Anda di halaman 1dari 25

Lab/Smf Ilmu Kesehatan Anak REFERAT

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

INFEKSI CYTOMEGALOVIRUS (CMV) KONGENITAL

Disusun oleh:
Wilanda Ayu E. P.

Pembimbing:
dr. William S. Tjeng, Sp. A

LAB/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
2016
Referat

INFEKSI CYTOMEGALOVIRUS (CMV) KONGENITAL

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Anak

Menyetujui,

dr. William S. Tjeng, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
JULI 2016

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
yang berjudul “Infeksi Cytomegalovirus (CMV) Kongenital ”

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas dari
bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :

1. dr. William S. Tjeng, Sp. A sebagai dosen pembimbing klinik selama stase
anak.
2. Dosen-dosen klinik dan preklinik FK UNMUL khususnya staf pengajar
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak, terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan
kepada kami.
3. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Abdul
Wahab Sjahranie/FK UNMUL dan semua pihak yang telah membantu, baik
secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu
persatu.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna Akhir kata
penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca
untuk perbaikan kepenulisan di masa mendatang. Terakhir, semoga Tutorial Kasus
yang sederhana ini dapat membawa berkah dan memberikan manfaat bagi seluruh
pihak serta turut berperan demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Samarinda, Juli 2016

Penulis

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan
Infeksi Cytomegalovirus ( CMV ) biasanya dikelompokkan dalam infeksi
TORCH yang merupakan singkatan dari Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus,
Herpes simplex virus atau ada juga yang menambahkan others untuk huruf O-nya.1
Prevalensi infeksi CMV kongenital bervariasi luas di antara populasi yang berbeda,
ada yang melaporkan sebesar 0,2 –3% 5, ada pula sebesar 0,7 sampai 4,1%. Peneliti
lain mendapatkan angka infeksi 1%-2% dari seluruh kehamilan.1 Diperkirakan 10%
bayi dengan infeksi CMV kongenital memiliki tanda dan gejala saat lahir, dan
hanya 1 dari setengahnya bayi memiliki manifestasi yang fulminant yaitu
cytomegalic inclusion disease (CID). 5% lainnya menunjukkan manifestasi ringan
dan atipikal, dan 90% lainnya memiliki gejala yang subklinis namun menjadi
infeksi kronis. Infeksi yang simptomatis biasanya merupakan hasil dari infeksi
primer ibu. Resiko semakin tinggi, seiring dengan semakin mudanya usia gestasi
saat infeksi berlangsung.2
1.2.Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah agar dokter muda mampu memahami definisi,
epidemiologi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan Infeksi
Cytomegalovirus (CMV) kongenital pada anak.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Infeksi Cytomegalovirus ( CMV ) biasanya dikelompokkan dalam infeksi TORCH


yang merupakan singkatan dari Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes
simplex virus atau ada juga yang menambahkan others untuk huruf O-nya. Seperti
pada infeksi TORCH, infeksi CMV dipopulerkan sebagai penyakit yang berdampak
negatif terhadap janin atau fetus yang dikandung oleh wanita hamil yang terinfeksi.
Pada infeksi CMV, infeksi maternal atau ibu hamil kebanyakan bersifat silent ,
asimtomatik tanpa disertai keluhan klinik atau gejala, atau hanya menimbulkan
gejala yang minim bagi ibu, namun dapat memberi akibat yang berat bagi fetus
yang dikandung, dapat pula menyebabkan infeksi kongenital, perinatal bagi bayi
yang dilahirkan.1

2.2. Epidemiologi
Citomegalovirus (CMV) merupakan penyebab terbanyak infeksi kongenital di
dunia. CMV diperkirakan terjadi pada 0,2-2,5% dari semua kelahiran hidup. Infeksi
ini lebih cenderung terjadi pada negara berkembang dan kelompok sosioekonomi
yang rendah yang memiliki lebih padat, serta infeksi virus terbanyak yang
menyebabkan retardasi mental serta hilangnya pendengaran pada anak – anak di
negara berkembang. Infeksi maternal primer paling banyak menyebabkan infeksi
kongenital yang serius. Infeksi CMV perinatal biasanya tidak menyebabkan
manifestasi klinis pada bayi aterm, namun dapat menyebabkan masalah serius pada
bayi preterm.2 Prevalensi infeksi CMV kongenital bervariasi luas di antara populasi
yang berbeda, ada yang melaporkan sebesar 0,2 –3% 5, ada pula sebesar 0,7 sampai
4,1%. Peneliti lain mendapatkan angka infeksi 1%-2% dari seluruh kehamilan.
Ogilvie melaporkan bahwa penularan seperti ini terjadi kira-kira pada 1 dari 3 kasus
wanita hamil. Infeksi fetus in utero yang terjadi ketika ibu mengalami reaktivasi,
reinfeksi, biasanya bersifat asimtomatik saat lahir dan kurang menimbulkan
sequelae (gejala sisa) dibandingkan dengan infeksi primer. Hal ini disebabkan

5
karena antibodi IgG anti-CMV maternal dapat melewati plasenta dan bersifat
protektif. Keadaan asimtomatik saat lahir dijumpai pada 5 –17%, ada pula yang
melaporkan 90% dari infeksi CMV kongenital. Infeksi kongenital simtomatik dapat
terjadi bila ibu terinfeksi dengan strain CMV lain. Progresivitas komplikasi
neurologic ini berhubungan dengan infeksi CMV yang persisten, replikasi virus
atau respons tubuh anak.1 Manifestasi klinis berat oleh infeksi virus ini terjadi sekitar
5 – 10 % pada bayi yang terinfeksi in utero. Bayi ini menunjukkan gejala dan tanda-
tanda klinis dari infeksi umum yang berat, terutama menyerang sistem saraf pusat
(CNS) dan hati. Letargi, kejang, ikterus, petechiae, purpura, hepatosplenomegali,
chorioretinitis, kalsifikasi intraserebral dan infiltrat paru terjadi dengan derajat yang
berbeda. Anak yang bertahan hidup dapat menjadi anak dengan retardasi mental,
mikrosepali, gangguan sistem motorik, kehilangan pendengaran dan muncul penyakit
hati kronis. Kematian bisa terjadi in utero; CFR-nya tinggi pada bayi dengan infeksi
berat. Walaupun infeksi CMV pada neonatus terjadi hanya pada 0,3 – 1 % kelahiran,
90 – 95 % dari infeksi intrauterine ini tidak menunjukan gejala, namun sekitar 15 – 25
% dari bayi ini akhirnya menunjukkan gejala terjadinya kerusakan neurosensory.3

2.3. Virologi
Virus Cytomegalovirus (CMV) termasuk keluarga virus Herpes. Sekitar 50%
sampai 80% orang dewasa memiliki antibodi anti CMV. Infeksi primer virus ini
terjadi pada usia bayi, anak - anak, dan remaja yang sedang dalam kegiatan seksual
aktif. Penderita infeksi primer tidak menunjukkan gejala yang khusus, tetapi virus
terus hidup dengan status laten dalam tubuh penderita selama bertahun – tahun.4

Bersama dengan Cytomegalovirus hewan, Cytomegalovirus manusia (HCMV)


juga disebut dalam literatur terbaru sebagai manusia herpesvirus 5 (HHV-5), milik
keluarga Herpesviridae, subfamili Betaherpesvirinae, Cytomegalovirus genus.
Nama ini berasal dari fakta bahwa hal itu menyebabkan pembesaran sel yang
terinfeksi (cytomegaly) dan mendorong badan inklusi karakteristik. Genom HCMV
terdiri dari DNA untai ganda dengan sekitar 230.000 pasangan basa. Genom ini
tertutup oleh kapsid icosahedral (diameter 100-110 nm, 162 capsomers). Antara
kapsid dan amplop virus terdapat lapisan protein yang dikenal sebagai tegument.
Amplop virus berasal dari membran sel. Setidaknya delapan glikoprotein virus yang

6
berbeda yang tertanam di lapisan ganda lipid. Partikel virus matang memiliki
diameter 150-200 nm. Seperti semua herpesvirus, HCMV sensitif terhadap pH
rendah, agen lipiddissolving dan panas. HCMV memiliki waktu paruh sekitar 60
menit pada 37°C dan relatif stabil pada -20°C. Perlu disimpan di setidaknya -70°C
untuk mempertahankan infektivitasnya.4

Gambar 2.1. Morfologi cytomegalovirus1

2.4. Transmisi
 Transmisi intrauterus
Terjadi karena virus yang beredar dalam sirkulasi (viremia) ibu menular ke
janin. Kejadian transmisi seperti ini dijumpai pada kurang lebih 0,5 – 1%
dari kasus yang mengalami reinfeksi atau rekuren.Viremia pada ibu hamil
dapat menyebar melalui aliran darah (per hematogen), menembus plasenta,
menuju ke fetus baik pada infeksi primer eksogen maupun pada reaktivasi,
infeksi rekurenendogen, yang mungkin akan menimbulkan risiko tinggi
untuk kerusakan jaringan prenatal yang serius. Risiko pada infeksi primer
lebih tinggi daripada reaktivasi atau ibu terinfeksi sebelum konsepsi. Infeksi
transplasenta juga dapat terjadi, karena sel terinfeksi membawa virus
dengan muatan tinggi. Transmisi tersebut dapat terjadi setiap saat sepanjang
kehamilan, namun infeksi yang terjadi sampai 16 minggu pertama, akan
menimbulkan penyakit yang lebih berat.2,8
 Transmisi perinatal

7
Terjadi karena sekresi melalui saluran genital atau air susu ibu. Kira-kira
2% – 28% wanita hamil dengan CMV seropositif, melepaskan CMV ke sekret
serviks uteri dan vagina saat melahirkan, sehingga menyebabkan kurang lebih 50%
kejadian infeksi perinatal. Transmisi melalui air susu ibu dapat terjadi, karena 9% -
88% wanita seropositif yang mengalami reaktivasi biasanya melepaskan CMV ke
ASI. Kurang lebih 50% - 60% bayi yang menyusu terinfeksi asimtomatik, bila
selama kehidupan fetus telah cukup memperoleh imunitas IgG spesifik dari ibu
melalui plasenta. Kondisi yang jelek mungkin dijumpai pada neonatus yang lahir
prematur atau dengan berat badan lahir rendah.2,8
 Transmisi postnatal
Dapat terjadi melalui saliva, mainan anak-anak misalnya karena
terkontaminasi dari vomitus. Transmisi juga dapat terjadi melalui kontak langsung
atau tidak langsung, kontak seksual, transfusi darah, transplantasi organ.2,8

2.5. Patogenesis

CMV memasuki sel dengan cara terikat pada reseptor yang ada di permukaan sel
inang,kemudian menembus membran sel, masuk ke dalam vakuole di sitoplasma,
lalu selubung virus terlepas, dan nucleocapsid cepat menuju ke nukleus sel inang.
Dalam waktu cepat setelah itu, ekspresi gen immediate early (IE) spesifik RNA
(ribonucleic acid) atau transkrip gen alfa (α) dapat dijumpai tanpa ada sintesis
protein virus de novo atau replikasi DNA virus. Ekspresi protein ini adalah esensial
untuk ekspresi gen virus berikutnya yaitu gen early atau gen β yang menunjukkan
transkripsi kedua dari RNA. CMV tidak menghentikan sintesis protein inang,
bahkan pada awalnya meningkatkan sintesis protein inang.2,3

8
Gambar 2.2. Patogenesis infeksi CMV.3

Gejala sakit pasca transplantasi ataupun pasca transfusi yang mengandung


virus akan muncul dalam waktu 3 – 8 minggu. Sedangkan Infeksi yang didapat pada
waktu proses kelahiran gejala klinis akan tampak 3 – 12 minggu sesudah kelahiran.
Virus di ekskresikan melalui urin dan air ludah selama beberapa bulan dan tetap
bertahan atau akan muncul secara periodik selama beberapa tahun sesudah infeksi
primer. Sesudah infeksi neonatal, virus mungkin di ekskresikan selama 5 – 6 tahun.
Orang dewasa mengekskresikan virus dalam jangka waktu yang lebih pendek, namun
virus akan tetap ada sebagai infeksi laten. Kurang dari 3 % orang dewasa sehat
mengekskresikan virus melalui faring. Ekskresi akan timbul kembali dengan adanya
imunodefisiensi dan imunosupresi.3
Infeksi CMV dapat terjadi setiap saat dan menetap sepanjang hidup.”Sekali
terinfeksi, tetap terinfeksi”, virus hidup dormant dalam sel inang tanpa
menimbulkan keluhan atau hanya keluhan ringan seperti common cold. Namun,
infeksi yang bersifat ringan ini bukan berarti diam dalam sepanjang kehidupan
individu. Reaktivasi dapat terjadi berbulanbulan atau bertahun-tahun setelah infeksi
primer, dan sering terjadi reinfeksi endogen, karena ada replikasi virus. Replikasi
virus merupakan faktor risiko penting untuk penyakit dengan manifestasi klinik
infeksi CMV. Penyakit yang timbul melibatkan peran dari banyak molekul baik
yang dimiliki oleh CMV sendiri maupun molekul tubuh inang yang terpacu aktivasi
atau pembentukannya akibat infeksi CMV. Lokasi hidup virus pada infeksi CMV
yang berjalan laten, sukar diketahui. CMV dapat hidup di dalam bermacam sel

9
seperti sel epitel, endotel, fibroblas, leukosit polimorfonukleus, makrofag yang
berasal dari monosit, sel dendritik, limfosit T ( CD4+ , CD8+ ), limfosit B, sel
progenitor granulosit-monosit dan lainlain. Dengan demikian berarti CMV
menyebabkan infeksi sistemik dan menyerang banyak macam organ antara lain
kelenjar ludah, tenggorokan, paru, saluran cerna, hati, kantong empedu, limpa,
pankreas, ginjal, adrenal, otak atau sistem syaraf pusat. Virus dapat ditemukan
dalam saliva , air mata, darah, urin, semen, sekret vagina, air susu ibu, cairan
amnion dan lain-lain cairan tubuh.1,3
Respons imun diperantarai sel terbentuk 1 minggu sebelum respons
humoral, mencapai puncak sama dengan respons humoral. Respons imun seluler
mulai dapat terdeteksi dengan baik pada umur fetus 22 minggu. Aktivasi dan
diferensiasi sel T CD4+ dapat terjadi, meskipun kemampuan untuk menghasilkan
IFN-γ masih lemah. Hasil suatu studi menyatakan bahwa peran sel T CD4+ spesifik
dengan frekuensi yang tinggi pada neonatus memungkinkan terjadi stimulasi
terhadap imunitas seluler, sehingga infeksi CMV kongenital bersifat asimtomatik.
Respons imun humoral dimulai pada 9 – 11 minggu kehamilan, namun kadar
antibodi dalam sirkulasi tetap rendah sampai pertengahan kehamilan, kecuali
terdapat virus dalam titer tinggi dan ada perkembangan reseptor antigen di
permukaan sel. Pada keadaan ini, kadar antibodi meningkat dengan predominan
IgM. Pada infeksi kongenital, IgG maternal dapat menembus plasenta masuk ke
sirkulasi fetus, sedangkan IgM atau IgA yang terdeteksi pada darah tali pusat
neonatus, menunjukkan bahwa antibodi tersebut diproduksi oleh fetus atau bayi
sendiri yang terinfeksi secara vertikal dari ibu. Pada reaktivasi, antibodi anti-CMV
terbentuk adekuat, sebaliknya terjadi defek imunitas yang diperantarai sel dengan
penurunan jumlah sel NK dan T CD8+.2,3

2.6. Manifestasi Klinis


Sekitar 90% bayi yang terinfeksi CMV kongenital asimptomatik saat
dilahirkan. Ikterik (62%), petekie (58%) dan hepatomegaly (50%) adalah trias yang
paling sering ditemukan. Manifestasi klinis lain meliputi oligohidroamnion,
polihidroamnion, prematuritas, IUGR, hydrops nonimun, asites fetalis, hipotoni,
poor feeding, letargi, instabilitas thermal, ventrikulomegali cerebral, kalsifikasi

10
intracranial yang biasanya berada pada periventrikuler, “blueberry muffin” spot,
dan korioretinitis. Sensorineural Heraing Loss (SNHL) terjadi sekitar 30% pada
bayi yang simptomatik. Simptomatik CMV juga meningkatkan resiko malformasi
kongenital seperti hernia ingunalis pada laki – laki, palatum high-arced,
hidrosefalus.5
 Infeksi Kongenital
Diperkirakan 10% bayi dengan infeksi CMV kongenital memiliki tanda dan
gejala saat lahir, dan hanya 1 dari setengahnya bayi memiliki manifestasi
yang fulminant yaitu cytomegalic inclusion disease (CID). 5% lainnya
menunjukkan manifestasi ringan dan atipikal, dan 90% lainnya memiliki
gejala yang subklinis namun menjadi infeksi kronis. Infeksi yang
simptomatis biasnaya merupakan hasil dari infeksi primer ibu. Dan resiko
semakin tinggi, seiring dengan semakin mudanya usia gestasi saat infeksi
berlangsung. Bayi dengan CID biasanya memiliki rash berupa purpura
karena trombositopenia (bias dengan petekie), IUGR, hepatosplenomegaly,
ikterik, kehilangan pendengaran, mikrosefal, korioretinitis, dan kalsifikasi
intraserebral. Bayi premature atau bayi yang kecil sesuai masa kehamilan
dengan hepatosplenomegali dan fungsi liver abnormal merupakan temuan
yang paling umum pada infeksi kongenital CMV simptomatis.
Hiperbilirubinemia dapat terjadi transien. Trombositopenia ditemukan
sekitar sepertiga bayi dengan infeksi kongenital dan akan bertahan selama
beberapa minggu. Dapat pula ditemukan anemia hemolitik dengan uji
Coombs negatif. Pneumonia merupakan temuan yang terjadi belakangan
pada kongenital CMV yaitu pada usia 1 – 4 bulan. Masalah penting pada
infeksi kongenital CMV adalah masalah keterlibatan pada system saraf
pusat (SSP) berupa meningoensefalitis, kalsifikasi, mikrosefali, gangguan
migrasi neuronal, kista matriks germinal, ventrikulomegali dan hypoplasia
serebri. Gangguan SSP menghasilkan gejala berupa letargi, hipotoni,
kejang, penurunan pendengaran, atau korioretinitis. Defisit pendengaran
sensorineural dapat terjadi saat kelahiran, bisa bilateral atau unilateral, atau
terjadi saat masa kanak – kanak. Beberapa pasien memiliki pendengaran
yang normal pada 6 tahun pertama kehidupan, namun dapat merasakan

11
kehilangan pendengaran secara tiba – tiba atau fluktuatif. Kehiolamngan
pendengaran ini merupakan hasil dari replikasi virus pada telinga dalam. 2,5
 Infeksi Perinatal
Masa inkubasi perinatal CMV memiliki rentang antara 4 – 12 minggu (rata
– rata 8 minggu). Jumlah virus yang diekskresikan pada bayi dengan infeksi
perinatal lebih sedikit dibandingkan pada infeksi kongenital, namun infeksi
ini juga bersifat kronik, dengan eksresi virus yang menetap bertahun –
tahun. Kebanyakan bayi aterm dengan perinatal CMV asimptomatis, karena
bayi tersebut memiliki antibody IgG CMV yang ditransimisikan semasa
maternal. Sebailknya, 15-25% bayi preterm yang terinfeksi dapat timbul
gejala berupa pneumonia, hepatitis, sepsisyang tmpak sebagai apneu,
bradikardi, hepatosplenomegaly, distensi bowel, anemia, trombositopenia,
dan fungsi hepatic abnormal 2,5.
Komplikasi yang dapat muncul pada infeksi CMV antara lain4:
a. Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) antara lain: meningoencephalitis,
kalsifikasi, mikrosefali, gangguan migrasi neuronal, kista matriks germinal,
ventriculomegaly dan hypoplasia cerebellar). Penyakit SSP biasanya
menunjukan gejala dan tanda berupa: kelesuan, hypotonia, kejang, dan
pendengaran defisit.
b. Kelainan pada mata meliputi korioretinitis, neuritis optik, katarak, koloboma,
dan mikroftalmia.
c. Sensorineural hearing defisit (SNHD) atau kelainan pendengaran dapat terjadi
pada kelahiran, baik unilateral atau bilateral, atau dapat terjadi kemudian pada
masa kanak-kanak. Beberapa pasien memiliki pendengaran normal untuk
pertama 6 tahun hidup, tetapi mereka kemudian dapat mengalami perubahan
tiba-tiba atau terjadi gangguan pendengaran. Di antara anak-anak dengan
defisit pendengaran, kerusakan lebih lanjut dari pendengaran terjadi pada 50%,
dengan usia rata-rata perkembangan pertama pada usia 18 bulan (kisaran usia
2-70 bulan). Gangguan pendengaran merupakan hasil dari replikasi virus
dalam telinga bagian dalam.
d. Hepatomegali dengan kadar bilirubin direk transaminase serum meningkat.
Secara patologis dijumpai kolangitis intralobar, kolestasis obstruktif yang akan

12
menetap selama masa anak. Inclusian dijumpai pada sel kupffer dan epitel
saluran empedu.4
Bayi dengan infeksi CMV kongenital memiliki tingkat mortalitas 20-
30%. Kematian biasanya disebabkan disfungsi hati, perdarahan, dan
intravaskuler koagulopati atau infeksi bakteri sekunder.2

2.7. Diagnosis Klinis


Non-Imun hydrops fetalis
Prematuritas
Intrauterine Growth Retardation
(IUGR)
Ikterus
Hepatosplenomegali
Petekie
Purpura
Pemeriksaan Fisik
Blueberry Muffin spot
Korioretinitis
Mikrosefali
Letargi
Kesulitan Minum
Hipotoni
Kejang
Hernia Inguinalis (laki – laki)
Anemia
Trombositopenia
Peningkatan enzim hepar
Temuan Laboratoris
Hyperbilirubinemia (direk dan indirek)
Peningkatan protein cairan
serebrospinal
Pneumonia
Temuan Radiologis
Neuroimaging:

13
Kalsifikasi (periventrikuler, thalamik,
kortikal)
Ventrikulomegali
Displasia Korteks
Lain- lain Gangguan Pendengaran

a. Riwayat Klinis
CMV adalah virus herpes double-stranded DNA dan merupakan infeksi
yang paling umum virus bawaan. Tingkat seropositif CMV meningkat dengan
usia. Lokasi geografis, kelas sosial ekonomi dan bekerja pameran faktor lain
yang mempengaruhi risiko infeksi. Infeksi CMV membutuhkan kontak dekat
melalui air liur, urin dan cairan tubuh lainnya. Kemungkinan rute transmisi
termasuk kontak seksual, transplantasi organ, transmisi transplasenta,
penularan melalui ASI dan transfusi darah (jarang).6
Reaktivasi primer atau infeksi berulang dapat terjadi selama kehamilan
dan dapat menyebabkan infeksi CMV kongenital. Infeksi transplasental dapat
mengakibatkan pembatasan pertumbuhan intrauterin, gangguan pendengaran
sensorineural, kalsifikasi intrakranial, mikrosefali, hidrosefalus,
hepatosplenomegali, psikomotorik keterbelakangan dan atrofi optik.6
Masa inkubasi infeksi perinatal bervariasi antara 4 dan 12 minggu (rata-
rata, 8 minggu). Jumlah virus pada bayi dengan infeksi perinatal lebih sedikit
dibandingkan yang berkembang di infeksi kongenital, infeksi ini bersifat
kronis, virus dapat bertahan selama bertahun-tahun. Kebanyakan bayi dengan
infeksi perinatal adalah asimtomatik, karena bayi memiliki antibodi ibu (IgG)
terhadap CMV. Sebaliknya, 15-25% bayi prematur yang terinfeksi dapat
mengembangkan penyakit klinis, seperti pneumonia, hepatitis atau penyakit
sepsis dengan gejala apnea, bradikardia, hepatosplenomegali, distensi usus,
anemia, trombositopenia dan fungsi hati yang abnormal. Infeksi CMV yang
didapat karena tranfusi pada bayi prematur dengan bayi lahir sangat rendah
berat badan mungkin mengalami gejala-gejala menyerupai CID.2

Infeksi maternal lebih mungkin disebabkan reaktivasi virus laten dan


dengan demikian tidak menimbulkan gejala atau bermanifestasi sebagai

14
demam rendah, malaise dan mialgia. Infeksi primer CMV biasanya tanpa
gejala, tetapi nyata bisa sebagai gambar mononukleosislike, dengan demam,
kelelahan dan limfadenopati. Perempuan yang berada dalam kontak yang dekat
dengan anak-anak atau anak-anak di prasekolah, pekerja penitipan atau pekerja
kesehatan berisiko lebih tinggi terhadap infeksi.6

b. Pemeriksaan Fisik
Tidak ada gejala spesifik yang muncul pada kehamilan dengan infeksi
CMV. Kebanyakan bayi dengan infeksi CMV bawaan, tidak ada gejala yang
muncul saat lahir, tetapi dapat mengembangkan sekuel di kemudian hari.
Gejala yang mungkin muncul adalah splenomegali, ptekie atau jaundice.
Infeksi CMV bawaan, terjadi pada 5-10% bayi, ditandai dengan jaundice,
hepatosplenomegali, ruam petekie, gangguan pernapasan dan keterlibatan
neurologis, yang mungkin termasuk mikrosefali, retardasi motor, kalsifikasi
serebral, lesu dan kejang.6

Gambar 2.3. Blueberry Muffin Spot, salah satu tanda pada


CMV kongenital5

15
c. Pemeriksaan Penunjang
Kongenital CMV dapat didiagnosis dengan isolasi virus dari urin
maupun saliva pada usia 3 minggu pertama. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan metode kultur tradisional yang membutuhkan waktu sekitar 1 – 2
minggu atau metode kultur cepat memnggunakan sentrifugasi untuk
mendeteksi antigen pada jaringan yang terinfeksi dalam waktu 24 jam.5 CMV
biasanya diisolasi dari urin dan air liur, tetapi dapat diisolasi dari cairan tubuh
lainnya, termasuk ASI, sekresi leher rahim, cairan ketuban, sel-sel darah putih,
cairan serebrospinal, sampel tinja dan biopsi. Tes terbaik untuk diagnosis
infeksi bawaan atau perinatal adalah isolasi virus atau demonstrasi reaksi
berantai materi CMV genetik (PCR) dari urin atau air liur bayi baru lahir.
Sensitivitas PCR dengan spesimen urin adalah 89% dan spesifisitas 96%.
Sampel urine dapat didinginkan (4℃) tetapi tidak boleh beku dan disimpan
pada suhu kamar. Tingkat pemulihan virus 93% dalam urin setelah 7 hari
pendinginan, kemudian menurun menjadi 50% setelah 1 bulan.2
Pemeriksaan serologis IgM sepsifik CMV pada darah umbilicus pada
bayi dengan usia 3 minggu pertama dapat mendiagnosis infeksi CMV
kongenital. Meskipun begitu, IgM spesifik CMV hanya dapat dideteksi pada
70% bayi yang memiliki infeksi kongenital. Di sisi lain, hasil negatif dari IgG
spesifik CMV pada darah umbilicus dapat mengeksklusi diagnosis infeksi
CMV kongenital, sedangkan ditemukannya IgG dapat menunjukkan transfer
feto-maternal passif yang dapat mengindikasikan infeksi kongenital.5
Peningkatan titer IgG empat kali lipat di dalam sera pasangan atau anti-CMV
IgM yang positif kuat berguna mendiagnosis infeksi, tes serologis tidak
dianjurkan untuk diagnosis infeksi pada neonatus. Hal ini dikarenakan deteksi
IgG anti-CMV pada bayi baru lahir mencerminkan antibodi yang diperoleh dari
ibu melalui transplasental dan antibodi tersebut dapat bertahan sampai 18
bulan.2
Deteksi CMV pada kehamilan dapat dilakukan dengan pemeriksaan
serologis. Ibu dengan seronegatif 6 bulan sebelum konsepsi, berpeluang untuk
terinfeksi primer saat hamil. Tes IgG perlu dilakukan sekurang-kurangnya 2 x
yaitu pada 2 bulan dan 4 bulan kehamilan. Bila hasil negatif,maka tindakan

16
lanjut dapat ditunda, bila didapatkan serokonversi, maka diagnosis infeksi
primer ibu dan prenatal bayi dapat ditegakkan.Reinfeksi sering terjadi ketika
hamil, penetapan muatan virus dapat dipakai untuk mengetahui risiko transmisi
vertikal.1Amniosentesis merupakan tes diagnostik prenatal tunggal yang paling
berharga, sedangkan PCR atau kultur virus dari cairan ketuban, mempunyai
tingkat spesifisitas dan sensitivitas yang sama. Kuantitatif PCR menunjukkan
105 genom/mL cairan ketuban yang mungkin mengandung prediktor gejala
infeksi congenital. Ultrasonografi kelainan janin pada wanita hamil dengan
infeksi primer atau berulang biasanya menunjukkan gejala infeksi janin.
Kelainan sonografi janin yang dilaporkan termasuk oligohidroamnios,
pembatasan pertumbuhan intrauterin, microcephaly, ventriculomegaly,
kalsifikasi intrakranial, hipoplasia corpus callosum, asites,
hepatosplenomegali, hypoechogenic bowel, efusi pleura dan pericardial.2,7
Pada bayi yang simptomatis, pemeriksaan darah dapat ditemukan
anemia, trombositopenia, hiperbilirubinemua, limfositosis atipik, peningkatan
serum transaminase, dan dapat pula ditemukan peningkatan protein pada CSF
dengan pemeriksaan lumbal punksi. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan
CT-Scan maupun MRI dapat ditemukan kalsifikasi periventricular dan
ventrikulomegali.7

Gambar 2.4.pemeriksaan ultrasound kepala (potongan sagittal) padabayi dengan


infeksi CMV kongenital yang simptomatik menunjukkan kalsifikasi intracranial
dan periventrikuler (tanda panah). Bayi ini mengalami SNHL berat bilateral dan
gangguan perkembangan7

17
Gambar 2.5. CT scan pada bayi dengan infeksi CMV kongenital menunjukkan
adanya ventrikulomegali dan kalsifikasi periventrikuler8

Gambar 2.6. MRI T1 pada bayi dengan infeksi CMV kongenital menunjukkan
ventrikulomegali, kalsifikasi periventrikuler, penurunan volume otak dengan
penurunan substansia alba. Bayi ini memiliki manifestasi berupa kejang dan
SNHL moderate bilateral7

2.8. Diagnosis Banding


Infeksi CMV kongenital harus dibedakan dengan infeksi kongenital lainnya
seperti toksoplasma, rubella, herpes simplex, dan sifilis. Membedakan hal tersebut
dapat dilakukan baik secara klinis maupun serologis. Toksoplasma lebih
dihubungkan dengan korioretinitis, mikroftalmia, hidrosefalus, dan kalsifikasi
serebri yang tersebar. Petekie dan purpura, yang lebih umum ditemykan pada
infeksi CMV kongenital yang simptomatis, jarang ditemukan pada toksoplasma,
yang seringnya ditemukan ruam maculopapular. Adanya penyakit jantung

18
kongenital dan katarak lebih dihubungkan dengan infeksi rubella kongenital. Lesi
vesikel pada kulit atau scar yang muncul pada saat kelahiran lebih cenderung
mengarah pada infeksi herpes simpleks kongenital. Rhinitis dan bukti radiologis
dari osteokondritis dan epifisitis mendukung diagnosis dari sifilis kongenital.
Diagnosis banding lainnya seperti sepsis bacterial, eritroblastosis fetalis, dan
kelainan metabolic seperti galaktosemia dan tirosinemia.5

2.9. Penatalaksanaan
Terapi CMV kongenital menggunakan antiviral harus diberikan pada bayi
dengan bukti keterlibatan SSP, termasuk sensorineural hearing loss, dan harus
dipertimbangkan untuk diberikan pada bayi dengan keterlibatan end-organ yang
serius (hepatitis, peneumonia, trombositopenia). Antiviral pada CMV antara lain :
 Gansiklovir
Gansiklovir merupakan antiviral pertama yang terlisensi spesifik
untuk pengobatan infeksi CMV. Gansiklovir adalah analog sinetik acylic
nucleoside, yang memiliki struktur yang sama dengan guanine. Struktur
gansiklofir mirip dengan asiklovir, dan memiliki aktivitas antiretroviral
yang mirip pula dengan asiklovir. Gansiklovir pertama kali dipergunakan
untuk pengobatan infeksi CMV kongenital pada tahun 1980. Gansiklovir
menunjukkan secara umum sebagai terapi yang aman dan ditoleransi
dengan baik jika digunakan pada neonates, dan berguna pada manajemen
kerusakan end-organ yang parah pada bayi. Namun satu hal penting disini,
tidak ada effek yang bertahan untuk selamanya pada ekskresi CMV.
Meskipun terapi sudah selesai, bayi tetap akan mengekskresikan CMV pada
urin dan saliva.7
Pada penelitian randomized control, multisenter, fase 3 dengan
gansiklovir (6 mg/Kg/dosis IV setiap 12 jam selama 6 minggu), untuk
pengobatan infeksi kongenital CMV pada neonates yang melibatkan CNS,
dengan mikrosefali, kalsifikasi intracranial, dan temuan abnormal dari
cairan serebrospinal, korioretinitis dan deisit pendengaran. Ketika tes
dilakukan selama 6 bulan, 84% bayi yang menjalani pengobatan dapat
mempertahankan pendengaran normalnya atau peningkatan pendengaran,

19
disbanding 59% bayi kontrol. Setelah follow up selama 6 bulan, tidak
satupun bayi yang menjalani pengobatan mengalami penurunan
pendengaran, sementara 41% pasien kontrol mengalami penurunan
pendegaran. Ketika tes dilaksanan pada usia 1 tahun atau lebih, 21% pasien
dapat terobati dan 68% bayi kontrol mengalami penurunan pendengaran.
Toksisitas dari gansiklovir berupa neutropenia yang dialami 63% bayi,
dibandingkan kontrol hanya sebesar 21%.2,9 Kerusakan CNS yang telah
terjadi tidak dapat kembali normal sepenuhnya, namun replikasi virus yang
sedang berlangsung yang dapat menimbulkan kerusakan postnatal dapat
dikontrol dibandingkan dengan kontrol infeksi CMV tanpa pengobatan.
Gansiklovir sebagai pencegahan dari kehilangan pendengaran pada anak
yang asimptomatis belum diketahui secara pasti. Efek samping gansiklovir
termasuk supresi sumsum tulang dan toksisitas pada gonad.5
 Valgansiklovir
Valgansiklovir merupakan alternative dari gansiklovir IV pada neonates
yang dapat diberikan medikasi enteral. Valgansiklovir dapat diabsorbsi
dengan sangat baik dengan administrasi oral. Obat tersebut dapat
dimetabolisme dengan cepat mengikuti dosis oral dari gansiklovir.
Formulasi dalam bentuk suspensi sudah terlisensi dan tersedia, meskipun
belum terlisensi sebagai pengobatan CMV kongenital, dan meskipun begitu
dapat dipertimbangkan sebagai alternative terapi intravena. Penelitian pada
neonates mendemonstrasikan level obat yang stabil dengan dosis oral.7
Studi farmakoterapi dan farmakologi pada valgansiklovir oral sebagai
pengobatan infeksi CMV kongenital, menunjukkan gansiklovir dengan
dosis 6 mg/kgBB IV dengan valgansiklovir 16 mg/kgBB peroral
menunjukkan paparan sistemik yang sama dengan gansiklovir. Sebagai
tambahan, pasien yang menjalani pengobatan selama 6 minggu menurunkan
viral load 0,7 log viral DNA copies/mL di urin. Toksisitas valgansiklovir
sama dengan gansiklovir dengan 38% subjek mengalami neutropenia.2,9

Saat ini, gansiklovir dan valgansiklovir adalah 2 jenis obat yang paling
banyak diteliti dan memperlihatkan hasil yang efektif untuk pengobatan neonates
dengan infeksi CMV kongenital. Berdasarkan data dan penelitian yangtelah

20
dikumpulkan Allergy and Infectious Disease Collaborative Antiviral Study Group
(CSAG), pengobatan selama 6 minggu menggunakan gansiklovir IV harus
dipertimbangkan pada bayi baru lahir yang memiliki CMV kongenital simptomatis
dengan keterlibatan SSP. Pengobatan harus dimulai pada seminggu pertama
kehidupan dan pasien dievaluasi toksisitasnya terutama neutropenia. Data tersebut
tidak menyebutkan pada kasus CMV dengan manifestasi lain, namun terdapat
sejumlah data yang merekomendasikan gansiklovir dapat pula dipertimbangkan
pada neonates dengan infeksi CMV kongenital disseminate (hepatsplenomegali, ,
hepatitis, anemia, dan hyperbilirubinemia terkonjugasi) serta viral load yang
tinggi(>5 x 104 PF/mL) atau trombositopenia karena dapat meningkatkan hasil
akhir dari perkembangan neuronal jangka panjang. Sampai saat ini belum jelas
pengobatan ulang atau perpanjangan masa pengobatan lebih dari 6 minggu
diperlukan karena ekskresi virus dalam urin dapat terus berlanjut setelah terapi
dihentikan. Meskipun begitu parameter eksresi virus dalam urin merupakan
parameter terakhir yang menunjukkan hasil negatif karena CMV mereplikasi dan
terkonsentrasi pada tubulus renal sehingga hasil negatif pada tes urin sulit untuk
dicapai. Penelitian mengenai perpanjangan pengobatan dengan gansiklovir masih
sangat terbatas, namun beberapa data menunjukkan terapi CMV kongenital CMV
dengan gansiklovir IV yang kemudian diikuti dengan valhgansiklovir secara oral,
menunjukkan aman dan efektif dengan outcome yang lebih baik pada auditori
dibadningkan dengan terapi jangka pendek. Keberadaan virus dalam darah jarang
ditemukan, namun hal ini lebih signifikan karena menunjukkan adanya infeksi
sistemik. Evaluasi viremia dapat dipertimbangkan untuk menentukan pengobatan
sudah dapat dihentkan atau perlu perpanjangan terapi dari standar terapi 6 minggu.9

21
Gambar 2.7. Algoritma tatalaksana infeksi CMV kongenital9

2.10. Prognosis
Infeksi pada masa awal kehamilan lebih sering menghasilkan sekuele berat
dibandignkan infeksi yang didapat di akhir kehamilan. Diperkirakan sekitar 50-
90% kasus simptomatik memiliki sekuele jangka panjang seperti mikrosefali,
hilang pendengaran, deficit motoric (parese/paralisis), cerebral palsy, retardasi
mental, kejang, kelainan mata (korioretinitis, atrofi optic), autism, dan gangguan
belajar. Sebaliknya 10-15% bayi dengan infeksi CMV kongenital asimptomatik
memiliki gangguan nerurodevelopment. Faktor yang berhubungan dengan
prognosis kognitif yang buruk antara lain mikrosefali dan abnormalitas yang
dideteksi melalui CT scan otak. Anak dengan CT scan otak yang normal dan lingkar
kepala yang normal akan memiliki outcome kognitif yang baik.9
Penemuan radilogis otak dengan MRI dan CT scan merupakan predictor
paling spesifik dan sensitif untuk menilai outcome neurodevelopment. Mikrosefali
tidak selalu ada, dan tidak selalu menghasilkan disabilitas di kemudian hari. Bayi
yang hanya mengalami mikrosefali tanpa temuan radiologis lainnya secara umum
memiliki prognosis yang baik pada masa kanak – kanak awal. Korioretinitis selalu
mengindikasikan adanya retardasi mental yang signifikan serta sering mengarah ke

22
atrofi optic. SNHL merupakan sekuele yang paling sering ditemukan pada infeksi
CMV kongenital baik pada kasus smptomatik maupun asimptomatik. Meskipun
60% bayi kehilangan pendengaran pada saat kelahiran dan periode neonatal,
setidaknya 40% mengalami onset yang terlambat. Oleh karena itu semua bay
dengan infeksi CMV kongenital harus dieavaluasi dengan tes pendengaran secara
regular untuk mendeteksi deficit pendengaran dengan onset yang terlambat.2,9
Pasien dengan infeksi simptomatik disseminate seperti petekie, atau IUGR
dan pada pasien dengan viral load yang tinggi memiliki risiko yang lebih besar
untuk mengalami kehilangan pendengaran.Bayi premature dan infeksi CMV
perinatal yang serius memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami sekuele
neurologis dan retardasi psikomotor, meskipun tidak memiliki kemungkinan yang
besar untuk mengalami SNHL mikrosefali, dan korioretinitis.2
Presentase Pasien
Sekuele
Simptomatik Asimptomatik
Kehilangan pendengaran 50-60 7-15
Defisit kognitif 50-70 7-15
Mikrosefali 35-40 0-4
Abnormalitas okuli 25-50 0-2
Kejang 15-20 0-3
Defisit motoric (ringan- 25-30 0-1
sedang)
Deficit motoric (berat) 15-25 <1

23
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 Virus Cytomegalovirus (CMV) termasuk keluarga virus Herpes. Sekitar


50% sampai 80% orang dewasa memiliki antibodi anti CMV. Infeksi primer
virus ini terjadi pada usia bayi, anak - anak, dan remaja yang sedang dalam
kegiatan seksual aktif.
 Penderita infeksi primer tidak menunjukkan gejala yang khusus, tetapi virus
terus hidup dengan status laten dalam tubuh penderita selama bertahun –
tahun.
 Citomegalovirus (CMV) merupakan penyebab terbanyak infeksi kongenital
di dunia. CMV diperkirakan terjadi pada 0,2-2,5% dari semua kelahiran
hidup
 Infeksi CMV perinatal biasanya tidak menyebabkan manifestasi klinis pada
bayi aterm, namun dapat menyebabkan masalah serius pada bayi preterm.
 Sekitar 90% bayi yang terinfeksi CMV kongenital asimptomatik saat
dilahirkan. Ikterik (62%), petekie (58%) dan hepatomegaly (50%) adalah
trias yang paling sering ditemukan
 Tidak ada gejala spesifik yang muncul pada kehamilan dengan infeksi
CMV. Kebanyakan bayi dengan infeksi CMV bawaan, tidak ada gejala yang
muncul saat lahir, tetapi dapat mengembangkan sekuel di kemudian hari.
 Saat ini, gansiklovir dan valgansiklovir adalah 2 jenis obat yang paling
banyak diteliti dan memperlihatkan hasil yang efektif untuk pengobatan
neonates dengan infeksi CMV kongenital.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Budipardigdo S, Lisyani. 2007. Kewaspadaan Terhadap Infeksi


Cytomegalovirus Serta Kegunaan Deteksi Secara Laboratorik. Universitas
Diponegoro: Semarang
2. Kim CS. 2010. Congenital and Perinatal Cytomegalovirus Infection.
Korean Journal of Pediatrics. 53(1): 14-20.
3. Chin, J. 2000. Infeksi Sitomegalovirus. Dalam: Manual Pemberantasan
Penyakit Menular. Jakarta : Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan. h.143-4
4. Karger, Freiburg. 2001. Cytomegalovirus (CMV). Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/cmv/transmission.html. Diakses pada 19 Juni 2016
5. Leung, A. K. C., Sauve, R. S., Davies, H. D. 2003. Congenital
Cytomegalovirus Infection. Journal of the National Medical Association.
95(3) : 213-218
6. Marino T, B Laartz, SE Smith, SG Gompf, K Allaboun, JE Marinez, et al.
2010. Viral Infections and Pregnancy. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/235213-overview. Diakses pada 20
Juni 2016
7. Swanson E. C, & Schleiss, M. R. 2013. Congenital cytomegalovirus
infection: new prospects for prevention and therapy. Pediatr Clin North Am
J. 60(2):335-49
8. Muzio D. B. D, & Radswiki. 2013. Congenital Cytomegalovirus Infection.
Diunduh dari : http://radiopaedia.org/articles/congenital-cytomegalovirus-
infection. Diakses pada 21 Juni 2016.
9. Buesenso, D., Serranti D., Gargiullo L., Ceccarelli M., Ranno, O., Valentini,
P. 2012. Congenital Cytomegalovirus Infection : Current Strategies and
Future Perspectives. European Review for Medical and Pharmacological
Sciences. 16 : 919-935

25

Anda mungkin juga menyukai