TUGAS AGAMA HINDU Revisi
TUGAS AGAMA HINDU Revisi
TUGAS AGAMA HINDU Revisi
OLEH :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MAHASARASWATI
2017
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-
Nya, penulis dapat menyelesaikan pembuatan dan penulisan makalah yang
berjudul ”PERKAWINAN PADA GELAHANG MENURUT HUKUM HINDU”.
Dan harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki
bentuk maupun isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Dalam penyusunan laporan ini, tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang
disebabkan karena keterbatasan kemampuan dan pengalaman penulis. Penulis
yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca, demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
3.1 Kesimpulan................................................................................................9
3.2 Saran..........................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................10
iii
BAB I PENDAHULUAN
Bali merupakan pulau yang memiliki adat istiadat dan budaya yang
sangat erat dengan kehidupan masyarakat setempat yang sebagian besar
beragama Hindu. Dimana antara budaya dan agama telah menyatu, sehingga
sering disebut bahwa Agama Hindu merupakan roh dari Budaya Bali.
1
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut :
2
BAB II PEMBAHASAN
3
berstatus kapurusa dirumahnya masing-masing, sehingga harus mengemban
dua tanggug jawab dan kewajiban (swadarma), yaitu meneruskan
tanggugjawab istri dan juga meneruskan tanggug jawab suami, sekala
maupun niskala, secara terus menerus atau dalam jangka waktu tertentu,
tergantung dari kesepakatan pasangan suami istri beserta keluarganya.
Menurut Ida Bagus Sudarsana, seorang tokoh Agama Hindu Dibali
mengemukakan bahwa "perkawinan dengan sistem makaro lemah atau
madua umah ini sangat didasarkan oleh kekerabatan yang sama, karena
waris kewaris dikemudian hari. Perkawinan ini terjadi karena dari kedua
pihak keluarga sama-sama tidak memiliki keluarga pewaris yang lain yang
berhak serta berkewajiban pada masing-masing keluarga tersebut. Pada
pewaris nanti diharapakan dari keturunan sang pengantin diberikan hak dan
kewajiban masing-masing. Perkawinan ini juga berdasarkan cinta sama
cinta, suka sama suka dan mendapat persetujuan dari kedua keluarga".
Walaupun dikenal banyak istilah untuk menyebut bentuk perkawinan
ini, dalam uraian selanjutnya akan dipergunakan perkawinan Pada
Gelahang, yang berarti duenang sareng atau “memiliki bersama”. Dipilihnya
istilah ini disebabkan 2 hal yaitu :
Istilah ini mudah dimengerti karena sudah umum dipergunakan
dalam kehidupan bermasyarakat.
Istilah ini juga sejalan dalam salah satu prinsip dasar dalam
mewujudkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat dibali, yaitu
duenang sareng atau “memiliki bersama”, yang mengandung makna “saling
menghargai”. (Dr.Wayan P. Windia,SH.,M.SI, dkk,2008:23-26)
4
pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang
karena saudara kandungnya diyakini tidak mungkin mengurus dan
meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya.
Berdasarkan beberapa contoh pasangan suami istri yang
melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, dapat diketahui bahwa faktor
yang membelakangi pasangan pengantin dan keluarga sepakat
melangsungkan perkawinan Pada Gelahang adalah :
1. Adanya kekhwatiran warisan yang ditinggalkan oleh orang tua dan
leluhur , baik yang berwujud tanggug jawab atau kewajiban
(swadharma) maupun hak (swadikara), tidak ada yang mengurus dan
meneruskan.
5
atau desa pakraman masing-masing. Materi pembicaraan tambahan
mengenai pelaksanaan upacara perkawinan dan keberadaan anak-anak
(keturunan) yang dilahirkan di kemudian hari , dapat dijelaskan sebagai
berikut. (Dr.Wayan P.Windia, SH.,M.Si,dkk,2008:51-52)
Dalam hal melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, kesibukan
tampak dikedua belah pihak, baik keluarga laki-laki, maupun keluarga
perempuan. Hal ini disebabkan karena semua pasangan pengantin yang
memilih bentuk perkawinan Pada Gelahang sepakat melangsungkan
upacara perkawinannya (upacara byakaonan) di dua tempat. Ditempat
kediaman suami dan di tempat kediaman istri, pada hari yang sama. Soal
di tempat mana dilaksanakan lebih dulu, lagi-lagi tergantung kesepakatan
kedua belah pihak beserta keluarganya. Ada yang melangsungkan
melangsungkan upacara di tempat kediaman suami lebih dulu, kemudian
dilanjutkan dengan upacara yang sama di tempat kediaman istri, atau
sebaliknya, ditempat kediaman istri pada pagi hari, kemudian pada sore
hari atau pada hari yang lain, dilanjutkan dengan upacara yang sama
ditempat kediaman suami.
Semua pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada
Gelahang, tidak melanjutkanya dengan melaksanakan upacara mapejati di
tempat pemujaan keluarga (sanggah). Selain itu, semua pasangan suami
istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, juga merumuskan
kesepakatan keluarga mengenai masa depan kehidupan pasangan suami
istri ini, pada waktu dilaksanakannya pembicaraan meminang (memadik)
mengenai bentuk dan substansi pokok kesepatan keluarga yang dimaksud,
tampak seperti di uraikan di bawah ini.( Dr.Wayan P.Windia,
SH.,M.Si,dkk, 2008: 52-53)
Adanya kesepakantan calon pengantin dan keluarganya bahwa
mereka akan melangsukan perkawinan Pada Gelahang, merupakan salah
satu unsur penting dapat dilangsungkannya perkawinan yang dimaksud.
Rintisan kearah tercapainya kesepakatan biasanya telah dimulai secara
informal oleh orang tuan masing-masing, semasa calon pengantin masih
berstatus berpacaran (magelanan). Apabila peluang dianggap terbuka,
6
barulah melanjutkan dengan pembicaraan yang lebih formal, pada waktu
pembicaraan antara orang tua kedua belah pihak. Kesepakatan yang di
dapat pada waktu pembicaraan informal ini diteruskan dalam penentuan
formal, yaitu pada waktu melangsungkan Pepandikan (meminang).
Disaksikan keluarga yang lebih luas dan perangkat pimpinan (prajuru)
banjar atau Desa Pakraman.
Lebih dari itu, kesepakan keluarga mengenai bentuk perkawinan
Pada Gelahang yang dipilih, tata cara melangsungkannya, tanggung
jawab (swadarma) para pihak dikemudian hari terhadap kelurga dan orang
tua masing-masing, serta keberadaan anak-anak (keturunan) yang
dilahirkan, pada umumnya disampaikan secara lisan dengan disaksikan
oleh prajuru adat dan keluarga besar masing-masing. Hanya beberapa
keluarga saja yang membuat kesepakan yang dituangkan dalam bentuk
perjanjian atau pernyataan tertulis.( Dr.Wayan P.Windia,
SH.,M.Si,dkk,2008:53-54)
Perubahan signifikan dalam hubungan dengan melaksanakan
perkawinan dan perceraian diBali, terjadi setelah berlakunya U.U. No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan. Perubahan terutama tampak pada
persyaratan perkawinan dan perceraian serta penyelesaian administrasi
atau akte perkawinan dan akte perceraian bagi pasanagan suami istri yang
bercerai. Walaupun pada awal berlakunya, ketentuan ini tidak efektif,
tetapi sekarang ini tidak ada pasangan suami istri yang telah kawin, tidak
memiliki akte perkawinan. Demikian pula halnya dengan akte perceraian
bagi pasangan suami istri yang bercerai.
Akte perkawinan bagi pasangan suami istri yang memilih bentuk
perkawinan nyentana, juga dibuat sesuai dengan tata cara pembuatan akte
perkawianan yang berlaku secara nasional, dengan catatan yang
menerangkan bahwa “pihak istri yang berkedudukan sebagai purusa”.
Akte perkawinan untuk bentuk perkawianan Pada Gelahang,
sampai sekarang belum ada persamaan persepsi, sehingga belum beragam.
Hal itu dapat diketahui dari beberapa akte perkawinan pasangan suami istri
yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, yang dilangsungkan
7
sebelum maupun sesudah berlakunya undang-undang no 1 tahun 1974
tentang perkawinan.
Berkaitan dengan domisili sesudah perkawinan dilangsungkan,
ditemui adanya variasi domosili. Ada pasangan suami istri yang telah
memilih dirumah suaminya, ditempat kediaman yang baru dan ada pula
yang menggunakan semacam jadwal. Dalam hal ini yang penting bukan
domisilinya, melaikan keanggotaannya didesa pakramannya. Sesuai
dengan latar belakang dan faktor penyebab dilangsungkannya perkawianan
Pada Gelahang, maka dengan sendirinya pasangan suami istri ini tercatat
sebagai anggota (krama desa) didua desa pakraman, kalau pasanagn suami
istri ini berasal dari desa pakraman yang berbeda. Tetapi kenyataanya ,
keanggotaannya (pipil) mereka sering kurang jelas. Kekurang jelasan ini
disebabkan oleh dua hal.
Sampai sekarang krama desa memang belum meliliki kartu tanda
krama desa (KTKD) bagi semua anggota keluarga ditempat yang
bersangkutan tercatat (mipil), sehinggah segala kewajiban (swadharma)
terhadap masyarakat dilaksanakan oleh orang tua atau mertuanya. Sesudah
anak yang dilahirkan oleh pasangan suami istri Pada Gelahang dianggap
dewasa dan orang tuanya bestatus nyada, barulah pipil di Desa Pakraman
digantikan oleh salah seorang keturunannya.
Keberadaan perkawinan Pada Gelahang dilangsungkan di Bali, satu
hal yang patut dicatat adalah bahwa dari tahun ketahun pelaksanaan Pada
Gelahang, senantiasa mengalami peningkatan. Tim peneliti menduga, pada
tahun mendatang jumlah pasangan suami istri yang melilih bentuk
perkawinan ini cendrung akan semakin meningkat. Munculnya kenyataan
ini disebabkan oleh beberapa hal.
Kemajuan dalam bidang pendidikan yang mendorong semakin
tumbuhnya kesadaran akan hak asasi manusia (HAM) dan penghargaan
terhadap harkat dan martabat manusia, serta semakin tumbuhnya
kesadaran akan kesetaraan. (Dr.Wayan P. Windia,SH.,M.SI,2008:59-69 )
8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa Perkawinan Pada Gelahang adalah salah satu sistem perkawinan di
Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak
sebagai Purusa. Perkawinan Pada Gelahang tidak bertentangan dengan Adat
Bali maupun Ajaran Agama Hindu. Adapun dampak secara nyata dari
sistem perkawinan ini yaitu: pasutri memiliki beban gandan dalam
melaksanakan kewajiban dalam Desa Pakraman seperti ayah-ayahan di
pura, banjar, dll. Jika pasutri hanya memiliki satu anak, maka beban anak
akan berlipat ganda apalagi anak tersebut akan menikah.
3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini, adapun saran - saran yang dapat
penulis berikan yaitu adalah sebagai berikut:
9
DAFTAR PUSTAKA
Martami, Ny. M. 1993. Tata Rias Pengnatin Bali. Denpasar : Upada Satra
Ida Bagus Anom. Perkawinan Menurut Adat Agama Hindu. Denpasar : Cv. Kayu
Mas Agung.
10