Anda di halaman 1dari 10

MATERI AKHLAK ( MACAM- MACAM, HUBUNGAN

AKHLAK DENGAN ILMU – ILMU DAN MANFAAT


MEMPELAJARINYA)
DI SUSUN UNTUK MEMENUHI MATA KULIAH MATERI PAI

DOSEN PENGAMPU: H. AHMAD MUNADIRIN ,M.Pd.I

Disusun Oleh:
FAIZUN NURHAYYANTA (19111201)
M. HUSNUL ADIB (19111325)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ISLAM KENDAL

2021
“MANFAAT MEMPELAJARI AKHLAK DAN HUBUNGAN
TASAWUF DENGAN ILMU LAINNYA”
A. Manfaat Mempelajari Akhlak
Orang yang berakhlak karena ketakwaan kepada Tuhan semata-mata, maka dapat menghasilkan
kebahagiaan, antara lain:

a. Mendapat tempat yang baik di dalam masyarakat.

b. Akan disenangi orang dalam pergaulan.

c. Akan dapat terpelihara dari hukuman yang sifatnya manusiawi dan sebagai makhluk yang
diciptakan oleh Tuhan.

d.Orang yang bertakwa dan berakhlak mendapat pertolongan dan kemudahan delam memperoleh
keluhuran, kecukupan, dan sebutan yang baik.

e. Jasa manusia yang berakhlak mendapat perlindungan dari segala penderitaan dan kesukaran.

Orang yang berakhlak dapat memperoleh irsyad, taufiq, dan hidayah sehingga dapat bahagia di
dunia dan di akhirat.

Menurut Drs. Barmawi Umari disebutkan bahwa:

a. Ilmu akhlak, dapat mengetahui batas antara yang baik dengan yang buruk dan dapat
menempatkan sesuatu pada tempatnya, yaitu menempatkan sesuatu pada proporsi yang
sebenarnya.
b. Berakhlak, dapat memperoleh irsyad, taufiq dan hidayah yang dengan demikian maka Isya Allah
kita akan berbahagia di dunia dan di akhirat.

Dr. Hamzah Ya’cub menyatakan bahwa manfaat dari akhlak, adalah sebagai berikut:

a. Meningkatkan derajat manusia

Tujuan ilmu pengetahuan ialah meningkatkan kemajuan manusia di bidang rohaniah atau bidang
mental spiritual. Antara orang yang berilmu pengetahuan tidaklah sama derajatnya dengan orang
yang tidak berilmu pengetahuan. Hal ini diterangkan dalam al-Qur’an: (Q.S. Az-Zumar: 9)

ِ ‫ ِا َّنما َ َي َت َذ َّك ُر اُولُوا ْاالَ ْلبا‬. ‫قُ ْل َه ْل َيسْ َت ِوى الَّ ِذ ي َْن َيعْ لَم ُْو َن َوالَّ ِذ ي َْن الَ َيعْ لَم ُْو َن‬
‫ب‬

Katakanlah (hai Muhammad): “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui ?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima
pelajaran.

b. Menuntun kepada kebaikan

Ilmu akhlak bukan sekedar memberitahukan mana yang baik dan mana yang buruk, melainkan
juga mempengaruhi dan mendorong kita supaya membentuk hidup yang suci dengan memproduksi
kebaikan dan kebajikan yang mendatangkan manfaat bagi manusia. Sebagai contoh Rasulullah SAW.
Justru karena beliau mengetahui akhlak, maka jadilah beliau sebagai manusia yang paling mulia
akhlaknya, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an: (Q.S. Al-Qalam: 4)

‫لى ُخلُ ٍق عَظِ ي ٍْم‬


َ ‫ك لَ َع‬
َ ‫َو ِا َّن‬
Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur.

Dengan keterangan tersebut jelaslah bahwa pengetahuan akhlak, adalah ilmu yang mengandung
kepada kebaikan, serta memberikan tuntutan kepadanya.

c. Manifestasi kesempurnaan iman


Iman yang sempurna akan melahirkan kesempurnaan akhlak. Dengan perkataan lain bahwa
keindahan akhlak adalah manifestasi daripada kesempurnaan iman. Sebaiknya tidaklah dipandang
orang itu beriman dengan sungguh-sungguh jika akhlaknya buruk.

Dalam hubungan ini, Abu Hurairah meriwayatkan penegasan Rasulullah SAW.

“ orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya. Dan sebaik-baik di
antara kamu ialah yang terbaik kepada istrinya.”(H.R. At-Turmuzi)

d. Keutamaan dari hari kiamat

Disebutkan dalam berbagai hadis bahwa Rasulullah SAW menerangkan orang-orang yang berakhlak
luhur akan menempati kedudukan yang terhormat dari hari kiamat.

“ tiada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin dari hari kiamat daripada
keindahan akhlak. Dan Allah benci kepada orang yang keji mulut dan kelukan.” (H.R. At-Turmuzi

e. Kebutuhan pokok dalam keluarga

Akhlak merupakan faktor mutlak dalam menegakkan keluarga sejahtera. Keluarga yang tidak dibina
dengan akhlak yang baik, tidak dapat berbahagia, sekalipun kekayaan materinya melimpah ruah.
Akhlak yang luhur itulah yang mengharmoniskan rumah tangga, menjalin cinta dan kasih sayang
semua pihak. Tegasnya akan meranalah rumah tangga yang tiada dihiasi dengan akhlakul karimah
dan bahagialah rumah tangga yang dirangkum dengan keindahan akhlak.

f. Membina kerukunan antar tetangga


Pentingnya akhlakul karimah di sini cukup jelas, karena betapa banyaknya lingkungan yang gaduh
karena tidak mengindahkan kode etika. Islam mengajarkan agar mengajarkan agar antara tetangga
dibangun jembatan emas berupa silaturahmi.
g. Untuk mensukseskan pembangunan bangsa dan negara.

Akhlak adalah faktor mutlak dalam nation dan character building. Suatu bangsa dan negara akan
jaya, apabila warga negaranya terdiri dari orang-orang/masyarakat yang berakhlak mulia.

h. Dunia betul-betul membutuhkan akhlakul karimah

Dari dahulu sampai sekarang, dunia selalu penuh dengan orang-orang baik dan orang-orang jahat.
Jika dunia ditangani para Nabi dan Rasul serta ahli-ahli hikmah seolah-olah dunia tersenyum
gembira, dunia damai dan tenang. Karena mereka itu selalu menggemakan penggilan akhlakul
karimah, menyeru umat manusia memiliki pribadi yang baik lagi luhur

Sebaliknya dunia inipun selalu berada dalam kerusuhan, pertentangan dan permusuhan sampai
mengalirkan darah. Masalah ini hakikatnya tidak lepas dari karakter atau akhlak para pemimpin, di
mana dia bertindak sebagai penggerak dan pelakunya. Tepat sekali apa yang dinyatakan Allah dalam
al-Qur’an: (Q.S. Ar. Rum: 41)

‫ض الَّ ِذ يْ َع ِملُ ْوا لَ َعلَّ ُه ْم َيرْ ِجع ُْو َن‬ ْ ‫فى ْال َبرِّ َو ْال َبحْ ِر ِبما َ َك َس َب‬
ِ ‫ت اَ ْي ِد ى ال َّنا‬
َ ْ‫س لِ ُي ِذ ْي َق ُه ْم َبع‬ ِ ‫ َظ َه َر ْال َف َسا ُد‬.

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah
menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar).[1]

B. Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Lain

Dengan 1. Hubungan Tasawuf Ilmu Kalam

Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu Tasawuf mempunyai fungsi sebagai berikut:

· Sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam
lewat hati terhadap ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam
perilaku. Dengan demikian, ilmu Tasawuf merupakan penyempurna ilmu kalam.

· Berfungsi sebagai pengendali ilmu Tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang
bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-
Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan
atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan
oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus ditolak.

· Berfungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam.


Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang
mengandung muatan rasional disamping muatan naqliyah, ilmu kalam dapat bergerak kearah yang
lebih bebas. Disinilah ilmu Tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam
terkesan sebagai dialektika keIslaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau
sentuhan hati.

2. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Filsafat

Hubungan antara Tasawuf dan filsafat, yaitu :

Bentuk hubungan yang paling luas antara Tasawuf dan filsafat tentu saja adalah pertentangan satu
sama lain, sebagaimana tampak dalam karya-karya al-Ghazali bersaudara, Abu hamid dan Ahmad.
Dan penyair sufi besar seperti Sana’I, Athar, dan Rumi. Kelompok sufi ini hanya memperhatikan
aspek rasional dari filsafat, dan setiap kali berbicara tentang intelek, mereka tidak mengartikan
intelek dalam arti mutlaknya, namun mengacu kepada aspek rasional intelek (akal). Athar juga
memahami filsafat hanya sebagai filsafat peripatetic yang rasionalistik, dan menekankan bahwa hal
itu tidak boleh dikelirukan dengan misteri ilahiah dan pengetahuan ilahiah, yang merupakan usaha
puncak pensucian jiwa dibawah bimbingan spiritual para guru sufi. Intelek tidak sama dengan hadist
Nabi dan falsafah tidak sama dengan teosofi (hikmah) dalam makna Qur’aninya. Matsnawi adalah
sebuah Masterpiece filsafat.

Hubungan antara Tasawuf dan filsafat tampak dalam munculnya bentuk khusus yang terjalin erat
dengan filsafat. Meskipun bentuk tasawuf ini tidak menerima filsafat peripatetic dan mazhab-
mazhab filsafat lain yang seperti itu, namun ia sendiri tercampur dengan filsafat atau teosofi
(hikmah) dalam bentuknya yang paling luas. Dalam mazhab Tasawuf itu, intelek sebagai alat untuk
mencapai realitas tentang yang mutlak dengan memperoleh kedudukan yang tinggi. Dengan
demikian, dalam tasawuf berkembang satu jenis teosofi (ilmu ilahi) yang tidak hanya datang untuk
menggantikan filsafat didunia Arab, tapi di Persia ia juga amat mempengaruhi jika bukan
menggantikan filsafat dan kemudian secara amat efektif menggabungkan filsafat dan Tasawuf,
bahkan mengganti nama Tasawuf menjadi Irfan (gnosis,makrifat) pada periode safawi. Penentangan
terhadap filsafat masih tetap tampak, tapi penentangan ini sebenarnya muncul dalam kaitannya
dengan istilah falsafah dan rasionalisme. Hubungan Tasawuf dan filsafah berbeda dari apa yang
diamati dalam tasawuf yang didominasi cinta, seperti pada Athar dan lainnya.

Hubungan antara Tasawuf dan filsafat ditemukan dalam karya-karya para sufi yang sekaligus juga
filosof, Yang telah berusaha untuk merujuk tasawuf dan filsafat. Afdhaluddin kasyani, Quthbuddin
syirazi, Ibd Turkah al-Isfahani, dan Mir Abul Qosim findiriski, orang-orang ini seluruhnya adalah sufi
yang berjalan pada jalan spiritual dan telah mencapai maqam spiritual, dan beberapa diantara
mereka terdapat para wali, tetapi pada saat yang sama secara mendalam memahami filsafat dan
cukup mengherankan, beberapa diantara mereka lebih tertarik pada filsafat peripatetic dan
rasionalistik daripada filsafat intuitif (dzawqi), sebagaimana dapat diamati dalam kasus Mir Findiriski
yang amat mendalami As-Syifanya Ibnu Sina. Diantara kelompok ini, Afdhaluddin Kasyani memegang
kedudukan yang unik. Ia tidak hanya salah satu sufi terbesar yang hingga hari ini mouseleumnya di
Maqam Kasyani menjadi tempat Ziarah, baik orang-orang yang awam maupun orang-orang
terpelajar, tetapi ia juga dianggap sebagai salah satu filosof Persia terbesar yang sumbangannya bagi
pengembangan bahasa filsafat Persia tak tertandingi. Karya-karya filsafatnya dalam logika, teologi,
ataupun dalam ilmu-ilmu alam ditulis dalam bahasa Persia yang jelas dan fasih, dan merupakan
Masterpiece dalam bahasa ini. Ia tidak hanya menunjukkan dengan jelas wawasan tasawuf dalam
syair-syairnya, namun dalam hal logika dan filsafat yang paling ketat sekalipun. Figur besar lain
seperti Quthbuddin al-Syirazi, yang dalam masa remajanya bergabung dengan para sufi dan juga
menulis karya besar dalam filsafat peripatetic dalam bahasa Persia, Durrat al-Tajj, lalu bin Turkah
Isfahani, yang Tamhid al-Qawaidnya merupakan Masterpiece filsafat sekaligus Tasawuf, dan Mir
Abul Qosim Findiriski, yang menjadi komentator karya metafisika Hindu penting, Yoga Vaisithsa
adalah sufi dan ahli makrifat yang kepadanya banyak mukjizat dinisbatkan. Mereka semua
sesungguhnya adalah para pengikut mazhab Afdhluddin Kasyani, sejauh menyangkut upaya
pemantapan hubungan antara Tasawuf dan Filsafat.

Kategorisasi umum kita mengenai hubungan Tasawuf dengan filsafat, mencakup para filosof yang
mempelajari atau mempraktekan Tasawuf. Yang pertama dari kelompok ini adalah Al-Farabi, yang
mempraktekan Tasawuf dan bahkan telah mengubah musik yang dimainkan dalam pertemuan
Sama’ pada sufi, mutiara hikmah yang dinisbatkan kepadanya sangatlah penting. Karena, pada
dasarnya, inilah buku mengenai filsafat maupun makrifat dan hingga kini diajarkan di Persia bersama
komentar-komentar makrifati.[2]

3. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Fiqh.


Dahulu para ahli fiqih mengatakan “Barang siapa mendalami fiqih, tetapi belum bertasawuf, berarti
ia fasik. Barang siapa bertasawuf, tetapi belum mendalami fiqih, berarti ia zindiq. Dan Barang siapa
melakukan ke-2 nya, berarti ia melakukan kebenaran”. Tasawuf dan fiqih adalah 2 disiplin ilmu yang
saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara ke-2 nya, berarti disitu terjadi kesalahan
dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fiqih, atau seorang ahli tidak
mengamalkan ilmunya. Jadi, seorang ahli sufi harus bertasawuf (sufi), harus memahami dan
mengikuti aturan fiqih. Tegasnya, seorang fiqih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan
hukum dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufi pun harus mengetahui
aturan-aturan hukum dan sekaligus mengamalkannya. Ini menjelaskan bahwa ilmu Tasawuf dan ilmu
Fiqih adalah 2 disiplin ilmu yang saling melengkapi
Ilmu tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena ilmu ini memberikan corak
batin terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud, seperti ikhlas dan khusu’ berikut jalannya
masing-masing. Bahkan, ilmu ini dapat menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hilim-
hukum fiqih. Alasannya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan
rohaniyah.

Makrifat secara rasa terhadap Allah melahirkan pelaksanaan hukum-hukum-Nya secara sempurna.
Dari sinilah dapat diketahui kelirunya pendapat yang menuduh perjalanan menuju Allah (dalam
tasawuf) sebagai tindakan melepaskan diri dari hukum-hukum Allah.

Jadi, seorang ahli fikih harus bertasawuf. Sebaliknya, seorang ahli tasawuf pun harus mendalmi dan
mengikuti aturan fikih. Tegasnya, seorang fakih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan
hukum dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufu pun harus m,engetahui
aturan-aturan hukum dan sekligus mengamalkannnya. Syeikh A-Rifa’i berkata, ”Sebenarnya tujuan
akhir para ulama dan para sufi dalah satu. ”Pernyataan Ar-Rifa’i diatas perlu dikemukakan sebab
beberapa sufi yang ”terkelabui” selalu menghujat setiap orang dengan perkataan, ”orang yang tidak
memiliki syaikh, maka syaikhnya adalah setan.” Ungkapan ini diungkapkan seorang sufi bodoh yang
berpropaganda untuk seikhnya; atau dilontarkan oleh sufi keliru yang tidak tahu bgaimana
seharusnya mendudukkan tasawuf pada tempat yang sebenarnya.

Para pengamat Ilmu Tasawuf mengakui bahwa orang yang telah berhasil menyatukan ilmu tasawuf
dengan fikih adalah Al-Ghazali. Kitab Ihya’ Ulumuddinnya dapat dipandang sebagai kitab yang dapat
mewakili dua disiplin ilmu ini, disamping disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu kalam dan filsafat.
Paparan diatas telah menjelaskan bahwa ilmu tasawuf mengakui bahwa tasawuf dan ilmu fikih
adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya, dengan
catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin ilmu ini sangat beragam, sesuai
dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini dapat dipahami bahwa ilmu fikih, yanbg terkesan sangat
formalistik – lahiriyah, menjadi sangat kering, kaku, dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan
seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniyah yang dimiliki ilmu tsawuf. Begitu juga
sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap ”merasa suci” sehingga tidak perlu lagi
memperhatikan kesucian lahir yang diatur dalam ilmu fikih.

4. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Jiwa

Dalam pembahasan Tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Yang dikehendaki
dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam Tasawuf tersebut adalah terciptanya
keserasian antara ke-2 nya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam
rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktikan manusia dengan dorongan yang
dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini, baru muncul kategori-kategori
perbuatan manusia, apakah dkategorikan sebagai perbuatan jelek atau perbuatan baik. Jika
perbuatan yang ditampilkan seseorang baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika
perbuatan yang ditampilkannya jelek, ia disebut sebagai orang yang berakhlak jalek. Dalalm
pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas
dirinya. Jika yang berkuasa dalam tubuhnya adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, yang akan
tampil dalam perilakunya adalah perilaku hewani atau nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa
adalah nafsu insani, yang akan tampil dalam perilakunya adalah perilaku insani pula. Orang yang
sehat mentalnya adalah yang mampu merasakan kebahagiaan dalam hidup, karena orang-orang
inilah yang dapat merasakan bahwa dirinya berguna, berharga, dan mampu menggunakan segala
potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara membawa kebahagiaan dirinya dan orang
lain. Disamping itu, ia mampu menyesuaikan diri dalam arti yang luas, terhindar dari kegelisahan-
kegelisahan dan gangguan jiwa, serta tetap terpelihara moralnya.

Dengan demikian, amalan-amalan tasawuf tersebut adalah bertujuan untuk mencari ketenangan
jiwa dan keberhasilan ahli agar lebih kokoh dalam menempuh liku-liku problem hidup yang beraneka
ragam serta untuk mencari hakekat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik.[3]

5. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Akhlak


Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf lebih lanjut dapat kita ikuti uraian yang
diberikan Harun Nasution menurutnya ketika mempalajari tasawuf ternyata pula bahwa al-Qur’an
dan al-Hadis mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan al-Hadis menekankan nilai-nilai kejujuran,
kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong-menolong, murah hati, suka
memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani,
kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikir lurus. Nilai-nilai serupa ini yang
harus dimiliki oleh seorang Muslim, dan dimasukkan ke dalam diri semasa ia kecil.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah aman menonjol, karena bertasawuf
itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dan lain
sebagainya, yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang
dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Dalam
hubungannya ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali
hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Qur’an dikaitkan dengan takwa, dan
dalam takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang
dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah
orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya, orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak
mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya
membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka.[4

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan :

Dari uraian diatas kami dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa ilmu tasawuf adalah suatu ilmu
yang sangat penting dimiliki manusia karena dengan ilmu tasawuf jiwa kita lebih tenang dan damai.
Dan bertasawuf bukanlah harus dengan bertarikat tapi hakikat ilmu tasawuf adalah pembinaan jiwa
kerohanian sehingga bisa berhubungan dengan Allah sedekat mungkin.

Maka dengan begitu kita semua bisa bertasawuf walaupun apapun berprofesinya, karena inti
tasawuf adalah terisinya jiwa dengan akhlak yang baik dan kesucian jasmani dan rohani dari akhlak
yang tercela. Untuk itu menurut kami orang yang bisa menjaga dirinya dari kedua hal tersebut juga
sudah dinamakan hidup bertasawuf.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Drs. H. A. Mustofa. Akhlak Tasawuf ( Jakarta: CV Pustaka Setia, 2010). Hal 26-40.

2Drs. Asmaran As, M. A. Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,

1996). Hal 88

3-http://irpanharahap.blogspot.com/2011/07/hubungan-tasawuf-dengan-ilmu-lainnya.html

4 Reni susanti, M.AG. Akhlak Tasawuf ( Rejang Lebong: LP2 STAIN CIRUP, 2012). Hal 8

[1] Drs. H. A. Mustofa. Akhlak Tasawuf ( Jakarta: CV Pustaka Setia, 2010). Hal 26-40.

[2] Drs. Asmaran As, M. A. Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996). Hal 88

[3] -http://irpanharahap.blogspot.com/2011/07/hubungan-tasawuf-dengan-ilmu-lainnya.htm

[4] Reni susanti, M.AG. Akhlak Tasawuf ( Rejang Lebong: LP2 STAIN CIRUP,

Anda mungkin juga menyukai