Anda di halaman 1dari 26

1b. Apa etiologi dan mekanisme perdarahan pervaginam post partum?

Dalam keadaan normal, setelah plasenta dilahirkan, pembuluh darah yang menghubungkan
plasenta dengan tubuh ibu akan “terjepit” oleh kontraksi serabut myometrium terutama yang
berada di sekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta.
Namun pada atoni uteri, mekanisme kontraksi ini tidak terjadi sehingga pembuluh darah
tersebut tidak terjepit dan terus mengeluarkan darah.

Gambar 2.3 Kontraksi myometrium terhadap pembuluh darah yang


memperdarahi plasenta. (a) sebelum kontraksi, (b) setelah kontraksi

 Kehamilan usia tua (38 tahun)


Usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami penurunan
dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya
komplikasi pasca persalinan terutama perdarahan akan lebih besar.
 Multipara (anak ke 5) dan janin besar/macrosomia
terjadi peningkatan regangan pada miometrium  memudahkan terjadinya atonia
uteri dan ruptura uteri  tidak terjadi kontraksi uterus setelah plasenta dilahirkan 
terjadinya perdarahan massif
 Sosioekonomi rendah
Kurangnya pengetahuan manajemen kehamilan yang baik, serta asupan nutrisi yang
buruk dan tidak memenuhi kebutuhan selama kehamilan  meningkatkan terjadinya
resiko atonia uteri saat persalinan  perdarahan postpartum
 Anemia def. Fe
Anemia  pasokan oksigen pada miometrium menurun  uterus tidak dapat
berkontraksi maksimal (atonia uteri)
 Persalinan dengan tenaga yang tidak terlatih
Bisa terjadi kesalahan saat melakukan persalinan  terjadi perdarahan

4c. Algoritma pemberian resusitasi dan target?

(Penatalaksanaan dilakukan dengan prinsip “HAEMOSTASIS”, salah satunya adalah: Assess and
resuscitate. Penting sekali untuk segera menilai jumlah darah yang keluar seakurat mungkin
dan menentukan derajat perubahan hemodinamik. Lebih baik overestimate jumlah darah yang
hilang dan bersikap proaktif daripada underestimate dan bersikap menunggu/pasif. Nilai
tingkat kesadaran, nadi, tekanan darah, dan bila fasilitas memungkinkan, saturasi oksigen
harus dimonitor. Saat memasang jalur infuse dengan abbocath 14G – 16G, harus segera
diambil specimen darah untuk pemeriksaan Hb, profil pembekuan darah, elektrolit , golongan
darah serta crossmatch. (RIMOT = resusitasi, infuse 2 jalur, monitoring keadaan umum,
nadi dan tekanan darah, oksigen dan pendekatan tim). Diberikan cairan kristaloid dan
koloid secara cepat sambil menunggu hasil crossmatch.

RESUSITASI
Resusitasi cairan
Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh, sehingga seringkali dapat
menyebabkan syok. Terapi ini ditujukan pula untuk ekspansicepat dari cairan intravaskuler dan
memperbaiki perfusi jaringan.

TERAPI CAIRAN RESUSITASI


cairan secepat mungkin melalui akses intravena
atau intraosseus
menggantikan kehilangan akut cairan tubuh
menyebabkan syok
20 ml/kg BB selama 30-60 menit

Tatalaksana Awal
a. Tatalaksana Umum
Gambar. Tatalaksana awal perdarahan post partum di pelayanan
kesehatan primer
 Panggil bantuan tim untuk tatalaksana secara simultan
 Nilai sirkulasi, jalan napas, dan pernapasan pasien
 Bila menemukan tanda-tanda syok, lakukan penatalaksanaan syok
 Berikan oksigen
 Pasang infus intravena dengan kanul berukuran besar (16 atau 18) dan
mulai pemberian cairan kristaloid (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat atau
Ringer Asetat) sesuai kondisi ibu. Pada saat memasang infus, lakukan
juga pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan.
 Jika fasilitas tersedia, ambil sampel darah dan lakukan pemeriksaan :
 Kadar Hb (pemeriksaan hematologi urin)
 Penggolongan ABO dan tipe Rh serta sampel untuk pencocokan
silang
 Profil hemostasis
o Waktu perdarahn (Bleeding time)
o Waktu pembekuan (Clotting time)
o Prothrombin time
o Activated partial thromboplastin time
o Hitung trombosit
o Fibrinogen
 Lakukan pengawasan tekanan darah, nadi, dan pernapasan ibu
 Periksa kondisi abdomen : kontraksi uterus, nyeri tekan, parut luka, dan
tinggi fundus uteri
 Periksa jalan lahir dan area perineum untuk melihat perdarahan dan
laserasi (jika ada, misal : robekan serviks atau robekan vagina)
 Periksa kelengkapan plasenta dan selaput ketuban
 Pasang kateter folley untuk memantau volume urin dibandingkan dengan
jumlah cairan yang masuk. (CATATAN : produksi urin normal 0.5-1
ml/kgBB/jam atau sekitar 30 ml/jam)
 Siapkan tranfusi darah jika kadar Hb < 8 gr/dL atau secara klinis
ditemukan keadaan anemia berat
 1 unit whole blood (WB) atau packed red cells (PRC) dapat
menaikkan Hb 1 g/dl atau hematokrit sebesar 3% pada dewasa
normal.
 Mulai lakukan tranfusi darah, setelah informed concent
ditandatangani untuk persetujuan tranfusi
 Tentukan penyebab dari perdarahannya dan lakukan tatalaksana spesifik
sesuai penyebab.
 Bila perdarahan terus berlangsung maka dilakukan kompresi bimanual,
kompresi aorta abdominalis, serta memberi misoprostol 400 mg rektal.
Misoprostol (prostaglandin E1) dapat diberikan melalui rektal, oral,
sublingual, dan buccal. Dosis pemberian secara rektal 1000 mikrogram
dan 600 mikrogram secara sublingual atau buccal. Dapat digunakan
prostaglandin E2, yaitu 20 mg secara rektal, namun dapat menyebabkan
demam, nausea, dan diare. Efek samping dari misoprostol dalah
menggigil, pyrexia, dan diare.
 Bila masih tak berhasil lakukan tamponade lalu rujuk untuk dilakukan
ligase arteri uterine dan ovarika. Bila perdarahan terkontrol maka dapat
dilakukan transfusi dengan lakukan observasi ketat. Namun, bila
perdarahan masih berlangsung, lakukan transfusi dan dilanjutkan
histrektomi. Transfuse dilakuan sampai :
- Hemoglobin lebih dari sama dengan 8 g/dl
- Platelet lebih dari sama dengan 75000
- PT kurang dari sama dengan 1,5 dari rata-rata
- APTT kurang dari sama dengan 1,5 rata-rata control
- Fibrinogen lebih dari sama dengan 1 g/l
2b. Apa tanda-tanda plasenta lahir komplit

 Perubahan bentuk dan tinggi fundus


Setelah bayi lahir dan sebelum miometrium mulai berkontraksi, uterus berbentuk
bulat penuh dan tinggi fundus biasanya turun hingga di bawah pusat. Setelah uterus
berkontraksi dan plasenta terdorong ke bawah, uterus menjadi bulat dan fundus di
atas pusat (sering sekali mengarah ke sisi kanan)
 Tali pusat memanjang
Tali pusat terlihat keluar memanjang atau terjulur melalui vulva dan vagina (tanda
Ahfeld)
 Semburan darah tiba-tiba
Darah yang terkumpul di belakang plasenta akan membantu mendorong plasenta
keluar dan dibantu oleh gaya gravitasi. Semburan darah yang tiba-tiba menandakan
bahwa darah yang terkumpul diantaranya tempat melekatnya plasenta dan
permukaan maternal plasenta (darah retroplasenter), keluar tapi plasenta yang
terlepas.

Perasat – perasat untuk mengetahui lepasnya uri, antara lain :


 Kustner, dengan meletakkan tangan disertai tekanan pada atas simfisis, tali pusat di
tegangkan maka bila tali pusat masuk (belum lepas), jika diam atau maju ( sudah lepas).
 Klein, saat ada his, rahim kita dorong sedikit, bila tali pusat kembali ( belum lepas), diam
atau turun ( sudah lepas).
 Strassman, tegangkan tali pusat dan ketok fundus bila tali pusat bergetar (belum lepas),
tidak bergetar (sudah lepas), rahim menonjol di atas simfisis, tali pusat bertambah panjang,
rahim bundar dank eras, keluar darah secara tiba – tiba.
 Perasat Manuaba
Tangan kiri memegang uterus pada segmen bawah rahim, sedangkan tangan kanan
memegang dan mengencagkan tali usat. Kedua tangan di terik berlawanan, dapat terjadi :
 Tarikan terasa berat bila tali pusat tidak memanjang, berarti plasenta belum lepas
 Tarikan terasa ringan dan talipusat memanjang, berart plasenta telah lepas.
5c. Indikasi pemberian misoprostol

 Pencegahan ulkus gaster akibat obat antiinflamasi non steroid/ tukak lambung karena
obat antiinflamasi non-steroid (AINS), dan profilaksis/ menurunkan kadar asam di
dalam lambung
 kematian janin dalam kandungan, mengeluarkan konsepsi pada abortus dini
 induksi persalinan (Efek yang terjadi pada pemberian misoprostol oral dosis tunggal
adalah peningkatan tonus intrauterinekontraksi miometrium.
 pendarahan postpartum

Kontra-indikasi: kehamilan tanpa kelainan, dan hipersensitivitas terhadap prostaglandin


TEMPLATE

1. HOW TO DIAGNOSE
Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama bila timbul perdarahan banyak dalam
waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa disadari
penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi dan
pernafasan menjadi cepat, dan tekanan darah menurun.
Diagnosis perdarahan pasca persalinan :
1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus [atonia uteri= (-)] dan tinggi
fundus uteri
2. Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak
3. Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari: Sisa plasenta atau selaput
ketuban, robekan rahim
4. Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang
pecah.
5. Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu hb, dll

Diagnosis atonia uteri:


Setelah bayi dan plasenta lahir, ternyata perdarahan masih aktif dan banyak,
bergumpal dan pada saat dipalpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau
lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri
terdiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang
sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus
diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.
 Pemeriksaan fisik:
Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat, kecil,
ekstremitas dingin serta tampak darah keluar melalui vagina terus menerus
 Pemeriksaan obstetri
Uterus membesar bila ada atonia uteri.
 Pemeriksaan ginekologi:
Pemeriksaan ini dilakukan dalam keadaan baik atau telah diperbaiki, pada
pemeriksaan dapat diketahui kontraksi uterus, adanya luka jalan lahir dan retensi sisa
plasenta
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar
hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang buruk.
 Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak periode
antenatal.
 Pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu pembekuan.

b. Pemeriksaan radiologi
 Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan
penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium
atau radiologis dapat dilakukan. Pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat
adanyangumpalan darah dan retensi sisa plasenta.
USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan
resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarahan post partum
seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan sensitivitas
dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya.

3. PROGNOSIS

 Ad vitam: dubia ad bonam


 Ad functionam: dubia ad malam
 Ad sanationam: bonam

4. PENCEGAHAN
Antenatal care (ANC) yang baik dan mencegah terjadinya anemia dalam
kehamilan merupakan hal yang paling penting. Karena pada persalinan nanti,
kehilangan darah dalam jumlah normal dapat membahayakan ibu yang menderita
anemia.10
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan
pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut
sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam
persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.5
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya
yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani
seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia
uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir.
Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV
drip 100-150 cc/jam.7
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai
uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin
merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40
menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada membandingkan
antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang
dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.5

5. TATALAKSANA
Langkah-langkah rinci penatalaksanaan atonia uteri pasca persalinan:
1. Lakukan massage pundus uteri segera setelah plasenta dilahirkan : Massage dan
kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan
perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (maksimal 15
detik). Sambil melakukan massage sekaligus dapat dilakukan penilaian kontraksi
uterus.

2. Bersihkan kavum uteri dari selaput ketuban dan gumpalan darah : selaput ketuban
atau gumpalan darah dalam kavum uteri akan dapat menghalangi kontraksi uterus
secara baik.
3. Mulai melakukan kompresi bimanual interna. Jika uterus berkontraksi keluarkan
tangan setelah 1-2 menit. Jika uterus tetap tidak berkontraksi teruskan kompresi
bimanual interna hingga 5 menit : sebagian besar atonia uteri akan teratasi dengan
tindakan ini. Jika kompresi bimannual tidak berhasil setelah 5 menit, dilakukan
tindakan lain
4. Minta keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksterna : Bila penolong
hanya seorang diri, keluarga dapat meneruskan proses kompresi bimanual secara
eksternal selama anda melakukan langkah-langkah selanjutnya.
5. Berikan metil ergometrin 0,2 mg intra muskuler / intravena : metilergometrin yang
diberikan secara intramuskuler akan mulai bekerja dalam 5-7 menit dan akan
menyebabkan kontraksi uterus. Pemberian intravena bila sudah terpasang infuse
sebelumnya.
6. Berikan infuse cairan larutan ringer laktat dan oksitoksin 20 IU/1 liter : anda telah
memberikan oksitoksin pada waktu penatalaksanaan aktif kala tiga dan metil
ergometrin intramuskuler. Oksitoksin intravena akan bekerja segera untuk
menyebabkan uterus berkontraksi. Ringer laktat akan membantu memulihkan
volume cairan yang hilang selama atoni. Jika uterus wanita belum berkontraksi
selama 6 langkah pertama, sangat mungkin bahwa ia mengalami perdarahan
postpartum dan memerlukan penggantian darah yang hilang secara cepat.
7. Mulai lagi kompresi bimanual interna atau pasang tampon uterovagina : jika
atonia uteri tidak teratasi setelah 7 langkah pertama, mungkin ibu mengalami
masalah serius lainnya. Tampon utero vagina dapat dilakukan. Lalu segera
siapkan proses pembedahan.
8. Teruskan cairan intravena hingga ruang operasi siap. Lakukan laparotomi :
pertimbangkan antara tindakan mempertahankan uterus dengan ligasi arteri
uterine/hipogastrika atau histerektomi: pertimbangan antara lain paritas, kondisi
ibu, jumlah perdarahan. Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina
menghasilkan angka keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri
uterina yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim.

Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah
rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang
absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum
2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular
ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya
vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk
itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium.

Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika
terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika
urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm
dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang
arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke
servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau
unilateral ligasi vasa ovarian.

Ligasi arteri Iliaka Interna. Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat


ureter menyilang, untuk melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada
peritoneum lateral paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter
ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka
interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan
menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2
cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka
eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi. Risiko ligasi
arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan.
Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu dan
kondisi pasien.10

Teknik B-Lynch. Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”,


ditemukan oleh Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative
untuk mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri. Histerektomi.
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi
perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi
mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan
abdominal dibandingkan vaginal.
TATALAKSANA

Tatalaksana Umum
● Selalu siapkan tindakan gawat darurat
● Manajemen Aktif Kala III
● Minta pertolongan pada petugas lain utk membantu bila dimungkinkan
● Bila syok , lakukan segera penanganan

● Periksa kandung kemih -> kosongkan


● Cari penyebab perdarahan
● Sambil melakukan tindakan secara cepat
● Atasi syok
● Berikan Oksitosin 10 IU im dilanjutkan 20 IU / 1000 ml RL/NaCl 0.9%
● Pastikan plasenta lahir lengkap, eksplorasi jalan lahir
● Perdarahan berlanjut, uji pembekuan darah
● Pantau keseimbangan cairan
● Sambil mencari penyebab perdarahan
Tatalaksana Atonia Uteri
● Mengenal ibu dgn kondisi berisiko
● Tegakkan diagnosis kerja
● Pasang infus berikan uterotonika
● Pastikan plasenta lahir lengkap
● Bila perlu tranfusi darah
● Uji pembekuan darah
Lakukan tindakan spesifik
● Kompresi bimanual eksternal
● Kompresi bimanual internal
● Kompresi aorta abdominalis
● Tampon kondom kateter
Di rumah sakit
● Coba tampon kondom kateter
● Ligasi arteria uterina & ovarika
● Metoda B-Lynch
● Ligasi a.Hipogastrika
● Histerektomi
Tujuan utama pertolongan pada pasien dengan perdarahan postpartum adalah
menemukan dan menghentikan penyabab dari perdarahan secepar mungkin. Tahapan
penatalaksanaan perdarahan pasca salin berikut ini dapat disingkat dengan HAEMOSTASIS.
Setiap kasus PPS berisiko meningkatkan morbiditas dan moeralitas pada ibu sehingga kondisi
ini perlu diinformasikan kepada keluarga beserta tahapan-tahapan resusitasi yang akan
dilaksanakan. Harus dipastikan bahwa proses ini diakhiri dengan penandatanganan informed
consent.

a. Ask for HELP. Segera meminta pertolongan, atau dirujuk ke rumash sakit. Pendekata
multidisipliner dapat mengoptimalkan monitoring dan pemeberian cairan.
b. Assess and resuscitate. Segera menilai jumlah darah yang keluar seakurat mungkin dan
mementukan derajat perubahan hemodinamik . nilai tingkat kesadaran, nadi, tekanan
darah, dan bila fasilitas memungkingkan, saturasi oksigen harus dimonitor.
c. Establish etiology. Ensure availability of Blood. Sambil melakukan resusitaasi juga
dilakukan upaya menentukan etiologi PPS. Nilai kontraksi uterus, cari adanay cairan
bebas di cavum abdomen, bila adda resiko ruptur (pada kasus bekas seksio atau partus
buatan yang sulit),atau bila kondisi pasien lebih buruk dari pada jumlah darah yang
keluar. Harus dicek ulang kelengkapn plasenta dan selaput plasenta yang telah berhasil
dikeluarkan. Bila perdarahan terjadi akibat morbidly adherent placentae saat seksio
sesarea dapat diupayakan hemostatic sutures, lihasi arteri hipogastrika dan embolisasi
arteria uterine. Keadaan ini sering terjadi pada kasus plsenta previa pasca seksi sesarea.
d. Massage the uterus. Perdarah setekah plasenta lahir harus segera ditangani dengan
masase uterus dan pemberian obat-obatan uterotonika. Nila uterus tetap lembek harus
dilakukan kompresi bimanual interna dengan menggunakan kepalan tangan kanan
didalam uterus dan kepalan tangan kanan didalam uterus dan telapak tangan kiri
melakukan masase fundus uteri.
e. Oxytocin infusin/Prostaglandin. Dapat iberikan oksitosi 40 IU dalam 500 cc normal
saline dan dipasang dengan kecepatan 123 cc/jam. Hindari kelebihan cairan karena dapat
menyebabkan edema pulmoner hingga edema otak yang pada kahirnya dapat
menyebabkan kejang karena hiponatremia. Hal ini timbul karena efek antidiuretic
hormon (ADH)- like effect dari oksitosin. Ergomoetrin dapat diberikan secara IM atau
IV dengan dosis awal 0,2 mg(secara perlahan). Dosis lanjutan 0,2 mg setelah 15 menit
bila masih diperlukan.dosis maksimal adalah 1 mg atau 5 dosis perhar.ergometrin
kontraindikasi diberikan pada preeklampsia dan hipertensi. Bila perdarahan pasca salin
tidak berhasil dengan pemberian ergometrin atau oksitosis, dapat diberikan misoprostol.
f. Shift to theatre. Bila perdarahan masih tetap terjadi segera pasien dievakuasi ke ruang
operasi. Pastikan untuk mentungkirkan sisa plasenta atua selapu ketuban dan kalau perlu
dengan eksplorasi kuret. Kompresi bimanual dilakukan selama ibu dibawa ke ruang
operasi.
g. Tamponade or uterine packing.tamponade uterus dapat membantu mengurangi
perdarahan. Tindakan ini juga dapat memberi kesempatan koreksi faktor pembekuan.
Dapat dilakukan pemasangan Sengstaken Tube atau dapat dipakai Rush Urological
Hydrostatic Baloon dan Rakri SOS Baloon. Biasanya dimasukkan 300 – 400 cc cairaun
untuk mencapai tekanan yang cukup adekuat sehingga perdarahan berhenti. Atau yang
paling sederhana dan murah adalah tamponade kondom-kateter.
h. Apply compression sutura B-Lynch suture dianjurkan dengan memakai chromic catgut
no.2 atau Vicryl O (Ethicon). Cara ini dipilih bila tos dengan manual kompresi berhasi
menghentikan perdarahan. Cara ini banyak dikembangkan modifikasi disesuaikan
dnegan fasilitas dan cara mengerjakan yang lebih simple
i. Systemic Pelvic Devascularization : ligasi arteria uterine atau ligasi arteri hypogsatrica
j. Subtotal or total abdominal hysterectomy : tujuannya untuk menyelamatkan nyawa dan
diutamakn pada ibu yang sudah mempunyai anak.
--

Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen, yaitu: (1)
resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2)
identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum3.
 Resusitasi cairan
Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat
memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab perdarahan. Perlu
dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena. Selama persalinan perlu dipasang paling
tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan resiko perdarahan post partum, dan
dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi3.
Pada perdarahan post partum diberikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam
volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat melalui akses
intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan karena biaya yang
ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko
terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan perdarahan post
partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat
dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat3.
Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada
penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu
penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang
intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial. Pergeseran ini bersamaan dengan
penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan
post partum. Ginjal normal dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post
partum lebih dari 1.500 mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup dengan
infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn darah yang banyak,
biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah3.
Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 – 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan efek
yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih baik dibandingkan
NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak diharapkan pada pemberian
koloid, maka cairan kristaloid tetap direkomendasikan3.

 Transfusi Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan diperkirakan
akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan tanda-tanda syok walaupun
telah dilakukan resusitasi cepat3.
PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi.
Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk menggantikan pembawa oksigen
yang hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang
dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Msalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100
mL NS pada masing-masing unit.

Tabel II.2. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya


Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol
Dosis dan cara IV: 20 U dalam 1 IM atau IV Oral atau rektal
pemberian awal L larutan garam (lambat): 0,2 mg 400 mg
fisiologis dengan
tetesan cepat
IM: 10 U
Dosis lanjutan IV: 20 U dalam 1L Ulangi 0,2 mg IM 400 mg 2-4 jam
larutan garam setelah 15 menit setelah dosis awal
fisiologis dengan Bila masih
40 tetes/menit diperlukan, beri
IM/IV setiap 2-4
jam
Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 Total 1 mg (5 Total 1200 mg atau
per hari L larutan fisiologis dosis) 3 dosis
Kontraindikasi Pemberian IV Preeklampsia, Nyeri kontraksi
atau hati-hati secara cepat atau vitium kordis, Asma
bolus hipertensi
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG etc, editor. Williams Obstetrics 22th edition. Connecticut: Applenton


Lange. 2005; chapter 35 Obstetrical Hemorrhage: 810-48
2. Mochtar, Rustam. Sinopsis obstetrik. Ed. 2. Jakarta: EGC, 1998.
3. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Saifuddin AB
(ed). JNPKKR-POGI, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2002:
M-25-32
4. Zeeman GG, Cunningham FG. Blood volume expansion in women with antepartum
eclamsia. J Soc Gynecol Investig 9; 112A, 2002.
5. Abdel-Aleem H etc, Management of severe post partum hemorrhage. Int J Gynaecol
Obstetry, 2001; 72 : 75
6. B-Lynch CB, Coker A Laval AH. The B-Lynch surgical technique for controll of
massive post partum hemorrhage; An alternative to hysterectomy? Five case reported.
Br J Obstet Gynaecol 1997; 104: 372
7. WHO , 2000. Managing Complications in Pregnancy and childbirth: A guide for
midwives and doctors. Vaginal bleeding after childbirth: 25-34
8. Heller, Luz. Gawat darurat ginekologi dan obstetric. Alih bahasa H. Mochamad
martoprawiro, Adji Dharma. Jakarta: EGC, 1997.
9. James R Scott, et al. Danforth buku saku obstetric dan ginekologi. Alih bahasa TMA
Chalik. Jakarta: Widya Medika, 2002.
10. Wiknjosatro H, dkk. Editor. Ilmu Kebidanan. Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Jakarta. 1994.

Anda mungkin juga menyukai