Anda di halaman 1dari 20

BLADDER TRAINING

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Bladder trining adalah latihan yang dilakukan untuk mengembalikan tonus otot
kandung kemih agar fungsinya kembali normal.

B. TUJUAN
1. Melatih klien untuk melakukan BAK secara mandiri.
2. Mempersiapkan pelepasan kateter yang sudah terpasang lama.
3. Mengembalikan tonus otot dari kandung kemih yang sementara waktu tidak ada
karena pemasangan kateter.
C. INDIKASI
Dilakukan pada :
1. Klien yang dilakukan pemasangan kateter cukup lama.
2. Klien yang akan di lakukan pelepasan dower kateter.
3. Klien yang mengalami inkontensia retentio urinea
4. Klien post operasi.

D. KONTRAINDIKASI
Tidak ada.

E. HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN


Pastikan kebutuhan untuk bladder training

F. PROSEDUR KERJA
 Persiapan pasien
Sampaikan salam (Lihat SOP Komunikasi Terapeutik)
 Jelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilakukan
 Persiapan alat:
Catatan perawat
Klem
 Persiapan Lingkungan
Jaga privasi klien dengan menutup pintu
Atur pencahayaan, penerangan dan ruangan yang kondusif
 Pelaksanaan: ada 2 tingkat yaitu tingkat masih dalam kateter dan tingkat bebas
catheter.
Tingkat masih dalam kateter:
Prosedur 1 jam:
 Cuci tangan.
 Klien diberi minum setiap 1 jam sebanyak 200 cc dari jam 07.00 s.d. jam 19.00.
Setiap kali habis diberi minum ,catheter di klem.
 Kemudian setiap jam kandung kemih dikosongkan mulai jam 08.00 s.d. jam
20.00 dengan cara klem catheter dibuka.
 Pada malam hari (setelah jam 20.00) catheter dibuka (tidak diklem) dan klien
boleh minum tanpa ketentuan seperti pada siang hari.
 Prosedur tersebut diulang untuk hari berikutnya sampai program tersebut
berjalan lancar dan berhasil.
Prosedur 2 jam:
 Cuci tangan.
 Klien diberi minum setiap 2 jam sebanyak 200 cc dari jam 07.00 s.d. jam 19.00.
Setiap kali habis diberi minum, catheter di klem.
 Kemudian setiap jam kandung kemih dikosongkan mulai jam 09.00 s.d jam
21.00 dengan cara klem catheter dibuka.
 Pada malam hari (setelah jam 20.00) catheter dibuka (tidak diklem) dan klien
boleh minum tanpa ketentuan seperti pada siang hari.
 Prosedur tersebut diulang untuk hari berikutnya sampai program tersebut
berjalan lancar dan berhasil.
Tingkat bebas catheter prosedur ini dilaksanakan apabila prosedur 1
sudah berjalan lancar:
 Cuci tangan.
 Klien diberi minum setiap 1 jam sebanyak 200 cc dari jam 07.00 s.d. jam 19.00,
lalu kandung kemih dikosongkan.
 Kemudian catheter dilepas.
 Atur posisi yang nyaman untuk klien, bantu klien untuk
konsentrasi BAK, kemudian lakukan penekanan pada area kandung kemih dan
lakukan pengosongan kandung kemih setiap 2 jam dengan menggunakan urinal.
 Berikan minum terakhir jam 19.00, selanjutnya klien tidak boleh diberi
minum sampai jam 07.00 pagi untuk menghindari klien dari basahnya
urine pada malam hari.
 Beritahu klien bahwa pengosongan kandung kemih selanjutnya
dijadwalkan setiap 2 jam sekali, apabila ada rangsangan BAK sebelum 2
jam klien diharuskan menahannya
 Buatlah sebuah jadwal bagi pasien untuk mencoba mengosongkan
kandung kemih dengan menggunakan urinal.
 Alat-alat dibereskan
 Akhiri interaksi dengan mengucapkan salam
 Cuci tangan (Lihat SOP Cuci Tangan)
 Dokumentasikan hasil tindakan

DAFTAR PUSTAKA

Anne Griffin Perry, A. Potter. 2005. Fundamental Keperawatan edisi 4. Jakarta : EGC
Brunner, Suddarth. 1998. Manual of nursing practice edisi 4. Jakarta : EGC
http://familydoctor.org/online/famdocen/home/seniors/common-
BLADDER TRAINING

Bladder training biasanya dilakukan pada pasien yang mengalami perubahan pola eliminasi
urin (inkontinensia) yang berhubungan dengan dysfungsi urologik.

Pengkajian :
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada individu yang mengalami masalah eliminasi
urine :
1. inkontinensia urine
2. dribbling

Pengkajian Keperawatan :
1. Riwayat kejadian dan faktor pencetus.
2. mengkaji/menilai tingkat kesadaran dan kemampuan konsentrasi
3. Mengkaji sistem perkemihan untuk menentukan masalah kandung kemih.

Diagnosa Keperawatan:
Perubahan pola eliminasi urin (inkontinensia) berhubungan dengan disfungsi urologik.

Tindakan keperawatan Bladder training.


1. Membuat schedule menentukan waktu pelaksanaan kapan pasien mencoba untuk
mengosongkan kandung kemih dengan menggunakan komodo atau toilet.
2. Berikan pasien sejumlah cairan untuk diminum pada waktu yang dijadwalkan secara teratur.
(2500 ml/hari)
3. Anjurkan pasien untuk menunggu sekama 30 menit kemudian coba pasien untuk berkemih.
a. Posisikan pasien dengan paha fleksi, kaki dan punggung disupport.
b. Perintahkan untuk menekan atau memasage diatas area bladder atau meningkatkan tekanan
abdominal dengan cara bersandar ke depan. Ini dapat membantu dalam memulai
pengosongan bladder.
c. Ajurkan klien untuk berkonsentrasi terhadap bak
d. Anjurkan klien untuk mencoba berkemih setiap 2 jam. Interval dapat diperpanjang .
Sebagai pedoman :
Atur bunyi alarm jam dengan interval setiap 2 – 3 jam pada siang hari.
Dan pada malam hari cukup 2 kali .
Batasi cairan setelah jam 5 sore.
4. Anjurkan pasien untuk berkemih sesuai jadwal, catat jumlah cairan yang diminum serta urine
yang keluar dan waktu berkemih.
5. Anjurkan klien untuk menahan urinnya sampai waktu bak yang telah dijadwalkan.
6. Kaji adanya tanda-tanda retensi urine. Jika diperlukan tes residu urine secara langsung
dengan kateterisasi.
7. Anjurkan pasien untuk melaksanakan program latihan secara kontinue
8. Berikan penguatan pada kemampuan pasien bukan pada ketidakmampuannya.

Management pada klien inkontinensia


( tidak untuk gangguan bladder akibat gangguan neurology)
1. Bantu klien ke kamar mandi pada waktu atau jadwal yang telah ditentukan.
2. Anjurkan pasien untuk melakukan aktivitasnya sendiri. Hal ini dapat mengurangi rasa
bosan/frustasi.
3. Berikan jumlah cairan yang adequat
4. Hindarkan tidakan yang mendukung inkontinensia. Misalnya memakai diaper.
5. Ciptakan lingkungan yang dapat mencegah rasa bosan:
- Sediakan kalender atau jam dinding untuk oreintasi waktu.
- Sediakan hiasan dinding atau poster.
- Sediakan telepon, radio atau televisi
- Anjurkan klien untuk membuat keputusan sendiri, untuk meningkatkan self esteem.
- Anjurkan klien untuk melakukan tugas-tugas berarti
- Manfaatkan waktu yang tersisa (missalnya membaca buku)
- Menyarankan agar klien tidak di dalam kamar saja
- Tingkatkan kontak sosial
6. Motivasi klien untuk melakukan ADL secara mandiri

EVALUASI:
Tujuan yang diharapkan:
1. pakaian/pasien tetap kering dan bebas dari bau.
2. Bladder kosong
3. Tidak ada residual urin
4. Tidak tampak adanya bakteriuria
5. Minum jumlah cairan sesuai anjuran
6. Hubungan sosial terpelihara.

Kegel exercise / latihan kegel.


Dilakukan pada klien yang mengalami inkontinensia stress.
1. Untuk otot dinding pelvisposterior, bayangkan anda mencoba untuk menghentikan jalannya
feces dan perkuat otot anal tanpa menguatkan tungkai bawahatau otot abdominal anda
2. Untuk otot dinding pelvis anterior, bayangkan anda untuk menghentikan jalannya urin,
perkuat otot (belakang dan depan) selama 4 detik dan kemudian lepaskan ulangi 10 kali 4 kali
sehari dalam 1 jam jika diindikasikan).
3. Intruksikan individu untuk menghentikan dan memulai aliran urine beberapa kali selama
berkemih.

Inkontinensia Urine

Inkontinensia urin merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi
diluar keinginan. Jika inkontinesia akibat inflamasi, mungkin sifatnya hanya sementara. Namun jika
karena kelainan neurologik kemungkinan besar bersifat permanen.
Inciden di Amerika > 10 jt orang mengalami inkontinensia urine, yang mengenai individu dengan
segala usia. Paling sering dijumpai pada lansia.
Faktor resiko : usia, jenis kelamin, jumlah persalian pervaginam, infeksi saluran kemih, menopouse,
pembedahan urogenital, penyakit kronis dan penggunaan berbagai obat. Gejala ruam, dekubitus,
infeksi kulit dan saluran kemih dan pembatasan aktivitas merupakan konsekwensi dari inkontinensia
urine.

Tipe-tipe inkontinensia urine.


a. Inkontinensia akibat stress, merupakan eliminasi urin diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat dari
peningkatan menadak pada tekanan intraabdomen. Tipe ini paling sering ditemukan pada wanita.
Dapat disebabkan oleh cidera obstetric, lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstristik velvis, fistula,
disfungsi destruksor, dll.
Kharakteristik : keluar urine (biasanya < 50 cc) pada waktu peningkatan tekanan abdominal akibat
berdiri, bersin, batuk, berlari atau mengangkat berat.

Faktor-faktor yang berhubungan:


1. Inkomplet pengeluaran kandung kemih akibat anomaly congenital traktus urinarius.
2. Degeneratif otot pelvis dan struktus penyangga akibat defesiensi estrogen.
3. penigkatan tekanan intraabdominal akibat obesitas , kehamilan.
4. kelemahan otot pelvis dan struktur penyangga akibat kelahiran anak.

b. Urge inkontinensia, terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi tyetapi tidak
mampu menahannya cukup lama sebelum mencapai toilet.

Penyebabnya ;
Disfungsi neurologis yang menggangu penghambatan kontraksi kandung kemih
Gejala local iritasi karena infeksi atau tumor kandung kemih.
Penurunan kapasitas blas akibat kateter pasca indwelling atau pada lansia. Kecilnya blas pada anak-
anak.

c. Overflow incontinesia, ditandai oleh eliminasi urine yang sering dan kadang-kadang terjadi hampir
terus menerus. Kandung kemih tidak dapat mengosongkan isinya secara normal dan mengalami
distersi yang berlebihan.
Penyebab:
Kelainan neurologik (yaitu lesi medulla spinalis) atau akibat faktor-faktor penyumbat saluran keluar
urin (yaitu penggunaan obat-obatan, tumor, striktur dan hyperplasia prostat.

d. Inkontinesia fungsional, merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran perkemihan utuh tetapi ada
faktor lain yang menyebabkan pasien sulit untuk ke toilet dan berkemih. Misalnya pada pasien
demensia Alzheimer dimana pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya berkemih, atau pada pasien
dengan gangguan fisik.

e. Inkontinensia reflek, merupakan inkontinensia tanpa dorongan sensasi berkemih atau kandung kemih
penuh, disebabkan oleh kerusakan medulla spunalis. Dimana kontraksi kandung kemih tidak
dihambat, reflek involunter menghasilkan berkemih spontan, sensasi penuhnya kandung kemih hilang
atau berkurang.

f. Bentuk-bentuk Inkontinensia urine campuran. Yang mencakup ciri-ciri inkontinensia diatas, dapat
pula terjadi. Selain itu, inkontinensia urine dapat terjadi akibat interaksi banyak faktor.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Pemasangan
Kateter Urin
Pemasangan kateter urin merupakan tindakan keperawatan dengan cara
memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang
bertujuan
membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan bahan
pemeriksaan (Hidayat, 2006). Tindakan pemasangan kateter urin dilakukan
dengan mema
su
kan selang plastik atau karet melalui uretra ke dalam kandung
kemih. Kateter memungkinkan men
galirnya urin yang berkelanjutan pada klien
yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien yang mengalami obstruksi.
Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji haluaran urin per jam pada klien yang
status hemodinamiknya tidak stabil (Potter dan Perry, 200
2 ).
Kateterisasi urin membantu pasien dalam proses eliminasinya.
Pemasangan kateter menggantikan kebiasaan normal dari pasien untuk berkemih.
Penggunaan kateter intermiten dalam waktu yang lama dapat menyebabkan pasien
mengalami ketergantungan dalam berkemih (Craven dan Zweig, 2000).
1.1
Tipe Kateterisasi
Menurut Hidayat pemasangan kateter dengan dapat bersifat sementara atau
menetap. Pemasangan kateter sementara atau
intermiten catheter
(
straight
kateter)
dilakukan jika pengosongan kandung kemih dilakukan secara rutin sesuai dengan
jadwal, sedangkan pemasangan kateter menetap atau
indwelling catheter
(
folley
Universitas
Sumatera
Utara
kateter) dilakukan apabila pengosongan kateter dilakukan secara terus menerus
(Hida yat,
2006).
a.
Kateter sementara
(
straight
kateter)
Pemasangan kateter sementara
dilakukan dengan cara kateter lurus yang
sekali pakai dimasukkan sampai mencapai kandung kemih yang bertujuan untuk
mengeluarkan urin. Tindakan ini dapat dilakukan selama 5 sampai 10 menit. Pada
saat kandung kemih kosong maka kateter kemudian ditarik keluar, pemasangan
kateter intermitten dapat dilakukan berulang jika tindakan ini diperlukan, tetapi
penggunaan yang berulang meningkatkan resiko infeksi (Potter dan Perry, 2002 ).
Pema
sangan kateter sementara
dilakukan jika tindakan untuk
mengeluarkan urin dari kandung kemih pasien dibutuhkan. Efek samping dari
penggunaan kateter ini berupa pembengkakan pada uretra, yang terjadi saat
memasukkan kateter dan dapat menimbulkan infeksi (Thomas, 2007).
Beberapa keuntungan pen
ggunaan kateterisasi sementara
yang
dikemukakan oleh Japardi (2000) antara lain:
1)
Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi yang
mengakibatkan aliran darah ke mukosa kandung kencing dipertahankan
se
optimal mungkin
2)
Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala seakan
-akan
berfungsi normal.
3)
Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis, maka
penderita dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis sehingga fedback
ke
medula spinalis tetap terpelihara
4)
Teknik yang mudah dan klien tidak terganggu kegiatan sehari harinya
Universitas
Sumatera
Utara
Kerugian
kateterisasi sementara
ini adalah adanya bahaya distensi
kandung kemih, resiko traum
a uretra akibat kateter yang ke
luar masuk secara
berulang,
resiko infeksi akibat masuknya kuman
-
kuman dari luar atau dari ujung
distal uretra (flora normal)
(Japardi, 2000)
.
b.
Keteter menetap
(
foley
kateter)
Kateter
menetap digunakan untuk periode waktu yang lebih lama.
Kateter
menetap
ditempatkan dalam kandung kemih untuk beberapa minggu pemakaian
sebelum dilakukan pergantian ka
teter.
Pemasangan kateter ini dilakukan sampai
klien mampu berkemih dengan tuntas dan spontan atau selama pengukuran urin
akurat dibutuhkan (Potter dan Perry, 2005).
Pemasangan kateter
men
etap
dilakukan dengan sistem kontinu ataupun
penutupan berkala (clamping). Pemakaian kateter menetap ini banyak
menimbulkan infeksi atau sepsis. Bila menggunakan kateter
menetap
, maka yang
dipilih adalah penutupan berkala ole
h karena kateterisasi menetap
y
ang kontinu
tidak fisiologis dimana kandung kencing yang selalu kosong akan mengakibatkan
kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot
kandung kemih (Japardi, 2000).
Kateter menetap terdiri atas foley kateter (
double
lumen
) dimana satu
lumen berfungsi untuk mengalirkan urin dan lumen yang lain berfungsi untuk
mengisi balon dari luar kandung kemih. Tipe
triple
lumen terdiri dari tiga lumen
yang digunakan untuk mengalirkan urin dari kandung kemih, satu lumen untuk
memasu
kkan cairan ke dalam balon dan lumen yang ketiga dipergunakan untuk
melakukan irigasi pada kandung kemih dengan cairan atau pengobatan
(Potter dan
Perry, 2005)
.
Universitas
Sumatera
Utara
1.2
Indikasi Kateterisasi
Kateterisasi
sementara
digunakan pada penatalaksanaan jangka panjang
klien yang mengalami cidera medulla spinalis, degenerasi neuromuscular, atau
kandung kemih yang tidak kompeten, pengambilan spesimen urin steril,
pengkajian residu urin setelah pengosongan kandung kemih dan meredakan rasa
tidak nyaman akibat distensi kandung kemih (Perry dan Potter, 2005).
Menurut
Hida yat
(2006) kateterisasi sementara
diindikasikan pada klien yang tidak mampu
berkemih 8
-
12 jam setelah operasi, retensi akut setelah trauma uretra, tidak
mampu berkemih akibat obat sedative atau analgesic, cide
ra pada tulang belakang,
degerasi neuromuscular secara progresif dan pengeluaran urin residual.
Kateterisasi menetap
(
foley kateter
) digunakan pada klien pask
aoperasi
uretra dan struktur di sekitarnya (TUR
-
P), obstruksi aliaran urin, obstruksi uretra,
pada
pasien inkontinensia dan disorientasi berat (Hidayat, 2006).
2.
Inkontinensia Urin
2.1
Defenisi Inkontinensia Urin
Produksi urin pada setiap individu berbeda. Pada umumnya produksi urin
seim
bang dengan pemasukan cairan, namun ada beberapa faktor yang ikut
men
dukung jumlah urin dalam satu hari. Faktor yang mempengaruhi produksi
urin adalah jumlah cairan yang masuk ketubuh, kondisi hormone, saraf sensori
perkemihan, kondisi sehat sakit, tingkat aktivitas, sedangkan pola buang air kecil
dapat dipengaruhi oleh keb
iasaan seseorang, usia, penggunaan obat
-
obatan dan
pengaruh makanan (Hariyati, 2000).
Universitas
Sumatera
Utara
Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat
sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna.
Merembesnya urine da
pat berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter
dan Perry, 2005). Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan
ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau menetap untuk
mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab inkontinens
ia dapat berupa
proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan
penggunaan obat narkotik atau sedatif.
Inkontinensia tidak harus dikaitkan dengan lansia. Inkontinensia dapat
dialami setiap individu pada usia berapa pun walaupun kondi
si ini lebih umum
dialami oleh lansia. Inkontinensia yang berkelanjutan memungkinkan terjadi
kerusakan pada kulit. Sifat urin yang asam mengiritasi kulit. Pasien yang tidak
dapat melakukan mobilisasi dan sering mengalami inkontinensia beresiko terkena
luka
dekubitus (Potter dan Perry, 2005).
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak
yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah
terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dap
at
menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera
ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin
(Hariyati, 2000).
Penatalaksanaan inkontinensia dengan menggunakan tindakan non
farmakologis dapat dilakukan dengan cara menggunakan terapi perilaku,
pengaturan makanan dan minuman, bladder training, penguatan otot panggul.
Pasien dengan inkontinensia harus memperhatikan in
take cairan. Pengurangn
Universitas
Sumatera
Utara
pemasukan cairan dapat menimbulkan dehidrasi dan konstipasi. Dengan
mengubah jenis makanan dan minuman dapat membantu seperti membatasi
minuman yang mengandung cafein, alcohol dan minuman. Kafein dapat
mengiritasi kandung kemih dan
meningkatkan frekuensi untuk berkemih yang
akan memperburuk inkontinensia (Parker, 2007).
2.2
Tipe inkontinensia Urin
Ada beberapa tipe dari inkontinensia urin yaitu: inkontinensia dorongan,
inkontinensia total, inkontinesia stress, inkontinensia
refleks, inkontinensia
fungsional (Hidayat, 2006).
a.
Inkontinensia Dorongan
Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat
setelah berkemih. Inkontinensia dor
ongan ditandai dengan seringnya terjadi miksi
(miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spame kandung kemih (Hidayat, 2006).
Pasien
Inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah
timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan ot
ot detrusor sudah mulai
mengadakan kontraksi pada saat kapasitas kandung kemih belum terpenuhi.
Frekuensi miksi menjadi lebih sering dan disertai dengan urgensi. Inkontinensia
tipe ini meliputi 22% dari semua inkontinensia pada wanita (Purnomo, 2008).
Bebe
rapa penyebab terjadinya inkontinensia urin dorongan disebabkan
oleh penurunan kapasitas kandung kemih, iritasi pada reseptor rengangan kandung
kemih yang menyebabkan spasme (inspeksi saluaran kemih), minuman alkohol
Universitas
Sumatera
Utara
atau kafein, peningkatan konsentrasi urin, dan distensi kandung kemih yang
berlebihan. (Hidayat, 2006).
b.
Inkontinensia Total
Inkontinensia total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan
penyebab inkontinensia tot
al antara lain: disfungsi neorologis, kontraksi
independen dan refleks detrusor karena pembedahan, trauma atau penyakit yang
mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula, neuropati (Hidayat, 2006).
c.
Inkontinensia Stress
Menurut Hidayat (2006) inkontinensia
tipe ini ditandai dengan adanya urin
menetes dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih, dan
sering
miksi
. Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot spingter uretra tidak
dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan meningkatnya tekan
an di
abdomen secara tiba
-
tiba. Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu
batuk, bersin, mengangkat benda yang
berat, tertawa (Panker, 2
007).
Keluar urin dari uretra pada saat terjadi tekanan intraabdominal,
merupakan jenis inkontinensia yang pali
ng banyak prevalensinya 8
-
33%. Pada
pria kelainan uretra yang menyebabkan inkontinensia biasanya adalah kerusakan
sfingter uretra eksterna pasca prostatektomi (
Purnomo, 2008). Inkontinensia stress
jarang ditemukan pada laki
-
laki. Namun apabila hal ini ditemukan maka
membutuhkan tindakan pembedahan untuk penanganannya (Parker, 2007).
I
nkontinensia
stress
ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat
disebabkan oleh cidera obstetrik, lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik
pelvis, fistula, disfung
si detr
usor dan sejumlah keadaan lain
(Smeltzer, 2001).
Universitas
Sumatera
Utara
d.
Inkontinensia Refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan di mana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat
diperkirakan bila volume kandung kem
ih mencapai jumlah tertentu. Inkontinensia
tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kerusakan neurologis (lesi medulla
spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk
berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi
atau spasme
kandung kemih tidak dihambat pada interval teratur (Hidayat, 2006).
e.
Inkontinensia Fungsional
Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang mengalami
pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkiraka
n. Keadaan
inkontinensia ini di
tandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa
bahwa kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk
mengeluarkan urin (Hidayat,2006).
Inkontinensia fungsional
merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran
kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif
berat yang menyebabkan pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi
(misalnya, demensia Alzheimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasi
en
sulit atau tidak mungkin m
en
jangkau toilet untuk melakukan urinasi
(Smeltzer,
2001).
Universitas
Sumatera
Utara
3.
Bladder Training
3.1 Defenisi
Bladder Training
Bladder training
merupakan
latihan kandung kemih sebagai salah satu
upaya mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan
(Lutfie,
2008).
Orzeck dan Ouslander (1987
dalam Hariyati 2000
) mengatakan bahwa
bladder training
merupakan
upaya mengembalikan pola buang air kecil dengan
menghambat atau merang
sang keinginan buang air kecil.
Bladder training
merupakan
tindakan
yang berm
anfaat dalam mengurangi frekuensi dari
inkontinensia.
Bladder training
banyak digunakan untuk me
nangani inkontinensia
urin
di komunitas. Latihan ini
sangat
efektif dan memiliki efek samping yang
minimal dalam menangani masalah
inkontinensia urin. Dengan
bladder training
diharapkan pola kebiasaan disfungsional, memperbaiki kemampuan untuk
menekan urgensi dapat diubah dan secara bertahap akan meningkatkan kapasitas
kandung kemih dan memperpanjang interval berkemih.
(Glen, 2003).
Terdapat tiga macam metode
b
ladder training
, yaitu
kegel exercises
(latihan pengencangan atau penguatan otot
-
otot dasar panggul),
delay urination
(menunda berkemih), dan
scheduled bathroom trips
(jadwal berkemih)
Suhariyanto (2008).
Latihan kegel
(
kegel exercises
) merupakan aktivitas
fisik
yang tersusun dalam suatu program yang dilakukan secara berulang
-
ulang guna
meningkatkan kebu
garan tubuh. Latihan
kegel dapat meningkatkan mobilitas
kandung kemih dan bermanfaat dalam menurunkan gangguan pemenuhan
kebutuhan eliminasi urin
.
Latihan otot dasar panggul dapat membantu
memperkuat otot dasar panggul untuk memperkuat penutupan uretra dan secara
Universitas
Sumatera
Utara
refleks menghambat kontraksi kandung kemih.
(Kane, 1996 dalam Nursalam
2006).
Metode
bladder training
dengan jadwal berkemih dapat dilakuka
n dengan
cara membuat jadwal berkemih setiap bangun pagi, setiap dua jam pada siang dan
sore hari, setiap empat jam pada malam hari dan sebelum tidur malam.
Memberikan cairan sesuai kebutuhan 30 menit sebelum waktu berkemih,
membatasi minum (150
-
200 cc) se
telah makan malam. Kemudian secara bertahap
periode waktu berkemih dapat ditambah. Dibutuhkan kerjasama dengan keluarga
untuk keberhasilan metode ini (Hariyati, 2000).
Bladder training
dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing
(menunda untuk berkemih
)
. Pada pasien yang terpasang keteter,
bladder training
dapat dilakukan dengan mengklem atau mengikat aliran urin ke urin bag
(Hariyati, 2000).
Bladder training
dilakukan
sebel
um kateterisasi diberhentikan.
Tindakan ini
dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan klem kemudian
jepitannya dilepas setiap beberapa jam sekali. Kateter di klem selama 20 menit
dan kemudian dilepas. Tindakan menjepit kateter ini memungkinkan kandung
kemih terisi urin dan otot detrusor berkontraksi sedangkan pelepasan k
lem
memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya
.
(Smeltzer, 2001).
3.2
Tujuan
Bladder Training
Tujuan dari
bladder training
(melatih kembali kandung kemih) adalah
mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi
pengeluar
an air kemih (
Perry dan Potter, 2005).
Bladder training
bertujuan untuk
mengembangkan tonus otot dan spingter kandung kemih agar berfungsi optimal.
Universitas
Sumatera
Utara
Latihan ini dilakukan pada pasien setelah kateter terpasang dalam jangka waktu
yang lama (Suharyanto, 2008)
Karon (2005) menyatakan tujuan d
ilakukan
bladder training
adalah:
a.
Membantu klien mendapat pola berkemih rutin.
b.
Mengembangkan tonus otot kandung kemih sehingga dapat mencegah
inkontinensia.
c.
Memperpanjang interval waktu berkemih.
d.
Meningkatkan kapasitas kandung kemih.
e.
Melatih kandung kemih untuk mengeluarkan urin secara periodic
f.
Mengontrol faktor
-
faktor yang mungkin meningkatakan jumlah episode
inkontinensia.
3.3
Indikasi
Bladder training
B
ladder training
dapat dilakukan
pada pasien yang mengalami
inkontine
nsia, pada pasien yang terpasang kateter dalam waktu yang lama
sehingga fungsi spingter kandung kemih terganggu
(Suharyanto, 2008)
.
Bladder
training
juga bisa dilakukan pada pasien stroke, bladder injury, dan pasien denga
n
pemasangan kateter yang lama
(Orz
eck dan ouslander, 1987 dalam Hariyati,
2000).
Bladder training
efektif digunakan dalam menangani
masalah
inkontinesia dorongan, inkontinensia stress atau gabungan keduanya yang sering
disebut inkontinensia campuran.
Penelitian yang dilakukan oleh Fantl (1991)
mengenai efektivitas
bladder training
didapatkan, bahwa sebanyak 50 % dari
sampel percobaan menjadi mampu mengontrol kencing, dan 12 % menjadi total
Universitas
Sumatera
Utara
kontinen.
Sedangkan penelitian yang dilakukan Hariyati (2000)
untuk melihat
pengaruh
bladder training
dengan proses pemulihan inkontinensia urin pasien
stroke diperoleh lama inkontinensia urin rata
-
rata 13,11 hari pada pasien yang
diberi bladder training sedangkan di ruangan kontrol 22,7 hari.
3.4
Prosedur
Bladder
Training
Prosedur kerja dalam melakukan
bladder training
menurut Suharyanto
(2008) yaitu:
1)
Melakukan cuci tangan
2)
Mengucap
kan salam
3)
Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada klien
4)
Menciptakan lingkungan yang nyaman dengan menutup ruangan atau tirai
ruangan.
5)
Mengatur posisi pasien yang nyaman.
6)
Memakai sarung tangan.
7)
Melakukan pengukuran volume urin pada kantong urin dan kosongkan
kantong urin.
8)
Klem atau ikat selang kateter sesuai dengan program (selama 1
-
2 jam)
yang memungkinkan kandung kemih terisi u
rin dan otot destrusor
berkontraksi, supaya meningkatkan volume urin residual.
9)
Anjurkan pa
sien untuk minum
(200-
250 cc)
10)
Tanyakan pada klien apakah terasa ingin berkemih setelah 1 jam.
11)
Buka klem atau ikatan dan biarkan urin mengalir keluar.
12)
Mengulangi langk
ah no 8 selama 4 kali (4 siklus).
Universitas
Sumatera
Utara
13)
Mengukur volume urin dan perhatikan warna dan bau urin
14)
Lepaskan sarung tangan dan merapikan semua peralatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Proses
Berkemih
Reflek berkemih adalah reflek medula spinalis yang seluruhnya bersifat
otomatis. Selama kandung kemih terisi penuh dan menyertai kontraksi
berkemih, keadaan ini disebabkan oleh reseptor regang sensorik pada dinding
kandung kemih sampai reseptor pada uretra posterior ketika mulai terisi urin
pada tekanan kandung kemih yang lebih tinggi. Sinyal sensorik dari reseptor
kandung kemih ke segmen sakral medula spinalis melalui nervus pelvikus
kemudian secara reflek kembali l
agi ke kandung kemih melalui syaraf
parasimpatis (Syaifuddin, 2001).
Berkemih pada dasarnya merupakan reflek spinal yang akan difasilitasi
dan dihambat oleh pusat
-
pusat susunan syaraf yang lebih tinggi. Urin yang
memasuki kandung kemih tidak begitu meningk
atkan tekanan intravesika
sampai terisi penuh. Pada kandung kemih ketegangan akan meningkat dengan
meningkatnya isi organ tersebut, tetapi jari
-
jaripun bertambah, oleh karena itu
peningkatan tekanan hanya akan sedikit saja, sampai organ tersebut relatif
pe
nuh. Selama proses berkemih otot
-
otot perinium dan sfingter uretra eksterna
relaksasi, otot detrusor berkontraksi dan urin akan mengalir melalui uretra.
Kontraksi otot
-
otot perinium dan sfingter eksterna dapat dilakukan secara
volunter, sehingga mencegah u
rin mengalir melewati uretra atau
menghentikan aliran urin saat sedang berkemih (
Guyton, 2006
).

Anda mungkin juga menyukai