Anda di halaman 1dari 58

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Dr. ARI PRAYITNO, SpA(K)


Tempat/Tgl. lahir : JAKARTA, 30 OKTOBER 1967
E-mail : ariprayitno@yahoo.com

PENDIDIKAN

RIWAYAT PEKERJAAN
Sekarang :
• Staf pengajar Divisi tropik dan infeksi, Departemen Ilmu Kesehatan anak, FKUI-RSCM
• Ketua PPI RSCM
Tahun 2003 - 2009 :
• Dokter Anak di RS St. Imanuddin, Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, KalTeng
Tahun 1993 – 1996 :
• Dokter PTT Puskesmas, Nanga Bulik, Kab. Kobar, KalTeng
DIAGNOSIS, TATA LAKSANA DAN
PENCEGAHAN DIFTERI PADA ANAK

ARI PRAYITNO

DIVISI INFEKSI DAN PEDIATRI TROPIS


DEPT. ILMU KESEHATAN ANAK
FKUI - RSCM
Pokok Bahasan
• Data epidemiologi difteri terkini
• Gejala klinis, diagnosis dan klasifikasi difteri
• Tata laksana kasus difteri
• Pedoman Penatalaksanaan difteri
• Vaksinasi difteri
• KLB difteri dan penanggulangannya
• Outbreak Respon Immunization
• Simpulan

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 3


Reported diphtheria cases in the 10 highest case count
countries by 5 year average - 2000-2015

Kristie E. US CDC. Review oF


16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 4
The epidemiology of diphtheria. 2000-2016
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 5
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 6
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 7
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 8
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 9
Data per-2 Januari 2018
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 10
Difteri
• Penyakit menular, PD3I
• Penyebab Corynebacterium
diphtheriae
• Penularan melalui droplet
saat batuk atau bersin
• Manusia sebagai sumber
utama penularan, kecuali
difteri kulit yang bersumber
Bentuk sel Corynebacterium pada
dari hewan ternak pewarnaan, mirip huruf China
(Online Textboof of Bacteriology)

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 11


Toksin difteri
• Manifestasi disebabkan oleh eksotoksin
• C. diphtheriae toksigenik dan non-toksigenik
• Gen yang mempengaruhi produksi toksin
adalah toxigene, yang dibawa oleh
bacteriophage yang menginfeksi C. diphteriae
• Toksin difteri :
• Fragmen B : menempel pada permukaan reseptor
dan berpenetrasi ke dalam sel
• Fragmen A : menghambat transfer asam amino dan
sintesis protein

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 12


Perjalanan penyakit difteri

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 13


Gejala dan tanda difteri
• Demam tidak tinggi (subfebris)
• Nyeri menelan
• Terdapat pseudomembran
• Napas berbunyi (stridor)
• Leher membengkak (bullneck)
• Apabila tidak diobati terjadi komplikasi :
• Sesak nafas, sianosis, sufokasi (obstruksi larings)
• Suara sengau, mudah tersedak (kelumpuhan otot
larings)
• Perubahan denyut jantung (miokarditis)
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 14
Gejala dan tanda difteri
• Riwayat imunisasi tidak
lengkap
• Kontak dengan penderita
difteri (<2 minggu)
• Pada kondisi berat :
tampak sakit berat, muka
pucat, kebiruan, tanda-
tanda syok

Bullneck
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 15
Pseudomembran
• Selaput/membran yang:
• pada awalnya berwarna
putih, kemudian menjadi
keabuabuan, dan
akhirnya kehitaman yang
• melekat erat pada
mukosa saluran napas,
sehingga mudah
berdarah jika
diangkat/dilepaskan

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 16


16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 17
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 18
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 19
Pengambilan swab tenggorok
• Pengambilan sampel hari ke-1,
ke-2, dan ke-7
• Sampel diambil dengan alat
swab dari jaringan di bawah atau
sekitar pseudomembran
• Media kultur: Amies dan Stewart
• PCR untuk membantu konfirmasi
• Setelah identifikasi Mitis,
Intermedius, Gravis, Belfanti,
dilakukan uji toksigenisitas (tes
Elek)

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 20


Diagnosis Difteri
• Diagnosis difteri ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan klinis untuk terapi segera
• Diagnosis pasti ditentukan dengan
ditemukannya pertumbuhan C. diphtheriae
pada media biakan
• Deteksi toksin pada C. diphtheriae toksigenik
ditentukan dengan Uji Elek (Elek’s Test) dan
PCR (ditemukannya Fragmen A dan B)

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 21


Elek test

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 22


Klasifikasi difteri

• Suspected diphtheria
• Probable diphtheria
• Confirmed diphtheria
• Contact diphtheria
• Carrier diphtheria

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 23


Suspected diphtheria
• Tanpa demam atau subfebris
• Gejala faringitis, tonsilitis, laringitis, trakeitis
(atau kombinasi)
• Terdapat pseudomembran putih
keabuabuan/kehitaman pada salah satu atau
kedua tonsil yang berdarah bila terlepas dan
dilakukan manipulasi
• 94% kasus difteri mengenai tonsil dan farings

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 24


Probable diphtheria
• Gejala suspected diphtheria
• Ditambah salah satu dari
• Pernah kontak dengan kasus (< 2 minggu)
• Status imunisasi tidak lengkap, termasuk belum
dilakukan booster
• Stridor dan bullneck
• Perdarahan submukosa atau petekie pada kulit
• Gagal jantung toksik, gagal ginjal akut
• Miokarditis dan/ atau kelumpuhan motorik 1 s/d 6
minggu setelah onset
• Meninggal

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 25


Confirmed diphtheria
• Gejala probable diphtheria
• Dikonfirmasi dengan
• biakan atau PCR dengan hasil Corynebacterium
diphtheriae positif
• Elek’s test untuk uji toxisitas

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 26


Carrier diphtheria
• Seseorang yang mengandung kuman difteri di
tenggorokannya,
• Namun yang bersangkutan tidak sakit
• Tetap menular ke sekitarnya
• Perlu diberikan pengobatan untuk menghilangkan
Corynebactrium diphtheriae dari tenggorokannya
• Masa penularan dari karier berlangsung hingga 6
bulan

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 27


Contact diphtheria
• Siapapun yang kontak erat dengan kasus
dalam 7 hari terakhir dianggap berisiko tertular.
• Kontak erat penderita dan karier meliputi
• Anggota keluarga serumah
• Teman, kerabat, pengasuh yang secara teratur
mengunjungi rumah
• Kontak cium / seksual
• Teman di sekolah, teman les, teman mengaji,
teman sekerja
• Petugas kesehatan di lapangan dan di rumah sakit

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 28


Prinsip pengobatan
• Pengobatan dilakukan berdasarkan diagnosis
klinis
• Tanpa menunggu hasil biakan
• Jika terdapat keraguan: perlakukan sebagai
difteri sampai terbukti bukan
• Pada kondisi outbreak/KLB: buat alur
tatalaksana di rumah sakit/fasyankes 
kepentingan rule-out difteri

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 29


Tata laksana difteri
1. Pencegahan infeksi/penularan
2. Pemberian Anti Difteri Serum (ADS)
3. Pemberian Antibiotik
4. Monitor komplikasi dan terapi suportif
5. Vaksinasi
6. Pengobatan Karier
7. Pengobatan Kontak

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 30


Pencegahan infeksi/penularan
• Kewaspadaan standar dan transmisi
• Prinsip penularan: droplet dan kontak
• Dirawat di ruang rawat isolasi standar, tidak perlu
bertekanan negatif, jarak antar tempat tidur 1,5-2 m
• Selalu melakukan kebersihan tangan 6 langkah
pada 5 momen dan etika batuk
• Gunakan APD: masker bedah, sarung tangan,
gaun, pelindung mata (untuk tindakan)
• Pembersihan permukaan lingkungan dengan
desinfektan (Klorin), jika tidak dibersihkan bisa
hidup sampai 6 bulan

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 31


16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 32
Pemberian ADS
• Segera setelah diagnosis ditegakkan tanpa hasil laboratorium
• Lakukan uji kulit sebelumnya: injeksi 0,1 ml ADS dalam larutan
garam fisiologis 1:1.000 intrakutan: positif bila indurasi >10 mm
dalam 20 menit
Tipe Difteri Dosis ADS (KI) Pemberian
Difteri hidung 20.000 Intravena
Difteri tonsil 40.000 Intravena
Difteri faring 40.000 Intravena
Difteri laring 40.000 Intravena
Difteri nasofaringeal 60.000 Intravena
Kombinasi lokasi di atas, tanpa melibatkan hidung 80.000 Intravena

Difteri + penyulit dan/atau ditemukan bullneck 80.000 – 100.000 Intravena

Terlambat berobat (>72 jam), lokasi di mana saja 80.000 – 100.000 Intravena
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 33
CDC Protocol – 03/26/2014 – Revised dan Krugman, 1992 dengan Modifikasi
Hati-hati dalam pemberian ADS
• Sediakan adrenalin 1:1000 dalam semprit
• Lakukan uji kulit 0,1 ml ADS dalam NaCl 0,9%
1:1.000 secara intrakutan. Positif jika,
• dalam 20 menit terjadi indurasi >10 mm
• berikan ADS dengan cara desensitisasi (Besredka)
• ADS + dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml
glukosa 5% dalam 1-2 jam
• Monitor efek samping obat
• anafilaksis sekitar (0,6%) terjadi dalam beberapa menit
• demam (4%) setelah 20 menit -1 jam
• serum sickness (8,8%) 7-10 hari kemudian.

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 34


Antibiotik
• Penisilin prokain 25.000 - 50.000 U/kgBB/hari
(max 1,2 juta U/hari), i.m,selama14 hari
• Bila terdapat riwayat hipersensitivitas penisilin
diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari (max 2
g/hari) dibagi 4 dosis, interval 6 jam, selama14
hari.

Panduan PP IDAI 2017


16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 35
Monitor komplikasi dan terapi suportif

• Komplikasi: miokarditis, gagal ginjal akut, kelumpuhan


ekstremitas, sumbatan jalan napas
• Tatalaksana umum :
• Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui (2-3 minggu)
• Stabilisasi jalan nafas, pastikan airway, breathing dan circulation
aman
• Biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut dengan jarak
24 jam.
• Pemeriksaan EKG dan neurologis untuk mengetahui komplikasi.
• Gejala obstruksi saluran napas atau miokarditis berikan
Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian
diturunkan bertahap.
• Sumbatan jalan napas: Trakeostomi

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 36


Pengobatan kontak
• Periksa gejala difteri serta awasi setiap hari
selama 7 hari dari tanggal terakhir kontak
dengan kasus
• Buat biakan dari swab hidung dan farings,
untuk mengetahui penularan atau karier
• Berdasarkan hasil biakan berikan antibiotik
• Perlu biakan ulang untuk memastikan eradikasi
difteri
• Tanyakan status imunisasi dan segera lengkapi
imunisasi sesuai umur

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 37


Pilihan antibiotik untuk
kontak/karier
• Eritromisin, selama 7 hari
• Anak 40 mg/kg BB/hari dibagi 4 dosis
• Dewasa 1 g/hari dibagi dalam 4 dosis
• Azitromisin, single dose, selama 7 hari
• Anak 10-12 mg/kgBB, maksimal 500 mg
• Dewasa 500 mg

• Catatan:
• Buat biakan swab tenggorok sebelum dan setelah
pemberian antibiotik
• Jika biakan masih positif, lanjutkan antibiotik 7 hari lagi;
• Jika biakan tetap positif, ganti antibiotik yang sesuai dengan
uji resistensi
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 38
Pedoman tata laksana difteri

• Triage kasus difteri WHO


• Pedoman Pencegahan dan Pengendalian
Difteri Kementerian Kesehatan
• Rekomendasi diagnosis dan tatalaksana difteri
PP IDAI
• Petunjuk teknis tatalaksana difteri RSCM

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 39


TRIAGE
Diphtheria cases
(by WHO)

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 40


TRIAGE
Beberapa pasien
menunjukkan gejala Nyeri tenggorok
kelainan di jantung,
Penelusuran kontak, vaksinasi dan profilaksis kontak

Gejala ISPA
ginjal atau saraf Demam +/-
beberapa minggu Malaise +/- Gunakan prinsip Pencegahan
sesudah gejala di dan Pengendalian Infeksi
saluran napas Klinisi menggunakan APD
Saat memeriksa tenggorok
ISPA
Ada pseudomembran atau Parasetamol
Pseudomembran awal Tidak
Limfadenopati masif Saran untuk kontrol
bila belum membaik
Ya

Adakah tanda bahaya klinis lainnya ?

Stridor
Takipnea
Gelisah atau letargi
Bullneck
CRT memanjang
Takikardia dan akral dingin
16/01/2018 Pseudomembran Sianosis
SEMINAR sentral
DIFTERI Bullneck 41
Ya Tidak
Penelusuran kontak, vaksinasi dan profilaksis kontak

ADS dan Antibiotik diberikan Antibiotik diberikan


sesegera mungkin sesegera mungkin

Rumah sakit setempat Diisolasi difasyankes setempat minimal 48 jam

ADS 20.000 – 100.000 IU Penisilin V per-oral 10-15 mg/kgBB/kali,


Acqueous benzyl penicilin (Penicilin G) IM/IV diberikan tiap 6 jam, max. 500 mg/kali, 14 hari
25.000 U/kgBB setiap 6 jam selama 14 hari Eritromisin per-oral 10 mg/kgBB/kali,
Jika pasien bisa menelan, antibiotik diberikan tiap 6 jam, max. 500 mg/kali, 14 hari
di-switch ke oral Azitromisin per-oral 10 mg/kg, sekali sehari,
Pengambilan sampel laboratorium maksimal 500 mg/kali, diberikan selama
berdasarkan kasus perkasus 14 hari

Monitor kondisi klinis, rujuk bila perburukan


16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 42
Buku Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri Kementerian Kesehatan

PEDOMAN

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN DIFTERI

Kementerian Kesehatan RI
Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tahun 2017

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 43


Rekomendasi diagnosis dan tatalaksana difteri PP IDAI
Diagnosis dan tata laksana difteri

Diagnosis Difteri

Dapat ditegakkan berdasarkan klinis, sebagai berikut:

Anamnesis

Suara serak, nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi, hingga adanya stridor,
“ngences”, dan tanda lain dari obstruksi napas atas, dengan riwayat imunisasi tidak lengkap,
serta kontak erat dengan kasus difteri.
Kontak erat yang dimaksud adalah orang serumah dan teman bermain; kontak dengan
sekret nasofaring (a.l.: resusitasi tanpa alat pelindung diri); individu seruang dengan
penderita dalam waktu >4 jam selama 5 hari berturut-turut atau >24 jam dalam seminggu
(a.l.: teman sekelas, teman seruang tidur, teman mengaji, les).

Pemeriksaan fisis

Umumnya (94%) menunjukkan tanda tonsilitis dan faringitis dengan membran pada tempat
infeksi berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat. Dapat ditemukan
kondisi berat seperti, tampak toksik dan sakit berat, padahal demam tidak terlalu tinggi,
muka pucat bahkan sampai sianosis, tanda-tanda syok, serta kesulitan menelan.

Laboratorium

Diagnosis konfirmasi lab (diagnosis pasti) C. diphtheriae berdasarkan kultur. Pengambilan


sampel untuk kultur pada hari ke-1, ke-2, dan ke-7. Media yang digunakan saat ini adalah
Amies dan Stewart, dahulu Loeffler atau telurit. Keberhasilan kultur hidung tenggorok di
indonesia kurang dari 10%, sehingga diupayakan untuk menggunakan PCR untuk diagnosis
pasti. Setelah dilakukan identifikasi, pemeriksaan selanjutnya afalah uji toksigenisitas (tes
Elek). Sampel diambil dari jaringan di bawah atau sekitar pseudomembran. Pemeriksaan
sediaan langsung dengan mikroskop atau pewarnaan Gram/Albert, tidak dapat dipercaya
karena di rongga mulut banyak terdapat bakteri berbentuk mirip C. diphtheriae (difteroid)

Klasifikasi difteri sebagai berikut:

Suspek difteri: adalah orang dengan gejala faringitis, tonsillitis, laryngitis, trakeitis (atau
kombinasi), tanpa demam atau kondisi subfebris disertai adanya pseudomembran putih
keabu-abuan/kehitaman pada salah satu atau kedua tonsil yang berdarah bila terlepas atau
dilakukan manipulasi. Sebanyak 94% kasus difteri mengenai tonsil dan faring. Kasus
probable difteri adalah orang dengan gejala laringitis, nasofaringitis atau tonsilitis ditambah
pseudomembran putih keabu-abuan yang tak mudah lepas dan mudah berdarah di faring,
laring, tonsil (suspek difteri) ditambah salah satu dari :
a) Pernah kontak dengan kasus (<2 minggu)
b) Status imunisasi tidak lengkap, termasuk belum dilakukan booster
c) Stridor, bullneck
d) Pendarahan submukosa atau petekie pada kulit
e) Gagal jantung toksik, gagal ginjal akut

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 44


Petunjuk teknis tatalaksana difteri RSCM

PETUNJUK TEKNIS PENANGANAN DIFTERI DI RSCM

1. Gejala dan tanda pasien Difteri :


• Suara Serak
• Tenggorok terasa sakit
• Nyeri saat menelan
• Demam
• Kesulitan bernapas
• Pembengkakan di leher
• Ada bercak putih keabu-abuan di saluran pernapasan atas
• Pernah kontak dengan penderita difteri (< 2 minggu)

2. Skrining Awal :
Jika ditemukan salah satu gejala, maka :
a. Berikan masker bedah kepada pasien
b. Menghubungi Chief Residen/ PPDS yang sudah ditunjuk (maksimal response
time 15 menit) dari Departemen IKA atau Departemen IPD atau Departemen
THT - KL
c. Chief Residen/ PPDS Anak/ IPD/ THT-KL yang sudah ditunjuk melakukan
pemeriksaan tenggorok dan hidung di ruangan khusus dengan menggunakan
APD (masker, face shield dan apron).
d. Jika ditemukan selaput putih (pseudomembran), pasien diperlakukan sebagai
Probable Difteri sampai terbukti bukan.
e. Pasien dilakukan swab tenggorok oleh PPDS ANAK/ IPD + THT-KL, dan
didokumentasikan dengan video atau foto, kemudian dilaporkan ke DPJP
masing-masing
f. Dilakukan swab pada pseudomembran dengan menggunakan swab khusus
untuk dimasukkan ke dalam kontainer khusus untuk pewarnaan Gram dan untuk
kultur dalam tabung yang berisi media Amies
g. Pasien diberikan ADS dengan dosis sesuai Tabel Pemberian ADS dan antibiotik
sesuai dengan Tabel Pemberian Antibiotik
h. Menghubungi SPGDT untuk menyiapkan rujukan ke RS Rujukan Difteri
i. Melengkapi formulir W1 yang sudah diberi stiker identitas pasien oleh DPJP
yang menangani pasien.
j. Pelaporan formulir W1 ke Dinkes dilakukan oleh petugas SI IGD dalam waktu
maksimal 1x24 jam
k. Menghubungi Dinas Kesehatan DKI

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 45


ALUR PENANGANAN PASIEN DIFTERI

· Suara Serak
· Tenggorok terasa sakit
· Pasien dikenakan
· Nyeri saat menelan
Gejala ISPA atau masker Bedah
· Demam
dicurigai difteri · Edukasi etika batuk
· Kesulitan bernapas
dan kebersihan tangan
· Pembengkakan di leher
· Pernah kontak dengan
penderita difteri (< 2 minggu)

Ruang Terpisah *)

oleh Pemeriksaan saluran Kebersihan Tangan


IKA atau IPD pernapasan bagian APD Sesuai indikasi
THT - KL atas

Membran (+) Membran (-)

Konfirmasi swab
tenggorok **)

Tidak mudah dilepas Mudah dilepas dan


dan mudah berdarah tidak berdarah ISPA
(Pseudomembran (+)) (Pseudomembran (-))

Pulangxx)
Probable

Pewarnaan Gram +) Kultur


Swab dengan media Amies

Probable Tatalaksana
16/01/2018 Lengkapi
SEMINAR Formulir W1
DIFTERI Rujuk x) 46
difteri ADS ++)
Lapor Dinas Kesehatan
Antibiotik +++)
Alur Penanganan Difteri RSCM
 Suara Serak
 Tenggorok terasa sakit  Pasien dikenakan
 Nyeri saat menelan Gejala ISPA
masker Bedah
 Demam atau dicurigai
 Edukasi etika batuk
 Kesulitan bernapas difteri dan kebersihan
 Pembengkakan di leher tangan
 Pernah kontak dengan
penderita difteri (<2
minggu)
Ruang Terpisah

oleh Pemeriksaan saluran Kebersihan Tangan


IKA atau IPD pernapasan bagian atas APD Sesuai indikasi
THT - KL

Membran (+) Membran (-)

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 47


Membran (+) Membran (-)

Konfirmasi swab tenggorok

Tidak mudah dilepas dan Mudah dilepas dan tidak


mudah berdarah ISPA
berdarah (Pseudomembran (-))
(Pseudomembran (+))

Pulang
Probable

Pewarnaan Gram
Swab
Kultur dengan media Amies

Tatalaksana Lengkapi Formulir W1


Probable difteri Lapor Dinas Rujuk
ADS
Antibiotik Kesehatan
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 48
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan

Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksin einflu nz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (prim ary im m unizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin M MR/M R. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 49
Jenis vaksin difteri di Indonesia
Difteri Tetanus Pertusis Merek vaksin
< 1 tahun DTP 6,7-25 Lf 7,5 Lf Ya
Biofarma, Tripacel,
1 – 2 tahun DTP 6,7-25 Lf 7,5 Lf Ya Pediacel, Hexaxim
(Sanofi), Infanrix,
Infanrix-HiB-IPV,
2 – 5 tahun DTP 6,7-25 Lf 7,5 Lf Ya
Infanrix Hexa (GSK)

5 – 7 tahun DT 10-12 Lf 7,5 Lf Tidak Biofarma


Td 1/4 – 1/10 DTP 7,5 Lf Tidak Biofarma
7 – 18 tahun Boostrix (GSK)
Tdap 1/4 – 1/10 DTP 7,5 Lf 1/4 – 1/10 DTP
Adacel (Sanofi)
Boostrix (GSK)
> 18 tahun Tdap 1/4 – 1/10 DTP 7,5 Lf 1/4 – 1/10 DTP
Adacel (Sanofi)

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 50


16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 51
Penanggulangan KLB Difteri
1. Strategi jangka pendek:
Untuk wilayah resiko tinggi dengan ORI (outbreak
respons immunization) dengan cara:
• Meningkatkan kualitas pelayanan imunisasi
• Meningkatkan imunisasi rutin untuk bayi dengan
vaksinasi DPT-HB
• Untuk anak usia 1-7 tahun dengan vaksinasi DPT-HB
atau DT
• Untuk anak usia > 7 tahun dengan vaksinasi Td
• Suplementary Immunization Activity (SIA): Imunisasi
tambahan terutama pada anak SD kelas 4,5 dan 6

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 52


Penanggulangan KLB Difteri
2. Strategi Jangka Panjang
• Strengthening imunisasi DPT-HB pd bayi dan
booster
• Program BIAS Imunisasi DT pd anak kelas 1 dan
Td pd anak kelas 2 dan 3
• Penyelidikan karier/kontak dg kasus Difteri diberi
Eritromisin sbg pencegahan dosis 30-50
mg/kgBB/hr selama 14 hari
3. Menguatkan surveilans PD3I secara umum &
khususnya difteri, termasuk KIPI yang
ditimbulkannya
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 53
Outbreak Response Immunization
(ORI)
• Tujuan
Tujuan ORI adalah untuk memberikan perlindungan pada
kelompok rentan sehingga dapat memutuskan rantai penularan.
• Sasaran
Sasaran pemberian imunisasi diberikan pada golongan umur
sesuai dengan kajian epidemiologi di lokasi KLB  1 - <19 tahun
• Dasar Hukum
• UU No. 4 tahun 1984 tentang KLB Penyakit Menular
• PP No. 40 tahun 1991 tentang Penanggulangan KLB Penyakit Menular
• Permenkes No 949, 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan SKD KLB.
• Kepmenkes No 1611/Menkes/SK/XI/2005 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Imunisasi
• Kepmenkes No 1626/Menkes/SK/XII/2005 tentang Pedoman Pemantauan
dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 54
ORI
Permenkes No. 12 tahun 2017
• ORI dilakukan di daerah yang ditemukan min. 1
kasus tersangka difteri atau daerah KLB
• Diberikan 3 dosis, dengan jenis vaksin sesuai
kelompok umur, dengan interval dosis 1 ke 2 = 1
bulan dan dosis 2 ke 3 = 6 bulan
• Kelompok sasaran sesuai kajian epidemiologi
Dinkes Kab./ Kota setempat  konsultasi P2PL
• Luas wilayah setidaknya satu kecamatan
• Biaya operasional bersumber pada APBD
Provinsil Kabupaten/ Kota
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 55
Vaksin yang dipergunakan dalam ORI

1. Vaksin DPT – Hep B- HiB


• untuk usia 1 – <5 tahun
2. Vaksin DT
• untuk usia <5 - < 7 tahun
3. Vaksin Td
• untuk usia <5 - <19 tahun

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 56


Simpulan
• Difteri adalah penyakit menular tergolong PD3I
penyebab KLB beberapa kali di Indonesia
• Diagnosis difteri berdasarkan pemeriksaan klinis
dengan ditemukannya pseudomembran
• Tata laksana utama difteri adalah dengan
pemberian ADS dan antibiotik
• Pengobatan ditujukan kepada penderita, kontak
dan juga karier
• Penanganan difteri menggunakan pedoman dari
WHO, Kemenkes, Organisasi profesi dan RS
• Penanggulangan KLB salah satunya dengan ORI

16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 57


16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 58

Anda mungkin juga menyukai