Hukum kesehatan
LO 1.1 Definisi Etik Kedokteran, Bioetik, dan Hukum Kesehatan
Etika adalah ilmu pengetahuan tentang azas ahlak (menurut kamus umum bahasa
Indonesia, Purwadarminta 1953
Sedangkan menurut KBBI dari Departemen dan Kebudayaan (1998), Etika adalah :
- ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral
- Kumpulan atau seperangkat asas atau nilai yang berkenaan dengan ahlak
- Nilai yang benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat
Istilah Etik dan Etika sering dipertukarkan pemakaiannya dan tidak jelas perbedaan
nya. Menurut buku Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 4, Etika adalah
ilmu yang mempelajari azas ahlak, sedangkan etik adalah seperangkat asas atau nilai
yang berkaitan dengan ahlak seperti dalam Kode Etik.
Bioetik:
1. Bioetika atau bioetika medis adalah studi interdisipliner tentang masalah yang
ditimbulkan oleh perkembangan dibidang biologi dan ilmu kedokteran baik skala
mikro maupun makro,masa lalu dan masa mendatang. (Bertens, 2001)
2. Bioetik adalah penerapan dari teori etika dan prinsip moral pada kehidupan dan
perkerjaan/profesi
2. Non-Maleficence
Non-malficence adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak melakukan
perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang paling kecil
resikonya bagi pasien yang dirawat atau diobati olehnya.
3. Autonomi
Seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak manusia. Setiap individu harus
diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak menentukan nasib sendiri. Dalam
hal ini pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan membuat keputusan sendiri.
Contoh perilaku Autonomi :
- Menghargai hak menentukan nasib sendiri
- Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan
- Berterus terang menghargai privasi
- Menjaga rahasia pasien
- Menghargai rasionalitas pasien
- Melaksanakan Informed Consent
- Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
- Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien
- Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam membuat keputusan,
termasuk keluarga pasien sendiri
- Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non
emergensi
- Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikann pasien
- Mejaga hubungan atau kontrak
4. Justice
Keadilan atau Justice adalah suatu prinsip dimana seorang
dokter wajib memberikan perlakuan sama rata serta adil untuk kebahagiaan dan
kenyamanan pasien tersebut. Perbedaan tingkat ekonomi, pandangan politik,
agama, kebangsaan, perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan, dan
kewarganegaraan tidak boleh mengubah sikapdan pelayanan dokter terhadap
pasiennya.
Persamaan:
1. Sama sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya hidup
bermasyarakat.
2. Sebagai objeknya adalah tingkah laku manusia
3. Mengandung hak dan kewajiban anggota masyarakat agar tidak saling
merugikan
4. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi
5. Sumbernya adalah hasil pemikiran para pakar dan pengalaman para
anggota senior
Perbedaan:
1. Etik berlaku untuk lingkungan profesi,hukum berlaku untuk umum
2. Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi,Hukum disusun
oleh badan pemerintah
3. Etik tidak seluruhnya tertulis,Hukum tercantum secara terinci dalam
kitab undang undang dan lembaran/berita Negara.
4. Sanksi dalam pelanggaran etik berupa tuntutan,sanksi terhadap
pelanggaran hukum berupa tuntutan.
5. Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran (MKDKI) yang dibentuk oleh Konsil Kedokteran
Indonesia dan atau oleh Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
(MKEK), yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI),
pelanggaran hukum diselesaikan oleh pengadilan.
6. Penyeselsaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik,
penyelesaian pelanggaran hukum memerlukan bukti fisik.
3. Auto Euthanasia : penolakan secara tegas oleh pasien untuk bantuan atau
perawatan medic terhadap dirinya, dan ia tahu pasti bahwa hal itu akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia
membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada
dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
- Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit
& tidak dapat diobati, misalnya kanker.
- Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil & tinggal
menunggu kematian.
- Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya
dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
- Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter
keluarga yang merawat pasien & ada dasar penilaian dari dua orang dokter
spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia.
Pasal 28 A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya
Pasal 28 B ayat 2
Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
Pasal 28 I ayat 1
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Menurut Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI)
No. 221/PB/A-4/04/2002 disebutkan pada pasal 7d : “Setiap Dokter harus senantiasa
mengingat kewajiban melindungi hidup mahluk insani”
Menurut penjelasan pasal 7d , Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia yang pasti
pada suatu waktu akan menemui ajalnya. Tidak seorang dokterpun, betapapun
pintarnya akan dapat mencegahnya. Naluri yang terkuat pada setiap mahluk
bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Untuk itu, manusia
diberi akal, kemampuan berpikir, dan mengumpulkan pengalamannnya sehingga
dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan usaha untuk menghindarkan diri dari
bahaya maut. Semua usaha tersebut merupakan tugas seorang dokter. Ia harus
berusaha memelihara dan mempertahankan hidup mahluk insani. Ini berarti bahwa
baik menurut agama, UU Negara, maupun Etika Kedokteran, Seorang dokter tidak
diperbolehkan :
a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus).
b. Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak
mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan
bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun
pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.
Secara fitrah, manusia beriman tidak akan melakukan tindakan bunuh diri. Akan
tetapi dalam kondisi tertentu –misalnya karena frustasi-akan terbuka peluang cukup
besar untuk melakukannya. Dalam rangka itulah, Al-Qur’an melarang keras kaum
mukminin untuk melakukan bunuh diri. (Imam fakhrurrazi).
Karena alasan itu pula, seorang yang sakit dalam Islam dianjurkan untuk segera
berobat. Sebab, orang yang berobat pada hakikatnya dalam rangka mempertahankan
kehidupannya.
اا لعللييهه لولسلللم لقاَللصللىَّ لاه ل ت ألنلسساَ يلاقوُال إهلن لراسوُلل ل ت هعيملرالن ايللعمم ل
ي لقاَلل لسهميع ا ْس لحلدثللناَ لحير ب
ب لقاَلل لسهميع ا لحلدثللناَ ايوُنا ا
ق اللدلوالء فلتللدالويوا ق اللدالء لخلل ل ال لعلز لولجلل لحيي ا
ث لخلل ل إهلن ل
“Telah menceritakan kepada kami Yunus telah menceritakan kepada kami Harb
berkata, saya telah mendengar ‘Imran yang buta berkata: saya mendengar Anas
berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Allah ‘azza wajalla ketika menciptakan
penyakit, juga menciptakan obat, maka berobatlah kalian.”
Hadits ini memotivasi kepada manusia agar ketika sakit hendaknya berobat untuk
kesembuhan penyakitnya. Karena, setiap penyakit yang diturunkan oleh Allah itu
pasti ada obatnya. Meskipun kadang kala, manusia belum mengatahui obatnya. Yang
terpenting bagi manusia adalah bahwa ia telah berikhtiar untuk menyembuhkan
penyakitnya.
Disisi lain, seseorang juga dilarang keras membunuh orang lain. Sebagai bukti
keseriusannya, Islam memberikan ancaman dan sanksi yang jelas bagi pelakunya.
Larangan tersebut ditegaskan dalam bentuk ancaman terhadap orang yang
melakukannya sebagaimana tersebut dalam surat An- Nisa’ ayat 93:
Tidak dapat diterima alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan
melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya.
Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-
aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan
mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan
manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu
pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda, ”Tidaklah menimpa kepada seseorang
muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit,
bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya
dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Persoalan ini tentu berbeda dengan persoalan euthanasia positif. Euthanasia pasif
dilakukan karena dokter sudah tidak mampu lagi untuk memberikan pertolongan
medis atau sehingga tidak ada jalan lain selain menghentikan pengobatan. Tindakan
tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan
tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena
itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara
menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Hukum euthanasia pasif tergantung pada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-
tadaawi) itu sendiri. Dari pembahasan yang telah ada diatas dapat diketahui bahwa
hukum berobat adalah sunnah. Jadi euthanasia pasif, yaitu euthanasia yang dilakukan
dengan hanya menghentikan pengobatan itu hukumnya adalah jaiz (boleh).
Daftar Pustaka
Hanafiah, MJ. Amir, A. 2007. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 4.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Budi, S. Syamsu, Z. Tjejep, S. 2005. Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi
Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Jakarta : Pustaka Dwipar.
Amri A dan Muhammad JH, dkk. 2007. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.
Jakarta:EGC.
Dr. H. Abu Yazid, LL.M., op.cit., hlm. 212.
Undang-Undang Dasar 1945;
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No
73).