Anda di halaman 1dari 131

DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG

USAHA DI PERDESAAN

(Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih,

Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)

OLEH :

NONOS MAFIANOS

A14201002

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006
RINGKASAN

NONOS MAFIANOS. DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA


TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN
PELUANG USAHA DI PERDESAAN. Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata
Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur,
Propinsi Jawa Barat. (Di bawah bimbingan MURDIANTO).

Pada tahun 1980-an, pembangunan sektor pariwisata bukanlah sektor

yang diprioritaskan dalam pengumpulan devisa negara. Keadaan ini berubah

ketika harga minyak bumi di pasaran internasional merosot tajam, sehingga

sektor pariwisata menjadi sektor andalan untuk menghasilkan devisa negara.

Pembangunan pariwisata membutuhkan lahan, dimana keberadaan lahan di

perdesaan memiliki peranan penting. Selain rumahtangga petani, terdapat juga

pemerintah dan pemilik modal yang memiliki kepentingan atas lahan.

Pengembangan wisata yang membutuhkan lahan dapat mempengaruhi

perubahan struktur agraria masyarakat lokal. Maka tujuan dari penelitian ini

adalah menganalisis perubahan struktur agraria masyarakat lokal, perubahan

kelembagaan masyarakat lokal, dan menganalisis ada atau tidak adanya peluang

usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung

pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan metode penelitian

survai. Penelitian dilaksanakan di Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet,

Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat dan tempat wisata yang bernama Kota

Bunga yang terletak di desa yang sama. Data yang dikumpulkan adalah data

primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan

alat bantu kuesioner dan panduan pertanyaan. Data sekunder diambil dari data

Desa Sukanagalih, kantor Kota Bunga, instansi-instansi seperti Bappeda, Dinas

Perhubungan dan Pariwisata, serta laporan-laporan penelitian. Teknik

penentuan responden menggunakan metode Pengambilan Sampel Gugus


Sederhana (Simple Cluster Sampling). Pengolahan data menggunakan uji

statistik Chi-Square dan Korelasi Rank Spearman dengan menggunakan

program SPSS versi 11.0. Sementara itu, data hasil wawancara dirangkum dan

diorganisasikan sesuai kebutuhan penelitian. Responden yang dipilih adalah

petani pemilik lahan yang sekarang dibangun Kota Bunga. Jumlah responden

yang diambil sebanyak 30 orang.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa awalnya Kota Bunga

bernama Taman Mawar dengan luas wilayah sekitar 40 ha. Sekitar tahun 1996,

nama tersebut berubah menjadi Kota Bunga. Pembangunan Kota Bunga diatur

oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 1999 tentang

Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) dan Rencana Tata

Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cianjur.

Sebelum tahun 1993, lahan-lahan yang sekarang dibangun fasilitas

pariwisata Kota Bunga masih dimiliki petani. Lahan-lahan tersebut sebagian

besar dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan tempat tinggal. Pola

kepemilikan lahan petani berubah setelah pembangunan fasilitas pariwisata Kota

Bunga. Perubahan itu bervariasi, ada petani yang sebelum pembangunan

fasilitas memiliki lahan yang tergolong luas, namun setelah pembangunan

fasilitas pariwisata, petani tersebut tergolong menjadi petani yang memiliki lahan

sedang, atau justru sebaliknya. Hal ini dibuktikan dari hasil uji statistik Korelasi

Rank Spearmen untuk melihat hubungan antara luas kepemilikan lahan sebelum

pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga dan Setelah pembangunan

fasilitas pariwisata Kota Bunga. Hasil uji tersebut menyatakan bahwa pada taraf

nyata 0,05 dengan rho hitung 0,897 dan rho tabel 0,364 ternyata ada kesesuaian

antara luas kepemilikan lahan petani sebelum dan setelah pembangunan fasilitas

pariwisata Kota Bunga. Perubahan tersebut terjadi disebabkan beberapa faktor,


salah satunya yaitu tingkat harga jual lahan. Tingkat harga jual lahan yang

didapatkan petani bervariasi tergantung lokasi lahan, kegunaan lahan, masa

penjualan, dan keahlian petani dalam hal tawar menawar harga jual lahan.

Sebelum pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, sebagian besar

masyarakat Desa Sukanagalih menggantungkan hidupnya dari hasil bertani.

Hampir setiap warga kampung terlibat dalam kegiatan bercocok tanam. Kegiatan

bertani ini dilakukan secara bersama-sama dan saling tolong menolong antar

tetangga, mulai dari kegiatan menanam, memberantas hama, memperbaiki

saluran air, hingga panen. Tujuan bertani semata-mata hanya untuk memenuhi

kebutuhan dasar (subsisten). Maka kegiatan-kegiatan ini menjadi ciri khas sifat

kelembagaan masyarakat Desa Sukanagalih yaitu gotong royong.

Setelah adanya pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga,

masyarakat Desa Sukanagalih mengalami perubahan kelembagaan dalam

bertani. Sifat kelembagaan setelah pembangunan Kota Bunga yaitu komersil,

dimana segala sifat kerja atau aktivitas dinilai dengan uang. Berbeda dengan

sifat kelembagaan sebelum pembangunan fasilitas pariwisata, masyarakat masih

bersedia membantu tetangganya bertani dengan dasar tolong menolong.

Peluang usaha di sektor wisata setelah pembangunan Kota Bunga

ternyata rendah. Peluang usaha yang dapat dimasuki masyarakat lokal yaitu

usaha membuka rumah makan dan jasa angkutan, baik angkutan kendaraan

beroda empat maupun kendaraan beroda dua. Peluang kerja yang ada pun

rendah. Peluang kerja yang dapat dimasuk i masyarakat lokal adalah sebagai

buruh pencabut rumput di Kota Bunga.

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah pembangunan

fasilitas pariwisata Kota Bunga mengakibatkan perubahan kepemilikan lahan

masyarakat lokal dan kelembagaan. Dalam hal peluang usaha dan peluang
kerja, pembangunan fasilitas pariwisata tidak memberikan perubahan mata

pencaharian. Bahkan, hampir tidak ada peluang usaha bagi masyarakat lokal.

Saran bagi penelitian ini adalah agar Perusahaan Kota Bunga memberikan

peluang kerja bagi masyarakat lokal karena izin pembangunan Kota Bunga

terkait dengan janji perusahaan melakukan pengembangan masyarakat.


DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG

USAHA DI PERDESAAN

(Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih,

Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)

SKRIPSI

Se bagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

SARJANA PERTANIAN

pada

Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006
ii

Judul : Dampak Pembangunan Fasilitas Pariwisata terhadap

Perubahan Struktur Agraria, Kelembagaan dan Peluang

Usaha di Perdesaan (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata

Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten

Cianjur, Propinsi Jawa Barat)

Nama : Nonos Mafianos

NRP : A14201002

Program Studi : Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Ir. Murdianto, MSi.

NIP. 131 999 962

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr

NIP. 130 422 698

Tanggal disetujui : Jan uari 2006

ii
iii

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

”DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA

DI PERDESAAN (KASUS DI SEKITAR KAWASAN PARIWISATA KOTA

BUNGA, DESA SUKANAGALIH, KECAMATAN PACET, KABUPATEN

CIANJUR, PROPINSI JAWA BARAT)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA

PERGURUAN TINGGI MANAPUN ATAU LEMBAGA LAIN UNTUK TUJUAN

MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN

BAHWA PENELITIAN INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN

TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU

DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN

YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Januari 2006

Nonos Mafianos

A14201002

iii
iv

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis merupakan anak ke dua dari dua bersaudara pasangan Bapak M.

Masjkur Iljas dan Ibu Yeti Sumiati. Penulis dilahirkan di Kota Rangkasbitung,

Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten pada tanggal 20 April

1983. Riwayat pendidikan penulis diawali dengan pendidikan Sekolah Dasar di

SD Negeri 4 Rangkasbitung pada tahun 1989 hingga 1995. Pada tahun 1995

hingga tahun 1998 penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 4 Rangkasbitung.

Selama tiga tahun berikutnya penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1

Rangkasbitung yaitu pada tahun 1998 sampai dengan 2001. Pada tahun 2001,

penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi

Mahasiswa IPB (USMI) pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif pada Divisi Hubungan

Masyarakat, Departemen Sosial dan Budaya, Keluarga Mahasiswa Banten pada

tahun 2002-2006. Selain itu, penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan yang

diselenggarakan oleh mahasiswa angkatan 38 Program Studi Komunikasi

Pengembangan Masyarakat.

iv
v

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “Dampak Pembangunan Fasilitas Pariwisata terhadap Perubahan Struktur

Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di Perdesaan (Kasus di Sekitar

Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet,

Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)”. Penulisan skripsi merupakan

prasyarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Pertanian pada

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Adapun uraian isi dari laporan penelitian ini adalah Bab I menguraikan

latar belakang dari penelitian ini; Bab II Mencakup tinjauan-tinjau an pustaka yang

bekaitan dengan kebijakan kepariwisataan, perubahan struktur agraria,

kelembagaan, peluang usaha, pelapisan sosial, dan marginalisasi petani; Bab III

menjelaskan metode yang digunakan dalam penelitian ini; Bab IV berisi

gambaran lokasi penelitian; Bab V, Bab VI, Bab VII, Bab VIII merupakan analisis

dan pembahasan masalah penelitian; dan Bab IX Merupakan Bab yang berisi

kesimpulan dan saran yang direkomendasikan peneliti.

Laporan skripsi ini penulis persembahkan dengan penuh pengharapan

semoga cakrawala keilmuwan semakin memperkaya jiwa para pembaca dan

semakin mendorong kita untuk selalu belajar. Penulis juga mengharapkan bahwa

tulisan ini dapat menggugah kepekaan kita tentang fakta sosial menyangkut

kehidupan petani dan masyarakat desa hutan.

Bogor, Januari 2006

Penulis

v
vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam pelaksanaan dan penulisan Penelitian ini, penulis banyak dibantu

oleh berbagai pihak, baik itu bantuan moril maupun materiil. Untuk itu, penulis

ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

• Ir. Murdianto, MSi sebagai Dosen Pembimbing Skripsi atas dorongan dan

bantuannya dalam penyelesaian skripsi.

• Ir. Said Rusli, MA atas kesediannya menjadi Penguji Utama pada saat ujian

skripsi dan Ir. Dwi Sadono, MSi yang bersedia menjadi Dosen Penguji

Komisi Pendidikan Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian.

• M. Masjkur Iljas dan Yeti Sumiati orang tua penulis atas kasih sayang dan

dukungannya selama ini. Selain itu juga kepada Nonih Rostini dan Agung

Suryandaru yang merupakan saudari dan ipar atas bantuannya

memfasilitasi kelancaran skripsi.

• Wydia Fermata, SP; Rizal Razak, SP; Dewi Lestari, SP; Santi Setiawati;

Cecilia Evita; Dini Harmita; Retno Puji Astuti; Telly Imelda, SP yang telah

membantu proses editing dan kelancaran pelaksanaan ujian skripsi.

• Martua Sihaloho, SP, MSi; Eko Dafid Afianto, SP; Wawuk Kristian Wijaya,

SP; Wijanarko, SP; dan Ahmad Solihin, SPi untuk semua bantuan moril dan

materiil, serta diskusi yang bermanfaat selama penyelesaian skripsi.

• Masyarakat Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur,

Propinsi Jawa Barat atas kesediaanya menjadi responden dan informan

dalam skripsi ini.

vi
vii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .......................................................................................v

DAFTAR TABEL............................................................................................ xii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................xiv

BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................1

1.2 Perumusan Masalah ..............................................................7

1.3 Tujuan Penelitian.................................................................... 9

1.4 Manfaat Penelitian................................................................ 10

1.5 Batasan Penelitian................................................................ 10

BAB II PENDEKATAN TEORITIS ..........................................................11

2.1 Tinjauan Pustaka .................................................................11

2.1.1 Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Tentang


Pembangunan Fasilitas Pariwisata........................ 11

2.1.2 Pengembangan Kepariwisataan.............................14

2.1.3 Alih Fungsi Lahan dan Perubahan Struktur


Agraria .................................................................... 17

2.1.4 Kelembagaan .........................................................22

2.1.5 Masyarakat Petani..................................................24

2.1.6 Peluang Usaha di Sektor Wisata ............................ 27

2.2 Kerangka Pemikiran .............................................................28

vii
viii

2.3 Hipotesa Uji ..........................................................................32

2.4 Definisi Konseptual dan Operasional ..................................32

2.4.1 Definisi Konseptual .................................................32

2.4.2 Definisi Operasional ................................................ 34

BAB III METODOLOGI ............................................................................ 37

3.1 Pendekatan Penelitian .........................................................37

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...............................................37

3.3 Teknik Pengambilan Data.................................................... 38

3.4 Teknik Penentuan Responden ............................................ 38

3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data.................................39

BAB IV PROFIL LOKASI PENELITIAN ...................................................41

4.1 Kondisi Geografis Desa .......................................................41

4.2 Kondisi Pertanian Desa Sukanagalih ..................................43

4.3 Demografi Desa ...................................................................44

4.3.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Desa


Sukanagalih ............................................................ 44

4.3.2 Komposisi Penduduk Menurut Umur......................45

4.3.3 Komposisi Penduduk Menurut Tingkat


Pendidikan ..............................................................46

4.3.4 Komposisi Penduduk Menurut Mata


Pencaharian ............................................................ 47

4.4 Kelembagaan Desa Sukanagalih ........................................ 48

4.5 Kepariwisataan dan Profil Kota Bunga ................................ 50

4.6 Gambaran Umum Responden .............................................56

viii
ix

BAB V KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PEMBANGUNAN


DAN PENGELOLAAN FASILITAS PARIWISATA.....................58

5.1 Kebijakan Pemerintah tentang Rencana


Tata Ruang Wilayah .............................................................58

5.2 Peraturan-Peraturan Mengenai


Pembebasan Lahan .............................................................62

5.3 Peraturan-Peraturan Mengenai


Pembangunan dan Pengelolaan Fasilitas
Pariwisata .............................................................................65

BAB VI ALIH FUNGSI LAHAN DAN PERUBAHAN


STRUKTUR AGRARIA................................................................ 69

6.1 Proses Alih Fungsi Lahan .................................................... 69

6.2 Perubahan Struktur Agraria .................................................72

6.3 Perubahan Struktur Agraria dan Mata Pencaharian


Penduduk .............................................................................78

BAB VII PERUBAHAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT


DESA SUKANAGALIH................................................................ 83

7.1 Kelembagaan Masyarakat Desa Sukanagalih


sebelum Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga ...83

7.2 Kelembagaan dan Mata Pencaharian Masyarakat


Desa Sukanagalih Setelah Pembangunan Fasilitas
Pariwisata Kota Bunga....................................................... 84

BAB VIII PELUANG USAHA DAN PELUANG KERJA DI


SEKTOR PARIWISATA ..............................................................88

8.1 Peluang Usaha di Sektor Pariwisata .................................... 88

8.2 Peluang Kerja di Sektor Pariwisata .....................................91

8.3 Tingkat Pendapatan Masyarakat setelah Pembangunan


Fasilitas Pariwisata Kota Bunga...........................................93

ix
x

BAB IX PENUTUP .................................................................................... 95

9.1 Kesimpulan ...........................................................................95

9.2 Saran .....................................................................................96

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 98

LAMPIRAN................................................................................................. 105

x
xi

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Tabel 1 Struktur Penguasaan Lahan Pertanian di


Indonesia Tahun 1993 ........................................................... 5

Tabel 2 Matriks Masalah, Data yang Dibutuhkan, Sumber


Data, dan Metodologi Penelitian.......................................... 40

Tabel 3 Kegunaan dan Luas Lahan Desa Sukanagalih................... 43

Tabel 4 Komposisi Penduduk Desa Sukanagalih Menurut


Umur .................................................................................... 45

Tabel 5 Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Sukanagalih ............ 46

Tabel 6 Komposisi Penduduk Desa Sukanagalih Menurut


Mata Pencaharian ................................................................ 47

Tabel 7 Tingkat Gaji Karyawan Kota Bunga..................................... 53

Tabel 8 Tingkat Pendidikan Karyawan Kota Bunga ......................... 54

Tabel 9 Luas Kepemilikan Lahan Responden sebelum dan


setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota
Bunga ................................................................................... 57

Tabel 10 Hubungan Antara Tingkat Keragaman Tingkat


Jumlah Produk Wisata dan Tingkat Jual Beli Lahan........... 74

Tabel 11 Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan


Sebelum Adanya Kota Bunga dan Luas
Kepemilikan Lahan Setelah Adanya Kota Bunga ............... 76

Tabel 12 Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan


Sebelum Adanya Kota Bunga dan Perubahan
Jenis Pekerjaan Uta ma Setelah Adanya Kota
Bunga .................................................................................. 79

Tabel 13 Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan


Sebelum Adanya Kota Bunga dan Perubahan
Jenis Pekerjaan Sampingan Sebelum Adanya
Kota Bunga .......................................................................... 80

Tabel 14 Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan


Sebelum Adanya Kota Bunga dan Perubahan
Jenis Pekerjaan Samping an Setelah Adanya Kota
Bunga .................................................................................. 81

xi
xii

Tabel 15 Hubungan Antara Tingkat Peluang Usaha dan


Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota
Bunga ................................................................................... 91

Tabel 16 Hubungan Antara Tingkat Peluang Usaha dan


Jenis pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota
Bunga ................................................................................... 91

Tabel 17 Hubung an Antara Tingkat Peluang Kerja dan Jenis


Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga .................. 92

Tabel 18 Hubungan Antara Jenis Pekerjaan Utama Setelah


Adanya Kota Bunga dan Tingkat Pendapatan
Setelah Adanya Kota Bunga ................................................ 93

Tabel 19 Hubungan Antara Perubahan Jenis Pekerjaan


Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga dan
Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga.............. 94

xii
xiii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Gambar 1 Proses Pembentukan Kelembagaan dalam


Masyarakat...........................................................................23

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Dampak Pembangunan


Fasilitas Pariwisata Terhadap Perubahan Struktur
Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di
Perdesaan ............................................................................ 31

xiii
xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Lampiran 1 Hasil Uji Statistik Korelasi Rank Spearman ....................... 101

Lampiran 2 Hasil Uji Statistik Chi-Square ............................................. 105

Lampiran 3 Peta Desa Sukanagalih ...................................................... 106

Lampiran 4 Gambaran Tempat Fasilitas Pariwisata Kota Bunga......... 107

Lampiran 5 Jalan Penghubung Antara Kota Bunga dan


Permukiman Penduduk ...................................................... 109

Lampiran 6 Luas Kepemilikan Lahan Responden Sebelum dan


Setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota
Bunga.................................................................................. 111

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada awal tahun 1980-an, pembangunan sektor pariwisata bukanlah

sektor yang diprioritaskan dalam pengumpulan devisa negara. Keadaan ini

berubah ketika harga minyak bumi di pasaran internasional merosot tajam,

kemudian sektor pariwisata menjadi sektor yang didorong untuk menghasilkan

devisa negara (Suhendar dan Winarni, 1998). Padahal sebelumnya yaitu pada

tahun 1978 pemerintah Indonesia telah mengeluarkan TAP MPR No.

IV/MPR/1978 tentang perlunya pengembangan kepariwisataan. Kebijakan

tersebut berisi pernyataan bahwa kepariwisataan dapat meningkatkan

penerimaan devisa negara, memperluas lapangan kerja, dan memperkenalkan

kebudayaan. Pembinaan dan pengembangan pariwisata ini dilakukan dengan

tetap memperhatikan pemeliharaan kebudayaan dan kepribadian nasional.

Dalam hal memperluas kesempatan kerja, pada tahun 1973 sektor

pariwisata terbukti memberikan kesempatan kerja di Inggris, Meksiko, Amerika

Serikat, dan Bahama. Di Inggris, sektor pariwisata menampung 1,5 juta tenaga

kerja; di Meksiko, sektor pariwisata menampung 250 ribu tenaga kerja; di

Amerika Serikat, sektor pariwisata menampung 8,75 juta tenaga kerja; dan di

Bahama, sekitar 70 persen tenaga kerja bekerja di sektor pariwisata (Spillane,

1987).

Berdasarkan pasal 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tentang

kepariwisataan, penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan berdasarkan

asas manfaat, usaha bersama, kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan

dalam keseimbangan, dan kepercayaan pada diri sendiri. Hal ini sesuai dengan
2

perumusan Visi Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata Nasional yaitu

terwujudnya kebudayaan dan pariwisata yang maju, dinamis, dan berwawasan

lingkungan yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa serta meningkatkan

peradaban, persatuan dan persahabatan antarbangsa. Untuk mewujudkan visi

tersebut, dirumuskan Misi Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata Nasional,

salah satunya yaitu pengembangan produk pariwisata yang berwawasan

lingkungan, bertumpu pada kebudayaan, peninggalan budaya dan pesona alam

lokal yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global (Kementrian

Kebudayaan dan Pariwisata, 2003).

Berdasarkan pasal 16 UU No. 9 Tahun 1990, pengusahaan obyek dan

daya tarik wisata dikelompokkan menjadi tiga kelompok1. Penelitian ini

membahas kelompok pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam.

Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam merupakan usaha pemanfaatan

sumberdaya alam dan tata lingkungan untuk dijadikan sasaran wisata. Salah

satu contoh tempat wisata alam adalah Kebun Raya Cibodas di Kabupaten

Cianjur.

Sektor pariwisata memiliki manfaat dari segi ekonomi dan lingkungan.

Dari segi ekonomi, manfaat pariwisata yaitu meningkatkan penerimaan devisa

negara (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003). Manfaat pariwisata

dalam meningkatkan devisa negara dapat dilihat dari perolehan pendapatan dari

sektor tersebut. Diperkirakan devisa yang dihasilkan sektor pariwisata dunia

tahun 2010 sebesar US $ 3,4 trilyun dan membuka kesempatan kerja sebesar

10,6 persen dari angkatan kerja dunia. Satu dari sepuluh orang akan bekerja di

sektor pariwisata (Yoeti, 1996a). Industri pariwisata di Indonesia pada tahun

1
Tiga Kelompok Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata, yaitu : (1) Pengusahaan obyek dan
daya tarik wisata alam; (2) Pengusahaan obyek dan daya tarik budaya; dan (3) Pengusahaan
obyek dan daya tarik wisata minat khusus.
3

1997 menghasilkan perolehan sebesar 64,48 triliun rupiah dan 6,6 juta

pekerjaan. Diperkirakan tahun 2007 meningkat menjadi 248,363 triliun rupiah

hasil bruto dan 8,5 juta pekerjaan (Yoeti dalam Safri, 2003).

Dari segi manfaat bagi lingkungan, pembangunan pariwisata diarahkan

pada pengembangan daerah sehingga memberikan kehidupan yang tenang,

bersih, jauh dari polusi, santai dan dapat mengembalikan kesehatan fisik maupun

mental (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003). Menurut Pendit (1986),

pariwisata memiliki 14 jenis pariwisata, diantaranya yaitu wisata pertanian dan

wisata cagar alam. Wisata pertanian merupakan pengorganisasian perjalanan

yang dilakukan ke proyek-proyek pertanian, perkebunan, atau ladang

pembibitan. Di sisi lain wisata cagar alam adalah wisata yang berkaitan dengan

kegemaran terhadap keindahan alam, kesegaran hawa udara di pengunungan,

keajaiban hidup binatang dan satwa langka serta tumbuh-tumbuhan khas

daerah.

Di sisi lain, Tjondronegoro (1999) menyatakan bahwa pembangunan

pariwisata membutuhkan lahan, maka tidak mengherankan jika masalah

kebutuhan lahan bertambah. Hal ini dipertegas oleh Yudohusodo (2002) yang

menyatakan bahwa masalah agraria terjadi kerena tidak terealisasinya UUPA.

Padahal UUPA sebenarnya merupakan wujud implementasi Pasal 33 ayat (3)

Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “bumi dan air termasuk kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara da n dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Salah satu contoh kebutuhan lahan untuk pembangunan ialah

pembebasan lahan untuk wilayah industri. Pada Pelita V pemerintah

mengembangkan Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI) yang terdiri dari

lima zona. Zona-zona itu ialah Sumatera bagian Utara, Sumatera bagian Selatan,
4

Pulau Jawa, Kalimantan bagian Timur, dan Sulawesi (Suhendar dan Winarni,

1998).

Saat ini tuntutan atas lahan semakin kuat karena tumbuhnya industri

yang membutuhkan lahan (Tjondronegoro, 1999). Salah satu industri yang

membutuhkan lahan adalah industri pariwisata. Di Pulau Jawa, kasus sengketa

lahan antara pemilik lahan dan pengembang pariwisata banyak terjadi di Jawa

Barat. Salah satunya yaitu kasus sengketa lahan yang terjadi di Bogor. Sekitar

21 petani pemilik lahan di Pasarangin harus menyerahkan lahan seluas 15 ha ke

PT. KAA untuk perluasan proyek agrowisata terpadu ( Republika dalam Suhendar

dan Winarni, 1998).

Menurut Lipton dalam Tjondronegoro (1999), ketidakberhasilan

pembangunan mengangkat kesejahteraan petani di dunia ketiga disebabkan oleh

pembangunan yang bias perkotaan. Hal yang sama juga terjadi pada bidang

pariwisata. Pada prakteknya pembangunan industri pariwisata lebih dirasakan

oleh masyarakat kota, misalnya kasus yang terjadi di Cisarua dan Rancamaya,

Bogor. Di Cisarua, sebanyak 201 petani penggarap menolak pembayaran ganti

rugi proyek perluasan Taman Safari (Bisnis Indonesia dalam Suhendar dan

Winarni, 1998). Di Rancamaya, sekitar 300 petani menolak ganti rugi atas lahan

untuk proyek lapangan golf dan perumahan mewah karena ganti rugi yang

diberikan tidak sesuai dengan harapan petani (Suara Karya dalam Suhendar dan

Winarni, 1998).

Perubahan demografi dan ekologi, pengembangan produksi untuk

kepentingan pasar, masifnya sistem monokultur, serta intervensi negara yang

mengatur pola produksi dan konsumsi, akan menciptakan kerawanan struktural

pada petani. Padahal petani menggantungkan diri pada sistem subsistensi.

Mengacu pada pendapat Scott (1989), krisis subsiste nsi petani memicu gerakan
5

petani. Umumnya aksi-aksi protes petani selama periode 1980 hingga 1990-an

lebih disebabkan oleh masuknya modal secara masif di wilayah perdesaan

dalam bentuk pengambilalihan lahan secara paksa yang berkolaborasi dengan

negara (Bahari, 2001). Salah satu kasus sengketa lahan kawasan pariwisata

yang menimbulkan gerakan petani yaitu kasus yang terjadi di Pecatu, Bali

(Suhendar dan Winarni, 1998).

Lebih lanjut Bahari (2001) menyatakan bahwa pada umumnya petani

yang terlibat dalam gerakan tersebut berasal dari kalangan pemilik lahan atau

penggarap. Mereka sudah menguasai dan mengelola lahan cukup lama

meskipun lahan tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhannya secara normal,

tetapi setidaknya dapat mempertahankan hidup mereka dari kelaparan. Maka

ketika lahan yang mereka kuasai diambil alih secara paksa oleh negara atau

pemilik modal, mereka kehilangan sumber subsistensi.

Tabel 1. Struktur Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia Tahun 1993

No. Kelompok Luas Rumahtangga Pertanian


Penguasaan Lahan
Persentase Persentase Luas Lahan
(Ha) Kumulatif Yang Dikuasai
(%)
(%) (%)

1. Tuna Kisma dan Petani 43 43 13


kurang 0,1
2. 0,1 – 0,49 27 70 18
3. 0,5 – 0 99 14 84 -
4. > 1,0 16 100 69
Sumber : Sensus Pertanian Indonesia dalam Yudohusodo, 2002

Pertambahan jumlah petani miskin disebabkan semakin menyempitnya

lahan usahatani yang dimiliki petani (Yu dohusodo, 2002). Dari Tabel 1 terungkap

bahwa 43 persen rumahtangga pertanian “miskin lahan” (tunakisma dan petani

dengan luas penguasaan kurang dari 0,1 hektar) hanya menguasai 13 persen
6

dari luas lahan pertanian, sementara 16 persen rumahtangga petani “kaya lahan”

(petani dengan luas penguasaan lebih dari 1 hektar) menguasai hampir 70

persen luas lahan pertanian. Hal ini terjadi akibat fragmentasi pemilikan atau

penguasaan lahan dan fragmentasi fisik hamparan lahan serta alih fungsi lahan

pertanian subur ke penggunaan non pertanian (Yudohusodo, 2002).

Di sisi lain, Spillane (1987) mengungkapkan pariwisata dapat mengubah

motivasi unsur kebudayaan. Kesenian dan upacara yang semula dilakukan

karena motivasi tradisi atau spiritual menjadi motivasi komersil. Kegiatan

kebudayaan dilaksanakan bukan lagi karena tradisi tetapi karena permintaan

wisatawan. Hal ini terjadi pada pelaksanaan upacara-upacara kebudayaan di

Bali. Upacara-upacara yang seharusnya dilakukan waktu tertentu, kini dapat

dilakukan kapan saja tergantung permintaan wisatawan dan besarnya bayaran

(Metera, 1996).

Pembangunan pariwisata dapat juga memunculkan kegiatan usaha

seperti usaha kerajinan, rekreasi atau hiburan, toko cinderamata dan lain-lain

(Atmaja dalam Metera, 1996). Salah satu contohnya yaitu usaha kerajinan yang

berkembang di daerah Bali ketika daerah tersebut dijadikan kawasan pariwisata.

Seperti usaha kerajinan patung batu padas, usaha kerajinan emas dan perak,

usaha kerajinan ukiran kayu, dan usaha kerajinan lukisan (Suara Merdeka dalam

Suhendar dan Winarni, 1998).

Pengembangan pariwisata memunculakan adanya produk wisata.

Medlink dan Midleton menyatakan (Yoeti, 1996b) terdapat tiga unsur yang

membentuk produk wisata, yaitu :

1. Atraksi pada suatu daerah pariwisata termasuk citra daerah wisata.

2. Fasilitas di daerah wisata mencakup akomodasi, jasa boga, rekreasi, dan

hiburan.
7

3. Aksesibilitas ke daerah pariwisata.

Pengembangan produk wisata dapat menjadi salah satu peluang

usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal di daerah wisata tersebut.

Masyarakat tinggal mencari peluang usaha dan peluang kerja yang dapat

dimasuki mereka. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari modal dan keterampilan

yang mereka miliki (Metera, 1996).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa keberadaan lahan di

perdesaan memiliki peranan penting. Selain rumahtangga petani, terdapat juga

pemerintah dan pemilik modal yang memiliki kepentingan terhadap lahan.

Dewasa ini, pembangunan di sektor pariwisata sedang dikembangkan oleh

pemerintah, dimana pada pelaksanaannya pengembangan pariwisata

membutuhkan lahan. Kebutuhan terhadap lahan yang semakin meningkat

apabila bertentangan dengan kepentingan pihak lain (pemodal dan rumahtangga

petani) dapat menimbulkan masalah. Seperti pada kasus-kasus sengketa lahan

antara petani, pemerintah dan swasta. Pengembangan wisata melalui kebijakan

yang ditetapkan pemerintah memudahkan pemilik modal untuk mengembangkan

industri pariwisata. Pengembangan industri pariwisata itu sendiri, sejalan dengan

konsep pembangunan di bidang ekonomi yaitu untuk meningkatkan devisa

negara. Hanya saja, pengembangan wisata itu tidak hanya meningkatkan devisa

negara, tetapi dapat menimbulkan beberapa masalah. Salah satu masalahnya

yaitu kasus sengketa lahan. Sengketa lahan tersebut timbul karena harga ganti

rugi lahan yang diberikan pemerintah atau pemodal tidak sesuai dengan harapan

petani pemilik lahan. Maka dari itu, penelitian ini akan mengananalisis

bagaimana proses alih fungsi lahan yang terjadi di desa sekitar wisata.
8

Masalah lain yang muncul akibat alih fungsi lahan pertanian menjadi non

pertanian adalah masalah kepemilikan dan penguasaan lahan. Petani-petani

yang kehilangan lahan harus mencari lahan baru di daerah baru. Pada kasus

sebelumnya, petani yang kehilangan lahan mampu membeli lahan baru di daerah

baru, hanya saja lahan tersebut tidak subur seperti lahan semula. Harga ganti

rugi lahan yang tidak sesuai dengan harapan petani dan harga pasaran

menyebabkan petani sulit membeli lahan yang memiliki tingkat kesuburan yang

sama dan lokasi yang dekat dengan sumber mata air. Hal ini disebabkan harga

lahan-lahan subur mahal, sedangkan petani tidak mampu membeli lahan yang

subur itu. Jumlah petani yang mampu membeli lahan subur dan luas rendah

sehingga mengakibatkan terakumulasinya lahan oleh sebagian orang dan dapat

meningkatkan jumlah tuna kisma. Maka dari itu, bagaimana nasib petani jika

petani kehilangan lahan pertanian? Apakah petani akan kehilangan mata

pencahariannya sebagai petani dan berganti profesi? Lalu bagaimana tingkat

pendapatan petani di daerah wisata?

Pembangunan fasilitas pariwisata selain dapat mengubah struktur

agraria masyarakat lokal dapat juga mengubah kelembagaan. Kelembagaan

sebelum pembangunan fasilitas pariwisata masih berupa kelembagaan yang

berhubungan dengan usahatani yang bersifat subsisten atau kelembagaan-

kelembagaan gotong royong, tetapi setelah pembangunan fasilitas pariwisata,

muncul kelembagaan-kelembagaan komersil yang berhubungan dengan usaha-

usaha di sektor wisata. Jika kelembagaan baru yang muncul di perdesaan dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, maka hal ini merupakan suatu

gejala yang diharapkan, tetapi jika kelembagaan baru itu menimbulkan masalah

bagi masyarakat lokal, maka gejala inilah yang tidak diharapkan. Kelembagaan

yang bersifat komersil dapat menimbulkan persaingan antara masyarakat lokal


9

dan pendatang. Pada beberapa kasus, persaingan timbul karena ada persaingan

dalam hal memperoleh kesempatan berusaha dan bekerja. Dalam hal peluang

usaha, masyarakat pendatang lebih mampu mengisi peluang tersebut.

Masyarakat pendatang memiliki modal yang cukup dan telah diperhitungkan

untuk berusaha di daerah wisata, sehingga kemungkinan rugi dapat ditekan,

sedangkan masyarakat lokal jarang memperhitungkan hal tersebut. Selain itu

keterbatasan modal yang dimiliki masyarakat lokal merupakan salah satu

kelemahan dalam memasuki peluang usaha.

Pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan dapat menjadi peluang

usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal. Hanya saja, tidak semua

peluang usaha atau peluang kerja dapat dimasuki masyarakat lokal. Hal ini

dikarenakan keterbatasan modal dan keterampilan masyarakat lokal. Masyarakat

lokal yang awalnya berusaha di sektor pertanian, kini harus dapat menyesuaikan

diri dengan peluang usaha dan peluang kerja baru di sektor wisata. Meskipun

masyarakat lokal dapat memasuki peluang usaha dan peluang kerja, tetapi

mereka hanya dapat menempati usaha-usaha yang menghasilkan keuntungan

kecil, bukan usaha-usaha utama yang keuntungannya jauh lebih besar. Usaha-

usaha utama itu biasanya ditempati pendatang atau pemilik modal.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perubahan struktur agraria

rumahtangga petani karena pembangunan fasilitas pariwisata dan dampaknya

terhadap peluang usaha dan peluang kerja masyarakat lokal. Tujuan ini dirinci

sebagai berikut :

1. Menganalisis dampak pembangunan fasilitas pariwisata terhadap perubahan

struktur agraria.
10

2. Menganalisis dampak pembangunan fasilitas pariwisata terhadap

kelembagaan di perdesaan.

3. Menganalisis dampak pembangunan fasilitas pariwisata terhadap peluang

usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal dan kontribusi sektor

pariwisata terhadap pendapatan masyarakat lokal.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang

perubahan struktur agraria di perdesaan sebagai akibat pembangunan fasilitas

pariwisata. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan, sehingga lebih

memperhatikan kepentingan masyarakat lokal.

1.5 Batasan Penelitian

Penelitian ini membahas dampak pembangunan fasilitas pariwisata di

perdesaan. Fasilitas pariwisata yang dibahas berupa pembangunan real estate

atau villa-villa. Pembahasan penelitian ini, fokus pada alih fungsi lahan pertanian

yang mengakibatkan perubahan struktur agraria di perdesaan. Selain masalah

agraria, penelitian ini membahas perubahan sifat kelembagaan di perdesaan dan

pembahasan mengenai peluang usaha dan peluang kerja yang muncul akibat

pembangunan fasilitas pariwisata.


BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Tentang Pembangunan Fasilitas


Pariwisata

Dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi, Pemerintah Orde Baru

mengundang investasi swasta (asing dan domestik) dalam kegiatan

pembangunan ekonomi di Indonesia termasuk kegiatan industri. Upaya tersebut

dilegitimasi melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman

Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal

Dalam Negeri. Tujuan dikeluarkannya UU tersebut yaitu menarik investor asing

dan dalam negeri (domestik) melakukan investasi di Indonesia (Suhendar dan

Winarni, 1998).

Undang-undang penanaman modal ini ditindaklanjuti dengan

serangkaian kebijakan yang memberi kemudahan kepada investor seperti

keringanan pajak, pembebasan bea masuk, penyediaan tenaga kerja yang

melimpah dan murah, dan kemudahan memperoleh tanah. Adapun kemudahan

memperoleh tanah untuk investor dijamin oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri

No. 5 Tahun 1974 tentang industrial estate2. Dalam perkembangan selanjutnya

aturan penyediaan tanah untuk industri diperkuat melalui Keputusan Presiden

No. 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri. Dalam keputusan Presiden

tersebut, pemberian lokasi untuk kawasan industri mengikuti petunjuk sebagai

berikut : (1) sejauh mungkin harus menghindari pengurangan areal subur; (2)

2
Industrial estate adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan, pengadaan dan
pematangan tanah bagi keperluan usaha-usaha, termasuk industri pariwisata yang dilengkapi
prasarana-prasarana umum yang diperlukan.
12

sedapat mungkin memanfaatkan tanah yang semula tidak atau kurang produktif;

(3) sedapat mungkin menghidari pemindahan penduduk dari tempat

kediamannya; (4) perhatian terhadap persyaratan bebas pencemaran lingkungan

(Metera, 1996).

Kebijakan tentang kepariwisataan diatur oleh Undang-Undang Republik

Indonesia No. 9 Tahun 1990. Adapun kebijakan-kebijakan tersebut antara lain:

(1) kebudayaan dan pariwisata adalah wahana pengembangan wilayah; (2)

dalam pengembangan kebudayaan dan pariwisata, masyarakat merupakan

subyek pembangunan dan bukan hanya obyek pembangunan; (3) pelestarian

dan pengembangan kebudayaan pariwisata menjadi tanggung jawab seluruh

bangsa dan negara kesatuan Indonesia; dan (4) pemanfaatan unsur kesenian

dan kebudayaan serta unsur alami untuk pariwisata harus dilakukan secara

bertanggung jawab dan menuju pada pelestarian alam dan pengkayaan budaya,

sehingga menjadi wahana persahabatan antar bangsa, sekaligus menunjung

pelestarian lingkungan alam (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003).

Selanjutnya penanganan tugas pemerintahan tentang kepariwisataan

berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 29 Tahun 2003

memerlukan integrasi kelembagaan dalam penanganan tugas pemerintahan di

Bidang Kebudayaan dan Pariwisata. Hal ini mengacu pada Undang-Undang No.

22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 25

Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai

daerah otonom, dan Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang

Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja

Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 2

Tahun 2002. Beberapa isi dari Keppres tersebut adalah Menteri Negara

Kebudayaan dan Pariwisata merumuskan kebijakan pemerintah di bidang


13

Kebudayaan dan Pariwisata. Dalam rumusan kebijakan itu diperlukan perhatian

terhadap peningkatan peran serta masyarakat dan dunia usaha kebudayaan dan

pariwisata dalam memajukan kebudayaan dan pariwisata, penetapan kriteria

penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan/lahan dalam rangka

penyusunan tata ruang di bidang Kebudayaan dan Pariwisata, dan penetapan

standar pemberian izin oleh daerah di bidang Kebudayaan dan Pariwisata.

Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Menteri Kebudayaan dan

Pariwisata No. KEP-04-A/MKP/VI/2001, tujuan program pengembangan

pariwisata adalah mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan

kualitas pariwisata nasional yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat,

kesenian dan kebudayaan serta sumber daya (pesona) alam lokal dengan tetap

memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian

lingkungan hidup setempat; mengembangkan dan memperluas pasar pariwisata

terutama pasar luar negeri. Landasan pengembangan pariwisata juga

berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,

khususnya Bab XII e


t ntang pembinaan dan pengawasan, pasal 112, ayat (1)

menyebutkan bahwa dalam rangka pembinaan, pemerintah memfasilitasi

penyelenggaraan otonomi daerah, dalam arti memberdayakan daerah otonom

melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi.

Selain undang-undang yang telah disebutkan di atas, masih ada

undang-undang lain yang terkait dengan kepariwisataan khususnya wisata alam,

diantaranya yaitu (Yoeti, 2001):

1. Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Lingkungan Hidup.

2. Kepmen Parpostel No. KM.98/PW.102/MPPT-1987 tentang Ketentuan Usaha

Obyek Wisata.
14

3. Surat Keputusan Dirjen Pariwisata No. Kep. 18/U/11/1988 tentang

Pelaksanaan Ketentuan Usaha Obyek Wisata dan Daya Tarik Wisata.

4. Undang-Undang N0. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

5. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Alam di zona

pemanfaatan kawasan pelestarian alam.

6. Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan

Kepariwisataan.

7. Sadar Wisata dan Sapta Pesona dari Kementrian Kebudayaan dan

Pariwisata

2.1.2 Pengembangan Kepariwisataan

Menurut Institut of Tourisme in Britain dalam Pendit (1986), pariwisata

adalah kepergian orang-orang dalam jangka waktu pendek ke tempat-tempat

tujuan di luar te mpat tinggal dan tempat bekerja, sedangkan Pendit (1986)

memandang pariwisata sebagai salah satu jenis industri baru yang mampu

menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam penyediaan lapangan

kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor

produtivitas lainnya. Ke pariwisataan mewajibkan penyediaan produk wisata.

Beberapa produk wisata diantaranya (Yoeti, 1996) yaitu:

1. Jasa-jasa agen perjalanan yang memberi informasi, advis, pengurusan

dokumen perjalanan, perjalanan itu sendiri pada waktu akan berangkat.

2. Jasa-jasa perusahaan angkutan yang akan membawa wisatawan dari dan ke

daerah tujuan wisata.

3. Jasa-jasa pelayanan akomodasi, perhotelan, bar dan fasilitas rekreasi.

4. Jasa-jasa agen perjalanan lokal yang menyelenggarakan perjalanan ke

obyek-obyek wisata setempat.


15

5. Jasa-jasa transport lokal (bus, taksi, coach-bus) dalam melakukan perjalanan

obyek wisata setempat.

6. Obyek wisata dan atraksi wisata yang terdapat di daerah tujuan wisata.

7. Jasa-jasa pedagang cinderamata dan kerajinan serta pusat perbelanjaan.

8. Jasa-jasa perusahaan pendukung seperti postcard film (photo supply),

penukaran uang (bank).

Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup dan sumberdaya,

ketersediaan sumberdaya wisata di Indonesia banyak macamnya, diantaranya

yaitu (Joyosuharto, 2001) :

1. Alam non hayati : wilayah pesisir di pantai, pegunungan, laut, pulau karang,

taman laut, danau, dan gua.

2. Alam hayati : hutan pantai, hutan bakau, hutan dataran rendah, pegunungan

dengan floranya, dan fauna.

3. Manusia dengan perilaku, budaya dan kebutuhan : Adat istiadat yang terpatri

dalam kehidupanya, budaya dan kebutuhan yang menggambarkan

kedekatannya dengan alam hingga keramahan, kehalusan dan ketinggian

budaya.

4. Buatan : taman hutan raya, taman margasatwa, taman pantai, peninggalan

sejarah, tata letak dan arsitektur rumah, tempat peribadatan, istana raja,

taman hiburan, dan museum.

Kesemuanya itu dapat merupakan sumberdaya wisata yang menjanjikan

keindahan atau daya tarik untuk dijual, sehingga dapat dinikmati wisatawan.

Walaupun demikian, hal ini tergantung pengelolaan tempat wisata saja. Hal ini

dikarenakan pengelolaan wisata tidak hanya bergantung pada sumberdaya

wisata saja, tetapi memerlukan keterpaduan dalam penataan, pemeliharaan,


16

pengawasan, pengendalian, dan pemulihan sumberdaya wisata (Joy osuharto,

2001). Selanjutnya ditambahkan oleh Lakoni (2001), yang menyatakan bahwa

syarat utama dalam mencapai keberhasilan pembangunan pariwisata adalah

peningkatan profesionalisme yang didukung oleh kuantitas dan kualitas

sumberdaya manusia, juga masalah koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi (KIS)

dalam pembangunan pariwisata.

Pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan memberikan beberapa

peluang usaha bagi masyarakat perdesaan khususnya petani, tetapi sedikit

sekali peluang usaha yang dapat dimasuki oleh petani. Hal ini dikarenakan

keterbatasan keterampilan yang dimiliki petani. Kemampuan untuk memasuki

lapangan kerja baru tergantung pada faktor-faktor motivasi, keberanian

mengambil resiko, modal yang dimiliki petani, kemunculan pusat pertumbuhan

yang membutuhkan banyak tenaga kerja, dan keberadaan lembaga yang

mendukung petani memasuki peluang usaha (Metera, 1996).

Petani pemilik lahan luas pada peristiwa alih fungsi tanah di kawasan

wisata Tanah Lot, Bali memiliki kecenderungan mengalokasikan uang ganti rugi

untuk membeli tanah lagi di daerah pedalaman, sehingga dapat meneruskan

kembali usahataninya. Hal yang paling menarik dari penelitian ini adalah buruh

tani lebih banyak yang berubah mata pencaharian ketimbang penggarap. Hal ini

disebabkan karena penggarap lebih terikat kepada tanah dibanding buruh tani.

Buruh tani relatif lebih bebas (tidak terikat pada lahan garapan) ketimbang

penggarap (Metera, 1996).

Yoeti (2001) menyarankan bahwa dalam pengembangan wisata di

perdesaan, masyarakat perlu diberi informasi, mereka harus diberi ide-ide,

kemudian pembinaan. Mereka tidak sadar bahwa di sekeliling mereka terdapat

peluang usaha untuk menghasilkan uang. Di sinilah perlunya bantuan Lembaga


17

Swadaya Masyarakat (LSM) dalam memberikan pembinaan kepada petani untuk

memperjuangkan kepentingan mereka. Sebagai contoh, para pemula diajak ke

Agrowisata Kali Klatak di Banyuwangi, Jawa Timur. Di sana mereka melakukan

studi banding terhadap pengusaha agrowisata yang berhasil dalam

mengusahakan kopi, karet, coklat, dan cengkeh. Melalui pendekatan ini,

diharapkan pembangunan pariwisata tidak lagi hanya menjadi milik orang yang

bermodal saja tetapi juga dimiliki oleh petani sekitar proyek yang selama ini

hanya menjadi penonton di kampung halaman sendiri.

2.1.3 Alih Fungsi Lahan dan Perubahan Struktur Agraria

Salah satu kebijakan agraria di Indonesia adalah Undang-Undang

Pokok Agraria. UUPA mengandung sifat politis, misalnya dalam hal penetapan

fungsi sosial bagi kepemilikan tanah (Pasal 33 dari UUD 1945); memberikan

tanah bagi penggarapnya; dan penghapusan kepemilikan tanah berluasan lebih

agar hubungan tuan tanah – penggarap menjadi lebih menguntungkan

penggarap. Redistribusi tanah dipandu dengan aturan penjelasan dalam undang-

undang tersebut mengenai luas penguasaan tanah minimum dan maksimum

(Tjondronegoro, 1999).

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa masalah penguasaan dan

macam-macam hak atas tanah dalam UUPA 1960 diatur dalam pasal 4, pasal

16, dan pasal 53 yang menyebutkan macam-macam hak atas permukaan bumi,

yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang

baik sendiri ma upun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan

hukum. Hak tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang

bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya,

sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan

penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang dan


18

peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi (pasal 4 UUPA 1960). Selanjutnya

pasal 16 ayat 1 UUPA 1960 menjelaskan macam-macam hak atas tanah yang

meliputi: (1) hak milik, (2) Hak Guna Usaha, (3) hak guna bangunan, (4) hak

pakai, (5) hak sewa, (6) hak membuka tanah, (7) hak memungut hasil hutan, (8)

hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan

ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak-

hak penguasaan tanah yang sifatnya sementara, diatur dalam pasal 53 UUPA

1960 yang menunjuk pada hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan

hak sewa tanah pertanian, diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang

bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut diusahakan untuk

hapus dalam waktu yang singkat (Subekti dalam Sutisna, 2001).

Sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam usaha pengumpulan

devisa negara dari sektor pariwisata, kasus-kasus sengketa tanah yang

merupakan ekses dari usaha ini bermunculan. Kasus ini banyak terjadi di Pulau

Jawa dan di luar Pulau Jawa. Di Pulau Jawa kasus sengketa tanah untuk daerah

pariwisata banyak dijumpai di Jawa Barat. Seperti kasus di Desa Margamulaya,

Bandung. Lahan seluas 360 ha dibebaskan untuk membangun perumahan

mewah, lapangan golf, dan cottage. Warga menolak menyerahkan lahan tersebut

karena ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan keinginan mereka. Di luar

Jawa, kasus ini ditemukan di Minahasa, Sulawesi Utara. Di daerah ini sekitar 195

KK menolak ganti rugi dari PT AEP yang membebaskan lahan seluas 485 ha

milik penduduk untuk kawasan wisata (Suhendar dan Winarni, 1998).

Travis dalam Pendit (1986) menyatakan dampak dari pariwisata adalah

perusakan sumber peradaban, hilangnya kegunaan tanah, dan urbanisasi yang

meningkat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Metera (1996), alih fungsi

tanah pertanian menjadi kawasan wisata mengakibatkan tiga hal yaitu :


19

1. Banyaknya petani yang membeli tanah di daerah lain, meskipun demikian

masih lebih banyak petani yang mengalami penurunan luas lahan.

2. Semakin rendah status kepemilikan tanah, semakin besar kecenderungan

untuk membeli tanah lagi.

3. Secara relatif semakin tinggi status pemilikan tanah semakin menurun

kepemilikan atas tanah.

Ketersediaan tanah dari waktu ke waktu relatif tetap, sedangkan

kebutuhan manusia terhadap tanah meningkat sehubungan dengan pemenuhan

kebutuhan pangan dan aktivitas yang mereka lakukan. Selain itu juga jumlah

penduduk semakin meningkat . Keadaan ini menjadikan lahan memiliki nilai yang

tinggi (Afianto, 2002). Barlow dalam Afianto (2002) menyatakan bahwa nilai

lahan menjadi lebih tinggi jika lahan mempunyai potensi fisik seperti kesuburan

tanah, kandungan barang tambang, atau keutamaan lokasi. Suatu contoh di

perdesaan Jawa, kepadatan penduduk berkisar antara 480 sampai 800 jiwa

setiap satu kilometer persegi (Koenjjaraningrat dalam Soekanto, 1987). Hal ini

dapat menimbulkan persaingan dalam mendapatkan tanah.

Dalam konteks perkembangan di sektor agraria, tanah merupakan alat

yang vital. Para pemilik modal dan negara saling bekerjasama untuk

mendapatkan keuntungan. Pemilik modal memanfaatkan tanah dengan alasan

untuk membangun infrastruktur di perdesaan dimana pemerintah sebagai aparat

negara memberikan alasan memperluas kesempatan kerja, memperbesar devisa

negara, dan berbagai alasan lain untuk mengambil alih tanah petani di

perdesaan (Fauzi, 1999).

Perubahan fungsi tanah dari alat produksi untuk konsumsi si penggarap

menjadi alat produksi untuk surplus maksimal yang menyebabkan tingkat

eksploitasi tinggi pada faktor produksi yaitu tanah dan tenaga kerja. Keadaan ini
20

terlihat melalui proses perkembangan mode produksi dari kepentingan subsisten

petani yang semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup ke bentuk-bentuk

kegiatan ekonomi yang menggunakan faktor-faktor produksi menurut perhitungan

rasional dan seefisien mungkin agar memperoleh keuntungan setingi-tinginya.

Sistem ini disebut sistem kapitalis. Ciri khas kapitalisme adalah penguasaan

modal oleh kapitalis, sementara tanah dan tenaga kerja sebagai faktor produksi

terpisah. Kapitalisme menempatkan tenaga kerja sebagai alat produksi dengan

mekanisme upah. Kapitalisme ada dua jenis yaitu kapitalisme yang berkembang

berdasarkan modal swasta dan negara. Kapitalisme yang berdasarkan modal

swasta berkembang atas dasar kebebasan produksi, konsumsi, perdagangan,

dan persaingan melalui mekanisme pasar. Di sisi lain, kapitalisme negara adalah

pemilikan kapital terbesar di tangan negara, rakyat menjadi buruh negara tanpa

imbalan (Suhendar dan Winarni, 1998).

Kemudian Suhendar dan Winarni (1998) juga menjelaskan bahwa

perebutan sumberdaya agraria dapat menimbulkan konflik. Konflik agraria sering

terjadi pada kasus-kasus pengambilalihan lahan pertanian untuk kepentingan

industri. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa konflik agraria terjadi ketika

subsistensi petani sebagai pengelola agraria berikut pola penguasaannya

terancam dengan terganggunya tata produksi oleh intervensi kapital ke

masyarakat. Scott (1989) menilai bahwa dorongan moral merupakan alasan

utama munculnya gerakan petani sehingga reaksi tersebut memiliki kekuatan

moral yang besar.

Menurut Wiradi (2000), terdapat perbedaan konsep antara pemilikan

dan penguasaan lahan. Konsep “kepemilikan” menunjuk kepada penguasaan

formal. Hal ini berarti dalam penguasaan lahan terdapat undang-undang yang

mengatur tentang hal tersebut. Misalnya, seseorang mempunyai lahan yang


21

terdaftar dalam hukum seluas 1 ha, maka ia dikatakan sebagai pemilik lahan

tersebut. Masalah pemilikan tanah lebih nyata terdapat di Jawa dan Bali. Di

wilayah ini konsep pemilikan telah berakar selama dua abad terakhir, sedangkan

di pulau lain lebih dikenal dengan hak pakai, karena tanah merupakan milik

komunal.

Konsep “penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif. Hal ini

merujuk pada cara seseorang atau rumahtangga pertanian menguasai atau

mengusahakan lahan. Apakah ia mengusahakan lahan miliknya sendiri atau

mengusahakan tanah milik orang lain melalui cara sewa, bagi hasil, bengkok,

tanah bebas sewa, tanah serobotan, atau tanah liar.

Perubahan struktur agraria dapat mengubah pelapisan dalam

masyarakat, seperti yang dikatakan Sorokin dalam Soekanto (1987) menjelaskan

dasar adanya pelapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam

pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban diantara anggota masyarakat.

Soekanto (1987) memberikan ukuran atau kriteria yang biasa dipakai dalam

pelapisan masyarakat, yaitu :

1. Ukuran kekayaan yang dapat dilihat dari kepemilikan benda-benda berharga

seperti mobil, rumah, pakaian, dan barang-barang mewah lain.

2. Ukuran kekuasaan. Orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang tertinggi

berada pada lapisan atas.

3. Ukuran kehormatan. Ukuran ini indikatornya adalah penghormatan kepada

orang-orang yang disegani oleh masyarakat, biasanya pada masyarakat

tradisional.

Ukuran ilmu pengetahuan. Dipakai pada masyarakat yang menghargai

ilmu pengetahuan. Biasanya orang-orang hanya melihat gelar kesarjanaan untuk

mengukur lapisan yang berdasarkan ilmu pengetahuan.


22

2.1.4 Kelembagaan

Konsep kelemb agaan menurut Soekanto (1987) adalah himpunan

norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar dari segala kebutuhan pokok

yang berada pada masyarakat. Koentjaraningrat (1980), mengajukan istilah lain

untuk lembaga dengan sebutan pranata untuk institution, misalnya pranata yang

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan memproduksi dan mendistribusikan harta

benda yaitu pertanian, peternakan, dan industri. Hal ini ditujukan agar tidak

dikacaukan dengan istilah lembaga untuk institute (suatu badan atau organisasi

yang berfungsi dalam suatu lapangan kehidupan masyarakat yang khas,

biasanya lapangan penelitian, pendidikan, pembinaan, atau pengembangan).

Istilah tersebut menunjuk pada kelakuan berpola atau sistem norma. Norma

adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu

dari manusia dalam masyarakat.

Kelembagaan merupakan salah satu bentuk abstraksi dari struktur

sosial. Dengan demikian perubahan kelembagaan dapat diartikan sebagai

pergantian-pergantian pada struktur sosial melalui dimensi waktu. Struktur sosial

dapat diartikan sebagai jaringan kerja yang kuat atau kokoh pada hubungan

sosial dalam bentuk interaksi secara rutin dan berulang-ulang (Harper dalam

Sutisna, 2001). Untuk lebih jelas melihat proses terbentuknya kelembagaan

dapat dilihat pada gambar 1.


23

Gambar 1. Proses Pembentukan Kelembagaan dalam Masyarakat

Sistem Norma

Kelakuan
Berpola

Peralatan dan Personel


Perlengkapan Pendukung

Hubungan kekerabatan merupakan hal yang penting di desa, meski

demikian ikatan komunitas didasarkan pada kenyataan bahwa orang desa hidup

bersama di dalam suatu lokasi yang sama dan harus bekerja sama pula.

Kelembagaan yang menguasai ekonomi desa yang bercirikan cara-cara produksi

dan tukar-menukar merupakan adat kebiasaan dan prinsip-prinsip moral

daripada undang-undang dan perjanjian resmi (Hayami dan Kikuchi, 1987).

Kelembagaan perdesaan mengalami tantangan berat di bawah arus modernisasi.

Hal ini mengikis fungsi-fungsi sosial kelembagaan tersebut seperti sistem derep

dan bawon yang mempunyai fungsi sosial, artinya pembagian hasil pertanian

dapat berlangsung tanpa adanya upah uang . Masuknya ekonomi uang semakin

merangsang hubungan komersial di perdesaan. Namun, ekonomi dan

kelembagaan tradisional belum merata kesiapannya dalam menerima hubungan

komersial tersebut. Hal lain yang mengikis kelembagaan di perdesaan adalah

pelaksanaan revolusi hijau (Tjondronegoro, 1999).

Salah satu lembaga ekonomi (institut) di desa adalah Lembaga

Perkreditan Desa. Rata-rata lembaga ekonomi di desa mensyaratkan adanya


24

agunan dalam pemberian kredit. Hal ini menyulitkan petani membuka usaha

karena rata-rata petani tidak memiliki agunan. Salah satu contohnya adalah

kasus yang terjadi di Tanah Lot, Bali. Rata-rata petani mengeluh karena kesulitan

membuka usaha di sektor non pertanian karena tidak memiliki modal. Untuk

mendapatkan modal, mereka harus memiliki agunan. Lembaga Perkreditan Desa

saja hanya dapat memberikan pinjaman maksimal satu juta rupiah, itupun harus

dilengkapi jaminan (agunan). Apalagi lembaga-lembaga ekonomi lain yang

memiliki persyaratan lebih rumit daripada Lembaga Perkreditan Desa.

Hubungan antara masyarakat lokal dan wisatawan oleh Soekadijo

(2000) dibagi ke dalam tiga model, yaitu:

1. Model Enklave , dalam pariwisata model enklave wisatawan datang, masuk ke

dalam hotel dan hanya ke luar sebentar untuk membuat foto-foto kenangan.

Waktunya dihabiskan di dalam kompleks hotel: mereka bersenang-senang di

situ, menghabiskan malam harinya bersama-sama , berbelanja di hotel,

melihat pertunjukan yang diadakan di hotel, dan kegiatan lain di hotel.

2. Model Berbaur, dalam pariwisata model berbaur wisatawan bergerak dan

bergaul dengan penduduk setempat, mereka berekreasi di tengah-tengah

masyarakat, berbelanja di tempat perbelanjaan yang juga terbuka untuk

penduduk, hotelnya terletak di tengah-tengah kediaman penduduk atau

mereka tinggal di homestay.

3. Model Individual, dalam model ini, wisatawan adalah wisatawan individual,

yang memilih atraksi menurut selera pribadi.

2.1.5 Masyarakat Petani

Scott (1989) melihat petani dari segi moral yang hidup dalam pola

subsisten dan tidak mau beresiko. Dalam menjelaskan mekanisme masyarakat


25

petani, Scott (1989) memberikan sebuah nilai normatif yang mengambarkan

kehidupan ekonomi petani yang dekat dengan pola hubungan sosial yang

pantas, wajar dan adil. Keputusan-keputusan ekonomis petani, seperti prinsip

mendahulukan selamat, merupakan indikator bahwa orientasi subsistensi sangat

mendasari pola hidup petani. Petani menganggap pertanian bukanlah suatu

usaha ekonomis untuk memperoleh keuntungan melainkan suatu pertanian

subsistensi yang semata-mata menghasilkan pangan. Redfield dalam Winarni

dan Suhendar (1998) melukiskan sebagai suatu “kehidupan yang baik” dari nilai-

nilai petani yang berlaku. Salah satu pola hubungan itu adalah sikap intim dan

hormat pada tanah yang menganggap pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan

yang baik. Ia menyebutnya sebagai “rasa samar-samar tentang sesuatu yang

pantas dihormati” di dalam tanah dan kegiatan pertanian.

Sebaliknya Popkin dalam Suhendar dan Winarni (1998) mengakui

adanya rasionalitas petani. Petani adalah homo oekonomikos yang akan terus

berusaha menghasilkan sumberdaya dan kemakmuran sendiri tanpa

memperdulikan moral perdesaan seperti yang dikatakan Scott. Sementara itu

Hayami dan Kikuchi (1987) cenderung mengakui adanya moralitas dan

rasionalitas petani. Pada masyarakat petani berlaku prinsip moralitas dan

rasionalitas ketika akan mencari keuntungan. Petani cenderung mempekerjakan

tetangganya atas dasar tolong menolong daripada mengambil tenaga kerja dari

luar, meskipun dengan biaya yang sama atau bahkan lebih murah. Cara ini dinilai

tepat untuk menghindari kerugian akibat kecurangan pekerja.

Menurut Bahari (2001) secara umum ada tiga ciri utama yang melekat

pada petani perdesaan, yaitu kepemilikan tanah secara de facto, subordinasi

legal, dan kekhususan kultural. Tanah bagi petani bukan hanya memiliki arti

materil-ekonomi melainkan memiliki arti sosial dan budaya. Luas tanah yang
26

dimiliki petani merupakan simbol derajat sosial ekonomi seseorang di komunitas

desanya. Petani yang tidak memiliki tanah menempati lapisan terendah pada

komunitas petani. Tinggi rendahnya jumlah kepemilikan tanah dapat dilihat dari

ketersediaan tanah di suatu komunitas.

Suhendar dan Winarni (1998) menyimpulkan bahwa dari beberapa

pandangan tersebut terlihat bahwa sebuah keluarga tani bisa tetap survive dan

solidaritas komunitas tetap kuat. Mereka mengandalkan sikap kepatuhan

terhadap peraturan-peraturan sosial bersama. Berhubung cara tersebut begitu

efektif dalam menjamin keamanan seluruh keluarga petani, mekanisme itu

kemudian melembaga dalam masyarakat. Dengan demikian pengertian

subsisten tidak selalu berarti makan secukupnya dari suatu usaha tertentu dan

bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, melainkan juga melihat

pandangan petani terhadap orientasi kerjanya. Ada tiga indikator untuk

memahami pola subsistensi petani, diantaranya yaitu :

1. Sikap atau cara petani memperlakukan faktor-faktor produksi yaitu tanah dan

sumberdaya agraria. Jika bersikap tidak komersial, tidak eksploitatif terhadap

tanah dan sumberdaya agraria, menganggap peningkatan produksi tidak

perlu dan hanya memproduksi sebatas kebutuhan keluarganya. Petani

tersebut termasuk petani subsisten. Sebaliknya, jika sikapnya didasari oleh

orientasi surplus produksi dan maksimalisasi produksi, mereka termasuk

petani komersial.

2. Besar kecilnya skal a usaha petani. Sekalipun hanya menguasai lahan dalam

skala usaha kecil, jika didasari oleh pemikiran yang cenderung berorientasi

pasar (mengejar surplus), petani tersebut disebut petani komersil. Sebaliknya

petani yang berlahan sempit dengan skala usaha terbatas termasuk petani

subsisten.
27

3. Jenis komoditas yang dibudidayakan petani. Walaupun mengusahakan

komoditas komersial, jika hanya digunakan sebatas kebutuhannya saja,

petani itu disebut petani subsisten. Sebaliknya, apabila mengusahakan

tanaman komersial dengan tujuan untuk menghasilkan surplus, walaupun

tanah yang dikuasainya terbatas, petani itu disebut petani komersil.

Jika pola subsisten petani tersebut ditinjau dalam kenyataan petani di

Indonesia, dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada petani di Indonesia yang

subsisten mutlak. Akan tetapi jika digunakan indikator kecilnya skala usaha dan

kemampuan petani berproduksi, jelas bahwa petani di Indonesia memiliki pola

subsisten (Suhendar dan Winarni, 1998).

2.1.6 Peluang Usaha di Sektor Pariwisata

Sarana pariwisata seperti hotel dan perusahaan perjalanan adalah

usaha yang padat karya (Soekadijo, 2000). Berdasarkan penelitian yang

dilaku kan Metera (1996) di Tanah Lot, Bali. Salah satu dampak alih fungsi lahan

pertanian ke usaha pariwisata yaitu adanya perubahan mata pencaharian petani

meskipun sebagian besar petani masih mempertahankan mata pencahariannya

sebagai petani. Sebagian petani menginvestasikan uang ganti rugi untuk usaha

di luar sektor pertanian dan membeli tanah lagi sebagai sumber mata

pencaharian sampingan. Hanya sebagian kecil petani yang dapat masuk ke

usaha pariwisata. Usaha-usaha itu diantaranya adalah usaha angkutan wisata,

pedagang cindera mata, karyawan, dan tukang foto di obyek wisata. Sedikitnya

petani yang mendapatkan peluang usaha di sektor pariwisata disebabkan

kurangnya modal, keterampilan, dan pengetahuan petani. Salah satu contohnya

yaitu untuk membuka kios di daerah wisata memerlukan dana sekitar 10-15 juta.

Orang yang mampu menyewa kios itu sebagian besar bukan petani tetapi pemilik

modal (pendatang/pengusaha).
28

2.2 Kerangka Pemikiran

Usaha pemerintah dalam meningkatkan devisa negara adalah melalui

sektor pariwisata. Kini, sektor pariwisata menjadi sektor andalan pemerintah.

Implementasinya, banyaknya pengembangan di sektor pariwisata. Salah satu

pengembangan pariwisata adalah pembangunan fasilititas pariwisata. Dengan

pembangunan fasilitas pariwisata, diharapkan dapat meningkatkan jumlah

wisatawan sehingga menambah pendapatan negara. Dewasa ini, pembangunan

fasilitas pariwisata banyak ditemukan di daerah perdesaan. Salah satu alasannya

yaitu karena daerah perdesaan cocok untuk pembangunan tersebut. Keasrian

dan kesejukan desa dapat sekaligus menjadi objek wisata.

Pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan tentu saja

mengakibatkan berbagai perubahan di perdesaan. Perubahan yang akan

dianalisis pada penelitian ini adalah perubahan struktur agraria, kelembagaan,

dan peluang usaha di perdesaan. Kemungkinan terjadinya perubahan struktur

agraria dikarenakan adanya alih fungsi lahan, dimana kita ketahui bahwa

sebagian besar masyarakat perdesaan bercocok tanam. Mereka bercocok tanam

di lahan pertanian. Ketika adanya pembangunan fasilitas pariwisata di

perdesaan, maka terjadilah perubahan fungsi lahan, dari pertanian ke non

pertanian. Dari peristiwa ini, selain terjadi alih fungsi lahan, terjadi pula

perubahan kepemilikan lahan. Perubahan kepemilikan lahan diiringi adanya jual

beli lahan atau biasa disebut ganti rugi lahan. Perubahan kepemilikan lahan dari

petani ke pemilik modal atau pengusaha dapat mengakibatkan petani kehilangan

mata pencahariannya karena lahan yang biasa digarap kini menjadi suatu tempat

wisata. Kehilangan mata pencaharian petani dapat disebabkan pula oleh kecilnya

ganti rugi lahan yang diberikan pemodal kepada petani sehingga petani tidak

dapat membeli lahan di daerah lain.


29

Kelembagaan yang ada di perdesaan adalah kelembagaan gotong

royong. Dimana adanya sifat tolong menolong dan kekeluargaan dalam

kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Masuknya pembangunan di perdesaan

dapat mengubah kelembagaan tersebut, yang tadinya gotong royong berubah

menjadi komersil. Pembangunan fasilitas pariwisata dapat me ngakibatkan

masyarakat meninggalkan sifat gotong royong kemudian beralih ke komersil ,

dimana setiap tindakan dinilai dengan uang. Selanjutnya, komersialisasi dapat

mengakibatkan perubahan mata pencaharian masyarakat di perdesaan. Hal ini

tentu saja didasari keuntungan dari mata pencaharian baru yang dikonversikan

ke uang jauh lebih besar. Kemudian juga meningkatkan pendapatan

rumahtangga petani. Keuntungan yang tinggi dari perubahan mata pencaharian

ini dalam jangka waktu tertentu dapat menghasilkan perubahan pelapisan sosial

masyarakat tersebut.

Pembangunan fasilitas pariwisata mengakibatkan perubahan dalam

masyarakat. Adanya fasilitas pariwisata di perdesaan dapat dikatakan

merupakan peluang usaha dan atau peluang kerja bagi masyarakat desa

setempat. Masyarakat setempat kemudian memasuki peluang-peluang itu jika

mereka memiliki kriteria yang dibutuhkan untuk memasuki peluang tersebut.

Kriteria itu adalah pendidikan, keterampilan, modal, dan motivasi. Berdasarkan

laporan-laporan penelitian, masyarakat desa hanya bisa memasuki peluang kerja

yang menghasilkan pendapatan yang tidak terlalu tinggi atau rendah. Hal ini

dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan, modal, dan keterampilan mereka

meskipun motivasi mereka tinggi. Peluang usaha hanya dapat dimasuki orang

yang memiliki modal, pendidikan, dan keterampilan tinggi. Dapat atau tidaknya

masyarakat desa memasuki peluang-peluang tersebut, hal ini tentu saja

mempengaruhi tingkat pendapatan bahkan pelapisan sosial masyarakat desa


30

tersebut. Misalnya, seorang petani yang tergolong strata menengah ke atas

karena ia memiliki beberapa hektar lahan pertanian, kini setelah lahan dijual ke

pengusaha fasilitas pariwisata tersebut petani tersebut berpindah strata menjadi

golongan menengah ke bawah. Hal ini dikarenakan uang hasil jual beli tanah

tidak dapat dibelikan lahan di daerah baru ditambah petani tersebut tidak dapat

memasuki peluang usaha atau peluang kerja baru. Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada Gambar 2.


Gambar 2. Kerangka Pemikiran Dampak Pembangunan Fasilitas Pariwisata Terhadap Perubahan Struktur Agraria,
Kelembagaan dan Peluang Usaha di Perdesaan

Kebijakan Pemerintah Tentang


Pembangunan Fasilitas Pariwisata

Perubahan Struktur Agraria


Penetapan Daerah Wisata
- Luas Kepemilikan Lahan Sebelum dan Setelah Peluang Usaha dan
Jenis- jenis Produk Wisata Peluang Kerja

Perubahan Kelembagaan

Bentuk- bentuk Kelembagaan

Perubahan Mata Pencaharian


- Jenis Pekerjaan Utama Sebelum dan Setelah
- Jenis Pekerjaan Sampingan Sebelum dan
Setelah

Tingkat Pendapatan

31
32

2.3 Hipotesa Uji

Berdasarkan hasil dari tinjauan pustaka maka hipotesa yang akan

diujikan adalah :

1. Pembangunan fasilitas pariwisata mempengaruhi perubahan struktur agraria

masyarakat lokal.

2. Pembangunan fasilitas pariwisata mempengaruhi perubahan kelembagaan

masyarakat lokal.

3. Pembangunan fasilitas pariwisata mempengaruhi perubahan mata

pencaharian masyarakat lokal karena adanya peluang usaha dan peluang

kerja di sektor wisata.

2.4 Definisi Konseptual dan Operasional

2.4.1 Definisi Konseptual

Dalam penelitian ini konsep-konsep yang digunakan dijelaskan

berdasarkan uraian berikut, yaitu :

1. Lembaga kemasyarakatan adalah himpunan norma-norma dari segala

tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidu pan

masyarakat (Soekanto, 1987).

2. Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang

dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek

dan daya tarik wisata (UU No. 9 Tahun 1990 pasal 1).

3. Objek dan daya tarik wisata merupakan sasaran perjalanan wisata yang

meliputi (1) ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berwujud keadaan alam dan

flora dan fauna. (2) karya manusia yang berwujud museum, peninggalan

sejarah, seni budaya, wisata agro (pertanian), wisata tirta (alam), wisata

petualangan, taman rekreasi dan petualangan.


33

4. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata,

termasuk pengusahaan objek wisata serta usaha-usaha yang terkait di

bidang tersebut (UU No. 9 pasal 1).

5. Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan

penyelenggaraan pariwisata (UU No. 9 Bab I pasal 1).

6. Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata.

7. Kawasan Pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun

atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.

8. Lahan pertanian adalah semua lahan yang produktif yang digunakan untuk

bercocok tanam.

9. Alih fungsi lahan pertanian adalah perubahan fungsi tanah sebagai lahan

pertanian ke non pertanian.

10. Kemitraan adalah adanya kerjasama antara pengusaha wisata dan penduduk

setempat.

11. Rumahtangga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau

seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu

dapur.

12. Rumahtangga pertanian adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu

anggotanya melakukan kegiatan bertani atau berkebun.

13. Petani adalah orang yang terlibat langsung dalam pengelolaan lahan dan

secara otonom memiliki kemampuan menentukan sendiri komoditas apa yang

akan ditanam di lahannya.

14. Kepemilikan lahan menunjukkan pada penguasaan atas lahan secara formal

dimana pemilik lahan memiliki bukti tertulis atau belum tertulis atas

kepemilikan lahannya.
34

15. Penguasaan lahan menunjukkan pada penguasaan lahan yang bersifat

sementara apakah itu menyewa atau menggadaikan.

2.4.2 Definisi Operasional

Berdasarkan uraian menyangkut definisi operasional di atas, dijelaskan

juga definisi yang penulis gunakan dalam operasional penelitian, yaitu :

1. Luas kepemilikan lahan adalah jumlah luasan penguasaan lahan formal

(Sensus Pertanian). Luas kepemilikan lahan dikategorikan menjadi tiga, yaitu:

1. Tinggi, jika luas kepemilikan lahan lebih besar atau sama dengan 1 Ha

2. Sedang, jika luas kepemilikan lahan antara 0,5 Ha - 0,99 Ha

3. Rendah, jika luas kepemilikan lahan kurang dari 0,5 Ha

2. Tingkat pendapatan adalah sejumlah uang responden yang didapatkan dari

hasil kerjanya. Tingkat pendapatan dikategorikan menjadi tiga, yaitu :

1. Tinggi, jika pendapatan responden perbulan lebih besar atau sama

dengan Rp 900.000,00

2. Sedang, jika pendapatan responden perbulan antara Rp 500.000,00 –

Rp 900.000,00

3. Rendah, jika pendapatan responden perbulan kurang dari Rp

500.000,00

3. Produk Wisata adalah obyek wisata yang terdapat di daerah tujuan wisata

yang menyebabkan wisatawan tertarik untuk datang ke tempat wisata,

fasilitas-fasilitas wisata, seperti akomodasi, restoran, dan tempat hiburan.

Produk wisata dikategorikan menjadi tiga, yaitu:

1. Rendah; jika jumlah produk wisata 1 – 3

2. Sedang; jika jumlah produk wisata 4 – 6


35

3. Tinggi; jika jumlah produk wisata 7 – 9

4. Tingkat harga jual lahan adalah total harga lahan yang dijual petani ke

pengusaha. Besar kecilnya tingkat harga jual lahan tergantung luas lahan,

lokasi, waktu pembelian, kegunaan lahan, dan kemampuan tawar menawar.

1. Rendah; jika total harga jualnya lebih atau sama dengan Rp.

14.700.000,00

2. Sedang; jika total harga jualnya Rp. 14.700.000,00 – Rp. 29.700.000,00

3. Tinggi; jika total harga jualnya kurang dari Rp. 29.700.000,00

5. Sifat Kelembagaan adalah sifat-sifat dari kelembagaan yang ada pada suatu

masyarakat. Sifat kelembagaan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Subsisten, jika sifat kelembagaan masyarakat masih berhubungan

dengan kegiatan agraris dan kegiatan produksi sebatas untuk

memenuhi kebutuhan pokok.

2. Komersil, jika sifat kelembagaan yang segala sesuatunya dinilai dengan

uang.

6. Peluang usaha pariwisata adalah kesempatan berusaha bagi penduduk

setempat untuk bekerja di sektor pariwisata. Tingkat peluang usaha

dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu :

1. Rendah; jika peluang usaha di daerah wisata 0 – 3 jenis peluang usaha.

2. Sedang; jika peluang usaha di daerah wisata 4 – 6 jenis peluang usaha.

3. Tinggi; jika peluang usaha di daerah wisata 7 – 9 jenis peluang usaha.

7. Peluang kerja pariwisata adalah kesempatan kerja bagi penduduk setempat

untuk bekerja di sektor pariwisata.

1. Rendah; jika peluang kerja di daerah wisata 0 – 3 jenis peluang kerja.

2. Sedang; jika peluang kerja di daerah wisata 4 – 6 jenis peluang kerja.


36

3. Tinggi; jika peluang kerja di daerah wisata 7 – 9 jenis peluang kerja.

8. Pekerjaan utama adalah pekerjaan yang hasilnya merupakan pemasukan

utama rumahtangga. Pekerjaan utama dibagi menjadi empat jenis, yaitu :

1. Petani

2. Pedagang

3. Buruh Bangunan

4. Buka Usaha Sendiri

9. Pekerjaan sampingan adalah pekerjaan yang hasilnya merupakan tambahan

pemasukan rumahtangga. Pekerjaan sampingan dibagi menjadi empat jenis,

yaitu :

1. Petani

2. Pedagang

3. Buruh Bangunan

4. Buka Usaha Sendiri


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian survai dengan menggunakan pendekatan

kuantitatif yang didukung pendekatan kualitatif. Pada pendekatan kuantitatif

menggunakan metode penelitian survai, yaitu penelitian yang mengambil sampel

dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data

pokok (Singarimbun dan Effendy, 1989). Penelitian ini dipilih dengan maksud

untuk menjelaskan dampak pembangunan fasilitas pariwisata terhadap

perubahan agraria, kelembagaan, dan peluang usaha di perdesaan yang dibahas

secara deskriptif dan eksplanatif. Dengan penelitian deskriptif diharapkan dapat

menggambarkan fenomena dampak pembangunan fasilitas pariwisata di

perdesaan, sedangkan dengan penelitian eksplanatif dapat menjelaskan

hubungan variabel-variabel. Unit analisis penelitian ini adalah individu (petani).

Untuk melengkapi data kuntitatif, maka digunakan juga data-data kualitatif,

dimana fungsi data kualitatif yaitu menerangkan dan menambahkan informasi

yang tidak dapat dijelaskan secara kuantitatif.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukanagalih dan tempat wisata yang

bernama Kota Bunga, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa

Barat. Alasan pemilihan lokasi tersebut karena di Desa Sukanagalih terdapat

banyak tempat fasilitas pariwisata. Selain itu, lahan yang digunakan untuk

pembangunan fasilitas pariwisata merupakan lahan pertanian.


38

Survai lokasi penelitian dimulai pertengahan Bulan Juni 2005. Penelitian

dimulai pertengahan Bulan Juli 2005 hingga Bulan September 2005. Peneliti

kembali ke lokasi sekitar pertengahan Oktober 2005 untuk mencari data

tambahan yang terkait dengan kekurangan data pada waktu pengumpulan data.

3.3 Teknik Pengambilan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer yang diambil adalah data luas kepemilikan lahan, mata

pencaharian, sifat kelembagaan, peluang usaha dan peluang kerja di sektor

wisata, serta pendapatan penduduk, sedangkan data sekunder yang diambil

adalah data kependudukan Desa Sukanagalih dan kebijakan-kebijakan

pemerintah tentang pariwisata. Data primer dikumpulkan melalui wawancara

dengan alat bantu kuesioner dan panduan pertanyaan. Pertimbangan

menggunakan kuesioner dalam penelitian ini adalah dinilai lebih praktis, hemat

waktu dan tenaga. Untuk sumber data sekunder diambil dari data Desa

Sukanagalih, kantor Kota Bunga, instansi-instansi seperti Bappeda, Dinas

Perhubungan dan Pariwisata, serta laporan-laporan penelitian.

3.4 Teknik Penentuan Responden

Teknik penentuan responden menggunakan metode Pengambilan

Sampel Gugus Sederhana (Simple Cluster Sampling). Metode ini dipilih karena

tidak adanya kerangka sampel yang digunakan untuk dasar pemilihan sampel.

Kerangka sampel yang dibutuhkan berupa data rumahtangga yang menjual

lahan ke perusahaan Kota Bunga. Untuk mengatasi hal ini, maka dibentuklah

beberapa gugus. Gugus yang dibentuk terdiri atas kampung-kampung yang ada

di Dusun Muhara. Alasan dipilihnya kampung-kampung yang ada di Dusun

Muhara yaitu karena jumlah rumahtangga yang menjual lahan ke Perusahaan


39

Kota Bunga paling banyak terdapat di Dusun Muhara. Dusun Muhara terdiri atas

enam kampung, maka gugus yang terbentuk berjumlah enam gugus. Nama

gugus-gugus atau kampung-kampung itu adalah Kampung Panggung, Kananga,

Cineungah, Muhara, Cibengang, dan Ciburial. Selanjutnya, gugus-gugus itu

diberi nomor dan dipilih secara acak. Gugus yang terpilih adalah kampung

Cibengang dan Ciburial. Alasan dipilihnya dua gugus adalah karena jumlah

rumahtangga dalam satu gugus tidak memenuhi syarat uji statistik, yaitu

responden harus berjumlah minimal 30.

3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dimulai dari pengumpulan data dari hasil wawancara

melalui kuesioner. Data hasil kuesioner disajikan dalam bentuk tabel data dan

tabulasi silang yang kemudian diolah menggunakan uji statistik Chi-Square dan

Korelasi Rank Spearma n. Untuk memudahkan pengolahan, peneliti

menggunakan program SPSS versi 11.0. Sementara itu, data hasil wawancara

dirangkum dan diorganisasikan sesuai kebutuhan penelitian. Hasil uji statistik

dan hasil wawancara dianalisis sehingga terjawablah pertanyaan penelitian.

Untuk lebih jelasnya tentang metode penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
40

Tabel 2. Matriks Masalah, Data yang Dibutuhkan, Sumber Data, dan Metodologi

Penelitian

Masalah Data yang Sumber Data Metodologi


Diperlukan
Kebijakan Literatur buku, Studi Pustaka
Pemerintah data dari instansi dan wawancara
tentang pemerintahan, dan
pembangunan laporan penelitian
fasilitas pariwisata
Tingkat harga jual Responden dan Wawancara dan
Perubahan lahan informan kuesioner
Struktur Agraria
Luas kepemilikan Responden Wawancara
lahan sebelum menggunakan
dan sesudah kuesioner
adanya
pembangunan
fasilitas pariwisata
Jenis pekerjaan Responden Wawancara
Perubahan utama sebelum menggunakan
dan sesudah kuesioner
Mata
pembangunan
Pencaharian
fasilitas pariwisata
Jenis pekerjaan Reponden Wawancara
sampingan menggunakan
sebelum dan kuesioner
sesudah
pembangunan
fasilitas pariwisata
Kelembagaan Responden dan Wawancara dan
Perubahan gotong royong informan kuesioner
Kelembagaan Kemitraan Responden dan Wawancara dan
informan kuesioner
Kelembagaan Responden dan Wawancara dan
komersil informan kuesioner
Peluang usaha Jenis Produk Informan, Wawancara dan
di sektor wisata wisata responden, dan studi pustaka
dan kontribusi literatur buku
wisata terhadap
Peluang usaha Responden dan Wawancara dan
pendapatan
dan kerja informan kuesioner
rumahtangga
Tingkat Responden kuesioner
Pendapatan
rumahtangga
BAB IV
PROFIL LOKASI PENELITIAN

Dalam bab ini dibahas topik-topik : (1) kondisi geografis desa, (2) kondisi

pertanian Desa Sukanagalih, (3) demografi desa, (4) kelembagaan desa (5)

kepariwisataan dan profil Kota Bunga, dan (6) gambaran umum responden.

4.1 Kondisi Geografis Desa

Wilayah Desa Sukanagalih terletak di kaki Gunung Gede dengan

kemiringan 15 derajat ke arah timur. Desa Sukanagalih berada di jalur

perhubungan Bogor – Puncak – Cianjur (Bopunjur). Desa ini berbatasan dengan

Desa Batulawang, Kecama tan Cipanas, Kabupaten Cianjur di sebelah utara,

sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cibadak, Kecamatan

Sukaresmi, Kabupaten Cianjur. Sebelah barat desa ini berbatasan dengan Desa

Palasari, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur sedangkan sebelah timurnya

berbatasan dengan Desa Cibadak, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur.

Secara administratif Desa Sukanagalih termasuk wilayah Kecamatan Pacet,

Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat.

Desa Sukanagalih memiliki tujuh dusun3, 12 RW, dan 39 RT. Jarak desa

ini ke kecamatan adalah 8 Km, 25 Km ke kabupaten, 86 Km ke ibukota propinsi,

dan 95 Km ke ibu kota negara. Desa ini dilalui jalan propinsi sepanjang 12 Km

sebagai jalan alternatif kemacetan di jalan Jakarta – Bandung. Selain itu, Desa

Sukanagalih dilalui jalan kabupaten sepanjang 3 Km dari jalan propinsi. Jenis alat

transportasi yang dominan digunakan oleh masyarakat Desa Sukanagalih adalah

angkutan umum dan ojek. Untuk sampai ke desa ini, dapat menggunakan

3
Pembagian Dusun di Sukanagalih: (1) Cibadak, 2 RW dan 8 RT; (2) Sukanagalih, 2 RW dan 4
RT; (3)Cihieum, 2 RW dan 6 RT; (4) Muara, 2 RW dan 6 RT; (5) Cineungah, 1 RW dan 5 RT; (6)
Sukamaju, 1 RW dan 5 RT; (7) Babakan CIkundul, 2 RW dan 5 RT.
42

kendaraan umum jurusan puncak, cipanas, atau Cianjur. Jika dari arah Bogor

atau Jakarta, dapat menggunakan kendaraan umum jurusan puncak, Cipanas,

atau Cianjur. Dari ketiga jurusan itu, kendaraan umum jurusan Cipanas adalah

yang termudah untuk sampai ke desa ini. Desa Sukanagalih terletak sebelu m

pasar Cipanas, maka kendaraan harus berhenti di pertigaan Hanjawar. Dari

Hanjawar, kemudian naik angutan perkotaan jurusan Cipanas-Loji atau Cipanas-

Sukanagalih, kemudian berhenti di pemberhentian angkot. Maka sampailah di

Desa Sukanagalih. Biaya kendaraan umum Bogor-Cipanas sebesar Rp.

10.000,00; sedangkan biaya angkot Cipanas-Loji sebesar Rp. 4.000,00.

Desa Sukanagalih merupakan salah satu desa dari tujuh desa4 yang

berada di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Desa ini terletak di kawasan

wisata Bogor, Puncak dan Cianjur. Maka desa Sukanagalih merupakan salah

satu desa yang strategis untuk pengembangan wisata. Hal ini didukung oleh

keadaan alam yang sejuk dan keindahan pemandangan di sekitar desa tersebut.

Kenyataan ini mendorong pemerintah setempat membangun fasilitas pariwisata

dengan mengalihfungsikan tanah pertanian di Desa Sukanagalih. Langkah

selanjutnya yaitu pemerintah mengundang investor untuk menanam modal agar

terlaksana pengembangan kawasan pariwisata. Sebagian besar investor yang

menanamkan modalnya di Desa Sukanagalih adalah investor yang membuka

usaha di bidang real estate. Alasan para investor untuk membuka usaha di

bidang real estate karena melihat kebutuhan orang-orang kota akan tempat

peristirahatan di akhir pekan. Namun jika dilihat bahwa tanah pertanian di

kawasan tersebut memiliki mata air yang berfungsi untuk mengairi sawah dan

untuk kebutuhan hidup sehari-hari penduduk, maka pengembangan usaha di

bidang real estate bukan merupakan satu-satunya alternatif pengembangan

4
Nama enam desa lainnya adalah Cibodas, Cipendawa, Gadog, Ciputri, Ciherang, dan Sukatani.
43

kawasan wisata. Untuk melihat pembagian lahan di Desa Sukanagalih dapat

dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kegunaan dan Luas Lahan Desa Sukanagalih, 2004

No. Kegunaan Lahan Luas Lahan Persentase


(ha) (%)
1. Lahan Pertanian 211,46 27,70
2. Real Estate 211,25 27,70
3. Daratan 180,00 23,59
4. Pemukiman 97,04 12,70
5. Jalan 45,80 6,00
6. Sungai 12,00 1,57
7. Sekolah 2,40 0,30
8. Pemakaman Umum 1,30 0,17
9. Pertokoan 1,00 0,13
10. Perkantoran 0,75 0,10
Jumlah 763,00 100,00
Sumber : Potensi Desa Sukanagalih, 2004

4.2 Kondisi Pertanian Desa Sukanagalih

Desa sukanagalih memiliki tanah yang subur dengan ketinggian 700 dpl.

Hal ini dapat dilihat dari produktivitas komoditas pertanian yang tinggi. Berbagai

komoditas pertanian Desa Sukanagalih adalah padi sawah, jagung, cabe, sawi

hijau, pakcoy, dan kacang-kacangan. Tanaman sayuran yang ada di Desa

Sukanagalih menggunakan irigasi setengah teknis dari Cinangka dan irigasi

teknis dari Cibadak, serta dari aliran air Cimacan, Ciawitali, dan Cipadaruum.

Daerah-daerah yang memiliki kesuburan tanah tinggi yaitu Babakan Cikundul,

Blok Randu, Kalapa Rea, Cihieum, Ciburial, Bengkong, Cibengang, Sabda, dan

Jeruk. Desa ini memiliki dua sumber mata air yaitu sumber mata air Ciburial dan

Ciater. Kedua mata air itu lebih dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari

dibanding untuk keperluan pertanian.

Menurut informasi yang didapatkan penulis, tanah-tanah subur dan

cocok untuk tanaman pertanian digunakan untuk pembangunan villa-villa yang

ada di Desa Sukanagalih. Hal ini memiliki andil dalam terjadinya bencana banjir
44

di ibukota Negara yaitu Jakarta. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat pernah

datang ke Desa Sukanagalih untuk mengatur kembali penataan ruang di daerah

tersebut. Maka dari itu kawasan Bopunjur diatur langsung oleh pemerintah pusat

melalui Keppres No. 114 Tahun 1999 tentang penataan ruang kawasan

Bopunjur.

Selain bercocok tanam, masyarakat Desa Sukanagalih juga beternak.

Populasi dan jenis ternaknya beraneka ragam, yaitu sekitar 1.867 ekor ayam,

1.687 ekor bebek, 1.550 ekor kambing, 1.265 ekor sapi, 1.178 ekor kerbau, dan

152 ekor kuda.

4.3 Demografi Desa

Dari 16.393 jiwa penduduk, sekitar 94,88 persen (15.553 jiwa) penduduk

Desa Sukanagalih beragama Islam. Sisanya yaitu sekitar 2,14 persen (350 jiwa)

beragama Kristen, 1,53 persen (250 jiwa) beragama Khatolik, 0,76 persen (125

jiwa) beragama Budha, dan 0,70 persen (115 jiwa) beragama Hindu. Etnis

penduduk Desa Sukanagalih juga beragam, yaitu sekitar 88,26 persen Sunda,

11,14 persen Jawa, 0,51 persen Batak, dan 0,09 persen Madura. Untuk

selanjutnya akan dibahas tentang jumlah dan kepadatan penduduk, komposisi

penduduk menurut umur, komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan, dan

komposisi penduduk menurut mata pencaharian,

4.3.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Desa Sukanagalih

Jumlah penduduk Desa Sukanagalih adalah 16.393 jiwa terdiri atas

8.506 jiwa laki-laki dan 7.887 jiwa perempuan, terhimpun menjadi 3.65 9 kepala

keluarga (KK). Pertumbuhan penduduk Desa Sukanagalih sebesar 16 persen

pada satu tahun terakhir ini. Angka kelahiran penduduk per tahun sebesar 3,7

persen dan angka kematian penduduk per tahun sebesar 2 persen.


45

Dari data jumlah penduduk dan luas wilayah tersebut dapat dihitung

kepadatan penduduk geografis Desa Sukanagalih. Kepadatan penduduk

geografis dinyatakan dengan jumlah jiwa tiap Km2 luas wilayah. Kepadatan

penduduk geografis sebesar 2148,49 jiwa/km2, maka kepadatan geografis Desa

Sukanagalih termasuk kategori sangat padat 5.

4.3.2 Komposisi Penduduk Menurut Umur

Komposisi penduduk menurut umur dapat menggambarkan jumlah

angkatan kerja. Komposisi penduduk Desa Sukanagalih menurut umur dapat

dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4 persentase penduduk terbesar pada

penduduk yang berusia 25-29 tahun yaitu sebesar 16,68 persen kemudian diikuti

penduduk yang berusia 15-19 tahun sebesar 16,41 persen. Persentase

penduduk terkecil yaitu penduduk yang berusia > 54 tahun sebesar 2,98 persen.

Tabel 4. Komposisi Penduduk Desa Sukanagalih Menurut Umur Tahun 2004

No. Kelompok Umur Jumlah Persentase


(Tahun) Penduduk (%)
(Jiwa)
1. 0– 4 775 4,73
2. 5– 9 1.429 8,72
3. 10 – 14 1.640 10,00
4. 15 – 19 2.690 16,41
5. 20 – 24 1.406 8,58
6. 25 – 29 2.734 16,68
7. 30 – 34 1.312 8,00
8. 35 – 39 1.119 6,83
9. 40 – 44 1.085 6,62
10. 45 – 49 996 6,08
11. 50 – 54 718 4,38
12. > 54 489 2,98
Total 16.393 100,00
Sumber : Data Sekunder, Potensi Desa Sukanagalih (2004), diolah .

5
Kategori kepadatan penduduk geografis menurut Pujiastomo dalam Metera (1996) memakai
2 2
kriteria sebagai berikut : (1) 0-50 jiwa/km tidak padat, (2) 51-250 jiwa/km kurang padat, dan 251-
400 jiwa/km2 sangat padat.
46

4.3.3 Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa persentase terbesar tingkat

pendidikan masyarakat Desa Sukanagalih yaitu penduduk yang menyelesaikan

pendidikan hingga Sekolah Dasar (SD) sebesar 10,68 persen. Penduduk yang

menyelesaikan pendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)

hanya 7,83 persen dan penduduk yang menyelesaikan pendidikan hingga

Sekolah Menengah Umum hanya 2,48 persen. Penduduk yang mampu

menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi strata 1 hanya sekitar 0,21

persen (35 jiwa). Maka dari data ini dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan

masyarakat Desa Sukanagalih masih relatif rendah. Hal ini dapat dilihat dari

persentase penduduk yang menyelesaikan pendidikan hingga Sekolah Lanjutan

Tingkat Pertama (SLTP) hanya 21,64 persen padahal pada masa pemerintahan

Orde Baru telah dicanangkan Program Wajib Belajar 9 tahun.

Tabel 5. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Sukanagalih, 2004

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk Persentase


(Jiwa) (%)
1. Tidak Lulus Sekolah Dasar 513 3,13
2. Sekolah Dasar (SD) 1.750 10,68
3. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 1.283 7,83
(SLTP)
4. Sekolah Menengah Umum (SMU) 406 2,48
5. Diploma 1 (D-1) 11 0,08
6. Diploma 2 (D-2) 7 0,04
7. Sarjana (S-1) 35 0,21
Sumber : Potensi Desa Sukanagalih, 2004

4.3.4 Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Sebagian besar penduduk Desa Sukanagalih bermata pencaharian

sebagai petani yaitu sekitar 45,67 persen (1.450 jiwa). Penduduk yang bermata

pencaharian di sektor jasa lainnya menempati posisi kedua yaitu sebesar 19,37

persen (615 jiwa) dan persentase terkecil ditempati oleh penduduk yang bermata

pencaharian sebagai kontraktor yaitu sebesar 0,13 persen (4 jiwa). Untuk lebih
47

jelasnya dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan Potensi Desa Sukanagalih

(2004) jumlah angkatan kerja Desa Sukanagalih sebesar 16,78 persen (2751

jiwa) dan berdasarkan Tabel 4 jumlah penduduk yang termasuk usia angkatan

kerja (penduduk yang berusia 10 hingga > 54 tahun) sebesar 86,56 persen

(14.189 jiwa). Maka dapat diketahui Reit Partisipasi angkatan kerjanya yaitu

sebesar 19,39 6.

Tabel 6. Komposisi Penduduk Desa Sukanagalih Menurut Ma ta Pencaharian


Tahun 2004
No. Mata Pencaharian Jumlah Persentase
(Jiwa) (%)
1. Buruh Tani 262 8,25
2. Petani 1450 45,67
3. Pedagang 170 5,35
4. PNS 45 1,42
5. TNI/POLRI 50 1,57
6. Penjahit 32 1,00
7. Montir 25 0,79
8. Supir 110 3,46
9. Karyawan Swasta 181 5,70
10. Kontraktor 4 0,13
11. Tukang Kayu 127 4,00
12. Tukang Bata 73 2,30
13. Guru Swasta 31 0,98
14. Jasa Lainnya 615 19,37
Total 3175 100
Sumber : Data Sekunder, Potensi Desa Sukanagalih (2004), diolah.

Dari data komposisi penduduk Desa Sukanagalih menurut mata

pencaharian maka dapat diketahui sebagian besar penduduk bergantung pada

kegiatan pertanian. Pembangunan fasilitas pariwisata yang ada di sekitar Desa

Sukanagalih tidak mengubah sebagian besar penduduk untuk berganti profesi.

Berdasarkan informasi di lapangan, perubahan yang ada hanyalah penurunan

jumlah penduduk yang melakukan kegiatan pertanian, tapi jumlah penduduk

6
2751
Reit Partisipasi Angkatan Kerja = -------- x 100 = 19,39
14189
48

yang bekerja di sektor pertanian masih menempati persentase terbesar jika

dibandingkan dengan mata pencaharian lain yang dilakukan penduduk.

4.4 Kelembagaan Desa Sukanagalih

Desa Sukanagalih dipimpin oleh seorang kepala desa. Dalam

menjalankan tugasnya, kepala desa dibantu oleh beberapa aparat desa. Masa

jabatan kepala desa adalah delapan tahun, mulai dari tahun 1998 sampai 2006.

Kinerja kepala desa dan aparatnya diawasi oleh Badan Perwakilan Desa (BPD).

Di bawah ini nama-nama aparat desa, yaitu :

a. Kepala Desa : H. Dudung Djaenudin

b. Sekretaris Desa : H.U.W. Saprudin

c. Kepala Urusan Pemerintahan : Sumpena

d. Kepala Urusan Ekonomi dan Pembangunan : Edeng Abdul Muthalib

e. Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat : TB. Dadang Utun Us

f. Kepala Urusan Umum : Agus Misbah

g. Bagian Keuangan : Euis Cahyani

Lembaga kemasyarakatan tingkat desa yang ada di Desa Sukanagalih

adalah Kelompok Tani, Karang Taruna, Program Kesejahteraan Keluarga (PKK),

Kelompok Dasa Wisma 7, Kelompok Petani Pemakai Air (P3A) , Kelompok

Remaja Islam Mesjid, lembaga keamanan, dan kelembagaan politik. Dari

kelembagaan-kelembagaan tersebut, yang akan dibahas lebih lanjut yaitu

kelembagaan Kelompok Petani Pemakai Air (P3A) dan Program Kesejahteraan

Keluarga (PKK).

Dalam kegiatannya, kelompok P3A memanfaatkan air dari mata air

Ciburial. Tujuan dari kegiatan ini adalah agar kebutuhan masyarakat akan air

bersih terpenuhi. Realisasi dari tujuan tersebut adalah telah dibangunnya suatu

7
Kelompok Dasa Wisma adalah kel ompok yang berdiri berdasarkan Program Kesejahteraan
Keluarga (PKK)
49

bak besar di dekat mata air Ciburial tersebut sebagai bak induk penampungan

air. Dari bak induk, air dialirkan ke bak-bak lain yang ada di setiap dusun. Dari

bak yang ada di setiap kedusunan itu, air dialirkan ke tiap-tiap rumah. Anggaran

untuk membangun bak induk sebesar 200 juta. Dana tersebut diperoleh dari dua

sumber yaitu pemerintah dan swadaya masyarakat. Pemerintah Daerah

Kabupaten Cianjur memberikan bantuan sebesar 162 juta, sisanya swadaya

masyarakat desa.

Dari tujuh dusun yang ada di Desa Sukanagalih, ternyata hanya Dusun

Muhara 8 yang belum mendapat saluran air dari bak induk tersebut. Maka dari itu,

untuk pengelolaan lebih lanjut, pihak desa akan membentuk Badan Usaha Milik

Desa (BUMD). Tugas BUMD adalah mengatur penyaluran air dan membuat

proposal pembuatan saluran air di Dusun Muhara.

Kelembagaan selanjutnya yaitu PKK. PKK terbagi ke dalam empat

kelompok kerja (Pokja) yang masing-masing pokja mendapatkan tugas yang

berbeda-beda. Ada satu program yang menarik dari pokja 1, yaitu program

pemberdayaan kelompok Perempuan Kepala Keluarga (Pekka). Program ini

mendapatkan bantuan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur sebesar 13

juta yang diberikan ke janda-janda untuk modal usaha. Kelompok Pekka Desa

Sukanagalih merupakan kelompok Pekka terbaik di Kabupaten Cianjur. Selain

itu, masih ada lagi prestasi dari kelembagaan PKK Desa Sukanagalih, seperti

keberhasilan kelompok Keaksaraan Fungsional (KF) sehingga berhasil

mengeluarkan ijazah Paket A bagi 4 orang ibu rumahtangga dan 11 orang

remaja; Juara 1 lomba ASI tingkat kabupaten; dan Juara 2 lomba Pidato tingkat

kabupaten.

8
Nama kampung yang tidak teraliri penyaluran air Ciburial adalah mu hara, cineungah hilir,
kananga, dan Panggung.
50

Selain kelembagaan-kelembagaan formal seperti yang telah dipaparkan

sebelumnya, ada juga kelembagaan lain yaitu kelembagaan dalam hal

penguasaan lahan. Semenjak maraknya pembangunan fasilitas pariwisata, lahan

pertanian di Desa Sukanagalih berkurang. Berkurangnya lahan pertanian di Desa

Sukanagalih merupakan salah satu faktor berkurang nya penyewa lahan untuk

digarap. Faktor-faktor yang lain adalah tidak stabilnya harga-harga input

pertanian dan produk pertanian di pasaran. Sebagian besar lahan yang ada di

Desa Sukanagalih dikelola oleh pemilik lahan. Pemilik lahan yang memiliki modal

besar biasanya mampu menyewa buruh tani untuk menggarap lahan. Sedangkan

petani yang berlahan kecil dan tidak memiliki banyak modal, mengerjakan lahan

itu sendiri. Hal ini dikarenakan mahalnya upah buruh tani yang disebabkan

banyaknya buruh tani yang bekerja di tempat-tempat pariwisata.

4.5 Kepariwisataan dan Profil Kota Bunga

Desa Sukanagalih merupakan desa yang dikelilingi berbagai fasilitas

pariwisata. Fasilitas pariwisata yang dominan adalah villa. Hal ini dapat dilihat

dari keberadaan villa-villa, restoran, kios-kios, dan tanaman-tanaman bunga di

sepanjang jalan Desa Sukanagalih. Sebagian besar pemilik dari fasilitas

pariwisata tersebut adalah swasta. Beberapa nama tempat fasilitas pariwisata

yang objek utamanya adalah pelayanan jasa penjualan villa adalah Kota Bunga 9,

Puncak Resort, Galaxy, Lembah Sukanagalih, Taman Giri Indah, dan Taman

Nolina. Perjalanan menuju Kota Bunga dapat dijangkau menggunakan

kendaraan umum. Kendaraan umum yang digunakan adalah kendaraan jurusan

Cianjur. Jika dari arah Bogor, dapat mengunakan kendaran jurusan Cianjur,

kemudian berhenti di pertigaan Hanjawar. Dari Hanjawar kemudian naik

angkutan perkotaan (angkot) jurusan Cipanas-Loji atau Cipanas-Sikanagalih, dan

9
Kota Bunga merupakan fasilitas pariwisata penelitian ini.
51

berhenti di pintu gerbang Kota Bunga. Berbeda halnya jika dari arah Bandung.

Kendaraan yang digunakan adalah kendaraan jurusan Cianjur kemudian berhenti

di terminal Cianjur. Dari terminal Cianjur kemudian naik angkot jurusan Cipanas,

berhenti di pasar Cipanas. Dari pasar Cipanas kemudian naik angkot jurusan

Cipanas-Loj i atau Cipanas-Sukanagalih, berhenti di depan pintu gerbang Kota

Bunga.

Kota Bunga merupakan nama tempat fasilitas pariwisata yang bergerak

di bidang real estate. Kota Bunga mulai berdiri pada Bulan November 1993.

Didirikannya Kota Bunga berdasarkan Akte Notaris No. 12 Tanggal 25 Juni 1993

dihadapan Notaris M.I. Indriani Soepojo di Jakarta. Fasilitas pariwisata ini

dikelola di bawah manajemen Sinar Mas Group oleh PT. Duta Pertiwi. Dalam

pelaksanaannya, PT. Duta Pertiwi mendelegasikan pengelolaan Kota Bunga

kepada dua anak perusahaannya yaitu PT. Sarana Papan Ekasejati dan PT.

Pangeran Plaza Utama. Kantor pusat perusahaan ini di Jalan Raya Mangga Dua

(ITC) Blok A lantai 4 Jakarta. Perusahaan ini memiliki beberapa tujuan, yaitu

memperoleh laba untuk menunjang kelangsungan hidup perusahaan,

mengadakan perluasan wilayah, memenuhi kebutuhan masyarakat akan

perumahan, dan sarana penunjang tempat rekreasi.

Awalnya Kota Bunga bernama Taman Mawar dengan luas wilayah

sekitar 40 ha. Sekitar tahun 1996, nama tersebut berubah menjadi Kota Bunga.

Perubahan nama ini disebabkan perluasan wilayah Taman Mawar yang disertai

penambahan jenis-jenis bunga yang ditanam di areal tersebut. Luas areal Kota

Bunga yang terdaftar di Bappeda seluas 1.627.276 m2 . Usaha yang dilakukan

pengelola Kota Bunga untuk menambah jenis-jenis bunga di areal tersebut

adalah dengan mendirikan sarana produksi bunga (nursery), sedangkan untuk

penjualan bunga dan tanaman hias bagi konsumen disediakan tempat khusus

yang bernama Pasadena Nursery yang mulai berdiri tahun 2000.


52

Menurut HRD Kota Bunga yaitu RST, mulai dari tahun 1993 sampai

dengan tahun 2005, pihak pengelola Kota Bunga mengadakan pengembangan

wilayah. Dalam proses pengembangan tersebut, fokus pengembangan bukan

hanya pada bidang real estate saja, tapi dikembangkan pula fasilitas pariwisata

yang lain, seperti mini market, restoran, kolam renang, tempat olahraga (sport

club) dan child playground, arena fantasi, wahana binatang (Petting zoo), dan

danau. Danau yang ada di Kota Bunga merupakan wisata air yang bernama Little

Venice yang memiliki luas sekitar 2 ha.

Villa-villa yang dibangun di Kota Bunga menggunakan berbagai konsep,

yaitu Villa Country, Villa Karapan, Villa koboy, Villa Belanda, Villa Thailand, Villa

Kastil, Villa Oriental, Villa Swis s, Villa Mediterania, dan Villa Jepang. Konsep

penjualan villa menggunakan konsep jual-putus, yang artinya setelah konsumen

membeli villa tersebut maka konsumen menjadi pemilik villa dan tanah yang

dibeli, selain itu juga perawatan dan penggunaan villa menjadi tanggung jawab

konsumen. Hanya saja, Kota Bunga menawarkan kolektivitas perawatan dan

pembayaran pajak sehingga memudahkan konsumen yang tidak dapat datang

setiap bulannya ke villa miliknya untuk membayar berbagai tagihan.

Direktur utama Kota Bunga adalah MW, Direkturnya yaitu GHG, dan

Komisaris Utama yaitu ETW. Manajemen Kota Bunga memiliki tiga departeman,

yaitu Estate Management yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan di

sekitar lingkungan villa Kota Bunga, Estate Development yang bertanggung

jawab pada proyek pembangunan Villa dan fasilitas lainnya yang dibutuhkan

konsumen, dan Pemasaran yang bertanggung jawab dalam hal promosi produk.

Tingkat pendidikan karyawan Kota Bunga beragam, mulai dari SMU

hingga Strata 2. Berdasarkan Tabel 8, tingkat pendidikan sebagian besar

karyawan Kota Bunga yaitu SMU (93,6 %) dan hanya satu orang saja karyawan

Kota Bunga yang berpendidikan Strata 2. Kenaikan jabatan di Kota Bunga


53

berdasarkan prestasi kerja karyawan tersebut. Hal ini tidak membedakan tingkat

pendidikan karyawan. Untuk mengetahui tingkat gaji karyawan Kota Bunga dapat

dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Tingkat Gaji Karyawan Kota Bunga, 2002

No. Tingkat Gaji Besarnya Gaji Jabatan Karyawan


(Rupiah)
1. Tinggi > 800.000 Kepala kas, arsitek, staff
umum, supervisor.

2. Sedang 200.000 – 800.000 Teknisi, sales, keuangan,


kepala gudang.
3. Rendah < 200.000 Office boy dan sopir
Sumber : Data Sekunder dari Kota Bunga, 2002.

Selain gaji pokok, Perusahaan Kota Bunga juga memberikan tunjangan

lain kepada karyawannya, seperti :

1. Tunjangan Hari Raya (THR) bagi karyawan yang telah bekerja lebih dari

sebanyak 1 bulan gaji.

2. Bonus untuk karyawan yang bekerja lebih dari 9 bulan yang besarnya sesuai

keputusan.

3. Lembur untuk karyawan yang gajinya < Rp. 828.000,00

4. Uang makan untuk karyawan golongan A dan B sebesar Rp.

104.000,00/bulan

5. Tunjangan kesehatan sebesar 85 persen dari biaya pengobatan.

6. Pemberian kacamata untuk karyawan telah bekerja lebih dari 6 bulan dengan

resep dokter.

7. Mobil kantor untuk karyawan golongan > D.

8. Jamsostek kecelakaan sebesar 0,54 persen dari gaji pokok.

9. Jamsostek hari tua sebesar 5,7 persen dari gaji pokok.

10. Jamasostek kematian sebesar 0,3 persen dari gaji pokok.


54

11. Pembelian rumah untuk karyawan yang telah bekerja 1-2 tahun mendapatkan

diskon 5 persen dari harga tanah.

12. Pembelian rumah untuk karyawan yang telah bekerja lebih dari 2 tahun

mendapatkan diskon 10 persen dari harga tanah.

Tabel 8. Tingkat Pendidikan Karyawan Kota Bunga, 1998

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase


Karyawan
1. SMU 580 93,6
2. D3 30 4,4
3. S1 9 1,5
4. S2 1 0,2
Total 620 100
Sumber : Data Sekunder dari Kota Bunga, 1998.

Berdasarkan Tabel 8, tingkat pendidikan karyawan Kota Bunga yang

terdaftar di perusahaan adalah tingkat pendidikan karyawan mulai dari Sekolah

Menengah Umum hingga Strata- 2. Tingkat Pendidikan terendah karyawan Kota

Bunga yang terdaftar adalah karyawan yang menyelesaikan pendidikan hingga

Sekolah Menengah Umum. Dari data ini dapat diketahui bahwa Perusahaan Kota

Bunga hanya menerima karyawan lulusan SMU. Jadi, siapapun yang ingin

menjadi karyawan di perusahaan ini harus memenuhi kriteria ini, tidak terkecuali

masyarakat setempat. Masyarakat Desa Sukanagalih adalah masyarakat lokal

yang berada di sekitar tempat pariwisata Kota Bunga. Tingkat pendidikan

masyarakat Desa Sukanagalih rendah, hanya sekitar 2,48 persen dari jumlah

penduduk Desa Sukanagalih yang menyelesaikan pendidikan hingga Sekolah

Menengah Umum, jika dijumlahkan dengan penduduk yang menyelesaikan

pendidikan hingga perguruan tinggi, maka hanya sekitar 2,86 persen penduduk

yang berpeluang menjadi karyawan Kota Bunga, sehingga dapat diketahui

peluang masyarakat Desa Sukanagalih untuk menjadi karyawan Kota Bunga

rendah. Apalagi untuk tahun ini, peluang bagi masyarakat Desa sukanagalih
55

semakin rendah karena Perusahaan Kota Bunga melakukan penyusutan jumlah

karyawan dikarena krisis moneter di tahun 1997 dan menurunnya jumlah

konsumen yang membeli villa serta memanfaatkan fasilitas wisata yang ada di

Kota Bunga. Meskipun ada masyarakat Desa Sukanagalih yang bekerja di Kota

Bunga tapi status kerja mereka tidak kuat, artinya mereka hanya bekerja sebagai

buruh lepas di Kota Bunga. Pekerjaan yang dapat dilakukan adalah sebagai

petugas kebersihan yang dibayar per hari. Tanggung jawab pemberian upah

buruh ini tidak selalu dipegang oleh perusahaan, ada buruh yang dibayar

langsung oleh pemilik villa atau konsumen Kota Bunga sehingga besar kecilnya

upah tergantung kepada orang yang memperkerjakan buruh itu.

Menurut salah satu aparat Desa Sukanagalih, mulai tahun 1998 villa dan

tanah di Kota Bunga telah atas nama konsumen. Sekitar 1.383 villa di Kota

Bunga PBB-nya dibayarkan ke Desa Sukanagalih, sisanya merupakan bagian

Desa Batulawang. Hal ini dikarenakan pembangunan Kota Bunga berada di

antara Desa Sukanagalih dan Desa Batulawang, hanya saja sebagian besar

pembangunannya di Desa Sukanagalih.

Pendapatan Kota Bunga rata-rata naik 12,35 persen per tahun. Untuk

membuktikan tanggung jawab sosial Kota Bunga terhadap masyarakat setempat,

pihak manajemen Kota Bunga me mberikan berbagai bantuan kepada

masyarakat Desa Sukanagalih, seperti memberikan bantuan kepada SD Muara

berupa paket-paket alat tulis sekolah, memberikan bantuan berupa uang dan

hadiah untuk perayaan hari kemerdekaan, memberikan bantuan untuk

pembangunan mesjid di Desa Sukanagalih berupa bahan bangunan semen

sebanyak 200 sak. Selain itu juga, Kota Bunga selalu melibatkan karyawannya

untuk berpartisipasi pada pertandingan-pertandingan olahraga yang diadakan di

Desa Sukanagalih.
56

4.6 Gambaran Umum Responden

Dalam penelitian ini, peneliti memilih responden secara purposif yaitu

petani yang dulunya memiliki lahan di areal pembangunan fasilitas pariwisata

Kota Bunga. Alasan memilih petani pemilik lahan yang dipilih dan bukan petani

yang menguasai lahan karena kemudahan untuk mendapatkan data petani

pemilik lahan. Meskipun peneliti dapat menemukan petani yang dulunya

menguasai lahan di areal Kota Bunga, tapi jumlahnya terbatas dan hanya bisa

dianalisis secara kualitatif saja, sedangkan untuk analisis kuantitatifnya, peneliti

memilih petani yang dulu memiliki lahan di areal Kota Bunga.

Responden adalah warga Desa Sukanagalih yang tinggal di Kampung

Cibengang dan Kampung Ciburial, Dusun Muhara. Sebelum pembangunan

fasilitas periwisata Kota Bunga, sebagian besar responden termasuk petani yang

memiliki lahan sempit yaitu sekitar 53,33 persen. Berdasarkan hasil wawancara

di lapangan, dari seluruh responden tidak ada responden yang menggarap lahan

orang lain. Mereka hanya menggarap lahan mereka sendiri. Justru sebaliknya,

mereka menggunakan tenaga orang lain untuk menggarap lahan mereka di

waktu-waktu tertentu seperti waktu tanam, menyiangi, dan panen. Luas

kepemilikan lahan responden berubah setelah pembangunan fasilitas pariwisata

Kota Bunga. Responden yang memiliki lahan sempit berkurang 10, sedangkan

responden yang memiliki lahan yang luas bertambah 11. Responden yang

memiliki lahan sedang pun mengalami perubahan12 sekitar 13,33 persen. Untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9.

10
Dari 53,33 persen menjadi 33,33 persen.
11
Dari 30 persen menjadi 36,67 persen.
12
Dari 16,67 persen menjadi 36,67 persen.
57

Tabel 9. Luas Kepemilikan Lahan Responden Sebelum dan Setelah


Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga

Kategori Luas Sebelum Persentase Setelah Ada Persentase


Lahan Ada Kota (%) Kota Bunga (%)
(Ha) Bunga (Jumlah
(Jumlah Responden)
Responden)
Rendah/ 0,1 – 0,49 16 53,33 10 33,33
sempit
Sedang 0,5 – 0,99 5 16,67 9 30,00
Tinggi/ Lebih atau 9 30,00 11 36,67
luas sama
dengan 1
Total 30 100 30 100
BAB V
KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PEMBANGUNAN DAN
PENGELOLAAN FASILITAS PARIWISATA

5.1 Kebijakan Pemerintah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Ketentuan penataan ruang Kabupaten Cianjur diatur oleh Keputusan

Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 19 99 tentang Penataan Ruang

Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) dan Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) Kabupaten Cianjur. Pertimbangan dari Keppres No. 114 Tahun 1999

adalah: (1) tidak berfungsinya kawasan Bopunjur sebagai kawasan konservasi

air dan lahan, (2) berdasarkan Peraturan pemerintah Nomor 47 Tahun 1997

tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, kawasan Bopunjur

dikategorikan sebagai kawasan tertentu yang membutuhkan penanganan khusus

karena berfungsi sebagai kawasan yang memberikan perlindungan bagi

kawasan bawahannya, seperti wilayah daerah Propinsi Jawa Barat dan wilayah

Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, (3) pemanfaatan ruang kawasan

Bopunjur berdasarkan Keppres No. 48 Tahun 1983 tidak dapat dijadikan acuan

lagi karena perkembangan fisik dan sosial ekonomi yang pesat sehingga perlu

dilakukan kembali penataan ruang.

Dalam Keppres No. 114 Tahun 1999 tersebut dicantumkan tentang

perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan

ruang. Perencanaan tata ruang kawasan Bopunjur merupakan penetapan lokasi

ruang berdasarkan fungsi utama kawasan, fungsi kawasan dan aspek kegiatan.

Pemanfaatan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi :

a. Kawasan lindung yang terdiri atas ;

1) kawasan hutan lindung

2) kawasan cagar alam


59

3) kawasan taman nasional

4) kawasan taman wisata alam

5) kawasan perlindungan setempat, yaitu kawasan sempadan sungai,

kawasan sekitar mata air, dan kawasan sekitar waduk/danau/situ.

b. Kawasan budidaya yang terdiri atas :

1) Kawasan pertanian lahan basah

2) Kawasan pemukiman, kawasan pertanian lahan kering, kawasan

perkebunan, dan lain-lain.

Pemanfaatan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan

meliputi: (1) kawasan perdesaan yang terdiri atas kawasan pertanian lahan

basah dan kawasan lainnya dan (2) kawasan perkotaan. Pengendalian

pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan

penertiban terhadap terhadap pemanfaatan ruang.

Rencana Tata Ruang Wilayah yang dikeluarkan Pemerintah Daerah

Kabupaten Cianjur disesuaikan dengan Keppres No. 114 Tahun 1999. Hal ini

dikarenakan Kabupaten Cianjur termasuk kawasan Bopunjur sehingga

pengaturannya pun ditentukan oleh pemerintah pusat. Selain itu juga, proses

pembuatan RTRW Kabupaten Cianjur disesuaikan dengan UUPR No. 24 Tahun

1992 yang menyatakan bahwa penyusunan rencana tata ruang dilakukan

dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan

penataan ruang melalui pendekatan partisipatif. Dengan tujuan mewujudkan

rencana tata ruang sesuai dengan kaidah penataan ruang dengan sasaran

meningkatkan peran kelembagaan dan peran serta masyarakat dalam

perencanaan tata ruang.


60

Berdasarkan RTRW tersebut, ada berbagai kebijakan pola pemanfaatan

kawasan lindung, budidaya, dan kawasan tertentu. Kebijakan-kebijakan tersebut

adalah :

a. Kebijakan pola pemanfaatan ruang kawasan lindung, yaitu meningkatkan luas

kawasan yang berfungsi lindung dan menjaga kualitas dan keseimbangan

lingkungan kawasan lindung.

b. Kebijakan pola pemanfaatan ruang kawasan budidaya, yaitu diarahkan pada

pengembangan agrobisnis dan agroindustri yang mendukung pengembangan

budidaya pertanian lahan basah, lahan kering, peternakan, perikanan,

mengoptimalkan kawasan-kawasan sentra produksi, pengembangan

kawasan pariwisata serta pengembangan kawasan pesisir pantai dan

kelautan.

c. Kebijakan pengembangan fungsi ruang diarahkan pada pengembangan

kawasan tertentu, pengembangan kawasan pertahanan dan keamanan,

pengembangan kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan pada setiap

kecamatan.

Pelanggaran terhadap kebijakan di atas akan dikenakan sanksi, baik

sanksi administratif, perdata, pidana, dan disinsentif kepada pelaksana

pembangunan baik itu perorangan, kelompok, atau badan hukum. Sanski

administratif berupa tindakan pembatalan izin dan pencabutan hak. Sanski

perdata berupa tindakan pengenaan denda atau ganti rugi. Sanksi pidan a berupa

tindakan penahanan atau kurungan.

Rencana struktur tata ruang adalah rencana yang menggambarkan

susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial, dan

lingkungan buatan yang digambarkan secara hirarkis dan berhubungan satu

sama lain. Rencana struktur tata ruang mewujudkan hirarki pusat pelayanan

wilayah yang meliputi sistem pusat-pusat perkotaan dan perdesaan, pusat-pusat


61

permukiman, hirarki sarana dan prasarana, serta sistem jaringan jalan. Dalam

rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang Kabupaten Cianjur, kawasan-

kawasan di Cianjur dibagi ke dalam berbagai orde. Pembagian orde didasarkan

pada pusat kegiatan dan pelayanan tiap kecamatan di Kabupaten Cianjur.

Kecamatan Pacet yang merupakan kecamatan penelitian termasuk ke dalam

Orde II. Orde II atau Pusat Kegiatan Lokal 1 (PKL 1) merupakan kawasan

perkotaan yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dan jasa, permukiman,

pendidikan, kesehatan, industri, pariwisata, koleksi dan distribusi. Desa

sukanagalih yang merupakan desa penelitian termasuk kawasan perkotaan.

Rencana pola pemanfaatan ruang adalah rencana yang

menggambarkan letak, ukuran, dan fungsi dari kegiatan lindung dan budidaya.

Substansi dari rencana pola pemanfaatan ruang meliputi batas-batas kegiatan

sosial, ekonomi, budaya dan kawasan lainnya. Untuk Kecamatan Pacet, dari

7.013 ha sekitar 29,13 persen rencana pemukiman; 6,41 persen rencana

pertanian lahan kering; 19,25 persen rencana pertanian lahan basah; 17,82

persen rencana perkebunan; 0,71 persen rencana pertambangan; 1,21 persen

rencana perikanan darat; 0,88 persen rencana peternakan; 0,10 persen rencana

peruntukan industri; 2,85 persen rencana kawasan lindung (hutan); dan 20,73

persen rencana kawasan lindung (non hutan).

Pemanfaatan ruang untuk kawasan pariwisata didasarkan pada

wilayah-wilayah yang memiliki obyek dan daya tarik wisata serta tersedianya

sarana dan prasarana pariwisata. Menurut Rencana Induk Pengembangan

Pariwisata Kabupaten Cianjur, pengembangan pariwisata terbagi ke dalam tiga

satuan kawasan pengembangan pariwisata. Kecamatan Pacet termasuk ke

dalam Satuan Kawasan Pengembangan Pariwisata 1 sebagai pusat pelayanan

pariwisata sedangkan pusat pelayanan informasi wisata rencananya akan

ditempatkan di Kecamatan Cipanas.


62

Kabupaten Cianjur me rencanakan pengelolaan kawasan tertentu.

Kawasan tertentu adalah kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai

nilai strategis dan penataan ruangnya diprioritaskan (UU No. 24 Tahun 1992

Tentang Penataan Ruang). Kawasan tertentu yang ada di Kabupaten Cianjur

adalah kawasan tertentu cepat tumbuh (kawasan andalan) yang memiliki sektor

unggulan pertanian dan pariwisata. Salah satu kecamatan dari tiga belas

kecamatan yang termasuk ke dalam kawasan andalan yaitu kecamatan Pacet 13.

Obyek dan daya tarik wisata Kecamatan Cipanas dan Pacet adalah Cagar

budaya atau istana, villa, hotel dan restoran, kebun teh, kebun botani, taman

rekreasi atau perkemahan, dan taman nasional.

5.2 Peraturan-Peraturan Mengenai Pembebasan Lahan

Untuk mendirikan suatu bangunan pasti membutuhkan lahan. Demikian

juga dengan pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga yang merupakan

salah satu fasilitas pariwisata, pada awal pembangunannya membutuhkan lahan

seluas 15 ha. Kebutuhan akan lahan tersebut dapat diperoleh melalui

pembebasan lahan dari masyarakat Desa Sukanagalih dan Desa Batulawang 14.

Ketentuan mengenai pembebasan lahan diatur oleh Peraturan Menteri Dalam

Negeri (Pemendagri) No. 15 Tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai

tata cara pembebasan lahan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)

No. 2 Tahun 1976tentang tata cara pembebasan lahan untuk kepentingan

swasta.

Ada dua cara pembebasan lahan menurut Permendagri No. 15/1975

yaitu : (1) tata cara pembebasan lahan untuk keperluan pemerintah

menggunakan panitia pembebasan lahan yang ditentukan oleh gubernur, (2) tata

13
Dua belas kecamatan lainnya yaitu Cipanas, Sukaresmi, Cugenang, Warungkondang, Gekbrong,
Cianjur, Karangtengah, Mande, Cikalongkulon, Sukaluyu, Ciranjang, dan Bojongpicung.
14
Pada penelitian yang akan dibahas lebih lanjut adalah pembebasan lahan di Desa Sukanagalih.
63

cara pembebasan lahan untuk kepentingan swasta tidak menggunakan panitia

pembebasan lahan dan peran pemerintah daerah adalah sebagai pengawas

proses pembebasan lahan dan pemberian ganti rugi.

Permendagri No. 2 Tahun 1976 menyatakan bahwa tata cara

pembebasan lahan untuk kepentingan swasta dapat menggunakan tata cara

pembebasan lahan untuk kepentingan pemerintah. Hanya saja harus memenuhi

syarat bahwa pembebasan lahan untuk kepentingan swasta merupakan

merupakan proyek-proyek yang bertujuan untuk kepentingan umum atau untuk

pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial. Penggunaan tata cara ini harus

mendapatkan izin tertulis dari gubernur.

Susunan panitia pembebasan lahan berdasarkan Permendagri No. 15

Tahun 1975 adalah :

a. Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten atau Kotamadya sebagai ketua15

merangkap anggota.

b. Seorang perwakilan dari Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten atau

Kotamadya sebagai sekretaris.

c. Seorang perwakilan dari Kantor Pemerintah Daerah Tingkat II yang ditunjuk

Bupati atau Walikotamadya Kepala Daerah sebagai anggota.

d. Seorang perwakilan dari Kantor IPEDA sebagai anggota.

e. Seorang perwakilan dari instansi yang memerlukan lahan sebagai anggota.

f. Seorang perwakilan dari Dinas Pekerjaan Umum sebagai anggota.

g. Seorang perwakilan dari Dinas Pertanian jika lahan yang akan digunakan

adalah lahan pertanian.

h. Kepala Kecamatan sebagai anggota.

i. Anggota dapat ditambah jika diperlukan dan atas izin dari Gubernur.

15
Untuk kasus tertentu, seorang Bupati dapat berperan menjadi ketua panitia.
64

Tugas-tugas dari kepanitian tersebut adalah :

a. Mengadakan inventarisasi dan penelitian keadaan lahan, tanaman, dan

bangunan-bangunan.

b. Mengadakan perundingan dengan pemegang hak atas lahan dan bangunan

atau tanaman.

c. Menaksir besarnya harga jual lahan 16.

d. Membuat berita acara pembebasan lahan dan pertimbangann ya.

e. Menyaksikan pelaksanaan transaksi lahan.

Keputusan panitia mengenai besar kecilnya harga jual lahan

disampaikan kepada instansi yang memerlukan lahan, pemilik atau pemegang

hak atas lahan, dan anggota-anggota kepanitian itu sendiri. Keputusan tersebut

dapat diterima atau ditolak oleh instansi yang memerlukan lahan dan pemilik atau

pemegang hak atas lahan. Jika keputusan tersebut diterima, maka langsung

dilaksanakan pembayaran atas pembelian lahan tersebut. Alasan penolakan

akan dipertimbangkan oleh panitia pembebasan lahan. Ada dua pertimbangan,

yaitu tetap melaksanakan keputusan pertama atau melaporkan penolakan

tersebut melalui surat penolakan kepada gubernur agar keputusannya ditetapkan

gubernur.

Keputusan gubernur belum tentu diterima pihak pemilik atau pemegang

hak atas lahan. Tetapi pada kenyataannya, jika terjadi penolakan, uang

pembelian lahan akan dititipkan di pengadilan negeri. Pemilik lahan memiliki dua

pilihan, yaitu mengambil uang tersebut atau kehilangan lahan dan tidak

menerima uang (Harsono dalam Metera, 1996). Hal ini membuat pemilik lahan

tidak memiliki pilihan lain selain menerima keputusan panitia pembebasan lahan.

16
Besarnya harga jual lahan harus berdasarkan kesepakatan antara panitia dan pemilik lahan.
65

5.3 Peraturan-peraturan Mengenai Pembangunan dan Pengelolaan Fasilitas


Pariwisata

Kebijakan tentang kepariwisataan di Indonesia diatur oleh Undang-

Undang No. 9 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa kebudayaan dan pariwisata

adalah wahana untuk pengembangan wilayah. Berdasarkan Keputusan Presiden

No. 53 Tahun 1989 tentang pengaturan kawasan industri bahwa dalam

menentukan lokasi industri diusahakan tidak mengurangi areal subur.

Pembangunan fasilitas pariwisata di tiap kabupaten diserahkan kepada

pemerintah Daerah Kabupaten setempat sesuai dengan Undang-Undang No. 22

Tahun 1999 yang menyatakan bahwa dalam rangka pembinaan, pemerintah

memfasilitasi penyelenggaraan otonomi daerah, dalam arti memberdayakan

daerah otonom melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan

supervisi.

Untuk mendirikan suatu bangunan yang digunakan untuk suatu usaha

tertentu harus memenuhi suatu persyaratan tertentu. Maka hal ini berlaku juga

untuk pembangunan suatu fasilitas pariwisata. Pemerintah Daerah Kabupaten

Cianjur menetapkan suatu persyaratan tertentu yang harus dipenuhi pihak

swasta yang akan mendirikan bangunan untuk usaha. Beberapa persyaratan itu

adalah :

1. Mengajukan Surat Izin Investasi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten

Cianjur yang ditujukan kepada Bupati. Sebelum surat pengajuan ini dijawab

oleh Bupati, pihak yang mengajukan surat tersebut harus menunggu jawaban

dari Bupati. Setelah surat tersebut mendapat jawaban yang isinya Bupati

mengizinkan pengajuan investasi maka boleh melanjutkan ke persyaratan

selanjutnya.
66

2. Mengajukan Surat Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah (SIPPT)17. Dalam

persyaratan ini, bangunan yang akan didirikan hanya boleh menutupi lahan

sebesar 20 persen dari luas keseluruhan lahan.

3. Mengajukan Surat Izin Mendirikan Bangunan yang ditujukan ke Dinas Cipta

Karya 18.

4. Mengajukan Surat Izin Usaha. Surat Izin Usaha ditujukan ke Kantor Desa

yang akan dijadikan tempat usaha. Pada kasus pembangunan fasilitas

pariwisata Kota Bunga, pihak Kota Bunga harus mengajukan izin usaha yang

ditujukan ke Kepala Desa Sukanagalih. Kepala Desa Sukanagalih kemudian

akan membuat pernyataan bahwa di lokasi tertentu akan dibangun suatu

fasilitas pariwisata yang ditujukan ke Kecamatan Pacet, kemudian Kepala

Kecamatan Pacet mengajukan perizinan tersebut ke Pemerintah Daerah

Kabupaten Cianjur.

5. Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur akan mempertimbangkan

keputusannya berdasarkan kesesuaian lokasi tersebut dengan Rencana Tata

Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW Kabupaten Cianjur dan Peraturan

Daerah No. 14 Tahun 2001 Tentang Izin Kepariwisataan19.

Mendirikan bangunan untuk usaha di sektor wisata harus memenuhi

persyaratan khusus, yaitu :

1. Wajib menanam tanaman tahunan (pelindung).

2. Pembuangan limbah cair tidak dibuang langsung ke perairan umum.

3. Memperbanyak bidang resapan berupa sumur resapan sebagai upaya

memperkecil air limpasan permukaan.

17
Kota Bunga mengajukan SIPPT pada tahun 1992.
18
Pada tahap ini, pembebasan lahan telah dilakukan dan telah ada kesepakatan harga jual beli
lahan.
19
Pada saat pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, Perda ini belum ada.
67

4. Kontruksi jalan dan area parkir agar menggunakan bahan yang tidak kedap

air.

5. Ketinggian bangunan maksimal 12 meter dari permukaan tanah.

6. Adanya pengelolaan sampah.

7. Membuat jaringan sanitasi.

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Dinas Perhubungan dan

Pariwisata (Dishubpar) Kabupaten Cianjur, peran Dishubpar di bidang pariwisata

sebagai pengelola kepariwisataan di Kabupaten Cianjur. Dalam menjalankan

tugasnya, Sub Bidang Bina Pariwisata membentuk empat seksi, yaitu :

1. Seksi Pemasaran.

Seksi ini bertugas dalam hal promosi obyek dan daya tarik wisata Kabupaten

Cianjur, seperti mengadakan pameran pariwisata. Kota Bunga sebagai salah

satu obyek dan daya tarik wisata di Kabupaten Cianjur berperan dalam

pembuatan media promosi dan pihak Dishubpar berperan dalam

mempromosikan fasilitas pariwisata Kota Bunga.

2. Seksi Obyek Wisata.

Seksi ini dibentuk sesuai dengan Peraturan Daerah No. 22 Tahun 1999

Tentang Rekreasi dan Olahraga. Peran seksi ini adalah memungut retribusi

ke setiap obyek wisata yang ada di Kabupaten Cianjur termasuk Kota Bunga

yang terkena retribusi rekreasi. Uang retribusi itu tidak dikelola oleh

Dishubpar karena uang tersebut selanjutnya disetorkan ke kas daerah.

3. Seksi Sarana Wisata.

Seksi ini dibentuk sesuai Peraturan Daerah No. 14 Tahun 2001 Tentang Izin

Kepariwisataan. Seksi inilah yang mengurus perizinan kepariwisataan

Kabupaten Cianjur.
68

4. Seksi Pentas Seni dan Rekreasi.

Seksi ini berperan dalam pengadaan kegiatan-kegiatan kepariwisataan di

Kabupaten Cianjur.

Menurut pihak Dishubpar, Kota Bunga adalah salah satu anggota

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) sehingga hubungan

Dishubpar dan Kota Bunga lebih banyak melalui organisasi ini. PHRI sebagai

organisasi yang bergerak di bidang produk wisata selalu mengadakan kegiatan-

kegiatan berupa pelatihan. Tujuan dari kegiatan tersebut adalah untuk mencari

dan melatih tenaga kerja lokal yang kompeten untuk ditempatkan di hotel dan

restoran anggota PHRI. Pertimbangan dari kegiatan ini adalah untuk membuka

kesempatan kerja bagi masyarakat lokal yaitu masyarakat Kabupaten Cianjur.

Kegiatan yang pernah diselenggarakan adalah seminar dan pelatihan tentang

perhotelan dan restoran, seperti seminar dan pelatihan pembuatan dan

pemasaran makanan dan jajanan serta pelatihan bagi pengrajin.


BAB VI
ALIH FUNGSI LAHAN DAN PERUBAHAN
STRUKTUR AGRARIA

6.1 Proses Alih Fungsi Lahan

Berdasarkan RTRW Kabupaten Cianjur, Kecamatan Pacet merupakan

kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dan jasa,

permukiman, pendidikan, kesehatan, industri, pariwisata, koleksi dan distribusi.

Desa Sukanagalih yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Pacet dalam

RTRW tersebut ditargetkan sebagai kawasan perkotaan. Kawasan perkotaan

memiliki kegiatan utama bukan pertanian. Tetapi untuk saat ini, kegiatan

pertanian masih merupakan kegiatan utama sebagian besar masyarakat Desa

Sukanagalih.

Dalam pembangunan fasilitas pariwisata terdapat beberapa atura, yaitu

Untuk Keppres No. 53/1989 yang menyatakan bahwa penentuan lokasi industri

diusahakan tidak mengurangi areal subur. Pada kenyataannya, banyak fasilitas

pariwisata yang ada di Desa Sukanagalih dibangun di atas areal yang subur,

termasuk fasilitas pariwisata Kota Bunga. Bahkan menurut informasi di lapangan,

pembangunan Kota Bunga selain mengambil areal subur juga mengambil areal

sumber mata air yang biasa digunakan oleh masyarakat lokal, sehingga

masyarakat kehilangan sumber mata air yang biasa digunakan mereka untuk

kebutuhan sehari-hari. Masyarakat kehilangan aksesibilatas terhadap mata air.

Mereka pernah keberatan akan hal tersebut, kemudian mereka mengajukan

perihal ini kepada pihak Kota Bunga tetapi pihak Kota Bunga tidak

memperhatikan keberatan masyarakat. Di sisi lain, pemerintah daerah telah

menyetujui pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga sehingga pihak Kota


70

Bunga merasa keluhan-keluhan dari masyarakat tidak harus diperhatikan karena

pemerintah pun telah menyetujui pembangunan tersebut.

Aturan lainnya yaitu aturan pembebasan lahan, yaitu Permendagri No.

15/1975, dimana dalam aturan ini tercantum dua jenis tata cara pembebasan

lahan. Dalam aturan tersebut, pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga

termasuk dalam tata cara pembebasan lahan yang kedua, yaitu tata cara

pembebasan lahan untuk kepentingan swasta sehingga proses pembe basan

lahan tidak menggunakan panitia pembebasan lahan. Dalam tata cara ini, peran

Pemerintah Daerah sebagai pengawas proses pembebasan lahan dan

penetapan nilai ganti rugi lahan.

Tujuan alih fungsi lahan yang terjadi di Desa Sukanagalih, sebagian

besar tidak diketahui oleh masyarakat Desa Sukanagalih bahkan aparat desa

pun tidak mengetahui tujuan tersebut. Sehubungan dengan hal ini, tata cara

pembebasan lahan yang kedua tidak dilakukan oleh pihak Kota Bunga.

Untuk mengetahui proses pembelian lahan yang dilakukan oleh

perusahaan Kota Bunga, peneliti memilih informan dari aparat desa dan

responden. Menurut beberapa responden yang peneliti wawancarai, orang yang

membeli lahan berbeda-beda. Orang yang membeli lahan itu berbeda, tetapi atas

nama yang sama. Bukti dari keyakinan aparat tersebut adalah surat sertifikat

lahan yang diajukan ke kantor desa ketika pihak Kota Bunga mengajukan izin

mendirikan bangunan di lokasi yang telah dibeli.

Berbagai informasi yang peneliti dapatkan tentang pembebasan lahan,

dari berbagai informasi tersebut, peneliti merangkum proses pembebasan lahan.

Awalnya, ada beberapa orang yang mensurvai lokasi. Orang yang mensurvai

lokasi tidak menjelaskan alasan kegiatan itu. Kemudian, beberapa orang

mendatangi masyarakat dan menanyakan apakah masyarakat bersedia menjual

lahan. Mereka menawarkan harga yang cukup tinggi kepada masyarakat dan
71

berjanji akan membayar dengan tunai dalam jangka singkat. Dalam beberapa

hari kemudian, ada masyarakat yang bersedia menjual lahan. Selanjutnya satu

persatu dari masyarakat Desa Sukanagalih itu bersedia menjual lahan mereka.

Alasan masyarakat bersedia menjual lahan tersebut adalah karena harga yang

ditawarkan saat itu cukup tinggi.

Pernah beberapa responden menanyakan tujuan dari transaksi ini

kepada pembeli. Jawaban yang mereka dapatkan adalah bahwa lahan tersebut

akan digunakan untuk membangun rumah huni seperti rumah-rumah penduduk.

Tentu saja pihak pembeli tidak memberitahukan tujuan dari pembelian lahan itu

untuk membangun suatu real estate, karena jika diketahui lahan tersebut

nantinya akan digunakan untuk pembangunan real estate, maka penjual atau

masyarakat akan memasang harga tinggi karena lahan tersebut merupakan

lahan yang subur dan lokasi lahan tersebut strategis 20. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Barlow (Afianto, 2002) bahwa nilai lahan menjadi lebih tinggi jika

lahan memiliki potensi fisik seperti kesuburan lahan dan keutamaan lokasi.

Kerahasiaan tujuan tetap tidak terpecahkan oleh aparat desa, meskipun pada

saat transaksi lahan disaksikan perwakilan dari kantor desa.

Akhirnya pihak desa mengetahui tujuan dari pembelian lahan-lahan

tersebut ketika PT. SPE (Perusahaan yang membangun Kota Bunga)

mengajukan izin mendirikan bangunan dan izin usaha ke kantor desa. PT. SPE

ternyata bukan pemilik pertama lahan yang dibeli tersebut. Perusahaan ini

membeli lahan tersebut dari seseorang dan perusahaan ini menyatakan tidak

tahu sama sekali proses jual beli ini.

Proses jual beli lahan ini memang bermasalah. Dulu, pihak pembeli

menjanjikan akan membayar secara tunai dan dalam jangka waktu dekat.

20
Lokasi lahan tersebut dapat dikatakan strategis karena berada di kawasan Bopunjur yang
merupakan kawasan wisata nasional.
72

Kenyataannya, uang tidak dibayarkan langsung. Pembeli juga dulu berjanji

penundaan pembayaran paling lama pun satu bulan, ternyata penundaan

pembayaran lebih dari satu bulan bahkan ada yang sampai enam bulan.

Masyarakat merasa kecewa karena pembeli tidak menepati janji. Sering sekali

masyarakat menagih uang yang belum dibayarkan itu kepada pembeli, tapi

pembeli tidak pernah menepati janji. Akhirnya masyarakat yang bernasib sama

berkumpul dan bersama-sama mendatangi pembeli untuk menagih uang yang

telah dijanjikan. Meskipun telah didesak warga, pembeli masih saja tidak

melunasi pembayaran tersebut. Masyarakat tentu sangat kecewa dengan

kejadian tersebut. Sehingga untuk yang kedua kalinya mereka mendatangi

pembeli, baru setelah itu pembeli bersedia melunasi pembayaran tersebut.

Dalam hal proses perizinan, seperti yang telah dipaparkan pada Bab V

bahwa untuk membangun suatu fasilitas pariwisata harus memenuhi peraturan

yang berlaku. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Bappeda, Kota Bunga

telah mengajukan berbagai perizinan dan telah disetujui Bupati 21. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Fauzi (1999) bahwa pemilik modal mendapatkan kemudahan

dalam pemanfaatan lahan di perdesaan dengan alasan untuk membangun

infrastruktur desa dan aparat negara memberikan alasan tujuan alih fungsi lahan

itu untuk membuka kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara.

6.2 Perubahan Struktur Agraria

Lahan-lahan yang kini digunakan untuk pembangunan fasilitas

pariwisata Kota Bunga awalnya adalah lahan pertanian dan beberapa rumah

penduduk. Di atas lahan tersebut ditanam berbagai komoditas pertanian, seperti

tanaman padi dan sayuran. Kini, lahan tersebut berubah fungsinya. Dulu

21
Pihak Bappeda menyatakan Kota Bunga telah mengajukan Surat Izin Investasi dan Surat Izin
peruntukkan Penggunaan Lahan pada tahun 1992 kepada Bupati dan Bupati telah menyetujuinya.
73

berfungsi sabagai lahan pertanian kini menjadi lahan non pertanian atau

tepatnya digunakan untuk kepentingan di bidang pariwisata.

Pada sub bab ini akan dibahas tentang perubahan struktur agraria

masyarakat Desa Sukanagalih yang disebabkan pembangunan fasilitas

pariwisata Kota Bunga. Perubahan yang peneliti dapat paparkan dalam sub bab

ini adalah perubahan kepemilikan lahan petani. Perubahan penguasaan lahan

oleh petani tidak dapat dibahas secara lengkap, hal ini dikarenakan responden

tidak ada yang menggarap lahan orang lain. Mereka hanya menggarap lahan

mereka sendiri. Untuk menjelaskan perubahan struktur agraria ini, maka pada

sub bab ini akan dipaparkan pola kepemilikan lahan sebelum dan setelah

pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga.

6.2.1 Pola Kepemilikan Lahan Sebelum Pembangunan Fasilitas


Pariwisata Kota Bunga

Kota Bunga mulai berdiri sekitar tahun 1993. Sebelum tahun 1993,

lahan-lahan yang kini dibangun fasilitas pariwisata Kota Bunga masih dimiliki

petani. Lahan-lahan tersebut sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan

pertanian dan beberapa luas lahan dimanfaatkan untuk keperluan tempat tinggal.

Keadaan lahan di lahan tersebut termasuk subur, sehingga wajar bila petani

tersebut memanfaatkan lahan itu untuk bercocok tanam. Komoditas yang

ditanam di lahan itu adalah padi dan sayuran.

Pertanian adalah kegiatan utama masyarakat Desa Sukanagalih.

Sebelum pembangunan fasilitas pariwisata, pemandangan Desa Sukanagalih

dipenuhi sawah-sawah dan tanaman sayuran. Masyarakat Desa Sukanagalih

rata-rata memiliki lahan. Sekitar 53,33 persen dari jumlah responden memiliki

luas lahan sempit, diikuti responden yang memiliki luas lahan kategori tinggi yaitu
74

sekitar 30 persen, dan sekitar 16,67 persen responden yang memiliki luas lahan

sedang22.

6.2.2 Pola Kepemilikan Lahan Setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata


Kota Bunga

Pola kepemilikan lahan petani berubah setelah pembangunan fasilitas

pariwisata Kota Bunga. Perubahan itu bervariasi, ada petani yang sebelum

pembangunan fasilitas memiliki lahan luas, namun setelah pembangunan

fasilitas pariwisata, petani tersebut tergolong menjadi petani yang memiliki lahan

sedang, atau justru sebaliknya. Perubahan tersebut terjadi disebabkan beberapa

faktor, salah satunya yaitu tingkat harga jual lahan. Tingkat harga jual lahan yang

didapatkan petani bervariasi tergantung lokasi lahan, kegunaan lahan, masa

penjualan, dan keahlian petani dalam hal tawar menawar harga jual lahan.

Berdasarkan Tabel 10, sekitar 53,33 persen petani mendapatkan tingkat

harga jual beli lahan yang rendah. Akan tetapi jumlah kepemilikan lahan sempit

berkurang dibanding sebelum pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga,

justru petani yang memiliki lahan luas mengalami peningkatan sebesar 18

persen23. Hal ini dapat dijelaskan dari hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman

dan Hubungan yang disajikan pada Tabel 11.

Tabel 10. Hubungan Antara Tingkat Jumlah Produk Wisata dan Tingkat Jual beli
Lahan
Tingkat Tingkat Jual beli lahan Lahan Total
Jumlah Rendah Sedang Tinggi
Produk
Wisata
Rendah 16 5 9 30
Total 16 5 9 30
Keterangan hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman : ñ hitung = 0,00; ñ tabel = 0,364; á = 0,05 ;
Keputusannya adalah tidak ada hubungan.

22
Lihat Tabel 9 Pada Bab IV
23
Lihat Tabel 7 pada Bab IV
75

Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa pada Tingkat Jumlah produk wisata

yang sama, tingkat harga jual beli lahan berbeda-beda. Besarnya uang jual beli

lahan yang diterima petani bervariasi tergantung luas lahan dan lokasi lahan

tersebut. Lahan yang diatasnya dibangun rumah bernilai Rp. 100.000,00 per

meter persegi, dan variasi harga lahan yang dimanfaatkan untuk bercocok tanam

sekitar Rp. 3.000,00 hingga Rp. 12.000,00 per meter persegi. Perbedaan yang

dihasilkan sangat jauh. Jumlah petani yang mendapatkan uang jual beli lahan

rendah merupakan jumlah terbanyak (53,33 %) sedangkan petani yang

mendapatkan uang jual beli lahan sedang berjumlah paling sedikit (16,67 %). Hal

ini terjadi karena posisi tawar menawar petani rendah. Rendahnya posisi tawar

menawar petani dikarenakan saat itu petani kurang begitu mengetahui harga

lahan di pasaran. Petani juga tidak mempertimbangkan kesuburan lahan yang

mereka jual, padahal lahan-lahan tersebut subur. Selain itu, petani juga tidak

mengetahui tujuan dari pembelian lahan itu sehingga standard harga jual yang

ditetapkan petani yaitu standar harga jual lahan untuk pemukiman, padahal jika

petani mengetahui tujuan pembelian lahan tersebut, petani dapat menentukan

harga jual yang tinggi.

Di sisi lain, persentase petani yang membeli lahan di Desa

Sukanagalih yang tergolong petani yang memiliki lahan luas meningkat. Sebelum

pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, petani yang memiliki lahan luas

sekitar 30 persen, setelah pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, petani

yang tergolong memiliki lahan luas menjadi 36,67 persen. Demikian halnya

dengan petani yang tergolong petani yang memiliki lahan sedang. Sebelum

pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, petani yang tergolong memiliki

lahan sedang sekitar 16,67 persen, dan setelah pembangunan fasilitas

pariwisata Kota Bunga, petani yang tergolong memiliki lahan sedang menjadi 30

persen. Berbeda dengan petani yang tergolong memiliki lahan se mpit, petani
76

yang memiliki lahan sempit mengalami penurunan persentase. Sebelum

pembangunan fasilitas pariwisata, petani yang tergolong memiliki lahan sempit

sekitar 53,33 persen dan setelah pembangunan fasilitas pariwisata menjadi

33,33 persen (Tabel 9 Bab IV).

Tabel 11 menyatakan hasil uji statistik korelasi Korelasi Rank Spearman

untuk hubungan antara luas kepemilikan lahan sebelum pembangunan fasilitas

pariwisata dan luas kepemilikan lahan setelah pembangunan fasilitas pariwisata,

hasil dari uji statistik ini membuktikan bahwa pada taraf nyata 0,05 didapatkan

rho hitung sebesar 0,897 dan rho tabel sebesar 0,364 ternyata terdapat

hubungan antara luas kepemilikan lahan sebelum pembangunan fasilitas

pariwisata dan luas kepemilikan lahan setelah pembangunan fasilitas pariwisata.

Hal ini disebabkan petani yang menjual lahan tersebut mampu membeli kembali

lahan di tempat lain dengan harga murah. Menurut beberapa responden, pada

tahun 1992 di Desa Sukanagalih masih banyak lahan yang murah. Hanya saja,

lahan tersebut jauh dari mata air sehingga untuk pengairan sawah-sawah di

lahan baru itu petani mengharapkan aliran air dari mata air di luar Desa

Sukanagalih.

Tabel 11. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota
Bunga dan Luas Kepemilikan Lahan Setelah Adanya Kota Bunga

Luas Luas Kepemilikan Lahan Setelah Adanya Kota Total


Kepemilikan Bunga
Lahan Rendah/sempit Sedang Tinggi/luas
Sebelum
Adanya
Kota Bunga
Rendah 14 0 2 16
Sedang 1 0 4 5
Tinggi 4 1 4 9
Total 19 1 10 30
Keterangan hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman : ñ hitung = 0,897 ; ñ tabel = 0,364; á =
0,05; Keputusannya adalah ada hubungan.
77

Petani yang menjual lahan di lokasi yang kini dibangun fasilitas

pariwisata Kota Bunga mengalokasikan uang jual beli lahan untuk membeli lahan

lagi. Lokasi lahan yang dibeli petani di beberapa tempat, ada yang membeli

lahan di kampung lain dalam satu desa, ada yang membeli lahan ke desa

tetangga, bahkan ada yang membeli di luar kecamatan seperti kecamatan

Cianjur. Kampung-kampung yang dipilih petani untuk membeli lahan adalah

Kampung Cibengang, Ciburial, Sukarame, dan Cihieum. Sedangkan petani yang

membeli lahan di luar desa dan kecamatan berpindah domisili menjadi penduduk

desa atau kecamatan itu. Sehingga hanya tinggal beberapa petani yang tinggal

di Desa Sukanagalih.

Alasan petani yang membeli lahan baru di Desa yang sama yaitu Desa

Sukanagalih adalah adanya kerabat di kampung sebelah dan kesediaan pemilik

lahan untuk menjaulnya kepada petani yang telah kehilangan lahan tersebut.

Petani yang berpindah ke kampung sebelah mendapatkan lahan dari kerabatnya

atau orang tua mereka. Lahan baru yang dimiliki petani itu untuk membangun

rumah merupakan lahan keluarga yang dijual murah (dijual dibawah harga

pasaran). Sedangkan petani yang tidak memiliki keluarga di lahan baru itu, dapat

membeli lahan karena pemilik yang menjualkan lahan merasa harga yang

ditawarkan pembeli (petani) cocok. Berdasarkan keterangan dari beberapa

informan yang menjualkan lahan kepada petani tersebut mengatakan bahwa

pada saat itu harga lahan rendah dan kebutuhan uang tunai tinggi. Sehingga

menjual lahan adalah salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan uang tunai

tersebut. Menurut penjual lahan baru itu, dulu lahannya ditawarkan kepada orang

lain agar laku terjual, tapi belum ada orang yang berniat membeli lahan. Sampai

pada masa banyak petani yang kehilangan lahan, barulah penjual itu dapat

menjual lahannya. Proses transaksi antara penjual dan pembeli dilakukan


78

langsung dan terbuka. Dalam arti pembeli mengatakan tujuan dia membeli lahan

apakah untuk sawah atau perumahan.

Dari uang jual beli lahan itu, selain digunakan untuk membeli lahan, juga

digunakan untuk membeli atau memperbaiki rumah dan untuk menunaikan

ibadah haji. Tetapi tidak semua petani dapat mengalokasikan uang jual beli lahan

untuk menunaikan ibadah haji. Dari peristiwa alih fungsi lahan ini, petani yang

merasa dirugikan adalah petani yang memiliki lahan sempit sebab uang jual beli

lahan yang mereka terima hanya untuk membeli lahan dan tingkat kesuburannya

kurang dari lahan yang mereka miliki sebelumnya. Sedangkan petani yang

memiliki lahan luas mendapatkan keuntungan, yaitu petani yang memiliki lahan

luas dapat membeli lahan lebih luas di tempat lain, bisa memperbaiki rumah, dan

menunaikan ibadah haji. Alokasi uang oleh petani yang memiliki lahan sedang

biasanya membeli lahan di tampat lain dan memperbaiki rumah.

6.3 Perubahan Struktur Agraria dan Mata Pencaharian Penduduk

Sebelum adanya pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, mata

pencaharian penduduk adalah sebagai petani pemilik lahan. Komoditas

pertanian yang mereka tanam selain padi sawah adalah sayuran, seperti cabe,

bawang daun, buncis, dan kacang kapri. Mata pencaharian mereka tidak

berubah meskipun telah dibangun fasilitas pariwisata. Hal ini didukung oleh hasil

uji statistik Korelasi Rank Spearman yang menyatakan bahwa rho 2 hitung untuk

hubungan antara luas kepemilikan lahan sebelum adanya Kota Bunga dan

perubahan pekerjaan utama setelah adanya Kota Bunga sebesar 0,600 dan rho

tabelnya sebesar 0,364. Sehingga uji ini menyatakan bahwa pada taraf nyata

0,05 ternyata terdapat hubungan. Berdasarkan Tabel 12, dari 30 petani hanya

16,67 persen saja yang berubah mata pencahariannya. Petani yang berubah
79

mata pencahariannya adalah petani yang memiliki lahan sempit. Sedangkan

petani yang memiliki lahan sedang dan tinggi tetap bekerja sebagai petani.

Demikian halnya setelah petani mendapatkan uang jual beli lahan lahan.

Mata pencaharian petani tidak berubah secara signifikan. Meskipun ada 1 orang

yang menjadi pedagang sayuran, 3 orang yang menjadi buruh bangunan24, dan 1

orang yang membuka usaha sendiri yaitu berjualan di pasar, tetap saja jika

dibandingkan dari keseluruhan, mereka tetap memilih jadi petani. Menurut

mereka, uang jual beli lahan yang mereka dapatkan tidak dapat digunakan

sebagai modal usaha lain. Mereka lebih mengutamakan uang tersebut

digunakan untuk membeli lahan agar mereka dapat bertani kembali. Selain itu,

mereka merasa tidak memiliki keahlian untuk berpindah profesi seperti membuka

usaha sendiri.

Tabel 12 . Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota


Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota
Bunga

Luas Perubahan Jenis Pekerjaan Utama Setelah Total


Kepemilikan adanya Kota Bunga
Lahan Sebelum
Adanya Kota
Bunga Tetap Berubah
Rendah/sempit 11 4 16
Sedang 5 0 5
Tinggi/luas 9 0 9
Total 25 5 30
Keterangan hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman : rho hitung = 0,600; rho tabel = 0,364 ; á=
0,05; Keputusannya adalah terdapat hubungan.

Faktor yang menyebabkan mereka tetap memilih bekerja sebagai

petani adalah karena bertani merupakan pekerjaan mereka semenjak mereka

berumahtangga bahkan orang tua mereka pun bekerja sebagai petani. Selain itu,

mereka merasa bertani adalah pekerjaan yang cocok baginya dan dengan

24
Mereka menjadi buruh bangunan di Kota Bunga dan Jakarta. Petani yang menjadi buruh
bangunan di Jakarta bekerja ketika di Kota Bunga tidak ada proyek.
80

bertani kebutuhan pokok (pangan) mereka akan selalu terjamin. Kenyataan ini

sesuai dengan pernyataan Redfield dalam Suhendar dan Winarni (1998) bahwa

petani memiliki sikap intim dan hormat pada lahan dan menganggap pekerjaan

pertanian adalah pekerjaan yang baik.

Tabel 13. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota
Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Sampingan Sebelum Adanya
Kota Bunga

Luas Jenis Pekerjaan Sampingan Sebelum Adanya Total


Kepemilikan Kota Bunga
Lahan Tidak Memiliki Pekerjaan Memiliki Pekerjaan
Sebelum Sampingan Sampingan
Adanya Kota
Bunga
Rendah 16 0 16
Sedang 4 1 5
Tinggi 8 1 9
Total 28 2 30
Keterangan uji statistik Korelasi Rank Spearman : rho hitung = 0,359; rho Tabel = 0,364; á= 0,05;
Keputusannya adalah tidak ada hubungan.

Berdasarkan Tabel 13, sebelum dibangunnya fasilitas pariwisata Kota

Bunga, hampir seluruh responden tidak memiliki pekerjaan sampingan yaitu

sekitar 93,33 persen petani tidak memiliki pekerjaan sampingan. Hal ini didukung

oleh hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman, dimana rho hitung yang didapat

sebesar 0,359 dan rho tabelnya sebesar 0,364 ternyata pada taraf nyata 0,05

tidak ada hubungan antara dua variabel tersebut.

Sama halnya setelah dibangunnya fasilitas pariwisata Kota Bunga,

pada umumnya mereka tetap tidak memiliki pekerjaan sampingan (Tabel 14).

Tetapi dari segi kuantitas, ada petani yang memiliki pekerjaan sampingan yaitu 1

orang yang mengatakan bahwa bertani adalah pekerjaan sampingan dan

pekerjaan utamanya adalah berdagang sayuran. Petani ini mengatakan bahwa

bertani adalah pekerjaan sampingan karena petani ini fokus pada kegiatan

berdagang sayuran, sedangkan bertani dilakukan jika ada waktu saja. Selain itu,
81

dia juga mengatakan hasil yang didapatkan dari berjualan sayuran jauh lebih

menjanjikan dibanding dari hasil bertani. Selanjutnya, sebanyak 5 orang yang

memiliki pekerjaan sampingan sebagai pedagang, dan 1 orang sebagai buruh

bangunan di Kota Bunga. Sebagian besar petani sangat menggantungkan

kelangsungan hidupnya pada kegiatan pertanian. Petani tidak memiliki pekerjaan

sampingan di luar kegiatan pertanian karena mereka menghabiskan seluruh

waktu dan tenaga mereka untuk bertani.

Tabel 14. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota
Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya
Kota Bunga

Luas Jenis Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Total


Kepemilikan Bunga
Lahan Tidak Memiliki Pekerjaan Memiliki Pekerjaan
Sebelum Sampingan Sampingan
Adanya Kota
Bunga
Rendah 13 3 16
Sedang 4 1 5
Tinggi 6 3 9
Total 23 7 30
Keterangan hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman : rho hitung = 0,359; rho tabel = 0,364 ; á=
0,05; Keputusannya adalah tidak ada Hubungan.

Pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga selain berakibat pada

perubahan kepemilikan lahan pertanian juga dapat mengubah pelapisan pada

masyarakat. Petani-petani yang mendapat keuntungan dari penjualan lahan

memiliki kesempatan untuk berpindah ke lapisan yang lebih tinggi. Hal ini

dikarenakan dari penjualan lahan tersebut petani memperoleh uang yang

selanjutnya uang tersebut dialokasikan untuk memperbaiki rumah mereka

(kepemilikan benda berharga) atau menunaikan ibadah haji. Ketika petani

mengalokasikan uang hasil jual beli lahan untuk memperbaiki rumah atau

menambah perabotan rumahtangga, maka kepemilikan benda berharga petani

itu bertambah, sehingga dia jika pelapisan dalam masyarakat tersebut


82

berdasarkan kepemilikan benda berharga, maka petani tersebut dapat berpindah

ke lapisan yang di atasnya. Demikian halnya dengan petani yang

mengalokasikan uang mereka untuk menunaikan ibadah haji. Dengan

menunaikan ibadah haji, mereka dapat lebih disegani dan dihormati. Apalagi

Desa Sukanagalih merupakan desa yang nilai-nilai keagamaan masih dijunjung

tinggi.
BAB VII
PERUBAHAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT DESA
SUKANAGALIH

7.1 Kelembagaan Masyarakat Desa Sukanagalih Sebelum


Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga

Sebelum pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, sebagian besar

masyarakat Desa Sukanagalih menggantungkan hidupnya dari hasil bertani.

Hampir setiap warga kampung terlibat dalam kegiatan bercocok tanam. Kegiatan

bertani ini dilakukan secara bersama-sama dan saling tolong menolong antar

tetangga, mulai dari kegiatan menanam, memberantas hama, memperbaiki

saluran air, hingga panen. Maka kegiatan-kegiatan ini menjadi ciri khas sifat

kelembagaan masyarakat Desa Sukanagalih yaitu gotong royong.

Orang-orang yang terlibat dalam kegiatan bersama ini adalah anggota

keluarga petani dan tetangganya. Anggota keluarga petani terlibat dalam seluruh

kegiatan bertani, sedangkan tetangganya hanya terlibat dalam kegiatan-kegiatan

tertentu. Kegiatan yang khusus dilakukan oleh anggota keluarga petani seperti

mencangkul di sawah dan membersihkan pematang, sedangkan kegiatan yang

dilakukan bersama-sama oleh anggota keluarga dan tetangga adalah menanam

padi, memberantas hama, memperbaiki saluran air, dan panen. Anggota

keluarga laki-laki bertanggung jawab dalam hal mencangkul tanah agar tanah

yang akan ditanami padi subur, memperbaiki saluran air, memberantas hama

tikus, membersihkan pematang, dan panen (membabat sawah), sedangkan

anggota keluarga perempuan bertanggung jawab pada kegiatan menanam padi,

memberantas hama burung, mencabut rumput, dan panen (mengambil biji padi).

Petani dan tetangganya saling tolong menolong dalam kegiatan bertani.

Tolong menolong ini dilakukan secara bergantian dari keluarga atau


84

rumahtangga yang satu kemudian ke keluarga/rumahtangga yang lainnya.

Tetangga yang membantu bertani tidak mendapatkan upah berupa uang, karena

petani yang dibantunya sekarang akan kembali membantu di sawah tetangganya

itu. Mereka hanya mendapatkan minuman dan makan siang atau terkadang kue-

kue di antara sarapan dan makan siang. Hal ini dipandang sebagai hubungan

kekerabatan oleh Hayami dan Kikuchi (1987). Mereka menyatakan bahwa

hubungan kekerabatan merupakan hal yang penting di desa, hal ini dikarenakan

orang desa hidup bersama di dalam satu lokasi yang sama dan harus bekerja

sama pula. Dengan adanya hubungan kekerabatan ini, masyarakat petani dapat

tetap survive dan solidaritas komunitas kuat. Kegiatan produksi yang dilakukan

petani masih bersifat subsisten (Suhendar dan Winarni, 1998).

Ada beberapa petani juga yang memberikan bayaran kepada tetangga

yang telah membantu mereka dalam proses produksi ini. Petani yang membayar

tetangganya dalam kegiatan bertani tidak memiliki kewajiban untuk membantu

tetangganya nanti. Petani ini adalah petani yang memiliki lahan luas, sedangkan

petani yang mendapatkan bayaran ini disebut buruh tani. Bayaran untuk buruh

tani perempuan sebesar Rp. 3.000,00 per hari dan terkadang mendapatkan

makan siang jika petani yang memperkerjakannya memiliki uang untuk memberi

makan siang , sedangkan bayaran untuk buruh tani laki-laki sebesar Rp. 5.000,00

per hari dan terkadang juga mendapatkan makan siang. Pada saat panen, ada

beberapa petani yang membayar buruh tani dengan satu ikat padi jika buruh tani

itu membantu dan menghasilkan 12 ikat padi.

7.2 Kelembagaan dan M ata Pencaharian Masyarakat Desa Setelah


Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga

Setelah adanya pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga,

masyarakat Desa Sukanagalih mengalami perubahan kelembagaan dalam

bertani. Sifat kelembagaan setelah adanya Kota Bunga yaitu kome rsil, dimana
85

segala sifat kerja atau aktivitas dinilai dengan uang. Berbeda dengan sifat

kelembagaan sebelum adanya pembangunan fasilitas pariwisata, masyarakat

masih bersedia membantu tetangganya bertani dengan dasar tolong menolong,

sedangkan setelah pembangunan fasilitas pariwisata, segala kegiatan dinilai

untung ruginya dari segi pendapatan. Tjondronegoro (1999) memandang

peristiwa ini mengakibatkan terkikisnya sistem derep dan bawon yang memiliki

fungsi sosial, artinya pembagian hasil pertanian dapat berlangsung tanpa adanya

upah uang. Hubungan komersial disebabkan masuknya ekonomi uang di

perdesaan.

Komersialisasi pada sifat kelembagaan di Desa Sukanagalih tercermin

dari perubahan cara pandang buruh tani dalam memilih pekerjaan. Orang-orang

yang bekerja menjadi buruh, lebih memilih menjadi buruh di wilayah Kota Bunga

sebagai pencabut rumput di taman dibanding menjadi buruh di sawah.

Pertimbangan dasarnya adalah upah yang didapatkan dari mencabut rumput di

taman lebih besar dibanding upah yang didapat dari bekerja di sawah.

Menurut responden, tenaga kerja untuk mengerjakan sawah saat ini

sulit didapatkan. Hal ini dikarenakan banyak tenaga kerja yang lebih memilih

bekerja di Kota Bunga atau menjadi buruh pabrik di Jakarta. Pertimbangan ini

berdasarkan penilaian untung rugi yang dikonversikan ke dalam nilai uang.

Bekerja di Kota Bunga sebagai pencabut rumput dapat menghasilkan upah

sebesar Rp. 11.000,00 hingga Rp. 16.000,00 per hari, sedangkan upah yang

dihasilkan dari bekerja di sawah sebesar Rp. 8.000,00 per hari untuk tenaga

kerja perempuan dan Rp. 10.000,00 per hari untuk tenaga kerja laki-laki. Hal ini

menyebabkan nilai buruh tani meningkat setelah adanya Kota Bunga.

Ada hal lain yang menyebabkan tenaga kerja sulit didapatkan

khususnya tenaga kerja yang masih muda atau pemuda. Banyak pemuda yang

lebih memilih bekerja di kota sebagai buruh pabrik daripada bekerja di sawah.
86

Menurut mereka (pemuda), bekerja di kota lebih terhormat dibanding bekerja di

sawah.

Meskipun sifat kelembagaan telah berubah, hampir seluruh responden

tetap bermata pencaharian sebagai petani. Petani-petani ini juga masih berpikir

memproduksi beras untuk kebutuhan subsisten. Hanya petani sayuran yang

telah memperhitungkan untung rugi antara input dan output. Menurut mereka,

penghasilan mereka saat ini berkurang dikarenakan harga pupuk yang masih

tinggi.

Demikian juga dalam hal pekerjaan sampingan. Hampir seluruh petani

tidak memiliki pekerjaan sampingan. Hanya saja responden yang mendapatkan

pekerjaan sampingan sebagai pedagang meningkat 25. Peningkatan ini

dikarenakan 5 petani tersebut memiliki modal untuk membuka usaha berjualan

sayuran atau buah-buahan di sepanjang jalan menuju fasilitas pariwisata yang

ada di Desa Sukanagalih termasuk Kota Bunga. Tapi saat ini mereka mulai

mengeluhkan akan meninggalkan pekerjaan sampingan itu. Hal ini dikarenakan

pengunjung yang datang ke tempat-tempat fasilitas pariwisata khususnya Kota

Bunga berkurang. Selain sebagai pedagang sayuran, ada juga responden yang

memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh bangunan di Kota Bunga. Upah

yang didapatkan sebagai buruh bangunan cukup tinggi menurut mereka yaitu

sekitar Rp. 25.000,00 per hari. Hanya saja penghasilan dari bekerja sebagai

buruh bangunan tidak didapatkan setiap hari atau setiap bulan, tergantung ada

atau tidaknya proyek. Menurut mereka, waktu dulu, panggilan untuk bekerja

sebagai buruh bangunan banyak karena saat itu Kota Bunga dalam proses

pembangunan sedangkan sekarang panggilan untuk bekerja sebagai buruh

bangunan berkurang bahkan hampir tidak ada. Meskipun Kota Bunga sedang

25
Lihat Tabel 13 pada Bab VI tentang jumlah responden yang memiliki pekerjaan sampingan
sebelum adanya Kota Bunga.
87

melakukan pengembangan, tenaga kerja yang dibutuhkan sebagai buruh

bangunan terbatas.

Perusahaan Kota Bunga kini sedang melakukan efisiensi. Hal ini

berdampak pula pada peluang kerja. Salah satu langkah yang dilakukan

Perusahaan adalah pengurangan karyawan, termasuk juga pengurangan buruh.

Maka pengurangan buruh pun dilakukan sehingga banyak masyarakat lokal yang

bekerja sebagai buruh terpaksa di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Dari

perisitiwa ini, keberadaan tempat pariwisata Kota Bunga tidak menguntungkan

masyarakat dalam hal kesejahteraan masyarakat lokal. Sehingga muncul

ketidakpuasan dari masyarakat lokal akan hal ini. Ketidakpuasan masyarakat

lokal juga muncul karena akibat lain seperti uang pesangon yang dijanjikan tidak

sesuai dan janji-janji perusahaan untuk memberikan peluang kerja baru pun tidak

pernah ada.

Demikian halnya yang terjadi pada pengunjung Kota Bunga dan

masyarakat lokal. Berdasarkan model pariwisata yang diungkapkan Soekadijo

(2000), maka aktivitas pengunjung Kota Bunga termasuk dalam model enklave ,

dimana aktivitas pengunjung hanya di sekitar Kota Bunga. Pengunjung

bersenang-senang di sekitar Kota Bunga, berbelanja cindera mata di kawasan

Kota Bunga, dan melihat berbagai pertunjukkan di dalam kawasan Kota Bunga.
BAB VIII
PELUANG USAHA DAN PELUANG KERJA DI SEKTOR
PARIWISATA

Pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan yang diiringi adanya

produk-produk wisata dapat membuka peluang usaha dan peluang kerja di

perdesaan. Seperti yang diungkapkan salah satu aparat pe merintah Dinas

Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur bahwa pertimbangan dari

pembangunan fasilitas pariwisata di Cianjur adalah untuk membuka kesempatan

kerja bagi masyarakat Cianjur. Maka pada bab ini akan dibahas sejauh mana

manfaat pembangunan fasilitas pariwisata di Desa Sukanagalih terhadap

peluang usaha dan peluang kerja masyarakat Desa Sukanagalih.

8.1 Peluang Usaha di Sektor Pariwisata

Fasilitas pariwisata yang akan dibahas pada sub bab ini adalah fasilitas

pariwisata Kota Bunga. Kota Bunga memiliki tiga produk wisata berdasarkan

produk wisata yang diungkapkan Yoeti (1996b), yaitu :

1. Jasa-jasa pelayanan akomodasi, bar, dan fasilitas rekreasi.

2. Obyek wisata dan atraksi wisata yang terdapat di daerah tujuan wisata.

3. Jasa-jasa pedagang ci ndera mata dan kerajinan serta pusat perbelanjaan.

Dari ketiga produk wisata yang ada di Kota Bunga itu, dapat

memberikan peluang-peluang usaha, seperti membuka mini market, berjualan

cindera mata, usaha pelayanan jasa angkutan, usaha kost-kostan atau membuka

rumah-rumah makan. Pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga memberikan

sedikit peluang usaha bagi masyarakat lokal. Peluang usaha yang dapat

dimasuki masyarakat lokal yaitu usaha membuka rumah makan dan jasa

angkutan, baik angkutan kendaraan beroda empat maupun kendaraan beroda


89

dua. Peluang usaha tersebut hanya dapat dimasuki oleh beberapa orang saja.

Masyarakat yang dapat memanfaatkan peluang usaha tersebut adalah orang-

orang yang memiliki modal besar dan sanggup menanggung resiko. Resiko yang

harus ditanggung adalah kebangkrutan karena modal yang digunakan untuk

membuka usaha adalah uang pinjaman dari bank yang harus dibayar dari hasil

usaha. Penghasilan usaha tergantung dari banyaknya pengunjung yang datang

ke Kota Bunga dan jumlah karyawan Kota Bunga yang berasal dari luar Desa

Sukanagalih. Mulai krisis ekonomi di tahun 1997, resiko tersebut mulai nampak.

Pengunjung atau konsumen Kota Bunga menurun. Demikian juga dengan jumlah

karyawan Kota Bunga. Sekitar tahun 1999, Perusahaan Kota Bunga melakukan

penyusutan karyawan. Penurunan konsumen Kota Bunga berdampak pada

penurunan penghasilan dari usaha rumah makan, penjualan cindera mata,

penjualan sayuran dan buah-buahan di sekitar tempat wisata Kota Bunga,

sedangkan penyusutan jumlah karyawan Kota Bunga berdampak pada

penurunan penghasilan usaha rumah makan dan kost-kostan. Hal ini terjadi

karena karyawan yang berasal dari luar Desa Sukanagalih sebagian besar

memanfaatkan jasa rumah makan untuk kebutuhan pangan sehari-hari dan

membutuhkan kost-kostan untuk tempat tinggal mereka selama bekerja di Kota

Bunga. Penyusutan karyawan tentu saja berakibat langsung pada penghasilan

dari usaha rumah makan dan kost-kostan.

Usaha lain yang dapat dimasuki beberapa masyarakat adalah usaha

jasa angkutan perkotaan. Nama trayek angkutan tersebut adalah Cipanas-Loji.

Trayek ini melewati tempat fasilitas pariwisata Kota Bunga. Menurut salah satu

aparat Desa Sukanagalih, sebelum banyaknya pembangunan fasilitas pariwisata,

angkot yang bertrayek Cipanas-Loji hanya sedikit, tetapi setelah pembangunan

fasilitas-fasilitas pariwisata, trayek Cipanas-Loji bertambah bahkan dibuka trayek

baru yaitu Cipanas-Sukanagalih. Pengguna jasa pelayanan angkutan ini adalah


90

masyarakat setempat, pengunjung Kota Bunga dan karyawan Kota Bunga yang

tempat tinggalnya jauh dari tempat bekerja. Oleh karena itu, jumlah pengunjung

dan jumlah karyawan yang bekerja di tempat wisata menjadi salah satu faktor

yang dapat meningkatkan atau menurunkan penghasilan usaha ini.

Selain usaha angkutan yang menggunakan kendaraan beroda empat,

ada juga usaha jasa angkutan beroda dua yang biasa disebut ojek. Dulu usaha

ojek hanya dapat dimasuki beberapa orang karena keterbatasan modal untuk

membeli motor, tapi sekarang hampir seluruh pengendara ojek dapat memasuki

usaha jasa ojek sehingga tidak memiliki kewajiban untuk membayar uang

setoran. Maraknya usaha-usaha jasa angkutan beroda dua ini dikarenakan

semakin banyaknya kredit-kredit motor yang cicilannya ringan, sehingga jumlah

pemilik kendaraan beroda dua bertambah.

Berbeda halnya dengan masyarakat yang menjual lahan ke perusahaan

Kota Bunga. Adanya pembangunan fasilitas pariwisata yang diiringi adanya

produk-produk wisata, ternyata tidak memberikan peluang usaha bagi mereka.

Kenyataannya justru sebaliknya, pemilik-pemilik lahan tersebut tetap memilih

bertani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Hal ini disebabkan

produk wisata yang ada di Kota Bunga tidak memberikan peluang usaha bagi

masyarakat. Peluang-peluang usaha yang ada di Kota Bunga justru ditempati

oleh pendatang. Penyebab masyarakat setempat tidak dapat memasuki peluang-

peluang usaha adalah keterbatasan modal dan keterampilan berusaha. Tabel 15

menunjukkan hasil uji statistik Chi Square untuk hubungan antara tingkat peluang

usaha dan pekerjaan utama e x-pemilik lahan. Berdasarkan uji ini, peluang usaha

yang rendah di sektor wisata tidak mengubah pekerjaan utama masyarakat.


91

Tabel 15. Hubungan Antara Tingkat Peluang Usaha dan Jenis Pekerjaan Utama
Setelah Adanya Kota Bunga

Tingkat Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga Total


Peluang Petani Pedagang Buruh Buka
Usaha Bangunan Usaha
Sendiri
Rendah 25 1 3 1 30
Total 25 1 3 1 30
2
Keterangan uji statistik Chi - Square: X hitung = tidak ada nilai karena peluang usahanya konstan.

Sama halnya dengan jenis pekerjaan sampingan masyarakat.

Berdasarkan uji statistik Korelasi Rank Spearman menyatakan bahwa rho hitung

untuk hubungan antara tingkat peluang usaha dan pekerjaan sampingan setelah

adanya Kota Bunga sebesar 0,00; sedangkan rho tabelnya sebesar 0,364; maka

pada taraf nyata 0,05 tidak terdapat hubungan antara kedua variabel itu.

Tabel 16. Hubungan Antara Tingkat Peluang Usaha dan Jenis Pekerjaan
Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga

Tingkat Jenis Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Total


Peluang Bunga
Usaha Tidak Memiliki Pekerjaan Memiliki Pekerjaan
Sampingan Sampingan
Rendah 23 7 30
Total 23 7 30
Keterangan uji statistik Korelasi Rank Spearman; rho hitung: 0,00; rho tabel: 0,364; taraf nyata:
0,05; Keputusan: Tidak ada hubungan.

8.2 Peluang Kerja di Sektor Pariwisata

Peluang usaha di sektor wisata tidak dapat dimasuki masyarakat

setempat, dan ternyata masyarakat setempat pun tidak dapat memasuki peluang

kerja yang ada di Kota Bunga. Oleh karena masyarakat tidak dapat mema suki

peluang kerja yang ada di Kota Bunga, maka mata pencaharian masyarakat pun

tidak berubah. Tabel 17 menyatakan bahwa dari 30 responden, sebesar 83,33

persen responden menjadi petani, ini berarti sebagian besar masyarakat tetap

bertani. Meskipun sebagian besar masyarakat tidak dapat memasuki peluang

kerja di sektor wisata, tetapi ada beberapa masyarakat yang dapat memasuki
92

peluang kerja di sektor wisata. Menurut informasi yang didapatkan dari

responden bahwa peluang-peluang kerja yang dapat dimasuki masyarakat

adalah sebagai buruh pencabut rumput, satpam di Kota Bunga, buruh bangunan,

dan ada yang menjadi karyawan Kota Bunga 26.

Jumlah masyarakat setempat yang bekerja di Kota Bunga sedikit,

berbeda halnya dengan jumlah pendatang yang bekerja di Kota Bunga.

Karyawan-karyawan Kota Bunga banyak yang berasal dari luar Desa

Sukanagalih. Berdasarkan informasi, Kota Bunga membatasi jumlah pekerja

yang berasal dari Desa Sukanagalih, sayangnya pihak Kota Bunga tidak

memberikan keterangan pasti tentang hal tersebut. Apalagi untuk saat ini, Kota

Bunga sedang mengadakan efisiensi termasuk efisiensi jumlah karyawan. Pihak

Kota Bunga mengatakan bahwa semenjak krisis moneter tahun 1997 pengunjung

Kota Bunga mulai berkurang sehingga pendapatan pun berkurang. Untuk

mengatasi hal ini, perusahaan melakukan pengurangan karyawan dengan cara

mem-PHK-kan 400 karyawan. Sehingga jelas sekali bahwa peluang kerja

semakin kecil.

Tabel 17. Hubungan Antara Tingkat Peluang Kerja dan Jenis Pekerjaan Utama
Setelah Adanya Kota Bunga

Tingkat Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga Total


Peluang Petani Pedagang Buruh Buka
Kerja Bangunan Usaha
Sendiri
Rendah 25(83,33%) 1 3 1 30
Total 25 1 3 1 30
2
Keterangan uji statistik Chi Square x hitung= tidak ada nilai karena variable tingkat peluang kerja
nilainya konstan

26
Nama- nama warga Sukanagalih yang bekerja di Kota Bunga: Asep (satpam), Surya (Satpam),
Gugun (satpam), Erwin (office), Wawa (office), Taufik (penjaga karcis arena), Meika (penjaga karcis
danau), Iwan (penjaga karcis), Lena (accounting), Yanto (satpam).
93

8.3 Tingkat Pendapatan Masyarakat Setelah Pembangunan Fasilitas


Pariwisata Kota Bunga

Berdasarkan tabel 18 diperoleh bahwa sebagian besar masyarakat

memiliki tingkat pendapatan sedang yaitu sekitar 63,33 persen dari total

responden, masyarakat yang berpendapatan tinggi sebesar 26,67 persen, dan

masyarakat yang berpendapatan rendah hanya 3,33 persen. Berdasarkan Tabel

18 juga, masyarakat yang bermata pencaharian petani sebagian besar tingkat

pendapatannya sedang, kemudian diikuti petani yang tingkat pendapatannya

tinggi, dan terakhir yaitu petani yang tingkat pendapatannya rendah. Pedagang

dan buruh bangunan memiliki tingkat pendapatan sedang, sedangkan warga

yang berusaha sendiri memiliki tingkat pendapatan tinggi. Dari hasil uji statistik

Chi Square untuk hubungan antara jenis pekerjaan utama dan tingkat

pendapatan setelah adanya Kota Bunga diperoleh x2 hitung sebesar 4,614 dan x2

tabelnya sebesar 12,592 (Tabel 18). Dari hasil uji ini dinyatakan bahwa antara

jenis pekerjaan utama dan tingkat pendapatan masyarakat tidak ada

hubungannya. Jadi, keragaman tingkat pendapatan yang dimiliki masyarakat

setempat pun tidak ada hubungannya dengan ada atau tidak adanya Kota

Bunga.

Tabel 18. Hubungan Antara Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga
dan Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga

Jenis Pekerjaan Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Total


Utama Setelah Bunga
Adanya Kota Bunga Rendah Sedang Tinggi
Petani 1 15 7 23
Pedagang 1 1
Buruh Bangunan 3 3
Buka Usaha Sendiri 1 1
Total 1 19 8 30
2 2
Keterangan uji statistik Chi Square : x hitung = 4,614; x tabel = 12,592; á= 0,05; Keputusannya
adalah tidak ada hubungan.
94

Sama halnya dengan keragaman tingkat pendapatan masyarakat yang

diperoleh dari hasil kerja sampingan yang menyatakan besar kecilnya

pendapatan tersebut tidak ada hubungannya dengan ada atau tidak adanya Kota

Bunga. Pernyataan ini didukung oleh hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman

untuk hubungan antara perubahan jenis pekerjaan sampingan dan tingkat

pendapatan setelah adanya Kota Bunga. Dari uji ini diperoleh rho hitungnya

sebesar 0,394 dan rho tabelnya sebesar 0,364 pada taraf nyata 0,05

keputusannya adalah terdapat hubungan antara dua variabel tersebut (Tabel 19).

Hal ini dikarenakan peluang kerja yang ada di Kota Bunga tidak dapat dimasuki

masyarakat setempat maka adanya Kota Bunga tidak mempengaruhi tingkat

pendapatan masyarakat.

Tabel 19. Hubungan Antara Perubahan Jenis Pekerjaan Sampingan Setelah


Adanya Kota Bunga dan Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota
Bunga

Perubahan Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Total


Jenis Bunga
Pekerjaan Rendah Sedang Tinggi
Sampingan
Setelah
Adanya Kota
Bunga
Tidak 1 19 8 28
Memiliki
Pekerjaan
sampingan
Memiliki 1 1 2
Pekerjaan
Sampingan
Total 1 20 9 30
Keterangan uji statistik Korelasi Rank Spearman : rho hitung = 0,394; rho tabel = 0,364; taraf nyata
0,05; keputusannya adalah terdapat hubungan.
BAB IX
PENUTUP

9.1 Kesimpulan

Penataan ruang Kabupaten Cianjur diatur oleh Keputusan Presiden No.

114 Tahun 1999 dan RTRW Kabupaten Cianjur 2005-2015. Berdasarkan

kebijakan tersebut, Kecamatan Pacet merupakan kawasan perkotaan yang

berfungsi sebagai pusat perdagangan dan jasa, pemukiman, pendidikan,

kesehatan, industri, pariwisata, koleksi, dan distribusi. Sehubungan dengan

kebijakan ini, maka pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga di Desa

Sukanagalih, Kecamatan Pacet sesuai dengan kebijakan tersebut. Demikian juga

dalam hal perizinan bangunan dan usaha, Perusahaan Kota Bunga telah

memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur,

meskipun pada prosesnya terdapat beberapa masalah.

Pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga mempengaruhi pola

kepemilikan lahan petani. Luas kepemilikan lahan petani setelah pembangunan

fasilitas pariwisata Kota Bunga meningkat. Banyak petani yang memiliki lahan

kategori sedang dan luas. Perubahan kepemilikan lahan petani ternyata tidak

mempengaruhi jenis mata pencaharian sebelumnya. Sebagian besar petani

pemilik lahan tetap menjadi petani sebagai pekerjaan utama. Hal ini disebabkan

karena pertanian adalah mata pencaharian yang cocok bagi mereka.

Pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga berdampak juga pada

perubahan pelapisan masyarakat. Perubahan pelapisan masyarakat terjadi pada

petani yang mendapatkan keuntungan dari alih fungsi lahan, misalnya

keuntungan materi. Petani mendapatkan keuntungan materi dari hasil jual beli

lahan. Keuntungan tersebut dialokasikan untuk menunaikan ibadah haji atau


96

memperbaiki rumah. Petani yang telah menunaikan ibadah haji lebih disegani

dan dihormati anggota masyarakat lain dibanding sebelumnya.

Pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga berdampak juga pada

perubahan sifat kelembagaan pertanian. Di mana sebelum pembangunan Kota

Bunga, sifat kelembagaan pertanian adalah subsisten, dimana kegiatan bercocok

tanam dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok. Setelah

pembangunan Kota Bunga, sifat kelembagaan menjadi komersil. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Tjondronegoro (1999) bahwa terkikisnya sifat gotong royong

disebabkan masuknya ekonomi uang di perdesaan. Perubahan sifat

kelembagaan tidak mempengaruhi jenis mata pencaharian petani.

Pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga tidak memberikan

peluang usaha kepada masyarakat lokal. Peluang-peluang usaha yang

dimanfaatkan masyarakat lokal adalah menjual cindera mata, membuka rumah

makan, jasa transportasi, dan usaha kontrakan rumah. Demikian halnya dengan

peluang kerja. Peluang kerja yang dapat dimasuki masyarakat lokal rendah.

Peluang kerja terbanyak yang dapat dimasuki masyarakat lokal adalah peluang

kerja sebagai buruh pencabut rumput. Peluang menjadi karyawan Kota Bunga

sangat kecil. Hal ini disebabkan tingkat pendidikan masyarakat lokal tidak sesuai

dengan syarat yang ditetapkan oleh Kota Bunga.

9.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat beberapa hal yang menjadi

saran penulis, yaitu :

1. Diperlukan penelitian lebih mendalam menyangkut aspek hukum dalam

proses legalisasi perizinan Kota Bunga karena saat ini pun Kota Bunga

sedang melakukan perluasan wilayah.


97

2. Diperlukan kontrol dari pemerintah terhadap pelaksanaan pembangunan

Kota Bunga yang berkaitan dengan pengeluaran izin pembangunan Kota

Bunga. Hal ini terkait praktek pembangunan Kota Bunga yang tidak

berpihak pada masyarakat lokal.

3. Diperlukan usaha dari Perusahaan Kota Bunga untuk membuka lapangan

kerja bagi masyarakat sekitar karena izin pembangunan Kota Bunga

terkait dengan janji perusahaan melakukan pengembangan masyarakat.

4. Diperlukan usaha dari pihak masyarakat untuk mempertahankan

keberadaan mereka dengan melakukan advokasi damai, sehingga

Perusahaan Kota Bunga dan pemerintah memperhatikan kesejahteraan

mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Afianto, Eko Dafid 2002, Perubahan Struktur Agraria di Perdesaan, Skripsi,


Jurusan Ilmu -Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Actis 2001, ‘waktu terluang. and kepariwisataan.: Types of leisure and tourism’,
http://www.geographyonline.co.uk/sitetour/resources/leisure/info3.html

Bahari, Saiful 2001, ‘Gerakan dan Keterlibatan Petani dalam Pengelolaan


Sumberdaya Agraria’, Jurnal Analisis Sosial Vol. 6 No. 2 Juli, Akatiga,
Bandung.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Cianjur 2005, Rencana


Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cianjur 2005 – 2015, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Cianjur.

Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur 2005, Rencana Induk


Pengembangan Pariwisata Kabupaten Cianjur, Dinas Perhubungan dan
Pariwisata Kabupaten Cianjur.

Fauzi, Noer 1999, Petani dan Penguasa, Insist Press KPA dan Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.

Hayami, Yujiro dan Masao Kikuchi 1987, Dilema Ekonomi Desa: Suatu
Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.

Joyosuharto 2001, Menggeser Pembangunan Memperkuat Rakyat: Emansipasi


dan Demokrasi Mulai dari Desa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta.

Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa Pemerintah Kabupaten Cianjur 2004,


Sistem Pendataan Profil Desa dan Profil Kelurahan, Kantor Pemberdayaan
Masyarakat Desa Pemerintah Kabupaten Cianjur.

Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata 2003, Buku Pegangan Penataran dan


Penyuluh Kepariwisataan Indonesia, Departeman Kebudayaan dan
Pariwisata, Jakarta.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 1999, Penataan


Ruang Kawasan Bogor-Puncak -Cianjur, Biro Peraturan Perundang-
undangan, Jakarta.

Koentjaraningrat 1980, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia,


Jakarta.

Lakoni 2001, ‘Mencari Keseimbangan Pembangunan Ekonomi Dengan


Lingkungan Hidup’ dalam Ekowisata : Pariwisata Berwawasan Lingkungan
Hidup, Pertja, Jakarta.
99

Metera, I Gde Made 1996, Alih Fungsi Tanah Pertanian Untuk Pembangunan
Fasilitas Pariwisata dan dampaknya Terhadap Petani, Tesis, Program
Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pendit, Nyoman Suwandi 1986, Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana,


Pradya Paramita, Jakarta.

Safri, Muhammad 2003, Dampak Pariwisata Alam Taman Nasional Kerinci


Seblat Terhadap Ekonomi Masyarakat Sekitar dan Wilayah Kabupaten
Kerinci Propinsi Jambi, Tesis, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor.

Scott, James C 1989, Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara, Terjemahan, Jilid 2, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendy 1989, Metode Penelitian Survai, LP3ES,
Jakarta.

Soekanto, Soerjono 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, Universitas Indonesia,


Jakarta.

Spillane, James J 1987, Ekonomi Pariwisata : Sejarah dan Prospeknya, Kanisius,


Yogyakarta.

Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winarni 1998, Petani dan Konflik Agraria,
Yayasan Akatiga, Bandung.

Soekadijo, R.G 2000, Anatomi Pariwisata : Memahami Pariwisata Sebagai


Sistem Linkage, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sugiyono 2003, Statistik Nonparametris Untuk Penelitian, CV Alfabeta, Bandung.

Sutisna, Entis 2001, Perubahan Kelembagaan Penguasaan Lahan dan


Hubungan Kerja Agraris Berkaitan Masuknya Perusahaan Industri Pada
Masyarakat Petani di Pedesaan, Tesis, Program Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.

Tjondronegoro, Sediono MP 1999, Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih,


Yayasan Akatiga, Bandung.

Wahyuni, Ekawati Sri 2004, Pedoman Teknis Menulis Skripsi, Departemen Ilmu-
Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.

Wiradi, Gunawan 2000, Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir, Insist
Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Yoeti, Oka A 1996a, Pengantar Ilmu Pariwisata, Edisi Revisi, Angkasa, Bandung.

1996b, Pemasaran Pariwisata, Edisi Revisi, Angkasa, Bandung.

2001, Ekowisata: Pariwisata Berwawasan Lingkungan Hidup, Pertja,


Jakarta.
100

Yudohusodo, Siswono 2002, Transmigrasi Kebutuhan Negara Kepulauan


Berpenduduk Heterogen dengan Persebaran yang Timpang, Jurnalindo
Aksara Grafika, Jakarta.
101

LAMPIRAN 1. HASIL UJI STATISTIK RANK SPEARMAN

1. Hubungan Antara Tingkat Keragaman Produk Wisata dan Tingkat Harga


Jual Beli Lahan.

Tingkat Tingkat Harga


Keragaman Jual Beli Lahan
Produk Wisata
Tingkat Koefisien Korelasi - -
Keragaman Signifikansi - -
Produk Wisata (2-tailed)
Jumlah (N) 30 30
Tingkat Harga Koefisien Korelasi - 1,000
Jual Beli Signifikansi - -
Lahan (2-tailed)
Jumlah (N) 30 30

2. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga


dan Luas Kepemilikan Lahan Setelah Adanya Kota Bunga.

Luas Kepemilikan Luas


Lahan Sebelum Kepemilikan
Adanya Kota Lahan Setelah
Bunga Adanya Kota
Bunga
Luas Koefisien Korelasi 1,000 0,897
Kepemilikan Signifikansi - 0,000
Lahan (2-tailed)
Sebelum Jumlah (N) 30 30
Adanya Kota
Bunga
Luas Koefisien Korelasi 0,897 1,000
Kepemilikan Signifikansi 0,000 -
Lahan Setelah (2-tailed)
Adanya Kota Jumlah (N) 30 30
Bunga
102

3. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga


dan Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga.

Luas Kepemilikan Pekerjaan Utama


Lahan Sebelum Setelah Adanya
Adanya Kota Kota Bunga
Bunga
Luas Koefisien Korelasi 1,000 0,600
Kepemilikan Signifikansi - 0,000
Lahan (2-tailed)
Sebelum Jumlah (N) 30 30
Adanya Kota
Bunga
Pekerjaan Koefisien Korelasi 0,600 1,000
Utama Setelah Signifikansi 0,000 -
Adanya Kota (2-tailed)
Bunga Jumlah (N) 30 30

4. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Sebelum Adanya Kota Bunga dan


Pekerjaan Sampingan Sebelum Adanya Kota Bunga.

Luas Kepemilikan Pekerjaan


Lahan Sebelum Sampingan
Adanya Kota Sebelum Adanya
Bunga Kota Bunga
Luas Koefisien Korelasi 1,000 0,359
Kepemilikan Signifikansi - 0,052
Lahan (2-tailed)
Sebelum Jumlah (N) 30 30
Adanya Kota
Bunga
Pekerjaan Koefisien Korelasi 0,359 1,000
Sampingan Signifikansi 0,052 -
Sebelum (2-tailed)
Adanya Kota Jumlah (N) 30 30
Bunga
103

5. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga


dan Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga

Luas Kepemilikan Pekerjaan


Lahan Sebelum Sampingan
Adanya Kota Setelah Adanya
Bunga Kota Bunga
Luas Koefisien Korelasi 1,000 0,359
Kepemilikan Signifikansi - 0,052
Lahan (2-tailed)
Sebelum Jumlah (N) 30 30
Adanya Kota
Bunga
Pekerjaan Koefisien Korelasi 0,359 1,000
Sampingan Signifikansi 0,052 -
Setelah (2-tailed)
Adanya Kota Jumlah (N) 30 30
Bunga

6. Hubungan Antara Peluang Usaha dan Pekerjaan Sampingan Setelah


adanya Kota Bunga

Peluang Usaha Pekerjaan


Sampingan
Setelah Adanya
Kota Bunga
Peluang Koefisien Korelasi - -
Usaha Signifikansi - -
(2-tailed)
Jumlah (N) 30 30
Pekerjaan Koefisien Korelasi - 1,000
Sampingan Signifikansi - -
Setelah (2-tailed)
Adanya Kota Jumlah (N) 30 30
Bunga
104

7. Hubungan Antara Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga dan


Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga.

Pekerjaan Tingkat
Sampingan Pendapatan
Setelah Adanya Setelah Adanya
Kota Bunga Kota Bunga
Pekerjaan Koefisien Korelasi 1,000 0,394
Sampingan Signifikansi - 0,031
Setelah (2-tailed)
Adanya Kota Jumlah (N) 30 30
Bunga
Tingkat Koefisien Korelasi 0,394 1,000
Pendapatan Signifikansi 0,031 -
Setelah (2-tailed)
Adanya Kota Jumlah (N) 30 30
Bunga
105

LAMPIRAN 2. HASIL UJI STATISTIK CHI SQUARE

1. Hubungan Antara Peluang Usaha Setelah Adanya Kota Bunga dan


Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga

Chi-Square Tests

Value
Pearson Chi-Square ,a
N of Valid Cases 30
a. No statistics are computed because PU is a constant.

2. Hubungan Antara Peluang Kerja Setelah Adanya Kota Bunga dan


Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga

Chi-Square Tests

Value
Pearson Chi-Square ,a
N of Valid Cases 30
a. No statistics are computed because PK is a constant.

3. Hubungan Antara Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga dan


Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga

Chi-Square Tests

Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 4,485a 6 ,611
Likelihood Ratio 5,695 6 ,458
Linear-by-Linear
,051 1 ,822
Association
N of Valid Cases 28
a. 10 cells (83,3%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is ,04.
105

LAMPIRAN 2. HASIL UJI STATISTIK CHI SQUARE

1. Hubungan Antara Peluang Usaha Setelah Adanya Kota Bunga dan


Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga

Chi-Square Tests

Value
Pearson Chi-Square ,a
N of Valid Cases 30
a. No statistics are computed because PU is a constant.

2. Hubungan Antara Peluang Kerja Setelah Adanya Kota Bunga dan


Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga

Chi-Square Tests

Value
Pearson Chi-Square ,a
N of Valid Cases 30
a. No statistics are computed because PK is a constant.

3. Hubungan Antara Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga dan


Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga

Chi-Square Tests

Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 4,485a 6 ,611
Likelihood Ratio 5,695 6 ,458
Linear-by-Linear
,051 1 ,822
Association
N of Valid Cases 28
a. 10 cells (83,3%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is ,04.
Lampiran 3. Peta Desa Sukanagalih

106
107

Lampiran 4 Gambaran Tempat Fasilitas Pariwisata Kota Bunga

Salah Satu Taman Kota Bunga

Contoh Villa di Kota Bunga


108

Contoh Villa di Kota Bunga

Masterplan Kota Bunga


109

Lampiran 5. Jalan Penghubung Antara Kota Bunga dan Permukiman

Penduduk

Pintu Kecil yang Menghubungkan Kota Bunga dan Kampung Muhara

Pintu Kecil Yang Menghubungkan Kota Bunga dan Kampung Cibengang


110

Terowongan Yang Disediakan Kota Bunga Untuk Masyarakat Menuju Jalan


Utama Desa
Lampiran 6. Luas Kepemilikan Lahan Responden Sebelum dan Setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga

No. Sebelum Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga Setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota bunga
Responden Luas Lahan Kegunaan Lahan Lokasi Luas Lahan Kegunaan Lahan Lokasi
(m 2) (m 2)
1. 200 Sawah Panoongan 400 Sawah Cibengang
2. 100 Sawah Teureup 300 Sawah Cinengah
3. 100 Sawah Singkup 300 Sawah Kananga
4. 400 Sawah Teureup 500 Sawah Cinengah
5. 200 Rumah Panggung 300 Rum ah Ciburial
6. 800 Sawah Panoongan 900 Rumah, Sawah Cinengah
7. 200 Sawah Panggung 200 Sawah Cinengah
8. 400 Sawah Panoongan 500 Sawah Cibengang
9. 10.000 Sawah Singkup 10.200 Sawah Kananga
10. 100 Rumah Panggung 100 Rumah Ciburial
11. 110.000 Sawah Panoongan 70.000 Sawah Cibengang, Ciburial
12. 500 Sawah Panoongan 500 Sawah Cibengang
13. 200 Rumah Panoongan 370 Rumah Cibengang
14. 400 Sawah Panoongan 500 Sawah Cibengang
15. 400 Sawah Singkup 800 Sawah Ciburial
16. 10.000 Sawah Panoongan 10.000 Sawah Cibengang
17. 10.200 Sawah Panoongan, Singkup 10.000 Sawah Muhara
18. 15.000 Sawah Panggung 10.000 Sawah Kananga
19. 20.100 Sawah Panoongan, Singkup 15.000 Sawah Cibengang
20. 10.200 Sawah Panggung 10.000 Sawah Cibengang
21. 350 Rumah, Sawah Panggung, Ciburial 400 Rumah, Sawah Ciburial
22. 10.000 Sawah Singkup 10.000 Sawah Cibengang
23. 200 Sawah Panoongan 300 Sawah Cibengang
24. 200 Rumah Singkup 200 Rumah Ciburial
25. 5.000 Sawah Panggung 5.000 Sawah Kananga
26. 700 Sawah Panggung 500 Sawah Ciburial
27. 500 Sawah Panggung 10.000 Sawah Cibengang
28. 300 Sawah Panggung 500 Sawah Cibengang
29. 10.000 Sawah Panggung 20.000 Sawah Cibengang
30. 70.000 Sawah Panoongan, Teureup, 10.000 Sawah dan Cibengang
Panggung, Singkup Tanam an
Sayuran

111

Anda mungkin juga menyukai