrien yang efektif
rata kontribusi fraksi ≥20 µm adalah 0,1659 mg/m3. dan ditunjang dengan intensitas cahaya yang cukup,
fraksi ukuran <20 µm akan mempunyai nilai efisiensi
Fluktuasi yang terjadi pada biomassa fraksi fotosintesis yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
<20 µm menunjukkan pola yang berbeda dengan fraksi ukuran sel yang lebih besar (Madhu et al., 2010).
pola fluktuasi yang terbentuk pada biomassa frak-
si ≥20 µm. Fraksi <20 µm menunjukkan kecend- Di perairan yang kaya akan nutrien fitoplankton
erungan naik pada Juni – Agustus sementara pada berukuran besar akan lebih mendominasi biomassa
Agustus – November menunjukkan kecenderungan klorofil-a yang ditandai dengan terjadinya blooming
menurun. Pola fluktuasi pada fraksi <20 µm sangat fitoplankton berukuran besar pada saat konsentrasi
mempengaruhi pola fluktuasi klorofil total di perairan nutrien tinggi (Polat & Aka, 2007). Biomassa fito-
karena proporsi biomassanya yang besar. Semen- plankton ≥20 µm yang rendah pada konsentrasi nu-
tara fraksi ≥20 µm menunjukkan kecenderungan trien yang tinggi di perairan Pulau Pari dapat terjadi
naik selama masa pengamatan walaupun terjadi karena rendahnya nilai intensitas cahaya yang terjadi
fluktuasi naik turun pada setiap waktu pengamatan. akibat tutupan awan karena sering terjadinya hujan
selama masa pengamatan (Madhu et al., 2010). Di
Besarnya biomassa fitoplankton yang berukuran dalam laguna, nutrien selain dimanfaatkan oleh fito-
<20 µm menunjukkan bahwa biomassa fraksi ukuran plankton juga dimanfaatkan oleh rumput laut, alga
<20 µm memberikan kontribusi yang sangat penting bentik, mangrove dan lamun untuk pertumbuhannya,
terhadap produksi bahan organik di perairan laguna sehingga biomassa mikrofitoplankton tetap terkontrol.
Pulau Pari. Hasil penelitian ini menunjukkan pola yang
sama dengan beberapa penelitian serupa yang dilaku- Konsentrasi Nutrien
kan di daerah lain baik daerah tropis maupun sub tro-
pis. Di pantai bagian tenggara India komunitas nano- Nutrien N dan P merupakan salah satu penentu
plankton menyusun 73,2 – 85% dari total biomassa utama besarnya biomassa fitoplankton di suatu perai-
klorofil di perairan (Madhu et al., 2010). Di daerah sub ran. Unsur N bisa hadir dalam berbagai bentuk sep-
tropis kecenderungan serupa juga ditemukan, Tada et erti nitrat, nitrit dan ammonium, namun yang paling
al. (2003) menemukan bahwa prosentasi biomassa berperan dalam pertumbuhan fitoplankton adalah am-
fitoplankton ukuran <20 µm di perairan sekitar terumbu monium dan nitrat (Nuruhwati, 2003). Unsur P yang
karang Pulau Sesoko Jepang adalah sebesar 86% dari sering dimanfaatkan oleh fitoplankton adalah dalam
total seluruh biomassa fitoplankton. Jochem (2003) bentuk ion orthofosfat (PO4). Selain N dan P, unsur
menemukan kontribusi biomassa fitoplankton ukuran Si (silikat) juga merupakan salah satu unsur penting
<20 µm di perairan muara Sungai Mississipi adalah 30 bagi mikrofitoplankton golongan diatom, dimana unsur
– 80% dari seluruh biomassa fitoplankton. Sementara ini berperan dalam pembentukan cangkang sel diatom.
di Selat Taiwan (Huang et al., 1999) menunjukkan bah-
wa nanoplankton menyumbang 57 - 60% dari total bio- Konsentrasi nitrat, ammonium, fosfat dan silikat di-
massa klorofil-a di perairan. Namun, apabila diband- ukur pada setiap stasiun pengambilan sampel fitoplank-
ingkan dengan penelitian lain yang sudah dilakukan, ton. Hasil pengukuran terhadap konsentrasi nitrat, am-
proporsi fitoplankton <20 µm di perairan Pulau Pari monium, pospat dan silikat menunjukkan adanya variasi
lebih tinggi bila dibandingkan dengan perairan lainnya. pada setiap waktu dan lokasi pengamatan (Gambar 4).

82
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 80-87
Selama masa pengamatan konsentrasi NO3 Konsentrasi NO3 di laguna Pulau Pari yang diu-
yang terukur berkisar antara 0,056 – 1,615 mg/l, den- kur pada Juni – November 2011 jauh lebih tinggi bila
gan rata-rata konsentrasi 0,238 mg/l. Konsentrasi NO3 dibandingkan dengan konsentrasi NO3 pada tahun
terendah terukur pada pertengahan Juni (0,056 mg/l 2000 - 2001 (Damar, 2003) dan tahun 2004 - 2005 (Pa-
di stasiun 1) dan awal Oktober (0,056 mg/l di stasiun onganan et al., 2010; Fachrul et al., 2006) di perairan
4). Sementara konsentrasi NO3 tertinggi terukur pada Teluk Jakarta. Damar (2003) menunjukkan bahwa kon-
awal Juni (1,615 mg/l di stasiun 2) dan pada perten- sentrasi NO3 di daerah off shore Teluk Jakarta pada ta-
gahan September (1,689 mg/l di stasiun 5). Pola hun 2001 berkisar antara 0,00002 – 0,00362 mg/l, se-
konsentrasi NO3 di perairan Pulau Pari menunjukkan mentara (Paonganan et al., 2010) menunjukkan bahwa
kecenderungan naik dari pertengahan Juli sampai pada 2005 kosentrasi NO3 di sekitar Pulau Pari berkisar
September dan mulai menurun pada Oktober sampai antara 0,001 – 0,0015 mg/l. Hal ini menunjukkan bah-
November. Walaupun antar waktu pengamatan terli- wa konsentrasi NO3 di perairan Pulau Pari lebih tinggi
hat seperti adanya variasi yang cukup tinggi, namun 450 – 2800 kali bila dibandingkan dengan tahun 2001
berdasarkan hasil analisis ragam (α = 0,05) maka di perairan off shore Teluk Jakarta, dan lebih tinggi 56
keseluruhan hasil pengukuran konsentrasi NO3 tidak - 1.000 kali bila dibandingkan dengan tahun 2005, na-
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar mun hanya lebih tinggi 1,8 – 8,3 kali lebih tinggi bila
waktu dan lokasi pengamatan, artinya konsentrasi dibandingkan dengan konsentrasi NO3 perairan pantai
NO3 cenderung homogen selama masa pengamatan. teluk Jakarta pada tahun 2004 (Fachrul et al., 2006).

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel di laguna Pulau Pari Kepulauan Seribu.

Gambar 2. Model subduction melalui P. Timor, digambar ulang dari Jacobson et al, 1981.

83
Fraksionasi Ukuran Dari Biomassa Fitoplankton dan Kondisi Perairan Laguna...(Puspasari, R., et al.)

3.0

< 20 µm
2.5 > 20 µm

Konsentrasi klorofil (mg/m )


3 2.0

1.5

1.0

0.5

0.0
Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Waktu sampling

Gambar 3. Konsentrasi rata-rata klorofil-a dari fitoplankton fraksi ukuran <20 μm dan ≥20 μm di laguna
Pulau Pari.

Gambar 4. Variasi konsentrasi NO3, NH4, PO4 dan Si(OH) dari Juni- November 2011 di perairan laguna
Pulau Pari.

84
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 80-87
Konsentrasi NH4 di perairan laguna Pulau Pari
berkisar antara 0,002 – 1,072 mg/l dengan rata- Silikat (Si(OH)) merupakan nutrien penting bagi
rata 0,490 mg/l. Konsentrasi tertinggi terukur pada fitoplankton kelas Bacillariophycea/diatom yang ber-
pertengahan Oktober di stasiun 3, sementara kon- peran dalam pembentukan cangkang. Konsentrasi
sentrasi terendah terukur pada awal Agustus di sta- Si(OH) di perairan laguna Pulau Pari selama massa
siun 3. Pola fluktuasi konsentrasi NH4 yang ter- pengamatan berkisar antara 0,013 – 1,787 mg/l, den-
bentuk naik turun dengan kecenderungan menurun gan rata-rata 0,879 mg/l. Konsentrasi terendah terjadi
pada Juni hingga Agustus dan naik dari September pada akhir Juli sementara konsentrasi tertinggi terjadi
sampai November. Pola fluktuasi NH4 berbanding pada awal Juli. Hal ini menunjukkan adanya peman-
terbalik dengan pola fluktuasi konsentrasi klorofil- faatan nutrien Si(OH) dalam jumlah yang signifikan
a. Pada saat klorofil-a tinggi, maka konsentrasi NH4 selama Juli. Blooming diatom dapat menyebabkan
menjadi rendah, demikian sebaliknya. Hal ini diduga berkurangnya konsentrasi silikat di perairan (Escara-
karena adanya pemanfaatan NH4 yang cukup tinggi vage & Prins, 2002). Hasil analisis ragam pada taraf
pada saat konsentrasi klorofil-a meningkat, karena nyata 5% menunjukkan adanya perbedaan yang
NH4 merupakan salah satu jenis nutrien yang mem- signifikan antar waktu pengamatan namun tidak ber-
berikan kontribusi paling besar terhadap peningkatan beda nyata antar stasiun pengamatan. Seperti NO3
konsentrasi klorofil-a di perairan (Nuruhwati, 2003). NH4 dan PO4, konsentrasi Si(OH) juga mengalami
Hasil analisis ragam pada taraf nyata 5% menunjuk- peningkatan bila dibandingkan dengan hasil pene-
kan bahwa konsentrasi NH4 tidak berbeda nyata litian sebelumnya di perairan sekitar Teluk Jakarta.
baik antar waktu maupun antar stasiun pengamatan. Konsentrasi silikat meningkat 22 kali lebih tinggi bila
dibandingkan dengan konsentrasi Si(OH) maksimum
Konsentrasi NH4 juga mengalami peningka- pada 2001 di perairan Teluk Jakarta (Damar, 2003).
tan bila dibandingkan dengan tahun 2001 dan 2005,
namun peningkatan yang terjadi tidak setinggi pen- Konsentrasi nutrien yang sangat tinggi bila diband-
ingkatan konsentrasi NO3. Konsentrasi NH4 yang ingkan dengan 5 dan 10 tahun sebelumnya menunjuk-
terukur adalah 104 kali lebih tinggi bila dibandingkan kan bahwa perairan Teluk Jakarta telah mengalami
tahun 2001 (Damar, 2003) dan 299 kali lebih tinggi bila proses penyuburan yang berlipat-lipat selama kurun
dibandingkan tahun 2005 (Paonganan et al., 2010). waktu 10 tahun. Peningkatan konsentrasi nutrien ini
Selain NO3 dan NH4, PO4 juga merupakan nu- sangat berpengaruh nyata terhadap kenaikan biomas-
trien penting yang menjadi salah satu faktor pembatas sa fitoplankton di perairan Teluk Jakarta dan sekitarnya.
bagi pertumbuhan fitoplankton. Konsentrasi PO4 yang
terukur selama masa pengamatan berkisar antara 0,001 Tingginya kenaikan konsentrasi nutrien di per-
– 0,2730 mg/l, dengan rata-rata konsentrasi sebesar airan Pulau Pari menunjukkan bahwa perairan ini
0,048 mg/l. Konsentrasi terendah terjadi pada awal telah mengalami dampak pencemaran yang terjadi di
Oktober dan konsentrasi tertinggi terjadi pada akhir Juli. perairan Teluk Jakarta. Pola fluktuasi yang tidak be-
Berbeda dengan NO3 dan NH4, konsentrasi PO4 tidak raturan diduga terkait dengan kondisi cuaca yang ti-
membentuk pola yang teratur, namun tetap mempun- dak beraturan sepanjang tahun. Selama masa pen-
yai kecenderungan menurun sejak awal Oktober sam- gamatan beberapa kali terjadi hujan besar di wilayah
pai November. Hasil analisis ragam terhadap konsen- daratan Jakarta yang menyebabkan terjadinya run
trasi PO4 menunjukkan bahwa konsentrasi PO4 tidak off yang cukup besar ke perairan Teluk Jakarta dan
berbeda nyata antar stasiun pengamatan namun ada sekitarnya termasuk perairan laguna Pulau Pari, hal
perbedaan nyata pada waktu pengamatan (α = 0,05). ini dibuktikan dengan banyaknya sampah organik
dan anorganik yang masuk ke perairan laguna. Ma-
Konsentrasi PO4 sangat dipengaruhi oleh masu- suknya sampah organik menjadi salah satu penye-
kan air tawar, tingginya konsentrasi PO4 di Teluk Jakar- bab konsentrasi nutrien di perairan laguna menjadi
ta pada musim penghujan merupakan akibat dari ad- lebih tinggi bila dibandingkan dengan perairan seki-
anya aktivitas run-off (Damar, 2003). Bila dibandingkan tarnya. Perairan laguna merupakan perairan semi
dengan hasil penelitian Damar yang dilakukan pada ta- tertutup, dimana masa air yang ada di dalamnya ti-
hun 2001 di perairan Teluk Jakarta, maka konsentrasi dak bercampur langsung dengan masa air yang ada
PO4 di Pulau Pari yang terukur pada Juni - November di sekitarnya. Apabila banyak sampah organik masuk
2011 adalah 8,4 – 29,6 kali lebih tinggi, sementara bila dan terperangkap di dalam laguna, selanjutnya akan
dibandingkan dengan hasil penelitian Paonganan et mengalami dekomposisi dan akhirnya dapat mening-
al. (2010) bahwa konsentrasi PO4 di perairan di Pulau katkan konsentrasi nutrien di dalam perairan laguna.
Pari pada 2011 sebesar 128 kali lebih tinggi daripada
yang dilaporkan pada 2005. Namun, dibandingkan KESIMPULAN
dengan hasil penelitian Anonim (2009) konsentrasi
PO4 di perairan Pulau Pari pada Juni 2010 lebih rendah Fitoplankton ukuran <20 µm merupakan fraksi
1,57 kali bila dibandingkan konsentrasi PO4 di perairan terbesar dari total klorofil sehingga berperan sebagai
laut Teluk Jakarta pada waktu yang sama tahun 2009. penyumbang terbesar dalam proses pembentukan

85
Fraksionasi Ukuran Dari Biomassa Fitoplankton dan Kondisi Perairan Laguna...(Puspasari, R., et al.)

bahan organik di perairan laguna Pulau Pari. Variasi tical mixing and grazing control of phytoplankton
yang terjadi pada biomassa klorofil-a sangat dipenga- blooms in mesocosms. Hydrobiologia 484: 33–48.
ruhi oleh konsentrasi nutrien terlarut terutama kadar
NH4 di perairan. Konsentrasi nutrien di perairan lagu- Fachrul M.F., H. Haeruman & A. Anggraeni 2006. Distri-
na Pulau Pari sangat tinggi bila dibandingkan dengan busi spasial nitrat, fosfat dan rasio N/P di perairan
perairan sekitarnya 5 dan 10 tahun yang lalu dengan Teluk Jakarta. Makalah pada Seminar Nasional
nilai konsentrasi NO3 sebesar 0,056 – 1,615 mg/l, NH4 Penelitian Lingkungan di Perguruan Tinggi, IATPI
sebesar 0,002 – 1,072 mg/l, PO4 sebesar 0,001 – –Teknik Lingkungan ITB, Bandung,17-18 Juli 2006.
0,273 mg/l dan Si(OH) sebesar 0,013 – 1,787 mg/l.
Gameiro C., P. Cartaxana, M.T. Cabrita & V. Brotas. 2004.
PERSANTUNAN Variability in chlorophyll and phytoplankton compo-
sition in an estuarine. Hydrobiologia 525: 113–124.
Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan
penelitian disertasi S3 di Program studi Pengelolaan Hodgkiss I.J. & S. Lu. 2004. The effects of nutrients and
Sumberdaya Perairan Institut Pertanian Bogor. Penu- their ratios on phytoplankton abundance in Junk
lis mengucapkan terima kasih kepada para evaluator Bay, Hong Kong. Hydrobiologia 512: 215–229.
yang telah memberikan masukan sehingga tulisan ini
dapat diterbitkan pada jurnal ini. Huang B., H. Hong & H. Wang. 1999. Size-fraction-
ated primary productivity and the phytoplank-
DAFTAR PUSTAKA ton-bacteria relationship in the Taiwan Strait.
Marine Ecology Progress Series. 183: 29 – 38.
American Public Health Association. 2005. Standard
Methods for The Examination of Water and Waste- Huisman J. 1999. Population dynamics of light
water. 21st Edition. Washington DC. America. limited phytoplankton: microcosm ex-
periment. Ecology. 80(1): 202 – 210.
Anonim. 2009. Dinamika ekosistem perairan Kepu-
lauan Seribu bagian selatan. Laporan Akhir. Jochem F.J. 2003. Photo- and heterotrophic pico-
Pusat Penelitian Oseanografi. LIPI. Jakarta. and nanoplankton in the Mississippi River
plume: distribution and grazing activity. Jour-
Asriningrum, W. 2005. Studi identifikasi karakter- nal of Plankton Research. 25(10): 1201 – 1214.
istik pulau kecil menggunakan data landsat
dengan pendekatan geomorfologi dan penu- Kennington K., J.R. Allen, A. Wither, T.M. Sham-
tupan lahan (Studi kasus kepulauan Pulau mom & R.G. Hartnoll. 1999. Phytoplank-
PAri dan Kepulauan Belakang Sedih). Per- ton and nutrient dynamics in the north-
temuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Peman- east Irish Sea. Hydrobiologia 393: 57–67.
faatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Pen-
ingkatan Kesejahteraan Bangsa”. Surabaya. Liu H. & Dagg M. 2003. Interaction between nutrients,
phytoplankton growth and micro-mesozooplank-
Ault T., R. Velzeboer & R. Zammit. 2000. Influence of ton grazing in the plume of the Mississippi River.
nutrient availability on phytoplankton growth and Marine Ecology Progress Series 258: 31 – 42.
community structure in the Port Adelaide River,
Australia: bioassay assessment of potential nu- Madhu N.V., Jyothibabu. R. & K.K. Balachandran. 2010.
trient limitation. Hydrobiologia. 429: 89–103. Monsoon induced changes in the size fractionated
phytoplankton biomass and production rate in the
Damar A. 2003. Effect of enrichment on nutri- estuarine and coastal waters of southwest coast of
ent dynamics, phytoplankton dynamics and India. Environ. Monit. Assess. 166(1-4): 521-528.
productivity in Indonesian tropical waters: a
comparison between Jakarta Bay, Lampung Moreno-Ostos E., A. Fernandez, M. Huete-Ortega,
Bay and Semangka Bay [Disertation]. Kiel: B. Maurinho-Carballido, A. Calvo-Diaz, X.A.G.
der Mathematisch-Naturwissenechaftlichen Moran & E. Maranon. 2011. Size-fractionated
Fakultät. Christian-Albrechts-Universität. phytoplankton biomass and production in the
tropical Atlantic. Scientia Marina. 75(2): 379 -389.
Dennett M.R., S. Mathotb, D.A. Caronc, W.O. Smith
Jr. & D.J. Lonsdaled. 2001. Abundance and Nuruhwati I. 2003. Pengaruh penambahan nutrient
distribution ofphototrophic and heterotrophic dan pemangsaan terhadap laju pertumbuhan fito-
nano- and microplankton in the southern Ross plankton dari perairan Teluk Jakarta [Tesis]. Bogor:
Sea. Deep Sea Research II(48): 4019 – 4037. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Escravage V. & T.C. Prins. 2002. Silicate availability, ver- Paonganan Y., D. Soedharma, I.W. Nurjana & T.

86
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 80-87
Prartono. 2010. Sebaran spasiotemporal pa-
rameter fisika dan kimia perairan Pulau Bo-
kor, Pulau Payung dan Pulau Pari di sekitar
Teluk Jakarta. http://indomaritimeinstitute.org.

Pariwono J.I., D. Soedharma & B. Wiyono. 1996.


Sirkulasi Massa-Air di Laguna Pulau Pari
dan Hubungannya dengan Pertumbuhan Ko-
munitas Terumbu Karang. Laporan Hasil
Penelitian. LPPM. Institut Pertanian Bogor.

Polat S. & A. Aka. 2007. Total and size fractionated


phytoplankton biomass of Karataş, north-eastern
Mediterranean coast of Turkey. Journal of Black
Sea/Mediterranean Environment. 13: 191 – 202.

Pommier J., M. Gosselin & C. Michel. 2008. Size-fraction-


ated phytoplankton production and biomass during
the decline of the northwest Atlantic spring bloom.
Journal of Plankton Research. 31(4): 429 – 446.

Proulx M., F. R. Pick, A. Mazumder, P.B. Hammilton &


D.R.S. Lean. 1996. Effect of nutrient and plank-
tivorous fish on the phytoplankton of shallow and
deep aquatic systems. Ecology. 77(5): 1556 – 1572.

Shiomoto A. 1997. Size fractionated chlorophyll-a


concentration and primary production in the
Okhotsk Sea in October and November 1993,
with special reference to the influence of Dicho-
thermal water. J. Oceanography, 53, 601 -610.

Tada K., K. Sakai, Y. Nakano, A. Takemura & S. Montani.


2003. Size-fractionated phytoplankton biomass in
coral reef waters of Sesoko Island Okinawa, Japan.
Journal of Plankton Research. 25(8): 991 – 997.

Tilstone G.H., F.G. Figueiras, E.G. Fermin & B. Arbones.


1999. Significance of nanophytoplankton pho-
tosynthesis and primary production in a coastal
upwelling system (Ria de Vigo, NW Spain).
Marine Ecology Progress Series. 183: 13 – 27.

Varella M., E. Fernandez & P. Serret. 2002. Size-


fractionated phytoplankton biomass and primary
production in the Gerlache and south Bransfield
Straits (Antarctic Peninsula) in Austral summer
1995–1996. Deep-Sea Research. II (49): 749–768.

Wiadnyana, N. N. 1985. Biomassa zooplankton di perairan


Teluk Jakarta. Oseanologi di Indonesia, 19: 33-39.

Wiadnyana, N. N. 1999. Variasi kelimpahan zoo-


plankton dalam kaitannya dengan produk-
tivitas perairan Laut Banda. Oseanolo-
gi dan Limnologi di Indonesia, 31: 57-68.

87
Pola Sebaran Spasial dan Karakterisitik Nitrat-Fosfat-Oksigen Terlarut...Pesisir Makassar (Arifin, T., et al.)

POLA SEBARAN SPASIAL DAN KARAKTERISITIK NITRAT-FOSFAT-OKSIGEN


TERLARUT DI PERAIRAN PESISIR MAKASSAR
Taslim Arifin1), Yulius1) & Irma Shita Arlyza2)
1)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang Kelautan dan Perikanan - KKP
2)
Peneliti pada Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI

Diterima tanggal: 13 September 2011; Diterima setelah perbaikan: 10 Oktober 2011; Disetujui terbit tanggal 24 Oktober 2011

ABSTRAK

Kawasan pesisir Makassar memiliki potensi untuk pengembangan perikanan budidaya dan
pariwisata bahari, akan tetapi informasi terkini tentang karakteristik kimia perairan masih terbatas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sebaran spasial dan karakteristik nitrat, fosfat dan oksigen ter-
larut di perairan pesisir Makassar. Analisis kandungan nitrat dengan Metode Brucine, menggunakan
alat spektrofotometer DR 2800 dengan panjang gelombang 410 nm, sedangkan kandungan fosfat
dengan Metode Asam Askorbik, menggunakan alat spektrofotometer DR 2800 dan panjang gelom-
bang 660 nm. Pengukuran Oksigen Terlarut (DO), menggunakan alat Water Quality Chaker (TOA-
DKK) dengan mencelupkan sensor kedalam air. Pola sebaran spasial parameter biofisiko-kimiawi
perairan digunakan Principal Component Analysis (PCA), selanjutnya untuk mengetahui karakteristik
nitrat-fosfat-oksigen terlarut pada setiap zona dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji t.
Matriks korelasi parameter biofisiko-kimiawi perairan memperlihatkan bahwa ragam pada komponen
utama dari empat sumbu adalah tinggi, yaitu 82,90%. Stasiun 1, 6, 16, 21 (zona 1) dan stasiun 2
(zona 2) dicirikan oleh parameter fosfat dan kekeruhan yang tinggi. Stasiun 8 (zona 3), 9, 14 (zona
4), 10, 15 (zona 5), 11 (zona 1), 12 (zona 2) dan stasiun 13 (zona 3) dicirikan oleh parameter pH,
DO, NO3, suhu dan salinitas yang tinggi. Stasiun 3, 18, 23 (zona 3), 4, 19, 24 (zona 4), 5, 20, 25
(zona 5) dan stasiun 7, 17, 22 (zona 2) dicirikan oleh parameter klorofil-a dan kecepatan arus yang
tinggi. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kandungan nitrat pada zona dekat pantai dengan
zona luar adalah berbeda sangat nyata. Kandungan nitrat, fosfat, dan oksigen terlarut tidak berbeda
nyata antara zona dekat pantai dengan zona luar. Tinggi rendahnya kandungan nitrat, fosfat, dan
oksigen terlarut di perairan ini dipengaruhi oleh masukan dari daratan dan pergerakan massa air.

Kata kunci: Sebaran spasial, biofisiko-kimia perairan, nitrat-fosfat-oksigen terlarut

ABSTRACT

The coastal waters of Makassar consitute the potential for the development of aquaculture and
marine tourism but the new information about characteristic of chemical waters was still limited. The
research aims to study spatial distribution and characteristic of nitrate (NO3), phosphate (PO4) and
dissolved oxygen (OD) in the coastal waters of Makassar. Nitrate content was analyzed using Bruc-
ine method, using spectrophotometer DR 2800 at wavelength 410nm, while phosphate content was
determined using Ascorbate Acid method at wavelength 660nm. DO measurement was conducted
using portable water quality chaker, TOA-DKK. Spatial pattern of NPO in Makassar coasts was ana-
lyzed using Principal Component Analysis (PCA) following zonal analysis using t-test to understand
detail characteristics of nitrate, phosphate, and oxygen at different zones. Contingency matrix showed
high variance for each axis, in where site 1, 6, 16, 21 (zone 1) and site 2 (zone 2) were distributed
to high PO4 and turbidity; site 8 (zone 3), 9, 14 (zone 4), 10, 15 (zone 5), 11 (zone 1), 12 (zone 2)
dan site 13 (zone 3) were correlated with high pH, DO, NO3, temperature and salinity; site 3, 18,
23 (zone 3), 4, 19, 24 (zone 4), 5, 20, 25 (zone 5) dan site 7, 17, 22 (zone 2) were marked with
high chlorophyll-a and current velocity. Statistical analysis revealed that different traits of NO3 at
near coast zone compare to off coast zone. Fluctuative feature of dissolved nitrate, phosphate, and
oxygen at the coastal waters of Makassar was inffected by terrestrial inputs and water movement.

Keywords: Spatial distribution, biophysical-chemistry waters, dissolved nitrate-phosphate-


oxygen, Makassar.
Korespondensi Penulis:
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email: taslim@kkp.go.id
88
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 88-96
PENDAHULUAN Parameter kimia oseanografi lainnya yang ber-
peran penting dalam proses dan perkembangan hidup
Keberadaan ekosistem yang kompleks, pola organisme adalah oksigen terlarut. Di laut, oksigen ter-
aliran arus yang dinamis dan aktifitas di kawasan pe- larut berasal dari dua sumber yaitu atmosfir dan hasil
sisir Kota Makassar mempunyai pengaruh terhadap fotosintesis dari fitoplankton dan tumbuhan lain yang
kandungan zat hara serta pola sebarannya. Menurut hidup di laut. Keberadaan oksigen terlarut sangat me-
Arifin et al. (2011), secara umum pola arus pasang mungkinkan untuk langsung dimanfaatkan bagi keban-
surut rata-rata perairan pesisir Kota Makassar pada yakan organisme untuk kehidupan, antara lain pada
kondisi pasang surut menuju surut perbani menun- proses respirasi dimana oksigen diperlukan untuk pem-
jukkan bahwa arus pasang surut bergerak ke arah bakaran (metabolisme) bahan organik sehingga ter-
barat menjauhi perairan pantai yang kemudian ber- bentuk energi yang diikuti dengan pembentukan CO2
belok secara dominan ke arah utara dengan kecepa- dan H2O (Wibisono, 2005). Penelitian ini bertujuan
tan maksimum berkisar 0,002 m/det. Kandungan zat untuk mengkaji sebaran spasial dan karakteristik nitrat,
hara di suatu perairan selain berasal dari perairan itu fosfat dan oksigen terlarut di perairan pesisir Makassar.
sendiri juga tergantung pada keadaan sekelilingnya,
seperti sumbangan dari daratan melalui sungai serta METODE PENELITIAN
serasah mangrove dan lamun. Pada kawasan pesi-
sir Kota Makassar terdapat dua sungai besar yang Penelitian ini dilaksanakan pada Mei sampai
mengapit wilayah daratan dibagian utara dan se- Agustus 2010 di perairan pesisir Kota Makassar. Anali-
latan kota. Dua sungai besar tersebut adalah Sungai sis sampel dilaksanakan di laboratorium Oseanografi
Tallo yang bermuara disebelah utara kota dan Sun- Kimia, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas ilmu Kelautan
gai Je’neberang bermuara pada bagian selatan kota. dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Terdapat 25 stasiun pengamatan yang dibagi dalam
Nitrogen dan fosfor merupakan unsur hara yang lima (5) zona). Zona pertama (1) terletak dekat pantai
penting dalam daur organik karena bersama-sama diikuti zona 2, 3, 4 dan zona 5. Pengambilan sampel air
dengan karbon melalui proses fotosintesis mem- merupakan tempat yang mewakili perairan pesisir Kota
bentuk jaringan tumbuh-tumbuhan yang menjadi Makassar, yakni muara sungai je’ne Berang, Pelabu-
makanan bagi hewan dan akan menghasilkan zat or- han Kota Makassar, dan muara sungai Tallo (Gambar 1).
ganik jika organisme tersebut mengalami kematian.
Bahan mentah untuk memulai daur organik dihasil- Pengambilan sampel air dengan menggunakan
kan setelah mereka mengalami proses pembusukan botol sampel kemudian disimpan dalam cool box un-
dan daur organik. Menurut Millero & Sohn (1991), tuk selanjutnya dianalisis di Laboratorium Oseanografi
zat hara utama yang diperlukan adalah fosfor dalam Kimia Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS.
bentuk fosfat dan nitrogen dalam bentuk nitrat yang Analisis kandungan nitrat dengan Metode Brucine,
mempunyai manfaat untuk membentuk jaringan lunak. menggunakan alat spektrofotometer DR 2800 dan pan-
jang gelombang 410 nm, sedangkan kandungan fosfat
Zat hara merupakan zat-zat yang diperlukan dan dengan Metode Asam Askorbik, menggunakan alat spe-
mempunyai pengaruh terhadap proses dan perkem- ktrofotometer DR 2800 dan panjang gelombang 660
bangan hidup organisme seperti fitoplankton, terutama nm (APHA, 1992). Pengukuran Oksigen Terlarut (DO),
zat hara nitrat dan fosfat. Kedua zat hara ini berperan menggunakan alat Water Quality Chaker (TOA-DKK)
penting terhadap sel jaringan jasad hidup organisme dengan mencelupkan sensor alat tersebut ke dalam air.
serta dalam proses fotosintesis. Tinggi rendahnya Pengambilan sampel air dengan menggunakan botol
kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tergantung sampel kemudian disimpan dalam cool box untuk se-
pada kandungan zat hara di perairan antara lain ni- lanjutnya dianalisis di Laboratorium Oseanografi Kimia
trat dan fosfat (Nybakken, 1998). Senyawa nitrat dan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS. Anali-
fosfat secara alamiah berasal dari perairan itu sendiri sis kandungan nitrat dengan Metode Brucine, meng-
melalui proses-proses penguraian pelapukan atau- gunakan alat spektrofotometer DR 2800 dan panjang
pun dekomposisi tumbuh-tumbuhan, sisa-sisa organ- gelombang 410 nm, sedangkan kandungan fosfat den-
isme mati dan buangan limbah baik limbah daratan gan Metode Asam Askorbik, menggunakan alat spe-
seperti domestik, industri, pertanian, dan limbah pe- ktrofotometer DR 2800 dan panjang gelombang 660
ternakan ataupun sisa pakan yang dengan adanya nm (APHA, 1992). Pengukuran Oksigen Terlarut (DO),
bakteri terurai menjadi zat hara (Wattayakorn, 1988). menggunakan alat Water Quality Chaker (TOA-DKK)
Lebih lanjut Chester (1990), Sumber utama nitrat ber- dengan mencelupkan sensor alat tersebut ke dalam air.
asal dari erosi tanah, limpasan dari daratan termasuk
pupuk dan limbah. Selanjutnya Hutagalung & Rozak Pola sebaran parameter biofisiko-kimia per-
(1997) menyatakan bahwa peningkatan kadar nitrat airan dianalisis dengan menggunakan software
di laut disebabkan oleh masuknya limbah domestik MINITAB versi 14. Lebih lanjut untuk mengeta-
atau pertanian (pemupukan) yang mengandung nitrat. hui perbedaan antara kondisi perairan pada se-
tiap zona dianalisis secara statistik dengan meng-

89
Pola Sebaran Spasial dan Karakterisitik Nitrat-Fosfat-Oksigen Terlarut...Pesisir Makassar (Arifin, T., et al.)

gunakan uji t (Steel & Torrie , 1980; Walpole, 1990) Salinitas ini juga masih baik untuk kehidupan organ-
melalui bantuan perangkat lunak MINITAB versi 14. isme laut, khususnya ikan. Stasiun 3, 4, 5, 7, 17, 18, 19,
20, 22, 23, 24 dan 25 dicirikan oleh parameter klorofil-
HASIL DAN PEMBAHASAN a dan kecepatan arus yang tinggi. Hasil pengukuran
parameter tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.
Sebaran Spasial Parameter Biofisika-Kimia Perai-
ran Hasil analisis matriks korelasi parameter bio-
fisiko-kimiawi perairan memperlihatkan bahwa ragam
Dari 25 stasiun pengamatan parameter biofisika- pada komponen utama dari empat sumbu adalah
kimia perairan diperoleh sebaran spasial korelasi antar tinggi, yaitu 82,90% (Tabel 1). Informasi tersebut
parameter terhadap lokasi/zona. Hasil analisis Prin- juga terlihat dari kontribusi relatif dari modalitas bio-
ciple Component Analysis (PCA) parameter biofisiko- fisika-kimia perairan dan lokasi pengamatan pada
kimia perairan pesisir Kota Makassar dapat dilihat 3 sumbu utama yang terbentuk (Lampiran 2). Den-
pada Gambar 2. gan demikian berarti ke-empat komponen utama
sudah dapat menjelaskan sekitar 82,90% dari se-
Biofisiko-kimiawi perairan berperan penting bagi luruh informasi yang terkandung dalam parameter.
seluruh organisme perairan untuk menunjang proses
kehidupannya. Dalam studi ini pengamatan kondisi per- Berdasarkan pada karakteristik parameter
airan dilakukan dengan tujuan untuk menentukan se- biofisiko-kimia perairan, stasiun pengamatan dike-
baran spasial parameter biofisiko-kimiawi. Terdapat 25 lompokkan menurut kedekatan (kemiripannya). Ha-
stasiun pengamatan yang ditentukan dengan alat ban- sil yang diperoleh memperlihatkan bahwa secara
tu GPS (Global Positioning System). Hasil pengamatan umum terdapat dua kelompok zona, yaitu kelompok
parameter biofisiko-kimiawi perairan dapat dilihat pada pertama terdiri dari zona1 (stasiun 1, 6, 11, 16 dan
Lampiran 1. Untuk mengkaji distribusi spasial param- 21) dan zona 2 (stasiun 2, 7,12, 17 dan 22), kelom-
eter biofisiko-kimiawi perairan, menggunakan Analisis pok kedua terdiri dari zona 3 (stasiun 3, 8, 13, 18
Komponen Utama (Principal Component Analysis/ dan 23), zona 4 (stasiun 4, 9, 14, 19 dan 24) dan
PCA) (Legendre & Legendre, 1983; Ludwig & Reynolds, zona 5 (stasiun 5, 10, 15, 20 dan 25) (Gambar 3).
1988); (Bengen, 2000). Lebih lanjut Bengen (2000),
menyatakan bahwa PCA dapat digunakan untuk mem- Berdasarkan pada hasil pengelompokan
peroleh hubungan antara parameter biofisik sekaligus tersebut dapat disimpulkan bahwa pengaruh sta-
menentukan pengelompokan stasiun berdasarkan pa- siun sangat dominan dalam pengelompokan zona
rameter biofisik. Adapun kualitas representasi dari mo- pengamatan, terutama terlihat pada zona 1 dan
dalitas parameter biofisika-kimia perairan pada 9 sum- zona 2 yang dekat daratan, dimana zona yang ter-
bu utama hasil analisis PCA disajikan pada Lampiran 2. letak dekat daratan mengelompok bersama-sama
begitu pula sebaliknya. Hal ini menandakan kuat-
Gambar 2 menjelaskan bahwa stasiun 1, 2, 6, nya pengaruh zona pengamatan terhadap seba-
16, dan stasiun 21 dicirikan oleh parameter fosfat dan ran spasial fisiko-kimia perairan di lokasi penelitian.
kekeruhan yang tinggi. Hasil pengukuran parameter
tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Stasiun 8, 9, 10, Karakteristik Nitrat, Fosfat, dan DO
11, 12, 13, 14 dan 15 dicirikan oleh parameter pH, DO,
NO3, suhu dan salinitas yang tinggi. Hasil pengukuran Hasil pengukuran kandungan nitrat, fosfat, dan ok-
parameter tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Ni- sigen terlarut disajikan dalam Tabel 2, untuk mengeta-
lai pH sangat mempengaruhi daya produktivitas suatu hui perbedaan antara kondisi perairan pada setiap zona
perairan. Variasi pH ini umumnya disebabkan oleh untuk masing-masing parameter dilakukan uji (Tabel 3).
proses-proses kimia dan biologis yang dapat meng-
hasilkan senyawa-senyawa kimia baik yang bersifat NITRAT
asam maupun alkalis. Selain itu adanya masukan-ma-
sukan limbah yang bersifat asam atau alkalis dari da- Hasil pengamatan di 25 stasiun yang terbagi
ratan dapat pula menjadi penyebab variasi pH. pH ini dalam 5 zona, memperlihatkan distribusi rerata kand-
masih sesuai dengan pH yang dijumpai di perairan laut ungan nitrat di lapisan permukaan yang berkisar anta-
yang normal. pH diperairan laut yang normal berkisar ra 0,033 mg/l – 0,072 mg/l (Gambar 4). Secara umum
antara 7,0-8,5 (Odum, 1993). Menurut Hutabarat & Ev- kandungan nitrat di perairan Pesisir Makassar masih
ans (1995), salinitas akan turun secara tajam akibat sesuai dengan kandungan nitrat yang umum dijump-
oleh besarnya curah hujan. Lebih lanjut Nontji (2003), ai di perairan laut. Kandungan nitrat yang normal di
salinitas di lautan pada umumnya berkisar antara 33 perairan laut umumnya berkisar antara 0,01 - 50 mg/l
0/00 – 37 0/00. Untuk daerah pesisir salinitas berkisar (lqodry et al., 2010).
antara 32-34 0/00 (Romimohtarto & Juwana, 2001),
sedangkan untuk laut terbuka umumnya salinitas Dari seluruh stasiun pengamatan, rerata kand-
berkisar antara 33-37 0/00 dengan rata-rata 35 0/00. ungan nitrat permukaan terendah terdapat di zona 2

90
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 88-96
(0,033 mg/l), sebaliknya rerata kandungan nitrat ter- yang membawa nitrat dan kelimpahan fitoplankton.
tinggi terdapat di zona 4 sebesar 0,072 mg/l (Tabel 3).
Hal ini diduga karena faktor arus, sehingga zat hara Fenomena ini diperkuat oleh hasil analisis statis-
yang berada pada zona dekat pantai terbawa keluar tik dengan menggunakan uji t yang menunjukkan bah-
menjauhi perairan pantai. Adanya kandungan nitrat wa terdapat perbedaan nyata antara kandungan nitrat
yang rendah dan tinggi pada zona tertentu dapat dise- pada zona dekat pantai dengan nitrat di zona yang jauh
babkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya arus dari pantai (thit > ttab) (Tabel 3). Perbedaan kandun-

Gambar 1. Peta lokasi pengambilan sampel air.

A B
Gambar 2. Grafik Analisis Komponen Utama parameter biofisika-kimia perairan antara Komponen Utama
Pertama (F1) dengan Komponen Utama Kedua (F2): A : Lingkaran korelasi antar parameter,
dan B : Penyebaran stasiun (zona) pengamatan.

91
Pola Sebaran Spasial dan Karakterisitik Nitrat-Fosfat-Oksigen Terlarut...Pesisir Makassar (Arifin, T., et al.)

Tabel 1. Akar ciri dan persentase konstribusi setiap sumbu faktorial terhadap total variansi

Parameter F1 F2 F3 F4

Akar Ciri 3.9185 1.3815 1.1353 1.0285


Proporsi 0.435 0.154 0.126 0.114
Cumulative % 0.435 0.589 0.715 0.829

Tabel 2. Kandungan nitrat, fosfat, dan DO di perairan pesisir Makassar

Parameter Zona 1 Zona 2 Zona 3 Zona 4 Zona 5


Rerata St. Dev Rerata St. Dev Rerata St. Dev Rerata St. Dev Rerata
St. Dev

Nitrat (mg/l) 0,061 0,071 0,033 0,017 0,052 0,044 0,072 0,071 0,035 0,020
Fosfat mg/l) 0,784 0,667 0,318 0,216 0,336 0,253 0,336 0,195 0,160 0,090

Gambar 3. Pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan pada kemiripan karakteristik parameter bio-
fisika-kimia perairan.

Gambar 4. Sebaran kon- Gambar 5. Sebaran kon- Gambar 6. Sebaran konsen-


sentrasi nitrat sentrasi fosfat trasi oksigen ter-
di perairan pe- di perairan pe- larut di perairan
sisir Makassar. sisir Makassar. pesisir Makassar.

92
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 88-96

Tabel 3. Analisis uji t terhadap nitrat-fosfat-DO pada setiap zona

Komponen T-Value df P-Value

Nitrat zona 1 – zona 2 0,86 4 0,218


Nitrat zona 1 – zona 3 0,25 6 0,405
Nitrat zona 1 – zona 4 -0,23 7 0,588
Nitrat zona 1 – zona 5 0,81 4 0,231
Fosfat zona 1 – zona 2 1,49 4 0,106
Fosfat zona 1 – zona 3 1,40 5 0,110
Fosfat zona 1 – zona 4 1,44 4 0,111
Fosfat zona 1 – zona 5 2,07 4 0,053
DO zona 1 – zona 2 -0,37 7 0,640
DO zona 1 – zona 3 -0,79 7 0,772
DO zona 1 – zona 4 -0,34 7 0,629
DO zona 1 – zona 5 -0,32 7 0,619

gan nitrat di setiap zona pengamatan, diduga akibat Kandungan fosfat umumnya semakin menurun sema-
tingginya kandungan nitrat di dasar perairan. Perairan kin jauh ke arah laut (off shore) (Muchtar & Simanjun-
cukup dalam memungkinkan terjadinya penguraian tak, 2008). Pada perairan pesisir dan paparan benua,
terhadap partikel yang tenggelam menjadi nitrogen sungai sebagai pembawa hanyutan-hanyutan sampah
organik. Hutabarat (2001), bahwa konsentrasi nitrat maupun sumber fosfat daratan lainnya akan mengaki-
akan semakin besar dengan bertambahnya kedala- batkan konsentrasi di muara lebih besar dari sekitarnya.
man. Lebih lanjut Wada & Hattori (1991) menyatakan
bahwa konsentrasi nitrat bervariasi menurut letak geo- Secara umum kandungan fosfat pada zona 1
grafis dan kedalaman, di mana pola geografis nitrat di relatif lebih tinggi dibandingkan zona yang jauh dari
lapisan bawah lebih dikontrol oleh sirkulasi air lapisan pantai, di mana rata-rata kandungan fosfat pada zona
bawah dan proses mineralisasi nitrogen organik parti- 1 adalah sebesar 0,784 mg/l, sedangkan rata-rata di
kulat. Massa air bawah yang kaya akan nutrien dapat zona 5 sebesar 0,16 mg/l. Seperti halnya pada nitrat,
ditransportasikan melalui proses upwelling. Di sisi lain, tingginya kandungan fosfat pada zona 1 karena pada
nitrat akan senantiasa diambil di lapisan permukaan daerah dekat pantai umumnya kaya akan zat hara,
selama proses produktifitas primer (Millero & Sohn, baik yang berasal dari dekomposisi sedimen maupun
1991). Dengan demikian bila terjadi sedikit peningka- senyawa-senyawa organik yang berasal dari jasad flo-
tan konsentrasi nitrat maka fitoplankton dengan efektif ra dan fauna yang mati.
akan memanfaatkan nitrat untuk fotosintesis. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji t
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kand-
Fosfat ungan fosfat pada zoan dekat pantai dengan kandun-
gan fosfat pada zona luar (thit › ttab) (Tabel 3). Di laut
Kandungan fosfat pada lapisan permukaan di tropis variasi fosfat biasanya kecil, bahkan dikatakan
perairan pesisir Makassar berkisar antara 0,05 mg/l tidak ada variasi sama sekali. Hal ini disebabkan oleh
- 1,77 mg/l (Gambar 5). Kandungan ini masih sesuai perbedaan suhu yang tidak begitu mencolok, sehingga
dengan kandungan fosfat yang umumnya dijumpai di aktifitas plankton yang memanfaatkan fosfat juga ham-
perairan laut. Kandungan fosfat di perairan laut yang pir seragam (Hutabarat & Evans. 1995).
normal berkisar antara 0,01 - 4 mg/l (Brotowidjoyo et
al., 1995). Hasil pengamatan kandungan fosfat di per- Oksigen Terlarut
airan pesisir Makassar pada 25 stasiun pengamatan
disajikan pada Lampiran 1. Kandungan oksigen terlarut di perairan pesisir
Makassar berkisar antara 4,853 mg/l - 8,587 mg/l den-
Tingginya kandungan fosfat pada stasiun 1 (zona gan rata-rata 6,474 mg/l, dan untuk zona dekat pantai
1) (1,77 mg/l) diduga karena stasiun ini berada paling berkisar antara 4,853 mg/l – 6,817 mg/l dengan rata-
dekat dari daratan. Reservoir yang besar dari fosfat rata 5,481 mg/l (Gambar 6). Kandungan ini relatif sama
bukanlah udara, melainkan batu-batu atau endapan- dengan kandungan oksigen terlarut yang umumnya di-
endapan lain. Fosfat yang ada di batuan ini akan ter- jumpai di perairan laut. Kandungan oksigen di perairan
bawa ke laut melalui run off ataupun saat terjadi hujan. laut umumnya berkisar antara 5,7 - 8,5 mg/l (Sidabutar

93
Pola Sebaran Spasial dan Karakterisitik Nitrat-Fosfat-Oksigen Terlarut...Pesisir Makassar (Arifin, T., et al.)

& Edward, 1994). Distribusi oksigen terlarut yang ren- bantuan dalam pengambilan data.
dah umumnya ditemukan di stasiun dekat pantai. Hal
ini dipengaruhi tingginya kekeruhan air dan penguapan DAFTAR PUSTAKA
air laut. Sedangkan kadar oksigen terlarut yang tinggi
umumnya ditemukan pada stasiun yang jauh dari pan- APHA-AWWA-WEF. 1992. Standard Methods for
tai. Hal ini dipengaruhi lancarnya oksigen masuk ke examination of water and wastewater. Ameri-
dalam air melalui proses difusi dan proses fotosintesa. can Public Health Association (APHA) Ameri-
Namun hal ini tidak menjadi patokan, tergantung pada can Water Works Association (AWWA)-Wa-
kondisi perairan itu sendiri kaitannya terhadap kand- ter Environment Federation (WEF). 315-317
ungan oksigen terlarut. Dari variasi kandungan oksi-
gen terlarut menunjukkan bahwa kadar oksigen yang Arifin, T, Yulius & A. Najid. Model hidrodinamika arus
rendah ditemukan pada stasiun dekat pantai dan kan- pasang surut perairan pesisir Kota Makassar.
dungan yang tinggi ditemukan pada stasiun yang jauh Jurnal Segara, Pusat Penelitian dan Pengem-
dari pantai. bangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balit-
bang Kelautan dan Perikanan. 12 p (in Press).
Hasil pengamatan kandungan oksigen terlarut
pada 25 stasiun disajikan pada Lampiran 1. Secara Bengen, D.G. 2000. Teknik pengambilan contoh
umum tidak ada perbedaan nyata antara kandungan dan analisis data biofisik sumberdaya pesisir.
oksigen terlarut pada stasiun dekat pantai dengan sta- PKSPL-FPIK Institut Pertanian Bogor, Bogor.
siun yang jauh dari pantai (thit < ttab) (Tabel 3). Meski-
pun tidak ada perbedaan nyata antara kandungan ok- Brotowidjoyo, M.D., D. Tribowo, E. Mubyarto.,
sigen pada stasiun dekat pantai, tetapi distribusinya 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan
menunjukkan bahwa perairan dekat pantai cenderung Budidaya Air, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
memiliki kandungan oksigen yang lebih rendah diband-
ingkan dengan perairan yang relatif jauh dari pantai. Chester, R. 1990. Marine Geochemis-
Hal ini diduga karena lebih tingginya proses dekompo- try. Unwin Hyman, London. 698 pp.
sisi bahan organik pada stasiun yang jauh dari pantai
(Sidabutar & Edward, 1994). Oksigen berfungsi seb- lqodry, T.Z; Yulisman; M Syahdan & Santoso.
agai senyawa pengoksidasi dalam dekomposisi mate- 2010. Karakterisitik dan sebaran nitrat, fos-
rial organik (regenerasi) yang menghasilkan zat hara. fat, dan oksigen terlarut di perairan Karimun-
Hal ini juga menjadi dugaan rendahnya kandungan ok- jawa Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Sains,
sigen permukaan di stasiun yang berada dekat dengan Volume 13 No. 1(D) 13109-35 - 13109-41.
daratan.
Hutabarat, S & S. M. Evans. 1995. Pengantar Oceano-
KESIMPULAN grafi. Universitas Indonesia Press, Jakarta. 159 hal.

1. Terdapat perbedaan antara kandungan nitrat Hutabarat, S. 2001. Pengaruh Kondisi Oceano-
pada zona dekat pantai dengan zona luar, den- grafi terhadap Perubahan Iklim, Produktivi-
gan kecenderungan lebih tinggi pada zona tas dan Distribusi Biota Laut. Pidato Pen-
dekat pantai dibandingkan dengan zona luar. gukuhan Guru Besar Madya dalam Ilmu
Untuk kandungan fosfat dan oksigen terlarut Oseanografi FPIK-UNDIP, Semarang. 51 hal.
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
antara zona dekat pantai dengan zona luar. Hutagalung H.P & A. Rozak. 1997. Penentuan
2. Tinggi rendahnya kandungan nitrat, fos- Kadar Oksigen Terlarut, Kebutuhan oksi-
fat, dan oksigen terlarut dipengaruhi oleh gen biologis dan kebutuhan oksigen kimi-
masukan dari daratan, aktivitas plankton awi, nitrit, nitrat dan fosfat. Hutagalung, Se-
dan biota laut, serta pergerakan massa air. tiapermana dan Riyono Edt. Metode Analisis
Air Laut, Sedimen dan Biota Buku II. Puslit-
PERSANTUNAN bang Oseanologi LIPI Jakarta, 1997, pp: 33-58.

Tulisan ini merupakan konstribusi dari kegiatan Legendre, L. & P. Legendre. 1983. Numeri-
riset “karakteristik sumberdaya pesisir Kota Makas- cal Ecology. Developments in Environ-
sar”, Tahun Anggaran 2010, pada Pusat Penelitian dan mental Modelling, 3. Elsevier Scientific
Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Publishing Company, Amsterdam, 419pp.
Litbang Kelautan dan Perikanan. Ucapan terima kasih
diperuntukkan bagi Riswan selaku teknisi, Asep Irwan Ludwig JA. & JF Reynoldsm. 1988, Statistical
(mahasiswa PKL FPIK-UNPAD) serta Budiman, An- Ecology. A Primer on Methods and Comput-
drayanti dan Faturrahman Jurusan Ilmu Kelautan pada ing. John Wiley & Sons, Inc, New York, 337p.
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS atas

94
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 88-96
Millero, F.J & M.L. Sohn. 1991, Chemical Oceanography.
CRC Press, Boca Raton, Ann Arbor London. 496 pp.

Muchtar, M & Simanjuntak. 2008. Karakteristik dan


Fluktuasi Zat Hara Fosfat, Nitrat dan Derajat Ke-
asaman (pH) di estuary Cisadane pada Musim
yang Berbeda, dalam : kosistem Estuari Cisadane
(Editor: Ruyitno, A. Syahailatua, M. Muchtar,
Pramudji, Sulistijo dan T. Susana, LIPI: 139-148.

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Cet. 3.


Penerbit Djambatan. Jakarta. 351 hal.

Nybakken, J.W. 1998. Biologi Laut Suatu Pendeka-


tan Ekologi. Penerjemah: M. Eidman, Koe-
soebiono, D.G.Bengen, M. Hutomo dan
S. Sukarjo. PT. Gramedia. Jakarta. 459 hal.

Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi: Terjema-


han dari Fundamentals of Ecology. Alih Ba-
hasa Samingan, T. Edisi Ketiga. Universi-
tas Gadjah Mada Press, Yogyakarta. 697 p

Romimohtarto K & S Juwana. 2001. Biolo-


gi Laut, Ilmu Pengetahuan tentang Bi-
ota Laut. Djambatan. Jakarta. 540 hal.

Sidabutar, T & Edward. 1994. Kualitas Perairan Se-


lat Rosenberg dan Teluk Gelanit Tual Maluku
Tenggara, dalam : Prosiding Seminar Kelautan
Nasional-1995 (Editor: Basri M. Ganie, 1995).
Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi
Kelautan serta Industri Maritim, Jakarta. 11 pp.

Steel RGD & JH.Torrie. 1980. Analysis of covariance, In:


Principles and Procedures of Statistics: a Biometri-
cal Approach, pp. 401-437. McGraw-Hill, New York.

Wada, E. & A. Hattori. 1991. Nitrogen in The


Sea: Form, Abundances and Rate Process-
es, CRC Press, Boca Raton, Florida. 208 pp.

Walpole RE. 1990. Pengantar Statistika (3rd ed). Ja-


karta: PT Gramedia Pustaka Utama. xv+510 pp.

Wattayakorn, G. 1988. Nutrient Cycling in estuarine.


Paper presented in the Project on Research and
its Application to Management of the Mangrove
of Asia and Pasific, Ranong, Thailand, 17 pp.

Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelau-


tan. Penerbit PT Grasindo. Jakarta. hal. 54.

95
Pola Sebaran Spasial dan Karakterisitik Nitrat-Fosfat-Oksigen Terlarut....Pesisir Makassar (Arifin, T., et al.)

Lampiran 1. Hasil pengukuran parameter biofisika-kimia perairan pesisir Kota Makassar

Lampiran 2. Kualitas representasi dari modalitas parameter biofisika-kimia perairan pada 9 sumbu
utama hasil analisis PCA

Variable PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6 PC7 PC8 PC9

pH -0.418 0.298 0.280 -0.100 -0.148 0.231 0.083 0.533 -0.531


DO -0.437 0.135 0.318 -0.018 -0.099 -0.264 0.452 0.059 0.633
Suhu -0.370 0.019 0.531 0.061 0.216 0.107 -0.448 -0.559 -0.074
Kekeruhan 0.306 0.504 0.098 0.044 0.489 0.280 0.507 -0.240 -0.091
Salinitas -0.406 -0.147 -0.390 -0.183 -0.142 -0.179 0.413 -0.493 -0.403
Arus 0.162 -0.473 0.360 -0.512 0.429 -0.307 0.153 0.168 -0.168
NO3 -0.312 0.135 -0.322 0.370 0.607 -0.434 -0.161 0.236 -0.065
PO4 0.290 0.522 0.155 -0.149 -0.283 -0.664 -0.163 -0.124 -0.185
Klorofil-a 0.175 -0.320 0.346 0.728 -0.172 -0.177 0.290 -0.015 -0.270

96
Aplikasi Citra Satelit Alos Pada Pemetaan Ekosistem Terumbu Karang...Sumatra Barat (Suyarso)

POTENSI SUMBER DAYA TERUMBU KARANG BERBASISKAN CITRA ALOS


DI KAWASAN PULAU PAGAI, SUMATERA BARAT

Suyarso1)

1)
Peneliti pada Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI

Diterima tanggal: 29 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan: 18 Mei 2011; Disetujui terbit tanggal 19 Agustus 2011

ABSTRAK

Analisis citra satelit Alos yang terekam pada 11 Januari 2007 dengan menggunakan al-
goritma indeks atenuasi kedalaman dan integrasi 33 data survey telah dapat mengklasifikasi eko-
sistem terumbu karang seluas 166 ha.di perairan Pulau Pagai kedalam lima kelas, yakni: karang
hidup (5,5 %), karang mati (16,6 %), pecahan karang (15,8 %), substrat campuran (13,9 %) dan
pasir (38,3 %). Agregasi karang di bagian timur Pulau Pagai tumbuh dan berkembang di lingkun-
gan tubir sementara pada lingkungan rataan karang telah tertutup oleh substrat pasir. Di bagian
barat, agregasi karang ditemukan pada dasar perairan hingga tubir sedangkan lingkungan rataan
umumnya telah tertutup oleh material rampart. Algoritma yang dibangun melalui tiga kanal sinar
tampak mampu mengklasifikasi substrat dasar perairan di lingkungan perairan jernih. Tutupan veg-
etasi seperti halnya lamun, rumput laut dan makro alga tidak teridentifikasi karena pelamparannya
yang sempit dan umumnya berasosiasi dengan air keruh. Maksud penelitian ini, yang telah dibi-
ayai oleh Critic Coremap – LIPI adalah menyusun peta ekosistem terumbu karang di Pulau Pagai.

Kata kunci: Citra Alos, ekosistem terumbu karang, Pulau Pagai

ABSTRACT

Analyse of Alos satellite data recorded on the 11 Januari 2007 using depth invariant index al-
gorithm and integrated of 33 field data has produced the classification of 166 hectares of coral reef
ecosystem in the waters of Pagai Island into five classes of: live corals (5.5 %), dead corals (16.6
%), rubbles (15.8 %), mix substrates (13.9 %) and sand (38.3 %). Aggregation of corals in the east
of island are grown and spread out at the reef slopes environment while almost of reef flat areas
were covered by sand substrates. In the west areas, aggregation of corals is observed in deep wa-
ter up to reef slope areas while the reef flat areas are occupied by rampart materials. The algorithm
that composed of three visible bands is applicable in clear water rather than in turbid water envi-
ronment. Vegetation covers such as seagrass, seaweed and macro algae are not identifiable due
to its narrow extent, and usually are associated with turbid waters. The research activity which is
funded by Critic Coremap - LIPI is aimed in producing Pagai Island map of coral reef ecosystem.

Keywords: Alos imagery, coral reefs ecosystem, Pagai Island

PENDAHULUAN bagai penahan ombak dan lokasi wisata bahari (Su-


ciati & Arthana 2008). Dalam beberapa dekade tera-
Terumbu karang merupakan ekosistem penting khir, kehadiran terumbu karang banyak mendapatkan
di wilayah di pantai karena merupakan sumberdaya tekanan, baik oleh alam maupun gangguan manu-
perairan yang bernilai ekonomis tinggi karena kontri- sia (Fonseca et al., 2010; Cortez & Jeminez 2003).
businya dalam perikanan. Kehadiran terumbu karang
selain berfungsi sebagai area tempat berkembang Citra satelit telah banyak dimanfaatkan oleh ber-
biak dan tempat asuhan biota laut juga berfungsi se- bagai fihak khususnya dalam bidang pemetaan dan
Korespondensi Penulis:
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email: Suyarso_lipi@yahoo.com
97
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 97-104

pemantauan sumber daya alam seperti halnya sum- resolusi spasial yang dimiliki oleh kedua citra tersebut
berdaya pesisir dan perairan. Resolusi spasial (per- akan lebih menonjolkan kenampakan geomorfolog-
bandingan setiap piksel dalam citra terhadap muka inya ketimbang informasi klasifikasi substrat/ biotanya.
bumi) pada citra satelit sangat bervariasi, berkisar
antara 30 m seperti pada citra satelit Landsat, 20 m Citra satelit yang dipergunakan dalam penelitian
pada citra satelit Spot, 10 m pada citra satelit Alos ini adalah citra satelit Alos rekaman 11 Januari 2007
hingga 4 m pada citra satelit Ikonos, bahkan citra dengan resolusi spasial 10 m. Mengingat tingkat res-
satelit Quickbird generasi terakhir telah mempunyai olusi spasial yang dimiliki pada citra Alos dan usaha
resolusi spasial hingga 0,6 m. Citra satelit dengan mengurangi tingkat kesalahan pergeseran posisi data
resolusi spasial menengah (20 m) hingga tinggi (4 m) di dalam citra, pengamatan lapangan yang telah dilaku-
telah banyak dipergunakan untuk pemetaan ekosistem kan meliputi bentangan sekurang-kurangnya 10 m2.
terumbu karang di kawasan Pasifik Timur (Fonseca et
al. 2010; Guzman et al. 2004; Benfield et al. 2007). Kegiatan penelitian yang dibiayai melalui
Proyek Critic Coremap – LIPI fase II telah dilakukan
Sejak peluncuran generasi pertamanya pada pada Agustus 2007 mengumpulkan 18 stasiun pene-
1970an, citra Landsat telah digunakan untuk pemetaan litian dan akhir Juli 2010 mengumpulkan 15 stasiun
potensi sumberdaya pesisir. Ahmad & Neil (1994) mis- penelitian. Tujuan penelitian adalah memperlihat-
alnya telah mencoba mengevaluasi zonasi terumbu kan kemampuan dan manfaat citra satelit Alos yang
karang di kawasan Karang Heron (Great Barrier Reef, diaplikasikan pada pemetaan ekosistem terumbu
Australia) dan Matsunaga & Kayanne (1997) menggu- karang di kawasan Pulau Pagai, Sumatra Barat.
nakan 22 citra yang direkam berulang (time series) an-
tara tahun 1984 – 1990 dalam memantau perubahan METODE PENELITIAN
kondisi terumbu karang di Ishikagi, Jepang. Belakangan,
Purkis & Pasterkamp (2004) memanfaatkan citra Land- Citra satelit Alos merupakan citra kom-
sat dalam usahanya mengklasifikasi terumbu karang di posit yang terdiri atas 4 kanal (bands), tiga kanal
Laut Merah, dengan penambahan data kedalaman telah dengan panjang gelombang sinar tampak (vis-
menjadikan ketelitian yang diperoleh mencapai 70%. ible bands) dan satu kanal mempunyai panjang
gelombang sinar infra merah dekat (near infra red
Alos Avnir-2 merupakan citra satelit terdiri dari band). Karakteristik citra Alos terlihat pada Tabel 1.
gabungan sinar dengan gelombang tampak (visible)
dan gelombang sinar infra merah dekat (near infra red), Lokasi penelitian terletak di perairan selat an-
dan mempunyai resolusi spasial 10 m2. Citra satelit tara Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai Selatan,
tersebut merupakan perkembangan dari citra satelit Kabupaten Mentawai, Propinsi Sumatra Barat (Gam-
generasi sebelumnya (Alos Avnir) yang mempunyai res- bar 1). Pantai barat deretan pulau-pulau terse-
olusi spasial 16 m, dan diluncurkan pada Agustus 1996. but menghadap Samudra Indonesia sedangkan
pantai timur menghadap daratan Pulau Sumatra.
Suciati & Arthana (2008) menggunakan citra
Alos dalam usahanya mengklasifikasi ekosistem di Peralatan penelitian lapangan yang dipergunak-
lingkungan terumbu karang di Selat Badung, Bali dan an adalah: Garmin GPSmap 76CSx yakni peralatan
mendapatkan beberapa kesulitan dalam klasifikasinya untuk menentukan posisi geografi suatu obyek di per-
terutama di bagian lereng terumbu (reef slope) karena mukaan bumi, peralatan selam, rol meter untuk men-
obyeknya terletak di bidang miring, dan waktu dipotret gukur dimensi substrat dan kamera digital bawah air
dari atas (vertikal) beberapa bagian dari obyek tersebut serta transek kuadrat berukuran 1 x 1 m berinterval
hilang / tidak tampak dalam potret. Walaupun demikian kisi 20 x 20 cm. Wahana yang dipergunakan adalah
ketelitian hasil klasifikasi dilaporkan mencapai 87%. perahu motor (speed boat) berkapasitas 6 personel
bermesin ganda, masing-masing berkekuatan 40 PK.
Dobson & Dustan (2000) dan Dustan et al. (2001)
mengemukakan bahwa terumbu karang sebenarnya Penelitian lapangan dilakukan dalam kerangka
merupakan susunan segmen (mosaic) dari sekumpu- Proyek Critic Coremap – LIPI fase II yang telah dilaku-
lan biota berukuran 1 – 5 m, mempunyai sifat pantulan kan pada Agustus 2007 mengumpulkan 18 stasiun dan
optik yang sangat kompleks`menjelma ke dalam satu akhir Juli 2010 mengumpulkan 15 stasiun. Stasiun pen-
kesatuan yang lebih besar. Maksudnya adalah bahwa gamatan, 30 persen dilakukan menggunakan metode
identifikasi di lingkungan ekosistem terumbu karang LIT (line intercept transect) (English et.al. 1997) dan
akan sangat kurang efektif bila menggunakan citra sisanya 70% menggunakan metode RRA (reef rapid
dengan resolusi spasial seperti pada citra Landsat (30 assessment). Metode penelitian lapangan dilakukan
m). Sebelumnya Mumby et al. (1998) juga mengemu- dengan mengidentifikasi substrat dasar, yakni membe-
kakan walaupun citra Lansat dan citra Spot mampu dakan dan menghitung persentase karang hidup, karang
menditeksi keberadaan substrat/biota karang pada mati, vegetasi yang ada, pecahan karang dan material
perairan jernih hingga kedalaman 25 m, keterbatasan lain seperti halnya pasir, lumpur dan lain sebagainya.

98
Aplikasi Citra Satelit Alos Pada Pemetaan Ekosistem Terumbu Karang...Sumatra Barat (Suyarso)

yang telah dikemukakan oleh Hochberg et al. (2003)


Analisis citra meliputi 2 tahapan, yakni: pra anali- dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
sis yang meliputi reposisi geografis (geographic repo-
sition), koreksi atmosfir (atmospheric correction) dan Ri’ = Ri – b(RNIR– MinNIR) .............................2)
eliminasi efek gelombang (glint removal), pembatasan
/ pendigitasian (scooping / digitizing) dan analisis citra
dimana:
berdasar algoritma indeks atenuasi kedalaman (depth Ri’ = Nilai piksel baru pada kanal i
invariant index). Perangkat lunak dalam analisis adalahRNIR = Nilai piksel pada kanal 4 (near infra red)
ENVI ver. 4.3, ArcGIS ver. 9.2 dan spreadsheet Excell. MinNIR = Nilai piksel minimum pada kanal 4 (near
infra
Reposisi geografis dimaksudkan menempatkan red) yang diperoleh dari area laut dalam
citra pada koordinat geografi dalam proyeksi koor- b = Konstanta regresi linier yang diperoleh dari
dinat UTM pada zona 47S berdasar datum WGS84 plot kanal i terhadap kanal 4.
melalui 5 titik kontrol yang mudah dikenal di darat
seperti misalnya jembatan, perpotongan jalan dan Guna meningkatkan efisiensi dalam anali-
muara sungai berdasar transformasi polinomial. sis citra dan menghindari adanya penyimpangan
dalam klasifikasinya dilakukan pendigitasian pada
Koreksi atmosfer dimaksudkan untuk memini- lingkungan ekosistem terumbu karang. Peta po-
malisasi hamburan partikel di atmosfir seperti halnya ligon yang terbentuk selanjutnya dipergunakan
kabut tipis dan butiran-butiran salju yang menyebab- untuk menyingkap (cropping) citra, membuang
kan gambar buram pada citra. Seperti diketahui ham- kenampakan darat dan laut dalam dan hanya meny-
buran partikel gelombang rayleigh ‘akan menghasilkan isakan bagian citra pada ekosistem terumbu karang.
kabut / salju tipis yang akan terrekam di citra pada
kanal dengan panjang gelombang terpendek (kanal Analisis citra didasarkan pada konsep bahwa
1 dan kanal 2) (Lillesand & Kiefer 1990; Mishra et al. radiasi yang tertangkap citra merupakan fungsi linier
2006). Metode yang dipergunakan dalam koreksi at- pantulan obyek di dasar perairan dan fungsi ekspo-
mosfir adalah pengurangan piksel gelap (dark pixel nensial kedalaman perairan. Intensitas penetrasi
substraction) (Spitzer & Dirks 1987; Armstrong 1993; sinar akan berkurang secara eksponensial dengan
Maritorena 1996). Metode tersebut didasarkan pada bertambahnya kedalaman perairan. Konsep tersebut
asumsi bahwa radiasi cahaya matahari pada permu- dikemukakan oleh Lyzenga (1978; 1981) yang kemu-
kaan air, sebagian akan terserap dan sebagian yang dian dikenal sebagai algoritma depth invariant index.
lain akan terpantulkan kembali. Diasumsikan bahwa Setiap nilai piksel dalam citra dapat dikonversikan se-
radiasi cahaya matahari pada permukaan air di ling- cara matematis ke dalam indeks atenuasinya untuk
kungan laut dalam seluruhnya akan terserap, se- menghilangkan pengaruh kolom air, sehingga seolah-
hingga bagian kecil cahaya yang terpantul kembali olah citra tersebut terpotret tanpa mediasi air. Persa-
merupakan gambar buram dari suatu citra yang dise- maan untuk membangun indeks atenuasi kedalaman
babkan oleh adanya hamburan partikel di lingkungan dari setiap pasang kanal dirumuskan sebagai berikut:
atmosfir. Algoritma yang dipergunakan dalam koreksi
atmosfir disajikan dalam persamaan sebagai berikut: .........…… 3)

Li’ = Li - Lsi ..................................................... 1) dimana:


ln = Logaritma natural
dimana: Li dan Lj = Nilai piksel dalam kanal i dan kanal j
Li’ = Nilai piksel baru kanal i hasil koreksi ki/kj = Koefisien rasio atenuasi yang diperoleh
Li = Nilai piksel kanal i dari
Lsi = Nilai piksel rata-rata kanal i di lingkungan sampel dalam citra pada pasir di kedaman
laut dalam yang berbeda-beda.

Koreksi efek gelombang dimaksudkan untuk Citra komposit yang disusun oleh tiga pasang
mengeliminasi efek eksternal tubuh air yang ter- hasil algoritma di atas, dengan 33 data lapangan
ekam dalam citra. Permukaan laut terutama pada yang dipergunakan sebagai pemandu dalam klasifi-
saat terjadi gelombang akan membentuk suatu bi- kasi terpandu (supervise classification) akan meng-
dang yang tidak rata sehingga puncak dan lereng hasilkan peta klasifikasi ekosistem terumbu karang.
gelombang akan memantulkan sinar matahari den-
gan intensitas yang berbeda-beda. Perbedaan inten-
sitas daya pantul tersebut di dalam citra akan me-
nampakkan pasangan bayangan gelap dan terang
yang disebut sebagai glinting effect. Koreksi efek
gelombang dilakukan dengan mengadopsi metode

99
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 97-104
HASIL DAN PEMBAHASAN mempunyai rataan karang (reef flat) yang umumnya
sempit. Sebagian besar rataan karang tersebut telah
1. Lingkungan fisik daerah penelitian tertimbun oleh rampart, yakni material pecahan karang
yang terhempas oleh gelombang ke permukaan dan
Daerah penelitian merupakan perairan selat yang muncul di permukaan air. Wilayah timur banyak bentu-
menghubungkan Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai kan gosong-gosong karang, yakni pulau karang yang
Selatan dengan lebar 500 – 800 m. Di wilayah barat, masih berada di bawah permukaan air pada saat pa-
garis pantai menghadap langsung ke arah Samudra sang. Pulau pulau karang tersebut mempunyai rataan
Indonesia, sehingga pada saat musim barat (Desem- karang yang umumnya luas dan terisi oleh material
ber – Februari) gelombang yang datang dari arah barat pasir.
dengan ketinggian 2 – 3 m langsung menghantam tu-
bir dan bahkan menghantam bibir pantai. Sebaliknya 2. Pra analisis citra
di kawasan timur, pantai-pantainya menghadap ke
daratan Pulau Sumatra dengan kondisi perairan yang a. Reposisi geografi
relatif lebih tenang dibanding di wilayah barat.
Obyek yang dipergunakan adalah 5 titik kontrol
Berdasar bentuk morfologinya, wilayah barat bentang alam maupun bentukan manusia yang mu-

Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian dan penyebaran ekosistem terumbu karang.

Gambar 2. Plot dan regresi linier dari masing-masing pasangan kanal (kanal 1, 2 dan 3 terhadap kanal 4
dari piksel citra yang terjaring pada daerah yang menampakkan efek gelombang.

100
Aplikasi Citra Satelit Alos Pada Pemetaan Ekosistem Terumbu Karang...Sumatra Barat (Suyarso)

Tabel 1. Karakteristik citra satelit Alos

Kanal (Bands) Panjang gelombang (µm) Posisi Resolusi spasial


(Wavelength) (position) (spatial resolution)

Kanal (Band) 1 0,42 – 0,50 Red (visible) 10 m


Kanal (Band) 2 0,52 – 0,60 Green (visible) 10 m
Kanal (Band) 3 0,61 – 0,69 Blue (visible) 10 m
Kanal (Band) 4 0,76 – 0,89 Near Infra Red 10 m

penelitian didisain dengan mengacu pada klasifikasi


3. Analisis citra yang dikemukakan oleh Mumby et al. (1998) berdasar
pendekatan ekologi, yakni menggunakan tutupan sub-
Menurut tampilan pada citra yang telah melalui strat mayoritas penyusun dalam kawasan tersebut.
pra analisis, obyek di bawah kolom air akan lebih mu- Pertimbangan tersebut didasarkan pada pemikiran
dah dibedakan misalnya material pasir dan material bahwa sekelompok substrat mayoritas di dasar perai-
lain seperti karang dan batu dengan tingkat kedalaman ran akan mempunyai karakter spektral sinar tertentu
yang berbeda-beda. yang akan berbeda terhadap spektral kelompok may-
oritas lainnya. Berdasar data lapangan yang terkolek-
Logaritmik natural (ln) dari piksel-piksel yang si, tutupan ekosistem daerah penelitian diklasifikasi
terjaring dari material pasir pada berbagai kedala- dalam 5 kelas sebagai terlihat pada Tabel 2. Plot data
man pada citra dan plot dari masing-masing pasan- lapangan ke dalam citra dilakukan dengan menggu-
gan kanal akan membentuk regresi linier. Gambar 3 nakan klasifikasi terpandu (supervise classification).
dibawah menunjukkan regresi linier dari pasangan Plot data survey akan memandu citra dalam memban-
kanal yang diperoleh pada material pasir yang nampak gun poligon-poligon dengan kemiripan spektral maksi-
pada citra di daerah penelitian. mum (maximum likelihood) dari masing-masing kelas.

Dari persamaan linier logaritmik natural yang di- Berdasarkan pada klasifikasi yang diusulkan
hasilkan dari masing-masing pasangan akan diperoleh seperti pada Tabel 2 telah terbentuk peta ekosistem
konstanta regresi yang merupakan ki/kj dari setiap pa- terumbu karang Pulau Pagai (Gambar 4). Luasan eko-
sangan kanal. Selanjutnya citra baru yang terbentuk sistem masing-masing kelas tersaji pada Tabel 3.
melalui algoritma indeks atenuasi kedalaman adalah
citra komposit RGB, dimana R dihasilkan oleh pasan- Beberapa kesulitan telah muncul dalam mengk-
gan kanal 1/ kanal 2, G dihasilkan oleh kanal 1/kanal 3 lasifikasi ekosistem terumbu karang di daerah peneli-
dan B dihasilkan oleh kanal 2/kanal 3. tian, khususnya pada kelas substrat campuran, yakni
suatu kelas yang tidak mempunyai substrat mayoritas.
4. Data survey Pada agregasi antara makro alga, pasir dan pecahan
karang, spektral yang menonjol adalah spektral pasir
Data penelitian lapangan memuat diskripsi sehingga pada satuan tersebut terklasifikasi sebagai
persentase tutupan, tipe substrat dan parameter lain- pasir. Demikian pula agregasi vegetasi seperti la-
nya. Untuk mengurangi tingkat kesalahan dalam men- mun yang tumbuh dan berkembang di lingkungan air
transformasikan posisi geografi stasiun penelitian ke keruh akan terklasifikasi sebagai pasir. Algoritma in-
dalam piksel pada citra, setiap stasiun penelitian mem- deks atenuasi kedalaman akan berfungsi dengan baik
punyai bentangan sekurang-kurangnya 10 m2. pada lingkungan air yang jernih sehingga keberadaan
vegetasi di lingkungan air yang keruh akan sukar ter-
Seperti diketahui bahwa komposisi substrat pada petakan.
lingkungan ekosistem terumbu karang sangat berva-
riasi (heterogin). Komponen ekosistem utama dian- Pada Gambar 4 terlihat bahwa sebaran substrat
taranya karang hidup, karang mati, pecahan karang karang di bagian timur hanya mendominasi di daerah
(rubbles), pasir dan bahkan yang umum dijumpai di tubir sedangkan di daerah rataan karang (reef flat)
lapangan adalah campuran diantaranya. hampir seluruhnya telah tertutup oleh substrat pasir. Di
bagian barat, substrat karang ditemukan di dasar per-
5. Integrasi data survey pada pembentukan peta airan pada kedalaman 5 m hingga di dekat permukaan
ekosistem terumbu karang tubir (reef slope) sementara di bagian rataan karang
telah tertutup oleh material rampart.
Klasifikasi ekosistem terumbu karang daerah

101
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 97-104
KESIMPULAN
Penggunaan perekaman citra satelit berulang
Citra satelit Alos dengan resolusi spasial 10 (time series) diharapkan dapat diaplikasikan dalam
m dengan menggunakan algoritma indeks atenu- usaha memantau perubahan ekosistem terumbu
asi kedalaman telah dapat diaplikasikan pada karang dimasa mendatang baik yang disebabkan
pemetaan ekosistem terumbu karang di lingkun- oleh faktor alam maupun oleh aktifitas manusia.
gan perairan yang jernih dan mampu mengkla-
sifikasikan karang hidup, karang mati, pecahan PERSANTUNAN
karang, substrat campuran, pasir dan rampart.
Kegiatan penelitian lapangan merupakan kerang-
Terdapat kesulitan dalam mengidentifi- ka Proyek Critic Coremap – LIPI fase 2. Terima kasih
kasi vegetasi perairan, selain disebabkan oleh disampaikan kepada Dra. Anna E.W. Manuputty, M.Si.
penyebaran yang relatif sempit, vegetasi perai- selaku koordinator proyek yang telah melibatkan penu-
ran di daerah penelitian umumnya tumbuh dan lis dalam kegiatan tersebut sehingga dapat meman-
berkembang di lingkungan perairan yang keruh. faatkan data hasil penelitian. Ucapan terimakasih juga

Tabel 2. Klasifikasi ekosistem terumbu karang di Pulau Pagai, Kabupaten Mentawai

No. Kelas Komponen mayoritas Komponen minoritas

1 Karang hidup Karang hidup > 50% Karang mati, pecahan karang, vegetasi dan pasir.
2 Karang mati Karang mati > 50% Karang hidup, karang lunak, pecahan karang,
vegetasi dan pasir.
3 Pecahan karang Pecahan karang > 50% Karang hidup, karang lunak, vegetasi dan pasir.
4 Substrat campuran - Karang hidup, karang lunak, karang mati, peca
han karang, vegetasi dan pasir.
5 Pasir Pasir > 50% Karang hidup, karang lunak, karang mati, peca
han karang, vegetasi.

Tabel 3. Luasan ekosistem terumbu karang (dalam satuan ha.) daerah penelitian

No. Kelas Total (ha.) Persen Barat (ha.) Timur (ha.)

1 Karang hidup 9.552 5,50 5.014 4.538


2 Karang mati 27.505 16,6 18.251 9.254
3 Pecahan karang 26.269 15,8 13.517 12.752
4 Substrat campuran 22.539 13,9 15.170 7.369
5 Pasir 63.679 38,3 28.704 34.975
6 Rampart 16.400 9,90 16.400 -

Gambar 3. Regresi linier logaritmik natural dari masing-masing pasangan kanal (kanal 1/ kanal 2, kanal 1
/ kanal 3 dan kanal 2 / kanal 3) dari sampel piksel citra yang terjaring pada pasir di kedalaman
yang berbeda-beda.

102
Aplikasi Citra Satelit Alos Pada Pemetaan Ekosistem Terumbu Karang...Sumatra Barat (Suyarso)

Gambar 4. Peta ekosistem terumbu karang Pulau Pagai, Kabupaten Mentawai. A dan perbesarannya (C)
menunjukkan agregasi karang mati di kedalaman 5 meter di bagian barat, B dan perbesarannya
(D) menunjukkan agregasi karang di lingkungan tubir di bagian timur.

disampaikan kepada Bayu Prayuda, S.Si. dan Y.I. Ulu- nating coral reef zonation: Heron Reef (GBR).
mudin, S.Si, MT yang telah terlibat dalam penelitian la- Int. J. of Remote Sens., 15(13):2583–2597.
pangan dan bantuan diskusi dalam menganalisis data.
Armstrong, R.A. 1993. Remote sensing of sub-
DAFTAR PUSTAKA merged vegetation canopies for biomass esti-
mation. Int. J. of Remote Sens. 14: 621–627.
Ahmad, W. & D. Neil 1994. An evaluation of Land-
sat Thematic Mapper digital data for discrimi- Benfield, S.L, H.M. Guzman, J.M. Mair & J.A.T.

103
Young. 2007. Mapping the distribution of cor- Polynesia. Int. J. of Remote Sens., 17(1): 155–166.
al reefs and associated sublittoral habitats
in Pacific Panama: a comparison of optical Matsunaga, T. & H. Kayanne, 1997. Observation of
satellite sensors and classification method- coral reefs on Ishigaki Island, Japan using Land-
ologies. Int. J. Remote Sens. 28: 5047-5070. sat TM images and aerial photographs, Proceed-
ings of the Fourth International Conference on
Cortes, J. & C.E. Jimenez. 2003. Corals and cor- Remote Sensing for Marine and Coastal Environ-
al reefs of the Pacific of Costa Rica: his- ments, 17–19 March, Orlando, Florida, 1:657–666.
tory, research and status. Latin American
Coral Reefs. In: Cortes, J. (ed.): 361-385. Mishra D, S. Narumalani, D. Rundquist & M. Law-
Elsevier Science, Amsterdam, Netherlands. son 2006. Benthic habitat mapping in tropical
marine environments using QuickBird mul-
Dobson, E. & P. Dustan 2000. The use of satel- tispectral data. Photogrammetric Engineer-
lite imagery for detection of shifts in coral ing & Remote Sensing 72 (9):1037–1048.
reef communities, Proceedings of the Ameri-
can Society for Photogrammetry and Re- Mumby P.J, C.D Clarke, E.P Green & A.J Ed-
mote Sensing Annual Meeting, 22–26, May, wards 1998. Benefits of water column correc-
Washington, D.C., unpaginated CD-ROM. tion and contextual editing for mapping coral
reefs. Int. J. of Remote Sens. 19 (1):203–210
Dustan P., E. Dobson & G. Nelson 2001. Landsat
TM: detection of shifts in community composi- Purkis, S.J. & R. Pasterkamp 2004. Integrating in
tion of coral reefs. Conserv. Biol .15(4):892–902 situ reef-top reflectance spectra with Land-
sat TM imagery to aid shallow-tropical ben-
English S, C. Wilkinson & V. Baker 1997. Survey thic habitat mapping. Coral Reefs 23: 5–20
manual for tropical marine resources. Aus-
tralia of Marine Science, Townsville: 390 p. Spitzer, D., & R.W.J. Dirks 1987, Bottom in-
fluence on the reflectance of the sea.
Fonseca A.C., H. M. Guzman, J. Cortes & C. Soto 2010. Int. J. of Remote Sens. 8(3): 279–290.
Marine habitats map of Isla del Cano Costa Rica,
comparing Quickbird and Hymap images classi- Suciati & I.W Arthana 2008. Study of coral reef
fication results. Int. J. Trop. Biol. 58 (1): 373-381. distribution around Badung Strait using
Alos satellite data. Ecotrophic 3(2):87-91.
Guzman, H.M, C.A. Guevara & O. Breedy 2004.
Distribution, diversity and conservation of
coral reefs and coral communities in the larg-
est marine protected area of Pacific Pana-
ma (Coiba Island). Envir. Conserv. 31: 1-11.

Hochberg E.J, S. Andrefouet & M.R. Tyler 2003.


Sea surface correction of high spatial resolu-
tion Ikonos images to improve bottom map-
ping in near-shore environments. IEEE Trans.
Geosci. Remote Sens. 41(7):1724-1729.

Lilliesand, T.M. & R.W. Kiefer 1994. Remote


sensing and image interpretation. John
Wiley and Sons, Inc. New York, 750 p.

Lyzenga, D.R. 1978. Passive remote sensing tech-


niques for mapping water depth and bot-
tom features. Appl. Opt. 17(3): 379-383.

Lyzenga, D.R. 1981. Remote sensing of bottom re-


flectance and water attenuation parameters
in shallow water using aircraft and Land-
sat data. Int. J. of Remote Sens. 2(1): 71-82.

Maritorena, S. 1996. Remote sensing of the water at-


tenuation in coral reefs: a case study in French

104
Ekstraksi Substrat Dasar Perairan Dangkal....Yang Berkelanjutan (Amri, S.N.)

EKSTRAKSI SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DANGKAL


UNTUK PENGELOLAAN KAWASAN TERUMBU KARANG YANG BERKELANJUTAN

Syahrial Nur Amri1)


1)
Peneliti pada Pusat Penelitian Sumber Daya Laut dan Pesisir, Balitbang Kelautan dan Perikanan - KKP

Diterima tanggal: 19 September 2011; Diterima setelah perbaikan: 11 Oktober 2011; Disetujui terbit tanggal 03 November 2011

ABSTRAK

Terumbu karang dan obyek bawah permukaan perairan dangkal bisa diidentifikasi me-
lalui interpretasi citra satelit. Proses interpretasi didasarkan pada karakteristik objek yang ter-
ekam oleh sensor satelit apabila berinteraksi dengan radiasi elektromagnetik. Respon tersebut
dapat digunakan sebagai petunjuk jenis obyek karena setiap obyek memiliki respon yang spesi-
fik terhadap radiasi elektomagnetik. Penelitian ini menggunakan citra landsat 5 TM untuk iden-
tifikasi substrat dasar perairan dangkal di Pulau Semau. Pengolahan dimulai dengan koreksi
geometrik, koreksi radiometrik, transformasi, penajaman, cropping, klasifikasi, uji lapangan, rekla-
sifikasi dan anotasi. Transformasi citra menggunakan algoritma Lysenga yang diuji dengan hasil
pengecekan lapangan dan komposit warna 421 dan 542, kemudian klasifikasi ulang. Hasil klasifi-
kasi menunjukkan luasan substrat perairan dangkal sekitar 32,264 ha dengan komposisi karang
hidup, lamun/rumput laut, pasir halus, dan karang rusak/rubble. Pemanfaatan lahan perairan dan-
gkal sesuai sebagai kawasan pengembangan budidaya, khususnya pada bagian timur pulau, na-
mun perlu dibuatkan zonasi pemanfaatan agar tidak mengganggu keberadaan terumbu karang.

Kata kunci: Terumbu Karang, Penginderaan Jauh, Pengelolaan Pesisir.

ABSTRACT

Coral reef and under shallow water object can be detected using satellite image interpreta-
tion. The process of interpretation is based on the characteristics of the recorded object by satel-
lite sensors when interact with electromagnetic radiation. This response can be used as a guide
for the type of objects because each object has a specific response to electromagnetic radiation.
This study uses Landsat 5 TM imagery to identify the substrate in the shallow waters of Semau
Island. Data processing is started with rectification, correction of radiometric, transformation, en-
hancement, cropping, classification, ground truth, reclassification and annotation. The transforma-
tion of the imagery used Lysenga algorithm and tested by ground truthing and color composite of
421 and 542 channel, then reclassification. The results show the substrate width of shallow water
was about 32,264 ha with composition of life coral, seagrass/seaweed, sand, and death coral/rubble.
The land use on the shallow water is appropriate for marine culture area, specially on the eastern
part of the island, but it needs to develop an utilization zone to avoid the damage the coral reefs.

Keywords: Coral Reef, Remote Sensing, Coastal Management.

PENDAHULUAN Salah satu potensi tersebut adalah terumbu karang,


yang luasnya sebesar 14% luas terumbu karang dari ke-
Indonesia memiliki garis pantai sekitar 81.000 km seluruhan terumbu karang yang terdapat di dunia den-
dan luas laut sekitar 3,1 juta km2, termasuk hak dan kew- gan meliputi luasan sekitar 50.000 km2 (Priyono, 2007).
ajiban untuk mengeksploitasi dan mengelola kawasan
ekonomi eksklusif dengan ratifikasi Konvensi PBB ten- Indonesia juga merupakan salah satu dari
tang Hukum Laut 1982. Kondisi ini menjadikan Indo- enam negara yang merupakan kawasan segitiga
nesia memiliki keanekaragaman laut terbesar di dunia. terumbu karang dunia (coral triangle). Kawasan ini
Korespondensi Penulis:
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email: sn_amri@yahoo.co.id
105
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 105-110

merupakan habitat dari 75% dari seluruh jenis terum- liput wilayah yang sama secara reguler, resolusi
bu karang, lebih dari 3.000 ikan demersal, tempat tinggi semakin dibutuhkan untuk meningkatkan akur-
bersinggahnya 6 dan 7 jenis penyu laut dan 22 je- asi informasi yang akan diperoleh. Salah satu ci-
nis spesies lainnya. Kawasan ini juga merupakan tra satelit tersebut adalah citra satelit landsat 5 TM.
tempat tinggal lebih dari 100 juta orang yang san-
gat tergantung pada kesuburan terumbu karang di Pulau Semau adalah salah satu pulau yang ter-
wilayah pesisir untuk penghidupan mereka (wikipedia). letak di sebelah barat pantai kupang, dimana aktifitas
Saat ini, tekanan terhadap kawasan ini semakin budidaya rumput laut dan aktifitas antropogenik di da-
besar, tingginya tekanan terhadap eksistensi sumber ratan kupang cukup memberi pengaruh terhadap eksis-
daya wilayah pesisir dan lautan di Indonesia beraki- tensi terumbu karang di kawasan perairan tersebut.
bat terhadap pengrusakan dan penurunan kualitas dan
kuantitas lingkungan, baik sebagian maupun seluruhnya. METODE PENELITIAN

Konsistensi untuk melestarikan sumber daya laut Waktu dan Lokasi


dan pesisir harus terus ditegakkan. Olehnya itu, nilai
keanekaragaman hayati harus dikenali dan dipelajari. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada Juli 2010
Wilayah-wilayah eksosistem harus dikelola dan pola dengan lokasi di perairan laut Pulau Semau dan seki-
penggunaan sumber daya alamnya harus dipertegas. tarnya Propinsi Nusa Tenggara Timur (Gambar 1).
Hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan ci-
mengkaji karakteristik laut dan pesisir wilayah meli-tra satelit landsat 5 TM akuisisi 5 Nopember 2009, yang
puti, pengumpulan data dan informasi. Survei-survei diproses secara sistematis, meliputi langkah-langkah
yang dilakukan harus dapat menentukan keberadaan, standar pengolahan citra satelit, diantaranya rektifi-
distribusi ekosistem, dan potensi sumber daya. kasi (koreksi geometrik), koreksi radiometrik, transfor-
masi citra, enhancement (penajaman citra), cropping
Salah satu metode ekstraksi potensi sumber (pemotongan citra), klasifikasi, ground truthing (uji la-
daya perairan dangkal adalah dengan memanfaat- pangan), reklasifikasi, dan anotasi (Amri, 2010).
kan teknologi penginderaan jauh. Pemanfaatan ci-
tra satelit sangat dibutuhkan karena kelebihan-kele- Pengolahan dan Analisis Data
bihan yang dimiliki, diantaranya luasan cakupan
area yang diliput, kemampuan ekstraksi informasi/ Transformasi citra yang dilakukan untuk mengek-
objek yang lebih dari foto udara, kemampuan me- straksi informasi tutupan dasar perairan pantai dengan

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian.

106
Ekstraksi Substrat Dasar Perairan Dangkal....Yang Berkelanjutan (Amri, S.N.)

Citra Satelit Landsat 5 TM

Langkah Standar
Interpretasi Citra Satelit

Rektifikasi

Koreksi Radiometrik Transformasi Citra

Enhancement

Cropping Komposit Citra RGB Analisis Lysenga


321, 421, 542
321, 421, 542

Training Site
Masking

Perhitungan Nilai Varian Band


1 dan Band 2

Perhitungan Nilai Covarian


Band 1 dan Band 2
Algoritma Lysenga
Perhitungan Nilai a

a=
(var B1 − var B 2)
(2 cov arB1B 2)
Perhitungan Nilai ki/kj

( )
ki / kj = a + a 2 + 1
1/ 2 Klasifikasi Tak Terselia

Ground Truth Uji Ketelitian

Re-Klasifikasi

Anotasi

Gambar 2. Diagram Alir Pengolahan Citra dengan Algoritma Lysenga.

memanfaatkan hasil interpretasi citra satelit adalah dengan untuk lebih menonjolkan obyek dasar perairan dangkal,
memanfaatkan teknik penajaman terumbu karang dengan maka dilakukan penggabungan secara logaritma natural
algoritma Lysenga. Metode ini dikembangkan oleh Siregar dua sinar tampak yaitu, kanal 1 dan kanal 2, kombinasi
(1995) diacu dalam Wouthuyzen (2001) yang didasarkan logaritma natural ini akan menghasilkan informasi kanal
pada persamaan Lysenga (1978) yaitu standard exponen- baru. Untuk lebih jelasnya, diagram alir pengolahan citra
tial attenuation model. Selanjutnya dikemukakan bahwa dengan algoritma Lysenga disajikan dalam Gambar 2.

107
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 105-110
HASIL DAN PEMBAHASAN
Langkah Transformasi Citra dengan Algoritma Ly-
senga Interpretasi Citra Satelit

Adapun langkah transformasi citra dengan menggu- Klasifikasi citra satelit dilakukan dengan
nakan algoritma Lysenga adalah sebagai berikut: cara tak terselia (unsupervised), dimana hal terse-
1. Pemisahan daratan dan perairan (masking); pe- but dilakukan karena objek di bawah dasar perai-
misahan tersebut dilakukan dengan menentukan ran dangkal pada lokasi penelitian belum ada in-
batas nilai pixel darat dan laut dengan menggu- formasi yang cukup. Proses klasifikasi dilakukan
nakan band 4 sebagai acuan. dengan menggunakan algoritma Lysenga. Ber-
2. Penentuan variabel ki/kj; penentuan nilai ki/kj dasarkan pada hasil klasifikasi dengan algoritma Ly-
menggunakan komposit RGB 321. Kombinasi senga diperoleh 6 (enam) kelas kumpulan nilai digital.
band ini cukup baik dalam menampilkan visual
obyek dasar perairan dangkal, sehingga memu- Penetapan objek dasar perairan dangkal
dahkan dalam proses training site. menurut gradasi warna sebagai respon spektral
3. Training site; training site dilakukan untuk mengek- gelombang elektromagnetik pada masing-masing
straksi sebanyak mungkin nilai-nilai piksel yang objek dasar perairan selain diperoleh melalui anali-
berada di wilayah perairan dangkal. sis algoritma Lysenga, juga diuji dengan komposit
4. Perhitungan variabel a dan ki/kj; perhitungan ini di- warna citra satelit channel 421 dan 542 (Gambar 3).
lakukan untuk menghitung nilai rata-rata tiap train-
ing site dari band 1 dan band 2, menghitung nilai Hasil ekstraksi warna spektral dari objek-
variansi band 1 dan band 2, covariansi band 1 dan objek dasar perairan dangkal yang teridentifikasi
band 2. Persamaan yang digunakan untuk men- kemudian diuji melalui ground truthing (uji lapan-
cari nilai a adalah: gan). Proses pengujian dilakukan dengan menetap-
kan beberapa objek warna beserta masing-masing
a=
(var B1 − var B2) ............................. 1) koordinat lokasinya, yang kemudian dibawa ke la-
(2 cov arB1B2) pangan untuk dicek jenis substratnya sekaligus uji
pembenaran terhadap hasil analisis citra satelit.

Persamaan yang digunakan untuk mencari nilai ki/kj Setelah pengujian lapangan, kemudian di-
adalah: lakukan reklasifikasi untuk menetapkan nama je-
nis subtrat dasar perairan dangkal pada mas-
.................................. 2) ing-masing gradasi warna yang telah diperoleh
sebelumnya pada saat klasifikasi (Gambar 4).
Sedangkan persamaan Lysenga adalah:
Distribusi dan Luasan
............................ 3)
Hasil analisis menunjukkan tipe terumbu karang

Gambar 3. Ekstraksi substrat dasar perairan dengan analisis Lysenga (a), Komposit Warna 421 dan 542 seb-
agai acuan (b) (c).

108
Ekstraksi Substrat Dasar Perairan Dangkal....Yang Berkelanjutan (Amri, S.N.)

Gambar 4. Hasil Reklasifikasi Sebaran Substrat Dasar Perairan Dangkal Pulau Semau NTT.

Gambar 5. Kondisi Terumbu Karang pada Wilayah Perairan Dangkal Pulau Semau NTT.

yang membentuk morfologi dasar perairan dangkal Pu-


lau Semau adalah terumbu karang batu tepi (fringing Berdasarkan pada persentase luasan tersebut,
reef). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang kondisi terumbu karang pada lokasi penelitian masih
dilakukan oleh Bappeda Propinsi NTT pada 2007, yang menunjukkan kondisi yang cukup baik (26,68%), na-
menyatakan bahwa tipe terumbu karang yang tersebar mun perlu mendapatkan perhatian serius disebab-
di sepanjang pantai di propinsi Nusa Tenggara Timur kan luasan terumbu karang yang rusak juga sangat
adalah terumbu karang tepi (fringing reef). Terumbu besar. Dengan wilayah dangkalan yang tidak ter-
karang tipe ini berkembang di sepanjang tepi pantai lalu luas (32,264 ha), tentunya tanpa pengelolaan
dengan + 300 meter dari garis pantai dengan kedala- dan perlindungan yang optimal, kawasan karang
man sekitar 1 – 15 meter. Terumbu karang ini tumbuh hidup akan semakin sempit bahkan akan hilang.
ke atas dan ke arah laut. Sebagai terumbu karang pan-
tai yang dangkal dan banyak dipengaruhi oleh keadaan Dari hasil pengukuran langsung di lapangan
pasang surut air laut dan gelombang, maka habitat ini
(reef check), perairan Semau pada Site I didominasi
memiliki kondisi lingkungan yang sangat bervariasi.
oleh Acropora Branching (ACB) sedangkan pada
site II didominasi oleh bentuk pertumbuhan Acropora
Luasan masing-masing substrat dasar per- Tabulate (ACT). Bentuk pertumbuhan ini mengindika-
airan dangkal adalah: Karang hidup (8,607 sikan tingkat kesuburan dan keamanan terumbu ka-
ha/26,68%), Lamun/Rumput laut (2,888 rang pada kawasan ini, hal ini dimungkinkan karena
ha/8,95%), Pasir Halus (9,729 ha/30,15%), Pa- di tempat ini sudah tidak terjadi lagi pemboman ikan
sir kasar/rubble/karang mati (11,040 ha/34,22%). selama kurang lebih 7 tahun, kemudian lokasi perai-

109
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 105-110
ran ini berada di sebelah selatan pulau dimana kon- Sumber daya Alam Pesisir di Kabupaten Sum-
disi arusnya cukup deras sehingga tidak banyak ak- ba Timur, Manggarai Barat, Belu dan Alor.
tifitas nelayan yang berlabuh jangkar (Gambar 5).
http://en.wikipedia.org/wiki/Coral_
Arahan Strategis Pengelolaan Berkelanjutan Triangle#Biodiversity. Diakses Tang-
gal 5 Desember 2011 pukul 10.35 PM
Kawasan perairan Semau khususnya yang
berhadapan langsung dengan Pantai Tablolong Ka- Priyono, J. 2007. Pemetaan Terumbu Karang dengan
bupaten Kupang merupakan kawasan yang sangat Satelit Sumber daya Alam. Sutikno Org. Edition
strategis untuk budidaya rumput laut. Hal ini dimung- of Monday, 24 September 2007. Available from:
kinkan karena morfologi kawasan perairan ini mem- http://www.sutikno.org /index.php?option=com_
bentuk selat, sehingga pengaruh arus dan gelombang content&task=view&id=48& Itemid=47
bisa minimal pada kawasan ini. Namun sangat pent-
ing dilakukan zonasi spasial pada kawasan perairan Wouthuyzen, S. 2001. Pemetaan perairan Dangkal
laut Pulau Semau, khususnya di selat Semau yang dengan Menggunakan Citra Satelit 5 Landsat TM
menjadi lokasi budidaya rumput laut, sebab kondisi Guna dipakai dalam Penggunaan Potensi Ikan
terumbu karang di kawasan ini masih cukup baik. La- Karang: Suatu Studi di Pulau-pulau Padaido.
han budidaya rumput laut jangan pada wilayah tum- Seminar Sehari: Potensi dan Eksploitasi Sumber
buh kembang terumbu karang, tetapi pada wilayah daya Alam Nasional Dalam Mendukung Otono-
dengan substrat pasir. Demikian pula dengan lokasi mi Daerah. Tanggal 29 Maret 2001. Jakarta
substrat karang rusak, agar upaya rehabilitasi bias
berjalan optimal, sebaiknya tidak pula dijadikan ka-
wasan budidaya laut/rumput laut. Dari hasil anali-
sis citra satelit, luasan lahan yang berpotensi untuk
pengembangan budidaya rumput laut di sepanjang
perairan dangkal Pulau Semau sekitar 20 ha dan bisa
lebih luas lagi pada wilayah perairan yang lebih dalam.

KESIMPULAN

Tipe terumbu karang yang membentuk mor-


fologi dasar perairan dangkal Pulau Semau adalah
terumbu karang batu tepi (fringing reef). Luas kes-
eluruhan substrat dasar perairan dangkal di lokasi
penelitian adalah 32.264 ha dengan komposisi lua-
san masing-masing, diantaranya Karang hidup (8.607
ha/26,68%), Lamun/Rumput laut (2.888 ha/8,95%),
Pasir Halus (9.729 ha/30,15%), Pasir kasar/rubble/
karang mati (11.040 ha/34,22%). Pemanfaatan lahan
perairan dangkal sesuai sebagai kawasan pengem-
bangan budidaya, khususnya pada bagian timur pu-
lau, namun perlu dibuatkan zonasi pemanfaatan
agar tidak mengganggu keberadaan terumbu karang.

PERSANTUNAN

Penelitian ini dibiayai oleh DIPA Puslitbang Sum-


berdaya Laut dan Pesisir Tahun Anggaran 2010. Uca-
pan terima kasih diperuntukkan bagi Dr. Budi Sulistiyo
(Kepala Puslitbang Sumberdaya Laut dan Pesisir) dan
Prof. Dr. Dietrich G. Bengen, DEA.

DAFTAR PUSTAKA

Amri, SN. 2010. Kerapatan Vegetasi Mangrove Pu-


lau Pannikiang Kabupaten Barru Propinsi Su-
lawesi Selatan. Jurnal Segara Volume 6 No. 2.

Bappeda Propinsi NTT, 2007. Identifikasi Potensi

110
Kondisi ekosistem mangrove pasca tsunami di Pesisir Teluk Loh Pria Laot (Purbani, D., et al.)

KONDISI EKOSISTEM MANGROVE PASCA TSUNAMI


DI PESISIR TELUK LOH PRIA LAOT
D. Purbani1)2) , M. Boer3) , Marimin4) , I W.Nurjaya5) & F. Yulianda6)
1)
Mahasiswa Program Studi SPL, Sekolah Pascasarjana - Institut Pertanian Bogor
Peneliti pada Pusat Penelitian Sumber Daya Laut dan Pesisir, Balitbang Kelautan dan Perikanan - KKP
2)

3)
Guru Besar Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - Institut Pertanian Bogor
4)
Guru Besar Departemen Teknologi Industri, Fakultas Teknologi Pertanian - Institut Pertanian Bogor
5)
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan , IPB
6)
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor

Diterima tanggal: 28 Oktober 2011; Diterima setelah perbaikan: 15 November 2011; Disetujui terbit tanggal: 30 November 2011

ABSTRAK

Gempabumi berkekuatan 9,0-9,3 MW yang diikuti tsunami mengakibatkan kerusakaan infra-


struktur dan ekosistem mangrove di pesisir timur Pulau Weh. Kerusakan ekosistem mangrove rusak
parah, lokasi kerusakan: 1. Pantai Taman Wisata Alam Alur Paneh, 2. Pantai Teluk Boih, 3. Pantai
Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1. 4. Pantai Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b, 5. Pantai Lhok Weng 3/Teupin
Layeu 1, 6. Pantai Lhut 1. 7. Pantai Lhut 2 dan 8. Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong. Jenis kerusakan
antara lain; patah, tumbang, tercabut dari akarnya dan hanyut. Kerusakan ekosistem mangrove dise-
babkan karena tinggi gelombang datang 5 meter dan tidak ada bukit pasir sebagai pelindung pantai.
Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran transek kuadrat dengan ulangan tiga kali dan pengambilan
sampel tanah di sekitar ekosistem mangrove, sisi luar yang berbatasan dengan garis pantai dan di arah
pedalaman yang berbatasan dengan batas ekosistem mangrove. Hasil pengukuran transek kuadrat
digunakan untuk mendapatkan Indeks Nilai Penting (INP) dan tingkat keberlanjutan hidup. Kerapatan
maksimal ekosistem mangrove jumlah pohon adalah 17 pohon per 100 m2 dan ketebalan maksimal
238 m berada di Pantai Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2. Hasil olahan dari tingkat keberlanjutan hidup
digunakan untuk menentukan jumlah anakan dan pohon yang diperlukan dalam rehabilitasi. Rehabili-
tasi mangrove menurut panjang pantai, kerapatan, ketebalan dan tingkat keberlanjutan hidup. Jenis
spesies yang digunakan untuk penanaman kembali adalah spesies Rhizopora apiculata dan spesies
Rhizopora stylosa di lokasi yang sesuai dengan jenis tanah pasir berlempung dan lempung berpasir.

Kata kunci: Ekosistem mangrove, Indeks nilai penting, Tingkat kelangsungan hidup, rehabili-
tasi mangrove, Pulau Weh.

ABSTRACT

Earthquake of magnitude 9.0-9.3 MW, followed by a tsunami resulted a damage of infrastructure


and mangrove ecosystems on the east coast of Weh Island. The damage of mangrove ecosystems
was severe, and the locations are: 1. Pantai Taman Wisata Alam Alur Paneh; 2. Pantai Teluk Boih; 3.
Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1; 4. Pantai Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b; 5.Pantai Lhok Weng
3/Teupin Layeu 1; 6. Pantai Lhut 1; 7. Pantai Lhut 2; and 8. Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong. This type
of damage, among others is : broken, fallen, uprooted and swept away. Mangrove ecosystem damage
was caused by the incident run up of 5 meters and there no sandy hills protecting the coast. In this
study the measurement transect square was made with three replications and soil sampling around
the mangrove ecosystem, the outer side adjacent to the coastline and the inland boundary bordering
the mangrove ecosystem. The measurement of transect quadrant was used to get Importance Value
Index (IVI) and Survival Rate. Maximum density of mangrove ecosystems number of trees is 17 trees
per 100m2 and a maximum thickness of 238 m is located at Pantai LhokWeng3/TeupinLayeu2. The
process from the level of Survival rate was used to determine the number of saplings and trees that
are needed in rehabilitation. The rehabilitation of coastal mangroves is based on the length, density,
thickness and survival rate. Types of species that are used for replanting are Rhizophora apiculata and
Rhizophora stylosa species at a location that matches the type of clay sand-soil and sandy clay-soil.

Keywords: Ecosystem mangrove, importance value index, survival rate, mangrove rehabilita-
tion, Weh Island.
Korespondensi Penulis:
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email: diniwilnon@gmail.com
111
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 111-117

PENDAHULUAN Mangrove berperan sebagai pelindung pantai


dari abrasi, siklon dan tsunami. Faktor yang menen-
Bencana gempabumi dengan kekuatan 9,0-9,3 tukan mangrove dapat mereduksi tsunami: i). keteba-
MW yang diikuti dengan tsunami yang terjadi pada 26 lan hutan, ii). kemiringan hutan, iii). kerapatan pohon,
Desember 2004 mengakibatkan kerusakan infrasturk- iv). diameter pohon, v). proporsi biomassa di atas
tur dan ekosistem mangrove di pesisir timur Pulau Weh permukaan tanah yang terdapat di akar, vi). tinggi
khususnya di Teluk Loh Pria Laot seperti Pulau Rubiah, pohon, vii). tekstur tanah, viii). lokasi hutan apakah
Pantai Iboih, Pantai Teupin Layeu, Pantai Lhut dan berada di teluk, di pesisir , ix). tipe vegetasi dataran
Pantai Lam Nibong. Menurut saksi mata warga Pulau rendah yang berdekatan dengan hutan mangrove,
Rubiah mendiskripsikan tsunami terjadi sebanyak 5 x). keberadaan habitat tepi pantai (padang rumput
(lima) kali, gelombang 1 (pertama) hingga ke 3 (tiga) padang lamun, terumbu karang dan bukit, xi). uku-
berlangsung cukup lama sekitar 15 (lima belas ) menit, ran dan kecepatan tsunami, xii). jarak dari kejadian
gelombang ke 4 (empat) dan ke 5 (l ima) berlangsung tektonik, dan 13. sudut datang tsunami yang relatif
singkat. Tinggi gelombang datang (run up) sekitar 2 -5 terhadap garis pantai (Alongi, 2005). Pendapat lain
meter yang menerjang pesisir pantai Iboih dan Pulau dari Shutto 1993 menjelaskan tsunami dapat dire-
Rubiah, kejadian tsunami berlangsung pagi hari jam 8 dam oleh hutan pantai tergantung pada diameter po-
(delapan) pagi waktu setempat. Tampak pada Gam- hon dan kedalaman inundasi/ penggenangan. Wata-
bar 1 akibat dar tsunami beberapa rumah warga rusak, nabe, (1995). dan Imai & Suzuki (2005) menemukan
kerusakan ekosistem mangrove di Pantai Lhut, tam- kekuatan hutan pantai terhadap tsunami dari kekua-
bak rakyat di Teluk Boih rusak dan beberapa bunga- tan lentur dan diameter batang pohon. Yanagisawa et
low/tempat penginapan di Pantai Lhok Weng 2/Teupin al. (2009) mengutarakan mangrove dapat mereduksi
Layeu 1 rusak. Jenis kerusakan ekosistem mangrove tsunami tergantung dari jenis species, arah inundasi
secara umum terbagi 5 macam: 1. pohon mangrove pa- dan kedalaman inundasi. Mangrove dapat mereduksi
tah dan yang tertinggal akar dan batang, 2. pohon mir- tsunami dengan ketebalan mangrove 1,5 km maka
ing, 3. tumbang, 4. tercabut dari akarnya dan 5. hilang tinggi gelombang dapat direduksi pada laut terbuka
karena erosi akibat tsunami (Yanagisawa et al., 2009). sebesar 1 m sedangkan di pantai menjadi 0,05 m

Gambar 1. a). Kerusakan ekosistem mangrove lokasi Pantai Lhut 1, b). Rumah terkena gempabumi dan
tsunami lokasi Pantai Lhut, c) Tambak rakyat di Teluk Boih terbengkalai akibat tsunami, d) Pon-
dok penginapan/ bungalow rusak terkena tsunami, lokasi Lhok Weng2.

112
Kondisi ekosistem mangrove pasca tsunami di Pesisir Teluk Loh Pria Laot (Purbani, D., et al.)

(Kathiresan & Rajendra, 2005). Jenis spesies Rhizo-


pora lebih resisten terhadap tsunami karena batang- Penelitian ini bertujuan untuk:
nya tebal dan tidak mudah tumbang, dibandingkan 1). memetakan lokasi ekosistem mangrove yang
Avicennia, Sonneratia alba dan Bruguiera yang mudah rusak karena tsunami; 2). menghitung Indeks Ni-
tercabut dari akarnya (http://ocw.unu.edu/international- lai Penting (INP) dan Tingkat Kelangsungan Hidup
network-on-water-environment-and-health/unu-inweh- (Survival Rate dari masing-masing lokasi ekosistem
course-1-mangroves/Importance-of-mangroves.pdf). mangrove; dan 3). penanaman kembali (replanting)
dari ekosistem mangrove yang rusak karena tsunami.
Namun mangrove dapat hancur oleh tsunami
yang kuat. Jika tinggi gelombang datang melebihi Diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk:
4 m, mangrove dapat tercabut dari akarnya, men- i). mengetahui lokasi ekosistem mangrove
gakibatkan debris yang menimbulkan bencana yang rentan akan tsunami; ii). mengetahui spe-
kedua. Peran mangrove dalam mereduksi tsunami cies yang dominan di lokasi penelitian; iii). men-
tergantung pada beberapa faktor seperti ketebalan, getahui jumlah anakan dan pohon yang diper-
dan kerapatan serta panjang gelombang dan peri- lukan dalam penanaman kembali (replanting).
ode tsunami permukaan topografi (Imamura, 1995).

Tabel 1. Jenis data biof sik yang digunakan dalam penelitian.

Komponen Biofisik Metode


Pengumpulan Data Sumber Data Alat/bahan yang digunakan

Komponen Biologi
Mangrove (Spesies) Transek Kuadran Insitu, Laporan Meteran, GPS, Daftar Isian
Penelitian
Komponen Fisik
Sampel tanah mangrove Observasi Insitu, analisis Lab. GPS, Daftar Isian,
kantong plastik

Gambar 2. Peta Lokasi Pengambilan Sampel.

113
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 111-117
METODE PENELITIAN mai, anakan dan pohon. Lokasi pengamatan: Pantai Ta-
man Wisata Alam (TWA) Alur Paneh, Pantai Lhok Weng
Penelitian dilakukan di Pulau Weh antara 15 No- 2/Teupin Layeu 1, Pantai Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2,
vember 2009 – 9 November 2011 di wilayah administra- Pantai Lhut 1, Pantai Lhut 2 dan Pantai Lhok Weng 1/
tif Kecamatan Sukakarya. Secara administratif lokasi Lam Nibong (Gambar 2). Sedangkan lokasi pengambi-
penelitian berada pada posisi 05o 50’ - 05o 54’ Lintang lan sampel tanah dilakukan di tiga tempat yaitu di sisi
Utara dan 95o 14’ - 95o 17’ Bujur Timur. Batas wilayah luar yang berbatasan dengan garis pantai, di dalam
penelitian mencakup: Selat Malaka (Utara-Timur), Keca- ekosistem mangrove dan pedalaman yang berbatasan
matan Sukajaya (Barat) dan Samudera Hindia (Selatan). dengan batas akhir dari hutan mangrove/hinter land.

Dalam penelitian ini dilakukan pengambilan data Pengambilan contoh ekosistem mangrove secara
primer biofisik (Tabel 1). Pengambilan data ekosistem ekologis dibedakan ke dalam stadium pertumbuhan
mangrove dilakukan ulangan tiga kali pada kategori se- semai, anakan dan pohon. Pada setiap transek diletak-

10 m

B B
C C
10 m A A Arah jalur
A A

B C B C

A : Petak pengukuran kategori semai. Petak contoh (1x1) m2 dengan diamter < 2 cm
B : Petak pengukuran kategori anakan. Petak contoh (5 X 5) m2 dengan diameter 2-10 cm
C : Petak pengukuran kategori pohon. Petak contoh (10 X 10) meter2 dengan diameter > 10 cm

Gambar 2. Desain unit contoh pengamatan vegetasi di lapangan dengan metode jalur.
Sumber: Bakosurtanal 2011.

kan secara acak petak-petak contoh (plot) yang ditem-


patkan di sepanjang garis transek, jarak antar kuadrat Dimana:IVi = Indeks nilai penting, RDi = Jumlah nilai
ditetapkan secara sistematis terutama menurut per- kerapatan relatif jenis; Fi = Frekuensi relatif jenis; RCi
bedaan struktur vegatasi. Kelompok semai berukuran = Penutupan relatif jenis.
petak 1x1 m2 (A) yang ditempatkan pada petak kelom-
pok semai (diameter <2 cm). Kelompok anakan petak Setelah diketahui Indeks Nilai Penting kemudian
berukuran 5x5 m2 (B) yang ditempatkan pada petak dihitung tingkat kelangsungan hidup (survival rate)
kelompok anakan (diameter 2-10 cm) dan kelompok (Jopp et al., 2011) agar dapat diketahui jumlah anakan
pohon petak merupakan pohon dewasa berukuran 10 yang diperlu-kan dari setiap lokasi penelitian, berikut
x10 m2 (C) yang ditempatkan pada petak kelompok po- adalah formula survival rate:
hon (diameter > 10 cm). Pada setiap petak contoh di-
lakukan determinasi setiap jenis tumbuhan mangrove
yang ada, dihitung induvidu tiap jenis, dan ukuran
...............................2)
lingkar batang setiap pohon mangrove yang ada, pa-
rameter lingkungan (suhu, salinitas, DO dan pH), tipe
substrat, dampak kegiatan manusia pada setiap sta- Dimana:SR = Tingkat Keberlanjutan Hidup/Survival
siun (Bengen, 2001) diilustrasikan pada (Gambar 2). rate; D po-hon = densitas pohon (individu/Ha); D
anakan = densitas anakan (individu/ha).
Pengenalan spesies mangrove meng-
gunakan panduan (Kusmana, 2005). Perhitun- Pengambilan sampel tanah mangrove tanah ber-
gan berikutnya mencari Indeks Nilai Penting tujuan untuk mengetahui penyebaran spesies man-
(Bengen, 2001) di setiap ekosistem mangrove grove yang tumbuh di garis pantai hingga yang tumbuh
yang bertujuan untuk mengetahui jenis species jauh ke pedalaman yang masih dipengaruhi pasang
yang dominan, adapun formula sebagai berikut: surut (Putra et al, 2010). Pengolahan sampel tanah
mangrove dianalisis di Lab Tanah IPB dan dilakukan
IVi = RDi + RFi + RCi .............................................1) pemberian nama tekstur tanah dengan menggunakan

114
Kondisi ekosistem mangrove pasca tsunami di Pesisir Teluk Loh Pria Laot (Purbani, D., et al.)

segi tiga milar (Brower et al., 1998). kategori semai, anakan dan pohon didominasi oleh
spesies Rhizopora apiculata; 5). Pantai Lhok Weng2/
HASIL DAN PEMBAHASAN Teupin Layeu 1 kategori semai, anakan dan pohon spe-
sies Rhizopora apiculata; dan 6). Pantai Lhok Weng
Indeks nilai penting, Tingkat kelangsungan hidup 3/Teupin Layeu 2 kategori semai, anakan dan pohon
dan Jenis tanah spesies Rhizopora apiculata.

Ekosistem mangrove terdiri atas 6 lokasi: 1). Pan- Hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) Kat-
tai Lhut 1 didominasi kategori semai spesies Rhizopora egori Pohon di setiap ekosistem mangrove sebagai
apiculata; 2). Pantai Lhut 2 kategori semai. anakan dan berikut; Pantai Lhut 2 spesies Rhizopora stylosa 231
pohon spesies Rhizopora stylosa; 3). Pantai TWA Alur individu/ha, Pantai Taman Wisata Alam (TWA) Alur
Paneh kategori semai, anakan dan pohon spesies Rhi- Paneh spesies Rhizopora stylosa 77,169 individu/ha,
zopora apiculata; 4). Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong Lhok Weng 1/Lam Nibong spesies Rhizopora apicula-

Tabel 2. Jenis tanah di setiap lokasi penelitian.

No Lokasi Sampel Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Jenis Tanah

1 Pantai Lhut Dalam 77,94 21,18 0,88 Pasir Berlempung


2 Pantai Lhut Hinter Land 56,32 30,53 13,15 Lempung Berpasir
3 Pantai Lhut Sisi Kanan/Luar 70,94 19,61 9,45 Lempung Berpasir
4 TWA Arus Paneh Dalam 73,78 24,03 2,19 Pasir Berlempung
5 TWA Arus Paneh Hinter Land 85,54 13,29 1,17 Pasir Berlempung
6 TWA Arus Panen Luar 85,32 13,42 1,26 Pasir Berlempung
7 Lhok Weng Dalam 1 83,18 16,46 0,36 Pasir Berlempung
8 Lhok Weng Hinter Land 1 80,48 15,01 4,51 Pasir Berlempung
9 Lhok Weng Kiri/Kanan 86,34 13,05 0,61 Pasir Berlempung
10 Lhok Weng Dalam 2 85,17 12,33 2,50 Pasir Berlempung
11 Lhok Weng Hinter Land 2 72,09 19,69 8,22 Lempung Berpasir
12 Lhok Weng 2 Sisi Barat 74,60 20,46 4,94 Lempung Berpasir
13 Lhok Weng Dalam 3 85,75 10,58 3,67 Pasir Berlempung
14 Lhok Weng Hinter Land 3 75,26 18,73 6,01 Lempung Berpasir

Gambar 3. Peta Ekosistem Mangrove.

115
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 111-117
ta 128,0791 individu/ha, Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1 berlempung dan lempung berpasir. Jenis tanah yang
spesies Rhizopora apiculata 156,801 individu/ha, Lhok paling dominan adalah pasir berlempung yang sesuai
Weng 3/Teupin Layeu 2 spesies Rhizopora apiculata untuk pertumbuhan spesies Rhizopora, hasil analisis
199,8 individu/ha. Pengukuran juga dilakukan terha- tertera dalam Tabel 2.
dap Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate) dari
kategori Anakan ke Pohon di lokasi Pantai Lhut 2 spe- Jumlah anakan dan pohon untuk rehabilitasi
cies Rhizopora stylosa 9,19 %, Pantai Taman Wisata
Alam (TWA) Alur Paneh spesies Rhizopora apiculata Hasil pengamatan di lapangan kerapatan eko-
100 %, Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong species Rhi- sistem mangrove di setiap lokasi sebagai berikut:
zopora apiculata 72,22 %, Pantai Lhok Weng 2/Teupin 1).Pantai TWA Alur Paneh (8 pohon per 100 m2 ); 2)
Layeu 1 spesies Rhizopora apiculata 100 % dan Pan- Pantai Teluk Boih (8 pohon per 100 m2 ) ; 3). Pantai
tai Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2 spesies Rhizopora Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1 (14 pohon per m2); 4)
apiculata 91,67 %. Pantai Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b (14 pohon per
m2) ; 5). Pantai Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2 (17 po-
Pengambilan contoh tanah dianalisis dan ditentu- hon per 100 m2), 6). Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong
kan jenis tanah. Komposisi tanah bervariasi dari pasir (13 pohn per 100 m2) dan 7). Pantai Lhut 2 (9 pohon

Tabel 3. Jumlah vegetasi mangrove yang diperlukan dalam upaya strategi mitigasi.

No Lokasi Luas (ha) Spesies Jumlah Jumlah


anakan pohon

1. Pantai Lhut 2 13,05 Rhizopora stylosa 16.425.758 1.510.110


2. TWA Alur Paneh 10,10 Rhizopora apiculata 931.770 931.770
3. Teluk Boih 5,77 Rhizopora apiculata 843.030 843.030
4. Lhok Weng 1/Lam Nibong 8,64 Rhizopora apiculata 1.292.340 553.860
5. Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1 5,61 Rhizopora apiculata 765.000 765.000
6. Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b 1,41 Rhizopora apiculata 99.450 99.450
7. Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2 30,25 Rhizopora apiculata 2.717.280 2.490.840

per 100 m2). (Gambar 3). Hasil pengukuran lapangan Tabel 3 menunjukkan jumlah vegetasi yang diperlukan.
diperoleh bahwa nilai kerapatan maksimum 17 pohon
per 100 m2 berada di Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2. Kejadian tsunami yang terjadi di Pulau Weh
Ketebalan ekosistem mangrove: i). TWA Alur Paneh tinggi gelombang datang dengan ketinggian 2-5 m
(171,78 m); ii) Pantai Teluk Boih (178,88 m); iii). Lhok mengakibatkan ekosistem mangrove rusak, seba-
Weng 2/Teupin Layeu 1 (104,21 m); iv) Lhok Weng 2b/ gian besar tercabut dari akarnya seperti yang ter-
Teupin Layeu 1b (145,49 m); v). Lhok Weng 3/Teu- jadi di Pantai Lhut 1, tidak ada kategori anakan
pin Layeu 2 (238,73 m); vi). Lhok Weng 1/Lam Nibong dan pohon semua kategori semai. Hal ini sesuai
(50, 91 m) dan vii). Pantai Lhut 2: (99,53 m). Dari dengan hasil penelitian Shuto (1987) bahwa eko-
hasil lapangan nilai kerapatan dan ketebalan yang sistem mangrove tidak memberikan atau hanya se-
maksimal berada di Lhok Weng 3/Teupin Layeue 2. dikit efek mitigasi terhadap tinggi gelombang datang
(run up) dengan ketinggian lebih dari lima meter.
Jumlah pohon dan anakan yang diperlukan un-
tuk rehabilitasi ditentukan dari: 1) Panjang garis pan- Namun terdapat lokasi yang tidak terlalu parah
tai; 2). Ketebalan ekosistem mangrove ke arah laut; yaitu di Taman Wisata Alam (TWA) Alur Paneh keru-
dan 3). Kerapatan ekosistem mangrove. Ketebalan sakan relatif kecil karena ekosistem mangrove
ekosistem mangrove ke arah laut sejauh 102 m dan berada dibelakan bukit pasir, kejadian ini berkai-
kerapatan yang digunakan untuk rehabilitasi sebe- tan dengan hasil kajian Yanagisawa et al. (2009).
sar 15 pohon per 100 m2 atau 1.500 pohon per ha.
Nilai ini diperoleh dari perbandingan antara kerapa-
tan mangrove dengan wilayah yang rentan tsunami. KESIMPULAN DAN SARAN

Hal ini berarti di setiap ekosistem mangrove me- 1. Kerusakan ekosistem mangrove yang tinggi
merlukan jumlah anakan yang berbeda-beda disesuai- akibat bencana tsunami di Pulau Weh
kan dengan panjang garis pantai dan tingkat kelangsun- terjadi di: i). Teluk Boih; ii). Pantai Lhok
gan hidup (survival rate) dari setiap ekosistem mangrove. Weng 2/Teupin Layeu 1; iii). Pantai Lhok

116
Kondisi ekosistem mangrove pasca tsunami di Pesisir Teluk Loh Pria Laot (Purbani, D., et al.)

Weng 2b/Teupin Layeu 1b; iv). Pantai Lhok Bengen, D.G. 2001. Pengenalan dan Pengelolaan
Weng 3/Teupin Layeu 2; v). Pantai Lhut; Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya
dan vi). Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong. Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
2. Jenis Rhizopora apiculata memiliki per-
anan yang paling penting dalam pem- Brower, J.E., J.H.Zar, & Carl N von Ende. 1998.
bentukan ekosistem mangrove dan me- Field and Laboratory Methods for Gen-
miliki kelangsungan hidup yang tinggi. eral Ecology. Fourt Edition. Mc Graw Hill.
3. Upaya memperbaiki habitat ekosistem man-
grove guna mereduksi tinggi gelombang http://ocw.unu.edu/international-network-on-water-
tsunami dengan dilakukan dengan penana- environment-and-health/unu-inweh-course-
man kembali vegetasi mangrove di lokasi 1-mangroves/Importance-of-mangroves.pdf
ekosistem mangrove: 1). Pantai Lhut 1 dan
2 spesies Rhizopora stylosa dengan jumlah Imai, K, & A, Suzuki. 2005. A Method based on
anakan 16.425.758, jumlah pohon 1.510.110; the pipe model for estimating the surface
2). TWA Alur Paneh spesies Rhizopora sty- area and volume of coastal forest trees, and
losa jumlah anakan 931.770 jumlah pohon their lodging resistance. The Annual Jour-
931.770; 3). Teluk Boih spesies Rhizopora nal of Hydraulic Engineering 49: 859–864
stylosa jumlah anakan 843.030, jumlah pohon
843.030; 4). Lhok Weng 1 spesies Rhizopora Imamura, F., 1995. Review of tsunami simulation
apiculata jumlah anakan 1.292.340, jumlah with a finite difference method. In:Long-wave
pohon 553.860; 5). Lhok Weng 2 spesies Run-up Models. World Scientific, pp. 25–42
Rhizopora apiculata jumlah anakan 765.000,
jumlah pohon 765.000; 6). Lhok Weng 2b/Te- Jopp, F., H. Reuter, & Bm Breckling. 2011. Mod-
upin Layeu 1b jumlah anakan 99.450, jumlah elling Complex Ecological Dynamics into
pohon 99.450; dan 7). Lhok Weng 3/Teupin Ecological Modelling for Student, Teach-
Layeu 2 spesies Rhizopora apiculata jumlah er & Scientists. Springer-Verlag Berlin.
anakan 2.717.280 jumlah pohon 2.490.840.
Kathiresa, N, & N. Rajendran. 2005. Coastal
SARAN mangrove forest mitigated tsunami. Estua-
rin. Coastal and Shelf Science 65: 601-606.
1. Pengamatan ekosistem mangrove bersi-
fat umum, perlu dilakukan penelitian bersi- Kusmana, C., Wilarso,S., Hilwan, I.,Pamoengkas, P.,
fat detail terhadap struktur komunitas Wibowo, C., Tiryana, T., Triswanto, A., Yunasfi,
mangrove di lokasi ekosistem mangrove. & Hamzah. 2005. Teknik Rehabilitasi Mangrove.
2. Apabila penanaman mangrove tidak Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor
dapat dilakukan di lokasi maka sebagai
alternatif mempertahankan sabuk hijau Putra, J.P, & La Ode Ahyar Thamrin. 2010. Seri
(green belt) vegetasi pantai. Jenos veg- Pengenalan jenis mangrove di Taman Nasi-
etasi pantai yang sesuai untuk sabuk hi- onal Wakatobi. Balai Taman Nasional Wakatobi
jau perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Shuto, N., 1993. Tsunami intensity and disas-
PERSANTUNAN ters. Tsunamis in the World, Fifteenth Inter-
national Tsunami Symposium 1991: 197–216.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dinas
Kehutanan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sdr Shuto, N., 1987. The effectiveness and limit of tsunami
Evin Mutakhin dari World Conservation Society dan control forests. Coastal Eng Japan 30 (1) : 143–153.
Sdri Ayu dari P3SDLP yang telah membbantu peneliti
dalam pengamatan ekosistem mangrove di Pulau Weh. Watanabe, Y, Ichikawa, Y. & Y. Ide. 1996. Critical con-
ditions for trees lodging in flood plain during flood.
DAFTAR PUSTAKA The Annual Journal of Hydraulic Engineering 40:
169–174 (in Japanese with English abstract).
Alongi, D. M. 2005. Mangrove forests: Resil-
ience, protection from tsunamis, and re- Yanagisawa, H., Koshimura, S., Goto, K., Miyagi, T.,
sponses to global climate change. Estua- Imamuram, F., Ruangrassamee, A , & C. Tana-
rine, Coastal and Shelf Science 76: 1-13. vud. 2009. The reduction effects of mangrove
forest on a tsunami based on field surveys at Pa-
BAKOSURTANAL. 2011. Draft Survei pemetaan karang Cape, Thailand and numerical analysis.
mangrove. Rancangan Standar Nasional ke 2. Estuarine, Coastal and Shelf Science 81: 27-37.

117
Peramalan Waktu Pemanenan Optimum Kerang Hijau....di Teluk Jakarta (Tarigan, M.S.)

PERAMALAN WAKTU PEMANENAN OPTIMUM


KERANG HIJAU (PERNA VIRIDIS) DI TELUK JAKARTA
BERBASISKAN CITRA MULTI-TEMPORAL SATELIT MODIS
M. Salam Tarigan1), F. Widianwari1) & S. Wouthuyzen1)
1)
Peneliti pada Pusat Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI

Diterima tanggal: 27 September 2011; Diterima setelah perbaikan: 04 November 2011; Disetujui terbit tanggal 29 November 2011

ABSTRAK

Teluk Jakarta merupakan perairan yang memiliki nilai ekonomis penting, khususnya di bidang
perikanan, pariwisata dan bidang lainnya, namun sekaligus mendapat tekanan lingkungan yang be-
rat. Penelitian ini merupakan gabungan kegiatan terintegrasi yakni kajian aspek biologi kerang hijau
dengan penekanan khusus pada faktor atau indeks kondisi (IK); Pemantauan kualitas perairan di
lokasi budidaya kerang hijau dengan menggunakan data satelit Terra- dan Aqua- MODIS. Penelitian
difokuskan pada 2 lokasi budidaya kerang hijau, yaitu di Muara Angke dan pantai Cilincing, Teluk Ja-
karta pada Juli-September 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari total 2.400 individu kerang
hijau yang dicuplik di 2 lokasi budidaya selama 8 kali sampling memperlihatkan bahwa nilai rata-
rata IK > 100 yang berarti kerang hijau berada dalam kondisi prima, walaupun ada variasi kecil dari
individu yang berada pada kondisi sedang (nilai IK 80-100), maupun dalam kondisi buruk (IK < 80).
Pemantauan kualitas lingkungan berupa suhu permukaan laut (SPL), salinitas dan konsentrasi kloro-
fil-a menggunakan citra satelit memperlihatkan bahwa pendugaan SPL dan klorofil-a dapat diprediksi
dengan baik oleh sensor MODIS, kecuali salinitas yang memperlihatkan kecenderungan pendugaan
yang sedikit lebih rendah (underestiamted) dari nilai pengukuran di lapangan, namun masih layak digu-
nakan. SPL berkisar antara 29,10 -30,44 oC, salinitas 29,230 – 31,790 psu, dan klorofil-a 1,737 - > 20
mg/m3. Selanjutnya, nilai IK dikorelasikan secara individual terhadap SPL, salinitas dan klorofil-a. Ke-
cuali SPL, IK berkorelasi kuat terhadap salinitas dan klorofil-a di kedua lokasi, namun jika seluruh data
kualitas perairan dikorelasikan terhadap IK menggunakan persamaan regresi linier berganda, yakni :

IK Kerang Hijau =-137664,8 + 8376,98 * Suhu – 141.21* suhu^2 + 885,65*salinitas –


14,403*Salinitas^2 – 7,935* klorofil-a + 0,37*klorofil-a^2,

maka diperoleh korelasi yang sangat kuat (R2=0,94). Oleh karenanya, persamaan re-
gresi ini dapat dijadikan model awal dalam menduga tinggi rendahnya nilai IK, yang se-
lanjutnya memungkinkan untuk dipakai sebagai peramalan waktu pemanenan yang tepat.

Kata kunci: Peramalan, Kerang Hijau, Satelit MODIS, Teluk Jakarta.

ABSTRACT

Jakarta Bay waters consitute an important economic value, particularly in the field of fisheries,
tourism and other fields, but at a heavy environmental pressure. This study is a joint activity was
a integrated study of biological aspects of green mussels with special emphasis on the factor or
condition index (CI): Monitoring water quality at the location of the green mussel cultivation by us-
ing satellite data Terra-and Aqua-MODIS. The study focused on two locations cultivated mussels,
namely in Muara Angke and Cilincing coast, the Bay of Jakarta in July-September 2009. Out of total
2,400 individual mussels sampled in two locations and cultivated for 8 times the sampling, results
show that the average value of IK> 100 which means the mussels are in prime condition, although
there are minor variations of the individuals which are in conditions of moderate ( IK values 80-100),
as well as in poor condition (CI <80). Monitoring of environmental quality in the form of sea surface
temperature (SPL), salinity and chlorophyll-a concentrations using satellite imagery shows that the
prediction of the SPL and chlorophyll-a can be predicted well by the MODIS sensor, except salinity
pattern for a slightly lower estimate (underestiamted) from value measurements in the field, but still
Korespondensi Penulis:
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email: saltargir@yahoo.com
118
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 118-129
fit for use. SPL range between 29.10 -30.44 ° C, salinity from 29.230 to 31.790 psu, and chlorophyll-
a 1.737 -> 20 mg/m3. Furthermore, the value of IK individually is correlated to the SPL, salinity and
chlorophyll-a. Unless the SPL, IK is strongly correlated to salinity and chlorophyll-a in both locations,
but if all water quality data are correlated against IK using multiple linear regression equation, namely:

Green Mussell CI =- 137664,8 + 8376,98 * temperature - temperature 141,21 * ^ 2 + 885,65 * salin-


ity - salinity^14,403 * 2 - 7935 * chlorophyll-a + 0,37 *chlorophyll-a ^ 2,

then obtained a very strong correlation (R2 = 0,94). Therefore, this regres-
sion equation can be used as initial model in the high and low expected val-
ue of IK, which in turn allows it to be used as forecasting the exact time of harvesting.

Keywords: Forecasting, Green Mussel, Satellite MODIS, Jakarta Bay.

PENDAHULUAN digunakan untuk meramal waktu yang tepat peman-


enan kerang oleh seorang pelaku budidaya, sehingga
Perairan Teluk Jakarta memiliki potensi eko- dapat diperoleh hasil panen yang optimal (Quayle,
nomi penting di berbagai sektor, seperti perikanan 1969; Qualyle, 1980; Fatima, 1998; Yildiz, 2005).
(perikanan tangkap dan budidaya), pariwisata bahari,
perhubungan, pendidikan, cagar alam dan budaya Di Indonesia, penelitian mengenai faktor kon-
serta lain sebagainya. Di sisi lain, perairan ini juga disi kerang hijau, tampaknya belum pernah dilakukan,
secara bersamaan mengalami ancaman lingkungan kecuali sedikit informasi tentang faktor kondisi tiram
serius terutama pencemaran akibat dampak pemban- alam (Saccrostrea cucullata) di perairan Maluku Ten-
gunan yang sangat pesat dan laju pertumbuhan pen- gah (Wouthuyzen & Suwartana, 1984; Wouthuyzen,
duduk yang cepat dan tinggi di sekitar kota Jakarta 1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor
dan kota-kota penyangga utama (hinterland), seperti kondisi sangat berperan terhadap berat daging ti-
Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi (Arifin, 2003; ram, dimana penambahan 1 gram berat total tiram
Wouthuyzen et al., 2007). Pada sektor perikanan, khu- (termasuk cangkang) hanya menambah daging ti-
susnya budidaya, perairan Teluk Jakarta sudah lama ram sebesar 0,062 gram, sedangkan peningkatan
sekali dimanfaatkan untuk berbagai usaha budidaya 1 unit faktor kondisi dapat meningkatkan daging ti-
seperti beragam jenis ikan, rumput laut dan moluska ram sebesar 0,127 gram atau 2 kali lipat lebih tinggi
(kelompok kerang-kerangan). Dari kelompok moluska, (Wouthuyzen, 1984). Faktor kondisi kerang-kerangan
kerang hijau atau green mussel (Perna viridis) adalah sangat dipengaruhi berbagai faktor lingkungan, an-
satu-satunya komoditi perikanan yang dibudidayakan tara lain suhu, salinitas dan kelimpahan makanan
secara intensif, sehingga menjadikannya sebagai (fitoplankton) yang dapat dinyatakan dalam konsen-
sumber mata pencaharian penting yang melibat- trasi klorofil-a (Quayle, 1980; Wouthuyzen, 1994).
kan banyak masyarakat di sekitar Teluk Jakarta, dis-
amping itu menyediakan sumber pangan berprotein Belakangan ini, teknologi Inderaja penginderaan
tinggi yang relatif murah bagi masyarakat konsumen. jauh kelautan (ocean remote sensing) dapat memetakan
dengan efektif dan efisien suhu, salinitas dan konsen-
Kerang-kerangan telah lama menjadi sumber ba- trasi klorofil-a, sehingga peramalan waktu yang tepat
han makanan penting bagi manusia. Oleh karena itu, untuk memanen kerang hijau dapat dilakukan pula
kerang-kerangan memiliki peminat tinggi di pasaran dengan sangat mudah. Meskipun demikian, hingga kini
pangan laut (seafood) dunia. Sebagai bahan pangan tampaknya pembudidaya kerang hijau belum begitu
laut komersial, kerang-kerangan harus memiliki kuali- mengetahui: waktu yang tepat untuk memanen kerang
tas tinggi yang memenuhi berbagai kriteria baku, sep- hijau agar diperoleh hasil yang optimal (aspek kuanti-
erti jumlah daging yang melimpah dengan penampilan tas berat kerang yang dihasilkan. Penelitian ini penting
yang menarik (Nishida et al., 2006), serta bebas dari dilakukan untuk: 1) mengetahui hubungan antara fak-
bahan pencemaran, seperti bakteri patogen (E. coli, tor kondisi kerang hijau dan parameter perairan yang
Salmonella spp.), logam berat, alge beracun (harmul mempengaruhinya, mencakup suhu, salinitas serta
alge) mengingat sifat biologi (cara makan) kerang hi- konsentrasi klorofil-a (kelimpahan fitoplankton) yang
jau adalah menyaring air (feeding filter). Bagi berbagai dipantau dan dipetakan menggunakan teknik remote
jenis kerang, faktor/indeks kondisi atau indeks kege- sensing (inderaja) melalui pemanfaatan data multi-tem-
mukan (fattening index) yang pertama kali dikenalkan poral citra satelit MODIS dan 2) membuat model pera-
oleh Meadcof (1961) sering digunakan sebagai metode malan waktu pemanenan yang tepat dari kerang hijau
untuk menduga jumlah daging yang berada di bawah (Perna viridis) di Teluk Jakarta berdasarkan pada per-
cangkang kerang (Rebelo, et al., 2005; Nishida et al., hitungan faktor/indeks kondisi kerang hijau, sehingga
2006). Dengan demikian, faktor/indeks kondisi dapat dapat diperoleh produksi daging kerang yang optimal.

119
Peramalan Waktu Pemanenan Optimum Kerang Hijau....di Teluk Jakarta (Tarigan, M.S.)

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Teluk Jakarta dengan penekanan khusus pada lokasi
budidaya kerang hijau (Kotak putih 1: Muara Angke, dan 2 : Cilincing). Titik merah
adalah pengukuran kualitas perairan (suhu, salinitas dan konsentrasi klorofil-a).

Gambar 2. Dimensi panjang dan lebar cangkang kerang hijau.

120
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 118-129
lebih rumit dan menyita waktu disamping resiko error
METODE PENELITIAN akibat perubahan berat jenis air.

Waktu dan Lokasi Pada teknik penimbangan, kerang hijau dik-


eringkan pada suhu ruangan selama 45-60 menit dan
Penelitian ini dilakukan di perairan Teluk Jakarta, hanya kerang dengan cangkang yang tetap tertutup di-
yang mendapat banyak penegaruh dari setidaknya tentukan beratnya dengan timbangan digital (A gram).
oleh 13 sungai besar dan kecil. Tiga sungai besar Selanjutnya cangkang dipisahkan dari daging dan dik-
yang sangat berpengaruh adalah, Sungai Citarum eringkan pada suhu kamar selama 24 hingga 30 jam
(sisi timur), Sungai Ciliwung pada bagian tengah Te- dan diukur beratnya (B gram). Sedangkan daging dik-
luk, dan Sungai Cisadane pada sisi barat teluk. Lo- eringkan dalam oven pada suhu 80oC selama 48 jam
kasi penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah dan ditimbang dengan kepekaan 0,01 gram setelah
sentra-sentra budidaya kerang hijau di Teluk Jakarta, proses pendinginan dalam dessicator selama 5 hing-
yang meliputi dua wilayah utama, yaitu disekitar Pan- ga 10 menit (C gram). Berdasarkan hasil pengukuran
tai Marunda-Cilincing dan daerah antara Muara Angke tersebut maka Indeks Kondisi dari formula Hopkins
hingga Tanjung Pasir (Gambar 1). dapat dturunkan sebagai berikut:

Survei lapangan berupa pengukuran dan pen- IK = (C)(100)/(A – B) ........................................ 1)
gambilan parameter kualitas air (suhu, salinitas, kon-
sentrasi klorofil-a, pengambilan sampel fitoplankton), Upaya kualifikasi mutu kerang dapat dilakukan dengan
dilakukan dua kali antara Juli dan September 2009, menggunakan cara Meadcof (1961) yang mengalikan
pada bulan-bulan tersebut dilakukan pengambilan IK dengan 10. Kerang dapat dikategorikan dalam kon-
sampel kerang hijau (Perna viridia) setiap minggu se- disi prima jika memiliki nilai IK berkisar antara 100-150,
lama 8 kali. Adapun bulan-bulan sebelum dan sesu- sedang 80-100, dan dalam kondisi buruk < 80.
dahnya digunakan untuk persiapan serta analisa data.
Dalam penelitian ini ada 2 komponen kegiatan, yaiitu: Pengumpulan data kualitas perairan dan analisa
i). pengamatan terhadap kerang hijau, khususnya data citra satelit MODIS
mengenai faktor/Indeks kondisi kerang, ii). penguku-
ran dan pengambilan sampel kualitas air, data terse- Pengukuran kulitas perairan Teluk Jakarta men-
but digunakan untuk pembuatan model empiris pen- cakup pengukuran suhu, salinitas, kecerahan per-
dugaan kualitas perairan berupa suhu, salinitas dan airan dan konsentrasi klorofil-a. Suhu dan salinitas
konsentrasi klorofil-a dengan memanfaatkan data diukur menggunakan CTD, kecerahan atau transpar-
multi-temporal citra satelit Terra dan Aqua den- ansi diukur menggunakan cakram sechi, sedang-
gan sensornya MODIS (Moderate Resolution Imaging kan pengukuran konsentrasi klorofil-a dilakukan di
Spectrometer). laboratrium dengan mengambil sampel air dan diukur
kandungan klorofil-a menggunakan prosedur baku
Pengamatan faktor kondisi kerang hijau mengikuti Strickland & Parsons (1972). Posisi stasiun
pengamatan ditentukan menggunakan sebuah GPS
Untuk menentukan faktor kondisi kerang hijau di- (Global Positioning System). Seluruh pengukuran dan
lakukan berbagai pengukuran terhadap kerang hijau pengambilan sampel dilakukan hampir bersamaan
yang mencakup pengukuran panjang dan lebar cang- metode dengan waktu melintasnya satelit Terra (Pkl.
kang, berat basah total, maupun daging serta berat 10 pagi) dan Aqua (Pkl. 13 siang) di atas Teluk Jakarta.
kering cangkang maupun daging dilakukan terhadap
150 kerang hijau yang dikumpulkan dari setiap lokasi MODIS dengan 36 band dirancang khusus untuk
cuplik. Pengukuran panjang maupun lebar cangkang 3 aplikasi luas, yaitu untuk pemantauan darat (Band
yang telah dibersihkan dari biota penempel (Gambar 1-7), laut (band 8 -16), dan atmospherik (band 17-36),
2) dilakukan dengan menggunakan kaliper digital den- oleh karenanya dapat digunakan dalam pemantauan
gan kepekaan 0.01 mm. Kisaran ukuran cangkang kondisi oseanografi. Dalam analisa dan pemrosesan
dari hasil cuplik pertama sedapat mungkin digunakan ciitra, data lapangan (sea truth) bersama data ci-
sebagai standard acuan yang dipakai untuk rentang tra satelit Terra- dan Aqua- MODIS digunakan dalam
ukuran cuplik selanjutnya. Hal ini dimaksudkan agar membuat model emipiris pendugaan kualitas perai-
Indeks Kondisi (IK) kelak dapat lebih layak untuk diper- ran. Model pendugaan empiris suhu, salinitas dan
bandingkan (comparable). konsentrasi klorofil-a yang dihasilkan digunakan untuk
menduga Indeks Kondisi (IK) yang berkaitan dengan
Perhitungan IK mengacu kepada Lawrence & kualitas daging kerang hijau, dimana diasumsikan bah-
Scott (1982) yang menyarankan penggunaan teknik wa makanan yang berlimpah di perairan (dinyatakan
penimbangan (weighing technique) sebagai alternatif dalam konsentrasi klorofil-a) serta lingkungan yang
pengukuran volume rongga cangkang menurut metode optimum (suhu dan salinitas) akan berkorelasi den-
selisih volume air (water displacement method) yang gan IK melalui persamaan regeresi linier berganda :

121
Peramalan Waktu Pemanenan Optimum Kerang Hijau....di Teluk Jakarta (Tarigan, M.S.)

Tabel 1. Morfometri sample kerang hijau dari dua titik cuplik

Panjang Cangkang (mm) Lebar Cangkang (mm)


Lokasi/ Tanggal n Min – Max Mean + SD Min - Max Mean + SD

Muara Angke
1 28/07/09 150 46,42 – 63,74 52.86 + 3,48 22,13 – 31,78 25,69 + 1,81
2 05/08/09 150 22,63 – 65,93 48,12 + 3,24 20,83 – 29,99 24,05 + 1,39
3 14/08/09 150 48,23 – 73,83 58,92 + 5,30 21,07 – 31,61 25,83 + 1,96
4 24/08/09 150 50,43 – 73,24 57,45 + 3,50 21,45 – 29,69 25,16 + 1,63
5 31/08/09 150 46,21 – 58,98 52,94 + 2,26 16,31 – 28,06 22,58 + 2,84
6 06/09/09 150 46,47 – 70,37 52,89 + 3,83 20,64 – 33,94 24,78 + 1,78
7 13/09/09 150 50,26 – 71,15 58,15 + 5,34 23,01 – 32,04 26,89 + 1,80
8 27/09/09 150 51,81 – 74,04 59,17 + 4,48 23,28 – 31,13 27,21 + 1,60
Cilincing
1 29/07/09 150 46,96 – 70,93 53,57 + 3,62 20,01 – 31,59 24,64 + 1,70
2 06/08/09 150 51,75 – 70,62 58,17 + 3,92 22,43 – 31,51 25,91 + 1,93
3 15/08/09 150 49,65 – 65,32 57,48 + 3,49 21,97 – 30,04 25,81 + 1,72
4 25/08/09 150 25,67 – 71,31 55,19 + 5,02 21,45 – 31,45 24,86 + 1,66
5 01/09/09 150 50,67 – 68,36 57,28 + 3,83 21,56 – 28,21 25,44 + 1,31
6 07/09/09 150 51,36 – 69,95 56,83 + 3,14 20,11 – 31,46 25,32 + 1,41
7 14/09/09 150 52,02 – 73,86 61,00 + 4,41 22,87 – 31,92 26,97 + 1,72
8 28/09/09 150 53,03 – 71,91 62,10 + 4,65 22,78 – 32,37 27,25 + 1,79

Tabel 2. Nilai faktor kondisi kerang hijau di Teluk Jakarta menurut Meadcof (1961)

Waktu/ Lokasi N Min Max Mean SD Kategori

Muara Angke
1 150 106,93 206,90 153,16 20,02 Prima
2 150 71,67 190,97 130,62 23,64 Prima
3 150 42,13 257,62 108,55 35,11 Prima
4 150 44,89 328,84 162,76 42,71 Prima
5 150 113,27 250,42 176,32 23,53 Prima
6 150 76,92 201,07 126,75 18,76 Prima
7 150 107,22 219,07 165,35 23,37 Prima
8 150 57,60 283,70 140,73 42,84 Prima
Cilincing
1 150 39,05 287,20 137,01 48,68 Prima
2 150 35,14 220,73 118,65 30,81 Prima
3 150 48,51 352,20 116,08 48,46 Prima
4 150 45,99 322,16 164,62 41,14 Prima
5 150 66,77 390,48 146,66 44,72 Prima
6 150 88,07 222,22 139,16 25,99 Prima
7 150 64,40 271,57 122,50 28,60 Prima
8 150 4162 235,17 109,72 31,52 Prima

122
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 118-129

Gambar 3. Nilai tengah dan standard deviasi dari Indeks Kondisi kerang hijau di setiap lokasi pada 8 waktu
cuplik.

Gambar 4. Model prediksi SPL yang diturunkan dari data citra satelit Terra- dan Aqua- MODIS.

kang dan berat total (r=0,785; P<0,01); namun hubun-


IK= ao +b1* Klorofil-a + b2* suhu perairan + b3* sa- gan signifikan antara berat total dengan indeks kon-
linitas .................................................................. 2) disi bersifat lemah (r=0,268; P<0,05). Selain itu tidak
ditemukan hubungan yang signifikan antara panjang
cangkang dengan besaran indeks kondisi (P>0,05).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil perhitungan Indeks Kondisi kerang hijau di
Faktor Kondisi kerang hijau Teluk Jakarta ini yang merujuk cara yang diterapkan
Lawrence & Scott (1982) tidak berbeda dengan hasil
Sebanyak 2.400 kerang hijau telah dikumpulkan jika menggunakan formula Freeman sebagaimana di-
dari delapan kali waktu cuplik di sekitar perairan Muara gunakan Yildiz (2006) maupun Filguiera et al. (2008).
Angke maupun Cilincing. Risalah nilai rentang ukuran Indeks Kondisi pada cara yang terakhir ini dihitung
cangkang disajikan dalam Tabel 1. Hasil perhitungan dengan membagi berat kering daging dengan berat
indeks kondisi dapat dilihat pada Gambar 3. Secara ke- kering cangkang kemudian dikalikan 100.Masih di-
seluruhan, kecuali pada cuplik kedua di Muara Angke perlukan telaah lebih jauh untuk mengungkap latar
(2M), sample kerang hijau dari setiap lokasi dapat di- belakang dari perbedaan kecenderungan nilai Indek
upayakan dalam rentang panjang cangkang yang rela- Kondisi di Muara Angke (1M – 3M) dengan Cilincing
tif seragam (46,42 – 73,83 cm). Berdasarkan pada (1C - 3C). Jumlah cuplik yang lebih banyak hingga
uji korelasi Spearman terhadap data baku panjang akhir September diharapkan dapat membantu dalam
cangkang, berat total dan indeks kondisi ditemukan menjelaskan kecenderungan yang ada. Jika merujuk
hubungan signifikan yang kuat antara panjang cang- kriteria yang digunakan Meadcof (1961) nilai rerata

123
Peramalan Waktu Pemanenan Optimum Kerang Hijau....di Teluk Jakarta (Tarigan, M.S.)

Tabel 3. Suhu dan salinitas perairan Teluk Jakarta selama penelitian berlangsung hasil pengukuran-
menggunakan CTD

Stasiun Bujur Lintang Suhu Salinitas

1 106.78702 -6.08817 29,35 30,704


2 106.76325 -6.08161 28,90 30,918
3 106.73556 -6.08077 28,43 29,943
4 106.72629 -6.05598 28,45 29,948
5 106.72900 -6.03431 29,14 30,814
6 106.73941 -6.04089 29,20 30,754
7 106.74211 -6.05409 29,26 30,903
8 106.75600 -6.06807 29,16 30,864
9 106.77131 -6.06779 29,03 30,567
10 106.79319 -6.07221 29,04 30,986
11 106.81881 -6.07509 29,06 30,938
12 106.84382 -6.07916 29,13 30,776
13 106.86969 -6.08006 - -
14 106.92874 -6.06569 29,12 30,822
15 106.93288 -6.07606 29,13 30,747
16 106.92097 -6.08505 29,23 30,705
17 106.87884 -6.07966 - -
18 106.84424 -6.10552 29,68 30,474
19 106.82138 -6.09459 29,33 30,604

1 106.78303 -6.09115 29,75 31,980
2 106.75612 -6.07775 29,63 31,930
3 106.73827 -6.05918 29,60 32,030
4 106.74123 -6.04120 29,47 32,120
5 106.72587 -6.03613 29,56 32,100
6 106.72515 -6.05748 29,63 32.020
7 106.73570 -6.08042 29,79 31,920
8 106.74957 -6.07205 29,62 32,100
9 106.76888 -6.07217 29,55 32,120
10 106.79969 -6.06873 29,47 32,180
11 106.79628 -6.03586 29,38 32,190
12 106.82626 -6.03642 29,32 32,210
13 106.85908 -6.03977 29,35 32,240
14 106.89045 -6.04887 29,39 32,160
15 106.91700 -6.08047 29,65 32,040
16 106.94630 -6.08642 29,78 31,750
17 106.94438 -6.06530 29,59 31,960
18 106.93257 -6.06262 29,55 31,980
19 106.90697 -6.08440 29,69 31,880
20 106.87033 -6.08635 29,61 32,050
21 106.83602 -6.09112 29,58 32,070
Min 28,43 29,94
Max 29,79 32,24

124
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 118-129

Gambar 5. Pendugaan CDOM dengan menggunakan data MODIS (kiri) yang kemudian data CDOM
dipakai dalam menduga salinitas perairan Teluk Jakarta (kanan).

Gambar 6. Pendugaan konsentrasi klorofil-a perairan Teluk Jakarta.

dari Indek Kondisi kerang hijau di kedua lokasi yang gan menggunakan CTD. Data konsentrasi klorofil-a
semuanya diatas angka 100 (Tabel 2) mengindikasi- serta data lainnya (kecerahan perarian) tidak ditampil-
kan mutu daging yang sangat baik (prima) dari segi kan disini karena kualitas data klorofil-a tampaknya
volume maksimalnya dalam cangkang. Meskipun tidak baik, sedangkan kecerahan tidak berhubungan
demikian, layak tidaknya kerang hijau untuk dijadikan langsung dengan kondisi kerang hijau. Jadi data yang
komoditi pangan dari perspektif kesehatan/sanitasi digunakan hanya data yang berhubungan langsung
lingkungannya masih harus dikaji lebih jauh. dalam arti mempengaruhi kehidupan kerang hijau,
seperti suhu dan salinitas berhubungan terhadap fi-
Kualitas Perairan dan analisa data citra satelit Ter- siologi dan metabolisme tubuh kerang, sedangkan
ra- dan Aqua- MODIS konsentrasi klorofil-a merupakan indikator biomasa
fitoplankton berperan bahan makanan utama kerang
Kualitas perairan Teluk Jakarta yang meliputi hijau (yang memiiki sifat makan sebagai feeding filter).
suhu, salinitas, dan konsentrasi klorofil-a, diukur pada
saat sampling yang waktunya hampir bertepatan den- Data dalam Tabel 3 memperlihatkan bahwa se-
gan saat lintasan satelit Terra- dan Aqua- MODIS di lama penelitian suhu perairan tidak begitu bervariasi,
atas Teluk Jakarta (2-3 jam sebelum dan sesudah yakni berkisar antara 28,43 hingga 29,79 ºC dengan
satelit lewat). Hal ini dilakukan nantinya untuk mem- nilai rata-rata 29,36 ºC dan simpangan baku yang kecil
buat model empiris pendugaan kualitas perairan 0,33 ºC, sedangkan salinitas nilainya lebih bervariasi,
menggunakan citra satelit, sehingga ke depannya yakni antara 29,94 hingga 32,24 psu dengan nilai rata-
parameter kualitas perairan dapat diketahui dan di- rata 31,43 psu dan simpangan baku 0,73 psu. Dalam
petakan secara efektif dan efisien, tanpa harus survei Gambar 4 disajikan plot antara data suhu dan data nilai
lapangan yang sangat mengkonsumsi waktu yang radians infra merah jauh (Termal Infra Red/TIR) dari
lama, usaha yang besar, serta membutuhkan dana satelit MODIS band 31. Model regresi linier sederhana
yang tinggi pula. Tabel 2 menyajikan data suhu dan dalam Gambar 4 selanjutnya digunakan sebagai mod-
salinitas yang diukur saat penelitian berlangsung den- el empiris dalam menduga suhu permukaan laut (SPL)

125
Peramalan Waktu Pemanenan Optimum Kerang Hijau....di Teluk Jakarta (Tarigan, M.S.)

Tabel 4. Ekstraksi SPL, salinitas dan konsentrasi klorofil-a dari peta kualitas perairan yang diolah
dari citra satelit MODIS di 2 lokasi budidaya kerang hijau
No.
Sampling Date IK Suhu Salinitas Klorofil-a Keterangan *)
/ Lokasi rata-rata (0C) (PSU) (mg/m3)

Muara Angke
1 28-Jul-09 153,16 29,83 29,361 5,928 Tgl 21Jul Aqua; 23 Jul Aqua
2 5-Aug-09 130,62 29,49 29,162 2,813 Tgl 28 Jul Terra, 1 Ags Aqua
3 13-Aug-09 108,55 29,75 31,199 6,219 Tgl 5 Ags Aqua; 9 Agst Aqua
4 25-Aug-09 162,76 30,01 30,407 17,428 Tgl 13 Ags Aqua: 22 Ags Terra
5 31-Aug-09 176,32 29,75 30,216 2,829 Tgl 25-27 Agst Aqua
6 6-Sep-09 126,75 29,30 30,492 1,944 Tgl 1 Sep Aqua
7 13-Sep-09 165,35 29,10 31,632 9,936 Tgl 7 Sep Aqua
8 27-Sep-09 140,73 30,44 31,490 9,602 Tgl 19 Sept
Cilincing
1 29-Jul-09 137,01 29,80 29,357 3,284 Tgl 21Jul Aqua; 23 Jul Aqua
2 6-Aug-09 118,65 29,40 29,793 5,748 Tgl 28 Jul Terra, 1 Ags Aqua
3 14-Aug-09 116,08 29,80 9,230 11,092 Tgl 5 Ags Aqua; 9 Agst Aqua
4 26-Aug-09 164,62 29,96 30,310 20,179 Tgl 13 Ags Aqua: 22 Ags Terra
5 1-Sep-09 146,66 29,48 30,407 8,051 Tgl 25-27 Agst Aqua
6 7-Sep-09 139,16 29,12 30,711 1,737 Tgl 1 Sep Aqua
7 14-Sep-09 122,50 29,12 31,741 20,000 Tgl 7 Sep Aqua
8 28-Sep-09 109,72 30,26 31,790 20,000 Tgl 19 Sept

perairan Teluk Jakarta. Model ini memiliki nilai koefisien menggunakan data lapangan tahun 2004 hingga 2006,
korelasi/koefisien determinasi yang tinggi (R2=0,972) karena data yang dikumpulkan dari lapangan disamp-
dan nilai Root mean Square Error (RMS error) yang ing tidak cukup untuk mebuat model pendugaan, kuali-
rendah (0,28 ºC), sehingga dapat digunakan dalam tas datanya pun kurang baik. Hasil pemetaan parame-
menduga dan memetakan SPL perairan Teluk Jakarta. ter SPL, salinitas dan konsentrasi klorofil-a dituangkan
dalam Gambar 7. Dari peta ini dapat diekstraksi data
Data satelit tidak dapat digunakan secara lang- SPL, salinitas dan konsentrasi klorofil-a (Tabel 4) pada
sung untuk menduga dan memetakan salinitas per- lokasi budidaya kerang hijau, baik di daerah Muara
mukaan suatu perairan, namun pemetaan salinitas di- Angke maupun pantai Cilingcing (lihat Gambar 1). Data
lakukan secara tidak langsung dengan melihat terlebih yang diekstrak dari peta tersebut (Tabel 4) digunakan
dahulu hubungan antara salinitas dengan Color Dis- untuk mencari hubungan antara faktor atau Indek Kondi-
solve Organic matter (CDOM) yang merupakan bahan si (IK) kerang hijau seperti yang tertuang dalam Tabel 2.
organik yang berasal dari daratan yang masuk ke per-
airan melalui sungai atau degradasi dari fitoplankton. Data citra MODIS yang digunakan dalam mem-
buat peta SPL, salinitas dan konsentrasi klorofil-a di-
CDOM sendiri secara langsung dapat dipantau pilih menurut asumsi bahwa kondisi kerang hijau akan
menggunakan data satelit melalui teknik penginderaan dipengaruhi oleh kualitas air dalam kurun waktu 3-10
jauh warna air (ocean color) karena CDOM menyerap hari. Oleh karenanya peta kualitas perairan dibuat
gelombang ultra violet (UV) dan biru sangat kuat (Ahn et pada selang waktu 3-10 hari sebelum tanggal sam-
al., 2008; Bower, 2008; Sasaki et al., 2008). Karena data pling. Misalnya sampling dilakukan pada 18 Agustus,
CDOM tidak ada, maka pendugaan salinitas dilakukan maka peta kualitas perairan dibuat menggunakan data
dengan memakai model empiris yang telah dikembang MODIS antara 8 hingga 15 Agustus. Jadi IK kerang
untuk perairan Teluk Jakarta oleh Wouthuyzen (2008) hijau pada suatu saat tergantung dari kondisi perai-
dengan menggunakan nilai radians kromatisiti band ran antara 3-10 hari sebelum pemanenan dilakukan.
biru, yaitu band biru/ (band biru+hijau+merah), seperti
yang ditampilkan dalam Gambar 5. berikut di bawah ini. Dalam penelitian ini diperoleh nilai konsentrasi
klorofil-a yang sangat tinggi yang mengindikasikan ad-
Pendugaan dan pemetaan konsentrasi klorofil- anya bloomihg fitoplankton, sehingga mengakibatkan
a dilakukan menggunakan model yang telah tersedia CDOM perairan menjadi lebih tinggi dari pada kon-
(Gambar 6) yang dikembangkan pula oleh Wouthuyzen disi tidak blooming, yang berdampak pada rendahnya
et al. (2007) untuk perairan Teluk Jakarta dengan pendugaan salinitas. Pengamatan lapangan memper-

126
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 118-129

Tabel 5. Kelimpahan (biomasa) jenis fitoplankton di Teluk Jakarta

Genus Kelimpahan Fitoplankton Kelimpahan Relatif


(106 sel/m3) %

Asterionella 0,100 0,01


Amphora 0,002 0,00
Bacillaria 0,034 0,04
Bacteristrium 0,437 0,45
Chaetoceros 11,772 12,09
Coscinodiscus 1,862 0,02
Dytilum 0,008 0,01
Eucampia 1,216 0,12
Guinardia 0,004 0,05
Hemiaulus 0,223 0,23
Lauderia 0,223 0,23
Leptocylindrus 0,562 0,58
Nitzschia 1,229 1,26
Odontela 0,009 0,01
Plurosigma 0,003 0,03
Rhizosolenia 0,596 0,61
Streptothela 0,002 0,02
Skeletonema 75,648 77,70
Thalassiosira 5,864 6,02
Thalassiothrix 0,427 0,44
Ceratium 0,003 0,03
Dinophysis 0,008 0,00
Gymnodinium 0,001 0,00
Noctiluca 0,008 0,01
Prorocentrum 0,004 0,00
Protoperidinium 0,038 0,04

Rerata 97,35 100

lihatkan adanya blooming fitoplankton dari jenis Nocti-


tinggi. Beberapa di antaranya mencapai nilai rata-rata
luca. Hal ini diperkuat pula dari hasil pengamatan fito-
> 10mg/m3 di kedua lokasi budidaya kerang hijau yang
plankton pada Juli 2009 dimana ditemukan kepadatan menunjukkan kejadian blooming fitoplankton. Walau-
fitoplankton sebesar 97 juta sel/m3 (Tabel 5) denganpun tidak ada pembanding dengan pengukuran lapan-
Skletonema costaum dan Chaetoceros sebagai jenis gan, namun model ini dikembangkan oleh Wouthuyzen
dominan dalam komposisi fitoplankton. Hal ini mem- (2008) berdasarkan pada data lapangan selama 3 ta-
perkuat indikasi kejadian blooming fitoplankton selama
hun (2004-2006) untuk memantau blooming fitoplank-
penelitian. Dominasi fitoplankton jenis Skletonema ton periaran Teluk Jakarta dengan hasil uji keakur-
costaum juga indikator dari rendahnya salinitas perai-
asian yang cukup baik, sehingga model layak dipakai.
ran, karena jenis ini menyukai perairan bersalinitas ren-
dah (29~31 PSU). Meskipun salinitas hasil pendugaan Hasil sampling dan analisa fitoplankton dalam bu-
citra agak bervariasi, namun hasilnya masih layak lan Juli 2009 tarcatat nilai rata-rata kelimpahan fitoplank-
dipakai, disamping dapat digunakan untuk menjelas- ton sebesar 97,35 x 106 sel/m3. Jenis fitoplankton yang
kan fenomena alam selama penelitian ini berlangsung.predominan adalah Skeletonema (77,70 %) dan Chae-
toceros (12,09 %). Kelimpahan fitoplankton di perairan
Konsentrasi klorofil-a yang diperoleh dari pen- Teluk Jakarta dapat dilihat dalam Tabel 5 dan Gambar 8.
dugaan citra satelit menunjukkan nilai yang relatif

127
Peramalan Waktu Pemanenan Optimum Kerang Hijau....di Teluk Jakarta (Tarigan, M.S.)

Korelasi antara Indek Kondisi (IK) kerang hijau KESIMPULAN


dengan kualitas perairan
Dari hasil penelitian Indek Kondisi (IK) kerang
Untuk menentukan korelasi antara IK kerang hi- hijau dan data spl, konsentrasi klorofil-a dan salinitas
jau dan kualitas perairan digunakan data dalam Tabel 4 yang dipantau dari satelit MODIS. Dengan data Indek
yang merupakan hasil ekstraksi peta kualitas lingkun- Kondisi kerang hijau dikorelasikan dengan data spl,
gan pada Gambar 7. Plot antara nilai IK kerang hijau konsentrasi klorofil-a dan salinitas menggunakan pers-
dan nilai suhu, salinitas dan konsentrasi klorofil-a un- amaan regresi berganda dibuat persamaan pemane-
tuk seluruh lokasi budidaya (Muara Angke dan Cilinc- nan kerang hijau yang optimum di Teluk Jakarta yakni:
ing) tidak menunjukkan adanya hubungan sama sekali,
tetapi jika plot tersebut dipisahkan untuk masing-ma- IK Kerang Hijau =-137664,8 + 8376,98 * Suhu –
sing lokasi, maka terlihat adanya korelasi antara IK 141,21* suhu^2 + 885,65*salinitas
dan parameter kualitas air (Gambar 9). Kecuali un- -14,403*Salinitas^2 - 7,935
tuk suhu perairan, yang memiliki korelasi rendah ter- * klorofil-a+0,37*klorofil-a^2
hadap IK kerang hijau (R2 = 0,26 untuk Muara Baru,
dan R2= 0,39 untuk Cilincing), salinitas berkorelasi dengan korelasinya sangat tinggi, yaitu R2=0,944
kuat terhadap IK kerang hijau, di kedua lokasi den-
gan nilai koefisien determinasi (R2)=0,83 untuk Muara Dari persamaan ini dapat digunak-
Angke, dan 0,90 untuk muara Baru. Nilai Ln konsen- an untuk menduga pemanenan kerang hi-
trasi klorofil-a juga berkorelasi cukup baik terhadap ln jau yang optimum di Teluk Jakarta.
(IK) dengan nilai R2 adalah 0,83 dan 0,77 masing-ma-
sing untuk Muara Angke dan Cilincing. Bentuk persa- PERSANTUNAN
maan regresi yang berkorelasi cukup kuat tersebut
adalah persamaan regresi polynomial order 3 (cubic). Penulis mengucapkan banyak terima kasih ke-
pada DIKTI, atas pemberian biaya dalam melakukan
Disamping analisa korelasi inividu antara IK penelitian ini.
kerang hijau dan masing-masing parameter kuali-
tas perairan, dikaji pula hubungan serampak antara DAFTAR PUSTAKA
IK kerang hijau dan ketiga parameter kualitas perai-
ran melalui analisa regresi berganda. Untuk kedua Ahn, Y. H. Shanmugam, P., Moon, J. E. & J. H. Ryu.
lokasi, korelasi IK kerang hijau dan ketiga parameter 2008. Satellite remote sensing of a low-salinity
kualitas lingkungan lemah dengan nilai R2 = 0,48. Ko- water plume in the East China Sea. Annales
relasi meningkat jika dilakukan analisa terpisah untuk Geophysicae, Volume 26, Issue 7, pp.2019-2035
masing-masing lokasi. Untuk lokasi Muara Angke,
korelasi yang diperoleh persamaan regresi linier me- Arifin, Z. 2003. Ekosistim dan produktifi-
ningkat menjadi R2 = 0,61, sedangkan untuk lokasi tas perairan Teluk Jakarta. Laporan akh-
Cilingcing nilai R2 meningkat sangat jauh, yaitu R2 = ir Proyek kompetitif Jabopunjur. 77 hal.
0,94. Persamaan Regresi linier berganda untuk lokasi
cilincing dapat dinyatakan dalam persamaan berikut : Bodoy,A., J. Prou, & J-P. Berthome., 1986. Acomparative
study of several condition indicies fro the Japanese
IK Kerang Hijau =-137664,8 + 8376,98 * Suhu – Oyster, Crassostrea gigas. Haliotis 15:173-182.
141,21* suhu^2 + 885,65*salinitas
-14,403*Salinitas^2- 7,935 Bowers, D.G. & H.L. Brett. 2008. The re-
* klorofil-a+0,37*klorofil-a^2 ........3) lationship between CDOM and salin-
ity in estuaries: An analytical and graphic
(n = 8; R2=0,944) solution. Journal of Marine Systems. 73:1-7.

Persamaan ini berpotensi untuk digunakan Filguiera, R, Labarta, U. & M.J.F. Reiriz. Effect of condi-
sebagai alat prediksi dalam menduga IK kerang hi- tion index on allometric relationship of clearance
jau, karena pada saat IK kerang tinggi, maka daging rate in Mytilus galloprovincialis Lamarck, 1819.
kerang akan memenuhi seluruh rongga, sehingga Rev. Biol. Marina y Oceanografia 43: 391-398.
kerang memiliki kualitas daging yang baik pula. Pada
saat IK kerang hijau dalam kondisi yang tinggi, maka Fukuyo, y. Red tide Microalgae. WESPAC/IOC/
pada saat itulah merupakan waktu yang tepat untuk UNESCO. ufukuyo@mail.ecc.u-tokyo.ac.jp
melakukan pemanenan. Jadi waktu panen dapat di-
duga dengan cara sangat sederhana melalui data ci- Kirkpatrick, B. L.E, Flemming, D. Squicciarini, L.C.
tra MODIS dan selanjutnya informasi ini dapat diter- Baker, R. Clark, W. Abraham, J. Benson, Y.S.
uskan ke pembudi daya kerang hijau di Teluk Jakarta Cheng, D. Johnson, R. Pierce, J. Zaias, G.D.
Bossart & D.G. Baden, 2004. Literature re-

128
J. Segara Vol. 7 No. 2 Desember 2011: 118-129

view of Florida red tide : Implication for human


healths effects. Harmful Agae 3 (2004) 90-115.

Lawrence, D.R. & G.I. Scott. 1982. The determination and


use of condition index of oysters. Estuaries 9: 23-27.

Meadcof, J.C. 1961. Oyster farming in the maritime.


Fish. Res. Board of Canada Bull 131:158p.

Nishida, A.K. N. Nordi, & R.RN. Alves. 2006. Molluscs


production associated to lunar-tide: A case study
in Paraiba State under ethnoecology viewpoint.
Journal of ethnobiology and ethnomedicine. 2:28.

Quayle, D.B. 1969. Pasific Oyster culture in British Co-


lombia. Fish. Res. Board of Canada Bull.169:193p.

Quayle, D.B. 1980. Tropical oyster culture and


methods. International Development Re-
search Center. Otawa Ontario IDRC, 1980: 80p.

Tarigan, M.S. & S. Wouthuyzen. 2008. Map-


ping and monitoring the sea surface tem-
perature in the Weda Bay using Terra- and
Aqua MODIS satellites (unpublish report).

Wouthuyzen, S & A. Suwartana. 1984. The rela-


tionship between condition factor and meat
yield of wild oyster Crassostrea cucullata
BORN,. Mar. Res. Indonesia No.23:21-29.

Wouthuyzen, S. 1994. Analysis of the condition fac-


tor of the wild tropical oyster,Saccrostrea cu-
cullata In the Central Maluku Islands. Per-
airan Maluku dan Sekitarnya, Vol.8:1-13.

Wouthuyzen, S., C.K. Tan, J. Ishizaka, T. P.H., Son,


V. Ransi, M.S. Tarigan & A. Sediadi. 2007.
Monitoring Algal blooms and massive fish kill
in the Jakarta Bay, Indonesia using satellite
imageries. Paper presented in The first joint
PI Symposium of ALOS Data for ALOS Sci-
ence Program in Kyoto. November 19-23, 2007.

Wouthuyzen, S., M.S. Tarigan., H.I. Supriyadi, A. Se-


diadi, Sugarin, V.P. Siregar & J. Ishizaka. 2009.
Measuring the surface salinity of The Jakarta Bay
from remotely sensed ocean color by utilizing
multi-temporal data of MODIS sensor(in Press),

Yildiz, H., M. Palaz, & M. Bulut., 2006. Condition Indices


of miditerranean mussel (Mytylus galloprovincialis
L.1819). Growing on suspended ropes in Darda-
nelles. Journal of food Technollogy 4(3):221-224

129
KETENTUAN CARA PENGIRIMAN NASKAH UNTUK JURNAL SEGARA

Jenis Naskah
Jenis Naskah yang dapat dimuat di Jurnal Segara adalah :

• Naskah hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan Kelautan Indonesia yang dilakukan
oleh para peneliti, akademisi, mahasiswa, maupun pemerhati permasalahan kelautan baik dari dalam dan
luar negeri.
• Naskah yang berisikan hasil-hasil penelitian di bidang pengembangan ilmu oseanografi, akustik dan
instrumentasi kelautan, inderaja, kewilayahan, sumberdaya nonhayati, energi, arkeologi bawah air dan
lingkungan.

Bentuk Naskah
Naskah tulisan dapat dikirim dalam bentuk :

• Naskah tercetak di atas kertas A4, dengan jumlah halaman 10 – 15 halaman. Ditulis dengan menggunakan
aplikasi MS.Word dengan spasi ganda, jenis font Arial, ukuran huruf 10.
• Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, dengan ketentuan, bila naskah ditulis
dalam bahasa Indonesia, maka abstrak harus ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bila
naskah ditulis dalam bahasa Inggris, abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
• Abstrak merupakan ringkasan penelitian dan tidak lebih dari 250 kata. Kata kunci (3-5 kata) harus ada dan
mengacu pada Agrovoca.
• Materi naskah disusun mengikuti kaidah umum dan tidak mengikat, namun harus berisikan latar belakang
masalah yang membahas hasil penelitian terdahulu, teori singkat yang mendukung, metode yang digunakan,
analisis, dan kesimpulan.
• Apabila terdapat istilah asing maka istilah tersebut perlu ditulis dengan abjad miring (Italic). Gambar (foto
ilustrasi, grafik, statistik) dan tabel.
• Judul tabel ditulis di atas tabel.
• Apabila terdapat gambar berupa grafik, statistik, peta atau foto, maka judul dari gambar tersebut harus
ditulis dibawah.
• Kesimpulan disajikan secara singkat dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud dan tujuan, serta
hasil penelitian.
Referensi
• Referensi dari Jurnal lain ditulis seperti :
Nama, Tahun, “judul Makalah”, Nama jurnal, Volume, Nomor, halaman.
• Referensi dari buku ditulis seperti: Nama, Tahun, “Judul Buku”, Penerbit.
• Gelar dari nama penulis tidak perlu dicantumkan.
• Pengutipan sumber tertulis tercetak mengikuti sistem Harvard, yaitu menuliskannya di antara tanda kurung
nama (belakang) penulisan yang diacu, titik dua, & halaman acuan yang dikutip, setelah akhir kalimat
kutipan pada batang tubuh karangan, contoh seperti di bawah ini :
.......(Gordon,et al.2003:12)
.......(Holt, 1967 : 11)

Metode Penilaian dan Pengiriman Naskah


• Redaksi tidak membatasi waktu pengiriman makalah, semua makalah akan dinilai oleh editor/penyunting
ahli dengan format penilaian yang telah ditetapkan oleh dewan editor. Hasil penilaian dari editor/penyunting
ahli akan diolah oleh dewan editor dan dikembalikan ke penulis untuk diperbaiki kembali.
• Agar makalah dapat dimuat, penulis diharapkan dapat menyerahkan makalah yang telah direvisi sebelum
tanggal yang ditentukan.
• Makalah di atas dapat langsung dikirim dalam bentuk file dan print out ke Redaksi Jurnal Segara yang
bertempat di kantor Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian
dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dengan alamat : Jalan
Pasir Putih 1 Ancol Timur Jakarta utara 14430 atau kirim ke alamat e-mail : jurnal.segara@gmail.com.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan

Anda mungkin juga menyukai