Anda di halaman 1dari 25

Pengikat Kebajikan

Ar-Rahmaan. Dia mengajarkan Al-Qur an.


Dia mencipta manusia. Dia ajari pandai
menyampaikan. (Q.s. Ar-Rahman [55]: 1-4)

Ar-Rahmaan. Nama Allah yang indah ini


menggambarkan keluasan kasih yang tiada
pilih, kelapangan sayang yang tiada
berbilang, kemerataan cinta yang tiada
tara, berbilang kebaikan yang tak
berhingga, dan berlimpah karunia yang
takkan sanggup manusia menghitungnya.

Surah yang mulia ini memang memiliki


kekhasan. Nantinya ia akan mengulang-
ngulang tanya, "Maka terhadap nikmat
Rabbmu berdua yang manakah; kamu
sekalian mendustakan?"

Nikmat terbesar yang Allah sebut pertama-


tama sesudah nama-Nya yang mulia
adalah mengajarkan Al-Qur an. "Yakni,"
demikian Imam Al-Fakhrur Razi dalam
Tafsirnya, "mengajarkan huruf serta
bunyinya, mengajarkan lafazh serta
maknanya, dan mengajarkan kalimat serta
bahasanya." Dengan itulah Al-Qur an
mudah difahami oleh hamba-Nya. "Inilah
rahmat-Nya yang terbesar," ujar Imam Ibn
Katsir dalam Tafsirnya, "sebab Al-Qur an
mengandung segala kebajikan dan
mencegah semua kejelekan."

Setelah itu, Allah sampaikan bahwa Dia


mencipta manusia. "Sungguh manusia
adalah makhluq Allah paling sempurna dan
tinggi derajatnya," demikian Dr. Nashir ibn
Sulaiman Al-'Umar dalam himpunan tulisan
Liyadabbaru Ayatih, "tetapi Al-Qur' an
adalah Kalamullah, firman-Nya yang agung.
Maka mengajarkan Al-Qur an adalah
karunia yang didahulukan daripada
mencipta manusia."

Kemudian dinyatakan bahwa karunia


terdahsyat setelah manusia tercipta adalah
Dia ajari manusia itu al-bayaan.?" Al-
Bayaan," sebagaimana dikatakan Ibn
'Abbas, "adalah kemampuan menerima dan
menyampaikan makna dengan bahasa,
baik melalui lisan maupun tulisan."
Kemampuan ini adalah penyempurna bagi
rapi dan jelitanya penciptaan manusia.
Kemampuan ini adalah pembeda manusia
dari makhluq penghuni bumi lainnya. Atas
kemampuan hebat ini pula, Adam, moyang
semua insan mampu menyebutkan segala
nama. Hingga dengan sebab itu, malaikat
diperintahkan sujud kepadanya.

Maka penciptaan manusia adalah karunia


yang diapit oleh dua pengajaran Ilahiah.
Ialah pengajaran Al-Qur'an dan pengajaran
al-bayaan. Maka, sungguh, kebaikan
manusia diikat oleh pemahamannya akan
kedua pengajaran itu. Kadar pengertian
dan pelaksanaannya terhadap kedua
pengajaran yang mengapit penciptaannya
ini akan menentukan kemuliaannya di
akhirat dan di dunia.

Inilah ilmu, dasar bagi segala ucap dan


perbuatan. Inilah ilmu, penuntun hidup
hingga kematian. Inilah ilmu, yang
dengannya kebaikan diraih dan keburukan
dienyahkan. Inilah ilmu, yang Allah
meminta kita beribadah pada-Nya hanya
berdasar ia.

Maka ilmuilah bahwa tiada Ilah selain Allah


.... (Q.s. Muhammad [47]: 19)
Allah tidak memerintahkan, "Yakinilah
bahwa tiada Ilah selain Allah". Allah tidak
menitahkan, "Percayai saja bahwa tiada
Ilah selain Allah". Dia yang Maha
Mendengar lagi maha Mengetahui
mengamanatkan, "Maka ilmuilah ... ".

"Sesungguhnya Allah tidak ridha," demikian


Syaikh Mutawalli AsySya'rawi menulis, "jika
diibadahi dengan kebodohan. Maka Dia
mewajibkan ilmu atas kita; dalam
mengenal-Nya, menyembah-Nya, mentaati-
Nya, dan melaksanakan aturan-aturan-Nya
di segenap kehidupan kita.?

Tak bisa tidak bagi tiap yang beriman untuk


mengikat keyakinannya dengan ilmu.
Sebab sebuah rasa percaya, bahkan pun
jika disandarkan pada mu'jizat yang
membelalakkan mata, tanpa ilmu akan
mudah runtuh di perjalanannya. Sebab
sebuah iktikad, betapa pun bersama
seorang yang terbimbing langit, akan
mudah goyah jika tak didasari kokohnya
pengetahuan.

Lihatlah sejenak pada kaum yang


menyejarah itu; Bani Israil. Mereka
menyaksikan dengan mata kepala, ketika
Musa mengalahkan para tukang sihir,
tongkatnya menjadi ular, dan tangannya
memancar gemerlapan. Mereka mengalami
dengan sepenuh kesadaran di kala lautan
terbelah, lalu berjalan dengan kaki kering di
antara gunung air, dan Fir'aun
ditenggelamkan. Mereka juga menikmati
dengan penuh kelezatan manna dan salwa
yang jadi hidangan tanpa usaha, pula tanpa
kepayahan. Tetapi melihat patung sapi
buatan Samiri yang terbuat dari emas dan
bisa berbunyi, serentak mereka kufur
kembali. Subhanallah.

Betapa berharga ilmu bagi iman. Ialah


asasnya. Ialah penopangnya. Ialah
penaungnya. Dan ialah pengikat bagi
semua kebaikannya.

Berkah seumpama manisan yang dibuat


dari buah yang dihasilkan pohon iman. la
adalah saripati yang legit, harum, dan
lembut dari tanaman yang berakar, tumbuh,
dan mekar di hati seorang mukmin. Maka
sebagaimana iman, berkah sangat berhajat
pada ilmu.
Jika berkah adalah makanan, maka ilmu
adalah gizi yang menentukan manfaatnya
bagi badan. Jika berkah adalah kendaraan,
maka ilmu adalah pemandu yang menjamin
safarnya sampai ke tujuan. Jika berkah
adalah buruan yang sukar ditangkap dan
amat pandai meloloskan diri, maka ilmulah
pengikatnya yang paling dapat dipegangi.

"Terbagi hamba-hamba Allah menjadi


empat golongan," demikian sabda Sang
Nabi yang dibawakan Imam Ahmad dan At-
Tirmidzi. ?Yang pertama," lanjut beliau
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, "adalah
hamba yang dilimpahi karunia ilmu dan
anugerah harta. Lalu dia bertaqwa pada
Allah dengan ilmunya dan memperbuat
hartanya di jalan kebajikan hingga manfaat
tertebar luas. Dialah sebaik-baik hamba.
Adapun yang kedua, adalah hamba yang
dilimpahi karunia ilmu tapi tak dihuluri
anugerah harta. Lalu dia bertaqwa pada
Allah dengan ilmunya dan berbuat sejauh
kemampuannya sembari merintihkan doa,
'Ya Allah, jika Kau limpahi aku anugerah
harta seperti saudaraku si hamba pertama,
maka aku akan memperbuatnya di jalan
kebajikan sebagaimana dia.""
"Kedua hamba ini," demikian Rasulullah
menyimpul kabar gembira,"pahalanya
sama."

"Sedangkan yang ketiga," sambung Al-


Mushthafa, "adalah hamba yang dilimpahi
anugerah harta, tapi tiada karunia ilmu
baginya. Maka dia tak bertaqwa, dan
mempergunakan hartanya di jalan sia-sia
serta perbuatan dosa. Jadilah dia seburuk-
buruk hamba. Terakhir adalah yang
keempat, yakni hamba yang tiada baginya
limpahan karunia ilmu maupun anugerah
harta. Tetapi setiap saat dia
menggumamkan harap, "Ya Allah,
seandainya Kaulimpahi aku anugerah harta
seperti temanku si hamba ketiga, maka aku
pun akan memperbuat maksiat
sebagaimana dia."" "Kedua hamba ini,"
demikian Rasulullah mengabarkan
peringatannya, "timbangannya sama."

Di lapis-lapis keberkahan, ilmu adalah


pengikat kebajikan. Di mana ilmu hadir,
segala hal menjelma menjadi berkah yang
mengalir. Ketika ilmu hadir, maka hati
berjuang meraih taqwa. Ruh, pikiran, dan
seluruh anggota badan dikerahkan untuk
merajutnya dari benang-benang
keshalihan. Ketika ilmu hadir, maka harta
merunduk padanya, bekerja dalam
bimbingannya, menghasilkan manfaat dan
faedah yang tumpah ruah ke berbagai arah.

Pun ketika ilmu itu melekat pada sosok


kurang berpunya, sungguh ia menghiasinya
dengan amal sejauh kesanggupan dan
harap yang meluap-luap. Kurangnya harta
memang membatasi amal sang hamba.
Tapi niat baik yang berhulukan taqwa tiada
yang dapat membendungnya. Dengan ilmu,
dia semai cita-cita beramal di kesuburan
hatinya, dia sirami dan rawat niat baik itu
tanpa jeda. Hingga ia pun tumbuh, naik
menghadap Allah, mengetuk pintu-pintu
karunia untuk memampukannya
mewujudkan karya.
Ya. Suatu saat nanti. Dan Allah jadikan itu
sebagai karunia penguji.
Atau, jikapun Allah belum memberinya
daya mengejawantahkan niat tulus itu
menjadi kerja nyata hingga ajalnya tiba,
telah tersimpan maksud hati itu di
perbendaharaan Rabb Yang Maha Tinggi.
Niat itu utuh dan suci. Niat itu luhur dan
murni. Hingga jadilah pahala pemiliknya
sama dengan hamba pertama yang
amalnya telah dilihat, dirasakan, dan
ditakjubi manusia. Sebab ia bebas dari
pamer dan riya'. Sebab yang pertama-tama
dilihat Allah memang isi dada para hamba-
Nya.
Di lapis-lapis keberkahan, ilmu adalah
pengikat kebajikan.
Sebaliknya, jika ilmu itu meniada, maka
kebajikan pun pergi dari para hamba.
Tanpa ilmu, si kaya tak lagi mampu
bertaqwa. Tanpa ilmu, harta harta
kehilangan guna dan makna. Tanpa ilmu
dan taqwa, hawa nafsu tak terkendali untuk
menjadikan harta sebagai pemuas syahwat
dalam berbagai maksiat. Kerusakan terjadi
bagi diri, keluarga, dan sesama. Berkah
telah lari, sebab ilmu yang mengikatnya
tiada lagi.

Bahkan, ketika ilmu pergi dari si fakir yang


patut dibelaskasihi, jadilah insan ini pencita
dosa dan penggandrung nista hewani.
Hatinya gelap, dan taqwa tak lagi mau
tinggal di ruang tanpa cahaya. Maka hawa
nafsunya yang kehausan mencari pemuas
dahaga. Ketika ternyata tak ada padanya
harta maupun sarana, niatnya bermaksiat
terus menghuni dada, melolong-lolong dan
meraung-raungkan gairah durhaka.

Alangkah celaka, sebab yang merawat


subur keinginan maksiat dalam dada,
terancam untuk mati dan dibangkitkan
dengan hati yang busuk. Betapa rugi
pemilik jiwa yang tak kesampaian berlaku
cela, tapi dinilai sama dalam timbangan
amalnya dengan orang-orang yang
menghamburhamburkan raga dan
kekayaan dalam dosa. Sebab memang
pertama-tama, Allah hanya melihat isi
dada.

Para pendahulu kita yang shalih, demi


memahamkan kita akan betapa pentingnya
ilmu yang menjadi pengikat segala
kebaikan dan penyimpul semua
keberkahan, sering membandingkannya
dengan karunia lainnya, yakni harta.
Ungkapan-ungkapan mereka menjadi
permata tempat kita berkaca, agar diri
bersemangat mengalih bentuk kekayaan,
dari benda benda menjadi pengetahuan
yang mengikat kebajikan.
Adalah Sayyidina ' Ali ibn Abi Thalib, sering
dirujuk atas uraian beliau

yang gemilang tentang keutamaan ilmu


atas harta. Mengarungi zaman, para ulama
lain dari kalangan tabi'in hingga yang
kekinian menambah dan meluaskan
penjelasan beliau, Karamallahu Wajhah.
Berikut ini kita nukil paparan Syaikh
Muhammad Abu Zahrah, yang mengambil
penjabaran Abul Hasan, Radhiyallahu
'Anhu, pendapat para Tabi'in, Atba'ut
Tabi'in, dan 'Ulama Muta akhkhirin
kemudian meramunya menjadi satu.

"Ilmu lebih utama daripada harta," demikian


beliau Rahimahullah memulai uraiannya,
"awal-awal sebab ia adalah warisan para
rasul dan nabi-nabi. Sementara harta
berupa emas, perak, dan permata,
dilungsurkan Fir'aun, Qarun, dan raja-raja."

"Yang kedua, ilmu lebih utama daripada


harta," kata beliau, "karena ilmu menjaga
pemiliknya, sedang pemilik harta bersusah
payah memelihara kekayaannya.'

"Yang ketiga, ilmu lebih utama daripada


harta," ujar beliau, "sebab jika ilmu
menguasai harta, akan menjadi mulialah
kedua-duanya. Sebaliknya, jika harta
menguasai ilmu, kan menjadi hinalah
keduaduanya."

"Yang keempat, ilmu lebih utama dibanding


harta," jelas beliau, "sebab kekayaan akan
berkurang jika dibelanjakan, sedangkan
pengetahuan bertambah jika dibagikan.?

"Yang kelima, ilmu lebih utama dibanding


harta," terang beliau, "karena ilmu setia
menyertai pemiliknya menuju kematian,
kebangkitan, dan akhiratnya. Adapun harta
tak mau ikut dan tetap tinggal di dunia."

"Yang keenam, ilmu lebih utama dibanding


harta," papar beliau, "sebab pemilik ilmu
terhormat dan diperlukan semua insan; dari
rakyat jelata hingga para raja. Adapun harta
hanya berguna dalam kebutuhan para faqir
dan dhu'afa."

"Yang ketujuh, ilmu lebih utama daripada


harta," tutur beliau, "sebab bagi pemilik
harta, akan bermunculan musuh jahat dan
kawan tak tulus. Adapun empunya ilmu,
berarti memperbanyak saudara dan
mengurangi seteru."

"Yang kedelapan, ilmu lebih utama


daripada harta," tandas beliau,

"sebab pemilik harta hanya digelari yang


baik-baik jika mau memberi. Adapun ahli
ilmu digelari yang baik-baik sejak belajar,
terlebih ketika mengajar."
"Yang kesembilan, ilmu lebih utama
daripada harta," ucap beliau, "sebab
ketamakan pada ilmu memuliakan mereka
yang masih bodoh maupun para cendekia.
Sebaliknya, tamak terhadap harta
menistakan yang masih miskin juga yang
sudah kaya."

"Yang kesepuluh, ilmu lebih utama


dibanding harta," tegas beliau,
"sebab di akhirat, pemilik harta akan rumit
urusan dan berbelit hisabnya. Sedangkan
pelajar dan pengajar ilmu akan mendapat
kemudahan dan syafa'at Nabi-Nya."

"Yang kesebelas, ilmu lebih utama


dibanding harta," sambung beliau, "sebab
kemuliaan pemilik harta ada pada pernak-
pernik kekayaan yang terletak di luar
dirinya. Adapun keluhuran ahli ilmu adalah
pengetahuan yang menyatu bersama
sosoknya."

"Yang kedua belas, ilmu lebih utama


dibanding harta," tambah beliau, "sebab
semua ibadah dan ketaatan pada Allah,
harus dilakukan dengan ilmu. Tapi banyak
kemaksiatan keji dan mungkar, dapat
dilakukan dengan harta."

"Yang ketiga belas, ilmu lebih utama


daripada harta," lanjut beliau, "karena agak
sukar menemukan kemaksiatan yang
ditujukan untuk memperoleh ilmu. Namun,
bertabur banyaknya dosa-dosa yang
ditujukan demi mendapatkan harta."
"Yang keempat belas, ilmu lebih utama
daripada harta," terus beliau, "karena harta
menyergapkan kesedihan sebelum
mendapatkannya dan mencekamkan
kekhawatiran setelah memperolehnya.
Adapun ilmu adalah kegembiraan dan
keamanan, kapan pun dan di mana pun
berada."

"Yang kelima belas, ilmu lebih utama


daripada harta," urai beliau, "sebab
mencintai ilmu, baik bagi yang memilikinya
maupun tidak, adalah mata air kebajikan.
Adapun mencintai harta, baik di kala
berpunya maupun papa, adalah sumber
keburukan.?

"Yang keenam belas, ilmu lebih utama


dibanding harta," anjur beliau, "sebab
Adam diciptakan, lalu dia dibekali ilmu, dan
bukannya harta, yang membuatnya unggul
di hadapan para malaikat dan menerima
sujud penghormatan mereka."

"Yang ketujuh belas, ilmu lebih utama


dibanding harta," beliau melanjutkan,
"sebab Rabb kita menciptakan makhluq
pertamanya berupa pena, menurunkan
wahyu pertama pada Nabi-Nya dengan
kalimat 'baca', dan menjadikan mu'jizat
utama Rasulullah adalah kitab-Nya."

"Yang kedelapan belas, ilmu lebih utama


dibanding harta," beliau meneruskan,
"sebab harta hanya bisa mulia dan
membawa ke surga jika dimakmumkan
kepada ilmu. Adapun ilmu tak harus disertai
harta untuk menjadikan pemiliknya begitu."
"Yang kesembilan belas, ilmu lebih utama
dibanding harta," beliau menambahkan,
"sebab orang berharta lagi berilmu yang
berinfaq, pahalanya disamakan oleh Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan orang
berilmu miskin yang baru berniat untuk itu."

"Yang kedua puluh, ilmu lebih utama


dibanding harta," beliau memungkasi
pemberiannya, "sebab para pemilik harta
mudah dijangkiti kesombongan hingga
mengaku tuhan. Adapun para pemilik ilmu
dikaruniai sifat takut kepada Allah dan
rendah hati terhadap sesama insan."

Ilmu adalah pengikat terkuat bagi lapis-lapis


keberkahan yang ingin kita sesap
sepanjang hayat. Ilmu adalah pengapit
terkukuh bagi iris-irisan makna kebajikan.
Ilmu adalah pembebat terkencang bagi
tetumpukan bahan-bahan pemerindah
kehidupan. Maka tak heran kala Sang Nabi
bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, "Jika
Allah menghendaki kebaikan bagi seorang
hamba, maka Dia fahamkan yang
bersangkutan dalam agama."

Di lapis-lapis keberkahan; gairah kita untuk


ilmu adalah semangat agar hidup kita
diperbaiki. Gelora kita untuk ilmu adalah
hasrat agar perjalanan kita di dunia
dijelitakan. Segala puji bagi Allah, Rabb
Yang Mencipta dan Memberi pengajaran.

Sumber : Buku Lapis-Lapis Keberkahan


(Salim A.Fillah Lc.)

Anda mungkin juga menyukai