Anda di halaman 1dari 14

REFLEKSI KASUS

Infeksi Bakteri pada Anak


Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti
Ujian Kepaniteraan Klinik Di Bagian Anak
RS JOGJA

Diajukan Kepada :
dr. Kiswarjanu, Sp. A

Disusun oleh
Nurlita Hadiani
20120310146

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
A. Kasus
Jumat tanggal 13/12/16 seorang anak laki-laki berusia 11 tahun 10 bulan
datang ke poli dengan demam hari ke-10 dimulai sejak hari minggu tanggal
4/12/16, demam mendadak tinggi naik turun terutama malam hari, pasien merasa
tidak enak badan, pusing, menggigil (-), keringat dingin (-), batuk kadang-kadang
dan tidak mengganggu, pilek(-), sesak dada(-), diare(-), nyeri perut(-), nyeri
sendi(-), mual(-), muntah(-), makan minum mau.
Senin, selasa seminggu sebelum masuk RS anak hanya dikasih
paracetamol sendiri, setelah meminum obat demam turun namun beberapa jam
naik kembali. Selasa sore ke dokter dan mendapatkan antibiotic. Rabu, cek darah
ke puskesmas AL: 11,2. Jumat 11.30 dirawat inap di RS karena masih demam,
minum paracetamol dan antibiotic terakhir jam 07.00

Hasil Pemeriksaan Fisik:


KU: CM, Status Gizi: Baik
t: 36,2 R: 42x/menit N: 75x/menit TD: 120/90
Kepala: CA (-)
Leher: lnn (-)
Thorax: datar (+) , simetris (+), retraksi (-)
j/ S1S2 (N), bising (-)
p/ vesikuler (+), suara tambahan (-)
Abdomen: supel(+), BU (+), T/E (N), NT (-), H/L (ttb)
Ekstremitas: Akral hangat, nadi kuat, perfusi baik

Tanggal 13 Desember 2016 dilakukan pemeriksaan darah rutin dan hasil


yang diperoleh sebagai berikut:
Al=19,40 (H) Hitung jenis:
AE=4,82 Neutrofil= 36.5 % (L)
Hb=13,1 Lymfosit=55,2% (H)
Hmt=41,6 Eosinofil=0,4% (L)
At=455 (H) Neutrofil#=7,07 (H)
Tubex TF=1 (Negatif) Lymfosit#=10,71 (H)
Monosit#=1,38 (H)
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang maka
pasien didiagnosis bacterial infection.
Dokter memberikan tatalaksana awal:
– D ½ S 20 TPM
– Paracetamol 400 mg
– Zamel 1x1 cth
– Inj. Ceftriaxone 2x1 g

Hasil tatalaksana awal menunjukan perbaikan pada kondisi pasien, sehingga


terapi dilanjutkan. Tanggal 16 Desember 2016 pasien dievaluasi darah rutin, dan
hasil pemeriksaan menunjukkan :
Al=15,9 (H) Hitung Jenis :
AE=4,75 Neutrofil=31 % (L)
Hb=13 Lymfosit=60,3 % (H)
Hmt=40,7 Lymfosit#= 9,55 103/ul (H)
At=480 (H)

Hasil evaluasi darah rutin di atas menunjukkan bahwa pasien dengan angka
leukosit masih relative tinggi namun keadaan klinis membaik.
Pasien di uji tubex tf untuk menegakkan diagnosis demam tifoid namun
hasilnya negative, dan tatalaksana inj.ceftriaxone masih diteruskan.
B. Masalah yang dikaji :
• Apakah pemeriksaan laboratorium sudah tepat?
• Apakah penanda sepsis pada anak?

C. Analisa Masalah
Pemeriksaan Laboratorium pada Infeksi Bakteri
Adanya suatu penanda yang dapat menggambarkan adanya infeksi bakteri akut
pada awal perjalanan penyakit dapat sangat membantu mengarahkan rencana
terapi
Parameter laboratorium terdiri dari:
1. Leukosit/Sel darah putih
Digunakan pada pasien infeksi, neoplasma, alergi, atau imunosupresi.
Hitung leukosit terdiri atas 2 komponen, yaitu total sel dalam 1 mm3 darah
vena perifer dan hitung jenis (differential count). Sebanyak 75-90% total
leukosit terdiri dari limfosit dan neutrofil. Pada keadaan infeksi, khususnya
sepsis, nilai leukosit biasanya akan sangat tinggi. Fenomena ini disebut
sebagai reaksi leukemoid dan akan membaik dengan cepat apabila infeksi
berhasil ditangani.
Keadaan yang dapat menyebabkan peningkatan nilai leukosit total
(leukositosis) adalah:

 Infeksi: leukosit akan meningkat untuk 
 memulai dan mempertahankan

mekanisme pertahanan tubuh untuk mengatasi infeksi. 


 Keganasan: Ca paru dapat mengakibatkan leukositosis. Mekanisme masih


belum diketahui dengan jelas.
 Trauma, stres, perdarahan: leukosit total di bawah pengaruh hormonal

(epinefrin) 


 Inflamasi: pengenalan jaringan normal 
 ataupun nekrotik yang dianggap

benda asing, sehingga meningkatkan respons leukosit. 


 Dehidrasi: dehidrasi menimbulkan keadaan stres pada tubuh, selain itu


keadaan hemokonsentrasi secara tidak langsung akan meningkatkan nilai

leukosit. 


 Thyroid storm: peningkatan hormon tiroid dapat berkaitan dengan

peningkatan leukosit. 


 Steroid: glukokortikoid memicu produksi leukosit

Keadaan yang dapat menyebabkan penurunan nilai leukosit total


(leukopenia) adalah:

 Kegagalan sumsum tulang 



 Infeksi luar biasa 


 Defisiensi vitamin B12 dan zat besi 


 Infiltrasi sumsum tulang, misalnya 
 mielofibrosis 


 Hipersplenisme: lien akan secara agresif mengekstraksi leukosit dari aliran


darah

5 tipe leukosit:
a. Neutrofil
Granulosit yang paling dominan, diproduksi dalam 7-14 hari, bertahan
dalam sirkulasi selama 6 jam.
Fungsi utama neutrofil adalah fagositosis (membunuh dan mencerna
mikroorganisme). Infeksi bakteri akut dan trauma memicu produksi
neutrofil.
Peningkatan jumlah neutrofil ini bisa disebut sebagai “shift to the left”
yang mengindikasikan adanya infeksi bakterial akut.

Peningkatan Penurunan

• „ Stres fisik atau emosional • „ Anemia aplastik


• „ Infeksi akut supuratif • „ Defisiensi zat gizi
• „ Leukemia mielositik • „ Infeksi bakteri hebat (terutama
• „ Trauma pada orang tua)
• „ Sindrom Cushing • „ Infeksi virus (misalnya
• „ Kelainan inflamatorik (misalnya hepatitis, influenza, campak)
demam rematik,tiroiditis, artritis • „ Terapi radiasi
reumatoid) • „ Penyakit Addison
• Kelainan metabolik (misalnya • „ Pengaruh obat-obatan
ketoasidosis, pirai/gout, eklampsia) mielotoksik
(seperti pada kemoterapi)
b. Basofil
berperan pada reaksi alergi. Sel-sel ini mampu memfagositosis kompleks
antigen antibodi. Setelah reaksi alergi menghilang, hitung eosinofil akan
berkurang. Eosinofil dan basofil tidak berespons dengan infeksi bakteri
ataupun viral. Infeksi parasit dapat menstimulasi produksi sel-sel ini.

c. E Peningkatan Penurunan
o
s• „ Penyakit mieloproliferatif • „ Reaksi alergi akut

i (misalnyamielofibrosis, polisitemia • „ Hipertiroidisme

n rubra vera) • „ Reaksi stres

o• „ Leukemia

f
d. Eosinofil

Peningkatan Penurunan

• „ Infeksi parasitik Peningkatan


• „ Reaksi alergi produksi
• „ Eksem adrenosteroid
• „ Leukemia
• „ Penyakit autoimun

e. Limfosit
terdiri dari 2 tipe, yaitu sel T (timus) dan sel B (sumsum tulang). Sel T
berperan terutama pada reaksi imun tipe seluler, sedangkan. Sel T adalah
sel pembunuh (killer cell), sel supressor, dan sel T4 helper. sel B berperan
pada imunitas humoral (produksi antibodi). Peningkatan hitung limfosit
mengindikasikan adanya infeksi bakteri kronis atau infeksi viral akut.
Peningkatan Penurunan

• „ Infeksi bakteri kronis • „ Leukemia


• „ Infeksi virus (misalnya • „ Sepsis
campak, rubella, hepatitis) • „ Penyakit imunodefisiensi
• „ Leukemia limfositik • „ Lupus eritematosa
• „ Mieloma multipel • „ Fase lanjutan infeksi HIV
• „ Mononukleosis infeksiosa • „ Pengaruh obat-obatan
• „ Radiasi kortikosteroid,
antineoplastik
• „ Terapi radiasi

f. Monosit
sel fagositik yang dapat melawan bakteri sama seperti neutrofil. Monosit
memproduksi interferon, yang merupakan imunostimulan endogen tubuh.
Monosit dapat diproduksi secara cepat dan bertahan lebih lama
dibandingkan neutrofil.

Peningkatan Penurunan

• „ Kelainan inflamatorik kronis • „ Anemia aplastik


• „ Infeksi virus (misalnya • „ Hairy cell leukemia
mononukleosis infeksiosa) • „ Pengaruh obat prednison
• „ Tuberkulosis
• „ Kolitis ulserativa kronis
• „ Parasit (misalnya malaria)

2. Reaktan Fase Akut (Acute Phase Reactant)


Terdapat berbagai kelompok protein pada reaksi fase akut, antara lain
erythrocyte sedimentation rate (ESR)/ laju endap darah (LED), C-reactive
protein (CRP), procalcitonin (PCT), fibrinogen, ferritin, serum amiloid
protein A, alfa-1 antikemotripsin, alfa- 1 antitripsin, haptoglobulin, alfa-a
asam glukoprotein, seruloplasmin, dan C3,C4.8
Parameter laboratorium reaktan fase akut yang lazim diperiksa, yaitu
LED, CRP, dan PCT.
a. Laju Endap Darah (LED)
Pemeriksaan laju endap darah (LED) atau erythrocyte sedimentation
rate (ESR) tidak dapat menentukan diagnosis klinis, tetapi sering
dilakukan karena biayanya terjangkau dan dapat menilai respons terhadap
terapi. Hal yang menentukan LED adalah pembentukan rouleaux berupa
agregasi eritrosit
LED tidak selalu mencerminkan reaksi fase akut karena LED
dipengaruhi oleh beberapa protein plasma, maka kadar LED meningkat
secara lambat dari onset inflamasi dan tetap tinggi selama beberapa hari
atau beberapa minggu setelah inflamasi teratasi.
b. C-Reactive Protein (CRP)
CRP adalah sebuah reaktan fase akut yang disintesis di hati terhadap
respons dari sitokin IL-1 dan IL-6.11
Mulai meningkat beberapa jam setelah inflamasi dan akan mencapai
puncaknya pada 2-3 hari. Semakin besar stimulusnya, maka akan semakin
tinggi dan lama kadar CRP akan bertahan. Setelah stimulus inflamasi
dihilangkan, nilai CRP akan turun dengan cepat.9
CRP bekerja dengan cara berikatan langsung pada mikroorganisme
sebagai opsonin untuk komplemen, mengaktivasi neutrofil dan
menginhibisi agregasi trombosit. CRP juga berperan untuk membersihkan
jaringan nekrotik dan mengaktivasi natural killer cell.
CRP tidak dipengaruhi variasi diurnal dan diet. CRP sangat berguna
untuk menilai respons terhadap terapi dan derajat inflamasi.8

c. Procalcitonin (PCT)
adalah prehormon dari calcitonin, yang normalnya disekresikan oleh sel
C kelenjar tiroid sebagai respons terhadap hiperkalsemia. Mekanisme
produksi PCT terhadap respons inflamasi dan fungsinya masih belum
diketahui, namun diduga procalcitonin dihasilkan oleh hati, sel mononuklear
periferal dan termasuk dalam sitokin yang berhubungan dengan sepsis.

Procalcitonin dinilai sangat baik untuk mendeteksi adanya infeksi


bakteri berat (serious bacterial infection/SBI) seperti bakteremia,
meningitis, infeksi saluran kemih, atau pneumonia. Adapun nilai cut o
yang diajukan adalah sebesar 0,12 ng/mL di mana nilai di atas cut o
dinyatakan sebagai abnormal.
Pemeriksaan CRP merupakan pemeriksaan yang sangat baik untuk
melihat adanya kemungkinan infeksi bakteri berat (serious bacterial
infection/ SBI) pada neonatus. Karena CRP tidak menembus plasenta,
sehingga kadar CRP yang tinggi menunjukkan adanya produksi de novo.
Konsentrasi CRP pada cairan serebrospinal dapat membedakan
meningitis yang disebabkan bakteri atau virus. CRP merupakan
pemeriksaan yang lebih baik dibandingkan dengan ESR karena CRP
meningkat lebih cepat dan juga menurun lebih cepat.10
Simon, et al, (2008) melalui meta- analisisnya menyebutkan
sensitivitas penanda PCT mencapai 92% dan spesifisitas 73%, hal ini lebih
superior apabila dibandingkan dengan sensitivitas penanda CRP setinggi
86% dan spesifisitas yang tidak jauh berbeda, yaitu 70%.
Sekresi PCT dimulai pada 4 jam pascastimulasi dan memuncak
pada 8 jam, sedangkan sekresi CRP dimulai pada 4 – 6 jam pasca-
stimulasi dan memuncak dalam 36 jam.
Setelah perhitungan likelihood ratio (LR) kedua penanda, peneliti
menyimpulkan bahwa akurasi penanda PCT lebih baik dibandingkan CRP.
Selain itu, PCT dinilai lebih unggul dalam kecepatan diagnosa dini, yaitu
pada 8 jam pertama demam PCT sudah dapat digunakan untuk
mengidentifikasi adanya infeksi bakterial.11
Penyakit infeksi non-bakterial seperti malaria dapat meningkatkan
nilai penanda CRP dan PCT secara signifikan, sehingga penggunaan kedua
penanda ini pada daerah endemik malaria dinilai kurang berguna.
Kadar PCT dapat meningkat pada subjek yang baru saja
diimunisasi, namun penanda ini tetap dapat dipakai untuk identifikasi
infeksi bakteri berat.
Sebuah penelitian oleh Dauber (2014) terhadap 3 subjek, yaitu bayi
dengan SBI, bayi yang baru saja diimunisasi dalam 48 jam terakhir dan
bayi sehat yang belum diimunisasi, didapatkan bahwa terdapat
peningkatan median SBI pada kelompok bayi yang diimunisasi. Median
PCT pada kelompok SBI adalah 0,53 ng/mL, kelompok imunisasi 0,29
ng/mL, dan kelompok kontrol 0,17 ng/ mL. Dengan nilai cut o pada 0,12
ng/mL, PCT dapat mendeteksi SBI pada kelompok bayi terimunisasi dan
kelompok kontrol dengan sensitivitas 96%, spesifisitas 23%, dan negative
predictive value 96%.

3. Composite Bacterial Infection Index


Sebuah penelitian dengan desain kasus- kontrol oleh Kossiva, et al,
(2014) mengajukan suatu indeks yang dinamakan Composite Bacterial
Infection Index (CBII).
Tujuan dari indeks ini adalah untuk membedakan demam yang
disebabkan oleh infeksi virus dengan infeksi bakterial menggunakan
parameter laboratorium yang lazim digunakan di instalasi gawat darurat
(IGD).
Adapun dasar penggunaan rumus di atas adalah jumlah neutrofil,
CRP, dan LED dikaitkan dengan adanya infeksi bakterial, sedangkan
jumlah limfosit dan monosit dikaitkan dengan infeksi viral (non-bakterial).
Nilai cut off untuk CBII yang diajukan adalah 32,45 dengan hasil
sensitivitas 85% dan spesifisitas 91%.
Kelemahan yang ada pada penelitian ini antara lain belum ada
penelitian lebih lanjut untuk menentukan nilai cut off optimal dari CBII,
jumlah populasi yang dipakai dalam penelitian sedikit (138 anak; 69 sehat
dan 69 sakit) dan tidak dapat diaplikasikan pada pasien dengan
neutropenia.
Indeks ini dirumuskan dengan rasio jumlah neutrofil (N) dengan
jumlah limfosit (L) dan monosit (M), yang dikali dengan kadar CRP dan
LED, sehingga didapatkan rumus:
𝑁
X CRP X LED = CBII
𝐿+𝑀

Keterangan:
N = jumlah neutrofil dalam persen
L = jumlah limfosit dalam persen
M = jumlah monosit dalam persen
CRP = kadar C-reactive protein darah dalam satuan mg/dL
LED = laju endap darah dalam satuan mm/jam

Definisi sepsis

Systemic Inflammatory Response Syndrome adalah suatu bentuk respon


peradangan terhadap adanya infeksi bakteri, fungi, ricketsia, virus, dan protozoa.
Respon peradangan ini timbul ketika sistem pertahanan tubuh tidak cukup mengenali
atau menghilangkan infeksi tersebut. Systemic Inflammatory Response Syndrome
ditegakkan bila didapatkan minimal dua dari empat kriteria berikut (salah satunya
harus berupa suhu atau hitung leukosit abnormal).

• Suhu sentral (rektal/oral) tubuh >38,50 C atau <360

• Takikardi dengan denyut jantung > 2 SD di atas normal berdasarkan usia (tanpa
stimulus eksternal, pengaruh obat, atau stimulus nyeri) atau peningkatan denyut
jantung yang menetap selama >0.5 jam tanpa sebab jelas. Pada anak < 1 tahun
termasuk juga bradikardi, didefinisikan sebagai rerata denyut jantung <P C

• Rerata laju napas >2 SD di atas normal berdasarkan usia atau menggunakan
ventilator karena proses akut (bukan berhubungan dengan penyakit neuromuskular
atau obat-obat anestesi umum). berdasarkan usia (tanpa stimulus vagal eksternal, obat
penghambat beta penyakit jantung bawaan, atau penurunan denyut jantung yang
menetap selama >0.5 jam tanpa sebab jelas).

• Jumlah leukosit meningkat atau menurun sesuai usia (bukan karena sebab sekunder,
seperti obat kemoterapi yang menyebabkan leukopeni) atau neutrofil imatur >10%.

Sepsis adalah SIRS yang terjadi akibat infeksi, baik infeksi yang sudah
terbukti maupun yang masih dicurigai. Sepsis berat adalah sepsis yang disertai dengan
salah satu disfungsi organ kardiovaskular atau acute respiratory distress syndrome,
atau≥ 2 disfungsi o rgan lain (hematologi, renal, hepatik).

Syok sepsis adalah sepsis berat yang disertai adanya hipotensi atau hipoperfusi
yang menetap selama 1 jam, walaupun telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat.
Penelitian lain menyebutkan syok sepsis adalah sepsis yang disertai disfungsi organ
kardiovaskular, yang masih berlangsung setelah diberikan cairan isotonik bolus
intravena > 40 ml/kgbb selama 1 jam
D. Kesimpulan
Diagnosis infeksi bakteri akut pada kasus demam seringkali sulit
dibedakan dengan infeksi virus akut, dan pembedaan ini penting untuk
menentukan rencana terapi selanjutnya.
Penghitungan jumlah leukosit dan hitung jenis merupakan salah satu
parameter laboratorium yang paling dasar dalam membedakan infeksi bakteri
atau virus. Namun, parameter ini dinilai kurang sensitif dan spesifik untuk
menentukan adanya infeksi, sebab peningkatan jumlah leukosit juga dapat
disebabkan oleh hal lain selain infeksi, misalnya trauma, keganasan, dan
dehidrasi.
Adanya infeksi bakterial dikaitkan dengan peningkatan reaktan fase
akut, misalnya laju endap darah (LED). Akan tetapi, LED tidak cukup untuk
membedakan infeksi bakteri atau virus karena tidak sensitif dan spesifik.
Selain LED, reaktan fase akut lain yang dapat membantu dalam
menegakkan diagnosis infeksi bakteri akut adalah C-reactive protein (CRP)
dan procalcitonin (PCT).

E. Daftar Pustaka
1. Kossiva L, Gourgiotis DI, Douna B, Marmarinos A, Sdogou T, Tsentidis C.
Composite bacterial infection index in the evaluation of bacterial versus viral
infection in children: A single centre study. Pediat Therapeut. 2014; 4(2).

Anda mungkin juga menyukai