PENDIDIKAN
RIWAYAT PEKERJAAN
Sekarang :
• Staf pengajar Divisi tropik dan infeksi, Departemen Ilmu Kesehatan anak, FKUI-RSCM
• Ketua PPI RSCM
Tahun 2003 - 2009 :
• Dokter Anak di RS St. Imanuddin, Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, KalTeng
Tahun 1993 – 1996 :
• Dokter PTT Puskesmas, Nanga Bulik, Kab. Kobar, KalTeng
DIAGNOSIS, TATA LAKSANA DAN
PENCEGAHAN DIFTERI PADA ANAK
ARI PRAYITNO
Bullneck
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 15
Pseudomembran
• Selaput/membran yang:
• pada awalnya berwarna
putih, kemudian menjadi
keabuabuan, dan
akhirnya kehitaman yang
• melekat erat pada
mukosa saluran napas,
sehingga mudah
berdarah jika
diangkat/dilepaskan
• Suspected diphtheria
• Probable diphtheria
• Confirmed diphtheria
• Contact diphtheria
• Carrier diphtheria
Terlambat berobat (>72 jam), lokasi di mana saja 80.000 – 100.000 Intravena
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 33
CDC Protocol – 03/26/2014 – Revised dan Krugman, 1992 dengan Modifikasi
Hati-hati dalam pemberian ADS
• Sediakan adrenalin 1:1000 dalam semprit
• Lakukan uji kulit 0,1 ml ADS dalam NaCl 0,9%
1:1.000 secara intrakutan. Positif jika,
• dalam 20 menit terjadi indurasi >10 mm
• berikan ADS dengan cara desensitisasi (Besredka)
• ADS + dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml
glukosa 5% dalam 1-2 jam
• Monitor efek samping obat
• anafilaksis sekitar (0,6%) terjadi dalam beberapa menit
• demam (4%) setelah 20 menit -1 jam
• serum sickness (8,8%) 7-10 hari kemudian.
• Catatan:
• Buat biakan swab tenggorok sebelum dan setelah
pemberian antibiotik
• Jika biakan masih positif, lanjutkan antibiotik 7 hari lagi;
• Jika biakan tetap positif, ganti antibiotik yang sesuai dengan
uji resistensi
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 38
Pedoman tata laksana difteri
Gejala ISPA
ginjal atau saraf Demam +/-
beberapa minggu Malaise +/- Gunakan prinsip Pencegahan
sesudah gejala di dan Pengendalian Infeksi
saluran napas Klinisi menggunakan APD
Saat memeriksa tenggorok
ISPA
Ada pseudomembran atau Parasetamol
Pseudomembran awal Tidak
Limfadenopati masif Saran untuk kontrol
bila belum membaik
Ya
Stridor
Takipnea
Gelisah atau letargi
Bullneck
CRT memanjang
Takikardia dan akral dingin
16/01/2018 Pseudomembran Sianosis
SEMINAR sentral
DIFTERI Bullneck 41
Ya Tidak
Penelusuran kontak, vaksinasi dan profilaksis kontak
PEDOMAN
Kementerian Kesehatan RI
Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tahun 2017
Diagnosis Difteri
Anamnesis
Suara serak, nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi, hingga adanya stridor,
“ngences”, dan tanda lain dari obstruksi napas atas, dengan riwayat imunisasi tidak lengkap,
serta kontak erat dengan kasus difteri.
Kontak erat yang dimaksud adalah orang serumah dan teman bermain; kontak dengan
sekret nasofaring (a.l.: resusitasi tanpa alat pelindung diri); individu seruang dengan
penderita dalam waktu >4 jam selama 5 hari berturut-turut atau >24 jam dalam seminggu
(a.l.: teman sekelas, teman seruang tidur, teman mengaji, les).
Pemeriksaan fisis
Umumnya (94%) menunjukkan tanda tonsilitis dan faringitis dengan membran pada tempat
infeksi berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat. Dapat ditemukan
kondisi berat seperti, tampak toksik dan sakit berat, padahal demam tidak terlalu tinggi,
muka pucat bahkan sampai sianosis, tanda-tanda syok, serta kesulitan menelan.
Laboratorium
Suspek difteri: adalah orang dengan gejala faringitis, tonsillitis, laryngitis, trakeitis (atau
kombinasi), tanpa demam atau kondisi subfebris disertai adanya pseudomembran putih
keabu-abuan/kehitaman pada salah satu atau kedua tonsil yang berdarah bila terlepas atau
dilakukan manipulasi. Sebanyak 94% kasus difteri mengenai tonsil dan faring. Kasus
probable difteri adalah orang dengan gejala laringitis, nasofaringitis atau tonsilitis ditambah
pseudomembran putih keabu-abuan yang tak mudah lepas dan mudah berdarah di faring,
laring, tonsil (suspek difteri) ditambah salah satu dari :
a) Pernah kontak dengan kasus (<2 minggu)
b) Status imunisasi tidak lengkap, termasuk belum dilakukan booster
c) Stridor, bullneck
d) Pendarahan submukosa atau petekie pada kulit
e) Gagal jantung toksik, gagal ginjal akut
2. Skrining Awal :
Jika ditemukan salah satu gejala, maka :
a. Berikan masker bedah kepada pasien
b. Menghubungi Chief Residen/ PPDS yang sudah ditunjuk (maksimal response
time 15 menit) dari Departemen IKA atau Departemen IPD atau Departemen
THT - KL
c. Chief Residen/ PPDS Anak/ IPD/ THT-KL yang sudah ditunjuk melakukan
pemeriksaan tenggorok dan hidung di ruangan khusus dengan menggunakan
APD (masker, face shield dan apron).
d. Jika ditemukan selaput putih (pseudomembran), pasien diperlakukan sebagai
Probable Difteri sampai terbukti bukan.
e. Pasien dilakukan swab tenggorok oleh PPDS ANAK/ IPD + THT-KL, dan
didokumentasikan dengan video atau foto, kemudian dilaporkan ke DPJP
masing-masing
f. Dilakukan swab pada pseudomembran dengan menggunakan swab khusus
untuk dimasukkan ke dalam kontainer khusus untuk pewarnaan Gram dan untuk
kultur dalam tabung yang berisi media Amies
g. Pasien diberikan ADS dengan dosis sesuai Tabel Pemberian ADS dan antibiotik
sesuai dengan Tabel Pemberian Antibiotik
h. Menghubungi SPGDT untuk menyiapkan rujukan ke RS Rujukan Difteri
i. Melengkapi formulir W1 yang sudah diberi stiker identitas pasien oleh DPJP
yang menangani pasien.
j. Pelaporan formulir W1 ke Dinkes dilakukan oleh petugas SI IGD dalam waktu
maksimal 1x24 jam
k. Menghubungi Dinas Kesehatan DKI
· Suara Serak
· Tenggorok terasa sakit
· Pasien dikenakan
· Nyeri saat menelan
Gejala ISPA atau masker Bedah
· Demam
dicurigai difteri · Edukasi etika batuk
· Kesulitan bernapas
dan kebersihan tangan
· Pembengkakan di leher
· Pernah kontak dengan
penderita difteri (< 2 minggu)
Ruang Terpisah *)
Konfirmasi swab
tenggorok **)
Pulangxx)
Probable
Probable Tatalaksana
16/01/2018 Lengkapi
SEMINAR Formulir W1
DIFTERI Rujuk x) 46
difteri ADS ++)
Lapor Dinas Kesehatan
Antibiotik +++)
Alur Penanganan Difteri RSCM
Suara Serak
Tenggorok terasa sakit Pasien dikenakan
Nyeri saat menelan Gejala ISPA
masker Bedah
Demam atau dicurigai
Edukasi etika batuk
Kesulitan bernapas difteri dan kebersihan
Pembengkakan di leher tangan
Pernah kontak dengan
penderita difteri (<2
minggu)
Ruang Terpisah
Pulang
Probable
Pewarnaan Gram
Swab
Kultur dengan media Amies
Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksin einflu nz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (prim ary im m unizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin M MR/M R. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
16/01/2018 SEMINAR DIFTERI 49
Jenis vaksin difteri di Indonesia
Difteri Tetanus Pertusis Merek vaksin
< 1 tahun DTP 6,7-25 Lf 7,5 Lf Ya
Biofarma, Tripacel,
1 – 2 tahun DTP 6,7-25 Lf 7,5 Lf Ya Pediacel, Hexaxim
(Sanofi), Infanrix,
Infanrix-HiB-IPV,
2 – 5 tahun DTP 6,7-25 Lf 7,5 Lf Ya
Infanrix Hexa (GSK)