Oleh:
(Kelompok 7)
ENDAH DWI CAHYANTI
BILLAH RIZKAH
SITI AISYAH
RIDHO WAHYU HAPSARI
PGSD Reguler B
i
Kata Pengantar
Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin, Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam. Atas
segala karunia nikmat-Nya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Makalah tentang “Ma’rifat” disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata pelajaran
Agama Islam yang diampu oleh Bapak Drs. Suyono, M.Pd..
Demikian apa yang bisa saya sampaikan, semoga pembaca dapat mengambil manfaat dari karya
ini.
Jakarta, 1 Desember
ii
Daftar Isi
DAFTAR JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah2
1.3 Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
2.1 Pengertian Makrifatullah 3
2.2 Cara Bermakrifat 3
2.3 Dzat Ilahiyah 4
2.4 Sifat-Sifat Allah 5
iii
BAB I
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Pemahaman tentang iman ini adalah aqidah yang menjadi muatan kitab-kitab yang
diturunkan oleh Allah, ajaran yang dibawa oleh para Rasul-Nya, dan wasiat-Nya kepada umat-
umat terdahulu maupun umat belakangan. Sesungguhnya Allah menjadikan aqidah ini berlaku
umum bagi seluruh manusia dan kekal sepanjang masa karena ia mempunyai dampak yang jelas
dan manfaat yang tampak dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Ma’rifat kepada
Allah, membangkitkan kebaikan-kebaikan, membina rasa senantiasa diawasi oleh Allah
(muroqobah), memotivasi untuk mencari hal-hal yang luhur dan mulia, menjauhkan manusia dari
sifat nista dan hina. Ma’rifat kepada para malaikat, mendorong sesorang untuk mencontoh sifat-
sifat mereka (dlm hal kesucian) dan tolong menolong mereka dalam kebenaran dan kebaikan,
sehingga mendorong manusia kepada kesadaran dan kewaspadaan yang sempurna sehingga yang
timbul dari diri manusia adalah hal-hal yang mulia. Ma’rifat kepada kitab-kitab Allah,
mendorong manusia untuk mengetahui manhaj (sistem kehidupan) yang digariskan Allah untuk
umat manusia agar menempuh manhaj tersebut untuk mencapai kesempurnaan materi maupun
etika. Ma’rifat kepada para Rasul,dimaksudkan untuk mengetahui langkah-langkah mereka dan
meneladani apa yang mereka lalukan sebagaimana yang dikehendaki Allah untuk setiap umat
manusia. Ma’rifat kepada hari akhir, sebagai pendorong yang paling kuat untuk mengerjakan
kebaikan dan meninggalkan keburukan. Ma’rifat terhadap qadar, dapat memberikan bekal
kepada seseorang dengan berbagai potensi dan kekuatan yang mampu menghadapi berbagai
hambatandan kesulitan, dan dihadapannya persoalan-persoalan besar menjadi kecil. Hal yang
demikian (aqidah) dimaksudkan untuk membersihkan perilaku, menyucikan jiwa dan
mengarahkan kepada nilai-nilai yang paling luhur, disamping ia merupakan kebenaran yang
kokoh dan tidak berubah-ubah. Sehingga menanamkan aqidah kepada jiwa, merupakan cara
yang paling tepat untuk mewujudkan unsur-unsur yang baik. Karena sesungguhnya aqidah
1
merupakan sumber berbagai perasaan yang muia, lahan untuk menanamkan berbagai perasaan
yang baik, dan tempat tumbuhnya perasaan yang luhur.
Para Rasul menyampaikan aqidah kepada umatnya dengan cara yang seluruhnya mudah
dipahami, sederhana dan logis. Para Rasul mengajak mereka untuk memperhatikan kerajaan
langit dan bumi, membangkitkan akal mereka untuk berpikir tentang ayat-ayat Allah,
mengingatkan fitrah mereka kepada perasaan beragama yang telah ditanamkan kepadanya, dan
menumbuhkan kesadaran akan adanya alam dibalik alam materi ini. Dengan cara-cara tersebut
Rasulullah membangkitkan aqidah dalam jiwa umatnya, mengarahkan pandangan dan pikiran
mereka, membangkitkan akal dan mengingatkan fitrah mereka, seraya merawatnya dengan
pendidikan dan pengembangan hingga mencapai puncak kesuksesan.
Penyimpangan dari manhaj para nabi disebabkan oleh berbagai perselisihn politik, kontak
dengan berbagai aliran pemikiran dan keagamaan, dan menjadikan akal sebagai hakim tentang
masalah yang berada di luar kemampuannya. Hal tersebut menjadi sebab bergesernya iman. Pada
dasarnya aqidah itu semuanya sama (tidak berbeda), namun ketika akal menjadi ‘hakim’ yang
terjadi adalah para pengemban akidah terpecah belah menjadi berbagai aliran dan masing-masing
mengklaim diri sebagai kelompok yang paling benar. Berbagai perdebatan muncul sehingga
kedudukan aqidah menjadi melemah. Kelemahan aqidah ini diikuti oleh kelemahan umum yang
melanda individu, keluarga, masyarakat dan negara, bahkan pada setiap segi kehidupan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Ahli Tafsir berpendapat yang dimaksudkan dua syurga di sini ialah syurga dunia dan
syurga akhirat. Syurga akhirat (taman indah) yang akan didiami oleh orang mukmin diakhirat
kelak, manakala syurga dunia ialah makrifat dengan matahati (syuhud), yang sangat lazat, sedap,
manis sehingga tidak hendak lagi akan syurga akhirat itu seperti bidadari-bidadari, makanan-
makanan syurga, kota-kota, mahligai-mahligai, pelayan-pelayan muda beliau dan lain-lain lagi.
Begitulah seperti dikatakan tuan guru Haji Daud, Bukit Abal, syurga makrifat
tersangatlah lazat dan sedapnya.
Sheikh Al-Jurjani berkata, al-Makrifat bermaksud “Mengetahui hakikat sesuatu dan tujuan
kewujudan nya, ialah makrifat didahului dengan sifat al-jahil, berbeza dengan sifat al-ilm”. Oleh
kerana itu dinamakan Allah swt sebagai al-‘Alim bukan al-‘Arif.[1]
Sheikh Ibnu ‘Athaillah berkata, ”Makrifat ialah mengetahui hakikat sesuatu dari sudut zat dan
sifat serta mengetahui fungsinya”[2]
Tuan guru Haji Daud Umar, Bukit Abal, mengatakan, makrifat tasauf ialah mengenal Allah swt
melalui musyahadah matahati dan bukan melalui dalil akli dan nakli.
Makrifat manusia terhadap Allah swt yang telah dialami semenjak di alam arwah itu
boleh menjadi terlupa dan terhijab dengan sifat-sifat kemanusiaan yang terdapat pada diri
seorang yang salik dan dosa-dosa yang mereka lakukan. Ruh berasal dari alam arwah, seni,
halus, bebas dan cemerlang. Setelah dimasukkan kedalam jasad, maka ia menjadi terlupa karena
memasuki jasad yang gelap, terbelenggu dan kasar. Untuk mengingatinya kembali, seorang itu
perlu bermujahadah bagi membersihkan hatinya, seperti firman Nya, “Dan orang yang berkerja
keras didalam agama kami, sesungguhnya kami akan pimpin mereka dijalan-jalan kami dan
sesunggohnya Allah berserta orang-orang yang berbuat kebaikan.”(al-Ankabut:69)
ِ ت َواأْل َ ْر
ض ِ ما َوا
َ الس
َّ ُل ا ْنظ ُُروا َماذَا فِي
ِ ق
Katakanlah: Periksalah olehmu semua apa-apa yang ada di langit dan bumi...(Q.S. Yunus: 101)
َضون
ُ م َع ْن َها ُم ْع ِر ُ م ُّرونَ َعلَ ْي َها َو
ْ ه ِ ما َواتِ َواأْل َ ْر
ُ َض ي َ الس
َّ ٍ َن آَي
ة فِي ْ ّ َِو َكأَي
ْ ن ِم
"Alangkah Banyaknya ayat (tanda kekuasaan Allah) di langit dan bumi yang mereka lalui, tetapi
mereka itu semua membelakanginya saja (tidak memperhatikannya)." (Q.S. Ysuf: 105).
Tidak memfungsikan akal dapat menurunkan derajat manusia ke tingkatan yang lebih
rendah dari derajat binatang. Taqlid (mengikuti orang lain tanpa mengetahui alasan dan
tujuannya) menjadi penghalang bagikemerdekaanakal dan pengekang akal untuk berpikir. Oleh
karena itu Allah memuji orang-orang yang bersikap objektif terhadap berbagai fakta dan dapat
membedakan antara yang satu dengan yang lain, sesudah diteliti, diperiksa, dan dicermati lalu
mereka mengambil yang terbaik dan meninggalkan yang lain. Allah mencela orang-orang yang
bertaqlid yang tidak mau berpikir kecuali mengikuti pikiran orang lain. Ketika Islam mengajak
manusia untuk berpikir, sesungguhnya apa yang dikehendakinya adalah berpikir dalam batas
kemampuandan jangkauan akal.
“Berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah dan jangalah kamu memikirkan tentang dzat
Allah, sebab kamu tidak akan dapat memikirkan kadar kedudukan-Nya(sebagai mana
mestinya).” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam alHilyh secara marfu’ kepada Nabi
dengansanad yang lemahtetapi maknanya shahih).
Diantara tujuan paling mulia yang dikehendaki Islam dari upayanya membangkitkan akal dan
memfungsikannya untuk merenung dan memikirkan sesuatu adalah memberi petunjuk kepada
manusia agar memahami dan kemudian membimbingnya dengan lembut kepada hakikat yang
besar yakni mengenal Allah. Sesungguhnya ma’rifatullah itu hanyalahhasil kerja akal pikiran
yang cerdas dan memperoleh ilham, dan buah pemikiran yang mendalam dan cemerlang. Sarana
4
lain yang dipergunakan Islam untuk mengenalkan manusia kepada Allah dengan menjelaskan
nama-nama Allah yang baik (al-Asma’ al-Husna) dan sifat-sifat-Nya yang luhur.
“Katakanlah: serulah Allah dan serulah Ar-Rahmaan. Dengan nama yang mana saja yang kamu
seru, Dia mempunyai Al-Asmaul-Husna (nama-nama yang terbaik)” (Al-Israa’ : 110)
“Dan bagi Allah-lah nama-nama yang terbaik, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
Asmaul-Husna itu.” (Al-A’raaf : 180)
Persoalan tentang jiwa masih merupakan [5]salah satu persoalan yang sulit dipecahkan
oleh ilmu pengetahuan maupun fisafat. Akal juga tidak dapatmengetahui hakikat cahaya. Padahal
cahaya merupakan barang yang paling tampak dengan sangat jelas. Ilmu manusia sampai
sekarang ini masih tidak mampu menguak banyak hal tentang hakikat alam semesta ini, dan
tidak mampu berbicara tentang hal itu secara pasti. Seorang ahli falak terkenal, dalam bentuknya
“Kekuatan Alam Yang Misteri” berkata : “Kami melihat diri kami sedang berfikir. Namun apa
itu berpikir? Tidak seorang pun dapat menjawab pertanyaan ini, dan kami melihat diri kami
sedang berjalan. Akantetapi apa sebenarnya kerja oto itu? Tidak seorang pun mengetahui hal
itu.” Keterbatasan akal pikiran, kelemahan untuk mengetahui hakikat sesuatu, dan
ketidakmampuan akal untuk mengetahui hakikat jiwa manusia tidaklah berarti menafikan
keberadaannya. Kelemahan akal untuk mengetahui hakikat cahaya tidak berarti menafikan
adanya cahaya yang memancar diberbagai ufuk. Demikian pula mengenai dzat Tuhan. Bila
manusia tidak mampu mengetahui hakikatnya, maka tidak berarti bahwa Dia tidak ada,bahkan
dia ada dan keberadaan-Nya jauh lebih kuat dari segala yang ada. Orang yang meminta
pembuktian atas adanya Tuhan bagaikan orang buta yang menuntut bukti atas adanya matahari di
siang hari bolong.
Menurut keterangan hadits-hadits yang ada tampak bahwa ‘Arasy merupakan makhluk
bagian atas yangpertama kali diciptakan dan bahwasanya air merupakan makhluk berupa benda
yang pertama kali diciptakan. Dan air ini diciptakan sebelum penciptaan ‘Arasy sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi. Sesudah penciptaan ‘Arasy dan air barulah
kemudian Allah menciptakan langit dan bumi. Begitu juga tampak dari hadist shahih yang
5
diriwayatkan Imam Ahmad dan Tirmidzi bahwa makhluk ma’nawi yang pertama kali diciptakan
adalah Qalam (pena).
Allah yang Maha Suci tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia dan Dia tidak sama dengan
apapun. Segala sesuatu yang terlintas dibenak anda maka Dia tidaklah seperti itu.
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (Asy-Syuura : 11)
Manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan lemah, sedangkan Allah Maha Kuat dan Maha
Perkasa. Manusia diciptakan dalam keadaan memerlukan pertolongan orang lain, sedangkan
Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. Manusia beranak dan diperanakkan, sedangkan Allah tidak
beranak dan tidak diperanakkan. Manusia pelupa, sedangkan Allah tidak pernah keliru dan tidak
pula lupa. Manusia serba berkekurangan sedangkan Allah Maha Sempurna secara mutlak.[7]
“Katakanlah,Dialah Allah yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-
Nyasegala sesuatu, yang tiada beranak dan tiada diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang
setara dengan-Nya” (Al-Ikhlas : 1-4)
“Maha Suci Allah, Dialah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan” (Az-Zumar : 4)
Adapun sifat Allah berikutnya adalah sifat-sifat yang tsubutiyah. Allah itu Maha Kuasa,
tidak lemat sedikitpun untuk mengerjakan sesuatu. Allah itu Maha Berkehendak(Iradah), yakni
Allah menentukan sesuatu yang mungkin ada dengan sebagian apa yang pantas berlaku
untuknya. Allah bebas berkehendak menjadikannya tinggi atau pendek, baik atau buruk, berilmu
atau bodoh, dll. Allah itu Maha Mengetahui (Ilmu), yakni mengetahui segala sesuatu, dan ilmu-
Nya meliputi segala sesuatu yang ada, baik yang terjadi di masa lampau atau yang sedang terjadi
atau yang akan terjadi. Allah itu Dzat yang Maha Hidup (Hayat), yakni sifat hidup inilah yang
membuat pihak yang disifatinya menjadi layak menerima sifat qudrah, iradah, ilmu1, sama’, dan
bashar. Andaikata Dia tidak hidup maka sifat-sifat tersebut tidak aka nada pada-Nya. Allah itu
Maha Berbicara (Kalam), yakni tidak dengan huruf dan tidak pula dengan suara. Allah telah
menetapkan sifat ini kepada diri-Nya sendiri. Allah itu Maha Mendengar, yakni dapat mendengar
segala sesuatu sehingga Dia benar-benar, dapat mendengar langkah-langkah semut hitam yang
berjalan di atas batu licin diwaktu malam yang gelap gulita. Sebagaimana Dia mampu mendegar
segala sesuatu, Dia-pun Maha Melihat, yakni melihat segala sesuatu dengan penglihatan
6
menyeluruh mencakup segala yang a[8]da. Penglihatan Allahtidaklah menggunakan mata seperti
cara melihat makhluknya.
Sifat-sifat Allah diantaranya ada yang disebut sifat Dzat, dan ada juga yang disebut sifat-
sifat af’al (perbuatan). Sifat Dzat adalah tsubutiyah atau sifat-sifat ma’ani sebagaimana yang
diuraikan sebelumnya. Adapun sifat-sifat af’al (perbuatan) adalah seperti mencipta dan memberi
rezeki. Sesungguhnya kita wajib berjalan mengikuti petunuk sifat-sifat Allah itu,
menggunakannya sebagai cahaya penerang jalan, menjadikan sebagai contoh tauladan teritinggi,
dan mencapai puncak ketinggian jiwa dan peningkatan ruhani yang sempurna. Allah
“Rabbul-‘Alamin” merupakan teladan tertinggi yang wajib diteladani oleh orang beriman, Allah
“Maha Pemurah” mengaruniakan nikmat pada makhluk-makhluk-Nya, dan menampakkan cinta-
Nya kepada mereka, sekalipun mereka tidak mengerjakan suatu amal yang menyebabkan mereka
berhak menerima hal itu. Allah “Maha Pengasih” memberikan balasankepada manusia atas amal
perbuatanya. Ini juga merupakan contoh yang sangat tinggi, yang mengharuskan umat manusia
membalas kebaikan orang lain dengan kebaikan pula. Allah “Yang menguasai hari pembalasan”
menghitung amal perbuatan manusia, lalu memberikan balasan kepada orang yang berbuat buruk
dengan balasan setimpal, bukan karena senang menyiksa, melainkan dengan semangat toleransi
(bersediamemberi maaf). Sebagaimana seorang pemimpin yang penyayang wajib bersikap
seperti itu terhadap yang dipimpinnya. Keempat sifat-sifat Allah tertinggi yang palinng utama,
serta keteladanan-Nya yng sangat tinggi. Apa saja pelajaran yang dapat diambil dari sifat-sifat ini
juga berlaku untuk sifat-sifat yang lain. Dari keempat sifat Allah ini dapat diambil pelajaran
untuk dijadikan tauladan. Demikian pula halnya dari sifat yang lain. Misalnya sifat cinta dan
sayang merupakan cerminan dari sifat-sifat Allah berikut : 1) Ar-Rauf (Maha Belas Kasihan), 2)
Al-Wadud (Maha Mencintai), 3) At-Tawwab (Maha Menerima Taubat), 4) Al-‘Afuw (Maha
Memaafkan), 5)Asy-Syakur (Maha Pemberi Balasan), 6) As-Salaam (Maha Damai), 7)Al-
Mu’min (Maha Pemberi Rasa Damai), 8)Al-Baar (Maha Baik Dalam Tindakan Dan Pemberian),
9)Rafi’ud Darajaat (Maha Meninggikan Derajat), 10)Ar-Razaq (Maha Pemberi Rezeki), 10) Al-
Wahhab (Maha Pemberi Karunia), 11) Al-Wasi’ (Maha Luas Anugrah-Nya). Demikian pula
halnya dengan sifat-sifat yang mempunyai makna ‘mengetahui’ yang tercermin dalam sifat-sifat-
Nya sebagai berikut: 1) Al-‘Alim (Maha Mengetahui), 2) Al-Hakim (Maha Bijaksana), 3)As-
Sami’ (Maha Mendengar), 4) Al-Bashir (Maha Melihat), 5) Asy-Syahid (Maha Menyasikan),
6)Ar-Raqib (Maha Mengawasi), 7) Al-Bathin (Maha Mengetahui Rahasia).
“Orang-orang makrifat jika dalam keadaan lapang itu lebih kerasa kekhawatirannya, daripada ia
dalam keadaan kesempitan, serta ia tidak dapat tetap dalam berdiri diatas batas-batas adab dalam
keadaan lapang kecuali sedikit”.[10]
Memang kebanyakan manusia dalam keadaan lapang itu ia lupa daratan akan hal yang harus
diingat pada setiap saat, yaitu Allah yang memberi kelapangan itu.
Dari keterlupaannya ia menjadi orang yang berperilaku semau gue tanpa mengenal batas-batas
yang menjadi ketent[11]uan dalam agama. Ketahuilah bahwa dalam keadaan lapang itu hawa
nafsu yang tadinya terkuasai ini terbalik menguasai, sebagaimana telah diterangkan di bab
sebelumnya bahwa hawa nafsu itu mengajak kepada perbuatan tercela.
Sebenarnya dalam keadaan bagaimanapun orang harus ingat dan takut kepada Allah baik dalam
keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit.
Akan tetapi menurut orang-orang makrifat dalam keadaan lapang ia banyak kekhawatirannya
daripada dalam keadaan sempitnya. Sebab menurut mereka dalam keadaan lapang itu suatu
8
kesempatan bagi hawa nafsu. Nah, dari sinilah mereka khawatir kalau nanti tertarik oleh ajakan
hawa nafsu. Misalnya : selalu mempercaturkan tentang berbagai kebendaan dunia, dan berbagai
kekeramatan yang membikin aib dan risaunya hati dalm mengingat kapada Allah padahal bagi
orang yang berma’rifat dia harus menghindar dari sifat tersebut untuk menjernihkan hati didalam
menghadap Allah. Memang dalam keadaan lapang itu biasanya banyak manusia tergelincir
olehnya, demikian sebaliknya dalam keadaan sempit bagi orang ma’rifat lebih mendekatkan
kepada keselamatan.
Jika Allah telah menunjukkan kepada hambanya dengan sebagian sebab-sebab sehingga
ia jadi orang yang ma’rifat, kemudian kepadanya dibukakan pintu kema’rifatan sehingga ia
mendapat ketenangan yang luar biasa, dan ini adalah merupaka ma’rifat yang paling besar.
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang
terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang-orang
yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata:
`Inilah Tuhanku`. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: `Saya tidak suka kepada yang
tenggelam`. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: `Inilah Tuhanku`. Tetapi
setelah bulan itu terbenam dia berkata: `Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk
kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat`. Kemudian tatkala dia melihat matahari
terbit, dia berkata: `Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar`, maka tatkala matahari itu telah
terbenam, dia berkata: `Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada tuhan yang menciptakan langit
dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang
yang mempersekutukan Tuhan” (Al-An’am 75-79)
Demikianlah liku-liku Ibrahim dalam mencari Tuhan yang sebenarnya. Akhirnya ia menjumpai
tuhan yang sebenarnya yaitu Allah. Inilah ma’rifatnya Ibrahim kepada Allah yang merupakan
anugerah dari-Nya sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang besar dan ketenangan yang luar
biasa.
Apabila kamu mendapat jalan ma’rifat yang hakiki maka janganlah kamu hiraukan amalmu yang
sedikit. Sebab diatas telah diterangkan bahwa ma’rifat itu adalah anugerah dari Allah yang
datangnya tidak menggantungkan akan banyak atau sedikitnya amal kebaikan.
Ketauhilah bahwa sesungguhnya maksud dan tujuan manusia memperbanyak amal kebaikan itu
adalah agar dia dapat mentaqorubkan (mendekatkan) diri kepada Allah. Maka dari itu amal yang
sedikit tapi disertai ma’rifat kepada Allah, itu lebih baik dibandingkan dengan amal yang banyak
tapi tidak disertai ma’rifat kepada Allah.
9
Dalam hal ini dapat dimisalkan seperti orang menderita sakit, disebabkan penyakit yang
dideritanya ini maka menjadi berkuranglah ibadanya kepada Allah. Bahkan penyakit yang
dideritanya itu dapat menimbulkan salah satu pintu kema’rifatan kepada Allah.
b. Al-ma’rifah yang ia pahami adalah bahwa allah menyinari hatimu dengan cahaya al-ma’rifah
yang murni, Seperti mata hari tak dapat dilihat kecuali dengan cahayanya. Senantiasa salah
seorang hambah mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang darinya. Lebur (fanah) dalam
kekuasaannya, mereka merasa hambah berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada
lidah mereka, Melihat dengan penglihatan Allah, dan berbuat dengan pebuatan Allah.
Ma’rifat seorang sufi tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat si fulan berada di
rumah dengan mata kepalanya sendiri.
Ringkasnya, Ma’rifat menurut Al-ghozali tidak seperti ma’rifat menurut orang awam maupun
ma’rifat para ulama’, tetapi ma’rifat sufi dibangun atas dasardzuq rohani dan kasyif ilahi.
Ma’rifat semacam ini dapat di capai oleh para khawash auliah tanpa melalui perantara langsung
dari Allah, sebagaimana ilmu kenabian yang langsung di perolah dari Allah, walaupun dari segi
perolehan ilmu ini berbeda antara nabi dan wali. Nabi mendapat ilmu Allah melalui perantara
malaikat allah, sedangkan para wali mendapatkan ilmu dari ilham. Meskipun demikian, kedua-
duanya sama-sama memperoleh ilmu dri Allah.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kita yang telah mengenal dan mengetahui keberadaan Allah sudah sepatutnya apabila
kita senantiasa mengabdikan diri secara bulat dan utuh semata-mata demi mengharapkan
Keridoannya. Salah satu tanda bagi orang yang berma’rifat kepada allah adalah, bahwa ia
senantiasa bersandar dan berserah diri kepada Allah semata. Apapun yang telah dan akan terjadi
pada dirinya selalu diterima dengan baik. Apabila ia diberi kenikmatan ia bersyukur, sedang
apabila ia mendapatkan musibah ia terima dengan sabar.
Selain itu orang yang berma’rifat kepada Allah tidak pernah menyombongkan diri. Sebagi
mahluk yang lemah dan tampa daya, manusia tidak bisa berbuat paa-apa kecuali atas pertolongan
dan ijin-Nya. Menurut seorang ahli ma’rifat bernama al Junaid, bahwa seorang belum bisa
disebut sebagai ahli ma’rifat sebelum dirinya mempunyai sifat-sifat:
a. Mengenal Allah secara mendalam, hingga seakan-akan dapat berhubungan secara langsung
dengannya
b. Dalam beramal selalu berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW.
c. Berserah diri kepada Allah dalm hal mengendalikan hawa nafsu.
d. Merasa ahwa dirinya adalah kepunyaan Allah dan kelak pasti akan kembali kepadanya.
12
DAFTAR PUSTAKA
http://teknologiforever.wordpress.com/2012/09/14/resume-aqidah-islamiyah-sayyid-sabiq/
http://pienotes.blogspot.com/2010/12/al-makrifat-mengenal-allah-swt.html
Sabiq, sayyid. Aqidah Islamiyah : Pola Hidup Sederhana. Dipponegoro: Robbani Press, 2008
Mz, Labib dan Maftuh Ahnan. Kuliah Ma’rifat. CV. Bintang Pelajar
Solihin, M. Tokoh-tokoh Sufi. Bandung : Pustaka Setia, 2003
13