TUGAS AGAMA HINDU Revisi

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 13

TUGAS AGAMA HINDU

PERKAWINAN PADA GELAHANG MENURUT HUKUM


HINDU

OLEH :

Ni Ketut Suniasih (1704742010230)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MAHASARASWATI

2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-
Nya, penulis dapat menyelesaikan pembuatan dan penulisan makalah yang
berjudul ”PERKAWINAN PADA GELAHANG MENURUT HUKUM HINDU”.
Dan harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki
bentuk maupun isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Dalam penyusunan laporan ini, tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang
disebabkan karena keterbatasan kemampuan dan pengalaman penulis. Penulis
yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca, demi
kesempurnaan makalah ini.

Denpasar, 4 January 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

1.1 Pengertian Perkawinan Pada Gelahang.....................................................3

1.2 Bagaimana kaitannya Pernikahan Pada Gelahang terhadap perubahan


sosial di masyarakat Hindu...................................................................................4

BAB III PENUTUP.................................................................................................9

3.1 Kesimpulan................................................................................................9

3.2 Saran..........................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................10

iii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bali merupakan pulau yang memiliki adat istiadat dan budaya yang
sangat erat dengan kehidupan masyarakat setempat yang sebagian besar
beragama Hindu. Dimana antara budaya dan agama telah menyatu, sehingga
sering disebut bahwa Agama Hindu merupakan roh dari Budaya Bali.

Bali memiliki kebudayaan yang cukup beraneka ragam atau


bervariasi yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang
lainnya, seperti halnya: seni ukir, seni tari, seni tabuh. Kebiasaan
masyarakat daerah tertentu yang unik, yang kesemuanya itu memiliki daya
tarik tersendiri bagi wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri. Di
dalam ajaran Agama Hindu masyarakat Bali mengenal suatu stilah yang
disebut “Catur Asrama”. Catur Asrama merupakan empat tahapan atau
tingkatan di dalam menjalankan hidup di dunia yaitu Brahmacari, Grahasta,
Wanaprasta, Bhiksuka. Grahasta merupakan tahapan kedua dalam
kehidupan masyarakat Bali yang berarti kehidupan di dalam berumah
tangga.

Ternyata awal dari suatu kehidupan berumah tangga yang


terselenggaranya prosesi pernikahan atau yang sering disebut “pawiwahan”
dalam masyarakat Bali. Dalam masyarakat Bali, ada berbagai jenis upacara
pawiwahan yang disesuaikan dengan desa, kala, patra. Umumnya dalam
upacara perikahan di Bali, pihak pusrusa (laki-laki) memiliki peran andil
yang sangat besar dibandingkan dengan pihak pradana (perempuan). Tetapi
pada upacara Pernikahan Pada Gelahang tidak seperti pada umumnya.
Sehingga ini menarik minat penulis untuk membuat makalah yang berjudul
“Pawiwahan Pada Gelahang Menurut Hukum Hindu”.

1
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan Perkawinan Pada Gelahang

2. Bagaimana kaitannya Pernikahan Pada Gelahang terhadap perubahan


sosial di masyarakat Hindu

2
BAB II PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Perkawinan Pada Gelahang

Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut


Pawiwahan. Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi
atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “Wiwaha”.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari
bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut
yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian
pawiwahan tersebut antara lain: menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat saya simpulkan
bahwa pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara
seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang
diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.
Ada beberapa istilah yang dipergunakan untuk menyebut bentuk
perkawinan Pada Gelahang seperti, perkawinan negen dua, mapanak bareng,
negen dadua mepanak bareng, nadua umah, makaro lemah, magelar warang,
ada juga yang menyebutkan lumayan panjang seperti : perkawinan nyentana
(nyeburin) dengan perjanjian tanpa upacara mepamit. Apapun istilah yang
diperlukan pada dasarnya mengandung makna yang sama.
Dalam konteks perkawinan yang dilangsungkan umat hindu, istilah-
istilah tersebut mengandung makna, perkawinan yang dilangsungkan yang
dilangsungkan sesuai ajaran agama hindu dan hukum adat Bali, yang tidak
termasuk perkawinan biasa (dikenal pula dengan sebutan “kawin keluar”)
dan juga tidak termasuk perkawinan nyentana (dikenal pula dengan sebutan
kawin kejeburin atau “kawin kedalam”), melainkan suami dan istri tetap

3
berstatus kapurusa dirumahnya masing-masing, sehingga harus mengemban
dua tanggug jawab dan kewajiban (swadarma), yaitu meneruskan
tanggugjawab istri dan juga meneruskan tanggug jawab suami, sekala
maupun niskala, secara terus menerus atau dalam jangka waktu tertentu,
tergantung dari kesepakatan pasangan suami istri beserta keluarganya.
Menurut Ida Bagus Sudarsana, seorang tokoh Agama Hindu Dibali
mengemukakan bahwa "perkawinan dengan sistem makaro lemah atau
madua umah ini sangat didasarkan oleh kekerabatan yang sama, karena
waris kewaris dikemudian hari. Perkawinan ini terjadi karena dari kedua
pihak keluarga sama-sama tidak memiliki keluarga pewaris yang lain yang
berhak serta berkewajiban pada masing-masing keluarga tersebut. Pada
pewaris nanti diharapakan dari keturunan sang pengantin diberikan hak dan
kewajiban masing-masing. Perkawinan ini juga berdasarkan cinta sama
cinta, suka sama suka dan mendapat persetujuan dari kedua keluarga".
Walaupun dikenal banyak istilah untuk menyebut bentuk perkawinan
ini, dalam uraian selanjutnya akan dipergunakan perkawinan Pada
Gelahang, yang berarti duenang sareng atau “memiliki bersama”. Dipilihnya
istilah ini disebabkan 2 hal yaitu :
Istilah ini mudah dimengerti karena sudah umum dipergunakan
dalam kehidupan bermasyarakat.
Istilah ini juga sejalan dalam salah satu prinsip dasar dalam
mewujudkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat dibali, yaitu
duenang sareng atau “memiliki bersama”, yang mengandung makna “saling
menghargai”. (Dr.Wayan P. Windia,SH.,M.SI, dkk,2008:23-26)

1.2 Bagaimana kaitannya Pernikahan Pada Gelahang terhadap perubahan


sosial di masyarakat Hindu

Perkawinan Pada Gelahang oleh pasangan calon pengantin beserta


keluarganya, disebabkan karena pasangan calon pengantin terlahir sebagai
anak tunggal dirumahnya masing-masing, sehingga tidak mungkin melihat
bentuk perkawinan biasa atau bentuk perkawinan nyentana. Beberapa

4
pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang
karena saudara kandungnya diyakini tidak mungkin mengurus dan
meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya.
Berdasarkan beberapa contoh pasangan suami istri yang
melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, dapat diketahui bahwa faktor
yang membelakangi pasangan pengantin dan keluarga sepakat
melangsungkan perkawinan Pada Gelahang adalah :
1. Adanya kekhwatiran warisan yang ditinggalkan oleh orang tua dan
leluhur , baik yang berwujud tanggug jawab atau kewajiban
(swadharma) maupun hak (swadikara), tidak ada yang mengurus dan
meneruskan.

2. Adanya kesepakatan di antara calon pengantin beserta keluarganya,


untuk melangsungkan perkawinan Pada Gelahang.

Munculnya kekhwatiran bahwa warisan yang ditinggalakan oleh


orang tua dan leluhurnya tidak ada yang mengurus dan meneruskan,
didasarkan atas dua hal. Pertama, calon pasangan suami istri adalah anak
tunggal dirumahnya masing-masing. Kedua. Adanya keyakinan bahwa
saudaranya yang lain, tidak mungkin mengurus dan meneruskan warisan
yang ditinggalkan oleh orang tuanya, karena sesuatu sebab tertentu
seperti : sakit yang tidak mungkin disembuhkan, tidak dikaruniai
keturunan atau karena sudah melangsungkan perkawinan biasa (kawin
keluar).
Tata cara melangsungkan pepadikan dalam perkawinan biasa atau
perkawinan nyentana, dengan beberapa pembicaraan tambahan berupa
kesepakantan tambahan terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan
dan keberadaan anak-anak (keturunan) yang dilahirkan di kemudian hari.
Persamaannya antara lain dilaksanakan sesuai tata cara yang sudah
lazim berjalan seperti (memadik) sesuai dengan ajaran agama hindu.
Pembicaraan dimulai dari kedua calon pengantin, dilanjutkan dengan
melibatkan orang tua kedua belah pihak terakhir melibatkan keluarga
yang lebih luas serta disaksikan oleh prajuru (perangkat pimpinan) banjar

5
atau desa pakraman masing-masing. Materi pembicaraan tambahan
mengenai pelaksanaan upacara perkawinan dan keberadaan anak-anak
(keturunan) yang dilahirkan di kemudian hari , dapat dijelaskan sebagai
berikut. (Dr.Wayan P.Windia, SH.,M.Si,dkk,2008:51-52)
Dalam hal melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, kesibukan
tampak dikedua belah pihak, baik keluarga laki-laki, maupun keluarga
perempuan. Hal ini disebabkan karena semua pasangan pengantin yang
memilih bentuk perkawinan Pada Gelahang sepakat melangsungkan
upacara perkawinannya (upacara byakaonan) di dua tempat. Ditempat
kediaman suami dan di tempat kediaman istri, pada hari yang sama. Soal
di tempat mana dilaksanakan lebih dulu, lagi-lagi tergantung kesepakatan
kedua belah pihak beserta keluarganya. Ada yang melangsungkan
melangsungkan upacara di tempat kediaman suami lebih dulu, kemudian
dilanjutkan dengan upacara yang sama di tempat kediaman istri, atau
sebaliknya, ditempat kediaman istri pada pagi hari, kemudian pada sore
hari atau pada hari yang lain, dilanjutkan dengan upacara yang sama
ditempat kediaman suami.
Semua pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada
Gelahang, tidak melanjutkanya dengan melaksanakan upacara mapejati di
tempat pemujaan keluarga (sanggah). Selain itu, semua pasangan suami
istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, juga merumuskan
kesepakatan keluarga mengenai masa depan kehidupan pasangan suami
istri ini, pada waktu dilaksanakannya pembicaraan meminang (memadik)
mengenai bentuk dan substansi pokok kesepatan keluarga yang dimaksud,
tampak seperti di uraikan di bawah ini.( Dr.Wayan P.Windia,
SH.,M.Si,dkk, 2008: 52-53)
Adanya kesepakantan calon pengantin dan keluarganya bahwa
mereka akan melangsukan perkawinan Pada Gelahang, merupakan salah
satu unsur penting dapat dilangsungkannya perkawinan yang dimaksud.
Rintisan kearah tercapainya kesepakatan biasanya telah dimulai secara
informal oleh orang tuan masing-masing, semasa calon pengantin masih
berstatus berpacaran (magelanan). Apabila peluang dianggap terbuka,

6
barulah melanjutkan dengan pembicaraan yang lebih formal, pada waktu
pembicaraan antara orang tua kedua belah pihak. Kesepakatan yang di
dapat pada waktu pembicaraan informal ini diteruskan dalam penentuan
formal, yaitu pada waktu melangsungkan Pepandikan (meminang).
Disaksikan keluarga yang lebih luas dan perangkat pimpinan (prajuru)
banjar atau Desa Pakraman.
Lebih dari itu, kesepakan keluarga mengenai bentuk perkawinan
Pada Gelahang yang dipilih, tata cara melangsungkannya, tanggung
jawab (swadarma) para pihak dikemudian hari terhadap kelurga dan orang
tua masing-masing, serta keberadaan anak-anak (keturunan) yang
dilahirkan, pada umumnya disampaikan secara lisan dengan disaksikan
oleh prajuru adat dan keluarga besar masing-masing. Hanya beberapa
keluarga saja yang membuat kesepakan yang dituangkan dalam bentuk
perjanjian atau pernyataan tertulis.( Dr.Wayan P.Windia,
SH.,M.Si,dkk,2008:53-54)
Perubahan signifikan dalam hubungan dengan melaksanakan
perkawinan dan perceraian diBali, terjadi setelah berlakunya U.U. No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan. Perubahan terutama tampak pada
persyaratan perkawinan dan perceraian serta penyelesaian administrasi
atau akte perkawinan dan akte perceraian bagi pasanagan suami istri yang
bercerai. Walaupun pada awal berlakunya, ketentuan ini tidak efektif,
tetapi sekarang ini tidak ada pasangan suami istri yang telah kawin, tidak
memiliki akte perkawinan. Demikian pula halnya dengan akte perceraian
bagi pasangan suami istri yang bercerai.
Akte perkawinan bagi pasangan suami istri yang memilih bentuk
perkawinan nyentana, juga dibuat sesuai dengan tata cara pembuatan akte
perkawianan yang berlaku secara nasional, dengan catatan yang
menerangkan bahwa “pihak istri yang berkedudukan sebagai purusa”.
Akte perkawinan untuk bentuk perkawianan Pada Gelahang,
sampai sekarang belum ada persamaan persepsi, sehingga belum beragam.
Hal itu dapat diketahui dari beberapa akte perkawinan pasangan suami istri
yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, yang dilangsungkan

7
sebelum maupun sesudah berlakunya undang-undang no 1 tahun 1974
tentang perkawinan.
Berkaitan dengan domisili sesudah perkawinan dilangsungkan,
ditemui adanya variasi domosili. Ada pasangan suami istri yang telah
memilih dirumah suaminya, ditempat kediaman yang baru dan ada pula
yang menggunakan semacam jadwal. Dalam hal ini yang penting bukan
domisilinya, melaikan keanggotaannya didesa pakramannya. Sesuai
dengan latar belakang dan faktor penyebab dilangsungkannya perkawianan
Pada Gelahang, maka dengan sendirinya pasangan suami istri ini tercatat
sebagai anggota (krama desa) didua desa pakraman, kalau pasanagn suami
istri ini berasal dari desa pakraman yang berbeda. Tetapi kenyataanya ,
keanggotaannya (pipil) mereka sering kurang jelas. Kekurang jelasan ini
disebabkan oleh dua hal.
Sampai sekarang krama desa memang belum meliliki kartu tanda
krama desa (KTKD) bagi semua anggota keluarga ditempat yang
bersangkutan tercatat (mipil), sehinggah segala kewajiban (swadharma)
terhadap masyarakat dilaksanakan oleh orang tua atau mertuanya. Sesudah
anak yang dilahirkan oleh pasangan suami istri Pada Gelahang dianggap
dewasa dan orang tuanya bestatus nyada, barulah pipil di Desa Pakraman
digantikan oleh salah seorang keturunannya.
Keberadaan perkawinan Pada Gelahang dilangsungkan di Bali, satu
hal yang patut dicatat adalah bahwa dari tahun ketahun pelaksanaan Pada
Gelahang, senantiasa mengalami peningkatan. Tim peneliti menduga, pada
tahun mendatang jumlah pasangan suami istri yang melilih bentuk
perkawinan ini cendrung akan semakin meningkat. Munculnya kenyataan
ini disebabkan oleh beberapa hal.
Kemajuan dalam bidang pendidikan yang mendorong semakin
tumbuhnya kesadaran akan hak asasi manusia (HAM) dan penghargaan
terhadap harkat dan martabat manusia, serta semakin tumbuhnya
kesadaran akan kesetaraan. (Dr.Wayan P. Windia,SH.,M.SI,2008:59-69 )

8
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa Perkawinan Pada Gelahang adalah salah satu sistem perkawinan di
Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak
sebagai Purusa. Perkawinan Pada Gelahang tidak bertentangan dengan Adat
Bali maupun Ajaran Agama Hindu. Adapun dampak secara nyata dari
sistem perkawinan ini yaitu: pasutri memiliki beban gandan dalam
melaksanakan kewajiban dalam Desa Pakraman seperti ayah-ayahan di
pura, banjar, dll. Jika pasutri hanya memiliki satu anak, maka beban anak
akan berlipat ganda apalagi anak tersebut akan menikah.

3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini, adapun saran - saran yang dapat
penulis berikan yaitu adalah sebagai berikut:

1. Sistem Perkawinan Pada Gelahang hendaknya dapat dijadikan solusi di


dalam sistem perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat Bali.

2. Hendaknya masyarakat memiliki pemikiran yang luas dan memahami


persamaan gender di dalam Masyarakat Bali.

9
DAFTAR PUSTAKA

Martami, Ny. M. 1993. Tata Rias Pengnatin Bali. Denpasar : Upada Satra

Ida Bagus Anom. Perkawinan Menurut Adat Agama Hindu. Denpasar : Cv. Kayu
Mas Agung.

P. Windia,Wayan,dkk. 2008. Perkawinan Pada Gelahang di Bali. Denpasar :


Udayana University Press.

Pudja.G.M.A. 1996. Manawa Dharmasastra. Jakarta : Hanoman Sakti.

Undang-undang Perkawinan no 1 Tahun 1974.

10

Anda mungkin juga menyukai