Anda di halaman 1dari 3

Teori Belajar Menurut David Paul Ausubel

Nama Lengkap Dr. Ausubel adalah David Paul Ausubel, seorang ahli psikologi kognitif yang
dilahirkan di New York pada tahun 1981. menurut Ausubel, belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua
dimensi. dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada
siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi ke dua menyangkut cara bagaimana siswa dapat
mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. struktur kognitif ialah fakta-fakta,
konsep-konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa. Kedua dimensi itu tidak
menunjukkan dikotomi yang sederhana, tetapi lebih merupakan suatu kontinum. menurutnya belajar
penerimaan tidak sama dengan belajar hafalan. Belajar penerimaan dapat dibuat bermakna, yaitu
dengan cara menjelaskan hubungan antara konsep-konsep (Prastuti, 2012: hal).
1. Belajar Bermakna.
Inti dari teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna (Ausubel, 1968). Bagi
Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-
konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Walaupun kita tidak mengetahui
mekanisme biologi tentang memori atau disimpannya pengetahuan, kita mengetahui bahwa
informasi disimpan di daerah-daerah tertentu dalam otak. Banyak sel otak yang terlibat dalam
penyimpanan pengetahuan itu. Dengan berlangsungnya belajar, dihasilkan perubahan-perubahan
dalam sel-sel otak, terutama sel-sel yang telah menyimpan informasi yang mirip dengan
informasi yang sedang dipelajari (Ratna Wilis Dahar, 1996: hal 112).
dasar-dasar biologi belaljar bermakna menyangkut perubahan-perubahan dalam jumlah atau
ciri-ciri neron yang berpartisipasi dalam belajar bermakna. peristiwa psikologi tentang belajar
bermakna menyangkut asimilasi informasi baru pada pengetahuan yang telah ada dalam struktur
kognitif seseorang. Jadi, dalam belajar bermakna informasi baru diasimilasikan pada subsume-
subsumer relevan yang telah ada dalam struktur kognitif. belajar bermakna yang baru
berakibatkan pertumbuhan dan modifikasi subsumer-subsumer yang telah ada itu. Tergantung
pada sejarah pengalaman seseorang, maka subsume itu dapat relative besar dan berkembang
(Ratna Wilis Dahar, 1996: hal 113).
Darimana datangnya Subsumer?
Bila diinginkan belajar bermakna seperti yang dikemukakan Ausubel, dan bila belajar
bermakna memerlukan konsep-konsep relevan dalam struktur kognitif yang disebut subsumer
itu, mungkin timbul pertanyaan: Darimana datangnya Subsumer itu?
Pada anak-anak, pembentukkan konsep merupakan kosnep utama untuk memperoleh
konsep-konsep. Telah kita ketahui, bahwa pembentukkan konsep adalah semacam belajar
penemuan yang menyangkut baik pembentukkan hipotesis dan pengujian hipotesis maupun
pembentukkan generalisasi dari hal-hal yang khusus (Ratna Wilis Dahar, 1996: hal 113).
2. Belajar Hafalan
Bila dalam stuktur kognitif seseorang tidak terdapat konsep-konsep relevan atau Subsumer-
Subsumer relevan, maka informasi baru dipelajari secara hafalan. Bila tidak dilakukan usaha
untuk mengasimilasikan pengetahuan baru pada konsep-konsep relevan yang sudah ada dalam
struktur kognitif, akan terjadi belajar hafalan. Pada kenyataannya, banyak guru dan bahan-bahan
pelajaran jarang sekali menolong para siswa untuk menentukan dan menggunakan konsep-
konsep relevan dalam struktur kognitif mereka untuk mengasimilasikan pengetahuan baru, dan
akibatnya pada para siswa hanya terjadi belajar hafalan. Lagi pula sistem evaluasi disekolah
menghendaki hafalan, jadi timbul pikiran pada para siswa untuk apa bersusah payah belajar
secara bermakna?
Kerap kali siswa-siswa diminta untuk mengemukakan prinsip-prinsip yang sebenarnya tidak
mereka mengerti apa yang mereka katakana. Suatu contoh, bahwa memang belajar hafalan yang
terjadi pada anak-anak diberikan dalam buku William James yang berjudul Talks to Teachers.
Akan dikutip contoh ini agar kita dapat menyadari, sejauh mana hal ini juga terjadi dikalangan
para guru kita.
A friends of mine, visiting aschool, was asked to examine a young class in geography. Glancing
at the book, she said: “Suppose you should dig a hole in the graund,hundeds of feet deep, how
should you fine it at the buttom warmer or colder than on top?” None of the class replaying,
the techer said: “I’m sure they know, but I think you don’t ask the question quite rightly. Let me
try.” So taking the book, she asked: “In what condition is the interior of the globe?” and received
the immediate answer from half the class at once: “The interior of the globe is in a condition of
igneous fusion.”
(James, 1958: hal.106)
Dari contoh di atas dapat kita ketahui, bagaimana anak menghafalkan suatu prinsip tanpa
mengerti apa artinya. Untuk apa mereka dapat mengucapkan kata-kata yang muluk, tanpa
mengerti apa yang dimaksud? yang menjadi masalah sekarang, berapa orang guru yang masih
meminta anak belajar demikian? contoh ini diberikan oleh buku yang diterbitkan di Amerika
Serikat, tetapi tidak berarti bahwa hal ini tidak terjadi dinegara kita (Ratna Wilis Dahar, 1996:
hal 114).
3. subsumsi dan subsumsi obliteratif
Menurut Ausubel dan Novak (1977), ada tiga kebaikan dari belajar bermakna yaitu:
1. Informsi yang dipelajari secara bermakna lebih lama data diingat.
2. informasi yang tersubsumsi berakibatkan peningkatan diferensiansi dari subsume-subsumer, jadi
memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip.
3. informasi yang dilupakan sudah subsumsi obliteratif, meninggalkan efek residual pada subsumer,
sehingga mempermudah belajar hal-hal yang mirip, walaupun telah terjadi”

4. Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Belajar Penerimaan Bermakna


Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel (1963), ialah
struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan
pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang
timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu; demikian pula sifat proses interaksi
yang terjadi. jika struktur kognoiif itu stabil, jelas, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang sahih dan
jelas atau tidak meragukan akan timbul, dan cenderung bertahan. Tapi sebaliknya, jika struktur kognitif
itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar
dan retensi.
Prasyarat-prasyarat dari belajar bermakna adalah sebagai berikut: (1) materi yang akan
dipelajari harus bermakna secara potensial, dan (2) anak yang akan belajar atau siswa harus bertujuan
untuk melaksanakan belajar bermakna, jadi mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna
(meaningful learning set). Tujuan siswa merupakan faktor utama dalam belajar bermakna. Banyak
siswa mengikuti pelajaran-pelajaran yang kelihatannya tidak relevan dengan kebutuhan mereka pada
saat itu. Dalam pelajaran-pelajaran demikian, materi pelajaran dipelajari secara hafalan. para siswa
kelihatannya dapat memberikan jawaban yang benar tanpa menghubungkan materi itu pada aspek-
aspek lain dalam struktur kognitif mereka
Kebermaknaan materi pelajaran secara potensial tergantung pada dua faktor: (1) materi itu
harus memiliki kebermaknaan logis, (2) gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur
kognitif siswa. Materi yang memiliki kebermaknaan logis merupakan materi yang nonarbitrer

Anda mungkin juga menyukai