Anda di halaman 1dari 107

DINAMIKA GERAKAN PETANI :

KEMUNCULAN DAN KELANGSUNGANNYA


(DESA BANJARANYAR KECAMATAN BANJARSARI KABUPATEN CIAMIS)

MOCHAMMAD FAJRIN
I34061767

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN

MOCHAMMAD FAJRIN. DINAMIKA GERAKAN PETANI,


KEMUNCULAN DAN KELANGSUNGANNYA. Desa Banjaranyar,
Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat (Di bawah
Bimbingan Satyawan Sunito)

Gerakan petani merupakan suatu bentuk perlawanan yang sengaja


dilakukan oleh sekelompok petani yang terorganisir untuk menciptakan terjadinya
perubahan dalam pola interaksi atau keadilan untuk petani di dalam masyarakat.
Gerakan tersebut mempunyai ciri-ciri seperti halnya gerakan sosial yaitu i)
memiliki pengorganisasian internal yang rapi, ii) berlangsung lebih lama, iii)
gerakan sengaja bertujuan melakukan reorganisasi kehidupan masyarakat internal
maupun eksternal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : i) latar belakang dan proses
perebutan tanah di Desa Banjaranyar. ii) apa makna tanah bagi petani
Banjaranyar, berkaitan dengan kemuculan gerakan petani (pra-reclaiming). iii)
perkembangan gerakan petani Banjaranyar, beserta hubungan gerakan petani
dengan berbagai kekuatan sosial baik di dalam dan si luar desa. Penelitian ini
merupakan sebuah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan suatu
metode berganda dalam fokus, yang melibatkan suatu pendekatan interpretatif dan
wajar terhadap setiap pokok permasalahannya. Penelitian ini menggunakan
metode observasi partisipasi (participant observation) di lapangan. Metode
observasi partisipasi merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang
mengharuskan peneliti melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat yang diteliti.
Peneliti harus dapat memahami gejala-gejala yang ada, sesuai dengan maknanya
dengan yang diberikan atau dipahami oleh warga masyarakat yang sedang diteliti,
termasuk dalam pengertian metode ini adalah wawancara dan mendengarkan serta
memahami apa yang didengarnya.
Desa Banjaranyar berdiri di atas tanah eks-perkebunan Agris NV. Warga
mulai menggarap tanah perkebunan semenjak periode awal kemerdekaan. Pada
tahun 1982, penggarapan yang dilakukan warga terusik oleh kedatangan PT RSI.
PT RSI merupakan anak perusahaan PT Bukit Jonggol Asri, pemilik hak kelola
atas lahan eks-perkebunan Agris NV. Hak pengelolaan tersebut kemudian beralih
melalui aksi tukar guling lahan antara PT RSI dengan pihak Perhutani pada tahun
1996. Kuatnya institusi Negara dan Pemerintah Orde baru yang cenderung
represif membuat gerakan perlawanan petani tidak lahir pada saat itu. Tahun
1998, Petani Banjaranyar mulai mengorganisir diri dan melakukan pemotongan
pohon jati Perhutani. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk perlawanan atas
kehadiran Perhutani di atas tanah eks-perkebunan. Kejatuhan rezim Orde Baru
menciptakan momentum yang memudahkan lahirnya gerakan petani Banjaranyar.
Gerakan petani Banjaranyar dapat dilihat sebagai aksi perlawanan petani
terhadap perampasan tanah oleh kapital swasta yang didukung negara melalui
pemberian hak kelola tanah (HGU). Masuknya kapital swasta ke dalam komunitas
petani Banjaranyar, dalam bentuk perampasan tanah, menyebabkan kehidupan
petani semakin terpuruk dan menghadapi krisis subsistensi hingga kebatas
toleransi. Walaupun begitu, lahirnya gerakan petani Banjaranyar tidak hanya
didasarkan pada adanya faktor krisis subsitensi di tingkat petani, termasuk
rasionalitas petani, tetapi juga karena terbukanya kesempatan akibat adanya
reformasi 1998 di Indonesia.
Gerakan petani Banjaranyar yang kemudian bergabung dengan Serikat
Petani Pasundan (SPP), telah merubah gerakan petani Banjaranyar baik itu dari
segi organisasi gerakan, strategi gerakan, dan kepemimpinan gerakan. Semula
gerakan petani Banjaranyar lebih bersifat ke dalam, dengan persatuan sebagai
strategi utamanya. Setelah bergabung dengan SPP, gerakan petani Banjaranyar,
menjadi lebih terbuka dengan berbagai kekuatan sosial lain, baik di dalam ataupun
di luar desa. Hingga tahun 2010, terdapat beberapa kelembagaan di Desa
Banjaranyar, yang dapat dikatakan sebagai hasil dari hubungan tersebut, seperti
koperasi kredit, organisasi wanita dan leyit.
DINAMIKA GERAKAN PETANI :
KEMUNCULAN DAN KELANGSUNGANNYA
(DESA BANJARANYAR KECAMATAN BANJARSARI KABUPATEN CIAMIS)

Oleh
Mochammad Fajrin
I34061767

SKRIPSI
Sebagai Syarat Untuk Mendapatkan Gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKUTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyetakan bahwa Skripsi yang disusun oleh :


NAMA MAHASISWA : Mochammad Fajrin
NRP : I34061767
PROGRAM STUDI : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
JUDUL : Dinamika Gerakan Petani, Kemunculan dan
Kelangsungannya (Desa Banjaranyar, Kecamatan
Banjarsari, Kabupaten Ciamis)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Dr. Satyawan Sunito


NIP. 19520326 199103 1 001

Mengetahui,
Ketua Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS


NIP. 19550630 198103 1 003

Tanggal Lulus : ______________


LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG


BERJUDUL “DINAMIKA GERAKAN PETANI, KEMUNCULAN DAN
KELANGSUNGANNYA (DESA BANJARANYAR, KECAMATAN
BANJARSARI, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT)” BELUM PERNAH
DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH
GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA
SKRIPSI INI BENAR – BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK
MENGANDUNG BAHAN – BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN
YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Mei 2011

Mochammad Fajrin
RIWAYAT HIDUP

Mochammad Fajrin (penulis) lahir di Jakarta, 2 Desember 1988. Penulis


merupakan anak tunggal dari pasangan M. Yamin dan Elly Z.
Penulis memulai jenjang pendidikan dengan memasuki Taman Kanak – Kanak
(TK) Putra Setia pada tahun 1992 – 1994. Setelah itu, penulis menyelesaikan Sekolah
Dasar (SD) di SD Perguruan Cikini, Jakarta pada tahun 1994 – 2000, Sekolah
Menengah Pertama (SMP) di SMPN 1, Jakarta pada tahun 2000-2003, dan Sekolah
Menengah Umum (SMU) di SMUN 68, Jakarta pada tahun 2003- 2006. Setelah lulus
dari jenjang SMU penulis melanjutkan studi di Intitut Pertanian Bogor pada tahun 2006
melalui jalur SPMB. Pada tahun kedua di IPB penulis memilih melanjutkan studi pada
jurusan Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Intitut Pertanian Bogor.
Semenjak memasuki jenjang pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor,
terdapat berbagai kegiatan dan organisasi yang pernah dikuti oleh penulis. Pada tahun
kedua, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Komunikasi dan
Pengambangan Masyarakat (HIMASIERA) dan masuk menjadi salah satu staf di divisi
fotografi dan cinematografi. Pada periode selanjutnya, penulis dipercaya sebagai ketua
HIMASIERA untuk periode 2008-2009. Bersama kawan – kawan dari fakultas lain,
penulis mendirikan organisasi perfilman dalam kampus yaitu Agriculture Filmmaker
Community (AFC) dan dipercaya sebagai ketua pelaksana dalam program kerja
pemutaran film lingkungan di tiga fakultas, yaitu Fakultas Kehutanan, Fakultas
Teknologi Pertanian, dan Fakultas Perikanan. Beberapa waktu setelahnya, penulis aktif
menjadi volunteer di FORCI – Dev, Fakultas Kehutanan IPB. Saat ini penulis aktif
menjadi editor lepas di penerbitan dan percetakan Firdaus, Jakarta.
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
berkahnya, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditujukan
untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Adapun judul dari
skripsi ini ialah Dinamika Gerakan Petani, Kemunculan dan Kelangsungannya (Desa
Banjaranyar, Kecamatan Banjarasari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat).

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui perihal apa dan bagaimana gerakan
petani di Desa Banjaranyar, khususnya yang berkaitan dengan kemunculan dan
kelangsungan gerakan petani. Meskipun sungguh disadari oleh penulis, penelitian kali
ini boleh jadi tidak berarti apa – apa di dalam perkembangan studi – studi meengenai
gerakan petani di Indonesia, tetapi besar harapan penulis, bahwa penulisan skripsi ini
dapat menambah pengetahuan diri dan orang – orang di sekitar penulis prihal
permasalahan gerakan petani.

Bogor, Mei 2011

Mochammad Fajrin
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan
izin-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Dinamika Gerakan Petani,
Kemunculan dan Kelangsungannya”. Penulis sangat bersyukur karena penyusunan
Skripsi ini dapat rampung tempat pada waktunya dan sesuai dengan yang direncanakan.
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dosen Pembimbing Skripsi, Dr. Satyawan Sunito yang telah membimbing dengan
penuh kesabaran, memberi saran dan kritik yang membangun, serta motivasi
sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Kepada orang tua penulis M. Yamin dan Elly Z. yang telah menyayangi, memberi
dukungan dengan berbagai cara, serta dengan sabar menunggu penulis karena jarang
singgah ke rumah.
3. Kepada sahabat saya Ahsana Riska, yang dengan sabar mau menjadi teman saya
berbagi pemikiran, memberikan semangat, dan segala bantuan yang saya tidak
mampu untuk menyebutkannya satu persatu.
4. Kepada Yusup Napiri Maguantara (Mas Yusup), Agus Budi Wibowo (Mas
Bagong), Ari Mulyono (Mas Ari), karena telah dengan sangat baik mau
meminjamkan buku yang sangat banyak, memberi nasihat dan kritik yang sangat
berguna, ilmu – ilmu hidup yang sangat beragam, dan dengan sangat sabar mau
mendengarkan argumen - argumen dari penulis.
5. Kepada teman – teman di Serikat Petani Pasundan (SPP), Kang Arif, Kang
Agustiana, Kang Jek, Ibu Wati, Bapak Oman, Bung Hermawan , yang dengan
sangat baik mau memberikan tumpangan tempat tinggal, asupan makanan yang enak
– enak, dan segala macam informasi yang resmi ataupun tidak.
6. Kepada teman – teman kontrakan dan tetangga, Raditya M. Rachman, Hafid Faris
Hakim, Anom Kalbuadi, yang dengan sabar mau menjadi teman satu lingkungan
tinggal dengan saya. Dan tidak lupa kepada Bapak Mayor dan keluarga, tetangga
sebelah rumah, karena sudah memberi inspirasi dengan gaya ketentaraannya.
7. Kepada teman – teman penulis di Jurusan Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Tya, Irena, Dea, Cecep, Azis, Untung, Irfan, Risman, Lintang, Ina.
Kebersamaan dan segala kenangan yang begitu banyak dan sangat berharga sungguh
sangat berbekas pada diri saya.
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
menyelesaikan Skripsi ini

Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga


Skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Mei 2 011

Penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………………………………..…………………........................ i
DAFTAR TABEL.............................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN…………….……………………………………….. 1
1.1. Latar Belakang…………………………………...........……………. 1
1.2. Perumusan Masalah..………………......……………………..…….. 4
1.3. Tujuan Penelitian..…………………….……...………………..…… 5
BAB II TINJAUAN TEORITIS.………...……………………………………. 6
2.1. Tinjauan Pustaka................................................................................ 6
2.1.1. Petani dan Tanah.......................................………................... 6
2.1.1.1 Makna Tanah Bagi Petani............................................ 7
2.1.2. Sumber Radikalisasi Petani..................................................... 9
2.1.3. Pengorganisasian Petani.......................................................... 13
2.1.3.1 Organisasi Gerakan...................................................... 16
2.1.3.2. Kepemimpinan............................................................ 19
2.1.4. Gerakan Petani............................................................ 22
2.1.4.1. Gerakan Petani di Indonesia....................................... 24
2.2. Kerangka Pemikiran.......................................................................... 28
2.3. Definisi Konseptual.......................................................................... 29
BAB III PENDEKATAN LAPANG................................................................. 32
3.1. Jenis Penelitian…….....…………….....………………………....... 32
3.2. Unit Analisis.............................................………………………… 33
3.3. Teknis Pengumpulan Data.............………………………............... 34
3.4. Taknis Analisis Data..................................………………………… 35
3.5. Sistimatika Penulisan.................................………………................ 35


 
BAB IV LATAR BELAKANG KEMUNCULAN GERAKAN PETANI....... 37
4.1. Desa Banjaranyar….....…………...…………………………........ 37
4.2. Sejarah tanah Perkebunan di Desa Banjaranyar.......…………….... 40
4.2.1. Pembukaan Perkebunan Kopi....………………………....... 40
4.2.2. Perkebunan Agris NV.......................……………………… 42

4.2.3. Periode Pasca Kemerdekaan................…………………..... 47


4.2.4. Era Orde Baru........................................................................ 49
4.3. Pengorganisiran Petani Banjaranyar dan Aksi Perebutan Tanah...... 50
4.3.1. Pertemuan Dengan Agustiana................................................. 54
4.4. Makna Tanah Bagi Petani Banjaranyar............................................. 55
BAB V GERAKAN PETANI BANJARANYAR............................................ 58
5.1. Organisasi Gerakan............................................................................ 58
5.2 Strategi Gerakan................................................................................ 62
5.3. Kepemimpinan.................................................................................. 67
BAB VI KELANGSUNGAN GERAKAN PETANI BANJARANYAR......... 71
6.1. Redistribusi Tanah............................................................................. 71
6.2 Sistem Kebun.................................................................................... 72
6.3. Organisasi Wanita............................................................................. 75
6.4. Koperasi............................................................................................ 76
6.5. Lumbung (leyit)................................................................................. 78
6.6. “Aku” Anggota SPP.......................................................................... 80
BAB VII PENUTUP.......................................................................................... 83
7.1. Implikasi Teoritis............................................................................... 83
7.2. Kesimpulan........................................................................................ 88
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 91

ii 
 
DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

Tabel 1. Stakeholder Pada Kasus Petani Desa Banjaranyar, Tahun 2010. 33


Tabel 2. Jumlah Kepala Keluarga Petani menurut Luas Lahan yang Dimiliki,
Desa Banjaranyar, Tahun 2005......................................................... 38
Tabel 3. Jumlah Produksi Kopi Hindia Belanda Dalam pikul, Perkebunan
Pemerintah dan Swasta Tahun 1895 – 1909...................................... 45

iii 
 
DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

Gambar 1. Kerangka Pemikiran....…..…………………………………....... 29


Gambar 2. Peta Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari............................. 39
Gambar 3. Produksi Kopi Priyangan, Batavia, dan Sekitarnya, Tahun 1796
– 1810........................................................................................... 42
Gambar 4. Struktur Organisasi Serikat Petani Pasundan (SPP)....................... 60
Gambar 5. Struktur Organisasi Koperasi Kredit.............................................. 77

iv 
 
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejarah adalah kuburan, begitu kata Vilfredo Pareto (Wiradi,1984), tetapi


tanpa sejarah,“apakah mungkin kita berada disini” ? Dalam sejarah panjang
Indonesia, semenjak masa kolonial hingga saat ini, dapat dilihat bagaimana petani
selalu mewarnai dinamika sejarah bangsa. Diterbitkannya undang – undang
agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870 oleh pemerintah kolonial menjadi
tonggak penting bagi sejarah petani di Indonesia. Dengan adanya undang –
undang tersebut, pemerintah kolonial dapat memberikan keleluasaan kepada
pengusaha swasta asing untuk dapat menyewa tanah dalam waktu yang panjang
dan dengan harga yang murah.

Semenjak saat itu, aliran modal swasta asing deras mengalir membanjiri
Indonesia. Perkebunan – perkebunan swasta besar mulai bermunculan di
Sumatera dan Jawa. Hal ini memberi dampak yang signifikan bagi kehidupan
petani. Karena tidak sedikit dari tanah – tanah perkebunan tersebut, pada mulanya
merupakan tanah garapan milik petani. Pada gilirannya, kebijakan tersebut
menjadi salah satu pemicu munculnya aksi – aksi perlawanan petani. Seperti yang
dituliskan Kuntowijoyo dan Kartodirdjo bahwa, radikalisasi petani pada era
kolonial terjadi karena pengambilan tanah oleh Pemerintah Kolonial untuk
kepentingan aktivitas usaha perkebunan. (Kartodirdjo, 1984; Kuntowijoyo, 1997).

Ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang ada pada


masa kolonial menjadi salah satu pemicu dikeluarkan kebijakan penataan agraria
pada masa orde lama (1945 – 1965). Selama pemerintahan Soekarno, rakyat mulai
merasakan adanya kebebasan (Fauzi, 1999). Hal ini ditandai dengan terbukanya
ruang yang cukup lapang bagi petani untuk membentuk organisasi ditingkat akar
rumput sehingga partisipasi politik ormas petani terbuka luas. Dikeluarkannya
Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA 1960) sebagai salah satu kebijakan
pemerintah Soekarno, diakui secara legal sebagai landasan hukum pertanahan
yang sah. Meskipun pada tahap pelaksanaannya pelaksanaan UU tersebut

1
 
terhambat baik karena masalah administratif, korupsi, maupun oposisi dari tuan
tanah.

Arah kebijakan agraria berubah pada masa pemerintahan Presiden


Soeharto, rezim ini mempunyai asumsi yang berbeda dalam melihat pembangunan
(Fauzi, 1999). Pada era Orde Baru (1965 – 1998) persoalan land Reform dijadikan
hanya sebatas pada masalah teknis birokrasi dan juga menghapus semua
legitimasi ormas petani dalam program land reform. Dikeluarkannya Undang -
Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menghapus proses
politik partisipatif orang desa dan perlibatan militer dalam pengawasan
pembangunan desa. Pada prakteknya hal ini memotong massa desa dengan partai
politik, sehingga kegiatan politik pada tingkatan desa hanya pada saat pemilu
semata. Nasib petani di Pedesaan semakin terpuruk ketika ideologi
developmentalism menjadi pilihan paradigma pembangunan rezim Orde Baru
yang pada kenyataannya sangat problematik bagi petani dengan ditopang investasi
modal asing secara besar – besaran melalui industrialisasi, yang dalam
operasionalsilasinya sangat memerlukan ketersediaan tanah (Fauzi, 2001).

Adanya pemberian hak pengelolaan kawasan oleh pemerintah kepada


pihak swasta atupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang marak pada masa
Orde Baru, merupakan bentuk konversi dari hak erfpacht yang ada pada massa
kolonial. Sejalan dengan itu, Mustain (2007) menyatakan bahwa pengelolaan
HGU tersebut dalam praktiknya sering terjadi penyimpangan peruntukan,
penguasaan, dan pengasingan terhadap masyarakat sehingga memicu manifestasi
konflik.

Kejatuhan pemerintahan Orde Baru menciptakan ketidakstabilan di bidang


politik dan ekonomi, baik itu pada tingkat pusat atupun daerah. Sudah menjadi ciri
rezim otoriter modern bahwa ketika pusat tidak dapat bertahan, maka segalanya
akan berantakan dengan begitu cepat. (Simon Philpott, 2003). Krisis ekonomi
pada pertengahan tahun 1997 mendesak lahirnya gagasan reformasi. Reformasi
membuka ruang yang lebih besar bagi rakyat dalam menyuarakan aspirasinya,
terutama dengan dukungan dari banyaknya organisasi non pemerintah yang
memang pesat juga perkembangannya diseluruh dunia pada awal tahun 1990-an

2
 
(Hulme dan Edward, dalam Pinky, 2007). Semangat reformasi tidak hanya
dirasakan oleh mahasiwa dan berbagai elemen masyarakat yang melakukan aksi
turun ke jalan di kota – kota besar, tetapi juga dirasakan pada masyarakat di
tingkat akar rumput. Salah satu bentuknya, mengejawantah dalam aksi perebutan
tanah yang dilakukan oleh masyarakat atas tanah – tanah yang pernah menjadi
tanah garapan penduduk, seperti pada kasus wonosobo, kasus Tapos, dan kasus
Desa Keprasan Gunung Kelud.

Kasus perebutan tanah yang ada di Desa Banjaranyar, gerakan yang ada
mulai terorganisir pada tahun 1998. Hal ini ditandai dengan adanya pendataan
jumlah kepala keluarga desa, pembuatan peta daerah reclaim, dan pembentukan
organisasi gerakan pada tingkat lokal desa1. Apabila kita sejajarkan dengan
periode waktu pembagian gerakan petani di Indonesia. Gerakan yang ada di Desa
Banjaranyar bersamaan dengan terjadinya reformasi pada tahun 1998, yang
ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto dari tampuk kepmimpinan.

Tanah yang ada di Desa Banjaranyar merupakan tanah milik negara yang
dikelola oleh PT RSI. PT RSI sendiri merupakan sebuah perusahaan perkebunan
swasta yang dimiliki Bambang Trihatmojo, putra dari Soeharto, Presiden kedua
Republik Indonesia. PT RSI mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) dari
pemerintah atas tanah seluas 750 hektar.

Adanya gerakan yang terorganisir di dalam Desa Banjaranyar pada tahun


1998 dapat dilihat sebagai salah satu gejala sosiologis, dimana tersedianya sebuah
kondisi kondusif di dalam masyarakat yang memungkinkan terjadinya suatu aksi
perlawanan petani. Karena, sebuah aksi perlawanan petani tidak mungkin terjadi
pada kondisi yang tidak mendukung (Wolf, 1969). Mengapa dan bagaimana
perlawanan petani yang di Desa Banjaranyar, hal tersebutlah yang mendasari
dilakukannya penelitian kali ini.

Pertanyaan perihal “mengapa dan bagaimana aksi perlawanan petani


secara terbuka dapat terjadi hingga saat ini” dapat diperjelas dengan
menurunkannya menjadi sebuah pertanyaan besar yaitu “mengapa dan bagaimana
                                                            
1
 Komunikasi pribadi penulis dengan salah satu tokoh masyarakat Desa Bangun Karya, pada Studi
pendahuluan yang dilaksanakan pada bulan Februari 2010.

3
 
petani di Desa Banjaranyar dapat merebut dan mempertahankan tanah”. Apabila
dilihat dari sisi prosesnya dapatlah dipilah menjadi dua bagian, terjadinya
“kemunculan” dari aksi perebutan tanah dan “keberlanjutan” dari aksi perlawanan
tersebut.

Proses kemunculan dari gerakan ini dapat menunjukan dua hal secara
sekaligus, yaitu penyebab atau asal usul (kajian historis) terjadinya aksi perebutan
tanah oleh petani dan kondisi masyarakat secara keseluruhan. Proses
keberlanjutan dari gerakan sebagai aksi petani untuk mempertahankan tanah,
dapat menunjukan perkembangan gerakan petani berserta kaitaannya dengan
berbagai kekuatan sosial lain baik di dalam atau di luar desa.

1.2 Perumusan Masalah

Seperti yang telah dipaparkan diawal, penelitian kali ini mengkaji


kemunculan dan kelangsungan gerakan petani di Desa Banjaranyar, Kecamatan
Banjarsari, Kabupaten Ciamis.

Secara lebih spesifik dapat diuraikan menjadi beberapa pertanyaan analitis,


yaitu:

1. Bagaimana latar belakang dan proses perebutan tanah yang dilakukan


oleh petani di Desa Banjaranyar ?
2. Berkaitan dengan kemunculan (pra – reclaiming) gerakan petani, apa
makna tanah bagi petani di Desa Banjaranyar ?
3. Pertanyaan perihal kelangsungan (faktor – fakor internal dan eksternal)
gerakan petani dalam rangka mempertahankan tanah :
• Bagaimaana perkembangan gerakan petani di Desa
Banjaranyar pasca terjadinya aksi perebutan tanah ?
• Bagaimana hubungan gerakan petani Banjaranyar dengan
berbagai kekuatan sosial baik itu di dalam ataupun di luar desa
Banjaranyar ?

4
 
1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : i) latar belakang dan proses


perebutan tanah di Desa Banjaranyar. ii) apa makna tanah bagi petani
Banjaranyar, berkaitan dengan kemuculan gerakan petani (pra-reclaiming). iii)
perkembangan gerakan petani Banjaranyar, beserta hubungan gerakan petani
dengan berbagai kekuatan sosial baik di dalam dan si luar desa.

5
 
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Petani dan Tanah
Moore (1966), mencirikan petani sebagai kelompok yang berbeda dengan
kelompok masyarakat yang lain, dengan melihat posisinya sebagai golongan yang
tersubordinasi serta mempunyai budaya yang tersendiri. Sejalan dengan hal
tersebut Shanin (1971) dalam tulisan yang berjudul Peasantry as a Political
Factor, mendefinisikan petani sebagai produsen pertanian skala kecil yang
menggunakan peralatan yang sederhana dan mengerjakan lahan dengan tenaga
kerja keluarga, dimana hasil produksi sebagian besar digunakan untuk konsumsi
pribadi dan untuk memenuhi kewajiban mereka kepada pemegang kekuatan
politik dan kekuatan ekonomi.
Shanin (1966) berpendapat bahwa, apabila komoditas atau hasil produksi
pertanian dapat dipertemukan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dari rumah
tangga petani akan mencipkan kemerdekaan relatif pada diri petani terhadap
produsen pertanian lain dan pasar. Hal tersebut akan berujung pada terciptanya
stabilitas relatif dalam rumah tangga petani, yang apabila terjadi krisis, mereka
dapat mempertahankan keberadaannya dengan cara meningkatakan usaha kerja,
menekan konsumsi mereka sendiri, ataupun mengatur kembali hubungan mereka
dengan pasar.
Di dalam konteks reforma agraria, tanah menempati posisi yang teramat
penting. Meskipun apabila kita merujuk pada Undang Undang Pokok Agraria,
kata agraria tidak semata – mata dalam artian tanah semata tetapi juga air, udara,
dan ruang angkasa serta segala sesuatu yang terkandung di dalamnya. Kata tanah
mendapatkan penekanan lebih karena dianggap menaungi kesemua hal tersebut.
Redistribusi tanah atau membagi kembali tanah kepada masyarakat
bukanlah reforma agraria. Redistribusi tanah merupakan salah satu jalan yang
dapat ditempuh dalam rangka menjalankan program reforma agraria. Istilah
reforma agraria sendiri merupakan upaya penataan atau perombakan penguasaan
sumberdaya agraria yang adil dan menyeluruh. Reforma agraria tidak hanya

6
 
sebatas redistribusi tanah melainkan juga perombakan tatanan sosial ekonomi
politik yang lebih luas (Wiradi, 2000). Pandangan ini menempatkan reforma
agraria dalam konteks perubahan struktur mendasar dan perubahan institusi
(aturan, nilai, dan norma), sehingga reforma agraria seharusnya tidak sepotong –
sepotong dan hanya berwujud pembagian tanah tetapi merupakan perombakan
besar pada struktur sosial ekonomi politik yang terkait dengan tanah pada
kehidupan petani.
Semangat reforma agraria di Indonesia dipercaya merujuk pada paham neo
– populis yang dipopulerkan oleh A.V. Chayanov (Chrysantini, 2005). Neo –
populis melihat bahwa satuan ekonomi rumah tangga merupakan bentuk ekonomi
yang efisien. Oleh karena itu setiap rumah tangga petani wajib menguasai tanah
meskipun kecil. Raforma agraria di Indonesia yang tercermin dalam Undang
Undang Pokok Agraria memiliki semangat untuk memperkuat fondasi ekonomi di
level masyarakat desa, dengan penekanan pada kepemilikan tanah.
Petani memiliki peran vital dalam perkembangan sejarah dunia, khususnya
Indonesia. Apabila kita telisik jauh kebelakang, dalam sejarah masyarakat
Indonesia, terutama dalam sejarah Jawa Abad XIX, pemberontakan petani yang
oleh penjajah dianggap sebagai wabah atau penyakit sosial merupakan bukti
bahwa petani memiliki peran penting dan posisi politik yang diperhitungkan
dalam perkembangan sejarah Indonesia (Sadikin, 2005).

2.1.1.1 Makna Tanah Bagi Petani


Bagi petani tanah tidak hanya sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga
bermakna sosial dan keamanan. Secara ekonomi tanah merupakan tempat sumber
makanan, tempat mencari penghidupan, sebagai tempat melakukan aktivitas
produktif, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani. Secara
sosial tanah berarti eksistensi diri, sebagai tempat untuk menemukan dirinya
secara utuh, bahkan tanah merupakan simbol status sosial di dalam masyarakat.
Di dalam makna keamanan, tanah akan membawa rasa aman tertentu bagi petani
jika sesuatu terjadi pada diri mereka, yang berarti tanah membawa efek psikologis
bagi petani.

7
 
Tanah menempati kedudukan strategis dalam kehidupan petani, karena
tanah merupakan modal utama, disanalah tempat atau pangkal dari budaya petani
itu sendiri. Ketika kemudian tanah dapat dimiliki dan diwariskan oleh para petani,
tanah memiliki nilai yang begitu besar. Didalam beberapa kebudayaan, tanah
bahkan dipandang sebagai sikep (istri) kedua (Bahri, 1999).
Bahri (1999) menyatakan, jika menempatkan penekanan pada gerakan
petani dan hubungannya dengan tanah, maka dengan sendirinya akan
memperlihatkan cara – cara pemaknaan petani terhadap tanah. Makna tanah bagi
petani akan tergambar dalam nilai – nilai yang mereka anut atau percayai. Di
dalam kasus gerakan petani yang ada pada era 1980an, memperlihatkan bahwa
petani memberikan makna yang bersifat ideologis terhadap tanah. Petani
mempertahankan tanah bukan hanya karena nilai komoditasnya, tetapi merupakan
akumulasi dari nilai – nilai ideologis yang membentuknya. Petani tanpa tanah
serasa bukan menjadi petani lagi, tanah merupakan warisan dari leluhur yang
harus dijaga keberadaannya (nilai sakral), tanah secara utuh merupakan gambaran
eksistensi dari si petani itu sendiri.
Pemaknaan petani terhadap tanah juga dapat dilihat dari pola kehidupan
(livelihood) dari petani itu sendiri. Thennakoon (2002) dalam sebuah tulisan yang
berjudul Rural Livelihood Strategi and Five Capital : A Comparative Study in
Selected Villages in Sri Langka, menyatakan bahwa di dalam segala aktivitas yang
dilakukan petani di pedesaan seperti bercocok tanam, perburuhan, penjualan kayu,
pertambangan, penyimpanan hasil produksi pertanian dan perdagangan
kesemuanya berkaitan erat dengan tanah. Tanah merupakan bagian penting bagi
petani. Karena tanah merupakan penopang kehidupan petani. Berkurang atau
direbutnya tanah yang dimiliki petani akan membuat mereka tidak dapat
memenuhi kebutuhan subsistensinya. Kalau tanah sulit untuk didapatkan atau
tidak cukup maka salah satu jalan yang ditempuh adalah berkerja semakin keras
atau mengintensifikasikan produksi pertanian.
Sehingga dapatlah dikatakan bahwa tanah bagi petani, seperti halnya
tenaga kerja (Labor), merupakan biaya tetap (fixed cost) yang menjadi aset mutlak
agar petani bisa memenuhi kebutuhan subsistensi keluarganya (Chrysantini,
2005). Di dalam pandangan neo – populis, ukuran luas tanah minimal yang dapat

8
 
dimiliki petani amat dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga. Hal inilah yang
kemudian disebut sebagai labor – consumer balance yaitu petani bertindak
sebagai produsen sekaligus sebagai konsumen, memperhitungkan efisiensi
pemilikan atau penguasaan tanah sesuai dengan kebutuhan hidup minimum
berdasarkan jumlah anggota keluarganya (Kitching, 1982).
Petani tidak dapat ditempatkan pada pilihan yang dikotomis di dalam
pemaknaan mereka terhadap tanah. Tanah bagi petani memiliki makna yang
multidimensional. Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi
yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara sosial tanah dapat
menetukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga,
sebagai budaya dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya.
Keempat, tanah bermakna sakral karena berurusan dengan warisan dan masalah –
masalah transendental (Handayani, 2004)

2.1.2 Sumber Radikalisasi Petani


Awal abad ke-20, bermunculan kajian gerakan sosial di Indonesia yang
lebih menonjolkan pada gagasan atau simbol gerakan mesianik, seperti mitos akan
datangnya Ratu Adil atau juru selamat. Dalam tulisan Drewes, seperti yang
dikutip oleh Bahri (1999), gerakan sosial di Jawa banyak diawali oleh para ulama
yang pada mulanya hanya menyebarkan agama Islam tetapi pada kemudian
berkembang menjadi gerakan perlawanan rakyat terhadap pemeritah kolonial.
Ajaran – ajaran yang mereka kembangkan, harapan – harapan mesianik dan
eskatologi menjadi motivasi utama dalam gerakan perlawanan. Para ulama yang
berperan sebagai motor penggerak petani banyak menanamkan harapan – harapan
akan datangnya sang juru selamat atau Ratu Adil. Hal senada juga dapat kita lihat
pada perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Samin di Jawa Tengah.
Studi yang ada pada awal abad 20 banyak membahas latar belakang dan
nilai – nilai yang dianut oleh para pelaku pemberontakan, motivasi – motivasi
subyektif menjadi aspek utama yang dikaji. Dilain pihak latar belakang sosial
ekonomi dan politik yang berkembang pada saat itu, serta pada lapisan mana
ajaran tersebut tumbuh subur tidak terlalu dibahas. Dengan kata lain aspek
sosiologis dari gerakan tersebut tidak terlalu dimunculkan (Bahri, 1999).

9
 
Studi yang dilakukan oleh Scott (1974 dan 1989) dan Popkin (1976), di
pedesaan Asia, mengenai maraknya gerakan perlawanan petani pada masa
kolonial, memperlihatkan terdapatnya empat faktor utama penyebab kemarahan
kaum tani, yaitu perubahan struktur Agraria, meningkatnya eksploitasi,
kemerosotan status sosial, dan desprivasi relatif.
Perubahan struktur agraria di pedesaan Asia, khususnya Jawa, dipengaruhi
adanya sistem kolonialisme. Melalui kolonialisme, desa – desa di Asia terintegrasi
dengan sistem kapitalis dunia. Penduduk desa di Asia pada massa pra-kapitalis
merupakan sebuah unit rumah tangga yang bertumpu pada tingkat subsisten.
Eksploitasi kolonial ditambah dengan tekanan demografi yang semakin
meningkat, mengakibatkan rusaknya pola – pola yang sudah ada, serta
mengkhianati sendi - sendi moral ekonomi petani yang didasarkan pada etika
subsistensi (Scott, 1976).
Kartodirjo (1991) berpendapat bahwa terdapat dua transformasi penting di
era kolonial. Pertama, pengalihan secara besar – besaran disektor pertanian, dari
yang semula merupakan pertanian subsistem menjadi pertanian yang berorientasi
ekspor. Kedua, dibentuknya negara modern yang ditopang oleh birokrasi dan
militer untuk mengontrol wilayah jajahan. Salah satu bentuk transformasi tersebut
mengejawantah dalam bentuk perkebunan – perkebunan besar. Pengenalan sistem
pertanian modern dalam bentuk perkebunan berimplikasi pada meningkatnya
kebutuhan atas tanah dan tenaga kerja. Penguasaan tanah semakin terlepas dari
tangan penduduk, mereka yang tidak memiliki tanah beralih menjadi penggarap
buruh tani upahan dan buruh perkebunan.
Kolonialisme dan masuknya ekonomi uang berangsur – angsur telah
menghapus jaminan sosial yang ada pada masa pra-kapitalis. Transformasi agraria
yang terjadi telah menghilangkan jaring pengaman sosial keluarga – keluarga
petani miskin dari bencana kelaparan. Kedermawanan sosial yang semula ada
pada masa bagi hasil, kini tidak lagi berlaku umum. Pemerintah kolonial sama
sekali tidak memberikan perlindungan kepada para petani miskin terhadap
fluktuasi pasar (Kartodirjo, 1984).
Hal yang menarik justru terlihat dalam karakteristik petani itu sendiri.
Keadaan yang sudah sedemikian buruk ternyata belum cukup untuk membuat

10
 
petani berontak untuk melawan. Sifat evolusi petani yang amat sangat terbiasa
hidup dalam kesusahan membuat mereka sudah tertempa untuk dapat
mempergunakan berbagai cara untuk mempertahankan tingkat subsistensi mereka.
Bentuk dari adaptasi petani dalam menghadapi keadaan di sekelilingnya dapat
dilakukan dengan berbagai cara, seperti intensifikasi kerja, migrasi jangka pendek,
mengurangi konsumsi atau mengubah pola konsumsi, dan memecah keluarga
besar menjadi keluarga – keluar kecil untuk mengurangi beban mulut yang
ditanggung (Shanin, 1966).
Aksi perlawanan petani baru dapat terjadi apabila terjadi kemerosotan
ekonomi secara mengejutkan, dimana hal tersebut dibarengi dengan peningkatan
eksploitasi yang dilakukan oleh negara atau tuan tanah. Ekploitasi yang dilakukan
secara berkelanjutan dengan kualitas yang terus meningkat, menimpa banyak
petani, dan hampir terjadi diseluruh wilayah, serta dapat mengancam jaring
pengaman sosial mereka atas sumber – sumber subsistensial, maka besar sekali
kemungkinan eksploitasi tersebut mencetuskan sebuah aksi perlawanan.
Scott (1976) mencoba menjelaskan bahwa lingkup dan sifat dari kejutan –
kejutan eksploitasi memiliki arti penting. Besarnya lingkup kejutan atas
eksploitasi dapat menjadi suatu alasan kolektif petani dalam jumlah besar untuk
bertindak. Terlebih lagi, apabila kejadian tersebut datang secara tiba – tiba
sehingga petani sulit untuk melakukan adaptasi dalam menghadapi beban
tambahan dan tingkat subsistensinya.
Pemberontakan yang terjadi di pedesaan Jawa sebagian besar disebabkan
karena pengambilalihan tanah dalam jumlah yang sangat banyak untuk digunakan
usaha – usaha perkebunan. Ketika dunia dilanda depresi besar pada tahun 1930-an
yang juga amat berdampak pada struktur perekonomian kolonial, terjadi ratusan
pemberontakan petani dalam rangka menentang pungutan pajak yang dilakukan
oleh negara (Kuntowijoyo, 1993).
Noer Fauzi (1999) berpendapat bahwa, pada massa pemerintahan Orde
Baru terdapat sejumlah penyebab yang dikemudian hari dapat menjadi pemicu
terjadinya gerakan petani. Pertama, pemerintah mewajibkan petani
mempergunakan unsur-unsur revolusi hijau demi tercapai dan terjaganya
swasembada beras. Isu yang terkait dengan hal ini seperti: i) pihak petani ingin

11
 
mempertahankan penggunaan bibit dan pengelolaan padi secara tradisional, ii)
kesempatan kerja yang menyempit karena penggunaan traktor dan mekanisme
tebasan, iii) harga pupuk dan pestisida yang naik tidak sebanding dengan kenaikan
harga gabah, iv) Kredit Usaha Tani (KUT) yang tidak mampu terbayarkan, v)
praktek Koperasi Unit Desa (KUD).
Kedua, perkebunan-perkebunan mengambil alih tanah-tanah yang
sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Isu yang terkait seperti: i) penolakan petani atas
pencerabutan hubungannya dengan tanah, ii) ganti rugi tanah yang tidak memadai,
iii) proletarisasi petani, karena hilangnya hubungan dengan tanah, iv) pemukiman
kembali (resetlement), petani yang tergusur sama sekali dari tanahnya. Variasi
konflik agraria ini, adalah konflik perkebunan dengan petani dalam hubungan
intiplasma dalam program Perusahaan Inti Rakyat-Perkebunan (PIR-Bun). Isu
yang muncul antara lain: i) pengambilan tanah-tanah produktif rakyat petani untuk
PIR - Bun, ii) tercerabutnya rakyat petani dari tanahnya sendiri, menjadi ‘buruh di
tanah sendiri’, iii) langkanya penyuluhan dari pihak perkebunan inti, sehingga
tidak terjadi transfer of technology, iv) rendahnya produktivitas lahan yang
dikelola oleh plasma, v) monopoli pemasaran hasil-hasil komoditi oleh pihak inti,
vi) penentuan harga komoditi yang lebih rendah dari harga pasar, vi) proses kredit
yang tidak diketahui oleh petani plasma dan jumlah hutang yang tidak bisa
terbayarkan, dan vii) korupsi hak petani plasma, baik oleh oknum inti maupun
pihak perantara lainnya.
Ketiga, terdapat sejumlah kasus di mana pemerintah melakukan
pengambilalihan (penggusuran) tanah yang mengatasnamakan “program
pembangunan”, baik oleh pemerintah sendiri maupun swasta. Isu yang terkait
seperti: i) penolakan penduduk untuk menyerahkan tanah garapannya, ii) ganti
rugi yang tidak layak, dan iii) pemukiman kembali penduduk (resetlement) yang
tidak memadai.
Keempat, konflik akibat eksploitasi hutan. Isu yang muncul adalah: i)
penolakan petani untuk keluar dari tanah yang diklaim, ii) kehancuran sumber
daya subsistensi masyarakat adat, iii) penyediaan sumber ekonomi dan
pemukiman alternatif yang memadai, serta iv) kemunduran kualitas ekologis di
tingkat lokal hingga global.

12
 
2.1.3 Pengorganisasian Petani
Petani pada dasarnya tidak mempunyai keinginan untuk melakukan
perlawanan kecuali ada tekanan atau krisis yang sangat menekan mereka dan
adanya pihak luar yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut (Wolf,
1969). Pandangan perihal ketidakmampuan petani dalam mengoraganisir diri
sendiri diperkuat oleh Marx (1850) dalam Peasantry as a Class, bahwa petani
tidak dapat memperjuangkan kepentingan kelas mereka atas nama mereka sendiri.
Mereka tidak mampu merepresentasikan diri mereka kedalam sebuah kelas,
mereka harus diwakilkan. Perwakilan tersebut, pada saat yang bersamaan haruslah
bertindak sebagai pemimpin, pembuat peraturan, dan kekuatan institusional yang
dapat melindungi mereka dari tekanan kelas lain.
Scott (1976) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang perlu
diperhatikan dalam melihat keberhasilan dan kegagalan dalam sebuah gerakan
atau mobilisasi petani. Pertama, kondisi – kondisi yang mendorong timbulnya
pergerakan, kedua, faktor kepemimpinan, dan ketiga, startegi yang digunakan.
Tekanan struktural, kultural, hingga kondisi subsistensi petani yang sudah
melampaui batas toleransi, menurut Scott (1976), hal ini sudah cukup untuk
menjadi pemicu bagi petani untuk melampiaskan kemarahannya terhadap tatanan
sosial yang ada. Petani dianggap selalu bertindak atas nama kelompok, baik dalam
berproduksi, berpolitik, maupun melakukan perlawanan. Petani cenderung
memandang bahwa, petani miskin tidak bisa keluar dari strukturnya atau petani
tidak memilliki taktik dalam melakukan perlawanan.
Gerakan – gerakan perlawanan petani, pada bentuk sederhana seringkali
berpusat pada mitos tentang suatu tatanan sosial yang lebih adil dan merata
ketimbang dengan tatanan sosial yang sekarang bersifat hirarkis. Lahirnya suatu
mitos bersama tentang keadilan yang transedental sering dapat menggerakan
kaum tani untuk melakukan gerakan sosial. Mitos – mitos seperti ini
mempersatuakan kaum tani hingga mampu membentuk koalisi – koalisi petani,
meskipun tidak stabil, sangat rentan, dan hanya dipersatukan untuk sementara
waktu oleh suatu impian milenial (Wolf, 1966).
Wolf (1969) juga menyatakan bahwa petani kelas menengahlah yang
menempati posisi penting dalam mendukung gerakan revolusi petani. Petani kelas

13
 
menengah paling mudah terkena dampak penyitaan tanah, fluktuasi pasar,
tingginya tingkat bunga, dan perubahan – perubahan lain yang diakibatkan pasar
dunia. Akibatnya, petani kelas menengah selain lebih mudah menerima gerakan
revolusioner yang menjanjikan restorasi politik dan stabilitas ekonomi, juga
mempunyai basis ekonomi yang independen dan sumberdaya politik taktis yang
tidak dimiliki oleh petani miskin dan buruh tani untuk mendukung suatu gerakan
revolusioner.
Scott (1981), berpendapat bahwa kehidupan petani ditandai oleh hubungan
moral sehingga malahirkan moral ekonomi yang lebih mengutamakan
“keselamatan” dan menjauhkan diri dari bahaya. Moralitas mendahulukan
keselamatan inilah yang kemudian menjadi faktor kunci pendekatan moral
ekonomi petani dalam menjelaskan pengorganisiran petani.
Konsep lain yang dipergunakan Scott (1976) dalam menjelaskan
pengorganisiran petani adalah struktur sosial yang terdapat pada masyarakat pra-
kapitalis. Struktur sosial yang terdapat pada masyarakat ini secara horizontal
ditandai oleh homogenitas yang tinggi dan secara vertical ditandai oleh struktur
yang berbentuk krucut. Pada struktur sosial yang berbentuk kerucut, posisi puncak
strata sosial diduduki kaum elite yang berjumlah sedikit, struktur bawah diduduki
para petani penggarap dan buruh tani dengan jumlah yang banyak. Dalam struktur
masyarakat seperti ini faktor kepemimpinan memegang peran penting dalam
pengorganisiran petani.
Pendekatan moral petani, pada dasarnya berasumsi bahwa gerakan
perlawanan petani semata – mata didasari oleh moralitas tradisional yang
berorientasi ke masa lalu dan masa kini saja, sehingga ketika terjadi perubahan
yang tidak sesuai atau dirasakan akan mengancam kelangsungan kehidupan yang
telah mereka miliki, para petani kemudian mengandalkan perlawanan terbuka.
Pendekatan moral ini mendapatkan kritikan oleh Popkin (1979) yang
mengatakan bahwa petani sesungguhnya tidak terlalu mementingkan kelompok
dan mampu melakukan perlawanan atas dasar kepentingan pribadi di atas
kepentingan umum. Pengorganisiran atau mobilisasi petani memerlukan lebih dari
sekedar konsensus atau intensitas kebutuhan, dan harus ada kepentingan pribadi,
sehingga sebuah perjuangan tidak ditunggangi oleh free rider (pemboncengan).

14
 
Petani dipandang sebagai manusia – manusia rasional, kreatif dan juga ingin
menjadi kaya. Namun pada kenyataannya, petani tidak mempunyai kesempatan
sehingga tidak dapat menjual hasil pertaniannya sendiri ke pasar.
Dalam kasus petani di Vietnam, keberhasilan pengorganisiran petani
ditingkat desa, menitikberatkan pada keberhasilan penyelesaian atas masalah –
masalah lokal. Pertama – tama mereka memberikan bantuan bagi proyek – proyek
atau aktivitas yang beresiko dan berskala kecil, dimana keuntungan datang dengan
cepat dan bersifat kongkrit. Kemudian mereka mengembangkan diri dengan
mengorganisir petani pada proyek – proyek yang lebih menantang (spekulatif) dan
berskala lebih besar yang dapat memberikan keuntungan abstrak jangka panjang
(Popkin, 1979).
Popkin (1986) menyatakan bahwa, semua perlawanan petani tidaklah
dimaksudkan untuk menentang program negara (Kasus Revolusi Hijau), tetapi
lebih dimaksudkan untuk menentang kekuasaan para elite desa (Petani Kaya),
yang selama ini mengklaim mewakili komunitas tradisional, padahal lebih
bertujuan untuk mempertahankan tatanan yang lebih menguntungkan mereka.
Terdapat tiga hal penting yang dapat kita garis bawahi pada penelitian
yang dilakukan oleh Popkin (1986), antara lain : i) gerakan yang dilakukan para
petani adalah gerakan anti-feodal, bukan gerakan untuk mengembalikan tradisi
lama (restorasi), tetapi untuk membangun tradisi baru; bukan untuk
menghancurkan ekonomi pasar tetapi untuk mengontrol kapitalisme. ii) tidak ada
kaitan yang signifikan antara ancaman terhadap subsitensi dan tindakan kolektif.
iii) kalkulasi keterlibatan dalam gerakan lebih penting daripada isu ancaman kelas.
Dengan kata lain, adanya perbedaan yang jelas antara rasionalitas individu dengan
resionalitas kelompok.
Kapitalisme dan imperialisme (komersialisasi pertanian, eksploitasi,
ekonomi pasar, ekonomi uang, strata sosial baru di desa) akan menganggu
subsistensi dan tatanan sosial – ekonomi petani sehingga membuat petani bersifat
reaktif. Para petani dalam melakukan gerakan biasanya tidak terlalu meperdulikan
tujuan – tujuan umum, ideologi, sistem filosofi, teori – teori politik, dan organisasi
– organisasi yang revolusioner. Ketidakpuasan petani bersifat jelas, terbatas,
lokal, dan cenderung pragmatis. Aksi – aksi perlawanan petani biasanya untuk

15
 
memenuhi kepentingan materil. Suatu kelompok akan berpartisipasi dalam suatu
gerakan yang bersifat kolektif karena ingin mendapatkan keuntungan tertentu atau
mendapat insentif. Hal ini memperlihatkan bahwa keikutsertaan petani dalam
gerakan banyak dipengaruhi oleh jenis, bentuk dan isi harapan – harapan yang
menurutnya bakal menguntungkan (Mustain, 2007).
Olson (1971) dalam buku yang berjudul The Logic of Collective Action
mengkritik argument tersebut dengan menyatakan bahwa pergolakan petani dalam
menetang kekuatan pasar tidaklah selalu mendorong terjadinya gerakan petani.
Mereka melakukan pemberontakan atas dasar hitungan untung rugi yang
ditanggung dari ketidakpuasan atas keadaan status quo. Dari asumsi tersebut,
sangat mungkin dikembangakan sifat dan peran psikologis dalam menjelaskan
partisipasi petani dalam gerakan petani. Orang yang terlibat dalam gerakan lebih
banyak didasari oleh pilihan rasionalnya, tetapi yang menjadi pertanyaan
“mengapa pilihan rasional itu relevan di dalam aksi perlawanan petani”.
Salert (1976) dalam bukunya yang berjudul Revolution and
Revolutionaries : Four Theories, menyatakan bahwa teori rasional petani memang
memberikan pandangan yang cukup bermakna dalam pengorganisiran massa.
Tetapi, banyak orang melebih - lebihkan teori pilihan rasional dan meninggalkan
teori psikologi. Terdapat dua pengembangan teori pilihan rasional, yaitu i) teori
ini melibatkan sifat dan efek psikologis yang diperlukan untuk menjelaskan
partisipasi petani dalam aksi kolektif. ii) Pilihan petani difokuskan pada asumsi
rasionalitas yang membentuk basis teori tentang putusan sebelum membentuk aksi
koletif, perilaku revolusioner akan membentuk pengalaman sosial yang akan
mengakibatkan perubahan perilaku sebagian masyarakat.

2.1.3.1 Organisasi Gerakan


Jo Freeman (1979) dalam tulisan yang berjudul A Model For Analyzing
the Strategic Option of Social Movement Organization berpendapat bahwa
keputusan strategis dalam sebuah gerakan tidak selalu berasal dari pemimpin
gerakan atau sekumpulan elite dalam gerakan, karena sebagian besar gerakan
bukanlah subyek dari sebuah kontrol yang bersifat hirarkis. Dalam melihat
organisasi gerakan terdapat empat elemen penting yang harus diperhatikan, yaitu

16
 
i) sumberdaya yang dimobilisasi, ii) pembatasan pada pemanfaatan sumberdaya
tersebut, iii) struktur organisasi gerakan, dan iv) ekspektasi atas target yang
potensial (tujuan gerakan).
Sumberdaya yang dapat dimafaatkan dalam melakukan gerakan bisa
dibagi menjadi dua, yaitu sumberdaya terbatas dan sumberdaya tidak terbatas.
Sumberdaya terbatas termasuk uang, ruang, dan penyebaran ide dasar dari
gerakan kepada publik secara luas. Uang dapat membeli ruang, meskipun tidak
selamanya akan seperti itu. Disisi lain, uang dapat dipergunakan untuk melakukan
publikasi ide – ide gerakan, sebaliknya, publikasi juga dapat digunakan untuk
melakukan pengumpulan uang. Sedangkan sumberdaya tidak terbatas adalah
manusia itu sendiri. Pada kenyataannya, perbedaan mendasar antara organisasi
gerakan dengan perkumpulan individu yang berbasis pada suatu ketertarikan,
terletak pada pengelolaan kedua sumberdaya ini. Haruslah disadari bahwa tidak
setiap orang dapat memberikan kontribusi yang sama pada satu gerakan.
Sumberdaya yang tidak terbatas dapat dipilah menjadi dua kategori besar
yaitu manusia yang berkemampuan dan manusia yang tidak berkemampuan.
Manusia yang berkemampuan merupakan manusia yang memiliki kemampuan
untuk mengorganisir massa, manusia yang mempunyai jaringan dengan berbagai
kelompok terkait, dan manusia yang memiliki jalur kepara pengambil kebijakan.
Sedangkan manusia yang tidak berkemampuan merupakan manusia yang hanya
memiliki waktu dan komitmen kepada gerakan.
Akan lebih mudah membayangkan sumberdaya sebagai sesuatu yang
abstrak, uang misalnya, bisa digunakan untuk hampir semua kebutuhan dalam
sebuah gerakan. Sayangnya sumberdaya yang ada dalam sebuah gerakan,
bukanlah sumberdaya cair yang dapat kita gunakan seenaknya. Terdapat
“pembatasan” antara sumberdaya dengan gerakan yang bertindak seperti
penyaring. Joe Freeman (1979) membagi pembatasan dalam pemanfaatan
sumberdaya menjadi lima kategori yaitu, i) nilai yang dianut oleh gerakan, ii)
pengalaman pada masa lalu, iii) konstituen dari gerakan, iv) ekspektasi, dan v)
hubungan dengan kelompok target gerakan.
Hal ketiga yang menjadi penting dalam sebuah organisasi gerakan adalah
struktur gerakan sosial. Menurut Harper (1998), struktur adalah jejaring hubungan

17
 
sosial yang sudah mantab dimana interaksi sudah menjadi rutin dan berulang,
antara berbagai peran-sosial, group, organisasi, dan institusi yang membentuk
masyarakat tersebut. Meskipun tidak dapat kita jadikan patokan, definisi
mengenai struktur yang diutarakan oleh Harper (1998) dapat membantu kita
dalam melihat stuktur dari organisasi gerakan petani seperti Serikat Petani
Pasundan (SPP) di Priangan Timur, Institusi Adat pada kasus Tanah Lot, BPRPI
di Sumatra Timur, ataupun KAAPLAG pada kasus Cimacan. Terdapat dua model
dari struktur organisai gerakan, yaitu struktur gerakan yang tersentralisasi, dan
struktur gerakan yang desentralisasi atau tersegmentasi. Struktur gerakan yang
tersentralisasi cenderung membutuhkan sumberdaya yang lebih sedikit apabila
dibandingkan dengan gerakan dengan struktur desentralisasi, dalam menjaga
kesinambungan gerakan.
Guna mewujudkan gerakan sosial yang efektif terdapat tiga hal yang harus
dipertimbangkan dalam menentukan ekspektasi atas target dalam organisasi
gerakan. Pertama adalah struktur dari kesempatan yang terbuka untuk melakukan
aksi massa. Kedua adalah upaya – upaya berupa kontrol sosial yang dapat
dilakukan oleh gerakan. Ketiga, perbandingan hasil dari aksi dengan standar
norma yang ada di masyarakat. Keberhasilan pada suatu gerakan banyak
ditentukan pada bagaimana gerakan itu dapat menemukan titik rataan antara
ketiga kategori tersebut dengan kondisi dilapangan.
Terdapat dua tipe organisasi petani yang melakukan perlawanan, yakni (1)
organisasi yang muncul dari dalam kelompok petani itu sendiri untuk mengatur
diri sendiri. (2) organisasi yang muncul dari luar (Mustain, 2007). Institusi –
institusi petani yang mengorganisir diri sendiri dapat sangat berpengaruh dalam
bentuk perlawanan harian petani. Institusi ini tercipta guna menekan kerugian
yang didapat dalam usaha mendapatkan insentif. Disamping itu, insentif juga
dapat menjadi semacam stimulus bagi institusi petani lain yang mengorganisisr
dirinya sendiri berdasarkan ketidaksepakatan bersama (kolektif). Gerakan petani
yang terorganisasi dari luar (eksternal), dalam mencapai keberhasilan
organisasinya memerlukan mekanisme dengan melaksanakan peraturan tertentu,
yaitu keberhasilan mereka tergantung pada kemampuan dalam memberikan

18
 
insentif, yang mampu mengundang para pengikutnya untuk berpartisipasi secara
aktif.
Godwin dalam Ecstein (1990) mengemukakan bahwa selain barang –
barang kolektif, organisasi – organisasi revolusioner tersebut juga menawarkan
insentif untuk mendorong partisipasi dalam berbagai macam aktivitas, khususnya
yang berbahaya seperti perang grilya yang sesungguhnya. Insentif tersebut
diperuntukan para pengikut dan pejuang, di samping dapat meminta pengurangan
pajak dan sewa tanah, keluarga mereka juga dapat meminta penambahan tanah
selain yang telah diberikan kepada pendukung secara umum. Organisasi petani
dikatakan berhasil apabila organisasi tersebut dapat menyeimbangkan antara
pertimbangan insentif individu dengan kebutuhan umum.

2.1.3.2 Kepemimpinan
Pemimpin dan kepemimpinan merupakan satu kesatuan kata yang tidak
dapat dipisahkan. Pemimpin merupakan figur sentral yang menyatukan kelompok.
Kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang atau beberapa orang dalam
kelompok dalam mengelola gejala – gejala sosial. Brown (1936) berpendapat
bahwa pemimpin tidak dapat dipisahkan dari kelompok, karena tanpa kelompok
tidak akan ada pemimpin. Pemimpin dapat dipandang sebagai agen primer yang
menentukan struktur, suasana, tujuan, ideologi, bahkan hingga sampai aktivitas
kelompok.
Kepemimpinan dapat juga dikatakan sebagai suatu kemampuan untuk
menangani orang lain untuk memperoleh hasil yang maksimal dengan friksi yang
sedikit mungkin antar anggota kelompok. Terdapat beberapa tipe kepemimpinan
seperti tipe otokratik, tipe paternalistik, tipe kharismatik, tipe laissez faire, dan
tipe demokratik.
Kepemimpinan tipe otokratik dapat dilihat sebagai seorang pemimpin
yang sangat egois. Seorang pemimpin yang otoriter cenderung memperlakukan
para bawahannya sama dengan alat lain dalam organisasi, anggota dipandang
selayaknya mesin. Hal yang paling diutamakan adalah orientasi pada pelaksanaan
dan penyelesaian tugas, tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan

19
 
kepentingan bawahannya. Pemimpin dengan kepemimpinan otoktarik akan selalu
menuntut ketaatan penuh dari para bawahannya.
Kepemimpinan tipe paternalistik banyak ditemui dimasyarakat tradisional,
khususnya agraris. Kepemimpinan ini erat kaitannya dengan tata nilai yang ada di
dalam masyrakat tradisional atau pedesaan. Salah satu cirinya ialah penghormatan
yang begitu tinggi kepada orang tua dan orang yang dituakan. Pemimpinan
dengan kepemimpinan paternalistik bersifat kebapakan, dalam artian bertindak
sebagai tauladan atau panutan masyarakat. Pada umumnya pemimpin semacam ini
merupakan tokoh – tokoh adat, ulama, tetua desa dan guru.
Kepemimpinan tipe kharismatik akan amat bertumpu pada sang
pemimpin. Kharakteristik yang khas dari kepemimpinan kharismatik ialah daya
tarik dari sang pemimpin yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh
pengikut pemimpin yang sangat dikagumi pengikutnya, walau terkadang si
pengikut tidak dapat menjelaskan kegagumannya secara kongkrit. Kesulitan yang
sering kali muncul pada kelompok dengan kepemimpinan kharismatik adalah
regenerasi pemimpin. Seorang pemimpin kharismatik akan sulit digantikan,
karena kekaguman anggota akan seseorang pemimpin tidak semudah itu dapat
berpindah dari satu orang ke orang lain.
Pemimpin dengan tipe kepemimpinan laissez faire berpandangan bahwa
organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya karena para anggota organisasi
terdiri dari orang – orang dewasa. Seluruh anggota organisasi dianggap sudah
mengetahui dan memahami tujuan organisasi, sasaran apa yang akan dicapai, dan
tugas apa yang harus ditunaikan. Sehingga pada tipe kepemimpinan ini seorang
pemimpin tidak akan banyak melakukan intervensi. Pendelegasian wewenang
terjadi secara ekstensif, dimana pengambilan keputusan lebih banyak dilakukan
pada anggota menengah.
Kepemimpinan demokratik lebih menekankan peran pemimpin sebagai
seorang koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi.
Pemimpin menyadari bahwa organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga
menggambarkan secara jelas aneka ragam tugas dan kegiatan yang harus dicapai
oleh organisasi. Pembagian tugas tersebut membuat adanya pembagian tugas dan

20
 
peran yang jelas, berserta herarki kekuasaannya. Seorang pemimpin dengan
kepemimpinan demokratik akan disegani bukan ditakuti.
Scott (1976) menggunakan pendekatan struktur sosial dan relasi sosial
dalam melihat sebuah gerakan petani. Masyarakat pedesaan apabila dilihat secara
horisontal akan memperlihatkan homogenitas yang tinggi, sedang secara vertikal
akan memperlihatkan bentuk krucut, dimana pada bagian bawah diisi oleh petani
penggarap dan buruh tani dengan masa terbesar, sedangkan pada bagian atas diisi
oleh para elite yang berjumlah sedikit. Didalam struktur masyarakat yang seperti
ini, faktor kepemimpinan memiliki peran yang sangat penting, sedangkan
pemimpin dipegang oleh kelompok elite yang berada pada puncak, dari struktur
sosial yang ada. Mengingat pentingnya faktor kepemimpinan yang ada, maka
dapat diasumsikan bahwa gerakan perlawanan petani tidak mungkin terjadi tanpa
adanya pemimpin.
Petani penggarap dan buruh tani pada dasarnya tidak memiliki kekuatan
sama sekali untuk melakukan perlawanan. Mereka berada dalam keadaan yang
benar – benar tersubordiasi, dimana setiap surplus yang mereka dapatkan akan
terhisap oleh kekuatan ekonomi dan politik yang ada. Petani (Peasant) menjalani
hidup hanya pada keadaan subsistensi mereka, tekanan yang begitu besar
membuat benar – benar dalam keadaan impoten, dan perlawanan petani tidak
mungkin terjadi dalam keadaan tidak berdaya (Wolf, 1966). Di dalam
perjalanannya petani juga tidak memiliki kekuatan untuk mendefinisikan diri
mereka sendiri kedalam sebuah kelas, mereka harus diwakilkan (Marx, 1895).
Para perwakilan ini pada saat yang bersamaan juga bertindak sebagai pemimpin,
pemersatu, dan pemberi kekuatan guna melawan penindasan dari kelas diatasnya.
Pemimpin gerakan petani, haruslah mampu mambangun gerakan yang
memenuhi tiga kriteria yaitu memiliki sumberdaya, adanya anggota baru, dan
mempertahankan anggota lama. Popkin (1986) menyatakan, terdapat enam teknik
yang dapat digunakan pemimpin petani dalam mendapatkan dan mengelola
sumberdaya. Pertama, para pemimpin mendorong pengikutnya untuk melakukan
penjarahan, contohnya, pemberontakan budak terhadap majikannya untuk
mengambil alih posisi majikannya. Kedua, pemimpin mendistribusikan ulang
sumberdaya, suatu strategi “dari dan untuk individu sesuai dengan politiknya”,

21
 
contohnya pemberontak Vietnam mengumpulkan donasi dalam jumlah besar dan
sebagian dari uang tersebut dipergunakan untuk membiayai para guru. Ketiga,
pemimpin gerakan merahasiakan kebaikan, persoalan, dan keluhan yang dapat
menarik perhatian kelompoknya secara berlebihan. Ini akan menyelesaikan
masalah kolektif petani dengan cara meminimalisir persaingan dalam
mendapatkan keuntungan di antara anggota kelompok. Keempat, pemimpin
gerakan dapat mematahkan monopoli kaum elite pada institusi politik. Sebagai
contoh, adanya campur tangan pemimpin gerakan pada urusan yang berhubungan
dengan para pendukungnya di pemerintahan lokal. Kelima, pemimpin gerakan
mencari penyokong yang dapat menyediakan sumberdaya. Keenam, sumberdaya
yang ada selalu dibuat dalam kondisi yang sedikit, sehingga selalu diharapkan
oleh para petani miskin dan dapat mengobarkan semangat perlawanan.
Hal yang tidak kalah penting yang harus diperhatikan pemimpin gerakan
adalah pengikut gerakan itu sendiri, baik itu dalam merekrut anggota baru ataupun
mempertahankan anggota lama. Pemimpin gerakan tidak dapat mengatasi dilema
petani hanya dengan ideologi dan mimpi – mimpi tentang “revolusi”,
“sosialisme”, ataupun “tatanan dunia baru”. Pemimpin gerakan haruslah mampu
membantu petani dalam memenuhi kebutuhan yang bersifat kongkrit dan singkat,
seperti makanan, pembangunan jalan, dan pembangunan rumah ibadah. Skocpol
(1991) menyatakan bahwa petani berpartisipasi dalam sebuah gerakan tanpa
melakukan perubahan pada visi yang radikal mengenai masyarakat nasional baru
yang diinginkan, dan tanpa menjadi golongan yang terorganisir untuk diri mereka
sendiri. Petani berjuang lebih disebabkan untuk pemenuhan atas tujuan – tujuan
konkrit, melibatkan aset untuk mendapatkan lebih banyak tanah hak milik, atau
kebebasan (Skocpol, 1991).

2.1.4 Gerakan Petani


Abad ke-18 hingga abad ke-19, pemberontakan petani terbukti menjadi
faktor yang sangat penting dalam semua revolusi sosial yang pernah terjadi di
Perancis, Rusia, dan China. Tanpa adanya pemberontakan petani, radikalisme
perkotaan di negara – negara agraris dan semi agraris tidak akan mampu
menuntaskan sebuah transformasi sosial (Bahri, 1999). Revolusi yang terjadi di

22
 
Inggris dan Jerman pada tahun 1848 pada umumnya dipimpin gerakan
revolusioner perkotaan mengalami kegagalan karena tidak terjadinya
pemberontakan pertani terhadap para tuan tanah di pedesaan.
Kekhususan kultural yang dimiliki oleh petani baik itu pada
perkembangan nilai – nilai, persepsi, dan kebudayaan petani tidak serta merta
membuat para ahli dapat mendefnisikan petani secara mudah. Moore (1966),
menyatakan bahwa tidak mungkin mendefinisikan petani dengan ketepatan yang
mutlak karena batasannya kabur pada ujung kenyataan sosial itu sendiri. Hanya
saja adanya bukti penguasaan tanah secara de facto dan cara hidup yang khas
dengan mengelola tanah, dapat dijadikan salah satu ciri yang membedakan petani
dengan yang lain.
Persoalan tidak berhenti pada apa dan bagaimana mendefinisikan petani,
tetapi juga semakin berkembang ketika menganalisa lapisan petani mana yang
terlibat aktif dalam pemberontakan. Marx (1895) menyatakan bahwa lapisan
buruh tani atau proletariat pedesaan merupakan lapisan yang paling revolusioner.
Ia menganggap bahwa sumber radikalisme petani berdasarkan pada pemilikan
atau penguasaan alat produksi tanah. Meskipun masih didalam tulisan yang sama,
Marx (1895) juga menyatakan bahwa sesungguhnya petani dalam melakukan
pemberontakan tidak dapat berdiri sendiri. Petani membutuhkan pemimpin yang
bertugas mewakili mereka dalam melakukan perlawanan terhadap kelas penindas.
Hal berbeda dapat ditemui pada pandangan Wolf (1966) yang menyatakan
bahwa petani menengahlah yang paling dapat diandalkan dalam melakukan
pemberontakan. Petani kelas bawah atau buruh tani tanpa tanah yang
menggantungkan hidupnya kepada tuan tanah, tidak akan memiliki kekuatan
untuk melawan. Petani kelas menengah jelas terganggu dengan keberadaan tuan
tanah baik itu dalam akses terhadap pasar ataupun tekanan kultural yang dirasakan
oleh mereka, terlebih lagi petani kelas menengah memiliki sumberdaya minimal
untuk melakukan perlawanan. Jumlah buruh tani tak bertanah yang besar memang
merupakan sumber potensial untuk melakukan pemberontakan atau revolusi tetapi
pendapat ini tidak selamanya benar dan berlaku disemua tempat.
Gerakan petani dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk dari gerakan
sosial (Handayani, 2004). Para ahli telah banyak mencoba untuk melakukan

23
 
pendefinisian prihal gerakan sosial. Herbert Blumer (1939), dalam Sadikin (2005)
berpendapat bahwa gerakan sosial merupakan sebagai suatu kegiatan bersama
untuk menentukan suatu tatanan baru dalam kehidupan. Kemunculan gerakan
sosial ditandai adanya kegelisahan akibat kesenjangan antara nilai-nilai harapan
dan kenyataan hidup sehari-hari. Maka itu, suatu kelompok masyarakat
mendambakan tatanan hidup yang baru, dengan membentuk sebuah gerakan yang
terorganisir.
Sadikin (2005) mencoba merangkum berbagai definisi gerakan sosial yang
diutarakan para ahli, sebagai ciri – ciri atau karakter yang melekat dalam gerakan
sosial. Pertama, gerakan sosial merupakan satu bentuk perilaku koletif. Kedua,
gerakan sosial senantiasa memiliki tujuan untuk membuat perubahan sosial atau
mempertahankan suatu kondisi. Ketiga, gerakan sosial tidak identik dengan
gerakan politik yang terlibat dalam perebutan kekuasaan secara langsung.
Keempat, gerakan sosial merupakan perilaku kolektif yang terorganisir, baik
secara formal ataupun tidak. Kelima, gerakan sosial merupakan gejala yang lahir
dalam kondisi masyarakat yang konfliktual.

2.1.4.1 Gerakan Petani di Indonesia


Pada pertengahan abad ke- 19, kita dapat melihat banyak bermunculan
gerakan perlawanan petani di berbagai tempat. Seperti gerakan Haji Rifangi di
Pekalongan (1860), gerakan Mangkuwijoyo di Desa Merbung, Klaten (1886),
Gerakan Tirtowiat alias Raden Joko di Desa Bangkalan, Kartosuro (1886),
pemberontakan petani Banten (1888), pemberontakan petani candi udik (1892),
dan peristiwa Gedangan (1904). Kesemua gerakan yang terjadi pada kurun waktu
tersebut memiliki beberapa kesamaan, baik itu penyebab terjadinya gerakan
ataupun dalam struktur dan pola gerakan. Gerakan yang ada bersifat sangat lokal,
sporadis, dan tidak memiliki hubungan antara gerakan yang satu dengan yang
lain. Perlawanan banyak dipimpin oleh tokoh – tokoh lokal, baik ulama ataupun
bangsawan lokal.
Bahri (1999) berpendapat bahwa, gerakan petani yang ada abad ke-19
belum menunjukan ciri – ciri modern, dalam artian adanya organisasi dalam
lingkup yang luas yang menyatukan gerakan, pandangan dan sikap politik atas

24
 
struktur kekuasaan, dan instrumen gerakan yang tertata rapih sehingga dapat
memberikan seruan keseluruh negeri. Hal ini begitu berbeda dengan gerakan yang
lahir pada awal abad ke – 20. Pada tahun 1912, terjadi pengorganisiran petani
secara masif di wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Sumatera. Sebagai
contoh Serikat Islam (SI), salah satu organisasi yang sangat berpengaruh pada
waktu itu, berhasil mempertemukan gerakan petani di pedesaan dengan gagasan
revolusioner kemerdekaan, seperti pembentukan tatanan masyarakat baru
pengganti tatanan masyarakat kolonial. Tujuan dari gerakan pun tidak lagi hanya
terbatas pada penuntasan masalah di tingkatan lokal, tetapi perubahan sistem
politik, yaitu gugatan dan penggantian sistem pemerintah kolonial.
Organisasi – organisasi modern yang lahir pada awal abad ke – 20 berhasil
memperkenalkan pola perlawanan yang sama sekali berbeda dengan pola
perlawanan petani yang ada sebelumnya, seperti boikot dan pemogokan. Struktur
dan pola gerakan yang ada, terasa lebih tertata dengan adanya pembakuan struktur
organisasi, sistem keanggotaan, dan diterapkannya metode pengorganisiran
masyarakat.
Boikot dan pemogokan merupakan bentuk perlawanan yang diadopsi dari
gerakan buruh dan kelas menengah perkotaan untuk menentang kekuasaan
pemilik modal dan pemerintah yang saat itu sedang marak terjadi di daratan
Eropa. Hal ini pada dasarnya dapat dilihat sebagai suatu hal yang wajar, karena
para motor penggerak organisasi semacam Serikat Islam (SI), Indische Partij (IP),
dan Indische Social – Democratische Partij (ISDP) merupakan anak para
bangsawan yang mendapatkan keistimewaan untuk dapat bersekolah hingga
kejenjang universitas, bahkan banyak diantara mereka yang merupakan lulusan
perguruan tinggi Eropa.
Soe Hok Gie (1964) dalam Skripsinya yang berjudul Dibawah Lentera
Merah menyatakan bahwa, kehadiran organisasi semacam Sarekat Islam telah
merubah kondisi sosial-politik yang ada dimasa kolonial. Petani yang semula
hanya paham prihal cangkul dan persoalan desa, bermetamorfasa menjadi pejuang
– pejuang kemerdekaan yang gigih. Orang – orang seperti Tirtoadisuryo,
Samanhudi, dan Tjokroaminoto, merupakan anak para bangsawan yang telah

25
 
mengenyam pendidikan kolonial tetapi tidak pernah melupakan akar budaya
bangsanya.
Pasca kemerdekaan, khususnya pada periode waktu 1950 – 1965, hampir
seluruh organisasi petani yang ada merupakan perpanjangan tangan dari berbagai
partai politik ditingkat nasional. Kehadiran organisasi tani seperti Serikat Tani
Islam Indonesia (STII) yang bernaung di bawah Masyumi, Persatuan Tani
Nahdatul Ulama (PETANU) yang bernaung di bawah NU, Persatuan Tani
Indonesia (PETANI) yang bernaung di bawah PNI, serta Barisan Tani Indonesia
(BTI) yang memiliki hubungan yang erat dengan PKI, menjadi peta gerakan
petani pasca kemerdekaan hingga tahun 1965.
Perdebatan politis yang sangat tajam terlihat ketika penyusunan Undang –
Undang Pokok Agraria (UUPA), di Departemen Agraria dan Dewan
Pertimbangan Agung. PNI dan partai – partai islam berkepentingan untuk
membela para pendukungnya, yang mayoritas pemilik tanah – tanah luas dan
pangreh praja di pedesaan. Dilain pihak, PKI mengklaim dirinya sebagai
perwakilan dari para petani tak bertanah. Akan tetapi, hal ini justru mentah
dengan sendirinya, karena pada beberapa kasus BTI justru melindungi tuan tanah
yang menjadi simpatisan dari PKI.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah melarang seluruh
organisasi petani yang ada di masa pemerintahan Presiden Soekarno. Petani –
petani mulai kehilangan patron politik karena banyak dari para pemimpin gerakan
dari kelas menengah perkotaan sudah dibunuh dan yang hidup mendapatkan
tekanan yang luar biasa dari Rezim Orde Baru. Pada posisi ini petani kembali
pada tradisi penyesuian diri dan mencari jalan masing – masing untuk
mempertahankan hidup.
Gerakan petani mulai aktif pada pertengahan tahun 1980-an, sebagai
akibat dari intervensi modal yang sangat intensif di wilayah pedesaan. Bersamaan
dengan itu, di wilayah perkotaan juga tumbuh gerakan mahasiswa dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang masuk kepedesaan dengan berbagai kegiatan
baik itu dalam hal sosial politik, pendidikan, dan advokasi. Pada massa itu
mahasiswa yang sebelumnya dibungkam oleh Pemerintahan Soeharto mulai turun
ke jalan. LSM yang sudah lebih berpengalaman dalam menangani permasalahan

26
 
petani lebih banyak mengambil jalan pembelaan litigasi diperadilan atau
mengirim surat protes kepemerintah.
Petani mulai berkenalan dengan aksi massa dan demontrasi setelah
menjalin hubungan dengan kelompok – kelompok gerakan di perkotaan
khususnya mahasiswa. Di dalam tubuh gerakan mahasiswa sendiri sudah terjadi
pergeseran orientasi, kritik gerakan mahasiswa pada tahun 1980-an kepada
gerakan sebelumnya adalah tidak adanya penyambung antara gerakan mahasiswa
dengan gerakan rakyat. Maka pada akhir 80-an dan awal 90-an terjadi aliansi
gerakan petani dengan mahasiswa dalam bentuk demonstrasi ke DPRD dan kantor
– kantor Gubernur.
Dilihat dari sisi yang lain, amat jelas terlihat bahwa petani tidak memiliki
kemampuan untuk dapat mengorganisir diri mereka sendiri. Petani masih amat
bergantung pada kelompok- kelompok gerakan diperkotaan. Apabila pada awal
abad ke -19 mereka bersandar pada para bangsawan dan tokoh lokal, pada
pertengahan abad ke – 19 mereka bersandar pada organisasi kepartaian seperti SI,
IP, dan ISDP, sedang pada awal kemerdekaan hingga 1965 mereka bergantung
pada partai politik, dan pada massa orde baru mereka bergantung pada gerakan
mahasiswa dan LSM.
Adapun yang terjadi pada saat ini dipandang tidak jauh berbeda dengan
yang terjadi pada massa sebelumnya. Pasca jatuhnya pemerintahan Presiden
Soeharto pada tahun 1998, begitu banyak terjadi gerakan perlawanan petani
diberbagai daerah. Tetapi apabila dilihat secara lebih mendalam, belum terlihat
adanya petani yang dapat mengorganisisr diri mereka sendiri hingga menjadi
sebuah gerakan petani. Serikat Petani Pasundan (SPP) yang ada di wilayah
Priangan Timur memiliki keterkaitan yang sangat jelas dengan gerakan
mahasiswa di kota Ciamis, Tasik, dan Garut. Gerakan petani di Desa Keprasan
Kabupaten Blitar, juga memiliki keterkaitan dengan LBH Surabaya dan Kesmalita
(Kesatuan Mahasiswa Blitar) di Jogjakarta.

27
 
2.2 Kerangka Berpikir
Pembahasan prihal kemunculan dan kelangsungan gerakan petani dapat
dipilah dalam dua alur yang berjalan secara paralel, yaitu basis material atau tanah
dan aspek politik petani. Pada periode kemunculan gerakan, terdapat beberapa hal
yang dapat dilihat sebagai faktor – faktor penyebab terjadi gerakan petani, yaitu
pada faktor - faktor meterialnya seperti sejarah penguasaan tanah, serta makna
tanah bagi petani dan pada faktor – fakto subyektif, seperti radikalisasi petani,
serta pengorganisiran petani. Pasca terbetuknya organisasi gerakan dan terjadinya
redistribusi tanah, pembahasan selanjutnya berfokus pada dinamika atau
kelangsungan dari gerakan petani, baik yang dipengaruhi oleh kondisi didalam
organisasi gerakan ataupun pengaruh dari kekuatan sosial lain di luar gerakan
petani. Lihat gambar 1.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

28
 
(Faktor – Faktor Material)

 
‐SEJARAH PENGUASAAN TANAH  ‐REDISTRIBUSI TANAH 
 
‐MAKNA TANAH BAGI PETANI  ‐LIVELIHOOD  
 
‐AKSES TERHADAP TANAH 
 

  GERAKAN PETANI : 

‐ORGANISASI GERAKAN 
KEMUNCULAN GERAKAN 
---------------------------------------------------------------------------------------------------
(KONDISI KONDUSIF)  ‐STRATEGI GERAKAN 

‐KEPEMIMPINAN GERAKAN 

‐RADIKALISASI PETANI 
‐PERKEMBANGAN 
‐PENGORGANISASIAN PETANI  KELEMBAGAAN GERAKAN 

‐KESADARAN POLITIK 

‐PENGARUH  AKTOR LUAR PETANI 

(Faktor – Faktor Subyektif)

Keterangan :
: Berhubungan
: Meliputi
-------- : Terpisah

Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian

29
 
2.3 Definisi Konseptual

Petani : Individu atau sekelompok orang yang memiliki (de facto), mengelola, dan
mengembangkan sumberdaya agraria khususnya tanah untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.

Radikalisasi Petani : Faktor – faktor atau kondisi yang dapat memicu terjadinya
aksi perlawanan petani. Pada umumnya, kondisi tersebut berasal dari luar
masyarakat petani, seperti penindasan, pungutan pajak, pengekangan hak,
pembatasan kerja, dsb.

Pengorganisiran Petani : Proses mobilisisasi petani, baik berupa sumberdaya yang


bersifat terbatas seperti uang dan makanan ataupun individu petani itu sendiri,
guna mencapai suatu tujuan tertentu, pengorganisiran dapat bersifat formal atau
informal.

Makna Tanah Bagi Petani : intepretasi yang timbul dari ikatan – ikatan yang ada
antara petani dengan tanah, dapat bersifat ekonomi, sakral, ataupun kultural.

Sejarah Penguasaan Tanah : catatan – catatan histografis atau dokumen sejarah


yang berkisah tentang tanah, baik itu pembahasan soal kepemilikan, penyawaan,
perebutan, ataupun alih fungsi tanah serta kaitannya dengan orang atau
sekolompok orang disekitar tanah. Seringkali catatan histografis berbentuk sejarah
lisan (oral history).

Gerakan Petani : suatu bentuk perlawanan yang sengaja dilakukan oleh


sekelompok petani yang terorganisir untuk menciptakan terjadinya perubahan
dalam pola interaksi keadilan untuk petani di dalam masyarakat. Dalam gerakan
tersebut diharapkan mempunyai ciri-ciri seperti halnya gerakan sosial yaitu 1)
memiliki pengorganisasian internal yang rapi, 2) berlangsung lebih lama, 3)
gerakan sengaja bertujuan melakukan reorganisasi kehidupan masyarakat internal
maupun eksternal.

30
 
Organisasi Gerakan : betuk formal dari pengorganisiran petani, yang didalamnya
terdapat struktur (hierarki) organisasi, memiliki tujuan yang jelas, dan adanya
unsur kepemimpinan.

Pemimpin Gerakan : orang atau sekelompok orang yang bertugas untuk


memimpin suatu gerakan, pemimpin merupakan tokoh sentral atau motor
penggerak pada sebuah gerakan petani.

Strategi Gerakan : cara atau media yang digunakan gerakan petani guna mencapai
suatu tujuan, dapat berupa aksi boikot, pemogokan, demonstrasi atau aksi massa,
dsb.

Redistribusi Tanah : Pembagian kembali objek redistribusi atau tanah kepada


petani.

Pola Pertanian : tata cara bercocok tanah yang dipergunakan oleh sekelompok
orang atau masyarakat didalam suatu luasan lahan. Pola ini dapat berupa sistem
kebun, perkebunan, ataupun persawahan.

31
 
BAB III
PENDEKATAN LAPANG

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan suatu metode berganda dalam fokus, yang melibatkan suatu
pendekatan interpretatif dan wajar terhadap setiap pokok permasalahannya. Ini
berarti penelitian kualitatif bekerja dalam seting yang alami, yang berupaya untuk
memahami, memberi tafsiran pada fenomena yang dilihat dari arti yang diberikan
orang-orang kepadanya. Penelitian kualitatif melibatkan penggunaan dan
pengumpulan berbagai bahan empiris seperti studi kasus, pengalaman pribadi,
introspeksi, riwayat hidup, wawancara, pengamatan, teks sejarah, interaksional
dan visual: yang menggambarkan momen rutin dan problematis, serta maknanya
dalam kehidupan individual dan kolektif (Denzin and Lincoln, 2009).
Penelitian ini menggunakan metode observasi partisipasi (participant
observation) di lapangan. Metode observasi partisipasi merupakan sebuah teknik
pengumpulan data yang mengharuskan peneliti melibatkan diri dalam kehidupan
masyarakat yang diteliti. Peneliti harus dapat memahami gejala-gejala yang ada,
sesuai dengan maknanya dengan yang diberikan atau dipahami oleh warga
masyarakat yang sedang diteliti, termasuk dalam pengertian metode ini adalah
wawancara dan mendengarkan serta memahami apa yang didengarnya (Denzin
and Lincoln, 2009).
Peneliti dalam upaya memahami kehidupan objek penelitian telah
melakukan live in di lokasi tersebut, agar dapat melihat secara langsung
mengetahui dan memahami berbagai kondisi masyarakat. Maka itu, scope
temporal dalam penelitian ini akan dilaksanakan selama enam bulan yaitu April
sampai Agustus 2010. Sementara scope spatial dalam penelitian ini terfokus pada
masyarakat petani Desa Banjaranyar yang berlokasi di Kecamatan Banjarsari,
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

32
 
3.2 Unit Analisis
Unit analisis adalah gerakan petani yang terhimpun dalam Organisasi Tani
Lokal (OTL) Banjaranyar . Gerakan petani tersebut memperjuangkan nasib petani
Banjaranyar yang meliputi sekitar 195 kepala keluarga. Responden penelitian
dipilih secara purposif berdasar telaah peran dalam proses gerakan petani.
Responden adalah stakeholder yang dinilai relevan untuk memperkuat bobot
analisis penelitian yaitu, LBH SPP, pengurus Serikat Petani Pasundan (SPP) -
pendamping, FARMACI, dan Perangkat Desa Banjaranyar. Lihat tabel 1.

Tabel 1. Daftar Stakeholder dan Perannya Dalam Kasus Gerakan Petani Desa
Banjaranyar Tahun 2010
Di dalam Desa Banjaranyar Di luar Desa Banjaranyar
Individu Individu
Petani atau massa nonstruktural di Desa
Banjaranyar, termasuk buruh tani, dalam hal
ini mereka petani tidak bertanah Sekjen Serikat Petani Pasundan

Pelaku Sejarah Lokal Anggota DPRD Ciamis

Tokoh Masyarakat

Perangkat Desa

Organisasi Organisasi
Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar 1 LBH SPP

Koperasi Usaha Tani SPP FARMACI

PT. RSI

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten


Ciamis
     
     
     
     
     
     

33
 
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Data bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer adalah data
yang langsung diperoleh dari sumbernya untuk mengetahui sejarah, pandangan
dan perkembangan sebuah kasus. Teknik pengumpulan data ini dilakukan melalui
a) wawancara tertuntun dengan menggunakan daftar pertanyaan, b) wawancara
mendalam dengan stakeholders, dan c) diskusi dengan stakeholder. Wawancara
langsung dilakukan terhadap: 1) Pemimpin Gerakan, 2) Pamong desa, 3) Pejabat
tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa 4) Petani, 5)Masyarakat lain.
Penelitian kali ini juga menggunakan pendekatan sejarah (historical
approach), yang akan menguraikan sejarah, fenomena, problamatika, dan
dilematika di dalam gerakan petani Banjaranyar. Analisis difokuskan pada era
reformasi, yaitu tahun 1997 hingga tahun 2010. Namun karena keterbatasan
sumber – sumber tulisan, maka pendekatan sejarah lisan (oral history) dijadikan
sebagai salah satu pilihan penting dalam upaya pengumpulan data. Pendekatan
sejarah lisan dimaksud untuk menggali ingatan kolektif, terutama berupa social
memory atau community’s collective memory yang dapat dipakai menyusun
sejarah Desa Banjaranyar, khususnya yang berkaitan dengan gerakan petani
Banjaranyar. Sejarah lisan sangat membantu memberikan penjelasan mengenai
hal – hal yang berkaitan dengan kesinambungan (continuity) dan perubahan
(discontinuity) kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya melalui ingatan
kolektif atau disebut sebagai history of memory or memory of history (Fentress
dan Wickham, 1992).
Data sekunder adalah jenis data yang mengutip dari sumber lain.
Pengumpulan data untuk studi peristiwa bersumber dari 1) surat, memorandum,
dan pengumuman lain, 2) agenda, hasil penemuan, dan tulisan laporan peristiwa,
3) dokumen administrasi, proposal, progress report, dan dokumen internal, 4)
kliping dan artikel dalam media massa.
Data sekunder diperoleh peneliti dari:
• Arsip-arsip kantor pertanahan di tingkat kabupaten, kecamatan, dan
kelurahan.
• Arsip – arsip kasus sengketa lahan Serikat Petani Pasundan (SPP)

34
 
• Surat resmi dari Pemda Kabupaten Ciamis yang berkaitannya dengan
topik.
• Artikel-artikel tentang topik dalam surat kabar, majalah, internet dan
laporan penelitian yang telah dipublikasikan.
• Arsip-arsip dan laporan penelitian dari lembaga advokasi yang mengenai
kasus tersebut.

3.4 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data terdiri dari beberapa langkah sebagai berikut,
pertama, data dikumpulkan dengan cara observasi langsung, interview, dan
mengumpulkan data dari kepustakaan, arsip, dan berita pers. Kedua, melakukan
penilaian dan pengamatan terhadap data primer dan sekunder yang selanjutnya
disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Ketiga, melakukan intepretasi data
untuk dikaji berdasar kerangka dasar teori. Keempat, pencapaian kesimpulan dari
penelitian (Surakhmad, 1994).

35
 
BAB IV

LATAR BELAKANG KEMUNCULAN GERAKAN PETANI

4.1 Desa Banjaranyar


Desa Banjaranyar secara administratif masuk kedalam wilayah Kabupaten
Ciamis, tepatnya di wilayah Kecamatan Banjarsari. Secara geografis, Desa
Banjaranyar terletak di 108’32 bujur timur dan 07’30 bujur selatan. Pada bagian
utara Banjaranyar berbatasan dengan Desa Karang Mukti, sebelah timur
berbatasan dengan Desa Cigayam, sebelah selatan berbatasan dengan Desa
Kalijaya dan Pasawahan, dan pada bagian barat berbatasan dengan Desa Cikupa.
Sebelum adanya pemekaran, Desa Banjaranyar masuk kedalam wilyah
Desa Cigayam. Pada akhir tahun 1990an terjadi pemekaran Desa Cigayam
menjadi dua desa yaitu Desa Cigayam dan Desa Banjaranyar. Nama Banjaranyar
sendiri berasal dari adanya kota yang bernama Banjar, karena ini merupakan desa
baru maka nama Anyar pun disandingkan dengan kata Banjar. Sehingga, nama
Banjaranyar dapat diartikan sebagai daerah Banjar yang baru. Nama tersebut
mengandung harapan, semoga Desa Banjaranyar dapat berkembang menjadi
daerah yang maju seperti Kota Banjar.
Tahun 2007, diadakan kajian oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
Kabupaten Ciamis prihal desa tertinggal. Desa Banjaranyar merupakan satu dari
enam puluh satu desa tertinggal yang berada di dalam wilayah Kabupaten Ciamis.
Kajian yang dilakukan SKPD Ciamis didasarkan pada empat variabel utama.
Pertama, variabel alam dan lingkungan yang menunjukan pemafaatan prasaranan
dan potensi ekonomi desa. Kedua, variabel keadaan penduduk yaitu hal – hal yang
menunjukan tingkat kesejahteraan penduduk meliputi tingkat kepadatan penduduk
per kilometer persegi, persentase penduduk yang bekerja sebagai buruh tani, dan
presentasi rumah tangga petani. Ketiga, variabel sarana prasarana dan akses, yaitu
seperti fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, jumlah tenaga kesehatan, sanitasi,
dan sumber air bersih. Keempat, variabel sosial dan ekonomi penduduk, seperti
keluarga pengguna listrik, penggunaan bahan bakar, kasus kejadian wabah
penyakit (busung lapar).

36
 
Desa Banjaranyar dinyatakan amat kurang kurang pada poin ketiga yaitu
sarana prasarana dan akses jalan. Jarak antara Banjaranyar dengan Kota
Banjarsari, yang merupakan Ibu Kota Kecamatan Banjarsari, sesungguhnya hanya
15 kilometer, tetapi butuh waktu lebih dari dua jam untuk sampai ke Desa
Banjaranyar. Kondisi jalan yang berbatu memperlambat waktu tempuh dari dan
menuju Banjaranyar. Selain kondisi jalan yang belum baik, sanitasi atau fasilitas
MCK (Mandi Cuci Kakus) dinilai amat kurang. Pada tahun 2007 hanya satu dari
lima warga Banajaranyar yang memiliki fasilitas MCK di dalam rumah.
Sebagian besar masyarakat Desa Banjaranyar bekerja di sektor pertanian.
Hal ini tercermin di dalam data monografi desa. Penduduk Desa Banajaranyar
berjumlah 4283 orang atau 1420 KK (Kepala Keluarga) dan sebanyak 1139 KK
bekerja disektor pertanian. Banyaknya warga masyarakat yang bekerja di sektor
pertanian, tidak serta merta membuat adanya pemerataan dalam kepemilikan
tanah.

Tabel 2. Jumlah Kepala Keluarga Petani Menurut Luas Lahan yang Dimiliki,
Desa Banjaranyar, Tahun 2005
No Luasan Tanah Jumlah Kepala Jumlah Kepala
(Hektar) Keluarga Petani Keluarga Petani
(KK) (%)
1 0 739 52,04
2 0 – 0,5 135 9,51
3 0,5 – 1 255 15,84
4 >1 10 0.70
Sumber : Data Monografi Desa Banjaranyar Tahun 2005

Struktur kepemilikan tanah yang ada di Desa Banjaranyar dirasa masih


timpang. Jumlah Kepala Keluarga (KK) yang bekerja sebagai petani ada 400 KK,
tetapi hanya 10 KK yang memiliki tanah lebih besar dari 1 hektar, 135 KK
memiliki tanah antara 0,5 – 1 hektar, dan 255 KK memiliki tanah dengan luasan
dibawan 0,5 hektar. Sisanya, sebanyak 739 KK tidak memiliki tanah dan bekerja
sebagai buruh tani

37
 
Berdasarkan pembagian daerah melalui Sistem Karesidenan yang ada
dimasa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Desa Banjaranyar, yang
merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Ciamis, masuk kedalam wilayah
Karesidenan Priyangan Timur. Pada tahun 1950an, Karesidenan Priyangan Timur
dijadikan daerah basis massa perjungan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
(DII/TII) yang dipimpin oleh SM Kartosuwiryo. Penetrasi gerakan DI/TII yang
masuk hingga ke desa – desa, boleh jadi meredam penetrasi gerakan komunis
yang mulai marak kembali pada akhir tahun 1950an.
Tahun 1966, pasca terjadinya Gerakan 30 September (G30S) 1965, terjadi
pembunuhan masal orang - orang yang dituduh sebagai komunis. Aksi
pembunuhan masal yang terjadi di berbagai daerah, dirasa tidak terlalu
memepengaruhi kehidupan warga. Karena kondisi Desa Banjarnyar pada saat itu
relatif stabil. Orang – orang yang menggarap lahan bekas perkebunan AGRIS NV
tidak dibunuh atau dikebiri hak – haknya karena tuduhan komunis. Sehingga
penggarapan lahan bekas perkebunan AGRIS NV terus berjalan hingga akhir
tahun 1970an.

Gambar 2. Peta Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsarsari

38
 
4.2 Sejarah Tanah Perkebunan Di Desa Banjaranyar
4.2.1 Pembukaan Perkebunan Kopi
Desa Banjaranyar berdiri di atas tanah perkebunan yang dahulunya
dikelola oleh perusahaan perkebunan swasta asing bernama AGRIS NV. Kontur
tanah Desa Banjaranyar yang berbukit – bukit, hawa dingin yang menyelimuti
desa, orang – orang yang berkomunikasi dengan bahasa sunda, dan keterkaitan
dengan sejarah panjang dengan perkebunan kopi, memang mengingatkan pada
kisah Prijangansteelsel yang tertulis di dalam buku Max Havelaar.
Sejarah tanah perkebunan yang ada di Desa Banjaranyar dapat dirunut
hingga awal tahun 1700-an. Yaitu, ketika tanah Priyangan bersama dengan
Batavia (Jakarta) dan sebagian kecil wilayah Majenang dijadikan daerah
penanaman kopi oleh VOC (Vereeningde Oost Indische Compagnie). Tepatnya
pada tahun 1707, VOC menetapkan tanah Priyangan sebagai salah satu daerah
ujicoba penanaman kopi. Keberhasilan dari uji coba tersebut, memicu
dilakukannnya pembukaan perkebunan kopi secara masif ditanah Priyangan.
Perkebunan kopi Priyangan yang dibuka pada priode tahun 1707 – 1730
tidak menggunakan tanah garapan rakyat, melainkan tanah – tanah bukaan baru di
wilayah hutan. Di Ciamis sendiri, dalam data Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Ciamis tahun 2005, tercatat beberapa perkebunan kopi besar yang ada
pada periode tersebut, seperti Perkebunan Bangkelung, Gunung Bitung,
Panawangan, dan Perkebunan Cigayam. Di dalam area lahan Perkebunan
Cigayam inilah, tepatnya disisi sebelah utara perkebunan, dikemudian hari lahir
sebuah desa yang bernama Desa Banjaranyar.
Berdasarkan pada sistem pengelolaan perkebunan kopi yang ada pada
awal abad ke -18. Pengelolaan perkebunan kopi Priyangan, pada tahapan
pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada para bupati dan dilakukan
menurut sistem feodal. Melalui tata cara kerja paksa, penduduk diwajibkan untuk
melakukan kerja rodi, seperti pembukaan lahan baru ditanah hutan, penggarapan
lahan, penanaman biji kopi, pemeliharaan, dan pengangkutan panen biji kopi dari
perkebunan ke tempat penampungan. Pelaksanaan penanaman kopi paksa yang
dilakukan di Priyangan ini kemudian dikenal sebagai dengan sebutan Sistem
Priangan atau Prijanganstelsel (Kartodirdjo, 1991).

39
 
Awal abad ke – 18 daerah Priyangan, khususnya Priyangan Timur,
merupakan daerah dataran tinggi dengan jumlah penduduk yang sedikit. Dari data
VOC Cirebon, seperti yang dikutip oleh Kartodirdjo (1991), pada tahun 1705
daerah Priyangan timur dan tengah hanya dihuni oleh 10.000 kepala keluarga.
Jumlah penduduk yang begitu terbatas tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
perkebunan akan tenaga kerja. Guna memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja di
perkebunan, pada periode tersebut terjadi mobilisasi tenaga kerja dari luar
kedalam wilayah Priyangan. Tercatat pada tahun 1720 daerah Priyangan timur
dan tengah telah dihuni oleh 20.000 kepala keluarga. Sehingga dengan kata lain,
selama diberlakukannya Sistem Priyangan (Prijanganstelsel) terjadi peningkatan
sebesar seratus persen atau 10.000 kepala keluarga dalam tempo lima belas tahun.
Berhasilnya penanaman kopi di daerah Priyangan ditopang oleh empat
faktor (Kartodirdjo, 1991). Pertama, faktor alami yang membuat kopi dapat
tumbuh dengan baik di Priyangan, baik itu di dataran tinggi ataupun dataran
rendah. Kedua,daerah Priyangan yang memiliki topografi pegunung memberi
perlindungan yang baik bagi tanaman kopi dari tiupan angin yang kuat. Ketiga,
karakteristik tanah, khususnya pada pada tanah perkebunan yang baru dibuka di
atas tanah hutan, sangat cocok untuk tanaman kopi. Keempat, faktor ekonomi,
harga pembayaran kopi pada masa – masa awal (1707 – 1720) tidak hanya stabil
dan bagus, tetapi juga termasuk tinggi. Hal ini tercermin dari data harga
pembelian VOC di daerah Priyangan, bahwa harga pasaran biji kopi 15 – 40 kali
lebih besar dari harga beras dalam takaran yang sama.
Faktor terakhir yang tidak kalah penting yaitu tidak adanya aksi
perlawanan secara besar - besar yang dilakukan petani Priyangan guna mencegah
penanaman kopi di daerah mereka. Perkebunan – perkebunan kopi yang ada di
wilayah Priyangan tidak menggunakan tanah garapan masyarakat untuk keperluan
perkebunan. Pada periode 1700 – 1730 tidak ditemukan adanya perebutan tanah
garapan (tanaman pangan) rakyat oleh pihak perkebunan kopi. Perkebunan –
perkebunan kopi yang ada di Priyangan dibangun diatas tanah kehutanan yang
tidak digarap oleh rakyat. Kartodirdjo (1991) mengistilahkan fenomena perluasan
tanah perkebunan kopi di Priyangan sebagai “celah angin surplus” atau vent-for-
surplus.

40
 
Gambar 3 Produksi Kopi Priyangan, Batavia, dan Sekitarnya Tahun 1796 – 1810

Kopi
120.000

100.000

80.000

60.000
Kopi
40.000

20.000

0
1796 1797 1798 1799 1807 1808 1809 1810

Sumber : Sartono Kartodirdjo, dalam Sejarah Perkebunan Di Indonesia : Kajian


Sosial Ekonomi, 1991.

Getirnya kehidupan yang dialami oleh para pekerja di perkebunan –


perkebunan kopi Priyangan berbekas dalam ingatan para petani di Desa
Banjaranyar. Hal tersebut kemudian terabadikan dalam sebuah lagu berjudul
“Dengkleung dengdek”. Pada bait awal lagu ini bercerita tentang pahitnya
kehidupan dimasa taman kopi Priyangan. Pada bait selanjutnya lagu ini bercerita
tentang seorang gadis yang sedih berkepanjangan karena ditinggal sang pujaan
hati yang harus bekerja di perkebunan kopi. Menurut para tetua desa, lagu
Dengkleung Dengdek diciptakan oleh para buruh yang bekerja di Perkebunan
Kopi Priyangan. Sedangkan, menurut kisah sejarah yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Kabupaten Ciamis, lagu tersebut diciptakan oleh Bupati Aria pada
saat beliau menjabat sebagai Bupati Galuh pada tahun 1839 – 1886. Hingga saat
penelitian ini dilaksanakan, lagu Dengkleung dengdek masih sering dinyanyikan
oleh para petani tua Desa Banjaranyar, ketika beekerja di tanah garapannya.

4.2.2 Perkebunan AGRIS NV


Lahirnya Undang – Undangn Agraria Hindia Belanda (Agrarische Wet)
pada tahun 1870 memberikan warna baru bagi perjalanan sejarah perkebunan di

41
 
Indonesia. Apabila pada masa sewa tanah terdapat pemisahan antara pemerintah
dengan perkebunan. Pada masa sistem tanam paksa pemerintah menghendaki
adanya penyatuan kembali antara pemerintah dengan kehidupan perusahaan
dalam menangani produksi tanaman ekspor. Maka, pasca diterbitkannya
Agrarische Wet 1870 pemerintah secara formal memberikan kebebasan dan
keluasaan kepada para pemodal untuk melakukan usaha – usaha perkebunan. Para
penguasaha perkebunan diberikan akses langsung kepada para petani untuk
melakukan penyewaan tanah dan penyerapan tenaga kerja. Tetapi, pada
kenyataannya struktur sosial – politik masyarakat yang masih tradisional dan semi
feodal, membuat posisi petani tidak dalam kondisi yang kuat dan cenderung
dirugikan.
Salah satu hal yang dapat disoroti didalam Agrariche Wet adalah
keberadaan dari Hak Erfpacht yaitu hak untuk melakukan pengolahan diatas
sebidang tanah yang diberikan oleh Pemerintah Kolonial kepada pihak swasta
dalam jangka waktu tertentu. Pada awalnya, kesempatan yang ada banyak
dipergunakan oleh pengusaha perseorangan. Para penguasaha perseorangan
tersebut merupakan orang - orang yang telah berpengalaman dalam teknik
penanaman dan penglolaan perkebunan pada massa Sistem Tanam Paksa
(Mustain, 2007).
Pada perjalanannya, timbul berbagai permasalahan seperti krisis yang
terjadi pada tahun 1875 dan 1895, serta wabah penyakit pada tanaman kopi yang
terjadi pada tahun 1890an yang mengakibatkan kebangkrutan pada banyak
perusahaan perseorangan. Hal tersebut menimbulkan desakan untuk mengganti
perusahaan perseorangan dengan perusahaan besar berbentuk NV, salah satunya
ialah AGRIS NV. Perusahaan – perusahaan ini secara kolektif bernaung di bawah
Cultuuralbank atau Unie guna mengatasi permasalah dalam hal permodalan. Pada
momentum inilah perusahan perkebunan masuk kedalam jaringan perbankan.
Sehingga perusahaan perkebunan berubah menjadi perusahaan besar dengan
kapital-intensif (Kartodirdjo, 1991).
Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis
yang dihimpun hingga tahun 2010. AGRIS NV merupakan perkebunan yang
berdiri diatas lahan seluas 755,07 Ha. Hak Erfpacht yang dimiliki oleh AGRIS

42
 
NV dikeluarkan pada tanggal 30 November 1928, dengan kode No. 472, yang
terbagi atas dua blok. Blok pertama berada disebelah utara dengan luas tanah
377,53 Ha (Erf. Verf No.20), yang berbatasan dengan Desa Cikaso. Blok kedua
berada diselatan dengan luas tanah 377,53 Ha (Erf Verf No. 214) berbatasan
dengan Desa Cigayam, Cikaso, dan Pasawahan. Hak yang dimiliki AGRIS NV
atas tanah tersebut akan habis pada 24 Januari 1975.
Didalam laporan berita acara perkebunan VOC tahun 1720, tercatat bahwa
Blok Cigayam merupakan perkebunan dengan tanaman kopi sebagai komoditas
utamanya. Blok Cigayam inilah yang kemudian pada tahun 1928 menjadi tanah
erfpacht yang hak pengelolaannya diberikan kepada perusahaan perkebunan
AGRIS NV. Perkebunan AGRIS NV tidak lagi menanam kopi, melainkan
menanam pohon karet sebagai komoditas utama. Perubahan komoditas yang
ditanam, dari kopi menjadi karet, di perkebunan AGRIS NV pada periode awal
1900an, dikarenakan dua hal yaitu faktor alam dan kebijakan liberalisasi ekonomi
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial.
Pertama yaitu faktor alam. Pada periode awal tahun 1900an, Pemerintah
Hindia Belanda mencoba memperkenalkan beberapa tanaman pengganti kopi
seperti karet, teh, indogo, dan kina. Karena pada periode tersebut tanaman kopi
terjangkit wabah penyakit yang menyebar dibeberapa tempat di Priyangan, hingga
akhirnya masuk ketanaman kopi yang berada di daerah Galuh (Ciamis).
Penyebaran wabah penyakit tersebut memiliki dampak besar pada hasil produksi
kopi di Hindia Belanda secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dari data
komoditas hasil perkebunan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1900 hingga tahun
1909. Pada tahun 1900 - 1904, hasil keseluruhan panen kopi mencapai 615.000
pikul, dimana kemudian terjadi penurunan drastis pada tahun 1905 - 1909 yang
hanya menghasilkan kopi sebesar 371.000 pikul.

43
 
Tabel 3. Jumlah Produksi Kopi Hindia Belanda, Perkebunan Pemerintah dan
Swasta Tahun 1895 – 1909 (dalam pikul)
Tahun Produksi Kopi Produksi Kopi
Perkebunan Pemerintah Perkebunan Swasta
(pikul) (pikul)
1895 – 1899 314.000 446.000
1900 – 1904 212.000 403.000
1905 – 1909 98.000 273.000
Sumber : Cowan, 1961, Economic Development of Southeast – Asia.

Kedua yaitu diterbitkannya Agrarisch Wet pada tahun 1870 sebagai bentuk
dari kebijakan liberaliasi ekonomi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia
Belanda (Wiradi, 2000). Pasca Agrarisch Wet, perkebunan AGRIS NV dengan
memegang Hak Erfpacht yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda, memiliki
kemerdekaan penuh untuk mengatur segala sesuatu di dalam perkebunan.
Pemerintah Kolonial tidak lagi dapat memaksakan pihak perkebunan, baik itu
berkaitan dengan komoditas yang ditanam ataupun sistim pengelolaan
perkebunan, seperti yang terjadi pada massa Sistem Tanam Paksa. Sehingga,
meskipun pada tahun 1925 dilakukan introdusir varietas kopi robusta yang
dikenal tanahan terhadap wabah penyakit oleh Pemerintah Kolonial. Perkebunan
AGRIS NV tetap melakukan penanaman karet dan tidak berubah kembali menjadi
perkebunan kopi. Karena perkebunan memiliki kebebasan untuk menentukan
komoditas yang akan ditanam.
Strukur organisasi perusahaan perkebunan AGRIS NV tidak berbeda jauh
dengan perusahaan perkebunan berbentuk “NV” pada umumnya. Perusahan
perkebunan berbentuk “NV” selain bercirikan kapital – intensif, juga menuntut
adanya R and D atau pengembangan dan penelitian dalam hal peningkatan hasil
produksi (Kartodirdjo, 1991). Stasiun percobaan dan penelitian disokong dengan
adanya teknologi maju, tata kerja yang lebih efisien dan juga kepekaan terhadap
pasar global. Ditanamnya pohon karet sebagai komoditas utama di perkebunan
AGRIS NV, dapat dilihat sebagai jalan yang ditempuh perusahaan perkebunan
guna menjawab kebutuhan pasar global.

44
 
Lapisan atas struktur organisasi perusahaan perkebunan berbentuk “NV”,
terdapat seorang administratuer dan beberapa opzichter, yang diisi oleh orang –
orang Eropa. Administratuer ialah pimpinan umum yang merupakan sutu jabatan
puncak yang ada di perusahaan perkebunan. Opzicher merupakan pembantu
pemimpin umum yang mengepalai beberapa mandor dan bertugas mengawasi
kinerja perkebunan. Sedangkan, pada lapisan bawah terdapat buruh – buruh yang
dikelompokan ke dalam beberapa regu (ploeg) dan dipimpin oleh seorang kepala
regu (ploeg baas) (Kartodirdjo, 1991). Di dalam perusahaan perkebunan AGRIS
NV kepala regu sering kali disebut sebagai “mandor”.
Komunikasi yang terjadi antara orang Eropa yang berada pada lapisan
atas, dengan para pribumi yang berada pada lapisan bawah terjalin dalam suatu
mekanisme tertentu. Mandor selain bertugas sebagai kepala regu juga bertidak
sebagai penghubung antara para buruh perkebunan dengan para Opzicher.
Sedangkan pada lapisan atas para Opzicher-lah yang bertindak sebagai “schakel”
atau penghubung mata rantai. Sehingga praktis tidak pernah terjadi komunikasi
secara langsung antara seorang pemipin perkebunan atau Administratuer dengan
para buruh perkebunan.
Lokasi perkebunan AGRIS NV tidak terlalu jauh dari pemukiman warga,
dalam artian mudah dijangkau oleh penduduk desa sekitar perkebunan. Tidak
diketahui secara jelas apakah desa disekitar perkebunan AGRIS NV merupakan
hasil evolusi dari bedeng buruh kopi dimasa Prijangansteelsel atau bukan. Hanya
saja, menurut para tetua Desa Banjaranyar, terdapat buruh perkebunan yang
berasal dari penduduk desa. Bahkan, para wanita desa juga ada yang bekerja di
perkebunan, terutama dibagian penyadapan getah karet.
Guna memenuhi kebutuhan perkebunan akan tenaga kerja. Perkebunan
AGRIS NV juga mengambil tenaga kerja dari luar daerah Ciamis, selain para
pekerja yang berasal dari desa sekitar perkebunan. Titik pembeda antara buruh
pendatang dengan orang desa sekitar yang menjadi buruh, terdapat pada logat
bahasa yang digunakan. Walaupun seluruh buruh perkebunan AGRIS NV
menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa komunikasi sehari - hari. Tetapi,
dialek sunda yang berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lain dapat
dijadikan salah satu indikator penentu darimana buruh tersebut berasal.

45
 
Titik – titik sentuh antara perusahaan perkebunan dengan rakyat yang
mudah menimbulkan konflik seperti perampasan tanah garapan dan lahan
pemukiman warga, tidak ditemukan di perkebunan AGRIS NV. Fenomena Tricle
down effect atau efek tetesan justru dirasakan oleh penduduk desa sekitar
perkebunan. Keberadaan perkebunan membuka lapangan pekerjaan bagi
penduduk desa sekitar. Letak perkebunan yang dekat dengan desa membuat
kehidupan di perkebunan tidak terisolasi dari dunia luar. Bahkan, terdapat buruh
perkebunan yang telah selesai bekerja, pada sore harinya dapat kembali ke desa
untuk melanjutkan perkerjaan di rumah.
Perbedaan yang mencolok memang terlihat pada taraf hidup golongan atas
(administratuer dan opzicher) dengan taraf hidup golongan bawah (buruh
perkebunan). Perbedan tersebut terdapat pada berbagai macam sisi seperti akses
pendidikan, transportasi, hiburan, dan berbagai pelayanan lainnya. Cerita – cerita
prihal kebiasaan para administratuer dan opzcher yang suka menghabiskan waktu
di Kota Bandung dan Ciamis untuk bersenang – senang, sudah menjadi rahasia
umum dikalangan buruh dan penduduk sekitar perkebunan. Namun, karena
kesadaran akan diskriminasi belum berkembang dimasyarakat, maka rakyat
menerima perbedaan tersebut sebagai suatu hal yang biasa.

4.2.3 Periode Pasca Kemerdekaan


Pasca diproklamirkannya teks proklamasi oleh Soekarno Hatta pada
tanggal 17 Agustus 1945, terjadi perubahan besar pada peta politik di Indonesia.
Hal ini juga mempengaruhi kondisi perusahaan – perusahaan perkebunan yang
ada di Indonesia. Agrarische Wet 1870 yang menjadi dasar dari hak penggunaan
lahan bagi banyak perusahaan perkebunan kemudian dihapuskan. Produk
kebijakan Pemerintah Hindia Belanda tersebut dianggap tidak memihak pada
kepentingan rakyat Indonesia, tetapi lebih bertujuan untuk memberi kemudahan
bagi para pemodal asing.
AGRIS NV sebagai salah satu perusahaan perkebunan asing yang
mendapatkan hak penglolaan lahan dari Pemerintah Hindia Belanda terjebak
dalam kondisi yang tidak jelas. Lahan yang semula dikelola sebagai perkebunan
karet, dibakar oleh warga. Para administratuer dan opczhier tidak lagi diketahui

46
 
keberadaannya. Besar kemungkinan, para petinggi perkebunan tersebut ikut dalam
eksodus warga Eropa yang keluar dari Indonesia pada massa Pendudukan Jepang
(1943 – 1945). Praktis pada saat itu tidak ada kegiatan dari perusahaan
perkebunan di atas tanah perkebunan, baik itu berupa penanaman, penyadapan
pohon karet, atupun pengasapan getah karet.
Pada akhir tahun 1940an, warga sekitar perkebunan AGRIS NV mulai
melakukan penggarapan di atas tanah perkebunan. Penggarapan yang dilakukan
oleh warga tidak dilaksanakan secara berkelompok, tetapi digarap oleh masing –
masing keluarga. Luasan tanah yang digarap oleh masing – masing kelurga pun
berbeda – beda, bergantung dari jumah anggota keluarganya. Pada keluarga yang
memiliki jumlah anggota keluarga besar akan menggarap luasan tanah yang besar,
begitu sebaliknya. Penggarapan yang dilakukan oleh warga, salah satunya dipicu
oleh pidato Presiden Soekarno yang tersebar melalui radio – radio, hingga bisa
terdengar ditelinga warga Banjaranyar. Di dalam podato tersebut, Presiden
Soekarno memerintahkan warga untuk menggarap tanah - tanah perkebunan asing
dan seluruh tanah perkebunan asing akan dikembalikan kepada rakyat.
Pada tahun 1950an, terdapat dua kejadian penting ditingkat nasional yang
cukup mempengaruhi kondisi perkebunan di Kabupaten Ciamis. Pertama, yaitu
pasca Perundingan Meja Bundar di tahun 1949, seluruh perkebunan milik asing
harus dikembalikan, sedangkan perkebunan milik Pemerintah Kolonial diambil
alih oleh Pemerintah Republik Indonesia. Kedua, yaitu nasionasasi seluruh aset
terutama aset perkebunan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Perkebunan –
perkebunan yang ada pada saat itu akan berdiri di bawah Pusat Perkebuna Negara
Baru (PPN – Baru) dan Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) yang kesemuanya
dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Dua kejadian penting yang terjadi pada periode tahun 1950an tersebut,
praktis tidak mempengaruhi aktivitas warga dalam menggarap lahan bekas
perkebunan AGRIS NV. Pada saat ditetapkannya keputusan Konferensi Meja
Bundar (KMB), warga tetap menggarap lahan AGRIS NV. Pada tahun 1955,
ketika Pemerintah Republik menasionalisasi aset perkebunan, tanah bekas
perkebunan Agris NV tidak masuk kedalam daftar tanah yang akan dikelola
Pemerintah, sehingga pengarapanpun terus dilanjutkan. Dari 42 Hak Erfpacht

47
 
yang ada di Kabupaten Ciamis, hanya lahan perkebunan di daerah Batulawang,
Cigugur, Cikupa, Cimanggu, Karangkamiri, Ciparanti, dan Bangunharja yang
masuk kedalam daftar tanah yang akan dikelola oleh Pemerintah melalui
Perusahaan Negara Perkebunan (PNP). Tanah perkebunan Blok Cigayam (AGRIS
NV) tidak termasuk dalam daftar tanah tersebut. Pada saat ini, seluruh lahan yang
dikelola oleh PNP tersebut, dikelola PT.Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.

4.2.4 Era Orde Baru


Pada tahun 1982, aktivitas penggarapan rakyat terusik dengan masuknya
PT. RSI ditanah bekas perkebunan AGRIS NV. Menurut penuturan Bapak Oman
yang merupakan salah satu tokoh masyarakat di Desa Banjarnyar, pada tahun
1982 datang seorang wanita yang bernama Ibu Jua. Wanita ini disebut – sebut
sebagai utusan PT RSI untuk mengurus masalah pertanahan, baik itu jual beli
tanah dengan masyarakat ataupun perizinan ditingkat pemerintah desa dan
kecamatan.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis
yang dihimpun hingga tahun 2010, tanah seluas 755,07 hektar yang berada di
wilayah Kecamatan Banjarsari dibebaskan kepada PT. Bukit Jonggol Asri,
berdasar pada SK.Men No. 1 yang dikeluarkan pada tanggal 24 Januari 1975.
Pada tahap pelaksanaannya, PT Bukit Jonggol Asri memberikan kuasa kelola
kepada PT RSI selaku anak perusahaan. Sehingga, dengan kata lain PT RSI tidak
mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah eks-perkebunan AGRIS NV
secara langsung, tetapi melalui PT Bukit Jonggol Asri selaku perusahaan induk.
PT Bukit Jonggol Asri (BJA) merupakan salah satu perusahaan properti
yang terkemuka di Indonesia. Nama perusahaan ini mulai mencuat kepermukaan
setelah terlibat dalam proyek pengembangan 30.000 hektar lahan didaerah
Jonggol pada tahun 1990an. PT. Bukit Jonggol Asri merupakan salah satu
perusahaan yang berada dibawah Group Bimantara yang dimiliki oleh Bambang
Trihatmojo, salah satu putra dari Presiden Soeharto. Nama Bambang Trihatmojo
yang merupakan pemilik perusahaan telah memberi dampak tersendiri bagi warga
Desa Banjarnyar. Warga Banjaranyar cenderung enggan untuk melakukan
perlawanan guna mencegah masuknya perusahaan dilahan eks-perkebunan.

48
 
Mereka lebih memilih untuk diam, meskipun dalam perencanaan pengambangan
perusahaan, tanah – tanah garapan warga termasuk di dalam lahan yang akan
digunakan oleh perusahaan.
Di dalam perencanaan pengembangan perusahaan yang disampaikan
kepada masyarakat, PT. RSI berencana mengembangkan usaha gula singkong.
Tanah yang dahulu merupakan lahan perkebunan AGRIS NV akan dirubah
menjadi perkebunan singkong terpadu. Sedangkan tanah – tanah yang telah
digarap oleh rakyat akan dibeli dengan harga yang layak oleh perusahaan. Pada
perjalanannya, proses jual beli inilah yang terjebak dalam kondisi yang tidak jelas.
Dipihak masyarakat, tidak ada kepastian tentang kapan waktu pembelian dan
harga dari tanah yang akan dibeli oleh perusahaan. Dipihak Pemerintah Daerah,
terutama Camat Kecamatan Banjarsari selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), juga tidak dapat memberi kepastian prihal jual beli tersebut.
Pada tahun 1996, Bapak Eman selaku Camat dari Kecamatan Banjarsari
mengabarkan kepada masyarakat bahwa tanah eks-perkebunan AGRIS NV sudah
tidak lagi dikelola oleh PT RSI. Hak pengelolaan tanah tersebut sudah dialihkan
kepada Perhutani. Pernyataan prihal tukar guling lahan antara PT. RSI dengan
Perhutani diperkuat dengan kehadiran Bapak Jamaludi, pejabat IRPH Perhutani
Ciamis, beberapa hari setelahnya. Pasca kejadian tersebut, Perhutani selaku
penerima hak pengelolaan tanah, melakukan penanaman bibit pohon jati di tanah
seluas 708,5 hektar. Kegiatan penanaman dan pengelolaan pohon jati oleh
Perhutani kemudian terhenti pada tahun 1998.

4.3 Pengorganisiran Petani Banjaranyar dan Aksi Perebutan Tanah


Kerusuhan Tasik yang terjadi pada tanggal 26 Desember 1997 dan
kejatuhan Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan pada tahun 1998,
memberi dampak psikologis bagi warga Kabupaten Ciamis, khususnya
masyarakat Desa Banjaranyar. Masyarakat mulai berani untuk berbicara. Cerita –
cerita tentang ketidakadilan dan kemiskinan yang dialami oleh warga di sekitar
lahan eks-perkebunan, mulai merebak ditengah – tengah masyarakat.
Warga Desa Banjaranyar, yang sebagian besar berkerja disektor pertanian,
mulai mempertanyaan prihal hak pengelolaan lahan yang dimiliki oleh Perhutani.

49
 
Warga juga mulai mempertanyakan prihal apa manfaat yang dapat mereka terima
dari hak pengelolaan tersebut. Pada gilirannya, isu – isu yang berkembang di
tengah masyarakat berubah menjadi aksi penyerangan terhadap lahan eks-
perkebunan.
Aksi penyerangan lahan eks-perkebunan oleh warga, berawal dari
penebangan pohon jati Perhutani secara diam - diam. Penebangan pohon
dilakukan pada malam hari, dengan harapan pelaku penebangan tidak diketahui
oleh pihak berwajib, baik itu Kepolisian, TNI ataupun petugas Perhutani. Pada
setiap malamnya, rata – rata warga berhasil menebang pohon jati seluas 5 hektar.
Aksi penebangan pohon ini tidak bertujuan untuk mencuri kayu,
melainkan bertujuan merusak pohon jati yang menjadi simbol keberadaan
Perhutani diatas lahan eks-perkebunan. Hal ini dibuktikan dengan dibiarkannya
kayu hasil tebangan berserakan dikawasan perkebunan. Bahkan, beberapa hari
setelah penebanganpun tidak ada warga Banjaranyar yang mengambil kayu
tersebut.
Pada awalnya penebangan hanya dilakukan oleh lima orang, yang dimotori
oleh Bapak Oman. Seiring berjalannya waktu, dari hari ke hari jumlah warga yang
ikut melakukan penebangan makin bertambah. Hingga setelah kurang lebih
sebulan dilakukan penebangan pohon jati Perhutani, hampir seluruh lelaki Desa
Banjaranyar ikut andil dalam penebangan tersebut. Para lelaki Banjaranyar
memang menjadi motor dalam aksi penebangan ini. Ibu – ibu, para gadis, dan
anak – anak dilarang untuk ikut andil dalam penebangan, karena dinilai berbahaya
dan penuh dengan resiko.
Menurut penuturan Ibu Wati istri dari Pak Oman, ketika melakukan
penebangan jati Perhutani, Pak oman biasanya pergi pada pukul sebelas malam
dan baru kembali sebelum adzan subuh atau sekitar pukul setengah empat pagi. Ia
dan para istri lainnya sesungguhnya tau apa yang dilakukan suami dan anak lelaki
mereka. Tetapi, tidak ada satu pun dari mereka yang mau membicarakan hal
tersebut diruang publik, seperti diwarung ketika berbelanja ataupun dipengajian
rutin masjid. Susana mencekam yang ada di desa mendorong mereka untuk tidak
membicarakan aksi penebangan ini di ruang publik.

50
 
Besarnya luas lahan yang telah ditebang oleh warga, mulai mengusik
Perhutani selaku pengelola lahan. Pria – pria berbaju dinas TNI dan Brimob dari
Kepolisian mulai sering terlihat di sekitaran desa. Banbinsa yang semula jarang
melakukan pemeriksaan keliling desa, mulai rutin melakukan patroli. Rumah
Bapak Oman beberapa kali didatangi oleh anggota TNI yang menanyakan soal
penebangan kayu di arel perkebunan. Isu yang berkembang pada saat itu, orang –
orang yang menebang pohon jati perhutani merupakan para pencuri kayu. Para
pencuri kayu ini akan ditangkap dan dimasukan ke penjara.
Pada akhir tahun 1998, Pak Oman yang dipandang sebagai penggerak
warga dipanggil oleh Danrem Ciamis untuk dimintai keterangan. Pak Oman
diminta untuk mengakui bahwa ia dan warga lainnya telah melakukan pencurian
kayu di wilayah kerja Perhutani. Setelah seharian penuh diintrogasi oleh petugas,
pada akhirnya Pak Oman mengakui bahwa ia melakukan penebangan kayu, tetapi
tidak melakukan pencurian kayu. Ia berdalih bahwa pohon – pohon jati yang
berada dilahan eks-perkebunan AGRIS NV baru berumur 1 – 3 tahun, masih
terlalu muda untuk dijual.
Pemanggilan Pak Oman ke Danrem Ciamis tidak menyurutkan semangat
perlawanan warga, tetapi justru lebih mengobarkan semangat perlawanan. Warga
menjadi semakin solid dan berani menunjukan ketidaksukaan mereka terhadap
kehadiran Perhutani dilahan eks-perkebunan. Sehari setelah kembalinya Pak
Oman ke desa, warga berkumpul disamping rumah Pak Oman untuk
membicarakan kelanjutan aksi penebangan. Dari hasil musyawarah tersebut,
diputuskan bahwa aksi penebangan pohon jati dihentikan dan tanah – tanah yang
kosong karena ditebang akan digarap oleh warga.
Pada tahun 1999, melalui Sidang Umum Istimewa MPR, Abdurahman
Wahid atau Gus Dur terpilih menjadi Presiden Republik ke – 4. Di dalam salah
satu pernyataannya setelah menjadi Presiden, Gus Dur menyatakan bahwa rakyat
diperbolehkan untuk menggarap tanah – tanah perkebunan dan tanah – tanah
rakyat yang dahulu direbut oleh perkebunan akan dikembalikan kepada rakyat.
Meskipun tidak mendengar dan melihat secara langsung, pernyataan Gus Dur
prihal penggarapan tanah perkebunan juga sampai ketelinga warga Banjaranyar.

51
 
Pasca tersebarnya kabar tersebut, semangat Warga Banjaranyar untuk menggarap
dan menuntut hak atas tanah semakin membesar.
Pada tanggal 26 April 1999 , warga Desa Banajaranyar bersepakat untuk
membentuk Panitia Pembebasan Tanah. Panitia Pembebasan Tanah merupakan
organisasi bentukan warga yang betugas untuk mewakili warga dalam
memperjuangkan hak – hak mereka atas tanah. Pak Oman ditunjuk sebagai ketua
dari panitia pembebasan tanah. Sedangkan jumlah anggota panitia pembebasan
tanah, tidak pernah diketahui secara pasti. Karena tidak pernah dilakukan
pendataan prihal jumlah anggota. Seluruh anggota panitia merupakan warga
Banjaranyar yang mau ikut memperjuangkan hak mereka atas tanah eks-
perkebunan. Menurut Beno, salah seorang pemuda Desa Banjaranyar, pada waktu
pembentukan panitia, warga sangat solid, setiap pertemuan panitia selalu disesaki
warga. Pada waktu itu, penduduk Banjaranyar percaya bahwa dengan berjuang
secara bersama mereka akan lebih mudah untuk mendapatkan tanah.
Perjuangan yang dilakukan Panita Pembebasan Tanah Desa Banjaranyar
tidak hanya sebatas memotori warga untuk melakukan penggarapan di tanah eks-
perkebunan. Pertemuan – pertemuan dengan para pemangku kepentingan lain juga
dijalankan, seperti pertemuan dengan Dinas Kehutanan dan Badan Pertanahan
Nasional (BPN). Meskipun pertemuan - pertemuan tersebut bukanlah inisiasi
warga Banjaranyar tetapi undangan dari pemangku kepentingan lain.
Di dalam berbagai pertemuan dengan BPN, diketahui bahwa
sesungguhnya status tanah eks-perkebunan berada dalam kondisi yang tidak jelas.
Hak Erfpacht yang dimiliki oleh AGRIS NV seharusnya hangus sebelum massa
habis waktunya, yaitu tahun 1945. Pemerintah Hindia Belanda selaku pemberi
Hak Erfpacht, telah jatuh dan digantikan dengan Pemerintah Republik Indonesia.
Maka dengan sendirinya Hak Erfpacht yang telah dikeluarkan kepada AGRIS NV
tidak berlaku lagi, karena Pemerintah Hindia Belanda sudah tidak ada.
Selain itu, aksi tukar guling lahan antara PT. Bukit Jonggol Asri, selaku
penerima Hak Guna Usaha (HGU) lahan eks-perkebunan, dengan Perhutani
dinggap tidak sah. Hal ini dikarenakan tidak adanya bukti tertulis yang mendasari
dilakukannya tukarguling lahan antara PT. Bukit Jonggol Asri dengan Perhutani.
Baik Perhutani ataupun Badan Pertanahan nasional, sama – sama tidak dapat

52
 
membuktikan bahwa hak kelola lahan eks-perkebunan AGRIS NV telah diberikan
kepada pihak Perhutani. Telebih lagi, pada akhir Desember 1999, Perhutani
membantah telah mendapatkan hak kelola lahan dan tidak tau menahu soal tukar
guling lahan eks-perkebunan AGRIS NV dengan PT. Bukit Jonggol Asri. Hal
inilah yang kemudian menambah keyakinan warga untuk terus menggarap lahan
eks-perkebunan. Karena tanah tersebut dianggap sebagai tanah tak bertuan.

4.3.1 Pertemuan Dengan Agustiana


Pasca dilakukannya pertemuan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN)
di Kota Ciamis. Pak Oman dan beberapa orang warga Banjaranyar bertemu
dengan Agustiana yang pada saat itu bergabung dengan aktivis mahasiswa
Ciamis, Tasik, dan Garut dalam YAPEMAS (Yayasan Pengembangan
Masyarakat). Di dalam pertemuan tersebut Agustiana mengajak warga
Banjaranyar untuk melakukan perjuangan bersama dalam memperjuangkan hak
atas tanah dengan membentuk Serikat Petani Pasundan (SPP).
Menurut Agustiana, pada tahun 1999 di daerah Priayangan Timur begitu
banyak kasus persengketaan tanah, baik itu di atas tanah perkebunan ataupun di
atas tanah kehutanan (Perhutani). Pasca terjadinya reformasi pada tahun 1998,
warga yang semula ditekan oleh Pemerintah Orde Baru mulai berani menuntut
hak mereka atas tanah. Hal ini dibarengi dengan meningkatnya gerakan
mahasiswa di kawasan Ciamis, Tasik dan Garut. Ia berpendapat bahwa, gerakan
mahasiswa yang membesar pada tahun 1998 dapat bertahan, hanya apabila
bergabung dengan gerakan rakyat, seperti gerakan petani dalam menuntut tanah.
Menurut Bapak Oman, Agustiana mengajak warga Banjaranyar untuk
bergabung membentuk Serikat Petani Pasundan (SPP) dan membubarkan Panitia
Pembebasan Tanah. Panitia Pembebasan Tanah dianggap tidak akan dapat
bertahan lama, karena hanya bertujuan untuk mendapatkan tanah dan selesai pada
kasus Banjarnyar. Sedangkan Serikat Petani Pasundan (SPP) tidak hanya
bertujuan untuk mendapatkan hak atas tanah tetapi juga bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan tanah tersebut. Selain daripada itu,
bergabungnya warga Banjaranyar dapat menjadi penyokong dalam membantu

53
 
penyelesaian kasus sengketa tanah di desa – desa lain di wilayah Ciamis, Tasik,
dan Garut.
Pasca pertemuan dengan Agustiana di depan gedung BPN, Pak Oman
mengumpulkan warga Banjaranyar untuk membicarakan usulan bergabungnya
gerakan warga Banjaranyar dalam menuntut hak atas tanah dengan Serikat Petani
Pasundan (SPP). Pertemuan yang digelar setelah waktu sholat isya dan diadakan
di dekat rumah Pak Oman juga turut dihadiri Agustianan sebagai perwakilan dari
YAPEMAS. Setelah melakukan beberapa kali pertemuan, pada akhirnya warga
Banjaranyar bersepakat untuk bergabung dengan Serikat Petani Pasundan (SPP).
Tanggal 24 Januari 2000 di Kota Garut, bersama dengan petani dari daerah
Ciamis, Tasik, Garut, warga Desa Banjaranyar ikut mendeklarasikan berdirinya
Serikat Petani Pasundan (SPP). Panitia Pembebasan Tanah yang semula menjadi
wadah organisasi gerakan petani Banjaranyar dalam menuntut hak atas tanah
dibubarkan dan digantikan dengan Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar.

4.4 Makna Tanah Bagi Petani Banajaranyar


“dulu beno waktu awal nikah, beras aja dikirim dari sini.
Coba liat sekarang, alahamdulillah udah mulai bisa mandiri.
Tanah dia 250 bata ajah, cukup tuh buat idup...” (Wati, petani
penggarap)

Hubungan – hubungan yang terjadi antara tanah dengan petani


Banjaranyar tidak hanya didasarkan pada hubungan ekonomi semata. Tanah boleh
jadi merupakan tempat dimana mereka menjalani mata pencaharian sebagai
petani. Terlebih lagi, diatas tanah tersebut jugalah petani Banjarnyar menjalin
hubungan yang berdasarkan ikatan – ikantan solidaritas sosial. Ketika ada petani
yang gagal panen atau mengalami musibah maka beban ini tidak semata – mata
ditanggung oleh petani tersebut. Begitu pula ketika terdapat salah saorang anak
muda yang baru menikah. Anggota komunitas lainnya secara swadaya akan
membantu guna mengurangi beban yang diderita. Bantuan sering kali berupa
beras dan hasil bumi lainnya, tetapi tidak jarang bantuan dapat pula berupa
pekerjaan seperti menggarap tanah garapan tetangganya.

54
 
“kalo saya mening punya tanah tapi susah makan daripada
bisa makan tapi gak punya tanah. Bingung de, kalo gak punya
tanah mah....” (Ati, petani penggarap)

Bagi petani Banjaranyar tanah erat kaitannya dengan rasa aman, aman dari
sisi ekonomi dan aman sisi sosial. Aman dari sisi ekonomi berarti petani tersebut
mempunyai jaminan atas penghasilan yang akan didapatnya dari hasil pertanian.
Keberadaan tanah garapan memungkinkan petani untuk dapat memanfaatkan
potensi dari tanah tersebut. Sehingga Tercipta garansi – garansi secara psikologis,
bahwa masih ada harapan akan hasil panen dari tanaman di atas tanah garapan,
menciptakan kepercayaan diri bagi si petani dalam mengarungi hidup.
Aman dari sisi sosial dapat dilihat dari persepsi masyarakat prihal orang
yang tidak punya tanah garapan. Orang yang tidak punya tanah garapan
dipersepsikan sebagai manusia yang miskin ekonominya, miskin kemauannya,
dan miskin semangatnya.

“susah berarti kalo gak punya tanah.. dari dulu juga kan,
orang sini tanah jarang yang beli... paling sekarang –
sekarang aja ada yang beli, itu juga bukan beli, paling sewa
buat balong... lagian sih... masa tinggal ngegarap aja gak
mau... berarti kan dia males orangnya... kalo ada gitu anak
muda sini yang gak ada tanah, sepetak aja gitu... dijamin
susah cari istri juga...” (Jandi, Sekdes Banjaranyar)

Penduduk Banjaranyar cenderung tidak memiliki banyak pilihan mata


pencaharian. Sebagian besar masyarakat merupakan orang yang menggantungkan
hidupnya pada sektor pertanian. Hal inilah yang kemudian menciptakan
ketergantungan yang tinggi antara penduduk Banjaranyar dengan tanah.
Rasa aman yang diberikan dari keberadaan tanah inilah yang kemudian
terusik dengan kehadiran PT RSI dilahan eks-perkebunan pada awal tahun
1980an. Kuatnya institusi Negara dan Pemerintahan yang cenderung represif
selama masa Orde Baru, membuat petani Banjaranyar tidak mampu untuk
melakukan gerakan perlawanan. Baru setelah kejatuhan rezim Orde Baru dan
melemahnya institusi Negara pada tahun 1998, petani Banjaranyar berani
melakukan gerakan perlawanan.

55
 
Secara de jure, sesungguhnya petani yang menggarap tanah eks-
perkebunan AGRIS NV belum diakui kepemilikan atas tanah garapannya oleh
Negara. Karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) selaku pihak yang berwenang
belum mengeluarkan setifikat kepemilikan atas tanah tersebut, baik itu setifikat
kepemilikan per-individu ataupun secara kelompok..
Tanah, bagi petani Banjaranyar juga dapat dipandang sebagai sarana
ekstistensi mereka dikehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, iuran wajib
bulanan di Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar didasarkan pada luasan
tanah yang digarap oleh masing – masing petani. Petani yang menggarap tanah
satu kavling akan ditarik iuran sebesar dua puluh ribu rupiah dan untuk dua
kavling akan dikenakan iuran empat puluh ribu rupiah.
Pasca masa perebutan tanah eks-perkebunan AGRIS NV oleh warga, tanah
dijadikan alat penghargaan bagi warga Banjaranyar yang dinggap berjasa bagi
perjuangan perebutan tanah. Orang – orang tersebut mendapatkan tanah garapan
lebih besar daripada warga pada umumnya. Apabila masing – masing warga
hanya mendapatkan satu hingga dua kapling tanah. Orang yang dianggap berjasa
dalam perjuangan perebutan tanah akan mendapatkan empat hingga lima kavling
tanah, dengan satu kavling sama dengan dua ratus lima puluh bata.

“tanah itu idup mati.. bapak dapetnya susah.. mesti gelut dulu
sama orang yang loreng – loreng itu... jadi gak bakal dijual,
kepikiran juga enggak...” (Oman, petani penggrap)

“embung jual tanah sih... ibu kan dah tua, garap juga gak
kuat... tinggal ke haji belom... makanya nanem jengjeng, tar
kalo dah gede baru jual... nambahin ongkos munggah haji...”
(Adminah, petani penggarap)

Segala macam kegiatan ekonomi yang terjadi diatas tanah garapan


memang tidak dapat menyingkirkan makna tanah dari unsur ekonomi. Kegiatan –
kegiatan seperti “ngaborong” untuk pekerja penggarap tanah, “ijon” tanaman
kayu rakyat, dan jual beli pohon dibawah tegakan kayu, mudah kita temui di Desa
Banjaranyar.

56
 
BAB V
GERAKAN PETANI BANJARANYAR

5.1 Organisasi Gerakan


Bergabungnya gerakan petani Banjaranyar dengan Serikat Petani
Pasundan (SPP) membawa sejumlah konsekuensi. Konsekuensi tersebut berupa
pembubaran Panitia Pembebasan Tanah Banjaranyar, kepatuhan pada segala tata
pertaturan di dalam SPP, mekanisme penerimaan anggota, dan kesediaan untuk
mengikuti aksi – aksi atau demonstrasi yang dilakukan oleh SPP.
Pada tanggal 26 April 1999, warga Banjaranyar membentuk Panitia
Pembebasan Tanah Banjaranyar. Organisasi ini merupakan wadah perjuangan
warga Banjaranyar untuk mendapatkan hak atas tanah di lahan eks-perkebunan
AGRIS NV. Pasca bergabungnya warga Banjaranyar dengan Serikat Petani
Pasundan (SPP), Panitia Pembebasan Tanah Banjaranyar dibubarkan dan
digantikan dengan Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar. Bergabungnya
gerakan Banjaranyar dengan Serikat Petani Pasundan (SPP) ditandai dengan ikrar
bersama di Garut pada tahun 2000, yang diikuti oleh warga Banjaranyar dan
petani lain dari wilayah Ciamis, Garut, Tasik.
Oraganisai Tani Lokal (OTL) Banjaranyar merupakan salah satu dari
organisasi petani lokal yang berada dibawah Serikat Petani Pasundan (SPP). OTL
berdiri ditingkatan desa dengan tujuan menjaga kesinambungan gerakan massa di
tingkat akar rumput. Selain bertujuan untuk menanamkan nilai – nilai gerakan,
OTL juga merupakan sarana penghubung atau jalur informasi antara anggota SPP
di desa dengan kesekertariatan SPP di Kota Ciamis. OTL inilah yang kemudian
mempermudah sekertariat SPP untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi desa
dan segala permasalahan yang ada di dalam masyarakat desa.
Menurut Agustiana, Sekjen SPP, pendirian OTL baik itu di Desa
Banjaranyar ataupun di desa – desa lainnya bertujuan untuk menjaga massa pada
tingkat akar rumput agar tetap teguh pada garis perjuangan SPP. Pendefinisian
garis perjungan SPP dijabarkan melalui 9 kewajiban anggota SPP, yaitu :
1. Wajib memiliki rasa solidaritas baik sesama anggota maupun sesama manusia
tanpa memandang suku.

57
 
2. Wajib mengikuti dan membangun sikap bergotong royong.
3. Wajib ikut melaksanakan musyawarah dalam pengambilan keputusan
organisasi.

4. Wajib iman dan takwa terhadap Allah SWT.


5. Wajib menjaga lingkungan hidup dan kelestarian alam.
6. Wajib berjuang untuk mendapatkan kesejahteraan dan kehidupan yang layak.
7. Wajib menjadi pemimpin masyarakat yang arif dan bijaksana.
8. Wajib mencari ilmu dan membangun kepintaran dan kecerdasan.
9. Wajib memperjuangkan kebenaran dan keadilan yang hakiki.
Organisasi Tani Lokal berada pada lapisan yang paling bawah. Pada
lapisan atas terdapat terdapat Kongres Dewan Pimpinan OTL sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi. Kongres akan memberikan mandat penuh kepada seorang
Sekertaris Jendral (Sekjen) untuk menjalankan organisasi. Di dalam menjalankan
roda organisasi Sekjen akan dibantu oleh tiga orang Koordinator, tiga orang
deputi atau wakil dan tiga orang kepala divisi.
Tiga orang koordinator yang dibagi berdasarkan wilayah kerja, yaitu
Koordinator wilayah Garut, Koordinator wilayah Tasik, dan Koordinator wilayah
Ciamis. Tetapi khusus untuk wilayah Kabupaten Ciamis, wilayah kerja dibagi
kembali menjadi tiga yaitu Ciamis tengah, Ciamis Selatan, dan Ciamis Utara. Hal
ini disebabkan karena banyaknya kasus sengketa lahan yang ada di wilayah
Kabupaten Ciamis. OTL Banjaranyar berada di bawah Koordinator wilayah
Ciamis, tepatnya Ciamis Tengah.
Tiga orang kepala divisi dibagi berdasarkan fungsi pendukung oraganisasi,
seperti divisi penguatan organisasi, divisi pengolahan sumberdaya hutan, dan
divisi informasi dan telekomunikasi. Secara struktural keberadaan divisi masuk ke
dalam kesekertariatan Sekjen. Pada perkembangannya, guna memenuhi
kebutuhan organisasi keberadaan divisi mengalami beberapa penyesuaian. Hingga
saat ini, terdapat dua divisi baru, yaitu divisi pengembangan ekonomi masyarakat
dan divisi hukum yang kemudian berkembangan menjadi Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) SPP.

58
 
Pertanggungjawaban sekertariat SPP, dalam hal ini Sekjen SPP kepada
Dewan Pimpinan OTL, seharusnya dilakukan satu kali setiap dua tahun. Hal ini
merujuk pada profile SPP yang dikeluarkan pada tahun 2001. Tetapi, hingga saat
ini pertanggungjawaban tersebut belum pernah dilakukan. Pada prakteknya,
mekanisme pertanggungjawaban dilakukan melalui temu OTL yang dilakukan
setiap tiga bulanan di sekretariat SPP. Lama waktu kepengurusan seorang Sekjen
tidak diketahui secara pasti. Semenjak berdirinya SPP pada tahun 2000 hingga
dilakukannya penelitian ini pada tahun 2010, Sekjen Serikat Petani Pasundan
(SPP) tetap dipegang oleh Agustiana.

Kongres Dewan Pimpinan OTL

Kesekretariatan Koord DPP Kab Koord DPP Kab Koord DPP Kab
Sek.Jen  Garut  Tasikmalaya  Ciamis 

Koord. Koord. Koord. Koord. Koord. Koord.


DPP DPP DPP DPP DPP DPP
Wilayah  Wilayah Wilayah  Wilayah  Wilayah  Wilayah 

DPP DPP DPP DPP DPP DPP


OTL  OTL OTL  OTL  OTL OTL 

Anggota

Gambar 4. Struktur Organisasi Serikat Petani Pasundan (SPP)

Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar beranggotakan warga


masyarakat Desa Banjaranyar. Hingga saat ini tercatat, terdapat 190 Kepala
Keluarga (KK) yang terdaftar sebagai anggota dari OTL Banjaranyar. Apabila ada
seseorang yang berkeinginan untuk menjadi anggota, maka orang tersebut wajib
memenuhi beberapa persyaratan atau disebut sebagai tata tertib anggota, yaitu :
1. Mendaftarkan diri pada dewan pimpinan Organisasi Tani Lokal setempat
dan direkomendir oleh Koordinator Dewan Pimpinan Organisasi Tani
Lokal.

59
 
2. Melaksanakan agenda dan program yang telah diputuskan secara parsitipatif
oleh musyawarah Dewan Pimpinan Organisasi Tani Lokal.

3. Membayar iuran wajib anggota yang diputuskan secara musyawarah yang


besarnya ditetapkan oleh musyawarah Dewan Pimpinan Organisasi Tani
Lokal masing-masing.

4. Memiliki kartu anggota Serikat Petani Pasundan.

5. Menjaga nama baik Serikat Petani Pasundan.

6. Menjalin silahturahmi dengan sesama anggota dan pimpinan Organisasi


Tani Lokal dan sesama anggota lainnya

7. Memperjuangkan hak untuk membangun kesejahteraan ekonomi, sosial,


politik, dan budaya bagi anggota.

8. Memelihara dan menjaga keseimbangan lingkungan hidup yang berkeadilan


dan kesetaraan.

9. Berjuang membangun kepintaran dan kecerdasan.

10. Berjuang merebut keadilan dan kecerdasan.

11. Meningkatkan kebersamaan dan gotong-royong.

12. Melaksanakan 9 (Sembilan) Wajib SPP.

13. Mengontrol dan mengawasi kinerja Dewan Pimpinan Organisasi Tani Lokal
masing-masing.

14. Hal-hal yang belum tercantum dari poin 1 sampai dengan poin 13 akan
diatur dan dimusyawarahkan dikemudian hari.

Hal ini jelas berbeda dengan organisasi yang sebelumnya dibetuk oleh
warga Banjaranyar, yaitu Panitia Pembebasan Tanah (PPT). Di dalam PPT tidak
dikenal adanya persyaratan khusus untuk masuk menjadi anggota organisasi.
Seluruh warga Banjaranyar yang berkeinginan bergabung dengan PPT, cukup

60
 
datang dan ikut aktif di dalam setiap rapat dan kegiatan PPT. Maka, dengan
sendirinya orang tersebut sudah menjadi anggota PPT.
OTL Banjaranyar dipimpin oleh seorang ketua yang dibantu sekertaris
OTL dan bendahara OTL. Mekanisme pemilihan ketua OTL di Desa Banajaranyar
dilakukan secara musyawarah. Seluruh anggota OTL berhak mencalonkan
siapapun, asalkan orang tersebut merupakan anggota SPP. Setelah seorang ketua
terpilih menjadi ketua OTL, barulah kemudian ketua OTL diberikan hak untuk
dapat memilih sekertaris dan bendahara. Keberadaan ketua OTL tidak hanya
bertugas untuk menjalankan amanah organisasi, tetapi juga bertindak sebagai
pemersatu dari para anggota OTL.
Butir – butir peraturan baik itu 9 wajib anggota ataupun tata tertib
anggota, tidak ditetapkan oleh OTL Banjaranyar sendiri. Seluruh peraturan yang
ada dimusyawarahkan di dalam rapat Dewan Pimpinan OTL Serikat Petani
Pasundan (SPP). Setelah disepakati oleh seluruh anggota Dewan Pimpinan OTL
SPP, maka peraturan tersebut akan disebarkan keseluruh anggota, untuk segera
dilaksanakan.
Sistem keanggotaan yang ada di OTL Banjaranyar memang merujuk pada
pada sistem keanggotaan yang ada di Serikat Petani Pasundan (SPP). Hal ini
merupakan salah satu konsekuensi yang harus ditanggung gerakan petani
Banjaranyar ketika bergabung dengan SPP. Di dalam tubuh SPP terdapat dua
macam keanggotaan yaitu anggota dan pendamping. Kedua tipe anggota tersebut
diperlakukan sama, dalam artian keduanya memiliki kewajiban untuk mentaati 9
wajib anggota, tata tertib anggota, dan segala keputusan Dewan Pimpinan OTL
SPP.
Anggota merupakan para petani yang berada di desa dalam wilayah kerja
dan berada di bawah koordinasi OTL. Pendamping adalah para mahasiswa yang
ikut andil dalam perjuangan petani. Secara struktural, pendamping SPP berada di
dalam kesekertarian Sekjen dan bertanggungjawab langsung kepada Sekjen SPP.
Sebagian besar pendamping merupakan mahasiswa yang berasal dari universitas
yang ada tiga Kabupaten di Priyangan Timur, yaitu Garut, Ciamis, Tasik.
Pendamping inilah yang kemudian bertugas mengadvokasi para petani dan
menyadarkan petani prihal hak dan kewajiban mereka, khususnya hak petani atas

61
 
tanah. Meskipun, tidak jarang pada prakteknya para pendamping ini harus juga
belajar bercocok tanam kepada para petani.

5.2 Strategi Gerakan


Bergabungnya gerakan petani Banjaranyar dengan Serikat Petani
Pasundan (SPP), telah memperbesar ruang gerak dari gerakan petani Banjaranyar.
Gerakan petani yang semula hanya berputar pada lingkup desa dan satu daerah
reclaim berkembang menjadi sebuah gerakan petani ditingkatan regional, yaitu
Karesidenan Priayangan Timur. Selain meluasnya ruang gerak, penggabungan ini
juga berdampak pada strategi gerakan yang digunakan.
Pada mulanya, perlawanan yang dilakukan oleh petani Banjaranyar berupa
pendudukan lahan eks-perkebunan. Pendudukan ini diawali dengan pemotongan
pohon – pohon jati Perhutani, yang dikuti dengan penggarapan dilahan tersebut.
Setelah dianggap memiliki kekuatan yang cukup, dibentuklah organisasi untuk
mewadahi perjungan guna mendapatkan hak atas tanah. Terbentuknya organisasi
yang kemudian disebut sebagai Panitia Pembebasan Tanah Banjaranyar berhasil
meningkatkan persatuan diantara petani penggarap.
Pada periode tahun 1999 – 2000 ketika terbentuknya panitia pembebasan
tanah, persatuan diantara warga Banjaranyar, memang dianggap sebagai cara yang
paling ampuh untuk merebut dan mempertahankan tanah.

“waktu panitia kita pikir gini, yang penting nyatu dulu. Guyub
ajah yang penting. Emang keliatan si... tiap ada pertemuan
rame, semua orang dateng. Orang tani, orang dagang, guru,
dateng semua. Polisi juga takut kalo gitu mah... masa dia mau
nangkep sekampung, kan gak mungkin.” (Oman, petani
penggarap)

Persatuan yang terjadi di antara warga desa juga disokong oleh penyebaran
ide gerakan yang gencar dilakukan oleh para anggota panitia. Penyebaran ide –
ide perjuangan dilakukan melalui pertemuan desa, pertemuan panitia tanah,
rembuk warga, serta pembicaraan informal lainnya. Penyebaran ide perjungan
tidak hanya terbatas pada para petani penggarap, tetapi seluruh warga Desa
Banjaranyar. Media komunikasi yang dipakai, lebih banyak menggunakan

62
 
komunikasi langsung dari mulut ke mulut. Tidak ada selebaran ataupu pamflet
yang disebarkan untuk memasifkan gerakan.
Strategi perjuangan yang digunakan pada massa terbentuknya panita
pembebasan tanah memang lebih bersifat ke dalam desa. Penggunaan strategi
guna memanfaatkan sumberdaya, individu, ataupun institusi di luar desa seperti
penggunaan media massa, penguatan jaringan dengan aktivis mahasiswa dan
LSM, serta audiensi dengan para pemangku kepentingan belum dilakukan secara
maksimal. Perjuangan keluar desa yang sempat dilakukan oleh panitia
pembebasan tanah, baru berupa pertemuan dengan Badan Pertanahan Nasional
(BPN) Kabupaten Ciamis diakhir tahun 1999.
Pada tahun 2000, setelah bergabungnya gerakan petani Banjaranyar
dengan dengan Serikat Petani Pasundan (SPP), strategi yang digunakan dalam
melakukan perlawanan mengalami perubahan, baik yang bersifat kedalam ataupun
keluar desa. Sistem keanggotaan yang diterapkan oleh SPP telah merubah tata
cara penyebaran ide gerakan di dalam desa. Penyebaran ide gerakan tidak lagi
ditujukan kepada seluruh warga desa, melainkan hanya kepada anggota SPP,
khususnya OTL Banjaranyar.
Di dalam profile SPP yang dikeluarkan pada tahun 2001, seluruh anggota
SPP diwajibkan untuk menjadi seorang khalifah. Khalifah dimuka bumi, khalifah
dalam menguasai sumberdaya agraria, dan juga khalifah dalam membuat dan
menjalankan kebijakan di tingkatan desa.

“kami mengesampingkan negara, karena fungsi negara proses


dari rakyat ini. Bagaimana agar rakyat didesa tidak miskin...
dapat memiliki tanah... dan juga terlibat dalam proses
pembuatan kebijakan di tingakat desa. Jadi seluruh anggota
SPP harus mampu ngasih manfaat kedesanya, dan harus mau
dan mampu jadi pemimpin di desa. Karena manusia memang
tugasnya jadi khalifah... pemimpin...” (Agustiana, Sekjen
Serikat Petani Pasundan)

Seluruh anggota OTL Banjaranyar selalu didorong untuk dapat berperan di


desa. Selain ikut andil dalam program – program yang dikeluarkan oleh
Pemerintah desa, anggota OTL juga dituntut untuk ikut dalam program
pemerintah pusat yang mengalir ke desa. Bahkan, pada periode kepemimpinan

63
 
saat ini Kepada Desa Banajaranyar merupakan anggota Serikat Petani Pasundan
(SPP).
Berbagai macam peran yang diambil oleh anggota OTL di desa, dapat
dikatakan bertujuan untuk meminimalisir resistensi yang berasal dari dalam desa.
Menurut Hermawan, salah satu pendamping yang ada di OTL Banajaranyar,
perjuangan mendapatkan tanah merupakan perjalanan yang penuh dengan
rintangan. Segala macam rintangan tersebut akan menjadi berkali – kali lipat
kesulitannya apabila di dalam desa sendiri ada resistensi pada keberadaan OTL
Banjaranyar (SPP).
Serikat Petani Pasundan (SPP) tidak hanya berisikan para petani, tetapi
juga para mahasiswa yang kemudian menjadi pendamping di dalam organisasi.
Kehadiran para mahasiswa inilah yang kemudian memberikan warna baru pada
strategi gerakan yang digunakan. Perubahan strategi gerakan jelas terlihat pada
hubungan gerakan petani Banajaranyar dengan berbagai kekuatan diluar desa.
Pada massa panitia pembebasan tanah, petani Banajaranyar tidak pernah
sekalipun melakukan aksi demontrasi. Keterbatasan dana, rasa takut apabila
melakukan perlawanan di luar desa, jauhnya jarak antara Desa Banjaranyar
dengan pusat pemerintahan dan ketidaktahuan tentang apa itu demontrasi menjadi
beberapa faktor penyebab tidak dipilihnya demonstrasi sebagai strategi
perlawanan. Pasca tahun 2000, sudah tidak terhitung berapa kali OTL Banjaranyar
sudah melakukan aksi demontrasi, baik itu ke Pemerintah Pusat (Jakarta) ataupun
ke Pemerintah Daerah (Bandung dan Ciamis).
Pada setiap aksi demontrasi, sudah ada semacam pembagian tugas. Para
pengurus OTL di Desa Banjaranyar bertugas untuk mengumpulkan massa aksi
dan uang dari para anggota. Besaran iuran aksi disesuaikan dengan luas tanah
yang digarap, untuk setiap kavling tanah garapan anggota akan dikenai iuran
sebesar Rp 20.000,00. Uang hasil iuran anggota tersebut kemudian digunakan
untuk menyewa truk, untuk mengangkut masa aksi, dan perbekalan selama
dilakukannya aksi demontrasi. Bagi para pendamping yang bertugas di
kesekertariatan Sekjen, bertugas untuk mengurus perizinan aksi di Kepolisian,
menetukan target dan tuntutan aksi, menghubungi media masa, serta mengurus

64
 
bantuan hukum apabila ada anggota yang tertangkap selama demonstrasi
berlangsung.
Demontrasi yang dilakukan Serikat Petani Pasundan (SPP) tidak hanya
diikuti oleh OTL Banjaranyar, tetapi seluruh OTL wajib mengikuti setiap aksi
demonstrasi. Hingga saat ini terdapat 36 OTL yang tersebar di tiga wilayah
Kabupaten, yaitu Garut, Tasik, dan Ciamis. Aksi demontrasi terakhir yang
dilakukan pada Juli 2010, tidak kurang dari 6000 orang turut memenuhi Kota
Bandung dengan satu tuntutan. Tuntutan yang dibawa ialah permintaan kepada
Kepala Dinas Kehutanan Jawa Barat untuk mencabut penyataannya, yang
menyatakan bahwa anggota SPP merupakan para pencuri kayu.
Penggunaan media masa, baik saat demonstrasi ataupun tidak, juga
merupakan hal baru bagi gerakan petani Banjaranyar. Kemampuan media untuk
dapat membentuk opini masyarakat, terutama masyarakat di luar lingkup desa,
dianggap dapat membantu perjungan mereka.

“pake wartawan kan supaya semua orang jadi tau. Ada apa
disini... orang Jakarta tau, Bandung tau, mas juga jadi tau...
Pejabat juga kan sering susah ditemuin nya. Kalo berita kita
ada di tipi sama koran gitu... kan dia jadi tau kalo kita ini
masih terus berjuang... hoyong tanah yeuh pak.. kasih dong.”
(Hermawan, pendamping Serikat Petani Pasundan)

Strategi gerakan yang baru pada tahun 2004 mulai dilakukan ialah
intervensi pada ranah politik praktis, baik ditingkat eksekutif ataupun legislatif.
Pada tahun 2004 sistem pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia dirubah menjadi
sistem pemilihan langsung. Seluruh penduduk Indonesia yang telah memenuhi
persyaratan, berhak memilih langsung pemimpin diekskutif (Presiden, Gubernur,
Bupati) dan perwakilan dilegislatif (DPR, DPRD). Perubahan sistem pemilihan
umum dimanfaat dengan cara memasukan anggota SPP menjadi calon anggota
legislatif. Hingga saat ini terdapat empat orang anggota SPP yang telah menjadi
anggota dewan di DPRD Ciamis. Begitu pula dengan Pemilu Kepala Daerah
Kabupaten Ciamis, mekipun tidak ada anggota SPP yang mencalonkan diri
sebagai Bupati, posisi penting SPP berada pada arah dukungan masa gerakan.

65
 
“SPP itu tidak akan mendukung salah satu calon... kalo orang
– orangnya saya gak bisa jamin ya... kan urusan masing –
masing... tapi bagi calon bupati yang tidak mendukung
perjuangan SPP... dijamin gak bakal didukung sama SPP...
saya juga yakin gak bakal menang tuh...” (Agustiana, Sekjen
Serikat Petani Pasundan)

Intervensi keranah politik praktis, berangkat dari kesadaran bahwa


perjuangan perebutan hak – hak petani atas tanah sulit berhasil bila tidak ada
dukungan dari pemerintah. Gerakan petani merupakan sarana yang digunakan
untuk dapat memaksa pemerintah memperhatikan hak – hak petani. Di dalam
prosesnya SPP, termasuk OTL Banjaranyar di dalam nya, memilih untuk tidak
hanya memaksa dan menunggu kebaikan Pemerintah tetapi juga berperan aktif
dalam terhadap jalannya pemerintahan.

“dulu waktu susno jadi Kapolda, kan kita dituduh makar.


Dosa tuh dia... makanya sekarang blangsak gitu... kalo mau
makar, ngapain kita dukung puying jadi anggota DPRD. Kita
ini mau ingetin pemerintah kalo petani itu ada, petani itu
susah... kalo diingetin susah ya kita masuk dong... biar bisa
ngingetinnya tiap hari.” (Jek, Koordinator Wilayah Ciamis
Serikat Petani Pasundan)

5.3 Kepemimpinan
Selayaknya yang dinyatakan oleh Scott (1971), kepemimpinan merupakan
salah satu syarat penting terbentuknya gerakan petani. Marx (1875)
menganalogikan petani seperti kentang di dalam keranjang, yang meskipun
bersatu susungguhnya terpisah antara satu dengan yang lain. Petani membutuhkan
perwakilan yang berasal dari kelas yang berbeda untuk menyatukan dan
menyatakan diri mereka ke dalam sebuah kelas. Perwakilan inilah yang kemudian
bertugas untuk memimpin dan membantu mereka, guna melawan kelas – kelas
penindas.
Rabu 2 Juni 2010, pukul dua siang Oman kembali kerumah. Pria berusia
57 tahun ini telah lima jam berada di ladang. Ladang yang berisi tanaman cokelat
(kakao), kopi, singkong, pisang, dan dua buah balong (kolam ikan) dirawatnya
setiap hari dengan bantuan istri dan beberapa orang tetangga. Tubuh tua Oman
sudah tidak lagi mampu bekerja sehari penuh di ladang. Sesekali ia mengeluhkan

66
 
kondisi tubuhnya yang mudah sekali lemas. Terlebih lagi penyakit chikungunya
yang dideritanya dalam tiga minggu terakhir membuat seluruh persendiannya
sering terasa sakit, terutama pada waktu malam hari.
Penampilan Oman dirasa kurang meyakinkan untuk menjadi seorang
pemimpin gerakan petani. Ia bukanlah seorang orator ulung yang dapat membuat
orang – orang terpukau ketika berpidato. Oman lebih banyak diam ketika aksi
demonstrasi ataupun pertemuan dengan para pemangku kepentingan. Siapa yang
menyangka, lelaki ini telah berhasil membakar semangat warga Banajaranyar
untuk merebut tanah eks-perkebunan AGRIS NV.
Tahun 1998, Oman mengajak beberapa warga untuk membabat tanaman
jati yang ditanam Perhutani di lahan eks-perkebunan. Kejatuhan rezim Orde Baru
menciptakan momentum dan menumbuhkan keberanian diantara warga
Banjaranyar untuk melawan. Kemampuan Oman dalam mempengaruhi orang lain
ketika berbicara secara langsung, membuat aksi pembabatan pohon jati semakin
mudah dilakukan. Ia berusaha menyadarkan warga bahwa di dalam tanah eks-
perkebunan, juga terdapat hak mereka.

“tanah ada didepan mata masa digarap aja gak boleh... kalo
warga disini udah pada kaya sih gak papa.. tapi ini kan
susah... mau idup aja mesti ke kota... ngegarap juga bukan
buat dijual.. buat idup aja...” (Oman, Petani Panggarap)

Oman dipandang sebagai seorang yang gigih dan berpengetahuan luas.


Pengalamannya selama lebih dari 25 tahun menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil
(PNS), cukup membuat ia mengetahui kondisi diluar desa. Warga Banjaranyar
sering datang ke rumah Oman untuk bertanya prihal banyak hal, seperti soal tanah
garapan, permasalahan seputar pertanian, hingga sekolah yang baik untuk anak –
anak mereka.
Berdasarkan tipe – tipe kepemimpinan, kepemimpinan Oman dapat
digolongkan kedalam tipe kepemimpinan paternalistik. Oman dihormati di desa
sebagai seorang tetua desa, bukan hanya karena sudah cukup berumur, tetapi juga
karena dipandang sebagai orang yang mampu memberi suri tauladan. Pada saat
pembentukan Panitia Persiapan Tanah Banjaranyar, Oman ditunjuk sebagai ketua.

67
 
Ia adalah penggagas aksi pembabatan pohon jati Perhutani, Oman jugalah yang
menyusun strategi selama pembabatan berlangsung.
Pada saat gerakan petani Banjaranyar meleburkan diri kedalam Serikat
Petani Pasundan, oman kembali ditunjuk menjadi Ketua Organisasi Tani Lokal
(OTL) Banjaranyar. Tidak banyak perubahan pada gaya kepemimpinan Oman. Ia
lebih sebagai “bapak” bagi para anggota OTL. Pertemuan rutin anggota ia buat
sedemikian rupa sehingga tidak terasa membosankan bagi anggota. Persoalan –
persoalan yang dibahas tidak melulu mengenai tanah garapan dan strategi aksi
perlawanan. Para anggota diberikan ruang untuk menyampaikan keluh kesah dan
segala permasalahan pribadi mereka.
Selain membuka ruang untuk para anggota disetiap pertemuan rutin, ia
juga menjadikan rumahnya sebagai rumah bagi semua orang. Apabila ada yang
tidak tersampaikan pada pertemuan rutin, setiap anggota OTL bisa
menyampaikannya di rumah Oman. Hampir setiap hari selepas bekerja di ladang,
Oman selalu kedatangan tamu, baik para anggota ataupun orang luar desa. Letak
rumah Oman berada di tengah jalur penghubung antara Kota Banjarsari dengan
Desa Pasawahan dan Desa Bangunkarya. Sehingga, para anggota ataupun
pendamping SPP dari desa lain sering kali singgah di rumah Oman.
Bergabungnya gerakan petani Banjaranyar, juga dapat dikatakan sebagai
pertemuan dua orang pemimpin. Oman yang merupakan pemimpin gerakan petani
pada tingkat desa bertemua dengan Agustiana yang merupakan pemimpin gerakan
petani ditingkat daerah, yaitu Priyangan Timur. Kedua orang ini mempunyai tipe
kepemimpinan yang berbeda. Apabila Oman memiliki gaya kepemimpinan yang
paternalistik, maka Agustiana merupakan sosok pemimpin yang kharismatik.
Nama Agustiana mulai dikenal oleh penduduk Priyangan Timur dan
sekitarnya, pasca terjadinya kerusuhan Tasik pada tahun 1997. Ia dan beberapa
orang lainnya ditangkap oleh pihak Kepolisian dan dituduh sebagai dalang dari
kerusuhan Tasik. Setelah keluar dari penjara, dengan memanfaatkan momentum
reformasi, Agustiana dan beberapa aktivis mahasiswa melakukan pengorganisiran
petani di wilayah Ciamis, Garut, dan Tasik. Pengorganisiran ini difokuskan pada
aksi perebutan hak atas tanah, baik itu di lahan perkebunan ataupun Perhutani.

68
 
Agustiana merupakan pemimpin yang memiliki begitu banyak pengikut.
Balas jasa, kekaguman, gigih, dan perhatian dengan nasip petani, merupakan
beberapa contoh dari kesan yang disampaikan anggota SPP terhadap sosok
Agustiana. Loyalitas anggota SPP terhadap sosok Agustiana, bahkan terlihat pada
kehidupan sehari – hari. Sebagai contoh, pada minggu pertama bulan Juni 2010,
Agustiana menjalankan ibadah umroh. Pukul 10.00 sebelum sebelum berangkat
ke Arab Saudi, Agustiana mengirimkan pesan singkat kepada Koordinator
wilayah Ciamis, Garut, dan Tasik. Pesan tersebut berisikan permohonan izin
pamit ke tanah suci dan permohonan doa untuk keselamatan selama beribadah.
Beberapa saat kemudian, kooordinator mengirimkan pesan tersebut kepada
seluruh ketua OTL di wilayah kerjanya masing – masing. Pada malam harinya di
Desa Banjaranyar, pukul 19.10 tidak kurang dari 40 orang anggota OTL
Banjaranyar datang ke rumah Oman dengan berpakaian muslim lengkap. Mereka
semua datang dengan tujuan untuk mendoakan Agustiana agar selamat selama
menjalankan ibadah umroh.
Permasalahan justru timbul pada regenerasi dari kepemimpinan didalam
tubuh Serikat Petani Pasundan (SPP). Loyalitas yang begitu besar kepada
Agustiana, membuat seakan – akan sosok Agustiana tidak tergantikan sebagai
seorang pemimpin. Bagi seluruh anggota SPP, khususnya yang berada
dikesekertariatan Sekjen dan OTL Banjaranyar, beranggapan bahwa tidak ada satu
orang pun anggota SPP yang pantas menggantikan Agustiana.
“Agustiana mah kasep, pinter, ulet... punya istri berapa juga
dia mah pantes – pantes aja... coba liat... mau Bupati, BPN,
DPRD, semua juga nurut ama dia... dan yang paling penting...
dia itu peduli sama nasip petani... gak ada ganti nya...”
(Oman, Petani Penggarap)

“saya juga bingung kalo ditanya siapa gantinya kang agus...


gak ada sih kayaknya... susah nyari orang konsisten kayak dia
gitu... kalo sekarang, baru dampingin satu desa ajah.. udah
mau jadi anggota dewan.” (Hermawan, Pendamping Serikat
Petani Pasundan)

“gak tau... gak ada yang pantes gantiin kayaknya sih... lagian
juga yang laen kan sadar diri... beda derajat gitu...” (Wati,
Petani Penggarap)

69
 
BAB VI

KELANGSUNGAN GERAKAN PETANI BANJARANYAR

6.1 Redistribusi Tanah


Pada tahun 2000, perjuangan warga atas lahan eks-perkebunan AGRIS NV
mulai membuahkan hasil. Lahan perkebunan seluas 708,35 hektar
diredistribusikan kepada warga desa sekitar perkebunan, yaitu Desa Kalijaya,
Desa Pasawahan, Desa Cigayam, dan Desa Banjaranyar. Di Desa Banjaranyar
terdapat 195 orang yang kemudian mendapatkan tanah. Redistribusi tanah yang
ada di Desa Banjaranyar didasarkan pada tiga hal, yaitu ramah lingkungan,
berkesinambungan, dan berkeadilan
Pertama, ramah lingkungan yaitu pada setiap pembagian tanah faktor alam
menjadi hal yang harus diperhatikan. Tanah dengan kemiringan 60 derajat atau
lebih, tidak boleh ditanami tanaman musiman. Tanaman kayu seperti Albasia
(jengjeng/sengon), kayu afrika, dan tanaman buah (nangka, durian, manggis, dll)
amat dianjurkan pada tanah tersebut. Setelah ditanami tanaman kayu, barulah di
antaranya diperbolehkan ditanami tumbuhan lain, seperti kapol, singkong, dan
pisang. Hal ini bertujuan untuk menjaga kestabilan tanah, karena tanah dengan
kemiring lebih dari 60 derat amat rentan terjadi longsor.
Kedua, berkesinambungan yaitu kemampuan dan kemauan petani dalam
menggarap tanah. Pembagian tanah juga melihat dari kapasitas petani penerima
tanah dalam menggarap. Kapasitas petani dalam menggarap tidak hanya dilihat
dari keahlian seseorang, tetapi juga dari usia petani dan jumlah anggota keluarga
petani. Apabila tanah yang telah diberikan tidak digarap selama tiga tahun, maka
tanah tersebut akan diambil kembali dan diberikan kepada petani yang mau dan
mampu untuk menggarap. Selain penggarapan yang dilakukan secara
berkesinambungan, keberadaan tanah redistribusi juga diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan petani.
Ketiga, berkeadilan yaitu pembagian luasan tanah tidak berat sebelah atau
hanya menguntungkan satu atau dua orang semata. Seseorang bisa mendapatkan
tanah garapan apabila sudah berusia 21 tahun atau sudah menikah. Luasan tanah
yang diterima antar petani pun berbeda - beda. Petani yang mendapatkan tanah di

70
 
pinggir jalan desa maka akan mendapatkan tanah seluas 140 bata atau 2000 meter
persegi. Sedangkan petani yang mendapatkan tanah di tengah atau jauh dari jalan
desa, maka akan mendapatkan tanah garapan seluas 33000 meter persegi.
Segala tata peraturan redistribusi tanah yang ada di Desa Banjaranyar,
merujuk pada peraturan redistribusi tanah yang dikeluarkan oleh Serikat Petani
Pasundan (SPP). Peraturan tersebut pada awalnya dimusyawarahkan di dalam
pertemuan rutin tiga bulanan para ketua OTL di sekretariat SPP. Setelah
disepakati secara bersama, barulah peraturan tersebut diterapkan diseluruh OTL,
termasuk OTL Banjaranyar. Pada tingkat pelaksanaan, redistribusi tanah
diserahkan kepada pengurus OTL dengan terlebih dahulu bermusyawarah
bersama para anggota OTL.

6.2 Sistem Kebun


Sartono Kartodirdjo (1991) menyatakan bahwa, sistem perkebunan
komersial pada dasarnya merupakan sistem perkebunan Eropa (European
plantation). Sistem perkebunan tersebut sama sekali berbeda dengan sistem kebun
(garden system) yang telah lama ada di Indonesia. Sistem kebun merupakan usaha
pertanian dengan skala kecil, tidak padat modal, penggunaan lahan terbatas,
kurang berorientasi pasar dan sumber tenaga kerjanya terpusat pada anggota
keluarga.
Tanah redistribusi warga pada mulanya merupakan lahan perkebunan
kopi. Pada saat Indonesia dikuasai oleh Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda,
lahan tersebut dikelola oleh perusahaan perkebunan AGRIS NV, dengan karet
sebagai komoditas utama. Perubahan kepemimpinan nasional, juga turut merubah
kondisi perkebunan. Pasca kemerdekaan, tepatnya pada era Ode Baru, hak
pengelolaan lahan diberikan kepada PT. RSI. Pada perjalanannya, terjadi tukar
guling hak kelolaan lahan antara PT RSI dengan Perhutani. Hingga tahun 1998,
Perhutani melakukan penanaman pohon jati pada lahan tersebut.
Pada tahun 2000, tanah seluas 708 hektar dibagikan kepada warga di desa
sekitar perkebunan. Di Desa Banjaranyar, para petani menggarap secara mandiri
dan dengan sendirinya menghapuskan sistem perkebunan yang semula ada.
Tenaga kerja yang dipergunakan untuk menggarap tanah terpusat pada tenaga

71
 
kerja keluarga. Sehingga besar kecilnya jumlah anggota keluarga amat
mempengaruhi cepat lambatnya penggarapan dan jenis tanaman yang akan
ditanam. Apabila ada perkerjaan yang tergolong berat, seperti pembuatan kolam
ikan, pembersihan dan pembukaan lahan, ataupun pemanenan dalam jumlah yang
besar, maka pekerjaan tersebut akan dibantu oleh buruh tani.
Tanah yang digarap oleh petani Banjaranyar sebagian besar merupakan
kebun campur yang didominasi oleh tanaman sengon (jengjeng), singkong,
pisang, dan kelapa. Tanaman pangan seperti singkong dan pisang pada umumnya
dikonsumsi sendiri. Sedangkan kelapa dijual kepada pengumpul kelapa yang ada
di Kota Banjarsari, Ibu Kota Kecamatan. Setiap butir buah kelapa dihargai tujuh
ratus rupiah. Menurut penuturan Jandi, Sekdes (Sekertaris Desa) Banjaranyar,
harga kelapa jatuh pasca kepemimpinan SBY. Harga tetinggi ada pada massa
kepemimpinan Presiden Habiebie, untuk setiap butir kelapa dihargai lima ribu
rupiah.
Salah satu hal yang paling menonjol dari tanah garapan petani Banjaranyar
ialah keberadaan dari tanaman kayu, khususnya pohon sengon (jengjeng).
Seorang petani di Desa Banjaranyar bisa menanam empat puluh hingga seratus
pohon sengon di atas tanah garapannya. Menurut penuturan Oman, pemimpin
gerakan petani Banjaranyar, pohon sengon merupakan salah satu tanaman yang
banyak ditanam karena memberikan penghasilan besar bagi petani. Batang (kayu)
pohon sengon sangat mudah untuk dijual dan memiliki harga yang tinggi.
Sedangkan daun dan ranting – ranting muda, dapat digunakan sebagai pakan
ternak. Terdapat tiga cara yang biasa digunakan petani Banjaranyar untuk menjual
kayu sengon (jengjeng), yaitu menjual ke-pengumpul, sistem ijon dan dijual
langsung pabrik pengolahan.
Pengumpul merupakan sebutan bagi orang yang memborong tanaman
kayu rakyat. Apabila petani ingin menjual pohon sengon mereka kepada
pengumpul mereka tidak perlu membawa batang pohon sengon ketempat
pengumpulan kayu. Mereka cukup menunggu di tanah garapan mereka masing –
masing. Karena hampir setiap hari, selalu ada saja pengumpul yang berkeliling
desa untuk memborong kayu. Pohon sengon apabila dijual kepada pengumpul,

72
 
lima puluh tanaman sengon yang berumur lima tahun, akan dibeli dengan harga
tiga juta rupiah.
Ijon merupakan cara penjualan pohon sengon sebelum masa panen tiba.
Setelah waktu panen barulah sengon tersebut diambil oleh penangguk ijon.
Memang terdapat kelemahan ketika menjual pohon sengon dengan cara ijon, yaitu
petani akan mendapatkan harga jual yang rendah. Sebagai contoh untuk lima
puluh batang pohon sengon yang dijual dengan sistem ijon hanya dihargai satu
setengah juta rupiah, atau tiga puluh ribu per batang. Hal ini sungguh merugikan
petani, karena apabila dijual pada waktu panen, pohon sengon akan berharga tidak
kurang dari enam puluh ribu per batang. Penangguk ijon tidak selalu berperan
sebagai pengumpul, karena sering kali petani sengon meng-ijon-kan tanaman
sengonnya kepada warga desa lain yang dianggap kaya.
Ketiga ialah menjual pohon sengon langsung ke pabrik pengolahan kayu.
Penjualan pohon sengon langsung ke pabrik pengolahan kayu lebih
menguntungkan petani. Karena harga beli per batang kayu sengon bisa mencapai
Rp 100.000,00. Hanya saja untuk memasukan kayu ke pabrik petani harus
menanggung sendiri biaya penebangan dan pengangkutan kayu. Pabrik tidak
menyediakan fasilitas penjemputan dan penebangan di Desa Banjaranyar.
Terdapat dua pabrik yang biasa menjadi tempat tujuan penjualan kayu sengon
petani Banjaranyar yaitu PT. AP dan PT. BKL.
Sistem kebun (garden system) juga dapat dilihat sebagai jalan yang
ditempuh petani Banjaranyar untuk mendapatkan kemerdekaan pada sektor
ekonomi. Sistem kebun memberikan keleluasaan kepada petani untuk dapat
menanam dan memanfaatkan hasil pertanian sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan mereka. Hal ini dimungkinkan karena pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan komoditas pertanian dan pemanfaatan hasil berada pada tingkat
rumah tangga petani.
Sebagai contoh, Beno seorang petani penggarap di Desa Banjaranyar,
membutuhkan uang untuk biaya anaknya masuk Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Ia memiliki dua puluh pohon sengon diatas tanah garapannya. Pada bulan
Juni, ia menjual sepuluh pohon sengon, dan menunda penjualan sepuluh pohon
sengon sisanya. Ia beranggapan bahwa sepuluh batang pohon sengon sudah cukup

73
 
untuk memenuhi biaya sekolah anaknya. Sedangkan sepuluh pohon sengon
sisanya akan ditebang nanti, ketika anaknya memerlukan biaya untuk masuk ke
Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemerdekaan semacam inilah yang tidak dapat
dimiliki oleh petani pada pengelolaan lahan berbasis sistem perkebunan. Karena
pada sistem pengelolaan lahan berbasis perkebunan, pengambilan keputusan
berada pada tingkat pengelola lahan perkebunan (manajer perkebunan atau
administrature) bukan pada rumah tangga petani.

6.3 Organisasi Wanita


Tahun 2005, setelah dilaksanakannya redistribusi lahan ditahun 2000,
terjadi penurunan semangat para anggota OTL Banjaranyar. Hal ini ditandai
dengan semakin sedikitnya partisipasi anggota dalam berbagai kegiatan OTL,
seperti pertemuan rutin, iuran aksi demontrasi, relawan untuk menjadi massa aksi,
dan partisipasi dalam berbagai kegiatan di sekretariat SPP.
Ibu Wati, yang pada tahun 2005 sudah menjadi Ketua OTL Banjaranyar,
memberikan usulan agar setiap OTL memiliki organisasi wanita. Usulan ini
disampaikannya pada rapat tiga bulanan ketua – ketua OTL di sekretariat SPP. Ia
berpendapat bahwa, wanita terutama ibu – ibu bisa lebih militan dibanding bapak
– bapak. Sehingga, ketika semangat para bapak – bapak sedang menurun, tugas
sang wanitalah untuk menumbuhkan semangat itu kembali.

“kalo ibu – ibu mah gak hese... dimintain iuran juga cepet...
kan kalo ditagih gitu ibu – ibu pada malu... jadi bayarnya
cepet... lagian ibu – ibu juga lebih kompak... coba liat
pengajian bapak – bapak, mana ada yang awet... kalo
pengajian ibu – ibu sampe sekarang juga masih...” (Wati,
Ketua OTL Banjaranyar)

Tahun 2005 dibentuklah organisasi wanita OTL Banjaranyar yang secara


struktural berada di bawah Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar. Organisasi
ini berisikan para wanita yang telah dewasa, terutama para istri dan anak dari
anggota OTL yang sebagian besar laki – laki. Keberadaan dari Organisasi
Kewanitaan didukung penuh oleh Serikat Petani Pasundan (SPP) selaku
organisasi induk. Hal tersebut terlihat dalam pelatihan – pelatihan yang
difasilitasi SPP, seperti pelatihan kepemimpinan, pelatihan organisasi, pelatihan

74
 
penangan konflik, dan pelatihan pertanian. Pelatihan kepemimpinan dan
penanganan konflik, sesungguhnya berangkat dari kenyataan bahwa para ibu
inilah yang memiliki intensitas yang lebih tinggi dengan tanah garapan dan rumah
tangga daripada para lelaki.
Di Desa Banjaranyar, para wanita yang tergabung di organisasi wanita
OTL berperan besar dalam persiapan aksi demonstrasi. Ibu – ibu inilah yang
kemudian berkeliling desa guna mengumpulkan uang iuran aksi dan melakukan
pendataan bagi anggota yang akan ikut aksi demonstrasi. Penarikan uang iuran
antar sesama ibu – ibu mempermudah pengumpulan uang. Bahkan, tidak jarang
penarikan uang iuran aksi juga dibantu oleh anak – anak gadis yang berumur
belasan tahun.
Keberadaan organisasi ini telah berhasil menumbuhkan kembali semangat
perjuangan petani Banjaranyar. Penguatan organisasi gerakan tidak lagi hanya
dilakukan pada tingkatan kelompok ataupun desa. Tetapi, penguatan organisasi
dilakukan pada tingkat rumah tangga. Intensitas yang tinggi antara seorang ibu
dan anggota anggota keluarga yang lain dalam satu rumah tangga petani,
membuat penyebaran ide gerakan berjalan secara efektif dan efisien. Bahkan,
melalui tangan para ibu, penyebaran ide gerakan bisa dilakukan setiap hari di
dalam rumah setiap anggota OTL.

6.4 Koperasi
“tujuan dari adanya SPP itu bukan cuma supaya petani dapet
tanah. Tapi supaya petani hidup dengan layak.. naik ekonomi
nya... kami adakan pelatihan tata cara bertani, bukan buat
menggurui tapi supaya tani nya mereka tidak hanya sebatas
buat makan... tapi bisa buat lain – lain juga... nah.. salah satu
jalannya kita diriin koperasi ini” (Erna, Pendamping Serikat
Petani Pasundan)

Koperasi OTL Banjaranyar berdiri pada tahun Juni 2009. Hingga saat
penelitian ini berlansung, terdapat empat puluh delapan orang yang terdaftar
sebagai anggota koperasi. Tiap – tiap anggota diwajibkan membayar iuran
sebesar lima belas ribu rupiah perbulan. Iuran inilah yang kemudian dijadikan
modal untuk melaksanakan kegiatan koperasi.

75
 
Koperasi yang diberinama Koperasi Kredit ini, mengkhususkan diri pada
usaha keuangan simpan pinjam. Setiap anggota berhak menyimpan dan
meminjam sejumlah uang jika telah memenuhi sejumlah persyaratan. Apabila ada
seseorang yang ingin menyimpan uang di koperasi kredit, ia harus menjadi
anggota koperasi terlebih dahulu. Setiap orang yang berkeinginan untuk
bergabung diwajibkan untuk membayar iuran pokok sebesar dua puluh lima ribu
rupiah dan iuran bulanan sebesar lima belas ribu rupiah. Anggota koperasi yang
berhak melakukan pinjaman ialah mereka yang telah menjadi anggota selama
setahun dan membayar iuran bulanan.
Koperasi ini dipimpin oleh seorang ketua yang dibantu oleh seorang
sekertaris dan bendahara. Seluruh kegiatan koperasi dilakukan oleh pengurus dan
diawasi oleh Dewan Pengawas Koperasi. Kegiatan koperasi meliputi pendataan
anggota, pendaftaran anggota, pengumpulan uang iuran bulanan, pengurusan uang
kas, dan pencatatan kredit. Khusus untuk pemberian izin pengeluaran kredit dan
besaran kredit yang akan diberikan, diolah dan dikeluarkan oleh Dewan Kredit,
sedangkan pengurus koperasi hanya bertugas untuk mencatat datanya.

Dewan Pengawas

Pengurus Koperasi :
Dewan Kredit 
Ketua, sekertaris,
bendahara

Anggota

Keterangan : : Pengawasan
: Koordinasi
: Kepengurusan

Gambar 5 .Struktur Organisasi Koperasi Kredit

76
 
Seluruh kegiatan koperasi akan dievaluasi satu kali pada setiap bulannya.
Evaluai tersebut dilakukan oleh petugas dari Dinas Koperasi Propinsi Jawa Barat
(Dinkop Jabar). Selain mengevaluasi, Dinkop Jabar juga memtugas membimbing
pengurus koperasi kredit, baik itu berupa pengiriman anggota pada berbagai
pelatihan terkait ataupun turorial secara langsung.
Berdirinya koperasi ini juga membawa harapan besar terhadap
peningkatan kemampun para anggota koperasi, khususnya dalam bidang
pengelolaan keuangan. Para anggota koperasi, tidak hanya mendapatkan
kesempatan untuk meminjam dan menabung sejumlah uang, tetapi juga diberikan
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan melalui berbagai pelatihan.
Pentingnya pendidikan sebagai dasar berjalannya kegiatan koperasi, terlihat jelas
dalam slogan yang tertulis di setiap buku tabungan anggota.

“Koperasi kredit mencapai hasil gilang gemilang....


Koperasi kredi dimulai dengan pendidikan...
Koperasi kredit berkembang melalui pendidikan...
Kopreasi kredit dikontrol melalui pendidikan...
Dan bergantung pada pendidikan...”

6.5 Lumbung (leyit)


Lumbung merupakan istilah yang diberikan oleh masyarakat di Kampung
Bulaksitu, Desa Banjaranyar kesebuah tempat penyimpanan gabah yang berada di
belakang rumah Ibu Wati. Menurut penuturan Hermawan, salah seorang
pendamping SPP, pada masyarakat Sunda terdapat istilah sendiri untuk menyebut
lumbung yaitu dengan istilah “leyit”. Sehingga masyarakat lebih nyaman
menyebut bangunan tersebut dengan sebutan lumbung daripada leyit.
Apabila kita telisik lebih dalam, lumbung yang ada di Desa Banjaranyar
bukanlah semata – mata nama dari sebuah tempat penyimpanan gabah milik
petani. Lumbung merupakan kelembagaan rakyat yang dibangun atas inisiasi
bersama antara petani Banjaranyar dengan lembaga dari luar desa yaitu KRKP
(Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan).
Jaringan yang dibangun oleh SPP (Kesekertariatan Sekjen) dengan
berbagai Organisasi Non – Pemerintah (ORNOP), gerakan mahasiswa, dan

77
 
kelompok – kelompok masyarakat, membuat hubungan antara petani dengan
kekuatan sosial diluar desa menjadi lebih sering terjadi. Penelitian – penelitian
yang dilakukan oleh peneliti dari dalam dan luar negeri, program – program
bantuan, dan pengenalan teknologi baru acap kali ada di Desa Banjaranyar. Salah
satu program yang masih berjalan pada saat penelitian ini dilakukan ialah program
leyit atau lumbung masyarakat.
Pembangunan lumbung atau leyit dilatarbelakangi oleh adanya bencana
gempa Tasik yang terjadi pada tahun 2009. Gempa Bumi sebesar 7,3 SR berhasil
merusak beberapa bangunan dan rumah warga. Di Desa Banjaranyar sebanyak
delapan rumah warga tercatat rusak berat dan dua puluh tujuh rumah rusak ringan.
Bencana yang dialami warga Banjaranyar sesungguhnya tidak hanya gempa bumi,
tetapi kelangkaan pangan yang terjadi setelah gempa tersebut.
Jauhnya jarak antara Desa Banjaranyar dengan pasar yang berada di Kota
Banjarsari, Ibukota Kecamatan, membuat warga kesulitan dalam memperoleh
bahan pangan. Sedangkan di tingkat desa, warga tidak bisa mengharapkan bahan
pangan dari hasil pertanian karena sawah mereka belum memasuki masa panen.
Hal ini juga diperparah dengan ketiadaannya cadangan pangan yang dimiliki oleh
warga. Sehingga, warga hanya bergantung pada bantuan yang datang dari luar
desa. Menurut penuturan Ibu Wati, bantuan dari pemerintah pun tidak terlalu bisa
diharapkan karena lambatnya pengiriman bantuan. Bantuan yang pertama kali
masuk ke wilayah desa bukanlah bantuan yang berasal dari pemerintah tetapi
bantuan dari Serikat Petani Pasundan (SPP).
Keberadaan Lumbung sebagai tempat penyimpanan gabah yang dimiliki
secara kolektif oleh masyarakat, diharapkan dapat mencegah terjadinya
kelangkaan pangan dikemudian hari. Baik itu yang disebabkan karena bencana
alam ataupun karena kegagalan panen.
Lumbung memiliki anggota yang dilihat berdasarkan kepala keluarga.
Satu kepala keluarga akan memiliki satu keanggotaan dilumbung. Menurut Ibu
Wati apabila sebuah keluarga memiliki anak yang sudah menikah, maka anak
tersebut diperbolehkan untuk memilki keanggotaan terpisah dengan keluarga
lamanya. Keanggotaan disini berarti anggota diperbolehkan untuk menyimpan
atupun meminjam gabah dilumbung tersebut. Keanggotaan lumbung pun tidak

78
 
tertutup hanya pada masyarakat yang memiliki lahan saja. Bagi warga yang tidak
mempunyai lahan, tetapi ingin menyimpan gabah dilumbung hal itu dapat
dilakukan. Keanggotaan lumbung bersifat sukarela, seorang warga diberikan
kebebasan untuk menjadi anggota lumbung dan ketika ia merasa tidak nyaman, ia
pun diberikan kebebasan untuk keluar dari keanggotaan lumbung.
Terdapat beberapa peraturan yang diterapkan dalam proses simpan pinjam
di lumbung ini. Setiap anggota diperbolehkan meminjam gabah yang ada
dilumbung dan diwajibkan mengembalikan pinjaman tersebut dengan melebihkan
lima kilogram dari total pinjaman. Hal ini dimaksudkan agar cadangan gabah
yang ada didalam lumbung dapat terus bertambah. Sehingga apabila sewaktu –
waktu dibutuhkan gabah masih tersedia didalam lumbung. Pengembalian
pinjaman tidak dapat digantikan dengan uang, gabah yang dipinjam oleh anggota
haruslah dikembalikan dalam bentuk gabah.
Pengembalian pinjaman anggota banyak dilakukan sewaktu musim panen
tiba. Proses penyimpananpun biasanya dilakukan anggota sewaktu musim panen
tiba. Sebagai contoh, apabila diibaratkan dalam satu kali panen seorang anggota
mendapatkan tujuh pocong padi, maka ia harus menyisihkan dua pocong untuk
disimpan ke dalam lumbung.
Pada umumnya, peminjaman gabah banyak dilakukan pada periode musim
panen menuju musim tanam. Menurut Bapak Oman, peminjaman gabah tidak
hanya disebabkan karena bencana alam atau terjadinya kegagalan panen pada
sawah anggota. Apabila anggota mengadakan hajatan seperti pernikahan atau
sunatan, sehingga ia membutuhkan gabah, itupun diperbolehkan untuk meminjam.
Dari keberadaan lumbung ini sedikit banyak dapat terlihat seperti apa
sesungguhnya pola hubungan yang dibangun antara gerakan petani Banjaranyar
dengan kekuatan sosial lain yang berada di luar desa. Keterbukaan yang ada di
dalam gerakan petani Banjaranyar, serta jejaring yang dibangun melalui Serikat
Petani Pasundan (SPP) sebagai organisasi induk menjadikan gerakan petani
Banjaranyar menjadi gerakan petani yang inklusive. Keterbukaan semacam ini
pula yang kemudian membuat OTL Banjaranyar menjadi sebuah organisasi
gerakan yang begitu dinamis dalam menanggapi perubahan dari luar organisasi.

79
 
6.6 “Aku” Anggota SPP
Kelangsungan dari gerakan petani di Desa Banjaranyar salah satunya juga
ditopang oleh nama besar dari Serikat Petani Pasundan (SPP). Pasca 10 tahun
keberadaan SPP di wilayah Priyangan Timur, SPP sudah dikenal luas oleh
masyarakat, khususnya aparat dan pejabat Pemerintah Daerah. Kisah – kisah
keberhasilan SPP dalam merebut tanah dibanyak wilayah Priyangan Timur,
menciptakan kesan bahwa SPP merupakan sebuah organisasi yang kuat dan
memiliki massa yang begitu banyak. Hal tersebut kemudian diperkuat dengan aksi
– aksi demontrasi yang diadakan SPP dengan melibatkan ribuan massa.
Strategi intervensi yang dilakukan SPP pada ranah politik praktis juga
menjadikan jaringan SPP semakin meluas. Apabila pada tahun – tahun awal
perjuangan, jaringan hanya sebatas pada Organisasi Non- Pemerintah (ORNOP),
organisasi – organisai gerakan mahasiswa, dan kelompok – kelompok masyarakat.
Maka, pada tahun 2004 setelah diberlakukannya sistem Pemilihan Umum
(Pemilu) secara langsung, jaringan SPP meluas hingga ke lembaga – lembaga
pemerintahan, seperti DPRD dan Pemerintah Kabupaten. Hal inilah yang
kemudian menciptakan kengganan bagi aparat Perintah (Kepolisian, TNI, dan
Pegawai Dinas Kabupaten) untuk “bermain – main” dengan anggota SPP.
Nama besar SPP sebagai organisasi tani terbesar di Priyangan Timur,
secara tidak langsung membuat anggotanya mendapatkan keistimewaan, baik di
dalam ataupun di luar desa. Di dalam Desa Banjaranyar, para anggota OTL
mendapatkan pengakuan dari warga desa lain sebagai seorang pejuang dan
pembela hak - hak petani. Selain itu, para pemimpin OTL juga diberikan ruang
khusus di Desa dalam berbagai kesempatan. Sebgai Contoh, Ibu Wati, ketua OTL
Banjaranyar, ditunjuk sebagai ketua pelaksana program desa dasawisma di Desa
Banjaranyar. Beno, sekertaris OTL Banjaranyar, ditunjuk sebagai ketua pemuda
Desa Banjaranyar. Otang, anggota OTL Banjaranyar, terpilih sebagai Kepala
Desa (Kades) Desa Banjaranyar.
“orang spp kan yang dulu perjuangin tanah... susah juga itu...
kalo gak ada ya... mungkin dikit orang sini yang punya tanah
garapan kali ya... lagian dulu, anak muda itu susah cari kerja
disini... mau kerja mesti kekota dulu... sekarang mau tani
tanah udah ada.. kalo gak punya tanah juga bisa ngeburuh

80
 
kan...” (Jandi, Sekertaris Desa Banjaranyar, bukan anggota
SPP)

“iya lah.. kan orang SPP dapet pelatihan mulu.. gratis juga
lagi... ya pantes atuh jadi pada pinter gitu... lagian juga dia
kan pada dapet pelatihan bukan buat sendiri, ngajarin ke yang
laen juga....” (Adminah, penjaga warung, Bukan anggota SPP)

Keistimewaan juga dirasakan anggota OTL ketika berurusan dengan


aparat Pemerintah. Salah satu kasus yang terjadi pada bulan Juni 2010. Seorang
anggota OTL Banjaranyar pergi ke kota Ciamis dengan mengendarai sepeda
motor. Setelah memasuki Kota Ciamis, orang tersebut ditangkap oleh petugas
Kepolisian karena tidak mengenakan helm (pelindung kepala) ketika berkendara.
Ketika ditangkap, ia mengeluarkan Kartu Tanda Anggota SPP, dan pada saat itu
juga ia dilepaskan tanpa alasan yang jelas. Kejadian - kejadian sejenis juga dapat
dengan mudah ditemui pada pengalaman anggota OTL Banjaranyar diberbagai
kesempatan. Hal inilah yang kemudian menciptakan rasa bangga para diri anggota
karena merasa mendapat perlakuan khusus dari aparat pemerintah.

81
 
BAB VII
PENUTUP

7.1 Implikasi Teoritis


Pembahasan prihal gerakan petani sesungguhnya dapat dilihat melalui
perpektif moral ekonomi petani, yang dipelopori oleh Scott (1976). Ia menyatakan
bahwa kehidupan petani ditandai oleh hubungan moral sehingga melahirkan
moral ekonomi. Ketika pertumbuhan negara hanya berupa perlindungan dan
pertumbuhan fisik semata, sehingga pemenuhan atas kebutuhan dasar petani tidak
lagi menjadi hal yang mendesak, maka yang tertinggal hanyalah kewajiban –
kewajiban ekonomis kaum elite. Di mata petani miskin, kewajiban – kewajiban
ekonomis kaum elite adalah memerhatikan kebutuhan petani, menyesuaikan
tuntutan mereka akan tenaga kerja dan padi, serta menyediakan pangan di musim
paceklik. Kekuatan moral dan harapan – harapan ini sudah cukup untuk menjadi
bara api, yang dikemudian hari dapat berubah menjadi aksi kemarahan dan
tindakan kekerasan, apabila terjadi pelanggaran terhadap kewajiban itu.
Scott (1976) tidak pernah menggambarkan petani sebagai sebuah
kelompok masyarakat yang begitu reaktif, dalam artian begitu mudah melakukan
pemberontakan. Ia menggambarkan petani sebagai sekelompok manusia yang
yang lebih mengutamakan “dahulukan keselamatan” dan menjauhkan diri dari
bahaya. Namun, apabila tekanan struktural dan kultural hingga kondisi subsistensi
petani yang sudah melampauai batas toleransi, dimana tekanan tersebut
berdampak sedemikian parah dan terjadi dalam tempo yang relatif singkat, maka
tidak ada lagi pilihan bagi petani selain melakukan pemberontakan. Scott (1994)
menganalogikan petani pada kondisi tersebut ibarat orang yang terandam didalam
air hingga sebatas hidung, sehingga riak yang begitu kecil saja sudah dapat
menenggelamkannya.
Begitupun dengan gerakan petani Banjaranyar, masuknya PT RSI (1983 –
1996) dan Perhutani (1996 – 1998) membuat petani Banjaranyar tidak dapat lagi
melakukan penggarapan di atas tanah perkebunan. Bahkan mereka menyatakan
bahwa kehadiran PT RSI tidak memberikan manfaat apa – apa bagi warga dan
hanya menguntungkan para pemilik perusahaan dan pemerintah.

82
 
Konsep lain yang digunakan Scott (1976) dalam menjelaskan gerakan
petani ialah konsep kepemimpinan dan struktur sosial. Struktur sosial yang ada
dimasyarakat pedesaan, secara hirizontal ditandai dengan homogenitas yang
tinggi dan secara vertikal ditandai dengan struktur yang berbentuk kerucut.
Struktur kerucut seperti ini, posisi puncak statifikasi sosial dihuni oleh oleh kaum
elite yang berjumlah sedikit, sedangkan pada lapisan bawah dihuni oleh para
petani penggarap dan buruh tani dalam jumlah yang banyak. Struktur masyarakat
yang seperti ini membuat faktor kepemimpinan menjadi faktor penting didalam
gerakan perlawanan petani.
Struktur krucut seperti yang dikatakan Scott (1976), dapat ditemui di Desa
Banjaranyar. Peran Bapak Oman dalam gerakan petani Banjaranyar, terasa begitu
dominan. Bapak Oman tidak hanya bertindak sebagai pemimpin gerakan, tetapi
juga sebagai motor sekaligus pemersatu dari gerakan petani Banjaranyar. Bahkan,
gerakan petani Banjaranyar terkesan bergantung pada sosok Bapak Oman.
Gerakan petani Banjaranyar boleh jadi tidak pas apabila disandingkan
dengan teori ekonomi politik sebagaimana disampaikan Popkin (1979) dalam The
Rational Peasant : The Politic Economy of Rural Society in Vietnam. Tetapi,
pernyataan Popkin (1979) bahwa gerakan perlawanan petani terjadi ketika
sebagian besar individu merasa dirugikan setelah melakukan tawar menawar
dengan negara, merupakan sebuah kenyataan di Desa Banjaranyar.
Gerakan petani tidak melawan kapitalisme, tetapi melawan perampasan
tanah oleh para kapitalis perkebunan yang menyebabkan petani kehilangan
eksistensi diri dan sumber penghidupannya. Popkin (1979) menolak pendekatan
moral ekonomi Scott (1976) yang beranggapan bahwa gerakan petani sebagai
reakasi difensif untuk mempertahankan institusi dan norma – norma tradisional
dari ancaman kapitalisme dan kolonialisme. Bahkan, pasca dilakukannya
redistribusi tanah, petani Banjaranyar justru berusaha untuk menjalin hubungan
dengan pasar dengan memanfaatkan berbagai jaringan didalam ataupun diluar
desa. Salah satu contohnya pada proses tata niaga kayu sengon di Desa
Banjaranyar.
Di dalam tulisannya, Popkin (1979) lebih fokus pada tindakan - tindakan
rasional petani. Petani merupakan individu – individu yang bebas

83
 
mengembangkan kreativitasnya secara rasional. Petani juga manusia yang ingin
kaya, seperti kebanyakan orang lainnya. Pilihan strategi gerakan petani
Banjaranyar dengan melakukan pendudukan lahan pada dasarnya bisa disebut
sebagai sebuah pilihan yang rasional. Karena, meskipun dalam pelaksanaannya
terlihat sisi – sisi komunalitas dan emosionalitas, tetapi tindakan masing – masing
individu petani Banjaranyar (untuk ikut atau tidak ikut melakukan pendudukan
lahan) sudah tentu melalui pemikiran dan pertimbangan individu secara rasional.
Kemunculan gerakan petani pada tahun 1998, memang melahirkan
pertanyaan besar prihal situasi dan kondisi yang terjadi pada saat tersebut. Wolf
(1966), menyatakan bahwa sebuah pemberontakan tidak akan mungkin terjadi
pada situasi yang tidak mendukung. Pada awal tahun 1998 hanya segelintir
manusia, baik itu yang berasal dari Negara barat ataupun timur, yang
memperkirakan bahwa pada pertengahan tahun 1998 akan terjadi kejatuhan rezim
Soeharto. Hal ini diperkuat oleh Geoff Forrester seperti dikutip oleh oleh Simon
Philpott (2003) menyatakan bahwa Presiden Soeharto baru saja dipilih sebagai
Presiden secara bulat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dua bulan
sebelumnya, kendati para elit pendukung dan demonstrasi jalanan banyak
menyuarakan ketidaksetujuan. Namun, hanya sedikit pengamat Indonesia yang
meramalkan akhir kekuasaan Soeharto akan datang begitu cepat.
Kejatuhan pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998 menciptakan
ketidakstabilan dibidang politik dan ekonomi, baik itu pada tingkat pusat atupun
daerah. Sudah menjadi ciri rezim otoriter modern bahwa ketika pusat tidak dapat
bertahan, maka segalanya akan berantakan dengan begitu cepat. (Simon Philpott,
2003).
Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mendesak
lahirnya gagasan reformasi. Reformasi membuka ruang yang lebih besar bagi
rakyat dalam menyuarakan aspirasinya, terutama dengan dukungan dari
banyaknya organisasi non pemerintah yang memang pesat juga perkembangannya
diseluruh dunia pada awal tahun 1990-an (Hulme dan Edward, dalam Pinky,
2007). Reformasi sendiri dimaknai sebagai sebagi suatu gerakan pembaharu yang
bertujuan untuk mengoreksi bekerjanya berbagai instansi dan berusaha
menghilangkan berbagai kebobrokan yang dianggap sebagai sumber malfunction

84
 
nya institusi – institusi, dalam suatu tata sosial. Reformasi juga berusaha
membongkar nilai – nilai tetapi tidak seluruhnya, melainkan hanya selected
aspects dari tata sosial yang ada. (Wiradi, 2009).
Semangat reformasi 1998 tidak hanya dirasakan oleh mahasiwa dan
berbagai elemen masyarakat yang melakukan aksi turun ke jalan di kota – kota
besar, tetapi juga dirasakan pada masyarakat di tingkatan akar rumput. Salah satu
bentuknya, mengejawantah dalam aksi – aksi okupasi tanah yang dilakukan oleh
masyarakat atas tanah – tanah yang pernah menjadi tanah garapan rakyat.
Berdasarkan data Dirjen Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan,
hingga September 2000, jumlah luas tanah yang di reclaim mencapai 118.830 ha
pada perkebunan Negara, dan 48.051 ha pada perkebunan swasta, termasuk lahan
perkebunan PT. RSI yang kemudian digarap oleh petani Banjaranyar.
Tanah – tanah perkebunan yang kemudian digarap oleh warga memang
tidak hanya bertindak sebagai simbol perjuangan. Namun, juga bertindak sebagai
alat produksi yang kemudian diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup petani
itu sendiri. Shanin (1966) berpendapat bahwa, apabila komoditas atau hasil
produksi pertanian bila dapat dipertemukan dengan pemenuhan kebutuhan dasar
dari rumah tangga petani, maka akan mencipkan kemerdekaan relatif pada diri
petani terhadap produsen pertanian lain dan pasar. Hal tersebut akan berujung
pada terciptanya stabilitas relatif dalam rumah tangga petani, yang apabila terjadi
krisis, mereka dapat mempertahankan keberadaannya dengan cara meningkatakan
usaha kerja, menekan konsumsi mereka sendiri, ataupun mengatur kembali
hubungan mereka dengan pasar.
Boleh jadi apa yang dikatakan Shanin (1966), merupakan suatu penjelasan
dari apa yang terjadi pada petani Banjaranyar pasca redistribusi tanah. Pola
pertanian kebun yang dilakukan oleh petani Banjaranyar memberikan keleluasaan
dan kemerdekaan relatif pada rumah tangga petani terhadap produsen petani lain
dan pasar. Hasil dari luasan tanah garapan yang rata – rata dua hingga tiga kavling
per-keluarga petani, sudah dapat dipertemukan dengan pemenuhan kebutuhan
rumah tangga petani.
Dalam konteks yang lebih makro, Saturnino M. Boras Jr (2010)
menyatakan bahwa, neoliberalisme secara signifikan telah mengubah dinamika

85
 
hubungan pertukaran di dalam dan di antara negara – negara yang berada di utara-
selatan. Proses serempak yang terjadi oleh globalisasi “dari atas”, desentralisasi
sepihak “dari bawah”, dan privatisasi “dari samping” melalui negara sebagai
pusatnya, memainkan kunci utama dalam pertumbuhan dan perkembangan sistem
agraria, dan proses ini telah menggoncang masyarakat pedesaan hingga keakar –
akarnya. Proses yang secara luas terjadi pada masyarakat pedesaan itu, celakanya
terjadi secara bersamaan dengan gelombang restrukturisasi agraria, yang
memberikan kekuasaan penuh pada kapital domestik dan korporasi untuk
mendikte syarat – syarat pertukaran dan produksi pertanian.
Boras (2010) kemudian menekankan pada dampak, yang ia sebut sebagai
”pemenang dan pecudang” dalam proses restrukturisasi global-lokal saat ini.
Orang – orang yang semula bermata pencaharian disektor pertanian, kemudian
dengan cepat menghadapi kondisi yang teramat buruk. Buruknya kondisi
masyarakat pertanian di pedesaan, berujung pada diversifikasi mata pencaharian
(desa dan desa-kota, on-farm, off-farm, non-farm) yang dijalankan dengan
terpaksa atau sebaliknya menjadi semakin tersebar luas. Akses dan kontrol
terhadap tanah, pada gilirannya didefinisikan ulang dan hak kepemilikan atas
tanah telah direstrukturisasi guna menopang kapital swasta. Proses global – lokal
inilah yang kemudian mempengaruhi gerakan agraria dalam berbagai bentuk.
Fenomena muncul dan berkembangnya gerakan petani Banjaranyar yang
kemudian tergabung dalam Serikat Petani Pasundan (SPP), juga dapat dilihat
sebagai salah satu dampak dari proses restrukturisasi global-lokal, seperti yang
disampaikan Boras (2010). Kehadiran SPP tidak semata – mata menjadi gerakan
yang “melokalisasi” perlawanan – perlawanan mereka sebagai respons terhadap
desentralisasi yang parsial, ataupun berfokus pada segala macam aktivitas yang
bertujuan untuk menggantikan fungsi negara dalam hal isu – isu pembangunan
seperti memberikan pelayanan sosial pada masyarakat. Tetapi, SPP merupakan
sebuah gerakan yang menyatukan berbagai macam permasalahan pada tingkatan
yang benar – benar lokal, menjadi sebuah gerakan pada tingkatan regional, yang
di dalam strategi gerakannya juga memanfaatkan segala macam sumberdaya dari
berbagai level (lokal, regional, nasional, ataupun internasional). Kehadiran SPP
bukan dalam rangka menggantikan peran dan fungsi negara, tetapi untuk

86
 
memaksa negara dan kekuatan ekonomi-politik (kapital swasta dan BUMN)
lainya untuk dapat menjalankan kewajiban mereka untuk memenuhi kebutuhan
petani.

7.2 Kesimpulan
Gerakan petani Banjaranyar dapat dilihat sebagai aksi perlawanan petani
terhadap perampasan tanah oleh kapital swasta yang didukung negara melalui
pemberian hak kelola tanah (HGU). Masuknya kapital swasta ke dalam komunitas
petani Banjaranyar, dalam bentuk perampasan tanah, menyebabkan kehidupan
petani semakin terpuruk dan menghadapi krisis subsistensi hingga kebatas
toleransi. Kondisi ini berakibat pada : i) terjadinya degradasi sosial dan hilangnya
eksistensi diri petani, khususnya permasalahan yang berkaitan dengan akses dan
kontrol petani terhadap tanah. ii) petani mengalami diversifikasi mata pencaharian
atau mobilitas profesi, secara horizontal : dari petani menjadi buruh industri atau
pekerja di sektor informal dan secara vertikal : dari petani dengan lahan terbatas
menjadi petani yang tidak memiliki lahan atau buruh tani. Hal inilah yang
kemudian melahirkan anggapan bahwa kehadiran kapital swasta tidak membawa
manfaat bagi masyarakat Banjaranyar.
Kondisi kehidupan petani yang sudah sedemikian terpuruk tetap saja tidak
membuat petani Banjaranyar memiliki kemampuan dan keberanian untuk
melakukan pemberontakan. Faktor kekuatan dan kekuasaan negara tetap menjadi
persoalan untuk lahirnya sebuah pemberontakan petani. Oleh karena itu, lahirnya
gerakan petani Banjaranyar tidak hanya didasarkan pada adanya faktor krisis
subsitensi di tingkat petani, termasuk rasionalitas petani, tetapi juga karena
terbukanya kesempatan akibat reformasi 1998, yang memungkinkan tokoh
gerakan seperti Pak Oman untuk dapat mengorganisir petani Banjaranyar.
Pasca redistribusi tanah yang dilakukan pada tahun 2000, secara de facto
tanah eks-perkebunan sudah dikuasai oleh petani. Secara ekonomi kehidupan
petani Banjaranyar yang mendapatkan tanah juga menjadi lebih baik, dalam artian
terjadinya peningkatan penghasilan petani. Tanah – tanah garapan hasil
redistribusi telah berhasil memberikan keleluasaan dan kemerdekaan relatif
kepada petani terhadap petani lain dan pasar. Hasil pertanian dari tanah

87
 
redistribusi, setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsisten petani.
Kiching (1982), menyebut fenomena ini sebagai labor – consumer balance yaitu
petani bertindak sebagai produsen sekaligus sebagai konsumen, memperhitungkan
efisiensi pemilikan atau penguasaan tanah sesuai dengan kebutuhan hidup
minimum berdasarkan jumlah anggota keluarganya.
Keberhasilan menguasai kembali tanah dan adanya peningkatan ekonomi
sebenarnya tidak serta merta membuat seluruh persoalan yang ada menjadi
selesai. Perbaikan ekonomi bagi para pemegang tanah garapan juga melahirkan
permasalahan baru seperti munculnya kesenjangan sosial antara peserta
reclaiming dan bukan peserta reclaiming. Kenyataan bahwa gerakan petani
Banjaranyar dapat bertahan hingga 12 tahun, pada beberapa kasus justru
memperkuat posisi elite desa dan tidak signifikan membantu petani kecil sebagai
pihak yang termarginalkan.
Gerakan petani Banjaranyar yang kemudian tergabung dalam Serikat
Petani Pasundan (SPP) memang berhasil meningkatkan posisi tawar petani di-
hadapan para pemangku kepentingan (pemerintah pusat, pemerintah daerah,
perusahaan swasta, BUMN, LSM) lainnya. Tetapi, petani yang meningkat posisi
tawarnya adalah petani yang memiliki KTA SPP (Kartu Tanda Anggota SPP) dan
tidak semua petani di Desa Banjaranyar merupakan anggota SPP. Pada tahun
2010 ketika penelitian ini dilakukan, para petani tidak bertanah atau buruh tani
justru banyak didominasi oleh petani yang bukan anggota SPP. Pada
kenyataannya kehadiran gerakan petani, justru melahirkan golongan elite baru di
Desa Banjaranyar. Para elite baru ini yang kemudian disokong dengan kisah
heroik tetang aksi perebutan tanah dan kepemilikan de facto atas tanah redistribusi
eks-perkebunan. Fenomena ini justru memperlihatkan bahwa petani miskin
memiliki kecederungan yang begitu kuat untuk selalu berada dalam ”situasi
kemiskinan” dimana petani miskin akan tetap menjadi pihak yang lemah dan
termarjinalkan.
Keberadaan gerakan petani di Desa Banjaranyar hingga saat ini (1998 –
2010), boleh jadi dapat dipandang sebagai sebuah prestasi dalam konteks
keberlanjutan sebuah gerakan petani. Tetapi, keberadaannya yang mengejawantah
dalam bentuk organisasi gerakan (OTL Banjaranyar) secara terus menerus dalam

88
 
kurun waktu 12 tahun justru melahirkan masalah baru. Organisasi gerakan (OTL
Banjaranyar) belum mampu bertranformasi menjadi institusi ekonomi yang dapat
menyokong dan mepermudah kehidupan petani Banjaranyar. OTL Banjaranyar
saat ini, sangat maksimal apabila menjadi pusat informasi “aksi reclaiming tanah
Desa Banjaranyar”, tetapi kurang maksimal dalam hal membantu petani
memenuhi kebutuhan seperti pupuk, modal tanam, akses pasar, bibit, dll.
Terlepas dari berbagai permasalahan itu semua, sesungguhnya gerakan
petani Banjaranyar dapat dilihat sebagai sebuah gerakan kemanusiaan. Karena
tanah menjadi sumber sekaligus taruhan hidup bagi petani. Terlebih lagi, tanah
tidak hanya sebagai simbol eksistensi diri sebagai petani, melainkan juga simbol
harga diri sebagai manusia pedesaan yang hidupnya bersumber dari sektor
pertanian. Sehingga perampasan tanah bagi petani juga dapat dilihat sebagai
perampasan hak hidup dari petani itu sendiri. Seperti halnya pameo yang ada di
daerah Priangan Timur yang menyatakan bahwa, “tiadalah mungkin ada petani
kalau tidak ada tanah yang bisa digarap”.

89
 
DAFTAR PUSTAKA

Aji, Gutomo Bayu. 2005. Tanah Untuk Penggarap, Pengalaman Serikat Petani
Pasundan Menggarap Lahan – Lahan Perkebunan dan Kehutanan,
Bogor : Pustaka Latin
Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas. 2001. Merampas Tanah Rakyat : Kasus
Tapos dan Cimacan, Jakarta : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Bahri, Syaiful dkk. 1999. Gerakan dan Pertumbuhan Organisasi Petani di
Indonesia : Studi Kasus Gerakan Petani Era 1980-an, Jakarta :
Sekertariat Bina Desa
Boras Jr, S., Edelman, M., Kay, C. 2010. Gerakan – Gerakan Agraria
Transnasional, Yogyakarta : STPN Press dan Sajogyo Institute
Chrysantini, Pinky. 2007. Berawal Dari Tanah : Melihat ke Dalam Aksi
Pendudukan Tanah, Bandung : Yayasan AKATIGA
Denzin, Noman K dan Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitattive
Research, Yogyakarta : Pustakapelajar
Eckstein, Susan. 1989. Power and Popular Protest, Latin American Social
Movement. Berkeley : University of California Press
Fauzi, Noer. 2008. Dua Abad Penguasaan Tanah : Pola Penguasaan Tanah
Pertanian di Jawa Dari Masa ke Masa, Penyunting : Soediono M.P.
Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, edisi revisi, Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia
-----------. 1999. Petani dan Penguasa , Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan KPA
Freeman, Joe. 1979. A Model for Analyzing The Strategic Option of Social
Movement. Jurnal, Cambridge
Handayani, Dwi Wahyu. 2004. Gerakan Petani Pagilaran : Kecamatan Blado
Kabupaten Batang Jawa Tengah. Program Pascasarjanan Studi Ilmu
Politik Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Yogjakarta :
Universitas Gajah Mada
Kartodirjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta : Pustaka
Jaya
-----------. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia, kajian sosial ekonomi.
Yogyakarta : Aditya Media
Kitching, G. 1982. Development and Underdevelopment in Historical
Perspective. London : Methuen & Co Ltd
Kuntowijoyo. 1993. Radikalisasi Petani : Esai – Esai Sejarah. Yogyakarta :
Bentang Intervisi Utama
Marx, Karl. 1895. dalam Teodor Shanin (ed), Peasantry as a Class, Middlesex :
Penguin Books, 1971
Moore, Barirington. 1966. Social Origins of Dictatorship and Democracy : Lord
and Peasant in the Making of the Modern World. Middlesex : Penguin
Books
Mustain. 2007. Petani vs Penguasan : Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni
Negara, Yogjakarta : Ar Ruzz media
Olson, Mancur. 1971. The Logic of Collective Action : Public Goods and The
Theory of Group, Cambirdge : Harvard University Press

90
 
Philpott, Simon. 2003. Meruntuhkan Indonesia : Politik Postkolonial dan
Otorianisme, penerjemah Nurudin MHD, Ali, Uzair Fauzan, Yogyakarta
: LKIS
Popkin, Samuel L. 1979. The Rational, Peasant. The Political Economy of Rural
Society in Vietnam. Berkeley: University of California Press
Popkin, Samuel L. 1986. Petani Rasional. Jakarta : Penerbit Yayasan Padamu
Negeri
Sadikin. 2005. Perlawanan Petani, Konflik Agraria, Dan Gerakan Sosial. Jurnal
Analisis Sosial Vol. 10 No.1 Juni : Perdebatan Konseptual Tentang
Kaum Marginal, Yayasan Akatiga
Salert, Barbara. 1976. Revolution and Revolutionaries : Four Theories, New
York : Elsevier
Scott, James C. 1976. The Moral Economy Of The Peasent, New Heaven : Yale
University Press
---------. 1989. Peasant Resistance. New York : Rmunk Me Sharpe
---------. 2000. Senjata Orang –Orang Kalah : Bentuk – Bentuk Perlawanan
Sehari – Sehari Kaum tani, penerjemah : A. Rahman Zainudin, Sayogyo,
Mien Joebhaar, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Shanin, Teodor. 1966. dalam Teode Shanin (ed), Peasantry as a Political Factor,
Middlesex : Penguin Books, 1971
Skocpol, Theda. 1991. Negara dan Revolusi Sosial : Suatu Analisis Komparatif
Tentang Perancis, Rusia, dan Cina. Jakarta : Erlangga
Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winarni. 1998. Petani dan Konflik Agraria,
Bandung : Yayasan AKATIGA
Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria : Perjalanan yang Belum Berakhir.
Yogyakarta : INSIST Press
Wolf, Eric R. 1969. dalam Teodor Shanin (ed), On Peasant Rebellion, Middlesex
: Penguin Books, 1971

91
 
Lampiran 1. Dokumentasi

Gambar 6. Akses Jalan Menuju Tanah Garapan

Gambar 7. Jalan Desa

Gambar 8. Tanah Garapan

92
 
Gambar 9. Pemanenan Tanaman Kayu

Gambar 10. Hasil Panen

93
 

Anda mungkin juga menyukai