USAHA DI PERDESAAN
OLEH :
NONOS MAFIANOS
A14201002
FAKULTAS PERTANIAN
2006
RINGKASAN
perubahan struktur agraria masyarakat lokal. Maka tujuan dari penelitian ini
kelembagaan masyarakat lokal, dan menganalisis ada atau tidak adanya peluang
Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat dan tempat wisata yang bernama Kota
Bunga yang terletak di desa yang sama. Data yang dikumpulkan adalah data
primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan
alat bantu kuesioner dan panduan pertanyaan. Data sekunder diambil dari data
program SPSS versi 11.0. Sementara itu, data hasil wawancara dirangkum dan
petani pemilik lahan yang sekarang dibangun Kota Bunga. Jumlah responden
bernama Taman Mawar dengan luas wilayah sekitar 40 ha. Sekitar tahun 1996,
nama tersebut berubah menjadi Kota Bunga. Pembangunan Kota Bunga diatur
oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 1999 tentang
fasilitas pariwisata, petani tersebut tergolong menjadi petani yang memiliki lahan
sedang, atau justru sebaliknya. Hal ini dibuktikan dari hasil uji statistik Korelasi
Rank Spearmen untuk melihat hubungan antara luas kepemilikan lahan sebelum
fasilitas pariwisata Kota Bunga. Hasil uji tersebut menyatakan bahwa pada taraf
nyata 0,05 dengan rho hitung 0,897 dan rho tabel 0,364 ternyata ada kesesuaian
antara luas kepemilikan lahan petani sebelum dan setelah pembangunan fasilitas
penjualan, dan keahlian petani dalam hal tawar menawar harga jual lahan.
Hampir setiap warga kampung terlibat dalam kegiatan bercocok tanam. Kegiatan
bertani ini dilakukan secara bersama-sama dan saling tolong menolong antar
saluran air, hingga panen. Tujuan bertani semata-mata hanya untuk memenuhi
kebutuhan dasar (subsisten). Maka kegiatan-kegiatan ini menjadi ciri khas sifat
dimana segala sifat kerja atau aktivitas dinilai dengan uang. Berbeda dengan
ternyata rendah. Peluang usaha yang dapat dimasuki masyarakat lokal yaitu
usaha membuka rumah makan dan jasa angkutan, baik angkutan kendaraan
beroda empat maupun kendaraan beroda dua. Peluang kerja yang ada pun
rendah. Peluang kerja yang dapat dimasuk i masyarakat lokal adalah sebagai
masyarakat lokal dan kelembagaan. Dalam hal peluang usaha dan peluang
kerja, pembangunan fasilitas pariwisata tidak memberikan perubahan mata
pencaharian. Bahkan, hampir tidak ada peluang usaha bagi masyarakat lokal.
Saran bagi penelitian ini adalah agar Perusahaan Kota Bunga memberikan
peluang kerja bagi masyarakat lokal karena izin pembangunan Kota Bunga
USAHA DI PERDESAAN
SKRIPSI
SARJANA PERTANIAN
pada
Fakultas Pertanian
FAKULTAS PERTANIAN
2006
ii
NRP : A14201002
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
ii
iii
PERNYATAAN
Nonos Mafianos
A14201002
iii
iv
Masjkur Iljas dan Ibu Yeti Sumiati. Penulis dilahirkan di Kota Rangkasbitung,
SD Negeri 4 Rangkasbitung pada tahun 1989 hingga 1995. Pada tahun 1995
Rangkasbitung yaitu pada tahun 1998 sampai dengan 2001. Pada tahun 2001,
penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi
tahun 2002-2006. Selain itu, penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan yang
Pengembangan Masyarakat.
iv
v
KATA PENGANTAR
prasyarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Pertanian pada
Adapun uraian isi dari laporan penelitian ini adalah Bab I menguraikan
latar belakang dari penelitian ini; Bab II Mencakup tinjauan-tinjau an pustaka yang
kelembagaan, peluang usaha, pelapisan sosial, dan marginalisasi petani; Bab III
gambaran lokasi penelitian; Bab V, Bab VI, Bab VII, Bab VIII merupakan analisis
dan pembahasan masalah penelitian; dan Bab IX Merupakan Bab yang berisi
semakin mendorong kita untuk selalu belajar. Penulis juga mengharapkan bahwa
tulisan ini dapat menggugah kepekaan kita tentang fakta sosial menyangkut
Penulis
v
vi
oleh berbagai pihak, baik itu bantuan moril maupun materiil. Untuk itu, penulis
• Ir. Murdianto, MSi sebagai Dosen Pembimbing Skripsi atas dorongan dan
• Ir. Said Rusli, MA atas kesediannya menjadi Penguji Utama pada saat ujian
skripsi dan Ir. Dwi Sadono, MSi yang bersedia menjadi Dosen Penguji
• M. Masjkur Iljas dan Yeti Sumiati orang tua penulis atas kasih sayang dan
dukungannya selama ini. Selain itu juga kepada Nonih Rostini dan Agung
• Wydia Fermata, SP; Rizal Razak, SP; Dewi Lestari, SP; Santi Setiawati;
Cecilia Evita; Dini Harmita; Retno Puji Astuti; Telly Imelda, SP yang telah
• Martua Sihaloho, SP, MSi; Eko Dafid Afianto, SP; Wawuk Kristian Wijaya,
SP; Wijanarko, SP; dan Ahmad Solihin, SPi untuk semua bantuan moril dan
vi
vii
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
vii
viii
viii
ix
ix
x
LAMPIRAN................................................................................................. 105
x
xi
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
xi
xii
xii
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
xiii
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
devisa negara (Suhendar dan Winarni, 1998). Padahal sebelumnya yaitu pada
Serikat, dan Bahama. Di Inggris, sektor pariwisata menampung 1,5 juta tenaga
Amerika Serikat, sektor pariwisata menampung 8,75 juta tenaga kerja; dan di
1987).
dalam keseimbangan, dan kepercayaan pada diri sendiri. Hal ini sesuai dengan
2
lokal yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global (Kementrian
Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam merupakan usaha pemanfaatan
sumberdaya alam dan tata lingkungan untuk dijadikan sasaran wisata. Salah
satu contoh tempat wisata alam adalah Kebun Raya Cibodas di Kabupaten
Cianjur.
dalam meningkatkan devisa negara dapat dilihat dari perolehan pendapatan dari
tahun 2010 sebesar US $ 3,4 trilyun dan membuka kesempatan kerja sebesar
10,6 persen dari angkatan kerja dunia. Satu dari sepuluh orang akan bekerja di
1
Tiga Kelompok Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata, yaitu : (1) Pengusahaan obyek dan
daya tarik wisata alam; (2) Pengusahaan obyek dan daya tarik budaya; dan (3) Pengusahaan
obyek dan daya tarik wisata minat khusus.
3
1997 menghasilkan perolehan sebesar 64,48 triliun rupiah dan 6,6 juta
hasil bruto dan 8,5 juta pekerjaan (Yoeti dalam Safri, 2003).
bersih, jauh dari polusi, santai dan dapat mengembalikan kesehatan fisik maupun
pembibitan. Di sisi lain wisata cagar alam adalah wisata yang berkaitan dengan
daerah.
kebutuhan lahan bertambah. Hal ini dipertegas oleh Yudohusodo (2002) yang
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “bumi dan air termasuk kekayaan
lima zona. Zona-zona itu ialah Sumatera bagian Utara, Sumatera bagian Selatan,
4
Pulau Jawa, Kalimantan bagian Timur, dan Sulawesi (Suhendar dan Winarni,
1998).
Saat ini tuntutan atas lahan semakin kuat karena tumbuhnya industri
lahan antara pemilik lahan dan pengembang pariwisata banyak terjadi di Jawa
Barat. Salah satunya yaitu kasus sengketa lahan yang terjadi di Bogor. Sekitar
PT. KAA untuk perluasan proyek agrowisata terpadu ( Republika dalam Suhendar
pembangunan yang bias perkotaan. Hal yang sama juga terjadi pada bidang
oleh masyarakat kota, misalnya kasus yang terjadi di Cisarua dan Rancamaya,
rugi proyek perluasan Taman Safari (Bisnis Indonesia dalam Suhendar dan
Winarni, 1998). Di Rancamaya, sekitar 300 petani menolak ganti rugi atas lahan
untuk proyek lapangan golf dan perumahan mewah karena ganti rugi yang
diberikan tidak sesuai dengan harapan petani (Suara Karya dalam Suhendar dan
Winarni, 1998).
Mengacu pada pendapat Scott (1989), krisis subsiste nsi petani memicu gerakan
5
petani. Umumnya aksi-aksi protes petani selama periode 1980 hingga 1990-an
negara (Bahari, 2001). Salah satu kasus sengketa lahan kawasan pariwisata
yang menimbulkan gerakan petani yaitu kasus yang terjadi di Pecatu, Bali
yang terlibat dalam gerakan tersebut berasal dari kalangan pemilik lahan atau
ketika lahan yang mereka kuasai diambil alih secara paksa oleh negara atau
lahan usahatani yang dimiliki petani (Yu dohusodo, 2002). Dari Tabel 1 terungkap
dengan luas penguasaan kurang dari 0,1 hektar) hanya menguasai 13 persen
6
dari luas lahan pertanian, sementara 16 persen rumahtangga petani “kaya lahan”
persen luas lahan pertanian. Hal ini terjadi akibat fragmentasi pemilikan atau
penguasaan lahan dan fragmentasi fisik hamparan lahan serta alih fungsi lahan
(Metera, 1996).
seperti usaha kerajinan, rekreasi atau hiburan, toko cinderamata dan lain-lain
(Atmaja dalam Metera, 1996). Salah satu contohnya yaitu usaha kerajinan yang
Seperti usaha kerajinan patung batu padas, usaha kerajinan emas dan perak,
usaha kerajinan ukiran kayu, dan usaha kerajinan lukisan (Suara Merdeka dalam
Medlink dan Midleton menyatakan (Yoeti, 1996b) terdapat tiga unsur yang
hiburan.
7
usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal di daerah wisata tersebut.
Masyarakat tinggal mencari peluang usaha dan peluang kerja yang dapat
dimasuki mereka. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari modal dan keterampilan
negara. Hanya saja, pengembangan wisata itu tidak hanya meningkatkan devisa
yaitu kasus sengketa lahan. Sengketa lahan tersebut timbul karena harga ganti
rugi lahan yang diberikan pemerintah atau pemodal tidak sesuai dengan harapan
petani pemilik lahan. Maka dari itu, penelitian ini akan mengananalisis
bagaimana proses alih fungsi lahan yang terjadi di desa sekitar wisata.
8
Masalah lain yang muncul akibat alih fungsi lahan pertanian menjadi non
yang kehilangan lahan harus mencari lahan baru di daerah baru. Pada kasus
sebelumnya, petani yang kehilangan lahan mampu membeli lahan baru di daerah
baru, hanya saja lahan tersebut tidak subur seperti lahan semula. Harga ganti
rugi lahan yang tidak sesuai dengan harapan petani dan harga pasaran
menyebabkan petani sulit membeli lahan yang memiliki tingkat kesuburan yang
sama dan lokasi yang dekat dengan sumber mata air. Hal ini disebabkan harga
lahan-lahan subur mahal, sedangkan petani tidak mampu membeli lahan yang
subur itu. Jumlah petani yang mampu membeli lahan subur dan luas rendah
meningkatkan jumlah tuna kisma. Maka dari itu, bagaimana nasib petani jika
usaha di sektor wisata. Jika kelembagaan baru yang muncul di perdesaan dapat
gejala yang diharapkan, tetapi jika kelembagaan baru itu menimbulkan masalah
bagi masyarakat lokal, maka gejala inilah yang tidak diharapkan. Kelembagaan
dan pendatang. Pada beberapa kasus, persaingan timbul karena ada persaingan
dalam hal memperoleh kesempatan berusaha dan bekerja. Dalam hal peluang
usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal. Hanya saja, tidak semua
peluang usaha atau peluang kerja dapat dimasuki masyarakat lokal. Hal ini
lokal yang awalnya berusaha di sektor pertanian, kini harus dapat menyesuaikan
diri dengan peluang usaha dan peluang kerja baru di sektor wisata. Meskipun
masyarakat lokal dapat memasuki peluang usaha dan peluang kerja, tetapi
kecil, bukan usaha-usaha utama yang keuntungannya jauh lebih besar. Usaha-
terhadap peluang usaha dan peluang kerja masyarakat lokal. Tujuan ini dirinci
sebagai berikut :
struktur agraria.
10
kelembagaan di perdesaan.
usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal dan kontribusi sektor
atau villa-villa. Pembahasan penelitian ini, fokus pada alih fungsi lahan pertanian
pembahasan mengenai peluang usaha dan peluang kerja yang muncul akibat
PENDEKATAN TEORITIS
Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Winarni, 1998).
memperoleh tanah untuk investor dijamin oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri
berikut : (1) sejauh mungkin harus menghindari pengurangan areal subur; (2)
2
Industrial estate adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan, pengadaan dan
pematangan tanah bagi keperluan usaha-usaha, termasuk industri pariwisata yang dilengkapi
prasarana-prasarana umum yang diperlukan.
12
sedapat mungkin memanfaatkan tanah yang semula tidak atau kurang produktif;
(Metera, 1996).
bangsa dan negara kesatuan Indonesia; dan (4) pemanfaatan unsur kesenian
dan kebudayaan serta unsur alami untuk pariwisata harus dilakukan secara
bertanggung jawab dan menuju pada pelestarian alam dan pengkayaan budaya,
Bidang Kebudayaan dan Pariwisata. Hal ini mengacu pada Undang-Undang No.
daerah otonom, dan Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang
Tahun 2002. Beberapa isi dari Keppres tersebut adalah Menteri Negara
terhadap peningkatan peran serta masyarakat dan dunia usaha kebudayaan dan
kesenian dan kebudayaan serta sumber daya (pesona) alam lokal dengan tetap
Lingkungan Hidup.
Obyek Wisata.
14
Kepariwisataan.
Pariwisata
tujuan di luar te mpat tinggal dan tempat bekerja, sedangkan Pendit (1986)
memandang pariwisata sebagai salah satu jenis industri baru yang mampu
6. Obyek wisata dan atraksi wisata yang terdapat di daerah tujuan wisata.
1. Alam non hayati : wilayah pesisir di pantai, pegunungan, laut, pulau karang,
2. Alam hayati : hutan pantai, hutan bakau, hutan dataran rendah, pegunungan
3. Manusia dengan perilaku, budaya dan kebutuhan : Adat istiadat yang terpatri
budaya.
sejarah, tata letak dan arsitektur rumah, tempat peribadatan, istana raja,
keindahan atau daya tarik untuk dijual, sehingga dapat dinikmati wisatawan.
Walaupun demikian, hal ini tergantung pengelolaan tempat wisata saja. Hal ini
sekali peluang usaha yang dapat dimasuki oleh petani. Hal ini dikarenakan
Petani pemilik lahan luas pada peristiwa alih fungsi tanah di kawasan
wisata Tanah Lot, Bali memiliki kecenderungan mengalokasikan uang ganti rugi
kembali usahataninya. Hal yang paling menarik dari penelitian ini adalah buruh
tani lebih banyak yang berubah mata pencaharian ketimbang penggarap. Hal ini
disebabkan karena penggarap lebih terikat kepada tanah dibanding buruh tani.
Buruh tani relatif lebih bebas (tidak terikat pada lahan garapan) ketimbang
diharapkan pembangunan pariwisata tidak lagi hanya menjadi milik orang yang
bermodal saja tetapi juga dimiliki oleh petani sekitar proyek yang selama ini
Pokok Agraria. UUPA mengandung sifat politis, misalnya dalam hal penetapan
fungsi sosial bagi kepemilikan tanah (Pasal 33 dari UUD 1945); memberikan
(Tjondronegoro, 1999).
macam-macam hak atas tanah dalam UUPA 1960 diatur dalam pasal 4, pasal
16, dan pasal 53 yang menyebutkan macam-macam hak atas permukaan bumi,
yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang
bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya,
pasal 16 ayat 1 UUPA 1960 menjelaskan macam-macam hak atas tanah yang
meliputi: (1) hak milik, (2) Hak Guna Usaha, (3) hak guna bangunan, (4) hak
pakai, (5) hak sewa, (6) hak membuka tanah, (7) hak memungut hasil hutan, (8)
hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan
hak penguasaan tanah yang sifatnya sementara, diatur dalam pasal 53 UUPA
1960 yang menunjuk pada hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan
merupakan ekses dari usaha ini bermunculan. Kasus ini banyak terjadi di Pulau
Jawa dan di luar Pulau Jawa. Di Pulau Jawa kasus sengketa tanah untuk daerah
mewah, lapangan golf, dan cottage. Warga menolak menyerahkan lahan tersebut
karena ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan keinginan mereka. Di luar
Jawa, kasus ini ditemukan di Minahasa, Sulawesi Utara. Di daerah ini sekitar 195
KK menolak ganti rugi dari PT AEP yang membebaskan lahan seluas 485 ha
kebutuhan pangan dan aktivitas yang mereka lakukan. Selain itu juga jumlah
penduduk semakin meningkat . Keadaan ini menjadikan lahan memiliki nilai yang
tinggi (Afianto, 2002). Barlow dalam Afianto (2002) menyatakan bahwa nilai
lahan menjadi lebih tinggi jika lahan mempunyai potensi fisik seperti kesuburan
perdesaan Jawa, kepadatan penduduk berkisar antara 480 sampai 800 jiwa
setiap satu kilometer persegi (Koenjjaraningrat dalam Soekanto, 1987). Hal ini
yang vital. Para pemilik modal dan negara saling bekerjasama untuk
negara, dan berbagai alasan lain untuk mengambil alih tanah petani di
eksploitasi tinggi pada faktor produksi yaitu tanah dan tenaga kerja. Keadaan ini
20
Sistem ini disebut sistem kapitalis. Ciri khas kapitalisme adalah penguasaan
modal oleh kapitalis, sementara tanah dan tenaga kerja sebagai faktor produksi
mekanisme upah. Kapitalisme ada dua jenis yaitu kapitalisme yang berkembang
dan persaingan melalui mekanisme pasar. Di sisi lain, kapitalisme negara adalah
pemilikan kapital terbesar di tangan negara, rakyat menjadi buruh negara tanpa
industri. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa konflik agraria terjadi ketika
formal. Hal ini berarti dalam penguasaan lahan terdapat undang-undang yang
terdaftar dalam hukum seluas 1 ha, maka ia dikatakan sebagai pemilik lahan
tersebut. Masalah pemilikan tanah lebih nyata terdapat di Jawa dan Bali. Di
wilayah ini konsep pemilikan telah berakar selama dua abad terakhir, sedangkan
di pulau lain lebih dikenal dengan hak pakai, karena tanah merupakan milik
komunal.
mengusahakan tanah milik orang lain melalui cara sewa, bagi hasil, bengkok,
Soekanto (1987) memberikan ukuran atau kriteria yang biasa dipakai dalam
tradisional.
2.1.4 Kelembagaan
norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar dari segala kebutuhan pokok
untuk lembaga dengan sebutan pranata untuk institution, misalnya pranata yang
benda yaitu pertanian, peternakan, dan industri. Hal ini ditujukan agar tidak
dikacaukan dengan istilah lembaga untuk institute (suatu badan atau organisasi
Istilah tersebut menunjuk pada kelakuan berpola atau sistem norma. Norma
dapat diartikan sebagai jaringan kerja yang kuat atau kokoh pada hubungan
sosial dalam bentuk interaksi secara rutin dan berulang-ulang (Harper dalam
Sistem Norma
Kelakuan
Berpola
demikian ikatan komunitas didasarkan pada kenyataan bahwa orang desa hidup
bersama di dalam suatu lokasi yang sama dan harus bekerja sama pula.
Hal ini mengikis fungsi-fungsi sosial kelembagaan tersebut seperti sistem derep
dan bawon yang mempunyai fungsi sosial, artinya pembagian hasil pertanian
dapat berlangsung tanpa adanya upah uang . Masuknya ekonomi uang semakin
agunan dalam pemberian kredit. Hal ini menyulitkan petani membuka usaha
karena rata-rata petani tidak memiliki agunan. Salah satu contohnya adalah
kasus yang terjadi di Tanah Lot, Bali. Rata-rata petani mengeluh karena kesulitan
membuka usaha di sektor non pertanian karena tidak memiliki modal. Untuk
saja hanya dapat memberikan pinjaman maksimal satu juta rupiah, itupun harus
dalam hotel dan hanya ke luar sebentar untuk membuat foto-foto kenangan.
Scott (1989) melihat petani dari segi moral yang hidup dalam pola
kehidupan ekonomi petani yang dekat dengan pola hubungan sosial yang
dan Suhendar (1998) melukiskan sebagai suatu “kehidupan yang baik” dari nilai-
nilai petani yang berlaku. Salah satu pola hubungan itu adalah sikap intim dan
adanya rasionalitas petani. Petani adalah homo oekonomikos yang akan terus
tetangganya atas dasar tolong menolong daripada mengambil tenaga kerja dari
luar, meskipun dengan biaya yang sama atau bahkan lebih murah. Cara ini dinilai
Menurut Bahari (2001) secara umum ada tiga ciri utama yang melekat
legal, dan kekhususan kultural. Tanah bagi petani bukan hanya memiliki arti
materil-ekonomi melainkan memiliki arti sosial dan budaya. Luas tanah yang
26
desanya. Petani yang tidak memiliki tanah menempati lapisan terendah pada
komunitas petani. Tinggi rendahnya jumlah kepemilikan tanah dapat dilihat dari
pandangan tersebut terlihat bahwa sebuah keluarga tani bisa tetap survive dan
subsisten tidak selalu berarti makan secukupnya dari suatu usaha tertentu dan
1. Sikap atau cara petani memperlakukan faktor-faktor produksi yaitu tanah dan
petani komersial.
2. Besar kecilnya skal a usaha petani. Sekalipun hanya menguasai lahan dalam
skala usaha kecil, jika didasari oleh pemikiran yang cenderung berorientasi
petani yang berlahan sempit dengan skala usaha terbatas termasuk petani
subsisten.
27
Indonesia, dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada petani di Indonesia yang
subsisten mutlak. Akan tetapi jika digunakan indikator kecilnya skala usaha dan
dilaku kan Metera (1996) di Tanah Lot, Bali. Salah satu dampak alih fungsi lahan
sebagai petani. Sebagian petani menginvestasikan uang ganti rugi untuk usaha
di luar sektor pertanian dan membeli tanah lagi sebagai sumber mata
pedagang cindera mata, karyawan, dan tukang foto di obyek wisata. Sedikitnya
yaitu untuk membuka kios di daerah wisata memerlukan dana sekitar 10-15 juta.
Orang yang mampu menyewa kios itu sebagian besar bukan petani tetapi pemilik
modal (pendatang/pengusaha).
28
agraria dikarenakan adanya alih fungsi lahan, dimana kita ketahui bahwa
pertanian. Dari peristiwa ini, selain terjadi alih fungsi lahan, terjadi pula
beli lahan atau biasa disebut ganti rugi lahan. Perubahan kepemilikan lahan dari
mata pencahariannya karena lahan yang biasa digarap kini menjadi suatu tempat
wisata. Kehilangan mata pencaharian petani dapat disebabkan pula oleh kecilnya
ganti rugi lahan yang diberikan pemodal kepada petani sehingga petani tidak
tentu saja didasari keuntungan dari mata pencaharian baru yang dikonversikan
ini dalam jangka waktu tertentu dapat menghasilkan perubahan pelapisan sosial
masyarakat tersebut.
merupakan peluang usaha dan atau peluang kerja bagi masyarakat desa
yang menghasilkan pendapatan yang tidak terlalu tinggi atau rendah. Hal ini
meskipun motivasi mereka tinggi. Peluang usaha hanya dapat dimasuki orang
yang memiliki modal, pendidikan, dan keterampilan tinggi. Dapat atau tidaknya
karena ia memiliki beberapa hektar lahan pertanian, kini setelah lahan dijual ke
golongan menengah ke bawah. Hal ini dikarenakan uang hasil jual beli tanah
tidak dapat dibelikan lahan di daerah baru ditambah petani tersebut tidak dapat
memasuki peluang usaha atau peluang kerja baru. Untuk lebih jelasnya dapat
Perubahan Kelembagaan
Tingkat Pendapatan
31
32
diujikan adalah :
masyarakat lokal.
masyarakat lokal.
tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidu pan
2. Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang
dan daya tarik wisata (UU No. 9 Tahun 1990 pasal 1).
3. Objek dan daya tarik wisata merupakan sasaran perjalanan wisata yang
meliputi (1) ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berwujud keadaan alam dan
flora dan fauna. (2) karya manusia yang berwujud museum, peninggalan
sejarah, seni budaya, wisata agro (pertanian), wisata tirta (alam), wisata
8. Lahan pertanian adalah semua lahan yang produktif yang digunakan untuk
bercocok tanam.
9. Alih fungsi lahan pertanian adalah perubahan fungsi tanah sebagai lahan
10. Kemitraan adalah adanya kerjasama antara pengusaha wisata dan penduduk
setempat.
seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu
dapur.
13. Petani adalah orang yang terlibat langsung dalam pengelolaan lahan dan
14. Kepemilikan lahan menunjukkan pada penguasaan atas lahan secara formal
dimana pemilik lahan memiliki bukti tertulis atau belum tertulis atas
kepemilikan lahannya.
34
1. Tinggi, jika luas kepemilikan lahan lebih besar atau sama dengan 1 Ha
dengan Rp 900.000,00
Rp 900.000,00
500.000,00
3. Produk Wisata adalah obyek wisata yang terdapat di daerah tujuan wisata
4. Tingkat harga jual lahan adalah total harga lahan yang dijual petani ke
pengusaha. Besar kecilnya tingkat harga jual lahan tergantung luas lahan,
1. Rendah; jika total harga jualnya lebih atau sama dengan Rp.
14.700.000,00
5. Sifat Kelembagaan adalah sifat-sifat dari kelembagaan yang ada pada suatu
masyarakat. Sifat kelembagaan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu:
uang.
1. Petani
2. Pedagang
3. Buruh Bangunan
yaitu :
1. Petani
2. Pedagang
3. Buruh Bangunan
METODE PENELITIAN
dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data
pokok (Singarimbun dan Effendy, 1989). Penelitian ini dipilih dengan maksud
banyak tempat fasilitas pariwisata. Selain itu, lahan yang digunakan untuk
dimulai pertengahan Bulan Juli 2005 hingga Bulan September 2005. Peneliti
tambahan yang terkait dengan kekurangan data pada waktu pengumpulan data.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer yang diambil adalah data luas kepemilikan lahan, mata
menggunakan kuesioner dalam penelitian ini adalah dinilai lebih praktis, hemat
waktu dan tenaga. Untuk sumber data sekunder diambil dari data Desa
Sampel Gugus Sederhana (Simple Cluster Sampling). Metode ini dipilih karena
tidak adanya kerangka sampel yang digunakan untuk dasar pemilihan sampel.
lahan ke perusahaan Kota Bunga. Untuk mengatasi hal ini, maka dibentuklah
beberapa gugus. Gugus yang dibentuk terdiri atas kampung-kampung yang ada
Kota Bunga paling banyak terdapat di Dusun Muhara. Dusun Muhara terdiri atas
enam kampung, maka gugus yang terbentuk berjumlah enam gugus. Nama
diberi nomor dan dipilih secara acak. Gugus yang terpilih adalah kampung
Cibengang dan Ciburial. Alasan dipilihnya dua gugus adalah karena jumlah
rumahtangga dalam satu gugus tidak memenuhi syarat uji statistik, yaitu
melalui kuesioner. Data hasil kuesioner disajikan dalam bentuk tabel data dan
tabulasi silang yang kemudian diolah menggunakan uji statistik Chi-Square dan
menggunakan program SPSS versi 11.0. Sementara itu, data hasil wawancara
Untuk lebih jelasnya tentang metode penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
40
Tabel 2. Matriks Masalah, Data yang Dibutuhkan, Sumber Data, dan Metodologi
Penelitian
Dalam bab ini dibahas topik-topik : (1) kondisi geografis desa, (2) kondisi
pertanian Desa Sukanagalih, (3) demografi desa, (4) kelembagaan desa (5)
kepariwisataan dan profil Kota Bunga, dan (6) gambaran umum responden.
Sukaresmi, Kabupaten Cianjur. Sebelah barat desa ini berbatasan dengan Desa
Desa Sukanagalih memiliki tujuh dusun3, 12 RW, dan 39 RT. Jarak desa
dan 95 Km ke ibu kota negara. Desa ini dilalui jalan propinsi sepanjang 12 Km
sebagai jalan alternatif kemacetan di jalan Jakarta – Bandung. Selain itu, Desa
Sukanagalih dilalui jalan kabupaten sepanjang 3 Km dari jalan propinsi. Jenis alat
angkutan umum dan ojek. Untuk sampai ke desa ini, dapat menggunakan
3
Pembagian Dusun di Sukanagalih: (1) Cibadak, 2 RW dan 8 RT; (2) Sukanagalih, 2 RW dan 4
RT; (3)Cihieum, 2 RW dan 6 RT; (4) Muara, 2 RW dan 6 RT; (5) Cineungah, 1 RW dan 5 RT; (6)
Sukamaju, 1 RW dan 5 RT; (7) Babakan CIkundul, 2 RW dan 5 RT.
42
kendaraan umum jurusan puncak, cipanas, atau Cianjur. Jika dari arah Bogor
atau Cianjur. Dari ketiga jurusan itu, kendaraan umum jurusan Cipanas adalah
yang termudah untuk sampai ke desa ini. Desa Sukanagalih terletak sebelu m
Desa Sukanagalih merupakan salah satu desa dari tujuh desa4 yang
wisata Bogor, Puncak dan Cianjur. Maka desa Sukanagalih merupakan salah
satu desa yang strategis untuk pengembangan wisata. Hal ini didukung oleh
keadaan alam yang sejuk dan keindahan pemandangan di sekitar desa tersebut.
usaha di bidang real estate. Alasan para investor untuk membuka usaha di
bidang real estate karena melihat kebutuhan orang-orang kota akan tempat
kawasan tersebut memiliki mata air yang berfungsi untuk mengairi sawah dan
4
Nama enam desa lainnya adalah Cibodas, Cipendawa, Gadog, Ciputri, Ciherang, dan Sukatani.
43
Desa sukanagalih memiliki tanah yang subur dengan ketinggian 700 dpl.
Hal ini dapat dilihat dari produktivitas komoditas pertanian yang tinggi. Berbagai
komoditas pertanian Desa Sukanagalih adalah padi sawah, jagung, cabe, sawi
teknis dari Cibadak, serta dari aliran air Cimacan, Ciawitali, dan Cipadaruum.
Blok Randu, Kalapa Rea, Cihieum, Ciburial, Bengkong, Cibengang, Sabda, dan
Jeruk. Desa ini memiliki dua sumber mata air yaitu sumber mata air Ciburial dan
Ciater. Kedua mata air itu lebih dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari
ada di Desa Sukanagalih. Hal ini memiliki andil dalam terjadinya bencana banjir
44
di ibukota Negara yaitu Jakarta. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat pernah
tersebut. Maka dari itu kawasan Bopunjur diatur langsung oleh pemerintah pusat
melalui Keppres No. 114 Tahun 1999 tentang penataan ruang kawasan
Bopunjur.
Populasi dan jenis ternaknya beraneka ragam, yaitu sekitar 1.867 ekor ayam,
1.687 ekor bebek, 1.550 ekor kambing, 1.265 ekor sapi, 1.178 ekor kerbau, dan
Dari 16.393 jiwa penduduk, sekitar 94,88 persen (15.553 jiwa) penduduk
Desa Sukanagalih beragama Islam. Sisanya yaitu sekitar 2,14 persen (350 jiwa)
beragama Kristen, 1,53 persen (250 jiwa) beragama Khatolik, 0,76 persen (125
jiwa) beragama Budha, dan 0,70 persen (115 jiwa) beragama Hindu. Etnis
penduduk Desa Sukanagalih juga beragam, yaitu sekitar 88,26 persen Sunda,
11,14 persen Jawa, 0,51 persen Batak, dan 0,09 persen Madura. Untuk
8.506 jiwa laki-laki dan 7.887 jiwa perempuan, terhimpun menjadi 3.65 9 kepala
pada satu tahun terakhir ini. Angka kelahiran penduduk per tahun sebesar 3,7
Dari data jumlah penduduk dan luas wilayah tersebut dapat dihitung
geografis dinyatakan dengan jumlah jiwa tiap Km2 luas wilayah. Kepadatan
penduduk yang berusia 25-29 tahun yaitu sebesar 16,68 persen kemudian diikuti
penduduk terkecil yaitu penduduk yang berusia > 54 tahun sebesar 2,98 persen.
5
Kategori kepadatan penduduk geografis menurut Pujiastomo dalam Metera (1996) memakai
2 2
kriteria sebagai berikut : (1) 0-50 jiwa/km tidak padat, (2) 51-250 jiwa/km kurang padat, dan 251-
400 jiwa/km2 sangat padat.
46
pendidikan hingga Sekolah Dasar (SD) sebesar 10,68 persen. Penduduk yang
persen (35 jiwa). Maka dari data ini dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan
masyarakat Desa Sukanagalih masih relatif rendah. Hal ini dapat dilihat dari
Tingkat Pertama (SLTP) hanya 21,64 persen padahal pada masa pemerintahan
sebagai petani yaitu sekitar 45,67 persen (1.450 jiwa). Penduduk yang bermata
pencaharian di sektor jasa lainnya menempati posisi kedua yaitu sebesar 19,37
persen (615 jiwa) dan persentase terkecil ditempati oleh penduduk yang bermata
pencaharian sebagai kontraktor yaitu sebesar 0,13 persen (4 jiwa). Untuk lebih
47
(2004) jumlah angkatan kerja Desa Sukanagalih sebesar 16,78 persen (2751
jiwa) dan berdasarkan Tabel 4 jumlah penduduk yang termasuk usia angkatan
kerja (penduduk yang berusia 10 hingga > 54 tahun) sebesar 86,56 persen
(14.189 jiwa). Maka dapat diketahui Reit Partisipasi angkatan kerjanya yaitu
sebesar 19,39 6.
6
2751
Reit Partisipasi Angkatan Kerja = -------- x 100 = 19,39
14189
48
menjalankan tugasnya, kepala desa dibantu oleh beberapa aparat desa. Masa
jabatan kepala desa adalah delapan tahun, mulai dari tahun 1998 sampai 2006.
Kinerja kepala desa dan aparatnya diawasi oleh Badan Perwakilan Desa (BPD).
Keluarga (PKK).
Ciburial. Tujuan dari kegiatan ini adalah agar kebutuhan masyarakat akan air
bersih terpenuhi. Realisasi dari tujuan tersebut adalah telah dibangunnya suatu
7
Kelompok Dasa Wisma adalah kel ompok yang berdiri berdasarkan Program Kesejahteraan
Keluarga (PKK)
49
bak besar di dekat mata air Ciburial tersebut sebagai bak induk penampungan
air. Dari bak induk, air dialirkan ke bak-bak lain yang ada di setiap dusun. Dari
bak yang ada di setiap kedusunan itu, air dialirkan ke tiap-tiap rumah. Anggaran
untuk membangun bak induk sebesar 200 juta. Dana tersebut diperoleh dari dua
masyarakat desa.
Dari tujuh dusun yang ada di Desa Sukanagalih, ternyata hanya Dusun
Muhara 8 yang belum mendapat saluran air dari bak induk tersebut. Maka dari itu,
untuk pengelolaan lebih lanjut, pihak desa akan membentuk Badan Usaha Milik
Desa (BUMD). Tugas BUMD adalah mengatur penyaluran air dan membuat
berbeda-beda. Ada satu program yang menarik dari pokja 1, yaitu program
juta yang diberikan ke janda-janda untuk modal usaha. Kelompok Pekka Desa
itu, masih ada lagi prestasi dari kelembagaan PKK Desa Sukanagalih, seperti
remaja; Juara 1 lomba ASI tingkat kabupaten; dan Juara 2 lomba Pidato tingkat
kabupaten.
8
Nama kampung yang tidak teraliri penyaluran air Ciburial adalah mu hara, cineungah hilir,
kananga, dan Panggung.
50
Sukanagalih merupakan salah satu faktor berkurang nya penyewa lahan untuk
pertanian dan produk pertanian di pasaran. Sebagian besar lahan yang ada di
Desa Sukanagalih dikelola oleh pemilik lahan. Pemilik lahan yang memiliki modal
besar biasanya mampu menyewa buruh tani untuk menggarap lahan. Sedangkan
petani yang berlahan kecil dan tidak memiliki banyak modal, mengerjakan lahan
itu sendiri. Hal ini dikarenakan mahalnya upah buruh tani yang disebabkan
pariwisata. Fasilitas pariwisata yang dominan adalah villa. Hal ini dapat dilihat
yang objek utamanya adalah pelayanan jasa penjualan villa adalah Kota Bunga 9,
Puncak Resort, Galaxy, Lembah Sukanagalih, Taman Giri Indah, dan Taman
Cianjur. Jika dari arah Bogor, dapat mengunakan kendaran jurusan Cianjur,
9
Kota Bunga merupakan fasilitas pariwisata penelitian ini.
51
berhenti di pintu gerbang Kota Bunga. Berbeda halnya jika dari arah Bandung.
di terminal Cianjur. Dari terminal Cianjur kemudian naik angkot jurusan Cipanas,
berhenti di pasar Cipanas. Dari pasar Cipanas kemudian naik angkot jurusan
Bunga.
di bidang real estate. Kota Bunga mulai berdiri pada Bulan November 1993.
Didirikannya Kota Bunga berdasarkan Akte Notaris No. 12 Tanggal 25 Juni 1993
dikelola di bawah manajemen Sinar Mas Group oleh PT. Duta Pertiwi. Dalam
kepada dua anak perusahaannya yaitu PT. Sarana Papan Ekasejati dan PT.
Pangeran Plaza Utama. Kantor pusat perusahaan ini di Jalan Raya Mangga Dua
(ITC) Blok A lantai 4 Jakarta. Perusahaan ini memiliki beberapa tujuan, yaitu
sekitar 40 ha. Sekitar tahun 1996, nama tersebut berubah menjadi Kota Bunga.
Perubahan nama ini disebabkan perluasan wilayah Taman Mawar yang disertai
penambahan jenis-jenis bunga yang ditanam di areal tersebut. Luas areal Kota
penjualan bunga dan tanaman hias bagi konsumen disediakan tempat khusus
Menurut HRD Kota Bunga yaitu RST, mulai dari tahun 1993 sampai
hanya pada bidang real estate saja, tapi dikembangkan pula fasilitas pariwisata
yang lain, seperti mini market, restoran, kolam renang, tempat olahraga (sport
club) dan child playground, arena fantasi, wahana binatang (Petting zoo), dan
danau. Danau yang ada di Kota Bunga merupakan wisata air yang bernama Little
yaitu Villa Country, Villa Karapan, Villa koboy, Villa Belanda, Villa Thailand, Villa
Kastil, Villa Oriental, Villa Swis s, Villa Mediterania, dan Villa Jepang. Konsep
membeli villa tersebut maka konsumen menjadi pemilik villa dan tanah yang
dibeli, selain itu juga perawatan dan penggunaan villa menjadi tanggung jawab
Direktur utama Kota Bunga adalah MW, Direkturnya yaitu GHG, dan
Komisaris Utama yaitu ETW. Manajemen Kota Bunga memiliki tiga departeman,
jawab pada proyek pembangunan Villa dan fasilitas lainnya yang dibutuhkan
konsumen, dan Pemasaran yang bertanggung jawab dalam hal promosi produk.
karyawan Kota Bunga yaitu SMU (93,6 %) dan hanya satu orang saja karyawan
berdasarkan prestasi kerja karyawan tersebut. Hal ini tidak membedakan tingkat
pendidikan karyawan. Untuk mengetahui tingkat gaji karyawan Kota Bunga dapat
1. Tunjangan Hari Raya (THR) bagi karyawan yang telah bekerja lebih dari
2. Bonus untuk karyawan yang bekerja lebih dari 9 bulan yang besarnya sesuai
keputusan.
104.000,00/bulan
6. Pemberian kacamata untuk karyawan telah bekerja lebih dari 6 bulan dengan
resep dokter.
11. Pembelian rumah untuk karyawan yang telah bekerja 1-2 tahun mendapatkan
12. Pembelian rumah untuk karyawan yang telah bekerja lebih dari 2 tahun
Sekolah Menengah Umum. Dari data ini dapat diketahui bahwa Perusahaan Kota
Bunga hanya menerima karyawan lulusan SMU. Jadi, siapapun yang ingin
menjadi karyawan di perusahaan ini harus memenuhi kriteria ini, tidak terkecuali
masyarakat Desa Sukanagalih rendah, hanya sekitar 2,48 persen dari jumlah
pendidikan hingga perguruan tinggi, maka hanya sekitar 2,86 persen penduduk
rendah. Apalagi untuk tahun ini, peluang bagi masyarakat Desa sukanagalih
55
konsumen yang membeli villa serta memanfaatkan fasilitas wisata yang ada di
Kota Bunga. Meskipun ada masyarakat Desa Sukanagalih yang bekerja di Kota
Bunga tapi status kerja mereka tidak kuat, artinya mereka hanya bekerja sebagai
buruh lepas di Kota Bunga. Pekerjaan yang dapat dilakukan adalah sebagai
petugas kebersihan yang dibayar per hari. Tanggung jawab pemberian upah
buruh ini tidak selalu dipegang oleh perusahaan, ada buruh yang dibayar
langsung oleh pemilik villa atau konsumen Kota Bunga sehingga besar kecilnya
Menurut salah satu aparat Desa Sukanagalih, mulai tahun 1998 villa dan
tanah di Kota Bunga telah atas nama konsumen. Sekitar 1.383 villa di Kota
antara Desa Sukanagalih dan Desa Batulawang, hanya saja sebagian besar
Pendapatan Kota Bunga rata-rata naik 12,35 persen per tahun. Untuk
berupa paket-paket alat tulis sekolah, memberikan bantuan berupa uang dan
sebanyak 200 sak. Selain itu juga, Kota Bunga selalu melibatkan karyawannya
Desa Sukanagalih.
56
Kota Bunga. Alasan memilih petani pemilik lahan yang dipilih dan bukan petani
menguasai lahan di areal Kota Bunga, tapi jumlahnya terbatas dan hanya bisa
fasilitas periwisata Kota Bunga, sebagian besar responden termasuk petani yang
memiliki lahan sempit yaitu sekitar 53,33 persen. Berdasarkan hasil wawancara
di lapangan, dari seluruh responden tidak ada responden yang menggarap lahan
orang lain. Mereka hanya menggarap lahan mereka sendiri. Justru sebaliknya,
Kota Bunga. Responden yang memiliki lahan sempit berkurang 10, sedangkan
responden yang memiliki lahan yang luas bertambah 11. Responden yang
memiliki lahan sedang pun mengalami perubahan12 sekitar 13,33 persen. Untuk
10
Dari 53,33 persen menjadi 33,33 persen.
11
Dari 30 persen menjadi 36,67 persen.
12
Dari 16,67 persen menjadi 36,67 persen.
57
(RTRW) Kabupaten Cianjur. Pertimbangan dari Keppres No. 114 Tahun 1999
air dan lahan, (2) berdasarkan Peraturan pemerintah Nomor 47 Tahun 1997
kawasan bawahannya, seperti wilayah daerah Propinsi Jawa Barat dan wilayah
Bopunjur berdasarkan Keppres No. 48 Tahun 1983 tidak dapat dijadikan acuan
lagi karena perkembangan fisik dan sosial ekonomi yang pesat sehingga perlu
ruang berdasarkan fungsi utama kawasan, fungsi kawasan dan aspek kegiatan.
meliputi: (1) kawasan perdesaan yang terdiri atas kawasan pertanian lahan
Kabupaten Cianjur disesuaikan dengan Keppres No. 114 Tahun 1999. Hal ini
pengaturannya pun ditentukan oleh pemerintah pusat. Selain itu juga, proses
rencana tata ruang sesuai dengan kaidah penataan ruang dengan sasaran
adalah :
kelautan.
kecamatan.
perdata berupa tindakan pengenaan denda atau ganti rugi. Sanksi pidan a berupa
sama lain. Rencana struktur tata ruang mewujudkan hirarki pusat pelayanan
permukiman, hirarki sarana dan prasarana, serta sistem jaringan jalan. Dalam
Orde II. Orde II atau Pusat Kegiatan Lokal 1 (PKL 1) merupakan kawasan
menggambarkan letak, ukuran, dan fungsi dari kegiatan lindung dan budidaya.
sosial, ekonomi, budaya dan kawasan lainnya. Untuk Kecamatan Pacet, dari
pertanian lahan kering; 19,25 persen rencana pertanian lahan basah; 17,82
rencana perikanan darat; 0,88 persen rencana peternakan; 0,10 persen rencana
peruntukan industri; 2,85 persen rencana kawasan lindung (hutan); dan 20,73
wilayah-wilayah yang memiliki obyek dan daya tarik wisata serta tersedianya
nilai strategis dan penataan ruangnya diprioritaskan (UU No. 24 Tahun 1992
adalah kawasan tertentu cepat tumbuh (kawasan andalan) yang memiliki sektor
unggulan pertanian dan pariwisata. Salah satu kecamatan dari tiga belas
kecamatan yang termasuk ke dalam kawasan andalan yaitu kecamatan Pacet 13.
Obyek dan daya tarik wisata Kecamatan Cipanas dan Pacet adalah Cagar
budaya atau istana, villa, hotel dan restoran, kebun teh, kebun botani, taman
pembebasan lahan dari masyarakat Desa Sukanagalih dan Desa Batulawang 14.
tata cara pembebasan lahan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)
swasta.
menggunakan panitia pembebasan lahan yang ditentukan oleh gubernur, (2) tata
13
Dua belas kecamatan lainnya yaitu Cipanas, Sukaresmi, Cugenang, Warungkondang, Gekbrong,
Cianjur, Karangtengah, Mande, Cikalongkulon, Sukaluyu, Ciranjang, dan Bojongpicung.
14
Pada penelitian yang akan dibahas lebih lanjut adalah pembebasan lahan di Desa Sukanagalih.
63
pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial. Penggunaan tata cara ini harus
merangkap anggota.
g. Seorang perwakilan dari Dinas Pertanian jika lahan yang akan digunakan
i. Anggota dapat ditambah jika diperlukan dan atas izin dari Gubernur.
15
Untuk kasus tertentu, seorang Bupati dapat berperan menjadi ketua panitia.
64
bangunan-bangunan.
atau tanaman.
hak atas lahan, dan anggota-anggota kepanitian itu sendiri. Keputusan tersebut
dapat diterima atau ditolak oleh instansi yang memerlukan lahan dan pemilik atau
pemegang hak atas lahan. Jika keputusan tersebut diterima, maka langsung
gubernur.
hak atas lahan. Tetapi pada kenyataannya, jika terjadi penolakan, uang
pembelian lahan akan dititipkan di pengadilan negeri. Pemilik lahan memiliki dua
pilihan, yaitu mengambil uang tersebut atau kehilangan lahan dan tidak
menerima uang (Harsono dalam Metera, 1996). Hal ini membuat pemilik lahan
tidak memiliki pilihan lain selain menerima keputusan panitia pembebasan lahan.
16
Besarnya harga jual lahan harus berdasarkan kesepakatan antara panitia dan pemilik lahan.
65
Undang No. 9 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa kebudayaan dan pariwisata
supervisi.
tertentu harus memenuhi suatu persyaratan tertentu. Maka hal ini berlaku juga
swasta yang akan mendirikan bangunan untuk usaha. Beberapa persyaratan itu
adalah :
Cianjur yang ditujukan kepada Bupati. Sebelum surat pengajuan ini dijawab
oleh Bupati, pihak yang mengajukan surat tersebut harus menunggu jawaban
dari Bupati. Setelah surat tersebut mendapat jawaban yang isinya Bupati
selanjutnya.
66
persyaratan ini, bangunan yang akan didirikan hanya boleh menutupi lahan
Karya 18.
4. Mengajukan Surat Izin Usaha. Surat Izin Usaha ditujukan ke Kantor Desa
pariwisata Kota Bunga, pihak Kota Bunga harus mengajukan izin usaha yang
Kabupaten Cianjur.
17
Kota Bunga mengajukan SIPPT pada tahun 1992.
18
Pada tahap ini, pembebasan lahan telah dilakukan dan telah ada kesepakatan harga jual beli
lahan.
19
Pada saat pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, Perda ini belum ada.
67
4. Kontruksi jalan dan area parkir agar menggunakan bahan yang tidak kedap
air.
1. Seksi Pemasaran.
Seksi ini bertugas dalam hal promosi obyek dan daya tarik wisata Kabupaten
satu obyek dan daya tarik wisata di Kabupaten Cianjur berperan dalam
Seksi ini dibentuk sesuai dengan Peraturan Daerah No. 22 Tahun 1999
Tentang Rekreasi dan Olahraga. Peran seksi ini adalah memungut retribusi
ke setiap obyek wisata yang ada di Kabupaten Cianjur termasuk Kota Bunga
yang terkena retribusi rekreasi. Uang retribusi itu tidak dikelola oleh
Seksi ini dibentuk sesuai Peraturan Daerah No. 14 Tahun 2001 Tentang Izin
Kabupaten Cianjur.
68
Kabupaten Cianjur.
Dishubpar dan Kota Bunga lebih banyak melalui organisasi ini. PHRI sebagai
kegiatan berupa pelatihan. Tujuan dari kegiatan tersebut adalah untuk mencari
dan melatih tenaga kerja lokal yang kompeten untuk ditempatkan di hotel dan
restoran anggota PHRI. Pertimbangan dari kegiatan ini adalah untuk membuka
Desa Sukanagalih yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Pacet dalam
memiliki kegiatan utama bukan pertanian. Tetapi untuk saat ini, kegiatan
Sukanagalih.
Untuk Keppres No. 53/1989 yang menyatakan bahwa penentuan lokasi industri
pariwisata yang ada di Desa Sukanagalih dibangun di atas areal yang subur,
pembangunan Kota Bunga selain mengambil areal subur juga mengambil areal
sumber mata air yang biasa digunakan oleh masyarakat lokal, sehingga
masyarakat kehilangan sumber mata air yang biasa digunakan mereka untuk
perihal ini kepada pihak Kota Bunga tetapi pihak Kota Bunga tidak
15/1975, dimana dalam aturan ini tercantum dua jenis tata cara pembebasan
termasuk dalam tata cara pembebasan lahan yang kedua, yaitu tata cara
lahan tidak menggunakan panitia pembebasan lahan. Dalam tata cara ini, peran
besar tidak diketahui oleh masyarakat Desa Sukanagalih bahkan aparat desa
pun tidak mengetahui tujuan tersebut. Sehubungan dengan hal ini, tata cara
pembebasan lahan yang kedua tidak dilakukan oleh pihak Kota Bunga.
perusahaan Kota Bunga, peneliti memilih informan dari aparat desa dan
membeli lahan berbeda-beda. Orang yang membeli lahan itu berbeda, tetapi atas
nama yang sama. Bukti dari keyakinan aparat tersebut adalah surat sertifikat
lahan yang diajukan ke kantor desa ketika pihak Kota Bunga mengajukan izin
Awalnya, ada beberapa orang yang mensurvai lokasi. Orang yang mensurvai
lahan. Mereka menawarkan harga yang cukup tinggi kepada masyarakat dan
71
berjanji akan membayar dengan tunai dalam jangka singkat. Dalam beberapa
hari kemudian, ada masyarakat yang bersedia menjual lahan. Selanjutnya satu
persatu dari masyarakat Desa Sukanagalih itu bersedia menjual lahan mereka.
Alasan masyarakat bersedia menjual lahan tersebut adalah karena harga yang
kepada pembeli. Jawaban yang mereka dapatkan adalah bahwa lahan tersebut
Tentu saja pihak pembeli tidak memberitahukan tujuan dari pembelian lahan itu
untuk membangun suatu real estate, karena jika diketahui lahan tersebut
nantinya akan digunakan untuk pembangunan real estate, maka penjual atau
lahan yang subur dan lokasi lahan tersebut strategis 20. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Barlow (Afianto, 2002) bahwa nilai lahan menjadi lebih tinggi jika
lahan memiliki potensi fisik seperti kesuburan lahan dan keutamaan lokasi.
Kerahasiaan tujuan tetap tidak terpecahkan oleh aparat desa, meskipun pada
mengajukan izin mendirikan bangunan dan izin usaha ke kantor desa. PT. SPE
ternyata bukan pemilik pertama lahan yang dibeli tersebut. Perusahaan ini
membeli lahan tersebut dari seseorang dan perusahaan ini menyatakan tidak
Proses jual beli lahan ini memang bermasalah. Dulu, pihak pembeli
menjanjikan akan membayar secara tunai dan dalam jangka waktu dekat.
20
Lokasi lahan tersebut dapat dikatakan strategis karena berada di kawasan Bopunjur yang
merupakan kawasan wisata nasional.
72
pembayaran lebih dari satu bulan bahkan ada yang sampai enam bulan.
Masyarakat merasa kecewa karena pembeli tidak menepati janji. Sering sekali
masyarakat menagih uang yang belum dibayarkan itu kepada pembeli, tapi
pembeli tidak pernah menepati janji. Akhirnya masyarakat yang bernasib sama
telah dijanjikan. Meskipun telah didesak warga, pembeli masih saja tidak
Dalam hal proses perizinan, seperti yang telah dipaparkan pada Bab V
yang berlaku. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Bappeda, Kota Bunga
telah mengajukan berbagai perizinan dan telah disetujui Bupati 21. Hal ini sesuai
infrastruktur desa dan aparat negara memberikan alasan tujuan alih fungsi lahan
pariwisata Kota Bunga awalnya adalah lahan pertanian dan beberapa rumah
tanaman padi dan sayuran. Kini, lahan tersebut berubah fungsinya. Dulu
21
Pihak Bappeda menyatakan Kota Bunga telah mengajukan Surat Izin Investasi dan Surat Izin
peruntukkan Penggunaan Lahan pada tahun 1992 kepada Bupati dan Bupati telah menyetujuinya.
73
berfungsi sabagai lahan pertanian kini menjadi lahan non pertanian atau
Pada sub bab ini akan dibahas tentang perubahan struktur agraria
pariwisata Kota Bunga. Perubahan yang peneliti dapat paparkan dalam sub bab
oleh petani tidak dapat dibahas secara lengkap, hal ini dikarenakan responden
tidak ada yang menggarap lahan orang lain. Mereka hanya menggarap lahan
mereka sendiri. Untuk menjelaskan perubahan struktur agraria ini, maka pada
sub bab ini akan dipaparkan pola kepemilikan lahan sebelum dan setelah
Kota Bunga mulai berdiri sekitar tahun 1993. Sebelum tahun 1993,
lahan-lahan yang kini dibangun fasilitas pariwisata Kota Bunga masih dimiliki
pertanian dan beberapa luas lahan dimanfaatkan untuk keperluan tempat tinggal.
Keadaan lahan di lahan tersebut termasuk subur, sehingga wajar bila petani
rata-rata memiliki lahan. Sekitar 53,33 persen dari jumlah responden memiliki
luas lahan sempit, diikuti responden yang memiliki luas lahan kategori tinggi yaitu
74
sekitar 30 persen, dan sekitar 16,67 persen responden yang memiliki luas lahan
sedang22.
pariwisata Kota Bunga. Perubahan itu bervariasi, ada petani yang sebelum
fasilitas pariwisata, petani tersebut tergolong menjadi petani yang memiliki lahan
faktor, salah satunya yaitu tingkat harga jual lahan. Tingkat harga jual lahan yang
penjualan, dan keahlian petani dalam hal tawar menawar harga jual lahan.
harga jual beli lahan yang rendah. Akan tetapi jumlah kepemilikan lahan sempit
persen23. Hal ini dapat dijelaskan dari hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman
Tabel 10. Hubungan Antara Tingkat Jumlah Produk Wisata dan Tingkat Jual beli
Lahan
Tingkat Tingkat Jual beli lahan Lahan Total
Jumlah Rendah Sedang Tinggi
Produk
Wisata
Rendah 16 5 9 30
Total 16 5 9 30
Keterangan hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman : ñ hitung = 0,00; ñ tabel = 0,364; á = 0,05 ;
Keputusannya adalah tidak ada hubungan.
22
Lihat Tabel 9 Pada Bab IV
23
Lihat Tabel 7 pada Bab IV
75
Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa pada Tingkat Jumlah produk wisata
yang sama, tingkat harga jual beli lahan berbeda-beda. Besarnya uang jual beli
lahan yang diterima petani bervariasi tergantung luas lahan dan lokasi lahan
tersebut. Lahan yang diatasnya dibangun rumah bernilai Rp. 100.000,00 per
meter persegi, dan variasi harga lahan yang dimanfaatkan untuk bercocok tanam
sekitar Rp. 3.000,00 hingga Rp. 12.000,00 per meter persegi. Perbedaan yang
dihasilkan sangat jauh. Jumlah petani yang mendapatkan uang jual beli lahan
mendapatkan uang jual beli lahan sedang berjumlah paling sedikit (16,67 %). Hal
ini terjadi karena posisi tawar menawar petani rendah. Rendahnya posisi tawar
menawar petani dikarenakan saat itu petani kurang begitu mengetahui harga
mereka jual, padahal lahan-lahan tersebut subur. Selain itu, petani juga tidak
mengetahui tujuan dari pembelian lahan itu sehingga standard harga jual yang
ditetapkan petani yaitu standar harga jual lahan untuk pemukiman, padahal jika
Sukanagalih yang tergolong petani yang memiliki lahan luas meningkat. Sebelum
pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, petani yang memiliki lahan luas
yang tergolong memiliki lahan luas menjadi 36,67 persen. Demikian halnya
dengan petani yang tergolong petani yang memiliki lahan sedang. Sebelum
pariwisata Kota Bunga, petani yang tergolong memiliki lahan sedang menjadi 30
persen. Berbeda dengan petani yang tergolong memiliki lahan se mpit, petani
76
hasil dari uji statistik ini membuktikan bahwa pada taraf nyata 0,05 didapatkan
rho hitung sebesar 0,897 dan rho tabel sebesar 0,364 ternyata terdapat
Hal ini disebabkan petani yang menjual lahan tersebut mampu membeli kembali
lahan di tempat lain dengan harga murah. Menurut beberapa responden, pada
tahun 1992 di Desa Sukanagalih masih banyak lahan yang murah. Hanya saja,
lahan tersebut jauh dari mata air sehingga untuk pengairan sawah-sawah di
lahan baru itu petani mengharapkan aliran air dari mata air di luar Desa
Sukanagalih.
Tabel 11. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota
Bunga dan Luas Kepemilikan Lahan Setelah Adanya Kota Bunga
pariwisata Kota Bunga mengalokasikan uang jual beli lahan untuk membeli lahan
lagi. Lokasi lahan yang dibeli petani di beberapa tempat, ada yang membeli
lahan di kampung lain dalam satu desa, ada yang membeli lahan ke desa
membeli lahan di luar desa dan kecamatan berpindah domisili menjadi penduduk
desa atau kecamatan itu. Sehingga hanya tinggal beberapa petani yang tinggal
di Desa Sukanagalih.
Alasan petani yang membeli lahan baru di Desa yang sama yaitu Desa
lahan untuk menjaulnya kepada petani yang telah kehilangan lahan tersebut.
atau orang tua mereka. Lahan baru yang dimiliki petani itu untuk membangun
rumah merupakan lahan keluarga yang dijual murah (dijual dibawah harga
pasaran). Sedangkan petani yang tidak memiliki keluarga di lahan baru itu, dapat
membeli lahan karena pemilik yang menjualkan lahan merasa harga yang
pada saat itu harga lahan rendah dan kebutuhan uang tunai tinggi. Sehingga
menjual lahan adalah salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan uang tunai
tersebut. Menurut penjual lahan baru itu, dulu lahannya ditawarkan kepada orang
lain agar laku terjual, tapi belum ada orang yang berniat membeli lahan. Sampai
pada masa banyak petani yang kehilangan lahan, barulah penjual itu dapat
langsung dan terbuka. Dalam arti pembeli mengatakan tujuan dia membeli lahan
Dari uang jual beli lahan itu, selain digunakan untuk membeli lahan, juga
ibadah haji. Tetapi tidak semua petani dapat mengalokasikan uang jual beli lahan
untuk menunaikan ibadah haji. Dari peristiwa alih fungsi lahan ini, petani yang
merasa dirugikan adalah petani yang memiliki lahan sempit sebab uang jual beli
lahan yang mereka terima hanya untuk membeli lahan dan tingkat kesuburannya
kurang dari lahan yang mereka miliki sebelumnya. Sedangkan petani yang
memiliki lahan luas mendapatkan keuntungan, yaitu petani yang memiliki lahan
luas dapat membeli lahan lebih luas di tempat lain, bisa memperbaiki rumah, dan
menunaikan ibadah haji. Alokasi uang oleh petani yang memiliki lahan sedang
pertanian yang mereka tanam selain padi sawah adalah sayuran, seperti cabe,
bawang daun, buncis, dan kacang kapri. Mata pencaharian mereka tidak
berubah meskipun telah dibangun fasilitas pariwisata. Hal ini didukung oleh hasil
uji statistik Korelasi Rank Spearman yang menyatakan bahwa rho 2 hitung untuk
hubungan antara luas kepemilikan lahan sebelum adanya Kota Bunga dan
perubahan pekerjaan utama setelah adanya Kota Bunga sebesar 0,600 dan rho
tabelnya sebesar 0,364. Sehingga uji ini menyatakan bahwa pada taraf nyata
0,05 ternyata terdapat hubungan. Berdasarkan Tabel 12, dari 30 petani hanya
16,67 persen saja yang berubah mata pencahariannya. Petani yang berubah
79
petani yang memiliki lahan sedang dan tinggi tetap bekerja sebagai petani.
Demikian halnya setelah petani mendapatkan uang jual beli lahan lahan.
Mata pencaharian petani tidak berubah secara signifikan. Meskipun ada 1 orang
yang menjadi pedagang sayuran, 3 orang yang menjadi buruh bangunan24, dan 1
orang yang membuka usaha sendiri yaitu berjualan di pasar, tetap saja jika
mereka, uang jual beli lahan yang mereka dapatkan tidak dapat digunakan
digunakan untuk membeli lahan agar mereka dapat bertani kembali. Selain itu,
mereka merasa tidak memiliki keahlian untuk berpindah profesi seperti membuka
usaha sendiri.
berumahtangga bahkan orang tua mereka pun bekerja sebagai petani. Selain itu,
mereka merasa bertani adalah pekerjaan yang cocok baginya dan dengan
24
Mereka menjadi buruh bangunan di Kota Bunga dan Jakarta. Petani yang menjadi buruh
bangunan di Jakarta bekerja ketika di Kota Bunga tidak ada proyek.
80
bertani kebutuhan pokok (pangan) mereka akan selalu terjamin. Kenyataan ini
sesuai dengan pernyataan Redfield dalam Suhendar dan Winarni (1998) bahwa
petani memiliki sikap intim dan hormat pada lahan dan menganggap pekerjaan
Tabel 13. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota
Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Sampingan Sebelum Adanya
Kota Bunga
sekitar 93,33 persen petani tidak memiliki pekerjaan sampingan. Hal ini didukung
oleh hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman, dimana rho hitung yang didapat
sebesar 0,359 dan rho tabelnya sebesar 0,364 ternyata pada taraf nyata 0,05
pada umumnya mereka tetap tidak memiliki pekerjaan sampingan (Tabel 14).
Tetapi dari segi kuantitas, ada petani yang memiliki pekerjaan sampingan yaitu 1
bertani adalah pekerjaan sampingan karena petani ini fokus pada kegiatan
berdagang sayuran, sedangkan bertani dilakukan jika ada waktu saja. Selain itu,
81
dia juga mengatakan hasil yang didapatkan dari berjualan sayuran jauh lebih
Tabel 14. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota
Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya
Kota Bunga
memiliki kesempatan untuk berpindah ke lapisan yang lebih tinggi. Hal ini
mengalokasikan uang hasil jual beli lahan untuk memperbaiki rumah atau
menunaikan ibadah haji, mereka dapat lebih disegani dan dihormati. Apalagi
tinggi.
BAB VII
PERUBAHAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT DESA
SUKANAGALIH
Hampir setiap warga kampung terlibat dalam kegiatan bercocok tanam. Kegiatan
bertani ini dilakukan secara bersama-sama dan saling tolong menolong antar
saluran air, hingga panen. Maka kegiatan-kegiatan ini menjadi ciri khas sifat
keluarga petani dan tetangganya. Anggota keluarga petani terlibat dalam seluruh
tertentu. Kegiatan yang khusus dilakukan oleh anggota keluarga petani seperti
keluarga laki-laki bertanggung jawab dalam hal mencangkul tanah agar tanah
yang akan ditanami padi subur, memperbaiki saluran air, memberantas hama
memberantas hama burung, mencabut rumput, dan panen (mengambil biji padi).
Tetangga yang membantu bertani tidak mendapatkan upah berupa uang, karena
itu. Mereka hanya mendapatkan minuman dan makan siang atau terkadang kue-
kue di antara sarapan dan makan siang. Hal ini dipandang sebagai hubungan
hubungan kekerabatan merupakan hal yang penting di desa, hal ini dikarenakan
orang desa hidup bersama di dalam satu lokasi yang sama dan harus bekerja
sama pula. Dengan adanya hubungan kekerabatan ini, masyarakat petani dapat
tetap survive dan solidaritas komunitas kuat. Kegiatan produksi yang dilakukan
yang telah membantu mereka dalam proses produksi ini. Petani yang membayar
tetangganya nanti. Petani ini adalah petani yang memiliki lahan luas, sedangkan
petani yang mendapatkan bayaran ini disebut buruh tani. Bayaran untuk buruh
tani perempuan sebesar Rp. 3.000,00 per hari dan terkadang mendapatkan
makan siang jika petani yang memperkerjakannya memiliki uang untuk memberi
makan siang , sedangkan bayaran untuk buruh tani laki-laki sebesar Rp. 5.000,00
per hari dan terkadang juga mendapatkan makan siang. Pada saat panen, ada
beberapa petani yang membayar buruh tani dengan satu ikat padi jika buruh tani
bertani. Sifat kelembagaan setelah adanya Kota Bunga yaitu kome rsil, dimana
85
segala sifat kerja atau aktivitas dinilai dengan uang. Berbeda dengan sifat
peristiwa ini mengakibatkan terkikisnya sistem derep dan bawon yang memiliki
fungsi sosial, artinya pembagian hasil pertanian dapat berlangsung tanpa adanya
perdesaan.
dari perubahan cara pandang buruh tani dalam memilih pekerjaan. Orang-orang
yang bekerja menjadi buruh, lebih memilih menjadi buruh di wilayah Kota Bunga
taman lebih besar dibanding upah yang didapat dari bekerja di sawah.
sulit didapatkan. Hal ini dikarenakan banyak tenaga kerja yang lebih memilih
bekerja di Kota Bunga atau menjadi buruh pabrik di Jakarta. Pertimbangan ini
sebesar Rp. 11.000,00 hingga Rp. 16.000,00 per hari, sedangkan upah yang
dihasilkan dari bekerja di sawah sebesar Rp. 8.000,00 per hari untuk tenaga
kerja perempuan dan Rp. 10.000,00 per hari untuk tenaga kerja laki-laki. Hal ini
khususnya tenaga kerja yang masih muda atau pemuda. Banyak pemuda yang
lebih memilih bekerja di kota sebagai buruh pabrik daripada bekerja di sawah.
86
sawah.
tetap bermata pencaharian sebagai petani. Petani-petani ini juga masih berpikir
telah memperhitungkan untung rugi antara input dan output. Menurut mereka,
penghasilan mereka saat ini berkurang dikarenakan harga pupuk yang masih
tinggi.
ada di Desa Sukanagalih termasuk Kota Bunga. Tapi saat ini mereka mulai
Bunga berkurang. Selain sebagai pedagang sayuran, ada juga responden yang
yang didapatkan sebagai buruh bangunan cukup tinggi menurut mereka yaitu
sekitar Rp. 25.000,00 per hari. Hanya saja penghasilan dari bekerja sebagai
buruh bangunan tidak didapatkan setiap hari atau setiap bulan, tergantung ada
atau tidaknya proyek. Menurut mereka, waktu dulu, panggilan untuk bekerja
sebagai buruh bangunan banyak karena saat itu Kota Bunga dalam proses
bangunan berkurang bahkan hampir tidak ada. Meskipun Kota Bunga sedang
25
Lihat Tabel 13 pada Bab VI tentang jumlah responden yang memiliki pekerjaan sampingan
sebelum adanya Kota Bunga.
87
bangunan terbatas.
berdampak pula pada peluang kerja. Salah satu langkah yang dilakukan
Maka pengurangan buruh pun dilakukan sehingga banyak masyarakat lokal yang
lokal juga muncul karena akibat lain seperti uang pesangon yang dijanjikan tidak
sesuai dan janji-janji perusahaan untuk memberikan peluang kerja baru pun tidak
pernah ada.
(2000), maka aktivitas pengunjung Kota Bunga termasuk dalam model enklave ,
Kota Bunga, dan melihat berbagai pertunjukkan di dalam kawasan Kota Bunga.
BAB VIII
PELUANG USAHA DAN PELUANG KERJA DI SEKTOR
PARIWISATA
kerja bagi masyarakat Cianjur. Maka pada bab ini akan dibahas sejauh mana
Fasilitas pariwisata yang akan dibahas pada sub bab ini adalah fasilitas
pariwisata Kota Bunga. Kota Bunga memiliki tiga produk wisata berdasarkan
2. Obyek wisata dan atraksi wisata yang terdapat di daerah tujuan wisata.
Dari ketiga produk wisata yang ada di Kota Bunga itu, dapat
cindera mata, usaha pelayanan jasa angkutan, usaha kost-kostan atau membuka
sedikit peluang usaha bagi masyarakat lokal. Peluang usaha yang dapat
dimasuki masyarakat lokal yaitu usaha membuka rumah makan dan jasa
dua. Peluang usaha tersebut hanya dapat dimasuki oleh beberapa orang saja.
orang yang memiliki modal besar dan sanggup menanggung resiko. Resiko yang
membuka usaha adalah uang pinjaman dari bank yang harus dibayar dari hasil
ke Kota Bunga dan jumlah karyawan Kota Bunga yang berasal dari luar Desa
Sukanagalih. Mulai krisis ekonomi di tahun 1997, resiko tersebut mulai nampak.
Pengunjung atau konsumen Kota Bunga menurun. Demikian juga dengan jumlah
karyawan Kota Bunga. Sekitar tahun 1999, Perusahaan Kota Bunga melakukan
penurunan penghasilan usaha rumah makan dan kost-kostan. Hal ini terjadi
karena karyawan yang berasal dari luar Desa Sukanagalih sebagian besar
Trayek ini melewati tempat fasilitas pariwisata Kota Bunga. Menurut salah satu
masyarakat setempat, pengunjung Kota Bunga dan karyawan Kota Bunga yang
tempat tinggalnya jauh dari tempat bekerja. Oleh karena itu, jumlah pengunjung
dan jumlah karyawan yang bekerja di tempat wisata menjadi salah satu faktor
ada juga usaha jasa angkutan beroda dua yang biasa disebut ojek. Dulu usaha
ojek hanya dapat dimasuki beberapa orang karena keterbatasan modal untuk
membeli motor, tapi sekarang hampir seluruh pengendara ojek dapat memasuki
usaha jasa ojek sehingga tidak memiliki kewajiban untuk membayar uang
produk wisata yang ada di Kota Bunga tidak memberikan peluang usaha bagi
menunjukkan hasil uji statistik Chi Square untuk hubungan antara tingkat peluang
usaha dan pekerjaan utama e x-pemilik lahan. Berdasarkan uji ini, peluang usaha
Tabel 15. Hubungan Antara Tingkat Peluang Usaha dan Jenis Pekerjaan Utama
Setelah Adanya Kota Bunga
Berdasarkan uji statistik Korelasi Rank Spearman menyatakan bahwa rho hitung
untuk hubungan antara tingkat peluang usaha dan pekerjaan sampingan setelah
adanya Kota Bunga sebesar 0,00; sedangkan rho tabelnya sebesar 0,364; maka
pada taraf nyata 0,05 tidak terdapat hubungan antara kedua variabel itu.
Tabel 16. Hubungan Antara Tingkat Peluang Usaha dan Jenis Pekerjaan
Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga
setempat, dan ternyata masyarakat setempat pun tidak dapat memasuki peluang
kerja yang ada di Kota Bunga. Oleh karena masyarakat tidak dapat mema suki
peluang kerja yang ada di Kota Bunga, maka mata pencaharian masyarakat pun
persen responden menjadi petani, ini berarti sebagian besar masyarakat tetap
kerja di sektor wisata, tetapi ada beberapa masyarakat yang dapat memasuki
92
adalah sebagai buruh pencabut rumput, satpam di Kota Bunga, buruh bangunan,
yang berasal dari Desa Sukanagalih, sayangnya pihak Kota Bunga tidak
memberikan keterangan pasti tentang hal tersebut. Apalagi untuk saat ini, Kota
Kota Bunga mengatakan bahwa semenjak krisis moneter tahun 1997 pengunjung
semakin kecil.
Tabel 17. Hubungan Antara Tingkat Peluang Kerja dan Jenis Pekerjaan Utama
Setelah Adanya Kota Bunga
26
Nama- nama warga Sukanagalih yang bekerja di Kota Bunga: Asep (satpam), Surya (Satpam),
Gugun (satpam), Erwin (office), Wawa (office), Taufik (penjaga karcis arena), Meika (penjaga karcis
danau), Iwan (penjaga karcis), Lena (accounting), Yanto (satpam).
93
memiliki tingkat pendapatan sedang yaitu sekitar 63,33 persen dari total
tinggi, dan terakhir yaitu petani yang tingkat pendapatannya rendah. Pedagang
yang berusaha sendiri memiliki tingkat pendapatan tinggi. Dari hasil uji statistik
Chi Square untuk hubungan antara jenis pekerjaan utama dan tingkat
pendapatan setelah adanya Kota Bunga diperoleh x2 hitung sebesar 4,614 dan x2
tabelnya sebesar 12,592 (Tabel 18). Dari hasil uji ini dinyatakan bahwa antara
setempat pun tidak ada hubungannya dengan ada atau tidak adanya Kota
Bunga.
Tabel 18. Hubungan Antara Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga
dan Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga
pendapatan tersebut tidak ada hubungannya dengan ada atau tidak adanya Kota
Bunga. Pernyataan ini didukung oleh hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman
pendapatan setelah adanya Kota Bunga. Dari uji ini diperoleh rho hitungnya
sebesar 0,394 dan rho tabelnya sebesar 0,364 pada taraf nyata 0,05
keputusannya adalah terdapat hubungan antara dua variabel tersebut (Tabel 19).
Hal ini dikarenakan peluang kerja yang ada di Kota Bunga tidak dapat dimasuki
pendapatan masyarakat.
9.1 Kesimpulan
dalam hal perizinan bangunan dan usaha, Perusahaan Kota Bunga telah
fasilitas pariwisata Kota Bunga meningkat. Banyak petani yang memiliki lahan
kategori sedang dan luas. Perubahan kepemilikan lahan petani ternyata tidak
pemilik lahan tetap menjadi petani sebagai pekerjaan utama. Hal ini disebabkan
keuntungan materi. Petani mendapatkan keuntungan materi dari hasil jual beli
memperbaiki rumah. Petani yang telah menunaikan ibadah haji lebih disegani
pembangunan Kota Bunga, sifat kelembagaan menjadi komersil. Hal ini sesuai
makan, jasa transportasi, dan usaha kontrakan rumah. Demikian halnya dengan
peluang kerja. Peluang kerja yang dapat dimasuki masyarakat lokal rendah.
Peluang kerja terbanyak yang dapat dimasuki masyarakat lokal adalah peluang
kerja sebagai buruh pencabut rumput. Peluang menjadi karyawan Kota Bunga
sangat kecil. Hal ini disebabkan tingkat pendidikan masyarakat lokal tidak sesuai
9.2 Saran
proses legalisasi perizinan Kota Bunga karena saat ini pun Kota Bunga
Bunga. Hal ini terkait praktek pembangunan Kota Bunga yang tidak
mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Actis 2001, ‘waktu terluang. and kepariwisataan.: Types of leisure and tourism’,
http://www.geographyonline.co.uk/sitetour/resources/leisure/info3.html
Fauzi, Noer 1999, Petani dan Penguasa, Insist Press KPA dan Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Hayami, Yujiro dan Masao Kikuchi 1987, Dilema Ekonomi Desa: Suatu
Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
Metera, I Gde Made 1996, Alih Fungsi Tanah Pertanian Untuk Pembangunan
Fasilitas Pariwisata dan dampaknya Terhadap Petani, Tesis, Program
Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Scott, James C 1989, Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara, Terjemahan, Jilid 2, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendy 1989, Metode Penelitian Survai, LP3ES,
Jakarta.
Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winarni 1998, Petani dan Konflik Agraria,
Yayasan Akatiga, Bandung.
Wahyuni, Ekawati Sri 2004, Pedoman Teknis Menulis Skripsi, Departemen Ilmu-
Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Wiradi, Gunawan 2000, Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir, Insist
Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Yoeti, Oka A 1996a, Pengantar Ilmu Pariwisata, Edisi Revisi, Angkasa, Bandung.
Pekerjaan Tingkat
Sampingan Pendapatan
Setelah Adanya Setelah Adanya
Kota Bunga Kota Bunga
Pekerjaan Koefisien Korelasi 1,000 0,394
Sampingan Signifikansi - 0,031
Setelah (2-tailed)
Adanya Kota Jumlah (N) 30 30
Bunga
Tingkat Koefisien Korelasi 0,394 1,000
Pendapatan Signifikansi 0,031 -
Setelah (2-tailed)
Adanya Kota Jumlah (N) 30 30
Bunga
105
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square ,a
N of Valid Cases 30
a. No statistics are computed because PU is a constant.
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square ,a
N of Valid Cases 30
a. No statistics are computed because PK is a constant.
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 4,485a 6 ,611
Likelihood Ratio 5,695 6 ,458
Linear-by-Linear
,051 1 ,822
Association
N of Valid Cases 28
a. 10 cells (83,3%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is ,04.
105
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square ,a
N of Valid Cases 30
a. No statistics are computed because PU is a constant.
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square ,a
N of Valid Cases 30
a. No statistics are computed because PK is a constant.
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 4,485a 6 ,611
Likelihood Ratio 5,695 6 ,458
Linear-by-Linear
,051 1 ,822
Association
N of Valid Cases 28
a. 10 cells (83,3%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is ,04.
Lampiran 3. Peta Desa Sukanagalih
106
107
Penduduk
No. Sebelum Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga Setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota bunga
Responden Luas Lahan Kegunaan Lahan Lokasi Luas Lahan Kegunaan Lahan Lokasi
(m 2) (m 2)
1. 200 Sawah Panoongan 400 Sawah Cibengang
2. 100 Sawah Teureup 300 Sawah Cinengah
3. 100 Sawah Singkup 300 Sawah Kananga
4. 400 Sawah Teureup 500 Sawah Cinengah
5. 200 Rumah Panggung 300 Rum ah Ciburial
6. 800 Sawah Panoongan 900 Rumah, Sawah Cinengah
7. 200 Sawah Panggung 200 Sawah Cinengah
8. 400 Sawah Panoongan 500 Sawah Cibengang
9. 10.000 Sawah Singkup 10.200 Sawah Kananga
10. 100 Rumah Panggung 100 Rumah Ciburial
11. 110.000 Sawah Panoongan 70.000 Sawah Cibengang, Ciburial
12. 500 Sawah Panoongan 500 Sawah Cibengang
13. 200 Rumah Panoongan 370 Rumah Cibengang
14. 400 Sawah Panoongan 500 Sawah Cibengang
15. 400 Sawah Singkup 800 Sawah Ciburial
16. 10.000 Sawah Panoongan 10.000 Sawah Cibengang
17. 10.200 Sawah Panoongan, Singkup 10.000 Sawah Muhara
18. 15.000 Sawah Panggung 10.000 Sawah Kananga
19. 20.100 Sawah Panoongan, Singkup 15.000 Sawah Cibengang
20. 10.200 Sawah Panggung 10.000 Sawah Cibengang
21. 350 Rumah, Sawah Panggung, Ciburial 400 Rumah, Sawah Ciburial
22. 10.000 Sawah Singkup 10.000 Sawah Cibengang
23. 200 Sawah Panoongan 300 Sawah Cibengang
24. 200 Rumah Singkup 200 Rumah Ciburial
25. 5.000 Sawah Panggung 5.000 Sawah Kananga
26. 700 Sawah Panggung 500 Sawah Ciburial
27. 500 Sawah Panggung 10.000 Sawah Cibengang
28. 300 Sawah Panggung 500 Sawah Cibengang
29. 10.000 Sawah Panggung 20.000 Sawah Cibengang
30. 70.000 Sawah Panoongan, Teureup, 10.000 Sawah dan Cibengang
Panggung, Singkup Tanam an
Sayuran
111